02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja Bagian 8
Argajaya memaksa dirinya untuk tertawa. Katanya, "Itu tidak
penting. Yang penting bagiku adalah segera menghadap Kakang
Argapati." "He" Kau bergurau. Marilah, maaf, aku lupa mempersilahkan.
Tetapi siapakah yang lain?"
"Apakah Ki Sentol telah benar-benar lupa dengan anak muda
ini?" "Siapa?" "Sidanti." "He," orang tua itu terperanjat. Selangkah ia maju.
Dicengkamnya kedua pundak anak muda itu, lalu diguncangguncangnya.
"Bukan main. Kau Angger Sidanti yang dahulu
sering berkunjung ke tempat ini juga?"
"Ya, Kiai," sahut Sidanti, "meskipun ada beberapa macam
perubahan kecil, tetapi aku masih mengenal rumah ini."
"Bagus, bagus. Marilah singgah dahulu. Aku menjamu kalian."
Tetapi orang tua itu terperanjat ketika ia melihat tamu-tamunya
menggeleng, "Terima kasih. Kami harus meneruskan
perjalanan." Sejenak Ki Sentol berdiri saja dengan mulut ternganga. Ia
tidak mengerti, kenapa Argajaya tidak bersedia singgah ke
rumahnya, sehingga kemudian terloncat pertanyaannya, "Lalu
apakah maksud Angger datang kemari di malam-malam begini
kalau Angger tidak bersedia singgah ke rumah?"
"Kami hanya kebetulan saja lewat, Kiai."
"Tetapi Angger sudah masuk ke halaman rumah ini."
"Maaf, Kiai. Sidantlah yang mula-mula masuk ke halaman. Ia
hanya ingin sekedar melihat apakah ada keluarganya yang
sedang bermalam di sini dalam perburuannya. Ternyata ia
melihat adiknya dan tiba-tiba saja timbul keinginan padanya
untuk mengganggu Pandan Wangi."
Ki Sentol menjadi semakin bingung. Dan ia mendengar
Argajaya itu berkata seterusnya, "Kami sebenarnya sedang
dalam sebuah perjalanan. Kami merantau mengelilingi daerah
yang luas untuk menambah pengalaman. Karena itu, kami tidak
dapat singgah di sini. Kecuali pakaian kami yang tidak pantas
karena perantauan itu, kami juga membawa seorang tamu yang
ingin segera bertemu dengan Kakang Argapati."
"Siapa?" "Ki Tambak Wedi, guru Sidanti."
"Oh," Ki Sentol mengerutkan keningnya, "kalau begitu kalian
harus singgah. Harus!" Lalu orang tua itu membungkuk hormat
kepada Ki Tambak Wedi, "Maafkan Kiai, aku tidak tahu
sebelumnya. Marilah, singgahlah sebentar saja ke rumah ini."
"Terima kasih," jawab Ki Tambak Wedi, "pakaian kami tidak
pantas sama sekali untuk singgah ke rumah Ki Sentol. Lain kali
kami akan datang lagi. Kalau kami singgah malam ini, maka
besok pagi kami tidak akan berani meneruskan perjalanan di
daerah kelahiran Sidanti ini. Berbeda dengan tempat-tempat lain,
tempat di mana orang-orang tidak mengenal kami, maka pakaian
kami memperlancar perjalanan kami."
"Oh," Ki Sentol menggangguk-anggukkan kepalanya, "kalau
itu yang Kiai pikirkan, mungkin juga Angger Argajaya dan Angger
Sidanti jangan cemas. Besok kalian akan meninggalkan rumah
ini dengan pakaian yang pantas. Bukankah kalian keluarga
terdekat dari Ki Gede Menoreh."
Sejenak Ki Tambak Wedi terdiam. Tawaran itu sudah pasti
akan sangat menggembirakan Sidanti. Tetapi ia mendengar
Argajaya menjawab, "Terima kasih, Kiai. Itu sama sekali tidak
perlu. Kami akan berjalan di malam hari."
"Tidak. Tidak. Tidak boleh jadi. Kalian harus singgah dan
besok kalian akan pergi dengan pakaian yang pantas."
Argajaya menarik nafas dalam. Ketika dipandangnya wajah
Sidanti, maka dilihatnya anak muda itu mengganggukkan
kepalanya. "Hem," desis Argajaya di dalam hatinya, "anak ini telah
kehilangan harga dirinya. Bukankah tidak pantas sama sekali
kalau aku dan Sidanti terang-terangan menerima pemberian dari
Ki Sentol." Namun dalam pada itu, Sidanti berkata di dalam hatinya, "Ah,
kenapa Paman telah tidak menghiraukan lagi harga dirinya,
sehingga Paman tidak memerlukan pakaian yang lebih baik
untuk memasuki halaman rumah ayah?"
Tetapi mereka tidak sempat lagi menolak ketika kemudian Ki
Sentol langsung memegangi tangan Sidanti dan ditariknya anak
muda itu sambil berkata, "Aku harus memaksa kalian. Kalau
perlu dengan kekerasan. Kalian harus singgah di rumahku
malam ini. Besok kalian boleh pergi. Jangan takut berjalan di
siang hari karena aku akan menyediakan pakaian yang paling
baik untuk kalian." Lalu kepada Ki Tambak Wedi ia berkata,
"Marilah Kiai, marilah singgah di rumah yang jelek ini." Dan
kepada yang lain Ki Sentol berkata, "Marilah, marilah Angger
Argajaya dan kau Pandan Wangi, marilah menemui kakakmu
yang aneh ini. Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia berjalan pula
naik ke pendapa dan kemudian hilang di dalam rumah Ki Sentol
bersama yang lain. Betapapun juga, pertemuan itu merupakan saat yang penuh
ketegangan bagi Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya. Setiap
kali mereka harus menciptakan jawaban-jawaban atas
pertanyaan yang kadang-kadang membuat mereka pening.
Mereka harus sangat berhathati. Apalagi terhadap Pandan
Wangi. Pertanyaan-pertanyaannya yang sederhana sering
membuat Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan Sidanti menjadi
bingung. Untunglah bahwa Ki Tambak Wedi dan Argajaya
ternyata memiliki kecakapan untuk menyusun ceritera khayal
yang cukup baik dan menarik.
Ketegangan itu akhirnya diakhiri dengan permintaan Argajaya
untuk pergi ke perigi. "Aku akan mandi dahulu, Kiai. Supaya
tubuhku yang kotor ini, tidak mengotori lantai rumah ini."
"Ah," Ki Sentol berdesah, "baiklah, Ngger." Lalu orang itu tibatiba
berteriak memanggil isterinya. Katanya, "Sediakan tiga
pengadeg pakaian yang paling baik untuk tamu-tamuku."
Sekali lagi dada Argajaya berdesir. Katanya, "Terima kasih,
Kiai. Kalau aku tidak dapat menolak, maka lain kali aku akan
menukarnya dengan pakaian yang serupa."
"Jangan pikirkan itu, Ngger. Jangan kau pikirkan."
Dan ternyata bahwa malam itu mereka telah mendapat
pakaian yang baik dan pantas kecuali makan dan minum. Sidanti
menjadi agak berlega hati. Besok ia akan dapat masuk ke
halaman rumahnya dengan wajah tengadah.
Malam itu Pandan Wangi tidak jadi pergi berburu setelah
lewat tengah malam. Bahkan ia pun kemudian pergi tidur,
supaya besok ia dapat bangun pagpagi dan ikut mengantar
kakaknya pulang ke rumahnya.
Malam itu, meskipun mendapat tempat yang baik, Ki Tambak
Wedi tidak dapat memejamkan matanya. Kenangannya terbang
ke masa silamnya yang jauh. Masa silam yang tidak dapat
terhapus dari kenangannya. Apalagi apabila teraba olehnya
bekas luka di bahu dan sebuah goresan di dadanya. Maka
seakan-akan terbayang kembali perkelahian antara hidup dan
mati, yang pernah terjadi antara dirinya dan Argapati yang
bergelar Ki Gede Menoreh.
Ki Tambak Wedi terloncat berdiri. Dihentakkannya kakinya
untuk mengusir kenangan yang seolah-olah mengungkat
kembali kepahitan hidup yang pernah dialaminya dan yang
membekas di hatinya untuk sepanjang umurnya. Tetapi orang
tua itu pun kemudian dengan lesu menjatuhkan dirinya duduk di
atas pembaringanmya. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam.
Kemudian ia berdesis, "Kenapa aku tidak berhasil
melupakannya?" Semakin keras ia berusaha bahkan tampak semakin jelas di
dalam angan-angannya, apa yang pernah terjadi.
"Hem," Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian dibaringkannya tubuhnya. Tetapi tidak lama kemudian
ia mendengar ayam jantan berkokok bersahutan untuk yang
ketiga kalinya. "Hampir pagi," desisnya. Orang tua itu seakan-akan tidak
sabar lagi menunggu matahari melonjak dari cakrawala. Terasa
betapa malam bertambah panjang.
Namun akhirnya sinar pagi yang cerah memancar di langit.
Burung-burung liar berkicau bersahutan, seolah-olah berlomba
memujikan kidung yang manis, bahwa mereka masih sempat
menikmati hari baru dalam kurnia kasih yang mulus. Ki Tambak
Wedi menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin
menghirup udara pagi sebanyak-banyaknya setelah semalammalaman
nafasnya disesakkan oleh kenangan yang pahit.
Dengan wajah tengadah kini ia berdiri di belakang rumah Ki
Sentol dalam panasnya matatahari pagi. Dipandanginya berkasberkas
sinar yang menyusup di sela-sela dedaunan, keputihputihan
seperti awan yang berwarna cerah.
Pagi itu Ki Tambak Wedi, Argajaya dan Sidanti sudah tidak
dapat ditahan lagi. Ketika Ki Tambak Wedi, Argajaya, dan
Sidanti selesai berkemas, maka segera mereka minta diri untuk
meneruskan perjalanan. Bagaimanapun juga Ki Sentol mencoba
menahan mereka, namun mereka terpaksa meninggalkan rumah
itu. Sidanti segera ingin sampai ke rumahnya, melihat semuanya
yang telah cukup lama ditinggalkannya. Bahkan Pandan Wangi
pun memutuskan untuk ikut pulang bersama dengan kakaknya.
Ia tidak meneruskan rencananya, berburu di hutan peliharaan.
Ketika matahari memanjat langit semakin tinggi,
serombongan orang-orang yang baru saja meninggalkan rumah
Ki Sentol itu telah ke luar dari padukuhan. Mereka kini berjalan di
jalan persawahan yang sempit, berurutan. Sekalsekali mereka
berpaling memandangi sekumpulan kuntul yang berterbangan,
dalam warnanya yang putih, seperti kapas yang bergumpalgumpal
terbang dihanyutkan angin yang kencang.
Tidak banyak yang mereka percakapkan dalam perjalanan itu.
Sidanti dan Argajaya masih selalu menghindari pertanyaanpertanyaan
Pandan Wangi yang kadang-kadang sukar untuk
menemukan jawabnya, sehingga Pandan Wangi itu menjadi
heran. Kakaknya, Sidanti beberapa tahun lampau bukanlah
seorang pendiam. Bahkan pamannya itu pun seakan-akan
bukan pamannya beberapa waktu yang lalu, yang pergi
membawa dua orang pengawal ke sebelah Timur Gunung
Merapi. Pamannya sekarang tiba-tiba saja berubah menjadi
seorang pendiam dan kadang-kadang menjadi gugup.
Tetapi Pandan Wangi tidak berprasangka apa-apa. Ia hanya
menganggap bahwa perjalanan yang lama telah membuat
mereka menjadi terlampau lelah. Karena itu ia berusaha untuk
menyesuaikan dirinya. Ia pun tidak terlampau banyak bertanya,
meskipun di dalam dadanya tertahan keinginan tahu yang besar,
apa sajakah yang telah mereka lihat dan mereka dengar, apalagi
yang mereka dapatkan di sepanjang perjalanan mereka.
Tetapi yang paling diam di antara mereka adalah Ki Tambak
Wedi. Ia berjalan di paling depan dengan kepala tunduk. Hanya
kadang-kadang saja ia mengangkat wajahnya dan memandang
berkeliling, memandang daun padi yang hijau, air yang mengalir
di parit yang menggenangi sawah sejauh mata memandang.
Burung kuntul yang putih berterbangan berkelompok, berputarputar
untuk kemudian pecah seolah-olah rontok jatuh ke dalam
air. Satu-satu hinggap pada kakkakinya yang panjang untuk
mencari makanan mereka di dalam air.
Semakin dekat dengan rumah Sidanti, wajah Ki Tambak Wedi
tampak menjadi semakin tegang. Perjalanan itu pun menjadi
semakin senyap. Hanya langkah kakkaki mereka sajalah yang
terdengar gemerisik pada daun-daun rumput liar yang kering.
Dalam ketegangan itu mereka sama sekali tidak menyadari,
telah berapa lama mereka berjalan. Mereka tidak menyadari
bahwa matahari telah condong ke barat. Panas yang menyengat
tubuh mereka, sama sekali tidak terasa. Bahkan keringat yang
membasahi tubuh mereka pun hampir-hampir tidak pernah
mereka usap. Debu yang kotor yang berterbangan oleh kakkaki
mereka, telah hinggap di tubuh dan pakaian mereka.
Mereka menjadi semakin berdebar-debar ketika di kejauhan,
di seberang bulak yang panjang di kaki Pegunungan Menoreh
tampak rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Di muka
rumah itu terbentang sebuah halaman yang luas. Kemudian, di
luar sepasang regol halaman, masih didapatinya sebuah
lapangan yang cukup luas. Alun-alun Menoreh. Meskipun tidak
seluas alun-alun Pajang, bahkan belum mencapai separonya,
tetapi rumah Sidanti itu tampak benar-benar sebuah rumah
seorang Kepala Tanah Perdikan yang besar.
Tanpa disengaja, Ki Tambak Wedi berpaling. Ketika Sidanti
melihat wajah orang tua itu, hatinya ikut berdebar-debar pula.
Wajah itu memancarkan kesan yang mendebarkan hatinya.
Tetapi sekali lagi ia menekankan anggapannya, bahwa Ki
Tambak Wedi menjadi jemu karena dirinya, karena kegagalan
yang pernah dialami. "Seharusnya kecemasan guru tidak boleh berlebih-lebihan,"
berkata Sidanti di dalam hatinya. Tetapi ia tidak dapat
mengatakannya kepada gurunya, Ki Tambak Wedi.
Dengan demikian maka mereka masih saja terbenam dalam
kediaman. Masing-masing sibuk dengan angan-angan sendiri.
Namun semakin dekat mereka dengan rumah Argapati yang
bergelar Ki Gede Menoreh, maka hati mereka pun menjadi
semakin berdebar-debar. Tetapi karena langkah-langkah
mereka, maka rumah itu pun menjadi semakin dekat, sejalan
dengan matahari yang menggantung di langit semakin
mendekati punggung-punggung bukit di sebelah Barat.
Tiba-tiba dalam kediaman itu Kerti bergumam, "Kita sudah
hampir sampai." Argajaya berpaling. Dilihatnya wajah Kerti yang cerah, seolaholah
tidak pernah ada persoalan apa pun di dalam benaknya.
"He," berkata Kerti lebih lanjut kepada seorang kawannya,
"Pergilah mendahului. Beritahukan kepada Ki Gede, bahwa akan
datang tamu dari Padepokan Tambak Wedi."
"Ah," desis Ki Tambak Wedi tanpa berpaling, "tidak perlu.
Nanti Argapati akan melihatnya sendiri."
"Biarlah, Kiai. Biarlah orang-orang di rumah itu tidak terkejut.
Dan biarlah mereka siap untuk menyambut kedatangan Kiai di
daerah bukit Menoreh ini."
Ki Tambak Wedi tidak menahut. Ketika ia melihat seseorang
berlarlari kecil mendahului perjalannya, ia seolah-olah menjadi
acuh tidak acuh saja. Pandan Wangi sendiri kemudian berjalan saja di dalam
kediamannya. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia
menyadi bingung dan canggung menghadapi kakak dan
pamannya yang seakan-akan selalu mengelakkan pembicaraan.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Apakah sikapku menjemukan mereka?" ia selalu bertanyatanya
di dalam hati. Dengan demikian maka Pandan Wangi yang
ragu-ragu menghadapi kakak dan pamannya itu pun menjadi
selalu terdiam pula. Namun kini mereka telah berada beberapa puluh langkah
saja dari alun-alun Menoreh. Sejenak lagi mereka akan
memasuki lapangan rumput itu dan beberapa puluh langkah pula
mereka akan sampai ke regol halaman rumah Sidanti yang
besar dan berhalaman luas.
Ki Tambak Wedi menjadi semakin berdebar-debar ketika tibatiba
ia melihat beberapa orang ke luar dari regol halaman rumah
yang berdiri tegak di hadapannya, di seberang alun-alun. Dan
debar di dadanya semakin keras ketika di antara orang-orang itu
berdiri seorang laklaki yang hampir sebaya dengan umurnya.
Bertubuh tinggi tegap berdada bidang. Wajahnya yang keras
memancarkan kekerasan hatinya pula. Sedang sorot matanya
yang tajam melukiskan ketajaman pikirannya.
Orang yang bertubuh tinggi tegap itu berdiri sambil
mengerutkan keningnya. Rambutnya yang sudah berseling putih
beberapa helai, tampak selembar-selembar dibelai angin. Ikat
kepalanya yang dikenakan dengan tergesa-gesa tidak menutup
ke seluruhan rambutnya yang panjang, yang disanggulkannya
dengan tergesa-gesa pula. Adalah menjadi kebiasaannya untuk
membiarkan rambutnya terurai apabila ia sedang beristirahat di
rumahnya. Dibiarkannya dadanya yang bidang itu bertelanjang.
Bulu-bulu dadanya yang lebat tumbuh dengan suburnya. Sehelai
kain panjang disangkutkannya di pundaknya. Dan dikenakannya
sebuah celana hitam sepanjang betisnya. Sebuah sisir yang
lengkung tersangkut pada rambutnya yang tebal dan lebat.
Ketika ia mendengar bahwa ada tamu yang akan datang,
maka segera ia berkemas. Dikenakannya dengan tergesa-gesa
bajunya dan disanggulkannya rambutnya. Ikat kepalanya yang
selalu disangkutkan di lehernya, segera dikenakannya pula. Dan
dengan sigapnya ia melangkah ke luar rumahnya dan terus ke
halaman. Sekalkali tangannya diangkatnya untuk memilin kumisnya
yang lebat. Orang itu adalah Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh.
Argapati memandangi serombongan orang-orang yang
berjalan di alun-alun dengan tajamnya. Segera ia dapat
mengenalinya satu-satu. Namun wajahnya segera berubah
ketika ia melihat orang tua yang berjalan di samping Sidanti, Ki
Tambak Wedi. Tetapi perubahan wajahnya itu sama sekali tidak membekas
ketika kemudian orang yang bertubuh tinggi tegap itu tersenyum.
Dengan tenangnya ia melangkah maju, menyongsong tamunya.
Meskipun tamunya masih belum dekat benar, terdengar Argapati
menyapanya dengan suara yang berat, "Ha, agaknya burung
perenjak yang manis telah menuntunmu kemari, Paguhan, eh,
maksudku Ki Tambak Wedi."
Tampak kening Ki Tambak Wedi berkerut. Namun kemudian
ia tersenyum pula sambil menjawab, "Aku ternyata salah jalan,
Argapati. Aku sama sekali tidak ingin datang mengunjungimu."
Keduanya tertawa. Ketika jarak mereka menjadi semakin
dekat, segera keduanya mengulurkan kedua tangan mereka
masing-masing, menggenggam lengan dan mengguncangguncangnya.
"Kau memang awet muda, Argapati," desis Ki Tambak Wedi.
Argapati tersenyum sambil menggangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya, "Aku selalu jejamu, Tambak Wedi. Tetapi
meskipun demikian rambutku sudah diwarnai oleh rambut putih."
Pertemuan itu nampaknya begitu akrab dan menyenangkan.
Sidanti yang masih berdiri di samping gurunya menjadi heran.
Kenapa selama di perjalanan gurunya tampak terlampau muram
dan cemas. Semakin dekat dengan rumah ayahnya, gurunya
menjadi semakin pendiam. Ternyata sambutan ayahnya pun
sama sekali tidak membayangkan peristiwa apa pun yang dapat
mengeruhkan pertemuan itu.
"Apakah mungkin ayah akan marah kepada guru nanti
apabila ia mendengar tentang keadaanku?" pertanyaan itu
bergelut di dalam dada Sidanti. Namun ia tidak, dapat
menemukan jawabnya. Dalam pada itu, ayahnya segera menegurnya pula dengan
ramah, menegur pamannya Argajaya dan adiknya Pandan
Wangi. Dan sejenak kemudian maka Argapati telah
mempersilahkan tamu-tamunya memasuki halaman rumahnya
dan naik ke pendapa yang luas.
Ternyata kesan yang didapat oleh Sidanti dalam pertemuan
itu, sama sekali bertentangan dengan kegelisahan dan kediaman
gurunya di sepanjang jalan. Namun meskipun demikian gurunya
sama sekali masih belum menyinggung tentang sebab-sebab
Sidanti terpaksa pulang kembali ke Menoreh. Selama ini gurunya
masih mengatakannya bahwa kedatangan ini adalah sekedar
kerinduan yang tidak tertahankan untuk melihat kampung
halaman, justru ketika Argajaya mengunjungi Tambak Wedi.
Namun tiba-tiba Pandan Wangi memotong, "Tetapi bukankah
Paman mengatakan bahwa Paman, Kakang Sidanti, dan Ki
Tambak Wedi baru saja mengadakan perjalanan yang panjang,
dan kali ini sekedar singgah saja?"
Argajaya mengerutkan keningnya. Tetapi ia kemudian
tertawa, "Kau salah Pandan Wangi. Kami memang baru saja
mengadakan perjalanan. Tiba-tiba kami dihinggapi oleh
keinginan yang tak tertahankan untuk melihat kampung
halaman. Begitulah."
Pandan Wangi menggangguk-anggukkan kepalanya. Ia sama
sekali memang tidak berprasangka. Ia percaya bahwa mereka
sedang dalam perjalanan dan dibakar oleh kerinduan kepada
kampung halaman, sehingga mereka memerlukan singgah
meskipun hanya sebentar langsung sebelum mereka kembali ke
Tambak Wedi. Ternyata dari pakaian yang mereka pergunakan
pada saat mereka berada di rumah Ki Sentol.
"Tetapi mereka datang dari arah Hutan Mentaok. Bukankah
Tambak Wedi terletak jauh di seberang Hutan Mentaok?"
sebuah pertanyaan tiba-tiba saja menyentuh hatinya. Namun
pertanyaan itu dijawabnya sendiri, "Itu tidak penting. Dari mana
pun mereka datang mereka dapat mengambil arah itu."
Argajaya menjadi berlega hati ketika ia melihat Pandan Wangi
menggangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia terperanjat ketika
ia mendengar Argapati bertanya, "Apakah kalian sedang dalam
perjalanan yang jauh?"
Sejenak Argajaya tidak menyahut. Dipandanginya wajah Ki
Tambak Wedi dengan sorot mata yang memancarkan
kecemasan hati. Seolah-olah ia ingin mendapat pertimbangan,
bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
Ki Tambak Wedi melihat kecemasan yang membayang di
wajah Argajaya. Karena itu maka ia pun segera memutar
otaknya. Ia harus dapat menjawab pertanyaan itu tanpa
menimbulkan kecurigaan. Maka katanya, "Ya, Argapati. Kami
memang sedang dalam perjalanan. Kami sedang melihat-lihat
betapa luasnya tanah ini. Kami daki gunung-gunung yang tinggi
dan kami turuni jurang-jurang yang dalam. Sidanti memerlukan
pengalaman itu." Argapati menggangguk-anggukkan kepalanya. "Bagus,"
katanya kemudian. "Bagus. Pengalaman adalah guru yang baik.
Kau memang memerlukannya Sidanti. Kau memerlukan
pengalaman yang banyak sekali sebelum kau menjadi seorang
prajurit yang baik. Tetapi dengan demikian apakah kau tidak
meninggalkan tugasmu sebagai seorang prajurit Pajang."
Sidanti menjadi berdebar-debar. Ternyata pertanyaan
ayahnya menjadi berkepanjangan. Dan kali ini ia menjadi benarbenar
kebingungan untuk mencari jawab.
Sekali lagi Ki Tambak Wedi harus menjawab pertanyaan itu.
"Akulah yang minta ijin untuknya, Argapati. Aku melihat Sidanti
masih terlampau hijau. Meskipun ia mempunyai beberapa
kelebihan dari kawan-kawannya prajurit, tetapi ternyata bahwa
pengalamannya tidak banyak bedanya dengan prajurit-prajurit
yang lain, yang harus menunggu perintah untuk berbuat sesuatu.
Karena itu Sidanti memerlukan keseimbangan. Kelebihannya
dalam tata bela diri harus diimbangi dengan kecepatan berpikir
dan bertindak. Dengan demikian maka barulah ia dapat disebut
seorang prajurit yang baik. Tidak hanya sekedar mampu
menjalankan tugas yang diperintahkan kepadanya oleh
atasannya, tetapi ia mampu menentukan sikap menghadapi
keadaan yang tiba-tiba."
"Bagus, bagus," Argapati menggangguk-angguk lebih cepat
lagi. "Kau memang seorang anak yang baik, yang mempunyai
hari depan yang baik pula. Di bawah asuhan seorang yang tepat,
kau akan menjadi seorang yang tidak ada duanya di seluruh
Pajang. Tetapi bagaimana dengan keadaan Sangkal Putung"
Apakah daerah itu telah memungkinkan untuk ditinggalkannya?"
"Sangkal Putung telah menjadi baik kembali. Sepeninggal
Tohpati, maka tidak ada lagi kekuatan yang dapat mengganggu."
"Oh, jadi benar Angger Tohpati telah dapat dipatahkan."
"Ia terbunuh di dalam peperangan."
"Siapakah yang membunuhnya?"
Ki Tambak Wedi menjadi ragu-ragu sejenak. Namun ia
kemudian berkata, "Angger Untara."
"Ah," Argapati berdesah, "aku kira kau akan menyebut nama
Sidanti, Paguhan." "Sidanti telah mengalaminya juga bertempur melawan
Tohpati. Tidak hanya sekali, tetapi beberapa kali."
"Apakah ia masih belum dapat mengalahkannya?"
"Aku tidak dapat mengatakan demikian Argapati, tetapi
mereka belum pernah mendapat kesempatan perang tanding
yang tidak terganggu oleh hiruk pikuk pertempuran. Juga Angger
Widura tidak dapat mengalahkan Tohpati dalam perang yang
demikian. Kesempatan untuk itu memang terlampau sempit.
Baru ketika Senapati muda yang bernama Untara itu
berhadapan langsung dengan Tohpati, kesempatan itu
didapatkannya." Argapati sekali lagi menggangguk-anggukkan kepalanya,
katanya, "Aku tidak menyesal bahwa kau masih belum
mengalahkan Tohpati, Sidanti. Apalagi kemudian yang berhasil
membunuh Angger Tohpati adalah Angger Untara sendiri.
Seandainya Tohpati terbunuh oleh orang lain, maka kau harus
malu, bahwa bukan kau yang telah melakukannya."
Sidanti sendiri hanya dapat menundukkan kepalanya. Debar
dadanya menjadi semakin mengguncang jantungnya. Ia merasa
seolah-olah sedang bergantung pada sebuah ranting yang
kering. Tetapi seperti Pandan Wangi, Argapati pun sama sekali tidak
berprasangka sama sekali, bahwa baik Ki Tambak Wedi,
Argajaya, dan Sidanti telah terdorong semakin jauh ke dalam
ceritera-ceritera yang mereka khayalkan bersama.
Untuk menutupi kebohongan yang pernah mereka katakan
sebelumnya, maka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
Argapati dan Pandan Wangi, mereka harus membuat
kebohongan-kebohongan baru, semakin lama semakin banyak
dan semakin banyak. Hanya karena kecepatan mereka berpikir, maka seolah-olah
ceritera mereka itu benar-benar hidup. Meskipun mereka tidak
berjanji lebih dahulu, dan tidak menyiapkan kerangka ceritera
yang harus mereka katakan, namun mereka berusaha untuk
saling menyesuaikan diri. Meskipun demikian, mereka terpaksa
menjadi semakin gelisah. Pertanyaan-pertanyaan Argapati
menjadi semakin sulit untuk mereka jawab.
Sidanti sendiri semakin lama menjadi semakin diam. Tidak
banyak yang dapat dikatakannya tentang perjalanannya
mengelilingi daerah Demak lama. Bahkan ia berdoa, agar
ayahnya tidak bertanya tentang daerah-daerah yang belum
pernah dilihatnya. "He, Sidanti," tegur Argapati, "kenapa kau diam saja. Apakah
Ki Tambak Wedi telah merubahmu menjadi seorang pendiam"
Ayo, ceriterakanlah apa yang pernah kau alami. Aku akan
menjadi bangga mendengar ceriteramu. Kau pasti pernah
bertempur dengan serombongan penjahat, segerombolan
perampok atau sekelompok orang-orang yang
menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan diri,
kemudian memeras orang-orang yang menjadi reh-rehannya.
Kau pasti telah banyak berbuat selain menghadapi orang-orang
Jipang yang agaknya sulit untuk mengerti keadaan yang
sebenarnya telah dihadapkan di muka hidung mereka."
Keringat dingin mengalir di segenap lubang-lubang kulit
Sidanti. Wajahnya menjadi tegang, dan kerongkongan menjadi
pepat. Untunglah bahwa gurunya membantunya. Berkata Ki
Tambak Wedi, "Anak itu terlampau lelah. Pengalaman yang
pertama ini agaknya terlampau berat baginya. Argapati, suruhlah
anak itu tidur atau beristirahat atau apa pun. Besok pagi ia akan
dapat berceritera seperti seekor burung yang segar disinari
matahari pagi." Argapati tertawa. Dipandanginya wajah Sidanti yang tunduk.
Katanya, "Ya, barangkali kau terlampau payah, Sidanti.
Meskipun kau jauh lebih muda dari gurumu, tetapi jalan
pernafasanmu dan otot bebayumu masih belum mendapatkan
latihan yang mantap, sehingga kau terlampau cepat menjadi
lelah." Mendengar kata-kata Argapati itu, Ki Tambak Wedi
mengerutkan keningnya. Ia merasa seolah-olah Argapati
menyindirnya, bahwa ia kurang berhasil menuntun anak muda
itu. Tetapi ia mendengar Argapati itu meneruskan, "Betapapun
baiknya latihan-latihan yang telah kau jalani, tetapi perjalanan
yang pertama apalagi dalam jarak yang demikian jauh, memang
merupakan latihan yang terlampau berat buat kau. Seharusnya
kau mengalami perjalanan-perjalanan yang lebih ringan. Tetapi
agaknya memang sudah menjadi adat gurumu." Argapati
berhenti sejenak, lalu kepada Ki Tambak Wedi ia berkata,
"Bukankah begitu Paguhan" Kau tidak pernah telaten mengurusi
persoalan-persoalan kecil. Kau ingin cepat langsung pada
persoalan yang kau ingini. Tanpa banyak pendahuluan dan
pengantar." Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Namun ia
tersenyum, "Mungkin begitu, Argapati. Aku sendiri sulit untuk
menilai diri. Tetapi aku memang tidak telaten berjalan dengan
langkah kecil-kecil. Aku ingin meloncat sejauh jangkauanku."
Argapati tertawa pula, "Kau masih belum berubah." Lalu
kepada Sidanti ia berkata, "Beristirahatlah. Besok kau akan
dijamu oleh anak-anak muda yang paling terkemuka di Tanah
Perdikan ini. Para pemimpin Pengawal Tanah ini. Kau pasti akan
mendapat seribu macam pertanyaan. Mungkin ada yang
menyenangkan hatimu, tetapi pasti ada pula pertanyaanpertanyaan
yang menjemukan bagimu. Setiap orang tertarik
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada persoalan yang berbeda-beda. Ada yang ingin supaya kau
berceritera tentang perkelahian-perkelahian yang pernah kau
alami, ada yang ingin mendengar apakah kau bertemu dengan
gadis-gadis cantik di perjalananmu, atau kau pernah melihat apa
saja yang tidak ada di Menoreh, atau kau menjumpai jenis
makanan yang paling enak yang pernah dibuat orang. Nah,
malam ini persiapkan saja semua jawabannya."
Sidanti yang tunduk itu mengganggukkan kepalanya, "Ya,
Ayah. Aku akan mencoba."
"Bagus," kemudian kepada Pandan Wangi ia berkata,
"bawalah kakakmu untuk beristirahat. Sediakan gandok Kulon
untuknya dan gurunya."
"Ya, Ayah," sahut Pandan Wangi sambil berdiri. Kemudian ia
melangkah pergi memanggil pelayannya untuk membersihkan,
gandok Kulon. Ketika kemudian Sidanti meninggalkan pertemuan itu, maka
serasa ia terlepas dari sebuah kungkungan yang menyekat
nafasnya. Begitu ia menginjakkan kakinya di halaman, begitu ia
menarik nafas dalam-dalam. Terasa betapa sejuknya udara
tanah kelahiran. Terasa betapa nyamannya silir angin di
kampung halaman. Sidanti berhenti sejenak ketika ia sampai ke depan pintu
gandok. Dipalingkannya wajahnya. Ditebarkannya pandangan
matanya ke sekelilingnya, hingga pada hijaunya pepohonan.
Tetapi tiba-tiba dadanya berdesir. Rumah ini, rumah ayahnya,
terasa begitu asing baginya. Meskipun sudah lama ia tidak
pulang kembali ke rumah ini, tetapi rumah ini adalah rumah
ayahnya. Rumahnya sendiri.
Persoalan yang mereka bicarakan di pendapa itu telah
melemparkannya pada suatu keadaan yang tidak disangkasangkanya.
Bayangan dan angan-angannya tentang rumah ini
sama sekali berbeda dengan apa yang dijumpainya. Di
sepanjang jalan ia berharap, bahwa begitu ayahnya mendengar
tentang keadaannya, maka segera berbunyi tengara untuk
menyiapkan pasukan di seluruh Tanah Perdikan yang besar ini.
Tetapi ketika ia sudah sampai di Menoreh, sudah berhadapan
dengan ayahnya Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh,
maka ia telah terlempar ke dalam suatu keadaan yang tidak
menyenangkannya sama sekali. Ia sama sekali tidak mengerti
kenapa pembicaraan mereka berkisar ke dalam suatu khayalan
yang menjemukan. "Benar-benar gila," gumamnya di dalam hatinya, "peristiwa di
rumah Ki Sentol telah menyeret aku ke dalam keadaan yang
sangat jelek. Apakah guru dan paman akan terus menerus
bertahan pada keterangannya. Apakah kami akan terus menerus
berbohong tanpa ujung dan pangkal" Semakin jauh kami terlibat
dalam kebohongan yang gila itu, keadaan kami pasti akan
semakin sulit. Mungkin ayah pun akan tersinggung pula apabila
ia kelak terdampar pada suatu kenyataan tentang keadaanku,
guru dan paman Argajaya yang sebenarnya." Sidanti
menggeretakkan giginya. "Kami harus berterus terang. Kami
harus berterus terang supaya aku tidak disiksa oley kebohongan
itu." Sidanti masih saja berdiri di depan pintu gandok Kulon. Ia
masih saja dicengkam oleh kegelisahan yang sangat. Peristiwa
yang terjadi di rumah Ki Sentol benar-benar telah membuatnya
sangat sulit. Pertanyaan-pertanyaan Pandan Wangi telah mulai
mendorong pamannya untuk membuat ceritera khayal. Lalu
gurunya dan dirinya sendiri.
"Gila, gila," ia menggeram.
Tetapi Sidanti itu terkejut ketika ia mendengar suara halus di
belakangnya, "Marilah, Kakang. Bilikmu telah kami siapkan. Kau
dan gurumu akan tidur di gandok malam ini. Mungkin juga
Paman Argajaya. Tetapi agaknya paman akan segera pulang
setelah sekian lama meninggalkan bibi dan adik-adik di rumah
dalam kecemasan." Sidanti menarik nafas dalam-dalam. Ketika terpandang wajah
adiknya, tiba-tiba saja ia teringat kepada Sekar Mirah. Gadis
Sangkal Putung yang telah merusak segala rencananya, segala
cita-citanya dan segala-galanya.
Tetapi ia melihat perbedaan pada kedua gadis itu. Sekar
Mirah adalah gadis yang dibakar oleh gairah hidup yang
menyala-nyala di dalam dadanya. Meskipun Sekar Mirah tidak
mampu menggenggam pedang seperti adiknya, Pandan Wangi.
Tetapi Sekar Mirah mempunyai beberapa kelebihan dari adiknya
ini. Adalah kebetulan bahwa Pandan Wangi adalah puteri
Argapati. Mungkin tanpa dikehendaki oleh gadis itu sendiri,
ayahnya telah mengajarinya dalam ilmu tata beladiri.
Menurunkan ilmu dari cabang perguruan Menoreh.
"Tidak. Aku melihat bahwa darah ayah mengalir pada tubuh
Pandan Wangi. Ia cukup lincah, cukup cekatan dan cerdas untuk
menghadapi keadaan yang tiba-tiba," katanya di dalam hati.
Pandan Wangi yang masih saja berdiri di dalam gandok
menjadi termangu-mangu. Ia menjadi heran kenapa kakaknya
memandanginya seperti belum pernah melihatnya, sehingga
wajahnya pun kemudian ditundukkannya.
"Pandan Wangi masih saja seorang gadis pemalu," berkata
Sidanti pula di dalam hatinya.
(***) Buku 31 SIDANTI masih saja diam mematung, dengan tanpa
memandanginya Pandan Wangi mengulangi, "Marilah Kakang.
Bilikmu telah tersedia. Aku juga telah menyediakan pakaian dan
perlengkapan lainnya di dalam gledeg. Aku juga telah
menyediakan pakaian untuk gurumu, Ki Tambak Wedi."
Sidanti menganggukkan kepalanya. Tetapi terasa betapa
canggungnya menghadapi adiknya. Ia masih saja terpengaruh
oleh perbuatannya di rumah Ki Sentol. Kadang-kadang Sidanti
merasa malu sendiri, apakah jadinya seandainya orang-orang
Menoreh mengetahuinya, apa yang akan dilakukannya di rumah
itu. Tetapi dengan menyembunyikan maksudnya yang
sebenarnya, maka ia terperosok bersama-sama dengan paman
dan gurunya, ke dalam suatu sikap yang tidak pula kalah
sulitnya. Sidanti terperanjat ketika tiba-tiba ia mendengar Pandan
Wangi berkata perlahan sekali, "Apakah Kakang marah
kepadaku?" "Oh, tidak, tidak Wangi," dengan serta merta Sidanti
menyahut sambil melangkahi tlundak pintu gandok Kulon,
"Kenapa aku marah?"
"Mungkin Kakang menganggap aku tidak sopan. Aku telah
berani melawanmu." "Tidak, tidak. Sama sekali tidak. Kita tidak saling mengenal
waktu itu." Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Terheran-heran ia
memandangi wajah kakaknya. Tetapi justru dengan demikian
tidak sepatah katapun yang diucapkannya.
Sidanti yang melihat keheranan pada sorot mata adiknya tibatiba
menyadari kesalahannya. Dengan tergesa-gesa ia
menyambung, "Maksudku, kau tidak mengenal aku pada waktu
itu. Sedang aku memang sengaja mengganggumu."
"Tetapi apakah Kakang mengetahui, bahwa aku sedikit
banyak dapat bermain-main dengan pedang?"
"Tentu Pandan Wangi. Aku mengetahuinya."
"Dari siapa Kakang tahu atau mendengarnya?"
Sejenak Sidanti terdiam. Betapa ia mengumpat di dalam
hatinya. Ia tahu, bahwa Pandan Wangi sama sekali tidak
berprasangka apa-apa, tetapi pertanyaannya membuatnya ia
pening. Namun tiba-tiba diketemukanya jawabnya, "Bukankah
kau berpakaian laklaki, dan membawa sepasang pedang" Aku
semula juga ragu-ragu Wangi, tetapi melihat langkahmu aku
yakin, bahwa kau menyimpan ilmu di dalam dirimu. Nah,
kemudian timbullah keinginanku untuk melihat, ilmu apakah yang
kau simpan itu. Ternyata kau telah mendapat ilmu pedang dari
perguruan Menoreh." "Ah," Pandan Wangi menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Sidanti yang telah berada di dalam gandok itupun kemudian
bertanya, supaya ia tidak harus menjawab pertanyaanpertanyaan
yang menggelisahkannya, "Di mana Guru harus
beristirahat?" "Di bilik itu juga Kakang."
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian
diayunkannya kakinya melangkah ke dalam bilik yang telah
disediakan. Bilik itu pernah dikenalnya dahulu. Bahkan ia dahulu
selalu tidur di dalam bilik itu juga. Tetapi kali ini bilik itupun
tampak sangat asing baginya. Ia telah mengenal hampir setiap
benda yang ada di dalam bilik itu. Sebuah pembaringan dari
kayu yang lebar. Sebuah geledeg bambu. Sebuah ajug-ajug dari
bambu pula dan sebuah peti kayu. Belum berubah seperti
beberapa tahun yang lalu. Sebuah tikar yang putih terbentang di
atas pembaringan. Mungkin hanya tikar inilah benda yang belum
pernah dikenalnya. Meskipun dahulu di atas pembaringan ini
terbentang pula sehelai tikar pandan yang putih, tetapi pasti
bukan tikar yang kini terbentang itu.
"Bilik itu sudah dibersihkan Kakang. Bilik itu hampir tidak
pernah dipergunakan. Hanya kadang-kadang saja Paman
Argajaya tidur di tempat itu, apabila ia bermalam di rumah ini."
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Tetapi ia
masih belum menjawab. "Bukankah Kakang terlampau lelah?"
Sidanti menarik nafas. Bukan tubuhnyalah yang sebenarnya
terlampau lelah. Tetapi perasaannya. Pertanyaan-pertanyaan
yang telah membuatnya pening, ternyata benar-benar
membuatnya terlampau lelah.
Namun Sidanti itu menganggukkan kepalanya sambil
menjawab lirih, "Ya Wangi. Aku memang terlampau lelah setelah
melakukan perjalanan yang panjang."
Tetapi Sidanti tidak menyangka, bahwa jawabnya telah
membuka kesempatan bagi Pandan Wangi untuk bertanya, agar
suasana pertemuan itu tidak terlampau kaku, "Perjalanan itu
tentu menyenangkan sekali bukan, Kakang" Lain kali aku ingin
ikut pula di dalam perjalanan-perjalanan seperti itu. Pasti akan
sangat banyak yang dapat dilihat. Tanah yang hijau subur. Kota
yang yang bagus dan ramai. Mungkin juga istana-istana yang
indah. Ah, kapan Kakang akan melakukannya lagi?"
Sidanti menggigit bibirnya. Tetapi ia terpaksa menjawab, "Aku
tidak tahu Wangi. Mungkin setahun, mungkin dua tahun lagi."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika
kakaknya Sidanti duduk di pembaringannya, maka Pandan
Wangi pun duduk pula di ujung yang lain.
"Apakah Kakang juga berjumpa dengan gadis-gadis yang
cantik" Ayah tadi mengatakan, bahwa mungkin Kakang akan
mendengar pertanyaan serupa itu. Benarkah begitu?"
Dada Sidanti menjadi semakin berdebar-debar. Jantungnya
serasa berdetak semakin keras. Apalagi ketika ia mendengar
Pandan Wangi meneruskannyan, "Aku senang melihat gadisgadis
kota yang cantik. Bukan seperti aku."
Tiba-tiba hampir tanpa disadarinya Sidanti menyahut,
"Beruntunglah kau Pandan Wangi, bahwa kau hidup di daerah
yang sederhana ini. Gadis-gadis cantik yang aku kenal, benarbenar
menjemukan. Mereka biasanya terlampau menyadari
kecantikannya. Dan mereka mempergunakan kecantikan itu
untuk memuaskan diri mereka sendiri. Mereka dengan
kecantikannya, berusaha menghancurkan orang lain. Bahkan
tanpa mempedulikan akibat yang paling parah yang dapat
terjadi. Pembunuhan." Sidanti berhenti sejenak. Tiba-tiba
wajahnya menjadi merah dan menegang.
Pandan Wangi yang melihat perubahan sikap kakaknya itu
menjadi bingung. Ia tidak mengerti, apakah sebabnya kakaknya
menjadi demikian tegang. "Pandan Wangi," terdengar suara Sidanti meninggi. "bukan
saja gadis-gadis kota yang cantik. Tetapi gadis desa yang kecil,
yang tidak berarti sama sekali pun, telah mempergunakan
kecantikannya untuk kehancuran. Bukan untuk kebangunan."
Pandan Wangi menjadi semakin bingung. Ia sama sekali tidak
dapat menangkap maksud kata-kata kakaknya. Bahkan gadis itu
menjadi gelisah. Apalagi ketika kemudian ia melihat Sidanti
berdiri, "Pandan Wangi. Ingat, bahwa kecantikan seseorang
bukan merupakan ukuran mutlak bagi seorang gadis. Kau harus
mendengar sebuah contoh tentang gadis yang paling
memuakkan, yang pernah aku jumpai. Namanya Sekar Mirah."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi
pandangan matanya yang kosong terpancang ke wajah
kakaknya yang tegang. "Gadis itu telah membuat semuanya menjadi hancur."
"Semuanya?" Pandan Wangi bertanya, "apakah yang kau
maksudkan, Kakang?" Hampir Sidanti meneriakkan nama Padepokan Tambak Wedi.
Hampir ia menyebut namanya sendiri. Untunglah segera ia
menyadari dirinya. Dengan sekuat tenaga ditahankannya
perasaannya. Dan dicobanya untuk berkata sareh, "Maksudku
semuanya, setiap laklaki yang telah mengenal dan bergaul
dengan gadis itu." Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, "Apakah
yang akan dilakukannya, Kakang?"
"Ia mendekati setiap laklaki yang baru dikenalnya dan
dikaguminya. Gadis itu mengagumi keperkasaan dan
keperwiraan. Ia senang melihat seorang laklaki yang bersikap
jantan. Tetapi setiap kali pandangannya selalu berubah-ubah."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya pula,
"Sifat itu tentu kurang baik bukan, Kakang. Mungkin ia dapat
menimbulkan salah paham di antara laklaki yang mengenalnya
itu." "Tentu." "Dan menimbulkan hal-hal yang tidak dikehendaki."
"Ya." "Aku akan selalu teringat akan nasehat ayah dan almarhum
ibu. Sekarang nasehatmu itu juga, Kakang. Untunglah, bahwa
aku bukan gadis yang cantik. Setidak-tidaknya akan mengurangi
kesempatan bagiku untuk berbuat seperti itu."
Sidanti mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, "Tidak
Wangi. Kau juga cantik. Tetapi kau tidak perlu berbuat serupa
itu." Wajah Pandan Wangi menjadi kemerah-merahan mendengar
pujian kakaknya. Dahulu kakaknya memang selalu memujinya.
Tetapi tangkapannya kini menjadi jauh berbeda, sehingga
dengan demikian maka Pandan Wangi itu menundukan
kepalanya. "Pandan Wangi. Kau juga cantik. Tetapi ingatlah, bahwa
kecantikanmu harus mendapat tempat yang baik."
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pandan Wangi mengangguk kecil. Tetapi ia masih
menundukkan kepalanya. "Kecantikan yang tidak pada tempatnya, akan menjadi api
yang dapat membakar apa saja yang berada di dekatnya.
Seperti Sekar Mirah yang telah membakar kademangannya."
Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan ia
bertanya, "Apakah yang telah terjadi dengan gadis yang benama
Sekar Mirah itu, Kakang?"
"Karang abang," sahut Sidanti. Terasa tekanan kata-katanya
menjadi berat, seolah-olah ia sedang menumpahkan segala
tekanan perasaannya karena gadis yang bernama Sekar Mirah
itu, "Laklaki saling berbunuhan. Gadis itu benar-benar seperti
api yang liar." Tetapi Sidanti tidak mengatakan bahwa ia telah
menyiram dirinya sendiri dengan minyak, lalu mendekatkan
dirinya itu pada api yang sedang menyala-nyala. Akibatnya,
perasaannya terbakar menjadi abu.
Namun tanpa disangka-sangka, Pandan Wangi itu bergumam
seperti kepada diri sendiri, "Tetapi salah laklaki itu sendiri."
Sidanti mengerutkan keningnya. "Kenapa?" ia bertanya.
"Kalau laklaki itu tidak memperhatikannya, maka ia akan
tidak dapat diperlakukan demikian."
"Itu adalah kesukaannya. Dirayunya laklaki itu, kemudian
dihempaskannya." "Kalau aku menjadi laklaki," berkata Pandan Wangi, "aku
tidak mau mendekatinya. Aku usir dia, seperti ia mengusir lakilaki
yang lain apabila ia mendekati aku. Tetapi aku bukan lakilaki.
Dan setiap laklaki selalu melemparkan kesalahan kepada
gadis-gadis, kepada perempuan."
"He," Sidanti terhenyak mendengar kata-kata Pandan Wangi.
"Ya, setiap laklaki selalu melemparkan kesalahan kepada
perempuan. Hampir dalam segala hal, laklaki Sangkal Putung
yang saling berbunuhan itupun melemparkan kesalahan
sepenuhnya kepada Sekar Mirah itu. Aku belum mengenal dan
melihat Sekar Mirah. Seandainya benar Sekar Mirah itu seorang
gadis liar sekali pun, namun laklaki yang dengan suka rela
menyerahkan dirinya menjadi ayam aduan itupun bersalah pula.
Apakah tidak begitu, Kakang?"
Dada Sidanti menjadi berdebar-debar. Tetapi ditahankannya
perasaannya. Bahkan kemudian ia sadar, bahwa adiknya
Pandan Wangi itupun seorang gadis pula.
"Kau salah paham, Pandan Wangi."
Pandan Wangi tidak menjawab.
"Aku sama sekali tidak menyalahkan setiap gadis. Aku khusus
menyebut Sekar Mirah. Sekar Mirah-lah yang salah. Bukan
karena ia seorang perempuan."
"Ya," sahut Pandan Wangi, "maksudku pun mengatakan
tentang Sekar Mirah dan peristiwa-peristiwa serupa. Sekar Mirah
memang bersalah. Tetapi yang bersalah bukan saja Sekar
Mirah, juga laklaki Sangkal Putung itu. Apalagi yang berbunuhbunuhan
karenanya. Dunia tidak hanya seluas telapak tangan.
Kenapa harus mengejar gadis seperti Sekar Mirah?"
Sidanti mengerutkan keningnya. Hampir-hampir ia terdorong
oleh perasaannya. Untunglah, bahwa ia segera berusaha
mengekang dirinya, betapa dadanya terasa seolah-olah terhimpit
oleh batu hitam sebesar kerbau.
Dengan demikian, maka Sidanti terdiam untuk sesaat. Ia tidak
menemukan kalimat yang dianggapnya baik untuk
diucapkannya. Namun dengan demikian, maka terasa dadanya
menjadi semakin pepat. Untunglah, bahwa dalam saat yang demikian, Argajaya
masuk ke dalam bilik itu. Sejenak ia terpaku di muka pintu. Ia
merasakan suasana yang kurang baik di dalam bilik itu,
sehingga hatinya pun menjadi berdebar-debar. Namun kemudian
dipaksakannya bibirnya untuk tersenyum dan berkata, "Ha,
apakah kau sedang mendengarkan ceritera perjalanan
kakakmu?" "Ya, Paman," jawab Pandan Wangi.
"Apakah ceritera itu kurang menarik?"
"Tidak, Paman. Ceritera Kakang Sidanti sangat menarik."
"Tetapi Pandan Wangi menjadi salah paham, Paman," sahut
Sidanti, "Aku berceritera, bahwa aku menjumpai seorang gadis
bernama Sekar Mirah di Sangkal Putung. Gadis itu serupa benar
dengan api. Memang gadis itu benar-benar seperti api. Setiap
orang yang dekat, dibakarnya dengan wajahnya yang cantik,
kemudian dibakarnya pula laklaki lain, sehingga kadangkadang
dapat menimbulkan keributan, bahkan pernah terjadi
pembunuhan karenanya. Tetapi Pandan Wangi salah paham. Ia
menganggap bahwa laklaki itupun bersalah pula, karena
dengan suka rela membiarkan dirinya menjadi ayam aduan.
Lebih dari itu, disangkanya aku selalu menyalahkan perempuan
saja." Argajaya mengerutkan keningnya. Bahwa Sidanti telah
berceritera tentang Sekar Mirah, agak menjadikannya cemas.
Kalau Sidanti tidak pandai membawa dirinya, maka ia akan
terseret ke dalam pembicaraan yang berbahaya.
Tetapi Argajaya itu kemudian tertawa, katanya, "Tidak.
Pandan Wangi tidak salah paham. Ia adalah seorang gadis
seperti Sekar Mirah. Tetapi sudah tentu Pandan Wangi tidak
akan menjadi buas dan liar seperti Sekar Mirah."
"Apakah paman juga mengenal Sekar Mirah?" bertanya
Pandan Wangi. Argajaya mengangguk, "Ya, aku pun mengenal Sekar Mirah.
Gadis itu adalah suatu contoh yang suram bagi kebanyakan
gadis-gadis yang manja. Gadis-gaids yang bodoh, yang kurang
pengalaman dan picik."
Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling
kepada Sidanti, maka dilihatnya wajah kakaknya masih tetap
tegang. Tetapi ia sudah tidak bernafsu lagi untuk
membantahnya. Sebenarnya ia tidak rela pula apabila ada
seorang gadis seperti dirinya sendiri yang berkelakuan seperti
gadis yang dikatakan oleh kakaknya Sidanti. Seandainya benar
seorang gadis berbuat seperti itu, maka sudah sepantasnya
kalau ia justru harus dijauhkan dari pergaulan. Tetapi ia tidak
rela juga, apabila dalam setiap persoalan yang tumbuh karena
gadis yang demikian, semua kesalahan ditumpahkan kepada
gadis itu. Karena Pandan Wangi tidak menjawab, maka Argajaya
berkata selanjutnya, "Sudahlah Pandan Wangi, jangan kau
pikirkan gadis itu. Kau cukup mengetahui, bahwa Sekar Mirah
adalah sebuah lambang dari kehancuran."
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
"Kau dapat memetik pengalaman daripadanya. Kalau umur
gadis itu menjadi semakin tua, kalau wajahnya yang cantik telah
mulai berkeriput, kalau senyumnya sudah tidak lagi semanis
madu, maka barulah ia menyadari betapa ia telah tersisib dari
dunia disekitarnya."
(Gambar halaman 14) "Nah sekarang biarlah kakakmu beristirahat. Ia sangat lelah."
Pandan Wangi bangkit dari pembaringan. Perlahan-lahan ia
melangkah sambil, "Beristirahatlah Kakang. Aku akah pergi ke
dapur." Sekali lagi Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
"Ia tidak akan dapat hidup lebih dari usia remajanya,"
Argajaya meneruskan, "tetapi kau akan menjadi sangat berbeda.
Kau telah menemukan saluran yang mapan pada jalan hidupmu.
Sampai sisa umurmu yang terakhir, kau akan tetap berguna bagi
orang lain dengan ilmu yang kau miliki."
Wajah Pandan Wangi menjadi kemerah-merahan karenanya.
"Nah, sekarang biarlah kakakmu beristirahat. Ia sangat lelah."
Pandan Wangi bangkit dari pembaringan. Perlahan-lahan ia
melangkah sambil berkata, "Beristirahatlah Kakang. Aku akan
pergi ke dapur." "Ah, kau pun harus beristirahat, Wangi. Bukankah sudah ada
orang lain yang bekerja di dapur?" sahut Argajaya.
"Ada Paman, tetapi sudah menjadi kebiasaanku bekerja di
dapur. Bukankah tidak baik, apabila seorang gadis tidak pernah
menyentuh alat-alat dapur?" jawab Pandan Wangi.
Argajaya mengangguk sambil tersenyum, "Kau memang
seorang gadis yang baik sekali Wangi."
"Ah," Pandan Wangi berdesah. Ketika ia sudah sampai di
pintu bilik, sekali lagi ia berkata kepada kakaknya,
"Beristirahatlah Kakang."
"Terima kasih. Aku akan mandi saja dahulu."
"Silahkan. Pakaian Kakang sudah aku sediakan."
Pandan Wangi pun kemudian meninggalkan biliknya. Ia
mengagumi pamannya sebagai seorang yang baik, sangat baik.
Seorang yang tahu menghargainya. Di rumah, pamannya pun
seorang yang baik, yang sangat memperhatikan anak-anaknya.
Tetapi Pandan Wangi tidak tahu, apakah yang sudah dilakukan
pamannya di luar rumahnya. Pandan Wangi tidak tahu, apa yang
dipikirkan oleh orang yang dianggapnya sangat baik itu. Pandan
Wangi tidak tahu, apa yang sebenarnya telah terjadi atas paman
dan kakaknya. Ketika Pandan Wangi telah hilang di balik pintu yang
memisahkan gandok dan jalur belakang rumah itu, yang akan
tembus ke pringgitan di balik regol dalam, maka Argajaya segera
mendekati Sidanti. Wajahnya tampak bersungguh-sungguh.
Katanya lirih, "Sidanti, permainan ini harus segera berhenti. Kau
harus segera sampai pada persoalanmu yang sebenarnya."
"Ya, Paman. Aku pun merasakan siksaan yang menyesakkan
dadaku karena ceritera khayal yang kita buat bersama-sama.
Ceritera itu sama sekali tidak akan dapat menolong. Aku harus
segera mengatakan apa yang sebenamya telah terjadi atasku,
Paman, dan Guru. Aku harap ayah segera menyiapkan diri
bersama pengawal Tanah Perdikan ini. Bukan itu saja, aku telah
mengenal tanah ini dengan baik. Hampir setiap laklaki sini
adalah prajurit-prajurit yang baik seperti padepokan Tambak
Wedi. Apalagi tanah perdikan ini jauh lebih luas dari padepokan
Tambak Wedi." Pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya,
"Sayang, Tambak Wedi telah terlanjur pecah. Kalau belum,
maka padepokan itu akan dapat dijadikan pancatan yang baik."
"Kita akan dapat merebutnya, Paman."
"Tidak banyak berarti. Kita sama sekali sudah tidak
mempunyai kekuatan apapun di sana."
"Lalu?" "Aku tidak tahu, apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh
ayahmu. Kalau Menoreh ini memberontak dan memutuskan
hubungan dengan Pajang, maka Pajang akan mendapat
kesulitan. Tidak mudah untuk melakukan serangan
menyeberangi hutan Mentaok dan Kali Praga. Kedua tempat itu
akan dapat dijadikan tempat yang sangat baik untuk menunggu
kedatangan prajurit-prajurit Pajang."
Sidanti mengerutkan keningnya. Lalu ia pun bertanya,
"Apakah yang sudah dikatakan Guru kemudian sepeninggalku?"
"Ah," desab pamannya, "aku tidak telaten. Ki Tambak Wedi
dan Kakang Argapati hanya berbicara mengenai hal-hal yang
sama sekali tidak penting. Hal-hal yang sama sekali tidak
menyangkut persoalanmu. Ia berbicara tentang kemajuan
ilmumu. Tentang terbunuhnya Tohpati dan tentang hal-hal lain,
yang tidak berarti apa-apa bagimu."
Sidanti mengerutkan keningnya. Tetapi apakah yang dapat
lakukanya seandainya gurunya memang menghendaki demikian
"Nah, sekarang mandilah. Ki Tambak Wedi pun akan segera
datang kemari. Aku akan berbicara dengan gurumu. Mudahmudahan
kita dapat mempengaruhi Kakang Argapati. Kakang
Argapati sendiri termasuk orang yang disegani oleh orang-orang
Pajang, termasuk Ki Gede Pemanahan."
"Mudah-mudahan kita berhasil. Ayah akan menjadi panas dan
menyatakan perang melawan Pajang selagi Pajang masih belum
mampu tegak benar. Prambanan mungkin dapat diperhitungkan.
Aku mengenal daerah itu agak banyak."
Argajaya mengerutkan keningnya. Ia merasa lebih mengenal
daerah Prambanan daripada Sidanti. Sidanti memang pernah
melewati daerah itu. Tetapi ia pernah singgah di kademangan itu
dan bahkan terlibat dalam suatu peristiwa yang memalukan.
Karena itu maka Argajaya berkata, "Kau hanya mengenal
Prambanan dari jarak yang tidak terlampau dekat. Kau
mendengar ceritera tentang daerah itu dari beberapa orang,
antara lain dari aku sendiri. Tetapi aku tidak dapat mengharap
lagi apa-apa dari kademangan yang menyakitkan hati itu."
Sidanti mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Belum tentu
Paman. Mungkin masih ada satu dua orang yang Paman kenal,
yang dapat dipengaruhi dengan cara yang lebih baik. Mungkin
satu dua orang dapat dibawa ke tanah perdikan ini dan
menunjukkan kepada mereka kekuatan yang besar, yang akan
dapat mendukungnya membuat sesuatu gerakan di Prambanan.
Paman dapat menjanjikan kedudukan yang baik kepadanya,
bahkan mungkin kedudukan demang apabila demang yang lama
itu sama sekali sudah tidak dapat lagi diajak berbicara. Satu dua
orang itu akan menjadi inti dari gerakan-gerakan seterusnya di
Prambanan sehingga akhirnya kita mendapat tempat yang baik
untuk pancadan." "Hem," Argajaya menarik nafas dalam-dalam, "kau lalu ingin
mengarahkan gerakanmu lewat daerah Selatan. Kenapa kau
tidak memperhitungkan jalan lain" Kita dapat melingkari
lambung Gunung Merapi dibagian Selatan, langsung menuju ke
Jati Anom." "Sangat berbahaya," sahut Sidanti, "sangat berbahaya,
karena di sana ada Untara."
"Pasukan Untara tidak lebih besar dari pasukan Widura."
"Tetapi Kiai Gringsing berada di kademangan itu."
"Belum tentu. Mungkin Kiai Gringsing akan tetap tinggal di
Sangkal Putung bersama orang yang bernama Sumangkar.
Apakah kau sangka bahwa Agung Sedayu akan menetap di Jati
Anom" Tidak. Dua orang murid Kiai Gringsing itu berasal dari
Jati Anom dan Sangkal Putung. Tetapi karena di Sangkal Putung
ada Sekar Mirah, maka kemungkinan yang terbesar, Kiai
Gringsing bersama kedua muridnya akan berada di sana."
Sidanti menekurkan kepalanya. Tetapi segera ia mengangkat
wajahnya ketika ia mendengar Argajaya berkata, "Sidanti, kau
tidak dapat melepaskan arah perhitunganmu dari Sangkal
Putung. Bukankah begitu?"
Sidanti tidak menjawab. Tetapi terasa dadanya berdesir.
"Baru saja kau mengumpati gadis yang bernama Sekar Mirah
dari Sangkal Putung. Lupakan gadis itu. Kalau kau berhasil
melupakannya, maka kau akan dapat membuat perhitunganperhitungan
yang lebih tepat berdasarkan pertimbangan nalar."
Sidanti tidak menjawab. Dibiarkannya pamannya berkata
terus, "Nah, cobalah kau merenungkan. Kau pernah berada di
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dalam lingkungan keprajuritan pula." Argajaya berhenti sejenak,
lalu katanya merendah, "Tetapi semuanya sangat tergantung
kepada ayahmu, Sidanti. Ayahmu adalah seorang yang
mumpuni. Perhitungannya hampir tidak pernah salah."
Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi dadanya
menjadi semakin berdebar-debar, "Ya, semuanya tergantung
kepada Ayah," katanya di dalam hati.
"Sekarang, bukankah kau akan mandi?" bertanya pamannya,
"Pergilah mandi. Aku malam ini akan bermalam di sini, supaya
aku dapat ikut dalam pembicaraan nanti."
"Apakah Guru akan berbicara malam ini?"
"Mudah-mudahan. Mudah-mudahan kita tidak selalu
digelisahkan oleh ceritera khayal yang menjemukan itu."
Sidanti tidak menjawab. Segera ia berdiri dan berkata, "Aku
akan mandi." Argajaya kemudian tinggal seorang diri di dalam bilik itu.
Sekalsekali ia berdiri dan berjalan mondar-mandir dalam
kegelisahannya. Ia merasa ikut berkepentingan mengenai anak
kakaknya itu. Kemanakannya itu harus dapat membalas sakit
hatinya terhadap Untara, dan bahkan terhadap Pajang, karena
Untara adalah seorang senapati yang mendapat kekuasaan
langsung dari Panglima Wira Tamtama Pajang.
"Aku harus membela anak itu sekuat-kuat tenagaku,"
desisnya, "aku adalah pamannya."
Tetapi jauh di dalam dasar hatinya, Argajaya seolah-olah
mendengar sebuah pertanyaan yang lamat-lamat, hampir-hampir
tidak dapat menyentuh telinga batinnya, "Apakah benar
demikian, he, Argajaya yang gagah berani" Apakah benar,
sekedar karena dorongan hasratmu untuk membela
kemenakanmu maka kau demikian bernafsu untuk berjuang
melawan Pajang." Terasa sebuah desir yang tajam menyentuh jantungnya.
Pertanyaan itu ternyata telah membuatnya gelisah. Namun justru
dengan demikian, maka pertanyaan itu didengarnya lagi,
"Apakah benar demikian" Kalau begitu kau adalah seorang yang
paling baik di muka bumi. Tetapi apakah kau tidak mempunyai
pamrih pribadi." "Tidak, tidak," Argajaya menggeram. Tetapi ia tidak dapat
menutup telinganya dari suara hatinya sendiri, "Argajaya,
agaknya bukan karena hasratmu untuk membela Sidanti dan
membalas sakit hatinya saja, kau bertekad untuk melawan
Pajang. Tetapi pamrih pribadimulah yang akan membawa kau
dalam kancah peperangan yang besar, yang justru mengancam
keselamatan tanah perdikan ini."
"Tidak, tidak," sekali lagi Argajaya menggeram. Namun
bagaimana ia dapat menipu dirinya sendiri" Bagaimana ia dapat
menyembunyikan kata hatinya terhadap dirinya sendiri"
Seperti di hadapkan di muka cermin, Argajaya dapat melihat
dengan jelas, apa yang tersembunyi di dalam dirinya. Pamrih
yang telah mendorongnya untuk membakar Tanah Perdikan
Menoreh dalam kancah peperangan yang dahsyat. Tanah
perdikan yang selama ini diliputi oleh ketenangan dan kesibukan
kerja melawan kekerasan alam pegunungan.
Argajaya yang keras hati itu terhenyak di atas amben bambu
di dalam bilik itu. Dicobanya untuk melawan pertanyaanpertanyaan
yang kemudian terasa semakin mengganggu
perasaannya. Tetapi dengan demikian, maka ia menjadi semakin
jelas melihat ke dalam dirinya sendiri. Kepada pamrih yang
terpahat pada dinding hatinya. Ia adalah adik satu-satunya dari
Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang besar. Tetapi ia bukan
Kepala Tanah Perdikan itu. Meskipun ia mempunyai kekuasaan
yang cukup besar, namun di atasnya adalah kakaknya, Argapati.
"Kalau Kakang Argapati berhasil memecah Pajang. Setidaktidaknya
mampu mempunyai kekuasaan yang sama dengan
Pajang, karena Pajang tidak mampu mengalahkannya, maka
Argapati pasti akan mengangkat dirinya sejajar dengan pimpinan
tertinggi pemerintahan Pajang. Adiwijaya tidak akan selamanya
puas dengan kedudukan Adipatinya. Sebentar lagi setelah
lawan-lawannya satu demi satu disingkirkan, ia akan menjadi
seorang yang paling berkuasa di Pajang dan sepanjang daerah
Demak lama. Ia akan dapat berbuat sekehendak hatinya tanpa
seorang pun dapat merintanginya. Sehingga dengan demikian,
ia akan dengan mudahnya membuka jalan ke singgasana
seorang Raja. Sultan Pajang." Argajaya bergumam di hatinya.
Tiba-tiba Argajaya bangkit berdiri. Dihentikannya kakinya
sambil menggeram, "Memang, memang aku mempunyai pamrih
pribadi. Hanya orang-orang gila yang berbuat sesuatu tanpa
pamrih pribadi. Dan aku bukan orang gila. Kalau Kakang
Argapati kelak dapat menjadi seorang yang mempunyai
kekuasaan menyamai Adiwijaya, kemudian menyebut dirinya
Adipati, maka aku adalah orang yang kedua. Kakang Argapati
tidak akan lagi mempunyai waktu untuk tanah perdikan ini.
Sidanti, anak laklakinya tidak akan lagi mengharap tanah
perdikan ini sebagai tanah warisan, karena kedudukan ayahnya.
Maka tidak ada orang kedua dan ketiga selain Argajaya."
Argajaya itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian, "Setelah itu,
apa yang akan terjadi, entahlah. Apakah Argajaya akan berhenti
di tempat itu?" Tetapi Argajaya tidak berani meneruskan angan-angannya.
Terdengar ia berdesis, "Terlampau jauh. Aku harus
mendapatkan yang paling dekat dahulu. Kakang Argapati harus
melawan Pajang. Harus memisahkan diri dari kekuasaan
Adiwijaya. Kalau tidak mampu meremukkan Pajang, setidaktidaknya
melepaskan diri, dan berdiri dalam keadaan yang
sama." Argajaya yang seolah-olah telah sampai pada puncak anganangannya
itu, kemudian menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia meletakkan dirinya
perlahan-lahan duduk lagi di atas amben. Namun ia masih belum
melepaskan sama sekali angan-angannya, " Hem, bagaimana
dengan para Bupati dan Adipati yang kini telah memihak
Pajang?" Pertanyaan itu dijawabnya sendiri. Mereka sudah bukan
pejuang-pejuang yang gigih. Setelah mereka mampu melapisi
tiang-tiang rumah mereka dengan emas, setelah mereka mampu
mengukir tubuh mereka dengan intan berlian dan memenuhi
bilik-bilik mereka dengan isteristri muda yang cantik, maka
mereka adalah orang-orang yang paling jinak. Apabila Kakang
Argapati mampu memecah kota Pajang, maka tidak sampai
sepenginang mereka akan tunduk. Bukan karena keyakinan
kebenaran mereka atas kemenangan Kakang Argapati, tetapi
sekedar untuk menyelamatkan diri mereka, menyelamatkan
harta benda mereka dan menyelamatkan isteristeri mereka
yang muda-muda dan cantik. Sebab itulah yang kemudian sudah
menjadi jalan hidup mereka."
Argajaya menarik nafas sekali lagi. Semakin panjang. Ia
menemukan kepuasan di dalam angan-angannya. Seolah-olah
ia telah melakukannya. Seolah-olah kini ia telah menggenggam
kemenangan. Kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang
besar. Namun Argajaya sendiri melupakannya, bahwa arah
perjuangannyapun serupa dengan para Bupati dan Adipati itu.
Dengan kedudukan yang tinggi dan kekuasaan yang besar, ia
akan dapat berbuat jauh lebih banyak dari apa yang dapat
dilakukannya sekarang. Ia akan dapat melapisi tiang rumahnya
dengan emas, ia akan dapat mengukir dirinya dengan intan
berlian, dan kemudian mengisi bilik-bilik rumahnya dengan isteriisteri
yang cantik. Argajaya yang sedang diselubungi oleh angan-angannya itu,
terkejut ketika ia melihat seseorang melangkah masuk ke dalam
bilik itu. Ketika ia mengangkat wajahnya terdengar orang itu
mengeluh pendek. "Marilah Kiai," Argajaya mempersilahkan.
"Terima kasih, Ngger," sahut orang itu yang ternyata adalah
Ki Tambak Wedi, sambil duduk di samping Argajaya.
"Apakah Kiai sudah mengatakannya?" Argajaya seolah-olah
tidak sabar lagi menunggu Ki Tambak Wedi meletakkan dirinya.
"Heh," Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam, "ternyata
aku terdorong terlampau jauh ke dalam ceritera khayal itu."
"Kiai harus menghentikannya," potong Argajaya.
"Aku menyadari, Ngger. Tetapi aku belum menemukan jalan."
"Lalu, apakah Kiai akan membiarkan saja semuanya itu
berlangsung tanpa ujung dan pangkal."
"Tidak. Sudah tentu tidak."
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi
terlintas di kepalanya angan-angannya, "Adalah kebetulan sekali
terjadi peristiwa ini atas Sidanti. Peristiwa ini akan dapat menjadi
sebab untuk membakar hati Kakang Argapati. Tanpa sebab ini,
sudah pasti Kakang Argapati tidak ingin melakukan perlawanan
atas Pajang." Tetapi yang diucapkannya adalah sebuah pertanyaan, "Lalu
apa yang sudah Kiai katakan tentang keadaan Sidanti yang
sebenamya?" Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya, "Belum, Ngger.
Aku belum mengatakan apa-apa."
"Sama sekali belum" Bahkan dengan pengertian yang miring
pun belum sama sekali?"
Sekali lagi Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya. Sorot
matanya menembus daun pintu yang tidak terlalu rapat. Namun
wajah yang sudah ditandai oleh umurnya yang semakin tua itu,
menjadi tegang. "Aku belum mendapat kesempatan sama sekali," desis Ki
Tambak Wedi, "justru aku terdorong semakin jauh ke dalam
ceritera yang menjemukan itu. Semakin rapat aku berusaha
menutupi kebohongan yang sudah terlanjur diucapkan, maka
aku pun menjadi semakin dalam terlibat ke dalam kebohongan
baru." "Karena itu, Kiai harus segera menghentikannya," potong
Argajaya. "Ya, aku sudah tahu, bahwa aku harus menghentikannya.
Tetapi aku tidak dapat. Aku belum menemukan kesempatan itu."
"Kalau Kiai bersungguh-sungguh, maka kesempatan itu pasti
terbuka." "Ah, jangan menyalahkan aku saja, Ngger. Kita bersamasama
telah terdorong ke dalam suatu keadaan yang tidak kita
ingini. Kita bersama-sama menyesali sikap Sidanti yang telah
melibatkan kita ke dalam suatu keadaan yang sangat jelek ini.
Dan kita bersama-sama ingin menghentikannya. Ingin
memutuskan rantai yang seolah-olah menjadi semakin banyak
meliliti tubuh kita. Tetapi aku sendiri belum menemukan
kesempatan itu." "Kiai harus bersikap tegas. Tanpa menunggu lebih lama lagi,
supaya Kiai tidak terperosok semakin dalam. Kiai harus sanggup
mengatakan kepada kakang Argapati, bahwa semua itu hanya
sekedar ceritera bohong belaka, untuk membohongi Pandan
Wangi. Tetapi tidak demikian yang sebenarnya terjadi."
"Seharusnya, ya seharusnya."
"Kenapa seharusnya" Kenapa Kiai tidak berani
melakukannya" Kesempatan yang baik telah Kiai lampaui, ketika
Pandan Wangi meninggalkan pertemuan itu. Kiai dapat memutar
haluan pembicaraan dengan serta-merta."
"Jalan pikiranku tidak secepat itu, Ngger. Tetapi seandainya
Angger mampu berpikir secepat itu, kenapa Angger tidak
melakukannya atau setidak-tidaknya memberi aku isyarat untuk
melakukannya" Bukankah Angger juga tinggal bersama Argapati
beberapa lama sepeninggal Pandan Wangi dan bahkan
sepeninggal Sidanti."
Argajaya terdiam. Ia merasakan kebenaran kata-kata Ki
Tambak Wedi. Justru pada saat itu ia pun masih ikut serta
membuat ceritera-ceritera khayal yang menjemukan sekali.
"Kita sekarang sudah berdiri pada keadaan ini," berkata Ki
Tambak Wedi kemudian. "Kita jangan terpukau oleh keadaan
yang baru saja lampau. Dengan keadaan kita sekarang ini,
apakah kita masih mempunyai keberanian untuk mengatakannya
kepada Argapati apa yang sebenarnya terjadi?"
Argajaya menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian nafsu
yang telah membakar jantungnya, telah mendorongnya untuk
berkata, "Harus. Harus. Kita harus berani mengatakan apa yang
sebenarnya terjadi. Aku yakin, bahwa Kiai mempunyai jiwa yang
cukup besar, sebesar nama Kiai. Apalagi Kiai pasti mempunyai
pengaruh yang cukup atas Kakang Argapati, ternyata dari
kepercayaannya menyerahkan anak laklaki satu-satunya
kepada Kiai." "Ah," orang tua itu mengeluh panjang, "Angger memuji seperti
memuji kanak-kanak yang menolak untuk mengantar makanan
kepada ayahnya di sawah. Dengan pujian-pijian, maka anak
yang manja akan dengan senang melakukannya."
"Tidak Kiai, tidak," potong Argajaya dengan serta-merta,
"bukan maksudku. Tetapi sebenarnyalah, bahwa Kiai
mempunyai pengaruh yang besar atas kakang Argapati. Kalau
tidak, Sidanti pasti tidak akan diserahkan kepada Kiai."
Wajah orang tua itu tiba-tiba terkulai jatuh di lantai. Sekali lagi
ia mengeluh panjang. Dan Argajaya menjadi terheran-heran
karenanya. "Kenapa Kiai" Kiai tampaknya telah dibayangi oleh keraguraguan.
Sejak diperjalanan aku melihat keragu-raguan itu. Dan
kini menjadi semakin nyata. Itukah yang telah mendorong Kiai
untuk terus menerus berbohong kepada Kakang Argapati?"
Tanpa disangka-sangka, tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu
mengangguk lemah, "Mungkin, Ngger. Mungkin sekali."
"Kenapa Kiai?" Ki Tambak Wedi tidak menjawab.
"Apakah Kiai meragukan tanggapan Kakang Argapati atas
semua kejadian di Sangkal Putung dan Jati Anom?"
"Mungkin." "Mungkin?" Argajaya mengulangi, "jadi Kiai tidak yakin, bahwa
itu adalah sebab utama kenapa Kiai menjadi ragu-ragu" Dengan
demikian, Kiai pasti memperhitungkan ada sebab lain yang telah
membuat Kiai ragu-ragu."
Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
kemudian ia berkata, "Baiklah. Aku akan segera mengatakan
kepada Argapati bahwa semua ceritera yang telah didengarnya
itu adalah ceritera bohong semata-mata. Ceritera kanak-kanak
untuk sekedar membuat Pandan Wangi dan orang-orang dari
tanah ini tidak terkejut dan berbuat di luar dugaan."
Argajaya mengerutkan keningnya. Seakan-akan menahan
nafasnya yang berdesah lewat lubang hidungnya ketika ia
mendengar Ki Tambak Wedi berkata seterusnya, "Aku harus
berani mengatakan apa yang sebenarnya terjadi."
Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Kerut merut di
keningnya berangsur hilang. Perlahan-lahan ia berkata,
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Demikianlah hendaknya Kiai. Tak ada jalan lain. Sakit hati itu
harus dibalas. Bukan sekedar atas Untara dan Widura, apalagi
Sutawijaya. Tetapi Pajang harus dipecah."
"Ya," Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya. Tetapi
kata-katanya terasa hambar dan tidak meyakinkan. Meskipun
demikian Argajaya mengharap, bahwa sebenarnya demikianlah
yang akan terjadi. Ia yakin bahwa kakaknya Argapati akan
tersinggung sekali dengan peristiwa yang menimpa Sidanti
dengan sedikit ramuan yang meyakinkan.
Sejenak mereka berdua dicengkam oleh kediaman. Ki
Tambak Wedi duduk sambil meraba-raba kumisnya. Sedang
Argajaya tepekur dalam-dalam. Namun angan-angannya
membubung tinggi ke udara.
Mereka tersedar dari angan-angan masing-masing, ketika
mereka mendengar langkah seseorang mendekati pintu bilik itu.
Dan sejenak kemudian sesosok tubuh telah melangkah masuk.
Orang itu adalah Sidanti.
"Oh," Sidanti berdesis ketika ia melihat gurunya duduk di
dalam bilik itu pula, "silahkan Guru untuk mandi. Pakaian untuk
guru telah disediakan oleh Pandan Wangi."
"Terima kasih," jawab Ki Tambak Wedi. Tetapi ia belum
beranjak dari tempatnya. Sidanti tertegun sejenak. Namun kemudian dicobanya untuk
tidak terpengaruh oleh sikap gurunya. Perlahan-lahan ia
melangkah maju dan duduk di amben itu pula.
"Sidanti," berkata Ki Tambak Wedi setelah Sidanti duduk, "aku
sedang mencoba mengumpulkan keberanian untuk berkata
berterus terang kepada ayahmu."
Sidanti mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya,
"Apakah yang meragukan, Guru?"
"Aku belum dapat menjajagi tanggapan ayahmu terhadap
semua peristiwa yang terjadi."
"Ah," sahut Sidanti, "kenapa Guru ragu-ragu?"
"Hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi Kiai," sambung
Argajaya, "Sidanti adalah putera Kakang Argapati. Seandainya ia
tidak berkenan atas kejadian yang berlangsung, seandainya
Kakang tidak senang akan sikap Sidanti, namun Sidanti adalah
puteranya. Persoalannya telah terlanjur terjadi. Apakah Kakang
Argapati dapat berpangku tangan tanpa berbuat sesuatu" Aku,
yang bukan ayahnya merasakan hinaan itu atas tanah ini. Atas
seluruh Tanah Perdikan Menoreh, karena Sidanti adalah putera
Kepala Tanah Perdikan ini."
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
matanya sama sekali tidak memancarkan gairah dan nafsu untuk
berbuat sesuatu. Tetapi Ki Tainbak Wedi benar-benar telah mengherankan
Argajaya dan Sidanti. Mereka tidak pernah melihat mata itu
begitu suram. Mereka tidak pemah melihat wajah Ki Tambak
Wedi begitu gelap dan dipenuhi oleh keragu-raguan. Yang selalu
mereka lihat adalah, meskipun sudah dihiasi dengan kerut merut
ketuaan, namun wajah itu selalu menyalakan nafsu yang
melonjak-lonjak. Wajah itu selalu memancarkan gejolak di dalam
dadanya, dan matanya selalu menyorotkan api yang seolah-olah
ingin membakar masa depan.
"Seandainya Guru merasa bersalah," berkata Sidanti di dalam
hatinya, "apakah ia perlu menyesali kesalahannya sampai
berlarut-larut" Ia dapat langsung berhadapan dengan Ayah,
minta maaf atas kesalahan itu, namun kemudian menekannya
untuk berbuat sesuatu."
Tetapi seperti Argajaya, Sidanti masih tetap yakin, bahwa
ayahnya pasti tidak akan tinggal diam saja. Tetapi ayahnya
memang memerlukan api yang dapat membakar kemarahannya.
Karena itu maka baik gurunya maupun pamannya harus dapat
mengatakan apa yang telah terjadi itu dengan cara yang sebaikbaiknya.
Sidanti itu berpaling ketika ia mendengar gurunya berkata,
"Tetapi aku memang sudah bertekad untuk mengatakan kepada
ayahmu, Sidanti. Apa pun tanggapannya. Mudah-mudahan ia
dapat mengerti dan seperti yang kita harapkan, ayahmu bersedia
untuk berbuat sesuatu, berbuat untuk menebus sakit hati dan
dendam yang menyala di dalam dada ini."
Sidanti mendengar kata-kata yang panas penuh tekad untuk
membalas dendam dan sakit hati, tetapi nada yang
membawakan kata-kata itu sama sekali kurang meyakinkannya.
Namun Sidanti tidak segera menyahut, dan dibiarkan gurunya
berkata terus, "Nanti malam aku akan menemui ayahmu."
"Baik, Kiai," sahut Argajaya dengan serta merta, "aku
memang mengharap, bahwa malam ini semuanya dapat
diselesaikan. Aku telah bermalam satu malam lagi di sini, betapa
aku ingin segera bertemu dengan keluargaku. Aku ingin ikut
serta meyakinkan Kakang Argapati, bahwa Menoreh harus
berbuat sesuatu karena seorang puteranya telah dihinakan oleh
orang-orang Pajang, justru putera Kepala Tanah Perdikannya."
Tampaklah wajah Ki Tambak Wedi menjadi semakin berkerut
merut. Dan tanpa disangka-sangka ia berkata, "Maaf, Ngger.
Aku ingin bertemu dengan Argapati seorang diri. Aku harus
berhadapan dengan kakakmu itu tanpa seorang pun yang hadir.
Aku ingin mengatakan semua persoalan yang tidak perlu
diketahui oleh oranglain."
(Gambar halaman 26) "Aku ingin mengatakan semua persoalan yang tidak perlu
diketahui orang lain," Jawaban itu ternyata telah mengejutkan
Argajaya dan Sidanti, sehingga hamper bersamaan mereka
bertanya, "Kenapa?"
Jawaban itu ternyata telah mengejutkan Argajaya dan Sidanti,
sehingga hampir bersamaan mereka bertanya, "Kenapa?"
Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab. Tetapi ditatapnya
wajah Sidanti seperti belum pernah dilihatnya, sehingga Sidanti
terpaksa melontarkan pandangan matanya keluar bilik itu.
"Aku harap kalian dapat mengerti," berkata Ki Tambak Wedi
kemudian, "aku tidak ingin Argapati menjadi salah paham.
Karena itu, aku harus berhathati. Nanti apabila persoalan ini
telah benar-benar dipahami oleh Argapati, maka kalian akan
mendapat kesempatan untuk mengatakan perasaan kalian.
Tetapi sebelum itu, jangan membuatnya menjadi bingung."
"Ah," desah Argajaya, "Kakang Argapati bukan anak-anak
yang lekas menjadi bingung. Ia tahu apa yang harus
dilakukannya. Ia mampu membuat pertimbangan-pertimbangan
yang matang. Aku kira dalam pembicaraan antara orang-orang
yang telah cukup dimatangkan oleh pengetahuan dan
pengalaman, tidak akan dapat terjadi salah paham."
"Mudah-mudahan. Mudah-mudahan tidak ada salah paham.
Karena itu, biarlah aku saja yang mengatakannya. Dengan
demikian, maka seperti yang kau katakan, Angger Argajaya,
kami orang-orang tua yang telah kenyang makan pahit
masamnya kehidupan, akan dapat berbicara tanpa salah
paham." Ura-urat yang terbujur di kening Argajaya menjadi tegang.
Sepercik warna merah membayang di matanya. Jawaban Ki
Tambak Wedi itu benar-benar telah mengguncang perasaannya.
Perasaannya sebagai seorang paman dan sebagai seorang
yang mempunyai kedudukan yang cukup penting di Tanah
Perdikan Menoreh. Persoalan yang akan dibicarakan adalah persoalan Sidanti.
persoalan kemanakannya, anak Kepala Tanah Perdikan
Menoreh. Sedang Argajaya adalah orang kedua di tanah
perdikan ini. Kenapa Ki Tambak Wedi berkeras untuk
menjauhkannya dari pembicaraan itu.
Ki Tambak Wedi yang mempunyai pengamatan yang cukup
tajam, seolah-olah dapat mengerti apa yang sedang bergolak di
dalam hati Argajaya itu. Sehingga karena itu, maka ia berkata,
"Angger Argajaya jangan salah paham. Persoalan ini memang
persoalan Sidanti, persoalan Menoreh dengan Pajang. Tetapi
sebelum kita sampai pada persoalan itu, adalah persoalan
Argapati dan Ki Tambak Wedi. Persoalan penyerahan Angger
Sidanti, putera Argapati itu kepada Ki Tambak Wedi. Argapati
sebagai seorang ayah, lepas dari segala macam sangkutan
persoalan, dan Ki Tambak Wedi seseorang yang mendapat
kepercayaan mengasuh Sidanti. Sebagai seorang yang
menyimpan ilmu dari perguruan Tambak Wedi. Seseorang
kepada seseorang. Hanya itu. Itulah yang harus aku
pertanggung jawabkan lebih dahulu, sebelum aku sampai
kepada persoalan lain yang menyangkut kemudian. Persoalan
Sidanti dengan orang-orang Pajang. Persoalan Sidanti dengan
Sekar Mirah, kemudian persoalan Sidanti dengan Untara.
Hancurnya Tambak Wedi dan segala macam persoalan yang
lain. Nah, dalam persoalan-persoalan inilah aku memang
memerlukan seorang kawan untuk meyakinkan Argapati. Tetapi
sebelum itu, persoalannya adalah persoalan Argapati dan Ki
Tambak Wedi. Sebagai seorang yang memberikan kepercayaan
dan yang menerima kepercayaan untuk mengasuh Sidanti."
Urat-urat yang seolah-olah menjalar di kening Argajaya masih
menegang. Tetapi penjelasan Ki Tambak Wedi itu ternyata agak
mengendorkannya. Ia dapat mengerti beberapa bagian dari
keterangan itu, meskipun masih ada beberapa masalah yang
tidak dapat ditangkapnya. Namun dengan demikian, maka getar
di dadanya menjadi semakin turun. Perlahan-lahan ia berpaling,
dipandanginya wajah Sidanti dengan tajamnya, seolah-olah ia
ingin bertanya, bagaimanakah tanggapan anak muda itu atas
keterangan gurunya. Tetapi Sidanti sama sekali tidak dapat memberikan
tanggapan apapun. Justru ia menjadi bingung. Ia dengan tibatiba
telah dicengkam oleh perasaan kecewa ketika gurunya
mengatakan, bahwa tidak ada orang lain yang dapat ikut
berbicara, selain Argapati dan Ki Tambak Wedi. Namun
keterangan gurunya itu masuk pula di dalam akalnya. Adalah
wajar, bahwa persoalan itu semata-mata adalah persoalan
Argapati dan Ki Tambak Wedi. Seperti pada saat Argapati
menyerahkannya kepada Ki Tambak Wedi, tidak ada seorang
pun yang ikut mencampurinya. Tidak ada seorang pun yang
membantu salah satu pihak untuk meyakinkan pihak yang lain.
Dan lebih dari itu, tidak seorang pun yang tahu, apakah yang
sebenarnya telah mereka bicarakan dalam penyerahan itu.
Dan sekarang, ketika Ki Tambak Wedi dihadapkan pada
suatu persoalan yang pelik, yang tidak dapat di atasinya sendiri
untuk menghadapi masa depan Sidanti, maka Ki Tambak Wedi
memerlukan Argapati. Memerlukan ayah Sidanti itu sendiri.
Sebenarnya hal itu adalah hal yang wajar. Sangat wajar. Dan
adalah wajar juga, kalau Ki Tambak Wedi ingin berbicara tanpa
orang lain, dalam hal Sidanti ini.
Tetapi persoalan yang sekarang di hadapi oleh Ki Tambak
Wedi bukan sekedar persoalan Sidanti pribadi. Bukan soal
kegagalan Sidanti dalam usahanya menuntut ilmu dari
perguruan Tambak Wedi. Bukan sekedar persoalan Sidanti yang
malas dan tidak mempunyai ketekunan dalam usahanya
menuntut ilmu. Tidak. Justru Sidanti adalah seorang murid yang
baik, yang tekun dan dapat dibanggakan oleh gurunya.
Namun kegagalan Sidanti kali ini adalah kegagalannya dalam
percaturan pergeseran pimpinan pemerintahan, meskipun hanya
dalam satu segi. Persoalan yang menyangkut perselisihan
antara Pajang dan Jipang. Antara Jipang dan Tambak Wedi, dan
kemudian antara Pajang melawan Jipang dan Tambak Wedi
bersama-sama. Persoalannya kemudian pasti akan menyangkut
nama Sidanti sebagai seorang putera Menoreh dalam
hubungannya keluar. Bukan sekedar masalah pribadinya yang
gagal dalam ilmunya. Dan persoalan ini bukanlah sekedar
persoalan Ki Tambak Wedi dan Argapati. Tetapi persoalan ini
pasti akan menjadi persoalan antara Menoreh dan Pajang dalam
keseluruhan. Meskipun demikian, Argajaya dan Sidanti merasa, bahwa
mereka tidak akan dapat memaksa Ki Tambak Wedi untuk
membawa mereka dalam pembicaraan, sebelum Ki Tambak
Wedi menganggap, bahwa persoalan salah paham telah dapat
dilaluinya. Dengan demikian maka Argajaya dan Sidanti tidak berusaha
untuk mendesak orang tua itu. Namun mereka tidak dapat
melepaskan keinginan mereka untuk mendengar dan ikut
berbicara dalam masalah itu.
"Baiklah aku bersabar," berkata Argajaya di dalam hatinya.
"Apabila persoalannya telah menyangkut masalah Menoreh dan
Pajang, maka Kakang Argapati pasti akan memanggil aku."
Dan Sidanti pun agaknya berpikir demikian pula, "Apabila
datang waktunya, Ayah pasti akan memanggil aku, dan aku akan
dapat membakarnya untuk menyatakan perang terbuka melawan
Pajang yang memang masih kisruh."
Tetapi Sidanti tidak mengatakannya. Ia mengharap agar
gurunya segera menemui ayahnya dan berbicara tentang
persoalannya dengan sungguh-sungguh. Tidak lagi sambil
bergurau, membuat ceritera khayal yang menjemukan dan
menyesakkan nafas. **** Sejenak mereka bertiga saling berdiam diri. Masing-masing
dengan angan-angan sendiri. Namun ketika sekalsekali
Argajaya mencoba memandang wajah Ki Tambak Wedi, maka ia
merasakan suatu kegelisahan yang sangat pada orang tua itu.
Baru sesaat kemudian, orang tua itu berdiri sambil berkata,
"Aku akan pergi ke sumur sebentar. Nah, temuilah ayahmu itu,
Sidanti." Sidanti mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar gurunya
berkata, "Tetapi jangan berkata apa pun tentang dirimu yang
sebenarnya." "Sudah aku katakan, aku sendirilah yang akan
mengatakannya." Sidanti menjadi ragu-ragu, sehingga ia bertanya, "Lalu
apakah yang akan dapat aku katakan kepada Ayah" Apakah
yang telah Guru bicarakan sebelum ini?"
Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Kemudian
perlahan-lahan ia mengangguk, "Ya, aku telah berceritera
tentang daerah yang belum pernah kau lihat." Orang tua itu
menarik nafas dalam-dalam, "Mungkin kau akan bingung. Dan
mungkin ayahmu pun akan bingung pula."
"Lalu?" Ki Tambak Wedi berpikir sejenak, "Sebaiknya kau tidak
menemuinya. Akulah yang pertama-tama akan berbicara."
Sidanti menganggukkan kepalanya. Tetapi terasa
kejanggalan yang luar biasa pada pertemuannya dengan
ayahnya kali ini. Beberapa tahun yang lalu, ketika ia pulang
untuk yang terakhir kalinya, ia dapat berbicara dengan ayahnya
seperti seorang anak dan ayah yang telah lama tidak bertemu.
Tetapi kali ini ia merasa seperti seseorang yang sedang
bersembunyi di dalam rumah ini. Menghindari pertemuan
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan orang-orang lain, bahkan dengan ayahnya sendiri.
"Ayah pasti menunggu aku di pendapa," desisnya.
"Mungkin. Tetapi sebaiknya kau tetap berada di dalam
bilikmu. Kau dapat membuat alasan apa saja tentang dirimu.
Mungkin kepalamu lagi pening, atau kau terlampau lelah dan
ingin beristirahat sejenak."
Sidanti mengangguk kosong, sedang Argajaya berjalan hilir
mudik di dalam bilik itu.
"Aku akan segera selesai. Dan aku segera menemui
ayahmu." Sidanti tidak menjawab. Dibiarkannya gurunya melangkah
meninggalkannya di dalam bilik itu bersama pamannya.
"Sulit," desis anak muda itu.
"Hanya sementara. Kenapa kau menjadi sangat terganggu
karenanya?" bertanya Argajaya. Tetapi kata-kata itu ditujukan
kepada dirinya sendiri pula.
"Ya, tetapi yang sementara ini benar-benar telah
menyiksaku," berkata Sidanti.
"Sebentar lagit Ki Tambak Wedi telah selesai. Ia akan segera
menemui ayahmu." "Ya, Paman. Tetapi bagaimana dengan aku sekarang"
Apakah aku akan tetap berada di dalam bilik yang pepat ini?"
Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya,
"Tidak mengapa Sidanti. Hanya sebentar."
"Dadaku serasa sesak, dan kepalaku benar-benar menjadi
pening." Dahi Argajaya berkerut, namun kemudian ia tersenyum
hambar, "Kau terlampau tergesa-gesa. Bersabarlah sedikit."
Sidanti kemudian membanting dirinya di pembaringannya.
Beberapa kali ia berdesah. Waktu yang pendek itu terasa
terlampau panjang baginya. Sedang Argajaya yang duduk di
sampingnya pun sebenarnya telah dibakar oleh kegelisahannya
pula. Tetapi ia masih mencoba menahan diri.
Sidanti terlonjak ketika ia mendengar pintu bilik itu berderit.
Dilihatnya Pandan Wangi telah berada di luar biliknya di depan
pintu. "Kakang," berkata Pandan Wangi itu, "Ayah menunggu
Kakang di pendapa. Kenapa Kakang tidak keluar dari bilik ini dan
menghadap Ayah?" Sidanti menjadi bingung. Dipandanginya wajah pamannya
untuk mendapatkan pertimbangan. Tetapi Argajaya pun tidak
segera menemukan jawab. "Aku telah menyediakan minuman hangat untuk Kakang
Sidanti, Paman Argajaya, dan Guru Kakang. Ayah menunggu
kalian untuk minum-minum bersama setelah sekian lama tidak
bertemu. Ayah ingin mendengar ceriteramu, Kakang."
"Ya, ya Wangi," Sidanti menjadi tergagap.
"Kami menunggu Ki Tambak Wedi, Wangi," Argajaya yang
sudah menjadi agak tenang berkata, "sebentar lagi kami akan
datang. Ki Tambak Wedi baru mandi."
"O," Pandan Wangi mengangguk, "baiklah. Akan aku katakan
kepada Ayah." Pandan Wangi itu pun kemudian meninggalkan Paman dan
kakaknya dalam kegelisahan. Demikian Pandan Wangi menjauh,
maka berkata Argajaya, "Hem, keadaan kita benar-benar sulit."
Sidanti tidak menjawab. Sekali lagi dijatuhkannya tubuhnya di
atas amben bambu dengan hati yang sangat kesal. Sekalsekali
masih terdengar ia berdesah dan menarik nafas dalam-dalam.
Setelah mereka hampir tidak dapat bersabar lagi, barulah
mereka melihat Ki Tambak Wedi masuk kedalam bilik. Sebentar
kemudian seseorang menjengukkan kepalanya dan berkata,
"Inilah lampu untuk bilik ini."
"Taruhlah di atas geledeg itu," sahut Sidanti acuh tidak acuh.
Ternyata hari telah berangsur gelap, semakin gelap. Semula
mereka sama sekali tidak memperhatikan, bahwa bayangan
mereka telah menghitam karena sinar senja yang semakin
redup. Ketika Ki Tambak Wedi telah selesai berkemas, maka
terdengar ia bergumam, " Lebih baik kalian tinggal di sini.
Sekarang aku akan menemui Argapati untuk minta waktu,
berbicara di antara kami berdua."
Sidanti dan Argajaya saling berpandangan untuk sesaat,
tetapi tidak ada pilihan lain daripada menganggukkan kepala
mereka dan menjawab, "Baiklah. Kami akan menunggu di sini."
Ki Tambak Wedi segera meninggalkan bilik itu. Kini tampak
betapa ia menjadi tergesa-gesa, sehingga orang tua itu sama
sekali tidak berpaling lagi.
Ketika Ki Tambak Wedi telah hilang di balik pintu, Argajaya
dan Sidanti seolah-olah tersedar dari sebuah mimpi yang aneh.
Hampir tidak masuk di dalam akal mereka, bahwa mereka tidak
boleh ikut serta dalam pembicaraan antara Ki Tambak Wedi dan
Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh, ayah Sidanti. Namun
demikianlah yang dikehendaki oleh Ki Tambak Wedi. Dan
mereka hanya dapat menerima keadaan itu. Semuanya demi
untuk kebaikan keadaan mereka.
Ki Tambak Wedi yang berjalan dengan tergesa-gesa keluar
dari gandok, tiba-tiba tertegun di halaman. Ternyata debar
jantungnya menjadi semakin deras, seolah-olah seluruh dadanya
ikut berdetak. "Hem," orang tua itu menarik nafas dalam-dalam, "aku harus
dapat mengendalikan perasaanku. Ternyata aku telah dihantui
oleh bayanganku sendiri. Noda-noda hitam yang melekat di
tubuhku agaknya telah membuat aku menjadi seorang
pengecut." Ki Tambak Wedi mencoba menenteramkan hatinya.
Dipandanginya pintu pringgitan yang masih terbuka. Sinar lampu
yang kemerah-merahan berloncatan jatuh di atas lantai pendapa
yang redup, oleh sinar pelita yang remang-remang.
"Di sana Argapati menunggu aku, Sidanti, dan Argajaya,"
orang tua itu berdesis. Tetapi keragu-raguan yang sangat telah mencengkam
hatinya. Hampir-hampir ia mengurungkan niatnya untuk bertemu
dengan Argapati berdua. Tumbuhlah hasrat di dalam hatinya
untuk berbuat licik. Mengajak Sidanti dan Argajaya untuk
bersama-sama berbicara dengan Argapati meneruskan ceritera
mereka yang menjemukan itu.
"Tidak," tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu menggeretakkan
giginya, "dengan demikian persoalan ini tidak akan selesai. Aku
harus berkata seperti apa yang terjadi. Aku harus mengatakan
kepada Argapati tentang keadaan Sidanti seperti yang benarbenar
dialaminya. Apa pun tanggapan Argapati, tetapi aku harus
berterus terang." Ki Tambak Wedi itu menggeram. Kemudian dibulatkannya
hatinya untuk berhadapan dengan Argapati, dan mengatakan
tentang keadaan Sidanti, mengatakan tentang dendam yang
menyala di dada anak itu, serta sakit hati yang hampir-hampir
tidak tertahankan. "Argapati harus mengerti," gumam Ki Tambak Wedi, "apapun
yang sudah terjadi atasnya."
Sesaat Ki Tambak Wedi berdiri tegak sambil mengawasi pintu
pringgitan. Ketika keragu-raguannya menganggunya lagi, maka
dihentakkannya kakinya, "Aku tidak boleh ragu-ragu."
Ki Tambak Wedi itu pun kemudian melangkahkan kakinya
naik ke pendapa. Ditindasnya debar jantungnya yang semakin
keras. Dicobanya untuk berbuat dengan tenang. Tanpa kesan
apa pun di wajah dan sorot matanya.
Ketika ia muncul di pintu pringgitan, dilihatnya Argapati duduk
di atas sehelai tikar pandan yang putih. Di sampingnya duduk
puteri satu-satunya. Pandan Wangi. Gadis itu sama sekali tidak
mengesankan kegarangannya dalam pakaian laklaki. Pandan
Wangi dalam keadaannya itu, benar-benar seorang gadis yang
manis. Sebuah pergolakan kembali melanda dada Ki Tambak Wedi.
Tetapi sekali lagi ia mencoba menindasnya.
Namun darahnya serasa semakin cepat mengalir ketika ia
mendengar Argapati tertawa dan berkata, "Ha, marilah, silahkan
duduk. Aku sudah lelah menunggu kalian. Marilah. Kita dapat
berbicara semalam suntuk. Kalian dapat berceritera apa pun
juga. Marilah." Ki Tambak Wedi melangkah masuk. Dan dilihatnya Argapati
itu mengerutkan keningnya, "Di mana Sidanti dan Argajaya.
Kenapa ia tidak segera datang kemari" Pandan Wangi sudah
memanggilnya, tetapi Argajaya menjawab, bahwa mereka
menunggu kau, Ki Tambak Wedi."
"Sebentar lagi mereka akan datang," jawab Ki Tambak Wedi.
"Apa lagi yang mereka tunggu" Biarlah kita berbicara apa
saja. Aku sudah kangen mendengar Sidanti berceritera.
Sebentar lagi biarlah Pandan Wangi menyajikan makan kita, lalu
kita berbicara lagi semalam suntuk. Aku kira beberapa orang
akan datang pula kemari untuk mendengarkan ceritera Sidanti
yang telah lama tidak menginjakkan kakinya di kampung
halamannya. Beberapa orang pemimpin tanah perdikan ini pasti
akan kagum mendengar Sidanti menceriterakan peperangan
yang dialaminya, dan terbunuhnya Tohpati. Sidanti pasti akan
memberikan banyak petunjuk dan pengalaman di dalam
ceriteranya bagi orang-orang tanah perdikan yang sepi ini."
"Ya, ya. Argapati. Sebentar lagi ia akan datang."
"Apa yang dikerjakannya sekarang."
"Kepalanya terasa agak pening. Perjalanan hari ini terasa
agak berat baginya karena terik matahari."
Argapati mengerutkan keningnya. Tanpa prasangka apa pun
ia bertanya, "He, kenapa kepala Sidanti itu begitu cengeng.
Bukankah ia telah mengalami perjalanan berharhari. Di dalam
hujan dan terik matahari."
Dada Ki Tambak Wedi berdesir. Namun ia berusaha
menjawab, "Tentu Argapati. Bukan hari inilah yang menentukan.
Yang berharhari itu, sedikit demi sedikit telah mempengaruhi
kesehatan Sidanti. Tetapi anak itu tidak mau melihat kenyataan,
bahwa perjalanan yang berharhari itu terlampau berat baginya.
Dipaksakannya dirinya untuk berjalan terus, sehingga justru
ketika ia telah berada di rumahnya, ia merasakan kepalanya
menjadi pening." Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi Ki
Tambak Wedi mengumpat di dalam hati, "Aku telah mulai lagi
dengan ceritera khayal yang memuakkan ini."
Ketika Argarati terdiam untuk sejenak, maka Ki Tambak Wedi
pun seolah-olah menjadi terbungkam. Ia tidak segera dapat
mengatakan maksudnya untuk berbicara berdua saja dengan
Argapati. Dan hatinya kian berdebar-debar ketika ia mendengar
Argapati berkata, "Biarlah ia beristirahat. Tetapi sebentar lagi ia
harus bangun dan duduk di sini. Beberapa orang yang
mendengar kedatangannya, juga anak-anak muda yang
terkemuka pasti ingin menemuinya untuk mendengarkan
ceriteranya." Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia tidak segera menjawab. Wajahnya menjadi kian menegang,
ketika ia berusaha mengumpulkan keberaniannya, untuk
mengatakan maksudnya. Ki Tambak Wedi bukanlah seorang penakut. Bukan
seseorang yang selalu ragu-ragu. Bahkan ia termasuk seorang
yang kasar, yang berbuat tanpa mempertimbangkan
kepentingan orang lain. Namun berhadapan dengan Argapati
dalam persoalannya, dadanya serasa dirobek oleh keraguraguan
dan kecemasan. Meskipun demikian, setelah berjuang sekuat tenaganya,
maka Ki Tambak Wedi berhasil berkata, "Argapati, sebenarnya
aku memang menahan Sidanti sesaat di biliknya. Kecuali supaya
ia beristirahat bersama pamannya, aku sengaja untuk
mendapatkan kesempatan untuk berbicara denganmu, berdua
saja." "He," Argapati mengerutkan keningnya, "apakah yang perlu
kita bicarakan?" "Sidanti," jawab Ki Tambak Wedi.
Argapati tidak segera menjawab. Tetapi tampaklah keningnya
menjadi berkerut merut. "Aku tidak mengerti maksudmu, Ki Tambak Wedi."
Dada Ki Tambak Wedi bergetar sejenak. Namun ia berhasil
pula menjawab, "Maksudku sudah jelas, Argapati. Aku ingin
berbicara tanpa ada orang lain yang mendengarkannya."
"Ya, tetapi maksud pembicaraan itu sama sekali tidak aku
mengerti. Apakah ada gunanya kita berbicara berdua?" Argapati
berhenti sejenak, lalu, "Ki Tambak Wedi, aku kira sudah tidak
ada masalah apa pun yang perlu kita bicarakan berdua. Masalah
yang ada sekarang adalah masalah kita semua. Masalah yang
sampai saat ini masih membebani hidupku adalah masalah
anak-anakku. Bukan karena persoalan-persoalan yang
menyangkut mereka, tetapi bagaimana anak-anakku itu kelak,
Bagaimana aku dapat melihat anak-anakku yang sudah tidak
beribu lagi itu, menjadi manusia seperti yang kuimpikan.
Manusia yang berguna di dalam hubungannya dengan
kemanusiaannya. Manusia yang mengerti akan dirinya,
sumbemya dan sesamanya."
Dada Ki Tambak Wedi menjadi semakin berdebar-debar.
Tetapi ia menjawab, "Itulah yang akan aku bicarakan. Aku ingin
mengatakan beberapa hal mengenai Sidanti."
Argapati menggelengkan kepalanya, "Jangan kau bicarakan
lagi." "Tidak. Tidak. Tetapi bukankah aku kau percaya untuk
mengasuh anakmu" Nah, sekarang ini anggaplah aku akan
memberikan laporan tentang itu."
"Aku akan sangat bersenang hati, tetapi kenapa harus tidak
ada orang lain yang boleh mendengarnya" Ki Tambak Wedi,
biarlah orang-orang mendengar tentang hasil usahamu
mengasuh anakku. Aku akan berbangga. Biarlah Pandan Wangi,
Sidanti, dan Argajaya mendengar. Kalau ada yang baik, biarlah
kita tekankan untuk seterusnya dilakukan. Bila ada yang buruk,
biarlah dihentikan untuk seterusnya pula."
Ki Tambak Wedi menjadi semakin gelisah. Tetapi sudah tentu
tidak mungkin baginya untuk bersikap seperti Argapati. Setelah
berpikir sejenak ia berkata, "Argapati. Mungkin ada soal yang
orang lain tidak perlu mendengarnya. Kegagalan-kegagalan
yang dialami Sidanti, perlu kau ketahu dan kau perhatikan."
"Aku akan mendengarkannya, Ki Tambak Wedi. Aku akan
menaruh perhatian sepenuhnya atas semua persoalan."
"Tetapi anak itu tidak perlu mendengamya."
Argapati menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia berpaling
kepada puterinya yang duduk dengan gelisah mendengar
pembicaraan ayahnya. "Hem, apakah Pandan Wangi juga tidak boleh mendengar?"
Pertanyaan itu telah membuat Ki Tambak Wedi semakin sulit.
02 Api Di Bukit Menoreh Karya S H Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi ia terpaksa menjawab, "Sebaiknya tidak Argapati."
Sekali lagi Argapati menarik nafas dalam-dalam. Gumamnya,
"Pandan Wangi adalah orang yang paling dekat dengan aku saat
ini. Ia tahu apa saja persoalanku. Persoalanku sebagai seorang
ayah, dan persoalanku sebagai Kepala Tanah Perdikan ini.
Meskipun ia seorang gadis, tetapi ia adalah satu-satunya
keluargaku seharhari."
"Tetapi aku terpaksa minta kepadamu, Argapati."
Argapati terdiam sejenak. Ditatapnya celah-celah pintu
pringgitan yang belum terkatup rapat. Terasa silir angin
menyentuh tubuhnya, ketika nyala api pelita di dinding pringgitan
itu bergerak-gerak. "Hem," Argapati berdesah, "Apakah kau akan berbicara
tentang Sidanti?" "Ya, tentang kemajuan dan kegagalannya akhir-akhir ini."
"Tetapi kau menggelisahkan aku."
"Untuk kebaikan anakmu itu, Argapati."
"Menurut pendirianku, tidak ada masalah yang harus
dirahasiakan lagi tentang Sidanti. Kemajuan dan kegagalannya
adalah hal yang sangat wajar."
Dalam kegelisahannya Ki Tambak Wedi itu berkata, "Aku
ingin mengatakan yang sebenarnya kepadamu, Argapati.
Jangan salah paham. Ketahuilah, bahwa Sidanti sebenarnya
tidak melakukan perjalanan apa pun selama ini. Aku telah
membuat suatu ceritera untuk menyelubungi persoalan yang
sebenarnya. Persoalan yang hanya akan aku katakan kepadamu
saja." (Gambar halaman 37) "Berilah aku kesempatan, Argapati. Aku merasa, bahwa tidak
ada orang lain yang perlu mendengar keteranganku tentang apa
yang telah terjadi atas Sidanti. Apalagi pandan Wangi."
Tampaklah wajah Ki Gede Menoreh berkerut. Ia terkejut
mendengar pengakuan yang tiba-tiba itu.
Ternyata bukan saja Ki Gede Menoreh, tetapi juga Pandan
Wangi terperanjat karenanya, sehingga untuk sesaat ditatapnya
wajah Ki Tambak Wedi dengan mulut ternganga.
Ki Tambak Wedi melihat keheranan yang tersirat pada wajahwajah
itu. Wajah Ki Gede Menoreh dan wajah Pandan Wangi.
Dengan demikian, maka debar di dadanya menjadi semakin
tajam. "Ki Tambak Wedi," desis Argapati, sejenak kemudian,
"apakah aku tidak salah dengar, bahwa sebenarnya Sidanti
sama sekali tidak pernah melakukan perjalanan seperti yang kau
katakan?" Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya, "Ya,
demikianlah." Argapati menarik nafas panjang sekali. Wajahnya yang keras
menjadi tegang. Namun ia mencoba untuk tidak terpengaruh
oleh keadaan itu. "Ah, aku sungguh tidak mengerti," katanya kemudian,
"agaknya kau masih juga senang bergurau Ki Tambak Wedi. Aku
menanggapi ceritera itu dengan bersungguh-sungguh. Ternyata
kau hanya sekedar menganggu kami orang-orang Menoreh."
"Aku terpaksa berkata demikian, Argapati," sahut Tambak
Wedi. "Selanjutnya aku ingin mengatakan yang sebenarnya. Aku
minta kerelaanmu, untuk memberi aku kesempatan berbicara."
Kini bukan saja dada Ki Tambak Wedi yang menjadi
berdebar-debar. Tetapi dada Argapati pun menjadi berdebardebar
pula. Bahkan Argapati itu tidak menyembunyikan
perasaannya itu. Katanya, "Ki Tambak Wedi. Aku menjadi
berdebar-debar karenanya. Bahkan aku menjadi cemas dan
gelisah. Apakah kau memang memerlukan sekali kesempatan
itu?" "Ya, aku memerlukannya."
Tampak kerut merut di wajah Argapati menjadi semakin
dalam. Dipandanginya puterinya yang masih saja duduk di
tempatnya dengan penuh pertanyaan tersimpan di dalam
hatinya. "Hem," Argapati berdesah, "kau benar-benar membuat aku
gelisah. Bagiku tidak ada lagi persoalan yang perlu dirahasiakan,
Ki Tambak Wedi. Kita sebaiknya berbicara dengan terbuka. Apa
yang telah terjadi atas Sidanti?"
"Berilah aku kesempatan Argapati. Aku merasa, bahwa tidak
ada orang lain yang perlu mendengar keteranganku tentang apa
yang telah terjadi atas Sidanti. Apalagi Pandan Wangi."
Kini Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi
ia berpaling kepada puterinya. Dan perlahan-lahan ia berkata,
"Wangi. Sebaiknya kau tinggalkan kami berdua. Aku dan Ki
Tambak Wedi. Agaknya Ki Tambak Wedi ingin mengatakan
sesuatu tentang kakakmu, Sidanti, tetapi tidak seyogyanya kau
ikut mendengarkannya."
Keheranan masih saja memancar dari wajah gadis itu. Tetapi
ia tidak membantah. Segera ia beringsut dari tempatnya dan
berkata, "Baiklah Ayah. Aku akan pergi ke belakang,
menyiapkan makan untuk Ayah dan para tamu."
"Bagus, Bagus Wangi. Lakukanlah. Kami akan segera
makan." Pandan Wangi itu segera meninggalkau pringgitan. Tetapi
sesuatu yang aneh telah menggelisahkannya. Ia sama sekali
tidak mengerti, kenapa Ki tambak Wedi ingin berbicara berdua
saja dengan ayahnya. Sepeninggal Pandan Wangi, wajah Argapati menjadi semakin
tegang. Ditatapnya saja wajah Ki Tambak Wedi tanpa
mengucapkan sepatah kata pun juga.
Maka Ki Tambak Wedlah yang mulai dengan kata-katanya,
"Argapati. Sebelumnya aku minta maaf, bahwa aku telah
membuat suatu ceritera tentang Sidanti. Aku terpaksa membuat
ceritera itu, sebenarnya khusus untuk Pandan Wangi. Ia aku
anggap tidak perlu mengetahui keadaan Sidanti sebenarnya."
"Kenapa?" sahut Argapati, "kenapa kau tidak berterus terang
tentang Sidanti kepada Pandan Wangi" Aku kira Pandan Wangi
telah cukup dewasa untuk mengetahui apa pun juga tentang
kakaknya, seandainya kegagalan sama sekalipun." Argapati
terdiam sejenak, lalu, "tetapi menurut Pandan Wangi, Sidanti
ternyata luar biasa. Pandan Wangi merasakan tekanan yang
berat dari kakaknya ketika kakaknya itu menganggunya. Apalagi
seandainya Sidanti benar-benar ingin mengalahkannya, maka
Sidanti pasti dengan cepat akan dapat melakukan. Bukankah
dengan demikian ternyata bahwa Sidanti tidak gagal?"
"Ya, dari segi kanuragan Sidanti memang tidak gagal."
Argapati mengerutkan keningnya. Kini ia telah mendapat arah
dari pembicaraan ini. Kegagalan Sidanti tidak terletak pada olah
kanuragan. Karena itu, maka perlahan-lahan ia bergumam
seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri, "Jadi kegagalan Sidanti
terletak pada persoalan yang lebih dalam dari olah kanuragan itu
sendiri?" "Ya," jawab Ki Tambak Wedi, "Sidanti telah melibatkan diri
dalam persoalan yang besar yang menyangkut hubungannya
dengan Pajang." Tampaklah kerut merut di kening Argapati menjadi semakin
dalam. Terasa detak jantungnya bertambah cepat.
"Maksudmu, Sidanti telah terlibat dalam suatu persoalan
dengan Pajang" Persoalan yang mana" Bukankah Sidanti kini
seorang prajurit Pajang?" Argapati berhenti sejenak, seolah-olah
ia sedang mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Baru
sejenak kemudian ia melanjutkan, "Sudah tentu Sidanti tidak
sedang melakukan perjalanan seperti yang kau katakan. Dan
sudah tentu Sidanti meninggalkan Sangkal Putung bukan karena
alasan itu pula. Nah, apakah yang telah terjadi dengan Sidanti?"
"Itulah yang akan aku katakan," Ki Tambak Wedi menjadi
ragu-ragu sejenak. Tetapi ia telah mulai dengan persoalan itu,
sehingga ia tidak akan dapat surut kembali.
"Apakah Sidanti tidak cukup baik sebagai seorang prajurit,
atau Sidanti telah melakukan kesalahan?"
"Sebenarnya Sidanti tidak bersalah," jawab Tambak Wedi.
"Kenapa sebenarnya" Apakah yang telah terjadi atasnya?"
Ki Tambak Wedi menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba
menenangkan hatinya sebelum mulai dengan persoalan Sidanti
yang sesungguhnya. Sejenak mereka saling berdiam diri. Masing-masing mencoba
mempersiapkan perasaan dan nalar mereka masing-masing,
untuk menghadapi suatu pembicaraan yang bersungguhsungguh.
Dalam kesenyapan itu, yang terdengar hanyalah desah angin
perlahan-lahan dan suara cengkerik di kejauhan. Di sudut desa
kemudian terdengar suara kentongan untuk memanggil para
peronda. Suasana di dalam pringgitan itu semakin lama menjadi
semakin tegang. Meskipun Ki Tambak Wedi belum menyatakan
sepatah kata pun, namun terasa, bahwa seolah-olah mereka
telah berada dalam satu suasana yang menegangkan urat syaraf
mereka. Setelah dengan susah payah mengatur desah nafasnya,
maka Ki Tambak Wedi baru dapat mulai dengan kata-katanya,
"Sebelumnya aku minta maaf padamu, Argapati."
Argapati mengangguk kaku. Tetapi ia tidak menyahut.
"Aku telah mencoba berbuat sebaik-baiknya untuk
kepentingan Sidanti. Tetapi keadaan di sekitar Sidanti sama
sekali tidak menguntungkannya."
Sekali lagi Argapati menganggukkan kepalanya.
"Sidanti terpaksa meninggalkan lingkungan keprajuritan."
Kening Argapati tampak berkerut. Ia sudah menyangka,
bahwa itulah yang terjadi. Sidanti terpaksa meninggalkan
lingkungan keprajuritan. Argapati itu berdesah. Tetapi ia masih belum menyahut.
"Kau jangan terkejut Argapati, bahwa persoalannya adalah
anak-anak muda." Ki Tambak Wedi berhenti sejenak. Orang tua
itu menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat wajah
Argapati menjadi merah. "Tetapi itu bukan sebab yang terutama, Argapati," sambung Ki
Tambak Wedi kemudian dengan tergesa-gesa, "persoalan itu
hanyalah sekedar pendorong dari sebab-sebab yang
sebenarnya." Argapati masih belum menjawab.
"Iri hati dan dengki telah menyebabkan Sidanti terpaksa
meninggalkan kedudukannya yang kian hari kian bertambah
baik." Kini Argapati menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia
berdesis, "Iri hati dan dengki adalah hambatan yang paling
menjemukan bagi setiap kemajuan. Tetapi kenapa Sidanti harus
meninggalkan lapangan yang telah dipilihnya itu?"
"Kalau kedengkian dan iri hati itu datang dari kawankawannya
seangkatan, maka hal itu pasti akan dapat di atasinya.
Hal yang demikian agaknya cukup dibiarkannya saja. Meskipun
mungkin akan dapat juga menghambat kemajuannya, tetapi hal
yang serupa itu tidak perlu dilayani." Ki Tambak Wedi menarik
nafas dalam-dalam, lalu, "Tetapi kedengkian dan iri hati itu
datangnya justru dari pimpinan pasukan Pajang di Sangkal
Putung." "He?" Argapati terkejut, "Siapakah mereka itu?"
"Widura." "Widura" " Argapati mengulangi.
"Dan Untara." "He," Argapati benar-benar terkejut mendengar nama itu
disebut, "Untara, Senapati Pajang yang mendapat kepercayaan
di daerah Merapi dan sekitarnya?"
Ki Tambak Wedi mengangguk, "Ya."
Sekali lagi Ki Tambak Wedi melihat wajah Argapati menjadi
semburat merah. "Ki Tambak Wedi," nada suara Argapati menjadi semakin
berat, "apakah yang sudah mereka lakukan" Apakah kedengkian
mereka disebabkan karena kemungkinan yang baik dari Sidanti
di dalam lapangan keprajuritan, apakah disebabkan karena
persoalan anak-anak muda seperti yang kau katakan?"
"Keduanya, Argapati," sahut Ki Tambak Wedi, "Widura adalah
pimpinan pasukan Pajang di Sangkal Putung."
"Ya, aku telah mendengar."
"Untara adalah kemanakan Widura itu."
Argapati mengangguk. "Tetapi sumber yang paling memuakkan dari benturan di
antara mereka adalah seorang anak muda yang bernama Agung
Sedayu." "Siapakah Agung Sedayu itu?"
"Adik Untara." "Jadi juga kemanakan Widura?"
"Ya." Terdengar Argapati menggeram. "Mereka adalah anak Ki
Sadewa. Aku mengenal ayahnya, meskipun tidak begitu rapat.
Tetapi ayahnya bukan seorang yang dengki dan iri hati terhadap
kemajuan orang lain. Lalu apakah yang sudah dilakukan olen
mereka atas Sidanti?"
"Agung Sedayu dan Sidanti ternyata mempunyai sangkutan
hati yang sama." "Oh," Argapati menarik nafas dalam-dalam. Terbayang di
dalam kepalanya apa yang sudah terjadi di antara mereka.
Perlahan-lahan ia berkata, "Apakah kau akan mengatakan,
bahwa Widura dan Untara ternyata berpihak kepada Agung
Sedayu dan bersama-sama berusaha menyingkirkan Sidanti."
Misteri Nyanyian Kobra 2 Dewa Arak 24 Pertarungan Raja-raja Arak Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 12
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama