02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 34
"Tidak, Wangi."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku
benar-benar telah diutus oleh paman, Bibi. Paman tentu akan
sangat bersenang hati apabila aku dapat membawanya."
Nyai Argajaya tidak segera menjawab. Namun dada Gupitalah
yang menjadi berdebar-debar. Ia sependapat dengan
Pandan Wangi, seperti gurunya pernah berkata, bahw Ki
Argajaya telah minta agar puteranya mendapat pengampunan,
dan Ki Argapati sama sekali tidak berkeberatan. Tetapi kalau
anak itu dapat dibawanya bersama-sama saat ini, maka ia akan
kehilangan waktu. "Hem," Gupita berkata di dalam hatinya, "ternyata aku telah
dicengkam oleh masalah itu. Aku tidak sempat lagi memikirkan
persoalan lain lagi, kecuali persoalan Gupala."
"Apakah bibi masih ragu-ragu?" desak Pandan Wangi.
Tetapi Nyai Argajaya menggeleng. "Tidak, Wangi. Aku tidak
ragu-ragu. Tetapi aku benar-benar tidak tahu kemanakah adikmu
itu sekarang." Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Kadang-kadang aku, ayah dan apalagi paman,
menjadi cemas. Sangat cemas, bahwa anak itu akan terseret
arus yang tidak dikenalnya itu semakin lama semakin jauh.
Kalau arus itu berbenturan dengan kekuatan Menoreh yang tidak
mengerti sama sekali tentang hubungan lain daripada hubungan
antara lawan, maka keadaannya akan menjadi semakin sulit."
Pandan Wangi berhenti sejenak, lalu, "Bibi, ayah sudah
mengumumkan pengampunan umum. Siapa pun yang
menyesali perbuatannya dan menyerah, akan mendapat
pengampunan, meskipun mereka masih akan tetap mendapat
pengawasan. Apalagi paman, dan orang-orang yang masih ada
sangkut pautnya dalam hubungan darah seperti anak itu."
Tetapi yang dilihat oleh Pandan Wangi adalah titik air mata
dari mata bibinya. Suaranya menjadi parau, "Menyesal sekali,
Wangi. Anak itu seakan-akan telah hilang dari padaku."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya
wajah bibinya tajam-tajam. Agaknya ia masih ragu-ragu, apakah
bibinya berkata sebenarnya, atau oleh kecurigaan, anak itu
dilindunginya, agar tidak diketahui di mana ia bersembunyi.
Namun oleh air mata bibinya yang semakin deras, serta
kepalanya yang semakin menunduk, Pandan Wangi kemudian
mempercayainya bahwa bibinya berkata dengan jujur, bahwa ia
benar-benar tidak tahu di mana anak laklakinya bersembunyi.
Dengan demikian maka sikap Pandan Wangi pun kini
berubah. Ia tidak berusaha membujuk bibinya lagi, agar ia
menunjukkan di mana anaknya berada, tetapi kini Pandan Wangi
mencoba membujuk bibinya agar menjadi tenang.
"Aku memang tidak berpengharapan lagi," berkata bibinya.
"Apalagi setiap kali rumah ini digeledah. Mereka juga mencari
adikmu seperti kau. Bahkan mereka menyangka rumah inii
menjadi tempat persembunyian orang-orang yang berpihak pada
pamanmu dalam peperangan yang baru lalu."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Aku akan berkata kepada mereka, Bibi, bahwa rumah ini sama
sekali tidak dipergunakan oleh orang-orang yang melawan ayah
waktu itu." "Hidupku sama sekali tidak tenang, Wangi. Setiap kali aku
selalu diguncang oleh kegelisahan."
"Sejak sekarang Bibi dapat menenangkan diri. Aku akan tetap
membantu ayah dan paman untuk menemukan anak nakal itu.
Mudah-mudahan ia tidak mengalami sesuatu."
Nyai Argajaya tidak segera menjawab.
"Sudab tentu bahwa aku akan mencarinya sebagai seorang
kakaknya, Bibi." Perlahan-lahn Nyai Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Terima kasih, Wangi. Sejak peperangan itu, baru
sekarang aku dapat mempercayai seseorang. Aku mengenalmu
baik-baik. Aku percaya bahwa kau masih Pandan Wangi yang
dulu." "Tentu, Bibi," sahut Pandan Wangi yang sejenak kemudian
menatap wajah Gupita sambil mengangguk kecil. "Kita kembali."
Gupita pun mengangguk pula.
Pandan Wangi dan Gupita pun segera minta diri setelah ia
berjanj untuk mencegah para pengawal mengguncang-guncang
lagi hati perempuan yang malang itu.
Begitu Pandan Wangi dan Gupita keluar dari regol halaman,
mereka segera melihat beberapa sosok tubuh di sela-sela
gerumbul-gerumbul liar yang tumbuh di sana-sini. Sadarlah
mereka bahwa para pengawal yang mencemaskan nasib
mereka, telah mengadakan pengawasan sebaik-baiknya.
Mereka siap bertindak apabila keadaan menjadi semakin gawat.
Pandan Wangi dan Gupita berpandangan sejenak. Kemudian
terdengar Gupita berbisik, "Mereka adalah pengawal-pengawal
yang baik." "Terlau baik," sahut Pandan Wangi. Gupita terdiam. Tetapi
kepalanya terangguk-angguk. Keduanya pun kemudian meloncat
ke punggung kuda masing-masing dan perlahan-lahan berjalan
ke gardu di mulut lorong.
Para pengawal yang mengawasinya pun kemudian mengikuti
mereka pula, untuk mendengar apa yang telah mereka lihat di
dalam rumah yang penuh dengan teka-teki itu.
Di gardu, Pandan Wangi dan Gupta pun turun sejenak dari
kuda-kuda mereka, untuk berbicara dengan para pengawal di
gardu itu. "Aku tdak melihat apa pun yang mencurigakan di rumah itu,"
berkata Pandan Wangi. "Kami juga tidak melihat," berkata pemimpin pengawal.
"Karena itulah kami menganggap bahwa ada tempat-tempat
rahasia yang tidak kami ketahui."
"Kau salah," jawab Pandan Wangi kemudian. "Tidak ada
tempat rahasia dan tidak ada orang-orang yang bersembunyi di
dalam rumah itu." Pengawal itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
berkata, "Sepintas lalu kita memang tdak melihat apa pun.
Agaknya sudah dua kali atau lebih aku memasuki rumah itu. Dan
aku memang tidak menemukan apa-apa. Tetapi setiap kali, sisasisa
pasukan Tambak Wedi masih berkeliaran di sekitar
padukuhan itu. Bahkan seperti yang sudah pernah aku katakan,
satu-dua orang dari kami telah hilang. Apakah artinya ini?"
"Aku mengerti," berkata Pandan Wangi, "aku tidak
menyangkal bahwa masih ada orang-orang yang berputus asa
dan berbuat apa pun tanpa tujuan, termasuk membunuh dan
merampok. Tetapi mereka tidak bersembunyi di rumah bibi. Aku
sudah bertemu dengan bibi. Dan aku percaya bahwa bibi
berkata sebenarnya."
Para pengawal itu saling berpandangan. Tetapi agaknya
mereka tidak segera dapat mempercayai keterangan Pandan
Wangi. Sehingga Pandan Wangi menjelaskan, "Putra Paman
Argajaya itu pun sudah lama tidak pulang. Bibi hidup dalam
ketakutan dan kecemasan. Setiap saat ia selalu diganggu oleh
perasaannya sendiri dan oleh peristwa-peristwa yang sangat
menyakiti hatinya." Pandan Wangi terdiam sejenak, kemudian,
"Dengarlah. Bukan aku tidak mempercayai kalian. Tetapi
renungkan. Perhatan kalian hanya tertuju kepada rumah itu.
Setiap kali kalian menyangka bahwa orang-orang itu
bersembunyi di tempat yang rahasia di halaman rumah itu.
Setiap ada seorang pengawal hilang, mau tidak mau, menurut
perhitungan kalian, orang-orang yang menyergapnya
bersembunyi di sana. Itu sudab titik tolak yang dapat
mengaburkan usaha kalian, karena kalian sama sekali tidak
menaruh perhatian pada tempat-tempat yang lain. Pada saat
dengan marah kalian menggeledah rumah itu, maka orang-orang
yang telah melakukan perbuatan jahat itu dengan enaknya tidur
di tempat lain yang sudah pasti sama sekali tidak mendapat
perhatian kalian, karena kalian sudah beranggapan mutlak,
bahwa rumah itulah satu-satunya tempat mereka bersembunyi."
"Tetapi," pemimpn pengawal itu masih tidak puas, "salah
seorang dari kami pernah melihat seseorang meloncat masuk ke
dalam rumah itu." "Itulah kecakapan mereka. Mereka memang membuat kesan
seolah-olah rumah itu adalah tempat persembunyian yang paling
baik bagi mereka." Para pengawal yang ada di sekitar gardu dan di regol itu pun
mencoba merenungkan kata-kata Pandan Wangi. Satu-dua
orang mulai mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan
kemudian pemimpin mereka pun berkata, "Masuk akal juga.
Selama ini kami memang hanya mengawasi rumah itu sehingga
kami kurang memperhatikan kemungkinan-kemungkinan lain."
"Nah, sejak sekarang bertindaklah lebih cermat," berkata
Pandan Wangi. "Awasi orang-orang yang masih berkeras hati itu
dengan saksama." "Baik," jawab pemmpin rombonaan itu.
"Aku akan segera kembali," berkata Pandan Wangi kemudian.
Apakah kalian memerlukan beberapa orang untuk mengawani
perjalanan kalian," bertanya pemimpin pengawal.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tidak sesadarnya
dipandanginya bulak yang terbentang di hadapannya. Namun
sebelum Pandan Wangi menjawab, Gupita sudah mendahului,
"Kami tidak akan menyulitkan kalian."
"Itu tugas kami," jawab pemimpin pengawal itu. "Dalam
perjalanan kembali mungkin kalian akan berpapasnn dengan
mereka dalam jumlah yang tidak seimbang. Apalagi kalian
berdua." "Kami mempergunakan kuda-kuda kami, sehingga apabila
orang-orang itu tidak berkuda, kesempatan untuk membebaskan
diri cukup besar," Gupita berhenti sejenak, dan Pandan Wangi
menyahut, "Sudah tentu orang-orang itu tidak mempergunakan
kuda. Bukankah begitu?"
"Ya, mereka memang tidak berkuda."
"Karena itu, biarlah kami pergi berdua"
Para pengawal itu pun mengangguk-anggukkan kepala
mereka, dan pemimpin mereka berkata, "Baiklah."
Pandan Wangi dan Gupita pun kemudian minta diri
meninggalkan padukuhan yang masih belum terkuasai seluruh
segsegi kehidupannya itu. Namun demikian, kekerasankekerasan
yang berpengaruh sudah tidak lagi pernah terjadi.
Pandan Wangi dan Gupita itu pun segera meninggalkan
padakuhan itu, melalui jalan di tengah-tengah sawah yang luas.
Matahari sudah menjadi kian tinggi sehingga panasnya sudah
mulai mengusik kulit. Sepanjang jalan, dada Gupita selalu berdebar-debar.
Semakin lama bulak yang dilaluinya menjadi seakan-akan
semakin pendek. Kalau mereka melampaui padesan dan
pategalan yang terletak beberapa puluh langkah dari jalan ini,
kemudian sampai di lengkungan jalan di sebelah susukan, maka
kesempatannya menjadi eemakin sempit.
Karena itu, meskipun dadanya serasa akan retak, namun
dipaksakannya juga untuk mencoba menyampaikan pesan
Gupala itu kepada Pandan Wangi, meskipun dengan ancangancang
yang panjang. Hampir segenap tubuh Gupita menjadi basah oleh keringat.
Bukan saja karena panas matahari yang semakin tinggi, tetapi
juga karena gejolak di dalam dadanya.
"Persetan," Gupta menggeram di dalam hatinya, "bukan untuk
kepentinganku sendiri. Apa pun akibatnya, bukan menjadi
tanggung jawabku. Aku hanya akan menyampaikan hasilnya
saja kepada Gupala."
Dengan demikian, maka akhirnya Gupita telah memaksa
dirinya sendiri dengan mengerahkan segenap kemanpuan yang
ada padanya. "Pandan Wangi," suaranya gemetar, "kenapa kau begitu
tergesa-gesa?" Pandan Wangi berpaling. Ia melihat kegelisahan di wajah
Gupita. "Apakah aku tergesa-gesa?" ia bertanya.
"Kita berkuda terlampau kencang," jawab Gupita.
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Katanya, "Kita
berada di daerah yang belum kita ketahui keadaan yang
sebenarnya." "Tetapi daerah ini sudah aman."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mungkin. Tetapi bukankah menurut keterangan para pengawal
masih juga ada satu-dua orang yang sering mengganggu di
daerah ini?" "Ya," jawab Gupita, "tetapi, tetapi, perlambatlah kudamu."
Pandan Wangi menjadi heran. Namun tanpa sesadarnya ia
pun menarik kendali kudanya dan dengan demikian maka
perjalanan mereka pun menjadi semakin lambat.
"Pandan Wangi," suara Gupita menjadi semakin gemetar,
sehingga Pandan Wangi pun menjadi semakin berdebar-debar.
Hampir meledak Gupita kemudian berkata, "Ada sesuatu
yang ingin aku katakan, Wangi."
Kini dada Pandan Wangi benar-benar berdesir tajam.
Dipandanginya wajah Gupita sesaat, kemudian kepalanya
tertunduk dalam-dalam. Tetapi Gupita menyadari keadaan dirinya. Betapa pun
kegelisahan melanda jantungnya, namun ia masih berusaha
untuk tidak menumbuhkan salah paham, sehingga dengan suara
gemetar ia berkata, "Bukankah sudah aku katakan, bahwa
Gupala sekarang menjadi semakin dewasa?"
Pandan Wangi tiba-tiba mengangkat wajahnya. Kerut-merut di
keningnya membayangkan seribu satu macam pertanyaan.
"Pandan Wangi," berkata Gupita tergagap, "apakah kau mau
kita berhenti sebentar, supaya aku tidak salah mengucapkan
kata-kata?" Pandan Wangi tidak menjawab. Dadanya menjadi semakin
berdebar-debar. Tetapi ia menganggukkan kepalanya."
Maka sejenak kemudian mereka pun telah menghentikan
kudanya. Gupita yang meloncat turun lebih dahulu dari kudanya
berkata, "Turunlah. Bukankah kau masih mempunyai sedikit
waktu." Kini tiba-tiba saja tubuh Pandan Wangi pun menjadi gemetar.
Perlahan-lahan ia turun dari kudanya. Sebagai seorang gadis
yang dewasa, maka ia sudah dapat menduga apa yang akan
dikatakan oleh Gupita. Namun justru karena itu, maka Pandan Wangi menjadi
semakin berdebar-debar. Gupita yang sudah basah kuyup oleh keringatnya itu
mencoba untuk menenangkan hatinya. Disekanya keringat di
keningnya. Lalu katanya, "Pandan Wangi, aku tidak tahu
bagaimana aku akan mengatakannya. Tetapi aku sebenarnya
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membawa pesan dari Gupala. Itulah sebenarnya, mengapa aku
memaksamu untuk pergi berdua."
Sepercik warna merah membayang di wajahnya, sedang
kepalanya pun mejadi semakin tunduk karenanya.
Namun demikian, terjadi juga kejutan yang menghentak di
dada Pandan Wangi. Gupita sekedar membawa pesan Gupala.
Apa yang akan dikatakan oleh Gupita adalah ungkapan
perasaan Gupala. "Kenapa?" sebuah pertanyaan telah menyeniuh hatinya.
"Kenapa Gupita tidak mengatakan tentang dirinya sendiri?"
Meskipun demikian sebuah keragu-raguan telah
mengisruhkan perasaannya pula. Gupala memang mempunyai
kesan yang tersendiri. Seorang periang dengan hati terbuka.
"Tetapt kenapa ia tidak mengatakannya sendii?"
Dalam kebmbangan itu terdengar Gupita berkata, "Pandan
Wangi, bukankah kau bersedia mendengarkannya. Sebagai
seorang saudara tua aku memang wajib menolongnya,
memecahkan kesulitan yang selalu mengganggunya siang dan
malam." Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi kepalanya kini menjadi
semakin menunduk. Gadis yang membawa sepasang pedang itu
pun kemudian perlahan-lahan duduk di bawah sebuah gerumbul
perdu. Setitik air matanya jatuh di pangkuannya. Dengan jarijarinya
gadis itu mengusap sudut matanya yang membasah.
Gupita menjadi semakin gelisah. Ia memang tidak biasa
menghadapi seorang gadis yang sedang menangis. Karena itu,
maka ia pun berjalan hilir-mudik di belakang Pandan Wangi.
Keduanya sama sekali sudah tdak ingat lagi kepada sisa-sisa
pasukan Ki Tambak Wedi. Keduanya sudah tidak ingat lagi
bahwa kadang-kadang masih saja ada satu-dua orang yang
hilang di dalam perjalanan dari padukuhan yang baru
ditinggalkannya ke padukuhan di seberang bulak yang panjang
itu. Pandan Wangi yang duduk di bawah gerumbul perdu itu tidak
segera dapat menjawab. Terasa hatinya menjadi kacau.
Sebenarnya kerisauan itu sudah lama membayanginya. Kedua
anak-anak muda itu memang mempunyai kelebihannya masingmasing.
Namun bagi Pandan Wangi, Gupiti pernah dikenalnya
lebih dahulu, sehingga pahatan yang ada di dinding jantungnya,
agak lebih dalam dari adiknya yang menyusul kemudian.
Sekilas bahkan terbayang seorang anak muda yang bertubuh
rakassa, Wrahasta. Anak muda yang malang itu sama sekali
tidak berhasil menggetarkan hatinya, meskipun di saat terakhir ia
terpaksa menganggukkan kepalanya, Pandan Wangi sama
sekali tidak menyangka, bahwa anggukan kepela itu, anggukan
yang hanya dilakukannya sekali, telah membekas pula di dalam
hatinya. "Seandainya saat itu Wrahasta dapat ditolong," pertanyaan itu
pun selalu mengejarnya, "apakah yang akan aku lakukan."
Kini ia dihadapkan pula pada persimpangan jalan.
"Tetapi kedua-duanya adalah kakak-beradik, meskipun
menurut dugaanku hanya sekedar kakak-beradik seperguruan,"
desis Pandan Wangi di dalam hatinya.
Namun demikian sudah barang tentu, Pandan Wangi tidak
akan dapat mempertentangkan keduanya. Kini Gupita datang
kepadanya, menyatakan perasaan yang tersimpan di dalam hati,
tapi hati adiknya. Gupala.
Pandan Wangi memang menjadi bingung. Ia tidak tahu,
manakah yang lebih menggembirakan hatinya. Apakah Gupita
menyatakan perasaannya sendiri, atau seperti yang
dilakukannra kini. Gupita pun menjadi semakin gelisah karenanya. Bahkan
kadang-kadang jantungnya serasa berhenti mengalir. Ketika
Pandan Wangi duduk tertunduk, tanpa sesadarnya,
dipandanginya gadis itu. Dalam sekilas, kenangannya langsung
melontar ke Sangkal Putung. Tanpa dikehendakinya sendiri,
Gupita pun mulai membandingkan kedua gadis itu.
"Pandan Wangi mempunyai banyak kelebihan," terdengar
kata-kata itu terlonjak di dasar hatinya. "Anak ini mampu bermain
pedang," kata-kata itu terdengar terus, "tetapi ia sama sekali
bukan seorang anak yang manja dan tinggi hati. Ia tahu benar
kuwajibannya. Baik sebagai seseorang yang berpedang,
maupun sebagai seorang gadis. Sambil menyandang pedang,
Pandan Wangi berjongkok di muka api menanak nasi dan
merebus air." Tetapi Gupita tergagap ketika tiba-tiba saja Pandan Wangi
mengangkat wajahnya dan berpaling. Benturan pandangan mata
mereka, membuat keduanya menjadi gemetar.
Untuk mengusir kesan yang tersirat di wajahnya, Gupita
berkata dengan gugup, "Bagaimana, Wangi. Aku sudah
mengatakan apa yang harus aku katakan. Sekedar pesan
Gupala." Pandan Wangi masih belum menjawab. Tatapan matanya
yang membentur pandangan Gupita itu pun segera
dilemparkannya jauh-jauh ke tengah-tengah sawah yang tidak
terpelihara itu. Namun demikian serasa jantungnya berdenyut
semakin cepat, sehingga dadanya seakan-akan menjadi pepat.
Gupita masih saja berdiri tegak di belakang Pandan Wangi.
Tetapi kini ia tidak berani menatap rambut yang hitam yang
bergerak-gerak dibelai angin. Apabila sekali lagi Pandan Wangi
berpaling dan menatap matanya, mungkin ia akan terbungkam
untuk selanjutnya. "Kau belum menjawab, Pandan Wangi," desak Gupita yang
gelisah. Pandan Wangi menark nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk
menenangkan hatinya yang bergolak. Karena ia tidak segera
menemukan jawaban, maka tiba-tiba saja ia bertanye, "Siapakah
kalian sebenarnya?" Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan Gupita, sehingga
kini ia-lah yang tidak segera dapat menjawab.
"Aku akan menjawab pertanyaanmu apabila aku tahu pasti,
siapakah sebenarnya kalian. Siapakah kau, siapakah Gupala,
dan siapakah gembala tua itu."
Gupita masih tetap berdiam diri. Kegelisahannya menjadi
semakin meningkat. Sememtara itu Pandan Wangi masih saja
duduk memandang ke kaki langit di kejauhan.
Sejenak mereka berdua saling berdiam diri. Hanya desah
nafas dan detak jantung masing-masing sajalah yang terdengar
di sela-sela desir angin.
Namun tiba-tiba mereka dikejutkan oleh gamerisik di
seberang jalan di belakang mereka, sehingga dengan gerak
naluriah mereka meloncat berdiri dan siap menghadapi segala
kemungkinan. Yang telah mereka lupakan itu tiba-tiba kini berada di
hadapan mereka. Enam orang dengan senjata telanjang di
tangan masing-masing. Salah seorang dari mereka adalah
seorang anak yang masih sangat muda. Namun dengan
tangkasnya ia merundukkan pedangnya sambil berkata lantang,
"Tak ada gunanya kalian melawan."
Pandan Wangi terkejut bukan kepalang. Tanpa sesadarnya ia
memekik, "Prastawa. Kaukah itu?"
Anak yang masih terlampau muda itu menganggukkan
kepalanya. Jawabnya, "Ya, aku, Kenapa?"
"Aku baru saja datang mengunjungi bibi. Kau sangat ditunggu
oleh bibi, dan bahkan oleh paman."
Tiba-tiba saja tenak itu tertawa. Suara tertawanya meninggi
dan menyakitkan hati. Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ia melihat perubahan
yang tajam pada adik sepupunya itu.
"Apakah ini putera Ki Argajaya?" Gupita berbisik.
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
Gupita tidak bertanya lagi. Tetapi ia harus mempunyai cara
yang disesuaikan dengan lawan yang dihadapinya.
"Aku sekarang tidak dapat mempercayai siapa pun. Kau juga
tidak," berkata anak muda itu lantang. "Aku hanya percaya
kepada diriku sendiri."
Pandan Wangi tidak segera menyahut. Tetapi ia mencoba
mengenal kawan-kawan adik sepupunya itu seorang demi
seorang. "Semula aku tidak menyangka bahwa kaulah yang lewat
berdua di jalan ini. Aku kira kau berdua adalah sebangsa cucurut
penjilat yang memuakkan, sehingga aku memutuskan untuk
membunuh saja kalian berdua dan kubawa kepalamu sebagai
pangewan-ewan ke padepokan adbmcadangan dotwordpress
dotcom. Tetapi aku tertegun ketika aku mengenal kau. Aku
menjadi ragu, apakah aku akan membunuhmu atau tidak.
Namun agaknya keadaanmu yang memuakkan pula itu telah
mendorong aku untuk meneruskan rencana ini. Kau sudah
bercumbu dengan orang asing ini. Tanpa malu-malu kau sudah
melakukan perbuatan tercela di tengah jalan meskipun kau yakin
bahwa jalan ini terlampau sepi. Seandainya yang menemukan
kau bukan aku, tetapi para perondamu sendiri pun, kau akan
dicela dan ditandai dengan noda hitam di keningmu. Apalagi kau
puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang hampir mati itu."
"Prastawa," suara Pandan Wangi menyentak, "jangan salah
sangka. Seharusnya kau bertanya, apa yang sedang aku
lakukan." "Kenapa aku harus bertanya" Aku sudah melihat apa yang
terjadi. Kau menyesali dirimu sendiri, sehingga kau menangis. O,
kau sudah menodai nama baik Tanah Perdikan ini. Karena itu,
kalian berdua harus mati."
"Apa yang harus aku sesali?" bertanya Pandan Wangi
lantang. "Tentu tentang dirimu sendiri. Tetapi yang sudah teranjur itu
tidak akan dapat kau perbaiki. Apakah aku harus mengatakan"
Apakah aku harus menunjuk percikan lumpur di wajahmu. He,
apa yang kalian kerjakan di semak-semak perdu itu" Lalu
kenapa kau menangis" Jelas?"
"Prastawa!" Pandan Wangi hampir menjerit. "Kau sudah
kehilangan nalar." Tetapi anak muda itu tertawa berkepanjangan. Katanya
kemudian, "Sebagai seorang adik, aku malu sekali mempunyai
kakak perempuan seperti kau. Sebagai orang Menoreh, aku
merasa tersinggung, bahwa kau sudah menyerahkan dirimu
pada orang asing, dan sebagai putera ayah, Ki Argajaya, aku
memang harus nembalas dendam."
Tiba-tiba tubuh Pandan Wangi menjadi gemetar. Tuduhan
yang terlampau keji itu telah menddihkan darahnya, sehingga
hampir saja ia kehilangan pengamatan diri. Sebagai seorang
gadis, ia tersinggung sekali oleh kata-kata adik sepupunya.
Apalagi semuanya itu tidak benar sama sekali.
"Prastawa," berkata Pandan Wangi dengan suara gemetar,
"kau jangan asal berbicara saja. Kau salah sama sekali. Tidak
terjadi apa pun di sini."
Tetapi suara tertawa anak itu benar-benar menyakitkan hati.
Dalam pada itu, Gupita agak lebih mengendalikan
perasannya daripada Pandan Wangi, karena Gupita bukan
seorang gadis. Kini justru ia berhasil mengatur detak jantungnya
yang semula berdentangan di dadanya.
"Ki Sanak," ia mencoba berkata sareh, "Pandan Wangi
memang menitikkan air mata. Tetapi sama sekali tidak seperti
yang kau duga. Kami berdua baru saja datang mengunjungi
ibumu dengan maksud yang sebaik-baiknya. Semula ibumu tidak
dapat menerima kami, namun perlahan-lahan ia dapat
menyadari keadaannya."
"Omong kosong!"
"Tunggu, aku belum selesai," potong Gupita. "Namun sebuah
penyesalan yang dalam telah mengganggu perasaan Pandan
Wangi, karena usahanya untuk membawamu menghadap Ki
Argajaya gagal." "O," anak muda itu berteriak, "jangan kalian sangka aku anak
kecil yang masih ingusan. Sekarang jangan banyak bicara.
Tindakan kalian telah menodai Tanah Pendikan Menoreh. Kalian
telah membuat tanah di sekitar tempat ini menjadi sangar dan
gersang. Karena itu, tebusannya adalah darah kalian. Kalau
darah kalian berhasil menyiram tanah ini, maka tanah ini akan
menjadi subur kembali. Dosa kalian sudah kalian tebus dengan
darah merah kalian."
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Anak ini agaknya sudah
tidak dapat diajak berbicara lagi.
"Ayo kawan-kawan," berkata anak muda itu, "kita selesaikan
saja orang-orang ini."
"Tunggu," berkata Gupita, "aku tidak menyangka bahwa kau
dapat berbuat demikian. Ketika kami melukai Ki Peda Sura, kau
agaknya masih dapat berpkir bening. Kau waktu itu bersikap
sebagai seorang adik yang baik. Tetapi kenapa tiba-tiba saja kau
sudah berubah?" Anak muda itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia berdiam
dan merenungkan kata-kata Gupita itu. Namun dalam pada itu
seorang yang bertubuh tinggi kurus berdesis, "Jangan hiraukan.
Mereka sekedar ingin dihidupi."
Anak yang masih sangat muda itu berpaling. Ditatapnya
wajah orang yang tinggi kurus itu sejenak. Dan orang yang tinggi
kurus itu masih berkata terus, "Bukankah setiap orang Menoreh
akan berkata demikian apabila maut telah menyentuhnya" Itu
semua hanya omong kosong. Kalau kesempatan itu datang,
maka kaulah yang akan dibunuhnya."
Anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan
sejenak kemudian terdengar suara tertawanya mengejutkan.
Katanya lantang, "Ya. ya. Kau benar. Hampir saja aku tertipu
oleh orang ini." Tetapi Gupita masih tetap berhasil menguasai perasaannya.
Katanya, "Apakah setiap orang akan berkata kepadamu bahwa
kau pernah mempertahankan namanya di hadapan pasukanmu
sendiri" Tetapi itu benar-benar kau lakukan atas kakakmu
Pandan Wangi. Bukankah kau saat itu tampak bertengkar
dengan pimpinan pasukanmu karena pemimpinmu itu menghina
Pandan Wangi justru karena Pandan Watutgi berhasil melukai Ki
Peda Sura?" Sekali lagi anak yang masih terlampau muda itu berkerutmerut.
Tetapi sekali lagi orang yang tinggi kurus itu berkata, "Kau
sudah dipengaruhinya. Kau sudah mulai menyentuh getah yang
akan dapat menjeratmu. Berusahalah untuk melepaskan diri.
Buat apa kita berbicara terlempau banyak" Kalau keduanya
sudah mati maka kau akan berkesempatan mempertimbangkan
kebenaran kata-kataku. Apalagi keduanya telah membuat Tanah
ini menjadi sangar dan gersang karena tindakannya yang tidak
tahu malu." "Ya, ya. Aku mengerti. Kau memang benar. Orang-orang ini
harus dibunuh."
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah kau meyakini kata-kata orang kurus yang sedang
berputus asa itu," tiba-tiba Gupita menyela.
"Jangan hiraukan. Bunuh saja," teriak yang kurus.
"Dengar. Kata-katanya tidak menentu," sahut Gupita. "Kalau
ia tidak sedang berputus asa, ia pasti mau mendengarkan katakataku."
"Omong kosong! Kau sedang dipengaruhi. Kedua orang itulah
yang sedang berputus asa."
"Tentu tidak," berkata Gupita. "Bukan kami yang berputus
asa. Kami yakin akan kemampuan kami. Ki Peda Sura dapat
kami kalahkan. Siapa lagi?"
"Tetapi kami bukan Ki Peda Sura. Ki Peda Sura pun tidak
akan mampu melawan kami berenam," berkata orang yang
kurus itu. "Sekarang jangan berbicara lagi. Berdoalah, supaya
arwahmu tidak tersesat ke api neraka."
Gupta menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang yang
tinggi kurus ini sangat berpengaruh atas putera Ki Argajaya,
sehingga anak muda itu hampir tidak berkesempatan untuk
merenungkan dirinya sendiri.
Karena itu maka ia berkeputusan, apabila keadaan terpaksa,
maka orang yang tinggi kurus ini harus di pisahkan dari putera Ki
Angajaya itu. Sebenarnyalah bahwa Gupita memang tidak sempat untuk
berbicara lagi. Orang-orang itu sudah siap untuk menyergap
mereka dengan senjata masing-masing
"Tidak ada jalan lain," bisik Gupita, "kita memang harus
membela diri." Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sayang
anak itu." "Ia masih mempunyai harapan. Orang yang tinggi kurus itu
harus dipisahkan daripadanya."
"He," teriak orang yang tinggi kurus ini, "apa yang kau
katakan?" "Kami sedang membicarakan kau. Dan kami berkeputusan
untuk memisahkan kau dari putera Ki Argajaya. Hari depannya
masih panjang dan penuh harapan. Agaknya kau memang
sudah meracuninya perlahan-lahan, sehingga anak itu tidak mau
kembali kepada ibu dan ayahnya."
"O, jangan mengigau," oramg yang tinggi kurus itu tiba-tiba
saja sudah menyerang. Ternyata ia tangkas juga menggerakkan
pedangnya. Yang pertama-tama menjadi sasarannya adalah
Gupita. Dengan demikian maka kawan-kawannya yang lain pun
segera berloncatan menyerang pula. Beberapa orang bergeser
mengambil arah yang yang lain. Tetapi Pandan Wangi pun tidak
tinggal diam. Segera ia meloncat menjauhi Gupita, sedang
sepasang pedangnya pun telah berada di dalann genggaman.
Seperti yang sudah mereka duga, bahwa mereka masingmasing
akan berhadapaa dengan tiga orang. Ternyata putera Ki
Argajaya itu memilih Gupita sebagai lawannya. Ada sesuatu
yang menahannya untuk bertempur melawan kakak sepupunya
itu. Gupita pun harus menarik senjatanya pula. Anak muda itu
cukup lincah. Pedangnya berputaran di antara kedua senjata
kawan-kawannya. Sejenak kemudian menggeletarlah suara cambuk Gupita
memenuhi udara. Suaranya serasa tidak segera mau lenyap dari
pendengaran. Suara iu seakan-akan berdesing-desing seperti
lebah yang terbang di sekitar lubang telinga.
Tetapi lawan-lawannya ternyata orang-orang yang keras hati.
Dengan sepenuh kemampuan mereka menyerang Gupita dari
segala arah. Namun bagi Gupita sendiri, orang yang kurus itulah yang
menjadi sasaran utamanya. Ia harus dipisahkan dari putera Ki
Argajaya. Dengan demikan, maka ujung cambuk Gupita seolah-olah
selalu mengejarnya. Kemana ia meloncat, terasa ujung cambak
itu selalu mengikutinya "Setan alas!" ia menggeram. Tetapi ia tidak berdaya. Ujung
cambuk itu benar-benar selalu mengejar.
Orang yang tinggi kurus itu sudah berusaha untuk menebas
ujung cambuk Gupita dengan pedangnya. Tetapi ia sama sekali
tidak berhasi1. Menyentuh pun terlampau sulit baginya, karena
ujung cambuk itu menyambar kemudian meledak dan seolaholah
meloncat menjauh dengan kecepatan yang tidak dapat
diperhitungkan. Secepat kilat yang berloncatan di langit.
Semakin lama orang yang tinggi kurus itu merasa, bahwa ia
benar-benar terancam. Terhadap lawan-lawannya yang lain Gupita seakan-akan
hanya sekedar membela dirinya. Ia hanya sekedar menghindar
dan kadang-kadang menghalau mereka menjauh. Tetapi
terhadap yang tinggi kekurus-kurusan ini senjatanya benar-benar
menyerang. Ketika ujung cambuknya berhasil menyentuh kulit
orang yang kekurus-kurusan itu, maka terdengarlah keluhan
yang tertahan. Bukan saja lengan bajunya yang sobek
karenanya, tetapi ternyata kulitnya pun terkelupas pula sehingga
darahnya segena mengalir memerahi pakaiannya.
"Setan alas!" ia mengumpat pula.
Namun ujung cambuk Gupita tidak juga berpindah
daripadanya. Apalagi putera Ki Argajaya yang masih sangat
muda itu. Meskipun ia tidak kalah lincah dan berbahaya dari
kawan-kawannya, namun Gupita seakan-akan tidak pernah
bersungguh-sungguh menyerangnya.
Tiba-tiba orang yang tinggi kurus itu merasa, bahwa Gupita
benar-benar ingin membinasakannya, seperti yang sudah
dikatakaanya, memisahkannya dari putera Ki Argajaya. Karena
itu, maka ia merasa terancam untuk tetap berkelahi melawan
Gupita. Dengan demikian maka tiba-tiba ia meloncat surut dan
berpindah ke lingkaran perkelahiam yang lain sambil menyuruh
seorang kawannya menggantikan tempatnya.
"Huh, kalian tidak segera berbasil menyelesaikan perempuan
ini," katanya. "Tahanlah dahulu anak dungu itu. Aku akan
menyelesaikannya. Kemudian kita bantai bersama-sama kawan
laklakinya itu." Kawannya sama sekali tidak berprasangka apa pun. Ia pun
segera meninggalkan Pandan Wangi dan bergabung dalam
lingkaran perkelahian yang lain, bersama putera Ki Argajaya.
Melihat kehadiran orang yang tinggi kurus itu Pandan Wangi
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia teringat kata-kata Gupita,
bahwa orang inilah agaknya yang telah meracuni jiwa adiknya.
Terngiang di telinganya suara Gupita, "Ia masih mempunyai
harapan. Orang yang tinggi kurus itu harus dipisahkan
daripadanya." Tiba-tiba Pandan Wangi menggeretakkan giginya. Agaknya
memang orang inilah yang selama ini telah menghasut adik
sepupunya, sehingga adiknya itu seakan-akan menjadi liar.
Sejenak kemudian maka kedua ujung pedang Pandan Wangi
pun seakan-akan selalu mengitari tubuh orang itu. Pandan
Wangi tidak lagi menaruh minat kepada kedua lawannya yang
lain. Seperti Gupita ia hanya sekedar menghindar dan
menangkis serangan kedua lawan-lawannya yang lain, tetapi
serangan-serangannya dipusatkannya kepada orang yang tinggi
kurus itu. Sesaat setelah orang yang tnggi kurus itu bergabung dalam
lingkaran pertempuran yang baru, ia belum merasakan tekanan
ujung pedang Pandan Wangi. Tetapi sejenak kemudian, orang
itu terpaksa mengumpat-umpat lagi. Di dalam hatinya ia berkata,
"Setan betina ini pun agaknya memusatkan serangannya
kepadaku." Semula orang yang tinggi itu bertanya-tanya kepada dirinya
sendiri, kenapa serangan-serangan lawannya dipusatkannya
kepadanya. Tidak kepada orang lain, dan tidak kepada putera Ki
Argajaya. Namun akhirnya ia menyadari dirinya. Kedua orang itu
memang menganggap dirinya sebagai penghasut atas putera Ki
Argajaya, sehingga anak itu benar-benar berniat ingin
membunuh mereka. Dengan demikian maka kedua orang itu
pasti mendendamnya. Satu hal yang tidak diduganya, bahwa kedua orang itu
mempunyai kemampuan yang luar biasa, sehingga masingmasing
mampu bertahan atas tiga orang sekaligus.
"Tetapi sebentar lagi tenaga mereka pasti akan segera susut,"
orang yang tinggi kurus itu mencoba menenteramkan hatinya
yang sudah mulai gelisah.
Tetapi duguan itu ternyata keliru. Meskipun masing-masing
harus berkelahi melawan tiga orang, namun ternyata mereka
berdua memang mempunyai kemampuan yang tidak dapat
diperkirakan sebelumnya. Sepeninggal orang yang tinggi kurus itu Gupita merasa
seakan-akan kehilangan sasaran. Karena itu, maka seolah-olah
ia tidak berkelahi bersungguh-sungguh. Ia hanya sekedar
berusaha menyelamatkan dirinya dari ujung-ujung senjata
lawannya. Tetapi ia sama sekali tidak berusaha untuk
meugurangi jumlah lawannya itu dengan kematian apalagi
putera Ki Argajaya. Ia memang ingin membuat kesan bahwa apa
yang dikatakan itu memang benar-benar bermaksud baik.
Caption: Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi kepalanya
kini menjadi semakin menunduk. Gadis yang membawa
sepasang pedang itu pun kemudian perlahan-lahan duduk di
bawah sebuah gerumbul perdu. Setitik air matanya jatuh di
pangkuannya. Dengan jarjarinya gadis itu mengusap sudut
matanya yang membasah. Namun dalam pada itu, orang yang tinggi kurus itu sudah
mandi keringat di seluruh tubuhnya. Bukan saja ia menjadi
semakin gelisah, tetapi ternyata ia benar-benar telah hampir
kehilangan akal. Ujung-ujung pedang Pandan Wangi seakanakan
mempunyai mata yaag tajam, yang dapat melihat ke mana
pun ia menghindar. Ia terloncat surut sambil menyeringai ketika segores luka
telah menyobek pundaknya. Sambil mengumpat-umpat ia
meraba-raba pundaknya yang terluka itu. Ketika terpandang
olehnya jarjarinya sendiri hatinya berdesir tajam. Warna merah
yang tajam telah membasahi tangannya.
"Setan alas! Apakah hanya aku yang mereka anggap lawan,"
pertanyaan itu selalu mengganggunya.
Sejenak ia dihinggapi oleh penyesalan, bahwa ia telah
dengan terus terang menghasut putera Ki Argajaya, sehingga
orang-orang itu langsung dapat menilai dirinya.
"Tetapi aku tidak menyangka bahwa mereka dapat bertahan,"
katanya di dalam hati. Kini, mau tidak mau ia harus bertempur. Tetapi ia terdesak
dalam keadaan sekedar membela diri.
Dalam pada itu, selagi mereka bertempur dengan serunya,
dua pasang mata mengawasi pertempuran itu dengan tajamnya.
Yang seorang dengan wajah yang tegang dan merah padam
oleh kemarahan yang serasa menyesakkan dadanya.
"Guru, bukankah kita mendengar apa yang dikatakan oleh
anak yang masih sangat muda itu, bahwa keduanya telah
melakukan pelanggaran yang memalukan?"
*** "Jangan percaya," jawab yang lain.
"Kenapa?" "Kita dapat menemui mereka, dan bertanya sebaik-baiknya."
Sejenak mereka terdiam, seolah-olah terpukau oleh
pertempuran yang menjadi semakin seru. Sambil menahan
nafas mereka menyaksikan senjata baradu dan gemeletarnya
cambuk Gupita. Di dalam hati keduanya mengakui bahwa Gupita
memang seorang yang pilih tanding.
Tetapi gadis kawannya bertempur itu pun mempunyai banyak
kelebihan dari lawan-awannya. Ia mampu melawan tiga orang
tanpa menemui kesulitan apa pun. Bahkan ia masih juga dapat
melukai orang yang tinggi kekurus-kurusan itu.
"Aku tidak sabar lagi," desis yang seorang.
"Dengarlah kata-kataku," sahut yang lain, gurunya, "kau tidak
perlu berbuat sesuatu. Kita dapat menunggu sampai perkelahian
itu berakhir." "Aku tidak sabar lagi, Guru."
"Kau diombang-ambingkan oleh perasaanmu. Pergunakanlah
nalarnmu." Orang itu menggerarn. Tetapi wajahnya justru menjadi
semakin tegang. "Aku mengharap kedua orang itu berhasil mengalahkan
lawan-lawannya," gumamnya.
"Tentu, menilik perhitunganku, mereka akan menang."
"Dan aku mendapat kesempatan untuk berperang tanding."
"Kau harus mencoba mengendalikan diri."
Muridnya tidak menjawab. Tetapi sorot matanya. masih saja
menyala seperti api yang tersiram minyak.
Pertempuran itu sendiri memang berlangsung semakin seru.
Gupita dan Pandan Wangi berhasil menekan lawan-lawan
mereka, sehingga keenam orang itu sama sekali sudah tidak
mampu untuk besbuat apa-apa. Apalagi orang yang tinggi
kekurus-kurusan itu. Lukanya semakin lama menjadi semakin
banyak. "Kau adalah sumber malapetaka yang menimpa adikku,"
desis Pandan Wangi. "Aku kira akan lebih baginya kalau kau
tidak mengganggunya lagi untuk seterusnya."
Orang itu pun menggeram pula. Tetap ia benar-benar sudah
tidak berpengharapan. Meskipun demikian ia masih juga
melawan bersama-sama dengan kawan-kawannya.
Putera Ki Argajaya pun kemudian harus melihat kenyataan
yang dihadapinya. Kawannya yang tinggi kekurus-kurusan itu
sudah terluka. Sedang kawan-kawannya yang lain sama sekali
tidak berdaya melindunginya.
Dengan demikian ia pun mulai ragu-ragu. Kalau ia bersama
kawan-kawannya meneraskan perlawanan, maka hampir tidak
dapat diharapkan bahwa mereka akan dapat mempertahankan
diri. Kalau mereka gagal, dan apalagi berhasil ditangkap, maka
nasibnya akan menjadi terlampau jelek. Bukan karena takut
digantung di alun-alun, tetapi untuk menjadi tontonan adalah
sama sekali tidak menarik.
Karena itu maka putera Ki Argajaya itu pun segera membuat
pertimbangan-pertimbangan. Ia memang melihat beberapa
keanehan di dalam pertempuran itu. Lawannya agaknya sama
sekali tidak bernafsu untuk menyerangnya atau sama sekali
membinasakannya. Orang yang bersenjata cambuk itu seperti
orang yang hanya sekedar membela dirinya saja, betapapun
beratnya. Hanya kadang-kadang saja ia berusaha menyerang
lawan-lawannya, untuk mengurangi tekanan-tekanan ketiga
ujung senjata yang kadang-kadang berbareng mematuknya.
Apalagi apabila dilihatnya kawan-kawannya pun sama sekali
sudah tidak banyak berdaya.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena itu akhirnya, dengan pahit anak muda itu harus
mengakui keunggulan lawannya kali ini. Biasanya dengan penuh
kebanggaan mereka membinasakan siapa pun yang dapat
mereka jumpai di tegah-tengah bulak yang panjang itu. Namun
kali ini keadaan menjadi sangat berbeda. Dua orang lawannya
itu, dengan mudahnya mampu mendesak enam orang kawankawannya
yang terpilih. "Tidak ada jalan lain," katanya di dalam hati, "lari adalah jalan
yang jauh lebih baik dari digantung di alun-alun."
Akhirnya keputusan itu jatuhlah. Putera Ki Argajaya itu tidak
sempat minta pertimbangan kepada kawannya yang tinggi
kekurus-kurusan, karena ia sendiri masih terlampau sibuk
dengan ujung cambuk Gupita, sedang kawan-kawannya selalu
saja digantungi oleh nasib mereka masing-masing. Apalagi
kawannya yang tinggi kurus itu.
Dengan demikian, maka anak muda itu pun segera
memberikan isyarat sehingga kawan-kawannya segera mengerti,
mereka harus melarikan diri.
Tidak seorang pun yang merasa berkeberatan untuk
melakukan perintah iu. Dengan demikian, maka sekejap
kemudian, mereka pun telah berloncatan meninggalkan arena.
Tetapi baik Gupita mau pun Pandan Wangi merasa
berkeberatan apabila orang yang tinggi kurus itu meninggalkan
arena pula bersama kawan-kawannya. Karena itu, hampir
berbareng keduanya memburu. Mereka hampir tidak
menghiraukan lagi kelima orang yang lain, juga putera Ki
Argajaya. Di dalam hati keduanya, baik Pandan Wangi maupun
Gupita, berpendapat bahwa apabila orang yang tinggi kurus ini
tidak lagi berada bersama-sama dengan anak yang masih
terlampau muda itu, maka ia akan mendapat kesempatan untuk
menilai segala perbuatannya. Mungkin ia akan segera teringat
kepada ibunya atau sanak saudaranya dipadepokan
adbmcadangan dotwordpress dotcom. Dengan demikian maka
menjinakkan anak itu akan menjadi jauh lebih mudah daripada
sekarang. Caption: Ia terlontar surut sambil menyeringai ketika segores
luka telah menyobek pundaknya. Sambil mengumpat-umpat ia
meraba-raba pundaknya yang terluka itu. Ketika terpandang jarijarinya
sendiri, hatinya berdesir tajam. Warna merah yang tajam
telah membasahi tangannya.
Untuk menangkapnya dengan kekerasan agaknya baik
Pandan Wangi maupun Gupita masih belum sampai hati.
Mereka sadar, bahwa apabila anak muda itu diperlakukan
demikian, maka hatinya pasti akan benar-benar patah, dan tidak
akan dapat disambungkannya lagi. Seperti ayahnya, anak muda
itu agaknya keras hati dan harga dirinya sama sekali tidak mau
tersentuh sama sekali. Dengan demikian, maka tanpa berjanji lebih dahulu, Pandan
Wangi dan Gupita telah bersama-sama berusaha untuk
menghentikan orang yang tinggi kurus itu.
Dengan sekuat-kuat tenaganya, orang itu mencoba untuk
melepaskan dirinya. Ia merasa, bahwa pusat perhatian lawanlawannya
ditujukan kepadanya. Karena itu, maka ia harus
mencoba untuk lari sekuat-kuatnya.
Tetapi agaknya langkah Gupita cukup cepat untuk
menyusulnya. Tiba-tiba saja terasa kaki orang yang tinggi kurus
itu seperti terkait sesuatu, sehingga ia kehilangan
keseimbangannya. Tiba-tiba saja ia telah terlempar dan jatuh
terjerambab. Ternyata ujung cambuk Gupita telah membelit
pergelangan kakinya. Baik Gupita maupun Pandan Wangi memang berusaha untuk
menangkapnya. Tetapi sama sekali tidak untuk membunuhnya.
Menurut perhitungan mereka, orang yang tinggi kurus itu akan
dapat menjadi sumber keterangan, di mana dan sampai
seberapa jauh orang-orang yang keras kepala itu mengadakan
pemusatan-pemusatan kekuatan.
Tetapi nasib yang malang sama sekali tidak dapat ditolak.
Ketika orang yang tinggi kurus itu terlempar dan jatuh
menelungkup, maka ujung senjatanya sendiri telah terhunjam ke
dalam perutnya. Sejenak ia masih menggeliat, namun sejenak
kemudian orang itu telah terdiam untuk selama-lamanya.
Pandan Wangi dan Gupita saling berpandangan sejenak.
Mereka hampir-hampir telah terlupa kepada orang-orang lain
yang berlari semakin lama semakin jauh.
"Aku tidak sengaja," desis Gupita.
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
percaya bahwa Gupita memang tidak sengaja. Karena itu
katanya, "Agaknya memang sudah menjadi batas hidupnya.
Orang itu haruss mengakhiri hidupnya dengan senjatanya
sendiri." "Meskipun caranya agak berbeda dengan Arya Penangsang,"
desis Gupita. Pandan Wangi masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kita tidak berhasil kali ini," desis Pandan Wangi sambil
menyarungkan senjatanya, "tetapi aku mengharap bahwa anak
itu akan mendapat kesempatan untuk menilai dirinya sendiri.
Sayang orang terbunuh," berkata Gupita kemudian. "Kalau
tidak, kita akan banyak mendapat keterangan."
"Sudahlah. Bukan salah kita. Kita akan memberitahukan
kepada para peronda untuk merawat mayat itu."
"Tetapi mereka harus berhathati."
"Ya, mereka harus datang dalam jumlah yang cukup."
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berdesis,
"Sekarang kita akan kembali."
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Tetapi ketika
tampak olehnya wajah Gupita yang ragu-ragu, maka ia pun
segera menundukkan kepalanya.
Keduanya pun kemudian melangkah perlahan-lahan
mendekati kuda-kuda mereka. Tetapi mereka tidak saling
berbicara apa pun. Gupita yang merasa bahwa ia belum
menyampaikan pesan Gupala seluruhnya menjadi kecewa.
Tetapi suasananya sudah menjadi rusak sama sekali karena
kehadiran orang-orang yang berputus asa dan berbuat tanpa
tujuan itu. "Tetapi aku sudah mengatakan sebagian," katanya di dalam
hati, "sehingga lain kali aku hanya tinggal menanyakan
jawabnya." Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengingatingat
apa yang sudah dikatakannya. Namun tiba-tiba ia
mengerutkan keningnya, "Aku belum memintanya untuk Gupala.
Aku belum mengatakan pokok persoalannya." Ia berkata pula di
dalam hatinya, "Tetapi Pandan Wangi sudah dapat menangkap
maksudku. Dan ia sudah mengerti."
Gupita terperanjat ketika ia mendengar Pandan Wangi
bertanya, "Apakah kita terus pulang ke rumah?"
Gupita heran mendengar pertanyaan itu. Dengan ragu-ragu ia
menjawab, "Ya. Kita pulang. Tetapi persoalan kita, maksudku
persoalan yang dititipkan Gupala kepadaku masih belum
selesai." Pandan Wangi tidak menyahut, tetapi kepalanya menjadi
semakin tunduk. Adalah diluar dugaan sama sekali, bahwa tiba-tiba keduanya
mendengar pula gemerisik dedaunan di belakang mereka.
Serentak mereka berbalik dan siap menghadapi kemungkinan
apa pun yang bakal datang.
Tetapi darah Gupita tiba-tiba saja serasa berhenti mengalir
ketika ia melihat seseorang berdiri di hadapannya. Seeorang
yang berpakaian seperti seorang laklaki. Tetapi dalam sekilas
Gupita langsung dapat mengenalnya, bahwa ia bukan seorang
laklaki. Apalagi ketika ia melihat di tangan orang itu tergenggam
sebatang tongkat baja putih, dengan sebuah tengkorak kecil
yang berwarna kekuning-kuningan pada pangkalnya.
"Inikah Agung Sedayu yang pernah aku kenal dahulu?"
terdengar orang itu berdesis.
Sejenak Gupita membeku diam di tempatnya. Ditatapnya
orang itu dari ujung kepala sampai ke ujung kakinya.
"Apakah kau melihat sesuatu yang lain padaku?" ia bertanya.
Gupita masih tetap membisu.
"Inikah puteri kepala Tanah Perdikan Menoreh yang perkasa
itu, dan bernama Pandan Wangi?"
Gupita masih tetap berdiam diri, sedang Pandan Wangi
menjadi terheran-heran melihat orang itu. Seperti Gupita ia pun
segera mengenal bahwa orang itu sama sekali bukan seorang
laklaki. "Adalah pantas sekali bahwa puteri Kepala Tanah Perdikan
Menoreh telah menggemparkan seluruh tlatah Pajang. Kini aku
melihat sendiri, betapa ia mampu melawan tiga orang laklaki
sekaligus." Pandan Wangi menjadi semakin heran. Ia sama sekali tidak
merasa bahwa namanya pernah dikenal orang sampai di luar
tlatah Menoreh. Namun ia merasa, kata-kata itu sekedar suatu
kata-kata sindiran yang mengungkat kemarahannya.
"Namun saying," berkata orang bertongkat itu, "kebesaran
namanya sama sekali tidak diimbanginya dengan keluhuran
trapsila seorang wanita."
Pandan Wangi menjadi semakin tidak mengerti, apakah yang
dimakud oleh erang itu. Sekilas ia teringat kepada orang-orang
yang baru saja melarikan diri. Apakah orang ini termasuk salah
seorang dari mereka"
"He, kenapa kalian membeku seperti patung?" orang itu
hampir berteriak. "Kenapa" Dan inikah hasil perjalananmu,
Agung Sedayu?" Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kini ia yakin siapakah
yang dihadapinya, meskipun tongkat baja putih itu semula telah
membingungkannya. Tetapi tidak salah lagi, sehingga karena itu
ia berdesis, "Sekar Mirah."
"Nah, kau masih ingat aku" Aku adalah Sekar Mirah."
"Tetapi kenapa kau tiba-tiba mengucapkan kata-kata yang
dapat menyakitkan hati Pandan Wangi?" Gupita masih agak
ragu. "O, kau membelanya" Aku memang sudah yakin, bahwa kau
pasti akan membelanya."
"Tunggu, Sekar Mirah. Biarlah aku berbicara."
"Tdak ada yang dibicarakan, dan aku pun tidak akan
berbicara apa pun. Aku hanya akan sekedar menyatakan sakit
hati yang hampir tidak tertahankan. Merendahkan derajat wanita
adalah perbuatan yang paling terkutuk."
Pandan Wangi yang mendengar tuduhan-tuduhan itu tidak
dapat menahan hatinya lagi, sehingga karena itu ia menggeram,
"Apa maksudmu" Dan siapakah kau?"
"Kau sudah meadengar namaku disebut. Aku Sekar Mirah.
Tetapi kau tidak perlu tahu lebih banyak tentang aku. Kau bukan
seorang gadis yang pantas untuk dibawa bersahabat."
"Dam!" Pandan Wangi benar-benar tidak dapat menahan
perasaannya lagi. Selangkah ia maju, "Apakah kau termasuk
salah seorang upahan dari gerombolan yang keras kepala, yang
baru saja kami usir dari tempat ini?"
"Tunggu. Tunggu!" Gupita berteriak sekeras-kerasnya.
Pertemuan yang aneh dan tiba-tiba ini sudah membuat
kepalanya menjadi pening. Katanya kemudian, "Kalian salah
paham. Dengarlah. aku akan memberikan penjelasan."
"Tidak ada yang harus aku dengar. Aku hanya sekedar ingin
mengatakan sesuatu yang menyekat dadaku. Sekarang dadaku
terasa sudah lapang, dan aku akan pergi."
"Nanti dulu." "Jangan menahanku."
"Tidak!" Pandan Wanglah yang berteriak. "Kau menghina
aku. Aku harus mendapat penjelasan, apa yang telah kau
lakukan itu. Aku bukan seseorang yang begitu saja membiarkan
diriku direndahkan, meskipun kadang-kadang aku dapat juga
menahan diri. Tetapi tuduhanmu terlampau menyakitkan hati."
"Aku memang ingin membuat kau sakit hati, seperti hatiku
yang pedih saat ini. Aku tidak dapat membiarkan aku tersiksa
sendiri, sedang kau sambil tertawa-tawa menikmati kesegaran
tindakanmu yang memalukan itu."
"Apa yang sudah aku lakukan" Apa?"
"Persetan! Sekarang aku akan pergi. Aku tidak peduli lagi
kepada kalian." "Tidak!" sahut Pandan Wangi yang meloncat semakin maju.
"Kau tidak dapat pergi sebelum kau memberi penjelasan. Kau
sudah menghina aku. Dan aku tidak akan membiarkan diriku kau
hinakan tanpa mengetahui persoalannya. Kalau aku memang
bersalah, mungkin aku dapat mengerti dan tidak akan bersakit
hati. Tetapi dalam keadaan serupa ini, aku tidak mau."
Sekar Mirah tidak segera menjawab. Tetapi suara tertawanya
meninggi dan berkepanjangan. Benar-benar menyakitkan hati.
Namun justru Pandan Wangi mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil hergumam, "Sekarang aku sudah mendapat
gambaran, dengan siapa aku berhadapan."
Suara tertawa Sekar Mirah tiba-tiba terputus. Dengan sertamerta
ia bertanya, "Dengan siapa kau berhadapan?"
"Seorang perempuan yang paling tidak tahu diri yang pernah
aku temui. Suara tertawamu mirip dengan suara tertawa Ki Peda
Sura, atau barangkali kau muridnya?"
Sekar Mirah mengerutkan keningnya.
"Kalian ternyata telah menjadi semakin jauh terlibat ke dalam
kesalahpahaman. Aku akan menjelaskan, siapakah kalian
masing-masing," potong Gupta.
Tetapi Sekar Mirah menggeleng. "Tidak perlu. Kau hanya
akau menambah hatiku menjadi semakin parah."
"Tidak. Tetapi kau tidak mengerti."
"Gupita," berkata Pandan Wangi, "kau kenal perempuan binal
ini" Biarlah ia di sini. Aku ingin mengenalnya lebih banyak lagi."
"Kau keliru, Pandan Wangi."
"Tidak. Seperti perempuan ini yakin tentang diriku sebelum ia
mengenalku, aku pun yakin tentang dirinya sebelum aku
mengenalnya." "Kalian adalah gadis-gadis yang paling bodoh yang pernah
aku temui," akhirnya Gupita pun menjadi jengkel. "Kalian telah
dibakar oleh perasaam kalian tanpa nalar. Kalau kalian
mempunyai telinga, dengarkan aku akan berbicara."
"Tidak perlu," hampir berbareng Pandan Wangi dan Sekar
Mirah menjawab. Namun keduanya menjadi terkejut oleh
jawaban itu. "Kalau kalian tidak mau mendengar keterangan, apa yang
akan kalian lakukan?"
"Aku hanya ingin mengenalnya lebih banyak," sahut Pandan
Wangi. "Kebinalan dan keliarannya memberi gambaran yang
semakin jelas padaku."
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tutup mulutmu perempuan yang tidak tahu diri," Sekar Mirah
memotong. Tetapi Pandan Wangi menyahut lebih keras, "Ini derahku. Aku
dapat berbuat apa saja di sini. Aku dapat mengusir kau, dan
menangkap kau dan dapat memperlakukan kau menurut
kehendakku. Aku adalah puteri Kepala Tanah Perdikan."
"Itu kalau kau mampu menangkap aku."
"Aku akan mencoba dan membawamu kepada ayah. Aku
mendapat sebuah permainan yang mengasyikkan. Barangkali
kau dapat menjadi tontonan di halaman rumahku."
Ketika Pandan Wangi melihat wajah Sekar Mirah menjadi
merah, maka ia menjadi semakin mantap. Pandan Wangi sadar,
bahwa Sekar Mirah pun sedang membuatnya marah. Karena itu,
supaya ia tidak kehilangan keseimbangan, maka ia pun
melakukan perbuatan yang serupa.
Akibatnya memang sudah dibayangkan oleh Gupita. Kedua
gadis itu menjadi marah bukan buatan. Masing-masing masih
saja berusaha mengungkat kemarahan dan sengaja
menyinggung perasaan. Tetapi akhirnya keduanya sama-sama tidak dapat
mengendalikan diri lagi. Ketika tongkat Sekar Marah bergetar di
tangannya, maka Pandan Wangi pun telah menggenggam
sepasang pedangnya. "He, kalian telah gila!" Gupita berteriak.
Tetapi keduanya seolah-olah sudah tidak mendengar lagi.
Sekejap kemudian keduanya sudah terlibat dalam perkelahian.
Sekar Mirah bersenjata tongkat baja putih berkepala sebuah
tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan, sedang Pandan
Wangi mempergunakan sepasang pedangnya yang selama
berkecamuknya api peperangan di atas Tanah Perdikan
Menoreh seakan-akan tidak pernah terpisah dari tubuhnya.
Gupita yang tidak herhasil melerai keduanya, akhirnya hanya
dapat melihat perkelahian itu dengan dada berdebar-debar.
Namun di sudut hatinya memang tumbuh pula keinginannya
untuk melihat, apakah yang sudah dapat dilakukan oleh Sekar
Mirah dengan tongkat baja putihnya.
Meski pun demikian Gupita tidak berani menjauhi arena.
Kalau keadaan memaksa ia barus cepat bertindak. Ia tidak ingin
salah seorang dari keduanya benar-benar tersentuh ujung
senjata. Ternyata Sekar Mirah benar-benar membuat Gupita
tercengang. Dalam waktu yang singkat ia telah berhasil
menyerap ilmu cabang perguruan tongkat baja putih itu.
"Satu-satunya kemungkinan adalah Paman Sumangkar,"
desisnya di dalam hati. Perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin. seru.
Gupita yang berdiri tidak begitu jauh dari arena perkeiahian itu
segera melihat benturan ilmu yang luar biasa. Ilmu yang
diturunkan lewat Ki Argapati dan yang lain bersumber dari Ki
Sumangkar. Ketika tangan kedua gadis itu telah menjadi basah oleh
keringat, maka mereka pun menjadi semakin bernafsu. Senjatasenjata
mereka menjadi semakin cepat berputar. Sinar matahari
yang semakin panas, memantul dari batang tongkat dan
sepasang pedang Pandan Wangi. Berkilat-kilat seperti pancaran
sinar yang berlompatan dari senjata-senjata itu.
Dengan dada berdebar-debar Gupita mengikuti perkelahian
itu. Semakin lama terasa semakin tegang. Setiap kali ia
menahan nafasnya, dan bahkan setiap kali ia melangkah maju.
Kalau ia melihat serangan-serangan yang berbahaya, maka ia
tidak dapat berdiri saja di tempatnya. Ia selalu berusaha berdiri
di tempat yang memungkinkan ujung cambuknya mencapai
kedua gadis yang sedang bertempur itu.
Agaknya kedua gadis itu menjadi semakin bersungguhsungguh.
Dengan kemarahan yang semakin membara di dada
masing-masing, mereka telah mengerahkan segenap
kemampuan yang ada. Namun dengan demikian maka keadaan mereka menjadi
semakin berbahaya, karena ujung-ujung senjata mereka
semakin lama menjadi semakin mendekati tubuh-tubuh lawan.
Kecuali Gupita, masih ada sepasang mata yang mengikuti
perkelahian itu. Dari balik gerumbul yang rapat, orang itu
berjongkok sambil mengintai dari celah-celah dedaunan.
Sekalsekali ia menarik nafas dalam-dalam. Sekali wajahnya
menjadi tegang, namun kemudian ia mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun ia masih saja tetap berada di tempatnya. Kadangkadang
ia memandang wajah Gupita yang semakin tegang pula.
Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat ujung cambuk di
tangan Gupita yang setiap saat dapat meledak di antara dentang
senjata yang beradu. "Mudah-mudahan anak muda itu tidak berpihak," berkata
orang itu di dalam hatinya.
Sebenarnyalah bahwa Gupita memang tidak ingin berpihak.
Dengan susah payah ia menunggu kesempatan untuk melerai
perkelahian itu. Namun setiap kali ia kehilangan kesempatan
karena keduanya mampu bergerak begitu cepat dan lincah.
Sejenak Gupita teringat kepada cara Tohpati berkelahi. Selain
tangkas, ayunan tongkat itu memang benar-benar berbahaya.
Kalau Pandan Wangi lengah, maka benturan senjata mereka
akan dapat mematahkan pedang tipisnya.
Namun untunglah bahwa Pandan Wangi menyadari akan hal
itu. Itulah sebabnya, maka ia tidak pernah membentur senjata
lawannya dengan langsung. Dengan kecakapannya
mempergunakan pedangnya. Pandan Wangi selalu dapat
menggeser arah senjata lawannya dengan sentuhan sisi,
sehingga pedangnya tidak menjadi cacat karenanya. Apalagi
patah. Dalam pada itu, perkelahian itu menjadi semakin seru. Dalam
puncak kemampuan masing-masing, kemudian dapat diketahui,
baik oleh Gupita maupun oleh sepasang mata yang berada di
balik dedaunan, bahwa Pandan Wangi memiliki pengalaman
lebih banyak dari lawannya. Agaknya Pandan Wangi telah lebih
matang menyerap ilmu Ki Argapati, sehingga semakin lama ia
justru menjadi semakin mapan.
Berbeda dengan Sekar Mirah. Ia masih belum mampu
mengungkapkan ilmu Ki Sumangkar sebaik-baiknya. Ketika
gerak sepasang pedang Pandan Wangi menjadi semakin cepat,
maka Sekar Mirah yang belum cukup lama mempelajari ilmunya,
tampak agak menjadi bingung.
"Keseimbangan telah bergoncang," desis Gupita di dalam
hatinya, "perkelahian itu harus dihentikan sebelum salah seorang
dari mereka merasa menang atau kalah. Jika demikian maka
perkelahian ini akan mungkin membangkitkan dendam pada
salah seorang dari mereka, atau bahkan kedua-duanya." Gupita
mengerutkan keningnya, "Tetapi bagaimana."
Dalam pada itu perkelahian itu masih berlangsung terus.
Namun semakin lama menjadi semakin nyata, bahwa Pandan
Wangi memang lebih banyak mempunyai pengalaman sehingga
Sekar Mirah menjadi semakin sulit menghadapinya.
"Tidak dapat ditunda-tunda lagi," pikir Gupita. Karena itu maka
ia meloncat semakin dekat. Sementara itu cambuknya meledak
dahsyat sekali beberapa jengkal saja dari keduanya.
Baik Pandan Wangi maupun Sekar Mirah terkejut karenanya.
Ketika cambuk itu meledak untuk kedua kalinya, tepat di antara
keduanya, maka mereka berloncatan surut selangkah
"Berhentilab berkelahi!" Gupita berteriak.
"Jangan gaaggu kami," sahut Sekar Mirah.
"Kami belum selesai," Pandan Wangi hampir berteriak.
"Kalian sudah menjadi gila. Kalau kalian hanya dapat
berbicara dengan senjata, maka aku pun akan berbicara dengan
senjata." "Bagus," jawab Sekar Mirah, "aku bersedia."
"Kau bermaksud agar aku mempergunakan senjataku
terhadapmu juga?" bertanya Pandan Wangi.
Ternyata sikap kedua gadis itu membuat Gupita menjadi
bingung. Namun, dalam pada itu, seseorang muncul dari balik
gerumbul sambil berkata sareh, "Sudahlah, Ngger. Aku sudah
mengatakan, bahwa cara yang kau pilih agaknya kurang
menguntungkan. "Biarlah, Guru," jawab Sekar Mirah.
Gupita yang berpaling juga mendengar suara itu, terperanjat
pula. Dengan serta-merta ia berdesis, "Paman Sumangkar."
"Ya, Anakmas. Akulah yang telah membawa Angger Sekar
Mirah ke tlatah Menoreh."
"Tetapi kenapa Paman biarkan perkelahian ini terjadi" "
"Aku tidak dapat mencegahnya. Tetapi aku tahu bahwa
Angger ada di dekat arena, sehingga aku percaya bahwa tidak
akan terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan."
Gupita mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, "Tetapi
aku menemui kesulitan untuk melerainya, Paman. ~
"Angger Sekar Mirah akan menghentikan perkelahian."
"Tidak," tiba-tiba Sekar Mirah memotong, "aku akan berkelahi
terus." "Jangan, Ngger. Sebaiknya kau berhenti."
"Aku tidak akan berhenti. Gadis itu harus berlutut di bawah
kakiku." "Bagus," sahut Pandan Wangi, "marilah kita teruskan. Aku
atau kau yang akan mencium telapak kaki."
"Tidak!" suara Sumangkar meninggi. "Aku perintahkan Angger
Sekar Mirah menghentikan perkelahian."
Dada Sekar Mirah berdesir. Tetapi ia tidak dapat membantah
lagi. Ia sadar, bahwa gurunya benar-benar menghendaki
perkelahian berhenti. Dan tiba-tiba saja Pandan Wangi bertanya kepada
Sumangkar, "Siapakah Kiai" Apakah perempuan ini murid Kiai?"
"Ya, Ngger," jawab Sunvingkar, "gadis ini adalah muridku."
"Kenapa tiba-tiba saja ia menyerangku" Baik dengan katakata
maupun dengan tongkat itu?"
Caption: Baik Pandan Wangi maupun Sekar Mirah terkejut
karenanya. Ketika cambuk itu meledak untuk kedua kalinya,
tepat di antara keduanya, maka mereka berloncatan surut
selangkah. "Berhentilah berkelahi!" Gupite betieriak. "Jangan ganggu
kami," sahut Sekar Mirah.
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. "Maafkan, Ngger.
Aku kira hal ini hanya terjadi karena kesalahpahaman."
"Tidak, bukan sekedar salah paham," sahut Pandan Wangi.
"Kami belum berkenalan, belum berbicara tentang apa pun. Apa
yang dapat menimbulkan salah paham?"
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kau benar,
Ngger. Tetapi pembicaraan Angger dengan orang-orang yang
menyerang Angger berdua sebelum inilah yang dapat
menumbuhkan salah paham."
Gupita menarik nafas. "Itukah sebabnya, Paman" Dan Paman
tidak mencegahnya?" "Aku sudah mencoba, Ngger."
"Maksud Guru, akulah yang telah berkeras hati untuk
berkelahi melawan gadis ini?" bertanya Sekar Mirah.
"Apakah yang harus aku katakan, Ngger?" Sumangkar ganti
bertanya. "Tetapi aku memang tidak mencegahnya dengan
keras. Ada keinginanku untuk melihat sampai di mana Anger
Sekar Mirah mampu mengungkapkan ilmunya menghadapi ilmu
dari perguruan lain. Kali ini ilmu yang diturunkan oleh Ki
Argapati, bukankah begitu?"
"Apakah Kiai mengenal ayah?" bertanya Pandan Wangi.
"Berkenalan secara pribadi belum. Tetapi sudah tentu aku
mengenal namanya." "Siapakah Kiai sebenarnya?"
"Sumangkar. Namaku Sumangkar."
Dan Gupita melanjutkannya, "Salah seorang bekas Senapati
Jipang." "Bukan senapati," Sumangkar membetulkan, "seorang juru
masak." Gupita menarik nafas sekali lagi.
"Tetapi," tiba-tiba Sekar Mirah berkata lantang, "apakah aku
akan berdiam diri menghadapi kenyataan ini?"
"Kenyataan yang mana?" bertanya Gupita.
"Aku mendengar apa yang dikatakan oleh keenam orang itu
tentang kalian. Keenam orang yang berhasil kalian kalahkan.
Yang seorang di antaranya terbunuh itu."
"Jangan kau dengarkan igauan mereka," sahut Gupita. "Kau
akan mendengar langsung tentang Pandan Wangi daripadanya,
atau dari Gupala." "Siapa itu Gupala?" bertanya Sekar Mirah.
Gupita mengerenyitkan alisnya. "Namaku Gupita dan adikku
bemama Gupala." "Gila, aku tidak mengenal nama-nama itu," desis Sekar Mirah.
Pandan Wangi pun menjadi bingung. Dan tiba-tiba ia
bertanya, "Siapakah sebenarnya gembala ini?"
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia
mengetahuinya, bahwa agaknya guru anak muda itu telah
merubah nama murid-muridnya seperti apa yang sering ia
lakukan atas dirinya sendiri.
Agaknya nama Agung Sedayu telah dirubahnya menjadi
Gupita dan Gupala pastilah Swandaru Geni. Kareaa itu, maka
sambil tersenyum ia berkata, "Angger Gupita. Di manakah
gurumu dan siapakah namanya kini?"
Gupita menarik nafas dalam-dalam.
Dan Pandan Wangi pun bertanya pula, "He, siapakah
sebenarnya gembala ini?"
Gupita berpikir sejenak, kemudian ia menyahut "Marilah kita
ke ruma. Sebaiknya kalian bertemu dengan Gupala."
"Aku tidak kenal Gupala," Sekar Mirah berteriak. "Aan aku
tidak mau kembali ke tempat yang sama sekali tidak aku kenal."
"Sekar Mirah," berkata Gupita, "aku dapat mengerti, kenapa
salah paham ini dapat terjadi. Tetapi kita jangan memperbesar
salah paham ini. Kita harus berusaha menyelesaikannya. Kalau
kau sudah bertemu dengan Gupala, eh, maksudku Swandaru,
maka semuanya akan menjadi jelas."
"Siapakah Swandaru itu?" Pandan Wanglah yang
memotong. "Dan apakah hubungan gadis ini dengan Swandaru
dan dengan kau Gupita?"
"Nah, agaknya ia tidak mengatakannya," sahut Sekar Mirah.
"Memang, menilik namanya yang sekarang, Gupita, ia ingin
melupakan hidupnya yang lama, ketika ia bernama Agung
Sedayu." "Itulah yang aku maksudkan dengan salah paham. Karena itu
semakin cepat kita bertemu dengan Swandaru akan menjadi
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
semakin baik. Salah paham ini akan segera hilang."
"Apakah hubungannya semua ini dengan Kakang
Swandaru?" bertanya Sekar Mirah.
Gupita menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia menjawab
ragu, "Sekar Mirah. Swandaru akan dapat menjelaskan
kepadamu." Lalu kepada Pandan Wangi Gupita berkata,
"Pandan Waugi, gadis yang bernama Sekar Mirah ini adalah adik
Gupala. Yang nama sebenarnya adalah Swandaru Geni."
"He?" Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tiba-tiba
wajahnya menjadi tegang. Sekilas teringat olehnya pesan
Gupala yang telah disampaikan kepadanya oleh Gupita. Kalau ia
menerima pesan itu, maka Sekar Mirah akan menjadi saudara
perempuannya. Dalam keragu-raguan itu ia mendengar Sekar Mirah bertanya,
"Apakah hubunganmu dan Kakang Swandaru dan dengan gadis
ini." "Tidak ada hubungan apa-apa antara aku dan Pandan Wangi,
selain dalam usaha bersama mempertahankan hak di atas
Tanah Perdikan ini. Hubungan yang lain agaknya sudah mulai
dijalin antara Pandan Wangi dengan Adi Swandaru. Aku kini
adalah seorang utusan Adi Swandaru. Tetapi sayang, bahwa
pembicaraan kami belum selesai, orang-orang itu sudah
mengganggu kami. Apalagi tuduhan mereka yang keji telah
membuat kami marah dan kehilangan kesabaran."
Sebuah getaran yang aneh telah menyentuh dada Sekar
Mirah. Meski pun tidak jelas benar, tetapi ia melihat remangremang
hubungan antara gadis yang bernama Pandan Wangi itu
dengan kakaknya dan dengan Agung Sedayu. Karena itu, maka
dadanya pun menjadi berdebar-debar seperti dada Pandan
Wangi pula. Dalam pada itu, Sumangkar yang mendengarkan penjelasan
Gupita itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia lebih cepat
dapat menangkap maksudnya. Bahkan sesaat kemudian ia telah
mulai mempunyai gambaran, hubungan antara mereka.
Tanpa maksud apa pun Sumangkar kemudian menganggukanggukkan
kepalanya sambl berkata, "Begitulah kiranya. Angger
Sekar Mirah memang terlampau cepat dibakar oleh perasaan
cemburu." "Guru," Sekar Mirah hampir berteriak. Tetapi suaranya
terputus. Sumangkar hanya tersenyum. Dipandanginya wajah muridnya
dan wajah Gupita yang juga bernama Agung Sedayu yang
kemerah-merahan itu. Sementara itu dada Pandan Wangi berdesir tajam. Ditatapnya
wajah Sekar Mirah sejenak. Kini ia sempat menilai gadis itu.
Meskipun ia tidak sedang berhias, namun Sekar Mirah adalah
seorang gadis yang cantik.
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Inilah agaknya
kunci dari pertanyaan yang selama ini tersimpan di hatinya.
Kenapa Gupita bertanya tentang hatinya, tidak atas namanya
sendiri, tetapi atas nama Gupala" Agaknya Gupita telah
meninggalkan seorang gadis di kampung halamannya, atau di
suatu tempat yang lain, yang kini mencarinya.
Dengan gambaran yang meskipun masih samar-samar tetapi
kedua gadis itu kini telah mengerti, bahwa sebenarnyalah
mereka telah terikat dalam suatu salah paham.
Tetapi yang paling menyessl adalah Sekar Mirah. Ia telah
melontarkan tuduhan-tuduhan yang paling menyakitkan hati.
Samar-samar ia dapat menangkap maksud Gupita, yang
katanya, "Aku kini adalah seorang utusan Adi Swandaru. Tetapi
sayang, bahwa pembicaraan kami belum selesai, orang-orang
itu sudah mengganggu kami."
Meskipun demikian Sekar Mirah masih saja berdiam diri
mematung di tempatnya. "Angger Sekar Mirah," berkata Sumangkar yang melihat
penyesalan di wajah muridnya, "apakah salahnya, kalau kau
memberanikan dirimu minta maaf kepada Angger Pandan
Wangi?" Sekar Mirah menundukkan wajahnya.
"Itu pasti akan lebih baik bagi hubunganmu selanjutnya.
Meskipun belum begitu jelas, tetapi aku melihat kaitan hubungan
di antara kalian semuanya."
Sekar Mirah masih menundukkan kepalanya. Sementara
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu menanggapi keadaan.
"Kalian adalah gadis-gadis yang berjiwa besar," berkata
Sumangkar kemudian. "Aku percaya, bahwa kalian akan dapat
saling memaafkan dan melupakan apa yang baru saja terjadi."
Kedua gadis itu kini semakin menunduk. Sedang di dada
Pandan Wangi masih juga terjadi gejolak yang kadang-kadang
hampir menyesakkan nafasnya. Masih juga terkenang olehnya,
gembala muda itu bermain dengan serulingnya, kemudian lari
bersama-sama menghindari anak buah Ki Peda Sura. Anak
muda yang bemama Agung Sedayu itu seolah-olah menyeretnya
saja di sepanjang pematang sswah yang tidak digarap.
Tetap saat itu ia sama sekali belum mengenal anak muda
yang bernama Gupala, yang juga disebut bernama Swamdaru
Geni. Ia belum melihat anak muda periang yang gemuk itu.
Kini ia harus melihat kenyataan. Meski pun tidak jelas, namun
ia mengerti seperti yang dikatakan oleh orang tua yang bernama
Sumangkar itu, bahwa Sekar Mirah diamuk oleh perasaan
cemburu. "Inilah kenyataan yang aku hadapi," desisnya di dalam hati.
Tetapi kini selain Gupita ia telah mengenal pula Gupala.
Menurut penglihatannya keduanya mempunyai kelebihan
sendirsendiri. Mempunyai daya tariknya masing-masing.
Gupala yang juga bernama Swandaru-lah yang telah
menyatakan perasaannya kepadanya lewat Gupita. Dan kini,
seorang gadis telah datang pula mencari Gupita yang juga
bernama Agung Sedayu itu.
Dengan demikian maka Pandan Wangi masih juga merenung
untuk sesaat. Ia sadar dari angan-angannya ketika ia mendengar
Sumangkar berkata kepada Sekar Mirah, "Sekar Mirah.
Seharusnya kau minta maaf kepadanya. Selanjutnya kalian
berdua harus melupakan apa yang pernah terjadi ini. Memang
pahit agaknya untuk mengakui kesalahan. Tetapi itu adalah
sikap yang paling baik."
Betapa pun beratnya, dan betapa pun tinggi hatinya, namun
Sekar Mirah akhirnya berkata, "Pandan Wangi. Aku minta maaf
atas keterlanjuranku."
Kepala Pandan Wangi pun tampaknya terlampau kaku untuk
mengangguk. Namun akhirnya kepala itu tergerak juga sambil
berkata, "Baiklah kita lupakan semua peristiwa yang baru saja
terjadi." "Nah," sahut Sumangkar, "aku memang sudah menyangka,
bahwa kalian memang berjiwa besar. Angger Agung Sedayu,"
katanya kemudian kepada Agung Sedayu yang juga menyebut
dirinya Gupita, "kita menjadi saksi, bahwa seterusnya peristiwa
ini tidak akan disebut-sebut lagi."
"Ya," jawab Gupita, "kita semua melupakannya." Gupita
berhenti sejenak, lalu, "Sekarang, marilah kita kembali ke
padukuhan induk. Kita akan bertemu dengan Gupala, eh,
maksudku Swandaru, dengan guru dan sudah tentu apabila
keadaan mengijinkan dengan Ki Argapati."
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
"Kami senang sekali apabila kami dapat bertemu dengan Ki
Argapati." "Sudah tentu," jawab Pandan Wangi, "ayah sudah menjadi
berangsur baik. Ayah akan senang sekali dapat menerima
kalian." "Marilah," berata Agung Sedayu. "Kita dapat
membicarakannya sambil berjalan. Agung Sedayu merenung
sejenak, kemudian, "Apakah kalian hanya berjalan kaki?"
"Ya, kami memang hanya berjalan kaki."
"Kalau begitu, kami akan berjalan pula. Atau kami akan naik
berdua di atas seekor kuda?"
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia
menjawab, Sumangkar telah berdesis, "Aku melihat debu yang
mengepul ke udara." Serentak semuanya berpaling ke arah pandangan mata
Sumangkar. Dan mereka pun melihat pula, debu yang mengepul
itu. "Serombongan orang-orang berkuda," desis Pandan Wangi.
Semuanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Lamat-lamat
mereka sudah mendengar derap kaki kuda-kuda itu. Semakin
lama semakin dekat. "Siapakah mereka?" bertanya Sekar Mirah.
"Aku belum tahu," jawab Pandan Wangi.
"Marilah kita lihat," bertanya Agung Sedayu.
"Bagaimana kalau mereka adalah sisa-sisa pasukan yang
telah memberontak itu?" bertanya Sekar Mirah.
"Apabila mereka mengancam keselamatan kami, apa boleh
buat," jawab Pandan Wangi.
Mereka berempat pun kemudian justru melangkah ke pinggir
jalan yang akan dilalui oleh beberapa orang berkuda itu.
Semakin lama semakin dekat.
Namun Pandan Wangi kemudian menarik nafas dalam-dalam.
"Mereka adalah para pengawal."
"Apakah mereka sedang meronda?" bertanya Gupita
"Mungkin. Mungkin mereka sedang mengawasi daerah ini."
Orang-orang berkuda yang berpacu di sepanjang jalan itu pun
menjadi semakin lambat pula ketika mereka melihat Pandan
Wangi telah berdiri di pinggir jalan bersama Gupita dan dua
orang yang tidak mereka kenal.
"O, kau sudah mencemaskan seluruh penjagaan," berkata
salah seorang dari para pengawal itu sambil menghentikan
kudanya dan meloncat turun. Yang lain pun kemudian
berloncatan pula seorang demi seorang.
"Kenapa?" bertanya Pandan Wangi.
"Kami menunggu terlampau lama dan kalian masih juga
belum kembali. Kami menyangka bahwa terjadi sesuatu atas
kalian berdua." Orang itu berhenti sejenak. "Tetapi kini kalian
justru berempat." "Apakah kalian mencari aku?"
"Begitulah. Karena kami menjadi cemas, maka kami terpaksa
melihat apakah yang terjadi atas kalian. Sokurlah bila tidak ada
sesuatu yang terjadi."
"Memang ada yang terjadi. Kalian akan mendapat pekerjaan
karenanya." "Apa?" "Sebelah gerumbul itu ada sesosok mayat. Bawalah ke
padukuhan dan kuburlah baik-baik."
Para pengawal itu mengerutkan keningnya.
"Masih ada lagi. Aku meminjam dua ekor kuda kalian.
Kemudian empat orang dari kalian naik di atas dua ekor kuda
yang lain. Sementara orang kelima membawa mayat itu di atas
punggung kudanya pula."
Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi Pandan Wangi
sudah berkata pula, "Jangan merenung. Nanti di gardu kalian,
aku akan menceriterakan apa yang sudah terjadi di sini."
Para pengawal itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Dua di antara mereka menyerahkan dua ekor kuda, kemudian
yang lain meloncat ke balik gerumbul mencari mayat yang
disebut Pandan Wangi. Tetapi sampai di gardu perondan pun Pandan Wangi tidak
sempat mencetiterakan apa yang terjadi seluruhnya. Ia hanya
mengatakan bahwa ia memang bertemu dengan beberapa orang
yang keras kepala, dan maacoba menyerangnya. Tetapi mereka
dapat diusirnya bersama dengan Gupita.
"Salah seorang daripadanya terbunuh," berkata Pandan
Wangi. "Kuburlah mayat itu baik-baik."
Pandan Wangi pun kemudian membawa Sekar Mirah
bersama gurunya ke induk padukuhan. Namun di sepanjang
jalan, pikirannya serasa menjadi kalut menghadapi persoalannya
sendiri. Persoalan pribadinya.
Tetapi Pandan Wangi tidak dapat ingkar pula, bahwa pada
suatu saat ia pasti akan menghadapi masalah serupa ini.
Masalahnya bukan sebagai puteri Kepala Tanah Perdikan yang
berhadapan dengan persoalan-persoalan Tanah Perdikan
Menoreh, tetapi masalahnya sebagai seorang gadis yang
meningkat dewasa. Bahkan sebelum kedatangan Gupita dan
Gupala, persoalan itu pun pernah membingungkannya ketika
Wrahasta dalam saat-saat yang memuncak, mencoba untuk
mengetahui pendiriannya. Dengan demikian, maka hampir tidak seorang pun yang
berbicara di perjalanan. Mereka membiarkan angan-angan
masing-masing terbang menerawang ke ujung langit.
Semakin dekat dengan rumahnya, Pandan Wangi menjadi
semakin berdebar-debar. Ia tidak mengerti, kesimpulan apakah
yang ditangkap oleh Gupita atas sikapnya. Ia belum sampai
mengatakan apa pun kepadanya.
Tetapi bukan saja Pandan Wangi yang berdebar-debar,
namun juga Sekar Mirah. Ia akan bertemu dengan Swandaru
dan yang lebih mendebarkan jantungnya adalah nama yang
selama ini selalu menghantuinya, Sidanti.
"Apakah yang akan aku lakukan atasnya?" desisnya. Karena
Sekar Mirah telah mendengar dari orang-orang Menoreh di
sepanjang perjalanannya bahwa Sidanti dan Argajaya kini
ditahan di rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Namun dendamnya kepada anak muda itu telah melonjak
sampai ke ujung ubun-ubun.
Di sepanjang jalan, diam-diam Pandan Wangi teringat pula
ceritera kakaknya tentang seorang gadis yang bernama Sekar
Mirah. Seorang gadis yang menurut kakaknya telah melukai
hatinya, dan berbuat tidak sewajarnya. Tetapi setelah ia
mengetahui sifat-sifat kakaknya, maka ia sudah tidak begitu
mempercayai lagi ceriteranya. Apalagi setelah ia melihat sendiri
gadis yang bernama Sekar Mirah itu.
Ketika mereka mendekati halaman rumah Kepala Tanah
Perdikan, dari kejauhan mereka sudah melihat para peronda di
muka regol. Namun kemudian mereka pun melihat, bahwa di
antara peronda yang berdiri sebelah-menyebelah jalan itu
terdapat Gupala. Agaknya ia hampir tidak sabar lagi menunggu,
sehingga setelah menyerahkan pengawasan Ki Argajaya kepada
beberapa orang pengawal, ia sendiri menunggu dengan gelisah
kedatangan Gupita dan Pandan Wangi.
Tetapi kini ia melihat empat orang datang bersama-sama. Di
antaranya Pandan Wangi dan Gupita.
"Siapakah yang dua?" ia bertanya di dalam hatinya. Semakin
dekat, Gupala menjadi semakin jelas melihat kedua orang kawan
Pandan Wangi dan Gupita itu. Tetapi seperti orang bermimpi ia
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperhatikan mereka, Seorang gadis dengan tongkat baja
putih dengan pangkal sebuah tengkorak kecil yang berwarna
kekuningan. Tongkat serupa itu pulalah senjata Tohpati. Tetapi menurut
dugaannya tongkat itu pasti sudah dibawa oleh Untara ke
Pajang. "Sumangkar," ia berdesis.
Gupala menjadi berdebar-debar. Ia tidak mengerti bagaimana
hal itu dapat terjadi. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Yang datang
bersama Pandan Wangi dan Gupita adalah Sekar Mirah dan
Sumangkar. Tiba-tiba Gupala tidak dapat mengendalikan dirinya. Dengan
dada yang berdebar-debar ia meloncat berlari menyongsong
orang-orang berkuda itu. Belum lagi mereka mendekat, Gupala
sudah berteriak, "He, kau itu Mirah?"
Sekar Mirah tersenyum. Sudah lama ia tidak melihat
kakaknya. Perasaan rindu yang melonjak di dadanya
ditahankannya. Ketika Swandaru berdiri di samping kudanya ia
masih tetap duduk saja di atas pungguag kuda itu.
"Mirah." Sekar Mirah tidak beranjak dari tempatnya.
"Mirah. Apakah kau kesurupan?" tiba-tiba tangan Swandaru
yang juga bernama Gupala itu menarik tangan Sekar Mirah
sehingga gadis itu hampir saja jatuh terpelanting dari kudanya.
Tetapi dengan tangkasnya ia justru meloncat dan atas bantuan
Gupala Sekar Mirah berhasil tegak di atas tanah.
Gupala heran sejenak melihat sikap adiknya. Namun
kemudian diterkamnya pundak gadis itu dan diguncangTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
guncangnya. "He, kenapa kau kemari, Mirah. Bagaimana
dengan ayah dan ibu?"
"Sakit," desis adiknya. "Lepaskan dahulu."
"Bagaimana kau sampai kemari?" Lalu, "He, Paman
Sumangkar. Apakah Kiai yang membawa Mirah kemari dan
memberinya mainan serupa ini?"
"Ya, Ngger. Akulah yang memberinya."
"Apakah kau dapat juga mempergunakan?" Gupala bertanya
kepada adiknya, kemudian, "Tetapi bagaimana dengan ayah dan
ibu?" "Ayah dan ibu siapa?" Sekar Mitah bertanya.
Gupala mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu.
"Ayah dan ibuku" ia menjawab.
Sekar Mirah menggelengkan kepalanya. "Aku belum
mengenal ayah dan ibu seorang anak muda gemuk yang
bernama Gupala." "Hus," Gupala berdesis, "jangan main-main. Aku bertanya
sebenarnya. Bagaimanakah ayah dan ibu?"
Sekar Mirah memandamg Gupala dengan tajamnya. Dan
sekali lagi ia berkata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku tidak kenal dengan seorang yang bernama Gupala.
Bagaimana aku dapat mengatakan sesuatu tentang ayah dan
ibunya." "Kemayu kau," desis Gupala. "Kalau kau tidak kenal Gupala,
maka kau tidak akan mengenal Gupita. Kenapa kau
mengikutinya kemari?"
"Siapa yang mengikutinya?"
"Paman Sumangkar. Dan kau mengikuti Paman Sumangkar,
begitu?" "Aku tidak mengikuti siapa pun."
"Omong kosong. Sekarang jawab, bagaimana dengan ayah
dan ibu" Apakah mereka selamat?"
Sekar Mirah akhirnya tidak dapat mengganggunya terus.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, "Ya.
Ayah dan ibu selamat."
"Sokurlah." "Dan kau sudah terlampau lama pergi. Ayah dan ibu
menunggu siang dan malam. Apalagi ibu. Karena itu, aku
diijinkannya mencarimu kemari, asal diantar oleh Paman
Sumangkar." "Ya, ya. Aku memang sudah terlampau lama pergi." Gupala
mengerutkan keningnya, lalu, "Marilah. Marilah, Paman
Sumangkar," tetapi tiba-tiba ia menutup mulutnya dengan kedua
tangannya. "Maaf. Bukan akulah tuan rumah. Tetapi di sini ada
Puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh." Lalu ia bertanya
kepada Pandan Wangi, "Apakah kau akan mempersilahkan
mereka?" Tiba-tiba saja sikap Pandan Wangi menjadi sangat kaku. Ia
tidak dapat mengesampingkan masalah dirinya sendiri.
Sehingga karena itu ia tidak segera menjawab. Tetapi ketika
terpandang olehnya mata Swandaru, kepalanya justru tertunduk.
(***) Buku 49 SWANDARU menjadi heran melihat sikap itu. Tetapi
kemudian ia pun menyadarinya pula, sehingga tiba-tiba saja
sikapnya pun menjadi lain. Dengan nada yang datar ia berkata,
"Mirah. Kau di sini bukan berada di rumahmu sendiri. Kau harus
mencoba menyesuaikan dirimu."
Gupita melihat sikap kedua anak-anak muda yang tiba-tiba
menjadi kaku itu. Karena itu, maka ia pun mencoba untuk
mengatasi keadaan, "Marilah kita teruskan perjalanan yang
tinggal beberapa langkah ini."
Pandan Wangi berpaling kepadanya. Dan Gupita pun berkata
pula, "Berjalanlah dahulu. Kaulah yang akan mempersilahkan
tamu-tamu kami." Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi kudanya melangkah
lambat mendahului yang lain. Di belakangnya Gupita dan
Sumangkar tidak lagi berada di punggung kuda. Mereka pun
berloncatan turun dan berjalan bersama-sama dengan Sekar
Mirah dan Gupala. Pandan Wanglah yang mendahului masuk ke halaman
rumahnya. Didapatinya Samekta dam Kerti berdiri gelisah di
tangga pendapa. "Hem, kau Wangi," desis Samekta. "Dapat saja kau membuat
orang-orang tua berdebar-debar. Dari mana kau, he?"
Pandan Wangi tidak menjawab pertanyaan itu. Tetapi ia
langsung memberitahukan kehadiran dua orang tamu, yang
salah seorang di antaranya adalah adiknya Gupita.
"Yang seorang?" bertanya Samekta.
"Gurunya," jawab Pandan Wangi, "seorang yang pasti luar
biasa seperti gembala bercambuk itu. Muridnya yang bernama
Sekar Mirah, mempunyai kemampuan yang cukup tinggi."
Samekta mengerutkan keningnya Kemudian ia pun bertanya,
"Apakah keperluannya" Tanah Perdikan ini sudah mulai tenang.
Apakah mereka akan ikut mengguncang-guncangnya lagi?"
"Tidak, Paman," jawab Pandan Wangi. "Menilik pembicaraan
mereka, agaknya mereka sedang mencari Gupala yang
sebenarnya bernama Swandaru."
"He?" "Itulah mereka," berkata Pandan Wangi ketika ia melihat
Gupita dan tamu-tamunya memasuki regol.
Samekta sejenak berdiri mematung.
"Sambutlah, Paman. Paman adalah wakil ayah saat ini,
sebelum ayah dapat menemui mereka."
"O," Samekta tersadar, "marilah," ajaknya kepada Kerti.
Keduanya pun kemudian menyongsong kedatangan tamu
mereka, seorang gadis dengan gurunya yang bernama
Sumangkar itu. Ketika Sekar Mirah melihat Samekta dan Kerti
menyongsongnya, maka ia pun bertanya kepada kakaknya,
"Yang manakah yang bernama Ki Gede Menoreh?"
"Bukan kedua-duanya," jawab Swandaru. "Tetapi yang satu,
yang di depan itu adalah tetua Tanah Perdikan ini sesudah Ki
Argapati. Ialah yang menerima kepercayaan untuk melakukan
tugas-tugas pemerintahan. Sedang untuk tugas-tugas yang
menyangkut keamanan sebagian terbesar diletakkan pada
puterinya itu." "Pantas," desis Sekar Mirah.
"Kenapa?" "Gadis itu luar biasa."
"Darimana kau tahu?"
Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi Sumangkar yang
mendengar percakapan itu tersenyum. Namun ia tidak sempat
menyahut. Sedang Gupita yang meskipun mendengar pula,
tetapi ia pura-pura tidak mendengarnya sama sekali.
Gupita-lah yang kemudian memperkenalkan tamu-tamunya
kepada Samekta dan Kerti. Keduanya kemudian
mempersilahkan Sumangkar dan muridnya untuk naik ke
pendapa. "Di sini tinggal seorang gembala yang aneh," berkata
Samekta kemudian, "yang menurut pengakuannya adalah ayah
Gupala dan Gupita. Tetapi sejak semula aku sudah ragu-ragu.
Apakah Ki Sumangkar mengenalnya?"
"Siapa?" bertanya Sumangkar.
"Bertanyalah kepada Gupita dan Gupala, siapakah
sebenarnya orang yang mengaku ayahnya itu. Seorang gembala
yang bersenjata cambuk."
Sumangkar mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ia tahu
benar siapakah yang dimaksud oleh Samekta itu. Karena itu ia
menjawab, "Apakah yang kalian maksud seorang gembala tua
bersenjata cambuk, tetapi juga seorang dukun?"
"Tepat," sahut Kerti. "Dukun itulah yang mengobati luka-luka
Ki Argapati dengan cermatnya, sehingga agaknya luka, itu akan
segera dapat sembuh."
Sumangkar mengangguk-angguk. Katanya kemudian, "Tentu
aku mengenalnya. Di manakah gembala itu sekarang?"
"Ia ada di dalam." Kemudian katanya kepada Gupita, "apakah
kau tidak mengundang ayahmu supaya ikut menemui tamu kita
di sini?" Gupita tersenyum. Jawabnya, "Baiklah. Aku akan
mengundangnya untuk ikut menemui Ki Sumangkar."
Gupita pun kemudian masuk ke pringgitan. Gembala tua itu
sedang duduk di dalam bilik Ki Argapati.
Dengan hathati Gupita menjengukkan kepalanya di pintu
yang terbuka. Kemudian mengangguk sambil bertanya, "Apakah
aku dapat masuk?" "Masuklah," desis gembala itu perlahan-lahan.
Gupita pun segera masuk dengan hathati pula.
"Siapakah yang masuk?" bertanya Ki Argapati dengan nada
datar. "Gupita, Ki Gede. Anakku."
"O, apakah, ada keperluan dengan aku?"
"Tidak, Ki Gede," sahut Gupita perlahan-lahan. "Aku hanya
sekedar menemui ayah untuk menyampaikan pemberitahuan."
"Ada apa?" bertanya gembala itu.
"Ada tamu, Ayah."
"Siapa?" "Ki Sumangkar bersama Sekar Mirah, yang agaknya telah
diangkat menjadi muridnya."
Gembala itu mengerutkan keningnya, namun kemudian ia
tertawa. "Baik. Baik, aku akan menemuinya." Kemudian kepada
Ki Gede yang terluka itu gembala tua itu berkata, "Ki Gede,
seorang saudaraku datang berkunjung kemari. Aku minta diri
sejenak untuk menemuinya."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
bertanya, "Apakah Pandan Wangi sudah kembali" Bukankah ia
pergi bersamamu, Gupita. Ia minta ijin kepadaku. Tetapi menurut
Ki Samekta, ia belum datang sehingga menimbulkan
kegelisahan." "Ya, Ki Gede," jawab Gupita, "tetapi ia sudah datang bersama
aku. Ia berada di pendapa menemui tamu-tamu kami bersama Ki
Samekta dan Ki Kerti."
"Kemana saja kalian pergi?"
"Kami hanya sekedar melihat-lihat daerah Tanah Perdikan ini.
Tetapi kami bertemu dengan Ki Sumangkar di perjalanan,
sehingga kami bersama-sama kembali ke rumah ini."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, "Sokurlah,
kalau tidak terjadi sesuatu di perjalanan."
"Tidak, Ki Gede."
"Sekarang silahkan, kalau kalian ingin menemui tamu-tamu
kalian," berkata Ki Argapati kemudian.
"Ya, Ki Gede, kalau Ki Gede tidak berkeberatan, Ki
Sumangkar pun akan menemui Ki Gede pula. Tidak ada
persoalan apa pun yang akan dibicarakan, selain
memperkenalkan dirinya."
"Tentu aku sama sekali tidak berkeberatan." Ki Gede berhenti
sejenak, kemudian, "Tetapi siapakah Ki Sumangkar itu?"
"Ia pernah menjadi seorang penghuni Kepatihan Jipang. Ki
Sumangkar sebenarnya adalah saudara seperguruan Ki Patih
Mantahun yang terbunuh di peperangan antara Jipang dan
Pajang." Ki Argapati mengerutkan keningnya.
"Tetapi," gembala itu meneruskan, "Sumangkar telah
mendapat pengampunan, karena ia tidak banyak terlibat dalam
masalah Jipang dan Pajang."
Ki Argapati kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya.
Desisnya, "Saudara seperguruan Patih Mantahun, bukanlah
orang kebanyakan." Gembala tua itu tersenyum, "Demikianlah kiranya, Ki Gede."
"Baik, baik. Aku akan menerimanya dengan senang hati."
Sejenak kemudian maka Gupita pun mengikuti gurunya keluar
dari bilik Ki Argapati. Di ruang tengah mereka berpapasan
dengan Pandan Wangi. "Kemana, Wangi?" bertanya Gupita.
"Menyiapkan minuman untuk tamu-tamu kita."
"O," Gupita mengangguk-angguk, lalu, "ayahmu agaknya
menjadi gelisah pula."
"Kenapa?" "Kita terlampau lama pergi," sambung Gupita. Lalu
diberitahukannya apa yang sudah dikatakan kepada Ki Gede
tentang kepergian mereka berdua. "Jangan salah," pesan Gupita
kepada Pandan Wangi, "kalau kau ingin berceritera, sesuaikan
ceriteramu dengan ceriteraku."
Pandan Wangi mengangguk. "He," tegur gembala tua, "darimanakah sebenarnya kalian"
Jadi apa yang kau katakan kepada Ki Argapati tidak benar?"
"Bukan tidak benar," jawab Gupta, "tetapi tidak lengkap.
Masih ada beberapa hal yang belum kami katakan sekarang."
Gembala tua itu menarik nafas. Gumamnya, "Anak-anak
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
muda sekarang kadang-kadang memang membuat orang-orang
tua kebingungan." Gupita tidak menjawab. Ia mengikut saja di belakang gurunya
ketika gurunya meneruskan langkahnya ke pendapa, sedang
Pandan Wangi pergi ke dapur untuk mengatur jamuan bagi
tamu-tamunya, sebelum ia pergi ke bilik ayahnya.
Pertemuan antara dua orang tua-tua di pendapa rumah itu
merupakan pertemuan yang meriah. Dengan nada yang tinggi
Sumangkar berkata, "Apakah Kiai selamat selama kita tidak
bertemu" Dan bagaimanakah kabar tentang kambingkambingmu?"
Gembala tua itu pun tertawa. Sambil membungkuk dalamdalam
ia menjawab, "Kami selamat semua di sini. Bagaimana
dengan kalian, dan Ki Demang Sangkal Putung suami isteri?"
Sumangkar pun tertawa pula. Ia mengenal orang tua itu
dengan seribu nama dan seribu warna. Kali ini ia menjadi
seorang gembala dengan kedua anak-anaknya.
"Selamat, Kiai," jawab Sumangkar kemudian. "Ki Demang dan
Nyai Demang Sangkal Putung dan seluruh rakyatnya dalam
keadaan selamat. Kademangan Sangkal Putung telah mulai
berkembang kembali, setelah sekian lama dibayangi oleh
ketakutan." "Sokurlah. Dan kini Adi Sumangkar sempat berjalan-jalan
sampai ke daerah ini."
"Ya," jawab Sumangkar, "Ki Demang Sangkal Putung
mengharap Angger Swandaru segera kembali. Kini Sangkal
Putung telah diserahkan seluruhnya kepada Sangkal Putung
sendiri. Pasukan Pajang sama sekali sudah ditarik."
"Angger Widura?"
"Sudah ditarik pula."
"Jadi Paman sudah tidak berada lagi di Sangkal Pulung?"
bertanya Gupita. "Tidak," jawab Sumangkar, "Sangkal Putung sudah dianggap
dapat menjaga dirinya sendiri."
"Dan Kiai masih saja berada di Sangkal Putung itu?"
"Ya," sahut Sumangkar, "aku diijinkan tinggal. Tetapi setiap
saat aku dipanggil, aku harus datang ke Pajang."
"Kalau Kiai tidak berada di tempat seperti sekarang ini?"
"Aku sudah mendapat ijin."
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya
Sumangkar masih belum memiliki kebebasannya sepenuhnya.
Dan orang tua itu berkata pula, "Tetapi, aku hampir tidak
dapat mengenal lagi daerah sebelah Barat Sangkal Putung.
Sejak meninggalkan Prambanan, kami merasakan perubahan
yang pasti telah menjadi di sebelah Barat. Hutan Tambak Baya
rasa-rasanya sudah tidak singup lagi. Sebuah jalan telah dibuka,
dan berbagai padukuhan kecil telah dihuni orang. Semakin ke
Barat, yang menurut pengenalan kami sebelumnya semakin
pepat, karena daerah itu mendekati Alas Mentaok, namun
ternyata justru menjadi semakin ramai. Agaknya Alas Mentaok
telah dibuka. Dan menurut pendengaran kami, yang membuka
alas Mentaok itu adalah Ki Gede Pemanahan dengan puteranya,
Mas Ngabehi Loring Pasar."
Gembala tua beserta anak-anaknya mengerutkan keningnya.
Demikian juga Samekta dan Kerti.
"Apakah Alas Mentaok sudah menjadi sebuah kota yang
ramai?" "Belum dapat disebut sebuah kota," berkata Sumangkar,
"tetapi sebuah padukuhan yang besar, meskipun masih belum
teratur. Namun setiap hari berdatangan orang-orang baru dari
daerah di sekitarnya, dan menetap menjadi penghunpenghuni
baru dari padukuhan yang semakin lama semakin besar itu.
Lebih dari itu, mereka yang mengenal siapakah Ki Gede
Pemanahan dan siapakah Sutawijaya itu pun segera
mengarahkan pandangan matanya kepada mereka. Padukuhanpadukuhan
di sekitar padukuhan besar yang baru itu, secara
diam-diam mengakui bahwa Ki Gede Pemanahan dan
puteranya, akan dapat memberikan bimbingan kepada mereka,
sehingga mereka telah berkiblat ke padukuhan yang baru itu.
Mereka tiba-tiba merasa, bahwa mereka menjadi terlampau jauh
dari Pajang." Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Tetapi aku tidak tahu, apalagi yaag sudah berkembang di
daerah itu, karena aku hanya sekedar lewat."
Gembala itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bagaimanakah dengan padukuhan-padukuhan di sebelah
Timur Alas Mentaok itu sendiri. Prambanan dan Sangkal Putung
sendiri misalnya?" "Alas Mentaok baru menjadi dongeng di daerah kami,
Sangkal Putung. Tetapi sekali pernah datang Angger Widura dan
beberapa orang perwira yang lain. Mereka berbicara dengan Ki
Demang tentang perkembangan daerah baru itu."
"Apa kata mereka?"
Sumangkar menggeleng, "Aku tidak tahu."
"Aku mendengar sedikit," berkata Sekar Mirah.
"Apa kata mereka?"
"Kakang Untara mendapat tugas langsung untuk mengawasi
daerah Selatan." Terasa dada Gupita berdesir mendengar jawaban itu. Sejak
semula mereka yang berada di Menoreh telah menduga, bahwa
senapati muda itulah yang akan mendapat tugas yang berat itu.
"Tetapi selanjutnya kami tidak tahu."
Setiap orang yang mendengarkan ceritera itu hanya sekedar
mengangguk-anggukkan kepala mereka, sehingga pada suatu
saat Pandan Wangi datang dengan nampan kayu di tangannya,
membawa minuman bagi tamu-tamu yang baru datang itu.
Sejenak kemudian, mereka pun telah meneguk air hangat
dan menikmati makanan yang dihidangkan untuk mereka.
Sedang pembicaraan mereka pun telah berkisar tanpa sesadar
mereka. Dengan demikian, maka tamu-tamu yang bermalam di rumah
itu pun menjadi bertambah dengan dua orang. Mereka
ditempatkan di gandok, kecuali Sekar Mirah, yang mendapat
tempat di ruang dalam. Namun dengan demikian, setiap kali Sekar Mirah pasti
melihat bagaimana Pandan Wangi berusaha melayani kakaknya
sebaik-baiknya, meskipun masih tetap di dalam pengawasan
yang ketat. Meskipun Sidanti sendiri tetap acuh tak acuh terhadap siapa
pun, tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak berkecil hati. Ia
bersikap baik dan teliti, seperti juga terhadap pamannya. Namun
terasa oleh Pandan Wangi, bahwa sikap kakaknya dan
pamannya kini telah menjadi jauh berlainan. Hati pamannya
yang sekeras batu padas itu semakin lama akan semakin dapat
dilunakkan. Tetapi agaknya tidak begitu mudah bagi Sidanti.
Tetapi Pandan Wangi dapat mengerti. Argajaya adalah adik
kandung Argapati, sedang sejak kelahirannya, Sidanti telah
dipisahkan oleh jarak yang seakan-akan tidak akan terseberangi
lagi dari Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu, meskipun hal itu
belum lama disadarinya. Meskipun demikian, Pandan Wangi tidak segera berputus
asa. Meskipun kadang-kadang ia harus menitikkan air matanya.
Betapa besar dendam yang membara di dada Sekar Mirah
terhadap Sidanti, namun sikap Pandan Wangi menumbuhkan iba
juga di hatinya. Setiap kali ia melihat betapa Pandan Wangi
seakan-akan diguncang-guncang oleh perasaannya. Ia berdiri di
persimpangan yang sangat sulit.
Argapati adalah ayahnya. Ayah yang dicintai dan
mencintanya. Sedang Sidanti adalah kakaknya, yang dilahirkan
oleh ibunya pula. Kakak yaag telah banyak menolongnya sejak
ia masih kanak-kanak hingga api permusuhan antara ayah dan
kakaknya itu sudah mulai kemelut.
"Kalau Kakang Sidanti tetap berkeras hati dan Ayah
kemudian kehilangan kesabarannya, maka hatiku pasti akan
semakin hancur." desisnya kepada diri sendiri.
Dengan hadirnya Sekar Mirah, Pandan Wangi merasa
mendapat seorang kawan. Meskipun kadang-kadang ia tidak
dapat mengerti sifat kawan barunya, adik Gupala yang juga
ternama Swandaru itu, namun sedikit banyak ia mendapat
tempat untuk mengungkapkan perasaannya.
Atas nasehat Gupita, Gupala, dan gurunya, Sekar Mirah
berusaha menyesuaikan dirinya dengan cara hidup Pandan
Wangi, meskipun kadang-kadang ia harus memaksa diri.
Sebenarnya Sekar Mirah tidak begitu telaten menenggang
perasaan seperti gadis puteri Kepala Tanah Perdikan Menoreh
itu. Menurut Sekar Mirah, apabila Sidanti memang berkeras
kepala, apa salahnya kalau ia dihukum mati saja meskipun
menurut pengertiannya ia adalah putera Argapati sendiri.
"Jangan berkata begitu kepada Pandan Wangi," Agung
Sedayu mencoba menasehatinya.
"Gadis itu terlampau cengeng."
"Bukan, bukan terlampau cengeng, tetapi perasaannya
sangat lembut meskipun ia mampu bertempur dengan sepasang
pedangnya di peperangan."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Tetapi ia mencoba
untuk menahan hatinya. Ia mencoba seolah-olah ia mengerti dan
menampung perasaan gadis Menoreh yang lembut itu.
Tetapi di hadapan Swandaru, Sekar Mirah masih juga berkata
sambil mencibirkan bibirnya, "He, kaukah yang berkata
kepadaku dahulu di Sangkal Putung, bahwa kau akan kembali
sambil menjinjing kepala Sidanti?"
"Hus, jangan begitu, Mirah. Hathatilah sedikit dengan katakatamu.
Kami semua tidak akan dapat berkata begitu lagi. Kita
berhadapan dengan orang-orang yang lain daripada orang-orang
Tohpati dan bahkan Sidanti sendiri."
Sekar Mirah tersenyum. Jawabnya, "Aku mengerti. Mereka
mencoba untuk menjadi pahlawan-pahlawan yang luhur budi,
yang mengampuni segala kesalahan orang lain, agar dirinya
sendiri mendapat pujian atas kebaikan hati itu."
"Begitukah caramu memandang sikap Ki Argapati, Pandan
Wangi, dan orang-orang lain lagi" Apa katamu terhadap Kakang
Untara dan Ki Gede Pemanahan yang telah mengampuni Ki
Sumangkar, yang sekarang menjadi gurumu?" bertanya
Swandaru. Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
menjawab pertanyaan kakaknya.
"Sudahlah. Jangan kita persoalkan lagi. Kau coba
menyesuaikan dirimu. Setidak-tidaknya kau harus menjadi tamu
yang baik.?" "Kau sekarang memandang aku menurut caramu," berkata
Sekar Mirah, "tetapi aku tidak boleh memandang sikap orang lain
menurut caraku. Sekarang di dalam pandanganmu aku selalu
bersalah, sedang gadis Menoreh itu selalu benar, karena kau
sudah jatuh cinta kepadanya."
"Hus." "Karena Sidanti adalah kakak gadis yang kau cintai itu, maka
kau pun telah merubah niatmu untuk membalas sakit hatimu.
Bukankah kau sudah dua atau tiga kali dipukulnya?"
"Sudahlah. Jangan ribut. Lihat, itu Pandan Wangi mencari
kau. Ia membutuhkan seorang kawan yang dapat diajaknya
membagi duka. Kau adalah adikku, sehingga kau harus
membantu aku, agar ia tidak benci kepadaku."
"Bukankah ternyata bahwa kita masing-masing
mementingkan diri kita sendiri?"
"Ya. Aku tidak ingkar."
Sekar Mirah menjadi bersungut-sungut. Tetapi ia
menyongsong Pandan Wangi yang pergi ke arahnya.
Keduanya pun kemudian berjalan bergandengan ke belakang
rumah sambil bercakap-cakap dengan akrabnya.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi harapannya
kini menjadi kian membara di dalam dadanya. Kalau Sekar Mirah
dapat membantunya, maka kemungkinan untuk mempertautkan
hatinya kepada gadis itu akan berhasil.
Dari hari ke hari, maka luka Ki Argapati pun kian menjadi baik.
Dengan sangat hathati dan lambat laun Ki Argapati mencoba
untuk bangkit dan duduk. Gembala tua itu pun dengan telaten
selalu menungguinya apabila Ki Argapati mulai dengan
perkembangan baru sesuai dengan kesehatannya yang menjadi
semakin baik. "Aku sudah merasa seakan-akan aku sudah sehat sama
sekali," desisnya. Gembala tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
tampak sesuatu mengganggu pikirannya.
"Kiai," berkata Ki Argapati, "bagaimana menurut pendapat Kiai
dengan keadaanku kemudian" Apakah aku akan dapat pulih
kembali seperti sediakala?"
Gembala itu merenung sejenak.
"Berkatalah terus terang. Aku bukan anak-anak lagi."
"Ki Gede," berkata gembala tua itu, "aku tidak dapat
mengatakan dengan pasti. Meskipun aku tetap berusaha.
Namun agaknya ada sesuatu yang kurang pada Ki Gede
sekarang, sehingga untuk dapat pulih kembali seperti sediakala,
agaknya memerlukan waktu yang sangat panjang."
Ki Argapati memandang wajah gembala tua itu dengan
saksama. Tetapi dari sorot matanya terpancar hatinya yang
sudah pasrah kepada pepesten, kepada keharusan yang tidak
akan dapat dielakkannya lagi.
Karena itulah maka Ki Argapati tidak lagi menjadi gelisah dan
cemas, apa pun yang akan terjadi atasnya. Seandainya ia tidak
akan dapat pulih kembali sekalipun. Yang terutama menjadi
persoalan di dalam hatinya adalah justru Tanah Perdikan
Menoreh. Kalau ia tidak kuasa lagi memimpin tanah ini dan tidak
ada orang lain yang dapat dipercayainya, maka Tanah yang kini
tinggal abunya ini tidak akan dapat tumbuh dan berkembang
kembali. Samekta dan Kerti memang dapat memimpin
pemerintahan dalam arti yang sangat sempit. Tetapi untuk
mengembangkan apa yang masih tersisa untuk mencapai tingkat
yang diharapkan agaknya akan banyak menjumpai kesulitan.
"Tanah ini memerlukan orang kuat," berkata Ki Argapati di
dalam hatinya. Sekilas terlintas di angan-angannya satu-satunya anaknya
Pandan Wangi. Kepadanyalah Ki Argapati menumpahkan segala
harapannya. "Tetapi ia hanya seorang gadis," desisnya, "bagaimana pun
juga nalarnya kadang-kadang terdesak oleh perasaannya."
"Kiai," berkata Ki Argapati kepada gembala tua itu,
"bagaimana pun juga aku mengucapkan terima kasih yang tidak
terhingga kepadamu dan kedua anak-anakmu."
Gembala tua itu pun tersenyum.
"Tetapi," berkata Ki Argapati, "aku masih ingin mendapat
pertimbanganmu Kiai."
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Gembala tua itu mengerutkan keningnya.
"Apakah yang sebaiknya aku lakukan atas Argajaya dan
Sidanti?" bertanya Ki Argapati kemudian.
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Kedua orang itu
adalah termasuk dalam keluarga Ki Argapati. Karena itu maka
sulitlah baginya untuk menyatakan sikapnya. Apalagi bahanbahan
yang ada padanya tentang hubungan kekeluargaan dan
sikap Argajaya dan Sidanti atas Menoreh sebelumnya terlampau
sedikit. "Ki Gede," berkata gembala itu, "kalau aku boleh berterus
terang, aku tidak dapat menyatakan apa pun tentang kedua
anggota keluarga terdekat Ki Gede itu. Ki Argajaya adalah adik
kandung Ki Gede, sedang Sadanti adalah putera Ki Gede."
"Kau benar Kiai, tetapi apakah katamu setelah kau melihat
sikap mereka kini" Menurut laporan yang aku terima, agaknya
Argajaya sempat melihat kepada dirinya sendiri. Kepada apa
yang sudah dilakukannya. Ia sempat memisahkan mana yang
salah dan mana yang benar. Tetapi agaknya Sidanti masih tetap
berkeras hati." Gembala tua itu menganggukkan kepalanya, "Ya Ki Gede.
Memang demikanlah agaknya. Aku memang menjadi heran
justru Angger Sidanti sama sekali tidak mau mengerti akan
kedudukannya, meskipun gurunya sudah meninggal."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ia menduga bahwa
gembala tua itu belum tahu, hubungan yang sebenarnya antara
dirinya dan anak muda yang keras hati itu.
"Itulah yang membuat aku berprihatin," desis Ki Argapati.
"Ki Gede," berkata gembala tua itu, "aku kira ada jalan yang
dapat Ki Gede tempuh. Tetapi sudah tentu itu bukan satusatunya."
Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bagaimana kalau Ki Gede memanggil mereka, dan berbicara
langsung dari hati ke hati" Ki Gede akan dapat bertanya kepada
mereka, bagaimanakah sikap mereka sekarang."
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku memang
sudah berpikir demikian. Aku memang berhasrat untuk
memanggil mereka. Tetapi sudah tentu tidak bersama-sama."
"Aku kira memang itu adalah jalan yang sebaik-baiknya. Kini
di rumah ini ada dua orang tamu, yang apabila diperlukan dapat
membantu Ki Gede dengan pendapat-pendapatnya pula.
Terutama Adi Sumangkar."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sesudah
aku bertemu dengan keduanya bergantganti, aku memang
mungkin memerlukan pendapat-pendapat itu."
"Aku kira mereka tidak akan berkeberatan."
"Tetapi bukankah kalian masih akan tinggal di Tanah
Perdikan ini untuk waktu yang tidak terlampau pendek?"
"Kami berharap bahwa kami akan segera dapat minta diri, Ki
Argapati. Perkembangan di sebelah Timur Kali Praga agaknya
memerlukan perhatian. Alas Mentaok yang kini sudah menjadi
semakin ramai ternyata menjadi pusat perhatian seluruh
kerajaan Pajang. Bahkan daerah di sekitarnya kini seakan-akan
telah berpaling ke daerah baru itu."
Ki Argapati menganggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba ia
berkata, "Bagaimana dengan Ki Ageng Mangir?"
Gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil
menggelengkan kepalanya ia menjawab, "Aku tidak tahu."
Ki Argapati merenung sejenak. Tetapi menurut
pengenalannya atas Ki Ageng Mangir, agaknya pemimpin Tanah
Perdikan di Mangir itu pun tidak akan banyak mengambil
peranan di dalam perubahan keadaan yang tidak akan dapat
dielakkan lagi. Entahlah apabila Ki Ageng Mangir itu sudah tidak
mampu lagi memimpin pemerintahan, dan yang kelak akan
menyerahkan pimpinan kepada puteranya. Mungkin puteranya
yang kini masih kecil itu akan bersikap lain apabila ia mendengar
riwayat perkembangan Tanah Perdikannya dan hadirnya suatu
daerah baru di Alas Mentaok yang lebih muda dari Tanah
Perdikannya. "Kiai," berkata Ki Argapati kemudian, "apalagi menghadapi
keadaan yang berkembang terus di sebelah Kali Praga. Tanah
Perdikan ini sendiri memerlukan seorang yang kuat. Apabila aku
tidak dapat melakukan tugasku dengan baik, maka aku menjadi
cemas, bahwa Tanah Perdikan yang kini seakan-akan menjadi
lumpuh ini tidak dapat mengikuti perkembangan keadaan,
Pangeran Berdarah Campuran 9 Kumbang Datang Di Fajar Pagi Karya Rugyinsun Pedang Darah Bunga Iblis 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama