Ceritasilat Novel Online

Sepasang Samurai Maut 1

Raja Petir 23 Sepasang Samurai Maut Bagian 1


SEPASANG SAMURAI MAUT Oleh Bondan Pramana
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Bondan Pramana Serial Raja Petir
dalam episode: Sepasang Samurai Maut
128 hal. ; 12 x 18 cm.
https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
1 Siang itu pesisir pantai Laut Selatan yang
terletak di wilayah timur. Kadipaten Sunyilaga,
nampak diramaikan oleh kuli-kuli panggul. Belasan orang lelaki yang rata-rata bertubuh kekar
dengan otot-otot bersembulan tengah sibuk melaksanakan pembongkaran muatan dari sebuah
kapal yang baru saja berlabuh.
"Ayo! Angkut..! Hati-hati kalian! Itu barang-barang langka dan mahal, jangan
sampai pecah!"
teriak seorang lelaki bertubuh tinggi besar mengatur para kuli yang sedang
menurunkan barangbarang dari kapal yang cukup besar itu.
Lelaki berwajah keras dengan kumis lebat
melintang itu terus berteriak-teriak. Sesekali dirinya pun turut membantu
membetulkan panggulan agar tak membahayakan dalam perjalanan turun. "Hati-hati! Kalau sampai jatuh kau bisa di-hukum oleh Ki Amongdrajat," ujar
lelaki berkumis lebat setelah membetulkan letak barang yang di-panggul kuli
bertubuh sedang.
"Terima kasih, Kakang Salandra!" sahut lelaki itu lalu kembali meneruskan
pekerjaannya. Lelaki berkumis lebat yang ternyata bernama Salandra terus melaksanakan tugas Ki
Amongdrajat untuk mengatur pembongkaran
kapal yang bermuatan guci-guci porselin.
"Uuuh...!" ketika sampai pada pengangkutan yang terakhir, Salandra baru
merasakan ka- lau tubuhnya begitu letih. Namun rasa letihnya
dapat terhapus setelah melihat pekerjaan itu begi-tu mulus. Para pekerja
pelabuhan yang dipimpinnya semua bekerja dengan baik. Tak satu pun barang-barang bernilai tinggi itu yang rusak atau
pecah. Hati lelaki berusia empat puluh tahunan
itu merasa puas.
"Cara kerjamu bagus sekali, Salandra!" puji Ki Amongdrajat, yang duduk bersama
Salandra di pendopo. Lelaki berusia lima puluh lima tahun itu menatap wajah anak buahnya
dengan mata ber-binar penuh kegembiraan.
Salandra yang mendapatkan pujian dari
orang yang sangat dihormatinya hanya menundukkan kepala. Namun tentu saja hatinya begitu
senang mendengarkan kalimat yang mengalir dari
mulut Ketua Perguruan Gelombang Timur itu.
"Semoga benda-benda unik ini menebarkan
daya tarik tersendiri di hati semua tamu kita pekan depan, Salandra," lanjut Ki
Amongdrajat yang juga menjabat sebagai Kepala Desa Pasir Putih.
"Mudah-mudahan begitu, Ki," sahut Salandra dengan kepala sedikit terangkat.
"Ya. Dengan begitu, pekan depan kita
punya dua acara yang pasti akan membuahkan
kegembiraan besar. Pertama, adalah berhasilnya
perayaan perkawinan Nuning Mutiara dengan Raden Mas Satria Aji. Dan yang kedua, pelelangan
guci-guci antik yang bakal mendatangkan keuntungan besar. Kau akan kuberi imbalan yang
memuaskan, Salandra," ujar Ki Amongdrajat ber-janji.
"Ah, aku tak terlalu mengharapkan itu, Ki.
Asalkan rencana-rencana kita berjalan baik pun
aku sudah turut merasa gembira...," tukas Salandra menanggapi janji Ketua
Perguruan Gelombang Timur itu.
Ki Amongdrajat merasa tersentuh juga
mendengar ucapan Salandra.
"Terima kasih kalau begitu, Salandra. Kau
memang muridku yang paling setia berbakti," puji Ki Amongdrajat menambahi. "Ah,
sudah, beristi-rahatlah dulu! Kau nampak sangat letih," ujarnya kemudian seraya
mengangguk-anggukkan kepala,
Tanpa ada ucapan yang keluar, lelaki berkumis melintang itu segera beranjak dari hadapan pimpinannya yang berpakaian warna coklat
mengkilat *** Berbagai bentuk kebahagiaan dicurahkan
Tuhan Yang Maha Kuasa untuk makhluk ciptaanNya. Berbagai cara rasa bersyukur pun diungkapkan. Begitu pula yang dilakukan Ki
Amongdrajat. Kepala Desa Pasir Putih itu tengah
berbahagia atas pernikahan putri tunggalnya,
Nuning Mutiara dengan Raden Mas Satria Aji, putra bungsu Ki Wiracakrana Kepala Desa Kadipara.
Ki Amongdrajat berkali-kali mengucapkan
rasa syukur atas curahan kebahagiaan itu. Di
samping ungkapan itu tak henti-henti melantun
dan bergema dalam hatinya, rasa syukur pun dicurahkan dalam bentuk penyambutan sebaikbaiknya dengan sikap yang paling ramah dan wajah berseri. Kegembiraan dan penyambutan yang ramah pun dilakukan oleh Kepala Desa Kadipara.
Wajah lelaki yang berusia hampir setengah abad
itu nampak berseri-seri. Pakaian yang dikenakan
pun merupakan pakaian terbaik. Sebuah setelan
berpotongan bagus dengan bahan yang terbuat
dari benang sutera pilihan.
"Selamat datang! Selamat datang...!"
"Selamat datang, silakan duduk!" sambut Ki Amongdrajat dan Ki Wiracakra dengan
tangan menyambut uluran tangan para tamu yang datang. Senyum di wajah dua lelaki yang bersahabat sejak usia remaja itu tak
henti-hentinya. Sikap
ramah dan sopan itu tentu saja membuat para
undangan senang hati mendapatkan penyambutan yang hangat.
Ternyata bukan hanya orang-orang biasa
yang menjadi tamu Ki Amongdrajat. Tampak pula
tokoh-tokoh persilatan yang diundang turut
menghadiri pesta perkawinan kedua putra lurah
itu. Hal semacam itu bukan suatu keanehan,
karena Ki Amongdrajat dan Ki Wiracakrana tidak
hanya berkedudukan sebagai kepala desa. Kedua
lelaki berusia sebaya itu juga menjabat sebagai
Ketua Perguruan Gelombang Timur dan Lempengan Cakra Perak
Dari tokoh-tokoh persilatan yang hadir, baru terlihat Ki Wanadara Ketua Perguruan Banyu
Biru, Ki Regajala Ketua Perguruan Golok Suci, Ki
Pariwita Ketua Perguruan Pedang Sukma, dan Ketua Perguruan Tongkat Naga, Ki Sugrida. Keempat tokoh persilatan aliran putih itu kini terlibat perbincangan akrab. Terlebih
ketika tuan rumah
ikut menemani setelah menyambut tamu-tamu
yang lain. "Kalau boleh aku tahu, acara apa saja yang
hendak kau suguhkan nanti, Ki Among?" tanya lelaki tinggi kurus yang mengenakan
pakaian warna biru laut. Dialah Ki Wanadara, Ketua Perguruan Banyu Biru.
"Yah..., tidak banyak acara yang kubuat, Ki Wanadara," jawab Ki Amongdrajat
dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. "Selain me-nyuguhkan tamu-tamu
kehormatanku dengan
jamuan ala kadarnya, dua macam pertunjukan
akan kupertontonkan pada hari yang berbahagia
ini. "Apa itu Ki Among?" tanya Ki Regajala.
"Yang pertama, aku ingin kalian menilai,
sejauh mana kepandaian murid-muridku yang
akan memperagakan ilmu yang mereka peroleh
selama kurun waktu lima tahun. Tentu saja diselingi juga pertarungan antara murid-murid terbaik dengan para tamu yang ingin mencoba kemampuan mereka. Namun dalam hal ini, batas
kesopanan dan adab tetap menjadi pegangan nomor satu. Tak kuperkenankan adanya pertumpahan darah di atas panggung sana," ucap Ki
Amongdrajat dengan jari telunjuk yang tertuju ke ruang paling besar Perguruan
Gelombang Timur.
Mata para tamu dari kalangan persilatan
itu segera saja mengikuti arah yang ditunjuk Ki
Amongdrajat. Mereka pun dapat melihat sebuah
panggung luas. Panggung berukuran sekitar empat kali empat tombak itu dilapisi permadani beludru berwarna putih.
"Sengaja panggung pertarungan itu kulapisi kain putih. Sebab, aku ingin para tamu tahu
kalau niatku memperlihatkan kepandaian muridmurid Perguruan Gelombang Timur bukan semata-mata untuk bersombong dan berbanggabangga diri. Akan tetapi agar tamu-tamuku yang
memiliki kemampuan jauh di atas murid-muridku
bersedia memberi penilaian, bahkan memberi pelajaran lebih. Dengan begitu, murid-muridku
akan menyadari bahwa di atas langit masih ada
langit. Itulah niat suci kami yang tertuang pada lantai panggung berwarna
putih," Ki Amongdrajat menjelaskan dengan panjang lebar.
"Bagus sekali, Ki Among! Aku setuju,"
sambut Ki Sugrida seraya tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala. "Lalu apa yang kedua?" tanyanya lagi kemudian.
"Aku pun ingin menggelarkan barangbarang porselin indah yang baru beberapa hari la-lu didatangkan dari negeri
seberang," jawab Ki Amongdrajat
"Hei, pertunjukan bagus itu!" semarak
sambutan yang diberikan Ketua Perguruan Pedang Sukma. "Hanya untuk dipertunjukkan atau untuk dijual sekalian, Ki Among?"
lanjut Ki Pariwita. "Ha ha ha...! Ternyata kau suka juga pada
benda-benda semacam itu, Ki Pari," sahut Ki Amongdrajat dengan tertawa.
"Bukan Ki Pariwita saja yang senang benda-benda jenis itu, Ki Among! Aku pun menggemari," sela Ki Wanadara.
"Aku pun begitu, Ki Among," timpal Ki Regajala. "Ya. Apakah kau akan menjual
barang-barang itu, Ki Among?" tanya Ki Sugrida tak mau ketinggalan, karena
dirinya juga menggemari
benda-benda yang terbuat dari porselin. Apalagi
jika benda-benda itu berbentuk unik.
"Tentu saja aku akan menjualnya jika kalian berkenan," jawab Ki Amongdrajat tetap dengan senyum ramahnya.
"Tapi acara itu dilakukan setelah pertunjukan panggung selesai," selak Ki Wiracakrana yang tiba-tiba saja sudah berdiri di
belakang Ki Amongdrajat "Tentu saja kami akan bersabar menunggu
acara pertunjukan itu, Ki Wira. Dan kami juga
akan menurunkan murid-murid kami untuk beruji coba para murid perguruanmu, Ki Among,"
tukas Ki Wanadara.
"Hei! Kalian datang bersama murid-murid"
Mana mereka?" tanya Ki Amongdrajat sedikit terkejut, tapi merasa gembira.
Ki Wanadara segera menunjuk dua orang
pemuda berpakaian putih dengan ikat kepala putih pula. Di antara dua pemuda murid Ki Wanadara nampak pula pemuda-pemuda berpakaian
persilatan yang sudah bisa diduga oleh Ki
Amongdrajat sebagai murid-murid Ki Regajala, Ki
Pariwita, dan Ki Sugrida. Hal seperti itu bisa dipastikan dari pakaian yang
rata-rata bersulamkan lambang perguruan mereka.
"Terima kasih atas kesediaan kalian membawa serta murid-murid kalian. Sebelum matahari tegak di atas kepala, sebaiknya acara pertunjukan olah kanuragan kita mulai
saja. Aku akan memberitahu lebih dulu pada kedua mempelai
agar segera menuju ke tempat yang telah dipersiapkan khusus bagi mereka berdua...," ujar Ki Amongdrajat lalu mohon diri.
"Silakan, Ki!" sambut tamu-tamunya.
* * * Nuning Mutiara dan Raden Mas Satria Aji
tampak telah duduk di sudut utama, tak jauh dari panggung pertunjukan. Wajah kedua mempelai
nampak berseri-seri.
Ki Amongdrajat, sebagai tuan rumah penyelenggara perkawinan pun sudah berdiri di atas panggung yang beralaskan kain
beludru berwarna
putih. "Saudara-saudara sekalian...!" Ki Amongdrajat membuka dengan suara yang
lantang dan jelas. "Pada hari yang berbahagia ini tak lupa kupanjatkan puji
syukur ke hadirat Tuhan
Yang Maha Kuasa yang telah mencurahkan karunia begitu besar ini. Dan kepada kalian, yang telah meluangkan waktu untuk
menghadiri pesta
perkawinan Nuning Mutiara putriku dengan Raden Mas Satria Aji, putra bungsu Ki Wiracakrana
dari Perguruan Lempengan Cakra Perak, tak lupa
kami haturkan ribuan terima kasih dengan segala
rasa hormat."


Raja Petir 23 Sepasang Samurai Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambutan dari hadirin pun terdengar meriah dan saling bersahut-sahutan.
"Hidup Ki Amongdrajat!"
"Hidup Ketua Perguruan Gelombang Timur!" Ki Amongdrajat tersenyum-senyum mendapatkan sambutan yang gegap gempita dari murid-muridnya dan juga dari para undangan. Wajah Ketua Perguruan Gelombang Timur terlihat
begitu cerah, sementara sepasang matanya yang
bercahaya bergerak-gerak memandangi wajah tamu-tamu yang memenuhi kursi yang telah disediakan. "Terima kasih! Terima kasih atas sambutan
kalian," ucap Ki Amongdrajat dengan badan sedikit dibungkukkan. Jelas apa yang
dilakukannya memperlihatkan kerendahan hati dalam menerima sambutan dari para undangan. "Untuk mempersingkat waktu, sebaiknya kita buka saja acara pertama, berupa pertunjukan
ilmu olah kanuragan dari murid-murid Perguruan Gelombang Timur. Selanjutnya akan diperlihatkan pertandingan persahabatan dari para undangan yang juga
ingin memperlihatkan kemampuan sekadar untuk
memeriahkan suasana. Saudara-saudara yang
kami hormati. Sekarang juga akan kami tampilkan murid-murid dari Perguruan Gelombang Timur sekadar untuk memperlihatkan apa yang telah mereka dapatkan selama lima tahun menimba
ilmu di Perguruan Gelombang Timur. Kepada mereka dipersilakan naik ke panggung!"
Kemudian, Ki Amongdrajat segera membawa mundur langkahnya ke sudut sebelah kanan.
Setelah itu beberapa murid Perguruan Gelombang
Timur berlompatan ke atas panggung. Gerakan
indah yang mereka lakukan juga memperlihatkan
kecepatan yang cukup memukau hati para tamu.
Begitu pula dengan cara mereka yang mendarat
tanpa menimbulkan bunyi terlalu keras saat kakikaki mereka menyentuh dasar panggung. Jelas
hal itu menandakan ilmu meringankan tubuh
yang mereka dapatkan cukup baik.
"Terimalah salam hormat kami!" ucap lima orang murid Perguruan Gelombang Timur
yang mengenakan pakaian warna biru muda. Secara
serentak mereka menjura memberi hormat. Di
pinggang mereka tampak sebilah pedang pendek
bertangkai biru.
Sesaat kelima murid Perguruan Gelombang
Timur yang berusia rata-rata dua puluhan itu serentak menjura memberi hormat kepada para tamu. Namun kemudian langsung berlompatan....
"Hyaaa...!"
Wuuk! "Hyaa...!"
Bet! Tendangan dan pukulan yang diperagakan
murid-murid Ki Amongdrajat begitu keras bahkan
tampaknya dikerahkan dengan kekuatan tenaga
dalam. Terbukti, dari sodokan tangan dan tebasan yang dilancarkan menimbulkan deru angin
cukup keras. Begitu pula tendangan-tendangan
yang dilakukan dengan keseimbangan tubuh yang
baik. Plok! Plok! Plok!
"Swiiit! Suiiit..!"
"Hebaat! Bagus!"
Tepukan tangan, suitan, dan teriakan pujian pun langsung ramai terdengar dari para tamu yang menyaksikan pagelaran itu.
Mereka berso-rak-sorai memperlihatkan kekaguman terhadap
pertunjukan yang diperagakan para murid Perguruan Gelombang Timur itu.
Hanya dalam waktu tidak berapa lama, lima orang murid Ki Amongdrajat menyajikan jurus-jurus menyerang dan bertahan, karena peragaan selanjutnya berupa jurus yang menggunakan pedang pendek berhulu warna biru.
Jurus-jurus pedang yang dimainkan pun
tak kalah hebat. Dengan gerakan-gerakan yang
cepat, lima lelaki muda itu membabatkan pedang
pendek dalam jurus 'Pedang Membelah Gelombang'. Kemudian dengan cepatnya mereka beralih
ke jurus 'Pedang Menusuk Bulan' yang mencecar
sasaran pada bagian atas. Sedangkan untuk penyerangan bagian bawah menggunakan jurus
'Pedang Menebas ilalang' pun tersaji dengan kelenturan gerakan.
Tepukan tangan membahana kembali menyemarakkan pertunjukan. Nampak wajah Ki
Amongdrajat tersenyum gembira menyaksikan
kebolehan murid-muridnya memperagakan ilmu
yang telah dianjurkannya. Begitu juga Ki Wiracakrana dan dua mempelai.
Setelah lima lelaki muda selesai mempertontonkan kemahiran mereka, dua murid Perguruan Gelombang Timur yang lain segera melesat
ke atas panggung untuk menggantikan lima rekannya. Namun baru dua jurus kedua pemuda
berpakaian serba putih itu memperagakan ilmu,
Ki Amongdrajat seketika bangkit dari duduknya.
Tatapan matanya segera saja menoleh ke pintu
penyambutan para tamu.
Sepasang muda-mudi berwajah tampan
dan cantik nampak tengah berbincang-bincang
dengan salah seorang murid Perguruan Gelombang Timur yang ditugasi menyambut undangan.
Pemuda tampan itu bertubuh kekar. Pakaian yang dikenakan berwarna serba kuning
keemasan. Sedangkan sabuk yang melingkar di
pinggangnya berwarna hijau. Di leher pemuda berambut panjang sebahu itu terlihat gagang pedang yang menggelantung. Dari ciri-cirinya sudah bisa dipastikan kalau pemuda
itu tak lain Jaka
yang di kalangan persilatan lebih dikenal sebagai Raja Petir. Dan gadis cantik
yang menemaninya
siapa lagi kalau bukan si Dewi Payung Emas yang
bernama asli Mayang Sutera.
"Raja Petir...?" sentak Ki Amongdrajat pelan, namun ucapan itu terdengar di
telinga Ki Wiracakrana.
Ki Wiracakrana serta-merta bangkit dari
duduknya. Dan ketika tatapan matanya melihat
sosok lelaki muda berpakaian kuning keemasan,
gumaman yang sama keluar dari mulutnya. "Raja Petir...?"
Ki Amongdrajat dan Ki Wiracakrana samasama terpaku menyaksikan kehadiran Jaka dan
Mayang Sutera. "Hebat kau bisa mengundangnya, Ki
Among?" puji Ki Wiracakrana dengan senyum kagum terlempar untuk Ketua Perguruan
Gelom- bang Timur itu.
"Ah, kau jangan merendah, Ki Wira!" tukas Ki Amongdrajat "Pasti kau yang telah
mengundangnya."
Ki Wiracakrana menggelengkan kepala menyangkal ucapan Ki Amongdrajat. "Aku tak pernah mengundang tokoh muda yang
digdaya itu, Ki. Melihat sosoknya saja baru kali ini," ujarnya menjelaskan.
"Aku pun demikian, Ki. Namun ciri-cirinya
telah kuketahui sejak lama, dari mulut orangorang persilatan yang pernah melihatnya," kata Ki Amongdrajat tak mengakui
merasa mengundang
Raja Petir. "Lalu siapa yang mengundangnya?"
hampir mirip bisikan ucapan yang keluar dari
mulut Kepala Desa Pasir Putih.
"Ah, sudahlah, Ki! Tak perlu kita tahu hal
itu, yang jelas kita harus menyambut pendekar
muda itu dengan baik. Ayo, kita ke sana, Ki!" ajak Ki Wiracakrana.
Kedua lelaki setengah baya yang samasama menjabat sebagai kepala desa dan sekaligus
sebagai ketua perguruan itu segera melangkah
menuju tempat Jaka dan Mayang Sutera berada.
Langkah kaki Ki Amongdrajat dan Ki Wiracakrana
rupanya menjadi perhatian para undangan. Mereka kontan tertegun ketika menyaksikan sepasang muda-mudi berparas tampan dan cantik
tengah menyongsong kedatangan Ki Amongdrajat
dan Ki Wiracakrana.
"Selamat datang. Raja Petir!"
"Selamat datang!" sambut Ki Amongdrajat dan Ki Wiracakrana setelah lebih dulu
menjura hormat. Raja Petir dan Dewi Payung Emas yang
mendapatkan sambutan seperti itu tampak merasa sungkan. Meskipun tersenyum wajah keduanya tampak memerah.
"Panggil aku Jaka, Ki!" ujar Jaka merasa tak enak dipanggil julukannya. "Dan ini
temanku, Mayang," lanjutnya, memperkenalkan sang Kekasih. Ki Amongdrajat dan Ki
Wiracakrana tersenyum menyaksikan kerisihan pemuda tampan di
hadapannya. Namun justru sikap itu yang menambah kekaguman di hati kedua kepala desa
itu. Kekikukan yang ada pada diri Raja Petir menandakan kerendahan hatinya.
"Terima kasih atas kesediaan kalian menghadiri pesta perkawinan anak kami!" ujar Ki Amongdrajat seraya mempersilakan
Jaka dan Mayang Sutera masuk.
"Di mana bisa kutemukan kedua mempelai
itu, Ki?" tanya Jaka sopan.
"Ikutilah kami!" Ki Wiracakrana yang menjawab sambil mendahului langkah Ki
Amongdra- jat Ki Amongdrajat tersenyum menyaksikan
tingkah laku besannya. Namun dia maklum karena Ki Wiracakrana ingin juga menghormati Jaka
dan Dewi Payung Emas sebagai tamunya.
Di belakang Ki Amongdrajat, langkah kaki
Jaka dan Mayang Sutera terayun bersama. Berpasang-pasang mata yang memenuhi undangan
Ki Amongdrajat beralih menatapi sepasang tokoh
muda yang kini tengah menuju tempat duduk kedua mempelai. Sementara pertunjukan di atas
panggung untuk sesaat terlupakan.
"Ck... ck... ck...., cantik nian gadis itu!
Sungguh beruntung pemuda yang mendampinginya," gumam salah seorang undangan dengan tatapan mata yang tak berkedip ke
wajah Mayang Sutera. "Tentu saja," timpal rekannya. "Tapi yang lelaki juga tampan betul,
kalau saja aku seperti dia...." "Hus! Mimpi saja kau!" bentak kawannya yang
lain. Bisik-bisik seperti itu bukannya tak terdengar telinga Jaka dan Mayang Sutera. Namun
sepasang pendekar muda itu sengaja mengacuhkan. Langkah keduanya terus terayun menuju
tempat Raden Mas Satria Aji dan Nuning Mutiara
berada. "Oh! Selamat datang, Jaka, Mayang!" sambut Raden Mas Satria Aji dengan tangan
terjulur hangat. Hal seperti itu dilakukan juga oleh mempelai wanita. "Selamat atas perkawinan kalian! Semoga
kalian bisa selama-lamanya berdampingan dan
mempunyai keturunan yang lebih dari satu lusin," seloroh Jaka.
"Bantulah dengan doa, Jaka! Semoga aku
bisa mempunyai anak lebih dari dua lusin!" sambut Raden Mas Satria Aji sambil
tertawa. "Maunya!" tukas Nuning Mutiara dengan
tawa yang juga tercipta pelan.
Keakraban antara kedua mempelai dan sepasang pendekar muda itu tentu saja menimbulkan keheranan Ki Amongdrajat dan Ki Wiracakrana. Namun ketika Raden Mas Satria Aji menjelaskan, kedua kepala desa itu menganggukkan
kepala. "Begitulah, Ayah. Kami memang pernah saling berkenalan, ketika bertemu
di sebuah kedai di Desa Rawinglayu, dua belas hari yang lalu.
Dan tentu saja kesempatan baik itu kugunakan
untuk mengundang Raja Petir dan Dewi Payung
Emas untuk menghadiri pesta perkawinan ini.
Syukur mereka berdua bersedia hadir...!" tambah Nuning Mutiara.
"Memang betul begitu, Ki!" tegas Jaka
membenarkan. Ki Amongdrajat dan Ki Wiracakrana tersenyum, kemudian memperkenalkan Jaka dan
Mayang Sutera pada Ki Wanadara, Ki Regajala,
dan Ki Pariwita, juga Ki Sugrida.
"Senang sekali kami dapat bertemu denganmu, Raja Petir," sambut Ki Wanadara mewakili ketiga rekannya. "Selama ini
kami hanya mengetahui ciri-cirimu dari mulut ke mulut. Tetapi sekarang.... Ah! Tak kusangka
kalau kau ternyata
masih demikian muda, begitu gagah dan tampan,"
tambah Ki Wanadara memuji.
"Jangan terlalu membesar-besarkan apa
yang tak ada pada diriku, Ki! Aku takut jadi lupa daratan," sangkal Jaka
bergurau. Keempat pemimpin perguruan yang juga
turut menghampiri Raja Petir pun tampak tersenyum mendengar ucapan merendah pendekar
muda belia itu.
"Akh...!"
Tiba-tiba terdengar pekik kesakitan di selasela suara riuh para tamu. Raja Petir yang tengah berbincang-bincang dengan
orang tua di hadapannya seketika berpaling ke asal suara pekikan


Raja Petir 23 Sepasang Samurai Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertahan yang terdengar dari sekitar panggung.
Seorang lelaki berpakaian merah nampak terkulai
di dasar panggung dengan sepasang tangannya
yang memegangi perut.
Plok! Plok! Plok!
Sambutan hangat pun segera terdengar dari para penonton atas kemenangan seorang murid
Perguruan Gelombang Timur. Pada saat itu pula
dari pintu penyambutan tampak sesosok bayangan kehitaman berkelebat masuk.
Gerakan yang dilakukan sosok berpakaian
hitam begitu cepat bagai kilat, hingga tahu-tahu saja sudah mendarat dengan
ringan di atas panggung pertunjukan.
"Menyingkirlah! Hih!"
Blugkh! "Aaa...!" seorang murid Ki Amongdrajat yang masih berada di atas panggung kontan
men-jerit ketika tendangan keras yang dilancarkan lelaki berjubah hitam mendarat
di dadanya. Tubuh pemuda belasan tahun itu kontan
terlempar dari panggung. Namun ketika tubuh itu
masih berada di udara, Ki Amongdrajat segera
melesat menyambarnya. Dan setelah meletakkan
muridnya pada tempat yang aman, tubuh Ketua
Perguruan Gelombang Timur itu segera melesat
naik ke atas panggung pertunjukan.
"Hops!"
*** 2 Bukan hanya Ki Amongdrajat yang terkejut
melihat kedatangan lelaki berjubah hitam yang di kalangan rimba persilatan
dikenal sebagai Datuk
Beruang Hitam. Tampak para undangan pun tertegun bercampur keheranan atas munculnya tokoh hitam ini. Siapa yang tak kenal Ki Samparal, lelaki berwajah buruk yang
sepak terjangnya selalu berkesudahan dengan kematian bagi lawan.
Dialah datuk wilayah utara yang paling terkenal
kebengisannya. Raja Petir dan Mayang Sutera tak luput dari keterkejutan itu. Mereka langsung terpaku dengan pandangan tegang tertuju ke
panggung per- tunjukan. Di atas panggung bertilam beludru
warna putih itu berdiri Ki Amongdrajat dan lelaki berwajah buruk berjubah hitam.
"Setahuku, kita tak pernah punya urusan,
apalagi bersengketa padamu, Datuk Beruang Hitam," ujar Ki Amongdrajat dengan sikap hormat sebagai tuan rumah yang baik
"Cuh!"
Lelaki yang dipanggil Ki Amongdrajat sebagai Datuk Beruang Hitam meludahi kain putih
alas panggung. Seketika para tamu tersentak kaget. Seperti layaknya kain yang kejatuhan bara,
kain itu terbakar dan mengepulkan asap tipis.
Ki Amongdrajat yang menyaksikan hal itu
pun terkejut. Betapa hebatnya Datuk Beruang Hitam, hingga ludahnya saja panas laksana bara.
"Siapa bilang kau tak punya urusan denganku, Aki Peyot!" bentak Datuk Beruang Hitam dengan jari telunjuk menuding
wajah Ki Amongdrajat "Dengan tidak kau undangnya aku untuk turut menyemarakkan acara ini,
itu sama saja kau mencari urusan denganku! Kau telah
merendahkanku!" lanjut lelaki berwajah kasar itu.
"Ah, maafkan kami kalau begitu, Datuk Beruang Hitam! Bukan maksud kami merendahkanmu, sebenarnya kami tak tahu di mana harus
menemuimu," kilah Ki Amongdrajat dengan segala kerendahan hati. Maksudnya tentu
saja ingin menjaga agar acara pesta perkawinan itu tak terganggu oleh keributan, jika dia menanggapi kedatangan Datuk Beruang Hitam dengan kemarahan.
"Jangan banyak alasan, Aki Peyot! Sekarang juga suruh mempelai pria naik ke panggung
ini! Dia akan kuberi pelajaran cuma-cuma. Sebagai seorang calon suami, dia harus tahu bagaimana caranya menjaga seorang istri," pinta Datuk Beruang Hitam tegas.
"Permintaanmu aneh, Datuk Beruang Hitam!" jawab Ki Wiracakrana dari bawah panggung, namun kemudian tubuhnya melompat ke
atas. "Hops!"
"Hm...! Kaukah Pendekar Cakra Perak?" bibir Datuk Beruang Hitam mencibir dengan
uca- pan bernada meremehkan kehadiran Ki Wiracakrana. "Ya. Aku terang-terangan menentang per-mintaanmu!" sambut Ki Wiracakrana
tegas. "Ha ha ha...! Kalau aku memaksa, kau mau
apa?" tanya Datuk Beruang Hitam. Wajahnya
yang bengis tak menghadap kepala Ki Wiracakrana, tetapi matanya yang merah melirik tajam.
"Mengu...!"
"Sabar, Ki Wira!" tahan Ki Amongdrajat,
"Kita harus secara baik-baik mengatasi masalah ini. Aku tak ingin acara
perkawinan ini menjadi kacau," lanjutnya mengingatkan kelalaian Ki Wiracakrana.
Ketua Perguruan Lempengan Cakra Perak
rupanya menyadari apa yang barusan dilakukannya. "Ki Among! Kenapa kau larang dia bicara!
Aku ingin tahu apakah dia layak disebut sebagai
seorang pendekar!" lantang ucapan Datuk Beruang Hitam. "Bukan maksudku melarangnya bicara,
Datuk Beruang Hitam!" tandas Ki Amongdrajat dengan suara yang sedikit meninggi.
"Aku hanya tak ingin di tempat ini terjadi keributan yang
mengakibatkan pertumpahan darah," lanjutnya tegas. "Dasar pengecut!" bentak
Datuk Beruang Hitam kasar.
"Terserah apa katamu, Datuk. Yang jelas,
kuingin sekarang juga kau turun dari atas panggung ini. Duduklah di bangku yang telah kami
sediakan sebagai tamu kehormatan!" kilah Ki Amongdrajat dengan suara sedikit
bergetar menahan kemarahan yang meluap.
"Aku baru mau turun jika pengantin lelaki
kau ajak naik ke sini dan bertarung denganku dalam beberapa jurus. Aku ingin menjajal kemampuannya!" desak Datuk Beruang Hitam.
"Semakin kurang ajar saja kau, Datuk Buruk Rupa! Kau pikir kami tak mampu mengusirmu secara paksa?" bentak Ki Wiracakrana dengan amarah yang tak terbendung
"Sekarang hadapi aku sebagai pengganti anakku!"
Kepala Desa Kadipara itu melangkah dua
tindak melewati tubuh Ki Amongdrajat.
"He he he...! Baik, baik. Tidak anaknya,
bapak pun jadilah!" Datuk Beruang Hitam tertawa terkekeh-kekeh. "Bersiaplah!"
lanjutnya membentak. Dua tokoh persilatan yang sama-sama telah punya nama itu kini saling berhadapan di
atas panggung pertunjukan. Tidak ada yang
mampu mencegah kenyataan itu. Ki Amongdrajat
kini sudah turun panggung untuk memberi kesempatan pada Ki Wiracakrana yang merasa tersinggung atas perbuatan Datuk Beruang Hitam.
Sedangkan para undangan yang sejak tadi memenuhi bangku-bangku di depan panggung, kini
sudah bergerak meninggalkan tempatnya. Mereka
sadar kalau pertarungan kali ini bukanlah pertarungan persahabatan ataupun persaudaraan, melainkan sebuah pertarungan mempertahankan
harga diri. Mereka tak ingin turut menanggung
akibat jika tetap berada di tempat duduk masingmasing. "Hyaa...!"
Karena sudah tak kuasa membendung kemarahan, Ki Wiracakrana mendahului membuka
serangan. Tangannya yang terkepal terlihat bergetar hebat, jelas kalau Ketua
Perguruan Lempengan Cakra Perak itu telah mengerahkan kekuatan
tenaga dalamnya untuk menjatuhkan lelaki berjubah bulu beruang warna hitam.
Datuk Beruang Hitam dalam menanggapi
serangan Ki Wiracakrana sepertinya menganggap
remeh. Sedikit pun tak terlihat usaha lelaki berwajah buruk itu untuk melakukan
gerakan menghindar maupun menangkis serangan. Dirinya tetap berdiri tenang dengan senyum yang
tak sedap dipandang.
Bet! "Haits! He he he...!"
Sambil tertawa terkekeh-kekeh, Datuk Beruang Hitam menggeser ringan kepala ke kanan
untuk menghindari jurus 'Tinju Pemecah Cadas'
yang dilancarkan Ki Wiracakrana. Hasilnya memang cukup mengagumkan. Meski gerakannya
nampak ringan, namun kecepatan sambaran tinju
Ketua Perguruan Lempengan Cakra Perak mampu
dihindarinya. Kenyataan itu tentu saja membuat orangorang yang menyaksikan jalannya pertarungan
sempat berdecak kagum, tak terkecuali Raja Petir dan kekasihnya, Mayang Sutera.
Sebaliknya, Ki Wiracakrana semakin membara kemarahannya karena kegagalan serangan
pertama. Mendapati kenyataan itu, Ketua Perguruan Lempengan Cakra Perak kembali memberikan serangan susulan dengan jurus 'Sepuluh Jari
Membentuk Cakra'.
"Hyaa...!"
Wrrt! Wrrts! "Haits! Heaa...!"
Kali ini Datuk Beruang Hitam harus membawa mundur tubuhnya dua langkah untuk
menghindari serangan susulan lawan yang mengandung kekuatan dua kali lipat dari serangan
pertamanya. Namun Ki Wiracakrana yang sudah
terbakar kemarahan tampaknya tak ingin memberi kesempatan bagi lawan menghindari serangannya. Kepala Desa Kadipara itu pun terus bergerak memberikan serangan susul-menyusul dan
terarah ke bagian-bagian yang mematikan di tubuh Datuk Beruang Hitam.
"Heaa...!"
Wuerts...! "Aits...!"
Tubuh Datuk Beruang Hitam kini harus
berkali-kali melenting ke udara untuk menghindari serangan gencar Ki Wiracakrana.
"Hm...! Rupanya kau memang pantas memangku jabatan sebagai pimpinan sebuah perguruan, Ki Wira! Tapi hari ini jabatanmu akan copot bersamaan dengan copotnya
jantung dari dalam
dadamu!" bentak Datuk Beruang Hitam setelah mendaratkan kakinya dengan indah dan
tanpa menimbulkan bunyi yang berarti. "Sekarang, aku yang menyerangmu. Jagalah!
Heaaa...!"
Dengan diiringi teriakan, Datuk Beruang
Hitam bergerak melancarkan serangan balasan.
Jari tangannya yang besar-besar dan hitam serta
berkuku tajam membentuk cakar beruang. Tokoh
berwajah buruk itu kini mulai mengeluarkan jurus 'Cakar Sakti Beruang Hitam' yang mengandung racun ganas. Dalam gerakan-gerakan yang
cepat, tampak jari-jemari Datuk Beruang Hitam
berubah hijau kehitaman.
"Hyaa...!"
Wret! Wrrrets! "Hits!"
Seperti halnya Datuk Beruang Hitam, Ki
Wiracakrana pun memiliki gerakan menghindar
yang cepat untuk mematahkan jurus 'Cakar Sakti
Beruang Hitam'. Terbukti, hanya dengan menggeser kakinya satu langkah ke kanan, dan mendoyongkan tubuh sedikit, serangan lawan yang
mengancam bagian ulu hati meleset, menyambar
angin. Namun siapa yang menyangka, meski serangan pertamanya tak membuahkan hasil, dengan gerakan anehnya Ki Samparal mampu melancarkan serangan kilat yang membahayakan keselamatan Ketua Perguruan Lempengan Cakra Perak. Serangan susulan itu kini meluncur begitu
cepat ke leher Ki Wiracakrana.
Wutt! Wutt! Plak! Plak! "Akh!"
Ki Wiracakrana terpekik ketika tangannya
memapak serangan berturut-turut yang dilancarkan Datuk Beruang Hitam. Tubuh lelaki yang terbungkus pakaian dari sutera putih itu nampak
terhuyung tiga langkah ke belakang. Sementara
sepasang tangannya dirasakan bergetar hebat
yang nyeri. Melihat ayah kandungnya tergempur seperti itu, Raden Mas Satria Aji, sang Mempelai Pria, segera menghentak kakinya
kuat-kuat dan melenting.
"Heaa!"
Jlegg! Tubuh Raden Mas Satria Aji langsung
mendarat ringan di panggung pertarungan dan
memburu tubuh ayahnya.
"Kau tidak apa-apa, Ayah?" tanya Raden Mas Satria Aji cemas.
"Kenapa kau naik ke sini, Satria" Biarkan
ayah mempertaruhkan harga diri kita!" ujar Ki Wiracakrana dengan tatapan tajam
menusuk ke wajah Raden Mas Satria Aji. Sepertinya Ketua
Perguruan Lempengan Cakra Perak itu tak senang dengan apa yang dilakukan anaknya.
"Ha ha ha...! Biarkan dia memperlihatkan
kemampuannya, Tua Bangka Pengecut! Tidakkah


Raja Petir 23 Sepasang Samurai Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau senang melihat anakmu begitu jantan berdiri
di hadapanku?"
"Keparat laknat! Kubunuh kau!" maki Ki Wiracakrana dengan tangan langsung
bergerak bermaksud menyerang kembali Datuk Beruang
Hitam. Namun gerakan itu urung dilanjutkannya
karena tulang-tulang tangannya dirasakan begitu
linu. "Akh!" Ki Wiracakrana memekik tertahan sesaat merasakan linu yang mendera
hebat. "Iblis Muka Buruk!" dengus Raden Mas Satria Aji geram. Jari telunjuknya menuding
wajah Datuk Beruang Hitam. "Apa maksudmu mengacau acara kami"! Tidakkah kau punya pikiran sehat"!" mata putra bungsu Ki Wiracakrana itu menatap tajam penuh kemarahan pada
Datuk Be- ruang Hitam yang tampak cengengesan.
"Mulutmu berbisa juga, Bocah!" bentak Datuk Beruang Hitam membalas ucapan kasar
Ra- den Mas Satria Aji. "Ingin kulihat apa ilmu yang kau miliki se berbisa
ucapanmu!"
"Iblis laknat! Kau pikir cuma dirimu yang
memiliki kepandaian yang bisa dibanggakan!
Cuh! Aku juga punya, Iblis Muka Jelek!" sahut Raden Mas Satria Aji lebih keras.
"Hrgrhg...!" Datuk Beruang Hitam menggereng keras mendengar dirinya dijuluki
iblis muka jelek. "Akan kutelan jantungmu, Bocah Gendeng!"
makinya dengan suara bergetar keras. Kakinya
pun terlihat tergerak satu langkah.
Ki Amongdrajat dan murid-murid utama
serta para tamu kehormatan dari kalangan tokoh
persilatan merasa tergerak hatinya untuk menyelamatkan sang Mempelai Pria. Akan tetapi apakah
mereka harus bersama-sama menghadapi Datuk
Beruang Hitam yang hanya seorang diri" Lalu di
mana letak harga diri tokoh-tokoh golongan putih, jika melakukan pengeroyokan
terhadap seorang
lawan" Atas pertanyaan-pertanyaan itu, Ki
Amongdrajat dan para tamu sama-sama ragu untuk naik ke panggung pertarungan.
"Kulumat kau, Bocah! Hiaa...!" Tubuh Datuk Beruang Hitam bergerak dengan
sepasang tangannya yang memainkan jurus 'Cakar Sakti
Beruang Hitam'.
Raja Petir yang sejak tadi ingin memberikan bantuan, segera saja menghentakkan kakinya kuat "Heaa...!"
Plak! Plak! "Auw...!"
Tubuh Datuk Beruang Hitam tergempur
mundur tiga langkah. Tak diduga sosok bayangan
kuning keemasan yang berkelebat cepat dapat
memapak serangannya yang ditujukan ke bagian
jantung Raden Mas Satria Aji.
Sementara itu, Raja Petir hanya tergeser
langkahnya sedikit ke belakang. Dia kini berdiri tegak di sebelah Raden Mas
Satria Aji. "Satria, maaf kalau aku terlalu lancang
mencampuri urusanmu! Namun kuminta juga
kau untuk berpikir sehat. Tak pantas jika acara
ini harus diwarnai dengan pertumpahan darah.
Ada baiknya jika kau bawa turun Ki Wiracakrana.
Biar aku di sini mencoba mendinginkan suasana
panas yang akan menimbulkan kerugian besar jika dibiarkan berlarut-larut!" ujar Jaka pelan, namun nadanya terdengar tinggi
tertekan. Raden Mas Satria Aji tak membantah ucapan Raja Petir. Apalagi ketika dia menoleh ayahnya yang membenarkan ucapan Jaka dengan
menganggukkan kepala.
"Kuserahkan datuk sesat itu padamu, Raja
Petir. Aku yakin kau mampu mengusirnya dari
atas panggung ini," ucap Raden Mas Satria Aji dengan suara keras. Maksudnya agar
Datuk Beruang Hitam tahu kalau lelaki muda berpakaian
kuning di hadapannya adalah tokoh sakti yang
berjuluk Raja Petir.
Selesai mengucapkan kata-katanya, Raden
Mas Satria Aji langsung merangkul sang Ayah, lalu membawa turun dari panggung pertarungan.
"Hei, Bocah!" teriak Datuk Beruang Hitam keras. "Kenapa kau turun! Aku belum
lagi melu-mat jantungmu!"
Lelaki tua berjuluk Datuk Beruang Hitam
itu hendak ikut menuruni panggung, tetapi langkahnya keburu dicegah oleh suara sindiran Raja
Petir. "Apa kau takut menghadapiku, Ki?" tanya Jaka tajam. Sesungguhnya Raja
Petir tak ingin
mengucapkan kata-kata yang hanya akan memancing pertarungan. Namun kalimat itu terpaksa dikeluarkan untuk mencegah agar Ki Samparal
tidak turun panggung mengejar Raden Mas Satria
Aji. Sebab, jika hal itu terjadi, kekacauan akan semakin parah.
"Bocah Busuk!" maki Datuk Beruang Hitam geram. "Secuil pun kau tak kupandang, hati-ku masih panas atas hinaan bocah
itu!" tuding Ki Samparal pada Raden Mas Satria Aji yang sudah
tak nampak. Raja Petir tersenyum mendengar ucapan
Datuk Beruang Hitam, lalu dia berkata, "Seharusnya kau malu berhadapan dengan
kami yang tak memiliki kepandaian tak berarti dibanding
dengan kepandaianmu, Ki! Nah, agar rasa malumu tak berkepanjangan dan agar tak tersebar ke
telinga tokoh-tokoh persilatan di jagad ini, kuminta kau tinggalkan tempat ini."
Merah padam wajah Ki Samparal mendengar ucapan bernada sindiran yang keluar dari
mulut Jaka. "Raja Petir! Aku datuk penguasa wilayah
utara jagad ini, pantang diusir seperti anjing gu-dik! Nyawa taruhannya bagi
orang yang berani
melakukan hal itu!" bentak Ki Samparal, sambil menuding wajah Jaka. "Termasuk
kau!" lanjutnya dengan suara parau.
"Aku tak pernah mengusirmu seperti anjing
buduk, Ki. Aku hanya meminta dengan hormat,
dan itu jika kau mau," sangkal Jaka. "Lagi pula apa keuntungan yang kau dapat
dengan ulahmu mengganggu acara ini?"
"Rupanya kau sudah besar kepala. Raja Gila! Hingga kau tak memandang Datuk Beruang
Hitam!" sentak Ki Samparal.
"Ah, maafkan aku kalau kau merasa kuperlakukan seperti itu," kilah Jaka dengan sikap kepala tertunduk memberi
hormat. "Tutup mulutmu, Bocah Gila!" hardik Datuk Beruang Hitam dengan mata melotot
"Kita tentukan sekarang! Siapa yang pantas turun dari
atas panggung ini!" tantangnya kemudian.
"Kau tak malu, Ki" Jika kalah oleh bocah
gila seperti aku dan disaksikan orang banyak seperti itu?" tanya Jaka sambil menunjuk para undangan yang rata-rata orang-orang
persilatan go- longan putih. Ki Wanadara, Ki Regajala, Ki Pariwita, dan
Ki Sugrida hanya tersenyum-senyum melihat cara
Raja Petir memancing kemarahan Datuk Beruang
Hitam. Sebaliknya, Datuk Beruang Hitam menggereng marah dengan sindiran yang diucapkan Raja
Petir. Seluruh otot tubuhnya seketika menegang.
Jemari tangannya pun tampak membentuk cakar
beruang. Datuk Beruang Hitam telah betul-betul
bernafsu menyerang Raja Petir.
"Sabar, Ki!" tahan Jaka ketika Ki Samparal mengangkat maju kakinya. "Kita harus
menentukan berapa jurus kita mesti bertarung" Dan jika
kau tak berhasil menjatuhkanku, kau harus segera angkat kaki dari tempat ini!"
"Lima jurus! Bersiaplah, jangan banyak bacot!" sahut Datuk Beruang Hitam geram.
Jaka pun tersenyum membalas kekasaran
itu. "Baik!"
"Hiaaa...!"
Diiringi pekikan keras Datuk Beruang Hitam merangsek maju melakukan serangan. Kedua
tangannya bergerak begitu cepat mengarah leher
Raja Petir dengan menggunakan jurus 'Cakar
Sakti Beruang Hitam'.
Breet! Breet! "Haits! Heaa...!"
Bukan hal yang sulit bagi Jaka untuk
mengelakkan serangan lawan jika dirinya sudah
mengerahkan jurus 'Lejitan Lidah Petir'. Hanya
dengan menghentakkan kaki dengan lembut pada
permukaan panggung, tubuhnya sudah melesat
bagai petir, menggagalkan serangan maut Ki
Samparal. Begitu juga ketika Datuk Beruang Hitam
yang telah diliputi nafsu membunuh melancarkan
serangan susulan, dengan kecepatan geraknya
memainkan ilmu 'Lejitan Lidah Petir', pendekar
muda itu berhasil menggagalkan serangan lawan.
"Hati-hati, Ki! Tinggal tiga jurus lagi," ujar Jaka memperingatkan Ki Samparal
dengan janjinya. "Keparat! Kau pikir akan mampu membendung seranganku
selanjutnya" Hih!"
Sringng...! Bunyi gemerincing terdengar ketika Datuk
Beruang Hitam mencabut senjatanya yang semula
berbentuk lempengan besi bulat hitam. Namun
ketika diangkat ke atas kepala, lempengan itu
terbuka hingga membentuk cakar seekor beruang
raksasa dengan bagian ujungnya yang runcing.
"Keluarkan senjatamu jika tak ingin mati
percuma!" tantang Datuk Beruang Hitam dengan mata melotot penuh kemarahan.
"Aku ingin menjajal dulu dengan ilmu tangan kosongku, Ki. Kurasa kau tak akan mampu
membabatkan senjatamu, meski cuma sebatas
pakaian pembungkus kulitku," ledek Jaka menimpali tantangan lelaki tua berwajah bengis itu.
"Bocah sombong!" maki Datuk Beruang Hitam. "Bukan aku yang sombong, tapi kau
yang dungu, Ki!" balik Jaka. "Kurasa kau tak akan mampu menundukkan 'Aji BayangBayang' yang kumiliki. Nah seranglah aku sekarang!"
Selesai dengan ucapannya, tiba-tiba sosok
Raja Petir bertambah menjadi lima kali lipat banyaknya. Tentu saja ilmu yang jarang dimiliki tokoh rimba persilatan itu membuat
para tamu yang menyaksikan terkagum-kagum. Tak terkecuali Datuk Beruang Hitam yang kebingungan.
"Hm...!" Datuk Beruang Hitam bergumam
tak jelas. Dirinya tak dapat memastikan tubuh
Raja Petir yang sebenarnya. "Hihh...!"
"Haiit...!"
Tubuh Ki Samparal seketika itu juga bergerak cepat. Senjatanya berkelebat menebas sosok
Raja Petir dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Angin menderu keras terdengar mengiringi serangannya. Wuutt! "Setan!" maki Datuk Beruang Hitam ketika serangannya hanya membentur bayangan
Raja Petir. Hati lelaki berjubah hitam terbuat dari kulit Beruang itu semakin geram.
Kegeramannya itu
dilampiaskan kembali dengan melancarkan serangan cepat dan beruntun.
"Hiaat...!"
Wuut! Wuutt! Wutt!
Senjata berbentuk cakar beruang terbuat
dari logam keras itu kembali hanya membentur
tempat kosong. Serangan yang dilancarkan Datuk
Beruang Hitam sebenarnya sudah tepat pada sasarannya. Namun Raja Petir telah memperhitungkan segalanya. Dipindah-pindahkan sosok tubuh
aslinya dengan kecepatan yang luar biasa, hingga serangan Datuk Beruang Hitam
selalu saja kandas di tengah jalan.
"Heh, kurasa sudah lima jurus, Ki. Jangan
pertaruhkan harga dirimu dengan meneruskan
pertarungan ini!" tukas Jaka memperingatkan janji lawannya.
"Hrghg...!"
Datuk Beruang Hitam menggereng keras
melampiaskan kekesalannya. Bola matanya yang
membelalak terlihat seperti mata seekor naga terluka. Penuh dendam menatap wajah
tampan Ja- ka. Ki Amongdrajat dan tamu-tamunya dari
Perguruan Banyu Biru, Golok Suci, Pedang Sukma, dan Tongkat Naga dengan tegang menyaksikan sikap dua tokoh berilmu tinggi yang kini saling bertatapan. Bedanya, Raja
Petir membalas tatapan mata Datuk Beruang Hitam dengan tatapan
lembut dan senyum yang terlihat samar. Di hati
para tamu timbul pertanyaan, apakah pertarungan akan kembali berlanjut setelah lima jurus
yang dijanjikan telah terlewati.
"Bagaimana, Ki?" tanya Jaka masih memasang senyum. "Aku tidak keberatan kalau
kau ingin melanjutkan, tapi apakah kau tidak malu?"
tandasnya bernada pedas.
"Tidak di sini kita lanjutkan pertarungan
ini, Bocah Sundal! Tapi di luar, jantungmu akan
kucopot, darahmu akan kureguk, ingat itu!" ancam Ki Samparal lantang dengan jari
tangan me- nuding-nuding wajah Jaka.
Raja Petir tak menimpali ancaman Ki Samparal. Namun matanya memperhatikan sikap lelaki tua itu yang kini tatapannya tertuju ke wajah Ki Amongdrajat, Ki Wanadara,
dan tamu-tamu

Raja Petir 23 Sepasang Samurai Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang lain. "Kalian semua akan menerima giliran satu
persatu!" ancam Datuk Beruang Hitam pada Ki Amongdrajat dan tokoh-tokoh
persilatan yang
berdiri di sebelahnya.
Seperti yang dilakukan Raja Petir, Ki
Amongdrajat, dan yang lainnya tak menanggapi
ancaman itu. Mereka tak ingin membuat suasana
kembali berubah keruh.
"Ingat itu! Hops!"
Tubuh Datuk Beruang Hitam seketika melesat. Gerakannya yang cepat menandakan kalau
tokoh itu mengerahkan ilmu meringankan tubuh
dan ilmu lari cepat yang nyaris sempurna. Sehingga hanya dengan sekali hentakan kaki, tubuhnya melesat puluhan tombak.
Puluhan pasang mata menyaksikan kepergian Datuk Beruang Hitam. Tampak wajah para
tamu pada pesta perkawinan itu berangsurangsur berubah. Mereka semua merasa lega, karena hampir saja tokoh tua yang menggiriskan itu merenggut korban. Untung saja
ada Raja Petir.
"Ah, teruskan saja acara ini, Ki Among! Kejadian barusan anggap saja sebagai selingan," tukas Jaka setelah turun dari
panggung. "Eh, kau benar, Jaka. Bagaimana menurutmu, Ki Wira?" sambut Ki Amongdrajat sambil melempar pertanyaan pada besannya.
Ki Wiracakrana tampak sudah pulih dari
rasa nyeri yang mendera tangannya, meskipun
tampak di lengan kanan berwarna kebiruan, karena memar, "Matahari sudah condong ke barat, Ki Among. Sebaiknya acara kedua
dimulai saja,"
usul Ki Wiracakrana.
"Sebaiknya begitu, Ayah," timpal Nuning Mutiara yang sejak kemunculan Datuk
Beruang Hitam merasakan sangat ketakutan. Semula hatinya merasa cemas kalau orang-orang yang dikasihinya menjadi korban keganasan ilmu Ki Samparal. Namun untung saja ada Raja Petir yang
mampu menangani.
"Ya. Aku juga setuju kalau para undangan
kini diajak ke ruang pertunjukan benda-benda
porselin itu," jawab Raden Mas Satria Aji menimpali ucapan kekasihnya.
"Pertunjukan benda-benda porselin" Ah...,
acara yang bagus itu," tukas Jaka mengomentari.
"Kau suka benda-benda macam itu, Jaka?"
tanya Ki Amongdrajat.
"Tentu saja! Siapa yang tak suka barang
unik?" jawab Jaka berbasa-basi.
"Kalau begitu, kita menuju ruang pamer
sekarang saja, ayo!" ajak Ki Amongdrajat sambil melangkah lebih dulu, diikuti
kemudian oleh Ki
Wiracakrana dan baru tamu-tamu yang lain, termasuk Raja Petir dan Mayang Sutera.
*** 3 Tiga hari setelah perayaan perkawinan putra Ki Lurah Amongdrajat, Desa Pasir Putih kedatangan dua orang tamu yang mengaku berasal
dari negeri jauh. Negeri Jepang.
Ki Amongdrajat yang menerima kedatangan
dua tamu tak diundang itu mempercayai keterangan mereka. Namun hanya yang lelaki yang dipercaya Ki Amongdrajat sebagai orang asli dari Jepang, sedangkan teman wanitanya" Dia tak layak
disebut sebagai wanita Jepang karena ciri-ciri tak berbeda dengan gadis-gadis
Jawa. Wajahnya ayu,
bahkan kulit tubuhnya hitam manis. Sepasang
matanya yang bundar dan indah dihiasi bulubulu lentik memperjelas ciri-ciri kalau dia bukan gadis dari Jepang.
"Namaku, Parameswari, Kisanak," ucap gadis cantik yang mengenakan pakaian
longgar warna ungu. Di punggungnya tersampir senjata
berbentuk pedang panjang bernama samurai.
Rambutnya yang hitam legam dibiarkan terurai
lepas. Ki Amongdrajat yang ditemani putranya,
Raden Mas Satria Aji dan Saladra tak mengomentari perkenalan gadis cantik itu.
"Dan kawanku ini bernama Buchohanco,"
lanjut gadis yang mengaku bernama Parameswari. Wajahnya menoleh lelaki di sampingnya, yang
berpakaian longgar berwarna putih.
Sementara lelaki yang diperkenalkan Parameswari pada Ki Amongdrajat tak memperlihatkan perubahan sikap. Kepalanya tetap tegap.
Sepasang mata sipitnya menatap tajam wajah Kepala Desa Pasir Putih itu. Raut wajahnya yang
berkulit putih terkesan begitu dingin dan angker dengan alis mata yang satu sama
lain saling ber-taut. "Buchohanco tak bisa berbahasa negeri ini," tambah
Parameswari mendapatkan ucapannya tak ada yang menimpali.
"Kita habisi saja mereka, Bucho!" lanjut Parameswari dalam bahasa yang tidak
dimengerti Ki Amongdrajat, Raden Mas Satria Aji maupun Saladra. Ucapan itu ditujukan Parameswari hanya untuk lelaki Jepang yang di punggungnya juga tersampir sebatang samurai dengan tangkai berbentuk kepala naga.
"Lalu apa tujuan Nisanak ke situ?" tanya Ki Amongdrajat menandaskan
ketidakmengertian-nya. "Membunuh seluruh pendekar yang ada di Kadipaten
Sunyilaga ini!" sahut Parameswari tegas. Jawaban yang tak terduga sama sekali
itu tentu saja membuat Ki Amongdrajat, Raden Mas
Satria Aji, dan Saladra terkejut bukan kepalang.
Bagai mendengar halilintar di siang bolong ketiganya tersentak kaget.
"Tidak salahkah ucapanmu, Nini Parameswari?" tanya Raden Mas Satria Aji sambil mene-kan keterkejutannya.
"Di mana salahnya?" balik gadis cantik berpakaian ungu itu.
"Ah, maaf! Menurutku keinginanmu terlalu
berlebihan, Nisanak," timpal Salandra.
"Tidak!" jawab Parameswari mantap.
"Lalu apa kesalahan para pendekar kadipaten ini, hingga kalian hendak membunuh mereka?" tanya Ki Amongdrajat
"Itu sudah menjadi dendamku!" sentak Parameswari keras.
"Hm...!" Ki Amongdrajat menggumam tak
jelas. "Tapi setidaknya kau harus menjelaskan persoalan apa yang menimbulkan
dendam seperti itu, Nini," tukas Raden Mas Satria Aji dengan kening berkerut, tak mengerti.
"Mungkin usiamu dan usiaku sebaya pada
saat kejadian itu berlangsung, Kisanak," tukas Parameswari seraya menatap Raden
Mas Satria Aji. "Belasan tahun silam saat kejadian itu terjadi, aku memang masih kecil.
Namun aku tak bisa
melupakan hingga kini bagaimana bengisnya para
pendekar di kadipaten ini yang telah melenyapkan keluargaku serta perguruannya.
Aku tak bisa melupakan persoalan itu begitu saja. Dendamku
yang seketika itu juga tercetus akan kulampiaskan sekarang. Dan kalianlah sebagai korban
pertama kesumatku...!" ujar Parameswari tegas.
"Tolong jelaskan dulu, siapa keluargamu
dan perguruan apa yang telah dilenyapkan oleh
para pendekar?" pinta Ki Amongdrajat
"Orang seusiamu tentu ingat kejadian itu,
Ki. Kau tentu mengenal baik nama Perguruan Selimut Iblis," jelas Parameswari.
"Perguruan Selimut Iblis...?" ulang Ki Amongdrajat dengan kening berkerut
Wajahnya seketika berubah merah.
"Ya. Perguruan Selimut Iblis. Kau pasti
kenal juga dengan Ki Tambak Seta!"
"Kaukah anak Ki Tambak Seta"!" tanya Ki Amongdrajat.
"Ya."
"Ah. Kupikir seluruh keturunan iblis sesat
itu sudah lenyap bersamaan dengan musnahnya
Perguruan Selimut Iblis terlalap api, tapi nyatanya...?" Ki Amongdrajat tak melanjutkan ucapannya. Pikirannya menerawang jauh
ke masa belasan tahun silam di mana sebuah perguruan
yang didirikan oleh sepasang tokoh golongan hitam menghebohkan rimba persilatan. Banyak
pendekar yang binasa di tangan Iblis Kematian
dan Dewi Perenggut Nyawa. Begitu pula dengan
ulah dan sepak terjang murid-murid Perguruan
Selimut Iblis yang di luar batas kemanusiaan. Mereka membunuhi penduduk yang tak
bersalah, merampok harta benda, serta membawa lari
anak-anak perawan.
Atas tindak kedurjanaan mereka yang seperti itulah akhirnya pendekar-pendekar yang berada di Kadipaten Sunyilaga mengadakan pertemuan untuk mencari jalan menghentikan sepak
terjang Ki Tambak Seta dan anak buahnya.
Tindakan pertama para pendekar Kadipaten Sunyilaga yang pada waktu itu pun dipimpin
langsung Adipati Kusumaningrat segera memperingatkan langsung, agar Iblis Kematian menghentikan perbuatannya. Tindakan tokoh sesat itu
memang sudah di luar batas kemanusian. Namun
semakin diperingatkan, perbuatan mereka justru
semakin merajalela. Sehingga akhirnya keluar
suatu keputusan untuk membinasakan Perguruan Selimut Iblis sekaligus melenyapkan orangorangnya jika membangkang. Dan kenyataannya
hal seperti itu harus dilakukan. Ki Amongdrajat
sendiri berperan serta dalam melenyapkan Perguruan Selimut Iblis beserta orang-orangnya.
Ki Amongdrajat ingat bagaimana kematian
Ki Tambak Seta ketika kepalanya terhantam senjata milik Ketua Perguruan Golok Suci, lalu disusuli tendangan menggeledek yang dilakukan Ketua Kadipaten Sunyilaga mendarat telak di dada
tokoh hitam itu. Sedangkan Ki Amongdrajat sendiri pada saat tubuh Ki Tambak Seta terhuyung
langsung melesat menyongsong dengan sambaran
senjatanya yang merobek lambung Ketua Perguruan Selimut Iblis, hingga lelaki sesat itu rebah dan tewas!
Kematian Ki Tambak Seta ternyata disusul
pula istrinya yang tak mampu menghadapi pendekar-pendekar tangguh dari Kadipaten Sunyilaga. Namun kematian kedua tokoh utama Perguruan Selimut Iblis ternyata tak membuat muridmuridnya mundur. Mereka bahkan terus melanjutkan perlawanan, hingga akhirnya keluarlah
keputusan dari Adipati Kusumaningrat untuk melenyapkan murid-murid Perguruan Selimut Iblis
yang sukar untuk diluruskan.
"Aku memang putri kandung Ki Tambak
Seta. Pada saat pembantaian terhadap perguruan,
naluriku menyuruh aku pergi menyelamatkan diri. Kubawa langkah kakiku hingga sampai ke pesisir laut selatan. Di sanalah aku berjumpa dengan seorang lelaki tua yang mengaku sebagai pelancong. Dia suka padaku dan menawarkan agar
aku ikut dengannya. Aku tak menolak, dan itu
merupakan satu keberuntungan bagiku, karena
ternyata orang tua itu bukanlah orang sembarangan. Dialah jago samurai dari negeri Jepang. Aku dibawa ke negerinya dan
diperkenalkan dengan
anak lelakinya yang waktu itu berusia sedikit lebih tua dariku. Bersama anaknya,
aku digem- bleng untuk mewarisi ilmunya. Buchohanco-lah
anak orang tua penolongku itu," gadis yang mengaku bernama Parameswari menoleh wajah lelaki
muda di sampingnya. "Kedatanganku ke sini sudah kalian ketahui dengan jelas
maksudnya. Bersiaplah kalian!"
Sring! Parameswari meloloskan senjata yang tersampir di punggungnya. Samurai berwarna putih
itu menjelmakan kilatan sinar yang menyilaukan
mata. Amongdrajat, Raden Mas Satria Aji, serta
Salandra segera mengatur kedudukan masingmasing. Ketiganya langsung mundur beberapa
tindak dengan sikap waspada penuh.
Sring! Lelaki bermata sipit rekan Parameswari,
dengan sikap yang nampak kaku dan mata menatap dingin wajah Ki Amongdrajat juga meloloskan
samurainya dari warangkanya. Seperti samurai
milik Parameswari, senjata milik Buchohanco pun
memendarkan kilatan menyilaukan mata saat
bersentuhan dengan cahaya matahari.
"Jangan main-main dengan senjata mereka, gunakan senjata kalian!" perintah Ki
Amongdrajat pada Raden Mas Satria Aji dan Salandra. Raden Mas Satria Aji dan Salandra tentu
saja segera mematuhi perintah Ki Amongdrajat,
karena keduanya pun tahu kedahsyatan pamor
samurai yang dimiliki dua lawannya.
Srat! Srat! Hampir bersamaan Raden Mas Satria Aji
dan Salandra meloloskan senjata mereka yang
kemudian sama-sama disilangkan di depan dada.
Srat! Srat! Ki Amongdrajat pun tak ketinggalan, langsung mencabut sepasang pedang pendeknya. Tatapan matanya pun tertuju pada sepasang mata


Raja Petir 23 Sepasang Samurai Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dingin milik lelaki Jepang yang mengenakan pakaian serba putih.
"Hi hi hi...! Bagus! Bagus! Aku senang kalau kedatanganku ke sini mendapat perlawanan,
hi hi hi...! Mari kita mulai! Hiaat!"
Tubuh gadis cantik berpakaian ungu melesat cepat. Gerakannya yang ringan didukung kelincahan dan keluwesan tubuh dalam mempermainkan senjata panjangnya, bergerak-gerak tak
kalah cepat "Hiaatt...!"
Buchohanco si lelaki bermata sipit pun tak
mau ketinggalan, tubuhnya meluruk cepat memburu Raden Mas Satria Aji dan Salandra.
Dua lelaki bersenjata pedang yang tak lain
menantu dan murid kepercayaan Ketua Perguruan Gelombang Timur itu segera menyambut serangan Buchohanco.
"Hiaa...!"
Buet! Wiing! Trang! "Eh!"
Tubuh Raden Mas Satria Aji dan Salandra
sama-sama tergempur mundur tiga langkah ke
belakang, saat benturan senjata yang menimbulkan suara memekakkan telinga serta percikan
bunga api terjadi. Sementara lawannya, si lelaki bermata sipit itu setelah
melancarkan serangan
dengan melompat, kini sudah mendarat tanpa
goyah sedikit pun. Bahkan Buchohanco kini tengah mempersiapkan serangan susulan.
"Hoaatt..!"
Tubuh lelaki bersenjata samurai itu bergerak cepat. Senjatanya berputar-putar di udara
hingga menimbulkan deru angin yang cukup keras. Raden Mas Satria Aji dan Salandra terkejut menyaksikan kecepatan gerak yang
dilakukan lawannya. Padahal kedudukan Buchohanco ketika
melancarkan serangan dalam keadaan yang kurang baik "Hoaatt..!"
Wing...! Trang! Trang! Bret! "Akh!"
Salandra yang pada gempuran pertama
berhasil memapak sambaran samurai lawan, kini
tak kuasa mengelakkan serangan susulan yang
datangnya begitu cepat bagai kilat. Tubuh murid
kepercayaan Perguruan Gelombang Timur itu
ambruk ke tanah dengan bagian dada robek menyilang, mengucurkan darah. Setegukan teh lamanya Salandra masih mampu bertahan, tapi pada saat selanjutnya, lelaki kepercayaan Ki
Amongdrajat sudah rebah di tanah tanpa nyawa.
Sementara itu, Raden Mas Satria Aji yang
memiliki kepandaian di atas Salandra, mampu
mengelakkan tebasan susulan samurai lawan.
Meskipun tubuhnya harus jungkir balik di udara
dan kemudian berjuang bergulingan di tanah.
Buchohanco yang menyaksikan kematian
Salandra, tampaknya belum merasa puas. Ketika
melihat seorang lawannya masih mampu menyelamatkan diri, lelaki Jepang itu tak membuangbuang waktu lagi. Tubuhnya yang terbalut pakaian longgar berwarna putih mencelat dengan
samurai diputar-putar di atas kepala.
Wuut! Wut! "Haaa...!"
Namun belum sempat serangan Buchohanco tiba pada sasaran, lima orang murid Perguruan Gelombang Timur yang sejak
semula merasa takut dikatakan lancang mencampuri pertarungan
pimpinannya, meluruk dengan senjata masingmasing menghadang serangan Buchohanco.
"Hiaa...!"
"Hyaa...! Hiaatt..!"
Buchohanco yang hendak menyerang Raden Mas Satria Aji merasa geram melihat lima lelaki murid Perguruan Gelombang Timur menghadang maksudnya. Maka dengan penuh amarah lelaki Jepang itu langsung mengalihkan serangannya pada kelima murid Ki Amongdrajat
"Hoaat..!"
Wuung! Dengan gerakan secepat kilat samurainya
berkelebat memburu kelima lawan. Hingga...,
Trang! Bret! Bret! "Aaakh...!"
"Aaakh...!"
Dua pekik kematian membumbung ke langit seketika terdengar saat samurai menyambar
tubuh lawan. Dua lelaki berseragam Perguruan
Gelombang Timur bagaikan semut menerjang api,
langsung tumbang dengan bagian dada hampir
terbelah. Raden Mas Satria Aji dan ketiga murid
yang terhindar dari serangan lawan, tersentak kaget menyaksikan kecepatan
gerakan samurai Buchohanco. Kematian dua murid perguruan yang menyusul kematian Salandra bukannya membuat
orang-orang Perguruan Gelombang Timur menjadi
ciut nyalinya. Beberapa orang yang lain pun kini tampak bergerak merangsek
Buchohanco. Seba-giannya lagi bergerak membantu Ki Amongdrajat
yang tampak kewalahan menghadapi Parameswari. Rupanya, murid-murid Perguruan Gelombang Timur dan Ki Amongdrajat, bukan lawan
yang setimpal bagi sepasang muda-mudi yang
bersenjatakan samurai itu.
Parameswari dan Buchohanco tak ubahnya
sepasang malaikat pencabut nyawa yang setiap
kali mengarahkan senjatanya, tak ada yang
mampu mengelak. Maka setiap samurai mereka
bergerak, maut pun tak dapat dielakkan.
"Haaa...!"
Bret! Bret! "Akh!"
"Huaa...!"
Kembali dua sosok tubuh tumbang bermandikan darah. Lengking kematian pun terdengar susul-menyusul, seolah berebutan siapa yang
bisa lebih dulu menyuarakan suara kematian.
Ki Amongdrajat sendiri tak kuasa mencegah kematian murid-muridnya. Keganasan serangan Parameswari dengan samurainya yang begitu
cepat membuat lelaki berusia setengah abad itu
tak mendapat kesempatan menyelamatkan murid-muridnya. Padahal pada saat itu Ki
Amongdrajat juga tengah dibantu enam orang
muridnya yang berkepandaian cukup tinggi dalam
menghadapi Parameswari. Namun bantuan keenam muridnya itu tak banyak membantu.
Kecepatan samurai di tangan Parameswari
terlalu sulit ditandingi. Sehingga enam pemuda
yang membantu gurunya harus jungkir balik
menghindari sambaran-sambaran senjata lawan
yang dengan beruntun mencecar bagian yang
mematikan. "Mampus kau! Hiaat...!"
Wuung! Bret! Bret!
"Aaa...!"
"Aaa...!"
Dua jeritan melengking tinggi kembali terdengar mengiringi melayangnya dua nyawa dari
raga dua murid Ki Amongdrajat.
Pertarungan itu tampak tidak dapat dihentikan. Kemudian tokoh muda bersenjata samurai
itu kian ganas, meskipun di halaman rumah Kepala Desa Pasir Putih telah bergelimpangan
mayat-mayat murid Perguruan Gelombang Timur.
Darah pun berceceran membasahi tempat pertarungan. Ki Amongdrajat dan Raden Mas Satria Aji
yang menyaksikan pemandangan itu semakin
bertambah geram. Namun apa daya, keduanya
kini harus berjuang mati-matian untuk mempertahankan diri dari kehebatan sepasang mudamudi yang memiliki ilmu samurai begitu hebat.
"Awas! Jangan lengah!" teriak Parameswari sambil mengayunkan samurainya bergerak
dari atas ke bawah, bermaksud membabat dada Ki
Amongdrajat. Dalam keadaan kacau pikirannya, Ketua
Perguruan Gelombang Timur sedapat mungkin
berusaha mengelakkan serangan lawan. Dengan
cepat dilemparkan tubuhnya ke samping kanan
menghindari babatan samurai yang berkelebat
begitu cepat. "Hops!"
Tubuh Ki Amongdrajat mencelat tak kalah
cepat, lalu dengan mempergunakan bahunya, Kepala Desa Pasir Putih itu mendarat di tanah berpasir. Tubuhnya berguling-guling beberapa kali
dalam upaya menjauhi sosok gadis berpakaian
ungu itu. Apa yang dilakukan Ki Amongdrajat rupanya sudah ditunggu-tunggu Parameswari. Pada
saat tubuh lelaki setengah baya itu bergulingan di tanah, Parameswari melesat
cepat. Senjatanya diputar keras hingga menimbulkan deru angin kencang, bergerak mencecar dada lawan.
"Hih!"
Brets! "Akh...!"
Ki Amongdrajat memekik keras. Dengan
keras ujung samurai Parameswari membabat dada hingga batas perutnya. Tubuh kepala desa sekaligus Ketua Perguruan Gelombang Timur itu
menggelepar kesakitan. Darah segar menyembur
dari dada yang ter-belah. Bersamaan dengan itu
isi perutnya terburai keluar tak ingin kalah dengan roh yang juga beranjak pergi
meninggalkan raga. "Ayah...!"
Raden Mas Satria Aji yang masih selamat
Panji Sakti 13 Pendekar Pedang Kail Emas Karya Liu Can Yang Ratu Maksiat Telaga Warna 2

Cari Blog Ini