Ceritasilat Novel Online

Perburuan Busur Maut 2

Raja Petir 21 Perburuan Busur Maut Bagian 2


dengan cepat tubuhnya
bergerak memberikan tendangan yang mencecar bagian punggung. "Hiaaa...!"
Begkh! "Hgkh...!"
Tubuh Burdawa langsung tersungkur manakala tendangan keras yang dilancarkan Jaka mendarat dengan tepat, namun patut dipuji daya tahan tubuh si Golok Darah Mata
Tunggal, meski punggungnya mendapatkan hantaman yang keras dirinya
masih mampu bangkit dan berhajat kembali menyerang lawannya. Namun belum lagi sosok Burdawa bergerak,
Semaga lelaki bertubuh sedang yang bergelar Walet Paruh Racun telah lebih dulu
melesat ke arah Jaka.
"Biar kubantu kau, Burdawa!" tukas Semaga dengan tubuh yang terus meluruk
memberikan serangan ke arah Jaka.
Lurukan tubuh Semaga yang begitu cepat dan
lincah memang membuat dirinya pantas menyandang julukan Walet Paruh Racun.
"Haaat...!"
Cwit! "Heh"! Hips!"
Tercekat hati Jaka mendapatkan serangan
aneh yang dilancarkan laki-laki berjubah putih dengan kain warna merah yang
menjuntai menutupi
punggung. Serangan yang dilakukan dengan gerakan menebas menggunakan telapak tangan yang terentang menjelmakan serangkum angin yang membentuk lempengan setajam mata pisau. Untung saja Jaka cepat bergerak, melejit ke
udara seraya melakukan jungkir balik beberapa kali.
"Hyaaa...!"
"Hiaaat...! Haaa...!"
Baru saja kaki Jaka menginjak permukaan
bumi, Walet Paruh Racun kembali melakukan penyerangan dengan berteriak lantang, akan tetapi
yang datang menyerang bukan hanya dia seorang.
Nampak Kakek Seribu Totokan dan Golok Darah
Mata Tunggal ikut menyerbu ke arah Jaka.
"Kakak! Bebaskan kami! Biar kami bantu
kau!" teriak Setya Wangsakesuma mencemaskan keselamatan Raja Petir. Biar
bagaimanapun juga dia dan saudaranya tak ingin berdiam diri melihat Jaka diserbu
tiga lawan-lawannya yang cukup tangguh.
Namun keinginan Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma tidaklah tercapai. Raja Petir tak juga membebaskannya dari
lingkaran kuning keemasan
yang mengurungnya. Lelaki tampan murid tunggal
Nyi Selasih sibuk menghadapi serangan yang dilancarkan tiga lawannya.
"Hm.... Aku harus menggunakan 'Aji BayangBayang' untuk menanggulangi keganasan mereka,"
batin Jaka dalam hati.
Seketika itu juga, selesai dengan kata batinnya, sosok lelaki tampan yang mengenakan pakaian warna kuning keemasan bertambah
menjadi lima kali lipat banyaknya.
Golok Darah Mata Tunggal, Walet Paruh Racun dan Kakek Seribu Totokan seketika itu juga
menghentikan gerakannya. Sungguh mereka tak
percaya kalau Raja Petir memiliki ilmu yang begitu tinggi hingga sosoknya bisa
bertambah menjadi berkali lima banyaknya.
"Salah satu sosoknya pastilah yang asli, kita harus pandai-pandai memilih!" ujar
Kakek Seribu Totokan sambil memandang kedudukan lima tubuh
Raja Petir yang berdiri sejajar. "Burdawa, kau serang wujudnya yang paling kanan
dan kau Semaga, se-ranglah sosoknya yang paling kiri, sedangkan aku akan
mengambil yang paling tengah," lanjut Kakek Seribu Totokan mengatur siasat
Apa yang disiasatkan Kakek Seribu Totokan
memang benar adanya, cuma saja dirinya tak mendapatkan sasaran yang tepat. Justru Burdawalah
yang mendapatkan petunjuk untuk menyerang wujud Raja Petir yang asli, namun ketika mereka sama-sama bergerak melakukan
penyerangan, Jaka sudah
merubah kedudukannya dengan menempatkan wujud aslinya pada kedudukan nomor dua paling kanan. Hingga ketika serangan ketiga lawannya sampai, maka.... Bet! Bet! Cuit! Wrugkh! Serangan-serangan yang dilakukan Golok Darah Mata Tunggal, Walet Paruh Racun dan Kakek
Seribu Totokan ternyata hanya membentur sosok
kosong Jaka. "Keparat!" hardik Golok Darah Mata Tunggal.
" "Sundel!"
Burdawa dan Semaga sama-sama memaki
jengkel karena kegagalan serangannya, cuma Kakek Seribu Totokan yang diam
mencari jalan untuk segera mungkin menaklukkan Raja Petir.
"Kita serang dia dengan cepat, dan berganti-ganti pada semua wujudnya!" ucap
Kakek Seribu Totokan lagi bersiasat.
"Kau benar! Ayo!" setuju Semaga. Sosoknya melesat mendahului kedua sekutunya.
5 Desa Karang Sedaya yang masih sepi penduduknya, ternyata menjadi begitu bisingnya karena teriakan-teriakan keras yang
dibarengi nafsu membunuh yang meletup-letup di dada tiga tokoh sesat yang
bergelar Golok Darah Mata Tunggal, Walet Paruh Racun, dan Kakek Seribu Totokan.
Keadaan Desa Karang Sedaya sendiri nampak
menjadi tak karuan. Di sana-sini mulai nampak tanah yang berlubang-lubang karena
pukulan yang berkekuatan tenaga sakti salah arah, begitu juga dengan pohon-pohon yang
sebagian besar tumbuh
di Desa Karang Sedaya. Beberapa di antaranya bertumbangan terkena pukulan yang
luput dari sasaran. Kini ketiga tokoh hitam itu berbarengan meluruk ke arah Raja Petir. Sesuai
yang disiasati Kakek Seribu Totokan, mereka melakukan penyerangan
dengan cepat mencecar lima sosok wujud Jaka.
Hal yang demikian itu tentu saja membuat
Raja Petir harus dengan cepat pula menggeser dan
mengubah-ubah letak kedudukannya.
Berkali-kali Burdawa menebas-nebaskan goloknya ke bagian-bagian tubuh Jaka yang mematikan, namun sejauh itu tak satu pun serangan Burdawa yang mengenai sasaran. Begitu juga dengan
keadaan Walet Paruh Racun, dan Kakek Seribu Totokan yang tak juga berhasil menyarangkan tebasan dan totokan tangan mereka yang
mematikan. "Pergunakan racun!" teriak Semaga tiba-tiba.
Tangan kanannya pun seketika itu juga menyelinap cepat ke balik pakaiannya. Hal
serupa juga dilakukan oleh Burdawa dan Niluh Gardela.
Wurrr...! Tiga tokoh sesat itu berbarengan melempar
senjata-senjata gelap mereka yang mengandung racun cukup ganas dan mematikan.
Asap warna kemerahan, kebiruan, dan kehijauan yang dikeluarkan oleh masing-masing senjata rahasia milik lawan-lawan Raja
Petir mengepul ke udara, dan mencoba mengurung kedudukan Jaka.
Akan halnya Raja Petir yang sudah terbiasa
menghadapi kelicikan lawan-lawannya, maka sedikit pun tak timbul kegentaran
menyaksikan racun-racun yang mencoba mengurungnya, meski sesungguhnya dirinya tak akan terpengaruh oleh racunracun itu, namun serangan membokong lawanlah
yang menjadi perhitungan. Maka seketika itu juga timbul hajat di hati Jaka untuk
mengacaukan asap-asap yang membentengi penglihatannya dengan
mengerahkan 'Pukulan Pengacau Arah'. Kedudukan
kaki dan kuda-kuda rendah pun diciptakan Jaka
dengan telapak tangan terbuka yang diletakkan di pinggang, kemudian hentakan
kuat pun dilakukannya. Wrrr...! Dua rangkum angin yang bergulung keluar
dari telapak tangan Raja Petir menghentak keras.
Angin yang bergerak layak pusaran itu terus melaju menyongsong asap-asap beracun
yang mengganggu
penglihatan Jaka.
Seketika itu juga perubahan nampak terlihat
asap-asap beracun yang mengganggu penglihatannya seketika itu juga porak-poranda dan nampak
ketiga lawannya yang tengah bergerak bermaksud
melakukan serangan membokong.
"Heaaa...!"
"Hiaaa...!"
Karena hatinya yang mulai dilanda kejengkelan, Jaka ikut berteriak keras, sementara kedua
tangannya kembali menghentak memberikan pukulan jarak jauh.
Wusss! Wusss! Kembali dua angin bergulung-gulung menyongsong kedatangan sosok-sosok tokoh sesat yang berhajat membinasakan Raja
Petir. Dan angin bergulung yang keluar berkat ilmu 'Pukulan Pengacau Arah' itu
membuat Burdawa, Semaga, dan Niluh
Gardela mengurungkan niat jahatnya dan melemparkan tubuhnya ke samping kiri dan kanan untuk
mencari selamat
"Hm.... Ternyata mereka adalah orang-orang
keras kepala yang tak mengerti kata peringatan. Aku harus mengalah saat ini,
biarlah kutunda saja pertarungan ini dengan meninggalkan mereka," putus Jaka
dalam hati. Itu dilakukannya semata demi
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma.
Di samping itu juga Jaka ingin cepat-cepat mengetahui rahasia jati diri dua
lelaki kembar itu dan juga hal ikhwal busur dan panah emas yang menjadi perebutan tokoh-tokoh rimba persilatan.
Maka ketika Golok Darah Mata Tunggal, Walet Paruh Racun, dan Kakek Seribu Totokan kembali melakukan penyerangan, dengan
sikap seolah-olah
hendak menyongsong serangan mereka, tubuh Jaka
mencelat seraya memberikan pukulan jarak jauhnya, maka.... Wusss...! Serangkum angin bergulung kembali keluar
mengancam keselamatan lawan-lawannya, pada saat
itulah Jaka merubah arah lejitannya dan menghampiri dua bocah kembar yang terkurung lingkaran sinar kuning keemasan.
"Ayo kita tinggalkan mereka, Dik!" ajak Jaka seraya membebaskan Setya
Wangsakesuma dan
Darma Wangsakesuma dari kurungan sinar kundng
yang tercipta berkat 'Aji Kukuh Karang'.
Tanpa banyak tanya, Setya Wangsakesuma
dan Darma Wangsakesuma langsung berlari menuju
utara dengan menggunakan ilmu lari cepat yang di-peroleh dari Kakek Suranggrati.
Jaka sendiri kagum menyaksikan ilmu lari lelaki yang baru berusia tiga belas
tahun itu, ilmu lari yang cukup tinggi untuk ukuran lelaki muda usia seperti
mereka. Setelah menyaksikan lari dua lelaki kembar
hingga mencapai beberapa batang tombak di depan, Jaka menolehkan wajahnya ke
arah tiga tokoh sesat yang tengah bersiap melakukan serangan, bahkan di antara
mereka ada yang bermaksud mengejar Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma.
Untuk mencegah maksud jahat Golok Darah
Mata Tunggal beserta kawan-kawannya, Jaka segera saja menggelar 'Pukulan
Pengacau Arah' untuk menahan langkah mereka.
Werrr! Werrr! Dua kali dengan keras Jaka menghentakkan
tangan kiri dan kanannya, lebih dari tiga rangkum angin bergulung layak pusaran
kembali meluruk cepat ke arah Golok Darah Mata Tunggal, Walet Paruh Racun, dan
Kakek Seribu Totokan yang langsung sa-ja melemparkan tubuh masing-masing demi
mencari selamat dari hantaman angin pukulannya yang menebarkan hawa panas menyengat.
Pada saat lawan-lawannya bergerak menghindari serangannya, Jaka langsung menghentakkan
kakinya keras-keras. Seketika itu sosoknya yang
terbungkus pakaian warna kuning keemasan berkelebat bagai kilat meninggalkan lawan-lawannya dan menyusuli Darma Wangsakesuma
serta Setya Wangsakesuma yang telah menghindar lebih dulu.
* * * Tiga lelaki muda usia terlihat menghentikan
lari mereka yang seperti dikejar-kejar setan. Dua lelaki yang memakai pakaian
warna sama memperlihatkan keringat yang mengucur pada dahi dan keningnya, sementara napasnya yang memburu menandakan bahwa keduanya merasa terlalu lelah.
Sementara lelaki berpakaian warna kuning
keemasan terlihat biasa-biasa saja, hanya sejentik keringat yang terlihat
menggelantung di dahinya.
"Sebaiknya kita beristirahat dulu, Dik. Kalian
nampak begitu letih," ajak lelaki yang tak lain adalah Jaka.
"Aku setuju, Kak," Setya Wangsakesuma yang menjawab ajakan Raja Petir.
"Aku juga, Kak. Apalagi perutku terasa lapar seperti ini," Darma Wangsakesuma
memegang perutnya yang dirasakannya perih karena belum terisi makanan semenjak
pagi kemarin. "Ah, kasihan sekali kalian ini," timpal Jaka.
"Mari kita cari tempat istirahat sekaligus tempat mengi perut," ajak Jaka
kemudian. Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma kemudian mengikuti langkah kaki Raja Petir
yang perlahan dan berbelok ke arah kanan, tak jauh dari kelokan jalan itulah,
pada jarak kurang lebih sepuluh batang tombak tatapan mata mereka berbenturan
dengan sebuah bangunan yang layak disebut sebuah kedai makan.
"Kalian lihat di depan sana?" tanya Jaka pada dua lelaki kembar yang kini jadi
sahabatnya, telunjuk kanannya menunjuk ke arah rumah yang beratapkan rumbia. "Ya," jawab Darma Wangsakesuma. "Semoga saja itu rumah makan," tambahnya
berharap. "Aku yakin itu kedai makan, Darma," timpal Setya Wangsakesuma seraya mengayunkan
kakinya cepat-cepat mendahului langkah kaki Jaka.
"Ayo, Kak. Aku sudah lapar sekali," ajak Setya Wangsakesuma.
Tanpa ada ucapan lagi Raja Petir dan Darma
Wangsakesuma mengayunkan kaki mereka cepat

Raja Petir 21 Perburuan Busur Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cepat, sepertinya mereka sedang berlomba untuk lebih dulu sampai di bangunan
yang dituju. "Harapan kita terkabul," tukas Setya Wangsakesuma memastikan, karena memang
dialah yang lebih dulu di depan kedai.
"Kalau begitu mari kita masuk," ajak Jaka.
Tiga lelaki tampan nan muda usia itu kini samasama melangkah memasuki kedai makan yang bertuliskan 'Kedai Makan Pak Kumis Desa Tretes Dalem'. Setelah Darma Wangsakesuma dan Setya
Wangsakesuma dan juga Jaka mengambil tempat
duduk di sebelah pojok, seorang pelayan tua meng-hampirinya dengan sikap yang
penuh hormat. "Tuan-tuan muda ingin makan apa?" tanya lelaki berkumis dan berambut putih
dengan suara yang begitu sopan.
"Aku nasi putih dan panggang ayam, Kek,"
jawab Darma Wangsakesuma mendahului ucapan
Setya Wangsakesuma yang sudah menggantung di
bibir. "Aku pesan yang serupa," pinta Setya Wangsakesuma. "Kak Raja Petir pesan
apa?" tanyanya pada Jaka.
Jaka tentu saja tersenyum disebut dengan
'Kak Raja Petir' oleh Setya Wangsakesuma, seketika itu juga bibirnya didekatkan
ke telinga bocah muda usia yang masih begitu polos.
"Panggil saja Kak Jaka, jangan menyebutnyebut julukan itu lagi, ya," bisik Raja Petir di telinga Setya Wangsakesuma.
Lelaki tampan yang saudara kembar Darma
Wangsakesuma menganggukkan kepala, lalu pertanyaan serupa kembali terucap olehnya: "Kak Jaka pesan apa?"
"Kek, bawakan aku pesanan yang sama, ya,"
pinta Jaka pada lelaki tua penjaga kedai.
Lelaki penjaga kedai menganggukkan kepalanya memenuhi pesanan pengunjungnya, tubuhnya
dengan cepat berbalik ke arah dapur dan tak lama kemudian sudah kembali lagi
dengan membawa makanan yang dipesan tiga lelaki tampan yang duduk di sudut
ruangan. "Ayo kita serbu hidangan ini," ajak Jaka bernada akrab.
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma tentu saja segera melahap hidangan yang
membuat terbit selera makannya, nasi putih dan
ayam panggang yang masih hangat membuatnya
menyantap dengan lahap makanan yang ada tanpa
menyisakan sedikit pun.
"Kalian mau nambah?" tanya Jaka kemudian sesaat melihat hidangan sudah berpindah
ke perut Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma.
"Tidak, Kak. Nanti aku tak bisa jalan karena kekenyangan," tolak Darma
Wangsakesuma jujur.
Sementara Darma Wangsakesuma menjawab
pertanyaan Raja Petir, lain lagi yang dilakukan Setya Wangsakesuma. Baru saja
lelaki itu memperhatikan seorang lelaki berusia lanjut yang duduk di bagian
sudut di sebelah barat kedai, langsung saja dia
mendapatkan isyarat yang berguna untuknya, saudaranya dan juga Jaka.
Setya Wangsakesuma melihat lelaki yang berjubah warna tembaga itu mengeluarkan tangannya
yang semenjak tadi hanya tenggelam dalam kantung jubahnya yang longgar, Setya
Wangsakesuma sempat terkejut menyaksikan lengan kakek berjubah
warna tembaga itu tidak memiliki jari.
"Diakah Kakek Saroagung si Kakek Tanpa Jari?" batin hati Setya Wangsakesuma bertanya-tanya sendiri. "Aku yakin dia!"
putusnya berkeyakinan.
"Kak, sebaiknya kita dekati kakek berjubah
warna tembaga itu," pinta Setya Wangsakesuma pa-da Raja Petir.
"Kau punya keperluan dengannya" Ah, hatihatilah," ucap Jaka mengomentari permintaan Setya Wangsakesuma.
"Aku kira kakek itulah yang berjuluk Kakek
Tanpa Jari yang kita cari-cari, Kak," ucap Setya Wangsakesuma mengejutkan Darma
Wangsakesuma dan juga Raja Petir.
"Apa alasan keyakinanmu, Setya?" tanya Darma Wangsakesuma penasaran.
"Barusan aku melihat tangannya yang tanpa
jari," jawab Setya Wangsakesuma tegas dan mantap.
"Kau tak salah lihat?" tanya Darma Wangsakesuma lagi merasa kurang yakin.
"Untuk apa aku mengajak Kak Jaka mendekati kakek itu kalau aku tak menyaksikan tangannya yang tanpa jari," debat Setya Wangsakesuma sewot. "Sebaiknya kita buktikan
saja sekarang," timpal Jaka menengahi, kemudian dengan langkah kaki ringan
meninggalkan mejanya menghampiri lelaki
berusia lanjut yang mengenakan jubah warna tembaga. "Maaf, Kek," tutur Jaka sopan dengan berdiri sedikit membungkukkan badan
di hadapan lelaki
berambut panjang digelung ke atas. Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma pun melakukan
hal yang sama. Kakek berpakaian warna tembaga itu sedikit
terkejut menghadapi Jaka dan dua lelaki kembar,
namun kemudian dengan sikap sopan dia mempersilakan Jaka dan Setya Wangsakesuma, juga Darma
Wangsakesuma untuk duduk mengisi bangku yang
kosong. "Apa yang bisa aku bantu, Nak?" tanya kakek berjubah warna tembaga dengan lemah
lembut setelah Jaka, Setya Wangsakesuma, dan Darma Wangsakesuma mengambil tempat duduk masing-masing.
"Maaf sebelumnya, Kek. Jika kami bertiga telah membuat hati Kakek gusar
nantinya," ucap Jaka hati-hati. "Kami harap Kakek tidak tersinggung dengan
pertanyaan kami," lanjut Jaka menjaga tata krama bicaranya.
"Katakanlah, Nak. Aku ingin tahu pertanyaan apa yang akan kalian ajukan," sahut
kakek berjubah warna tembaga berkesan sabar.
"Maaf, barusan kawan saya menyaksikan lengan Kakek yang tanpa jari. Betulkah begitu, Kek?"
tukas Jaka. "Betul," jawab kakek yang duduk tenang di hadapan Raja Petir.
"Keyakinan kawanku ini, Kakek adalah yang
bernama Kakek Saroagung, betulkah begitu, Kek?"
tanya Jaka lagi.
"Hei! Dari mana kalian tahu nama asliku"
Siapa kalian ini?" tanya kakek yang ternyata benar si Kakek Saroagung. Lelaki
berusia sekitar enam puluh tahunan itu sedikit mengalami keterkejutan.
"Dari Kakek Suranggrati," Setya Wangsakesuma yang menjawab pertanyaan Kakek
Saroagung. "Suranggrati..."!" 6
Kakek Saroagung yang bergelar Kakek Tanpa
Jari terkejut mendengar nama Kakek Suranggrati
disebut-sebut oleh lelaki muda usia yang mengenakan pakaian warna merah darah,
ditatapinya wajah Setya Wangsakesuma dengan tatapan penuh selidik.
Kemudian tatapannya berpindah ke wajah Darma
Wangsakesuma. "Perkenalkan dirimu, Anak Muda. Dan katakan apa hubunganmu dengan Suranggrati," pinta Kakek Tanpa Jari pada Setya
Wangsakesuma. "Namaku Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma saudara kembarku," ucap Setya
Wangsakesuma memperkenalkan diri.
Kakek Saroagung mengangguk-anggukkan
kepalanya mendengar tutur kata Setya Wangsakesuma. Hatinya memang sudah menduga kalau lelaki
berusia belasan tahun yang sama-sama mengenakan pakaian merah adalah sepasang anak kembar.
Ada kesimpulan sekilas di hatinya, kalau merekalah cucu angkat Kakek
Suranggrati. "Kami sudah dianggap cucu oleh Kakek Suranggrati, bahkan dianggap sebagai anak," ucap Darma Wangsakesuma menambahkan.
"Sudah kuduga," jawab Kakek Saroagung.
"Sudah sedemikian besarnya kalian, gagah, dan tampan," puji Kakek Tanpa Jari.
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma tertunduk mendengar pujian Kakek Saroagung, sementara si Kakek yang memuji kini menancapkan pandangannya lurus ke wajah Raja Petir.
"Kalau aku boleh menduga," ucapnya kemudian tertuju pada Jaka. "Kaukah lelaki
muda yang berjuluk Raja Petir?" lanjut Kakek Tanpa Jari.
"Orang-orang persilatan yang menggelariku
seperti itu, Kek. Namun aku lebih senang dipanggil dengan sebutan Jaka," kilah
Jaka merendah. "Persis sekali dengan apa yang mereka katakan, " bantah Kakek Saroagung. "Ternyata kau memang seorang pemuda gagah yang
tak sombong dengan gelarmu yang hebat, kau seorang yang rendah hati dan santun budi," puji Kakek Saroagung terang-terangan.
Jaka hanya tertunduk mendengarkan pujian
itu, dia tak tahu harus membantah bagaimana.
"Apakah kalian bertiga atau tepatnya Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma memang
sengaja-sengaja mencari Kakek karena diutus oleh Kakek Suranggrati?" tanya Kakek
Saroagung pada dua lelaki kembar.
"Betul sekali, Kek," jawab Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma bersamaan.
"Jika begitu, mari kita bicarakan saja segala urusan ini di tempat tinggalku,"
putus Kakek Saroagung, kemudian tangannya melambai ke arah penjaga kedai untuk menyelesaikan pembayaran atas hidangan yang telah dinikmatinya, termasuk membayari hidangan yang telah lenyap ke perut Jaka, Setya Wangsakesuma, dan Darma
Wangsakesuma. * * * Rumah kediaman Kakek Saroagung yang masih dalam wilayah Desa Tretes Dalem nampak begitu hening. Maklum pada jarak
ratusan meter tak nampak rumah penduduk tetangga Kakek Tanpa Jari.
Jaka, Setya Wangsakesuma, dan Darma
Wangsakesuma duduk di pendopo rumah yang di
bagian sudutnya terdapat guci warna coklat berukiran ular naga yang tengah
menjulur-julurkan lidahnya. Dari guci itu pula Kakek Saroagung menciduk air
minum untuk disediakan pada ketiga tamu mu-danya. "Air ini cukup enak untuk
diminum, dingin seperti air dari pegunungan," tukas Kakek Saroagung seraya
meletakkan air ke hadapan Jaka, Setya Wangsakesuma, dan Darma Wangsakesuma.
"Silakan diminum," lanjutnya mempersilakan.
Jaka dan dua lelaki kembar langsung mereguk air yang disediakan Kakek Saroagung, mereka
langsung merasakan kebenaran kata-kata si empunya rumah. Air yang diteguknya barusan begitu dingin membuat tenggorokan
terasa sejuk. "Sekarang ceritakanlah dari awal, aku ingin mendengarkannya," pinta Kakek
Saroagung. "Terserah Darma Wangsakesuma atau Setya Wangsakesuma yang mewakili," lanjutnya menambahi.
"Tiga belas tahun kami hidup bersama Kakek
Suranggrati," ucap Setya Wangsakesuma mewakili saudaranya bercerita. "Kami hidup
bahagia meskipun kehidupan kami terkurung pada satu tempat
dan tak bisa berhubungan dengan dunia luar. Menjelang usia kami yang ketiga belas tahun, Kakek Suranggrati memperlihatkan
sepasang benda yang cukup bagus menurut kami, panah dan busur yang
terbuat dari logam emas. Kakek Suranggrati berwasiat agar benda yang menurutnya adalah milik sah kami dan harus diserahkan pada
Raja Petir untuk
diselamatkan, karena menurut Kakek Suranggrati, hanya Raja Petirlah tokoh yang
mampu menyelamatkan panah dan busur emas dari tangan tokohtokoh sesat yang juga mendambakannya untuk dimiliki, namun sebelumnya kami harus menemui
Kakek Saroagung untuk mendapatkan petunjuk
akan jatidiri kami yang sesungguhnya baru kemudian sama-sama mencari Raja Petir untuk menyerahkan panah dan busur emas, tapi kenyataannya
kami bertemu lebih dulu dengan Raja Petir," papar Setya Wangsakesuma panjang
lebar. "Beruntung sekali kalian bertemu lebih dulu dengan Raja Petir. Kalau tidak,
senjata maut yang berada di tangan kalian akan jatuh ke tangan orang-orang yang
tidak bertanggung jawab," sahut Kakek Saroagung. "Terima kasih kuucapkan padamu,
Ja-ka," tambah Kakek Saroagung sambil menolehkan kepalanya pada Jaka.
Jaka sempat tersipu menyaksikan apa yang
dilakukan lelaki tua yang berjuluk Kakek Tanpa Ja-ri, hingga dirinya tak kuasa
berkata apa-apa atas ucapan terima kasih yang disampaikan Kakek Saroagung.
"Sesungguhnya aku tak akan pernah tahu
akan hal ikhwal jatidiri kalian seandainya saja aku tak diberitahu oleh Adik
Pradipta," buka Kakek Saroagung mengawali ceritanya. "Dari dialah aku tahu kalau
kau anak seorang raja dari Kerajaan Watu
Sanjai." "Kami anak raja" Ah, kenapa Kakek Suranggrati tak menceritakannya?" tanya Darma
Wangsakesuma lepas kendali.
"Tentu saja Suranggrati tak menceritakannya, karena dia tak mengetahui," kilah
Kakek Tanpa Jari tenang.
Setya Wangsakesuma tertunduk malu.
"Pada waktu Adi Pradipta menyerahkan bayi
kembar yang baru berusia tiga bulan, dia memang
tak bercerita apa-apa pada Suranggrati. Adi Pradipta hanya menyerahkan dua bayi
kembar untuk dirawat
sebaik mungkin dan juga menyerahkan panah dan
busur emas untuk disimpan dan kemudian diserahkan pada si Bayi jika sudah besar. Setelah berpesan seperti itu Adi Pradipta
langsung kembali ke Kerajaan Watu Sanjai," sampai di situ Kakek Saroagung
menghentikan ceritanya, tatapan matanya tertuju ke wajah Setya Wangsakesuma dan
Darma Wangsakesuma yang dengan begitu sungguh-sungguh mendengar ceritanya.
"Siapakah Pradipta itu" Mengapa menyerahkan kami pada Kakek Suranggrati" Dan apa yang
sesungguhnya terjadi di dalam Kerajaan Watu Sanjai, Kek?" tanya Darma Wangsakesuma cukup cer-dik. "Pradipta adalah abdi setia
Raja Watu Sanjai, dia dengan berani membawa kabur diri kalian karena dia tak
ingin kalian dipelihara oleh orang yang telah melenyapkan rajanya sendiri, orang
yang telah membunuh ayahmu, Sunan Jagat Sena," jelas Kakek Saroagung.
"Siapakah orangnya, Kek?" desak Darma
Wangsakesuma penasaran.
"Mahapatih Paksa Dahana. Orang kepercayaan ayahmu," jawab Kakek Saroagung mantap.
Seketika itu juga kegeraman melanda hati
Setya Wangsakesuma hingga tak sadar tinjunya
yang terkepal melayang ke udara.
"Kau memang wajib marah, Setya," ucap Kakek Tanpa Jari.
Sementara Jaka yang mendengarkan penuturan Kakek Saroagung yang panjang lebar tak memberikan reaksi apa-apa, dirinya cuma bisa mengasi-hani nasib Setya Wangsakesuma
dan Darma Wangsakesuma, namun di hati Raja Petir terbersit keinginan untuk membantu bocah


Raja Petir 21 Perburuan Busur Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembar itu jika memang mereka berminat merebut kembali mahkota
raja yang terlepas dari kepala ayahnya.
"Lalu apakah patih laknat itu yang kini men-duduki jabatan sebagai Raja Watu
Sanjai, Kek?"
tanya Darma Wangsakesuma setelah berhasil meredakan amarahnya.
"Betul. Dan dia berkuasa dengan kesewenangannya. "Lalu apakah Ibu kami masih hidup?" tanya Setya Wangsakesuma.
"Ya. Dalam tahanan bawah tanah," jelas Kakek Saroagung.
"Patih laknat!" maki Darma Wangsakesuma sewot "Kenapa rakyat tidak memberontak
manakala rajanya dan permaisuri dilakukan sedemikian itu?"
"Rakyat tidak bisa berontak karena akal licik Patih Paksa Dahana yang bekerja
sama dengan seorang perempuan cantik yang berjuluk Bidadari Penyamar. Bersamanya pembunuhan berencana terhadap ayahmu terlaksana tanpa menimbulkan kecurigaan orang-orang yang setia pada rajanya. Pembunuhan itu dilaksanakan seolah-olah raja mengalami kecelakaan dengan kuda tunggangannya saat
mengunjungi rumah seorang sahabat karibnya, dan
si Bidadari Penyamar itu menggantikan kedudukan
Nyi Paramesti Dewi yang sampai saat ini masih
mendekam dalam ruang tahanan bawah tanah," tukas Kakek Tanpa Jari berusaha
menjelasi sejelasjelasnya. Tangan Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma sama-sama terkepal menahan amarah yang meletup-letup, sementara wajah mereka
memerah karena usahanya menekan amarah sebisa
mungkin. "Jika aku boleh ikut bicara, kiranya masih hi-dupkah lelaki bernama Pradipta
yang telah berjasa menyelamatkan Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma, Kek?" tutur Jaka ikut bicara.
"Pradipta telah tewas di tangan Bidadari Penyamar yang memiliki kesaktian cukup
tinggi," jawab Kakek Tanpa Jari.
Untuk sesaat suasana di pendopo kediaman
Kakek Saroagung menjadi hening, tak lagi terdengar pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma pada lelaki
berusia lanjut yang berjuluk Kakek Tanpa Jari.
"Apakah kalian berniat merebut kembali tahta singgasana kerajaan yang kini
diduduki oleh Patih Paksa Dahana?" tanya Kakek Saroagung kemudian memecah
keheningan. Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma sama-sama melemparkan pandangannya ke
wajah Kakek Saroagung, namun dari mulut mereka
tak keluar sepatah kata pun.
"Kakek akan membantu kalian untuk itu,"
ujar Kakek Saroagung dengan tatapan yang sebentar kemudian beralih ke wajah
Jaka. "Kakek rasa Raja Petir pun dengan senang hati akan membantu kalian,"
lanjutnya menambahkan.
"Aku ingin kita membebaskan ibu terlebih du-lu, Kek. Kasihan dia tersiksa selama
belasan tahun, meringkuk dalam sel bawah tanah yang tak layak
bagi seorang permaisuri raja," ucap Saroagung tak menjawab pertanyaan Kakek
Tanpa Jari. "Setelah Ibu terselamatkan, baru kita pertimbangkan kembali
pertanyaan Kakek barusan. Aku yakin banyak
orang-orang kerajaan, orang-orang istana yang masih memihak pada Ibu jika mereka
tahu siapa se- sungguhnya Nyi Paramesti Dewi yang kini menjadi
pendamping patih laknat itu, dan aku yakin pula kalau mereka yang sesungguhnya
setia pada raja dan permaisuri yang sah akan membantu kita sepenuh
hati, meski nyawa yang menjadi taruhannya," lanjut Setya Wangsakesuma dengan
ucapan yang penuh
semangat. Kakek Tanpa Jari mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Tentu saja, Setya. Yang pertama kali harus kita lakukan adalah
menyelamatkan ibumu.
Dan untuk itu kita harus mengatur siasat secermat dan setepat mungkin. Kakek
pribadi akan meminta
bantuan pada sahabat-sahabat Kakek yang memiliki ilmu silat tingkat tinggi, juga
meminta bantuan
orang-orang dalam istana yang setia. Pradipta telah menyebutkan nama-nama orang
dalam istana jika
suatu saat aku ingin berbuat sesuatu untuk kepentingan kalian berdua."
"Terima kasih, Kek," ucap Darma Wangsakesuma. Hatinya terasa gembira mengingat rencana
mereka untuk menyelamatkan ibu kandungnya.
"Lalu bagaimana dengan tokoh-tokoh golongan hitam yang berniat memiliki panah dan busur
emas ini?" tanya Setya Wangsakesuma kemudian.
"Kita memang harus menghadapi mereka untuk mempertahankan benda peninggalan orangtua
mu, Setya. Di antara tokoh-tokoh sesat itu, bukan mustahil ada yang sengaja
diutus Mahapatih Paksa Dahana dan Bidadari Penyamar," papar Kakek Tanpa Jari
menjelaskan. "Berarti kita harus menyingkirkan mereka terlebih dahulu, Kek," ujar Saroagung.
"Ya," mantap jawaban yang dilakukan Kakek Saroagung. "Namun menyingkirkan bukan
berarti harus membinasakan mereka," lanjutnya menjelasi.
"Bukan begitu, Jaka?"
"Betul, Kek," jawab Jaka.
Kakek Saroagung tersenyum dengan jawaban
Raja Petir, lalu katanya kemudian, "Untuk hari ini, beristirahatlah kalian
hingga esok. Dan setelah fajar menyingsing, baru sama-sama kita mendatangi rumah
kediaman Kakek Rangsasana, dia sahabatku
yang juga teman seperguruan Bidadari Penyamar.
Kakang Rangsasana juga ahli dalam penyamaran
dan menyamarkan orang lain, karenanya kita sangat membutuhkan bantuannya."
"Kakek memanggil Kakek Rangsasana sebagai
'Kakang', itu berarti umur Kakek Rangsasana lebih tua darimu. Dan beliau adalah
teman seperguruan
si Bidadari Penyamar. Apakah si Bidadari Penyamar itu adalah orang yang juga
sudah lanjut usia?" tanya Jaka.
"Betul. Usianya kurasa sebaya denganku," jawab Kakek Saroagung. "Namun kurasa
setiap lelaki akan tergiur menyaksikan si Bidadari Penyamar
yang bertubuh bagus dan menantang, wajahnya
yang cantik layaknya perempuan yang berumur belasan tahun. Entah ramuan apa yang diminumnya
hingga dirinya menjadi awet muda seperti itu," lanjut Kakek Tanpa Jari
menjelaskan. Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma yang mendengarkan ucapan Kakek Saroagung
terbelalak kaget, mana ada orang tua yang memiliki para secantik perempuan umur
belasan tahun, begitu batin Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma berkata-kata, namun tidak demikian halnya bagi Jaka. Sepenuhnya dia tak
meragukan penjela-san Kakek Saroagung. Di kalangan dunia persilatan banyak
berkembang ilmu-ilmu dan ramuan-ramuan
yang membuat manusia-manusia menjadi awet muda, bahkan Jaka pernah mendengar kalau ada seorang tokoh persilatan yang memiliki 'Ramuan Keabadian'. "Nah, manfaatkanlah waktu istirahat kalian
dengan baik agar besok kita dapat lebih siap menghadapi orang-orang sesat maupun
orang-orang suruhan si Bidadari Penyamar. Jika kalian ingin tidur, ada tiga kamar di bagian
belakang yang selalu tera-wat bersih," ujar Kakek Tanpa Jari.
"Kalau begitu kami ke belakang dulu, Kek,"
ujar Jaka. "Kami juga, Kek," timpal Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma bersamaan.
Kini di pendopo hanya tinggal Kakek Tanpa
Jari yang memandang sosok Raja Petir dan dua lelaki kembar putra dari Kerajaan Watu Sanjai.
7 Saat matahari terjaga dari peraduannya, kokok ayam hutan pun bersahut-sahutan menyongsong datangnya pagi. Saat itulah empat lelaki tengah berjalan gagah ke arah
Selatan, keluar dari desa yang bernama Tretes Dalem. Nampaknya empat lelaki itu
tengah menuju sebuah daerah gunung batu yang menjadi batas wilayah Desa Tretes
Dalem dengan Desa Warakula.
"Masih jauhkah kediaman Kakek Rangsasana,
Kek?" tanya lelaki muda usia yang tak lain adalah Darma Wangsakesuma. Memang
terlihat kalau Darma Wangsakesuma sudah tak sabaran untuk segera tiba di tempat tujuan, maklum, dia ingin cepat-cepat berbuat sesuatu untuk
menyelamatkan ibunya. "Setengah hari perjalanan lagi, Nak," jawab Kakek Tanpa Jari.
"Bagaimana kalau kita tempuh saja dengan
menggunakan ilmu lari cepat, biar lebih cepat sampai," usul Setya Wangsakesuma
yang juga mengalami perasaan sama dengan saudara kembarnya.
"Kakek setuju saja. Bagaimana dengan kau,
Jaka?" lemparnya ke arah Jaka.
"Aku menurut saja apa yang Setya dan Darma
ingini," jawab Jaka.
"Jika begitu, mulailah kalian berlari," perintah Kakek Saroagung pada dua lelaki
kembar. Tanpa menunggu lama Setya Wangsakesuma
dan Darma Wangsakesuma sudah melesat cepat
menggunakan ilmu larinya yang cukup tinggi, Kakek Saroagung dan Jaka hanya
memandangi tingkah
anak kembar itu dengan sesungging senyum.
"Ayo, Jaka. Hops!" Kakek Saroagung menghentakkan kakinya dengan keras, seketika
itu juga tubuhnya melayang deras, jelas lelaki berusia enam puluh tahunan itu
berlari dengan menggunakan il-mu lari cepat yang dibarengi dengan ilmu
meringankan tubuh tingkat tinggi.
"Hups!"
Jaka pun melakukan hal yang sama, melesat
cepat menggunakan ilmu lari cepatnya.
Namun belum lagi setengah pal jarak yang ditempuh Jaka, dia melihat kalau Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma, juga Kakek Saroagung menghentikan larinya. Di depannya nampak
menghadang dua orang lelaki bertubuh tegap yang
mengenakan pakaian rompi warna coklat, sementara di belakang dua lelaki
berkepala gundul itu nampak belasan lelaki bersenjata golok.
"Kau kenal mereka, Kek?" tanya Raja Petir pada Kakek Tanpa Jari.
Kakek Saroagung menganggukkan kepala.
"Dua lelaki itulah yang bergelar Dua Iblis Gunung Batu, sedangkan belasan lelaki
bersenjata golok itu, pastilah anak buahnya," jelas Kakek Saroagung.
"Apakah mereka menginginkan juga panah
dan busur emas?"
"Dugaanku begitu," jawab Kakek Saroagung dengan langkah kaki yang terayun
mendahului kedudukan Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma. "Tuan-tuan muda yang gagah, kami minta
dengan rendah hati, berilah kami sedikit jalan," ucap Kakek Saroagung mantap dan
berkesan tenang.
"Ha ha ha...! Ha ha ha...!"
Ucapan Kakek Tanpa Jari dibalas dengan tawa yang terkesan begitu merendahkan.
"Jika kau ingin berlalu dari tempat ini dengan selamat, harap tinggalkan dua
lelaki kembar itu!"
keras ucapan yang dilontarkan salah seorang dari dua lelaki yang mengenakan
rompi warna coklat. Lelaki itu mengenakan anting-anting besar di telinga bagian
kiri. Tubuhnya yang tegap berisi menampakkan otot-otot yang melingkar-lingkar.
"Apa yang kalian inginkan dari kedua cucuku ini?" tanya Kakek Saroagung sambil
menyentuh ba-hu Setya Wangsakesuma.
"Dirinya! Dan juga panah dan busur emas miliknya," jawab lelaki lain yang mengenakan anting-anting besar pada telinga
bagian kanan. "Permintaan kalian itu sungguh tak masuk di akal! Mana mungkin aku mau
menyerahkan cucuku
pada orang yang bejad seperti kalian, apalagi dengan panah dan busur emas itu,"
bantah Kakek Saroagung. "Jika kalian ingin selamat cepat serahkan bocah-bocah
itu dan juga benda yang kumaksud!" bentak lelaki beranting-anting besar di
telinga kiri. "Aku Junali tak akan segan-segan menurunkan tangan
maut!" lanjut lelaki yang mengaku bernama Junali.
"Ya. Cepat! Jangan tunggu Sunawi bertindak
kasar!" timpal temannya yang lain.
Kakek Saroagung menatap wajah Jaka sebelum meladeni ucapan lelaki yang bernama Junali
dan Sunawi. "Apakah menurutmu yang pantas kita
lakukan untuk mereka, Jaka"!" tanya Kakek Tanpa Jari. "Bagaimana jika kutantang
kedua lelaki itu dalam beberapa jurus?" usul Jaka menimpali pertanyaan Kakek
Tanpa Jari. "Silakan, Jaka," setuju lelaki lanjut usia yang mengenakan jubah warna tembaga.
Mendengar persetujuan Kakek Tanpa Jari,
tanpa menunggu waktu lama kaki Raja Petir langsung terangkat beberapa tindak mendekati dua lela-ki bertubuh tegap yang
berjuluk Dua Iblis Gunung Batu. "Maaf tuan-tuan yang gagah berani," ujar Ja-ka
ketika langkahnya terhenti pada jarak kurang lebih tiga batang tombak dari
hadapan orang-orang yang menghadang perjalanannya. "Bukannya kami tak ingin
mengabulkan permintaan, namun ada satu syarat yang harus kalian penuhi jika
ingin mendapatkan adik-adik kami dan juga panah dan busur
emas milik mereka," lanjut Jaka berujar.
"Apa syarat itu"!" tanya Junali bernada mem-bentak.
"Kalian harus bisa menundukkanku hanya
dalam sepuluh jurus, lebih dari itu harap kalian su-di merelakan kami pergi
meninggalkan tempat ini,"
jawab Jaka tegas.
"Ha ha ha...!"
Persyaratan yang diajukan Jaka disambut tawa meleceh yang keluar dari mulut Dua Iblis Gunung Batu serta belasan pengikutnya.
"Dalam lima jurus pun kepalamu kurasa sudah terpisah dari badan, Anak Muda!" ledek Sunawi.
"Aku ingin bukti akan ucapanmu itu, Sunawi!" tantang Jaka lantang.
Merah padam wajah Sunawi mendengar tantangan itu, maka langkah kakinya pun segera tercipta dua tindak.
"Ayo Junali, kita hancurkan bocah ingusan
yang tak tahu diri ini," ajak Sunawi pada Junali.
"Ayo," timpal Junali.
Dengan memasang kuda-kuda rendah, Sunawi dan Junali sama-sama mengambil ancang-ancang
untuk melakukan penyerangan. Nampak bagian
tangan dua lelaki yang berjuluk Dua Iblis Gunung Batu menegang kaku, jelas
terlihat kalau mereka
tengah menyalurkan tenaga dalamnya untuk menyerang Raja Petir.
"Yeaaah...!"


Raja Petir 21 Perburuan Busur Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tubuh Sunawi melesat lebih dulu daripada
Junali. Tangannya yang terkepal terangkat di sisi kepala. "Yeaaat...!"
Selang beberapa saat Junali melakukan hal
yang sama. Kini keduanya sama-sama bergerak menyerang dari dua arah.
Bet! Bet! Raja Petir bergerak-gerak lincah dengan
menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Tentu saja gerakannya yang cepat itu
membuat Dua Iblis Gunung Batu menemui kesukaran untuk menyarangkan serangannya, kemarahannya pun mulai berkobar. "Setan belang!" maki Junali kasar.
"Keparat!" hardik Sunawi geram.
"Jangan cuma bisa memaki, Tuan-tuan yang
gagah. Ayo keluarkan jurus andalan kalian," tantang
Jaka penuh ejekan.
"Sombong kau!" bentak Junali. "Belum pernah kau rasakan kehebatan jurus 'Dua
Iblis Melebur Gunung'," lanjut Junali seraya menyebutkan nama jurus andalannya.
"Jurus 'Dua Iblis Mengaduk Comberan' pun
tak akan aku takuti," ledek Jaka lagi. Sengaja itu dilakukan Jaka untuk
memancing kemarahan lawan
lebih jauh, karena dengan kemarahan lawan yang
menjadi-jadi, dengan sendirinya mereka tak memperhatikan kekosongan pertahanannya, dengan begitu Jaka tak akan menjumpai kesulitan untuk menyarangkan serangan balasan.
Ternyata pancingan Jaka mendapat hasil.
Dengan tatapan mata membara bagai mata seekor
harimau, Dua Iblis Gunung Batu menggereng murka. "Hrghghg...! Kau memang harus dibinasakan, Bocah! Yeaaat..!"
Dua lelaki bertubuh tinggi besar dan mengenakan rompi warna coklat melesat cepat menyerang seorang pemuda tampan yang
berjuluk Raja Petir.
Dua lelaki yang mengenakan sebelah anting itu kini melakukan penyerangan tidak
dengan tangan kosong. Junali dan Sunawi telah menghunus senjatanya yang berupa tombak tanggung kembar.
Wut! Wut! Plak! Plak! Sengaja Jaka tidak mengelakkan serangan
pertama yang datangnya melalui tangan Junali, dia ingin tahu sejauh mana
kekuatan tenaga dalam lawan, itu makanya Jaka hanya menangkis luncuran
dua mata tombak yang mengancam bagian dada dan
perutnya. Akibat dari tangkisan Jaka, sosok Junali
nampak terhuyung tiga langkah ke belakang, lelaki itu merasakan tangannya linu
seketika. Hal seperti itu jelas menandakan tenaga dalamnya kalah dibanding
dengan tenaga dalam yang dimiliki Jaka.
Sunawi yang menyaksikan Junali terhuyung
mundur, seketika itu juga menambahkan kekuatan
tenaga dalamnya pada luncuran tombaknya yang terarah ke bagian dada.
"Yeaaat..!"
Di luar dugaan Sunawi, Jaka tak bergeming
dari kedudukannya. Lelaki yang bergelar Raja Petir seperti sengaja menyongsong
kedatangan mata tombak dengan dada dan perutnya yang tanpa dilindun-gi apa-apa,
akan tetapi....
Trak! Trak! Sunawi terpental mundur saat senjatanya
menghujam keras bagian dada dan perut Jaka yang
telah dilindungi kekuatan tenaga dalam yang jauh di atas kekuatan tenaga dalam
lawan, maka bukan
hanya tubuh Sunawi yang terpental, tapi juga senjatanya yang jadi patah menjadi
dua bagian. Untuk memberikan peringatan pada lawannya, tubuh Jaka melejit dengan cepat menggunakan jurus 'Petir Menyambar Elang'.
Tuk! Tuk! Dua kali totokan tangan Jaka mendarat di
bagian tubuh Sunawi, hingga lelaki berkepala gundul itu ambruk di tanah dan tak
mampu bangkit untuk melanjutkan pertarungan karena tubuhnya sudah tertotok lumpuh.
"Bagaimana, Junali" Kawanmu ini sudah tak
punya daya apa-apa untuk melanjutkan pertarungan, apakah kau akan menghadapiku seorang diri?"
tanya Jaka sambil menuding sosok Sunawi yang tergeletak tak berdaya.
"Hhh!" Junali mendengus marah, namun dia tak segera melakukan sesuatu untuk
membuktikan kalau dirinya tak gentar untuk meneruskan pertarungan. "Kalau kau takut melanjutkan pertarungan,
aku memberimu kebebasan untuk segera pergi dari
sini," ucap Jaka lagi.
"Hhhs!" Junali kembali mendengus. "Kali ini aku mengaku kalah, tapi tidak untuk
lain kali!" lanjutnya ketus.
"Lain kali aku yang mengalah, tuan yang gagah. Karena kita tak pernah punya sengketa satu sama lain," kilah Jaka.
"Sekarang pergilah dan bawa temanmu itu! Jangan tunggu kawan-kawanku marah!"
tambah Jaka sambil melempar pandangan ke arah Kakek Tanpa Jari dan Setya
Wangsakesuma, juga Darma Wangsakesuma yang semenjak tadi
hanya menjadi penonton.
Junali menggerakkan tangannya memberi
isyarat pada belasan lelaki bersenjata golok agar tiga orang maju membopong
tubuh Sunawi. "Tak akan kami lupakan penghinaan ini!"
ucap Junali tegas. "Lain kali pasti kupenggal kepalamu! Sekarang aku ingin kau
menyebutkan nama
dan julukanmu?" pinta Junali sebelum berlalu dari hadapan Jaka.
"Namaku, Jaka," ucap Jaka-memenuhi permintaan Junali. "Orang-orang menjulukiku
sebagai Raja Petir," lanjutnya dengan suara datar.
"Raja Petir"!" ada nada keterkejutan yang terucap dari penyebutan nama julukan
Jaka. Mata Junali pun nampak menyimpan keterkejutan yang
sama. "Begitulah orang-orang memanggil julukan-ku." Tanpa berkomentar lagi
Junali menghentakkan kakinya cukup keras dan berlalu begitu saja da-ri hadapan
Jaka. Tiga lelaki yang membopong tubuh Sunawi pun melakukan hal yang sama,
diikuti dengan belasan lelaki bersenjata golok yang juga berlalu dari hadapan
Jaka mengikuti ketua mereka.
"Ternyata hanya sebegitu nyali mereka," usik Kakek Tanpa Jari setelah Dua Iblis
Gunung Batu dan belasan anak buahnya berlalu dari pandangannya. "Kak Jaka hebat," puji Setya Wangsakesuma polos. "Iya. Gerakan Kakak ringan
dan cepat," timpal Darma Wangsakesuma ikut-ikutan.
"Kalian terlalu mengada-ada," kilah Jaka merendah. "Ah, ayo kita lanjutkan
perjalanan ini," pin-tanya kemudian.
8 "Saroagung!" sambung lelaki berusia lanjut ketika si Kakek Tanpa Jari, Raja
Petir dan Setya Wangsakesuma juga Darma Wangsakesuma bam sa-ja melintasi
tumpukan batu-batu sebesar perut kerbau yang mengapit jalan selebar dua batang
tombak, sebuah daerah yang masih masuk dalam kawasan
Desa Warakula. "Kakang Rangsasana!" sambut Kakek Tanpa
Jari. Kemudian tangannya yang tak memiliki satu
jari pun digenggam erat jari-jari tangan Kakek Rangsasana.
"Aku butuh bantuanmu," tanpa basa-basi Kakek Tanpa Jari langsung mengucapkan
tujuan kedatangannya. "Jangan khawatir," timpal Kakek Rangsasana seraya mempersilakan mereka masuk ke
rumah yang dikelilingi oleh bebatuan sebesar perut kerbau.
Kakek Tanpa Jari pun langsung membuka
percakapan dengan memperkenalkan diri Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma berikut
kejadian yang dialami raja dari Kerajaan Watu Sanjai yang tak lain adalah ayah
kandung Darma Wangsakesuma dan Setya Wangsakesuma. Kakek Saroagung juga menceritakan cita-citanya untuk membebaskan permaisuri raja yang sampai saat ini masih mendekam dalam tahanan bawah
tanah, di samping
itu juga Kakek Saroagung memperkenalkan Raja Petir. "Sungguh aku tak percaya kalau hari ini akan kedatangan tamu yang namanya
bergema di seluruh
persada persilatan. Sungguh suatu kebanggaan bagiku," ucap Kakek Rangsasana ketika tahu kalau pemuda yang berpakaian warna
kuning keemasan
adalah Raja Petir.
"Ah, jangan terlalu membesar-besarkan, Kek,"
kilah Jaka tak enak hati. "Yang jelas kedatanganku bersama Kakek Saroagung
adalah untuk meminta
bantuan," lanjut Jaka merendah.
"Kita sama-sama membantu Darma dan
Setya, " ujar Kakek Rangsasana masih tetap me-ninggikan kedudukan Jaka.
"Tentu, Kek," sambut Jaka mantap.
"Setelah mendengar cerita kalian di benakku langsung terselip sebuah rencana
yang mudah-mudahan bisa kalian setujui, namun sebelumnya
aku akan memberitahukan dulu pada Jaka, Darma
Wangsakesuma, dan Setya Wangsakesuma bahwa
orang yang menjabat sebagai permaisuri raja saat ini adalah adik seperguruanku.
Kalau saja Kakek Saroagung tak menceritakan persoalan ini padaku,
mungkin sampai mati aku tak akan mengetahui di
mana Nyi Ganda Laras berada," ujar Kakek Rangsasana menjelasi. "Ada satu masukan
yang patut kalian ketahui, termasuk oleh Adi Saroagung. Itu jika kalian semua
memang belum tahu," lanjut Kakek Rangsasana.
"Apa itu, Kakang?" tanya Kakek Tanpa Jari ingin tahu.
"Pihak kerajaan tengah mengadakan sayembara," beritahu Kakek Rangsasana.
"Sayembara?" ulang Darma Wangsakesuma.
"Ya. Busur emas yang kalian milikilah yang sedang disayembarakan pihak kerajaan,
ini pasti keinginan Patih Paksa Dahana dan Nyi Ganda Laras. Akan tetapi bukan
hanya benda itu yang diingini, diri Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma
juga menjadi tujuan dari sayembara itu. Dalam isi pen-gumuman sayembara yang
disaksikan oleh dua
orang muridku mengatakan kalau dua lelaki kembar berusia lebih kurang tiga belas
tahu didapati memiliki panah dan busur emas, maka keduanya harus
dibawa serta ke kerajaan hidup-hidup," tandas Kakek Rangsasana.
"Lalu apa rencana Kakek Rangsasana?" desak
Darma Wangsakesuma tak sabar.
"Salah satu di antara kalian harus ada yang mengikuti sayembara itu," jawab
lelaki bertubuh tinggi dengan sorot mata yang masih memperlihatkan ketajamannya.
"Bagaimana kalau Jaka yang mengikuti," usul Kakek Tanpa Jari. "Aku yakin Kakang
bisa menya-markannya menjadi seorang persilatan yang tak dikenal," lanjut Kakek
Saroagung. "Aku setuju dengan usulan Adi Saroagung,
bagaimana denganmu, Jaka?" lempar Kakek Rangsasana pada Raja Petir.
"Aku bersedia," sahut Jaka mantap. Mendengar kesanggupan Raja Petir, Kakek
Rangsasana langsung menyusun siasat, selain Jaka yang disamarkan, dua muridnya juga disamarkan sebagai
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma
dan dijadikan umpan untuk menghadap raja. Kakek
Rangsasana yakin kalau Setya Wangsakesuma dan
Darma Wangsakesuma tidak akan dibunuh setelah
diserahkan ke kerajaan akan tetapi akan dijebloskan ke dalam tahanan menemani
ibunya, agar semuanya
bisa merasakan betapa tidak enaknya hidup di tahanan untuk selama-lamanya. Dia juga menjelaskan dugaannya, kalau Jaka juga akan
mendapatkan perlakuan yang tidak adil. Bukan hadiah besar yang
akan didapatkan Jaka, tetapi dirinyalah yang akan dijebloskan ke dalam tahanan.
"Jika siasat dan dugaanku benar, maka dalam tahanan itulah Jaka dan juga kedua
muridku merencanakan sebuah pelarian
menyelamatkan permaisuri. Keyakinanku juga mengatakan kalau di dalam tahanan itu juga sudah di-bangun sebuah jalan rahasia
yang cuma diketahui
oleh raja yang sah, yakni ayah Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma, dan
orang kedua yang
tahu adalah istrinya. Hal seperti itu kurasa telah di-pikirkan ayahmu yang
berpikiran panjang akan
adanya pengkhianatan di suatu saat nanti, dan
seandainya mereka dipenjarakan, jalan keluar untuk menyelamatkan diri sudah
ada," papar Kakek Rangsasana panjang lebar, dan siasat itu sepertinya dis-etujui
orang-orang yang mendengarnya.
"Lalu mengapa ibuku tak menyelamatkan diri
melalui jalan rahasia itu?" tanya Setya Wangsakesuma polos.
"Mungkin saja ibumu, meski berada di dalam
tahanan tapi juga ditambahkan dengan pemasungan
kakinya, atau mungkin juga seorang yang pintar telah menotok anggota tubuh
ibumu, hingga dirinya
tak kuasa bergerak sedikit pun dari kedudukannya,"
jelas Kakek Rangsasana.
"Laknat!" maki Setya Wangsakesuma geram.
Jaka sudah disamarkan sebagai tokoh yang
tak dikenal, yakni mengaku sebagai Joko Galung
Mata Tunggal, sedangkan dua murid Kakek Rangsasana menyamar sebagai dua anak kembar dari Kerajaan Watu Sanjai. Mereka kini tengah bergerak ke wilayah selatan menuju ke
Kerajaan Watu Sanjai.
Untuk menghindari kecurigaan dari orang-orang
persilatan yang mengetahui akan adanya panah dan busur emas, maka benda itu
disembunyikan Raja
Petir di balik pakaian penyamarannya yang longgar.
Sementara Kakek Rangsasana menghubungi
teman-teman yang berilmu tinggi untuk membantu
penyerbuan ke Kerajaan Watu Sanjai, Kakek Tanpa
Jari segera bekerja menyatroni orang-orang dalam
yang pernah disebutkan Pradipta, yang sebenarnya teramat setia pada rajanya yang
sah. Mereka adalah para punggawa yang menangani pasukan berpedang
dan panah. Dan juga orang-orang dalam kerajaan
yang berpengaruh, yang kesetiaannya pada ayah
kandung Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma tak lagi diragukan.
Kakek Rangsasana dan Kakek Tanpa Jari
berharap penyerbuan ke Kerajaan Watu Sanjai berhasil baik dengan tidak banyak mengambil korban, tapi kedua kakek berpengalaman
itu yakin kalau
korban bisa ditekan sekecil mungkin mengingat banyak orang-orang kerajaan yang
berpihak pada raja yang sah, yang telah mati akibat kejahatan patih-nya.
* * * Dengan menggunakan ilmu lari cepatnya, Raja Petir yang menyamar sebagai Joko Galung Mata
Tunggal dan dua murid Kakek Rangsasana yang
menyaru sebagai Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma sudah tiba di depan tembok pemba

Raja Petir 21 Perburuan Busur Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tas kerajaan dengan dunia luar. Sesuai siasat mereka, kedua murid Kakek
Rangsasana diikat dengan
rantai baja yang sengaja dibawanya.
Selesai menyelesaikan sandiwaranya, Jaka
segera melangkahkan kakinya, membawa Setya
Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma palsu ke
muka pintu gerbang pembatas. Dua orang prajurit
jaga yang melihat kedatangannya langsung mendekat dan bertanya dengan ketus.
"Mau apa kau?" tanya seorang prajurit jaga
yang bercambang bauk tebal.
"Tolong pertemukan aku dengan Yang Mulia
Raja Paksa Dahana, katakan kalau aku Joko Galung Mata Tunggal ingin menyerahkan
hasil sayembara!"
ucap Jaka tegas.
Salah seorang prajurit jaga itu langsung
menghadap atasannya yang juga langsung menghadap pada Yang Mulia Raja Paksa Dahana.
"Cepat bawa masuk orang itu ke hadapanku!"
perintah Yang Mulia Raja Paksa Dahana tegas.
Nampak keangkuhannya begitu nyata. Dia berdiri
begitu berwibawa di sisi Bidadari Penyamar yang di-dampingi oleh tiga lelaki
gagah perkasa yang masing-masing mengenakan pakaian hitam, putih, dan
merah. Merekalah tokoh-tokoh sesat berkepandaian tinggi yang sengaja disewa
untuk memperkuat kedudukannya sebagai raja dan permaisuri.
Abdi setia raja yang diperintahkan membawa
Joko Galung Mata Tunggal datang menghadap bersama Raja Petir yang menyamar. Raja Petir begitu tiba di hadapan raja langsung
berlutut memberi
hormat "Maaf kalau hamba terlalu lancang berani menghadap," ucap Jaka sopan.
Yang Mulia Raja Paksa Dahana hanya membalas ucapan Jaka dengan senyuman yang lebih
pantas disebut sebagai cibiran.
"Aku sudah menyaksikan bocah kembar yang
kau bawa, sekarang perlihatkan benda yang kumaksud!" pinta Yang Mulia Raja Paksa Dahana.
Jaka langsung mengeluarkan panah dan busur emas dari balik pakaiannya dan menyerahkannya dengan hikmat ke hadapan raja.
"Ha ha ha.... Kau memang hebat! Kau patut
mendapatkan hadiah!" ucap Yang Mulia Raja Paksa Dahana setelah meneliti benda di
tangannya. "Kau lihat, Permaisuriku, betapa menakjubkannya benda ini," lanjutnya
seraya menyerahkan panah dan busur emas ke tangan Bidadari Penyamar.
"Kau memang hebat, Joko Galung," puji Bidadari Penyamar setelah mengamati benda
di tangan- nya. "Kau akan kujamu sekarang juga," lanjutnya, kemudian dengan suara tegas dia
memerintahkan untuk menyiapkan jamuan buat Joko Galung Mata
Tunggal. Sementara Raja Paksa Dahana memerintah
yang lain untuk menjebloskan Setya Wangsakesuma
dan Darma Wangsakesuma ke dalam tahanan bawah tanah disatukan dengan ibunya.
Ketika jamuan untuk Raja Petir sudah siap,
raja dan permaisuri langsung memerintahkan Joko
Galung Mata Tunggal untuk segera menikmatinya.
Akan tetap baru satu tegukan Jaka mereguk
air yang disediakan, kepalanya tiba-tiba merasakan pusing yang luar biasa.
Lantai kerajaan yang dipi-jaknya seperti telah memutar tubuhnya hingga dirinya ambruk ke tanah tak sadarkan diri.
"Ha ha ha...!" Raja Paksa Dahana tertawa keras melihat Joko Galung Mata Tunggal
ambruk. "Kurung dia di tempat yang sama! Jadikan satu!" perintahnya kemudian.
Abdi setia yang mendapatkan perintah itu
langsung membopong tubuh Joko Galung Mata
Tunggal ke rumah tahanan di bawah dan memasukkannya menjadi satu dengan Nyi Paramesti Dewi
yang tengah meringkih tak berdaya dan dua anak
buah Kakek Rangsasana yang menyamar sebagai
Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma.
Manakala prajurit kerajaan sudah berlalu dari
ruang tahanan, Jaka langsung membuka matanya.
Memang sesungguhnyalah Jaka sedikit pun tak terpengaruh oleh air minum beracun yang disuguhkan
Raja Paksa Dahana, cuma ketika dia meminum setegukan, dan ketika kepalanya merasa pusing Jaka langsung bersiasat berlagak
pingsan. "Kita harus bergerak cepat, Tuan Putri. Sebentar kemudian kawan-kawanku akan menyerbu
ke kerajaan ini. Kau harus segera dibebaskan," ucap Jaka setelah mendekati tubuh
lemah Nyi Paramesti Dewi. "Siapa kau?" tanya Nyi Paramesti Dewi terkejut. "Nanti
Tuan Putri akan tahu, sekarang apakah Tuan Putri tahu adanya jalan rahasia di
tempat ini?" tanya Jaka kemudian.
Meski benaknya dipenuhi keheranan, Nyi Paramesti Dewi menganggukkan kepalanya juga dan
menunjukkan letak kunci pembuka pintu rahasia.
"Bagaimana cara membukanya, Tuan Putri?"
tanya Jaka. Nyi Paramesti Dewi memerintahkan Jaka untuk menggoreskan jari telunjuknya secara menyilang sebanyak lima kali pada
dinding. Jaka segera saja melakukannya. Hasilnya....
Dinding tebal itu sedikit demi sedikit berputar, dan Raja Petir langsung saja memerintahkan
anak buah Kakek Rangsasana untuk membopong
tubuh Nyi Paramesti Dewi keluar dari ruang tahanan yang begitu pengap, dan dinding tebal itu pun kembali tertutup ketika kaki
Jaka telah menginjak
lorong rahasia.
"Berjalanlah lurus ke depan, lalu belok kanan dan terus ke kanan dan melakukan
belokan ke kanan sebanyak tiga kali, di situlah kita akan menemukan dunia luar,"
beritahu Nyi Paramesti Dewi yang langsung diikuti oleh Jaka dan si Kembar Palsu.
"Aku yakin kawan-kawan sudah menunggu,"
ucap Jaka ketika sudah sampai pada belokan ketiga ke kanan. "Dan kau akan
bertemu dengan anakmu yang asli, Tuan Putri," lanjut Jaka membuat Nyi Paramesti
Dewi terperangah, namun permaisuri raja
yang sah itu tak bertanya untuk menuntaskan keti-dakmengertiannya.
"Kita sudah berada di luar," ucap salah seorang murid Kakek Rangsasana.
"Ya, kita sudah berada di luar, sebaiknya kita melanjutkan perjalanan ke mana?"
tanya Jaka pada Nyi Paramesti Dewi.
"Terus ke kanan," perintah Nyi Paramesti De-wi. "Kita akan bertemu pada sebuah
hutan yang berada di luar perbatasan tembok kerajaan. Hutan Jatilada," lanjut
Nyi Paramesti Dewi memberitahu.
Tanpa membuang waktu Jaka langsung bergerak ke arah kanan menuju hutan Jatilada. Dan
bukan main gembiranya hati Jaka ketika dia menyaksikan orang-orangnya tengah berkumpul di hutan itu. "Kakek Saroagung, Kakek Rangsasana!" ucap Jaka gembira.
"Jaka," sambut Kakek Tanpa Jari dan Kakek Rangsasana serempak.
"Bagaimana rencana selanjutnya?" tanya Jaka
kemudian. "Orang-orang dalam kerajaan sudah ku hubungi, mereka siap berpihak pada kita, mereka akan bergerak dari dalam,
membungkam pasukan yang
setia pada raja palsu itu! Dan sekarang bawa permaisuri ke tempat yang aman
dengan dijaga bebera-pa orang, sementara yang lainnya ikut menyerbu ke dalam,"
jelas Kakek Tanpa Jari.
Jaka menganggukkan kepalanya, kemudian
tatapan matanya berkeliling memandangi orangorang yang mendukung penyerbuan ini. Jaka tak
mengenal mereka, tapi Jaka yakin kalau mereka
berkepandaian tinggi, itu dapat dilihat dai sorot ma-ta mereka yang tak seperti
sorot mata orang biasa.
Setelah Nyi Paramesti Dewi dibawa ke tempat
yang aman, Kakek Rangsasana dan Kakek Tanpa
Jari, juga Raja Petir, dan yang lainnya segera bergerak menyerbu Kerajaan Watu
Sanjai. Kedatangan rombongan yang hendak menyerbu terlihat oleh beberapa prajurit penjaga gerbang pembatas, mereka langsung
melaporkan pada re-kannya, namun ternyata tak semua mau menerima
laporan itu, bahkan yang tak mau itu langsung
memberikan serangan yang tiba-tiba.
Pada saat prajurit jaga yang berpihak pada
tempat yang berbeda saling baku hantam, rombongan Raja Petir langsung masuk setelah menghancurkan pintu gerbang.
Keadaan semakin bertambah kacau ketika
sebagian pasukan panah yang berpihak pada Raja
Paksa Dahana menghujani anak-anak panahnya ke
arah rombongan yang bam saja datang, namun
anak-anak panah itu tidak ada artinya bagi tokohtokoh berkepandaian tinggi.
Twang...! Twang...!
Berkali-kali panah-panah maut itu mengincar
rombongan Kakek Rangsasana, namun itu bisa dihalau hanya dengan menggerakkan tangan dengan
cepat Pertarungan menjadi semakin sengit ketika pasukan-pasukan yang lain ikut
membantu penyerangan. Di samping itu orang-orang sewaan Raja
Paksa Dahana dan Bidadari Penyamar sendiri sudah turun gelanggang pertarungan.
"Biar aku yang menghadapi si Bidadari Penyamar itu, kalian boleh mencari lawan yang lain,"
ucap Kakek Rangsasana pada Kakek Tanpa Jari, Raja Petir, dan beberapa orang tokoh persilatan sahabat Kakek Rangsasana.
Ucapan Kakek Rangsasana langsung dipatuhi. Dan Jaka langsung bergerak menghadapi dua lelaki yang berjuluk Dua Naga
Sisik Racun dengan
senjatanya yang berupa pecut ular yang langsung
meledak-ledak mencari sasaran di tubuh Raja Petir.
Cletar! Cletar!
"Ups!"
Jaka mengelakkan sambaran pecut itu dengan menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir', namun kemudian dirinya menukik
turun layak kilat dengan menggunakan jurus 'Petir Menyambar Elang' guna
membalas serangan lawan.
Bet! Bet! Dua kali sambaran tangan Jaka yang mengarah ke salah seorang dari dua lelaki yang berjuluk Dua Naga Sisik Racun dapat
dielakkan, namun ketika Jaka bersalto seraya memberikan tendangan lurus mengarah dada, lelaki itu hanya terbengong menanti serangan susulan Jaka
yang datangnya cepat bagai kilat
Blagkh! Lelaki berkumis tipis itu mengerang kesakitan
ketika tendangan keras Jaka mendarat tepat di bagian dadanya. Tubuhnya langsung
terpental sejauh tiga batang tombak.
Kenyataan itu membuat kawannya naik pitam, lalu dengan sengit menyerang Jaka dengan
menggunakan pecut ularnya.
Cletar! Traps! Di luar dugaannya pecut itu ditangkap Jaka
dengan tangan telanjang. Lelaki berkumis tebal yang berjuluk Naga Sisik Racun
itu terkejut, lalu berusaha mengerahkan tenaganya untuk menarik pulang
senjatanya, akan tetap tenaga Jaka ternyata lebih kuat sehingga tubuh lelaki itu
tersentak ke depan.
Bletak! Lawan Jaka terpekik keras saat menerima
pukulan yang mengenai rahangnya. Dia langsung
terhempas ke tanah dan tak kuasa untuk bangkit.
Pada saat itu Jaka menyaksikan kelebatan
seorang lelaki berpakaian kebesaran seorang raja yang hendak menghantamkan
serangannya pada
Setya Wangsakesuma yang sudah tergeletak di tanah. Plak! Hadangan tangan Jaka yang bergerak cepat
membuat niat Raja Paksa Dahana yang hendak
membinasakan Setya Wangsakesuma gagal. Raja
gadungan itu murka bukan kepalang, seketika itu
juga serangan-serangan mautnya dilancarkan ke
arah Jaka. Bet! Bet! Pukulan-pukulan berkekuatan tenaga dalam
tinggi dilancarkan Paksa Dahana, namun satu pun
tak ada yang mendapatkan tempat di tubuh Raja Petir yang bergerak lincah
menggunakan jurus 'Lejitan Lidah Petir'.
"Kau harus mampus di ujung senjataku ini!"
Srat! Raja Paksa Dahana meloloskan senjatanya,
bersamaan dengan itu tubuhnya langsung mencelat
hendak menikam tubuh Jaka.
Wut...! Jaka mengelakkan serangan dengan menarik
tubuhnya ke samping kiri. Kemudian....
"Awaaas...!" sebuah perintah diteriakannya bersamaan sikutnya yang bergerak ke
rusuk Raja Paksa Dahana, namun lelaki itu terlambat untuk
mengelak. Bletuk! Raja Paksa Dahana berteriak kesakitan, tubuhnya terhuyung ke belakang dua tindak, bersamaan dengan itu, sosok si Kembar berkelebat dengan pedangnya yang terayun ke udara.
Tlas! Bret! Pekik kematian seketika itu juga terdengar
mengiringi ambruknya tubuh Raja Paksa Dahana
dengan leher yang hampir terbabat putus dan perut yang terkoyak lebar hingga
memburaikan ususnya.
Pada saat yang hampir bersamaan, jerit kematian susul-menyusul pun terdengar bergantian.
Sosok orang-orang yang berpihak pada Raja Paksa
Dahana satu persatu bertumbangan di tangan kawan-kawan Kakek Rangsasana dan Kakek Tanpa Jari. "Hentikan pertarungan ini! Dan lihatlah, raja gadungan yang kalian bela sudah
mati, jadi untuk apa kalian bertarung!"
Teriakan Jaka yang lantang membuat pertarungan seketika terhenti. Berpasang-pasang mata langsung terarah menatap mayat
Raja Paksa Dahana.
"Kalau kalian mau menyerah, maka hukuman
akan menjadi lebih ringan!" ucap Jaka lagi, dan ternyata ucapan itu membawa
hasil. Orang-orang yang berpihak pada Raja Paksa Dahana semuanya melemparkan
senjata ke tanah.
"Giring mereka ke dalam tahanan!" perintah Setya Wangsakesuma tegas.


Raja Petir 21 Perburuan Busur Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selagi prajurit-prajurit yang setia menggiring
prajurit-prajurit yang salah jalan, Jaka sibuk mencari-cari Kakek Rangsasana dan
Bidadari Penyamar.
"Ke mana Kakek Rangsasana?" tanya Jaka pada Kakek Tanpa Jari.
"Dia tengah mengejar Ganda Laras, saudara
perguruannya yang menyamar sebagai permaisuri,"
jawab Kakek Saroagung. "Mungkin dia ingin menya-darkan kekeliruan saudaranya
itu," lanjutnya.
Jaka tak mengomentari lagi ucapan Kakek
Saroagung, langsung kakinya kemudian terangkat
menghampiri Setya Wangsakesuma dan Darma
Wangsakesuma. "Kemelut sudah berlalu, Setya, Darma. Aku
gembira," ucap Jaka pada Setya Wangsakesuma dan Darma Wangsakesuma.
"Itu berkat jasamu, Kak," kilah Darma Wangsakesuma.
"Jika kau merasa aku ini berjasa, Kakak harap kau mau memberikan jasa pula untuk orang
lain, untuk rakyatmu jika suatu saat kalian menduduki jabatan sebagai pemimpin,"
tutur Jaka lemah lembut.
"Kami akan berusaha untuk itu, Kak," timpal Setya Wangsakesuma.
"Bagus! Dan sekarang Kakak permisi dulu,
masih banyak pekerjaan lain yang harus Kakak selesaikan," tandas Raja Petir.
"Kenapa begitu tergesa-gesa, Kak. Kami senang kalau Kakak tinggal bersama kami dalam beberapa hari, atau selamanya di sini," tahan Darma Wangsakesuma.
"Lain kali, jika ada waktu Kakak pasti singgah ke tempat ini, sekarang Kakak
permisi dulu."
"Tunggu dulu, Kak. Bukankah kami telah diamanati oleh Kakek Suranggrati untuk menyerahkan panah dan busur emas?" ujar Setya Wangsakesuma. Jaka tersenyum mendengar
ucapan itu. "Pasti benda itu disimpan di kamar pribadi
Paksa Dahana, biar kucari dulu, Kak," tukas Setya Wangsakesuma seraya bergerak
masuk ke dalam istana kemudian kembali dengan membawa benda
yang dibungkus kain sutera putih.
"Aku hanya menemukan busurnya saja, Kak.
Entah di mana anak panahnya," ucap Setya Wangsakesuma kecewa.
"Busurnya pun tak mengapa, Setya," ujar Ja-ka menenteramkan hati Setya
Wangsakesuma. "Jika
suatu saat anak panah itu diketemukan, simpanlah olehmu baik-baik," lanjutnya.
"Tentu, Kak," sahut Setya Wangsakesuma.
"Sekarang Kakak permisi."
Setelah berpamitan pada Kakek Tanpa Jari,
Raja Petir langsung menghentakkan kakinya dan
pergi berlalu dengan cepat diiringi dengan tatapan mata Setya Wangsakesuma dan
Darma Wangsakesuma yang merasa berhutang budi.
SELESAI E-Book/PDF: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/
DuniaAbuKeisel Dendam Empu Bharada 1 Pendekar Hina Kelana 23 Satria Pedang Asmara Geger Kitab Inti Jagad 2

Cari Blog Ini