Ceritasilat Novel Online

Imam Tanpa Bayangan 14

Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say Bagian 14


Ketika tiba di depan sebuah bangunan, tiba-tiba Ciu Tiap Tiap menghentikan gerakan tubuhnya, ia menyapu sekejap sekeliling tempat itu lalu bisiknya kepada jago pedang berdarah dingin dengan suara lirih : "Ibumu berada di dalam bangunan tersebut, sekeliling tempat ini penuh dengan penjagaan yang ketat, tunggulah sebentar disini! Akan kuusir dahulu para penjaga itu kemudian kau baru masuk ke dalam." Ia memerintahkan si anak muda itu untuk bersembunyi di belakang sebuah pohon besar, ia sendiri perlahan-lahan bergerak menuju ke arah pintu depan.
Belum jauh ia berjalan, dari tempat kegelapan meloncat keluar dua orang pria baju hitam, sambil menghadang jalan pergi gadis itu tegurnya : "Siapa ?"" Suasana yang gelap gulita membuat pihak lawan tak jelas menyaksikan lawan, begitu teguran itu diutarakan keluar, Cui Tiap Tiap segera mendengus dingin.
"Hmm! Loo Ma, masa aku pun tidak kau kenal?" tegurnya.
Kedua orang pria itu terkesiap, lalu bongkokkan badan memberi hormat.
"Oooh kiranya nona!" "Hmm ! Malam ini akulah yang akan menemani loo- hujin, kalian boleh pergi beristirahat, bila poocu telah kembali berilah kabar cepat-cepat kepadaku...
" "Baik!" sahut pria yang ada di sebelah kiri dengan sikap hormat, "pesan nona pasti akan hamba laksanakan sebaik-baiknya." Menanti Cui Tiap Tiap ulapkan tangannya, kedua orang pria itu dengan ketakutan segera mengundurkan diri dari sana.
Setelah bayangan punggung kedua lenyap dari pandangan, Cui Tiap Tiap baru menggape ke arah Pek In Hoei sambil ujarnya : "Masuklah ke dalam, kedua orang manusia yang memuakkan itu sudah kuusir pergi!" "Terima kasih atas bantuanmu," sahut Pek In Hoei sambil meloncat keluar dari tempat persembunyiannya, "bila kau tidak menunjukkan jalan bagiku, mungkin aku tak akan mendapatkan cara untuk tiba ditempat ini...." Mereka berdua segera melangkah masuk ke dalam pintu, tampak bau bunga harum semerbak tersiar di udara, di tengah kebun bunga yang luas muncullah sebuah bangunan rumah yang megah, cahaya lentera memancar keluar lewat celah-celah pintu dan jendela...
"Masuklah ke dalam!" bisik Cui Tiap Tiap dengan suara lirih, "ibumu mungkin sudah lama menantikan kedatanganmu, inilah detik detik bersejarah yang menandakan pertemuan antara ibu dan anak, aku tidak ingin menyaksikan adegan yang memilukan hati itu, maka maafkanlah aku bila aku tak akan menemani dirimu lebih jauh." Dengan perasaan hati bergolak Pek In Hoei menghembuskan napas panjang, tiba-tiba ia merasa hatinya jadi tegang daripada sewaktu menghadapi suatu pertarungan....
Keringat dingin mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya, dia naik ke atas tangga batu dan mendorong pintu yang tertutup rapat.
Kraak... ! Tatkala pintu itu terbuka, dengan perasaan sangsi ia tarik kembali tangannya.
"Ibu..." bisiknya dengan suara lirih.
Orang yang berada di dalam ruangan rupanya tak bisa mengendalikan golakan batinnya, ia menjerit tertahan....
ketika pintu terbuka, tampaklah seorang perempuan tua yang rambutnya telah beruban semua dengan air mata bercucuran berdiri di hadapannya...
biji matanya jeli tiada hentinya menatap wajah Pek In Hoei.
"Hoei.... kau.... kau adalah Pek In Hoei....
putraku..." bisik perempuan tua itu dengan suara parau.
"Tidak salah!" jawab Pek In Hoei dengan air mata bercucuran, "seorang bocah yang belum pernah melihat raut wajah ibu sendiri..." Bagaikan terkena listrik tegangan tinggi, sekujur badan perempuan tua yang sedang berduka itu gemetar keras...
ia ulurkan tangannya yang gemetar keras untuk membelai raut wajah si anak muda itu.
"Kau... kau telah dewasa..." bisiknya lirih.
"Aku tak pernah mati kelaparan, tentu saja tubuhku bertambah dewasa..." tukas Pek In Hoei sambil menyeka air mata yang membasahi pipinya.
Jawaban tersebut sama sekali tidak bersikap persahabatan, dengan pandangan tercengang perempuan tua itu menatap sekejap wajah Pek In Hoei, air mukanya yang sudah pucat kini kian bertambah pucat hingga menyerupai mayat, dengan sedih ia menghela napas panjang.
"Aku tahu... kau tak akan memaafkan diriku...
sebelum berjumpa dengan kau aku telah memikirkan persoalan ini, mama tak salahkan dirimu, mama hanya salahkan nasib mama yang jelek." Dengan penuh kesedihan ia tutup wajah sendiri dengan tangannya lalu menangis, air mata jatuh bercucuran merembes dari celah-celah jarinya yang telah berkeriput...
Pek In Hoei merasa hatinya jadi kecut, dengan hati pedih ia menghela napas panjang, kepalanya terkulai dan ia ikut menangis.
Pemandangan yang terbentang ketika itu sangat mengenaskan sekali, meskipun ibu dan anak bisa berjumpa lagi namun perjumpaan itu tidak ditandai oleh kegembiraan atau kebahagiaan, melainkan hanya kepedihan serta kesedihan saja yang ada....
Lama sekali perempuan tua itu menangis kemudian sambil menahan isak tangisnya ia bertanya : "Nak, benarkah kau amat benci terhadap diriku ?"" Pek In Hoei menggeleng.
",Aku tak akan membenci dirimu, aku hanya membenci terhadap diriku sendiri..." "Aaai..." aku tahu tindakanku ini keliru besar..." bisik perempuan tua itu lagi sambil menghela napas panjang.
"Hmm! Tidak sewajarnya kalau kau kawin lagi dengan musuh besar dart ayah..." "Aaai...! Helaan napas berat kembali berkumandang memecahkan kesunyian, dengan wajah penuh kesedihan dan penyesalan perempuan tua yang patut dikasihani ini gelengkan kepalanya berulang kali.
"Kau anggap mama adalah perempuan lonte yang tahu malu ?" Kau anggap mama rela merendahkan derajat untuk tunduk kepada Cui Tek Li?" serunya sambil menahan perih hatinya, "Nak...
kau keliru... kau keliru besar... mama masih memiliki gengsi sebagai seorang perempuan, mama masih memiliki martabat hidup sebagai seorang istri yang setia...
sekalipun selama hidup aku tak punya suami, aku lebih rela daripada mencintai keparat tua itu..." "Jadi kalau begitu poocu dari benteng Kiam poo yang memaksa kau untuk berbuat demikian..." seru Pek In Hoei dengan suara gemetar.
Dengan penuh kesedihan perempuan tua itu menunduk.
"Tindakan Cui Tek Li amat lihay dan luar biasa sekali, setelah ia menculik aku datang kemari maka ia sengaja menggunakan keselamatanmu serta keselamatan ayahmu untuk menggertak diriku, membuat batinku tertekan dan setiap hari aku jadi kuatir untuk keselamatan suamiku serta anakku." "Apa " Ia berani menggunakan cara yang begitu rendah untuk menghadapi dirimu..." teriak Pek In Hoei dengan penuh kebencian, batinnya terpukul keras.
Napsu membunuh yang amat tebal seketika melintas di atas raut wajah pemuda itu, wajahnya berubah jadi menyeringai dan tampak mengerikan sekali.
ketika perempuan tua itu melihat keadaan putranya, ia terkesiap, dengan rasa takut bercampur ngeri segera tegurnya : "Nak, apa yang hendak kau lakukan?" "Oooh...! Tidak...
jangan... jangan kau lakukan perbuatan itu...
jangan kau lakukan pembunuhan itu..." seru perempuan tua itu dengan suara gemetar.
Tertegun hati Pek In Hoei mendengar perkataan itu, hawa amarah sedang berkobar dalam rongga dadanya, ia tak mampu mengendalikan golakan dalam hatinya lagi, segera tegurnya : "Kenapa" Apakah hal itu disebabkan Cui Tek Li adalah suamimu?" Jelas pemuda ini sudah bikin salah paham oleh perkataan ibunya, ia sangat membenci pemilik benteng Kiam-poo yang telah menggunakan cara rendah untuk mengancam ibunya, maka dalam pembicaraan pun ia mulai pandang hina orang tua itu, teguran yang ditujukan kepada ibunya pun tanpa tedeng aling-aling....
"Tidak! Tidak nak, kau telah salah paham...
kau telah salah mengartikan ucapanku itu!" seru perempuan tua itu dengan suara terkejut bercampur ketakutan.
"Hmmm ! Apanya yang salah paham?" ejek Pek In Hoei sambil tertawa dingin, "dendam permusuhan antara Cui Tek Li dengan ayah dalam bagaikan samudra, kedua belah pihak tak mungkin bisa hidup berdampingan di kolong langit, ia telah menghina ayah, maka sekalipun kubunuh perbuatanku ini tidaklah kelewat batas, apalagi dia sudah memaksa kawin dengan dirinya." Ia berhenti sebentar, kemudian dengan suara gemetar sambungnya lagi : "Mama, aku ingin mengajukan satu pertanyaan kepadamu!" "Apa yang hendak kau tanyakan?" Katakanlah!" seru perempuan tua itu sambil menangis tersedu-sedu.
"Bagaimana keadaan ayah waktu menemui ajalnya?"" Perempuan tua itu merasa hatinya sakit bagaikan diiris dengan pisau, penderitaan serta siksaan batin membuat sekujur badannya gemetar keras, air mata jatuh bercucuran dengan derasnya, bibirnya bergerak meluncurkan beberapa patah kata yang serak dan parau.
"Apakah kau belum tahu...." ",Kali ini dengan menempuh dan mempertaruhkan jiwa ragaku aku menerjang masuk ke dalam benteng Kiam-poo, tujuannya bukan lain adalah ingin menyelidiki sebab-sebab kematian dari ayah, aku rasa ibu tentu mengetahui akan rahasia ini....aku hendak membunuh semua para bajingan-bajingan terkutuk itu untuk membalaskan dendam sakit hati dari ayah....." "Hoa Pek Tuo...!" "Apa" Dia..." napsu membunuh menyelimuti seluruh wajahnya, dengan penuh kebencian ia berteriak, "sejak dahulu aku telah menaruh curiga terhadap orang ini.
hanya aku kekurangan bukti." Perlahan-lahan ia cabut keluar pedang mestika penghancur sang surya, kemudian mengangkat ke tengah udara....
sambil menatap ujung pedang itu dengan sorot mata mengerikan, teriaknya kembali : "Aku hendak menggunakan pedang ini untuk mencuci bersih seluruh dendam sakit hati ini." Pedang berkelebat lewat, cahaya berkilauan menusuk pandangan mata, di antara menyambar bayangan senjata....
Krasak! Meja tebal yang berada di ruang tengah terbelah jadi dua bagian termakan oleh pecahan pedang itu.
"Nak...!" jerit perempuan itu dengan suara gemetar.
Sepasang mata Pek In Hoei berubah jadi merah berapi-api, sambil menatap wajah ibunya tajam- tajam ia menegur : "Siapa lagi yang terlibat dalam rencana pembunuhan ini?" Ia berhenti sejenak, kemudian desaknya lagi lebih jauh : "Apakah Cui Tek Li adalah otak dari rencana pembunuhan ini..." Dengan ketakutan perempuan tua itu duduk menjublak, sekujur badannya gemetar keras dan hatinya sakit bagaikan diiris-iris dengan pisau, air mata jatuh bercucuran membasahi pipinya yang telah penuh berkeriput, ujarnya sambil menghela napas panjang : "Aku mempertahankan hidupku hingga sekarang, tujuannya bukan lain adalah untuk menyelidiki siapakah pembunuh sebenarnya dari ayahmu, setelah kulakukan penyelidikan yang teliti dan seksama, dapat kuketahui Hoa Pek Tuo adalah pembunuh yang terutama, sedangkan Cui Tek Li benarkah merupakan otak dari rencana pembunuhan ini, sampai sekarang aku belum berani memastikannya tetapi aku tahu hubungannya dengan Hoa Pek Tuo pada akhir-akhir ini amat rapat dan akrab sekali, di kemudian hari aku pasti akan mencari kesempatan untuk menyelidiki persoalan ini." "Ooouw....! Mungkin kau tak berani membuktikannya sebab kau takut aku membinasakan dirinya, sehingga membuat kau kehilangan suamimu." "Tutup mulutmu...." bentak perempuan tua itu dengan suara nyaring, air mukanya berubah jadi mengenaskan sekali tanyanya : "Kau jangan mengira aku sedang memohonkan ampun bagi Cui Tek Li, terus terang kuberitahukan kepadamu selama hidup aku hanya tahu mencintai Pek Tiang Hong, dia adalah orang yang paling kucintai, akupun merasa mempunyai tugas serta kewajiban untuk menuntut balas bagi kematiannya.
Asalkan Cui Tek Li terlibat dalam peristiwa berdarah ini, aku akan berusaha mencari akal untuk membinasakan dirinya.
Nak, aku tak mau tahu bagaimanakah pandanganmu terhadap diriku, yang jelas apa yang barusan kukatakan adalah kata-kata yang muncul dari sanubariku, sedikit pun aku tiada maksud untuk membohongi dirimu." "Ooo, aku tahu...aku sudah tahu !"
KETIKA pemuda itu mengetahui bahwa ibunya selama ini melanjutkan hidup dengan menahan segala penghinaan serta penderitaan tujuannya bukan lain adalah untuk menyelidiki sebab-sebab kematian ayahnya, ia merasa sedih dan malu sendiri karena sikapnya yang telah salah menuduh perempuan tua itu dengan tuduhan yang bukan-bukan.
Dengan pandangan mengandung permintaan maaf ia melirik sekejap ke arah ibunya banyak perkataan berkumpul dalam tenggorokan namun tak sepatah kata pun yang sempat meloncat keluar.
Sudah tentu hubungannya dengan perempuan tua ini selalu dibatasi oleh suatu jarak yang terasa asing sekali, hal ini disebabkan karena sejak kecil ia tak pernah dirawat oleh ibunya, sehingga antara mereka berdua tak pernah timbul suatu perasaan hangat dan kasih sayang sebagaimana sikap seorang ibu terhadap putranya.
Perempuan tua itu menghela napas dalam-dalam dan tertawa getir, ujarnya dengan lirih : "Asal kau sudah tahu itu lebih dari cukup, aku tak akan memohon yang lain, aku hanya seorang ibu yang cuma ada dalam sebutan namun tiada dalam kenyataan, tentu saja kau tak usah menghormati aku, karena hubungan di antara kita berdua teras amat asing, apalagi aku pun tak dapat mempertahankan kesucianku, aku malu dan menyesal terhadap ayahmu." "Tidak! Pengorbananmu ini cukup mulia dan agung," kata Pek In Hoei cepat.
Perempuan tua itu tertawa getir kemudian berkata : "Dipandang dari sudut yang lain perbuatanku ini terlalu rendah dan terlalu hina," katanya, "atau paling sedikit tidak sepantasnya kalau aku berkumpul serta hidup bersama dengan seseorang yang mempunyai dendam dengan keluarga Pek." "Aku mengerti apa sebabnya Cui Tek Li memaksa dirimu untuk menjadi istrinya," kata Pek In Hoei.
"Kenapa?" seru perempuan tua itu dengan badan gemetar keras.
"Cara pembalasan yang dipergunakan oleh Cui Tek Li adalah suatu cara pembalasan yang paling sadis dan paling kejam, ia benci terhadap ayah tapi tak mampu untuk menghadapi dirinya, maka terpaksa ia culik dirimu dan memaksa kau untuk menjadi istrinya, perbuatan ini sengaja dilakukan dengan maksud agar sepanjang hidup ayah selalu menderita siksaan batin yang amat berat, selama hidup ia tak sanggup angkat kepala lagi di hadapan sesama rekan umat Bu-lim." "Tidak salah, dia memang ada maksud untuk membuat malu ayahmu agar ia menderita sepanjang masa." Dengan hati mendongkol Pek In Hoei angkat kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... aku hendak membunuh bajingan tua ini, aku hendak menghancur-lumatkan tubuh bangsat itu agar sakit hati ayah bisa terbalas." "Nak, kendati kau memiliki ilmu silat yang sangat luar biasa, selama berada di sini kau tak bakal berhasil menangkan Cui Tek Li," ujar perempuan tua itu dengan suara gemetar, "aku harap kau jangan mencari kematian buat diri sendiri, kekuatannya di tempat ini luar biasa dan tiada tandingan, lebih baik lebih cepatlah tinggalkan tempat ini." "Cui Tek Li sudah tahu kalau kedatanganku untuk mencari dirinya.
Ia tak mungkin lepaskan diriku begitu saja," seru Pek In Hoei dengan suara penuh kebencian, sepasang matanya berubah jadi merah berapi, "lagi pula sekali pun ia rela melepaskan aku belum tentu aku rela lepaskan dirinya begitu saja.
Suatu pertarungan sengit tak mungkin bisa dihindari." "Kau tak usah terlalu emosi nak, mama punya akal untuk mengantar kau keluar dari benteng ini," bisik perempuan tua itu sambil gelengkan kepala.
Pek In Hoei tertawa dingin.
"Semuanya sudah terlambat.
Andaikata kau hendak mohonkan ampun bagi bajingan tua itu, maka lebih baik aku tumbukkan batok kepalaku di atas dinding tepat berada di hadapanmu, aku lebih rela mati secara pahlawan daripada harus melanjutkan hidup dengan menahan malu." "Tetap pengorbanan dengan cara demikian ini sama sekali tak ada harganya." Pek In Hoei mendengus dingin.
"Hmm! Sejak aku mengerti urusan belum pernah aku mohon atau merengek-rengek belas kasihan atau rasa simpatik dari orang lain.
Semenjak kecil aku sudah mempunyai watak yang keras.
Dahulu tak ada orang yang mampu merubah watakku itu dan sekarang makin tak ada orang yang mampu untuk merubahnya lagi.
Maka bila kau hendak memohonkan pengampunan untukku di hadapan Cui Tek Li maka itu berarti hanya akan menambah kemurungan serta kekesalan bagi dirimu sendiri, di samping peristiwa ini akan dijadikan bahan lelucon bagi pihak lawan." Dengan termangu-mangu perempuan tua itu menatap wajah Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tanpa berkedip, ia tidak paham dengan sikap sombong serta jumawa yang diperlihatkan pemuda ini, diam-diam ia menghela napas panjang, pikirnya : "Bocah ini terlalu mirip dengan Pek Tiang Hong, tabiatnya yang keras kepala serta pendiriannya yang begitu teguh dan sama sekali tidak berubah terlalu mirip dengan keadaan diri Pek Tiang Hong, benar- benar terlalu mirip." Dengan perasaan kuatir ia menghela napas panjang, katanya : "Apakah kau tak mau menerima sedikit bantuan yang ingin kuberikan kepadamu itu." "Sebagai anak seorang manusia, bakti harus diutamakan, dalam hal ini aku tak sanggup melakukannya untukmu sehingga membuat kau setiap hari hidup dalam penderitaan, persoalan ini merupakan satu persoalan yang paling menyedihkan hatiku," kata Pek In Hoei dengan suara berat.
Ia berhenti sebentar, kemudian dengan air mata bercucuran ujarnya kembali : "Dendam berdarah atas kematian ayah tidak ingin kuserahkan kepada orang lain, dalam hal pembalasan dendam, selama aku masih hidup di kolong langit aku akan berusaha untuk mengadu jiwa dengan musuh- musuh besarku, tentang persoalan ini kau tak usah kuatir, malaikat keadilan selalu akan membantu menegakkan keadilan di kolong langit, lagi pula setiap urusan adalah tergantung pada usaha manusia itu sendiri, meskipun Cui Tek Li sangat lihay, suatu ketika ia tak akan terhindar dari pembalasan Thian yang maha adil." Dengan suara berat ia melanjutkan kembali : "Suatu saat aku pasti akan berhasil menyambut kau untuk keluar dari tempat yang nista dan ternoda ini, suatu ketika aku pasti akan menolong kau hingga terlepas dari cengkeraman iblis Cui Tek Li." "Aku sih tidak mempunyai harapan itu," kata perempuan tua tadi sambil menggeleng, "Aku hanya berharap bisa balaskan dendam bagi kematian ayahmu!" Tiba-tiba perempuan itu nampak agak tertegun, telinganya sempat menangkap suara orang yang mengetuk pintu, dengan ragu-ragu didekatinya sisi jendela lalu menegur dengan suara dingin : "Ada urusan apa?" "Poocu sudah hampir pulang, nona besar memerintahkan aku untuk memberi kabar kepada hujin," bisik orang di luar pintu dengan suara lirih.
"Ehmmm... aku sudah tahu, pergilah!" "Baik..." sahut orang di luar pintu dengan sikap hormat, suara langkah kaki yang berat kian lama kian menjauh hingga akhirnya lenyap dari pendengaran.
Perempuan tua itu berdiri termangu-mangu beberapa saat lamanya, kemudian menghembuskan napas panjang ujarnya : "Nak, pergilah! Bila ada urusan aku bisa memberi kabar padamu." "Selamat tinggal ibu," dengan pandangan bimbang ditatapnya sejenak wajah perempuan tua itu, lalu menambahkan : "Baik-baiklah menjaga diri." "Kau pun harus baik-baik menjaga diri, semoga kau bisa menyayangi jiwa serta keselamatanmu," perempuan tua itu tarik napas panjang-panjang kemudian menambahkan, "dalam menghadapi segala persoalan janganlah ditanggapi dengan emosi dan hati yang gelisah, mama akan berusaha keras membantu dirimu." Pek In Hoei berpaling dan memandang sekejap wajah perempuan tua yang penuh penderitaan itu, ia menghela napas sedih, air mata mengembang dalam kelopak matanya.
Ia hapus air mata yang membasahi pipinya lalu berkata : "Aku bisa berterima kasih kepadamu, setelah dendam berdarah ini telah kutuntut, ananda pasti akan menjemput dirimu untuk kembali ke kampung halaman, kita bangun kembali rumah tangga kita yang telah hancur berantakan selama belasan tahun ini." "Mungkinkah terdapat hari yang bahagia itu" Nak, aku tak berani berpikir sampai ke situ," bisik perempuan tua itu dengan suara gemetar keras.
"Dapat," jawab Pek In Hoei dengan pasti, "pasti akan muncul suatu hari yang berbahagia itu!" Ia tidak ingin berdiam terlalu lama lagi di tempat yang penuh dengan kesedihan itu, sambil menggerakkan tubuhnya yang berat dan sempoyongan selangkah demi selangkah ia berlalu dari tempat itu.
Memandang bayangan punggungnya yang mulai lenyap dari balik kegelapan, perempuan tua itu tak dapat menahan rasa sedihnya lagi, ia menangis tersedu-sedu dengan bibir yang gemetar gumamnya : "Nak, rupanya kau amat membenci diriku," ia berhenti sebentar untuk tarik napas panjang, "aku dapat membantu dirimu untuk membinasakan semua musuh besar kita, asal kau tidak membenci terhadap diriku yang tak setia kepada suami ini, aku sudah cukup merasa puas, nak kau tak dapat menyelami perasaanku." Cahaya lentera bergoyang dihembus angin di kala perempuan tua itu sedang berdiri sambil melelehkan air mata, tiba-tiba terdengarlah suara seruan nyaring berkumandang datang.
"Poocu pulang." Perempuan tua itu buru-buru membereskan rambutnya yang kusut dan menyeka air mata yang membasahi pipinya, kemudian seorang diri ia duduk di sisi pembaringan.
Suara langkah kaki yang berat berkumandang di luar pintu yang tertutup rapat, perlahan-lahan Poocu dari Benteng Kiam-poo melangkah masuk ke dalam ruangan, ia melirik sekejap ke arah perempuan tua yang duduk seorang diri di sudut pembaringan itu lalu menegur : "Kenapa" Kau lagi marah dengan siapa lagi?" Perempuan tua itu menggeleng.
"Aku tidak lagi marah dengan siapa pun Tek Li! Ada satu persoalan aku ingin memohon kepadamu." Pemilik Benteng Kiam-poo Cui Tek Li nampak agak tertegun, dengan sorot mata keheranan ia memandang sekejap wajah perempuan tua itu, kemudian setelah termenung sejenak tanyanya dengan perasaan tidak mengerti : "Sih Ih, persoalan apa yang hendak kau pintakan kepadaku?" Ia tahu sejak istrinya memasuki keluarga Cui belum pernah sehari pun ia nampak gembira atau senang, setiap hari kecuali melelehkan air mata kerjanya duduk di sana dengan wajah murung.
Kendati Cui Tek Li adalah seorang pemilik benteng yang bengis dan kejam tetapi sejak mengawini perempuan ini tanpa sadar ia telah jatuh cinta kepadanya, tujuan yang sebenarnya untuk membalas dendam terhadap Pek Tiang Hong lama kelamaan jadi sirna dan sebaliknya ia malah benar-benar jatuh cinta terhadap perempuan ini.
"Permintaanku ini merupakan permohonanku yang terakhir kalinya," kata Hay Sim Ih dengan suara sedih, "aku harap kau tidak menampik permintaanku ini." Cui Tek Li gelengkan kepalanya.
"Katakanlah!" ia berseru, "asal permintaanmu itu dapat kulaksanakan, aku tak akan membuat kau merasa kecewa.
"Oooh... kalau begitu kuucapkan banyak terima kasih lebih dahulu kepadamu." "Ehmm...
! Kita toh sudah menjadi suami istri selama banyak tahun, kenapa kau mesti berterima kasih padaku" Selama banyak tahun seandainya bukan kau yang merawat serta membesarkan Tiap Tiap serta Kiam Beng, mereka berdua saudara entah pada saat ini telah berubah jadi bagaimana." "Anak telah menduduki posisi yang penting dalam pikiran serta perasaan kita," ujar Hay Sim Ih dengan suara sedih.
"Meskipun Tiap Tiap serta Kiam Beng bukan putra putri kandungku tetapi aku telah memandang mereka bagaikan anak kandung sendiri.
Tek Li! Kau adalah seorang pria yang suka akan anak dan aku pun tidak jauh berbeda keadaannya dengan dirimu, aku juga menyukai mereka semua, karena itu ada satu permintaan hendak kumohonkan kepadamu, aku harap kau..." "Sebenarnya apa sih yang hendak kau mohonkan" Katakanlah cepat, kenapa kau tidak berterus terang..." seru Cui Tek Li tidak sabaran lagi.
Hay Sim Ih menghela napas panjang.
"Baru-baru ini bukankah dalam benteng kita telah kedatangan dua orang pemuda?" "Siapa yang beritahu kepadamu?" seru Cui Tek Li dan air muka berubah hebat, "dari mana kau bisa mengetahui akan hal ini?" Hay Sim Ih tertawa dingin.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... kau anggap setiap kejadian yang berlangsung dalam benteng ini tidak diketahui olehku" Tek Li, aku merasa sangat keheranan, kenapa kau perlu merahasiakan banyak persoalan di hadapanku" Apakah kau telah menganggap aku sebagai istri dari musuh besarmu" Orang bodoh bukankah aku telah berhasil kau rampas?" "Sim Ih kau jangan salah paham, seru Cui Tek Li dengan wajah pucat pias bagaikan mayat.
"Salah paham?" ejek Hay Sim Ih dengan suara dingin.
"Hmmm! Kau tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi suamiku, maka menggunakan kesempatan di kala aku sedang cekcok dengan Pek Tiang Hong dan pergi tinggalkan rumah, kau telah menculik aku datang kemari, apakah tujuanmu" Aku rasa dalam hati kecilmu sudah punya perhitungan sendiri, sekarang persoalan telah berlalu banyak tahun, apakah kau masih begitu tega untuk menghadapi satu-satunya putraku" Tek Lie! Sungguh kejam hatimu..." "Sim Ih, terlalu banyak yang kau pikirkan," bisik Cui Tek Li sambil gelengkan kepalanya.
"Hmm! Permintaanku tidak banyak, aku hanya berharap agar kau jangan menyusahkan Pek In Hoei." "Tidak bisa, inilah saatnya yang kunanti-nantikan selama ini, aku tak dapat melepaskan dirinya dengan begitu saja," seru pemilik Benteng Kiam-poo dengan sinar buas memancar keluar dari balik matanya.
Sekujur badan Hay Sim Ih gemetar keras.
"Kenapa kau hadapi dirinya dengan cara demikian keji?" "Hmmm! Siapa suruh dia jadi putranya Pek Tiang Hong" Karena perbuatan Pek Tiang Hong hidupku jadi amat menderita, ia bisa mendapat akibat semacam ini itulah hasil karya dari perbuatannya sendiri." "Jadi kalau begitu, kau tak akan melepaskan Pek In Hoei begitu saja!" bentak Hay Sim Ih dengan penuh kegusaran.
"Sedikit pun tidak salah, tak seorang manusia pun yang sanggup menghalangi niatku ini." Setelah mendengar perkataan yang begitu ketus, tegas dan sama sekali tidak berperasaan, Hay Sim Ih merasa hatinya jadi dingin separuh, air mata mengembang dalam kelopak matanya, dengan gusar ia berteriak : "Apakah kau telah memikirkan akibat yang bakal kau terima atas perbuatanmu itu?" "Haaaah...
haaaah... haaaah... akibat apa yang harus kutanggung?" ejek Cui Tek Li sambil tertawa bergelak, "asal kubunuh mati Pek In Hoei, maka dalam kolong langit sudah tak terdapat orang yang kupandang sebelah mata pun.
Hmmm... hmm... bila sukma Pek Tiang Hong di alam baka bisa mengetahui akan kejadian ini, maka dia akan mengerti dengan cara apakah aku orang she Cui telah menghadapi dirinya." Dengan suara yang menyeramkan ia tertawa keras, ujarnya kembali : "Sekalipun Pek Tiang Hong sudah mati tetapi dendam permusuhan dengan dirinya belum selesai, asal aku masih mempunyai kesempatan untuk membalas dendam terhadap keturunan keluarga Pek, aku akan melakukannya peduli dengan cara macam apa pun jua." "Bagus...
bagus... sekarang aku baru kenal manusia macam apakah dirimu itu," jerit Hay Sim Ih dengan suara terperanjat.
"Hmmm... hmmm... Sim Ih, Pek In Hoei toh bukan anak kandungmu sendiri, kenapa kau mesti mengurusi soal mati hidupnya" Lagi pula kau kan sudah seharusnya membantu diriku untuk melenyapkan bibit bencana ini." "Hmmm..." dengan suara berat Hay Sim Ih mendengus, serunya dengan sinis, "aku tidak akan membantu dirimu untuk melakukan kejahatan, cukup meninjau caramu dari masa yang silam di mana kau menggunakan keselamatan dari putraku serta Pek Tiang Hong untuk memaksa aku kawin dengan dirimu, aku sudah tahu bahwa kau adalah seorang manusia rendah yang sudah bejad moralnya, sayang pada waktu itu hatiku jadi ketakutan oleh ancamanmu itu, asal aku bisa menyelamatkan jiwa suamiku serta anakku, aku rela mengorbankan segala-galanya yang kumiliki."
Ia berhenti sejenak, kemudian dengan wajah penuh kegusaran lanjutnya kembali : "Selama hidup aku sukar untuk melawan hawa kesal dan mangkel yang mengeram dalam dadaku, kau telah merusak nama baikku juga telah menghancurkan suamiku, sekarang kau hendak melenyapkan pula putraku...
Cui Tek Li! Aku benar- benar tidak mengerti, sebenarnya apa saja yang kau pikirkan dalam hatimu yang busuk itu..." Cui Tek Li nampak tertegun.
"Dari mana kau bisa tahu kalau Pek Tiang Hong mati lantaran aku yang mencelakai jiwanya..." ia berseru.
Sebenarnya Hay Sim Ih sama sekali tidak tahu kalau kematian dari Pek Tiang Hong sebenarnya ada sangkut pautnya dengan Cui Tek Li, hanya saja secara diam-diam ia telah mencurigai persoalan ini, untuk membuktikan kebenaran ini maka dengan mempergunakan kata-kata ia berusaha memancing kegusaran orang.
Dan ternyata dalam gusarnya Cui Tek Li telah mengakui bahwa perbuatan itu punya sangkut paut dengan dirinya, hal ini membuktikan pula bahwa dugaan yang selama ini bersarang dalam dada perempuan tua itu sedikit pun tidak salah...
Nampaklah air muka Cui Tek Li seketika berubah hebat setelah perkataan itu meluncur keluar dari mulutnya, dengan sikap tegang dan sorot mata memancarkan cahaya tajam ia tatap wajah Hay Sim Ih tanpa berkedip, pelbagai perasaan berkecamuk jadi satu di atas raut mukanya.
Hay Sim Ih tertawa dingin, serunya : "Kalau menginginkan orang lain tidak tahu kecuali kalau kau sendiri tak pernah melakukannya, kau anggap perbuatan yang pernah kau lakukan bisa selamanya mengelabui kolong langit" Hmm! Sebenarnya tak ada persoalan yang bisa dirahasiakan dalam kolong langit, seperti pula segala perbuatan yang telah kau lakukan tak sebuah pun yang lolos dari pengawasanku." "Hmmm! Aku tahu bahwa kau masih belum dapat melupakan Pek Tiang Hong, maka memandang semua perbuatanku kau merasa tidak sedap dan mencolok pandangan," teriak Cui Tek Li dengan penuh kebencian, "Anggap saja Pek Tiang Hong memang mati di tanganku sekarang, kau mau apa?" "Jadi kalau begitu kau telah mengaku," seru Hay Sim Ih dengan wajah berubah hebat.
"Hmmm! Kenapa aku tak berani mengaku juga" Sedikit pun tidak salah! Pek Tiang Hong memang mati di tanganku, kecuali aku..." "Kau...
kau manusia berhati binatang," jerit Hay Sim Ih dengan suara yang tinggi melengking.
Meskipun Cui Tek Li merupakan seorang pria yang kejam dan berhati buas, tetapi setelah menyaksikan Hay Sim Ih menjadi naik pitam, ia segera gelengkan kepalanya dan tertawa ujarnya : "Pikirlah yang lebih terbuka, persoalan ini sudah lewat..." "Hmm! Anggaplah mataku yang buta," seru Hay Sim Ih dengan suara dingin, "sepanjang masa aku harus hutang kepada kalian keluarga Cui, karena kau membuat aku tidak mempunyai keberanian untuk melanjutkan hidupku, Tek Li...
aku harap kau segera keluar dari sini, biarkanlah aku duduk seorang diri di tempat ini..." "Ehmm...! Baiklah, mungkin dengan berbuat demikian pikiranmu akan lebih terbuka..." Ketika Cui Tek Li sudah melangkah pergi beberapa tindak dari ruangan itu, tiba-tiba Hay Sim Ih berseru kembali : "Tunggu sebentar, aku mempunyai persoalan yang hendak ditanyakan kepadamu..." "Persoalan apa?"" tanya pria itu tertegun.
"Kau bersiap-siap kapan hendak menghadapi Pek In Hoei..." "Tentang persoalan ini...
tidak sepantasnya kau ikut tahu..." sahut Cui Tek Li kemudian dengan sorot mata memancarkan cahaya bengis.
Hay Sim Ih mendengus. "Hmm! Benarkah kau tak dapat melepaskan bocah itu dalam keadaan hidup..." serunya.
Cui Tek Li geleng kepala.
"Aku tidak memiliki hati sebaik itu! Tak mungkin aku lepaskan dirinya dengan begitu saja, kau tak pernah berkecimpung di dalam dunia persilatan dan tak mengerti kelicikan serta bahayanya dunia persilatan, bila aku tidak membinasakan dirinya maka dia akan membunuh diriku, siapa yang turun tangan lebih dahulu dialah yang akan mendapat keuntungan, karena itu aku tidak akan membiarkan Pek In Hoei turun tangan terlebih dahulu..." Dengan putus asa Hay Sim Ih menghela napas panjang.
"Pergilah..." ia berseru, "aku tidak memiliki kekuatan untuk membatalkan niatmu membinasakan bocah itu, tetapi...
kau harus pertimbangkan kembali persoalan ini sebaik-baiknya, resiko yang harus kau tanggung akibat perbuatanmu ini terlalu berat..." "Hmmm...
hmmm... tentu saja! Dan kau tak usah menguatirkan tentang persoalan itu..." Di tengah suara tertawa dingin yang menyeramkan, perlahan-lahan ia tinggalkan tempat itu...
Memandang bayangan punggungnya hingga lenyap dari pandangan, Hay Sim Ih hanya dapat berjalan mondar mandir dalam ruangan itu dengan hati gelisah, air mata tanpa terasa jatuh bercucuran membasahi pipinya.
Fajar telah menyingsing, sang surya memancarkan cahaya keemas-emasan dari arah sebelah timur...
di bawah sorot sinar sang surya Benteng Kiam-poo nampak begitu hening dan sunyi...
Taaang...! Suara genta yang berbunyi nyaring menggema dari loteng bangunan benteng itu dan bergeletar di angkasa...
Suara itu mengalun hingga di tempat yang amat jauh dan membangunkan semua anggota Benteng Kiam-poo dari alam impian.
Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei serta Lu Kiat perlahan-lahan munculkan diri dari ruang tamu, sejak pertemuan dengan ibu kandungnya kemarin malam Pek In Hoei semalam suntuk tak dapat tidur, pagi itu wajahnya nampak murung dan sepasang matanya merah membengkak.
Lu Kiat nampak mengerling sekejap sekeliling tempat itu, lalu berbisik dengan suara lirih : "Adik In Hoei, kapan kita akan keluar dari benteng ini?" Pek In Hoei berpikir sebentar, kemudian menjawab : "Sore nanti kita akan segera berangkat..." "Pertarungan yang bakal terjadi pastilah suatu pertarungan yang seru, kita harus menghadapinya dengan hati-hati..." "Hemmm! Lu toako, aku akan berusaha untuk menantang Cui Tek Li berduel satu lawan satu." Sementara ke-dua orang itu sedang bercakap-cakap dengan suara lirih, Cui Kiam Beng dengan diiringi beberapa orang pria kekar munculkan diri dari sudut benteng sebelah lain, ia melotot sekejap ke arah Pek In Hoei dengan penuh kebencian kemudian maju menghampirinya.
Pek In Hoei menyaksikan kemunculan orang itu, sepasang alisnya segera berkerut kencang, pikirnya : "Ada urusan apa bocah keparat itu datang kemari?" Dalam pada itu Cui Kiam Beng telah tiba di hadapan si anak muda itu, sambil melotot ke arah Pek In Hoei ujarnya : "Hey manusia she Pek, bagaimana kalau kita mencari tempat untuk bercakap-cakap..." "Huuuh...! Kau ini manusia macam apa" Dengan mengandalkan hak apa kau ajak aku bercakap- cakap?"?" Cui Kiam Beng tertegun, ia tidak menyangka kalau sikap Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei begitu sombong dan jumawa, ternyata ia sama sekali tidak memberi muka kepadanya.
Karena gusar bercampur mendongkol, pemuda she Cui itu segera angkat kepala dan tertawa terbahak- bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... sahabat Pek, kau janganlah terlalu bikin susah orang lain..." "Kenapa" Apakah kedatanganmu atas suruhan dari bapakmu?" ejek Pek In Hoei sambil tertawa dingin.
"Itu sih bukan, aku ingin menggunakan kedudukan sebagai orang biasa untuk mengajak kau membicarakan suatu masalah pribadi, bila kau tidak suka memberi muka kepadaku...
hmmm... hmmm..." Ia tertawa serak, setelah berhenti sebentar sambungnya : "Akibatnya sukar untuk dipikirkan dengan kata-kata..." Pek In Hoei segera mendengus dingin.
"Hmmm! Kita mau berbicara di mana" Kau boleh katakan saja, aku pasti akan hadir..." Cui Kiam Beng berpikir sebentar, lalu jawabnya : "Di sebelah belakang benteng ini terdapat sebuah hutan yang luas di sana jarang ada orang yang berkunjung ke situ, aku rasa tempat itulah merupakan suatu tempat yang cocok bagi kita untuk membicarakan urusan pribadi..." Pek In Hoei melirik sekejap ke arah Lu Kiat, kemudian mengangguk.
"Baiklah, kita akan berjumpa di situ..." katanya.
Cui Kiam Beng segera tertawa keras dengan suara yang menyeramkan.
"Aku harap kau jangan melarikan diri di kala menghadapi pertarungan nanti, di tempat ini hanya ada orang-orangku..." Belum habis ia berkata tubuhnya sudah berputar dan sambil memimpin orang-orang kepercayaannya ia kembali menuju ke arah benteng...
Hutan yang lebat di belakang benteng Kiam-poo terasa amat hening, kecuali bau busuk daun-daun yang rontok ke bumi yang terdengar hanyalah bunyi kicauan burung yang bersahut-sahutan.
Baru saja Cui Kiam Beng melangkah masuk ke dalam hutan itu, terdengarlah dari balik pepohonan berkumandang keluar suara gelak tertawa seseorang diikuti suara teguran menggema datang : "Kiam Beng, apakah bocah keparat itu sudah datang?"?" "Ibu angkat, bajingan cilik itu..." Soat Hoa Nio Nio munculkan diri dari balik pohon, dengan suara dingin selanya kembali : "Rasa dongkol yang mengeram dalam hatiku sudah tak dapat ditahan lagi, selama aku si nenek tua berada di dalam Benteng Kiam-poo belum pernah dihina serta merasa malu seperti kali ini, sungguh tak nyana aku sudah jatuh kecundang di tangannya...
Hemmm... ini hari kita berdua harus musnahkan dirinya dari muka bumi!" "Ibu angkat, aku sangat kuatir ayah mengetahui akan peristiwa ini," ujar Cui Kiam Beng dengan wajah murung, "bila ia mengetahui akan persoalan ini ayah pasti akan naik pitam, dia orang tua paling benci kalau lihat aku patah semangat dan tidak punya keberanian." "Hmmm! Hmmm...
apa yang kau takuti" Semua persoalan ini akulah yang akan bertanggung jawab," teriak Soat Hoa Nio Nio sambil mendengus dingin, "bila bapakmu menegur maka katakanlah aku si nenek tua yang suruh kau berbuat demikian." "Bocah setan, kau benar-benar tak becus," bentak Soat Hoa Nio Nio dengan penuh kegusaran, tokh ada aku bertanggung jawab apa yang mesti kau takuti lagi" Seorang lelaki sejati berani berbuat berani bertanggung jawab maka barua bisa menggetarkan seluruh kolong langit..." "Oooh...
ya... Jago Pedang Berdarah Dingin..." tiba-tiba dari luar hutan berkumandang datang suar seruan seorang pria, "siau poocu, orang she Pek itu telah datang..." Dengan pandangan dingin Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei memandang sekejap ke arah mereka, kemudian bersanding dengan Lu Kiat perlahan-lahan masuk ke dalam hutan, raut wajah mereka berdua menampilkan kekerasan hati, kesombongan serta kejumawaan, seakan-akan tak seorang manusia pun yang dipandang olehnya: Cui Kiam Beng tertawa seram, lalu berkata : "Ibu angkat, keparat she Lu itu pun ikut datang..." Soat Hoa Nio Nio tidak menanggapi, ia loncat ke depan dan berseru : "Pek In Hoei, kemarin kau nampak gagah sekali..." "Oooh...
sungguh tak kusangka Cui heng telah mengundang datang gurunya," ejek Pek In Hoei dengan suara dingin, "kemarin aku telah minta petunjuk tentang kelihayan ilmu silatnya, ini hari apakah kau masih ada minat untuk turun tangan kembali..." "Kekalahan yang kuderita kemarin hari akan kutagih lipat ganda pada saat ini, Pek In Hoei, aku si nenek tua paling gemar mencari menangnya sendiri, bila kau hendak suruh aku mengaku kalah, Hmmm...! bukanlah suatu urusan yang gampang..." Pek In Hoei mendengus dingin.
"Kemarin setelah kuampuni selembar jiwamu, seharusnya kau mengerti dan tahu tingginya langit dan tebalnya bumi, sungguh tak nyana bukan saja kau tak jeri, malahan berani datang kembali untuk mencari kematian.
Haaaah... haaaah... haaaah... , nenek sialan, kau harus tahu nasib mujur selamanya tidak berada di sisi tubuhmu, mungkin hari ini adalah saat ajal bagimu." "Tutup mulutmu, anjing!" jerit Soat Hoa Nio Nio dengan wajah berubah hijau membesi karena menahan marah yang meluap-luap, "kau tak usah berlagak sok di hadapanku, aku si nenek tua berani mengundang kau datang kemari, berarti aku mempunyai cara pula untuk menghadapi dirimu.
Hey orang muda! Kau jangan terlalu percaya pada diri sendiri, ada banyak orang yang musnah akibat terlalu percaya pada diri sendiri." "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... nenek tua, kau jangan terlalu sombong," ejek Pek In Hoei pula sambil tertawa dingin.
Banyak orang mati di ujung pedangku karena ia terlalu menjual lagak di hadapanku, aku harap kau bisa berpikir yang matang lebih dahulu sebelum bertindak." "Hmm!" Cui Kiam Beng segera maju satu langkah ke depan, "Ibu angkat, apa sih gunanya kita banyak bicara dengan keparat cilik ini, lebih baik kita segera turun tangan..." Dari balik rimba yang gelap tiada hentinya tersiar bau busuk daun yang memenuhi permukaan tanah, kicauan burung bergema memecahkan kesunyian yang mencekam di sekeliling tempat itu, sorot cahaya sang surya menyelinap masuk lewat celah-celah daun yang rapat membuat suasana nampak sedikit cerah.
Cui Kiam Beng sengaja memilih tempat yang sangat rahasia letak ini, tujuannya yang sangat terutama bukan lain adalah agar jangan sampai mengejutkan pemilik Benteng Kiam-poo Cui Tek Li, karena sebelum ayahnya turunkan perintah maka siapa pun dilarang menyusahkan diri si anak muda itu...
Cui Kiam Beng sambil memimpin beberapa puluh orang anak buah kepercayaannya mengepung rapat sekeliling hutan rimba itu, dengan pandangan dingin ia menatap wajah Pek In Hoei, sinar mata yang terpancar keluar kian bertambah bengis, begitu bencinya pemuda itu terhadap lawannya sehingga ingin sekali ia telan musuhnya bulat-bulat.
Air muka Soat Hoa Nio Nio pun dingin dan sama sekali tidak berperasaan, selama hidup ia tersohor karena kesombongan serta kesadisannya, peduli persoalan apa pun sulit untuk memancing rasa kasihan atau rasa simpatiknya, karena dia adalah seorang perempuan yang tersohor karena tak punya perasaan.
Hanya Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei seorang yang bersikap paling tenang dan mantap seakan-akan tiada terjadi sesuatu apa pun ia tatap jago lihay dari Benteng Kiam-poo yang tak takut mati itu, senyuman sinis dan penuh ejekan tersungging di ujung bibirnya, napsu membunuh telah menyelimuti wajahnya yang tampan membuat keadaannya nampak tidak serasi...
Yang paling tegang di antara beberapa orang itu adalah Lu Kiat, jantungnya terasa berdebar keras, mengikuti kemunculan dari gerombolan manusia itu ketegangan yang ditampilkan kian lama kian bertambah tebal, ia bukan tegang lantaran memikirkan keselamatan sendiri, yang dia kuatirkan adalah cara keji apa yang hendak dipergunakan Soat Hoa Nio Nio serta Cui Kiam Beng untuk menghadapi dirinya serta Pek In Hoei...
sorot mata yang tajam tanpa berkedip menatap terus setiap gerak gerik dari perempuan itu...
Suatu ketika Cui Kiam Beng tertawa seram, ujarnya : "Ibu angkat, aku rasa kita tak usah menanti lagi..." "Sudahkah kau undang datang Han San sianseng?" Cui Kiam Beng tertegun, lalu sahutnya : "Ibu angkat dengan kekuatan yang kita miliki rasanya masih cukup untuk menghadapi bangsat she Pek itu, apa gunanya kita undang datang Han San sianseng kakek tua yang kukoay itu." "Kau mengerti apa?" bentak Soat Hoa Nio Nio dengan nyaring, "seandainya Han San sianseng tidak datang, apakah kau yakin bisa menangkan permainan pedang dari manusia she Pek itu?"?"
"Ehmm?" dengan penuh kebencian Cui Kiam Beng melirik sekejap ke arah Pek In Hoei, "aku tidak percaya dengan orang-orangku masih belum mampu untuk menghadapi seorang Jago Pedang Berdarah Dingin." Pek In Hoei segera tertawa dingin.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... apa yang diucapkan ibu angkatmu sedikit pun tidak salah," ejeknya, "lebih baik undanglah datang jago lain yang jauh lebih hebat, dengan andalkan kekuatan yang kau miliki itu, bila ingin bertarung melawan aku rasanya masih terpaut terlalu jauh." "Omong kosong..." jerit Cui Kiam Beng dengan penasaran, "kau jangan terlalu rendah memandang orang lain, aku she Cui yang pertama-tama akan minta pelajaran darimu." Sang kawan meloncat maju ke depan, tangan kanan diangkat dan pedangnya laksana titiran air hujan bergetar membentuk berkuntum-kuntum bunga pedang di tengah-tengah udara, cahaya berkilauan segera memancar di udara dan amat menyilaukan mata...
"Aku lihat lebih baik tenangkanlah hatimu lebih dulu," ejek Pek In Hoei lagi dengan suara hambar, "hati- hatilah, jangan sampai selembar jiwamu pun ikut melayang dengan percuma.
Cui Kiam Beng! Memandang di atas wajah encimu, aku nasehati dirimu lebih baik sedikitlah tahu diri..." Ucapan itu diutarakan keluar sepatah demi sepatah, nada yang dingin dan meyakinkan itu membuat sekujur badan Cui Kiam Beng bergetar, suatu perasaan tercekat terlintas di atas wajahnya, sekali pun pedang telah diloloskan namun dengan sikap ragu-ragu ia tetap berdiri kaku di tempat semula.
Beberapa saat kemudian ia berteriak keras : "Kentut busuk makmu, aku tak sudi kau lepaskan karena memandang di atas wajah enciku!" "Itu kan urusanku, apa hubungannya dengan dirimu..." Cui Kiam Beng dengan kedudukannya sebagai pemilik muda Benteng Kiam-poo setelah berulang kali jatuh di bawah angin di hadapan anak buahnya, hawa gusar seketika berkobar dalam dadanya, pedang digetarkan dan sambil meraung keras ia terjang tubuh jago pedang berdarah dingin, sebuah tusukan kilat segera dilancarkan.
"Cui-heng, akulah yang akan melayani permainanmu itu..." seru Lu Kiat sambil loncat maju ke depan.
Tubuhnya dengan lincah berkelebat ke muka dan tahu-tahu sudah menghadang jalan pergi Cui Kiam Beng dengan ilmu silat yang sangat lihay dia segera mengirim satu babatan maut ke depan.
Tercekat hati Cui Kiam Beng ketika merasa munculnya segulung angin pukulan yang terwujud menerjang dadanya, dengan cepat ia bergeser ke samping bentaknya : "Enyah kau dari sini..
aku tiada urusan dengan dirimu!" "Hmmm! Apakah Cui-heng merasa tidak sudi bertempur melawan diriku"...
seru Lu Kiat dingin. "Yang kucari sama sekali bukan dirimu, aku harap kau jangan terlalu suka mencampuri urusan orang lain..." "Ciu heng, bila kau bertempur melawan diriku mungkin selembar jiwamu itu masih dapat dipertahankan, tetapi bila kau bersikeras hendak turun tangan melawan saudaraku itu...
Hmmm... hmmm... aku percaya sekali pun kau miliki cadangan nyawa sebanyak dua puluh pun akan lenyap semua di ujung telapaknya." "Hmmm! Aku tidak percaya..." Lu Kiat segera tertawa dingin.
"Apa yang kukatakan adalah nasehat yang baik demi keselamatan, tetapi bila kau tidak percaya tak ada halangan untuk menantang ia berduel, tetapi sebelum itu lebih baik carilah kabar berita lebih dahulu dari anak buahmu, pernahkah korban yang bertarung melawan Jago Pedang Berdarah Dingin selama berada di dunia persilatan berhasil lolos dalam keadaan selamat." "Hmmm! Lebih baik kau tak usah mengibul baginya." Pek In Hoei tertawa dingin, ia melirik sekejap ke arah Cui Kiam Beng lalu berkata : "Lu toako, apa sih gunanya kau bersilat lidah dengan manusia semacam itu" Kalau ia tidak percaya biarlah maju sendiri ke depan, kali ini ku tak akan berlaku sungkan seperti tempo dulu, asal ia berani bertarung melawan aku maka itu berarti ia mencari jalan kematian buat diri sendiri." "Bagaimana?" kata Lu Kiat pula dengan nada menghina, "sudah kau dengar bukan perkataannya itu" Sebetulnya aku orang she Lu merasa kasihan bila menyaksikan kau yang semuda ini harus mati konyol, maka aku bermaksud menasehati dirimu agar tahu diri, tetapi bilamana kau memang tak kenal tingginya langit dan tebalnya bumi...
baiklah, aku pun tak mau banyak berpikir lagi, terserah kau sendiri yang harus memikul resiko tersebut..." Hampir saja Cui Kiam Beng muntah darah segar saking mendongkolnya setelah mendengar tanya jawab pihak lawan yang kesemuanya bernada mengejek itu, sekujur badannya gemetar keras, sepasang matanya melotot bulat-bulat, tetapi berhadapan dengan dua orang jago lihay yang maha ampuh itu untuk sesaat ia jadi kehabisan akal dan tak tahu apa yang mesti dilakukan.
Terpaksa ia alihkan sorot matanya yang penuh memohon bantuan itu ke arah Soat Hoa Nio Nio, siapa tahu nenek tua entah sengaja atau tidak sengaja kebetulan sekali sedang mengalihkan pandangannya ke arah lain, terhadap tanda mohon bantuannya itu sama sekali tidak ambil peduli..." Hal ini semakin membuat pemuda itu mendongkol, dengan suara yang mengerikan ia berseru : "Aku orang she Cui lebih rela mati di tangan kalian, daripada harus mati karena ketakutan..." "Kalau memang begitu silahkan untuk turun tangan," ujar Lu Kiat dengan suara dingin, "aku tahu bahwa kau tak akan mengucurkan air mata sebelum melihat peti mati tetapi kau mesti waspada sebab inilah kesempatan terakhir bagimu, bila kau bersikeras hendak turun tangan maka kemungkinan besar kau tak sempat lagi untuk melihat terbitnya sang surya di kala fajar baru menyingsing besok pagi." "Kentut busuk makmu, aku akan bertarung melawan dirimu lebih dahulu," teriak Cui Kiam Beng.
Pedangnya segera digetarkan ke depan, kilatan cahaya senjata segera meluncur ke muka dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Lu Kiat mengigos ke samping, sambil tertawa dingin ejeknya : "Sepantasnya sejak tadi kau telah turun tangan, bukankah aku sudah menunggu kedatanganmu sedari tadi?" Tercekat juga hati Cui Kiam Beng ketika menyaksikan serangan babatan pedangnya, berhasil dihindari oleh lawannya dengan suatu gerakan yang sangat aneh, seketika ia sadar bahwa ilmu silat yang dimiliki lawannya sama sekali tidak berada di bawah ilmu silat sendiri.
Ia tarik napas panjang, pelbagai ingatan berkelebat dalam benaknya, ia berpikir dengan cara apakah ia harus berbuat untuk menusuk mati Lu Kiat di ujung senjatanya.
"Bila aku tak mampu meringkus orang she-Lu ini...
Hmmm! Akan kutaruh di mana raut wajahku ini...
bila ayah mengetahui akan kejadian ini, dia orang tua pasti akan mati karena mendongkol." Setelah ingatan tersebut muncul dalam benaknya, pemuda itu semakin waspada lagi, pergelangannya digetarkan perlahan, ujung pedang seketika berubah jadi sekilas cahaya tajam dan langsung mengurung sekujur badan Lu Kiat.
Seakan-akan pemuda she-Lu itu ada maksud untuk memancing kegusaran Cui Kiam Beng, meskipun berhadapan dengan serangan pedang yang amat lihay namun ia sama sekali tiada maksud untuk meloloskan senjatanya, dengan sebat kembali ia mengigos ke samping, telapaknya dengan tajam balas mengirim beberapa kelebatan ke depan.
Secara beruntun Cui Kiam Beng telah melancarkan tujuh delapan buah tusukan namun bukan saja ujung baju lawan tak mampu ditowel, bahkan gerakan apa yang dipergunakan lawannya untuk menghindar pun tak sempat ia lihat jelas, hal ini semakin mengejutkan hatinya.
"Pertarungan macam apakah ini?" teriaknya.
"Tanpa turun tangan saja kau sudah tak mampu mempertahankan diri, apalagi bila aku lancarkan serangan balasan," seru Lu Kiat dengan suara hambar, "Haaaah...
haaaah... haaaah... saudara, bila aku balas menyerang maka kau tak akan seringan ini...
bukankah begitu Cui heng?" Meskipun di luaran ia berkata dengan enteng, diam- diam hatinya terkejut juga oleh kesebatan serta kecepatan gerak pedang lawannya, peluh dingin mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya...
Bagian 37 "OMONG KOSONG!" teriak Cui Kiam Beng dengan penuh kegusaran, "orang she Lu cabut pedangmu...
bila aku berhasil menangkan dirimu dengan cara ini maka kemenangan ini kuraih dengan kurang cemerlang...
orang she Lu, aku harap kau jangan terlalu memaksa diriku..." Menyaksikan raut wajahnya yang sudah diliputi kemarahan itu, diam-diam Lu Kiat merasa kegelian, ia memang ada maksud memancing kegusaran pemuda itu, maka sambil tertawa dingin kembali ejeknya : "Dengan tangan kosong pun kau tak mampu mempertahankan diri, apalagi bila kuloloskan pedangku, mungkin kau bisa keok!" Air muka Cui Kiam Beng berubah jadi hijau membesi, sekujur badannya gemetar keras, sepasang mata memancarkan cahaya berapi-api...
hampir saja dadanya meledak karena kegusaran, tubuhnya menerjang maju ke depan tetapi beberapa langkah kemudian kembali ia berhenti.
Soat Hoa Nio Nio tidak tahan menyaksikan keadaan tersebut, ia segera mendengus dingin, serunya : "Kiam Beng, tenangkan hatimu..." "Ibu angkat, aku..." "Pergilah dari sini dan undanglah Han San sianseng, tanpa kehadirannya siapa pun tak bisa menangkan mereka berdua..." bisik perempuan tua itu sambil menggeleng.
Cui Kiam Beng tahu bahwa Han San sianseng adalah seorang tokoh sakti yang kecuali Soat Hoa Nio Nio yang mengetahui asal usulnya mungkin Cui Tek Li sendiri pun tidak mengetahuinya, mendengar desakan tersebut terpaksa pemuda itu mengangguk.
"Baik..." katanya.
"Kalau kalian berdua memang jantan, tunggulah di sini..." seru Cui Kiam Beng sambil melirik sekejap ke arah Pek In Hoei serta Lu Kiat dengan pandangan penuh kebencian.
"Hmmm! bangsat bermulut usil, lebih baik jangan banyak bacot di tempat ini," tukas Pek In Hoei dengan nada dingin, "kalau mau undang bala bantuan cepatlah pergi, tapi ingat, cari saja beberapa orang yang benar-benar bisa dianggap sebagai seorang manusia, kalau tidak kami akan menanti dengan sia- sia belaka...
kami pasti akan menantikan kedatanganmu di tempat ini, aku akan menunggu sampai kau pulang kembali untuk menghantar kematianmu sendiri..." Dengan penuh kebencian Cui Kiam Beng mendengus dingin, setelah menyapu sekejap wajah Jago Pedang Berdarah Dingin dengan pandangan yang penuh rasa kebencian, ia putar badan dan berlalu dari sana.
"Adikku..." tiba-tiba dari tengah udara berkumandang datang suara panggilan yang merdu dan nyaring, Cui Tiap Tiap sambil loncat masuk ke dalam gelanggang serunya kembali : "Adikku, kau hendak pergi ke mana?" "Lebih baik kau tak usah mencampuri urusanku," tukas Cui Kiam Beng sambil tertawa getir.
"Kenapa aku tak boleh mencampuri urusanmu?" bentak Cui Tiap Tiap penuh kegusaran, "kau toh belum mendapat persetujuan dari ayah, kenapa kau begitu berani membikin gara-gara dengan Pek In Hoei" Hmmm! Berdasarkan persoalan ini aku sudah punya hak untuk mencampuri urusan." "Enci...
kenapa kau malah membantu orang lain" Apakah kau rela menyaksikan adik kandungmu dihajar orang?" seru Cui Kiam Beng sesudah tertegun sebentar.
"Hmmm! Kau tak usah ngaco belo dan menuduh diriku dengan tuduhan yang bukan-bukan, aku tidak akan membantu pihak mana pun juga, dan siapa pun dilarang melangsungkan pertarungan secara pribadi di tempat ini...
kau tahu apa sebabnya Benteng Kiam- poo bisa tersohor di kolong langit dan disegani orang" Itu bukan karena kita punya ilmu pedang nomor satu di kolong langit, juga bukan karena orang kita amat banyak, yang penting adalah karena kita mempunyai kerja sama yang erat dan mau bergotong royong...
Dan sekarang, kau sebagai salah seorang anggota benteng ternyata berani bertindak dengan melanggar peraturan Benteng Kiam-poo yang sudah berlangsung banyak tahun, dapatkah kau bayangkan betapa gusarnya ayah jika mengetahui akan kejadian ini" Dan sudahkah kau bayangkan hukuman apa yang bakal ditimpakan kepada dirimu..." Cui Kiam Beng segera tertawa dingin setelah mendengar perkataan encinya yang panjang lebar itu.
"Enci!" serunya dengan tak senang hati, "cukup sudah nasehatmu yang panjang lebar itu, aku sudah muak dan sebel mendengarkan kesemuanya itu...
dan sekarang aku harap enci segera tutup mulut! Selama ini dalam persoalan apa pun juga kau hendak merintangi diriku...
Hmmm! Terang-terangan kukatakan kepadamu, hari ini aku tak akan doyan menelan permainanmu itu..." Pada dasarnya pemuda ini sedang mendongkol karena sudah dipermainkan oleh Pek In Hoei berdua tanpa bisa membalas, sekarang melihat encinya banyak bicara maka tak bisa dicegah lagi semua rasa dongkol yang sudah tertimbun dalam dadanya langsung dilampiskan kepada gadis itu, bukan saja perkataannya pedas didengar bahkan tidak sungkan- sungkan dan penuh mengandung sindiran.
Cui Tiap Tiap tentu saja semakin marah sekujur tubuhnya gemetar keras karena menahan emosi.
"Adikku, kau... kau..." jeritnya. "Kenapa aku?" jengek Cui Kiam Beng sambil maju melangkah ke depan, "enci! Dengarkan baik-baik peringatanku ini, aku larang kau mencampuri urusanku...
mengerti?"?"" Mimpi pun Cui Tiap Tiap tak pernah menyangka kalau adik laki-lakinya yang selama ini disayang dan dimanja olehnya bukan saja bersikap kasar terhadap dirinya, bahkan menyindir pula dengan kata-kata yang pedas.
Gadis cantik ini tak bisa menahan rasa sedihnya lagi, sambil menggeleng ia berbisik : "Aku tahu kalau kau telah dewasa...
aku pun tahu dalam pandanganmu ada atau tidak enci seperti diriku ini sama saja bagimu...
tetapi aku ingin memperingatkan pula kepadamu, kau mesti tahu jalan menuju ke arah sesat gampang ditempuh, tapi untuk berbuat kebaikan sulit bukan kepalang, seandainya suatu hari..." "Pergi...
pergi... cepat enyah dari sini," tukas Cui Kiam Beng sambil ulapkan tangannya berulang kali, "lebih baik kurangi saja banyolanmu yang memuakkan itu..." "Kau...
kau telah berubah sama sekali, kau telah berubah jadi mengerikan...


Imam Tanpa Bayangan Bagian 2 Karya Xiao Say di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hampir saja aku tak percaya kalau kau bisa berubah jadi begitu..." Cui Kiam Beng tak menggubris perkataan kakaknya lagi, baikan tidak mendengar perkataan itu sambil tertawa dingin tiada hentinya pemuda itu putar badan dan lari keluar dari hutan.
Memandang bayangan punggung adiknya yang lenyap dari pandangan, titik air mata tak tahan lagi mengucur keluar membasahi wajahnya, ia melotot sekejap ke arah Soat Hoa Nio Nio dengan pandangan mendongkol kemudian berseru : "Soat Hoa cianpwee, kenapa kau tidak urusi dirinya" Coba kau lihat ia jadi semakin binal dan tak karuan..." Dengan nenek tua ini selama hidup Cui Tiap Tiap merasa paling tidak cocok, bahkan boleh dibilang dia agak benci terhadap nenek ini, sekali pun di luaran ia sebut cianpwee kepadanya tetapi dalam hati kecilnya sedikit pun tidak pandang sebelah mata terhadap Soat Hoa Nio Nio, sebab ia tahu bahwa nenek tua ini sering kali mengajarkan perbuatan-perbuatan yang tak senonoh kepada adiknya, membuat adiknya kian lama kian berubah jadi jahat dan sukar diberitahu..." "Kenapa aku mesti urusi adikmu itu?" ejek Soat Hoa Nio Nio dengan nada yang sinis, "Hmmm! Sebagai orang muda sudah sepantasnya kalau seringkali berlatih diri, kalau tidak merasakan sedikit penderitaan akibat kalah dari mana ia bisa tahu tentang lihaynya orang...
Aku rasa persoalan semacam ini bukanlah urusanmu, lebih baik jangan kau campuri lagi...
sana, pulang ke benteng."
CUI TIAP TIAP kembali tertawa dingin : "Heeeeh...
heeeeh... heeeeh... walaupun aku tidak menghalangi atau merintangi kebebasannya, tetapi aku tidak mengijinkan dia berkelahi dengan orang lain menggunakan ilmu silat keluarga, perbuatan macam itu bukan saja tak akan mendatangkan manfaat baginya, malah justru bakal mencelakai jiwanya." "Tiap Tiap..." teriak Soat Hoa Nio Nio sambil tertawa seram, tubuhnya tanpa terasa ikut bergeser maju setindak ke depan, "perhatikan dulu duduknya perkara hingga menjadi jelas, siapkah Kiam Beng" Dan siapa pula bajingan she Pek itu" Kau anggap Kiam Beng dapat dihina dan dipermainkan orang seenaknya" Apa kau tidak tahu kalau bajingan she Pek itulah yang datang mencari gara-gara" Kiam Beng sebagai anggota Benteng Kiam-poo tunduk kepala terhadap bajingan liar itu" Meskipun mungkin aku bisa menyetujui pendapatmu itu, belum tentu ayahmu bisa menyetujui, aku rasa tentang masalah ini kau tak usah ribut-ribut lagi dengan aku." Pek In Hoei ye mendengarkan banyolan nenek tua itu kontan menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
Air muka Soat Hoa Nio Nio berubah hebat, dengan penuh kemarahan ia menjerit melengking, bentaknya : "Bajingan tengik, anak jadah! Apa yang sedang kau tertawakan?" "Sungguh tak nyana kau si nenek peyot yang hampir modar bukan saja kau membolak-balikkan persoalan bahkan pintar juga menghasut orang lain dengan ucapan-ucapan yang tajam...
Hmm! Seandainya aku tidak melihat usiamu yang sudah tua dan ajalmu setiap saat suah hampir tiba, ingin sekali menyuruh kau merasakan buah karya dari ucapanmu itu." "Kentut busuk makmu..." maki Soat Hoa Nio Nio, "anak jadah sialan, kau berani memaki lo-nio" Bangsat matamu memang sudah buta semua, kalau tidak mengingat perasaan hatiku pada saat ini sedang lega, huuh! Jangan ditanya lagi akan kusuruh kau merasakan bagaimana kelihayannya lo-nio." "Nenek peyot yang hampir modar, tak usah mengeluarkan kentut busuk lagi! Kalau memang merasa hebat dan punya kepandaian, kenapa tidak dikeluarkan" Tua bangka yang bermuka tebal...
Hmmm, paling banter tong kosong bunyinya saja yang nyaring," ejek Pek In Hoei sinis.
Sudah tentu dalam hati kecilnya Soat Hoa Nio Nio sudah mengetahui jelas keadaan sebenarnya, meskipun tenaga dalam yang dimilikinya sangat lihay tapi di depan mata orang kelihayan itu tidak lebih seujung jarinya, bila sungguh terjadi pertarungan maka dia akan semakin kehilangan muka lagi.
Oleh karena itulah meskipun sangat gusar mendengar sindiran lawan, tetapi sekuat tenaga ia tekan emosinya di dalam dada dan tidak membiarkan dirinya terpengaruh oleh ejekan tersebut.
Tapi lama kelamaan ia tak tahan juga Pek In Hoei secara terang-terangan sudah menantang dirinya untuk berduel, dengan kedudukannya sebagai seorang angkatan yang lebih tua jika tak berani melayani tantangan seorang angkatan muda maka sejak itu hari dia tak mungkin lagi bisa tancapkan kakinya dalam Benteng Kiam-poo, sekali pun mukanya tebal ia pun tak akan tahan terhadap ejekan-ejekan lawan.
Sambil menggerang gusar teriaknya : "Baiklah, lo-nio akan melayani tantanganmu itu! Hmm, jangan kau anggap lihay dan tak berani memberi pelajaran kepadamu." Kecerdasan orang ini benar-benar luar biasa dan hebat sekali, dia tahu ilmu pedang yang dimiliki Pek In Hoei sangat lihay dan sukar dicari tandingannya di kolong langit, jika dia minta pelajaran tentang ilmu pedang maka sembilan puluh sembilan persen dia pasti kalah.
Oleh sebab itu begitu tubuhnya maju ke depan, ia segera menerjang si anak muda itu dengan serangan tangan kosong.
Pek In Hoei meludah ke lantai dengan pandangan menghina ejeknya : "Kau benar-benar perempuan tua yang kehilangan anak, sudah tahu air itu dingin tapi kau nekat juga untuk menceburinya.
Hmmm! Jangan salahkan kalau aku akan bertindak kasar padamu." Soat Hoa Nio Nio tidak berani mengucapkan sepatah kata pun, sambil membentak dengan suara yang berat perlahan-lahan telapak kanannya diangkat ke atas udara, dari balik telapak tangannya yang kering kerontang itu terpancarlah seberkas sinar hitam yang amat menyilaukan mata, bersamaan dengan pengerahan tenaganya cahaya hitam itu kian lama kian bertambah tebal sehingga akhirnya terciptalah segumpal awan hitam yang pekat.
Lu Kiat terkesiap melihat keampuhan nenek tua itu, ia tahu pihak lawan telah mengerahkan ilmu beracunnya untuk membinasakan musuh yang paling dibencinya itu.
Pek In Hoei sendiri diam-diam pun merasa terperanjat, dengan cepat ia himpun segenap kekuatan yang dimilikinya di dalam lengan, bajunya dengan cepat menggelembung bagaikan bola sedang sorot matanya yang tajam menatap perempuan tua itu tanpa berkedip.
"Bajingan cilik," teriak Soat Hoa Nio Nio sambil tertawa seram, "terimalah pukulan mautku ini!" Telapak tangan yang kurus kering itu bergerak silih berganti di udara, segulung hembusan angin dahsyat yang sangat kuat segera memancar keluar dari balik telapaknya dan menerjang tubuh Jago Pedang Berdarah Dingin dengan hebatnya.
Pek In Hoei tarik napas panjang-panjang tubuhnya bergeser ke samping menghindarkan diri dari ancaman itu, kemudian sambil membentak keras dia ayun pula telapak tangannya menyongsong kedatangan serangan lawan.
"Blaaaammmm...!" ledakan dahsyat bergeletar memecahkan kesunyian, pusaran angin puyuh menggulung di angkasa menerbangkan pasir dan kerikil yang berada di sekeliling situ, sungguh dahsyat benturan itu sehingga pemandangan di sekitar sana jadi gelap dan mengerikan.
Lengan kanan Soat Hoa Nio Nio seketika terkulai lemah ke bawah, dengan sempoyongan dia mundur tujuh delapan langkah ke belakang, air mukanya berubah jadi pucat pias bagaikan mayat darah kental berceceran di atas pakaian dan menodai ujung bibirnya, dari kenyataan itu bisa ditarik kesimpulan bahwa nenek tua tadi sudah menderita luka dalam yang amat parah dalam adu tenaga tadi.
"Kau... bangsat!... anak jadah... kau... kau telah menghancurkan ilmu silat kebanggaanku...
kau terkutuk..." jerit nenek tua itu dengan suara yang tinggi melengking.
Pek In Hoei menghembuskan napas panjang,dengan senyuman mengejek menghiasi ujung bibirnya ia menjawab : "Selama hidup aku paling benci menyaksikan seseorang berlatih ilmu telapak yang beracun, di ujung telapakmu yang mengandung racun jahat itu entah sudah berapa banyak jiwa yang menjadi korban" Aku tidak bermaksud lain kecuali memusnahkan cakar ayammu itu, agar di kemudian hari kau tak dapat menggunakan kelebihanmu itu untuk berbuat kejahatan..." "Bajingan...
lebih baik... lebih baik bunuh saja diriku!" jerit Soat Hoa Nio Nio dengan suara gemetar.
"Huuuh...! kalau aku punya minat untuk berbuat begitu, pekerjaan tersebut dapat kulaksanakan dengan mudah, tapi sayang...
aku tidak berminat untuk melakukan hal itu..." Soat Hoa Nio Nio terbungkam dalam seribu bahasa, dia pun menyadari sampai di manakah tabiat pemuda sombong dan tinggi hati ini, ia bisa berkata tentu bisa pula untuk melaksanakannya.
Andaikata dalam pertarungan yang baru saja berlangsung pihak lawan tidak mengampuni jiwanya...
maka pada saat itu bukan sebuah lengannya saja yang patah, ada kemungkinan jiwa pun ikut melayang.
Dia tertawa sedih, setelah termenung sebentar ujarnya : "Pek In Hoei, tahukah engkau dendam sakit hati ini sebentar lagi akan dibalaskan oleh orang lain?" "Hmmmm! Sungguhkah itu?" ejek Pek In Hoei sambil mendengus, "ingin sekali kusaksikan manusia macam apa sih yang memiliki kepandaian selihay dan sedahsyat itu..." Belum habis pemuda itu menyelesaikan kata-katanya, mendadak dari balik hutan yang lebat berkumandang datang gelak tertawa yang seram dan aneh kedengarannya.
Cui Kiam Beng tampak muncul kembali di sisi gelanggang mengiringi seorang kakek tua yang aneh sekali bentuknya, kakek itu punya mata yang sipit dan berbentuk segi tiga, hidung menghadap langit dan bibir yang lebar, sekilas pandangan panca inderanya kelihatan mengerikan sekali.
Setelah menyaksikan kemunculan kakek aneh itu, Soat Hoa Nio Nio segera menjerit dengan suara melengking : "Tua bangka yang tidak mati-mati, kali ini aku sudah jatuh kecundang di tangan orang..." "Haaaah...
haaaah... haaaah... kau si tulang tua yang tinggal kulit pembungkus tulang, sudah setua ini masa bisa jatuh kecundang di tangan seorang bocah ingusan macam itu," seru Han San sianseng sambil tertawa terbahak-bahak, "aku jadi tak habis mengerti apa sih kerjamu di waktu-waktu belakangan ini" Kenapa makin tua semakin loyo dan tak berguna?" Lengan kanan Soat Hoa Nio Nio sudah dipatahkan oleh Pek In Hoei, saat itu tangan tadi terkulai ke bawah dan tak sanggup diangkat kembali, saking sakitnya keringat dingin keluar tiada hentinya, dengan bibir yang pucat dan tubuh yang gemetar keras serunya : "Tua bangka sialan aku..." Rupanya pada waktu itu Han San sianseng pun sudah menyaksikan keadaan Soat Hoa Nio Nio yang tidak beres, ia terkejut dan cepat-cepat meloncat ke sisi perempuan tua itu, setelah melakukan pemeriksaan yang seksama di sekitar lengan kanan itu air mukanya mendadak berubah jadi serius.
"Siapakah yang telah turun tangan sekeji ini terhadap dirimu?"" serunya dengan sorot mata berkilat.
"Siapa lagi kalau bukan dia?"" jawab Soat Hoa Nio Nio sambil melirik sekejap ke arah Jago Pedang Berdarah Dingin.
Han San sianseng segera angkat kepala dan tertawa keras saking gusarnya, sepasang alis berkerut kencang.
"Apakah dia adalah putra dari Pek Tiang Hong?"" serunya.
"Sedikit pun tidak salah, dia adalah anak jadah dari bangsat tua itu..." Mimpi pun Jago Pedang Berdarah Dingin tak pernah menyangka, dengan kedudukan Soat Hoa Nio Nio yang begitu tinggi dan dihormati oleh setiap jago Bu lim, ternyata mulutnya amat kotor dan pandai mengucapkan kata-kata yang tak sedap didengar, mendengar ucapan itu ia naik darah, napsu membunuh menyelimuti seluruh wajahnya.
"Siapa yang kau maki...?" bentaknya.
Sejak kemunculan Han San sianseng di tengah gelanggang, rasa takut yang semula menyelimuti benak Soat Hoa Nio Nio sudah jauh berkurang, dalam perkiraannya dengan kemampuan yang dimiliki kakek aneh itu rasanya masih cukup untuk digunakan menghadapi Jago Pedang Berdarah Dingin.
Mendengar teguran itu, dengan wajah tak gentar ia tertawa dingin dan menjawab : "Hmmm! Aku sedang memaki dirimu, kenapa" Kau tidak terima?" Pek In Hoei benar-benar tak sanggup menahan diri lagi, dengan langkah lebar dia maju ke depan, serunya : "Nenek bangkotan yang sudah hampir modar, itu namanya kau telah menggali liang kubur bagimu sendiri!" "Sahabat!" dengan cepat Han San sianseng melayang maju ke muka, "aku si orang tua ada persoalan yang hendak dibicarakan dengan dirimu!" "Urusan apa?" Han San sianseng tidak menjawab, sambil mengangguk ketus perlahan-lahan dia ulur tangan kirinya ke muka.
Pada lengan tersebut kecuali ibu jarinya yang masih utuh, ke-empat buah jari tangan lainnya telah lenyap dan jelas-jelas telah terpapas oleh senjata tajam, Pek In Hoei tercengang, ia tak tahu maksudnya kakek tua itu memperlihatkan telapak kirinya itu kepada dia, pelbagai ingatan dengan cepat berkelebat memenuhi benaknya, ia sedang berpikir kenapa ke-empat buah jari manusia aneh itu sudah terpapas dan siapa yang melakukannya" "Tahukah kau bagaimana kejadiannya sehingga ke- empat buah jari tanganku ini lenyap?" seru Han San sianseng dengan suara dingin.
"Oooh...! Mungkin kau sudah mencuri ayam atau anjing milik orang lain, maka sang pemilik lantas memotong ke-empat jari tanganmu itu sebagai ganjaran!" sindir Lu Kiat dari belakang.
"Bajingan cilik! Mulutmu kotor, rupanya kau sudah bosan hidup," bentak Han San sianseng penuh kegusaran.
Ibaratnya sukma yang gentayangan di tengah angkasa, dengan suatu gerakan yang amat cepat ia menerjang maju ke muka, telapak tangannya diayun mengirim satu pukulan kilat.
Lu Kiat sama sekali tidak menyangka kalau dirinya secara mendadak bisa diserang demikian hebat, dalam keadaan gugup tak sempat lagi baginya untuk menghindarkan diri.
"Blaam...! Dengan telak serangan tersebut bersarang di dadanya membuat Lu Kiat mengerang kesakitan dan uak...! Dia muntah darah segar, tubuhnya mundur tujuh langkah ke belakang dengan sempoyongan.
"Kurang ajar, kau berani melukai toakoku," bentak Pek In Hoei dengan wajah berubah hebat.
"Hmmm! Itulah ganjaran bagi mulutnya yang usil serta bicara tidak karuan," ujar Han San sianseng dengan suara dingin ketus, "selama hidup aku si orang tua paling benci kalau mendengar ada orang suka mengaco belo tak karuan.
Huuh! Siapa suruh dia bikin gara-gara kepadaku" Kalau tidak diberi pelajaran dia pasti tak jera dan semakin berani menghina diriku!" Lu Kiat yang termakan sebuah gaplokan sehingga muntah darah, dengan cepat mengatur pernapasannya dan berusaha menyembuhkan luka baru itu, kemudian tubuhnya bergerak siap menerjang ke depan.
Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei yang berada di sisinya dengan cepat menghadang jalan perginya.
"Toako!" ia berkata dengan suara rendah tapi bertenaga, "hutangmu itu biarlah aku yang tagih kembali, beri kesempatan padanya untuk menyelesaikan dahulu semua pembicaraannya setelah itu baru kita coba kepandaian silatnya." "Hmmm! Rupanya imanmu cukup tangguh juga," ejek Han San sianseng sambil tertawa dingin.
"Tua bangka sialan!" tiba-tiba Soat Hoa Nio Nio berteriak gusar, "kuundang kehadiranmu ke tempat ini bukan suruh kau membicarakan kata-kata yang sama sekali tak ada gunanya itu, dua orang bajingan muda itu sudah menganiaya diriku hingga jadi begini, apa yang masih kau nantikan lagi?" "Jangan ribu dulu, bagaimana pun aku toh mesti mempelajari lebih dahulu bagaimanakah duduk perkara yang sebenarnya," bantah Han San sianseng.
Ia memandang sekejap ke arah tangan kirinya yang tinggal ibu jari itu, lalu dengan wajah murung bercampur sedih tambahnya kembali : "Orang she Pek, coba lihat lengan kiriku ini!" "Hmmm! Lengan kutung apa sih kebagusannya untuk dilihat" Aku tak sudi untuk menikmatinya." "Tahukah engkau apa sebabnya lenganku ini bisa berubah jadi demikian rupa" Pek In Hoei! Sepanjang hidup aku si orang tua belum pernah jatuh kecundang di tangan orang separah yang pernah kualami ini dan justru aku telah jatuh kecundang di tangan ayahmu Pek Tiang Hong, dialah yang telah menghadiahkan tangan macam begini kepadaku." Pek In Hoei Jago Pedang Berdarah Dingin tercengang mendengar ucapan itu, ia tak menyangka kalau lengan kiri Han San sianseng jadi kutung dan hancur macam begitu di tangan ayahnya, dengan wajah penuh kebanggaan segera serunya : "Siapa sih suruh kau tidak belajar ilmu silat secara bersungguh-sungguh" Kenapa setelah kalah menyalahkan orang." Dengan penuh kebencian Han San sianseng tertawa terbahak-bahak.
"Haaaah... haaaah... haaaah... sedikit pun tidak salah, anak muda! Apa yang kau ucapkan memang sedikit pun tidak salah, meskipun lengan kiriku sudah berubah jadi cacad tapi aku tak pernah punya maksud membenci ayahmu, yang selama ini kupikirkan adalah bagaimana caranya untuk mengembalikan gengsiku yang sudah hancur total itu, sejak ayahmu binasa aku mengira tiada kesempatan lagi bagiku untuk mencuci bersih namaku yang telah ternoda itu, siapa tahu hari ini malaikat elmaut telah mengantarkan dirimu datang kemari, inilah kesempatan yang paling baik bagiku untuk menuntut balas.
Hmm... hmm... Thian memang maha adil dan mengatur semua orang dengan bijaksana selama hidup seorang manusia masih diberi kesempatan." "Huuuh! Untuk menandingi ayahku saja kau tak mampu, mau apa kau datang mencari aku" Pengin mengantar kematian dengan sia-sia?" "Oh...
jadi kau lebih ampuh daripada Pek Tiang Hong," seru Han San sianseng dengan tercengang.
"Aku tidak maksudkan begitu," bantah Pek In Hoei sambil menggeleng, "meskipun ketika belajar silat ayahku belajar lebih dahulu, bagaimana pun sumbernya tetap satu, atau paling sedikit aku sudah menguasai sebagian kecil dari ilmu pedang penghancur sang surya serta ilmu silat partai Thiam cong lainnya, aku yakin bila kepandaian itu kugunakan untuk menghadapi dirimu maka kau tak akan mampu meloloskan diri."
"Hmmm!" Han San sianseng mendengus berat, "kau terlalu pandang rendah diriku, selama banyak tahun aku telah mempelajari kembali ilmu silatku dengan rajin dan tekun, aku yakin kepandaian yang kumiliki saat ini jauh lebih ampuh daripada kepandaian yang dimiliki ayahmu, Han San sianseng yang sekarang jauh berbeda dengan Han San sianseng tempo dulu, orang muda janganlah salah melihat orang." Pek In Hoei tertawa hambar mendengar perkataan itu.
"hh yang dahulu belum pernah kutemui, dan Han San sianseng yang sekarang telah kujumpai sendiri, kalau dilihat tampangmu itu aku percaya sekali pun bertambah lihay juga tak akan seampuh seperti apa yang kau lukiskan." "Bajingan cilik, kau pengin modar!" bentak Han San sianseng gusar.
Jago tua yang berwajah aneh itu betul-betul sudah naik darah dan diliputi oleh napsu angkara murka yang sukar dikendalikan lagi, hawa membunuh meliputi seluruh wajahnya dengan hati mendongkol ia berteriak keras, sambil bergerak maju ke depan pedang yang tersoren di pinggang segera dicabut keluar.
Cahaya tajam berkilauan, dari ujung pedang itu segera terpancarlah cahaya dingin yang menggidikkan hati.
"Orang muda!" teriaknya keras, "dendam lama dan dendam baru telah bertumpuk-tumpuk, sudah tiba waktunya bagi kita untuk membuat perhitungan dan menyelesaikan semua hutang piutang tersebut, aku yakin nama besarku Han San sianseng tidak akan terpaut jauh dengan julukanmu sebagai Jago Pedang Berdarah Dingin." Dengan angkuh dan jumawa Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei mendengus dingin, ia melirik sekejap ke arah kakek tua itu dengan pandangan menghina sementara sorot mata yang tajam menyorot keluar seolah-olah dua batang pisau belati yang sedang mencari mangsa.
Han San sianseng terkesiap, tanpa sadar ia mundur dua langkah ke belakang dengan hati merinding.
"Waah... hubungan ini benar-benar hubungan yang luar biasa," jengek Pek In Hoei sinis, "tak pernah kusangka kalau kau Han San sianseng bisa memandang tinggi aku Jago Pedang Berdarah Dingin, memandang di atas sikapmu ini sudah sepantasnya kalau kuucapkan banyak-banyak terima kasih kepadamu." Nama besar Han San sianseng bagaikan pula raut mukanya yang masam, selalu murung dan loyo seakan-akan ada orang yang berhutang berjuta tahil perak kepadanya, tak sehari pun nampak cerah atau gembira.
Sepasang alisnya yang tebal selalu mengerut jadi satu, dengusan dingin diperdengarkan berulang kali, sementara sorot matanya yang memancarkan kebencian menatap di atas pemuda sombong itu tanpa berkedip.
"Heeeeh... heeeeh... heeeeh... " ia tertawa seram, sambil membasahi bibirnya yang kering ia berkata, "untuk mengikat tali persahabatan harus dinilai dari kedua belah pihak, meninjau dari kemampuanmu untuk memusnahkan lengan si nenek tua itu, aku yakin kau adalah sahabat karib yang boleh dijalin, cuma, hmm...
hmmm... aku rasa nasibku tidak sebaik itu untuk mengaku kakak beradik dengan dirimu." Dengan lirikan yang tidak sengaja ia memandang sekejap ke arah Soat Hoa Nio Nio, nampaklah air muka nenek tua itu meski masih diliputi kesedihan namun di balik wajahnya yang pucat terlintas pula rasa girang, agaknya ia merasa girang karena Han San sianseng telah turun tangan membalaskan sakit hatinya.
"Han San sianseng jiwamu sejak tadi sudah melayang," seru Pek In Hoei sambil tertawa rawan, "inilah kesempatan terakhir yang kuberikan kepadamu, jika kau ngotot menantang aku berkelahi maka aku yakin bukan saja lenganmu yang lain akan kutung bahkan sepasang kaki anjingmu itu pun bisa lenyap tak berbekas." "Bajingan, kau berani sebut namaku seenak udelmu sendiri!" bentak kakek itu marah.
"Apa sih bagusnya namamu?" kata Pek In Hoei, "kalau kau takut namamu disebut orang, lebih baik ganti saja namamu Han-san jadi Han suan si kecut." "Kau berani menghinaku?" teriak Han San sianseng sambil menggetarkan pedang.
"Siapa yang bilang aku kurang ajar" Aku berbicara menurut kenyataan yang berada di depan mata, aku rasa tindakanku ini tidak terlalu kelewat batas." Saat ini Han San sianseng benar-benar sudah tak dapat menahan sabar lagi, teriaknya keras-keras: "Cabut pedangmu, mari kita tentukan siapa yang lebih unggul di ujung senjata." "Untuk membunuh seekor anjing budukan macam engkau, aku tidak ingin mengotori pedang pusakaku dengan darah anjingmu itu!" Perkataan ini sangat menghina dan terlalu menusuk perasaan Han San sianseng, hampir saja kakek tua itu muntah darah saking gusar dan mendongkolnya, dia mencak-mencak dan ayun pedangnya ke depan : "Kentut busuk...
kentut busuk... kau berani membanding-bandingkan aku dengan seekor anjing budukan...
kau bangsat cilik... anak jadah, mulutmu terlalu dekil..." jeritnya.
"Huhh! Sebutan itu sudah cukup menghormati dirimu, mengerti?" ujar Pek In Hoei sinis, "atau kau ingin mendengar sebutan yang lebih tak enak didengar lagi" Han San sianseng, apakah kau ingin mendengar lebih lanjut?" Han San sianseng tak bisa mengendalikan emosi dan hawa amarahnya lagi, ingin sekali dia bekuk batang leher pemuda itu serta memberi ganjaran yang setimpal kepadanya, tetapi melihat Jago Pedang Berdarah Dingin tidak turun tangan juga, ia merasa tidak leluasa untuk turun lebih dahulu.
Maka dengan sekuat tenaga dia berusaha untuk memaksa lawan turun tangan lebih dahulu, agar dia tidak kehilangan gengsinya sebagai angkatan yang lebih tua.
"Kau tak usah pentang bacot anjingmu lagi," teriaknya marah, "kalau punya kepandaian ayoh rentangkan keluar semua." Pek In Hoei merasa sudah cukup waktunya untuk mempermainkan musuhnya ini, jika ejekannya diteruskan lebih jauh ia kuatir akan menimbulkan hal- hal yang tidak diinginkan, maka ia maju selangkah ke depan dan pedang sakti penghancur sang surya perlahan-lahan dicabut keluar.
Kilatan cahaya tajam berhamburan di angkasa, setelah pedang mestika itu dicabut keluar, semua orang yang hadir dalam kalangan berdiri tertegun, dengan pandangan bergidik sorot mata mereka sama- sama ditujukan ke atas senjata mestika itu.
"Aaah...! Pedang mestika penghancur sang surya..." bisik Han San sianseng dengan suara gemetar, "sungguh tak kunyana senjata mestika ini telah terjatuh ke tanganmu." Selapis hawa dingin terlintas di atas wajah Pek In Hoei, katanya dengan suara yang dingin : "Pedang sakti partai Thiam cong diturunkan kepadaku, apa sih yang patut kalian kagetkan" Hmmm...
manusia goblok!" "Pedang itu tajamnya luar biasa dan terkenal keganasannya, bila sampai terjatuh ke tanganmu maka keadaannya bukankah ibarat harimau tumbuh sayap"...
kebetulan sekali sejak kecil aku si orang tua memang gemar akan senjata mestika...
Hmmm... Hmmm... siapa tahu kalau ini hari aku bakal mendapatkan pula benda itu..." Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei memandang sekejap pedang mestika penghancur sang surya-nya, kemudian berkata : "Asal kau merasa punya kepandaian, setiap saat pedang ini boleh kau ambil pergi!" "Hmmm...
hmmm... " Han San sianseng mendengus dingin, pedang panjangnya perlahan-lahan diangkat menuding langit, sesudah tarik napas panjang hawa murninya segera dihimpun dan disalurkan ke ujung senjata tersebut, serunya dengan nada dingin : "Baiklah, sudah waktunya bagi kita untuk turun tangan!" "Hmm! Sedikit pun tidak salah, kau harus berhati-hati melayani permainan pedangku ini." Dengan suatu gerakan yang enteng dan seenaknya sendiri pedang mestika itu didorong ke muka, begitu biasa gerakan itu sehingga seorang bocah pun dapat melakukannya.
Dorongan pedang itu enteng dan biasa, sama sekali tidak terdapat perubahan apa pun, tetapi dengan wajah serius Han San sianseng mundur dua langkah ke belakang.
Setelah mendorong pedangnya ke muka Pek In Hoei tarik kembali senjatanya dan mundur ke belakang, hal ini membuat Han San sianseng jadi tertegun da tak habis mengerti, dia tak tahu apa maksud dan tujuan pihak lawan melakukan tindakan itu.
"Masa jurus seranganmu itu sama sekali tiada perubahan apa pun?"" akhirnya dia menegur.
"Hmm! Kau masih menginginkan perubahan apa" Kau sudah kalah...
ngerti...?" jawab pemuda itu dingin.
"Omong kosong," bentak Han San sianseng gusar, "sekali pun aku si orang tua tidak becus, untuk menghindarkan diri dari serangan pedangmu itu aku yakin masih mampu...
pandai benar kau bangsat cilik bicara bohong...
padahal dalam kenyataan kelihayan apa pun tidak dimiliki." Pek In Hoei tertawa dingin.
"Anjing budukan yang tak punya mata, sungguh memalukan sekali kau hidup sebagai seorang jagoan lihay...
kalau cuma perubahan jurus ini pun tak mampu kau ketahui, lebih baik pulang gunung menyembunyikan diri saja...
aku menyesal telah menilai dirimu terlalu tinggi." Dia tarik napas panjang-panjang, ujarnya kembali : "Kalau tidak percaya, apa salahnya kalau tundukkan kepalamu dan coba periksa kancing nomor dua di atas dadamu itu, jika kugunakan tenaga yang lebih besar paling sedikit di atas dadamu itu kini sudah bertambah lagi dengan sebuah lubang besar." Han San sianseng melengak, rasa sangsi dan tidak percaya terlintas di atas wajahnya, tetapi setelah menyaksikan raut wajah Pek In Hoei yang serius dan sama sekali tidak main-main, tanpa sadar ia segera tundukkan kepalanya dan memandang ke arah kancing nomor dua di atas dadanya.
Kalau tidak diperiksa keadaan mungkin masih mendingan, setelah ditundukkan kepalanya peluh dingin seketika mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya, kancing bulat yang terbuat dari kain itu entah sejak kapan telah terbelah jadi dua bagian, bekas tebasannya rata seperti dibacok senjata tajam.
Han San sianseng benar-benar merasakan hatinya tercekat, dengan wajah berubah hebat pikirnya : "Kejadian ini benar-benar merupakan suatu peristiwa yang sama sekali tak terduga olehku, tak nyana tusukan pedang yang nampak begitu sederhana dan biasa sebetulnya mengandung tenaga perusak yang maha dahsyat, wah...
aku Han San sianseng benar- benar sudah jatuh kecundang dalam keadaan yang mengenaskan sekali, seandainya berita ini sampai tersiar di tempat luaran apa yang mesti kukatakan untuk memberi penjelasan kepada mereka..." Dengan perasaan marah karena malu terhina, kakek tua itu tertawa seram, seluruh rambut dan jenggotnya berdiri tegak bagaikan landak, napsu membunuh yang menyelimuti wajahnya makin tebal, teriaknya setengah menjerit : "Bajingan cilik...
bajingan cilik... kau benar-benar sudah menghina diriku..." Sang pedang digetarkan di tengah udara menciptakan sekilas cahaya pedang yang menyilaukan mata, tusukan itu tepat dan enteng sekali...
dengan hawa serangan yang tajam dan dingin ia ancam tiga tempat penting di tubuh pemuda she Pek itu.
Diam-diam Jago Pedang Berdarah Dingin terkesiap juga menyaksikan kelihayan lawannya, dia tahu dirinya pada hari ini sudah berjumpa dengan musuh tangguh yang belum pernah dijumpainya selama ini, dengan hati tercekat dia putar pedang menyongsong datangnya ancaman tersebut, pikirnya : "Sungguh tak nyana ilmu silat yang dimiliki kakek tua aneh ini sedemikian lihaynya sehingga sama sekali berada di luar dugaan, tidak aneh kalau Soat Hoa Nio Nio begitu mempercayai akan kemampuannya, ternyata dia memang benar-benar punya isi." Seluruh perhatiannya segera dipusatkan pada ujung pedang, kilatan cahaya berkelebat dan senjata itu segera meluncur ke muka menyongsong datangnya ancaman lawan.
Tiiing... traaang... tiiing... traaaang... bentrokan nyaring berdesing tiada hentinya, ke-dua belah pihak segera saling berpisah satu sama lainnya dan mundur ke belakang.
Sepasang mata Han San sianseng terbelalak lebar bagaikan sepasang gundu, ia mengawasi tubuh si anak muda itu tanpa berkedip, sorot matanya penuh mengandung perasaan jeri dan ngeri, dan perasaan tersebut hampir saja memadamkan kobaran api amarahnya.
"Bagaimana?" ejek Jago Pedang Berdarah Dingin dengan nada ketus, "Han San sianseng, kalau sekarang kau ingin enyah dari sini masih belum terlambat." "Telur busuk makmu...
" maki Han San sianseng dengan wajah berubah hebat, "selama hidup aku si orang tua belum pernah tunduk kepala terhadap siapa pun juga, masa terhadap kau si anak jadah liar pun harus tunduk kepala dan menyerah kalah" Hmmm...
kau tak usah bermimpi di siang hari bolong." "Han-san!" bentak Pek In Hoei dengan wajah berubah, "tahukah engkau, ucapan kasar yang barusan kau utarakan bisa mengorbankan selembar jiwa anjingmu." "Haaaah...
haaaah... haaaah... " Han San sianseng menyeringai dan tertawa seram, "anak jadah murahan, kalau kau memang merasa punya kemampuan ayoh tunjukkan semua, aku si orang tua yakin masih sanggup untuk menghadapinya, sejak semula aku memang sudah tidak maui lagi jiwa tuaku ini, asal kau sudi memberikan hadiah kepadaku, maka jiwa tuaku ini segera akan kuserahkan kepadamu." Mendengar dirinya berulang kali dimaki 'anak jadah murahan' oleh kakek tua itu, kobaran api amarah yang bergelora dalam dada Jago Pedang Berdarah Dingin sukar dibendung lagi, ia tertawa dingin dan pedangnya segera digertakkan keras-keras.
"Tua bangka yang bosan hidup, terlalu banyak yang sudah kau katakan...
mulut baumu itu sudah tiba waktunya untuk beristirahat, sejak kini mulutmu itu tak akan bisa buka suara lagi...
kau tak akan mampu menyaksikan lagi betapa indahnya sang surya yang terbit di pagi hari..." Tiba-tiba pedangnya meluncur ke depan dan membentuk gerakan satu lingkaran busur di tengah udara, ketika bayangan lingkaran tadi belum lenyap segulung hawa pedang telah memancar keluar.
Han San sianseng tertegun, ia tak mengira kalau ilmu pedang yang dimiliki pihak lawan sangat lihay, sudah banyak tahun dia berlatih pedang tetapi saat ini dia jadi kebingungan dan tak bisa menebak arah mana yang sedang terancam oleh serangan itu.
Hatinya tercekat, dan untuk beberapa saat lamanya dia hanya berdiri mendelong belaka sambil memandang ke arah depan.
Tindakannya yang bodoh dan seolah-olah kehilangan semangat ini sangat menguatirkan para jago yang hadir di sisi kalangan, mereka tak tahu apa sebabnya tiba-tiba jago tua itu bisa berubah jadi goblok dan tololnya.
"Han-san! Ayoh cepat menghindar," jerit Soat Hoa Nio Nio dengan badan gemetar keras.
Seluruh perhatian dan pikiran Han San sianseng pada saat itu sudah dicurahkan semua pada ujung senjata lawan, benaknya berputar memikirkan perubahan aneh yang dipergunakan lawannya, boleh dibilang ketika itu dia sudah lupa untuk menghindarkan diri.
Jeritan keras dari Soat Hoa Nio Nio segera menyadarkan kembali dirinya dari lamunan, ia pentang matanya lebar-lebar dan memandang apa yang sebetulnya telah terjadi.
Peluh dingin mengalir membasahi seluruh tubuhnya, diam-diam jeritnya di dalam hati : "Aduuuh mak, sudah habis riwayatku," pada detik yang sangat kritis dan terancam oleh mara bahaya itulah, tubuhnya buru-buru dilemparkan ke samping, pedangnya ditegangkan kencang-kencang bagaikan sebatang pit langsung menotok ke muka.
Triiing...! percikan bunga api berlompatan di udara, walaupun hanya terjadi benturan perlahan tetapi suara yang berdengung di angkasa amat memekakkan telinga.
Laksana kilat sorot mata Han San sianseng melirik sekejap ke ujung pedang kesayangannya, dia lihat senjata itu gumpil sedikit termakan oleh bacokan lawan, hatinya terasa sakit seolah-olah tubuhnya tertusuk telak, perasaan sedih yang sukar dilukiskan dengan kata-kata menyelimuti wajahnya, dia tahu andaikata kepandaian silat tidak lihay, tak mungkin akan ditemui kesempatan yang demikian baiknya untuk menghindarkan diri dari serangan lawan yang begitu mantap dan ampuh, dan seandainya Soat Hoa Nio Nio tidak menjerit sehingga menyadarkan dirinya dari lamunan, bukan saja ujung pedangnya bakal gumpil bahkan kemungkinan besar tubuhnya bakal menggeletak di atas tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi.
"Aku akan beradu jiwa dengan dirimu...1" jeritnya dengan setengah berteriak.
Pek In Hoei tertawa dingin.
"Hmmm...! Kau mampu meloloskan diri dari tusukan maut itu, hal tersebut menandakan kalau nasibmu masih mujur...
andaikata gerakan pedangku tadi kumiringkan sedikit saja ke samping maka aku percaya batok kepalamu yang besar itu sudah terbelah jadi dua bagian." Sejak pertama kali terjun ke dalam dunia persilatan belum pernah Han San sianseng menderita kekalahan total seperti apa yang dialaminya hari ini, dia merasa dirinya sudah kehilangan muka, gengsinya jatuh tak mungkin lagi baginya untuk hidup lebih jauh dalam Benteng Kiam-poo, timbullah keinginannya untuk beradu jiwa dengan Jago Pedang Berdarah Dingin, atau paling sedikit dia akan membinasakan lawannya agar dapat memberikan pertanggungan jawab di hadapan poocu nanti...
Ia menyeringai seram dan tertawa keras, jeritnya : "Kentut busuk...
kau anggap aku si orang tua adalah manusia tolol yang bisa kau tipu seenaknya." "Hmmm! Kalau memang kau tidak percaya, lihatlah seranganku yang ini." Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, mendadak ia menerjang maju ke depan, pedang mestika penghancur sang surya berputar satu lingkaran di tengah udara dan langsung meluncur ke depan mengancam tujuh buah jalan darah terpenting di tubuh Han San sianseng.
Serangan pedangnya kali ini jauh lebih aneh lagi, bahkan sama sekali berada di luar dugaan orang terutama sekali ke-tujuh titik cahaya dingin yang terpancar di tengah udara, sepintas lalu kelihatan seperti tujuh buah senjata rahasia yang secara berbareng meluncur ke depan membuat orang sukar untuk menduga arah mana yang sebenarnya dituju oleh serangan itu.
Bukan saja ganas serangannya, jurus itu pun kelihatan aneh dan jarang ditemui di kolong langit.
Han San sianseng si jago tua yang sudah banyak pengalaman dalam dunia persilatan, saat ini hanya bisa berdiri melongo belaka, dia tak tahu serangan pedang yang dilancarkan pemuda itu bakal mengancam bagian mana dari tubuhnya.
"Aaah... tujuh bintang pemusing kepala..." bisiknya dengan suara lirih.
"Aduuuh mak..." ia berteriak keras dan berusaha loncat mundur ke belakang, di tengah kepungan tujuh bintang pemusing kepala di sadar bahwa tak mungkin lagi baginya untuk menghindarkan diri, sambil menggertak gigi pedang di tangan kanannya sekuat tenaga segera dibabat ke depan.
"Aduuuh...!" bacokan sekuat tenaga yang dilakukan olehnya ini sama sekali tidak berhasil menyelamatkan jiwanya, satu tusukan di antara tujuh bintang pemusing kepala akhirnya bersarang di tempat pentingnya...
dengan kesakitan dia menjerit lengking, tubuhnya yang tinggi besar bagaikan pagoda roboh ke atas tanah disertai benturan yang keras.
Darah segar memancar keluar lewat mulut lukanya di atas pinggang dan membasahi seluruh tubuhnya, ia mengerang dan pedangnya terlepas dari genggaman, dengan pandangan putus asa ia melirik sekejap ke arah Pek In Hoei.
"Oooh...! Han-san..." jerit Soat Hoa Nio Nio sambil menerjang maju ke depan, dia lupa akan rasa sakit yang menyerang tubuhnya, sambil menubruk di atas tubuh Han San sianseng serunya : "Oooh...
Han-san, aku tidak sepantasnya suruh kau datang kemari...
oooh Han-san akulah yang mengakibatkan kau begini." "Kenapa?" kata Han San sianseng sambil tertawa getir, "apakah kau merasa sedih karena aku hampir mati" Hmmm...
Hmmm... nenek tua, kau keliru besar...
aku sama sekali tidak sedih karena kematianku ini, karena aku dapat mati di hadapanmu." "Tidak! Kau tak boleh mati," jerit Soat Hoa Nio Nio sambil menangis terisak.
Dengan penuh kesakitan Han San sianseng tertawa.
"Nenek tua!" ujarnya kembali, "soal mati bagi kita yang sudah berusia lanjut hanya menunggu waktu belaka, sekarang atau besok akhirnya kita bakal mati juga...
siapa pun tak bakal bisa meloloskan diri dari kejadian tersebut, kenapa kau mesti bersedih hati karena kematianku ini?" Dengan napas berat dan terengah-engah terusnya : "Sebelum aku menghembuskan napas yang penghabisan, terlebih dahulu aku ingin mendengarkan sepatah katamu." "Perkataan apa?" tanya Soat Hoa Nio Nio tertegun, "asal kau suka mendengarkan, sekali pun seribu kali juga akan kukatakan!" "Aku rasa apa yang ingin kudengar sudah kau ketahui pula di dalam hati, perkataan itu sudah dua puluh tahun lamanya terpendam dalam hati kecil kita masing-masing!" "Baik...
baiklah..." tiba-tiba Soat Hoa Nio Nio berteriak lantang, "Han-san, rupanya kau masih belum melupakan cinta kasih kita di masa masih muda dahulu...
aku akan mengatakannya kepadamu...
aku akan mengatakannya seribu kali...
aku cinta padamu..." Pandangan sorot sinar mata Han San sianseng berkilat, wajahnya nampak jauh lebih segar setelah mendengar perkataan itu, ia dorong Soat Hoa Nio Nio ke samping dan ujarnya : "Cukup...
sudah cukup, sekarang kau boleh menyingkir lebih dahulu ke samping, aku masih ada perkataan yang hendak disampaikan kepada pemuda yang telah membunuh diriku itu." Soat Hoa Nio Nio tertegun, dengan mulut membungkam ia segera mengundurkan diri tujuh delapan langkah ke belakang.
"Hey orang muda1" kakek tua aneh itu berseru sambil menuding ke arah Pek In Hoei, "aku sama sekali tidak membenci atau mendendam kepadamu karena kau berhasil membinasakan diriku, aku hanya merasa heran dari mana kau bisa latih ilmu pedangmu itu sehingga mencapai tingkat sedemikian hebatnya, tahukah engkau bahwa di kolong langit belum pernah ada orang yang mampu menyelami ilmu pedang hingga mencapai tingkat seperti itu." Entah karena rasa sakit yang sukar ditahan atau dia memang sengaja menghentikan perkataannya, tiba- tiba kakek tua itu membungkam dan memandang ke arah pemuda tersebut dengan sorot mata sayu.
Dalam kenyataan jurus serangan aneh yang dipergunakan oleh Pek In Hoei barusan sama sekali tidak dikenal olehnya sendiri sebelum kejadian itu, jurus aneh tadi diyakini olehnya tanpa sadar pada detik itu juga, dan pemuda itu tak pernah menyangka kalau jurus aneh yang berhasil diciptakan olehnya tanpa sengaja itu mendatangkan kekuatan yang demikian hebat dan dahsyatnya.
Perlahan-lahan dia simpan kembali pedang mestika penghancur sang surya-nya ke dalam sarung, lalu gelengkan kepala.
"Aku sendiri pun tak tahu, jurus itu kuciptakan tanpa sengaja..." "Diciptakan tanpa sengaja..." seru Han San sianseng tidak percaya.
"Sedikit pun tidak salah, aku sama sekali tak pernah menduga kalau gerakan pedangku bisa menciptakan gerakan aneh seperti itu!" Air muka Han San sianseng berubah hebat, tiba-tiba ia berteriak keras : "Omong kosong, tujuh bintang pemusing kepala adalah keampuhan yang tak terlukiskan dalam ilmu pedang, setiap orang yang berlatih pedang selalu peras otak dan berusaha keras untuk mencapai tingkatan seperti itu...
hmm, kalau dikatakan kau bisa meyakini tanpa bimbingan guru pandai, mungkin hanya setan yang mempercayai ucapan itu...
masa terhadap seseorang yang sudah hampir mendekati ajalnya kau masih menipu." "Terhadap dirimu kenapa aku mesti berbohong" Mau percaya atau tidak terserah pada dirimu sendiri," tukas Pek In Hoei dengan nada suara ketus dan dingin.
"Poocu tiba!" mendadak dari luar hutan berkumandang datang suara teriakan keras.
Cui Kiam Beng terkesiap dan ketakutan, air mukanya berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, dengan cepat dia lari ke belakang Soat Hoa Nio Nio dan dari situ mengintip ke arah ayahnya dengan penuh ketakutan.
Soat Hoa Nio Nio sendiri kelihatan agak rikuh sendiri, ia berdiri dengan senyuman getir menghiasi ujung bibirnya.
Dengan langkah lebar Cui Tek Li ketua dari Benteng Kiam-poo munculkan diri dari balik hutan, ia melotot sekejap ke arah pria yang berseru tadi dengan wajah tak senang hati, jelas ketua dari Benteng Kiam-poo ini sudah tiba di situ beberapa waktu lamanya, semua perubahan yang terjadi dalam kalangan telah diketahuinya, hanya ia tidak menyangka kalau kehadirannya di tempat itu akhirnya ketahuan juga.
Cui Tek Li melirik sekejap ke arah Han San sianseng dengan pandangan hambar, kemudian ujarnya : "Dia sama sekali tidak membohongi dirimu, dan sekarang kau boleh mempercayai perkataannya!" "Oooh...
jadi Poocu sudah mengetahuinya sedari tadi?" tanya Han San sianseng dengan tubuh gemetar keras.
"Ehmm, sejak permulaan hingga pada akhirnya telah kusaksikan dengan jelas kesemuanya ini tidak lain adalah akibat dari ketololanmu sendiri, sejak Jago Pedang Berdarah Dingin melancarkan serangan untuk pertama kalinya tadi, semestinya kau harus tahu diri dan segera mengundurkan diri..." "Poocu, kalau memang kau sudah mengetahui kesemuanya itu dengan jelas kenapa tidak kau peringatkan diriku sejak tadi?"" omel Han San sianseng dengan suara gemetar.
Cui Tek Li mendengus dingin.
"Hmm! Kenapa aku mesti memberi peringatan kepadamu" Siapa suruh kau tak dapat melihatnya sendiri!" Sementara itu darah segar yang mengucur keluar dari mulut luka Han San sianseng kian lama kian bertambah banyak, air mukanya yang pucat kini semakin mengerikan, dia menghembuskan napas panjang dan melotot sekejap ke arah poocunya dengan pandangan mendendam.
"Hmmm! Kau benar-benar tidak bersahabat..." serunya.
"Benarkah kau mempunyai perasaan seperti itu?"" seru Cui Tek Li sambil tertawa hambar, "mungkin sekali ketika mendekati ajalnya kau Han San sianseng telah mempunyai suatu perasaan yang salah...
masih ingatkah dengan peristiwa yang terjadi di gunung Hoa-san" Bukankah kau pernah pula menunjukkan sikap semacam ini" Seorang pria yang mempunyai hubungan persaudaraan dengan dirimu, ketika mendekati ajalnya dia memohon kepadamu agar mau menguburkan jenazahnya, tetapi kau...
bukan saja tidak mempedulikan dirinya bahkan malah tertawa terbahak-bahak...
bagaimanakah penjelasanmu tentang peristiwa itu?"" "Keadaan waktu itu jauh berbeda dengan keadaan sekarang, waktu itu musuh tangguh datang dari empat penjuru dan aku sama sekali tidak punya waktu untuk mengurusi dirinya lagi, seandainya kau yang berada dalam keadaan seperti itu maka kau pun akan bersikap demikian pula terhadap dirinya...
hal ini tak bisa salahkan diriku." "Alasanmu itu masih boleh dianggap masuk di akal," kata Cui Tek Li kembali dengan suara dingin, "tetapi bagaimana pula penjelasanmu dengan gelak tertawa yang kau perdengarkan sesaat ajal menimpa sahabatmu itu" Han-san...
aku ingin sekali membicarakan benar atau tidaknya perbuatanmu itu sebelum ajal menimpa dirimu!" Han San sianseng mengeluh kesakitan, keringat sebesar kacang kedelai mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya, dengan pandangan ketakutan bercampur ngeri dia tatap wajah poocu dari Benteng Kiam-poo itu, suatu sikap yang aneh dan sukar dilukiskan dengan kata-kata terlintas di atas wajahnya.
Beberapa saat kemudian, kembali dia mengepos tenaga dan berkata dengan suara gemetar : "Tahukah kau pada saat itu aku merasa amat sedih karena kematian seorang sahabat karib, di samping itu aku pun amat membenci atas kekejian dari pihak musuh yang mendesak terus menerus, karena tak bisa menguasai diri aku lantas tertawa keras untuk melampiaskan semua rasa sedih, mendongkol serta gusar yang bercampur aduk dalam benakku.
Poocu! Kau tokh seorang manusia cerdik, kau tentu bisa memahami kesalahpahaman yang terjadi ketika itu." "Hmmm! Pandai sekali kau mungkir dan membantah kenyataan tersebut," dengus poocu dari Benteng Kiam-poo dengan suara berat, "sayang sekali aku sudah mengetahui jelas bagaimanakah perangai serta tabiatmu yang sebenarnya, benarkah kau melakukan hal itu seperti yang kau ucapkan barusan, dalam hati kita masing-masing tahu dengan perhitungan sendiri!" "Poocu!" jerit Han San sianseng dengan badan gemetar dingin.
"Hmmm! Bukankah kau mendendam terhadap Ko lo- sam karena dia berhasil merebut janda she I " Bukankah karena peristiwa itu maka setiap saat kau bermaksud membinasakan Ko lo-sam" Kebetulan sekali kalian telah bertemu dengan peristiwa di gunung Hoa-san, maka kau lantas membalas sakit hatimu itu dengan memberikan siksaan batik yang tak terhingga baginya sesaat sebelum jiwanya melayang..." "Kau...
kau menuduh aku yang membunuh Ko Lo- sam?" "Sedikit pun tidak salah!" tukas poocu dari Benteng Kiam-poo dengan suara ketus, "dan selama ini aku selalu mencurigai dirimu!" Sekujur badan Han San sianseng gemetar keras.
"Poocu!" serunya, "sekarang aku sudah hampir mati...
masa aku membohongi dirimu..." "Hmmm!" Apa tidak mungkin kau berbuat begitu?" bentak Cui Tek Li dengan gusar, "Bukankah terang- terangan kau tahu kalau aku memiliki resep obat mujarab yang bisa menolong jiwanya dari ancaman maut" Dan kau tahu obat itu bisa menyambung sisa hidupmu itu" Hmmm...
aku tahu bahwa kau sengaja bersikap demikian agar aku menaruh simpatik terhadap dirimu dan menyelamatkan jiwamu...
Han- san! Perhitunganmu ini keliru besar, aku lebih suka menyaksikan kau mengerang kesakitan sambil menghadapi maut yang datang mencabut jiwamu daripada memberi obat mujarab kepadamu untuk menolong kau manusia rendah yang terkutuk..." "Poocu, aku benci kepadamu...
aku ingin sekali membinasakan dirimu dengan cara yang paling keji..." jerit Han San sianseng penuh perasaan dendam.
Karena marah dan berteriak penuh tenaga, mulut luka di atas pinggangnya merekah semakin besar, darah cair segera mengalir keluar dari mulut luka tersebut, wajah Han San sianseng semakin pucat dan napasnya tersengkal-sengkal.
Ia berpaling ke arah Soat Hoa Nio Nio dan serunya dengan suara gemetar : "Nenek tua, kau..." Ucapan terakhir ditarik panjang sekali dan selamanya tak mungkin tersambung lagi, dia menjerit lengking dengan suara yang menyayatkan hati...
Kisah Pendekar Bongkok 1 Our Story Karya Orizuka Dewi Maut 21

Cari Blog Ini