Ceritasilat Novel Online

Kiamat Di Goa Sewu 1

Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu Bagian 1


Hak cipta dan copy right pada
penerbit dibawah lindungan
undang-undang Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
SATU KADIPATEN Wadaslintang.
Sebentang lembah berbukit. Tempat di mana
rerumputan liar tumbuh menghampar. Tempat di mana seseorang bisa melihat cakrawala dengan lapang.
Juga tempat bagi empat orang yang sedang terlibat satu urusan. Sementara keempatnya seperti tak pernah cukup peduli pada rona langit di atas sana yang berubah
murung. Bukan karena mendung meraja. Melainkan
kehadiran perlahan sang senja. Bahkan, mereka seperti tak ambil pusing pada gelimpangan dua bangkai kuda dan satu bangkai manusia yang nyaris membusuk
di dekat mereka.
Segerumunan lalat justru telah membangun
pesta-pora di atas ketiga bangkai. Bersama dengungnya yang mendompleng tiupan angin.
Keempat orang itu berdiri di dekat sebatang
pohon kamboja besar. Seorang nenek tua bersisian
dengan seorang gadis muda. Berseberangan dengan
mereka, ada sepasang muda-mudi berusia sebaya.
Si nenek berusia sangat tua. Jelas sekali dari
perawakan atau wajahnya. Dia mengenakan pakaian
putih yang tidak cuma dekil namun juga berkesan muram sekaligus seram. Tercabik-cabik di sana-sini. Selain itu, menebarkan bau bangkai busuk menusuk.
Dua bola matanya besar. Biji matanya berurat kemerahan. Sekeliling matanya berwarna biru kehitaman.
Wajah perempuan tua bangka itu dipenuhi keriput
bercampur kudis berlendir. Bibirnya pucat berkerut.
Tak terlihat tanda-tanda kalau wajah nenek itu dialiri darah.
Dua gadis yang berdiri berseberangan berwajah
sulit dibedakan. ibarat pinang dibelah dua. Samasama berambut panjang hitam. Sama-sama cantik. Itu
berarti pula, sama-sama memiliki pesona yang sanggup menabuh deras-deras detak jantung kaum lelaki.
Bedanya, perempuan muda di sebelah nenek
tua berwajah agak pucat, dingin dan beku. Seolah parasnya tak memiliki secercah pun api kehidupan. Pun
pada sepasang bola mata bulatnya yang sesungguhnya
demikian indah. Dia mengenakan pakaian berwarna
merah hati. Sedangkan paras muka perempuan muda yang
lain justru bertolak belakang. Dia memiliki sinar mata yang demikian lembut.
Selembut cahaya senja merah
jingga di ufuk barat. Ada garis-garis kekhawatiran
mendalam tergurat di wajah ayunya manakala menemukan keadaan gadis yang mirip dengannya. Kekhawatiran terdalam yang belum tentu bisa dirasakan
orang lain. Perempuan muda itu mengenakan pakaian
adat tanah Jawa berwarna coklat.
Dari pakaian yang dikenakan, orang lain akan
cepat menduga bahwa tiga orang di antara mereka
adalah warga persilatan. Sementara gadis berpakaian
adat tanah Jawa"
Orang terakhir adalah pemuda belia tampan
berperawakan kekar. Mengenakan rompi tebal dari bulu hewan berwarna putih keabu-abuan. Bercelana hitam sebatas lutut. Rambutnya lurus panjang kemerahan hingga melewati bahu.
Mereka tentu saja Nini Jonggrang, Tresnasari,
Mayangseruni, dan pendekar muda yang belum lama
hadir dalam gonjang-ganjing persilatan tanah Jawa.
Siapa lagi kalau bukan Satria Gendeng" Murid dua tokoh tua kesohor; Dedengkot Sinting Kepala Gundul
dan Tabib Sakti Pulau Dedemit"
Nenek sejelek kuntilanak lama terjemur tentu
saja Nini Jonggrang. Tua bangka golongan sesat yang
lebih menggetarkan rimba persilatan dengan julukan
sangar; Perempuan Pengumpul Bangkai!
Dua gadis berwajah dan perawakan begitu mirip tak lain tak bukan Tresnasari dan Mayangseruni.
Seperti diketahui, Tresnasari saat itu sedang dalam
pengaruh tenung jahat Nini Jonggrang. Perempuan
Pengumpul Bangkai hanya akan melepaskan Tresnasari dari pengaruh tenungnya jika Satria bersedia menyerahkan diri untuk menggantikan Tresnasari. (Bacalah episode sebelumnya : "Perempuan Pengumpul
Bangkai"!).
"Bagaimana aku yakin padamu bahwa kau
akan melepaskan gadis itu dari pengaruh tenungmu
jika aku bersedia menggantikan tempatnya?" aju Satria, jumawa. Tak tampak sama
sekali kegetaran di wajahnya. "Satria!" sergah Mayangseruni. Ditatapnya pemuda perkasa di sebelahnya
dengan sinar mata tak
menerima. Kendati perkenalannya dengan pendekar
muda itu belum terbilang berusia cukup lama, entah
kenapa Mayangseruni sudah merasa begitu dekat dengan pribadi Satria.
Untuk menyebut perasaannya itu sebagai benih
cinta, mungkin terlalu tergesa-gesa. Mayangseruni belum cukup yakin. Namun begitu, sulit dipungkiri ada
perasaan yang sulit diceritakan. Lebih kuat dari sekadar rasa suka terhadap diri si perjaka. Lebih jauh dari sekadar simpati. Atau
mungkin tanpa disadari telah
tumbuh benih cinta di hatinya"
Dihalau oleh perasaan khawatir terhadap keselamatan Satria, tanpa sadar tangan Mayangseruni sudah merenggut erat pangkal lengan pemuda di sampingnya. Sikapnya seolah seorang yang tak sudi membiarkan sesuatu yang begitu disayanginya terlepas dari genggaman.
Satria melirik sebentar kepada Mayangseruni.
Bersit ketegaran di sepasang bola matanya tak bergeming. Lalu pandangannya beralih kepada renggutan tangan Mayangseruni yang makin menguat di pangkal
lengannya. Mayangseruni sadar akan perbuatan tak disadarinya. Dia jadi jengah sendiri. Tertunduk, dibuangnya pandangan ke bawah.
"Kau tak bisa menuruti begitu saja kemauan
nenek busuk itu, Satria," kata Mayangseruni. Hampir-hampir tak terdengar. Lirih.
"Jika aku tak melakukannya, bagaimana dengan saudara kembar mu, Tresnasari?"
Pertanyaan Satria tak dijawab Mayangseruni.
Gadis muda ayu itu sama sekali tak bisa menjawabnya. Mau menjawab apa" Toh, kenyataannya dia pun
begitu menyayangi Tresnasari, meski saudara kembarnya baru saja dijumpai. Posisinya memang sulit untuk
menjawab pertanyaan Satria barusan. Dia seperti
mendapat buah Simalakama. Tak mungkin dia sudi
membiarkan Tresnasari terus dalam pengaruh tenung
Nini Jonggrang. Di lain sisi, Mayangseruni pun sama
tak sudi melepaskan Satria untuk menggantikan tempat Tresnasari.
"Apakah tak ada cara lain, Satria?" bisik
Mayangseruni, lemah. Masih pula terdengar lirih.
Nini Jonggrang menertawai ucapannya. Kikik
mendirikan bulu romanya merebak ke angkasa, melanglanginya beberapa saat, lalu pupus dilarikan angin. "Jangan bodoh, Anak Perempuan! Tak ada pilihan lain bagi bocah ganteng ini selain menerima persyaratan ku. Kau tahu sebabnya" Karena aku tahu dia
tak bisa membohongi hatinya sendiri. Dia mencintai
gadis yang ku tenung ini. Dia lebih mengkhawatirkan
keselamatan nyawa gadis pujaannya ketimbang nyawa
sendiri!" cerocos Nini Jonggrang.
Bulat mata Mayangseruni menerobos manik
mata Satria. Ingin ditemukannya jawaban pada mata
bergaris tegas pemuda itu.
"Benarkah Satria?" tanyanya.
"Benar apa?" Satria belum sempat menanggapi
maksud pertanyaan Mayangseruni. Perhatiannya masih terhunus lurus pada Nini Jonggrang. Bersama segenap kemarahan yang coba dikuasainya.
"Benar kau ber...," tiba-tiba Mayangseruni ragu untuk menuntaskan pertanyaan.
Apa haknya menanyakan itu pada Satria" Apa haknya" Umpat hatinya.
"Ya," jawab Satria, sesaat setelah mengerti arah pertanyaan Mayangseruni. "Aku
memang mencintai
saudara kembar mu, Mayang. Sangat mencintainya.
Karenanya, aku lebih rela mengorbankan diriku daripada Tresna," tuntasnya, menandaskan.
"Sekarang kau menjadi mengerti alasan menggantikan tempat Tresna, bukan" Tapi, kau tak perlu
khawatir padaku. Cobalah percaya padaku."
Mendengarnya, entah kenapa Mayangseruni
merasakan kekecewaan merayap lamat-lamat. Mendengarnya, entah kenapa rasa iri itu datang lagi. Satu hal lain yang menyelinap
di relung terdalam hatinya
adalah keterpaksaan membiarkan Satria menerima
persyaratan Nini Jonggrang. Biar bagaimanapun, Satria sendiri yang telah menjatuhkan pilihan. Dia tak
bisa melarang. "Sekarang, aku ingin dengar darimu, Nenek.
Apakah kau bisa menjamin dengan mempertaruhkan
nama besarmu untuk melepaskan gadis yang kucintai
itu apabila aku menggantikan tempatnya?" Satria meminta ketegasan untuk kedua
kalinya. "Hi hi hi! Untuk seorang bodoh bau kencur
yang baru saja mencium anyirnya rimba persilatan,
kau termasuk bocah bernyali besar. Patut dikagumi.
Perkataan mu seakan menantang langsung nama besar Perempuan Pengumpul Bangkai! Hi hi hi, bedebah
sekali kau, Bocah!"
"Aku tak membutuhkan basa-basimu itu, Nek.
Katakan padaku, apakah kau sanggup bersumpah
dengan nama besarmu untuk melepaskan gadis itu"!"
tebas Satria, tak ingin bertele-tele.
"Baik baik! Hi hi hi, memang benar-benar bedebah kau! Sekarang, kau boleh melempar lebih dahulu
Kail Naga Samudera di tanganmu itu!"
Tak banyak ucap, Satria melemparkan benda
pusaka di tangannya.
Nini Jonggrang menyambut dengan sikap penuh kemenangan.
"Dan kau bocah perawan, silakan pergi dari sini! Kembalilah ke tempatmu. Nanti, saudara kembar
mu yang akan datang menemuimu. Asal jangan kau
harapkan perjaka ini. Dia akan menjadi milikku. Jadi
milikku!" Mayangseruni tak bergeming dari tempatnya.
Hatinya masih terlalu berat membiarkan Satria menjadi tumbal. Bahkan dia merasa tak sanggup menggerakkan kakinya. Tangan kekar Satria singgah dibahunya, menyadarkan gadis ayu berhati lembut itu.
"Kembalilah ke Tanjung Karangbolong," bisik
Satria. Mayangseruni menatap Satria. Di mata pemuda
tampan itu, terlihat isyarat kecil. Mayangseruni mengerti. Satria memintanya untuk menemui Ki Kusumo
dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Dengan cerdik,
Satria hanya menyebutkan nama tempat tinggal dua
tokoh rimba persilatan itu. Satria tampaknya tahu benar, meski dia berbisik sepelan apa pun, telinga Nini
Jonggrang tetap akan mendengarnya. Karenanya, dia
mengatakan maksudnya. dengan kalimat yang lain.
Mayangseruni masih tetap menatap Satria lekat-lekat. Garis bening di kedua bola matanya makin
menggenang. "Kau harus percaya padaku, Mayang. Aku akan
baik-baik saja. Aku berjanji padamu," Satria meyakinkan diri gadis itu.
Bulir bening menggelinding.
Di satu pipi Mayangseruni.
Berat hati, gadis itu berbalik pergi.
Langkahnya gamang.
Di kejauhan, isaknya terdengar tertahan.
DUA MUNGKINKAH Satria Gendeng membiarkan dirinya dikuasai oleh tenung Nini Jonggrang untuk
menggantikan tempat orang yang dicintainya" Atau
ada hal lain yang sebenarnya telah dipikirkan dengan
matang oleh si pendekar muda"
Lepas dari seluruh pertanyaan yang begitu
mengusik benak Mayangseruni, di Tanjung Karangbolong, Dedengkot Sinting Kepala Gundul tampak sendiri
di dalam gubuknya. Orang tua bertabiat sintingsintingan itu duduk bersila di balai bambu. Matanya
terpejam rapat. Berbeda dengan bibirnya yang sedikit
membuka memperlihatkan sisa gigi berwarna kehitaman. Tangannya bersedekap di dada. Naga-naganya,
dia sedang melakukan semadi.
Ki Kusumo tak terlihat bersamanya. Tidak di
dalam gubuk. Tak juga di luar.
Sejak kepergian Satria dan Mayangseruni menuju Gunung Sumbing, Ki Kusumo pun meninggalkan
gubuk. Dia khawatir akan keselamatan sepasang muda-mudi itu. Terutama karena nantinya mereka akan
menghadapi seorang tokoh perempuan jahat sakti, Nini
Jonggrang. Sebenarnya, Ki Kusumo alias Tabib Sakti Pulau
Dedemit yang terhitung tokoh kelas atas persilatan tanah Jawa bukanlah tandingan sepadan Nini Jonggrang
alias si Perempuan Pengumpul Bangkai. Dulu saja, Ki


Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kusumo telah gagal menghadapi kesaktian Ki Ageng
Sulut. Kegagalan yang menuntut tumbal sepasang kakinya. (Baca kisahnya pada episode: "Iblis Dari Neraka"!). Sementara untuk
tingkat kesaktian. Si Perempuan Pengumpul Bangkai berada beberapa tingkat di
atas Ki Ageng Sulut sendiri. Diakui atau tidak oleh
pendeta tua laknat berjuluk Iblis Dari Neraka itu.
Kalaupun Ki Kusumo tetap juga memutuskan
untuk menguntit Satria dan Mayangseruni dalam perjalanan ke Gunung Sumbing, semata karena dia tak
bisa membiarkan muridnya seorang diri menghadapi
tokoh tak terkalahkan sejenis Nini Jonggrang. Belum
lagi beban yang harus dipikul Satria dengan turut sertanya Mayangseruni. Nyawa gadis itu tentu saja akan
menjadi tanggung jawabnya. Bukannya Ki Kusumo
merendahkan kemampuan ilmu bela diri gadis itu.
Hanya saja, dia sudah cukup lama mengenal manusia
macam apa Perempuan Pengumpul Bangkai sesungguhnya. "Hendak ke mana kau, Kusumo?" tanya Dongdongka waktu itu, ketika Ki Kusumo baru saja hendak
beranjak meninggalkan gubuk.
"Aku khawatir pada keselamatan murid kita,
Panembahan," jawab Ki Kusumo, seadanya.
"Kau khawatir, lalu hendak menjaganya, begitu?" Ki Kusumo mengiyakan.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul mencibir, jelek. "Kapan Bocah Gendeng itu akan belajar kalau
kau terus saja menyuapinya" Kau tahu maksudku?"
khotbah Dongdongka. Lantas lanjutnya. "Biarkan dia belajar menyelesaikan
masalahnya sendiri, tahu! Karena hanya pengalaman semata yang bisa menjadi guru
terbaiknya. Kita sebagai gurunya hanya membantunya
memberi sesuatu yang belum dimiliki, tahu"!"
Tumben sekali manusia bertabiat sinting itu
berbicara agak waras. Biasanya perkataannya bisa lebih ngaco dari ocehan Beo pusing.
Dalam hati, Ki Kusumo tak menyalahkan pendapat Dedengkot Sinting Kepala Gundul tadi.
"Kupikir, kau hanya terlalu sayang pada Bocah
Gendeng kita itu. Iya, kan" Apa kau pernah berpikir,
rasa sayang yang berlebihan terkadang malah membuat seseorang menjadi manja. Pribadinya tak cukup
ditempa karena hidup keenakan. Mengerti maksudku,
Kusumo?" Ki Kusumo mengangguk.
"Aku memang sayang pada bocah itu, Panembahan. Seperti sayangnya aku pada cucu sendiri. Tapi,
bukan karena itu aku berniat menguntitnya menuju
Gunung Sumbing?" sangkal Ki Kusumo halus dan bertatakrama selaku orang yang sedang berbicara pada
sesepuh persilatan tanah Jawa.
"Jadi?" Wajah Dongdongka mendongak, penasaran dengan alasan Ki Kusumo.
"Justru aku sadar, bocah itu masih belum banyak belajar tentang seluk-beluk rimba persilatan. Dia belum cukup mengenal
bagaimana tabiat rimba persilatan. Dia masih terlalu hijau. Bekal oleh kanuragan
dan kesaktian dari kita, tampaknya belum cukup baginya. Sementara orang yang akan dihadapi adalah
orang yang sudah berkubang demikian lama di rimba
persilatan. Bahkan jauh lebih banyak menelan asam
garam ketimbang diriku. Sebagai gurunya, tentu saja
aku menginginkan dia belajar banyak dari hidup. Namun, sebagai gurunya pula, aku merasa bertanggung
jawab untuk mengawasi dia agar tak salah langkah.
Tut Wuri Handayani, maksudku, Panembahan...," tutur sang tabib kenamaan tanah Jawa, santun.
Dongdongka mengangguk-angguk perlahan.
Tak jelas apakah dia mengangguk paham atau justru
mengangguk karena mengantuk. Karena saat itu, kelopak matanya terkatup.
Karena Dedengkot Sinting kepala Gundul tak
menanggapi lebih lanjut alasannya, Ki Kusumo segera
saja pamit. Dia yakin pada alasannya. Seperti dia yakin Dongdongka telah mengerti pula pada alasan itu!
Sepeninggalan Ki Kusumo, sebelah mata Dongdongka memicing hati-hati. Sebelah bola matanya itu
melirik ke kanan dan kiri, memeriksa apakah Ki Kusumo benar-benar telah keluar dari gubuk.
Sebentar kemudian, dia bergumam sendiri.
"Slompret, benar juga apa kata Kusumo tadi,
ya...." Rupanya tadi itu dia cuma berpura-pura mengantuk. Sebab, dia tahu kalau alasan yang dikemukakan Ki Kusumo ada benarnya. Maklum, dia rada malu
mengakuinya. Gengsi begitu!
Nah, jika sekarang dia terlihat bersemadi, apalagi yang dilakukannya kalau bukan hendak
'mengawasi' murid gendengnya dari jauh" Tentunya
dengan mempergunakan ajian 'Melepas Sukma' yang
dimilikinya. Ajian yang hanya diturunkan oleh Pertapa
Sakti Gunung Sewu pada dirinya. Nini Jonggrang kendati sebagai kakak perguruannya saja tak pernah menerima ajian tersebut.
'Melepas Sukma' sendiri adalah satu ajian
langka yang jarang dimiliki oleh orang-orang persilatan. Orang yang memiliki atau mampu mempelajarinya
dapat dihitung dengan jari. Salah seorang di antaranya adalah Dedengkot Sinting
Kepala Gundul. Dan satu
orang yang dengan luar biasa dapat menerima ajian
tersebut kendati usianya masih terlalu muda dan dianggap banyak kalangan tidak mungkin adalah Satri
Gendeng. Ketika terakhir kali menerima ajian 'Melepas
Sukma', Satria menerima beberapa wejangan-wejangan
yang berkaitan dengan hal itu.
"Badan manusia itu terbagi dua, tahu," mulai Dongdongka waktu itu. "Kita
memiliki badan besar
yang kita sebut wadag atau jasad dan memiliki badan
halus yang kita sebut sukma atau roh. Sejak kita lahir, sukma terpatri di dalam
wadag. Namun, ada saatnya,
sukma kita tercerabut...."
"Saat kita mati, Kakek?" sela Satria.
"Kau memang cerdas!"
"Lalu, di bagian dalam diri kita yang mana
sukma itu berada?"
"Pertanyaanmu juga cerdas, Cah Gendeng!
Sukma bersemayam di dalam kalbu! Di sanalah tempat
sukma hidup dan diberi makan...."
"Makan" Apakah sukma kita butuh makan?"
"Seperti wadag yang membutuhkan makanan,
sukma pun butuh pula 'makanan'. Kalau wadag harus
menerima makanan bersifat zahir, maka Tuhan Semesta Alam menempatkan sukma atau roh itu dalam
keadaan amat bersih, amat suci. Kehidupan di dunia
inilah yang menjadi perjuangan bagi manusia untuk
menjaga agar sukmanya tetap bersih, atau mengotorinya sekotor-kotornya hingga menjadi sakit dan mati."
Dongdongka berhenti sebentar.
"Segala tingkah-lakumu, perbuatanmu, sikapmu, sepak terjang mu akan menjadi 'makanan' sukma.
Setiap kali kau berbuat kebaikan, maka sukma mu
menjadi bertambah hidup. Sebaliknya, setiap kali kau
berbuat kebatilan, maka sukma mu menjadi kian mati.
Kalau sukma mu telah mati di dalam kalbu, sementara
umurmu masih panjang, maka kau tak lagi menjadi
manusia." "Kalau tidak lagi menjadi manusia, menjadi
apa, Kek?"
"Menjadi 'bangkai hidup'. Maksudnya, karena
sukma telah mati, maka kalbu mu menjadi membatu.
Kau tak lagi memiliki sifat-sifat kemanusiaan, kecuali sifat-sifat yang lebih
tercela dari binatang. Tak bisa lagi kau membedakan mana yang baik dan buruk,
mana yang benar dan salah. Padahal baik tidaknya seseorang tergantung dari kalbunya!"
Satria tercenung sejenak.
"Lalu apa hubungannya dengan ajian 'Melepas
Sukma' yang kau berikan padaku, Kek?" susulnya kemudian.
"Pertanyaan cerdas lagi! Kau memang patut dibanggakan!"
"Apa, Kek"!"
"Sabar, Kunyuk!"
Satria garuk-garuk kepala.
Dongdongka terdiam dengan kerutan dalam di
kening. "Begini," mulai Dedengkot Sinting Kepala Gundul lagi. "Seperti telah
kubilang tadi, bahwa ada saatnya sukma tercerabut dari wadag. Yaitu saat kita
mati. Ajian 'Melepas Sukma' sebenarnya adalah sebentuk
kehendak suci dari kalbu yang sanggup mengatur
sukma. Dengan dorongan kehendak kalbu yang suci,
kita dapat menghelanya keluar dari wadag."
"Artinya, pada saat sukma kita itu keluar dari
wadag, maka wadag kita tak bisa berbuat apa pun?"
"Benar! Kendati begitu, jasad kita tetap hidup.
Hanya dia telah kehilangan tenaga penggeraknya,
hingga tak bisa melakukan apa-apa!"
"Jadi kunci untuk mendapatkan ajian 'Melepas
Sukma' adalah kehendak suci kalbu" Kalbu kita harus
benar-benar bersih" Begitu kau pernah bilang sebelumnya, bukan?" simpul Satria Gendeng.
"Hue he he! Kau memang murid cerdas! Sial sekali kau!"
Lalu.... Plak! Jitakan sengit Dongdongka mampir di jidat Satria Gendeng! Apes....
*** Kembali ke Wadaslintang.
Sepeninggalan Mayangseruni, Nini Jonggrang
terkikik, melimpahi angkasa dengan nada kemenangan. "Tiba waktunya bagimu untuk menerima tenung ku, Pemuda Keparat!" sentak si nenek ahli tenung hitam itu di ujung tawa
membuncahnya. Satria mendengus.
"Tak bisa, Nenek Busuk. Aku telah meluluskan
permintaanmu yang pertama. Aku telah menyerahkan
Kail Naga Samudera padamu. Sekarang, giliranmu melepaskan gadis itu dari pengaruh tenung jahatmu!"
tandasnya tegas seraya menunjuk ke arah Tresnasari.
Tresnasari saat itu masih mematung seolah bangkai
hidup bernyawa. Kasihan sekali menyaksikan betapa
pucat wajahnya. Betapa tak ada sinar kehidupan di
wajah cantik itu.
"Hi hi hi, kau pikir kau punya pilihan?"
"Aku punya pilihan. Pertama, aku bersedia
memenuhi seluruh syaratmu, selama aku yakin kau
tak menipuku. Kedua, aku tak akan menuruti mu jika
aku yakin kau hendak berbuat licik. Jika yang kedua
yang kau inginkan, aku lebih suka mati bersama dengan gadis itu setelah kau kubunuh terlebih dahulu,"
ancam Satria. "Baik baik. Kau mendapatkan apa yang kau
mau, Pemuda Keparat!" desis Nini Jonggrang. Ketika itu, tanpa disadari justru
dialah yang tak punya pilihan. Ucapan penuh kemantapan Satria telah menjungkirbalikkan keadaan untuk sementara.
"Sekarang kau menyingkir agak jauh!" perintah Nini Jonggrang pada Satria. "Aku
akan mulai membebaskan gadis kesayangan mu ini!"
Sejenak dua bola mata berurat kemerahannya
mendeliki Satria.
"Jangan pernah berpikir untuk menyerangku
saat aku membebaskan bocah perawan ini!" ancamnya
mengerikan. Satria beringsut mundur perlahan sesuai perintah Nini Jonggrang. Dia sadar, ancaman terakhir si
nenek ahli tenung tak bisa dibuat main-main. Tentu
Nini Jonggrang akan menyiapkan sebentuk benteng
pertahanan yang tak disadari Satria untuk berjagajaga agar Satria tak menyerangnya saat membebaskan
tenung dari diri Tresnasari.
*** Malam beringsut turun, berkawal kabut yang
merayap lamat-lamat. Sisa merah jingga sekarat di batas ufuk barat. Sebentar lagi, sinar mentari binasa.
Nini Jonggrang memulai upacara gaibnya untuk melepaskan pengaruh tenung pada diri Tresnasari.
Mula-mula perempuan tua aliran sesat itu duduk bersila sekitar tiga tombak di depan Tresnasari.
Beberapa lama, terdengar geram terseret dalam
diamnya. Matanya tajam menghunus, tepat ke manik
mata muridnya yang dianggap murtad.
Detik berjingkat.
Geramnya melamat.
Mendadak sontak, Nini Jonggrang berteriak.
Serak namun juga melantak.
Dalam, sekaligus berdebam.
Tak sadar, si perjaka sakti teringsut mundur.
Kendati keberaniannya mungkin bisa diandalkan untuk menghadapi moncong kematian, tak urung hatinya
menjadi tergetar. Gentar. Jeritan iblis besar neraka
mana yang telah merasuki suaranya" bisik Satria
Gendeng membatin
Berikutnya, tangan Perempuan Pengumpul
Bangkai terangkat naik. Tinggi-tinggi. Seakan hendak
melepaskannya langsung ke langit yang mulai dicekam
kegelapan. Telapak tangannya terbuka menghadap
Tresnasari. Jari-jemari kurus berbalut kulit keriput
berlendirnya mengejang, menegakkan kuku-kuku hitam runcing. Si tua terkutuk itu bergetar.
Dalam irama kasar.
Pertunjukan menggidikkan tak selesai sampai


Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di situ. Bahkan, sesungguhnya baru saja dimulai.
Tresnasari yang semula berdiri diam tanpa sedikit pun geming, mendadak terangkat naik satu-dua
jengkal dari permukaan bumi. Naik, tetap dalam keadaan tegak. Mengapung sekian lama, tanpa terusik
apa-apa. Jeritan Nini Jonggrang melandai turun.
Bersamaan dengan itu, Tresnasari bergerak lagi. Masih dalam posisi tegak, tubuhnya yang mengapung di udara berputar perlahan begitu rupa sampai
posisinya telentang lurus. Kini, yang terlihat seolaholah gadis itu sedang tertidur di atas angin. Mengapung diam. "Ghrrr...."
Nini Jonggrang mulai menggeram lagi.
Jari-jari tangannya bergetar makin hebat. Napasnya menanduk-nanduk udara. Dadanya tersentaksentak seperti diserang sengal hebat. Dari mulutnya,
melantunlah mantera-mantera gaib yang mendirikan
sekujur bulu halus di tubuh Satria. Ada dorongan tenaga magis terasa di sana. Kekuasaan angkara yang
menggelegar-gelegar keluar dari alam kegelapan. Nini
Jonggrang telah mengundangnya.
Satria dipaksa beringsut mundur setengah tindak ke belakang. Sepanjang hayat, belum pernah dialaminya peristiwa semenggidikan itu. Seperti pernah
dikatakan Ki Kusumo pada Dedengkot Sinting Kepala
Gundul waktu lalu. Satria memang terlalu hijau. Mentahnya pengalaman akan menjadi satu kelemahan
Beruntung, dia tergolong pemuda berhati kokoh, bernyali tak rapuh.
Upacara gaib berlanjut terus.
Sementara Satria terpana-pana menyaksikan
seluruh kejadian yang berlangsung di depan mata....
"Ssst!"
Terdengar bisikan seseorang di belakangnya.
Satria menoleh. Dia terperanjat berbaur senang
menemukan orang tadi. Mulutnya menganga, hendak
mengucapkan sesuatu. Orang yang datang diam-diam
cepat menempatkan jari telunjuknya di depan bibir.
Orang itu ternyata Dongdongka, Dedengkot
Sinting Kepala Gundul!
"Aku cuma menampakkan sukmaku padamu
saja. Jadi, si nenek peot bau itu tak akan melihatku
atau mendengarku. Kalau kau ingin berbicara, pergunakan bahasa batin!"
Dalam hati, Satria mendumal kesal: Kalau memang cuma dia yang bisa melihat dan mendengar kehadiran sukma gurunya, kenapa tua bangka itu pakai
berbisik segala" Apa karena kurang kerjaan atau itu
bagian dari kesintingannya"
"Bersemadilah dalam posisi mu sekarang. Jangan memancing kecurigaan si Jonggrang. Setelah kau
mencapai tahap semadi mu, barulah kau bisa menyampaikan ucapan batin kepadaku. Ngerti tidak
kau"!" lanjut Dedengkot Sinting Kepala Gundul, menjelaskan. Satria mengangguk
sambil melirik hati-hati Nini Jonggrang. Segera perintah guru sintingnya
dijalan-kan. Tetap berdiri seolah-olah sedang asyik menyaksikan upacara gaib Perempuan Pengumpul Bangkai,
Satria memasuki tahap semadinya.
"Aku tak tahu kau sudah sinting atau tidak!"
sembur Sukma Dongdongka setelah Satria siap.
"Apa maksudmu, Kakek?"
"Apa maksudku"!" Sukma Dongdongka mendelik. "Kau akan membiarkan dirimu menjadi pengganti Bocah Perawan Jelita itu
menjadi tawanan tenung si
Jonggrang! Apa itu bukan sinting" Terus terang saja,
aku mengajarkan kau supaya berpura-pura sinting dalam tingkah. Bukan sinting benaran, tahu"!" semburnya habis-habisan.
"Dari mana Kakek tahu?"
"Dari sawah turun ke kali! Ya, aku tahu karena
selama ini Sukmaku terus menguntit mu, Cah Tolol!"
"Jadi Kakek mau tahu kenapa aku bersedia melakukannya?"
"Betul!"
"Aduh, Kakek ini bagaimana" Coba saja Kakek
pikirkan sebentar..."
"Kurang ajar semata kau! Aku gurumu, bukan
jongosmu. Masa' aku kau suruh-suruh begitu!"
"Maksudku tentang ajian 'Melepas Sukma'!"
"Alah-alah, sudah jelaskan saja, Gendeng! Jangan ngalor-ngidul tak karuan. Kau cuma bikin pegal
perasaanku saja, tahu!"
Sementara Nini Jonggrang tak pernah menyadari kehadiran gaib bekas saudara seperguruannya.
Satria pun menjelaskan alasannya pada tua bangka
bertingkah sinting-sintingan itu.
Ketika Nini Jonggrang mengajukan syarat untuk membebaskan Tresnasari dari pengaruh tenungnya, Satria teringat pada seluruh wejangan-wejangan
gurunya Dedengkot Sinting Kepala Gundul beberapa
waktu lalu tentang ajian 'Melepas Sukma'. Dari wejangan itu, Satria yakin bahwa dia dapat memanfaatkan
ajian 'Melepas Sukma' untuk mengecoh pengaruh tentang Nini Jonggrang.
Menurut penilaiannya, pengaruh tenung itu
hanya akan mengkerangkeng sukma seseorang sehingga tak berdaya dan menuruti seluruh perintah si
Perempuan Pengumpul Bangkai. Satria yakin, jika
sukmanya keluar dari wadag, maka tak ada kesempatan lagi bagi pengaruh tenung itu untuk menguasai dirinya. Rencananya, jika nanti Tresnasari telah dibebaskan, maka Satria akan membiarkan dirinya ditenung Nini Jonggrang. Pada saat yang sama, dia akan
mengerahkan ajian 'Melepas Sukma'. Tepat saat pengaruh tenung menerobos masuk dalam kalbunya dan
hendak mengkerangkeng sukmanya, maka sukmanya
akan lebih dahulu keluar!
Sebuah rencana cerdik yang berisiko tinggi. Bagaimana tidak" Selama menerima ajian 'Melepas Sukma' dari gurunya, baru sekali ini Satria mencoba memanfaatkannya. Selain itu, dia belum lagi bisa memastikan apakah seluruh perkiraannya itu benar-benar
akan berjalan mulus.
Sepertinya, si pendekar muda sedang berjudi
dengan nyawa sendiri!
"Buagus, buaaaagus!" Sukma Dedengkot Sinting Kepala Gundul memuji-muji, usai mendengar penuturan muridnya. "Kalau begitu alasanmu, aku juga setuju. Kau memang cerdas,
Cah Gendeng Slompret!
Kau tak perlu ragu-ragu melaksanakan rencanamu!
Aku mendukungnya! Biar he he he... biar he he he...."
"Biar apa, Kek?"
"Biar si Jonggrang itu uring-uringan sampai
terkencing-kencing begitu tahu akan bau kencur macam kau telah mengecohkannya mentah-mentah. Bukankah itu menyenangkan"! Hue he he!!!"
"Tapi aku bukan anak bau kencur lagi, Kek,"
bantah Satria. Dedengkot Sinting Kepala Gundul mana peduli.
Dia masih sibuk terkekeh-kekeh geli.
"Kalau begitu, sebenarnya kau tak perlu bantuanku lagi, bukan?" tanyanya kemudian, masih di sela-sela kekehnya.
"Terima kasih, Kek. Aku sudah yakin sekarang!" tegas dan mantap, Satria menjawab.
"Memang benar apa kataku. Kau sebenarnya
memang bisa diandalkan. Si Kusumo saja yang macam-macam. Pakai mengkhawatirkan kau segala macam. Huh, memangnya kau masih bau kencur, ya" Kalau bau popok memang benar!"
Setelah puas mengejek muridnya sendiri, Sukma Dongdongka memupus perlahan, kembali ke gubuknya. Di gubuknya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul
terjaga dari sila diamnya. Mulutnya langsung mengumpat-umpat berkepanjangan begitu merasakan celananya basah kuyup. Rupanya, bukannya Nini
Jonggrang yang terkencing-kencing di celana seperti
dikatakan sebelumnya. Justru dia yang terkena musibah itu. Pasalnya, sukmanya terlalu kelewatan terkekeh.... Biar rasa!
TIGA DENGAN berjalan kaki menempuh jarak teramat jauh, Mayangseruni terus berjalan. Gontai. Berulang-ulang terlihat kesan keraguan dalam langkahnya.
Dia masih ragu pada keselamatan saudara kembarnya.
Seragu akan keselamatan Satria.
Manakala teringat permintaan Satria untuk segera ke Tanjung Karangbolong, Mayangseruni menjadi
bersemangat. Langkahnya dipercepat. Tak bisa dia terus ragu untuk melanjutkan perjalanan atau kembali
ke Wadaslintang. Keraguan seperti itu, toh tak akan
menyelesaikan masalah.
Satria benar, pikirnya dalam hati. Yang terbaik
dilakukan saat itu adalah segera menemui Ki Kusumo
dan Dongdongka segera. Dengan begitu, dia bisa meminta bantuan untuk Satria dan Tresnasari yang terjebak dalam permainan busuk Nini Jonggrang.
Sadar akan hal itu, langkah si gadis ayu makin
cepat, cepat dan kian cepat. Kemudian tampak dia berlari kecil. Sampai akhirnya dia mencoba mengandalkan
ilmu lari cepatnya yang tak seberapa. Sepanjang berlari, wajahnya tak lekang dari garis-garis kecemasan.
Sedangkan hatinya terbakar oleh api semangat untuk
segera tiba di Tanjung Karangbolong. Untuk tiba di sana, gadis ayu itu tak bisa hanya mengandalkan kedua
kakinya. Dia harus cepat mendapatkan kuda di desa
terdekat. Untuk itu, Mayangseruni belum tahu arah mana yang akan dituju. Sebelum tiba di Wadaslintang
bersama Satria, mereka memang tak sempat mencari
kuda pengganti. Kuda tunggangan mereka malah mengalami nasib naas setibanya di Wadaslintang.
Karena kebingungan, Mayangseruni menghentikan larinya. Ditebarnya pandangan ke segenap penjuru. Siapa tahu ada orang yang bisa ditanya tentang
arah desa terdekat. Lebih bagus lagi kalau dia melihat tanda-tanda sebuah desa.
Namun sejauh pandangannya mampu menjangkau, tak ada sesuatu seperti harapannya. Tak seorang pun terlihat. Juga tak ada tanda-tanda sebuah
desa. Yang ditemukannya adalah bentangan hutan kecil dipenuhi sesemakan dan pohon randu kurus.
Sementara itu, tanpa disadari malam telah
menjelang. Matahari telah terbenam sama sekali. Tak
bisa lagi dia menentukan arah yang jelas. Mayangseruni merutuk. "Aku tersesat," gerutunya.
Sekarang apa yang bisa dilakukan" Tanya hatinya. Gusar, jengkel, khawatir, takut teraduk menjadi satu dalam benaknya.
Perasaannya makin tak menentu saja. Dia mencoba meneruskan langkah dengan cara
menduga-duga. Ketika sudah melangkah cukup lama,
tahu-tahu dia kembali ke tempat semula. Tanpa berniat menyerah, Mayangseruni mencoba lagi. Mencoba
dan mencoba. Hasilnya, berulang-ulang kali dia kembali lagi ke tempat yang itu-itu juga.
Lelembut mana yang telah menggiringku kembali dan kembali lagi ke tempat ini" rutuk gadis ayu
yang mulai digelayuti rasa lelah itu. Wajahnya sudah
terbasuh basah oleh keringat sendiri. Begitupun pakaiannya. Bahkan kain wiron yang sebelumnya telah
dirobek di pekarangan rumah ayah angkatnya kian tak
karuan bentuknya. Koyak-koyak di sana-sini tercabik
belukar berduri yang tumbuh di tempat tersebut.
Kelelahan yang nyaris sampai puncaknya tak
membuat Mayangseruni memutuskan untuk istirahat.
Baginya, istirahat berarti menyerah. Berarti pula, dia membiarkan Satria dan
Tresnasari tak mendapatkan
bantuan apa-apa. Itu terlalu bodoh!
Namun, kenyataannya dia tak bisa memungkiri
bahwa tubuhnya memang sudah terlalu letih. Akhirnya
dia terjatuh. Untung saja, ada sebatang pohon randu
yang menyanggah tubuh. Tersengal-sengal dada
Mayangseruni. Pada saat itulah, sesosok bayangan menerabas
kepekatan malam, di antara pucuk-pucuk semak belukar. Geraknya bagai kelebatan hantu. Demikian cepat. Bahkan, hampir saja tak terkejar oleh pandangan
mata. Dan secara kebetulan, mata lelah Mayangseruni sempat menangkap kelebatan bayangan tadi. Dari
bersandar pada batang pohon randu, gadis itu memaksa tubuhnya untuk tegak kembali. Degup jantung
yang sebelumnya memang sudah berdentam-dentam,
makin memburu saja. Sepasang bola mata bulat berbulu lentik miliknya mencari-cari nyalang.
"Siapa di sana"!" serunya.
Tak ada sahutan.
Senyap. Hanya menyelinap suara derik jangkrik
di antara hembusan angin malam.
"Siapa di sana"!" ulang Mayangseruni. Kian deras saja detak jantungnya. Menegang
tubuhnya. Kelelahan seakan menguap begitu saja.
Tak kunjung ada sahutan.
Sampai kelebatan bayangan itu melintas kembali. Tak jauh di sisi Mayangseruni. Gadis itu tak tahu apa yang akan terjadi
setelah itu. Hanya, nalurinya
mengingatkan akan datangnya bahaya.
Dengan tubuh yang sudah banyak kehilangan
banyak tenaga, tentunya akan sangat sulit bagi
Mayangseruni untuk menghindar. Menyambutnya justru akan membahayakan diri sendiri. Tak melaksana

Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kan apa-apa tentu saja lebih bodoh.
Secepat mungkin dengan tenaga tersisa,
Mayangseruni mencoba melompat ke samping. Sayang,
gerak kelebatan tadi lebih cepat tiba.
Tep! Ada tangan mencekal pergelangan tangannya.
Keras. Sekeras kuncian cakar-cakar rajawali. Disusul
oleh teguran yang sama sekali tak ramah.
"Hendak ke mana kau, Anak Perawan?"
Di sisinya, telah berdiri seorang. Dalam kegelapan malam seperti itu, sulit bagi Mayangseruni ini untuk mengenali wajah penyergapnya. Sinar bendabenda langit pun tak banyak berguna karena dia berdiri di bawah satu pohon randu berdaun cukup lebat.
Yang dilihatnya hanya bayangan orang itu. Seorang
yang agak bungkuk dan kurus. Mengenakan jubah.
Selebihnya terlalu samar.
Mayangseruni demikian terkesiap. Dia bukanlah gadis lemah. Untuk keberanian, bahkan dia memilikinya lebih dari kebanyakan wanita sebayanya. Tapi,
kehadiran tiba-tiba si penyergap tak dikenal itu membuat ketakutan Mayangseruni meruyak tak terhindari.
"Hiaaa!"
Dengan memompa sisa tenaga kembali,
Mayangseruni berusaha melepaskan cekalan tangan si
penyergap. Sebelah tangannya berusaha memapas cekalan. Tangan yang lain berkutat untuk melonggarkan
cengkeraman lawan.
Tanpa melepaskan tangan si gadis ayu, sang
penyergap dengan amat mudah menangkap tangan
Mayangseruni yang lain.
Tep! Mayangseruni tak menyerah sampai di sana.
Kakinya bergerak naik, hendak menanduk perut sang
penyergap yang kini berhadapan dengannya.
Masih dengan mudah, sang penyergap bergeser
sedikit. Tendangan Mayangseruni memakan angin. Satu totokan cepat menyusul kemudian.
Kejap berikutnya, tubuh Mayangseruni menjadi
lunglai. "Kau akan menerima ganjaran atas kelancanganmu padaku tempo hari!"
dengus sang penyergap
seraya membopong tubuh Mayangseruni ke atas bahu
*** Ki Kusumo terus mengawasi kejadian di bawah
pohon kamboja di lembah berbukit wilayah Wadaslintang. Sejak Nini Jonggrang muncul, Ki Kusumo tiba di
tempat tersebut. Dari satu bukit, dia mengawasi. Tepatnya, dari balik batu bukit yang menjorok keluar.
Jarak tempatnya cukup jauh dengan tempat kejadian.
Dengan jarak itu, masih cukup jelas baginya untuk
mengawasi seluruh sepak terjang Perempuan Pengumpul Bangkai. Lembah terbuka dan cahaya bulan membantunya. Sayang, sama sekali tak dapat didengarnya
seluruh perdebatan yang terjadi di sana. Terlalu jauh
untuk itu. Sampai saat itu, belum ada tindakan yang ingin
dilakukan orang tua ahli pengobatan tersohor tanah
Jawa itu. Tak, ada. Dia masih merasa keadaan muridnya, Satria cukup aman. Dan kepergian Mayangseruni
membuatnya lebih yakin pada keselamatan Satria. Setidaknya, beban bagi Satria sedikit berkurang jika nantinya terpaksa harus
menghadapi Nini Jonggrang. Satu-satunya yang mungkin akan menjadi beban Satria
kini tinggal Tresnasari.
Menyaksikan kembali gadis itu, Ki Kusumo jadi
teringat pada seorang perempuan yang mati karena
penyakit tak tersembuhkan. Wanita ibu kandung
Tresnasari. Tentunya wanita yang dimaksud adalah
Nyai Cemarawangi. Terngiang kembali dalam benak
orang tua itu hari-hari terakhir bersama Nyai Cemarawangi yang sudah dianggap sebagai anak sendiri, bersama Tresnasari dan juga Satria
Tersembul senyum samarnya, begitu dia merasakan kembali betapa mereka sudah seperti keluarga
besar di Tanjung Karangbolong.
"Apa yang hendak dilakukan nenek busuk itu
pada Tresna?" desis Ki Kusumo."Kalau sampai terjadi apa-apa pada dirinya, aku
bersumpah akan menya-bung nyawa denganmu, Tua Bangka Terkutuk!" sumpah Ki Kusumo. Sedang tegang-tegangnya mengawasi, mendadak Ki Kusumo merasakan kehadiran seseorang dari
arah selatan. Matanya cepat mencari-cari.
"Apa yang sedang kau lakukan sebenarnya, Kusumo?" usik orang yang telah berdiri di bukit sebelah selatan, di tempat yang
lebih tinggi. Berjarak sekitar dua puluh tombak.
Ki Kusumo terkesiap. Orang yang disaksikannya ternyata Ki Ageng Sulut. Di bahu pendeta tua murtad itu ada seorang perempuan tertelungkup lunglai.
Rambut hitam panjangnya terjuntai-juntai, menutupi
wajahnya. Dari pakaiannya, Ki Kusumo seperti pernah
melihat perempuan itu.
"Kenapa, Kusumo Keparat"!" susul Ki Ageng
Sulut. Disaksikannya mata kelabu Ki Kusumo sedang
berusaha mengenali orang yang dibopong.
"O, kau ingin tahu siapa perempuan yang kubawa ini"! Apa kau merasa pernah melihat" Atau
mungkin saja kau memang mengenali?" sambungnya.
"Nah, lihatlah!"
Lalu dengan kasar, tangan Ki Ageng Sulut menjambak rambut perempuan di bahunya. Kepala perempuan itu menengadah.
Bukan main terperanjatnya Ki Kusumo. Kini
dia tak perlu mengingat pakaian wanita itu. Wajah
yang dilihatnya sudah cukup jelas untuk menyimpulkan siapa perempuan malang itu.
"Mayangseruni?"
"O, rupanya tak keliru dugaanku. Kau mengenal perempuan ini. Kebetulan sekali kalau begitu," cemooh si Iblis Dari Neraka.
"Dengan begitu, aku punya satu 'pegangan', ya siapa tahu dapat kumanfaatkan
untuk memaksamu membantu menyembuhkan penyakitku. Bukan begitu, Tabib Keparat"!"
"Bedebah kau, Ki Sulut!"
Ki Ageng Sulut tertawa janggal. Bibirnya hanya
menyudut kecil seperti menyeringai. Sementara alunan
tawanya begitu datar. Adalah satu hal langka jika tua
bangka itu tertawa. Sebagai manusia, boleh dibilang
dia termasuk jenis orang bermuka batu. Bahkan hampir-hampir tak ada satu warga persilatan pun pernah
melihatnya tertawa. Kalau sekali ini dia melakukannya, Ki Kusumo yakin ada sesuatu yang disembunyikan Ki Ageng Sulut. Ada sesuatu yang tak beres!
Apa yang ada dalam benak orang terkutuk ini"
Bisik Ki Kusumo. Perasaannya mulai waswas. Dia tak
bisa mengabaikan kehadiran Ki Ageng Sulut di tempat
yang sama dengan Nini Jonggrang. Dulu, dua manusia
bejat itu pernah bersekutu dalam kebatilan. Bukan
mustahil kalau mereka kini memiliki rencana bersama
untuk menjalani satu siasat licik.
Tiba-tiba terlintas dalam ingatan Ki Kusumo
tentang mimpi yang pernah diceritakan Dedengkot
Sinting Kepala Gundul padanya beberapa waktu lalu.
Dalam mimpinya, Dongdongka melihat Satria dikeroyok habis-habisan dua ekor ular besar. Ular besar
jantan dan betina. (Bacalah episode sebelumnya : "Perempuan Pengumpul
Bangkai"!).
Kalau mimpi itu berhubungan dengan peristiwa
kali ini, tentu sepasang ular dalam mimpi Dedengkot
Sinting Kepala Gundul adalah simbol dari Iblis Dari
Neraka dan Perempuan Pengumpul Bangkai!
Ki Kusumo menjadi bergidik.
EMPAT "SATRIA!"
Tresnasari tersadar dari pengaruh tenung hitam. Upacara gaib yang dilaksanakan Nini Jonggrang
telah usai. Begitu menyaksikan pemuda pujaan hatinya, gadis itu langsung menghambur. Di peluknya
Satria Gendeng kuat-kuat.
"Aku takut, Satria.... Aku takut...," keluhnya di dada bidang Satria Gendeng.
Satria Gendeng berusaha menenangkan Tresnasari dengan mengelus-elus rambutnya. Dibalasnya
pelukan gadis itu, membenamkan wajah ketakutan
Tresnasari ke dada bidangnya.
"Tenang, Tresna. Tenanglah. Tak akan terjadi
apa-apa pada dirimu," ucap Satria Gendeng, mencoba menenangkan kekasihnya
"Cukup segala kecengengan kalian! Sekarang,
kau harus bersiap menjadi budakku, Cah Tampan!"
sentak Nini Jonggrang. Dia sudah bangkit dari silanya.
Tangannya menunjuk Satria Gendeng dengan mimik
wajah tak sabar.
Mendengar bentakan Nini Jonggrang, Tresnasari mengangkat kepala dari dada Satria Gendeng. Matanya agak membelalak, menatap Satria Gendeng.
"Apa maksud perkataannya, Satria" Aku tak
mengerti" Apakah kau...."
Pertanyaan beruntun si gadis terpancung. Satria Gendeng menghentikannya dengan menempatkan
jari telunjuk ke bibir mungil memucat Tresnasari.
"Kuminta kau jangan banyak bertanya, Tresna.
Sekarang, kau harus kembali ke Tanjung Karangbolong. Mayang - saudara kembar mu menunggu di sana.
Sudah lama dia ingin bertemu denganmu," kata Satria Gendeng.
"Gadis yang mirip denganku itu" Yang dulu
bertemu di tempat Saudagar Kudus itu?"
Untuk dua pertanyaan, Satria Gendeng mengangguk sekali.
"Jadi benar dia saudara kembar ku?"
"Ya, Tresna. Kau bisa menanyakan langsung
padanya nanti. Sekarang, kuharap kau secepatnya
pergi dari tempat ini."
"Bagaimana dengan kau sendiri, Satria" Dan
apa pula maksud Nenek Guru dengan mengatakan
bahwa kau akan menjadi budaknya"!"
"Aku akan baik-baik saja...."
Tresnasari tak bisa percaya begitu saja ucapan
Satria Gendeng, kendati pemuda itu mengucapkannya
dengan nada yang sedemikian tenang dan mantap. Seketika, ditolehnya Perempuan Pengumpul Bangkai
dengan tatapan nyalang.
"Tidak, aku tak akan pergi kecuali denganmu!"
tandasnya kemudian. "Aku tak akan membiarkan kau
bersama Nenek Guru, Satria. Apakah kau tak tahu, dia
punya niatan keji terhadap dirimu!" serbunya.
Satria Gendeng menggeleng.
"Tresna!"
Bentakan Nini Jonggrang melantak.
"Kau terlalu rewel, Murid Murtad! Cepat pergi
dari sini sebelum aku berubah pikiran!"
"Tapi Nenek Guru...." Tresnasari masih berusa-ha membantah. Namun hardikan Nini
Jonggrang men- dahuluinya. "Jangan panggil aku Nenek Guru lagi! Kau murid murtad. Kau bukan muridku lagi!!! Dari aku pun
tak membutuhkan mu lagi. Bersyukurlah aku tak
menghukum mu. Kau tahu sebabnya" Karena pemuda
itu telah bersedia menjadi pengganti mu?"
Paras jelita Tresnasari makin tak karuan mendengar perkataan Nini Jonggrang. Dia merasa sesuatu
yang mengerikan akan menimpa pemuda pujaannya.
Apalagi dia tahu benar tabiat durjana Perempuan Pengumpul Bangkai yang pernah menjadi gurunya sekian
lama. Perlahan tapi pasti, rasa penasarannya menjelma menjadi ketakutan dan kepanikan. Dia takut dan
panik karena merasa akan kehilangan Satria Gendeng.
Merasa bahwa gurunya yang berilmu siluman sanggup
berbuat apa saja pada kekasihnya, termasuk perbuatan paling biadab yang tak pernah dilakukan manusia
sekalipun. Tresnasari tak mau itu terjadi.
"Apa maksudnya"!" pekik Tresnasari dengan
wajah kacau. Bergantian, dipandanginya Nini
Jonggrang dan Satria Gendeng, seakan mengharapkan
jawaban dari mereka.
Nini Jonggrang malah terkikik.
Satria Gendeng diam.
Dingin. Tanpa perubahan apa-apa di wajahnya. Apa
yang bisa dikatakannya pada Tresnasari" Mengatakan
padanya apa adanya cuma akan membuat rencananya
jadi berantakan. Bisa saja Tresnasari tak akan pergi
dan berkeras untuk tetap bersama Satria Gendeng. Di
lain sisi, tujuan Satria Gendeng sebenarnya adalah untuk menyingkirkan jauh-jauh gadis itu dari jangkauan
Nini Jonggrang terlebih dahulu.
Hal itu makin memompa kepanikan Tresnasari.
Diserbunya Satria Gendeng. Lalu dengan liar dicengkeramnya kerah baju pemuda itu. Tampaknya, si gadis
jelita sudah kehilangan kendali.
"Katakan padaku Satria, apa yang hendak diperbuat nenek itu padamu"! Katakan! Kenapa kau
hanya diam saja, Satria"! Kenapa"!" jerit Tresnasari makin kalap. Dipukulinya
dada Satria Gendeng dengan sisi kepalan tangan. Berkali-kali, bertubi.
Satria Gendeng tetap mematung bagai karang.
Tegak. Tanpa kata. Tubuhnya hanya bergetar sedikit akibat pukulan-pukulan Tresnasari yang mulai terisak-isak. Sampai akhirnya pukulan Tresnasari melemah dan melemah ketika Satria Gendeng merangkulnya kuat-kuat.
Di dada pemuda. itu, Tresnasari menangis sesegukan. "Aku sayang padamu, Satria. Aku telah kehi

Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langan ibuku. Aku tak mau kehilangan orang yang kucintai lagi," ucapnya tersamar isak.
"Aku tahu, Tresna. Aku pun menyayangi mu.
Karena itu, aku tak mau kau tetap di dekat nenek tua
terkutuk itu. Pergilah. Aku akan menemui kembali.
Jangan pernah takut kehilangan aku. Aku berjanji...."
"Hey, keparat kalian! Kalian pikir, aku senang
menyaksikan adegan sialan itu!!!" umpat Nini
Jonggrang, sewot sendiri. Kesewotannya naik ke tenggorokan. Lendir kental menggumpal.
"Khoek cuh!"
Wusss! Lendir berbau busuk dari tenggorokan Perempuan Pengumpul Bangkai melesat lebih cepat, lebih
ganas dan lebih tajam dari anak panah. Tujuannya
punggung Tresnasari yang membelakangi Nini
Jonggrang! Satria Gendeng menyadari datangnya ancaman
berhawa maut. "Heaaa!"
Masih dengan memeluk tubuh Tresnasari, tubuhnya melenting cepat ke udara. Dalam keadaan demikian sulit karena harus memeluk tubuh kekasihnya,
Satria Gendeng berjumpalitan ke arah belakang di
udara. Lima tombak dari tempat semula, kedua mudamudi itu tiba kembali di bumi.
"Kau telah bersumpah dengan nama besarmu
untuk tidak mencelakakan gadis ini, Nenek Terkutuk!"
umpat Satria Gendeng tajam.
"Aku muak dengan tingkah kalian! Cepat kau
suruh pergi perawan sial itu. Atau aku akan melanggar
sumpahku. Peduli setan dengan segala nama besar!"
Wajah Satria Gendeng beralih pada Tresnasari.
"Ku mohon, Tresna. Pergilah...."
"Tidak!" pekik Tresnasari. Dia berontak dari pelukan perjaka pujaannya.
Satria Gendeng sungguh tak pernah menduga
hal itu. Juga tak pernah menyangka kalau Tresnasari
akan bertindak nekat menghambur ke arah Perempuan Pengumpul Bangkai!
"Tresnasari, jangan!" seru Satria Gendeng,
mencegah. Dia khawatir setengah mati Tresnasari
akan menyerang nenek sakti aliran sesat itu. Padahal
tingkat kesaktian Nini Jonggrang tak akan bisa ditandingi oleh Tresnasari. Itu artinya, Tresnasari hanya
mencari celaka. Yang lebih parah, dia hanya mencari
mati! Terlambat.
Tresnasari telah lebih dahulu tiba di dekat Nini
Jonggrang. Dugaan Satria Gendeng meleset. Tresnasari
rupanya tak berniat menyerang guru sesatnya. Dan gelagatnya, Nini Jonggrang pun tahu akan hal itu.
Yang dilakukan Tresnasari sungguh di luar
perkiraan. Gadis yang pernah dikenal Satria Gendeng
begitu judes, galak, dan berani itu justru menubruk
kaki Nini Jonggrang. Dia bersimpuh. Dia menangis tersedak-sedak. "Nenek Guru, jangan kau bunuh dia! Jangan
Nenek Guru. Ku mohon sekali padamu. Dia satusatunya orang yang ku sayangi di dunia ini...," pinta Tresnasari, giris.
Giris dan pilu pula hati Satria Gendeng menyaksikan adegan tersebut. Bagaimana kau demikian
banyak berubah Tresna" tanya Satria Gendeng, pedih
di batin. Mungkinkah karena tergoncang setelah kepergian ibunya" Atau karena selama ini Nini Jonggrang
telah begitu banyak mempengaruhinya"
Lepas dari semua itu, betapa dia menyadari kini, cinta Tresnasari padanya demikian besar. Cinta
yang menyebabkan dia tak ragu untuk bersimpuh di
kaki guru sesatnya sendiri. Rasa cinta itu pun yang telah melumpuhkan akal sehatnya. Padahal, tak sepantasnya dia melakukan itu pada orang durjana macam
Nini Jonggrang.
"Menyingkir, Murid Murtad!" hardik Nini
Jonggrang. Tresnasari terus sesegukan memohon.
Satria Gendeng muak dengan sikap angkuh perempuan tua itu. Membiarkan Tresnasari terus mengiba seperti itu akan makin menyuburkan keangkuhan
Nini Jonggrang. Karenanya, Satria Gendeng segera
menghampiri Tresnasari.
Belum dua tindak, Satria Gendeng sudah dikejutkan oleh erangan pendek Tresnasari.
"Akh!"
Disaksikannya, tubuh sang kekasih terpental
deras ke arah belakang. Tak jelas di mata Satria Gendeng, apa yang telah dilakukan Nini Jonggrang. Satusatunya dugaan, nenek tua berhati iblis itu telah melancarkan serangan hebat dari jarak dekat!
Tindakan keji! Seketika hati Satria Gendeng terbakar.
Garang. Rahangnya mengeras. Giginya bergemelutuk.
"Perempuan tua laknat, kubunuh kau!!!" pekiknya meninggi dan menggetarkan.
Sepersekian kejap
berikutnya, tubuhnya sudah memburu cepat ke arah
Perempuan Pengumpul Bangkai. Rencananya untuk
mengecoh Nini Jonggrang hancur sudah tanpa diduga.
Terjangan Satria Gendeng memburu ganas ke
arah Perempuan Pengumpul Bangkai. Tak ada yang lebih membuatnya demikian kalap kecuali tindakan keji
Nini Jonggrang terhadap Tresnasari. Kekejian yang harus dibayar tuntas!
Tak ada lagi rencana mengecoh Nini Jonggrang.
Semuanya langsung diberangus kemarahan menggelegak yang tak terkuasai lagi. Setelah sebelumnya Tresnasari kehilangan akal sehat. Kali ini giliran Satria
Gendeng. Dunia persilatan mengenal keadaan itu sebagai
musuh tak terlihat dan juga paling berbahaya. Kemarahan yang tak terkendali hanya akan menyebabkan
kerugian. Terutama dalam pertempuran. Seseorang
akan menjadi demikian mudah dipermainkan lawan.
Benteng pertahanannya menjadi sangat rapuh. Dan jurus-jurusnya jadi demikian tak terkendali lagi.
Sekali lagi, ucapan Ki Kusumo pada Dongdongka sepatutnya diperhitungkan oleh Dongdongka sendiri. Satria Gendeng memang tak bisa hanya mengandalkan kesaktian yang diturunkan dua guru besarnya.
Selaku seorang pendekar, dia masih butuh hal lain
agar benar-benar siap menghadapi keganasan rimba
persilatan. Semuanya itu tidak akan didapatnya melalui didikan seorang guru sesakti apa pun, namun harus didapat melalui tempaan pengalaman. Menelan
asam-garam persilatan sebanyak-banyaknya. Dan justru hal terakhir tersebut yang belum dimilikinya.
Dia tak lebih dari seorang pendekar berbekal
kesaktian tinggi, namun hijau dalam pengalaman. Dia
tetap saja bisa disebut bau kencur. Sampai-sampai tak
disadarinya kesalahan besar sudah dilakukan dengan
mengumbar kemarahan.
"Heaaa!"
Nini Jonggrang menyeringai menanti serangan
brutal Satria Gendeng. Betapapun tahu serangan lawan amat berbahaya, perempuan tua laknat itu pun
tahu kalau lawannya telah melakukan kesalahan besar. Yang tak disadari sama sekali!
Tubuh Perempuan Pengumpul Bangkai mendadak terangkat seperti terbang, mementahkan terjangan
menggila Satria Gendeng.
Bagi banyak kalangan yang mendalami ilmu
'Peringan Tubuh', sulit untuk mempercayai kejadian
itu. Bagaimana caranya Nini Jonggrang membuat tubuhnya melesat cukup tinggi ke atas sementara tak
terlihat satu bagian tubuhnya pun melakukan hentakan" Tidak di bagian otot pinggang. Tak pula di bagian kaki. Mungkinkah itu
karena kekuatan tenungnya"
Atau kesempurnaan peringan tubuhnya sudah melampaui batas-batas kesempurnaan"
Dear! Pukulan menyamping bertenaga dalam dahsyat
milik Satria Gendeng seketika melabrak pohon kamboja di dekat tempat berdiri Nini Jonggrang. Padahal jarak antara Satria Gendeng dengan pohon naas itu masih sekitar tiga tombak. Itu pertanda, angin pukulan si pemuda saja sudah
demikian dahsyat. Bayangkan jika
tangannya langsung mendarati tubuh keropos si Perempuan Pengumpul Bangkai"
"Hi hi hi. Jangan kau tumpahkan kemarahan
pada pohon itu, Cah!" ejek Perempuan Pengumpul
Bangkai. Di ujung salah satu daun tetumbangan pohon kamboja, nenek sakti itu sudah bersila. Lagi-lagi
pamer kehebatan ilmu peringan tubuh!
Satria Gendeng tak banyak melonggarkan waktu untuk serangan berikutnya. Dia siap menerjang
kembali dengan keganasan sepuluh ekor banteng ketaton! Sebelum itu, tangannya membentuk bentangan
seperti sayap seekor burung raksasa perkasa. Berselang dengan gerakan itu, tangannya diturunkan cepat
bertenaga ke satu titik di depan perutnya, seperti gerakan cakar rajawali
menyambar mangsa. Terdengar gemeretak tulang-tulangnya, beriring menggelembung
otot-otot di sekitar lengan dan dada.
Deb! Dengan satu sentakan, tangannya ditarik kembali ke atas. Jari kedua tangannya menghadap ke depan seperti bentuk kepala ular yang siap melakukan
patukan. Selanjutnya....
"Heaaaaa!"
Satria Gendeng menerkam udara. Tubuhnya
lurus dan garang menerjang Nini Jonggrang. Saat meluncur di udara, tangannya bertubi-tubi membuat patukan-patukan sengit. Beruntun, cepat, dan membangun deru santer.
Deb deb deb! Itulah satu jurus yang diturunkan oleh Ki Kusumo. Jurus yang memiliki nama sangar, 'Mencuri
Bunga Karang'. Seruntun serangan yang amat mengandalkan kecepatan gerak tangan. Diciptakan Ki Kusumo ketika dia berada di Pulau Dedemit.
Sesungguhnya, patut dipuji keputusan Satria
Gendeng untuk mempergunakan jurus itu. Kendati
kemarahannya mungkin sudah hendak menjebol
ubun-ubun sendiri, namun Satria Gendeng masih bisa
menyaksikan bagaimana kecepatan Nini Jonggrang
menghindari terjangan pertamanya. Nalurinya sebagai
seorang bocah yang hidup dalam gemblengan keras
alam, membuatnya mengambil kesimpulan dengan cepat. Gerakan cepat lawan, hanya mungkin dilakoni
dengan jurus jenis menyerang yang mengandalkan kecepatan seperti 'Mencuri Bunga Karang'!
Begitu tiba di hadapan Nini Jonggrang, patukan
sengit Satria Gendeng tak disambut layaknya orang
bertarung oleh Nini Jonggrang. Dia tak bergerak dari
posisi silanya untuk menghindar. Bahkan, tak menggerakkan tangan untuk menangkis serangan.
Yang dilakukan Nini Jonggrang sungguh di luar
kelaziman. Dia malah berteriak kuat-kuat. Tak mungkin teriakan itu lahir karena ketakutan pada serangan
lawan, menilai bahwa Nini Jonggrang adalah salah satu tokoh tak tertandingi di rimba persilatan tanah Jawa. "Aaaaaaiiiiikh!"
Beriring terlepasnya teriakan menghentak suasana, terkaman tubuh Satria Gendeng terhenti seketika, seakan ada tembok kasatmata yang tebal membentengi sekitar satu tombak di hadapan Nini Jonggrang!
Lebih dari itu, Satria Gendeng pun mencelat
kembali ke belakang. Ada semacam pantulan amat
kuat dirasakan oleh pemuda sakti itu.
Dengan berjungkir balik di udara, Satria Gendeng berhasil menguasai keseimbangannya. Dia menjejak kembali ke bumi. Patukan-patukan ganasnya barusan bahkan tak sempat menyentuh kulit si Perempuan Pengumpul Bangkai. Padahal, jurus 'Mencuri
Bunga Karang' hanya akan berbahaya jika berhasil
mematuk, menjepit lalu mencerabut kulit lawan. Jari
tangan yang sudah digodok dengan campuran serbuk
racun tak terlihat tentu akan sangat mematikan, meski
luka yang dibuat kecil saja di kulit.
Dalam kegusaran memuncak, masih sempat
Satria Gendeng menyadari bahwa tenaga dalam lawannya demikian sempurna. Dengan cara menyalurkan tenaga dalam melalui teriakan saja; Nini
Jonggrang telah berhasil melumpuhkan terkaman berbahayanya. Bagaimana pula jika dia telah mempergunakan kedua tangannya"
Kendati begitu, kemarahan tetaplah kemarahan. Terlalu sulit bagi akal sehat Satria Gendeng untuk memberi pertimbangan. Tak berselang tiga tarik
napas kemudian, Satria Gendeng sudah melabrak si
Perempuan Pengumpul Bangkai kembali.
LIMA KI Kusumo tersentak mendengar keributan
jauh di bawah tempatnya. Segera ditolehkannya kepala. Di bawah sinar lamat rembulan, disaksikan muridnya sedang menggempur Nini Jonggrang.
"Satria," bisiknya cemas. "Kenapa Kusumo"
Kau takut muridmu mampus di tangan Jonggrang?"
ledek Ki Ageng Sulut. Ki Kusumo mendengus sarat.
Berat.

Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pekat. "Jika terjadi apa-apa pada muridku, aku bersumpah akan mengadu jiwa dengan kalian!"
Mendengar ancaman Ki Kusumo, Ki Ageng Sulut malah menanggapi dengan seringai mengejek.
"Kau ini tolol, Kusumo. Bagaimana bisa mengancam kami sementara kakimu saja sudah tak lengkap seperti itu" Kupikir, tahu diri sedikitlah kau. Apa kau lupa, hanya
menghadapiku saja kau sudah kehilangan sepasang kaki" Bagaimana lagi kau akan
menghadapi kami berdua dengan keadaan seperti itu?"
Meski Ki Kusumo sudah kenyang makan asamgaram, tak urung wajahnya menjadi merah dicemooh
oleh Ki Ageng Sulut demikian rupa. Kata-katanya terlalu menginjak-injak semena-mena harga dirinya. Menginjak-injak kepalanya. Nama besar mungkin tak terlalu dipersoalkan. Namun, sebagai orang yang merasa
memiliki kehormatan, dia merasa tak sepatutnya diperlakukan seperti itu.
"Kau mau kita bermain-main seperti waktu itu
lagi?" cemooh Ki Ageng Sulut, kian memanas-manasi.
"Ayolah kalau begitu! Kenapa kau masih menunggu lebih lama" Kalau kemarin kau
kehilangan sepasang kaki, kalau beruntung, siapa tahu kau akan kehilangan
sepasang tangan!"
Ki Kusumo tak mau cepat terpancing. Betapapun, orang tua ahli pengobatan kenamaan tanah Jawa
itu harus sadar posisinya sama sekali tak menguntungkan. Terutama karena Ki Ageng Sulut sedang
membopong Mayangseruni. Tak perlu waktu lama Ki
Kusumo meyakinkan kalau gadis itu memang Mayangseruni setelah melihat wajahnya. Wajahnya yang demikian mirip dengan Tresnasari tak menyebabkan Ki
Kusumo menjadi salah sangka. Sebab, yang diketahuinya, Tresnasari sendiri sedang berada di lembah
bawah bukit bersama Satria Gendeng dan Nini
Jonggrang. Di lain sisi, Ki Kusumo tahu dia harus membantu Satria Gendeng secepatnya. Paling tidak, dia bisa mengarahkan pertarungan muridnya agar tidak
membabi-buta, membahayakan diri sendiri.
Jika dia memutuskan untuk segera turun, tak
pelak lagi Ki Ageng Sulut akan menghalanginya. Dengan begitu, pertarungan tak akan bisa dielakkan.
Keadaan Ki Kusumo terjepit.
Serba salah. Dalam keadaan kebingungan untuk membuat
keputusan, seseorang tak diundang tahu-tahu sudah
nadir di antara mereka.
"Apa aku bisa numpang lewat"!" terdengar sua-ra yang agak sengau seperti sedang
terserang pilek.
Ki Kusumo menoleh.
Ki Ageng Sulut pun begitu.
Ada seorang berdiri hanya empat tombak di belakang Ki Ageng Sulut
Seorang lelaki berusia cukup muda. Sekitar tiga
puluhan, jika ditilik dari parasnya. Biarpun tampan
dan bersih. Wajahnya juga lucu. Ada kesan kebodohbodohan. Biar matanya seperti milik seorang bocah
yang tak mengenal masalah. Hidungnya mancung dan
bangir. Namun, beberapa kali terlihat mengembang
kempis seperti kelinci. Rambutnya panjang. Hitam, terawat, dan tergerai apik seperti rambut perawan genit.
Mengenakan kain pengikat berwarna ungu, menutupi
separo kepala bagian atasnya. Pemuda kebodohbodohan itu mengenakan pakaian sederhana berwarna
serupa dengan kain pengikat kepalanya. Kendati sederhana, namun licin sekaligus bersih. Sepertinya, debu pun sulit untuk singgah. Pada kain ikat pinggang
berwarna merah, terselip sehelai bulu rajawali sepanjang dua jengkal.
Kening Ki Kusumo mengernyit. Siapa pemuda
ini, tanyanya membatin.
Ki Ageng Sulut sebenarnya harus merasa heran. Pemuda itu telah berdiri di belakangnya tanpa diketahui sedikit pun.
Kehadirannya seperti hantu. Untuk seorang seperti Ki Ageng Sulut, seekor laba-laba kecil merayap
beberapa tombak di belakangnya pun dapat dengan
cepat disadari.
Hanya karena pikirannya sedang disibuki oleh
urusan dengan Ki Kusumo, Ki Ageng Sulut jadi tak begitu peduli. "Cepatlah kau menyingkir dari tempat itu, Pemuda! Kau tak berharap akan berurusan denganku.
Sebab, kau akan menyesal nantinya!" hardik Ki Ageng Sulut. Si pemuda meringis
tanpa beranjak dari tempatnya. Garuk-garuk dengkul sebentar, lalu meringis
sekali lagi. Lebih sumringah dari sebelumnya.
"Keparat," rutuk Ki Ageng Sulut berdesis.
"Hei, apa telingamu sudah tuli"! Kubilang, cepatlah kau menyingkir!" terjangnya, mulai gusar.
Minta ampun. Lagi-lagi si pemuda meringis.
Cuping hidungnya kembang-kempis. Tak lama kemudian, dia bersin kuat-kuat di tempat dengan suara seperti dengking keledai.
"Haaaaa chuinggggg!"
Sambil mengusap-usap hidungnya dengan
punggung tangan, pemuda kebodohan tadi berujar,
"Maaf. Aku tak bisa mendengar orang berbicara keras-keras. Setiap kali ada orang
membentak, aku jadi ingin bersin."
Dia meringis lagi.
"Kau sengaja mengejek ku. Rupanya kau memang ingin cari mampus!" ancam Ki Ageng Sulut.
Seperti tak peduli geraman gusar Iblis Dari Neraka yang ditakuti warga rimba persilatan tanah Jawa,
Pemuda kebodohan malah membungkukkan badan.
Satu tangannya terjulur ke bawah.
"Permisi, permisi. Aku numpang lewat...."
Tanpa merasa pernah berbuat kekeliruan, pemuda itu melintas di depan Ki Ageng Sulut.
Kontan tua bangka aliran sesat itu jadi mengkelap. "Kunyuk! Hih!"
Tangan Ki Ageng Sulut bergerak, membuat
tamparan telengas ke punggung pemuda yang setengah membungkuk. Ki Kusumo terkesiap. Dia hendak
mencegah. Tapi kalah cepat.
Dugh! Pemuda Kebodohan tersungkur. Wajahnya
mencium batu sebesar kepala kerbau. Meski kelihatan
remeh, pukulan Ki Ageng Sulut tadi sebenarnya bisa
membuat tulang seseorang menjadi terpatah lima bagian di dalam. Akibat itu, tentunya akan menimpa Pemuda Kebodohan. Dia bisa mati mendadak. Setidaknya sekarat. Apa lagi kalau mengingat wajahnya membentur batu bukit
Tak mungkin Ki Kusumo berdiam diri saja menyaksikan kezaliman terjadi di depan hidungnya. Perlakuan Ki Ageng Sulut harus mendapat ganjaran setimpal. Tak peduli apakah kesaktian orang tua sesat
itu berada di atas Ki Kusumo!
Baru saja Ki Kusumo hendak bertindak, Pemuda Kebodohan sudah bangkit. Caranya bangkit terlihat
santai. Sama sekali tak ada tanda-tanda dia mengalami luka. Bahkan sekadar luka kecil yang membuat dia
mengeluh. "Permisi...," katanya lagi pada Ki Ageng Sulut, seraya meneruskan sikap setengah
membungkuk. Dia
melintasi Ki Ageng Sulut begitu saja.
Ki Ageng Sulut melongo. Sebentar dia menjadi
seperti orang linglung sambil mengikuti gerakan Pemuda Kebodohan dengan pandangannya. Setelah, Pemuda Kebodohan sudah lewat dari depan hidungnya,
barulah dia tersadar.
"Keparat! Kau kira dapat dengan mudah mempermainkan ku!!!" amuknya kalap. Terbakar wajahnya seperti terbakar
kemarahannya. "Berhenti kau!"
Seraya berseru, Ki Ageng Sulut melompat sekali. Di depan Pemuda Kebodohan, orang tua sesat itu
menghadang "Kau pikir, sedang berhadapan dengan siapa
sampai kau berani pamer kehebatan, Pemuda Bodoh!!!" maki Ki Ageng Sulut.
Menanggapi omelan Iblis Dari Neraka yang sering membuat nyali banyak kalangan persilatan bergetar, Pemuda Kebodohan malah meringis.
Jelek. Cuping hidungnya kembang-kempis.
"Huaa... huaaa... chuingg!"
Di depan hidung Ki Ageng Sulut, pemuda itu
bersih! Bukan salahnya. Bukankah sebelumnya dia
sudah bilang bahwa dia tak bisa mendengar suara keras-keras, seperti makian Ki Ageng Sulut" Yang jadi
masalah, apakah tua bangka Iblis Dari Neraka sudi
menerima" Ki Ageng Sulut mendelik sejadi-jadinya. Cuping
hidungnya jadi ikut kembang-kempis saking murka.
Jarang ada orang berani menghinanya. Siapa tak kenal
keangkeran julukan Iblis Dari Neraka" Bersin di depan
hidungnya bahkan lebih dari sekadar penghinaan.
Penghinaan di atas penghinaan!
"Permisi lagi...," kata Pemuda Kebodohan polos, menanggapi perubahan mimik wajah
Ki Ageng Sulut.
Seraya membungkukkan badan untuk kesekian kali,
dia hendak melintas lagi di depan Ki Ageng Sulut.
Ki Ageng Sulut merasa menjadi kambing congek kalau dibiarkan saja pemuda itu melintas. Tangannya segera bergerak. Gelegak darah yang menanduk hingga ke ubun-ubun, membuatnya tak segan lagi
melancarkan hantaman paling berbahaya.
Dash! Keras! Menerpa bagian mematikan yang terletak di belakang kepala Pemuda Kebodohan. Seketika tubuhnya
ambruk seolah buah nangka besar yang menukik ke
bumi. Menurut perkiraan Ki Kusumo, tentu tulang leher pemuda itu akan lebur seketika seperti sekam.
"Mampuslah kau keparat!" umpat Ki Ageng Sulut, puas menyaksikan Pemuda Kebodohan jatuh tertelungkup. Sebentar kemudian, alisnya berkernyit rapatrapat. Memang pemuda itu tersungkur. Tak bisa dibilang tertelungkup. Posisinya malah lebih bisa disebut
'nungging'. Apa mungkin seseorang yang terkena hantaman maut akan terjatuh dalam posisi menyebalkan
seperti itu"
Tapi, kalau melihat tak ada gerakan sama sekali, Ki Ageng Sulut tak yakin Pemuda Kebodohan masih
bernyawa. Barangkali saja memang kebetulan jatuhnya seperti itu.
Setelah cukup lama tubuh Pemuda Kebodohan
tak bergerak, Ki Ageng Sulut baru menyeringai puas:
"Betapa tolol kau, Pemuda Sial! Tak ada yang
bisa kau pamerkan pada iblis Dari Neraka!!!" sesumbar Ki Ageng Sulut, pongah.
Baru selesai mulut tua bangka itu bungkam....
"Haa haaa haaaa chuuingngngng!"
Sepanjang umur dunia yang renta, tak pernah
ada bangkai bisa bersin. Tak peduli bangkai apa pun.
Kambing, kerbau, kelinci, ayam, atau manusia. Kalau
terdengar Lelaki Kebodohan bersin, kesimpulannya
mudah saja, dia belum mampus sama sekali. Jangankan mampus, terluka saja mungkin tidak. Kalau dia
terluka dan sadar, tentunya yang terdengar adalah keluhan. Bukannya bersin!
Sekarang, Ki Ageng Sulut dipaksa menyadari
siapa sesungguhnya orang bertampang tolol ini. Mengenai siapa dia, sampai saat ini, Ki Ageng Sulut tak
pernah mengenalnya. Bahkan selama malangmelintang si persilatan tanah Jawa, tak pernah sekali
pun dilihatnya orang itu. Hanya satu hal yang menjadi
benar-benar jelas, bahwa si lelaki bertampang tolol
bukanlah orang sembarangan. Iblis Dari Neraka bukan
julukan kosong di persilatan tanah Jawa. Kesaktiannya, kendati masih terus dirongrong penyakit, tetap
menjadi momok menakutinya. Jika sebagian kesaktiannya saja tak bisa sedikit pun melukai orang bertampang tolol itu, bagaimana mungkin Ki Ageng Sulut
tetap menganggapnya remeh"
Seperti Ki Ageng Sulut, Ki Kusumo pun mengalami keterkejutan serupa. Dia pun dipaksa menyadari
betapa lelaki bertampang tolol itu bukanlah sembarang
orang. Yang jadi pertanyaan, siapa dia sebenarnya"
Kalau dia salah seorang tokoh sakti tanah Jawa ini,
kenapa Ki Kusumo tak pernah menyaksikannya" Sementara, kehadirannya ke tempat ini tampaknya
punya tujuan sendiri. Tujuan apa, Ki Kusumo belum
jelas benar. Cuma, tabib kenamaan berkaki logam itu
berharap, si lelaki bertampang tolol tidak memihak golongan sesat....
"Permisi...," ulang lelaki bertampang tolol, sesaat setelah dia bangkit sambil
menepuk-nepuk debu
di baju bagian depannya.
Selanjutnya dia ngeloyor seperti tak pernah terjadi apa-apa. Seperti terkena pengaruh tenung, Ki Ageng Sulut mendiamkan orang itu. Ki Kusumo pun hanya terpaku menatap lelaki bertampang tolol melangkah santai. ENAM SEMENTARA itu, di Tanjung Karangbolong pada waktu yang sama.
Tuhanku,

Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

betapa tak pantas kuhirup hawa Swarga
Namun Tuhanku, betapa aku tak mampu terkapar dalam gelegak
Neraka. Jadi Tuhanku, Hanya kuharap kucuran ampunan-Mu.
Dalam kerap napas nistaku.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul terjaga dari
tidur lelapnya oleh kidung sendu berlirik penuh makna
hidup itu. Belakangan ini, sejak usahanya untuk mati
gagal total (Baca episode sebelumnya : "Iblis Dari Neraka"!), dia jadi lebih
banyak tidur. Dengan tidur, dia berharap masalahnya untuk sementara bisa
disingkirkan. Ketimbang harus melarikan masalah kepada hal
yang bukan-bukan, pikirnya. Ya seperti minum arak
sampai mabuk, ya main perempuan nakal sampai teler, ya main judi sampai keblinger, ya membenturkan
kepala ke pintu!
Di balai bambu di dalam gubuknya, dia duduk
mencekung. Sebentar dia menggaruk kepala. Kulit kering dari kepala 'plontos'nya beterbangan sesuka hati.
Matanya masih mengerjap-erjap, masih cukup berat.
Kantuknya belum minggat benar. Anehnya, dia tak
berniat melanjutkan tidur. Entah bagaimana, kidung
tadi seolah mempunyai kekuatan yang mengusik sampai ke relung batin si tua bangka bertabiat sinting.
Hingga mampu menyingkirkan kantuknya. Padahal
kawanan nyamuk sebesar kecoa saja belum tentu bisa
mengusik tidurnya. Itu pun kalau benar-benar ada
nyamuk sebongsor kecoa!
"Kidung siapa yang begitu merdu" Sialnya, kenapa aku malah jadi terjaga dan tak bisa tidur lagi.
Kan, semestinya aku jadi tambah pulas. Aneh juga,
ya..." Slompret sekali!"
Diawali gerutuan, Dedengkot Sinting Kepala
Gundul meninggalkan balai. Di luar gubuk dilihatnya
seorang bercaping duduk menundukkan kepala di atas
tumbangan pohon kelapa yang biasa diduduki Dongdongka dan Satria dulu. Dari pakaiannya, Dongdongka
tahu kalau orang itu lelaki. Mengenakan baju dan celana berwarna ungu. Ikat pinggangnya berwarna merah. Tangan kiri lelaki itu asyik mengilik-ngilik lobang telinga dengan sehelai bulu rajawali.
Jauh melatar belakangnya, sinar rembulan merayapi permukaan laut yang agak tenang. Ombak masih tetap cukup besar menampar-nampar pantai.
"Selamat malam," sapa tamu tak diundang,
tanpa menoleh. Suaranya agak sengau.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul cemberut.
"Aku tahu ini malam," gerutunya. "Masalahnya, apa kau tahu malam itu waktunya
orang tidur"!" ujar-nya, mulai sok galak. Mau 'unjuk gigi' dia, kendati giginya
sudah tinggal sisa.
"Kalau kau ingin mencapai tingkat kesempurnaan hidup, tentunya kau tak akan menghabiskan seluruh malam untuk tidur saja."
"Ah, sok tahu kau! Eh, lagi pula siapa kau ini
sebenarnya" Kenapa lancang-lancangnya kau mengajari aku" Kau tahu, aku ini sudah terlalu tua untuk
kau ceramahi macam itu. Tahu"!"
Tetap masyuk mengilik-ngilik telinga, orang
bercaping berkata lagi, "Aku bukan mengajari. Cuma mengingatkan...."
"Ah, apa bedanya! Itu kan cuma silat lidahmu
saja. Sebenarnya kau memang bermaksud menggurui
ku. Biar terdengar agak sopan, kau bilang saja
'mengingatkan'! Wuhh!!!" Sambil berkata, bibir Dongdongka mencibir. Tangannya
menepis udara. 'Selonong' sana-sini, Dongdongka melangkah
keluar dari gubuknya. Pintu gubuk dibanting begitu
saja. Sepertinya gubuk itu hampir saja roboh.
"Sekarang, langsung saja bilang padaku, apa
maksud kedatanganmu ke tempat ini"!" todong Dedengkot Sinting Kepala Gundul, tak mau bertele-tele.
"Tak ada. Cuma, aku ingin menengokimu!"
"Weh, memangnya aku perlu kau tengoki" Kenal pun tidak padamu!"
"Kenal atau tidak, bukankah tak ada larangan
seseorang menengoki orang lain?"
"Aku melarang!"
Orang bercaping tertawa ringan. Suara tawa
Badai Selat Malaka 2 Pendekar Pulau Neraka 47 Pedang Setan Dewa Ruci Hantu Lereng Lawu 3

Cari Blog Ini