Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu Bagian 2
sengaunya terdengar lucu menggelitik.
"Malah ketawa!" bentak Dedengkot Sinting Kepala Gundul, seperti menggonggong.
"Sejak kapan kau berubah menjadi pendagel
seperti ini?"
Dedengkot Sinting Kepala Gundul melotot besar
sekali, sampai-sampai lupa kalau tahi matanya belum
dibersihkan. "Slompret! Kau sengaja cari perkara, ya?"
"Aku menilaimu dengan jujur. Tak ada maksud
mengejek. Mungkin hanya karena kau sadar kau memiliki sifat yang semestinya kau buang, jadi kau merasa dihina."
"Sok tahu lagi! Memangnya kau pikir kau ini
siapa" Mbah buyut ku" Bapak moyang ku" Mbokku"
Begitu?" semprot Dongdongka, sewotnya bukan alang kepalang.
"Begini saja," potong orang bercaping.
"Tidak, begitu saja!" potong Dongdongka pula, tak mau kalah.
"Aku ke sini sebenarnya hendak mengingatkan
kau tentang satu hal!"
"Mengingatkan mengingatkan! Lagi-lagi kau
berdalih!"
"Dengarkan dulu aku."
"Tidak, kau yang dengarkan aku, tahu!" sambar Dedengkot Sinting Kepala Gundul
sambil menjitak-jitaki kepala sendiri, pertanda dia mulai gusar. "Sekarang,
sebaiknya kau segera pergi dari tempat ini! Aku
mau meneruskan tidurku. Jangan coba-coba juga kau
bersenandung lagi. Aku tahu suaramu merdu dan kidungmu bagus. Dengan suara semerdu itu, kupikir
kau pantas jadi dukun. Maksudku, pergi sajalah kau!"
omel Dedengkot Sinting Kepala Gundul ngalor-ngidul
tak karuan. Orang bercaping tertawa lagi. Sekali ini terkekeh geli seperti suara bocah kecil kegirangan. Dedengkot Sinting Kepala Gundul tentu saja makin 'keki' dibegitukan. "Aku tetap akan pergi. Tapi, apa kau yakin tak
mau mendengarkan aku dulu" Sebentar saja?" tawarnya lagi. "Tak ada tawar menawar! Kau boleh ambil dengan harga sepuluh kepeng, itu harga dari pengijonnya.
Eh maksudku, pergi sajalah kau! Jangan banyak cincong begitu. Tahu"!"
Kepala di balik caping orang itu menggelenggeleng. "Masih saja sempat-sempatnya menggeleng!
Apa aku harus menendang pantatmu dulu supaya kau
segera pergi dari tempat ini! E, slompreeeeet sekali
kau!" Dedengkot Sinting Kepala Gundul mulai mencak-mencak. Pasir di dekat kakinya bertebaran ke mana-mana. Sepak terjangnya sudah seperti keledai ngebet kawin. Karena kelewatan mangkel, tanpa disadari tua
bangka bertabiat sinting-sintingan itu, tenaga dalam
tingkat tinggi tersalur dalam setiap gerakannya. Sesepuh persilatan tanah Jawa macam dia, tentu saja memiliki tenaga dalam sulit dicari tandingan.
Pasir pantai yang bertaburan terdepak kakinya
seketika menjelma menjadi benda-benda kecil maut.
Zes zes zes zes!
Ke segenap penjuru, pasir berhamburan bagai
sehimpun senjata rahasia. Sebagian menembus batang
pohon kelapa di sekitar. Setelah menembus batang
pertama, pasir tadi melesat ke pohon kelapa berikutnya, menembusnya kembali. Dan baru mendekam di
dalam batang pohon keempat! Seluruh pepohonan kelapa naas tadi sudah seperti digerogoti oleh kutu-kutu kecil. Dedengkot Sinting
Kepala Gundul kaget sendiri
setelah mengetahui akibat kemangkelannya.
"Uph, slompret asli! Kenapa aku jadi sinting seperti ini!" Lalu matanya beralih ke arah orang bercaping.
"Itu semua gara-gara kau! Coba kalau tadi ada
binatang tak berdosa atau orang yang kebetulan lewat"
Aku, kan bisa berdosa, tahu"! Dosa, apa kau belum
pernah lihat"!," seperti pernah lihat dosa saja, Dongdongka menyambung omelannya
kembali. Sesaat kemudian baru dia sadar sesuatu.
"E-eh," sentaknya.
Sejak tadi orang bercaping tak kunjung beranjak dari tempatnya. Sejak tadi. Bahkan sampai Dedengkot Sinting Kepala Gundul mencak-mencak dan
menerbangkan pasir. Sementara pasir mengandung
tenaga dalam tinggi berhamburan ke segenap arah.
Tak ada tersisa ruang kosong sampai sejauh satu
jengkal sekalipun. Kalau begitu, mestinya orang itu
sudah terkena pasir.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul waswas juga.
Sampai saat ini, dia belum tahu jelas apakah orang itu dari golongan sesat atau
bukan. Sejengkel apa pun dia
terhadap orang bercaping, tak ada alasan bagi Dedengkot Sinting Kepala Gundul untuk membunuhnya.
Bagaimana kalau pasir maut tadi telah menembus badannya pula" Biar tak sengaja melakukan, tapi tetap
pembunuhan, pikir Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Hey, kau tak apa-apa?" tegur Dedengkot Sinting Kepala Gundul, tak yakin.
Menurut perkiraannya,
tentu orang itu telah mampus. Dia merasa berdosa sekali kalau sampai terjadi.
"Ya."
Mendapat sahutan dari orang bercaping, Dongdongka malah jadi terperanjat.
"Bagaimana bisa kau belum mampus?" tanyanya, serba salah. Belum lama dia mengkhawatirkan orang itu. Sekarang malah bertanya sebaliknya.
Bagaimana tua bangka satu ini"
Buat Dongdongka, pertanyaan itu sudah pantas diajukannya. Sebab dia menyaksikan beberapa batang pohon kelapa di belakang orang bercaping sudah
berlobang-lobang kecil tertembus pasir. Kalau selama
itu orang bercaping tak beranjak dari tempatnya, sudah tentu pasir-pasir itu akan menembus tubuhnya
terlebih dahulu. Dan mestinya, dia sudah mampus sekarang; Mana mungkin dia masih bisa bicara" Atau seperti pertanyaan Dongdongka Bagaimana bisa dia belum mampus"
"Kalau masih bisa bicara, tentu saja artinya
aku masih hidup! Kalau masih hidup, tentu saja aku
masih bisa bicara."
Usai menjawab, orang bercaping terkekeh dengan suara tawa seperti bocah kembali.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul garuk-garuk
kepala klimisnya kuat-kuat. Sampai kulit keringnya
bertambah banyak bertebaran. Sepertinya dia tak
khawatir kalau kulit kepalanya menjadi setipis kulit
bawang. "Mestinya kau sudah mampus, tahu"!" Dongdongka ngotot. "Ah, sudahlah. Kau hanya memperpanjang persoalan kecil saja!"
Persoalan kecil" Persoalan kecil yang bagaimana" Apa nyawa pernah dianggap persoalan kecil" Apa
berhasil lolos dari pasir maut dengan cara yang begitu sulit dipercaya persoalan
kecil" Bibir Dongdongka
menjadi anjlok ke bawah. Melongo tidak, terperangah
tidak. Tampangnya tolol sekali.
Siapa dia" Jangan-jangan, dia salah seorang
patih Kerajaan Laut Selatan bawahan Nyai Roro Kidul"
Bukankah daerah ini termasuk wilayahnya" bisik hati
Dongdongka. Dari duduknya, orang bercaping bangkit. Diselipkan bulu rajawali di ikat pinggangnya.
"Karena kau tak ingin mendengarkan peringatanku, sebaiknya aku pergi," pamitnya. Dia mulai melangkah. Arahnya menuju laut.
Makin membuat curiga
Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Dongdongka masih terdiam.
Jeleknya tak tertolong.
"Jangan terus diam seperti itu, Truna! Hidup
itu tak sepantasnya kau siakan dengan cara berdiam
diri. Seperti kau habiskan malam hanya untuk tidur!"
Hanya sempat melangkah dua tindak, wujud
orang bercaping hilang di ujung ombak yang mendaki
ke permukaan pantai.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tersentak.
Dia baru menyadari satu hal lagi. Orang bercaping penuh teka-teki itu menyebut Truna, nama semasa mudanya.... "Ampuuun...," rengeknya setelah dia mulai menyadari siapa orang tadi. Dia pun
berguling-gulingan di atas pasir seperti bocah 'ngambek' besar.
Kenapa, ya" Sudah telanjur sinting asli dia"
TUJUH "HAI-AI-AIIIII"
Amukan Satria Gendeng sudah tiba di puncaknya. Pada saat seperti itu, terjadilah sesuatu dalam dirinya. Menyebabkan
segenap saraf, aliran darah, dan
otot-ototnya dialiri tenaga sakti yang pada keadaankeadaan tertentu sulit terukur kedahsyatannya. Tenaga dalam tingkat tinggi yang dihasilkan oleh perbauran ramuan Pulau Dedemit
dengan zat langka dari dasar
Laut Selatan! Puncak kemarahannya yang kini terjadi, adalah
kemarahan terbesar yang pernah dialaminya. Asalnya,
tentu saja dari perasaan cinta yang demikian mendalam terhadap Tresnasari. Dengan disakitinya Tresnasari, berarti telah sengaja menyulut sebentuk ledakan
kemarahan amat dahsyat dalam diri Satria Gendeng.
Jika kemarahan si pendekar muda kali ini adalah kemarahan paling memuncak yang pernah dialami,
maka tak pelak lagi tingkat tenaga sakti yang meledak
dalam dirinya pun melebihi kekuatan waktu-waktu sebelumnya! Akibatnya sungguh memukau perempuan tua
bangka yang memiliki pamor besar di dunia persilatan.
Nini Jonggrang menyaksikan dengan mata kepala sendiri sekujur otot di tubuh lawan yang dianggapnya terlalu bau kencur menjadi membengkak. Terlihat sentakan-sentakan seperti dialiri listrik.
Berdenyut-denyut kacau.
Membentuk semacam pipa hidup.
Saling menyilang di balik kulit.
Keringat membanjir cepat dari setiap lobang pori-porinya. Wajah pemuda itu seperti mengalami perubahan. Warnanya sebentar merah matang. Sebentar
kemudian membiru kehijauan. Rahangnya terkunci.
Otot wajahnya kenyal. Parasnya merangas!
Detik-detik berikutnya, Satria Gendeng mulai
pula mengerahkan jurus-jurus ampuh dari Dedengkot
Sinting Kepala Gundul. Jurus yang terlihat demikian
tak karuan, membabi-buta, ganjil, dan terkadang lucu.
Di balik semua itu, terkandung bahaya maut. Jurus
'Mencuri Bunga Karang' yang tak berhasil melabrak
pertahanan Nini Jonggrang dalam gebrakan pertama,
segera digabungkannya dengan jurus 'Dedengkot Gendeng Kegirangan'.
Setiap jurus pada dasarnya memiliki sifat dan
gaya tersendiri. Seperti 'Mencuri Bunga Karang', menekankan pada kecepatan tangan dan capitan jari.
Gayanya adalah menyerang. Sementara, jurus
'Dedengkot Gendeng Kegirangan' menekankan pada
serangan mendadak, gerakan-gerakan tak terduga,
dan pertahanan yang tak teratur.
Dengan begitu, amat sulit menggabungkan dua
jurus yang berbeda sifat dan gaya. Bahkan hal itu tak
jadi soal yang mudah bagi tokoh kelas atas sekalipun.
Untuk membuat gabungan jurus itu menjadi sempurna dan sanggup menjadi senjata berbahaya, dibutuhkan waktu cukup lama.
Bagi si pendekar muda sendiri, hal itu seperti
tak sempat terpikirkan olehnya. Yang berkecamuk bagai topan dalam benaknya saat itu cuma keinginan untuk melenyapkan Nini Jonggrang dari muka bumi.
Kenyataan kalau kini dia sanggup menggabungkan jurus-jurus sulit dalam waktu demikian singkat, disebabkan karena dorongan naluri kependekarannya yang demikian kuat. Seperti pernah dinilai oleh Tabib Sakti Pulau Dedemit
dan Dedengkot Sinting Kepala Gundul, Satria Gendeng memiliki bakat alami untuk menjadi pendekar besar.
Ketajaman nalurinya, dan pengaruh gejolak tenaga sakti yang menyentak saraf-saraf kecerdasan di
otaknya menyebabkan seluruh jurus-jurus yang pernah dipelajarinya teraduk menjadi satu seketika itu ju-ga!
Nini Jonggrang sebagai tokoh kawakan yang
sudah kenal lama dengan Dedengkot Sinting Kepala
Gundul, tentu saja amat hafal gaya jurus-jurus tua
bangka itu. Namun ketika Satria Gendeng memperlihatkan kali ini, Nini Jonggrang sempat terkecoh. Dalam beberapa gerakan lawan, bisa dikenalinya gaya tarung Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Keraguan mendatangi perempuan tua sesat itu
begitu jurus si pemuda berubah gaya kembali. Nini
Jonggrang jadi kurang yakin apakah lawan bau kencurnya mempergunakan jurus-jurus milik Dedengkot
Sinting Kepala Gundul atau bukan.
"Bangsat, aku tahu dia murid si Truna. Tapi,
kenapa gaya jurusnya jauh begitu asing buatku" Sialan!" gumam si Perempuan Pengumpul Bangkai, merutuk. (Seperti diketahui, Nini Jonggrang memang menyebut Dedengkot Sinting Kepala Gundul dengan Tru
Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
na - nama mudanya. Lihat kembali episode sebelumnya : "Iblis Dari Neraka'!).
Selagi si Perempuan Pengumpul Bangkai berceloteh sendiri, lawan mudanya merangsak seperti singa
jantan luka. "Huiiii-aiiiiiiii!"
Masih tetap duduk bersila di atas pucuk sehelai
daun tetumbangan pohon, Nini Jonggrang berniat
memamerkan kembali tingkat tenaga dalamnya. Bagi
orang yang memiliki nama besar seperti dia, pamer kesaktian memberikan kepuasan tersendiri. Seakan dia
sanggup membuktikan pada dunia dari seisinya bahwa
dirinya adalah tokoh nomor satu di atas jagat!
Begitu terjangan tubuh lawan tiba, Nini
Jonggrang melepas teriakan seperti sebelumnya.
"Heaaaaa!"
Glar! Tercipta ledakan keras di udara. Tenaga dalam
yang dilepas oleh Nini Jonggrang melalui suara bertumbukan hebat dengan tenaga sakti Satria Gendeng.
Sekejapan gerak terjangan pemuda itu seperti tersentak. Di luar dugaan si Perempuan Pengumpul
Bangkai, bentrokan tenaga dalam tingkat amat tinggi
tadi tak sanggup memenggal gerak terjangan lawannya. Sementara untuk menghindar, tak ada kesempatan lagi. Jarak antara keduanya sudah terlampau dekat. Dash! Seketika itu juga, tubuh Nini Jonggrang melayang deras ke belakang. Setelah sebelumnya satu
tinju geledek Satria Gendeng bersarang di dadanya.
Tak tanggung-tanggung, tubuhnya melayang sejauh
dua puluh tombak!
Di hamparan rumput, Nini Jonggrang jatuh telentang. "Bangsat," keluhnya sambil memegangi dada.
Dia berusaha bangkit meski teramat sulit. Bagian dalam dadanya seperti digumpali bara. Panas. Menyengat-nyengat. Sesaknya pun seperti hendak memutus
aliran napas. Selagi berusaha bangkit, nenek tua aliran sesat
itu memuntahkan darah kehitaman.
"Tak mungkin," desisnya gontai. Sama sekali
tak dipercayai kejadian yang dialaminya. Sekali lagi,
dia kenal betul dengan Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Kedigdayaan tua bangka bertabiat sintingsintingan itu pun masih bisa diukurnya. Jika gurunya
saja sanggup diukur, tentu muridnya akan lebih mudah lagi. Namun yang dialami Nini Jonggrang sungguh
di luar perkiraan. Tenaga dalam lawan yang bau kencurnya mendadak berlipat entah berapa kali. Perempuan tua itu dapat menilainya beberapa saat terjadi
bentrokan tenaga dalam di udara. Kalau sekarang Nini
Jonggrang dipecundangi, bagaimana mungkin dia masih bisa percaya Satria Gendeng adalah murid Dedengkot Sinting Kepala Gundul"
Tak menanti sampai Perempuan Pengumpul
Bangkai tegak berdiri, Satria Gendeng menggempur
lawannya untuk ke sekian kali. Nini Jonggrang harus
pontang-panting menghadapi gerak cepat dan tak teratur. Serangan Satria Gendeng terkadang melambat seperti seorang kakek tua kekurangan makan. Terkadang segemulai seperti penari wanita.
Sesekali dia melompat-lompat, berjingkatjingkat mencoba membingungkan lawan. Atau berubah
menggebu. Pukulan dan tendangannya membabi-buta.
Saat serangannya cenderung bertumpu pada
jurus-jurus milik Dedengkot Sinting Kepala Gundul,
Nini Jonggrang sanggup meladeni dengan kedigdayaannya selaku tokoh kenamaan rimba persilatan
tanah Jawa. Begitupun saat serangan Satria Gendeng
bertumpu hanya pada jurus-jurus milik Tabib Sakti
Pulau Dedemit. Sewaktu Satria Gendeng membaurkan keduanya, pertahanan Perempuan Pengumpul Bangkai mulai
kedodoran. Beberapa kali nenek tua sakti itu hampir
kecolongan. Lebih jauh lagi, posisinya bahkan didesak
habis-habisan oleh si pendekar muda. Satria Gendeng
memaksa perempuan tua yang punya pamor menakutkan itu pontang-panting berkali-kali.
Jika saat itu ada beberapa orang persilatan,
tentu mata mereka akan terpentang lebar menyaksikan kedahsyatan dan kehebatan tarung dua manusia
beda usia itu. Tidak disangsikan lagi, mereka akan terperangah takjub mengetahui
seorang pemuda kemarin
sore sanggup mendesak Perempuan Pengumpul Bangkai. Mungkin, sebagian di antara mereka tidak akan
mempercayainya.
Sayang, tak ada cukup saksi bagi dunia persilatan untuk kejadian yang menjadi salah satu langkah
awal kelahiran seorang pendekar muda kenamaan tanah Jawa. Pendekar yang akan membuat kegoncangan
besar. Musuh yang paling ditakuti oleh kalangan sesat, Satria Gendeng!
Pada satu kesempatan, Satria Gendeng berhasil
meloloskan satu tamparan keras ke pipi lawannya. Nini Jonggrang terjajar beberapa tombak ke samping.
Badannya hampir saja terpeluntir, jika tidak segera
bertumpu dengan satu kaki.
Bagian wajah biasanya adalah satu sasaran
yang paling dilindungi oleh setiap warga persilatan.
Karena bagian itu dianggap sebagai bagian tubuh yang
dimuliakan. Menampar pipi bisa berarti menampar kehormatan dan harga diri.
Bagi Nini Jonggrang, tak ada seorang pun pernah menempatkan tamparan ke pipinya selama puluhan tahun terakhir. Seperti belum ada seorang pun
yang berani menghinanya. Hari ini, matanya dipaksa
terbuka lebar-lebar. Seorang bocah kemarin sore telah
menampar pipinya dengan telak! Seorang bocah bau
kencur telah melabrak kehormatan dan harga dirinya!
Setelah berjumpalitan gesit beberapa kali
menghindari kucuran serangan Satria Gendeng yang
tak terputus. Perempuan Pengumpul Bangkai mencapai jarak aman. Dia berdiri terbungkuk.
Mengeram. Matanya menghujam tajam. Kemurkaannya
mulai tersulut. Bisa jadi, bagi beberapa kalangan akan sulit untuk memancing
kekalapan tokoh yang banyak
makan asam-garam seperti Nini Jonggrang. Dia bukan
tokoh yang gampang dipermainkan.
Setelah hampir tak pernah ada seorang pun
yang berhasil membuatnya kalap, kini tanpa disadari
dia siap menjadi gelap mata. Itu bisa berarti kerugian besar dalam satu
pertarungan. Apalagi pertarungan
maut. "Hmrrrhh!"
Menggeram lagi.
Sudut bibir yang terboreh darah terungkit, pertanda kebengisan yang buta siap termuntahkan. "Kau akan mampus hari ini juga di
tanganku, Bocah Keparat!!!" Seperti Satria Gendeng, Nini Jonggrang pun ketika
itu juga melupakan rencananya yang sudah demikian matang disusun selama beberapa waktu sebelumnya. Rencana yang dibuatnya bersama sekutunya,
Iblis Dari Neraka.
Semuanya jadi telanjur hancur karena kekalapan tolol. Tolol atau tidak, tampaknya Perempuan Pengumpul Bangkai tak peduli lagi.
Jari tangannya bergetar di depan. Kuku tajam
kehitaman diperlihatkan. Perlahan, tangan keriput perempuan tua terkutuk itu mendekati bagian pinggangnya. Sebelum pertarungan meletus, Nini Jonggrang telah mengikat Kail Naga Samudera di pinggangnya.
Senjata pusaka ampuh itu akan dipergunakannya untuk menyingkirkan Satria Gendeng!
Tiba-tiba, wajah Nini Jonggrang berubah. Dengan mata mendelik, dia melihat pinggangnya. Kail Naga
Samudera sudah tak ada lagi!
Keparat busuk! Kutuknya dalam hati. Mungkin
ketika tubuhnya terlempar jauh akibat hantaman kuat
tenaga dalam Satria Gendeng, Kail Naga Samudera terlepas! Nini Jonggrang menerka-nerka. Tahu kemungkinan tersebut yang paling mendekati, mata Nini
Jonggrang segera menerjang tempatnya terjatuh, mencari-cari. Menyaksikan gelagat lawannya. Satria Gendeng
pun turut mengikuti arah pandangan Nini Jonggrang.
Kail Naga Samudera ditemukan. Tergeletak tepat di tempat Nini Jonggrang terjatuh sebelumnya. Jarak antara Kail Naga Samudera dengan Nini Jonggrang
ternyata tak berbeda jauh dengan jarak Satria Gendeng dengan senjata pusaka itu.
Mata keduanya berbentrokan.
Nyalang. Sama-sama bersiaga pada gerakan lawan sekecil apa pun. Keduanya harus menentukan, siapa yang lebih
cepat merebut Kail Naga Samudera. Siapa yang memiliki kecepatan lebih tinggi, akan mendapatkan senjata
pusaka itu. Samalah artinya bagi mereka untuk mengadu tingkat kemampuan peringan tubuh!
"Kau tak akan sanggup mengungguli tingkat
ilmu peringan tubuhku, Bocah Busuk," cemooh Nini
Jonggrang. Bibirnya menyeringai. Dia merasa Kail Naga Samudera sudah berada dalam genggamannya. Dia
bahkan tak pernah percaya kalau si bocah kemarin
sore dapat mengungguli kecepatannya. Boleh saja dia
memiliki keistimewaan dengan menguasai tenaga dalam tingkat tinggi. Namun dengan usia seperti dia, tak mungkin untuk menguasai
banyak kesaktian sekaligus, nilai Nini Jonggrang.
Namun, penilaian Nini Jonggrang tetap harus
diuji. "Heaaa!"
"Haaaiiiii!!"
Sekedipan mata berbarengan keduanya menggenjot tubuh. Ilmu peringan tubuh dikerahkan tanpa
batas yang pasti, sejauh mereka bisa mengerahkan.
Tubuh keduanya berubah menjadi kelebatan bayangan. Jarak terpangkas.
Dari dua arah berbeda.
Menuju satu titik pasti.
Tep! Dash! Nini Jonggrang membuktikan keunggulannya
dalam ilmu peringan tubuh. Tangannya berhasil lebih
cepat menjemput Kail Naga Samudera di tanah. Tapi,
dia melupakan satu hal. Satria Gendeng tidak pernah
terpikir untuk merebut Kail Naga Samudera. Kecamuk
kekalapannya hanya mengobarkan satu keinginan,
menumpas Nini Jonggrang, orang terkutuk yang telah
melukai kekasih tercintanya!
Kendati telah cepat bergerak, Satria Gendeng
berhasil memanfaatkan perhatian Nini Jonggrang yang
terpusat pada Kail Naga Samudera semata. Begitu tiba
di titik pertemuan, kakinya justru melepas tendangan
mendongkel yang menghantam telak-telak ulu hati lawan! Licikkah" Tidak. Karena semua itu tak pernah
terpikirkan oleh Satria Gendeng sendiri.
Bertepatan dengan tersambarnya Kail Naga
Samudera, tubuh Nini Jonggrang pun melayang deras
jauh ke belakang. Dia jatuh lebih jauh dari akibat hantaman lawan sebelumnya.
Menderita luka jauh lebih
parah pula, menyebabkan perempuan tua sesat itu
hampir kehilangan kesadaran!
DELAPAN "JANGAN coba berpikir macam-macam, Bocah
Keparat!" Sebelum Satria Gendeng bertindak lebih jauh
terhadap Nini Jonggrang, satu bentakan keras menjegal. Mata si pendekar muda perkasa beralih. Disaksikannya seorang yang tak asing lagi, Ki Ageng Sulut.
Dengan kedatangan orang tua sesat itu saja, Satria
Gendeng sudah cukup terkejut. Apalagi manakala disaksikan Mayangseruni berada di bawah ancamannya.
Ki Ageng Sulut berdiri cukup jauh. Jaraknya
dengan Satria Gendeng sekitar dua puluh lima tombak. Mayangseruni berdiri lunglai di depannya. Dari
cara berdiri dan paras wajahnya yang tak berdaya, Satria Gendeng menduga Mayangseruni dalam pengaruh
totokan Ki Ageng Sulut. Tangan Ki Ageng Sulut terlihat menggapit geram leher
gadis itu. Jari-jari tangan yang lain menjapit tenggorokan Mayangseruni.
Gelagatnya, Ki Ageng Sulut tak akan segan-segan memutuskan
tenggorokan sanderanya dengan japitan jari jika Satria Gendeng masih menggempur
Nini Jonggrang.
"Jika aku jadi kau, aku tak akan melanjutkan
serangan terhadap lawanmu itu!" sambung Ki Ageng
Sulut dengan pandangan dan paras mengancam.
"Karena aku dapat menjamin, kalau kau meneruskan, tenggorokan gadis ini akan segera terkoyak
oleh jariku!"
Kendati kemarahan sudah demikian meluapluap hampir kehilangan kendali sama sekali, Satria
Gendeng cepat tersadar akan keselamatan nyawa
Mayangseruni. Sekuat-kuatnya ditekan kembali kemarahan itu sehingga kerongkongannya terasa demikian
sakit. "Kakek terkutuk...," sumpahnya mendesis.
Sesosok bayangan kemudian berkelebat sekitar
sepuluh tombak dari tempat Ki Ageng Sulut, berkawal
teriakan yang sudah cukup lama dikenal Satria Gendeng. "Jangan gegabah, Satria!"
Sekali lagi mata Satria Gendeng beralih. Dite
Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mukannya Ki Kusumo sudah hadir pula di sana.
"Kakek Kusumo," sambut Satria Gendeng, tak
jelas Satria Gendeng tak tahu, apakah dia harus merasa gembira dengan kedatangan salah seorang gurunya itu. Dia bahkan tak begitu yakin Ki Kusumo bisa
membantunya kalau mengingat keadaan Mayangseruni kini. Satu hal yang pasti, keberadaan Ki Kusumo - si Tabib Sakti Pulau
Dedemit - membuat ketegangan
pendekar muda itu sedikit mengendor. Kemarahannya
susut perlahan. Meski tak punah sama sekali.
Nini Jonggrang yang bangkit terseok kontan
memperlihatkan wajah senang. Sudut bibirnya yang
masih dilelehi darah kehitaman segera mengembangkan seringai. Sambil memegangi bagian ulu hatinya
yang mungkin mengalami luka dalam, perempuan tua
sesat itu berujar.
"Bagus, Sulut. Bagus! Otakmu rupanya masih
cukup encer untuk dipergunakan. Sialnya, kenapa tidak sejak tadi kau datang, Kunyuk!"
"Aku hanya ingin mengetahui, apakah kekalahan ku oleh bocah jahanam itu tempo hari dapat kau
cicipi juga. Nyatanya kau memang harus men...."
"Diam kau, Sulut! Aku tak meminta pendapat
memuakkan mu!" hardik Nini Jonggrang, terbatukbatuk. Akibat memaksakan diri untuk membentak, darah kehitaman keluar kembali dari mulutnya.
"Sekarang kau yakin bahwa murid Truna memang tidak bisa dibuat main-main, bukan" Atau kau
belum yakin sampai tendangannya menjebol dada kurus mu"!" susul Ki Ageng Sulut tak puas.
"Kubilang diam kau!" Nini Jonggrang gusar. Ta-pi, dia tak sanggup berbuat apaapa kecuali mengumpat dari menghardik. Melakukan hal itu saja sudah
membuat dia terbatuk-batuk darah.
"Lepaskan dia, Ki Ageng Sulut!" seru Satria
Gendeng, memutuskan perang mulut tua bangka sesat
itu; "Lepaskan?" Ki Ageng Sulut menyeringai. Dili-riknya Nini Jonggrang. "Bagaimana
Jonggrang" Anak bau kencur ini meminta ku melepaskan sandera" Me-nurutmu
bagaimana?"
"Kau jangan banyak mulut, Sulut! Kau tahu
jawabannya!"
Ki Ageng Sulut menatap Satria Gendeng. Lalu
beralih kepada Ki Kusumo yang berusaha untuk mencuri-curi kesempatan merebut Mayangseruni dari tangan Ki Ageng Sulut. Sampai saat itu, Ki Ageng Sulut
tampaknya tak pernah lengah.
"Kau jangan coba-coba berpikir untuk berbuat
macam-macam, Kusumo!" ancam Ki Ageng Sulut. "Kau dan muridmu itu harus mendengar
apa kataku dan menurut. Jika tidak, kau tentu akan menyaksikan bagaimana darah mengucur deras dari leher mulus gadis
ayu ini. Kau tentu tak sudi menyaksikan itu, bukan?"
Ki Kusumo cuma bisa menghela napas, mengikat kegusarannya. Sama dengan Satria Gendeng, posisinya pun sedang terjepit dengan disanderanya
Mayangseruni. Untuk memancing kelengahan, Ki Kusumo
mencoba membuat Ki Ageng Sulut gusar.
"Aku tak bisa percaya. Dua tokoh besar kenamaan seperti kalian hari ini harus menghadapi kenyataan bahwa kalian hanya memiliki nyali seekor kodok
buduk! Kendati julukan kalian besar, kalian tak memiliki harga diri!"
"Kau pun diam, Kusumo! Aku tak punya waktu
untuk mendengarkan khotbahmu!" sergah Nini
Jonggrang. Ki Kusumo cuma bisa mengangkat bahu perlahan. Tampaknya dia tadi tak menyadari kalau nama
besar tak menjamin bisa merubah sifat seseorang. Jika
dasarnya memang sudah busuk, tetap akan busuk.
Seekor monyet tak akan bisa berubah menjadi peri
hanya karena mendapat mahkota! Apalagi nama besar
Iblis Dari Neraka dan Perempuan Pengumpul Bangkai
dibangun dengan cara-cara iblis. Kelicikan adalah salah satunya. Dan kapankah kelicikan memandang sikap tak satria atau harga diri"
"Sekarang, dengarkan aku!" mulai Nini
Jonggrang kembali "Pergilah kau dari tempat ini, Kusumo! Jangan coba-coba
memunculkan batang hidung
sedikit pun pada kami. Karena jika kau melakukannya, Sulut tak akan segan-segan membunuh perawan
di tangannya. Katakan pada si Truna, bahwa murid
kesayangannya akan merasakan siksaan yang kuterima di Goa Sewu!"
(Pada episode "Iblis Dan Neraka", dijelaskan bahwa Nini Jonggrang menerima
hukuman dari Pertapa Sakti Gunung Sewu, gurunya, karena perbuatan
sesat yang telah dilakukan. Dedengkot Sinting Kepala
Gundul (Truna) sebagai saudara kembarnya waktu itu,
telah menggiringnya untuk menerima hukuman tersebut. Sampai kini, Nini Jonggrang menyimpan dendam
pada Dedengkot Sinting Kepala Gundul. Untuk membalas secara langsung, Nini Jonggrang tak cukup
mampu, karena masih tetap memendam rasa cinta pada bekas saudara seperguruannya itu).
*** Hari menjelang pagi.
Matahari bertamu kembali di angkasa daerah
Tanjung Karangbolong. Sentuhan sinarnya sampai di
batas-batas ombak. Segerombolan burung camar memekik-mekik menyambut kedatangan hari baru.
Dedengkot Sinting Kepala Gundul tak bisa melanjutkan tidurnya yang terpotong semalam, sejak kedatangan seseorang bercaping tak dikenal. Yang dilakukannya kini malah duduk terbengong-bengong.
Tangannya bertopang dagu. Wajahnya kusut, sekusut
kerutan keningnya.
"Aduh, Eyang Guru. Ampuni aku. Mataku benar-benar buta semalam. Eyang Guru...."
Seperti orang mengigau, sesepuh persilatan tanah Jawa itu bergumam sendiri. Mata kelabunya terlepas kosong ke satu arah. Hampir-hampir tak pernah
berkedip. "Kenapa aku jadi begitu tolol" Kenapa aku jadi
begitu tolol, Eyang Guru?"
Berkali-kali sudah keluar ucapan 'Eyang Guru'
dari mulutnya. Seluruh gumamannya jelas berkaitan
erat dengan peristiwa semalam. Kalau sekarang dia lebih banyak mengucapkan kata itu, tentu pula ada sebabnya. Bagi Dongdongka alias Truna alias Dedengkot
Sinting Kepala Gundul, penyebabnya sudah jelas. Kuat
keyakinan Dongdongka, bahwa lelaki semalam adalah
Pertapa Sakti Gunung Sewu, eyang gurunya sendiri.
Terbayang-bayang kembali dalam otak tua yang
nyaris tumpul milik Dongdongka, wajah Pertapa Sakti
Gunung Sewu yang telah berpuluh tahun tak dijumpainya. Seorang yang dari waktu ke waktu tak pernah
mengalami ketuaan pada wajahnya. Tampan dan bersih, dengan binar mata jenaka seorang bocah polos.
Ada juga kesan kebodoh-bodohan pada garis-garis wajahnya. Rambutnya panjang. Hitam, terawat, dan tergerai. Mengenakan kain pengikat berwarna ungu, menutupi separuh kepala bagian atasnya. Mengenakan
pakaian sederhana berwarna serupa dengan pengikat
kepala. Kendati sederhana, namun licin sekaligus bersih. Pada kain ikat pinggang berwarna merah, terselip
satu helai bulu rajawali sepanjang dua jengkal.
Dan di luar pengetahuan Dedengkot Sinting
Kepala Gundul sendiri, Pertapa Sakti Gunung Sewu
seperti yang terngiang-ngiang di kepalanya telah bertemu pula dengan Ki Ageng Sulut dan Ki Kusumo di
Wadaslintang. Padahal, ketika Pertapa Sakti Gunung
Sewu mengunjungi Dongdongka, bertepatan waktunya
dengan kehadirannya di Wadaslintang. Tentu saja hal
itu karena satu ajian yang telah diwariskan kepada
Dongdongka, ajian 'Melepas Sukma'!
"Eyang Guru!!"
Dongdongka berteriak. Dia sedang sebal setengah modar pada dirinya. Sebal karena tak sempat menyadari kunjungan gurunya. Pada usia setua dia, mestinya dia memiliki penilaian yang lebih cermat. Tidak
main bentak sana bentak sini pada orang yang telah
mengganggu tidur malamnya. Sekarang, kalau orang
yang dibentak-betak semalam adalah eyang gurunya
sendiri, baru dia tahu rasa!
Dongdongka bangkit. Dia mondar-mandir di
atas pasir. Kedua tangannya tak pernah berhenti bergerak, mengiringi sumpah serapah tak putus-putus,
mengutuki diri sendiri.
Tak puas sampai di situ, Dedengkot Sinting Kepala Gundul pun membentur-benturkan kepalanya
dengan dahan pohon kelapa. Maksudnya mau menghukum diri. Sayangnya, batok kepala manusia karatan
itu ternyata jauh lebih keras dari dahan kelapa. Walhasil, justru batang kelapa jadi mencekung dalam. Beberapa butir kelapa sempat jatuh karena getaran hebat. Salah satunya menimpa kepala klimis Dongdongka. Orang tua bertabiat sinting-sintingan itu berharap kepalanya akan pecah
terbelah dua. Sayangnya lagi,
buah kelapa itu yang malah hancur berantakan.
Tak terasa, sudah dua puluh lima batang pohon kelapa menjadi korban!
Sampai uring-uringan Dongdongka terhenti
mendadak ketika matanya menyaksikan seseorang telah duduk membelakangi di bawah pohon terakhir
yang sedang ditandukinya. Seorang yang semalam
mengunjunginya, sekaligus menggangu tidurnya.
Mata si tua sinting itu mendadak berbinarbinar. Cerah bak mentari pagi yang terus menanjak.
"Eyang. Guru!"
Cepat-cepat Dongdongka berlari ke hadapan
orang yang ternyata Pertapa Sakti Gunung Sewu.
Orang tua sakti yang usianya amat jauh di atas Dongdongka namun tetap awet muda itu sedang santai berkipas-kipas dengan capingnya.
Di depan Pertapa Sakti Gunung Sewu, Dongdongka bersujud sambil menangis meraung-raung. Seperti gadis kembang desa yang hendak dijodohkan
dengan buto ijo! Sedikit pun dia tak berani mengangkat wajah. Tak peduli pasir pantai tertelan ke dalam
mulut. "Whuaaa whuaa ihik, ampun Eyang Guru! Semalam aku benar-benar tak tahu diri. Betapa keterlaluannya aku, ya" Masa Guru sendiri sampai tak dikenali. Huaaa hik hik!"
"Jangan seperti anak kecil Truna." Suara eyang gurunya sudah berpindah di
belakang Dedengkot Sinting Kepala Gundul segera mendongakkan kepala. Guru
besarnya memang sudah tak ada lagi di depannya.
Ketika Dongdongka menoleh, disaksikan Pertapa Sakti Gunung Sewu sudah duduk. Persis di depan
pantatnya! Kontan mata Dongdongka mendelik nyaris
melompat keluar. Wajah orang tua yang sudah dianggap sesepuh di antara sesepuh persilatan tanah Jawa
itu jadi sepucat bangkai. Kualat benar dia! Masa' guru dipantati"
Buru-buru dia membalikkan posisi sujudnya.
Raungnya tambah menjadi-jadi, merasa dosanya sudah bertambah lagi
"Ampooooon, benar-benar ampooooon, Eyang
Guru. Huaa whuaa aung aung!"
"Sudan kukatakan, jangan bersikap seperti
anak kecil seperti itu, Truna!"
Terdengar lagi suara jernih seperti milik bocah.
Dan suara Pertapa Sakti Gunung Sewu sudah pindah
kembali ke belakang Dongdongka.
Astaga! Dongdongka terkesiap untuk yang kesekian kalinya. Pasti dia sudah memantati kembali
eyang gurunya. Tanpa banyak pikir ini itu langsung
saja si orang tua sinting membalikkan posisi sujudnya.
Ada yang tersentuh hidung Dongdongka. Sepasang kaki orang berdiri.
Pasti kaki Eyang Guru, pikir Dongdongka. Tak
ayal lagi, Dongdongka segera menciumi kaki itu bertubi-tubi. Raungnya tak pernah mau dihentikan! Pantang! Sampai raungan Dedengkot Sinting Kepala Gundul harus direm mendadak ketika mendengar suara
orang yang diciumi kakinya berbeda dengan suara Pertama Sakti Gunung Sewu.
"Orang tua, orang tua! Apa yang terjadi pada dirimu?" Dongdongka mendongak dengan wajah melompong. Kaki yang diciuminya dengan kelewat khidmat
ternyata milik seorang penduduk desa yang kebetulan
melewati tempat itu! Seorang lelaki dekil yang biasa
memetik buah kelapa untuk dijual ke kotapraja!
Minta ampun! Pantas kakinya bau kotoran kerbau! rutuk Dedengkot Sinting Kepala Gundul geram.
Rasanya dia ingin menghajar congor lelaki desa yang
maju karena terheran-heran itu!
Tanpa mempedulikan lelaki desa yang masih
saja 'pelanga-pelongo', Dedengkot Sinting Kepala Gundul mencari-cari ke mana eyang gurunya pergi. Nah itu
dia, sedang berjalan santai menuju selatan!
Buru-buru Dedengkot Sinting Kepala Gundul
mengejar. "Tak perlu kau bersujud lagi padaku, Truna!"
cegah Pertapa Sakti Gunung Sewu, menahan Dongdongka yang hendak memulai sembah sujud 'setengah
miring'nya. "Kenapa, Eyang Guru" Kenapa" Aku memang
bersalah semalam dan hari ini. Tapi, janganlah kau
menghukum aku dengan tidak menganggap aku mu
Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ridmu lagi. Jangan, ya Eyang Guru?" tanya Dongdong-ka, mendayu-dayu sambil
berjalan membungkukbungkuk di belakang Pertapa Sakti Gunung Sewu.
"Bukan begitu. Sejak aku memutuskan untuk
turun gunung, aku telah menyadari sesuatu. Manusia
tak bisa menyembah manusia lain. Kendati gurumu,
jangan jadikan aku seperti Dewa. Aku tetap manusia
biasa...."
Dongdongka manggut-manggut. Raungannya
sudah aman. Matanya bahkan sudah kering. Atau,
memang begitu caranya menangis" Tak pernah keluar
airmata" "Syukurlah kalau ternyata Eyang Guru tak
menghukum aku. Syukur... syukur. Lalu, kenapa
Eyang Guru memutuskan untuk turun gunung sekarang ini?"
Pertapa Sakti Gunung Sewu terus melangkah.
"Ada beberapa hal yang harus segera kubenahi
sebelum aku mati."
"Aaa, Eyang Guru jangan mati dulu! Aku saja
muridmu tak pernah-pernah kesampaian...."
"Dengarkan aku dulu, Truna."
"Oh, iya iya."
"Aku turun gunung karena dua hal penting,"
mulai Pertapa Sakti Gunung Sewu kembali. "Pertama, karena aku ingin berguru
dengan seseorang...."
Dongdongka melongo. Eyang gurunya hendak
berguru lagi" Apa-apaan ini" Manusia sesakti dia mestinya tak perlu banyak berguru lagi! Dongdongka sendiri sudah bosan menambah kesaktian! Ini jadi terdengar aneh bin ganjil bin ajaib bin Saimin!
"Berguru, Eyang?"
"Ya. Kudengar, ada seseorang yang begitu mulia
di Bintoro Demak."
"Siapa orang itu, Eyang. Dan apa yang ingin
Eyang pelajari dari orang itu?"
"Aku tak begitu jelas dengan namanya. Menurut wangsit yang kuterima, orang itu adalah salah seorang yang amat dekat dengan Sultan Demak. Pada beliau, aku ingin berguru ilmu 'Makrifat'."
"Ilmu 'Makrifat', Eyang?"
"Ilmu yang tak akan didapat kecuali dengan
mencapai pengenalan diri secara menyeluruh dan
mengenal Tuhan...."
Dongdongka menggeleng-geleng. Kepalanya
pusing tujuh keliling. Dia tak mengerti.
"Lalu bagaimana dengan tujuan kedua Eyang
turun gunung?" tanyanya.
"Tentang Jonggrang."
Jonggrang lagi, rutuk Dongdongka. Selalu saja
perempuan jelek itu bikin perkara.
"Jonggrang telah menganut ilmu sesat. Ilmu sesat itu didapatnya dari salah seorang perempuan musuh lamaku yang telah mati. Kematiannya, tidak menyertakan kematian ilmunya. Sebagian ilmu sesatnya
telah diturunkan kepada Jonggrang. Namun ada intiinti ilmu iblisnya yang akan dititiskan langsung pada
Jonggrang. Untuk itu, dia harus menanti agar
Jonggrang berusia lebih dari seratus lima puluh tahun...." "Aku tak tahu berapa usia Jonggrang, Eyang..
Usiaku saja aku tak tahu jelas."
"Besok malam, menurut penglihatan mata batinku, Jonggrang akan dititisi inti ilmu sesat gurunya.
Aku berpesan padamu, cegahlah dia. Jangan sampai
dia menerima inti ilmu sesat itu."
"Caranya, Eyang?"
"Temukan dalam diri muridmu!"
Dongdongka garuk-garuk kepala. Apa hubungannya Satria Gendeng dengan semua ini" Apa maksud perkataan terakhir Eyang Guru. Dongdongka baru
hendak membuka mulut menanyakan hal itu. Tapi,
Pertapa Sakti Gunung Sewu sudah tak tampak lagi.
Semenjak kepergian gurunya, Dedengkot Sinting Kepala Gundul terus terombang-ambing kebingungan memikirkan pesan terakhir Pertapa Sakti Gunung
Sewu. Otaknya memang agak telat mikir selama dia
begitu merindukan kematian. Barangkali juga memang
sudah dari sananya
"Kenapa Eyang Guru jadi menghubunghubungkan penitisan ilmu sesat si Jonggrang dengan
Satria. Apa urusannya dengan murid gendengku itu"
Apa jangan-jangan aku salah dengar atau bagaimana"
Ah, perasaan kupingku masih waras-waras saja sampai sekarang...."
Sudah berkali-kali Dedengkot Sinting Kepala
Gundul menggaruk-garuk kepala. Berkali-kali. Bosan
menggaruk-garuk kepala, dia meneruskan dengan
menggaruk-garuk dengkul, lalu perut, lalu pantat. Tak
sekalian saja.... Sepanjang siang itu, terus saja dia
ngalor-ngidul di pantai. Ke sini salah. Ke sana salah.
Tak ke mana-mana, juga salah. Gubuk sebagai tempat
yang begitu nyaman bagi orang bosan hidup macam
dia, jadi terasa membuat gerah dirinya saja.
Sementara terus kebingungan, waktu mengendap-endap tak tertahan. Bodoh benar Dedengkot Sinting Kepala Gundul kalau dia terus saja kebingungan.
Jika malam menjelang dan dia masih tetap begitu, pesan gurunya untuk mencegah Nini Jonggrang menerima penitisan inti ilmu hitam, bakalan tak terlaksana.
Pikir punya pikir, akhirnya Dedengkot Sinting
Kepala Gundul memutuskan untuk segera menyusul
Satria Gendeng ke Gunung Sumbing.
Gunung Sumbing" Tepatkah tempat yang hendak dituju sang sesepuh persilatan tanah Jawa satu
ini" SEMBILAN GUNUNG Sewu. Di sebelah tenggara gunung itu
terdapat goa besar tempat dahulu Nini Jonggrang menjalani hukuman dari gurunya, Pertapa Sakti Gunung
Sewu. Malam telah bertandang kembali, entah untuk
yang keberapa kali selama usia bumi. Bulan sabit menyipit di antara kepungan awan kelabu. Seperti pesan
Pertapa Sakti Gunung Sewu, malam itulah Nini
Jonggrang akan menerima penitisan inti ilmu sesat dari mendiang gurunya!
Satria Gendeng digiring ke sana oleh Ki Ageng
Sulut dan Nini Jonggrang. Sesuai dengan keinginan si
perempuan tua sesat, Satria Gendeng akan menjadi
pelampiasan dendam buta yang sejak lama dipendamnya. Goa Gunung Sewu sengaja dipilih karena Nini
Jonggrang menginginkan penderitaan yang tahu nanti
akan diterima murid Dongdongka itu seperti penderitaan yang dulu diterimanya dalam Goa Sewu.
Dan tampaknya, Nini Jonggrang telah lebih dahulu mengetahui daripada Dongdongka bahwa Pertapa
Sakti Gunung Sewu telah meninggalkan tempat. pertapanya itu. Karenanya, tua bangka ahli tenung itu berani mendatangi Goa Sewu.
Mayangseruni masih dalam genggaman Ki
Ageng Sulut. Dia masih dalam pengaruh totokan. Tubuhnya yang lemah lunglai dibopong oleh Ki Ageng Sulut hingga ke Goa Sewu. Sementara Tresnasari dibopong oleh Nini Jonggrang. Gadis yang mengalami luka
dalam cukup parah akibat hantaman Nini Jonggrang
masih tak sadarkan diri.
Sebelum berangkat ke Goa Sewu, Nini
Jonggrang sempat mengobati luka dalamnya. Satria
Gendeng tidak dapat berbuat banyak, kecuali menyaksikan saja Nini Jonggrang bersemadi mengatur peredaran hawa murni dalam tubuhnya. Jika macam-macam,
tangan kejam Ki Ageng Sulut akan memagut lepas
nyawa Mayangseruni.
Sementara itu, Ki Kusumo pun tak punya pilihan lain kecuali menuruti perintah si Perempuan Pengumpul Bangkai untuk segera meninggalkan Wadaslintang. Namun, dia tak begitu bodoh untuk benar-benar
menyingkir. Dari jarak yang dianggap cukup aman, Ki
Kusumo bersembunyi dan menguntit hati-hati perjalanan mereka ke Goa Sewu.
"Sekarang, aku tidak peduli lagi pada sumpahku padamu, Bocah Busuk. Kau yang telah membuat
aku menjadi marah besar! Sekarang, kau harus menerima pengaruh tenung ku tanpa bisa membebaskan
kekasihmu dari tanganku! Biar kau tahu rasa! Biar
kau tahu, Perempuan Pengumpul Bangkai tak bisa
kau buat main-main!" mulai Nini Jonggrang seraya
menurunkan tubuh Tresnasari kasar ke tanah. Ketika
itu, mereka sudah tiba di mulut Goa Sewu, Nini
Jonggrang berdiri persis di depan goa. Satria Gendeng
berdiri berhadapan dengannya dalam jarak lima tombak. Sementara Ki Ageng Sulut di belakang Satria
Gendeng, setiap saat siap untuk membunuh sanderanya. "Sulut! Hancurkan leher gadis itu sehancur-hancurnya kalau Bocah Jahanam
ini hendak macammacam!" lanjutnya seraya melepas pandangan kepada Ki Ageng Sulut.
Ki Ageng Sulut hanya mengangguk sekali. Tak
perlu diperintah pun, dia sudah sangat paham apa
yang mesti dilakukannya.
"Nah, Bocah Jahanam. Bersiaplah!" tukas Nini Jonggrang disusul tawa terkikiknya
yang mencelat masuk ke dalam goa, melahirkan gema yang bersahutan
dan kian menjauh.
Satria Gendeng tegang.
Sekujur dirinya seperti direjang dari dalam. Tak
mungkin lagi baginya menjalankan siasat yang sebelumnya terpikirkan. Tak mungkin lagi baginya mengerahkan ajian 'Melepas Sukma' untuk mengecoh tenung
si Perempuan Pengumpul Bangkai. Tak mungkin.
Tegang menanjak.
Nini Jonggrang memekik. Mengangkat tangannya tinggi-tinggi ke angkasa. Siap membangun kembali
upacara penuh hawa magis dari dasar alam kegelapan.
Menggidikkan. Mencabik nyali.
Ki Kusumo yang menanti di balik satu pohon
besar di kejauhan pun tak urung terbawa suasana
yang terus mencekam keras-keras. Harus ada yang diperbuatnya, jika tidak muridnya akan menjadi mangsa
tenung Nini Jonggrang.
Tapi, apa yang bisa dilakukan" Sementara Ki
Ageng Sulut seperti menggenggam nyawa Mayangseruni dalam telapak tangannya. Mungkinkah dia terpaksa
harus membokong" Apakah nanti tindakan itu tak
membahayakan nyawa Mayangseruni! Bedebah!
Ki Kusumo meremas geram telapak tangan. Betapa bencinya dia dalam keadaan tak berdaya seperti
itu. Seperti tak berdayanya Satria Gendeng.
Dalam keadaan genting layaknya telur di ujung
tanduk, mendadak saja....
"Heaaa!!!"
Clep! "Aaaa!"
Satria Gendeng terkejut. Ki Ageng Sulut terkejut. Juga Ki Kusumo di kejauhan sana. Hanya Nini
Jonggrang yang tidak. Lebih dari itu, si Perempuan
Pengumpul Bangkai justru disengat rasa sakit teramat
sangat di bagian pahanya. Karenanya dia melengkingkan teriakan di luar mantera-manteranya yang seketika terpancung. Tresnasari, gadis yang sejak lama seperti tak
sadarkan diri itu mendadak menghujamkan sepasang
belati kecil dari balik bajunya ke paha kiri dan kanan Perempuan Pengumpul
Bangkai. Belati yang telah la-ma tak digunakan. Senjata kecil yang sering
dipergu- nakannya ketika masih bersama Nyai Cemarawangi!
Senjata yang begitu dikenali Satria Gendeng sejak dahulu. Tak disadari seorang pun, rupanya gadis itu telah siuman sejak lama di Wadaslintang. Ketika itu, lamat dia mendengar kedatangan Ki Ageng Sulut dan Ki
Kusumo. Mendengar Mayangseruni disandera oleh Ki
Ageng Sulut, Tresnasari memutuskan untuk tetap berpura-pura pingsan. Jika ada kesempatan, dia akan
bertindak tanpa diduga-duga. Hanya itu yang dapat
membebaskan Mayangseruni. Hanya tindakan cepat
yang tak terduga!
Tanpa memberi kesempatan bagi Nini
Jonggrang untuk menyadari apa yang terjadi, Tresnasari mencabut belati dari paha mangsanya
Bres! Dengan lincah bagai seekor anak kera, tubuhnya berguling beberapa tombak, lantas mencelat ke
atas. Di udara, tangannya berkelebat lagi, melemparkan sepasang belati bermandi darah ke arah Ki Ageng
Sulut. Sejak lama, Satria mengenal Tresnasari sebagai
ahli pelempar belati. Sasarannya jarang sekali luput.
Bahkan dia sanggup membelah dua batang bambu sebesar kelingking dengan lemparan belatinya. Jika belatinya kali ini mengarah ke sepasang mata Ki Ageng Sulut, tak diragukan lagi benda tajam itu akan mengarah
tepat menuju sasaran, kendati begitu, adalah tindakan
berani dilakukan Tresnasari. Sebab jika keliru membuat perhitungan, justru Mayangseruni yang menjadi
korban! Tindakan tak terduga-duga Tresnasari membuat Ki Ageng Sulut sempat tercengang. Untuk sepersekian kejap mata, dia jadi melupakan sanderanya
sendiri. Begitu menyadari ada sepasang benda tajam
melesat menuju kepalanya, Ki Ageng Sulut menjadi
terkesiap. Secara tak sengaja, dia melepaskan Mayangseruni untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari terkaman sepasang belati Tresnasari.
Mayangseruni terlempar.
Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tubuhnya berguling di tanah menurun.
Saatnya bagi Satria Gendeng untuk bertindak!
Wrrr! Sekali sentak, tubuh Satria Gendeng melayang
cepat menyusul Mayangseruni.
Nini Jonggrang tak bisa membiarkan begitu saja. Rasa sakit di pahanya telah sanggup dikuasai. Perhatiannya kini bisa dipusatkan kembali ke arah kancah kekacauan. Kekacauan memang telah berlangsung
demikian cepat. Tak meleset perhitungan Tresnasari.
Tindakan cepat tak terduga seperti rencananya, telah
memporak-porandakan kemenangan sementara si Perempuan Pengumpul Bangkai dan Iblis Dari Neraka!
Nini Jonggrang berteriak bagai auman singa betina tua. "Khuuaaaa!"
Wikh wiikh wikh wiikh!
Dengan nekat dan amat menggidikkan bagi siapa pun yang menyaksikannya, Nini Jonggrang melepas
lima kuku jari tangan kanannya dengan sengaja. Sentakan tenaga dalam yang disalurkan kelewat batas
menyebabkan kelima jari hitam itu meluncur bagai taring-taring setan terbang!
Lompatan Satria Gendeng dikejarnya.
Bengis! Sepanjang lintasan kelima kuku hitam itu, udara menjadi terbakar. Asap tipis membentang panjang.
Deras. "Satria awas!!!"
Sekelebatan bayangan meluruk tak kalah cepat
dengan lesatan lima kuku jari maut milik Perempuan
Pengumpul Bangkai. Kelebatan yang memapas langsung lintasan kuku-kuku itu. Bagai halilintar memangkas angin ribut!
Hanya tinggal berjarak satu jari dari bokong Satria Gendeng yang tak menyadari datangnya bahaya
maut, kelima kuku itu berpentalan ke segala arah, dipapas oleh dua batang logam.
Tring tring! Lalu, kelebatan bayangan itu menukik turun.
Berdiri di tengah-tengah kekacauan tepat di belakang Tresnasari. Orang itu tentu saja Ki Kusumo,
Tabib Sakti Pulau Dedemit!
Tampaknya kekacauan akan segera berubah
menjadi adu kedigdayaan maut antara dua aliran berseteru. *** Dengan mengandalkan pengerahan segenap ilmu meringankan tubuhnya, Dedengkot Sinting Kepala
Gundul memang tiba sebelum malam di tempat tujuan. Namun di sana, dia cuma bisa meneruskan kerja
menggaruk-garuk. Tak ditemukan siapa-siapa di sana.
Masalahnya memang bukan karena 'tak bisa' menemukan, melainkan 'tak mungkin' menemukan. Mana
mungkin dia menemukan muridnya atau Nini
Jonggrang di sana, sementara mereka sedang berada
di Gunung Sewu"
Seluruh bagian gunung sudah dicarinya.
Puncak sudah. Lereng juga. Kaki gunung pun tak lupa.
Kalau gunung punya ketiak dan selangkangan,
pasti disatroni sekalian. Namun sampai Dedengkot
Sinting Kepala Gundul mengobrak-abrik 'sarang' Nini
Jonggrang di jurang Gunung Sumbing, tetap tak ditemukan orang-orang yang dicarinya.
Waktu tak pernah istirahat. Gerbang malam
makin dekat untuk terlewat. Senja sudah memiliki
warna jingganya. Makin dekat saja saat di mana Nini
Jonggrang menjelma menjadi iblis perempuan. Jika
Dedengkot Sinting Kepala Gundul terlambat, bisa saja
malam nanti menjadi malam petaka!
Setelah agak senewen mencari, barulah tua
bangka itu mulai menyadari sesuatu.
"Eh, slompret! Aku ingat sekarang. Dulu, si
Jonggrang mengancam muridku. Dia ingin melampiaskan dendam ku melalui diri Cah Gendeng itu.
Jonggrang Jelek dendam padaku karena aku yang
memaksanya pulang ke Gunung Sewu. Di sana dia
mendapat hukuman. Kalau begitu, bukan tak mungkin
Jonggrang Jelek ingin melampiaskan dendamnya di
tempat yang sama sewaktu dia mendapat hukuman!"
gumam Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Iya ya!" tukasnya seraya meninju jidat sendiri.
"Kenapa aku jadi begitu tolol. Pasti Jonggrang
Jelek telah membawa muridku ke sana! Pasti, tahu!"
Karena waktu sudah sangat mendesak. Dedengkot Sinting Kepala Gundul langsung menggenjot
kembali ilmu meringankan tubuhnya menuju Gunung
Sewu. SEPULUH PERTARUNGAN di depan mulut Goa Sewu tak
dapat terelakkan lagi. Keadaan telah berubah sama
sekali dari sebelumnya. Satria Gendeng, Ki Kusumo
dan dua gadis bersaudara kembar yang bersama mereka tak lagi dalam keadaan terjepit. Mayangseruni telah bebas dari sandera Ki Ageng Sulut. Gadis itu kini
telah dibebaskan dari pengaruh totokan oleh Satria
Gendeng. Di bawah satu batang pohon besar yang cukup jauh dari mulut goa, dia hanya menjadi penonton
tunggal dua kancah pertarungan sengit.
Satu kancah, Satria Gendeng bertukar jurusjurus maut dengan si Perempuan Pengumpul Bangkai.
Lain kancah, Ki Ageng Sulut menghadapi Ki Kusumo.
Biarpun pada pertarungan terakhir dengan lawannya
tabib kenamaan tanah Jawa itu kehilangan sepasang
kaki, tak tampak kegentaran pada dirinya. Ki Kusumo
sadar, kemungkinan menelan kekalahan yang lebih
parah bisa saja menimpanya kembali mengingat Iblis
Dari Neraka tetap berada beberapa tingkat di atasnya.
Namun, ada sedikit keyakinan dalam diri Ki Kusumo,
bahwa penyakit yang diderita Ki Agung Sulut kemungkinan besar pun menjadi kunci kemenangannya.
"Jika kudapatkan, kau tak akan kuampuni,
Murid Murtad!" seru Nini Jonggrang yang kini dalam gempuran habis-habisan si
pendekar muda. Benar-benar Perempuan Pengumpul Bangkai dibuat kalap
oleh muridnya. Karena ulah muridnya itu, niat untuk
menguasai Satria Gendeng di bawah tenung sesatnya
menjadi hancur berantakan.
Semua itu terjadi karena Nini Jonggrang telah
keliru menilai kemampuan murid perempuannya. Selama menjadi murid Perempuan Pengumpul Bangkai,
Tresnasari diam-diam mencuri-curi beberapa ilmu kesaktian yang tak diturunkan. Nini Jonggrang biasa meletakkan beberapa kitab ilmu olah kanuragannya di
tempat rahasia dalam Goa Jurang Gunung Sumbing.
Suatu hari Tresnasari sempat memergoki Perempuan
Pengumpul Bangkai mengambil satu kitab tenung dari
tempat rahasia tersebut. Lalu tanpa sepengetahuan
guru sesatnya, Tresnasari mencuri isi beberapa kitab
dan dipelajarinya sendiri.
Itu sebabnya, pukulan Perempuan Pengumpul
Bangkai di Wadaslintang tak berakibat parah terhadap
diri Tresnasari. Kebetulan, pukulan itu adalah salah
satu ilmu tenaga dalam yang dicurinya.
"Tresna, bawalah Mayangseruni menyingkir dari tempat ini!" seru Satria Gendeng, mengimbangi ancaman sengit Nini Jonggrang.
Tak perlu dua kali diperingati, Tresnasari segera memapah saudara kembarnya meninggalkan tempat
tersebut. "Tak semudah itu kau menyingkir, Murid Jahanam!" teriak Nini Jonggrang kalap bukan main, Nini Jonggrang berjuang untuk
melepaskan diri dari hujanan serangan Satria Gendeng. Tubuhnya digenjot hendak menghadang Tresnasari dan Mayangseruni.
Dengan ketat, Satria Gendeng merapatkan serangan, mencoba membendung usaha lawan.
Nini Jonggrang makin dibuat kalap.
Sementara, malam kian terlelap.
Hal yang paling ditakuti Dedengkot Sinting Kepala Gundul malam itu akhirnya terjadi juga. Apa lacur, orang tua sakti yang harus tiba sebelum tengah
malam, tak kunjung-kunjung tiba
Tepat tengah malam menjejak pada detiknya,
sekelebat cahaya merah menyilaukan membelah langit
kelam. Bagai bintang jatuh berekor panjang, cahaya
itu menukik amat deras dan tajam menuju Nini
Jonggrang. Nini Jonggrang sendiri luput menyadari
kedatangannya. Hingga.... Ssss! "Ngiiii!"
Tubuh Satria Gendeng terpental amat jauh. Melintas di atas kancah pertarungan Ki Kusumo dan Ki
Ageng Sulut! Menyusul desisan amat kuat seperti berasal dari moncong seribu naga, si Perempuan Pengumpul
Bangkai menjerit sejadi-jadinya. Tubuhnya tersengat
kaku. Beberapa saat berselang, di sekujur tubuhnya
muncul semacam pendaran cahaya halus semerah darah namun menusuk mata. Cahaya halus itu merambat dan mengembang keluar dari tubuh Nini
Jonggrang. Sedangkan tubuh si perempuan tua sesat
bergetar. Kian lama getaran tubuhnya kian kentara.
Sampai akhirnya...
Seperti datang dari pusat bumi, angin tiba-tiba
bertiup amat kencang. Anehnya, hanya di daerah sekitar Goa Sewu. Seketika, angin itu membentuk pusaran
yang menyerupai angin puting beliung. Menerbangkan
daun-daun, ranting-ranting kering, rerumputan, dan
apa-apa yang bisa disapunya. Bahkan pepohonan besar yang tidak bisa tertahan dengan akarnya lagi! Semuanya diterbangkan ke pusat pusaran tepat di tengah-tengah batang besar pohon tua.
Kendati dalam pertarungan sengit, Ki Ageng
Sulut dan Ki Kusumo langsung melompat menjaga jarak. Keduanya sama-sama dikejutkan. Apa yang sedang berlangsung" tanya hati masing-masing.
Tresnasari dan Mayangseruni berhenti. Menoleh dengan wajah tercengang.
Satria Gendeng bangkit mengeluh. Matanya tak
berkedip begitu menyaksikan lawannya. Iblis dari langit mana yang telah merasuki dirinya" Perangah si
pendekar muda. Begitu angin reda, terlihatlah wujud menyeramkan Nini Jonggrang yang baru. Seorang nenek
yang sekujur kulitnya dipenuhi sisik! Lidahnya memanjang dua jengkal seperti lidah seekor ular....
"Hi hiii hi hiiii!"
Pekat. Tawa Perempuan Pengumpul Bangkai
berjingkat di antara lorong pegunungan.
Menjangkiti malam.
Satria Gendeng menarik napas padat-padat.
Kini bagaimana dia bisa tetap yakin kalau yang dihadapinya adalah manusia, bukan siluman jejadian" Hati
nuraninya mengingatkan untuk meminta kekuatan dari Sang Khalik.
Belum lagi tuntas Satria Gendeng memasrahkan dirinya pada Tuhan, di kejauhan terdengar geraman berlapis terpelanting dari kerongkongan Perempuan Pengumpul Bangkai. Lidah bercabangnya menjulur-julur. Tangannya menuding lurus ke arah Satria
Gendeng Kejapan mata berikutnya, dari bawah kaki Satria Gendeng muncul perlahan akar-akar berwarna segelap lumpur. Geraknya seperti mengendap. Tanpa diketahui Satria Gendeng, akar-akar menjijikkan itu
mencengkeram pergelangan kaki keduanya.
Srap! Srap! Selaku pendekar yang sudah begitu terlatih kesigapannya, Satria Gendeng cepat membuat gerakan
menghentak ke atas dengan mengerahkan kekuatan
tenaga dalam penuh.
"Khiaaa!"
Dua cabang akar sebesar lengan manusia yang
sempat menjapit pergelangan kakinya tak ayal lagi tercabut putus. Dengan salto, Satria Gendeng memangkas udara. Hingga empat tombak didepan Nini
Jonggrang. Di pergelangan kakinya, masih tersisa potongan akar. Cairan berwarna hijau kehitaman kental
menjijikkan bercucuran dari setiap potongan akar tersebut. Bibir Satria Gendeng meringis jijik. Kalau saja dia tak bisa menguasai
diri, saat itu juga dia akan
muntah. "Sihir," desis Ki Kusumo. Orang tua itu pernah mendengar Perempuan Pengumpul
Bangkai memiliki
tenung. Namun, selama hidup tak pernah diketahuinya kalau tenung si perempuan tua laknat sanggup
menciptakan serupa itu.
Dongdongka baru tiba setelah semuanya terjadi. Dia melongo-longo menyaksikan Nini
Jonggrang. "Astaga, kupikir dia akan berubah menjadi muda kembali dan mendapatkan kecantikannya ketika
menerima penitisan inti ilmu sesat gurunya. Tak tahunya, dia jadi manusia kadal! Ihhhh jijik, tahu!" ko-mentarnya, antara gumaman
dan rutukan. Menyaksikan kedatangan Dedengkot Sinting
Kepala Gundul, musuh besar yang paling dihindari, Ki
Ageng Sulut tak bisa membiarkan dirinya tetap di sa
Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
na. Tanpa diketahui Ki Kusumo yang masih memakukan pandangan ke arah Nini Jonggrang, tokoh golongan sesat itu meninggalkan Goa Sewu.
"Panembahan, apa yang sesungguhnya terjadi
pada Nini Jonggrang?" tanya Ki Kusumo, sesaat setelah disadari lawannya telah
menghilang. "Aku terlambat, Kusumo. Sial benar," sahut
Dedengkot Sinting Kepala Gundul, sama sekali tak
menyumpal derasnya rasa penasaran Ki Kusumo.
"Oh, kau tadi tanya apa?" Barulah Dongdongka tersadar pada pertanyaan tadi.
"Apa yang sedang terjadi" Aku tak mengerti...."
"Perempuan jelek yang tambah jelek itu dititisi
inti ilmu sesat gurunya!"
"Kalau begitu, murid kita dalam keadaan bahaya!" Ki Kusumo baru hendak menggenjot tubuh.
Dongdongka menahannya.
"Menurut Eyang Guru, hanya murid kita yang
bisa menghadapinya. Biarkan dia sendiri. Aku percaya
pada kesanggupan Cah Gendeng kita itu! He he he!"
Sementara Dongdongka tertawa, Ki Kusumo
cuma bisa mengernyitkan kening. Bagaimana orang
tua ini masih sempat tertawa pada saat-saat demikian
genting" Di kancah pertarungan tunggal, Satria Gendeng
telah bersiap mati dalam menghadapi lawan.
Nini Jonggrang menggeram-geram tiada terputus. Tangannya mendadak terayun cepat. Dari kedua
telapak tangannya mendadak keluar bola-bola api sebesar kepala bayi!
Wuk wuk wuk! Deru santer bagai kepakan sayap rajawali raksasa terdengar. Disusul dengan membesarnya api di
seputar bola-bola api tadi. Melayang-layang liar menuju sasaran. Lidah apinya siap menerkam.
Tak pernah mengalami kejadian serupa dalam
hidupnya yang tergolong hijau, Satria Gendeng tercekam. Dia tercengang tanpa bisa melakukan apa-apa.
Saat itulah, terdengar bisikan gaib menyelusup
langsung ke telinganya.
"Jangan pernah gentar. Pergunakan kekuatan
hatimu untuk melawan semua itu. Sihir hanyalah tipu
daya. Jika kekuatan hatimu sanggup menentangnya,
maka dia akan punah...."
Kendati tak mengerti siapa yang telah membisikinya, anehnya Satria Gendeng merasa sangat percaya
dengan bisikan gaib itu. Kekuatan hati" tanyanya
membatin. Hanya ada satu-satunya cara yang dia tahu
untuk mencapai hal itu.
Semadi! Namun, bagaimana mungkin dalam waktu yang
demikian mendesak" Bagaimana dengan bola-bola api
yang meluncur demikian sengit ke arahnya"
"Cepat!"
Kembali terlintas bisikan di telinga Satria Gendeng. Sekali ini bernada mendesak. Tak dapat ditolak.
Tanpa terpikir-pikir lagi, Satria Gendeng langsung memejamkan mata. Memusatkan segala rasa dan
karsa serta kekuatan dirinya ke satu titik terang dalam batin. Entah bagaimana,
dalam situasi yang tak me-mungkinkan untuk melakukan semadi, Satria Gendeng ternyata berhasil mencapai puncak semadinya
dalam hitungan waktu kedipan mata!
Sekejap setelah matanya terpejam....
Blar Blar blar!!!
Leburlah semua bola api.
Satria Gendeng membuka mata. Takjub mendatanginya. "Hi hi hi hiiii!" Melompat tawa menyeramkan
dari tenggorokan Nini Jonggrang. "Tak kusangka kau sanggup menghancurkan
permainan ku, Bocah Jahanam!" Seperti mencemooh, Nini Jonggrang berujar,
"Namun, jangan harap kau akan unggul menghadapi
kekuatan tenung ku kini...," ancamnya berat, seakan hendak menggoyahkan
kemantapan hati si satria mu-da.
"Perempuan siluman busuk!" balas Satria Gendeng. "Kujamin kau yang akan menemui iblis-iblis sekutu mu di neraka sana!!!!"
terjang Satria Gendeng garang. "Haa, bagus itu! Bagus itu! Itu baru muridku!"
koar Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
Perempuan Pengumpul Bangkai terkikik lagi.
Kali ini lebih nyaring melengking. "Buktikanlah, Satria Gendeng! Buktikan...,"
tantangnya, memancing kemarahan lawan.
"Kalau itu yang kau inginkan, akan kulayani,"
tegas Satria Gendeng seraya memasang jurus-jurus terampuhnya. Bibir Nini Jonggrang menyeringai mengejek.
"Kau masih saja mempergunakan jurus jelek mu itu, Cah Bau Kencur" Hi hi hiiii!"
"Banyak mulut!" Satria Gendeng yang sudah
sepenuhnya siap menghadapi lawan segera menerjang
ke depan. Serangkai langkah-langkah teramat cepat
dibuat. Seluruh geraknya tampak ngawur tak karuan,
namun amat bertenaga dan mantap. Itulah ciri khas
jurus-jurus yang diciptakannya diturunkan Dedengkot Sinting Kepala Gundul.
"Hiaaa!"
Deb! Wes! Sampokan tangan kanan Satria Gendeng membabat lurus ke bagian leher lawan. Ketika nyaris tiba di sasaran, gerakan
tangannya tiba-tiba menyempong ke
sasaran lain. Dari gerak menyampok, tangannya berubah mengacungkan jari untuk menotok jalan darah di
bagian dada lawan.
Lawan tampaknya tak mudah dikelabui dengan
perubahan gerak tiba-tiba yang bisa mengecohkan tokoh persilatan berilmu tinggi sekalipun. Dengan amat
lincah, Nini Jonggrang menjepit jari-jemari Satria Gendeng dengan sepasang
telapak tangannya.
Tep! Pada waktu yang nyaris tak berseling, mata
bengis Perempuan Pengumpul Bangkai menerkam tajam ke manik mata Satria Gendeng.
"Jangan tatap matanya!" bisikan gaib memperingatkan kembali.
Sayang.... "Aaaah!"
Satria Gendeng terjajar mundur. Matanya demikian pedih. Seperti ada racun membakar yang tersembur ke biji matanya.
Nini Jonggrang mempergunakan kesempatan
itu untuk memasukkan tiga tusukan jari dengan tangan yang bebas ke kening lawan mudanya. Tusukan
yang dapat melobangi baja setebal setengah jengkal!
"Satria Gendeng di depanmu!" seru Ki Kusumo.
"Biar biar biar saja!" timpal Dedengkot Sinting
Kepala Gundul, seru.
Tanpa harus diperingatkan pun, Satria Gendeng sebenarnya sudah menyadari bahaya itu. Sigap,
disentaknya kaki ke atas. Masih dengan tangan terjepit telapak tangan lawan,
dengan cerdik Satria Gendeng
melenting ke atas tubuh lawan. Melewati kepala, dan
setibanya di belakang, langsung mendaratkan satu
tendangan keras ke bokong Nini Jonggrang. Semuanya
dilakukan tanpa melihat!
Dakh! Tubuh Perempuan Pengumpul Bangkai terhempas ke depan amat deras.
Nini Jonggrang bangkit seperti tak pernah terkena hantaman. Padahal sebongkah karang sebesar
kerbau mungkin akan berantakan terkena tendangan
Satria Gendeng tadi. Terkaman dibuatnya. Ganas dan
berkekuatan penuh. Kesepuluh jari tangannya mengejang kaku seolah-olah siap mencabik baja terkeras sekalipun. Ki Kusumo tercekam. Muridnya masih sibuk
mengusap-usap mata. Sementara serangan lebih cepat, lebih gawat, dan sengit mulai dilancarkan lawannya kembali. "Jangan pedulikan rasa pedih itu. Itu hanya tipu daya sihir belaka. Hanya mengecoh perasaanmu.
Mantapkan kembali hatimu!" bisikan gaib itu menolong si pendekar muda pemberani
untuk kesekian kali.
Satria Gendeng mengulang semadi singkatnya.
Sewaktu dua cakar Perempuan Pengumpul
Bangkai hendak merobek tenggorokannya, Satria Gendeng telah siap kembali. Bahkan pandangannya dapat
lebih jernih dan tajam dari sebelum terkena pengaruh
tenung lawan. Dia bergerak sigap satu tindak ke samping. Wuk! Sambaran lawan pun lewat begitu saja. Hanya
setengah jengkal dari tenggorokannya. Sebuah cara
menghindar yang terlalu berisiko besar. Seakan-akan
pendekar muda itu hendak mengejek lawan.
"Sayang tak kena. Kau kurang cepat, Perempuan Siluman!"
"Khaaah! Jebol igamu!"
Dalam segebrakan, Nini Jonggrang sudah
membuat serangan susulan dengan siku kirinya. Dada
bidang lawan hendak dijadikan sasaran.
Satria Gendeng tak mau terus menghindar. Kalau terus seperti itu dia sadar lama kelamaan akan
terhantam juga salah satu serangan gencar lawan.
Maka dengan satu gerak yang terlihat pontangpanting, tapi secepat kedipan mata, tangannya menekuk di depan dada.
Dakh! Siku lawan berhasil ditahannya. Kejap berikutnya, tangan yang lain meruntuhkan serangkai totokan
yang bisa menjatuhkan empat puluh ekor kuda jantan
sekaligus. Gencar bagai siraman hujan dari langit rangkaian totokan Satria Gendeng. Tapi, tak satu pun bisa
melumpuhkan lawan. Karena setiap kali mengenai sasaran, tubuh lawan berubah menjadi selembut asap.
Meski setiap totokannya tepat mengenai sasaran, Satria Gendeng tak merasakan apa pun menyentuh
ujung jarinya. Menyadari hal itu, Satria Gendeng melenting
ringan untuk menjauhi lawan. Untuk menghadapi kekuatan sihir lawan, jalan satu-satunya bagi Satria
Gendeng adalah menuruti sepenuhnya peringatan bisikan gaib. Memusatkan segenap jiwanya pada satu titik terdalam di dasar dirinya.
Begitu dia memasuki taraf pengosongan diri,
sebuah semburan sinar seperti hujanan paku membara tercipta dari sepasang telapak tangan lawan. Menderu menuju diri Satria Gendeng.
Satria Gendeng diterjang sekejap kemudian. Seluruh tubuhnya menghilang di antara kepungan cahaya berbentuk paku membara. Namun beberapa saat
berikutnya, hujanan cahaya aneh mendadak tersurut
mundur. Karena dari seluruh pori-pori di tubuh Satria
Gendeng membersit cahaya kuning. Amat bening seperti air tanpa wujud. Cahaya bening itu mendesak
dan mendesak sihir ciptaan Nini Jonggrang.
Menyadari usahanya tak berhasil, Perempuan
Pengumpul Bangkai menambah pengerahan kekuatan
sihirnya. Kini bukan cuma bilah-bilah cahaya merah
yang muncul dari telapak tangan manusia jahanam siluman itu. Sesosok makhluk yang berubah-ubah bentuk melayang deras meluruk ke arah Satria Gendeng.
Makhluk yang berubah-ubah wujud itu ternyata sanggup menelan sejengkal demi sejengkal cahaya
bening dari tubuh Satria Gendeng. Sejengkal dan sejengkal... Pada akhirnya, sebentuk tangan mencuat dari perut makhluk itu. Leher Satria Gendeng pun langsung dicengkeramnya.
Krep! Saat itu Satria Gendeng merasa dirinya seperti
dipaksa tenggelam ke dasar danau dalam amat gelap.
Napasnya sesak, jangankan menarik napas, mengembangkan dadanya pun sudah begitu sulit. Tubuh kekar
pemuda itu bergeliat-geliat.
Apakah dia akan terus bergeliat hingga meregang nyawa"
Satria Gendeng masih tetap bertahan dalam
semadinya. Napasnya nyaris terhenti. Lehernya seperti dipatah-patahkan.
Saat dia tak kuat lagi menahan gempuran siksaan itu. "Bertahan pada semadi mu. Lalu, tentanglah
matanya dengan segenap kekuatan hatimu!" terngiang kembali bisikan gaib.
Satria Gendeng menurutinya. Pada saatnya,
matanya terpentang lebar-lebar, menerkam langsung
mata Nini Jonggrang. Menuju manik-maniknya.
Tanpa bisa dipahami, tiba-tiba saja cengkeraman tangan ganjil di lehernya sirna. Satria Gendeng
heran. Namun dia tak boleh menghentikan hujaman
tatapan matanya yang pernah membuat hati Ki Ageng
Sulut serasa terjepit ketika bertarung dengan pendekar muda itu beberapa waktu
lalu. Di lain pihak, Nini Jonggrang mulai menggeliatgeliat. Seperti ada sodokan lempeng bara panas di sekujur tubuhnya.
Mata Perempuan Pengumpul Bangkai mendelik
sejadi-jadinya. Mendelik dan makin mendelik. Tersiksa
tatapan amat kuat si pemuda bau kencur. Sebaliknya
akhirnya kekuatan sihirnya tiba-tiba pupus.
Di ujung kekalapan pengaruh sihirnya terdengar desisan seperti awal dia dititisi inti ilmu sesat gurunya. Bagai bara masuk
ke dalam air, begitu bunyi
desisan terdengar. Bersamaan dengan itu, mulut Pe
Satria Gendeng 06 Kiamat Di Goa Sewu di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rempuan Pengumpul Bangkai melepas lengkingan
tinggi. Lalu perlahan-lahan tubuh Nini Jonggrang
memupus. Hilang. Selang sekian tarikan napas setelah menghilangnya tubuh Nini Jonggrang, terdengar kikik tawa di
kejauhan. Seperti berasal dari balik Gunung Sewu....
SELESAI Segera hadir!! Serial Satria Gendeng dalam episode:
PASUKAN KELELAWAR
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Pedang Dan Kitab Suci 10 Joko Sableng 32 Kuil Atap Langit Memburu Iblis 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama