Roro Centil 20 Kemelut Di Negara Siluman Bagian 1
SATU UDARA HARI ITU CUKUP CERAH. Langit biru
tak berawan. Matahari bersinar cukup terik membakar
jagat. Di atas tempat ketinggian tampak duduk di bawah pohon seorang dara jelita berpakaian singsat, yai-tu pakaian orang
persilatan. Rambutnya dibiarkan terurai. Sementara sepasang matanya memandang jauh
ke bawah lereng bukit dimana terlihat satu pemandangan indah. Sawah-sawah menghijau bertebaran laksana hamparan permadani yang menyejukkan mata memandang. Di kejauhan terlihat petani mengolah sawah,
memperbaiki saluran, mencangkul kebun, dan sebagainya. Terdengar dara jelita itu menghela nafas.
Lengannya bergerak memotes ujung rumput.
Lalu menggigit-gigitnya dengan mata berkejap-kejap.
Dara jelita itu tak Iain dari Roro Centil, yang telah in-jakkan kakinya kesatu
wilayah dalam pengembaraannya. Dalam ketenangan semacam itu terkadang Roro
teringat akan pengalamannya selama berpetualang.
Banyak terjadi bermacam peristiwa yang terkadang
nyaris merenggut nyawanya. Dan dalam ketenangan
semacam ini amat terasa sekali betapa tenteramnya jiwa jika di setiap wilayah di atas jagat ini penuh kedamaian...
Akan tetapi keadaan memang susah diterka,
yang disangka daerah tenteram ternyata masih ada saja kericuhan. Dara perkasa Pantai Selatan ini tiba-tiba jadi tersentak kaget,
ketika sepasang matanya melihat asap mengepul tebal di kejauhan. Samar-samar
terdengar suara teriakan dan jeritan orang meminta tolong. Sadarlah dia kalau diseberang sana telah terjadi
sesuatu. Sementara itu dilihatnya para petani yang tenang bekerja di tengah sawah mulai terlihat panik, dan berlarian menuju ke arah
asap yang kelihatan semakin
menebal menjulang ke udara bergumpalan.
"Heh, agaknya telah terjadi kebakaran di desa
seberang sana! aku harus segera melihatnya...!" desis Roro Centil, yang sekejap
sudah melompat bangun
berdiri. Dan... di lain kejap tubuhnya segera berkelebat melesat bagaikan anak
panah menuju ke arah kejadian. Apakah sebenarnya yang tengah terjadi" Sebuah rumah besar di tengah desa di lereng perbukitan
itu memang dalam keadaan terbakar hebat di siang
hari yang lengang itu.
Belasan manusia berlarian dalam keadaan panik dan berteriak-teriak kalang kabut. Ternyata di
samping teriak dan jeritan wanita dan anak-anak yang
ketakutan dan panik, ada pula teriakan-teriakan lain
dan kegaduhan yang memang berasal dari kejadian
itu. "Rampoook...! rampoook ...!" "Kejar... mereka yang telah membakar rumah"
"Mana rampok..." mana..." Oo, rumahku...!
Aiiir...! aiiir! cepat siram!"
Beberapa teriakan terdengar gaduh. Ada yang
berlari ke dalam rumah untuk mengemasi barangbarangnya, ada yang menjerit-jerit sambil berteriak
rampok. Dalam keadaan demikian sudah tak dikenali
lagi mana rampok, mana penduduk. Dan... sekonyongkonyong api telah menjalar ke beberapa rumah penduduk. Kini kebakaran di desa itu telah menyebar secara cepat. Adalah satu hal
yang tak mungkin kalau api dapat berpindah ke lain wuwungan, karena siang itu
tak ada angin berhembus. Apa lagi jarak antara satu rumah penduduk ke lain rumah cukup berjauhan. Sebentar saja keadaan di desa itu semakin panik.
Manusia bersimpang siur dengan segala kesibukannya untuk memadamkan api atau mengemasi
barang-barang, hingga bahkan terlupa pada anak dan
istri. Jerit tangis dan ratapan pun terdengar disana-sini... Sementara itu...
Cepat sekali bergeraknya sosok-sosok tubuh yang berseliweran diantara kegaduhan manusia ketika bergerak mengemasi barangbarang menyambar apa yang bisa dibawa. Dan dalam
kepanikan itu serombongan manusia telah angkat kaki
dari desa itu dengan menggondol beberapa buntalan.
Bahkan beberapa wanita berada dalam pondongan mereka. Pada saat itulah Roro Centil munculkan diri.
Terperanjat Roro melihat kejadian ini. Segera Roro bertindak cepat. Tubuhnya
berlompatan ke beberapa
arah. Suara lengkingan panjang yang merdu terdengar
dimana-mana. Ternyata Roro Centil telah lepaskan
hantaman telapak tangannya untuk memadamkan api.
Setiap kali lengannya bergerak yang dibarengi dengan
melompatnya tubuh dara perkasa itu, segera keluar
uap berhawa dingin yang segera memadamkan api.
Dengan perdengarkan suara lengkinganlengkingan panjang setiap kali Roro bergerak melambung atau melompat ke atas wuwungan, lengannya
bergerak tiada henti. Hingga beberapa saat antaranya
api yang mengamuk di beberapa rumah dapat terpadamkan. Tentu saja kejadian itu tak luput dari penglihatan mata penduduk. Mereka memandang Roro dengan
mata terbelalak. Manusia ataukah seorang Dewi yang
telah menolong mereka"
Suatu hal yang mustahil dilakukan manusia
menurut pendapat mereka. Akan tetapi mereka melihat
sendiri dengan mata kepala ketika dara cantik itu berlompatan ke setiap wuwungan
dan mengitari setiap
rumah untuk memadamkan api. Sayang... selanjutnya
mereka tak mengetahui lagi kemana lenyapnya si penolong. Kekalutan memang segera mereda, akan tetapi
tetap saja kegaduhan terdengar dimana-mana. Karena
beberapa orang laki-laki dengan menghunus senjata
telah berlarian mengejar ke arah barat, dimana menghilangnya belasan sosok tubuh yang menjadi biang keladi kericuhan.
"Kejar mereka...! "perampok-perampok itu semakin nekat. Mereka makin berani
melakukan kejahatan disiang hari! Teriak geram seorang laki-laki bertelanjang dada seraya
bergerak melompat mendahului
beberapa orang lainnya. Ternyata laki-laki itu baru pulang dari sawah.
Paculnya masih tergenggam ditangan. Sementara itu teriakan seorang wanita tua terdengar menghi-ba.
"Anakku...! oh, anakku diculik! anakku diculik
perampok! toloong...!"
"Sawitri kemana..." Sawitriiii...!" teriak pula seorang laki-laki. Seorang anak
kecil berwajah cemong dengan keringat deras mengalir berlari-lari menghampiri.
"Celaka.....! kakak
Sungkimah dibawa perampok! dibawa kesana...!" teriak si bocah laki-laki ini dengan wajah pucat pias. "Ha!" dimana...!
dimana?" teriak seorang laki-laki yang membelitkan kain sarungnya di leher.
"Disana, dibawa ke bawah bukit!" Tak ayal si bocah laki-laki ini segera
ditanyai. "Apa saja yang kau
lihat.?" "Mereka kurang lebih ada lima belas orang! beberapa orang membawa
buntalan dan menggotong peti. yang lainnya memanggul orang perempuan!"
"Berapa orang perempuan yang kau lihat.?"
tanya seorang laki-laki berkumis yang tubuhnya masih
belepotan lumpur.
"Ti... tiga! ya! aku cuma lihat tiga...! Salah satunya jelas sekali kakakku.. !
Kakakku... Sungkimah!
Oh. huuu... huuu... huuu... tolonglah dia! huuu...
hhuuu..." Selesai bercerita bocah ini menggerung menangis sambil berteriakteriak agar cepat menolong
kakak perempuannya yang dilarikan perampok.
Seorang wanita tua berlari-lari menghampiri,
ketika mendengar salah seorang anak gadisnya diculik
perampok, wanita ini menjerit parau karena terkejutnya, lalu jatuh pingsan tak sadarkan diri. Kembali ga-duhlah keadaan di dalam
desa itu. Saat itu sesosok tubuh berkelebat keluar dari
desa itu. Ternyata dialah Roro Centil. Sejak tadi dia mendengarkan penjelasan si
bocah laki-laki itu dari si-si sebuah pondok yang jendelanya telah jebol
beranta- kan. Roro memang sudah menduga kalau kejadian
itu didalangi oleh oknum perampok yang melakukan
kejahatan disiang hari, di saat kaum laki-laki kebanyakan bekerja di sawah atau mencangkul kebun.
Dalam beberapa kali melompat, terkejut Roro
Centil melihat beberapa sosok tubuh terkapar mandi
darah dalam keadaan tak bernyawa. Dapat diduga mereka adalah para pengejar yang telah jadi korban kekejian perampok itu.
Roro kertak gigi menahan geram. Tiba-tiba terdengar suara lengkingan merdunya yang panjang, dan
tubuhnya berkelebat melesat ke arah depan lalu lenyap terhalang pepohonan.
"Bedebah...! cepat sekali para perampok itu
menghilang!" Desis Roro karena tak menampak adanya bayangan orang dihadapannya.
Beberapa tempat di
sekitar situ segera diperiksanya, akan tetapi tetap tak dijumpai kawanan
perampok itu. Cuma beberapa
mayat yang tergeletak.
"Setan alas! perampokan ini pasti didalangi seorang yang berilmu tinggi...!" gumam Roro, setelah memeriksa setiap mayat yang
dijumpai mempunyai luka
sama. Yaitu lima buah lubang. di atas batok kepala.
Dan satu luka yang menembus dada, yang dipastikan
bukanlah akibat serangan senjata tajam.
"Serangan keji! Mengapa digunakan untuk
membunuh penduduk yang jelas tak berkepandaian
apa-apa?" tercenung Roro Centil. Siapakah tokoh keji itu" sentak Roro dalam
hati. Tapi tak lama dia sudah
berkelebat untuk mencari jejak lenyapnya para perampok itu. Sementara beberapa penduduk yang memergoki mayat-mayat para pengejar segera berkerumun dengan suara gaduh dan wajah-wajah pucat. Si laki-laki
bertelanjang dada yang berkumis tipis tadi ternyata telah tewas. Paculnya
tergeletak di sisinya. Dua orang pemuda bergolok juga mati dengan keadaan
mengerikan. Tergetar tubuh beberapa lelaki penduduk setelah melihat keadaan yang mengenaskan itu.
*** DUA Kapal itu sudah meluncur mengikuti arus. Berdiri digeladak paling depan adalah sesosok tubuh kekar berkepala gundul bagian tengahnya, sedangkan
rambut tipis yang hampir bisa dihitung dengan jari
tergerai sebatas bahu.
Laki-laki ini bertampang kaku, berkulit muka
kasar. Dan sebuah benjolan di pipinya ditumbuhi beberapa helai rambut. Sepasang matanya mirip mata
serigala. Tajam menatap dan bersinar, menampakkan
kekejaman. Dialah yang bergelar si Cakar Naga Setan.
Sudah beberapa bulan ini dia munculkan diri di sekitar sungai Mahakam. Nama aslinya adalah Kembayan.
Menjelang senja setelah melewati muara, perahu sudah merapat ke sebuah tempat yang berair agak
dangkal pada sebuah kelokan tersembunyi. Anak-anak
buahnya dari kawanan perampok itu segera berlompatan membawa barang-barang rampokan termasuk juga
tiga orang tawanan wanita.
"Cepat sedikit...! kumpulkan semua barangbarang ke gudang!" berkata si Cakar Naga Setan. Dan dia sendiri melompat
mendahului ketiga anak buahnya
yang memondong ketiga wanita.
"Bawa ketiganya ke kamar tahanan sementara.
Ingat! Tak kuizinkan kalian mengganggunya seperti kejadian yang lalu...!" ujarnya tegas.
"Baik, ketua...!" hampir berbareng ketiga anak buah itu menyahut. Di hadapan
mereka segera terlihat
sebaris pagar bambu yang rapat, yang tingginya dua
kali setinggi tubuh manusia. Pada pintu gerbang itu
terdapat tiga orang penjaga, yang segera membukakan
pintu lebar-lebar.
"Selamat datang Ketua...! Wah, agaknya hasil
kali ini cukup memuaskan!" berkata salah seorang seraya menjura.
"Aha...! mari aku yang bawa masuk!" berkata laki-laki pendek kekar yang segera
mendekati sang kawan, untuk ganti memondong tawanan wanita itu.
"Klampot!" memanggil sang Ketua melihat si
pendek kekar ini.
"Kau tak ikut bekerja! Padahal aku suruh kau
turut serta! hm, tak apalah...! tapi bagianmu adalah
yang terakhir!"
Laki-laki bernama Klampot ini cuma perlihatkan senyum pahit dan garuk-garuk kepalanya.
"Yah, tak apalah...! terakhir pun lumayan juga.
hehehe..." tertawa menyeringai laki-laki ini, lalu mengambil alih memondong
tawanan wanita itu Sementara
sang ketua terus melangkah ke dalam.
Ternyata di dalam pagar bambu yang rapat itu
terdapat sebuah bangunan rumah dari kayu yang cukup besar. Mempunyai dua wuwungan rumah. Dapat
dipastikan sebuah rumah agak kecil itulah tempat beristirahatnya sang ketua mereka si Cakar Naga Setan,
karena laki-laki jangkung bermata serigala itu memang menuju kesana.
Ketiga tawanan wanita segera dibawa masuk
kesatu ruangan yang berada di bagian belakang. Dua
buah kerangkeng berpagar jarang yang di belit dengan
tali-tali kuat sudah siap dibukakan pintunya untuk
menerima penghuni baru.
Setelah menjebloskan ketiga tawanan, pintu terali segera ditutup kembali dan dikunci dengan kuat
dengan sebatang kayu besar yang disilangkan mengganjal pintu. Tampak si pendek kekar itu jelalatkan
matanya menjalari wajah dan potongan tubuh ketiga
tawanan wanita. Sepanjang matanya membinar dan lidahnya mengeluarkan air liur Akan tetapi seorang penjaga berkata. "Maaf, pintu ruangan mau ditutup, silahkan keluar...!' "Hahaha hehehe... baik! baik! huuu." wajahnya
menyeringai, tapi segera cemberut, seraya garuk-garuk kepala mendongkol. Namun
Roro Centil 20 Kemelut Di Negara Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia memang tak berhak
mengganggu lebih dulu Kecuali mau kena damprat
sang Ketua mereka Masih untung kalau cuma didamprat. kalau kena hajar tentu akan lebih susah lagi.
BRAK! Pintu ruangan tempat tawanan segera
ditutup. Ketiga wanita itu tergolek dalam keadaan pingsan. Ternyata mereka telah dibius dengan sapu tangan
yang ditekapkan ke hidung masing-masing. Selang tak
lama salah seorang telah siuman dari pingsannya.
Mengetahui dirinya berada dalam kerangkeng
bersama kedua gadis lainnya, wanita ini mulai menangis. Tahulah dia bahwa kini dirinya telah dijadikan tawanan para perampok. Dan
tak di ketahuinya lagi dimana kini adanya. Akhirnya sang gadis ini terisak-isak menangis, setelah
berusaha membangunkan kedua
gadis yang dikenalnya satu kampung itu tak juga sadarkan diri. Malam semakin melarut, Suasana di dalam pagar mulai diterangi lampu-lampu gantung. Dua orang
laki-laki tampak memasuki ruangan tempat tawanan.
Dan memasang lampu disamping kerangkeng kayu
bertali kuat itu. Kiranya dua gadis itu sudah sadarkan diri. Mereka saling
berangkulan dengan menangis terisak. "Lepaskan aku...! Lepaskan aku dari tempat
ini, perampok laknat!" teriak salah seorang gadis yang bernama Sungkimah, dengan
menatap tajam pada dua
orang yang mendekati kerangkeng.
"Hahaha... sudahlah! Hentikan tangismu! kau
akan dipelihara disini baik-baik! Aku mana punya kekuasaan membebaskan kalian..." berkata si penjaga.
Saat itu terdengar suara. Tinggalkan ruangan ini,
anak-anak!" Segera keduanya menoleh. ternyata sang
Ketua mereka telah masuk ke ruangan itu melalui pintu tengah yang rupanya khusus tempat masuk si Cakar Naga Setan.
"Ba... baik Ketua...!" sahut salah seorang diantara mereka. Lalu bergegas kedua
penjaga itu ke luar.
Laki-laki ini menatap pada ketiga gadis itu dengan senyum kaku. Sepasang mata mulai liar menjalari
sekujur tubuh gadis bernama Sungkimah yang ternyata adalah gadis paling cantik diantara kedua gadis kawannya.
"Hehehe... kau akan mendapat giliran pertama
malam ini melayaniku!" berkata Kembayan alias Si Cakar Naga Setan.
"Nah, silahkan kau keluar...!"ujar laki-laki kepala perampok itu. Sepasang
lengannya telah bergerak
membuka pintu kerangkeng Akan tetapi justru gadis
itu berlari ke sudut ruangan dengan wajah pucat pias.
"Iblis...! aku tak sudi! bebaskan aku bebas kan
kami! rupanya kaulah si kepala perampok yang jahat
itu! Kalian memang manusia-manusia biadab! tidak...!
aku tak sudi! lebih baik mati dari pada melayani nafsu bejatmu!" berteriak marah
gadis itu. Rupanya diantara ketiga gadis, gadis bernama Sungkimah itulah yang
paling berani buka suara.
Sementara yang dua lagi gemetar ketakutan
tanpa bisa keluarkan suara kecuali menangis terisakisak ketakutan.
"Hahaha... hebat! keberanianmu memang boleh
dibanggakan! justru aku menyenangi gadis yang berani
sepertimu! Baiklah! terpaksa aku yang akan menyeret
mu sendiri! berkata si Cakar Naga Setan dengan tertawa menyeringai. Dan... BRAK! dia telah masuk ke dalam kerangkeng, lalu menutupkan kembali pintunya.
Sekali tubuhnya bergerak melompat, dia sudah tiba di
hadapan gadis itu. Lengannya meluncur menyambar
pinggang si gadis.
Akan tetapi di luar dugaan gadis itu mampu
mengelakkan diri. Tak heran, karena si Cakar Naga Setan menganggap gadis itu tak berkepandaian apa-apa
hingga dia lakukan sambaran dengan gerakan biasa
saja. Tak disangka kalau sambarannya luput. Hal itu
membuat wajahnya berubah beringas.
"Heh! kau akan tahu kelak siapa aku! tak seorangpun perempuan yang mampu lolos dari tanganku!
hehe..." tertawa sinis laki-laki ceriwis ini. Tiba-tiba...
Krep! BREET! BREEET...!
Sekali sambar pinggang gadis itu kena di terkam. Dan detik selanjutnya pakaian si gadis telah dicabik-cabik dengan menggeram gusar.
Terperangah kedua gadis itu seketika melihat
sekejap saja pakaian si gadis kawannya itu hampir
tanggal seluruhnya robek berserpihan.
Sedangkan si gadis itu sendiri ternganga dengan wajah pucat pias.
Merontalah si gadis itu dengan berteriak-teriak
histeris. Akan tetapi mana mampu dia melepaskan pelukan si Cakar Naga Setan yang sudah kalap" Lengan
si Cakar Naga cengkeram rambut gadis itu dengan
membentak. "Berteriaklah setinggi langit! Atau kau akan kehilangan rambutmu yang bagus ini berikut kulit kepalamu.!" Menghadapi perlakuan yang kejam ini terpaksa si gadis menahan rasa
sakitnya dengan menggigit bibirnya hingga berdarah.
Dan dengan tertawa menyeringai si Cakar Naga
Setan mengelus dada si gadis serta mempermainkannya. "Hahaha... bagus! kukira kalau sejak tadi kau menurut apa kataku, tentu tak
kau alami hal seperti
ini!" berkata demikian Kembayan lepaskan cengkeraman lengannya pada rambut si gadis. Dan sepasang
matanya membelalak dengan berbinar-binar menjalari
sekujur tubuh Sungkimah dari ujung kaki sampai
ujung rambut. Gadis ini berdiri menyandar disudut kerangkeng dengan pejamkan sepasang matanya. Isaknya dicobanya ditahan sekuat hati. Sementara air matanya
meleleh membasahi sepasang pipinya.
Kembayan tampaknya tak perdulikan semuanya itu. Bahkan dengan tertawa menyeringai segera
sepasang lengannya bergerak menelusuri setiap lekuk
tubuh gadis itu dengan napas mendengus-dengus berdesahan. Menggigil kedua tubuh gadis itu melihat adegan
panas yang terjadi di depan mata.
"Setan keparat...! manusia iblis tengik! perbuatanmu sungguh amat menjijikkan...!!!" tiba-tiba terdengar suara bentakan keras
diiringi suara gaduh.
BRRRAKKK...! Pintu ruangan itu jebol berantakan. Dan...
KRRAAKK! Pintu kerangkeng kayu itupun menjeblak terbuka hancur berkepingan. Sekejap kemudian di situ
telah tegak berdiri seorang dara jelita berpakaian persilatan, yang tak lain
dari Roro Centil adanya.
Kalau saja pada saat itu ada hantu yang muncul tidaklah membuat si Cakar Naga Setan terkejut.
Akan tetapi munculnya Roro Centil ternyata membuat
nyalinya seperti terbang seketika. Lengannya lepaskan pelukannya pada pinggang
si gadis, dan melompat ke
sudut dengan wajah pucat.
"Heh, kiranya kau manusianya yang menjadi
biang keladi kepala rampok" bagus! bagus...! kau memang manusia penipu tak punya malu, kepala perampok tengik!"
Selesai membentak, tubuh Roro berkelebat cepat, tahu-tahu... BLUK! KRRAAKKK. Sukar dilihat kecepatan Roro bergerak. Karena sekejap saja tubuh si
Cakar Naga Setan terlempar terkena hantaman lengan
Roro, yang langsung membuat kerangkeng kayu itu
patah-patah terkena benturan tubuhnya dengan menimbulkan suara gaduh.
Serangan Roro Centil memang dapat dipapaki
oleh laki-laki kepala rampok ini, akan tetapi tak urang toh tubuhnya terlempar
juga karena tenaga dalam Ro-ro berada di atas kekuatan tenaga dalamnya.
*** TIGA AKAN TETAPI tak urung Roro Centil terhuyung
juga ke belakang dua tindak. Lengannya terasa kesemutan. Tahulah dia kalau orang ini telah mengalami
kemajuan pesat. Ternyata Roro memang pernah bertemu dan bertarung dengan laki-laki bernama Kembayan ini. Bahkan telah pula mengampuni jiwanya.
Sungguh sama sekali Roro tak menyangka kalau bisa
bertemu untuk yang kedua kalinya. Dan ternyata
orang yang telah pernah menyembah-nyembah mencium ujung kakinya ini masih juga melakukan kejahatan. Kejadian enam bulan yang lalu adalah, ketika
Roro berada di Pulau Laut. (wilayah Kalimantan Selatan). Menurutkan suara gaib dari gurunya ketika Roro berada di ujung bagian timur Pulau Jawa, Roro diti-tahkan menuju ke arah
utara. Roro harus mencari satu benda mustika diseberang Laut di satu pulau yaitu di wilayah utara dari Pulau Jawa. Suara gaib
itu lenyap tanpa terdengar lagi ketika Roro tiba di Pulau Laut. Roro sendiri tak
mengetahui benda mustika apakah yang dibisikkan suara
gaib gurunya itu. Akan tetapi tekad bulat Roro telah tertanam kuat untuk
mendapatkan benda mustika itu.
Demikianlah di Pulau Laut Roro Centil terpaksa
harus menahan dulu langkahnya untuk bersemedhi
mencari ilham atau petunjuk nalurinya.
Sebulan sudah Roro berdiam disana dengan ditemani si Tutul yang selalu setia mengikutinya dan
membawa kemana saja menuruti keinginan hatinya.
Agaknya Roro memang sudah berjodoh untuk memiliki
siluman harimau Tutul sebagai tunggangannya itu,
hingga memudahkan Roro dalam petualangannya.
Selama itu Roro tak lupa untuk memperdalam
ilmu-ilmunya. Bahkan di luar sadar Roro telah memadukan beberapa jurus ilmu warisan dari gurunya si
Manusia Banci dengan ilmu ciptaannya sendiri.
Sayang jurus aneh itu dilakukan dalam keadaan tidak
sadar. Karena Roro melakukannya dalam keadaan samadhi, dan dalam keadaan separuh tidur.
Kejadiannya adalah demikian...
Hari ketiga puluh di saat Roro lakukan semadi
dalam sebuah lorong yang dibuatnya sendiri dengan
tumpukan batu-batu karang. Tanpa diketahui Roro di
ujung pulau telah mendarat sebuah perahu pada malam yang diterangi cahaya bulan sabit.
Dua sosok tubuh melompat turun. Ternyata
dua orang laki-laki. Seorang bertubuh pendek kekar
dan seorang lagi agak jangkung berkulit hitam. Ternya-ta dialah si Cakar Naga
Setan dan seorang anak buahnya. Kedua orang itu berbisik-bisik pelahan. Suaranya hanya bisa terdengar oleh
mereka berdua. "Sssst, dimana kau melihat wanita cantik itu
berada?" tanya Kembayan. Klampot tertawa menyeringai.
"Hehehe... sabarlah! Masakan aku berdusta Ketua" Asalkan ada perjanjian dulu untuk yang ini adalah bagianku terlebih dulu, karena aku yang memberi
tahu...!" Mendelik sepasang mata si Cakar Naga Setan.
"Kunyuk!" desisnya. "Kau seorang anak buah berani bikin usul dengan segala
perjanjian tai kucing!
benar-benar kau tak menghargai ku...!"
Klampot kerutkan tubuhnya. Ngeri juga dia kalau sang Ketua jadi marah. Akan tetapi laki-laki pendek kekar ini memang pandai mengambil hati ketuanya. Segera dia berkata lagi.
"Bukan begitu, Ketua...! selama aku mengikut
padamu, ku nilai kau adalah seorang ketua yang baik,
yang menghargai ku jerih payah anak buahnya.
Bukankah cita-cita Ketua adalah menjadi seorang raja yang punya banyak kekuasaan. Betapa banyak para Raja-raja yang jatuh dari singgasana karena tak menghargai bawahannya,
hingga si bawahan justru membenci sikap Raja semacam itu! Hingga tak jarang terjadi pemberontakan-pemberontakan yang
mengancam kedudukan Raja dan kekuasaannya. Akhirnya... berakhir dengan kejatuhan kekuasaan sang
Raja! Nah, aku sebagai bawahanmu cuma memberi
contoh saja. Kalau untuk masalah ini selanjutnya adalah terserah Ketua..." Ujar Klampot berbisik.
Merah padam wajah si Cakar Naga Setan. Giginya gemeletuk menahan geram. Akan tetapi dia cuma
bisa manggut-manggut. Kemendongkolan pada anak
buahnya mendadak luntur.
"Hm, benar juga pendapatmu, Klampot! baiklah, untuk hal ini aku mengalah...!" ujar Kembayan.
Agaknya termakan juga dia oleh kata-kata Klampot
yang dinilainya benar.
Klampot tersenyum penuh kemenangan. Hatinya membatin. "Hehehe... jarang ada Ketua yang semacam ini...!"
Tak lama mereka dengan berindap-indap segera
merayap mendekati ke tengah pulau.
Benar saja setelah melewati bukit-bukit kecil,
segera terlihat susunan batu-batu karang di ujung
agak sebelah dalam pulau, tempat yang dihuni Roro
Centil. Tampaknya Roro memang tak mengetahui kedatangan mereka, karena sudah beberapa malam berturut-turut dia kurang tidur. Dalam duduk bersemadhi
itu ternyata Roro setengah tertidur. Tapi nalurinya
memang teramat peka.
Bahkan dalam keadaan mimpi, Roro tengah berusaha memadukan jurus-jurus baru ciptaannya dengan jurus-jurus yang diwariskan gurunya si Manusia
Banci. Sementara itu dua sosok tubuh memperhatikan
Roro dengan pandangan aneh, karena melihat sikap
orang yang bersemadhi itu gerak-gerakkan sepasang
lengannya dengan mata terpejam Si Cakar Naga Setan
waspada khawatir kedatangannya telah diketahui, tapi
nyatanya tidak Sepasang lengan itu kembali terhenti.
Dan laki-laki itu memberi isyarat untuk menyergap.
Roro Centil 20 Kemelut Di Negara Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akan tetapi apa yang terjadi kemudian..." Tahu-tahu
Roro mengigau. Sepasang lengannya bergerak memutar, lalu menyodok ke depan dengan gerakan seperti
orang menggeliat, seraya sepasang lengannya menggebrak ke atas batu yang diduduki.
Hebat akibatnya. Ternyata kedua orang itu tahu-tahu rasakan tubuhnya seperti disentakkan satu
gelombang tenaga tak terlihat. Dan terpental ke atas tanpa dapat dicegah lagi...
Terdengar suara teriakan tertahan si Cakar Naga Setan dan anak buahnya. Akan tetapi yang membuat aneh, adalah kedua tubuh itu tak turun lagi ke
bawah. Tetap tergantung di udara bagai di sangga dua
batang galah yang tak kelihatan.
Membeliak kedua pasang mata laki-laki ceriwis
pengganggu wanita itu. Sukar untuk dipercaya, ilmu
apakah yang digunakan Roro..." Sementara keduanya
berusaha gerakkan kaki dan tangan. Tapi serasa tenaganya hilang musnah. Bahkan untuk bernafas pun sulit rasanya. Mengeluh si Cakar Naga Setan. Keringat
dingin pun bercucuran di sekujur tubuh. Dan megapmegap nafasnya bagai orang yang kelelap di dalam air.
Sementara Roro Centil justru tak mengetahui sama sekali. Dara Pantai Selatan ini tampak tersenyum, lalu
tertawa seperti mengigau. Dan... memanglah dia tengah mengigau. "Hihihi... jurus ini kunamakan jurus Kosongkan Perut Menahan Lapar, guru..! hebat bukan?"
Ternyata Roro mengigau. Dan dalam mimpinya
dia berbicara dengan gurunya si Manusia Banci. Tentu
saja membuat si Cakar Naga Setan terperangah, dan
takutnya bukan main. Wanita cantik yang masih begini muda sudah punya ilmu setinggi langit, apa lagi gurunya..." pikirnya.
Sementara dilihatnya Klampot anak buahnya itu sudah benar-benar kehabisan napas,
dan terkulai tak sadarkan diri. Beberapa saat lagi maut
akan segera menjemputnya. Kembayan alias si Cakar
Naga Setan ini masih mampu bertahan, akan tetapi belum lagi sepenanak nasi wajahnya sudah berubah pucat bagai mayat. Tak ada lagi udara yang akan dihirupnya. Memang membuat dia heran setengah mati,
karena tak adanya udara sama sekali disekelilingnya.
Angin semilir yang berhembus dari arah laut seolah
terbendung tak bisa lewat di tempat itu.
Berteriaklah si Cakar Naga Setan demi menolong jiwanya. "No...nona pendekar perkasa...! ampunilah
aku...! ampunilah jiwaku...! Tut... tut...tur... turunkanlah aaakk...akkuu...
hhhhh." Roro Centil tiba-tiba terbangun dari tidurnya,
seraya mengucak-ucak kedua matanya. Telinganya seperti mendengar orang mengeluh, dan meratap memohon ampun. "Mimpikah aku?" pikir Roro. Akan tetapi pada saat itu...
BLUK! BLUK! Dua sosok tubuh jatuh di kiri-kanannya bagaikan suara jatuhnya dua buah nangka masak. Roro
terkejut dan melompat kaget, seraya berteriak.
"Aaaaiiii...!?". Sekejap kakinya telah melompat dan hinggap di atas batu karang.
Dilihatnya dua sosok tubuh manusia bagaikan
terjatuh dari langit saja nampaknya. Tergolek di dalam lorong batu buatannya.
Masih untung bagian dasarnya
adalah pasir, kalau batu karang yang keras itu, niscaya kalau tidak patah tulang. tentu patah leher kedua manusia itu.
Kalau Klampot si anak buah laki-laki botak di
tengah, berambut tipis itu jatuh dalam keadaan masih
tak sadarkan diri, adalah si Cakar Naga Setan mengaduh kesakitan. Akan tetapi dia dapat kembali bernapas... Dengan heran Roro Centil melompat kembali ke
hadapan kedua orang itu, seraya bentaknya.
"Manusia-manusia edan dari mana kalian berani mengganggu semadhiku?" Pucat pias wajah si Cakar Naga Setan. Akan tetapi
tak ayal dia segera menyembah dengan tubuh bergetaran dan suara yang
tersendat menggeletar bagai orang terkena demam panas. "Aa... am... ampunilah nyawa hamba nona Pe...
Pendekar..." Ucapnya dengan jantung
berdetak keras. Entah apa kelanjutannya, apakah nyawanya masih bisa dipertahankan menghadapi
gadis muda berilmu tinggi yang galak ini"
"Hamba tak berani lagi mengganggu wanita....!
hamba bersumpah, nona Pendekar...! sungguh mataku
buta tak mengetahui dalamnya lautan, tingginya langit!" Tentu saja kata-kata itu membuat Roro tertegun.
Tahulah dia kalau kedua manusia itu memang bermaksud jahat nadanya selagi dia ketiduran dalam semadhi. "Aneh, orang ini! tak ku apa-apakan tahu-tahu minta ampun. Lalu cara
bagaimana dia bisa berjatu-han kemari" padahal aku tak mengetahui kedatangannya..." Berkata Roro dalam hati. Akan tetapi setelah berpikir sejenak, segera
dia tersenyum. "He" ku lihat, dan ku rasakan menurut naluri ku di sekitar sini
tak ada orang lain. Berarti apakah dia telah kena serangan jurus aneh dalam mimpi
ku?" Roro tak dapat berpikir banyak. Orang sudah minta ampun, mengapa harus
tanya ini-itu" pikirnya. "Kesempatan ini jarang ada!
dan satu kejadian aneh telah menolongku! bagus! aku
harus berpura-pura seolah memang telah mempecundangi manusia ini!"
Berpikir demikian, segera Roro umbar suara
tertawa mengikik.
"Hihi... hihi... kau telah berani mengganggu
orang semadhi, tentu ada hukuman yang berat! apa
lagi kalian berniat jahat!" Ujar Roro dengan suara dingin.
Menggeletar sekujur tubuh si Cakar Naga Setan. Seraya ucapnya terbata-bata.
"Ampunilah... selembar nya... nyawa hamba ini,
nona Pendekar..." Melihat tubuh orang menggigil geme-taran dan nafasnya pun
masih megap-megap tampaknya Roro merasa kasihan juga.
"Urusan mengampuni sih gampang! sebutkan
dulu siapa kau" Dan siapa pula monyet pendek yang
pingsan itu! Lalu ceritakan apa tujuan kalian ke tempat ini!" bentak Roro.
"Namaku Kembayan...!" menerangkan si Cakar
Naga Setan dengan lesu. Nyalinya sudah lenyap terhembus angin. Karena sekujur tubuhnya boleh dikatakan seperti tak bertenaga lagi.
"Dia ini adalah sahabatku... bernama Klampot.
Kami tak sengaja sampai kemari. Tadinya kami berniat
memancing ikan di malam hari. Tapi kami lupa membawa kail. Ketika mendarat telah melihat nona disini.!
Kami mengakui bersalah, nona Pendekar! janganlah
hukum kami... kasihan anak istri kami menunggu dirumah. Siapa yang memberi makan kalau hamba mati...?" Tutur Kembayan. Tentu saja separuh katakatanya adalah dusta. Akan tetapi tampaknya Roro tak
mau panjang lebar menanyakan segala macam.
"Baiklah! Ku ampuni nyawamu! segeralah angkat kaki dari sini sebelum aku merobah keputusan!"
bentak Roro. "Te... terima kasih! terima kasih... nona Pendekar...!" ucap Kembayan seraya menyembah-nyembah
hormat. Hatinya bersorak girang. Akan tetapi tiba-tiba dia berkata.
"Nona Pendekar telah mengampuni nyawaku,
apakah guru nona bisa biarkan aku pergi dengan selamat?" tanyanya.
Lagi-lagi Roro dibuat memikir. Untunglah Roro
teringat akan suara mengigaunya, dan terpikir tentang mimpi anehnya dalam
semadhi. Segera dia menyahut
lantang. "Guruku sudah pergi sejak tadi. Silahkan kau
merat! dan bawa kawanmu ini...!"
"Baik, baik...! Terima kasih, nona Pendekar."
Ucap si Cakar Naga Setan. Lalu terhuyung-huyung
mendekati Klampot.
Ternyata Klampot pun sudah tersadar dari
pingsannya. Dan sejak tadi mendengarkan pembicaraan dengan hati kebat-kebit. Ketika tubuhnya digoyang-goyang, dia pura-pura baru saja membuka matanya Lalu buru-buru menyembah pada Roro dengan
gemetar. Roro tak pedulikan kedua orang itu, segera
kembali duduk bersila untuk teruskan semadhi. Sementara benaknya bekerja, kejadian apakah tadi hingga kedua orang ini bisa digagalkan niat jahatnya"
Tak menunggu perintah sampai tiga kali, segera
kedua manusia itu tertatih-tatih mendekati perahu
yang ditambatkan di sebelah ujung pulau. Dan selanjutnya tinggalkan pulau itu dengan hati lega...
Demikianlah kisah yang dialami Roro. Tentu saja dia mengenali wajah si laki-laki bernama Kembayan
itu. Ternyata Roro telah mencari jejak para perampok dengan penasaran. Dan berhasil mengetahui sebuah perahu besar di tempat persembunyian, yang baru saja ditambatkan.
Dengan melompati pagar bambu, Roro segera
tiba di dalam markas para perampok di malam hari
itu... *** EMPAT KEMUNCULAN RORO CEJSTIL itu tentu saja
membuat si Cakar Naga Setan terkejut setengah mati.
Tiga bulan sudah sejak kejadian itu, tak pernah lagi
dia mendengar dimana kabarnya wanita muda yang
aneh dan berilmu tinggi itu berada. Hingga diam-diam
si Cakar Naga Setan segera membentuk lagi anggota
komplotan perampoknya.
Dan selama dua bulan itulah si Cakar Naga Setan mulai beraksi dengan segala kejahatannya.
"Bangunlah, Kembayan! kukira kedokmu kini
sudah terbuka! Kali ini tak mungkin kau bisa berdusta untuk yang kedua kalinya!"
bentak Roro dengan suara dingin mencekam.
Mengeluh si Cakar Naga Setan. "Celaka! hari ini
habislah aku!" berkata dia dalam hati. Tiba-tiba tubuhnya bergerak melompat
menyambar si gadis bernama Sungkimah itu. Dibawanya tubuh gadis itu bergulingan. Terpekik gadis itu. Sementara itu api obor telah membakar ruangan.
Roro terkejut juga karena tak
menyangka kalau si Cakar Naga Setan akan berbuat
licik demikian, menjadikan si gadis tawanannya sebagai sandera. Melihat api berkobar dan kedua gadis tawanan
itu berteriak ketakutan, Roro segera kibaskan lengannya memadamkan api.
Namun saat itu si Cakar Naga Setan telah melesat masuk ke dalam ruangan melalui pintu khusus.
Brak! sekejap pintu itu sudah tertutup kembali. Lengan Roro bergerak menghantam dinding rumah papan
itu hingga jebol berantakan. "Jangan lari pengecut bu-suk!" teriak Roro. Namun
bayangan si Cakar Naga Setan sudah tak kelihatan lagi.
Betapa geramnya Roro Centil. Terdengar suara
lengkingan nyaring wanita pantai selatan itu. Tiba-tiba tubuhnya melesat
mendobrak genting wuwungan.
KRRRAAAK...! Sesaat Roro sudah berdiri di atas wuwungan
rumah. Benar saja! Kembayan berada di atas, dan baru saja sembulkan kepalanya dari sebuah lubang menganga di atas wuwungan. Sepasang mata Roro ternyata
telah melihat dengan jeli sekali, walau sinar bulan tak cukup menerangi dengan
jelas. Kakinya bergerak men-congkel pecahan genting. Dan.... TAS!
Roro telah menendangnya dengan ujung terompah. Pecahan genting itu memecah menjadi beberapa
bagian, dan meluruk ke arah kepala si Cakar Naga Setan. Terbelalak mata laki-laki itu. Trak! tak! tak!
Untung dia cepat menyeplos kembali ke dalam
lubang, tertambat sedikit saja pecahan genting itu
akan menembus batok kepalanya.
Namun Roro sudah mengetahui dimana si Cakar Naga Setan bersembunyi. Segera Roro berteriak.
"Hei! lutung gundul! Aku tak perdulikan gadis
itu mampus atau tidak! Kalau kau tak keluar akan
kuhancurkan rumah ini berikut semua yang ada di dalamnya! kecuali kau mau kuajak berdamai! Segera kau
turunlah! Seraya berkata, Roro Centil melompat ke
bawah. Dan hinggap ditanah dengan gerakan ringan.
Akan tetapi baru saja kakinya menyentuh tanah, telah membersit belasan senjata rahasia meluruk
ke arahnya. "Keparat! keroco-keroco sialan! Kalian mencari
mati!" bentak Roro. Gadis pantai selatan ini
putarkan tubuhnya. Rambutnya yang terurai
bergerak mengibas. Tak menunggu lama lagi empat sosok tubuh terjungkal roboh, termakan senjata-senjata
rahasia yang dilontarkan mereka sendiri. yang telah
berbalik meminta korban majikannya.
Lima orang perampok anak buah si Cakar Naga
Setan tampak ke sisi dinding rumah. Roro perdengarkan dengusan di hidung. Tubuhnya tiba-tiba melesat
lenyap. Dan... sukar diikuti oleh mata, karena tak lama
kemudian kelima sosok tubuh itu terlempar ke udara
dengan jeritan-jeritan kematian. Dan tubuh-tubuh itu
jatuh bergedebukan ke tanah untuk melepaskan nyawa. Seketika keringat dingin si Cakar Naga Setan
mencucur deras membanjir di sekujur tubuh tiada
henti, di tempat persembunyiannya.
Laksana berhadapan dengan Malaikat Maut saja layaknya. Bergetar sekujur tubuh laki-laki itu dengan mata membeliak
menyaksikan anak buah nya bagaikan daun-daun kering diterbangkan angin bergelimpangan tewas.
"Tungguuu...!" teriaknya seraya melompat keluar. "Bagus!" berkata Roro seraya
Roro Centil 20 Kemelut Di Negara Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah palingkan wajahnya menatap si Cakar Naga Setan. Bibir wanita
ini menampakkan senyum yang mengerikan dalam tatapan matanya. "Kau mau kuajak berdamai?" tanya Roro dengan bertolak pinggang.
"Yy... ya...! aku bersedia menyerahkan semua
harta yang ku rampok! Dan kita... kita berdamai." ujar si Cakar Naga Setan.
"Bagus!" segera kumpulkan barang-barang! perintahkan sisa-sisa anak buahmu
mengumpulkannya
di halaman. Dan kau tak kuperkenankan melangkah
sedikitpun dari tempatmu!" berkata Roro dengan suara berpengaruh.
"Ba... baik! tapi dengan syarat! Aku dan sisa
anak buahku kau perkenankan meninggalkan tempat
ini!" "He..." nanti dulu! aku tak butuh segala macam
syarat! Kau telah membunuh beberapa orang desa
dengan keji! Mereka tak bersalah! Kalian telah pula
membakar rumah dan merampok harta.
Selain itu pula kau telah mempermainkan
kaum ku! Entah berapa banyak perempuan yang telah
kau perlakukan dengan seenak perutmu! Rupanya tak
ada jalan lain selain kau serahkan dirimu! Aku akan
membawamu kepada yang berhak menentukan hukuman apa yang terbaik buat kalian terutama kau, Cakar
Naga Setan! Atau kau mau tunjukkan kehebatan Cakar Naga kentutmu itu di hadapan ku?"
Merah padam seketika wajah laki-laki ini.
Menghadapi Roro ternyata tidaklah mudah.
Apalagi dia pernah mengibuli si nona Pendekar
ini. Untuk melepaskan diri kedua kalinya cukup sulit
rasanya. Hal mana membuat dia jadi nekat.
Tiba-tiba dengan menggerung keras laki-laki
kepala perampok ini menerjang lenyaplah sudah rasa
takutnya. Lupalah dia akan kejadian yang telah membuat dia mengapung di udara pada beberapa bulan
yang lalu. Sepasang cakarnya menyambar bagaikan
puluhan cakar maut yang bersiutan mengancam jiwa
sang gadis Pendekar ini.
Akan tetapi Roro Centil cukup dengan pakai jurus Bidadari Mabuk Kepayang, loloslah dia dan beberapa serangan berbahaya.
Hal mana membuat si Cakar Naga Setan semakin menjadi-jadi kemarahannya.
Tiba-tiba dia merobah gerakan silatnya. Tubuhnya berkelebatan bagai bayangan. Inilah jurus Seribu Bayangan! jurus yang menjadi andalannya Sementara dalam berkelebatan itu sesekali cakarnya menyambar batok kepala lawan. Terkejut juga Roro Centil menghadapi jurus ini.
Karena dia harus konsentrasi-kan indranya untuk mengetahui mana tubuh lawan
yang asli Dua puluh jurus berlalu. Ternyata Roro masih
dapat mengimbangi dengan kegesitannya, bahkan sengaja mengulur waktu agar si Cakar Naga Setan kehabisan napas, karena kecapaian.
Dan pada saat yang tepat, Roro lakukan serangan telak menotok tiga jalan darah lawan. Robohlah si Cakar Naga Setan dengan
memekik tertahan. Melihat
ketuanya dapat dipecundangi, segera sisa-sisa kawanan perampok itu munculkan diri untuk menyerah.
Wajah-wajah mereka tampak pucat dalam cahaya bulan yang telah bersitkan cahaya terangnya.
Masing-masing berjongkok dengan memegangi kepala
dengan suara menghiba minta diampunkan jiwanya.
"Semua yang berada di dalam segera keluar!
kalau berani melarikan diri, jangan salahkan aku kalau aku bertindak kejam!" teriak Roro dengan suara lantang. Akan tetapi memang
tak ada sisa lagi dari delapan perampok anak buah si Cakar Naga Setan. Kecuali seorang yang membandel melarikan diri ke dalam
gelap. Dialah Klampot! laki-laki kekar ini memilih melarikan diri menuju keluar
pagar melalui belakang rumah, dengan memondong seorang gadis tawanan. Yaitu Sungkimah. Akan tetapi pendengaran Roro kali ini
sudah digunakan dengan tajam, mendengar dari jarak
jauh Dan Roro segera mengetahui jejak langkahnya Tiba-tiba tubuh si Pendekar Wanita ini berkelebat....
Kedelapan perampok terbelalak ternganga. Dan
beberapa kejap kemudian telah terdengar jeritan parau laki-laki bernama Klampot
itu. Kepala mereka semua menengadah ke atas.
Ternyata sesosok tubuh terlempar melambung ke udara dengan keluarkan teriakan parau.
Dan jatuh berdebuk tak jauh dari hadapan mereka. Bergidik ngeri kedelapan perampok ini melihat
Klampot tak berkutik lagi dalam keadaan tulang-tulang remuk. Terdengar suara
tertawa mengikik Roro Centil
yang membangunkan bulu roma. Dan... tahu-tahu
bersyiur segelombang angin menerpa tubuh kedelapan
anak buah si Cakar Naga Setan. Terdengar suarasuara keluhannya diiringi bergedebukan jatuh kedelapan orang itu. Roro muncul kembali dengan memanggul tubuh si gadis bernama Sungkimah itu dipundaknya. "Hihihi... hari sudah malam, kalian beristira-hatlah disini dulu. Besok
kalian harus bekerja mengantar barang rampokan itu ke desa korban kalian,
dan mengembalikan ketiga gadis tawanan yang kalian
culik!" ujar Roro. Kedelapan orang itu cuma manggut-manggut dan menyahut dengan
suara mengeluh.
"Baik...! ba... baik...!" Akan tetapi disamping mengeluh, hati mereka bergirang
karena Roro tak
membunuhnya. Segelombang angin yang menerpa cuma membuat urat-urat tubuh mereka menjadi kaku
tanpa bisa dapat digerakkan lagi.
Tahulah mereka kalau si wanita Pendekar telah
lancarkan jurus menotok jarak jauh yang amat hebat.
Setelah perdengarkan tertawa dingin dan ancamannya yang membuat tubuh kedelapan orang itu
bergidik, segera beranjak melangkah menuju rumah
tinggal para perampok itu. Ketika melewati tubuh si
Cakar Naga Setan Roro mendenguskan suara di hidung. Tiga totokannya telah melumpuhkan "Naga" ini untuk tak dapat berkutik
lagi. Akan tetapi terperanjat Roro ketika melihat dara mengalir dari mulut
Kembayan. Diantara darah yang bersimbah itu tampak sepotong lidah yang telah putus. Biji mata laki-laki ini membeliak tak berkedip
lagi, yang nampak hanya putihnya saja. Ketika Roro memperlihatkan dengan jelas
ternyata si Cakar Naga Setan ini telah tewas. Dia bunuh diri dengan menggigit lidahnya sendiri...!
"Manusia bodoh! rupanya kau mengambil jalan
"terbaik" menurut pendapatmu...!" Tubuh Roro berkelebat untuk segera memasuki
rumah besar itu. Dan
pada keesokan harinya perahu besar milik perampok
itu sudah mengarungi sungai Mahakam untuk mengembalikan harta rampokan, serta mengembalikan ketiga gadis tawanan itu. Tentu saja perjalanan itu di
bawah pengawalan Roro Centil. Dara Perkasa ini berdiri di depan geladak, berpegang pada tali tiang layar dengan gagahnya. Sementara
kedelapan orang bekas
anak buah si Cakar Naga Setan itu membantu mendayung dan memegang kemudi.
Sebenarnya hati kedelapan orang itu agak kebat-kebit karena khawatir akan balasan dari penduduk
untuk memberi hukuman pada mereka. Akan tetapi
Roro telah menjamin keselamatannya. Dan memang
sebenarnya mereka tak mempunyai kesalahan yang
terlalu berat. Perahu besar itu terus meluncur ke arah suara.
Sungai Mahakam yang bersih jernih itu tiba-tiba bergolak menyibak... Dan puluhan ekor buaya putih bermunculan dipermukaan air. Tentu saja membuat kedelapan orang pendayung perahu terperangah kaget.
"Celaka..! kita tak dapat teruskan perjalanan!
Entah ada kesalahan apa pada kami, hingga tak seperti biasanya "mereka" mengganggu...!" Berkata salah seorang pada Roro dengan
wajah pucat. Roro Centil
kerutkan keningnya memandang ke depan, dimana
puluhan ekor buaya putih itu seperti sengaja menghadang. "Gulungkan layar! kita menepi!" perintah Roro.
Perintah segera dilaksanakan. Sementara ketiga wanita tawanan yang akan
dipulangkan itu juga memandang
dengan wajah pucat. Akan tetapi tiba-tiba perahu besar itu bergerak memutar, seperti terbawa pusaran air dari bawah permukaan.
Lalu perahu itupun oleng ke kiri dan ke kanan.
Tentu saja teriakan-teriakan ketakutan terdengar dari mulut ketiga gadis. Begitu
kerasnya oleng perahu
hingga seorang dari kedelapan pendayung itu terjungkal masuk sungai.
"Tolooong...! haep..." teriaknya, seraya berusaha berenang ke perahu. Akan
tetapi sekejap tubuhnya telah lenyap. Terperanjat Roro. Baru sekali ini mengalami kejadian aneh semacam itu.
Putaran perahu itu semakin cepat, dan semakin oleng badan perahu. Dua orang anak buah si Cakar Naga Setan kembali perdengarkan teriakannya,
Tubuh mereka terjungkal ke sungai. Lalu lenyap ditelan ombak. Apakah yang diperbuat Roro" Saat itu juga
dia sudah sambar tubuh dua orang gadis untuk melompat ke darat. Baru saja Roro jejakkan kakinya ke
tanah. Terdengar suara jeritan saling susul, ketika sekejap perahu besar itu
telah terbalik. Lalu tenggelam bagaikan disedot masuk ke dalam air yang
bergulung-gulung. Teriakan-teriakan manusia yang masih berada
di dalam perahu besar itu sekejap saja lenyap, bersama lenyapnya perahu besar itu.
Terbelalak sepasang mata Roro memandangnya. Diam-diam bergidik juga tengkuk Roro. "Kasihan, aku tak dapat menyelamatkan
gadis yang satu lagi!"
berkata Roro dalam hati.
Anehnya puluhan buaya putih yang tadi terlihat bermunculan di atas permukaan air sungai telah
lenyap. Air sungai kembali mengalir tenang, meninggalkan gelembung-gelembung air di bekas tenggelamnya perahu. "Kejadian aneh ini harus diselidiki...! Akan tetapi aku harus mengantar kedua gadis ini dulu ke desanya...!" pikir Roro dalam benaknya. Lalu tatap kedua
gadis itu, yang diantaranya terdapat Sungkimah. Tampak wajah-wajah pucat mereka. Sesaat Roro menatap
ke atas tebing dengan tengadahkan kepala. Tiba-tiba
lengannya bergerak meraih kedua pinggang si dua gadis itu. Dan...
Sstt... tap! Roro Centil telah membawanya melesat ke atas tebing dan hinggapkan kaki dipuncak batu dengan ringan.
Kedua gadis itu menahan napas dan menutup
matanya dengan perasaan ngeri. Selanjutnya mereka
cuma merasakan tubuhnya meluncur cepat sekali. Ketika kedua gadis itu membuka matanya, ternyata telah
berada di tengah desanya. Tentu saja kemunculan kedua gadis itu bersama seorang wanita muda yang tengah menjadi topik pembicaraan di setiap sudut desa
itu membuat penduduk jadi terkejut. Akan tetapi juga
bergirang, karena melihat kembalinya kedua gadis itu
bersama si wanita Pendekar.
Seorang bocah laki-laki berusia kurang lebih 10
tahun segera mengenali kakaknya. Dan... berlarilah
dia memburu ke arahnya.
"Kakak...! kakaaak...!" teriaknya penuh haru.
Gadis yang dipanggilnya itu ternyata mengenali adiknya. Dan diapun berlari untuk memburu sang adik.
Selanjutnya keduanya telah berpelukan dengan menangis terharu. Sementara gadis yang satunya segera
mendekati pada Roro, seraya berkata.
"Kakak Pendekar...! terima kasih atas bantuan
dan pertolongan kakak...! Entah dengan apa kami
membalas budi anda...!" ucapnya dengan air mata ber-linang. "Roro manggutmanggut dengan tersenyum.
"Sudahlah...! pergilah kau temui sanak famili mu! dan ceritakan, bahwa aku tak
dapat menyelamatkan seorang dari kawanmu yang terculik, karena kejadian
aneh di muara sungai itu...!"
Selesai berkata, tubuh Roro berkelebat. dan lenyap dari pandangan mata penduduk.
Sungkimah lepaskan pelukannya pada sang
adik. Akan tetapi ketika menoleh ke arah Roro, kecewa dan tertegunlah dia,
karena tak menampak si Pendekar Wanita yang telah menolongnya itu.
"Dia telah pergi, Sungkimah...!" ucap gadis itu.
"Ah, betapa cepatnya...! betapa hebatnya...!
sayang aku belum sempat ucapkan terima kasih untuk
yang kedua kalinya...!" ucap Sungkimah dengan hati masygul. Sementara itu
seorang wanita tua telah berlari-lari ke arahnya.
"Anakku... aaa...aanakku...! kau... kau selamat..." Oh, Tuhan... syukurlah! syukurlah. ." berkata si wanita tua seraya
kemudian memeluk sang gadis
anaknya itu dengan hati girang dan terharu.
Tak dikisahkan betapa gembiranya dua orang
gadis itu. Gadis yang satu lagi pun telah berpelukan
dengan ayah dan ibunya. Dan seluruh penduduk segera berdatangan untuk menanyakan perihal pertolongan si Pendekar Wanita aneh dan sakti itu. Sementara
Kepala Desa cuma bisa tersenyum haru, mengetahui
anak gadisnya tak dapat diselamatkan.
Tapi dia mengetahui kejadian itu adalah karena
musibah lain. Karena dari penuturan kedua gadis, si
Kepala Perampok itu telah tewas.
Tapi penuturan kedua gadis tentang kejadian di
muara sungai Mahakam telah membuat mereka terperangah dengan mata terbelalak.
Sementara diam-diam seorang laki-laki tua
berdesis pelahan dengan wajah berubah pucat. "Celaka...! pasti perbuatan lasykar
Ratu Siluman Buaya Putih, si Peri Lubuk Siluman itu...!"
Tak lama laki-laki berjubah kumal itu beringsut
keluar dari kerumunan penduduk. Lalu lenyap dibalik
tikungan jalan desa.
Roro Centil 20 Kemelut Di Negara Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dialah seorang dukun tua yang mengetahui rahasia kejadian aneh di muara Sungai Mahakam.
*** LIMA Roro melangkah memasuki sebuah kota yang
agak ramai di kawasan daerah itu. Sementara benaknya masih saja tak dapat melupakan kejadian aneh di
muara sungai Mahakam.
Beberapa orang laki-laki dan wanita tampak
berkerumun disudut kota itu, tepat disamping sebuah
restoran kecil yang banyak pengunjungnya.
"Obat kuat...! obat kuat...! ya! siapa lagi! murah! nyaman dan tahan lama...! Pasti puas!" teriak seorang pedagang obat sisi
jalan yang menggembargemborkan obat dagangannya.
Si pedagang obat itu seorang laki-laki tegap
berkumis sebesar jari. Tanpa mengenakan baju. Bercelana pangsi warna hitam. Berambut panjang sebatas
bahu dengan ikat kepala hitam. Sehelai kain dibentangkan di tanah. Dimana di atasnya terlihat obat-obat yang didagangkannya,
berbentuk butiran-butiran pel
berwarna kehitaman. Sepintas memang mirip kotoran
kambing. "Satu butir untuk setiap kali mau tidur." berkata tukang obat yang usianya
sekitar 35 tahun itu. Seorang pembeli manggut-manggut seraya menerima
bungkusan obat yang dibelinya.
"Ya...! siapa lagi" cuma tinggal satu, dua tiga...
empat... lima! ya, tinggal lima orang lagi! cepatlah! Hari
ini adalah hari terakhir kami buka disini! Kemanjuran obat kami telah diuji, dan
sudah banyak yang memuji!"
Ucapnya dengan nada keras, merayu pembelinya.
Roro yang kepingin tahu segera beranjak
menghampiri. Beberapa orang penonton segera menyingkir ke tepi dengan cengar-cengir.
"Aha...! seorang gadis asing dari mana..." Eh,
mau beli obat kuat dia barangkali...?" terdengar suara berbisik-bisik.
"Ssst....! coba perhatikan. Alangkah cantiknya
gadis ini" Baru selama ini ku melihat seorang gadis se-cantik dan semanis
ini..." ujar kawannya. Saat itu seorang laki-laki dari arah sisi penonton,
beranjak menghampiri Roro seraya pura-pura kakinya tersandung.
"Hai! jangan mendorong...!" teriaknya seolah-olah kaget. Akan tetapi lengannya
bergerak merangkul
pinggang Roro. Cepat sekali kejadian itu. Roro Centil bertindak gesit, menyambar
tubuh seorang wanita tua
bertubuh gembrot di hadapannya. Lalu asongkan pada
si laki-laki yang pura-pura terjatuh itu.
"Aiiiyaaa...!" maaf, maaf nona..." Laki-laki itu tertawa menyeringai. Sepasang
lengannya memeluk
erat pinggang orang, yang dikiranya pinggang si dara
cantik pendatang asing itu. Akan tetapi terkejut dia
mengetahui siapa yang telah dipeluknya. Ternyata tubuh wanita gembrot, tua dan sudah ubanan. Seketika
merahlah wajahnya karena malu. "Oh, maaf, maaf,
mak! aku tak sengaja...!" ucapnya gelagapan. Selanjutnya dia segera ngeloyor
pergi dengan tersipu.
Sementara diam-diam laki-laki ini terheran karena tak melihat Roro berada di situ lagi. "Heran, kemana gadis asing itu" cepat
sekali lenyapnya!" berkata dia menggumam.
Beberapa orang lainnya yang tadi melihat Roro
pun terheran karena cepat sekali lenyapnya Roro dari
pandangan mata mereka. Sementara tukang obat masih menjajakan dagangannya tak mengetahui kejadian
barusan. Kemanakah Roro Centil" ternyata dia telah berada di dalam ruangan restoran duduk dibangku disudut ruangan. Seorang pelayan segera menghampiri dengan
terheran, karena tak melihat gadis ini masuknya.
"No... nona pesan makanan apa... ?" tanyanya memperhatikan wajah si tetamu.
"Apapun boleh! asalkan makan enak pasti ku
ganyang...!" sahut Roro seperti acuh tak acuh. Lidahnya terjulur sedikit, basahi
kedua bibirnya. Sementara lirikan matanya memperhatikan seorang laki-laki yang
duduk di sebelah kanannya. Laki-laki ini berbaju serba putih. Tadi ketika dia
berkelebat masuk ke dalam,
hanya dialah yang mengetahui kedatangannya.
Yang membuat Roro agak aneh adalah sepasang mata laki-laki itu membersitkan sinar tajam bagaikan menusuk jantung. "Siapakah dia?" tanya Roro dalam hati. Roro merasa tak
bermusuhan pada laki-laki itu, akan tetapi sinar matanya seperti mengandung maksud tidak baik terhadapnya. Itu menurut
dugaan Roro. Ketika selesai bersantap, si tetamu laki-laki berbaju serba putih
itu beranjak keluar setelah
membayar makanan.
Cepat-cepat Roro memanggil pelayan. Setelah
membayar, tanpa menunggu pengembalian uangnya,
Roro bergegas keluar untuk menguntitnya.
Cepat sekali berjalannya laki-laki berbaju putih
itu. Kali ini Roro tak boleh ayal memasang indranya,
agar tak kehilangan jejak. Ternyata yang ditujunya
adalah ke arah muara sungai Mahakam.
Tiba-tiba di sisi sungai tubuh laki-laki ini melenyap sirna. Tentu saja Roro Centil jadi terkejut, sepasang matanya menatap heran. Roro menduga laki-laki
itu menggunakan ilmu Halimunan, akan tetapi memandang dengan mata batin ternyata tubuh si laki-laki itu berubah menjadi seekor
buaya putih. Terperangah
Roro Centil. Tahulah dia kalau laki-laki itu sebangsa siluman.
Buaya putih itu segera merayap masuk ke dalam sungai menyelam dan sesaat kemudian Roro baru
tersadar dari terperangahnya.
Roro Centil termangu-mangu memandang tempat kosong. Sementara itu kembali terbayang kejadian
aneh yang telah menenggelamkan perahu dan memakan korban sembilan nyawa dari perahu perampok
yang ditumpanginya.
Roro mengambil keputusan untuk menyelidiki
keadaan di bawah air.
Akan tetapi Roro memang perlu bersemadhi dulu mencari petunjuk, apakah adanya kejadian ini berhubungan dengan benda mustika yang dalam usaha
pencariannya...." Hal itulah yang membuat Roro terpaksa harus menahan sabar untuk menanti saat terbaik mengungkap misteri di dasar sungai Mahakam.
Sesaat tubuh si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu berkelebat pergi dari tempat itu. Sementara di-am-diam dia mengingatingat wajah laki-laki penjelmaan si siluman Buaya Putih.
Baru saja kakinya jejakkan di tanah berbatu di
atas tebing, satu suara terdengar menyapa. "Kakak Pendekar...!" Roro tahan
gerakan lengannya yang tadi sudah disiapkan untuk menghantam bila terjadi
kemungkinan. Ternyata Roro telah waspada dan mengetahui
adanya sesosok tubuh dibalik batu besar di atas tebing itu.
Disamping terkejut, juga heran si Pendekar
Wanita ini karena ternyata sosok tubuh itu adalah seorang bocah laki-laki
berusia kurang lebih 10 tahun.
Barulah dia ingat kalau bocah itu adik Sungkimah, si
gadis yang beberapa hari yang lewat telah ditolongnya.
Sekejap Roro sudah melompat ke hadapannya,
dan bertanya dengan heran.
"Eh, adik kecil yang gagah! sedang mengapa
kau di tempat ini?"
"Kakak Pendekar, sebelum menjawab pertanyaanmu, aku mewakilkan kedua orang tuaku mengucapkan terima kasih pada kakak Pendekar atas pertolongan kakak tempo hari!" berkata si bocah laki-laki dengan membungkukkan
tubuhnya. Sementara sepasang matanya lalu menatap kagum pada Roro. Akan
tetapi sepasang mata itu tampak berkaca-kaca.
Dan... selanjutnya dengan seka air matanya, si
bocah laki-laki itu kuatkan hati untuk bercerita.
Ternyata si bocah laki-laki ceritakan tentang
keadaan di desanya sepeninggal Roro. Pada malam itu
juga terjadi penyerbuan buaya-buaya putih ke dalam
desa. Buaya-buaya siluman itu ternyata menggondol
kembali kedua gadis desa itu, dan lenyap dalam kepungan penduduk.
Kejadian menyedihkan serta musibah yang berturut-turut menimpa desa Tembalu membuat penduduk gelisah, resah. Lenyap bencana perampok, kini
muncul bencana siluman. Diam-diam si bocah laki-laki
ini pergi dari rumahnya tanpa setahu kedua orang tuanya, dengan tujuan mencari Roro Centil. Ternyata
berhasil menjumpai Roro di tempat itu...
Terenyuh hati Roro mendengar penuturan itu.
Jerih payahnya menolong dua gadis desa itu cuma siasia. Dipandanginya wajah si bocah laki-laki dengan
penuh perasaan iba.
"Aku pasti akan membalaskan dendammu itu,
adik gagah!" ujar Roro seraya mengusap kepala anak itu. Bocah ini menatap Roro
dengan mata basah. Tiba-tiba dia memeluk kaki Roro dengan terisak.
"Oh, terima kasih...! terima kasih kakak Pendekar....!" "Haiiiih! sudahlah, siapakah namamu adik gagah....!" tanya Roro.
Cepat-cepat anak itu usap air matanya lagi dan menjawab dengan tersenyum.
"Namaku... Sugala!"
"Namamu bagus! Nah, kini kau akan kuantar
pulang. Tentu kedua orang tuamu akan lebih susah
karena kehilangan mu...!" berkata Roro.
"Aku tinggal dengan seorang tua laki-laki. Dia
seorang dukun sakti yang mengetahui tentang siluman-siluman buaya itu!" ujar Sugala.
"He" begitukah" tanya Roro dengan heran, akan tetapi diam-diam hatinya
bergirang. Bocah laki-laki itu mengangguk. "Kedua orang tuakupun telah
mengetahui aku ada bersamanya..." ucapnya dengan tenang.
"Bagus! kalau begitu ajaklah aku ke tempat
orang tua itu!" ujar Roro dengan leletkan lidah basahi bibirnya. Sepasang
matanya berkejap-kejap, sementara
hatinya berkata. "Mujurlah kalau demikian, karena aku segera bisa tahu mengenai
siluman-siluman buaya
putih itu!"
"Marilah, kakak Pendekar..." ujar Sugala seraya berlari-lari dengan girang
menuju ke arah belakang
bukit di atas tebing itu.
Roro beranjak mengikuti dengan tersenyum
melihat si bocah laki-laki itu mendaki lereng bukit
dengan merangkak. Keinginannya untuk tiba
lebih cepat di tempat si laki-laki tua yang dikatakan Dukun Sakti itu oleh si
bocah, membuat Roro bergerak
melompat dan menyambar tubuh bocah itu. Dan... sekali tubuhnya melesat, sekejap sudah tiba di atas bukit. Tentu saja membuat anak itu tertawa girang.
"Di bawah bukit sana itulah tempat kakek dukun itu tinggal!" ujar Sugala.
"Bagus! mari kita kesana: "Berkata Roro seraya kembali melesat menuruni bukit.
Bocah laki-laki ini
sepanjang perjalanan tertawa-tawa girang, bahkan
berkali-kali memuji kehebatan ilmu "terbang" Roro yang pergunakan kecepatan
larinya untuk cepat tiba di tempat yang dituju.
*** ENAM KAKEK TUA berjubah putih itu duduk di atas
bangku reyot. Pada bibirnya terselip rokok kawung.
Sepasang matanya merem-melek menikmati asap rokok yang sesekali dihisapnya.
Di hadapannya duduk Roro Centil pada bangku
yang agak baikan. Sementara si bocah laki-laki memasuki dapur, lalu kembali lagi dengan membawa baki
berisi dua buah cawan berisi air putih.
Lalu dengan membungkuk-bungkuk hormat
Sugala meletakkan cawan-cawan berisi suguhan minuman itu di atas meja. Kemudian kembali ke dapur
menyimpan baki, dan duduk di depan pintu dapur
mendengarkan pembicaraan sang dukun tua dengan
tetamunya. "Aku memang pernah mendengar dikala aku
muda dahulu, yaitu adanya satu kisah menarik mengenai penghuni-penghuni lubuk sungai Mahakam."
Terdengar si kakek membuka pembicaraan mengenai
pertanyaan Roro Centil.
"Kisah itu bermula pada sepasang suami istri
yang baru menikah, dan mendiami sebuah pondok ditepi muara sungai Mahakam.
Suaminya bernama KENCA. Seorang laki-laki
muda dan gagah yang amat menyayangi istrinya. Suatu ketika di saat sang istri mencuci piring-piring kotor diperigi, salah satu
sendok makan telah terjatuh masuk ke sungai. Sang suami yang ketika itu tengah
mandi mengetahui sendok makan yang dicuci sang istri tercebur segera menyelam ke bawah permukaan air
untuk mengambilnya. Sementara sang istri yang masih
muda belia itu meneruskan mencuci.
Apakah yang terjadi dengan laki-laki bernama
Kenca itu"
Ternyata satu pusaran air di bawah perigi
membuat tubuhnya terbawa masuk ke dalam sebuah
lubuk di bawah permukaan air.
Makin lama semakin dalam tubuh Kenca terbawa pusaran air, hingga tak kuasa lagi dia untuk
bernapas. Sepasang matanya membelalak memandang, dan dibuka lebar-lebar untuk melihat keadaan
sekelilingnya. Lengannya berusaha menggapai untuk
berontak dari pusaran air yang telah menyedot tubuhnya. Akan tetapi sia-sia...
Kenca tak mampu untuk menyelamatkan diri.
Dia pingsan tak sadarkan diri. Ketika siuman di dapati dirinya berada dalam
sebuah kamar, serta ruangan
yang amat indah..." Sampai disini si kakek dukun tua itu berhenti bercerita
untuk menghisap dalam-dalam
rokok kawungnya.
Roro tak sabaran untuk bertanya. "Bagaimana
kelanjutannya, pak tua...?"
Si bocah laki-laki bernama Sugala itupun tam
Roro Centil 20 Kemelut Di Negara Siluman di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
paknya tak sabar menanti, dan usap-usap kedua matanya. Si kakek dukun itu tersenyum, lalu lanjutkan
ceritanya. "Ruangan kamar yang indah itu adalah ruangan kamar sebuah Istana di dasar lubuk, yaitu istana
Ratu Siluman Buaya Putih!"
"Ah...!?" Roro tersentak, seraya ucapnya. "Teruskan pak tua, lalu bagaimana
selanjutnya?"
"Kenca terkejut melihat seorang wanita cantik
berada dihadapannya. Dan setelah wanita itu memperkenalkan diri bahwa dia adalah Ratu Siluman didasar
lubuk, hampir-hampir dia tak percaya.
Tapi melihat kenyataan bahwa dirinya berapa
di dalam air, tapi dia merasa tak kesulitan bernafas, bahkan seperti bernafas di
udara biasa saja, yakinlah Kenca akan kenyataan yang di hadapinya.
Sang Ratu Siluman itu meminta Kenca untuk
tinggal menetap di istananya. Kenca tak dapat menolak, bahkan kemudian Kenca memperistri sang Ratu
Siluman dan tinggal didasar lubuk hingga bertahuntahun. Dari perkawinan mereka, Kenca memperoleh
seorang anak laki-laki.
Suatu ketika, sang Ratu berpesan pada Kenca
agar menjaga istana, karena dia akan pergi dalam waktu lama. Namun sang Ratu memberi peringatan pada
suaminya agar tak membuka sebuah pintu yang menjadi pantangan baginya.
Kenca menanyakan pantangannya, namun
sang Ratu tak memberitahukan. Demikianlah, akhirnya Kenca berjanji akan menuruti pesan sang Ratu istrinya itu. Saat itu anak Kenca sudah berusia lima tahun. Kenca memang telah
melupakan istrinya. Telah
melupakan dunia manusia, karena hidup di Istana Kerajaan Siluman dengan kemewahan yang tiada tara.
Segala keperluannya dilayani oleh para dayang istana.
Dan berpuluh-puluh pengawal siap menerima perintah
menjalankan tugas.
Keadaan dikerajaan Ratu Siluman itu mirip
dengan Kerajaan manusia saja layaknya, Hingga membuat Kenca betah berdiam disana, dan melupakan
bahwa dia masih mempunyai seorang istri yang setia
menunggu kedatangannya.
Beberapa hari ditinggal istrinya, timbullah
keinginan Kenca dalam benaknya. Yaitu ingin mengetahui rahasia apa gerangan di dalam ruangan yang
pintunya terlarang dibuka itu.
Saat anak laki-lakinya dibawa bermain oleh
pengasuh Istana, Kenca memberanikan diri membuka
pintu terlarang yang menjadi pantangan itu. Pintu pun terbuka. Dan, tiba-tiba
saja.... Pusaran air bergolak keras dari dalam ruangan itu. Kenca terperangah.
Pan- dangan matanya sekonyong-konyong menjadi gelap.
Dia tak dapat melihat apa-apa lagi. Gelap pekat! Yang dirasa kan adalah tubuhnya
mengapung ke atas permukaan air. Nafasnya megap-megap, karena sukar
sekali kini Kenca untuk bisa bernafas.
Akhirnya tubuh Kenca tersembul juga kepermukaan air... Dalam keadaan terengah-engah itu, Kenca
membuka matanya. Alangkah terkejutnya Kenca ketika
melihat istrinya masih belum selesai mencuci piring di atas perigi. Terperangah
mata Kenca memandangnya.
Ternyata dia telah berada di alam manusia lagi.
Sungguh tak masuk akal apa yang dialami
Kenca, karena bertahun-tahun dia tinggal didasar lubuk dikerajaan Siluman bahkan telah mempunyai seorang anak dari perkawinanya dengan sang Ratu Siluman, tapi kenyataannya sang istri belum lagi selesai
mencuci piring-piring kotor. Bahkan begitu Kenca
muncul di atas permukaan air, langsung sang istri
menanyakan sendok makan yang diselaminya...!
Tersipu Kenca, dan berdusta mengatakan bahwa tak diketemukan benda itu di bawah air. Akhirnya
setelah selesai mencuci dan mandi, Kenca bergegas
pulang bersama istrinya...!
Tampak si dukun tua itu berhenti lagi bercerita,
terbatuk-batuk sejenak, lalu ulurkan lengan meraih
cawan meneguk air putih di dalamnya. Roro menghela
napas. Tegang juga cerita itu, namun kakek dukun itu
memang belum tuntas ceritanya.
Sang dukun tua sulut rokok kawungnya yang
mati. Setelah menghisapnya beberapa kali lalu teruskan bercerita...
"Kenca tak berani menceritakan kisah yang dialaminya pada sang istri. Namun pada malamnya,
pondok Kenca didatangi berpuluh-puluh ekor buaya
putih, yang mengelilingi pondok.
Demikianlah setiap malam hal itu terjadi. Mereka tak lain lasykar dari sang Ratu Siluman didasar
lubuk sungai Mahakam. Yaitu sang Ratu Siluman
Buaya Putih. Kenca dicekam ketakutan bersama istrinya setiap malam. Akhirnya Kenca memutuskan pindah. Ya,
Kenca pindah pada siang hari tanpa membawa satu
bendapun dari pondoknya kecuali pakaian yang dipakainya. Dan sejak itu Kenca dan istrinya baru merasa
aman dari ketakutan. Namun pada suatu malam Kenca bermimpi. Sang Ratu Siluman Buaya Putih mengancamnya akan membunuhnya kalau tak kembali ke
dalam lubuk, menyerahkan diri pada sang Ratu.
Dalam mimpinya itu Kenca menerima sebuah
benda, yaitu sebuah Benda Mustika yang dapat dipergunakan untuk bernafas di dalam air. Benda mustika
itu ternyata benar-benar terwujud dan didapati dalam
genggaman tangan Kenca ketika terbangun dari tidur..." Sampai disini si kakek dukun berhenti sejenak untuk menghisap rokok
kawungnya. Lalu melempar-kan puntung itu jauh-jauh keluar jendela. "Benda
Mustika macam apakah itu, pak tua...?" bertanya Roro Centil dengan jantung
berdetak keras. Sementara hatinya membatin. "Jangan-jangan itulah benda Mustika
yang diperintahkan guru untuk memilikinya dari bisi-kan gaib yang kuterima...!"
kakek dukun itu lanjutkan lagi ceritanya.
"Benda itu adalah sebutir mutiara, yang di haruskan pada Kenca untuk menelannya!"
"Kemudian... " Apakah Kenca menelan benda
itu, dan kembali ke kerajaan Ratu Siluman Buaya Putih itu...?" tanya Roro tak sabar.
Sang dukun tua itu menggeleng. "Tidak! Kenca
tak mau melakukannya. Dia lebih mencintai istrinya
ketimbang harus menjadi warga siluman di dasar lubuk. Akan tetapi akibat pembangkangan itu, istrinya
disambar buaya putih yang muncul di saat sang istri
mencuci pakaian ditepi sungai. Kematian istrinya
membuat Kenca menderita sakit lahir batin.
Akan tetapi untuk melabrak Kerajaan Ratu Siluman Buaya Putih sama dengan mengantarkan dirinya untuk tak kembali lagi ke alam Manusia.
Bertahun-tahun Kenca menderita, hingga tubuhnya menjadi tua renta. Rambutnya memutih, dan
tubuhnya menjadi bungkuk, walau sebenarnya dia belum begitu tua...!" Sampai disini si kakek dukun itu berhenti sejenak lagi untuk
menghela nafas.
"Sungguh kasihan orang bernama Kenca itu,
dapatkah pak tua menceritakan selengkapnya kemanakah kini orang yang bernama Kenca itu?" tanya Ro-ro.
Yang ditanya tersenyum. Dari kerut-kerut wajahnya nampakkan kedukaan yang amat mendalam.
Jelas kisah itu bukanlah cuma dongeng semata, akan
tetapi memang benar-benar telah terjadi.
Rahasia Hiolo Kumala 9 Pendekar Mabuk 089 Pedang Penakluk Cinta Pedang Penakluk Cinta 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama