Ceritasilat Novel Online

Pengadilan Rimba Persilatan 1

Raja Naga 11 Pengadilan Rimba Persilatan Bagian 1


Episode I : MISTERI LABA-LABA PERAK
Episode II : PENGADILAN RIMBA PERSILATAN
RINGKASAN EPISODE YANG LALU
(MISTERI LABA-LABA PERAK)
UNDANGAN YANG DITERIMA RAJA NAGA
ITULAH AWAL DARI PETAKA YANG MENIMPANYA.
DIA MENJADI TERTUDUH PENCURI KALUNG LABALABA PERAK, LAMBANG SAHNYA KETUA PERGURUAN LABA-LABA PERAK. SELAIN HARUS BERUSAHA MENCARI BUKTI KALAU DIA BUKANLAH PELAKU PENCURIAN ITU, RAJA NAGA JUGA HARUS
MENGHADAPI SERANGKAIAN URUSAN BERBAHAYA
LAINNYA, DARI ORANG-ORANG UCIK YANG RATARATA MEMILIKI DENDAM PADA MENDIANG RESI
KALA JINJIT, KETUA PERGURUAN LABA-LABA
PERAK YANG LAMA. PADAHAL, KEMATIAN RESI
KALA JINJIT SENDIRI MASIH MERUPAKAN MISTERI. "TAK ADA PENCURI YANG MENGAKU SEBAGAI PENCURI MAKA KEMATIAN SAJA YANG PANTAS KAU TERIMA!" MAKI JALA SRINGGIL DENGAN SERANGAN GANASNYA.
MAU TAK MAU RAJA NAGA MEMBELA DIRINYA HINGGA, JALA SRINGGIL DAPAT DIKALAHKAN. NAMUN KEMBARANNYA YANG BERNAMA
KALA SRINGGIL TIDAK TINGGAL DIAM DAN SEGERA MEMBANTUI DAN DI SAAT KALA SRINGGIL
MELANCARKAN SERANGAN, TIBA-TIBA SESUATU
YANG MENGEJUTKAN TERJADI...
Hak cipta dan copy right pada
penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU MASING-MASING orang tak ada yang bersuara.
Jalan setapak yang telah porak poranda itu mendadak
lengang! Burung-burung yang beterbangan pun seperti
merasa heran, kalau sebelumnya tempat itu laksana
dilanda gempa, sekarang tiba-tiba menjadi sunyi.
Raja Naga memandang tak berkedip pada dua
lelaki berkepala plontos yang mengenakan pakaian putih terbuka di bahu kiri. Yang berkumis tebal sedang berdiri dengan dada yang
sedikit nyeri. Sementara
yang seorang lagi, sedang meliriknya, tak percaya dengan apa yang terjadi.
"Kala Sringgil... benarkah yang kau katakan tadi?" tanya lelaki kelimis itu.
Lelaki berkumis tebal yang merasa nyeri di dadanya menganggukkan kepala.
"Aku yakin! Bukan pemuda itu yang menahan
seranganku! Karena aku masih sempat melihatnya
yang tidak melakukan gerakan apa-apa. Jala Sringgil, ada orang lain yang berada
di sini..."
Sementara itu Raja Naga kembali mengedarkan
pandangannya ke sekeliling tempat itu. Sorot matanya yang angker dan mampu
membuat lawan ciut nyali,
tak berkedip. Lamat-lamat pemuda yang kedua tangannya sebatas siku dipenuhi sisik-sisik coklat ini, menarik napas pendek.
"Setelah aku berhasil melancarkan serangan
pada Jala Sringgil, Kala Sringgil sudah menderu maju.
Tetapi, aku tak melakukan apa-apa! Tiba-tiba saja tubuh-nya terlempar ke
belakang! Astaga! Siapakah
orang yang menahan serangan Kala Sringgil padaku"!"
Suasana hening beberapa lama terjadi. Masingmasing orang belum ada yang melancarkan serangan
kembali. Di pihak pemuda berompi ungu dari Lembah
Naga itu, yang diinginkannya memang untuk menyudahi pertarungan yang mengarah pada kesalahpahaman. Namun tak mudah dilakukan begitu saja, mengingat kedua orang di hadapannya masih menganggapnya sebagai pencuri kalung Laba-laba Perak!
Jala Sringgil mengertakkan sepasang rahangnya. Matanya memancarkan sorot bengis dan kekesalan. Perlahan-lahan mulutnya membuka, mengeluarkan desisan dingin, "Pemuda celaka! Rupanya kau telah mengatur semua ini dengan
seksama! Bahkan kau
mencoba mempengaruhi kami kalau kau bersih! Tapi
pada kenyataan yang sesungguhnya, kau telah mencoreng namamu sendiri dengan tindakan busuk yang
kau lakukan Mencuri kalung Laba-laba Perak adalah
sebuah tindakan hina! Dan sekarang, kami semakin
yakin kalau kau memang telah melakukannya!!"
Raja Naga tak bersuara. Sorot matanya yang
angker tak berkedip pada Jala Sringgil yang sudah
meneruskan kata-katanya, "Kau telah mengatur semua ini hingga sedemikian rupa!
Kau mencurinya, lalu me-larikan diri dan telah bersiap menanti kehadiran kami!
Mungkin juga menanti kehadiran siapa pun yang kau
ketahui akan memburumu, yang kau yakini tak akan
melepaskanmu begitu saja! Bahkan, kau telah membawa seseorang atau mungkin beberapa orang rekanmu untuk mengurung kami di sini! Tapi... kau salah
sangka bila berpendapat kami akan mundur!"
Sadar apa yang dimaksud oleh Jala Sringgil,
Boma Paksi buru-buru berkata, "Jala Sringgil! Apa yang kau katakan tadi itu
tidak benar sama sekali!
Mungkin kau dan kawanmu itu tetap menuduhku sebagai pelaku dari pencurian di Perguruan Laba-laba
Perak yang menyebabkan penobatan Pangku Jaladara
selaku calon ketua yang baru menjadi gagal! Seperti
yang telah kukatakan sebelumnya, aku sama sekali
tak melakukan tindakan itu! Seseorang telah melemparkannya kepadaku, bertepatan dengan munculnya
murid-murid Perguruan Laba-laba Perak, sehingga mereka menuduhku yang telah melakukan pencurian itu!
Dan satu hal lain, aku tak memiliki seseorang atau beberapa orang teman yang
menurutmu telah ku atur
semuanya!"
Jala Sringgil menyeringai penuh ejekan.
"Tak kusangka, seseorang yang julukannya sudah menjulang tinggi ternyata pandai bermain katakata!" "Celaka! Kedua orang gundul ini tetap berkeyakinan akulah yang telah
mencuri kalung Laba-laba Perak! Bahkan sekarang menganggap kalau aku telah
mengatur semua ini! Dengan menempatkan seseorang
atau beberapa orang untuk membantuku"! Ah, siapakah orangnya yang telah menggagalkan serangan Kala
Sringgil padaku?" desis Raja Naga dalam hati. Kembali ditolehkan kepalanya ke
kanan kiri, hingga rambutnya yang dikuncir berlompatan.
Kala Sringgil berbisik, "Jala Sringgil... aku yakin, orang yang bersamanya itu
bukanlah orang sembarangan. Sejak tadi kita belum dapat mengalahkan
pemuda ini. Bila orang itu muncul, kita akan mendapatkan banyak kesulitan."
"Jadi... apa yang harus kita lakukan?"
"Rasanya... untuk saat ini, kita tinggalkan saja dia dulu. Karena aku tak mau
mati konyol. Biar bagaimanapun juga, kita adalah sahabat dari mendiang
Resi Kala Jinjit, dan tak membenarkan siapa pun
mengacaukan keadaan di perguruan Laba-laba Perak,"
Jala Sringgil tidak setuju dengan usul itu. "Ka-la... sebelum kuketahui siapakah
orang yang membantunya, aku tak akan mundur."
"Apa maksudmu dengan tak akan mundur?"
"Aku ingin tahu lebih dulu siapa orang yang telah membantunya. Dengan kata lain, bila kita telah
mengetahuinya, maka kita akan dengan mudah menumpas satu persatu dari komplotan Raja Naga..."
Kala Sringgil tak buka mulut. Diam-diam dibenarkan apa yang dikatakan saudaranya ini. Perlahanlahan tatapannya diarahkan kembali pada Raja Naga
yang sedang terdiam dengan kening dikerutkan. Murid
Dewa Naga ini masih berusaha keras untuk menemukan siapakah orang yang telah menolongnya, yang justru semakin membuat keruh keadaan.
Perlahan-lahan diangkat tangan kanannya, dicobanya untuk menemukan di manakah orang itu
dengan mempergunakan tenaga dalamnya. Namun tak
dirasakan perubahan lain di sana, kecuali pancaran
hawa panas yang keluar dari tubuh dua orang berkepala plontos itu.
"Keadaan akan semakin bertambah kacau.
Ucapan Jala Sringgil tadi, sudah membuktikan kalau
keduanya tetap tak bisa mempercayai apa yang telah
kukatakan. Hemm... aku memang harus menemukan
bukti-bukti kalau aku bukanlah pelaku dari pencurian ini, yang secara tidak
langsung menghentikan upacara penobatan Pangku Jaladara...," desisnya dalam
hati. Lalu sambungnya, "Menurut Dewi Pengunyah Sirih, aku juga telah dianggap sebagai
orang yang telah melukai Pangku Jaladara dan membunuh salah seorang
murid Perguruan Laba-laba Perak. Celaka! Ini benarbenar celaka! Sebaiknya... aku menyingkir dari sini sebelum urusan semakin jadi
kapiran!" Memutuskan demikian, Boma Paksi segera berkata sambil merangkapkan kedua tangannya di depan
dada. "Apa yang telah terjadi tadi, sebaiknya kita sudahi dulu! Mungkin setiap aku berucap, setiap kali pu-la akan menambah kemarahan
dan ketidakpercayaan
kalian! Dan untuk membuktikan kebenaran ucapanku,
aku akan mencari bukti-bukti kalau aku tidak bersalah!" Jala Sringgil maju dua langkah ke depan. Tangan kanannya menuding, sedikit
bergetar. Suaranya
sarat dengan kemarahan, "Uh! Kau hendak mencari bukti dari setiap ucapanmu, atau
kau hendak melari-kan diri"!"
"Memang sangat sulit untuk memahami keadaan seperti ini, karena kalian hanya berpegang pada satu pikiran! Hanya saja,
aku meminta sedikit penger-tian kalian!"
Jala Sringgil tak bersuara. Dia justru berbisik
pada Kala Sringgil, "Kala... biar bagaimanapun juga, pemuda keparat ini tak bisa
kita biarkan! Selama ini kita mengetahuinya kalau dia berada di jalan lurus,
tapi pada kenyataannya, dia telah melakukan satu tindakan yang tak bisa
dimaafkan! Aku belum puas sebelum melihatnya mampus!"
"Apa yang akan kau lakukan?"
"Aku akan menyerangnya lagi sekarang. Kau
perhatikan sekeliling tempat ini. Dan usahakan untuk menemukan siapakah orang
yang akan menyerang kita
selagi aku menyerang pemuda keparat itu!"
Kala Sringgil menganggukkan kepalanya. Jala
Sringgil bersiap. Raja Naga mendesah pendek.
"Nampaknya mereka tidak puas dengan apa
yang kukatakan. Tetapi untuk saat ini, aku dapat memaklumi apa yang keduanya lakukan. Karena, mereka
masih menyangka kalau akulah pelaku dari pencurian
itu. Rasanya... aku harus bertindak pula dan mengambil kesempatan untuk meninggalkan tempat ini...."
Memutuskan demikian, Raja Naga pun mempersiapkan dirinya dengan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan'. Sejarak delapan langkah di hadapannya, Jala
Sringgil bersiap. Menarik napas dan menghembuskannya perlahan-lahan. Lalu secara tiba-tiba, didahului teriakan membahana, tubuh
lelaki berkepala plontos
ini sudah melesat dengan cara berputar cepat laksana mata bor! Gelombang angin
mendahului gebrakannya.
Menggebubu tinggi yang membuat tanah beterbangan.
Raja Naga menunggu sampai tubuh lawan semakin dekat dan baru akan dilancarkan serangannya.
Di pihak lain, Kala Sringgil memicingkan mata untuk
memperhatikan apa yang terjadi.
Ketika Jala Sringgil semakin dekat dan gemuruh angin yang mendahuluinya menampar wajahnya,
Raja Naga bersiap untuk mendorong tangan kanan kirinya. Namun sebelum dilakukan, tiba-tiba saja menyeruak gelombang angin dari balik ranggasan semak
sebelah kanan ke arah Jala Sringgil.
Jala Sringgil yang menyerang Raja Naga, juga
berwaspada akan serangan lain yang bisa muncul
mendadak. Dan segera didorong kedua tangannya ke
arah gelombang angin yang mendera.
Blaaarr! Blaaarrr!!
Bersamaan dia mundur ke belakang, Kala
Sringgil telah melompat ke balik ranggasan semak itu.
Begitu pula halnya dengan Raja Naga yang juga melihat adanya lesatan gelombang angin dari sana.
Dan masing-masing orang hanya menemukan
tempat itu kosong melompong kecuali ranggasan semak dan rerumputan.
"Astaga! Cepat sekali gerakan orang itu!" desis Raja Naga dalam hati.
Di pihak lain, Kala Sringgil menatapnya tajam.
"Siapa orang yang telah membantumu itu"!"
bentaknya dingin.
Mendengar bentakan itu, Raja Naga terdiam.
Sorot matanya angker, membuat Kala Sringgil sesaat
merasa lemas. Tetapi kemarahannya telah sampai pada puncaknya. Dia tak menghiraukan tatapan angker
di hadapannya. "Kau telah mengatur semua ini rupanya!" bentaknya lagi.
Raja Naga menggelengkan kepala.
"Aku tak tahu siapakah orang itu!"
"Dusta!"
"Aku...."
"Pendusta hanyalah melakukan sebuah kebodohan yang harus mempertanggungjawabkan kebodohannya!!" makian Jala Sringgil terdengar keras.
Raja Naga bukannya menoleh, justru menengadah. Dilihatnya tubuh Jala Sringgil yang sudah membubung tinggi dan tiba-tiba meluruk dengan tubuh
berputar deras.
Gemuruh angin menerjang Raja Naga.


Raja Naga 11 Pengadilan Rimba Persilatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cepat anak muda dari Lembah Naga itu membuang tubuh ke samping kanan. Namun
Desss!! Jotosan yang dilakukan Kala Sringgil yang melihat kesempatan menyerang, telah menghantam lengan kanannya yang seketika dirasakan ngilu.
Brrrrr!! Tubuh Jala Sringgil yang berputar telah menderu pada tanah sehingga tanah bermuncratan dan bolong. Menyusul tubuhnya melesat ke arah Raja Naga
yang sedang mundur. Kala Sringgil juga mempergunakan kesempatan itu.
Raja Naga menarik napas pendek.
"Aku harus bertindak sekarang!" desisnya memutuskan.
Namun sebelum hal itu dilakukan, satu serangan cepat telah membentur tubuh Jala Sringgil dan
Kala Sringgil. Serangan yang dilancarkan entah oleh siapa itu sungguh luar
biasa. Karena begitu membentur tubuh Jala Sringgil, seperti memiliki mata
serangan itu berpindah pada Kala Sringgil. Serangan yang
dilepaskan dalam satu waktu!
Raja Naga masih sempat menangkap satu gerakan dari samping kirinya, serta-merta pemuda bersisik coklat pada kedua
tangannya sebatas siku ini melompat ke sana. Namun lagi-lagi dia tak menemukan
siapa pun di tempat yang dimaksudnya.
Perasaan jengkel perlahan-lahan mulai merajai
dirinya. Kemarahannya pun timbul. Sisik-sisik coklat pada kedua tangannya itu
mulai nampak lebih jelas,
bahkan bersinar lebih terang.
"Orang di balik angin! Aku tak tahu siapa kau
adanya! Aku juga tak tahu maksudmu membantuku!
Tetapi dari tindakan yang telah kau lakukan, kau justru me-nambah urusan ini menjadi semakin parah!
Tunjukkan wajah di hadapanku!!"
Tak ada sahutan apa-apa pun juga. Di pihak
lain, Jala Sringgil telah berhasil menguasai keseimbangannya. Dadanya terasa ngilu yang segera dialiri
tenaga dalamnya. Lalu tiba-tiba saja kepalanya menegak. Wajahnya menjadi tegang. Baru disadarinya satu
hal, kalau orang yang telah menyerangnya itu bisa saja membunuhnya dengan mudah!
Tetapi, orang itu justru
tak melakukan tindakan seperti itu!
Apa yang dipikirkannya pun singgah pula di
benak Kala Sringgil yang sedang merangkapkan kedua
tangannya di depan dada untuk memulihkan keadaan
tubuhnya yang sempat bergetar akibat serangan yang
dilancarkan oleh orang yang entah siapa.
"Dia dapat saja membunuhku dengan mudah!
Ini menandakan kalau orang itu memiliki kemampuan
luar biasa yang tak bisa dipandang sebelah mata! Tetapi, mengapa dia tidak membunuhku" Ini sebuah pertanyaan yang harus mendapatkan jawabannya. Kalau
memang apa yang dikatakan Jala Sringgil tadi, bahwa
orang yang entah siapa itu adalah kawan dari Raja Na-ga, tentunya Raja Naga yang
memerintah atau memintanya untuk tidak membunuh. Tetapi... mengapa?"
Sementara kedua lelaki berkepala plontos itu
memikirkan hal yang sama dan semakin dipikirkan
semakin membuat mereka bingung, pemuda berompi
ungu itu sedang memicingkan sepasang matanya.
Keangkeran matanya semakin menjadi-jadi. Kemarahannya pada orang yang entah siapa, semakin membesar. Karena orang itu justru menambah keadaan semakin kisruh. Kembali dia membentak keras, "Aku bukanlah
orang yang tidak suka ditolong atau tidak pernah men-gucapkan terima kasih
karena ditolong! Tetapi, apa
yang telah kau lakukan bukannya membuat keadaan
menjadi aman! Justru malah semakin kacau balau!"
Lagi-lagi tak ada sahutan. Perasaan Raja Naga
semakin diliputi kemarahan. Bahkan juga kegelisahan.
Tetapi di saat lain, pemuda itu sudah dapat menguasai lagi keadaan hatinya.
Dilihatnya dua lelaki berkepala plontos yang sedang memulihkan tenaga masing-masing.
"Ah, orang yang telah melancarkan serangannya tadi itu tetap sulit kuketahui siapa. Jangankan
untuk mengetahui siapa dia, mengetahui di mana dia
berada saat ini pun sulit. Dan itu jelas-jelas menandakan kalau dia bukan orang
sembarangan. Satu hal
yang membuatku bertanya. Orang itu memang menahan setiap serangan yang dilancarkan oleh Jala Sringgil dan Kala Sringgil.
Tetapi, jelas-jelas kalau dia tak
bermaksud melukai mereka, apalagi membunuhnya.
Ah, kenapa ini" Apa yang sebenarnya dikendakinya?"
Cukup lama Raja Naga memikirkan jawaban
atas pertanyaannya sendiri, sebelum didengarnya bentakan Jala Sringgil,
"Anak muda bersisik coklat! Untuk saat ini, boleh dikatakan kami gagal mencabut nyawamu dan
meminta kembali kalung Laba-laba Perak! Tetapi kelak, kami akan muncul lagu membuat perhitungan!"
"Tunggu! Bukan maksudku untuk tidak menyerahkan kalung Laba-laba Perak ini pada kalian! Tetapi sebelum kudapatkan buktibukti yang jelas kalau aku
tidak bersalah, biarlah benda ini tetap berada di tanganku!" "Kau tak memiliki
kepentingan apa-apa dengan benda itu sebenarnya! Kau hanya membuat luka di ha-ti
Pangku Jaladara! Atau... sebenarnya kau menginginkan untuk menjadi Ketua Perguruan Laba-laba Perak dan mencari pengikut sebanyak-banyaknya" Agar
kau dapat melakukan tindakan makar selanjutnya
dengan berlindung pada tubuh Perguruan Laba-laba
Perak"!"
Raja Naga memutuskan untuk tidak menjawab.
Karena bila dijawab, maka urusan akan semakin keruh. Kala Sringgil berkata, "Untuk saat ini, kau kami biarkan untuk menikmati
kemenanganmu! Tetapi ingat
baik-balk, kelak kami akan muncul lagi di hadapanmu
untuk membuat urusan! Jala Sringgil, kita berangkat
sekarang untuk mencari Pangku Jaladara! Bila ternyata Pangku Jaladara tewas, aku bersumpah, akan kupatahkan leher pemuda yang telah mencelakakannya
itu!!" Habis berkata demikian, Kala Sringgil sudah berkelebat meninggalkan
tempat itu. Jala Sringgil masih memandang sengit pada Raja Naga. Setelah meludah dengan cara yang keras. disusulnya saudaranya
itu. Tinggallah Raja Naga yang terdiam untuk beberapa lama, memikirkan setiap kejadian yang datang
beruntun. Bahkan dia masih mencoba menemukan
orang yang telah menolongnya, tetapi justru menambah keadaan bertambah keruh. Setelah tak menemukan siapa pun di sana, Raja Naga segera meninggalkan tempat itu. Dia hendak
mencari bukti-bukti kalau dia tidak bersalah. Tetapi, ke manakah dia harus
mencarinya, sementara semuanya masih begitu gelap"
Lima kejapan mata kemudian, tanah sejarak
sepuluh langkah dari tempat Raja Naga berada sebelumnya, tiba-tiba seperti bergerak naik. Menyusul perlahan-lahan terlihat kalau
tanah itu membentuk satu
sosok tubuh! Astaga! Apa yang terlihat itu memang satu sosok tubuh! Mengenakan pakaian panjang seperti warna tanah! Begitu pula dengan kulit dan rambutnya!
Sosok tubuh yang ternyata seorang lelaki berusia lanjut ini menggeleng-gelengkan
kepalanya sambil mengarahkan pandangan ke arah yang ditempuh oleh Raja
Naga tadi. "Nasibmu sungguh sial, Anak muda...," desisnya dengan suara serak. Parasnya
dipenuhi keriput,
yang tidak terlalu kentara karena seluruh kulitnya seperti warna tanah.
Rambutnya pun berwarna yang
sama, tak beraturan hingga punggung. "Aku tak percaya kalau kau yang telah
mencuri kalung Laba-laba
Perak! Tetapi, bukti memang ada padamu! Bahkan beberapa orang melihat tindakanmu! Ah, urusan ini memang sangat sulit. Kematian sahabatku itu saja baru
kuketahui belum lama. Juga dengan penobatan Pangku Jaladara untuk menggantikan kedudukannya. Ah,
aku memang belum mengetahui kejadian yang sebenarnya. Aku masih disibukkan dengan kegemaranku
bertualang. Masih beruntung aku mendengar kabar
yang menggelisahkan itu, hingga kuputuskan untuk
menghentikan dulu perjalananku melanglang buana.
Makanya, saat aku kebetulan lewat di tempat ini dan
mengkaji apa yang terjadi, aku berkeyakinan kalau
pemuda itu berkata yang sebenarnya."
Kakek berkulit seperti warna tanah ini tak bersuara untuk beberapa lamanya. Dari keningnya yang
berkerut, jelas kalau dia sedang memikirkan apa yang dilihat-nya.
"Terpaksa aku memang membantu pemuda itu
dengan tujuan agar Jala Sringgil dan Kala Sringgil menyingkir. Ah, keduanya juga
sahabat-sahabatku. Tindakan yang mereka lakukan terhadap pemuda itu memang tidak salah. Aku pun akan melakukan hal yang
sama seperti mereka. Hanya saja... ah, sebaiknya aku mencari Pangku Jaladara
untuk menanyakan kebenaran semua ini...." Habis berkata demikian, kakek yang
ternyata adalah orang yang tadi membantu Raja Naga
dengan harapan dapat membuat Jala Sringgil dan Kala
Sringgil menyingkir, perlahan-lahan melangkah meninggalkan tempat itu.
*** DUA "ORANG TUA! Apa yang terjadi ini bukanlah
urusanmu"! Aku tak peduli siapa pun kau adanya! Tetapi tindakan yang telah kau lakukan ini tak dapat ku-terima!" bentakan keras
itu terdengar di dalam sebuah hutan yang dipenuhi pepohonan. Seorang gadis manis
berpakaian kuning nampak begitu marah. Wajahnya
mengeras, dengan kedua tangan mengepal. Pada
punggungnya terdapat sepasang pedang bersilangan.
Orang tua yang mengenakan pakaian dan jubah warna biru itu tersenyum. Matanya mengedipngedip yang merupakan suatu kebiasaan. Wajahnya
yang dipenuhi keriput masih menyisakan ketampanan
pada masa mudanya.
"Ratih... aku sama sekali tak bermaksud seperti apa yang kau tuduhkan," katanya
lembut. "Aku hanya mencoba memulihkan hubunganmu dengan kakak seperguruanmu
sendiri." Saat berkata yang terakhir, si kakek melirik pemuda yang mengenakan
pakaian berwarna merah dengan garis hitam yang bersilangan di
depan dada. Di kening pemuda berambut gondrong ini,
terdapat ikatan berwarna merah.
Pemuda yang ternyata Lesmana, nampak sedang menatap gelisah pada gadis yang bukan lain Ratih adanya. Yang ditatap mendelik gusar. Kebenciannya pada Lesmana semakin menjadi-jadi.
Kemudian bentaknya lagi pada si kakek berjubah biru, "Orang tua! Jangan harap tindakanmu ini akan berhasil! Tak pernah akan
kulakukan seperti
yang kau katakan! Aku tak pernah mempunyai kakak
seperguruan yang pengecut seperti dia!!"
"Ratih... apa yang dikatakan Lesmana memang
benar. Guru kalian yang berjuluk Setan Bayangan,
adalah orang sesat yang merupakan kaki tangan dari
Datuk Bunaeng. Kalaupun dia akhirnya tewas di tangan Resi Kala Jinjit yang memergokinya setelah membunuh Pendekar Sedih, itu memang merupakan sebuah hukuman yang patut diterima!"
"Huh! Setan Bayangan adalah guruku! Seperti
apa pun dirinya, aku tetap menghormati dan menjunjung tinggi!" sahut Ratih gusar. "Tidak seperti dia yang
menjadi pengecut dan membiarkan Guru tewas di tangan Resi Kala Jinjit!!"
Dewa Jubah Biru tak bersuara. Dapat dipahami
apa yang sebenarnya melingkar-lingkar di benak si gadis. Tetapi dapat juga
dimaklumi apa yang dilakukan
Lesmana dalam memandang urusan yang telah terjadi.
Ratih berseru lagi, "Resi Kala Jinjit telah tewas entah siapa yang membunuhnya!
Kendati demikian,
aku tak akan pernah menyingkirkan keinginanku untuk menghancurkan perguruan Laba-laba Perak! Aku
telah mengikat janji dengan Datuk Bunaeng dan Ratu
Tongkat Ular untuk menghancurkan perguruan itu!"
"Dan rasanya... kau telah berhasil melakukannya! Bukankah kau telah melihat sendiri keadaan yang menjadi kacau balau"!"
"Tidak! Keadaan itu bukan aku yang melakukan! Melainkan seorang pemuda lain yang memiliki
kepengecutan yang sama! Pemuda yang berjuluk Raja
Naga yang telah mencuri kalung Laba-laba Perak! Dialah orang yang harus bertanggung jawab dalam urusan ini! Karena secara tidak langsung telah menggagalkan segala rencanaku! Juga rencana Datuk Bunaeng!" Dewa Jubah Biru menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kekeras kepalaan
gadis berpakaian kuning ini. "Dan satu kesalahan yang tak bisa kumaafkan, kau telah melakukan
tindakan keterlaluan, Orang Tua!
Pertama, kau menyelamatkan Lesmana dari kematian
yang kuturunkan dengan mempergunakan ilmu
'Pedang Bayangan'! Kedua, kau menyelamatkannya dari kematian yang akan kuturunkan tak jauh dari Perguruan Laba-laba Perak! Bahkan kau memisahkan
aku dengan Datuk Bunaeng dan Ratu Tongkat Ular!"
Dewa Jubah Biru tersenyum. Matanya tetap
berkedip-kedip.
"Aku hanya melakukan apa yang menurutku
baik!" "Kau telah mencampuri urusanku! Dan aku tak pernah menganggap itu sebuah
kebaikan!" seru Ratih ketus. "Bila menurutmu itu sebuah kesalahan, aku meminta
maaf...." Ratih mengangkat kepalanya angkuh. Lesmana
ketika menoleh, menatap si kakek dalam-dalam. Dia
terkejut mendengar apa yang dikatakan kakek yang telah menyelamatkannya dari maut.
Lamat-lamat dihembuskan nafasnya panjangpanjang. Apa yang dikatakan oleh Ratih adalah sebuah penghinaan. Kendati baru


Raja Naga 11 Pengadilan Rimba Persilatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa hari mengenal De-wa Jubah Biru, tetapi Lesmana telah menghormatinya!
Dan dia tidak bisa menerima Ratih menghina Dewa
Jubah Biru! Perlahan-lahan kalau sejak beberapa hari lalu
Lesmana selalu mengambil sikap mengalah pada adik
seperguruannya, kali ini hatinya mulai diisi kejengkelan.
"Ratih... apa yang kau lakukan sudah kelewat
batas! Mulutmu terlalu kasar! Dan rasanya, aku berhak menghukummu sekarang!"
Mendengar kata-kata itu, Ratih mengangkat
dagunya lebih tinggi. Keangkuhan terpancar jelas dari sepasang matanya.
"Kau pernah merasakan akibat dari kelancanganmu beberapa hari lalu! Dan sekarang, bila orang
tua itu tak turun tangan, aku bersedia melayanimu
beberapa jurus sebelum kukirim nyawamu ke akhirat,
Pengecut!!"
Kemarahan Lesmana kian menjadi-jadi. Sepasang rahangnya mengembung lalu dikertakkan.
"Kau memang harus diberi pelajaran!!" dengus-nya seraya membuka kedua telapak
tangannya di depan dada, pertanda dia akan segera melakukan serangan. Ratih pun segera mengambil jarak. Sepasang
pedangnya diloloskan.
"Dendam ku akan lunas setelah melihat kau
mampus!" "Tahan!" terdengar seruan Dewa Jubah Biru.
Tanpa menghiraukan tatapan gusar dari Ratih, si kakek yang selalu mengedip-ngedipkan matanya melanjutkan kata-katanya, "Sungguh tak patut, sebagai saudara seperguruan kalian
saling baku hantam! Apa
yang terjadi di antara kalian ini hanyalah kesalahpahaman dalam menyikapi suatu
urusan! Padahal saat
ini, masih ada urusan lain yang lebih besar!"
"Maksudmu.... Raja Naga yang telah mencuri
kalung Laba-laba Perak dan mengacaukan seluruh
rencanaku"!" bentak Ratih.
"Aku tak berkata demikian! Tetapi menurut
hemat ku, sesuatu yang di luar dugaan telah terjadi!
Mungkin ada orang yang sedang gundah saat ini, tetapi juga ada yang terbahak-bahak keras!"
"Jangan berbelit-belit!"
"Anak gadis... kau terlalu keras kepala. Ucapan demi ucapanmu sungguh tak enak
kudengar. Tetapi
aku dapat memaklumi apa yang membuatmu jadi bertindak kasar seperti ini."
"Orang tua... urusanku dengan si Pengecut itu,
bukanlah urusanmu! Kau telah membuat silang urusan di antara kita. Itu artinya, mulai hari ini kau juga kuanggap sebagai
lawanku! Tetapi, aku yakin, aku tak akan mampu menghadapimu! Hanya saja, kau
tunggu saat kematianmu bila aku sudah kembali bergabung
dengan Datuk Bunaeng dan Ratu tongkat Ular!"
"Ratih!" Lesmana membentak keras dengan suara bergetar.
Ratih mengarahkan pandangannya. Bibirnya
yang memerah menyunggingkan senyuman mengejek.
"Huh! Kulihat kau sudah tak mampu menahan
amarahmu, Lesmana! Bagus! Sekarang juga kau harus
mampus!!" Habis bentakannya, Ratih sudah menerjang dengan kedua pedang yang segera dikiblatkan ke arah
Lesmana. Sejenak pemuda berikat kepala merah ini
tak bergerak. Matanya memandang tak berkedip pada
kedua pedang yang mengarah padanya.
Sejenak ada keinginan untuk langsung menyerang dan memutuskan serangan itu. Tetapi di saat
lain, Lesmana hanya memiringkan tubuhnya.
Wuuuttt!! Tanah membuyar dan membentuk garis lurus
tatkala pedang di tangan Ratih menyambar. Lalu dengan sentakan kuat, tangan kanannya disabetkan ke
arah pinggang Lesmana.
Lagi-lagi pemuda itu hanya melompat ke samping kanan. Secara tiba-tiba, Ratih menjejakkan kaki kanannya di atas tanah, yang membuat tubuhnya seketika mumbul. Diiringi teriakan keras, dia meluruk.
Lesmana tak berkedip di tempatnya. Ditunggunya serangan Ratih semakin mendekat. Lalu... dengan cara yang mengejutkan, diputar tangan kanannya
yang seketika keluar angin melingkar. Menyusul didorong tangan kirinya.
Wrrr!! Ratih tersentak. Lurukan tubuhnya tak bisa ditahan. Segera dilakukan satu tindakan yang cukup
mengejutkan. Pedangnya tiba-tiba diputar cepat. Seketika menggebah gelombang
angin dingin disusul dengan cahaya bening yang membuat Lesmana tersentak.
Saat itu pula dia melompat dengan care berjungkir balik ke samping kiri.
Blaaar! Blaaaaarr!!
Tanah di mana dia berdiri sebelumnya, membuyar ke udara terkena gelombang angin yang berasal
dari putaran pedang Ratih. Menyusul muncratnya cahaya bening ketika mengenai tanah
Di tempatnya, Dewa Jubah Biru mendesis kagum. "Hebat! Ilmu 'Pedang Bayangan' memang sangat hebat. Dan aku yakin, Lesmana
dapat menanggulan-ginya...."
Sementara itu Lesmana yang sudah berdiri tegak kembali berseru, "Ratih! Kau telah mempergunakan kembali ilmu yang
diwariskan Guru kepadamu
untuk membunuhku! Tindakanmu memang sudah kelewat batas!"
"Sejak tadi kau selalu berkata, tindakanku sudah kelewat batas! Bagaimana dengan tindakanmu
sendiri yang begitu pengecut membiarkan Guru tewas
dibunuh Resi Kala Jinjit, hah"! Bahkan kau membiarkan Resi Kala Jinjit meninggalkan Guru setelah menjadi mayat!"
Mendengar ucapan itu, wajah tegang Lesmana
berubah. Hatinya begitu pedih mendengar ucapan Ratih. Disesalinya benar-benar mengapa gadis berkuncir dua itu tak bisa menerima
apa yang terjadi.
Lesmana tak bisa berpikir lebih lama, karena
Ratih sudah menderu ke depan sambil menyabetkan
kedua pedangnya.
Gemuruh angin yang menerbangkan tanah dan
ranggasan semak belukar menggebrak, disusul dengan
cahaya-cahaya bening yang menyilaukan mata. Bahkan tatkala dengan sengaja Ratih memukulkan pedangnya ke pedang yang lain, terjadi perubahan dahsyat pada cahaya-cahaya bening itu.
Traaang! Begitu bertemu, memercik cahaya merah yang
pekat. Menyusul menderunya cahaya-cahaya bening
yang menebar laksana hujan!
Lesmana menarik napas panjang.
"Terpaksa!!" desisnya dalam hati.
Lalu ditepukkan kedua tangannya, yang kemudian diputar ke dalam. Bersamaan diputar seperti itu, kedua tangannya didorong
ke depan. Serta-merta terlihat cahaya yang membentuk
dua telapak tangan yang kemudian menyebar membesar. "Telapak Dewa'!" desis Ratih terkejut dan melipat-gandakan kekuatannya.
Jlegaaarr!! Bertemunya cahaya-cahaya bening yang membesar dengan bayangan dua telapak tangan yang
membesar itu, membuat tempat itu laksana dilanda
kiamat kecil. Bukan hanya tanah dan ranggasan semak yang bermuncratan ke udara, beberapa buah pohon pun bertumbangan berdebam.
Masing-masing orang yang melancarkan serangan surut lima langkah ke belakang. Wajah Ratih sedikit pias. Kedua tangannya
yang memegang sepasang
pedang terasa ngilu. Di pihak lain, Lesmana sendiri
merasakan detak jantungnya semakin kencang. Napasnya bergemuruh. Dilihatnya kedua telapak tangannya sedikit membiru.
Di pihak lain, Dewa Jubah Biru yang tak bergeser dari tempatnya tatkala goncangan tadi terjadi, hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya. "Rupanya Setan Bayangan tak menurunkan ilmu 'Pedang Bayangan' pada Lesmana. Demikian pula
tidak menurunkan ilmu 'Telapak Dewa' pada Ratih.
Ah, sungguh dua ilmu yang sangat tinggi."
Untuk beberapa lamanya tak ada yang buka
mulut. Baik Ratih maupun Lesmana saat ini samasama sedang mengatur napas dan memulihkan tenaga.
Mereka juga sama-sama memaklumi, bila salah seorang sudah mengeluarkan ilmu yang menjadi andalan
masing-masing, maka sampai kapan pun keduanya
tak akan pernah bisa mengalahkan satu sama lain.
Kecuali, bila salah seorang telah terkuras tenaganya.
Berarti yang harus dilakukan sekarang adalah menguras tenaga lawan.
Tetapi Ratih mempunyai satu pikiran yang dapat dipergunakan untuk memenangkan pertarungan
ini. Sambil mengangkat dagunya dan memperlihatkan
kesinisan, dia mendesis
"Huh! Kau ternyata bukan hanya seorang pengecut, tetapi juga seorang yang tidak tahu malu! Kau menganggap kalau kematian
Guru lebih baik ketimbang menimbulkan keonaran karena Guru kau anggap
sebagai orang sesat! Tetapi, kau justru mempergunakan ilmu orang sesat itu untuk menyerangku! Gila!
Lesmana... kegilaan macam apa yang ada di otakmu
hingga kau tidak tahu malu, hah"!"
"Hemmm... rupanya dendam sudah merasuki
pikiran Ratih hingga dia bisa berucap seperti itu. Ratih yang hampir delapan
tahun kukenal, ternyata memiliki kekerasan hati. Ah, aku jadi mulai meragu...
apakah yang kulakukan waktu itu memang sebuah kesalahan"
Seharusnya aku membela Guru dari kematian yang diturunkan oleh Resi Kala Jinjit. Tetapi, aku sudah berusaha membela dengan jalan
menyelamatkannya.
Namun Resi Kala Jinjit sudah tentu memiliki ilmu
yang tak sebanding denganku
"Kau terdiam seperti itu, apakah karena mulai
dihinggapi rasa malu atau kau sedang berpikir untuk
tidak perlu malu"!" ejekan Ratih menyelinap ke gendang telinga Lesmana.
Lesmana mengangkat wajahnya. Kemarahan
mulai terlihat kembali. Tetapi lagi-lagi pemuda berikat kepala merah ini tak mau
menambah kisruh urusan.
Makanya dia berkata, "Ratih... apa yang hendak
kau jalankan, jalankanlah! Demikian pula denganku!
Apa yang ingin kujalankan, akan kujalankan!"
"Bagus!"
"Tetapi perlu diingat, apa yang ingin kujalankan adalah mencegah dirimu masuk ke
dalam jurang yang
seharusnya sudah kau sadari!"
"Huh! Manusia pandai bicara! Seluruh perbuatanku, aku yang menanggung! Tak perlu kau begitu
khawatir!"
"Aku hanya berharap, suatu saat kau sadar
dengan apa yang kau lakukan!"
"Aku akan sadar setelah berhasil membunuhmu dan membunuh Raja Naga! Manusia celaka yang
mengacaukan seluruh rencana yang telah disusun Datuk Bunaeng! Manusia yang sama pengecutnya dengan
dirimu, yang hanya bisa menohok dari belakang?"
"Datuk Bunaeng bukanlah orang yang patut
kau jadikan sahabat, apalagi bersekutu dengannya!
Ratih...."
"Tutup mulutmu! Kelak kita akan berjumpa lagi!" putus Ratih geram. Lalu sambil memasukkan lagi sepasang pedangnya ke
warangka di punggungnya,
gadis manis ini menatap tajam-tajam Dewa Jubah Biru. "Orang tua! Tindakanmu pun tak akan pernah kumaafkan! Ingat, aku bersumpah
untuk membunuhmu!!" Dewa Jubah Biru hanya tersenyum dengan ma-ta yang tetap berkedip-kedip.
Di lain saat, Ratih sudah meninggalkan tempat
itu dengan sejuta kemarahan di dada.
Sepeninggal Ratih, Dewa Jubah Biru melirik
Lesmana. Dilihatnya pemuda itu sedang menundukkan kepala, lesu.
"Ketabahannya menghadapi urusan ini sungguh besar. Dia telah bersikap sebagai seorang kakak
yang berusaha untuk mengembalikan adiknya dari kesesatan. Tadi, di saat keduanya bertarung, sempat kulihat adanya satu kesempatan
yang seharusnya dapat
dipergunakan Lesmana untuk melancarkan serangan.
Tetapi hal itu tidak dipergunakannya!"
Habis membatin demikian, Dewa Jubah Biru
berkata, "Apa yang akan kau lakukan sekarang?"
Lesmana menarik napas pendek, lalu menatap
kakek di samping kanannya.
"Orang tua... biar bagaimanapun juga, aku tak
pernah tenang melihat keadaan Ratih. Dia masih dipenuhi oleh sejuta dendam pada mendiang Resi Kala Jinjit dan tak akan pernah berakhir dendamnya pada Perguruan Laba-laba Perak."
"Resi Kala Jinjit telah tewas. Sementara itu,
Perguruan Laba-laba Perak boleh dikatakan telah hancur." "Justru ini yang semakin membuatku cemas."
"Mengapa kau, menjadi cemas?"
"Karena... dia akan mencari Raja Naga yang dikatakan telah mengacaukan seluruh rencana Datuk
Bunaeng. Dengan ucapannya itu, berarti dia masih tetap berkeinginan menjadi sekutu Datuk Bunaeng. Ah,
bila saja dia mau berpikir jernih... tentunya dia akan tahu siapa Datuk Bunaeng
sebenarnya...."


Raja Naga 11 Pengadilan Rimba Persilatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dewa Jubah Biru dapat merasakan kecemasan
Lesmana. Setelah memperhatikan beberapa saat, dia
berkata, "Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan
adik seperguruanmu dari jurang kesesatan, sebaiknya
kau segera menyusulnya. Memantau keadaannya dan
menahannya untuk menjalankan setiap maksudnya."
Lesmana menatap Dewa Jubah Biru beberapa
lama sebelum mengangguk.
"Ya! Aku pun bermaksud untuk melakukannya...." "Kalau begitu, tunggu apa lagi" Cepat kau susul adik seperguruanmu itu
sebelum kehilangan jejaknya." "Orang tua... bagaimana denganmu sendiri?"
"Bagaimana denganku" Keadaanku baik-baik
saja. Aku akan mencari pemuda yang kedua tangannya sebatas siku bersisik coklat. Ingin kulihat kebenaran, apakah memang benar
dia yang telah mencuri kalung Laba-laba Perak" Karena sebelumnya, dia pernah
berkata padaku, kalau Dewi Pengunyah Sirih hendak
melakukan hal itu...."
Kembali Lesmana memandang Dewa Jubah Biru dengan seksama. Lalu berkata, "Orang tua... kuu-capkan terima kasih atas
segala bantuanmu. Sekarang, aku akan menyusul adik seperguruanku itu...."
"Lakukanlah..."
Setelah merangkapkan kedua tangannya di depan dada dan mengangguk hormat, Lesmana segera
melesat menuju arah yang ditempuh Ratih.
DI tempatnya, Dewa Jubah Biru menahan napas sampai sosok Lesmana lenyap ditelan pepohonan.
Setelah beberapa lama, ditinggalkannya tempat itu.
TIGA AAAAKHH..., desisan kepuasan itu terdengar
dari balik ranggasan semak belukar. Saat ini senja sudah merajai alam dengan
matahari yang semakin turun. Di kejauhan bias-bias matahari semakin lama
semakin lenyap. Burung-burung beterbangan membentuk bayangan-bayangan indah.
Menyusul desisan kepuasan tadi, terdengar suara, "Luar biasa... sungguh luar biasa... rasanya aku tak pernah puas menikmati
tubuh montokmu ini, De-wi...," "Pangku Jaladara... kau memang keterlaluan,"
terdengar suara bernada gemas. "Masa kau selalu menggeluti tubuhku" Hari ini,
kau sudah melakukannya se-banyak lima kali...."
"Karena tubuhmu memang sulit untuk dilupakan," kata lelaki yang mendesah tadi sambil bangkit dari tubuh polos yang tadi
ditindihnya. Matanya masih tertumbuk pada bungkahan indah di dada si perempuan, besar, montok dan menggairahkan. Perlahan-lahan tangannya menjamah sepasang bukit kembar itu. Meremasnya dengan lembut.
Si perempuan yang pada kepalanya terdapat sebuah mahkota penuh butiran berlian bangkit dari rebahannya. Membiarkan saja tangan lelaki di hadapannya meremas payudaranya.
"Pangku Jaladara... besok malam adalah malam
yang telah kukatakan pada Datuk Bunaeng untuk berjumpa di Lembah Lingkar. Dan sampai hari ini, kita
juga belum mendengar kabar kematian Raja Naga."
Pangku Jaladara melepaskan tangannya dari
sepasang bukit indah itu. Lalu mengenakan pakaiannya. "Tak lama lagi, Raja Naga akan mampus, Dewi.
Dendammu atas kematian saudaramu yang berjuluk
Ratu Sejuta Setan, yang dibunuh oleh Raja Naga akan
tuntas. Ini berarti... seluruh rencana kita berhasil...."
Perempuan berpayudara montok itu segera mengenakan pakaiannya kembali. Berwarna hijau, yang
dipenuhi dengan butiran berlian. Di saat pakaiannya
telah dikenakan, dia sama saja dengan keadaan polos.
Karena pakaian itu begitu rendah pada dadanya, menyembulkan sebagian besar bukit kembarnya. Sementara bagian bawah pakaiannya kanan kiri, terbelah
hingga batas pinggul. Dapat dibayangkan bagaimana
saat dia berjalan atau angin berhembus nakal. Sudah
tentu bungkahan mulus sepasang pahanya akan menjadi pemandangan enak untuk lelaki.
Kedua manusia yang telah mengatur kebusukan demi kebusukan ini tak ada yang bersuara. Pangku Jaladara masih memandangi Dewi Berlian yang telah memuaskannya. Tetapi setiap kali dia selesai melakukannya, setiap kali pula gairahnya muncul kembali. Pangku Jaladara adalah orang yang memiliki sifat rendah. Di Perguruan Labalaba Perak dia bersikap sedemikian suci, tetapi di luar dia adalah orang yang
tak bisa menahan gairah.
Perjumpaannya dengan Dewi Berlian telah
membuatnya melakukan tindakan-tindakan kotor yang
membahayakan (Baca : "Misteri Laba-laba Perak").
Ketika dilihatnya Dewi Berlian belum juga
membuka mulut, Pangku Jaladara berkata, "Mengapa kau berdiam seperti itu, Dewi"
Tak seorang pun yang
mengetahui kalau kita yang telah membuat seluruh
urusan ini, dan secara tidak langsung kita adalah penguasa urusan ini."
Perlahan-lahan perempuan berwajah jelita itu
mengangkat wajahnya. Bola matanya menghujam lembut ke bola mata Pangku Jaladara yang seketika gairahnya menggelepar-gelepar kembali.
"Selain kematian Raja Naga, aku juga masih
memikirkan Langlang Benua...."
"Kau tak perlu memikirkan orang itu, Dewi.
Mungkin dia tak mendengar kematian Resi Kala Jinjit.
Karena, dia adalah orang yang suka bertualang.
Mungkin pula saat ini dia sedang berada di tanah
orang." "Setiap kali Resi Kala Jinjit mendapat urusan, Langlang Benua pasti
selalu muncul. Dan begitu urusan selesai, dia selalu menghilang begitu saja.
Bahkan Resi Kala Jinjit sendiri tidak pernah tahu apa yang dilakukan dan ke mana
orang itu pergi."
"Dari kata-katamu itu, aku berpendapat kau
tak perlu merisaukannya. Lagi pula, bukankah semuanya sudah kau atur sedemikian cerdik?"
"Ya! Mudah-mudahan aku berhasil memperalat
Datuk Bunaeng dan Ratu Tongkat Ular yang saat ini
tentunya sedang mencari Raja Naga, untuk membunuh Langlang Benua juga! Atau paling tidak, mengajak Langlang Benua untuk
membunuh Raja Naga!"
Pangku Jaladara tertawa.
"Sempurna! Bukankah itu sebuah tindakan
yang sempurna"!"
Perlahan-lahan Dewi Berlian tersenyum. Lalu
berdiri. Saat berdiri sepasang pahanya yang gempal
mengganggu mata Pangku Jaladara. Dirabanya paha
itu dengan penuh nafsu.
Dewi Berlian terkikik.
"Kita masih punya banyak kesempatan."
"Sekarang ini pun kesempatan!"
"Masih ada kesempatan lain! Seperti apa yang
kukatakan, kapan saja kau inginkan, aku akan melayanimu! Bahkan rasanya hampir patah tulang pinggulku karena melayanimu sebanyak lima kali! Pangku
Jaladara, saat ini aku ingin mengetahui keadaan Raja Naga!" Pangku Jaladara
perlahan-lahan berdiri. Gairahnya terlihat lebih hebat dari pancaran matanya. Tetapi untuk saat ini
ditahannya. "Ya! Kita segera mencari tahu nasib sial yang
menimpa Raja Naga!"
Dewi Berlian tersenyum. Setelah membelai pipi
Pangku Jaladara yang secara tidak langsung adalah
bonekanya, dia segera berlari. Pangku Jaladara memperhatikan dulu bentuk indah tubuh Dewi Berlian dari belakang, sebelum sambil
menyeringai lebar dia menyusul.
* * * Kegelapan malam telah menghampar dan membuat seisi alam seperti tertidur. Rembulan di atas sana tak mampu menembusi
gumpalan awan hitam yang
menghalanginya. Jalan setapak yang menuju sebuah
tempat itu lengang. Ranggasan semak sesekali bergerak dihembus angin dingin.
Tak jauh dari jalan setapak itu, nampak sebuah
gua yang menganga lebar. Gua yang sebenarnya terhalang oleh semak belukar yang menutupinya. Tetapi di
saat angin bertiup nampak mulut gua yang gelap.
Dua sosok tubuh itu sejak tadi berada di depan
gua itu, tanpa melakukan tindakan apa-apa.
Nenek yang berpakaian compang-camping dengan tongkat berkepala ular di tangan kanannya mendesis, "Datuk Bunaeng... aku menunggu di sini saja...."
Kakek berambut dikelabang itu menoleh. Sorot
matanya tajam dan membuat nyali si nenek menjadi
ciut. Sepasang alisnya yang menyatu terangkat garang.
"Ratu Tongkat Ular... kau sudah sepakat untuk
mendatangi Resi Hitam di sini. Dan kau sudah tahu
apa akibatnya bila kau berani membangkang sekarang!" Ratu Tongkat Ular menahan napas. Sesungguhnya dia tak suka dibentak seperti itu. Tetapi disadari betul siapa kakek
berpakaian dan berjubah hitam ini. Dengan berat hati dianggukkan kepalanya.
"Aku tahu kau punya persoalan dengan Resi
Hitam! Dan aku ingin kau bisa bersikap manis di hadapannya nanti tanpa melakukan tindakan yang mengesalkan!"
Lagi-lagi Ratu Tongkat Ular menganggukkan
kepalanya. Dilihatnya Datuk Bunaeng sudah melangkah memasuki gua itu. Ratu Tongkat Ular menahan
napas sejenak, menenangkan gejolak hatinya yang tiba-tiba membesar.
"Resi Hitam pernah memperkosaku empat puluh tahun lalu. Sampai saat ini aku belum dapat melupakan semua itu, menghilangkan dendamku padanya. Tetapi untuk saat ini, rasanya aku memang harus melupakan semua itu..."
Setelah itu, Ratu Tongkat Ular segera menyusul
masuk ke dalam gua. Keduanya menyusuri gua yang
cukup dalam. Aroma lembab yang menguar dari dinding gua yang dipenuhi lumut, membuat indera panciuman jadi tidak begitu enak. Lalu terlihat sebuah cahaya tak jauh dari sana
sementara gua itu semakin
lama semakin membesar. Mereka akhirnya tiba di sebuah ruangan besar yang dikelilingi oleh dinding batu Datuk Bunaeng langsung
berseru, "Aku tahu
kau berada di sekitar sini! Resi Hitam! Mengapa kau
tidak segera muncul untuk menyambutku, padahal
aku yakin kau tahu kedatanganku!! Atau... kau sudah
tidak lagi mengganggapku sebagai seorang sahabat,
hah"!" Baru saja habis seruan Datuk Bunaeng, tiba-tiba saja terdengar tawa keras
bertalu-talu, yang memantul dari dinding ke dinding. Sementara Datuk Bunaeng menyeringai lebar, Ratu Tongkat Ular menindih
kemarahannya mengenali tawa yang menyakitkan
gendang telinganya itu.
"Datuk Bunaeng! Mengapa kau berucap ketus
seperti itu, hah"! Sudah tentu aku menyambut kedatanganmu dengan penuh sukacita! Apalagi selama bertahun-tahun, tak seorang pun yang mendatangi Gua
Hitam, seolah namaku telah dilupakan orang!"
"Tetapi tentunya kau yang selalu membuat
orang-orang terutama gadis-gadis montok datang ke
sini, bukan?" seringai Datuk Bunaeng.
"Hahaha... kesukaanku memang menggeluti
tubuh montok yang rupawan dan menawan! Ya, ya...
kau benar dan kau membuatku jadi malu dengan kata-katamu itu, Bunaeng! Hanya saja... kau sempat
mengganggu keasyikan ku...."
"Hanya menunda beberapa saat saja dan kau
bisa meneruskan keasyikan mu!" seru Datuk Bunaeng dengan mata melirik sana-sini
untuk melihat di mana
orang yang berbicara itu berada.
"Betul!, betul! Tapi sayangnya juga, kau hari ini datang dengan seorang
perempuan keriput yang tidak
montok!" Belum habis suara itu terdengar, tahu-tahu angin menderu keras dan satu sosok tubuh telah berdiri sejarak lima langkah dari
hadapan Datuk Bunaeng
dan Ratu Tongkat Ular. Begitu melihat orang yang pernah mempermalukannya muncul,
Ratu Tongkat Ular
hampir saja melesat dengan satu serangan. Tetapi lagi-lagi ditindihnya
kegeramannya. Datuk Bunaeng menyeringai pada orang yang
kira-kira tiga tahun lebih tua darinya. Orang itu bertu-buh bongkok dan memiliki
kulit hitam legam seperti
pantat panci. Hanya matanya saja yang sedikit terlihat
putih. Sementara giginya hanya tinggal beberapa buah, itu pun sangat hitam. Tak
mengenakan pakaian apa-apa kecuali celana pangsi butut yang sudah robek di
sana-sini. Pada punggungnya terdapat sebuah tonjolan yang cukup besar.
"Bagaimana kabarmu, Resi Hitam?"
Orang yang ternyata Resi Hitam adanya, menyeringai lebar.
"Lama aku tak pernah mendengar ada orang
yang menanyakan kabarku! Aku sangat paham akan
watakmu, Bunaeng! Dan aku yakin, kau datang ke sini
bukan tidak membawa satu urusan! Atau... Hei" kata-kata Resi Hitam terputus
tatkala melirik Ratu Tongkat Ular. Untuk beberapa lama Resi Hitam terdiam
sebelum terbahak-bahak. "Astaga! Sampai copot rasanya jantungku! Kau... kau...
bukankah Ratu Tongkat
Ular?" Ratu Tongkat Ular menggeram. Sorot matanya tajam penuh kemarahan. Tetapi
lagi-lagi ditindih kegeramannya. Dengan gerakan kaku dianggukkan kepalanya. Resi Hitam menepuk keningnya sendiri.
"Astaga! Entah berapa puluh banyaknya gadisgadis atau perempuan yang kutiduri! Kalau tak salah
ingat, salah satunya adalah kau, bukan" Gila! Ini nostalgia namanya! Pertemuan
tak terduga! Ratu Tongkat
Ular... bila kau ingin mengulangi lagi kebersamaan kita dulu, aku masih sanggup
melakukannya! Dan aku yakin, seperti dulu, kau akan menggeliat-geliat keenakan


Raja Naga 11 Pengadilan Rimba Persilatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di bawah tubuhku!"
Hampir saja Ratu Tongkat Ular bergerak untuk
menampar mulut lancang di hadapannya. Tetapi dia
berkata, "Aku telah melupakan urusan lalu."
"Tetapi aku masih ingat, masih ingat! Bagaimana nikmatnya menggelutimu yang berontak di bawah
tubuhku! Hahaha... aku yakin kau juga masih ingat...."
Di pihak lain, Datuk Bunaeng mendesis dalam
hati, "Hemm... peristiwa itu rupanya yang menyebabkan Ratu Tongkat Ular
bersikeras menolak ajakanku
menjumpai Resi Hitam. Tidak tahunya dulu dia pernah
diperkosa oleh kakek bongkok ini...."
Datuk Bunaeng segera mengambil alih pembicaraan, "Terlepas dari segala ingatan dan kebersa-maanmu yang tentunya penuh
kebahagiaan bersama
Ratu Tongkat Ular, aku datang untuk meminta bantuanmu...."
Resi Hitam menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Seperti yang telah kuduga, kau datang bukannya tidak membawa persoalan. Katakan!"
"Telah lama namamu tak lagi kedengaran dan
tentunya kau jarang keluar dari Gua Hitam. Kecuali
tentunya, hanya untuk menculik gadis-gadis atau perempuan!" "Tepat! Sangat tepat! Aku sangat menyukai
mendapati geliatan dan rintihan gadis-gadis di bawah tubuhku!"
"Dan kau tentunya belum mendengar kabar
tentang kematian Resi Kala Jinjit!"
Resi Hitam menyeringai.
"Telingaku belum tuli, Bunaeng! Kabar itu sudah kudengar, bahkan aku tahu kalau si pembunuh
belum ketahuan! Dan aku berkeyakinan kalau orang
dalam sendiri yang melakukannya! Atau kau datang
untuk mengatakan, kaulah yang telah membunuh Kala Jinjit?"
Datuk Bunaeng yang hanya memancing dari
pertanyaannya tadi, menggelengkan kepala. Diamdiam dipikirkannya kata-kata Resi Hitam sebelumnya.
"Orang dalam" Orang dalam yang membunuh
Resi Kala Jinjit" Gila! Apakah mungkin itu?" desisnya
dalam hati. Lalu berkata, "Ada hal lain yang lebih penting." "Ceritakan!" sahut
Resi Hitam, lalu berkata pa-da Ratu Tongkat Ular, "Tubuhmu sudah tidak seindah
dulu. Sudah peot. Dan sepasang bukitmu yang dulu
montok dan enak kusedot, sekarang tinggal seperti pe-paya busuk! Tapi... aku
masih tetap mau menikmati
tubuhmu...."
Gelegak amarah Ratu Tongkat Ular sudah sampai ke ubun-ubun, tetapi tetap ditindih kemarahannya.
Datuk Bunaeng segera menceritakan apa yang
telah terjadi di Perguruan Laba-laba Perak. Diceritakan juga kemungkinan akan
hadirnya Langlang Benua.
Resi Hitam mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku pernah bertarung dengan Langlang Benua
dan tak seorang pun di antara kami yang memenangkan pertarungan itu. Hingga saat ini aku belum tahu
siapakah yang lebih hebat antara aku dengannya.
Hemm... rasanya boleh juga untuk bertarung lagi dengannya." "Dengan kata lain, kau mau membantuku?"
"Bunaeng, sudah tentu aku akan membantumu! Oya, telingaku memang belum tuli! Tetapi, aku belum pernah mendengar pemuda
yang kau katakan berjuluk Raja Naga itu" Siapa dia?"
"Belum lama ini rimba persilatan telah digemparkan dengan munculnya seorang pemuda bernama
Boma Paksi, atau yang lebih dikenal dengan julukan
Raja Naga. Sepak terjangnya merupakan maut bagi
orang-orang segolongan dengan kita. Tetapi di luar dugaan siapa pun, dia telah
melakukan satu tindakan
bodoh dengan mencuri kalung Laba-laba Perak. Aku
yakin, bukan hanya aku saja yang sedang memburunya. Di samping itu, aku juga tak akan pernah tinggal diam melihat keadaan
Pangku Jaladara. Saat ini,
Dewi Berlian yang telah mengikat janji bersekutu denganku, sedang menjaganya
jangan sampai terlepas. Setelah urusan beres, aku akan mempergunakan Pangku
Jaladara sebagai boneka!"
"Hemm,... Dewi Berlian..,. Perempuan montok
yang hingga saat ini wajahnya tak pernah berubah.
Aku merasa pasti kalau dia memiliki ilmu awet muda.
Bunaeng... seperti yang kukatakan tadi, aku akan
membantumu. Langlang Benua akan menjadi lawanku
untuk meneruskan dan menentukan siapakah yang
paling hebat antara aku dengannya! Dan sekarang...
hehehe... apakah kau masih ingin berada di sini terus menikmati keasyikan ku
menggeluti janda montok
yang kuculik dari desa seberang, atau kau mau menunggu di luar?"
"Aku tak mau mengganggu keasyikan mu! Kutunggu kau di luar!" kata Datuk Bunaeng sambil ber-balik. Lalu dengan senyuman
lebar karena Resi Hitam
mau membantunya, dia melangkah ke luar.
Resi Hitam menyambar tangan Ratu Tongkat
Ular. Sambil menyeringai dia berkata, "Kita akan ber-nostalgia kembali. Dan aku
yakin kau memang mengharapkannya..."
Lagi-lagi Ratu Tongkat Ular menindih geramnya. Dianggukkan kepalanya sekali, lalu menyusul Datuk Bunaeng keluar. Mereka menunggu kemunculan
Resi Hitam yang segera menikmati lagi tubuh janda
montok yang diculiknya. Perempuan itu sebenarnya
sudah jatuh pingsan. Tetapi Resi Hitam tak mempedulikannya. Setelah puas melampiaskan nafsunya, dia
muncul dengan membawa tubuh janda yang masih
pingsan dan dalam keadaan polos. Dengan enaknya
dia berkata, "Kau mau mencicipi tubuh indah ini, Bunaeng?" Sementara Ratu Tongkat Ular menggelegak lagi amarahnya, Datuk Bunaeng
menggelengkan kepalanya. Resi Hitam membanting tubuh pingsan itu di
atas tanah. Sambil menggelengkan kepala menatap tubuh polos itu, dia berkata, "Sayang kau menolak...."
Lalu dengan santainya dijentikkan ibu jari dan
telunjuknya. Trik! Asap hitam keluar dari kedua jarinya itu yang
semakin lama menebar dan menyelimuti tubuh polos
yang pingsan itu. Baik Datuk Bunaeng maupun Ratu
Tongkat Ular, sama-sama hanya memperhatikan. Dan
kepala masing-masing orang menegak, dengan mata
terbeliak lebar tatkala melihat perlahan-lahan asap hitam yang menyelimuti tubuh
polos itu lenyap, yang
nampak hanyalah seonggok debu hangus!
"Hei! Mengapa bengong"!" seru Resi Hitam
sambil menyeringai. "Kita berangkat sekarang!"
EMPAT PAGI telah menjelang kembali. Pemuda dari
Lembah Naga itu masih terpaku menatap aliran sungai
di hadapannya. Wajahnya nampak sedikit kuyu, sarat
dengan beban yang memberati pikirannya. Walaupun
wajahnya dipenuhi beban, namun sorot matanya yang
memancarkan keangkeran tetap terjaga. Seolah menikam aliran sungai yang jernih di hadapannya.
"Kalung Laba-laba Perak... menjadi urusan besar untukku. Selain itu, aku masih dibingungkan oleh orang yang entah siapa yang
telah mematahkan serangan Jala Sringgil dan Kala Sringgil. Ah, keadaan ini semakin keruh. Sementara
aku belum tahu apa yang
harus kulakukan. Ke mana aku harus mencari buktibukti kalau aku tak bersalah.... "
Untuk beberapa lamanya pemuda tampan berambut dikuncir ini terdiam memikirkan apa yang
menjadi masalahnya. Lamat-lamat ditarik, lalu dihembuskan napas perlahan-lahan.
"Satu-satunya cara yang paling tepat adalah
kembali ke Perguruan Laba-laba Perak. Tetapi jelas tak ada gunanya. Menemukan
Pangku Jaladara adalah
tindakan yang lebih tepat. Menurut Dewi Pengunyah
Sirih, Pangku Jaladara ditemukan pingsan. Ah, siapa
yang telah membuatnya pingsan?"
Kembali Raja Naga terdiam. Otaknya diperas
untuk memikirkan setiap kejadian.
"Yang harus ku kaji lebih dulu, mengapa Dewi
Pengunyah Sirih mengatakan terus terang kalau dia
hendak mencuri kalung Laba-laba Perak" Seorang
yang mempunyai niat seperti itu dan secara tidak langsung akan menggagalkan satu
upacara sakral, tentunya tak akan buka mulut dan menceritakannya pada
siapa pun juga. Hemm... apakah ada maksud lain dari
kata-kata nenek berkonde kecil itu?"
Kembali pemuda dari Lembah Naga ini terdiam.
Keningnya sesekali berkerut. Tatapannya masih diarahkan pada aliran sungai yang jernih dan mengalir
lembut. "Kabar yang kudengar, Dewi Pengunyah Sirih bersahabat dengan mendiang
Resi Kala Jinjit. Mustahil dia akan mencuri kalung Laba-laba Perak tanpa tujuan
yang pasti. Keinginannya untuk menggagalkan
penobatan Pangku Jaladara sebagai ketua yang baru
Perguruan Laba-laba Perak, tentunya didasari oleh sa-tu keinginan. Tapi
keinginan apa?"
Raja Naga menarik napas, lalu dihembuskannya perlahan-lahan. Tangan kanannya mengusap-usap
dagunya sejenak sebelum dia berpikir lagi.
"Jangan-jangan... niat Dewi Pengunyah Sirih
itu berhubungan erat dengan kematian Resi Kala Jinjit" Berhubungan erat" Hubungan apa" Dan mengapa"
Tidak mungkin Dewi Pengunyah Sirih yang telah membunuh Resi Kala Jinjit. Bisa jadi pula kalau dia memang tidak tahu siapa pembunuh Resi Kala Jinjit. Berarti jawaban satu-satunya...."
Raja Naga memutuskan jalan pikirannya. Keningnya berkerut. Diusap-usap lagi dagunya, sebelum
kemudian terlihat kepalanya diangguk-anggukkan.
"Rasanya memang itu jawaban yang paling tepat. Yah, memang jawaban itu satu-satunya. Tak mustahil kalau sebenarnya tindakan Dewi Pengunyah Sirih itu atas suruhan Resi Kala
Jinjit sendiri sebelum ditemukan tewas. Tapi dengan maksud apa" Ah, bisa jadi
maksudnya untuk melindungi murid-murid perguruan
Laba-laba Perak dari orang-orang yang hendak membalas dendam padanya. Bila kalung Laba-laba Perak
berhasil dicuri oleh Dewi Pengunyah Sirih, maka dengan sendirinya perguruan itu akan berantakan. Tanpa seorang ketua, akan sulit sebuah perguruan berjalan. Bahkan mungkin akan terjadi gontok-gontokan di
dalamnya. Hemm... ya, inilah jawaban yang tepat,
kendati aku belum dapat memastikannya secara pasti.
Hanya Dewi Pengunyah Sirih yang mengetahui alasan
apa yang membuatnya ingin mencuri kalung Laba-laba
Perak. Tetapi satu hal...." Raja Naga terdiam lagi.
Kemudian melanjutkan, "Bila memang Dewi
Pengunyah Sirih pernah berjumpa dengan Resi Kala
Jinjit sebelumnya dan mengetahui semua ini, mengapa
dia tidak menolongnya" Dan kejadian yang demikian
cepat ini, tentunya tak akan berhasil bila tidak ada
orang dalam sendiri. Ya! Aku mulai dapat meraba, kalau ada orang dalam yang membantu perbuatan makar
ini. Bisa jadi kalau orang dalam pula yang telah membunuh Resi Kala Jinjit."
Raja Naga menarik napas pendek. Sehelai daun
jatuh menerpa wajahnya. Ditangkapnya daun itu, lalu
dilemparnya ke aliran sungai.
Begitu daun itu terbawa aliran sungai, tiba-tiba
saja Raja Naga memalingkan kepalanya ke kanan. Sepasang matanya tajam tak berkedip.
"Hemm... kutangkap gerakan orang di sekitar
sini," desisnya dalam hati. "Dalam situasi seperti ini sementara banyak orang
yang menganggapku sebagai
seorang pesakitan, keadaan bisa berabe untukku. Lebih berabe lagi bila ternyata orang itu juga menginginkan nyawaku dengan tuduhan
yang sama. Sebaiknya...." Belum habis kata-kata Raja Naga, mendadak saja melesat satu sosok tubuh
berpakaian hitam. Tegak dengan kedua sorot mata tajam tak berkedip.
Raja Naga memperhatikan dengan seksama lelaki yang rambutnya panjang dan di tengah kepalanya
botak. Dilihatnya kaki kanan lelaki yang dadanya agak terbuka, buntung. Dan dia
memakai sebuah tongkat
untuk menyangga tubuhnya.
Untuk beberapa lama tak ada yang buka suara
sebelum si lelaki mendesis, "Cukup lama kucari orang yang telah membuat aib
untuk dirinya sendiri! Orang
yang julukannya telah lama kudengar tetapi ternyata
tak lebih dari seorang pesakitan belaka! Orang yang telah menggagalkan upacara
penobatan di Perguruan
Laba-laba Perak! Bahkan mempermalukan dirinya sendiri dengan mencuri kalung Laba-laba Perak!!"
Di tempatnya Raja Naga mendesah pendek.
"Ah... apa yang kuperkirakan ternyata benar.
Tentunya lelaki setengah baya berkaki buntung ini,
adalah sahabat dekat dari Resi Kala Jinjit. Dan tentunya dia juga sudah mendengar kabar tentang kejadian buruk yang menimpaku, tetapi dianggapnya akulah yang telah melakukan semua ini."
Lelaki berkaki buntung itu berseru lagi, "Kehormatan seseorang sangat mahal harganya! Dirintis
dari bawah tetapi dalam sekejap saja setelah berdiri tegak dengan mata langit,
akan hilang begitu saja! Tak ubahnya kemarau setahun dihapus oleh hujan sehari!"
Raja Naga tetap tak menjawab. Sorot matanya
yang angker memandang pada si lelaki. Diam-diam dia
membatin, "Jalan satu-satunya, aku memang harus menghindar dari sini. Aku tak
ingin terjadi lagi pertarungan seperti yang kualami dengan Jala Sringgil dan
Kala Sringgil! Tapi, apakah aku dapat melakukannya
sementara tuduhan keji itu sudah terpatri pada diriku"


Raja Naga 11 Pengadilan Rimba Persilatan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ah! Siapa orangnya yang telah melakukan tindakan
busuk ini! Dewi Pengunyah Sirih mengatakan bukan
dia yang telah mencuri kalung Laba-laba Perak dan
menjatuhkan tanggungjawab kepadaku!"
Lelaki berkaki kanan buntung itu menggeram
karena sejak tadi Raja Naga tidak menyahuti ucapannya. "Pemuda celaka yang telah menamengkan diri dengan tindakan lurus padahal
busuk tak ketulungan!
Aku datang ke sini untuk meminta pertanggungjawabanmu! Sebaiknya menyerah sebelum kulakukan kekerasan untuk kubawa pada Pengadilan Rimba Persilatan! Agar kau dihukum rajam oleh orang-orang rimba
persilatan! Tetapi bila kau menolak, terpaksa akulah yang akan menghukummu di
sini!" Pemuda yang kedua tangannya sebatas siku
dipenuhi sisik coklat itu menarik napas pendek.
"Seperti yang kualami sebelumnya, rasanya aku
memang susah untuk membela diri," desisnya. Lalu,
"Kejadian buruk yang menimpa diriku memang sulit bagiku untuk membela diri
sebelum mendapatkan
bukti-bukti! Dan kesulitan kedua, adalah untuk mencari bukti-bukti itu! Karena sebelum kudapatkan bukti-bukti yang jelas kalau aku tidak bersalah, telah datang orang-orang seperti
dirimu yang membuatku mati
langkah!" "Kau masih mencoba bersilat lidah padahal kau
memang bersalah! Tak perlu lagi ada bukti! Kabar telah sampai ke telingaku kalau kau telah melakukan
tindakan keji! Banyak saksi mata yang melihatmu melakukan pencurian itu! Bahkan aku yakin, barang
bukti itu masih ada padamu!"
Murid Dewa Naga menganggukkan kepala sambil menghela napas masygul.
"Kalung Laba-laba Perak memang masih berada
padaku! Tetapi, aku bukan orang yang melakukan
pencurian itu!"
"Huh! Kau dipergoki oleh Pangku Jaladara, selaku calon Ketua Perguruan Laba-laba Perak yang baru! Bahkan kau telah membuatnya pingsan! Sementara kau juga telah membunuh salah seorang murid Perguruan Laba-laba Perak!"
"Keadaan seperti ini memang sulit untuk ku jelaskan. Dan rasanya tak bisa," desis Raja Naga dalam hati. Ketika dilihatnya
lelaki berkaki buntung itu maju dua tindak dengan kepala sedikit diangkat,
pemuda berompi ungu ini mendesah. "Aku harus mencari jalan untuk meloloskan diri...."
"Sebagai sahabat setia Pangku Jaladara dan
orang yang tak bisa berdiam diri melihat keadaan yang menyakitkan, hari ini juga
kau harus mampus kubunuh! Kau tak memberi jawaban apa-apa untuk kubawa
pada Pengadilan Rimba Persilatan! Itu mengukuhkan
keyakinanku kalau kau memang bersalah!"
Belum habis seruannya terdengar, lelaki berkaki buntung itu sudah melesat ke depan. Tangan kanan
kirinya digerakkan, sementara tongkat penyanggah tubuhnya seperti menempel pada ketiak kanannya.
Dari angin yang keluar mendahului, Raja Naga
sadar kalau lelaki buntung itu menyerang dengan
mempergunakan setengah tenaga dalamnya. Tetapi
anak muda dari Lembah Naga ini justru tak bergerak
dari tempatnya. Matanya yang angker dipicingkan.
Ketika kedua jotosan lawan sudah mendekat,
barulah digerakkan kedua tangannya.
Buk! Buk! Benturan yang terjadi itu membuat lelaki berkaki kanan buntung berteriak tertahan seraya mundur. Kedua matanya terbeliak tak percaya merasakan
ngilu pada kedua tangannya yang berbenturan tadi.
"Hebat" Julukannya yang cepat membubung
tinggi itu memang tak sia-sia! Tenaga dalamnya sangat tinggi!" Di pihak lain
Raja Naga hanya mendesah pelan.
Bila saja dia mau melakukan, dia bukan hanya dapat
membuat kedua tangan lelaki berkaki buntung itu ngilu, tetapi juga patah. Ini disebabkan karena kekuatan yang ada pada sepasang
lengannya yang bersisik hingga batas siku.
Di seberang, lelaki berkaki buntung menggeram
dingin. "Tindakanmu barusan semakin membuatku
penasaran! Kau harus mampus di tanganku, agar tak
ada lagi orang-orang licik sepertimu di rimba persilatan ini!!" Menyusul
suaranya, dia sudah menggebrak kembali. Tongkat penyanggah tubuhnya digerakkan
di saat dia melesat. Diputar sejenak yang seketika keluar
angin berputar yang kecil dan semakin lama membesar. Bergemuruh mengerikan yang membuat tanah
seketika masuk dalam pusarannya dan bersama-sama
menggebrak ke arah Raja Naga!
Pemuda bersisik coklat itu menjerengkan matanya. Kejap lain dia sudah mendeham.
"Ehmmm!!"
Blaaaarr!! Gelombang angin berputar yang dahsyat itu pecah seketika. Terlihat paras lelaki buntung itu sedikit berubah. Tetapi di lain
kejap, dengan sekali menjejakkan ujung tongkat penyanggah tubuhnya di atas tanah, sosoknya sudah mumbul ke udara. Berputar deras meluruk ke arah Raja Naga sementara tongkatnya
digerakkan menyilang tiga kali!
Gelombang angin bersilang menderu keras. Raja Naga cepat membuang tubuh ke samping kanan.
Blaaam! Blaaam! Blaaamm!
Letupan berkali-kali terdengar menghantam tanah, disusul dengan sapuan tongkat ke arah kaki Raja Naga. "Heiii!!"
Terkejut, pemuda bersisik ini segera melompat
dengan cara berputar di udara. Tetapi sosok lelaki berkaki buntung itu terus
mengejarnya. Bahkan ujung
tongkatnya siap menotok jantung Raja Naga yang bila
masuk pada sasaran, maka pemuda itu hanya akan
tinggal jasadnya belaka!
Melihat keadaan yang membahayakan tubuhnya, Raja Naga segera menepukkan tangan kanannya
pada lengan kirinya.
Wuusss!! Menggebrak angin yang cukup besar.
Tetapi lelaki berkaki buntung itu tak mau mengendorkan serangannya. Tangan kirinya dikibaskan
yang membuat serangan balik Raja Naga putus di tengah jalan, sementara tongkat penyanggah tubuhnya tetap lurus ke arah jantung si pemuda
Mau tak mau Raja Naga harus bertindak menyelamatkan dirinya. Bahkan dia bertindak sangat cepat. Dengan mengeluarkan ilmu 'Kibasan Naga Mengurung Lautan' dia dapat membuat lelaki berkaki buntung itu mundur untuk menghentikan serangannya.
Menyusul dengan jurus 'Hamparan Naga Tidur' Raja
Naga membuat lelaki itu terbanting di atas tanah.
Dia sendiri segera hinggap dan memperhatikan
lelaki yang kemudian bangkit itu dengan agak susah
payah. Sebelum lelaki berkaki buntung itu buka suara, pemuda bersorot mata
angker ini sudah berkata,
"Memang sulit bagiku untuk membuktikan
bahwa aku tidak bersalah! Tetapi, biar bagaimanapun
sulitnya, aku akan tetap mencari bukti-bukti kalau
aku tidak bersalah!"
Sambil menahan sakit pada perutnya, lelaki
berkaki buntung itu berseru, "Kau boleh berucap apa saja untuk membela dirimu!
Tetapi jangan berharap
aku atau siapa pun juga yang membela kebenaran,
akan mempercayai ucapanmu! Kau harus kubunuh di
sini bila menolak kubawa pada Pengadilan Rimba Persilatan!" Raja Naga menggelengkan kepalanya.
"Apa pun yang terjadi, nampaknya memang harus kuhadapi! Sebesar apa pun risikonya! Maaf, aku
tidak bisa berlama-lama di sini!"
Ucapan Raja Naga itu menandakan dia akan
segera berlalu dan ini membuat lelaki berkaki buntung segera menggebrak kembali.
Tetapi bersamaan dengan
itu, Raja Naga sudah menjejakkan kaki kanannya di
atas tanah, melancarkan serangan 'Barisan Naga
Penghancur Karang'.
Serta-merta tanah itu bergerak, bergelombang
deras ke arah lelaki berkaki buntung yang mau tak
mau mengurungkan niatnya menyerang!
Blaaaarrr!! Letupan keras dengan terbongkarnya tanah ke
udara terjadi. Sejenak tanah menghalangi pandangan
lelaki buntung itu yang kemudian menggeram keras
setinggi langit. Karena tatkala tanah itu sirap kembali, sosok Raja Naga sudah
tak ada di tempatnya.
"Keparat! Kehebatannya memang sulit dicari
tandingannya! Sayang sekali kemampuannya dipergunakan untuk tindakan yang menyesatkan dirinya!
Huh! Biar bagaimanapun juga, aku harus menangkap
atau membunuhnya!"
Di lain saat, lelaki berkaki kanan buntung ini
sudah berkelebat tanpa menghiraukan perutnya yang
masih sedikit mulas.
LIMA DI SEBUAH persimpangan, Raja Naga kembali
menghentikan larinya. Keringat sedikit membasahi wajahnya yang segera diusapnya. Dihirup udara segar
untuk menghilangkan beban yang menindih dadanya.
"Urusan ini semakin tak menentu. Tentunya semakin banyak orang-orang yang menuduhku telah melakukan pencurian. Ah, jalan satu-satunya aku memang harus mencari bukti-bukti bahwa aku tidak bersalah, tetapi... ke mana harus kucari bukti itu sementara aku sendiri harus
bersiaga penuh terhadap orang-orang yang telah salah memahami keadaan?"
Raja Naga menarik napas pendek. Sorot matanya yang angker menatap ke kejauhan, menatap bukit-bukit yang menghijau. Jauh di sebelah kanannya,
hamparan padi menguning berlenggak-lenggok dihembusi angin barat laut.
"Tak bisa kusalahkan sikap orang-orang seperti
Jala Sringgil, Kala Sringgil maupun lelaki berkaki buntung yang belum kuketahui
siapa nama dan julukannya. Ini menandakan kalau kesetiakawanan mereka
begitu tinggi. Ah, cap pencuri dan pengacau memang
telah melekat padaku. Siapa sebenarnya orang yang
hendak mencelakakanku ini?"
Kembali pemuda dari Lembah Naga ini menggeleng-gelengkan kepalanya. Wajahnya dipenuhi keresahan. Tetapi di lain saat, kepalanya sudah ditegakkan kembali. Sorot matanya
Matahari Esok Pagi 15 Pendekar Naga Putih 02 Dedemit Bukit Iblis Wanita Iblis 3

Cari Blog Ini