Ceritasilat Novel Online

Misteri Batu Bulan 1

Rajawali Emas 27 Misteri Batu Bulan Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa Izin tertulis dari penerbit
Bab I MENDAPATI Pangeran Pencabut Nyawa telah lancarkan serangan, Dayang Kemilau tak tinggal
diam. Segera tubuhnya mencelat ke depan dengan gerakkan kedua tangannya. Kendati
demikian, gadis berhidung
mancung dengan kedua pipi yang selalu merona ini,
masih meyakini kalau apa yang didengarnya hanyalah
bualan belaka. Dess! Dess! Masing-masing jotosan yang dilancarkan keduanya bertemu. Seketika itu juga
keduanya langsung surut ke belakang dengan wajah geram.
Pangeran Pencabut Nyawa yang tak mau kebohongannya selama ini terbongkar, sudah
lancarkan serangan kembali disertai seruan keras, "Ayu Wulan!
Mengapa kau masih terdiam"! Jangan membuang waktu lagi! Aku khawatir Rajawali
Emas sudah tewas di
tangan mereka"!"
Gadis jelita berpakaian putih bersih yang di bagian atas dada sebelah kanannya
terdapat sulaman bunga mawar, keluarkan geraman dingin. Pandangannya
sengit pada Dayang Kemilau yang sedang menghindari
labrakan Handaka.
Seperti diceritakan pada episode sebelumnya,
Ayu Wulan yang sedang mencemaskan Dewi Awan Putih, mencari gadis itu bersamasama dengan Handaka. Murid Manusia Pemarah yang di dasar hatinya
juga memiliki rasa khawatir akan keadaan Rajawali
Emas seperti yang diceritakan Handaka dikalahkan dan
diseret oleh Dayang-dayang Dasar Neraka, tak menyangka kalau bertemu dengan
Dayang Kemilau salah
seorang dari Dayang-dayang Dasar Neraka.
Saat itu pula semua kecemasannya pada Dewi
Awan Putih, lenyap. Ayu Wulan tak tahu apa yang sebelumnya terjadi pada Dewi
Awan Putih, yang sebenarnya hendak dipermalukan oleh Handaka. Tatkala
percakapan terjadi yang dibaluri kegeraman mendadak
saja Handaka yang pernah bertemu dengan Dayangdayang Dasar Neraka sudah
lancarkan serangan. Murid
Iblis Tanpa Jiwa ini tak mau kalau kebohongannya selama ini pada Ayu Wulan
terbongkar. Makanya dia
langsung menyerang Dayang Kemilau dan mencoba
menghasut Ayu Wulan dengan setiap ucapannya.
Ayu Wulan sendiri yang hingga saat ini belum
tahu kalau dia sedang dibohongi oleh Handaka alias
Pangeran Pencabut Nyawa, sudah melancarkan
serangan Kecemasan sekaligus kerinduannya yang dalam pada Rajawali Emas, membuat
murid Manusia Pemarah ini tak mau bertindak ayal. Menurutnya, dia harus memberi
pelajaran pada Dayang Kemilau, salah seorang dari Dayang-dayang Dasar Neraka!
Menghadapi dua serangan dahsyat silih berganti, Dayang Kemilau bukannya mundur,
malah semakin mempercepat gerakan dan menambah tenaga dalamnya. Gadis yang mendapat perintah
dari gurunya, Ratu
Jagat Raya, sebenarnya menginginkan nyawa Rajawali
Emas yang diketahui memegang Kitab Pemanggil Mayat,
petunjuk untuk mendapatkan Kitab s Pamungkas. Namun tatkala dia masih bersamasama dengan dua saudaranya, Ratu Jagat Raya muncul di hadapannya. Dari
gurunya yang saat itu cukup mengejutkan Dayangdayang Dasar Neraka karena tak
marah padahal tugas
yang diberikan belum dijalankan ketiganya, tahulah
Dayang Kemilau serta kedua saudaranya, kalau Kitab
Pemanggil Mayat tak berada di tangan Rajawali Emas.
Tugas beralih untuk menculik Ayu Wulan yang akan dijadikan sebagai sandera.
(Untuk lebih jelasnya, baca
serial Rajawali Emas dalam episode: "Rahasia Bwana").
Dan tatkala dia tiba di satu tempat bersama kedua saudaranya, Dayang-dayang
Dasar Neraka memutuskan untuk berpisah. Dengan maksud, agar memudahkan
menyelesaikan urusan (Baca serial Rajawali
Emas dalam episode: "Tumbal Nyawa Perawan").
Tempat sepi yang indah itu kini sudah porak poranda. Ranggasan semak belukar
pecah memburai. Beberapa batang pohon tumbang menggemuruh. Tanah
terbongkar dan memuncratkan debu-debu ke udara.
"Jahanam!" maki gadis yang mengenakan jubah
warna hitam itu sambil menghindari serbuan asap hitam yang mcnebarkan aroma
bunga yang dilepaskan
oleh Ayu Wulan. Sambil menghindar itu dia membatin,
"Ada yang salah di sini. Gadis bernama Ayu Wulan itu
menuduh aku dan kedua saudaraku telah mengalahkan dan menyeret Rajawali Emas.
Padahal baru jelas siapa Rajawali Emas itu sekarang, yang tak lain
pemuda mengaku bernama Lolo Bodong. Benar-benar
kapiran! Mengapa dia menuduh seperti itu, kendati aku
memiliki maksud demikian"! Jangan-jangan... keparat!
Bisa kupastikan kalau semua ini adalah ulah pemuda
licik berbaju hitam itu!"
Sementara Ayu Wulan terus mencecar dengan
pukulan 'Pesona Sejuta Bunga', Pangeran Pencabut
Nyawa yang mundur dan memperhatikan berkata dalam hati, "Mudah! Sangat mudah
sekali! Ayu Wulan kelihatan begitu geram tentang berita bohong mengenai
Rajawali Emas! Sementara gadis berjubah hitam yang
pernah mempermainkanku bersama kedua gadis lainnya, akan mampus di tangan Ayu
Wulan! Tetapi menilik
keadaan, Ayu Wulan memiliki kesaktian satu tingkat di
bawah Dayang Kemilau! Hmmm... biar urusan cepat
terlaksana, akan kubunuh sekarang juga Dayang Kemilau!"
Habis pikiran melayang dibenaknya, segera saja
didorong kedua tangannya ke depan. Seketika terdengar
deruan keras yang menggemuruh. Kejap itu juga melabrak satu gelombang angin
laksana badai, melewati
samping kiri Ayu Wulan hingga gadis itu mau tak mau
mundur dan menghentikan serangannya pada Dayang
Kemilau. Di seberang, mendapati betapa ganasnya serangan yang dilancarkan pemuda berbaju
hitam, Dayang Kemilau yang sedang menghindari serangan Ayu Wulan,
tersedak. Cepat dibuang tubuhnya ke samping. Menyusul disurutkan langkah satu
tindak ke belakang. Sambil
gerakkan tubuhnya kembali ke depan, kedua tangannya
segera diangkat.
Wuuuttt! Wuuutttt!
Blaaammm! Terdengar ledakan keras saat dua serangan itu
bentrok di udara. Sosok Dayang Kemilau terlihat surut
tiga langkah dengan wajah berubah pucat pasi dan dada bergetar. Di depan sana,
Handaka hanya berdiri tegak dengan pandangan tajam dan seringaian lebar
dibibirnya. Sementara itu, belum lagi Dayang Kemilau dapat
berdiri tegak, serangkum angin yang menebarkan aroma bunga sudah menggempur ke arahnya. Rupanya
Ayu Wulan yang geram mengingat cerita Handaka tentang Rajawali Emas, sudah
lancarkan serangan kembali.
Susah payah Dayang Kemilau membuang tubuh
dengan cara bergulingan untuk hindari gempuran Ayu
Wulan. Blaaam! Ranggasan semak belukar langsung pecah dan
tanah berhamburan di udara.
Lagi-lagi sebelum Dayang Kemilau berdiri kembali, mendadak saja sosok berpakaian
hitam sudah berkelebat ke depan diiringi teriakan keras seraya mendorong kedua tangannya.
"Kau tak pantas untuk hidup, Gadis Hina!"
Seketika dua gumpalan angin hitam berkelebat
angker dan perdengarkan suara menderu keras.
Memekik tertahan Dayang Kemilau mendapati
serangan ganas itu. Dalam keadaan yang mencemaskan, dia masih sempat mendorong
kedua tangannya ke depan.
Saat itu pula suasana di tempat itu meredup.
Menyusul deruan keras yang menggelegar, sebongkah
kabut hitam melesat dan mengeluarkan hawa dingin
yang luar biasa. Rupanya dalam keadaan kritis, Dayang
Kemilau masih mampu lepaskan pukulan 'Kabut Gurun
Es'! Handaka yang tadi lancarkan serangan kertakkan rahangnya. "Jahanam! Lagi-lagi
jurus keparat itu
dikeluarkan!"
Dengan gerakan yang sangat cepat pemuda berpakaian hitam ini hentikan serangan.
Saat itu juga tubuhnya mendadak berputar. Begitu hebatnya putaran
tubuh Handaka, hingga angin yang keluar dari putaran
tubuhnya seperti ribuan jarum dan menerbangkan debu-debu ke udara. Rupanya dia pun telah keluarkan jurus andalannya, 'Menembus
Ujung Bumi'! Blaarrr! Tempat itu seperti diguncang hebat, tatkala pukulan 'Kabut Gurun Es' yang
dilepaskan Dayang Kemilau melabrak putatan tubuh Pangeran Pencabut Nyawa.
Beberapa batang pohon ambruk berdebam. Tanah
rengkah dan menerbangkan debu-debunya ke udara.
Tatkala semuanya sirap, terlihat sosok Pangeran
Pencabut Nyawa yang berputar tadi terlempar ke belakang dan menabrak sebuah
pohon hingga bergetar dan
daun-daunnya berguguran. Dengan kecepatan luar biasa, tubuhnya berputar lagi dan
hinggap dengan kedua
kaki tegak di atas tanah. Segera dialirkan tenaga dalamnya guna mengusir dingin
yang menyergap.
Sementara itu, sosok Dayang Kemilau terhuyung
ke belakang dengan deras. Dadanya terasa nyeri luar
biasa. Gadis berjubah hitam ini tak mampu untuk kuasai keseimbangannya. Tubuhnya
pun terbanting di atas
tanah dengan darah yang mengalir dari sela-sela bibirnya!
Ayu Wulan yang tadi sempat bergetar merasakan guncangan akibat berbenturannya
dua pukulan dahsyat, segera melompat ke depan. Bila saja gadis, ini
tak mempunyai naluri sebagai seorang wanita, sudah
bisa dipastikan dia akan mengirimkan pukulan.
Tetapi yang dilakukannya, berhenti berjarak tiga
tindak dari Dayang Kemilau yang masih terkapar. Ditindih segala kegeramannya.
Dengan paras dingin dia
berkata, "Dayang Kemilau! Aku tahu kita tak punya
urusan! Bila kau mau mengatakan di mana Rajawali
Emas yang kau dan kedua temanmu bawa itu berada,
maka kau akan kubebaskan!"
Dayang Kemilau kertakkan rahangnya. Dengan
pelipis mengerut menahan sakit, salah seorang dari
Dayang-dayang Dasar Neraka ini perlahan-lahan bangkit dengan kesiagaan penuh.
Kedudukannya sangat
goyah dan darah semakin banyak keluar dari sela-sela
bibirnya. Lalu dengan suara geram dia berkata, "Ayu Wulan! Aku memang menginginkan nyawa
Rajawali Emas! Tetapi... apa yang kau tuduhkan itu salah!"
Mengkelap wajah Ayu Wulan mendengar katakata orang.
"Jangan memaksaku untuk bertindak kejam!"
"Peduli setan hendak kau apakan diriku seka
rang! Tetapi, apa yang kukatakan tadi benar!"
Di seberang, Handaka diam-diam membatin,
"Celaka kalau gadis berjubah hitam itu membuka mulut! Ini tak boleh kubiarkan
terlalu lama!"
Lalu katanya pada Ayu Wulan, "Ayu! Untuk apa
berlama-lama! Sudah tentu dia tak akan mau mengatakan apa yang terjadi
sebenarnya"!"
Sebelum Ayu Wulan membuka mulut, Dayang
Kemilau sudah berkata dengan sorot mata tajam pada
Handaka, "Huh! Rupanya engkau yang mencoba memutarbalikkan fakta! Pemuda
keparat! Kita sama-sama
menginginkan nyawa...." '
"Ayu Wulan! Bila kau tak sanggup melakukannya, biar aku yang melakukan!" seru
Handaka yang sengaja memotong kata-kata Dayang Kemilau.
Ayu Wulan tak segera membuka mulut. Gadis
jelita ini terdiam sambil pandangi Dayang Kemilau yang
berdiri dengan kedudukan goyah dan napas yang terengah.
"Aku menangkap keanehan di sini. Dayang Kemilau nampak begitu serius dengan yang
diucapkannya. Dia memang sedang memburu Kang Tirta, tetapi
nampaknya dia memang belum tahu siapa Kang Tirta
sebenarnya. Kalau begini, di mana keanehannya" Dan
aku juga menangkap sikap Handaka yang nampak berubah begitu tegang. Setiap kali
Dayang Kemilau berucap, sepertinya Handaka selalu memotong. Aku jadi ingin tahu
apa yang terjadi. Sebaiknya, aku berlaku tidak
tahu dulu."
Habis berpikir demikian dengan suara yang dibuat geram, Ayu Wulan membentak
Dayang Kemilau,
"Kau dengar ucapan kawanku itu"! Sebaiknya... katakan di mana Rajawali Emas
berada sebelum urusan jadi
kapiran!" "Ayu Wulan! Nampaknya kau dibutakan oleh
apa yang terjadi! Apakah kau tidak melihat kebenaran"
Dan bila kau masih memaksa juga, sampai ratusan jurus pun akan kulayani kau
bersama pemuda setan berjuluk...."
"Diaammm!" hardik Handaka kembali dengan
kedua tinju terkepal. Dia sudah hendak turunkan tangan. Tetapi diurungkan karena
tangan kanan Ayu Wulan menghalangi.
Tanpa menghiraukan pandangan jengkel dari
Handaka, murid Manusia Pemarah ini kembali membatin, "Lagi-lagi Handaka kembali
memotong kata-kata
Dayang Kemilau. Dan kali ini aku yakin kalau dia memang sengaja melakukannya.
Lalu apa julukan yang
hendak disebutkan Dayang Kemilau tadi" Apakah memang ada sesuatu di sini?"
Masih berlagak tidak tahu apa yang terjadi, Ayu
Wulan berkata, "Mungkin yang ada di hadapanku ini
adalah urusan aneh yang masih tak kuketahui! Tetapi,
aku yakin kalau kau hanya mencoba balikkan fakta
kendati apa yang kau katakan mungkin benar! Bisa jadi
kalau sesungguhnya kau tidak tahu di mana Rajawali
Emas ditahan, karena kedua saudaramu yang melakukannya! Baiklah! Aku tak mau
perpanjang urusan! Kau
kubebaskan sekarang, Dayang Kemilau!"
Di luar dugaan Ayu Wulan, Dayang Kemilau
yang kini telah berdiri tegak kembali keluarkan suara,
"Mungkin kau yang coba balikkan fakta, Ayu Wulan!


Rajawali Emas 27 Misteri Batu Bulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tak mau mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang kau berikan! Dan aku
tak akan mundur walau
sejengkal pun juga menghadapi segala urusan ini!"
Ayu Wulan tak segera membuka mulut. "Dia
masih bersikeras menolak tuduhan yang kulancarkan.
Rasa-rasanya, aku bertambah yakin kalau ada sesuatu
yang salah di sini. Tetapi, belum jelas kendati mulai tergambar."
Kemudian katanya, "Aku pun sebenarnya tak
ingin membiarkan kau hidup! Tetapi urusan harus diperjelas!"
"Bila kau hendak menyerang, mengapa masih
terdiam di tempat, hah"! Aku masih sanggup menghadapimu!" sahut Dayang Kemilau
dingin. Kejap kemudian, dialihkan pandangannya tajam-tajam pada Handaka yang
nampak begitu tak sabar untuk mencabut
nyawanya. Masih memandang tak berkedip, Dayang
Kemilau membentak sengit, "Pangeran Pencabut Nyawa,
aku yakin engkaulah yang berada di balik semua omong
kosong ini! Pemuda licik seperti kau memang mudah
melakukannya! Karena aku tahu kau juga sedang
memburu..,."
"Gadis hina! Kubunuh kau"!" potong Handaka
keras dengan tubuh bergetar. Murid Iblis Tanpa Jiwa ini
merasa ditelanjangi dengan yang dikatakan Dayang
Kemilau. Namun tatkala dia melirik Ayu Wulan, gadis
itu tetap bersikap seperti semula. Tak berubah, bahkan
pandangannya masih lekat pada Dayang Kemilau.
Namun yang mengejutkan Handaka, ketika dia
sudah melesat ke depan hendak lepaskan pukulan ke
kepala Dayang Kemilau, mendadak saja satu jotosan
menelepak tangan kanannya.
Surut dua tindak pemuda berbaju hitam ini disertai seruan kaget, "Hei!"
Kepalanya menoleh pada Ayu Wulan. Tetapi, gadis itu tetap tak bergeming dari
tempatnya. Tetap dengan pandangan tajam pada Dayang Kemilau yang segera turunkan
tangan, mengurungkan niat memapaki serangan Handaka dengan kening dikenyitkan!
*** Bab 2 "AYU Wulan! Apa yang telah kau lakukan"!" membentak sengit Pangeran Pencabut
Nyawa. Untuk sesaat dia
melupakan kalau dirinya harus bersandiwara. Hatinya
bukan main geram mengingat sudah dua kali Ayu Wulan melarangnya bertindak.
Sementara itu, gadis berpakaian putih bersih
yang di bagian dada atas sebelah kanan terdapat sulaman bunga mawar, hanya
terdiam. Tak menoleh ataupun mengedipkan mata. Pandangannya tetap mengarah
pada Dayang Kemilau yang menatapnya dengan tatapan
heran. Kejap kemudian terdengar kata-katanya, "Handaka... kita adalah orang-orang
golongan lurus yang
dapat memaafkan kesalahan orang Iain. Dan kuharap,
kita bisa memaafkan kesalahan gadis ini. Apalagi untuk
urusan yang belum jelas."
"Apa maksudmu, Ayu Wulan?" Kali ini sepasang
mata Handaka menyipit dalam dan diam-diam dia melanjutkan kata-katanya dalam
hati, "Menilik sikap yang
diperlihatkan gadis ini, rasa-rasanya dia mulai menduga
sesuatu. Keparat betul! Ini gara-gara Dayang Kemilau!
Tetapi menurunkan tangan pada gadis berjubah hitam
itu sekarang, akan semakin memancing kecurigaan Ayu
Wulan. Kalau memang begini, aku bisa kesulitan untuk
memancing Rajawali Emas muncul."
'Tak ada maksud apa-apa. Aku hanya melihat
kalau gadis berjubah hitam itu sudah tak berdaya," kata Ayu Wulan tetap tak
mengalihkan pandangan pada
Handaka. Diam-diam gadis ini dapat merasakan geraman dalam suara Handaka.
Sebelum Handaka membuka mulut, Dayang Kemilau
sudah membentak, "Jangan bicara ngaco! Apakah kau
pikir aku sudah tak mampu menghadapi kalian berdua"!"
Bentakan Dayang Kemilau tak membuat Ayu
Wulan bergeming. Pandangannya tetap tajam. Naun tetap pula dia tak melakukan
apa-apa. "Aku tak mengatakan demikian."
"Jahanam! Jangan berbangga dulu, Ayu Wulan!"
"Kau salah menduga apa yang kumaksudkan!"
"Perjelas kata-katamu! Tanganku jadi semakin
gatal untuk merobek niulutmu!"
"Kau pasti sudah jelas dengan kata-kataku."
"Keparat! Ingin kulihat lagi apa yang kau bisa,
hah"!"
Sebelum Ayu Wulan menyahut, Handaka sudah
mendahului, "Kau dengar sendiri apa yang dikatakannya, Ayu Wulan"! Gadis semacam
dia tak perlu dikasihani! Ingat, pemuda yang kau cintai berada di tangannya! Dia
berani berkata demikian, karena merasa memiliki sandera yang membuatnya berada
di atas angin! Kita tidak boleh bersikap lemah dan menga-sihaninya!"
"Aku tidak mengasihaninya. Aku hanya merasa
urusan ini tak perlu diperpanjang lagi," sahut Ayu
Wulan tanpa menoleh pada Handaka.
"Tentunya kau paham, Handaka."
"Bila kau tak mau untuk menghajarnya, biar
aku yang melakukan!" seru Handaka keras.
Kepala Ayu Wulan menggeleng-geleng. Diamdiam dia membatin, "Sikap keras kepala
Handaka membuatku geram. Dan ini semakin membuatku curiga, kendati sikap Handaka itu tak
bisa disalahkan. Menurut ceritanya waktu itu, dia mencoba membantu menyelamatkan
Kang Tirta, tetapi dapat dikalahkan oleh
Dayang-dayang Dasar Neraka. Kalau memang begitu,
mengapa sejak tadi tak ada kata-kata yang membuatku
dapat meyakini kalau Handaka memang bertarung dengan Dayang-dayang Dasar Neraka
untuk membantu Kang Tirta" Dari ucapan yang dikatakan Dayang Kemilau, mereka memang pernah
bertemu dan bertarung.
Tetapi sepertinya bukan urusan Kang Tirta. Rasanya...
mulai jelas apa yang kurasakan aneh tadi."
"Mengapa kau terdiam"!" sambar Handaka tak
sabar. "Aku tak mau memperpanjang urusan ini!" sahut Ayu Wulan. Belum habis sahutannya
terdengar, sosoknya sudah berkelebat cepat meninggalkan tempat
itu. Pangeran Pencabut Nyawa kertakkan rahangnya
kuat-kuat sambil melihat kepergian Ayu Wulan. Kelihatan dia ragu-ragu untuk
menyusul gadis itu. Untuk sesaat pemuda berpakaian hitam ini terdiam.
"Aku tak boleh kehilangan jejak gadis itu. Dialah
tumbal yang sangat tepat untuk memancing Rajawali
Emas menyerahkan Kitab Pemanggil Mayat sebagai petunjuk mencari Kitab
Pamungkas."
Memutuskan demikian, pemuda licik ini segera
menghempos tubuh. Namun kejap itu pula dia melompat ke samping karena satu
gelombang angin sudah
menderu ke arahnya.
Blaarrr! "Setan keparat!" makinya segera seraya memutar
tubuh. Dilihatnya Dayang Kemilau menyeringai lebar.
"Mengapa terburu-buru"!" ejeknya dingin. "Bukankah kita masih ada urusan yang
harus diselesaikan"! Biarkan gadis bernama Ayu Wulan berlalu, karena dia tidak
tahu apa-apa dalam persoalan ini!"
"Keparat! Aku harus segera menemukan Ayu
Wulan kembali! Urusan bisa jadi panjang bila tak kutemukan!" kata Handaka dalam
hati. Kejap lain pandangannya sudah ditujukan pada Dayang Kemilau yang
memandangnya dengan bibir masih menyunggingkan
seringaian mengejek. "Untuk saat ini, kulepaskan nyawamu, Dayang Kemilau!"
"Gila! Apakah aku tidak salah mendengar" Jangan bicara sesumbar! Sekalipun
kesaktian yang kau miliki setinggi setan, aku tak akan mundur setapak juga!"
sahut Dayang Kemilau sambil kepalkan kedua tangannya. "Pemuda licik! Aku dapat
menduga apa yang kau
lakukan! Dapat kupastikan kalau semua ini adalah perbuatanmu!"
Pemuda berpakaian hitam itu tersenyum aneh.
"Bisa jadi yang kau katakan itu benar! Dan tak
ada salahnya bila kau memikirkan sebaik-baiknya!
Ingat! Untuk saat ini, kita tunda urusan yang ada di depan mata!"
Habis kata-katanya, Handaka segera putar tubuh. Dayang Kemilau yang tak mau
urusan jadi tertunda, sudah kembali gerakkan tangan kanannya.
"Mau ke mana kau, Jahanam"!"
Wussss! Menggebrak satu gelombang angin ganas ke
arah Handaka. Dan untuk kedua kalinya murid Iblis
Tanpa Jiwa ini harus mcngurungkan niat.
"Gadis Hina!" makinya sambil memutar tubuh
kembali dan tegak berdiri menghadap Dayang Kemilau.
"Kau benar-benar sudah ingin mampus rupanya
Dayang Kemilau langsung keluarkan bentakan,!
"Aku tahu mengapa kau menunda sementara urusan
ini! Karena, kau tak ingin gadis bernama Ayu Wulan
yang akan kau jadikan tumbal lolos dari tangan...."
"Tutup mulutmu!" seru Handaka dingin dengan
tubuh bergetar tanda amarah makin keras melingkupinya. Namun dia benar-benar
bingung sekarang. Kata-kata Dayang Kemilau sungguh memekakkan telinga,
sementara itu dia tak ingin kehilangan jejak gadis berpakaian putih bersih yang
entah berada di mana.
"Apakah bila kututup mulutku urusan akan jadi
selesai"! Sudah tentu tidak, bukan" Karena, Ayu Wulan
adalah tumbal yang tepat untuk memancing kehadiran
Rajawali Emas! Hanya yang mengherankanku, mengapa
kau tak segera tiupkan berita kalau sebelumnya Ayu
Wulan berada di tanganmu"!"
"Jahanam! Gadis ini bisa menunda waktuku untuk mendapatkan Ayu Wulan kembali!
Aku tak boleh kehilangan jejak gadis itu. Tetapi sudah tentu gadis celaka berjubah hitam ini
tak akan membiarkan diriku
menyusul Ayu Wulan! Kalau begitu... akan kuserang saja dia!"
Memutuskan demikian, Handaka keluarkan
bentakan, "Nyawamu sudah berada di tanganku,
Dayang Kemilau! Dan sepertinya kau sudah tak sabar
untuk mampus!"
"Aku justru ingin menarungkan nyawa padamu!
Apakah kau...."
Ejekan Dayang Kemilau terputus, karena Handaka sudah gerakkan kedua tangannya ke
muka. Serta-merta melesat dua gelombang angin ke arah Dayang
Kemilau, yang membuat Dayang Kemilau segera lepaskan serangan memapaki.
Blaaam! Blaaam!
Nampak masing-masing orang mundur dua tindak ke belakang. Dan kejap itu pula tubuh Handaka
sudah melesat kembali ke depan dengan mendorong
kedua tangannya. Dayang Kemilau sendiri tak mau
membuang tubuh atau menghindari serangan. Baginya, semua kejadian ini
diakibatkan oleh tangan Handaka.
Makanya, dengan gerakan yang tak kalah cepatnya gadis berjubah hitam itu
menggebrak ke depan.
Untuk kedua kalinya terdengar letupan yang
sangat keras. Akibat bentrokan dua pukulan tadi, tanah
segera muncrat dan menutupi pandangan. Dalam
naungan tanah yang menghalangi itu, mendadak terdengar seruan keras, "Dayang
Kemilau! Kelak kita berjumpa lagi!"
Menggeram keras Dayang Kemilau mendengarnya. Diterobosnya debu-debu itu. Namun
dia sudah tak melihat lagi sosok pemuda berpakaian hitam.
"Setan keparat! Justru kelak kau yang tak akan
pernah kumaafkan!" geramnya sengit seraya lepaskan
pukulan ke depan.
Dua batang pohon tersambar pukulannya. Sesaat pohon itu bergetar dan dedaunannya
berguguran. Di saat lain terdengar suara menggemuruh hebat, menyusul suara berdebam dua kali
yang menimpa ranggasan semak yang langsung berpentalan.
Di tempatnya, Dayang Kemilau terdiam dengan
dada naik turun. Wajahnya tampak diliputi kegeraman
dalam. "Aku tahu apa yang kau hendaki, Pemuda keparat! Tentunya, kau sengaja memutar
balikkan fakta, padahal kau menginginkan Ayu Wulan sebagai tumbal untuk
mendapatkan Kitab Pemanggil Mayat dari tangan
Rajawali Emas, yang merupakan petunjuk untuk mendapatkan Kitab Pamungkas! Dan
aku juga menghendaki
apa yang kau hendaki, Jahanam!"
Dayang Kemilau mencoba mengatur napas dan
menindih kegeramannya sesaat. Dia teringat akan
Dayang Pandan dan Dayang Harum. Lamat-lamat terdengar suaranya, "Maafkan aku,
dua saudaraku. Terpaksa aku tak memenuhi janji untuk bertemu. Karena,
sasaran ada di depan mataku."
Habis kata-katanya, gadis berjubah hitam ini
sudah berkelebat ke arah perginya Handaka.
Sepeninggal Dayang Kemilau, sepasang mata
yang sejak tadi mengintip dari balik ranggasan semak,
membatin geram, "Keparat! Jadi selama ini aku dipermainkan oleh Handaka yang
berjuluk Pangeran Pencabut Nyawa. Cerita-cerita busuk tentang Kang Tirta yang
dikalahkan dan diseret oleh Dayang-dayang Dasar Neraka, tentunya hanya bualannya
belaka. Hmmm... aku
pun yakin sekarang. Kalau sesungguhnya Handaka
yang hendak mencelakakan gadis berbaju jingga. Keparat betul! Aku hampir saja
menelan bulat-bulat semua
permainannya! Dan... kurang ajar! Dialah yang tentunya menyerangku dengan
berlagak mencari makanan
untuk mengisi perut, karena sesungguhnya dialah yang
hendak mempermalukan gadis berpakaian jingga!"
Orang yang mengintip dari balik ranggasan semak ternyata Ayu Wulan adanya.
Sebenarnya dia tidak
meninggalkan tempat itu. Begitu tubuhnya melesat,
dengan cepat dia berputar dan kembali ke tempat semula. Biar bagaimanapun juga,
gadis ini menangkap
keanehan yang hendak diyakininya. Dan kini dia mulai
jelas apa yang telah terjadi.
Sepasang mata jernih itu berputar cepat. Kedua
tangannya dikepalkan. Tubuhnya bergetar tanda amarah makin meluap. Terutama baru
disadarinya kalau
selama ini dia justru bersama-sama dengan pemuda licik yang menginginkan nyawa
pemuda yang dicintainya.
"Akan kubalas untuk mempermainkannya!" seru gadis
ini geram. Lalu dengan mengambil arah berputar, gadis
jelita yang di pinggang rampingnya melilit sebuah cambuk, segera tinggalkan
tempat itu. Sepi segera menerpa
dalam. *** Bab 3 DI sebuah hutan kecil, nampak dua sosok tubuh berkelebat kencang seolah memburu
waktu yang sangat


Rajawali Emas 27 Misteri Batu Bulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sempit. Gerakan dua sosok tubuh itu sedemikian cepat
hingga yang nampak hanya bayangan-bayangan belaka.
Yang satu bayangan keemasan dan yang satu lagi
bayangan warna jingga. Ranggasan semak belukar dilompati. Begitu kaki menginjak
tanah, kedua bayangan
itu terus melesat.
Sejak semula kedua sosok tubuh itu berkelebat
berjajar. Namun di sebuah tempat yang agak terbuka
dan luas menghampar, mendadak saja yang berpakaian
keemasan bersuara, "Percepat kelebatanmu, Ratna Sari!"
Bayangan jingga yang ternyata seorang gadis
menganggukkan kepalanya dan menambah kecepatannya. Setelah melewati hamparan
tanah terbuka itu, didengarnya lagi pemuda berpakaian keemasan berseru,
"Perlambat kelebatanmu, Ratna Sari!"
Lagi-lagi si gadis menurutinya saja. Bahkan tatkala si
pemuda menyuruhnya untuk lebih mempercepat kelebatan lagi dia hanya menurutinya
saja tanpa banyak
bertanya. Hingga kemudian di sebuah hutan kecil, nampak bayangan keemasan yang berkelebat
itu mulai memperlambat gerakannya dan akhirnya berhenti.
Bayangan jingga yang mengikutinya pun akhirnya berhenti.
Untuk sesaat keduanya edarkan pandangan sebelum gadis berpakaian jingga ajukan
tanya, "Tirta...
mengapa kita berhenti di sini?"
Bayangan keemasan yang dipanggil tadi hanya
tersenyum. Dilihatnya butir-butir keringat membasahi
wajah jelita berhidung bangir. Di atas bibir gadis berpakaian jingga yang tak
lain Ratna Sari alias Dewi Awan
Putih, terdapat sebuah tahi lalat kecil yang menambah
kejelitaannya. Kemudian pemuda berpakaian keemasan yang
tak lain Rajawali Emas adanya berkata, "Apakah kau tidak lelah?"
Gadis berpakaian jingga menarik napas pendek
dan lamat-lamat menghembuskannya. Lalu sambil
pandangi pemuda yang di keningnya terdapat ikat kepala yang berwarna sama dengan
pakaiannya dia berkata,
"Lumayan juga. Tetapi aku ingin tahu apa yang akan
terjadi di Bulak Batu Bulan."
"Aku pun sudah tak sabar untuk tiba di sana.
Tetapi, kita beristirahat dulu."
Dewi Awan Putih cuma mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesungguhnya dia merasa
heran melihat tak sebutir keringat pun yang keluar dari sekujur
tubuh Tirta. Tetapi bila saja Dewi Awan Putih tahu apa
yang dimiliki Tirta, tentunya dia tak akan heran. Karena, saat berkelebat tadi
Tirta telah alirkan tenaga surya
yang dapat mengeringkan butir-butir keringat yang seharusnya keluar.
Sementara Dewi Awan Putih memandangnya.
pemuda dari Gunung Rajawali edarkan pandangan ke
sekelilingnya, yang dipenuhi pepohonan tinggi dan
ranggasan semak belukar. Di depan sana, jalan setapak
nampak tumpang tindih tak berbentuk.
Tirta sekejap alihkan pandangan pada Dewi
Awan Putih yang kali ini sedang memandang kejauhan.
Diam-diam pemuda dari Gunung Rajawali ini membatin, "Hingga saat ini, sebenarnya
aku masih mencemaskan keadaan Ayu Wulan. Karena aku belum mengetahui keadaannya.
Apakah Bwana sudah menemukannya" Itu pun tak bisa kupastikan. Dan yang menurutku
lebih penting sekarang, apa yang dikatakan oleh Dewi
Awan Putih tentang Bulak Batu Bulan. Tak akan bisa
kutunda lagi untuk segera mendatangi tempat itu. Kejadian apa yang akan kualami
di Bulak Batu Bulan belum dapat kutebak pasti, kendati apa yang dikatakan
Wulung Seta dan Sri Kunting waktu itu patut dicemaskan. Dan Guru menunggu di
sana." Pada awal-awalnya, Tirta dikejutkan dengan kemunculan Dewi Awan Putih yang
memaksanya untuk
mengatakan ke mana perginya Hantu Caping Baja.
Bahkan tak tanggung lagi, gadis itu menyerang Tirta
habis-habisan yang saat itu sesungguhnya terluka dalam akibat serangan Hantu
Caping Baja yang ternyata
hanya menguji kemampuannya saja (Baca serial Rajawali Emas dalam episode:
"Dayang-dayang Dasar Neraka").
Lantas kemudian, di saat Dewi Awan Putih diserang oleh seseorang yang entah
siapa, Tirta datang menolongnya (Baca serial Rajawali Emas dalam episode :
"Rahasia Bwana"). Dan tanpa diduganya, Dewi
Awan Putih yang merasa berhutang budi, ganti menolong Tirta dari serangan Rantak
Ganggang, yang sebenarnya Tirta tak membutuhkan pertolongan itu.
Saat itulah Tirta mencoba mengorek keterangan
yang pernah gagal ditakukannya, untuk mengetahui sebab-sebab Dewi Awan Putih
mencari Hantu Caping Baja. Dan sesuatu yang tak disangka terjadi, karena Dewi
Awan Putih menceritakan tentang siapa dirinya dan
mengapa dia mencari Hantu Caping Baja. Dan yang tak
disangka Tirta pula, kalau gadis itu mengetahui di mana letak Bulak Batu Bulan,
tempat yang memang sedang dituju Tirta (Untuk lebih jelasnya, silakan baca
serial Rajawali Emas dalam episode: Tumbal Nyawa Perawan").
Sunyi mengerjap dalam. Beberapa daun kering
berguguran dihembusi angin senja. Di ufuk barat Sana,
matahari mulai menurunkan kegarangannya. Dan perlahan-lahan segera berangkat
pulang ditemani oleh burung-burung camar yang di kejauhan beterbangan
membentuk siluet-siluet indah.
Dewi Awan Putih bertanya, "Apakah kita hanya berdiam
di sini saja?"
"Untuk sementara, memang itulah yang bisa kita
lakukan." "Apakah kau lapar, Tirta?" tanya Dewi Awan Putih lagi.
Tirta menganggukkan kepalanya. "Ya."
"Kalau begitu... kau tunggu saja dulu di sini.
Aku akan mencari...."
"Tidak," kata Tirta sambil menggelengkan kepalanya. "Kau tetap di sini."
"Jadi kau yang hendak mencari pengisi perut?"
"Tidak juga."
Kali ini Dewi Awan Putih mengernyitkan kening.
Dipandanginya baik-baik pemuda yang di lengan kanan
dan kirinya terdapat rajahan burung rajawali keemasan
itu. Tatkala dia hendak mengutarakan keheranannya,
Rajawali Emas sudah mendahului, "Kita tunda dulu lapar yang cukup mendera
sebenarnya. Sebaiknya kita
beristirahat saja."
"Aneh! Mengapa dia jadi bersikap seperti itu"
Apakah ada sesuatu yang dipikirkannya" Kalau memang iya, bukankah lebih baik dia
memikirkannya sementara aku mencari buah-buahan atau hewan yang
bisa diburu?" kata Dewi Awan Putih dalam hati.
Lalu didengarnya kata-kata Rajawali Emas, "Duduklah di bawah pohon itu."
Masih tak mengerti dengan sikap pemuda berpakaian keemasan itu, Dewi Awan Putih
hanya menurutinya saja. Dilihatnya Tirta yang masih berdiri dengan
kedua kaki dibuka agak lebar di atas tanah.
Kembali gadis berpakaian ringkas warna jingga
ini membatin, "Aku tak tahu apa yang akan dilakukan
Tirta. Tetapi sikapnya benar-benar ini membuatku heran. Apakah ini ada
hubungannya dengan perintahnya
yang menyuruhku mempercepat dan memperlambat lari" Ah, kupikir tidak. Karena aku
bisa menduga saat dia
menyuruh mempercepat lari, dikarenakan tenaga masih
penuh. Kemudian tatkala dia menyuruhku memperlambat lari, sengaja untuk mengatur
napas. Tetapi... mengapa sikapnya kelihatan menjadi aneh?"
Sementara itu, Rajawali Emas sedang berkata
dalam hati, "Untuk saat ini aku tak hendak mengatakan
apa yang kupikirkan. Sebenarnya, di tengah perjalanan
tadi, sempat kudengar suara orang berkelebat di belakang. Kendati aku masih ragu
pada pendengaranku
sendiri, tetapi kelebatan itu kembali kudengar. Bahkan
tatkala kusengaja mempercepat kelebatan, orang di belakang itu juga menambah
kecepatan berkelebatnya.
Demikian pula saat kuperlambat. Hmmm... sebelum
kuyakini benar dugaan itu, tak akan kukatakan pada
Dewi Awan Putih."
Kembali tak ada yang keluarkan suara. Dewi
Awan Putih terpaksa menahan rasa laparnya. Dicobanya untuk mengerti sikap Tirta
yang menurutnya
aneh. Sedangkan Tirta sendiri, membuka pandangan
dan pendengarannya lebar-lebar.
"Hmmm... aku yakin orang yang mengikuti itu
menghentikan gerakannya juga dan bisa jadi dia bersembunyi di satu tempat. Bisa
pula kuperiksa tempat
ini, tetapi aku tak mau meninggalkan Dewi Awan Putih
sendirian. Bukan dikarenakan aku mengecilkan kemampuannya, tetapi ada bahaya
besar yang menurut
perasaanku akan terjadi. Hmmm... aku jadi makin penasaran ingin mengetahui siapa
orang itu adanya."
Kembali Tirta terdiam menunggu, dengan membuka lebih lebar indera penglihatan
dan pendengarannya. Tetapi setelah ditunggu beberapa saat, tak seorang
pun yang muncul atau perdengarkan suara. Tirta alihkan pandangan pada Dewi Awan
Putih yang duduk bersandar di sebatang pohon.
"Gadis itu kelihatannya sangat lapar. Aku tak
boleh membiarkannya terlalu lama menahan lapar. Dalam perut kosong, bila ada
bahaya yang menyerang tenaga tak akan muncul. Tetapi meminta atau meninggalkan
gadis ini untuk mencari makan, aku tak bisa
melakukannya. Kukhawatirkan kalau orang yang mengikuti akan muncul."
Perlahan-lahan pemuda dari Gunung Rajawali
ini menghampiri Dewi Awan Putih yang segera berdiri.
"Kita teruskan perjalanan sekarang. Tetapi kuminta, kau mengikuti apa yang
kutakukan."
Dewi Awan Putih memandang dengan kening
berkerut. "Apa maksudmu?"
"Kuminta, simpan dulu segala pertanyaan di hatimu."
Masih tak mengerti melihat perubahan Rajawali
Emas, Dewi Awan Putih hanya menganggukkan kepalanya. Tirta tak berkata-kata
lagi. Setelah pandangi sekeliling tempat itu dan dianggukkan kepalanya pada
Dewi Awan Putih, dia pun kembali berkelebat. Gadis
berbaju jingga itu segera mengikutinya.
Tiga tarikan napas berikutnya, ranggasan semak
berjarak dua belas langkah dari tempat Tirta sebelumnya berdiri tadi menguak.
Menyusul munculnya satu
bayangan hitam gombrang ke tempat itu. Kejap itu pula
terdengar orang yang baru muncul keluarkan dengusan
dingin, dengan mata menyipit.
"Keparat! Sepertinya Rajawali Emas tahu kalau
aku mengikutinya! Jahanam betul! Ini tak boleh kubiarkan! Kendati aku sempat
mencuri dengar percakapan Rajawali Emas dengan Dewi Awan Putih tentang
Bulak Batu Bulan, tetapi bila kuikuti keduanya aku tak
akan terlalu sulit menemukan Bulak Batu Bulan. Kini
kusadari, kalau petunjuk dari Kitab Pemanggil Mayat
hanya mengarah pada Bulak Batu Bulan. Dan tanpa
kusengaja kuketahui kalau di Bulak Batu Bulan sudah
ada petunjuk kedua yang mengarah di mana Kitab Pamungkas berada."
Sosok tubuh tua yang mengenakan pakaian hitam gombrang yang seperti menutupi
sesuatu, nampak
sedikit bergetar. Sepasang matanya yang kelabu pekat
itu memandang tajam ke depan.
"Aku masih menginginkan kematian Dayang Harum! Murid keparat itu ternyata
mencoba-coba mengkhianatiku! Siapa sebenarnya orang yang telah
menyelamatkannya" Jahanam betul! Keduanya harus
mampus di tanganku" Lantas... ke mana perginya
Dayang Pandan dan Dayang Kemilau?"
Si nenek yang tak lain Ratu Jagat Raya terdiam.
Memang, setelah gagal menurunkan tangan pada
Dayang Harum, salah seorang muridnya yang bergabung dengan Dayang-dayang Dasar
Neraka, Ratu Jagat
Raya kembali ke tempat semula di mana sebelumnya
dia mendengar Rajawali Emas berusaha mengembalikan nurani Dayang Harum pada
jalan kebenaran. Dan yang tak disangkanya, sesuatu yang selama
ini dicari diketahuinya! (Untuk lebih jelasnya, silakan
baca serial Rajawali Emas dalam episode: "Tumbal Nyawa Perawan").
Kejap berikutnya, nenek yang di kepalanya terdapat sebuah konde kecil keluarkan
suara dingin. "Peduli setan! Kitab Pamungkas harus kudapatkah!"
Habis lontarkan suara dingin, sosok berpakaian
hitam gombrang itu sudah berkelebat menyusul ke mana perginya Rajawali Emas dan
Dewi Awan Putih.
*** Bab 4 SEBELUM kita ikuti perjalanan Rajawali Emas dan
Dewi Awan Putih menuju Bulak Batu Bulan, serta kejadian apa yang akan dialami
mereka, sebaiknya kita lihat
dulu siapa yang telah menyelamatkan Dayang Harum
dari kematian yang hendak diturunkan oleh Ratu Jagat
Raya. Saat itu, Ratu Jagat Raya yang hendak menurunkan tangan maut pada Dayang Harum,
bukan main terkejutnya mendapati seseorang yang bergerak secepat
angin telah melesat dan menyambar tubuh Dayang Harum. Menyusul dengan gerakan
yang benar-benar susah diikuti oleh mata, orang yang menyambar tubuh
Dayang Harum sudah berkelebat sedemikian cepat dan
lenyap dari pandangan hingga serangan yang dilepaskan oleh Ratu Jagat Raya hanya
menghantam sebuah pohon. (Baca serial Rajawali Emas dalam episode:
"Tumbal Nyawa Perawan").
Di sebuah ngarai yang teduh, orang yang ternyata mengenakan pakaian berwarna
biru agak kehijauan,
menghentikan kelebatannya. Tanpa pandangi lagi sekelilingnya seolah orang itu
sudah sangat hafal dengan
tempat yang dipijaknya, enteng saja dilemparnya tubuh
Dayang Harum yang sejak semula dibopongnya seperti
membuang kotoran yang menempel di lengannya.
Bila saja gadis berjubah biru pekat itu tidak sigap, bisa dipastikan tubuhnya
akan ambruk. Kejap itu
pula kedua kakinya tegak di atas tanah sejarak lima
tindak dari orang berpakaian biru kehijauan. Sejenak
salah seorang dari Dayang-dayang Dasar Neraka ini
pandangi orang itu yang sedang memandang kejauhan.
Sikap orang itu acuh sekali, seolah tak menyadari kalau
di sana ada orang lain selain dirinya.
Sosok tubuh yang dipandangi oleh gadis berwajah bulat telur dengan rambut diikat
pita warna biru,
ternyata seorang lelaki berusia lanjut. Tingginya hanya
sebahu Dayang Harum. Tubuhnya kurus dengan kepala
lonjong. Bola matanya hitam pekat. Rambutnya hanya
merupakan jumputan kecil, tetapi di belakang panjang


Rajawali Emas 27 Misteri Batu Bulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hingga punggung. Di pinggang lelaki tua berpakaian biru kehijauan ini terdapat
sebuah ikat pinggang yang
cukup tebal, terbuat dari kulit warna putih. Dan di sepanjang lingkaran ikat
pinggangnya terdapat gambar
hembusan angin.
Sejenak hati Dayang Harum dibuncah pertanyaan siapakah gerangan si kakek yang
bersikap acuh itu. Kendati dia berterima kasih pada orang yang telah menyelamatkannya dari maut
yang hendak diturunkan oleh gurunya sendiri, gadis berhidung bangir ini
tak menyukai tindakan orang yang menyelamatkannya.
Karena, saat itu Dayang Harum yang setelah mendengar segala ucapan Rajawali Emas
mulai melihat titik terang atas segala tindakan kejam yang dilakukannya selama
ini, sedang mencoba mengorek keterangan dari
gurunya sendiri tentang siapakah yang telah membunuh kedua orang tuanya.
"Orangtua! Siapakah kau adanya?" tanya Da
yang Harum tak kuasa menindih terlalu lama rasa ingin
tahunya. Bukannya segera menjawab, si kakek bertubuh
pendek itu tetap terdiam. Sekalipun tak meliriknya. Malah kelihatan kepalanya
mengangguk-angguk seperti
habis memikirkan sesuatu dan menemukan jawabannya.
Dayang Harum mengerutkan kening melihat sikap si kakek. "Aneh! Apakah dia tidak
mendengar pertanyaanku" Atau... jangan-jangan orang tua pendek ini
tuli?" Dengan nada suara seperti semula, dia bertanya
lagi, kek Tentunya kau punya nama atau julukan, bukan?"
Lalu seperti baru tahu kalau ada pertanyaan
yang ditujukan padanya, si kakek menoleh dan terjingkat disertai suara terkejut,
"E, copot, copot! Busyet!
Anak gadis! Apakah kamu tidak bisa perkecil suaramu
itu, hah"! Kalau merdu kudengar, bolehlah! Tetapi suara seperti embikan kambing
begitu, kok diperdengarkan keras-keras kepadaku!"
Kembali Dayang Harum mengerutkan keningnya. "Aneh! Rasa-rasanya suaraku pelan
saja. Mengapa dia berkata kalau aku seperti berteriak?"
Masih tak bisa tindih keheranannya, gadis berjubah biru pekat ini kembali ajukan
tanya, "Aku ingin
tahu siapa namamu atau julukanmu."
"Busyet! Apakah kedua telingamu tuli"! Tadi sudah kubilang tidak usah berteriak!
Aku juga sudah mendengarnya" si kakek tahu-tahu menghardik keras.
"Kalau kau ingin tahu namaku, aku lupa! Betul-betul
lupa! Mungkin juga namaku Pangeran Abimanyu atau
Gusti Agung Malayang atau Raden Mahkota Jimbun
Fanani! Pokoknya aku tidak tahu!"
"Kalau begitu... bagaimana caraku memanggilmu, Kek?" tanya Dayang Harum masih
mengerutkan kening. "Terserah!" sahut si kakek yang kemudian terdiam acuh. Mulutnya nampak
menggerundel tak jelas.
Lalu mendadak saja terdengar teriakannya yang keras
disertai tamparan pada keningnya. "Copot, copot! Mengapa aku jadi pikun seperti
ini"!" Dengan segera si kakek palingkan kepala pada Dayang Harum yang heran
namun juga menahan senyum. "Anak gadis yang tidak
jadi mampus! Aku baru ingat bagaimana orang-orang
memanggilku! Kau boleh memanggilku Manusia Angin!
Dasar sudah tua! Dasar sudah pikun! Hampir saja aku
putus asa menyadari aku tidak punya nama panggilan!
Ya, ya! Kau boleh memanggilku dengan sebutan yang
barusan kukatakan!"
"Manusia Angin...," ulang Dayang Harum bagai
gumaman sambil pandangi si kakek. "Julukan yang ada
pada kakek ini menunjukkan kalau dia jelas orangorang yang tak bisa dipandang
sebelah mata. "Busyet! Apakah yang memandangku sebelah
matanya kali kelilipan hingga hanya memandang sebelah mata?" tahu-tahu si kakek
yang berjuluk Manusia
Angin sudah keluarkan suara dengan mulut berbentuk
kerucut. Dayang Harum terhenyak dan tanpa sadar surut
satu tindak ke belakang. Kedua matanya dibuka lebarlebar dan tak berkedip pada
si kakek yang masih menggerutu.
"Gila! Pendengarannya sangat tajam. Padahal
ucapanku sangat pelan. Pantas kalau tadi aku berbicara biasa dia bilang aku
berteriak."
Habis membatin begitu, gadis berjubah biru pekat ini rangkapkan kedua tangannya
di depan dada, "Aku berterima kasih atas pertolonganmu tadi, Kek."
"Siapa yang sudi menolongmu"! Karena aku ada,
urusan saja aku mau melakukannya!" ;s
"Urusan apa yang kau maksudkan, Kek?"
"Apakah Nenek jelek berpakaian hitam gombrang itu yang berjuluk Ratu Jagat
Raya?" Dayang Harum menganggukkan kepalanya.
"Busyet! Mengapa aku justru membawamu pergi" Seharusnya dia langsung kukepruk
saja! Dasar sudah pikun, sudah tahu orang yang dicari berada di depan mata,
justru meninggalkannya! Tolol! Bodoh! Dungu! Ya semuanya saja!"
Dayang Harum benar-benar tak mengerti melihat sikap aneh si kakek. Lalu dengan
berhati-hati dia
berkata, "Ratu Jagat Raya adalah guruku."
Seketika kepala si kakek menoleh.
"Edan! Sudah edan zaman barangkali! Janganjangan... kau sama kejinya dengan
nenek busuk itu!
Huh! Menyesal aku telah menolongmu!"
Kali ini perlahan-lahan Dayang Harum menganggukkan kepalanya. Perasaannya
mendadak sedih mendengar kata-kata si kakek. Sambil menghela napas
panjang dia berkata dalam hati, "Mungkin dalam soal
kekejian, hampir seimbang kekejian yang kumiliki dengan guruku sendiri.
Tetapi... kini semuanya mulai berubah. Dan aku harus mengubahnya. Apa yang
dikatakan Rajawali Emas memang benar. Bisa jadi pula kalau ternyata yang membunuh kedua
orang tuaku adalah guruku sendiri...."
Merasa tak ada sahutan dari si gadis, Manusia
Angin berkata, "Mengapa kau mau menjadi muridnya,
hah"!"
Dayang Harum kembali tak segera menjawab.
Kembali ingatannya beralih pada Rajawali Emas. Sesaat
kembali perasaannya dibuncah kegalauan.
"Kenapa kau diam"!" sambar si kakek tinggi.
"Apakah kau mendadak terserang setan tempat ini
hingga kau menjadi bisu seperti itu, hah"!"
"Aku sedang merenungi kata-katamu tadi, Kek.
Sungguh, aku menjadi...."
"Sudah, sudah! Busyet betul! Aku paling tak suka melihat seorang gadis menjadi
sedih! Hei, anak gadis!
Jangan menjadi cengeng di depanku! Hayo, kau sudah
tahu panggilanku! Sekarang, panggilan apa yang tepat
untukmu?" "Namaku Dayang Harum."
"Nama yang bagus! Sayang, mengikuti jejak manusia sebangsa Ratu Jagat Raya!"
Dayang Harum kembali menundukkan kepalanya. Hatinya direjam sedih dan penyesalan
dalam. Sementara itu, seolah tak pedulikan apa yang dirasakan oleh Dayang Harum,
Manusia Angin berkata,
"Aku tahu kau sedang mengejar Kitab Pamungkas. Aku
tahu kalau kau sedang galau disebabkan oleh ucapan
pemuda berjuluk Rajawali Emas. Sekarang, tinggal kau
sendiri yang bisa tentukan pilihan-mu. Kau tak boleh
larut dalam kesedihan usang. Dan
memang sial, kalau segala penyesalan datang belakangan. Busyet! Apakah otakku
sudah menjadi dungu"
Mana bisa penyesalan datang duluan!"
Mendengar kata-kata Manusia Angin, Dayang
Harum mengangkat kepalanya. Sedikit banyaknya dia
agak terhibur melihat keluguan si kakek. Tanpa sadar
dia tersenyum melihat si kakek yang sedang menggaruk-garuk kepalanya yang hanya
dihiasi oleh rambut jarang. Diam-diam dalam hati gadis ini berkata, "Sungguh
aneh sebenarnya dia tahu apa yang aku kutakutkan
dan kualami. Apakah dia pernah melihatku sebelumnya" Atau jangan-jangan... dia
memiliki ilmu membaca
pikiran orang" Sebaiknya kutanyakan saja soal itu...."
Tetapi belum lagi dia membuka mulut, didengarnya kembali suara si kakek, "Sudah,
sudah! Masa bodoh dengan segala penyesalan! Anak gadis! Kau nampaknya tak kurang suatu apa
sekarang! Lebih baik kita
berpisah di sini saja!"
Dayang Harum 'menggelengkan kepala seraya
membatin, "Kakek ini seperti tahu kalau aku menyesali
segala tindakan yang kulakukan."
"Apa maksudmu menggelengkan kepala begitu"!
Apa lehermu pegal"!" hardik Manusia Angin yang memiliki kepandaian membaca
pikiran orang. .
"Aku ingin ikut kau, Kek!"
Tubuh Manusia Angin seketika menegak. Kedua
matanya terpentang lebar. Kejap kemudian terdengar
suara, "Busyet! Apa aku tidak salah dengar" Hei, Anak
gadis! Aku tahu wajahku tampan, tetapi jangan terlalu
cepat mengucapkan cinta!"
Sekarang justru Dayang Harum yang terbeliak.
Kejap kemudian terdengar tawanya sambil menutup
mulut. "Celaka! Jangan-jangan dia memang sudah kesambet setan gentayangan!" kata
Manusia Angin dalam
hati. Apa yang tadi diucapkan oleh Dayang Harum
sebenarnya, karena dia tak ingin berjumpa lagi dengan
gurunya. Dia tahu, gurunya tak akan pernah memaafkan segala tindakannya
sekarang. Sebelumnya, kalaupun Dayang Harum pasrah saat Ratu Jagat Raya
hendak membunuhnya, ini dikarenakan perasaannya
benar-benar galau. Apa yang pernah dikatakan Rajawali
Emas masih meresap dalam ingatannya. Dan kalaupun
dia menghendaki untuk turut serta bersama Manusia
Angin, karena dipikirnya akan aman. Di samping itu,
dia yakin kalau si kakek pendek itu bukanlah orang jahat.
"Hei, Anak gadis! Mengapa kau tertawa"!" seru
Manusia Angin cukup keras.
Dayang Harum segera hentikan tawanya. Pandangannya masih menampakkan kegelian
saat dia berkata, "Aku tahu kau tampan, Kek. Dan karena tampanmu itulah aku
ingin ikut denganmu."
"Busyet! Ke mana pun aku pergi kau ikut?"
"Kemana pun kau pergi?"
"Bagaimana kalau aku...." Manusia Angin memutus katanya sendiri. Saat itu pula
dia tersenyum-senyum.
"Kenapa kau tersenyum, Kek?" tanya Dayang
Harum. "Tidak, tidak jadi! Lebih baik nggak usah ngomong!" sahut Manusia Angin sambil
gerakkan tangan
kanannya. Lalu katanya, "Aku bukannya tak mau bersama-sama dengan gadis jelita
seperti kau ini. Tetapi
apakah tidak...."
"Aku tetap ikut denganmu!" seru Dayang Harum
tegas. "E, copot, copot! Busyet! Kalau bicara tak usah
berteriak seperti itu! Kau bisa bikin gendang telingaku
pecah!" "Kalau pecah kan tinggal beli lagi?" sahut
Dayang Harum geli. Perubahan yang terjadi pada diri
gadis berjubah biru pekat ini sangat kentara. Karena biasanya dia sangat kejam
dan pantang bersikap santun
pada orang lain. Namun kali ini, dia bisa tersenyum dan
tertawa. "Enaknya kau ngomong! Sudah, sudah! Kalau
kau mau ikut denganku ya sudah! Tetapi jangan macam-macam!"
"Maksudmu dengan macam-macam itu apa,
Kek"!"
Si kakek mengerutkan keningnya. Dia seperti hendak
berkata, tetapi segera dirapatkan kembali mulutnya.
"Sudah, sudah! Ayo kalau mau ikut! Tapi jangan
berjalan bersisian denganku"!"
"Kenapa, Kek"!"
"Kau tinggi, sementara aku pendek! Apa kau ingin membuatku minder"!" sentak
Manusia Angin. Kejap
lain dia tertawa-tawa, "He he he... kau pasti tidak tahu,
pasti tidak tahu. Kalau ada sesuatu yang panjang kumiliki...."
Lalu tanpa mempedulikan Dayang Harum yang
seperti menduga-duga apa yang panjang itu, si kakek
berpakaian biru kehijauan sudah melangkah mendahului, masih tertawa-tawa.
"Aneh! Sikapnya sangat aneh! Tetapi dia berhati
bersih dan lugu! Lebih baik aku ikut saja dengannya,
ketimbang harus bertemu lagi dengan Guru! Aku yakin.
Guru tak akan melepaskanku sekali pun juga!"
Kejap berikutnya, Dayang Harum segera menyusul. Disadarinya sekarang kebenaran
kata-kata yang diucapkan Rajawali Emas. Mulai saat ini dia bersumpah, akan menghentikan sepak
terjang kejamnya yang
pernah dilakukan. Dan dia berharap, bila berjumpa
dengan Dayang Kemilau atau pun Dayang Pandan,
akan dicobanya untuk mengajak mereka kembali ke jalan kebenaran.
*** Bab 5 RAMBATAN senja telah diganti oleh hamparan malam
kelam. Langit begitu cerah tanpa gumpalan awan hitam.
Udara pun berhembus dingin, membelai ranggasan semak dan menerobos dedaunan. Rajawali Emas yang curiga kalau ada seseorang yang
mengikuti mereka terus
berkelebat ke arah yang dituju. Tetapi dia tidak langsung mencari dua buah bukit
yang menghimpit satu jalan di mana letak Bulak Batu Bulan berada. Justru
bergerak dengan cara memutar. Ini dikarenakan dia masih
penasaran untuk mengetahui siapa yang mengikutinya.
Dewi Awan Putih yang masih tak mengerti akan
sikap pemuda dari Gunung Rajawali di sebelahnya
membatin, "Sikap pemuda ini sebenarnya cukup mengherankan sekaligus
mencurigakan. Tetapi aku tak boleh
mencurigainya kendati aku masih heran mengapa dia
seperti bersikap aneh. Julukan Rajawali Emas kuketahui sejak lama dan kuyakini
kalau pemuda ini berada di
jalan lurus. Darinyalah baru kusadari kalau aku melakukan kesalahan tentang
siapakah yang membunuh


Rajawali Emas 27 Misteri Batu Bulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Guru. Bisa jadi yang dikatakannya benar, tatkala Hantu
Caping Baja muncul Guru masih hidup. Kemudian
muncullah Ratu Jagat Raya yang memaksakan kehendak agar Guru mengatakan petunjuk
yang dimilikinya
untuk mendapatkan Kitab Pamungkas. Sebaiknya, kuikuti saja ke mana perginya
Rajawali Emas meskipun
aku tahu sepertinya dia memutar jalan...."
Tirta yang berkelebat sambil mempertajam pendengarannya, membatin, "Aneh! Sedari
tadi berkelebat
kutangkap suara kelebatan orang mengikuti. Tetapi sekarang lenyap begitu saja.
Hmm... apakah orang itu tahu kalau aku menyadari sedang diikutinya" Atau janganjangan... orang itu mencuri dengar di saat Dewi
Awan Putih mengatakan letak Bulak Batu Bulan. Kalau
memang demikian berabe. Urusan jelas sudah menghadang kendati aku belum tahu apa
yang akan terjadi di
Bulak Batu Bulan. Apakah Guru, Raja Lihai Langit Bumi, sudah tiba di sana?"
Tirta terus buka lebar-lebar indera pendengarannya. Dan tatkala diyakini kalau kelebatan di belakangnya sudah tak terdengar
lagi, dihentikan kelebatannya.
Dewi Awan Putih berbuat yang sama. Untuk sesaat dipandanginya pemuda berpakaian
keemasan yang berdiri di sebelah kanannya. Sesungguhnya gadis ini
tak tahan untuk mengetahui mengapa Tirta justru seperti sengaja memutar jalan.
Makanya dia segera bertanya, "Aku tak tahu apakah ini hanya perasaanku saja.
Tetapi aku yakin kita hanya berputar langkah."
Tirta tak segera menjawab. Masih dibuka lebarlebar indera pendengarannya.
Setelah tak menangkap
gerakan atau suara yang mencurigakan, seraya menganggukkan kepalanya pada Dewi
Awan Putih dia menjawab pertanyaan si gadis, "Kau benar, Ratna Sari. Aku
memang sengaja memutar langkah."
"Mengapa" Bukankah sebelumnya kau menghendaki agar kita cepat tiba di Bulak Batu
Bulan?" "Benar."
"Lantas, mengapa kau justru mengajak berputar-putar saja?" tanya Dewi Awan Putih
lagi. "Rasanya, aku harus mengatakan apa yang
menjadi kecurigaanku pada gadis ini. Tak enak membiarkan gadis ini menjadi
bertanya-tanya." Habis memutuskan demikian, Tirta segera mengatakan apa penyebab
dia memutar jalan.
Setelah mendengar apa yang dikatakan Tirta,
seketika Dewi Awan Putih bersiaga. Pandangannya diarahkan pada jalan yang tadi
mereka tempuh dengan
kedua tangan terkepal.
"Percuma kau melakukan seperti itu," kata Tirta
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Karena orang
yang mengikuti kita sudah tak kudengar lagi kelebatannya."
Kembali gadis yang di pinggangnya melilit seutas
tali ini arahkan pandangan pada Rajawali Emas. Kali ini
tampak cahaya matanya penuh kekaguman.
"Hebat! Dia tahu kalau ada yang mengikuti. Ah,
aku jadi malu bila ingat betapa buruknya sikapku beberapa waktu lalu. Bahkan aku
begitu yakin dapat mengalahkannya. Padahal kendati saat itu Tirta dalam keadaan
terluka, aku yakin dia dapat mengimbangiku. Berarti dia hanya mengalah."
Kejap lain si gadis sudah berkata, "Apakah kau
punya dugaan siapakah yang telah mengikuti kita?"
Tirta menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu. Tetapi rasa-rasanya, orang itu
tahu kalau kita memutar jalan hingga dia memutuskan
untuk menghentikan penguntitannya. Kemungkinan
besar pula kalau orang itu tahu tempat yang kita tuju."
"Maksudmu... dia telah mencuri dengar percakapan kita?" tanya Dewi Awan Putih.
"Bisa jadi."
Dewi Awan Putih nampak berpikir dulu sebelum
akhirnya membuka mulut, "Kalau memang dia tahu,
mengapa dia tidak mendahului?"
"Karena sesungguhnya, kita pun belum tahu di
mana letak Bulak Batu Bulan, Ratna Sari. Yang kita ketahui, hanyalah ciri-ciri
dari tempat itu. Kupikir, orang
itu mengikuti kita karena tak mau bersusah payah. Bisa
juga karena dia telah merencanakan sesuatu."
Tak ada yang keluarkan suara. Masing-masing
orang mengunci mulut rapat-rapat. Dan selagi kebisuan itu meraja, mendadak
terdengar satu suara, "Susah payah kucari, ternyata kau berada di sini, Rajawali
Emas! Dan hei... bukankah itu gadis yang berjuluk Dewi Awan Putih?"
Belum habis suara itu terdengar, satu bayangan
putih telah melesat dari balik ranggasan semak dan
berdiri berjarak lima langkah dari hadapan keduanya.
*** Tirta segera arahkan pandangan ke depan sambil tersenyum. Diam-diam diliriknya
Dewi Awan Putih
yang nampak sedang berusaha menindih rasa tegangnya.
Bayangan putih yang baru datang tadi keluarkan suara disertai cekikikannya pada
Tirta, "Hebat,
hebat sekali! Rupanya kau sedang memadu kasih di sini, ya"!"
Tirta tertawa mendengar kata-kata orang. Sambil pandangi orang yang baru datang,
yang sebagian wajahnya tertutup oleh caping lebar terbuat dari baja dia
berkata, "Kalau memang yang kau katakan tadi benar,
apakah kau iri. Nek"!" *
Bayangan putih yang tak lain Hantu Caping Baja adanya perdengarkan tawa. "Aku
sudah terlalu tua
untuk urusan semacam itu! Bahkan, memikirkan saja
tidak pernah!"
"Tetapi kalau mengkhayalkannya kau sering melakukannya, ya?" sambar Tirta cepat.
Makin keras tawa si nenek hingga kepalanya '
yang ditutupi caping lebar terbuat dari baja bergerakgerak. Rajawali Emas
berusaha untuk melihat wajah si
nenek lebih jelas. Tetapi yang nampak hanya bibirnya
yang keriput. Kejap kemudian si nenek hentikan tawanya. Kepalanya bergerak ke arah Dewi Awan
Putih. Menyusul
kata-katanya setelah terdiam beberapa saat, "Anak gadis... aku tahu engkaulah
yang berjuluk Dewi Awan Putih, murid dari Dewi Pesisir Utara. Nah! Sebelum
kutanyakan mengapa kau mencariku, hendak kutanyakan
dulu bagaimana kabar gurumu" Apakah dia baik-baik
saja?" Dewi Awan Putih yang sejak tadi hanya memperhatikan si nenek berpakaian putih
kusam itu, dan tak menyangka akan mendengar pertanyaan seperti itu
tak segera menjawab. Diam-diam dia membatin, "Dari
pertanyaan yang diucapkan Hantu Caping Baja, aku bisa menarik kesimpulan kalau
dia tak tahu menahu kematian Guru. Berarti yang dikatakan oleh Rajawali
Emas tak perlu diragukan lagi. Bukan Hantu Caping
Baja yang telah membunuh Guru, melainkan Ratu Jagat Raya. Ah... aku jadi tidak
enak karena telah berniat
untuk membunuh nenek berpakaian putih kusam ini."
Kejap kemudian, Dewi Awan Putih berkata,
"Menjawab pertanyaanmu sebenarnya sangat mudah.
Tetapi, seakan membangkitkan ingatanku."
"Hei! Mengapa" Apakah aku salah menanyakan
bagaimana keadaan sahabatku" Tetapi baiklah... bila
kau tak menghendaki untuk jawab pertanyaanku akan
ku...." "Guruku sudah meninggal dibunuh orang," sahut Dewi Awan Putih segera memotong
kata-kata Hantu
Caping Baja yang melengak. Bahkan si nenek surut ke
belakang satu tindak. Kejap itu pula terdengar seruannya,
"Oh!! Gila! Gila! Siapa yang berani membunuh
sahabatku itu"!" serunya kemudian.
"Hanya ada satu dugaanku... kalau dia adalah
orang yang berjuluk Ratu Jagat Raya."
"Jahanam! Lagi-lagi manusia keparat itu yang
menurunkan tangan!" maki Hantu Caping Baja keras.
Menyusul dengan suara bergetar dalam tanda kemarahan menggelegak di dadanya, si
Nenek bercaping
lebar ini berseru tinggi, "Ratu Jagat Raya!! Kau harus
membayar kematian sahabatku itu!"
Tak ada yang membuka mulut. Tirta memperhatikan dalam - dalam Hantu Caping Baja.
Lalu berkata, "Nek! Mengapa kau berada di sini"!"
Hantu Caping Baja kertakkan rahangnya sembari gerakkan kepala pada Tirta.
"Pertanyaan bodoh! Sudah tentu akan mencari
Kitab Pamungkas untuk kuamankan! Apakah kau tidak
tahu kalau banyak yang menginginkan nyawamu,
hah"!"
Tirta segera menyadari kesalahan bertanyanya.
Dia tahu mengapa si nenek yang wajahnya belum pernah dilihatnya ini menjawab
dengan nada membentak
keras seperti tadi. Mungkin dia masih geram tatkala tahu kalau sahabatnya telah
tewas dibunuh oleh Ratu
Jagat Raya. Buru-buru Tirta berkata, "Mengenai Dewi Pesisir
Utara, sebenarnya keadaan masih belum jelas benar."
"Apa maksudmu" Apakah kau tak yakin kalau Ratu Jagat Raya yang telah
membunuhnya"!" sahut si nenek
tak senang. Menyusul terdengar suaranya agak geram,
"Atau... kau mencurigaiku sebagai pelakunya?"
Rajawali Emas tersenyum. Baru disadarinya kalau Hantu Caping Baja sedemikian
perasa. Lalu katanya, "Tak ada yang mencurigaimu sama sekali. Apa
yang barusan kukatakan itu sebaiknya lupakan saja."
Hantu Caping Baja mendengus tinggi, kelihatan
masih tak suka dengan kata-kata Tirta. Kejap kemudian
dia berkata, "Rajawali Emas... sedikit banyaknya akhirnya kusadari kalau Kitab
Pemanggil Mayat tak berada di
tanganmu...." Melihat Tirta hendak membuka mulut, si
nenek yang di kedua lengannya melingkar dua buah gelang warna putih sudah
membentak, "Jangan potong
ucapanku! Apa yang seharusnya dicari berada di sebuah tempat yang bernama Bulak
Batu Bulan! Di sanalah terdapat petunjuk kedua untuk menemukan Kitab
Pamungkas! Mungkin kalian belum mengetahui soal itu!
Nah! Bila kalian memang berminat untuk menjauhkan
Kitab Pamungkas dari orang-orang serakah, carilah
tempat yang bernama Bulak Batu Bulan!"
"Nek! Kami sendiri sedang menuju ke tempat
yang kau katakan itu," kata Dewi Awan Putih sementara
nampak Tirta mengernyitkan keningnya.
Tatkala mendengar kata-kata Hantu Caping Baja
berikutnya, Tirta buru-buru bersikap normal, "Gila! Jadi
kalian memang sudah tahu soal itu! Rajawali Emas...
mungkin aku salah dengar yang tadi kukatakan. Jangan-jangan, Kitab Pemanggil
Mayat memang berada di
tanganmu"!"
Sebelum Tirta membuka mulut, Dewi Awan Putih berkata kembali, "Tidak! Akulah
yang memberitahukan tentang Bulak Batu Bulan padanya! Sebelum Guru
meninggal. Guru mengatakan padaku soal itu!"
"Jahanam! Kini aku tahu apa yang dihendaki
Ratu Jagat Raya! Pasti manusia sesat itu menginginkan
Kitab Pamungkas! Lantas dia memaksa Dewi Pesisir
Utara untuk mengatakannya! Jahanam betul! Tak akan
kulepaskan nyawanya sekali juga!"
Dewi Awan Putih tersenyum. Dia senang bukan
main memikirkan kalau dia tak terlalu larut dalam
emosi dendamnya. Diam-diam diliriknya pemuda berpakaian keemasan yang berdiri di
sebelah kanannya,
yang terdiam seperti memikirkan sesuatu.
"Bila saja aku tidak bertemu dengan pemuda ini
dan tidak tahu julukannya, bisa jadi aku masih berada
di jalur dendam yang salah. Orang yang kutuju ternyata
Ratu Jagat Raya. Tak sabar rasanya untuk berjumpa
dengan manusia celaka itu."
Lalu terdengar kata-kata Hantu Caping Baja,
"Aku juga memutuskan untuk ke Bulak Batu Bulan!
Barangkali saja Ratu Jagat Raya akan tiba di sana! Ini
kesempatan baik untuk membalas kematian Dewi Pesisir Utara!"
Dewi Awan Putih melirik Rajawali Emas dulu
sebelum bicara. Seolah mengerti arti lirikan gadis berbaju jingga itu, Tirta
menganggukkan kepala.
Lalu Dewi Awan Putih berkata, "Kita bisa bersama-sama ke Bulak Batu Bulan, Nek!"
"Bagus!" sahut Hantu Caping Baja sambil menggerakkan kepalanya, hingga rambutnya
yang putih panjang bergerak. Wajahnya tetap tak nampak. "Dan aku
yakin, bukan hanya kita yang menuju ke sana!"
Dua kejapan mata berikutnya, masing-masing
orang sudah menghempos tubuh meninggalkan tempat
itu. Sambil berkelebat, Rajawali Emas membatin, "Aku
menangkap sesuatu yang salah di sini. Tetapi apa" Dan
ke mana perginya orang yang sejak semula membuntuti?"
Untuk sesaat, Tirta mencoba melupakan apa
yang menjadi pikirannya. Dia terus berkelebat mengiringi kelebatan Dewi Awan
Putih dan Hantu Caping Baja.
*** Bab 6 PAGI kembali datang dalam naungan cahaya yang indah. Sang surya telah luncurkan
panah merahnya hingga menerangi persada. Di sebuah tempat yang agak
sepi dan dipenuhi pepohonan, seorang gadis bangkit
dari duduknya. Ditepuk-tepuk pantatnya guna menanggalkan debu-debu yang melekat.
Gadis berjubah putih yang berambut lurus hingga pinggang ini mengedarkan
pandangannya sejenak
sebelum berkata, "Ke mana perginya Dayang Kemilau
dan Dayang Harum" Tatkala aku tiba di tempat yang dijanjikan, keduanya tak
muncul. Bahkan aku masih
menunggu mereka selama satu hari satu malam. Apakah ada sesuatu yang terjadi
pada mereka?"
Gadis berjubah putih yang tak lain Dayang Pandan adanya kembali edarkan
pandangan. Yang nampak
hanya jajaran pepohonan belaka.
"Aku memang gagal menemukan jejak Rajawali
Emas maupun gadis bernama Ayu Wulan. Apakah keduanya pun gagal" Tetapi, mengapa
mereka kemarin tidak tiba di tempat yang telah kami sepakati untuk bertemu
kembali?" Dayang Pandan mencoba menguras seluruh pikirannya. Memang, gadis berjubah putih
ini telah datang ke tempat semula di mana sebelumnya dia bersama Dayang Kemilau
dan Dayang Harum telah menyepakatinya. Tetapi sejak kemarin ditunggu tak seorang
pun yang datang.
Karena tempat pertemuan kembali itu berada di
tanah terbuka, makanya Dayang Pandan segera masuk
ke hutan kecil yang berada di sana. Dari tempatnya
berdiri, pandangannya diarahkan pada tanah terbuka di
kejauhan. Tak tertangkap oleh matanya ada seseorang
atau beberapa orang yang datang.
"Tak mungkin mereka membatalkan janji. Selama bersama-sama dengan Dayang Kemilau


Rajawali Emas 27 Misteri Batu Bulan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan Dayang Harum, belum pernah kudapati mereka membatalkan
janji. Apakah memang ada sesuatu yang terjadi pada
mereka" Baiknya, kutunggu saja mereka di sini," kata
gadis berjubah putih ini lagi.
Selang beberapa saat berlalu, tetapi tak ada tanda-tanda orang mendatangi tanah
terbuka di kejauhan,
Dayang Pandan memutuskan untuk segera mencari keduanya.
Perlahan-lahan ditarik dan dihembuskan napas.
"Rasanya sudah cukup menunggu. Mudahmudahan mereka tak mengalami gangguan apaapa. Kalaupun mengalaminya, mudah-mudahan mereka dapat mengatasinya."
Habis berkata demikian, gadis berjubah putih ini
pun siap untuk meninggalkan tempat itu. Namun gerakannya tertahan tatkala
mendengar satu suara, "Jangan tinggalkan tempat sebelum jawab pertanyaan!"
Seketika Dayang Pandan membalikkan tubuh
hingga jubah putih yang dikenakannya berkibar ke belakang. Pandangannya lekat
pada satu sosok tubuh
yang telah berdiri tegak berjarak enam langkah dari
hadapannya. "Hmmm... siapa lelaki berusia lanjut ini" Gerakannya tak kuketahui sama sekali.
Tahu-tahu dia sudah keluarkan suara dan berdiri di hadapanku," desis
Dayang Pandan dalam hati. Dan tanpa sadar dia menjadi bersiaga.
Pandangannya masih lekat pada lelaki tua yang
mengenakan pakaian gombrang warna coklat yang sangat kusam. Rambutnya yang putih
panjang jatuh tergerai menutupi wajah dan sebagian bahunya. Tatkala angin
menghembus dan menyibakkan rambut yang menutupi sebagian wajahnya, Dayang Pandan
melihat betapa tipisnya kulit yang membungkus wajah lelaki tua itu.
Mata orang itu sangat dalam dan bibirnya keriput. Menilik ciri yang melekat pada
lelaki tua itu, bisa dipastikan kalau dialah lelaki tua sesat yang berjuluk
Iblis Tanpa Jiwa, guru dari Handaka alias Pangeran Pencabut Nyawa.
Setelah gagal memaksa Rajawali Emas untuk
menyerahkan Kitab Pemanggil Mayat, Iblis Tanpa Jiwa
segera berlalu, Ini disebabkan karena saat itu seseorang
telah menahan seluruh keinginannya. Dan menyadari
kalau orang yang menghalangi niatnya adalah Wong
Hadiguna, kakak seperguruannya sendiri, nyali Iblis
Tanpa Jiwa menjadi ciut kendati dia sangat geram. Diputuskan untuk menunda
keinginan mendapatkan Kitab Pemanggil Mayat sekaligus membunuh Rajawali
Emas untuk sementara. Akan tetapi, dia tak akan mengurungkan apa yang menjadi
impiannya (Untuk lebih jelasnya, baca serial Rajawali Emas dalam episode:
"Rahasia Bwana").
Setelah meninggalkan Rajawali Emas dan Wong
Hadiguna, Iblis Tanpa Jiwa mencoba melacak jejak
Handaka alias Pangeran Pencabut Nyawa. Namun hingga saat ini dia belum
menemukannya. Bahkan, jejak
Rajawali Emas pun lenyap dari pandangannya,, Selain
dendam pada Rajawali Emas, kakek sesat ini juga mendendam dalam pada Wong
Hadiguna. Yang tak disangkanya, dia justru bertemu dengan gadis berjubah putih
ini. Terdengar suaranya dingin saat berkata, "Gadis,
cantik berjubah putih! Dengar baik-baik apa yang kuucapkan! Bila kau dapat jawab
pertanyaan maka kau
akan selamat! Bila kau tak dapat pertanyaan, tempat ini
rupanya telah ditakdirkan untuk menjadi kuburanmu!"
Mendengar kata-kata orang yang dingin dan dipenuhi dengan hawa kematian, hati
Dayang Pandan mendadak bergetar juga. Wajahnya nampak tegang dan
disadarinya kalau lelaki tua yang berdiri di hadapannya
bukanlah orang sembarangan. Dengan kata lain, setiap
ancamannya akan menjadi kenyataan.
"Kakek ini tentunya tak bisa main-main. Dan
aku harus berhati-hati agar jangan masuk pada lubang
yang telah digalinya." Habis membatin demikian, dengan suara sopan namun penuh
kewaspadaan, Dayang
Pandan berkata, "Orang tua... aku tak tahu apakah dapat menjawab pertanyaanmu
atau tidak. Tetapi, tak ada
salahnya bila kau segera mengajukan."
Iblis Tanpa Jiwa merandek.
"Keberanianmu patut dibanggakan, Anak gadis!
Dan waktu tak boleh terbuang lagi! Apakah kau tahu
seorang pemuda berjuluk Rajawali Emas?"
Melengak Dayang Pandan mendengar pertanyaan itu. Tetapi tak mau memancing
kemarahan si kakek,
dia segera menganggukkan kepalanya. Dilihatnya sepasang mata si kakek membuka
lebih besar dan guratan
cerah ada di sana.
Namun suaranya tetap dingin, "Kalau kau tahu
di mana pemuda itu, katakan di mana dia berada"!"
Dayang Pandan menarik napas dulu sebelum
menjawab, "Pertanyaan pertamamu tadi dapat kujawab! Tetapi sayang, pertanyaan
keduamu tak bisa kujawab karena aku memang tak mengetahui di mana dia
berada!" Guratan cerah di mata Iblis Tanpa Jiwa langsung lenyap. Kini kekelaman
melingkupi wajahnya.
"Berarti... kematian akan kau terima!"
"Tunggu!" sahut Dayang Pandan cepat. Kendati
hatinya ciut, namun dia tak mau orang begitu mudah
menurunkan tangan padanya. Tatkala dilihatnya Iblis
Tanpa Jiwa terdiam, buru-buru Dayang Pandan berkata, "Orang yang kau tanyakan
itu sebenarnya sedang
kucari! Tetapi aku juga kehilangan jejaknya!"
Iblis Tanpa Jiwa kerutkan keningnya mendengar
kata-kata gadis di hadapannya. Sesungguhnya dia dapat melihat betapa tegangnya
wajah gadis itu, tanda ketakutan mendekam di dada si gadis. Untuk sesaat dia
terdiam sebelum bertanya keras, "Mengapa kau mencarinya, hah"!"
Dayang Pandan sejenak ragu-ragu untuk menjawab. Masih dengan sikap waspada diamdiam dia membatin, "Apakah bila kujual julukan Guru seka
rang akan membawa keberuntungan" Atau... justru kerugian besar yang akan kuderita" Tetapi menilik cara
kakek ini bertanya dan kegeraman yang meliputi wajahnya, jelas dia sangat
mendendam pada Rajawali
Emas. Jangan-jangan... kakek ini juga menginginkan
Kitab Pemanggil Mayat sebagai petunjuk guna mendapatkan Kitab Pamungkas"
Sebaiknya, kucoba saja keberuntunganku...."
Memutuskan demikian, dengan pandangan tak
berkedip dan kesiagaan tak luntur, berhati-hati Dayang
Pandan berkata, "Aku diperintahkan oleh guruku untuk
mengambil Kitab Pemanggil Mayat dari tangan Rajawali
Emas." "Hei!" Iblis Tanpa Jiwa melengak. Pandangannya
kini menyipit dalam saat kembali ajukan tanya, "Siapa
gurumu yang berani lancang berbuat seperti itu"!"'
"Gila! Dari tatapannya saja aku sudah merasa
nyawaku putus! Tetapi sudah kepalang basah! Apapun
yang terjadi, aku akan menghadapinya!"
Dengan bulatkan tekad, Dayang Pandan berkata, "Guruku... berjuluk... Ratu Jagat
Raya." Habis berkata begitu, Dayang Pandan mengalirkan tenaga dalam pada kedua
tangannya dan bersiap
melepaskan pukulan 'Kabut Gurun Es'! Tetapi tatkala
dilihatnya si kakek tak berbuat apa-apa, dengan perlahan diturunkan tenaga
dalamnya. Yang membuatnya tersentak kemudian, tatkala ,
terdengar tawa si kakek yang sangat dahsyat. Saking
dahsyatnya, dua buah pohon yang berada di sana langsung meranggas dan semak
belukar langsung terpapas
rata ujungnya laksana disabet pedang tajam.
"Ratu Jagat Raya... ha ha ha... Anak gadis, rupanya kau murid dari sahabatku"!
Bagus, bagus sekali!
Berarti, nyawamu masih akan melekat di jasadmu yang
montok itu!"
Diam-diam Dayang Pandan menarik napas lega
kendati kesiagaannya belum surut sepenuhnya. "Beruntungnya nasibku, karena kakek
ini rupanya sahabat
Guru." Lalu katanya, "Kalau memang demikian, sudah
tentu aku boleh mengetahui siapakah dirimu?"
"Apakah gurumu tak pernah menceritakan sahabatnya yang berjuluk Iblis Tanpa
Jiwa"! Kalau belum,
sungguh keterlaluan!" sahut Iblis Tanpa Jiwa memutus
tawanya sendiri.
Sudah tentu Dayang Pandan pernah mendengar
gurunya menceritakan tentang seseorang yang berjuluk
Iblis Tanpa Jiwa. Dan tak disangkanya kalau dia akan
bertemu dengan orang itu. Karena merasa nyawanya
akan aman, Dayang Pandan pun kini bisa bersikap tenang dan bernapas seperti
Kisah Pedang Bersatu Padu 1 Sumpah Palapa Karya S D. Djatilaksana Siluman Penghisap Darah 1

Cari Blog Ini