Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say Bagian 12
Hoa Pek Tuo dengan menggunakan sebuah jubah panjang sambil menggoyangkan kipasnya duduk menyeramkan di atas pembaringan.
Ketika menyaksikan Pek In Hoei menerobos masuk ke dalam ruangan, ia segera tertawa terbahak-bahak, serunya : "Nasibmu memang terlalu bagus dan usiamu memang diberkahi umur panjang, tak kunyana yang modar ternyata bukan kau!" "Hmmm! Tempat ini sungguh indah sekali, aku rasa suatu tempat yang paling cocok bagimu untuk beristirahat untuk selama-lamanya!" ejek Pek In Hoei dengan suara dingin.
"Hmmm... hmmm... perkataanmu keliru besar, istana bawah tanahku ini hanya memperkenankan orang masuk ke dalam, selamanya belum ada yang bisa keluar dalam keadaan hidup.
Sekarang kau telah berada di sini, itu berarti untuk selama-lamanya kau tak akan berhasil keluar dari tempat ini dalam keadaan selamat!" Pek In Hoei segera segera tertawa dingin.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... bagaimana dengan kau sendiri" Apakah kau pun tidak ingin keluar dari tempat ini dalam keadaan hidup?" "Haaaah...
haaaah... haaaah... saudaraku, kau benar- benar bagaikan si setan gantung yang melihat hong swie," seru Hoa Pek Tuo sambil tertawa terbahak- bahak, "Sebelum mati kau juga ingin mencari teman...
hmm... hm... sahabat, rembulan di tengah kegelapan kurang sedap dipandang, ucapanmu itu terlalu jauh..." "Bangsat tua, memandang tampangmu yang begitu jelek seperti kera, aku lihat kau lebih cocok jadi seorang kuli kasaran." Perkataan ini mengandung nada penghinaan yang amat tebal, seketika itu juga Hoa Pek Tuo naik pitam, saking gusarnya rambut dan jenggotnya pada berdiri kaku semua, sambil berteriak keras tubuhnya loncat bangun dari atas pembaringan, serunya dengan penuh kebencian : "Saudara, kalau bicara sedikitlah berhati-hati, hati-hati kalau ada geledek yang menyambar putus lidahmu..." Menyaksikan jago lihay yang berhati licik itu sudah dibikin naik pitam oleh ejekan-ejekannya, Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei segera menggetarkan pedang penghancur sang surya-nya ke tengah udara dan menciptakan berkuntum-kuntum bunga yang amat tajam.
Dengan ketakutan Hoa Pek Tuo cepat-cepat meloncat mundur ke belakang, serunya berulang kali : "Tunggu sebentar...
tunggu sebentar... sekarang masih belum tiba saatnya untuk mencabut jiwa anjingmu." "Kenapa" Apakah kau masih ada pesan-pesan terakhir yang kau tinggalkan?" ejek Pek In Hoei dengan suara ketus.
"Ketika menghadapi para jago lihay di wilayah selatan tempo dulu, kegagahanmu betul-betul mengagumkan," kata Hoa Pek Tuo dengan sikap yang amat misterius, "banyak sekali sahabat dari angkatan muda yang berharap bisa berjumpa muka dengan dirimu, oleh sebab itulah sebelum kita berdua menyelesaikan urusan pribadi yang sudah terikat antara kita berdua, terlebih dahulu aku ingin memperkenalkan beberapa orang sahabat kepadamu..." "Hmm! Jadi kau telah mengundang bala bantuan" Kenapa tidak kau undang keluar?" "Haaaah...
haaaah... haaaah... " dari sisi sebelah kiri tiba-tiba berkumandang keluar suara gelak tertawa yang menyeramkan, disusul dari balik pintu muncullah seorang pemuda berbaju biru.
"Dia adalah kongcu berbaju biru Lu Kiat!" ujar h pt memperkenalkan.
Diam-diam Pek In Hoei merasa terperanjat, ia tidak menyangka kalau kongcu berbaju biru yang nama besarnya telah menggetarkan wilayah sebelah selatan sungai Huang-hoo itu tidak lebih adalah seorang jago yang masih muda, hatinya tercekat.
Segera serunya : "Selamat berjumpa...
selamat berjumpa..." "Terima kasih!" sahut Lu Kiat ketus.
Kembali Hoa Pek Tuo menuding ke arah belakang sambil berseru "Dan yang ini adalah si golok kilat Bu-san!" Seorang hweshio berkepala gundul dengan langkah lebar munculkan diri dari balik pintu, di tangannya membawa sebuah golok Kui-tau-to yang amat besar, pada punggung golok tergantung beberapa rantai gelang besi, setiap langkah kakinya segera menggetarkan gelang besi itu hingga berbunyi gemerincingan.
Waktu itu dengan sorot mata memancarkan napsu membunuh dan senyum mengejek menghiasi bibirnya ia memandang ke arah Pek In Hoei dengan sikap sombong.
Menjumpai hweshio gundul itu dalam hati Jago Pedang Berdarah Dingin segera berpikir : "Golok kilat Bu Sam adalah murid murtad dari gereja Siau-lim-si, setelah diusir dari perguruan ia seringkali berbuat kejahatan, bukan saja membunuh bahkan seringkali memperkosa anak istri orang, banyak kejahatan yang ia telah lakukan.
Sungguh tak nyana Hoa Pek Tuo telah mengumpulkan pula manusia semacam ini sebagai pembantunya.
Hmm! Bila sampai terjadi pertarungan nanti, pertama-tama aku harus berusaha keras untuk melenyapkan padri bengis ini terlebih dahulu..." Berpikir demikian, ia lantas berkata dengan dingin : "Masih ada siapa lagi" Kenapa tidak sekalian kau undang keluar?" Golok kilat Bu Sam yang menjumpai Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei sama sekali tak pandang sebelah mata pun terhadap dirinya, napsu membunuh dan watak bengisnya segera muncul, dengan suara seram serunya : "Belum pernah toaya mu Bu Sam menjumpai manusia angkuh dan takabur semacam ini.
Hmm... hmm... Hoa Lo sianseng, buat apa kau biarkan manusia semacam ini tetap hidup di kolong langit" Biarlah ia rasain dahulu sebuah bacokanku!" Sementara ia siap hendak turun tangan, tiba-tiba Hoa Pek Tuo mendekati hweshio itu lalu membisikkan sesuatu ke sisi telinganya, meskipun kemudian Bu Sam menunjukkan sikap kurang senang namun secara suka rela ia mundur pula ke belakang.
Pek In Hoei berlagak tidak melihat akan semua gerak-gerik itu, dengan sombong ia berdiri kaku di tempat semula.
Dalam pada itu Hoa Pek Tuo telah menepuk kembali tangannya, seorang pemuda berdandan Mongol dengan mata yang sipit sekali berlari keluar dari balik pintu, senyuman mengejek menghiasi bibirnya.
"Dia adalah Korlea, jago pedang nomor wahid dari wilayah Mongolia!" seru Hoa Pek Tuo dengan nada bangga.
"Hmmm... hmmm... mana, mana," kata Korlea.
Dalam hati Pek In Hoei terperanjat juga setelah mengetahui begitu banyak jago lihay yang bermuncul di situ, dengan ali berkerut dan nada dingin ejeknya : "Hmm! Sungguh tidak sedikit pembantu yang kau undang datang!" "Saudaraku, hanya kau seorang yang mampu mengangkat nama besarmu hingga mencapai puncak yang tertinggi hanya dua tiga tahun sejak kemunculan pertama di dalam rimba persilatan, keadaanmu ini membuat banyak orang merasa sedih hati, bila kami biarkan kau hidup terus di kolong langit maka bagi kita angkatan yang lebih tua jadi sulit untuk berkelana lagi di dalam dunia persilatan.
Oleh karena itulah aku harap saudara bisa tahu diri dan cepat-cepat mengundurkan diri." "Hmm!" Pek In Hoei mendengus dingin, "buat apa kau mengucapkan kata-kata yang begitu manis didengar" Terus terang saja katakan maksud tujuanmu, aku Jago Pedang Berdarah Dingin bukan satu dua hari berkecimpung di dal dunia persilatan, semua tipu muslihatmu itu telah kuketahui semua." "Hoa heng, kenapa sih kau masih punya kegembiraan untuk jual bacot dengan monyet kecil yang masih bau tetek itu," teriak golok kilat Bu Sam sembari ayunkan senjatanya, "Aku lihat lebih baik kita tak usah buang banyak waktu lagi, biarlah kuhadiahkan sebuah bacokan manis ke atas tubuhnya." Lu Kiat melirik sekejap ke arah golok Kilat Bu Sam dengan pandangan menghina, agaknya pemuda baju biru itu menaruh rasa muak dan benci terhadap padri murid murtad dari gereja Siau-lim-si itu.
Kepada Pek In Hoei ia tertawa hambar dan menegur : "Saudara, benarkah sewaktu berada di wilayah selatan tempo dulu, kau telah mengatakan kata-kata sesumbar?" "Perkataan apa?" tanya pemuda itu melengak.
"Kau pernah kata bahwa dengan pedang sakti di tangan, kau hendak taklukkan semua jago yang ada di kolong langit, benarkah kau pernah berkata begitu?"
PEK IN HOEI segera tertawa dingin.
"Hmmm... dan kau percaya aku telah mengucapkan kata-kata tersebut" Lu-heng, dengan kedudukan serta nama baikmu di dalam dunia persilatan, aku rasa tidak sepantasnya kalau kau ikut bergaul dengan manusia-manusia sesat seperti itu bukan!" Meskipun dalam dunia persilatan Lu Kiat tidak memiliki nama yang baik tetapi dia pun bukan jagoan dari kalangan sesat, pertanyaan dari Jago Pedang Berdarah Dingin ini segera menimbulkan rasa sesal dalam hati kecilnya, sekilas rasa malu muncul di atas wajahnya.
Hoa Pek Tuo yang menyaksikan gejala kurang menguntungkan, dengan cepat tubuhnya loncat ke depan, ia takut urusan bila dilarut-larutkan terlalu lama maka akan mengakibatkan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan, segera hardiknya dengan suara keras : "Kau maki siapa yang termasuk jago-jago kalangan sesat" Pek In Hoei kalau bicara sedikitlah tahu diri, kalau kau mengacu balau terus dengan kata-katamu yang usil, jangan salahkan kalau aku tak akan berlaku sungkan lagi terhadap dirimu." "Huuh...! Kau adalah seorang pentolan golongan Hek- to yang membunuh orang tidak melihat darah, ayoh mengaku! Bukankah kau punya ambisi besar untuk mengangkangi dunia persilatan" Bukankah kau sendiri yang punya niat untuk menundukkan seluruh partai besar dan memperbudak seluruh jago yang ada di kolong langit." "Omong kosong!" teriak Hoa Pek Tuo penuh kebencian, "Hmm! Rupanya kau telah bosan hidup!" Kepada Lu Kiat, Korlea dan Bu Sam ia melotot sekejap, serunya : "Apa yang kalian nantikan lagi" Selama orang ini masih tetap hidup dan dalam kolong langit, kita jangan harap bisa hidup di dalam dunia persilatan dengan aman dan damai, sekarang mumpung jumlah kita banyak, mari kita keroyok dia sampai mati, kita tidak usah lagi membicarakan soal peraturan Bu lim atau tidak." Sambil tertawa terbahak-bahak, telapak kanannya segera diangkat ke atas, segulung angin pukulan yang luar biasa dahsyatnya dengan cepat meluncur keluar dari telapaknya dan langsung menghantam tubuh Jago Pedang Berdarah Dingin.
Dengan tangkas Pek In Hoei meloncat ke samping, dia silangkan pedangnya di depan dada, dengan wajah serius dan penuh kegusaran pemuda itu tarik napas panjang dan berkata : "Hoa Pek Tuo, bagaimana pun juga kau adalah seorang jago kenamaan di dalam dunia persilatan, sebelum pertarungan dimulai terlebih dahulu, asal kau menyanggupi aku baru suka turun tangan menghadapi dirimu, kalau tidak..." "Baik! Katakanlah apa permintaanmu itu," seru Hoa Pek Tuo berlagak besar jiwa.
"Gampang sekali permintaanku itu, aku harap kau suka memandang di atas wajahku melepaskan Hee Giong Lam dari tempat ini, di samping itu turunkanlah perintah agar orang-orang mu tidak menyusahkan mereka ayah dan anak lagi!" "Haaaah...
haaaah... haaaah... saudaraku kau benar- benar bagaikan raja akhirat yang mengemis...
sudah hampir mati pun mencari uang," ejek Hoa Pek Tuo sambil tertawa tergelak-gelak.
"Sekarang untuk mempertahankan selembar jiwamu sendiri pun kau tak mampu, malah masih bisa-bisanya mintakan ampun buat orang lain...
Hmmm! Betul-betul manusia yang tak tahu diri..." Dengan wajah dingin kaku serunya lebih jauh : "Mudah saja kalau kau menginginkan agar aku lepaskan budak cilik itu, tapi suruh aku lepaskan Hee Giong Lam...
Hehh... heeh... maaf, seribu kali maaf, aku tak dapat mengabulkan permintaanmu itu sebab aku masih ada dua resep obat yang belum selesai ia buatkan bagiku!" "Lepaskanlah dia!" seru Lu Kiat pula sambil melangkah maju ke depan, "Hoa heng bila sedikit permintaan ini tak kau kabulkan bukankah pamormu akan merosot sekali" Lagi pula Rasul Racun Hee Giong Lam toh bukan seorang manusia yang luar biasa apa sih salahnya melepaskan dia berlalu dari sini?" Hoa Pek Tuo tertegun, dengan cepat satu ingatan berkelebat dalam benaknya, sambil tertawa ia lantas berkata : "Baiklah, memandang dia wajah Lu-heng terpaksa aku harus melakukannya." Ia tepuk tangannya keras-keras, seorang pria baju hitam berjalan masuk ke dalam, kepada orang itu Hoa Pek Tuo berkata : "Segera lepaskan Hee Giong Lam dari kurungan!" Sambil tersenyum pria itu mengangguk dan mengundurkan diri dari situ.
Kong Yo Siok Peng yang selama ini bersembunyi di sudut ruangan segera merasa hatinya jadi lega ketika mengetahui ayah angkatnya tidak cedera, dengan suara gemetar serunya : "In Hoei, mari kita bersama-sama tinggalkan tempat ini!" "Tidak bisa," sahut Pek In Hoei sambil gelengkan kepala, "kau dan ayah angkatmu harus cepat-cepat berlalu dari sini, setelah kuselesaikan persengketaanku dengan sahabat-sahabat yang begini banyak, aku akan segera menyusul dirimu, mungkin sebelum senja hari nanti aku telah berhasil menyusul dirimu..." "Tidak!" bantah Kong Yo Siok Peng dengan suara keras, "kalau mau mati biarlah kita mati bersama!" Pada saat ini gadis tersebut tidak merasa takut lagi, dengan wajah basah oleh air mata ia meloncat ke sisi pemuda itu.
Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei jadi amat gelisah diam-diam sambil menggertak gigi ia membentak dengan penuh kegusaran.
"Kalau kau tidak segera berlalu dari sini, jangan salahkan kalau aku tak mau kenali dirimu lagi!" Rupanya pemuda itu telah menyadari betapa bahayanya situasi yang terbentang di depan mata dewasa itu, untuk mundur dari tempat itu dalam keadaan selamat bukanlah suatu pekerjaan yang gampang, oleh sebab itu untuk menghindari pengorbanan jiwa yang tak berguna terpaksa pemuda itu harus keraskan hati dan mengusir Kong Yo Siok Peng dari sana.
Gadis she Kong yo itu sendiri kontan merasakan hatinya tercekat dan dingin bagaikan tercebur ke dalam liang es, dengan penuh penderitaan ia menjerit lengking, teriaknya : "In Hoei kau..." Ucapan selanjutnya tak mampu diteruskan, sambil menutup wajah sendiri gadis itu segera lari keluar dari ruangan tersebut.
Memandang bayangan punggungnya lenyap dari pandangan mata, dengan sedih Pek In Hoei tundukkan kepalanya hampir saja ia melelehkan air mata karena sedih, sambil menghela napas panjang segera pikirnya : "Siok Peng, maafkanlah daku, aku tidak seharusnya bersikap demikian kasar kepadamu, Aaiii...! Adakah kau masih belum dapat memahami perasaan hatiku?" Apa boleh buat, mau tak mau terpaksa aku harus bersikap demikian demi kebaikanmu sendiri!" Dengan sorot mata yang tajam bagaikan sebilah pisau, perlahan-lahan pemuda itu menyapu sekejap ke sekeliling ruangan, lalu serunya dengan suara ketus.
"Ayoh, turun tanganlah, urusan di antara kita sudah sepantasnya cepat-cepat diselesaikan..." Dengan pandangan berat ditatapnya wajah para jago lihay yang telah bersiap sedia di depan mata, pedang mestika penghancur sang surya diangkat tinggi di depan dada sementara segenap hawa murninya dihimpun pada ujung senjata tersebut, keangkeran serta kegagahannya yang melebihi seorang pendekar ulung itu membuat Lu Kiat diam-diam merasa terkesiap, rasa pandang enteng musuhnya seketika lenyap tak berbekas dari dalam ingatannya.
Sementara itu Golok Kilat Bu Sam sudah tak dapat menahan diri lagi, sembari putar golok raksasanya di tengah udara ia berteriak keras : "Bangsat cilik, rasain dulu sebuah bacokan golokku!" Jago lihay berkepala gundul yang sejak kecil mendapat pelajaran langsung dari gereja siau lim si ini benar-benar luar biasa sekali, goloknya diiringi deruan angin tajam laksana titiran hujan badai membacok ke arah depan dengan dahsyatnya.
Setelah Bu Sam menunjukkan aksinya, Korlea dari Mongolia itu juga tak dapat menahan diri lagi, ia loloskan pedangnya sambil menerjang ke depan.
Rupanya jago dari Mongolia ini ingin sekali mendemonstrasikan kelihayannya di hadapan Hoa Pek Tuo, serangan-serangan yang dilancarkan amat gencar dan luar biasa sekali, seakan-akan dalam sekali bacokan ia hendak binasakan lawannya di ujung senjata sendiri karena itu serangan pedangnya bukan saja ganas bahkan keji dan rapat.
Demikianlah bersama-sama bacokan golok dari Bu Sam mereka pada saat yang berbareng membacok dari kiri serta kanan pinggang musuh.
Namun Pek In Hoei cukup tangkas, sebelum serangan yang dilancarkan ke-dua orang itu berhasil mengenai sasarannya tahu-tahu ia sudah melayang pergi dari tempat semula.
Bu Sam meraung keras tatkala ia kehilangan sasarannya, sambil putar badan goloknya laksana kilat kembali lancarkan sebuah bacokan maut.
Teriaknya sambil tertawa seram : "Korlea, kau serang dari sisi sebelah kiri biar aku yang menyerang dari samping kanan!" Berada di bawah kerubutan dua orang jago yang maha lihay itu, Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei masih tetap maju mundur sekehendak hatinya, bukan saja menyerang dan bertahan dilakukan dengan sangat teratur, bahkan gerakan tubuhnya amat lincah sekali, jurus-jurus pedang yang dilancarkan cepat laksana kilat hingga membuat Lu Kiat yang menonton jalannya pertarungan itu dari sisi kalangan dengan mata terbelalak dan mulut melongo, ia semakin mengagumi akan kehebatan dari ilmu silat musuhnya ini.
Hoa Pek Tuo tidak menyangka kalau Lu Kiat yang diundang datang untuk membantu pihaknya itu sama sekali tiada maksud untuk turun tangan memberi bantuan, diam-diam ia merasa teramat gusar namun perasaan tersebut tidak sampai diutarakan keluar, dengan suara yang tenang dan wajah masih dihiasi senyuman katanya : "Lu heng, aku harap kau segera menggabungkan diri dengan mereka dan mulai turun tangan melancarkan serangan!" Lu Kiat segera menampik, serunya sambil gelengkan kepalanya berulang kali : "Dengan jumlah yang banyak mengerubuti musuh dalam jumlah sedikit, apalagi bertempur macam roda kereta yang bergilir seperti ini, aku sebagai seorang murid keturunan keluarga yang besar tidak sudi untuk melakukannya!" "Tapi kesempatan baik seperti ini sukar didapatkan, lagi pula sebentar lagi kesempatan ini akan lenyap tak berbekas, bila ini hari kita gagal untuk melenyapkan bangsat cilik ini, sulitlah bagi orang Bu lim untuk menandingi dirinya lagi bila sampai demikian..." makin berseru Hoa Pek Tuo semakin gusar hingga akhirnya ia tertawa seram.
"Hmmm! Bisa dilawan atau tak bisa dilawan itu bukan urusanku, maaf! Aku tak dapat menemani dirimu lebih jauh..." Jago muda ini tidak malu disebut sebagai keturunan keluarga yang besar, setelah menyaksikan perbuatan Hoa Pek Tuo yang tak tahu malu, bukan saja telah mengerahkan empat orang jago untuk mengerubuti seseorang bahkan memancing musuhnya dengan cara yang licik, timbullah rasa gusar dan muak dalam hati kecil Lu Kiat, sambil tertawa dingin ia segera meloncat keluar dari ruangan tersebut.
"Aduuuh...! Belum lama Lu Kiat berlalu dari situ, sebuah tusukan kilat yang dilancarkan Jago Pedang Berdarah Dingin bersarang telak di tubuh Golok Kilat Bu Sam, sebuah lengannya seketika terpapas putus jadi dua bagian, darah segar muncrat keluar menggenangi seluruh permukaan tanah, karena kesakitan padri murtad dari gereja siau lim si ini segera roboh tak sadarkan diri di atas tanah.
Hoa Pek Tuo semakin naik pitam menyaksikan peristiwa itu, jeritnya keras-keras : "Bila aku biarkan kau lolos dari sini dalam keadaan selamat, aku bersumpah tak mau jadi manusia..." Secara beruntun ia lancarkan tiga buah pukulan berantai yang mana dengan susah payah untuk sementara waktu berhasil membendung jalan pergi dari Pek In Hoei.
Korlea yang menyaksikan ada kesempatan bagus baginya untuk turun tangan, segera menerjang maju ke depan, pedangnya laksana kilat lancarkan sebuah tusukan bokongan ke arah punggung lawan.
Pek In Hoei tertawa dingin, sambil putar pedangnya laksana kilat menebas ke belakang bentaknya : "Modar kau..." Darah segar muncrat keluar bagaikan pancuran air, sungguh kasihan Korlea yang masih berusia muda, belum sempat menjerit kesakitan tahu-tahu jiwanya sudah melayang tinggalkan raganya.
Blaaam...! Pada saat itulah sebuah pukulan dahsyat dilancarkan Hoa Pek Tuo secara diam-diam, Pek In Hoei tak sempat untuk menghindarkan diri lagi, tubuhnya seakan-akan dihantam oleh sebuah martil yang sangat berat segera bergetar beberapa kali dengan kerasnya, hampir saja ia roboh terjengkang ke atas tanah.
"Ibu, sekalipun kita tak dapat menahan dirinya untuk berdiam disini, sedikit banyak kita pun tak dapat menghantar dia keluar dari kampung dalam keadaan begini, ananda tiada permintaan lain kecuali berikanlah orang ini sebutir pil pemunah racun, setelah orang ini sadar kembali dari pingsannya aku pasti akan menghantar dia keluar dari Sini!" "Oooh....
hal ini semakin tak dapat kita lakukan," kata Lu Hujin sambil menggeleng lagi," obat mujarab dari keluarga Lu kita sejak dahulu kala hingga kini selamanya tak pernah dihadiahkan untuk orang luar, orang ini toh tiada hubungan sanak atau keluarga dengan dirimu, mana boleh kau obati orang lain secara sembarangan dengan obat mujarab tersebut..." "Tapi Pek In Hoei toh bukan orang luar...
" seru Lu Kiat amat gelisah.
"Air muka Lu Hujin berubah hebat, seakan-akan dadanya terhantam oleh martil yang amat berat tiba- tiba sekujur tubuhnya gemetar keras dan ia berdiri menjublak di tempat semula tanpa berkata-kata.
Menyaksikan keadaan dari ibunya itu Lu Kiat mengira perkataannya telah melukai hati ibunya, karena ketakutan tubuhnya jadi gemetar keras, dengan ketakutan segera serunya: "Ibu! Ananda tahu salah, aku tidak seharus membuat ibu jadi demikian gusarnya..." Namun Lu Hujin tetap berdiri kaku seolah-olah ia tak mendengar sama sekali terhadap ucapan dari putranya itu, dengan bibir yang putih tak berdarah gumamnya seorang diri: "Angin taupan berhembus kencang awan putih terbang di angkasa..." dengan suara gemetar ia bertanya: "Anak Kiat apakah dia she Pek?"" "Sedikit pun tak salah, julukannya adalah Jago Pedang Berdarah Dingin namanya adalah Pek In Hoei!" Lu Hujin berdiri termangu-mangu sambil memandang tempat kejauhan tanpa berkedip di depan pandangan seakan-akan terlintas suatu pemandangan yang aneh, lama sekali ia baru bergumam lagi: "Mungkinkah kesemuanya ini sungguh-sungguh terjadi?"" Ketika ia menyadari akan sikapnya yang salah itu air mata telah mengembang di ujung kelopak matanya buru-buru ia hapus air mata yang menetes membasahi pipinya, lalu kepada yang kecil yang berdiri di sisinya ia berkata: "Siao Ing, ambillah kotak obatku dan bawalah kemari!" "Ibu kau hendak menolong jiwanya?"" seru Lu Kiat dengan nada tertegun.
"Benar aku harus menyelamatkan jiwa orang ini," jawab Lu hujin dengan sedih, "sebab ia mempunyai hubungan yang erat sekali dengan keluarga kita!" "Ibu, aku tidak mengerti akan perkataanmu itu!" Lu Hujin tertawa getir.
"Sekarang mungkin kau tak akan mengerti, di kemudian hari suatu ketika kau akan mengetahui dengan sendirinya..." Tidak selang beberapa saat kemudian ke-dua orang dara yang cilik itu telah balik kembali sambil membawa sebuah kotak obat yang mungil dan indah sekali bentuknya.
Lu Hujin segera membuka penutup kotak tadi dan ambil keluar sebutir pil berwarna merah darah kemudian dijejalkan ke dalam mulut Pek In Hoei.
Setelah itu dengan sikap yang tegang ia memeriksa keadaan luka yang diderita si anak muda itu, helaan napas panjang berkumandang memecahkan kesunyian yang mencekam sekitar tempat itu.
"Ibu apakah dia masih ada harapan untuk selamat?"" bisik Lu Kiat dengan suara yang amat lirih.
"Ehmmm... ! Ilmu pukulan Jit-tok-ciang yang dipelajari Hoa pek Tuo belum berhasil dikuasai sepenuhnya, sehingga dalam serangan yang ia lancarkan itu belum berhasil memaksa racun pukulannya menyusup ke dalam urat nadinya, oleh karena itulah daya kerjanya agak terlambat, sedang dalam pengobatan pun kita tak usah membuang tenaga terlalu banyak.
Untung Pil penolak racun dari keluarga Lu kita adalah nomor satu di kolong langit, seandainya tiada bantuan dari obat mujarab ini niscaya ia bakal jadi cacad untuk selamanya." "Ooooh.....! Waktu itu aku merasa muak dan tak senang hati karena Hoa Pek Tuo hendak mencari kemenangan dengan andalkan jumlahnya yang amat banyak, diam-diam aku menyusup masuk kembali ke istana bawah tanah dan menolong dirinya keluar dari situ, mungkin Hoa Pek Tuo mengira dia sudah mati, kalau tidak tak mungkin bajingan tua itu akan membiarkan dirinya tetap berbaring di situ." "Tahukah kau Pek In Hoei berasal dari mana?"" tanya Lu Hujin kemudian dengan suara hambar.
Lu Kiat tertawa: "Anak murid partai Thiam cong, hanya dia seorang yang berani berkelana di dalam dunia persilatan, menurut berita yang sempat kudengar katanya di dalam pertemuannya dengan para jago lihay dari pelbagai partai besar yang ada di wilayah selatan, ia berhasil membangun kembali partai Thiam-congnya yang telah runtuh sehingga dihormati dan disegani orang lagi, karena itulah nama besar jago pedang berdarah dingin dianggap sebagai jago pedang nomor dua di kolong langit setelah urutan nama besar dari Cia Ceng Gak..." "Jago pedang nomor dua?" seru Lu Hujin dengan nada bangga, "tidak aneh kalau Hoa Pek Tuo terpaksa harus mengumpulkan jago lihay yang begitu banyaknya untuk bersama-sama menghadapi dirinya, rupanya ia takut meninggalkan bibit bencana baginya di kemudian hari.
Aaai . . . tetapi dalam kenyataan ia memang seorang jago berbakat aneh yang jarang sekali ditemui dalam kolong langit..." Dengan penuh kasih sayang dan rasa kasihan, Lu Hujin melirik sekejap ke arah Pek In Hoei, nampaklah ketika itu ia telah menggerakkan tubuh dan perlahan- lahan membuka matanya kembali.
Melihat Lu Kiat berdiri berdampingan dengan seorang perempuan setengah baya yang berwajah ramah di hadapan mukanya Pek In Hoei yang baru saja mendusin dari pingsannya kelihatan agak tertegun kemudian sambil bangkit untuk duduk tegurnya: "Lu-heng di manakah ini?" "Pek-heng, harap jangan sembarangan bergerak dulu," seru Lu Kiat sambil membimbing tubuhnya, tempat ini adalah rumahku, memandang kau sebagai sesama sahabat Bu-lim, ibuku telah menghadiahkan sebutir pil penolak racun kepadamu...
di tempat ini kau dapat beristirahat dengan tenang sambil merawat lukamu itu..." "Ooooh...
terima kasih atas budi kebaikan Lu-heng serta Lu Hujin..." Lu Hujin tetap membungkam dalam seribu bahasa, biji matanya memancarkan serentetan cahaya yang sangat aneh, ia menatap wajah jago pedang berdarah dingin tanpa berkedip, ia merasa bocah itu banyak kemiripannya dengan Pek Tiang Hong, kegagahannya mirip sekali dengan bapaknya di kala masih muda.
"Nak, apakah ibumu masih hidup dalam keadaan sehat walafiat"..." tegurnya dengan suara terharu...
Jago pedang berdarah dingin Pek In Hoei berdiri tertegun, ia tak mengira kalau Lu Hujin bakal mengajukan pertanyaan seperti itu, sejak ia tahu urusan belum pernah pemuda itu bertemu dengan ibu kandungnya karena itu setelah menginjak dewasa dalam benaknya belum pernah terlintas bayangan mengenai ibunya, hatinya jadi sedih dan luka yang pernah membekas dalam sanubari sewaktu kecil segera muncul kembali...
Ia pernah bertanya kepada ayahnya kemana perginya ibu yang tercinta, setiap kali ia ajukan pertanyaan itu Pek Tiang Hong selalu menunjukkan sikap serba salah, bila terdesak hingga kehabisan akal setiap kali ayahnya berkata bahwa ibunya mati sewaktu melahirkan dirinya...
Air mata tanpa terasa jatuh berlinang membasahi pipi Pek In Hoei, katanya dengan nada sedih : "Ibuku telah meninggal dunia..." "Ayahmukah yang memberitahukan berita tersebut kepadamu?" seru Lu hujin dengan badan gemetar keras.
Pek In Hoei tertegun, setelah termenung sejenak katanya: "Cianpwee, rupanya banyak urusan tentang keluarga Pek kami yang kau ketahui?" "Aaai...
nak, aku dengan ayah ibumu adalah sahabat karib, semua kejadian yang menimpa keluargamu sebagian besar kuketahui dengan jelas...
tahukah kau bahwa ibumu masih hidup dalam keadaan sehat walafiat di kolong langit..." "Apa?" jerit Pek In Hoei dengan nada terperanjat, "ibuku masih hidup di kolong langit?"?" Kabar ini munculnya terlalu tiba-tiba membuat Pek In Hoei hampir saja tidak percaya bahwa apa yang didengar merupakan suatu kenyataan, dengan pandangan bimbang ia awasi wajah Lu Hujin, bibirnya bergetar keras namun tak sepatah kata pun yang mampu diucapkan keluar.
Lama... lama sekali ia baru bertanya dengan suara gemetar: "Dimana cianpwee, katakanlah kepadaku sekarang ibuku berada di mana?" "Nak, sebenarnya aku tak pantas memberitahukan persoalan ini kepadamu..." ujar Lu hujin sambil menggeleng, "tetapi persoalan itu sudah belasan tahun lamanya mengganjal dalam hatiku, kalau tidak kukatakan rahasia tersebut aku merasa amat berdosa dengan ibumu..." "Cianpwee, sebenarnya apa yang telah terjadi" Kenapa ayahku belum pernah memberitahukan soal ini kepadaku?"?" Lu hujin menghela napas panjang, ia seakan-akan sedang mengenang kembali peristiwa yang telah lampau...
kemudian sambil membereskan rambutnya yang kusut ia berkata : "Peristiwa ini harus diceritakan sejak ayahmu kawin dengan ibumu, setelah menikah orang tuamu hidup dalam suasana yang penuh bahagia, mereka saling cinta mencintai satu sama lainnya, membuat hingga banyak pasangan muda merasa iri, mungkin thian memang ada maksud untuk membubarkan hubungan mereka berdua kendati sudah kawin tiga tahun tetapi ibumu masih belum juga mengandung, ketika itu ibumu telah mengunjungi banyak tabib kenamaan untuk peroleh pengobatan, ia berusaha untuk mendapat tahu penyakit apakah yang sedang diderita, setelah mendapat pemeriksaan dari beberapa orang tabib sakti akhirnya barulah diketahui bahwa ibumu mandul, ia tak mungkin bisa melahirkan anak untuk selamanya..." "Mandul" Tak bisa punya anak?" tanya Pek In Hoei tercengang, "kalau ibuku tak dapat melahirkan anak, lalu bagaimana mungkin aku bisa dilahirkan..." Lu Hujin melirik sekejap ke arahnya, lalu menjawab : "Urusan ini hanya diketahui oleh ibumu seorang, ia terlalu mencintai ayahmu dan ia tak tega menyaksikan ayahmu menderita siksaan batin karena tak punya anak, seringkali ia berusaha keras untuk memancing kegembiraan dari ayahmu...
ketika itu Pek Tiang Hong masih belum tahu kalau istri kesayangannya tak mungkin bisa melahirkan lagi, dalam hati kecilnya masih terlintas satu harapan, mungkin harapan yang muncul dalam hati kecilnya terlalu besar maka akibatnya pukulan batin yang dirasakan olehnya amat berat pula..." Ia berhenti sejenak, kemudian terusnya : "Ketika ibumu melihat Pek Tiang Hong sangat berharap bisa mempunyai anak, ia jadi tak berani mengatakan bahwa dirinya mandul dan tak mungkin bisa punya anak lagi, dalam keadaan hati yang tertekan akhirnya ia berhasil menemukan satu akal bagus, ia pura-pura berlagak seakan-akan dirinya sedang mengandung, waktu itu ayahmu benar-benar nampak kegirangan, setiap hari ia selalu muncul dengan wajah berseri-seri...
mimpi pun ia tak pernah menyangka kalau ada seseorang yang secara sembunyi-sembunyi merasa sedih hati, orang yang patut dikasihani itu bukan lain adalah ibumu, ia menyadari bahwa rahasia ini tak bisa dikelabui terlalu lama...
dalam keadaan pusing kepala akhirnya ia mengusulkan kepada ayahmu untuk hidup berpisah, alasannya ibumu takut kandungannya goncang hingga mengalami keguguran, Pek Tiang Hong yang sangat berharap bisa mendapat putra tentu saja segera menyanggupi permintaannya itu..." "Ibu!" sela Lu Kiat dengan nada tak mengerti,
"persoalan apa pun bisa dipalsukan, tetapi urusan punya anak tak mungkin bisa dipalsukan, seandainya sudah sampai waktunya dan ia belum berhasil juga melahirkan anak, bukankah waktu itu..." "Perkataanmu sedikit pun tidak salah," kata Lu Hujin sambil menghela napas panjang, "dalam sedih dan murungnya adikku itu segera berangkat kemari menggunakan kesempatan di kala Pek Tiang Hong sedang kembali ke dalam perguruannya, diam-diam mengajak aku merundingkan persoalan ini serta berusaha untuk mencari jalan keluar untuk memecahkan kesulitan ini, sungguh kebetulan sekali di tempat ini ada seorang perempuan sedang mengandung tua, karena anaknya sudah terlalu banyak dan kehidupannya amat sengsara ia rela menyerahkan putra yang bakal dilahirkan itu kepada orang lain!" Berbicara sampai di sini ia berhenti sebentar dan melirik ke arah Pek In Hoei, lalu terusnya : "Untuk memenuhi dari ayahmu itu maka ibumu lantas mengajak perempuan itu untuk berunding, ia berharap setelah anak itu dilahirkan se era dikirim ke rumah Pek.
Tentu saja perempuan itu menyanggupi dengan senang hati, lewat tiga bulan kemudian perempuan itu benar-benar telah melahirkan seorang anak lelaki dan bayi itu segera diserahkan kepada ibumu.
Maka ibumu pun segera berpura-pura melahirkan, ternyata sandiwaranya itu berhasil mengelabui ayahmu, waktu itu Pek Tiang Hong segera mengadakan perjamuan besar untuk merayakan kejadian yang maha besar itu bahkan memberi pula nama Pek In Hoei kepada bayi lelaki tadi!" "Aah...! Jadi bocah lelaki itu adalah aku?" seru Pek In Hoei tertahan.
"Sedikit pun tidak salah!" jawab Lu Hujin sambil tertawa getir, "bila kau akan merasa pula bahwa siksaan batin yang terberat bagi seorang perempuan adalah kemandulan yang membuat ia tak dapat melahirkan anak, penderitaan semacam ini tak dapat dirasakan oleh siapa pun juga..." "Sebenarnya rahasia ini tak diketahui oleh siapa pun jua, ibumu mengira perbuatannya sanggup mengelabui ayahmu untuk selamanya, siapa sangka bencana muncul dari langit, sepatah kata-kata yang muncul tanpa sengaja membuat mereka berdua jadi cekcok sehingga akhirnya terjadilah persoalan ini..." "Aaaah...
kenapa" Apakah Pek Tiang Hong mengetahui akan rahasia ini?"" seru Lu Kiat tertahan.
"Tidak, sebenarnya Pek Tiang Hong tak tahu akan rahasia ini, suatu malam ketika sepasang suami istri itu sedang bercakap-cakap di dalam kebun bunga, adikku itu merasa bahwa perbuatannya amat tidak pantas, ia anggap di antara suami istri seharusnya tak boleh ada urusan yang saling merahasiakan, akhirnya ia pun lantas menceritakan duduk perkara yang sebenarnya, setelah Pek Tiang Hong mengetahui akan peristiwa ini hawa amarahnya seketika berkobar, malam itu juga terjadi percekcokan yang sangat ramai membuat adikku itu akhirnya meninggalkan rumah dan untuk selamanya tidak kembali lagi..." Pek In Hoei berdiri menjublak mendengar kisah cerita tersebut, bagaikan disambar petir di siang bolong ia berdiri menjublak tanpa berkutik barang sedikit pun jua, air mata jatuh berlinang membasahi pipinya, ia tak berani mempercayai kejadian itu, ia pun tidak percaya kalau asal usulnya begitu rumit dan di luar dugaan, tetapi kenyataan sudah di depan mata, tak mungkin Lu Hujin menceritakan kisah tersebut tanpa didasari alasan yang kuat, maka kendati ia tak mau percaya pun terpaksa harus mempercayainya juga.
"Sekarang ibuku berada di mana?" bisik Pek In Hoei sambil menahan air mata yang jatuh bercucuran.
"Setelah ibumu berlalu dalam kesedihan, ia cuku rambut jadi nikouw dan akan mengasingkan diri dari pergaulan dunia ramai, Pek Tiang Hong jadi menyesal hati setelah mengetahui kejadian ini, ia merasa tidak sepantasnya persoalan kecil yang sama sekali tak ada artinya itu diurusi, maka pada malam itu juga ia berangkat mencari ibumu, tetapi ibumu keburu sudah ditangkap pergi oleh seorang musuh besar dari ayahmu, sejak peristiwa itulah hingga kini kabar beritanya lenyap tak berbekas..." "Siapakah orang itu?" tanya Pek In Hoei dengan hati bergetar keras.
Lu Hujin tertawa getir. "Setelah aku melakukan penyelidikan yang seksama selama banyak tahun dengan susah payah perbuatan itu ternyata adalah hasil perbuatan dari pemilik Kiam poo, berhubung tingkah laku orang-orang benteng pedang di dalam melakukan tugasnya sangat rahasia dan jarang sekali berhubungan dengan orang-orang kangouw maka jarang sekali jago Bu lim yang mengetahui tentang manusia pemilik dari benteng Kiam poo ini, sebaliknya aku meski ada niat pergi menolong jiwa ibumu, sayang sekali tenagaku masih tak cukup untuk bertindak secara gegabah...
maka aku pun terpaksa membungkam diri..." "Benteng Kiam poo...! benteng Kiam poo..." bisik Lu Kiat dengan wajah tertegun, "rasanya aku pernah mendengar akan nama ini...
tapi kapan" Dan di mana?"?"" "Lu heng!" seru Pek In Hoei dengan penuh emosi, "tolong selidikilah di mana letaknya benteng Kiam poo itu" Aku ingin menolong ibuku dalam waktu yang sesingkat-singkatnya...
aku rasa dia orang tua sudah cukup lama hidup dalam kesengsaraan..." "Nak kau tak boleh bertindak secara gegabah," hibur Lu Hujin sambil gelengkan kepalanya berulang kali, "orang-orang di dalam benteng Kiam poo memiliki rangkaian ilmu silat yang sangat lihay dan ampuh sekali, meskipun Pek Tiang Hong memiliki keberanian yang luar biasa pun hampir boleh dibilang ia tak berani menyerbu ke dalam benteng secara gegabah, aku lihat lebih baik nantikanlah hingga kesempatan yang sangat baik telah tiba!" "Oooh...
apakah ayahku tidak tahu kalau ibuku berada di dalam benteng Kiam poo?" Lu hujin menghela napas panjang.
"Aaai... kabar berita ini pernah tersiar ke dalam telinganya, tetapi ia tak punya jalan yang baik untuk membuktikan kebenaran dari berita tersebut, berhubung ilmu silat yang dimiliki pihak lawan terlalu lihay, maka Pek Tiang Hong sendiri pun tak berani menerjang masuk ke dalam benteng yang serba misterius itu secara gegabah." Sorot matanya dengan tajam menatap pemuda itu, setelah berhenti sebentar, tanyanya kembali: "Apakah ayahmu masih hidup dengan sehat walafiat?" Sekujur tubuh Pek In Hoei gemetar keras, dalam benaknya terlintas kembali bayangan pemandangan di kala ayahnya mati secara mengerikan di puncak gunung Cing-shia, ia menggenggam kepalannya kencang-kencang kemudian sahutnya dengan sedih: "Ayahku teluh meninggal dunia." "Apa?" jerit Lu Hujin terperanjat, "ayahmu telah menemui ajalnya?" Sorot mata berapi-api memancar keluar dari balik mata jago pedang berdarah dingin Pek In Hoei, titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya, dengan penuh kepedihan ia merintih : "Benar ayahku telah menemui ajalnya." Lu Hujin menghela napas sedih, rasa pedih muncul dalam hati kecilnya, setelah termangu-mangu sesaat lamanya ia berbisik: "Kejadian di dalam kolong langit memang sukar untuk diduga, sungguh tak nyana seorang jago lihay yaug tersohor namanya di kolong langit demikian cepatnya telah tutup usia, aaai...
nak ilmu silat yang dimiliki Pek Tiang Hong merupakan intisari dari pelajaran ilmu silat partai Thiam cong tak mungkin ia tutup usia tanpa suatu peristiwa.....
" "Aaaaai..." suara elahan napas berat bergema memenuhi seluruh ruangan; dengan sedih Pek In Hoei mengangguk, "benar ayahku telah dikerubuti banyak orang sewaktu ada di puncak gunung Cing-shia, ia mati karena tak mampu menghadapi kerubutan orang yang jumlahnya amat banyak." "Oooh, apakah kau sudah selidiki siapa-siapa saja yang terlibat dalam pengeroyokan itu ?" Pek In Hoei menggeleng.
"Meskipun boanpwe berhasil merebut nama kosong di dalam dunia persilatan tetapi terhadap teka teki yang menyelimuti soal kematian ayahku hingga kini masih belum juga menemukan suatu pertanda apa pun, kejadian ini kalau dibicarakan memang menyedihkan, tetapi cara kerja yang dilakukan orang-orang itu amat bersih dan rapi ternyata tiada jejak barang sedikit pun yang tertinggal...." "Hmmm !" Aku sih bisa menduga perbuatan siapakah itu..." seru Lu Hujin sambil mendengus dingin.
"Siapa?" dengan emosi yang meluap-luap Pek In Hoei mencekal lengan perempuan itu erat-erat, "cianpwe, beritahukanlah kepadaku perbuatan siapakah itu ?" Dengan pandangan dalam Lu Hujin menatap sekejap wajah pemuda itu...
kemudian menjawab dengan suara sedih: "Benteng Kiam po, pastilah perbuatan dari mereka...
In Hoee! Ditinjau dari peristiwa ini kau harus melakukan suatu kunjungan ke Benteng Kiam-poo, temukan dahulu ibumu...
aku percaya dia pasti mengetahui akan persoalan ini...
Nak ! Perlihatkanlah keberanianmu untuk menghadapi kenyataan yang terbentang di depan mata." "Aku tak peduli pukulan batin macam apa pun aku tetap akan pergi ke sana." "Nak! Sekarang pergilah beristirahat sejenak menanti lukamu telah sembuh, berangkatlah mengunjungi Benteng Kiam-poo !" "Baik...
baik..." jawab jago pedang berdarah dingin dengan bibir gemetar.
Dengan suara berat ia menghela napas panjang lalu geleng kepala dengan penuh kepedihan, perlahan- lahan ia putar badan dan bergeser dari situ...
di bawah bimbingan seorang dayang berlalulah pemuda itu dari ruangan tersebut.
Hanya di dalam beberapa menit yang singkat, jago muda yang penuh kegagahan ini secara mendadak telah berubah jadi makin tua, perasaan membuat ia jauh lebih loyo dan lunglai.
"lbu !" ujar Lu Kiat kemudian setelah bayangan punggung Pek In Hoei lenyap dari pandangan, "dari mana kau bisa tahu duduknya perkara demikian jelas ?" Lu Hujin tak dapat membendung rasa sedihnya lagi dan menangis tersedu-sedu, "Nak, akulah perempuan yang telah melahirkan dirinya...
Akulah ibu kandungnya," ujar nyonya iiu dengan suara gemetar, "Anak Kiat, apakah kau masih belum tahu bahwa Pek In Hoei sebetulnya adalah saudara kandungmu sendiri" Aaai...! Nak apa yang harus kulakukan dalam persoalan ini !" Dengan air mata bercucuran Lu Hujin mengangguk.
"Sekarang kau tentu sudah paham bukan" Setelah ia dilahirkan di kolong langit maka aku memberi nama Pek In Hoei, sengaja kucantumkan kata In agar aku selalu ingat padanya, tentang peristiwa ini ayahmu mengetahui dengan jelas." "Ibu kalau begitu sepantasnya kau beritahukan hal ini kepadanya!" seru Lu Kiat dengan nada tegang.
Namun Lu Hujin gelengkan kepala, "Tentang peristiwa ini aku tak dapat memberitahukan kepadanya, ia sudah cukup menderita dan tersiksa, anak Kiat kau adalah toakonya dalam urusan apapun juga kau harus baik-baik merawat dirinya, dalam perjalanan menuju ke benteng Kiam poo kali ini aku serahkan dirinya kepadamu, bila ia mengalami suatu kejadian yang tidak diingini, aku akan minta pertanggungan jawab darimu..."
LU KIAT mengangguk, baik...
ibu, legakanlah hatimu, aku pasti tak akan membiarkan adik In Hoei menderita kerugian......." Dari dalam saku baju Lu Hujin ambil keluar sebilah pedang kecil berwarna kuning emas yang panjangnya mencapai enam cun dan diserahkan ke tangan Lu Kiat, pesannya: "Benda ini merupakan benda tanda kepercayaan dari Benteng Kiam-poo, bawalah benda itu siapa tahu suatu ketika akan memberikan bantuan kepada kalian, setelah luka yang diderita Pek In Hoei sembuh kalian boleh segera berangkat!" Dengan perasaan berat Lu Kiat memeriksa pedang emas itu, perasaannya tiba-tiba berubah tenang dan serius, dengan hati tak tenang ia mengangguk.
***** Di bawah sorot cahaya sang surya yang amat panas, Lu Kiat serta Pek In Hoei melakukan perjalanan dengan gerakan yang amat lambat, waktu itu perasaan hati mereka berdua teramat berat den masingl-masinglmemikirkan persoalan hatinya sendiri- sendiri.
Sejak diberitahu oleh Lu Hujin, maka Lu Kiat telah mengetahui bahwa Pek In Hoei adalah adik kandungnya sendiri sebaliknya Pek In Hoei masih tetap bingung dan tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya, ia merasa asal usulnya masih tetap merupakan suatu tanda tanya yang amat besar.
Sepanjang perjalanan Pek In Hoei hanya berharap bisa cepat-cepat tiba di benteng Kiam poo serta berkumpul kembali dengan ibunya, agar dari mulut ibunya ia berhasil menyelidiki sebab-sebab kematian yang menimpa ayahnya, oleh sebab itu sepanjang perjalanan ia selalu memaksa Lu Kiat untuk mempercepat langkah kakinya.
Sedangkan Lu Koat sendiri karena mengetahui betapa ketatnya penjagaan di sekitar Benteng Kiam-poo dan mengetahui bahwa untuk menyusup ke dalam benteng itu bukan suatu pekerjaan gampang, sepanjang perjalanan selalu putar otak mencari cara yang baik untuk memasuki benteng lawan, di samping mencari tahu pula kabar berita tentang itu di sepanjang perjalanan.
Untung Lu Hujin telah memberi petunjuk yang cukup berharga bagi mereka, hingga selama perjalanan mereka tidak sampai tersesat salah ambil jalan.
Sepanjang jalan kabar berita yang mereka dapatkan semakin banyak, ternyata di sekitar daerah situ sering muncul manusia-manusia misterius yang amat aneh, mereka sering kali nampak kepala tak nampak ekornya, meskipun sering kali muncul secara mendadak tapi dengan cepat lenyap kembali secara tiba-tiba, hal ini membuat orang merasa sulit membayangi jejaknya.
Tetapi ada satu hal yang cukup menggembirakan hati Lu Kiat, yakni di atas dada orang-orang misterius itu ternyata bersulamkan sebuah simbol pedang kecil berwarna perak bentuk serta besar kecilnya persis seperti pedang pendek yang diserahkan Lu Hujin kepadanya, dari tanda-tanda tersebut bisalah ditarik kesimpulan bahwa Benteng Kiam-poo pasti terletak di sekitar daerah ini, atau paling sedikit di tempat itu terdapat orang dari benteng Kiam poo.
Yang paling menggembirakan lagi bagi Lu Kiat adalah terdapatnya sebuah tempat yang disebut Kiam-bun- kwan, katanya dalam sebuah ruangan sembahyang khusus terdapat sebuah bilik pedang yang terbuat dari batu granit yang keras.
Dalam hati kecilnya pemuda she Lu itu lantas berpikir : "Kalau kudengar dari nama Kiam-bun-kwan tersebut agaknya mengandung hubungan yang erat sekali dengan benteng Kiam poo, mungkin saja setelah tiba di sana dengan gampang pula aku bisa temukan tempat benteng tersebut." Karena berpendapat demikian ia segera usulkan kepada Pek In Hoei untuk berkunjung ke kiam-bun kwan lebih dahulu, siapa tahu di tempat itu mereka akan berhasil menemukan suatu pertanda yang mencurigakan.
"Lu toako, kalau memang demikian adanya ayolah kita percepat perjalanan kita," seru Pek In Hoei sambil menyeka keringat yang telah membasahi tubuhnya.
Lu Kiat tertawa hambar. "Kenapa kita mesti terburu-buru" Kalau mau terburu- buru rasanya juga tidak pantas dilakukan pada saat ini..." Melihat sikapnya yang tenang-tenang saja itu Pek In Hoei tahu sekalipun gelisah juga tak ada gunanya, terpaksa ia pun mengendorkan pikirannya dan membuang seluruh ingatan dari dalam benak.
Tetapi ketika ia teringat kembali bahwasanya ibunya sedang menderita di dalam benteng Kiam poo, rasa kesal muncul kembali dalam benaknya.
"Lu toako," serunya kemudian sambil menghela napas panjang, "tahukah kau betapa sedih dan susahnya perasaan hatiku pada saat ini, seandainya kau jadi diriku aku percaya sikapmu juga tak akan seenteng dan seringan dirimu itu..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... adik In Hoei, persoalan ini tak dapat diselesaikan dengan kegelisahan hati," sahut Lu Kiat sambil tertawa terbahak-bahak, "Bila kita terlalu gelisah, maka bukan saja hal itu sama sekali tak ada gunanya bahkan malahan akan menggebuk rumput mengejutkan ular..." Ia memandang sekejap jalan raya yang terbentang di depan mata kemudian melanjutkan : "Kiam-bun kwan segera akan kita capai, lebih baik kita rundingkan kembali persoalan ini di tempat ini..." "Biarlah...
" ujar Pek In Hoei kemudian sambil diam- diam menghela napas panjang, "kesemuanya baiklah Lu toako yang aturkan buat diriku..." Dua ekor kuda bergerak kembali ke arah depan meninggalkan debu yang beterbangan di angkasa, di tempat kejauhan tampak muncul sebuah loteng batu yang amat besar, loteng batu itu entah didirikan sejak kapan, nampak tiang-tiangnya sudah lapuk semuanya, di atas bangunan tertera tiga huruf yang amat besar dan nyata, tulisan itu berbunyi, Kiam bun kwan.
Lu Kiat angkat kepalanya memandang sekejap ke- tiga huruf besar itu, kemudian bergumam seorang diri.
"Di sinilah yang disebut Kiam bun kwan setelah lewat tempat ini entah kita akan tiba di mana?" Di tengah-tengah bangunan loteng tadi terdapat sebuah ruangan terbuat dari batu granit yang bentuknya mirip sekali dengan sebuah kursi, di atas batu berbentuk kursi itu tercantum beberapa huruf yang berbunyi : 'Kursi kebesaran malaikat pedang' Lu Kiat serta Pek In Hoei segera loncat turun dari atas kudanya, setelah melihat-lihat sejenak keadaan di tempat itu mendadak timbul niat Jago Pedang Berdarah Dingin itu untuk menempati batu berbentuk kursi kebesaran itu, katanya : "Toako, coba lihatlah bila aku duduk di sini mirip tidak dengan seorang malaikat pedang." Lu Kiat yang menyaksikan kejadian itu segera tertawa terbahak-bahak, sahutnya : "Bagus sekali...
bagus sekali... kau memang mirip sekali dengan seorang malaikat pedang..." Gelak tertawa yang amat keras ini dengan cepat mengejutkan orang yang berada di dalam sebuah rumah makan tidak jauh dari bangunan batu itu, sorot mata mereka semua segera dialihkan ke arah ke-dua orang pemuda itu, ada di antaranya yang menunjukkan sikap tak senang hati tapi ada pula yang segera keluar dari ruang rumah makan dan mendekati mereka berdua.
Orang pertama yang mendekat adalah seorang petani yang membawa cangkul, usianya sudah lanjut dengan jenggot terurai sepanjang dada, sambil menghampiri ke-dua orang itu serunya sambil tertawa terbahak-bahak : "Haaaah...
haaaah... haaaah... kursi kebesaran raja pedang sudah hampir lima puluh tahun lamanya didirikan di tempat ini, namun tak ada seorang manusia pun berani menempatinya, sungguh tak nyana selama aku masih hidup ternyata masih mempunyai kesempatan juga menyaksikan ada orang yang berani menempatinya, peristiwa ini benar- benar merupakan suatu kejadian yang luar biasa sekali..." Lu Kiat yang menyaksikan petani tua itu berwajah ramah dan aneh tidak mirip manusia kurcaci yang berniat jelek, buru-buru memberi hormat kepadanya sambil berseru : "Maafkanlah kami loo tiang, saudaraku ini masih terlalu muda dan suka bergurau, sekaligus ia sudah duduk sebentar di kursi kebesaran itu namun sama sekali tidak bermaksud apa-apa, aku harap loo tiang suka memandang di atas wajahku..." Perkataan yang halus dan penuh mengandung kata- kata sopan ini dalam anggapan Lu Kiat pasti akan berhasil menyelesaikan persoalan itu, siapa tahu air muka petani tua itu tiba-tiba berubah hebat, serunya dengan nada dingin : "Aku lihat kalian berdua sama-sama menggembol pedang, sikapnya gagah dan pastilah seorang ahli di dalam permainan ilmu pedang, kalau tidak tak mungkin kalian berani memandang enteng orang lain dan menduduki kursi kebesaran tersebut..." "Loo tiang, ucapanmu itu terlalu berlebihan," bantah Lu Kiat lagi setelah tertegun sejenak, "saudaraku ini tidak lebih hanya seorang sastrawan, kali ini aku mengajak ia keluar rumah maksudnya bukan lain agar ia mendapat tambahan pengetahuan...
siapa bilang kami adalah jago-jago yang ahli dalam permainan ilmu pedang" Sedang aku sendiri...
aku pun sama sekali tak mengerti akan ilmu silat, pedang yang sengaja kami gembol ini bukan lain hanya sebagai perhiasan saja agar kami nampak jauh lebih keren...
Loo tiang! Kau tok seorang yang bijaksana, aku harap janganlah menyusahkan kami berdua lagi..." "Mendengar perkataan itu, air muka petani tua itu perlahan-lahan berubah jadi tenang kembali, ia mengangguk dan berkata : "Kursi kebesaran bagi malaikat pedang adalah suatu kursi kebesaran yang amat terhormat sekali, kalau memang saudaramu itu berbuat silaf karena kurang pengalaman, baiklah untuk kali ini perbuatannya bisa kami maafkan tetapi pedang panjang yang tersoren pada punggung kamu berdua itu harus dilepaskan dan ditinggalkan di atas kursi kebesaran tadi, setelah itu berlututlah di depan kursi itu dan jalankan penghormatan sebanyak tiga kali, maka urusan pun boleh dianggap beres..." Air muka Jago Pedang Berdarah Dingin serta Lu Kiat sama-sama berubah hebat setelah mendengar perkataan itu, mereka tidak menyangka kalau petani tua itu begitu tak tahu diri.
Pertama-tama Pek In Hoei yang tak kuat menahan diri, ia siap mengumbar hawa amarahnya tetapi Lu Kiat segera mengedipkan matanya dengan sikap yang sangat aneh..." "Waaah...kalau itu permintaan loo tiang urusan jadi bertambah sulit," katanya sambil maju ke muka, pedang mestika yang kami miliki adalah pedang mestika pemberian orang tua kami, jangan dibilang tinggalkan di tempat ini, sekali pun disuruh lepaskan pun tak berani kami lakukan secara sembarangan.
Sianseng! Permintaan yang kau ajukan itu bukankah sama artinya sengaja hendak menyusahkan kami berdua..." "Berbuat demikian bukankah jauh lebih baik daripada jiwa kalian berdua melayang dengan percuma?"" hardik petani tua itu dengan penuh kegusaran, "peduli pedang mestika yang kalian gembol itu pemberian dari siapa, pokoknya ini hari harus ditinggalkan di tempat ini, di samping itu kalian pun harus berlutut dan minta maaf..
salah satu saja di antara ke-dua syarat ini tidak kalian lakukan...
Hmmm..." dengan suara berat ia mendengus berat, lalu tambahnya: "Kalian mesti tahu sikapku ini sudah terhitung cukup sungkan bagi kalian berdua kalau berganti orang lain mungkin sejak tadi mayat kalian sudah menggeletak di atas tanah dengan darah segar menggenangi seluruh permukaan..." "Waaah...
waaah... syaratmu itu terlalu menyulitkan kami berdua..." kata Lu Kiat kembali sambil gelengkan kepalanya, "menyerahkan pedang serta berlutut minta maaf merupakan pekerjaan yang paling sulit bagi kami berdua...
sebab bagi kami berdua ke atas hanya menyembah langit, ke bawah menyembah bumi, di rumah menyembah orang tua, di tempat luaran kami tak sudi kalau disuruh menyembah sebuah batu yang sama sekali tak punya otak..." Diam-diam petani tua itu tertegun juga menyaksikan kekerasan kepala ke-dua orang pemuda itu, meskipun di luaran ucapannya amat serius dan bersungguh- sungguh namun di mukanya sama sekali tidak menunjukkan perasaan jeri barang sedikit pun jua, segera katanya : "Meskipun menyembah kepada batu bukan pekerjaan yang enteng, tetapi toh hal itu lebih gampang daripada jiwa kalian berdua melayang di ujung senjata..." "Kami lihat lebih baik urusan ini diselesaikan dengan cara lain saja, sebab kedua syaratmu itu tak mungkin bisa kami laksanakan..." "Tidak bisa jadi," ngotot petani tua bersikeras dengan pendiriannya, "syarat itu bisa bebas asal kamu sanggup mendemonstrasikan sedikit kepandaian yang kalian miliki sehingga kami merasa yakin bahwa kalian memang berhak untuk menduduki kursi kebesaran tersebut..." Sambil berkata napsu membunuh seketika menyelimuti seluruh wajahnya, melenyapkan raut wajahnya yang saleh dan ramah itu.
Pek In Hoei melirik sekejap ke arah petani tua itu dengan pandangan sinis, lalu tegurnya dengan nada mengejek : "Apa yang harus aku lakukan hingga bisa dikatakan berhak" Dan bagaimana pula dikatakan tak berhak?" Sorot mata petani tua itu berkilat tajam, dengan nada misterius sahutnya : "Gampang sekali, di sini terdapat banyak orang yang pandai menggunakan pedang, asal kalian sanggup memukul roboh semua orang yang berada di sini, maka peristiwa itu kami sudahi sampai di sini saja..." Dengan pandangan tercengang ia melirik sekejap ke arah wajah Jago Pedang Berdarah Dingin, lalu katanya kembali : "Kalau kulihat potonganmu, rupanya kau punya sedikit simpanan juga..." Air muka Pek In Hoei berubah jadi amat dingin lagi ketus, sahutnya : "Soal belajar ilmu pedang, aku sih pernah belajar satu dua hari, hanya saja pelajaran yang kudapat hanya berupa kembang biasa saja, indah dipandang tak bagus dipergunakan, bila kau memang ingin menyaksikan kebagusan kembangan tersebut, baiklah aku akan minta petunjuk dari sianseng saja..." Lu Kiat takut rahasia asal usul Jago Pedang Berdarah Dingin ketahuan orang sehingga memancing datangnya kesulitan yang tidak diinginkan, dengan perhitungan yang lain ia segera loncat maju ke depan, serunya : "Adikku, kita sedang berpesiar dan bukan keluar rumah untuk bikin keonaran, dengan kepandaian silat yang kita miliki mana sanggup untuk menandingi sianseng ini, aku lihat lebih baik pertarungan ini dibatalkan saja..." "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... enak amat perkataanmu itu," ejek sang petani tua itu sambil tertawa seram, "kau anggap hanya cukup mengucapkan sepatah dua patah kata lantas urusan bisa diselesaikan dengan begitu saja" Hmmm...
saudara cilik, Kiam bun kwan jauh berbeda dengan rumahmu.
Kalau kau ingin berlalu dari tempat ini dengan begitu saja...
lebih baik janganlah bermimpi di tengah siang bolong..." "Siapa sih nama besar sianseng ini?" tegur Lu Kiat sambil memberi hormat, "kalau didengar dari ucapanmu, agaknya kau mirip sekali dengan seorang Bu lim cianpwee."
"Sebutan Bu lim cianpwee sih tak berani kuterima, aku si orang yang kerjanya bertani pernah beberapa waktu lamanya belajar kembangan silat, orang-orang di tempat ini panggil aku si Cau cu Lia, orang tua she Lie si tukang kayu, dan pernah pula berdagang kecil- kecilan di tempat ini..." Terkesiap hati Lu Kiat mendengar jawaban itu, dalam benaknya terbayang kembali akan seseorang, diam- diam ia amati sejenak bentuk tubuh orang itu, kemudian serunya : "Cianpwee sungguh tak nyana sebutanmu yang khas pun telah kau rubah sama sekali...
seringkali aku dengar ayahku berkata bahwa di dalam dunia persilatan terdapat seorang jago yang bernama Lie Ji Liong, meskipun dandanannya juga dandanan seorang tukang penebang kayu, tetapi sebenarnya dia adalah seorang jago pedang kenamaan..." Air muka penebang kayu she Lie itu kontan berubah hebat.
"Siapakah ayahmu" Bolehkah aku mengetahuinya?" ia berseru.
Lu Kiat segera menggeleng.
"Aku hidup sebagai putra seorang manusia tak berani secara kurang ajar menyebut nama orang tuaku, lebih baik namanya tak usah diungkap saja!!!" katanya.
"Hmmm! Sekalipun kau tak mau mengatakannya, aku juga punya cara untuk mengetahui siapakah kau?" jengek penebang kayu she Lie dengan suara dingin, "saudara cilik, aku si penebang kayu she Lie bukan lain adalah Lie Jie Long, sekarang cabutlah pedangmu! Aku hendak paksa kau untuk memperlihatkan wujudmu yang sebenarnya dalam tiga jurus..." "Eeei...
eiii.. hal ini mana boleh jadi," seru Lu Kiat sambil goyangkan tangannya berulang kali, "aku betul-betul tak pandai mempergunakan pedang!" "Telur busuk! Ngaco belo tak karuan," bentak penebang kayu she Lie dengan suara keras, "kalau kalian tak bisa bermain pedang apa gunanya menggantungkan pedang di atas pinggang" Bukankah dengan sengaja kalian sedang membohongi aku si orang tua" Saudara cilik, aku tak ingin menggunakan kedudukanku yang lebih tua menekan kalian yang lebih muda, lebih baik kau saja yang turun tangan lebih dahulu..." Air muka Pek In Hoei berubah hebat karena mendongkol setelah mendengar desakan-desakan lawannya, dengan suara lantang ia segera berseru : "Toako, tua bangka sialan ini terlalu memuakkan hati, biar aku yang memberi sedikit pelajaran kepadanya!" Sreet...
sekilas cahaya tajam bergeletar keluar dari ujung pedangnya, setelah bergetar sebentar di tengah udara bayangan pedang menggetar menembusi angkasa lalu...
Creet! Pedang tadi berkilat dan balik lagi ke dalam sarung pedang, ia tatap wajah petani tua itu dengan pandangan yang menggidikkan hati.
"Hmmm... hmmm...kenapa tidak jadi turun tangan?" seru penebang kayu she Lie sambil tertawa seram.
"Huuuh... kau suruh aku turun tangan apa lagi?" ejek Jago Pedang Berdarah Dingin dengan pandangan mengejek, "sahabat, selembar jiwamu telah lolos dari ujung pedangku, andaikata aku tidak teringat bahwa di antara kita belum pernah terikat dendam sakit hati apa-apa, mungkin pada saat ini kau sudah menggeletak di atas tanah..." Penebang kayu she Lie merasa terperanjat, tiba-tiba ia menemukan ada suatu benda melayang jatuh dari atas tubuhnya, ketika ia sambut benda itu hatinya kontan terkesiap.
Terlihatlah segumpal alis matanya telah rontok dari tempat semula dan tersebar ke atas tanah, dengan terperanjat ia mundur tujuh delapan langkah ke belakang, peluh dingin membasahi tubuhnya, sungguh cepat gerakan lawan, begitu cepat hingga tak sempat baginya untuk mengikuti gerakannya.
Ucapan pihak lawan sedikit pun tidak salah, andaikata pihak lawan bukan sengaja mengampuni selembar jiwanya, mungkin pada ini ia sudah menggeletak di atas tanah.
"Kau..." serunya dengan suara gemetar.
"Apakah kau masih berniat menahan pedang milikku ini?" ejek Pek In Hoei dengan suara dingin, "aku lihat kau masih belum memiliki kemampuan sehebat itu..." Sambil tertawa hambar ia putar badan dan bersama- sama Lu Kiat berlalu dari situ.
Mimpi pun penebang kayu she Lie tak pernah menyangka kalau dirinya bakal jatuh kecundang di tangan lawan sebelum ia sempat untuk turun tangan, dengan hati mendongkol segera hardiknya keras- keras : "Sahabat, harap berhenti sebentar!" "Hmmm! Kau masih ingin menantang diriku untuk berduel?" dengus Pek In Hoei sambil memutar badan.
Penebang kayu she Lie tertawa dingin, ia sobek jubah luarnya hingga nampak pakaian ringkas warna hitam yang dikenakan dalam tubuhnya, pada bagian dada pakaian ringkas tadi tersulamkan sebuah simbol berbentuk pedang kecil berwarna perak, bentuk pedang itu persis seperti pedang yang diberikan Lu Hujin kepada Lu Kiat itu.
"Sahabat!" teriaknya, "periksa dulu siapakah aku, setelah itu kalau mau bikin keonaran silahkan untuk siap-siap..." "Hmmm!" dengusan dingin kembali berkumandang keluar dari balik ruang rumah makan, seorang kakek tua berwajah dingin dan berjenggot hitam munculkan diri dari kerumunan orang, dengan gusar ia melotot sekejap ke arah penebang kayu she Lie itu, kemudian tegurnya : "Lo Lie, sungguh besar nyalimu..." "Ciu heng..." seru penebang kayu she Lie dengan suara tertegun.
"Hmmm! Siapa yang suruh kau perlihatkan asal usulmu," tegur kakek berjenggot hitam itu dengan suara ketus, "Ehmmmm...
ingatlah bagaimanakah pesan Poo cu kepadamu?"" Ia toh menyerahkan tugas kepadamu untuk menjaga Kian bun kwan ini" Siapa yang suruh kau unjukkan asal usulmu setelah bertemu dengan orang lain?" Sekujur tubuh penebang kayu she Lie itu gemetar keras, dengan ketakutan sahutnya : "Ciu heng, aku mengerti salah..." "Sekali pun mengaku salah urusan juga tak dapat selesai dengan begitu saja," ejek kakek berjenggot hitam itu sambil tertawa dingin, "lebih baik pulanglah ke benteng dan berilah penjelasan sendiri kepada poocu, aku tak dapat mengambilkan keputusan bagimu, sekarang asal usulmu sudah diketahui orang, bagaimanakah tindakanmu selanjutnya terhadap ke- dua orang ini, aku rasa kau tentu mengerti jelas bukan?" "Aku tahu, Ciu heng! Harap kau suka membantu diriku dengan beberapa patah kata yang enak didengar..." pinta penebang kayu she Lie dengan suara gemetar.
Ia amat membenci diri Jago Pedang Berdarah Dingin, lengannya segera diangkat dan ayunkan cangkulnya ke tengah udara, sambil mengerdipkan matanya ke arah beberapa orang pria kekar di belakang tubuhnya ia berseru : "Tangkap mereka berdua!" "Sahabat, aku rasa kalian tak perlu menggunakan tenaga yang begitu banyaknya untuk menghadapi kami..." jengek Lu Kiat dengan suara dingin.
Ketika dilihatnya ada beberapa orang pria sambil ayun pedang menyerbu ke arahnya, napsu membunuh seketika berkelebat di atas wajahnya, ia putar telapaknya dan sekaligus merobohkan tiga orang di antaranya.
"Haduh!" jeritan kesakitan yang memilukan hati berkumandang memecahkan kesunyian, tiga orang pria itu roboh terjengkang ke atas tanah lalu muntah darah segar dan mati tak berkutik lagi...
Penebang kayu she Lie serta kakek berjenggot hitam itu jadi amat terkejut menyaksikan kehebatan lawannya, air muka mereka berubah hebat, mereka tak menyangka kalau Lu Kiat pun seorang jago lihay yang memiliki ilmu silat sangat tinggi, cukup di dalam satu jurus belaka tiga orang jago lihay pihak mereka berhasil dibereskan jiwanya, bila keadaan ini dibiarkan berlarut-larut jelaslah sudah bahwa semua jago lihay yang hadir di situ bakal mati di tangan dua orang pemuda asing yang tidak diketahui asal usulnya ini.
"Sahabat, dengan kepandaian silat yang kau miliki itu tak mungkin kamu berdua adalah manusia yang tak bernama," seru kakek berjenggot hitam itu dengan suara berat, kami manusia-manusia dari Kiam bun kwan selamanya tak pernah mengadakan hubungan dengan para jago dari dunia persilatan, kedatangan kalian berdua untuk berlagak jadi jagoan di tempat ini aku rasa pasti bukan tanpa alasan.
Jika kalian adalah sahabat-sahabat kangouw tak ada halangannya untuk perlihatkan asal usul kalian, aku Ciu Toa Keng pasti akan melayani kalian sebaik-baiknya..." Lu Kiat mendongak dan tertawa terbahak-bahak.
"Aaah... haaah... Ciu-heng apa maksudmu berkata begitu" Kami dua bersaudara hanya secara kebetulan saja lewati tempat ini dan sama sekali tiada maksud untuk bentrok dengan sahabat-sahabatmu itu, bila Ciu-heng suka melepaskan kami berdua berlalu dari sini, kami tentu akan merasa berterima kasih sekali..." "Hmmm...
hmmm... kalau memang sahabat tak sudi unjukkan diri dan perkenalkan nama kalian, tentu saja aku tak berani memaksa lebih jauh," ujar Ciu Toa Keng sambil tertawa seram, "sedang mengenai peristiwa pada hari ini" Heeh...
heeh... sebetulnya bukan termasuk suatu urusan yang amat besar, cuma kalian berdua telah membunuh mati tiga orang sahabatku, bila urusan kita sudah sampai di sini saja bagaimana tanggung jawabku nanti dengan atasan kami" Karena itu andaikata kalian berdua suka tinggalkan nama sehingga aku orang she Ciu dapat memberikan pertanggungan-jawaban nanti, tentu saja kalian berdua boleh segera berangkat untuk melanjutkan perjalanan!" "Kau cukup mengingat-ingat bahwa aku she Lu, sedangkan kalian mau lepaskan kami atau tidak aku percaya Ciu-heng juga seorang manusia yang cerdik, dengan andalkan kemampuan yang kau miliki masih belum tentu sanggup menahan kami berdua, bagaimana menurut pendapatmu, betul bukan?" "Tentu saja, tentu saja..." sahut Ciu Toa Keng berulang kali, "bagi orang yang melakukan perjalanan di dalam dunia persilatan biasanya yang paling diutamakan adalah kepandaian silat yang sebenarnya, dengan kelihayan yang kalian berdua miliki tentu saja kami semua tak mampu untuk menghalanginya, tetapi aku pun hendak memberitahukan sesuatu terlebih dahulu kepada kalian berdua, kami semua tidak lebih hanyalah prajurit-prajurit kecil yang bertugas di garis depan, dengan kepandaian yang kami miliki untuk melangkah masuk ke dalam pintu bangunan majikan kami pun masih belum berhak, maka bila kalian berdua ingin berlalu dengan begitu saja, mungkin urusan juga tak akan segampang itu." "Kami tiada maksud berlalu dengan begitu saja," seru Pek In Hoei sambil tertawa dingin, kalau kurang puas, silahkan kau undang kembali bala bantuanmu, tapi aku nasehati dirimu lebih baik carilah yang rada mampu sehingga tidak sampai memalukan semacam kejadian yang baru saja berlangsung ini." "Kami toh tak pernah kenal dengan diri tootiang, dengan dirimu juga tak pernah terikat dendam sakit hati apa pun juga.
Kenapa tootiang sengaja mencari gara-gara dengan kami" Apakah kau pandang kami berdua mudah dipermainkan" heeeh...
heeeh... heeh.... Tootiang, bila kau beranggapan demikian maka pandanganmu keliru besar." "Secara beruntun kalian berdua telah membinasakan tiga orang yang tak berdaya di tempat ini, bagaimana pula penjelasan kalian terhadap peristiwa ini" seru Yu Tootiang dengan suara dingin, "Apakah kalian anggap setelah ilmu silat yang kamu miliki nomor satu di kolong langit maka kalian boleh sembarangan membunuh orang sekehendak hati!" "Kurang ajar, rupanya kau memang sengaja datang untuk mencari gara-gara dariku?" bentak jago pedang berdarah dingin dengan suara nyaring.
"Hmmm! Sedikit pun tidak salah, bersiap-siaplah kalian berdua menerima seranganku ini!" Lu Kiat maju ke depan, loloskan pedangnya yang tersoren di pinggang dan berkata: "Baiklah Tootiang, biar aku yang mohon pelajaran darimu!" Yu Tootiang yang melihat pedang di tangan Lu Kiat memancarkan cahaya tajam, lagi pula kuda-kudanya sangat ampuh, sadarlah dia bahwa pemuda di hadapannya ini meski berusia muda tetapi ilmu pedangnya sudah mencapai puncak kesempurnaan, cukup dipandang dari gayanya mempersiapkan serangan sudah cukup membuktikan bahwa ia telah berjumpa dengan seorang musuh tangguh.
"Kau anak murid dari perguruan mana?"" bentaknya dengan sorot mata berkilat.
"Kepandaian silat yang kami miliki merupakan ajaran keluarga, kami tidak termasuk dalam perguruan atau partai mana pun juga.
Tootiang toh seorang ahli di dalam permainan ilmu pedang, masa kau tak dapat melihat asal usul kami...." "Hmmm...
bangsat, sombong dan takabur amat dirimu!" bentak Yu Tootiang sambil mendengus gusar.
"Hmmmm ! aku lihat kau pun bukan seorang manusia tolol, di dalam sekali gerak tangan kuda tunggangan kami berdua berhasil kau robohkan, dengan kepandaian semacam itu memang sudah cukup mengejutkan hati orang, betul bukan Tootiang?" Merah padam selembar wajah Yu Tootiang, dengan penuh kegusaran ia membentak keras.
Sekali bayangan pedang lolos dari dalam sarung, tubuhnya menerjang ke depan dan langsung membacok tubuh pemuda she Lu itu.
Ilmu pedang yang dimiliki Yu totang sangat lihay lagi sempurna, jurus serangannya mirip sekali dengan ilmu pedang aliran Bu-tong-pay.
Setelah terjadi pertarungan, untuk beberapa saat lamanya Lu Kiat tidak berhasil mendapat keuntungan apa-apa, mereka berdua bergerak dengan cepat gesit, serangan dilancarkan laksana kilat dan gerakannya ganas lagi sadis.
Menyaksikan permainan pedang orang makin lama semakin mirip dengan ilmu pedang aliran Bu Tong Pay, satu ingatan segera berkelebat dalam benak Lu Kiat, ia loncat keluar dari gelanggang pertarungan dan mengundurkan diri ke belakang.
"Yu Tootiang" serunya dengan tercengang, "aku lihat ilmu pedangmu berasal dan partai Bu-tong..." "Sedikit pun tidak salah!" jawab Yu Tootiang sambil menghentikan gerakannya, "rupanya kepandaian silat yang kau miliki cukup hebat juga..." Lu Kiat adalah saudara angkat dari Lan Hong Seng Jin seorang jago muda dari partai Bu Tong, setelah mengetahui bahwa Yu Tootiang adalah anak murid Bu-tong-pay, ia jadi sungkan untuk meneruskan kembali pertarungan itu, ujarnya dengan nada sopan: "Totiang, kenalkah kau dengan seorang jago muda yang bernama Lan Hong Seng Ju dari perguruan anda..." Lan Hong Seng Ju adalah murid partai yang paling menonjol namanya di antara angkatan muda, ia disebut jago muda yang sangat lihay di dalam dunia persilatan.
Yu Tootiang agak tertegun mendengar ucapan itu, dan balik bertanya : "Apakah kau kenal dengan Lan Hong?" "Dia adalah saudara angkatku " jawab Lu Kiat sambil memberi hormat.
Air muka Yu Tootiang memperlihatkan suatu sikap yang sangat aneh, ia melirik sekejap ke arah penebang kayu she Lie serta Ciu Toa Keng, lalu sambil putar pedangnya ia maju beberapa langkah ke depan, katanya: "Andaikata persoalan ini terjadi karena persengketaan pribadi, memandang di atas wajah Lan Hong sute tentu saja pinto dapat mengampuni kalian untuk kali ini, tetapi persoalan ini menyangkut soal dinas, maaf bila mana pinto tak dapat menjual muka buat kalian?" "Tootiang apa guna kau memaksa kami untuk bertempur?"" seru Lu Kiat tertegun.
Pada waktu itu Yu Tootiang mempunyai kesulitan yang tak dapat diutarakan keluar, ketika itu dirinya sudah bukan seorang yang bebas lagi, gerak geriknya berada di bawah pengawasan para jago lihay benteng Kiam poo yang berada di sekitar tempat itu, ia harus bertindak sangat hati-hati, sehingga tidak sampai dituduh mengadakan persekongkolan dengan musuh.
Karena itulah walaupun dia ada minat untuk melepaskan Pek In Hoei dan Lu Kiat, apa daya penebang kayu she Lie serta Ciu Toa Keng berada di situ, terpaksa sambil masamkan muka ia berkata dengan suara dingin: "Tiada perkataan lain yang dapat dikatakan lagi, kalian telah membinasakan tiga orang sahabat dari benteng kami di tempat ini, persoalan tak dapat disudahi dengan begitu saja, maka lebih baik kamu berdua bersiap-siaplah untuk melangsungkan pertempuran!" "Jadi kalau begitu Tootiang juga merupakan jago dari benteng Kiam poo...
" seru Lu Kiat dengan suara dingin.
Yu Tootiang mengetahui akibatnya terlalu fatal bila ia mengakui pertanyaan itu, maka air mukanya berubah beberapa kali, dengan badan gemetar keras ia menggeleng.
"Bukan!" jawabnya.
Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setiap anggota dari Benteng Kiam-poo bukan saja tak boleh sembarangan memberitahukan asal usulnya di hadapan orang, mereka pun mempunyai peraturan yang melarang siapa pun mengakui dirinya sebagai anggota dari Benteng Kiam-poo.
Lu Kiat segera tertawa dingin.
"Tootiang, kalau kau memang bukan anggota dari Benteng Kiam-poo mengapa kau membelai pihak Kiam-poo......" tegurnya.
"Itu urusanku sendiri, aku rasa tiada sangkut pautnya dengan dirimu...
maka lebih baik kau tak usah ikut campur..." Mendengar perkataan yang ketus dan tak enak didengar itu jago pedang berdarah dingin Pek In Hoei jadi naik pitam dia ada maksud untuk memperlihatkan kelihayaannya di hadapan orang, pedangnya segera digetarkan sambil melangkah maju ke depan.
"Toosu rudin, apa sih gunanya kau jual lagak di hadapannya?"?" bentaknya.
Dalam pada itu Yu Tootiang sedang merasa serba salah dan hawa gusarnya tiada dapat penyaluran, melihat jago pedang berdarah dingin maju ke depan sambil memutar senjata, ia segera membentak keras: "Bangsat keparat, rupanya kau sudah bosan untuk hidup..." Dalam perguruan Ba-tong Pay toosu ini termasuk salah seorang jago kenamaan, pedangnya diayun seketika itu juga, terciptalah sekilas bayangan tajam yang amat menyilaukan mata langsung mengurung sekujur badan si anak muda itu.
Walaupun toosu itu sedang gusar, tetapi ia tiada maksud untuk membinasakan Pek In Hoei, dalam hati ia bermaksud hanya akan melukai musuhnya belaka sehingga dapat mempertanggung-jawabkan diri di hadapan atasannya nanti.
Siapa tahu perhitungannya kali ini telah meleset jauh, kepandaian silat yang dimiliki Pek In Hoei saat ini sudah jauh berbeda dengan kepandaian dari jago- jago biasa, baru saja gerakan pedang Yu tootiang dilancarkan ke depan, tubuh sang pemuda itu sudah bergeser ke arah samping kalangan.
"Hmmm... tidak semudah itu sahabat!" ejek Pek In Hoei sambil tertawa dingin.
Pedangnya berputar membentuk gerakan satu lingkaran busur di tengah udara, mendadak senjata itu berputar, angin pedang mengiringi kilatan cahaya tajam langsung menggulung ke arah depan, perubahan dilakukan dengan kecepatan yang luar biasa ini membuat Yu tootiang silau dan hampir saja lupa untuk menyerang musuhnya.
Criit...! Diiringi suara dentingan nyaring, bayangan pedang yang berkilauan di seluruh angkasa itu mendadak sirap dan lenyap dari depan pandangan.
Yu Tootiang berdiri termangu-mangu di tempat semula dengan wajah pucat pias bagaikan mayat, pedang panjang dalam genggamannya tinggal separuh bagian, sedang separuh bagian yang lain entah sudah mencelat sampai di mana.
"Dengan kepandaian yang kau miliki itu, aku yakin dirimu pastilah bukan manusia tanpa nama!" serunya dengan badan gemetar keras karena ketakutan.
"Tebakanmu keliru besar," sahut Pek In Hoei dengan suara dingin, "dengan kepandaian yang kumiliki sekarang, dalam keluarga kami masih belum terhitung seberapa, atau berbicara dengan kata-kata yang kurang enak didengar, kepandaian silat kacung penjaga pintu dalam keluarga kami pun jauh lebih lihay dari kepandaian kami berdua..." Ucapan yang diutarakan dengan nada bergurau ini ternyata ditanggapi Yu tootiang sebagai suatu kejadian yang sungguhan, hatinya terkesiap dan otaknya dengan cepat berputar memikirkan ucapan dari Pek In Hoei barusan, keluarga manakah yang dimaksudkan" Kalau bukan keluarga yang tersohor tak mungkin perkataannya begitu bebas...
"Apakah kau adalah kongcu dari An Tay hujia..." tiba- tiba ia berseru.
Rupanya secara tiba-tiba toosu itu teringat akan perguruan Mie Liong kun yang amat misterius itu, menyaksikan gerakan pedang ph sangat lihay yang mirip sekali dengan ilmu silat dari An Tay hujia pimpinan perguruan itu maka ia menduga lawannya adalah putra jago lihay tersebut.
Dengan cepat Pek In Hoei gelengkan kepalanya, ia menyahut : "Seandainya kau bisa berpikir dan menduga dari permainan jurus pedang yang barusan kupergunakan itu, mungkin kau akan tahu siapakah sebenarnya diriku ini!" Teguran ini seketika menyadarkan Yu Tootiang dari lamunannya, dengan pandangan cermat dia awasi pedang dalam genggaman lawan, lama sekali dia mengamati...
mendadak satu ingatan berkelebat dalam benaknya membuat hatinya tercekat, dengan nada gemetar ia segera berseru lirih : "Pedang mestika penghancur sang surya...! Pedang mestika penghancur sang surya...
kau adalah Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei..." "Begitu ucapan ini terlontar keluar dari mulut toosu tersebut, para jago yang berada di sekeliling tempat itu segera sama-sama berseru tertahan tanpa terasa mereka mundur dua langkah ke belakang.
Pek In Hoei tertawa hambar, jawabnya : "Hmmm! Ternyata pengetahuanmu lumayan juga, sekilas memandang saja segera dapat dikenali siapakah aku.
Tootiang! Dengan andalkan ketajaman matamu itu kau tak malu disebut seorang jago lihay keluaran partai Bu tong jadi begitu pengembaraanmu selama banyak tahun di dalam dunia persilatan bukanlah perjalanan yang sia-sia belaka..." Merah jengah selembar wajah Yu Tootiang, ia menunduk dengan tersipu-sipu lalu tertawa getir, sekilas rasa hormat muncul di atas wajahnya, sambil menjura katanya : "Maaf...
maaf... Pek sauhiap, harap kau suka maafkan diri pinto yang punya mata ternyata tak berbiji, aku tak tahu kalau sebetulnya bukan lain adalah jago pedang berdarah dingin..." Meskipun mereka baru berjumpa untuk pertama kalinya, namun rasa hormat yang muncul dalam hati toosu ini benar-benar ikhlas dan sejujurnya, hal ini mungkin disebabkan karena sepak terjang Pek In Hoei yang sudah dikenal oleh setiap jago membuat ia dipandang sebagai suatu lambang kegagahan serta kesaktian seorang pria sejati.
Sementara itu Lu Kiat telah tertawa terbahak-bahak dan bertanya : "Tootiang, apakah kami boleh berlalu dari sini?" "Ilmu silat yang kalian berdua miliki merupakan kepandaian yang sangat kukagumi," jawab Yu Tootiang dengan wajah serius, "bila kalian berdua hendak berlalu dari sini, tentu saja pinto tak mampu untuk menghalanginya, tetapi pinto hendak memperingatkan diri kalian, dengan kepandaian yang kalian miliki mungkin sulit untuk melalui daerah sekitar tempat ini sejauh sepuluh li..." Ia berhenti sebentar, lalu menambahkan : "Menurut pengamatan pinto dari samping, kemungkinan besar kedatangan kalian berdua adalah untuk menyatroni benteng Kiam poo..." "Sungguh tajam pandangan mata tootiang," seru Lu Kiat sambil mengangguk, "tidak salah kami memang sengaja datang kemari untuk mengunjungi benteng Kiam poo!" Air muka Yu Tootiang berubah hebat.
"Tahukah kalian berdua benteng Kiam poo terletak di mana?"?" serunya cepat.
"Tentang soal ini terpaksa kami harus mohon petunjuk dari tootiang, menurut apa yang kami dengar katanya benteng Kiam poo terletak di sekitar sini, jalan yang kami berdua tempuh bukankah jalan penasaran, aku percaya dengan cepat tempat itu dapat kami temukan..." Sekalipun Yu Tootiang tak tahu apa sebabnya ke-dua orang jago muda ini hendak mengunjungi benteng Kiam poo tetapi ia dapat menduga bahwa kepergian Pek In Hoei berdua ke tempat itu pastilah hendak menyelidiki rahasia dari benteng Kiam poo maka ia segera bertanya : "Jauh dari ribuan li kalian berdua datang kemari serta mencari letak benteng Kiam poo, entah ada urusan apa..." Tidak malu Yu Tootiang disebut sebagai seorang jago kawakan, meskipun perkataannya diucapkan sangat enteng namun sepasang matanya dengan tajam mengawasi terus perubahan wajah Pek In Hoei serta Lu Kiat, rupanya ia hendak mencari tahu tujuan mereka dari perubahan wajahnya itu.
"Kami dengar poocu dari benteng Kiam poo adalah seorang pendekar sejati yang gemar bersahabat dengan umat Bu lim, dia adalah seorang pemimpin dari para jago di kolong langit, sudah lama kami mengagumi akan nama besarnya, maka menggunakan kesempatan yang sangat baik ini kami bermaksud untuk menyambangi dirinya..." "Oooh apa yang kau harapkan itu sukar untuk dilaksanakan," seru Yu Tootiang, "meskipun kami sekalian punya hubungan yang sangat dekat dengan benteng Kiam po, namun sebetulnya kami bukanlah termasuk anggota benteng tersebut, siapakah sebenarnya poocu dari benteng Kiam poo sampai sekarang pinto sendiri pun belum pernah menjumpainya..." "Hmmm...
sungguh licik selembar mulutmu itu..." seru Pek In Hoei sambil tertawa dingin.
"Apa ya kau katakan?"" seru Yu Tootiang dengan wajah berubah hebat.
Pek In Hoei sama sekali tidak menggubris dirinya lagi, sambil putar badan ujarnya kepada Lu Kiat: "Toako mari kita pergi dari sini..." Berulang kali dihina dan dipandang enteng oleh musuhnya, tak urung hawa amarah berkobar juga dalam dada Yu Tootiang, tetapi dia adalah seorang toosu yang beriman tebal, setelah berpikir sebentar akhirnya ia bersabar kembali melihat Jago Pedang Berdarah Dingin serta Lu Kiat hendak berlalu dari situ, buru-buru serunya kembali : "Saudara berdua, harap tunggu sebentar..." "Tootiang, apakah kau ada maksud untuk menahan kami berdua?"?" tegur Lu Kiat sambil menoleh.
Buru-buru Yu Tootiang goyangkan tangan berulang kali.
"Tidak! Tidak! Harap kalian berdua jangan salah paham, sebenarnya pinto ada urusan yang hendak diberitahukan kepada kalian berdua." "Katakanlah, kami akan mendengarkan dengan seksama..." "Meskipun pinto tidak begitu memahami tentang seluk beluk dari benteng Kiam poo, tetapi aku kenal beberapa orang anggota dari benteng tersebut..." ujar Yu Tootiang dengan wajah agak berubah, "harap kalian berdua tunggu sebentar, biarlah pinto mengadakan kontak lebih dahulu dengan beberapa orang sahabatku itu..." Dia ulapkan tangannya ke arah Ciu Toa Keng serta penebang kayu she Lie, serunya : "Lepaskan tanda peringatan ke tengah udara, ke-dua orang sahabat ini tak boleh kita tahan lagi..." Ciu Toa Keng nampak agak sengit, setelah termangu- mangu beberapa saat lamanya ia berseru : "Tootiang, kejadian ini luar bias sekali!" "Hmmm! Tentang soal ini kau tak usah turut campur, aku yang mempertanggung-jawabkan kejadian ini...!" Ciu Toa Keng tak berani banyak bicara lagi, dari dalam sakunya dia ambil keluar sebuah tabung kecil berwarna hitam dan dilemparkan ke tengah udara...
Bluuum...! Asap hijau yang amat tebal segera mengepul di tengah udara dan memercikkan tujuh cahaya tajam yang beraneka ragam, meskipun di siang hari bolong namun cahaya itu cukup menyilaukan mata...
Cahaya tajam perlahan-lahan sirap dan suasana pulih kembali dalam kesunyian, dari tengah jalan raya tiba- tiba terdengar suara derap kaki kuda yang amat ramai, tiga orang penunggang kuda berbaju hitam laksana sambaran kilat cepatnya meluncur datang.
Kepada diri Lu Kiat, Yu Tootiang berkata sambil tertawa : "Mereka bertiga adalah tiga orang sahabat dari benteng Kiam poo, tugas mereka adalah khusus untuk menyambut kedatangan para enghiong hoohan dari pelbagai daerah..." Belum habis dia berkata, ke-tiga orang berbaju hitam itu sudah meloncat turun dari atas punggung kuda, orang pertama yang menghampiri mereka berdandan siucay, usianya pertengahan dan langkahnya gagah sekali.
Menjumpai kehadiran orang itu, Yu Tootiang buru-buru maju menyongsong ke depan.
"Siang heng..." sapanya sambil menjura.
Dengan pandangan dingin siucay berusia pertengahan itu menyapu sekejap sekeliling kalangan, Ciu Toa keng serta penebang kayu she Lie sekalian buru-buru tundukkan kepalanya rendah-rendah,mereka tak berani mengucapkan sepatah kata pun juga.
Tampak orang itu tertawa seram dan berpaling ke arah Yu Tootiang, tegurnya : "Apa yang telah terjadi sehingga kau lepaskan tanda peringatan tersebut" Ehm! Tahukah kau gampang untuk melepaskan tanda peringatan ini, sulit untuk menariknya kembali, bila tiada kejadian yang terlalu istimewa..." "Siang-heng, keadaan pada hari ini jauh berbeda, ke- dua orang sahabat ini perlu disambut kedatangannya," seru Yu Tootiang dengan wajah serius.
Dengan pandangan hambar siucay berusia pertengahan itu melirik sekejap ke arah Pek In Hoei serta Lu Kiat, kemudian katanya : "Siapa mereka" Hmmm! Tindakanmu itu bukankah sama artinya dengan memperbesar suatu masalah yang kecil..." Nada ucapan itu mengandung pengertian bahwa ia pandang enteng musuh-musuhnya itu tetapi hal ini tak dapat disalahkan kepadanya sebab dengan kedudukan Hui sian hong si angin puyuh Siang Tek Sam dalam dunia persilatan, tentu saja ia tak akan pandang sebelah mata pun juga terhadap jago-jago Bu lim biasa, terutama sekali Pek In Hoei serta Lu Kiat adalah pemuda-pemuda ingusan yang masih muda belia.
MELIHAT sikap lawannya yang jumawa itu, Lu Kiat tertawa dingin tiada hentinya, sedang Pek In Hoei angkat kepalanya memandang awan di angkasa.
sikapnya yang sombong dan takabur ini kontan membuat si angin puyuh Siang Tek Sam tak kuasa menahan diri, saking gusarnya air muka berubah hebat, tegurnya : "Siapa mereka berdua?" "Mereka adalah..." Jago pedang berdarah dingin Pek In Hoei melotot sekejap ke arah lawannya, kemudian menjawab dengan suara dingin : "Aku she Pek ...." Selesai berkata sorot matanya di alihkan kembali ke ujung langit yang jauh terbentang di depan mata kesombongan serta kejumawaan itu mencerminkan sikapnya yang seakan-akan tidak memandang sebelah mata terhadap siapa pun juga.
Si angin puyuh Siang Tek Sam tak tahan menyaksikan kejumawaan serta kesombongan lawan, diam-diam ia putar otak dan memikirkan siapakah gerangan pemuda she Pek itu, ia berasal dari partai mana" Sambil tertawa seram ia lantas berkata: "Kau she Pek" Belum pernah aku dengar orang menggunakan she tersebut...
" "Itulah dikarenakan pengetahuanmu terlalu picik dan pengalamanmu masih amat cetek..." sambung Pek In Hoei sambil tetap memandang angkasa.
"Mungkin perkataanmu itu benar," sahut Siang Tek Sam dengan alis berkerut, "kalau ditinjau dari gayamu itu kau mirip sekali dengan seorang manusia sungguhan, tetapi dalam dunia persilatan banyak sekali terdapat manusia yang pandai sekali berpura- pura, di luar berlagak gagah padahal isinya kosong melompong, sahabat Pek aku percaya kau tentu bukan manusia semacam itu bukan..." Senyuman serta nada ucapan yang penuh mengandung sindiran membuat orang susah untuk menahan diri, tetapi jago pedang berdarah dingin bukanlah manusia sembarangan, dalam menghadapi sikap mengejek dari lawannya ia mampu untuk bersabar diri, ia tidak berubah air muka pun tidak gusar oleh sindiran tersebut, sebaliknya senyuman yang lebih dingin dan menggidikkan hati menghiasi bibirnya, membuat siapa pun yang memandang akan tercekat hatinya...
Menyaksikan keadaan musuhnya yang mengerikan itu, Siang Tek Sam jadi kaget, tanpa terasa ia mundur beberapa langkah ke belakang hingga tiba di sisi kedua orang rekannya, telapak tangannya tanpa terasa mulai meraba gagang pedang yang tersoren di atas pinggang...
Pek In Hoei tertawa dingin, serunya: "Gentong nasi" Haaaah...
haaaah... haaaah... sahabat Siang, apakah kau adalah manusia semacam itu, aku rasa kau tak mungkin manusia semacam itu, atau paling sedikit kau masih punya sedikit keberanian, sebab kau masih berani meraba gagang pedangmu...
mungkin kau tidak tahu, banyak sekali orang yang tak punya keberanian untuk meraba gagang pedangnya setelah bertemu dengan aku, setiap kali berjumpa dengan diriku tanpa sadar mereka cepat jatuhkan diri berlutut di atas tanah...
Dengan senyuman mengejek ia kerling sekejap wajah orang itu, lalu ujarnya kembali: "Dan aku percaya kau tak akan berbuat demikian bukan" kau tak akan ketakutan setengah mati hingga jatuhkan diri berlutut setelah berjumpa dengan diriku bukan?" Air muka Siang Tek Sam berubah hebat, ia tertawa seram dan maju selangkah ke depan, serunya : "Hm! Sahabat Pek apakah kau tidak takut ucapanmu itu akan membuat lidahmu tersambar kutung oleh sambaran petir...
"Aku yakin sekarang peristiwa tersebut tidak mungkin terjadi, sedang di kemudian hari dilihat dulu perkataan yang hendak kuucapkan..." Ia tarik napas panjang-panjang, senyuman mulai menghiasi bibirnya, dengan hambar ia berkata, "Sababat Siang sudah cukupkah kau perlihatkan kegagahanmu itu"..." "Toako!" pria yang berada di samping kanan Siang Tek Sam buka suara dan maju ke depan dengan wajah penuh kegusaran, "bajingan cilik ini terlalu tidak beri muka kepada kita semua, aku Bwee Tong Hay paling tidak percaya dengan segala permainan setan, ini hari aku ingin lihat sampai di manakah kegagahan dari sahabat itu..." Ia melotot sekejap ke arah Pek In Hoei kemudian tegurnya : "Hey, kau merangkak keluar dari perut ibumu yang mana?" Pek In Hoei balas melotot sekejap ke arah lawannya, kemudian menyahuti: "Cukup meninjau dari perkataanmu itu, kau harus dihadiahkan sebuah gaplokan mulut yang keras!" Plooook! bersamaan dengan selesainya perkataan itu sebuah gaplokan nyaring tahu-tahu sudah bersarang di atas wajah lawan.
Bwee Tong Hay mundur dengan sempoyongan, pipinya terasa panas, sakit dan linu saking gusarnya darah segar muntah keluar dari mulutnya, dua biji giginya patah jadi dua bagian, hawa gusar seketika berkobar membakar hatinya.
Tetapi ada satu hal yang cukup mengejutkan hati orang, yakni siapa pun tak sempat melihat jelas dengan cara apakah jago pedang berdarah dingin ayunkan telapaknya, bayangan telapak baru saja menyambar lewat tahu-tahu Bwee Tong Hay sudah mundur dengan sempoyongan, gerakan yang demikian cepatnya ini betul-betul luar biasa sekali.
"Kau... " teriak Bwee Tong Hay dengan suara gemetar.
"Anggaplah gaplokan tersebut sebagai peringatan atas mulutmu yang usil dan bau itu," ujar Pek In Hoei dengan suara dingin, "lain kali bila siau-ya mendengar kau maki orang lagi dengan kata-kata yang tidak senonoh.
Hmmm akibatnya harus kau tanggung sendiri! Aku percaya hukuman yang bakal kujatuhkan kepadamu tak akan seenteng kejadian hari ini lagi..." Meskipun di dalam Benteng Kiam-poo Bwee Tong Hay masih belum memiliki kedudukan apa-apa tetapi derajat serta tingkat kedudukannya jauh lebih tinggi berpuluh-puluh kali jika dibandingkan dengan orang- orang yang berada di Kiam-bun-kwan itu karena kurang waspada dan terlalu gegabah pipinya kena gaplok satu kali, penghinaan tersebut amat menyiksa hatinya, ia merasa tak punya muka untuk hidup sebagai manusia lagi, ia berusaha mencari jalan untuk mengembalikan gengsinya.......
Dengan penuh kegusaran segera hardiknya: "Kau....
kau..... kalau kau punya kepandaian, lihat saja nanti! Akan kukasih pelajaran kepadamu..." Sebetulnya dia hendak mencaci maki lagi dengan kata-kata yang kotor, tetapi secara mendadak ia teringat kembali akan pukulan dari Pek In Hoei yang begitu cepat laksana sambaran kilat itu, maka hatinya jadi ketakutan dan kata-kata yang sudah hampir meluncur keluar itu segera ditelan kembali....
Bwee Tong Hay cabut keluar pedangnya lalu dibabat keras-keras di tengah udara, dengan gerakan itu dia hendak menunjukkan kepada lawannya bahwa dia bukanlah seorang manusia yang bisa dipermainkan seenaknya.
Pek In Hoei segera tertawa ringan.
"Kau tak usah kuatir, asal di situ ada permainan yang menarik hati, aku orang she Pek pasti akan datang untuk melihat keramaian.
Bwee-toa-eng-hiong! Babatan pedangmu itu sungguh luar biasa sekali cuma sayang kemantapannya baru mencapai beratnya empat kati kacang goreng..." "Kentut busuk" teriak Bwee Tong Hay dengan gusarnya, "toa-ya tidak percaya bacokan tersebut tak mampu untuk membinasakan dirimu..." "Kalau tidak percaya tanyakanlah kepada tootiang ini" kata Pek In Hoei dengan alis berkerut, "ia dapat memberitahukan kepadamu..." "Apa?"?" teriak Bwee Tong Hay dengan suara keras.
"kau suruh aku bertanya kepada Yu Tootiang" Dia itu manusia macam apa" Apakah ia bisa lebih hebat daripada diriku cis...
aku sih tak akan percaya permainan setan...." Akhirnya ia tak kuasa juga menahan diri, sambil menoleh ke arah Yu Tootiang tanyanya: "Lo Yu, kau yang suruh keparat cilik itu menahan diriku?" Ucapan yang sama sekali tak kenal sopan ini, bagi setiap orang yang mempunyai perasaan tentu tak akan kuat menahan diri, meskipun air muka Yu Tootiang berubah hebat tetapi dengan imannya yang tebal serta terutama sekali ia agak jeri terhadap ke- tiga orang itu, segera jawabnya: "Tidak, kau jangan mendengarkan ocehan orang lain..." Bwee Tong Hay mendengus dingin, sambil mencekal pedangnya ia maju menghampiri pemuda itu, bentaknya keras-keras: "Bajingan cilik she Pek, kau terlalu jahat...
kau harus dikasih pelajaran!" "Dan bagaimana dengan kau sendiri" Aku lihat kau lebih jahat lagi, saking jahatnya sampai anjing pun tak sudi menggubris dirimu!" "Hmmm!" dengusan berat bergema di angkasa, bayangan pedang diiringi suara desiran tajam bergeletar menembusi udara menerjang ke depan, tubuh Bwee Tong Hay dengan cepat menerjang maju ke depan.
Berbintik-bintik bunga pedang mengumpul jadi satu di udara, lalu menyebar dan secara terpisah mengurung tempat-tempat penting di seluruh tubuh Pek In Hoei.
Jangan dilihat serangan itu dilancarkan dalam keadaan gusar, ternyata kehebatannya jauh lebih dahsyat berkali-kali lipat daripada Yu Tootiang dari partai Bu tong, meskipun hanya satu jurus belaka tapi sudah jelas menunjukkan kesempurnaan tenaga dalamnya.
Pek In Hoei segera tertawa dingin, serunya: "Hmmm! Rupanya kau mencari kematian buat diri sendiri, tak akan ada orang yang menaruh kasihan kepadamu..." Tubuhnya tiba-tiba menciptakan diri jadi segulung asap tipis lalu menerobos lewat di antara ujung senjata lawan, dengan suatu gerakan yang manis tahu-tahu pemuda itu sudah terhindar dari ancaman pedang pria she Bwee itu.
"Sekarang lihatlah pula kelihayanku!" seru pemuda sambil tertawa terbahak-bahak, pedang sakti penghancur sang suryanya perlahan-lahan dicabut keluar dari dalam sarung.
Ilmu silat yang dimiliki jago pedang berdarah dingin termasuk kelas satu di dalam dunia persilatan, tampaklah ia loncat maju ke depan dengan gerakan yang sangat enteng pedangnya berputar dan segera lancarkan satu tusukan kilat ke depan.
Bwee Tong Hay merasa pandangan matanya tahu- tahu jadi kabur dan tubuh musuhnya lenyap tak berbekas, menanti ia berhasil temukan jejak lawannya, ujung pedang dari pihak lawan telah muncul di depan mata.
Hatinya jadi terkesiap, tubuhnya gemetar keras dan buru-buru dia ayunkan pedangnya untuk menyambut kedatangan serangan tersebut.
Traaaaang....! percikan bunga api berhamburan di angkasa mengiringi terjadinya suara dentingan nyaring, dengan ketakutan Bwee Tong Hay menjerit keras, tubuhnya secara beruntun mundur tujuh delapan langkah ke belakang dengan ketakutan.
"Siapakah kau?" teriaknya dengan suara gemetar.
"Apa sangkut pautnya urusan itu dengan dirimu" jawab Pek In Hoei dengan suara ketus, "sahabat Bwee, apakah masih akan melanjutkan pertarungan ini, setiap saat aku akan mengiringi kehendak hatimu itu..." Begitu dingin dan menyeramkan ucapan tersebut, membuat Bwee Tong Hay tak berani mengucapkan kata-katanya lagi.
"Sahabat!" ketika itulah si Angin Puyuh Siang Tek Sam berseru sambil tertawa seram, "kalian datang kemari apakah bertujuan untuk bikin keonaran di dalam benteng Kiam poo....." "Bikin keonaran sih tidak! cuma kami ingin sekali pergi mengunjungi benteng nomor satu yang amat tersohor namanya di kolong langit itu, sahabat Siang! Apakah kami mempunyai kehormatan tersebut?"" Air muka si Angin Puyuh Siang Tek Sam berubah beberapa kali, setelah hening sejenak ia menjawab : Sahabat Pek, pintu depan benteng Kiam poo kami selalu terbuka dan setiap saat menyambut kedatangan para enghiong hohan dari seluruh kolong langit cuma...
untuk memasuki benteng itu kalian harus patuhi dahulu tiga buah syarat, apakah kau pernah mendengarnya..." Pek In Hoei mengerutkan alisnya yang tebal lalu tertawa.
"Tentang soal itu aku sih belum pernah mendengarnya..." Si Angin Puyuh Siang Tek Sam tertawa seram.
"Hmm..." meskipun pintu besar benteng Kiam poo kami selalu terbuka bagi kunjungan setiap jago Bu-lim tetapi setelah masuk ke dalam sulit untuk berjalan keluar kembali, setiap orang yang telah masuk ke dalam Benteng Kiam-poo paling sedikit ia harus bekerja bagi benteng selama tiga tahun, setelah itu ia bari bisa berlalu dari tempat ini.
Sahabat Pek! bila kau suka berdiam selama tiga tahun dalam Benteng Kiam- poo kami, maka dengan senang hati pula aku akan mengajak kalian masuk ke dalam benteng Kiam poo..." "Waah soal itu terlalu sulit bagiku," jawab Pek In Hoei sambil gelengkan kepalanya berulang kali, "Watakku suka bergerak aku tak senang tinggal terlalu lama di suatu tempat tertentu, syaratmu yang pertama ini sulit untuk aku laksanakan..." "Syarat yang ke-dua adalah khusus ditujukan bagi sahabat-sahabat yang sengaja diundang oleh benteng Kiam poo kami, tentang soal ini aku sudah tahu bahwa kau bukan sahabat benteng kami, maka lebih baik tak usah dibicarakan lagi...
" kata Siang Tek Sam dengan suara dingin alisnya berkerut kencang kemudian teriaknya dengan suara keras : "Syarat terakhir adalah khusus ditujukan bagi mereka yang sengaja datang ke Benteng Kiam-poo kami untuk menuntut balas, andaikata sahabat Pek termasuk dalam golongan yang terakhir maka urusan semakin gampang lagi, asal punya kepandaian maka benteng Kiam poo kami setiap saat dapat menantikan kedatanganmu!" "Huuuh....
sungguh banyak peraturan dari Benteng Kiam-poo kalian..." Si Angin Puyuh Siang Tek Sam mendengus dingin.
"Peraturan itu sudah berlaku semenjak dahulu kala.
Dan kini kau hendak mengunjungi benteng Kiam Poo pada detik ini juga ataukah nanti saja" biar kau menyadari bahwa ilmu silat yang kamu miliki masih terlalu cetek, aku nasehati kalian berdua alangkah baiknya untuk membatalkan niatmu itu dan pulanglah ke rumah untuk berlatih lagi selama beberapa tahun..." "Apa kedudukanmu di dalam benteng Kiam poo ?"" "Kami sekalian tidak lebih hanya manusia kecil yang bertugas untuk menyambut kedatangan para sahabat kangouw yang hendak berkunjung ke Benteng Kiam- poo, dalam soal kedudukan kami masih belum berhak untuk melangkah masuk ke dalam pintu tingkat ke- dua.
Sahabat Pek! Apa maksudmu mengajukan pertanyaan itu ?" "Harap bawa jalan buat kami," sahut Pek In Hoei dengan wajah dingin menyeramkan.
"Apa yang hendak kau lakukan ?" seru si Angin Puyuh Siang Tek Sam dengan wajah berubah hebat.
Pek In Hoei mendongak dan tertawa terbahak-bahak, sahutnya dengan suara lantang: "Kalau memang benar di dalam Benteng Kiam-poo terdapat begitu banyak jago lihay aku Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei merasa sudah sepantasnya untuk melakukan kunjungan.
Sahabat Siang, dengan merek namaku ini apakah aku berhak untuk melakukan kunjungan" eebm?" "Ini..." sekarang Siang Tek Sam si angin puyuh baru mengenali siapakah sebenarnya pemuda yang berada di hadapannya itu, saking terkejutnya sekujur tubuh nampak gemetar keras, setelah berpaling dan melotot sekejap ke arah Ya Totiang, katanya: "Aku akan segera menyiapkan kuda bagi kalian berdua!"
Sekarang ia baru menggerutu kepada Yu Tootiang kenapa tidak memberitahukan siapakah pihak lawannya sejak tadi, dengan hati mendongkol ia segera loncat naik ke atas punggung kudanya diiringi ke-dua orang rekannya, dengan tenang mereka menunggu Pek In Hoei serta Lu Kiat naik ke atas punggung kudanya, setelah itu lima ekor kuda dengan cepatnya meluncur di tengah jalan raya.
Bayangan Kiam-bun-kwan kian lama kian menjauh dan akhirnya lenyap dari pandangan, seakan-akan di kolong langit tidak terdapat tempat semacam itu...
lima ekor kuda berlarian dengan gencarnya di tengah jalan menimbulkan debu dan pasir yang beterbangan memenuhi angkasa....
Sepanjang perjalanan Bwee Tong Hay serta seorang pria yang lain dengan kencang mengikuti di belakang Lu Kiat atau tegasnya saja mereka sedang mengawasi gerak-gerik pemuda itu, sebab dari balik sorot mata mereka berdua terpancar keluar sinar permusuhan yang amat tebal, seringkali sorot mata itu ditujukan ke atas tubuh pemuda she Lu.
Sedangkan Si angin puyuh Siang Tek Sam dengan ketat mengawasi gerak-gerik dari Jago Pedang Berdarah Dingin, tiada hentinya ia mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan, sebab ia takut pihak lawannya secara tiba- tiba melancarkan serangan mematikan, karena itu mau tak mau dia harus membuat perhitungan bagi keselamatannya sendiri....
Perjalanan dilakukan lama dan jauh sekali, siapa pun merasa pikirannya tegang dan kalut sepanjang perjalanan....
tetapi baik Pek In Hoei mau pun Lu Kiat masih tetap tenang-tenang saja, sikapnya yang tenang sama sekali tidak nampak gugup ini mendatangkan perasaan tak tenang bagi Siang Tek Sam bertiga...
"Dimana letaknya?"" tegur Pek In Hoei suatu ketika sambil memandang ke depan, "kenapa belum sampai juga di tempat tujuan..." "Setelah melewati tikungan bukit sebelah depan, kita akan sampai di tempat tujuan..." Dengan pandangan ketakutan ia melirik sekejap ke arah lawannya, ia takut secara tiba-tiba pihak lawan melancarkan serangan ke arahnya sebab sikapnya yang dingin dan sama sekali tiada berperasaan itu membuat ia mempunyai perasaan seolah-olah sedang mendampingi seekor harimau, setiap saat jiwanya mungkin terancam bahaya.
Siang heng, sungguh tidak pendek perjalanan ini," sindir Lu Kiat dengan suara dingin.
Dalam hati kecilnya si angin puyuh Siang Tek Sam mempunyai perhitungan, ia tertawa jengah dan sahutnya: "Bukit di sebelah depan situ namanya Hoan bun po, setelah melewati tempat itu berarti kalian berdua sudah tidak mendapatkan jalan untuk balik lagi!" Setelah menuruni bukit yang terjal itu, di atas tanah lapang dengan rumput yang tumbuh subur nampak bekas kaki simpang siur tertera di atas tanah, jelas sering kali tempat itu dilewati orang.
Mereka berlima dengan cepat melalui tanah lapang itu dan berhenti di depan sebuah hutan yang sangat lebat.
"Hmmm !" dari balik hutan yang lebat berkumandang datang suara dengusan berat yang amat mendalam, seorang kakek tua berjubah serba merah munculkan diri dari balik pepohonan, sambil tertawa seran ia berseru nyaring: "Siang Tek Sam, siapa yang suruh kau tanpa urusan lari datang kemari...
" "Malaikat penjaga sukma, hamba datang kemari untuk menghantar tamu agung masuk benteng..." jawab Siang Tek Sam dengan sikap yang sangat hormat.
"Ooooh...... tamu dari mana yang mau datang menghantar kematiannya?"" Pria she Siang itu melirik sekejap ke arah Pek In Hoei lalu menjawab: "Jago pedang berdarah dingin Pek In Hoei..." Air muka malaikat penjaga sukma berubah dingin menyeramkan, setelah melirik sekejap ke arah Pek In Hoei serta Lu Kiat ujarnya: "Harap kalian berdua suka turun dari atas kuda, perjalanan selanjutnya menjadi tanggung jawabku, bila aku telah menghantar kalian berdua tiba di depan pintu benteng maka berarti pula tugasku telah selesai..." Meskipun perkataan itu diucapkan dengan nada sungkan, tetapi dalam hati merasa amat tidak puas dengan kehadiran dua orang pemuda itu.
Pek In Hoei mencibirkan bibirnya dan tertawa nyaring.
"Kalau memang demikian adanya, harap Lo sian-seng suka menghantar perjalanan kami...
" katanya. Bersama-sama dengan Lu Kiat ia menyingkap jubah luarnya, lalu bagaikan segumpal kapas dengan enteng sekali loncat turun ke atas tanah, sikapnya yang santai dan rileks seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu kejadian apa pun ini membuat malaikat penjaga sukma mengerutkan dahinya, diam-diam ia merasa terkesiap juga oleh kesempurnaan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kedua jago muda itu.
Misteri Penginapan Tua 4 Kisah Pengabdian Seorang Dokter Perempuan Tears Of Heaven From Beirut Jerusalem Karya Dr. Ang Swee Chai Lembah Tiga Malaikat 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama