Ceritasilat Novel Online

Perempuan Pengumpul Bangkai 1

Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai Bagian 1


PEREMPUAN PENGUMPUL BANGKAI Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Satria Gendeng
Dalam Episode 005 :
Perempuan Pengumpul Bangkai
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 KERATON Demak di penghujung dini
hari. Kekacauan baru saja pupus, berkawal
kokok ayam jantan pertama di pagi buta, Seluruh prajurit Keraton Demak berkumpul di
luar, di Taman Sari dekat dengan ruang peristirahatan raja. Raden Fatah berdiri di antara
mereka, mengawasi kejadian di samping satu
tiang keraton. Meski baru saja berkecamuk
kekacauan, parasnya sama sekali tak berubah. Tetap tenang, tetap dengan kesejukannya. Seolah badai hebat pun tak bisa mempengaruhi paras lelaki tua berwibawa itu.
Di tengah-tengah pelataran Taman Sari,
seorang lelaki berpakaian hitam-hitam tergeletak lemah. Mulut dan hidungnya mengalirkan darah. Wajahnya yang keras dan kokoh
demikian pucat. Menderita sekali tampaknya.
Terlihat dari caranya mendekap dada. Juga
dari garis-garis di wajahnya. Susah payah dia
berusaha bergerak bangkit.
Di atas wuwungan ruang peristirahatan,
berdiri seorang pemuda gagah berambut lurus panjang kemerahan hingga sebatas bahu.
Dia mengenakan rompi putih dari kulit binatang, Matanya disarati oleh bersit kebingungan. Mimik wajahnya melepas sekian pertanyaan yang belum sempat terjawab. Menilik
wajah itu, usianya terbilang cukup muda. Baru saja menginjak masa kedewasaan.
Wuwungan tempatnya berdiri berantakan. Centang-perentang. Genteng-genteng
porak-poranda ke mana-mana. Setiap orang
yang melihat, akan dengan mudah menilai,
baru saja terjadi pertarungan sengit di atas
sana. Mendapati Raden Patah telah berada keluar dari ruang peristirahatan nya, pemuda
tadi segera menggenjot tubuh. Ringan. dia
melompat turun. Geraknya bagai seekor rajawali muda perkasa yang baru saja memenangkan pertarungan di angkasa.
Tiba di bumi, cepat dia menjura hormat
pada Raden Patah.
"Maafkan kelancangan saya, Kanjeng
Susuhan...." haturnya khidmat.
Raja Demak berwibawa itu mengangkat
tangan. Ada sebaris senyum la mat tersembul
di bibirnya. Senyum yang sama sekali tak bisa dipahami oleh pemuda berambut kemerahan. Bukankah tak tepat waktunya untuk
tersenyum setelah kekacauan"
"Tak usah kau meminta maaf, Nanda Satria," ujar Raja Demak, dengan suara berat berpengaruh. Dia melangkah, mendekati
pemuda berambut kemerahan.
Puluhan prajurit pengawal keraton menyusul mempersembahkan juraan pada sang
Raja Demak. Setelah menjura, dua orang prajurit bergegas membantu lelaki berpakaian hitamhitam yang terluka dalam untuk bangkit. Keduanya memegang pangkal lengan di dua sisi.
Tak ada tanda-tanda kalau lelaki itu akan ditawan, kendati kekacauan yang terjadi karena
ulahnya. Bahkan ketika lelaki gagah berwajah tak
kalah berwibawa dengan Raja Demak itu sudah dapat berdiri agak limbung, kedua prajurit tadi menghaturkan juraan.
Masih dengan tanda tanya di wajah, pemuda berambut kemerahan yang dipanggil
Satria seorang pendekar muda belia yang belum cukup lama terjun ke dunia persilatan
tanah Jawa - menatap lelaki berpakaian hitam-hitam, beralih ke Raja Demak, dan akhirnya kembali lagi ke lelaki berpakaian hitam-hitam. Dia seperti ingin meminta penjelasan dari siapa pun yang sudi menjelaskan
duduk perkara padanya.
Beberapa saat lalu, Satria telah bertarung dengan lelaki berpakaian hitam-hitam
itu. Sebelumnya, lelaki berpakaian hitam serta kain hitam penutup wajah, mengendapendap di wuwungan keraton menuju ruang
peristirahatan raja. Tindakan itu menimbulkan kecurigaan Satria. Dia menguntit sampai
terjadi pertarungan. Yang mengejutkan, lawannya justru orang yang sudah cukup dikenalnya. Dia seorang patih kepercayaan raja,
Bagaspati (bagian kisah ini dapat dibaca pada episode sebelumnya : "Iblis Dari
Neraka"). "Maaf Kanjeng Susuhan Kalau saya boleh tahu, ada apa sebenarnya ini" Kenapa
Kang Bagaspati mengendap-endap menuju
ruang peristirahatan Kanjeng dengan pakaian
penyamaran seperti itu, hingga memancing
kecurigaan saya?" susul Satria.
Kendati masih merasakan luka dalam
akibat bertarung sengit dengan si pemuda berambut kemerahan alias Satria Gendeng, Patih Bagaspati memperlihatkan senyum diamdiam mendengar pertanyaan barusan.
Dengan tenang, dimasukkannya kembali
keris pusaka ke warangka. Selesai itu, dia
menjura pada raja.
"Kau bisa menjelaskan sekarang, Dinda
Bagaspati!" perintah raja kemudian.
Bagaspati mendekati Satria.
Satria terus menatapnya terheran-heran.
Mulutnya sampai ternganga tanpa sadar akibat terlalu dirasuki rasa penasaran.
Bagaspati menepuk bahu kekar pemuda
itu. Satria masih saja manyun tak mengerti.
Setelah seluruh prajurit pengawal keraton diperintahkan Bagaspati untuk segera
kembali ke tempat masing-masing, dan raja
sudah kembali pula masuk ke dalam, Bagaspati menggandeng bahu pemuda di sampingnya. Diajaknya Satria melangkah lambat, menyusuri jalan setapak berbatu kerikil yang
mengrangkai Taman Sari.
"Cepat jelaskan padaku, Kang, kenapa
Kakang melakukan tindakan konyol Itu?"
sungut Satria, tak sabar.
Bagaspati tersenyum. Dadanya jadi terasa sesak kembali. Tangannya mendekap dada.
"Jangan anggap perkataan ku lucu,
Kang! Perbuatan Kakang memang konyol. Bagaimana kalau di antara kita sampai ada yang
celaka?" "Nyatanya aku sudah 'celaka' di tanganmu, bukan?" seloroh Bagaspati, seperti
gaya seorang kakak mencandai adik sendiri.
"O, jangan salahkan aku! Mana aku tahu kalau orang yang ku curigai ternyata Kakang sendiri. Lagi pula, siapa suruh Kakang
mengenakan kain hitam penutup wajah segala"!" serbu Satria. Sumpah dikawini bidadari, dia tak sudi disalahkan.
"Baik baik, kau jangan sewot seperti itu."
"Baik apa?"
"Akan kuceritakan kenapa aku berbuat
seperti itu."
"Aku memang sudah berharap dari tadi.
Bahkan sejak aku menyaksikan wajah Kakang sewaktu telentang waktu itu. Aku pikir
Kakang mati. Celaka kalau sampai terjadi!
Bagaimana tidak, Kakang sudah kuanggap
kakak sendiri. Orang mana yang tega membunuh kakak sendiri, kecuali orang gila" Lagi
pula...." Bagaspati terpaksa tersenyum lagi mendengar cerocos Satria. Padahal, sebelumnya
pemuda itu justru yang tak sabar meminta
penjelasan. Sampai akhirnya Satria menyadari sendiri kebodohannya.
"He he he, aku terlalu banyak ngomong,
ya Kang?" ujarnya lugu, dengan ringisan ma-lu-malu (dan sedikit 'malu-maluin'!).
'Kau siap mendengar penjelasanku?"
tanya Patih Bagaspati.
Satria mengangguk. Dia tak ingin membiarkan mulutnya ngoceh lagi. Kalau sedang
bingung. mulutnya sering kali sulit dikendalikan. Maunya "nyambar' terus seperti mercon.
"Begini.." Bagaspati memulai. "Sebenarnya, tindakanku menyelinap di atas wuwungan adalah rencana Kanjeng Susuhan sendiri...." "Ah, masa'"!" perangah Satria. Matanya membesar. Langkahnya terhenti.
"Ya. Beliau bermaksud menguji kepandaianmu selaku seorang pendekar muda. Lalu, aku diperintah untuk mengujinya.'
"Ah, buat apa menguji aku segala" Satria tak percaya. Benar-benar tak percaya!
Apa alasannya menguji kepandaian kanuragannya" Apa tujuannya"
"Dengar dulu," potong Bagaspati ketika mulut Satria sudah memperlihatkan gelagat
buruk kembali. "Sengaja aku menyamar agar kau mencurigaiku. Setelah kau curiga, dan menganggap aku akan mencelakai Kanjeng Susuhan,
tentu kau tak akan ragu-ragu lagi bertarung
denganku dan mengeluarkan kepandaianmu.
Bahkan kau pun tak ragu-ragu membuat aku
'celaka'...."
"Bukan itu maksudku. Kang. Bukankah
sudah kubilang kalau...."
"Ya ya, aku paham," potong Bagaspati
kembali. "Memang itu tujuan aku menyamar.
Agar kau tak ragu-ragu bertarung denganku.
Jadi kau tak perlu merasa bersalah."
"Baik, yang itu aku paham. Tapi, kenapa
Kanjeng Susuhan hendak menguji kepandaian kanuragan ku?"
"Karena dia berniat mempercayakan padamu satu perkara besar?"
"Ah, masa'"!"
"Kanjeng Susuhan belakangan ini mencari orang yang bisa dipercaya untuk menangkap seorang pengacau besar berbahaya.
Hidup atau mati. Ketika bertemu dengan kau,
Kanjeng Susuhan merasa kau bisa dipilih untuk menjalankan tugas itu...."
"Ah, masaaaaaaa'"!"
"Untuk itu, kau perlu diuji. Kanjeng Susuhan bukan tak yakin pada kemampuanmu.
Dia hanya ingin mengetahui sampai di mana
tingkat kepandaianmu. Aku pun diperintah
untuk mengujimu."
"Ah ah, masa' masa'"!"
"Dan tampaknya Kanjeng Susuhan telah
yakin kini. Apa kau tak mau tahu siapa yang
hendak kau hadapi dalam mengemban tugas
dari Kanjeng Susuhan?"
"Ah, masa', eh iya ya! Siapa orangnya,
Kang?" "Ki Ageng Sulut...,"
"Ah, Mak!"
Satria kontan melotot. Ki Ageng Sulut"
Lelaki tua sakti berjuluk Iblis Dari Neraka itulah yang dulu telah membuatnya
terjengkang hampir modar dalam kerusuhan di Perguruan
Cemeti Api (Baca kisahnya dalam episode :
"Iblis Dari Neraka"!). Dia juga yang telah me-rebut senjata pusakanya Kail Naga
Samudera. Tresnasari datang tergopoh-gopoh. Di
kamarnya yang cukup jauh dari ruang peristirahatan raja, mendengar dua prajurit membicarakan pertarungan hebat Satria. Karena
khawatir jejaka pujaannya kenapa-napa dia
buru-buru keluar.
"Kau tak apa-apa, Satria"!" serbu Tresnasari, penuh kecemasan di wajahnya. Tangannya memagut pangkal lengan si pemuda
kuat-kuat, akibat kecamuk perasaan.
Satria cengengesan. Malu hati dia pada
Bagaspati. "Sebenarnya, aku tak apa-apa...," ucap Satria. "Entah kalau Kang Bagaspati ini,"
tambahnya, meledek.
Bagaspati bisa bilang apa kalau sudah


Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dibegitukan"
* * * 2 ACARA pungut mantu diadakan oleh
seorang saudagar besar Kadipaten Kudus.
Dalam acara itu, diadakan sayembara untuk
mencari seorang suami bagi putri tunggal
sang Saudagar. Bentuk sayembaranya adalah
dengan menggelar pertandingan silat di atas
panggung besar yang sudah disediakan di depan pelataran rumah besar saudagar itu.
Bagaspati mengajak Satria dan Tresnasari ke sana. Beberapa hari lalu, dia mendapat undangan untuk menghadiri acara tersebut. Biasa, para saudagar besar terkadang
sering mencoba membuat 'pendekatan-pendekatan' dengan pejabat. Dengan begitu, usahanya secara tak langsung akan mendapat
dukungan kekuasaan.
Bagaspati sendiri sebenarnya tak begitu
berminat untuk menghadiri undangan sang
Saudagar. Namun karena dia ingin menjaga
citra pihak keraton, dia datang juga.
Dengan menunggang kuda, ketiganya
sampai di gapura rumah yang dikelilingi tembok tinggi layaknya keraton itu. Empat orang
centeng berwajah sangar lengkap dengan
'perkakas'nya menyambut mereka. Melihat
Bagaspati, mereka cepat-cepat menyampaikan juraan. "Selamat datang Gusti Patih...," sambut salah seorang dari mereka. "Dan juga
Nisanak dan Kisanak berdua," tambahnya, ditujukan
untuk Satria dan Tresnasari.
Bagaspati mengangguk sekali, membalas
sambutan mereka. Satria latah mengangguk.
Entah apa maksudnya. Tresnasari tertawa
tertahan di belakangnya, geli menyaksikan lagak pemuda itu.
Ketiganya lalu diantar masuk oleh salah
seorang centeng.
Pelataran rumah sudah ramai. Di sekeliling panggung, sudah hadir para undangan.
Di pendapa, tampak para kaum bangsawan
dan beberapa pamong duduk di atas kursi. Di
sekeliling panggung di depan pendapa, duduk
di kursi puluhan pendekar-pendekar silat dari
beberapa penjuru tanah Jawa. Mereka berminat besar untuk mengikuti sayembara yang
diadakan. Sebagian hanya berniat untuk
menguji dan mengukur sampai di mana kepandaian silat yang dimiliki. Sebagian lain,
datang dengan tujuan mendapatkan putri
cantik si Saudagar yang telah disediakan
layaknya 'piala'.
Putri sang Saudagar sendiri tak tampak
di antara tamu di pendapa. Di sana tak ada
seorang gadis pun. Kalaupun ada wanita, hanyalah istri-istri para undangan. Gadis itu
tampaknya masih berada di dalam kamarnya.
Mungkin baru akan keluar setelah acara
sayembara selesai.
Sang Saudagar tergopoh-gopoh menyambut kedatangan rombongan kecil Bagaspati. Dia seorang lelaki agak pendek. Berwajah bulat berlemak. Berperut buncit. Berpakaian seperti para ningrat tanah Jawa. Mengenakan blangkon dan kain lurik.
Di sampingnya, Bupati Kudus turut melangkah terburu. Seorang lelaki menjelang
tua. Penghormatannya wajar-wajar saja. Tak
seperti sang Saudagar. Senyum tulusnya
mengembang. Wajahnya bersih dan enak dipandang. "Waduh, waduh Gusti Patih, selamat datang!!" sambut sang Saudagar, berlebihan.
Bagaspati turun dari punggung kuda.
Diikuti Satria dan Tresnasari.
Kuda mereka digiring seorang kacung ke
kandang. Dengan terbungkuk-bungkuk dalam,
sang Saudagar mempersilakan Bagaspati, Satria dan Tresnasari untuk melangkah ke pendapa rumahnya. Beberapa undangan di pendapa serentak bangkit dan menghaturkan
hormat pada tiga orang tamu yang baru datang. Hidung Satria kembang-kempis. Baru
sekali ini dia merasakan suasana seperti itu.
Biarpun dia tahu sebenarnya penghormatan
itu ditujukan untuk Bagaspati. Jalannya digagah-gagahkan. Rasanya, dialah sang Patih
yang dihormati. Sekali-kali, bolehlah bermimpi, gumam Satria dalam hati. Ngaco!
Coba kalau tak ada Bagaspati, tak akan
ada pula acara penghormatan sehebat itu. Bisa-bisa justru tendangan centeng mampir di
pantatnya! Acara 'orang besar' memang tak
bisa dikunjungi sembarang orang. Apalagi
'wong cilik' macam Satria. Hari ini ada pengecualian. Karena dia datang dengan seorang
Patih Demak, tentunya!
"Dinda Satria. Dinda!"
Panggilan Bagaspati mengejutkan lamunan tinggi Satria. Pemuda lugu itu terperanjat. Cepat-cepat dia menoleh ke arah suara
Bagaspati tadi.
Merah mukanya saat itu juga. Bagaimana tidak" Bagaspati sudah duduk di kursi
yang disediakan bersama Tresnasari. Sementara dia masih saja melangkah. Bahkan,
hampir sampai di tangga luar pendapa sebelah selatan. Satria tersenyum kecut. Buru-buru dia
putar haluan. Siapa yang suruh melamun"
* * * Setelah sekian mata acara yang menjemukan berlangsung, sayembara pertandingan
silat pun dimulai. Satu orang pendekar dari
tanah Parahiayangan wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran naik ke panggung.
Pendekar ini mengenakan baju putih, celana dan ikat kepala hitam. Seorang lelaki berusia tak terlalu tua. Rambutnya panjang
bergelombang. Di pinggangnya melilit sabuk
kulit ular tempatnya menyelipkan kujang.
Sebentar dia memberi salam penghormatan kepada seluruh hadirin. Lalu diperkenalkannya diri. Nama dan daerah asal disebutkan. Juga julukannya.
Berikutnya seorang penantang menyusul
naik panggung. Seorang lelaki muda Tiongkok
yang datang dari Pecinan di kotapraja Demak.
Berambut panjang dikepang. Meski bermata
sipit, wajahnya terbilang tampan. Kulitnya
putih kemerahan. Mengenakan pakaian khas
orang dari negeri asalnya, berwarna kuning
dengan beberapa ikatan di bagian dada. Bercelana panjang dan bergandul tali.
Seperti lelaki pertama, pemuda Tiongkok
itu pun menyampaikan hormat. serta memperkenalkan diri. Ucapannya agak terpatahpatah, kental dengan logat Tiongkoknya.
Keduanya pun mulai berhadapan satu
dengan yang lain. Saling menghormat, kemudian memulai pertandingan. Pendekar dari
Parahiayangan bergerak kian kemari, memainkan kembangan jurus-jurusnya.
Lambat, gemulai, dan indah disaksikan.
Laksana perawan penari.
"Hiaaa!"
Si pemuda Tiongkok mengambil inisiatif
serangan lebih dahulu. Dia tak ingin membuang waktu memainkan kembangan jurusjurus seperti dilakukan calon lawannya. Seni
silat negerinya memang tidak sama dengan
seni silat orang-orang tanah Parahiayangan.
Satu sambaran cakar elang memangkas
udara. Tangan si pemuda Tiongkok mengancam. Jarinya mengejang tak beda dengan cakar-cakar burung raksasa perkasa. Jurusjurus khas negerinya memang diambil dari
gerak-gerik hewan.
Sementara pertandingan berlangsung,
Satria celingak-celinguk sendirian. Dia mulai
tak betah dengan suasana itu. Orang-orang
yang bersikap dengan tatakrama berlebihan
di sekelilingnya, pertandingan silat yang baginya seperti menonton adu ayam atau adu
domba, dan wajah-wajah para jago di sekeliling panggung yang keras dan tak nyaman dipandang. Heran, kenapa Kang Bagaspati bisa
tahan dengan suasana ini, bisik Satria dalam
hati. Satria mencolek lengan Bagaspati.
"Kang, aku permisi dulu, ya?" bisiknya.
"Mau ke mana?"
"Aku tak betah," aku Satria jujur.
Bagaspati tersenyum. Kepalanya menggeleng-geleng perlahan. Semakin lama kenal
pemuda itu, dia kian memaklumi sifatsifatnya. Kepolosan dan keluguannya terkadang begitu menggelikan. Namun, dengan begitu justru tercermin kemurnian hati si pemuda. Tak ada kepalsuan tersimpan. Tak ada
kemunafikan. Tak seperti beberapa orang di
sekitarnya. "Boleh aku keluar cari angin, Kang?" susul Satria.
Bagaspati tak bisa mengiyakan. Juga tak
bisa melarang. Mengiyakan sebenarnya bertentangan dengan tatakrama. Kesannya tidak
sopan. Melarang pun percuma. Dalam suasana seperti itu, tentu sulit menjelaskan pada
Satria tentang tatakrama. Akhirnya Bagaspati
cuma bisa tersenyum kembali.
Satria sendiri menganggap senyuman
Bagaspati sebagai tanda setuju. Satria pun
bangkit dari kursi ukir Jepara.
Tresnasari di sebelahnya menatap tak
mengerti. Mau apa dia" Tanyanya membatin.
"Mau ke mana kau?" tanya Tresnasari,
berbisik. "Cari angin," sahut Satria seenaknya, Tresnasari cemberut. Dari dulu, rasa
kesalnya pada Satria sering kali merebak karena pemuda itu sepertinya tak pernah tahu tatakrama. Lebih menyebalkan lagi, dia sepertinya tak mau kenal dengan aturan tersebut.
Mendapati wajah asam Tresnasari, Satria cuma cengengesan.
* * * Satria berkeliling di sekitar rumah besar
milik sang Saudagar. Beberapa centeng bertampang seram memperhatikannya dengan
pandangan curiga. Karena tahu Satria datang
dengan seorang Patih Demak, mereka tak berani melarang. Kalau kebetulan berpapasan,
mereka malah menjura, sambil tersenyum dibuat-buat. Satria tiba di sisi barat bangunan.
Disana terdapat taman kecil asri. Beberapa jenis bebungaan ditanam di sana. Di
tengah-tengah taman, ada semacam kolam
pemandian. Sejuk airnya, mengundang. Kalau
bukan di tempat orang, dia akan segera buka
pakaian dan langsung terjun. Kalau perlu bugil, bugil sekalian! Dia jadi ingat masa kecilnya dulu. Bagaimana dia terjun bugil-bugil ke
laut le-pas di pantai Ketawang....
Hey, Satria terhenyak. Sebagian ingatan
masa lalunya kini mulai kembali! Selama ini,
bayang-bayang masa kecilnya itu sama sekali
tak terngiang di benaknya.
Selagi tertakjub dengan sekelumit ingatannya, perhatian pemuda itu diusik oleh suara tangisan seorang wanita dari balik dinding
kayu bangunan. Karena suara tangisan itu begitu halus,
Satria beringsut mendekati dinding kayu di
bawah jendela. Dia ingin meyakinkan diri.
Jangan-jangan cuma salah dengar, pikirnya.
Ditempelkannya telinga ke dinding. Benar,
memang ada seorang perempuan sedang menangis di dalam sana.
"Siapa, ya?" gumam Satria.
Pemuda berambut kemerahan itu mulai
menduga-duga. Barangkali istri sang Saudagar" Kenapa menangis" Bisa saja karena kehabisan makanan untuk disuguhkan kepada
tamu" Ah, ngawur! Apa itu anak gadis sang
Saudagar yang sedang dipingit" Bisa saja dia
menangis karena tak ingin dinikahkan de

Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ngan salah seorang pemenang sayembara"
Lagi pula, bapak macam apa saudagar
buncit' itu" Kenapa bisa-bisanya dia hendak
menjodohkan anak gadis satu-satunya dengan orang yang belum tentu dikenal putrinya"
Keterlaluan! Satria menggerutu panjang lebar
dalam hati. "Ehm ehm!" dehem Satria.
Tangisan di dalam sana terpancung.
"Siapa?" terdengar suara halus. Agak
sengau karena baru menangis.
"Aku cuma seorang undangan, Nona,"
ucap Satria. "Kenapa Nona menangis?" tanyanya. Usil sekali dia. Mau tahu urusan
orang saja! "Tak apa-apa," jawab suara wanita di dalam sana.
"Sungguh?"
"Sungguh. Terima kasih, Saudara sudah
memperhatikan ku...."
"Tuan sedang apa"!" bentak seseorang
tiba-tiba dari kejauhan.
Satria mendelik. Sial, rutuknya. Dia tertangkap basah! Yang menegurnya barusan
ternyata seorang centeng galak. Brewokan.
Berhidung besar. Bermata besar pula, seperti
naga keracunan jengkol!
Buru-buru Satria menjauhi dinding bangunan. Tangannya bergerak serba salah. Wajahnya apalagi. Mau tersenyum, malah kelihatan seperti ringisan orang yang 'khusuk'
buang hajat. Centeng tadi berlari mendekat. Tangannya tak lepas dari gagang golok besar.
"Apa yang sedang Tuan lakukan?"
ulangnya. Nadanya mengandung kemarahan,
namun ditahan-tahan. Biar bagaimana, Satria
tetap seorang tamu. Apalagi datang bersama
seorang Patih Demak (lagi-lagi hal itu yang
membuat Satria dihormati!).
"Eh, anu...," gagap Satria, kehabisan alasan. Orang seperti dia memang paling
sulit berpura-pura. Apalagi mencari-cari alasan
untuk berdusta.
Jendela mendadak terkuak. Di balik
dinding tempat Satria nguping tadi, rupanya
kamar anak gadis saudagar. Terang saja centeng brewok jadi 'kepingin' marah.
"Tak apa-apa, Kang!" sergah seorang gadis yang muncul dari jendela.
Centeng brewok menjura.
Satria menoleh. Matanya kembali mendelik. Sekali ini bukan kaget karena bentakan
centeng. Melainkan karena terkejut tak alang
kepalang menyaksikan wajah gadis di jendela.
Sumpah mampus Satria tak bisa percaya kalau gadis yang disaksikannya adalah Mayangseruni! * * * 3 DI panggung sayembara, beberapa pertarungan telah selesai. Satu persatu peserta
berjatuhan. Tak ada yang sampai kehilangan
nyawa. Dalam pertarungan seperti itu, tak diperkenankan membunuh. Lawan cukup dikalahkan dengan berbagai macam cara.
Ketika peserta kesebelas tumbang, berkelebat bayangan membelah udara. Datang
entah dari mana. Namun yang jelas tak datang dari jajaran bangku peserta di sekeliling
panggung. Jleg! Berdirilah kini seorang kurus agak
bungkuk. Mengenakan jubah hitam kusam
pendek. Mengenakan tudung berbentuk kerucut dari anyaman bambu, menutupi seluruh
kepala dan wajahnya. Padahal, dua peserta
sebelumnya belum lagi turun.
"Tampaknya kau sudah tak sabar lagi,
Kisanak?" tegur lelaki kekar berwajah klimis dan berpakaian perlente. Dialah
pemenang pada pertandingan terakhir.
Sahutan orang bertudung cuma geraman berat, "Turunlah, kalau nyawamu masih
ingin menetap di badan!" ancamnya sambil
menudingkan tangan berbungkus kulit keriput. Melengaklah lelaki klimis perlente. Wajahnya berubah. Garis-garis keberangan merangas. "Kau hanya bergurau, bukan?" desisnya.
"Jika tidak, kutunggu permohonan maafmu
sekarang juga, Kisanak!"
"Cuih!"
Padat penghinaan, orang bertudung malah meludah ke panggung.
Lelaki perlente merasa bukan panggung
yang diludahi, melainkan wajahnya. Dia merasa terhina sekali. Dia merasa disepelekan di
hadapan khalayak. Harga dirinya terasa diinjak-injak semena-mena.
"Bukan aku yang memulai keributan ini,
Kisanak!" tandas lelaki perlente. Cukup sudah, pikirnya. Penghinaan terhadap
dirinya tidak bisa dibiarkan. Orang bermulut lancang
satu ini harus mendapat pelajaran agar dia
tahu bagaimana bersopan-santun.
"Kau memang ingin minta mampus!" tebas orang bertudung, manakala calon lawannya kalap menerjang.
"Heaa!"
Deb! Tendangan lurus datang ke arah orang
bertudung. Serangan yang demikian cepat,
karena dilakukan dalam jarak yang begitu
dekat. Wukh! Hantaman kaki cepat lelaki perlente lolos begitu saja. Sementara orang bertudung
sepertinya tidak mengelak sedikit pun. Tibatiba saja, tubuhnya sudah berpindah dari
tempatnya berdiri satu tindak ke samping.
Meski cukup terperanjat pada gerak bagai bayangan orang bertudung, lelaki perlente
tak ingin mundur atau sekadar mempertimbangkan kembali serangannya. Dengan kaki
kanan yang masih terangkat, dikejarnya lawan. Deb! Deb! Deb!
Tiga sodokan sisi telapak kakinya kembali lolos begitu saja. Kepala lawan yang hendak dijadikan sasaran bergerak nyaris tak
kentara. Bahkan oleh mata lawan yang banyak tahu tentang ilmu olah kanuragan. Terbukti dengan dimenangkannya satu partai
pertandingan belum lama.
Kepala lawan yang tertutup tudung seperti berpindah-pindah tempat meski badannya sendiri sama sekali tak bergeming. Bila
kaki lelaki perlente menohok ke samping kiri,
kepala orang bertudung tahu-tahu sudah
condong ke samping kanan. Begitu sebaliknya. Di akhir serangan beruntun, kaki lelaki
perlente membuat satu putaran dengan bertumpu pada sends lututnya. Seakan hendak
dipeluntirnya kepala orang bertudung.
Jika orang bertudung hanya menggerakkan lehernya sekali ini, maka tak akan ada
kemungkinan baginya untuk selamat. Sebab,
putaran kaki lawan menutup ruang gerak
yang bisa dijangkau otot lehernya.
Wukh! Tep! Bergerak bagai bayangan, tangan orang
bertudung mendadak sontak terangkat, dan
disambarnya kaki lancang lawan.
Mata lelaki perlente membeliak. Cengkeraman tangan lawan di pergelangan kakinya
bagai himpitan rahang naga. Keras. Kuat.
Dan mengunci erat. Dia berusaha melepaskan
kakinya. Tak bisa. Bahkan, meski dia telah
berkutat sekalipun. Bahkan, meski telah pula
dikerahkannya tenaga dalam keotot-otot di
sekujur kakinya.
Perlahan tapi pasti, tangan orang kurus
bertudung mengangkat sebelah kaki lawan.
Tentu saja si lelaki perlente sadar, kalau
dia mencoba bertahan pada kuda-kudanya
semula, selangkangannya akan robek. Bahkan, bukan tak mungkin akan terbelah dua.
Cepat atau lambat. Sesaat tadi, memang disadarinya pula betapa tenaga dalam lawan sulit terukur. Untuk menyelamatkan selangkangan
nya, lelaki perlente melakukan tindakan terpaksa. Dia memanfaatkan tenaga dorongan ke
atas tangan lawan untuk mengangkat tubuhnya ke udara. Lalu... "Hiaa!"
Wukh!! Deb! Dalam posisi miring di udara, tubuhnya
berputar setengah lingkaran. Sebelah kaki
yang bebas diayunkan berbareng dengan terangkatnya tubuh. Sasarannya tangan lawan
yang mencengkeram pergelangan kaki lainnya, sekaligus menghantam leher lawan.
Taktik serangan tak terduga lelaki perlente ternyata tak terlalu mengejutkan. Bahkan begitu mudah diduga lawan. Selain itu,
tindakan lelaki perlente justru berakibat fatal bagi dirinya sendiri.
Tep!. Seperti sebelumnya, sebelah tangan bebas orang bertudung bergerak amat cepat,
dan menyambut sapuan kaki lawan. Pergelangannya dicengkeram kembali. Kini, kedua
kaki lawan terkunci mati sempurna. Badannya sendiri kehilangan kendali.
Meluruklah dia.
Terkesiap wajahnya.
Tangannya terentang, mengira dapat
menahan luncuran tubuhnya di atas tanah.
Perkiraan yang keliru. Sebab....
"Huaaahh!"
Des! Satu clepakan ke depan kaki kurus
orang bertudung menahan tubuhnya ke bumi. Korbannya hanya sempal mengeluh tertahan. Badannya tersentak ke atas. Ketika tubuhnya mulai meluncur turun lagi, kaki lawan menyambutnya kembali.
Degh! Dan sekali lagi.... Degh!
Dan berkali-kali! Tak peduli, meski tubuh lawan tersentak-sentak meregang nyawa,
kejang lalu mulai lemas. Sementara darah
berhamburan kemana-mana. Keluar dari mulut, hidung, dan telinganya! Panggung yang
beberapa waktu bersih dari anyir darah, kini
tersapu warna merah di mana-mana.
Ternodai. Penonton berseru ramai. Para wanita
memekik. Suasana keruh. Riuh.
Sehimpun caci maki melejit di angkasa.
Perbuatan keji!
"Terkutuklah kau!" seru lelaki yang belum sempat turun dari panggung, orang yang
sebelumnya telah dikalahkan lelaki perlente.
Dia pun turut murka atas perbuatan tak berperikemanusiaan orang bertudung.
Kemurkaan yang menggelegakkan darahnya. "Cukup, Manusia Laknat!" Sambil berteriak serak, lelaki berperawakan pendek gempal menyerbu orang bertudung.
Wesh...Wesh! Kekejian orang bertudung menyebabkan
lelaki berperawakan gempal tak ragu-ragu lagi
bertindak. Tak tanggung-tanggung pula, dipergunakannya trisula yang hanya terselip di
ikat pinggangnya selama ini.
Mudah, bahkan bisa disebut terlalu mudah orang bertudung mementahkan seluruh
serangan nyalang lawan barunya. Padahal,
tangannya masih mencengkeram dua pergelangan kaki lelaki perlente, menyebabkan kepala dan bahu lunglai lelaki malang itu tersuruk-suruk di permukaan panggung. Darah
membentuk kelokan-kelokan mengerikan sepanjang seretan kepalanya.
Lelaki malang. Dan pada kejapan berikutnya.
"Cuih!"
Ludah orang bertudung melesat. Terle

Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bih dahulu menembus tudungnya, menciptakan lobang sebesar uang logam!
Crresh! "Wuaa!"
Lelaki berperawakan gempal meraungraung seketika. Trisula di tangannya terlepas.
Kedua tangannya mendekap wajah. Dari selasela tangannya mengalir darah segar!
"Pergilah kau ke neraka menemani
bangsat ini!" rutuk orang bertudung. Sebelah matanya meneroboskan bersit bengis
dari lobang di tudung.
"Hih!"
Sekelebatan dilemparnya tubuh korban
pertama. Tangannya menyambar tudung. Dari
balik tudung, dikeluarkannya sesuatu.
Cletarr! Mengangkasa suara menggidikkan. Kasar menggelegar, seakan menghantam ke segenap penjuru. Saat berikutnya, kepala lawan keduanya
menggelinding, menyusul lesatan tubuh korban pertama. Gaduh, suasana makin riuh.
Para undangan kehormatan maupun
undangan di sekeliling panggung bangkit serentak. Mereka tak bisa membiarkan ketelengasan tergelar lebih jauh di hadapan mereka.
Pada saat mereka menyadari itu, dua nyawa
telah melayang.
Bagaspati berdiri tegang dengan rahang
kejang. Matanya memerah. Seluruh otot di sekujur tubuhnya meregang. Terdengar desisnya.
Tak kentara. Namun jelas mengandung kegeraman memuncak!
Satria yang berada cukup jauh pun terperanjat mendengar kegaduhan dari pelataran. Keterkejutan sebelumnya karena bertemu kembali dengan Mayangseruni terpangkas
begitu saja. Mayangseruni sendiri tak bisa
menduga apa yang sedang terjadi di panggung
sana. Juga centeng brewok di depan Satria.
"Ada apa Satria?" tanya Mayangseruni.
"Aku tak tahu!" seru Satria. Cepat di-ayunnya langkah menuju pelataran.
"Satria tunggu!" pekik Mayangseruni.
Gadis yang masih mengenakan baju adat Jawa itu melompat dari jendela, menyusul Satria. Sulit berlari karena kain wironnya,
Mayangseruni merobek saja kain tersebut pada bagian tengah. Sebagian paha sekal mulusnya pun tersembul manakala dia berlari.
Mayangseruni tak peduli.
Satria dan Mayangseruni tiba di pelataran. Di atas panggung, Bagaspati dan Tresnasari sedang menggempur seorang lawan.
Suasana sudah berubah kacau balau. Satu
mayat dan sepotong kepala yang terjatuh di
bawah panggung segera diurus beberapa centeng. Sementara di atas panggung, tersisa satu mayat tanpa kepala.
Para istri undangan di pendapa menjeritjerit kalang-kabut. Mereka berlarian keluar.
Kalau kebetulan suaminya termasuk seorang
berjiwa satria, memilih untuk tetap berdiam
di tempat. Sementara beberapa bangsawan
dan saudagar bernyali kodok, serabutan berlari. Dengan istri masing-masing, mereka saling tarik-menarik tangan. Satu hendak ke sana, yang lain hendak ke sini!
Para centeng bayaran segera membentuk
kepungan di sepanjang panggung, bersamasama dengan para pendekar undangan. Mereka menganggap tak pantas membiarkan
orang keji yang digempur Bagaspati dan Tresnasari lolos begitu saja.
Sang Saudagar, duda kaya yang ternyata
ayah angkat Mayangseruni kelimpungan serba salah. Sewaktu menyaksikan anak angkat
yang dipingitnya keluar bergandengan tangan
dengan seorang pemuda berambut kemerahan, matanya mendelik besar-besar.
Tergopoh-gopoh dia berlari menemui
Mayangseruni. Perut buncitnya terayun-ayun.
"Kau... kau apa yang kau lakukan di sini, Nduk"!" bentaknya dengan nada tinggi.
Mukanya memerah. Ludahnya tersembursembur. "Masuk!" perintahnya.
Mayangseruni menggeleng. "Masuk!"
ulang saudagar gendut. Wajah Mayangseruni
memperlihatkan guratan menentang.
"Aku selama ini sudah cukup menurut
segala perintah Ayah. Sekarang, kuanggap
sudah cukup!" tandasnya.
"Kurang ajar! Kau harus masuk dan menanti calon suamimu!"
"Tidak. Aku tak mau dijadikan alat oleh
Ayah. Ayah tak pernah berniat mencarikan
suami untukku. Melainkan, mencari pelindung untuk kepentingan Ayah sendiri. Ayah
dengan sengaja mengundang orang-orang berpengaruh dan berkuasa untuk mengikuti
sayembara. Jika salah seorang dari mereka
berhasil menjadi suamiku, tentu Ayah akan
memetik keuntungannya!"
Makin mendelik mata sang Saudagar.
Darah tingginya kumat. Napasnya sesak. Jantungnya mendadak mogok kerja. Dan saudagar gendut pun tersengal-sengal sambil memegangi dadanya. Sebentar kemudian dia terjengkang. Satria tercengang sewaktu tahu saudagar gendut sudah telentang di tanah.
"Kau apakan ayahmu, Mayangseruni?"
tanyanya, tak mengerti.
Sementara itu pertarungan di atas panggung menanjak makin panas. Teriakanteriakan Bagaspati dan Tresnasari terus bersahut-sahutan, menyelinapi deru angin pukulan, tendangan, dan gerak menggempur mereka. Kendati keduanya memiliki kepandaian
yang cukup tinggi di dunia persilatan tanah
Jawa, namun mereka seperti terlalu sulit untuk menundukkan lawan. Serbuan mereka
hingga saat itu tak menghasilkan apa-apa.
Satria menggenggam telapak tangan
Mayangseruni lebih keras. Diseretnya gadis
itu, lebih mendekat ke arah panggung.
Tiba sekian tombak dari panggung.
Pendekar muda itu dipaksa menghentikan langkah tiba-tiba begitu matanya mampu
menangkap wajah orang yang dikeroyok Bagaspati dan Tresnasari. Sekelebatan saja sudah cukup bagi Satria untuk mengenali orang
itu. Juga cukup baginya untuk mengenali
senjata berbentuk cambuk di tangannya, senjata yang dipergunakan untuk melecut putus
leher korban terakhirnya.
"Ki Ageng Sulut?""!!!" perangahnya. Ma-ta pemuda bernyali naga itu lalu
menyipit. "Kau datang hendak mengantar nyawa dan
Kail Naga Samudera padaku selagi aku hendak mulai mencarimu, Kakek Laknat," desisnya. Dan tampaknya tugas yang hendak dipercayakan Raja Demak padanya harus segera dimulai hari ini, meski perintah langsung
belum lagi turun.
4 Dash! "Akh!"
Belum lagi Satria beranjak dari tempatnya, Bagaspati sudah terhantam sambaran
angin pukulan maut milik Ki Ageng Sulut
yang sudah begitu dikenal sekaligus ditakuti
banyak kalangan persilatan, 'Tepukan Iblis
Kematian'. Terlemparlah Bagaspati dari atas panggung. Melayang sejauh sembilan tombak, lalu
jatuh menimpa bumi bagai seonggok bangkai.
Tubuhnya ketika itu juga mengejang. Tak ada
darah keluar. Namun, pendarahan dalam tubuhnya terjadi demikian parah. Dia tak sadarkan diri, saat berikutnya.
Tresnasari merasakan bulu ditengkuknya merinding hebat menyaksikan ketelengasan lawan. Hal itu menyebabkan kelengahan. Kelengahan menyebabkan kerugian
besar dalam satu pertarungan. Terlebih pertarungan berbau maut.
Meski jarak tarung antara Tresnasari
dengan lawan masih terpaut jauh, namun kesempurnaan peringan tubuh Ki Ageng Sulut
memberinya kesempatan untuk menjangkau
lawan begitu cepat. Sebelum lawan sempat
menyadari kelengahannya sendiri, diterkamnya Tresnasari bagai mengejar bayangan. Satu tombak sebelum benar-benar tiba, telapak
tangan si tua sesat menepuk udara. Hanya
udara, namun akibatnya sungguh fatal bagi
Tresnasari. Dash! "Ugh!"
Giliran Tresnasari terkena sambaran angin 'Tepukan Iblis Kematian'. Tak beda dengan Bagaspati, tubuh gadis murid Nini
Jonggrang itu terlempar deras keluar panggung. Untunglah, murid nenek sesat itu lebih
siap daripada Bagaspati. Meski agak terlambat, Tresnasari sempat mengucurkan segenap
kemampuan tenaga dalamnya ke kedua belah
telapak tangan.
Sebenarnya, hanya dua telapak tangan
yang tersambar angin pukulan lawan. Tapi tetap saja, akibatnya tak bisa dibilang ringan.
Sementara pengerahan tenaga dalam miliknya
yang selama dua tahun ini mendapat godokan
langsung dari tokoh jajaran atas golongan sesat, juga tak menipiskan kemungkinan mendapat luka lebih ringan.
Kalau dibanding-banding, Tresnasari
memang bukanlah tandingan si Iblis Dari Neraka. Siapa Ki Ageng Sulut, siapa pula Tresnasari. Baik dari pengalaman, tingkat kesaktian, dan kematangan siasat bertarung, Ki
Ageng Sulut jauh berada di atas lawan mudanya. Kendati, Tresnasari murid langsung
Nini Jonggrang.
"Tresnaaa!!!"
Satria berteriak kalap.
Di atas panggung, Ki Ageng Sulut berdiri
pongah. Diangkatnya tinggi Kali Naga Samudera. Lalu serunya lantang, "Katakan pada
Tabib Sakti Pulau Dedemit, aku akan meneruskan pembantaian demi pembantaian jika
dia tetap tak ingin menyembuhkan penyakit
ku dengan senjata ini!"
(Seperti diketahui pada episode sebelumnya : "Kail Naga Samudera" bahwa penyakit aneh Ki Ageng Sulut akan dapat
disembuhkan dengan memanfaatkan tali Kail Naga Samudera yang terbuat dari ekor ikan pari pelangi langka.)
Satria memburu, seperti memburunya
tetes darah di sekujur tubuhnya. Seperti
memburunya badai dari tengah laut!
Napasnya mendengus, menanduknanduk udara. Belum sampai di dekat panggung, kakinya menghentak.
"Heaaa!!!"
Seluruh mata menangkap lompatannya.
Keterpesonaan pun terjangkit.
Melayang tubuhnya, sengit. Bagai terbang memangkas langit.
Jarak yang demikian jauh terlampaui
oleh Satria. Kakinya menjejak, tepat hanya
satu jengkal dari tepian panggung pertandingan, yang kini telah berubah menjadi panggung pembantaian. Tak ada yang tak terpesona pada tindakannya. Jarak sepanjang setengah pelataran hanya mungkin dilalui oleh seorang berperingan tubuh teramat sempurna.
Untuk mencapai tingkatan Itu. seseorang harus menggojlok kemampuannya selama puluhan tahun. Sementara pemuda yang baru saja melakukan berusia tak lebih dari dua puluh tahun! "Siapa pemuda itu?" perangah beberapa orang.
"Aku belum pernah melihatnya di kalangan persilatan" Bagaimana mungkin dia


Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mampu melakukan lompatan sesempurna
itu?" kagum salah seorang dari beberapa pendekar di sekitar panggung.
Aku tak percaya dia dapat melakukannya! Aku tak percaya! Kalau bukan siluman,
tentu dia orang sakti awet muda. Tak mungkin orang seusia dia dapat membuat lompatan itu!' seru tertahan yang lain.
Dalam' keadaan biasa, 'memang tak
mungkin bagi Satria berbuat sehebat itu. Kalaupun kini mampu dilakukannya, semata
karena bangkitnya tenaga sakti akibat reaksi
zat abu-abu langka dasar terdalam Samudera
Hindia dengan Ramuan Pulau Dedemit pemberian Ki Kusumo. Campuran yang telah menyatu dalam darah, daging, dan sumsumnya.
Dan akan meledak menjadikan tenaga dalamnya melimpah ruah bagai dikucurkan langsung dari langit ke ubun-ubunnya!
Lepas dari segenap kekaguman yang tertumpah padanya, apakah Satria masih sempat peduli" Tidak mungkin. Sebab, yang bergolak, bergejolak, menggelegak dalam benaknya kini cuma kemurkaan besar!
"Kubunuh kau!!" pekik si pemuda kalap.
Suara nya pecah dan bergeletar hebat.
* * * Pantai Tanjung Karangbolong tak pernah
berubah. Dari hari ke hari. Pukulan ombak
dan deru yang dihasilkannya tetap serupa seperti hari-hari sebelumnya.
Di pondok tepi pantai tempat berdiamnya Dedengkot Sinting Kepala Gundul dan Ki
Kusumo, salah seorang penghuninya keluar
dengan wajah kusut.
"Heran, bisa-bisanya tengah hari bolong
begini aku tertidur dan bermimpi pula," gerutu si tua bangkotan itu, sambil
menggaruk- garuk kulit kepala klimisnya. Kulit kering
yang terkelupas dari kepalanya pun bertebaran tertiup angin. Dengan mata sayu, dia melangkah malas-malasan.
"Ada apa Panembahan?" tanya Ki Kusumo. Tabib tua kenamaan tanah Jawa yang
beberapa waktu lalu tak bisa berbuat apa-apa
karena luka parah akibat pertarungan hidupmati dengan Ki Ageng Sulut, kini sudah tampak bugar sama sekali. (Baca kembali episode sebelumnya : "Kail Naga
Samudera"!). Di bawah satu pohon kelapa, orangtua itu sedang
melatih pernapasan.
Beberapa pekan belakangan dia juga sedang tekun melatih kaki cacatnya. Kaki kutung sebatas lutut itu kini disambung dengan
logam runcing, dipesan khusus dari seorang
pandai besi yang dulunya menjadi kepercayaan Raja Brawijaya yang pernah dikenalnya. Keadaan badannya kini, memaksa Ki
Kusumo memperbaharui beberapa jurusjurusnya. Bahkan dia pun mulai mencoba
menciptakan jurus-jurus baru, yang menekankan pada keampuhan logam runcing
pengganti kakinya. Keadaan terpaksa memang sering kali membuat seseorang berusaha untuk menemukan kelebihannya di balik
kekurangannya. Hal itu yang terjadi pada diri
Ki Kusumo. Dalam sepekan terakhir, setidaknya lima
jurus baru tercipta. Jurus-jurus yang berkaitan dengan 'senjata baru' di kaki kutungnya.
Hari ini, dia mencoba melatihnya kembali. Di depan tempatnya berada kini, ada
tiang-tiang setinggi atap rumah. Di atas tiangtiang tersebut di gantung buah-buah kelapa.
Setiap buah kelapa sudah berlobang seukuran mata uang logam. Tentunya ujung runcing logam pengganti kakinya telah menembus
setiap buah kelapa itu.
Untuk melatih ketepatan sasaran, bukan
cuma kelapa dimanfaatkan Ki Kusumo. Orang
tua itu pun menggantung beberapa mata
uang kepeng. Setiap mata uang yang digantung kini telah terbagi dua, terbelah ujung
runcing logam pengganti kaki Ki Kusumo.
Keringat Ki Kusumo belum lagi mengering ketika Dongdongka keluar dengan gerutuannya. "Aku mimpi," jawab Dongdongka, atas
pertanyaan Ki Kusumo barusan.
"Mimpi?"
"Ya. Keterlaluan kalau kau tak mengerti
apa 'mimpi' itu!"
Ki Kusumo terkekeh. Kebiasaan khasnya
yang mulai sering muncul kembali hari-hari
belakangan, menyusul kembalinya kesehatannya. "Mimpi jelas aku tahu, Panembahan,"
kata Ki Kusumo seraya menghapus keringat
di kening keriputnya dengan lengan baju.
"Aku cuma ingin tahu, mimpi apa yang telah Panembahan alami?"
Dongdongka 'ngedeprok' seenaknya di
atas pasir, seperti tingkah seorang bocah.
"Aku mimpi, murid kita diserang dua
ekor ular. Ular jantan dan betina yang besuuuuuuaaaar! Kepalanya saja sebesar bukit!
Matanya sebesar pintu gubuk kita! Aku heran, ular sebesar itu makanannya apa, ya"
Kalau kerbau, pasti butuh satu kandang. Kalau padi pasti satu sawah. Ah, sejak kapan
ular makan padi, ya?" Kalau ular makan uang rakyat" Ah itu mah, Ular 'kadutkadutan' yang bisa membedakan mana perawan, mana
janda! He he he" Dari menceritakan mimpi,
tua bangka itu mulai ngoceh ngalor-ngidul.
Ki Kusumo terdiam. Punggungnya disandarkan ke batang kelapa. Wajahnya diterkam kegalauan. "Kira-kira, apa kau bisa menafsir arti
mimpi ku itu, Kusumo?"
Ki Kusumo tak memperhatikan pertanyaan Dongdongka. Matanya menerawang.
"Hey, Kusumo! Aku bertanya padamu,
bukan pada dengkulku sendiri!" bentak
Dongdongka. Ki Kusumo tersentak.
"Apa yang Panembahan tanyakan?"
"Ah, sudahlah!" tepis Dongdongka, keki sendiri. Dia bangkit. Dilangkahkannya
kaki ke arah pantai.
Masih tetap dengan gerak malas. Matanya pun tetap sayu. Sebentar terkatup, sebentar membuka tanggung-tanggung.
Byurr! Bangkotan tua itu pun masuk ke dalam
laut. Barangkali mau sedikit mendinginkan
otaknya yang panas akibat mimpi siang bolong. Setidaknya sedikit menyegarkan badan.
Tinggal Ki Kusumo termenung sendiri.
Hati kecilnya memperingati, mimpi Dongdongka menjadi satu pertanda. Menurut tafsirannya, murid mereka Satria akan menghadapi lawan berbahaya. Dua lawan sekaligus.
Lelaki dan wanita yang bersekutu bersama!
Tak lama, Dedengkot Sinting Kepala
Gundul sudah tampak lagi. Badannya basah
kuyup. Baru keluar dari laut. Sambil terus
menggaruk-garuk kepala dan mata terpejam,
dia bergumam pada Ki Kusumo yang dilewatinya. "Keterlaluan kau Kusumo. Nyam...
nyam.... Kenapa kau tak bilang, kalau arah
gubuk kita bukan ke sana" Aku mau meneruskan tidur di gubuk. Bukan di dasar
laut...." * * * Pertemuan-perpisahan. Dua kata tak
terpisahkan. Satu ada untuk melengkapi yang
lain. Kehidupan tak pernah lengkap dengan
dua hal itu. Seperti juga Mayangseruni. Setelah terpisah sekian puluh tahun, untuk pertama kali dalam hidupnya, dia bertemu kembali dengan saudara kembarnya, Tresnasari.
Ketika itu dia menyaksikan Tresnasari
terlempar dari atas panggung. Hatinya tertarik menyaksikan wajah Tresnasari begitu mirip dengan wajahnya. Saat itulah, dia teringat
pada ucapan Satria beberapa waktu lalu. Kala
bertemu pertama kali dengan Satria, pemuda
itu menyangka dirinya sebagai seorang gadis
yang dikenal Satria. Satria sempat menyebutnyebut nama Tresnasari. (Lihat kembali episode : "Geger Pesisir Jawa"!).
"Apakah kau Tresna?" tanya Mayangseruni dengan sehimpun kegempitaan di hati,
setelah berlari kecil mendekati Tresnasari. Dibantunya Tresnasari bangkit.
Syukurlah, keadaan luka Tresnasari tak
terbilang parah seperti dialami Bagaspati.
"Siapa kau?" balas tanya Tresnasari. Matanya ternanar menyaksikan betapa wajah
gadis yang membantunya bangkit demikian
mirip dengannya. Ibarat dirinya sedang berhadapan dengan cermin hidup!
"Aku Mayangseruni! Saudara kembar
mu!" tukas Mayangseruni, nyaris memekik
kegirangan. Tresnasari terpaku. Bibir merah ranumnya terbuka. * * * 5 NINI Jonggrang melantunkan sumpah
serapah paling tajam untuk telinga manusia.
Bahkan mungkin untuk kuping kambing congek sekalipun. Pasalnya, dia melihat bagaimana murid tunggalnya, Tresnasari telah melanggar perintahnya mentah-mentah. Melanggar, artinya berkhianat. Tak peduli apakah
sebagai gurunya, Perempuan Pengumpul
Bangkai itu adalah seorang sesat. Yang namanya berkhianat, ya tetap berkhianat. Begitu menurut si nenek jelek sakti. Padahal, kalaupun ada guru yang paling pantas dikhianati, ya Nini Jonggrang orangnya.
Perempuan berusia alot layaknya Dongdongka itu 'nangkring 'di atas tembok pagar
rumah sang Saudagar. Sambil menyaksikan
seluruh huru-hara yang berlangsung di pekarangan, dia mencak-mencak ke sana ke mari.
Meski gerakannya lebih serampangan dari
tingkah seekor bajing kegatalan, tak ada satu
daun pun yang gugur karenanya. Bahkan
daun kering sekalipun. Itu semua disebabkan
karena Nini Jonggrang nenek moyangnya bajing" Jelas bukan! Kesempurnaan ilmu peringan tubuh yang sulit dicari tandingan yang
menjadi penyebabnya.
Sewaktu Bagaspati, Satria, dan Tresnasari sedang dalam perjalanan dari keraton ke
tempat undangan, tanpa disengaja Nini
Jonggrang menyaksikan mereka. Sulit dia
percaya kalau muridnya ternyata tak pernah
membunuh si pendekar muda, Satria Gendeng. Malah disaksikannya sendiri Tresnasari
tersenyum-senyum manja, berbincang bincang hangat, bergurau-gurau mesra, ber... ah,
semuanya serba membuat nenek jelek itu jadi
naik darah! Rasanya. darahnya naik ke ubun-ubun,
lalu menukik ke pantat, terus terpantul naik
lagi ke ubun-ubun. Bukan cuma marah. Nini
Jonggrang juga malu pada keriputnya, pada
dengkulnya, serta pada dunia dan seisinya.
Masa muridnya tak becus menjalankan tugas
pertamanya" Apa sih, susahnya membunuh
satu manusia" Percuma jadi murid Perempuan Pengumpul Bangkai yang tersohor! Rutuk Nini Jonggrang.
(Apa dianggapnya manusia itu sama
dengan kecoak")
Sampai saat itu, Nini Jonggrang belum
bertindak apa-apa. Perutnya masih terasa
mulas karena terlalu dongkol pada Tresnasari. Lagi pula, dia juga tak ingin kehilangan kesempatan menyaksikan bagaimana
murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul melolonglolong minta ampun dihajar Ki Ageng Sulut.
Salah satu hal yang bisa membuatnya merasakan puncak kepuasan! Kalau kesenangannya saja bisa membuat orang yang mendengar bergidik, tentu manusia satu ini sinting
asli! Sementara pertarungan Satria dan Ki
Ageng Sulut berlangsung sengit.
Di panggung, Satria bergerak cepat dan
teratur. Terkadang melambat seperti orang


Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

uzur. Terkadang gemulai seperti penari. Jurus-jurus sakti si Dedengkot Sinting Kepala
Gundul bagai mengalir deras dari tubuhnya,
dan terwujud dalam setiap gerak.
Terkadang jurus-jurusnya berubah
menggebu. Pukulannya menderu. Tendangannya membabi-buta, beruntun laksana
gempuran petir. Setiap kali dia bergerak, terdengar suara cukup keras. Pertanda setiap
gerakannya mengandung tenaga kilat.
Lawannya, meski berusia tua, tak kalah
hebat memainkan jurus-jurus maut. Kecepatan, kekuatan, dan kejalangan jurus 'Satria
Gendeng' diimbangi, biarpun usia mereka bertaut amat jauh. Keduanya bergerak bagai dua
malaikat maut. Masing-masing hendak mencabut nyawa lawan.
Melewati jurus-jurus keempat puluh, kelebatan gerak mereka sudah sulit diikuti mata
awam. Yang tampak hanya dua larik bayangan yang bergerak kacau dan nyaris menyatu.
Satu bayangan hitam yang lain bayangan putih keabu-abuan.
Di antara dua kelebatan bayangan itu,
terlihat pendar-pendar warna pelangi. Terkadang membentuk selubung yang mengungkung dua kelebatan bayangan hitam dan putih, terkadang membersit lurus, terkadang
pula meluruk tajam. Sepanjang itu, terus terdengar bunyi bergemuruh seperti sabetansabetan petir di angkasa. Asal pendar cahaya
pelangi dan bunyi bergemuruh itu berasal dari Kail Naga Samudera di tangan Ki Ageng Sulut. Seluruh mata di luar kancah pertarungan seperti tak sempat berkedip menyaksikan
pertarungan dahsyat itu.
Suatu ketika....
"Hiaahaa! He he he!" Terlempar teriakan dari kerongkongan Satria disertai kekeh
re-nyahnya. Saat itu, si pendekar muda sedang
mengerahkan jurus-jurus andalan warisan
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Satria makin terlihat gendeng. Dia berjumpalitan ke sana kemari. Gerak tubuhnya
pun makin sulit diikuti mata. Terkadang kelebatan tubuhnya berhenti mendadak. Di tepian panggung dia menandak-nandak ngawur. Pada bagian ini, pemuda itu seolah sedang bermain-main. Namun di balik itu, sebenarnya terkandung kehebatan tersendiri.
Orang yang menyaksikannya akan menganggap lelucon tengik. Namun bagi tokoh persilatan bermata jeli akan berpendapat lain. Mereka menemukan kekuatan tersembunyi di balik setiap gerakan kacaunya, atau kecerdikan,
atau kecepatan, atau kegesitan tak terduga,
atau bahaya maut...!
Suatu ketika, Satria menarik mundur
tubuhnya beberapa tombak dari lawan dengan cara melejit ke udara. Di ujung panggung,
dia menjejakkan kaki ringan.
Selanjutnya, dibuat satu hentakan keras-keras sambil menjatuhkan badan ke permukaan panggung. Dengan cara itu, tubuhnya meluncur di atas permukaan panggung.
Dengan posisi setengah terbaring, sebelah kakinya merentang lurus. Sebelah kaki yang
Iain terlipat, menjadi tumpuan. Gelagatnya,
dia hendak mematahkan pertahanan kudakuda lawan. Sementara tangannya siap
menghujani bagian selangkangan lawan dengan pukulan tak terduga.
Wrrr! "Hieeeeeheeee!"
Iblis Dari Neraka tentu tak mudah tertipu dengan siasat tarung lawan yang dinilai
aneh oleh kalangan persilatan. Karena tokoh
tua sesat ini kenal betul ciri bertarung guru si pendekar muda, Dedengkot
Sinting Kepala Gundul. Mata tuanya yang tak pernah kehilangan
kejelian, membaca keadaan dengan cepat. Jika dia mencoba menghindari sodokan deras
kaki membentang lawan dengan cara melompat, maka tangan lawan akan menyambutnya. Artinya, dia hanya memberi kesempatan
lawan menghantam empuk-empuk selangkangannya. Dan memang itu yang tampaknya
dikehendaki lawan.
Jika diputuskan untuk tidak melompat,
maka risiko yang bisa dideritanya adalah patah kaki pada bagian lutut!
Segenap kejelian dan kewaspadaan ditingkatkan Ki Ageng Sulut, menyambut kedatangan luncuran tubuh lawan mudanya di
permukaan panggung. Dalam tempo yang
demikian cepat, bahkan untuk hitungan kedipan mata! Dan.... "Hih!"
Cerdik! Ki Ageng Sulut tidak melakukan
lompatan. Tidak juga membiarkan lututnya
patah oleh tandukan kaki lawan. Dia hanya
merenggangkan kuda-kudanya lebar-lebar.
Gesit geraknya. Tangkas.
Kaki terentang Satria Gendeng lewat di
tengah-tengah dua kaki lawan. Karena siasatnya gagal, dibuatnya satu serangan susulan. Sebelah kaki terlipatnya, mendadak sontak membuka dari bawah kaki yang terentang. Sapuan keras!
Ssrrrs! Sebelah kaki lawan terancam.
Dalam keadaan berdiri dengan kaki terentang, tentu sulit bagi Ki Ageng Sulut untuk
mengangkat sebelah kaki. Tua bangka keji itu
tak kehilangan akal. Begitu tampak olehnya
kaki lawan membuat sapuan, tangannya
mengebutkan Kail Naga Samudera ke bawah.
Cletarr! Clep! Satria terkesiap.
Senjata pusaka di tangan tua bangka itu
secepat kilat menukik lurus. Tajam. Tahutahu, kayu panggung tertembus. Sedangkan
tali Kail Naga Samudera sendiri merentang tegang seperti potongan baja. Sapuan Satria
tertahan seketika!
Kaki pendekar muda itu nyaris saja terpantek langsung ke permukaan panggung!
Kalau saja Ki Ageng Sulut memiliki ketepatan
tinggi mempergunakan senjata pusaka di tangannya! Saat Satria terpesona...,
Wukh! Degh! Satu tangan lawan membuat tamparan
mendongkel dari bawah ke atas.
Dari posisi setengah terbaring di lantai
panggung, kepala si anak muda tersentak teramat keras. Dagunya terhantam angin tamparan telapak tangan lawan, satu tombak sebelum telapak tangan itu menjangkau sasarannya sendiri. Akibat yang lebih hebat, Satria Gendeng langsung terangkat deras ke
udara. Seperti dialami oleh Bagaspati maupun
Tresnasari, tubuh pendekar muda itu melayang deras. Meluncur keluar panggung.
'Tepukan Iblis Kematian' baru saja menghajarnya! "Aaaahhh!"
Para penonton pertarungan maut berseru. Pekat. Satria jatuh bergulingan. Dan baru berhenti ketika menghantam tangga batu pendapa telak-telak. Sebagian permukaan tangga
batu pualam menjadi gompal!
Segenap pandangan menombak ke arah
dirinya. Bersit cemas bertaburan. Tak lama
mereka seperti sama-sama menunda napas.
Ketika perlahan-lahan si pendekar muda beringsut bangkit, baru terdengar desah napas
lega mereka. Tak urung pula, mereka memperdengarkan helaan terpesona. Terpesona
karena jelas-jelas pendekar muda bau kencur
itu telah terkena salah satu pukulan paling
ditakuti di seantero dunia persilatan tanah
Jawa. Namun, tak ada tanda-tanda kalau dia
mengalami luka berbahaya. Di lain keadaan,
'Tepukan Iblis Kematian' bahkan sanggup melebur karang sebesar kerbau!
Bukankah yang demikian itu mempesona mereka"
Satria Gendeng mengeluh. Melenguh.
Suaranya parau. Betapapun sakit yang diderita, betapapun sesak mendera, betapapun
mual dan pening terasa, yang jelas dia telah
bangkit kembali kini.
Dari tertunduk, kepalanya terangkat
naik. Perlahan.
Urat-urat di bola mata itu memerah. Seperti milik banteng ketaton! Darah kehitaman
mengalir lambat di antara hidung dan bibirnya. Wajahnya pun mematang, terbakar gelegak kemurkaannya.
"Khuaaaaaa!!!!"
Satria melolong. Kepalanya mendongak.
Urat di lehernya menggelembung. Dia. seperti
seekor serigala luka yang melampiaskan segenap kemarahan-nya melalui lolongan tinggi menohok angkasa.
Udara tergempur.
Getarannya menghancur.
Lapisan luar tembok pagar pecan terhambur. Dedaunan menggelepar-gelepar, gugur.
Puluhan orang harus menekan daun telinga kuat-kuat.
Si nenek jelek yang sedang nangkring di
dahan satu pohon pun tergetar mendengar lolongan mengerikan itu. Hidungnya kembang
kempis. Hampir saja lendir dan lobang hidung
dekilnya terjatuh tanpa disadari.
"Bocah Bussssssuk! Bagaimana dia bisa
memiliki tenaga dalam sehebat itu sementara
umurnya baru sejempol kukuku"!!" makinya
sambil meringis-ringis.
Si pemuda sendiri tak pernah peduli pada semua itu. Dari tempatnya berpijak, dia
menggenjot tubuh.
Wrrr! Tepp! Di tepi panggung, kembali dia memacakkan kuda-kuda.
Suasana mendadak dibungkam. Senyap,
kebisuan yang memagut. Napas seakan tertunda kembali. Ki Ageng Sulut tak menyangka dia akan
ikut terbawa pesona yang seolah terpancar
gencar dari dalam diri si satria muda yang belum lagi cukup dikenal dunia persilatan tanah
Jawa itu. Bahkan tak sempat ditariknya kembali tali Kail Naga Samudera yang menembus
ke bawah lantai panggung.
Diam, si tua bangka keji itu dalam keterpanaan. Sampai geraman pemuda di depannya menyadarkan.
"Apakah kau tahu, Orang Tua Sesat.
Kematian tak pernah memilih-milih dan memihak siapa pun," desis Satria, sarat nada mengancam. "Aku cuma berharap, semoga
Gusti Yang Agung meminta nyawamu hari ini
melalui tanganku...."
Ada yang terasa bergetar di dalam diri Ki
Ageng Sulut mendengar ucapan si anak muda. Aneh. Keganjilan yang menyeruak tak tertahan. Bagaimana mungkin seorang bocah
ingusan dapat menggetarkan hati seorang tokoh kenamaan yang kekejamannya telah
membuat tanah Jawa merinding selama berpuluh-puluh tahun lamanya" Semuanya seperti sulit dipercaya oleh Ki Ageng Sulut sendiri. Namun, dia tak bisa memungkirinya! Satu kelebihan yang tak dimiliki oleh pemuda
kebanyakan. Dan akan sulit pula dimiliki oleh
kalangan tua sekalipun. Sebentuk pancar
kharisma kuat yang mungkin sanggup menggetarkan nyali seeker singa lapar!
Berkawal teriakan menggila, tubuh Satria Gendeng berpusing cepat serta liar. Pusingan tubuhnya merangsak deras menuju
lawan. Bagai gasing raksasa yang sulit didu

Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ga. Tangannya sebentar terbentang, membuat
putarannya melambat. Sebentar berikutnya
terlipat dalam, menyebabkan putaran tubuhnya menjadi demikian sengit. Kegilaan itu
tidak hanya sampai di sana. Di antara dengung yang diciptakan putaran tubuh si pendekar muda, terdengar pula suara berdesisan
di bawahnya. Apa yang terjadi sungguh menabjubkan siapa, pun. yang menyaksikannya.
Begitupun Ki Ageng Sulut, tokoh nomor wahid
golongan hitam yang menggemparkan dengan
julukan Iblis Dari Neraka.
Ki Ageng Sulut tercekat. Dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri permukaan
panggung mengeluarkan asap karena gesekan
kaki Satria Gendeng yang menjadi tumpuan
putaran! "Sinting! Aku tak pernah melihat Dongdongka melakukan pertarungan seperti itu.
Lalu jurus siapa yang bocah sial ini mainkan?"?" desis Ki Ageng Sulut, bergidik.
Sebenarnya, tak sekali pun Dedengkot
Sinting Kepala Gundul menurunkan jurus
aneh ini pada Satria. Kalaupun kini diperlihatkan oleh si pendekar muda, semata adalah
kekuatan dorongan naluri kependekarannya.
Dorongan itu menyebabkan dia mengikuti saja gerakan yang lahir dari dalam, hingga tercipta sebentuk jurus ampuh tanpa disadarinya. Sedangkan kekuatan sakti yang mengendap dalam tubuhnya selama ini telah menyebabkan tenaga putarannya sanggup menciptakan gesekan teramat hebat di permukaan panggung! * * * 6 MURID kualat!" Nini Jonggrang tahutahu sudah berada di belakang Tresnasari.
Bertolak pinggang. Cemberut wajahnya. Sudah jelek, jadi tambah jelek.
Tresnasari kaget bukan kepalang. Ketakutan, dia tersurut mundur ke belakang.
Mayangseruni yang belum mengerti duduk
perkaranya menatap terheran-heran.
"Sini, kau!" bentak Nini Jonggrang,
mendelik-delik menyeramkan.
Tresnasari menggeleng takut-takut. Sifat
judes, bandel, dan ketusnya kabur entah ke
mana kalau sudah berhadapan dengan nenek
sakti penganut ilmu sesat itu. Siapa yang tak
ngeri berhadapan dengan perempuan bangkotan seseram Perempuan Pengumpul Bangkai"
Kendati muridnya sendiri" Jangankan mendengar bagaimana tabiat darah dinginnya selama ini, menyaksikan wajah dan penampilan
rombengnya saja sudah bikin jantung 'empotempotan' separo soak.
Nini Jonggrang menggeram. Seperti dedemit pohon petai.
"Ke sini, kataku!" susul si Perempuan Pengumpul Bangkai.
Tresnasari tetap tak ingin mendekat. Kepalanya menggeleng makin kuat. Wajahnya
disergap ketakutan. Panas-dingin mungkin
juga. Nini Jonggrang mendengus sekali. Diangkatnya tangan kurus berkulit keriput dan
menebarkan bau bangkai busuk ke manamana. Kuku-kukunya panjang menghitam.
Jari kelingkingnya bergerak-gerak bagai seekor cacing pesakitan, membuat isyarat agar
murid bandelnya mendekat. Matanya yang seni era h darah menerkam langsung ke manikmanik mata Tresnasari.
Tajam menusuk. Tresnasari kian gelagapan. Entah bagaimana, kakinya perlahan-lahan terseret dari
tempat berpijak. Ada tenaga kasat mata
menggeser kakinya. Gadis itu mencoba bertahan. Tak berhasil. Jangankan mempertahankan pijakan, menggerakkan otot dan sendi
kakinya saja sudah demikian sulit.
Betapa Tresnasari yakin, mata iblis Nini
Jonggrang telah mempengaruhinya. Mata itu
pasti mengirim kekuatan tenung seorang perempuan penganut ilmu sesat, mengunci
langsung segenap jaringan saraf kaki di otaknya. Mata yang Juga mengirim getarangetaran menakutkan ke hati.
Terkutuklah kau nenek setan! Maki
Tresnasari, hanya berani dalam hati. Kalaupun punya keberanian, toh mulutnya pun terasa terbelenggu kekuatan tenung perempuan
penganut ilmu sesat itu.
Tresnasari terus terseret perlahan.
Mayangseruni diam tak bergerak. Biarpun pengaruh tenung cuma ditujukan pada
Tresnasari, namun gadis kembarannya itu
seperti turut terkena getahnya. Dia takjub
menyaksikan bagaimana hebat, betapa piawainya si nenek jelek mengatur tenaga dalam
demikian rupa. Menurut Mayangseruni, sebagai orang yang cukup banyak belajar ilmuilmu olah kanuragan, tenaga dalam tersebut
dikirim Nini Jonggrang melalui gerakan jari
kelingkingnya. Bayangkan" Hanya dengan
menggerakkan jari kelingking, Perempuan
Pengumpul Bangkai 'sudah sanggup mengirim tenaga dalam yang dapat menyeret seseorang ke arah dirinya!
Tresnasari tiba satu tombak di depan
hidung gurunya, yang sampai detik ini tak
akan sudi diakunya. Biar bumi kiamat dan
mengeluarkan bangkai-bangkai berjalan dari
perutnya, sekalipun!
"Kenapa kau tak melakukan tugasmu,
hen?" hardiknya kembali.
Tresnasari tergagap-gagap parah. Butirbutir keringat bersembulan di wajah dan leher
jenjangnya. "Ngomong tolol!"
Susah payah setengah mampus gadis itu
berusaha menggerakkan lidah, tak juga ada
satu kata keluar. Kelu lidahnya. Kerongkongannya terasa sudah mau robek karena memaksa untuk berbicara.
Hidung Nini Jonggrang menyerupai paruh burung Nazar Hidung itu kembangkempis. Sewaktu mekar, terlihat kotoran berlendir menjijikkan. Baunya menyengat. Tangan yang tak sempat diturunkan mulai bergerak. Jari-jari kurus panjangnya turut bergerak-gerak. Kuku-kukunya melintas-lintas di
depan wajah Tresnasari, membuat gadis itu
makin pucat pasi.
"Kau tahu," mulainya lagi terseret. "Sebagai murid, kau telah mengecewakanku.
Mengecewakan sekali! Kau mengkhianati tugas yang kuberikan. Itu artinya, secara tak
langsung kau telah mengkhianatiku!"
Nini Jonggrang mengusap lendir di lobang hidungnya dengan punggung tangan.
Tertawa terkikik dia. Tanpa satu alasan pun
yang dianggap lucu.
"Bagi diriku, tak akan rugi bila seorang
murid berkhianat. Aku bisa mencari murid
yang lain. Yang setia. Yang mau menuruti apa
perintahku, tak peduli dia ku perintah untuk
menelan kotoran kerbau! Tidak seperti kau,
Murid Kualat!"
Nini Jonggrang terkikik-kikik lagi.
"Karena kau telah berkhianat, maka kau
sendiri yang akan merasakan akibatnya! Kau
tahu apa yang bisa kulakukan terhadap manusia" Aku bisa menguliti kulitnya, bisa
menggeragot ubun-ubunnya dan ku sedot
otaknya, aku akan melakukan apa pun yang
ingin kulakukan," desis Perempuan Pengumpul Bangkai, menggempur nyali murid bandelnya. "Dan untuk seorang murid murtad, tentu saja akan bisa melakukan lebih dari itu.
Lebih! Lebih! Lebiiih! Hik hik hik!"
* * * Wuk wukh wukh! Pusingan tubuh Satria Gendeng tiba juga di dekat Ki Ageng Sulut. Sulit untuk menduga ke mana arah serangan yang hendak dilakukan pendekar muda itu. Setiap saat, tangannya bisa melontarkan pukulan, ke setiap
arah. Juga kakinya bisa melepas tendangan,
atau sapuan, atau tebasan. Yang juga tak terduga arahnya. Untuk menghadapi serangan ganjil ini,
Iblis Dari Neraka tak bisa sembarangan melakukan gerakan. Atau sembarangan melancarkan serangan. Putaran tubuh lawan mudanya
sendiri sudah membuat matanya jadi kehilangan konsentrasi. Menyerang dalam keadaan seperti itu dengan anggota badan malah
bisa menjadi bumerang bagi diri sendiri. Lawan bisa membuat tangkisan, sekaligus serangan balasan tiba-tiba.
Kalau lawan lain, mungkin Ki Ageng Sulut tak akan begitu bingung melakukan serangan. Pengalamannya selama menerjuni
dunia persilatan telah mengasah kewaspadaan dan ketajaman pandangan dan perhitungannya. Dengan cepat, dia bisa menangkap serangan mendadak lawan. Kendati itu
dilakukan dari jarak tak lebih dari tiga jengkal. Lawan yang dihadapinya kini, bukan
sembarang lawan. Dia adalah murid tunggal
Dedengkot Sinting Kepala Gundul! Dan baru
sekarang disadarinya benar-benar, kalau pemuda tanggung itu nyatanya bisa jauh lebih
berbahaya dari gurunya sendiri!
Ki Ageng Sulut tak habis mengerti dengan hal itu. Kenyataan memang berkata demikian. Gerakan si pendekar muda, demikian
cepat. Tak terduga. Kekuatannya pun sulit
diukur. Kecepatan dan kekuatan yang sulit
terduga dan telah mengejutkan banyak pihak
itulah yang menjadikannya berbahaya.
Jangankan Ki Ageng Sulut, Satria sendiri pun sebenarnya tak pernah menyadari kesaktian apa yang sebenarnya bersemayam dalam dirinya. Kesaktian alami yang sanggup
melipatgandakan kekuatan dan kecepatannya. Bahkan dalam keadaan-keadaan tertentu, sanggup melampaui satu-dua tingkat dari
tokoh-tokoh jajaran atas tanah Jawa!
Satu-satunya jalan yang dipikir terbaik
oleh Ki Ageng Sulut adalah mendahului serangan. Tidak dengan tangan dan kaki. Melainkan dengan senjata pusaka di tangannya.
Dengan Kail Naga Samudera! Senjata pusaka
yang tak diragukan keampuhannya di tangan
seorang yang tepat.
Wush!! Cletar! Menyambut tibanya putaran menggila
tubuh lawan, Iblis Dari Neraka melecutkan
Kail Naga Samudera. Suara celetar terdengar.
Sangar! Tali Kail Naga Samudera menggelepar
sengit. Bersit cahaya pelangi menebar lebar.
Putaran menggila tubuh Satria Gendeng
diterjang. Srrt! Ada yang menyentak hati Ki Ageng Sulut. Sekaligus menyentak tubuhnya. Dan ketika menyadari apa yang terjadi, semuanya telah terlambat. Dengan menakjubkan, tangan satria
muda lawan nya telah menyambar lecutan secepat kilat Kail Naga Samudera. Tak terduga.
itulah hal yang sering kali mengejutkan siapa
pun. Itu pula yang dikhawatirkan si tua
bangka sesat. Kail Naga Samudera merentang.
Tegang. Tali di ujung kail mengeras dialiri dua
tenaga dalam tingkat tinggi. Lebih keras daripada saat Iblis Dari Neraka menembuskannya
ke lantai panggung.
Di dua kutub berseberangan, dua lawan
berhadapan. Tampak diam. Pada dasarnya,
mereka sedang berkutat. Badan mereka bergeletaran. Mata Satria terpejam. Sebaliknya,
mata kelabu Iblis Dari Neraka membuka lebar. Tangan masing-masing terpagut ketat di
ujung-ujung Kail Naga Samudera.


Satria Gendeng 05 Perempuan Pengumpul Bangkai di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Detik-detik berjingkatan.
Keduanya makin tampak tegang.
Getaran tubuh mereka menanjak liar.
Sepasang Rajawali 1 Pendekar Pulau Neraka 47 Pedang Setan Dewa Ruci Pendekar Misterius 5

Cari Blog Ini