Ceritasilat Novel Online

Misteri Arca Singa 2

Raja Petir 18 Misteri Arca Singa Bagian 2


berputar ke arah leher lelaki berambut keriting itu.
Wrrruukh...! "Heh!?"
"Uts!"
Orang termuda dari Tiga Badut Pulau Angker ini tak menyangka kalau gadis yang menjadi
lawan kakaknya kini meluruk dengan senjata ke
arahnya. Maka sebisanya dia membuang diri, setelah lebih dulu memutar gadanya ke arah yang berlawanan untuk melepaskan selendang yang membelit senjatanya.
Balguli berhasil menyelamatkan kepalanya
dari incaran payung besi milik Mayang, setelah
bergulingan beberapa kali. Kini sosoknya yang
berperut buncit telah bangkit kembali, berjarak
kurang lebih dua setengah batang tombak dari kekasih Raja Petir ini.
"Hm...," gumam Balguli sambil menatap tajam wajah Dewi Payung Emas. "Hebat juga
kepandaianmu!"
"Memang harus hebat untuk bisa menundukkan badut jelek itu!" balas Mayang sambil menunjuk tubuh Baligu yang masih
terduduk di tanah dengan tangan memegangi dadanya yang seperti melesak. Darah tampak merembes dari sela
bibir lelaki bermata sipit itu.
Orang termuda dari Tiga Badut Pulau Angker ini mengikuti telunjuk Mayang yang menuding
tubuh Baligu. Sungguh tak disangka kalau kakaknya mampu ditaklukkan gadis cantik macam
Mayang. "Hhh...!"
Balguli segera bergerak menghampiri lelaki
yang ditaklukkan Mayang.
"Kakang..., kau...," ucap lelaki berambut keriting itu sambil memegang bahu
kakaknya. "Gadis itu hebat sekali," desis Baligu dengan suara bergetar. "Sebaiknya kau
bantu Kakang Baliga menghadapi Raja Petir. Gunakan aji 'Racun
Pulau Angker'. Karena kalau Kakang Baliga sendiri yang menggunakannya tak akan
sempurna."
"Aku mengerti, Kakang," tukas Balguli.
"Akan kucoba membantu Kakang Baliga. Hops!"
"Aaa...!"
Baru saja orang termuda dari Tiga Badut
Pulau Angker itu meluruk ke arah pertarungan antara Jaka dan Baliga, sebuah pekikan keras terdengar mengiringi terpentalnya sesosok tubuh
yang terbalut pakaian warna-warni.
Tubuh Baliga yang merupakan orang tertua
dari Tiga Badut Pulau Angker tergempur mundur
empat langkah ke belakang, setelah perutnya terhantam tendangan keras Raja Petir lewat jurus
'Petir Menyambar Elang'.
"Kakang.... Kau tidak apa-apa?" tanya Balguli sambil memegangi tubuh Baliga yang
ter- huyung-huyung. "Aku tidak apa-apa. Ayo, sama-sama kita
hadapi dia dengan aji 'Racun Pulau Angker'," ajak Baliga kepada orang termuda
dari Tiga Badut Pulau Angker.
"Ayo, Kakang!" sambut Balguli.
Dua lelaki yang dandanannya mirip badut
itu kemudian sama-sama bersila. Kedua telapak
tangan masing-masing yang sudah mengepal diletakkan di atas paha yang sudah bersila. Kemudian salah satu telapak tangan yang
terkepal di atas
paha. Lalu kepalan itu dibawa ke depan dada, diiringi suara yang hampir mirip
dengungan lebah.
"Ngngng...!"
"Ngngng...!" Suara mendengung yang keluar dari mulut Baliga dan Balguli semakin
jelas terdengar. Dan begitu suara dengung itu lenyap tiba-tiba, mata Baliga
terbelalak. Sepasang mata itu berubah menjadi kemerahan.
"Ilmu setan," rutuk Jaka dalam hati, melihat lawannya telah mengeluarkan ilmu
andalan. Namun pemuda berjuluk Raja Petir itu tak
bergeming dari tempatnya. Diperhatikannya terus
gerak-gerik lawannya yang tengah menyiapkan sebuah ilmu kesaktian aneh.
"Ngngng...!"
"Ngngng...!"
"Hih!"
Tiba-tiba saja tangan dua orang dari Tiga
Badut Pulau Angker itu menghentak kuat. Dan dari telapak tangan mereka mencelat seberkas sinar berwarna kehijauan dengan
kecepatan yang sangat
luar biasa. Slats! Slats! "Heh"!"
Raja Petir tentu saja tak sudi menjadi sasaran ajian lawan. Maka kakinya segera dihentakkan kuat-kuat. Setelah berputaran
beberapa kali, dia mendarat manis di tanah.
Jlegk! Namun baru saja Jaka mendarat, kembali
dua sinar kehijauan meluruk ke arahnya.
Slats! Slats! Tak ada pilihan lain bagi Raja Petir, selain
meladeni dengan pukulan jarak jauhnya.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak menggelegar. Raja Petir
menghentakkan kedua tangannya.
Wusss...! Angin bergulung kontan keluar dari telapak
tangan Jaka yang menggelar ilmu pukulan jarak
jauh, yang bernama 'Pukulan Pengacau Arah'. Pukulan yang layaknya pusaran angin itu meluruk
dengan deras, menyongsong ajian 'Racun Pulau
Angker' milik dua orang dari Tiga Badut Pulau
Angker. Maka ketika dua ilmu kesaktian itu saling berpapasan di udara....
Glarrr...! "Akh!"
"Aaa...!"
5 Tubuh Baliga dan Balguli kontan terpental
ke belakang sejauh satu tombak, akibat benturan
keras dari dua ilmu kesaktian yang mengandalkan
kekuatan tenaga dalam itu. Namun berkat pengalaman bertarung, mereka mampu mementahkan
daya dorong yang cukup kuat.
Dengan gerakan indah, dua dari Tiga Badut
Pulau Angker berputaran menggunakan telapak
tangan yang dijadikan tumpuan ke tanah. Kemudian luncuran mereka berhenti dengan suatu lentingan indah. Sebentar saja, mereka telah menotok kaki di tanah manis sekali.
"Kita coba sekali lagi ketangguhan anak
muda itu," ujar Baliga setelah mampu menguasai kedudukannya. "Ilmu 'Selaksa Gada
Memburu Nyawa' belum kita gelar."
"Napasku sesak, Kakang," keluh Balguli.
"Aku tak tahu, bisa atau tidak memainkan Ilmu
'Selaksa Gada Memburu Nyawa'."
"Salurkan hawa murnimu. Baru setelah sesakmu hilang, mainkan ilmu andalan kita dengan
tingkat yang tinggi," perintah Baliga dengan kata-kata tak terbantahkan.
"Baik, Kakang," sambut badut berambut keriting itu dengan tarikan napas berat
Beberapa saat lamanya Balguli menyalurkan hawa murni untuk menghilangkan sesak napasnya. Dan pada saat selanjutnya....
"Ayo, Kakang!" ajak Balguli tegas.
Baliga langsung mengangkat gada berduri
berwarna hitam miliknya, begitu mendengar persetujuan adiknya. Begitu juga Balguli yang belum
sepenuhnya terbebas dari sesak napas akibat pukulan jarak jauh Raja Petir yang terangkum dalam jurus 'Pukulan Pengacau Arah'.
Mereka kemudian
sama-sama mengayunkan gada berdurinya dengan
kecepatan luar biasa. Sehingga, wujud senjata itu sendiri lenyap dari bentuk
aslinya. Bukan itu saja kehebatan ilmu 'Selaksa Gada Memburu Nyawa'. Senjata warna hitam berduri
yang semula wujudnya tak nampak, kini terlihat
menjadi berlipat jumlahnya. Dan semuanya kini
meluruk ke arah Raja Petir.
"Hm...."
Jaka bergumam pelan menyaksikan ilmu
yang dipamerkan kedua lawannya. Sementara,
Mayang menyaksikan saja dari kejauhan dengan
sikap wajar. Sedangkan di pihak lain, Dewi Nalar begitu mencemaskan keadaan Jaka
yang belum juga berbuat sesuatu untuk meladeni ilmu lawanlawannya. "Hrrrrgh...!"
Baliga dan Balguli sama-sama menggereng,
mengiringi serbuan ke arah Jaka yang sudah bersiap mengerahkan aji 'Bayang-Bayang'.
Wuuung! Wuuung...!
Tubuh Jaka berkelebatan cepat, setelah
jumlahnya menjadi lima kali lipat Aji 'BayangBayang' memang telah diciptakannya. Dan itu cukup membuat kerepotan dua lawan. Tentu saja
mereka tidak dapat mengarahkan senjata yang
berjumlah berlipat-lipat pada sasarannya.
Wuk! Wuk..! Berkali-kali Baliga dan Balguli membabatkan gada berduri ke arah yang mematikan pada
tubuh Jaka. Namun acap kali senjata yang diharapkan menjumpai sasaran, selalu membuat geram Baliga. Sambaran gada berdurinya selalu menemui wujud semu Raja Petir
"Hrrrg..! Keparat kau. Raja Petir!" maki Baliga geram. "Hiyaaa...!"
Pekik kemarahan betul-betul sepenuhnya
keluar dari mulut Baliga. Tubuh badut yang terbungkus pakaian warna-warni itu pun melesat,
untuk menyalurkan kemarahan tanpa mempedulikan Balguli. Dia tak sadar kalau hal yang demikian ini sesungguhnya yang
diinginkan Jaka. Dengan kemarahan meluap, maka Baliga tak lagi
mempedulikan pertahanannya.
Maka ketika sambaran gada berduri kembali dielakkan Raja Petir, seketika itu juga Baliga merasakan sesuatu yang sama
sekali tak terduga.
Tubuh Baliga yang telah kehilangan keseimbangan setelah mengayunkan gada berdurinya, menjadi sasaran empuk Raja Petir. Pemuda
ini cepat melepaskan tendangan memutar yang berisi tenaga dalam penuh. Begitu cepat gerakannya, sehingga....
Blakg! "Hegkh!"
Tubuh Baliga kontan tersungkur, ketika
tendangan memutar Raja Petir cepat dan tepat
mengenai punggungnya.
Bruk! Baru saja tubuh Baliga ambruk ke tanah,
tiba-tiba Balguli bergerak cepat ke arah Raja Petir dengan menggunakan gadanya.
"Mampus kau, Ra-ja Petir!"
Wuuut! Menangkap adanya desir angin serangan
dari belakang. Raja Petir segera melompat ke
samping sambil menggerakkan tangannya. Dan....
Tap! Terheran-heran hati Balguli ketika bokongan gada berdurinya berhasil ditangkap Raja Petir tanpa harus terluka.
"Hhh...!"
Badut berambut keriting itu mencoba menarik pulang senjatanya yang dicekal kuat tangan Jaka. Maka, tarik-menarik pun
tak terelakkan lagi.
Orang termuda dari Tiga Badut Pulau Angker itu
mengerahkan seluruh tenaga dalam yang dimilikinya. Bahkan wajahnya kini berubah merah seperti kepiting rebus. Sementara urat-urat di pergelangan tangan dan lehernya
tampak bersembulan
keluar. Keadaan yang dialami Balguli ini ternyata
tidak terjadi pada diri Raja Petir. Meski pemuda itu juga mengerahkan tenaga
dalamnya untuk menahan tarikan lawan, namun urat-urat kasar tak
nampak bersembulan dari dalam tubuhnya.
Pada saat tarik-menarik itu terjadi, tiba-tiba
Baligu yang sejak ditundukkan Mayang tak mampu lagi melanjutkan pertarungan, melesat dari
arah belakang Raja Petir. Senjata gada berdurinya nampak terayun-ayun mengarah
ke bagian kepala
pemuda itu. "Heaaat..!"
Terkejut juga hati Mayang dan Dewi Nalar
melihat serangan membokong yang tiba-tiba saja
dilakukan badut bermata sipit ini. Karuan saja,
Mayang dan Dewi Nalar sama-sama melompat cepat, hendak memapak serangan membokong yang
ditujukan pada Jaka.
"Hiyaaa...!"
"Haaat..!"
Tubuh Mayang dan Dewi Nalar sama-sama
meluruk ke arah Baligu yang hendak mencelakai
Jaka. Namun karena ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki Mayang lebih sempurna daripada
Dewi Nalar, maka wajar saja kalau kekasih Raja
Petir itu yang lebih dulu sampai untuk memapak
serangan Baligu dengan payung besinya.
Blangng...! Bunyi benturan keras terdengar, manakala
payung Mayang berhasil memapak sambaran gada
Baligu. Tubuh Mayang langsung tergempur mundur
dua langkah, begitu benturan keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi


Raja Petir 18 Misteri Arca Singa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terjadi. Sementara percikan bunga api tampak mengiringi terpentalnya
sosok tubuh badut kedua dari Tiga Badut Pulau
Angker sejauh dua langkah. Dan itu cukup memberikan gambaran kalau penguasaan ilmu tenaga
dalamnya setara dengan kekasih Raja Petir.
Dengan tergempurnya Baligu, Dewi Nalar
yang tak sempat memapak serangan gelap itu segera saja menghentakkan kakinya. Sebuah serangan susulan kini dilakukan ke arah badut tanpa
alis yang tengah terhuyung itu.
"Haiiit..!"
Pekik kemarahan langsung mengiringi lesatan tubuh putri almarhum Ki Sapartoga ini dengan selendang merah yang sudah
tergenggam di tangan. Dan ketika selendang itu dihentakkan lewat
ilmu 'Selendang Merah', maka....
"Hih!"
Tak ada kesempatan lagi bagi Baligu untuk
menghindar. Akibatnya....
Ctarrr! "Akh!"
Tubuh Baligu kembali terpental, ketika
ujung selendang Dewi Nalar membentur keras kepalanya. Sambil terhuyung-huyung tangannya
langsung memegangi kepala yang terasa pecah.
Bruk! "Ah!"
Ketika tubuh badut tanpa alis itu ambruk
ke tanah, darah baru terlihat merembes dari kepalanya yang rengat tersambar
selendang milik Dewi
Nalar yang menggunakan jurus 'Selendang Merah'.
Beberapa saat lamanya Baligu menggeliat
meregang nyawa. Dan pada saat selanjutnya, tubuhnya diam tak bergerak-gerak lagi. Mati!
Sementara, Balguli yang sedang mengadu
kekuatan tenaga dalam melawan Raja Petir, tak bi-sa memusatkan pikirannya ketika
mendengar pe- kik kematian saudaranya. Namun kelicikannya segera bekerja cepat. Dia bermaksud melepaskan cekalannya pada gagang gada berduri, dengan harapan tubuh Jaka akan terdorong oleh tenaganya
sendiri. "Hih!"
Siasat licik itu benar-benar dilaksanakan.
Seketika cekalannya pada senjata yang dipegang
dilepaskan. Namun, kiranya Jaka bukanlah orang
kemarin sore yang baru belajar ilmu silat. Dan dia juga sering mempelajari
sifat-sifat manusia selicik Balguli.
Sesungguhnya, pada saat tarik-menarik
mempertahankan senjata milik lawan, Jaka hanya
memusatkan tenaga dalam pada tangan saja. Jadi
seluruh kekuatannya tertumpah di situ. Dan ketika Balguli melancarkan siasat liciknya, maka tubuh Jaka tidak termakan tenaganya sendiri. Namun karena Jaka ingin melihat kelanjutan dari
siasat licik lawannya, sengaja tubuhnya dipentalkan ke belakang seolah termakan
tenaganya sendiri. "Hiyaaa...!"
Dalam keadaan Jaka yang berpura-pura seperti itu, Balguli melesat cepat. Kaki kanannya
nampak terayun lurus ke arah kepala Jaka.
"Mampus kau. Raja Petir!"
Dalam keadaan terjajar. Raja Petir cepat
mengayunkan gada berduri yang telah direbut ke
arah kaki Balguli. Tak ada kesempatan bagi orang ketiga dari Tiga Badut Pulau
Angker itu untuk
mengelak. Maka....
Wuuut!" Pletak! "Aaa...!"
Lengking kesakitan yang maha dahsyat terdengar ketika gada berduri yang berada pada
genggaman tangan Jaka membentur keras tulang
kering kaki kanan Balguli. Dan laki-laki berambut keriting itu terus mengerangerang bagai orang ke-surupan. Kakinya yang menjejak sebelah, terlihat
berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil kegirangan diberi mainan. Lalu....
Bruk! Karena tak kuasa menahan sakit yang teramat sangat, tubuh Balguli ambruk ke tanah. Darah nampak bercucuran dari kaki yang terhantam
senjata miliknya sendiri.
Sementara Baliga yang juga mengalami luka
dalam dan luka pada wajahnya saat terhantam
tendangan Jaka, tak lagi mampu berbuat apa-apa.
Keberaniannya untuk meneruskan pertarungan,
sedikit demi sedikit mulai luntur.
"Kisanak masih tetap ingin merebut Arca
Singa Emas yang bukan milikmu?" tanya Jaka ketika tak lagi didapati serangan
dari lawan- lawannya yang sudah terkulai di tanah.
"Tentu saja!" sambut Baliga keras. "Bahkan bukan saja Arca Singa Emas itu yang
harus kure-but. Tapi, juga nyawa kalian yang telah merenggut nyawa adikku!"
"Sekarang?" tantang Jaka.
"Hhh...!"
Hanya tarikan napas kesal yang dilakukan
Baliga dalam menanggapi pertanyaan Jaka.
"Sebaiknya, kalian enyah dari hadapan kami sebelum kawanku kehilangan kesabaran!" gertak Mayang ingin tahu sisa
keberanian Tiga Badut Pulau Angker yang kini tinggal dua orang.
"Aku memang akan pergi dari sini! Tapi, ingat! Aku belum kalah! Dua dari Tiga Badut Pulau
Angker yang masih hidup, akan terus mencari kalian untuk menuntut balas," tegas Baliga lagi.
"Silakan mengumbar mulutmu yang bau
itu, Badut Tak Tahu Diri!" ledek Dewi Nalar sambil mengeluarkan Arca Singa Emas
yang bersinar-sinar. Melihat Arca Singa Emas, mata Baliga kontan terbelalak.
Keinginan hatinya memang amat
kuat untuk mendapatkan benda yang menjadi incarannya. Namun ketika tatapan matanya membentur sosok Raja Petir, Baliga terpaksa untuk
sementara mengubur keinginannya.
"Sekarang aku memang gagal mendapatkan
Arca Singa Emas itu, Gadis Liar! Tapi, tidak untuk lain kali," kilah Baliga
dengan kemarahan yang tak terkendali.
"Sampai kapan pun, kau akan tetap mendapatkan kegagalan, Badut Jelek!" balas Dewi Nalar sambil menimang-nimang Arca Singa Emas
yang berada dalam genggamannya. "Kau tahu, sekarang juga Arca Singa Emas ini
akan kuserahkan
pada Raja Petir. Dan aku tahu, sampai kapan pun
kau tak akan berhasil menundukkan Raja Petir."
Baliga semakin geram mendengar ucapan
Dewi Nalar. Matanya nampak membelalak lebar.
"Terimalah Arca Singa Emas ini, Kakang
Jaka," ujar Dewi Nalar.
Lalu, Arca Singa Emas itu segera disodorkan ke tangan Jaka. Dan Raja Petir sendiri menanggapi pemberian itu dengan seulas senyum untuk Baliga. "Keparat!" maki Baliga geram. "Ayo, Balguli.
Kita tinggalkan tempat ini! Hop!"
Baliga langsung melesat, setelah lebih dulu
membopong mayat Baligu yang tewas di tangan
Dewi Nalar. Sedangkan Balguli pun segera melesat dengan terpincang-pincang
menyusul kakaknya
yang telah melesat terlebih dahulu.
Jaka, Mayang, dan Dewi Nalar hanya menatapi kepergian mereka dengan senyum terkembang. "Kau harus menceritakan teka-teki Arca Singa Emas ini, Dewi. Biar aku tahu
kenapa mereka susah payah merebut benda ini," ujar Jaka kemudian.
"Tentu saja, Kakang Jaka," timpal Dewi Nalar mantap.
*** 6 Sore berjalan begitu lambat. Angin yang
berhembus semilir membelai-belai anak rambut
Dewi Nalar dan Mayang Sutera. Sementara Jaka
yang mengambil tempat duduk di sisi kekasihnya,
nampak sudah bersiap-siap mendengarkan cerita
tentang teka-teki di balik Arca Singa Emas.
"Kau harus memulainya sekarang, Dewi,"
ujar Mayang dengan telapak tangan memegang
bahu Dewi Nalar.
"Sebenarnya Arca Singa Emas ini jatuh pada ayahku sebagai keturunan yang ketiga. Berarti jauh di atas ayahku, benda ini
pernah dikuasai
kakekku dan buyutku. Konon menurut cerita,
benda ini didapatkan dari seorang pertapa sakti
yang bermukim di Goa Singa. Setelah Arca Singa
Emas diberikan pada buyutku, pertapa sakti itu
lenyap bersama-sama Goa Singa yang menjadi
tempat tinggalnya," tutur Dewi Nalar, memulai ceritanya.
Sebentar Dewi Nalar menghentikan ceritanya, untuk mengumpulkan kata-kata yang tepat.
Matanya menerawang jauh, mencoba menembus
ingatannya. "Konon goa itu banyak menyimpan benda
pusaka bertuah dan kitab ilmu silat tingkat tinggi.
Di samping, tentunya harta karun yang berupa
permata dan benda bernilai tinggi lainnya," jelas Dewi Nalar, mengutip apa yang
pernah diceritakan oleh Ki Sapartoga, ayahnya.
"Kalau boleh kusimpulkan. Arca Singa
Emas itu sebagai kunci petunjuk untuk mendapatkan keberadaan Goa Singa yang lenyap, sekaligus sebagai kunci pembuka pintu rahasia Goa
Singa itu?" tanya Mayang, memberi dugaan akan kelanjutan cerita Dewi Nalar.
"Sok tahu kau, Mayang," selak Jaka menanggapi kesimpulan kekasihnya.
Mayang melemparkan wajahnya yang cemberut ke arah Jaka. Kemudian dengan kemanjaannya, diserbunya tangan Jaka dengan cubitan
bertubi-tubi. "Sejak kapan Kakang menjadi orang usil?"
rungut Mayang cemberut.
"Sejak kau menjadi gadis sok tahu," ledek Jaka. "Ih, Kakang!"
Mayang kembali mencubit tangan Jaka.
Sementara, Dewi Nalar merasa risih juga
menyaksikan kemesraan dua tokoh muda yang
memiliki kesaktian tinggi itu. Andai dirinya yang merasakan kemesraan seperti
itu.... "Betulkah kesimpulan yang diberikan
Mayang, Dewi?" tanya Jaka, mencairkan kerisihan Dewi Nalar.
"Betul sekali, Kakang," jawab Dewi Nalar membenarkan kesimpulan Mayang.
"Nah! Betul kan, kesimpulanku?" kata
Mayang berseri-seri.
"Ya, ya. Kau memang berbakat menjadi seorang peramal," ledek Jaka lagi.
"Ih!" kembali cubitan dilancarkan Mayang.
"Memangnya kau bersedia mempunyai istri peramal?" "Apa salahnya" Apalagi, gadis
peramal itu cantik," jawab Jaka seenaknya.
"Sudahlah! Lebih baik kita dengarkan lagi
kelanjutan cerita Dewi," tukas Mayang, akhirnya mengalah.
"Apa lagi yang harus kuceritakan?" tanya Dewi Nalar.
"Apa, Kakang?" tanya Mayang pada Jaka.
"Kau kan peramal. Kenapa mesti tanya?" ledek Jaka lagi.
"Ih!" Mayang mendengus.
"Orangtua ku, kakekku, dan buyutku pernah berpesan agar Arca Singa Emas ini jangan
sampai jatuh ke tangan tokoh sesat yang biasanya mengacaukan ketenteraman hidup
manusia. Khu-susnya, ketenteraman hidup orang-orang yang
menggeluti dunia persilatan. Kami semuanya sudah mengusahakan pesan itu sebisanya, meski
harus kehilangan orang-orang tercinta. Termasuk, aku harus rela kehilangan ibu
yang tewas di tangan Lima Jin Gunung Sampa, yang juga menghancurkan Perguruan Singa Emas yang dipimpin
ayahku," papar Dewi Nalar dengan wajah berubah keruh. Suasana jadi sepi sesaat
setelah Dewi Nalar menghentikan ceritanya. Tak ada lagi canda yang
dilakukan Jaka untuk menggoda kekasihnya.
"Dan terakhir, ayahkulah yang jadi korban
demi Arca Singa Emas ini," lanjut Dewi Nalar. Kali ini kata-katanya diiringi
isak tangisnya.
"Sudahlah, Dewi," tukas Mayang mencoba menghibur. "Pengorbanan orang-orang yang
kau cintai tidaklah sia-sia. Mereka bukan saja telah mempertahankan Arca Singa
Emas ini, tetapi juga
ketenteraman hidup masyarakat banyak dan ketenangan dunia persilatan. Kau harus bangga melihat pengorbanan mereka."
Isak tangis Dewi Nalar terhenti sejenak
mendengar kebenaran ucapan Mayang.
"Aku kini tak punya siapa-siapa lagi, Kakak Mayang. Aku sebatang kara," keluh
Dewi Nalar "Saatnya nanti, kau pasti tak seorang diri, Dewi. Percayalah," timpal Jaka.
"Betul, Dewi," tambah Mayang. "Tiba saatnya nanti, kau pasti akan mendapatkan
seseorang yang setia menemani hari-harimu."
"Tapi tidak untuk sekarang ini," kilah Dewi Nalar. "Sekarang ini kan ada kami,"
bantah Jaka. Dewi Nalar terdiam. Tak ada lagi kata yang
diucapkannya untuk melukiskan kepedihan hati.
Keadaan seperti itu berlanjut terus, sampai malam menjelang. Sementara suara
binatang-binatang
malam saling bersahut-sahutan menyambut sinar
rembulan yang sedikit demi sedikit muncul, menerangi persada. Dan malam pun bergerak semakin
jauh. *** Bulan bersinar penuh menerangi Desa
Granggas. Bayang-bayang pohon yang tertimpa sinar bulan, sesekali ikut bergoyang terkena hembusan angin. Dan goyangan bayangbayang pohon itu semakin kentara, ketika tiba-tiba saja sesosok tubuh melompat dari balik


Raja Petir 18 Misteri Arca Singa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kerimbunannya. Lompatan sosok tubuh tinggi besar itu ternyata diikuti pula deh sosok-sosok yang lain. Dan kini, jumlah mereka menjadi
lima. Sosok lelaki yang pertama kali muncul tibatiba memberi aba-aba kepada rekan-rekannya untuk berkumpul ke arahnya.
"Nyalakan obor-obor kalian dan lemparkan
ke atas atap itu," perintah laki-laki tinggi besar ini.
Lima sosok yang tak lain Lima Jin Gunung
Sampa seketika menyalakan obor di tangan masing-masing. Maka malam di Desa Granggas yang sudah
terang oleh sinar bulan, nampak semakin terang
deh lima obor yang telah menyala. Terlebih, ketika Lima Jin Gunung Sampa
melemparkan obor-obor
itu ke atap sebuah rumah. Padahal di dalamnya
Jaka, Mayang, dan Dewi Nalar tengah terlelap.
Maka suasana seketika semakin terang benderang,
manakala api dari obor yang dilempar Lima Jin
Gunung Sampa membakar bangunan rumah milik
almarhum Ki Sapartoga.
Jaka, Mayang, dan Dewi Nalar yang menyadari kebakaran pada rumah ini, segera saja bangkit dan bersiaga. Mereka sadar, kebakaran yang
begitu tiba-tiba ini terasa kurang wajar.
Raja Petir segera beringsut dan bangkit. Dia
lalu menuju Dewi Nalar tidur. Dan kedua gadis itu juga telah bangkit, seperti
menunggu aba-aba dari
Raja Petir. "Pasti ada seseorang yang sengaja membakar rumah ini, Kakang," simpul Mayang.
"Benar, Kakang Jaka," sambut Dewi Nalar.
"Ya, ya. Aku juga menduga begitu," timpal Jaka. "Hati-hatilah kalian."
"Kita keluar sekarang, Kakang?" tanya
Mayang. Jaka mengangguk. Kemudian....
"Hops!"
Jaka melesat lebih dulu untuk membaca serangan gelap yang mungkin dilancarkan orangorang yang membakar kediaman almarhum Ki Sapartoga ini. "Hiyaaa...!"
Wuuusss...! Pratts! Pratts!
Dugaan Jaka ternyata tak meleset. Terbukti
baru saja tubuhnya mencelat melewati pintu rumah, dua senjata berbentuk lempengan logam telah menyerbu. Untungnya Raja Petir sudah siap
sejak tadi. Sehingga serangan gelap itu dapat di-mentahkan dengan pengerahan
ilmu 'Pukulan Pengacau Arah'.
Sementara Raja Petir berputaran di udara,
lalu manis sekali mendarat di tanah.
Jligkh! Tepat ketika Jaka mendarat di tanah, dua
bayangan berkelebat dan mendarat di sisinya.
Jligkh! Jligkh! Rupanya, Mayang dan Dewi Nalar telah
berdiri di samping Jaka di luar rumah yang kini
terbakar. Mereka kini sama-sama berdiri berhadapan dengan lima lelaki yang berjuluk Lima Jin
Gunung Sampa. Dan Dewi Nalar seketika terkejut menyaksikan keberadaan lima lelaki yang dikenalinya sebagai orang-orang yang
menghancurkan Perguruan
Singa Emas milik ayahnya, sekaligus membunuh
ibunya. Dan gadis itu tak akan lupa dengan kejadian sembilan tahun yang lalu. Kejadian yang
membuatnya terpaksa harus berpisah dengan
ibunya. "Kalian..!" suara Dewi Nalar tercekat karena kemarahannya yang meluap.
Keterkejutan Dewi Nalar ternyata juga diikuti Lima Jin Gunung Sampa yang berseragam
serba biru. Sungguh tak dikira kalau malam ini
harus berhadapan dengan sosok pemuda yang belakangan ini namanya sering disebut-sebut oleh
kalangan rimba persilatan.
"Raja Petir! Ternyata kau menginginkan juga benda pusaka itu!" kata lelaki tinggi besar yang berwajah bopeng. Dialah
orang tertua dari Lima
Jin Gunung Sampa yang bernama Jaraga. "Orang setampan dan sejantanmu memang
lebih gampang merayu gadis putri Ki Sapartoga itu!"
"Tutup bacot busukmu, Tua Bangka Bopengan!" hardik Mayang. Telunjuknya langsung menuding wajah Jaraga.
"Rasanya memang begitu, Nisanak. Setelah
diberi kepuasan, maka putri Ki Sapartoga itu akan memberi Arca Singa Emas pada
Raja Petir!" lanjut
lelaki bopeng itu tak mempedulikan hardikan
Mayang. "Keparat! Kuhancurkan bacot busukmu!"
bentak Mayang. Kemarahan gadis itu memang sudah tak
terkendali. Kakinya sudah bergerak, hendak menyerang Jaraga.
"Tahan, Mayang," cegah Jaka, melihat tin-dakan kekasihnya. "Biarkan saja dia
berbicara seperti itu. Toh, aku tak seburuk apa yang dikatakannya." Kemudian tatapan Jaka terarah pada lelaki
berwajah bopeng itu. Dan tatapan tajam itu membuat Jaraga merasakan kekuatan aneh yang tibatiba menyelusup ke dalam hatinya.
"Apa kau mampu mempertahankan Arca
Singa Emas itu. Raja Petir" Lima Jin Gunung
Sampa bukan tokoh kemarin sore!" tandas Jaraga.
Sesungguhnya ucapan Jaraga hanya sekadar untuk menutupi perasaan aneh, ketika beradu
pandang dengan Jaka.
"Kalau kalian mendapatkannya dengan jalan baik-baik, dan gadis pewaris Arca Singa Emas itu rela memberikannya, maka
aku rela dan tak
akan bisa mempertahankannya. Namun jika gadis
itu tak rela, dan kalian juga ingin memaksa, maka Raja Petir tak akan tinggal
diam!" panjang lebar jawaban Jaka.
Suasana malam sesaat menjadi hening.
Nyala api yang terus berkobar menjilati rumah almarhum Ki Sapartoga,
memperdengarkan gemerutuk percik api yang membakar tiang-tiang rumah
yang mulai roboh.
"Bagaimana, Dewi. Apakah kau rela memberikan Arca Singa Emas milikmu itu pada Lima Jin
Gunung Sampa?" tanya Jaka kemudian.
"Aku tak akan pernah membiarkan benda
yang sudah turun-temurun terpelihara ini jatuh ke tangan lima lelaki sesat
seperti mereka, Kakang.
Dan kalau mereka tetap mengingini, maka harus
lebih dulu melangkahi mayatku," tegas Dewi Nalar.
Tatapan mata Jaka kembali menoleh ke wajah Jaraga. "Kalian dengar itu"!" tanya Jaka, pada Lima Jin Gunung Sampa.
"Sudahlah, Kakang Jaraga. Jangan dengar
ocehan mereka. Kita langsung bantai saja. Arca itu harus segera didapat sebelum
orang lain menda-hului," ujar lelaki bertubuh bulat yang mata kanannya picak.
"Kau benar, Malaba," sambut Jaraga atas usul orang yang bernama Malaba.
"Ayo!" sambut lelaki yang bertubuh kurus kering. Dia memegang senjata berupa
pecut, dan bernama Ganggada.
'Tahan dulu!" cegah Jaka keras menyaksikan orang ketiga yang bernama Ganggada itu sudah hendak membuka serangan.
"Hm.... Apa maumu, Raja Petir. Apa kau takut menghadapi kami?" ujar Ganggada, sinis.
"Bagaimana kalau kita atur pertarungan
ini," usul Jaka.
"Maksudmu?" tanya Jaraga, tak mengerti maksud Raja Petir
"Bagaimana kalau pertarungan hanya berlangsung antara aku dan kalian berlima," saran Jaka. "Kakang...?" Mayang
terkejut mendengar ucapan Jaka.
"Tenanglah, Mayang. Aku tak ingin kau terlampau lelah menghadapi lelaki-lelaki yang tak ta-hu malu ini. Jadilah kau
penonton yang baik bersama Dewi Nalar," tukas Jaka.
"Keparat kau. Raja Petir! Kau telah meremehkan Lima Jin Gunung Sampa! Kau tahu, taruhannya adalah nyawamu!" hardik orang keempat dari Lima Jin Gunung Sampa. Lakilaki yang bernama asli Guriwang itu menatap Jaka dengan bola
mata hampir keluar.
"Ayo, Kakang Jaraga! Kita habisi saja mereka dengan segera," ajak lelaki bertubuh gembur yang merupakan orang termuda dari
Lima Jin Gunung Sampa. Namanya, Sitinja.
"Sabar, Sitinja. Aku ingin tahu dulu, apa
maksud kelanjutan ucapan Jaka. Barangkali saja
bisa menguntungkan kita," cegah Jaraga penasaran. "Raja Petir, terangkan dengan
jelas maksud perkataanmu dengan mengatur pertarungan itu,"
pinta Malaba. "Tidak sulit," jawab Jaka. "Jika aku dapat dikalahkan, maka benda itu akan dapat
kalian kuasai. Bahkan kami bersedia menjadi abdi kalian.
Namun jika kalian yang kutundukkan, maka dosadosa kalian kuampuni. Tapi, Arca Singa Emas itu
harus dilupakan," jelas Jaka.
"Keparat kau, Raja Petir!" maki Malaba se-wot Jaka tak terpengaruh makian orang
kedua dari Lima Jin Gunung Sampa itu. Tatapan matanya kini tertuju ke wajah Jaraga.
"Bagaimana, Jaraga?" tanya Jaka tenang.
"Aku setuju!" jawab Jaraga tegas.
7 Malam yang masih tetap diterangi cahaya
sepotong bulan, menampakkan sosok enam lelaki
gagah yang tengah bersitegang di atas bumi Desa
Granggas. Sementara dua gadis cantik tengah menyaksikan pertarungan yang bakal digelar dengan
hati tercekat kecemasan.
"Ayo kita mulai!" kata Jaraga, memberi aba-aba pada empat lelaki rekannya.
"Haaat...! Hiyaaa...!"
"Haiiit..!"
"Hops!"
Lima lelaki berpakaian biru pekat seketika
berlompatan mengurung sosok lelaki muda yang
berjuluk Raja Petir. Senjata-senjata mereka yang berupa pecut sudah setengah
terangkat di atas
pinggang. Sementara, Raja Petir pun sudah siap mengeluarkan jurus-jurus andalannya untuk mementahkan keroyokan lima lawannya.
"Haaat..!"
"Hiyaaa...!"
Malaba dan Guriwang yang berangasan
langsung meluruk ke arah Jaka. Rupa-rupanya
dua orang itu ingin lebih dulu menjajal kemampuan tokoh muda yang namanya selalu disebutsebut dalam rimba persilatan. Malah, mereka tak
menggunakan senjata untuk menyerang Jaka. Serangan keduanya terangkum dalam jurus 'Badai
Gunung Sampa'. Nampak Malaba dengan tangan
terkepal meluruk cepat mengarahkan pukulan ke
bagian kepala Raja Petir. Sementara, Guriwang
menyerang dengan tendangan lurus kaki kanan,
mencecar bagian ulu hati.
Bet! Bet! "Hips!"
Jaka yang mampu membaca serangan kedua lawannya, segera saja mengelak menggunakan
jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Gerakannya yang ringan dan cepat bagai kilat,
membuat serangan Malaba
dan Guriwang mentah.
"Hm...."
Malaba bergumam pelan, menyaksikan kecepatan gerak lawan dalam menghindari serangannya. Dan seketika itu juga siasat serangannya dirubah.
"Haiiit..!"
Wut! Wut! Malaba segera saja memutar-mutar pecutnya. Dan sambil melompat, dia berteriak keras
memainkan jurus 'Pecut Sakti Para Dewa'.
"Mampus kau. Raja Petir!"
Jaka tentu saja tak tinggal diam. Tubuhnya
cepat melenting ke atas.
"Ops!"
Ctar! Kembali serangan pecut Malaba hanya menemui tempat kosong. Dan ini membuat Malaba
semakin murka. Maka senjatanya kembali digunakan untuk memberi serangan susulan ke dada Raja Petir yang baru saja mendarat di tanah.
"Hiyaaa..:!"
Tubuh Malaba kembali mencelat dengan
pecut terangkat tinggi-tinggi. Sementara, Guriwang pun bertindak sama.
Serangan dari dua arah kini mengancam
kedudukan Raja Petir. Namun pemuda tampan
berpakaian kuning keemasan itu sedikit pun tak
merasa kewalahan. Dan dengan ketenangannya,
dinantinya serangan yang lebih dulu datang. Maka ketika pecut Malaba yang tiba
lebih dulu mengarah ke batang lehernya, kekuatan tenaga dalamnya dialirkan pada telapak tangan kanan. Lalu, segera saja disambutnya laju
pecut Malaba itu.
"Hup!"
Trap!

Raja Petir 18 Misteri Arca Singa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heh"!"
Terkejut bukan main Malaba menyadari
senjatanya dapat ditangkap Raja Petir dengan tangan telanjang. Seketika
senjatanya berusaha dibetot. Namun....
"Heh"!"
Kembali Malaba tersentak kaget ketika tibatiba saja tangan Jaka ikut membetot ke arah kiri.
Dan pada saat itulah pecut Guriwang melesat ke
arah dada Jaka.
Karuan saja Malaba kelabakan. Karena tubuhnya yang terbetot kekuatan Jaka, maka bukan
mustahil pecut milik Guriwang akan membabat
habis tubuhnya.
Dan keterkejutan yang sama juga dialami
Guriwang. Orang keempat dari Lima Jin Gunung
Sampa ini menyadari kalau tak mungkin lagi menarik pulang serangannya. Mau tak mau, senjatanya memang harus membentur tubuh kakak seperguruannya. "Uts!"
Di luar dugaan, Malaba melenting setelah
lebih dulu melepaskan cekalannya pada pegangan
senjatanya. "Hup!"
"Hop!"
Di luar dugaan pula, Jaka mengikuti lentingan tubuh Malaba. Dan dengan menggunakan pecut milik lawannya yang berada di tangan, memberi serangan balasan.
Ctar! Ctar! Pecut milik Malaba yang berada di tangan
Jaka meledak-ledak mencari sasaran. Sedangkan
pemiliknya sendiri bersusah-payah menghindari
lidah pecut yang mengincar bagian-bagian peka di tubuhnya.
"Ops! Hups...!"
Berkali-kali Malaba melenting ke udara, untuk menghindari senjatanya sendiri yang dimainkan Jaka. Melihat kenyataan itu, Jaraga, Ganggada,
dan Sitinja sama-sama meluruk cepat, menyongsong tubuh Raja Petir yang tengah mencecar Malaba dengan pecut di tangan.
"Hiyaaa...!"
Teriakan bergema dilakukan tiga dari Lima
Jin Gunung Sampa secara berbarengan. Senjata
mereka pun sama-sama terangkat terarah ke bagian tubuh Jaka.
"Hm...."
Jaka bergumam menyaksikan kedatangan
serangan lawan-lawannya. Maka segera disiapkannya jurus 'Pukulan Pengacau Arah' untuk
menyongsong serangan lawan.
Seketika itu juga Raja Petir memasang kuda-kuda kokoh. Lalu tangannya segera ditarik ke
samping pinggang. Kemudian....
"Hih!"
Wrrr...! Serangkum angin bergulung seperti pusaran angin meluruk dari telapak tangan Jaka yang
menghentak kuat. Angin berhawa panas itu terus
meluruk deras menyongsong tubuh Jaraga, Ganggada, dan Sitinja yang tengah berada di udara.
Tiga lelaki dari Lima Jin Gunung Sampa itu
tentu saja terkejut mendapatkan serangan dahsyat ini. Maka seketika itu juga
mereka sama-sama
membuang tubuh ke arah yang berbeda, untuk
menyelamatkan diri masing-masing.
"Keparat!"
"Mampus kau!"
"Hiyaaa...!"
Malaba yang sudah terbebas dari incaran
senjatanya yang direbut Raja Petir, kini kembali
melesat memberi serangan tangan kosong. Dan
dari arah kanan pun, Guriwang bergerak dengan
pecut yang terangkat dalam jurus 'Pecut Sakti Para Dewa'. "Hiyaaa...!"
Slrrrt..! Di luar dugaan. Raja Petir melempar pecut
miliki Malaba ke arah Guriwang. Lemparan yang
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi itu senga-ja ditujukan ke arah perut
Guriwang yang tengah
terayun ke atas.
Brrrrt..! "Heh"!"
Bukan main terkejutnya Guriwang mendapatkan pecutnya terbelit pecut milik Malaba yang dilempar Raja Petir. Akibatnya,
tubuhnya yang tengah meluncur mendapat dorongan kuat
"Hop!"
Untuk mementahkan daya dorong, Guriwang cepat melenting indah dan mendarat lunak
di tanah. Jligk! Sementara itu, Raja Petir sendiri baru saja
menghindari tinju Malaba yang terarah ke dada.
Dia melompat ke belakang sejauh dua langkah,
kemudian melancarkan serangan balasan yang cepat dan tiba-tiba.
"Jaga seranganku!" teriak Jaka ketika
menggelar jurus 'Petir Menyambar Elang'.
Tubuh pemuda berpakaian kuning keemasan itu bergerak cepat dengan tangan terarah ke
bagian dada Malaba.
"Hih!"
Begkh! "Hegkh!"
Tak mampu Malaba melihat kecepatan gerak Raja Petir. Karena tahu-tahu saja, telapak tangan pemuda itu sudah berada di
depan dada. Dan
Malaba tak kuasa mengelak atau menangkis. Akibatnya, dadanya telak terhajar telapak tangan Raja Petir. Dan tubuhnya langsung
tergempur mundur
dua langkah ke belakang.
Jaraga yang baru terbebas dari segulungan
angin akibat pengerahan ilmu 'Pukulan Pengacau
Arah' dari Raja Petir, geram bukan kepalang menyaksikan nasib Malaba.
"Ganggada, Sitinja! Cepat kerahkan aji
'Kawah Beracun'! Aku akan melakukannya bersama Guriwang," perintah Jaraga.
Memang salah satu keanehan ilmu aji
'Kawan Beracun' harus dilakukan secara berpasangan ilmu itu tak bermanfaat jika hanya dilakukan seorang diri. Terkecuali,
bagi orang yang sudah memiliki tenaga dalam tinggi dan mencapai ta-raf
kesempurnaan. Ganggada dan Sitinja yang mendapatkan
perintah segera saja bergabung. Kedua telapak
tangan mereka segera ditempelkan satu sama lain.
Sementara, Jaraga dan Guriwang juga bertindak sama. Beberapa saat lamanya empat lelaki
itu mulai menggelar jurus-jurus awal dari ajian
'Kawah Beracun'.
Kini, uap kehijauan tiba-tiba saja mengepul
dari telapak tangan Jaraga dan Guriwang yang
menyatu. Begitu juga kenyataannya pada telapak
tangan Ganggada dan Sitinja. Uap kehijauan itu
terus mengepul semakin banyak.
Sementara, Jaka yang tak melakukan apaapa atas lawan-lawannya hanya memandangi saja.
Dan malam pun sudah merangkak semakin jauh.
Kokok ayam hutan pun mulai terdengar.
Bersamaan dengan kokok ayam hutan itulah, Jaraga dan kawan-kawannya serentak berteriak keras dengan tangan menghentak keras ke
arah Raja Petir.
"Haaa...!"
Wrusss...! Uap kehijauan yang mengepul di tangan
empat dari Lima Jin Gunung Sampa meluruk deras ke arah Raja Petir. Dan sebenarnya, pemuda
itu memang sudah berencana meladeni ilmu lawan, dengan mengerahkan aji 'Kukuh Karang'.
Dan ketika kekuatan tenaga dalamnya disalurkan
ke seluruh tubuh, maka yang terjadi pun....
Presss! Presss!
Uap kehijauan milik empat dari Lima Jin
Gunung Sampa tak kuasa membungkus tubuh
Jaka yang sudah terlindungi sinar kuning keemasan. Bahkan uap kehijauan itu tiba-tiba lenyap
begitu saja, tanpa menimbulkan akibat yang berar-ti bagi keselamatan Raja Petir.
"Heh"!"
Jaraga tentu saja heran bukan main. Begitu
juga kawan-kawannya. Dan di tengah keheranan
mereka, tiba-tiba saja....
"Ha ha ha...!"
"Ha ha ha...!"
8 Semua orang langsung mengarahkan pandangan pada sumber suara tawa tadi. Rupanya,
yang datang adalah dua sosok lelaki berpakaian
bergambar kerangka manusia seukuran tubuh
mereka sendiri. Kedua lelaki berusia di atas lima puluh tahun itu terlihat
begitu kurus. Tulang-tulang rahangnya bersembulan keluar, sedangkan
bola matanya menjorok ke dalam.
Dua lelaki yang di kalangan dunia persilatan dikenal sebagai Sepasang Tengkorak Cadas
Keramat kini berdiri pongah di hadapan Raja Petir dan Lima Jin Gunung Sampa.
Sementara, Mayang
dan Dewi Nalar yang juga menyaksikan hanya diam saja. Dalam hati, Mayang bertanya-tanya.
Bahkan berkesimpulan kalau dua lelaki itu ingin
pula merebut Arca Singa Emas milik Dewi Nalar.
"Ha ha ha.... Lima Jin Gunung Sampa! Seharusnya kalian malu tak dapat menundukkan
bocah ingusan macam dia," kata salah seorang da-ri Sepasang Tengkorak Cadas
Keramat diiringi tawa menyakitkan.
"Betul, Kakang Punggi. Seharusnya mereka
malu dengan julukan yang hebat itu," timpal lelaki lain yang juga mengenakan
pakaian sama. "Kau juga betul, Adi Sanggi. Lima Jin Gunung Sampa sangat memerlukan bantuan kita,"
sahut lelaki bernama Punggi, dengan tatapan jatuh tepat pada wajah Jaraga.
Jaraga sebagai lelaki tertua dari Lima Jin
Gunung Sampa murka bukan kepalang mendengar ucapan Punggi. Memang diakuinya, dua lelaki
yang berwajah mirip tengkorak itu bukanlah tokoh sembarangan. Kesaktian mereka
sudah diakui dunia persilatan. Namun untuk Lima Jin Gunung
Sampa yang mendapatkan penghinaan, itu sama
saja sebuah tantangan yang tak patut ditolak.
"Tengkorak Cadas Keramat! Seharusnya kalian bisa jaga mulut, kalau masih ingin melihat
matahari!" hardik Jaraga.
"Ha ha ha...!"
Kemarahan Jaraga ditimpali Punggi dengan
tawa meremehkan.
"Kurasa kata-kata kami tak ada yang salah,
Jin Gunung Samja," balas Punggi.
"Betul," timpal Sanggi. "Bukankah kalian tidak mampu menundukkan bocah ingusan
itu" Dan, salahkah kami jika ingin membantu menyingkirkan bocah usilan itu?"
Mata Jaraga kontan terbelalak mendengar
kata-kata orang kedua dari Sepasang Tengkorak
Cadas Keramat. Sementara, Raja Petir hanya diam
saja menyaksikan perselisihan dua belah pihak
yang diyakininya akan menjadi lawan-lawannya.
"Jin Gunung Sampa! Bagaimana kalau sekarang ini kita bekerja sama untuk melenyapkan
Raja Petir yang kudengar selalu mau turut campur urusan orang lain. Terutama,
urusan tokoh-tokoh
golongan hitam. Setelah itu, baru kita tentukan, siapa yang pantas mendapatkan
Arca Singa Emas
itu," ujar Punggi jelas.
Jaraga tak segera menjawab usulan itu.
Namun hatinya membenarkan keinginan Punggi.
Untuk menjatuhkan Raja Petir, memang bukan
persoalan mudah. Dan memang tidak ada salahnya bila harus bergabung.
"Kalian setuju, Lima Jin Gunung Sampa?"
tegas Punggi melihat lima lelaki yang menjadi lawan Jaka hanya diam saja.
"Baik! Biar aku yang mulai lebih dulu menyerang bocah sombong itu. Dan kalau kalian mau
turut membantu, rasanya itu akan lebih baik,"
Sanggi. Dan kakinya sudah terayun dua langkah
ke arah Jaka. "Bersiaplah untuk mampus. Raja Sombong!"
maki Sanggi dengan kepalan tangan langsung naik
ke atas dada. Jaka tak menimpali. Hanya tatapan matanya saja yang menusuk tajam, dilayangkan pada
wajah kurus milik lelaki yang menantangnya.
"Hwaaa...!"
Pekik melengking terdengar seiring melesatnya tubuh orang kedua dari Sepasang Tengkorak
Cadas Keramat Lesatan Sanggi cepat bukan main, hingga
menimbulkan hembusan angin keras. Apalagi, ketika pukulannya digerakkan ke arah kepala Jaka.
Bunyi menderu langsung terdengar mengiringi ti

Raja Petir 18 Misteri Arca Singa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

banya kepalan maut bertenaga dalam tinggi.
Bets! "Ets!"
Jaka menggeser tubuhnya ke samping kanan menghindari pukulan tangan kanan Sanggi.
Ringan saja gerakannya, namun mampu membuat
keinginan Sanggi hanya tinggal impian kosong saja. Memang, serangannya lolos beberapa jengkal
dari kepala Jaka.
Rasa penasaran rupanya telah menjerat hati
orang kedua dari Sepasang Tengkorak Cadas Keramat ini. Diiringi pekikan keras, kembali tubuhnya meluruk menyerang Jaka.
"Haaat..!"
"Uts!"
Jaka berhasil menghindar dengan melenting
ringan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'.
Sehingga serangan Sanggi yang menggunakan cakar untuk melukai lambung kembali gagal.
"Keparat kau. Raja Petir!" hardik Sanggi mendapatkan serangannya kembali gagal.
Sementara Raja Petir pun sudah mendarat di tanah.
Maka seketika itu juga....
Srat! Sanggi langsung meloloskan senjata berupa
kapak kecil bertangkai panjang. Senjata berwarna hitam sampai ke tangkai itu
digenggamnya kuat-kuat. Jelas tenaga dalamnya disalurkan pada benda itu. Kemudian....
Wuk! Wuk..! Kapak kecil bergagang panjang itu diputarputar keras. Bunyi menderu yang terdengar diirin-gi pula oleh angin mendesis
kuat. Sehingga, mampu menerbangkan kerikil-kerikil kecil yang berada di sekitar tempat Sanggi
berpijak. "Hiaaa...!"
Orang kedua dari Sepasang Tengkorak Cadas Keramat kini betul-betul melesat dengan senjata yang masih terayun di udara.
Bet! Bet! "Uts!"
Kembali Raja Petir mengerahkan jurus
'Lejitan Lidah Petir', untuk mengelakkan serangan.
Namun kali ini Sanggi seolah mampu membaca gerakannya. Maka ketika Jaka mencelat ke samping
kanan, Sanggi juga bergerak ke kanan disertai kelebatan kapaknya yang cepat,
terarah ke pangkal
paha. Serangan Sanggi memang cukup berbahaya. Namun orang yang dicecarnya kali ini adalah Jaka, yang sudah kenyang asamgaram pertarungan. Maka hanya memutar tubuhnya saja, serangan Sanggi sudah berhasil dielakkan. Sehingga, ujung kapak yang tajam itu hanya
meleset sejeng-kal dari pangkal paha. Bahkan gerakan Jaka yang
memutar tanpa diduga-duga sama sekali berubah
menjadi sebuah serangan balasan ke arah Sanggi.
"Awas!" sentak Jaka memperingati Sanggi.
Kedua tangan Raja Petir yang terentang,
bergerak memainkan jurus 'Petir Menyambar
Liang'. Gerakannya demikian cepat ke arah kepala dan dada, sehingga lelaki
berpakaian gambar kerangka manusia itu sesaat jadi gugup. Namun saat
selanjutnya, sudah diputuskannya untuk memapak serangan Raja Petir.
Plak! Plak! "Aaakh...!"
Pekik tertahan seketika terdengar, manakala sepasang tangan saling berbenturan keras. Tubuh Sanggi terlihat tergempur mundur empat
langkah ke belakang. Sedangkan Jaka hanya merasakan sedikit getaran.
Ditilik dari keadaan yang seperti itu, jelas
bisa dipastikan kalau kekuatan tenaga dalam Jaka berada di atas tenaga dalam
Sanggi. "Keparat kau. Raja Petir!" maki Sanggi setelah mampu menguasai diri.
"Kakang Punggi! Kita keroyok saja bocah setan itu!" teriak Sanggi kemudian.
Orang tertua dari Sepasang Tengkorak Cadas Keramat yang memang sudah gatal tangannya
untuk melenyapkan Raja Petir, segera saja menghentakkan kakinya ke tanah
"Hop!"
"Ayo, Adi Sanggi. Kita lumat tubuh Raja Petir! Biar dunia persilatan tahu, Sepasang Tengkorak Cadas Keramat bukanlah tokoh
sembarangan,"
sambut Punggi, penuh semangat
Srat! Punggi meloloskan senjatanya yang berupa
kapak kecil bertangkai panjang warna hitam pekat
"Mainkan jurus 'Kapak Maut Cadas Keramat'!" teriak Punggi sambil memutar-mutar senjatanya. Sanggi yang mendengar
ucapan kakaknya,
segera melesat ke arah kanan Jaka. Sehingga kedudukan Raja Petir kini tercegat dari kiri dan kanan. Wuk! Wuk..!
Bunyi menderu dari kapak bertangkai panjang yang dimainkan Sepasang Tengkorak Cadas
Keramat membuat hati Dewi Nalar yang menyaksikan semakin tersiksa kecemasan. Namun perasaan itu tidak terjadi pada diri Mayang. Kekasih Raja Petir ini begitu yakin
kalau Jaka mampu me-nandingi kesaktian lawan-lawannya.
"Hiyaaa...!"
"Heaaat..!"
Sanggi dan Punggi melesat cepat. Sementara senjata masing-masing diarahkan ke bagian selangkangan Raja Petir dan bagian kepala.
Jaka yang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan, langsung saja mengangkat kedua
tangannya. Tangan tokoh muda digdaya itu seketika bergetar hebat. Jelas Raja Petir tengah melakukan penyaluran tenaga dalam
tinggi. Bet! Bet! Tap! Tap! Di luar dugaan Sepasang Tengkorak Cadas
Keramat, Jaka cepat menggerakkan kedua tangannya. Lalu, cepat ditangkapnya tangkai kapak
yang tengah berkelebat ke bagian tubuhnya.
Kapak milik Sanggi yang berkelebat mencecar bagian bawah, nampak terangkat ke atas setelah tercekal kuat tangan Jaka. Sedangkan kapak
Punggi yang juga tertangkap, tetap berada di atas.
Adu kekuatan tenaga dalam pun tak terhindari lagi. Otot-otot sepasang tangan Raja Petir yang mencekal senjata lawanlawannya nampak mengeras di permukaan. Sementara itu Punggi dan
Sanggi juga mengerahkan tenaga dalam untuk
menarik senjata.
"Hrrrg...!"
"Hrghhh...!"
Gerengan-gerengan kemarahan keluar dari
mulut Sepasang Tengkorak Cadas Keramat yang
berusaha menarik pulang kapaknya. Namun walau
sudah mengerahkan seluruh tenaga yang ada, kapak yang dicekal Jaka tak juga berhasil ditarik
Kenyataan seperti itu segera saja dimanfaatkan orang pertama dan kedua dari Lima Jin
Gunung Sampa. Dengan cara licik mereka tibatiba melesat ke arah Jaka sambil mengayunayunkan pecut ke udara.
"Hiaaa...!"
"Yeaaat..!"
Ctar! Ctar...! Mayang dan Dewi Nalar yang menyaksikan
kelicikan Jaraga dan Malaba geram bukan kepalang. Maka tanpa membuang waktu, kedua gadis
cantik itu melesat ke arah dua orang dari Lima Jin Gunung Sampa.
"Haiiit..!"
"Hiaaat..!"
Tubuh Dewi Payung Emas dan Dewi Nalar
sama-sama berkelebat cepat, menyongsong pecut
milik Jaraga dan Malaba dengan payung kecil dari logam dan selendang merah.
Mayang yang bergerak menyongsong Jaraga, mengerahkan jurus
'Benteng Emas'. Sedangkan Dewi Nalar menggelar
ilmu 'Selendang Merah' ke arah Malaba.
Ctar! Blangngng...! Bunyi keras dua pasang senjata yang beradu pun tak terelakkan. Dan seketika empat sosok
tubuh juga sama-sama terdorong dua langkah ke
belakang. "Keparat kalian, Gadis-gadis Liar!" maki Malaba mendapatkan niatnya untuk
melenyapkan Jaka terhalang. "Akan kulumat tubuh kalian!"
"Ganggada, Guriwang, Sitinja!" panggil Malaba pada tiga rekannya yang tidak ikut
bertarung. "Ringkus gadis liar itu!"
Ganggada, Guriwang, dan Sitinja segera saja bergerak ke arah Mayang dan Dewi Nalar yang
sudah siap menerima serangan dengan senjata
masing-masing. Namun belum lagi niat tiga dari
Lima Jin Gunung Sampa terlaksana, tiba-tiba saja melesat sesosok tubuh
berpakaian putih yang bergerak cepat bagai angin. Sosok itu lalu mendarat ringan
di tanah bagai sehelai kapas.
"Laki-laki bejat moral!" umpat sosok berpakaian putih yang ternyata sudah cukup
tua. Lelaki itu bertubuh tinggi kurus. Rambut,
kumis, dan jenggotnya sudah berwarna putih. Ikat kepalanya juga berwarna putih.
"Untuk apa kalian ingin memperebutkan
Arca Singa Emas itu?"
Pertanyaan yang dilemparkan kakek berpakaian putih itu seperti terdengar dari jarak beribu-ribu pal jauhnya. Bergema
dan memantul-mantul.
Lima Jin Gunung Sampa yang mendapatkan pertanyaan itu seperti tak kuasa menjawab. "Kalau kalian menginginkan kekayaan, memang Arca Singa Emas dapat memberi
kekayaan. Karena dari benda itu akan dapat ditemui letak
Goa Singa yang banyak menyimpan benda berharga dan batu permata. Namun jika bertujuan mencari kitab-kitab dan senjata-senjata pusaka, maka kalian harus berhadapan
denganku, pemilik sah
benda-benda itu," lanjut kakek berpakaian putih bersih itu.
"Jangan-jangan, kau juga ingin memiliki Arca itu, Tua Bangka Bau Tanah!" hardik Jaraga mangkel.
Kakek berbaju putih itu tersenyum.
"Untuk apa merebut barang yang sesungguhnya aku yang punya" Jika aku mau, mudah
sekali mendapatkannya. Karena, akulah Pertapa
Goa Singa yang memiliki benda yang tengah kalian perebutkan. Namaku, Ki
Ajisentanu," sangkal kakek berpakaian putih ini, yang mengaku bernama
Ki Ajisentanu. "Serahkan Arca Singa Emas itu padaku,
Dewi," pinta Ki Ajisentanu.
Orang tua itu lalu mengulurkan tangan pada Dewi Nalar. Tatapan mata lembut Ki Ajisentanu membuat Dewi Nalar teringat
tatapan mata ayahnya. Ada getaran aneh yang tiba-tiba saja dirasakan Dewi Nalar.
Dan nalurinya untuk menyerahkan Arca Singa Emas itu tiba-tiba saja menyemak.
Lalu, terulurlah tangan Dewi Nalar, memberikan
benda yang selama ini dijaganya dengan taruhan
nyawa. "Terima kasih, Cucuku," ucap Ki Ajisentanu saat menerima Arca Singa Emas
dari Dewi Nalar
Dewi Nalar mengangguk disertai senyum
sedikit terkembang.
"Hentikan pertarungan itu!" sentak Ki Ajisentanu pada Punggi, Sanggi, dan Jaka
yang ten- gah saling mengadu kekuatan tenaga dalam.
Tubuh Sepasang Tengkorak Cadas Keramat
itu tersentak, dan langsung tergempur mundur
begitu bentakan Ki Ajisentanu terdengar menggelegar. Sehingga, kedua senjata itu tertinggal di cekalan tangan Jaka yang hanya
bergetar ketika
bentakan Ki Ajisentanu terdengar. Dan kenyataan
ini membuat pertapa sakti, pemilik sah Arca Singa Emas itu terkagum-kagum.
"Sungguh aku kagum melihat pendirianmu
yang selalu berpihak pada orang-orang yang lemah dan benar. Raja Petir," ucap Ki
Ajisentanu. Jaka hanya tersenyum saja mendengar pujian kakek berpakaian putih bersih itu.
"Kalian semua! Berkumpullah di situ!" perintah Ki Ajisentanu pada Lima Jin
Gunung Sam- pa dan Sepasang Tengkorak Cadas Keramat.
Aneh! Tujuh tokoh yang berilmu tinggi ini
menuruti saja perintah kakek berpakaian putih
itu. Lima Jin Gunung Sampa dan Sepasang Tengkorak Cadas Keramat kini berkumpul di hadapan
Ki Ajisentanu. "Kalian saksikan keajaiban Arca Singa
Emas ini," ujar Ki Ajisentanu seraya menggosok bagian kaki Arca Singa Emas yang
sebesar anak ayam itu. Maka, keanehan pun seketika nampak. Tebing rendah yang berada tepat di belakang rumah
Ki Sapartoga yang sudah rata dengan tanah, tibatiba saja bergetar. Sebentar kemudian, tanah tebing itu bergeser membuka seperti
pintu. Kini, ter-ciptalah sebuah goa yang cukup besar, hampir mirip dengan mulut seekor singa yang tengah menganga. Itulah sebabnya, goa itu dinamakan Goa
Singa. Dari dalamnya tampak memendar sinar kekuningan. Jaka, Mayang, dan semua yang menyaksikan menjadi terheran-heran. Dengan tatapan mata
tak berkedip, mereka menyaksikan keanehan Goa
Singa yang gemerlapan dengan sinar kekuningan.
"Masuklah ke dalam goa itu. Ambillah apa
yang kalian inginkan," perintah Ki Ajisentanu pada Lima Jin Gunung Sampa dan
Sepasang Tengkorak
Cadas Keramat Seperti kerbau dicucuk hidung, Lima Jin


Raja Petir 18 Misteri Arca Singa di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gunung Sampa dan Sepasang Tengkorak Cadas
Keramat melangkah tergesa memasuki mulut Goa
Singa. Sementara mata Ki Ajisentanu kini beralih memandang wajah Dewi Nalar
"Cucuku. Biarlah Arca ini kubawa bersama
orang-orang serakah itu. Biar dunia ini tak selalu dilanda keributan. Juga, biar
arwah Satyagana,
Bagura, juga Sapartoga ayahmu, damai di alam
baka," lanjut Ki Ajisentanu.
Air mata Dewi Nalar langsung menetes
mendengar perkataan kakek berpakaian putih
yang menyebut-nyebut nama ayahnya itu.
"Dan untukmu, Raja Petir. Berdirilah yang
tegar pada jalan kebenaran," ujar Ki Ajisentanu pada Jaka. "Aku kagum padamu.
Permisi." Ki Ajisentanu segera melangkah cepat memasuki mulut Goa Singa
Seiring masuknya tubuh Ki Ajisentanu yang
membawa Arca Singa Emas ke mulut Goa Singa
yang menyimpan teka-teki, maka seketika itu juga pintu goa menutup. Dan seketika
itu pula, tebing rendah itu menjadi seperti sedia kala. Yang terlihat kini
hanyalah setumpukan arang bekas bangunan
rumah Ki Sapartoga yang terbakar, dengan latar
belakang tebing indah yang ditumbuhi semak belukar. Jaka, Mayang, dan Dewi Nalar hanya termenung menyaksikan keanehan yang baru saja
berlalu. Sementara matahari di langit Desa Granggas mulai menyengat
Tak ada yang tahu, apa yang bakal terjadi di
dalam Goa Singa itu. Yang jelas, siapa pun yang
masuk ke dalamnya, tak akan kembali lagi. Terutama, bagi orang yang punya niat buruk.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Si Racun Dari Barat 2 Pengelana Rimba Persilatan Jiang Hu Lie Ren Karya Huang Yi Penunggang Kuda Iblis 1

Cari Blog Ini