Satria Gendeng 04 Iblis Dari Neraka Bagian 2
cetus Bagaspati yang kini telah
menjadi salah seorang Patih Kerajaan Demak. Satria tercengang. Ke keraton"
Bukan main, pikirnya. Tempat yang sebenarnya tak pernah mimpi untuk dimasuki.
Tempat orang-orang besar.
Bukan dirinya. Karena dia cuma satu dari wong cilik. Bahkan dengan
keadaannya kini yang tidak pernah lagi mengetahui asal-usulnya, dia mungkin
lebih pantas disebut gembel pengelana.
Gubuk mungkin lebih pantas untuknya.
Atau padang rumput, atau lembah, atau bukit, gunung yang semuanya terbuka.
Sementara atapnya adalah langit.
Meskipun, langit dan bentangan bumi pada hakikatnya jauh lebih megah dari
keraton termegah sekalipun....
"Jangan terdiam seperti itu, Dinda Satria!" tegur Bagaspati ketika ajakannya
ditanggapi Satria dengan mulut menganga. Baru kali itu pula disebutnya Satria
dengan panggilan Dinda, sebagai orang yang berusia
lebih muda. Seolah-olah Satria sudah benar-benar berada dalam lingkup tata krama
kraton. "Maksud Kakang, bertemu dengan Raja?" Mata Satria mulai membesar.
Lugu sekali dia. Sifat murni seorang bocah yang masih saja dimilikinya meski
usianya sudah menapaki awal kedewasaan. Bagaspati tersenyum.
"Itulah maksudku! Sudah lama aku ingin memperkenalkan kau dengan
Kanjeng Susuhan!"
"Memperkenalkan aku?"
Nganga si pemuda tanggung makin
melebar. "Aku sudah menjelaskan, bukan aku yang sebenarnya paling berjasa besar menumpas
Laskar Lawa Merah. Bukan aku.
Tapi, tampaknya Kanjeng Susuhan tak cukup puas sebelum dia menjumpai
langsung orang yang kumaksud."
"Kakang sudah bertemu orangnya?"
tanya Satria. Lagi-lagi lugu.
"Tentu saja kau!"
"Aku?"?"" Satria nyengir-nyengir kuda. "Ah, masaaaaak"!"
Anak muda itu masih belum
mengerti benar kenapa dia hendak
dipertemukan dengan Raja Demak yang menguasai sebagian besar tanah Jawa"
Mulutnya mau mengulur pertanyaan untuk keadan yang belum dimengertinya, tapi
Bagaspati sudah mempersilahkan dia untuk menaiki kuda. Setelah sebelumnya
dia naik lebih dahulu.
Kaki Satria baru saja sampai pada pijakan di sisi perut kuda ketika satu
kelebatan tiba-tiba memangkas udara dari arah samping. Arahnya deras
menuju Satria. Ada desir tajam
mengancam terbawa kelebatan itu.
Menyambar laksana tukikan elang.
Wesh! Satria menggerakkan tangan
sekali, menyambut kelebatan bayangan seseorang. Satu tamparan amat cepat yang
akan memenggal telak-telak kelebatan tadi. Hampir bisa dipastikan.
Namun, kejadiannya justru tak
begitu. Sambutan tangan kokoh si
pendekar muda tak lebih memangsa
angin. Arah gerak kelebatan tadi
mendadak berubah pada jarak dan
kecepatan yang sebenarnya nyaris tidak mungkin untuk melakukan tindakan itu.
Seperti gerak Dewa Penunggang
Angin.... Luar biasa!! Selanjutnya kuda milik Bagaspati
meringkik nyalang. Kelebatan sosok bayangan tadi mengejutkan, menyebabkan
binatang itu mendepak-depakkan kaki depan tinggi-tinggi ke atas. Liar.
Bagaspati susah-payah berusaha
menenangkan hewan itu kembali dengan ketangkasan yang terlatih selaku
seorang Patih kepercayaan.
Satria sendiri sudah memutar
badan, mengikuti arah gerakan
kelebatan bayangan tadi. Sekali lagi dia dipaksa terperanjat manakala
menyadari matanya tidak lagi menangkap apa pun. Kelebatan bayangan tadi sudah
menghilang. Udara seakan telah
menyembunyikannya.
Mata tajam Satria mencari-cari.
Waspada. Disiapkannya kuda-kuda, tanpa mempedulikan apakah kuda jantan besar di
belakangnya akan menghantamkan kaki depan ke bokongnya. Pada dasarnya, Satria
memang lebih mengkhawatirkan kelebatan bayangan tadi. Dia cepat menilai bahwa
orang yang hendak
mencari perkara barusan bukan orang sembarangan. Kesaktiannya sulit diukur
olehnya, kendati dia sudah mewarisi ilmu-ilmu dua tokoh kenamaan tanah Jawa....
Menurut perkiraannya pula, bisa
jadi orang itu setingkat dengan
Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Ya, Satria yakin! Lantas bagaimana dia tak menanggapnya sebagai satu bahaya besar, jauh lebih besar dari amukan seekor kuda
liar" Bagaspati masih berkutat di atas
punggung kuda agar tak terlempar, keempat prajurit pengawalnya memper-siapkan
posisi. Tombak di tangan
mereka diacungkan ke depan. Mata
keempatnya turut mencari-cari si biang keladi.
Sampai terdengar suara cekikik
tinggi dari pucuk pohon besar yang tumbuh di tepi jalan utama. Mendirikan bulu
roma siapa pun pendengarnya.
"Hi hi hi hi!"
Satria mendongak. Keempat prajurit turut pula. Sama-sama mereka temukan pemandangan menggetarkan
nyali. Di pucuk pohon tempat asal tawa telah bertengger seorang nenek tua, yang
tidak hanya jelek tapi sekaligus mengerikan.
Bagaspati yang merasa sia-sia
menjinakkan kuda jantan nya segera saja melompat tangkas dari punggung hewan
itu. Dengan sekali putaran
ringan di udara, dia menempatkan diri di samping kiri Satria.
"Siapa dia Kang Bagaspati?" aju Satria.
Bagsspati sudah pula menyaksikan
nenek jelek di pucuk pohon. Wajahnya berubah. Mengeras. Ada garis-garis yang
sulit diterjemahkan. Bersit
matanya yang selama ini tak pernah kehilangan ketegasan untuk beberapa jenak seperti tergetar, laksana pancar api lilin terhembus angin. Bukan
persoalan takut penyebabnya. Apalagi untuk seorang ksatria sejati seperti
dirinya. Lebih tepatnya ada sebentuk keterperanjatan teramat sangat.
"Nini Jonggrang...," desisnya kemudian, dalam getar suara yang sulit
disembunyikan. Seperti dugaan Satria, Nini
Jonggrang memang seorang nenek yang tingkat kesaktiannya tak berbeda
dengan gurunya sendiri Dedengkot
Sinting Kepala Gundul. Di rimba
persilatan tanah Jawa, Nini Jonggrang lebih dikenal dengan julukan Nenek
Pengumpul Bangkai.
"Hey, anak muda berambut merah!"
tukas nenek yang disebut Patih
Bagaspati dengan nama Nini Jonggrang.
Tidak ada lagi anak muda berambut merah lain yang dimaksudnya kecuali Satria.
Satria terpana-pana. Apa urusannya dengan si nenek jelek itu sampai dia yang pertama kali ditukasi" Apa telah
terjadi kesalah pahaman"
Tak peduli pada keterpanaan
Satria, nenek jelek tadi menyambung ucapan bersuara sama serak dengan teriakan
lapar sekawanan burung
pemakan bangkai.
"Katakan pada gurumu, Dongdongka, bahwa urusan lama antara aku dengannya belum
lagi tuntas. Kau sebagai
muridnya, akan menerima pula ganjaran atas kesalahan yang telah dibuat
gurumu terhadapku!"
Meski berpantang untuk membiarkan rasa takut tumbuh dalam dirinya, tak urung
Satria merinding mendengar
ancaman barusan. Jangan pernah
menganggap ancamannya main-main,
begitu hati kecilnya memperingati.
"Ada urusan apa antara kau dan guruku sebenarnya, Nenek?" tanya Satria berseru.
Dia tak ingin terjerumus dalam satu urusan yang sama sekali tak diketahui sebab musababnya.
Jawaban yang didapat cuma tawa
terkikik pendek menohok langit. Untuk yang terakhir, terisi oleh tenaga dalam
berkekuatan tak terukur.
Satria mendekap telinga kuatkuat. Tubuhnya terbungkuk mengejang.
Liang telinganya seperti dirasuki oleh ular berbisa. Patih Bagaspati
mengalami keadaan serupa.
Keempat prajurit pengawal mengalami nasib lebih sial. Mereka langsung terjengkang di
tempat tanpa sempat
menjerit. Sebagian selaput otak mereka pecah di dalam. Dari lobang telinga
mereka mengalir darah segar. Mereka memang tak memiliki tingkat tenaga dalam
seperti Patih Bagaspati atau Satria.
Lebih gila dari itu, ada sekitar
tiga orang lain yang harus mengalami nasib tak kalah menyedihkan dengan keempat
prajurit. Mereka cuma rakyat jelata yang kebetulan berada amat dekat dengan
tempat kejadian. Mereka tentu saja tak tahu menahu. Namun, mereka tetap membayar
terpaksa dengan nyawa.
Begitu gema kikik hanyut dalam
gelombang di angkasa, Satria membuka mata. Disaksikannya seluruh dedaunan tempat
si nenek bertengger telah
rontok sama sekali.
Tak ada sisa sehelai pun.
Terpangkas tuntas.
Sedangkan Patih Bagaspati
menemukan kuda jantan gagah dari tanah Arab miliknya telah terbujur
mengejang. Mulutnya mengeluarkan buih yang masih mengalir lambat.
Satria menggeram amat dalam saat
pandangannya berpindah ke arah tujuh sosok mayat yang bergelimpangan di sekitar
jalan utama. Darahnya
mendidih. Terutama karena disaksikannya tiga orang lelaki desa yang hendak
berdagang di kotapraja dan kebetulan berjalan satu arah
dengannya, telah turut terbantai.
Tahu pula dia kini bahwa nenek
sakti bernama Nini Jonggrang tadi bukanlah manusia sejenis gurunya.
Sesinting-sintingnya Dongdongka, tak akan begitu gampang menurunkan tangan keji
pada orang lemah. Dia memang bukan seorang sesepuh yang begitu gencar menegakkan
keadilan dan memerangi kebatilan. Namun dia masih cukup pantas untuk disebut sebagai tokoh
golongan putih.
Sedangkan Nini Jonggrang tak
lebih dari tokoh aliran sesat!
* * * 7 SATRIA dan Patih Bagaspati
terpaksa kembali ke kraton berdua tanpa prajurit pengawal. Jarak tak begitu jauh
ke keraton. Itu sebabnya mereka cukup berjalan kaki. Jenazah keempat prajurit
dan tiga orang desa untuk sementara diurus oleh beberapa orang warga. Patih
Bagaspati sendiri yang meminta tolong pada mereka.
"Kalau aku boleh tahu, ada urusan apa antara gurumu dengan Nini
Jonggrang?" tanya Bagaspati, dalam perjalanan menuju kraton. Satria
menggeleng. "Aku tak tahu jelas, Kang,"
jawabnya."Kakek Dongdongka pun tak pernah menceritakan tentang itu
padaku." Bagaspati mengangguk-angguk. Jawaban Satria sudah memadai. Meskipun dia tak mendapatkan jawaban atas
persoalan yang sebenarnya.
Dalam segala hal yang menyangkut
keamanan seluruh wilayah Kerajaan Demak, Bagaspati merasa bertanggung-jawab.
Apalagi karena dalam urusan yang baru diketahuinya ini telah jatuh tujuh korban
jiwa. Dia harus
mengetahui inti permasalahan sebenarnya. Karena, sudah tentu Raja Demak
akan menanyakan jatuhnya korban jiwa tersebut langsung
padanya. Namun karena Satria tidak tahu menahu, dia bisa menyelidikinya lain kali.
Hal paling mengusik Bagaspati
sebenarnya adalah kemunculan Nini Jonggrang. Ketakutan besar yang pernah terjadi
puluhan tahun silam memb-yang kembali di benak Bagaspati. Waktu itu dia masih
begitu kecil, masih berusia delapan tahun.
Ketika bermain di pinggir sungai
di satu wilayah Kediri, dia
menyaksikan puluhan mayat lelaki
dibawa arus sungai. Di atas salah satu bangkai, berdiri perempuan tua
mengerikan. Dia tertawa terkikik-kikik menggidikkan, seakan baru saja
menemukan kepuasan teramat sangat.
Saat melewati tempat Bagaspati
kecil bersembunyi, perempuan menjelang tua itu melirik. Matanya merah seperti
hendak membakar dari jauh nyali si bocah. Bibirnya
menyeringai dengan
lelehan lendir berwarna kemerahan.
Bagaspati kecil tersuruk mundur
ketakutan. Si perempuan menjelang tua malah
meneruskan tawa, dan terus dibawa arus sungai dengan menunggang bangkai.
Beberapa lama kemudian, didengarnya kegemparan yang melibas segenap wilayah Kediri, Tentang pembantaian orangorang persilatan yang dilakukan
oleh perempuan menjelang tua. Satu julukan terus didesas-desuskan ke mana pun
dia pergi.... Perempuan Pengumpul Bangkai.
Ada kabar burung santer bergulir
di segenap penjuru Kediri bahwa
Perempuan Pengumpul Bangkai adalah wanita yang menuntut ajian sesat.
Untuk penyempurna kesaktiannya, dia membutuhkan sejumlah mayat. Mayat itu
sendiri harus didapatkannya dengan jalan membunuh langsung.
Setiap mayat yang berhasil
didapatnya, dipindahkan ke satu tempat tersembunyi melalui sungai....
Bayang-bayang menakutkan masa
kecil Bagaspati dibuyarkan oleh
hadangan tangan Satria di depan
dadanya. "Ada apa Satria?" tanyanya.
Pemuda di sisinya hanya menatap
lurus ke depan. Bagaspati mengikuti arah tatapan Satria. Ditemukannya seorang
sedang menghadang jalan mereka. Orang itu mengenakan caping lebar. Bayangan
caping menutupi
seluruh wajahnya dan sebagian dadanya.
Untuk sementara, masih sulit untuk menentukan lelaki atau perempuan.
Tubuhnya tak terlalu tinggi. Berpakaian serba hitam. Kulitnya putih.
Sedikit memucat.
Satria Gendeng 04 Iblis Dari Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa menghadang jalan kami, Saudara?" Bagaspati melontar pertanyaan. Seperti enggan untuk mengeluarkan suaranya, penghadang tadi menggangkat tangan
kanan. Ditunjuknya Satria
dengan gerak lambat berkesan mengancam. Satria merengut.
"Ada apa dengan diriku?"
protesnya tak menerima. Jelas-jelas dia merasa baru kali ini berjumpa dengan
orang itu. Satria yakin,
meskipun dia belum bisa menemukan wajah di balik caping itu. Lalu kenapa tibatiba dia mendapat tudingan.
Sial benar nasibnya ini hari.
Dengan kali ini dia sudah mendapatkan urusan dua kali. Kedua-duanya dari orang
yang sama sekali tak dikenalnya.
Pertama dari seorang nenek jelek.
Sekarang dari orang bercaping yang wajahnya mungkin rata, atau hidungnya sebesar
dengkul. Dan siapa tahu pula dengkulnya malah sebesar hidung"
Menjengkelkan! "Kau harus bertarung denganku!"
tandas orang bercaping. Suaranya
seperti sengaja hendak disamarkan.
Namun sudah cukup jelas bagi telinga Satria maupun Bagaspati.
Nah, lo! Satria tambah merengut.
Ini lebih gila lagi, pikirnya. Tak ada angin tak ada kentut, bisa-bisanya orang
itu mengharuskan dia untuk
bertarung. Apa tidak gila
kedengarannya"
"Aku tak punya urusan denganmu!"
tepis Satria. Bukan persoalan takut.
Dia hanya tak ingin berurusan tanpa alasan jelas.
"Tak perlu membuat urusan denganku dulu untuk memulai pertarungan!"
Satria mengeraskan rahang keraskeras. Kalau terus begini, bisa-bisa dia terpancing untuk bertarung juga
akhirnya. Dongkol sebesar kepalan centeng terasa melonjak ke tenggorokan
mendengar perkataan orang bercaping.
Masa bertarung tanpa ada urusan" Itu kan, sama saja dengan orang gila yang
tertawa tanpa sebab" Orang ini gila apa waras"
Satria berjuang untuk tetap
tenang. Sabar, pikirnya. Beberapa
persoalan biasanya cukup diselesaikan dengan kesabaran.
Bagaspati maju dua tindak.
Jabatannya sebagai seorang petinggi istana menyebabkannya merasa harus menjadi
penengah dalam persoalan dalam negeri. Biarpun pada dasarnya setiap tanggung
jawab dalam negeri tidak dibebankan padanya.
"Sebaiknya kita membicarakan masalah ini dengan kepala dingin, Kisanak,"
ucapnya. Dari caranya menyebut 'kisanak' tampaknya dia
menganggap penghadang tadi seorang lelaki.
"Tak perlu!" tepis si penghadang tegas.
Angkuh sekali orang ini, rutuk
Satria dalam hati. Tak bisa tidak, kejengkelannya
bertambah membesar.
Entah sebesar panu atau koreng.
Pokoknya membesar.
"Tapi leluhur bumi JawaDwipa ini mewariskan
musyawarah pada kita,
bukan?" Bagaspati terus mencoba.
"Kubilang tak perlu! Aku hanya harus bertarung dengan dia dan
membunuhnya!" hardik si penghadang.
Tambah lagi kejengkelan Satria.
Sekarang, kejengkelannya sudah luber.
Kesabarannya sakarat. Sedikit lagi.
Yang jelas penyebab utamanya adalah ucapan terakhir
si penghadang. Membunuhku" Cibir Satria membatin. Apa dikiranya dia sejenis lalat dari
selokan keraton yang gampang ditepuk, plok! Lantas modar" Sial benar!
Kesabaran Satria, si pemuda yang
mulai sering disebut-sebut dengan julukan Ksatria Gendeng ini benar-benar bures
ketika si penghadang
melepas tendangan terbang berbahaya ke pelipis Bagaspati....
"Hiaa!"
Deb! Sodokan punggung kaki
penyerangnya dihindari Bagaspati.
Mulus. Tak tampak gelagat Sang Patih Demak satu ini hendak membalas. Tak
seperti Satria, kematangan usia dan godokan keprajuritan yang diterimanya selama
ini membuat dia lebih bisa menguasai diri.
Kejap berikutnya, tubuh orang
bercaping berputar di udara. Kaki yang lain membuat satu sapuan menyamping.
Arahnya tetap pelipis Bagaspati.
Bagaspati merasa dikejar. Dia tak bisa menghindar lebih jauh. Karenanya,
dihadangnya sapuan kaki lawan dengan kedua pergelangan tangannya.
Dash! Orang bercaping tak puas sampai
di situ. Tiba di bumi, kedua tangannya mencecar bergantian. Sasarannya
beberapa titik mematikan di tubuh Bagaspati. Serbuan yang terbilang kejam untuk
seorang yang belum pernah
berurusan dengan lawan sekalipun!
Bagaspati mengendusi hawa
mematikan dalam setiap gempuran tangan lawan. Bersamaan dengan itu, tumbuh
kesadaran dalam dirinya, serangan lawan tak bisa dihadapi hanya dengan menangkis
atau menghidar semata. Harus ada perlawanan.
Selain itu, dari benturan pertama tadi saja Sang Patih Kerajaan Demak itu sudah
bisa mengukur tingkat ilmu kanuragan lawan. Jika tak salah
menduga, lawan berada setingkat dengan dirinya untuk kehandalan memainkan jurusjurus silat. Dan untuk satu hal
kekuatan tenaga dalam orang bercaping malah berada di atas Bagaspati.
Bahaya setiap saat mendatangi
Bagaspati. Dab! Dab! dab! Satu gerak tangan lawan mematuk
lurus ke tenggorokan Bagaspati.
Bagaspati mencoba menahan dengan
telapak tangannya. Karena tenaga dalamnya berada sekian tingkat di bawah lawan,
tangannya terdorong. Hampir saja menghantam wajah sendiri.
Sisa gempuran tangan lawan memburu cepat, deras, ganas ke jantung, ulu hati, dan dua buah pinggangnya.
Kejap itulah Bagaspati menyadari
satu hal lagi. Dalam kerepotan menghadapi serbuan tangan lawan, matanya
membeliak lebar. Tak sadar,
didesiskannya satu kalimat....
'"Enam Patukan Sang Pengumpul Mayat'!"
Untuk melepas kalimat itu,
Bagaspati harus membayar cukup mahai.
Lawan mendadak sontak menaikkan kaki kanan tinggi-tinggi. Mata Bagaspati
mengikuti tanpa sadar. Begitu
kepalanya mendongak, kaki lawan
membuat gerakan memenggal dari atas.
"Ahk!"
Tubuh Sang Patih
Perkasa terdorong. Langkahnya kacau, tak bisa lagi mengendalikan kuda-kuda. Wajahnya
berhasil didarati telapak kaki lawan.
"Kang Bagaspati!"
Satria tercekat. Untuk bertindak, tampaknya sudah terlambat. Namun untuk
menyelamatkan nyawa satu-satunya
perwira tinggi yang begitu setia
dengan Raden Fattah, dia masih punya kesempatan.
"Heeaaatt"
* * * 8 JANGAN tanya bagaimana gusarnya
Satria menyaksikari sepak terjang orang bercaping. Sudah cukup dia
berdiam. Sudah cukup. Api tak mungkin tak membakar kalau tak ada yang
menyulut. Seperti seekor singa jantan,
Satria menerkam untuk menyelamatkan Bagaspati dari patukan sepasang tangan orang
bercaping yang mengancam
tenggorokannya, titik tubuh yang
sedang terbuka lebar saat lelaki itu menengadah kesakitan. Tidak, mungkin lebih
tepat diibaratkan seperti seekor lumba-lumba jantan yang sedang menukik ke
permukaan laut setelah menggapai udara.
Wukh! Dash! Benturan hebat terjadi di udara
siang yang semakin bersinar garang.
Antara ujung jari-jemari orang
bercaping dengan tinju Satria.
"Aih!"
Pekikan mencelat dari kerongkongan orang bertopeng. Pekikan asli yang tak lagi dibuat-buat. Tak lagi
disamarkan demikian rupa. Sebentuk suara yang semakin jelas menunjukkan apakah
orang itu perempuan atau
lelaki. Berbareng dengan itu, Satria pun mengeluh tertahan.
Tubuh dua seteru itu terpental.
Melayang di udara beberapa tombak seperti dua batang bambu yang dihempas ledakan
mesiu. Keduanya berputaran di udara. Keduanya memang menguasai
peringan tubuh cukup sempurna. Dan tingkat tenaga dalam mereka pun
sepertinya cukup berimbang.
Satria berhasil memacakkan kaki.
Demikian pula lawannya.
Meskipun tampak berimbang, dalam
segebrakan barusan Satria mendapatkan sedikit kemenangan. Entah bagaimana
caranya, tangan pemuda baru turun ke rimba persilatan itu sudah memegang caping
lawan. Kini, terbukalah penampakan wajah orang bercaping. Parasnya bukanlah teka-teki
lagi, bukan pula rahasia lagi. Wajah yang diterjang tegas-tegas sinar matahari
siang si pemilik caping memaksa Satria terperangah.
Dia tak hanya kaget. Juga tak
menyangka. Wajah itu... memang telah
mendekam cukup lama dalam ingatannya!
Bahkan sudah begitu lekat. Lekat, seketat mulut kerang dasar samudera!
"Mayangseruni?"?""
* * * Dongdongka sedang tepekur merenungi perjalanan nasibnya. Karena sudah terlalu lama hidup di atas
dunia, dia sampai tak tahu pasti sudah berapa usianya. Mungkin lebih dari
seratus. Atau dua ratus" Atau lebih"
Semenjak belasan tahun
belakangan, dia dibuat sebal, kesal, dongkol, jengkel, dan sejenisnya dengan
segala tingkah tengik dunia.
Seperti seorang yang telah begitu kekenyangan memakan sesuatu sampai akhirnya
malah menimbulkan kemuakan.
Inginnya dia mati, biar terlepas
seluruh beban yang selalu menggang-gunya selama masih bernapas dan
menyaksikan ketengikan tadi.
Dan, kalau sedang ingat pada
Tuhan, doanya cuma satu. Dimohonnya agar Sang Gusti Agung segera mengirim
malaikat maut untuknya. Sampai
sekarang, doa itu belum juga terkabul, bul bul!
Kadang-kadang, sempat terpikir
oleh sesepuh bangkotan ini bahwa Tuhan mungkin kikir. Dia toh, tak minta macammacam. Orang lain silakan me-mohon setengah mampus sampai
terjungkal-jungkal untuk mendapatkan harta sebanyak dunia dan seisinya, atau
jabatan setinggi ubun-ubun
langit, atau kesenangan yang melimpah ruah seperti adonan bubur kebanyakan air.
Sedangkan dia kan, cuma minta mati. Mati, mati, mati. Sekali lagi mati! Apa
susahnya buat Tuhan"
Waktu melihat lalat yang begitu
mudah mampus tergenjet kotoran kerbau, Dongdongka cemburu.
Waktu ada seekor semut mati
dengan sukses tenggelam di genangan air, Dongdongka juga ngiri banget-banget.
Begitu gampangnya mereka mati"
Jangan-jangan Tuhan bukannya kikir.
Barangkali, cuma pilih kasih"
Idih, hidup kenapa sulit sekali
dimengerti! Si tua bangka sesepuh dunia
persilatan tanah Jawa itu berada di tepi sungai. Sudah cukup jauh dari Tanjung
Karangbolong. Di atas sebuah batu besar, dia berjongkok. Apa
enaknya tepekur sambil berjongkok"
Maklum, saking kebelet mau mati, cara duduk yang lebih nyaman saja sampai lupa.
Bertopang dagu dia. Matanya sayu tanpa binar menatapi arus sungai yang mengalir
lambat tenang. Gemericik
damainya tak pernah bisa dinikmati Dongdongka. Seperti juga tak bisa
dinikmatinya kerlap-kerlip pantulan sinar matahari di permukaan sungai.
Bibir kendor leiaki bosan hidup
itu terus menggumamkan satu kata
berulang-ulang.
"Mati... mati... mati...
mati...." Kasihan dia. Sikapnya sudah
seperti orang linglung. Sinting sih, tidak. Sebab, dia sendiri sebenar nya sudah
terbiasa bertingkah sinting.
Malah dia mulai bosan dengan hal itu.
Suatu saat, pandangan hambarnya
diusik oleh seekor burung kecil yang menukik tiba tiba dari udara menuju
permukaan air sungai. Tukikannya cepat dan tangkas. Di permukaan sungai, burung
kecil itu menyambar seekor ikan kecil. Dibawa larinya si ikan kecil ke udara.
Ikan kecil malang menggelepar
gelepar di himpitan paruh si burung.
Maut seperti akan segera menjemputnya.
Dan sebentar lagi, tentu dia akan menjadi isi perut burung yang
menyambarnya dari permukaan sungai.
Entah bagaimana, Dongdongka terus mengikuti arah terbang burung itu. Dia
sebenarnya tak tertarik. Namun, ada semacam dorongan hati untuk terus mengamati.
Di udara lepas bebas, ternyata
tak cukup bebas untuk si burung. Dari arah selatan tiba-tiba saja menyambar
cepat dan bengis seekor rajawali
besar. Crep! Burung tadi dicengkeramnya dengan cakar kokoh. Burung pemakan ikan yang hanya
berukuran sedikit lebih besar dari cakar sang rajawali ganti
menggelepar-gelepar meregang maut.
Sementara itu, ikan kecil di paruhnya terlepas. Bebas. Jatuh pun bebas.
Satria Gendeng 04 Iblis Dari Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Plung!! Kembalilah dia ke sungai.
Si burung pemangsa ikan dilarikan ke awang-awang oleh rajawali perkasa,
Dongdongka terpesona. Semula dia
menganggap nyawa si ikan kecil akan segera tamat hanya dalam beberapa kedip mata
berikutnya. Kenyataan yang dilihatnya kini berbalik sama sekali.
Si ikan kecil kini tampak riang
berlarian dalam beningnya air sungai.
Sementara nasib si burung pemangsa ikan entah bagaimana.
Dongdongka dengan takjub terus
mengikuti gerak-gerik si ikan kecil yang ternyata seekor betina berperut buncit.
Merenangi sungai dia,
menentang arusnya sejenak, lalu
berkelok mengikuti ke mana air sungai mengalir. Beberapa saat kemudian, si ikan
kecil berenang menuju bawah batu yang diduduki Dongdongka. Melenggaklenggok dia seperti menggeniti hati murung Dongdongka.
Dongdongka makin terpincut untuk
mengamatinya. Aih, lucunya. Aih
menggemaskannya.... Lalu, disaksikannya si ikan kecil mengeluarkan telur-telur
dari mulutnya. Berhamburanlah telur-telur halus ke sekitar permukaan batu
berlumut. Usai semua itu, Dongdongka sontak bangkit dari jongkoknya. Wajahnya entah
bagaimana berubah terang ben-derang. Bak mendung yang tersibak, memperlihatkan
pancaran sinar mentari.
Bibir peyotnya memasang senyum lepas.
Senyum teramat bebas, seperti udara bebas atau arus sungai bebas.
Lalu terdengar bisiknya,
"Gusti Agung, ternyata
Engkau tidaklah kikir atau piiih kasih. Kau membiarkan aku tetap hidup karena Kau
memiliki rencana lain untukku. Seperti Kau membiarkan hidup ikan kecil itu agar
dapat menelurkan telur-telurnya untuk kelanjutan kehidupan yang Kau
pelihara...."
Mata si tua digenangi garis
bening. Keharu biruan Dongdongka
dibuyarkan oleh teriakan cempreng memekakkan telinga.
"Dongdongkaaaa!"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul
berbalik. Seorang nenek peyot jelek sudah
berdiri dilepi sungai dengan sikap permusuhan.
"Kau"
Apa maumu menemuiku,
Jonggrang"!!" Wajah Dongdongka berubah. Ada garis-garis kegusaran merangas.
"Hi hi hii"
"Jangan ketawa!"
"Hi hi hi! Suka-suka aku!"
"Hi hi hi," cibir Dongdongka.
"Kau sudah jelek. Kalau tertawa jadi tambah jelek, tahu!"
"Hi hi hi, kau juga jelek!"
"Dibanding kau, masih jelek aku"
"Memang!"
"Eh, maksudku, dibanding aku, masih bagus kau!"
"Memang, hi hi hi!"
"Eh, salah lagi. Brengsek! Ah, sudah! Sekarang katakan, apa maumu menemuiku"
Bukankah sudah hampir empat puluh tahun kita tak bertemu" Dan sampai aku mati
nanti, lebih baik tetap begitu!"
"Empat puluh sembilan tahun, tiga bulan, sembilan hari tepatnya!"
"Masa bodoh!"
"Aku hanya ingin menjelaskan padamu kalau utangmu padaku akan
segera kau lunasi!"
Mata Dongdongka membesar. Mendengar kata 'utang' disebut-sebut si nenek yang tak lain Nini Jonggrang, kakek
bangkotan itu seperti disulut
api. "Apa maksudmu"!" bentaknya. Dia bertolak pinggang.
"Muridmu. Kau tentu masih ingat kalau kau tak terlalu pikun, bukan?"
"Muridku, kenapa dengan murid-ku"!"
"Kau akan tahu nanti!"
"Sekarang saja, tahu!"
Dengan membubungkan cekikik tak
sedap di telinga, Nini Jonggrang
berkelebat dari tempatnya bagai setan perempuan mau datang kendurian.
"Jonggrang!!! Kalau sampai terjadi apa-apa pada muridku, kulit
kendor di jidatmu akan kukuliti! Kulit jidatmu itu akan kubuat kantong
kemenyan, tahu! Hey Jonggrang, kau dengar aku?"?"!!!!!"
* * * Meski telah dua tahun tak pernah
berjumpa kembali, ingatan Satria pada perempuan muda belia seusianya yang
berdiri berhadapan dengannya kini tak akan mungkin dilupakan. Wajah yang
kemiripannya nyaris sempurna dengan seseorang yang menempatkan bilah cinta
pertama dalam diri si anak muda,
Tresnasari. Karena itu, dia tak akan mungkin lupa!
Siapa gadis berwajah mirip
Tresnasari yang dijumpainya dua tahun
lalu kalau bukan Mayangseruni. Dan nama itu baru saja didesiskan Satria dengan
sehimpun rasa kaget.
Gadis itu pun memperlihatkan
keterkejutan di raut wajahnya demi menyaksikan jelas-jelas paras orang yang
ditantangnya untuk bertarung.
Selama ini, tampaknya dia tak melihat langsung wajah calon lawannya karena
terhalang oleh caping lebar. Ketika caping itu terebut oleh tangan Satria,
semuanya pun berubah.
Kejadiannya begitu tampak aneh.
Siapa pun akan menganggap begitu.
Termasuk anggapan Satria sebelumnya.
Bagaimana mungkin gadis muda itu tahu-tahu hendak membunuh orang yang belum lagi
dilihat wajahnya secara langsung"
Namun semuanya akan menjadi jelas bila mengetahui duduk persoalan
sebenarnya. Baik bagi Satria ataupun si gadis sendiri.
"Mayangseruni, aku tak menyangka kau akan sedendam ini padaku setelah aku
membunuh ayahmu, Dirgasura (Untuk mengetahui bagian kisah tersebut, bacalah
episode sebelumnya : "Kail Naga Samudera")! Waktu itu, mana aku tahu kalau
pemimpin gerombolan Laskar Lawa Merah adalah ayah kandungmu
sendiri.... Sampai saat ini, bahkan aku tak mengetahui secara jelas,
bagaimana asal-usul kau sebenarnya.
Sampai kau harus bertemu dengan ayah
kandung yang sebelumnya sama sekali tak kau kenali...." Satria nyerocos panjang
lebar. Dia yakin sekali kalau tindakan penyerangan yang dilakukan si gadis
disebabkan dendam terhadap
dirinya. Gadis berambut panjang lepas yang berdiri sejauh delapan langkah dari tempat
Satria mulai pula
memperlihatkan keheranan atas setiap perkataan yang didengarnya dari mulut
Satria. "Apakah kau benar-benar Satria?"
tanyanya ragu. Satria jadi bengong ditanya
seperti itu. "Apa maksudmu bertanya begitu" Aku memang Satria. Kau pikir siapa?"
Satria balik bertanya. Dengan keheranan yang tak kurang sarat di wajahnya.
"Lalu, kenapa kau memanggilku Mayangseruni" Siapa dia?" susul si gadis berparas
ayu yang keayuannya itu mulai mematang dieram usia menjelang dewasa.
Satria tak mengerti ini. Semuanya betul-betul membingungkan. Padahal dia sudah
begitu yakin bahwa gadis yang berhadapan dengannya kini adalah
Mayangseruni. Dan kalau Mayangseruni memusuhinya, tentu karena Satria
pernah punya hutang nyawa membunuh ayahnya. Tapi, sekarang gadis muda ayu itu
malah mengaku dirinya bukan Mayangseruni. Apa-apaan ini"
Tiba-tiba, plak! Satria menampar
keningnya kuat-kuat. Pikirannya jadi terbuka sekarang. Dia ingat, dulu dia
pernah salah menyangka. Mayangseruni dikira Tresnasari. Kali ini, dia yakin
telah salah menyangka lagi.
"Apakah kau...." Satria tak melanjutkan ucapan. Mungkinkah gadis yang
disaksikannya kini benar-benar Tresnasari" Gadis impiannya yang telah hilang
sekian lama" Yang kehilangannya membawa lari cinta pertama si perjaka gagah
dalam ketidakpastian"
"Aku Tresnasari, Satria" Apa kau lupa padaku?"
"Tresnasari?" Nama gadis itu akhirnya terlahir dalam gumaman ragu Satria.
Si dara nan ayu melangkah.
Satu... dua... tiga tindak. Ragu.
Sinar matanya berbinar-binar. Wajahnya sendiri masih dikungkung kebingungan atas
sikap Satria. Satria sendiri malah bengong
seperti kerbau linglung.
Sampai akhirnya, Tresnasari
menghambur ke arah Satria. Satria didekapnya kuat-kuat. Hangat.
Gegap. Wajahnya tersuruk dalam di bahu kekar si perjaka muda yang kini telah
menjadi seorang pemuda gagah (meskipun sifat lugunya masih belum minggat-minggat
juga!). Terdengar
seguk kecilnya di telinga Satria.
Satria masih saja bengong.
Melompong. * * * 9 KERATON Demak. Di ruang pendapa.
Tresnasari selesai menuturkan cerita dirinya selama lebih kurang dua tahun
terakhir ini pada Satria. Bahwa dia terpaksa menjadi murid Nini Jonggrang,
seorang wanita tua penganut ilmu sesat yang menyandang julukan mengerikan
sepanjang lebih dari tiga puluh tahun terakhir.
Lalu kenapa Tresnasari jadi
menyerang Satria waktu itu" Si dara ayu yang menanjak dewasa seperti juga Satria
itu pun menjelaskan. Nini Jonggrang memang telah mempunyai rencana semenjak
Tresnasari menjadi muridnya.
Dia hendak menuntut balas dendam pada Dongdongka. Namun karena satu sebab, dia
tak bisa langsung menuntutnya pada Dongdongka. Karena dia mendengar kabar
Dedengkot Sinting Kepala Gundul telah mengangkat murid, maka dia hendak
membalaskan dendamnya melalui Satria, murid Dongdongka.
Setelah dianggap telah cukup
berguru, Tresnasari sebagai muridnya diperintah untuk menyingkirkan seseorang. Tak dijelaskan padanya siapa yang harus dibunuh. Dan kenapa harus
membunuh. Dia hanya diantar ke kotapraja
untuk menemui seseorang yang telah diamat-amati beberapa lama oleh Nini
Jonggrang. Semula Tresnasari tidak sudi menuruti perintah gurunya. Namun karena
gurunya menurunkan ancaman, dia tak bisa berbuat banyak. Biar
bagaimanapun, keadaan jiwa Tresnasari memang dalam keadaan lemah semenjak
kehilangan ibu tercintanya. Dia begitu rapuh. Sehingga, dengan mudah Nini
Jonggrang menguasainya.
Karena tak ingin menyaksikan
wajah orang yang hendak dibunuhnya, Tresnasari mengenakan caping. Dia tak ingin
nantinya dibayang-bayangi bayangan wajah orang yang dibunuhnya.
Apalagi jika di belakang hari
diketahuinya kalau orang itu tak
pantas mati. "Jadi selama dua tahun ini kau telah berguru pada perempuan tua sesat itu"!"
perangah Satria.
Tresnasari mengangguk perlahan.
Ada garis penyesalan di wajahnya.
"Kenapa Tresnasari" Kenapa?"
Tresnasari seperti tak suka mendengar pertanyaan jejaka yang juga telah
memperkenalkan ke dalam relung hatinya cinta pertama itu. Dia merasa sedang
diadili. Karenanya dia tak ingin
menjawab pertanyaan terakhir Satria.
Satria mengheia napas. Dirangkulnya bahu gadis di sisinya, lembut.
"Maaf kalau kau merasa
tersinggung dengan pertanyaanku,
Tresna. Namun yang jelas, aku tak ingin menghakimimu. Sama sekali tidak.
Sebab, menurut penilaianku, tak ada yang batil di alam semesta ini. Tak juga
ilmu olah kanuragan yang kau pelajari. Hakikat kebatilan itu hanya terjadi
karena kita salah menempatkan sesuatu pada tempat semestinya...,"
papar Satria. Sebentar dia berhenti. Diulurnya
napas. "Dalam hal ini, ilmu olah
kanuragan apa pun akan menjadi batil jika dipakai untuk jalan sesat. Jadi yang
sesat sebenarnya adalah manusia pemiliknya. Itu maksudku. Kau paham?"
Barulah Tresnasari mau
mengangguk. Lega rasanya perjaka
pujaan yang sempat disebalinya bukan main saat awal perkenalannya itu tidak
berniat menyudutkannya. Apa lagi
hendak menghakimi.
"Terima kasih, Satria," hatur Tresnasari. Haru. Dibalasnya rangkulan tangan
Satria dengan pelukan kecil.
Lalu keduanya menikmati keheningan yang terpadu menjadi satu dalam percakapan hati yang hanya bisa
dimengerti oleh mereka sendiri.
"Bagaimana dengan nasib ibuku?"
tanya Tresnasari kemudian. Sebelumnya, wajah ayu gadis itu berubah murung.
"Dia telah tiada, Tresna. Aku menyesal sekali."
"Bukan itu maksud pertanyaanku.
Aku tahu, beliau telah meninggal karena penyakitnya. Yang ingin
kutanyakan, apakah dia meninggal dalam keadaan menderita?"
Giris hati Satria mendengar
pertanyaan bergetar disesaki kesedihan dalam Tresnasari. Keluguannya menitah-nya
untuk mengatakan segala sesuatu apa adanya. Namun kebijakannya
menimbang lain. Tentu hati Tresnasari akan terluka parah andai dikatakan
kalau.... "Tidak Tresna. Ibumu meninggal dengan tenang. Dengan damai," akhirnya Satria
terpaksa berdusta.
Tresnasari terdiam. Tatapannya
menerawang lowong. Sepertinya dia melacaki hari-hari yang telah lewat selama dia
bersama ibu tercintanya.
Dan tanpa terasa ada titik bening mengguliri pipi.
Satria tak bisa berkata apa pun.
Dia hanya bisa menawarkan pelukan penghibur. Dia berharap pelukan itu dapat
sedikit mngobati pedih di hati Tresnasari.
Keduanya hening lagi.
Bagaspati datang beberapa saat
kemudian. Di tangga pendapa, sesaat dia berhenti. Ragu, apakah mesti
diusiknya dua insan yang sedang
menikmati kebisuan itu"
"Silakan Kakang," ucap Satria, menyadari Bagaspati sudah berdiri tak jauh dari
tempat mereka, Malu-malu dia melepas pelukan. Bibirnya cengir sini cengir sana.
Tresnasari tergesa menghapus
genangan air matanya. Dia pun berusaha tersenyum meski rapuh.
Satria Gendeng 04 Iblis Dari Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bagaspati tersenyum. Dia maklum
pada keadaan Satria atau Tresnasari.
Dulu pun dia pernah muda, bukan"
"Kanjeng Susuhan berkenan bertemu denganmu, Dinda Satria,
Dinda Tresnasari." Kabarnya kemudian.
"Yak. kami siap! Eh, apa"!"
Satria jadi kaget sendiri. Jadi,
Raja Demak berkenan bertemu dengan mereka berdua" Benar begitu" Rasanya sulit
dipercaya! Kita akan bertemu Raja, Tresna!
Kanjeng Susuhan!" Satria hampir saja berjingkat kegirangan. Sewaktu kepala
Bagaspati menggeleng-geleng, pemuda itu jadi malu hati sendiri. Buru-buru
diperbaikinya sikap.
"Ehm ehm! Baik Kang Bagaspati.
Kalau begitu, kami 'persilakan' Kakang untuk membawa kami ke hadapan Kanjeng
Susuhan, kata Satria dengan gaya
seorang ningrat. Lagak!
* * * "Ke mana Cah
Gendeng itu, Kusumo?" Dedengkot Sinting Kepala Gundul
datang sradak-sruduk ke gubuk di tepi pantai Tanjung Karangbolong. Semadi Ki
Kusumo jadi berantakan gara-gara
bangkotan satu ini. Sudah masuk tak ketuk pintu. pakai teriak-teriak lagi.
"Dia tak berkata padaku hendak ke mana," jawab Ki Kusumo. Saat itu si tabib
kenamaan tanah Jawa yang tak memiliki kaki lagi sedang di atas balai.
"Kacau balau!"
Alis putih jarang Ki Kusumo
mengernyit. Baik sikap, sifat atau sepak terjang sesepuh gendeng yang tetap
dihormatinya itu kerap kali membuatnya pusing sendiri. Kacau
balau, apa maksudnya" Kalau persoalan tak jadi mati, sudah beberapa hari Ki
Kusumo tahu. Rasanya persoalan itu belum cukup bisa disebut kacau balau.
Sebaliknya, kesintingan Si Tua Bangka Sinting malah melorot.
Jadi persoalan mana yang dianggap kacau balau"
"Apa maksudmu, Panembahan?"
"Anu.... Jonggrang mulai cari gara-gara lagi padaku!"
"Nini Jonggrang?"
"Iya, Kusumo. jonggrang, nenek
jelek bau itu! Apa tadi aku debut
'jomplang' atau jamblang'" Eh,
bagaimana kau ini, Kusumo?"
"Apa maunya
si Perempuan Pengumpul Bangkai itu?" .
"Tidak mau apa-apa. Cuma dia memang sirik saja! Dia mau balas
dendam padaku! Bayangkan, Kusumo!
Bayangkan!" Dongdongka melempar pantat teposnya ke balai. Balai bambu sampai
berderak mau patah. Lalu dipeluknya lutut. Dagunya ditopangkan ke salah satu
dengkul antiknya. Dia pun manyun.
"Lalu apa hubungannya dengan Satria?" Ki Kusumo ingin tahu lebih jelas.
Dongdongka menggerakkan leher,
menaikkan kepala. Bernafsu. Persis seperti onta padang pasir yang
celingukan mencari mata air di gurun.
"Tai kucing, si Jonggrang ini!
Aku yakin dia punya niat jelek pada Cah Gendeng kita. Niat jelek, tahu"!
Seperti mukanya yang jelek itu! Ah, aku sebal sama dia!"
Ki Kusumo mengangguk-angguk.
Sampai di sana, dia tak butuh bertanya lagi. Semuanya sudah agak jelas di benak
orang tua yang bersifat amat bertolak belakang dengan Dongdongka.
Kalaupun belum jelas, rasanya percuma bertanya lebih banyak saat Dedengkot
Sinting Kepala Gundul sedang sewot.
Namun, ada keresahan yang
menjalar diam-diam di dalam diri Ki Kusumo. Keresahan yang dilahirkan oleh
kecemasan pada keselamatan Satria, murid kesayangannya. Sebab, dia tahu benar
siapa yang mengincar, pemuda hijau itu.
Untuk dirinya saja yang sudah
demikian kenyang makan asam garam.
Nini Jonggrang terhitung lawan yang sulit. Bukan saja sulit untuk
ditandingi kesaktiannya. Namun juga sulit untuk diduga segala rencananya.
Di dunia persilatan tanah Jawa,
Nini Jonggrang alias Perempuan
Pengumpul Bangkai, tak lebih dari dedemit betina yang tega melakukan seribu satu
kekejian tak berperi
kemanusiaan. , Belum lagi satu persoalan lain
yang tak kalah mengkhawatirkan, Ki Ageng Sulut yang sepak terjangnya kian bengis
hari-hari belakangan. Ki Kusumo tahu, si Iblis Dari Neraka itu sengaja mengumbar
kekejaman dengan tujuan memaksa Ki Kusumo secara tak langsung mengobati
penyakitnya dengan Kail Naga Samudera. Jika Kail Naga Samudera telah
dikuasainya, tentu dia tinggal mengusahakan agar Ki Kusumo bersedia mengobati"
Sementara ini, Ki Ageng Sulut
memang tak pernah tahu kalau Satria termasuk murid Ki Kusumo. Lalu,
bagaimana pula jika dia mengetahui"
Bukankah cepat atau lambat, kabar burung akan sampai ke telinganya, dan dia akan
tahu tentang hal itu"
* * * Beberapa puluh tahun silam
Dongdongka dan Nini Jonggrang adalah sepasang pendekar kenamaan. Malang
melintang di dunia persilatan dengan jutukan besar Dewa dan Dewi Pegunungan
Sewu, sesuai dengan nama tempat asal mereka memperdalam ilmu olah
kanuragan. Dongdongka masih berdarah ningrat bergaris keturunan raja Majapahit.
Seperti juga Ki Kusumo yang berdarah ningrat Singasari, Dongdongka meninggalkan
gelar dan kehidupan kening-ratannya. Sejak bocah, dia pergi dari keluarganya
tanpa embel-embel apa pun.
Seperti layaknya seorang bayi yang baru dilahirkan. Nama aslinya pun dilupakan.
Tujuannya adalah menuntut ilmu sebanyak-banyaknya.
Di Pegunungan Sewu dia berhasil
berguru dengan seorang pertapa sakti tak dikenal. Pertapa sakti itu telah pula
memiliki seorang murid perempuan bernama Jonggrang. Keduanya lalu
menjadi saudara seperguruan.
Setelah bertahun-tahun menuntut
ilmu di Pegunungan Sewu, tibalah waktu bagi keduanya untuk turun gunung. Saat
itu. keduanya telah menanjak dewasa.
Dongdongka tumbuh sebagai pendekar muda gagah, tampan, sekaligus sakti.
(Padahal sekarang ini, genderuwo saja tak akan nafsu mendekatinya!). Jonggrang
pun demikian. Dia menjadi
pendekar wanita muda yang ranum, baik wajah, ataupun tubuhnya.
Jonggrang sebagai kakak
seperguruan Dongdongka, diam-diam memendam cinta pada sang perjaka
gagah. Cintanya itu hanya bertepuk sebelah tangan. Dongdongka tak lebih
menganggapnya sebagai seorang kakak seperguruan. tak lebih, tak kurang.
Kalaupun ada rasa sayang, maka rasa sayang itu demikian tulus tanpa
disertai gelora asmara.
Jonggrang pada dasarnya adalah
seorang wanita penggoda. Gelora birahinya sangat besar dan sulit
terhendung. Kelemahannya itu seringkali menjerumuskan dirinya ke dalam tindakantindakan bodoh. Si pertapa tua sakti guru mereka menyadari hal itu. Karenanya,
dia berwanti-wanti teramat sangat pada Dongdongka muda untuk. mengawasi dan
menjaganya. Sang pertama tua sakti sesungguhnya telah berusaha untuk mengikir sifat tercela tersebut dalam diri Jonggrang
melalui godokan-godokan batin. Namun, tampaknya tak cukup berhasil. Hal itu
berkenaan dengan
masa kecil Jonggrang. Dia besar di tempat mesum. Ibunya seorang wanita penghibur
kelas tinggi, langganan para pejabat bejat di kotapraja. Masa
kecilnya harus dicekoki dengan hal-hal seperti itu. Bahkan pada usia dua belas
tahun dia telah mengalami
perlakukan binatang dari seorang
pejabat bejat yang mempengaruhinya melepas keperawanan.
Suatu hari terjadi keributan
besar di tempat mesum tersebut. Rumah mewah tempat penjualan kehormatan wanita
itu terbakar. Jonggrang yang kala itu berusia lima belas tahun berhasil
diselamatkan Oleh Sang
Pertapa Tua. Sang Pertapa Tua begitu prihatin
dengan keadaan murid pertamanya itu.
Kehadiran Dongdongka muda, sedikit menghiburnya dan memberinya harapan agar
dapat menjaga Jonggrang jika saat turun gunung tiba.
Pernah suatu hari, Jonggrang
mencoba menggoda Dongdongka. Saat itu mereka berada ditengah hutan. Keduanya
hendak ke kota. Karena kemalaman, mereka memutuskan untuk bermalam di tepi danau
di tengah hutan.
Hujan turun deras melimpahi
hutan. Mereka hanya bisa berteduh di bawah batang pohon raksasa tumbang.
Hawa demikian dingin. Di samping
karena malam sudah cukup larut, angin
pun bertiup sejadi-jadinya. Tak
mungkin mereka membuat api unggun pada saat seperti itu. Akhirnya, mereka hanya
berusaha menghangatkan tubuh dengan jalan mengatur peredaran hawa murni dalam
aliran darah. "Truna...," desah Jonggrang, menyebut Dongdongka dengan nama
panggilan pemberian guru mereka.
Dongdongka muda alias Truna yang
sedang bersila dalam posisi bersemadi membuka matanya perlahan.
"Kenapa, Nyi?" tanyanya. Dilirik-nya Jonggrang yang meringkuk setengah terbaring
di sudut tetumbangan pohon raksasa. Tangannya mendekap dada
rapat-rapat. Sampai sebagian buah dadanya agak menyembul dari balik belahan
pakaiannya. "Apakah kau tak merasakan
dingin?" tanya Jonggrang. Matanya sayu menatap wajah bergaris kuat Dongdongka
yang dibasahi tempias hujan. Sudah beberapa saat dipandanginya sekujur tubuh
pemuda Truna ketika pemuda itu tenggelam dalam kekhusukannya
bersemadi. Dada bidangnya yang turun naik perlahan diguliri oleh titik-titik air
hujan. Juga lehernya yang kokoh, juga otot-otot pinggangnya.
Juga.... Semua itu membakar birahinya.
mengangkat gairahnya ke ubun-ubun, mendidihkannya.
Pemuda Truna menggeleng.
"Aku bisa mengatasinya dengan sedikit bersemadi...
katanya lagi. "Kenapa Nyai tak melakukannya juga agar dapat mengusir dingin?"
Jonggrang menggeleng. Mata sayu
menantang yang berhias bulu mata hitam lentiknya terus merayapi wajah basah
pemuda tampak di dekatnya.
"Kenapa?" Truna tak memiliki prasangka apa-apa. Sama sekali tak terbetik dalam
benaknya pikiran macam-macam. Karenanya dia jadi tak paham kenapa kakak
seperguruannya tak
mencoba mengatur peredaran hawa murni sementara perempuan itu bisa
melakukannya. "Kenapa?" Jonggrang mengulang pertanyaan Truna dengan nada
mengundang. Mendesah, mendesis basah.
Dari tempatnya, dia pun bersingsut.
Geraknya melata, seperti seekor ular betina yang mengundang pejantannya. Di
dekatinya Truna. Napasnya terpacu, terpicu gairah liar dalam dirinya.
"Apakah tak sebaiknya kita
melakukan sesuatu yang
mudah dan menyenangkan untuk kita berdua?"
lanjut Jonggrang sambil melayapkan tangannya ke dada bidang Truna,
melatainya, menikmatinya.
"Maksud, Nyai?" Truna tetap tak paham. Namun, sebagai seorang pemuda, tak urung
darahnya berdesir cepat
menerima sapuan-sapuan telapak tangan lembut bergeletar.
"Kau tak tahu maksudku?" Mata Jonggrang menerkam penuh ke manik mata Truna,
memamahnya bulat-bulat. Ber-sitnya seperti mengerang-erang menga-lunkan
undangan. Tangan Jonggrang makin tak
terkendali. Melayap, melata, kesegenap dada basah Truna. Bahkan dengus
napasnya terasa menghangatkan leher kokoh Truna.
Truna kian diamuk gejolak yang
memberontak kuat di dasar dirinya.
Dadanya berdentam, membuat tangan Jonggrang seperti merasakan sambutan
menggairahkan. "Apakah kau tak ingin....?"
Kalimat Jonggrang terputus ketika dengan tiba-tiba Truna bangkit
mendadak. Pemuda gagah itu mulai sadar tujuan Jonggrang sebenarnya. Dia bukan
tak memiliki keinginan itu, dia bukan seorang pemuda tanpa gairah. Namun, dia
teringat pada pesan gurunya. Kalau dia malah menyambuti undangan
Jonggrang, bukankah sama artinya pagar makan tanaman" Apakah dengan begitu dia
masih bisa disebut manusia"
Ataukah seekor anjing pemangsa domba yang semestinya dilindungi"
Di bawah limpahan hujan yang
membasahi kuyup-kuyup tubuhnya, Truna menatap Jonggrang dengan sinar mata
tak percaya. "Kenapa, Truna" Kenapa?" desis Jonggrang di antara deru angin dan luruhan hujan.
"Apakah kau takut Guru mengetahui perbuatan kita" Atau aku tak cukup menarik
buatmu?" Jonggrang ikut bangkit.
Di tengah gempuran hujan, keduanya berdiri berhadapan. Basah
pakaian mereka. Dingin menjalari
kulit. Namun gejolak dalam diri
Jonggrang tak berubah. Tetap mendidih.
Pakaiannya yang basah menyebabkan lekuk-lekuk sempurna tubuhnya membentuk nyata.
Ada sembulan putih, halus, dan padat dari belahan pakaian di dadanya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Truna, Apakah aku tak cukup menarik buatmu?"
ulang Jonggrang, makin samar.
Makin dikaburkan desis dan desah, mencoba menjamah tungku darah muda Truna.
Truna masih terpaku tanpa geming.
Matanya masih menatap tak percaya.
Jonggrang tak berhenti sampai di
situ. Dalam gerak lambat gemulai di antara butir-butir air hujan, tangannya
membuka belahan pakaian di bagian dadanya. Sembulan putih, padat, sekal itu
makin nampak sempurna di mata pria mana pun. Begitupun di mata Truna.
Lalu Jonggrang mengeluh di
hadapan Truna, menggeliatkan
leher jenjang putih dan basahnya. Melenguh lagi. Mendesahkan panggilan yang sulit
didengarkan. Namun, begitu mudah untuk diterjemahkan.
"Ayo, Truna...." Dan tangan lentik basahnya menjemput leher kokoh Truna.
"Tidak!!!" sentak Truna keras-keras. Dia berontak dari seluruh
tenung birahi yang terpancar keluar dari sekujur tubuh Jonggrang. Dia berkutat
dan berhasil melawan. Dia bukan anjing, atau semacam pagar
pemangsa tanaman! Ditinggalkannya tempat itu segera, menembus lebatnya hujan.
Tinggal Jonggrang yang memekikmekik memanggil Truna.
Satria Gendeng 04 Iblis Dari Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
* * * Setelah peristiwa itu, Truna tak
bertemu dengan Jonggrang kembali. Pagi harinya, ketika hujan reda dan
matahari menyapa, Truna mencoba
kembali ke tempat teirakhir. Jonggrang sudah tak ada lagi di sana.
Timbul penyesalan dalam diri
Truna. Menyesal harus pergi meninggalkan Jonggrang, kakak seperguruannya yang
diamanatkan Sang Pertapa Tua untuk dijaganya. Namun, tak sekalipun dia menyesali
penolakannya atas ajakan Jonggrang.
Sejak hari itu, dengan rasa
tanggung jawab yang tak luntur sedikit pun, dicarinya Jonggrang.
Setengah tahun mencari, si kakak
seperguruan tak kunjung
ditemukan. Sampai akhirnya, Truna berhasil
bertemu kembali dengan Jonggrang di sebuah desa. Dia bersama seorang
pendeta yang sebaya dengannya.
Mula-mula Truna bersyukur. Menurut penilaiannya, tentu Jonggrang dapat berubah setelah kenal dengan pendeta.
Tentu nilai-nilai rohaniah dapat menenteram gairah birahinya yang demikian
binal. Karena itu, Truna memutuskan
untuk mengawasi kakak seperguruannya dari jauh saja.
Kenyataan berujar lain. Setelah
diawasi sekian lama, barulah terbuka kedok si pendeta muda. Ternyata
pendeta muda itu adalah seorang tokoh sesat dari kalangan pendeta. Pakaiannya
saja seorang pendeta, namun tabiatnya tak lebih mulia dari hewan.
Dia mengetahui nilai-nilai kebajikan seperti mengenal setiap jarinya, namun
seluruh pehgetahuan keagamaan di
kepalanya cuma dijadikan modal untuk mencari pengaruh dalam masyarakat.
Bersama Jonggrang, keduanya
melakukan beberapa kebatilan tersamar.
Jonggrang mula-mula diumpankan kepada beberapa pejabat kerajaan. Setelah
itu, Sang Pendeta Muka Dua datang memberi ancaman pada si pejabat korban mereka
agar mau memberi apa-apa yang mereka minta. Jika tidak, maka Sang Pendeta Muka
Dua akan melaporkan
kemesumannya bersama Jonggrang kepada raja.
Hal itu terus berlanjut berkalikali. Truna tak tahan lagi. Sebagai
seorang yang dididik dengan nilai-nilai keksatriaan, dia tak bisa
mendiamkan begitu rupa perbuatan kakak seperguruannya bersama Sang Pendeta Muka
Dua. Suatu hari, Truna pun
memutuskan untuk mencegah berlanjutnya perbuatan mereka.
Ketika itulah, terjadi pertarungan hebat antara Truna dan Sang Pendeta Muka Dua. Tak ada yang unggul ataupun
kalah. Keduanya sama-sama
mengalami luka parah.
Sisa cinta Jonggrang yang masih
mengendap dalam dirinya terhadap Truna menyebabkan dia mencoba membawa Truna
kembali ke Pegunungan Sewu.
Beberapa lama kemudian, atas
perawatan Sang Pertapa Tua, Truna berhasil disembuhkan. Truna. kini berhutang
budi pada Jonggrang yang telah membawanya kembali pada guru mereka, sehingga dia
berhasil diselamatkan. Karenanya, dia tak sampai hati untuk melaporkan segala
tabiat buruk Jonggrang selama turun gunung.
Untuk mencegah sifat tercela
Jonggrang yang demikian liar, Truna malah bersedia berkorban. Dengan jiwa
seorang lelaki sejati, dimintanya Sang Pertapa Tua untuk menikahi mereka berdua.
Keduanya menikah. Untuk beberapa
tahun, mereka kembali ke dunia persilatan. Sebab, ilmu yang telah mereka
dapatkan harus diamalkan. Selama beberapa tahun itulah, sepasang suami-istri
muda itu dikenal dengan julukan Dewa-Dewi dari Pegunungan Sewu.
Namun, setan memang tak pernah
berhenti berjuang untuk menyesatkan manusia. Penyakit lama Jonggrang
kambuh lagi ketika untuk kedua kalinya dia bertemu dengan Sang Pendeta Muka Dua.
Dia lari bersama lelaki bejat itu.
Cukup sudah bagi Truna untuk
menutup-nutupi perbuatan Jonggrang pada guru mereka. Truna memutuskan untuk
pulang ke Pegunungan Sewu dan melaporkan segalanya pada Sang Pertapa Tua.
Tentu saja gurunya menjadi prihatin. Juga gusar. Prihatin karena biar bagaimanapun, dia menyayangi Jonggrang
seperti putrinya sendiri.
Gusar karena Jonggrang telah berkhi-anat pada satu ikatan suci pernikahan.
Maka, dengan berat hati Sang
Pertapa Tua memutuskan untuk menghukum Jonggrang. Truna diperintah untuk
membawanya kembali.
Truna kembali. Dunia persilatan tanah Jawa saat
itu digemparkan oleh perbuatan sepasang lelaki-wanita bertopeng yang melakukan
penculikan-penculikan terhadap beberapa perjaka tampan dan gadis cantik.
Selidik punya selidik, Truna
akhirnya mengetahui kalau kedua
pengacau itu adalah Jonggrang dan pasangan bejatnya. Mereka menculik untuk
memuaskan birahi liar keduanya.
Suatu kali, Truna berhasil
memergoki mereka. Dengan hormat, Truna meminta Jonggrang kembali ke Pegunungan
Sewu untuk memenuhi panggilan guru mereka. Tahu, dirinya bakal
dihukum, Jonggrang malah hendak melarikan diri. Truna terpaksa menahan.
Sampai pecahlah perkelahian.
Dibantu Sang Pendeta Muka Dua,
Jonggrang menggempur Truna. Truna dapat dikalahkan, Sebagian tubuhnya lumpuh
akibat kekejaman dua lawannya.
Sang pendekar muda kemudian menyepi untuk beberapa lama, guna memulihkan
keadaannya dan menyempurnakan ilmu olah kanuragan. Dia bersumpah tak akan
kembali ke Pegunungan Sewu sebelum berhasil membawa Jonggrang.
Pada saat yang sama, Jonggrang
pun memperdalam kesaktian bersama pasangannya.
Pasangan perempuan itu di hari
belakangan dikenal dengan julukan Iblis Dari Neraka. Siapa lagi kalau bukan Ki
Ageng Sulut"
* * * 10 ALAM tiba. Setelah siang itu
Satria dan Tresnasari mendapat
kehormatan untuk bertemu langsung dengan Raden Patah, Raja Demak
penguasa sebagian tanah Jawa, Satria dan Tresnasari dipersilahkan untuk menginap
dikeraton. Perjumpaannya dengan Raden Patah sebenarnya ber-kaitan dengan peristiwa penumpasan Laskar Lawa
Merah waktu lalu. Sang Raja Demak ingin sekali bertemu dengan Satria muda yang
sering.kali disebut-sebut oleh patihnya, Bagaspati. Dia merasa wajib
menyampaikan penghargaan langsung pada si pendekar muda atas jasanya membantu
pemberantasan Laskar Lawa Merah.
Sewaktu Raden Patah mengungkap
rasa terima kasihnya pada Satria di ruang kebesaran, pemuda lugu itu cuma
cengar-cengir tak habis-habisnya. Tak peduli giginya menjadi kering. Raden Patah
dengan tulus pun memberikan
pujian pada si pendekar muda. Katanya.
negeri ini membutuhkan satria-satria muda. Para pendekar yang tak hanya bermodal
keberanian, namun juga
memiliki jiwa luhur, penjunjung nilai-nilai yang ditetapkan Illahi. Lagi-lagi
Satria cengar-cengir lugu. Dalam hati, Satria merasa tak pantas
mendapat pujian dari orang besar dan mulia seperti Raden Patah yang sudah
berusia cukup lanjut. Kalau mengingat bagaimana masa-masa muda gemilang pendiri
Kerajaan Demak itu yang sering didengarnya dari cerita-cerita
masyarakat, Satria merasa tak berarti apa-apa.
Pernah Satria mendengar, masa
muda Raden Patah sudah diisi dengan perjuangan tak kunjung padam. Tak kenal
letih. Tak kenal waktu. Bahkan sampai kini, di usianya yang sudah cukup tua.
Bukan karena dalam dirinya masih mengalir darah raja-raja
Majapahit. Melainkan karena keluhuran budi pekertinya dalam godokan pemukapemuka masyarakat yang tak diragukan pula keluhuran jiwanya.
Membayangkan masa muda Raden
Patah; membuat dorongan semangat dalam diri Satria untuk mengikuti jejaknya.
Malam sudah cukup larut. Satria
diberi kamar di dekat ruang pasang-rahan. Tresnasari mendapat kamar
tersendiri, berseberangan dengan tempat Satria. Lirih, terdengar senandung
jangkrik. Mendayu, bertiup bayu malam.
Keraton terpaku hening. Suasana
hening. Satu-dua punggawa tampak hilir
mudik di beberapa tempat. Lengkap persenjataan masing-masing. Seluruh keraton
diterangi oleh lampu-lampu minyak yang ditempatkan di beberapa tempat. Malam
terus berlanjut.
Diawal dini hari, satu bayangan
berkelindan ringan tanpa suara di atas wuwungan keraton. Geraknya nyaris tanpa
suara. Seolah seekor semut pun tak mati terkena pijakannya. Bergerak terus dia
menuju tempat peristirahatan raja. Tanpa satu prajurit pun
mengendusi kehadirannya.
Dikamarnya, Satria direjam kegelisahan. Sulit sekali dipejamkan
matanya. Meskipun dia sudah berusaha berbaring di atas ranjang beraroma harum
setanggi. Berkali-kali dicobanya merebahkan diri. Matanya memang bisa dipejamkan.
Namun, sama sekali tak bisa terpulas.
Ada getar-getar halus yang terus
mengusiknya. Semacam firasat yang belum lagi jelas.
Satria pun akhirnya hanya bisa
mondar-mandir di sisi pembaringan.
Angin melayap masuk lamat-lamat
dari kisi-kisi di atas jendela. Saat
itu, entah kenapa ada dbrongan dalam dirinya untuk menguak mulut jendela.
Tanpa niat apa pun, Satria membuka jendela. Setidaknya, nanti dia bisa sedikit
menikmati udara malam yang segar bersahabat di luar, pikirnya.
Jendela terkuak.
Kala yang sama, secara kebetulan
matanya menangkap kelebatan bayangan di atas wuwungan, dalam kegelapan langit
malam. Pakaian hitam-hitam yang dikenakan membuat orang itu nyaris tersamar
kegelapan. Mata Satria tak bisa begitu saja diperdaya. Ketajamannya telah terlatih sekian
lama dalam tempaan yang berat selama merenangi Lautan Selatan di sekitar Pulau
Dedemit. Kegelapan goa tempat kediaman Ki Kusumo waktu itu pun telah membuatnya
terbiasa bergerak di tempat gelap atau melatih
penglihatannya dalam kegelapan (Untuk lebih jelasnya, ikuti kisah Satria Gendeng
: "Geger Pesisir Jawa')!
Satria yakin orang berpakaian
hitam-hitam itu bermaksud buruk. Kalau menilik arah bergeraknya, tentu
sasarannya adalah Raden Patah
langsung. "Apa maunya orang ini," desis Satria halus.
Jiwa kependekarannya terbakar.
Cepat, dilompatinya jendela Dari mulut jendela, tubuhnya langsung mencelat.
Mula-mula ke arah dinding kayu yang berhadapan dengan jendela. Kakinya
menghentak sekali ke permukaan
dinding. Lalu Satria mencelat ke arah beriawanan, langsung menuju wuwungan.
Satu rangkai gerak yang selalu
dilatihnya saat Dongdongka uringuringan meminta minum air kelapa (Baca dalam episode: Kail Naga Samudera")!
Seorang prajurit yang kebetulan
melewati sisi kamarnya bahkan tak menyadari kalau
Satria baru saja
melintas di sisinya. Dia malah asyik menyenandungkan tembang lamat-lamat.
Di atas wuwungan yang berseberangan dengan si penyusup gelap,
Satria terus mengintai. Hasil godokan Dongdongka dan Ki Kusumo terhadap
kemampuan peringan tubuhnya selama ini telah membuahkan hasil sempurna.
Untuk menghindar agar penyusup
gelap tadi tak melihatnya. Satria berusaha mengatur jarak.
Penyusup gelap sampai tepatdi
atas wuwungan ruang peristirahatan raja. Tak dilanjutkannya gerak.
Artinya, dugaan Satria tak meleset.
Makin besar kemungkinan penyusup gelap itu hendak mengincar Raden Patah.
Sebelum semuanya jadi serba
terlambat, Satria berpikir untuk
mendahului saja.
"Hei!" hardiknya sangar. Sengaja dia berdiri tegak tanpa mengendapendap lagi. Penyusup gelap tersentak sejenak.
Dia menoleh sigap ke arah hardikan berasal. Sinar lampu minyak dari taman sari
menyapu. Kalau saja orang itu tak mengenakan kain hitam penutup wajah, tentu
Satria bisa langsung menyaksikan parasnya.
Mengetahui dirinya telah tertangkap basah, si penyusup gelap.
berusaha melarikan diri. Satria tak mungkin mendiamkannya. Dia harus
menangkapnya. Setidaknya untuk mengo-rek keterangan.
"Haaaa!"
Satria melompat disertai pengerahan tenaga dalam penuh dan segenap peringan tubuhnya. Bentangan jarak antara
tempatnya dan tempat si penyusup yang terbilang jauh terpangkas lompatannya.
Sekelebatan dia bagai kelelawar terbang di kegelapan
wuwungan. Jleg! Tepat di depan si penyusup,
Satria hinggap menghadang.
"Heaah!"
Sring! Entah bagaimana caranya. tangan
penyusup gelap sudah menggenggam keris panjang. Dibabatkannya ujung keris
langsung ke leher Satria.
Udara tergores tajam.
Leher Satria terancam.
Tertusuk atau tergorok.
"Hih!"
Satria meninggikan telapak
tangannya, membentuk benteng. Sulit menangkis sambaran senjata lawan yang
membentuk gerakan miring setengah lingkaran. Dibutuhkan ketajaman seekor elang
untuk raenempatkan tangkisan.
Salah-salah, tangan Satria tertembus keris, atau tersayat ujungnya!
Plak! Tepat di kepalan tangan lawan.
telapak tangan Satria berhasil
memapak. Lawan menyusulkan sabetan. Kerisnya menggores udara malam lagi,
membalikkan arah putaran sedikit lebih ke bawah. Perut Satria sasarannya.
Satria Gendeng 04 Iblis Dari Neraka di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wess! Satria kali ini membiarkan saja.
Benar-benar membiarkan. Seakan dengan sengaja hendak ditadahinya sambaran ujung
keris dengan perutnya.
Jarak menipis. Dan ancaman
membesar. Lawan menyangka kerisnya akan
segera bersarang telak di perut si pendekar belia. Satria Gendeng.
Sekedip mata lagi, isi perut pemuda tangguh akan segera bobol keluar.
Kecele! Karena tanpa terduga-duga otot
perut Satria mengempis. Tanpa sedikit pun menggerakkan badan. Dan ujung
keris lawan hanya terlewat seujung kuku. Satu perhitungan yang luar biasa jeli,
tajam dan berisiko amat fatal!
Justru dengan begitu, Satria
langsung dapat memetik keuntungan lawan yang semula mengira sudah
mendapatkan posisi di atas angin
menjadi lengah. Tangan Satria menyentak cepat dari dua sudut berbeda.
Wess! Degh! "Aah!"
Tubuh lawan terdorong. Di atas
wuwungan, dia terjengkang. Sebagian gentingnya hancur. Kalau saja
rangkanya tak cukup kuat, tentu tubuh penyusup gelap akan menjebol masuk ke
dalam ruang istirahat raja.
"Berdirilah!" gertak Satria sambil menaikkan sudut bibirnya,
mencemooh lawan. Jari telunjuknya diacungkan dan digerak-gerakkan seperti
geliatan seekor cacing kepanasan.
Si penyusup menggeram. Hanya
dengan satu sentakan otot perut dan pinggang, dia bangkit.
Jarak antara keduanya kini cukup
renggang. Sementara itu, keributan di atas wuwungan telah mengundang seluruh punggawa
pengawal keraton berhamburan keluar di sekitar tempat kejadian.
Mereka menyaksikan dua sosok
sedang berdiri dalam kuda-kuda masingmasing. Raden Patah sendiri sudah keluar dengan wajah yang tetap memperlihatkan
ketenangan luar biasa.
Wajahnya seolah permukaan danau yang membeku.
Si penyusup gelap, tampak menggerak-gerakkan kedua tangannya. Sesekali terdengar hempasan-hempasan
napasnya. Diacungkannya keris tinggi tinggi ke udara. Lalu....
"Heaaa!"
Zzzz! Keris di tangannya memancarkan
cahaya merah! Si penyusup gelap membuat gerakan menyabet searah dengan tempat berdiri Satria.
Wezzz! Serangkum cahaya merah terjulur
memanjang, meluruk langsung dan hendak menanduk Satria Gendeng.
Satria terperangah. Dalam keterkejutan luar biasa itu, tak ada
tindakan yang bisa dilakukannya. Namun kekuatan terpendam dalam dirinya
akibat pengaruh zat dasar samudera dan ramuan Pulau Dedemit justru bergolak amat
cepat. Lebih cepat dari desir darahnya sendiri. Bahkart lebih cepat dari
terjangan cahaya merah lawan.
"Haaakh!"
Lolongan menggidikkan menggempur
angkasa malam. Melejit langsung dari tenggorokan si pendekar muda, manakala
tubuhnya tertanduk cahaya merah tadi.
Getaran hebat terjadi. , Genting
hancur. Kepingannya seperti berlompatan riuh.
Dan tubuh penyusup gelap turut
tergetar. "Huaaah"
Belum lagi ujung lolongan Satria
tercapai, lolongan dari kerongkongan lawannya menyusul. Beberapa saat
kemudian.... Blar! Cahaya merah membersit lebar,
mengembang. Lelaki berpakaian hitam-hitam
terpental deras ke belakang. Sentakan amat kuat membuat kain penutup
wajahnya saat itu juga terlepas.
Dia jatuh bergulingan deras ke
bawah, di antara keping-keping genting keraton.
Lalu bumi menyambutnya. Telentang, tubuhnya terengah-engah. Darah membasahi sudut bibirnya. Saat itulah
Satria dipaksa terperanjat menyaksikan wajah penyusup gelap itu.
"Kang Bagaspati?"?""
* * * Kenapa dengan Bagaspati ini" Apa benar dia ingin mengincar Raja Demak"
Benar apa tidak" Lalu, ada urusan apa si nenek jelek, peyot, bau (hidup
lagi!) Nini Jonggrang dengan Dongdongka" Bagaimana kalau dia tahu muridnya yang
diperintah untuk membunuh Satria, eh malah bermasyuk-masyuk dengan pemuda itu"
Ikuti kelanjutannya dalam
episode: "Perempuan Pengumpul
Bangkai" SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Misteri Kapal Layar Pancawarna 16 Pendekar Mata Keranjang 14 Dayang Naga Puspa Lentera Maut 9
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama