Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 33

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 33


akan segera menjadi tetangga Tanah Perdikan ini. Ki Gede dan
aku nanti akan dapat membuat jembatan yang melangkahi
Sungai Praga, sehingga hubungan kami akan menjadi semakin
baik." Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia
masih terlalu lemah, tetapi nalarnya telah mampu mengungkap
semua pembicaraan Sutawijaya, sehingga kemudian Ki Argapati
itu berkata dalam nada yang datar, "Maaf, Anakmas Sutawijaya.
Mungkin aku mendahului Anakmas. Tetapi sebaiknya aku
memang mengatakannya supaya tidak menjadi teka-teki yang
tidak terjawab nanti, apabila Angger telah meninggalkan Tanah
Perdikan ini." Ketika Ki Argapati berhenti sejenak, Sutawijaya menjadi
berdebar-debar. "Anakmas, kalau aku tidak salah menanggapi pembicaraan
Anakmas, maka di seberang Kali Praga akan segera tumbuh
suatu padukuhan baru. Padukuhan yang dipimpin oleh Ki Gede
Pemanahan dan puteranya, pasti bukan sekedar padukuhan
yang kecil. Tetapi aku yakin bahwa padukuhan itu akan segera
berkembang." Ki Argapati berhenti sejenak, namun kemudian
dilenjutkannya setelah menarik nafas panjang-panjang, "Bagiku
Anakmas, perkembangan daerah baru itu akan memberikan
banyak keuntungan. Setidak-tidaknya kami akan dapat
membuka hubungan yang saling menguntungkan. Apa yang
tidak kami punyai di sini, sedangkan yang tidak kami punyai itu
ada berlebih-lebihan di tempat Anakmas, maka pasti bahwa
Anakmas tidak berkeberatan untuk memberikannya kepada
kami, dan sebaliknya. Tetapi yang menjadi pertanyaan kami,
apakah Ki Gede Pemanahan sudah mendapat ijin, maksudku ijin
yang sebenarnya ijin, dari Ayahanda Sultan Hadiwijaya?"
Sutawijaya tidak segera menyahut. Dibiarkannya Ki Argapati
untuk berkata selanjutnya, "Menilik ceritera Anakmas, agaknya
Ki Gede Pemanahan telah menyatakan sikapnya tanpa
menghiraukan Sultan Pajang lagi. Apakah dengan demikian
masalahnya tidak akan berkepanjangan?"
Namun tiba-tiba Sutawijaya tersenyum. Katanya, "Banyak
masalah yang dapat kami persoalkan Ki Gede. Tetapi aku tidak
ingin mengganggu Ki Gede saat ini. Biarlah apa yang aku
katakan sekedar merupakan bahan pembicaraan Ki Gede
beserta para pemimpin Tanah Perdikan ini."
Argapati menarik nafas dalam-dalam pula. Sambil
menganggukkan kepalanya ia berkata, "Baiklah, Anakmas. Kami
memang tidak akan mampu berbuat banyak saat ini, selagi
masalah kami sendiri masih belum selesai. Aku sudah mendapat
laporan, bahwa Sidanti dan Argajaya menunggu penyelesaian.
Para pengungsi yang harus kembali ke tempatnya masingmasing,
dan masih banyak lagi."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa
untuk sementara persoalan yang dikemukakan kepada Ki
Argapati yang terluka itu sudah cukup. Meskipun masih ada
masalah yang penting biarlah disampaikan oleh gembala tua itu.
Karena itu maka ia pun berkata, "Ki Gede, meskipun belum
semua masalah dapat aku katakan, namun aku merasa
beruntung sekali mendapat kesempatan bertemu dengan Ki
Gede. Apa yang sudah aku katakan akan menjadi bahan
pertimbangan Ki Gede."
Ki Gede mengangguk-angguk pula. "Baiklah anakmas." Ki
Gede berhenti sejenak. Namun tiba-tiba dipandanginya gembala
tua yang duduk terangguk-angguk sambil berkata, "Anakmas,
apakah Ki Gede Pemanahan tidak pernah menyebut perguruan
Windu Jati dalam hubungannya dengan usahanya membuka
alas Mentaok." Pertanyaan itu telah mengejutkan gembala tua itu. Namun
kesan itu hanya melintas sekejap di wajahnya.
Sutawijaya sendiri hanya termangu-mangu saja. Ia tidak
mengerti apa yang dikatakan oleh Ki Argapati. Ki Argapati yang
terluka itu sempat tersenyum, katanya, "Mungkin Anakmas
belum pernah mengenal Padepokan Windu Jati. Padepokan
yang selalu diliputi oleh teka-teki."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
berkata, "Ya, Ki Gede, aku memang belum mengenal
Padepokan Windu Jati."
"Sudahlah, Anakmas," berkata Ki Argapati kemudian, "jangan
hiraukan padepokan itu. Mungkin Ayahanda Ki Gede
Pemanahan sudah memperhitungkannya."
"Kini," berkata Sutawijaya kemudian "aku minta diri."
Meskipun Ki Argapati mencoba menahanmya untuk satu dua
hari, namun Sutawijaya berkeras untuk meninggalkan Tanah
Perdikan Menoreh, sehingga akhirnya Ki Argapati harus
melepaskannya. Pada hari itu juga Sutawijaya benar-benar meninggalkan
Tanah Perdikan Menoreh, selelah ia minta diri pula kepada
Gupita dan Gupala. Sekali lagi Sutawijaya memperingatkan
bahwa sebentar lagi alas Mentaok akan menjadi sebuah negeri
yang tidak akan kalah ramainya dari Pati.
Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga pun ikut bersama Sutawijaya
kembali ke Alas Mentaok. Dengan demikian pengawasan
terhadap Sidanti kini dilakukan oleh sekelompok pengawal
pilihan, langsung di bawah pengamatan gembala tua itu.
Sementara itu Gupala yang duduk bersandar tiang di ujung
belakang gandok bersungut-sungut, Ki Hanggapati dan Ki
Dipasanga telah bebas dari pekerjaan yang menjemukan ini.
"Seandainya diperkenankan oleh guru aku akan mengikutinya
sekarang. Aku sudah jemu sekali disiksa oleh tugas ini."
Gupita berpaling. Dipandanginya wajah adik seperguruannya
itu. Kemudian katanya, "Apakah kau sudah mencoba
mengatakannya kepada guru?"
"Aku yakin, bahwa kita pasti masih harus berada di tempat ini
sampai waktu yang tidak terbatas."
Gupita mengerutkan keningnya sejenak. Kemudian katanya,
"Apakah kau sudah benar-benar ingin mennggalkan tempat ini.
Kalau kau memang sudah tidak kerasan di sini, biarlah aku yang
minta ijin kepada guru. Aku masih mengharap bahwa kita akan
diijinkannnya mengusul Sutawijaya."
Gupala tidak segera menyahut.
"Biarlah guru tinggal di sini sementara."
Gupala masih berdiam diri.
"Bagaimana" Bagiku tidak ada yang mengikat di atas Tanah
ini. Kau juga agaknya tidak ada sesuatu yang dapat menarik
perhatianmu." Gupala yang bersungut-sungut itu menjadi semakin muram.
Namun tiba-tiba ia tersenyum, "Ah, kau."
"Jadi bagaimana?"
"Biarlah aku di sini untuk sementara."
Gupita pun tertawa pula. Ia tahu apa yang tergetar di dalam
hati Gupala meskipun ia tidak tapat menyembunyikan kepada
diri sendiri, getaran-getaran yang serupa. Namun Gupita adalah
seseorang yang sudah biasa mengendalikan dirinya. Bahkan
agak berlebih-lebihan. Sementara itu, Alas Mentaok memang sudah menjadi
semakin ramai. Hubungan dengan padukuhan-padukuhan di
sekitarnya menjadi semakin luas. Namun perkembangan Alas
Mentaok itu tidak lepas dari pengamatan Pajang. Meskipun
daerah itu akhirnya diserahkan dengan resmi kepada Ki Gede
Pemanahan, namun persoalan pada tingkat pertama dalam
hubungannya dengan tanah itu, sama sekali kurang
menguntungkan, sehingga seakan-akan ada sepucuk duri yang
tajam membatasi antara Pajang dan Alas Mentaok.
Seperti yang dicemaskan oleh guru Gupita dan Gupala, maka
sebenarnyalah pimpinan prajurit di Pajang telah memerintahkan
seorang senopati yang bernama Untara untuk mengamati
perkembangan daerah baru itu.
Dalam pada itu terbersit pula kecemasan di dada senapati
muda itu. Adiknya, Agung Sedayu yang pergi ke daerah Barat
melintasi hutan Mentaok dan menyeberangi sungai Praga
bersama Swandaru dan gurunya, Kiai Gringsing, masih belum
kembali. Apabila dalam perjalanan mereka kembali, mereka
menentukan Alas Mentaok sudah menjadi kota yang ramai,
mereka pasti akan tertahan di sana. Tetapi Untara tidak berbuat
sesuatu. Ia hanya dapat menunggu dalam kecemasan.
Sementara itu, para pengawal di tanah Perdikan Menoreh
masih sibuk membersihkan dirinya. Di sana-sini kadang-kadang
masih terjadi benturan-benturan kecil. Tapi pada umumnya
mereka yang selama ini telah tersesat mempercayai seruan
pengampunan Ki Gede Menoreh.
Argajaya yang dikenal berhati sekeras batu-batu padas,
ternyata mulai memandang ke dalam dirinya sendiri. Tanah
Perdikan Menoreh kini seakan-akan telah menjadi abu, dibakar
oleh api pertentangan di antara keluarga sendiri, sehingga untuk
membangun Menoreh, diperlukan semua kemampuan, yang ada
di atas Tanah Perdikan itu. Harta, benda, tenaga maupun
pikiran. Gembala tua yang masih berada di Tanah Perdikan Menoreh
itu pun menjadi heran ketika ia melihat perubahan sikap
Argajaya. Pada suatu kesempatan, atas permintaan Ki Argapati,
gembala tua itu menemui Ki Argajaya.
Meskipun perasaan tinggi hati masih juga nampak pada
sikapnya, namun Argajaya sudah mulai bersikap lain.
"Ki Argapati masih terluka," berkata gembala tua itu,
"sehingga ia masih belum sempat mengunjungimu."
"Aku tidak mengharap kunjungan siapa pun," berkata
Argajaya. "Aku tahu," berkata gembala tua itu, "tetapi adalah wajar
sekali, bahwa Ki Argapati selalu memperhatikan kau. Kau adalah
saudara muda daripadanya."
Argajaya tidak menyahut. Kepalanya menjadi tertunduk
dalam-dalam. "Aku memang mendapat pesan dari Ki Argapati untuk
menemui dan menyampaikan kepadamu akan hal itu."
Ki Argajaya masih betdiam diri. Tetapi dari sikapnya, gembala
tua itu dapat meraba, bahwa Argajaya yang keras hati itu sudah
mulai melihat kesalahan sendiri.
Ketika Ki Argajaya kemudian mengangkat wajahnya, gembala
tua itu menunggu, apakah yang akan dikatakannya.
"Kiai," berkata Ki Argajaya itu kemudian, "apakah yang
dikatakan oleh Kakang Argapati?"
"Ki Argapati pernah berkata kepadaku bahwa semua tenaga
dan kekuatan oang yang masih ada harus dikerahkan untuk
membangun kembali Tanah Perdikan ini."
Ki Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mungkin
Kakang Argapati benar-benar berkata demikian. Tetapi itu tidak
ditujukan kepadaku. Kakang Argapati pasti lebih menghargai Kiai
dan murid-murid Kiai itu, meskipun mereka orang asing bagi
kami di sini." "Tidak. Bukan begitu. Semua tenaga yang masih mungkin
dipergunakan harus dipergunakan. Apalagi tenaga putra-putra
Menoreh sendiri." Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya lebih
ditujukan kepada diri sendiri, "Tetapi tidak untuk aku."
"Kenapa?" bertanya gembala tua itu. "Kalau kau sudah
melihat kesalahan sendiri, kemudian bersedia untuk
memperbaiki, apakah salahnya?"
"Apakah aku pernah bersalah?"
"Kepada Tanah Perdikan ini dan kepada Ki tAirgapati?"
Sekali lagi Argajaya menundukkan kepalanya. Kemudian
terdengar ia berdesis, "Ya. Aku ikut membakar Tanah ini. Itu
semata-mata karena kebodohanku dan keragu-raguan Kakang
Argapati sendiri. Kalau ia tidak membiarkan kami dicengkam
oleh kegelisahan karena permusuhan dengan orang-orang
Pajang, maka kami tidak akan berbuat begitu bodoh."
"Tetapi perhitungan siapakah yang benar" Orang-orang
Pajang pun tidak akan begitu bodoh menyeberangi sungai Praga
tanpa memperhitungkan bahaya yang mengancam di seberang.
Apalagi Pajang yang belum sempat tegak benar itu sudah mulai
goyah kembali." Ki Argajaya tidak segera menjawab.
"Ternyata Ki Argapatti adalah seorang yang berpandangan
sangat tajam. Dan kau harus berbangga karenanya, bahwa kau
mempunyai seorang kakak seperti itu."
Ki Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
kemudian, "Aku tahu, Kakang Argapati adalah seorang yang
berpijak pada ketentuan yang sudah digariskannya. Dan itu akan
berlaku bagi siapa pun, meskipun bagi adiknya sendiri. Siapa
yang bersalah akan menerima hukuman. Aku pun pasti akan
dihukumnya." Argajaya berhenti sejenak, kemudian, "Tetapi aku
tidak akan ingkar. Aku akan menjalaninya dengan dada
tengadah. Itu sudah menjadi akibat yang aku perhitungkan."
Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Teringat
olehnya sikap Argajaya di ujung Gunung Baka, di tepian Kali
Opak. Ia sama sekali tidak gentar menghadapi ujung tombak
Sutawijaya, meskipun tombaknya sendiri sudah terlepas dari
tangannya. Ia masih berani menantang agar anak muda itu
membunuhnya. Baginya memang lebih baik mati daripada
mengaku kalah. Sikap itu kini masih juga terasa, meskipun nadanya sudah
lain. Kini ia melihat kesalahan itu ada di dalam dirinya. Tetapi
dengan jantan ia bertanggung jawab atas kesalahannya.
"Ki Argajaya," berkata gembala itu "pada suatu saat Ki
Argapati akan memanggilmu. Ia ingin berbicara langsung
dengan kau sendiri."
"Ia akan memberitahukan hukuman apakah yang dipilihnya
untukku." Ki Argajaya berhenti sejenak. Setelah menelan
ludahnya ia meneruskan, "Kiai, akulah yang telah melakukan
kesalahan ini. Karena itu, aku minta tolong kepadamu apabila
Kiai masih sempat untuk menemukan anakku. Ia masih
terlampau muda. Mungkin Kakang Argapati mau memaafkannya.
Ia hanya sekedar hanyut saja ke dalam arus yang tidak
dimengertinya." Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
"Baik. Baiklah. Aku akan mencarinya. Mungkin orang-orang lain
akan berusaha pula. Aku sendiri akan mengatakannya kepada Ki
Argapati permintaan itu, agar anak itu tidak dipersalahkannya
pula. Aku yakin bahwa Ki Argapati tidak akan berkeberatan.
Bahkan secara umum Ki Argapati sudah menyerukan
pengampunan bagi mereka yang menyerah. Tetapi bagi mereka
yang melanjutkan perlawanan karena sikap putus asa, mereka
akan benar-benar dihancurkan."
Argajaya menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi dengan nada
yang dalam ia bertanya, "Kakang Argapati menyerukan


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengampunan umum bagi mereka yang melawannya selama
ini?" "Ya." Argajaya menarik nafas dalam-dalam.
"Ki Argapati tidak akan dapat membuat berates-ratus tiang
gantungan di alun-alun," berkata gembala itu. "Tetapi ada nilai
yang lebih tinggi dari kesulitan tiang gantungan itu. Ki Argapati
memang memiliki jiwa besar. Ia melihat masa depan Tanah ini
sebagai suatu kenyataan. Tetapi ia pun dapat bertindak tegas
terhadap mereka yang mencoba merintangi usahanya."
Argajaya masih tetap berdiam diri. Pandangan matanya jauh
menyusup pintu yang tidak tertutup rapat. Sudah agak tama ia
tersekap di dalam bilik yang sempit. Sepi dan sendiri. Sudah
agak lama ia mendapat kesempatan mempertimbangkan
keadaannya, apa yang sudah, sedang, dan akan dilakukan.
Dan karena Argajaya tidak segera menjawab, maka gembala
itu pun berkata selanjutnya, "Ki Argajaya, sebenarnyalah bahwa
Ki Argapati ingin mengetahui sikapmu sekarang, setelah kau
merenung beberapa saat lamanya."
Bagaimana pun juga, ternyata Ki Argajaya tetap seorang
yang tinggi hati. Meskipun ia mengakui di dalam hatinya sampai
ke segenap relung, namun ia menjawab, "Aku akan
mengatakannya kepada Ki Argapati. Baik ia sebagai kakakku
mau pun ia sebagai Kepala Tanah Perdikan yang telah mampu
mempertahankan diri dari sebuah guncangan yang dahsyat. Aku
akan mengatakan sikapku kepadanya. Tidak kepada siapa pun.
Tidak kepadamu, Kiai. Karena kau bukan apa-apa di sini. Kau
bukan pemimpin dan bukan tetua Tanah ini."
Gembala tua itu mengerutkan keningnya.
"Jangan kau kira," berkata Argajaya, "bahwa, tanpa kau,
persoalan Tanah ini tidak akan dapat selesai. Kau sama sekali
tidak kami perlukan di sini."
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
tersenyum. "Ya. Ya. Kau memang tidak memerlukan aku, kecuali
untuk sekedar mencari anakmu yamg hilang. Tetapi aku tidak
akan ingkar atas tugas kemanusiaan itu. Kalau aku dapat
menemukannya, aku akan berusaha menolongnya. Menariknya
dari arus yang telah kau sediakan sendiri untuk menyeret
anakmu yang tidak bersalah itu."
Wajah Argajaya menegang sejenak. Tiba-tiba tubuhnya
serasa menjadi lemah. Kepalanya perlahan-lahan menunduk.
Tetapi ia tidak mengatakan sepatah kata pun.
"Baiklah, Ki Argajaya," berkata gembala itu, "aku akan
menyampaikan semua pesanmu, semua jawabanmu dan semua
yang aku ketahui kepada Ki Argapati."
Argaayaya masih tetap berdiam diri.
"Apakah kau masih mempunyai pesan?"
Argajaya seakan-akan acuh tidak acuh saja, meskipun
tampak di wajahnya kekecewaan dan kegelisahan.
"Jadi, bagaimana?" bertanya gembala itu.
Ki Argajaya tetap tidak menjawab.
"Baiklah. Baiklah. Aku minta diri."
Argajaya sama sekali tidak bergerak. Kepalanya pun tidak.
Dibiarkannya saja gembala tua itu berjalan ke pintu yang tidak
tertutup rapat. Namun ketika tangan orang tua itu telah meraih daun pintu
lereg, terdengar ia berkata, "Kiai. Aku tidak akan minta apa pun
kepadamu, selain pesan tentang anakku."
Gembala itu berbalik. Sebuah senyum membayang di
wajahnya. "Aku akan berusaha."
"Leherku sudah aku siapkan buat umpan tiang gantungan.
Tetapi aku harap anak laklaki itu tidak."
"Aku akan berusaha."
"Hem," Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Terdengar ia
menggeram, "Kau terlampau berkuasa di sini Kiai. Sebenarnya
kau harus menyingkir. Kau terlampau banyak ikut campur dalam
persoalan kami." "Bukan maksudku, Ki Argajaya," jawab orang tua itu, "tetapi
aku justru telah mengorbankan diriku untuk menjadi pesuruh
lengkap dari Ki Argapati. Dari mengobati lukanya sampai
masalah-masalah keluarga seperti ini."
"Bohong! Apakah yang telah kau tuntut daripadanya" Separo
dari Tanah Perdikan ini" Sepertiga atau kau ingin salah seorang
muridmu menjadi menantunya yang dengan demikian akan
menjadi pewaris Tanah ini?"
"He?" gembala tua itu justtru berdiri tegak dengan penuh
keheranan. Sama sekali tidak terlintas di kepalanya tuntutan
serupa itu. Separo Tanah ini atau menantu" Sambil
menggelengkan kepalanya ia menjawab, "Pertanyaanmu aneh.
Kau pasti pernah mendengar, apa yang aku dapatkan dari
Pajang setelah aku dan murid-muridku membantu memecahkan
padepokan Tambak Wedi" Kami mempertaruhkan nyawa kami
tanpa pamrih." "Bohong!" Argajaya hampir berteriak. "Kau anggap kau
berkelahi tanpa pamrih" Jangan kau kira aku tidak tahu Kiai. Kau
ingin menyelamatkan Kademangan Sangkal Putung,
kademangan ayah dari salah seorang muridmu. Kau ingin
menyingkirkan Angger Sidanti dari Sekar Mirah, seorang gadis
yang diinginkan oleh muridmu yang lain. Tanah dan Perempuan
adalah lambang perjuangan laklaki jantan. Katakan sekarang
bahwa kau tidak mempunyai pamrih apa pun. Juga atas Tanah
Perdikan ini" Aku yakin kau mempunyai pamrih serupa."
Gembala tua itu mengerutkan keningnya. Kepalanya
digeleng- gelengkannya, seolah-olah ia ingin meyakinkan dirinya
sendiri atas kata-kata Argajaya itu.
"Eh, begitu bodoh aku ini," katanya. "Sebagian memang
benar. Tetapi terlampau murah untuk menilai seluruh perjuangan
kami atas dasar itu, tanpa menilai sikap orang-orang yang
bersembunyi di balik dinding padepokan Tambak Wedi." Orang
tua itu berhenti sejenak, lalu, "Apakah kau dapat menyebut
pembebasan Sangkal Putung dan Sekar Mirah itu suatu
pamrih?" Argajaya terdiam. Ia tidak dapat menjawab pertanyaan
gembala itu. Apakah perjuangan untuk membebaskan Sangkal
Putung dari ancaman Tambak Wedi dan pembebasan Sekar
Mirah itu pamrih atau memang tujuan perjuangan mereka.
"Aku pun menjadi sangat bodoh," desisnya di dalam hati.
"Sudahlah, sebaiknya kita tidak berbantah tentang leluconlelucon
yang tidak kita pahami. Sekarang, aku akan menghadap
Ki Argapati untuk melihat lukanya dan menyampaikan laporan."
"Kiai," tiba-tiba suara Argajaya merendah, "bagaimana
dengan keadaan Sidanti sekarang?"
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dalam
keadaannya itu Argajaya masih juga sempat bertanya tentang
keadaan Sidanti. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya
gembala itu menjawab, "Bak. Keadaannya cukup baik, meskipun
ia harus tetap berada di tempatnya."
Argajaya menundukkan wajahnya. Tetapi ia tidak bertanya
apa pun lagi. "Apakah Ki Argajaya masih mempunyai pesan tentang apa
pun?" Ki Argajaya menggeleng, tetapi tidak sepatah kata pun
terlontar dari bibirnya. "Baiklah. Aku akan minta diri. Kalau Ki Argajaya memerlukan
sesuatu, di luar ada beberapa orang yang dapat kau panggil."
"Aku sudah tahu," tiba-tiba Argajaya menjawab lantang, "aku
sudah tahu kalau seseorang yang ditahan pasti dijaga oleh
beberapa orang. Mereka sama sekali tidak berada di situ,
menyediakan diri melayani aku apabila aku memerlukan mereka.
Tetapi mereka mengawasi kalau-kalau aku akan lari."
Gembala itu menarik nafas. Katanya "Ya, begitulah kira-kira."
"Kalau Kiai mau meninggalkan ruangan ini silahkanlah.
Jangan mengatakan lelucon-lelucon yang tidak perlu lagi
bagiku." Gembala itu mengangguk-angguk. "Baik. Baik. Aku memang
terlampau banyak berbicara."
Maka gembala itu pun kemudian meninggalkan ruangan yang
suram itu. Ketika pintu kemudian ditutup dan diselarak, sekali
lagi gembala itu menarik nafas dalam-dalam. Yang berada di
dalam ruangan itu adalah adik Kepala Tanah Perdikan ini
sendiri. "Tetapi apa boleh buat. Semakin tinggi kedudukan seseorang,
apabila ia berniat jahat, ia menjadi semakin berbahaya," berkata
gembala itu di dalam hatinya.
Ketika kemudian gembala itu menemui Argapati, selain untuk
mengobati luka-lukanya, maka dikatakannya pula apa yang telah
dibicarakannya dengan Argajaya. Seperti yang dipesankan
Argajaya, gembala tua itu menyinggung pula tentang anak lakilaki
yang mohon diampunkan segala kesalahannya.
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia selama ini
tidak pernah membeda-bedakan sikap kepada siapa pun yang
bersalah, tetapi ketika yang bersalah itu adalah adiknya sendiri,
maka dadanya pun serasa diguncang-guncang. Apalagi dada itu
masih terasa pedih karena luka yang masih cukup parah.
"Baiklah, Kiai," berkata Ki Argapati, "betapa pun beratnya,
adalah kuwajibanku untuk menyelesaikannya."
"Kemudaan juga masalah Sidanti, Ki Gede," berkata gembala
itu. Ki Argapati terdiam sejenak. Tatapan matanya yang lurus ke
atas, serasa akan menembus langit-langit yang terbentang di
atas pembaringannya. "Temuilah anak itu, Kiai," berkata Ki Argapati tiba-tiba. "Aku
minta tolong. Tidak ada orang lain yang dapat aku percaya."
Belum lagi gembala itu menjawab, terdengar Pandan Wangi
menyahut, "Aku dapat melakukannya, Ayah."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Kau memang dapat melakukannya, Pandan Wangi. Tetapi kita
belum dapat menjajagi perasaan Sidanti sekarang."
"Biarlah aku menemuinya."
"Kau dapat menemuinya kemudian."
"Biarlah aku yang pertama-tama menemuinya, Ayah.
Sebelum orang lain. Aku benharap bahwa Kakang Sidanti dapat
mengatakan isi hatinya kepadaku. Karena aku adalah adiknya."
Sesuatu terassa berdesir di dada orang tua itu. Pandan
Wangi, satu-satunya anak yang diharapkan mewarisi Tanah
Perdikan ini memang adik Sidanti. Tetapi, setelah Sidanti
membakar Tanah Perdikan ini menjadi abu, semakin terasa
olehnya, jarak yang terbentang di antara mereka."
"Bagainyana, Ayah" Apakah Ayah lebih percaya kepada
orang lain daripada kepadaku?"
Ki Argapati tidak mancegahnya lagi. Meskipun demikian ia
berkata, "Baiklah Pandan Wangi. Kau dapat mengunjunginya.
Tetapi untuk kebaikanmu sendiri, biarlah gembala itu
mengikutimu." "Apakah gunanya?"
"Tidak apa-apa. Itu hanya sekedar sikap hathati."
"Kakang Sidanti tidak akan berbuat apa-apa kepadaku. Aku
yakin." "Tetapi apakah salahnya orang itu menyaksikan
pertemuanmu dengan Sidanti."
Pandan Wangi merenung sejenak. Kemudian ia
menganggukkan kepalanya. "Baiklah. Apa boleh buat, apabila
ayah menghendaki." Pandan Wangi pun kemudian minta diri kepada ayahnya
sejenak untuk menemui kakaknya, Sidanti, yang berada di ujung
lain dari ruangan tengah itu.
"Tolong, Kiai, amatilah anak-anak itu."
Gembala itu mengangguk, "Baiklah, Ki Gede. Aku akan
mengamati mereka. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu,
karena tampaknya mereka sangat baik."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
berdesis, "Itulah yang membuat kepalaku selama ini menjadi
semakin pening." Gembala tua itu pun kemudian meninggalkan bilik Ki Argapati
pula mengikuti Pandan Wangi. Ia masih melihat Pandan Wangi
berbicara dengan para pengawal yang bertugas menjaga
Sidanti. "Apakah Ki Argapati sudah mengijinkan?" salah seorang dari
mereka bertanya. "Tentu. Aku mendapat perintah dari ayah untuk menemuinya."
Pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Silahkan." "Aku juga," sela gembala tua yang sudah berdiri di belakang
para pengawal itu. Pandan Wangi pun kemudian membuka selarak pintu bilik itu.
Tetapi tanpa disangka-sangka, pintu itu tiba-tiba telah terbuka.
Sidanti sudah siap menyerang siapa saja yang berada di muka
pintu. Seperti seekor harimau lapar ia meloncat menerkam
Pandan Wangi. Pandan Wangi tidak menyangka, bahwa Sidanti akan berbuat
demikian, sehingga karena itu, ia sama sekali tidak bersiap
menghadapinya. Meskipun demikian Pandan Wangi telah terlalih lahir dan
batinnya menghadapi setiap persoalan. Meskipun ia tidak
bersiap sama sekali, namun gerak naluriahnya telah
melemparkannya selangkah ke samping secepat terkaman
Sidanti. Namun demikian, tangan Sidanti masih berhasil
mengenai pundaknya, sehingga gadis itu terdorong beberapa
langkah surut. Dengan susah payah ia berusaha, untuk tetap
tegak dan menguasai keseimbangannya.
Para pengawal yang melihat peristiwa itu pun segera
berloncatan memencar dengan senjata masing-masing. Mereka
sadar bahwa Sidanti adalah seorang yang berilmu tinggi. Apalagi
dalam keadaan serupa itu.
Namun ternyata Sidanti tidak dapat berbuat terlampau
banyak. Ketika ia akan menyerang para pengawal, maka terasa
sebuah telapak tangan melekat di tengkuknya. Dengan
tangkasnya ia merendahkan dirinya, berputar pada lututnya
sambil memukul tangan yang sudah mencengkam tengkuknya
itu. Namun ia tidak berhasil. Tiba-tiba saja terasa seakan-akan
seluruh sendsendinya terlepas, dan Sidanti itu pun kehilangan
tenaganya. "Jangan terlampau bernafsu, Ngger," desis gembala tua itu.
Sidanti masih mencoba untuk tetap berdiri di atas kedua
kakinya. Dengan suara gemetar ia menjawab, "Apakah kau
masih tidak puas dengan segala campur tanganmu di mana pun,
he tua bangka?" Gembala tua itu tidak menjawab. Dibimbingnya Sidanti untuk
kembali ke dalam biliknya. Kemudian diletakkannya ia di
pembaringannya.

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pergi, pergi kau!" anak muda itu membentak.
Tetapi gembala tua itu masih tetap berdiri di tempatnya.
"Pergi kataku!" Sidanti berteriak.
"Tenanglah, Ngger. Sebaiknya Angger mencoba
menenangkan diri sejenak. Adikmu, Angger Pandan Wangi ingin
bertemu." Sdanti mengerutkan keningnya. Ketika ia memandangi pintu,
ia melihat Pandan Wangi berdiri tegak dengan kaki renggang
dan sepasang pedang di lambungnya.
"Kau akan membunuh aku?" bertanya Sidanti dengan kasar.
Tampaklah wajah gadis itu menjadi terlampau muram. Ia
sama sekali tidak menyangka bahwa demikianlah sambutan
kakaknya atas kedatangannya.
Perlahan-lahan ia menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Tidak, Kakang. Aku sekedar ingin melihat keadaan Kakang di
sini." "Sambil menengadahkan dada menyorakkan
kemenanganmu?" "Sama sekadi tidak, Kakang. Sama sekali tidak. Tidak ada
yang menang dan tidak ada yang kalah di antara kita berdua.
Bagaimana pun akhirnya, kita tinggal menemukan Tanah
Perdikan ini yang telah menjadi abu."
"Dan kau akan menyalahkan aku" Kau akan menuduh akulah
yang menyebabkan Tanah Perdikan ini kini menjadi hancur" Kau
akan menunjuk hidungku sambil berkata, bahwa aku adalah
seorang pengkhianat."
Pandan Wangi menggeleng. Tetapi tampak keragu-raguan
membayang di wajahnya, meskipun mulutnya berkata, "Tidak,
Kakang." "Bohong! Jangan mencoba menipu aku. Meskipun kau
menggeleng dan mulutmu berkata "tidak," tetapi sorot matamu
tidak dapat kau pungkiri.
Pandan Wangi menjadi bingung. Bagaimana ia menghadapi
kakaknya yang kini seakan-akan menjadi sangat asing, baginya.
"Kakang," Pandan Wangi mencoba membujuknya, "marilah
kita melupakan apa yang sudah terjadi. Aku akan minta agar
ayah pun mau melupakannya. Marilah kita menghadapi masa
depan dengan tekad baru. Reruntuhan ini seharusnya kita
tegakkan kembali." "Huh," Sidanti mencibirkar bibirnya, "aku bukan anak-anak
yang dapat kau bujuk dengan sepotong gula kelapa." Tiba-tiba
Sidanti berteriak, "Ayo, katakan kepada Argapati, kepada
ayahmu itu. Kalau ia akan membunuh aku, cepatlah dikerjakan.
Aku sudah siap." "Jangan berpikir begitu, Kakang. Ayah tidak akan
melakukannya." "Omong kosong! Ayah itu adalah ayahmu. Bukan ayahku. Ia
tidak akan memperlakukan kau seperti memperlakukan aku.
Lihat, aku sudah dikurungnya seperti kambing di dalam kandang
yang kotor pengap ini."
"Tetapi bukan maksudnya. Ruangan rumah ini tidak ada yang
tidak kotor, Kakang. Semua bilik-biliknya seperti bilik hantu."
"Dan akulah yang mengotorinya, setelah rumah ini aku duduki
beberapa lama. Begitu maksudmu?"
Pandan Wangi menarik nafas. Ia sama sekali tidak
menyangka bahwa ia akan berhadapan dengan Sidanti yang lain
sama sekali dari Sidanti yang dikenalnya.
"Benar juga kata ayah," berkata gadis itu di dalam hatinya,
"dan benar juga gembala tua itu. Kalau ia tidak mengawani aku,
mungkin Kakang Sidanti telah berbuat sesuatu di luar dugaan.
Setidak-tidaknya ia akan berusaha melarikan dirinya kembali."
Pandan Wangi terperaujat ketika tiba-tiba Sidanti berkata
lantang, "Tinggalkan aku sendiri."
"Kakang," berkata Pandan Wangi. Ia masih berusaha untuk
yang terakhir kalinya, "Orang lain pun akan diampuni. Apalagi
kau. Tanah ini memerlukan apa saja yang dapat membantu
menegakkannya kembali. Apalagi tenagamu, Kakang."
"Diam! Diam kau perempuan celaka. Kau selalu berbicara
tentang ayahmu. Kau sangka aku tidak tahu, bahwa kami, yang
kalian anggap tawanan itu akan kalian pekerjakan seperti sapi
dan lembu" Aku tidak mau. Lebih baik aku dibunuh daripada aku
harus merangkak menarik bajak."
"Kau keliru, Kakang."
"Pergi! Pergi kau dari sini! Pergi! Kau juga tua bangka. Aku
tidak memerlukan kalian sama sekali." Tiba-tiba Sidanti
berusaha untuk bangkit, sambil mengepalkan tinjunya. Tetapi ia
terduduk kembali. Ternyata kekuatannya masih belum pulih
sama sekali, sehingga hanya matanya sajalah yang seakanakan
menyala membakar seluruh ruangan.
Pandan Wangi dan gembala tua itu masih berdiri termangumangu
di tempatnya. Kini mereka benar-benar dihadapkan pada
kekerasan hati Sidanti. Ia sama sekali tidak mau melihat
kenyataan yang dihadapinya, yang justru semuanya itu telah
membuat hatinya menjadi semakin gelap.
Bayangan-bayangan yang hitam selalu merupakan kabut
yang menghantuinya. Ia samta sekali tidak dapat melihat, apa
yang akan terjadi di harhari mendatang. Karena itulah maka
Sidanti itu berbuat berlebih-lebihan di dalam kelam.
Pandan Wangi akhirnya merasa, bahwa saatnya masih tidak
tepat untuk dapat berbicara dengan baik. Hati Sidanti sama
sekali masih belum terbuka. Karena itu, ketika Sidanti sekali lagi
berteriak mengusirnya, ia berkata, "Baik, Kakang. Aku akan
pergi." Bersama gembala tua itu, akhirnya Pandan Wangi
meninggalkan bilik Sidanti. Sementara kemudian Sidanti
mendengar slarak pintu bergerit di luar.
Suara itu tiba-tiba saja telah membangkitkan kemarahan yang
tidak tertahankan lagi. Dengan serta-merta ia meloncat tertatihTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
tatih ke arah pintu yang tertutup rapat. Dengan sisa-sisa
tenaganya ia memukul pintu itu sekuat-kuatnya. Tetapi
kekuatannya memang belum pulih kembali. Karena itu luapan
perasaan yang tidak terkendali itu telah membuatnya seakanakan
kehilangan kesadaran. Ketika ia menghentakkan dtrinya, menghantam pintu itu sekali
lagi, maka seluruh sisa-sisa kekuatannya yang memang belum
pulih itu seakan-akan telah terkuras habis, sehingga perlahanlahan
Sidanti terjatuh di muka pintu. Meskipun tangannya
mencoba meraih dan berpegangan uger-uger, tetapi akhirnya
dengan lemahnya ia terduduk bersandar dinding.
"Dukun gila. Ia telah menyihir aku, sehingga aku kehilangan
sebagian dari kekuatanku," ia menggeram.
Dalam pada itu, gembala tua itu masih berdiri di luar pintu.
Dengan dada yang berdebar-debar ia mendengar usaha Sidanti
untuk memecah pintu. Bahkan para pengawal pun telah siap
dengan senjata masing-masing, sedang Pandan Wangi berdiri
dengan penuh kebimbangan beberapa langkah dari pintu yang
berderak-derak itu. Namun setiap kali perasaan seorang gadis
telah menyentuh-nyentuh jantungnya. Yang berada di dalam bilik
yang kotor pengap itu adalah kakaknya. Kakak yang baik
baginya sejak kanak-kanak. Tetapi keadaan dan jalan yang
bersimpangan telah membuat mereka berhadapan.
Ketika bilik itu seakan-akan sudah menjadi tenang, maka
gembala tua itu pun berdesis, "Sudahlah, Ngger, tinggalkan bilik
ini. Kembalilah kepada Ki Argapati. Mungkin Ki Argapati
memerlukan minum atau pelayanan apa pun."
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. "Baik, Kiai."
"Biarlah aku untuk sementara tinggal di sini," berkata gembala
tua itu. Pandan Wangi pun kemudian meninggalkan pintu bilik itu
dengan kepala tunduk. Perlahan-lahan ia berjalan di ruang
tengah, menuju ke bilik ayahnya. Kini ia melihat, bahwa ayahnya
memang bersikap hathati. Bukan sekedar didorong oleh
kemarahanaya kepada Sidanti sajalah ia membatasi dan
mengawasi anak itu dengan sangat ketat. Tetapi Sidanti
memang berbahaya. Demikian ia memasuki bilik ayahnya, terdengar ayahnya
bertanya, "Kau tidak apa-apa, Pandan Wangi?"
Pandan Wangi menjadi heran mendengar pertanyaan itu,
seolah-olah ayahnya melihat apa yang baru saja terjadi.
Karena Pandan Wangi tidak segera menyahut, maka Ki
Argapati melanjutkannya, "Aku mendengar lamat-lamat suara
Sidanti berteriak-teriak. Apakah ia marah karena kunjunganmu
yang dianggapnya menghina?"
Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Kini ia semakin
yakin, bahwa ayahnya mengenal Sidanti lebih baik daripadanya.
Perlahan-lahan maka ia pun menjawab, "Ya, Ayah."
"Aku sudah menduga. Itulah sebabnya, aku semula
mencegahmu untuk menemuinya."
Kepala Pandan Wangi pun menjadi semakin menunduk.
"Anak yang keras dan tinggi hati itu tidak akan dapat mengerti
perasaanmu. Kau pasti disangkanya datang untuk mengatakan
bahwa kau telah menang, dan Sidanti telah kalah. Atau bahkan
lebih daripada itu, kau dianggapnya akan berbuat sewenangwenang
saja atasnya." "Ya, Ayah," desis Pandan Wangi hampir tidak terdengar.
Ayahnya yang sedang sakit itu ternyata dapat membaca
perasaan kedua kakak-beradik itu meskipun tidak tepat benar.
"Pandan Wangi," berkata Ki Argapati kemudian, "kalian
berdua memang terlampau dilibat oleh perasaan kalian,
sehingga suasana yang terjadi justru sebaliknya dari yang kalian
harapkan. Kau selalu dicengkam oleh perasaan seorang adik
yang baik, yang merasa berhutang budi dan barangkali kau ingin
menunjukkan bahwa kau adalah seorang adik. Sementara itu
Sidanti dibayangi oleh kegagalan-kegagalan yang dialaminya.
Kematian orang-orang terdekat dan justru perasaan bersalah di
dasar hatinya. Tetapi ia ingin meniadakan perasaan-perasaan
itu, sehingga ledakan-ledakan yang demikian akan terjadi."
Pandan Wangi mengangguk-angguk kecil.
"Kalau aku sudah berangsur baik, Wangi," berkata Ki
Argapati, "aku akan memanggil pamanmu Argajaya dan Sidanti
bergantganti. Aku ingin berbicara langsung dengan mereka
satu-persatu. Apakah aku masih dapat mengharapkan mereka,
atau tidak sama sekali. Kalau aku masih dapat berharap tentang
mereka, biarlah mereka mendapat kesempatan untuk ikut
membangun kembali reruntuhan Tanah Perdikan yang parah ini.
Tetapi kalau tidak, apa boleh buat. Mereka tidak boleh justru
menjadi penghalang yang selalu mengganggu kerja kami saja."
"Jika demikian, apakah yang akan Ayah lakukan atas
mereka" Apakah mereka akan dihukum mati?"
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya "Aku belum
memikirkannya sampai begitu jauh. Tetapi setidak-tidaknya
mereka harus dikurung dalam sangkar yang kuat untuk waktu
yang tidak terbatas. Sebab kami yakin, bahwa kami tidak akan
dapat mempergunakan tenaga Gupala dan Gupita terusmenerus.
Pada suatu saat mereka pasti akan meninggalkan
Tanah Perdikan ini."
(***) Buku 48 PANDAN WANGI menundukkan kepalanya. Sudah terbayang
di pelupuk matanya, ayahnya membangun sebuah penjara
khusus bagi pamannya Argajaya dan kakaknya Sidanti.
Bangunan yang kuat, dipagari oleh papan-papan yang tebal dan
derijderiji kayu yang besar. Sepasukan pengawal pilihan yang
akan mengawasinya siang dan malam, siap dengan senjata
masing-masing. "Sampai kapan?" ia berdesis di dalam hatinya. Ketika terkilas
wajah ayahnya yang pucat, maka terbayanglah penderitaan
batin orang tua itu, di masa mudanya, pada saat Arya Teja yang
baru saja memasuki jenjang perkawinn dengan Rara Wulan.
Namun kemudian ternyata bahwa semua impiannya telah buyar,
karena merasa telah dikhianati oleh perempuan itu. Dan
perempuan itu kemudiam melahirkan Sidanti.
Kepala Pandan Wangi menjadi semakin tunduk. "Wajar sekali
apabila ayah sangat membenci Ki Tambak Wedi dan mungkin
juga Kakang Sidanti," katanya pula di dalam hatinya.
"Wangi," Pandan Wangi terkejut ketika ayahnya menyebut
namanya, "sudahlah. Jangam tercengkam oleh keadaan Sidanti
itu. Kau akan kehilangan waktu, tenaga dan pikiran yang justru
kini sangat diperlukan oleh Tanah Perdikan ini."
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. "Ya, Ayah. Aku
mengerti." "Nah, karena itu, aku percayakan saja pamanmu dan
kakakmu kepada mereka yang mendapat beban untuk itu.
Lakukanlah tugas-tugasmu yang lain bersama pamanmu
Samekta dan Kerti yang barangkali kini masih nganglang
membersihkan seluruh Tanah Perdikan ini dari mereka yang
berkeras hati dan berkeras kepala, bahkan mereka yang
berputus asa. Kita harus menubersihkan diri dahulu, dan barulah
kita mulai membangun Tanah."
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. "Ya, Ayah."
"Aku pun sudah menjadi semakin baik, Wangi. Kau tidak usah
menunggui aku seperti kemarin. Mintalah dua orang pengawal
yang dapat dipercaya, dan suruhlah ia berada di sini. Mungkin
aku memerlukan minum atau makan atau keperluan-keperluan
apa pun." "Baik, Ayah." "Kau dapat keluar dari ruangan ini, melihat reruntuhan Tanah
Perdikanmu. Dengan demikiam mungkin dapat tumbuh gagasangagasan
yang akan sangat bermanfaat bagi Tanah ini. Tetapi di
dalam ruangan ini angan-anganmu seakan-akan terkunci oleh
dinding-dinding yang mati."
Pandan Wangi mengangguk pula dan menjawab, "Ya, Ayah."
"Nah, pergilah ke luar untuk melihat-lihat," berkata ayahnya
pula. "Kalau kau selalu berada di ruangan ini kau tidak ubahnya
seperti pamanmu Argajaya dan kakakmu Sidanti. Mungkin kau
akan segera jemu, meskipun tanpa kau sadari, sehingga kau
pun dapat berangan-angan jauh ke dunia yang asing, Kadangkadang
ada baiknya, tetapi kadang-kadang memang dapat
menumbuhkan keinginan yang kurang pada tempatnya."
"Baik, Ayah." "Jangan lupa, suruhlah dua orang pengawal mengawani."
"Baik, Ayah." "Sementara Samekta dan Kerti masih sibuk, dalam masalah
yang penting, kau dapat berbicara dengan gembala tua itu."
Sekali lagi Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. "Baik,
ayah. Pandan Wangi pun kemudian melangkah ke luar. Dua
pengawal terpilih yang memang sudah disiapkannya, dieuruiwya.
meamasuki bilik ayahnya, untuk menjaga dan melayaninya.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kemana Ngger?" bertanya gembala tua yang melihatnya
keluar ruang dalam. "Aku akan sekedar melepaskan ketegangan, Kiai."
"Bagus. Bagus. Itu perlu sekali bagi Angger, yang selama ini
seakan-akan selalu dicengkam oleh suasana yang tidak
menentu. Sekalsekali Angger Pandan Wangi memang harus
melihat cerahnya matahari, hijaunya dedaunan dan silir angin di
bawah pepohonan. Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sambil
melanjutkan langkahnya ia menjawab, "Ya, Kyai, supaya
jantungku tidak mledak karenanya."
Orang tua itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
menyahut lagi. Ia sadar, bahwa Pandan Wangi selalu diganggu
oleh kekesalan hati selama ini. Karena itu maka ia pun kemudian
kembali duduk di antara para pengawal yang mengawasi pintu
bilik Sidanti di bagian dalam.
Di ujung gandok, Gupala berbaring sambil mendeadangkan
lagu macapat. Lamat-lamat. Suaranya memang tidak begitu
baik, tetapi ungkapannya berhasil menyentuh perasaasn
pendengarnya. Beberapa orang pengawal yang mendengar
suara tembangnya itu pun tersenyum sambil menganggukkan
kepalanya. Bahkan ada di antara mereka yang bergumam, "Ah,
anak muda yang gemuk itu membuat aku mengantuk."
Tetapi Gupala berlagu terus perlahan-lahan. Di sampingnya
Gupita duduk sambil menggosok tangkai cambuknya yang melilit
di lambung, dengan angkup keluwih.
Langkah Pandan Wangi tertegun ketika telinganya tersentuh
suara tembang di kejauhan. Lamat-lamat saja. Tanpa
sesadarnya langkahnya seakan-akan dituntun oleh getaran
suara Gupala yang menyusuri halaman. Satu-satu langkah
Pandan Wangi membawanya berjalan di sepanjang emper
gandok menyusup regol samping masuk ke dalam longkangan
tengah, kemudian lewat sebuah pintu ia sampai ke ujung
belakang gandok. Pandan Wangi terhenti ketika tiba-tiba ia melihat Gupita yang
duduk tepekur sambil menggosok-gosok tangkai cambuknya di
samping Gupala yang berbaring sambil berdendang.
"He," tiba-tiba saja dendang Gupala terputus, "marilah," sapa
Gupala dengan serta-merta. "Apakah kau mendapat tugas untuk
melihat tawanan kami?"
Gupita pun kemudian mengangkat wajahnya. Dilihatnya
Pandan Wangi berdiri kaku sambil menundukkan kepalanya.
Sementara beberapa orang pengawal yang bertebaran di
halaman kebun belakang sama sekali tidak menghiraukannya.
Mereka duduk terkantuk-kantuk dan bahkan ada yang tidur
mendekur bersandar pepohonan.
Gapala pun segera bangkit dan duduk, di samping Gupita.
Sejenak dipandanginya saja wajah gadis yang tunduk itu. Sesaat
kemudian ia berpaling ke arah Gupita yang masih juga berdiam
diri. Caption: Demikianlah, maka ketika Pandan Wangi sedang
berdiam termangu-mangu di tangga pendapa rumahnya Gupitalah
yang berjalan mendekatinya, meskipun katanya berdebardebar.
Ia sudah mereka-reka alasan yang paling tepat untuk
membawa Pandan Wangi meninggalkan padukuhan induk.
Tiba-tiba suasana menjadi kaku, seperti tiang-toang serambi
gandok yang tegak tanpa bergerak sama sekali.
Demikian juga ketiga anak-anak muda itu. Gupala, Gupita,
dan Pandan Wangi yang masih berdiri.
Namun kekakuan itu kemudian dipecahkan oleh suara
teriakan Gupala. Sambil berdiri ia berkata, "He, kenapa tiba-tiba
saja kita seperti dicekik hantu." Kemudian kepada Pandan Wangi
ia berkata, "Marilah, barangkali kau membawa perintah atau
berita atau kau akan bersama-sama berdendang dengan kami di
sini?" Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ketika tampak olehnya
solah anak yang gemuk itu, maka ia pun tersenyum.
"Ha, kau sudah tarsenyum," berkata Gupala. Tetapi katakatanya
terputus karena Gupita menggamitnya.
Tetapi tanpa ragu-ragu Gupala malahan bertanya, "Kenapa"
Apakah aku salah" Maksudku, aku ingin mempersilahkannya."
"Hus," desis Gupita, "kenapa kau" Aku tidak melarangmu."
"Tetapi kau menggamit aku."
Gupala mengerutkan keningnya. Dan sekali lagi ia melihat
Pandan Wangi tersenyum. "Kalau begitu," berkata Gupala selanjutnya, "marilah.
Duduklah di sini." Pandan Wangi masih berdiri di tempatnya.
"Kita bercakap-cakap," berkata Gupala. "Tetapi, apakah kau
sedang bertugas?" Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak
sedang bertugas apa pun."
"Bagus. Duduklah. Kita berbicara tentang banyak hal.
Tentang yang tidak menjemukan seperti kerjaku selama aku di
sini. Menunggui sangkar yang meskipun berisi, tetapi tidak
pernah berkicau." "Hus," sekali lagi Gupita berdesis. Dan tiba-tiba saja wajah
Pandan Wangi berkerut. Perlahan-lahan Gupita berbisik, "Bukankah orang itu
pamannya." "O," Gupala menjadi gelisah, "tidak. Maksudku, bukan orang
ini yang berkicau. Aku memang senang sekali burung. Dan aku
ingin memelihara seekor burung di dalam sangkar, supaya
berkicau setiap saat."
Mau tidak mau Pandan Wangi terpaksa tersenyum pula.
Hampir tanpa disadarinya ia melangkah maju mendekati kedua
anak-anak muda itu. Sekilas dilihat wajah keduanya. Gupita
yang tenang datar dan Gupala yang riang dan cerah.
"Keduanya pasti bukan saudara seperti yang mereka
katakan," berkata Paadan Wangi di dalam hatinya. "Keduanya
pasti bukan anak gembala yang luar biasa itu. Aku kira keduanya
adalah murid-muridnya. Saudara seperguruan."
Tetapi langkah Pandan Wangi tertegun. Ia berdiri beberapa
langkah dari kedua anak-anak muda itu ketika tiba-tiba Gupala
bertanya, "Ataukah kau akan melihat-lihat seluruh halaman
rumah ini" Marilah aku tunjukkan, barangkali kau ingin melihat
apa yang ada di seputar rumah yang sudah tidak terpelihara lagi
ini." Tetapi sekali lagi kata-kata Gupala terputus ketika Gupita
berkata, "Rumah ini rumah Ki Argapati, ayah Pandan Wangi.
Kalau kau ingin melihat-lihat, Pandan Wanglah yang
seharusnya yang mengantar kau."
"O," Gupala menjadi semakin gelisah, "lalu, apa yang akan
aku lakukan?" Sekali lagi Pandan Wangi harus tersenyum melihat tingkah
laku Gupala. Namun dengan demikian ia menjadi semakin
mengenal jiwanya. Jiwanya yang selama ini tertekan oleh
berbagai masalah, kesungguhan yang berlebih-lebihan.
Lingkungan keluarga yang mengecewakannya setelah ia
mengetahui keadaannya yang sebenarnya, perang dan
ketegangan di bilik ayahnya yang sakit, maka sikap Gupala
benar-benar merupakan kelainan yang segar. Itulah sebabnya,
perasaan Pandan Wangi seolah-olah terbuka. Apalagi setelah
diketahuinya bahwa api di bukit menorah yang lengkap ternyata
ada di padepokan adbmcadangan dotwordpress dotcom. Angin
yang silir telah menyusup ke pusat jantungnya. Kedua anakanak
muda itu memberikan nafas yang berbeda dari
kehidupannya seharhari. "Atau, kalau begitu," Gupala tergagap, "duduklah di sini. Di
dalam bilik ini tersimpan Ki Argajaya. Selama ini kami mendapat
tugas untuk menungguinya siang dan malam. Bergantganti.
Kadang-kadang harus berdua. Dan Tanah Perdikan ini serasa
terlampau sepi bagi kami."
"Kenapa terlampau sepi?" tiba-tiba Pandan Wangi bertanya.
"Di sini tidak ada penari, penabuh gamelan yang cakap dan
tidak ada pula tayub yang meriah."
"Hus," desis Gupita.
Pandan Wangi kini tertawa. Katanya, "Tentu ada. Kalau
keadaan tidak sepanas ini, kau dapat melihat gadis-gadis
Menoreh menari diiringi oleh para penabuh yang cakap. Tetapi
ayah memang tidak suka pada tayub."
Gupala mengangguk, "Benar. Aku juga tidak suka, ayah juga
tidak suka. Bahkan melarang tayub di wilayahnya."
"Siapakah ayahmu?" tiba-tiba Pandan Wangi bertanya,
"apakah bukan gembala tua itu?"
Sekali lagi Gupala tergagap. Sejenak ia terbungkam. Namun
kemudian ia tertawa, "Tentu saja, ayah memang melarang tayub
di wilayahnya. Wilayah ayahku memang tidak mungkin
menyelenggarakan tayub karena rakyatnya terdiri dari kambingkambing."
Ketiganya tidak dapat menahan tertawa lagi. Gupita, Gupala,
dan bahkan Pandan Wangi. Sejenak Pandan Wangi dapat
melupakan kepahitan yang selama ini tersimpan di dalam
hatinya tentang berbagai masalah yang serasa bertimbun-timbun
di dalam dadanya. Tanpa sesadarnya Pandan Wangi pun kemudian duduk di
antara mereka. Wajahnya yang selalu suram itu menjadi cerah.
Dan wajah Pandan Wangi yang cerah, adalah wajah yang
menyentuh perasaan anak muda yang gemuk itu sampai ke
pusat jantung. Meskipun pembicaraan ketiga anak-anak muda itu masih
belum terlampau lancar, namun pembicaraan yang berbeda dari
pembicaraan yang setiap hari mencengkam perasaan Pandan
Wangi itu, telah berhasil membuatnya sedikit gembira. Kadangkadang
ia tersenyum dan bahkan kadang-kadang ia tertawa.
Ternyata selingan yang demikian itu sangat dibutuhkan oleh
Pandan Wangi. Terasa kesegaran merayapi dadanya. Seperti
pada saat-saat ia pergi berburu bersama Kerti di hutan-hutan
yang tidak terlampau lebat, selagi Tanah ini masih belum dibakar
oleh api pertentangan di antara keluarga sendiri.
Dengan demikian, maka di harhari berikutnya Pandan Wangi
kadang-kadang memerlukan menemui kedua gembala-gembala
muda itu untuk sekedar berbicara tentang apa saja. Tentang
Tanah Pendikan Menoreh, tentang bukit-bukit kapur, Sungai
Praga dan tentang hutan perburuan yang menyenangkan.
"Apakah kau mau menunjukkan hutan itu kepadaku?"
bertanya Gupala. "Tentu," jawab Pandan Wangi, "tetapi tidak sekarang."
"Apakah salahnya kalau kita sekarang atau besok pergi ke
sana?" bertanya Gupala.
"Tentu tidak mungkin."
"Besok kita berangkat pagpagi benar, supaya sebelum
tengah hari kita sudah kembali."
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya, "Aku tidak sampai
hati meninggalkan Ayah yang terluka itu sekedar untuk melihatlihat
hutan perburuan." Gupala mengerutkan keningnya. Tetapi kepalanya kemudian
terangguk-angguk. Katanya kemudian, "Aku pun tidak dapat
meninggalkan pintu sangkar batu itu."
"Hus," desis Gupita.
"Maksudku, pintu yang tentu tidak disukai oleh penghuni
ruangan itu." Pandan Wangi tidak menyahut.
"Tetapi sampai kapan aku harus berada di sini?"
"Tidak terlampau lama. Ayah akan membangun ruanganruangan
yang kuat untuk menyimpan Paman dan Kakang
Sidanti." "Kapan?" "Ayah ingin berbicara dahulu dengan Paman dan Kakang
Sidanti. Kalau mereka bersedia membantu ayah, maka ayah
tidak akan merasa perlu membangun sangkar-sangkar itu."
"Kalau tidak?" Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun Gupala
segera berkata, "Baiklah. Kita berbicara tentang hal lain lagi.
Sudah tentu yang tidak menyangkut masalah-masalah yang
tidak kau sukai." Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
Dan Gupala pun kemudian berusaha untuk berbicara tentang
masalah-masalah yang sama sekali tidak penting, namun yang
dengan demikian dapat mengurangi ketegangan hati Pandan
Wangi. Namun pertemuan yang sering terjadi itu, telah memahat hati
Gupala menjadi semakin dalam. Kadang-kadang anak yang
pada umumnya selalu bergembira itu menjadi perenung.
Kadang-kadang ia duduk sambil memandang jauh menerawang
ke ketiadaan. Gupita segera dapat menangkap perasaan adik
seperguruannya. Kali ini agaknya Gupala tidak bergurau. Ia
benar-benar telah terpikat oleh gadis Tanah Perdikan Menoreh.
Kadang-kadang hati Gupita sendiri menjadi berdebar-debar
tanpa sebab. Sekilas membayang senyum Pandan Wangi yang
tertahan-tahan di dalam kepahitan perasaan, setelah ia
mengalami guncangan-guncangan yang tidak terkirakan.
Tetapi Gupita adalah seorang anak muda yang sudah
terlampau biasa menahan hati. Ia merasa bahwa ia tidak berhak
lagi untuk menilai kecantikan gadis Menoreh itu. Ia tidak mau
ingkar pada kesediaannya untuk mengikatkan diri kepada
seorang gadis yang ditinggalkannya di Sangkal Putung.
Karena itu, Gupita mencoba untuk bersikap lebih dewasa dari
Gupala menghadapi persoalannya. Sehingga ia berusaha untuk
menjauhkan segala kesan tentang perasaannya sendiri atas
gadis itu. Itulah sebabnya, kini ia menyimpan serulingnya. Ia
hampir tidak pernah lagi meniup seruling itu. Setiap nada yang
dilontarkan oleh serulingnya akan dapat menimbulkan getarangetaran
hati yang paling tersembunyi sekalipun. Apalagi ia
sadar, bahwa Pan"dan Wangi pun tertarik pula kepada nadanada
serulingnya itu. "Kakang," pada suatu kali Gupala berkata dengan wajah yang
bersungguh-sungguh kepadanya, "apakah Kakang Gupita mau
menolong aku?" Gupita menjadi heran. Karena itu maka ia bertanya, "Apakah
yang harus aku tolong?"
Gupala menelan ludahnya. Kemudian ia menggelenggelengkan
kepalanya seakan-akan hendak mengusir kenangan
yang tidak dikehendakinya.
"Tetapi aku tidak tahu, apakah Guru setuju atau tidak."
"Apa?" "Kakang," suara Gupala menjadi semakin lambat.
"He, jangan seperti orang yang kelaparan. Aku tidak
mendengar lagi suaramu."
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi sangat


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gelisah, sehingga keringat dinginnya mengalir membasahi leher
dan punggungnya. "Katakan Gupala. Kalau aku dapat membantumu, aku akan
membantu." "Ya, ya. Aku percaya."
"Tetapi aku tidak tahu, apa yang harus aku lakukan untuk
membantumu. Apa kesulitanmu dan apakah keinginanmu."
"Tetapi apakah guru tidak akan marah?"
"Kalau masalahnya masalah yang wajar, guru tentu tidak
akan marah. Tetapi apa itu, katakanlah supaya aku dapat
memberitahukan pertimbangan."
"Itulah." "Kenapa itulah" Kau belum mengatakan apa-apa."
Gupala menjadi semakin gugup. Kini keringatnya sudah
menitik dari keningnya. Beberapa kali bibirnya bergerak-gerak seakan-akan hendak
mengucapkan sesuatu, tetapi suaranya ditelannya kembali
sebelum terucapkan. Gupita melihat kegelisahan yang mencengkam adik
seperguruannya itu. Meskipun ia belum pasti, tetapi ia dapat
meraba apakah yang akan dikatakan oleh Gupala. Anak itu pada
dasarnya tidak ragu-ragu untuk berbuat sesuatu. Ia berkata apa
yang ingin dikatakannya, dan kadang-kadang ia melakukan apa
saja yang menarik baginya tanpa pertimbangan. Tetapi tiba-tiba
ia menjadi gelisah, bimbang dan seakan-akan tidak menentu
lagi. "Gupala," berkata Gupita sareh, "tenangkan hatimu. Aku kira
masalahmu adalah masalah yang penting, sehingga kau
mendapat kesukaran untuk mengatakannya. Tetapi masalah
yang penting itu pasti langsung menyangkut pribadimu sendiri."
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan
ia berdesis, "Ya, memang menyangkut pribadiku langsung."
"Aku sudah menduga. Tetapi katakanlah. Jangan ragu-ragu."
Gupala mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya
tersendat-sendat, "Kakang, di sini tidak ada ayah tidak ada ibu.
Yang ada hanyalah Kakang dan guru. Tetapi untuk
mengatakannya kepada guru, aku masih ragu-ragu. Barangkali
Kakang dapat menolongku."
"Apakah aku harus mengatakannya kepada guru."
"Tidak, bukan itu," potong Gupala cepat-cepat. "Maksudku,
aku ingin meyakinkan dahulu, apakah aku tidak sedang
bermimpi. Apabila semuanya sudah pasti, barulah aku minta
Kakang menyampaikannya kepada guru."
"Lalu apakah sekarang yang akan aku lakukan?"
Gupala menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku akan
minta tolong kepadamu Kakang. Aku ingin meyakinkan, apakah
aku benar-benar tidak sedang bermimpi."
"Ya, aku yakin, kau sekarang memang tidak sedang
bermimpi." "Bukan, bukan itu. Aku kira kau sudah tahu maksudku."
"Mungkin. Aku tahu masalahmu. Tetapi aku tidak tahu, cara
yang bagaimana yang harus aku lakukan untuk meyakinkan
kau." Gupala menelan ludahnya. Dengan suara parau ia berkata
lirih, "Tolong Kakang, tanyakan kepada Pandan Wangi, apakah
ia dapat mengerti perasaanku."
Gupita mengerutkan keningnya. Terasa sesuatu bergetar di
dadanya. Sesuatu yang sama sekali tidak dikehendaki. Namun
dengan sekuat tenaganya perasaan itu ditekannya dalam-dalam.
Dengan sadar ia menghadapi keadaannya kini. Sekali lagi ia
berkesimpulan, bahwa ia sama sekali sudah tidak berhak menilai
Pandan Wangi, apalagi di hadapan Gupala.
Karena itu, maka tiba-tiba Gupita yang sudah terlampau biasa
mengendalikan perasaannya itu tersenyum. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Hem, begitulah
hendaknya. Kau adalah seorang laklaki. Kau harus berani
menyatakan perasaanmu."
"Tetapi, tetapi apakah Kakang Gupita tidak mengalami
kesukaran pada masa-masa seperti ini?"
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Hubungannya dengan
gadis Sangkal Putung itu memang agak berbeda dengan
hubungan Gupala dengan Pandan Wangi. Ia tidak perlu
menyatakan apa pun kepadanya. Gadis itu seakan-akan
langsung mengerti perasaannya, dan bahkan gadis itu pun
langsung pula membuka hatinya. Tanpa kata-kata, sikapnya
memang sudah meyakinkan. Bahkan kadang-kadang berlebihlebihan
menurut perasaan Gupita. Tetapi Pandan Wangi bersikap lain. Pandan Wangi sama
sekali tidak memberikan kesan apa pun terhadap Gupala.
Bahkan setiap kali Gupita mengenangkan masa-masa
permulaan ia mengenal gadis itu, dadanya berdesir. Ia melihat
sesuatu tersirat di mata gadis itu, seperti ia pernah melihat mata
gadis Sangkal Putung itu pula. Namun gadis ini kemudian
menundukan kepalanya dan berjalan menjauh. Berbeda dengan
sikap gadis Sangkal Putung itu. Ia langsung tertawa sambil
mendekatinya dan berkata, "Inilah aku."
Gupita menarik nafas dalam-dalam.
"Kakang," berkata Gupala kemudian, "aku minta tolong
kepadamu, bukankah kau tidak berkeberatan" Kau dapat
menemui Pandan Wangi di mana kau kehendaki, membawanya
sendiri dan menanyakannya apakah ia dapat mengerti
perasaanku." Gupita termenung sejenak. Tugas itu pasti akan terasa sangat
berat baginya. Ia harus menyatakan perasaan seorang anak
muda kepada Pandan Wangi. Tetapi anak muda itu adalah
Gupala. "Apakah kelak aku dapat membedakan, bahwa pertanyaan itu
adalah pertanyaan yang aku ucapkan tidak atas namaku sendiri,
tetapi atas nama Gupala?" ia bertanya kepada diri sendiri di
dalam hatinya. Namun kemudian terasa hatinya itu menghentak,
"Aku harus menolongnya. Aku sama sekali tidak
berkepentingan." Karena Gupita tidak segera menjawab, maka Gupala
bertanya dengan cemasnya, "Apakah kau berkeberatan?"
Dengan serta-merta, Gupita menjawab, "Tidak, aku tidak
berkeberatan. Tetapi bagaimana dan kapan aku mendapat
kesempatan itu." "Kapan saja," jawab Gupala, "kau dapat berpura-pura melihatlihat
hutan perburuan atau melihat apa yang dapat
ditunjukkannya kepadamu."
"Bersama kau?" "Tentu tidak. Tentu tidak."
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya, "Tetapi jangan
tergesa-gesa. Aku harus mendapatkan waktu yang paling baik."
"Tentu tidak. Tetapi jangan terlampau lama."
"Lalu, bagamana dengan bilik itu?"
"Serahkan kepadaku. Aku mempunyai banyak kawan. Para
pengawal akan siap membantuku kalau terjadi sesuatu."
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Hampir
tanpa disadarinya ia berkata, "Baiklah, aku akan menanyakan
kepadanya tentang hal itu. Besok atau lusa atau kapan saja aku
mendapat kesempatan."
"Terima kasih," desis Gupala, "tetapi kau harus pandai
menyusun kalimat, agar gadis itu tidak mempunyai kesempatan
untuk menolaknya." Gupita tidak menjawab. Tetapi ia sudah membayangkan
kesulitan yang bakal dihadapinya. Dalam masalah yang wajar
saja, ia tidak akan dapat menyatakan sesuatu dengan mudah.
Apalagi dalam masalah yang sulit serupa itu, meskipun bukan
untuk kepentingannya sendiri.
Namun ia merasa berkuwajiban pula untuk menolong adik
seperguruannya betapapun beratnya.
Dengan demikian, maka Gupita selalu berusaha mencari
kesempatan untuk dapat berbicara kepada Pandan Wangi tanpa
terganggu. Tetapi ia pun selalu berusaha untuk tidak
menumbuh"kan salah paham kepada gadis itu, tentang tingkah
lakunya sendiri. Di halaman rumah itu, Gupita sering menyingkir, apabila
Pandan Wangi berkunjung ke ujung gandok. Ia hanya ikut
menemuinya sebentar, kemudian dengan alasan apa pun ia
berusaha menjauhkan dirinya.
Meskipun demikan Gupala tidak pernah mendapat
kesempatan untuk mengatakan sesuatu, sehingga ia benarbenar
tergantung kepada kakak seperguruannya.
"Jangan terlampau lama," berkata Gupala pada suatu saat
kepada Gupita. "Setiap kali kau malah meninggalkan kami
sehingga aku menjadi seperti orang bisu karenanya."
Gupita menganggukanggukkan kepalanya. Ia memang harus
melakukannya. Kalau ia menunda-nunda waktu, maka ia sendiri
akan selalu merasa dibebani oleh kewajiban yang seakan-akan
tidak akan pernah terselesaikan.
"Besok aku akan minta kepadanya untuk menunjukkan
daerah-daerah yang asing bagiku. Aku akan mencari
kesempatan." "Terima kasih, Kakang. Aku kira memang lebih mudah
mengatakan masalah orang lain dari masalah diri sendiri."
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya.
Demikianlah, maka ketika Pandan Wangi sedang berdiri
termangu-mangu di tangga pendapa rumahnya, Gupita-lah yang
berjalan mendekatinya, meskipun hatinya berdebar-debar. Ia
sudah mereka-reka alasan yang paling tepat untuk membawa
Pandan Wangi meninggalkan padukuhan induk. Ia ingin
mendapat kesempatan yang benar tidak akan terganggu. Kalau
ia tidak berhasil, dan bahkan apalagi menumbuhkan salah
paham, maka kesan yang membayang di wajah Pandan Wangi
akan segera dapat dilihat orang lain. Kesan itu akan dapat
menumbuhkan berbagai pertanyaan pada orang-orang lain yang
melihatnya. Tetapi apabila mereka hanya berdua, maka ia akan
mendapat kesempatan untuk memperbaiki kesalah pahaman itu.
"Pandan Wangi," berkata Gupita kemudian, "apakah kau
pernah mendengar pesan Ki Argajaya kepada ayah?"
"Apakah pesan itu?" bertanya Pandan Wangi.
"Pamanmu minta agar ayah mencari puteranya yang ikut
terlibat dalam persoalan Tanah Perdikan ini. Ia minta agar Ki
Argapati sudi memaafkannya."
"Tentu, ayah tentu akan memaafkannya. Ia masih terlampau
muda, sehingga sebenarnya ia masih belum tahu apa yang telah
terjadi." "Tetapi bukankah anak itu sampai saat ini belum kita ketahui,
di mana ia berada?" Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Aku mengharap
ia berada di rumahnya."
"Apakah kau yakin?"
"Tentu tidak. Tetapi Bibi ada di rumah. Seorang penghubung
telah menemuinya, dan menyatakan pesan ayah kepadanya,
bahwa bibi tidak perlu cemas. Ayah tidak menyangkutkannya
dengan kesalahan paman."
"Sudah lama?" "Belum. Tetapi penghubung berikutnya, ternyata tidak kembali
kepada ayah." "Kenapa?" "Memang masih ada satu dua orang yang berkeliaran di
padukuhan-padukuhan kecil. Mereka masih saja menyebarkan
dendam dan kekisruhan."
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian
ia berkata, "Pandan Wangi, apakah tidak sebaiknya kita bertanya
kepada Bibi Argajaya, apakah puteranya itu ada di rumah."
"Ayah sudah bertanya lewat penghubung yang pertama.
Tetapi bibi menjawab, bahwa anak itu belum juga pulang sejak
berkobar peperangan."
"Tetapi sekarang keadaan sudah agak tenang. Sebenarnya
bahwa Ki Argapati pun minta tolong kepada ayah untuk
mencarinya, dan ayah sendiri masih belum sempat
meninggalkan rumah ini."
"Kaulah yang harus mencarinya?"
"Tidak harus. Tetapi aku ingin menolong ayah dan pamanmu.
Apakah kau berkeberatan?"
"Kenapa berkeberatan?"
"Maksudku, apabila kita bersama-sama pergi ke rumah
pamanmu?" Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Sekilas ditatapnya
wajah anak muda itu. Tersirat suatu kenangan, pada saat ia
hampir saja terperosok ke dalam bencana yang tidak
terbayangkan, ketika ia berhasil melepaskan diri dari tangan
beberapa laklaki yang liar dan buas karena pertolongan kakak
dan pamannya. Saat itulah ia melihat gembala ini.
Tiba-tiba Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tanpa
sesadarnya ia berpaling ke arah ujung gandok. Tetapi ia tidak
dapat melihatnya, karena pagar dan sudut pendapa yang
menjorok di sebelah regol samping.
Pada saat yang mendebarkan hati itu, Pandan Wangi belum
pernah melihat gembala yang seorang lagi. Yang gemuk tetapi
pandai berkelakar, meskipun agak kurang hathati.
"Bagaimana?" desak Gupita, "mumpung masih pagi."
"Apakah ayah akan mengijinkan?" desis Pandan Wangi.
"Kita hanya pergi sebentar. Tetapi kalau kita berhasil
membawanya menghadap, ayahmu dan pamanmu akan sangat
senang sekali." Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang
hanya sebentar apabila ia pergi berkuda. Tetapi apakah sudah
tidak akan ada gangguan apa pun di perjalanan.
Sejenak gadis itu berpikir. Sekalsekali ia berpaling, seakanakan
ia ingin meyakinkan, bahwa ayahnya tidak akan
berkeberatan apabila ia pergi sejenak ke runah pamannya, untuk
mencari adik sepupunya. Dalam keragu-raguan itu, terlintas bayangan-bayangan yang
menahannya. Tetapi hasrat di dasar hatinya semakin lama
menjadi semakin kuat mendorongnya pergi.
"Sudah lama aku tidak melihat tlatah Menoreh," katanya di
dalarn hati. "Seandainya ada gangguan diperjalanan, aku kira
aku bersama Gupita akan mempunyai waktu dan kesempatan
untuk melepaskan diri. Peronda-peronda pasti akan hilir-mudik di
segala jalan-jalan di Tanah Perdikan Menoreh."
Karena itu, maka tiba-tiba Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya. Ada dorongan yang lain, kecuali keinginannya untuk
melihat-lihat wilayahnya dan sekedar untuk menemukan adik
sepupunya. "Baiklah," katanya kemudian, "aku akan berkemas."
"Aku akan memberitahukan kepada ayah. Apalagi Ki Samekta


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Ki Kerti tidak sedang berada di halaman ini."
"Mereka tidak meronda. Mereka ada di banjar," jawab Pandan
Wangi. "Karena itu, aku akan memberitahukannya kepada ayah,
supaya ia mengerti, bahwa halaman ini sedang kosong."
"Terserahlah. Tetapi aku tidak akan minta ijin kepada ayah.
Aku kira ayah tidak akan mengijinkan. Aku hanya akan
mengatakan kepada ayah, bahwa aku akan keluar sebentar,
supaya tidak mencari aku."
"Baiklah," sahat Gupita.
Maka keduanya pun segera mempersiapkan diri. Menyiapkan
kuda masing-masing, dan bukan hanya sekedar mempersiapkan
yang tampak oleh mata tetapi terlebih-lebih lagi, Gupita sedang
menyiapkan susunan kalimat-kalimat yang akan dikatakannya
kepada Pandan Wangi atas nama Gupala.
Ketika Gupita sudah siap, dan Pandan Wangi sudah
menunggunya di halaman. Gupala berbisik di telinga kakak
seperguruannya, "Kau harus berhasil."
Gupita menganggukkan kepalanya. Namun ia masih
berpesan juga, "Hathatilah dengan Ki Argajaya."
"Percayakan ia kepadaku."
Gupita pun kemudian meninggalkan halaman rumah Kepala
Tanah Perdikan yang sudah dihuni kembali itu, menyusur jalan
padukuhan, menuju ke rumah Ki Argajaya. Sejenak kemudian
mereka telah melampaui gardu peronda yang terakhir. Kepada
para penjaga Pandan Wangi berpesan, bahwa ia akan melihatlihat
padukuhan-padukuhan kecil di sekitar padukuhan induk itu.
"Apakah masih ada hubungan yang ajeg antara para
pengawal di sini dan mereka yang ditempatkan di padukuhanpadukuhan
lain setiap saat?" bertanya Gupita.
"Ya. Setiap kali penghubung-penghubung dan perondaperonda
hilir-mudik," jawab Pandan Wangi.
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
sebenarnya ia menjadi cemas. Kalau setiap kali ia bertemu
dengan para peronda dan penghubung di sepanjang jalan,
apakah ia akan men"dapat kesempatan untuk mengatakan
maksudnya kepada Pandan Wangi"
Meskipun demikian Gupita masih tetap mengharap, bahwa ia
akan dapat melakukan tugasnya dengan baik.
Demikianlah maka mereka berdua berpacu dengan
kencangnya menuju ke rumah paman Pandan Wangi. Mereka
menyusur jalan yang berbatu-batu, namun kadang-kadang
berdebu tebal. Sawah-sawah di sebelah-menyebelah jalan
kelihatan sangat kurang terpelihara. Parit-parit menjadi kering,
dan rerumputan tumbuh dengan liarnya.
"Keadaan ini harus segera diakhiri," desis Pandan Wangi,
"Parit-parit harus segera mengalir dan sawah-sawah harus
ditanami. Kalau keadaan ini berlarut-larut, maka bahaya paceklik
yang dahsyat tidak akan dapat dicegah lagi."
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti
kecemasan yang merayap gadis itu. Sebagai anak satu-satunya
Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang masih dapat diharap,
maka Pandan Wangi sudah sewajarnya untuk langsung
berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi
atas tanahnya. Tetapi hal itu ternyata kurang menarik perhatian Gupita.
Angan-angannya selalu dipenuhi oleh kalimat-kalimat yang akan
disampaikannya kepada Pandan Wangi, atas nama adik
seperguruannya. "Menoreh memang memerlukan setiap tenaga yang ada,"
berkata Pandan Wangi. Dan Gupita pun hanya menganggukanggukkan
kepalanya saja. "Kenapa kau diam saja?" bertanya Pandan Wangi. Baginya
Gupita bukannya seorang pendiam. Meskipun tidak sebanyak
Gupala namun anak muda ini dapat juga berbicara tentang
berbagai macam masalah. Tentang sawah, tanaman, ternak dan
bahkan sampai ke jalan-jalan yang silang-menyilang di atas
Tanah perdikan ini. "Aku sedang berpikir tentang adik sepupumu," jawab Gupita.
"Kita akan segera melihat, apakah ia ada di rumahnya."
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ia masih
terlampau muda." "Ya," jawab Pandan Wangi.
"Ia masih agak lebih muda dari Gupala."
"Ya. Aku kira jaraknya ada beberapa tahun."
"Ya. Apalagi Gupala sekarang. Ia sudah menjadi semakin
dewasa." "Kenapa sekarang?" bertanya Pandan Wangi.
"Ada perubahan yang terjadi atas dirinya selama ia berada di
atas Tanah Perdikan ini."
"Apa?" Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah mendapat jalan
untuk mengatakannya. Tetapi tiba-tiba saja terasa lehernya
seakan-akan tersumbat. "Perubahan apa yang sudah terjadi pada adikmu itu?"
Pandan Wangi mendesak. Tetapi Gupita menggelengkan kepalanya, "Aku hanya
menduga-duga saja." Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia merasakan bahwa
tidak seluruh perasaan Gupita dituangkannya. Sesuatu pasti
masih tersimpan di dalam hatinya.
Namun Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Dibiarkannya
Gupita menemukan kesempatan untuk mengatakan yang masih
bersisa di dalam hatinya.
Meskipun demikian terasa juga jantung Pandan Wangi
menjadi berdebar-debar. Betapa ia ingin mengusir getar yang
menyentuh-nyentuh batinnya, namun setiap kali terasa sesuatu
telah mengguncang isi dadanya.
Pandan Wangi terperanjat ketika tiba-tiba saja Gupita
bertanya, "Apakah rumah pamanmu masih jauh?"
Pandan Wangi tergagap. Dengan serta-merta ia menjawab,
"Ya. Masih cukup jauh."
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilontarkannya
pandangan matanya ke persawahan di sekitarnya. Persawahan
yang tidak terpelihara. Tetapi setiap kali ia ingin menyampaikan pesan Gupala terasa
lehernya seakan-akan tersumbat. Bahkan kalimat-kalimat yang
sudah disusunnya rapi, menjadi pecah berserakan seperti awan
dihembus angin yang kencang. "Kalau aku memang tidak berkepentingan apa pun, kenapa
aku menjadi begitu bodoh dan pengecut," ia mencoba memaksa
dirinya untuk segera sampai pada persoalaanya. Namun
mulutnya serasa benar-benar terkunci, sehingga yang dapat
dilakukan hanyalah sekedar menelan ludahnya.
"Kita masih akan melampaui dua bulak panjang," berkata
Pandan Wangi. "O," Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
dengan kuda, jarak itu tidak akan terlampau lama dilampaui.
Dalam pada itu, ia berkata kepada dirinya sendiri, "Ternyata
aku masih belum siap benar-benar. Biarlah, nanti setelah kami
kembali dari rumah Ki Argajaya."
Kuda-kuda itu pun kemudian berpacu semakin cepat.
Padukuhan yang berada di depan mereka sudah menjadi
semakin dekat, sehingga sejenak kemudian mereka telah
sampai ke mulut lorong yang memasuki padukuhan itu.
Seorang peronda yang berada di gardu di regol padukuhan
itu pun berdiri, sedang kawannya yang lain yang bertugas di luar
regol sudah lebih dahulu merundukkan tombaknya.
Tetapi ketika mereka melihat bahwa yang berkuda itu adalah
Pandan Wangi, maka mereka pun kemudian menepi. Meskipun
demikian petugas yang berdiri di luar regol itu masih bertanya,
"Kemanakah kau akan pergi?"
"Aku hanya sekedar melihat-lihat," jawab Pandan Wangi.
"Hathatilah," berkata penjaga itu, "keadaan masih belum
cukup baik. Satu-dua orang dari mereka, masih saja melakukan
pengacauan dalam keputus-asaan."
Sebelum Pandan Wangi menjawab, orang yang lain telah
berkata, "Sebaiknya kalian singgah di sini saja. Kalian akan
mendapatkan apa saja yang kalian inginkan. Degan kambil ijo,
buah-buahan yang lain, sawo, duku dan salak" Di sini kalian
tinggal mengambil langsung dari pohonnya."
Pandan Wangi tersenyum. Jawabnya, "Terima kasih. Tetapi
aku akan meneruskan perjalanan."
"Memang berbahaya. Kadang-kadang orang-orang yang tidak
terduga-duga muncul dari balik gerumbul-gerumbul. Itu akan
membahayakan." Pandan Wangi tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah
Gupita yang menegang. Namun kemudian ia berkata, "Kami
akan berhathati. Dan kami memang tidak akan pergi terlampau
jauh." "Kau tahu," berkata penjaga itu, "padukuhan di seberang
bulak itu adalah padukuhan Ki Argajaya. Banyak orang di sekitar
rumahnya yang masih tetap setia kepadanya. Dalam keadaan
seharhari mereka tampaknya sudah benar-benar menyerah,
dan tidak akan berbuat apa pun. Namun sudah tiga orang di
antara kita yang hilang. Benar-benar hilang tidak berbekas.
Bahkan seorang penghubung Ki Argapati pun pernah hilang pula
di sekitar padu"kuhan itu." Orang itu berhenti sejenak, lalu, "Ki
Samekta pernah datang ke padukuhan itu dengan sepasukan
pengawal. Tetapi kita tidak menemukan apa-apa selain rumahrumah
yang kotor dan tua, petanpetani miskin yang ketakutan
dan anak-anak muda yang kehilangan pegangan."
Pandan Wangi tidak segera menjawab.
*** "Nah," berkata pengawal itu, "kalian pasti tahu, apakah artinya
semua itu." Hampir bersamaan Gupita dan Pandan Wangi
mengangguk"kan kepalanya. Terdengar suara Pandan Wangi
lirih, "Mereka telah meluluhkan diri dengan rakyat yang
barangkali memang tidak bersalah. Tetapi untuk menemukan
mereka di antara sekian banyak orang memang merupakan
pekerjaan yang sulit. Apalagi kalau tetangga-tetangga mereka
tidak ada yang berani turun tangan, bahkan tidak berani
melaporkannya kepada yang berkuwajiban."
"Ya," berkata pengawal itu, "namun dalam keadaan yang
menguntungkan bagi mereka, tiba-tiba saja mereka menyergap."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Kini ia menyadari
benar-benar bahwa memang tidak mudah membangun Tanah
Perdikan yang benar-benar sudah menjadi abu ini. Mungkin
dalam waktu yang terhitung tidak terlampau lama, rumah-rumah
yang rusak, regol-regol padukuhan yang terbakar, parit-parit dan
sawah-sawah dapat segera diperbaiki. Tetapi keutuhan dan
kebulatan hati rakyatnya, pasti akan memerlukan waktu yang
lama untuk memulihkan kembali. Dendam sudah terlanjur
ditaburkan karena kematian demi kematian di peperangan.
Kematian sanak-kadang, adik, suami dan kekasih tidak akan
mudah dilupakan. Sedang mereka mempunyai sasaran yang
tepat untuk menjatuhkan tuduhan, siapakah yang sudah
membunuh orang-orang yang mereka kasihi itu.
Dengan demikian sejenak Pandan Wangi berdiam diri,
seakan-akan membeku di atas punggung kudanya. Tetapi darah
Argapati yang mengalir di dalam dirinya, justru selalu
mendorongnya untuk berjalan terus.
Sebagai seorang puteri Kepala Tanah Perdikan maka Pandan
Wangi justru merasa bertanggung jawab untuk melihat, apakah
yang sebenarnya telah terjadi di padukuhan itu. Karena itu maka
ia pun bertanya, "Bukankah di padukuhan itu ada juga beberapa
orang pengawal?" "Ya, sepasukan kecil pengawal telah ditempatkan di
padukuhan itu," jawab pengawal itu.
"Nah, apa lagi yang dicemaskan."
"Di sepanjang bulak dapat saja sesuatu terjadi dengan tibatiba.
Mungkin di pategalan dan di padukuhan kecil di tengahtengah
bulak itu. Meskipun padukuhan itu hampir tidak pernah
diperhitungkan, namun kadang-kadang justru bahaya
bersembunyi di sana."
Dada Pandan Wangi berdesir ketika ia mendengar
padukuhan kecil dan pategalan di tengah bulak panjang itu.
Terkenang olehnya beberapa orang laklaki yang mencegatnya
dan hampir saja menjerumuskannya ke dalam bencana yang
tidak terkirakan. Tetapi kini ia tidak seorang diri. Apalagi ia yakin, bahwa
beberapa orang peronda akan selalu hilir-mudik dari padukuhan
yang satu ke padukuhan yang lain.
Dengan demikian maka Pandan Wangi itu pun berkata, "Aku
perhatikan peringatanmu. Tetapi kami berdua akan berjalan
terus. Kami akan melihat-lihat apa yang kini ada di atas
reruntuhan Tanah yang harus kita bangun kembali ini."
Pengawal itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
berhak melarangnya. Ia sudah mencoba memperingatkan
bahaya yang dapat terjadi di sepanjang perjalanan. Tetapi
keduanya agaknya tetap pada pendirian mereka.
Karena itu, para pengawal hanya dapat menundukkan kepala
mereka ketika kuda-kuda itu meneruskan perjalanannya.
"Kami akan berhathati," berkata Pandan Wangi.
Maka keduanya pun kemudian meninggalkan regol itu, masuk
ke dalam padukuhan yang sedang besarnya. Tetapi jalan itu
tidak membelah padukuhan itu di tengah-tengah. Beberapa jalur
jalan kecil menyusup ke setiap penjuru. Tetapi jalan induk itu
segera berbelok dan meninggalkan padukuhan itu, membujur di
tengah-tengah bulak yang panjang, meskipun ada juga
pategalan dan sebuah padukuhan kecil yang seperti sebuah
pulau menjorok di tengah-tengah lautan yang luas, beberapa
puluh langkah dari jalan itu.
Sejenak keduanya saling berdiam diri. Mereka sedang menilai
jalan yang terbentang di hadapan mereka. Panjang sekali.
Memang kemungkinan seperti yang dikatakan oleh para
pengawal itu dapat saja terjadi. Dari gerumbul-gerumbul liar
yang tumbuh di pematang sawah yang tidak terpelihara,
memang mung"kin datang serangan-serangan yang tiba-tiba
dari orang-orang yang berputus asa, yang hanya sekedar ingin
melepaskan dendam tanpa tujuan. Mereka merasa bahwa
mereka tidak akan lagi dapat hidup di atas Tanah Perdikan ini.
Seolah-olah di atas Tanah ini sudah tidak ada lagi tempat untuk
berdiri. Orang-orang yang demikianlah yang sebenarnya berbahaya.
Orang-orang yang berbuat tanpa tujuan dan pertimbangan apa
pun. Karena itu, maka keduanya memang harus berhathati.


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka harus memperhatikan setiap gerumbul di pinggir jalan.
Mereka harus memperhatikan setiap gerak di sebelahmenyebelah
di antara tanaman-tanaman yang tidak terpelihara.
Tetapi kuda-kuda mereka berlari terus dengan kencangnya.
Bagaimanapun juga mereka menyadari bahaya yang dapat
menerkam mereka, namun keduanya adalah orang-orang yang
mempunyai kelebihan dari orang-orang kebanyakan.
Semakin lama mereka pun menjadi semakin dekat dengan
padukuhan yang mereka tuju. Sekalsekali mereka berpaling
memandang debu yang mengepul di belakang kakkaki kuda
mereka, namun jalan itu memang sepi.
"Tempat yang baik untuk melepaskan dendam," tiba-tiba
terdengar Gupita berkata.
Pandan Wangi berpaling,"Kenapa baik?" ia bertanya.
"Orang-orang yang bermaksud jahat dapat melihat, apakah
ada peronda yang lewat atau tidak," jawab Gupita. "Jalan ini
terlampau panjang." Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang
orang-orang yang bermaksud jahat dapat memperhitungkan,
apakah perbuatannya akan diketahui oleh para peronda atau
tidak. Apabila mereka melihat di kejauhan kepul debu, maka
mereka akan segera berlari dan bersembunyi.
"Kita memang harus berhathati," desis Pandan Wangi.
Namun sampai pertengahan bulak yang panjang itu mereka
tidak mendapat gangguan apa pun. Sebentar lagi mereka akan
melampaui simpang tiga yang berbelok ke padukuhan kecil di
tengah-tengah bulak yang disambung oleh sebuah pategalan.
Dengan demikian mereka menjadi semakin berwaspada. Dapat
saja seseorang meloncat dari dalam parit sambil mengayunkan
pedangnya, kemudian berlari menghilang di padukuhan kecil itu.
Mungkin orang itu akan terus masuk ke dalam pategalan dan
berlari ke seberang ke padepokan adbmcadangan dotwordpress
dotcom di mana api dibukit lebih membara. Tetapi mungkin juga,
mereka bersembunyi di sudut-sudut yang tidak tersentuh tangan
di dalam padukuhan itu, sedang orang-orang di sekitarnya tidak
berani menunjukkannya karena ancaman senjata.
Tetapi keduanya kemudian melampaui simpang tiga tanpa
ada kesulitan apa pun. Tidak ada seseorang yang menyerang
mereka. Bahkan tidak ada tanda yang mencurigakan sama
sekali. Dengan demikian mereka memacu kuda-kuda mereka
semakin cepat. Padukuhan yang mereka tuju pun menjadi
semakin dekat, sehingga tanpa mereka sadari, bulak yang
panjang itu telah hampir selurhhnya berada di belakang mereka.
"Kita telah sampai," tiba-tiba saja Pandan Wangi berdesis.
Gupita mengerutkan keningnya. Di hadapan mereka adalah
sebuah regol padukuhan. Beberapa orang pengawal berdiri di
sebelah-menyebelah jalan dengan senjata mereka masingmasing.
Namun ketika mereka ketahui, bahwa yang datang itu
adalah Pandan Wangi dan Gupita, maka mereka pun menarik
nafas panjang-panjang. Ketika keduanya telah berada beberapa langkah saja di
depan para pengawal, maka Pandan Wangi dan Gupita segera
menghentikan kuda mereka. Sambil memandang para pengawal
seorang demi seorang Pandan Wangi bertanya, "Bagaimanakah
keadaan padukuhan ini?"
Seorang yang memimpin para pengawal itu maju selangkah
sambil menjawab, "Sampai hari ini tidak ada sesuatu yang
mencemaskan." "Apakah penduduk padukuhan ini telah dapat ditenangkan,
setelah Paman Argajaya tertangkap?"
"Sedikit demi sedikit. Tetapi masih ada saja yang tidak
berhasil kami jinakkan. Kadang-kadang masih juga ada seorang
pengawal yang tidak kembali ke pangkalan."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dan pengawal itu bertanya, "Apakah kalian hanya berdua?"
"Ya." "Sangat berbahaya. Untung kalian tidak menjumpai apa pun
di perjalanan." Pandan Wangi dan Gupita mengangguk-angguk.
"Kenapa kalian tidak membawa pengawal?"
Pertanyaan itu memang membingungkan Pandan Wangi. Dan
ia pun bertanya kepada diri sendiri, "Kenapa tidak membawa
pengawal?" Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak
dapat mengingkari, bahwa ia memang ingin berada dalam
perjalanan tanpa orang lain.
Sedang Gupita pun menjadi berdebar-debar pula. Ia memang
sangat berkepentingan bahwa tidak ada seorang pengawal yang
mengawani mereka berdua, karena ia memang mencari
kesempatan untuk menyampaikan perasaan Gupala.
"Kenapa?" desak pengawal itu.
"Kami tidak sengaja sampai ke padukuhan ini," jawab Pandan
Wangi. Kami hanya sekedar melihat-lihat keadaan Tanah
Perdikan setelah perang selesai. Tetapi tanpa sesadar kami,
kuda-kuda kami telah membawa kami sampai ke tempat ini."
Pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia
masih bertanya lagi, "Kemanakah kalian akan pergi kenmdian?"
"Aku akan bertemu dengan bibi," sahut Pandan Wangi.
Pengawal itu mengerutkan keningnya. Jawabnya kemudian,
"Sebaiknya kalian berkunjung saja ke tempat lain."
"Kenapa?" "Kami belum dapat membuktikannya. Tetapi sependengaran
kami, kadang-kadang tempat itu dipergunakan oleh orang-orang
yang kini masih saja liar itu untuk bersembunyi sehari dua hari,
sebelum mereka merasa aman."
"Apakah kalian tidak dapat mnncegahnya?"
"Kami sedang mencari bahan. Tetapi kami sudah
mempersiapkan perangkap bagi mereka."
"Aku akan pergi ke rumah itu. Apakah kau tahu, bahwa putera
Paman Argajaya ada di rumah?"
Pengawal itu menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu.
Tetapi aku belum pernah melihatnya."
"Mungkin anak itu memang bersembunyi. Biarlah aku
melihatnya." "Itu sangat berbahaya."
"Mungkin aku dapat mendekatinya dengan cara lain. Aku
adalah saudara sepupunya."
Pengawal itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudan ia
berkata, "Ki Argajaya bukan sekedar saudara sepupu Ki
Argapati, tetapi keduanya adalah kakak-beradik seayah-ibu."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun
demikian niatnya sama sekali tidak mereda. Karena itu maka
katanya kemudian, "Aku akan mencobanya. Mudah-mudahan
aku berhasil. Setidak-tidaknya aku dapat memberitahukan
kepada bibi, agar ia tidak terus-menerus dicengkam oleh
kecemasan dan ketakutan, justru karena pengikut paman yang
putus asa itu selalu mengganggunya."
Pengawal itu menarik nafas panjang-panjang. Katanya
kemudian, "Baiklah. Aku sudah mencoba mencegah. Tetapi
kalau kalian tetap ingin memasuki rumah itu, aku akan
nenyediakan empat atau lima orang pengawal."
"Jangan," Pandan Wangi menolak dengan serta-merta.
"Kedatangan kami bersama beberapa orang pengawal akan
berkesan kurang baik. Kesan permusuhan akan membayangi
pertemuan itu. Biarlah kami berdua memasuki halaman rumah
paman." Pandan Wangi berhenti sejenak, namun kemudian,
"Tetapi aku tidak berkeberatan apabila kalian mengawasi
keadaan di luar halaman. Meski pun demikian jangan terlampau
dekat. Dan jangan menampakkan diri dalam kesiagaan, seakanakan
kalian memang mengepung rumah itu."
Pengawal itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah.
Tetapi hathatilah." Pandan Wangi dan Gupita pun segera metanjutkan
perjalanan mereka, memasuki padukuhan itu, menuju ke rumah
Argajaya. Rumah yang terletak hampir di tengah-tengah
padukuhan. Rumah yang besar dan berhalaman luas, meskipun
tidak sebesar rumah Ki Argapati.
Sepeninggal Pandan Wangi dan Gupita, maka beberapa
orang pengawal pun segera dipersiapkan. Lima orang bersama
pemimpin pengawal itu sendiri, diam-diam menyelusur jalanjalan
sempit mendekati halaman rumah Ki Argajaya. Mereka
tetap mencemasksn nasib Pandan Wangi dan Gupita, karena
rumah itu sampai saat terakhir memang masih merupakan tekateki
yang belum terpecahkan. Meskipun sekali dua kali para
pengawal pernah memasuki rumah itu dengan tiba-tiba, namun
mereka sama sekali tidak menemukan apa pun, selain cacmaki
dan umpatan-umpatan dari seluruh penghuninya. Bahkan Nyai
Argajaya pun marah bukun kepalang. Sambil menuding-nuding
pemimpin pengawal ia mengumpat tidak habis-habisnya.
Pemimpin pengawal itu mengira bahwa ada tempat-tempat
persembunyian rahasia yang tidak dapat mereka ketemukan di
halaman rumah itu. Pandan Wangi dan Gupita menghentikan kudanya ketika
mereka sampai di muka regol halaman. Keduanya
berpandangan sejenak, kemudian Pandan Wangi berbisik,
"Inilah rumah itu."
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia tidak dapat
menghindari lagi. Sebenarnya ia sama sekali tidak ingin
memasuki halaman rumah itu. Ia hanya ingin mendapat
kesempatan menyampaikan pesan Gupala kepada Pandan
Wangi. Tetapi akhirnya ia harus berdiri di hadapan rumah Ki
Argajaya. Kalau putera Ki Argajaya itu ada di dalam halaman itu,
kemudian bersedia mereka bawa menghadap Ki Argapati, maka
kesempatannya untuk berbicara dengan Pandan Wangi akan
lepas lagi, dan Gupala pun pasti akan mengumpat-umpatnya
pula. Dengan demikian Gupita menjadi ragu-ragu. Apakah dengan
demikian ia tidak berbuat kekeliruan, sehingga persoalan Gupala
masih harus tertunda lagi.
Pandan Wangi yang tidak mengerti, apa yang bergejolak di
dalam dada Gupita berkata, "Apakah kau melihat sesuatu yang
mencurigakan?" Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ia kini menyadari
keadaannya. Mau tidak mau ia harus memasuiki rumah yang
ada di hadapannya. Tetapi ketika ia memandangi halaman yang berada di
belakang regol yang terbuka itu, memang terasa, seakan-akan
halaman rumah tu menyimpan suatu rahasia yang tidak mudah
dipecahkan. Namun kemudian ia berkata, "Mungkin hanya
sekedar prasangka. Meskipun demikian kita memang harus
berhathati." "Baklah," jawab Pandan Wangi, "marilah kita memasuki
rumah itu. Mudah-mudahan bibi dapat menerima kedatanganku."
Gupita menganggukkan kepalanya.
Keduanya pun kemudian meloncat turun. Mereka menuntun
kuda masing-masing memasuki regol halaman. Pandan Wangi
berjalan di depan, kemudian tiga-empat langkah di belakangnya
Gupita berjalan sambil mengawasi keadaan.
Halaman rumah itu memang terasa terlampau sepi. Bahkan
dedaunan pun sama sekali tidak ada yang bergetar.
Dalam kebimbangan, Pandan Wangi dan Gupita kemudian
mengikat kuda-kuda mereka pada sebatang pohon perdu di
halaman. Sejenak mereka saling berpandangan dan sejenak
kemudian, mereka mengedarkan tatapan mata mereka ke
seluruh sudut. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu.
"Marilah kita naik ke pendapa?" ajak Pandan Wangi.
Gupita tidak menjawab, tetapi kepalanya terangguk ragu.
Keduanya pun kemudian naik ke pendapa dengan hathati.
Mereka memandang daun pintu yang tertutup itu dengan
tajamnya, seolah-olah ingin melihat apa yang tersembunyi di
dalamnya. Memang mungkin sekali terjadi, apabila pintu itu dengan tibatiba
terbuka, ujung senjata terjulur lurus-lurus ke dada mereka.
Mungkin hanya sepucuk, tetapi mungkin tiga atau empat atau
bahkan sepuluh pucuk senjata.
Tetapi pintu itu tidak juga terbuka, bahkan ketika mereka telah
berdiri terlampau dekat. Pandan Wangi menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian
ia berdesis, "Aku akan mengetuk pintu ini."
Gupita mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun
maju selangkah dan berdiri hampir merapat dinding, di sebelah
pintu itu. Pandan Wangi mengangguk-angguk kecil. Ternyata
Gupita cukup berhathati meskipun sama sekali tidak terdengar
sesuatu di balik pintu itu
Caption: Perempuan itu kemudian berdiri bertolak pinggang.
Matanya seakan-akan memancarkan api yang menyala di
dadanya. Bahkan kemudian ia melangkah maju sehingga
Pandan Wangi surut selangkah.
Perlahan-lahan Pandan Wangi mengetuk pintu pringgitan
yang tertutup rapat. Namun terasa bahwa jarjari tangannya
agak gemetar. Ia sudah mengenal rumah itu seperti ia mengenal rumahnya
sendiri. Ia sudah terlampau sering datang sejak ia masih kanakkanak,
bermain-main dengan paman dan bibinya. Pohon jambu
di sudut halaman, pohon kanci yang besar dan pohon sawo
kecik di muka pendapa itu pun sudah dikenalnya baik-baik. Ia
sudah terlampau sering makan buah jambu dan sawo kecik di
halaman itu. Namun kini semuanya terasa sangat asing.
Ternyata ketukan pintu tidak segera terjawab, sehingga
Pandan Wangi mengulanginya sekali lagi agak lebih keras.
Dengan dada yang berdebar mereka pun kemudian
mendengar langkah seseorang mendekat pintu. Kemudian
terdengar pula seseorang bertanya, "Siapa di luar?"
Pandan Wangi segera mengenal, bahwa suara itu adalah
suara bibinya. Karena itu maka ia pun menjawab, "Aku, aku,
Bibi." Sejenak tidak terdengar sesuatu di dalam rumah itu. Namun
kemudian langkah itu pun mendekat lagi. Kini mereka
mendengar daun pintu itu berderit.
Sejenak kemudian pintu itu pun terbuka. Seorang perempun
berdiri tegak di muka pintu. Seorang perempuan dengan pakaian
dan rambut yang kusut, muka yang pucat dan mata kemerahmerahan
oleh tangis. Perempuan itu terbelalak ketika ia melihat Pandan Wangi
berdiri di luar pintu. Sejenak ia berdiri tegak dengan dada yang
berdebar-debar. "Bibi, aku datang Bibi?"


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi alangkah terperanjat Pandan Wangi ketika tiba-tiba ia
melihat perempuan itu menudingnya sambil berkata lantang
hampir berteriak, "He, betina tidak tahu diri! Kenapa kau kemari,
he" Apakah kau masih belum puas" Ayahmu sudah
mencelakakan suamiku, adiknya seadiri, adik kandungnya.
Sekarang kau datang membawa pedang dan seorang
pengkhianat. Apakah kau ingin membunuh aku, he" Ayo,
bunuhlah aku sama sekali. Bunuh aku."
Perempuan itu kemudian berdiri bertolak pinggang. Matanya
seakan-akan memancarkan api yang menyala di dadanya.
Bahkan kemudian ia melangkah maju sehingga Pandan Wangi
surut selangkah. "Bibi," desis Pandan Wangi.
"Kau tdak usah memanggil aku bibi. Kau tidak usah berpurapura.
Sekarang tarik pedangmu dan tusukkan di dada ini."
Pandan Wangi justru berdiri mematung. Ia sama sekali tidak
menyangka bahwa demikianlah sambutan yang diterimanya dari
bibinya, yang dikenalnya sebagai seorang yang ramah dan baik.
Seorang yang terlampau dekat dengan dirinya dan seluruh
keluarganya. Karena itu maka Pandan Wangi masih saja berdiri mematung.
Ia tidak segera dapat menyesuaikan dirinya dengan keadaan
yang sama sekali tidak diduganya lebih dahulu.
Sedang bibinya masih saja menunjuk wajahnya sambil
berkata, "Kenapa kau diam saja" Ayo bunuh aku. Rumah ini
bagiku tidak lebih dari neraka yang paling jahanam. Suamiku
telah difitnah orang, anakku laklaki hilang sampai saat ini.
Setiap kali rumah ini dibongkar oleh berandal-berandal yang
tidak tahu diri itu. Dan sekarang kaulah yang datang ke rumah
ini. Apakah kau mau membongkar rumahku pula" Dan
merampok sisa-sisa milikku yang masih ada?"
Pandan Wangi tidak segera dapat menjawab. Bibinya sudah
benar-benar menjadi orang lain.
"Ayo cepat, lakukan yang kau ingini" Bukankah kau disuruh
oleh ayahmu membunuh aku?"
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk
mengatur perasaannya. Sekilas dipandangnya Gupita yang
berdiri termangu-mangu. "Bibi," berkata Pandan Wangi kemudian, "tidak ada seorang
pun yang menyuruh aku kemari."
"Jadi, kau datang kemari atas kehendakmu sendiri" Kalau
demikian kau akan membunuh aku atas keinginanmu?"
"Tidak, Bibi. Aku sama sekali tidak ingin berbuat demikian."
"Bohong! Ayo cepat lakukan. Aku memang sudah jemu
mengalami keadaan yang paling menyakitkan hati. Orang yang
sebelumnya setiap hari datang minta sesuap nasi kepadaku
untuk dirinya sendiri, untuk anak-anaknya, dan untuk seluruh
keluarganya, orang yang setiap kali datang meminjam segala
macam kebutuhan hidup, orang yang menggantungkan hidup
keluarganya pada pekerjaan yang kuberikan, tiba-tiba saja
sudah memfitnah suamiku. Kini suamiku menjadi korban
bersama-sama dengan kemanakannya, Sidanti, dan anaknya
sendiri. Anakku. Ternyata aku kini hidup dalam sarang serigala
yang liar dan buas. Yang tidak lagi mengenal kebaikan hati dan
peradaban." Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Kini nafasnya
sudah menjadi semakin teratur dan perasaannya tidak lagi
bergejolak tidak menentu. Ia sudah semakin mapan menanggapi
sikap bibinya. Karena itu, maka katanya, "Bibi, kita semua
menyesal atas apa yang sudah terjadi. Kini ayah sedang terluka
parah. Bahkan bangun pun ayah sama sekali tidak mampu."
"Itu adalah karena salahnya sendiri."
"Mungkin, Bibi. Mungkin ayah sudah bersalah. Tetapi yang
melukai ayah itu adalah orang yang pernah melukai hatinya
beberapa puluh tahun yang lampau."
"Omong kosong! Seandainya benar demikian, dendamnya,
sudah membakar Tanah Perdikan ini. Adiknya, anaknya,
kemanakannya dan semua orang di atas Tanah Perdikan ini
harus mengalami akibat yang paling pahit."
"Bibi," jawab Pandan Wangi, "tidak seorang pun yang
menghendaki hal itu terjadi. Ayah, paman, Kakang Sidanti, aku,
dan juga Bibi. Tetapi tanpa dapat dicegah lagi, api sudah
menjalar di seluruh Tanah Perdikan ini."
"Ayahmulah sumber dari bencana ini."
"Mungkin orang lain menganggapnya demikian, Bibi. Tetapi,
ayah adalah orang yang paling menyesalkan kejadian ini. Ia
adalah Kepala Tanah Perdikan ini. Berapa puluh tahun ayah
merintis Tanah ini sehingga menjadi sebuah Tanah Perdikan
yang baik. Sudah tentu, bukan maksud ayah untuk
menghancurkau Tanah ini seperti apa yeng terjadi sekarang.
Kalau ayah dianggap bersalah, kesalahan ayah adalah
menyerahkan Kakang Sidanti kepada Ki Tambak Wedi. Apakah
Bibi mengetahui siapakah Ki Tambak Wedi itu?"
Nyai Argajaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
berkata, "Aku tidak peduli siapakah orang yang bernama Ki
TambaK Wedi. Aku tidak peduli siapa pun. Tetapi keluargaku kini
sudah hancur. Hancur sama sekali. Karena itu, kalau kau akan
membunuh aku, bunuhlah."
Pandan Wangi menjadi agak bingung kembali menanggapi
sikap bibinya. Bibinya seolah-olah sudah tidak mau mendengar
apa pun lagi. Ia menjadi demikian berputus asa sehingga harihari
mendatang adalah harhari yang gelap baginya.
Dalan pada itu, tiba-tiba Pandan Wangi menganggukanggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, "Bibi. Aku mengharap
bibi dapat mendengarkan kata-kataku. Aku datang kemari
karena aku diutus oleh Paman Argajaya."
"He?" mata bibinya seakan-akan menjadi terbelalak
karenanya. Namun kemudian, "Omong kosong! Kau juga sudah
pandai berbohong. Aku tidak mau kau bohongi lagi."
"Tidak, Bibi, aku tidak berbohong," jawab Pandan Wangi.
"Paman kini berada di rumahku, Bibi."
"Aku sudah tahu, Kakang Argajaya sekarang sudah ditangkap
dan sebentar lagi ia harus digantung." Perempuan itu berhenti
sejenak, lalu suaranya tiba-tiba meninggi, "Katakan! Katakan
kepada ayahmu, bahwa aku harus digantungnya pula bersama
Ki Argajaya. Mengerti?"
Tetapi Pandan Wangi mnggelengkan kepalanya. "Paman
tidak akan dihukum apa pun, karena ayah tahu, apa yang terjadi
bukan semata-mata kesalahan paman."
Nyai Argajaya mengerutkan keningnya.
"Paman Argajaya adalah satu-satunya saudara sekandung
ayah," berkata Pandan Wangi kemudian, lalu "dan sekarang aku
telah diutus oleh paman melihat-lihat keadaan rumah ini.
Terutama putera paman."
Nyai Argajaya tidak segera menjawab.
"Bibi jangan terlampau berprasangka. Kalau ayah ingin
melakukan tindakan kekerasan, bukan akulah yang akan datang
kemari. Aku adalah manusia yang mempunyai kenangan dan
cita-cita. Apakah aku dapat berbuat sesuatu atas Bibi yang
begitu baik terhadapku sebelum terjadi sesuau" Di rumah ini aku
merasa seperti di rumah sendiri. Sepeninggal ibu, Bibi adalah
ibuku." Nyai Argajaya masih tetap berdiam diri. Ditatapnya wajah
Pandan Wangi dengan sorot mata yang aneh. Kadang-kadang
dari sepasang mata perempuan itu memancar kebencian yang
tidak ada taranya. Namun mata itu kemudian redup seolah-olah
padam sama sekali. "Bibi," desis Pandan Wangi, "apakah Bibi dapat mengerti"
Apakah Bibi masih dapat mengenal aku sebagai Pandan Wangi
yang sering benar berada di rumah ini sebelum terjadi
kekisruhan di atas Tanah Perdikan ini?"
Nyai Argajaya masih tetap berdiam diri.
"Bibi, ayah sama sekali tidak bermakud jelek. Terhadap Bibi
maupun terhadap paman. Ayah masih memerlukan setiap
tenaga yang ada untuk membangun Tanah yang sekarang
sudah menjadi abu ini. Anggaplah bahwa yang sudah terjadi itu
akibat dari kesalahan kita bersama."
Tidak sepatah kata pun yang terucapkan. Nyai Argajaya kini
berdiri sambil merenung. Kadang-kadang dipandanginya wajah
Pandan Wangi, namun kadang-kadang tatapan matanya
terlontar jauh menerawang ke dunia angan-angan dan
kenangan. "Bibi," desis Pandan Wangi kemudian, "percayalah. Aku
masih Pandan Wangi yang dahulu. Aku datang mengunjungi Bibi
seperti dahulu aku bermain di rumah ini."
Pandan Wangi kemudian melihat mata Nyai Argajaya menjadi
basah. Sekalsekali perempuan itu berpaling memandang
Gupita yang berdiri termangu-mangu. Kemudian dipandanginya
sepasang pedang di lambung Pandan Wangi.
Pandan Wangi yang mengikuti tatapan mata bibinya seolaholah
dapat mengerti apa yang tersirat di dalam hati perempuan
itu. Karena itu maka katanya, "Adalah karena keadaan yang
tidak menentu di sepanjang jalan maka aku membawa senjata
ini, Bibi. Aku memang pernah mendapat pengalaman pahit pada
saat permulaan Tanah ini mulai kemelut. Pada saat aku ingin
berkunjung kemari, aku telah dicegat oleh beberapa orang lakilaki
tidak dikenal. Untunglah bahwa saat itu Paman Argajaya
menolong aku. Kalau tidak maka aku tidak akan dapat
membayangkan aya yang terjadi atasku."
Tiba-tiba Nyai Argajaya mengangkat wajahnya dan bertanya,
"Pamanmu yang telah menolongmu?"
"Ya, Bibi." "Siapakah laklaki itu?"
"Aku tidak tahu, Bibi. Mereka adalah laklaki yang tidak
dikenal di Tanah Perdikan ini."
Nyai Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
kemudian ternyata bahwa air matanya menjadi semakin banyak
mengambang di matanya. Perlahan-lahan terdengar ia berdesis,
"Aku memang sudah mencoba untuk mencegahnya. Tetapi aku
tidak berhasil." Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Dengan serta-meta
ia bertanya, "Apakah yang pernah Bibi cegah?"
"Aku pernah mencegah pamanmu menghubungi orang-orang
yang tidak mengenal peradaban itu. Kehadiran Ki Tambak Wedi
di rumah ini memang menumbuhkan kecemasan di dalam
hatiku." Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Agaknya ia telah
berhasil mengungkap perasaan bibinya yang sebenarnya.
Sehingga karena itu maka katanya, "Ya, Bibi. Aku mengerti,
bahwa Bibi adalah Bibi yang aku kenal itu. Bibi yang mengerti
banyak masalah yang dapat tumbuh di atas Tanah Perdikan ini.
Bukankah Bibi juga yang pernah berceritera kepadaku, tentang
lidi dan sapu lidi" Bukankah Bibi juga yang berceritera kepadaku
bahwa jarjari tangan ini satu demi satu tidak banyak berarti,
tetapi apabila lima bersama-sama, maka artinya akan besar
sekali?" Nyai Argajaya terdiam sejenak.
"Bibi," Pandan Wangi kini maju selangkah, "aku itulah yang
kini datang kepada Bibi."
Sejenak Nyai Argajaya berdiri mematung. Ditatapnya mata
Pandan Wangi tajam-tajam. Namun sejenak kemudian ia
meloncat memeluk gadis itu. Meledaklah perasaannya yang
selama ini tertekan di dalam dadanya, sehingga rasa-rasanya
dada itu akan pecah. Tidak ada seorang pun yang dapat
dibawanya berbincang di dalam rumah ini, apalagi sekalsekali
jiwanya yang risau itu masih juga digoncang-goncang oleh
ketakutan dan kecemasan karena para pengawal yang
memeriksa seisi rumahnya, mencari orang-orang yang mereka
sangka bersembunyi di dalam rumah itu.
"Pandan Wangi," terdengar suara perempuan itu di sela-sela
tangisnya, "kau tidak disuruh oleh ayahmu membunuh aku?"
Mata Pandan Wangi pun menjadi basah pula. Meski pun
tenggorokannya terasa tersumbat, namun ia menjawab, "Tentu
tidak, Bibi. Aku sengaja menengok Bibi sekaligus aku diutus oleb
paman Argajaya melihat apakah putera Bibi itu ada di rumah."
Tangis Nyai Argajaya menjadi semakin keras.
"Sudahlah, Bibi," Pandan Wangi mencoba menenteramkan
hati bibinya, "tidak ada yang perlu ditangiskan. Semuanya
memang harus terjadi demikian. Yang penting kini, bagaimana
masa-masa yang mendatang."
"Masa yang mendatang itu terlampau gelap bagiku, Pandan
Wangi. Aku menyadari betapa besar kesalahan pamanmu dan
adikmu. Sebenarnya aku tdak dapat ingkar. Sejak kehadiran Ki
Tambak Wedi di rumah ini bersama Sidanti, maka aku sudah
membayangkan bahwa rumah tangga kecilku ini dan rumah
tangga besar Tanah Perdikan Menoreh akan guncang. Itulah
sebabnya aku sudah mencoba mencegah pamanmu. Tetapi
seperti kau ketahui, Wangi, pamanmu adalah seorang yang
keras hati. Ia tidak segera dapat menerima pikiran orang lain,
sehingga akhirnya ia sendiri terperosok ke dalam keadaan
seperti sekarang." Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian, ia berbisik, "Bibi, apakah tidak mempersilahkan aku
dan kawanku masuk ke dalam?"
"O, tentu Wangi. Tentu," jawab Nyai Argajaya sambil
melepaskaa pelukannya. Namun titik air di matanya masih juga
melelah di pipinya. Dengan pandangan ragu, Nyai Argajaya
menatap wajah Gupita yang termanu-mangu.
Pandan Wangi menangkap keragu-raguan yang tumbuh di
dalam hati bibinya. Agaknya bibinya memang belum pernah
melihat anak muda itu. Karena itu maka Pandan Wangi berkata,
"Anak muda itu namanya Gupita, Bibi. Ia adalah seorang
gembala menurut pengakuannya."
"Kenapa menurut pengakuannya?" bertanya Nyai Argajaya.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
menjawab, "Ya, ia memang seorang gembala. Tetapi ia
mendapat kepercayaan ayah. Karena itu, maka kali ini ia harus
mengantarkan aku menghadap Bibi, justru karena keadaan yang
masih belum tenang benar."
Nyai Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian, "Silahkan masuk."
Keduanya pun kemudian masuk ke dalam pringgitan yang
agak luas. Tetapi pringgitan itu hampir tidak terpelihara lagi.
Dahulu, apabila Pandan Wangi datang ke rumah itu, ia selalu
merasakan tangan-tangan bibinya yang mengatur setiap sudut
rumah ini dengan tertib. Tetapi sekarang yang dilihatnya adalah
sarang laba-laba yang tersangkut pada dinding dan langit-langit.
"Aku tdak sempat lagi melakukan apa pun juga," desis
bibinya, seolah-olah ia tahu apa yang terpercik di dalam hati
Pandan Wangi. "Bukan karena aku tidak mempunyai waktu,


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetapi hatiku sudah seolah-olah patah. Semuanya lepas dari
rumah ini. Dan aku tidak memerlukan apa-apa lagi."
"Tidak, Bibi," jawab Pandan Wangi. "Semuanya masih dapat
diharap." "Adikmu hilang bersama-sama pasukan pamanmu yang
terceraberai. Pamanmu tertangkap, sedang orang-orang yang
mendukungnya telah lenyap. Sidanti pun tidak lagi dapat berbuat
apa-apa, sepeninggal gurunya itu."
"Kesalahpahaman ini akan segera berakhir."
"Apakah kau berkata sebenarnya, Wangi."
"Tentu, Bibi. Aku berkata sebenarnya. Sejak Kakang Sidanti
meninggalkan ayah, maka akulah yang selalu dibawanya
beirbicara. Aku adalah orang yang paling dekat, sehingga aku
mengenal benar-benar jalan pikiran ayah. Itulah sebabnya aku
mengetahui, bahwa sebenarnya ayah tidak nenaruh dendam.
Seseorang yang menyeali kesalahannya sampai ke dasar
hatinya, dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan itu,
memang wajib diberi kesempatan."
Nyai Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ayahmu
memang orang baik, Wangi. Menilik sifat-sifatnya, mungkin ia
berkata sebenarnya."
"Aku yakin, Bibi."
"Tetapi kadang-kadang aku menjadi putus asa. Pamanmulah,
yang terlampau keras hati." Kepala perempuan itu tiba-tiba
menunduk. "Ayahmu juga keras hati."
"Kadang-kadang, Bibi, tetapi untuk mempertahankan
keyakinan dan kepentingan harga dirinya pribadi. Tetapi sebagai
Kepala Tanah Perdikan, ayah dapat menimbang-nimbang.
Apalagi kini ayah mendapat banyak kesempatan untuk menilai
semua masalah yang dihadapi. Karena luka-lukanya, sehingga
ayah mempergunakan seluruh waktunya untuk berbaring.
Dengan demikian ayah tidak sekedar dikejar oleh kekecewaan
semata-mata karena Tanah yang selama ini dibinanya, telah
menjadi abu. Tetapi ayah sempat memikirkan, bagaimana masa
depan dari Tanah Perdikan Menoreh ini."
Nyai Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Karena itu, Bibi, maka aku telah datang kemari untuk
mengunjungi Bibi dan membawa putera Bibi menghadap ayah.
Ayah tidak akan menghukumnya. Dan terlebih-lebih lagi paman
memang memerlukannya."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya ketika ia melihat mata
bibinya menjadi berkaca-kaca kembali. "Adikmu tidak ada di
rumah, Wangi. Sejak pertempuran di malam itu, ia seakan-akan
hilang dari padaku. Malam itu ia hanya singgah sejenak,
mengambil beberapa potong pakaian. Kemudan ia pergi lagi
bersama beberapa orang yang sebagian dari mereka tidak aku
kenal." "Apakah anak itu tidak mengatakan, kemana ia akan pergi?"
Bibinya menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian ia menggeleng.
Iblis Lembah Tengkorak 3 Kekaisaran Rajawali Emas Pendekar 4 Alis I Karya Khu Lung Rahasia Candi Tua 2

Cari Blog Ini