Ceritasilat Novel Online

Pendekar Cengeng 1

Rajawali Emas 53. Pendekar Cengeng Bagian 1


Bab 1 SEJEnak pemuda dari Gunung Rajawali ini tertegun. Sepasang matanya memandang tak berkedip pada lelaki tua berpakaian hitam lebar panjang yang berdiri sejarak delapan tindak dari hadapannya.
"Hmm... dari suara yang diucapkan dan gerakan yang diperlihatkan, jelas kalau lelaki tua ini bukan orang sembarangan. Dan tadi... apakah aku tak salah mendengar, kalau dia mengatakan datang membawa titah dari negeri langit" Apakah orang ini termasuk orang-orang yang mendapat tugas menyampaikan titah dari negeri langit, seperti yang dilakukan Dewi Neraka?" Tak keluarkan kata barang seucap pun, Rajawali Emas masih pandangi sosok orang yang baru datang. Sepasang mata orang tinggi kurus yang kecil menyipit juga menatapnya tanpa kedip. Kedua pipinya yang cekung seakan masuk ke dalam, memperlihatkan tulangnya. Sebelum Tirta membuka mulut, orang itu sudah keluarkan suara,
"Bila mendengarkan baik-baik apa yang akan kusampaikan, maka hidup akan tetap panjang! Tetapi bila tidak, maka kematian yang akan ditelima!"
"Hmmm... aku harus berhati-hati. Hei! Melihat rajahan tengkorak warna merah pada kedua punggung
tangan kanan kirinya, apakah dia orang yang dimaksudkan oleh Pedang Kencana?"desis Tirta dalam hati. Seperti pernah diceritakan pada episode"Titah Negeri Langit", ketika pemuda dari Gunung Rajawali ini sedang melacak di mana Lembah Merpati berada, dia mendengar suara letupan keras dan tumbangnya beberapa pepohonan.Ternyata yang mela kukan semua itu adalah si Pedang Kencana yang sedan g gusar dan marah pada seorang tokoh sesat berjuluk Tengkorak Berbisa, karena seluruh muridnya mati dibun uh orang itu. Dari Tengkorak Berbisa-lah si Pedang Kenc ana mendengarkan titah dari negeri langit tentang seor ang tokoh rimba persilatan yang berjuluk Dewa Langit hendak mengun- durkan diri. Sebuah teka-teki diberika n. Barang siapa dapat menemukan Dewa Langit sebelu m orang lain menemuinya, maka dia akan mewarisi sel uruh ilmu milik Dewa Langit yang telah dituangkan pada puluhan gulungan daun lontar dan mendapatkan senjata mustika yang bernama Gading Tunggul Dewa. Rajawali Emas yang sebelumnya mendengar berita itu dari Dewi Topeng Perak yang telah mengubah julukannya menjadi Dewi Neraka, menceritakan jalan pikirannya kalau dia sebenarnya meragukan tentang titah dari negeri langit itu. Dalam kesempatan itu pula, Tirta menanyakan tentang Lembah Merpati. Setelah menjawab pertanyaan yang diajukan Rajawali Emas, Pedang Kencana pun berlalu. Selang beberapa saat, pemuda yang di lengan kanan kirinya terdapat rajahan burung rajawali keemasan pun berniat untuk segera menuju ke Lembah Merpati. Tetapi satu
suara telah terdengar menyusul munculnya seseorang berpakaian hitam lebar panjang. Lelaki tua berambut dikelabang kembali keluarkan ucapan,
"Anak muda! Kau akan mendapat keberuntungan yang tinggi bila kau dapat menemukan di mana Dewa Langit berada! Ilmu-ilmu manusia itu akan kau warisi, begitu pula dengan senjata mustika Gading Tunggul Dewa! Tetapi ingat... kau harus menjadi orang yang pertama kali menemuinya!" Rajawali Emas kembali membatin,
"Dia juga datang menyampaikan titah dari negeri langit. Hmm... siapakah orang yang berdiri di balik semua ini" Dan untuk buktikan kebenaran tentang dugaanku tadi... baiknya kutanyakan saja siapa dia sebenarnya...." Memutuskan demikian, pemuda berpakaian keemasan ini berkata seraya maju dua tindak,
"Aku telah mendengar titah yang sama sebelumnya! Kalau orang yang sebelumnya menyampai kan titah imi memperkenalkan diri, apakah tidak sebaik nya kau perkenalkan dirimu juga?" Terkejut si lelaki tua mendengar ucapan orang. Sepasang matanya kian me nyipit. Pelipisnya bergerakgerak tanda tak suka dengan ucapan orang. Tetapi nampak kalau dia berusaha tindih rasa tak sukanya.
"Hmmm... siapa orang yang telah menyampaikan berita itu padamu"!"
"Dewi Neraka!" Kali ini terlihat senyuman bertengger di bibirnya. Karena kedua pipinya begitu cekung, saat dia tersenyum
seolah kedua pipinya tertarik lebih ke dalam. Lebih menampakkan tonjolan tulang. Dan yang terpampang itu tak ubahnya tengkorak belaka!
"Bagus! Berita yang kusampaikan memang sama dengannya! Keberuntungan akan kau dapatkan!"
"Kelihatannya dia sengaja berkata lebih lama agar aku melupakan soal pertanyaan tadi," batin Tirta dan berkata,
"Segala titah tak pernah kudengar dan membuatku tertarik kecuali sekadar melihat kebenaran! Apakah berita yang kau sampaikan hanya sebuah permainan usang"!" Kalau sejak tadi sepasang matanya menyipit, kali ini nampak melebar, terpentang pekat dengan sorot mata tajam. Tetapi lelaki tua yang dikedua punggung tangannya terdapat rajahan tengkorak warna merah ini tak membuka mulut, hanya pandangi saja sosok pemuda di hadapannya. Sementara itu, malam semakin dalam. Tempat yang agak terbuka itu sedikit banyaknya diterangi oleh sinar rembulan. Tirta tersenyum dalam hati,
"Aku yakin sebentar lagi amarahnya akan meledak. Aneh! Mengapa dia justru tak suka mendengar pernyataanku tadi?" Kemudian didengarnya orang itu terbahak-bahak. Begitu kerasnya hingga beberapa dahan pohon berderak putus dan berpentalan. Beberapa ranggasan semak belukar tercabut sementara tanah disekitar lelaki itu berdiri membubung ke udara. Di tempatnya, Tirta cuma tersenyum.
"Hmm... hebat juga tenaga dalamnya," katanya seraya alirkan tenaga surya pada kedua gendang telinganya, guna menahan kerasnya tawa lelaki bertampang tengkorak itu. Disela-sela tawa keras yang dipamerkan, lelaki berpakaian hitam lebar panjang itu berkata,
"Bila ada orang yang tak tertarik dengan titah dari negeri langit, maka dia akan mati!"
"Kata-katanya semakin memperjelas dugaanku kalau semua mi hanyalah tipuan belaka. Entah siapa yang memerintah orang ini ternasuk Dewi Neraka untuk menyampaikan titah dari negeri langit,"kata Tirta dalam hati. Lalu masih tersenyum dia berkata,
"Bila memang demikian adapya, sungguh malang nasib orang yang tak tertarik dengan berita tentang pengunduran diri Dewa Langit! Akan tetapi... apakah tak ada titah lain yang lebih menarik hingga aku jadi tertarik?" Lamat-lamat Tirta melihat wajah cekung lelaki di hadapannya mulai mengkelap. Kedua tinjunya mulai dikepalkan. Setelah kertakkan rahangnya, dia berkata,
"Titah yang kusampaikan sebuah titah yang langka dan jarang terjadi! Hanya orang-orang bodoh yang tak tertarik mendengarnya"!"
"Dia semakin sengaja menyembunyikan s iapa dirinya. Huh! Aku semakin bertambah yakin, kalau orang inilah yang dimaksud Pedang Kencana yang berj uluk Tengkorak Berbisa. Hmmm... akan kupancing dia...." Berpikir begitu, Tirta berkata lagi,"Memang bodoh bila ada orang yang tak tertarik dengan titah dari negeri
-langit dan tak berusaha menjadi orang pertama yang menemukan dimana Dewa Langit berada! Apakah kau tak merasakan seperti itu?" Sejenak lelaki yang memang tak lain Tengkorak Berbisa ini kerutkan kening. Lalu terdengar ucapannya d ingin,
"Apa maksudmu"!" Tirta tertawa seraya berkata,"Busyet! Mengapa kau justru bertanya seperti itu" Tidakkah kau sadari kalau kau tidak mencari pula orang yang berjuluk Dewa Langit" Mengapa kau tak menjadi orang pertama yang mcnemukannya guna mewarisi seluruh ilmu dan senjata mustika miliknya" Mengapa pula kau justru menyebarluaskan berita ini hingga secara tak langsung akan membuat banyak orang bermunculan untuk merebutnya" Bukankah ini sesuatu yang aneh?"
"Jahanam! Pemuda ini begitu cerdik! Apa yang telah kurencanakan ini tak boleh terbuka sekarang sebelum musuh besarku muncul! Rasanya... aku harus berhati-hati menghadapi pemuda yang belum kuketahui siapa dia sebenarnya?" Sambil tindih rasa geramnya, kembali Tengkorak Berbisa keluarkan tawa. Bahkan lebih keras dari yang pertama. Hingga untuk sesaat nampak sosok Tirta surut tiga tindak ke belakang dengan tubuh bergetar.
"Gila! Ini tidak main-main lagi!"desisnya sambil lipatgandakan tenaga surya yang segera dialirka n ke kedua telinganya. Sesaat tubuhnya nampak masih bergetar. Tapi di saat lain dia telah berdiri tegak kemba li.
"Ucapanmu sungguh menyenangkan hatiku, Anak
Muda! Aku tak mau campuri urusan ini, karena aku adalah pesuruh untuk menyampaikan titah dari negeri langit!"
"Kalau begitu... mengapa tak kau katakan siapa orang yang menyuruhmu itu?" "Setan keparat! Tak sabar rasanya untuk merobek mulut pemuda celaka ini!"maki Tengkorak Berbisa dalam hati, geram. Lalu dengan suara menusuk dia berkata,
"Siapa kau sebenarnya"!"
"Aku semakin yakin menangkap sebuah keanehan di balik titah dari negeri langit ini. Cukup membuatku harus berhati-hati mengatasi semuanya." Setelah membatin begitu, Tirta berkata,
"Bukankah aku sudah ajukan pertanyaan yang sama sebenarnya" Mengapa harus balik bertanya" Katakan siapa dirimu, maka aku akan mengatakan siapa diriku"!"
"Setan jahanam!!" seru Tengkorak Berbisa dengan mata terpentang lebar. Pandangannya semakin tajam. Kali ini terlihat napasnya agak memburu tanda dia sudah tak sabar untuk merobek mulut si pemuda. Tetapi segera ditindihnya seraya berkata,
"Baik! Aku dikenal orang dengan julukan Tengkorak Berbisa!"
"Benar dugaanku kalau dialah orang yang dimaksud Pedang Kencana, orang kejam yang telah membunuh seluruh murid-muridnya. Tongkrongannya cukup bikin keder hati orang,"kata Tirta dalam hati sambil menghela napas. Sebelum dia membuka mulut, mendadak saja Tengkorak Berbisa maju satu langkah dan keluarkan suara
menggelegar, "Katakan siapa dirimu sebenarnya, hah"!!"
Saking kerasnya suara itu, tubuh Rajawali Emas terhuyung lima tindak ke belakang. Dan dirasakan tahu tahu jalan napasnya menjadi sesak. Untuk sesaat pula dirasakan seluruh aliran darahnya menjadi kacau.
"Gila! Sentakan suaranya seperti sebuah pukulan dahsyat menghantam dadaku! Kurang asem!" makinya mulai mengkelap. Apalagi teringat kalau orang inilah yang telah menghancurkan Perguruan Pedang Kencana sekaligus membunuh seluruh murid yang berlatih di Sana. Tetapi sebelum dia buka mulut, tangan kanan Tengkorak Berbisa terangkat. Suaranya lebih keras dan menekan dari yang pertama tadi,
"Katakan siapa dirimu sebenarnya sebelum kukirim nyawamu ke neraka!!" Sambil alirkan tenaga surya kembali hingga rasa sakit tak begitu menyiksanya, pemuda dari Gunung Rajawali ini berkata dengan suara ditekan pula,
"Namaku Tirta! Orang-orang menjulukiku Rajawali Emas! Bila kau sudah puas mendengarnya, silakan tinggalkan tempat ini! Tak perlu sampaikan segala titah kepadaku, dan pada siapa pun juga! Ketahuilah... semua ini kuanggap hanyalah omong kosong belaka!" Bukannya marah mendengar ucapan pemuda dihadapannya, nampak Tengkorak Berbisa justru kerutkan kening. Untuk sesaat dia seperti dibuncah perasaan tak menentu. Kejap kemudian, terdengar lagi suaranya,
"Katakan sekali lagi siapa kau adanya"!"
"Huh! Berbicara dengan orang tuli sama saja menyiksa diri sendiri!" sahut Tirta dengan perlihatkan senyum mengejek.
Tak mempedulikan ucapan Tirta, lelaki berpakaian hitam lebar panjang itu kembaliajukan tany a,"Katakan, kau datang dari mana"!"
-diam diam dia membatin, "Menilik sikapnya... dia seperti sedang teringat sesuatu. Atau... sedang merangkaikan sesuatu yang mengganggu jalan pikirannya" Aku ingin tahu apa yang sebenarnya sedang dipikirkannya." Memutuskan begitu Tirta berkata,"Aku datang dari Gunung Rajawali...." Apa yang terjadi kemudian sungguh mengejutkan Rajawali Emas. Karena dilihatnya lelaki berwajah cekung tak ubahnya tengkorak itu, surut dua tindak mendengar jawabannya. - Wajahnya nampak tegang. Tangannya menuding dan suaranya bergetar,
"Kau...." "Aneh! Sikapnya kali ini benar-benar aneh! Aku menduga sebentar lagi dia akan meledak! Tetapi dia justru terkejut! Apakah dia sudah menemukan jawaban dari sesuatu yang ada di benaknya?" kata Tirta dalam hati bertanya-tanya.
Lalu didengarnya suara rahang yang dikertakkan.
"Bagus! Bagus sekali! Kau datang dari Gunung Rajawali! Katakan kepadaku, ada hubungan apa kau dengan Malaikat Dewa"!" menggelegar suara Tengkorak Berbisa. Kali ini Tirta makin kerutkan keningnya.
"Ini lebih aneh lagi. Mengapa tahu-tahu dia membawa Eyang Guru dalam urusan ini" Ada apa sebenarnya" Mengapa dia
seperti melupakan tentang urusan titah dari negeri langit?" Karena dipenuhi berbagai pertanyaan, Tirta berkata,"Akusama sekali tak mengenal orang yang kau sebutkan tadi!" Kemudian menyambung dalam hati,
"Maafkan aku, Eyang... bukan maksudku untuk berkata seperti itu...." Sesaat Tengkorak Berbisa terdiam. Di luar dugaan Tirta, dia justru tertawa. Kali ini tak ada gelombang tenaga dalam yang dipancarkan melalui tawanya.
"Hahaha... maafkan aku, maafkan sikapku! Mungkin kau memang tak punya hubungan dengan Malaikat Dewa! Tetapi perlu kau ketahui.... Malaikat Dewa adalah sahabatku...."
"Apakah benar Eyang Guru mempunyai sahabat orang kejam seperti ini" Rasanya sulit diterima akal. Tetapi biarlah aku ikuti saja apa yang sedang dimainkannya," batin Tirta. Lalu sambil tersenyum dia berkata,
"Aku tak mengenal Malaikat Dewa dan tak tahu siapa kau sebenarnya! Juga aku tidak tahu apakah kau bersahabat atau tidak dengannya! Dan itu bukanlah urusanku...."
"Benar! Kau memang tak ada urusan dalam hal ini!
Tetapi karena tadi kau mengatakan datang dari Gunung Rajawali, aku langsung teringat padanya! Bagus! Kau akan kuperkenalkan padanya satu ketika!" Tirta yang mencoba mengiyakan saja, segera anggukkan kepala.
"Aku akan senang sekali bila kau memenuhi janjimu itu."
"Ya! Dengan senang hati aku akan melakukannya! Anak muda... lebih baik kau ikut dalam teka-teki yang kusampaikan ini. Titah dari negeri langit akan mengundang banyak perhatian orang! Dan tak sedikit yang akan muncul untuk mendapatkan seluruh ilmu dan senjata mustika milik Dewa Langit! Kau masih muda...jalanmu masih panjang! Bila kau bertanya mengapa aku tak ikut turut dalam teka-teki ini, karena aku sudah tua! Mendapatkannya pun percuma di samping aku adalah orang suruhan belaka!"
"Siapakah yang menyuruhmu seperti itu?"
"Kelak kau akan tahu, Anak muda...." Habis suaranya, mendadak saja sosok lelaki tua berpakaian hitam lebar panjang itu berkelebat. Saking cepatnya, saat melesat di sisi kanan Tirta, tubuh pemuda dari Gunung Rajawali itu seperti terseret dua tindak.
"Aneh! Urusan ini benar-benar aneh. Aku menangkap satu gelagat yang tidak baik sebenarnya. Tetapi sikap manusia itu membuatku jadi agak meragu. Apakah memang urusan ini yang dikatakan Bwana kepadaku" Dan apakah urusan inilah yang dimaksud Manusia Angin memintaku menemuinya di Lembah Merpati?" Untuk sesaat pemuda ini terdiam. Dicobanya untuk
rangkaikan kejadian demi kejadian. Setelah tarik napas dia berkata,
"Sebaiknya... kuteruskan langkah menuju ke Lembah Merpati sebelum banyak urusan menghadang...."
Kejap berikutnya, pemuda ini sudah berkelebat ke arah barat, sesuai petunjuk yang diberi kan oleh Pedang Kencana. Dan tanpa setahunya, sepas ang mata memperhatikannya dari balik ranggasan sem ak.
Dan sorot mata itu memancarkan sinar berbahaya serta nafsu membunuh!
Bab 2 MatahARi mulai menanjak dan tampakkan bias-biasnya di persada timur tatkala rombongan yang membawa sebuah tandu itu menghentikan langkah disebuah hutan yang cukup lebat. Disana-sini dipenuhi ilalang dan ranggasan semak setinggi dada. Jajaran pepohonan tinggi seperti makhluk-makhluk asing yang sedang berjaga. Tandu indah warna hijau yang bermotifkan sulaman benang kemerahan perlahan-lahan diturunkan. Tetapi kendati empat orang gadis berpakaian merah-merah telah meletakkannya dan berdiri sejarak dua tombak dari masing-masing pegangannya, tetapi tandu itu tak menyentuh tanah! Ini bukan dikarenakan keempat gadis berpakaian merah yang telah kerahkan tenaga dalam guna menahan tandu agar tak menyentuh tanah. Tetapi disebabkan oleh tenaga dalam yang dipancarkan seseorang yang berada dalam tandu itu. Hening meraja dan beberapa helai daun berguguran. Menyusul terdengar suara merdu dari dalam tandu itu,"Lajani! Kau tetap berada disini! Yang lainnya cepat bergerak, teliti tempat ini.... Bunuh siapa saja yang kalian jumpai!" Tiga gadis berpakaian merah-merah yang masing masing orang memiliki wajah jelita itu yang mendapat perintah, sama-sama menganggukkan kepala. Kejap itu pula mereka berkelebat ke arah yang berlawanan. Kecuali gadis yang bernama Lajani, yang berdiri di depan sebelah kanan tandu itu.
"Masuklah, Lajani.... Kini giliranmu memberiku kenikmatan...." Gadis berhidung mancung dengan sepasang mata yang indah, sejenak mengangkat kepalanya. Sesaat wajahnya agak meragu, sebelum akhirnya perlahan-lahan dia melangkah naik dan masuk ke dalam tandu yang terkuak. Di depan seorang perempuan berwajah jelita dia duduk bersimpuh. Tandu yang menebarkan aroma wangi itu sungguh merangsang indera penciuman. Tangan perempuan berambut panjang yang di kepalanya terdapat sebuah mahkota dipenuhi berlian, membelai kedua tangan Lajani. Gadis itu semula diam saja. Tetapi semakin belaian tangan si perempuan mulai merabai seluruh bagian tubuhnya, perlahan-lahan tubuh si gadis mulai bergetar. Sepasang matanya mulai redup dengan desahan yang mulai terdengar. Wajahnya agak memerah tanda dia mulai terangsang akan belaian tangan si perempuan, Dan begitu pasrah Lajani saat perempuan itu merebahkan tubuhnya di dasar tandu yang tak menyentuh tanah. Sepasang matanya dipejamkan seperti siap menerima perlakuan si perempuan. Dengan lemah lembut,
dirasakannya satu persatu pakaian yang dikenakannya dilepaskan si perempuan. Sepasang mata si perempuan sendiri mulai dikilati gairah yang dalam. Kedua tangannya meraba sekujur tubuh Lajani yang seketika keluarkan desahan.
"Kau akan mendapatkan kesenangan yang tiada tara, Lajani... aku menyukaimu...," kata si perempuan dengan suara merdu dan diburu gairah. Lajani semakin memejamkan matanya dan membiarkan sukmanya seperti terlepas dalam dirinya. Sesuatu yang tak tertahankan ingin rasanya segera didapati. Dan dia tak sadar tatkala si perempuan berkata kembali dengan suara agak besar, suara laki-laki! Lalu dirasakan Lajani sesuatu memasuki tubuhnya.... Beberapa saat berlalu dan yang terdengar hanyalah suara desahan demi desahan belaka. Tatkala si perempuan yang ternyata seorang laki-laki itu mengangkat tubuhnya dari tubuh Lajani, dilihatnya Lajani tersenyum.
"Terima kasih, Lajani... kau boleh kembali ke tempatmu...." Lajani membuka kedua matanya. Agak tersipu dia mengenakan pakaiannya kembali. Sambil menunduk dia berkata,
"Aku senang bila bisa memberikan kepuasan pada Ketua...." Si perempuan tersenyum. Lalu mengecup bibir Lajani. Masih menunduk Lajani buru-buru keluar. Wajahnya masih memerah membayangkan apa yang barusan terjadi. Di dalam tandu, si perempuan tersenyum lebar.
"Sangat menyenangkan... tak seorangpun yang tahu kalau aku adalah laki-laki tulen....Sebentar lagi, rimba persilatan akan digemparkan dengan kemunculanku.... Dewi Murah Senyum...." Si perempuan yang ternyata seorang lelaki yang menyamar sebagai seorang perempuan, kian kembangkan senyumnya. Lalu merebahkan tubuhnya di dasar tandu yang tetap tak menyentuh tanah. Seluruh tubuhnya pegal tetapi penuh dengan sensasi kenikmatan.
"Dewa Langit...ya, berita itu sudah kudengar... titah dari negeri langit sudah sampai ke telingaku... aku akan memburu ilmu Dewa Langit dan senjata Gading Tunggul Dewa...." Kejap kemudian, ditunggunya ketiga gadis yang diperintahkannya untuk menyelidiki tempat itu. Sementara di luar tandu, Lajani masih tundukkan kepala dengan wajah memerah.
Hari semakin siang menggayuti persada. Tetapi berada di hutan yang dipenuhi jajaran tingginya pohon lebat, tak membuat tempat itu menjadi pusat deraan matahari.
Sosok Dewi Murah Senyum yang ramping dengan wajahjelita itu duduk di dalam tandu yang kini terbuka.
Sepasang matanya pandangi empat orang gadis berpakaian merah-merah yang bersila berjajar di hadapannya. Scjenak hening menggigit.
"Selama dua tahun mereka menemani dan menjadi pemuas nafsuku.... Dan tak seorang pun diantara mereka yang tahu kalau aku adalah laki-laki.... Begitu pula dengan orang-orang yang kujumpai selama ini. Bahkan... dengan mudahnya kubunuh laki-laki yang menyangkaku seorang perempuan dan tergila-gila kepadaku. Huh! Siapa saja yang terkena jurus 'Asmara Harum yang kukeluarkan, tak seorang pun yang bisa lolos dari permainan cinta yang kuinginkan dan tak pernah menyadari bahwa aku seorang laki-laki...." Habis membatin begitu, masih pandangi empat orang gadis berpakaian merah-merah, Dewi Murah Senyum yang ternyata scorang laki-laki itu berkata,
"Telah kuceritakan kepada kalian mengapa kita harus keluar dari Gunung Jejaka. Ini disebabkan karena aku hendak mencari Dewa Langit yang telah mengundurkan diri dari rimba persilatan. Teka-teki yang diberikannya membuatku sangat tertarik untuk memecahkannya. Nah! Aku ingin, akulah orang pertama yang akan menemukannya hingga aku dapat mewarisi ilmu-ilmu yang dimilikinya yang telah dituangkannya pada gulungan daun lontar. Yang terpenting lagi... aku menginginkan senjata Gading Tunggul Dewa...." Lajani yang baru saja mendapatkan kenikmatan yang diberikan Dewi Murah Senyum dan tak tahu kalau
sesungguhnya perempuan bermakhota itu seorang lakilaki, berkata dengan wajah memerah,
"Kami semua menjunjung tinggi keinginan Ketua. Lantas... apa yang akan kami perbuat?"
"Pertanyaan bagus, Lajani...," sahut Dewi Murah Senyum sambil tersenyum lebar. Lajani untuk sesaat tak berani balas memandang tatapan teduh di hadapannya. Tiga orang temannya tak merasa heran dengan sikap Lajani, dan mereka tahu apa yang terjadi. Karena mereka juga pernah mengalami hal itu. Dan untuk beberapa lama sangat sulit melupakan pesona yang mereka dapatkan, hingga sebenarnya mereka menjadi ketagihan. Tetapi tak seorang pun yang berani lancang memintanya. Bahkan mereka tak ingin tunjukkan rasa iri bila bukan dirinya yang mendapatkan giliran. Dewi Murah Senyum arahkan pandangan pada gadis-gadis itu lagi. Masih arahkan pandangannya, dia berkata dalam hati,
"Semuanya memiliki wajah yang cantik, tubuh yang indah dan pelayanan yang memuaskan. Lajani, Lakarmini, Lahartati dan Labuni... empat gadis yang kubujuk dari desa-desa berlainan untuk menjadi pengikutku. Padahal... mereka kujadikan sebagai pemuas nafsuku belaka.... Menyenangkan, sangat menyenangkan. Tetapi malam ini, terpaksa aku berpisah dengan mereka. Karena kupikir, bila terus menerus bersama, sukar melacak di mana Dewa Langit berada. Aku ingin menyuruh mereka untuk melacak Dewa Langit, hingga perjalanan dapat dipersingkat sebelum ada orang lain yang menemukan Dewa Langit lebih dulu."
Memutuskan begitu, Dewi Murah Senyum berkata,
"Yang kumaksudkan adalah... kita berpisah untuk sementara...." Dewi Murah Senyum sengaja menghentikan kata-katanya. Dilihatnya pandangan terkejut dari keempat gadis itu. Dan dia tertawa dalam hati seraya berkata,
"Mereka nampaknya enggan berpisah denganku.... Mungkin karena mereka telah dibuai nafsu yang selalu kuberikan. Padahal... justru merekalah yang sebenarnya melayaniku...." Masih tetap tersenyum, Dewi Murah Senyum berkata,
"Dengar kataku tadi, hanya sementara karena kita akan bertemu lagi. Hal ini kulakukan...agar lebih mudah melacak di mana Dewa Langit berada. Aku yakin, tak seorang pun di antara kalian yang akan mengkhianatiku...."
"Kami, Ketua...,"kata keempat gadisitu bersamaan.
"Bagus! Aku suka mendengar jawaban kalian. Bila kalian telah menemukan dimana Dewa Langit berada, cepat kalian panggil aku dengan cara yang telah kukatakan. Di mana pun aku berada, aku akan muncul di hadapan kalian...."
"Ketua... bagaimana bila kami berjumpa dengan orang yang juga mempunyai niat yang sama?" tanya Lakarmini yang berambut panjang tergerai. Payudara gadisini lebih besar daripada tiga gadis lainnya. Sepasang mata Dewi Murah Senyum sejenak pandangi payudara Lakarmini yang diam-diam menjadi bangga. Masih pandangi payudara itu, Dewi Murah Senyum berkata,
"Kalian tak perlu lagi bertindak susah
payah. Bunuh siapa saja orang yang mempunyai niat sama dengan keinginanku!" Lakarmini menganggukkan kepalanya. Labuni yang berwajah bulat dengan pinggang ramping berkata,
"Lantas... kapan kita akan bertemu kembali, Ketua?"
"Aku yakin, mereka tak menginginkan berpisah denganku karena kenikmatan yang kuberikan. Sungguh menyenangkan sebenarnya, tetapi ini harus kulakukan...," kata Dewi Murah Senyum dalam hati. Lalu katanya,
"Setelah urusan ini selesai... kita akan bersama sama lagi dan membangun kerajaan dibawah pimpinanku... Akan kita taklukkan siapa saja yang menolak untuk bergabung. Dan kalian... akan tetap menjadi orang orang kepercayaanku...."
"Terima kasih, Ketua...," sahut Labuni sementara yang lain menganggukkan kepala.
"Aku senang mengetahui kalian patuh pada setiap kataku! Sekarang, kalian berpencar keempat penjuru angin! Ingat pesanku tadi! Bila kalian sudah menemukan jejak Dewa Langit, segera kalian panggil aku dengan isyarat yang seperti kuajarkan! Satu hal lagi, bila kalian mendapatkan kesulitan. kalian bisa memanggilku!Tetapi ingat, bila ternyata hanya urusan kecil belaka, kalian akan menanggung akibatnya! Mengerti"!" Masing-masing gadis menganggukkan kepala. Lalu setelah saling pandang dan seperti disepakati, mereka langsung memilih arah yang dituju. Sepeninggal keempat gadis berpakaian merah
merah yang tak tahu kalau ketua mereka adalah seorang laki-laki, Dewi Murah Senyum kembangkan seringaian.
"Sayang sebenarnya melepaskan mereka di saat saat seperti ini.... Tetapi bila tak segera kulakukan tindakan seperti itu, bisa jadi ada orang lain yang mendahuluiku menemui Dewa Langit. Berarti... apa yang kuangan-angankan selama ini hanya sia-sia belaka...."
Habis kata-katanya, mendadak saja tirai tandu warna hijau bersulaman benang kemerahan itu menutup. Kejap kemudian,seperti diangkat, tandu itu lamat-lamat naik setinggi pinggang. Lalu segera melesat, lebih cepat dari sebelumnya di saat keempat gadis berpakaian merah mengusungnya.
*Bab 3
SENja telah menghampar kembali begitu sepasang kaki Rajawali Emas menginjak tanah luas yang dipenuhi bebatuan. Sejauh matanya memandang yang nampak hanyalah gugusan batu belaka. Kendati sinar matahari mulai meredup, tetapi ditempat itu masih terasa cukup menyengat. Dapat diyakini, tadi siang disaat matahari berada tepat di atas kepala, maka sinarnya yang panas akan berpantulan.
"Mungkin tempat inilah yang dimaksud oleh Pedang Kencana," desisnya masih pandangi sekelilingnya.
"Urusan yang kuhadapi ini nampaknya mulai menunjukkan kerumitannya...." Sejenak pemuda ini terdiam dulu sebelum melanjutkan kata-katanya lagi,
"Sikap Tengkorak Berbisa sungguh sukar ditebak. Bila mau menuruti kata hatiku, rasanya ingin meminta pertanggungjawabannya atas perbuatan keji yang dilakukannya terhadap murid-murid Perguruan Pedang Kencana. Tetapi... hmmm... mengapa dia seperti terkejut mengetahui aku datang dari Gunung Rajawali" Mengapa pula dia tahu-tahu menanyakan hubunganku dengan Malaikat Dewa" Ada apakah dibalik semua ini?" Kemudian setelah hembuskan napas dia berkata lagi,
"Ketimbang aku lebih banyak bertanya sendiri tanpa mendapatkan jawab, lebih baik kuteruskan langkah menuju utara. Disanalah Lembah Merpati berada...." Memutuskan demikian, pemuda ini segera berkelebal. Gerakannya sangat cepat sekali hingga yang nampak hanyalah bayangan keemasan belaka. Tiba di penghujung tempat yang dipenuhi gugusan bebatuan itu, Rajawali Emas bukan langsung teruskan langkah, justru dia hentikan langkahnya. Kepalanya ditegakkan seolah untuk meyakinkan kalau ada suara yang menarik perhatiannya.
"Aneh! Aku seperti mendengar suara orang menangis...," desisnya sambil edarkan pandangan ke sekelilingnya dengan indera pendengaran ditajamkan.
"Lebih aneh lagi karena tangis yang kudengar itu suara seorang pemuda.... Busyet! Apa dunia mulai terbalik?" Kalau tadi hanya samar-samar saja suara tangis yang didengarnya, kali ini suara itu semakin jelas. Rajawali Emas terkesiap tatkala memandang ke depan. Dilihatnya seorang pemuda berpakaian putih panjang dengan sebuah kain warna hitam yang melilit pada pinggangnya, sedang melangkah menuju ke arahnya. Dan pemuda itulah sumber tangis yang didengarnya!
"Edan sekaligus aneh! Menilik pakaian yang dikenakannya, jelas dia termasuk orang yang telah lama berada di rimba persilatan! Dari caranya melangkah pun menunjukkan dia pemuda yang berisi. Tetapi mengapa cengeng seperti itu?"tanya Tirta dalam hati tak mengerti. Tiga tarikan napas berlalu, sosok pemuda berpakaian putih itu telah tiba dihadapan Tirta. Kalau tadi dia berjalan sambil menangis, kali ini setelah pandangi pemuda dari Gunung Rajawali sejenak, dia justru terisak isak.
"Aneh! Denar-benar aneh!"desis Tirta.
"Huhuhu... kenapa kau bilang aneh" Apakah aku memang sebangsa makhluk aneh" Huhuhu... kalau orang-orang mengatai aku cengeng, kau justru lebih sadis lagi bilang aku sebangsa makhluk aneh...," terdengar suarasi pemuda di sela-sela isaknya. Bukan suara itu yang mengejutkan Tirta. Tetapi desisan yang dikeluarkannya tadi sangat pelan, namun terdengar oleh si pemuda yang berdiri sejarak enam tindak dari hadapannya.
"Luar biasa! Padahal aku bicara pelan saja! Jelas kalau dia bukan orang sembarangan," kata Tirta dalam hati.
"Hei! Kendati dia menangis tersedu-sedu, tetapi tak ada air mata yang keluar. Luar biasa!" Kemudian dia bertanya,
"Sobat muda... ada apakah ini" Mengapa kau begitu cengeng?"
"Huhuhu... tadi kau mengatai aku sebangsa makhluk aneh. Sekarang kau juga mengatai aku cengeng. Brengsek! Kurangajar! Sama seperti semua orang, termasuk guruku sendiri... huhuhu... tetapi aku memang cengeng... pantas kalau aku dijuluki Pendekar Cengeng...." Mendengar ucapan pemuda berambut panjang dengan wajah cukup tampan itu, sejenak Tirta terdiam dengan kening dikernyitkan. Sungguh mati, Tirta tak me
ngerti mengapa pemuda ini begitu cengeng sekali.
"Pendekar Cengeng" Sebuah julukan yang aneh sekali. Tetapi tak aneh bila melihat sikap pemuda ini," katanya dalam hati. Sebelum dia membuka mulut, pemuda berpakaian putih yang berjuluk Pendekar Cengeng sudah berkata,
"Aku sedang sedih hingga aku menangis... tetapi aku memang cengeng... huhuhu... aku memang cengeng...O ya... kau siapa?"
"Namaku Tirta. Orang-orang menjulukiku Rajawali Emas. Mengapa kau bersedih?"tanya Tirta yang memutuskan untuk tak segera meneruskan langkah. Karena dia merasa cukup takjub dengan julukan yang baru pertama kali didengarnya. Dan ingin diketahuinya mengapa pemuda ini begitu cengeng. Bila melihat wajah dan penampilannya, sangat jauh berbeda dengan sikap yang diperlihatkannya.
"Huhuhu... aku mendengar kabar... kalau guruku akan mengundurkan diri dari rimba persilatan...."
"Mengapa hanya karena gurumu hendak mengundurkan diri kau jadi cengeng begitu?" tanya Tirta tak mengerti.
"Aku tidak tahu... tetapi aku memang cengeng, sangat cengeng...."
"Busyet! Menghadapinya lebih membingungkan dari seorang gadis yang ketus maupun penyedih sekalipun," kata Tirta dalam hati. Lalu katanya,
"Mungkin gurumu merasa sudah saatnya untuk tidak lagi melibatkan diri dalam urusan dunia. Bukankah ini sebuah kesempatan baginya untuk menikmati hidup tenang dihari tuanya" Mengapa kau justru merisaukannya?"
"Guru memang sudah tua... huhuhu... tet api dia tak pernah mengatakan hendak mengundurkan diri.... Guru jahat padaku... selagi aku diperintahkan unt uk berkelana karena Guru tak ingin melihat aku cengen g, kudengar kabar dia telah mengundurkan diri...."
"Kau baru mendengar kabar" Apakah kau sudah membuktikan kebenaran berita itu?"tanya Tirta pula.
"Sudah... aku tak sanggup untuk tidak menjadi cengeng... aku datang kembali menjumpai Guru... biar dia mau menerimaku sebagaimana adanya... huhuhu... aku memang cengeng... dan aku yakin Guru akan marah padaku karena aku belum berhasil menjadi pemuda yang tegar... tetapi, berita itu kudengar dan aku tak menjumpai Guru di tempat biasa... huhuhu.... Berarti berita itu benar.... Tetapi mengapa dia mengundurkan diri?"
"Sulit menjawab pertanyaan itu. Bahkan sulit menghadapinya...." Habis membatin begitu, pemuda dari Gunung Rajawali ini berkata,
"Lantas karena itu kau menjadi cengeng?"
"Tidak, tidak... aku sudah cengeng sejak dulu... kata Guru sejak kecil... huhuhu... kenapa Guru tak mengatakan padaku kalau dia hendak mengundurkan diri sebelumnya" Aku yakin... dia kecewa karena aku menjadi cengeng dan tak bisa menjadikan diriku sendiri sesuai yang diharapkannya...," kata Pendekar Cengeng dengan
suara pilu dan isakan yang keras. Tetapi tak ada air mata yang keluar.
"Sudahlah... kau tenang saja dulu. O ya, siapakah nama gurumu itu?"
"Aku tidak tahu siapa nama Guru sebenarnya... tetapi dia dikenal dengan julukan Dewa Langit...." Tak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu, Tirta sampai surut dua tindak kebelakang. Sesaat mulutnya dirapatkan dengan pandangan lurus ke arah Pendekar Cengeng yang terisak dan sedang mengingsut hidungnya.
"Huhuhu... jangan tatap aku seperti itu... aku yakin kau mentertawakan karena aku cengeng... iya" Begitu"!" - Buru-buru Tirta menggelengkan kepalanya.
"Jangan salah sangka. Kalaupun kau cengeng mungkin karena memang sudah sifatmu. O ya, berapa lama kau meninggalkan gurumu?"
"Huhuhu... kira-kira sudah lima bulan... dan ketika aku tak sanggup untuk meneruskan kelanaku, kuputuskan untuk mendatangi Guru kembali. Tetapi kudengar kabar...."
"Ya, ya!"putus Tirta cepat karena dia sudah dapat menebak kelanjutan ucapan Pendekar Cengeng.
"Jadi kau tidak tahu kalau gurumu bermaksud mengundurkan diri?" Pendekar Cengeng mengangguk dan tangan kanannya bergerak seolah menghapus air matanya, padahal air mata itu tak keluar sama sekali.
Tirta yang merasa mendapat kesempatan untuk mencari jawaban atas pikiran yang ada di benaknya, kembali ajukan tanya,
"Apakah kau mendengar pula teka-teki yang hendak dijalankan gurumu?"
"Ya, ya... aku heran mengapa Guru melakukan seperti itu... huhuhu... padahal dia bilang kalau seluruh ilmu yang dimilikinya telah kukuasai... tetapi mengapa dia justru menebarkan teka-teki barang siapa yang berhasil menemukannya, maka dia akan mewarisi seluruh ilmunya... buhuhu.... Guru membohongiku... aku dibohonginya.... Tetapi, sebenarnya aku senang punya saudara satu guru. Hanya saja tidak dengan cara yang dilakukan Guru...."
"Tidak! Gurumu tidak berbohong! Pendekar Cengeng...."
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu... namaku Rangkuti...."
"Baiklah.... Rangkuti, dengar ucapanku sekarang. Aku juga menangkap kabar tentang pengunduran diri Dewa Langit, yang baru kutahu adalah gurumu, dari rimba persilatan ini... mungkin bukan hanya aku yang mengetahuinya.... Dan yang menguatirkanku... akan timbulnya pertumpahan darah, di mana akan banyak orang-orang yang menginginkan ilmu milik gurumu dan senjata GadingTunggul Dewa....Tetapi, aku seperti menangkap sesuatu kalau semua ini adalah bolong."
"Bohong?"sepasang mata Rangkuti alias Pendekar Cengeng melebar. Isaknya seketika lenyap. Dalam keadaan seperti itu, dia memang seperti takhabis mengisak
ataupun mengalami kesedihan. Karena tak ada bekas bekas tangis pada kedua mata atau waj ahnya. Lalu lanjutnya,
"Tetapi... mengapa berita itu telah menyebar?" Seraya menganggukkan kepalanya Tirta berkata,
"Itulah yang membuatku heran. O ya... kenalkah kau dengan seorang lelaki tua berjuluk TengkorakBerbisa?" Pendekar Cengeng terdiam. Keningnya nampak dikernyitkan. Lalu dengan suara tanpa isak sedikit pun dia menjawab,
"Kalau bertemu muka dengan orangnya aku belum pernah. Tetapi julukan itu pernah kudengar."
"Apa yang kau ketahui?"
"Kendati guruku dengan Tengkorak Berbisa berbeda golongan, namun mereka berteman tetapi takbersahabat."
"Bagaimana dengan Dewi Neraka?" Kali ini kepala Pendekar Cengeng menggeleng.
"Aku tidak tahu sama sekali tentang perempuan itu." Tirta terdiam. Sesuatu yang melingkar di benaknya semakin kuat mendera. Tetapi semakin diusahakan untuk mengetahui persoalan apa yang membuatnya tak mempercayai titah dari negerilangit, semakin sulit baginya untuk menemukan. Kendati bayang-bayang itu tergambar.
"Mengapa kau terdiam?"tanya Pendekar Cengeng mengusik keterdiaman Tirta.
"Rangkuti... aku menangkap kalau ada orang lain yang menyebarkan berita bohong ini. Entah siapa yang menyuruh orang-orang seperti Tengkorak Berbisa dan Dewi Neraka melakukannya. Mungkin masih ada lagi orang lain yang menyampaikan berita tentang pengunduran diri Dewa Langit."
"Kalau memang begitu... untuk apa?"
"Aku tidak tahu." Lalu mendadak saja kembali Pendekar Cengeng terisak dan tersedu-sedul
"Huhuhu... kau sengaja tidak mau mengatakannya, ya" Karena aku cengeng... aku cengeng?" Sejenak Tirta melengak mendapati perubahan itu. Kontan buru-buru Tirta berkata,
"Tidak! Bukan maksudku untuk tidak mengatakannya... tetapi aku memang tidak tahu."
"Kalau kau tidak tahu... mengapa kau bisa berkata begitu... huhuhu... kau juga menganggap aku cengeng, ya"Tetapi bukan salahku kalau aku cengeng...berulang kali aku berusaha untuk tidak menjadi cengeng...."
"Busyet! Betul-betul susah menghadapi pemuda seperti ini. Tetapi sungguh tak kusangka kalau dia adalah murid Dewa Langit," kata Tirta dalam hati. Dan sebelum dia berkata-kata, Pendekar Cengeng sudah keluarkan suara tetap mengisak tetapi tetap tak keluarkan air mata,
"Kalau memang berita itu bohong, kalau memang kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, mengapa Guru tak ada ditempatnya" Mengapa?" Pertanyaan itu membuat Tirta semakin merasa mumet. Ya, mengapa" Dan di mana Dewa Langit berada" Untuk sesaat tak ada yang keluarkan suara kecuali isakan Pendekar Cengeng saja yang terdengar. Kejap kemudian Tirta berkata,
"Sulit menjawab pertanyaanmu itu, Rangkuti...."
"Huhuhu... aku tahu, aku yakin, kau memang sengaja tak mau memberitahu karena aku cengeng... aku tengeng.... Kau menyebalkan... kau menganggap aku juga cengeng... padahal aku telah berusaha untuk tidak jadi cengeng...." Sebelum Tirta membantah pernyataan pemuda yang di pinggangnya melilit kain warna hitam, sosok pemuda itu sudah melangkah menjauh sambil terisak. Bukan isakannya yang membuat Tirta terkesiap, tetapi gerakan si pemuda karena tahu-tahu dia sudah melangkah sejauh empat tombak. Terus melangkah dengan isakannya yang keras. Tinggal pemuda dari Gunung Rajawali yang merasa jadi tidak enak. Padahal dia tak bermaksud menyinggung perasaan Pendekar Cengeng, tetapi dia memang tak bisa menjawab pertanyaan si pemuda,
"Aku jadi tidak enak dengannya... nampaknya dia berusaha keras untuk tidak menjadi cengeng begitu. Tetapi, mungkin semenjak kecil dia sudah cengeng dan terbawa hingga remaja seperti sekarang. Aku yakin usianya tak jauh berbeda dengan usiaku. Tetapi... apa peuyebabnya hingga dia menjadi cengeng begitu?" Sesaat pemuda dari Gunung Rajawali ini terdiam dibuncah perasaannya sendiri.
"Kata-kata Pendekar Cengeng tadi cukup mengherankanku. Bila memang bukan Dewa Langit yang berada dibalik semua ini seperti perkiraanku, tetapi mengapa Pendekar Cengeng tak menemukannya" Apakah
titah dari negeri langit ini memang semata-mata murni direncanakan oleh Dewa Langit?" Pemuda ini kembali terdiam dan nampak kalau dia jadi meragukan pikirannya sendiri. Dua tarikan napas berikutnya, tak mau dibuncah pikiran tak menentu, pemuda ini berkata,
"Sebaiknya... kuteruskan saja untuk menjumpai Manusia Angin di Lembah Merpati.... Mudah-mudahan urusan yang akan dikatakannya berhubungan dengan teka-teki pengunduran diri Dewa Langit, yang kuyakini kalau inilah yang dimaksudkan Raja Lihai Langit Bumi yang disampaikannya melalui Bwana kepadaku. Dan kuharap dia bisa memberikan jalan keluarnya...." Berpikir demikian, pendekar kita ini sejenak arahkan pandangan pada Pendekar Cengeng. Tetapi sosok pemuda berpakaian putih itu sudah tak nampak dimatanya. Kejap kemudian, dia sudah teruskan langkah ke arah utara. Tempat itu kembali didera sepi. Hanya sinar matahari yang kian lama kian memudar.
Bab 4 Tepat tengah malam, Rajawali Emas tiba di Lembah Merpati. Untuk sejenak pemuda ini memperhatikan tempat itu. Beberapa ekor burung merpati beterbangan dan keluarkan suara bertekur.
"Hmmm...selama melangkah menuju kearah utara, lembah inilah satu-satunya yang kutemui. Menilik burung-burung merpati yang begitu banyak jumlahnya, aku yakin kalau inilah Lembah Merpati, Kalau begitu, dimana Manusia Angin berada?" Tak mau membuang waktu lagi, Tirta segera berkelebat masuk lebih ke dalam. Kendati malam cukup gelap, namun penglihatan mata si pemuda yang terlatih sama sekali tak terganggu. Namun sampai pagi hari, dia belum juga menemukan dimana Manusia Angin berada. Di bawah sebuah pohon, pemuda ini hentikan langkahnya sambil pandangi sekelilingnya.
"Aneh! Apakah Manusia Angin hanya mempermainkanku saja" Rasanya tak mungkin. Tetapi... di mana dia berada" Aku yakin, Dayang Harum masih bersama dengannya. Dan bisa jadi Ayu Wulan serta Dewi Awan Putih yang kulihat waktu itu mengikutinya juga bersama-sama dengannya?" Untuk sesaat pemuda dari Gunung Rajawali ini
-terdiam. Indera penglihatan dan pendengarannya dibuka lebih lebar. Diperhatikan setiap gerakan dengan sekSama.
Lalu diputuskan untuk segera mencari kembali. Tetapi sampai matahari sepenggalah, Tirta tetap tak menemukan dimana Manusia Angin dan yang lainnya berada.
Justru dia melihat bekas api unggun dibuat.
Sejenak pemuda ini kerutkan kening, mencoba mcncernakan apa yang terjadi.
"Kemungkinan yang pasti... mereka telah meninggalkan Lembah Merpati. Apakah ini dikarenakan mereka terlalu lama menunggu kedatanganku?"
Karena masih penasaran, Tirta memutuskan untuk mencari sekali lagi. Tetapi lagi-lagi hasilnya nihil Kemudian diputuskan untuksegera meninggalkan Lembah Merpati.
Tatkala pemuda ini baru saja keluar dari lembah itu, dilihatnya satu sosok tubuh berkulit hitam sejarak lima belas tombak bergerak dengan cepat. Gerakannya sangat aneh, melompat-lompat dengan kedua kaki bersila!
"Buang Totang Samudero...,"desis Tirta dalam hati.
"Mau ke mana dia" Mungkin ini jawaban atas pertanyaanku sendiri tatkala bertemu dengan D ewi Topeng Perak yang telah mengubah julukannya m enjadi Dewi Neraka. Hm... sebaiknya kuikuti saja lelaki tua yang selalu duduk bersila itu...."
Berpikir demikian, dengan cepat Tirta berkelebat
mengikuti Buang Totang Samudero yang bergerak ke arah timur.
Lalu, kemanakah perginya Manusia Angin, Dayang Harum, Ayu Wulan dan Dewi Awan Putih dari Lembah Merpati" Seperti kita ketahui, mereka memang sedang menunggu kedatangan Rajawali Emas ke Le mbah Merpati. Terutama Manusia Angin yang memang hendak meminta bantuan pemuda dari Gunung Rajawa li untuk menyelesaikan urusannya. Dan urusan yang di maksudnya hanya diketahuinya sendiri, sementara tiga gadis jelita yang bersamanya hanya mengetahui sediki t (Baca :
"Titah Negeri Langit"). Setelah menikmati daging burung merpati panggang, Manusia Angin langsung tertidur, sementara ketiga gadis itu tetap terjaga. Bahkan mereka bercakap cakap untuk merangkaikan urusan apa yang hendak dilakukan oleh Manusia Angin.
"Menurut kakek Manusia Angin, seseorang berjuluk Dewa Langit bermaksud mengundurkan diri. Dan barang siapa yang pertama kali menemukannya, maka dia berhak untuk mewarisi seluruh ilmunya yang telah dituangkan pada puluhan gulungan daun lontar. Juga sebuah senjata mustika yang bernama Gading Tunggul Dewa...," kata Dayang Harum sambil pandangi bergantian pada Ayu Wulan dan Dewi Awan Putih.
"Ya, memang seperti itu keadaannya," kata gadis yang di bibir atas sebelah kanan terdapat sebuah tahi lalat kecil.
"Tetapi yang mengherankanku, mengapa dia membutuhkan bantuan Rajawali Emas" Sebenarnya... siapakah yang berurusan dalam hal ini?"
"Kau benar, Ratna...," kata Ayu Wulan sambil mcnatap Dewi Awan Putih yang bernama asli Ratna Sari
"Aku juga heran. Kalaupun urusannya memang berkisar tentang pengunduran diri Dewa Langit, mengapa kakek Manusia Angin tidak mencarinya" Bukankah dia sendiri merasa tak percaya dengan pengunduran diri Dewa Langit?" Pertanyaan demi pertanyaan terlontar, tetapi tak ada yang menjawab. Masing-masing gadis kini terdiam.
"Lantas... apa yang akan kita lakukan?" pertanyaan Dayang Harum memecah kesunyian. Ayu Wulan saling pandang dengan Dewi Awan Putih. Sejurus kemudian dia berkata,
"Aku sebenarnya tertarik untuk mengetahui kebenaran tentang pengunduran Dewa Langit. Aku sama sekali tak bermaksud untuk mendapatkan keberuntungan itu bila memang demikian adanya. Bagaimana kau, Ratna?"
"Begitu pula denganku sebenarnya. Cuma yang masih membuatku heran, mengapa kakek Manusia Angin membutuhkan bantuan Rajawali Emas?" sahut Dewi Awan Putih.
"Kalau begitu... apa yang akan kau lakukan?"
"Menanyakan soal itu langsung pada kakek Manusia Angin sama juga bohong. Karena aku yakin, kendati dia akan menjawab tetapi sulit dicernakan karena
sifatnya selalu acuh tak acuh."
"Jadi?"pancing Ayu Wulan sambil tersenyum.
"Jalan satu-satunya... adalah melacak dimana Dewa Langit berada."
"Tepat! Aku juga bermaksud seperti itu. Satu hal lagi, untuk mengetahui semua ini secara pasti, kita harus berhasil menjumpai Kang Tirta." Sementara Dewi Awan Putih menganggukkan kepala, Dayang Harum berkata,
"Kalian telah memutuskan demikian. Kalau begitu, biarlah aku tetap bersama kakek Manusia Angin."
"Begitu juga boleh," sahut Ayu Wulan.
"Bila kakek Manusia Angin sudah bangun, aku dan Dewi Awan Putih akan menceritakan maksud kita itu...."
"Mudah-mudahan dia mau mengerti. Dan paling tidak menjelaskan semua ini,"sahut Dayang Harum. Dan yang terjadi kemudian bukan mudah-mudahan lagi. Begitu terbangun dari tidurnya, Manusia Angin berkata sebelum salah seorang dari ketiga gadis itu mengatakan hasil rembukan mereka,
"Bagus kalau kalian mau meninggalkanku! Malah aku tidak pusing! Hei, kau! Mengapa kau tidak ikut dengannya, hah"!" Gadis berjubah dan berikat rambut warna biru pekat itu mendengus. Dia tak heran mendapati kakek yang tingginya hanya sebahunya itu sudah tahu apa yang akan mereka lakukan. Ini disebabkan karena Manusia Angin yang memiliki kepandaian membaca jalan pikiran orang lain, telah membaca pikiran masing-masing gadis.
"Ini karena kau tak mau mengatakan yang sebenarnya, Kek!" kata Ayu Wulan. Si kakek yang memiliki rambut hanya sejumput itu, berkata dengan sikap acuh tak acuh,
"Siapa bilang aku tak mau mengatakannya" Semuanya sudah kukatakan dan hanya itu yang kuketahui!" Lalu sambungnya dengan nada bersungut-sungut,
"Tidak percaya juga!"
"Kek! Kenapa kau membutuhkan bantuan Rajawali Emas"! Apakah...." "E, copot, copot!" bentak Manusia Angin melotot pada Dayang Harum.
"Berapa kali kukatakan padamu, tidak usah berteriak!" Salah seorang dari Dayang-dayang Dasar Neraka ini pasang wajah merajuk.
"Kau ini! Siapa sebenarnya yang membentak" Apakah kau tidak salah omong"!"
"Masa bodoh! Aku memang membutuhkan bantuan pemuda dari Gunung Rajawali itu!Tidak tahu kenapa?" sahut si kakek yang di pinggangnya terdapat ikat pinggang terbuat dari kulit warna putih. Dan di sepanjang ikat pinggang itu terdapat gambar hembusan angin.
"Aneh! Kau membutuhkan bantuannya, tetapi kau tidak tahu mengapa kau membutuhkan bantuannya" Apa ini tidak aneh"!"sungut Dayang Harum yang merasa yakin kalau Manusia Angin menyembunyikan seSuatu. Sikakek tak menyahut. Dia sudah bersikap acuh tak acuh kembali. Mulutnya nampak menggerutu tetapi tak ada suara yang keluar. Dewi Awan Putih berkata,
"Kalau begitu, aku dan
Ayu Wulan akan meneruskan rencana yang telah kami rembukan."
"Bagus!" sahut Manusia Angin tetap tak acuh. Kemudian dia berkata pada Ayu Wulan,"Dan aku tahu apa yang sedang kau pikirkan, Gadis Manis!" Ayu Wulan melengak sejenak. Dia tahu kalau saat ini si kakek sedang membaca jalan pikirannya. Yah... gadis berpakaian putih bersih dengan sulaman bunga mawar di atas dada sebelah kanan ini sesungguhnya sangat merindukan Rajawali Emas. Sekian lama dia mencari pemuda itu, setelah bertemu di Pulau Buangan, hanya singkat saja. Lalu dengan suara gemas karena si kakek menjahilinya dia berkata,
"Memangnya kenapa, hah"!"
"Jangan berteriak! Kau juga mau bikin gendang telingaku pecah, hah"! Ya, sudah! Sana kalian pergil Ingat pesanku, berhati-hati! Melacakjejak Dewa Langit kendati kalian tak bermaksud untuk mendapatkan ilmu yang dimilikinya, bukanlah perjalanan mudah. Dalam bayanganku, sudah banyak para tokoh yang tenggelam dalam teka-teki ini dan secara tak langsung membangkilkan naluri serakah mereka!" Ayu Wulan dan Dewi Awan Putih saling pandang sejenak. Setelah sama-sama anggukkan kepala, Ayu Wulan berkata,
"Kami berangkat sekarang! Mudah mudahan kita bertemu lagi!"
"Hei, hei! Kenapa dia tidak kalian ajak"!"s eru Manusia Angin sambil menunjuk Dayang Harum. Bu kannya Ayu Wulan yang menjawab, Dayang Harum ya ng berseru,
"Kau ini kenapa sih" Kalau kau tak suka aku ikut denganmu, bilang saja!!"
Mendengar omelan itu, Manusia Angin terkekehkekeh.
"Siapa bilang aku tidak suka?" Kali ini Dayang Harum tersenyum. Lalu diarahkan pandangannya pada Ayu Wulan dan Dewi Awan Putih. Seperti mengerti isi hati masing-masing, ketiga gadis itu saling menganggukkan kepala menyusul segera berkelebatnya Ayu Wulan dan Dewi Awan Putih. Sepeninggal keduanya, Dayang Harum berkata,
"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Kek?"
"Maumu bagaimana" Mencari burung-burung merpati untuk dipanggang" Silakan, aku juga lapar!"
"Soal itu mudah! Tapi..."
"Kita juga harus segera keluar dari tempat ini!" potong Manusia Angin. Tatkala melihat kening Dayang Harum berkernyit, dia berkata lagi,
"Kupikir... memang sudah saatnya kita keluar dari tempat ini! Terlalu lama menunggu kehadiran Rajawali Emas! Kemungkinan besar, pemuda itu tengah mengalami berbagai pertanyaan di pikirannya." Sebelum Dayang Harum menyahuti kata-kata itu, Manusia Angin sudah melangkah ke arah yang berlawanan yang ditempuh Ayu Wulan dan Dewi Awan Putih. Sikapnya tetap tak acuh.
"Hei, Kek!Tunggu aku!!"
"Busyet! Dia berteriak lagi! Benar-benar hendak bikin kedua telingaku pecah!" gerutu Manusia Angin
dalam hati tanpa hentikan langkahnya. Dayang Harum segera menyusul,
"Bagaimana dengan daging-daging merpati panggang"!"
"Masa bodoh! Aku jadi tidak lapar begitu melihat
wajahmu!!"sahut Manusia Angin terus melangkah.
Bab 5 PEMUDA tampan berpakaian putih panjang dengan sebuah kain warna hitam yang melilit pada pinggangnya, menghentikan langkahnya disebuah jalan setapak. Dari mulutnya terdengar isakan tangis, tetapi dari kedua matanya tak mengeluarkan air mata sama sekali. Sementara hari kembali menjelma menjadi siang. Sinar matahari yang cukup menyengat tak begitu mengganggu karena ditempat itu dipenuhi pepohonan tinggi. Sambil pandangi sekelilingnya, pemuda berpakaian putih itu berkata disertai isakannya,
"Huhuhu.... Guru, di mana kau berada" Mengapa kau tak mengatakan kepadaku kalau kau akan mengundurkan diri dari rimba persilatan" Huhuhu... mengapa" Padahal aku ingin mengatakan... kalau aku tak bisa memenuhi harapanmu... huhuhu... jangan salahkan aku kalau menjadi cengeng seperti ini, Guru... huhuhu...." Pemuda yang tak lain Pendekar Cengengadanya ini terdiam sejenak, tetapi isakannya tetap terdengar. Beberapa ekor burung terbang lalu. Beberapa dedaunan yang telah kering berjatuhan melewati kepalanya dan beberapa helai menerpa tubuhnya. Tetapi tak dihiraukan keadaan di sekelilingnya.
"Huhuhu... mengapa kau pergi, Guru" Mengapa" Padahal aku hendak minta maaf padamu... karena aku
gagal menjadi orang yang tegar. Tetapi... bukan salahku kalau aku menjadi cengeng. Huhuhu... bukan salahku.... Aku tahu... aku tahu Mengapa kau mengundurkan diri dari rimba persilatan ini... pasti kau kecewa karena aku tidak bisa tegar... huhuhu.... Guru. maafkan aku... maafkan aku...." Lamat-lamat pemuda ini melangkah ke bawah sebuah pohon. Seperti anak kecil, dia langsung berjongkok dengan kedua telapak tangan menutup wajahnya.
"Huhuhu... kenapa aku jadi cengeng begini " Kenapa aku sangat cengeng" Padahal Guru telah beru saha memberikan jalan keluar agar aku tidak cengeng. Padahal Guru telah memberiku kesempatan untuk meli hat dunia luar, agar aku bisa tegar. Tetapi mengapa aku malah semakin jadi cengeng" Huhuhu... tak seharusny a aku cengeng begini... tak seharusnya aku makin ceng eng karena tak bertemu Guru. Tetapi... huhuhu... Guru j ahat, jahat sekali.... Dia tidak bilang apa-apa kalau mau mengundurkan diri...." Pemuda ini memutus kata-katan ya sejenak. Sambil mengingsut hidungnya dia melanjutkan tetap terisak,
"Aku tahu sekarang... mengapa Guru menyuruhku untuk melihat dunia luar... huhuhu... dia sebenarnya bukan menginginkan agar aku bisa menjadi tegar, tetapi... huhuhu... dia memang sengaja melakukannya sehingga bisa menjalankan rencananya untuk mengundurkan diri...." Kembali pemuda ini terisak-isak tetap tanpa air mata yang keluar. Cukup lama dia tak keluarkan katakata kecuali isakannya belaka.
Mendadak saja tiba-tiba isakannya terhenti. Sepasang matanya yang tajam, memandang tak berkedip ke depan seolah ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Saat dia bersikap seperti itu, tak ada tanda-tanda kalau dia cengeng.
"Tidak!" desisnya tiba-tiba dengan tangan kanan dikepalkan.
"Aku harus tegar! Aku tak boleh cengeng! Jelek! Kotor! Memalukan! Cengeng itu hanya pantas dilakukan anak kecil! Aku sudah besar! Usiaku sudah tujuh belas tahun! Aku tidak boleh cengeng! Tidak boleh!!" Sejenak si pemuda memutus kata-katanya sendiri, seolah tak percaya dengan apa yang diucapkannya baru- Sam.


Rajawali Emas 53. Pendekar Cengeng di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hei! Aku bisa tegar! Ternyata aku tidak cengeng!" Mendadak saja dia berlompatan dan berseru-seru keras hingga suaranya begitu menggema,
"Guru! Aku tidak cengeng lagi! Aku tidak cengeng!" Seperti anak kecil yang mendapatkan gula-gula, pemuda ini menari-nari sambil berseru-seru,
"Guru! Aku tidak cengeng lagi! Kau boleh bangga sekarang! Dan kau harus bangga! Guru! Guru" Dimana kau, Guru" Di mana?" Seketika pemuda ini hentikan setiap gerakannya sementara pandangannya diedarkan. Untuk sesaat sepasang matanya terpentang lebar. Tetapi di lain saat, kedua matanya mulai mengerjap-ngerjap. Tatkala menyadari kalau gurunya tak berada disana, mendadak saja dia mewek kembali!.
"Huhuhu.... Guru... kau di mana" Mengapa kau mengundurkan diri tanpa bilang-bilang padaku" Mengapa kau lakukan itu" Huhuhu...." Kembali dia terisak-isak tetap dengan air mata yang tak keluar. Isakan dan suaranya yang cukup keras terdengar, memancing perhatian perempuan berpakaian kuning cemerlang yang baru tiba di tempat itu.
"Gila! Apakah penghuni tempat ini yang sedang menangis?"desis perempuan ini dalam hati. Sejenak ditajamkan indera pendengarannya.
"Isakan itu berasal dari sebelah kanan.... Ingin kulihat siapa yang cengeng begitu" Barangkali saja dia memang salah seorang yang harus kusampaikan titah dari negeri langit yang kuemban ini...." Kejap kemudian, perempuan ini sudah berkelebat. Kendati dia penasaran, namun dia tak segera menampakkan diri. Justru bersembunyi di balik ranggasan semak sejarak sepuluh tindak dari tempat si pemuda. Seketika kening perempuan berpakaian kuning cemerlang ini berkernyit tatkala mendapati siapa yang mengisak itu.
"Aneh! Baru kali ini kulihat ada pemuda yang cengeng begitu" Hmm... siapa dia sebenarnya" Mengapa dia bersikap seperti itu" Siapa pula gurunya?" Kembali sepasang mata itu memperhatikan dengan seksama.
"Kalau begini adanya, buat apa kuberita hukan padanya tentang titah dari negerilangit. Huh! Bar u kali ini
kulihat ada orang yang cengeng begitu!" Perempuan yang tak lain Dewi Neraka ini kembali arahkan pandangan pada Pendekar Cengeng yang sedang terisak-isak sambil mengusap-usap matanya.
"Guru... di mana kau" Mengapa kau meninggalkan aku.... Huhuhu... mengapa aku tak bisa tegar, mengapa aku tak bisa tenang" Mengapa aku cengeng begini" Huhuhu... kau pasti kecewa melihat sikapku yang tak pernah berubah ini hingga kau men gundurkan diri...." Kening Dewi Neraka kembali berkerut . Diam-dian dia membatin,
"Beberapa kali dia mengatakan gurunya mengundurkan diri. Jangan-jangan...." Memutus kata batinnya sendiri, perempuan yang sebelumnya berjuluk Dewi Topeng Perak ini segera melompat keluar. Lompatannya begitu ringan sekali dan berdiri sejarak empat langkah dari sosok Pendekar Cengeng yang masih berjongkok dan mengisak.
"Anak muda! Siapa kau sebenarnya" Mengapa begitu cengeng seperti anak kecil"!" serunya saat itu juga dengan suara yang mengguntur Seperti baru mengetahui ada orang lain dihadapannya, pemuda berpakaian putih ini sejenak angkat kepalanya. Di lain saat dia sudah tundukkan kembali kepalanya dengan mengisak. Seolah kehadiran Dewi Neraka hanya angin lalu belaka. Mengkelap Dewi Neraka mendapati pertanyaannya diacuhkan. Terutama menyadari sikap si pemuda yang seperti hanya memandang sebelah mata padanya. Tetapi dia tampak berusaha untuk tindih amarahnya,
mengingat dia punya dugaan sendiri tentang guru si pemuda.
"Anak muda! Apakah karena kau cengeng begitu hingga kedua telingamu menjadi tuli"!" Bukannya sahuti ucapan orang, Pendekar Cengeng justru mengisak tersedu-sedu dan berkata dengan suara keras,
"Aku dikatai tuli" Aku dikatai tuli"! Huhuhu. mengapa begitu banyak orang yang mengata-ngataiku"!" Dewi Neraka seketika kerutkan keningnya. Sepasang matanya menyipit dalam.
"Jahanam! Dia justru berteriak-teriak tidak karuan" Siapa dia sebenarnya" Sikapnya sungguh-sungguh memancing penasaran. Dan mengenai gurunya yang dikatakan mengundurkan diri, kemungkinan besar adalah Dewa Langit!" Terkejut akan jalan pikirannya sendiri, Dewi Neraka tegakkan kepala.
"Kalau begitu... dia adalah murid Dewa Langit"!" Sebelum Dewi Neraka buka mulut, terdengar seruan keras sipemuda sambil mengulap-ulapkan tangannya tetapi tidak mengangkat kepala,
"Perempuan jelek! Sana pergi! Jangan ganggu aku! Huhuhu... kau muncul hanya mengatai aku tuli saja"!" Makin mengkelap perempuan berpakaian kuning yang didadanya terdapat kain warna merah tanda pakaian di bagian itu pernah sobek dan ditambal.
"Setan keparat! Siapa kau sebenarnya"!"
"Tidak usah tanya! Tadi kau bilang aku tuli! Waktu lalu... pemuda berjuluk Rajawali Emas mengatakan aku
ini sebangsa makhluk aneh! Huhuhu... padahal aku cuma cengeng saja...ya, ya... cuma cengeng saja...." Mendengar ucapan si pemuda, nampak sosok Dewi Neraka bergetar. Sepasang rahangnya me ngembung keras, kejap kemudian terdengar suara raha ng dikertakkan. Dia memaki dalam hati,
"Jahanam! Bila saja aku tak mengemban tugas dari negeri langit, sudah kubunuh Rajawali Emas waktu itu!" Memang, Dewi Topeng Perak yang kini mengubah julukannya menjadi Dewi Neraka sebelumnya pernah bertemu dengan Rajawali Emas. Perempuan yang memiliki sejuta dendam karena beberapa kali Rajawali Emas menggagalkan seluruh keinginannya, memutuskan untuk tidak mencoba lagi membunuh pemuda itu. Ini dikarenakan dia harus menyebarkan titah dari negeri langit pada siapa pun juga atas perintah Tengkorak Berbisa. Bahkan beberapa kali perempuan tua yang masih memiliki bentuk tubuh indah dan wajah jelita ini dijadikan pemuas nafsu oleh Tengkorak Berbisa. Kalau pun dia melakukan semua ini, karena bersama Buang Totang Samudero, dia berada dibawah kekuasaan orang itu yang menyuruhnya menelan paksa pil racun yang pemunahnya hanya dimiliki oleh Tengkorak Berbisa (Untuk lebih jelasnya, silakan baca:
"Titah Negeri Langit"). Kendati dia dibawah kekuasaan Tengkorak Berbisa dan tubuh yang telah menelan pil racun, tetapi di dasar hatinya Dewi Neraka tak sudi diperbudak lebih lama. Dia memang tidak tahu mengapa Tengkorak Berbisa
menyuruhnya dan Buang Totang Samudero menyebarkan berita tentang pengunduran diri Dewa Langit. Tetapi lama kelamaan Dewi Neraka menjadi tertarik untuk melacak di mana Dewa Langit berada. Dengan tujuan, bila dia berhasil menemukan di mana Dewa Langit, maka dia akan mewarisi seluruh ilmu dan senjata mustika Gading Tunggul Dewa. Di samping itu, dia akan membebaskan diri dari pengaruh Tengkorak Berbisa. Tujuan itu akan dilakukan, bila dia sudah mendapatkan obat pemunah yang menurut Teng korak Berbisa harus dilakukan sebanyak lima kali. Kem bali dengan kedua mata dipentangkan dia berkata ding in,
"Siapa yang kau maksudkan dengan gurumu yang telah mengundurkan diri itu?" Pendekar Cengeng tak keluarkan sahutan, hanya isaknya yang terdengar.
"Jahanam!!" maki Dewi Neraka dengan kedua tinju dikepalkan.
"Jawab pertanyaanku, sebelum nyawamu kukirim ke neraka!!" Kembali Pendekar Cengeng tak menjawab. Dia tetap tundukkan kepala dengan isakannya. Dewi Neraka kertakkan rahangnya tanda dia sudah tak bisa lagi tindih amarahnya.
"Pemuda sialan! Kau rupanya memang memilih mampus ketimbang menjawab pertanyaanku"!" Sebelum Dewi Nerakalancarkan pukulan guna melampiaskan rasa kesalnya, tiba-tiba sajasi pemudamengangkat kepalanya. Sejenak dia terdiam dengan mata mengerjap-ngerjap. R:"Huhuhu... tadi kau bilang aku ini tuli! Ketika aku berlagak tuli, mengapa kau harus marah" Huhuhu... bukankah seharusnya kau malah senang karena omonganmu terbukti?"sahut Pendekar Cengeng yang semakin membuat amarah Dewi Neraka kian naik keubun-ubun dan rasanya sukar untuk ditindih lagi.
"Jahanam sial! Lebih baik kau mampus saja!!" Belum habis ucapannya terdengar, diiringi hawa marah tinggi, Dewi Neraka sudah menggerakkan tangan kanannya dengan cara mendorong. Di bawah pohon, Pendekar Cengeng masih terduduk seolah tak menyadari betapa ganasnya gelombang angin yang menderuke arahnya. Blaam!! Terdengar suara letupan keras tatkala gelombang angin yang dilepaskan Dewi Neraka menghantam pohon dibelakang Pendekar Ceng eng tadi duduk. Menyusul terdengar suara berderak dan tumbangnya pohon itu yang menimbulkan suara meng gemuruh dan meniban ranggasan semak di belakangny a hingga tertindih, dan beberapa helai daunnya beterba ngan. Mendapati hasil pukulannya, Dewi Neraka tersen yum puas. Sepasang matanya bersinar cerah. Nada sua ranya begitu puas saat berkata,
"Hhh! Lebih baik kau memang mampus saja! Itulah upah atas sikap sialanmu!!" Tetapi alangkah terkejutnya perempuan berpakaian kuning cemerlang ini tatkala mendengar isakan di belakangnya. Serta merta dia putar tubuh. Dan seketika nampak langkahnya surut dua tindak ke belakang de
ngan kedua mata terbuka lebih lebar, tatkala melihat ke depan.
Bab 6 DilIhATNYA sosok pemuda berpakaian putih itu telah berjongkok di bawah pohon sejarak lima langkah dari tempatnya berdiri.
"Gila! Bagaimana mungkin ini terjadi"!" desisnya dengan kedua mata terbeliak. Sepasang matanya memandang tak berkedip pada si pemuda. Sosok pemuda yang tak lain Pendekar Cengeng masih mengisak dengan kepala tertunduk, seolah tak ada sesuatu yang menganggunya. Bahkan sikapnya seolah melupakan kehadiran dan maut yang tadi dilepaskan oleh Dewi Neraka. Sementara itu, menyadari kalau pemuda itu bukan orang sembarangan, Dewi Neraka untuk sesaat tak lakukan gerakan apa-apa. Bahkan mulutnya dikatupkan rapat-rapat dengan dada yang tiba-tiba berdebar. Diam-diam perempuan ini membatin,
"Rasanya... dugaanku tepat kalau dia adalah murid Dewa Langit. Hmm... ini kesempatanku untuk mengetahui di mana Dewa Langit berada. Biar bagaimanapun juga, aku tak ingin dikuasai Tengkorak Berbisa terus menerus. Kesaktian pemuda ini saja sudah begitu mengkederkan, lantas bagaimana dengan Dewa Langit sendiri" Hmmm... keinginanku semakin besar untuk berhasil menemukan Dewa Langit...."Karena rasa serakah yang telah mengayuti hatinya. seraya maju satu langkah, perempuan ini keluarkan bentakan,
"Pemuda celaka! Katakan dimana gurumu berada"! Niscaya nyawamu akan kuampuni!!" Lagi-lagi Pendekar Cengeng hanya terisak, bahkan tanpa mengangkat kepalanya. Menggigil tubuh Dewi Neraka mendapati ucapannya dianggap angin lalu belaka. Kedua tinjunya dikepalkan kuat-kuat. Dengan suara bergetar dan wajah mengkelap, dia kembali keluarkan bentakan,"Keparat" Cepat katakan padaku!" Tetap dengan tundukkan kepala, pemuda itu mengsak. Seolah tak mendengar makian Dewi Neraka yang begitu keras. Sikap yang diperlihatkannya itu makin membuat wajah perempuan berpakaian kuning cemerlang bertambah mengkelap. Tak kuasa tahan amarah lebih lama lagi, Dewi Neraka sudah mencelat ke depan disertai sentakan kedua tangannya.
"Jahanam sial" Serta merta melabrak dua gelombang angin yang keluarkan suara menggemuruh mengarah pada Pendekar Cengeng yang masih mengisak di bawah pohon dan bersikap seolah tak mengetahui bahaya yang datang. Wuuusss! Blaaartr: Tanah di mana tadi sosok Pendekar Cengeng beriongkok, langsung rengkah terhantam gelombang pukulan Dewi Neraka. Debu-debu bercampur ranggasan semak berhamburan di udara! Sementara lagi-lagi pohon besar yang ada di belakangnya tumbang menggemuruh.
Lorong Kematian 3 Anak Anak Nakal Karya Unknown Putri Pembuat Kembang Api 1

Cari Blog Ini