Ceritasilat Novel Online

Dendam Berkarat Dalam Kubur 1

Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap Bagian 1


?"cerita misteri DENDAM BERKARAT DALAM KUBUR karya
Abdullah Harahap ini di ambil dari hasil edit teks
Tjareuh"Boelan yg di posting di http://indozone.net/
Thank..! REMBULAN menyembunyikan wajahnya yang pucat di
balik gumpalan awan yang hitam pekat, ketika di
kejauhan terdengar suara lolongan anjing yang lirih
menyayat tulang. Batu-batu nisan tegak dengan kaku
diam, sementara burung-burung malam mendadak
terbungkam. Angin malam yang dingin dan lembab
berhembus enggan di antara dedaunan pohon
kamboja. Seekor kelelawar tersentak dari
lamunannya, lantas terbang dengan suara mencicit
yang lengking, meninggalkan cabang beringin
tempatnya bergantung. Mula-mula sayapnya
berkepak perlahan, kemudian makin cepat, makin
tinggi, meluncur seperti meteor langsung ke
persembunyian rembulan. Akhirnya tinggal titik hitam
yang samar-samar, lantas lenyap ditelan kepekatan
malam. Kemudian sepi. Menyentak. Sosok tubuh kehitam-hitaman, dan tampak tinggi di
antara batu-batu nisan, meluruskan tegaknya
sebentar. Dagunya bergerak ke arah suara lolong
anjing itu terdengar, menajamkan telinga, menunggu.
Tetapi lolongan itu telah hilang, dan tidak terdengar
lagi sama sekali. Orang itu menghela napas panjang,
kemudian meneruskan pekerjaannya.
Malam yang sepi mencekik, kembali dipecahkan oleh
suara pacul dari sekop mendarat di tanah. Dengan
nafas yang mendengus-dengus karena bekerja terlalu
berat, orang itu terus menggali dengan kecepatan
yang mengagumkan dan keahlian yang
mentak'jubkan. Hanya dalam beberapa menit kemudian, sebuah
kuburan yang telah ditimbun rapat dan padat siang
harinya, malam ini telah terbongkar kembali. Ketika
terdengar suara berdetak yang lembut, benturan baja
dengan kayu, orang itu menahan sekopnya yang
membenam di tanah. la tertegun sebentar, kemudian
mengintai dari dalam lubang kuburan. Tidak tampak
apa-apa di sekitarnya, kecuali batu-batu nisan yang
tetap tegak dengan diam di tempatnya, serta
dedaunan kamboja yang tergoyang-goyang dengan
lemah, ia meneruskan menggali, kini lebih
bersemangat, sampai akhirnya ia kini melihat tutup
peti mati yang masih baru, dan baunya masih sangit.
Orang itu menjangkau ransel yang terletak di bibir
lubang, mengambil senter lalu mulai menerangi peti
mati itu. Pliturnya yang coklat dan licin kilaunya pudar
oleh tanah yang lembab. Dengan sebuah obeng, mur
"demi mur di tiap sudut tutup peti mati itu perlahanlahan lepas. Orang itu berjongkok, menahan nafas
sebentar, kemudian menggeser tutup peti. Tampak
bayangan samar-samar dari sesosok mayat manusia,
berpakaian lengkap. Ia kemudian mengangkat tutup peti,
menyandarkannya ke dinding kuburan. Dengan lampu
senternya ia terangi mayat dalam peti mati yang
menganga itu. Mayat itu berstelan jas lengkap, warna
merah hati, kemeja putih, dasi kupu-kupu, celana
wool warna biru, sepatu hitam berkilat. Umurnya
mungkin biru mencapai tiga puluh lima tahun ketika
orang itu menghembuskan nafas yang terakhir kali. Ia
tampak gagah dan tampan dengan stelan itu, tetapi
wajahnya yang pucat kebiru-biruan membuat jantung
orang yang berjongkok di dekat peti mati, menciut.
Tetapi hanya sesaat. "Sudah lewat dinihari ..." laki-laki itu bergumam. "Tak
banyak lagi waktuku, karena semua harus kembali
kelihatan seperti dalam keadaan yang semula..."
Senternya kemudian menari-nari kian ke mari ke
sekujur tubuh mayat itu. "Tak ada arloji tangan sama sekali," sungut laki-laki
itu. "Cincin juga tidak. Persetan, padahal kudengar
orang ini cukup kaya...!"
la meraba-raba saku celana, kantong kemeja dan jas,
dan hanya menemukan sehelai saputangan merah
muda, dengan bau parfum yang menyengat hidung. la
hirup bau harum itu sekedar mengendorkan ototototnya yang kejang karena letih dan kesal. Lalu
senternya ia tujukan ke wajah mayat itu. Wajah
yang terbaring diam, tanpa tersenyum sedikitpun
juga, dengan kelopak mata yang sedikit terbuka. Dari
balik kelopak mata itu, seolah-olah sang mayat
tengah mengintai apa yang akan
http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
dilakukan oleh si lelaki terhadap dirinya. Laki-laki itu terengah sebentar. Kemudian, tangannya
bergerak dengan sangat cepat dan ahli. Bibir mayat
itu ia buka. Keras dan beku, tetapi dengan tekun ia
berhasil membuka mulut mayat itu pada akhirnya.
Lampu senternya kembali menari-nari, tidak terlalu
terang, tetapi cukup untuk menyinari sepasang gigi
taring berwarna keemas-emasan. Perpaduan gigi
taring yang indah, yang atas dengan yang bawah.
"Lumayan," laki-laki itu mendesah, puas. "Daripada
pulang dengan tangan hampa, lapis emas ini boleh
juga." Ketika ia tekan dengan jari telunjuk, gigi itu
bergoyang lemah. "Gigi palsu!" sungutnya.
la menekannya lebih keras, tetapi gigi itu tidak juga
terlepas. Tidak ada jalan lain. Dua baris gigi yang
saling terkatup rapat itu harus ia renggan gkan untuk
memudahkan ia mencabut gigi palsu itu. Senter ia
letakkan di dada mayat, dengan tetap menyala
sehingga bayangan silhouet dari wajah mayat dengan
wajahnya sendiri, hampir tak tampak perbedaannya.
Sama-sama mengerikan. Sama-sama menakutkan.
Sukar juga. Tetapi akhirnya berhasil juga rahang bawah dan
rahang atas ia renggangkan. Lalu, jari telunjuknya ia
loloskan antara kedua baris gigi itu, ia jepit gigi palsu
tadi dengan telunjuk dan ibu jari.
Tetapi ia baru saja akan mencabutnya, ketika tibatiba ....
"Mulut itu mengatup!
Laki-laki itu terpekik tertahan, ketika jari telunjuknya
merasa kesakitan yang lumayan akibat terkatupnya
rahang atas dan rahang bawah mayat tersebut. Ia
menyeringai, dengan dahi basah oleh peluh.
Bagaimana mungkin" Tetapi apa yang ia lihat dan
alami, bukan impian buruk. Melainkan, nyata dan
jelas, mayat itu mengatupkan mulutnya dengan kuat,
dan berusaha menggigit putus jari telunjuknya.
Selama beberapa saat, laki-laki itu dicengkam panik.
la berusaha menarik jari telunjuknya, tetapi mayat itu
menggigitnya semakin kuat. Kulit dan daging jarinya
mulai terkelupas dan berdarah, kemudian tulangnya
yang lunak sekonyong-konyong berderak. Laki-laki itu
terpekik kembali. Suaranya tinggi dan nyaring,
memecah kesepian malam yang menghantui suasana
di pekuburan itu. "Persetan!" ia kemudian memaki. "Kau menyakitiku!"
Lantas, dengan naluri kemanusiaannya sebagai orang
merasa dirinya terancam bahaya, ia melakukan gerak
cepat yang menentukan. Tangan kirinya yang bebas
bergerak ke leher mayat itu, dan mulai menjepitnya.
Tetapi gigitan pada jari telunjuknya justru semakin
kuat juga, dan ia sudah yakin jarinya akan putus.
Dengan marah laki-laki itu kemudian merubah
taktiknya. la tidak lagi mencekik dengan tangan kiri.
Akan tetapi, menjepit tenggorokan mayat itu dengan
kuat, semakin kuat dan kuat juga, sampai kemudian
mulut mayat itu terbuka perlahan-lahan. Kalau saja
mayat itu masih hidup tentulah dari mulutnya yang
terbuka secara paksa itu, terdengar suara
mengerang....! Cepat ia tarik jari telunjuknya.
Ketika ia dekatkan ke cahaya lampu senter, ia
menjadi pucat pasi. Jari telunjuknya yang berlumur
darah itu, telah patah tepat di buku tulang yang
tengah. Menyadari hal itu, ia tidak lagi merasakan
kesakitan, akan tetapi kemarahan yang luar biasa.
Lampu senter ia angkat, ia sinarkan kewajah mayat
itu. Wajah yang tadinya tenang dan diam, sekarang
tampak berkerut seolah menahan sakit dengan kedua
bola matanya terpentang lebar, sementara mulutnya
menganga. Ia hampir saja meninju rahang mayat itu, untuk
meremukannya. Tetapi, mata si lelaki tiba-tiba
menangkap sinar lemah dari gigi palsu sang mayat. la
dekatkan lampu senternya ke mulut mayat yang
sebagian gigi, gusi dan lidahnya yang tadi pucat, kini
kemerah-merahan oleh darah yang keluar dari jari
telunjuknya. "Emas!" ia terengah, sebentar. "Gigi palsunya
seluruhnya terbuat dari emas! Bukan hanya di lapis
emas. Tetapi terbuat dari emas...!"
Kemarahan laki-laki itu perlahan-lahan mereda.
Kegembiraan menyapu wajahnya.
"Hem! ia bersungut "Kumaafkan perbuatanmu
menggigit putus http://cerita-silat.mywapblog.com
?"Bab 2 jari telunjukku. Aku tahu kau enggan
melepaskan gigimu. Kau sayang terhadap gigi
emasmu. Tetapi terkutuklah kau. Kau harus menebus
jariku yang putus. Gigimu terpaksa kuambil juga,
sebagai gantinya!" Lalu dengan hati-hati, ia cabut kedua gigi taring palsu
yang terbuat dari emas murni itu. Ternyata mulut tadi
tidak mengatup lagi, dan dengan mudah ia
memperoleh apa yang ia inginkan. la amangamangkan gigi palsu emas itu didepan biji matanya,
diterangi lampu senter, sehingga wajahnya yang
berkerut-kerut karena dimakan usia, tampak bersinarsinar mengerikan. la merasa puas dengan hasil
pekerjaan itu. Tetapi, memberi maaf"
Ia berdiri. Lalu memandang kebawah, ke wajah
mayat. "Yeah. Kumaafkan perbuatanmu," rungutnya, dingin
dan datar. "Tetapi tidak begitu mudah. Sebagai
imbalan maafku, disamping kuambil gigimu, juga
akan kubiarkan kau tetap dalam keadaan seperti ini.
Peti matimu tidak akan kututup seperti peti mati-peti
mati yang lain. Kuburanmu akan tetap kubiarkan
menganga, sehingga dari lubang kuburmu, kau bisa
melihat untuk apa kupergunakan gigi emasmu. Tidak
untuk membeli jari baru, karena itu tidak mungkin.
Tetapi, hehehe...." laki-laki itu tertawa terkekehkekeh.
"Kau pernah kawin" Berapa kali" Satu" Kau rugi. Kau
tidak tahu bahwa perempuan yang satu berbeda
rasanya dengan perempuan yang lain. Atau, kau juga
suka main perempuan seperti aku" Hehehe... ya, ya.
Jariku yang putus, baiklah, kuanggap sebagai harga
sebatang tubuh yang hangat dan lembut...!"
Ia kemudian meludah ke tanah.
"Sebenarnya, aku ingin meludahi tubuhmu," ia
bersungut pada mayat itu. "Tetapi ah, menyeringai
dengan gigi ompong begitu, kau terlalu tampan untuk
diludahi!" Ia terkekeh lagi. Mengambil sekop dan pacul, kemudian merangkak ke
luar dari lubang kubur. la memasukkan gigi palsu dari
emas itu ke kantong celananya yang kusut dan kotor,
membereskan ransel. Lalu untuk sesaat, tegak
menghormat dengan nada menghina kepada mayat
yang terbaring diam di peti mati.
Mata mayat yang terbelalak itu, suram dan kosong,
tampak sangat pucat dalam jilatan rembulan yang
dengan takut-takut mengintip dari balik awan.
Laki-laki itu kemudian memutar tubuh, berjalan
tertatih-tatih meninggalkan kuburan, dan masih
sempat disaksikan oleh mayat di dalam peti mati.
"Malam kian kelam. Angin semakin dingin. Dan bulan, bertambah pucat itu.
*** http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
IBU SUPIYAH sebenarnya belum mencapai umur
empat puluh tahun. Tetapi setelah melahirkan lebih
dari setengah lusin anak, kerut-merut di wajahnya
selalu bertambah dengan cepat, tubuhnya menjadi
kurus dan sedikit bungkuk karena teteknya yang
kempes terlalu kerap dikenyot mulut bayi yang rakus.
Setelah tumbuh menjadi besar bayi-bayi yang rakus
menyusu itu juga sangat besar nafsu makannya.
Seolah mereka memaksa sang ayah untuk bekerja
lebih keras dari semestinya.
Akan tetapi, sang ayah, Surehna, tidak pernah
menukar pekerjaannya dengan usaha lain yang lebih
menguntungkan. Surehna telah mewarisi pekerjaan
yang diterima nenek moyangnya secara turun
temurun sebagai penggali kubur. Untuk mencari
tambahan, Surehna sesekali ikut proyek
pembangunan jembatan atau perumahan, sebagai
kuli. Tentu saja, sesuai dengan keahliannya
mengangkat dan memindahkan tanah dari tempat
yang satu ke tempat yang lain. Lumayanlah untuk


Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekedar tidak meninggalkan keluarganya di rumah
mati kelaparan. Namun begitu toh sampai tiga kali berturut-turut
Surehna harus menggali kuburan untuk anak-anaknya
sendiri. Dan ibu Supiyah, isterinya, meski terpaksa
banting tulang sebagai tukang cuci di rumah-rumah
tetangga demi perut anak-anaknya, tiap kali selalu
menangis meratap-ratap. la tidak mau mendengar
bujukan setengah berolok-olok yang mengatakan
bahwa dengan berkurangnya anak mereka, berarti
berkurang pula beban hidupnya serta suaminya. Ibu
Supiyah tetap seorang ibu, seperti ibu-ibu yang lain,
sayang dan cinta kepada anak-anak yang ia kandung
kemudian ia keluarkan lewat rahimnya.
Malam ini, anaknya yang paling bungsu te lah jatuh
sakit pula. Si kecil Wawan berhujan-hujan bersama
teman-temannya dua hari yang lalu, kemudian
demam. Mungkin terjangkit malaria yang sedang
berkecamuk di sekitar daerah permukiman miskin
dimana mereka tinggal. Onggokan sampah yang
dibuang truk-truk kotapraja tak jauh dari rumahrumah penduduk, tidak saja menimbulkan bau busuk
dan mendatangkan penyakit, tetapi juga
menyebabkan selokan-selokan mampet. Rumah
mereka kebanjiran kemarin, dan banyak sekali
kotoran yang harus dibuang begitu hujan berhenti.
Sehingga ibu Supiyah tidak teringat untuk melarang
Wawan main sembur-semburan air di jalan becek
yang dilimpahi air selokan.
Ibu Supiyah tengah mengompres kepala anaknya
yang panas berapi-api ketika ia mendengar pintu
rumah mereka diketuk. Mula-mula ketukan itu
perlahan-lahan, kemudian bertambah keras. la
berharap suaminya terbangun dan pergi ke pintu.
Tetapi ketika ia tidak mendengar langkah-langkah
kaki dari kamar tidur sebelah, ia kemudian menghela
nafas panjang. Suaminya tertidur teramat nyenyak,
setelah pulang dari apa yang dikatakannya kerja
berat di luaran. Memang, selama satu tahun terakhir
ini suaminya mencoba mencari usaha lain. Obyekan
kecil-kecian katanya. Ibu Supiyah tidak tahu obyekan
"apa, dan suaminya sering mengatakan ia tidak perlu
tahu. Pokoknya terima uang, tutup mulut, urus
anakmu! la letakkan kain kompres yang dingin di kepala
Wawan. Kemudian berjalan berbungkuk-bungkuk ke
pintu depan. Siapakah kiranya tamu mereka yang datang subuhsubuh begini" Apakah keluarga jenazah yang telah
digali kuburannya tadi pagi, oleh suaminya"
Memang biasa, sesekali ada juga yang teringat untuk
mengirimkan sekedar makanan atau sedikit uang
untuk suaminya dari keluarga orang yang telah mati.
Atau barangkali, malam ini ada orang yang meninggal
dan pak er-te datang untuk menyuruh Surehna
bersiap-siap menggali kuburan pagi-pagi benar"
Ah, siapapun, membawa kabar baik atau buruk, ia
tetap harus membuka pintu. Tidak ada palang atau
kunci. Hanya selot-selot besi, yang ia geser sedikit,
lalu pintu kayu yang setengah reot itu segera terbuka.
Begitu udara subuh yang dingin menerobos masuk
kedalam, begitu bau busuk yang luar biasa
menyerang hidung ibu Supiyah. la mencium-cium
sebentar, kemudian gemetar. la hafal bau busuk dari
tumpukan sampah atau selokan yang kotor.
http://cerita-silat.mywapblog.com
?"Bab 3 Dan ia tahu benar, bau busuk yang menerobos masuk,
bukanlah bau busuk yang sehari-hari ia cium. Tetapi
bau busuk yang lain. Bau busuk yang sesekali muncul,
setelah suaminya menyelesaikan tugasnya
menguburkan jenazah orang.
Bau busuk itu, ia yakin benar, adalah bau mayat.
lbu Supiyah tertegun sebentar. la berdiri tepat di
ambang pintu; menghalangi jalan siapapun yang ingin
masuk, bagi yang terlihat wujutnya maupun yang
tidak. Mertua lelakinya telah pernah mengajarkan hal
itu padanya. Juga mengingatkan agar ia selalu
menyediakan bunga-bunga rampai untuk menjaga
segala kemungkinan. "Kadang-kadang," demikian mertuanya. "Mayat yang
telah dikubur itu tidak tega jasadnya ditimbuni tanah.
Oleh karena itu roh itu datang ke rumah orang yang
menguburkannya dan menuntut agar ia dikeluarkan.
Bila itu terjadi, taburlah rempah-rempah di depan
pintu maupun jendela. Lalu berbisiklah dengan suara
lembut kedalam kegelapan di luar pintu, memohon
agar roh orang itu pergi. Katakan, lebih baik ia
dikubur, daripada jasadnya dimakan anjing... Roh itu
akan merasa jijik dan ngeri, lantas pergi."
Tetapi Wawan yang sakit, menyita perhatian ibu
Supiyah. Hari ini ia lupa membeli rempah-rempah di
pasar. Padahal tadi siang, Dudung, anaknya yang
bekerja sebagai penarik becak, sempat mengingatkan
hal itu. la telah meminta Dudung yang
membelikannya. Tetapi rupanya Dudung terlupa,
karena siang hari itu Dudung harus melarikan diri dari
kejaran polisi dan petugas tibum yang merazia becakbecak yang mencari muatan di jalan-jalan utama.
Bau busuk itu menyerang semakin hebat.
Berarti roh itu berusaha untuk masuk.
lbu Supiyah bergidik sebentar...
Lalu: "Pergilah!" Angin dingin menerpa wajahnya. Dingin dan busuk.
"Kumohon, pergilah. Anakku sedang sakit payah,
jangan pula kau ganggu ia dari kehidupannya yang
masih suci. Apapun keinginanmu, pergilah. Kumohon
maafmu, karena tidak sempat memberi keharuman
rempah-rempah mengiringi kepergianmu..."
Tetapi bau busuk itu tetap bertahan.
Ibu Supiyah merasa angin dingin dan beku,
menerjangnya dengan keras, seolah dihembus oleh
sesutu yang berusaha untuk masuk secara paksa. lbu
Supiyah mulai takut. Tanpa rempah-rempah, ia tak
akan mampu mengusir roh itu. Keringat dingin mulai
membasahi tubuhnya. Dan dalam kepanikan
"bercampur putus asa, ia berbisik dengan lirih:
"Ya Allah. Jauhkanlah syetan ciptaan-Mu dari
rumahku!" Terdengar suara angin keras bersiur, bersiut-siut
nyaring bagaikan suara jeritan-jeritan yang sayupsayup sampai. Kemudian merasakan hembusan angin
lembab dari udara disekitar rumahnya, dan kembali
mencium bau sampah yang busuk. lbu Supiyah
menarik nafas lega, mengucap syukur kepada Tuhan,
dengan suara bergumam: "Ternyata nama-Mu lebih berpengaruh, ya Tuhanku."
la kemudian kembali ke kamar anaknya, setelah
menutup pintu. Wawan tertidur dengan pulas. lbu
Supiyah sangat lega, lalu rebah disamping anaknya.
Tidak begitu nyenyak, karena pikiran yang gundah
dan kacau. Barangkali tak sampai satu setengah jam.
la telah bangun lagi, sembahyang, lalu menyediakan
sarapan pagi untuk suami dan anak-anaknya. Surehna
bangun setelah lewat jam sembilan.
"Mestinya bapak bersyukur kepada Tuhan," ibu
Supiyah bergumam ketika mereka sarapan pagi
berdua. Wawan sudah bermain dengan temantemannya kembali di luar rumah. Ading tentu sedang
menggali tumpukan sampah untuk mencari apa saja
yang bisa dijadikan uang. Dan Asih baru saja
berangkat untuk menemani kakak iparnya yang telah
melahirkan dua hari yang lalu, di rumah mereka yang
tidak begitu jauh letaknya.
"Memangnya kenapa," suaminya bersungut, seraya
menyelesaikan makan paginya.
"Tadi malam kita kedatangan tamu."
Mata Surehna bersinar-sinar. "Tamu" Ada yang
membutuhkan...." "Tidak. Bukan orang yang memerlukan tenagamu,
pak. Tetapi orang yang menuntut hasil perbuatanmu."
Surehna seketika teringat apa yang ia kerjakan tadi
malam. Seketika ia tersenta http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
k kaget, tetapi segera menguasai
diri kembali. Tak mungkin, pikirnya, lalu bertanya
dengan nada mengejek: "Roh jahat lag, ya""
"Aku tak tahu jahat tidaknya roh itu. Aku tidak
melihatnya, tidak mengetahui maksud
kedatangannya. Tentulah seperti roh-roh sebelum dia,
yang tidak kuat menahan beku serta lembahnya di
dalam tanah!" Surehna tertawa. "Bu. Ibu..." katanya, diantara tawanya yan g berderai.
"Bapakku telah mengajarimu hal yang bukan-bukan.
Telah kukatakan padamu, bu, yang mati ya mati. Tak
mungkin hidup lagi..."
Tapi rohnya tetap hidup, pak."
"ROh orang mati telah diambil Tuhan, tak mungkin
kembali ke dunianya yang semula..."
"Kau menolak hal-hal yang gaib. Menolak keajaiban
Tuhan..." "Tak ada yang ajaib. Yang ada, hanyalah apa yang
kita lihat, kita pegang dan kita rasakan. Tak lebih...
buktinya hidup kita begini-begini dari dulu. Kalau
Tuhan Maha Adil, mengapa Dia..."
*** Tak lama kemudian ia tiba di rumah Darius, seorang
tukang tadah. Darius memandangi gigi-gigi taring palsu yang terbuat
dari emas murni itu, satu persatu, lantas
"menggelenggelengkan kepala, ta'jub.
"Tentu orang yang memiliki gigi ini seorang yang suka
pamer," katanya. "Jarang-jarang orang memiliki gigi
palsu yang seluruhnya terbuat dari emas. Apalagi
dengan semakin majunya dunia kedokteran, yang
dapat membuat gigi palsu yang sama bentuk serta
warnanya dengan gigi yang telah tanggal...."
Surehna mendengarkan dengan tak bernafsu.
Katanya, hambar: "Aku tak butuh pendapatmu. Aku butuh uangmu."
Darius tersenyum, mirip seringai kuda. "Lima ribu,"
katanya. "Gila!" Surehna memaki, dengan wajah merah padam.
'Kau terlalu serakah! Gigi itu kalau dijual dapat laku
seharga...." "Lima setengah..." tukas Darius, acuh tak acuh.
"Sepuluh!" "Lima setengah, dan kau boleh enyah. Kau toh tak
keluar modal untuk mendapatkan ini... Paling-paling
tenaga, menggali kuburan yang telah kau buat siang
harinya. Dan eh, tentu kau telah pula dapat uang
banyak dari calon-calon dokter yang biadab itu..."
"Persetan, Aku..."
"Kubaca di koran pagi ini, ada mayat yang dicuri dari
pekuburan Pandu...."
"Aku memang dari sana tadi malam. Tetapi yang
dicuri itu mungkin mayat lain."
"Hanya ada satu kuburan yang dibongkar, Surehna.
Dan hanya ada satu jenazah yang dimakamkan
dalam satu minggu ini!"
"Tetapi bukan aku. Aku telah letih memanggul mayat,
dan mereka menekan harga semakin rendah saja.
Tidak seimbang dengan apa yang kukerjakan ..."
"Hem. Baiklah. Jadi lima setengah."
Surehna menarik nafas panjang dan berat. "Kau lebih
terkutuk dari lintah darat. Tetapi lima ribu lima ratus,
dalam kondisi sekarang ini, boleh juga."
Dengan wajah berseri-seri, Darius membuka laci.
*** http://cerita-silat.mywapblog.com
?"Bab 4 SUARA cekikik perempuan memecah kesepian di
dalam kamar yang sempit dan berbau parfum
murahan itu, Nengsih menggeliat di bawah selimut
seraya menepiskan tangan yang bergerak dengan liar
di bagian bawah tubuhnya.
"ldih, geli ah! Makin bengkak, jari telunjuknya makin
nakal begitu!" ia bersungut, dengan mulut cemberut.
"Habis," Surehna balas bersungut, "Belum apa-apa kau
sudah..." Perempuan itu menyelinap ke luar dari bawah
selimut, lalu mengenakan daster seadanya. "Aku mau
ke kamar mandi dulu," katanya.
"Ah, nanti sajalah lagi."
"Engga. Rasanya tak enak kalau belum... ah, si bapak,
kayak enggak tahu saja!" lantas seraya mengerdipkan
mata di bawah bulu matanya yang lentik tebal,
perempuan itu kemudian bergegas keluar dari dalam
kamar, melangkah cepat sepanjang lorong di antara
pintu demi pintu kamar-kamar petak rumah besar
yang mirip asrama itu, lalu menghilang di sebuah
kamar mandi. Surehna mengeluh panjang pendek, melintir rokok
kawung lalu mengisapnya dengan kuat, seakan ia
mengisap sesuatu yang lain, sesuatu yang tadi ia
dapatkan dari tubuh si perempuan. Tetapi
kerongkongannya menjadi kering. la sambar segelas
air yang terletak diatas meja, dekat kepala tempat
tidur lalu mereguknya dibawah selimut.


Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Menunggu. Si Nengsih itu lama benar di kamar mandi. Ah, terlalu.
Surehna belum apa-apa, Nengsih sudah kabur dari
tempat tidur. Meskipun Surehna bangga dengan
kemampuannya sebagai seorang lelaki, tetapi mau
tidak mau ia merasa kesal juga, karena hasratnya
sering patah di tengah jalan, karena Nengsih yang
ingin serba "bersih" itu.
Tetapi nanti ia tak akan melepaskannya. la tak akan
memberi kesempatan pada Nengsih untuk...
Ketukan di pintu membuat lamunan Surehna buyar
seketika. Nah, ini dia datang, pikirnya seraya
menyeringai. la membelitkan selimut ke tubuhnya
yang tidak mengenakan sehelai benang pun, lalu
berjalan ke pintu. Aneh juga, pikirnya. Mengapa
Nengsih harus mengetuk. Bukankah kamar ini dia
yang kuasa" Barangkali, seorang tamu lain, yang
salah kamar" Benar. Seorang tamu yang lain.
Orang itu berpakaian lengkap dan gagah. Ia
berpakaian seperti mau pergi ke resepsi saja.
Mengenakan jas warna merah hati, kemeja putih,
dasi kupu-kupu, celana wool warna biru dan sepatu
"hitam yang berkilat-kilat. Tetapi sungguh aneh.
Bukannya bau parfum yang mahal yang tercium oleh
hidung Surehna ketika orang itu melangkah masuk
tanpa berkata ba atau bu. Melainkan bau busuk yang
tidak terperi, yang seketika itu juga membuat
Surehna hampir muntah. Setelah berada di dalam, orang itu kini tampak
semakin jelas dalam sinar lampu yang terang.
Wajahnya pucat pasi, kebiru-biruan. Dahinya berkerut,
seperti menahan sakit. Ada cekungan dalam di
lehernya, seolah bekas jari-jari yang menjepit jalan
pernafasannya. Seketika, Surehna teringat, siapa laki-laki asing
berstelan rapih, wajah pucat menyeringai dan leher
berbentuk aneh itu. Ingatan itu membuat Surehna
menjadi sama pucatnya dengan laki-laki yang berdiri
dihadapannya, memandang lurus dan tajam ke
matanya. "Tuttth... tuphh lah phintuuuuhhh itutt..." orang itu
tibatiba berbisik, dengan suara seperti orang yang
terengah-engah kehabisan nafas.
Aneh, Surehna menurut. Meski, betapa ia ingin lari,
ingin enyah dari kamar itu, secepat kakinya dapat.
Tetapi udara yang tiba-tiba sangat dingin didalam
kamar itu, seolah telah membekukan jalan darah dan
semua persendian tubuhnya. Ia mampu untuk
berjalan dan menutup pintu, tetapi tidak untuk kabur!
"Khhauu.....kemanakannnhh.... gigiiiku .....""
Surehna membuka mulut. la ingin menjerit. Tetapi
yang keluar hanya suara terbata-bata:
"Si-siapa ka-kauuu""
"Gigiku.... aku-khuuu memerlukan gigiku....!"
Surehna gemetar dengan hebat. Peluh dingin
membuat tubuhnya yang telanjang, seperti baru saja
keluar dari kamar mandi tanpa sempat
mengeringkannya dengan handuk. la melorot jatuh,
dengan kedua lutut bertahan di lantai, tak ubahnya
seo http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
rang pesakitan yang memohon pengampunan atas
dosa-dosa yang telah ia perbuat.
"Ak-ku ..... ..aku ...... .."
"Gihgikuuuuh....!" tuntut mayat itu, terengah dan
marah. Matanya yang suram, tampak berubah jadi
bara api yang kemerah-merahan, panas membara,
menusuk jantung dan meluluhkannya jadi cairancairan yang tidak berguna.
"Telah kujual. Kepada si Darius. Tukang tadah di
Supratman!" Surehna setengah berteriak, berharap
semoga keterangan yang ia ucapkan dengan katakata yang cepat beruntun itu bisa melepaskan dirinya
dari pengaruh laki-laki aneh itu. "Pergilah. Minta
padanya, dan tinggalkan aku ......."
Laki-laki berstelan rapi, wajah pucat berkerut, kini
menyeringai. Matanya yang merah kian bernyalanyala.
"Khhaaau akan kuting-galkhaannhhh!" desisnya,
sayup-sayup sampai, kemudian berjalan mendekati
Surehna yang semakin gemetar. Rasanya Surehna
melihat robot mengerikan yang keluar dari dalam
kegelapan kubur yang menganga, ia ingin pingsan,
tetapi ia tetap sadar untuk melihat bukannya roh,
melainkan jasad yang pernah ia tinggalkan terbaring
di peti mati. "Teee-ngadahhhhkhan, wajaahhmu!"
Surehna berusaha merundukkan wajah, akan tetapi
"lehernya justru mengencang dan dagunya terangkat
lebih keatas, menengadah.. Dengan mata yang
hampir meloncat keluar, ia melihat jari-jemari yang
pucat dan kaku dari mayat itu bergerak seperti
mengambang kearah lehernya. Ia beringsut sedikit
dan berhasil. Tetapi tangan yang kaku dan putih
kebiru-biruan itu lebih cepat.
Surehna merasakan dua buah jari yang bagai besi,
menjepit jalan nafasnya. Ia menjerit: "Janggaaaaan. Leppppp......"
Hanya sampai disitu. Kemudian matanya semakin lebar, mulutnya
menganga, mengap-mengap menghirup udara,
wajahnya menyeringai menahankan kesakitan yang
tiada tara. la memberontak, terlalu lemah dan tak
berdaya untuk tangan yang kuat dan keras bagai besi
itu, kemudian diam tanpa bergerak-gerak lagi.
Sepasang tangannya yang sempat mencengkam
pergelangan yang menjepit lehernya, jatuh lunglai di
sisi tubuhnya, yang tetap tegak setengah duduk
diatas lututnya. "Nantiiiiihhh... di alam...kubuuuuuurrrr.... kita
bercengkerama lagi...." dengus mayat itu, menyeringai
lebar, matanya berubah jadi suram tidak bercahaya,
kemudian berjalan ke pintu.
Nengsih keluar dari kamar mandi dengan
bersenandung kecil, suara hidung menyanyikan lagu
yang sedang pop masa kini. Pinggulnya yang padat
melenggang-lenggok seperti pantat bebek pulang
kandang. Surehna paling suka pada pinggulnya, meski
dada Nengsih sama padatnya. Hem, laki-laki tua yang
tangannya suka nakal, rungut Nengsih senang
didalam hati. Si Surehna itu tak pernah membayar
cukup, akan tetapi ia memang laki-laki yang luar
biasa. Banyak lelaki yang lebih muda, lebih tampan
dan uangnya lebih banyak, akan tetapi di tempat
tidur, mereka jauh lebih lemah ketimbang laki-laki tua
yang tentu kini telah menunggunya dengan tak sabar
didalam kamar. "Aku juga tak sabar, ingin dipuaskan lagi," Nengsih
menyeringai, seraya membuka pintu kamarnya. Ia tak
perlu mendorong, karena pintu itu
seolah ditarik dari dalam. Tentu si Surehna, pikirnya,
ingin tertawa. Betapa tidak sabarnya dia.
Hem, akan kugoda dia, dengan berpura-pura sudah
tak ingin.... Nengsih tertegun ketika mencium bau busuk yang
memualkan. la tergerak mundur, tanpa ia kehendaki,
dan angin yang dingin dan beku menerpa wajahnya
yang berubah pucat. Rasanya mau muntah. Bau busuk
itu hanya tercium sebentar, karena kemudian
aromanya seolah makin lama makin jauh.
Di ujung lorong, sepasang anak manusia sedang
berjalan menuju salah satu petak kamar, seraya
berpelukan dan berbisik-bisik mesra, sesekali diseling
suara tertawa. Yang perempuan baru saja akan
membuka pintu, ketika ia mengendus-ngenduskan
hidung, demikian juga yang lelaki. Mereka
memandang ke sekitar, tetapi tidak melihat sesuatu
apapun. Lalu yang lelaki bersungut dengan suara
mual: "Bau http://cerita-silat.mywapblog.com
?"Bab 5 busuk apa ini""
Nengsih mendengar gerutuan laki-laki itu. Ia juga
heran, bau busuk apa yang demikian keras
menyerang hidung. Seperti bau mayat. Mayat yang
telah membusuk dan.... la kemudian melihatnya. Melihat Surehna duduk bersimpuh tak jauh dari pintu,
membelakanginya. Kepala laki-laki setengah umur itu
tertengadah, seolah ia melihat sesuatu di langit-langit
kamar. la telanjang sama sekali. Selimut berhamburan
di dekatnya. Apa pula yang ia kerjakan"
Dengan heran Nengsih masuk, berjalan memutar dan
berdiri di hadapan Surehna, seraya bertanya
menggoda: "Lagi semedi yaaa, supaya itunya bisa... "
Ucapannya terhenti sampai di situ. Untuk sesaat ia
terbeliak, pucat. Lalu di saat berikutnya sebelah
tangan naik ke mulut. Tetapi tangan itu belum sempat
menutupnya, ketika dari mulut yang ternganga kaget
itu, terluncur suara jerit ngeri yang tertahan.
*** http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
HARI masih sore ketika Darius tiba di rumah.
Sebenarnya ia masih sangat letih. Tiga hari ia
habiskan di luar kota hanya untuk mengurus
beberapa potong barang perhiasan kecil yang tidak
seberapa harganya. Selama beberapa bulan
belakangan ini, ia hanya berurusan dengan pencuripencuri kelas teri yang hanya mampu mencongkel
jendela rumah. Bukan orang-orang ahli yang masuk
ke toko emas dengan gaya seorang pem beli intelek,
minta diperlihatkan perhiasan, kemudian
mengeluarkan senjata dari balik kemeja.
Toko-toko emas semakin hati-hati sekarang. Termasuk
toko emas langganan Darius di luar kota.
"Kami tak berani menerima barang baru," begitu kata
pemilik toko itu, seorang Cina gendut dengan mata
sipitnya yang licik. "Polisi sudah mulai curiga." ia
melanjutkan, dengan mata yang dari licik berubah
ketakutan. "Hanya beberapa potong," Darius mendesak.
"Kas sedang kosong. Oom maklum, pasaran emas
sekarang sedang goncang. Daya beli menurun,
konsumen ragu-ragu. Kebanyakan datang hanya
untuk melihat-lihat, kemudian pergi dan tak kembali
lagi." "Darius terpaksa mencari toko lain.
Hasilnya sama: kas sedang kosong, dan kemungkinan
persediaan toko akan diperiksa pejabat yang
berwenang sehubungan dengan kegoncangan harga
emas. Setelah dua hari keliling-keliling
tanpa hasil, Darius kembali ke toko yang pertama,
menyerahkan bungkusan kecil berisi barang-barang
perhiasan yang tidak laku-laku itu, seraya mengeluh:
"Ambillah semua ini, manusia serakah. Dan berilah
aku uang cukup untuk bayar penginapan dan ongkos
pulang!" Cina gendut itu tertawa menyeringai. Dan Darius
mengatupkan gigi, merasa sakit alang kepalang di
belakang kepalanya yang berdenyut-denyut.
Yah, ia sangat letih dan pusing. Dua hari menjajakan
barang yang tidak laku, dan satu hari perjalanan,
dihitung pulang pergi. Sebenarnya lebih baik ia
istirahat saja malam ini. Akan tetapi melihat wajah
isterinya yang muram, ia tahu bahwa banyak
rekening yang harus dibayar. Beginilah kalau sedang
sepi. Tidak seperti kalau sedang panen, wajah
isterinya selalu berseri-seri, dan hampir tidak pernah
di rumah karena pergi ke sana kemari, memborong
pakaian-pakaian baru, keluar masuk restoran dan
tempat-tempat hiburan, dan selalu mendesak agar
Darius mengganti mobil mereka yang sudah tua
dengan mobil yang baru. Ia baru saja selesai mandi, ketika isterinya
bergumam: "Besok ada dua arisan yang harus kututup ."
Malas. Darius bersungut: "Berapa semua""
"Seratus tujuh puluh lima ribu....."
"Tetapi tiga hari yang lalu kita masih memiliki empat
ratus..." "Mobil masuk bengkel kemarin. Totok mengambil
seratus untuk uang sogok masuk es-em-a. Belum lagi
rekening-rekening....."
"Bah!" tukas Darius jengkel. "Totok buang-buang uang
saja!" "Jangan meremehkan anak kita, pak. Nilai test-nya
tinggi. Akan tetapi kau 'kan tahu sekarang jamannya
bagaimana, kalau mau masuk sekolah kelas elit
satu....!" Sebenarnya Darius ingin protes. Mengapa tidak di
sekolah kelas dua saja, atau swasta. Tetapi istrinya
akan mempertahankan Totok mati-matian. Anak satusatunya, memang. Kasihan dia. Kalau harus jatuh
gengsi dihadapan teman-temannya. Mana dia
termasuk bintang kelas. Rajin belajar. Punya masa
depan. Harus didukung. Dan akan banyak lagi alasan


Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

isterinya yang akan dijejalkan masuk telinga Darius.
Paling menyakitkan, kalau diakhiri dengan kalimat:
"Jangan seperti bapaknya...."
Yeah! Darius hanya tamatan es-de.
Untung mertuanya memberi modal untuk dagang.
Sayang gagal. Isterinya suka sekali makan enak,
gemar membeli pakaian-pakaian baru. Belum lagi
Totok yang suka mentraktir teman-teman, sehingga
Totok menjadi kebanggaan ibunya. Darius terpaksa
banting setir jadi perantara jual beli barang-barang.
Hasilnya lumayan. Tetapi kegemaran isterinya tidak
berubah, dan disamping kebiasaan Totok juga tak
hilang, anak itu semakin besar dan memerlukan
banyak perhatian. Terpaksa Darius menerima
http://cerita-silat.mywapblog.com
?"Bab 6 barangbarang yang tidak syah, untuk diperjualbelikan. Tidak
sering memang, tetapi hasilnya sakali pukul...
Tetapi sekarang lagi sepi.
Darius menyeringai. Kecut. Giginya terasa sakit.
Gigi, ah! "Berapa lagi yang kau butuhkan"" ia bertanya pada
isterinya. "Hanya sekitar duapuluh lima."
Kalau saja toko langganannya tidak bertingkah,
jumlah itu bisa ia tutupi. Tetapi kini, ah, mengapa
harus mengulang-ulang yang sudah terjadi. Ia masih
punya modal lain.... Darius segera berganti pakaian.
lsterinya memasangkan sepatunya, dan merapihkan
jaketnya. Ia memang isteri yang baik. Tahu kapan
suaminya akan pergi, dan tidak ribut bertanya mau
kemana, dengan siapa, kapan pulang, tetapi ribut
merapihkan apa yang bisa ia rapihkan.
Malam sudah jatuh, ketika Darius keluar rumah.
Dan itulah pertama kalinya ia melihat laki-laki itu.
Berdiri dibalik bayangan tembok gedung diseberang
jalan, memandang ke rumah Darius. Darius
melihatnya ketika mau meluncurkan mobil keluar
pekarangan, memandang ke kiri kanan untuk
menghindari kecelakaan yang tidak dikehendaki.
Sepintas ia lihat laki-laki itu bergerak sedikit
ditempatnya berdiri, dan memandang ke mobilnya.
Orang itu hanya tampak samar-samar. Berpakaian
rapih, tampaknya seperti jas, bersepatu dan berdasi.
Wajahnya tidak begitu jelas.
Darius menjalankan mobil dengan perlahan. Lewat
kaca spion ia mengintai ke belakang. Laki-laki itu
masih tetap di tempatnya semula, memandang ke
arah Darius pergi, kemudian lenyap dalam kegelapan.
Siapa orang itu" Hanya ada dua kemungkinan: seorang polisi yang
menyamar. Terhadap kemungkinan ini, Darius
tersenyum kecil. Tiap kali menerima barang curian, ia
selalu memasarkannya seketika itu juga. Tak pernah
mau menyimpan barang panas itu berlama-lama. Jadi,
tak akan ada barang bukti yang bisa menyudutkan
dirinya. Kemungkinan kedua, orang itu adalah pemilik
barang yang ingin dijual, akan tetapi ragu-ragu.
Mungkin seorang calon langganan baru. Melihat cara
berpakaiannya, tampaknya ia mempunyai barang
yang lumayan kalau tidak sangat mahal harganya.
Mungkin pasaran akan ramai lagi" Panen kembali"
Ingin rasanya Darius kembali ke rumah, dan
menunggu orang itu. Akan tetapi ah, ia harus berhatihati. Siapa tahu, orang itu memang polisi. Dan kalau
"seorang penjual, tentu orang baru. Terhadap orang
seperti ini, Darius harus berlagak pilon, acuh tak acuh,
seperti tak butuh. Dengan demikian ia bis a menekan
harga serendah mungkin, untuk kemudian
menjualnya setinggi mungkin.
Seraya tersenyum puas, Darius menambah kecepatan
mobilnya. Ada yang lebih penting ia kerjakan sekarang, untuk
menutup kekurangan uang arisan isterinya besok.
Giginya berdenyut, tidak terasa sakit lagi. Gigi. Ya,
gigi. la memiliki sepasang gigi, yang telah ia operkan
empat hari yang lalu, kepada seseorang yang dalam
hidupnya selalu berurusan dengan gigi.
*** Masih ada empat orang pasien yang duduk di ruang
tunggu dokter gigi Sukendar, ketika Darius tiba. Tanpa
memperdulikan gerutuan dan wajah kecut keempat
pasien itu, Darius langsung menerobos masuk ke
kamar praktek dokter begitu pasien sebelumnya
keluar. Zuster Maria tertegun melihat Darius dan
sekilas memandangi pasien-pasien dikamar tunggu.
"Aku hanya sebentar!" sungut Darius.
Dokter Sukendar sedang memeriksa jarum-jarum bor
ketika ia melihat Darius.
"Ah, kau!" sahutnya, kesal tidak, ramah tidak. Biasabiasa saja. Datar, dan tidak berminat. "Harusnya kau
tunggu giliranmu..."
"Isteriku di rumah tidak bisa menunggu," rungut
Darius, mengambil tempat duduk diseberang meja
dokter, memandang malas kepada mesin-mesin bor,
peralatan periksa gigi dan rak yang penuh obatobatan, contoh gigi, pasta dan sikatnya, serta segala
macam bentuk promosi yang lain.
Dokter Sukendar mengerling pada zuster Maria.
Zuster itu mengangguk, kemudian menghilang ke
kamar sebelah. Dokter membuka laci, mengeluarkan sebuah amplop.
"Empat puluh. Aku tak ambi
http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
l untung," gumamnya,
setengah berbisik. Oh, tentu saja. Dari harga gigi itu, ia tidak ambil
untung. Tetapi dari pemasangannya.....
Hem, jadi sepasang taring itu kini sudah tertanam di
gusi seseorang. Entah perempuan, entah laki-laki.
Mungkin pula orang itu tengah memamerkan giginya
pada orang-orang lain. Darius tidak perlu
memikirkannya. Urusan telah selesai sampai disitu.
Ia ambil amplop, bangkit, kemudian mengucapkan
terima kasih, lalu keluar. Pasien-pasien yang
menunggu memandanginya dengan marah tetapi ia
acuh tak acuh saja. Lamat-lamat ia dengar suara
zuster Maria yang lembut memanggil pasien berikut,
ketika Darius memasuki mobil dan meluncur ke jalan.
Ketika itulah, ia melihat laki-laki itu untuk yang kedua
kalinya. Juga berdiri di seberang jalan, dalam
lindungan pohon yang rindang pada jalur hijau. Tetapi
cahaya lampu trotoir tak jauh didekatnya
mempertegas bentuk laki-laki itu. Tinggi kekar,
berstelan jas lengkap, berwajah pucat.
Siapa gerangan dia" Darius menghentikan mobilnya sebentar. Menunggu.
Kalau ia seorang polisi, Darius akan menghadapinya.
Lebih baik disini, daripada isteri dan anak-anaknya di
rumah ikut terlihat. Kalau ia seorang penjual, Darius
akan melakukan transaksi di tempat. Mungkin yang
"dibawa orang itu tidak mencapai harga empat puluh
ribu. Mungkin juga dua tiga kali lipat, atau lebih besar
lagi. Tetapi karena transaksi di tempat itu, ia akan
menekan harga hanya sampai empat puluh. Kalau
orang itu tidak setuju, lebih baik enyah. Darius tidak
suka dikuntit seperti itu lagi. Membuat kepalanya
yang pusing tambah menyengat saja!
Orang itu tidak bergerak-gerak. Hanya memandang
lurus kearahnya. Sama seperti Darius, seolah bersikap
menunggu. Menunggu saat yang tepat. Untuk....
"Hei!" Bahu Darius ditepuk dari luar jendela.
Darius tersentak kaget. Ketika menoleh ke samping, ia
melihat pakaian seragam dokter berwarna putih-putih,
tampak kontras dalam kegelapan malam yang
menghitam. 'Ya"" sungut Darius, dongkol.
"Kau belum menandatangani kwitansi tanda terima."
Darius mengernyitkan dahi.
"Apakah..." Tetapi ia tidak melanjutkan ucapannya. Tandatangan
itu tentu saja diperlukan sang dokter. Karena ketika
menawarkan sepasang gigi emas itu, Darius
bersikeras mengatakan, bahwa itu milik salah seorang
saudaranya yang sudah ingin mengganti gigi emasnya
dengan gigi biasa. la renggut kwitansi yang diulurkan dokter Sukendar.
Setelah menyalakan lampu dalam mobil, ia
meletakkannya di permukaan dash-board, lalu
menandatanganinya. Dokter menerima kembali
kwitansi itu, sambil menyeringai.
"Ada lagi yang kulupakan tadi, Darius."
"Wah..." "Gigimu. Sudah sembuh""
"0h. Masih berdenyut, sesekali. Terutama kalau terlalu
letih...." "Tidak akan kau periksakan sekarang""
"Ah. Aku ingin cepat pulang, dan tidur. Baru dari luar
kota. Lain kali saja dok!"
Dokter Sukendar mengangguk, lalu kembali ke
tempat prakteknya. Darius memadamkan lampu di dalam mobil,
kemudian menghidupkan mesin. Sebelum meluncur
ke jalan raya, ia menyempatkan matanya melihat
kearah bayangan kegelapan di seberang jalan. Di
bawah pohon yang rimbun ia tidak lagi melihat orang
itu. Juga di sekitarnya. Entah mengapa, Darius tibatiba merasa takut. Orang itu bukan seorang penjual,
karena terlalu misterius. Mungkin seorang polisi yang
menyamar, dan sekarang tengah mengikuti segala
kegiatan Darius secara diam-diam. Darius belum
pernah merasa takut seperti sekarang. la tahu dan
beberapa kali sudah berhadapan dengan mereka,
tetapi ia selalu bisa lolos. Kadang-kadang ia memang
takut. Tetapi cara orang ini mengikutinya, benar-benar
aneh. Keanehannya itulah yang membuat Darius
sangat takut. Entah mengapa, tubuhnya gemetar, dan wajahnya
agak pucat. la naikkan kaca jendela mobil, kemudian
mengebut kendaraan tua itu dengan kecepatan
maksimum. Sesekali terbatuk-batuk mesinnya.
Rupanya orang di bengkel tidak begitu telaten
kerjanya http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
a, atau isterinya tidak memberi mereka tip
yang bagus. Untung mobilnya tidak mogok. Akhirnya
ia tiba juga di rumah, memasukkan mobil ke garasi,
kemudian masuk kedalam rumah dengan leher yang
"terasa kaku, karena terlalu sering mengintai ke kaca
spion sambil sesekali menoleh ke belakang......
Ah, mengapa pundaknya seperti akan direnggut orang
dari kegelapan" *** http://cerita-silat.mywapblog.com
?"Bab 7 TENGAH malam, Darius tersentak bangun dari mipi
yang sangat buruk. Tahu-tahu saja, ia tegah dikepung
oleh serombongan polisi. Mereka menyeretnya keluar
rumah, diiringi ratap tangis anak isterinya. Anehnya,
polisi-polisi itu tidak membawanya ke kantor,
melainkan ke sebuah komplek pemakaman. Kaki
Darius terantuk-antuk ke batu nisan. Kemudian
menyuruhnya berhenti di pinggir sebuah lubang
kuburan yang menganga. la melihat sebuah peti mati dibawah terbuka lebar,
menanti ada yang mengisi.
Darius berusaha lari. Tetapi polisi-polisi itu
mencengkeram tangan dan kakinya. Kemudian
memukulinya. Gigi geraham Darius yang sakit,
tanggal, mengeluarkan darah. Gigi itu langsung
menggelinding ke dalam lubang, jatuh di dasar peti
mati, dengan suara berdenting yang nyaring. Di antara
rasa sakit yang menyengat sekujur tubuhnya, ia
menoleh kearah giginya jatuh. Ketika itulah
pengeroyok-pengeroyoknya yang tak pernah berkatakata itu, mendorongkan tubuhnya. Darius terperanjat,
namun terlambat. la telah terbang di udara, dan tahutahu saja telah terbaring di dalam peti mati.
Ia ingin bangkit, lari. Tetapi tubuhnya kaku dan dingin, seolah-olah
memang sudah mati. Hanya sepasang matanya yang
bergerak-gerak liar, memandang ke atas. Mula-mula
ia melihat rembulan yang pucat, kemudian awan
yang hitam, lalu hujan deras turun dengan
dahsyatnya. Bukan, bukan hujan air. Melainkan hujan
tanah, yang langsung menimbun tubuhnya. la
berusaha menggapai, berusaha menjerit minta
tolong... Tetapi mulutnya hanya mengeluarkan suara yang
terputus-putus saja, dan persendian tubuhnya
seluruhnya kaku tak bergerak-gerak. la kumpulkan
seluruh tenaga untuk mempertahankan saat-saat
hidupnya yang kritis. la tidak berhasil menjerit, akan
tetapi ia berhasil menggerakkan tubuh. Lalu, ia
meloncat keluar dari lubang kuburan yang hampir
tertutup itu, dan ketika ia perhatikan ke sekeliling,
polisi-polisi itu sudah tidak tampak lagi.
Yang ada hanyalah kamarnya yang sepi mencekik.
Gerah dan panas, sehingga piyamanya lekat ke kulit
tubuhnya yang banjir oleh keringat. Di sampingnya, ia
mendengar helaan nafas yang teratur, isterinya tidur


Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan lelap. Tak perduli apa yang dialami oleh .....
Ah, toh itu hanya impian buruk. Mengapa pula istrinya
harus perduli, karena ia memang tidak tahu bahwa
Darius tengah bermimpi"
Ia menyeka keringat yang membasahi wajahnya.
"Lalu menyulut sebatang rokok, untuk meredakan
ketegangan. Baru saja rokok ia nyalakan, terdengar
suara pintu diketuk. Darius tertegun. Hampir saja
rokok di mulutnya jatuh ke atas sprei.
la duduk dengan tegang, dan wajah pucat.
Serombongan polisikah" Yang akan membawanya ke
kuburan, merontokkan giginya, mendorongnya jatuh
ke dalam peti mati" Atau..... orang misterius itu. Ia
seorang diri, tidak berteman. Pasti. Pasti dia. Tetapi,
siapa ia gerangan" Polisi" Atau seorang calon
langganan" Ketukan itu terdengar lagi.
Lebih keras. Darius mematikan rokoknya, dengan menginjaknya di
lantai, sampai lumat. Percikan api mengenai tepi
piyamanya. Sehingga menimbulkan bolong-bolong
kecil kehitam-hitaman. Tanpa mengacuhkannya ia
kemudian keluar dari kamar. Sikapnya hati-hati.
Lampu terras menyala terang benderang. la bisa
mengintip lewat hordeng yang ia singkapkan hanya
cukup untuk sebelah matanya saja. la tidak melihat
siapa-siapa diluar. la lebarkan hordeng. Tidak, tidak
ada seorang manusia pun juga yang kelihatan.
Untuk meyakinkan dirinya, ia membuka pintu. Lalu
keluar. Berdiri di bibir terras, ia memandang ke
sekeliling pekarangan, ke depan garasi, ke jalan raya.
Tidak. Tidak seorang jua pun yang kelihatan.
Tetapi tunggu dulu. la tidak melihat, tetapi mencium.
Hidungnya mencium bau yang sangat busuk,
demikian keras, demikian dekat, disertai hembusan
angin yang dingin menusuk tulang. Rasanya sesuatu
sedang berlalu di sisinya. Darius merasakan ketakutan
yang ganjil, lalu cepat-cepat melangkah masuk,
menutup dan sekaligus menguncikan pintu.
"Ah, mi http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
mpi buruk itu tentu telah mempengaruhiku," ia
bergumam kecut, seraya membalikkan tubuh, siap
untuk kembali masuk ke kamar tidur. "Akan
kubangunkan isteriku, diajak bercakap-cakap untuk
meredakan...." Mulutnya ternganga. Sepasang matanya, terbelalak
lebar. Darius tegak kaku, di tempatnya berdiri.
Seseorang telah ada di ruangan itu. Duduk dengan
kaku di salah sebuah kursi. Berstelan lengkap. Jas
merah hati, celana wool biru, kemeja putih, dasi kupukupu. Sepatunya yang hitam berkilat-kilat dijilati
cahaya lampu. Baru sekarang Darius bisa melihat
wajah orang yang telah dua kali ia lihat malam ini.
Betapa pucat, bahkan kebiru-biruan, dengan mulut
kering putih ternganga sedikit, mengeluarkan suara
terengah-engah. Rupanya, bentuk lehernya terlalu
sempit, seperti leher yang pernah dijepit oleh benda
keras, sehingga pernafasannya terganggu. Yang
membuat Darius semakin gemetar, adalah sepasang
mata orang itu. Mata yang berwarna kemerahmerahan tetapi suram.
Seperti dalam mimpinya, Darius merasa tubuhnya
kejang kaku, dingin membeku. Mulutnya tidak bisa
mengeluarkan suara. Persendian tubuhnya seolah
lumpuh dengan tiba-tiba. Telinganya menangkap
suara angin bersiur. Lalu suara yang sayup-sayup
sampai: "Akkhh-kkuu mintaaaa gihhh-gi-kuu kembaliiiii ......!"
Suara sayup-sayup disertai nafas terengah-engah itu,
berasal dari mulut yang kering dan pucat di wajah
orang asing yang mengerikan itu. Darius bergidik
"sebentar, berusaha mengumpulkan tenaga, lantas:
"Ap-pa" Gigi" Kau ........si-siapa""
"Gigikuuuuul Akhu menyayanginya..... Akhhuuu
harussss kem-kembali ke akhirat . . . dengan
gigikuuuuuu !" Ke akhirat. Dengan giginya! Ke akhirat!
Seketika teringat Darius kepada salah seorang
langganannya. Surehna, si penggali kubur. Surehna
telah menjual sepasang gigi taring, terbuat dari emas,
kepadanya. Gigi yang ia ambil dari mayat...
Mayat orang inikah" Roh atau mayatkah yang berada
dihadapannya" la semakin panik dan ketakutan, ketika teringat
bahwa ia telah membaca di surat kabar, tentang
kematian Surehna. Mati di kamar pelacur. Konon
karena serangan jantung. Tetapi cara kematiannya...
Darius jatuh bersimpuh, dengan tubuh lunglai.
"Akuuu.... akuuuuu..."
Orang itu berdiri. Berjalan mendekat, dan tegak tinggi
di hadapan Darius. Sepasang matanya yang kemerahmerahan, tampak semakin bernyala-nyala, sementara
wajahnya semakin pucat, semakin biru, semakin
berkerut-kerut. Darius semakin merungkut pula dalam
duduknya. "Kau... menjual-nyahhhhhh!!"
Darius mengangguk. Kaku. "Pada dokter ituuuu""
"Yaaa... Yaa," Darius mulai bersemangat. "Empat
puluh ribu. Uangnya masih ada. Kau boleh ambil, lalu
pergi...." Tawar-menawar itu membuat si lelaki menyeringai
lebar. Seringai yang menakutkan.
"Ambillah sekarang juga. Ceeepaaattttthh!"
Entah mengapa, seluruh kekuatan dan semangat
Darius kembali. Selamat, pikirnya, seraya berlari
setengah terbang ke kamar tidurnya, membuka
lemari, mengeluarkan amplop berisi uang yang ia
terima dari dokter. Bahkan dengan mayat pun, ia bisa
berdagang. Mayat atau bukan, makhluk mengerikan
itu harus cepat enyah. Uangnya harus ia berikan.
Kalau orang itu merasa tidak cukup... Darius
memutuskan dengan cepat. la ambil juga uang
simpanan serta beberapa perhiasan milik isterinya. la
akan menyogok orang itu, agar lebih cepat enyah,
siapapun dia. Barangkali ia hanya seorang polisi yang
pura-pura menyamar sebagai roh orang mati yang
bangkit kembali.... Darius tersenyum puas. Lalu menutup lemari. la baru
saja memutar tubuh, ketika tahu-tahu saja orang itu
telah berada dibelakangnya. Darius ingin menjerit,
tetapi lidahnya kelu. Persendian tubuhnya kembali
kaku. Dengan tubuh gontai gemetar, peluh dingin
membanjir di sana sini, ia sodorkan semua uang dan
perhiasan kepada tamunya yang menakutkan itu.
Sang tamu menerimanya, menyeringai kemudian
dengan satu gerakan kaku tetapi cepat; ia telah
membuka mulut Darius http://cerita-silat.mywapblog.com
?"Bab 8 lebar-lebar. Darius ingin
melawan, tetapi tidak mampu. Dengan ngeri dan sakit
yang tiada terperi, ia rasakan tangan yang dingin dan
pucat itu, meloloskan seluruh uang dan perhiasan
lewat mulutnya, terus melewati kerongkongannya.
Pernafasan Darius, putus sampai di situ.
Tubuhnya lunglai, jatuh dengan suara berdebuk ke
lantai. Wajah dan kulit tubuhnya yang lain tampak
merah kehitam-hitaman. Lehernya memb engkak
dahsyat, hampir menyamai besar kepalanya,
sementara darah merah mengalir dari sela-sela biji-biji
mata, hidung dan mulut, bahkan dari duburnya....
Suara berdebuk yang berisik itu, membangunkan isteri
Darius. la mengucek-ucek matanya, setengah
mengantuk. Ketika ia mencium bau busuk yang
dahsyat, ia benar-benar terjaga. Bau busuk itu
perlahan-lahan menghilang.
Ta'jub ia menoleh ke samping, dan melihat suaminya.
Ketika ia memanjangkan leher, barulah ia melihat
Darius. Mulut perempuan itu terbuka sangat lebar. Sama lebar
dengan kedua belah matanya. la tidak menjerit.
Tetapi langsung jatuh pingsan.
*** http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
SUSTER MARIA telah selesai membereskan segala
sesuatunya, ketika sebuah mobil berhenti di halaman.
Dokter Sukendar baru saja membuka mulut untuk
menyuruh Maria keluar menemui orang itu dan
menjelaskan bahwa jam praktek telah lama berakhir,
ketika pintu terbuka dan seorang laki-laki perlente
melangkah masuk dengan wajah kusut.
"Ah, Anda kiranya!" sambut dokter dengan wajah
ramah ketika mengenali siapa tahu yang langsung
mengambil tempat duduk di atas kursi yang
diseberang meja dokter Sukendar. "Ada gangguan
mendesak rupanya, dari gigi palsu Anda, kalau boleh
saya menerka." Orang itu mengeluarkan sebuah kantong plastik dari
dalam tasnya, kemudian meletakkannya di atas meja,
tepat dibawah hidung dokter Sukendar.... Tanpa
membuka kantong plastik itu, dokter sudah tahu apa
isinya. "Maafkan, dok. Saya terpaksa mengembalikan bendabenda terkutuk ini..."
"Terkutuk"" Dahi dokter berkerut.
"Wajah orang itu menampakkan penyesalan. Juga
suaranya: "Ah, maksud saya, benda sialan. Atau semacam
itulah." Dokter Sukendar memandangi kantong plastik mini di
bawah hidungnya. Kemudian berpaling ke wajah sang
tamu. Dibelakang tamunya, ia melihat zuster Maria,
yang tegak menunggu dengan tas tangan terkepit di
salah satu lengan: "Kau boleh pulang, Maria," ia bersungut lembut pada
pembantunya itu, yang segera membuka pintu,
menutupkannya kembali kemudian terdengar
langkah-langkah sepatunya yang bertumit tinggi
berjalan di lantai ruang tamu. Kemudian sepi. Dokter
masih menunggu sebentar. Di luar ia dengar suara mesin mobil Toyota
menderum. Ia mengenal suara mobil tuna ngan yang
tidak akan lama lagi akan memperisteri Maria, zuster
muda dan cantik itu. Suster bergigi rapih dan putih
bersih. Gigi yang putih bersih. Banyak perusahaan
yang mengiklankannya. Namun toh masih ada
manusia-manusia yang menginginkan sesuatu yang
lain. Gigi yang khas, gigi yang mempunyai daya tarik
tersendiri. Seperti sepasang gigi taring sebelah kiri,
yang kini terletak di hadapannya, dalam k antong
plastik. Entah mengapa, orang masih suka mengenakan gigi
emas. Bukan lapis saja, malah yang ini, seutuhutuhnya emas.
"Baiklah. Apa yang bisa saya bantu""
Laki-laki perlente itu menggelengkan kepala.
Wajahnya semakin kusut. "Tidak ada, dokter.
Simpanlah gigi ini kembali. Saya sudah cukup dibikin
repot karenanya!" "Ah. Saya tidak begitu paham...."
"Gigi ini bertingkah, dokter!" orang itu setengah
berseru, setengah bingung.
"Ah. Baru kali ini saya dengar ada gigi yang
bertingkah." Tetapi sepasang gigi palsu yang terbuat dari emas itu,
memang telah bertingkah, demikian tamu dokter
Sukendar bercerita, yang ia dengarkan dengan penuh
perhatian. Semenjak dipasang dua hari yang lalu,
Hardiman, tamu dokter Sukendar, seorang pengusaha
muda yang selalu tampak terlalu rapih sehingga
kadang-kadang kelihatan semacam pameran
tersembunyi, telah berulang kali mengalami kesulitan
yang ditimbulkan gigi palsunya.
Kesulitan pertama yang ia alami, adalah ketika ia
akan makan. Entah mengapa, mulutnya sukar untuk
dibuka, dan nafsu makannya menurun dengan drastis.
Kalau berbicara, nafasnya seperti terengah-engah.
Tadi siang ia menjadi sangat malu ketika di hadapan
sidang perusahaan. Peserta sidang menyangka ia
terjangkit penyakit bengek atau sesak nafas dan
dengan nada menyindir menyarankan untuk menelan
obat-obat tertentu yang sering diiklankan dalam
televisi. Kesulitan yang paling aneh, adalah ketika ia tidur.
la selalu tidak bisa nyenyak, karena mulutnya tidak
berhenti bergerak. Ketika ia goyang-goyang kemudian
ia rasa-rasakan, ternyata yang bergerak itu adalah
gigi-gigi taring palsunya, yang terbuat dari emas murni
itu. Barangkali letaknya tidak tepat, pikirnya, dan
berusaha melepaskan gigi taring itu. Hampir saja jari
tangannya terjepit kalau tidak keburu ia tarik, karena
dengan tiba-tiba rahang atas dan rahang bawah
mengatup dengan sangat keras dan tiba-tiba.
http://cerita-silat.mywapblog.com
?"Bab 9 "Sampai berdetuk-detuk bunyinya!" keluh si
pengusaha muda itu, seraya menyeka wajahnya
yang berkeringat. "Celakanya lagi, dokter..." ia


Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melanjutkan dengan wajah kemerah-merahan. "Sore
tadi aku bercumbu dengan isteri. Ah, tak usah saya
ceritakan bagaimana kami bercumbu, bukan""
Dokter Sukendar tersenyum, mengangguk setuju.
"Tentang gigi ini yang akan kuceritakan," gumam
Hardiman, lirih. "Ketika mencium istri, gigi taringku
melonjak-lonjak. Tahu-tahu isteriku menjerit
kesakitan, meronta dari pelukanku. Dan setelah ia
lepas, ternyata bibirnya telah berdarah..."
Dalam kemarahannya, Hardiman berusaha mencabut
giginya. Tetapi gagal. Tiap kali, taring-taring emas
kebetulan didengar oleh mertuanya yang terkejut
melihat mulut anak perempuan kesayangannya,
berdarah. la menanyakan mengapa sampai terjadi
demikian. Hardiman menggelengkan kepala, tidak
mengerti.. "Apakah pernah terjadi seperti ini, sebelumnya""
tanya sang mertua. "Tidak" "Tentu ada sesuatu yang ganjil pada dirimu."
"Bukan diriku. Tetapi gigiku!"
Lalu Hardiman menyeringai, memperlihatkan kedua
baris giginya. Ketika itulah, taring-taring emasnya
kembali bergerak-gerak, seolah marah
oleh ketidakpuasan yang tidak tercapai. Orang tua itu
memperhatikan dengan wajah pucat.
"Nak,"' katanya, lembut dan waspada. "Gigi-gigi palsu
itu harus kau tanggalkan sekarang juga!"
"Aku telah berusaha..." rungut Hardiman, terengahengah. "Tetapi selalu gagal. Bahkan jariku hampir
terluka karenanya..."
"Mari bapak coba..."
Orang tua itu minta disediakan air putih. Isteri
Hardiman segera menyediakannya. Air putih dalam
gelas itu dibacakan jampe-jampe oleh mertuanya,
kemudian disuruh minum oleh Hardiman. Mulut
Hardiman seketika mengatup rapat. Seolah bibirnya
terjahit dengan tiba-tiba.
Mertua Hardiman mengangguk. la kumat-kamit
membaca do'a., lalu: "Bismillah!" ia pegang dagu Hardiman, dan berusaha
membuka mulut anak menantunya.
Hardiman merasakan sakit yang tidak terperi. Kedua
tering emasnya melonjak-lonjak liar, dan sebelum
disentuh oleh jari-jemari orang tua itu, kedua gigi
palsu itu telah tanggal. "Ah, rasanya bukan tanggal," desah Hardiman pucat.
"Seolah-olah terlonjak dari gusi... terlempar keatas
"meja, keras sekali bunyinya, Dan diatas meja, ada
bekas seperti terbakar, tepat ditempat tadinya gigigigi taring itu terjatuh!"
Hardiman menyeka keringatnya kembali, lalu
menempelkan sebatang rokok ke bibirnya yang
kering. Tangannya meraba-raba saku. Dokter
mengeluarkan mancis yang selalu tersedia di dalam
laci meski tidak merokok, lalu membantu pasiennya
menyalakan rokoknya. Hardiman lalu mengisap
rokoknya, lama dan panjang, menghembuskan
asapnya dengan kenikmatan yang amat sangat.
Wajahnya mulai kemerah-merahan kembali.
"Begitulah" ia bergumam, dengan nada yang lega.
"Setelah gigi ini tanggal, perasaanku menjadi biasa
kembali." la kemudian duduk bersandar di kursinya.
Dokter Sukendar menarik nafas. Panjang.
"Hem... " ia mengusap dagu. "sukar untuk dipercaya.
Tetapi Anda telah mengalaminya sendiri... dan saya
telah mendengar langsung kisahnya dari tangan
pertama ..." ia termenung sebentar.
Lalu: "Nah. Begitulah yang sudah terjadi. Baik. Apa
yang dapat saya bantu sekarang""
Hardiman mencoba tersenyum. "Sepasang gigi palsu
yang baru. Dan tidak terbuat dari emas."
"Sekarang"" Dokter Sukendar melirik arlojinya.
"Ah, kapan-kapan saja. Saya ingin menenangkan
pikiran dulu, sebelum memasang gigi palsu yang lain."
"Lalu, ini""
Hardiman memandang kantong plastik yang terletak
di hadapannya. "Terserah dokter. Saya tak perduli, apa mau
dipasangkan ke mulut orang lain, atau dibuang ke
keranjang sampah. Ah, saya mengerti, Dokter tentu
telah keluar uang cukup banyak untuk
memperolehnya..." "Ah, sebenarnya, hanya sejumlah kecil."
"Lupakanlah, dok, Saya tidak menghendaki uang saya
kembali. Terlepas dari gangguan gigi terkutuk inipun,
say http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
a sudah bersyukur." Setelah mengucapkan selamat malam, ia kemudian
pergi. *** http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
DOKTER SUKENDAR duduk termangu-mangu
dibelakang mejanya. Matanya nanar memandangi
kantong plastik berisi gigi palsu yang terbuat dari
emas itu. Ia dengar suara mobil menderu, menjauh
kemudian sepi. Malam telah semakin larut. Sudah
waktunya ia meninggalkan kamar praktek, kembali
ke rumah, tidur bersama isterinya...
Tentu saja ia tidak bernafsu untuk bercumbu malam
ini. Khawatir.... Ah, ia menyeringai lebar, mengapa
pula ia harus melukai bibir isterinya" Toh ia tidak
memakai "gigi terkutuk" yang telah menimbulkan
peristiwa ganjil terhadap salah seorang pasiennya.
la memandangi kantong plastik itu.
Lalu melepaskan karet pengikat, dan mengeluarkan
sepasang gigi taring dari dalamnya. Ia paparkan di
atas meja. Ah, beku dan dingin, tampak sangat indah
"dengan warna emasnya yang menyenangkan hati.
Mungkinkah benda-benda kecil ini bertingkah"
Hem! Lupakanlah. Lebih baik ia pulang sekarang. Dan memikirkan
tentang gigi itu, besok saja, mau diapakan Lalu ia
bangkit dari kursinya. Memadamkan lampu kamar
praktek, mengambil tas besar miliknya, kemudian
berjalan ke pintu. Tenang-tenang saja, ia
membukanya. Melangkah keluar, dan hendak
menutupnya kembali, ketika ia menyadari seseorang
tengah duduk di salah-satu kursi tamu.
Seorang yang berpakaian necis, seperti mau ke
resepsi: Berjas merah hati, celana biru, kemeja
putih, dari kupu-kupu. Ada dua hal yang aneh menurut dokter Sukendar.
Pertama, bau busuk yang menyerang hidungnya
dengan keras. Seperti bau bangkai. Mungkin ada
orang usil yang membuang bangkai, entah kucing
entah anjing, ke halaman tempat prakteknya. Tetapi
mengapa begitu keras dan menjijikkan, sehingga
perutnya terasa mual dan mau muntah"
Yang kedua, orang itu. Pakaiannya yang necis dan
gagah, sangat kontras dengan wajahnya yang pucat
berkerut-kerut, seperti menahan sakit, dan sepasang
mata yang suram tidak bercahaya. Orang ini rupanya
tak perduli kepada waktu, dan mungkin karena ia
menderita sesuatu yang memerlukan pertolongan
yang segera, melihat dari raut wajahnya yang pucat
membayangkan kesakitan. "Anda memerlukan saya"" dokter bertanya lembut,
berusaha menekan kejengkelan sekaligus mual di
dalam perut. "Yaaaa . . . Akh-kuuuu kehilangannnhhh gigiiiiiihhhh."
"Esok ya""
"Sepasang... gigigiiiihh taring.. Daaaariiik.. emmmmmaasssss...!"
"Kau kelihatan sakit."
Orang itu mengangguk. Kaku. Dan bau busuk
menyerang semakin hebat. Jadi, bau busuk itu berasal dari orang ini, pikir dokter.
Mungkin ia mengidap penyakit borok atau
semacamnya, yang berusaha ia tutupi dengan
pakaiannya yang necis. Namun tidak dapat ia
sembunyikan lewat wajahnya, yang tetap
menyeringai kesakitan. la bisa memberi orang ini
antibiotica atau terracycline dan semacamnya untuk
mengobati boroknya. Tetapi gigi"
"Tidak bisakah kau datang besok saja""
Laki-laki itu berdiri. Gerakannya kaku, seperti robot.
"Akh-khu tak bisa pergi... tanpa gigiku..!"
"Tetapi... Mengapa kau yakin bahwa gigimu yang
hilang ada di sini""
"Mereka bilang be-begituuuuu...."
"Mereka" Siapa""
Orang itu tidak menjawab. Melainkan menyeringai,
semakin aneh, dengan kerut-merut wajahnya yang
pucat, tampak kebiru-biruan. Dokter Sukendar
seketika melupakan tentang waktu dan segala
macam tetek bengek lainnya. Orang ini
membutuhkan pertolongan segera, pikirnya, lantas
membuka pintu dan mempersilahkan orang itu
masuk. la segera menunjuk ke atas meja.
"Itukah gigimu yang hilang""
Sepasang mata yang suram itu bersinar. Sangat
sedikit. Dan sangat lemah.
"Duduklah," Dokter menunjuk ke kursi praktek, yang
bersatu dengan mesin bor. Tetapi orang itu segera
saja berkata: "Pasangkanlah, dokter. Sekarang juga!"
"Tetapi gusimu harus dibersihkan dulu dan...."
Dan dokter itu berusaha mengecilkan lubang hidung,
"untuk menekan sekecil mungkin bau busuk yang
menerobos masuk. "Dok..." orang itu memohon.
Tanpa berpikir panjang lagi, dokter memungut kedua
http://cerita-silat.mywapblog.com
?"Bab 10 buah gigi taring dari emas itu. Ia tidak perduli siapa
pemilik yang sebenarnya dari gigi palsu itu. Hardiman
telah membayarnya, dan uang pembayarannya telah
ia berikan pada Darius. la hanya mengambil
keuntungan dari memasangkannya diantara gigi-gigi
Hardiman yang lain. Memang aneh dan sangat indah
bentuk gigi emas itu ketika Darius menawarkannya
lima hari yang lalu. Sebenarnya dokter Sukendar tidak
berhak mengadakan transaksi jual beli di tempat
prakteknya. Tetapi bentuk yang indah dari gigi emas itu
mengingatkannya kepada Hardiman, langganannya
yang senang berganti-ganti sepasang gigi taring yang
kiri, cocok dengan taring-taring emas ini.
"Baiklah. Ngangakan mulutmu."
Bau busuk menyerang semakin dahsyat, ketika orang
itu mengangakan mulutnya. Ah, tak mungkin ada
borok di dalam. Lalu kalau bagian tubuh dalam orang
ini juga sudah membusuk, bagaimana ia....
Tetapi gigi telah terpasang. Tepat. Pas. Dan sangat
serasi. Dokter Sukendar memandang hasil
pekerjaannya dengan puas. Lalu, tampaklah olehnya
leher yang berbentuk aneh dari pasiennya yang ganjil
itu. "Ah!" ia bersungut. "Tenggorokanmu terjepit. Pernah
mencoba bunuh diri" Dengan mencekik leher sendiri""
Sambil bertanya begitu, ia mengurut-urut leher
pasiennya itu. Dingin benar, pikirnya. Dan terlalu keras
dan kaku, untuk leher seorang manusia biasa. la
membantu usahanya itu dengan memasukkan slang
plastik yang hangat ke dalam mulut orang itu,
sehingga bentuk tenggorokannya tampak lebih
normal meski belum seutuh yang semestinya.
Laki-laki aneh itu bernafas lega.
"Lebih enak sekarang," gumamnya halus, sayup-sayup
sampai. "Terima kasih, dokter..."
la menggerakkan mulutnya. Mengatup dan
membukakan rahangnya. "Aku telah memiliki gigiku lagi. Sudah waktunya aku
kembali. Sekali lagi, terima kasih, dokter...."
Bau busuk itu semakin menghebat.
Dokter terengah-engah, dan tiba-tiba tidak kuat lagi
menahan diri. la muntah di tempat itu, juga mengotori
meja dan lantai praktek. Ketika perutnya merasa lebih
enak, bau busuk itu telah lenyap. Tidak itu saja.
Orang itupun telah hilang lenyap. la hanya melihat pintu
yang terbuka lebar. Dokter berlari ke depan. Tidak. la tidak melihat siapapun. Tidak ada orang
berjas merah hati celana biru, kemeja putih dasi
"kupu-kupu itu. Yang ada, hanyalah kesepian malam
yang terlalu lengang. la mendengar suara anjing
melolong di kejauhan. Lolongan yang lirih,
sayup-sayup, namun mengiris sampai ke tulang.
Rembulan tampak bersinar redup di langit yang biru
jernih. Angin berhembus lemah. Lembab dan dingin.
Apakah yang sesungguhnya telah terjadi"
Dengan bingung, dokter Sukendar melangkah masuk
kembali ke kamar prakteknya.
la memandang ke atas meja. Tidak ada gigi-gigi taring
dari emas itu. Yang ada, hanya bekas muntahnya
saja. Apakah ia telah bermimpi, dalam ke adaan
sadar"

Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dokter Sukendar mengurut-urut jidat, kemudian
memadamkan lampu. Gelap seketika. Yang terdengar
hanya suara helaan nafasnya yang terengah-engah.
Seperti orang sesak nafas.
Ah. Tentu ia telah bekerja terlalu berat, hari ini!
-SEKIANhttp://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
BISIKAN CINTA dari ALAM GAIB
Pertama kali aku melihat rumah itu, perhatianku
sudah tertarik. Letaknya di pinggir kota, berbatasan
dengan daerah kabupaten yang berhawa sejuk dan
nyaman. Rumah rumah di sana berjauhan satu sama
lain. Tetapi setiap orang mengenal dan merasa dekat
kepada tetangga-tetangganya. Karena bukan jalur
ekonomi, maka lalu-lintas tidak begitu ramai sehingga
tidak terasa mengganggu biarpun rumah itu berada di
pinggir jalan. Halaman depannya agak sempit, memang. Tetapi
tidak menyesakkan. Karena di situ tumbuh sebuah
pohon cemara, dikelilingi rerumputan yang tumbuh
subur dan tanaman bunga yang segar serta teratur
manis. Konon, selain penghuni-penghuni sebelumnya
masih ada tangan lain yang dengan penuh kasih
sayang merawat taman kecil itu dengan telaten.
Mungkin ada benarnya. Karena rumah mungil itu lebih
sering kosong daripada diisi. Dalam keadaan kosong
itu, hampir tidak ada orang yang berani mendekati
rumah bahkan pekarangan, apalagi untuk
memasukinya. Rumah itu berhantu, kata orang.
Sayang sekali. Padahal halaman sampingnya hangat,
senantiasa bersiram matahari pagi yang hangat,
dengan pemandangan sawah menghijau bagai
beludru di bagian belakang sebuah anak s ungai nun
jauh di bawah, serta pegunungan yang kelabu di tepi
langit. Belum lagi rumah itu sendiri. Meski kecil namun
dibangun menurut selera yang up to date. Tembok
depan diberi ukiran, berkaca tembus satu pandang
yang lebar dengan plafon berlapis mosaik imitasi
berwarna merah hati, kontras dengan dinding yang
dicat dengan warna cream.
Semua itulah yang membuatku terkesan.
Hawa yang sejuk. Suasana yang tenang. Sangat
serasi untuk orang seperti aku yang ingin bekerja
tanpa diganggu oleh orang lain atau riuh rendahnya
lalu-lintas di jalan. Tetapi, sungguhkah ketenteraman ada di rumah ini"!
*** http://cerita-silat.mywapblog.com
?"Bab 11 AKU turun dari bus menjelang senja, dengan langit
yang kemerah-merahan. Barang bawaanku tidak
banyak. Hanya sebuah koper pakaian, sebuah tas
plastik besar diisi perlengkapan sehari-hari. Dan tentu
saja sebuah mesin tik portable yang menunjang
kehidupanku selama ini. Mesin tik yang tuts-nya
hanya bersedia menari-nari apabila suasana sepi dan
menyenangkan. Beberapa tetangga telah melihat aku turun dari bus.
Bawaanku yang tidak seberapa mereka angkat tanpa
menghiraukan protesku sama sekali, karena jumlah
yang tidak banyak itu toh dapat kuselesaikan sendiri.
Setelah menumpukkan barang barang itu di salah
satu pojok mereka meriungku di ruang tamu
sementara seorang gadis kecil pergi ke dapur untuk
menghidangkan teh. Kami berbincang-bincang sampai bedug Magrib bertalu
dari masjid. Kebanyakan yang kami percakapkan
adalah tentang pekerjaan atau tempat-tempat di
mana aku tinggal sebelumnya, sedangkan mereka
menceritakan segala sesuatu yang perlu kuketahui di
daerah tempat tinggalku yang baru. Ramah dan
menyenangkan sekali sambutan mereka. Aku berani
mengatakan begitu karena, tidak seorang pun di
antara panitia penyambut itu yang mau menyinggung
persoalan yang baik mereka maupun aku sendiri tidak
suka membicarakannya. Padahal, sebelum ini, mereka begitu gencar
menyerangku dengan pertanyaan yang bertubi-tubi:
"Apa " Rumah itu " Anda ingin menyewanya""
Pertanyaan-pertanyaan yang jelas tidak memerlukan
jawab, disertai geleng-geleng kepala.
"Sudahkah Anda dengar kisah-kisah aneh diseputar
rumah itu" Bahwa ada penunggunya" Bahwa orang
tidak pernah betah lama-lama menempatinya, bahkan
ada yang jatuh sakit dan hilang ingatan ketika
meninggalkannya""
Pembeli rumah yang terakhir, telah menceritakan
semua kisah-kisah yang mendirikan bulu roma itu
kepadaku. la sebenarnya mau menjual dengan harga
yang cukup murah bahkan menurut dia bisa rugi.
Akan tetapi ia cukup puas ketika kujelaskan bahwa
aku hanya punya kesanggupan untuk mengontrak
dua tahun. "Biarlah," ujarnya. "Daripada dibiarkan kosong
berlama-lama. Perabotan di dalamnya boleh Anda
manfaatkan. Lengkap semua. Cuma-cuma. Dan
tentang rumah ini Yah! Siapa tahu, suatu ketika kelak,
Anda bisa membelinya. Tentu saja dengan catatan,
kalau Anda betah tinggal disini!"
Yah, mudah-mudahan aku betah. Karena begitu aku
"melihat rumah ini, aku rem, merasa terkesan. Mereka
tentunya tidak bermaksud untuk menakut-nakuti aku.
Semua didorong oleh itikad baik, agar aku tidak
merasa tertipu atau menjadi korban seperti yang lain,
mereka adalah orang-orang yang ramah dan ingin
bersahabat baik kepada setiap orang. Dan itu telah
mereka buktikan hari ini, ketika mereka
menyambutku dengan ramah-tamah pada saat
pertama kali kuinjakkan kaki di rumah ini sebagai
penetap yang sah. Alangkah baik hatinya tetangga-tetanggaku itu.
Senja ini. Karena setelah aku bersikeras untuk tinggal disini dan
kini barang-barangku telah mereka bawa masuk,
tetangga-tetangga itu memperlihatkan wajah yang
cerah selama bercakap-cakap.
"Kami senang punya tetangga baru," kata mereka.
"Semoga betah. Kalau perlu apa-apa, beritahulah
kami. Tidak usah segan-segan. Anggap kami semua
keluargamu sendiri..."
Tentu saja aku berterima kasih. Dan tetap tersenyum
manis, ketika mereka akhirnya pergi untuk kembali
ke rumah masing-masing. Meski waktu pamit, mereka
tidak dapat menyembunyikan wajah-wajah cemas
dan mata menyinarkan kekhawatiran.
Sepi menyentak, setelah aku tinggal sendirian.
Selama beberapa saat aku duduk tercenung,
memandangi suasana disekelilingku.
Rumah itu bertingkat. Bagian bawah, di mana aku
duduk sekarang, merupakan ruangan serba guna.
Luasnya tiga kali empat meter, berlantai ubin warna
cream, sama dengan warna cat dinding. Selain
barang-barang bawaanku yang tertumpuk di pojok
dekat tangga ke atas, terletak seperangkat kursi dan
meja tamu tak jauh dari pintu keluar masuk.
Ditengah-tengah, meja makan ukuran sedang, tegak
http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
dengan diam dikelilingi oleh empat buah kursi yang
diberi jok. Sebuah lemari makan dengan perabotan lengkap
diletakkan di pojok kanan. Di seberangnya, sebuah
sice kecil di atas mana ada sebuah jembangan yang...
Aku terkesiap. Aneh. Siapa yang telah memetik bunga dari halaman
itu" Ketika kutinggalkan rumah ini setelah
menandatangani surat kontrak, jembangan itu
kosong. Hem. Mungkin anak gadis tanggung yang tadi
menghidangkan teh ketika aku serta orang tua dan
tetangganya yang lain bercakap-cakap.
Tetapi, ah. Nanti dulu! Seingatku, anak itu hanya
masuk ke dapur. Dan baru keluar rumah ketika yang
lainnya juga pamit. Apakah telah ada seseorang
memasuki rumah setelah aku pergi"
Tidak. Tidak mungkin. Karena pintu keluar masuk satusatunya ke rumah itu, kutinggalkan dalam keadaan
terkunci. Lagi pula menurut desas-desus, jangankan
untuk masuk. Untuk berkeliaran di sekitar rumah ini
pun orang tidak berani. Aku berpikir keras. Namun tak melihat gambaran yang jelas, siapa yang
telah menaruh bunga di jembangan itu. Bunga-bunga
yang masih segar, enak dipandang, menambah sari
ruang di mana aku duduk, tetapi yang perlahan-lahan
membuatku sadar akan sesuatu.
Naluriku mengatakan, seseorang telah memetik
kemudian menempatkan bunga-bunga itu
dijambangan. Dan orang itu, tengah mengawasiku
"diam-diam! Aku menarik napas. Lalu bangkit perlahan-lahan. Percuma saja aku
memperhatikan ke sana ke mari, karena tidak ada
seorang manusia pun di dalam rumah kecuali aku
sendiri. Dan tidak pula ada yang mengintip di balik
kaca jendela. Waktu masih berada didalam bus,
selangkanganku sudah terasa menggigit. Tetapi ketika
tetangga-tetangga itu muncul menyambutku dengan
ramah-tamah, hal itu telah kulupakan. Kini biasa
kembali, menyentak-nyentak.
Aku berjalan ke sebuah pintu tertutup yang
bersebelahan dengan dapur. Entah mengapa, aku
sempat tertegun di depan pintu selama beberapa
detik. Tetapi ketika akhirnya pintu itu kubuka, aku
tidak melihat ada orang di dalam. Yang a da hanyalah
bak mandi yang penuh air, gantungan untuk handuk
dan pakaian ganti, sebuah gayung sebuah ember
plastik dan kakus yang lubangnya menganga diam.
"Jadah!" aku memaki diri sendiri. "Dasar tukang
mengkhayal!" Lantas aku membuka resluiting celana. Karena malas
untuk melepaskannya aku tidak berminat untuk
jongkok. Seraya aku berdiri aku mengangkangi
lubang kakus dan... seeeerrrrrrr! Air kencingku
mengalir deras, setelah sekian lama terpaksa
dibendung. Bunyinya keras dan mengejutkan,
sehingga aku tersentak, kemudian tersenyumsenyum. Malu pada diri sendiri.
Aku masih tersenyum-senyum ketika keluar dari
kamar mandi. Kubetulkan letak celana seraya berjalan
kearah tangga, dibawah mana tadi tetangga-tetangga
meletakkan barang bawaanku.
Tenang-tenang saja aku melangkah, sambil
bersenandung dengan suara di hidung. Lalu,
mendadak aku tertegun. Barang-barang itu tidak ada di tempatnya!
Aku mengernyitkan dahi. Bingung. Bukankah tadi
mereka meletakkannya di sini" Dan belum sempat
memindahkan ketika pamit" Dengan heran, aku
menatap ke seantero ruangan. Lalu kembali aku
tertegun. Pintu depan terbuka. Lebar.
Udara yang dingin menusuk tulang, merembes masuk
ke dalam dengan leluasa. Aku menggigil.
Baik koper, tas, kotak mesin tik dan lain-lainnya,
sudah berpindah tempat ke teras. Terkejut, aku
segera bergegas ke pintu. Kupandangi barang-barang
bawaanku itu dengan teliti. Tidak ada yang terbuka
atau kurang salah satu bagiannya. Diletakkan di sana
begitu saja, seolah bukan barang berharga apa-apa.
Dengan seksama aku memandang ke sekitar. Sepi,
Tidak ada siapa-siapa, baik yang bersembunyi
maupun yang lewat di jalan. Cahaya temaram
menyentuh bumi, membuat jalan raya tampak hitam
legam. Malam sudah mulai merambat.
"Aneh," gumamku, sendirian. "Apakah mereka
meletakkannya di sini, bukan dibawah tangga""
Seraya berpikir-pikir dengan bingung, barang-barang
itu kumasukkan http://cerita-silat.mywapblog.com
?"Bab 12 kembali ke dalam rumah. Setelah itu pintu kututup. Lalu kukunci. Dan tertegun
lagi. Waktu mereka pamit, apakah pintu dalam keadaan
terbuka, atau tertutup"
Aku tegak dengan diam. Dan merasa, betapa aku
diawasi seseorang. Orang yang tidak kuketahui siapa,
di mana, mau apa, tetapi orang itu ada. Tidak di luar
rumah, demikian aku membatin. Melainkan di dalam
sini! Kuawasi sekeliling ruangan bawah itu. Meja dan kursi
masih tetap di tempatnya semula. Demikian pula
lemari makan, sice kecil jambangan dengan bungabunga segar. Pintu dapur terbuka. Tampak
seperangkat perabotan terletak menurut susunannya.
Di sebelahnya, pintu kamar mandi juga terbuka. Dan
dari tempatku berdiri, hanya kelihatan sudut tepi bak
air, lalu sedikit temboknya yang kelabu. Pintu ketiga,
kamar mandi, tertutup. Mataku bergerak ke tangga. Memanjatinya satu per
satu, sampai ke atas, dan berharap ada seseorang
yang berdiri di salah satu anak tangga. Tidak ada
siapa-siapa. Kecuali anak-anak tangga yang terbuat


Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari papan jati tebal dan tersikat bersih. Pegangannya
yang coklat, tampak berkilat-kilat dalam jilatan lampu.
Anak tangga itu berakhir di beranda atas setelah
menyiku di bagian tengah. Pagar beranda berdiri rapi
dan rata. Tidak, tidak pula ada seseorang yang sedang
berpegangan ke pagar itu seraya memandang
kebawah. Sedangkan dua buah pintu untuk kamar
mandi tertutup rapat. Sepi. Dan lengang. Aku
menahan napas. Alangkah memalukan, kalau aku terpengaruh oleh
semua itu. "Bah!", rutukku, kering. Lalu kuangkat koper dan kotak
mesin tik dan mulai menaiki anak tangga demi anak
tangga. Berdetak-detuk bunyi sepatuku, memecahkan
kesepian dan kelengangan yang menegangkan itu.
Suara langkah-langkah kaki itu memberi
ketenteraman tersendiri dalam diriku, dan
mengatakan bahwa aku berada di rumahku sendiri.
Kubuka pintu yang pertama.
Gelap. Tanganku meraba ke tembok sebelah dalam. Setelah
menemukan stop-kontak, lampu kamar kunyalakan.
Terkesiap sebentar oleh cahaya terang benderang,
aku mengawasi ruangan. Pemilik rumah yang lama
tidak saja telah menyediakan tempat tidur besar
dengan kasur yang tebal, tetapi juga sprei dan sarung
bantal yang bersih. Ada sebuah toilet berkaca tunggal,
dengan laci-laci yang aku tahu, dalam keadaan
"kosong. Lemari letaknya sejajar dengan tempat tidur,
di antaranya terdapat jendela.
Ketika dua hari yang lalu aku melihat kamar ini, aku
telah memutuskan bahwa kamar itu akan kusediakan
untuk tamu atau teman-teman yang suka berkunjung.
Barangkali, bila aku telah punya cukup uang untuk
membeli rumah dan perabotannya, aku akan
menikah, dan kamar ini akan kutempati bersama
isteriku. Dan untuk kamar kerja....
Aku berjalan ke pintu yang lain, membukanya dan
menyalakan lampu didalam. Tempat tidur kecil itu
lebih sesuai untuk seorang bujangan seperti aku.
Tidak ada toilet yang mengganggu, dan pintu
lemarinya diberi kaca. Sebuah meja kecil dapat
ditempatkan dekat jendela, sebuah keranjang
sampah di pojok, sebuah kursi atau kalau perlu dua,
karena yang satunya lagi bisa dipergunakan
melonjorkan kaki untuk mengendurkan otot-otot yang
kejang karena duduk terus-menerus. Dengan semua
perlengkapan itu, kamar toh terasa lapang.
Merasa puas, aku masuk ke dalam. Kotak mesin tik
kusimpan di atas lemari. Pemilik rumah telah
menjanjikan sebuah meja berlaci besok siang untuk
tempat mesin tik dan aku bisa bekerja segera.
Seraya memuaskan diriku dengan rasa kagum serta
terharu atas kebaikan pemilik rumah, aku membuka
koper dan memindahkan semua isinya ke dalam
lemari. Tempat disitu masih cukup lapang, dan untuk
tidak membuat pemandangan jadi pepak maka koper
kusimpan saja di lemari. Kemudian aku keluar dari kamar. Selama dua tiga
detik, aku tegak di beranda. Memandang ke bawah,
dan berharap masih ada barang-barang yang telah
berpindah tempat. Ternyata tas plastik berisi perlengkapan sehari-hari,
kardus berisi kertas kertas, map-map dan
perlengk http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
apan mengetik lainnya masih terletak dekat
pintu. Kuturuni tangga dengan detak-detuk sepatu yang
memberi irama masuk menyenangkan di tengahtengah kesepian rumah.
Hem, tape deck plus cassettenya yang dipinjam si
Parlan, harus kuambil pada waktunya, untuk
menemani kesendirianku di rumah ini, terutama kalau
aku sudah mulai bekerja. Setelah menyimpan segala sesuatunya pada
tempatnya, aku memeriksa pintu dan jendela. Habis
itu mandi. Setelah menghabiskan setengah gelas teh
dan membaca selembar surat kabar yang sempat
kubeli dalam perjalanan, aku kemudian terbang ke
alam mimpi. Dan segera aku mendapatkan tidurku
yang pulas tanpa ada yang mengganggu sama sekali.
Dalam tidurku aku bermimpi melihat seorang gadis.
Aku tidak mengenalnya, tetapi aku menyukai gaun
malamnya yang putih, rambut hitamnya yang terurai
panjang, raut wajahnya yang menarik dengan
senyum serta tatapan mata yang penuh rahasia.
Rasanya ia beberapa kali berusaha mendekatiku,
tetapi tiap kali aku bergerak untuk menyongsonginya,
ia segera menjauh dengan wajah ketakutan,
kemudian menghilang di balik tabir kabut yang putih
seperti salju. Tidak ada kesan yang kuamali dari impian itu,
sehingga aku segera melupakannya begitu aku
terbangun keesokan paginya. Toh hanya bunga-bunga
"tidur, yang tumbuh, berkembang, layu, kemudian
menyerap hilang ke dalam tanah untuk kemudian
berpadu dan tumbuh dalam bentuk yang lain.
*** http://cerita-silat.mywapblog.com
?"Bab 13 ANGIN pegunungan yang segar menyeruak kedalam
kamar ketika jendela kamar kubuka. Lembah hijau
menyegarkan mata. Rumah-tumah penduduk
berserakan di sebelah sana, diantara pepohonan
rimbun, menghadap anak sungai. Kalau saja bagian
bawah rumah ini tidak diberi tembok batu yang
kukuh, tentulah akan segan untuk tidur di kamar atas.
Lumut hijau coklat serta tanaman rambat menyemaki
tembok batu itu, dan di sana sini sudah mulai terlihat
rekah-rekah menganga. Pemilik rumah mengatakan
tahun depan ia punya rencana melapis tembok batu
itu dengan yang lebih baru dan kuat.
"Tetapi percayalah. Penahan itu masih sanggup berdiri
utuh selama paling sedikit enam tahun," katanya
meyakinkan. Aku percaya saja, karena ia adalah orang yang baik
dengan menceritakan desas-desus mengenai
rumahnya, serta memberikan perabotan lengkap
untuk kumanfaatkan secara cuma-cuma.
Selesai sarapan pagi aku mengunci rumah. Dengan
sebuah map berisi berkas-berkas aku menemui er-te
kemudian er-we untuk memenuhi formalitas sebagai
pendatang baru. Mereka sangat ramah dan
menyenangkan. Dan mereka punya pertanyaan yang
sama, begitu kami bertemu:
"Tidur nyenyak tadi malam, nak Doli""
"Sangat nyenyak," aku mengakui. "Habis, l etihnya
enggak kepalang dalam perjalanan kemari."
"Syukurlah," ucap mereka dengan tulus. Namun jelas
bisa kutangkap sinar mata mereka yang keheranheranan.
Aku tidak bertanya mengapa. Selain tidak pantas
menanyakan sesuatu yang tidak terucap, juga karena
aku sudah tahu apa kira-kira yang akan mereka
utarakan. Tidur nyenyak. Tak mungkin! Tanpa
terganggul Aneh! Padahal orang-orang sebelum ini...!
Setelah urusanku selesai di kedua pimpinan daerah itu
aku kemudian naik bus ke pusat kota. Tidak banyak
tempo yang kubutuhkan karena ini adalah sebuah
kota kecil. Setelah menjatuhkan sepucuk surat untuk
sebuah penerbit di ibukota, aku menemui Parlan
untuk meminta kembali sewa pinjam barang, malah
ia menawarkan sepasang speaker bekas karena ia
bermaksud membeli speaker baru yang lebih bagus.
Karena harga sangat jauh di bawah harga pasaran
dengan senang hati aku membelinya.
Aku masih menyempatkan diri berbelanja di sebuah
toko, kemudian pulang ke rumah. Aku tiba menjelang
sore, dan menemukan sebuah meja berlaci yang
meski bersih dan mengkilap namun jelas meja bekas,
sudah ada di teras. Alangkah gembira hatiku karena
"aku tidak melihat satu melainkan dua buah kursi. Ah,
jadi aku tak perlu memindahkan salah satu kursi
meja makan ke kamar atas.
Barang berharga itu ditunggui oleh salah seorang
pesuruh. "Tuan meminta maaf," kata pesuruh itu seraya
setengah membungkuk memberi hormat. "Baliau telah
menunggu cukup lama, tetapi Oom belum pulang
juga. Jadi, ia tinggalkan saya disini untuk menanti
Oom kembali." Setelah berbasa-basi sebentar kami berdua
mengangkat meja itu ke kamar tidur merangkap
kamar kerja yang kutempati, dan menyusunnya
dengan rapi. Meja sice di ruang bawah, ikut pindah
tape ke kamar atas, untuk dipakai tempat tape deck.
Pesuruh masih membantu memasangi kabel-kabel.
Karena tidak mau membuat kamar itu jadi sesak
sehingga pikiranku bisa tumpul nanti, maka kedua
speaker untuk sementara diletakkan di beranda. Satu
di pojok, satunya lagi di sisi tembok yang
mengantarai kedua buah kamar. Meski pintu tertutup;
suaranya toh masih terdengar ke dalam. Malah lebih
sejuk, lebih sayup-sayup dan sangat renyah
menyentuh telinga. "Kirim salam pada pak Hadiman," aku berpesan pada
si pesuruh ketika ia pamit untuk pulang. "...Tolong
sampaikan terimakasihku."
la manggut-manggut, dan kelihatan ragu-ragu ketika
aku memberikan tip. Tetapi ia tidak memprotes ketika
uang tip itu kuselipkan langsung ke kantong
kemejanya. Menjelang Isya, dua orang tetangga datang
menjenguk. "Senang melihatmu sehat sejahtera," kata mereka,
tanpa mengapa mereka harus senang. "Tidak ada
sesuatu yang bisa kami bantu""
"Terima kasih pak. Hari ini tidak, entah besok."
http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
"Kalau begitu baiklah. Kami pergi dulu ya""
"Eh, kok cepat-cepat. Belum minum..."
"Ah, tak usah repot-repot. Lagi,
terlambat ke masjid."
Setelah mereka pergi, baru aku menyesal. Tetapi
hanya sebentar. Tak mungkin rasanya mengharapkan
seorang pembantu dari penduduk di sekitar rumah ini.
Menurut yang kudengar tidak ada pembantu yang
tahan diam disini lebih dari dua tiga hari. Pernah ada
seorang dua pembantu yang didatangkan dari kota
atau kampung yang jauh. Nasibnya sama saja.
Dengan muka getir minta pamit buru-buru, dan
bersedia tidak diberi ongkos atau dibayar untuk
pekerjaan mereka sebelumnya, asal diperkenankan
pergi. "Ahhhh," keluhku. "Apa boleh buat. Mungkin dengan
tinggal sendirian, aku akan merasa lebih enak. Dan
kesibukan sehari-hari bisa mengurangi rasa sepi...."
Aku telah makan di sebuah restoran sehabis belanja
di toko. Karena itu aku hanya membuatkan kopi
kental di dapur, menghangatkan dua potong roti
bakar lalu membawanya ke atas. Ketika akan
menaiki tangga, mataku terpaut kepada jambangan
bunga. Karena sice tempatnya semula sudah direbut
oleh tape-deck, jambangan itu terpaksa berpindah
tempat keatas meja makan.
Tidak ada bunga-bunga didalamnya.
Apakah aku atau pesuruh tadi telah membuangnya
keluar, tanpa sadar" Seraya memikirkan hal itu
"dengan tak terlalu serius, aku masuk ke dalam kamar
dengan maksud menyelesaikan ketikanku yang
tertunda! Sebelum pindah ke rumah ini. Tetapi baru
saja aku meletakan mesin tik dan perlengkapannya di
atas meja, ketika terdengar suara berdentam-dentam
dibawah. Suara benda-benda berjatuhan, atau...
dijatuh-jatuhkan! Kaget, aku menghambur keluar kamar.
Sepi menyentak. Tinggal suara gaung yang resah.
Dalam jilatan lampu utama, tampak posisi meja
sudah berubah. Keempat buah kursinya
berhumbalangan tidak karuan, tergeletak jauh satu
sama lain dengan posisi yang berbeda-beda.
Jambangan diatas meja, lenyap tak berbekas. Aku
tidak melihatnya baik di atas meja, maupun di lantai
atau di dekat-dekat kursi.
Aku masih terpesona menyaksikan pemandangan
yang ganjil itu pada saat terdengar suara berdesis di
sampingku. Angin dingin menerpaku kudukku. Secara
naluriah aku berpaling seraya menarik mundur
tubuhku dari pagar beranda. Alhamdulillah, aku
selamat. Jambangan yang kucari, melayang seperti
meteor melewati tempat dimana aku berdiri
sebelumnya. Setelah melesat dengan suara bersiut,
jambangan gelas itu hinggap di tembok dengan suara
ribut, kemudian jatuh kelantai beranda. Pecah
berderai. Air yang ada didalamnya, tumpah
menggenangi lantai kayu. Menimbulkan warna
lembab, merembes ke celah-celah lantai. Dalam
kesepian yang mendadak, terdengar bunyi air
menetes jatuh ke lantai bawah. Tes....tessss... testess... tesss!


Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku bergidik. Dan memandang ke ujung beranda, kearah tangga
dari mana jambangan itu datang menyerang. Tidak.
Tidak seorang makhluk pun ada disana, kecuali
kesepian yang mencengkam dan udara yang
perlahan-lahan berubah dari dingin menyusul mejadi
hampa, kemudian hangat seperti biasa.
Tetapi.... Kutajamkan telinga. Dan aku mendengarnya. Mendengar langkah-langkah
kaki yang bergegas menuruni anak tangga demi anak
tangga. Seperti langkah kaki orang berlari karena
marah. "... hei!" aku berseru, tanpa sadar.
Langkah-langkah kaki itu lenyap seketika.
Sepi lagi... Mencekam. Aku membasahi bibir yang kering. Lalu:
"Siapa di situ""
Tak ada sahutan. Juga tidak langkah-langkah kaki.
Aku berusaha lebih diam agar pendengaranku lebih
tajam. Tetapi tidak ada helaan-helaan napas lain,
kecuali helaan napasku sendiri.
Mereka benar! Tetangga-tetangga, pemilik rumah, atau siapa saja
yang pernah menceritakan tentang rumah ini
kepadaku, benar. Aku telah mendengar dan melihat
buktinya. Tetapi sebaliknya, aku telah bertekad untuk
menetap di sini, berarti, akupun telah siap.
"Siapa pun kau..." aku bergumam, rendah, namun
cukup keras http://cerita-silat.mywapblog.com
?" Bab 14 terdengar di rumah itu. Berulang,
panjang. "Aku tahu kau ada di sini. Aku tak tahu siapa
kau, dan mengapa kau menggangguku....."
Kutunggu sebentar. Tetapi tidak ada reaksi. Hanya sepi semata.
"Dengarlah," aku berkata lebih keras. "Kutahu kau
adalah manusia juga seperti halnya aku!" Dan dalam
hati aku mendengus tentu saja, karena kau akan
marah kalau kukatakan kau ini hantu, setan, roh
gentayangan, makhluk jahanam! Dengan mengutuk
demikian dalam hati, aku mendapatkan ketenangan
dan kekuatan. Semangatku yang sempat terbang
menjadi pulih perlahan-lahan.
"Bedanya," aku lanjutkan dengan hati hati. "Kau dapat
melihatku, sedang aku tidak dapat melihatmu.. ltulah
kelebihanmu. Tetapi camkanlah. Aku juga punya
kelebihan... Aku dapat bergaul dengan orang-orang di
sekitar sini, tanpa mereka merasa takut kepadaku.
Sedang kau, tidak!" Sepi. Lengang. Masihkah ia ada disana, di salah satu tempat dalam
rumah ini" Aku tak yakin. Tetapi aku melanjutkan juga:
"Aku sendirian di rumah ini... Kau juga. Atau kau
punya teman lainnya" Kukira tidak, karena hanya
langkahmu saja yang kudengar.... Jadi kau juga
sendirian seperti aku. Karena itu, tidakkah kita lebih
baik menjalin hubungan sebagai dua orang
bersahabat"" Bungkam. Tak ada jawaban.
Mungkin ia telah pergi. Atau, mungkin ia takjub akan
diriku. Kalau saja ia berterus-terang menyatakannya,
akan kuterangkan kepadanya. Bahwa aku pernah
berguru kepada seorang laki-laki tua bangka yang
hidup menyendiri di daerah pedalaman. Orang tua itu
tidak saja tahu tentang akhirat, tetapi juga tahu
tentang dunia dan segala isinya. Yang ber wujud, atau
yang gaib. Aku juga sudah beberapa kali menemui kebenaran
dari ucapan guruku itu. Baik ketika aku melakukan
perjalanan jauh untuk mencari ilham, atau menjaga
kondisi pisik dengan menyepi ke gunung dan berburu
ke hutan-hutan belantara, bahkan ditengah kehirukpikukan kota metropolitan.
Namun sejauh itu aku selalu mampu menghadapinya
dengan selamat. Karena aku mempunyai patokan
yang sudah diperingatkan guru:
"Hindarilah roh-roh jahat. Tetapi kasihanilah roh-roh
yang baik...!" Sayang, sepi sekali rumah ini. Tidak terdengar lagi
apa-apa, kecuali langkah kakiku menuruni tangga,
"suara-suara kaki meja atau kursi yang bergeser
ketika kubereskan ke tempatnya semula. Dapur tidak
berubah. Kamar mandi pengap, tetapi segala
sesuatunya tetap pada tempatnya. Hati-hati aku
membuka pintu kamar pembantu. Berderit nyaring,
dan membuat aku bergidik sesaat. Tak ada orang di
dalam. Isinya pun, kelihatan bukan untuk seorang
pembantu. Meski ada tempat tidur, tetapi sudah
terlipat, ada sebuah rak, tetapi berdebu. Di kamar itu
juga ditumpukkan beberapa perabotan yang tidak
terpakai. Jadi, demikianlah, kamar ini telah berubah
jadi gudang darurat. Sungguh lucu kalau mengingat,
letaknya justru di ruang bawah dimana tuan rumah
atau tamu duduk untuk istirahat atau makan.
Aku kemudian naik ke atas kembali.
Setelah memandang ke bawah, berharap timbul
reaksi dari tindakanku namun sia-sia, aku masuk ke
kamar. Kuhidupkan tape dan memutar sebuah
cassette. Aku memilih Fousto Popeti yang lembut.
Volumenya sengaja kubuat rendah. Disamping karena
aku masih mengharapkan terjadinya sesuatu, juga
karena aku teringat pesan guru.
"Sebelum kau ketahui roh bagaimana yang
mengganggumu, pertama-tama, hormatilah dulu
kehadirannya. Jangan berbuat sesuatu yang bisa
membuatnya marah..."
Aku telah memutar lima buah cassette, menghabiskan
lebih dari sebungkus rokok sehingga kamarku pengap
oleh asap tembakau, dan kelopak mataku telah
memberat. Toh sia-sia juga. Hasratku mengetik telah
pula hilang dengan sendirinya. Dengan malas aku
rebah di pembaringan, dan segera tertidur.
la muncul lagi. Gadis bergaun putih itu.
Tetapi hanya sebentar. Kemudian aku melihat pak er-te tertawa membahak.
Lalu wajah guru yang kesal. Paling akhir aku lihat
adalah wajah Pemimpin Redaksi sebuah majalah
t http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
erkemuka di ibukota. la sedang marah-marah pada
bagian tata usaha sambil menyebut-nyebut namaku.
Aku tidak tahu mengapa ia marah. Dan mengapa
namaku dibawa-bawa. Mungkin karena aku menunda
lagi ketikanku, malam ini. Padahal, aku sudah berjanji
akan mengirimkannya segera, karena kata mereka
naskah di Redaksi sudah habis.
"Bah!" aku bersungut-sungut dalam tidurku. "Honor
yang kau bayarkan untuk naskah ini toh sudah habis
juga. Kupakai ngontrak rumah!"
Dan aku tersenyum, ketika melihat si Pemimpin
Redaksi, mendelikkan mata dengan marahnya.
*** http://cerita-silat.mywapblog.com
?"Bab 15 SELAMA beberapa hari berikutnya, aku terus
diganggu. Ada-ada saja yang "dia" (untuk selanjutnya
aku tak akan pakai tanda kutip) perbuat, untuk
mengusik ketenanganku. Melonjak-lonjak di beranda
ketika aku siap mengetik. Aku berlari-lari naik turun
tangga. Ketika mau mandi, gayung hilang. Capekcapek aku mencari, tahu-tahu saja sudah terapung di
dalam bak. Kursi meja yang berpindah-pindah, bukan sekali dua
kualami. Atau perabotan dapur yang centang
perenang, isi lemari makan yang dihamburhamburkan ke lantai ruangan bawah. Kadang-kadang
lantai sudah penuh air yang kotor, dan ember
terhumbalang kian kemari. Aku benar-benar sibuk
membersihkan dan membereskan rumah dibuatnya.
Tetapi masih bisa menahan diri. Juga, ketika tape
mendadak berhenti berbunyi tanpa sebab. Atau
volumenya naik ke titik maksimum secara mendadak,
sehingga seisi rumah menjadi hingar-bingar. Di tengah
malam yang sepi meja ia pukul-pukul dengan apa
saja, asal benda pemukul itu terbuat dari kaleng atau
apa saja yang menimbulkan suara yang bisa
memekakkan telinga. Hanya sekali aku menyenggak:
"Kau mambuat onar! Tetangga nanti pada marah,
tahu!" Tetapi kemudian aku sadar, rumah itu letaknya cukup
jauh dari rumah yang terdekat. Dan kalau malam hari,
tidak ada orang yang berani berkeliaran di dekatnya.
Memang ada sekali dua tamu berkunjung, tetapi
selama ada orang lain, "dia" membuatku dongkol,
dengan berdiam diri tidak bertingkah apa-apa.
Padahal, betapa aku ingin memperlihatkan pada
orang-orang bahwa "dia" tidak perlu dicemaskan,
karena yang bisa ia perbuat, hanyalah keributan
semata. Tetapi ketika aku menerima beberapa pucuk surat,
kesabaranku mulai habis. Semua isi surat itu tidak ada
yang manis. Semua menuntut naskah. Bahkan ada
yang menghina, karena honor sudah kuterima jauh
sebelumnya, aku tidak mau bertanggung jawab lagi.
"Sialan!" aku memaki, seraya merobek-robek surat itu.
"Semua ini gara-gara kau!" aku membentak, seraya
memandang ke sekelilingku. Kepada meja, kepada
kursi, kepada jendela, kepada pintu, ke lantai, ke
beranda, ke tangga. Tetapi tidak ada
siapa-siapa di sana, pada siapa amarah itu kutujukan.
Namun diam-diam kusadari, makhluk bagaimana
yang menunggui rumah itu. Karena selain vas bunga,
ia tidak merusak perabotan dapur pertanda ia sayang
memecahkannya. Iapun tidak pernah memindah"mindahkan benda-benda berat seperti lemari atau
tempat tidur, pertanda ia tidak kuat melak ukannya.
Bila kudengarkan dengan seksama, nyatalah langkahlangkah kakinya agak pendek-pendek, serta halus
iramanya bila ia berjalan tidak sedang berlari atau
melonjak-lonjak. Teringat pada taman bunga yang selalu terawat baik
di pekarangan, serta bunga-bunga segar dalam
jambangan pada hari pertama aku menetap di rumah
ini, maka aku menyimpulkan: tentulah ia seorang
perempuan. Cantikkah dia" Masih muda" Atau buruk
rupa mengerikan, serta tua renta" Ataukah seperti...
Ah, gadis dalam impian sukar mengenalinya, karena
munculnya selalu samar-samar tidak lama dan
dengan cepat menghilang ke tabir kabut seputih salju,
kalau aku berusaha biarpun hanya menggapai saja.
Perhatianku benar-benar tidak terpusat pada
pekerjaan. Siang hari, aku terlalu sibuk akibat tingkahnya, juga
letih. Mana tamu suka berkunjung. Meski jarang,
tetapi toh kehadiran mereka menyita waktuku yang
tersisa. Aku tak mungkin mengusir mereka, karena
mereka adalah tetangga-tetanggaku yang baik.
Terpaksa aku berbohong bahwa aku menyukai
kesibukan tiap kali mereka melihatku sedang bekerja
membereskan segala sesuatunya yang telah
dicentang-perenangkan oleh si dia. Mereka tidak
menuduh lewat kata-kata, tetapi lewat mata. Palingpaling mereka hanya berani mengatakan ini:
"Kau kelihatan agak pucat. Sakit""
Aku angkat bahu, seraya tersenyum. Kecut.
"Apakah benar tidak perlu kami bantu""
"Terima kasih."
Pada akhirnya, sang Pemimpin Redaksi yang pernah
kulihat marah-marah dalam impianku itu, muncul
dengan wajah http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
ramah, tetapi mata yang dingin. la
bertamu tak lebih dari lima menit, hanya untuk
menanyakan keadaanku sekedarnya, dan menuntut:
"Mana lanjutan naskahnya""
Kujanjikan, akan kukirimi segera.
"Kapan," ia mendesak, tak sabar, bahkan tak percaya.
Aku memutuskan: "Besok. Kalau perlu, tunggui aku mengetik disini."
la tidak bersedia menungguiku, tentu. Tetapi untuk
menjaga hubungan baik, kuputuskan pada malam ini
aku harus menyelesaikan paling sedikit dua atau tiga
kali penerbitan lanjutan cerita bersambungku yang
dimuat oleh majalahnya. Dan, malam itu, pintu dibuka
dan ditutup dengan suara berdentam-dentam.
Aku mematikan tape dengan jengkel. Dengan
langkah-langkah panjang, aku keluar dari kamar.
Tegak di beranda, berkacak pinggang, seraya
memandang ke ruangan bawah dimana kulihat daun
pintu kamar masih berayun-ayun. Aku benar-benar
naik pitam. "Cukup!" aku berteriak, lantang. Darahku naik ke
kepala. Kukira, wajahku merah padam, mungkin
sudah kehitam-hitaman. "Sekali lagi kau berbuat ribut,
aku akan turun tangan!"
Turun tangan" Bagaimana aku harus turun tangan
kepada roh halus itu" Hem, bisa saja. Yakin bahwa ia
seorang perempuan: tidak berteman, dan barangkali


Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih muda belia aku menggeram:
"Tahukah kau, aku sedang mengetik naskah apa""
Daun pintu kamar mandi masih terayun-ayun. Padahal
"tidak ada angin bertiup. Dan tampak jelas, tidak ada
tangan yang menggerakkannya. Daun pintu itu dibuka
semakin lebar dan tampaknya sudah siap
dihantamkan sampai tertutup dengan keras.
Aku mendahului: "Dengar! Aku lagi mengerjakan cerita horror! Tahu
kau" Tentang mayat yang bangkit dari kubur! Mayat
yang ketika hidupnya pernah ditabrak kereta api!
Mayat yang rusak dan daging-dagingnya sudah busuk
itu kupaksa keluar dari liang kuburnya yang kotor.
Kubiarkan tulang belulangnya bersembulan diantara
daging-daging serta darahnya membusuk.
Kupindahkan ia ke mesin tikku. Tetapi..." aku menarik
napas. Dan mendengus: "Mayat yang mengerikan itu, bisa kurubah arahnya,
langsung ke tempatmu untuk mengajak kau
bercumbu." Entah berhasil, entah tidak ancamanku itu, yang jelas,
daun pintu kamar mandi terhenti tib-tiba. Udara dingin
bergantung didalam rumah. Tak ada angin. Tak ada
suara sama sekali. Kemudian daun pintu tertutup.
Perlahan sekali seolah takut menimbulkan suara. Aku
tidak tahu, apakah ia bersembunyi di dalam kamar
mandi di belakang pintu tertutup itu, atau di
depannya. Seraya memandangku dengan kecut.
Tetapi naluriku membisikkan sesuatu.
"ia tidak berbuat jahat kepadamu. la hanya
mengganggu. Kasihanilah dia...!"
Napasku seolah bunyi lokomotif, ketika aku
membuangnya sebebas mungkin.
Udara di dalam rumah semakin dingin, semakin
hampa. Kosong. Sepi. Aku merasa tegang, dan gemetar.
Lama aku menunggu, namun tidak ada suatu reaksi
sama sekali. Dengan bimbang, aku berkata-kata lagi.
Tetapi volume suara kutekan serendah mungkin:
"Aku sudah pernah mengajakmu bersahabat...
Ajakanku itu masih berlaku. Kecuali, kau tidak sudi..."
Sepi. Sepi sekali. Aku tidak putus asa. Ujarku:
"Mungkin aku salah... Tidak memperkenalkan diri,
ketika kau memasuki rumah yang... Yang kau huni ini.
Baik. Anggaplah aku sebagai tamu. Dan sebagai tamu,
akan kuperkenalkan siapa aku..."
Kutatap ke lantai bawah. Rasa-rasa ada langkahlangkah kaki disana.
Langkah-langkah kecil, yang tertegun.
Aku menelan ludah. Dan dengan suara gemetar,
memperkenalkan diri: "Namaku Doli. Bukan Doli-pet," aku tersenyum. "Doli
saja. Aku masih bujangan. Tetapi sudah karatan.
Umurku tigapuluh dua. Pekerjaanku" Mengarang. Tahu
kau apa itu mengarang...""
Tentu saja, tidak ada sahutan. Dan tentu saja, aku
harus menerangkannya: "Mengarang itu jual kecap. Nomor satu, tentu saja.
Kecap itu kutuangkan ke mesin tik, mengalir pada
helai demi helai kertas. Barangkali kau pernah melihat
aku mengerjakannya... Tentu saja kau ngintip. Kalau
terang-terangan, http://cerita-silat.mywapblog.com
?"Bab 16 aku bisa melihatmu. Nah... Hasil
ketikan itu kujual ke suratkabar atau majalah. Uang
hasil penjualan itulah kupakai untuk makan dan....
Dan untuk mengontrak rumah yang kau huni ini."
Kembali aku menghela napas, letih oleh penjelasan
sepihak yang panjang lebar itu.
Terkutuk. Mengapa ia tidak menjawab. Masih adakah dia
disana" Atau sudah pergi" Kemana"
"Kau pernah membaca cerita-ceritaku"" aku bertanya
iseng. Tak ada jawaban. Tetapi tak ada salahnya aku sesekali beronani.
Anggaplah promosi, pikirku, lalu memutuskan:
"Aku adalah pengarang terbaik di muka bumi. Dan tak
usah malu-malu mengakuinya. Kau seorang
penggemarku, bukan""
Seraya menyeringai lebar, aku masuk ke kamar. Pintu
kututupkan rapat-rapat. Beberapa saat, aku masih
diam. Menunggu. Sepi di bawah. Sepi diatas. Sepi di
kamarku. Kuputar tape, dengan volume rendah, kuambil
sebatang rokok. Lalu, siap di hadapan mesin tik....
Beberapa kali, kertas kusentakan dari mesin karena
hasil ketikanku yang jelek. Biarpun sudah dibayar dan
pasti dimuat aku berprinsip harus tetap
mempertahankan mutu cerita. Kureguk kopi yang
sudah dingin. Lalu mengisap rokok dalam-dalam.
Lewat asap-asapnya yang mengepul ke langit-langit,
aku mencari-cari lanjutan ceritaku yang sempat
hilang. Aku menemukannya tidak lama kemudian. Ketakketik bunyi mesin tik segera memenuhi kesepian
rumah. Heran. Mesin tikku berjalan lancar. Seolah
segala sesuatunya telah lekat di kesepuluh jarijemariku, tinggal ketukan ke huruf-huruf. Lembar
demi lembar mengalir keluar dari ban mesin tik,
hampir tak berhenti-henti....
Menjelang pagi, aku mendengar suara berisik di
bawah. Dan mencium bau yang khas, pasti dari arah
dapur. Tentu dia lagi. Entah apa yang ia tengah
lakukan, aku tidak tahu. Dan aku tidak ingin
melihatnya. Karena mesin tikku tidak mau
ditinggalkan. Waktu terus berjalan. Dan ketika pagi itu aku turun ke bawah, mataku
terbelalak. Sebuah jambangan baru sudah ada di atas meja.
Bunga-bunga yang segar dan harum semerbak,
disusun manis di dalamnya. Dan yang membuat aku
semakin takjub, adalah ini: segelas kopi, dua butir
"telur rebus yang sudah dikelupas!
Sarapan kesenanganku. *** http://cerita-silat.mywapblog.com
Dendam Berkarat Dalam Kubur Abdullah Harahap
AKU benar-benar tidak percaya pada mataku. Tetapi
aku telah mengerjap beberapa kali. Paha telah
kucubit. Gigi sudah kugemeletukkan. Namun tetap
saja apa yang kulihat sesungguh-sungguhnya ada
diatas meja. Jambangan dengan bunga, baiklah.
Tetapi kopi dengan telur rebus...
Lama aku terpesona. Baru teringat, untuk memandang berkeliling.
Perabotan di ruang bawah itu, tidak ada yang
berpindah tempat. Lantai bersih dan licin, meski ketika
ditinggalkan tamuku yang terakhir, keadaannya masih
kotor. Pintu depan masih tertutup. Rapat. Tirai jendela
telah terbuka gordijnnya. Naco telah diangkat.
Gugup, aku memeriksa pintu. Masih terkunci. Bahkan
anak kuncinya melekat di lubang sebelah dalam. Aku
mendekati meja kembali. Berharap, jambangan,
bunga, terutama kopi dan telur itu sudah tidak ada di
sana. Harapan yang sia-sia, dan membuat aku
semakin takjub oleh peristiwa ganjil yang baru
pertamakali kualami seumur hidup itu.
Tidak ada gerakan atau suara apa pun disekitarku.
Hawa segar menerobos lewat kaca naco.
Apakah ia ada di dekatku, sekarang"
Dengan penuh kebimbangan aku masuk ke kamar
mandi, untuk cuci muka. Kembali aku terpesona.
Dalam ember, terisi air yang berkepul-kepul. Panas.
Kugaruk kepala yang tidak gatal. Dan tanpa bisa
kutahan, tubuhku gemetar. Aku dihinggapi perasaan
takut.... Semula aku akan membiarkan ember berisi air panas
itu. Tetapi setelah kutimbang-timbang, apa salahnya
mencoba" Lantas seraya membaca jampi-jampi yang
pernah didiktekan oleh guru kebathinanku, aku
campur air di ember itu dengan air dingin dari bak.
Maksudku membasuh muka, kurubah. Mandi saja
sekalian, karena air tersedia cukup banyak.
Pada guyuran air hangat yang pertama, aku masih
gemetar. Namun kurasakan, air itu tidak memberi
pengaruh asing. Biasa saja, seperti air hangat yang
aku sediakan setiap pagi untuk kupakai mandi.
Mungkinkah karena doa yang kubaca" Atau karena
air itu memang tidak ada apa-apanya"
Keluar dari kamar mandi, diam-diam aku meng intai
ke atas meja. Masih. Masih disana. Kopi dan telur rebus itu!
Dengan gelisah aku naik ke atas untuk berganti
pakaian. Jendela kamar kubuka, agar udara segar
masuk ke dalam. Lembah hijau, atap-atap rumah,
pepohonan yang rimbun, anak sungai, gunung yang
kelabu serta langit yang biru. Masih tetap
pamandangan yang sama. Tetapi di lantai bawah, di
atas meja... mungkinkah"
Lama aku tercenung di tempat tidur, setelah bersalin
pakaian. Tetapi kemudian aku berpikir, kalau air
hangat itu tidak memberi pengaruh apa-apa,
mengapa tidak pula dengan kopi serta telur rebus"
Lagipula perutku ingin kehangatan dan lidahku sudah
gatal untuk menelan telur rebus.
Kutetapkan hati, lalu turun ke lantai bawah.
Duduk menghadapi meja makan, aku berdo'a
sebagaimana biasa. Tentu saja dengan mata
terpejam. Ketika mata kubuka kembali, setengah
"mengintip rasanya, kulihat semuanya ada disana.
Ah.... aku menoleh ke samping kanan, ke seberang
meja. Berharap ada salah sebuah kursi yang bergeser,
atau suara-suara asing namun sudah kukenal dengan
baik. Tetapi tidak ada gerakan apa-apa. Tidak ada suara.
Aku tidak yakin pada diriku sendiri. Dan setelah
batuk-batuk kecil untuk mengendurkan ketegangan
yang menghantui diriku, aku berujar:
"... kau baik sekali."
Suaraku gemetar. Dan kaku. Agak sumbang
terdengar. Tetapi aku tidak perduli. Aku terus
berbicara: "Jadi, kita telah bersahabat, bukan""
Aku tersenyum. Sukar juga untuk melakukannya,
tetapi kukira aku memang seorang pemain sandiwara
yang baik. "Baiklah. Terima kasih untuk hidangan pagi ini.
Tetapi..." aku kembali memandang tanpa tujuan.
"Tidakkah lebih baik kalau kita makan bersama""
Tidak ada sahutan. Aku sudah menduganya. Dan setelah berpikir bahwa
hantu tidak makan sebagaimana manusia makan, aku
memulai sarapan pagiku. Mula-mula kureguk kopi.
Kental, okey. Hanya agak sedikit manis.
"Lain kali... jangan terlalu banyak gula," aku
bergumam sendirian. http://cerita-silat.mywapblog.com
?"Bab 17 "Tidak baik untuk kesehatanku."
Aku menghabiskan kopi, dua butir telur rebus itu,
tanpa reaksi apa-apa dalam tubuhku kecuali perasaan
senang dan puas, sebagaimana lajimnya setelah aku
melakukan hal yang sama. Selesai sarapan, aku
bermaksud membereskan perabotan bekas makan.
Tetapi.... Sebuah tangan yang dingin menyentuh lenganku.
Kontak kami yang pertama. Aku dapat merasakan
jari-jemarjnya yang halus, lembut tetapi dingin,
memegang tanganku yang sudah siap membereskan
meja. Aku tertegun kaget, dan kukira sedikit pucat.
Tiba-tiba timbul keinginanku untuk balas memegang
tangan itu dan kalau bisa menyentuh bagian-bagian
tubuhnya yang lain. Namun setelah didahului terpaan
napas yang dingin di tengkukku, tangan itu kemudian
hilang rasa. Hampa. Dengan jantung dak-dik-duk, kuperhatikan apa yang
terjadi berikutnya. Perabotan bekas sarapan pagi,
terangkat ke udara, melayang seperti kapas yang
ringan. Gelas berdenting bunyinya ketika diletakkan
ke atas piring, demikian juga tatakannya. Dengan
jarak kira-kira setinggi perutku benda-benda nyata itu
melayang-layang secara gaib langsung menuju dapur.
Sebentar kemudian terdengar suara gelas dan piring
menyentuh bak cuci, disusul suara air mengucur
perlahan. Dan di balik bajuku, mengucurlah keringat
yang dingin. Hasrat untuk mengintip ke dapur, kutekan sekuat
mungkin. Aku justru berjalan ke arah yang
sebaliknya. Mula-mula pelan, kemudian makin cepat.
Dan aku melompati anak tangga dua sampai tiga
sekaligus, berlari sepanjang beranda, merenggut pintu
kamar dengan keras dan sekaligus menutupkannya
setelah aku berada di dalam. Kusandarkan tubuh ke
daun pintu. Napasku terengah-engah. Lama, aku dalam keadaan setengah sadar setengah
tidak ingat diri, sampai kemudian mataku terpantul
kepada amplop besar berisi naskah yang kuketik


Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malam harinya. Wajah Pemimpin Redaksi yang kesal
mendorongku untuk berpikir secara sehat.
Baiklah. Yang tidak mungkin, sudah terjadi. Biarlah dia
di bawah sana melakukan apa saja yang ia
kehendaki. Yang penting, ia telah memperlihatkan
tanda-tanda ingin bersahabat malah membantuku
mengerjakan sesuatu yang akan menghabiskan
waktu dan tenaga kalau aku sendiri yang
melakukannya. Aku masih punya pekerjaan lain.
Kukenakan sepatu, memeriksa uang di dompet,
mengambil map besar kemudian keluar dari kamar.
"Haruskah kukunci" Ah, lewat celah yang sebesar
semut pun, toh roh itu bisa masuk. Mungkin juga ia
bisa masuk langsung lewat dinding, tak ubahnya
benda empat dimensi. Aku berdiri sebentar di depan
Iblis Pemburu Wanita 1 Dewa Arak 83 Irama Maut Iblis Cadas Siluman 1

Cari Blog Ini