Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah Bagian 1
Hak cipta dan copy right
pada penerbit di bawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa Izin tertulis dari penerbit
Bab l MALAM pekat tanpa satu bintang pun bertengger di
persada langit. Gumpalan awan hitam bergantungan
dengan perut menggembung. Angin dingin bergulunggulung, menerbangkan tanah dan batu-batuan. Beberapa dahan pohon patah dan menimbulkan suara berderak tatkala berbenturan satu sama lain. Di kejauhan
terdengar suara air laut berdebur dahsyat, menabrak
batu-batu karang.
Di tempat yang dikelilingi batu-batu cadas, satu sosok tubuh duduk mencangkung di salah sebuah batu
cadas itu. Mata sosok tubuh yang ternyata lelaki berusia setengah baya tertutup. Rambut panjangnya bertambah acak-acakan dipermainkan angin keras. Pakaiannya yang berwarna putih bersih berkibaran mengeluarkan suara seperti membeset. Mulut lelaki yang
masih memperlihatkan sisa-sisa ketampanan di wajahnya berkemik-kemik.
"Hmm... tak biasanya cuaca mengerikan begini.
Pertanda buruk. Rasanya... orang yang kutunggu akan
tiba di sini," desis lelaki itu tanpa membuka matanya.
Gulungan angin semakin mengeras, Kejap lain hujan mendera tempat itu. Petir dan kilat saling susul
menyusul. Lelaki setengah baya berpakaian putih bersih itu tetap duduk mencangkung di tempatnya, tanpa
menghiraukan air hujan yang segera membasahi tubuhnya. Dua tarikan napas berikutnya, dari kejauhan terdengar suara menggema keras. Mengalahkan gemuruh
hujan. "Ki Jaka Paksi alias Dewa Tanpa Nama! Hari ini
kematianmu akan tiba!!"
Dada lelaki yang masih memejamkan kedua matanya itu berdebar keras. Kemikan di mulutnya semakin
kentara. "Dugaanku benar. Rupanya manusia satu ini tak
pernah puas menerima kekalahannya tiga tahun yang
lalu. Hmm... di mana adik seperguruanku si Raja Dewa" Apakah dia masih terus bertarung dengan Ratu
Iblis" Urusan jelas tak akan berkesudahan!"
Teriakan keras tadi berubah menjadi suara tawa
yang bertalu-talu.
"Bertahun-tahun tak seorang pun yang tahu nama
aslimu, Dewa Tanpa Nama! Tetapi sekarang, aku tahu
semuanya! Jelas ini pertanda buruk bagimu!!" kembali
teriakan itu terdengar sedemikian keras.
Dan belum habis teriakan itu terdengar, satu sosok
tubuh tinggi besar berpakaian merah-merah telah berdiri berjarak tiga tombak dari hadapan lelaki berpakaian putih bersih yang berjuluk Dewa Tanpa Nama.
Kedua kaki pendatang ini dipentangkan. Sepasang
matanya terbuka lebar. Sekujur tubuhnya juga basah
didera air hujan. Rambut hitamnya panjang hingga
pinggang. Tetapi tepat di bagian tengah kepalanya,
rambutnya berwarna putih.
Sejurus kemudian, terdengar teriakannya lantang
mengalahkan gemuruh air hujan dan pekikan petir
yang sambar menyambar.
"Kematian dirimu rupanya memang ditakdirkan berada di tanganku, Dewa Tanpa Nama! Urusan dendamku tak akan pernah padam sebelum kulihat kau
terkapar tanpa nyawa! Sekarang, bersiaplah untuk
menuntaskan segala urusan lama dan menyambut
kematian mengerikan!!"
Dewa Tanpa Nama perlahan-lahan membuka kedua
matanya. Sorotnya tajam pada si pendatang yang berseru mengejek tadi. Lalu dia berkata dingin,
"Rupanya kau memang tak pernah puas menantang
tokoh-tokoh dunia persilatan, Raja Setan! Jelas perbuatanmu tak bisa dimaafkan! Dan perlu kau ketahui,
kalau sekarang aku tak akan memberimu belas kasihan!!" Lelaki tinggi besar berpakaian merah-merah yang
disebut Raja Setan keluarkan tawa menggema. Dadanya berguncang keras saat dia tertawa.
"Jangan terlalu banyak mimpi, karena akan mengelabui diri! Kali ini kita buktikan kembali siapa yang
akan melihat matahari besok!! Dan perlu kau ketahui,
Dewa Tanpa Nama! Selama tiga tahun aku mengasingkan diri setelah dikalahkan olehmu, julukanku telah
berubah! Kini aku dikenal dengan julukan.... Seruling
Haus Darah!"
Sepasang mata Dewa Tanpa Nama membuka lebih
lebar. Diam-diam lelaki ini membatin, "Hmm... aku
pernah mendengar julukan itu. Kupikir, bukan hanya
Raja Setan yang telah berganti julukan. Dialah orang
yang berada di balik pembunuhan bergelombang selama tiga tahun. Manusia laknat ini benar-benar durjana." Mendapati Dewa Tanpa Nama terdiam, Seruling
Haus Darah kembali umbar tawanya disertai suara
mengejek, "Aku yakin kau tentunya pernah mendengar
julukan itu, bukan" Hua... ha... ha... dan aku yakin
kau mendadak ciut untuk menghadapiku! Tetapi... kita
memang tak perlu membuang waktu! Sambutlah kematianmu ini, Dewa Tanpa Nama!!"
Dewa Tanpa Nama terdiam dengan sorot mata tak
berkedip. Lalu katanya dingin, "Jangan terlalu banyak
sesumbar! Siapa pun dan apa pun kau sekarang, aku
tak akan mengampunimu!!"
Mengkelap wajah lelaki tinggi besar itu, hingga tubuhnya bergetar tanda dia tak kuasa menunda segenap dendam. "Keparat sialan! Akan kubuktikan ucapanku!!"
Habis kata-katanya, lelaki tinggi besar itu menggerakkan tangan kanannya dengan cara mendorong.
Seketika menghampar kabut tebal warna merah yang
mengeluarkan angin menggidikkan ke arah Dewa Tanpa Nama. Blaaarrrr!! Batu cadas yang diduduki lelaki berpakaian putih
bersih itu hancur menjadi kerikil, sementara sosoknya
sendiri telah berdiri di samping kanan Raja Setan atau
yang menjuluki dirinya Seruling Haus Darah, berjarak
dua tombak. "Tak ada lagi yang perlu kita bicarakan sekarang!
Bila memang kau berkeinginan seperti itu, aku siap
menyambutnya. Raja Setan!"
"Manusia Keparat!!" geram lelaki berpakaian merahmerah sambil balikkan tubuhnya. Sinar matanya mencorong penuh amarah. "Julukanku sekarang, Seruling
Haus Darah!!"
"Apa pun julukanmu itu, kau tetap akan kuberi pelajaran yang tak akan pernah kau lupakan!!"
"Justru kau yang akan menyesalinya, Dewa Tanpa
Nama!!" Dengan segera Seruling Haus Darah menggebrak
dan langsung menghantam ke arah batok kepala Dewa
Tanpa Nama. Lelaki berpakaian putih bersih itu tak
mau bertindak ayal karena sudah cukup banyak Raja
Setan atau yang sekarang berjuluk Seruling Haus Darah membuat urusan. Begitu kedua tangan lawannya
berkelebat menghantam kepalanya, dia segera mengangkat pula kedua tangannya.
Desss! Desss!! Dua pasang tangan beradu keras. Seruling Haus
Darah tersentak dan mundur dua langkah ke belakang. Air mukanya tampak berubah dengan sepasang
mata terpentang lebar memperhatikan lelaki berpakaian putih bersih di hadapannya.
"Bagus! Kau masih mengandalkan pukulan 'Dewa
Ngamuk' rupanya!"
Sambil menyeringai, kejap lain Seruling Haus Darah sudah melompat ke depan. Kaki kirinya mencuat
melepaskan tendangan bertenaga dalam tinggi. Sementara tangan kanannya dikembangkan menghantam ke
arah dada. Dua deruan angin keras terdengar mengalahkan
gemuruh air hujan, mendahului berkelebatnya tangan
dan mencuatnya kaki yang menendang, pertanda kalau Seruling Haus Darah tidak main-main untuk menjalankan maksud.
Dewa Tanpa Nama menatap tak berkedip. Lalu melompat ke udara menghindar dua serangan lawan.
Seruling Haus Darah memekik geram mendapati
dua serangannya lolos begitu saja. Lalu dengan cara
seperti hendak ambrukkan tubuh dalam keadaan telentang, kedua tangannya telah menggebrak melepaskan dua pukulan sekaligus.
Wuuut! Wuuutt! Terlihat cahaya terang sekejap dari kedua tangan
Seruling Haus Darah. Di lain kejap terdengar deruan
hebat, lalu menyusul gelombang angin luar biasa dahsyat menggebrak. Dan bukan hanya sampai di sana
saja tindakan Seruling Haus Darah yang memiliki dendam setinggi langit pada Dewa Tanpa Nama. Karena
begitu lepaskan dua pukulan sekaligus, dia segera melompat ke depan dengan mengangkat dua tangannya
dan siap melepaskan pukulan dari jarak dekat.
Melihat ganasnya pukulan lawan, Dewa Tanpa Nama segera bertindak. Begitu kedua kakinya menginjak
tanah, dia segera mengerahkan tenaga dalam pada
lengannya. Lalu kedua tangannya disentakkan ke depan. Dari kedua tangannya nampak seperti keluar gulungan api. Pada saat yang bersamaan, hawa dingin
yang menikam tempat itu segera tertindih dan menjadi
panas luar biasa. Lalu menghampar gelombang angin
keras laksana topan ke arah Seruling Haus Darah. Inilah salah satu pukulan sakti yang dimiliki Dewa Tanpa Nama, yakni pukulan 'Dewa Marah'.
Blaaaar! Pukulan Seruling Haus Darah tertahan dahsyat.
Dan terdengar pekikan lelaki berpakaian merah-merah
itu tatkala hawa panas melabrak ke arahnya.
Cepat Seruling Haus Darah melompat ke samping
kiri dan tegak di atas tanah becek dengan sepasang
mata terpentang lebar. Dia seakan tidak percaya melihat pukulan yang baru dilepas tadi salah satu jenis
pukulan yang baru diciptakannya begitu mudah dihalau oleh Dewa Tanpa Nama.
Perlahan-lahan lelaki yang di bagian tengah kepalanya berambut putih ini mulai dirasuki rasa kecut. Dadanya berdebar hebat dan diam-diam dia membatin,
"Gila! Manusia satu ini masih saja sukar dikalahkan. Bahkan terasa tenaga dalamnya menjadi berlipat
ganda. Tetapi aku akan tetap mencobanya dan membuat kejutan yang tak...."
"Seperti kataku tadi! Aku tak akan memberimu belas kasihan!!" terdengar seruan Dewa Tanpa Nama
memutus kata batin Seruling Haus Darah. Rupanya lelaki berpakaian putih bersih itu sudah tak sanggup
menahan diri mengingat Raja Setan atau yang sekarang menjuluki dirinya Seruling Haus Darah pernah
dimaafkannya. Bersamaan dengan itu, kembali dia lepaskan pukulan 'Dewa Marah'.
Seruling Haus Darah memekik. Sulit baginya sekarang untuk menghindar. Makanya dia segera mengangkat kedua tangannya lalu lepaskan kembali pukulan 'Tapak Kematian'.
Blaaammm!. Tempat bergugusan batu cadas itu bergetar. Beberapa batu cadas pecah berantakan dan bertaburan di
udara, disusul dengan menghamburnya tanah becek.
Seruling Haus Darah tampak terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh terduduk dengan wajah pucat
pasi dan mulut mengalirkan darah hitam tanda dia terluka dalam. Tubuhnya bergetar hebat. Tetapi lelaki
berpakaian merah-merah yang ingin seluruh dendam
dan kekalahannya beberapa kali dari Dewa Tanpa Nama tuntas saat ini juga, sudah berdiri tegak kembali
dengan mata mendelik kendati agak terhuyung.
Kejap lain diiringi teriakan keras mengguntur, serta
merta lelaki berpakaian merah-merah ini menyentakkan kedua tangannya ke depan.
Wuuutt! Wuuutt!!
Kembali terlihat cahaya terang sekejap dan angin
bergulung mengerikan ke arah Dewa Tanpa Nama yang
mendengus keras. Lalu dia melompat dan menggebrak
dengan pukulan 'Dewa Marah'.
Blaaamm! Kembali terdengar letupan yang sangat keras. Sosok Seruling Haus Darah kembali surut ke belakang
dengan terhuyung-huyung. Sepasang kakinya bertambah goyah. Namun lelaki ini cepat membuat gerakan di
udara dan mendarat dengan sosok tubuh tegak kendati wajahnya berubah dan dadanya bergerak turun naik
dengan cepat. Di depannya, Dewa Tanpa Nama tetap berdiri tegak.
Tetapi dia juga merasakan nyeri yang luar biasa di dadanya. Bahkan kedua tangannya terasa ngilu hingga
ke pangkal lengan.
Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Lelaki keparat itu rupanya sudah banyak kemajuan. Aku tak tahu apakah dia memang menambah ilmu dan berlatih terus menerus, atau berguru pada
orang lain," batinnya dengan pandangan tak berkedip
pada Seruling Haus Darah. "Seperti janjiku tadi, aku
tak akan mengampuninya lagi karena bila dia hidup
hanya menyimpan sejuta dendam dan membawa petaka." Berpikir demikian, Dewa Tanpa Nama maju dua
tindak dengan langkah angker. Pandangannya bertambah tajam saat dia berkata, "Selama tiga tahun kupikir
kau telah berubah, Seruling Haus Darah. Tetapi pada
kenyataannya engkau tetap tak berubah sama sekali.
Berarti keputusanku tepat untuk mengakhiri semua
sepak terjangmu sekarang!"
Seruling Haus Darah justru menyeringai. Diamdiam dia membatin, "Ini kesempatan yang kutunggu.
Ya, ya... dengan memancing amarahnya semakin tinggi, aku akan membuatnya terkejut seumur hidupnya!"
Habis membatin begitu dia berseru mengejek,
"Mengapa kau masih berdiam diri"! Apakah yang barusan kau katakan itu hanya sekadar menutupi dirimu
belaka kalau kau sebenarnya justru ketakutan?"
Tak ada suara sahutan dari Dewa Tanpa Nama. Karena kejap itu pula dia sudah mengangkat kedua tangannya dan menggebrak. Namun....
Des! Desss!! Seperti menabrak sebuah tembok tebal, tubuh lelaki berpakaian putih bersih itu terpental ke belakang!
Sebelum dia menyadari apa yang terjadi, saat itu pula
telinganya mendengar alunan seruling yang cukup
menyakitkan dan seketika membuat dadanya bergetar
hebat. Dalam keadaan yang mendadak terhuyung, sepasang mata Dewa Tanpa Nama melihat Seruling Haus
Darah sedang memainkan sebuah seruling gading
berwarna bening yang berlubang tujuh.
"Gila! Bukankah itu Seruling Gading milik Raja Seruling?" batin Dewa Tanpa Nama sambil kerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menahan dahsyatnya
suara seruling yang masuk ke telinganya dan menyebabkan keseimbangannya agak goyah. "Celaka! Bagaimana manusia keparat ini bisa mendapatkan seruling
sakti itu?"
Dengan tubuh yang semakin bergetar hebat, Dewa
Tanpa Nama terus berusaha mempertahankan diri
dengan hati dibuncah berbagai perasaan tak menentu.
Hampir sepeminuman teh dia bertahan namun akhirnya jatuh terduduk dengan kedua lutut menekuk sebagai bantalan pinggul.
Wajahnya pucat pasi dengan mulut dan hidung
mengalirkan darah.
Di seberang sana, Seruling Haus Darah terus meniup serulingnya yang semakin lama kelihatan berubah warna menjadi sekental darah. Sementara itu, rasa sakit yang menyiksa tubuh Dewa Tanpa Nama semakin menjadi-jadi.
Kali ini dia benar-benar telah merasa lumpuh seluruh tubuhnya. Beberapa buah urat darah di kedua
tangannya mulai menggembung dan meletus pecah me
muncratkan darah.
"Celaka! Aku tak akan sanggup menahan gelombang irama mematikan dari seruling itu. Dan rasanya... aku terlambat untuk menghindar...."
Sementara itu sepasang mata lelaki berpakaian merah semakin terbuka lebar dengan sorot gembira. Jarijemari tangannya semakin lincah membuka dan menutup lubang seruling gading itu yang terus ditiup dan
semakin bertambah memerah. Bahkan mulai berangsur agak kehitaman!
Apa yang dialami Dewa Tanpa Nama semakin mengerikan. Karena sekarang bukan hanya di kedua tangan lelaki berpakaian putih bersih itu yang urat darahnya meletus. Di kedua kakinya pun mulai keluar darah. Tubuhnya bertambah bergetar. Warna kulitnya
mulai berubah semakin putih memucat. Rasa sakitnya
tak tertahankan. Bahkan curahan air hujan yang seperti ratusan jarum meluncur pada urat-urat darahnya
yang pecah, menambah siksaan.
Sementara Dewa Tanpa Nama semakin tersiksa, tiba-tiba saja Seruling Haus Darah menghentikan tiupan serulingnya. Sesaat dipandanginya Dewa Tanpa
Nama yang bernapas tersendat dan merasa seluruh
aliran darahnya menjadi kacau.
Lalu dengan seringaian lebar yang sesekali diiringi
tawanya, Seruling Haus Darah mendekati Dewa Tanpa
Nama yang benar-benar sudah tanpa daya.
"Seperti kataku tadi, kematianmu sudah datang,
Dewa Tanpa Nama. Tetapi sebelum nyawamu benarbenar lenyap, aku akan menceritakan bagaimana Seruling Gading yang ku rubah namanya menjadi Seruling Haus Darah dan kupakai sebagai julukanku ini
kudapatkan dari Raja Seruling. Setelah setahun lamanya aku dikalahkan olehmu, aku justru mengembara ke berbagai tempat dengan cara menyamar hingga
tak seorang pun yang tahu kalau aku adalah si Raja
Setan. Aku berhasil menyirap ilmu dari beberapa orang
dan akhirnya langkahku tertuju ke tempat kediaman
Raja Seruling di Telaga Matahari.
Dengan cara menyamar itu akhirnya aku berhasil
menjadi murid Raja Seruling. Suatu ketika, aku tahu
kalau dia memiliki sebuah seruling sakti yang disebut
Seruling Gading. Senjata ampuh yang sekian tahun
tak pernah dipergunakan karena dia tak mau membunuh lawan-lawannya. Namun, aku sangat tertarik untuk memilikinya. Makanya segera kurencanakan untuk
mendapatkan Seruling Gading itu. Hingga suatu saat,
aku berhasil meracuni Raja Seruling. Lalu kuambil Seruling Gading itu dan melarikan diri. Aku tidak tahu
apakah Raja Seruling masih hidup atau tidak sekarang
ini. Tetapi, tak seorang pun yang bisa lolos dari racun
'Cobra Mata Tiga' yang kudapatkan dari Iblis Ular Cobra yang akhirnya kubunuh juga. Mulailah aku membuka kembali samaranku dan malang melintang dengan julukan Seruling Haus Darah! Perlu kau ketahui
pula, julukan Raja Setan akhirnya berangsur lenyap!
Nah! Apakah kau sudah puas mendengarnya, Dewa
Tanpa Nama?"
"Lelaki keparat! Caramu benar-benar busuk! Beri
aku kesempatan selama seminggu dan kita bertarung
kembali!!" geram Dewa Tanpa Nama sambil menindih
rasa sakitnya. Seruling Haus Darah tertawa lebar.
"Begitu bodoh bila aku mau melakukannya! Aku
memang orang kejam yang menyimpan dendam. Siapa
pun orangnya yang membuatku mendendam dia harus
mampus dengan cara yang paling mengerikan! Dalam
hal ini... kaulah yang menjadi pilihanku, Dewa Tanpa
Nama!!" "Kematian bagiku bukan hal yang menakutkan!" geram Dewa Tanpa Nama dengan mata setengah terpejam. "Aku rela mati dengan cara apa pun untuk menghentikan segala perbuatanmu!"
"Kau memang seorang yang tegar! Hanya sayang,
inilah terakhir kali kau bisa memperlihatkan ketegaranmu itu!"
Lalu dengan kejamnya Seruling Haus Darah mengangkat kaki kanannya dan siap menginjak kepala
Dewa Tanpa Nama!
Terkesiap Dewa Tanpa Nama memiringkan kepalanya. Blaass!! Injakan kaki kanan Seruling Haus Darah amblas
hingga selutut lebih sedikit dari wajah Dewa Tanpa
Nama. Keadaan itu justru membuat Seruling Haus Darah tertawa senang.
"Bagus! Bagus! Aku ingin melihat seberapa lama
kau bisa bertahan!" serunya sambil terus menginjak.
Dalam keadaan terluka parah seperti itu, sudah tentu
Dewa Tanpa Nama tak bisa bertahan lebih lama. Akhirnya.... Prak!! Terdengar suara tulang tengkorak Dewa Tanpa Nama pecah. Lelaki berpakaian putih bersih itu masih
sempat keluarkan pekikan tertahan dengan pandangan tajam. Darah putih yang bercampur dengan darah
merah segera keluar dari kepalanya, langsung mengalir
di tanah becek tertimpa air hujan.
Berkumandanglah tawa lantang dari Seruling Haus
Darah. Sembari memasukkan Seruling Gading yang dirubah namanya menjadi Seruling Haus Darah sekaligus dipakai sebagai julukannya, lelaki berambut hitam
panjang dengan warna putih tepat di tengah kepalanya
bersuara keras, "Dalam waktu tak berapa lama... aku
akan menguasai rimba persilatan!!"
Sambil masih tertawa lantang, lelaki berpakaian
merah-merah itu melangkah meninggalkan tempat itu
yang kembali dibungkus sepi dan curahan air hujan
yang tak berhenti juga.
Meninggalkan mayat Dewa Tanpa Nama....
*** Bab 2 TIGA puluh lima tahun kemudian.
Pagi menghampar dalam kesejukan dan lingkar kedamaian. Butir embun masih bertengger di dedaunan.
Burung-burung beterbangan sambil bercicit gembira.
Mendadak alam permai yang sejuk itu dikejutkan
oleh satu suara dahsyat yang menggebah angkasa.
Menyusul angin bergulung-gulung laksana gelombang
badai. "Kraaaggghhh!"
Di angkasa, nampaklah seekor burung rajawali
raksasa berwarna keemasan meluncur dengan kepakan kedua sayapnya yang membeset udara.
Di punggung rajawali raksasa itu nampak duduk
seorang pemuda berpakaian keemasan. Sepasang mata
tajam si pemuda yang juga mengenakan ikat kepala
berwarna sama dengan pakaiannya, memperhatikan
ke bawah. "Bwana... aku tak tahu di mana tempat tinggal Ki
Alam Gempita. Tetapi tulisan di tanah yang memintaku
untuk menemuinya, membuatku makin penasaran untuk bertemu dengan Ki Alam Gempita. Aku ingin tahu,
ada persoalan apa sebenarnya...."
Burung rajawali raksasa itu mengkirik keras.
Pemuda yang duduk di punggungnya yang tak lain
Tirta alias Rajawali Emas adanya tersenyum.
"Ya, ya... aku tahu kau pun penasaran. Tetapi... di
mana kita bisa menemukannya" Bahkan orang itu tak
mengatakan di mana dia berada...."
Pemuda dari Gunung Rajawali ini mengenang kembali apa yang terjadi semalam. Kala itu dia sedang tertidur di sebuah batang pohon. Dan tatkala dia terbangun, dilihatnya ada sebuah tulisan berisi pesan di batang pohon yang dijadikan sandarannya.
Lama kucari dirimu, Rajawali Emas.
Carilah aku. Karena bantuanmu kubutuhkan.
Ki Alam Gempita.
Sesaat si pemuda yang di lengan kanan kirinya terdapat rajahan burung rajawali berwarna keemasan,
tertegun dan menatap tak percaya pada tulisan yang
dilihatnya. Namun kejap lain dia segera berkelebat untuk mencari jejak orang yang menuliskan pesan itu.
Namun sudah tentu dia tak bisa menemukannya.
Dan keadaan ini membuatnya menjadi penasaran. Lalu dipanggilnya Bwana untuk membantunya melacak
siapa orang yang bernama Ki Alam Gempita. Maka terbanglah Rajawali Emas bersama Bwana.
Namun menemukan orang yang tak diketahui bagaimana rupa dan di mana tinggalnya sama dengan
mencari sebuah jarum di tumpukan jerami. Kendati
demikian, Rajawali Emas berusaha keras untuk menemukannya. Terutama mengingat orang itu seperti
butuh bantuannya.
"Siapa dia sebenarnya," gumam Rajawali Emas lagi.
Dan mendadak saja dia tersentak tatkala mendengar
suara kirikan Bwana. Tirta yang paham akan setiap
suara yang dikeluarkan dan gerak-gerik Bwana segera
arahkan pandangan ke bawah.
"Aku tak melihat apa-apa kecuali pepohonan, Bwana...," kata Tirta kemudian. "Coba terbanglah merendah. Tetapi, jangan keluarkan
suara dan hentikan kepakanmu sejenak."
Seketika Bwana mematuhi perintah majikannya.
Tirta pun menajamkan pandangannya dan samar
dilihatnya tiga orang sedang bertarung di bawah. Seketika dia berseru, "Menjauh dulu, Bwana. Dan terbang
merendah. Aku ingin tahu siapa mereka tetapi tak ingin kehadiranku diketahui dulu sebelum jelas urusan
apa yang menyebabkan mereka bertarung."
Segera Bwana melesat cepat. Setelah memperhitungkan jarak, Rajawali Emas segera melompat dan
menjadikan sebuah pohon sebagai pijakan sebelum
kedua kakinya hinggap di tanah. Kemudian didongakkan kepala pada Bwana yang terbang menjauh.
Kejap itu pula pemuda dari Gunung Rajawali ini
berkelebat ke arah di mana pertarungan yang dilihatnya dari atas tadi terjadi. Dari sebuah ranggasan semak, dilihatnya dua orang lelaki bertampang kasar sedang mendesak seorang gadis berpakaian biru muda
Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang berparas jelita.
Dan nampaknya pertarungan itu sudah berlangsung lama, karena bukan hanya si gadis yang mengenakan ikat kepala warna yang sama-dengan pakaiannya yang berkeringat. Kedua lawannya yang mengenakan pakaian dan jubah hitam pun dalam keadaan sama. Hanya bedanya, si gadis dalam keadaan terdesak.
Sementara di tempat itu berkali-kali terdengar suara
letupan dan ambruknya pohon. Keadaan sudah porak
poranda. "Sri Kunting! Menyerahlah ketimbang nyawamu putus!" membentak lelaki berwajah tirus yang dipipi kanannya terdapat codetan. Matanya bersinar angker
dan dia terus mencecar hebat dengan pukulanpukulan yang mematikan.
Kendati merasa yakin tak akan mampu menghadapi kedua lawannya yang menyerang sekaligus itu, si
gadis berpakaian biru muda yang bernama Sri Kunting
menghindar sambil berseru, "Manusia hina! Tak sudi
aku ikut serta denganmu! Kalian telah membunuh guruku! Aku lebih baik mati daripada menjadi budakbudak kalian!!"
"Gadis tak tahu diri!" membentak yang berwajah
bu-lat dengan rambut panjang yang di bagian tengah
kepalanya gundul. "Kami adalah orang suruhan Seruling Haus Darah! Dan kau boleh meyakinkan diri, kalau
suruhan Seruling Haus Darah bukanlah orang-orang
sembarangan! Terbukti gurumu, si Pendekar Pedang
tewas di tangan kami!!"
"Panggil manusia durjana itu untuk menghadapiku!" sahut Sri Kunting dengan suara lantang dan mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk terus mengibaskan sepasang pedangnya. "Dan kalian binatangbinatang liar, lebih baik membunuh diri saja ketimbang mengharapkan aku menyerah!"
Mendengar ejekan si gadis, kedua lawannya yang
benar-benar sudah kalap tak mau bertindak ayal. Yang
berwajah tirus sudah melompat dengan kedua tangan
terbuka. Saat itu pula menghampar udara dingin yang
menyambar kedua kaki si gadis.
Memekik tertahan si gadis sambil berusaha menghindar. Namun sergapan hawa sedingin es telah menerpa kaki kanannya yang membuatnya mendadak sulit menggerakkan kaki kanannya, hingga mau tak mau
si gadis akhirnya ambruk. Dan belum lagi berhasil
membebaskan diri, sergapan hawa dingin itu kembali
menerpa kaki kirinya hingga kini kedua kakinya benar-benar kaku dan sukar digerakkan.
Bersamaan dengan itu orang yang berkepala botak
di tengah sudah memutar tubuh dan melakukan totokan dengan ibu jari!
Makin tak berdayalah Sri Kunting dengan tubuh
kejang kaku. Kendati demikian, si gadis yang baru saja
mendapati gurunya tewas di tangan kedua orang yang
mengaku berjuluk Dua Iblis Hitam masih membuka
mulut dengan kegusaran yang sangat kentara.
"Manusia-manusia laknat! Bebaskan aku! Kita bertarung sampai mampus!!"
Lelaki berwajah tirus yang bernama Maung Kumayang menggeram. Dengan suara dingin dia membentak, "Perlu kau ketahui, Anak Gadis! Tugas yang
diberikan Seruling Haus Darah bukanlah untuk membawamu! Melainkan membunuh gurumu si Pendekar
Pedang! Satu persatu orang rimba persilatan harus
mampus, karena Seruling Haus darah hendak menguasai rimba persilatan ini!!"
"Setan laknat!" geram si gadis lantang. "Mulutmu begitu kotor, Binatang!
Lepaskan aku!!"
Maung Kumayang menggeram seraya palingkan kepala pada kambratnya yang bernama Lodang Kumayang, "Aku tak kuasa menahan diri lagi untuk
membunuhnya! Apakah perlu kita menyerahkan gadis
ini pada Seruling Haus Darah"!"
Lelaki yang berkepala botak di tengah mengusapngusap dagunya yang bulat. Matanya tak berkedip
menatap Sri Kunting. Dan berangsur-angsur pandangan geramnya berubah. Di bibirnya tersungging seringaian lebar. Masih pandangi gadis berpakaian biru muda, lamat-lamat keluar kata-kata dari mulut Lodang Kumayang, "Mengapa harus bertindak bodoh" Bukankah
kita tak mendapat perintah untuk membawa gadis ini
pada Seruling Haus Darah?" Dengan seringaian bertambah lebar, lelaki berkepala botak di tengah ini berpaling pada kambratnya yang akhirnya tersenyum juga
menyadari apa isi otak Lodang Kumayang, "Maung...
bukankah lebih baik kita nikmati saja apa yang ada di
hadapan kita?"
Terbahak-bahaklah lelaki berwajah tirus yang getaran tawanya menggugurkan dedaunan.
Sementara itu Rajawali Emas diam-diam menggeram, namun dia masih menahan diri untuk tidak segera melompat keluar. "Walau begitu singkat, ada dua julukan yang kudengar di sini. Pertama, Pendekar Pedang yang adalah guru dari gadis bernama Sri Kunting
itu. Kedua, Seruling Haus Darah yang memerintahkan
orang-orang yang bernama Maung Kumayang dan Lodang Kumayang untuk membunuh Pendekar Pedang.
Berarti orang di balik pembunuhan terhadap Pendekar
Pedang adalah yang berjuluk Seruling Haus Darah.
Hmm... keinginanku untuk mencari orang yang bernama Ki Alam Gempita sebaiknya kutunda dulu."
Dengan pandangan tajam, pemuda dari Gunung
Rajawali ini kembali menatap ke depan sambil menunggu apa yang terjadi kendati dia bisa menebak apa
yang ada di benak kedua lelaki berpakaian dan berjubah hitam itu. Di seberang sana, Dua Iblis Hitam melangkah mendekati Sri Kunting yang berteriak-teriak kalap menyadari bahaya yang lebih mengerikan yang akan diterimanya. "Binatang-binatang buduk! Lepaskan aku! Kita bertarung sampai mampus!!"
Tetapi Dua Iblis Hitam hanya terbahak-bahak saja.
"Anak gadis... rupanya kau memang harus diberi
pelajaran dulu sebelum dibunuh! Dan ketahuilah...
apa yang hendak kami lakukan tentunya belum pernah kau rasakan! Aku yakin, bila kau sudah merasakannya... maka engkaulah yang akan mengejar-ngejar
kami berdua...."
"Mulutmu begitu kotor, Binatang!!" menggeram keras Sri Kunting dengan pandangan gusar.
"Tak perlu membuang tenaga untuk bersuara! Lebih baik kau nikmati saja apa yang hendak kami berikan!" Habis kata-katanya, dengan kasar Maung Kumayang siap menarik pakaian di bagian dada Sri Kunting yang terbeliak lebar dengan bola mata berputar gelisah. Namun sebelum lelaki berwajah tirus itu melakukannya, seseorang cepat melesat.
"Wah! Wah! Kenapa sih masih ada saja orang yang
bertindak busuk pada orang lain" Padahal bila perjalanan dalam kehidupan ini bergerak lurus terus menerus, maka semuanya akan berjalan lurus. Gadis itu
memang benar, menyebut kalian binatang-binatang
liar!!" Serentak Dua Iblis Hitam balikkan tubuh. Masingmasing orang memandang tajam dengan kedua kaki
terpentang pada pemuda berpakaian keemasan yang
barusan mengeluarkan kata-kata mengejek, yang berdiri di hadapan mereka. Di mulut si pemuda yang tak
lain Rajawali Emas adanya, terselip sebatang rumput.
*** "Orang muda keparat! Berani mampus kau jual lagak di sini"! Jangan campuri urusan! Lebih baik tinggalkan tempat ini ketimbang nyawamu akan melayang!!" saat itu pula terdengar bentakan penuh kegeraman dari Maung Kumayang. Orangnya sudah maju
dua tindak dengan tinju terkepal.
"Meninggalkan tempat ini" Wah... itu gampang sekali kulakukan. Tetapi bila bersama gadis itu... ya,
memang lebih baik," sahut Tirta sambil mengangkat
kedua alisnya. Lodang Kumayang yang memperhatikan lekat-lekat
pemuda di hadapannya maju dua tindak, berdiri di
samping kanan Maung Kumayang.
Masih memandang tajam pada Rajawali emas, lelaki
berkepala botak di tengah itu berbisik, "Maung... tidak
ingatkah kau tentang seorang tokoh muda yang mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna keemasan
yang di kedua lengannya terdapat rajahan burung rajawali keemasan?"
Mendengar kata-kata kambratnya, Maung Kumayang mengarahkan pandangan pada kedua lengan
pemuda di hadapannya. Kejap lain dia menganggukanggukkan kepalanya seraya berbisik, "Ya, ya... aku
ingat. Bukankah pemuda yang bercirikan seperti itu
pemuda lancang yang banyak mencampuri urusan
orang" Dan julukannya selalu jadi pembicaraan orang
baik dari golongan lurus maupun golongan" sesat?"
"Kau benar, Maung Kumayang. Dan kita berhadapan dengan... Rajawali Emas...."
Habis kata-kata Lodang Kumayang, Maung Kumayang tertawa berderai dan kembali menggugurkan
dedaunan. Sementara itu, Sri Kunting yang merasa sedikit lega berharap pemuda yang baru datang itu
mampu mengatasi Dua Iblis Hitam yang telah membunuh gurunya, si Pendekar Pedang.
Diam-diam gadis ini membatin, "Maafkan aku,
Guru. Bila saja aku tidak datang terlambat... mungkin
kau masih hidup. Tetapi mereka memang orang-orang
celaka yang curang dan keji. Bila pun aku terlambat
datang dan kau tidak dibokong pada saat kau bersemadi, jelas kau akan bisa mengatasi keduanya. Guru...
maafkan aku...."
Untuk sejenak gadis berpakaian biru muda yang
masih telentang dalam keadaan tertotok, teringat akan
kejadian mengerikan di Bukit Pedang, di mana dirinya
dan gurunya tinggal.
Seperti biasa, bila gurunya bersemadi Sri Kunting
berlatih di sebelah utara Bukit Pedang. Selama tiga hari dia berlatih terus menerus. Dan tanpa merasa ada
kejadian apa-apa, gadis itu pun kembali ke tempat
tinggalnya. Namun alangkah terkejutnya Sri Kunting
tatkala melihat dua lelaki berpakaian dan berjubah hitam baru keluar dari goa yang terdapat di Bukit Pedang. Serentak perasaan si gadis menjadi tidak tenang.
Ingatannya langsung tertuju pada gurunya, yang selalu mempergunakan tempat itu untuk bersemadi. Makanya dia segera berkelebat cepat dan bersamaan dengan itu, kedua orang yang tak lain Dua Iblis Hitam melihatnya. Dari mulut keduanya yang terbahak-bahak
tahulah Sri Kunting kalau gurunya telah tewas.
Meledaklah amarah Sri Kunting hingga pertarungan
terjadi. Namun gadis itu tak kuasa menghadapi setiap
serangan dari kedua lawannya, hingga akhirnya dia
berusaha untuk meloloskan diri. Namun kedua orang
itu tak mau melepaskannya meski mereka telah membuat kedua kakinya kaku dan tubuhnya sukar digerakkan. Si gadis menarik napas masygul dan mendengar
Dua Iblis Hitam sedang tertawa.
Maung Kumayang berkata dingin, "Rupanya yang
hadir di sini adalah Rajawali Emas! Menyenangkan,
sangat menyenangkan sekali! Sekali kayuh, dua pulau
akan terlampaui!"
Tirta yang tahu ke mana maksud omongan Maung
Kumayang berkata pilon, "Hah" Memangnya kau habis
mengayuh ya" Kasihan sekali" Pulau apa yang telah
kalian lampaui" Tetapi aku yakin... kali ini kalian akan
terdampar di pulau... ajal!!"
Terputus tawa Maung Kumayang mendengar ejekan
pemuda di hadapannya. Kejap lain dia sudah keluarkan dengusan. Tak mau membuang waktu, lelaki
berwajah tirus itu segera berkelebat dengan kedua
tangan digerakkan lepaskan pukulan. Jubah hitamnya
berkibar! *** Bab 3 SAAT lelaki berwajah tirus dengan codetan di pipi kanannya menggerakkan kedua tangannya, segera
menghampar udara dingin tak terkira ke arah Rajawali
Emas. Untuk sesaat si pemuda terkejut. Kejap lain dia
sudah mengangkat kedua tangannya. Jurus 'Lima Kepakan Pemusnah Rajawali' yang dipadukan dengan tenaga surya dilepaskan. Seketika menghampar hawa
panas yang meredam hawa dingin yang keluar dari
pukulan Maung Kumayang.
Wussss!! Blaammm! Dua dorongan angin dingin dan panas berbenturan
di udara dan menimbulkan suara ledakan yang keras.
Maung Kumayang yang menganggap remeh pemuda
dari Gunung Rajawali itu segera memutar tubuh dan
kedua tangannya berkelebat menghantam ke arah kepala Rajawali Emas!
Tirta yang masih melepaskan jurus 'Lima Kepakan
Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pemusnah Rajawali' segera mengangkat kedua tangannya pula. Tanpa ayal lagi, terjadi bentrokan di udara. Kedua tangan masing-masing orang seperti terlempar ke atas, namun segera melancarkan serangan
kembali. Lagi-lagi terjadi benturan yang cukup keras.
Rajawali Emas tersenyum menyadari kalau lawan
mencoba mengukur kekuatannya tanpa mundur sekejap pun selain terus menerus melancarkan serangan.
Dan sudah tentu Rajawali Emas melayaninya.
Maka secara terus menerus terjadilah benturan
demi benturan yang sangat keras. Tanah dan ranggasan semak pecah dan bertaburan. Dedaunan beterbangan entah ke mana.
Benturan demi benturan itu baru terhenti tatkala
tubuh masing-masing orang terpental ke belakang. Rajawali Emas dengan sigap memutar tubuh dua kali di
udara dan berdiri tegak dengan mulut masih menghisap-hisap sebatang rumput.
Sementara di seberang, Maung Kumayang yang
ambruk segera berdiri dengan agak terhuyung. Di sudut-sudut bibirnya merembas darah segar. Pandangannya kalap dan garang menatap pemuda yang di
punggungnya terdapat sebilah pedang berwarangka
dan dipenuhi untaian benang keemasan.
"Keparat betul! Julukan Rajawali Emas memang
bukan julukan omong kosong! Dia sulit dihadapi sendirian!!" makinya dalam hati lalu melirik ke arah Lodang Kumayang yang terkesiap tatkala melihat Maung
Kumayang dalam keadaan goyah.
Sementara itu, Tirta membuang rumput yang dihisap-hisapnya. Cuh! Plasss! Tanpa bermaksud memamerkan tenaga dalamnya,
rumput yang tak memiliki kekuatan untuk tegak itu,
amblas ke dalam tanah hingga tinggal sebagian kecil
ujungnya saja. Lalu tanpa hiraukan pandangan terbeliak dari kedua orang di hadapannya, pemuda ini berkata, "Aku tak suka bila ada nyawa yang lepas karena
urusan kapiran ini! Lebih baik tinggalkan tempat ini
sebelum urusan jadi berlarut-larut!"
Maung Kumayang memandang nyalang dan berkata, "Ternyata julukanmu memang bukan omong kosong. Tetapi siapa pun orangnya yang berani bikin
ulah di hadapanku, harus mampus!"
Dan serta-merta tubuhnya sudah memutar setengah lingkaran. Kejap lain lelaki bercodet ini sudah kirimkan satu pukulan ke dada Rajawali Emas. Seolah
mengerti arti gerakan Maung Kumayang, Lodang Kumayang segera bertindak dengan kirimkan pukulan
'Batu Karang'. Rajawali Emas melengak kaget sampai mundur satu tindak Dengan cepat segera disentakkan kedua tangannya menangkis pukulan Maung Kumayang. Begitu
berhasil melakukannya, serta-merta si pemuda memutar tubuh dan....
Wuuuttt! Tendangan kaki kanannya menderu lurus ke wajah
Lodang Kumayang yang seketika melengak dan melompat ke samping. Rupanya kali ini Rajawali Emas
tak mau bertindak ayal.
Dengan pencalan satu kaki dia memburu ke arah
Lodang Kumayang yang kali ini bergulingan menghindari sambaran pukulan ke arah kepalanya.
Mendapati kambratnya dalam keadaan terdesak, lelaki berwajah tirus dengan codet di pipi kanannya segera meluruk dikawal teriakan keras.
Namun yang dilakukan Tirta itu bukanlah satu serangan utuh pada Lodang Kumayang. Serangan itu
adalah sebuah serangan pancingan. Yang ditunggu
memang Maung Kumayang. Maka begitu lelaki bercodet di pipi kanannya itu meluncur, Tirta segera hempaskan tubuh ke atas. Begitu tubuh Maung Kumayang
meluncur di bawahnya, kaki kirinya segera dijejakkan
ke punggung Maung Kumayang.
Kraaak...! Terdengar suara dua buah tulang punggung lelaki
berwajah tirus patah. Dan luncuran tubuhnya ambruk
saat itu pula dengan pekikan keras.
Tanah di mana lelaki bercodet itu ambruk membuyar.
Semakin garang Lodang Kumayang melihat apa
yang dialami kambratnya. Tanpa membuang waktu lagi, lelaki berkepala botak di tengah ini segera menyerang dengan kalap. Dan karena kekalapannya itu serangannya menjadi kacau-balau. Maka dengan mudahnya Tirta menebak setiap serangan yang dilakukan
oleh lelaki berkepala botak di tengah.
Berkali-kali tubuh lelaki berkepala botak di tengah
itu terhantam pukulan dan tendangannya. Tirta sebenarnya tak ingin bertindak telengas. Namun tatkala
melihat Lodang Kumayang justru melompat ke arah Sri
Kunting dan siap melepaskan pukulan ke kepala gadis
itu yang berteriak ngeri, terpaksa Tirta bertindak keras. Rupanya Lodang Kumayang berpikir keji. Ketimbang dia tak bisa membalas serangan Rajawali Emas,
lebih baik segera menghabisi nyawa Sri Kunting daripada pekerjaannya sia-sia.
Dengan gerakan cepat, Tirta segera bertindak. Satu
tendangannya menghantam dada lelaki itu, yang tadi
sempat berusaha menangkis. Telak hingga sosok Lodang Kumayang terlempar dan menghantam sebatang
pohon. Terdengar suara berderak cukup keras. Tulang
punggung Lodang Kumayang pun patah. Saat tubuhnya ambruk ke depan darah menyembur dari mulutnya. Tubuhnya bergulingan menahan rasa sakit dengan suara mengerang keras. Beberapa kejap kemudian
erangannya berangsur melemah dan akhirnya lenyap
bersamaan putusnya nyawa Lodang Kumayang.
Rajawali Emas menarik napas panjang.
"Ah, terpaksa aku melakukan semua ini kendati
aku tak menginginkan sebenarnya...."
Segera dialihkan pandangannya pada Sri Kunting
yang masih memejamkan matanya semenjak Lodang
Kumayang hendak menghantam kepalanya. Dan gadis
itu perlahan-lahan membuka kedua matanya tatkala
mendengar suara Tirta,
"Sri Kunting... tenanglah... semuanya sudah berlalu." Kemudian murid mendiang Pendekar Pedang ini
merasakan telapak tangan kanan Tirta menempel pada
kedua kakinya yang kaku. Perlahan-lahan dirasakan
hawa panas mendera kedua kakinya. Ditahannya untuk tidak berteriak. Perlahan-lahan pula dilihatnya
asap putih mengepul dari sana. Kendati demikian, si
gadis belum dapat menggerakkan tubuhnya. Karena
dia masih berada dalam totokan Lodang Kumayang.
Tirta segera menggerakkan tangan kanannya. Tubuh Sri Kunting mengejut sesaat dan keluarkan keluhan kecil. "Bangunlah... bersemadilah sejenak untuk pulihkan tenagamu...," kata Rajawali Emas kemudian.
Untuk sesaat Sri Kunting menatap si pemuda yang tersenyum yang kemudian mendekati Maung Kumayang
yang rupa-rupanya tak kuasa menahan rasa sakit
yang dideritanya hingga lelaki bercodet itu jatuh pingsan. Sementara Sri Kunting bersemadi, Tirta memeriksa
tubuh Maung Kumayang dan mengalirkan tenaga dalamnya. "Hmm, kendati lelaki ini masih bisa hidup, namun
seluruh ilmu yang dimilikinya telah sirna. Tulang
punggungnya yang patah tak bisa disambung kembali,
padahal di tulang punggunglah kekuatan manusia berada...." Lalu ditunggunya Sri Kunting yang masih bersemadi. "Bila gadis itu sudah selesai dan aku mengetahui
ada urusan apa sebenarnya, aku akan meneruskan
perjalanan mencari Ki Alam Gempita...," kata Tirta dalam hati sambil memandangi wajah jelita Sri Kunting
yang khusu' dan memejamkan kedua matanya saat
bersemadi. *** "Terima kasih atas bantuanmu, Saudara..,," terdengar suara Sri Kunting yang telah menyelesaikan semadinya dan merasakan keadaannya normal kembali.
Rajawali Emas palingkan kepala dan tersenyum.
Pandangannya lekat pada si gadis yang juga tengah
memandangnya. "Namaku Tirta dan orang-orang menjuluki Rajawali
Emas. Aku sudah mengetahui namamu saat kau bertarung dengan kedua orang tadi. Sri Kunting, maukah
kau menjelaskan apa yang telah terjadi sebenarnya?"
tanyanya kemudian.
Untuk sesaat si gadis meragu mendengar permintaan Rajawali Emas. Tetapi setelah meyakinkan diri
kalau pemuda tampan berbaju keemasan ini adalah
orang segolongan dengannya, dia pun segera menceritakan apa yang terjadi.
"Tahukah kau siapa Seruling Haus Darah sebenarnya?" tanya Tirta kemudian dengan kening dikernyitkan. "Aku tidak tahu siapa dia. Tetapi... kalau tak salah
ingat, Guru pernah menceritakan tentang orang itu setelah dia kedatangan kakak seperguruannya...."
"Apa yang diceritakannya kepadamu?"
"Guru mengatakan, Seruling Haus Darah sejak puluhan tahun yang lalu memang gemar mengadu ilmu,
terutama pada orang-orang golongan lurus. Dia berkeinginan untuk menguasai rimba persilatan ini. Menurut cerita Guru, dulu dia berulangkali dikalahkan
oleh Dewa Tanpa Nama, namun akhirnya Dewa Tanpa
Nama tewas setelah orang yang semula berjuluk Raja
Setan itu memiliki Seruling Gading milik Raja Seruling
yang kemudian diubah namanya menjadi Seruling
Haus Darah dan dipakai sebagai julukannya. Dan julukan Seruling Haus Darah bertambah santer terdengar, terutama sepak terjangnya yang telengas itu. Bahkan... hingga saat ini. Dan guruku... tewas di tangan
orang-orang suruhan-nya...."
Rajawali Emas membatin dalam hati, "Ternyata
memang masih banyak orang yang berkeinginan mengalahkan orang lain dan bermaksud menguasai secara
utuh apa yang bukan miliknya. Dan rasanya semua ini
akan terus berlangsung hingga akhir dunia ini yang
tak seorang pun tahu - termasuk peramal yang maha
sakti sekali pun - menemukan kapan dunia ini akan
berakhir. Sungguh sebuah keinginan busuk dari Seruling Haus Darah." Sambil menghela napas, pemuda dari Gunung Rajawali ini berkata, "Aku mengucapkan belasungkawa atas kematian gurumu, Sri Kunting. Dan
maaf, rasanya kita harus berpisah, karena masih ada
urusan yang harus kuselesaikan."
Dengan agak meragu Sri Kunting berkata, "Kalau
boleh aku tahu, urusan apakah itu, Tirta?"
Tirta tersenyum.
Tak ada salahnya bila kuberi tahu padanya," batinnya lalu diceritakan urusan apa yang hendak dilakukan-nya. Dan tanpa diduga si gadis justru terkejut. "Oh!"
"Kenapa, Sri Kunting?" tanya Tirta heran.
Bukannya menjawab pertanyaan pemuda di hadapannya, gadis murid mendiang Pendekar Pedang justru balik bertanya, "Benarkah yang kau maksudkan
tadi ki Alam Gempita?"
Masih sedikit heran Tirta menyahut, "Ya. Jelas dia
menuliskan namanya seperti itu. Tetapi aku tidak pernah mengenalnya...."
Sri Kunting menatap dalam pada pemuda di hadapannya. Lamat dia berkata, "Tirta... kakak seperguruan guruku bernama Ki Alam Gempita. Dialah orang yang tadi kuceritakan kepadamu...."
Ganti sekarang Tirta yang melengak.
"Oh! Sri Kunting, kalau memang benar katakatamu itu, tahukah kau di mana dia berada?"
Sri Kunting menganggukkan kepalanya. "Dia tinggal di
Danau Bulan."
"Sri Kunting... bisakah kau mengatakan ancarancarnya tempat itu" Aku ingin tahu sekali, mengapa
Ki Alam Gempita menuliskan pesan seperti itu kepadaku. Kendati aku tak tahu apakah aku memang cocok untuk dimintakan bantuan, aku justru jadi penasaran ingin tahu apa yang terjadi."
Sri Kunting terdiam sejenak. Lalu sambil memandang dalam pada pemuda di hadapannya dia berkata,
"Tirta... kini guruku telah tewas. Hidupku sebatang kara sekarang. Aku memang punya tujuan menuju ke
Danau Bulan untuk menjumpai Ki Alam Gempita. Dan
kuharap, kakak seperguruan guruku yang kupanggil
juga dengan sebutan Guru, mau menerima kehadiranku." Ganti Tirta terdiam seperti menimbang-nimbang.
"Baiklah. Kalau begitu kita bersama-sama ke Danau Bulan. Tetapi... seperti ceritamu tadi tentang keadaan gurumu, aku yakin kau belum menguburkannya,
bukan?"
Rajawali Emas 18 Seruling Haus Darah di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sri Kunting menganggukkan kepalanya.
Tirta berkata lagi, "Kalau begitu... kita kembali dulu
ke tempat tinggalmu di Bukit Pedang. Kita kuburkan
mayat gurumu, setelah itu kita bersama-sama menuju
ke Danau Bulan."
Kembali Sri Kunting menganggukkan kepalanya.
Kejap lain, dua remaja yang berusia sebaya itu pun
segera meninggalkan tempat yang telah porak poranda
dan beberapa kejap kemudian sudah dibungkus kesepian. Yang tinggal, hanya mayat Lodang Kumayang dan
sosok Maung Kumayang yang pingsan.
*** Bab 4 REMBULAN sudah mengambang di atas permukaan
danau. Malam pun berangsur beranjak. Lintasan bumi
semakin dirajai oleh kegelapan yang cukup angker.
Angin seolah berlarian dari satu pohon ke pohon lain
yang tumbuh di sekitar Danau Bulan.
Di sebuah batu cukup besar yang berada di sebelah
kanan danau itu, terlihat sesosok tubuh duduk bersila
dengan sepasang tangan merangkap di depan dada.
Rambut sosok lelaki yang berusia lanjut itu panjang
dan memutih, dibiarkan dipermainkan angin hingga
beberapa kali jatuh tergerai di wajahnya yang pucat
dan berkulit tipis.
Sepasang matanya yang agak masuk ke dalam, terpejam rapat. Bibirnya yang tipis dan agak mengeriput
berkemik-kemik, hingga kumis putihnya tanpa jenggot
bergerak-gerak. Keningnya sesekali berkerut tanda si
kakek yang mengenakan pakaian gombrang warna putih kebiruan sedang memikirkan sesuatu.
"Tiga puluh lima tahun berlalu demikian cepat. Tak
kusangka kalau dunia fana ini belum juga terhenti dari
segala gelombang kejahatan. Dewa Tanpa Nama telah
lenyap di tangan Raja Setan yang kemudian menjuluki
dirinya Seruling Haus Darah. Beberapa tokoh rimba
persilatan seperti Laba-laba Hitam, Pendekar Kaki Delapan, Sepasang Dewa Gunung Maya dan masih banyak yang lainnya telah tewas di tangan manusia sesat
itu yang hendak menguasai rimba persilatan ini. Lantas kudengar pula kalau saat ini Raja Dewa, adik seperguruan Dewa Tanpa Nama, telah menuntaskan
urusan dengan Ratu Iblis yang hidup tidak, mati pun
tidak. Hmm... tinggal segelintir orang saja yang masih
hidup. Mungkin dikarenakan belum didatangi oleh Seruling Haus Darah...."
Kembali si kakek berkumis putih menjuntai itu terdiam. Angin semakin dingin menusuk. Malam terus
merangkak dalam kegelapan yang cukup mendera.
"Mungkin... akan tiba giliranku juga untuk merasakan kesaktian Seruling Haus Darah. Manusia laknat
yang telah banyak menipu tokoh-tokoh rimba persilatan dan setelah menyirap seluruh ilmu yang mereka
miliki akhirnya justru dibunuh. Yang mengerikan darinya adalah Seruling Gading milik Raja Seruling. Setahuku, tak seorang pun yang mampu menahan alunan getaran dahsyat dari seruling yang diubah namanya oleh manusia sesat itu menjadi Seruling Haus
Darah, yang sekaligus dipakai sebagai julukannya.
Kemungkinan besar, Malaikat Dewa maupun Manusia Agung Setengah Dewa akan sulit mengatasi alunan getaran seruling itu. Tetapi menurut perkiraanku,
bila keduanya - satu sama lain - menggabungkan ilmu
yang mereka miliki baru bisa mengatasi seruling itu.
Dan sekarang aku mendengar, kalau seorang tokoh
muda yang berjuluk Rajawali Emas telah mendapatkan
dua ilmu langka dari keduanya. Kendati tipis kemungkinannya, pemuda itulah yang mungkin dapat mengatasi sepak terjang Seruling Haus Darah.
Aku memang pernah menemukannya dan berharap
dia mau mengatasi semua ini. Aku memang sengaja
tak mengatakan di mana aku berada. Karena, ingin
kulihat kecerdikan pemuda itu. Bila dia tak bisa menemukan aku, sudah tentu tipis kemungkinan untuk
mengalahkan Seruling Haus Darah."
Angin terus bergulung dingin dan suasana semakin
bertambah angker.
Ki Alam Gempita bergumam kembali, "Sudah tiga
hari muridku Wulung Seta sengaja kuperintahkan untuk berlatih di Puncak Puri Alam. Aku tak ingin terjadi
apa-apa dengannya bila ternyata urusan ini akan...."
Mendadak saja, lelaki yang tak lain Ki Alam Gempita ini memutus gumamannya sendiri. Serentak itu pula dia membuka kedua matanya. Kepalanya terjulur
menegang. Sepasang telinganya dibuka lebar-lebar,
namun kejap lain segera dialirkan tenaga dalamnya
kuat-kuat. "Hmm... ada suara alunan seruling yang masuk ke
telingaku yang mendadak terasa panas. Alunan itu
masih cukup jauh kukira, tetapi sudah mampu membuatku bergetar. Jangan-jangan... manusia keparat itu
sudah tiba di sini...."
Sambil kerahkan tenaga dalamnya, Ki Alam Gempita perlahan-lahan melompat dari batu yang didudukinya tadi. Begitu hinggap di tanah, kedua kakinya dipentangkan sementara kedua tangannya masih merangkap di dada.
"Gila! Semakin lama alunan seruling itu bertambah
keras, pertanda orang yang meniupnya semakin dekat.
Kali ini kedua telingaku bukan saja terasa panas, namun sangat menyakitkan. Barangkali saja...."
Lelaki berpakaian gombrang putih kebiruan ini tahu-tahu menotok kedua uratnya sendiri yang ada di
bawah kedua telinganya. Bila saja kedua totokan itu
dilakukan pada orang lain, niscaya orang itu akan ambruk dengan telinga mengalirkan darah. Karena, selain
urat yang terdapat di bawah pangkal lengan, urat yang
terdapat di balik kedua telinga merupakan titik keseimbangan yang mampu melumpuhkan lawan.
Alunan seruling itu mendadak saja terhenti. Sebagai gantinya terdengar tawa yang luar biasa keras
hingga mengubah arah angin dan menyusul satu suara, "Ki Alam Gempita... rupanya kehidupanmu hanya
sampai di sini saja! Bila kau mengakui akulah raja diraja rimba persilatan dan kau mau mengikuti serta patuhi apa yang kuperintah, maka kubiarkan nyawamu
hidup lebih lama!!"
"Benar dugaanku, kalau manusia setan itu yang
datang," batin Ki Alam Gempita dengan tubuh tegak.
Sepasang matanya tak berkedip memandang ke depan,
yang terlihat sekarang hanyalah jajaran pepohonan belaka. "Manusia satu ini memang tak perlu diburu, karena dia akan datang untuk menantang siapa saja
yang diinginkannya. Ini kesempatan bagiku untuk
menghentikan sepak terjang telengasnya."
Dalam keadaan bersiaga penuh, Ki Alam Gempita
mengunci mulutnya rapat-rapat.
Dalam tiga kejapan berikutnya, dari sebuah jalan
setapak yang terdapat di sekitar Danau Bulan, muncul
satu sosok tubuh tinggi besar berpakaian semerah darah. Langkah angker lelaki yang berusia sebaya dengan Ki
Alam Gempita seperti menebarkan hawa kematian. Di
tangan kanan si pendatang yang rambutnya panjang
hitam namun tepat di tengah bagian kepalanya berwarna putih, tergenggam sebuah seruling terbuat dari
gading berwarna bening dan berlobang tujuh.
Ki Alam Gempita membatin dengan sorot mata tak
berkedip. "Dugaanku benar."
Orang yang baru datang dan tak lain Seruling Haus
Darah ini menyeringai lebar diiringi tawanya yang
menggugurkan dedaunan. Bahkan air danau yang tadi
tenang kini bergolak.
Lalu katanya seraya memasukkan seruling di tangannya ke balik pakaiannya.
"Tak sekali pun aku sebelumnya pernah bertatap
muka dengan orang yang bernama Ki Alam Gempita.
Tetapi sepak terjangmu sebagai tokoh golongan lurus
dan memiliki kesaktian yang lumayan sudah lama kudengar! Hingga rasanya, kedua tanganku ini menjadi
gatal untuk segera mengirimmu ke akhirat menyusul
manusia-manusia dungu yang tak pantas disebut tokoh rimba persilatan!!"
Mengkelap wajah Ki Alam Gempita mendengar kata-kata orang itu. Namun segera ditindihnya kuatkuat. Kendati demikian, pancaran kedua matanya tak
dapat disembunyikan kalau si kakek berpakaian gombrang putih kebiruan ini diliputi amarah dalam.
Kejap lain dia berkata, "Tak seorang pun yang bisa
mengatakan dirinya raja diraja rimba persilatan! Tak
seorang pun yang akan membiarkan hidup, orang yang
membuat keonaran dan pembunuhan bergelombang
yang tak pernah putus! Lebih baik hentikan segala perbuatan keparatmu itu, Raja Setan! Atau... kau sudah
terlalu besar kepala dengan julukan Seruling Haus Darah"!"
Lelaki tua tinggi besar yang rambut di bagian tengah kepalanya berwarna putih itu menjerengkan sepasang matanya. Dengan mulut menggembor dia berucap, "Bila seluruh tokoh rimba persilatan ini kutantang
dan mati di tanganku, barulah aku puas sampai menunggu kehadiran tokoh baru yang benar-benar memancing emosi ku!!"
"Suatu ketika, kau akan terperosok ke dalam lubang yang kau gali sendiri, Manusia sesat!!" geram Ki
Alam Gempita. Saat itu pula terdengar teriakan menggebah yang
sangat kuat dari Seruling Haus Darah. Kali ini dedaunan bukan hanya gugur, batang-batang pohon pun
tanggal dan menimbulkan suara berderak. Kalau tadi
air danau hanya bergolak, kali ini bermuncratan ke
atas dan mengeluarkan suara berdebur keras.
"Kematian sudah ada di tanganmu."
Habis bentakannya, tubuh Seruling Haus Darah
sudah melesat ke depan. Kedua telapak tangannya dibuka dan didorong maju.
Wuuussss!! Segera terlihat cahaya terang sekejap dari kedua
tangan Seruling Haus Darah. Di lain kejap terdengar
deruan mengguntur, lalu menyusul gelombang angin
dahsyat laksana badai menghantam pesisir.
Ki Alam Gempita terdiam sejenak. Kejap lain si kakek berpakaian gombrang ini melompat ke samping seraya menghantamkan pukulan melalui tangan kanannya. Des! Dengan gerakan aneh yang tak kalah cepatnya, Seruling Haus Darah menekuk siku kanannya. Lalu segera kirimkan satu tendangan memutar mengarah ke
kepala lawan. Dan bukan hanya sampai di sana saja tindakan Seruling Haus Darah yang berkeinginan mematok dirinya
sebagai raja diraja rimba persilatan. Karena begitu lepaskan tendangan, dengan gerakan yang sulit dilakukan, dia segera melompat ke depan dengan mengangkat dua tangannya dan siap melepaskan pukulan dari
jarak dekat. Melihat ganasnya serangan lawan, Ki Alam Gempita
merunduk menghindari sambaran kaki Seruling Haus
Darah. Dan bersamaan dengan itu dia segera mengerahkan tenaga dalam pada lengannya. Lalu kedua tangannya disentakkan ke depan.
Raja Naga 7 Bintang 3 Pendekar Pulau Neraka 36 Titisan Siluman Harimau Walet Emas Perak 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama