Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah Bagian 1
Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
https://www.facebook.com/pages/DuniaAbu-Keisel/511652568860978
SATU HANYA orang tolol yang mau menyembunyikan diri di dalam keranjang butut itu!" gumam perempuan berusia sekitar enam
puluh tahun begitu sebuah keranjang cukup besar muncul dengan cara melompat-lompat. Diperhatikannya keranjang yang telah berhenti berjarak sepuluh
langkah dari tempatnya, Tanah bolong merata
berjarak tiga langkah, sesuai dengan lompatan
keranjang itu. Di lain saat, si nenek berpakaian hijau ini berseru, "Buntet
Kalamangsang! Se-umur hidupmu kau selalu berada di dalam keranjang tanpa berani menampakkan wajah! Apakah
kau ingin sampai mampus berada di sana"!
Atau... kau enggan meninggalkan keranjang busuk itu karena tak mau orang lain melihat wajah
burukmu"!"
Keranjang yang terbuat dari sulaman kayu
lapis berpetak-petak sedikit bergerak. Menyusul
suara bernada serak, "Monyet tua bernama Sekar Sengkuni! Kau mengundangku ke
sini, apa hanya
untuk mendengar ucapan busukmu itu"!"
Si perempuan menggeram. Parasnya yang
mulai dihinggapi keriput menekuk hingga keriput
itu terlihat semakin banyak. Bias-bias kecantikannya masih tersisa. Rambutnya yang mulai
memutih, bergerai dipermainkan angin, bertambah acak-acakan. Mata celongnya memperhatikan
keranjang itu penuh kebencian. Dia berusaha untuk melihat bagaimana caranya Buntet Kalamangsang bisa mendekam berpuluh tahun lamanya di sana. Saat ini setengah perjalanan malam telah
melampaui batasnya. Tempat itu dipenuhi ranggasan semak dan pepohonan. Bukan jalan setapak, melainkan sebuah tempat yang cukup lapang. Di atas sana, tak ada gerombolan awan hitam sehingga rembulan dengan leluasa memancarkan sinar teduhnya.
"Manusia satu ini memang aneh, tetapi
memiliki ilmu tinggi walaupun seimbang denganku!" geramnya dalam hati. "Aku tak pernah mengerti bagaimana dia bisa mendekam
di sana terus menerus! Mungkin kalau mau makan sama
buang air saja dia keluar! Tapi... huh! Bisa jadi dia juga buang air di tempat
itu! Sungguh menji-jikkan!"
"Kau tak buka suara! Dua tarikan napas
kau tak mengatakan sebab-sebab mengundangku
ke tempat celaka ini, kau akan mendapatkan sesuatu yang tak menyenangkan karena telah banyak membuang waktuku!"
"Kampret!" maki si nenek dalam hati. Lalu memaki, "Apakah kau sudah merasa hebat
dapat mengalahkanku"!"
"Mematahkan tulang di tubuhmu bukanlah
hal yang sulit! Waktumu tinggal satu tarikan napas lagi!"
Kembali si nenek menggeram. Sorot matanya tajam pada keranjang yang bergerak-gerak
itu. Sambil menindih kegeramannya dia berseru,
"Kau pernah mendengar sebuah tempat
bernama Istana Gerbang Merah"!"
"Kecuali orang tuli, tentunya tak akan pernah mendengar Istana Gerbang Merah!" sahut
orang di dalam keranjang yang tak kelihatan sosoknya. "Bagus! Kuberikan kau emas permata yang
banyak jumlahnya bila kau mau membantuku
menghancurkan Istana Gerbang Merah!" seru Sekar Sengkuni lagi. Dia tetap
berusaha untuk melihat sosok orang di dalam keranjang. Berpuluh
tahun dia hanya bisa bercakap-cakap dengan keranjang itu saja tanpa mengetahui wujud orang
yang mendekam di dalamnya.
"Huh! Tawaran yang cukup menggiurkan!
Sekar Sengkuni, apakah kau memang ingin
menghancurkan Istana Gerbang Merah, atau
menghancurkan Resi Tala Kangkang!"
"Jangan banyak mulut!"
"Bila saja kau masih muda, tubuhmu masih montok seperti aku pertama kali mengenalmu
dulu, aku akan meminta tubuhmu sebagai imbalan!" Walaupun kedua gendang telinganya memerah mendengar ucapan orang dalam
keran- jang, Sekar Sengkuni terkikik, mirip kuntilanak di siang bolong.
"Sampai hari ini aku belum pernah melihat
tampangmu! Apakah memang tampan seperti seorang pangeran atau tak lebih dari kodok belaka!
Bila kau bertampang seorang pangeran, melayanimu siang malam bukanlah suatu masalah! Tetapi bila kau tak lebih dari kodok buduk, lebih
baik kau kubur keinginanmu itu dalam-dalam...."
Wuuuttt!! Keranjang itu tiba-tiba melesat ke arah si
nenek yang masih terkikik. Gemuruh angin terdengar dan mendahului lesatan keranjang itu.
Si nenek memutus kikikannya seraya dorong kedua tangannya ke depan.
Plak! Plak!! Keranjang itu terpental kembali ke belakang setelah membentur kedua telapak tangan si
nenek berpakaian hijau. Berputar di udara dua
kali dan jatuh kembali di atas tanah dengan suara cukup keras. Di seberang Sekar Sengkuni harus surut tiga langkah.
"Keparat busuk!" geramnya sengit.
"Kau tetap memiliki ilmu yang lumayan!
Hanya sayang, kau tak berani datang ke Istana
Gerbang Merah sendiri!"
"Buntet busuk! Tanpa bantuanmu aku
sanggup menghancurkan Istana Gerbang Merah,
menghancurkan Resi Tala Kangkang yang berdiam di sana! Tetapi...."
"Kau tak sanggup untuk membunuh lelaki
yang telah menyakiti hatimu itu, tetapi masih kau cintai!" "Setan!!" bentak
Sekar Sengkuni seraya mendorong tangan kanan kirinya.
Menggebrak dua gelombang angin yang
menyeret tanah dan ranggasan semak ke arah
orang dalam keranjang. Belum mengenai sasarannya, keranjang itu telah melambung ke atas.
Bahkan berpentalan di udara tanpa menyentuh
bumi. Sekar Sengkuni sudah mencelat memburu
diiringi teriakan tertahan, "Jangan kau ingatkan aku lagi pada masa laluku!
Manusia itu harus
mampus kubunuh!!"
"Kau tak mampu melakukannya karena
kau masih mencintainya, Sekar Sengkuni!" seru orang dalam keranjang yang terus
melambung-lambung. "Itulah sebabnya kau mengajakku, agar aku yang membunuh Resi
Tala Kangkang!"
Mendadak saja keranjang itu meluncur deras, bertepatan dengan Sekar Sengkuni yang melompat sambil mendorong kedua tangannya.
Buk! Buk! Keranjang itu terpental lebih ke atas sementara Sekar Sengkuni melompat ke bawah. Kedua kakinya agak goyah ketika hinggap di atas
tanah. Karena benturan yang cukup keras itu, si
nenek tak mampu mengendalikan keseimbangannya. Dia ambruk di atas tanah.
Berjarak dua belas langkah dari tempatnya, keranjang itu jatuh di atas tanah. Terdengar suara orang muntah di
dalamnya. "Orang mengenal kita sebagai sahabat, tetapi kita kerap selalu bertentangan!" desis Sekar Sengkuni yang masih berlutut
di atas tanah. Ditarik napasnya sedikit, ditahannya di dalam perut
seiring dikerahkan tenaga dalamnya.
Sementara si nenek berpakaian hijau yang
pada hidungnya terdapat sebuah anting ini perlahan-lahan berdiri, orang dalam keranjang berseru, "Kau betul! Kita memang selalu bertentangan!
Tetapi... hahaha... itulah salah satu keanehan ca-ra bersahabat yang kita
lakukan!" Sekar Sengkuni tertawa pula. "Bagaimana
dengan usulku tadi" Kita sama-sama menghancurkan istana Gerbang Merah!"
"Kau rupanya masih mendendam pada Resi
Tala Kangkang! Hampir tiga puluh lima tahun sudah berlalu, tetapi dendammu tetap utuh padanya!" Paras Sekar Sengkuni mengelam. Ingatannya tiba pada peristiwa tiga puluh lima tahun la-lu, di mana dulu dia bersahabat
erat dengan Tala Kangkang yang belum mendapat julukan sebagai
seorang resi. Persahabatan yang terbina itu ternyata membuahkan benih-benih cinta di hati Sekar Sengkuni. Sayang, dia harus memendam cintanya dalam-dalam bahkan berbuah kepedihan.
Karena Tala Kangkang telah mencintai seorang
gadis dari seberang yang bernama Woro Lolo.
Ke mana pun mereka pergi, Woro Lolo selalu berada di samping Tala Kangkang. Sekar Sengkuni harus menahan pedih dan kecewanya bila
mengintip Tala Kangkang dan Woro Lolo bermesraan. Sekali waktu dia berusaha untuk meninggalkan Tala Kangkang, sekaligus mengubur cintanya dalam-dalam. Namun hal itu tak kuasa dilakukannya, sehingga dibiarkan dirinya terpendam dalam lubang kepedihan.
Kepedihan itu akhirnya menumbuhkan benih cemburu pada Woro Lolo, benih dendam tak
terkira. Hingga pada suatu hari, di saat Tala
Kangkang sedang mencari makanan di sebuah
hutan, Sekar Sengkuni tak mampu menahan diri
lagi. Diputuskan untuk membunuh Woro Lolo
yang dianggapnya sebagai penghalang dari cintanya. Dan telah diaturnya sebuah rencana. Bila
Woro Lolo tewas, akan dikatakannya kalau sepeninggal Tala Kangkang dia dan Woro Lolo diserang oleh gerombolan.
Woro Lolo sendiri bukanlah gadis yang tak
berilmu, walaupun dia harus menderita kekalahan dari Sekar Sengkuni. Saat Sekar Sengkuni
hendak menurunkan tangan kematiannya, Tala
Kangkang muncul yang segera menghalanginya.
Perasaan kacau-balau berpadu di hati Sekar Sengkuni. Malu, gelisah, dendam, amarah
berpilin geram. Terutama ketika mendengar bentakan marah dari Tala Kangkang. Diserangnya
Tala Kangkang penuh kebencian tinggi seraya melontarkan isi hatinya.
Tala Kangkang yang marah melihat gadis
yang dicintainya dilukai Sekar Sengkuni seolah
telah berubah menjadi seseorang yang menganggap Sekar Sengkuni sebagai musuh. Pertarungan
keduanya terjadi, sementara Woro Lolo berteriakteriak agar pertarungan dihentikan.
Tetapi keduanya telah dibuncah amarah,
terutama Sekar Sengkuni yang malu luar biasa.
Pertarungan itu dimenangkan oleh Tala Kangkang
dan berhasil melukai Sekar Sengkuni yang kemudian berlalu dengan sejuta kelaraan di hatinya.
"Buntet Kalamangsang! Sebelum kudengar
Tala Kangkang mampus, dendamku tak akan
pernah sirna! Berpuluh tahun kulacak jejaknya,
hingga kudengar tentang Istana Gerbang Merah di
mana Tala Kangkang telah membangun dan menduduki tempat itu!" seru si nenek dengan kedua tangan mengepal. Sepasang
rahangnya mengeras.
Kedua pipinya yang telah peot menggembung.
"Aku harus membunuhnya!!"
Orang dalam keranjang berseru, "Kita juga
sama-sama mendengar kalau kemudian Woro Lolo yang bernama asli Mayang Kinanti telah kembali ke asalnya di Pulau Andalas! Berarti, dia tak pernah menikah dengan Tala
Kangkang!"
"Peduli setan dengan semua itu!"
"Seharusnya yang kau bunuh adalah Woro
Lolo!" "Berulang kali aku berusaha untuk membunuhnya, tetapi berulang kali pula
selalu diga- galkan oleh Tala Kangkang! Orang dalam keranjang, tak perlu kita berbicara lebar akan semua
ini! Sebaiknya kita segera menuju ke Istana Gerbang Merah!"
"Tunggu! Aku ingin melihat upah yang kau
janjikan"!"
Sekar Sengkuni tertawa keras, tawa yang
sekaligus mengandung amarah pada Resi Tala
Kangkang. "Sudah tentu aku tak akan bertindak bodoh, Buntet! Upahmu akan kuberikan bila kau telah membunuh Tala Kangkang! Tetapi untuk
membuktikan kebenaran ucapanku...."
Memutus kata-katanya, Sekar Sengkuni
menghembuskan napas keras ke semak belukar
di sebelah kanannya. Hembusan napas yang dila
Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kukan secara menyentak itu berubah menjadi
gemuruh angin dan....
Blaaarrr!! Semak belukar itu tercabut paksa dan
memburai. Terlihat tumpukan emas batangan
yang berkilau-kilau tertimpa cahaya bulan.
Keranjang itu tiba-tiba melesat ke sana.
"Kau tak akan bisa mengambilnya karena
emas-emas yang kujarah dari seorang juragan
kaya di sebuah desa, telah kulumuri racun! Bila
kau ingin mampus, kau dapat mengambilnya sekarang!" "Terkutuk!" seru orang dalam keranjang seraya melayang kembali ke tempat semula.
Sekar Sengkuni tertawa keras.
"Sebelum menuju ke Istana Gerbang Merah, masih ada seorang lagi yang hendak kubunuh!" Orang dalam keranjang menyahut geram,
"Siapa"!"
"Raja Naga!"
Sesaat tak terdengar suara dari keranjang
itu. Setelah beberapa saat, Buntet Kalamangsang
berseru, "Ya! Bagus! Itu gagasan yang sangat bagus! Pemuda dari Lembah Naga itu
memiliki pen- dengaran dan penciuman yang tajam! Dia seperti
tahu tindakan yang akan dilakukan oleh orangorang golongan kita!"
Sekar Sengkuni tersenyum licik.
"Aku ingin membunuhnya bukan karena
dia kuanggap sebagai penghalang! Tetapi...."
"Mengapa kau memutus kata-katamu.
hah"!" Sekar Sengkuni tak segera angkat bicara.
Setelah terdiam barulah dia berkata, "Apakah kau tidak pernah mendengar kalau
pemuda itu memiliki Gumpalan Daun Lontar yang sangat dahsyat"
Pemuda yang julukannya melesat naik setelah
berhasil membunuh Hantu Menara Berkabut itu,
akan kujadikan budakku bila Gumpalan Daun
Lontar telah kudapatkan!"
"Bagus!"
Sekar Sengkuni tak bersuara, Dia tersenyum dan berkata dalam hati, "Kau memang
dungu! Sangat dungu! Begitu mudah kukendalikan hanya dengan emas batangan yang sebenarnya hanyalah bayangan yang kupergunakan dengan ilmu 'Muslihat Mata Bayangan'. Sudah tentu
emas hasil jarahanku di sebuah desa tak akan
pernah kuberikan padamu...."
Keranjang di hadapannya bergetar sedikit,
menyusul terdengar suara, "Raja Naga adalah pemuda keparat yang selalu
mengacaukan sepak
terjang orang-orang seperti kita! Ya! Tanpa kau
inginkan pun aku telah berniat untuk membunuh
pemuda keparat itu! Karena biar bagaimanapun
juga... aku punya hubungan dengan Hantu Menara Berkabut!"
"Astaga naga!" seru Sekar Sengkuni sambil tertawa. "Kau punya hubungan dengan
Hantu Menara Berkabut" Keranjang busuk itu telah
mengubahmu menjadi orang dungu! Apakah dengan bicara seperti itu kau menganggap orangorang akan jeri padamu"!"
"Setan terkutuk!" geram orang dalam keranjang. "Pemuda bersisik coklat itu
memang harus diperhitungkan pula! Karena seperti biasanya, dia seperti mencium
keonaran yang akan terjadi!"
Sekar Sengkuni berseru geram, "Kita tidak
sedang membuat keonaran! Membunuh Resi Tala
Kangkang sekaligus menghancurkan Istana Gerbang Merah, adalah sebuah kebajikan! Karena...
dia tentunya akan mencari korban perempuanperempuan lain!"
"Seperti dirimu?"
"Setan!!" maki si nenek geram. Parasnya mengkelap. Tetapi kali ini dia tidak
lontarkan serangan. "Setelah Woro Lolo kembali ke Pulau Andalas, tentunya lelaki
celaka itu akan mencari
korban baru!"
Orang dalam keranjang tertawa.
"Apakah karena itu kau hendak membunuhnya atau itu cuma sebuah...."
"Tutup mulutmu! Apakah kau tak pernah
berpikir...."
"Aku tak mau memikirkan soal Resi Tala
Kangkang!" kali ini orang dalam keranjang yang memutus seruan si nenek.
Sekar Sengkuni tertawa keras. Kepuasan
membayang di wajah keriputnya.
"Kau akan melihat apa yang akan kulakukan terhadapnya!!"
Orang dalam keranjang itu membatin, "Perempuan keparat ini memang berotak licik! Dia
masih terbawa dendam karena ditolak oleh Resi
Tata Kangkang! Aku yakin, setelah berhasil membunuh Resi Tala Kangkang, dia tak akan segansegan menyeberang ke Pulau Andalas untuk
mencari Woro Lolo!"
Sekar Sengkuni berkata seraya menghembuskan napasnya keras-keras, "Kita berangkat sekarang!"
Belum habis terdengar ucapannya, si nenek beranting di hidungnya sudah melesat ke
arah barat. Orang dalam keranjang menggeram dalam
hati, "Kau boleh menghinaku sekarang! Tapi kelak... kau akan mendapatkan balasan
dari perbu- atanmu itu!"
Keranjang itu bergerak cepat, tetapi terhenti lagi. Bergerak sedikit ke arah semak di mana
emas batangan yang dilihatnya berada di sana.
Menyusul makiannya terdengar keras, "Setan alas! Bila saja emas-emas batangan itu tidak dilumuri racun, sudah tentu
kuambil sekarang
dan berlalu dari sini tanpa menjalankan apa yang diinginkannya! Terkutuk!"
Sambil memaki-maki tak karuan, Buntet
Kalamangsang yang tidak ketahuan seperti apa
wujudnya sudah bergerak. Yang terlihat hanyalah
sebuah keranjang yang berlompat-lompat.
Lima kejapan mata dari perginya Buntet
Kalamangsang menyusul Sekar Sengkuni, emasemas batangan yang dilihatnya tadi tiba-tiba
menguap. Bersama angin yang berhembus, emasemas batangan itu lenyap sama sekali.
DUA HAMPARAN pagi telah menaungi alam. Butiran embun belum sepenuhnya mengering karena matahari masih menampakkan bias-biasnya
saja. Udara masih berhembus dingin, masih
membuat orang lebih suka mendekam di balik selimutnya atau lebih erat mendekap pasangan tidurnya. Tetapi di desa itu keramaian telah terjadi.
Orang-orang berkumpul di depan sebuah rumah
besar yang berhalaman luas. Dari dalam rumah
itu terdengar isakan seorang perempuan yang
berlutut di hadapan satu sosok tubuh yang ditutupi sehelai kain putih.
Orang-orang yang berkumpul di depan rumah itu tidak bisa masuk karena dihadang dua
lelaki gagah dengan senjata tombak ramai berseru-seru. Mereka nampaknya tidak puas untuk
melihat keadaan di dalam rumah.
"Maafkan Kami...," kata salah seorang yang menjaga di depan pintu halaman.
"Bukan kami hendak melarang kalian masuk, tetapi di dalam
telah sesak dengan orang."
"Kami ingin melihat keadaan Juragan!" se-ru salah seorang dari yang berkerumun.
"Ya! Kami ingin tahu siapa yang telah
membunuhnya"!"
Penjaga yang tadi berkata melirik temannya, seperti meminta pendapat. Setelah melihat
temannya mengangguk dia berkata, "Semalam,
seseorang berpakaian hijau telah menyelinap masuk ke rumah ini. Membunuh beberapa orang
penjaga. Juga membunuh Juragan Purna Setyo.
Juragan Putri selamat karena semalam dia tidur
di kamar Nimas Ken Fitria."
Kata-kata si penjaga mengobarkan amarah
di dada para penduduk yang berkerumun. Mereka
tak pernah menerima keadaan itu karena selama
ini Juragan Purna Setyo selalu memperhatikan
keadaan mereka. Saat itu pula orang yang tadi
buka mulut memerintahkan beberapa orang untuk segera melacak si pembunuh.
Di antara salah seorang yang berkerumun
ini, nampak satu sosok tubuh ramping berparas
jelita. Sejak tadi gadis berusia sekitar tujuh belas tahun ini hanya terdiam,
tetapi menguping apa
yang telah terjadi.
"Seseorang berpakaian hijau" Siapa dia"'
tanyanya dalam hati. Lalu menyeruak ke depan.
Di hadapan kedua penjaga itu si Jelita berambut
indah ini bertanya, "Apakah ada yang mengenali si pembunuh?"
"Menurut Toha yang masih bisa diselamatkan, pembunuh itu seorang perempuan tua
yang di hidungnya terdapat sebuah anting," sahut si penjaga setelah memandangi
gadis berpakaian
merah muda itu beberapa saat.
"Ketika terjadi kejadian itu, kalian berada di mana?"
Pertanyaan si gadis membuat wajah kedua
penjaga itu memerah. Dengan kata lain, si gadis
seperti menyelidik keberadaan mereka. Penjaga
yang berdiri di sebelah kanan menyahut, "Kami sedang berkeliling di luar sekitar
rumah ini. Dan ketika kami kembali, keadaan sudah kacau-balau. Juragan Purna
Setyo telah tewas."
"Ke mana si pembunuh itu pergi?" tanya si gadis seperti tidak puas.
Lagi kedua penjaga itu tak segera menjawab. Dalam keadaan seperti ini, mereka agak
jengkel karena didesak oleh pertanyaanpertanyaan si gadis.
Tindakan gadis berpakaian merah muda
itu tak luput dari sepasang mata yang berdiri di antara kerumunan itu di sebelah
kanan. Dan... Astaga! Sepasang mata itu bersorot angker, mengerikan dan mampu membuat orang putus nyali.
Si pemilik mata angker yang mengenakan rompi
berwarna ungu ini membatin, "Dari pertanyaan yang diajukan gadis itu, nampaknya
dia mencuri-gai sesuatu. Atau mungkin... dia mengenal si
pembunuh?"
Saat ini salah seorang penjaga sedang
menjawab pertanyaan si gadis, "Tak ada yang melihat ke arah mana si pembunuh
pergi. Setelah menjarah emas batangan simpanan Juragan Purna Setyo, dia lenyap begitu saja."
Si gadis tampaknya tidak puas dengan jawaban itu. Tetapi dia urung melontarkan pertanyaannya lagi, karena orang-orang yang berkerumun sudah mendesak masuk. Buru-buru si
gadis menyingkir termasuk kedua penjaga itu,
yang mau tak mau membiarkan para penduduk
yang ingin melihat keadaan Juragan Purna Setyo.
Gadis berpakaian merah muda itu segera
menyingkir, lalu berlari dengan gerakan yang
mengagumkan. Pemuda bermata angker yang sejak tadi
memperhatikannya, segera menyusul ke mana
perginya si gadis. Dijaga jaraknya agar tidak sampai memancing perhatian si
gadis. Di sebuah tempat yang dipenuhi pepohonan dan agak jauh dari desa itu, si gadis berambut indah menghentikan larinya. Tak ada napas
terengah yang terdengar. Dada busungnya tetap
bergerak, seirama napasnya yang tenang.
"Perempuan tua berpakaian hijau.... Memakai anting pada hidungnya.... Hemm... apakah
memang dia yang melakukannya?" desisnya pelan seraya memperhatikan
sekelilingnya. Saat ini matahari mulai menampakkan cahayanya, menerangi tempat itu. Untuk beberapa
lama si gadis terdiam seraya menarik-narik hidung mancungnya.
"Guru memerintahkanku untuk melacak
jejak perempuan tua yang berciri seperti si pembunuh. Guru tak pernah mengatakan padaku
mengapa dia menyuruhku melakukan tindakan
ini. Setelah aku mengetahui di mana dia berada,
Guru menyuruhku untuk kembali ke Istana Gerbang Merah. Ah... apakah...."
Seraya memutus desisannya, si gadis memalingkan kepalanya ke samping kanan. Menyusul bentakannya yang menggema, "Rupanya ada manusia iseng yang mencuri dengar
seperti maling kesiangan!!"
Wuuutttt!! Gelombang angin menggebrak setelah tangan kanannya dikibaskan!
Blaaarrr!! Sebuah pohon yang ditujunya terhantam
hingga bergetar. Dedaunannya kontan berguguran. Di lain saat pohon itu berderak dan patah di bagian tengah. Jatuh berdebam
menindih semak belukar di belakangnya.
Secepat kilat si gadis memburu ke sana.
Tetapi tak ditemukannya siapa pun juga. Justru
satu suara terdengar di belakangnya,
"Ketelengasan yang kau lakukan dapat
mencelakakan orang lain! Apakah tak ada tindakan yang lebih baik seperti yang kau lakukan ba
Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rusan"!"
Seketika si gadis memutar tubuhnya. Dilihatnya satu sosok tubuh gagah berompi ungu
yang memperlihatkan dada bidang dipenuhi otot,
telah berdiri berjarak dua belas langkah dari tempatnya. Kemarahan segera naik
ke ubun-ubun si
gadis. Dia hampir saja melontarkan bentakan keras, tetapi urung dilakukannya.
* * * "Astaga!" desisnya dengan mata melebar.
"Tatapannya... gila! Tatapannya sangat mengerikan!" Tanpa disadarinya dadanya
sedikit berdebar. "Dan tadi... aku sama sekali tak melihat gerakannya
menghindari seranganku. Hemm... tentunya pemuda ini bukan orang sembarangan. Aku
harus bersiap bila dia bermaksud buruk!"
Pemuda berkuncir kuda itu masih tersenyum. Lalu menggaruk kepalanya yang sedikit
gatal. Saat menggaruk itu terlihat sisik-sisik coklat sebatas siku memenuhi
tangan kanannya. Sisik yang sama pun terdapat di tangan kirinya.
"Tak ada maksudku untuk bersikap seperti
maling kesiangan!" katanya lembut. "Hanya rasa penasaranlah yang membuatku
bertindak seperti
ini!" Gadis berpakaian merah muda itu tak bu-ka suara. Masih dipandanginya wajah
tampan di hadapannya. "Tatapannya benar-benar mengerikan. Dan
kedua tangannya sebatas siku dipenuhi sisik coklat. Hemm... siapa pemuda yang bersikap sopan
tetapi telah berlaku seperti maling kesiangan ini?"
gumamnya dalam hati.
Seraya mengangkat dagunya sedikit hingga
memperlihatkan leher jenjang yang indah, si gadis berseru, "Aku tak suka mencari
silang sengketa!
Sebelum keadaan ini berubah menuju ke sana,
sebaiknya tinggalkan tempat ini!"
Pemuda gagah itu masih tersenyum.
"Kukatakan tadi, karena rasa penasaran
itulah yang membuatku mengikutimu...."
"Mengikutiku" Brengsek! Tentunya dia telah mengikutiku dari rumah mendiang Juragan
Purna Setyo! Hebat, mengapa aku baru tahu kehadirannya di sini!" kata si gadis dalam hati. Masih mengangkat dagunya dan kali
ini kedua tan- gannya mengepal dia berseru,
"Aku bukanlah orang yang tepat untuk dijadikan sebagai tempat penumpahan rasa penasaran! Tetapi aku bukan pula orang yang suka
membiarkan orang lain penasaran! Apa yang menyebabkanmu penasaran seperti itu"!"
"Pertanyaan-pertanyaan yang kau lontarkan pada kedua penjaga Juragan Purna Setyo!"
sahut si pemuda. "Dari pertanyaan-pertanyaan.
yang kau lontarkan, kau nampaknya mengetahui
sesuatu! Bahkan aku menduga, kau mengenal
siapa pembunuh Juragan Purna Setyo!"
Si gadis tak menjawab. Matanya memandang tak berkedip pada si pemuda, yang kemudian dikerjap-kerjapkannya karena tak mampu
menatap lebih lama.
"Biar kau tidak penasaran kujawab katakatamu! Ya, dari ciri-ciri yang dikatakan kedua
penjaga itu, aku seperti mengenali siapa pembunuh Juragan Purna Setyo!"
"Apakah kau keberatan untuk mengatakannya padaku?"
"Kau terlalu lancang, terlalu banyak ingin
tahu urusan orang!"
"Karena masih ada rasa penasaran di hatiku!" "Brengsek! Dia begitu tenang sekali," geram si gadis dalam hati. Kemudian
berkata, "Aku mengatakan, seperti mengenali pembunuh itu, tetapi belum pasti
benar apa yang kukatakan! Dia
seorang nenek yang bernama Sekar Sengkuni!"
"Bila kau menduga seperti itu, berarti kau
mengenal siapa Sekar Sengkuni!"
Si gadis menggeleng. Rambut indahnya
bergerak manja.
"Tidak! Jangankan mengenalnya, melihatnya pun tidak pernah!" sahutnya.
"Kalau begitu... kau tentunya sedeng mencari perempuan tua Itu, bukan?"
"Kau terlalu lancang bertanya!"
"Penasaranlah yang...."
"Kurang ajar!!" si gadis tiba-tiba mendorong tangan kanan kirinya secara
bersamaan, lalu menyentak ke atas. Dua gelombang angin yang keluar dari dorongan kedua tangannya menderu keras, lalu bertemu, berpilin menjadi satu dan tiba-tiba menyentak ke atas!
Pemuda bersisik coklat pada lengan kanan
kirinya sebatas siku itu hanya menjerengkan matanya. Lalu melirik ke atas. Dilihatnya gelombang angin deras yang berpilin
menjadi satu tiba-tiba meluruk turun dengan suara berdenging-denging.
"Hebat!" desisnya dalam hati. Mendadak dia mendehem cukup keras.
Blaaaammm!! Luruhan angin deras itu tiba-tiba putus di
tengah jalan seperti tertabrak satu tenaga yang
tak nampak. Lalu menyebar dan membuat ranggasan semak hangus!
Sampai surut satu langkah si gadis melihat
apa yang dilakukan si pemuda.
"Gila! Hebat sekali! Sungguh hebat!" desisnya tanpa dapat menutupi kekagumannya.
Tetapi di lain saat dia sudah menggeram dengan wajah
mengkelap, "Pemuda bersisik! Jangan-jangan...
kau adalah orang Sekar Sengkuni!"
Si pemuda menggeleng.
"Tidak! Seperti dirimu, aku juga tidak pernah mengenal siapa Sekar Sengkuni! Tetapi sungguh, aku penasaran ingin mengenalnya! Dia harus mendapat hukuman atas perbuatan yang dilakukannya! Karena aku menduga, dia tak akan
sekali itu saja membunuh dan menjarah harta
orang!" "Sombong!"
Si pemuda hanya tersenyum. Yang dikatakannya tadi hanyalah ingin mengetahui akan sikap si gadis tentang perempuan tua bernama Sekar Sengkuni. "Dari sikapnya, gadis ini nampaknya begitu
muak pada orang bernama Sekar Sengkuni. Aku
tidak tahu apa yang menyebabkannya demikian.
Tetapi tak mustahil dia akan mencari perempuan
tua itu, entah untuk apa," kata si pemuda dalam hati. Lalu berkata, "Namaku Boma
Paksi...."
"Siapa sudi mengetahui namamu, hah"!"
seru si gadis. "Berarti kau keberatan untuk menyebutkan namamu, bukan?"
"Aku bukan hanya keberatan untuk melakukannya, tetapi juga berjanji tak akan berjumpa lagi denganmu!"
"Bagiku bukanlah sebuah masalah besar.
Sebelum kita berpisah, masih ada yang ingin kutanyakan padamu!" kata Boma Paksi alias Raja Naga sambil tersenyum.
Si gadis sudah menyambar, "Karena rasa
penasaranmu lagi"!"
Pemuda dari Lembah Naga itu tertawa
mendengar kata-kata si gadis.
"Mungkin, mungkin karena rasa penasaranku! Mengapa kau mencari si pembunuh itu?"
"Itu urusanku!"
"Betul, betul sekali! Itu memang urusanmu!" "Tak ada lagi yang perlu ditanyakan!" seru si gadis sambil berbalik dan
melangkah bergegas.
Raja Naga tersenyum.
"O ya! Bagaimana bila aku berjumpa dengan pembunuh itu, lalu kukatakan kalau kau
mencarinya?"
"Katakan padanya, kalau aku, Galuh Tantri
datang mencarinya!!" seru si gadis yang tiba-tiba berhenti melangkah. Kepalanya
menegak. "Keparat! Dia menjebakku hingga kusebutkan namaku!" geramnya.
Kejap itu pula dia berbalik dan siap memaki. Tetapi pemuda bersorot mata angker itu sudah tidak ada di tempatnya.
"Brengsek! Brengsek!!" geramnya sambil menjejak-jejakkan kakinya di atas tanah
hingga mengepul ke udara dan membentuk sebuah lubang. Kejengkelan masih membias di wajahnya
sampai kemudian dia tersenyum sendiri.
"Ih! Ternyata pemuda itu cukup pintar! Dia
dapat mengorek keterangan tanpa kusadari!
Brengsek! Tetapi... wajahnya tampan sekali, walaupun matanya bersorot angker. Biarpun bersorot angker, dia bukanlah orang golongan sesat.
Dan ilmunya sangat tinggi. Dia dapat mematahkan seranganku hanya dengan... ampun! Kenapa
aku jadi memikirkan dia"!"
Walaupun jengkel dengan apa yang dipikirkannya, tetapi wajah dara jelita bernama Galuh Tantri ini memerah.
"Brengsek! Aku tidak mau lagi bertemu
dengan pemuda bersisik coklat pada lengan kanan kirinya!" desisnya lagi. Setelah terdiam beberapa saat, gadis ini segera
meninggalkan tempat
itu, berlawanan arah dengan yang ditempuh Raja
Naga. Tetapi herannya, wajah tampan dan sikap
konyol pemuda berompi ungu itu masih membayang di benaknya.
TIGA PEREMPUAN setengah baya berpakaian
putih itu menghentikan langkahnya di sebuah dataran rendah. Tak jauh dari tempatnya berdiri sebuah bukit karang. Di kejauhan
sana, bayangan beberapa ekor burung melayang bermandikan
matahari senja.
Perempuan ini menikmati keindahan itu
beberapa saat. Sisa-sisa kecantikannya masih
terbayang. Sepasang alisnya tebal dengan bulu
mata lentik dan sepasang mata bersorot teduh.
Sepasang payudaranya masih membusung kencang. Sebuah tahi lalat kecil pada dagu kirinya menambah bias-bias sisa
kecantikannya. "Tala Kangkang... di mana kau?" desisnya seraya menundukkan kepala. Kali ini
terlihat wajahnya dipenuhi kerinduan dalam. "Siang malam tak pernah kulupakan
dirimu. Siang malam selalu kurindui dirimu. Ah, apakah kau masih memiliki perasaan yang sama seperti diriku?"
Pelan-pelan perempuan ini mengangkat
kepalanya. Mata indahnya dibaluri kerinduan
yang sangat. "Berpuluh tahun aku kembali ke tanah kelahiranku untuk melupakan segala yang pernah
terjadi. Tetapi aku tak pernah bisa melupakannya...." Perempuan yang ternyata Woro Lolo atau yang bernama asli Mayang Kinanti
ini menarik napas pendek. Keputusan yang pernah diambilnya tiga puluh lima tahun lalu ternyata merupakan keputusan yang menyiksa seluruh hidupnya.
Diputuskan untuk meninggalkan Tala
Kangkang, orang yang sangat dicintainya karena
tahu kalau Sekar Sengkuni mencintai Tala Kangkang. Kala itu Woro Lolo merasa sangat bersalah, karena dengan mencintai dan
mendapatkan cinta
Tala Kangkang, berarti dia telah mengorbankan
perasaan Sekar Sengkuni, terutama semenjak dia
tahu kalau Sekar Sengkuni mencintai Tala Kangkang. Saat itu Woro Lolo merasa kalau dia telah memusnahkan hubungan baik antara
Sekar Sengkuni dan Tala Kangkang, hingga diambilnya
sebuah keputusan yang menyesakkan dadanya.
Tala Kangkang berusaha menahannya, berusaha
menjelaskan keadaan. Selama ini Sekar Sengkuni
hanya dianggap sebagai sahabatnya belaka, tak
ada benih cinta yang bersemayam dan tumbuh
menjadi besar. Tetapi sebagai sesama wanita, Woro Lolo
dapat merasakan kepedihan yang dirasakan Sekar Sengkuni. Bahkan dimakluminya ketika beberapa kali Sekar Sengkuni berusaha membunuhnya. Hal itulah yang membuatnya bersikeras untuk kembali ke Pulau Andalas, menghentikan jiwa
petualang yang dimilikinya.
Dipikirnya setelah tiba di tanah kelahirannya, dia dapat mengubur seluruh masa lalunya.
Tetapi ternyata tak semudah yang diperkirakannya. Benih cintanya semakin tumbuh. Kerinduannya semakin mendesak. Dicoba melupakannya dengan jalan memperdalam ilmunya dan
menciptakan jurus-jurus baru. Tetapi kerinduannya semakin bergelora.
Setelah bertahan tiga puluh tahun lebih
lamanya, Woro Lolo akhirnya memutuskan untuk
kembali ke tanah Jawa, untuk mencari Tala
Kangkang. Dia tidak tahu, apakah Tala Kangkang
memang akhirnya menikah dengan Sekar Sengkuni, atau justru dengan orang lain.
Perempuan berpakaian putih bersih ini
mendesah pendek, mengingat kalau dirinya belum menikah hingga saat ini.
Senja terus menurun. Woro Lolo memutuskan untuk meneruskan langkahnya seraya
mencari keterangan di manakah Tala Kangkang
tinggal.
Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pagi harinya dia mampir di sebuah kedai
untuk mengisi perut. Tak jauh darinya tiga orang lelaki sedang bercakap-cakap
sambil memegang
beberapa helai baju.
"Orang-orang Istana Gerbang Merah memang baik! Kalau tiga hari lalu dia memberi kita makanan, kali ini pakaian!"
sahut yang bertubuh gemuk sambil mengunyah nasi kebuli di hadapannya. Porsinya
lebih banyak dari dua orang temannya. Baju baru yang dipegangnya diletakkan
di sisi kanannya.
"Betul! Tetapi hingga saat ini, kita belum
pernah melihat siapa orang yang memimpin Istana Gerbang Merah kecuali mendengar namanya
saja!" sahut yang bertubuh kerempeng. Mulutnya penuh dengan nasi dan sedikit
berhamburan ke arah si Gemuk. Si Gemuk melotot yang disambut dengan
tawa oleh si Kerempeng.
Yang bertubuh sedang berkata, "Aku ingin
suatu hari kita mendatangi istana Gerbang Merah. Aku ingin mengucapkan terima kasih langsung pada Resi Tala Kangkang...."
Woro Lolo yang sebenarnya tak begitu bernafsu untuk menikmati sarapan paginya, menegakkan kepala ketika mendengar nama itu disebutkan. "Resi Tala Kangkang" Apakah... dia orang
yang kurindukan?" tanyanya dalam hati. Tanpa sadar dadanya berdebar dan
ditajamkan telinganya untuk mendengar percakapan itu lebih lanjut "Aku juga begitu," kata si Kerempeng.
Woro Lolo makin tak berselera untuk
menghabisi hidangannya. Setelah membayar dia
melangkah mendekati ketiga orang itu. Sudah
tentu kedatangannya mengejutkan mereka. Tetapi
pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang
ramah. Pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan perempuan setengah baya itu mereka jawab penuh kegembiraan.
Merasa keterangan yang didapatkannya
sudah cukup, Wore Lolo segera meninggalkan
orang-orang itu yang menatap kepergiannya dengan terkagum-kagum.
"Hebat! Ku taksir perempuan itu berusia
lebih dari setengah abad," kata si Gemuk. "Tapi wajahnya... amboi! Masih
cantik!" "Hei, hei! Kalian perhatikan tidak dadanya
tadi?" kata yang bertubuh sedang.
Si Gemuk yang duduk di sampingnya langsung mendorong kening temannya.
"Kebluk! Matamu selalu ke benda keramat
itu saja!" ejeknya. "Apa kau tidak puas dengan dada besar istrimu yang bertubuh
lebih gemuk dariku"!"
Temannya mendengus.
"Seharusnya dia jadi istrimu! Dan istrimu
jadi istriku!"
Si Gemuk tertawa.
"Kalau aku dapat istrimu yang bertubuh
lebih gemuk dariku itu sudah tidak aneh! Makanya kucari istri yang bertubuh langsing! Kalau kau mendapatkan istri yang
gemuk itu, ya sudah
rezekimu!"
Si Kerempeng tertawa geli dan berkata,
"Betul! Kau kan bisa menghisap bukit kembarnya yang gede betul!"
Temannya mendengus lagi.
"Brengsek kalian, ah! Sudah, sudah! Ayo
makan! Kita harus segera pulang!"
"Hei! Kau tidak mau ke sawah lagi"!" tanya si Kerempeng.
"Gara-gara dada perempuan itu, aku jadi
ingin membajak sawah istriku saja!"
Ketiganya tertawa bersamaan.
* * * Sambil terus berlari ke arah barat, Woro
Lolo membatin, "Istana Gerbang Merah... Resi Ta-la Kangkang... apakah memang
dia, orang yang
kurindukan siang dan malam?"
Semakin dipikirkan, semakin bertambah
kerinduannya. Rasa tak sabarnya untuk mengetahui siapakah Resi Tala Kangkang yang dimaksud oleh tiga lelaki di kedai itu, membuatnya untuk terus berlari. Sekejap pun
tak ada niatan untuk menghentikan larinya.
Seperti yang dikatakan oleh salah seorang
dari ketiga orang tadi, dia harus menuju ke barat.
Di balik sebuah bukit kapur, di sanalah Istana
Gerbang Merah berada.
Tepat matahari berada di atas kepala, perempuan berpakaian serba putih ini menghentikan larinya di sebuah jalan setapak. Bukan karena merasa lelah, bukan pula karena memutuskan
untuk beristirahat. Tetapi, berjarak lima betas
langkah di hadapannya telah berdiri seorang kakek bertubuh bongkok yang mengenakan pakaian
merah acak-acakan.
Dari caranya berdiri yang tepat di tengah
jalan, dapat dipastikan kalau si kakek memang
sedang menantinya. Woro Lolo sendiri merasakan
hal itu. Kendati agak sedikit jengkel mengingat
dia harus tiba di Istana Gerbang Merah guna
memuaskan perasaan ingin tahunya, Woro Lolo
tersenyum seraya melangkah.
"Orang tua! Dari tempatmu berdiri nampaknya kau sedang menanti seseorang! Apakah
memang demikian adanya?" serunya setelah
memperpendek jarak.
Kakek berjenggot menjuntai itu mengangkat kepalanya. Mata celongnya yang berkilat-kilat merah memandang tak berkedip
pada Woro Lolo.
Woro Lolo melihat kalau kedua mata itu sesaat
membelalak. "Astaga naga!" desis si kakek sambil menyeringai lebar. "Sejak dua hari lalu
kutinggalkan Lembah Serigala, baru sekarang kulihat ada perempuan sedemikian
jelita!" Memerah kedua telinga Woro Lolo. Tetapi
perempuan ini tetap tersenyum.
"Saat ini aku sedang terburu-buru, hingga
sudilah kiranya kau memberi jalan padaku...," katanya.
"Jalan di samping kanan kiriku cukup lebar, kau dapat melewatinya. Atau... kau memang
ingin melangkah pada tempat di mana aku berdiri
sekarang?"
Woro Lolo paham arti ucapan itu, yang secara tidak langsung mengejeknya
"Baiklah... aku mengambil jalan sebelah kirimu...," katanya sambil melangkah. Kendati bibirnya tersenyum, diam-diam
perempuan dari Pulau Andalas ini bersiaga ketika melewati jalan di sebelah kiri si kakek bongkok.
Mendadak... tap!
Bahu kanannya dijamah dan dipegang erat
oleh si kakek! Woro Lolo menindih kemarahannya. Hampir saja dikibaskan tangan itu. Tetapi karena tak mau membuka urusan, digerakkan
bahunya sedikit. Jamahan tangan si kakek terlepas.
Kontan kakek bongkok itu terbahak-bahak
keras. Debu di sekelilingnya berhamburan.
"Aku menyukai perempuan yang galak!
Dan itu artinya... kau tidak bisa kemana-mana,
sebelum bermain-main denganku!"
Habis ucapannya, tiba-tiba saja si kakek
melesat ke depan. Gerakannya sangat sukar diikuti oleh mata. Hanya karena desiran angin yang mengarah padanya saja Woro Lolo
segera berkelit.
Dan menggerakkan tangannya untuk menahan
tangan kanan si kakek yang mengarah pada sepasang bukit kembarnya
Plak! Plak! Woro Lolo surut dua tindak dengan mata
mulai dibiasi amarah, sementara di pihak lain si kakek berpakaian merah compang
camping membuang tubuh ke belakang dan hinggap di atas tanah dengan ringannya
Tawa kerasnya masih terdengar
"Menyenangkan, sangat menyenangkan!
Sebelum kita teruskan main-main ini, aku hendak bertanya padamu!"
Woro Lolo yang mulai dihinggapi rasa marah karena mendapati sikap kurang ajar si kakek
mendesis dingin, "Aku sendiri baru tiba di tanah Jawa, dan belum mengetahui apaapa! Tidak tepat kiranya bila kau hendak menjadikanku sebagai tempat bertanya!"
"Tidak tepat sebagai tempat bertanya, bukan urusan penting! Karena yang pasti, kau adalah tempat yang tepat sebagai pemuas nafsuku!!"
Hampir saja Woro Lolo melesat untuk menampar mulut kurang ajar itu. Tetapi masih ditindih amarahnya
"Aku tak punya banyak waktu! Mungkin
kelak, akan kulayani keinginanmu untuk bermain-main!" serunya sambil berlari kembali.
Tetapi gemuruh angin yang keluarkan suara berdenging-denging itu membuatnya menghentikan larinya seraya membuang tubuh ke samping
kiri. Blaaaammm!!
Tanah di mana dia berpijak tadi terbongkar
ke udara. Begitu tanah itu luruh, terlihat sebuah lubang yang mengeluarkan asap
berbau busuk. "Kau terlalu memaksa!" geram Woro Lolo
dengan mata menyipit.
Si kakek hanya terbahak-bahak saja.
"Aku ingin kita bermain-main sekarang!
Kau akan berterima kasih bila sudah merasakan
betapa hebatnya aku dalam bercinta!" serunya semakin membuat kegeraman Woro Lolo
memun-cak. "Dan biasanya... setelah puas bercinta, aku suka membunuh lawan
mainku! Jadi... jawab
pertanyaanku sekarang!"
"Keparat! Belum apa-apa aku sudah bertemu dengan manusia seperti ini!" geram Woro Lolo dalam hati. "Sebaiknya biar
kudengar dulu apa pertanyaannya, barangkali saja ternyata memang penting
untukku." Di seberang si kakek sudah angkat bicara,
"Tahukah kau di mana Istana Gerbang Merah berada"!" Kepala Woro Lolo sedikit
terangkat. Matanya memicing. Lalu menyahut, "Baru kudengar nama Istana Gerbang
Merah!" "Sayang, sayang sekali...," si kakek menggeleng-geleng.
"Mengapa kau menanyakan tentang Istana
Gerbang Merah"!"
"Percuma kukatakan padamu karena kau
sendiri tidak tahu! Sebaiknya, kita langsung bermain cinta saja! Ayo, buka
pakaianmu!!"
"Terkutuk!!" mengkelap wajah Woro Lolo.
Kedua tangannya mengepal kuat pertanda dia sedang berusaha menahan kemarahannya.
Si kakek kali ini terkekeh.
"Ya, ya! Seperti juga kebiasaanku yang lain,
aku selalu membuat orang tidak penasaran!" katanya tiba-tiba. "Aku ingin
menghancurkan Istana Gerbang Merah!"
"Mengapa?" seru Woro Lolo.
"Huh! Manusia keparat yang memiliki Istana Gerbang Merah telah menorehkan sebuah luka
pada diri seorang perempuan tiga puluh lima tahun yang lalu! Dan karena manusia itu pula perempuan yang kucintai akhirnya lenyap tanpa
bekas!" "Urusanmu adalah sesuatu yang berat!
Kau hendak melampiaskan dendammu dengan
cara yang salah! Apakah...."
"Tutup mulutmu!" hardik si kakek bongkok. "Kau tidak tahu betapa sakit hatiku ketika mendengar kata-kata perempuan
yang kucintai! Kalau aku tidak pantas dicintainya, karena aku
tidak seperti lelaki yang dicintanya! Dan kau ta-hu... apa yang dikatakannya
agar dia bisa mencintaiku" Aku harus membunuh lelaki keparat
itu!" "Kau semakin banyak membuang waktuku!" Si kakek menggeram sengit. "Aku
telah bersumpah demi langit dan bumi! Tala Kangkang
harus mampus kubunuh! Biar Sekar Sengkuni
utuh menjadi milikku!!"
Sampai mundur tiga tindak Woro Lolo
mendengar ucapan si kakek. Kepalanya menegak
dengan mulut membuka yang memperlihatkan lorong indah di dalamnya
"Astaga!" ucapnya dalam hati dengan dada
berdebar. "Jadi... Istana Gerbang Merah... Resi Tala Kangkang... memang dia...
memang dia orang yang kucintai! Kakek celaka ini telah menjelaskan semuanya, Sekar Sengkuni...."
Di seberang si kakek menggeram seraya
menyipitkan matanya, "Perempuan cantik! Kau seperti terkejut! Aku yakin kau
mengetahui sesuatu"!" Woro Lolo tak menjawab.
"Aku mengerti sekarang... sangat mengerti... Berarti, niat kakek ini harus kuhalangi..."
Habis membatin begitu perempuan bertahi
lalat di dagu ini berkata, "Sejak anak manusia di-ciptakan, urusan cinta tak
pernah berkesudahan!
Urusan cinta berbaur dendam! Kakek bongkok!
Aku tak ingin melibatkan diri dalam urusanmu!
Tetapi niat busukmu untuk membunuh seseorang
bernama Tata Kangkang jelas-jelas harus dicegah!" Kakek bongkok itu mengerutkan keningnya. Sorot matanya penuh kecurigaan.
Beberapa saat kemudian, terdengar desisannya, dingin, "Perempuan cantik! Kau
Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menyembunyikan sesuatu
dariku, sesuatu yang tidak kuketahui dan kau ketahui! Katakan sebelum ku ubah niatku untuk tidak langsung membunuhmu!"
"Berbicaralah selagi kau, masih bisa berbicara seenak perutmu, Kakek celaka!!" seru Woro Lolo dengan kaki sedikit dibuka.
"Perempuan keparat! Mencoba memuslihatiku adalah sebuah kebodohan! Keterkejutanmu
kala ku sebutkan nama Tala Kangkang maupun
Sekar Sengkuni membuktikan kalau kau mengetahui sesuatu! Atau... jangan-jangan... kaulah
Woro Lolo alias Mayang Kinanti, perempuan celaka yang telah menghancurkan hidup perempuan
yang kucintai"!"
"Tebaklah sesuka hatimu! Kelak kita bertemu lagi!"
"Jangan harap kau bisa lari dari tanganku!!" seru si kakek bongkok sambil mendorong tangan kanannya, disusul dengan
dorongan tangan kiri!
EMPAT WORO LOLO yang sudah melangkah harus
membuang tubuh ke samping tatkala gelombang
angin beruntun menggebrak ke arahnya. Baru saja kedua kakinya hinggap di atas tanah, dia telah melenting ke depan seraya
mendorong kedua tangannya.
"Kau terlalu memaksa!!"
Wussss! Wusss! Blaaam! Blaaamm!
Gelombang angin yang terlontar dari kedua
tangannya putus di tengah jalan terhantam satu
tenaga deras. Tubuh Woro Lolo terhuyung ke belakang, keseimbangannya hilang sesaat.
"Astaga! Tenaga dalamnya luar biasa! Aku
bisa celaka!" serunya dalam hati.
Di seberang kakek bongkok itu sudah
menderu kembali. Jari jemarinya membentuk cakar. Dan dia menggereng keras laksana serigala
murka. Woro Lolo berhasil menghindari sambaran
cakaran yang mengarah pada bagian-bagian tubuhnya. Bahkan dia berhasil memukul dada si
kakek hingga terjajar ke belakang.
Kejadian itu membuat si kakek menggereng
setinggi langit. Parasnya berubah mengerikan.
Gerengan laksana seekor serigala terdengar keras disusul dengan satu lompatan
seperti menerkam.
Kedua tangannya membuka, dengan jari jemari
melebar. Masih melayang di udara ditepuk kedua
tangannya. Terdengar suara yang sangat luar biasa kerasnya. Woro Lolo yang baru saja mengembalikan
keseimbangannya, surut tiga tindak karena merasakan satu dorongan tenaga menerpa dadanya. Di
lain kejap, perempuan setengah baya jelita ini melompat ke samping kiri.
Karena segumpal cahaya merah melesat
dan tiba-tiba meletup pecah. Muncratannya meluncur ke arah Woro Lolo dengan suara mendenging-denging. Woro Lolo mengertakkan rahangnya seraya
palangkan kedua tangannya di depan dada. Terlihat cahaya putih merebak di hadapannya, lalu...
Wuuussss!! Cahaya putih yang mengandung hawa dingin itu melesat ke depan, membentur keras muncratan sinar merah yang berdenging-denging. Letupan beberapa kali terdengar seiring berhamburannya sinar merah dan cahaya putih hingga
tempat itu terang sesaat. Beberapa buah pohon
besar yang tumbuh di sana bergetar karena kuatnya letupan itu, menyusul bertumbangan hingga
menambah gemuruh di sekitar sana.
Tanah yang menghambur ke udara belum
luruh, gumpalan sinar merah telah mencelat
kembali. Kali ini dua buah dan seperti yang pertama tadi, meletup pecah, lalu bermuncratan
dengan suara berdenging-denging.
Woro Lolo mengulangi tindakannya yang
pertama. Kembali letupan dahsyat terjadi. Di antara letupan itu terdengar seruan tertahan Woro
Lolo, "Aaaakhhhh!!"
Tubuhnya terdorong ke belakang. Tangan
kirinya melepuh karena salah satu muncratan sinar merah itu menerpa tangannya. Cepat ditekap
bagian yang melepuh itu dengan tangan kanannya. Dialirkan hawa dingin, walau perih tak terki-ra, tetap dipaksakannya. Asap
menggebrus dan ketika diangkat tangan kanannya, luka itu tidak
terlalu sakit meskipun meninggalkan bekas.
Diangkat kepalanya penuh amarah, ditatapnya kakek bongkok berpakaian merah compang-camping yang berdiri di tempatnya sambil
menyeringai. "Aneh! Mengapa dia tidak melanjutkan serangannya?" Woro Lolo bertanya dalam hati dengan sikap waspada. "Ada sesuatu
yang aneh.... Bibirnya menyeringai, penuh ejekan. Apakah
dia.... Heiii!!"
Wajah Woro Lolo menegang. Tubuhnya
bergetar. "Astaga! Apa yang terjadi?" desisnya yang mendadak limbung. Bersikeras perempuan
bertahi lalat di dagu ini untuk menjaga keseimbangannya. Tetapi hawa panas telah mendera sekujur
tubuhnya, masuk dalam aliran darahnya. Dia
berteriak keras, "Kakek keparat! Apa yang kau lakukan"!"
Kakek bongkok itu terkekeh penuh ejekan.
"Mengapa kau bertanya padaku" Memangnya apa yang telah kulakukan?" ejeknya.
"Hemm... perempuan manis... apakah kau tidak merasa kepanasan" Ayo, buka saja
pakaianmu... biarkan angin dingin menerpanya..."
"Gila! Mengapa jadi begini?" seru Woro Lolo dalam hati. Ketegangannya semakin
kentara. Ha-wa panas terus gencar menyelimuti dirinya.
"Hehehe... ayo, buka pakaianmu bila kau
tidak ingin kepanasan...."
"Terkutuk!!" maki Woro Lolo dan menerjang ke depan. Tetapi tiba-tiba saja dia
ambruk berlutut. Getaran tubuhnya semakin kuat. Hawa panas
dalam tubuhnya tak terkira lagi. "Celaka! Tentunya ini berasal dari tanganku
yang terkena muncratan sinar merah yang dilontarkannya. Keparat! Rupanya serangan itu mengandung...
aaakh...."
"Mengapa kau tak segera buka pakaianmu?" seru si Kakek bongkok sambil terkekeh. "Il-mu 'Serigala Murka' mengandung
satu keajaiban yang kini kau rasakan!!"
Sekujur tubuh Woro Lolo semakin bergetar.
Keringat sebesar biji jagung sudah bermunculan
membasahi seluruh tubuhnya. Wajahnya memerah. Sesuatu yang ganjil merasuk ke tubuhnya.
"Celaka! Serangan yang dilontarkannya
mengandung hawa birahi!" geramnya seraya
menggigit bibirnya kuat-kuat untuk menahan gejolak yang merambah di dadanya. Tiba-tiba kedua
tangannya terangkat ke atas, bergetar kuat dan
dia berusaha menahan sepenuh hati. Tetapi kedua tangannya telah hinggap pada pakaiannya.
"Ayo, buka! Buka! Aku, Demit Serigala, sudah tidak sabar untuk melihat apa yang ada di
hadapanku! Ayo, buka! Kita nikmati keindahan
ini dulu sebelum kau mampus ku cabik-cabik!"
Terlihat bagaimana Woro Lolo berusaha
untuk menahan gelora dalam dadanya, menahan
sesuatu yang tak diinginkannya. Tetapi dia justru menggeliat-geliat disertai
desahan erotis. Perlahan-lahan dia bangkit dengan gerakan-gerakan
yang merangsang. Hawa birahi yang masuk ke
tubuhnya telah sepenuhnya menguasai dirinya.
Si kakek yang ternyata berjuluk Demit Serigala terkekeh-kekeh dengan mata nanar.
Dalam keadaan diamuk gelora birahi tak
wajar, Woro Lolo memegang kedua payudaranya
sendiri, meremas-remasnya dalam desahan gairah
tinggi. Bahkan tanpa sadar dia mulai membuka
pakaiannya. Selapis pakaian putih yang menerawang terpampang di depan mata Demit Serigala.
"Luar biasa! Sudah kuduga kau memiliki
bukit kembar yang indah!" serunya sambil menelan ludah berkali-kali. "Ayo, buka
pakaian da- lammu itu! Buka pula pakaian bagian bawah!!"
Perempuan setengah baya itu masih meremas-remas sepasang bukit montoknya yang
membayang di balik pakaian dalamnya yang tipis.
Pinggulnya bergerak-gerak penuh gairah. Mulutnya mendesis-desis dengan wajah merona. Tubuhnya tiba-tiba jatuh di atas tanah terus menggeliat-geliat penuh gairah.
Demit Serigala tak bisa lagi menahan gejolak nafsu di dadanya. Dengan menyeringai lebar
dan menelan ludah berkali-kali dia mendekati
Woro Lolo yang kini kedua tangannya menggapaigapai "Hehehe... kau memang berilmu tinggi, tetapi tak akan mampu
menandingiku..."
Lalu dengan penuh nafsu ditubruknya tubuh Woro Lolo yang sedang diamuk birahi tidak
wajar. Perempuan itu menggeliat-geliat seraya
mendesis-desis ketika tangan kanan kiri Demit
Serigala merambah payudaranya, meremasremasnya. Bahkan tak disadarinya tangan kanan
Demit Serigala menyelinap ke balik pakaian bagian bawahnya. Penuh nafsu diciuminya leher jenjang yang
putih itu. Bibir yang meranum basah dan sepasang matanya yang terpejam membuka diamuk
gelora. "Kuhabisi kau sampai tandas!" seru Demit Serigala seraya membuka
pakaiannya. Dia harus
menahan diri sekaligus menahan kedua tangan
Woro Lolo yang memaksanya untuk memeluk tubuhnya. "Sabar... sabar...."
Penuh nafsu kembali dicumbunya Woro
Lolo. Tangan kanannya pun siap membuka pakaian tipis yang masih dikenakan Woro Lolo, sementara tangan kirinya siap menarik lepas pakaian bagian bawah perempuan
Tetapi satu suara dingin telah terdengar,
"Orang tua terkutuk! Sungguh memalukan apa
yang telah kau lakukan"!"
Serentak kakek berjenggot menjuntai itu
menoleh ke belakang. Satu sosok tubuh berompi
ungu telah berdiri sejarak sepuluh langkah dari
tempatnya. Menatap tajam dengan sorot mata
angker mengerikan.
* * * "Terkutuk!!" geram Demit Serigala sambil menyentak lepas tangan Woro Lolo yang
masih menggeliat diamuk birahi. Dibiarkan desisandesisan mengundang dan gapaian tangan Woro
Lolo. Penuh kemarahan dipandanginya pemuda
berompi ungu yang tadi membentaknya. Sesaat
Demit Serigala tersentak tatkala melihat tatapan mengerikan yang terpancar dari
sepasang mata si
pemuda. Tetapi di lain saat dia sudah membentak, "Pemuda berkuncir! Menyingkir dari sini sebelum kulumat hancur tubuhmu!"
Pemuda tampan bersisik itu tak bergeming
di tempatnya. Matanya memancarkan kebencian
dalam. "Keparat!" geram Demit Serigala. Saat itulah dilihatnya lengan kanan kiri
si pemuda sebatas siku dipenuhi sisik coklat. "Pemuda bersisik!
Aku tak pernah memerintahkan orang lebih dari
dua kali!"
Belum habis bentakannya, kakek yang telah bertelanjang dada hingga memperlihatkan tulang belulang di tubuhnya sudah melesat ke depan. Tangan kanan kirinya membentuk cakar.
Pemuda berompi ungu yang bukan lain Raja Naga adanya menjerengkan sepasang matanya.
Lalu mendehem keras.
Wuuuttt!! Satu tenaga tak nampak menderu keras ke
arah Demit Serigala. Sesaat kakek bongkok itu
tersentak. Tetapi diiringi gerengan semakin keras, diterobosnya tenaga tak
nampak itu. Plaass!! Raja Naga terkejut.
"Gila!"
Segera digerakkan tangan kanan kirinya.
Plak! Plak!! Benturan yang terjadi itu membuat masing-masing surut tiga tindak ke belakang.
"Gila! Tangannya keras sekali!" geram Demit Serigala separuh terkejut. "Siapa
pemuda keparat ini?"
Di pihak lain Raja Naga membatin, "Luar
biasa! Dia mampu menerobos tenaga yang keluar
dari dehemanku. Bahkan dia juga biasa saja terkena benturan tadi. Padahal aku sudah mengeluarkan setengah dari kekuatan tangan kanan kiriku yang bersisik ini."
Sementara itu Demit Serigala sudah melesat kembali ke depan. Gerengan serigala murka
menggebah keras. Tangan kanan kirinya yang
membentuk cakar dikibaskan, gelombang angin
mendahului serangannya.
Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Raja Naga tak berkedip memandang ke depan. Sorot matanya bertambah angker. Tiba-tiba
saja dijejakkan kaki kanannya di atas tanah. Saat itu pula tanah berderak,
menyusul laksana gelombang di lautan menderu ke arah Demit Serigala dengan suara berderak berulang-ulang.
"Gila!!" maki Demit Serigala seraya membuang tubuh ke samping.
Blaaar! Blaaar! Blaaarrr!!
Letupan yang memuncratkan tanah ke
udara. Itu terdengar tiga kali berturut-turut. Belum lagi luruh muncratan tanah
itu, Demit Serigala sudah menerobos. Membuka kedua tangannya lalu menepukkannya hingga terdengar suara
yang sangat keras.
Raja Naga tersentak tatkala merasakan dadanya seperti terhantam sesuatu yang keras. Kepalanya sendiri menegak dengan mata melebar
tatkala melihat dua buah gumpalan sinar merah
menderu ke arahnya. Belum lagi dia bertindak,
gumpalan-gumpalan sinar merah itu meletup, lalu bermuncratan ke arahnya dengan suara berdenging-denging.
Raja Naga segera menepukkan tangan kirinya dengan tangan kanannya. Menyusul satu
tenaga yang melesat, didorong kedua tangannya
untuk lepaskan jurus 'Kibasan Naga Mengurung
Lautan'. Gelombang angin yang disemburati asap
merah menggebrak ke depan.
Blaaam! Blaaammm!!
Seketika tempat itu bergetar dahsyat, ranggasan semak tercabut, pepohonan bertumbangan
dan tanah berhamburan ke udara. Beberapa
muncratan sinar merah yang tak terhalangi
menghanguskan semak belukar.
Raja Naga yang segera melompat ke samping kanan begitu benturan terjadi, terhuyung
dengan kaki kiri sedikit terangkat. Diusahakan
untuk mengembalikan keseimbangannya.
Berjarak delapan langkah, Demit Serigala
telah tegak di tempatnya. Sorot matanya tajam
berapi-api. Sementara itu, tubuh Woro Lolo melonjak-lonjak akibat tempat yang bergetar. Masih terpengaruh ilmu aneh dari
Demit Serigala, perempuan itu terus menggeliat-geliat hebat seraya meremas-remas
payudaranya sendiri.
"Pemuda celaka! Siapa kau adanya"!" geram Demit Serigala keras.
Raja Naga menggeram.
"Manusia busuk seperti kau tak pantas untuk mengetahui siapa aku sebenarnya!" serunya yang dalam sekali lihat saja tadi,
tahu kalau perempuan setengah baya itu berada dalam pengaruh yang tidak wajar.
"Setan bersisik! Kau telah mengundang
kemarahan di dalam dadaku!!"
Demit Serigala menerjang lebih mengerikan. Raja Naga sendiri sudah melesat ke depan.
Berulang kali tangan dan kaki mereka berbenturan. Berulang kali tanah bergetar dan letupan
terdengar dahsyat.
Hingga kemudian masing-masing orang
mundur beberapa langkah, lalu menderu dengan
kedua telapak tangan mendorong.
"Heaaaa!!"
"Mampuslah kau, Pemuda, celaka!!"
Gelombang angin yang menderu berhamburan. Lalu....
Tap! Tap! Telapak tangan masing-masing orang bertemu satu sama lain. Satu sama lain berusaha
untuk saling menjatuhkan. Demit Serigala menggereng keras, seraya menekan. Raja Naga terseret dua tindak, lalu menambah
tenaga dalamnya.
Bertemunya telapak tangan masing-masing
orang mengakibatkan tanah di sekitarnya berhamburan ke udara. Sementara itu lambatlambat terlihat asap hitam keluar dari telapak
tangan yang bertemu. Getaran tubuh keduanya
semakin menguat.
Tiba-tiba Demit Serigala menarik mundur
tubuhnya seraya melepaskan telapak tangannya.
Mau tak mau Raja Naga terjerunuk ke depan. Masih beruntung dia mampu menghindari sambaran
cakar tangan kanan Demit Serigala. Bahkan....
Des!! Sambil meliukkan tubuhnya pemuda dari
Lembah Naga itu berhasil menyarangkan jotosannya hingga si kakek terhuyung ke belakang, yang
segera menerjang kembali disertai gerengan kuat!
"Gila! Ilmu kakek ini sungguh mengerikan!
Aku harus... astaga! Perempuan itu telah merobek-robek pakaian dalamnya!"
Dengan wajah tegang Raja Naga menghindari serangan ganas Demit Serigala. Dalam satu
kesempatan, kaki kanannya menjejak tanah, melepaskan jurus 'Barisan Naga Penghancur Karang'. Tanah bergelombang menggebrak disertai
letupan-letupan mengerikan.
Demit Serigala menggeram seraya membuang tubuh ke samping. Masih sempat dilihatnya bayangan ungu melesat ke samping kiri, menyambar pakaian putih yang tergeletak dan menyambar tubuh perempuan yang masih menggeliat-geliat karena pengaruh ilmu aneh miliknya.
Blaaammmm!! Serangan yang dilancarkan Demit Serigala
untuk menghalangi berlalunya Raja Naga menghantam sebuah pohon yang seketika hancur beterbangan. "Terkutuk!!" geramnya sengit dengan napas terengah-engah. "Akan kuingat wujudmu,
Pemuda bersisik! Akan kuingat!!"
Dengan gusar dijejakkan kaki kanannya di
atas tanah. Pakaian merah compang-campingnya
yang tergeletak di atas tanah mencelat ke arahnya dan... tap, tap! Dengan
gerakan cepat tangan kanan kirinya digerakkan, lalu berputar dua kali.
Tatkala tegak kembali, pakaian itu sudah menempel di tubuhnya.
"Huh! Bila tak ingat aku harus membunuh
Resi Tala Kangkang, sudah kukejar pemuda celaka itu!!" geramnya sengit. Di kejap lain dia sudah berlari ke arah barat.
LIMA NENEK keparat! Sebenarnya kau tahu atau
tidak di mana Istana Gerbang Merah berada"!"
makian itu terdengar dari balik sebuah pohon,
bersamaan terlihat sebuah keranjang melompatinya. Menyusul keranjang kemudian hinggap di
tanah sedikit bergerak-gerak, satu sosok tubuh
berpakaian hijau yang hinggap tak jauh dari keranjang itu. "Manusia busuk! Jangan banyak mulut!
Kau tinggal mengikuti apa yang kuhendaki!" maki si perempuan keras. Mata
celongnya dingin menatap keranjang di hadapannya.
Dari keranjang itu terdengar dengusan.
"Demi tumpukan emas kuikuti apa yang
kau hendaki! Tetapi, untuk berputar-putar tak
karuan tanpa langsung pada sasaran sungguh
bukan yang kuharapkan!"
"Setan! Jangan banyak mulut kataku!" ma-ki si perempuan yang bukan lain Sekar
Sengkuni. "Aku hanya tahu kalau istana Gerbang Merah berada di barat!"
Orang di dalam keranjang yang belum pernah dilihat wujudnya oleh Sekar Sengkuni mendengus. "Benar-benar bodoh! Apakah kau...."
Kata-katanya terputus karena mendadak
saja muncul sepuluh orang lelaki bersenjata parang. Mereka memandang tak berkedip pada Sekar Sengkuni yang mengerutkan kening.
Mereka berbicara berbisik, "Sejak dua hari
lalu kita memburu pembunuh Juragan Purna
Setyo, baru sekarang kita melihat ciri-ciri si pembunuh."
"Ya! Mungkin memang dia yang telah
membunuh Juragan Purna Setyo!"
"Kalau begitu... tangkap saja!"
"Tunggu! Kita tak bisa menangkapnya begitu saja, karena bisa jadi kita salah orang!"
Sepuluh lelaki bersenjata parang yang ternyata adalah para penduduk yang sedang mencari pembunuh Juragan Purna Setyo, memandang
Sekar Sengkuni dengan seksama. Mereka sama
sekali tak mengetahui kalau keranjang yang terbuat dari anyaman bambu lapis itu berisi seseorang yang mempunyai ilmu tinggi.
Salah seorang yang bertubuh gagah berseru, "Perempuan berpakaian hijau! Bukan kami lancang untuk bersikap, bukan kami
tak punya adab kesopanan! Tetapi, kami tak punya banyak
waktu! Apakah dua hari lalu kau singgah di sebuah desa yang bernama desa Karang Permata"!"
Sekar Sengkuni yang telah mendengar apa
yang mereka percakapkan tadi, menyeringai lebar. "Ya! Aku pernah singgah di Karang Permata!"
Orang-orang berpandangan.
"Apa yang kau lakukan di sana?" tanya
orang yang berseru tadi berhati-hati.
Sekar Sengkuni tak menjawab. Mata celongnya memandang orang-orang itu bergantian.
Seraya melangkah dia berkata, "Aku datang untuk menjarah harta seorang kaya yang
bernama Purna Setyo! Dan aku telah membunuhnya!"
Menegak kepala masing-masing orang
mendengar pengakuan itu. Serentak lima orang
menerjang ke depan dengan parang terhunus. Tetapi serangan itu hanya sia-sia belaka. Bahkan
sambil terkikik Sekar Sengkuni mengirim mereka
ke akhirat! "Membosankan!" dengusnya. Lalu melayang ke depan. Gerakannya begitu ringan. Dua
orang tewas dengan kepala pecah karena terhantam tendangannya.
Tindakannya yang telengas itu tak menyurutkan keberanian tiga orang lainnya yang masih
hidup. Bahkan dengan gigih mereka berusaha
membacokkan parang-parang di tangan.
Satu orang terbanting dan jatuh di samping keranjang yang tak bergerak. Dia tersentak
melihat keranjang di sampingnya bergerak-gerak.
Belum disadari apa yang akan terjadi, tiba-tiba....
Prak! Keranjang itu telah menghantam wajahnya
hingga remuk dan tewas seketika. Sudah tentu
kejadian itu mengejutkan dua orang lainnya yang
masih tersisa. Yang seorang nekat menyerbu Sekar Sengkuni. Tendangan yang mematahkan tulangnya memutus nyawanya. Sementara yang
seorang lagi sudah bergulingan dengan parang
dikibaskan. "Bikin tanganku kotor saja!!" geram Sekar Sengkuni sambil menghindar. Dan....
Prak! "Aaaaakkhhhh!!"
Orang itu terbanting dengan tulang paha
patah. Sekar Sengkuni melambung ke atas, meluruk dengan kedua kaki mengarah pada dada
orang itu! Tetapi... wuuuttt!!!
Satu bayangan merah muda telah menyambar tubuh si lelaki dengan gerakan yang
sangat cepat. Brrollll!! Bersamaan tanah yang ambrol karena injakan kedua kaki Sekar Sengkuni, perempuan
berpakaian hijau itu sudah keluarkan bentakan,
"Siapa orang yang ingin mampus"!"
Wuuutttt!! Satu gelombang angin memburu si bayangan merah muda yang berteriak kaget seraya
memutar tubuh. Blaaarrr!! Sebuah pohon patah di tengah dan jatuh
bergemuruh. Di pihak lain si bayangan merah
muda yang semula berniat untuk segera berlalu
setelah menyambar tubuh si lelaki, mau tak mau
mengurungkan niatnya. Ringan dia hinggap di
atas tanah. Dengan ringan pula diturunkan tubuh lelaki yang telah disambarnya.
"Bertahan...," desisnya pelan. Lalu diangkat kepalanya. Wajah cantiknya
berhadapan dengan
Sekar Sengkuni yang mendengus gusar.
"Seorang gadis bau kencur yang ingin
mampus rupanya!"
Gadis berambut indah itu tak buka mulut.
Matanya tajam menatap Sekar Sengkuni,
"Pakaiannya berwarna hijau. Wajahnya
masih jelita dengan mata yang celong ke dalam.
Ciri-cirinya mirip seperti yang dikatakan Guru.
Apakah memang orang ini yang harus kuketahui
keberadaannya?" desisnya dalam hati.
Di pihak lain, Sekar Sengkuni sudah tak
bisa menahan diri untuk menghabisi si gadis.
Tangan kanannya terangkat dan siap melancarkan satu pukulan jarak jauh.
Tetapi keranjang yang sejak tadi diam di
tanah bergerak melayang ke arahnya disertai suara, "Aku menginginkannya!"
Raja Naga 16 Istana Gerbang Merah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sementara si gadis membelalakkan matanya pada keranjang itu. Sekar Sengkuni menggeram. "Buntet Kalamangsang! Sampai hari ini aku belum pernah melihat wujudmu!
Dan tidak tahunya kau memiliki birahi yang kuat pula!"
"Siapa bisa tahan melihat gadis ayu bertubuh montok seperti dia, hah"!"
"Di mana kau akan menggelutinya" Di dalam keranjang busukmu itu"!"
"Itu urusanku!"
"Cepat kau lakukan! Setelah itu... bunuh
dia! Juga bunuh lelaki keparat dari desa Karang
Permata itu!"
Gadis jelita berpakaian merah muda yang
bukan lain Galuh Tantri adanya mengerutkan
kening mendengar kata-kata terakhir Sekar Sengkuni. "Lelaki yang patah kakinya ini berasal dari Karang Permata" Bisa jadi kalau
mereka yang telah menjadi mayat itu juga berasal dari tempat
yang sama. Astaga! Jangan-jangan... perempuan
ini adalah orang yang membunuh Juragan Purna
Setyo" Bisa jadi pula kalau memang dia perempuan yang kucari, perempuan bernama Sekar
Sengkuni...."
Selagi si gadis membatin, keranjang yang
berada di samping Sekar Sengkuni sudah melayang ke arahnya. Desiran angin deras mengarah
padanya. "Astaga!!" seru si gadis sambil palangkan kedua tangannya di depan dada. Lalu
dihentakkan kuat-kuat disusul dengan gerakan melesat ke
depan. Desiran angin yang keluar dari keranjang
itu putus di tengah jalan. Dan....
Buk! Buk! Si gadis meliukkan tubuhnya seraya lancarkan jotosannya pada keranjang itu. Keranjang
itu melayang ke belakang. Kali ini disertai kekehan penghuninya lalu keranjang
itu melayang lagi, lebih cepat!
"Siapa orang yang berada dalam keranjang
itu"!" seru si gadis sambil membuang tubuh.
Tetapi lesatan keranjang itu membuatnya
kalang kabut. Nampak kalau dia hendak melancarkan satu serangan yang kemudian diurungkannya. "Guru berpesan kalau aku tak boleh mengeluarkan ilmu yang kumiliki bila berhadapan
dengan perempuan berpakaian hijau bermata celong. Walaupun tak mengerti mengapa Guru menyuruhku bersikap demikian, tetapi... ah, aku harus tetap mematuhinya."
Karena memegang pesan gurunya itulah
Galuh Tantri hanya berusaha menghindar dan
sesekali melancarkan serangan balasan dengan
jotosan dan tendangannya.
Dari keranjang itu terdengar suara terkekeh. "Ternyata dia tidak memiliki kemampuan apa-apa!" Lain halnya dengan Sekar
Sengkuni. Perempuan setengah baya ini justru mengerutkan
keningnya. "Mustahil kalau gadis ini tidak memiliki kemampuan berarti! Caranya
menyambar tu- buh lelaki itu sangat luar biasa! Karena berarti dalam mengalahkan kecepatan
seranganku tadi!
Mustahil... mustahil dia tidak bisa berbuat apaapa! Atau bisa jadi... dia menyembunyikan ilmunya!" Berpikir demikian Sekar Sengkuni berseru,
"Walaupun dia tidak memiliki kemampuan apaapa, kau belum juga berhasil mengalahkannya!"
"Kau akan melihatnya, Sekar Sengkuni!!"
Bersamaan lesatan yang semakin keras
disertai gemuruh angin yang kuat, Galuh Tantri
berseru kaget. "Sekar Sengkuni?" serunya dalam hati seraya menghindar dengan mempergunakan ilmu
peringan tubuhnya. "Jadi benar dia orangnya yang bernama Sekar Sengkuni! Dan
jelas dia juga yang telah membunuh Juragan Purna Setyo dan
orang-orang ini! Ah, apa yang harus kulakukan
sekarang" Guru menyuruhku mengetahui apa
yang hendak dilakukan Sekar Sengkuni, setelah
itu aku harus kembali ke tempat asa!!"
Sementara itu Buntet Kalamangsang
menggeram sengit karena dia belum juga mampu
melumpuhkan si gadis. Tiba-tiba saja keranjang
itu melayang ke belakang dan hinggap di atas tanah. Di lain kejap terdengar suara angin menderu-deru seiring dengan berputarnya keranjang
itu. Tanah berhamburan melingkar, terbang di
sekitarnya hingga menutupi keranjang itu dari
pandangan. Sekar Sengkuni membatin, "Kau tak akan
bisa menyembunyikan ilmumu lagi, Gadis! Huh!
Aku ingin tahu murid siapakah kau sebenarnya...." Di seberang Galuh Tantri memicingkan matanya. Dadanya berdebar keras.
Ketegangannya Memburu Iblis 8 Pedang Siluman Darah 11 Utusan Iblis Bangau Sakti 41
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama