Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 9

02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 9


"Begitulah kira-kira yang terjadi Argapati."
Argapati menggeleng-gelengkan kepalanya. Perlahan-lahan
ia berdesah, "Aku sudah berpesan mawantu-wantu. Jangan
terlibat dalam persoalan yang pahit itu."
"Tidak, Argapati. Apa yang terjadi atas Sidanti dalam
hubungannya dengan seorang gadis adalah wajar. Tetapi
kedatangan Agung Sedayu telah merusakkan hubungan itu.
Apalagi ketika Widura dan Untara turut campur."
"Lalu apakah yang telah dilakukan oleh Sidanti. Menentang
kedua pimpinannya itu?"
"Darah mudanya telah meluap."
"Bodoh. Bodoh sekali. Seharusnya ia tidak berbuat sekasar
itu. Kalau hal itu tidak terjadi, maka orang tua-tua ini pasti akan
dapat menyesaikannya, mungkin Ki Tambak Wedi, mungkin
pimpinan prajurit Pajang itu sendiri."
Ki Tambak Wedi terperanjat mendengar kata-kata Argapati.
Ternyata Argapati menganggap, bahwa sikap Sidanti itu adalah
sikap yang salah. Argapati tidak menjadi kecewa atas Widura
dan Untara, bahkan sebaliknya ia menyesali sikap Sidanti.
Karena itu maka sejenak Ki Tambak Wedi terdiam. Ia
mencoba mencari alasan yang lebih baik, yang dapat membakar
hati Argapati. "Ki Tambak Wedi," berkata Argapati itu kemudian, "apakah
kau tidak berusaha mencegah kesalahan yang telah dibuat oleh
Sidanti?" "Tentu, Argapati. Sudah tentu aku berusaha mencari jalan
yang sebaik-baiknya untuk memecahkan masalah itu. Aku temui
satu demi satu kedua orang yang kebetulan mendapat
kepercayaan atas para prajurit Pajang di Sangkal Putung itu."
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sejenak
ia terdiam. Dibiarkannya Ki Tambak Wedi berkata terus, "Tetapi
agaknya masalah bagi mereka yang sebenarnya bukanlah
Agung Sedayu. Masalah yang sebenarnya adalah masalah
kedengkian mereka." Tampak kening Argapati menjadi berkerut. Dan Ki Tiambak
Wedi berkata selanjutnya, "Persoalan Agung Sedayu ternyata
telah mereka pakai untuk melepaskan iri hati dan dengki mereka
atas Sidanti." "Apa yang telah mereka lakukan atas Sidanti?"
Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha
untuk mengekang gelora di dadanya. Ia harus berhathati
supaya ia tidak buat kesalahan.
"Menyesal sekali Argapati," berkata Tambak Wedi, "bahwa
Widura disetujui oleh Untara telah membuat darah kedua anak
muda itu menjadi panas."
Kening Argapati menjadi semakin berkerut merut.
"Meskipun tampaknya sangat baik, namun ternyata Widura
telah membakar kedua anak muda itu dan menjerumuskan ke
dalam suatu pertentangan yang berbahaya."
"Apa yang sudah dilakukannya?"
"Widura menyelenggarakan sayembara memanah."
"Untuk apa?" "Untuk menentukan siapa yang berhak atas gadis itu."
"Ah," wajah Argapati menjadi tegang, "apakah kau berkata
sebenarnya Ki Tambak Wedi?"
"Kenapa tidak" Aku berkata untuk kepentingan anakmu,
Argapati." "Tetapi apakah hak Widura untuk menyelenggarakan
sayembara itu" Kalau sayembara itu diadakan untuk memilih
senapati yang akan dijadikannya pembantunya melawan
Tohpati, itu adalah kuwajiban Widura. Tetapi persoalan gadis itu,
bukanlah wewenangnya. Apakah gadis itu sudah tidak berayah
dan beribu?" "Oh, gadis itu bernama Sekar Mirah. Ia adalah puteri Demang
Sangkal Putung." Argapati menjadi semakin tegang. Ditatapnya wajah Ki
Tambak Wedi seolah-olah ia ingin melihat apakah yang tergores
di dalam kepala orang tua itu.
Sejenak kemudian terdengar Argapati berdesis,
"Kedengarannya aneh sekali Ki Tambak Wedi."
"Itulah yang tidak dapat aku mengerti. Tetapi aku tidak dapat
mencegahnya. Apalagi ketika perlombaan itu telah berlangsung.
Widura sudah mengatur orang-orangnya untuk berlaku curang,
sehingga di dalam sayembara itu, Sidanti tidak dapat
memenangkannya." "Lalu apa yang dilakukan oleh Sidanti?"
"Darah mudanya menyala tanpa dapat dikendalikan lagi. la
terlibat dalam perang tanding. Bukan sekedar sayembara
memanah." Wajah Argapati menjadi semakin berkerut merut.
"Keduanya adalah anak-anak muda. Agung Sedayu dan
Sidanti," Ki Tambak Wedi meneruskan, "tetapi sekali lagi mereka
berbuat curang. Kali ini Untara sendiri yang telah melanggar
sikap jantan. Dan sekali lagi Sidanti tidak dapat mengendalikan
diri. Ketika Agung Sedayu sudah tidak berdaya melawan Sidanti,
maka Sidanti harus berhadapan dengan Untara sendiri."
"Oh," Argapati menarik nafas dalam-dalam, lalu katanya,"dan
kau tidak dapat mencegahnya?"
"Sulit sekali, Argapati. Kalau kau melihat apa yang terjadi,
maka kau tidak akan menyalahkan sikap Sidanti. Aku pun
hampir-hampir kehilangan akal dan berbuat di luar nalar."
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. "Lalu?"
"Ternyata yang terjadi kemudian sama sekali tidak terdugaduga
sebelumnya," Ki Tambak Wedi berhenti sejenak.
Dicobanya untuk menjajagi perasaan Argapati. Tetapi ia tidak
menemukan kesan yang meyakinkan.
"Pertentangan itu menjadi berlarut-larut. Meskipun
perkelahian yang pertama itu tampaknya berakhir tanpa
menyakitkan hati kedua belah pihak, karena kepentingan mereka
atas keselamatan Sangkal Putung dari sergapan Tohpati,
sehingga mereka masih memerlukan Sidanti. Namun yang
terjadi diharhari berikutnya adalah, persoalan yang paling
menyakitkan hati. Bagi Sidanti, perguruan Tambak Wedi dan
bagi Tanah Perdikan Menoreh."
"Ah," Argapati berdesah, "kenapa hal itu harus terjadi?"
"Sidanti di sudutkan ke dalam suatu keadaan yang tidak
dapat dihindarinya."
Argapati, yang bergelar Ki Gede Menoreh itu menarik nafas
dalam-dalam. Ia adalah seorang yang menyimpan
perbendaharaan pengalaman yang seimbang dengan Ki Tambak
Wedi. Ia adalah orang yang memiliki ketajaman penilaian atas
peristiwa-peristiwa yang terjadi dan keterangan-keterangan yang
didengarnya. Meskipun ia keras hati, tetapi ia mempunyai
pertimbangan yang kuat. Sebelum meletakkan keputusan dan
menentukan sikap, maka ia mempertimbangkan setiap
persoalan semasak-masaknya.
Sejenak pringgitan itu dicengkam oleh kesepian. Yang
terdengar hanya desah nafas mereka berkejaran lewat lubanglubang
hidung. Namun demikian, debar jantung kedua orang tuatua
itu menjadi semakin deras berdentangan di dalam dada
mereka. Ki Tambak Wedi mengharap, bahwa ia akan berhasil
membakar hati Argapati. Ia mengharap bahwa Argapati akan
bersedia membantunya menebus segala kekalahan. Lebih
daripada itu, apabila ia berhasil menggerakkan Argapati, maka ia
akan membawanya ke singgasana Pajang.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak dapat segera menangkap
perasaan Argapati. Meskipun wajahnya menegang, namun ia
tidak berhasil menangkap perasaan yang tersirat daripadanya.
Sesaat kemudian, terdengar Argapati bergumam, "Ki Tambak
Wedi, aku tidak melihat apa yang terjadi. Tetapi aku menyesal
bahwa pertentangan itu telah berlangsung. Baik antara Sidanti
dan Agung Sedayu, maupun Sidanti dan Widura serta Untara."
"Keadaan itu datang tanpa dapat dihindari oleh Sidanti."
jawab Ki Tambak Wedi. "Ah, aku rasa keadaan itu pasti ada permulaannya. Aku tidak
tahu siapakah yang bersalah, tetapi bahwa Sidanti dan Agung
Sedayu itu bersaing untuk mendapatkan seorang gadis, itu
sudah tidak menyenangkan sama sekali. Aku tidak pedulikan
Agung Sedayu, sebab ia bukan sanak bukan kadang. Apa pun
yang akan dilakukan, seandainya ia berbuat nista seperti orang
yang paling hina sekalipun. Tetapi Sidanti adalah anakku. Ia
harus mempunyai harga diri. Ia harus menempatkan dirinya
sebagai seorang putera Kepala Tanah Perdikan. Ia harus
menjadi seorang prajurit yang baik. Seorang prajurit yang harus
menjadi tepa-tulada dari prajurit-prajurit yang lain."
"Ya, ya. Aku mengerti," sahut Ki Tambak Wedi, "seharusnya
memang demikian. Tetapi aku tidak banyak berdaya untuk
menghindarkannya." "Kalau saja Sidanti tidak terkait gadis Sangkal Putung itu,
maka semuanya tidak akan terjadi."
"Kau salah, Argapati. Soalnya bukan bersumber pada gadis
itu. Sudah aku katakan. Soalnya adalah kedengkian dan iri hati.
Seandainya tidak ada persoalan gadis itu sekalipun, namun
Untara dan Widura pasti akan mencari sebab-sebab lain yang
akan dapat dipergunakan untuk menyingkirkan Sidanti."
Argapati mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Ki
Tambak Wedi berkata terus, "Aku sudah mencoba menjajagi
perasaan mereka. Di antara sekian banyak sebab dari
kedengkian dan iri hati itu, adalah kemajuan Sidanti. Mereka
berusaha sekeras-kerasnya untuk menyembunyikan
kemampuan Sidanti. Sebab apabila kemampuan Sidanti itu
dapat dilihat oleh para pemimpin Wira Tamtama Pajang, maka
keadaannya sama sekali tidak akan menguntungkan Untara dan
Widura. Karena itu mereka berdua, paman dan kemanakan itu,
berusaha untuk menyingkirkannya. Apalagi apabila sampai pada
suatu saat Sidanti berhasil membunuh Tohpati, maka kedudukan
Widura dan Untara pasti akan terdesak."
Tetapi Ki Tambak Wedi itu terperanjat ketika ia mendengar
Argapati bertanya, "Apakah memang tersirat di kepala Sidanti
untuk mendesak kedudukan kedua orang itu?"
Sejenak Ki Tambak Wedi terbungkam. Di keningnya
mengembun keringat yang dingin. Ia sama sekali tidak
menyangka, bahwa tiba-tiba saja ia di hadapkan pada
pertanyaan itu. "Ki Tambak Wedi," berkata Argapati seterusnya, "aku pun
pernah mengalami menjadi seorang prajurit. Senapati adalah
jabatan yang memang diimpikan bagi setiap prajurit. Senapati
perang dari segala tingkatan. Seandainya Sidanti ingin menjadi
senapati pun, maka hal itu adalah wajar. Sebab tanpa keinginan
dan cita-cita itu, maka ia adalah seorang prajurit yang akan
membeku saja di tempatnya. Ia akan tetap seorang prajurit
sampai pada suatu saat ujung pedang lawannya membelah
dadanya, atau sampai suatu saat ia harus mengundurkan diri
karena umurnya. Tetapi aku tidak pernah merasakan suatu
kecemasan, bahwa seseorang akan mendesak kedudukanku.
Seandainya ada prajuritku yang maju, maka sebaiknya diberi
kesempatan. Bukan ditanggapi dengan iri dan dengki, apabila
prajurit itu berbuat dengan wajar. Tetapi bila seorang prajurit
sengaja menjual jasa, dan membanggakan kelebihannya,
memang kadang-kadang sikap yang demikian tidak
menyenangkan atasannya. Nah, apakah Ki Tambak Wedi sudah
melihat, apakah Sidanti tidak terdorong dalam sikap serupa itu,
sehingga Widura dan Untara tidak menyenanginya?"
"Oh," Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam, "kau
memang orang yang terlampau baik, Argapati. Kau seorang
yang keras hati, sekeras batu-batu padas di pegununganmu.
Wajahmu pun tampak begitu keras membatu. Tetapi kau
terlampau hathati untuk mengambil sikap. Kau selalu
berprasangka baik terhadap seseorang. Kau tidak pemah
melihat kesalahan orang lain lebih dahulu dari kebaikannya.
Namun jangan berbuat demikian terhadap Widura dan Untara.
Jangan, Argapati. Kau harus dapat menempatkan dirimu pada
pihak yang seharusnya mendapat perlindunganmu."
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Wajahnya
masih saja didera oleh keragu-raguan dan kebimbangan.
Sejenak kemudian ia berkata, "Nah, seandainya demikian,
lalu apakah sebab langsung yang telah mendorong Sidanti
meninggalkan Sangkal Putung?"
"Aku membawanya ke Tambak Wedi."
"Begitu saja?" "Aku tidak mau melihat keadaan menjadi semakin parah. Aku
tidak mau melihat Sidanti kehilangan segala-galanya.
Kehilangan gadis itu, kehilangan kesempatan di dalam tugastugas
keprajuritan, kehilangan harga diri, dan kehilangan
keberanian untuk bersikap. Atau apabila terjadi sebaliknya,
Sidanti menjadi mata gelap dan berbuat di luar kendali."
Sekali lagi Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tampaklah suatu bayangan yang buram di kepalanya. Betapa
pun ia mencoba mengerti keterangan Ki Tambak Wedi, namun
setiap kali bayangan tentang Sidanti, Widura, dan Untara,
seolah-olah seperti asap yang tertiup angin. Pecah bertebaran,
dan ia kehilangan gambaran tentang apa yang terjadi.
"Aku tidak dapat mengerti," desisnya di dalam hati,
"bagaimana mungkin seorang senapati seperti Untara, menaruh
kedengkian dan iri hati terhadap bawahannya. Terhadap
Sidanti." Tetapi lalu dijawabnya sendiri, "Untara masih muda.
Mungkin ia masih kurang bijaksana menanggapi keadaan,
sehingga timbullah kedengkian dan iri hati itu."
Namun bagaimanapun juga Argapati masih dibelit oleh
keragu-raguan dan kebimbangan.
"Apakah kau tidak dapat mengerti, Argapati?" bertanya Ki
Tambak Wedi. "Aku sedang mencoba untuk mengerti," jawab Argapati
dengan jujur. "Kau memang terlampau baik dan jujur, sehingga kau tidak
dapat membayangkan kedengkian dan iri hati orang lain. Sebab
kau sendiri tidak pernah berbuat demikian atas orang lain."
"Hem," Argapati menarik nafas dalam-dalam, "Lalu
seandainya kemudian aku meyakini kebenaran keteranganmu,
lalu apakah yang sebaiknya aku lakukan menurut
pertimbanganmu?" Detak jantung Ki Tambak Wedi menjadi semakin berdebardebar.
Ia merasa belum dapat meyakinkan Argapati. Namun ia
harus berusaha membuat hati orang itu menjadi semakin panas.
Ia harus dapat membakar perasaannya.
"Tetapi Argapati bukan Sidanti," gumam Ki Tambak Wedi di
dalam hatinya, "Argapati adalah orang yang matang dalam sikap
dan perbuatan. Tetapi aku harus mencoba."


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Maka dengan hathati Ki Tambak Wedi berkata, "Argapati.
Aku sebenarnya tidak dapat mengatakan apa pun kepadamu
tentang sikap yang sebaiknya kau ambil. Kau adalah seorang
yang cukup matang menanggapi persoalan. Adalah
wewenangmu untuk menentukan, sikap apakah yang sebaiknya
kau ambil, tetapi aku percaya, bahwa kau masih Argapati yang
aku kenal dahulu. Seorang yang memiliki harga diri dan
kejantanan." Argapati mengerutkan keningnya. Lalu sambil menganggukanggukkan
kepalanya ia berkata, "Persoalan ini bukan persoalan
yang dapat diabaikan. Persoalannya tidak sekedar persoalan.
Sidanti dan Untara, tetapi pasti akan menyangkut orang tua-tua
ini pula." "Tentu Argapati," Kitambak Wedi menyahut, "apalagi kalau
Untara sengaja membuat laporan palsu. Maka penilaian orangorang
Pajang pasti akan berkisar kepadamu dan kepadaku."
(Gambar halaman 49) ?"".. bahwa dengan sorot matanya, Argapati yang bergelar
Ki Gede Menoreh itu mampu membakar setiap benda yang
dikehendakinya, sehingga menjadi abu. Debar dada Ki Tambak
Wedi itu menjadi semakin keras, ketika tiba-tiba melihai api pelita
itu terguncang dengan kerasnya, seolah-olah dihembus oleh
angin yang bertiup dari arah sepasang mata Ki Gede
MENOREH. Argapati mengangguk-angguk. "Ya," katanya. "Pasti orangorang
tua inilah yang akan mendapat sorotan tajam dari para
pemimpin Wira Tamtama Pajang."
"Itulah sebabnya, aku segera datang kepadamu."
Argapati tidak segera menjawab. Tetapi kerut merut di
dahinya menjadi semakin dalam.
Dan terdengar Ki Tambak Wedi melanjutkan, "Dan untuk
seterusnya, kau harus berbuat sesuatu, Argapati."
"Ya, aku menyadari. Sebagai orang tua aku harus berbuat
sesuatu untuk kepentingan Sidanti."
Kini Ki Tambak Wedlah yang menarik nafas dalam-dalam. Ia
melihat titik-titik terang, bahwa usahanya akan berhasil.
Tetapi alangkah terperanjatnya ketika ia mendengar Argapati
itu berkata, "Baiklah, Ki Tambak Wedi. Apabila kau dan Sidanti
nanti pada waktunya kembali ke Tambak Wedi, meskipun aku
tidak mendesakmu untuk segera pergi dari Menoreh, bahkan
apabila mungkin kau akan berada di sini untuk waktu yang cukup
lama, namun maksudku, kelak apabila kau kembali, aku akan
ikut serta bersama Argajaya. Aku akan menemui Widura dan
Untara. Aku ingin mendapat penjelasan akan sikapnya itu."
"Ah," dengan serta merta Ki Tambak Wedi memotong,
"masihkah kau menganggap bahwa itu akan berguna bagimu
dan bagi Sidanti?" "Kenapa tidak" Aku akan menemuinya, Ki Tambak Wedi. Aku
dan Untara berdiri pada tingkat yang sama. Aku tidak akan
merendahkan diriku, mohon belas kasihan untuk kepentingan
anakku. Tidak Ki Tambak Wedi. Bukankah kau tahu, bahwa
ketika kau menganjurkan aku untuk menemui Ki Gede
Pemanahan dan menitipkan Sidanti kepadanya, supaya Sidanti
segera mendapat kedudukan yang baik, aku menolak. Aku tidak
mau berbuat demikian. Sidanti harus menjadi seorang prajurit
yang baik. Prajurit yang merayap dari tingkat yang paling rendah
untuk mencapai tingkat yang setinggtingginya. Bukan karena ia
anakku, dan aku telah mengenal Ki Gede Pemanahan, meskipun
tidak begitu rapat seperti aku mengenal kau. Kau pun telah
mengenal Ki Gede Pamanahan pula. Tetapi hal itu tidak kita
lakukan. Aku tidak mau. Meskipun tampaknya demikian akan
menguntungkan Sidanti, namun Sidanti akan kehilangan masamasa
yang akan dapat menempa dirinya sendiri. Ia akan
kehilangan keprihatinan, karena dengan serta merta ia berada
ditingkat yang tinggi. Bukan karena hasil cucuran keringatnya
sendiri, tetapi karena pengaruh orang lain, meskipun orang lain
itu adalah ayahnya sendiri."
"Aku tahu, Argapati. Aku tahu betapa kau mencoba mendidik
Sidanti untuk percaya kepada diri sendiri tanpa menggantungkan
diri kepada orang lain. Tetapi kini masalahnya berbeda. Bukan
sekedar harga diri. Bukan pula masalah yang dapat dibicarakan
dengan wajar. Tetapi masalahnya adalah kedengkian, dan iri
hati. Nah, dapatkah kau mempersoalkan kedengkian dan iri hati"
Tidak Argapati. Dengki dan iri hati tidak akan dapat dibicarakan.
Tidak dapat dipersoalkan. Apalagi kedengkian dan iri hati itu
telah diungkapkannya dalam tindakan yang paling menyakitkan
hati. Tindakan yang tidak akan dapat dilupakan oleh Sidanti
sepanjang umurnya." Argapati tidak segera menjawab. Sejenak ia terdiam, seolaholah
sedang merenungkan kata-kata Ki Tambak Wedi itu.
Dicobanya untuk mengerti dan mempercayainya. Tetapi setiap
kali ia merasakan sesuatu yang menggelepar di dalam hatinya.
Alangkah sulitnya bagi Argapati untuk dapat menelan
keterangan itu. Argapati itu mengangguk, ketika ia mendengar Ki Tambak
Wedi bertanya, "Apakah kau ragu-ragu, Argapati?"
"Ya, aku memang ragu-ragu," jawab Argapati.
"Kau tidak mempercayai aku?"
"Bukan begitu Ki Tambak Wedi," sahut Argapati, "aku tidak
meragukan kau. Tetapi aku meragukan tanggapan Sidanti atas
kedua orang atasannya itu. Mungkin sikap Widura dan Untara
yang keras, diterimanya dengan salah paham. Ia menyangka,
bahwa Widura dan Untara menyimpan kedengkian dan iri hati di
dalam hati mereka." "Oh," Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya,
"bukan hanya kau yang meragukan hal itu. Semula aku pun
meragukannya. Tetapi akhirnya aku yakin, bahwa keduanya
memang dengki dan iri hati."
"Ya," akhirnya Argapati mengangguk-anggukkan kepalahnya,
"jalan yang paling baik bagiku adalah menemui Widura dan
Untara. Aku bukan anak-anak lagi seperti Sidanti yang
menganggap perkelahian adalah jalan yang paling baik untuk
menyelesaikan persoalan. Aku akan mengambil jalan yang
paling baik bagi semua."
"Kalau kau mendengarkan nasehatku, Argapati," berkata Ki
Tambak Wedi, "jangan merendahkan dirimu. Kau hanya akan
mendapat penghinaan yang akan menambah parah luka di hati."
"Apakah mereka sudah gila?" bertanya Argapati dengan serta
merta. "Mungkin istilah itulah yang paling tepat dipergunakan untuk
menyebut kedua orang itu, Widura dan Untara."
"Ah," Argapati berdesah. Sejenak ia terdiam. Namun
kemudian ia bertanya, "Bagaimana yang baik menurut
pertimbanganmu?" "Argapati," berkata Ki Tambak Wedi dalam nada yang berat,
"sebenarnya aku tidak akan sampai hati mengatakan kepadamu.
Tetapi setelah aku pertimbangkan baik-baik, maka lebih baik kau
mengerti setiap persoalan dengan baik daripada sekedar
permukaannya saja. Untuk seterusnya, aku dan Sidanti tidak
akan dapat kembali lagi ke padepokan Tambak Wedi."
"He," Argapati mengerutkan keningnya. Keterangan itu telah
mengejutkannya, "Kenapa?"
"Tambak Wedi telah pecah. Hancur lumat menjadi abu."
Argapati justru terdiam. Tetapi keningnya menjadi semakin
berkerut merut. "Widura dan Untara ternyata telah menyusul Sidanti ke
Tambak Wedi." Tampaklah sesuatu memancar dari sepasang mata Argapati
yang dalam. Sejenak dipandangnya wajah Ki Tambak Wedi
dengan tajamnya. Namun kemudian dilemparkan pandangan
matanya itu ke arah nyala pelita di dinding. Begitu tajamnya ia
memandang api yang sedang menggapagapai itu. Tanpa
berkedip. Dada Ki Tambak Wedi menjadi berdebar-debar. Ia tahu benar
kekuatan yang tersimpan di dalam diri orang itu. Di dalam diri Ki
Argapati. Seperti kelebihan yang tersimpan di dalam dirinya,
yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan, sehingga orang
menyebut, bahwa Ki Tambak Wedi mampu menangkap angin.
Seperti orang mengatakan, bahwa perguruan Kedung Jati
mempunyai rangkapan nyawa di dalam diri setiap muridnya.
Maka hampir setiap mulut di Menoreh mengatakan, bahwa
dengan sorot matanya, Argapati yang bergelar Ki Gede
Menoreh, itu mampu membakar setiap benda yang
dikehendakinya, sehingga menjadi abu.
Debar di dada KiTambak Wedi itu menjadi semakin keras,
ketika tiba-tiba ia melihat api pelita itu terguncang dengan
kerasnya, seolah-olah dihembus oleh angin yang bertiup dari
arah sepasang mata Ki Gede Menoreh. Tetapi sejenak
kemudian nyala pelita itu telah tegak kembali, seolah-olah
menari dengan riangnya. Ki Tambak Wedi tersedar, ketika ia mendengar Ki Gede
Menoreh itu menarik nafas dalam-dalam. Seolah-olah sedang
menikmati hasil pemusatan pikiran, dengan sengaja
mengguncang nyala api pelita itu dengan pandangan matanya.
"Bukan main," berkata Ki Tambak Wedi di dalam hatinya,
"begitu besar perbawa pada dirinya, sehingga aku telah
dicemaskan oleh permainannya. Hem," Ki Tambak Wedlah
yang kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia sekali lagi
memandang api pelita itu, maka dilihatnya sekali lagi api pelita
itu berguncang, meskipun Ki Gede Menoreh tidak sedang
memandanginya. Terasa, angin yang lembut mengalir mengusap
kening Ki Tambak Wedi yang basah oleh keringat.
"Setan alas," Ki Tambak Wedi itu mengumpat di dalam
hatinya. "Aku tidak dapat membedakan lagi, apakah yang telah
mengguncangkan nyala api itu. Tetapi tadi aku tidak merasakan
usapan angin yang dapat menggerakkan nyala pelita itu."
Sejenak kemudian, keduanya masih saling berdiam diri.
Ketegangan terasa semakin memuncak. Dan sejenak kemudian,
terdengar suara Argapati dalam nada yang berat dan dalam,
"Apakah keadaan Sidanti sudah sedemikian parahnya, sehingga
kau harus mengorbankan padepokanmu?"
Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya, "Ya. Aku telah
mengorbankannya untuk mencoba mempertahankan Sidanti.
Untunglah, bahwa Sidanti berhasil melepaskan dirinya. Kalau
tidak, ia pasti akan dijadikan pangewan-ewan. Ia akan dihinakan
jauh lebih menyakitkan hati daripada sisa-sisa orang Jipang
yang dapat ditangkap oleh Widura dan Untara."
Sekali lagi Argapati terhenyak dalam kediamannya. Sekali ia
merenungkan kata-kata Ki Tambak Wedi. Namun terasa
ketegangan di dalam ruangan itu pun semakin bertambahtambah.
"Argapati," berkata Ki Tambak Wedi kemudian, "aku telah
melakukan segala macam usaha. Usahaku yang terakhir adalah
menyelamatkan Sidanti. Seterusnya aku hanya dapat mengadu
kepadamu. Anak itu memerlukan perlindungamu."
Wajah Argapati menjadi semakin tegang. Terbayanglah suatu
peristiwa yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Peristiwa
yang telah menyeret Sidanti ke dalam suatu persoalan yang
sulit. Yang mau tidak mau pasti akan menyangkut namanya,
kecuali nama Ki Tambak Wedi.
Namun bagaimanapun juga, Argapati tidak dapat mengusir
kebimbangan yang mencengkam jantungnya. Dengan demikian,
maka terjadilah suatu pergolakan di dalam dadanya. Sentuhan
terhadap Sidanti yang setiap orang menyebutnya putera Kepala
Tanah Perdikan Menoreh adalah sentuhan terhadapnya. Tetapi
apakah benar hal itu terjadi karena kedengkian dan iri hati"
Bukan hanya sekedar karena salah paham yang berlarut-larut"
Argapati menarik nafas dalam-dalam, ketika ia mendengar Ki
Tambak Wedi berkata, "Kau harus mengambil sikap, Argapati.
Apa pun yang telah terjadi di antara kita, tetapi kini nama
Menoreh sedang mendapat perhatian dikalangan Wira Tamtama
Pajang. Bukan karena kesalahan kita, bukan pula karena
kesalahan Sidanti. Tetapi sayang, bahwa justru orang-orang
seperti Widura dan Untara-lah yang mendapat kekuasaan di
Sangkal Putung dan daerah di sekitar Gunung Merapi."
"Hem," Argapati berdesah, "kenapa persoalan itu telah
menjadi sedemikian jauh" Dan baru setelah semuanya tidak
dapat dicegah kau datang kepadaku, memberitahukannya"
Sekarang aku sudah tersudut ke dalam suatu keadaan yang
paling parah." "Aku minta maaf, Argapati," desis Ki Tambak Wedi, "aku pun
sama sekali tidak menyangka, bahwa hal itu akan terjadi. Tetapi
semuanya telah terlanjur. Yang ada sekarang yang harus
diselesaikan, adalah keadaan kita kini."
"Lalu apakah yang dapat aku lakukan untuk
menyelesaikannya?" "Aku hanya melihat satu jalan."
"Jalan yang mana?"
"Argapati. Kita sudah terlanjur berada di tengah-tengah
penyeberangan tanpa kita kehendaki. Kembali kita sudah
terlanjur basah. Karena itu, maka biarlah kita berjalan terus. Apa
pun yang terjadi." Argapati mengerutkan keningnya, "Maksudmu?"
"Kita tebus dengan darah."
Kerut merut di kening Argapati menjadi semakin dalam,
"Maksudmu kita menggerakkan pasukan. Atau dengan berterusterang
kita memberontak terhadap Pajang."
Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab. Dipandanginya
wajah Argapati. Tetapi ia tidak dapat menangkap kesan yang
meyakinkan. Karena itu, dengan berhathati ia berkata, "Bukan
maksud kita. Tetapi kita di sudutkan ke dalam keadaan itu."
"Ki Tambak Wedi," berkata Argapati datar, "Pajang kini
sedang mencoba berdiri tegak setelah saling memukul di antara
keluarga sendiri. Bahkan sampai kini, menurut pendengaranku,
masih saja tumbuh keributan di mana-mana. Beberapa orang
bupati tidak senang menerima Karebet di atas tahta, meskipun
mereka masing-masing menyimpan pamrih pula. Nah, apakah
kita juga akan menambah kekisruhan itu?"
Ki Tambak Wedi mengangkat alisnya. Sejenak ia terdiam.
Tetapi kemudian ia menjawab, "Aku berpikir sebaliknya,
Argapati." "Maksudmu?" "Pajang lah yang selalu membuat keributan di mana-mana.
Pajang lah yang terlampau tamak. Kalau kau tahu sedikit saja
tentang masa-masa muda anak yang bernama Karebet itu, maka
kau akan segera mengerti, apakah yang sebenarnya sedang
dilakukannya kini. Ternyata para perwira Wira Tamtama itu pun
telah mewarisi sikap dan sifat-sifat itu. Nah, apakah kau dapat
mengerti?" Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Ya,
aku mengerti. Bukankah maksudmu mumpung Pajang belum


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tegak benar, kita mempergunakan kesempatan ini?"
"Begitulah." "Ki Tambak Wedi," berkata Argapati, "persoalan itu adalah
persoalan hidup dan mati. Jangan menyeret tanah perdikan ini
ke dalam keadaan yang tidak dapat kita yakini. Apabila
masalahnya demikian, maka kita memerlukan waktu untuk
memikirkannya." "Apakah kita harus menunggu sampai pasukan Pajang
menyeberangi hutan Tambak Baya, Mentaok, dan Kali Praga."
"Ah, jangan seperti anak kecil, Ki Tambak Wedi. Kau tahu,
bahwa untuk melakukannya, Pajang pun memerlukan waktu.
Menyeberang hutan-hutan itu dan Kali Praga dalam gelar
perang, bukan mainan kanak-kanak. Kau pun pasti tahu, bahwa
orang-orang Pajang tidak sebodoh itu, kecuali mereka akan
membunuh diri." "Tetapi apakah kau tidak akan berbuat sesuatu?"
"Aku akan memilih jalan yang paling baik. Aku akan menemui
langsung Ki Gede Pemanahan. Panglima Wira Tamtama itu. Ia
harus menyadari, bahwa di dalam pasukannya ada orang-orang
seperti Widura dan Untara."
"Oh," Ki Tambak Wedlah yang kemudian berdesah, "aku
lupa mengatakan. Bahkan Pemanahan telah datang pula ke
Sangkal Putung." "He," Argapati terkejut.
"Ya. Ia telah datang ke Sangkal Putung. Dan Panglima yang
gila itu membenarkan sikap Widura dan Untara untuk memukul
Tambak Wedi." Wajah Argapati menjadi semakin tegang mendengar
keterangan itu. Tanpa sesadarnya ia berkata, "Jadi apa yang
dilakukan Untara dan Widura itu sudah setahu Pemanahan?"
*** "Ya." Argapati terdiam sejenak. Tiba-tiba kepalanya menunduk
dalam-dalam. Ki Tambak Wedi menyadari, betapa dada orang
yang bertubuh tinggi kekar berdada bidang itu sedang dihantam
oleh gelora perasaan yang luar biasa. Namun ia mengharap,
agar perkembangan persoalan di dalam diri Argapati itu
mengarah kepada rencananya. Mudah-mudahan Argapati
menjadi marah dan mendendam. Meskipun tanah ini hanya
sekedar tanah perdikan, bukan daerah kabupaten atau
kadipaten yang besar, namun justru tanah ini tanah perdikan,
maka Menoreh menjadi kuat. Menoreh tidak berada di dalam
pengawasan yang terlampau ketat dari Pajang seperti daerahdaerah
kadipaten dan kabupaten. Sekali lagi kedua orang tua itu terlontar ke dalam kesepian
yang tegang. Argapati masih saja menundukkan kepalanya. Di
kepala itu berkecamuk berbagai macam persoalan yang
membuatnya menjadi pening. Kalau Ki Gede Pemanahan telah
membenarkan sikap Widura dan Untara, maka mau tidak mau
masalahnya pasti akan menjadi parah bagi Menoreh. Kalau Ki
Gede Pemanahan telah membenarkan sikap Untara, dan
bahkan telah datang pula ke Sangkal Putung, itu adalah suatu
sikap yang pasti tidak dapat dihindarinya lagi.
"Mungkin benar kata Ki Tambak Wedi," berkata Argapati di
dalam hatinya, "bahwa sebentar lagi pasukan Pajang akan
menyeberangi Alas Mentaok dan Kali Praga. Bahwa sebentar
lagi sepasukan prajurit segelar sepapan dalam gelar perang
yang sempurna akan berbaris memasuki tanah perdikan ini.
Apakah aku harus menyambut prajurit Pajang itu juga dalam
gelar perang untuk mempertahankan Sidanti dan Ki Tambak
Wedi?" Keragu-raguan yang dahsyat telah berkecamuk di dalam hati
Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Berbagai pertimbangan
dan perhitungan bersimpang-siur di dalam kepalanya. Namun
bagaimanapun juga, ia masih belum berhasil mengusir
kebimbangannya. Masih ada sepercik anggapan, bahwa yang
terjadi adalah semata-mata sebuah salah paham.
Seandainya Untara dan Widura keblinger karena mereka
melihat persoalannya itu dari sudut kepentingan mereka, dan
kepentingan anak muda yang bernama Agung Sedayu, adik
Untara dan kemanakan Widura itu, maka apakah Ki Gede
Pemanahan dapat juga dengan mudahnya keblinger" Apakah Ki
Gede Pemanahan dan Ki Tambak Wedi sama sekali tidak dapat
menemukan titik-titik persamaan sikap untuk menyelesaikan
masalah itu" Apakah keduanya kini sudah menjadi pikun dan
tidak mampu lagi melihat jalan yang sebaik-baiknya mereka
tempuh untuk menyelesaikan peristiwa ini"
Angin malam yang basah bertiup semakin kencang menyusup
dari lubang pintu yang tidak terlampau rapat ditutup. Sentuhan di
wajah-wajah mereka telah membangunkan mereka dari buaian
angan-angan. Argapati yang kemudian mengangkat wajahnya berdesis, "Ki
Tambak Wedi. Apakah dunia sekarang ini sudah demikian
gelapnya, sehingga orang-orang seperti Ki Gede Pemanahan,
dan Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat melihat lagi jalan lain
yang dapat ditempuh kecuali kekerasan" Aku tidak dapat
mengerti, bahwa untuk persoalan yang kecil itu, maka Menoreh
harus di sudutkan ke dalam suatu persiapan untuk menghadapi
perang." Ki Tambak Wedi menggeleng-gelengkan kepalanya.
Jawabnya, "Aku tidak tahu, pertimbangan apakah yang telah
mendorong Pemanahan untuk membenarkan sikap Widura dan
Untara. Mungkin Panglima itu telah dimakan fitnah, mungkin pula
karena nafsu berperang yang berkobar-kobar di dalam dadanya.
Setelah Jipang tidak mampu lagi membuat perlawanan yang
berarti, maka Pemanahan dengan sengaja telah membuat lawan
baru, supaya ia tidak kehilangan kedudukannya sebagai orang
yang terpenting di Pajang. Apabila peperangan masih
berkecamuk terus, maka Panglima Wira Tamtama-lah yang
seolah-olah memegang tampuk pimpinan dalam pemerintahan.
Patih Manca Negara hampir-hampir sudah tidak berarti lagi.
Kekuasaan Pajang di dalam masa perang, berada seluruhnya di
tangan Pemanahan. Sedang apabila perang berakhir, maka
Patih Manca Negara pasti akan segera tampil sebagai seorang
ahli di dalam bidangnya."
Keterangan itu memang masuk akal. Tetapi adalah licik sekali
apabila perhitungan Ki Tambak Wedi itu benar. Sedang menurut
pengenalannya atas Ki Gede Pemanahan, maka hal itu tidak
mungkin dilakukannya. Dalam kebimbangan itu, Argapati menarik nafas dalamdalam.
Tanpa dikehendakinya sendiri, maka terpandanglah
olehnya wajah Ki Tambak Wedi yang berkerut merut. Wajah
yang telah lama dikenalnya. Hidung yang mirip dengan paruh
burung betet, mata yang tajam seolah-olah memancarkan
perasaan yang aneh tidak teraba.
Tiba-tiba terasa desir yang tajam tergores di dalam hati
Argapati. Ia mengenal Ki Tambak Wedi tidak hanya baru sehari
dua hari yang lalu. Ia mengenal Tambak Wedi sejak bertahuntahun.
Jauh lebih lama dari umur Sidanti itu sendiri. Karena itu,
maka ia telah banyak sekali mengenal watak dan tabiatnya.
Maka keragu-raguan di dalam hati Kepala Tanah Perdikan
Menoreh itu justru menjadi semakin tebal. Pengenalannya atas
Ki Tambak Wedi sama sekali tidak mendorongnya untuk
mempercayai keterangannya, tetapi justru sebaliknya.
Karena itu, maka terdengar Ki Gede Menoreh itu bergumam,
"Ki Tambak Wedi. Kalau demikian, maka aku harus segera
bertindak. Aku harus mencegah keadaan ini menjadi semakin
berlarut-larut." "Ya, ya," sahut Ki Tambak Wedi. "Kau memang harus segera
berbuat sesuatu, supaya kau tidak dilanda banjir sedang kau
tertidur di tengah-tengah sungai."
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia
masih ingin mendengar keinginan Ki Tambak Wedi selanjutnya.
Maka katanya, "Kalau demikian, apakah yang pertama-tama
harus aku lakukan?" "Kau harus menyiapkan dirimu, Argapati."
"Aku tahu maksudmu. Tetapi pertimbanganmu lebih jauh?"
Ki Tambak Wedi pun menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi
kemudian dikatakannya juga, apa yang telah tergores di dalam
dadanya, "Argapati. Kau akan dapat menguasai suatu daerah
yang luas di sebelah Selatan."
"Itu aku tahu."
"Kemudian kau akan dapat memecah Pajang. Kau akan
merebut seluruh kekuasaan yang kini berada di tangan Karebet
itu." "Tak ada orang yang menerima aku di sana. Aku tidak akan
mempunyai akar di dalam pemerintahan. Apalagi daerah Pesisir
Lor, Bang Wetan, dan Bang Kulon."
"Kau keliru. Sebagian dari mereka tidak lagi berpegangan
pada tujuan hidup yang mendasari pemerintahan mereka atas
daerah-daerah itu. Asal mereka masih tetap berkuasa dan dapat
menyalah-gunakan kekuasaan mereka, maka mereka tidak akan
berbuat apa-apa." Argapati mengerutkan alisnya. Agaknya Ki Tambak Wedi
sudah membuat pertimbangan-pertimbangan yang jauh. Orang
tua itu agaknya telah memperhitungkan setiap kemungkinan
yang akan terjadi. Ki Tambak Wedi memang mempunyai
wawasan yang tajam. Perhitungannya tentang para Adipati itu
memang masuk akal. Ki Gede Menoreh pun telah mendengar
pula, bahwa ada di antara mereka, para Adipati sudah tidak
berpijak lagi pada kepentingan daerah mereka masing-masing.
Para pemimpin pemerintahan dan para Senapati yang bertugas
di daerah-daerah pun agaknya telah dijalari oleh penyakit yang
serupa. Ada di antara mereka yang lebih senang melihat
kepentingan sendiri daripada kepentingan daerah dan tugas
masing-masing. "Hem," gumam Argapati di dalam hatinya, "mengherankan
bagiku. Kenapa Ki Tambak Wedi sudah membuat perhitungan
sedemikian jauh sehingga ia yakin, bahwa setiap gerakan
pasukan yang dapat memecah Pajang, akan dapat menguasai
seluruh daerahnya" Tetapi seandainya demikian, apakah yang
dapat aku lakukan?" Dalam kediamannya, Ki Gede Menoreh mendengar Ki
Tambak Wedi berkata, "Apakah kau sependapat, Argapati?"
"Ki Tambak Wedi," jawab Argapati perlahan-lahan,
"seandainya aku berhasil menguasai Pajang, lalu apakah
gunanya bagiku" Para adipati hanya mementingkan diri mereka
sendiri. Mereka sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Pajang.
Pajang tidak akan lebih dari sebuah nama yang kosong.
Wilayahnya tidak lebih dari kota Pajang itu sendiri."
"Perlahan-lahan Argapati. Perlahan-lahan, kau akan dapat
menguasai mereka." "Tidak, Ki Tambak Wedi," tiba-tiba Argapati menggeleng, "aku
tidak akan dapat menguasai mereka. Sebab pasti akan tumbuh
orang lain yang mendendamku dan melakukan perbuatan yang
sama. Merebut Pajang. Kalau ia mempunyai kekuatan yang lebih
besar dari kekuatanku, maka peristiwa yang baru saja terjadi
akan terulang. Terulang dan terulang kembali. Mereka yang
merasa mempunyai kekuatan akan berbuat serupa. Para adipati
dan senapati itu tidak akan berbuat apa-apa selain mengakui
setiap orang yang sedang menguasai sekedar kota Pajang. Aku
tidak ingin melihat hal yang serupa itu terjadi, Ki Tambak Wedi.
Tidak." Tampaklah wajah Ki Tambak Wedi menjadi merah. Sebersit
goncangan perasaan telah memanjat sampai ke wajahnya.
Jawaban Argapati telah menggetarkan jantungnya, sehingga
dengan serta merta ia berkata, "Lalu apakah yang akan kau
lakukan" Menghadap Ki Gede Pemanahan, Panglima yang
tamak itu untuk minta belas kasihan?"
Terasa sesuatu berdesir di dada Argapati. Meskipun ia tidak
segera menjawab, tetapi pandangan matanya menyorotkan
perasaannya yang berguncang. Berbagai pertimbangan telah
bergolak di dalam dirinya. Pertimbangan masa lampau,
pengenalannya atas Ki Tambak Wedi, Sidanti, Menoreh,
Pemanahan, dan semuanya. Terasa seolah-olah dunia di
sekitarnya berputar mengelilinginya dengan segala macam
persoalan. Tetapi yang paling parah menggores jantungnya
adalah persoalannya sendiri. Persoalan yang dihadapkan
kepadanya oleh Ki Tambak Wedi. Dengan melontarkan Sidanti
sebagai pokok persoalan, ia di hadapkan pada pilihan yang
pahit. Argapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia
bergumam, "Apa pun yang kau katakan Ki Tambak Wedi, tetapi
kau akan memilih jalan itu. Aku akan menemui Ki Gede
Pemanahan. Kalau aku tidak dapat memecahkan masalahnya,
maka apa boleh buat. Mungkin aku menerima pendapatmu.
Mungkin aku akan memukul tanda perang dengan tanganku
sendiri. Aku lah yang akan berdiri sebagai senapati tertinggi,
yang akan berdiri menjadi paruh gelar pasukanku. Mudahmudahan
di dalam peperangan itu pun, aku akan bertemu lagi
dengan Ki Gede Pemanahan, atau Adipati Pajang sendiri."
Debar di dada Ki Tambak Wedi menjadi semakin keras
berdentangan memukul dinding jantungnya. Dengan nada yang
tinggi ia berkata, "Kalau aku Argapati, maka aku tidak akan mau
merendahkan diri seperti itu. Tidak ada lagi pembicaraan yang
dapat menolong keadaan. Aku sudah bicara. Bicara sampai
bibirku hampir terlepas dari mulutku. Tetapi yang aku terima
hanya penghinaan. Penghinaan atas anakmu, Sidanti, dan aku,
gurunya, juga kau, ayahnya." Ki Tambak Wedi berhenti sejenak,
lalu, "He, apakah kau tidak memperhitungkan, bahwa
kedengkian itu tidak saja datang dari Widura dan Untara saja"
Tetapi juga dari Ki Gede Pemanahan sendiri" Bukankah kau
pernah mendengar, bahwa Pemanahan bertempur melawan
Adipati Jipang bukan karena kesetiaannya kepada Pajang dan
kepada Karebet" Tidak. Sama sekali tidak. Anak Sela yang
menurut ceritera mampu menangkap petir itu, bertempur karena
janji yang diterimanya. Ia akan mendapat Tanah Mentaok yang
kini masih berwujud hutan belukar. Ha, apakah kau
mempertimbangkannya pula, bahwa Menoreh akan dapat
menjadi penghalang berkembangnya hutan itu untuk menjadi
tempat yang ramai" Argapati, dengarlah kata-kataku. Semuanya
terjadi karena pamrih. Kraton Pajang pun kini sudah menjadi
ajang memperebutkan pamrih pribadi. Adipati Adiwijaya,
berusaha keras membunuh Arya Penangsang, karena
perempuan yang diperlihatkan kepadanya oleh Ratu Kalinyamat
yang sedang bertapa tanpa mengenakan pakaian sama sekali
itu. Pemanahan dan Penjawi, karena Tanah Mentaok dan Tanah
Pati. Nah, apalagi" Apakah yang kau ganduli dengan
kesetiaanmu terhadap Pajang" Bukankah kau sampai saat ini
belum menyatakan diri dengan resmi, di mana kau berdiri


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepeninggal Demak?" Argapati tidak segera menjawab. Tetapi darahnya serasa
semakin cepat mengalir. Dalam pada itu, perputaran waktu di
dalam dadanya berjalan semakin cepat. Masa demi masa.
Waktu demi waktu, hilir mudik berurutan. Ketika ia sampai pada
masa kini, maka ia di hadapkan pada suatu pilihan yang sulit. Ia
harus berbuat sesuatu untuk Sidanti. Ya, untuk Sidanti. Menurut
Ki Tambak Wedi, tidak ada jalan yang lebih baik dari
peperangan. Mempertaruhkan Tanah Perdikan Menoreh yang
selama ini dibinanya. Mengorbankan beratus-ratus bahkan
beribu-ribu orang untuk Sidanti. Sidanti. Nama itu semakin keras
terngiang di telinganya. Namun semakin keras nama itu
mendengung, maka semakin deraslah arus darah di
pembuluhnya. Dan tiba-tiba saja, Argapati itu berkata lantang,
"Tidak. Tidak."
Kata-kata itu telah benar-benar menghantam dada Ki Tambak
Wedi seperti runtuhnya batu-batu di atas bukit Menoreh
menimpa dirinya. Sejenak ia mematung, namun sorot matanya
seolah-olah menyala memandang Ki Gede Menoreh yang kini
menengadahkan dadanya. Sejenak ketegangan di ruang itu menjadi semakin tajam.
Dalam kediaman mereka, terasa bahwa dada masing-masing
telah dipepati oleh desakan perasaan yang seolah-olah sudah
tidak terbendung lagi. Di luar, angin malam yang sejuk berhembus mengguncang
dedaunan. Suara gemersik sentuhan ranting-ranting yang
berderak-derak, seakan-akan bisikan-bisikan yang mendebarkan
jantung terdengar dari alam lain. Semakin lama semakin keras.
Sedang nyala pelita yang redup di regol halaman dan di
pendapa berguncang pula, menggeliat, seperti di hembus hantu.
Beberapa orang Menoreh telah duduk-duduk di regol
halaman. Satu dua orang berada di tangga pendapa. Mereka
ingin bertemu dengan Sidanti dan Argajaya, yang menurut
pendengaran mereka, baru saja melakukan perjalanan yang
panjang, jauh, dan penuh dengan bermacam-macam
pengalaman. Pengalaman-pengalaman yang aneh, yang
mencemaskan, yang mendebarkan tetapi juga yang
mentertawakan. Dan mereka itu ingin mendengarnya. Apalagi
mereka, terutama anak-anak muda yang sebaya dengan Sidanti,
kawan bermain di masa kanak-kanak, setelah sekian lama tidak
bertemu, mereka ingin melihat, bagaimanakah keadaan anak
muda itu kini. Anak muda kebanggaan Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi kesempatan itu tidak kunjung datang. Mereka melihat
bahwa pintu masuk ke dalam pringgitan belum tertutup rapat.
Tetapi mereka tidak melihat bahwa di dalam pringgitan itu duduk
beberapa orang yang sedang bercakap-cakap, atau pintu
pringgitan itu terbuka dan seseorang mempersilahkan mereka
masuk. "Mungkin Sidanti masih terlampau lelah," desis seseorang
yang duduk di atas tangga pendapa.
"Mungkin." Tetapi mereka terkejut, ketika mereka mendengar suara yang
agak keras meloncat dari pringgitan.Tetapi suara itu tidak begitu
jelas bagi mereka. Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi mereka tidak
dapat menerka, apa yang telah terjadi. Mereka tidak dapat
menduga sama sekali, bahwa di pringgitan itu sedang
berlangsung suatu pembicaraan yang tegang.
Dalam pada itu, Sidanti dan Argajaya pun hampir-hampir tidak
sabar menunggu kedatangan Ki Tambak Wedi. Mereka hampir
tidak sabar lagi duduk-duduk dengan tegangnya di dalam bilik
mereka. Bilik yang terasa terlampau panas dan sesak. Tetapi
mereka tidak berani melanggar pesan Ki Tambak Wedi, supaya
rencana mereka tidak rusak karenanya. Mereka hanya dapat
mengharap, mudah-mudahan Argapati dapat mengerti dan
melakukan seperti yang mereka kehendaki.
Di pringgitan, Argapati dan Ki Tambak Wedi, masih saja
duduk berdiam diri. Keringat yang dingin mengalir membasahi
pakaian mereka. Kedua orang tua-tua yang penuh dengan
pengalaman, pengetahuan, dan ketajaman pandangan itu, tibatiba
seolah-olah membeku. Mereka kehilangan pilihan kata-kata
untuk meneruskan pembicaraan yang semakin lama menjadi
semakin tegang. Namun justru karena mereka saling berdiam
diri itu, maka ketegangan pun menjadi semakin memuncak.
Tiba-tiba dalam keheningan yang panas itu, Ki Tambak Wedi
berkata lambat, "Apakah maksudmu sebenarnya Argapati"
Apakah kau akan ingkar dari tanggung jawabmu sebagai
seorang ayah?" Argapati mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Tidak. Bukan
karena aku akan ingkar. Tetapi justru sebaliknya. Aku harus
mengetahui keadaan sebenarnya. Aku harus mengatakan benar
bagi yang benar, dan aku harus mengatakan salah bagi yang
salah menurut keyakinanku. Aku bukan seorang pengecut yang
takut melihat kesalahan melekat di tubuh sendiri. Tetapi aku juga
bukan pengecut untuk mempertahankan kebenaran yang aku
yakini, meskipun harus aku tebus dengan nyawa sekalipun.
Itulah pendirianku. Juga pendirianku atas Sidanti. Kalau Sidanti
bersalah, maka ia memang wajib mendapat peringatan, supaya
kesalahan itu tidak terulang kembali. Tetapi kalau Sidanti benar
seperti katamu, maka Pajang akan menjadi karang abang. Aku
tidak takut seandainya ada seratus Pemanahan, seratus
Penjawi, seratus Adiwijaya, dan kekuatan apa pun yang ada di
belakang mereka." "Aku tahu, Argapati," jawab Ki Tambak Wedi, "jelasnya kau
tidak percaya kepadaku."
"Bukan maksudku."
"Tetapi kau masih memerlukan mendengar keterangan dari
orang lain. Dan orang itu adalah Pemanahan."
"Ya." Terdengar gigi Ki Tambak Wedi gemeretak. Tetapi ia
mendengar pula ketika Argapati berkata, "Kalau kau percaya,
bukan maksudku untuk tidak mempercayaimu. Tetapi aku
menyangka, bahwa telah timbul salah paham. Kalau salah
paham itu dapat diperkecil, maka kemungkinan-kemungkinan
yang lain pun akan dapat ditemukan."
"Tidak. Kau hanya sekedar menutupi ketidak-percayaanmu
kepadaku, Argapati. Kau mungkin masih terpengaruh oleh
pengenalanmu atasku dahulu. Tetapi karena kau sudah
mempercayakan Sidanti kepadaku, seharusnya kau bersikap
lain." "Apakah aku masih harus menjawabnya?"
"Mungkin tidak. Aku semakin yakin, bahwa kau masih
terpengaruh oleh keadaan itu. Kalau demikian, maka apakah
gunanya persetujuan yang telah kita buat, seakan-akan kita
sudah tidak mempunyai persoalan lagi" Tetapi ternyata kau tidak
jujur. Kau tidak memenuhi persetujuan itu sebulat hatimu. Kini
dalam keadaan yang paling sulit yang dialami Sidanti, kau akan
ingkar. Bukankah itu sikap pengecut?"
Wajah Argapati menjadi merah. Dalam cahaya lampu minyak
yang kemerah-merahan, wajah itu seakan-akan membara.
Dengan suara bergetar ia berkata, "Jangan kau sebut-sebut lagi,
Ki Tambak Wedi. Aku sudah mencoba melupakan semuanya
yang telah terjadi. Aku menganggap tidak pernah ada persoalan
di antara kita." Wajah Ki Tambak Wedi menjadi semakin tegang. Ditatapnya
mata Argapati seolah-olah ingin melihat langsung ke dalam
kepalanya. Tetapi kini Argapati tidak menundukkan kepalanya.
Matanya yang tajam memancar seperti mata seekor harimau
di dalam gelap. Kumis kebiru-biruan.
"Setan," Ki Tambak Wedi mengumpat di dalam hatinya.
Meskipun matanya sendiri setajam mata burung hantu, tetapi
ia terpaksa berpaling. Tetapi ia tidak mau menunjukkan
kekecilan hatinya. Maka katanya, "Kau benar-benar licik
Argapati." "Aku tidak bermaksud tidak baik," sahut Argapati. "Aku
bermaksud untuk menempatkan persoalannya di tempat yang
sewajarnya. Aku tidak ingin mengajari Sidanti mengambil
keputusan yang tergesa-gesa dalam menanggapi persoalanTiraikasih
Website - http://kangzusi.com/
persoalan yang penting, supaya ia tidak terperosok ke dalam
kesalahan yang berbahaya."
"Ah," potong Ki Tambak Wedi, "kau dapat saja menyusun
seribu macam alasan."
"Ki Tambak Wedi," berkata Argapati kemudian, "aku adalah
Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Aku bukan sekedar Argapati
seorang diri, atau setidak-tidaknya bersama Sidanti. Tetapi
setiap keputusan yang aku ambil, adalah keputusan yang
mengikat seluruh tanah perdikan ini."
"Aku sudah tahu. Itulah yang aku kehendaki. Seluruh tanah ini
bangkit dari tidur yang terlampau nyenyak. Hari depanmu dan
hari depan tanah ini akan bertambah baik."
"Atau sebaliknya."
"Kau memang pengecut."
"Tidak," tiba-tiba suara Argapati menjadi keras, "aku tidak
akan melakukannya tanpa menilai semua persoalan sebaikbaiknya.
Aku harus tahu benar, apakah yang sedang aku hadapi.
Tidak membabi buta."
"Katakan, tegasnya kau tidak percaya kepadaku."
"Ki Tambak Wedi, jangan memaksa aku berkata demikian."
"Kenapa kau takut berkata demikian. Katakanlah. Kau tidak
percaya kepadaku." Argapati terdiam. Mulutnya terkatup rapat-rapat.
"Putuskan sekarang. Kau mau menggerakkan pasukanmu
untuk memukul Sangkal Putung, dan kemudian Pajang, untuk
menangkap atau membunuh sama sekali Widura dan Untara,
kemudian merampas Sekar Mirah untuk anakmu, dan yang
terakhir membunuh Adiwijaya atau tidak."
Sebuah gelora yang dahsyat melanda dada Argapati. Kini ia
didesak ke dalam pilihan yang pahit. Tetapi sikap Ki Tambak
Wedi benar-benar tidak menyenangkannya, sehingga
pertimbangannya menjadi kabur. Ia didesak oleh harga diri,
sebagai seorang ayah dan sebagai seorang Kepala Tanah
Perdikan. Ia adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh, dan ia
adalah ayah Sidanti. Karena itu, maka ia Argapatlah yang
berhak menentukan segala keputusan atas pertimbangannya.
Maka setelah terdiam sejenak, terdengarlah jawabnya dan
tegas, "Tidak. Aku tidak akan tergesa-gesa mengambil
keputusan." Terdengar gigi Ki Tambak Wedi gemeretak. Ia sudah tidak
melihat lagi kemungkinan untuk dapat membujuk Argapati. Ia
kenal tabiat Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Karena itu,
maka harga dirinya pun segera merentul kepermukaan
wajahnya. Dengan kepala tengadah ia berkata, "Baik. Baiklah,
Argapati. Kalau kau ingkar akan kewajibannu, biarlah aku akan
berusaha melepaskan Sidanti dari himpitan perasaan yang akan
membunuhnya perlahan-lahan."
"Aku tidak akan ingkar. Tetapi aku akan berbuat menurut
pertimbanganku." "Tidak perlu. Kau tidak perlu berbuat apa-apa. Akulah yang
akan berbuat sesuatu."
Wajah Argapati menjadi berkerut-merut, "Maksudmu?"
"Selama ini Sidanti ada padaku. Ada dalam asuhanku. Akulah
yang paling mengetahui apa yang terjadi atasnya dan apakah
yang dirasakannya. Sidanti harus mendapat pelepasan. Akulah
yang akan melakukannya. Ia tidak perlu berada di rumah ini."
"Ki Tambak Wedi, apakah kau sudah gila. Biarlah Sidanti di
sini. Aku adalah ayahnya. Akulah yang berhak menentukan
sikap atasnya dan memberikan petunjuk kepadanya menurut
seleraku." "Tidak. Akulah yang berhak atasnya. Ia akan aku bawa pergi.
Pergi dari tempat pengecut ini."
"Tidak. Sudah aku katakan. Biarlah aku mengurusnya dan
menentukan keputusan."
"Kau tidak punya hak apa-apa, Argapati. Kau kini sudah tidak
lebih dari seorang tua yang sudah mati di dalam hidupmu. Kau
sudah tidak mempunyai cita-cita lagi, sudah tidak mempunyai
gairah perjuangan, tidak mempunyai harapan yang lebih baik di
hari mendatang, meskipun untuk kepentingan anakmu. Tidak,
kau sudah mati. Bagaimana Sidanti akan dapat berkembang di
tangan orang mati." "Tambak Wedi." Tetapi Ki Tambak Wedi sudah tidak mempedulikannya.
Dengan suara yang dalam, yang seolah-olah bergulung saja di
dalam perutnya ia berkata, "Aku akan pergi. Sidanti akan aku
bawa. Ia sudah cukup dewasa. Aku tidak perlu lagi menipunya
dengan segala macam ceritera cengeng itu."
"Tambak Wedi. Kau benar-benar sudah gila."
Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Tetapi ia kemudian
melangkah meninggalkan Argapati.
Akhirnya Argapati pun berdiri pula. Diikutinya Ki Tambak Wedi
keluar dari pringgitan. Tetapi Argapati itu menjadi bimbang.
Apakah yang sebaiknya dilakukan. Di halaman itu, dilihatnya
beberapa orang duduk sambil berbicara di antara mereka. Ketika
mereka melihat Ki Tambak Wedi keluar dengan tergesa-gesa,
maka mereka pun menjadi terkejut karenanya.
"Kau tinggal di sini, Tambak Wedi, aku masih akan berbicara,"
berkata Argapati. "Tidak ada yang dibicarakan, Argapati," desis Ki Tambak
Wedi. "Semua sudah jelas bagiku."
Dada Argapati bergetar mendengar jawaban Ki Tambak Wedi
itu. Terdengar ia berdesis lambat. Ditahankannya perasaannya
sekuat-kuatnya. Di sekitarnya banyak orang-orang yang
melihatnya. Sehingga karena itu ia harus menahan dirinya.
Seandainya, ya, seandainya hal itu terjadi beberapa puluh
tahun yang lampau. Maka dengan serta merta Ki Tambak Wedi
itu pasti akan diterkamnya. Argapati pasti tidak akan menunggu
sekejap pun lagi. Darahnya sudah cukup mendidih, dan hatinya
sudah cukup membara. Tetapi kini ia berdiri sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan.
Ia berdiri di pendapa, yang di sekitarnya terdapat banyak orang
dari tanah perdikannya. (Gambar halaman 69) "Aku akan pergi, Sidanti akan aku bawa. la sudah cukup
dewasa, Aku tidak perlu lagi menipunya dengan segala macam
cerita cengeng itu!"
"Tambak Wedi. Kau benar-benar sudah gila!"
Ki Tambak Wedi tidak menjawab. Tetapi ia melangkah
meninggalkan Argapati. "Apa kata mereka kalau aku tiba-tiba saja bertempur melawan
Ki Tambak Wedi di rumah ini."


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Terdengar Argapati menggeram. Dan yang diucapkannya
ketika Ki Tambak Wedi semakin jauh, "Tambak Wedi. Apa pun
yang terjadi adalah persoalan kita, persoalan orang tua-tua.
Jangan kau siksa anak-anak itu dengan ceriteramu yang bodoh."
Ki Tambak Wedi yang sudah hampir sampai di gandok,
terhenti sejenak. Ia memutar tubuhnya dan menghadap kepada
Ki Gede Menoreh, "Itu urusanku, Argapati. Kalau kau tidak
senang terserah kepadamu."
"Bukan soalku, senang atau tidak senang. Tetapi justru untuk
kepentingan anak itu sendiri."
"Anak itu sudah cukup dewasa. Aku harus mengajarinya
melihat kenyataan." "Tetapi kenyataan-kenyataan yang gila itu tidak perlu kau
ungkapkan supaya anak itu tidak menjadi gila seperti kau."
"Itu bukan urusanmu."
Betapa Argapati mencoba menahan diri, tetapi terdengar juga
giginya gemeretak. Diusapnya dadanya dengan tangannya,
seakan-akan menahan dada itu supaya tidak meledak.
Beberapa orang yang berada di halaman rumah itu menjadi
terheran-heran. Apakah sebenarnya yang sudah terjadi" Mereka
saling berpandangan dan saling bertanya lewat sorot mata
mereka. Tetapi tidak seorang pun yang berani mengucapkan
pertanyaan yang menggelegak di dalam dada mereka.
Ki Tambak Wedi kemudian dengan tergesa-gesa masuk ke
dalam gandok. Di muka pintu hampir saja ia membentur Sidanti
dan Argajaya yang ingin meloncat keluar, karena mereka
mendengar suara Ki Tambak Wedi yang keras dan suara
Argapati di pendapa. "Apa yang terjadi Guru?" bertanya Sidanti dengan serta
merta, "Apakah terjadi salah paham itu?"
Ki Tambak Wedi melihat kecemasan membayang di wajah
Sidanti dan Argajaya. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam, lalu
katanya, "Ya. Argapati benar-benar telah menjadi gila."
"Oh, lalu?" Sidanti menjadi semakin cemas.
"Kita pergi dari rumah terkutuk ini."
Sidanti menjadi semakin bingung. Sejenak ia terbungkam.
Tetapi sorot rnatanya memancarkan gejolak di dalam dadanya.
"Kita pergi Sidanti. Kita tidak akan tinggal di sini terlampau
lama. Ternyata Argapati sekarang adalah seorang pengecut
besar yang tidak berani berbuat apa pun di luar halaman
rumahnya sendiri." "Guru," potong Sidanti. Bagaimana pun juga, Argapati adalah
ayahnya, sehingga kata-kata itu terasa menyentuh perasaannya.
"Jangan kau hiraukan Argapati. Marilah kita pergi."
"Tetapi," Sidanti tergagap, "rumah ini adalah rumah ayahku."
"Ki Tambak Wedi," berkata Argajaya, "apakah yang dapat kita
lakukan tanpa Kakang Argapati?"
"Persetan dengan Argapati," sahut Ki Tambak Wedi,
kemudian suaranya merendah, "Angger Argajaya. Kau sudah
terlanjur terlibat dalam persoalan Sidanti. Kau tidak akan dapat
menghindar lagi. Siapa pun orangnya yang bernama Argapati
itu, tetapi sudah menjadi kewajiban kita untuk menghindarkan
diri dari penangkapan orang-orang Pajang, yang justru akan
mungkin dilakukan oleh Argapati sendiri. Ternyata setan itu
merasa dirinya lebih berkepentingan dari orang-orang Pajang
sendiri. Ia merasa dirinya berkepentingan untuk mendapatkan
pujian. Seandainya Sidanti bukan anaknya, Argajaya bukan
adiknya, dan aku bukan guru anaknya, maka aku kira kita sudah
tidak akan dapat keluar lagi dari halaman ini."
Terasa dada Sidanti bergetar. Wajahnya menjadi merah dan
giginya gemeretak. Terdengar suaranya parau, "Lalu, apakah
yang akan dilakukan oleh Ayah?"
"Ia tidak mau tersangkut dalam persoalan kita dengan orangorang
Pajang. Ayahmu menjadi ketakutan, sehingga kita tidak
mendapat perlindungan apa pun di sini. Karena itu, marilah kita
pergi. Ada sesuatu yang penting yang wajib kau ketahui Sidanti.
Tetapi aku tidak sempat mengatakannya sekarang."
Sidanti masih mematung. Ia tidak segera dapat
menyesuaikan dirinya dengan keadaan yang di hadapinya.
Terasa sesuatu yang sangat membingungkannya berkecamuk di
dalam benaknya. "Angger Argajaya," berkata Ki Tambak Wedi, "kau sudah tidak
dapat menghindar lagi dari setiap pertanggugan jawab dengan
orang-orang Pajang, seperti kata kakakmu sendiri. Karena itu,
marilah kita berusaha menyelamatkan diri kita sendiri tanpa
mempercayakannya kepada orang lain. Sebenarnya aku dapat
berbuat apa saja untuk kepentinganku sendiri, tetapi aku tidak
sampai hati meninggalkan Sidanti dan kau. Karena itu, apakah
kau tidak berkeberatan, apabila malam ini aku dan Sidanti
bermalam di rumahmu, sementara itu kita dapat menyusun
rencana yang baik untuk melakukan sesuatu."
Keduanya masih terdiam. Mereka didorong ke dalam suatu
persoalan yang tidak terduga-duga sama sekali sebelumnya.
Karena itu, maka mereka menjadi bingung, ragu-ragu dan
cemas. "Kita harus segera memutuskan," berkata Ki Tambak Wedi,
"sebelum pintu regol itu ditutup dan Argapati membunyikan
tanda bahaya untuk menangkap kita."
Sidanti dan Argajaya benar-benar kehilangan kesempatan
untuk membuat pertimbangan-perimbangan. Mereka di
hadapkan pada keadaan yang buram, tanpa mendapatkan
penjelasan-penjelasan. Dan mereka mendengar suara Ki
Tambak Wedi selanjutnya, "Kalau kalian masih kurang jelas
mengenai masalah yang kalian hadapi, nanti aku akan
menjelaskannya. Tetapi kita sekarang benar-benar harus segera
memutuskan dan keluar dari halaman ini."
Ki Tambak Wedi masih melihat Sidanti akan bertanya
kepadanya. Tetapi ia mendahuluinya, "Jangan bertanya sesuatu.
Bawa senjata-senjata kita. Kita akan kehilangan waktu. Marilah
kita keluar dahulu sebelum kita menyesal. Ayahmu lebih cinta
kepada kedudukannya daripada kepada anaknya."
Sidanti dan Argajaya benar-benar tidak mendapat
kesempatan. Mereka melihat Ki Tambak Wedi itu keluar dari
gandok dan berkata pula, "Cepatlah Sidanti dan Angger
Argajaya." Sidanti seakan-akan telah kehilangan kesadarannya. Kakinya
melangkah saja di belakang gurunya. Orang yang selama ini
dianggapnya orang yang paling dekat daripadanya. Meskipun
ayahnya adalah Argapati, tetapi mereka seakan-akan tidak
pernah bertemu, tidak pernah berbincang dan berbicara tentang
berbagai hal. Itu sebabnya, maka meskipun dengan hati yang
kosong, ia mengikuti juga langkah Ki Tambak Wedi.
Di halaman mereka melihat beberapa orang Menoreh berdiri
terheran-heran melihat keadaan yang tidak mereka mengerti
sama sekali. Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang berani
bertanya. Baik kepada Ki Tambak Wedi, maupun kepada
Sidanti, atau Argajaya. Dada Sidanti berdesir, ketika ia melihat Argapati berdiri di
pendapa. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Hampir-hampir ia
berteriak untuk melepaskan pepat di dadanya, atau berteriak
minta penjelasan. Namun yang didengarnya adalah suara
ayahnya, "Ki Tambak Wedi. Ingat, aku tidak menghendaki
keadaan ini." "Maaf Argapati. Kami tidak ingin menjadi korban ketakutanmu
kepada Adiwijaya. Kami tetap dalam pendirian kami, bahwa
Pajang harus dilawan."
"Terserah kepadamu, Tambak Wedi. Tetapi kepergianmu
membawa Sidanti dan Argajaya sama sekali tidak aku inginkan."
"Kami tidak mau membiarkan diri kami diterkam oleh
pengkhianatan." "Tambak Wedi." "Jangan cegah kami."
Darah Argapati serasa mendidih di dalam dadanya. Tetapi ia
masih tetap menyadari kedudukannya. Kalau ia kehilangan akal,
maka orang-orang Menoreh akan melihat, bahwa Ki Tambak
Wedi dengan beraninya telah melawan perintahnya. Tentu hal itu
tidak baik baginya dilihat oleh orang-orangnya. Apalagi kalau ia
harus bertempur melawan orang itu di halaman. Meskipun
demikian, ia tidak dapat menahan diri untuk berkata, "Kau telah
memperbaharui persoalan kita, Tambak Wedi."
Ternyata Ki Tambak Wedi pun tidak dapat mengendalikan
kemarahannya lagi. Ketika tanpa disadarinya ia menengadahkan
kepalanya, dan dilihatnya seleret bulan yang masih terlampau
muda hinggap di kehitaman langit, maka dadanya serasa
hendak meledak. Dengan suara yang gemetar ia berkata, "Terserah kepadamu,
Argapati. Tetapi sebaiknya kita menyelesaikan persoalan ini
seperti yang pernah kita lakukan. Marilah kita peringati
pertemuan kita di bawah Pucang Kembar."
Mendengar nama Pucang Kembar, maka hati Argapati hampir
menjadi gelap disaput oleh perasaannya yang sedang membara.
Tetapi orang-orang Menoreh yang berdiri termangu-mangu di
halaman telah mencegahnya untuk berbuat langsung pada saat
itu. Namun sebagai seorang yang keras hati, Argapati yang
bergelar Ki Gede Menoreh itu menjawab, "Baik, Tambak Wedi.
Aku akan menunggu bulan purnama naik. Bukankah saat-saat
yang demikian, di bawah Pucang Kembar beberapa puluh tahun
yang lalu kita pernah membuat suatu perjanjian" Nah, aku
bersedia memperingatinya. Nanti pada saat purnama penuh."
"Bagus," teriak Ki Tambak Wedi, "aku menunggumu.
Sementara ini, aku akan dapat memberikan penjelasan kepada
Sidanti tentang semua persoalan."
"Kau akan membuatnya gila seperti kau?"
"Itu urusanku."
"Kau sudah kehilangan akal," Argapati berhenti sejenak.
Terasa tubuhnnya gemetar seperti sedang kedinginan.
Namun masih terdengar suaranya parau, "Argajaya. Jangan
ikut." Argajaya menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia mendengar
Tambak Wedi berkata, "Ia telah terlibat pula dalam persoalan
Sidanti dan Pajang. Kalau ia tidak pergi bersamaku, maka ia
akan menjadi korbanmu. Korban kelicikanmu. Untuk
mendapatkan pujian dan mungkin hadiah seperti yang akan
diterima oleh Pemanahan dan Penjawi untuk memperluas tanah
perdikanmu, kau akan sampai hati mengorbankan kami,
anakmu, adikmu, dan aku yang kau katakan sahabatmu."
"Kau jangan mengigau, Tambak Wedi. Jangan membuat aku
kehilangan akal pula. Kalau kau mau pergi, pergilah. Kita sudah
menentukan waktu itu."
"Baik. Pada saat purnama penuh naik. Aku menunggumu di
bawah Pucang Kembar."
Ki Tambak Wedi tidak menunggu Argapati menyahut. Segera
ia melangkah pergi diikuti oleh Sidanti dan Argajaya. Semua
mata yang berada disekitar halaman itu mengikuti mereka
dengan debar jantung yang menghentak-hentak dada. Tetapi
mereka masih saja tidak berani mengucapkan sepatah
pertanyaan pun. Bahkan tubuh mereka ikut menggigil tanpa
diketahui sebab-sebabnya.
Ketika ketiga orang yang telah menggetarkan dada setiap
orang di halaman itu hilang di balik regol halaman, Ki Gede
Menoreh menekan dadanya. Sekali ia menarik nafas dalamdalam.
Ternyata ia telah terlibat ke dalam persoalan yang sama
sekali tidak diingininya.
Di luar regol halaman, Ki Tambak Wedi kemudian berjalan
dengan tergesa-gesa diikuti oleh Sidanti dan Argajaya. Namun
sekali lagi Sidanti dihambat oleh kebimbangan dan keraguraguan.
Kalau ia pergi mengikuti gurunya, ia harus meninggalkan
ayahnya, tetapi kalau ia tinggal, maka ia akan terpisah dari
gurunya yang selama ini mengasuhnya. Sejak ia meningkat
menjelang dewasa, ia sudah tidak berada bersama ayahnya. Ia
telah berada di padepokan Tambak Wedi bersama gurunya.
Keragu-raguan itu benar-benar telah mengoyak hatinya. Ia
benar-benar ingin berteriak sekuat-kuat tenaganya, supaya
dadanya tidak menjadi pecah karenanya. Tetapi ia masih tetap
sadar, bahwa apabila ia melakukannya, maka ia akan menyesal.
Mungkin gurunya akan marah kepadanya atau orang-orang
Menoreh terbangun dari tidurnya dan berlarlari mencari arah
suaranya. Ketika teringat olehnya kata-kata gurunya dalam
perdebatannya dengan ayahnya, maka debar di dada Sidanti
menjadi semakin keras. Ia tidak dapat mengerti, kenapa ayahnya
tidak membantunya, melepaskanya dari kecemasan terhadap
orang-orang Pajang, apalagi membalas sakit hatinya dengan
menghancurkan Sangkal Putung dan Jati Anom, lebih-lebih lagi
Pajang. Tetapi justru ayahnya telah mengingkari kewajibannya
sebagai seorang ayah, bahkan akan menangkapnya dan
menyerahkannya kepada Pajang.
Terngiang di telinganya kata-kata gurunya, "Ayahmu lebih
cinta kepada kedudukannya daripada kepada anaknya."
Terdengar Sidanti menggeram. Namun kemudian timbul pula
keragu-raguannya. "Apakah benar ayah akan berbuat
demikian?" "Baiklah," berkata Sidanti kemudian di dalam hatinya. "Biarlah
kali ini aku menghindar dulu. Besok atau lusa aku akan dapat
minta penjelasan kepada ayah, apabila ada kesempatan.
Mungkin aku perlu menghubungi ayah di luar pengetahuan guru,
yang agaknya memang sudah mempunyai benih-benih yang
kurang baik di antara mereka. Sejak kami berangkat dari
Sangkal Putung, guru sudah tampak ragu-ragu dan bimbang.
Ternyata yang terjadi benar-benar tidak menyenangkan."
Sedang Argajaya pun tidak kalah bingungnya. Ia berjalan
seperti di dalam mimpi saja. Tanpa kesadaran. Meskipun
demikian, ia tidak dapat menahan hati lagi dan bertanya,
"Apakah yang sebenarnya telah terjadi, Ki Tambak Wedi. Aku
tidak mengerti ujung dan pangkal pembicaraan. Apalagi agaknya
Kiai telah terlibat dalam persoalan yang tampaknya bersungguhsungguh
dengan Kakang Argapati."
Ki Tambak Wedi menggeram. Katanya dengan suara
gemetar, "Aku memang sudah meragukannya sejak semula,
Ngger, bahwa kakakmu akan tidak berani bertindak untuk nama
keluarganya. Ternyata hal itu benar-benar terjadi, meskipun aku
sudah berusaha untuk membakar hatinya. Aku sudah
mengatakan persoalan Sidanti dengan hathati, bahkan dengan
membubuinya. Aku mengatakan kepadanya, bahwa Widura dan
Untara menaruh dengki dan iri kepada Sidanti, apalagi kemudian
menyangkut persoalan Sekar Mirah yang berhubungan pula
dengan Agung Sedayu, adik Untara. Tetapi agaknya Argapati
sama sekali tidak berani berbuat apa pun. Bahkan ia
mengancam akan menghukum Sidanti, apabila ia bersalah.
Argapati akan pergi ke Pajang dan menghubungi Ki Gede


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pemanahan yang pasti sudah mendapat laporan dari Untara."
"Ah," tiba-tiba Argajaya memotong, "apakah benar begitu?"
"Bertanyalah kepada Argapati sendiri. Tapi kalau kau masuk
ke halaman rumah itu, maka kau tidak akan dapat keluar lagi."
Argajaya mengerutkan keningnya. Kakinya masih saja
melangkah dengan tergesa-gesa mengikuti langkah Ki Tambak
Wedi. "Tetapi Kakang bukan seorang pengecut," berkata Argajaya.
"Aku tahu," sahut Ki Tambak Wedi, "Argapati bukan penakut.
Tetapi ia termasuk seorang yang gila akan kedudukan.
Pahamilah hal ini." Ki Tambak Wedi berhenti sejenak. Lalu,
"Tetapi ada hal yang lebih penting lagi yang dapat aku katakan.
Nanti setelah kita berada di rumah Angger Argajaya."
Argajaya tidak menyahut lagi. Seperti Sidanti ia ingin
mendengar dahulu semua persoalannya. Kemudian ia akan
dapat mengambil kesimpulan. Kalau perlu, seperti juga yang
tersirat di angan-angan Sidanti, ia akan dapat menemui Argapati
untuk mendengar penjelasannya.
Sementara itu, Argapati masih saja berdiri membeku di
pendapa rumahnya. Terasa dadanya menjadi penat. Bahkan di
dalam hatinya ia mengeluh, "Mimpi apakah aku semalam" Tibatiba
aku di hadapkan pada persoalan ini. Persoalan yang sudah
lama aku kuburkan dalam-dalam. Persoalan. yang sudah aku
lupakan." Sekali lagi Argapati menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya orang-orang yang berdiri kebingungan di
halaman. Ia merasa perlu untuk memberi ketenteraman kepada
mereka. Karena itu maka katanya, "Jangan bingung. Tidak ada
apa-apa. Kami memang berselisih paham. Tetapi aku tahu,
bahwa persoalan ini akan dapat kita selesaikan dengan baik.
Kami masing-masing ingin berbuat untuk kebaikan Sidanti dan
tanah ini. Hanya cara kami yang berbeda. Itulah sebabnya, kami
akan membicarakan di lain kali. Kami mengharap seseorang
dapat menengahi pembicaraan kami. Sekarang pulanglah dan
beristirahatlah. Jangan kalian kembangkan persoalan ini seolaholah
sebuah persoalan yang besar."
Orang-orang di halaman itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi mereka tidak meyakini kata-kata Ki Gede
Menoreh. Meskipun demikian, mereka sama sekali tidak
bertanya apa pun. Satu-satu mereka meninggalkan regol itu
dengan hati yang gelisah, cemas dan kecewa. Mereka hanya
melihat Sidanti lewat dan hilang di dalam kegelapan.
Sejenak kemudian, halaman rumah Argapati menjadi sepi.
Dua orang peronda berdiri di regol halaman dengan wajah yang
tegang dan hati yang bimbang. Tetapi mereka pun tidak
bertanya sesuatu. Argapati masih saja berdiri di pendapa rumahnya.
Sebenarnya ia adalah seorang yang keras hati. Kalau saja ia
tidak menyadari kedudukannya yang pasti akan dilihat oleh
setiap orang di Tanah Perdikan Menoreh, maka ia pasti tidak
akan sabar lagi menunggu purnama naik. "Sekarang. Kita
selesaikan sekarang."
Argapati terperanjat ketika ia mendengar suara lirih di
belakangnya, "Ayah, apakah yang telah terjadi?"
Ketika Argapati berpaling, dilihatnya Pandan Wangi berdiri di
belakangnya. Dalam taburan sinar pelita yang remang-remang.
Argapati melihat kecemasan membayang di wajah anaknya itu.
Anak gadisnya. Tiba-tiba terasa getaran melanda jantungnya.
Sejenak Argapati terbungkam. Ditatapnya saja wajah puterinya
itu tanpa berkedip. Karena ayahnya tidak menjawab, maka diulanginya
pertanyannya, "Ayah, apakah yang terjadi?"
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ia masih belum
menjawab. Tetapi Pandan Wangi merasa aneh, ketika kemudian
tanpa mengucapkan sepatah katapun, ayahnya membimbingnya
masuk ke dalam pringgitan.
Pandan Wangi tidak bertanya lagi. Ia berjalan saja di samping
ayahnya. Namun terasa hatinya menjadi berdebar-debar dan
darahnya menjadi semakin cepat mengalir. Seribu macam
pertanyaan bergelut di dadanya. "Apakah yang sebenarnya
sudah terjadi?" Pandan Wangi melihat ayahnya menutup pintu pringgitan itu
perlahan-lahan. Kemudian Pandan Wangi itu dibawanya duduk
di atas tikar. Namun untuk sejenak Argapati masih saja berdiam diri.
Kadang wajahnya ditundukkannya. Tetapi kadang-kadang
ditengadahkannya. "Wangi," terdengar kemudian suaranya perlahan-lahan sekali,
"tolong, ambilkan ayah minum."
Pandan Wangi memandang wajah ayahnya dengan penuh
keheranan. Tetapi ia tidak juga bertanya. Perlahan-lahan ia
berdiri dan berjalan kebelakang untuk mengambil minum.
Tetapi tiba-tiba saja terasa ruang di belakang itu terlampau
sunyi. Meskipun ia melihat beberapa orang pembantunya duduk
sambil terkantuk-kantuk, tetapi hatinya terasa terlampau sepi.
Diedarkannya pandangan matanya berkeliling. Terasa sesuatu
yang tidak diketemukannya. Ada yang hilang dari ruang itu.
Dada Pandan Wangi terasa menjadi sesak. Ketika ia sadar
apa yang sedang dicarinya, tanpa diketahuinya, setitik air
menetes di ujung jari kakinya.
Pada saat-saat yang demikian, apabila ia tidak mengerti apa
yang telah terjadi dengan ayahnya, ia selalu lari kepada ibunya.
Ibunya yang sering duduk di ruang dalam. Kepada ibunya ia
selalu bertanya, "Ibu, kenapa dengan Ayah?"
Dan ibunya selalu menjawab, "Tidak apa-apa, Wangi.
Ayahmu tidak apa-apa."
"Apakah ayah marah kepadaku, Ibu?"
Ibunya menggeleng sambil tersenyum, "Tidak, Wangi.
Bukankah ayah tidak pernah marah kepadamu?"
Terasa setitik air jatuh lagi di atas ujung jari kakinya. Kesepian
telah mencengkam dadanya. Dan disadarinya kekurangan yang
tidak akan lagi dapat diketemukan. Ibunya itu telah tidak ada
lagi. Ibunya telah pergi meninggalkannya, untuk selamalamanya.
Dan kini dilihatnya ayahnya menjadi muram. Kini ia tidak
dapat mengetahui, kenapa ayahnya berselisih dengan tamunya.
Tetapi ia tidak dapat bertanya kepada siapa pun. Yang ada di
dalam ruangan itu hanyalah beberapa orang pelayan.
Pandan Wangi terkejut, ketika ia mendengar seseorang
bertanya kepadanya, "Apakah yang kau perlukan?"
Pandan Wangi tergagap, jawabnya, "Minum. Ayah ingin
minum." Pelayannya itu segera menyediakan minum. Semangkuk air
jahe hangat, beberapa potong gula kelapa dan beberapa potong
makanan. "Apakah Ki Argapati tidak menjamu tamu-tamunya sekarang"
Kami menunggu perintah itu. Bukankah hari telah cukup malam,
bahkan terlalu malam?" bertanya pelayan itu.
Pandan Wangi menggelengkan kepalanya, "Tidak," jawabnya,
"tamunya telah pergi."
"Pergi?" pelayan itu menjadi terheran-heran.
"Kenapa?" yang lain bertanya.
Sekali lagi Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Sekali
lagi terasa dadanya berdesir. Ia pun menyimpan pertanyaan itu.
Bukan sekedar pertanyaan, tetapi kecemasan.
Para pelayan itu melihat wajah Pandan Wangi yang suram.
Bahkan mereka melihat mata gadis itu menjadi basah. Namun
justru itu, mereka tidak bertanya lagi.
Sepeninggal Pandan Wangi, Argapati duduk seorang diri di
priggitan. Hatinya terasa terlampau sakit mengalami peristiwa
itu. Peristiwa yang tidak berdiri sendiri. Yang tidak terjadi pada
saat itu saja dengan tiba-tiba. Tetapi peristiwa ini adalah
peristiwa yang menjelujur dari masa-masa yang silam.
"Tetapi Pandan Wangi sudah cukup dewasa," katanya di
dalam hati, "ia harus tahu apa yang sedang dihadapi oleh
ayahnya." Namun Argapati masih tetap ragu-ragu.
"Hem," ia menarik nafas dalam-dalam, "Ki Tambak Wedi yang
kehilangan padepokannya itu, benar-benar telah menjadi gila. Ia
sudah tidak dapat berpikir bening lagi. Agaknya ia akan
menyeret Sidanti ke dalam kegilaan itu, bersama Argajaya pula."
Argapati itu berdesis perlahan-lahan. Ia di hadapkan pada
suatu persoalan yang sangat pahit.
"Apakah Ki Tambak Wedi itu benar-benar melakukan seperti
yang dikatakannya?" pertanyaan itu selalu membayang di dalam
hatinya. "Apabila demikian, aku harus menjelaskannya pula
kepada Pandan Wangi, supaya ia tidak terkejut sekali, apabila
pada saatnya ia mendengar. Daripada ia mendengar dari orang
lain, maka sebaiknya ia mendengar dari mulutku sendiri."
Sekali lagi Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dalam
sekali, "Kasihan anak yang sudah tidak beribu ini. Kasihan
Sidanti yang terseret arus kegilaan gurunya."
Kepala Argapati itu pun kemudian tertunduk, "Apakah kedua
kakak beradik itu harus berpisah?" pertanyaan itu benar-benar
telah melukai jantungnya.
Hati orang tua itu menjadi berdebar-debar, ketika ia melihat
Pandan Wangi datang kepadanya sambil menjinjing minuman.
Apalagi ketika ia melihat wajah puterinya yang pucat itu.
Argapati dapat meraba, bahwa Pandan Wangi menjadi
gelisah dan cemas. Kalau puterinya itu tidak mendapat
penjelasan, maka bayangan-bayangan yang dibuatnya sendiri,
pasti akan membuatnya tidak dapat tidur semalam. Dan
bayangan-bayangan yang demikian akan dapat berkembang
tanpa batas. "Aku harus berterus terang kepadanya," katanya di dalam
hati, "supaya aku tidak menjerumuskannya ke dalam suatu
keadaan yang kelak akan menggoncangkan perasaannya. Kini
selagi aku masih ada. Selagi aku masih hidup. Aku dapat
menenteramkan hatinya, apabila ia tergetar oleh desakan
perasaannya." Tetapi keragu-raguan menjalari hatinya, ketika ia melihat
Pandan Wangi telah duduk bersimpuh di hadapannya sambil
menyodorkan semangkuk air jahe dan beberapa potong gula
kelapa. "Terima kasih, Pandan Wangi," desis ayahnya.
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi terasa betapa berat
suara ayahnya, seolah-olah dibebani oleh perasaan yang hampir
tidak tertanggungkan. Tetapi Pandan Wangi tidak berani
bertanya. Ia duduk saja sambil menundukkan kepalanya. Namun
sekali lagi dadanya disesakkan oleh kenangannya tentang
ibunya yang sudah meninggal.
Dalam saat-saat begini, Pandan Wangi selalu melihat ibunya
berbincang dengan ayahnya. Ibunya selalu berusaha untuk
menenteramkan hati ayahnya apabila ia sedang dipeningkan
oleh persoalan-persoalan yang sangat berat. Tetapi kini,
Argapati itu terpaksa membawa beban yang agaknya terlampau
berat seorang diri. Ia belum pernah melihat wajah ayahnya
semuram wajahnya kini. "Tetapi aku harus mengatakan," Argapati berkata di dalam
hatinya, "aku harus mempunyai keberanian untuk
mengatakannya. Kalau aku tidak berani berterus terang kepada
Pandan Wangi, sedang Ki Tambak Wedi mengatakannya
kepada Sidanti, apa pun maksudnya, maka apabila pada suatu
saat kedua kakak beradik ini bertemu, maka akan sangat
terguncanglah perasaan Pandan Wangi, apabila Sidanti tidak
dapat mengendalikan dirinya seperti sikap gurunya."
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ketika Pandan Wangi
mendengar desah yang panjang meluncur dari hidung ayahnya,
maka gadis itu mengangkat wajahnya. Tetapi wajah itu segera
tertunduk kembali ketika matanya membentur pandangan mata
ayahnya yang suram. "Pandan Wangi," terdengar suara Argapati perlahan-lahan,
"kenapa kau menjadi gelisah?"
Pandan Wangi heran mendengar pertanyaan ayahnya. Dan
Argapati sendiri heran mendengar pertanyaan yang tiba-tiba saja
meloncat dari bibirnya untuk memecahkan kebekuan suasana.
Sekali lagi Argapati menarik nafas. Katanya, "Maksudku,
apakah kau menjadi gelisah mendengar dan melihat persoalan
yang baru saja terjadi?"
"Ya, Ayah," jawab Pandan Wangi, "aku menjadi gelisah dan
cemas." "Apakah yang telah mencemaskan kau dalam persoalan itu"
Apakah kau mendengar sesuatu yang pantas kau cemaskan?"
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Jawabnya,
"Pembicaraan Ayah dengan Ki Tambak Wedi tampaknya
bersunguh-sungguh." Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya, Wangi.
Agaknya Ki Tambak Wedi bersungguh-sungguh."
"Kenapa ayah berselisih dengan Ki Tambak Wedi?" bertanya
Pandan Wangi, "dari ruang dalam aku mendengar ayah dan Ki
Tambak Wedi berbicara tentang Kakang Sidanti."
"Ya, Wangi." "Tetapi Ayah tidak sependapat dengan Ki Tambak Wedi."
Argapati mengangguk, "Ya, Wangi, aku memang tidak
sependapat dengan Ki Tambak Wedi."
(***) Buku 32 MENDENGAR jawaban ayahnya, dan sikapnya yang lunak,
Pandan Wangi menjadi lebih berani. "Ayah," suara Pandan
Wangi agak bergetar. Sejenak ia menjadi ragu-ragu, tetapi
kemudian diberanikannya bertanya, "Ayah, kenapa Ayah tidak
sependapat dengan Ki Tambak Wedi untuk melindungi Kakang
Sidanti?" "Aku tidak berkeberatan Wangi," sahut ayahnya,
"Tetapi bukankah Ayah menolak?"
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak segera
menjawab. Ditatapnya wajah puterinya yang kemudian
menundukkan kepalanya. Dada Pandan Wangi menjadi
berdebar-debar. Katanya di dalam hati, "Oh, agaknya Ayah tidak
senang mendengar pertanyaanku."
Dada gadis itu berdesir ketika ia mendengar ayahnya berkata,
"Pandan Wangi. Sekarang Kau sudah cukup dewasa untuk
menghadapi segala macam persoalan. Bukankah begitu" "
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu, "Ya, Ayah."
"Baiklah," desis ayahnya, tetapi ayahnya itu pun masih juga
dicengkam oleh kebimbangan. Namun dipaksanya berkata, "Kau
sudah wajib berani melihat kenyataan-kenyataan yang ada di
hadapanmu." "Ya, Ayah," sahut gadis itu.
Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dalam
hatinya ia ber-kata, "Aku harus mengatakannya, supaya aku
tidak bersalah kelak apabila anak ini mendengamya dari orang


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain, justru tidak tepat seperti yang terjadi, sudah dibumbui dan
diputar-balikkan." "Baiklah, Wangi," berkata Argapati kemudian, "apakah kau
sudah bersiap untuk mendengarkannya?"
Pandan Wangi mengerutkan keningnya, "Apakah yang akan
dikatakan oleh Ayah ini sehingga aku harus mempersiapkan diri
untuk mendengarkannya?"
Dan gadis itu kemudian terperanjat ketika ia mendengar
ayahnya berkata, "Pandan Wangi, aku memang tidak segera
da"pat menerima pendapat Ki Tambak Wedi. Sebenamya aku
memang kurang mempercayainya. Aku sudah mengenal sifatsifatnya
sejak berpuluh tahun."
"Tetapi, tetapi bukankah Ayah mempercayakan Kakang
Sidanti kepadanya bertahun-tahun" Bukankah itu juga
merupakan suatu bentuk kepercayaan Ayah kepadanya?" tanpa
sesadarnya pertanyaan itu meluncur dari mulut Pandan Wangi.
Pertanyaan Pandan Wangi itu memang terlampau sulit untuk
dijawab. Karena itu, maka sejenak Argapati terdiam. Namun
kemudian Argapati itu berkata tanpa menjawab pertanyaan
Pan"dan Wangi, "Wangi, ternyata perbedaan pendapat itu telah
men"dorong Ki Tambak Wedi untuk bersikap keras dan
bersungguh-sungguh."
Wajah Pandan Wangi menjadi semakin pucat. Terbayang di
dalam rongga matanya kemungkinan yang dapat terjadi dari
si"kap masing-masing yang keras itu.
"Ayah," suara Pandan Wangi menjadi parau, "apakah Ayah
telah menentukan suatu saat untuk menyelesaikan persoalan ini
seperti yang Ayah katakan" Pada saat purnama naik beberapa
hari yang akan datang di bawah Pucang Kembar?"
Argapati menjadi ragu-ragu. Tetapi ia tidak dapat
mengingkarinya karena agaknya Pandan Wangi telah
mendengarnya. "Tidak baik aku berbohong kepadanya," berkata
orang tua itu di dalam hatinya. "Ia harus tahu sebelumnya. Kalau
terjadi sesuatu, anak ini sudah mempersiapkan dirinya untuk
menghadapinya." Argapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya
lambat, "Ya, Pandan Wangi. Kami telah memutuskan. Kami yang
bersama-sama sedang dikaburkan oleh perasaan kami yang
menyala telah membuat perjanjian itu."
"Ayah," suara Pandan Wangi menjadi semakin lambat.
Argapati melihat mata puterinya itu menjadi basah. Orang tua itu
dapat menduga, betapa kecemasan telah mencengkam hati
Pandan Wangi. Ia sudah tidak beribu lagi. Apabila terjadi
se"suatu dengan ayahnya, maka ia akan menjadi sebatang
kara. "Kalau Ki Tambak Wedi tidak memisahkannya dari kakaknya,
maka ia masih mempunyai tempat untuk bergantung," berkata
Argapati di dalam hati. "Tetapi Sidanti telah hanyut dibawa arus
kegilaan gurunya." "Ayah," Pandan Wangi kini seolah-olah berbisik, "kenapa"kah
hal itu mesti terjadi?"
Ayahnya menggeleng lemah, "Aku tidak tahu Wangi. Tetapi
Aku tidak dapat menghindarkan diri daripadanya."
"Ayah adalah seorang Kepala Tanah Perdikan. Apakah Ayah
tidak dapat berbuat atas namanya" Kalau Ayah menganggap
bah"wa Ki Tambak Wedi tidak sepantasnya berbuat demikian,
bukan"kah Ayah mempunyai kekuasaan dan pasukan untuk
melaksanakan kekuasaan itu?"
Argapati menggeleng pula, "Bukan Wangi. Masalahnya
bu"kan kekuasaan dan wewenang mempergunakan kekuasaan
dan alat-alat kekuasaan. Tetapi masalah ini adalah masalah
pribadi. Aku, Argapati dan Ki Tambak Wedi."
Mata Pandan Wangi kian menjadi basah. Berbagai macam
persoalan membayang di dalam rongga matanya. Kemungkinan
yang paling pahit sekalipun. Namun perlahan-lahan ia bertanya,
"Ayah, kasihan Kakang Sidanti. Ia akan kehilangan salah satu
dari orang-orang yang paling penting di dalam hidupnya.
Gurunya atau ayahnya."
Sekali lagi Argapati menarik nafas. Ia tahu, bahwa Pandan
Wangi sedang menyembunyikan kecemasannya sendiri. Namun
orang tua itu tidak segera menyahut. Bahkan dilontarkannya
pan"dangan matanya ke arah api pelita yang sedang
menggapagapai. Sejenak keduanya saling berdiam diri. Masing-masing
dihanyutkan oleh arus perasaan dan angan-angan sendiri. Jauh
ke dalam dunia ke"mungkinan yang tidak bertepi.
Di luar angin malam yang lembab terasa semakin dingin. Para
peronda di gardu regol halaman duduk bersila di atas tikar
pandan sambil berkerudung kain. Lampu yang samar-samar
tergantung di depan regol. Para peronda itu telah menutup
sebelah sisi, supaya tempat mereka duduk menjadi gelap.
Sedang para peronda yang nganglang masih saja berjalan
perlahan-lahan di sekitar lingkungannya. Sekalsekali terdengar
mereka berbisik-bisik. Mereka saling bertanya, apa"kah yang
sebenarnya terjadi di halaman rumah Kepala Tanah Perdikannya
yang selama ini tidak pernah ada persoalan-persoalan yang
mende"barkan. Tetapi tidak seorang pun yang dapat menjawab. Meskipun
demikian, berita tentang peristiwa itu segera menjalar dari mulut
ke mulut. Tersebar ke seluruh pelosok.
Di pringgitan, Pandan Wangi masih duduk tepekur
mengha"dapi ayahnya. Sekalsekali diusapnya matanya yang
basah dengan ujung lengan bajunya. Namun anak itu bertahan
sekuat-kuatnya untuk tidak menangis.
"Aku sudah bukan anak-anak lagi," katanya di dalam hati,
"aku sudah tidak pantas lagi untuk menangis." Namun setitik air
telah meleleh di pipinya.
Ketika di kejauhan terdengar burung kedasih mengeluh
berkepanjangan, terdengar Argapati berkata, "Apakah kau belum
mengantuk, Pandan Wangi?"
Pandan Wangi menggeleng, "Belum, Ayah."
Argapati terdiam. Ia selalu dicengkam oleh keragu-raguan
untuk mengatakan sesuatu yang dianggapnya terlampau
penting. Orang tua itu mengerutkan keningnya ketika ia mendengar
Pandan Wangi bertanya, "Ayah, apakah persoalan itu tidak
da"pat diselesaikan dengan cara lain?"
Argapati menggeleng, "Kami telah berjanji Wangi. Kami
adalah laklaki. Dan kami telah mengatakannya, bahwa
penyelesaian itu akan kami lakukan nanti jika purnama penuh
naik, di bawah Pucang Kembar."
"Tetapi," suara Pandan Wangi tertahan. Lalu, "persoal"an itu
berkembang terlampau cepat. Kenapa masalah itu segera
mendapat keputusan untuk membuat penyelesaian yang begitu
bersungguh-sungguh?"
"Apakah persoalan itu terasa berkembang terlampau cepat
Wangi?" "Ya, begitu Ayah dan Ki Tambak Wedi tidak sependapat,
maka segera ketegangan semakin meningkat dengan cepatnya.
Seolah-olah keduanya sama sekali tidak dapat menahan hati.
Seperti per"soalan yang tumbuh di dalam lingkungan anak-anak
muda." Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari betapa
sesak dada anak gadisnya. Dalam keadaan yang wajar, ia tidak
akan be"rani berkata demikian kepadanya. Tetapi tanggapan
Pandan Wa"ngi itu agaknya telah meledak tanpa dapat
ditahankannya. Tetapi ketika Argapati tidak segera menyahut, maka Pandan
Wangi itupun menyesal karenanya. Agaknya ia memang telah
terdorong mengatakan sesuatu yang sebenarnya terlampau
jauh. Te"tapi hal itu dilakukannya di luar sadarnya. Sehingga
dengan demikian, maka kata-kata itu seolah-olah telah meloncat
dengan sendirinya dari lubuk hatinya, tanpa terkendali.
"Oh, apakah Ayah marah kepadaku?" pertanyaan itu telah
menggelisahkannya. "Pandan Wangi," suara ayahnya masih tetap lembut, "apakah
tanggapanmu memang demikian?"
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu, sehingga ia terdiam.
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya saja wajah
puterinya dengan sorot mata yang aneh.
"Apakah sudah seharusnya aku mengatakanya?" Argapati
selalu bertanya kepada diri sendiri. Dan pertanyaan itu telah
membuatnya selalu gelisah dan bimbang.
Karena Pandan Wangi tidak menjawab, maka Argapati
ber"kata pula, "Mungkin kau benar, Pandan Wangi. Persoalan
ini ber"kembang terlampau cepat, sehingga kami masingmasing
tidak lagi sem"pat membuat pertimbanganpertimbangan
yang jernih." Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar, tetapi
ia masih saja berdiam diri.
Dalam pada itu masih saja terjadi pergolakan di dalam dada
Argapati. Namun akhirnya ia berkata di dalam hatinya, "Tak ada
jalan lain. Aku harus mengatakannya. Rahasia yang selama ini
aku simpan dalam-dalam di dalam lubuk hatiku, kini terpaksa
aku katakan. Agaknya Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat
berpikir bening lagi. Apa boleh buat."
Sekali lagi Argapati menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah
dadanya menjadi sesak untuk bernafas.
Sementara itu malam pun menjadi semakin malam. Di
kejauhan terdengar tengara yang dibunyikan oleh para peronda
yang berada di gardu-gardu di ujung-ujung padukuhan. Sahutmenyahut.
Semakin lama semakin jauh.
Ketika suara kentongan itu lenyap, maka malam kembali
ter"lempar ke dalam kesenyapan. Lamat-lamat terdengar bunyi
burung kedasih yang ngelangut.
"Sudah terlampau malam Wangi. Apakah kau belum
me"ngantuk?" Pandan Wangi menggelengkan kepalanya, "Belum, Ayah."
"Biasanya kau sudah tidur, Wangi."
"Tetapi malam ini aku tidak akan dapat tidur, Ayah. Aku selalu
berdebar-debar saja. Keputusan Ayah untuk membuat
perhi"tungan dengan Ki Tambak Wedi telah membuat aku
cemas." "Itu adalah wajar sekali. Tetapi jangan terlampau dicengkam
oleh kecemasan itu. Percayalah, bahwa ayah masih ingin tetap
hidup. Karena itu, ayah pasti tidak akan dengan sukarela
menyerahkan keputusan terakhir kepada ujung senjata Tambak
Wedi yang bertajam rangkap itu. Meskipun demikian, semuanya
terserah kepada Yang Maha Kuasa, Yang Maha Tahu yang
menen"tukan segala-galanya. Apabila datang saatnya, apapun
yang aku laku"kan, maka saat itupun akan tetap menjemputku.
Bahkan seandainya aku bersembunyi di dalam gendaga besi
sekalipun, maka kekua"saan itu pasti akan berlaku juga."
Tetapi kata-kata ayahnya itu justru telah membuat nafas
Pandan Wangi menjadi sesak. Kerongkongannya terasa
tersumbat dan matanya menjadi panas. Betapa pun ia menahan
hatinya, tetapi titik air matanya jatuh satu-satu di pangkuannya.
Pandan Wangi menangis. Sebagai seorang gadis yang sudah
tidak beribu, kemungkinan-kemungkinan yang pahit itu telah
membayanginya. Meskipun pada dasarnya Pandan Wangi
bukan seorang gadis yang cengeng, tetapi menghadapi
kemungkinan itu, ia tidak dapat me"nahan perasaannya lagi.
Pandan Wangi yang sedang menangis itu kini benar-benar di
dalam perwujudannya sebagai seorang gadis. Seolah-olah
Pandan Wa"ngi yang menangis itu bukan Pandan Wangi yang
berjalan dengan tenang dan penuh mempunyai kepercayaan
kepada diri sendiri de"ngan pedang rangkap di kedua
lambungnya. Terhadap sentuhan-sentuhan yang paling dalam di
dalam lingkungan keluarganya, di dalam ikatan-ikatan batin yang
kuat, maka Pandan Wangi tidak dapat membanggakan
ketangkasan dan kelincahannya menggerakkan senjata untuk
melawannya. Pandan Wangi mengusap matanya, ketika ia mendengar
ayah"nya berdesah. Ia tahu benar, bahwa ayahnya tidak senang
melihat air matanya menitik. Setiap kali ia menangis sejak
kecilnya, ayah"nya selalu berkata, "Jangan menangis, Wangi.
Hanya mereka yang berhati kecil sajalah yang sering menangis."
Tetapi kali ini ayahnya tidak berkata demikian. Ayahnya itu
hanya berdesah dalam nada yang berat.
Pandan Wangi mengangkat wajahnya, ketika ia mendengar
ayahnya berkata, ?"Pandan Wangi. Kalau kau masih belum
me"ngantuk, maka Ayah ingin mengatakan sesuatu kepadamu.
Tetapi tangkaplah kata-kata Ayah nanti dengan sikap dewasa.
Dengan sikap yang matang. Mungkin hatimu akan terluka.
Namun kemudian kau akan menyadari, bahwa kau sudah bukan
anak-anak lagi. Kau akan se"gera mengerti, kenapa persoalan
Ayah dan Ki Tambak Wedi ber"kembang terlampau cepat dan
tanpa terkendali. Bahkan kau pasti sudah mendengar pula,
bahwa persoalan ini telah disangkutkan pula dengan persoalan
berpuluh tahun yang lampau yang terjadi pula di bawah Pucang
Kembar itu." Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
menjawab. "Kau bersedia bukan, Wangi?"
Pandan Wangi tidak tahu maksud ayahnya. Tetapi sebelum ia
bertanya, ayahnya melanjutkan, "Bukankah kau bersedia untuk
menahan setiap gejolak perasaanmu" Bukankah kau telah
cukup dewasa untuk bersikap?"
Hati gadis itu menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi hampir
di luar sadarnya ia menganggukkan kepalanya.
Argapati menggeser dirinya secengkang. Diedarkannya
pandangan matanya berkeliling, seolah-olah ingin meyakinkan
dirinya, bah"wa tidak ada seorang pun di dalam pringgitan itu
kecuali ia berdua saja bersama puterinya.
Di kejauhan masih saja terdengar suara burung kedasih yang
seakan-akan sedang meratapi nasibnya.
"Pandan Wangi," berkata Argapati, "aku terpaksa
me"ngatakan sebuah rahasia kepadamu. Sebenarnya
sebaiknya kau ti"dak usah mendengarnya sepanjang umurmu.
Aku berharap bah"wa rahasia ini akan dikubur bersama tubuhku
kelak. Tetapi agaknya sikap Ki Tambak Wedi telah mendorongku
untuk mengatakan kepadamu, supaya kelak kau tidak akan
terkejut karenanya. Seandainya Ki Tambak Wedi tidak
mengancam akan mengatakan rahasia ini kepada kakakmu
Sidanti, maka aku pun tidak akan ber"buat serupa itu
kepadamu. Namun agaknya aku tidak akan dapat
menyimpannya lebih lama lagi. Selagi aku masih hidup, Wangi,
aku akan dapat memberikan penjelasan kepadamu. Karena
apabila aku sudah tidak ada, dan kau mendengarnya dari orang
lain, Sidanti sendiri misalnya, maka tanggapanmu pasti akan


02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berbeda. Apalagi kalau kau mendengar dari Ki Tambak Wedi."
Kening Pandan Wangi menjadi semakin berkerut. Hampir di
luar sadarnya ia bertanya, "Apakah rahasia itu hanya diketahui
oleh Ayah dan Ki Tambak Wedi saja?"
Argapati mengangguk, "Ya, Wangi."
Mata Pandan Wangi yang suram memancarkan sebuah
pertanyaan yang mencengkam hatinya, "Kenapa Ayah dan Ki
Tam"bak Wedi?" Tetapi pertanyaan itu tidak pernah terucapkan.
Meskipun demikian, Argapati dapat menangkap ungkapan
perta"nyaan yang dipancarkannya lewat sorot mata puterinya
itu. "Pandan Wangi," berkata Argapati, "yang mengetahui rahasia
ini hanyalah aku dan Ki Tambak Wedi. Kenapa aku dan Ki
Tambak Wedi" Jawabnya adalah sebagian dari rahasia itu
sendiri." Wajah Pandan Wangi semakin lama menjadi semakin su"ram
namun tegang. "Tetapi ingat, Wangi. Kau sudah dewasa. Tanggapilah secara
dewasa." Pandan Wangi mengangguk. "Kau akan mendengarkan sebuah ceritera yang sangat
me"narik, tetapi sangat tidak menyenangkan hati," berkata
Argapati, "tetapi itu adalah sebuah kenyataan yang tidak
terelakkan. Sebab sudah terjadi. Kenyataan yang sudah terjadi,
terjadilah. Tidak ada seorang pun yang akan dapat
menghapusnya. Yang dapat di"lakukan adalah melupakannya
atau merahasiakannya supaya tidak ada seorang pun atau
orang-orang yang datang di hari kemudian menge-tahuinya.
Tetapi kenyataan itu sendiri sudah berlaku."
Pandan Wangi duduk dengan cemasnya. Wajahnya
membayangkan kegelisahan yang sangat. Tetapi ia membeku
saja se"perti sebuah patung batu. Ditatapnya wajah ayahnya
tajam-tajam, na"mun kemudian kepalanya itupun
ditundukkannya. Ia menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh
ayahnya. Sejemput angin yang silir menyusup di sela-sela lubang
dinding mengguncangkan nyala pelita di dalam pringgitan itu.
Dingin ma"lam semakin lama semakin tajam menggigit kulit.
Ketika di kejauhan terdengar lolongan anjing-anjing liar, maka
bergetarlah sebuah hati mendengarkan ceritera yang selama ini
menjadi rahasia yang paling dalam disimpan di dalam lubuk hati.
Pada saat-saat yang demikian itu, Sidanti duduk di hadapan
gurunya di rumah Argajaya. Argajaya sendiri yang duduk pula
ber"sama mereka, memandangi wajah Ki Tambak Wedi dengan
tanpa berkedip. Pada saat yang hampir bersamaan, Ki Tambak
Wedi itu pun telah mulai pada ujung ceritanya, rahasia yang
selama ini disimpannya pula di dalam hatinya.
"Aku terpaksa mengatakannya untuk kepentinganmu sendiri,
Sidanti, supaya kau tidak salah menanggapi keadaan. Aku
me"mang tidak dapat berbuat lain daripada membuat
penyelesaian yang kau sesali itu. Tetapi apabila kau sudah tahu
persoalannya, maka kau tidak akan mengutuk sepanjang
umurmu." Sidanti tidak menyahut. "Persoalan ini tidak tumbuh dengan serta-merta pada malam
ini saja," berkata gurunya pula, "tetapi persoalan ini telah
ter"simpan berpuluh tahun di dalam lubuk hati kami. Di dalam
dadaku dan di dalam dada Argapati. Kami telah mencoba untuk
mengendapkannya dan tidak akan menyebutnya lagi. Tetapi
dalam sen"tuhan persoalan serupa yang kita hadapi, maka aku
tidak dapat bertahan dalam pendirian itu. Aku harus
mempersoalkannya dan memecahkannya dengan cara lain.
Tidak sekedar merahasiakan dan membawanya mati. Sebab aku
sekarang merasakan, bahwa dengan demikian persoalan itu
ternyata tidak terselesaikan. Per"soalan itu hanya tertundatunda
saja dan pada saatnya akan meledak juga." Ki Tambak
Wedi terdiam sejenak, lalu, "Aku kira Argapati akan
mengatakannya juga kepada Pandan Wangi."
"Apakah sangkut pautnya Pandan Wangi dengan persoalan
ini?" "Persoalan ini akan mengejutkan kau dan Pandan Wangi."
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
bergumam, "Kalau apa yang Guru katakan rahasia itu akan
menyakitkan hati Pandan Wangi, maka alangkah sedihnya gadis
itu. Kasihan. Sejak ibu meninggal, ia agaknya selalu bersedih
hati." "Apa boleh buat. Ia memang harus mengetahuinya pula,
su"paya kita masing-masing dapat menempatkan diri kita di
tempat yang sewajarnya."
Sidanti menjadi semakin gelisah. Tetapi ia tidak bertanya lagi,
supaya gurunya segera mengatakan, apakah yang disebutnya
dengan rahasia yang telah bertahun-tahun didekapnya di dalam
dadanya itu. "Kau akan mendengar sebuah kisah, Sidanti. Kisah yang
tidak begitu menyenangkan hati, tetapi yang dalam saat serupa
ini harus kau dengar. Kau harus berani mendengarnya, karena
kau seorang yang jantan. Bukankah begitu?"
Sidanti menganggukkan kepalanya. Meskipun ia tidak
menjawab, tetapi gurunya menangkap getar sorot matanya,
bahwa anak muda itu telah bersedia mendengarkan apa saja
yang akan dikatakannya. Di dua tempat yang terpisah, dua orang tua sedang
mengisah"kan sebuah kisah yang sama. Sebuah kisah yang
selama ini mereka rahasiakan dalam-dalam. Tetapi oleh
sentuhan persoalan yang mendapat tanggapan berbeda, maka
rahasia yang selama ini terpendam itu ternyata terangkat
kembali. Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh sedang
menceriterakannya kepada puterinya, Pandan Wangi, dan
Paguhan yang kemudian menamakan dirinya Ki Tambak Wedi
sedang memberitahukannya kepada Sidanti dan Argajaya.
Ternyata keduanya tidak berusaha untuk menyembunyikan lagi
bagian-bagian dari rahasia itu, sehingga ceritera mereka pun
hampir bersamaan pula. Dan kisah yang mereka ceriterakan itu terjadi beberapa puluh
tahun yang lama. Di sekitar seperempat abad yang lalu, sejauh
umur Sidanti itu sendiri.
Ketika itu, ketika bekas peralatan pengantin yang cukup
me"riah masih belum lenyap sama sekali, Arya Teja, pengantin
laklaki telah dibingungkan oleh sikap isterinya yang baru saja
dikawininya. Hampir semalam suntuk isterinya menangis,
sehingga di pagi harinya, masih saja ia murung di dalam biliknya.
Bahkan kadang-kadang meledaklah pula tangis isterinya itu
sambil menyembah-nyembah di bawah kakinya. Tetapi
pengantin perempuan itu sama sekali tidak me"ngatakan apa
pun juga. Ia tidak menyebutkan sebabnya, kenapa ia menjadi
bingung dan gelisah. Bahkan ketakutan.
Arya Teja mencoba menunggu sampai hari kedua dan ketiga.
Mungkin perkawinan itu telah menggoncangkan perasaan
isteri"nya. Sebagai seorang gadis, maka perkawinan adalah
batas waktu yang memisahkan antara dua dunia kehidupannya.
Ia akan meninggalkan masa-masa gadisnya dan terjun ke dalam
suatu dunia baru yang belum dikenalnya. Memang dunia yang
belum dikenal itu akan dapat menumbuhkan ketakutan dan
kecemasan. "Wulan," bertanya Arya Teja kepada isterinya, "kenapa kau
salalu cemas, gelisah dan takut?"
Rara Wulan, isterinya itu, tidak pernah menjawab. Hanya
tangisnya sajalah yang meledak-ledak.
Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak tahu, apakah
yang telah terjadi dengan isterinya. Apakah ia sedang dibayangi
oleh perasaan takut tentang dunianya yang baru atau oleh
sebab-sebab yang lain"
Akhirnya kesabaran Arya Teja pun menjadi semakin lama
semakin tipis. Ia tidak dapat bertahan dalam keadaan itu. Ia pun
menjadi bingung dan bahkan sedih pula, sehingga pada suatu
saat ia bertanya kepada isterinya, "Wulan. Apakah kau
menyesal?" Seperti di saat-saat yang lewat, Rara Wulan hanya dapat
me"nangis tanpa menjawab pertanyaan itu.
"Aku tidak dapat hidup dengan cara ini, Wulan. Aku tidak
mengerti apa yang kau tangiskan. Tubuhnya sendiri akan rusak
karenanya. Kini kau menjadi semakin kurus dan kering.
Kecantikanmu pudar oleh air mata," Arya Teja berhenti sejenak,
lalu, "Wulan. Aku sekarang adalah suamimu. Kalau kau selalu
dibayangi oleh tangismu, maka aku pun akan menjadi bersedih
pula. Wulan. Apakah kita tidak dapat membagi kesulitan itu.
Katakanlah, apakah yang membuatmu selalu menangis" Aku
akan berusaha untuk menolongmu. Karena itu adalah
kuwajibanku." Tetapi Rara Wulan masih saja menangis tanpa menjawab
sepatah kata pun, sehingga Arya Teja menjadi kehabisan akal
karenanya. Perkawinan yang demikian lama ditunggutunggunya,
yang dibayangkannya, bahwa perkawinan itu akan
menjadikannya ber"bahagia dalam hidup berumah tangga
dengan gadis yang selama ini diangan-angankannya, ternyata
sia-sia belaka. Bahkan ia seakan-akan telah terjun ke dalam
suatu neraka yang paling pahit. Kalau Rara Wulan hanya
dikejutkan oleh suatu dunia baru yang belum dikenalnya, maka
ia tidak akan menangis berkepanjangan. Sehari, dua hari, tiga
hari, bahkan pada harhari berikutnya rumah tangga mereka
terasa menjadi semakin suram.
"Wulan," berkata Arya Teja itu, "beberapa tahun aku pergi
merantau untuk kepentingan hidup kita di harhari mendatang.
Aku mendapat penghargaan yang baik selama aku berada di
De"mak. Sultan Demak sendiri telah menganugerahkan banyak
sekali kesenangan buat bekal hidup kita. Bahkan Kademangan
Menoreh kini telah menjadi tanah perdikan, karena aku dianggap
berjasa. Kademangan ayah yang sempit, kini menjadi luas dan
men-dapat bentuk yang lebih baik, Tanah Perdikan. Tanah
perdikan yang dalam pemerintahannya seharhari telah
diserahkan kepadaku pula, karena ayah telah terlalu lelah.
Selain memang akulah yang mendapat anugerah bentuk baru
dari daerah kademangan ini. Semuanya itu juga untukmu,
Wulan. Tetapi kenapa kau tanggapi persoalan ini dengan air
mata tanpa penjelasan apa pun?"
Rara Wulan masih belum menjawab. Hanya tangisnya
saja"lah yang menjadi semakin keras. Isaknya hampir-hampir
telah menyumbat pernafasannya.
Arya Teja menjadi semakin bingung. Waktu yang ditunggutunggunya
ternyata tidak seperti yang diharapkannya. Sejak
orang tuanya mempertemukannya dengan gadis yang bernama
Rara Wulan itu atas persetujuan semua pihak, beberapa tahun
yang lalu sejak mereka masih terlampau muda, maka hatinya
telah ter"tambat olehnya. Agaknya Rara Wulan pun tidak
berkeberatan apabila kedua orang tua masing-masing
melanjutkan pembicaraan ten"tang mereka. Tetapi apa yang
dihadapinya benar-benar sebuah neraka yang menyiksanya
siang dan malam. Apalagi beberapa saat kemudian, Wulan yang selalu
dibayangi oleh air matanya itu menjadi sakit. Penyakit yang
membuat suaminya semakin bingung. Muntah-muntah dan
pening. Ia dapat men"dengar Wulan mengeluh tentang
penyakitnya, tetapi isterinya tidak pernah mengatakan apa pun
tentang dirinya. "Wulan, bagaimanakah keadaanmu" Sebenarnya kau tidak
sakit, Wulan. Tetapi kau telah disiksa oleh perasaanmu sendiri.
Kalau kau mau mengatakannya, mungkin hatimu akan menjadi
ringan. Kau tidak akan merasakan lagi penyakitmu yang aneh
itu," Arya Teja mencoba menenteramkan hati isterinya.
Tetapi semua usaha Arya Teja tidak ada yang dapat
meredakan kemuraman hati Rara Wulan. Tak ada cara yang
dapat dilakukan oleh suaminya. Hati Rara Wulan seolah-olah
telah pecah tanpa dapat dibentuk kembali.
"Oh," Arya Teja mengeluh di dalam hati, "aku akan dapat
menjadi gila apabila aku tidak segera terlepas dari keadaan ini."
Kebingungan Arya Teja pun memuncak ketika pada suatu
saat, pada waktu ia berusaha untuk menenteramkan hati
isterinya, seperti yang biasa dilakukan tanpa mengenal jemu,
meskipun kesabarannya hampir lenyap sama sekali, ia
mendengar isterinya sambil menyembah-nyembah meminta
kepadanya sesuatu yang sama sekali tidak dimengertinya.
Permintaan yang tidak dapat masuk diakalnya.
"Kakang, Kakang Arya. Bunuh sajalah aku Kakang. Aku akan
terlepas dari siksaan yang selama ini mencekikku," tangis Rara
Wulan. Dada Arya Teja bergetar, melampaui getar guruh yang
me"ledak di langit. Ia duduk membeku di tempatnya seperti
patung. Sedang isterinya bersimpuh di hadapannya sambil
membasahi kainnya dengan air matanya.
"Kutuk apakah yang menimpa diriku," desis Arya Teja itu di
dalam hatinya, "kenapa aku terjerumus ke dalam neraka yang
hampir membuatku gila ini."
"Kakang," sekali lagi terdengar suara Rara Wulan, "bunuh
saja aku, Kakang. Aku tidak pantas untuk menjadi isterimu."
Arya Teja menarik nafas dalam-dalam. Ia masih mencoba
ber"kata lembut, "Aku tidak mengerti Wulan. Kenapakah kau
sebenarnya" Apakah kau selalu diganggu oleh seseorang atau
oleh hantu-hantu?" Tangis Rara Wulan menjadi semakin keras. Tetapi ia sudah
tidak menjawab lagi. Berkalkali Arya Teja mendesaknya. Tetapi
yang terdengar hanyalah isak tangis isterinya saja.
Dunia semakin lama serasa semakin sesak. Arya Teja
me"rasa bernafas pun agaknya sudah tidak dapat dilakukan
lagi. Apalagi apabila dibayangkannya masa-masa mendatang.
Gelap. Lebih gelap dari malam yang paling kelam.
Ketika pada suatu hari Arya Teja sudah tidak dapat
mena"han diri lagi, maka pergilah ia kepada bibinya yang telah
Bidadari Dari Sungai Es 3 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Winter In Tokyo 3

Cari Blog Ini