Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying Bagian 4
berikut pedang pun sudah melesat maju secepat petir.
Walaupun dia menyerang belakangan namun serangannya tiba lebih dulu, sayang gerakan tubuh
Kelelawar tanpa sayap jauh lebih cepat, belum lagi serangan itu mencapai sasaran, dia
sudah menyelinap ke belakang pohon dan sekali lagi menyusup ke balik pepohonan disisi
jalan. Ditengah kilatan cahaya pedang dan gugurnya dedaunan, dengan kecepatan tinggi Siau Jit
melesat ke depan, ujung pedangnya menutul diatas dahan lalu badannya menyelinap ke balik
pepohonan itu. Dengan cepat ia saksikan bayangan punggung si Kelelawar sedang kabur ke balik kegelapan,
cepat dia menjejakkan ujung kakinya diatas dahan, seperti burung gereja yang terbang di
angkasa, ia kejar kakek itu dengan kecepatan tinggi.
Dalam pada itu Han Seng telah membalikkan badan dan menyusul di belakang Siau Jit.
Saat itulah terdengar Lui Sin meraung keras, dengan tangan kanan mencabut golok emasnya,
tangan kiri menggenggam kutungan lengan, dia mengejar dipaling belakang.
Berbareng itu pintu kereta terbuka, Suma Tang-shia munculkan diri, ia tidak ikut mengejar
namun hanya mengawasi bayangan punggung Lui Sin yang semakin menjauh.
Perasaan sangsi, ragu terlintas dibalik kelopak matanya.
Apa yang ia sangsikan" Apa yang membuatnya keheranan"
Sang Kelelawar meluncur tiada hentinya, hinggap dari satu batang pohon ke batang pohon
yang lain, sepasang ujung bajunya yang terpentang lebar membuat orang itu persis seperti
seekor Kelelawar yang sedang terbang.
Siau Jit mengejar ketat di belakangnya, ilmu meringankan tubuh yang dia miliki hampir
setara, hal ini membuat mereka berdua selalu terpisah satu jarak, walau jarak itu tidak
terlampau besar. Terdengar ujung baju bergema tersampok angin, biarpun tak dapat melihat bayangan tubuhnya,
dia yakin tak bakal kehilangan jejak.
Han Seng dan Lui Sin yang menyusul dibelakang Siau Jit lambat laun makin tertinggal jauh.
Bicara tentang ilmu meringankan tubuh, tentu saja mereka berdua masih bukan tandingan Siau
Jit, sekalipun begitu, mereka tetap melakukan pengejaran secara ketat.
Sorot mata mereka telah berubah jadi merah membara, seakan ada kobaran api yang membakar
dan menyala dengan hebatnya.
Api kemarahan!! Tiba tiba suara ujung baju tersampok angin hilang dan berhenti.
Siau Jit sama sekali tidak berhenti, dia masih melanjutkan pengajarannya dengan ketat.
Cahaya pedang telah melindungi seluruh bagian penting ditubuhnya, ia telah bersiap sedia
menghadapi segala kemungkinan yang terjadi, khususnya terhadap datangnya serangan
bokongan. Begitu melesat maju lagi sejauh tiga tombak, diapun menyaksikan kilauan cahaya air,
ternyata diluar hutan merupakan sebuah sungai yang luas dengan ombak yang besar, kabut
tebal masih menyelimuti permukaan air.
Sebuah sampan kecil berlabuh tiga tombak ditepi pesisir sungai, seseorang telah berdiri
tegak diujung sampan itu.
Kelelawar! Siau Jit menghentikan gerakan tubuhnya persis ditepi pantai pesisir, dia mencoba memeriksa
seputar sana, namun tidak dijumpai sampan kedua yang berlabuh.
Terdengar si Kelelawar kembali mengejek sambil tert awa aneh:
"Aku bisa terbang, apakah kau bisa juga?"
Siau Jit tertawa dingin. "Bila terdapat sebuah sampan lagi, akupun dapat terbang!"
"Sayang disini hanya terdapat sebuah sampan yang kuinjak sekarang!"
"Memang sayang sekali" dengus Siau Jit.
Sementara itu Han Seng telah menyusul tiba, sambil melotot gusar teriaknya:
"Apakah kau benar-benar si Kelelawar tanpa sayap?"
"Ditanggung asli!" sahut Kelelawar tertawa.
Baru saja Han Seng akan bertanya lagi, Lui Sin yang telah menyusul tiba telah menghardik
pula: "Bukankah kau sudah mampus?"
"Memangnya kau lihat aku sudah mampus?" si Kelelawar balik bertanya.
"Menurut berita yang beredar dalam dunia persilatan, kau sudah mampus banyak tahun
berselang" "Mati karena dikerubuti delapan jago lihay dari Kanglam bukan?"
"Memangnya berita itu hanya berita isapan jempol?"
"Mungkin saja hanya isapan jempol, tapi orang yang telah mati tak mungkin bisa hidup
kembali bukan?" kata si Kelelawar.
"Peduli amat kau sudah mampus atau masih hidup, aku ingin tahu, benarkah lengan ini adalah
lengan putriku?" teriak Lui Sin nyaring.
"Dijamin asli!"
"Darimana kau dapatkan lengan putriku ini?"
"Aaagh, jadi kau belum tahu kalau putrimu sudah terjatuh ke tanganku?" si Kelelawar balik
bertanya. Lui Sin tertegun, untuk sesaat dia termangu dan tak mampu bicara.
"Rupanya perbuatan ini betul betul merupakan hasil karya busukmu?" bentak Han Seng pula.
Si Kelelawar menghela napas panjang.
"Karena dia sudah terjatuh ke tanganku, bukankah kelewat gampang bila aku ingin memotong
sebuah lengannya?" "Mengapa kau harus berbuat begitu" Kenapa?" jerit Lui Sin.
Si Kelelawar garuk garuk rambutnya yang tak gatal, sahutnya berapa saat kemudian:
"Mungkin saja secara tiba tiba aku jadi gila.... kau harus tahu, seseorang yang sedang
gila, dapat melakukan perbuatan apa pun, bukan begitu?"
Lui Sin makin gusar, bentaknya lagi:
"Mengapa kau bunuh piausuku, menculik putriku?"
"Mungkin saja karena putrimu kelewat cantik!"
Merah padam selembar wajah Lui Sin saking gusarnya.
"Sebenarnya apa yang telah kau lakukan terhadap putriku?" jeritnya.
"Pulang saja ke piaukiok mu, bukankah segala sesuatu akan jadi jelas dengan sendirinya"
"Jadi kau telah menghantar dia pulang?"
"Kecuali lengan kanannya, yang lain sudah kuhantar balik"
"Kelelawar bajingan! Kemari kau, mari kita berduel sampai salah satu mampus!" tantang Lui
Sin kalap. "Ooh, maaf, maaf sekali!" tampik Kelelawar sambil nyengir dingin.
"Dasar bedebah tak bernyali!"
Kembali si Kelelawar tertawa aneh.
"Coba kalau fajar tidak segera menyingsing, tantanganmu pasti akan kulayani, tapi sekarang
mau tak mau aku harus segera terbang pergi"
"Terbang ke mana?"
"Alam bakal" begitu selesai bicara, kembali ia melambung ke udara.
Bersamaan dengan gerakan itu, sampan kecil tadi ikut melayang pula ke udara.
Ditengah percikan bunga air, saman berikut si Kelelawar telah melesat ke tengah sungai
dengan kecepatan tinggi, menyusup ke balik kabut tebal.
Kemudian lenyap tak berbekas, lenyap ditelan kabut.
Bab ll. Teka teki seputar Kelelawar.
Ketika air dan asap merapat kembali, manusia berikut sampan telah hilang tak berbekas.
Siau Jit, Lui Sin maupun Han Seng hanya berdiri tertegun ditepi pesisir, mereka tak mampu
berbuat apa apa, lagipula diseputar sana tidak terdapat sampan lain.
Tentu saja mereka pun tak dapat terbang.
Paras muka Lui Sin telah berubah hijau membesi, jeritnya bagai orang kalap:
"Ke1elawar..... dengarkan baik baik, biar kau masuk ke neraka atau naik ke bukit golok,
akan kucari dirimu hingga ketemu!"
Dari kejauhan terdengar si Kelelawar tertawa aneh sambil menyahut:
"Bagus, akan kusambut kedatanganmu dengan senang hati!"
Makin lama suara itu makin menjauh sebelum akhirnya lenyap.
Lui Sin semakin gusar, dilihat sikapnya dia seolah hendak ikut terjun ke dalam sungai, Han
Seng yang berada disampingnya buru buru mencegah, hiburnya:
"Toako, kau tak boleh kelewat emosi!"
"Betul" ujar Siau Jit pula, "disini tak tersedia sampan lain, tampaknya untuk sementara
waktu kita harus lepaskan dia"
"Bagaimana pun, aku bersumpah akan menemukan kembali bajingan tua itu dan mencincangnya
hingga hancur berkeping!" sumpah Lui Sin penuh kebencian.
"Kita punya banyak waktu untuk melakukannya, masih banyak kesempatan" sambung Han Seng.
Akhirnya Lui Sin menghembuskan napas panjang, tiba tiba tanyanya:
"Loji, menurut pendapatmu, bajingan itu sebetulnya manusia atau setan?"
"Tentu saja manusia" jawab Han Seng setelah tertegun sesaat.
"Bagaimana menurut pendapat saudara Siau?" kembali Lui Sin bertanya sambil berpaling ke
arah Siau Jit. "Seperti apa yang dikatakan saudara Han tentang setan dan dewa, semua itu hanya lelucon
yang tak lucu, sekalipun benar benar ada setan, yang pasti si Kelelawar adalah manusia,
hanya masalahnya kenapa ia berusaha menghindari kita?"
"Betul sekali perkataan saudara Siau" seru Han Seng sambil bertepuk tangan.
"Tapi menurut cerita yang beredar dalam dunia persilatan, konon si Kelelawar . . . . . . . . . .."
"Siapa yang bisa pertanggung jawabkan berita yang tersiar dalam dunia persilatan?" tukas
Han Seng cepat. "Tapi diantara kita tak pernah terjalin dendam maupun sakit hati"
Han Seng berkerut kening, ujarnya kemudian:
"Andaikata orang ini benar-benar si Kelelawar, maka apapun yang dia lakukan bukanlah
perbuatan yang aneh"
"Maksudmu . . . . . .."
"Konon orang ini setengah lurus setengah sesat, melakukan pekerjaan apa pun disesuaikan
dengan kondisi perasaan hatinya, senang gusar tak menentu, bahkan terkadang dia tak
berbeda seperti orang yang kehilangan ingatan, sinting!"
"Menurut pandanganku" timbrung Siau Jit, "tujuannya menghadang orang dan melakukan
pembantaian yang dia lakukan kali ini tak lain karena nona Lui Hong"
"Betul, tak diragukan tujuannya melakukan pembantaian karena ingin menghilangkan saksi,
dan kemunculannya kali ini disebabkan dia tahu kalau Ciu Kick belum mati, dia sangka kita
sudah mengetahui semua perbuatannya sehingga dia anggap tak perlu lagi untuk merahasiakan
identitas diri" "Begitu cepatkah kabar berita yang diperoleh bajingan itu?" tanya Lui Sin.
"Semestinya apa yang dia katakan sudah menunjukkan kesemuanya itu dengan jelas"
"Untung saja kabar beritanya tidak terhitung sangat cepat" ujar Siau Jit dengan suara
dalam, "kalau tidak, sekarang dia tak bakalan munculkan diri dihadapan kita semua,
sebaliknya pasti akan menyusup ke dalam perusahaan Tin-wan piaukiok secara diam diam"
"Mau apa dia ke sana?"
"Tentu saja membunuh Ciu Kiok!" Siau Jit menegaskan, "asal dia berhasil membunuh Ciu Kiok
maka semua mata rantai peristiwa ini akan putus ditengah jalan"
"Betul sekali!" seru Lui Sin dengan wajah berubah.
Tanpa sadar dia menatap kembali kutungan lengan yang berada ditangannya, lalu dengan
perasaan gusar bercampur ragu, katanya:
"Lantas apa tujuan dia menebas kutung lengan kanan Hong-ji?"
"Agar kita semua tahu kalau dialah pelaku peristiwa berdarah ini, tahu kalau nona Hong
sudah t erjatuh ke tangannya"
"Padahal dengan satu pernyataan pun sudah lebih dari cukup" seru Lui Sin geram.
"Bisa jadi dia kuatir kita tidak percaya dengan pernyataannya, mungkin juga lantaran otak
orang ini memang kurang beres, bagi seorang manusia normal, tak mungkin dia akan melakukan
perbuatan semacam ini"
Lui Sin mengangguk berulang kali.
"Betul juga perkataanmu" katanya, "sejujurnya, tadi pun aku sempat dibuat sangat terkejut"
"Padahal bukan hanya cianpwee yang kaget, kami pun ikut terperanjat dibuatnya, begitu
menyaksikan kita semua kaget, dia tampak gembira sekali"
"Aku rasa inilah tujuannya yang paling utama"
"Tadi dia mengatakan telah menghantar pulang nona Hong ke piaukiok" kata Siau Jit.
II "Yaa, tadi dia memang berkata begitu Lui Sin membenarkan, setelah menghela napas,
tambahnya, "meskipun kehilangan lengan kanannya, asal jiwanya terselamatkan, hal ini jelas
merupakan keberuntungan ditengah ketidak beruntungan"
Siau Jit tidak bersuara lagi, begitu pula Han Seng, terbungkam dalam seribu bahasa.
Lui Sin melirik mereka sekejap, tiba tiba perasaan ngeri dan seram terlintas dibalik
matanya, dengan cepat dia menatap wajah Han Seng lalu tegurnya:
"Jite, maksudmu?"
Han Seng manggut manggut.
Cepat Lui Sin berpaling kearah Siau Jit, belum sempat buka suara, sambil menghela napas
Siau Jit telah berkata lebih dulu:
"Ada sementara perkataan yang tidak sepantasnya kuutarakan, tapi mau tak mau harus
kuucapkan juga" "Kalau begitu katakan saja"
"Padahal apa yang hendak kukatakan sudah cianpwee ketahui juga"
Lui Sin tertawa getir. "Lohu sama seperti kau, orang yang lurus dan suka bicara langsung, tapi berada dalam
situasi seperti ini, terkadang aku perlu juga membohongi diri sendiri"
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya:
"Apakah kau hendak mengatakan, meski si Kelelawar telah menghantar balik putriku, namun
dia tidak pernah menegaskan kalau yang dikirim balik itu orang hidup atau orang mati....."
Siau Jit menghela napas panjang.
"Sekalipun tak banyak yang kuketahui tentang orang ini, namun menurut apa yang kutahu,
bila dia sudah menebas kutung lengan seseorang, itu berarti dia tak akan membiarkan orang
itu tetap hidup" Lui Sin mendongakkan kepalanya memandang cuaca, lalu katanya:
"Apa pun yang terjadi, asal kita kembali ke piaukiok, bukankah semuanya akan jadi jelas"
Habis berkata ia membalikkan tubuh dan berjalan menelusuri jalan semula.
Han Seng serta Siau Jit mengikuti dari belakang, langkah mereka terasa berat, seberat
perasaan hati yang mengganjal dada mereka sekarang .
Suma Tang-shia masih menanti ditempat semula, melihat ke tiga orang itu sudah balik, ia
baru bertanya sesudah menghembuskan napas panjang:
"Apakah si Kelelawar berhasil kabur?"
"Benar, ternyata diluar hutan sana terdapat sebuah sungai besar"
"Dan Kelelawar sudah siapkan perahu disana?" sambung Suma Tang-shia.
Siau Jit manggut-manggut.
Suma Tang-shia segera berpaling ke arah Lui Sin, kembali tanyanya:
"Apakah lengan itu benar-benar lengan putrimu?"
"Kelelawar mengaku kalau lengan ini ditebas dari tubuh putriku"
"Mana putrimu?"
"Katanya sudah dihantar balik ke piaukiok, tapi aku tak jelas dengan cara apa dia
menghantarnya balik" paras muka Lui Sin sangat berat, dengan cepat dia melompat naik
keatas kudanya. "Kalau begitu mari kita tengok ke piaukiok" ajak Suma Tang-shia.
Seusai berkata, dia segera naik kembali ke dalam keretanya.
Lui Sin segera melarikan kudanya dipaling depan.
Langit sudah terang, namun cahaya lentera didalam gedung utama perusahaan Tin-wan piaukiok
masih terang benderang bermandikan cahaya.
Disisi kiri gedung berderet peti mati berisikan mayat para piausu yang tewas ditangan Ong
Bu-shia, disisi kanan berserakan pula sejumlah mayat piausu yang tewas ditangan Kelelawar.
Jenasah Lui Hong diletakkan diatas sebuah meja berkaki delapan yang berada ditengah
gedung, jenasah yang telah dimutilasi, jenasah yang telah terbelah jadi enam bagian.
Ternyata lengan kanan yang diserahkan Kelelawar kepada Lui Sin memang lengan kanan milik
Lui Hong. Padahal kalau ingin membunuh, sekali tusukan pun sudah lebih dari cukup, namun dia telah
mencincang tubuh Lui Hong jadi enam bagian, pada hakekatnya hanya orang gila yang bisa
melakukan kesemuanya itu.
Si Kelelawar pun sama sekali tak bohong, kecuali lengan kanan itu, bagian tubuh lain milik
Lui Hong telah dihantar balik semua ke gedung piaukiok.
Dikirim balik dengan begitu saja.
Sesungguhnya Lui Sin sudah mempersiapkan diri, dia sudah bersiap sedia menerima kenyataan
bahwa Lui Hong yang dihantar balik ke perusahaan piaukioknya dalam keadaan mati.
Tapi mimpi pun dia tak mengira kalau mayat yang diterima justru merupakan mayat yang
terpisah pisah, sesosok mayat yang tercincang, mayat yang dimutilasi.
Menyaksikan pisahan anggota tubuh putrinya, untuk sesaat dia hanya bisa berdiri
mendelong . . . . . .. hingga kini, seperminum teh lamanya sudah lewat, ia masih berdiri
menjublak, terperangah dan berdiri dengan mata terbelalak.
Suasana sangat hening, tak ada suara, tak ada yang bicara, tak terkecuali Han Seng.
Suma Tang-shia bersandar dalam pelukan Siau Jit, sekujur tubuhnya gemetar keras.
Siau Jit sendiri berdiri dengan kening berkerut, seolah ada sesuatu yang sedang dia
pikirkan. Seluruh gedung piaukiok terjerumus dalam keheningan yang mendekati kematian, begitu sepi,
hening tapi tegang. Angin berhembus lewat menembusi ruangan, berapa lembar rontokan daun ikut melayang masuk
dan berserakan dilantai, menambah kentalnya suasana kematian ditempat itu.
Daun yang rontok memang perlambang dari suatu kematian.
Lagi lagi angin berhembus masuk ke dalam ruangan.
Sisa hawa dingin diujung musim gugur membuat suasana bertambah beku, mengibarkan pula
ujung baju semua orang. Saat itulah Lui Sin meraung keras:
Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sungguh menjengkelkan!" tiba tiba ia muntahkan darah segar lalu roboh terjungkal ke
tanah. Buru buru Siau Jit dan Han Seng maju membangunkan tubuhnya dan memayang keatas bangku,
tampak paras muka Lui Sin berubah kuning bagai kertas emas, sepasang matanya terpejam
rapat, ia berada dalam keadaan tak sadarkan diri.
"Toako, kenapa kau?" jerit Han Seng agak panik.
Suma Tang-shia segera maju menghampiri, setelah diperiksa sejenak, katanya:
"Tak perlu panik, dia hanya jatuh pingsan lantaran hawa amarah yang menyerang hati hingga
membuat hawa darahnya bergejolak, setelah muntah darah dia malah jauh lebih mendingan"
"Segera kupanggil tabib . . . . . . .."
"Tidak perlu" tukas Suma Tang-shia sambil menggeleng, kemudian sambil berpaling tambahnya,
"Siau kecil, gunakanlah tenaga dalammu untuk menenangkan gejolak hawa darah ditubuh Lui
enghiong" Siau Jit mengiakan, ia segera tempelkan telapak tangannya diatas jalan darah Leng-tay-hiat
ditubuh Lui Sin dan mengalirkan hawa murninya.
Kembali Suma Tang-shia berkata kepada Han Seng:
"Disini terdapat berapa butir pil, minumkan dengan air panas, setelah sadar nanti, Lui
enghiong akan sehat kembali"
Sambil berkata ia ambil keluar sebuah botol porselen, membuka penutupnya dan mengeluarkan
tiga butir pil warna hijau sebesar kacang kedele.
Buru buru Han Seng menerimanya sambil perintahkan orang untuk mengambil air hangat.
Dalam pada itu Lui Sin telah siuman kembali dari pingsannya.
Setelah menelan ke tiga butir pil dan mengatur napas sebentar, paras muka Lui Sin pun
pulih kembali dalam keadaan normal.
Setelah menghembus napas panjang katanya:
"Saudara Siau, silahkan tarik kembali tanganmu"
Waktu itu telapak tangan kanan Siau Jit masih menempel diatas jalan darah Leng-tay-hiat,
mendengar itu serunya: "Cianpwee, kau . . . . . .."
"Aku sudah tidak apa apa" tukas Lui Sin sambil menggeleng, "tadi aku hanya merasa
mendongkol sekali . . . . . .."
Lambat laun sikapnya pulih kembali jadi tenang dan terkendali, melihat itu Siau Jit pun
segera menarik kembali tangannya.
Setelah duduk, kembali Lui Sin menghembuskan napas panjang, ujarnya geram:
"Kelelawar bajingan terkutuk, aku orang she-Lui bersumpah akan mencincang tubuhmu!"
"Toako, kau harus baik baik jaga diri" hibur Han Seng.
Lui Sin segera tertawa keras.
"Hahaha.... toakomu tak gentar dibacok orang, apalah artinya hanya muntah darah"
Sambil berkata perlahan-lahan ia bangkit berdiri, lalu pesannya lagi:
"Saudaraku, tolong sampaikan pesanku, mulai hari ini perusahaan piaukiok menutup diri,
diharapkan pemilik barang yang belum sempat terkirim untuk mengambil kembali barangnya,
sementara ongkos tanggungan akan kita kembalikan lipat dua, selain itu perintahkan kasir
perusahaan untuk membagikan uang pesangon kepada semua anggota perusahaan, minta mereka
untuk mencari pekerjaan lain"
Setelah tertawa tambahnya:
"Padahal urusan semacam ini tak perlu kuperintahkan lagi, aku yakin kaupun tahu harus
berbuat bagaimana" Sambil menghela napas Han Seng manggut manggut.
"Toako tak perlu kelewat merisaukan persoalan ini"
"Saudaraku, masa kau masih belum paham?" kata Lui Sin sedih, "mengandalkan ilmu silat yang
kita miliki, kendatipun berhasil menemukan si Kelelawar, belum tentu kita berdua sanggup
selamatkan jiwa, lagipula jangan lupa, masih ada seorang Ong Bu-shia!"
"Betul sekali" Han Seng mengangguk dengan wajah berubah.
Lui Sin menatap wajah saudaranya sekejap, kemudian katanya lagi:
"Sejak dulu, kau adalah juru pikir perusahaan piaukiok kita, kenapa dalam urusan hari ini,
justru aku yang berulang kali harus mengingatkan dirimu?"
Han Seng tertawa getir. "Sejujurnya, pikiran siaute saat ini ibarat setumpuk jerami, kacaunya bukan kepalang"
"Jangankan kau, aku yakin kita semua tak akan mampu menenangkan hati" sela Lui Sin sambil
tertawa. Kemudian setelah menepuk bahu Han Seng, tambahnya:
"Karena Hong-ji toh sudah mati, rasanya tak ada urusan lagi yang harus buru buru kita
selesaikan" Tanpa menjawab Han Seng manggut-manggut.
"Kalau begitu, pergilah laksanakan tugasmu" kata Lui Sin lagi sambil mengulapkan
tangannya. Baru saja Han Seng akan mengundurkan diri, tiba tiba Lui Sin berseru lagi:
"Saudaraku, jangan lupa dengan bagianmu!"
Dengan perasaan melengak Han Seng mengangkat wajahnya, lalu serunya sambil tertawa sedih:
"Toako, apa maksud perkataanmu itu?"
"Bagaimana pun, selama ini kita sudah menjadi saudara yang baik, sebagai toako, aku tak
ingin menyeret kau dalam kekalutan ini dan menghantar kematian dengan percuma!"
Han Seng tertawa keras. "Toako, apa kau tidak merasa kelewat melecehkan diri siaute" Biarpun toako sudah melupakan
janji yang pernah kita ucapkan sewaktu angkat saudara dulu, sampai mati siaute akan
mengingatnya terus didalam hati"
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya:
"Bila toako ngotot terus, biarlah siaute mati lebih dulu didalam gedung piaukiok ini"
"Hahaha, bagus, saudara yang hebat!" seru Lui Sin kemudian sambil tertawa keras, "anggap
saja toako salah bicara, jangan dimasukkan ke dalam hati"
Dengan air mata berlinang Han Seng memberi hormat, katanya:
"Kalau begitu biarlah siaute laksanakan dulu semua urusan yang toako perintahkan"
Menyaksikan bayangan punggung Han Seng keluar dari gedung, Lui Sin baru berpaling kearah
Siau Jit dan Suma Tang-shia sambil berkata:
II "Apakah kalian berdua . . . . . . ..
Sambil tertawa Suma Tang-shia menukas:
"Ada satu urusan, mungkin Lui lo-enghiong masih belum tahu"
"Urusan apa?" tanya Lui Sin tercengang.
"Walaupun aku tak akan mati dihadapanmu, tapi kalau mulai mengumpat, caci maki ku bisa
galak sekali" Lagi lagi Lui Sin tertegun, tapi sejenak kemudian ia sudah tertawa tergelak.
"Hahaha, bagus, bagus sekali"
"Urusan apa?" tanya Lui Sin tercengang.
"Walaupun aku tak akan mati dihadapanmu, tapi kalau mulai mengumpat, caci maki ku bisa
galak sekali" Lagi lagi Lui Sin tertegun, tapi sejenak kemudian ia sudah tertawa tergelak.
"Hahaha, bagus, bagus sekali"
Kembali Suma Tang-shia berkata sambil berpaling kearah Siau Jit:
"Sedang saudaraku yang satu ini, aku yakin tidak gampang bagimu untuk mengusirnya pergi"
"Aku tak akan mengusir, aku tak akan mengusir!"
Sekali lagi Lui Sin duduk diatas bangku, ditatapnya batok kepala Lui Hong sekejap, setelah
pejamkan mata tiba tiba ia berteriak keras:
"Empek Ang!" Waktu itu Lui Ang memang sudah berada disamping majikannya, mendengar teriakan itu, buru
buru dia maju sambil bertanya:
"Loya ada perintah apa?"
"Jadi kaulah orang pertama yang bertemu siocia?"
Sekilas perasaan sangsi menghiasi wajah Lui Ang, tapi dia manggut tiada hentinya.
"Coba terangkan sekali lagi semua pengalaman yang kau hadapi pagi tadi!"
Dari sikap, nada pembicaraan serta penampilannya, jelas Lui Sin telah berhasil
mengendalikan diri dan tampil normal seperti sedia kala, bahkan jauh lebih tenang.
Lui Ang mengisahkan semua pengalamannya secara detil, apalagi disampingnya hadir Suma
Tang-shia yang begitu teliti, berulang kali perempuan itu mengajukan pertanyaan untuk
memperjelas duduknya perkara.
Sampai pada akhirnya Lui Ang tak kuasa mengendalikan diri lagi, ia menangis tersedu-sedu.
Tentu saja rasa sedih yang mencekam perasaan Lui Sin tak terkirakan bahkan jauh melebihi
rasa sedih Lui Ang, namun perasaan sedihnya saat ini sudah tertutup oleh perasaan ngeri,
seram dan keheranan yang kental.
Tanpa terasa Suma Tang-shia menyandarkan kepalanya dalam pelukan Siau Jit.
Mereka semua bukan termasuk type orang bernyali kecil, namun setelah mendengar penuturan
Lui Ang, tak urung berdiri juga bulu kuduknya, seseorang yang anggota tubuhnya telah
terbelah enam ternyata sanggup berjalan sendiri untuk kembali ke rumahnya, bahkan dapat
pula berbicara dan mencopot batok kepala sendiri untuk diserahkan kepada orang lain, jelas
peristiwa semacam ini sungguh menakutkan, horor dan menggidikkan hati.
Pada hakekatnya satu kejadian yang susah dipercaya dengan nalar sehat.
Lui Ang jelas tidak berniat untuk bohong, lagipula bohong tak ada keuntungan bagi dirinya.
Selesai mendengar penuturan itu, Lui Sin termenung sambil berpikir sejenak, kemudian
sambil menatap Siau Jit dan Suma Tang-shia, katanya sembari menuding kearah Lui Ang:
"Dia adalah pelayan tua kami, mengurusi semua urusan rumah tangga disini, aku berani
menjamin dia sangat setia dan bisa dipercaya, bahkan selama ini dia menganggap Hong-ji
seperti putri kandung sendiri"
Sambil menangis terisak kata Lui Ang pula:
ll "Akulah yang melihat nona Hong tumbuh dewasa . . . . . . ..
"Oleh sebab itu semua yang dia ucapkan seratus persen dapat dipercaya" tukas Lui Sin.
"Kami sama sekali tak pernah menaruh curiga terhadap perkataan orang tua ini" ujar Siau
Jit, "hanya saja . . . . . . .."
Tidak menunggu hingga dia menyelesaikan perkataannya, Lui Sin telah bertanya lagi kepada
Lui Ang: "Empek Ang, apakah waktu itu kau minum arak?"
Lui Ang menggeleng. "Loya juga tahu, kecuali tahun baru, hamba tak pernah minum arak"
"Aku percaya kau tidak minum arak, lagipula dalam situasi seperti ini, biar sedang
mengantuk pun, aku yakin kau pasti berusaha menjaga kesadaranmu"
Setelah berhenti sejenak, tambahnya:
"Tapi bagaimana pula penjelasanmu tentang peristiwa ini?"
"Cerita setan . . . . . . .." kata Siau Jit.
"Aku tak pernah percaya dengan hal hal tahayul semacam itu" tukas Lui Sin cepat.
"Begitu pula dengan aku"
Siau Jit segera berpaling ke arah Lui Ang dan ujarnya lagi,
"orang tua, apakah kau tidak melihat ada seseorang berdiri dibelakang mayat nona Hong?"
"Budak yakin tidak ada"
Kontan saja Siau Jit berkerut kening.
"Berarti hanya ada satu penjelasan, mula mula ada orang lain yang menenteng pulang batok
kepala itu, sedang bagian tubuh yang lain baru dipasang dibawah dinding tembok setelah dia
orang tua jatuh tak sadarkan diri"
"Ehm, penjelasan ini sangat masuk diakal"
Tiba tiba Suma Tang-shia menyela:
"Konon batok kepala itu sempat berbicara, seharusnya dia orang tua hapal bukan dengan
logat suara putrimu?"
"Betull" seru Lui Sin sambil bertepuk tangan, cepat ia berpaling ke arah Lui Ang dan
katanya, "seharusnya kau sangat mengenal logat suara siocia bukan?"
"Suara itu datang sayup sayup, seperti ada seperti tidak, seperti melayang seperti
mengambang, dalam perasaan budak, suara itu berasal dari seorang wanita, kemudian setelah
bertemu siocia, baru kudengar kalau suara itu suara dari siocia"
Untuk sesaat Lui Sin termenung, dia tak tahu harus bicara apa lagi.
Tiba tiba Suma Tang-shia berseru lagi:
"Diwilayah Siong-say (Oulam) terdapat sejenis ilmu sesat, apakah Lui enghiong pernah
mendengarnya?" "Mengembala mayat?" tanya Lui Sin setelah tertegun sejenak.
"Betul, konon banyak orang yang pernah menyaksikan sendiri ketangguhan ilmu ini, hanya
sayang belum ada yang bisa menjelaskan bagaimana mungkin mayat mayat itu bisa berjalan
menuruti perintah seseorang"
"Jadi menurut toaci, besar kemungkinan jenasah nona Lui digembala si Kelelawar dengan ilmu
sesat itu hingga berjalan balik sendiri ke tempat ini?" tanya Siau Jit sambil
menghembuskan napas dingin.
"Sebetulnya apa yang kukatakan hanya salah satu penjelasan, hanya penjelasan semacam ini
memang sukar diterima dengan nalar sehat"
Lui Sin tertawa getir, ujarnya:
"Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan, si Kelelawar sudah mati, tapi
sekarang dia muncul kembali, kalau orang mati pun bisa bangkit lagi, urusan apa pula yang
tak mungkin terjadi?"
Siapa pun dapat menangkap kalau perkataan itu adalah ucapan orang putus asa, apa boleh
buat. Suma Tang-shia seperti akan mengucapkan sesuatu tapi diurungkan kembali, akhirnya ia tetap
membungkam. Kembali Siau Jit menghela napas, katanya lagi:
"Persoalan apa pun, pada akhirnya pasti akan terungkap hingga jelas"
"Sekarang juga kita pergi mencari jawaban yang sesungguhnya" sahut Lui Sin sambil mengepal
tinjunya. "Baikl" kata Siau Jit dengan wajah bersungguh sungguh, "satu hari urusan ini belum tuntas,
sehari pula aku orang she-Siau tak akan meninggalkan kota Lok-yang"
"Bagusl Kau memang seorang hohan sejati!"
Baru berbicara sampai disitu, terlihat Han Seng sudah berjalan masuk dari luar gedung,
tiba dihadapan Lui Sin, serunya:
"Semua perintahmu telah kulaksanakan!"
"Bagus sekali!"
"Tapi ada berapa orang saudara tua yang enggan tinggalkan tempat ini" ujar Han Seng
setelah termenung sejenak.
"Menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan?"
"Untuk saudara saudara kita yang tak takut mati, apa salahnya bila toako biarkan mereka
tetap tinggal disini?"
"Tapi . . . . . . . .."
"Mereka adalah saudara-saudara kita yang tak takut mati, sekalipun toako mengusir mereka
dari sini, toh mereka bisa bertahan diluar kantor piaukiok, daripada membiarkan mereka
berkeliaran, bukankah jauh lebih aman bila menampung mereka didalam gedung saja"
"Ehm, cengli juga perkataanmu itu, baiklah, kita putuskan sesuai pemikiranmu itu"
Kembali Han Seng berkata:
"Sewaktu berada ditikungan serambi tadi, kebetulan siaute bertemu dengan Sun
Toa-nio . . . . . .."
"Apakah Ciu Kiok telah tersadar kembali?"
"Benar, Sun Toa-nio memang akan melaporkan kejadian ini kepada toako"
"Bagus1ah" Lui Sin segera berpaling ke arah Siau Jit dan Suma Tang-shia, lalu ajaknya,
"mari kita bersama-sama menengok Ciu Kiok, siapa tahu dari mulutnya bisa mendapat
keterangan yang lebih jelas"
Siau Jit mengangguk. II "Betul, siapa tahu dia dapat memberi petunjuk yang berharga katanya.
"Ayoh jalan!" dengan langkah lebar Lui Sin berjalan keluar lebih duluan.
Cahaya lentera masih menerangi seluruh ruang kamar.
Paras muka Ciu Kiok lebih pucat daripada cahaya lentera, dia memang banyak kehilangan
darah, karena itu wajahnya tampak layu dan kelihatan letih sekali, namun kondisinya jauh
lebih baik daripada sewaktu pertama kali tiba di piaukiok.
Seluruh ruangan dipenuhi bau obat yang kental, kini mulut luka Ciu Kiok telah dibubuhi
obat terbaik dan dibalut dengan rapi.
Setelah tersadar dari pingsannya tadi, Sun Toa-nio telah buatkan semangkok kuah obat
pemulih darah untuknya. Kini ia masih berbaring lemas diatas ranjang, matanya mendelong seperti orang bodoh, entah
apa yang sedang ia pikirkan.
Sampai suara langkah kaki bergema dalam kamar, sorot matanya baru perlahan lahan
dialihkan, namun ia tetap tak berpaling.
Baginya, berpaling merupakan satu pekerjaan yang amat sulit, begitu pula kondisinya
sewaktu duduk. Pertama-tama ia saksikan Lui Sin, tanpa terasa butiran air mata jatuh bercucuran.
Lui Sin segera menghiburnya.
ll "Kau sudah berusaha sekuat tenaga dalam peristiwa ini, tak perlu bersedih hati katanya.
"Entah bagaimana keadaan siocia sekarang?" bisik Ciu Kiok sambil terisak.
Kelopak mata Lui Sin sedikit mengejang, tapi dengan cepat dia menjawab:
"Mati hidup sudah diatur takdir, jadi kau tak perlu menguatirkan keselamatannya"
Tiba tiba berkilat sorot mata Ciu Kiok, serunya tak tahan:
"Siau kongcu!" Ternyata ia sudah melihat kehadiran Siau Jit yang berjalan masuk ke dalam ruangan.
"Kita pernah bertemu?" tanya Siau Jit.
"Masa kongcu lupa?"
"Tidak, dalam sekali pandang, aku segera dapat mengenalimu"
Semu merah pipi Ciu Kiok yang pucat setelah mendengar perkataan itu, pintanya cepat:
"Kongcu, kau harus segera selamatkan nona kami"
"Sebenarnya apa yang telah terjadi?" tanya Siau Jit sedih.
Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ciu Kiok mencoba mengingat kembali kejadian yang dialami, kemudian ujarnya:
"Waktu itu rombongan kami tiba disebuah warung teh dekat jalan raya, tiba tiba kakek
penjual teh menghentikan kami semua, katanya ada seorang tamu dari marga Siau menitipkan
sepucuk surat untuk siocia kami"
"Apa isi surat itu?" tanya Siau Jit.
"Ditunggu kedatanganmu di luar hutan kuil Thian-liong-ku-sat, ada urusan penting akan
dirundingkan. Tapi dalam surat tidak tercantum nama kongcu"
"Jadi siocia kalian pun pergi memenuhi undangan itu?"
"Sepeninggal siocia, kami pun masuk ke warung teh untuk menunggu, siapa sangka dalam air
teh telah dicampuri racun, berapa orang rekan yang keburu meneguk air teh itu seketika
keracunan dan menemui ajal!"
"Lanjut!" seru Lui Sin geram.
"Kemudian kakek penjual teh itupun berubah!" ketika bicara sampai disini, mimik muka Ciu
Kiok kembali memperlihatkan rasa ngeri dan takut yang luar biasa.
"Berubah?" tanya Lui Sin keheranan.
"Tampang mukanya berubah jadi sangat menakutkan, sepasang matanya seperti dua gumpal api
setan, saat itulah kami baru sadar kalau siocia sudah tertipu"
"Bagaimana kemudian?"
"Kakek itu mulai mencicit tertawa aneh, suara tertawanya mirip seekor tikus, dia beritahu
kepada kami kalau dialah si Kelelawar!"
"Kelelawar!" Lui Sin menggertak gigi hingga gemerutuk, Han Seng menarik napas dingin
sedang Siau Jit dan Suma Tang-shia saling bertukar pandangan tanpa mengucapkan sesuatu.
Ciu Kiok bercerita lebih lanjut:
"Begitu mendengar nama itu, paras muka paman To serta paman Thio berubah hebat, mereka
segera mengepung kakek itu rapat rapat, dari pembicaraan yang kemudian berlangsung,
rasanya si Kelelawar itu sudah mati lama"
"Ehm, apa yang dikatakan Kelelawar itu?" tanya Lui Sin.
"Tiba tiba ia bersuit nyaring, lalu seluruh ruang warung dipenuhi kawanan Kelelawar,
Il jumlahnya banyak sekali dengan suara bagai merintih dia melanjutkan, "kemudian kami pun
bertempur sengit, akhirnya satu per satu kami tewas diujung senjatanya yang konon disebut
golok Kelelawar. "Golok itu aneh sekali bentuknya, gagang golok berlambangkan seekor Kelelawar besar, tubuh
golok melengkung bagai bulan sabit, tapi tajamnya luar biasa, walau dipakai untuk membunuh
namun tiada darah yang menodai mata golok!"
Mendengar sampai disini Lui Sin segera berpaling kearah Siau Jit serta Suma Tang-shia
sambil berkata: "Ternyata dugaan kalian berdua tidak salah"
Kepada Ciu Kiok tanyanya:
"Kau masih bisa bertahan?"
Ciu Kiok mengangguk perlahan.
"Kalau begitu ceritalah lebih jauh, coba cerita lebih detil" pinta Lui Sin.
Maka Ciu Kiok pun melanjutkan kembali penuturannya yang belum selesai.
Oo0oo Pintu dan jendela kamar sudah tertutup rapat, hawa dingin diujung musim gugur telah
tertahan diluar jendela. Tapi penuturan Ciu Kiok seolah menghadirkan kembali hawa dingin diujung musim gugur,
menyusup dan menghimpit perasaan hati setiap orang.
Akhirnya dengan air mata bercucuran ujar Ciu Kiok:
"Seharusnya aku pergi ke kuil Thian-liong-ku-sat untuk melakukan pelacakan, tapi dengan
ilmu silat yang kumiliki, apa gunanya pergi ke situ" Maka terpaksa aku pulang kemari"
Sambil menggenggam tangan Ciu Kiok yang lembut, hibur Lui Sin:
"Semua yang kau lakukan sudah betul, bila kaupun pergi ke kuil Thian-liong-ku-sat, maka
selama hidup peristiwa ini akan tetap menjadi misteri, tetap akan menjadi rahasia pribadi
si Kelelawar" Perlahan Ciu Kiok berpaling kearah Siau Jit, lalu tanyanya:
"Siau kongcu, kenapa kaupun bisa sampai disini?"
"Apakah kau sudah lupa dengan apa yang kau katakan setibanya di piaukiok waktu itu?" kata
Lui Sin. Ciu Kiok menggeleng, rupanya dia sudah tak dapat mengingat kembali semua kejadian itu.
"Waktu itu kau mengatakan kalau semua orang telah terbunuh, nona ditipu orang, bahkan
sempat menyinggung nama Siau kongcu" Lui Sin menerangkan.
"Ehm" "Kebetulan ada orang melihat kehadiran Siau kongcu dirumah makan Tay-pek-lo, maka kami pun
pergi mencarinya untuk menanyakan duduknya persoalan"
"Jadi tuan sekalian sempat berkelahi?" tanya Ciu Kiok terperanjat.
"Gara-gara bertarung, kami pun jadi bersahabat, malah akhirnya sempat mendatangi kuil
Thian-liong-ku-sat bersama-sama"
"Apakah berhasil menemukan siocia?" desak Ciu Kiok.
"Tidak!" Lui Sin menggeleng.
"Tapi aku tidak bohong . . . . . .."
Lui Sin segera menggenggam tangan Ciu Kiok, ujarnya penuh emosi:
"Anak baik, tak ada orang yang mengatakan kau bohong"
Setelah menarik napas dalam-dalam, lanjutnya:
"Kami sudah memastikan kalau semua peristiwa berdarah ini merupakan hasil karya Kelelawar"
"Tapi.... bukankah Kelelawar sudah mengirim surat yang mengabarkan kalau dialah yang
menangkap siocia, tapi apa tujuannya" Apakah dia ingin memeras kita" Apa yang mau
diperas?" Lui Sin menggeleng. "Kelelawar tidak mengirim surat, tapi sudah munculkan diri dihadapan kami"
Setelah berhenti sejenak, terusnya:
"Ketika mendapat tahu kalau kau belum.mati, disangkanya kau telah menceritakan semua
kejadian kepada kami, karena itulah terpaksa dia munculkan diri dihadapan kami"
ll "Ooh rupanya begitu . . . . . . ..
"Untung saja dia menganggap begitu, kalau tidak, mungkin ia sudah menyerbu masuk ke dalam
piaukiok dan membunuhmu untuk menghilangkan saksi!"
"Membunuhku untuk menghilangkan saksi?" Ciu Kiok makin tercengang.
"Betul, dia sengaja membunuh kalian semua karena bertujuan untuk melenyapkan saksi"
Tak tahan Ciu Kiok menghirup udara dingin, diapun mengalihkan pembicaraan, tanyanya:
"Aaah betul, apakah sudah diketahui siocia berada dimana sekarang?"
Lui Sin tidak menjawab, dia hanya menghela napas panjang.
Tercekat perasaan hati Ciu Kiok setelah mendengar helaan napas itu, buru buru tanyanya:
"Tuan, apa yang sebenarnya terjadi dengan siocia?"
"Dia sudah mati" jawab Lui Sin dengan suara parau.
Paras muka Ciu Kiok semakin pucat.
"Tidak, tidak mungkin!" jeritnya sedih.
Lui Sin kembali menghela napas panjang.
"Sebenarnya aku tak ingin memberitahukan berita duka itu pada saat seperti sekarang, tapi
akupun tak tega mengelabuhi dirimu, membiarkan kau menguatirkan terus keselamatan jiwanya"
Paras muka Ciu Kick semakin pucat.
"Tidak, tidak mungkin!" jeritnya sedih.
Lui Sin kembali menghela napas panjang.
"Sebenarnya aku tak ingin memberitahukan berita duka itu pada saat seperti sekarang, tapi
akupun tak tega mengelabuhi dirimu, membiarkan kau menguatirkan terus keselamatan jiwanya"
Ciu Kick tidak menjawab, hanya air matanya bercucuran makin deras.
Kembali Lui Sin berkata: "Kelelawar sengaja munculkan diri karena ingin memberi kabar atas kematian Hong-ji....
selain mengirim kembali jenasah Hong-ji kepada kita"
"Kenapa dia harus membunuh siccia?" tanya Ciu Kick sambil menangis.
"Kamipun tak tahu, dia juga tidak menjelaskan"
"Tuan, kau harus balaskan dendam bagi kematian siocia, harus!" pinta Ciu Kick sambil
menggigit bibir. "Pastil" janji Lui Sin tegas.
Kembali Ciu Kick berpaling kearah Siau Jit, pintanya pula:
"Siau kongcu, kau . . . . . . .."
"Nona Ciu Kick tak usah berkata lagi" tukas Siau Jit, "dalam peristiwa ini aku pun akan
turut ambil bagian" Akhirnya sekulum senyuman tersungging juga diwajah Ciu Kick, kepada Lui Sin katanya:
"Tuan, bolehkah aku menengok wajah siccia untuk terakhir kalinya?"
"Lebih baik rawat dulu luka lukamu itu" bujuk Lui Sin dengan wajah makin pedih.
"Sebenarnya apa yang telah dilakukan Kelelawar terhadap tubuh siccia?" desak Ciu Kick
serius. "Aai, jangan ditanya lagi!" Lui Sin menggeleng.
"Tidak, tuan, kau harus beritahu kepadaku!" desak Ciu Kick sambil mercnta bangun.
Akhirnya Lui Sin mengaku:
"Tubuh Hong-ji telah dimutilasi menjadi enam bagian!"
Air mata Ciu Kick meleleh keluar makin deras, tiba tiba tubuhnya terjengkang ke belakang
dan lagi-lagi jatuh tak sadarkan diri.
"Bocah yang malang . . . . .." bisik Lui Sin sedih.
Han Seng ikut menghela napas sedih.
ll "Aaai, bisa dimaklumi katanya, "hubungannya dengan Hong-ji selama ini melebihi hubungan
saudara" Lui Sin segera mengulapkan tangannya seraya berseru:
"Sun toa-nio!" Perempuan tua yang selama ini berdiri disisi ruangan segera maju sambil mengiakan.
"Loya ada perintah apa" Silahkan diutarakan"
"Kau harus baik-baik merawat Ciu Kick"
"Loya tak usah kuatir" jawab Sun Toa-nic dengan air mata berlinang, "selama ini dia sudah
kuanggap seperti anak sendiri"
Tanpa bicara lagi Lui Sin manggut-manggut, kemudian setelah memeriksa jidat Ciu Kick, ia
baru bangkit berdiri dan melangkah keluar tinggalkan tempat itu.
Langkah kakinya terlihat jauh lebih berat daripada ketika datang tadi.
Siau Jit bertiga mengikuti dibelakang, siapa pun tak bersuara atau bicara.
Warna musim gugur menyelimuti halaman, suasana sendu musim gugur semakin mencekam tempat
itu. Setelah sekian lama menelusuri jalan setapak, tiba tiba Lui Sin menghentikan langkahnya,
mengepal tinjunya dan menengadah memandang langit sambil mengeluh:
"Kelelawar sialan, biar kau sembunyi dalam alam baka pun, aku tetap akan menyerbu masuk
dan menyeretmu keluar!"
"Dewasa ini, masih ada satu persoalan yang harus kita selidiki hingga jelas dan tuntas"
sela Han Seng. "Mati hidup si Kelelawar?" tanya Siau Jit.
Han Seng manggut-manggut.
"Semua orang mengatakan dia sudah mati, walaupun berita itu hanya kabar angin, namun tak
mungkin ada asap kalau tiada api, berita ini pasti timbul karena ada penyebabnya"
"Biarpun ketika berada di sampan dia mengaku hendak terbang balik ke alam baka, tapi siapa
yang mau percaya dengan perkataan semacam itu" Menurut pandanganku, lebih baik kita
kumpulkan berapa orang cianpwee untuk membicarakannya"
"Tidak perlu!" tiba tiba seseorang menyela. Suara dari Suma Tang-shia!
Dengan perasaan heran Siau Jit berpaling:
"Toaci . . . . . . . .."
"Kalian cukup bertanya padaku saja"
Lui Sin, Han Seng sama sama berdiri terperangah, tidak terkecuali Siau Jit.
Menyaksikan hal itu, kembali Suma Tang-shia tertawa, ujarnya:
"Rupanya kalian sudah lupa kalau Suma Ticnggcan adalah ayahku, salah satu diantara delapan
jago ampuh dari Kanglam yang mengerubuti si Kelelawar waktu itu?"
"Aaah betul" seolah baru tersadar, Siau Jit berseru keras, "sudah pasti ayahmu jauh lebih
mengerti tentang nasib dan mati hidup si Kelelawar itu"
"Nah itu dia, jadi menurut kau, aku tahu cukup jelas tidak?"
"Tentu, tentu saja kau tahu jelas"
Suma Tang-shia segera tertawa manis.
"Sejak kapan kau berubah jadi begitu pintar?" gcdanya.
Siau Jit tidak menjawab, hanya tertawa getir.
Han Seng turut tertawa getir, katanya:
"Tampaknya persoalan ini bakal membuat kita semua pusing tujuh keliling . . . . .."
Lui Sin berpaling pula kearah Suma Tang-shia sambil bertanya:
"Jadi bagaimana ceritanya" Dalam pertarungan itu, apakah si Kelelawar sudah mampus atau
mungkin dia masih hidup?"
"Boleh dibilang sudah mampus, boleh dibilang juga belum mampus seratus persen" jawab
perempuan itu. "Oya?" Dengan perasaan keheranan dan tak habis mengerti, Siau Jit serta Han Seng sama-sama
menengok ke arah Suma Tang-shia, tampaknya mereka pun tak paham dengan maksud jawaban itu.
Suma Tang-shia segera menerangkan:
"Jika mampus yang dimaksud adalah menandakan seseorang sudah tidak berada di dunia ini
lagi, maka orang itu boleh dibilang belum mampus"
Ketiga orang jagoan itu tetap tidak mengerti.
Suma Tang-shia menjelaskan lebih jauh:
"Setelah pertempuran itu, Kelelawar telah berubah menjadi dua orang yang beda, sudah bukan
Kelelawar yang dahulu lagi, bukankah hal ini bisa dikatakan kalau Kelelawar sudah tak ada
lagi, sudah mampus?"
"Ooo, jadi Kelelawar sesungguhnya tidak mati dalam pertempuran berdarah itu?" akhirnya
Siau Jit memahami juga maksudnya.
"Benar" Suma Tang-shia mengangguk.
"Lantas dia telah berubah menjadi manusia seperti apa?" tanya Siau Jit lagi.
"Dia sama sekali sudah kehilangan ingatannya"
"Idiot maksudmu?" selidik Siau Jit.
"Betul, idiot!"
"Jadi maksud nona, akhir dari pertempuran itu si Kelelawar sama sekali tidak kehilangan
nyawanya, tapi sudah kena dihajar hingga berubah menjadi idiot?" sela Lui Sin.
"Yaa, idiot!" Suma Tang-shia mengulang sekali lagi.
Maksud dari idiot adalah tidak berbeda jauh dengan kematian, sebab dalam pandangan orang
normal, idiot memang satu keadaan dimana mati jauh lebih enak daripada hidup.
Tentu saja hal ini menurut sudut pandang manusia normal.
Berbeda menurut sudut pandang orang idiot, bagi mereka hidup atau mati sama sekali tak ada
bedanya, karena mereka memang tak bisa memilih, kalau tidak, mungkin sejak awal mereka
sudah memilih mati. Walaupun kebanyakan kehidupan mereka jauh lebih sengsara daripada anjiing atau babi, namun
sebagian besar dapat hidup terus, bahkan hidup dengan hati gembira.
Tak ada yang tahu bagaimanakah dunia dari orang orang idiot, tentu saja hal ini berlaku
bagi orang yang normal. Lui Sin menatap wajah Suma Tang-shia, sampai lama kemudian ia baru bertanya lagi:
"Kenapa Kelelawar bisa berubah jadi orang idiot?"
"Apakah gara gara pertempuran waktu itu?" sambung Han Seng.
"Benar, waktu itu ayahku bersama delapan jago dari kanglam mengerubuti si Kelelawar di
ll lembah Hui-jin-gan . . . . ..
"Maksudmu lembah Hui-jin-gan di gunung Kiu-hca-san?" sela Siau Jit.
Suma Tang-shia menggeleng.
"Aku sendiripun tak tahu kenapa tempat tersebut disebut hui-jin-gan (Bukan tempat
manusia), hanya kuketahui kalau disana terdapat sebuah dinding batu yang amat besar,
di atas dinding batu itulah tertera tiga huruf besar yang b erbunyi Hui-jin-gan. Mereka
sengaja memil ih tempat itu untuk mengercyok Kelelawar, aku rasa te mpat itu memang cocok
sekali untuk men ghabisi kelaknatan Kelelawar"
"Dan si Kelelawar datang memenuhi undangan"' tanya Siau Jit.
Suma Tang-shia tertawa hambar.
"Sebelum terjadinya pertempuran itu, si Kelelawar sama sekali tak tahu kalau undangan
tersebut merupakan sebuah perangkap, kalau dibilang kejadian itu merupakan pertarungan adu
jiwa, mungkin lebih cocok kalau dibilang merupakan satu bokongan, satu serangan gelap"
"Jadi delapan jago sudah bersembunyi dan membuat perangkap lebih dulu ditempat tersebut
sebelum kehadiran si Kelelawar?"
"Benar, begitulah kejadiannya.
"Tapi cerita yang tersiar dalam dunia persilatan tidak berkata begitu" sela Han Seng.
Kembali Suma Tang-shia menghela napas.
"Delapan jago lihay mengerubuti satu orang saja sudah merupakan satu kejadian yang tak
enak didengar, kalau dibilang kejadian itu adalah sebuah bokongan, bukankah orang akan
semakin mentertawakan kawanan jago itu?"
Mendengar sampai disini, Lui Sin segera tertawa terbahak-bahak, serunya:
"Hahahaha, untuk menghadapi manusia laknat macam Kelelawar, lohu rasa memang tak perlu
bicarakan soal peraturan dunia persilatan lagi, jadi kenapa peduli soal enak tidak enak,
mentertawakan atau bukan"
"Sayangnya tidak setiap orang berpendapat begitu"
"Menurut pandanganku, walaupun ilmu silat yang dimiliki ke delapan jago itu sangat hebat,
mereka pun berjiwa ksatria dan suka menegakkan keadilan, namun jiwa mereka masih tidak
terbuka, masih sangat terkekang oleh segala tradisi" kata Lui Sin sambil tertawa.
Agaknya Suma Tang-shia setuju dengan pendapat itu, ia mengangguk.
"Betul, kalau tidak mereka pun tak usah ambil peduli bagaimana pandangan orang lain
terhadap mereka"
Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itulah yang lohu maksudkan"
"Namun sewaktu mengurung dan menyerang Kelelawar, mereka sama sekali tak ambil peduli
dengan segala peraturan dunia persilatan, saat itu jiwa, pikiran dan kekuatan mereka
terhimpun jadi satu, mereka hanya tahu bagaimana membantai musuh dalam waktu singkat"
"Bagus sekali, memang sudah sepantasnya manusia laknat semacam itu dibantai hingga tuntas"
puji Lui Sin sambil bertepuk tangan.
Sudah jelas rasa benci dan dendamnya terhadap Kelelawar telah merasuk hingga ke tulang
sumsum. "Bisa dibayangkan betapa sengitnya pertarungan yang berlangsung waktu itu" gumam Han Seng
sambil memandang ke tempat kejauhan.
Suma Tang-shia manggut manggut.
"Semasa masih hidup, setiap kali menyinggung pertarungan tersebut, ayahku selalu melonjak
emosinya" "Bagaimana akhir dari pertempuran sengit itu?" tanya Lui Sin.
"Dari delapan orang jago tangguh yang terlibat dalam pengeroyokan itu, lima diantaranya
tewas seketika, sisanya yang tiga orang menderita luka parah. Kalau dilihat secara phisik,
kondisi ayahku terhitung paling utuh"
"Paling utuh?" lagi lagi Lui Sin tertegun.
"Maksudku dilihat dari penampilannya, luka yang ia derita paling enteng"
"Bagaimana pula dengan si Kelelawar?"
"sekujur badan bermandikan darah dan penuh luka, konon isi perutnya tergetar hingga
bergeser karena termakan pukulan dahsyat, terakhir ayahku dengan ilmu pukulan
Siau-thian-seng menghajar ubun ubunnya!"
"Dan ternyata dia belum mati?" seru Lui Sin sambil menghembuskan napas panjang.
"Waktu itu dia sudah roboh terkena pukulan hingga muntah darah dan tak sanggup bangkit
lagi, siapa pun menyangka dia pasti mati, siapa tahu lewat berapa saat kemudian ternyata
ia mercnta dan merangkak bangun kembali, hanya otaknya jadi miring, dia jadi idiot"
"Terbukti orang ini memang memiliki daya tahan yang luar biasa, melebihi siapa pun, karena
itulah meski sudah terhajar pukulan siau-thian-seng dari ayahmu, dia masih tetap bisa
hidup" gumam Lui Sin.
"Dengan pengalaman yang dimiliki delapan jago tangguh dari Kanglam, seharusnya dugaan
mereka tak bakal salah"
"Saat itu mereka pun sempat mempersoalkan masalah ini, namun setelah dicoba berulang kali,
kenyataan membuktikan bahwa Kelelawar memang sama sekali sudah kehilangan ingatan, dia
telah berubah jadi seorang idiot"
"Apa yang kemudian mereka lakukan?" kembali Han Seng bertanya.
"Semua orang merasa terlalu keenakan jika menghabisi nyawa si Kelelawar dengan begitu
saja, maka mereka tidak melancarkan serangan mematikan lagi"
"Masa mereka membiarkan si Kelelawar meninggalkan dunia ini dengan begitu saja?"
Siau Jit termenung sejenak, katanya pula:
"Bagi seorang idiot yang memiliki ilmu silat tinggi, membiarkan dia mengembara dalam dunia
persilatan jelas merupakan satu persoalan yang sangat membahayakan"
Suma Tang-shia manggut-manggut.
"Tentu saja mereka pun sudah mempertimbangkan sampai kesitu, karena itu, meskipun tidak
sampai membunuhnya, namun mereka telah menyekapnya disuatu tempat"
"Dia disekap dimana?" kembali Siau Jit bertanya.
"Dalam rumahku"
"Perkampungan Suma-san-ceng di timur kota?" tanya Siau Jit tertegun.
"Memang kau sangka aku punya berapa rumah?"
Siau Jit tertawa getir, sementara Han Seng dan Lui Sin berdiri tertegun, kejadian ini
sungguh diluar dugaan mereka.
Terdengar Suma Tang-shia berkata lebih jauh:
"Tiga dari delapan jago yang masih hidup, satu tinggal di Pek-san, Hek-sui, yang seorang
lagi malah jauh diluar Giok-bun-kwan, hanya ayahku yang bertempat tinggal paling dekat,
lagipula perkampungan Suma san-ceng tersohor karena punya dinding baja tembok tembaga,
oleh sebab itulah akhirnya diputuskan untuk menyekap si Kelelawar ditempat ini"
"Peristiwa itu sudah lewat banyak tahun, apakah si Kelelawar tak pernah pulih kembali daya
ingatannya?" tanya Siau Jit lagi setelah termenung seje nak.
Suma Tang-shia menggeleng.
"Setiap berapa hari, aku selalu pergi menengok kondisi dan keadaannya, tapi walau ditinjau
dan dipandang secara apa pun, dia tetap seperti seorang idiot"
"Pernahkah ayahmu berpikir, seandainya suatu saat kesadaran dan pikiran orang ini pulih
kembali, peristiwa mengerikan apa lagi yang bakal terjadi?" tanya Siau Jit tertawa egir.
"Tentu saja pernah. Karena itulah diluar loteng yang digunakan untuk menyekap si Kelelawar
telah terpasang tiga belas lapis jebakan dan perangkap yang sangat lihay, jika si
Kelelawar bersikeras hendak menerobos keluar, dia pasti akan menyentuh satu diantara
sekian banyak alat jebakan, begitu satu alat tergerak maka semua alat perangkap lain akan
ikut tergerak, akibatnya sekeliling wilayah itu bakal rata dengan tanah!"
"Bahan peledak?" seru Siau Jit tanpa sadar.
"Betul, perangkap terakhir memang berisikan bahan peledak yang khusus dikirim dari
\\ Kwan-gwa, Bi-lek-tong "Berarti salah satu dari ke delapan jagoan itu adalah tokoh dari perguruan Bi-lek-tong?"
"Pemilik Bi-lek-tong!" Suma Tang-shia membenarkan, "dialah salah satu diantara tiga orang
yang hidup" "Itu berarti mustahil bagi si Kelelawar untuk keluar dari situ dalam keadaan hidup?" tanya
Han Seng. "Tidak mungkin" dengan sangat yakin Suma Tang-shia menegaskan, "aku pernah memeriksa
ga mbar peta dari alat perangkap itu, sekalipun kau memb awa petunjuk peta itupun, tidak
mungkin bisa keluar dari situ dengan badan utuh"
"Lantas bagaimana dengan makan si Kelelawar sehariannya?" tanya Han Seng tiba tiba.
"Semua makanan akan dikirim melalui sebuah tabung panjang yang tertanam dalam dinding,
ketika lapar, dia akan mengambil sendiri"
Kemudian setelah tertawa hambar, terusnya:
"Kalau melihat cara hidupnya, mungkin jauh lebih enak hidup seekor anjing, terkadang
akupun merasa heran, buat apa ayah sekalian menahannya terus, apa pula manfaatnya"
"Betul, kenapa tidak sekali bacok habisi nyawanya, jadi tak perlu repot repot lagi" kata
Lui Sin. "Itulah kelemahan kaum hiap-kek" sambung Han Seng sambil tertawa, "terkadang mereka tak
bisa lepas dari masalah keadilan, kebenaran dan kebajikan"
"Itu mah tergantung dengan siapa kita berhadapan" protes Lui Sin.
Terdengar Siau Jit bertanya lagi:
"Sewaktu berada dijalan raya tadi, bukankah toaci pun melihat ada seorang kakek buta yang
mengaku dirinya sebagai sang Kelelawar?"
"Waktu itu kebetulan kalian menghadang jarak pandangku, sampai Lui enghiong meneriakkan
nama Kelelawar tanpa sayap, aku baru terusik rasa heranku hingga ikut turun dari kereta,
sayang waktu itu kalian sudah pergi dari situ"
Setelah berhenti sejenak dan tertawa, lanjutnya:
"Tapi bukan masalah, gampang sekali jika kalian ingin tahu apakah orang itu Kelelawar yang
asli atau bukan . . . . .. datang dan berkunjung saja ke perkampungan Suma-san-ceng"
"Betul!" teriak Lui Sin tanpa sadar.
"Hanya saja . . . . .." Han Seng kelihatan agak ragu.
Sambil tertawa Suma Tang-shia segera menukas:
"Tak ada istilah mengganggu atau tidak, sekalipun kalian tidak minta, aku tetap akan
mengajak kalian untuk berkunjung ke situ"
"Sekarang juga mau ke sana?" tanya Siau Jit.
Bab 12. Lorong rahasia. "Aku rasa ada baiknya menunggu sampai Ciu Kiok sadar kembali" kata Suma Tang-shia.
Sekali lagi Siau Jit mengangguk.
"Betul, dia adalah satu satunya korban yang berhasil lolos dari ujung golok Kelelawar,
jadi dia memang sepantasnya ikut ke sana"
"Dengan begitu semuanya akan jadi jelas, apa benar Kelelawar yang ia jumpai adalah
Kelelawar yang disekap dalam perkampungan Suma-sa n-ceng, atau Kelelawar yang kita jumpai"
L ui Sin menambahkan. "Moga moga saja ketiganya berasal dari satu orang yang sama" kata Han Seng sambil tertawa
getir, "kalau tidak, seorang Kelelawar saja sudah bikin kita pusing, apa jadinya bila
muncul Kelelawar yang lain"
Lui Sin berpaling memandang kamar Ciu Kiok sekejap, kemudian katanya:
"Entah bagaimana kondisi Ciu Kiok, kira kira kuat tidak ia diajak melakukan perjalanan?"
"Dia lemah karena telah kehilangan banyak darah, asal istirahat sejenak lagi, tanggung
semangat dan kekuatan tubuhnya akan pulih kembali"
"Jite" pesan Lui Sin kemudian, "beritahu Sun toa-nio, begitu Ciu Kiok tersadar kembali,
minta dia segera memberi kabar"
"Toako, tampaknya watak temperamenmu yang seperti bahan peledak, kini sudah banyak
berubah" sahut Han Seng sambil manggut manggut.
Lui Sin tertawa ewa. "Manusia toh gampang berubah" katanya.
Tanpa bicara lagi Han Seng membalikkan badan sambil beranjak pergi.
Kembali Lui Sin mendongak sambil menghembuskan napas panjang, tiba tiba bisiknya:
"Aaai, musim gugur sudah mendekati puncaknya!"
Dia meraupkan tangannya, menangkap selembar daun yang sedang melayang ditengah udara.
Ia memang banyak berubah, meskipun Siau Jit tidak kenal orang ini namun banyak tahu
tentang sifat serta perangainya dimasa silam, tapi kini, ia merasa semua tingkah laku dan
sepak terjang orang ini sudah jauh berbeda dibandingkan dulu.
Tiba tiba Suma Tang-shia meraih selembar daun yang gugur dan bergumam:
"Aku tidak menyukai musim gugur, khususnya di puncak musim gugur seperti ini"
Siau Jit tidak menjawab, dia hanya membungkam.
Kembali Suma Tang-shia menatap wajah Siau Jit sekejap, lalu tanyanya perlahan:
"Tahukah kau mengapa?"
"Ehmm" "Apa maksudmu ehmm?"
"Itu tandanya dia tahu" sela Lui Sin, kemudian setelah tersenyum lanjutnya, "justru aku
yang tak habis mengerti, mengapa seorang gadis yang masih begitu muda macam dirimu
ternyata begitu sensitif perasaan hatinya"
Suma Tang-shia tertawa. n "Karena kau berkata begitu, hal ini menandakan bila kau benar benar tidak tahu
oyatgll katanya. "Karena kau masih belum melihat kalau sesungguhnya aku sudah tidak muda lagi"
Kontan Lui Sin tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, jadi kau beranggapan dirimu sudah tua sekali?"
"Buat seorang wanita setua aku belum juga menikah, hal ini pertanda kalau dia sudah tua"
kata Suma Tang-shia sambil tertawa.
Lui Sin tertegun. Kembali Suma Tang-shia melanjutkan:
"Selewat puncak musim gugur akan tiba musim dingin, itu berarti setahun kembali berlalu,
coba bayangkan sendiri, bagaimana mungkin perempuan macam diriku menyukai suasana puncak
musim gugur?" Walaupun masih tertawa, terlihat jelas kalau tawanya begitu sedih dan sendu.
"Sungguh tak disangka ada begitu banyak masalah yang gamang membuat kalian kaum wanita
risau dan kuatir" gumam Lui Sin sambil tertawa getir.
Saat inilah Siau Jit baru buka suara:
"Padahal banyak sekali pendekar kenamaan dalam dunia persilatan yang jatuh cinta kepada
toaci, hanya selama ini toaci tak pernah pandang sebelah matapun terhadap mereka"
"Banyak diantara mereka, bahkan kau pun tak pandang sebelah mata, bagaimana mungkin toaci
mu bisa menaruh perhatian?" sahut Suma Tang-shia tertawa.
"Selesai kasus disini, siaute pasti akan secara khusus mencarikan pasangan yang serasi
untuk diri toaci" Mendengar itu, Suma Tang-shia tertawa cekikikan, suara tertawanya begitu sendu, begitu tak
berdaya, apa boleh buat. Angin musim gugur berhembus memenuhi halaman, semakin banyak dedaun yang berguguran, tapi
suara tertawa Suma Tang-shia membuat suasana yang sudah sendu terasa makin pilu.
OoOoo Tengah hari, awan putih memenuhi jagad raya.
Awan dimusim gugur bagai selembar kain sutera yang tipis, cahaya sang surya menembusi
lapisan awan, memancar lembut ke permukaan bumi, begitu lembut bagai kerlingan genit
seorang kekasih. Siau Jit dan Suma Tang-shia berjalan menelusuri sebuah jalan setapak ditengah kebun bunga,
dibelakang mereka mengikuti Lui Sin, Han Seng serta Ciu Kiok.
Kondisi tubuh Ciu Kiok sudah jauh lebih sehat, dibimbing dua orang dayang, ia dapat
berjalan lebih santai. Kebun bunga itu terletak disebelah timur perkampungan Suma-san-ceng.
Biarpun Siau Jit adalah tamu yang sering berkunjung ke perkampungan itu, namun baru
pertama kali ini dia melewati jalan setapak ditengah kebun bunga.
Sekilas pandang, jalan setapak itu tak jauh berbeda dengan kebun kebun bunga lain, namun
sewaktu lewat disana, entah mengapa timbul suatu perasaan aneh dihati Siau Jit.
Dia bahkan sangat yakin kalau perasaan aneh itu bukan timbul lantaran dia berada disuatu
tempat yang asing. Entah karena melihat perubahan mimik wajah Siau Jit atau karena alasan lain, tiba tiba
Suma Tang-shia bertanya: "Siau kecil, apakah kau merasakan sesuatu yang aneh dengan jalan setapak ini?"
"Anehnya memang aneh, hanya tidak kutemukan dimana letak keanehan itu"
Suma Tang-shia segera tertawa, sambil belok ke sebuah persimpangan jalan katanya:
"Kau seharusnya dapat melihat letak keanehan itu"
Tergerak pikiran Siau Jit.
"Maksudmu kelewat banyak persimpangan jalan disini?"
"Sebetulnya bisa saja kita jalan lurus ke depan sana, tapi dalam kenyataan aku berbelok ke
kiri menikung ke kanan dan tiada hentinya memasuki persimpangan jalan yang ada"
"Mula mula kusangka setelah berbelok satu persimangan jalan, seharusnya toaci akan
berjalan lurus, tapi setelah mendengar ucapan toaci, aku jadi sedikit mengerti"
"Kalau begitu coba kau terangkan"
"Persimangan jalan yang ada disini tampaknya memang kacau tak beraturan, padahal dalam
kenyataan memiliki kepanjangan yang sama, hanya saja arahnya . . . . . . .."
"Kenapa dengan arahnya?" tanya Suma Tang-shia tertawa.
"Arah timur, selatan, barat, utara hampir semuanya terdapat hal yang sama, berapa kali aku
merasa hakekatnya sedang berputar ditempat yang sama, mana ada jalan setapak macam
begini?" Suma Tang-shia tidak menjawab, lagi lagi dia belok memasuki sebuah persimpangan jalan.
Tiba tiba Siau Jit berkata:
"Bila dugaan siaute tak salah, seharusnya disini telah dipasang sebuah barisan bunga"
Suma Tang-shia manggut-manggut.
"Apakah sudah kau lihat ilmu barisan apa?"
"Bukankah Lak-hap-tin?" ujar Siau Jit setelah termenung sejenak.
Mula mula Suma Tang-shia agak tertegun, kemudian sahutnya sambil tertawa:
"Tak kusangka kau benar benar dapat menebaknya, selama ini aku hanya tahu kalau ilmu
pedangmu sangat lihay dan tangguh, tak nyana dibidang ilmu barisan pun kau memiliki
pengetahuan yang luar biasa"
"Dimasa tua, guruku tertarik untuk mempelajari ilmu dibidang tersebut . . . . . .."
"Dan kau kebagian ilmunya"
"Tentu saja, kalau tidak bagaimana mungkin bisa menemukan ilmu barisan tersebut sekarang"
"Tapi sejujurnya, mempelajari ilmu semacam itu betul betul bikin otak seperti mau meledak"
kata Suma Tang-shia tertawa.
n "Belum pernah tahu kalau ternyata toaci menguasahi juga . . . . ..
"Dari seluruh wilayah perkampungan Suma-san-ceng, hanya daerah seputar sini yang sama
sekali tak dilengkapi dengan alat perangkap" tukas Suma Tang-shia cepat.
"Andaikata kami tidak membuntuti toaci dan berjalan semaunya sendiri, apa yang bakal
terjadi?" "Maka kalian hanya akan berputar terus diseputar tempat ini"
"Bukankah kita dapat menebang pepohonan disitu dan membuka sebuah jalan lewat?"
"Itu mah tergantung bagaimana nasibmu"
"Kalau kebetulan bernasib jelek?"
"Begitu menyentuh tombol rahasia dibalik pepohonan, besar kemungkinan kau akan tewas
dibawah hujan panah!"
"Bagaimana dengan para dayang . . . . . . .."
Suma Tang-shia tertawa, potongnya:
"Tempat ini sudah ditetapkan sebagai daerah terlarang, tanpa perintah dilarang masuk, jadi
seandainya ada yang tersesat, yaa jangan salahkan orang lain"
"Berarti si Kelelawar dikurung dalam barisan ini?" tanya Siau Jit kemudian.
"Boleh dibilang begitu..... andaikata selama hidup si Kelelawar berada dalam kondisi
idiot, cukup barisan ini sudah mampu mengurungnya sepanjang masa, tapi jika tiba tiba
kesadarannya pulih kembali, susahlah untuk diprediksi mulai sekarang"
"Atau dengan perkataan lain, kecuali barisan ini masih ada perlengkapan lainnya?"
"Masa kau lupa" Aku kan sudah mengatakan kalau disini seluruhnya terdapat tiga belas lapis
alat perangkap yang sangat hebat?"
"Tidak" Siau Jit menggeleng.
"Ooh, mungkin kau merasa sangsi dengan perkataanku itu?" tanya Suma Tang-shia sambil
tertawa. "Aku baru teringat setelah menyaksikan ilmu barisan yang diterapkan disini"
Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oya?" "Hanya untuk membangun ilmu barisan inipun, aku yakin sudah banyak tenaga, pikiran dan
beaya yang dihamburkan, apakah kau tidak merasa agak kelewatan untuk membuang begitu
banyak harta dan waktu hanya untuk melindungi seorang idiot?"
Suma Tang-shia mengangguk sedih.
"Akupun berpendapat begitu, menurut anggapanku, lebih baik kita hadiahkan sebuah bacokan
saja ke tubuh si Kelelawar daripada mencari kesulitan dan masalah, tapi ayahku sekalian
tidak sependapat" "Para cianpwee dan enghiong kebanyakan memang berpikiran begitu, kelewat berbelas kasihan"
keluh Siau Jit sambil tertawa getir.
"Itulah dia, jadi aku sendiripun tak bisa mengatakan apakah tindakan yang mereka lakukan
ini benar atau tidak"
Kembali Siau Jit menghela napas.
"Moga moga saja sikap baik dan berbudi mereka terhadap si Kelelawar tidak keliru"
"Aku cukup tahu akan keampuhan dan kedahsyatan dari berapa alat jebakan yang terpasang
diseputar tempat ini, aku tak percaya kalau si Kelelaw ar sanggup melarikan diri dari
loteng itu" "Dan yakin pula kalau Lui Hong bukan tewas ditangan si Kelelawar?"
Suma Tang-shia tidak menanggapi, ia terbungkam.
Sementara pembicaraan masih berlangsung, kembali mereka melewati dua buah tikungan,
diantara ranting daun dan pepohonan, lamat lamat tampak sebuah dinding pagar tinggi
berwarna coklat. Setelah termenung berapa saat, Suma Tang-shia baru berkata:
"Benarkah peristiwa berdarah itu merupakan hasil karya si Kelelawar, setelah melihat
keadaan Kelelawar nanti, aku yakin kita bisa menarik sebuah kesimpulan"
Siau Jit manggut-manggut.
"Ciu Kiok pun seharusnya dapat mengenali apakah orang itu adalah si Kelelawar yang melukai
dirinya atau bukan" "Menurut apa yang kuketahui, Kelelawar tak punya saudara, jadi aku rasa tak mungkin ada
orang yang mirip dengan si Kelelawar"
Sementara itu Suma Tang-shia telah mengajak mereka berbelok satu tingkungan, begitu
selesai berbelok, mereka telah keluar dari dalam barisan bunga.
Selapis dinding pagar yang tinggi terbentang satu tombak dihadapan mereka, disisi dinding
itu terlihat sebuah undak-undakan batu yang membentang keatas, diujung dinding merupakan
sebuah panggung datar, sekeliling panggung dipagari dengan balok kayu besar.
Sambil menunjuk kearah panggung itu, ujar Suma Tang-shia:
"Dengan berdiri diatas panggung itu, kita dapat menyaksikan dengan jelas loteng kecil
tempat Kelelawar disekap, panggung ini semuanya berjumlah empat buah, atau dengan
perkataan lain, mau kabur kearah mana pun, segala gerak gerik Kelelawar tak akan lolos
dari pengamatan kami"
"Masa Kelelawar tak mengerti bagaimana cara membuka jendela dan pintu loteng?" tanya Siau
Jit keheranan. "Naik saja keatas panggung, entar kalian akan mengerti dengan sendirinya" usul Suma
Tang-shia sambil menaiki anak tangga batu menuju keatas panggung.
Siau Jit menyusul dibelakangnya.
Sepanjang pembicaraan berlangsung, Han Seng dan Lui Sin yang mengikuti dibelakang mereka
dapat mendengar dengan sangat jelas, perasaan keheranan mereka sedikitpun tidak berada
dibawah Siau Jit, namun kedua orang itu berusaha menahan diri agar tidak ikut menimbrung.
Tentu saja Ciu Kiok yang paling terheran heran, dia bahkan sudah melupakan rasa sakit pada
lehernya dengan mempercepat langkah kakinya.
Serombongan manusia itu bagai barisan sukma, tanpa menimbulkan suara berjalan menuju ke
panggung. Panggung datar itu terbuat dari batu putih, satu tombak lebih tinggi dari dinding pagar,
luasnya pun mencapai satu tombak lebih, dengan begitu meski ada tujuh orang yang berdiri
disana, mereka sama sekali tak merasa kesemitan.
Angin yang berhembus diatas panggung amat kencang, hembusan angin mengibarkan ujung baju
mereka. Disisi belakang dinding tinggi itu merupakan sebuah hutan bambu, hembusan angin yang
kencang membuat daun bambu bergemerisik ramai.
Ketinggian pohon bambu lebih rendah dari permukaan panggung, jadi tumbuhan itu sama sekali
tidak menghalangi pandangan mereka, dari atas panggung mereka dapat melihat dengan jelas
suasana dalam loteng yang dikelilingi kebun bambu itu.
Benar saja, bangunan loteng itu sama sekali tidak dilengkapi pintu maupun jendela.
Disanapun tak ada dinding tembok tapi berupa jeruji yang terbuat dari balok kayu besar,
jadi kalau dibilang bangunan itu adalah sebuah loteng, lebih tepat dibilang sebagai gardu
dua tingkat. Diseputar bangunan loteng itu merupakan lapisan tembok pendek, tingginya tak sampai satu
tombak. Dinding pendek itulah yang memisahkan bangunan dengan hutan bambu.
Diantara bangunan loteng dan tembok pendek terhampar sebuah tanah lapang, rumput yang
tumbuh disana amat lebat dan mencapai ketinggian lutut.
Oleh karena kehadiran lapangan dengan semak tinggi inilah, bangunan loteng tampak
terpencil dan sendu, seolah sama sekali tak ada penghuninya.
Sambil menarik napas panjang gumam Siau Jit:
"Sebenarnya tempat ini adalah sebuah temat yang ind ah"
"Betul, coba dinding pendek itu disingkirkan, lalu semua semak dibabat rata, mau dibangun
gardu atau rumah gubuk disitu, aku yakin pasti banyak orang yang menyukainya dan kerasan
tinggal disini" "Dan siaute adalah salah seorang diantaranya" sambung Siau Jit cepat.
"Menggunakan tempat semacam ini untuk mengurung manusia laknat macam Kelelawar, jelas
siapa pun akan beranggapan kalau kelewat buang buang duit"
Lui Sin yang selama ini murung, kali ini tak kuasa menahan diri lagi, timbrungnya:
"Aku benar benar tak habis mengerti dengan jalan pemikiran para hiapsu dan kaum pendekar"
Siau Jit tertawa getir. "Rasanya bukan hanya locianpwee seorang yang merasa tak habis mengerti"
"Benar, aku selalu beranggapan bahwa cara kerja mereka kadangkala sok berlebihan" Han Seng
menambahkan. "Mungkin saja tidak semua orang berpikiran begitu"
"Asal ada seorang saja yang tidak berpikiran begitu, itu sudah lebih dari cukup"
Suma Tang-shia manggut manggut dan tidak bicara lagi.
"Apakah orang itu adalah si Kelelawar?" tiba tiba terdengar Siau Jit berseru sambil
memandang ke arah bangunan loteng itu.
Tanpa terasa semua orang berpaling kearah yang ditunjuk.
Dalam ruang loteng itu tampak ada seorang kakek sedang duduk bersila.
Rambut beruban kakek itu tampak kusut tak rapi, dia mengenakan baju warna hitam dan duduk
disitu tanpa bergerak, seakan sedang memikirkan sesuatu, ia duduk tak bergerak,
penampilannya persis seperti sesosok mayat kering yang tak bernyawa.
Karena jaraknya terlampau jauh, lagipula kepalanya setengah tertunduk, semua orang tak
dapat melihat jelas raut muka sesungguhnya.
Kalau wajah pun tak terlihat, tentu saja tak akan tampak perubahan mimik mukanya.
Namun mereka segera merasakan semacam perasaan yang amat misterius, khususnya ketika Suma
Tang-shia menjawab: "Benar, dialah sang Kelelawarl", perasaan misterius itu terasa semakin
kental. Benarkah dia adalah si Kelelawar tanpa sayap, Kelelawar laknat yang membuat paras muka
para jago berubah ketika mendengar namanya, Kelelawar bajingan yang selalu mengincar
perempuan, membunuh orang tanpa berkedip dan selalu melakukan perbuatan jahat"
Semua orang membelalakkan matanya lebar lebar, memusatkan segenap perhatian ke wajahnya.
Ciu Kiok merasakan pula jantungnya berdebar keras, perasaan ngeri, seram dan ketakutan
segera menyelimuti dirinya.
Dialah satu satunya orang yang lolos dari kematian, lolos dari cengkeraman mautnya.
Kelihatannya si Kelelawar sama sekali tidak merasa kalau ada orang sedang celingukan
diatas panggung, dia hanya duduk termangu ditempat tanpa bergerak sedikitpun juga.
Entah kenapa, setiap orang merasa seakan ada benda yang setiap saat dapat bergerak,
seperti ada sekelompok Kelelawar yang setiap waktu bakal menyerang mereka.
Bahkan Suma Tang-shia pun punya perasaan seperti ini, dengan wajah sangsi tanyanya kepada
Ciu Kiok: "Nona cilik, apakah orang ini yang kau jumpai di jalan raya di luar kota?"
Begitu pertanyaan itu diucapkan, tatapan mata semua orang serentak tertuju ke wajah Ciu
Kiok. "Apakah dia orangnya?" tak sabar desak Lui Sin.
Ciu Kiok menatap sekejap sekeliling ruang loteng itu, mula mula ia tampak kebingungan,
sesaat kemudian dengan nada meyakinkan sahutnya:
"Bukan, bukan orang ini"
"Bukan Kelelawar yang ini?" desak Lui Sin cemas.
"Bukanl" sahut Ciu Kiok yakin.
"Rasanya orang inipun bukan kakek buta yang mengaku sebagai Kelelawar tanpa sayap yang
kita jumpai pagi tadi" sela Siau Jit tiba tiba.
"Betul, pada hakekatnya seperti dua orang yang berbeda" Han Seng menambahkan.
Agaknya sekarang Lui Sin baru teringat akan peristiwa itu, gumamnya:
"Sama sekali tak mirip"
Perlahan Suma Tang-shia menyapu sekejap wajah ke emat orang itu, tanyanya kemudian:
"Kalian sudah melihat dengan jelas?"
"Sekalipun dia tidak mendongakkan kepalanya, namun bagaimana pun dipandang, rasanya dia
sama sekali tak mirip dengan Kelelawar yang kita jump ai pagi tadi" ujar Siau Jit.
"Tidak susah bila menginginkan dia mendongakkan kepalanya"
kata Suma Tang-shia, setelah
memandang sekejap bawah panggung, lanjutnya, "aku sengaja mengajak kalian masuk pada saat
ini karena ada alasannya"
Mengikuti arah yang dipandang, Siau Jit menyaksikan ada seorang perempuan tua berbaju abu
abu sedang berjalan keluar dari balik barisan bunga dan menuju ke arah panggung.
Perempuan tua itu berusia enam puluh tahunan, wajahnya ramah, dia membawa sebuah keranjang
terbuat dari bambu. "Dia adalah . . . . . . . .." tanya Lui Sin keheranan.
"Dia adalah Sim Ngo-nio, dayang tua dari keluarga kami, saatnya menghantar nasi untuk
Kelelawar" "Ooh....?" "Walaupun kungfu yang dimiliki Kelelawar sangat tinggi, bagaimana pun dia tetap manusia,
sekalipun dia tidak berubah jadi orang idiot pun, paling juga bisa menahan lapar selama
berapa hari" "waah, tampaknya repot sekali untuk membiarkan Kelelawar ini tetap hidup" gumam Lui Sin
dengan kening berkerut. "Akupun berpendapat begitu, kenapa tidak dibantai saja, urusan jadi beres" ujar Suma
Tang-shia. "Betul sekali!"
Sementara pembicaraan masih berlangsung, Sim Ngo-nio telah naik keatas panggung dan
memandang sekejap ke tujuh orang itu dengan pandangan sangsi dan penuh curiga.
Buru buru Suma Tang-shia memberi tanda kepada Sim Ngo-nio seraya berseru:
"Sana, laksanakan saja tugasmu"
Sim Ngo-nio tidak bicara apa apa, dia langsung menaiki tangga batu, biar usianya sudah
banyak namun tindak tanduknya tidak mencerminkan ketuaan, setiap langkah kakinya masih
mantap dan penuh tenaga. "Aku rasa diapun seorang ahli silat" kata Siau Jit setelah memandangnya sekejap.
"Percayalah, ilmu silat yang dia miliki sama sekali tidak berada dibawah kemamuanku,
bahkan mungkin jauh diatasku"
"Sama sekali tak kusangka"
Suma Tang-shia tertawa, sambungnya:
"Tentu saja kau terlebih tak menyangka kalau dia dengan ayahku masih terhitung saudara
seperguruan" Siau Jit tertegun, serunya kemudian:
"Aah, sungguh diluar dugaan"
Sambil merendahkan suaranya kembali ujar Suma Tang-shia:
"Aku hanya bisa beritahu kepadamu bahwa dia amat menyukai ayahku, sayang ayahku sudah
keburu mengawini ibuku, disaat ibuku meninggal, diapun sudah patah arang dan tidak berniat
"Aah, sungguh diluar dugaan"
Sambil merendahkan suaranya kembali ujar Suma Tang-shia:
"Aku hanya bisa beritahu kepadamu bahwa dia amat menyukai ayahku, sayang ayahku sudah
keburu mengawini ibuku, disaat ibuku meninggal, diapun sudah patah arang dan tidak berniat
untuk menikah lagi" "Kejadian semacam ini terkadang memang tak bisa dipaksakan"
Suma Tang-shia menghela napas panjang dan tidak bicara lagi.
Ternyata Sim Ngo-nio tidak langsung menaiki panggung batu itu tapi berhenti pada undakan
trap pertama dekat dinding tembok.
Diujung tembok terdapat sebuah tabung bambu yang kasar dan besar, tabung itu langsung
berhubungan dengan ruangan dalam bangunan loteng.
Sebenarnya sejak tadi Siau Jit, Han Seng maupun Lui Sin telah menaruh perhatian pada
tabung bambu itu, hanya saja karena konsentrasi mereka tertuju pada si Kelelawar, maka
selama ini tak semat menanyakannya kepada Suma Tang-shia. Tapi sekarang, tanpa ditanya pun mereka sudah tahu apa kegunaan dari tabung bambu itu.
Sim Ngo-nio membuka kain biru penutup keranjang bambunya dan mengeluarkan dua buah tabung
bambu pendek, kemudian secara beruntun dia lempar kedua tabung kecil itu ke dalam tabung
bambu besar. "Apakah isi tabung bambu itu adalah makanan?" Siau Jit segera bertanya.
"Satu tabung berisi makanan, satu tabung yang lain berisi air bersih, tabung tabung itu
akan menggelinding masuk ke dalam ruangan loteng itu melewati tabung bambu besar ini,
biarpun setiap hari hanya dua tabung, namun repotnya bukan kepalang"
"Aku lihat si Kelelawar benar benar seperti orang idiot" tiba tiba ujar Siau Jit, "kalau
tidak, seharusnya ia dapat berpikir untuk menggunakan batang bambu ini untuk melarikan
diri" Suma Tang-shia kontan tertawa.
"Justru lantaran dia tidak berbuat begitu, maka suasana diseputar sini masih tetap terjaga
hingga kini, belum rata dengan tanah"
"Jadi tiang bambu itu dihubungkan dengan sumbu bahan peledak?" tanya Siau Jit tertegun.
"Betul! Ketika mendengar ada benda menggelinding lewat tabung bambu itu, si Kelelawar
segera akan berjalan menghampiri dan mengambil kedua tabung makanan dan air bersih
itu . . . . . . . .."
Belum habis dia berkata, disebela h sana si Kelelawar sudah mendongakkan kepalanya.< br/> Kini dia berjalan mendekati panggung batu dengan wajah menghadap ke atas.
Kini Siau Jit, Lui Sin maupun Han Seng dapat melihat wajahnya dengan sangat jelas,
ternyata dia memang bukan kakek buta yang dijumpai pagi tadi.
Tanpa sadar serentak mereka berpaling ke arah Ciu Kiok.
Tampak Ciu Kiok menggelengkan kepalanya berulang kali, Kelelawar yang tersekap dalam
loteng itu sama sekali bukan Kelelawar yang menipu Lui Hong, apalagi si Kelelawar yang
membunuh To Kiu-shia serta Thio Poan-oh sekalian.
Mungkinkah si Kelelawar tanpa sayap ada yang asli dan gadungan" Tapi siapa yang berani
menyamar jadi manusia seperti itu"
Dalam waktu singkat perasaan semua orang jadi kalut, kacau setengah mati, dan pada saat
itu pula si Kelelawar mulai bergerak.
Tampak seluruh tubuhnya mencelat ke tengah udara lalu begitu jatuh kembali ke bawah, ia
berputar dilantai bagai gangsingan, dengan berapa kali putaran tubuhnya sudah melompat
keluar dari ruang loteng.
Saat itulah semua orang baru melihat kalau ditangan kanannya ia menggenggam sebatang
tongkat bambu. Begitu menyaksikan tongkat bambu itu, baik Siau Jit maupun Han Seng dan Lui Sin segera
merasa sangat mengenal dengan benda tersebut.
Fajar tadi, ketika bertemu dengan Kelelawar tanpa sayap, mereka saksikan ditangan orang
itupun membawa sebuah tongkat bambu yang sama.
Dengan tongkat itulah dia menggurat sebuah gambar Kelelawar diatas tanah, beritahu kepada
mereka bahwa dialah si Kelelawar.
Kelelawar tanpa sayap! Walaupun jarak mereka cukup jauh, meski mereka tak dapat melihat secara jelas, namun baik
warna, ukuran maupun bentuk dari tongkat bambu itu sama sekali tak berbeda dengan apa yang
disaksikan Siau Jit bertiga.
Itulah sebabnya mereka merasa sangat mengenal dengan benda tersebut, perasaan kenal itu
bukan dikarenakan benda itu sama sama sebuah tongkat bambu.
Tanpa sadar semua jago mulai tegang, mulai merasakan aliran darah bergerak cepat.
Pada saat itu pula paras muka Suma Tang-shia ikut berubah.
Persoalan apa yang telah membuatnya terperanjat"
Si Kelelawar sudah keluar dari bangunan loteng, tiba tiba tongkat bambunya ditekan ke
bawah kemudian menutul keatas wuwungan rumah, tubuhnya yang kurus itupun segera melambung
tinggi ke angkasa. Bersamaan itu tongkat bambunya meluncur ke tengah udara dengan kecepatan tinggi.
Tatkala tubuh kurusnya meluncur kebawah, sepasang ujung bajunya segera dipentangkan
seperti Kelelawar mementang sayap, ia seolah-olah berubah menjadi seekor Kelelawar hitam
yang amat besar. Begitu meluncur ke bawah, lagi lagi badannya melejit, sementara dalam genggaman tangannya
telah bertambah dengan sebuah tabung bambu.
Tabung itu tak lain adalah tabung bambu yang baru saja dimasukkan Sim Ngo-nio ke dalam
tabung bambu besar tadi. Ketika tongkat bambunya meluncur ke bawah, si Kelelawar segera pentang mulutnya dan secara
tepat menggigit ujung tongkat tadi.
Lagi lagi badannya yang kurus kering berputar bagai gangsingan ditengah udara, kemudian
melesat masuk ke dalam ruang loteng.
Begitu duduk kembali diposisinya semula, dia mulai tertawa, tertawa bangga.
Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suara tertawa itu berkumandang hingga keluar hutan bambu, menggema disisi telinga semua
orang, begitu tajam dan nyaring suara tertawanya hingga jauh melebihi suara gemerisik daun
bambu yang dimainkan angin.
Suara tertawanya sangat aneh, dibalik suara mencicit, terselip pula perasaan menakutkan
yang sukar dilukiskan dengan perkataan.
Semua orang mulai bergidik, mulai merinding, tanpa terasa bulu kuduk mulai berdiri.
"Suara tertawanya mirip sekali!" tiba tiba Ciu Kiok menjerit keras.
Lui Sin, Siau Jit maupun Han Seng pun mempunyai perasaan yang sama, seperti itulah suara
tertawa yang mereka dengar ketika bertemu si Kelelawar fajar tadi.
Tapi sekarang suara tertawa itu kedengaran begitu aneh, begitu menakutkan.
Kembali paras muka Suma Tang-shia berubah, gumamnya:
"Kenapa bisa jadi begini?"
Terdengar suara yang parau tua bergema dari samping tubuhnya:
"Setelah berada disini banyak tahun, baru pertama kali ini kulihat ia bersikap begitu"
Itulah suara dari Sim Ngo-nio, dia sudah berjalan naik ke panggung batu dan menghampiri
Suma Tang-shia. Paras muka perempuan tua inipun tampak sangat aneh.
"Benar" ujar Siau Jit pula, "bila dilihat dari tingkah lakunya sekarang, dia sama sekali
tak mirip seorang manusia idiot"
" kata Suma Tang-shia
"Sesaat tadi memang tidak mirip, tapi sekarang sudah mirip kembali
sambil tertawa getir. Sewaktu Siau Jit berpaling lagi, diapun ikut tertawa getir.
Betul saja, waktu itu si Kelelawar sedang mengawasi tabung bambu dikiri kanan tangannya
secara bergantian sambil tertawa bodoh.
Suara tertawa yang berkumandang pun sama sekali tak mirip dengan suara tertawa manusia
normal. Suara tertawa ini berbeda sekali dengan suara tertawanya sebelum Siau Jit mengucapkan
perkataannya tadi. Dibalik suara tertawanya terselip perasaan gembira yang sukar dilukiskan dengan perkataan,
membuat siapa pun yang mendengar, merasa makin seram dan ngeri.
Siau Jit merasa amat ngeri, bulu romanya mulai bangkit berdiri.
"Baru pertama kali ini kudengar ia tertawa seperti itu" kembali Suma Tang-shia berkata
sambil tertawa getir. "Begitu pula dengan aku" Sim Ngo-nio menambahkan.
"Mungkinkah ada saat dia mulai tersadar kembali?" timbrung Han Seng.
Sim Ngo-nio termenung tanpa menjawab, sementara Suma Tang-shia menyahut setelah berpikir
sejenak: "Hal ini kurang jelas"
"Tapi bagaimana pun juga, jangan harap dia bisa meloloskan diri dari hutan bambu ini" Sim
Ngo-nio menambahkan. Suma Tang-shia manggut-manggut.
"Ke tiga belas lapis alat perangkap itu dirancang dan diterapkan setelah melalui
pertimbangan serta perhitungan yang matang, lagipula semua peralatan ditanam pada bagian
yang tidak mencolok, kendatipun ia dapat menemukan letaknya, belum tentu dapat merusaknya,
jadi hal yang mustahil bila dia sanggup lolos dari tempat ini"
"Bila ia dapat keluar dari barisan, berarti tak mungkin akan tetap tinggal didalam hutan
bambu" lanjut Sim Ngo-nio, "kalau sampai terjadi hal semacam ini, perkampungan
Suma-san-ceng sebagai barisan pertama pasti sudah dibumi hangus oleh dirinya"
"Tapi bagaimana dengan tongkat bambunya?" tanya Lui Sin tiba tiba.
"Kenapa dengan tongkat bambu itu?"
"Kelelawar yang kami jumpai fajar tadi justru membawa tongkat bambu yang sama!" kata Lui
Sin. "Kau yakin sama?" desak Suma Tang-shia.
"Walaupun aku tak berani memastikan seratus persen, namun ukuran maupun warnanya sama
sekali tak berbeda" "Kalau dibicarakan kembali, peristiwa ini memang sangat aneh" ujar Sim Ngo-nio, "selama
banyak tahun berada disini, belum pernah kulihat dia membawa tongkat bambu semacam itu"
Suma Tang-shia mengiakan, paras mukanya tamak lebih murung dan serius.
"Masa kejadian ini begitu kebetulan?" desak Lui Sin.
Suma Tang-shia hanya termenung tanpa menjawab.
Berkilat sorot mata Siau Jit, tiba tiba ujarnya:
"Toaci, bolehkah kami berjalan lebih dekat lagi dengan si Kelelawar itu agar bisa melihat
lebih jelas?" "Boleh saja" jawab Suma Tang-shia setelah termenung sejenak, perlahan ia berpaling kearah
Sim Ngo-nio. "Padahal kita tak usah kelewat kuatir atau was was" kata Sim Ngo-nio sesudah berpikir
sejenak, "bila Kelelawar itu tak bermasalah, biar kita mendekatinya pun tak bakal ada mara
bahaya, andaikata ia sudah peroleh kembali kesadaran nya, dengan andalkan kekuatan kita
semu a, rasanya masih mampu untuk menghadapinya"
"Baik!" kata Suma Tang-shia kemudian sambil mengangguk, "mari kita tengok dia dari luar
pagar pendek itu" "Aaah benar" tiba tiba Sim Ngo-nio berseru, "sebetulnya apa yang telah terjadi?"
"Mari kita bicarakan sembari berjalan" kata Suma Tang-shia, kepada Siau Jit bertiga
katanya pula, "setelah melewati dinding tinggi, aku harap kalian mengikuti aku dengan hati
hati" Dia berbicara dengan nada serius.
"Toaci tak usah kuatir" sahut Siau Jit.
"Benar, kami sama sekali tidak mencurigai atau meragukan perkataan nona" sambung Han Seng.
Kembali Suma Tang-shia tertawa.
II "Sejujurnya, hutan bambu itu merupakan sebuah wilayah yang sangat berbahaya katanya,
"karena itu mohon maaf bila terpaksa aku harus bawel dan banyak bicara"
"Hahaha, nona tak usah kuatir, kami dua bersaudara masih belum ingin mati sekarang" kata
Lui Sin sambil tertawa keras.
Kembali Suma Tang-shia tertawa, dengan berpegangan dibahu Siau Jit, ia mulai menuruni anak
tangga batu. Dalam pada itu suara tertawa aneh dari si Kelelawar telah berhenti.
Lebih kurang tiga tombak diatas dinding kiri sebelah timur lapangan batu, terdapat sebuah
pintu berbentuk rembulan, walau tidak dilengkapi daun pintu, namun diatasnya tergantung
sebuah papan nama yang bertuliskan: Mati untuk yang berani masuk!
Sesungguhnya, barisan bunga itu telah ditetapkan oleh perkampungan Suma san-ceng sebagai
daerah terlarang, andaikata ada orang ingin tahu yang menerobos masuk sampai disitu dan
tiba ditempat ini, semestinya mereka akan segera menghentikan langkahnya sesudah membaca
tulisan itu. Melongok kebalik pintu, terlihat sebatang pohon bambu dan tidak terlihat jalanan lainnya.
Pintu gua itu terletak disisi kiri dengan lebar setengah kaki, tapi satu meter diantaranya
kini sudah tertutup oleh dahan bambu yang malang melintang.
Suma Tang-shia segera berhenti didepan pintu sambil berkata:
"Siau kecil, cabut pedangmu"
"Untuk apa?" tanya Siau Jit tertegun.
"Tentu saja membabat batang bambu yang melintang di depan pintu masuk!"
Sambil meloloskan pedangnya kata Siau Jit kemudian:
"Siaute hanya tahu membabat sambil maju, bila menemui kegagalan, jangan lupa toaci memberi
petunjuk" Kontan Suma Tang-shia tertawa cekikikan.
"Biarpun toaci mu kesalnya sampai ingin mati, saat ini masih belum ingin mati beneran"
Siau Jit tertawa, cahaya pedang berkelebat, dia mulai membabat kutung ranting dan dahan
bambu yang menghadang jalanan.
Tangan kanan Suma Tang-shia masih berpegangan diatas pundak kiri Siau Jit, dia tampak
begitu lemah. Ditengah cahaya pedang, rombongan itu kembali melanjutkan perjalanan memasuki hutan bambu.
Ternyata jalanan yang terbentang dibalik pintu bukan hanya ada sebuah, tapi banyaknya luar
biasa, selain banyak bahkan rapat dan membingungkan, persis seperti sebuah jaring
laba-laba. Setiap cabang jalan, nyaris dimulai dari pintu masuk tersebut.
Baru tiga kaki memasuki hutan bambu, jalanan itu telah terpecah menjadi sembilan buah
jalan, setiap pecahan jalan memiliki bentuk yang tak berbeda.
Setiap cabang jalan itupun hanya membentang sejauh tiga tombak, tidak lebih tidak kurang.
Pada cabang jalan tersebut kembali muncul cabang jalan lain, bagi Siau Jit yang menguasahi
ilmu barisan, setelah belok berapa kali, dia mulai kehilangan pegangan dan bingung
sendiri. Terlebih Han Seng dan Lui Sin, mereka hanya merasakan pandangannya kabur dan berkunang,
dalam keadaan begini mereka hanya bisa mengintil dibelakang Suma Tang-shia dan Siau Jit
secara ketat. Sim Ngo-nio berjalan dipaling belakang, namun dia pula yang paras mukanya nampak sangat
serius, seolah kuatir kalau berapa orang yang berjalan duluan itu salah langkah hingga
berakibat fatal. Dari mimiknya ini, bisa disimpulkan bahwa ia sudah membuang waktu cukup lama untuk
mempelajari barisan tersebut, sekalipun sesungguhnya dia tidak tertarik dengan ilmu
semacam itu. Terbukti Suma Tang-shia memang seseorang yang sangat ahli, biarpun setiap langkah dia
lakukan dengan hati hati, namun tak pernah salah langkah.
Makin ke dalam, hutan bambu semakin lebat dan rapat, sebagian besar jalanan bahkan sudah
terputus oleh lebatnya tanaman, hal ini menunjukkan entah sudah berapa lama tempat
tersebut tak pernah dijamah manusia.
Kendatipun begitu, Suma Tang-shia tetap bisa mengenali daerah disitu dengan jelas dan
tepat. Setiap langkah yang dilakukan seakan sudah berada didalam perhitungannya, kalau bukan
sangat ahli, bagaimana mungkin ia dapat melakukan kesemuanya itu"
Setelah berjalan sekian lama, akhirnya tak tahan Siau Jit menghela napas panjang dan
bergumam: "Sekarang, aku benar-benar merasa sangat kagum"
"Kau mengagumi aku?" tanya Suma Tang-shia sambil tertawa.
"Benar" Siau Jit mengangguk, "jangankan keluar dari barisan ini, bahkan untuk menentukan
arah mata angin pun, sekarang aku sudah tak mampu"
"Berarti kau kagum seratus persen?"
"Betul, kagum dan takluk seratus persen"
Kontan saja Suma Tang-shia tertawa cekikikan, tiba tiba serunya:
"Belok kiri!" Siau Jit menyahut sambil belok ke kiri, pedangnya bergetar cepat dan "Sreeet!" sebatang
pohon bambu yang menghadang dihadapannya tertebas kutung dan mencelat ke samping.
Berkilat sorot mata Suma Tang-shia, katanya lagi sambil tertawa:
"Aku pun merasa kagum seratus persen dengan kehebatan ilmu pedangmu"
"Aaah, kepandaian ku tak seberapa"
"Hihihi, sejak kapan kau belajar merendah?"
"sekarangl" kembali pedangnya bergerak memapas kutung sebatang pohon bambu yang menghadang
didepan mata. "Kami jadi ikut bingung dan tak tahu harus bicara apa" timbrung Han Seng dari belakang.
"Menurut apa yang kuketahui, pedang perak milik Han-ya pun terhitung luar biasa"
"Bicara soal ilmu pedang, ilmu pedang pemutus usus milik Siau-heng yang hebat, sedang
bicara soal ilmu barisan, hahaha... kami berdua terlebih lagi blo'on nya"
Suma Tang-shia tertawa dan tidak bicara.
Kembali Han Seng berkata:
"Sewaktu masih berada diatas panggung batu tadi, luas tempat ini masih belum terasa
seberapa, tapi setelah masuk, baru kurasakan betapa luasnya tempat ini"
"Betul, akupun merasakan hal itu" Lui Sin menambahkan.
Walaupun pembicaraan masih berlangsung, langkah kaki mereka tetap sangat berhati-hati.
Angin berhembus lewat menggoyangkan pohon bambu, suara gemerisik dedaunan kedengaran makin
nyaring, bikin hati orang terasa merinding dan bergidik.
Segulung angin kembali berhembus lewat, membawa bau amis dan busuk yang sukar terlukiskan
dengan kata. "Kenapa bisa muncul bau sebusuk ini?" tanya Lui Sin dengan kening berkerut.
"Lui-ya jangan lupa, didalam hutan tersekap seseorang" Suma Tang-shia menjelaskan.
Lui Sin tertegun, kemudian seakan baru sadar serunya:
"Jadi bau busuk itu berasal dari . . . . . . .."
"Lui-ya, jangan kau lanjutkan, aku kuatir bakal muntah" tukas perempuan itu sambil
tertawa. Buru buru Lui Sin menelan kembali ucapannya yang belum selesai diutarakan.
Makin masuk ke dalam, bau busuk itu makin kental dan keras, bikin orang jadi mual.
Untung saja semua orang masih mampu menahan diri hingga tidak sampai muntah.
Setelah berjalan lagi belasan tombak, akhirnya tembok rendah itu terlihat didepan mata,
jalanan setapak pun langsung membentang ke arah dinding rendah tadi.
Suma Tang-shia membawa para jago mengelilingi tembok rendah itu satu lingkaran, kemudian
balik kembali ke tempat semula.
Sepanjang dinding rendah itu, ternyata tak tampak sebuah pintu atau lorong pun.
Sambil menghentikan langkahnya, tak tahan Lui Sin bertanya:
"Bagaimana cara kita masuk?"
"Lewati pagar tembok!" sahut Suma Tang-shia, kemudian bagaikan seekor kupu kupu dia
melomat naik ke atas pagar.
Kuatir terjadi sesuatu, buru buru Siau Jit ikut melompat naik ke atas pagar dinding itu.
Baru saja Lui Sin akan ikut melompat, Han Seng segera mencegahnya sambil berseru:
"Mari kita bantu Ciu Kiok!"
Lui Sin manggut manggut, tanyanya kemudian sambil berpaling:
"Ciu Kiok, bagaimana keadaanmu?"
"Tidak masalah, aku masih sanggup menahan diri" sahut Ciu Kiok cepat.
"Bagus sekali!" Lui Sin segera memayang tubuh Ciu Kiok dari sisi kiri, sementara Han Seng
memayangnya dari sisi kanan.
Dibawah bimbingan kedua orang itu, Ciu Kiok segera melayang naik keatas pagar dinding itu.
Dua orang dayang yang semula membimbing tubuh Ciu Kiok segera menyusul dari belakang
diikuti kemudian oleh Sim Ngo-nio.
Baru saja Lui Sin dan Han Seng tiba diatas pagar, mereka merasakan bayangan manusia
berkelebat lewat, tahu tahu Sim Ngo-nio telah berada disisi mereka.
Tanpa terasa kedua orang itu jadi teringat kembali dengan perkataan Suma Tang-shia tadi,
kalau Sim Ngo-nio adalah adik seperguruan dari Suma Tionggoan.
Sebagaimana diketahui, nama besar Suma Tionggoan telah menggetarkan sungai telaga, dia
merupakan jago diantara para jago, sebagai adik seperguruannya, sudah barang tentu ilmu
silat yang dimiliki Sim Ngo-nio terhitung tangguh.
Berdiri diatas dinding pekarangan, bau busuk terendus makin memuakkan, tanpa terasa Suma
Tang-shia menutupi hidung sendiri dengan kedua belah tangannya.
Siau Jit ikut mengernyitkan alis matanya, sejak dilahirkan, baru pertama kali ini dia
berada dalam kondisi dan situasi seperti ini.
Tiba tiba Suma Tang-shia menghela napas panjang, katanya:
"Selama ini, aku selalu menganggap keenakan membiarkan si Kelelawar tinggal ditempat
seperti ini, tapi sekarang aku rasa sudah bukan keenakan lagi"
"Kalau tempat yang indah berubah jadi jorok, siapa yang mau disalahkan" seru Siau Jit.
"Selama ini si Kelelawar juga tak pernah protes atau mengajukan keberatan" sela Sim
Ngo-nio. "Memang" Suma Tang-shia manggut manggut, "baginya bukan masalah, mau berada ditempat mana
pun, aku rasa sama saja bagi dia"
"Hanya orang idiot yang rela tinggal ditempat seperti ini"
"Ehmm" "Seharusnya dia berada dibawah loteng" kata Sim Ngo-nio lagi sambil menyapu sekejap
seputar tempat itu. "Mungkin saja dia masih berada diatas loteng" sela Siau Jit.
"Dari sini kita bisa melihat keadaan diseputar sana dengan jelas, sama sekali tak ada
bagian tempat yang bisa dipakai untuk sembunyi, bila diatas loteng pun tak ada, itu baru
aneh namanya" Sesudah berhenti sejenak, lanjutnya:
"sewaktu kita masuk tadi, dia masih duduk diatas loteng sambil mengambil makanan dan
minumannya, mau apa dia turun ke bawah" Karena itu aku rasa kita tak perlu kuatir"
"Kalau dia b erada diatas loteng, kenapa sama sekali tak bersuara?" tanya Siau Jit lagi
sambil mendongak. Suma Tang-shia termenung tanpa menjawab, sementara Sim Ngo-nio segera berseru:
"Benar juga perkataan dari Siau kongcu"
"Kenapa tidak segera diperiksa hingga semuanya jadi jelas" usul Suma Tang-shia tertawa.
Belum selesai bicara, tubuh Sim Ngo-nio sudah melambung tinggi ke tengah udara.
Begitu mencapai ketinggian tiga tombak, mendadak terdengar ia menjerit keras:
"Kelelawar tidak berada diatas loteng!"
"Sungguh?" berubah paras muka Suma Tang-shia.
Tapi begitu ucapan tersebut meluncur keluar, iapun tertawa getir, saat ini bukanlah saat
untuk bergurau, tentu saja diapun tahu kalau Sim Ngo-nio bukan termasuk orang yang senang
bergurau. Tapi kalau suruh dia percaya begitu saja, rasanya sulit.
Kalau tidak berada diatas loteng, lantas si Kelelawar berada dimana"
Biarpun rumput liar dibalik dinding pendek setinggi lutut, namun saat itu adalah ujung
musim gugur, banyak yang sudah mengering, lagian tempat itu tidak mirip tempat yang
dipakai untuk bersembunyi.
Tapi kecuali semak, tiada temat lain disana yang bisa digunakan untuk bersembunyi.
Suma Tang-shia celingukan memandang sekejap seputar sana, kemudian sambil menatap Siau Jit
Kelelawar Tanpa Sayap Karya Huang Ying di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan Sim Ngo-nio, katanya:
"Coba kalian periksa diatas loteng, sementara aku mengawasi dari bawah!"
Siau Jit mengiakan dan melompat naik setinggi tiga kaki, lalu melejit ke wuwungan rumah
lapis pertama. Sim Ngo-nio mengikuti dibelakang Siau Jit, ternyata kecepatan gerakan tubuhnya tidak
berada dibawah pemuda itu.
Setelah berhenti sejenak di wuwungan rumah, serentak mereka bersama sama menyelinap masuk
ke ruang dalam. Begitu melihat kedua orang itu sudah berada diruang dalam, Suma Tang-shia baru meluncur
melewati semak dan masuk pula ke dalam ruang bangunan.
Lui Sin, Han Seng dengan memayang Ciu Kiok segera mengikuti dari belakang, begitu juga
dengan dua orang dayang lainnya.
Ruang loteng kosong tak berpenghuni, disana hanya terlihat sebuah ranjang batu, sebuah
meja batu dan sebuah bangku terbuat dari batu.
Diatas lantai depan pembaringan terlihat setumpuk pakaian dan selimut, bau nya minta
ampun, bahkan tampak lalat beterbangan disekelilingnya.
Suma Tang-shia berdiri kaku didepan ranjang, alis matanya berkernyit, dia seperti sedang
memikirkan sesuatu. Lui Sin serta Han Seng mencoba mengawasi seputar sana, mereka pun tidak menemukan apa apa.
Angin berhembus kencang menggoyangkan rerumputan liar, bau busuk semakin menusuk hidung.
Tak namak jejak manusia dibalik semak, tak kedengaran suara langkah manusia.
Lalu ke mana perginya si Kelelawar"
Dari atas tiris air diwuwungan loteng Siau Jit periksa seputar sana, tak nampak bayangan
manusia, apa pun tak terlihat.
Perabot diatas loteng jauh lebih sederhana lagi, disitu hanya terdapat sebuah meja pendek
terbuat dari batu. Diatas meja terlihat sebuah tabung bambu, disisinya tergeletak sebuah tongkat bambu.
Dengan kecepatan tinggi Siau Jit melompat ke saming meja dan mengambil tongkat itu.
Tak disangkal itulah tongkat bambu yang mereka jumpai pagi tadi, tongkat yang berada dalam
genggaman si Kelelawar, baik ukuran maupun warnanya sama sekali tak beda.
Manusia saja banyak mirip, apalagi benda, sekalipun terdapat dua buah tongkat bambu, hal
ini bukanlah sesuatu yang aneh.
Masalahnya, kenapa kejadian tersebut bisa begitu kebetulan"
Tanpa terasa Siau Jit mulai mengamati tongkat bambu itu sambil termenung.
Sementara itu Sim Ngo-nio yang ikut masuk segera mengambil tabung bambu itu dan membuka
penutupnya. Bau harum nasi dan sayur segera muncul dari balik tabung itu, ternyata isi tabung bambu
adalah nasi serta lauk. II "Locianpwee" tanya Siau Jit kemudian, "apakah . . . . ..
"Betul, isinya adalah nasi dan lauk yang kubawakan untuk Kelelawar hari ini" lalu sambil
berpaling tanyanya, "apakah tongkat bambu itu . . . . .."
"Aku yakin inilah tongkat yang kita lihat pagi tadi"
"Urusan jadi makin kalut" ujar Sim Ngo-nio dengan kening berkerut, "masa Kelelawar tanpa
Pendekar Misterius 2 Empat Serangkai - Rahasia Kastil Bulan The Secret Of Moon Castle Backstreet Aja 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama