Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say Bagian 13
"Sahabat Pek, aku hanya bisa menghantar kalian berdua sampai di tempat ini saja," ujar Siang Tek Sam si angin puyuh sambil tertawa seram , "setelah masuk ke dalam benteng, semoga sepanjang perjalanan selamat selalu, aku tetap berharap agar pada suatu hari bisa berjumpa kembali dengan kalian berdua keluar dari benteng dalam keadaan selamat tanpa kekurangan sesuatu apa pun jua, tapi kalian mesti ingat bahwa kesempatan itu kecil sekali...." "Kita lihat saja nanti bagaimana akhirnya..." sahut Pek In Hoei dengan suara dingin, "mungkin pada waktu kita berjumpa muka kau telah berubah jadi sesosok mayat tanpa betok kepala, waktu itu...
haah... haaah... haaah... kau jangan salahkan diriku bila sudah tak kenali terhadap sahabat lama lagi..." Dengan hati mendongkol si angin puyuh Siang Tek Sam mendengus dingin, dia ulapkan tangannya dan bersama dua orang rekan lainnya segera berlalu melewati jalan semula.
Menanti bayangan tubuh mereka bertiga sudah lenyap dari pandangan, malaikat penjaga sukma baru berkata dengan suara seram : "Tamu terhormat, silahkan kalian berdua mengikuti aku, untuk masuk ke dalam benteng..." Sembari berkata dia enjotkan badannya dan laksana kilat berkelebat masuk ke dalam hutan.
Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei serta Lu Kiat mengetahui bahwa pihak lawan hendak menguji tenaga dalam yang mereka miliki, buru-buru mereka mengepos tenaga dan segera menyusul dari belakangnya.
Setelah menembusi hutan yang amat lebat itu, di depan mata terbentanglah sebuah sungai yang amat panjang sekali, air yang mengalir dalam sungai itu sangat deras...
meskipun demikian sebuah jembatan besi terbentang di atas sungai tadi dan menghubungkan tepi sebelah sini dengan tepi seberang.
Sebuah benteng kuno yang amat besar dan angker berdiri tepat di seberang sungai, dinding bukit yang terjal dan curam mengelilingi sekeliling benteng tersebut, pada setiap jengkal dinding benteng berdiri seorang jago melakukan penjagaan, mereka menghadap ke arah luar dan melakukan pengawasan dengan kerennya.
'Benteng Pedang Sakti' Tiga huruf besar yang amat menyolok terukir di atas dinding pintu benteng tersebut, pada ke-dua belah pintu besar yang terbuat dari baja murni masing- masing tergantung sebilah pedang panjang berwarna keperak-perakan, di bawah sorot cahaya sang surya senjata itu memantulkan cahaya tajam yang amat menyilaukan mata.
"Inilah benteng Kiam poo," seru Malaikat Penjaga Sukma sambil tertawa dingin, "harap kalian berdua suka mengikuti diriku masuk ke dalam benteng..." Dengan enteng ia melangkah di atas jembatan besi itu lalu meluncur ke dalam dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tertawa dingin, bersama Lu Kiat dia segera menyusul ke arah dalam.
"Siapa di situ" Sandi mulut..." teriak pria yang berada di atas benteng sambil mengawasi ke-tiga orang yang berada di luar benteng itu dengan pandangan tajam.
Malaikat Penjaga Sukma segera angkat tangannya dan menunjukkan tiga jari, sahutnya dengan suara keras : "Menyeberangi sungai hendak bertemu dengan nelayan tua..." "Hmm! Kembali manusia-manusia tak tahu diri yang datang mengantar kematian buat diri sendiri..." jengek pria itu sambil tertawa dingin.
Dalam pada itu setelah mereka berdua saling bertukar sandi, Malaikat Penjaga Sukma segera membawa ke- dua orang itu berjalan menuju ke arah pintu benteng.
Tampaklah ke-dua belah pintu baja yang amat besar itu perlahan-lahan membentang ke samping, dari dalam benteng muncullah dua orang pria penjaga pintu.
"Ong toako," Malaikat Penjaga Sukma menyapa, "harap kau laporkan kepada pengurus benteng, katakanlah Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei serta Lu Kiat datang untuk mengunjungi benteng..." "Hmm! Tidak bisa, sekarang tidak diperkenankan untuk masuk..." sahut pria yang berada di sisi kiri sambil mendengus.
Malaikat Penjaga Sukma jadi tertegun.
"Ong toako, sebenarnya apa yang telah terjadi?"" serunya.
"Kau betul-betul tolol dan makin tua makin bertambah pikun," jawab pria itu dengan sikap yang amat sombong, "apakah kau lupa sekarang adalah hari apa" Toa kongcu dan toa siaocia sebentar lagi akan keluar dari benteng..." "Oooh...
aku betul-betul sangat bodoh...
aku memang sangat tolol, ternyata urusan itu sudah aku lupakan!" kata Malaikat Penjaga Sukma dengan tubuh gemetar keras.
Kepada Pek In Hoei ia tertawa getir dan melanjutkan : "Sahabat Pek, kongcu serta siocia dari benteng kami sebentar lagi akan keluar benteng untuk menikmati pemandangan alam, dalam keadaan seperti ini biasanya poocu kami tak pernah menemui tamu, terpaksa kalian berdua harus kembali dulu..
Inilah rejeki yang paling bagus buat kalian berdua untuk melanjutkan hidup, sebab meneruskan perjalanan ke depan hanya berarti mencari kematian bagi diri sendiri..." "Sungguh tidak sedikit peraturan dari benteng kalian ini..." ejek Lu Kiat dengan suara dingin.
Air muka Malaikat Penjaga Sukma agak berubah sedikit, buru-buru serunya memperingatkan : "Kalau berbicara harap sedikitlah berhati-hati, kalian mesti tahu Benteng Kiam-poo jauh berbeda dengan perguruan biasa lainnya, barang siapa yang terjatuh ke tangan kami belum ada seorang pun di antaranya yang berhasil lolos dalam keadaan hidup..." Dengan sorot mata tajam Pek In Hoei melirik sekejap ke arah Benteng Kiam-poo yang besar dan menyeramkan itu, tiba-tiba sekilas napsu membunuh terlintas di atas wajahnya, ia tarik napas panjang- panjang dan berkata : "Lu toako, mari kita serbu sendiri ke dalam benteng..." "Ehmm...
aku lihat terpaksa kita harus berbuat demikian..." jawab Lu Kiat sambil mengangguk.
Traang...! Di kala ke-dua orang itu secara diam-diam sedang berunding untuk melakukan penyerbuan secara kekerasan, tiba-tiba dari balik Benteng Kiam- poo yang menyeramkan itu berkumandang datang suara genta tersebut sehingga bergema menembusi angkasa...
kemudian pantulan suara tadi menyebar di udara dan perlahan-lahan sirap kembali...
"Menyingkir..." dua orang pria yang berdiri di depan pintu benteng itu segera membentak keras.
Malaikat Penjaga Sukma tahu bahwa toa kongcu serta nona mereka akan keluar dari benteng, saking takutnya buru-buru ia berseru : "Kalian berdua harap segera menyingkir dari sini..." Agaknya ia merasa amat takut terhadap putra serta putri dari poocunya itu, dengan wajah berubah hebat buru-buru ia putar badan dan kabur dari jembatan penyeberangan.
Dengan sikap yang sangat hormat dua orang pria yang berdiri di sisi pintu benteng itu segera bongkokkan tubuhnya dan tunduk kepala memandang ke atas lantai, sorot mata mereka tak berani berkeliaran secara sembarangan dan gerak- geriknya ketakutan sekali.
Bagian 35 LU KIAT yang menyaksikan kejadian itu diam-diam mengerutkan dahi, dan berseru : "Besar amat lagak kongcu serta siocia dari Benteng Kiam-poo ini..." Mereka berdua sama-sama merupakan jago muda yang tinggi hati, meskipun menyadari bahwa lawannya bukan manusia sembarangan, tetapi mereka berdua tetap bersikeras hendak melihat macam apakah gerangan ke-dua orang muda mudi itu, maka dengan lagak pilon dan sikap yang jumawa mereka angkat kepala memandang ke udara.
Dua baris pria berpakaian perak yang bersisik perak dengan pakaian yang menyolok serta pedang tersoren di pinggang, perlahan-lahan muncul dari balik pintu benteng, sikap mereka amat teratur dan rapi, jelas merupakan sepasukan busu berbaju perak yang sudah lama mendapat pendidikan keras.
Di belakang sepasukan busu itu muncullah seorang pemuda berjubah hijau bertopi model jagoan dengan sebilah pedang pendek berbentuk aneh dan antik tersoren di pinggangnya, sepasang matanya memancarkan sorot mata dingin, wajahnya tiada perasaan, sikapnya yang sombong dan jumawa itu cocok sekali dengan kuda tunggangannya yang berwarna putih bersih.
"Hey, siapakah kau?" tiba-tiba ia membentak keras, "berani benar mencuri lihat raut wajah kongcumu!" Dua barisan busu berbaju perak itu segera menyebarkan diri dan mengurung Pek In Hoei serta Lu Kiat rapat-rapat, sikap mereka jelas menunjukkan rasa permusuhan yang amat tebal.
Sambil loncat ke depan pemuda itu kembali membentak keras : "Ciss...
siapakah kalian berdua" Kenapa aku belum pernah berjumpa dengan kalian berdua" Eeei...
kenapa kalian tidak menjawab" Bisu atau tuli kamu berdua?" Perlahan-lahan Pek In Hoei tarik kembali sorot matanya dan balas menatap wajah pemuda itu, sahutnya pula dengan suara ketus : "Siapa kau" Kenapa aku pun belum pernah berjumpa denganmu?" "Hmmm...
itulah disebabkan kau tak punya mata, sepasang matamu buta dan otakmu terlalu goblok!" teriak pemuda itu sambil mendesis penuh kegusaran, "kalau kau belum pernah berjumpa dengan enghiong yang sebenarnya dari kolong langit, maka kau tak kenal dengan kongcumu, bila kau sudah tahu siapakah aku, hmmm...
hmmm... kau tak akan berani berbicara dengan sikap begitu kurang ajar terhadap diriku." Pek In Hoei mengerutkan dahinya lalu tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... jadi kalau begitu, kau benar-benar adalah seorang manusia lihay!" ejeknya.
Sikap pemuda itu semakin sombong dan jumawa, wajahnya dingin ketus menyeramkan, matanya memancarkan cahaya bengis yang meliputi napsu membunuh, jawabnya : "Sedikit pun tidak salah, atau paling sedikit aku Cui Kiam Beng jauh lebih ampuh daripada kamu..." Dengan sorot mata memancarkan cahaya bengis ia tertawa dingin, lalu ujarnya kembali : "Kenapa kalian berdua belum juga jatuhkan diri berlutut dan menunggu hukuman yang akan kujatuhkan terhadap diri kalian berdua." "Kau keliru besar sahabat," jengek Lu Kiat dengan alis berkerut, "tak ada orang yang jeri kepadamu!" Cui Kiam Beng adalah putra kesayangan dari pemilik Benteng Kiam-poo, sejak kecil ia sudah terbiasa dimanja sehingga tanpa terasa terdidiklah watak yang sombong tinggi hati dan jumawa pada dirinya, ketika menyaksikan sikap Pek In Hoei serta Lu Kiat bukan saja tidak jeri seperti sikap orang-orang benteng Kiam poo terhadap dirinya, malah sebaliknya ia sendiri yang disindir dan diejek-ejek, hawa amarahnya kontan berkobar dan napsu membunuh seketika menyelimuti seluruh wajahnya...
Ia menyapu sekejap ke sisi kiri dan kanannya, lalu menegur : "Tahukah kalian berdua di manakah sekarang kalian berada?" "Benteng Kiam-poo...
suatu tempat yang penuh kenistaan serta kejahatan," jawab Pek In Hoei dengan nada dingin, "Huuuuh...! Kau menggunakan tempat bejat seperti ini sebagai kebanggaan terhadap diri sendiri, aku pun jadi ikut malu melihat sikapmu yang memuakkan itu." "Tutup mulut!" bentak Cui Kiam Beng penuh kegusaran, "bangsat terkutuk, kau berani bersikap kurang ajar terhadap kongcumu!" Dia ulapkan tangannya dan para jago pedang berbaju perak yang mengepung di sekeliling tempat itu segera loloskan pedangnya dan menyilangkan senjata di depan dada, dengan pandangan gusar mereka tatap ke-dua orang itu tajam-tajam.
"Hmm! Kalian mau coba-coba turun tangan?" ejek Jago Pedang Berdarah Dingin dengan napsu membunuh menyelimuti pula seluruh wajahnya.
Cui Kiam Beng tertawa dingin.
"Tak seorang manusia pun diperkenankan bikin keonaran dalam benteng Kiam poo, bajingan cilik! Pentang lebar-lebar sepasang biji matamu, tempat ini bukan tempat sembarangan, dan sekarang kau berani mencuri lihat rahasia dari benteng kami, untuk dosamu itu paling sedikit tubuh kalian harus dihancur- lumatkan jadi berkeping-keping." Sambil menoleh ke arah anak buahnya, ia membentak keras : "Tangkap semua!"
Bersamaan dengan lenyapnya suara bentakan itu, dua orang pria berbaju perak menerjang datang dari samping kiri dan kanan, pedang mereka digetarkan menciptakan dua baris bunga pedang yang menyilaukan mata, laksana kilat cahaya tajam itu menyerang dua orang pemuda tersebut.
Pek In Hoei serta Lu Kiat serentak melayang ke samping sambil masing-masing kirim satu pukulan ke depan, karena terlalu gegabah menilai lawan ke-dua orang pria itu segera mendengus berat dan terpental kembali ke belakang oleh angin pukulan yang sangat berat itu.
Menyaksikan kelihayan lawannya, air muka Cui Kiam Beng berubah hebat, serunya : "Sungguh tak nyana kalian berdua adalah jago-jago lihay yang punya sedikit simpanan." Haruslah diketahui, barisan jago pedang berbaju perak ini adalah barisan pengawal yang dilatih dan dididik sendiri olehnya, meskipun belum terhitung jago pedang yang teramat lihay tapi mereka pun bukan termasuk manusia-manusia tolol yang sama sekali tak berguna, siapa tahu dalam penyerangan yang dilancarkan barusan, bukan saja serangannya gagal total bahkan sebaliknya di dalam satu gebrakan saja anak buahnya kena dipukul mundur dalam keadaan luka.
Peristiwa semacam ini bagi Cui Kiam Beng boleh dibilang belum pernah ditemuinya.
Oleh sebab itu dengan wajah berubah hebat, sekilas senyuman menyeramkan menghiasi bibirnya.
"Saudara, bila kau ada minat, tak ada halangannya untuk turun tangan sendiri!" dengus Lu Kiat dengan suara ketus.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... dengan andalkan sedikit kepandaian semacam itu kalian berdua berani datang ke benteng malaikat pedang untuk bikin keonaran.
Kamu sekalian terlalu pandang enteng jago-jago yang ada di tempat ini," seru Cui Kiam Beng sambil tertawa seram, "kalian harus tahu bahwa jago lihay dalam benteng kami tak terhingga jumlahnya, mereka yang memiliki kepandaian silat semacam apa yang kalian miliki itu tak terhitung banyaknya...
sahabatku setelah kalian bertemu dengan kongcumu maka itu berarti pula kesempatan untuk hidup bagi kalian berdua telah lenyap, selamanya aku tidak akan membiarkan setiap korbanku lolos dalam keadaan hidup, dan selamanya aku tak pernah membiarkan korbanku untuk mendapat kesempatan guna meneruskan hidupnya..." Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tak menyangka kalau kejumawaan serta kesombongan pemuda yang berada di hadapannya ini jauh melebihi dirinya, ia tercekat dan segera mengetahui bahwa benteng Kiam poo dapat memimpin dunia persilatan, hal ini menunjukkan bahwa pihak mereka pastilah memiliki suatu kemampuan yang jauh melebihi orang lain, terutama sekali Cui Kiam Beng berani omong besar, tentu di belakang punggungnya mempunyai jaminan kekuatan yang mengerikan sekali dan sedikit banyak ia sendiri pun pasti mempunyai simpanan.
Berpikir demikian, Pek In Hoei segera tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... kau bisa berkata begitu karena selama ini kau belum pernah bertemu dengan jago lihay, oleh sebab itu belum pernah merasakan pula bagaimana rasanya dikalahkan orang!" "Ooooh...
jadi kalau begitu kau adalah seorang jagoan yang sangat lihay?" sindir Cui Kiam Beng.
"Jago lihay sih tak berani dikatakan, cuma di dalam hal kepandaian ilmu pedang aku pernah melakukan penelitian serta penyelidikan!" Air muka Cui Kiam Beng agak berubah, tubuhnya tanpa terasa melayang turun dari atas punggung kudanya, sambil tertawa seram perlahan-lahan ia cabut keluar pedang pendeknya yang berbentuk aneh itu.
"Hmmm... hmm.... kongcumu ingin sekali menyaksikan sampai taraf yang setinggi apakah ilmu pedang yang berhasil diteliti oleh jago lihay semacam dirimu itu," ujarnya dengan serius, "sahabat, sekarang kau boleh cabut keluar pedangmu...
dan ingat! Sewaktu bertempur nanti kau harus bersikap sangat hati-hati..." Cahaya pedang bergetar kencang, dari ujung pedang pendek berbentuk aneh itu segera memancar keluar segulung hawa pedang yang amat tebal dan menggidikkan hati, cahaya pedang yang dingin membuat siapa pun akan menyadari bahwa pedang yang berada di dalam genggaman lawan itu adalah sebilah pedang mestika yang jarang sekali dijumpai di kolong langit.
"Ehmm... pedang bagus," puji Pek In Hoei dengan wajah serius, "aku Jago Pedang Berdarah Dingin baru pertama kali ini berjumpa dengan pedang mestika macam itu!" Rupanya ia pun menyadari bahwa lawannya adalah seorang jago muda yang amat sukar dilayani, setelah tarik napas panjang-panjang dengan gerakan yang lambat ia loloskan keluar pedang mestika penghancur sang suryanya dari dalam sarung, kemudian ujung pedang ditudingkan ke tengah udara.
"Jago Pedang Berdarah Dingin!" seru Cui Kiam Beng dengan suara keras, "Apakah kau adalah Pek In Hoei yang pernah mengadakan pertemuan besar sewaktu ada di wilayah selatan..." "Sedikit pun tidak salah, dan seandainya pada saat ini kau hendak membatalkan pertarungan ini, maka waktu masih belum terlambat..." "Aku merasa amat kagum terhadap keberanian serta kesuksesanmu itu, menggunakan kesempatan yang sangat baik seperti hari ini, aku harus baik-baik minta petunjuk darimu...
Pek In Hoei! Kuhormati dirimu sebagai seorang jago lihay di dalam penggunaan ilmu pedang, silahkan kau turun tangan sendiri..." Sikapnya pada saat ini mengalami perubahan besar sekali, sementara pada ucapannya juga bertambah sungkan, hal ini menunjukkan bahwa pemuda she Cui itu telah menyadari bahwa lawan yang sedang dihadapinya ini adalah seorang lawan yang amat tangguh.
Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei mengerutkan alisnya sambil mencukil pedangnya ke udara ia tertawa hambar.
"Tamu tidak akan mendahului tuan rumah, lebih kau saja yang turun tangan duluan..." Cui Kiam Beng segera membentak keras, pedang pendek dalam genggamannya digetarkan ke muka, sekilas bayangan pedang berkilauan menembusi angkasa, desiran pedang yang tajam dan menggetarkan hati berkelebat menembusi udara dan meluncur ke depan.
Sekarang Jago Pedang Berdarah Dingin baru menyadari bahwa lawannya bukan manusia sembarangan, cukup ditinjau dari serangannya yang begitu ganas dan dahsyat laksana gulungan ombak di tengah samudra ini, sudah cukup membuktikan bahwa lawannya adalah seorang jago yang amat lihay.
Dengan serius ia pusatkan seluruh perhatiannya pada ujung pedang sendiri, secara beruntun ia bergantian menyerang sebanyak tujuh delapan jurus dengan lawannya, sebagai jago-jago kelas satu dalam dunia persilatan, setiap kali terjadi benturan dengan cepat mereka tarik kembali pedangnya masing-masing, siapa pun tidak melakukan penyerangan dengan jurus serangan yang sama sekali tidak meyakinkan.
Dengan tegang Lu Kiat mengikuti jalannya pertarungan itu dari sisi kalangan, ia tahu ke-dua belah pihak telah menyerang dengan mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya, satu kali salah bertindak berarti jiwa akan melayang pada detik itu juga, perhatiannya sama sekali terhisap oleh jalannya pertarungan itu sehingga untuk beberapa saat ia lupa terhadap keadaan di sekelilingnya.
"Lu-heng..." suara sapaan yang nyaring dan merdu berkumandang datang memecahkan kesunyian yang mencekam.
Lu Kiat tercengang dan segera berpaling ke arah mana berasalnya suara panggilan tadi, tampak seorang nona cantik bersanggul tinggi perlahan-lahan berjalan mendekati ke arahnya, baju merah yang terhembus angin membuat dara muda itu nampak bertambah cantik, seakan-akan bidadari yang baru turun dari kahyangan.
"Nona Im..." seru Lu Kiat dengan nada tertegun.
Dara muda yang cantik jelita itu gelengkan kepalanya berulang kali, kemudian berkata : "Tidak, aku she Cui bernama Tiap Tiap...
dahulu ketika kita saling berjumpa di kota Siang cu nama yang kugunakan adalah nama palsu...
Lu-heng! Kenapa kau bisa datang kemari, kenapa sebelum datang kau tidak memberi kabar lebih dahulu kepadaku..." Lu Kiat merasa hatinya jadi hangat dan benaknya segera terbayang kembali pemandangan tatkala ia berkenalan dengan gadis itu di kota Siang-ciu, ia merasa hatinya jadi kosong ketika kemudian gadis itu berlalu tanpa pamit.
Ia menghela napas panjang, katanya dengan wajah serius : "Aku serta Jago Pedang Berdarah Dingin secara kebetulan lewat di Benteng Kiam-poo dan tanpa sengaja telah bentrok dengan Cui sau poocu, sungguh tak nyana dalam keadaan seperti ini aku telah berjumpa kembali dengan dirimu...
aai..." "Tapi toh ini namanya jodoh..." ujar Cui Tiap Tiap sambil mengerlingkan biji matanya dan tersenyum.
Lu Kiat tertawa getir. "Dan jodoh ini datangnya terlalu mendadak sehingga berada di luar dugaan orang..." tambahnya.
Dengan pandangan mesra, Cui Tiap Tiap mengerling sekejap ke arah pemuda itu, lalu berkata : "Lu-heng, sebelum kau lanjutkan langkahmu untuk memasuki Benteng Kiam-poo lebih baik ajak sahabatmu untuk cepat-cepat berlalu dari sini.
Kau tak akan paham terhadap tabiat dari ayahku, peduli siapa pun juga asal berani memasuki Benteng Kiam-poo maka jangan harap bisa keluar lagi dalam keadaan hidup, kecuali kau mati tak mungkin kau bisa tinggalkan benteng ini lagi.
Saudara Lu! Kendati aku adalah separuh tuan rumah di tempat ini namun berbicara tentang kedudukan serta kekuasaan aku masih belum dapat memadai adikku, karenanya walaupun aku ingin sekali membantu dirimu sayang sekali tiada tenaga bagiku untuk melakukannya..." Diam-diam Lu Kiat menghela napas panjang, dengan suara berat katanya : "Terima kasih buat maksud baikmu itu, sayang sekali menyerbu ke dalam Benteng Kiam-poo merupakan cita-cita serta tujuan kami..." "Tempat ini bukan suatu tempat yang baik," nasehat Cui Tiap Tiap lagi dengan wajah sedih, rasa murung dan kesal terlintas di atas wajahnya, "ayahku telah mendengarkan ucapan manusia laknat, perbuatannya sangat melanggar kebiasaan orang Bu lim, walaupun aku ada maksud untuk menasehati dia orang tua, sayang tenaga serta kemampuanku amat terbatas, aku tak dapat menolong situasi ini lagi..." Ia melirik sekejap pertarungan yang sedang berlangsung antara ke-dua orang pemuda itu, kemudian bentaknya keras-keras: "Tahan! Kiam Beng, ayoh kembali..." Dalam pada itu seluruh jidat Cui Kiam Beng telah basah kuyup oleh air peluh, ia mulai merasa keteter hebat dan mulai tak sanggup mempertahankan diri, ketika mendengar suara bentakan dari encinya, dengan cepat ia dorong pedangnya ke belakang lalu bagaikan segulung angin meloncat keluar dari gelanggang.
"Eeei... kenapa secara tiba-tiba kau hentikan pertarungan ini" Apakah sudah tak diteruskan lagi..." ejek Pek In Hoei dengan suara dingin lagi ketus.
Cui Kiam Beng terengah-engah, sambil mengatur pernapasan sahutnya, "ilmu silatmu memang lihay sekali, sebentar akua pasti akan minta petunjuk lagi darimu..." Cui Tiap Tiap menggerakkan tubuhnya yang ramping dan perlahan-lahan maju ke depan, raut wajahnya yang cantik jelita bagaikan sekuntum bunga tiba tertutup oleh sikap yang dingin menggidikan hati, tegurnya dengan nada tidak senang hati : "Siapa yang suruh kau bergebrak lagi dengan orang lain..." "Cici!" sahut Cui Kiam Beng dengan alis berkerut, "dalam keadaan seperti ini kenapa kau tampil pula ke depan?" Apa pesan ayah kepadamu" Seorang gadis perawan masa secara sembarangan munculkan diri untuk berjumpa dengan orang asing..." "Hmm! Makin lama kau semakin tak tahu aturan, aku pun hendak kau urusi?"?" bentak gadis itu dengan nada dingin.
"Mengurusi sih aku tak berani...
cuma ayah berpesan begitu kepadaku..." Cui Tiap Tiap melirik sekejap ke arah Jago Pedang Berdarah Dingin, ketika menyaksikan wajahnya yang begitu tampang dengan perawakan tubuh yang sangat gagah, hatinya seketika terasa bergetar keras, pikirnya di dalam hati : "Lu Kiat sudah termasuk salah seorang pria tampan yang jarang ada di kolong langit, sungguh tak nyana setelah dibandingkan dengan Jago Pedang Berdarah Dingin ternyata di atas tubuh Lu Kiat seakan-akan kekurangan sesuatu benda...
tidak aneh kalau begitu banyak gadis muda yang terpikat dan tergila-gila kepadanya...
ia memang tampan dan menawan hati...
Sambil tertawa jengah ujarnya : "Pek tayhiap, benteng kami merasa mendapat kehormatan untuk menerima kunjungan dari seorang jago lihay yang nama besarnya sudah tersohor di seluruh kolong langit serta berkepandaian tinggi macam dirimu...
kami merasa amat bangga sekali dengan kehadiranmu ini..." "Nona terlalu memuji, kalau berbicara tentang ilmu silat maka semestinya kepandaian silat yang dimiliki adikmu itulah baru pantas disebut luar biasa sekali..." sahut Pek In Hoei.
Merah jengah selembar wajah Cui Kiam Beng, hawa gusar seketika berkobar dalam dadanya, ia salah mengira Pek In Hoei mengatakan bahwa ilmu silatnya tak becus dan hanya begitu-begitu saja, sambil ayunkan pedang pendeknya ia maju mendesak ke muka, serunya : "Kau jangan takabur dan jumawa lebih dahulu, pun kongcu toh belum kalah benar-benar di tanganmu!" "Eeeei...
sebenarnya apa maksudmu?"" seru Pek In Hoei dengan nada tertegun.
"Hmm! Gampang sekali, asal kau sanggup menangkan permainan pedang di tangan kongcumu maka dari pihak Benteng Kiam-poo pasti akan muncul orang untuk menyambut kedatanganmu itu, sebaliknya kalau kongcumu yang beruntung mendapat kemenangan...
maaf, terpaksa batok kepalamu itu harus berpindah tempat..." Pek In Hoei sama sekali tidak menyangka kalau putra kandung pemilik Benteng Kiam-poo Cui Kiam Beng begitu tak tahu aturan.
Tadi ia tak mau melukai orang karena pemuda itu merasa belum sempat berjumpa dengan pemilik benteng, seharusnya Cui Kiam Beng tahu diri dan segera mengundurkan diri.
SIAPA tahu pemuda itu tak kenal tingginya langit dan tebalnya bumi, ternyata ia menantang kembali untuk berduel.
Jago Pedang Berdarah Dingin bukanlah manusia suka diganggu, napsu membunuh seketika menyelimuti wajahnya, dengan suara ketus serunya : "Cui Sau poocu, ada pepatah kata aku ingin beritahukan kepadamu lebih dahulu kata-kata itu yakni : tidak naik ke atas puncak gunung, orang tak akan tahu tingginya gunung, tak masuk ke dalam samudra tak akan tahu dalamnya lautan.
Hingga detik ini mungkin kau masih belum berjumpa dengan jago silat yang betul-betul lihay, suatu hari kau akan merasakan bagaimana rasanya seorang yang menderita kekalahan, waktu itu kau baru akan merasa betapa luasnya pelajaran ilmu pedang yang terdapat di kolong langit." "Aku tak sudi mendengarkan nasehatmu itu," tukas Cui Kiam Beng sambil putar pedangnya.
"Adikku, kau tak boleh berbuat demikian!" bentak Cui Tiap Tiap dengan wajah berubah hebat.
"Cici kenapa kau begitu tak tahu diri," seru Cui Kiam Beng sambil memberi hormat kepada kakaknya, "berhadapan muka dengan seorang jago pedang macam dia, hal ini merupakan satu kesempatan yang terbaik bagiku untuk menjajal ilmu silat keluarga kita, aku percaya di kolong langit tiada ilmu pedang lain yang mampu mengalahkan ilmu pedang keluarga kita." "Perkataan dari Pek sauhiap sedikit pun tidak salah," bentak Cui Tiap Tiap dengan gusar, "di luar gunung masih ada gunung, di luar manusia cerdik masih ada manusia cerdik, sekali pun keluarga kita mendapat julukan sebagai keluarga nomor wahid di kolong langit, kita pun tak berani mengunggulkan ilmu silatnya sebagai nomor satu di seluruh dunia, karena banyak sekali terdapat jago-jago pedang pandai yang lebih suka mengasingkan diri daripada ikut memperebutkan nama kedudukan." "Aku tak mau mendengarkan perkataanmu yang menggelikan telinga itu," seru Cui Kiam Beng sambil tertawa dingin, "mencapai kedudukan yang tertinggi merupakan cita-cita dari setiap jago yang belajar ilmu pedang, cici kau tak usah mencampuri urusanku lagi..." Pedang pendeknya digetarkan keras-keras dan serunya kembali : "Manusia she Pek! Mari kita tetapkan menang kalah kita di ujung senjata!" Pada saat itu hawa murninya yang sudah banyak hilang akibat pertarungan sengit yang barusan berlangsung telah pulih kembali seperti sediakala, ia menghembuskan napas panjang-panjang lalu berteriak keras, pedang pendek dalam genggamannya bergerak membentuk satu gerakan busur yang berwarna kehijau-hijauan, setelah berhenti sejenak di tengah udara laksana kilat segera menyusup ke depan.
"Hmmm!" Pek In Hoei mendengus dingin tubuhnya loncat maju ke depan meloloskan diri dari serangan tersebut, pedangnya digetarkan keras dan segera membabat masuk ke dalam lewat sisi kiri musuhnya.
Cui Kiam Beng putar pedangnya sambil maju ke depan, tiba-tiba langkahnya memanjang satu kali lipat dari keadaan biasa.
Traaang... sepasang pedang segera saling bentur satu sama lain, menyebabkan percikan bunga api berhamburan ke seluruh udara, suara pekikan nyaring menggeletar di udara dan lama sekali baru membuyar kembali.
Rambut di atas kepala Cui Kiam Beng berguguran ke atas lantai, rambut yang kusut menutupi hampir seluruh wajahnya, dengan sorot mata berapi-api ia putar pedang pendeknya, dengan buas dan bengis ditatapnya wajah lawan dengan pandangan tajam, seakan-akan ia sedang menunggu suatu kesempatan baik untuk melancarkan serangan mautnya.
Pek In Hoei dengan hambar angkat kepala memandang ujung pedang di angkasa, terhadap sikap menyeringai Cui Kiam Beng yang menyeramkan itu ia tidak memandang atau pun menggubris, sikapnya tetap tenang seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu apa pun jua, hanya saat ini wajahnya lebih keren dan sama sekali tidak dihiasi senyuman.
"Hmmm..." suara tertawa seram meledak dari balik bibir Cui Kiam Beng, pedang pendeknya dengan membentuk sekilas cahaya keperak-perakan berkelebat menembusi angkasa dan meluncur ke atas batok kepala Jago Pedang Berdarah Dingin.
Pek In Hoei mendengus dingin, ia geser tubuhnya ke samping, pedangnya dengan membentuk segumpal bayangan tajam yang amat menyilaukan mata meluncur keluar...
Dua gulung cahaya putih segera saling bertemu satu sama lainnya di tengah udara...
Tiiing! Dentingan nyaring bergema di udara kemudian semuanya pulih kembali dalam kesunyian, begitu hening seolah-olah dunia telah kiamat...
"Aaah...!" Cui Kiam Beng memandang kutungan pedang pendek kesayangannya dengan pandangan kosong, kemudian ia menjerit sekeras-kerasnya, bagaikan kalap ia meraung gusar : "Aku hendak membunuh dirimu...
aku hendak membinasakan dirimu..." Sambil mencekal kutungan pedang pendeknya Cui Kiam Beng menuding Jago Pedang Berdarah Dingin, teriaknya dengan suara keras : "Dia telah merusak pedang mestikaku...
ia telah mengutungkan pedang mestika kesayanganku...
cici! Peristiwa ini merupakan suatu penghinaan bagi keluarga Cui kita, pedang itu adalah hadiah dari ayah ketika aku berulang tahun delapan belas tahun..." Dengan perasaan sakit hati karena pedangnya rusak, ia berseru kembali dengan suara gemetar : "Cici, kau harus balaskan dendam bagiku...
rampaskan pedang mestika penghancur sang surya itu untukku..." "Adikku, ilmu silatmu tak dapat menangkan orang, hawa murnimu tidak sesempurna tenaga dalam yang dimiliki Pek sauhiap maka pedangmu kutung dan rusak," ujar Cui Tiap Tiap sambil menggelengkan kepalanya.
"Untung ayah kita memiliki pelbagai macam pedang mestika yang tak ternilai harganya, biarlah ayah menghadiahkan lagi sebilah pedang yang lain untukmu..." "Omong kosong!" bentak Cui Kiam Beng setengah menjerit, "pedang adalah rohku, senjata adalah mata dari seorang jago pedang, bila pedang itu lenyap berarti aku kehilangan jiwaku, aku tak akan kuat menahan pukulan batin yang demikian beratnya ini..." "Aaai..." suara helaan napas panjang berkumandang dari balik pintu benteng, seorang kakek tua berjenggot hitam dengan pandangan dingin menatap sekejap wajah Pek In Hoei, kemudian sambil berpaling ke arah Cui Kiam Beng ujarnya : "Kiam Beng, apa yang diucapkan cicimu sedikit pun tidak salah, ilmu silatmu masih terlalu cetek, seandainya kau tidak lalai berlatih ilmu silatmu dengan tekun dan rajin tidak mungkin kau akan mengalami akhir seperti yang kau alami pada saat ini." "Paman Sam siok!" seru Cui Kiam Beng dengan suara sedih.
Sementara Lu Kiat yang menyaksikan kemunculan orang itu, hatinya segera terkesiap, ia tidak menyangka jago kalangan hekto yang pernah tersohor namanya pada dua puluh berselang, Kongsun Kie dapat dijumpainya di tempat itu, pelbagai ingatan dengan cepat berkelebat dalam benaknya namun untuk sesaat ia tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Kongsun Kie sudah banyak tahun lenyap dari dunia persilatan, sebagian besar jago Bu-lim mengira ia sudah mati, sungguh tak nyana jago kosen itu ternyata bersembunyi di dalam Benteng Kiam-poo.
Dengan suara lantang Lu Kiat segera menyapa : "Hmm...
hmm... tak nyana Benteng Kiam-poo kami telah kedatangan dua orang sahabat karib yang begini kosen, kunjungan ini sungguh merupakan suatu kehormatan bagi kami..." kata Kongsun Kie dengan suara dingin, ia segera membentak keras : "Terima tamu!" Bersamaan dengan meledaknya suara bentakan dari Kongsun Kie, dari balik pintu benteng yang mengerikan itu dengan cepat bermunculan sebaris pria berbaju hitam, pria itu membawa tambur dan alat tetabuhan lainnya yang beraneka ragam, sambil munculkan diri, alat-alat bunyian itu dipukul bertalu- talu hingga suasana seketika berubah jadi gaduh dan ramai sekali...
Pek In Hoei serta Lu Kiat yang menjumpai kejadian ini jadi melengak, mereka tak tahu dengan permainan setan apakah pihak benteng Kiam poo menyambut kedatangan tamu terhormatnya.
Lu Kiat segera berbisik kepada Cui Tiap Tiap yang berada di sisinya : "Apa yang sedang mereka lakukan?" Rupanya Cui Tiap Tiap sangat takut ucapannya itu sampai didengar orang lain, setelah melirik sekejap ke arah Cui Kiam Beng serta Kongsun Kie, dengan suara lirih ia menjawab : "Benteng Kiam-poo kami paling menghormati jiwa ksatria para jago yang berani menyerbu ke dalam benteng, berhubung setiap orang yang berani masuk ke dalam benteng berarti kematian bagi dirinya, maka terhadap keberanian setiap orang yang berani datang kemari baik itu jago dari kalangan hek-to maupun Pek-to sudah sepantasnya kalau disambut dengan segala macam alat tetabuhan, di samping sebagai tanda hormat di samping itu dengan bunyi-bunyian tersebut mereka memberi kabar pula kepada ayahku yang berarti ada orang datang, mereka peringatkan setiap pos penjagaan untuk siap-siap menghadang kedatangan musuh tangguh, serta tidak memperkenankan melepaskan orang itu keluar dari benteng dalam keadaan hidup..." "Hmm...
sungguh besar amat lagak benteng kalian..." seru Lu Kiat sambil tertawa hambar.
Dalam pada itu seorang pria kekar berbaju merah dengan mencekal golok terhunus telah maju ke depan, sesudah memberi hormat kepada Kongsun Kie ujarnya : "Kongsun sianseng, terhadap mereka berdua apa yang kita pergunakan?"?" "Permadani merah..." jawab Kongsun Kie tanpa berpikir lagi.
Cui Tiap Tiap yang mendengar ucapan itu sikapnya segera nampak aneh sekali, bisiknya dengan suara lirih : "Rupanya pengurus benteng kami memandang serius atas kehadiran kalian berdua, ternyata ia sudah perintahkan untuk menggunakan permadani merah yang jarang sekali dipergunakan itu untuk menyambut kedatangan kalian, dari permadani yang digelar di atas tanah kita bisa menilai tingkatan ilmu yang dimiliki sang tetamu, di samping itu memberi peringatan pula kepada seluruh anggota benteng bahwa orang yang datang memiliki ilmu silat amat lihay, permadani merah berarti suatu tingkatan yang paling tinggi, mereka diperingatkan untuk menghadapi secara hati-hati!" Sementara itu dengan cepatnya ke-empat orang pria tadi sudah mengatur permadani merah di atas pintu masuk benteng.
Kongsun Kie segera mempersilahkan ke-dua orang tamunya untuk masuk ke dalam benteng, katanya : "Silahkan kalian berdua masuk ke dalam benteng kami, semua anggota Benteng Kiam-poo dengan senang hati menyambut kedatangan kalian berdua." "Peraturan dari benteng kalian terlalu banyak, aku tidak berani untuk mohon banyak petunjuk," sreu Lu Kiat dingin.
Kongsun Kie mendengus dingin, ia berjalan lebih dahulu menuju ke dalam benteng sedang Pek In Hoei serta Lu Kiat menyusul dari belakang, sementara Cui Kiam Beng serta Cui Tiap Tiap mengiringi dari samping kiri dan kanan, berjalan di atas hiasan permadani merah menuju ke arah sebuah bangunan besar.
Dalam benteng terdapat sebuah tanah lapang yang luas sekali, sekeliling tanah lapang itu berdiri berpuluh- puluh buah bangunan rumah, beberapa orang itu dengan mulut membungkam maju terus ke depan dan naik ke atas undakan batu.
Traaang...! Tiba-tiba dari balik ruangan besar itu berkumandang datang suara benturan besi yang amt berat, Kongsun Kie segera menghentikan langkah kakinya dan angkat kepala.
Seorang nenek tua berwajah merah dengan rambut telah beruban semua tahu-tahu sudah merintangi jalan masuk mereka dengan toya besi yang amat besar menyilang di tengah jalan.
Melihat perbuatan orang, Kongsun Kie nampak agak tertegun, dengan cepat ia menegur : "Soat Hoa Nio Nio, apa yang hendak kau lakukan?" "Dan kau sendiri mau apa?" Soat Hoa Nio Nio balik bertanya dengan suara dingin.
Rupanya Kongsun Kie sangat kenal dengan tabiat aneh nenek tua tersebut, sambil tertawa terpaksa jawabnya : "Aku mendapat tugas untuk menyambut kedatangan dua orang sahabat yang hendak masuk ke dalam benteng." Soat Hoa Nio Nio mendengus dingin : "Hmm! Aku ingin sekali menyaksikan manusia macam apakah yang begitu berani tak pandang sebelah mata terhadap siau poocu kita, apakah dia tidak tahu kalau siau poocu adalah putra angkat dari aku si nenek tua." Kiranya Cui Kiam Beng adalah putra angkat Soat Hoa Nio Nio, juga merupakan muridnya.
Ketika terjadi bentrokan kekerasan antara Cui Kiam Beng dengan Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei sewaktu ada di luar benteng tadi, segera ada orang lari melaporkan kejadian ini kepada sang nenek tua yang amat membelai putra angkatnya ini.
Ketika mendengar putra angkatnya menderita kekalahan total, nenek tua ini jadi naik pitam, ia segera minta persetujuan dari sang poocu untuk memberi pelajaran lebih dahulu kepada Pek In Hoei sebelum berjumpa dengan dirinya.
Sementara itu Cui Kiam Beng telah memburu maju ke depan sambil berseru keras : "Ibu angkat!" "Kiam Beng, beritahu ibu angkatmu, anak jadah mana yang telah menganiaya dirimu!" seru Soat Hoa Nio Nio dengan suara dingin dan ketus.
Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei sama sekali tidak menyangka nenek tua berwajah dingin dan berbicara ketus itu punya mulut usil yang kotor, tanpa ikatan dendam atau pun permusuhan begitu buka mulut dirinya lantas dimaki sebagai anak jadah.
Sambil tertawa dingin tubuhnya segera melangkah maju ke depan, makinya dengan suara sinis : "Huuh! Kau ini manusia macam apa" Berani benar memaki orang dengan kata yang tidak senonoh!" Soat Hoa Nio Nio berpaling dan melirik sekejap ke arah si anak muda itu, kemudian kepada Cui Kiam Beng tanyanya : "Kiam Beng, apakah anak jadah ini yang menganiaya dirimu?" "Sedikit pun tidak salah, dia adalah Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei!" "Jago Pedang Berdarah Dingin?" Soat Hoa Nio Nio tertawa mengejek dengan suara yang amat sinis, "Huuuh! Jago Pedang Berdarah Dingin itu manusia macam apa" aku si nenek tua sudah hidup berpuluh- puluh tahun lamanya di kolong langit, belum pernah ada orang yang berani berlagak congkak semacam anak jadah ini." "Oooh...
Jadi kau ingin lihat" Mungkin aku tak akan membuat kau jadi kecewa..." seru Pek In Hoei dengan gusarnya.
Dengan penuh kemarahan Soat Hoa Nio Nio mengetukkan toya besinya keras-keras ke atas lantai, serunya : "Cuuuh! Bajingan cilik kau betul-betul seorang manusia yang tak tahu adat." Kongsun Kie yang selama ini berada di sisinya tidak tahu kalau nenek tua yang tak kenal aturan ini sudah minta ijin lebih dahulu dari poocu mereka, menyaksikan tingkah polahnya kian lama kian bertambah kasar dan tidak memakai aturan, hatinya jadi sangat gelisah, buru-buru serunya : "Nio-nio! Harap kau mengundurkan diri dari sini, setelah bertemu dengan poocu nanti, belum terlambat bukan bila kau hendak bikin perhitungan dengan Jago Pedang Berdarah Dingin." "Tidak bisa jadi," tukas Soat Hoa Nio Nio sambil mendengus dingin, "urusan pribadi dari aku si nenek tua lebih baik kau tak usah ikut campuri." Air muka Kongsun Kie berubah hebat.
"Kau..." serunya.
"Kenapa" Kalau tidak terima laporkan saja peristiwa ini kepada poocu!" teriak Soat Hoa Nio Nio sambil melototkan sepasang matanya bulat-bulat.
Setelah nenek tua ini mengumbar napsu amarahnya, kepada siapa pun ia tidak memberi muka.
Kendati kedudukan Kongsun Kie dalam Benteng Kiam-poo tidak rendah namun ia pun tak mampu mengusik kebiasaan dari nenek tua ini.
Terpaksa sambil tertawa getir ia gelengkan kepalanya berulang kali dan mengundurkan diri dari tempat itu.
Soat Hoa Nio Nio tertawa seram, serunya kemudian : "Kiam Beng! Beri hadiah dua gablokan keras untuk bajingan cilik itu." Cui Kiam Beng tertegun, ia tidak menyangka kalau ibu angkatnya bakal mengusulkan ide tersebut kepadanya, tetapi pemuda itu mengerti akan kekuatan diri sendiri, ia sadar bahwa kepandaian silat yang dimiliki masih terpaut jauh kalau dibandingkan dengan lawannya, jangan dibilang suruh ia menampar wajah lawannya, sekali pun suruh menyerang secara jitu pun belum tentu ia mampu.
Setelah berdiri termangu-mangu beberapa saat lamanya, ia lantas berseru : "Ibu angkat!" "Kenapa?" Aku toh berada di sini" Apa yang mesti kau takuti lagi?" bentak Soat Hoa Nio Nio sambil melototkan matanya bulat-bulat, "Kalau bajingan cilik itu berani turun tangan membalas, maka aku si nenek tua segera akan menghancur-lumatkan tubuhnya jadi bola daging...
Hmm! Bila aku tak mampu kasih pelajaran yang setimpal kepadanya, aku bukanlah Soat Hoa Nio Nio..." Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei yang disindir dan diejek terus menerus oleh lawannya, lama kelamaan tak kuat menahan diri lagi.
Meskipun ia tidak ingin turun tangan di dalam keadaan seperti ini tetapi keadaan memaksa dirinya tak dapat berpeluk tangan belaka.
Sambil bergerak maju beberapa langkah ke depan, serunya dengan suara penuh kemarahan : "Nenek sialan, sebetulnya apa yang kau kehendaki?" Selama hidup Soat Hoa Nio Nio paling benci kalau ada orang memaki dirinya sebagai seorang nenek sialan, mendengar Pek In Hoei memaki dirinya dengan kata- kata yang tak tahu sopan, ia jadi naik pitam, sekujur badannya gemetar keras karena menahan rasa gusar yang meluap-luap.
Sambil memutar toya besinya ke tengah udara ia berteriak keras : "Bajingan cilik, siapa yang kau sebut sebagai nenek sialan?"" "Siapa lagi kalau bukan kau! Di sini tak ada nenek lain kecuali kau seorang nenek sialan!" sahut Pek In Hoei ketus, "nenek bangkotan yang sudah hampir masuk ke liang kubur bukan saja kau sudah tua bangkotan, lagi pula jelek dan keriputan, di kolong langit belum pernah kujumpai seorang nenek jelek yang tua lagi sialan semacam dirimu ini..." Weesss...! Di tengah udara segera berkelebat lewat segumpal bayangan toya disertai desiran angin tajam, bayangan itu langsung menumbuk ke arah tubuh Jago Pedang Berdarah Dingin dengan hebatnya.
Dalam keadaan gusar yang tak tertahankan, Soat Hoa Nio Nio tanpa mengucapkan sepatah kata pun segera ayunkan toyanya mengemplang tubuh lawan, dia ingin dalam sejurus saja berhasil memukul mati Pek In Hoei yang dibencinya itu.
"Hmmm!" Pek In Hoei mendengus dingin, "nenek tua sialan yang hampir masuk liang kubur, akan kusuruh kau rasakan kelihayan dari aku Jago Pedang Berdarah Dingin..." Ia benci kepada Soat Hoa Nio Nio karena sikapnya yang congkak serta tidak pakai aturan itu, karenanya dalam melancarkan serangan ia tidak ragu-ragu dan sama sekali tak kenal ampun, sambil loncat maju ke depan pedang mestika penghancur sang surya dicabut keluar, setelah menghindar diri dari ancaman lawan ia balas menyerang dari samping sebelah kiri.
Rupanya Soat Hoa Nio Nio tidak menyangka kalau ilmu silat yang dimiliki lawannya begitu tinggi dan sempurna, sebelum jurus serangannya dilancarkan tahu-tahu bayangan tubuh lawan sudah lenyap tak berbekas.
Menanti ia merasakan datangnya ancaman pedang dari lawannya, tahu-tahu bayangan pedang yang amat menyilaukan mata telah mengurung di sekeliling tubuhnya.
"Aaaah...! Ilmu simpanan dari partai Thiam cong...
ilmu pedang penghancur sang surya...!" Dengan perasaan tercekat dan bergidik nenek tua itu berseru tertahan, lalu mundur beberapa langkah ke belakang, tanyanya kembali : "Apakah kau anak murid partai Thiam cong?"" "Sedikit pun tidak salah, aku memang anak murid partai Thiam cong..." Air muka Soat Hoa Nio Nio berubah jadi hijau membesi, serunya kembali dengan suara lantang : "Siapa yang wariskan ilmu pedang tersebut kepadamu?"" "Pertanyaan yang kau ajukan terlalu banyak! Aku merasa tidak punya keharusan menjawab pertanyaanmu itu!" Sepasang mata Soat Hoa Nio Nio melotot besar, sorot mata tajam memancarkan cahaya yang menggidikkan hati dengan suara keras ia berteriak : "Apakah Cia Ceng Gak yang wariskan ilmu pedang tersebut kepadamu?"?" "Boleh dibilang begitu," kata Pek In Hoei, sambil ayunkan pedang mestinya, "sucouku adalah seorang jago pedang yang tiada taranya di kolong langit, sedang aku hanya berhasil mempelajari sepersatu atau seperdua kepandaiannya belaka, kalau kau tahu bahwa dirimu bukan tandinganku lebih baik mulai sekarang juga bergelinding pergi dari sini, mengingat usiamu yang telah lanjut dan sebentar lagi bakal masuk liang kubur, mungkin aku bisa mengampuni selembar jiwa tuamu itu..." "Omong kosong!" bentak Soat Hoa Nio Nio dengan penuh kegusaran, "setan cilik, usiamu belum gede tapi kau berani benar tidak pandang sebelah mata pun terhadap umat Bu lim yang ada di kolong langit, selama hidup belum pernah aku si nenek tua menjumpai manusia yang jumawa dan takabur macam dirimu itu.
Mari...! mari...! mari...
ini hari aku ingin lihat seberapa banyak kepandaian yang berhasil ditinggalkan Cia Ceng Gak di kolong langit, sehingga anak murid partai Thiam cong-nya begitu sombong dan tak tahu diri..." Sambil memutar toya besinya di tengah udara, ia membentak lagi dengan sura berat : "Hati-hatilah kau si bangsat cilik, kemplangan toya yang kulancarkan ini kemungkinan besar akan mencabut selembar jiwa anjingmu..." Weeeesss...! Diiringi desiran angin tajam toya baja yang amat berat di tangan Soat Hoa Nio Nio itu laksana seekor ular yang lincah menggeletar ke udara dan langsung diayun ke atas tubuh Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei.
Dengan sikap yang tenang pemuda she Pek itu tetap berdiri kaku di tempat semula, perlahan-lahan pedang mestika penghancur sang surya-nya diulurkan ke depan, lalu disilangkan di depan dada, tubuh bagian atasnya agak membongkok ke muka sementara pedangnya membabat lurus ke depan, bentaknya keras-keras : "Kau benar-benar seorang manusia yang tak tahu diri..." Berhubung Soat Hoa Nio Nio selalu mendesak lawannya untuk turun tangan, lama kelamaan napsu membunuh dalam hati Pek In Hoei berkobar juga, serangan yang dilancarkan walaupun kelihatan sederhana dan biasa sekali namun di balik kesederhanaannya itu terkandunglah perubahan yang luar biasa, di tengah keringanan terdapat kemukjizatan...
Soat Hoa Nio Nio adalah seorang jago kawakan yang mengerti akan kelihayan dari gerakan pedang yang dilancarkan lawannya, ia segera menyadari bahwa jago muda dari partai Thiam cong ini benar-benar memiliki ilmu silat yang dapat diandalkan keampuhannya.
Sebagai seorang jago yang ahli pla di dla kepandaian silat, begitu menyaksikan keadaan tidak menguntungkan, ia segera tarik kembali serangannya sambil loncat mundur ke belakang, toyanya diputar dan menyodok ke depan dengan suatu gerakan yang manis langsung menyodok jalan darah Mie-bun-hiat di tubuh lawan.
Tiba-tiba Pek In Hoei membentak keras : "Enyah kau si nenek sialan..." Menggunakan kesempatan sangat baik yang cuma terdapat dalam beberapa detik saja itu, tubuhnya loncat maju ke depan menggunakan peluang tatkala pihak lawan menyodokkan toya besinya ke atas jalan darah Mie-bun-hiat sendiri, tubuhnya menerjang maju ke depan sedang pedangnya laksana kilat membabat ke arah bawah.
"Aduuh...!" tampak bayangan pedang berkilauan memenuhi seluruh udara, tiba-tiba Soat Hoa Nio Nio berseru tertahan dan loncat mundur ke belakang, toya baja dalam genggamannya terpapas kutung jadi dua bagian dan rontok ke atas tanah.
"Aaah... jurus Kiam Kie-koan jit hawa pedang menyelimuti sang surya!" serunya dengan suara gemetar.
"Tidak salah, dan kau berhasil loloskan diri dari ancaman bahaya maut ini, berarti pula bahwa kau bukanlah seorang manusia yang sederhana..." ujar Pek In Hoei dengan suara dingin.
Air muka Soat Hoa Nio Nio berubah jadi pucat pias bagikan mayat, dengan wajah menunjukkan rasa terkejut bercampur ketakutan ia berdiri menjublek di tempat semula, lama sekali ia tak mengucapkan sepatah kata pun juga kecuali memandang wajah Pek In Hoei tanpa berkedip.
"Ibu angkat!" jerit Cui Kiam Beng tiba-tiba sambil maju beberapa langkah ke depan, suaranya kedengaran gemetar keras, "rambutmu..." Beberapa untai rambut yang putih beruban melayang jatuh dari atas batok kepala Soat Hoa Nio Nio, dengan penuh ketakutan ia berteriak keras, tangannya segera meraba ke atas batok kepal sendiri, ia merasa kepalanya gundul dan licin seakan-akan sudah tak ada rambutnya lagi, rasa kejut dan ngeri yang bukan alang kepalang ini kontan membuat air muka nenek tua itu berubah hebat, ia sambar beberapa untai rambutnya yang rontok itu dan mendongak tertawa keras dengan wajah menyeringai seram teriaknya : "Pek In Hoei, suatu saat aku si nenek tua pasti akan membinasakan dirimu!" Rasa gusar dan mendongkol yang berkecamuk dalam dadanya saat ini benar-benar sukar dilukiskan dengan kata-kata, dengan pandangan penuh kebencian ia melotot sekejap ke arah Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei, kemudian ia putar badan dan lari menuju keluar...
Menunggu bayangan punggung dari nenek tua itu sudah lenyap dari pandangan Kongsun Kie baru tarik napas panjang-panjang ujarnya : "Pek sauhiap, silahkan masuk! Poocu kami pasti akan memberi keterangan mengenai peristiwa yang tidak menyenangkan hati itu..." "Oooh...
kejadian itu sih belum merupakan hal yang tidak menyenangkan, mari kita masuk ke dalam!" sahut Pek In Hoei hambar.
Setelah menembusi serambi yang amat panjang, sampailah mereka di dalam sebuah ruangan yang sangat besar, tetapi ruangan itu kosong melompong tak nampak sesosok bayangan manusia pun, Kongsun Kie segera menepuk tangannya satu kali sambil berseru : "Hidangkan air teh..." Dua orang bocah lelaki baju hijau yang berusia antara dua tiga belas tahunan munculkan diri sambil membawa nampan berisi cawan air teh, setelah meletakkan cawan itu di hadapan masing-masing orang mereka segera mengundurkan diri kembali dari ruangan itu.
Perlahan-lahan Lu Kiat menyapu sekejap sekeliling ruangan itu, ia lihat ruangan tadi diatur sangat rajin dan rapi sekali, kecuali satu stel meja kursi terbuat dari kayu merah pada dinding sekeliling tempat itu penuh bergantungan lukisan-lukisan serta coretan syair orang kenamaan, alisnya segera berkerut serunya : "Kenapa poocu kalian belum nampak juga munculkan diri..." Kongsun Kie segera tertawa paksa, sahutnya : "Poocu kami sejenak lagi pasti akan munculkan diri, harap kalian suka menanti sejenak lagi..." Dalam pada Cui Tiap Tiap dengan sorot mata penuh perhatian dan rasa kuatir melirik sekejap ke arah Lu Kiat, lalu berpesan : "Lu heng, harap kau jangan bertengkar dengan ayahku, di adalah seorang yang baik hati..." "Aku mengerti akan kesulitan hatimu," sahut Lu Kiat sambil geleng kepalanya, "tetapi keadaan ini terpaksa harus dilakukan..." Sementara pembicaraan masih berlangsung tiba-tiba dari luar pintu berkumandang datang suara teguran berat : "Poocu tiba..." Seorang kakek tua berwajah bentuk kuda dengan alis yang panjang, mata yang jeli serta jenggot hitam terurai sepanjang dada perlahan-lahan munculkan diri dari balik pintu.
Kongsun Kie buru-buru bangkit berdiri dan menyongsong kedatangan majikannya.
"Poocu!" ia berseru, "Jago Pedang Berdarah Dingin serta Lu Kiat sudah menanti agak lama..." "Hmm aku sudah tahu," sahut pemilik benteng Kiam poo sambil mengangguk, "Kiam Beng! Tiap Tiap! Kalian boleh segera undurkan diri dari sini." "Ayah! Ananda tak mau keluar dari sini," teriak Cui Kiam Beng dengan hati gelisah, "aku ingin lihat dengan cara bagaimana ayah hendak menjatuhkan hukuman terhadap manusia jumawa ini.
Ayah! Ananda ingin menyaksikan sendiri kematian menjemput kehidupannya, aku hendak membacok sendiri bajingan itu dengan golok!" "Omong kosong!" bentak pemilik Benteng Kiam-poo dengan sura keras, "tahukah tempat ini adalah tempat apa" Siapa suruh kau usil mulut dan banyak bicara?"" Walaupun Cui Kiam Beng serta Cui Tiap Tiap tidak ingin tinggalkan tempat itu dalam keadaan demikian tetapi sorot mata ayahnya yang mengandung hawa kegusaran serta sikapnya yang dingin kaku bagaikan es memaksa mereka berdua terpaksa harus tinggalkan tempat itu.
Demikianlah, dengan mulut membungkam terpaksa kakak beradik itu mengundurkan diri dari ruangan.
Sepeninggalnya ke-dua orang muda mudi itu, pemilik Benteng Kiam-poo alihkan sorot matanya melirik sekejap ke arah Pek In Hoei serta Lu Kiat, lalu berkata : "Ada urusan apa kalian berdua datang berkunjung ke Benteng Kiam-poo kami ini..." "Sudah lama aku dengar tentang kemisteriusan Benteng Kiam-poo di kolong langit, di samping itu kami pun dengar ilmu pedang dari Benteng Kiam-poo merupakan nomor satu di kolong langit, karena itu ketika secara kebetulan kami lewati daerah sekitar sini, sekalian kami berdua datang berkunjung kemari, sahut Lu Kiat dengan suara dingin.
"Hmmm...! Aku rasa persoalannya tidak akan segampang serta sesederhana ini!" "Apa maksudmu mengucapkan kata-kata tersebut?" seru Lu Kiat dengan gelisah.
Dengan pandangan dingin pemilik Benteng Kiam-poo melirik sekejap ke arah Pek In Hoei lalu menjawab : "Menurut hasil penyelidikan dari Benteng Kiam-poo kami, dapat diketahui bahwa Jago Pedang Berdarah Dingin Pek sau-hiap adalah putra tunggal Pek Tiang Hong dari partai Thiam cong, kedatangannya ke dalam Benteng Kiam-poo kali ini adalah...
hmmm... hmmmm..." Pek In Hoei tertawa dingin.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... apakah kalian takut ada orang sengaja datang kemari untuk menghancurkan Benteng Kiam-poo ini?" ejeknya.
Pemilik Benteng Kiam-poo mendengus dingin.
"Hmmm! Buat benteng kami gampang untuk dikunjungi sukar untuk dilalui, bila kalian tidak ingin keluar dari benteng ini lagi maka tidak seorang manusia pun yang akan menghalangi gerak gerik kalian berdua, tetapi seandainya ingin keluar dari benteng ini secara diam-diam, maka...
itu seperti mencari kematian buat diri sendiri..." "Hmmm! Dengan andalkan kekuatan apa benteng kalian ajukan peraturan semacam itu?" jengek Pek In Hoei dengan pandangan menghina.
Pemilik Benteng Kiam-poo pun tak mau mengalah, dia berseru pula : "Kenapa kau berkunjung ke Benteng Kiam-poo?" Bukankah ingin mencari ibumu?" Hmm...
hmmm... Pek In Hoei! Asal usulmu sudah berhasil kuketahui dengan amat jelas, selama berada di dalam Benteng Kiam- poo, kau Jago Pedang Berdarah Dingin tak akan mampu menunjukkan keganasanmu lagi..." Terkesiap hati Pek In Hoei mendengar ucapan itu, tanpa sadar ia berseru lantang : "Apakah ibuku benar berada di dalam Benteng Kiam- poo?"" Pemilik Benteng Kiam-poo mendengus dingin.
"Hmmm! Dia bukan ibu kandungmu!" serunya.
Baik Pek In Hoei mau pun Lu Kiat sama-sama tercengang setelah mendengar perkataan itu, mereka tidak menyangka kalau pemilik Benteng Kiam-poo adalah seorang manusia yang lihay, sehingga rahasia asal usul diri Pek In Hoei pun berhasil diselidiki hingga begitu jelas.
Jago Pedang Berdarah Dingin merasa hatinya amat sakit seperti diiris-iris dengan pisau belati, bentaknya dengan suara gemetar : "Siapa yang bilang begitu?" Kau jangan ngaco belo tak karuan...hati-hati dengan mulut usilmu itu!" Pemilik Benteng Kiam-poo tertawa dingin.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... mungkin hati kecilmu memahami akan persoalan itu dan aku rasa pun- poocu tiada maksud untuk membohongi dirimu atau mungkin kau merasa heran dan tidak habis mengerti, kenapa aku bisa mengetahui persoalan ini sedemikian jelasnya..." Ia berhenti sebentar, kemudian sambil tertawa seram lanjutnya : "Ibumu telah menceritakan seluruh kejadian yang sebenarnya kepadaku..." "Apa?"" jerit Pek In Hoei semakin gelisah, "ibuku telah memberitahukan rahasia ini kepadamu..." Dengan hati bingung bercampur gelisah serunya kembali : "Sekarang ibuku berada di mana?" Harap ia suka munculkan diri untuk bertemu dengan diriku..." "Huuuuh...! Kau anggap persoalan ini bisa kupenuhi dengan begitu gampang...?"" ejek pemilik Benteng Kiam-poo sambil tertawa dingin, "Pek In Hoei, janganlah kau anggap persoalan ini bisa diselesaikan dengan begitu mudah dan sederhananya.
Hmmm... hmmm..." Ia tertawa seram berulang kali, napsu membunuh menyelimuti seluruh wajahnya, dengan pandangan seram ditatapnya sekejap wajah Jago Pedang Berdarah Dingin.
Senyuman yang amat sinis tersungging di ujung bibirnya, sorot mata yang tajam bagaikan pisau serta perubahan wajah yang sinis menyeramkan mendatangkan pandangan yang jelek terhadap dirinya, membuat siapa pun yang bertemu dengan dirinya segera mempunyai perasaan bahwa pemilik Benteng Kiam-poo bukanlah manusia baik-baik...
Dengan pandangan penuh kegusaran Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei meloto ke arah kakek tua itu, ia berharap agar pemilik dari Benteng Kiam- poo ini suka menyebutkan tempat tinggal dari ibunya, tetapi kemudian ia merasa kecewa dan sedih, sebab sikap pemilik Benteng Kiam-poo yang dingin menunjukkan bahwa ia telah menampik permintaannya, untuk sesaat jago muda yang tersohor namanya di kolong langit ini merasa tak tahu apa yang mesti dilakukan...
"Poocu!" ujarnya kemudian dengan sorot mata berkilat, "Mengapa kau tidak memperkenankan aku untuk berjumpa dengan ibuku..." Pemilik Benteng Kiam-poo mengerutkan dahinya, dalam hati ia merasa pedih tetapi perasaan tersebut tak mau diutarakan keluar, cuma sambil tertawa paksa katanya dengan suara dingin : "Kau tak dapat berjumpa dengan dirinya, inilah perintahku! Tetapi aku dapat memberitahukan kepadamu bahwa sekarang ia berada dalam keadaan baik-baik, bila kau berjumpa dengan dirinya maka perbuatanmu itu hanya akan mengganggu ketenteraman hatinya belaka, dan mungkin kau akan menghancurkan hidupnya atau bahkan menghancurkan dirimu sendiri..." "Bukankah kau takut aku mencari dirimu untuk membalas dendam?"" ejek Jago Pedang Berdarah Dingin sambil tertawa sinis.
Raut wajah pemilik Benteng Kiam-poo bergetar keras menahan rasa siksaan batin yang amt hebat, keteguhan hati serta sikapjumawa yang diperlihatkan pemuda itu membuat dia merasa sukar untuk mempertahankan diri, terutama sekali desakan Pek In Hoei yang kian lama kian menggencet posisinya ini membuat dia merasa hampir saja tak dapat bernapas membuat napsu membunuhnya timbul kembali...
karena itu air mukanya perlahan-lahan berubah...
berubah jadi amat mengerikan.
Ia angkat kepala dan tertawa seram, serunya : "Selama aku masih berada di dalam Benteng Kiam- poo apa yang perlu kutakuti" Kau anggap aku takut menghadapi dirimu yang datang untuk menuntut balas" Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... Pek In Hoei, mungkin kau belum pernah menyaksikan kekuatan dari Benteng Kiam-poo kami maka kau tak tahu sampai di manakah kelihayan dari benteng kami, kalau tidak tak nanti kau akan mengucapkan kata- kata yang bernada kekanak-kanakan serta menggelikan hati itu..." "Hmm! Poocu, apakah kau sedang memuji-muji kekuatanmu sendiri"..." ejek Lu Kiat sambil mendengus.
Pemilik Benteng Kiam-poo angkat kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... memuji kekuatan sendiri sih tidak perlu, sejak pertama kali aku berkelana dalam dunia persilatan hingga detik ini belum pernah kusanjung atau puji kekuatanku sendiri, sebab semakin besar kupuji kekuatan sendiri berarti kemungkinanku untuk menderita kekalahan semakin besar.
Hey orang muda! Bila kau ingin membuktikan bahwa apa yang kuucapkan tidak bohong, maka silahkan lihat sendiri kekuatan dari benteng kami...
mungkin setelah membuktikannya sendiri maka kau akan menilai lain kekuatan yang sesungguhnya dari benteng kami ini..." Ia tepuk tangannya keras-keras, lalu berkata kembali : "Cukup berbicara tentang bangunan loteng ini pun sudah merupakan tempat yang paling berbahaya di kolong langit, asal aku bertepuk tangan maka anak muridku yang berada di tempat luaran akan menggerakkan alat rahasia yang ada di sini dan seketika akan mengurung orang yang ada di dalam ruangan ini hingga mati semua." Baru saja kata-katanya selesai diucapkan, mendadak dari dinding empat penjuru berkumandang suara getaran mesin yang amat nyaring disusul suara gemuruh yang memekakkan telinga, empat dinding di sekeliling tempat itu secara tiba-tiba lenyap dari pandangan disusul dari dinding tebal yang kemudian munculkan diri dengan cepat bermunculan pisau-pisau belati yang sangat tajam, pisau itu bukan saja tajam luar biasa bahkan memancarkan cahaya yang menggidikan hati.
Yang lebih aneh lagi, ketika dinding-dinding raksasa di sekeliling ruangan itu bergerak maju ke depan, ternyata tak nampak sedikit ruang kosong pun yang tersisa, semua orang yang berada dalam ruangan itu tergencet sama sekali di tengah ruangan.
Lu Kiat yang menyaksikan kejadian itu jadi bergidik hatinya, ia segera berseru : "Poocu benar-benar merupakan seorang jago sakti yang tiada tandingannya di kolong langit, tak kusangka kau mampu mendirikan alat jebakan yang begini lihaynya di tempat ini, cukup meninjau dari ruang berpisau ini kami yakin bahwa dengan kekuatan yang kami miliki masih belum mampu untuk mengatasinya..." Poocu dari Benteng Kiam-poo segera angkat kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... dinding raksasa berpisau tajam ini merupakan salah satu bangunan luar biasa hasil karya dari seorang tokoh sakti yang sekarang bermukim dalam benteng kami, orang ini pandai sekali di dalam hal ilmu bangunan serta ilmu jebakan, sebagian besar alat jebakan yang terdapat di dalam benteng ini kebanyakan adalah hasil karyanya." Diam-diam Lu Kiat merasa terperanjat, pelbagai ingatan berkelebat di dalam benaknya, ia ada maksud menyelidiki sampai di manakah kekuatan yang sebetulnya dari Benteng Kiam-poo, maka sambil sengaja tertawa katanya : "Hmm...
memang suatu hasil karya yang sangat lihay...
Poocu! Dalam ruang tamu pun kau pasangi alat rahasia yang demikian lihaynya, aku rasa tentu ada suatu nama tertentu yang kau berikan untuk ruangan ini bukan..." Poocu dari Benteng Kiam-poo tertawa seram.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... tentu saja ada namanya, pada saat hari peresmian tempat ini aku telah menyaksikan kelihayan serta kesempurnaan dari ruangan ini, maka segera kusebut tempat ini sebagai 'Sip-bin May Hu' atau jebakan di sepuluh penjuru..." "Bagus...
suatu sebutan yang tepat sekali," puji Lu Kiat sambil bertepuk tangan, "ruang raksasa ini setelah diperlengkapi oleh dinding baja berpisau tajam memang merupakan suatu tempat yang kokoh sekali, siapa pun sulit untuk lolos dari tempat ini...
ehm suatu tempat yang bagus dengan sebutan yang tepat pula..." Air muka poocu dari Benteng Kiam-poo ini berubah jadi dingin menyeramkan, dengan suara seram terusnya : "Kelihayan dari ruangan ini tidak terletak pada bagian itu saja, pada saat ke-empat buah dinding tersebut merapat satu sama lainnya, asal alat rahasia digerakkan maka ke-empat buah dinding ini akan saling bertumbuk satu sama lainnya, karena itu bukan saja orang yang terkurung dalam ruangan ini tak mungkin berhasil untuk meloloskan diri bahkan mereka pun kemungkinan besar akan mati secara mengerikan dengan tubuh ditembusi berpuluh-puluh bilah pisau tajam..." Baik Lu Kiat mau pun Pek In Hoei sama-sama terkejut dibuatnya setelah mendengar perkataan itu, jantung mereka berdebar keras dan perasaan hatinya tercekat, ketika sorot mata mereka dialihkan ke sekeliling tempat itu maka tampaklah dinding berpisau itu masih bergerak maju dengan lambatnya membuat ruangan di tengah kalangan kian lama kian bertambah sempit, untung poocu dari Benteng Kiam- poo hadir pula di tempat itu sehingga pada waktu itu mereka tak usah kuatir jiwanya terancam.
Pek In Hoei mencibirkan bibirnya dan berkata : "Dengan susah payah poocu menyediakan alat jebakan selihay ini, apakah tujuanmu adalah khusus hendak digunakan untuk menghadapi kami berdua..." "Hmm! Itu sih tidak," sahut poocu dari Benteng Kiam- poo sambil mendengus dingin, "orang yang sebenarnya kuincar adalah ayahmu, sayang seribu kali sayang ia tak berani datang menjumpai diriku di tempat ini, membuat alat jebakan yang kurencanakan serta kubangun selama banyak tahun ini sama sekali tak ada kesempatan untuk dipergunakan..." Ucapan yang diutarakan dengan nada sedih dan seolah-olah ia sedang menyesali kegagalan dari rencananya itu lain artinya dalam pendengaran Jago Pedang Berdarah Dingin, dadanya bagai terhantam oleh sebuah martil yang amat berat, ia berseru tertahan dan berdiri termangu-mangu untuk beberapa saat lamanya.
Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hmm...! Jadi kau hendak menggunakan alat rahasia ini untuk menghadapi ayahku," serunya sambil mendengus gusar.
"Ada apa?" ejek Kiam-poo poocu sambil tertawa dingin, "Apakah kau tidak tahu bahwa antara aku dengan ayahmu telah terikat dengan sakit hati sedalam lautan." Ketika menyaksikan dinding berpisau tajam itu bergerak maju ke depan, baru ia kirim dua pukulan yang berbeda ke arah samping kiri dan kanan, pukulan itu menggunakan peraturan yang tertentu serta enteng berat yang berbeda satu sama lainnya.
Blaaam...! Alat rahasia itu segera berhenti bekerja, dan empat dinding berpisau itu segera mundur kembali ke arah sudut ruangan, keadaan ruangan tengah itu pulih kembali seperti sedia kala dan lukisan-lukisan orang kenamaan pun bermunculan kembali dalam pandangan.
Pek In Hoei tertawa dingin, ujarnya : "Ayahku toh sudah mati.
Bagi orang yang telah meninggal maka berarti semua persoalan telah selesai baik itu dendam atau pun permusuhan seharusnya sudah dapat dianggap selesai sampai di sini saja, kenapa kau masih begitu mendendam dan benci kepadanya" Sebenarnya karena apa kau bersikap begitu?" Poocu dari Benteng Kiam-poo tertawa seram, napsu membunuh yang sangat mengerikan terlintas di atas wajah yang licik, dengan termangu-mangu ia menatap wajah Jago Pedang Berdarah Dingin beberapa saat lamanya, kemudian berkata : "Urusan tak akan kuselesaikan dengan begitu gampang, waktu itu ia telah mencelakai aku sehingga hampir saja aku tak mempunyai keberanian untuk melanjutkan hidupku di kolong langit, penderitaan serta siksaan batin yang kualami pada waktu itu tak akan bisa ditahan oleh setiap insan manusia di kolong langit...
oleh sebab itu sekali pun dia sudah mati tetapi rasa benciku terhadap dirinya masih belum lenyap, selama aku masih hidup di kolong langit, setiap hari aku akan menyumpahi dirinya, agar sukmanya yang sudah gentayangan itu selamanya tak akan mendapat ketenangan." "Hey, rupanya kau sudah edan?" bentak Pek In Hoei dengan air muka berubah hebat.
"Aku sama sekali tidak edan! jawab poocu dari Benteng Kiam-poo dengan suara dingin, "Pek In Hoei, tahukah kau betapa jahat dan kejinya bapakmu itu" Karena perbuatannya hampir saja hidupku hancur berantakan tak karuan, karena dia maka aku telah..." "Tutup mulut!" bentak Pek In Hoei dengan suara nyaring, "Aku tidak memperkenankan kau mengolok- olok ayahku." "Kau anggap ayahmu jantan" Ayahmu seorang yang luar biasa" Huuh...
tak usahlah mengharapkan yang muluk-muluk," seru poocu dari Benteng Kiam-poo dengan suara sinis, "Pek Tiang Hong adalah seorang lelaki mandul...
bahkan mungkin dia menderita sakit impoten...
manusia impoten mana bisa mengadakan senggama" Dan mana dia mampu untuk melahirkan dirimu?" Pek In Hoei merasa hatinya sangat perih, rasa sedih yang sukar dilukiskan dengan kata-kata muncul dalam benaknya, sorot mata yang tajam bagaikan kilat memancarkan napsu membunuh yang amat tebal, dengan nada berat tapi penuh bertenaga ia berkata : "Sekali pun aku bukan dilahirkan karena bibitnya, sekali pun dia bukan ayah kandungku, tetapi ia telah merawat serta mendidik diriku hingga dewasa, bagaimana pun juga ia tetap merupakan ayahku, kalau kau berani pandang hina pula diriku...
Poocu, aku harap bicaralah yang agak hati-hati, jangan sampai ada telapak melayang di atas pipi." "Hmm...
terhadap kalian ayah dan anak aku tiada perkataan menarik lain yang bisa diutarakan, selama hidupnya Pek Tiang Hong sudah terlalu banyak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan diriku, aku bersikap demikian terhadap dirinya boleh dibilang merupakan suatu sikap yang bijaksana." "Hmmm...
" Pek In Hoei mendengus dingin, "untuk sementara waktu lebih baik kita jangan membicarakan dulu persoalan mengenai dendam atau budi antara ayahku dengan dirimu, aku ingin bertanya...
kau sebagai seorang pemimpin suatu benteng yang terhormat kenapa menculik ibuku dan kemudian mengurungnya di tempat ini?" Sepasang mata dari pemilik Benteng Kiam-poo berubah jadi merah darah, napsu membunuh dan ras benci bercampur aduk jadi satu, dengan penuh kebencian ia bertepuk tangan satu kali, lalu serunya dengan suara menyeramkan : "Pek Tiang Hong terlalu keji, ia sudah mencelakai hidupku dengan cara yang paling mengerikan agar pembalasan dendam yang kulancarkan bisa mengenai jitu dalam lubuk hatinya, terpaksa aku harus menculik lebih dahulu istrinya kemudian menunggu ia datang untuk masuk perangkap, sayang umurnya terlalu pendek dan nasibnya terlalu jelek, sebelum ia sempat kemari jiwanya sudah keburu melayang lebih dahulu." "Kau anggap dengan kedudukanmu sebagai seorang pemilik benteng maka kau pasti mampu membinasakan ayahku?" "Hmmm! Itulah satu-satunya persoalan yang kuyakini dengan sepenuh hati, bukankah barusan kau telah menyaksikan sendiri semua peralatan gy kuatur dalam benteng ini" Cukup dengan alat jebakan 'Sip- bin-may-hu' ini aku rasa Pek Tiang Hong sudah kehabisan akal untuk menghadapinya."
JAGO Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei mendengus : "Huuh...! Sekali pun alat jebakan atau ngo-heng suatu alat jebakan yang luar biasa dan memiliki perubahan yang amat banyak, namun tidak lebih kesemuanya itu adalah benda mati, benda semacam itu tak mungkin bisa menangkan perubahan akal manusia, lagi pula di tengah kesempurnaan pasti terdapat pula keteledoran, apakah kau berani jamin bahwa persiapanmu itu pasti tiada keteledoran?"?" Pemilik Benteng Kiam-poo berdiri tertegun, ia tak menyangka kalau Jago Pedang Berdarah Dingin dengan usianya yang masih muda, ternyata memiliki pengetahuan yang sangat luas dan jauh melebihi pandangan orang lain, hatinya tercekat dan tanpa sadar muncullah suatu perasaan takut serta bergidik dalam hati kecilnya, ia merasa seolah-olah segala tindakan serta perbuatannya cukup untuk melenyapkan rencana yang telah disusun secara matang itu, maka dalam hati kecilnya segera timbul keragu-raguan, ia curiga dan merasa goyah pendiriannya...
mungkinkah alat rahasia yang dimilikinya itu mampu untuk membelenggu musuh- musuhnya.
"Hey Orang muda!" ujar kemudian sambil tertawa seram, "perkataanmu memang tepat sekali, aku tidak membantah bahwa pendapat yang kau miliki jauh lebih hebat dan lebih sempurna daripada pendapat kebanyakan orang, tetapi sejak aku mendirikan benteng ini hingga sekarang belum pernah terjadi peristiwa semacam ini...
aku berharap kau bisa menumbangkan sejarah baru, agar aku kehilangan kepercayaanku terhadap segala macam permainan ini hingga timbul ide lain untuk menyusun rencana baru...
tetapi kau harus tahu anak muda, pekerjaan itu bukanlah suatu pekerjaan yang terlalu gampang, aku percaya kau masih belum memiliki kemampuan untuk berbuat demikian..." "Lihat saja nanti bagaimana akhirnya," sahut Pek In Hoei dengan nada congkak, "siapa yang akhirnya berhasil menangkan pertarungan ini nanti toh akan ketahuan, waktu itu kau baru akan tahu bahwa jago lihay yang lebih lihay daripada dirimu masih banyak sekali dalam dunia persilatan..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... sungguh menarik, sungguh menarik..." seru pemilik Benteng Kiam-poo sambil tertawa terbahak-bahak, "Aku akan menantikan dirimu semoga tindak tandukmu jauh lebih keras dan tajam daripada selembar mulutmu itu, jangan sampai apa yang kau ucapkan hanya kentut busuk yang berhembus lewat, cuma baunya saja yang menusuk hidung namun sama sekali tak ada wujudnya...
bila sampai demikian keadaannya bukankah keadaan jadi mengenaskan sekali.
Pek In Hoei sama sekali tidak ambil peduli terhadap ucapan sang pemilik Benteng Kiam-poo yang sama sekali tidak pandang sebelah mata pun terhadap orang lain ini, ketika dilihatnya jago lihay yang liciknya melebihi rase tua ini menyindir dirinya terus menerus, wajahnya seketika berubah jadi dingin menyeramkan, sambil tertawa dingin serunya : "Huuuuh...! Keadaaanmu itu persis bagaikan orang buta meraba tulang...
dan rabaanmu tepat sekali.
Toa poocu! Kecuali segala permainan tetek bengek yang sudah bau basi ini apakah kau masih mempunyai permainan lain yang jauh lebih segar?"" Kalau ada tak ada halangannya bila kau perlihatkan semua sehingga kami dapat membuka sepasang mata kami yang buta..." "Hmmm! Apa yang kau ributkan?"" Sekarang kau sedang berada dalam perjalanan menuju ke alam baka, kau akan merasakan kesemuanya itu satu persatu...
pokoknya kau tak usah kuatir, aku tak akan membiarkan dirimu melakukan perjalanan yang sia- sia...
aku tak akan membiarkan kau merasa kecewa karena belum sempat menyaksikan raut wajah Benteng Kiam-poo yang serba rahasia dan penuh diliputi kemisteriusan ini..." Pada saat itulah Lu Kiat maju satu langkah ke depan ujarnya : "Poocu, apakah tujuan dari kedatangan kami aku rasa kau pasti sudah tahu, saudaraku dengan susah payah melakukan perjalanan sejauh beribu ribu li untuk datang kemari, maksud serta harapannya bukan lain adalah untuk berjumpa dengan ibunya, aku ras sebagai seorang putra sudah sewajarnya kalau ia menyayangi ibu kandungnya sendiri...
aku rasa poocu pasti tak akan menyia-nyiakan perjalanannya yang jauh dan susah payah itu bukan?" Asal saudaraku ini dapat berjumpa muka dengan ibunya, maka kendati kau akan menyelesaikan pertikaian di antara kami dengan cara apa pun jua pasti akan kami iringi..." "Hmm...! Sayang seribu kali sayang aku tidak mempunyai hati begitu welas asih seperti hati sang Budha!" "Kenapa?" tanya Lu Kiat dengan hati mendongkol.
"Bagaimana pun juga kau toh tidak sepantasnya kalau sama sekali tidak memberi muka kepada kami." Hingga detik itu Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tak berani banyak berkutik, bukan lain karena disebabkan ia belum sempat bertemu muka dengan ibunya ia tak ingin bentrok lebih dulu dengan orang- orang dari Benteng Kiam-poo karena ia memahami benar-benar situasi yang terbentang di hadapannya, asal ia tak sanggup mempertahankan diri maka sepanjang masa ia akan kehilangan kesempatan untuk berjumpa dengan ibunya, selama hidup dalam benaknya tak akan terlintas bayangan wajah dari ibunya lagi.
Setelah pemilik dari Benteng Kiam-poo mengusik serta menyindir dirinya terus menerus perasaan pemuda itu bagaikan kayu kering yang terjilat oleh kobaran api, ia tak sanggup menguasai napsu membunuh yang berkobar dalam dadanya, senyuman yang menggidikan hati mulai tersungging di ujung bibirnya.
"Kau hendak paksa aku untuk turun tangan?" bentaknya dengan penuh kegusaran.
Pemilik Benteng Kiam-poo agak tertegun, rupanya ia dibikin tercengang oleh sikap Pek In Hoei yang mengerikan itu, sejak ia jadi pemilik benteng seingatnya belum pernah ada orang yang berani menantangnya untuk berduel, tetapi sikap jumawa yang diperlihatkan lawannya membuat ia tak sanggup mempertahankan diri lagi.
***** Bagian 36 'HUUUH! Kau anggap dengan kedudukanmu itu sudah pantas untuk bertempur melawan diriku?" teriak pemilik Benteng Kiam-poo dengan penuh kegusaran, "Pek In Hoei pentang matamu lebar-lebar dan periksa dulu sekarang kau berada di mana" Pantaskah kau unjukkan sikap kejumawaanmu di tempat seperti ini" Hmm dengan kepandaian silat yang kau miliki itu, untuk menghadapi budak-budakku kelas tiga masih belum mampu, aku harap kau jangan memaksa diriku untuk membunuh kau terlebih dahulu." Ia berhenti sebentar kemudian dengan suara dingin ujarnya kembali : "Apakah kedudukan ibumu di dalam benteng ini pun belum sempat kau ketahui dengan jelas, kau sudah begitu berani bersikap kurang ajar dan tak tahu sopan kepada diriku, hal ini menunjukkan bahwa kau sebetulnya sama sekali tak pandang sebelah mata pun terhadap ibumu." "Kedudukan ibuku?" seru Pek In Hoei dengan wajah tertegun.
"Ehmm... selama beberapa tahun terakhir kau dapat mempertahankan hidup boleh dibilang kesemuanya itu adalah berkat jasa-jasa dari ibumu, andaikata kau tidak memandang di atas wajahnya, hmmm aku yakin sedari dulu kau sudah menggeletak mati jadi mayat." Makin mendengar perkataan lawannya Pek In Hoei merasa semakin kebingungan, ia hampir saja tak mampu mengartikan kata-kata yang diucapkan oleh pemilik Benteng Kiam-poo ini, tetapi secara lapat-lapat ia berhasil memahami satu persoalan yakni pernah ada orang yang hendak membinasakan dirinya tetapi ibu kandungnya keburu mendapat kabar berita ini terlebih dulu sehingga ia mohon bantuan orang lain untuk mencegah pembunuhan itu tidak sampai terjadi.
"Aku... aku tidak memahami apa yang sedang kau maksudkan," serunya dengan suara gemetar.
"Hmmm! Tentu saja kau tak akan mengerti," sahut pemilik Benteng Kiam-poo dengan suara dingin, "dengarkan dulu perkataanku hingga selesai maka segera akan kau pahami maksud yang sebenarnya, Pek In Hoei! Kau cuma tahu bahwa kau ingin bertemu dengan ibumu, tahukah kau bahwa dia tidak menginginkan perjumpaan ini?" "Pertemuan antara ibu dan anak sudah sewajarnya terjadi, aku percaya di kolong langit tak ada seorang ibu yang tak menyayangi putranya sendiri," bentak Pek In Hoei dengan suara keras, "tentu saja kecuali kalau dia bukan seorang perempuan dan ia ia sudah kehilangan cinta kasihnya sebagai seorang ibu." "Ucapanmu tepat sekali, ibumu adalah termasuk perempuan semacam itu," kata pemilik Benteng Kiam- poo sambil tertawa seram.
Tergetar keras hati Pek In Hoei setelah mendengar ucapan itu, suatu perasaan sakit hati dan siksaan batin yang amat sangat membuat pemuda itu hampir saja muntahkan darah segar, titik air mata mengembang di ujung kelopak matanya, ia menggeleng dan berseru : "Aku tidak percaya! Aku tak akan mempercayai perkataanmu itu, kau tak usah ngaco belo." Sepasang matanya memancarkan cahaya berkilat, dengan suara keras bentaknya : "Kau mengurung ibuku di mana?" Sikap pemilik Benteng Kiam-poo aneh sekali, seakan- akan ia sudah tak kenal apa artinya peri kemanusiaan lagi, Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei semakin tersiksa batinnya oleh ucapannya, ia merasa semakin bangga, senyuman yang menyeramkan dan memuakkan tersungging di bibirnya, ia mendongak dan tertawa seram.
"Kau anggap ibumu menderita siksaan batin yang hebat selama berada di dalam Benteng Kiam-poo" Terus terang kuberitahukan kepadamu, dugaanmu itu keliru besar, bukan saja ia tak kenal apa artinya kepedihan bahkan selama ini dia merasakan apa artinya kebahagiaan hidup sebagai seorang manusia di mana pun ia berada, kedatangannya selalu disambut dengan sikap hormat dan sopan, setiap orang menghormati dirinya sebagai nyonya besar." "Pek In Hoei berusaha keras menenangkan hatinya yang bergolak keras, dengan suara gemetar ujarnya : "Bila kau benar-benar melayani serta menghormati ibuku dengan cara yang baik, suatu saat aku orang she Pek pasti akan membalas budi kebaikanmu itu, tapi aku harap apa yang kau ucapkan merupakan suatu kenyataan, janganlah sengaja kau ucapkan untuk mencari muka di hadapanku, aku harap apa yang kau katakan bukanlah suatu kata-kata bohong yang sengaja kau ucapkan untuk membohongi aku." "Kau anggap aku adalah seorang manusia macam apa?" Buat apa sih aku mesti membohongi anak kecil macam kau?" Tetapi ada satu hal kau mesti ingat, ibumu berbuat demikian kesemuanya adalah atas dasar kerelaan, aku sama sekali tiada maksud untuk memaksa dirinya berbuat demikian..." "Sebenarnya kenapa dengan ibuku itu?"" tanya Pek In Hoei dengan nada tercengang.
"Ia sudah kawin lagi dengan diriku, dan sekarang jadi nyonya Benteng Kiam-poo!" jawab pemilik benteng itu dengan suara bangga.
Bagikan disambar guntur di siang hari bolong, Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei merasa telinganya berdengung keras, sekujur tubuhnya gemetar keras dan ia mulai ragu-ragu benarkah peristiwa itu merupakan suatu kenyataan?" Perasaan sakit hati membuat hawa darah yang bergolak dalam dadanya menyusup naik ke atas, tak ampun lagi ia muntah darah segar...
"Sungguhkah ucapanmu itu..." bisiknya dengan suara gemetar.
Sebelum mendapat berita mengenai ibunya ia pernah membayangkan ibunya itu sebagai seorang perempuan yang saleh dan amat mencintai dirinya, bayangannya ketika itu indah sekali...
tetapi sekarang bayangan tersebut telah hancur berantakan, semua harapannya ikut musnah bersama dengan indahnya lamunan yang pernah terwujud dalam benaknya...
Mimpi pun ia tak pernah menyangka kalau ibunya adalah seorang perempuan yang tak tahan diuji, perempuan berhati lemah yang ternyata sudah kawin lagi dengan orang lain...
kalau kawin dengan orang lain mungkin keadaan masih agak mendingan, ternyata ia sudah kawin dengan musuh besar ayahnya...
ia merasa gusar dan kecewa atas kenyataan tersebut...
diam-diam ia merasa sedih bagi kematian ayahnya...
Lu Kiat sendiri diam-diam ikut merasa pedih hatinya setelah mendengar perkataan itu, ketika menyaksikan Jago Pedang Berdarah Dingin muntah darah segar serta wajahnya menunjukkan penderitaan yang luar biasa hatinya jadi terkesiap, segera tegurnya : "Adikku, kenapa kau?"" "Aku sangat baik," jawab Pek In Hoei sambil tertawa sedih, "toako, kau tak usah bersedih hati karena aku..." "Dalam menghadapi persoalan apa pun pandanganmu harus terbuka dan memandang ke arah depan yang luas, janganlah karena satu persoalan membuat badanmu hancur berantakan..." seru Lu Kiat memperingatkan dengan hati gelisah.
"Terima kasih atas nasehatmu itu, toako.
Aku bisa merawat diriku baik-baik..." kata Pek In Hoei dengan suara penuh penderitaan.
Tetesan air mata mengembang pada kelopak matanya yang hitam dan jeli itu, kendati pun ia sudah berusaha keras untuk menahan air matanya sehingga tidak sampai menetes keluar, tetapi rasa sedih yang sukar dikendalikan itu membuat air matanya tanpa bisa dicegah lagi mengucur keluar dengan derasnya...
Menyaksikan pemuda lawannya tersiksa, pemilik Benteng Kiam-poo merasa semakin bangga, serunya : "Hey orang muda, sekarang kau tentu sudah paham bukan?"" Sorot mata berapi-api yang amat mengerikan memancar keluar dari balik mata Pek In Hoei, dengan penuh kegusaran ia membentak keras : "Enyah kau dari sini, hati-hatilah kamu...
aku akan membunuh dirimu..." "Perkataan semacam itu tidak pantas diucapkan olehmu, semestinya akulah yang berkata demikian kepadamu..." ejek pemilik Benteng Kiam-poo dengan suara yang dingin.
Pek In Hoei meraung semakin gusar.
"Kau adalah manusia yang paling kubenci selama hidupku, aku harap kau tahu diri dan segera enyah dari tempat ini, bilamana kita sampai bentrok muka maka sulit bagimu untuk lolos dari cengkeramanku..." Pemilik Benteng Kiam-poo segera angkat kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... apakah disebabkan karena ibumu kawin lagi dengan aku, maka kau hendak membinasakan diriku?"" "Sedikit pun tidak salah," jawab Pek In Hoei dengan suara ketus, "aku merasa sedih dan pedih karena dia telah memilih manusia macam kau sebagai suaminya dan aku pun merasa kecewa karena nasibnya yang begitu jelek, kau bukanlah seorang pria yang dapat bertanggung jawab...
sahabat! Kau mengawini dirinya karena bukan muncul dari hati yang tulus bukan?" Kau kawini dirinya bukan dikarenakan rasa cinta bukan..." "Kau cuma menebak benar separuhnya saja," kata pemilik Benteng Kiam-poo sambil gelengkan kepalanya berulang kali, "Aku memang benar-benar mencintai ibumu, tetapi aku jauh lebih benci kepada ayahmu, hubungan yang demikian anehnya ini mungkin bisa kau pahami, disinilah dia letaknya alasan kenapa aku harus berbuat demikian..." "Jadi kau berbuat demikian karena hendak membalas dendam terhadap ayahku...?"" seru Pek In Hoei setengah menjerit.
"Boleh dibilang begitulah..." Dengan penuh kemarahan Pek In Hoei menuding ke arah pemilik Benteng Kiam-poo, kemudian teriaknya setengah menjerit : "Sekarang aku baru tahu bahwa kau adalah manusia yang paling jahat, manusia yang berhati binatang...
aku benci kepadamu... aku dendam kepadamu dan ingin sekali membinasakan dirimu, karena kau adalah seorang manusia rendah yang tak tahu malu..." Air muka pemilik Benteng Kiam-poo berubah hebat, napsu membunuh terlintas di atas wajahnya, dengan muka menyeringai mengerikan ia berseru dingin : "Kenapa kau sampai sekarang kau belum juga turun tangan?"" Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei perlahan- lahan menggerakkan tangan kanannya meraba gagang pedang penghancur sang surya yang tersoren pada pinggangnya tetapi ia tidak langsung meloloskan senjat tersebut melainkan melotot ke arah pemilik Benteng Kiam-poo dengan pandangan penuh kegusaran, pandangan itu penuh mengandung rasa permusuhan...
sedikit pun tiada hawa persahabatan yang melintasi wajahnya...
Tetapi lama sekali kedua belah pihak tetap saling berpandangan tanpa seorang pun yang mulai melancarkan serangan, perlahan-lahan Pek In Hoei turunkan kembali telapaknya dan menghela napas sedih...
Menyaksikan tingkah laku pemuda itu, pemilik Benteng Kiam-poo jadi tertegun, segera tegurnya : "Kenapa?" Kenapa kau tidak jadi turun tangan?" Apakah kau tidak berani?"..." "Kau jangan keliru melihat orang," jawab Pek In Hoei dengan rasa penuh kebencian, "sekarang aku belum ingin membinasakan dirimu, menanti saatnya telah tiba tanpa kau suruh, aku bisa turun tangan sendiri untuk membinasakan dirimu, untuk sementara waktu aku akan biarkan kau hidup beberapa hari lagi di kolong langit." "Kenapa" Apakah kau anggap aku sedang membutuhkan belas kasihanmu?" teriak pemilik Benteng Kiam-poo dengan penuh kegusaran.
Dalam pada itu Pek In Hoei telah berusaha mengendalikan perasaan yang bergolak dalam dadanya, pelbagai ingatan berkelebat dalam benaknya, ia tidak percaya bahwa apa yang terjadi merupakan kenyataan, dengan suara dingin ujarnya : "Memandang di atas wajahnya, untuk sementara waktu kulepaskan dirimu." "Siapa yang kau maksudkan dengan dia?" tanya pemilik Benteng Kiam-poo setelah tertegun sejenak.
"Nyonyamu tentu saja!" jawab Pek In Hoei sambil tertawa dingin.
Ketika ia mengucapkan kata-kata tersebut, hatinya terasa sakit bagaikan ada dua bilah pedang tajam yang menusuk lubuk hatinya.
Lama sekali pemilik Benteng Kiam-poo berdiri tertegun, kemudian ujarnya : "Kau maksudkan ibumu yang maha agung dan maha tercinta itu." "Perkataan itu boleh kau buang dari sebutan tersebut," tukas si anak muda itu sambil menyeka darah yang menodai ujung bibirnya.
"Masa kau sudah tak sudi mengenal ibumu lagi," bentak pemilik Benteng Kiam-poo dengan penuh kegusaran.
"Terhadap ibu semacam ini ada atau tidak bagiku sama saja," jawab Pek In Hoei dengan air mata bercucuran, "tanpa dirinya aku toh tetap tumbuh jadi dewasa, lagi pula aku bukan dilahirkan olehnya, dalam sebutan saja dia adalah ibuku, tetapi perasaan cinta kasih di antara kami sama sekali tidak ada, ia tak pernah merawat atau pun mendidik aku walau hanya satu hari pun." Pek In Hoei menghela napas panjang, air mata jatuh berlinang semakin deras, kejadian ini memang menyedihkan sekali hatinya.
Ujarnya dengan suara yang memedihkan hati : "Sebelum aku tiba di sini, dalam bayanganku terlintas ingatan bahwa ibuku tidak jauh berbeda dengan ibu orang lain, seorang perempuan agung yang dapat menjaga martabatnya sebagai seorang wanita, tetapi setelah aku berjumpa dengan dirimu, aku baru tahu bahwa kedatanganku ke tempat ini sebenarnya adalah keliru besar, aku tak menyangka kalau ia sudah jadi nyonya poocu, ia sudah melupakan diriku yang menjadi putranya, hal yang paling memedihkan hatiku adalah perbuatannya kawin denganmu, kawin dengan seorang..." "Kenapa dengan diriku?" sela Poocu dari Benteng Kiam-poo itu sambil tertawa seram.
"Hatimu terlalu kejam dan perasaanmu paling sadis di kolong langit, kau tidak memiliki peri kemanusiaan dan kau tidak kenal budi sebagai seorang manusia terutama sekali rasa dendammu terhadap ayahku sudah demikian mendalam, bila ia tahu tata cara maka tidak semestinya kalau dia kawin dengan musuh besar suaminya sendiri, agar musuh besarnya dapat mengejek serta mempermalukan putranya, membuat aku sepanjang masa tak sanggup untuk angkat kepala kembali, paling sedikit di dalam hal ini, aku tak dapat mengampuni dirinya." "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... sungguh tak kusangka kau masih mempunyai sedikit semangat jantan," ejek pemilik Benteng Kiam-poo sambil tertawa seram, "Pek Tiang Hong boleh merasa bangga karena dia mempunyai putra macam dirimu, tetapi sayang seribu kali sayang putranya itu terpaksa harus mengorbankan selembar jiwanya di dalam Benteng Kiam-poo karena berani menyalahi diriku." Pek In Hoei merasa amat gusar, ia hendak mengumbar hawa amarahnya, tetapi Lu Kiat segera maju ke depan, serunya : "Adik In Hoei tunggu sebentar!" Kepada pemilik Benteng Kiam-poo serunya kemudian : "Poocu, bolehkah aku ajukan beberapa persoalan kepadamu?" "Selama pertanyaanmu itu berada dalam lingkungan yang memungkinkan, aku dapat memberikan jawaban atas pertanyaanmu itu!" "Baik..." seru Lu Kiat sambil tertawa dingin, "setelah kutinjau semua gerak gerik yang kau perlihatkan tadi, aku dapat menilai bahwa kau adalah seorang pria yang pandai sekali menggunakan otak serta kecerdikanmu, aku ingin tanya padamu, benarkah ibu dari adik In Hoei dengan sungguh hati dan kerelaan dirinya suka menikah dengan dirimu?" "Kenapa" Apakah kau tidak percaya?" seru pemilik Benteng Kiam-poo dengan wajah berubah hebat.
"Paling sedikit aku punya kecurigaan yang mengarah pada suatu perkawinan yang dipaksakan, aku percaya seorang perempuan tak akan suka dengan seorang suami yang pandai mempergunakan akal licinnya untuk menipu serta menjebak orang, mendampingi harimau sama artinya dengan mendampingi suatu kematian, setiap saat kemungkinan besar dirinya bakal dipermainkan oleh suaminya, andaikata kau adalah seorang perempuan, bisakah kau mencintai seorang pria macam ini?" "Cisss...! Sebenarnya apa maksudmu berkata demikian?" "Gampang sekali," jawab Lu Kiat sambil tertawa dingin, "bila ia benar-benar sampai menikah dengan dirimu, maka kau pasti telah menggunakan suatu permainan setan untuk memaksa atau menipu dirinya, aku orang she Lu yakin bahwa keinginannya itu pasti bukan muncul dari kerelaan hatinya." "Hmmm!" pemilik Benteng Kiam-poo mendengus gusar, "bajingan cilik, sudah terlalu banyak yang kudengar, bila aku tidak memandang usiamu yang masih muda dan tak tahu urusan mungkin selembar jiwamu telah kucabut sejak semula, kini kalian berdua telah memasuki pintu neraka, tidak mungkin lagi kalian tinggalkan tempat ini dalam keadaan hidup, sekarang aku tak mau ribut-ribut dahulu dengan kalian berdua, tiga hari kemudian aku baru akan membereskan kamu berdua." Dengan bangga ia tertawa keras, lalu ujarnya lagi : "Hilangkan ingatan untuk melarikan diri dari tempat ini, setiap saat pasti ada orang yang membuntuti gerak gerik kalian, dan aku harap di dalam waktu tiga hari ini kalian dapat mempergunakan baik-baik sisa hidupmu untuk bermain hingga puas di dalam benteng ini..." "Aku akan membinasakan dirimu tiga hari kemudian..." seru Pek In Hoei dengan suara dingin.
"Mampukah kau berbuat demikian, lihat saja nanti apakah usiamu cukup panjang atau tidak..." Dengan penuh rasa bangga ia tertawa terbahak- bahak lalu pula badan dan berlalu dari situ, di tengah udara hanya tertinggal suara gelak tertawanya yang nyaring...
Benteng Kiam-poo nampak begitu tenang dan hening...
sedikit pun tidak dihiasi napsu membunuh atau pun bau anyir darah...
ketika malam menjelang tiba, lampu lentera bergantungan di setiap sudut tempat membuat seluruh benteng jadi terang benderang bagaikan di siang hari belaka...
Meskipun Pek In Hoei serta Lu Kiat datang berkunjung ke benteng Kiam-poo dengan membawa rasa permusuhan, tetapi semua anggota benteng itu tidak seorang pun yang memandang istimewa terhadap mereka berdua, dua orang pemuda itu bebas bergerak kemana pun juga selama mereka tidak berusaha untuk berjalan menuju keluar benteng, kendati demikian setiap gerak-gerik mereka selalu dibayangi dan diawasi oleh seorang secara diam- diam...
Bintang bertaburan di angkasa, dengan perasaan kesal bercampur murung Jago Pedang Berdarah Dingin munculkan diri dari ruang tamu dan berjalan-jalan menuju ke tepi sebuah selokan tidak jauh letaknya dari benteng tersebut.....
"Aaai... ia menghembuskan napas panjang, " kejadian ini benar-benar berada di luar dugaan, sebenarnya aku hidup dalam kesederhanaan serta ketenangan...
tetapi ketika aku berjuang demi masa depanku, ternyata dalam hal asal-usulku telah terjadi perubahan yang begitu besarnya...." Dengan sedih ia geleng kepala, gumamnya kembali : "Aku ingin sekali melupakan semua persoalan ini, tetapi semakin aku berusaha untuk melupakannya, pikiran tersebut semakin menerobos masuk ke dalam ingatanku, seakan-akan ulat sutera yang yang tiada hentinya menyemburkan liurnya.
Dengan pandangan termangu-mangu ia menatap gelombang kecil yang muncul di atas permukaan air selokan...
pikiran melayang-layang melamunkan nasibnya yang begitu jelek....
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara langkah kaki manusia berkumandang datang...
Namun Jago Pedang Berdarah Dingin tetap tidak berpaling, sorot matanya yang dingin dan hambar mendongak ke angkasa memandang bintang yang bertaburan di udara...
Suara langkah manusia kian lama kian bertambah dekat dan akhirnya berhenti tepat di belakang tubuhnya, kemudian terdengarlah seseorang berseru dengan suara yang merdu : ",Oooh...! kiranya kau berada disini." Dari nada ucapan tersebut, Jago Pedang Berdarah Dingin segera mengenalinya sebagai suara dari Ciu Tiap Tiap, putri kesayangan pemilik benteng Kiam-poo.
Pemuda itu tetap membungkam, ia tidak berpaling pun tidak menunjukkan reaksi apa pun kecuali mendengus dingin.
Tertegun hati Cui Tiap Tiap menyaksikan sikap lawannya yang dingin dan ketus itu, dengan suara tercengang ia berseru tertahan lalu ujarnya : "Hey, kenapa sih sikapmu begitu tak bersahabat terhadap diriku....." Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tak sanggup mengendalikan perasaan hatinya lagi, tiba-tiba ia angkat kepala dan tertawa terbahak-bahak, suaranya nyaring dan penuh mengandung sindiran, hal ini membuat Cui Tiap Tiap merasa malu dan terhina, sepasang matanya yang besar bulat hampir saja dibasahi oleh air mata yang jatuh bercucuran.
"Eeei....apa yang kau tertawakan ?" tegurnya dengan suara gemetar, "kau mentertawakan aku karena di tengah malam buta datang mencari dirimu "..." Setelah tertawa nyaring Pek In Hoei merasakan dadanya jadi lapang dan jauh lebih segar, ia berhenti tertawa dan menjawab : "Kalian orang-orang dari keluarga Cui memang terlalu gemar mencampuri urusan orang lain, sehingga orang yang sedang tertawa pun pinginnya diurusi...
nona besar ! peraturan dari benteng kalian terlalu banyak....." "Kau tak usah menggunakan sikap semacam itu untuk menghadapi diriku," seru Cui Tiap Tiap dengan suara dingin, "Andaikata aku bukan sedang menjalankan perintah dari ibuku, tidak nanti aku sesinting itu untuk datang menemui dirimu di tengah malam buta." "Siapakah ibumu" Ada urusan apa datang mencari aku?" seru Pek In Hoei dengan nada tertegun.
"Siapakah ibuku aku rasa kau tentu lebih paham daripada diriku sendiri, hubungannya dengan diriku tidak jauh berbeda seperti kau dengan dirinya, sekali pun bukan dilahirkan olehnya tapi dalam sebutan tetap merupakan ibuku, Pek In Hoei ! Sekarang kau mengerti bukan ?" Ia bereskan rambutnya yang terurai ke bawah itu, kemudian ujarnya kembali : "Sekarang tugasku telah kulakukan dengan baik, mau pergi atau tidak terserah pada keputusanmu sendiri !" "Ada urusan apa ia datang mencari diriku ?" tanya Pek In Hoei sambil tertawa dingin.
"Hmmm! Tentang persoalan ini semestinya akulah yang bertanya kepadamu, apa pula sebabnya kau datang ke benteng Kiam-poo untuk mencari dirinya?" Pek In Hoei! Aku rasa alasannya tentu saja dan sekarang aku ingin bertanya, sebetulnya kau ingin pergi atau tidak....
"Aku tidak ingin pergi!" jawab pemuda itu lirih.
Cui Tiap Tiap jadi tertegun, ia tak tahu apa sebabnya pemuda itu bersikeras untuk menampik pertemuannya dengan sang ibu, dengan perasaan tak mengerti ditatapnya wajah pemuda itu lalu bertanya : "Kenapa" Kenapa kau tak mau berjumpa dengan ibumu?" "Ibuku adalah seorang perempuan yang suci, seorang wanita yang lemah lembut, agung dan mengerti akan sifat kewanitaannya, tak mungkin ia kawin dengan seorang manusia takabur yang tak kenal tingginya langit dan tebalnya bumi, aku tak sudi bertemu dengan seorang ibu macam begitu...
aku tak sudi bertemu dengan seorang ibu yang kawin lagi dengan lelaki takabur...
"Apa katamu?" bentak Cui Tiap Tiap penuh kegusaran, "kau mengatakan ayahku adalah seorang lelaki yang takabur?" "Huuh! Rupanya perkataanku ini telah melukai hatimu" Kalau kau merasa gengsimu tersinggung oleh ucapanku ini, kau tak usah menegur atau menyalahkan diriku, pergilah temui ayahmu dan salahkan sendiri perbuatannya yang tak tahu diri itu...." Cui Tiap Tiap merasa sakit hati dan tak tahan menyaksikan orang lain memandang rendah serta memandang hina ayahnya yang dihormati, dalam pikirannya ia anggap sang ayah adalah seorang jago sakti yang luar biasa ampuhnya karena dengan kekuatan seorang diri dia mampu mendirikan suatu usaha yang besar, dapat mendirikan benteng Kiam poo yang angker dan disegani orang, karena itu ia tak memperkenankan orang lain menghina atau memperolok-olok ayahnya.
Mimpipun gadis itu tidak pernah menyangka kalau ayahnya telah mengorbankan berpuluh-puluh lembar jiwa untuk tancapkan kakinya dalam dunia persilatan, untuk berdiri dan muncul sebagai suatu benteng yang disegani setiap orang, ayahnya telah menggunakan cara-cara yang paling rendah dan paling keji untuk mewujudkan cita-citanya itu....banyak kejahatan telah dilakukan ayahnya dalam benteng Kiam-poo yang misterius dan mengerikan itu, hanya saja gadis itu sama sekali tidak mengetahuinya.
"Pek In Hoei, sebenarnya apa maksudmu " Kenapa kau menuduh ayahku melakukan perbuatan yang tidak senonoh...." tegur Cui Tiap Tiap dengan nada gusar.
Pek In Hoei tarik napas panjang-panjang dan menjawab : "Lebih baik tanyakan langsung persoalan ini kepada ayahmu sendiri, dia bakal memberi jawaban yang memuaskan bagimu, kau harus tahu di antara kebaikan kejahatan suatu ketika pasti akan tiba waktunya untuk di sebelah...
karena perbuatan- perbuatan jahat yang telah dilakukan oleh ayahmu itulah, dia harus menerima suatu akibat yang menyedihkan, suatu akhir yang mengerikan sekali..." Air muka Cui Tiap Tiap berubah hebat saking gusarnya, ia membentak nyaring : "Kau tak usah mengajak aku untuk membicarakan persoalan yang sama sekali tak ada gunanya itu kepadaku, selama berada di hadapanku aku larang kau mencaci maki serta menghina ayahku, kalau kau bersikeras untuk mengatakannya juga, maka terpaksa aku akan beradu jiwa dahulu dengan dirimu..." Dengan penuh kegusaran ia berkata kembali : "Bagaimana" Kau jadi atau tidak" Ibumu masih menantikan kedatanganmu!" Pek In Hoei menggeleng.
"Kau tak tahu betapa pedih dan menderitanya aku, aku benar-benar tidak ingin bertemu dengan dirinya...
nona besar, terima kasih atas kesediaanmu datang mencari aku, tolong sampaikanlah kepadanya lain kali saja aku berkunjung kepadanya..." Dengan sedih Ciu Tiap Tiap menghela napas panjang pula.
"Meskipun dia adalah ibu tiriku, tetapi cinta kasihnya terhadap aku melebihi kasih sayang seorang ibu kandung terhadap anaknya sendiri," ia berkata, "tahukah kau, setiap kali ia berbicara dengan aku sering kali ia sebut-sebut tentang dirimu...
Pek In Hoei! Peduli tindakannya betul atau salah, kau harus pergi menjumpai dirinya atau paling sedikit kau harus menghilangkan kekosongan hidup yang telah menyelimuti masa tuanya, kau harus menghilangkan siksaan batin yang selama ini membuat ia menderita...
seringkali aku menemukan ia sedang menangis terisak dan bibirnya menyebutkan namamu..." Pek In Hoei merasakan sekujur tubuhnya gemetar keras, suatu perasaan aneh timbul dalam benaknya.
seolah-olah ia saksikan di hadapannya muncul seorang perempuan tua yang kusut dan menyedihkan, panggilan yang mesra hampir mendekati jeritan itu membuat perasaan hatinya bertambah iba...
tanpa sadar pemuda itu mengucurkan air matanya...
Dengan sedih ia menunduk ke bawah pikirnya : "Benarkah ibu sangat mencintai diriku seperti apa yang dikatakan Cui Tiap Tiap?" Aku toh bukan anak kandungnya kenapa ia bersikap begitu sayang dan mesra terhadap diriku?""
Pelbagai ingatan aneh berkecambuk dalam benaknya...
membuat pemuda itu terpekur dengan wajah mendelong...
perasaan hatinya yang bergolak perlahan-lahan jadi tenang kembali.
Ia tarik napas panjang-panjang, lalu bertanya : "Ibuku sekarang berada dimana?" "Sudah tembuskah jalan pikiranmu?" jengek Cui Tiap Tiap sambil tertawa dingin, "Pek In Hoei! Sebelum kau berjumpa muka dengan ibumu, terlebih dahulu aku hendak memperingatkan dirimu, meskipun ibumu telah bertindak salah, kau sebagai puteranya harus bertindak sopan dan tunjukkan kebaktianmu...
aku harap kau jangan bertindak gegabah tanpa berpikir panjang...." "Cukup! Luka yang menggores dalam hatiku sudah cukup parah," tukas Pek In Hoei sambil geleng kepala, "aku dapat memahami maksud hatimu itu, terima kasih, aku dapat pergi menjumpai dia orang tua dengan sikap yang hormat..." Mendengar pemuda itu telah berjanji, perasaan hati Cui Tiap Tiap pun lambat laun berubah jadi lega, katanya : "Karena kau bukan seorang perempuan maka kau tak akan memahami perasaan hati dari seorang wanita, aku harap kau bisa menyelami pula perasaan menderita pada tubuh orang lain, janganlah mengungkap-ungkap urusan yang sebenarnya sama sekali tak berguna...." Ia melirik sekejap ke samping kiri dan kanannya, lalu berseru : "Mari kita berangkat! Kali ini ibu akan bertemu dengan kau tanpa sepengetahuan ayahku, ia tidak mengharapkan orang lain pun mengetahui akan persoalan ini, ia cuma berharap agar bisa bercakap- cakap dengan dirimu secara baik-baik, nanti sewaktu kita berangkat ke situ aku harap kau suka bertindak hati-hati...." "Ehmmm! Ibuku bersiap-siap hendak bertemu dengan diriku dimana "....." "Tuh, di dalam ruangan sebelah depan sana," sahut Ciu Tiap Tiap sambil menuding ke arah depan, "ikutilah aku dengan hati-hati, aku kuatir ayahku mengetahui akan peristiwa ini maka dalam tindak tandukmu nanti bersikaplah waspada dan hati-hati." Perlahan-lahan ia menggerakkan tubuhnya dan bergeser menuju kegelapan yang mencekam di seluruh jagad, Pek In Hoei mengikuti dari belakangnya, menyaksikan sikap sang gadis diam- diam ia tertawa dingin, senyuman dingin menghiasi ujung bibirnya....
Sebuah Kota Banyak Cerita 12 Roro Centil 04 Siluman Hitam Rocker That Hold 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama