Ceritasilat Novel Online

Madakaripura Hamukti Moksa 1

Gajah Mada Madakaripura Hamukti Moksa Karya Langit Kresna Hariadi Bagian 1


A ] GK TIGA SE RAN Gajah Mada Madakaripura Hamukti Makna
Langit Kresna Hariadi Editor: Sukini Desain sampul: Hapsnrn Ardianto & Angga Indi-awan
Penata letak isi: Achmad Mustafa
Cetakan pertama: 200"
Penerbit Tiga Serangkai Jln. Dr. Supomo 23 Selo Tel. 6331314344, Fair. 62-2"1-"1360"
http:!!mtigaaerangkaixaid e-rnail: temetigaeerangkainnid
&nggota IKAPI Perpustakaan Nasional: Katalng Dalam Terbitan (KDT)
Hariadi, Langit Kresna Gajah Mada, Madakaripura Hamukti MnksafLangit Kresna Hariadi
Cet. I " Stilo Tiga Serangkai, 200"
it, 532 hlm.; 21 em ISBN waaa-uma 1. Fiksi 1. Judul DHal-t cipta dilindungi oleh undang-undang
AJ" Rrigbfr Rarened "
Dicetak oleh PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri
Kata "angantar "enerGit
getapapun panjang sebuah perjalanan, pasti akan sampai juga
pada titik akhir. Betapapun sempurna keindahan mentari pagi di ufuk
timur, betapapun garang ia membakar bumi tepat di siang hari, ketika
senja membayang, toh ia harus tenggelam juga.
Lakon Gajah Mada telah pula sampai di ujungnya. Tragedi Bubat
telah melukai begitu banyak pihak dan berdampak sangat luas. Prabu
Hayam 1Wuruk terluka karena cintanya yang sedang mekar tiba-tiba
dihadapkan pada maut. Keluarga Raja Majapahit terluka karena akar
sejarahnya yang begitu dekat dengan Sunda Galuh mendadak dipangkas
dengan paksa. Sunda Galuh adalah pihak yang paling terluka, bukan
saja karena harga diri yang dilecehkan tanpa ampun, melainkan juga
karena semangat perdamaian, harapan, dan kepercayaan mereka
terhadap Majapahit dinodai hingga titik paling hitam.
Bagaimana dengan Gajah Mada" Gajah Mada ditempatkan sebagai
pihak paling bersalah atas tragedi itu. Ia dihujat, dicaci, dan dicela.
Namun, sesungguhnya sang legendaris ini juga merasa terluka. Ia
terluka karena merasa kerja kerasnya selama dua puluhan tahun lebih
pada akhirnya tak ada harganya sama sekali. Segala pengorbanan yang
ia berikan untuk dapat menyatukan seluruh wilayah Nusantara di bawah
panji-panji Majapahit justru gagal di langkah terakhir.
Namun, tak peduli betapapun kecewa Gajah Mada mendapati
kenyataan cita-citanya tak terwujud secara sempurna, ia tetap bersalah
telah menyebabkan ratusan orang terbantai. Ia bersalah telah mengubah
lengkung janur kuning menjadi ratap perkabungan. Gajah Mada pun
. harus menerima hukumannya. Ia dihempaskan dari dhanaa" keparihan
dan harus melewati hari tua di Madakaripura, sebuah tempat terpencil
dan jauh dari segala ingat-bingar urusan duniawi.
Akan tetapi, sekali lagi sejarah membuktikan bahwa nama besar
Gajah Mada bukan isapan jempol belaka. Sepeninggal Gajah Mada,
Majapahit mulai dilanda berbagai persoalan. Persoalan terbesar adalah
ancaman disintegrasi. Tanpa Gajah Mada, negara-negara bawahan
Majapahit tak lagi takut memperjuangkan kemerdekaan.
Dan, PrabuHayam Wuruk akhirnya harus kembali mengandalkan
Gajah Mada. Setelah setahun menyepi di Madakaripura, Gajah Mada
dipanggil untuk menduduki jabatannya kembali. Hanya saja, semua ada
masanya. Sepertinya, puncak kejayaan memang sudah saatnya berlalu
dari Majapahit karena Gajah Mada tetaplah manusia biasa. Gajah Mada
tidak mungkin dapat membendung laju sang waktu. Gajah Mada tidak
mungkin pula dapat melawan kodrat.
Dari tiada menjadi ada, lalu kembali ke tiada. Semua yang hidup
pasti berujung pada kematian. Begitulah yang bakal terus terjadi. Gajah
Mada dengan segala romantika dan gegap gempitanya usai sudah.
Drama Majapahit adalah cermin yang merefleksikan betapa tidak ada
manusia yang sempurna, seorang Gajah Mada sekalipun, bahwa. hidup
tidak berhenti pada satu titik, bahwa ambisi harus dikendalikan, dan
bahwa kerendahan hati mesti dimiliki.
Terima kasih tak terhingga kami sampaikan kepada pembaca
sekalian yang telah begitu setia mengikuti perjalanan Gajah Mada
hingga di ujungnya ini. Tiga Serangkai Kata (Pengantar Ghazali; Ada banyak kisah di balik proses kreatif yang saya lakukan dalam
penulisan buku seri Gajah Mada yang Anda baca selama ini, mulai
dari yang menyebalkan hingga yang menggugah semangat, dari yang
mengharukan sampai yang menyentuh permukaan hati. Batin'! saya
dipenuhi banyak masukan, saran, kritik, dan hal"hal yang sungguh
indah serta tidak terduga seperti yang saya ceritakan berikut ini.
Seorang pengirim annii yang tidak perlu saya sebut namanya, _
mengaku terpesona pada beberapa kutipan bahasa Jawa yang saya
gunakan. Memang saya menulis kalimat imazahra margin" kuningan, yang
artinya lebih kurang adalah bulan bersinar tampak jelas wujudnya.
Rangkaian kalimat itu agaknya menjadi penyebab seorang perempuan
yang sedang hamil tua merasa gelisah. Perempuan yang sudah tahu
anaknya akan lahir berjenis kelamin sama dengan dirinya itu merengek
kepada sang suami tercinta agar anaknya nanti diberi nama Sasadara
Manjer Kawuryan. Didorong oleh cinta yang sedemikian besar kepada sang istri,
sang suami pun mengirim surat elektronik meminta izin kepada saya.
Rupanya, ia amat menghormati saya sebagai pemilik kalimat itu tak
ubahnya hak cipta. "Kalau diizinkan terima kasih, kalau tidak boleh
tidak apa-apa," demikian isi suramya. Tanpa harus menunggu lama
untuk menimbang, tidak hanya izin, restu pun saya berikan.
Menurut penulis email itu selanjutnya, orang tuanya dan keluarganya sampai terkaget-kaget mendapati bayi itu diberi nama aneh itu.
Saya pun tidak sulit menebak, setelah berjuang keras menghubungi
saya, orang tua bayi itu masih harus berjuang keras menjelaskan kepada
kerabatnya atau siapa pun yang mempersoalkan nama tersebut. Dalam
pelepasan buku saya, Gajian Mada, Parang Baba! di Jakarta akhir 2006
lalu, ayah bayi itu hadir. Saya pun memberi ucapan selamat dengan
sebuah pelukan. Tak hanya orang tua muda dari Jakarta ini, seorang pengirim aaa-ai!
lain pun menandai anak gadisnya dengan nama Ardhanareswari. Itu
adalah gelar Ken Dedes sebagai perempuan utama yang melahirkan
raja-raja. Setelah nama yang ia anggap indah itu berhasil tercatat di akte
kelahiran anaknya, baru ia mengabari saya. Saya senang mendengar itu
dan saya ucapkan selamat pula.
Lalu, seorang perempuan dari Jember, ia mengaku berprofesi
sebagai bidan. Ia sering kelimpungan jika dimintai bantuan memberi
nama anak yang lahir selamat lewat bantuannya. Bidan itu"tidak
tanggung"tanggung"minta dibuatkan langsung dua puluh lima buah
nama. Maka, seperti ketika saya menyiapkan sederet nama sebelum
pengerjaan sebuan novel, kali itu saya lakukan pula untuk sebuah '
alasan berbeda. Melayani pembaca dalam pertemuan secara langsung sungguh
menyenangkan hati. Itu yang saya rasakan ketika waktu berjalan
terasa sangat cepat dalam peluncuran buku Gg.-fat Mada, Perang Badar,
dijakarta Hilton Convention Centre akhir tahun 2006 itu. Saya layak
bersyukur karena semua apresiasi, semua pertanyaan dan tanggapan
itu bisa saya jawab dengan amat baik.
Namun, pertanyaan yang sangat menggelisahkan hati justru datang
dari sebuah acara diskusi yang digelar di Universitas Parahyangan,
Bandung, beberapa hari menjelang tutup tahun 2006. Itu terjadi
karena buku saya bertemakan Perang Bubat. Tersadarlah saya tengah
memasuki Bandung. Itu berarti, saya harus ekstra hati-hati dalam
berbicara mengingat saya seperti memasuki kandang macan. Pertanyaan
itu datang dari salah seorang peserta yang menyoal kambing hitam yang
dimunculkan pengarang terkait perang di lapangan Bubat.
Saya tegaskan dalam acara diskusi itu dan saya tegaskan pula
lewat kata pengantar buku ini bahwa saya sama sekali tak berniat
membelokkan sejarah. Apa yang saya tulis masih berada di koridor
jurnalistik. Insya Allah saya menulis berimbang antara bagaimana sikap
dan sudut pandang Gajah Mada dengan bagaimana sikap dan sudut
pandang Raja Sunda lGaluh serta semua pihaknya. Cek dan ricek saya
lakukan melalui riset berat dengan mewawancari banyak pihak.
Kemunculan orang-orang di sekitar Gajah Mada yang memberi
Sumbangsih ikut menjerumuskan Gajah Mada bukanlah pembelokan,
bukan pula memunculkan kambing hitam. Namun, semata-mata
berdasar logika sederhana bahwa di pusat kekuasaan pasti ada tarik
ulur. Ada yang setuju dan ada yang tak setuju, ada yang mendukung
membabi buta dan ada pihak yang berusaha mencegah mati-matian.
Yang setuju pun bisa berlebihan dalam rangka mencari muka sehingga
bias pun sangat mungkin terjadi. Sabotase perkawinan Hayam Wuruk
dan Dyah Pitaloka saya yakini muncul tidak sekadar karena Gajah
Mada ingin Dyah Pitaloka dibawa ke Majapahit sebagai persembahan.
Namun, gagasan menggagalkan perkawinan itu bisa berasal dari orang"
orang di sekeliling Gajah Mada. Yang demikian itu bukan pembelokan
dan bukan dalam rangka memunculkan kambing hitam.
Perang Bubat agaknya merupakan isu yang sangat peka. Perang di
lapangan Bubat telah lewat ratusan tahun yang lalu. Namun, dendam
dari kisah lama itu masih terlihat jejaknya hingga sekarang. Warisan
emosional itu rupanya masih terjaga, entah kapan akan pudar. Kisah
- itu menimbulkan banyak mitos buruk, di antaranya adalah sebaiknya
perempuan Sunda jangan mau diperistri orang Jawa. Semangat dari
penulisan Crystal" Muda, Parung Batin: yang saya lakukan, di antaranya
adalah agar generasi kini dan seterusnya mampu dengan bijak
menyikapi kejadian itu, lalu menempatkannya dalam laci sejarah semata,
tanpa harus membuat episode lanjutannya.
Buku kelima yang menutup rangkaian seri Gajah Mada ini saya
beri judul Gajian Mada, Madnkanjtisra -Haraa."fr' Makin. Penulisan buku
ini bisa dibilang pekerjaan ringan, tetapi melelahkan. Semangat untuk
terus berkarya tak selalu mulus. Saya sering kehilangan raised. Namun,
alhamdulillah, berkat dorongan sahabat-sahabat saya, Ggrhb Mada,
diadukanjbam Hamann Matra tuntas saya tutup dengan akhir yang
kembali mengejut, insya Allah.
Saya tak menyangka, seri Gajah Mada ternyata mendapat apresiasi
yang amat baik. Saya lihat itu dari banyaknya tanggapan yang masuk, baik
di entri! maupun dari tetap bertahannya [dalam dua tahun ini) serial Gajah
Mada di rak-rak buku laris toko buku Gramedia di seluruh Indonesia.
Saya merasa semua itu bukan karena saya, melainkan lebih oleh apresiasi
para pembaca. Untuk itu, perkenankanlhh saya menyampaikan banyak
terima kasih. Saya bukan apa"apa tanpa Anda.
Entri! saya tidak berubah. Saya tetap berada di Langit_kresna_
hariadianhoonom, de_manyul(ti';yahoo.co.id, langitkresnahariadiQ
yahoo.co.id. Saya persilakan Anda menjadikan tiga alamat itu sebagai
mgfa ha untuk apa saja, untuk saran, tanggapan, atau caci maki.
Dalam menutup buku ini, saya sampaikan banyak terima kasih
kepada kakak saya, Lintang Waluyo, yang tak pernah surut memberi
dorongan dalam bentuk gagasan, Dr. Mega Teguh Budiarto dan Drs.
Moedjiono Santosa, masing-masing di UNESA Surabaya, juga Drs.
Mendung Slamet Budiono di Denpasar yang telah berkenan menjadi
pntg" reader buku-buku saya, juga kepada Bapak Luluk Sumiarso,
Dirjen Migas yang apresiasi beliau membuat saya tersipu"bukan
karena apresiasinya yang menyebabkan saya harus berterima kasih,
melainkan ajakan main ketoprak di TIM Jakarta yang membuat saya
terbungkuk-bungkuk karena sungguh itu pengalaman dan kesempatan
langka"pentas ketoprak itu terjadi pada tanggal 2 Februari 2007.
Terima kasih juga untuk istri saya, Rina Riyantini Langit, yang
tiap pagi dengan bijak membiarkan saya bangun kesiangan tanpa
harus marah, lalu Puundra Swasty Ratu dari Amurwa Pradnya Sang
Indraswari yang menjadikan hidup di rumah yang sempit itu menjadi
begitu meriah. Penulis 1 Sebuah malam, sepuluh hari setelah peristiwa di lapangan Bubat.
"Apa kauyakin dengan kepurusamnu?" tanya Ajar Swang Singgura
memecah keheningan malam itu.
Pertanyaan itu menyadarkan yang ditanya bahwa tugas yang
diembannya sungguh berat dan membutuhkan pengorbanan melebihi
harga nyawanya. Namun, rupanya ia memang telah bulat dengan
pilihannya. Orang itu merasa yakin dengan keputusannya, meski ia bakal
menghadapi banyak hambatan atau keadaan paling tak masuk akal, meski
bahaya yang dihadapi harganya setakat, dengan nyawanya", meski harus
menyeberang lautan api atau menghadang badai.
"Aku yakin, Ki Ajar," jawabnya mantap.
Ki Ajar Swang Singgura mendekat dan memberinya tatapan mata
amat tajam, tembus hingga ke lipatan jantungnya.
"Meaki dengan kernungkinan kau akan kehilangan nyawamu?" tanya
Ajar Swang Singgura. Sosok bertubuh langsing berpakaian serba hitam itu berdiri untuk
menunjukkan kesungguhan dan kesiapannya.
Ajat Swang Singgura adalah orang yang langka dengan kemampuan
yang langka pula. Lelaki ma dari tanah Pamoyanan, arah timur istana
Surawisesa dengan waktu tempuh perjalanan satu hari satu malam itu,
akhirnya merasa tidak perlu ragu untuk memilihnya. Ajar Swang Singgura
. ' Gajah Marik melihat, orang yang bersedia mengurbankan diri itu mentang benar-benar
pilihan yang terbaik. Ajar Swang Singgura membuka telapak tangannya. Diacungkannya
telapak tangan itu kepada sosok yang telah memutuskan siap menjadi
bsbnaraa' itu. Untuk beberapa jenak, Ajar Swang Singgura berkomatkamit mengunyah mantra. "Prabu Maharaja Linggabuana2 terbunuh," ueap Ajar Swang
Singgura dengan suara agak bergetar, "Tuan Putri Permaisuri Dewi
Lara LinsingJ terbunuh, Tuan Putri Dyah Pitaloka 'Citraresmi"l juga
terbunuh, belum terhitung berapa jumlah perwira prajurit Sunda Galuhi
yang kini tak lagi bersama kita, dibantai di lapangan Bubar. Orang yang
bertanggung jawab terhadap kejadian itu adalah Gajah Mada, Mahapatih
Majapahit yang kejam tak berperikemanusiaan. Kita semua marah.
Segenap rakyat Sunda Galuh marah. Tidak ada pihak yang boleh dan
bisa menghadang kernarahan kita. Oleh alasan itulah, kau memilih dirimu
sendiri untuk berkorban membalaskan nista ini."
Sosok berpakaian serba hitam itu mengangguk penuh keyakinan.
"Baiklah, aku menebaikan keberanianmu, berani, berani, berani,"
bisik Ajar Swang Singgura. '
v' ' Bubutan. Jawa. susuk yang rela menempatkan diri menjadi korban. martir
: Maharaja Lluggabnana, Raja Sunda Galuh yang terbunuh di lapangan Bubat
3 literal Lara [.lnslng. permaisuri Prabu Maharaja Linggabuana. ibu Dyah Pitaloka
" Dyah Pitaloka Cltrueaml, nama Sekar Kedaton Sunda Galuh yang mati bunuh diri dalam peristiwa
Bubat. Muhammad Yamin dalam bukunya, Gajah Mada, Pahlawan Persatuan Nusantara menyebut Dyah
Pitaloka Citrasymi. Sementara itu, Dr. Pun-rudi. M.Hum dalam bukunya. Jejak Nasionalisme 'Gajah Mada.


Gajah Mada Madakaripura Hamukti Moksa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyebut Dyah Pitaloka Citrasemi.
5 Sunda Galah. Carita Parahyangan tidak menyebutkan nama ibu kota iierajaan Galuh, baik sebagai kerajaan
maupun pusat pemerintahan, disebut Galuh saja. Penyebutan Bojong Galuh berasal dari sumber sekunder.
seperti Wawacan Sajarah Galuh dan tradisi lisan yang hidup di sekitar lokasi. Bojong Galuh terletak di
sebidang tanah yang kini berubah menjadi hutan dengan luas 15,5 ha. pada penemuan sungai Cimuntur'
dan sungai Citanduy, di tepi jalan raya Ciamis-Banjar km i".-'. Sekarang tempat tersebut disebut sebagai
situs Karangkantulyan. Masih menurut Carita Parahyangan dan Wawasan Sajarah Galuh. yang menjadi
cikal bakal negeri Sunda Galuh adalah Prabu Wretikandayun. Penyeban Sunda Galuh digunakan untuk
nmbedakan dengan kerajaan Sunda Pakuan yang beribu kotadi Pakuan dengan keraton bernama Sri Bima
Punta Narayana Madura Suradi pati. 'Negara yang untuk selanjutnya disebut Sunda ini didirikan Tarusbawa
ketika kerajaan 1arumanegara telah lemah sekali. Dalam periode ini. penyebutan Sunda masih belum
menggunakan nama Pajajaran. Punyebutan susuk Siliwangi amat mungkin dimulai dari Prabu Maharaja
Linggabuana setelah dengan heroik melakukan perlawanan dalam Perang Bubat.
arman-puru amara atau: - .
Mula-mula, ucapan-ucapan yang terdengar masih bisa dipahami
maksudnya. Namun, makin lama pengaruhnya makin membuyarkan
kesadaran. Pemilik tubuh langsing berpakaian serba hitam itu mulai
berkunang"kunang. Ia tidak memiliki cukup kekuatan untuk melawan
kekuatan tidak kasatmata yang memengaruhinya. Ucapan Ajar Swang
Singgura bukanlah ucapan sewajarnya. Kakek tua itu melandasi dan
menyelubunginya dengan mantra-mantra.
"Kaupunya banyak waktu untuk melaksanakan tugasmu.
Mendekatlah sampai pada jarak amat dekat, lalu tikamlah jantungnya,"
kata Ajar Swang Singgura.
Jantung yang menjadi sasaran bidik itu adalah jantung Gajah
' e 2 Hpa yang terjadi memang berlangsung dengan cepat dan bergerak
tak lagi tahun" demi rebah. Dalam hitungan kejap pun bisa berlangsung
sesuatu yang tak terduga. Perang Bubat masih berkecamuk Namun,
seseorang yang berpikiran hanja" merasa tak boleh membuang-buang
kesempatan. Senopati Dyah IiihirawaE bergegas meninggalkan alun-alun
Bubat. Ia merasa tidak harus peduli melihat orang-orang yang mestinya
diperlakukan sebagai tamu terhormat itu berjatuhan disambar anak
panah. * Dyah Bhirawa meloinpat ke atas punggung kudanya. Di arah
belakangnya, anak panah saling sambar menggapai sasaran. Hujan anak
'5 Tabah, Jawa, ukuran waktu setara dengan satu jam
" Lantip. Jawa. tajam
& Dyah Bhirawa, nama ini fiktif rekaan penulis
. . gaulislam panah itu berasal dari dua kubu yang sama-sama merasa punya alasan
untuk saling berhadapan, dua kubu yang"masing"masing"sebenarnya
tidak siap untuk berperang.
Dyah Bhirawa punya alasan untuk menyimpan sakit hati. Ia lipat
kesumat dendam itu dengan baik sambil menunggu saat yang tepat
untuk membongkarnya. Tindakan Mahamantrimukya" terhadap ayahnya
yang kini terpuruk menjadi orang tidak berguna, telah menjelma
menjadi mimpi buruk yang. akan meledakkan kepalanya. Ia yakin,
kesumat dendam itu benarkbenar akan meledakkan kepalanya jika tidak
memperoleh penyaluran. Kesempatan untuk membalas sakit hati itu
kini tiba. Rumah Senopati Dyah Bhirawa tak terlalu jauh dari lapangan Bubat.
Setelah berderap ke arah barat, melewati empat perempatan jalan, prajurit
berbadan kekar iru membelok tajam ke utara dan langsung masuk ke
kandang kuda di samping rumahnya.
Bagai tak cukup waktu yang ia miliki, kuda tunggangannya tidak
perlu diikat, bahkan pintu kandangnya tidak ditutup. Dyah Bhirawa sangat
mengenal kudanya sehingga tak perlu merasa khawatir kuda itu akan lari.
Perhatian kuda itu lebih tersita pada tumpukan rumput yang tersedia.
Angin yang berembus kencang menyebabkan puluhan pohon kelapa
di pekarangan rumah itu maser-mesti," melambai dan menari. Demikian
pula dengan pohon kasim" yang sedang berbuah lebat dan lebih dari
separuh buahnya telah matang, daun-daunnya bergoyang mengomhak.
Namun, bertiup sekencang apa pun, angin tidak akan menyebabkan
buah kasiin berjatuhan. Berbeda dengan empat pohon jambu bol yang
juga disebut jambu dersono, lembar-lembar putik sarinya berhamburan.
Warna merah dan putih pun meratai halaman rumah, memberi kesan
mirip permadani. 9 Makamnhimukys. selengkapnya Mahamantrimukya Rakrian Mapatih Pu Mada. gelar Gajah Maria
dalam kedudukannya sebagai mahapatih mangkubumi
"' Mnbat"mnhitJawa. meliuk-link
" Kanit-, di Lumajang buah ini disebut maem, ada [Hill] yang menyebut apel Jawa. masih keluarga sawo
kecil: dengan isi berlendir. "
Mmkgnpunt Hamukpiil'logpa . .
Dyah Bhirawa melihat sekilas ke halaman samping. Puluhan buah
maja berjatuhan dari pohonnya. Warnanya sedikit gelap, pertanda buah
maja itu telah matang sehingga jatuh dari pohonnya. Bersebelahan
dengan pohon maja yang menjulang tinggi, tumbuh pohon durian yang
tidak pernah berbuah. Para tetangga Dyah Bhirawa ikut bertanya-tanya
dalam hari, kapan gerangan pohon durian itu berbuah" Ternyata, sampai
setua itu pohon durian itu tak pernah berbuah karena seharusnya pohon
durian ditanam di tempat yang sejuk.
Dyah Bhirawa tidak memedulikan apa pun yang dilihatnya. Dengan
bergegas, prajurit berpangkat senopati iru menemui ayahnya.
"Ayah," Dyah Bhirawa menyentuh lengan ayahnya yang tampak
lelap. - Namun, Dyah Sonderl1 sejatinya tidak sedang lelap tidur. Dyah
Sonder baru saja tuntas menghitung kasau di langit-langit biliknya dan
berharap kematian segera datang menjemputnya. Dyah Sonder mulai
tidak sabar dan tak kuat lagi. Untuk menggerakkan tubuhnya saja,
Dyah Sonder tak mampu. Padahal, betapa ingin ia berbalik untuk tidur
miring atau tengkurap. Dalam keadaan yang demikian, baginya mati
jauh lebih baik. Nammi, meski dirindukan, kematian itu tak kunjung
mendatanginya. Sakit lumpuh itu dialaminya hanya sejenak setelah ia tidak lagi
menduduki jabatan sebagai rakrian mahamenteri hino,"| kedudukan
yang luar biasa tinggi di tatanan kepangkatan dan jabatan di Majapahit.
jabatan itu mestinya masih boleh ia emban beberapa tahun lagi. Akan
tetapi, karena kepintaran Mahamantrimukya dalam mencari-cari
kesalahan Dyah Sonder, Dyah Sender harus kehilangan kedudukan itu.
ia Dyah Sander. nama rakrian mahamenteri hino berdasar serat kekaneingan yang dikeluarkan Sri Gitarja
Tribltuanatunggadewi Jayawisnuwardhmi. Ketika Dyah Sander turun darijabatannya sebagai nuhanienteri
hino. ia digantikan Dyah Iswara yang sebelumnya menjabat sebagai mahamenteri tirikan. Dengan
demikian. jabatan ntaharraemeri hino diduga lebih tinggi dari mahamenteri sirikan. Jabatan mahamenteri
hino. sirikan, dan bulu pada periode sebelumnya dijabat Dyah Janardana. Dyah Mario. dan Dyah Lebak
[lebih jelasnya baea Gajah Mada. Hamukn' Palapa).
"' kaki"lan mahamenteri hina, salah satu jabatan yang sebenarnya membukan bagian dari jabatan di
kementerian kan-ini. Kementrian kan-ini yang pertama kali menerima perintah dari raja. kemudian
menyalurkannya hingga ke hilir.
. ' Gajah Hindi: Dyah Sonder digantikan Dyah Iswara," mantan rakrian mahamenteri
sirikan," sosok yang sangat ia benci. Hal im makin menyempurnakan
rasa sakit hatinya. - Semula, Dyah Sonder berharap bisa meloloskan diri dari keadaan
yang menyulitkan itu dengan pertolongan sahabatnya, Dyah Kancing.
Akan tetapi, Dyah KantungIli yang menduduki jabatan sebagai rakrian
mahamenteri halu" rupanya orang yang sangat pintar membaca
keadaan. Setidaknya, Dyah Kancing tahu bagaimana cara mencari
selamat agar tidak terseret ke dalam masalah yang sedang dihadapi
Dyah Sonder. Pencopotan jabatan yang dilengkapi dengan penyebaran ataraereruli' atas kesalahannya ke segala penjuru, menjadi aib yang tidak
tertanggungkan. Dyah Sonder pun menjadi buah bibir rakyat. jantungnya
yang tua bekerja lebih keras, mendorong darah mengalir lebih kencang
Keadaan yang demikian itulah yang menyebabkan Dyah Sonder
mengalami kelumpuhan. Dyah Sonder tidak mampu turun dari atas
pembaringan. Ia hanya bisa tergolek tanpa daya.
Kini, Dyah Sonder benar-benar tidak mampu berbuat apa-apa. Yang
bisa dilakukannya hanyalah menunggu nyawa saraf dari raganya. Untuk
makan, Dyah Sonder harus disuapi. Untuk kencing, ia kencing di tempat,
menjadikan bilik Dyah Sonder menguarkan bau tidak enak.
"Ada apa?" tanya Dyah Sonder sambil membuka matanya
perlahan. Dyah Bhirawa mengelus tangan ayahnya.
" Dyah Iswara. sebagaimana tercantum dalam Serat Kekaracingan Eendassri yang dikeluarkan Prabu
Hayam Wuruk.. ketika Dyah Iswara naik pangkat menjadi mahamenteri hino, kedudukannya sebagai
mahamenteri sirikan digantikan Dyah Ipah yang sebelumnya menjabat sebagai mahamenteri halu.
" Rakrian mahamenteri ah'lltan. identik dengan mahamenteri hino. Namun. kedudukan mahamenteri
sirikan lebih rendah daripada mahamenteri hino.
"5 Dyah Kanelng, sebagaimana tercantum dalam Serat Kekaneingan Bendasari yang dikeluarkan Prabu
Hayam Wuruk. Dyah Karieing menduduki jabatan sebagai mahamenten hslu menggantikan Dyah Ipoh
yang naik pangkat menjadi mahamenteri sirikan.
" Rnltrlan mahamenteri hulu, pangkat paling rendah dalam kementerian katrlni
" Wara-wara, Jawa, pengumuman
Madagpnpura Kemaritimaiya . .
"Ayah punya peluang untuk membalas dendam. Beri petunjuk apa
yang harus aku lakukan untuk menerjemahkannya," kata Dyah Bhirawa
kepada ayahnya. Meski sulit, Dyah Sonder yang telah tua itu berusaha menoleh.
"Ada apa?" tanya Dyah Sonder.
Dyah Bhirawa membalas tajam tatapan mata ayahnya.
"Keadaan macam apa yang kauanggap sebagai peluang itu?" kembali
Dyah Sonder bertanya. Dyah Bhirawa bangkit dan melangkah ke arah dinding. Sebuah
lengkap dengan endang" penuh anak panah menyita perhatiannya. Senjata
yang telah berderajat sebagai pusaka karena setiap malam tertentu diberi
sesaji itu diambil. Dengan hati-hati dan penuh penghormatan, seolah
gendewa dan anak panah itu adalah benda berjiwa, Senopati Dyah
Bhirawa menyembah pusaka itu lebih dahulu sebelum mengenakan
endang itu di punggungnya.
Perbuatan Dyah Bhirawa itu membingungkan ayahnya.
I"Ceritakan ada apa?" tanya ayahnya.
Bhirawa berbalik. "Di lapangan Bubat, terjadi peristiwa yang luar biasa. Majapahit
kedatangan tamu dari Sunda Galuh. Atas pinangan Sang Prabu, Sekar
Kedaton Keraton Surawisesa," Dyah Pitaloka Citraresmi, diantar ke
Majapahit. Namun, Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Pu. Mada
justru membantainya. Sekarang, pembantaian sedang berlangsung di
palagan Bubat. Tadi, sempat kulihat Raja Sunda Galuh, Prabu Maharaja
Linggabuana, menjadi orang pertama yang terbunuh di lapangan Bubat,"
jawab Bhirawa. ___" " Endang. Jawa. wadah anak panah. cara membawanya pada zaman sekarang seperti menggendong
ransel. 2" Surawisesa. nama istana Sunda Galuh. terletak di Hawaii, tak jauh dari Ciamis di komplek situs
Karangkamulyan. . - Gajah aren Penuturan anaknya itu mengagetkan Dyah Sonder. Dyah Sonder
sangat ingin bangkit dan duduk. Namun, keinginannya itu tak mungkin
terpenuhi. "Ceritakan dengan lebih jelas," kata Dyah Sonder lagi.
Dengan amat rinci, jelas, gatnblang, dan tanpa ada bagian yang
tercecer, Dyah Bhirawa menuturkan peristiwa macam apa yang sedang
terjadi, lengkap dengan segala latar belakang yang ada. Amat lengkap
cerita itu, dimulai dari bagaimana Hayam Wuruk yang merasa telah tiba
waktunya untuk memiliki seorang istri, lalu dikirimnya para juru gambar
ke berbagai negeri bawahan untuk mencari gadis yang layak dijadikan
permaisuri hingga jatuhlah pilihan itu kepada gadis dari tanah Sunda.
Lamaran pun dilayangkan dan hari baik untuk perkawinan telah
ditentukan. Perkawinan akan diselenggarakan dengan cara tidak lazim.
Perkawinan itu bukannya diselenggarakan di negeri Sunda, tetapi
justru calon temanten putri dan segenap keluarganya yang didatangkan
ke Majapahit. Orang Sunda mungkin berhati baik. Hati mereka terlalu
bersih. Mereka sama sekali tidak menyimpan prasangka dan tak
menganggap penggelaran pesta yang akan dilakukan di bumi Tarik"
itu sebagai pelecehan. 'Akan tetapi, bau pelecehan itu menyengat tajam setiba mereka di '
Majapahit. Ternyata, di Majapahit telah disiapkan sebuah prasasti dari
tembaga yang harus ditandatangani Prabu Maharaja Linggabuana sebagai
- tanda bahwa Sunda Galuh tunduk terhadap kekuasaan Majapahit.
Nyawa pasti memiliki harga yang tidak ternilai. Orang Sunda Galuh
membuktikan hal itu. Untuk sebuah martabat atau harga diri, permintaan
Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Gajah Mada dijawab dengan
mengangkat senjata. Pedang panjang dilolos dari berangka-"nya, anak
panah dipasang di tali gendewanya, dan segala macam ukuran kujang
" Thrik, nama lain Majapahit yang juga sering disebut'e't'ilwatikta. taru adalah nama hutan sebelum dibabat
oleh Raden Wijaya untuk mendirikan sebuah negara. Di hutan Tarik inilah seorang prajurit memakan
buah maja yang dirasa pahit yang kemudian menjadi sumber gagasan nama MajapahiL
H 1lltlttrangka. Jawa, selubung, bungkus, atau pelindung senjata. Jenis senjata yang membutuhkan warangka,
antara lain bilah keris, ujung tombak, dan ujung trisula.
Manhnanpuraafnmuliti 5110554 ' .
ditelanjangi untuk siap kabane. Demikianlah lagak dan sikap Balapan"
dalam mempertahankan martabamya.
Dyah Sander memandang anaknya dengan mata terbelalak. Nyaris
lepas bula mata Dyah Sender yang kaget mendengar perkembangan
yang tidak terduga itu. "Demikian yang terjadi, Ayah," kata Dyah Bhirawa. "Selanjutnya,
berilah aku arahan, langkah apa yang harus aku lakukan."
Dyah Sender sedang sangat meluap. Dyah Sender merasa itulah
saamya untuk kembali tampil membawa perannya. Akan tetapi, betapa
kecewa Dyah Sender manakala kesadarannya menusuk amat dalam ke
relung jiwanya bahwa ia kini tak bisa melakukan apa-apa.
Mengambil kembali jabatannya yang hilang" Bagaimana ia bisa
melakukan itu" Tubuhnya kini telah lumpuh. Ia tak bisa melakukan
apa-apa. Untuk berdiri saja tidak mampu, untuk berbicara saja mulai
mengalami kesulitan. Seiring hari-hari yang berlalu, apa pun yang ingin
dikatakannya sangat sulit terucap melalui gerak bibirnya.
_ Dyah Bhirawa sangat menyadari apa yang sedang bergolak dalam
benak ayahnya. Dyah Bhiniwa tahu mengapa wajah-ayahnya merah padam
seperti kepiting direbus macam itu. Sekadar tidak mampu men ' t
tangan sudah cukup menjadi alasan bagi Dyah Sender untuk marah.
"Kenapa hanya mengangkat tangan saja aku tak mampu?" teriak
Dyah Sender. Dyah Bhirawa sigap berusaha meredakan kemarahan ayahnya.
"Ayah, cukuplah Ayah memberi petunjuk apa yang harus aku
lakukan. Menurutku kali ini Mahamanttirnukya sedang terantuk batunya.
Menurutku apa yang terjadi kali ini benar-benar sebuah kesempatan yang
harus dimanfaatkan sebaik-baiknya," kata Dyah Bhirawa.
Dyah Sender manggut-manggut. Ia agak heran mendapati anak
laki-lakinya yang sering ia anggap tulul, kali ini mempunyai pendapat
23 Balapan atau Halamati, sebutan untuk balatentara Sunda Galuh yang gugurdi lapangan Bubat
. ' (fahami cerdas. Dyah Snnder melihat, Dyah Bhirawa benar. Mahamantrimukya
Rakrian Mahapatih Gajah Mada memang sedang terantuk bamnya. Sulit
membayangkan Sang Prabu Hayam Wuruk akan mengampuni perbuatan
Gajah Mada yang berani menghina tamu terhormat dari negeri Sunda.
Sudah Galuh akan ditempatkan sebagai negara besan. Sekar
Kedaton Sunda Galuh akan ditempatkan sebagai permaisuri. Jadi, alasan
apa yang digunakan Gajah Mada untuk menyerang para tamu itu.


Gajah Mada Madakaripura Hamukti Moksa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yang harus kaulakukan sekarang adalah kaubuat suasana menjadi
keruh," ucap Dyah Sender.
Dyah Bhirawa menyimak apa yang akan disampaikan ayahnya.
"Kurasa kali ini akan ada banyak pihak yang menyalahkan dan
menuding Gajah Mada sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas
terjadinya perang di Bubat itu. Kau harus menyusup dan mengumpc-ri
pihak yang tidak sependapat dengan perbuatan Gajah Mada itu. Kalau
kekuatanmu tidak cukup, lakukan pembakaranfpembakaran yang darinya
bisa diharapkan muncul kemarahan. Namun, jika kekuatanmu cukup,
serbu istana keparihan," lanjut Dyah Sender.
Dyah Bhirawa menyimak, kemudian manggut-manggut pendek.
1il'Uajahnya sama beku dengan wajah ayahnya.
'"Siapa saja yang bisa aku hubungi, Ayah?" tanya Dyah Bhirawa.
Dyah Sender mendadak menengadah, kemudian tersenyum. Apa
- makna di balik senyum itu, hanya Dyah Bunder yang tahu.
1"'"I'emui Kanuruhan Gajah Enggan," kata Dyah Sender.
Mendengar nama itu disebut, Dyah Bhirawa terkejut.
"Kanuruhan Gajah Enggan?" tanya Dyah Bhirawa tak percaya. '
Dyah Bhirawa sangat tahu bagaimana hubungan antara Kanuruhan
Gajah Enggnn dan Mahapatih Gajah Mada. Secara pribadi, mereka
adalah dua orang sahabat yang amat akrab.
Dyah Sender sepertinya bisa membaca rasa penasaran yang ada di
benak anaknya. %adaaurfpuralifamulifiiifaliya . .
"Gajah Enggan dan Gajah Mada adalah dua sahabat karib," kata
Dyah Bhirawa. "Bahkan, Gajah Mada mungkin berharap memperaleh
dukungan dari Gajah Enggan terkait dengan apa yang terjadi kali ini.
Apa pun yang dilakukan Gajah Mada, benar atau salah, Gajah Enggan
dan arang macam Pasangguhan Gagak Bangai akan menempatkan diri
sebagai pembela mati-matian."
Dyah Sander tertawa terkekch.
"Sebagaimana pejabat yang lain, Kanuruhan Gajah Enggan pasti
juga berkeinginan menggapai pangkat yang lebih tinggi. Apa yang bisa
diharap Kanuruhan Gajah Enggan untuk bisa menapak pangkat yang
lebih tinggi jika di atasnya ada Mahapatih Gajah Mada yang tak mungkin
dilampaui" Kurasa saat ini Gajah Enggan berpendapat, inilah saamya
untuk menyingkirkan penghalang. Jika Mahamantrimukya dicapat dari
jabatannya, Gajah Enggan adalah satu"satunya arang yang punya hak
untuk menggantikannya," berkata Dyah Sander.
Dyah Bhirawa bingung. Akan tetapi, senapati muda itu tidak berniat
meremehkan pendapat ayahnya.
"Menurutku waktu yang kaumiliki sedikit sekali. Jadi, harus
menunggu apa lagi?" tanya Dyah Sander
Dyah Bhirawa merasa apa yang dikatakan ayahnya benar. Dyah
Bhirawa masih menyempatkan merapikan selimut untukmenghangatkan
tubuh ayahnya sebelum bergegas keluar membawa gendewa andalan
dan kebanggaannya. ' Di halaman, searang gadis tetangga sebelah menghadangnya.
"Tuan akan ke mana?" tanya gadis itu.
Bhirawa tidak menaleh. Ia menjawab pertanyaan itu sambil tetap
berjalan bergegas menuju kandang kuda-.
"Masal"tlah air hangat, Ranten," kata Dyah Bhirawa. "Ayah ingin
tubuhnya bersih dan nyaman. Talang, Banten, aku akan memberi upah
untukrnu nanti." ' "Baik, Tuan," jawab gadis bernama Ranten itu.
. -_ (511th aim Sejenak kemudian, udara yang semula hening bergetar aleh suara
seekar kuda yang berderap. Kuda itu melintas halaman dan bergerak
makin kencang setelah berada di jalan raya.
Berita mengenai apa yang terjadi di lapangan Bubat rupanya telah
menyebar dan mencuri perhatian siapa pun. Pasar Dahana" langsung
tutup. Penduduk keluar dari rumah masing-masing untuk melihat dari
dekat apa yang terjadi di lapangan Bubat.
Semua wajah tampak tegang Kabar terakhir yang sampai adalah
para tamii dari Sunda Galuh telah terbantai dan calan tenunan putri
bunuh diri. Searang lelaki tua yang berjalan tergapah- -gapah di tepi jalan
terkejut mendengar warta itu.
"Apa?" letupnya terkejut.
"Tamu dari Sunda Galuh terbunuh semua," jawab scaraug pemuda
yang bergegas berjalan balik arah.
"Besan dibunuh" Bagaimana dengan temanten-nya?" laki-laki tua
itu kembali bertanya. "Semua, aku bilang semua. Prabu Sunda mati paling awal, istrinya
bunuh diri, anak gadisnya yang akan diambil menantu alah Tuan Putri
Sri Gitarja ikut mati bunuh diri. Tak ada yang tersisa, mati semua.
Mayat bertumpuk-tumpuk di lapangan Bubatgjika kau ingin ikut
menyumbangkan tangis, pergilah ke sana. Banyak arang yang sedang
menangis di lapangan Bubat," jawab pemuda itu.
& " Bahinu. Jawa, selatan
Sitaa'hEaripuru HanWiSHaEga . .
Orang-arang menyatukan pandang ke arah yang sama dengan
hati terbelah. Gajah Mada juga mengarahkan perhatiannya pada arah
yang sama, tetapi dengan cara pandang agak salah tingkah. Langit yang
tampak bersih rupanya mampu menyebabkan Gajah Mada resah.
Prabu Hayam Wuruk tidak memiliki tubuh yang gagah pidakra"
sebagaimana prajurit umumnya. Akan tetapi, upaya yang dilakukannya
untuk tetap berjalan tarus, meski terhuyung-huyung, menjadi gambaran
betapa kukuh hatinya. Matanya tajam memandang ke depan. Namun,
mata pemuda tampan itu sedang terjebak dalam kubangan duka yang tak
terukur kepekatannya, berbumbu amarah yang nyaris tak tertahankan.
Akan tetapi, apa mau dikata, yang telanjur terjadi tidak bisa diulang.
Searang lelaki tua pembaca pertanda alam yang sedang jangkak
termangu di sudut lapangan Bubat, sibuk menandai apakah peristiwa
yang terjadi di sangu mrunggapufiaruuwudi itu sudah menjadi garis Weitnau,"
telah menjadi kehendak para Dewa di langit Sulit bagi kakek tua itu untuk
memahami mengapa Gajah Mada bisa melakukan tindakan macam itu.
Kakek tua itu punya alasan untuk menitikkan air mata.
Drang-arang menyatukan pandangan ke arah yang sama, sebagian
di antaranya adalah para prajurit yang ingin menggantikan apa yang
dikerjakan Prabu Hayam 11illif'uruk. Namun, Raja Majapahit yang
berlumuran darah itu tidak memberi kesempatan. Apa pun yang akan
terjadi, langit awalah" sekalipun, tak akan ia berikan kesempatan kepada
arang lain untuk mengambil alih.
" Pideksl. Jawa, perkasa
"' Sang: turangga plksswani. sengkelit untuk tahun saka 12") menurut Pararatan atau tahun Masehi
135" 21 Pepesthen. Jawa. suratan takdir _
2" Amhlelc, Jawa, runtuh. ambrol
. - (jajan nana Meski dengan terbayang-buyung, meski dengan kaki gemetar aleh rasa
' capai yang luar biasa, Hayam 'Wuruk tetap kukuh pada kemauaimya.
Searang perempuan tua jatuh terduduk dan pingsan. Searang gadis
muda di sebelahnya jatuh terduduk dan ikut pingsan.
"Dna Gnin' Hyung Manan peringatan pengguna:?" letup sesearang,
entah siapa. Di sepanjang jalan yang dilewati Raden Tetep," perempuanperempuan berjatuhan, menjerit, dan pingsan. Ada yang melalang dan
mendadak merasa akan gila. Searang prajurit yang dengan setia berjalan
di belakang Raden Tetep, mendadak merasa dirinyalah yang berhak
mewakili sepenuhnya apa yang dirasakan rajanya;
Gajah Mada yang berjalan agak di belakang, melihat dengan jelas
apa yang dilakukan prajurit itu. Prajurit itu melakukan hal yang tidak
terduga. Prajurit itu tiba-tiba mencabut keris di pinggangnya dan
mengangkat pusaka berlekuk itu tinggi-tinggi. Lalu, dengan tiba-tiba
dan tanpa diduga siapa pun, ia ayunkan keris itu untuk ditenggelamkan
ke tengah dadanya sendiri.
Padahal, keris itu sangat beracun. Sedikit saja garesan dari keris yang
berlumur nurungurri'l dan racun ular weling itu menjadi jaminan arang
yang 'tercederai pasti mati. Padahal, keris itu menghunjam sedemikian
dalam di tengah dadanya. Prajurit itu terjamh dan seketika menyajikan
sebuah pertunjukan yang membuat wirid" siapa pun yang melihat.
Dalang Tirtaraju" menyempatkan menaleh. Namun, ia tidak terusik
aleh peristiwa yang dengan segera merepatkan banyak arang itu.
Apa yang dilakukan prajurit yang dengan gagah berani memutuskan
Jemput dimi itu menjadi pemantik gagasan bagi prajurit lain untuk
19: Duli Gusti Hyung Munnn piringan: pungupurn, Jawa. Ya Tuhan yang Mahakuasa. berilah ampun
3" Rune-n Tktep, nama Prabu Hayam 'Wuruk di usia remaja menurut catatan Pararatan
:" Wirengan, lawn. arsenikum
" atau, Jawa. tercekat. ngeri
" Bulung Tll'tlfllll. julukan Prabu Hayam Wumk sebagai dalang wayang menurut catatan Parsi-aten
:" Lumpus tllri. Jawa, bunuh diri
Madaaurfpnmjifnmuaipiii-iuam ' .
melakukan hal yang sama. Prajurit berikutnya hanya prajurit rendahan.
Namun, ia amat bisa memahami pedih macam apa yang dirasakan Sri
Rajasanegara." Tanpa menyimpan secuil pun keraguan, prajurit itu
berniat mengikuti jejak sahabatnya. Prajurit itu mencabut kerisnya dan
mengangkatnya tinggi-tinggi, kemudian menenggelamkannya ke tengah
dada. Prajurit ketiga mencuba meniru. Namun, dengan sigap seorang
prajurit tua yang mampu berpikir jernih, berusaha menggagalkan apa
yang akan dilakukan prajurit ketiga itu.
Dengan tangkas, prajurit tua itu berusaha merebut keris yang,
dipegang prajurit yang akan bunuh diri itu. Upaya itu berhasil. Celakanya,
salah satu bilah dinaungi itu malah melukai telapak tangannya.
Seketika, pucat wajah prajurit tua itu melihat darah yang sedikit
meleler keluar dari telapak tangannya berwarna hitam, pertanda amat
nyata keris yang mencederainya juga amat beracun.
"Mari aku," desis prajurit tua itu.
Gagak Ketawang31 terus berjalan. Ia tidak peduli pada apa yang
terjadi di belakangnya. Sekali lagi dan untuk yang kesekian kalinya,
Prabu Hayam 1Wuruk jatuh terduduk. Akan tetapi, tetap tak ia berikan
kesempatan kepada orang lain untuk mengambil alih bebannya. Beban
yang membuat hatinya remuk redam.
"Dyah Pitaloka kekasihku,"Janeswaraiiimengeluh.
Akan tetapi, Dyah Pitaloka Citraresmi yang berada dalam bopongan
Pager Antimuni'i tidak menjawab keluhan itu. Tak ada tarikan napas dari
mulutnya. Tak tampak dada yang mengombak. Rambut panjang dari
kepalanya yang terkulai menyita perhatian semua orang.
" Sri Rajasunegara, gelar resmi ahiselra Prabu Hayam Wuruk menurut Pararaton
"' Dhuwung, Jawa, keris
" Guguk Ketawang, peran yang sering dilak-anakan Prabu Hayam Wuruk dalam penunjukan drama menurut
catatan Pararaton 33 Jnurawnrl. nama panggilan yang diberikan kepada Prabu Hayam Wuruk di kalangan penganut agama
Syiwa menunrt Pararaton "' angler karimun. julukan yang diberikan para wanita dan gadis-gadis kepada Prabu Hayam Wumk,
mungkin sebagai apresiasi terhadap ketampanannya
. ' (jajan Sitaan Sebelumnya, dengan mahkota sebagai pertanda ia seorang ratu, Dyah
Pitaloka tampil berwibawa. Namun, kini dengan tak lagi bermahkota
dan rambutnya yang panjang terurai, Dyah Pitaloka menggerus siapa
pun yang meragukan kecantikannya. Semua orang melihat, meski tubuh
yang telah memayat itu tampak pucat, secara nyata terlihat jauh lebih
cantik daripada gambarnya.
Lukisan Dyah Pitaloka semula dipajang di Tatag Rambat Bale
lalanguntmr;m kemudian dipindahkan ke Purawaktra'" untuk memberi
kesempatan kepada segenap rakyat Majapahit supaya bisa melihat betapa
cantik calon permaisuri Raja Hayam Wuruk. Benar apa yang tersirat
dalam lukisan itu. Dyah Pitaloka" Citraresmi memang berwajah amat
jelita, melebihi kecantikan Subadra," melebihi kecantikan Tarafidan tak
seorang pun gadis diMajapahit yang mampu menandingi kegemilangan
kecantikannya. Prabu Hayam Wuruk jatuh terduduk.
"Mohon ampun, Tuanku," seorang prajurit tua meminta perhatian.
"Iainkanlah kami mengambil alih untuk membopongnya ke istana."
Namun, Prabu Hayam Wuruk yang tubuhnya basah kuyup oleh
keringat dan wajahnya basah kuyup oleh air mata itu tak ingin Dyah
Pitaloka Citraresmi dijamah siapa pun. Prabu Hayam 1Wuruk kembali
mengumpulkan segenap kekuatannya untuk bangkit dan berjalan. Prabu
Hayam Wuruk bersikeras, meski ia terjatuh lagi.
"Dyah Pitaloka kekasihku, bangunlah," ucapnya.
Seorang gadis yang ikut larut dalam rombongan orang yang
' mengiringi Prabu Hayam Wuruk, bisa mendengar dengan amat jelas apa
yang diucapkan rajanya. Betapa hancur hati gadis itu, ditandai lehernya
yang seketika tercekik danmengalami kesulitan bernapas.
40 Ting Rambat Bale Manguntur. sebutan untuk balairung istana Majapahit _
'" Perawaktra. nama pintu gerbang utama Majapahit Pintu gerbang ini menghadap ke baraL
"1 Subadra. nama istri Arjuna dalam cerita wayang. Kunun. kecantikan Subadra tak ada yang
menandingi. " Tara. nama bidadari dalam cerita wayang yang kecantikannya menjadi penyebab pertengkaran antara
dua bersaudara. Sugriwa dan Subali
ancaman ifaqutiatuliya - .
Jauh di belakang para prajurit yang berbaur dengan para kawula yang
berjalan Menabunglah, '" Mahamanttimukya merasa makin tersisih,
aneh, dan bingung. Barisan memanjang dan berjalan tertatih menuju
istana itu menyebabkan hatinya tidak nyaman. Segala yang dipandangnya
tampak bergelombang. Daunsdaun mengombak, pagar bata di sepanjang
jalan juga tampak bergerak mengombak. Untuk pertama kalinya di
sepanjang jalan keyakinannya, Mahamantrimukya Mahapatih Gajah
Mada merasa sulit memahami mengapa yang dikehendakinya tidak
sejalan dengan yang direncanakan. Tatapan Prabu Hayam Wuruk yang
mengiris setajam pedang benar-benar membuat hatinya tak enak.
& 4 S ama berantakannya dengan apa yang dirasakan Prabu Hayam
Wuruk, Pradhabasu memandang jalan setapak di depannya dengan tatap
mata mengombak ayun tak jelas. Di atas punggung kudanya yang berjalan
pelan, menelungkup anak lelakinya yang telah lama hilang. Kembalinya
Sang Prajaka ternyata bersamaan dengan kematiannya. Lebih celaka lagi,
kematian Prajaka terjadi melalui anak panah yang dilepasnya. Pradhabasu
telah membunuh anaknya sendiri.
Tetap beku wajah Pradhabasu ketika meloncat turun dari atas
punggung kudanya. Pradhabasu memilih berjalan kaki menjelang
memasuki pedukuhan tempat tinggalnya. Para tetangga terkejut melihat
Pradhabasu piliang membawa tubuh menelungkup di atas kuda.
Ki Sangga Rugi, sahabat akrabnya, datang menyongsongdan sangat
terkejut melihat mata Pradhabasu basah. Lebih terkejut Ki Sangga
Rugi melihat tubuh menelungkup di atas kuda itu. Wajah itu sungguh
*" Dlmpylk-dimpyak. Jawa, bergelnrnbang berarakfaralt
. _a 6:94de dikenalinya. Melihat Sang Prajaka tidak lagi bernapas, menyebabkan
kaki Ki Bangga Rugi gemetar.
"Kakang Sangga, bolehkah aku minta tolong." tanya Pradhabasu
dengan suara amat parau. Sigap, Ki Bangga Rugi menempatkan diri, "Apa yang harus aku
lakukan,'Adii-'" ' Pandang mata Pradhabasu larut tertuju pada wajah anak lelakinya
yang tidak lagi menampakkan tarikan napas. Kemudian, Pradhabasu
menengadah. Di langit, seolah tampak adik perempuannya yang amat
menyesalkan mengapa peristiwa itu harus terjadi.


Gajah Mada Madakaripura Hamukti Moksa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maafkan aku, Kembangrum," ucap Pradhabasu dalam hati.
"Maafkan aku, Mahisa _Kingkin. Aku juga tak tahu mengapa peristiwa ._
ini harus terjadi." Ki Bangga Rugi tercekat. Di sepanjang waktu ia bertetangga dengan
mantan prajurit pasukan khusus Bhayangkara itu, tidak pernah sekalipun
ia melihat Pradhabasu menangis. Jangankan Ki Sangga Rugi yang hanya
seorang tetangga, bahkan istrinya, Nyai Dyah Menur Sekar Tanjung
sekalipun, tak pernah melihat Pradhabasu menangis. Namun, kali ini
mantan prajurit pilih tanding, terutama dalam ilmu sandi itu tak merasa
malu untuk menitikkan air mata.
"Apa yang harus aku kerjakan?" tanya Ki Sangga Rugi.
Pradhabasu yang hampir sampai rumahnya itu melangkah bagai
tanpa tenaga, lalu duduk di atas bongkahan kayu. Tarikan napasnya
yang panjang berasal dari rongga dada yang sebenarnya telah kosong
tak ada isinya. "Aku akan menyelenggarakan upacara pembakaran hari,?" ucap
Pradhabasu amat tersendat.
Ki Bangga Rugi cukup tangkas dan punya gambaran langkah apa saja
yang harus ia ambil untuk bertindak. Ki Sangga Rugi segera mengambil
"' Layun. Jawa. mayat
Mndbligrtjpuru Hammer," . .
alih menunmn kuda yang di atasnya menelungkup tubuh Sang Prajaka.
Melihat itu, Pradhabasu segera berusaha menguasai diri. Ia bangkit dari
duduknya, lalu melangkah menyusul.
Bagi Dyah Menur, Sang Prajaka telah menjadi anak yang serasa
terlahir dari kandungannya. Itu sebabnya, Dyah Menur yang sedang
menyapu halaman amat terkejut ketika melihat kedatangan Ki Sangga
Rugi yang menuntun kuda tunggangan suaminya. Dyah Menur segera
mengenali sosok yang menelungkup di punggung kuda itu. Dyah Menur
menjerit. jeritan Dyah Menur mengagetkan Dyah Pretiwi yang sedang berada
di halaman belakang. Dyah Pratiwi menghambur ke depan. Begitu
melihat pemandangan di halaman depan, mulut Dyah Pratiwi serentak
terkunci. Dyah Pratiwi tak tahu bagaimana caranya berteriak.
Gemetar yang mendadak menyergapnya dengan amat kasar,
menyebabkan Dyah Pratiwi tak lagi ditopang kaki yang kuat. Namun,
Dyah Pretiwi masih punya kesadaran untuk berpegangan di tiang
penyangga teras rumah. Apa yang terjadi di rumah Pradhabasu dengan segera menarik
perhatian para tetangga. Mereka pun bergegas berdatangan. Musibah
yangmenimpa Sang Prajaka sontak menumbuhkan pertanyaan mengenai
apa yang sesungguhnya terjadi dan bagaimana hal itu terjadi.
Rupanya yang paling terpukul dengan kematian Sang Prajaka
justru Dyah Pretiwi. Gadis cantik anak bungsu Pradhabasu itu tibatiba terhuyung-huyung kehilangan kesadaran. Dyah Pretiwi ambruk
dengan kepala nyaris menghantam dinding. Akan tetapi, dengan cekatan,
seorang tetangga yang berada di belakangnya menangkap tubuhnya dan
bergegas membopongnya masuk ke dalam rumah untuk dibaringkan di
atas pembaringan. Semua perhatian tertuju pada tubuh Sang Prajaka, terutama pada
anak panah yang menancap di tengah dadanya. Andaikata para tetangga
itu bermata jeli, mereka pasti bertanya-tanya mengapa anak panah milik
ayahnya itu bisa tenggelam di dada anaknya. '
. -' Gamma Pradhabasu menjadi orang tua yang mendadak terjangkit penyakit
buyutan. Tangan lelaki itu gemetar tidak terkendali, bibirnya bergerakgerak akan mengatakan sesuatu. Namun, jangankan satu kalimat, satu
kata pun tak keluar dari mulutnya
Tatapan mata Dyah Menur yang tajam bagai pisau dengan jelas
meminta penjelasan. Pradhabasu akan menjawab, akan menjelaskan.
Akan tetapi, ternyata hanya galangan kepala amat lemah yang bisa
diberikannya. Pradhabasu yang bersandar ke dinding membuang pandang matanya
ke kejauhan, melewati pucuk pohon kelapa dengan daunnya yang
melambai-lambai ditiup angin. Barisan pagar daun beluntas yang sedang
berbunga menebarkan wanginya yang amat khas. Gerumbul melati
' yang tumbuh di sebelah rumah, ditambah pohon kanti] yang bunganya
berguguran, bagai ikut menandai apa yang menimpa Sang Prajaka. _
Sang Prajaka telah pxpatjarwa" dengan sebuah aura-ma" menancap di
belahan dadanya. 1Wangi yang ditebarkan melati, kantil, dan. beluntas itu bagai
penghormatan terakhir yang khusus diberikan kepada anak laki-laki
Pradhabasu yang di masa lalu pernah mengidap kelainan jiwa itu.
Ki Sangga Rugi telah berubah menjadi orang yang benar-benar
bisa diandalkan. Di bawah kendali Ki Sangga Rugi, beberapa orang
bertindak cekatan menyiapkan segala hal yang diperlukan untuk upacara
pembakaran biyan. Beberapa orang telah menyiapkan tumpukan kayu. Ki Sandan
Banjir yang datang telat langsung mendatangi Pradhabasu dan
memeluknya dengan kuat. Melihat mata Pradhabasu basah, Ki Sandan
Banjir pun ikut menyumbang tangisnya. Namun, tak seorang pun
yang berani bertanya kepada Pradhabasu, peristiwa macam apa yang
menimpa Sang Prajaka dan anak panah siapa yang telah membunuh
anaknya itu. "' Puput yuna. Jawa. meninggal
'" Warnet". Jawa. anak panah
BiadaRgnparanmuEtiiltaan . .
"Apa yang terjadi pada anak kita?" Dyah Menur akhirnya
membisikkan pertanyaan itu ketika memutuskan memeluk suaminya.
Pradhabasu sangat ingin menjawab, tetapi ia sungguh tak tahu
bagaimana cara memulai. Hening yang barlepotan rasa penasaran itu dengan segera
membuncah ketika dari kejauhan terdengar suara kuda yang berderap
sangat kencang. Siapa pun penunggang kuda itu, rupanya hanya sedikit
punya waktu. Kuda Swabaya tak lagi peduli pada kudanya setelah ia melompat
turun. Seorang tetangga dengan cekatan mengambil tali kendali dan
mengikat kuda itu di palang kayu tak jauh dari regol.
Kuda Swabaya melangkah amat ragu. Namun, dari awal ia memang
sudah cemas. Semula, pemberitahuan yang ia terima dari Pasangguhan
Gagak Bongol masih belum ia yakini kebenarannya. Akan tetapi, ketika
melihat banyak orang berkumpul di halaman rumahnya, Kuda Swabaya
segera disergap rasa cemas.
Pandang mata Kuda Swabaya yang telah berdiri di tengah pintu,
tertuju pada sosok tubuh membeku yang ditidurkan di atas pembaringan.
Kuda Swabaya mengarahkan pandang matanya pada gagang anak panah
yang menancap di dada kakaknya. Dengan segera, Kuda Swabaya dapat
mengenali anak panah itu.]enis anak panah yang tak sembarang orang
memilikinya. Kuda Swabaya mendekati ayahnya.
"Pelukis itu?" tanya Kuda Swabaya.
Pradhabasu mengangguk. Kuda Swabaya berbalik dan berputar sambil bertolak pinggang.
Kuda Swabaya menengadah memandang barisan kasau di langit-langit
ruang Kuda Swabaya berusaha menenteramkan diri dari rasa kaget luar
biasa mendapati kenyataan yang tak terduga itu. Ternyata, kakaknya bisa
berada di sela hubungan perjodohan antara Sang Prabu Hayam Wuruk
dan Dyah Pitaloka Citraresmi. Akan tetapi, sebagaimana ayahnya, Kuda
. ' gayut Madi: Swabaya pun berpendapat bahwa sebaiknya tak perlu ada orang yang
tahu kisah itu. Jika peran Sang Prajaka sebagai Rishang Saniscara Pattiawhura"
selama berada di Sunda Galuh diketahui orang banyak, apalagi diketahui
Prabu Hayam Wuruk, tantu hal itu kurang baik.
Kuda Swabaya mampu berpikir tenang menghadapi keadaan yang
sebenarnya amat mangimpit jiwanya itu. Melihat ayahnya sangat tertekan,
Kuda Swabaya memutuskan untuk mewakilinya berbicara kepada
segenap pihak yang sedang digalut rasa ingin tahu.
"Saat ini, di Bubat sedang terjadi peristiwa yang tidak terduga," kata
Kuda Swabaya dengan suara agak serak. "Aku tidak bisa menceritakan
dengan jelas apa yang terjadi. Namun, mungkin tidak lama lagi, Kisanak
semua akan mendengar beritanya. Kakang Prajaka bernasib sial. Ia berada
di tempat itu ketika kekacauan terjadi. Sebuah anak panah mengenai
dadanya. Kakang Prajaka berada di tempat yang salah dan di waktu yang
salah. Itulah peristiwa yang manirnpa kakakku." .
Para tetangga yang berdatangan ke rumah Pradhabasu terkejut
mendengar penjelasan itu. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa
telah terjadi kekacauan yang tidak terkendali di lapangan Bubat. Namun,
dengan segera mereka mengetahui dengan lebih jelas. Di antara para
penduduk itu ada yang bisa menceritakan. Para tetangga Pradhabasu
akhirnya hanya bisa menyesalkan mengapa nasib sial menghampiri
Prajaka. Seiring waktu yang bergerak lambat, para tetangga telah sempurna
dalam menyiapkan upacara pembakaran antara Para perempuan tua. yang
bertugas menyiapkan berbagai sesaji juga telah tuntas dengan tugasnya.
Suasana amat hening Tak ada suara kecuali isak tangis Dyah Pratiwi.
Tubuh lunglai Sang Prajaka telah diletakkan di atas tumpukan kayu.
Seorang tokoh agama Syiwa telah dipanggil untuk memimpin rangkaian
upacara. '" Ehh-an: Santun Paniawhura, tokoh ini'tiktif. keberadaan dan penanya telah dikisahkan dalam Gajah
Mada. Perang Bubat Wadbgnnpurn Hnmuitr' Wetan: ' o
Pradhabasu dipersilakan menjadi orang pertama yang menyulutkan
api ke tumpukan kayu yang telah dibasahi minyak jarak. Namun,
Pradhabasu nyaris tidak memiliki tenaga untuk melakukan tugasnya.
Dengan sangat tegar, Kuda Swabaya mengambil alih tugas ayahnya.
Dyah Pratiwi kembali pingsan ketika api telah berkobar. Tak hanya
Dyah Pratiwi yang pingsan. Ketika api makin besar dan makin menjilat,
Nyai Dyah Menur yang berdiri di sebelah suaminya mulai tarhuyung.
Akan tetapi, Kuda Swabaya adalah pemuda yang tangkas dan nar"giant."
Kuda Swabaya menangkap tubuh ibunya dan bergegas membopongnya
masuk ke dalam rumah. Asap berwarna putih dan hitam membubung. Asap itu pasrah
sepenuhnya pada gerak merata." Sedemikian banyak kayu yang
disediakan untuk upacara penghormatan terakhir itu, membuat asap
membubung tinggi dan bergerak ke arah utara. Beberapa orang petani
yang sedang sibuk di sawah terheran-heran melihat asap itu. Mereka terus
memerhatikan asap itu. _jika asap itu berasal dari orang yang membakar
panahan," tentulah tidak akan sebesar itu. Lain masalahnya jika asap itu
berasal dari rumah yang terbakar.
"Kaulihat itu?" teriak salah seorang dari mereka.
Petani lain yang berusia sebaya mengerutkan kening.
"Rumah siapa yang terbakar itu?" ucapnya.
Petani ketiga yang sedang sibuk mengayunkan cangkulnya merasa
tidak enak. Api itu terlampau besar dan berada di arah rumahnya
berada. ' "Aku pulang," ucap petani ketiga. "Parasaanku jadi tidak enak,
jangan"jangan rumahku yang terbakar."
Tak hanya petani ketiga itu yang dilibas rasa ingin tahu, dua rekannya
mengambil keputusan sama. Mereka ikut mengakhiripekerjaannya.
" Trenggana. Jawa, tangkas, lincah dan gesit
5" Maruta, Jawa, angin '
" Panahan, Jawa. sampah
o ' annli Studit Keputusan mereka benar. Mereka akan menyesal jika tetap berada
di sawah. Bukan hanya cerita mengenai asal asap yang membubung
itu yang menarik untuk diketahui. Pelistiwa berdarah yang terjadi di
lapangan Bubat juga cukup menjanjikan rasa kaget yang dijamin bakal
menyengat. - Di halaman rumah Pradhabasu, semua orang tetap bergeming
di tempatnya. Arah pandang mereka pun belum bergeser. Tak hanya
Pradhabasu yang merasa kehilangan. Para tetangga yang pada umumnya
mengenal Prajaka juga merasa kehilangan seorang kerabat pedukuhan
yang baik. Apalagi, semasa hidupnya, Sang Prajaka adalah pemuda yang
ringan tangan. Beberapa kemampuan aneh yang dimiliki Prajaka juga
menyebabkan orang sulit melupakan sosoknya.
"Apa yang tak bisa kaulupakan pada sosok Sang Prajaka?" tanya
Arya Sambit kepada Wira Sardha yang berdiri di sebelahnya.
Wira Sardha kebetulan sedang melamun. Keuangannya melayang
ke wilayah yang telah menjadi bagian dari masa silam, saat ia bersahabat
akrab dengan mendiang Prajaka.
"Kemampuannya yang luar biasa dalam menghitung, amat cepat.
Aku yakin, tak seorang pun bisa menandinginya. Lalu, kemampuannya
memahat berbagai bentuk patung kayu dan meniup seruling, tak
seorang pun di Majapahit yang mampu menandinginya," jawab Wira
Sardha Arya Sambit sependapat dengan Wira Sardha. Arya Sambit juga
memiliki kenangan terhadap kemampuan langka itu. Dalam pandangan
sekilas, Sang Prajaka mampu menghitung berapa jumlah bumng kuntul
yang sedang berarak terbang di angkasa. Arya Sambit membutuhkan
waktu jauh lebih lama untuk menghitung sasaran yang sama. Yang
paling sulit dilupakannya adalah saat Prajaka mampu menghitung hampa
jumlah biji kacang hijau yang ditebar di lantai hanya melalui pandangan
mata sekilas. ' "Kau benar," jawab Arya Sambit. "Sang Prajaka yang di usia remaja
tampak tolol itu berubah menjadi orang yang menarik sejalan dengan
usianya yang bergerak. Ia menarik bukan hanya karena kemampuan
MMEpn'pumllfnmuEHMu-Em ' .
menghitungnya yang sangat cepat itu, melainkan juga karena kemampuannya yang lain dalam bidang seni. Di tangannya, bonggol kayu jati bisa
berubah menjadi benda seni yang indah. Bongkahan baru bisa menjadi
patung 335351de setelah berhadapan dengan ayunan turun-nya. Padahal,
Ki Pradhabasu sama sekali tak mengajarinya. Sama sekali tak jelas,
diperoleh dari mana kemampuan aneh itu."
Ucapan Arya Sambit itu menyebabkan Wira Sardha gelisah.
"Sapangetahuanku, Sang Prajaka itu bukan anak kandung Ki
Pradhabasu. Sangat mungkin keahliannya dalam bidang seni itu berasal
dari orang tua kandungnya," kata Wira Sardha.
Apa yang disampaikan 1illz'ira Sardha itu menyebabkan Arya Sambit
terkejut. Arya Sambit terbelalak dengan tangan kiri menutup mulut.
"Benar begitu?" bisik Arya Sambit.
Wira Sardha mengangguk. "Aku punya ceritanya. Akan aku ceritakan kepadamu, tetapi jangan
ceritakan kepada orang lain," jawab Wira Sardha.
Arya Sambit mengangguk. "Bagaimana?" kejar Arya Sambit dalam bisikan.
Wira Sardha memberi isyarat kepada Arya Sambit untuk _
mengikutinya menuju satu pohon kantil. Di bawah pohon rindang itu,
pembicaraan mereka tidak akan didengar pihak ketiga atau keempat.
"Dulu, ketika masih menjadi prajurit Bhayangkara," kata Wira
Sardha, "Ki Pradhabasu mempunyai seorang sahabat karib bernama
Mahisa Kingkin. Kemudian, Mahisa Kingkin kawin dengan adik Ki
Pradhabasu yang bernama Kambangrum Puri Widati. Pada saat terjadi '
pemberontakan para Dharmaputra Winehsuka,53 Mahisa Kingkin
" Gupnla. patung raksasa duduk dengan kaki sebalah ditekuk. Biasanya. patung gupala ditempatkan sebagai
penjaga pintu gerbang. " Dharmaputra "inehsuka. sekelompok pejabat muda dari golongan arya. Mereka terdiri atas Rakrian
Kuti. Rakrian Wedang. RakrianTanea. Rakrittn Pangsa Rakrian Yuyu, dan Rakrian Senti. Awalnya. ntereka
adalah pendukung Mahapati. pejabat pengadu domba yang diidentifikasi sebagai Dyah Halayutla. Dyah
Halayudu adalah Mahapatih Majapahit setelah Nambi dan sebelum Agra Tadah.


Gajah Mada Madakaripura Hamukti Moksa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. - gaya." atas menjadi korban Fitnah yang dilakukan seorang mata"mata pendukung
Rakrian Kuti. Lalu, Mahisa Kingkin dibunuh Bhayangkara lain bernama
Gagak Bongol. Gagak Bongol sekarang menyandang pangkat sebagai
pasangguhan. Akibat tindakan Gagak Bongol yang semena-mena
itulah, Ki Pradhabasu melakukan unjuk beda rasa.54 Ki Pradhabasu
mengundurkan diri dari pasukan Bhayangkara dan menempatkan diri
menjadi orang biasa."
Arya Sambit menyimak penuturan itu dengan penuh minat.
"Hubungannya dengan Sang Prajaka apa?" tanya Arya Sambit.
Wira Sardha mengarahkan perhatiannya ke api yang makin
menggila. "Mahisa Kingkin yang kawin dengan adik Ki Pradhabasu itu
mempunyai seorang anak laki"laki, Sang Prajaka itu," jawab Wira
Sardha. Arya Sambit terkejut. "Ooo, Begitu," kata Arya Sambit.
Wira Sardha mengangguk. "Sang Prajaka bernasib malang.. Ia lahir dalam keadaan cacat.
Untunglah keadaan cacat itu hilang ketika ia dewasa. Ayahnya terbunuh
akibat fitnah. Ibunya yang sangat mencintai suaminya memutuskan
Kampar diri. Itu sebabnya, Ki Pradhabasu terpanggil jiwanya untuk
mengasuh anak itu. Kini, kita melihat, Sang Prajaka akhirnya mati melalui
cara yang menyedihkan juga, tidak jauh dari cara kematian orang tuanya.
Mati terbunuh," lanjut Wira Sardha.
Arya Sambit terdiam. Wira Sardha pun tak lagi berbicara karena
merasa telah tuntas penuturannya.
"Kasihan," gumam Arya Sambit.
1lltii'ira Sardha mengangguk.
" Hulul: beda rasa. unnes
Gidannpara Hamant' Sunken ' 6
Di langit, bagaikan margin kawagwfi tanpa selembar mendung
pun yang berani menampakkan diri. Jangankan mendung, bahkan yang
setipis mega pun tidak berani menampakkan diri. Arya Sambit yang
menengadah, mendadak melihat barisan burung kuntul yang terbang
berarak membentuk garis lurus dan sudut siku pada pucuknya. Jika
ada Sang Prajaka, dengan mudah ia akan memperoleh jawaban berapa
jumlah burung itu. Namun, sahabat tempat bertanya itu kini telah tidak
ada. Api sedang melalap melahap tubuhnya.
& 5 geberapa tahun yang lalu, Prabu Hayam Wuruk telah menuntaskan
keteguhan hatinya untuk tidak membiarkan orang lain ikut menggendong
Dyah Pitaloka Citraresmi. Sejak dari lapangan Bubat hingga istana
kediamannya, ia membopong sendiri tubuh Dyah Pitaloka yang tak
lagi bernapas. Ibu Suri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi _]ayawisnuwardhanii'5
yang berdiri di undak"undakan menuju pintu, merasa kakinya tak
mampu lagi menyangga beban berat tubuhnya. Kesemutan yang
datangnya mendadak menyebabkan Ibu Suri jatuh terduduk. _Ibu
Suri Sri Gitarja tampak tidak berdaya, bagai orang yang sepekan
tidak makan. Dengan gugup, Sri Kertawardhana berusaha menolong
istrinya. 55 Bagaskara manjat kanryan. Jawa. matahari bersinar terang
"' ari Giurjamaaaanatunggaaawi Jayawlannwardhani, anak pertama nian perkawinan Gapairi dangan
Raden Wijaya. Sri Gitarja kawin dengan Raden Cakradara yang bergelar Sri Kertawardhana dan berputra
Prabu Hayam Wuruk. o ' 9:1th Muda Tak jauh dari Ibu Suri Sri Gitarja, ibu Suri Dyah Wiyat Rajadewi
Maharajasa" yang juga sedang dalam sikap menunggu ikut tertular.
Pasokan darah menuju otaknya berkurang, menyebabkan tubuh Dyah
Wiyat limbung. Akan tetapi, Raden Kudamerta58 sigap menghadang
tubuh yang akan ambruk itu.
Para Sekar Kedaton pucat pasii Sejak awal, para Sekar Kedaton
istana Tarik telah mengikuti perkembangan yang terjadi. Dyah
Rajasaduhitendudewi59 yang berdiri berdampingan dengan saudara
perempuannya, Dyah Nrttaja Rajasaduhiteswari," amat cemas dan gugup
dalam membaca puja mantra doanya. Ia memohon kepada HyaagMaaan"
agar kekacauan yang sedang terjadi di lapangan Bubat bisa dikendalikan
tanpa harus timbul korban.
Namun, menilik Sang Prabu kembali dari lapangan Bubat dengan
membopong tubuh yang memayat, dapat disimpulkan akhir macam apa
yang terjadi di lapangan Bubat itu.
Dengan berlari-lari melintas halaman, tampak dua Sekar Kedaton
anak Dyah Wiyat bergegas datang. Dyah Madudewi" dan Dyah
Sri L'Budewi53 tidak kalah panik mendengar kabar pertempuran yang
pecah di lapangan Bubat. Amat gugup Dyah Madudewi dalam berlari,
" Dyah wiper ani-eens Maharajasa, adik kandung sti Gitarja, anak kedua buah perkawinan Gayatri
dengan Raden Wijaya 5" Raden Kudamerta. suami Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa. bergelar Wijaya Rajasa Sang Apanji
Wahninghyun. juga disebut Breh Wengker Hyang Paiamaewara
"' Dyah Rajaaaduhilieudatlewi. adik PTabu Hayaqunlk. Dll-ah perkawinan sri GitarjaTrihhuanatunggadewi
layawisnuwardhani dengan Sri Kertawardhana (Raden Cakradara], kelak Duhintendudewi beiauami Raden
Larang m Dyah Nrttaja Rajaaaduhlteawari, adik Prabu Hayam Wuruk, buah perkawinan Sri Gitarja
Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dengan Sri Kertawardhana [Raden Cakradara). kelak
Rajaaaduhiteswari bersuami Betah Paguhan Singawardana
&" Hyang Manan, Jawa. Tuhan
& Dyah Madndewi, anak Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa. buah perkawinannya dengan Breh Wengker
Wijaya Rajasa Hyang Parameswara [Raden Kudamerta). Kelak. Dyah Madudewi bersuamikan Eti-eh
Matahun. '53 nyali sri saaewi. anak Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa, buah perkawinannya dengan Raden kadanrena
Brang Pamotan. Kelak, Dyah Sri Sudewi bersuamikan Prabu Hayam Wuruk, saudara sepupunya sendiri.
setelah kegagalan Hayam Wuruk mengawini Dyah Pitaloka Citraresn-ii. Dyah Sri Sudewi mendapat gelar
Sri Paduka Sori. _ Hadakanpara Hamwifritaipa ' '
menyebabkan kakinya tersandung kain panjang yang dikenakannya. Dyah
Madudewi terjatuh. Emban Prabasiwi yang selalu melekat melayaninya
bergegas menolongnya. Prabu Hayam Wuruk mendaki tangga sampai sisa yang terakhir.
Dengan ayunan langkah gontai, Prabu Hayam Wuruk meletakkan
tubuh Dyah Pitaloka di atas earlier: yang dengan tergesa disiapkan para
abdi istana. Dengan mata merah, Prabu Hayam Wuruk menempatkan
diri duduk bersila. Tidak seorang pun yang mampu mengambil sikap
masuk akal menghadapi rajanya yang sedang terpukul itu. Tak juga ayah
dan ibunya. "Bagaimana keadaan Prabu Maharaja linggabuana?" hening yang
datar itu pecah oleh pertanyaan Ibu Suri Sri Gitarja.
Senopati iMacan Liwung merasa pertanyaan itu ditujukan kepadanya.
Senopati Macan Liwung bergegas menyembah.
"Hamba, Tuan Putri," jawab Macan Liwung dengan suara datar. "Tak
seorang pun tamu dari Sunda Galuh yang tersisa, semua rami famili?"
Jawaban yang diberikan pimpinan pasukan khusus Bhayangkara itu
terdengar oleh semua yang hadir. Sri Gitarja dan Dyah Wiyat merasa ulu
hatinya bagai tercubit, menimbulkan nyeri yang tidak alang kepalang.
Kedua bangsawan yang pernah menjadi raja kembar ltLi merasa memiliki
cukup alasan untuk mendadak sesak napas.
Dalam keadaan yang demikian itu, tidak ada seorang pun yang
mampu mengambil sikap. Dalam hening, semua warna hati tampak
dengan sangat jelas. Dalam diam, semua bagai bersepakat bahwa
sebenarnya sosok yang paling bertanggung jawab atas kejadian itu adalah
Sang Mahamantrimul-iya. Tetapi, di mana Mahamantrimukya"
Mahapatih Gajah Mada tidak tampak batang hidungnya. Semula,
Mahapatih Gajah Mada berbaur dengan rombongan prajurit dan segenap
kawrda yang mengikuti langkah Prabu Hayam Wuruk. Namun, kemudian
Mahapatih Gajah Mada tak tampak.
" "limpa: tapis. Jawa. terbunuh tanpa sisa
Raden Kudamerta mendekati Raden Cakradara. Pembicaraan yang
terjadi di antara keduanya berlangsung dengan berbisik.
"Semua ini karena sikap Gajah Mada," kata Raden Kudamerta.
Raden Cakradara tidak menoleh. Arah pandang matanya jatuh
ke pintu gerbang Purawakti-a. Di sana, para prajurit tampak berusaha
menghadang para kawula yang berjejal-jejal ingin masuk ke dalam
lingkungan istana. Para prajurit pengawal pintu gerbang itu akhirnya
mengambil keputusan menutup pintu Purawaktra. Akan tetapi, para
kawula itu memiliki rasa ing-in tahu yang kuat. Akibamya, terjadi saling
dorong antara prajurit yang dengan sekuat tenaga berusaha menutup
pintu dan segenap rakyat yang bersikeras ingin masuk ke dalam
lingkungan istana. Perlahan, Raden Cakradara mengangguk, membenarkan pendapat
Raden Kudamerta. "Tetapi, mana dia?" tanya Raden Cakradara.
Raden Kudamerta Wijaya Rajasa Hyang Parameswara menebar
pandangan matanya mencari-cari. Akan tetapi, yang dicari tidak
terlihat. "Apa yang harus kita lakukan?" Raden Cakradara kembali
bertanya. Pertanyaan yang dilontarkan Raden Cakradara itu menjadi pertanda
dan ukuran betapa Mahapatih Gajah Mada menggenggam kekuasaan
yang sangat besar. Dengan kedudukannya sebagai mahapatih, Gajah
Mada memegang kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Oleh sebab itu, sering kali muncul pertanyaan, lebih tinggi mana
kekuasaan raja dengan kekuasaan mahapatihnya"
Kekuasaan Gajah Mada sebagai mahapatih telanjur mengakar dan
kebablasan. Sering kali, perintah dari raja terabaikan. Sebaliknya, perintah
yang berasal dari mahapatih pasti cepat dilaksanakan karena semua orang
tahu bahwa Mahapatih Gajah Mada tidak segan-segan mengayunkan
tangan menggampar. Maahliprtpara aawaaiarpaa . 0
Akan tetapi, Gajah Mada memang layak memiliki kekuasaan yang
nyaris tanpa batas itu. Majapahit menjadi sedemikian besar dan meNusantara karena jerih payahnya. Majapahit dulu hanya sebuah nama
tanpa makna. Semula, luas Majapahit tidak lebih dari wilayah Singasari.
Lewat kerja keras tanpa berkesudahan, akhirnya Majapahit menjadi
sedemikian besar. Semua berkat campur tangan Gajah Mada. Penyatuan
' semua negara yang berserakan dari tempat matahari muncul hingga
tempat matahari tenggelam adalah hasil kerja kerasnya.
Gajah Mada yang menjalankan pemerintahan, bukan Prabu
Hayam 1Wuruk atau yang lain. Untuk menjaga supaya Majapahit tetap
utuh, Gajah Mada melalui kedudukannya sebagai panglima, mengatur
agar bala tentara Majapahit terus melakukan penjagaan. Gajah Mada
memerintahkan supaya kapal-kapal terus berlayar, pelabuhan-pelabuhan
dijaga ketat, dan negara bawahan diawasi serta dibina.
Sekali dalam satu tahun, raja-raja negara bawahan dikumpulkan
dalam peran"tahan agung di kotaraja Majapahit. Adakalanya, pertemuan itu
diadakan lebih dari satu kali dalam setahun. Ketidakhadiran raja negara
bawahan atau patihnya dalam peranakan agung, bisa dicurigai sebagai
upaya pembangkangan. Sekali penguasa wilayah tidak hadir dalam
peranakan, Gajah Mada tidak perlu menunggu tahun berikutnya untuk
mengirim utusan untuk mendatangi wilayah bawahan itu.
Gajah Mada mengendalikan semua pekerjaan berat mengatur
roda pemerintahan. Raja hanya menerima hasilnya. Dan, lewat semua
kerja kerasnya itu, Gajah Mada berhasil mewujudkan sumpahnya
yang dulu dikumandangkan di hadapan kedua prabu putri, Sri Gitarja
Tribhuanatunggadewi Jayawisnuwardhani dan Dyah 15Wiyat Rajadewi
Maharajasa. Sumpah itu disahkan tahun 1331, ditandai dengan
pemindahan patung Aksobhya" dari candi Jawi dan digantikan dengan
pendirian patung raksasa Camunda.lili
" Altauhhya. patung simbol politik perdamaian Sri Kertanegara terhadap Nusantara [D.GE Hall. Sejarah
Asia Tenggara] "' Patung raksasa Camunda. bersama dengan pendirian patung ini sekaligus disampaikan sebuah
pengumuman bahwa tindakan militer akan dilakukan terhadap Sadang dan Heta [D.GE Hall. Sejarah
Asia Tenggara] . ' geybli Strada Tidak ada yang bisa membantah bahwa Majapahit bisa menjadi
sedemikian besar karena Gajah Mada. Keadaan yang demikian
memunculkan kasak-kusuk, baik guyonan maupun sungguheungguh
bahwa sebenarnya yang menjadi raja adalah Gajah Mada, bukan
Hayam Wuruk. Tugas Hayam 1Wuruk hanya duduk di damar untuk
mendengarkan dan melihat bagaimana Gajah Mada bekerja sebagai
perdana menteri. - Kekuasaan amat besar macam itu pula yang membuat tak ada
curang yang bisa menghadang cara pandang Gajah Mada terhadap negeri
Sunda Galuh.]angankan peringatan Ibu Suri Sri Gitarja, peringatan dan
kemauan Sang Prabu Hayam Wuruk pun diabaikannya.
"Menurutku harus segera diselenggarakan sidang kerabat keluarga
untuk membahas masalah ini," kata Raden Kudamerta.
Raden Cakradara mengangguk.
l?"if'lrku sependapat," balasnya. "Bahkan, aku berpendapat lebih jauh,
kekuasaan Gajah Mada yang sedemikian besar itu harus ditarik. Raja
Majapahit adalah anakku, Prabu Hayam Wuruk, bukan Gajah Mada.
Kurasa sudah tiba saatnya bagi Anal"xmas Prabu Hayam Wuruk untuk
mengambil alih semua peran Gajah Mada."
Raden Cakradara dan Raden Kudamerta mampu bertindak cekatan
untuk mengatasi keadaan itu. Perintah disalurkan kepada Senapati Macan
Liwtmg untuk mengurus semua korban perang yang tidak dirancang
sama sekali sebelumnya itu. Ratusan prajurit segera menerjemahkan
perintah itu dengan saksama.
Mayat-mayat yang bertebaran di lapangan Bubat diangkut
menggunakan kereta kuda dan disemayamkan di salah satu sudut Tatag
Rambat Bale Manguntur sambil menunggu keputusan yang akan diambil
terkait dengan para tamu dari Sunda Galuh yang terbunuh itu. Namun,
bagaimanapun mayat-mayat itu tak mungkin dibiarkan begitu saja. Harus
dilakukan sesuatu yang lazim dilaksanakan untuk menghnrmatinya. Jika
tidak dikubur, yang harus dikerjakan adalah menyelenggarakan upacara
pembakaran lqyen. ' diadakanpureffnmaiti Merisa ' .
Namun, sebuah kabar mengenai terjadinya perkembangan yang
tidak terduga diterima Senopati Macan Undang. Bhayangkara needed"
Gajah Geneng yang didampingi Bhayangkara jimat" Kebci 1lilif'indet datang
mendekat dan membisikinya. Wajah Senopati Macan Liwung seketika
tampak tegang. Matanya memandang Gajah Geneng tak berkedip,
bahkan dengan mulut sedikit terbuka.
"Begitu?" Macan [dening meletup.
Gajah Geneng mengangguk. "Di mana?" tanya Macan Liwung.
"Keluarlah dan tengok di jalanan depan rumah Kakang Gajah Mada.
Mereka telah siap saling gempur," jawab Gajah Geneng.
Macan Liwung menjadi tidak tenang dan serba salah. Perkembangan
tak terduga yang terjadi itu dengan segera dilapnrkannya kepada _Raden
Cakreswara." _ "Ad" HPH?" 15311?" Raden Cakradara yang telah membaca bahasa
wajah Senopati Macan Iinnrng.
Wajah Macan Iinnrng yang tegang menyebabkan Raden Cakradara
terheran-heran. Alis Raden Cakradara mencuat sebelah.
"Hamba, Tuanku," kata Macan Liwung sambil mendekatkan mulut
ke telinga Raden Cakradara. "Terjadi sebuah perkembangan yang sama
sekali tidak terduga. Di luar dinding istana, akan pecah perang lagi.
Sekelumpnk kawula yang berbaur dengan para prajurit berhadapan
dengan para pendukung Mahamantrimukya."


Gajah Mada Madakaripura Hamukti Moksa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Raden Cakradara yang bergelar Sri Kertawardhana itu terkejut.
Arah pandang matanya ditujukan kepada Macan Iiumng tanpa berkedip.
" Bhayangkara wredha, bhayangkara seniur. Nama-nama Bhayangkara tersebut semua liktif. rekaan
penulis. Yang masih hidup adalah Lembu Pulung. Panjang Sumprit, Kartika Sinumping, Jayabaya,
Pradhabasu (meletakkan jabatan dan memutuskan mengundurkan diri), Riung Samudra. Gajah Gersang,
Macan Iiwung, Paaangguhan Gagak Bunga], dan Kanuruhan Gajah Enggan.
& Yuna, Jawa. yuninr "9 Cakmwara. nama lain Eakradara
. ' Gnybii Stade Raden Kudamerta yang juga mendengar laporan itu tak kalah tegang.
Raden Kudamerta bergegas bergabung.
"Apa yang terjadi?" berbisik Raden Kudamerta.
Macan Iiwung bergegas menyembah.
"Hamba, Tuanku," kata Macan [dinding. "Yang akan bentrok
adalah pihak yang tidak sependapat dengan apa yang dilakukan
Mahapatih Gajah Mada dan pihak yang berusaha mendukungnya.
Mereka telah berhadap-hadapan dan siap saling serang. Di samping
itu, mungkin ada pihak+pihak yang memanfaatkan keadaan dengan
memancing di air keruh. Di sebelah utara muncul asap dari
kebakaran." .Raden Cakradara merasa isi dadanya menjadi penuh dan amat
sesak. Persoalan yang kini menusuk langsung ke jantung negara
Majapahit, menusuk langsung ke jantung Raja, belum ditemukan cara
mengatasinya. Rupanya, persoalan berkembang tak terduga dan bisa
mengarah ke mana saja. Menghadapi keadaan yang demikian, Raden Cakradara merasa harus mengambil alih kewenangan anaknya.
"Senopati Macan Liwung," kata Raden Cakradara.
Sigap, Macan Liuning merapatkan kedua telapak tangannya.
"Hamba, Tuanku," jawab Macan Liwung.
"lihatlah Sri Baginda," ucap Raden Cakradara. "Apa menurutmu,
Sri Baginda Prabu dengan keadaan yang demikian mampu mengambil
keputusan dan perintah yang masuk akal?"
Macan Liwung mengarahkan pandangan matanya kepada Sang
Prabu yang sedang duduk bersila. Mata Sang Prabu tidak berkedip
memandang tubuh Dyah Pitaloka yang telah kehilangan napas.
Macan UwMg mengangguk. "Bagaimana?" kejar Raden Cakradara.
Macan Iiwung merapatkan kedua telapak tangannya.
MadhEaripanamuiri atau - .
"Tuanku benar," jawab Macan Liwung. "Dalam keadaan yang
demikian, boleh dibilang Sang Prabu sedang lumpuh. Apa pun sabdanya,
tidak bisa dijamin kelayakannya."
Raden Cakradara memerhatikan wajah anaknya.
"Kauyakin dengan pendapatmu itu?" tanya Raden Cakradara.
Macan Liumng mengangguk. "Hamba yakin, Tuanku," jawab Senopati Macan Liwung.
Raden "Cakradara memandang Macan Liwung cukup lama.
Kemudian, ia menoleh kepada Raden Kudamerta yang berwajah amat
beku melebihi patung batu.
"Macan Liwung," kata Raden Cakradara, "keadaan Prabu Hayam
lWuruk sedang seperti itu. Tak cukup waktu untuk meminta perintahnya.
Jika masing-masing pihak tidak sabar, perang benar-benar akan pecah.
Oleh karena itu, aku minta pendapatmu. Bagaimana jika untuk sementara
aku yang mengambil alih tugas Sang Prabu?"
Macan Liwung tidak membutuhkan waktu terlalu lama untuk
menerima permintaan Raden Cakradara karena bagaimanapun, ia adalah _
ayah kandung raja. "Hamba, Tuanku," Macan Liwung menjawab "Hamba bisa menerima
Perintah Tuanku mengingat keadaan sedang darurat macam ini."
Raden Cakradara menoleh kepada Raden Kudamerta seperti ingin
minta pendapatnya. Raden Kudamerta mengangguk memberikan
persetujuannya. Raden Kudamerta melihat, Raden Cakradara memang
orang yang paling'berhak untuk mengambil alih kendali ketika raja
berhalangan. Berharap Ibu Suri Sri Gitarja Tribhuanatunggadewi
Jayawisnuwardhani yang mengambil alih kendali juga tidak mungkin.
Ibu Suri Sri Gitarja dan Ibu Suri Dyah Wiyat sama-sama sedang larut
dalam kepanikannya. "Mehon hamba segera diberi petunjuk, Tuanku," kata Macan
Liwung yang tak sabar. o . gaga Elland-u Raden Cakradara mengangguk.
' "Cegah jangan sampai pertikaian itu terjadi. Lalu, hadapkan Gajah
Mada kemari. jika perlu dengan paksa. Ia harus menjelaskan kebijakannya
yang terbukti meminta korban, bahkan melukai hati rajanya."
Macan Undang menyembah sebagai tanda memahami perintah itu.
Namun, Senopati Macan Liwung sadar bahwa pekerjaan itu bukan jenis
pekerjaan yang mudah. Akan tetapi, Raden Cakradara benar. Perang susulan
yang akan terjadi antara pihak yang berusaha melindungi Mahamanttimmya
dan pihak yang berusaha menyerangnya harus dicegah.
Sigap, Macan Iiumng keluar dari istana bekas kediaman Rajapatni
Biksuni Gayatri yang telah tuntas dibangun kembali. Di tangga
terakhir halaman istana itu, Bhayangkara wredba Gajah Geneng
menyongsongnya. "Bagaimana perintahnya?" tanya Gajah Geneng yang didampingi
Bhayangkara yaitu Kebo Windet.
Dengan jelas, Macan Liwung menceritakan kepada Gajah Geneng
perintah yang baru diterimanya. Tugas yang diembannya kali ini sangat
rumit. Selama ini, Macan Liwung terbiasa memperoleh perintah dari
Gajah Mada yang berkedudukan sebagai atasannya, tidak hanya sebagai
mahapatih, tetapi sekaligus sebagai panglima perang. Kini, Macan
UWg harus menghadapkan Gajah Mada ke hadapan keluarga raja
untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.]ika Gajah Mada tidak
bersedia menghadap dengan sukarela, ia harus dipaksa. Harus memaksa
Gajah Mada seperti seorang pesakitan, entah mimpi apa Macan Liwung
pada malam sebelumnya - "Menurutku ini bukan pekerjaan gampang,H kata Gajah Geneng.
Macan Liwung mengangguk. Sejenak kemudian, suasana yang gerah itu pecah oleh anak panah
sandaran?" yang membubung memanjat langit. Suara anak panah yang
TD Anik putih sender-ln, Jawa, anak panah dengan fungsi sebagai isyarat Pada anak panah sanderan
_ melekat sebuah peluit yang akan menjerit melengking ketika dilepas membelah udara. Anak panah
sanderan biasanya juga dilengkapi dengan api yang bisa terlihat dengan jelas di waktu malam.
Wadamnpara Hamagtt' Melisa : .
melengking tinggi itu dengan segera diterjemahkan oleh segenap prajurit
Bhayangkara. Para prajurit Bhayangkara segera berkumpul di Purawaktta
tanpa seorang pun yang tertinggal.
Pendek 'saja Macan Iiwung memberikan taklimat. Taklimat itu
ditangkap dengan cukup jelas oleh anak buahnya. Sejenak kemudian,
para prajurit Bhayangkara itu telah perak butir," masing-masing
menggenggam busur dan menggendong sedang yang penuh anak panah.
Sebagian pasukan khusus Bhayangkara itu melengkapi diri dengan
tameng. Tameng mutlak dibutuhkan ketika berhadapan dengan musuh
yang menggunakan anak panah pula. Tetapi, siapa atau pihak mana yang
disebut musuh itu" 6 Que rebab yang lalu, bersamaan dengan saat Prabu Hayam Wuruk
mengayunkan langkah menggendong Dyah Pitaloka tiba di istana.
Cairan kental itu melumuri wajah Gajah Sagara dan tidak bisa hilang,
meski telah dibersihkan dengan tangan. Untuk menghilangkan cairan itu,
Gajah Sagara harus membasuhnya dengan air berlimpah. Cairan kental
itu tidak berwarna merah yang berasal dari tubuh yang terbelah, cairan
itu bukan darah, cairan itu berwarna kuning.
Tidak hanya Gajah Sagara yang mengalami keadaan demikian,
tetapi juga beberapa prajurit lain. Apa yang menimpa rombongan tamu
terhormat dari Sunda Galuh menyebabkan kemarahan marak dan mekar
di mana-mana. Para tamu dari Sunda Galuh mestinya diperlakukan
dengan baik. Namun, ternyata mereka malah dibantai Marpa; apa tanpa
*" Pucuk luthawa. berbaris
. ' 9:13th Studi: sisa. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa para prajurit pengawal
istana kepatihan harus berlumur cairan kental kekuningan itu.
Suasana kotaraja Majapahit benar-benar berbalik dari hari"hari
sebelumnya. Sebelumnya, semua orang tampak tersenyum. Semua
orang maaggyabagya" rencana perkawinan raja mereka yang amat mereka
cintai. Di lingkungan kotaraja, hampir semua orang telah menghias gapura
rumah mereka dengan untaian janur indah. Tempat-tempat pemujaan,
baik agama Syiwa maupun Buddha ramai dijejali pemeluk agama
masing-masing. Dengan ketulusan hati, mereka ingin mendoakan agar
perkawinan raja mereka berjalan tanpa hambatan.
Akan tetapi, apa yang diharapkan manusia memang belum tentu
terkabul. Malang tidak bisa ditolak sebagaimana untung tak bisa diraih.
Keinginan dan perlakuan Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Gajah
Mada menyebabkan orang Sunda Galuh tersinggung dan memilih
agearbeagka bertebing Jardim." Orang Sunda yang memilih menjaga martabat
dan harga diri itu menganggap tidak masalah jika harus menebusnya
dengan nyawa. Prabu Maharaja Linggabuana terbunuh bersama segenap prajurit
pengiringnya. Sebagaimana Satyawati yang bisa dan berani mengambil
sikap kagum dini mendapati kematian Prabu Salya, Permaisuri Dewi lara
Linsing mengambil pilihan yang sama. Dan, Dyah Pitaloka adalah sosok
yang kebetulan terjerembab pada keadaan tanpa pilihan lain. Untuk
apa hidup saat ibu dan ayahnya mati" Bagi Dyah Pitaloka Citraresrni,
kematian hanyalah bagaimana menjaga kehormatan.
Keadaan hari itu pun segera berbalik. Sukacita berubah menjadi
dukacita. Tidak seorang pun penduduk kotaraja yang tidak gugup
menghadapi perkembangan keadaan yang tidak terduga itu. Arah angin
tiba-tiba berubah, tak hanya berubah arah, tetapi menjelma menjadi
badai yang sedemildan deras, menyebabkan apa pun yang diterjang akan
" Mangu-bagan, Jawa, mengucapkan selamat dan ikut bahagia
" Hgaathengka wutahlng lutllra. menganggap ringan tambahnya darah
You have either reached e pege that is uneyeileble foryiewing or reeched youruiewing limitforthis
book. You have either reeched e pege that is uneyeileble foryiewihg or reeched youruiewihg Iirnitforthis
book. Madukanpara HamuEti 514053: . 0
Seseorang yang agaknya menjadi pimpinan kelompok berkuda itu
memberi aba-aba untuk gerakan selanjutnya. Akan tetapi, pada sebuah
kesempatan, orang itu justru memisahkan diri. Dengan berpacu kencang,
ia membalapkan kudanya menuju istana keparihan. Orang itu kemudian
merasa tidak perlu lagi menutupi jati dirinya.
Ketika orang berkuda itu melintas alun-alun, beberapa prajurit
berpangkat rendahan yang sedang berjalan berkelompok dengan sigap
memberikan penghormatan. Penghormatan itu wajib diberikan karena
prajurit berkuda itu memiliki pangkat jauh lebih tinggi. Ia seorang
senopati. "Kalian akan ke mana?" tanya orang berkuda itu.
"Ke istana kepatihan," jawab pimpinan prajurit yang parah karir
itu. _ "Ada apa di istana kepatihan?" tanya prajurit berkuda itu.
"Istana kepadhan dikepung. Mereka ingin menangkap Mahamantrimukya," jawab salah seorang dari mereka.
Prajurit berpangkat senopati itu termangu. Pandangannya tertuju
pada asap yang membubung di utara. Pandangan mata senopati muda
itu dengan jelas menyiratkan rasa prihatinnya.
"Keadaan sedang kacau," katanya bijak. "Orang-orang tidak
bertanggung jawab, entah dengan maksud apa, memanfaatkan keadaan
' ini untuk membuat kekacauan. Sebaiknya, kalian jangan terpaku pada apa
yang terjadi di istana kepatihan itu. Orang-orang yang sedang memancing
di air keruh itu juga membutuhkan perhatian."
Tak ada lagi yang diucapkan senopati itu. Ia membedal kudanya
untuk kembali berderap membelah angin. Arah yang ditujunya sama
dengan para prajurit lain yang tampak bergerak bergelombang, ada
yang berkuda, ada yang berlari, dan ada pula yang tidak perlu merasa
tergesa-gesa. Prajurit berpangkat senopati itu menengadah memandang
langit yang sedang bersih. Prajurit itu merasa itulah waktunya untuk
. : gaybh Mauli: mengambil peran atas nama dendam ayahnya yang kini meringkuk di
atas pembaringan. Sebenarnya apa yang terjadi di halaman istana kepatihan itu
menarik perhatian siapa pun. Pata kawtna mengarahkan perhatiannya
ke bangunan megah di luar dinding istana itu dengan rautimuka
sewarna, sama-sama menampakkan geram amarahnya. Di belakang
mereka, ada banyak prajurit dari berbagai kesatuan. Di antara para
prajurit itu, ada yang terang-tetangan menunjukkan dari kesatuan mana
ia berasal. Namun, ada pula yang menanggalkan ciri-cirinya, termasuk
tanda pangkatnya. Berdebar-debar Gajah Sagara melihat orang-orang yang terus
berdatangan dengan tangan masing-masing telah' mengepal, siap
mengayunkan sesuatu di genggaman tangannya. Gajah Sagara mengira
sesuatu di kepalan tangan itu batu.
Melihat para pengunjuk rasa akan melempari mereka dengan batu,
dengan segera prajurit yang membawa tameng menempatkan diri di
depan untuk melindungi prajurit yang berada di belakang. Namun,
dengan segera para pengawal istana kepatihan itu terkejut mendapati
benda yang dilemparkan itu ternyata bukan batu, tetapi telur yang segera
pecah ketika mengenai tameng Lalu, telur-telur yang pecah itu muncrat
melumuri wajah dan pakaian yang mereka kenakan.
"Kurang ajar," umpat seorang prajurit.
Gajah Sagara terpana melihat ulah para kawula yang sedang
melampiaskan amarah itu. Sebutir telur melesat dari tangan salah seorang
pengunjuk rasa. Telur itu memanjat naik hingga ke titik ketinggiannya,
kemudian bergerak turun. Terhenyak Gajah Sagara ketika telur itu
menghantam wajahnya dan meninggalkan cairan dengan aroma serta
rasa amat khas. Sontak, dengan tangannya, Gajah Sagara berusaha
menghilangkan cairan kental itu. Namun, justru karena itu, telur yang
pecah itu meratai wajahnya.
Serangan dengan senjata telur itu benar-benar mengagetkan. Sebagai
prajurit, Gajah Sagara belum pernah memperoleh pelajaran bagaimana
Meinignpara HamwiMahra ' .
menghadapi jenis senjata itu. Namun, rupanya ada prajurit lain yang
bernasib lebih buruk. Yang mengenai wajahnya, sama-sarna telur, tetapi
telur rusak berbau busuk.
Prajurit muda itu tak mampu mengatasi baunya dan seketika
muntah-muntah mengeluarkan semua isi perutnya. Berbeda dengan
Gajah Sagara yang mampu bertahan, prajurit yang terkena anang" rusak
itu segera berlari ke belakang wisma kediaman Gajah Mada. Ketika
membersihkan wajahnya dengan air di parlemen," prajurit itu masih juga
muntah-muntah. "Keparat laknat," umpamya kasar sekali.
Apa yang terjadi di jalan depan kediaman Gajah Mada memang
bergerak terlalu cepat. Usai hujan telur, muncul para pengunjuk rasa
perempuan bersenjata cabai yang telah dilumatkan.
Meski hanya cabai yang digerus halus, ketika mengenai wajah pasti
memberikan rasa pedih dan panas bukan kepalang. Para perempuan
yang melakukan unjuk rasa itu memiliki keberanian yang luar biasa.
Mereka tidak merasa takut, meski sudah sampai pada jarak sangat dekat
dengan para prajurit pengawal istana kepatihan yang membentuk pagar
betis berlapis-lapis. Dari jarak yang sangat dekat itulah, kepalan-kepalan


Gajah Mada Madakaripura Hamukti Moksa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambal itu diayunkan. Para prajurit pengawal istana kepatihan yang mendapat serangan
dengan cara aneh dan tidak terduga itu tampak belingsatan. Serangan
pengunjuk rasa rupanya masih berkelanjutan dengan derajat yang makin
meningkat. Dari yang semula melempar telur, sambal cabai, akhirnya
meningkat menjadi hujan batu. Para pengunjuk rasa bergerak makin
berani, bahkan beringas. Baik laki"laki maupun perempuan, sama-sama
terpancing untuk menjadi beringas. Mereka memunguti batu-batu .
yang berserakan di jalan. Lalu, mengayunkannya dengan deras ke arah
prajurit pengawal istana kepatihan yang tetap berada dalam kesatuan
yang utuh. '" Eating, Jawa, telur
" Pikiran. Jawa, hantar mandi
You have either reeched e pege that is uneyeileble foryiewihg or reeched youruiewihg Iirnitforthis
book. Sirad-aannpnm Famaijtifiroliaa : .
pengawal istana kepatihan itu tak boleh diremehkan. Para pengunjuk rasa
itu sadar bahwa unjuk rasa yang mereka lakukan mulai berbalas senjata
yang bisa merenggut nyawa. Rakyat yang sebenarnya sedang marah itu
ternyata mampu menggunakan nalar mereka.
"Awas anak panah! Mundur!" teriak seseorang memberi aba-aba.
Isyarat itu rupanya mudah dimengerti. Para pengunjuk rasa yang
memegang baru itu berlarian mundur. Namun, tetap saja beberapa orangdi
antara mereka terkena sambaran anak panah. Bahkan, seorang perempuan
ambruk ketika sebatang anak panah melesat menembus lengannya.
"'Jangan melepas anak panah! Tahan semuanya!" Gajah Sagara
berteriak keras. Kali ini, teriakan Gajah Sagara itu memperoleh tanggapan. Melihat
pengunjuk rasa mundur raising mailing." para prajurit pengawal istana
kepatihan itu mampu menahan diri, meski napas mereka tersengal sulit
untuk dikendalikan. Akan tetapi, balasan yang diberikan para prajurit pengawal istana
kepatihan itu bagai minyak yang disiramkan ke dalam api. Para prajurit
dari kesatuan lain menganggap tindakan balasan yang diberikan prajurit
pengawal istana kepatihan itu berlebihan dan kejam.
Tidak ada yang menempatkan diri memimpin dan terjadi begitu
saja, para prajurit dari berbagai kesatuan yang berseberangan sikap
dengan tindakan Gajah Mada, prime karir." Mereka merapatkan diri dan
mengambil alih segala tindakan yang semula dilakukan para pengunjuk
rasa. jika para pengawal istana kepatihan menghadapi pengunjuk rasa
dengan menggunakan anak panah, apa boleh buat, akan disediakan
jawaban dengan anak panah pula.
Berdebar resah Gajah Sagara melihat perkembangan yang sangat
mencemaskan hatinya itu. Gajah Sagara melihat perang saudara bakal
terjadi, tak bisa dicegah dengan cara apa pun lagi.
"' Saling tunjang. Jawa, tunggang Ianggang
'" Petak Italia.]awa. mengatur diri berbaris
You have either reeched e pege that is uneireileble forriewihg or reeched youruiewihg Iirnitforthis
book. You have either reeched e pege that is uneireileble forriewihg or reeched youruiewihg Iirnitforthis
book. You have either reeched e pege that is uneireileble forriewihg or reeched youruiewihg Iirnitforthis
book. Manakanpara "datamining: . .
Gagak Bongol bertindak tangkas. Dengan penuh keyakinan, ia
berjalan menuju tempat ratusan prajurit dari berbagai kesatuan itu berada.
Para prajurit itu tengah mengatur diri. Mereka berusaha membentuk
sebuah gelar perang Pandang mata mereka segera tertuju kepada Gagak
Bongol yang datang sambil mengangkat tangannya. Berdesir Gagak Bongol
mendapati tatapan mata dari wajah-wajah yang sedang dilibas amarah.
Namun, Pasangguhan Gagak Bongol bukanlah nama kosong
tanpa makna. Gagak Bongol adalah mantan pimpinan pasukan khusus
Bhayangkara yang disegani. jasa dan pengabdiannya pada Majapahit
sudah-tidak terukur lagi.
"Apa yang akan kalian lakukan?" teriak Gagak Bongol sangat keras
dan terdengar sampai ke sudut batas dinding istana.
Tak ada yang menjawab pertanyaan Pasangguhan Gagak Bongol.
Boleh jadi, memang. tidak perlu disediakan jawaban dalam bentuk apa
pun. Gagak Bongol merasa bahwa sikap mereka yang kukuh pada
pendirian sudah merupakan jawaban.
Seseorang muncul menyibak barisan prajurit itu, menyebabkan dada
Gagak Bongol berdesir tajam.
"Kanuruhan Gajah Enggon," ucap Gagak Bongol dengan suara
agak tertelan. Kini, Pasangguhan Gagak Bongol merasa persoalan menjadi tidak
sederhana lagi karena Kanuruhan Gajah Enggon mengambil sikap
berbeda. Kanuruhan Gajah Enggon adalah mantan pimpinan pasukan
khusus Bhayangkara dan sangat akrab dengan Mahamantrirnukya
sebagaimana dirinya. Namun, sekarang dengan tegas dan nyata, Gajah
Enggon menempatkan diri berada di pihak mereka yang berkeinginan
memaksa menyeret Gajah Mada.
"Aneh sekali sikap Gajah Enggon. Mestinya, ia tidak bersikap
demikian," kata Pasangguhan Gagak Bongol dalam hati.
Dibayang"bayangi ratusan gendewa dengan anak panah yang bisa
berubah menjadi hujan, Pasangguhan Gagak Bongol dan Kanuruhan
You have either reached e page that is uneaeileble feraiewing or reeehed youraiewing limitforthis
book. You have either reached a page that is unaaailable feraiewihg or reached youraiewihg limitforthis
book. You have either reached a page that is Lihairailable feraiewihg or reached youraiewihg limitforthis
book. Mainaan'pura Humaid Melisa ' .
sama berpangkat senopati juga memerhatikan dengan cara pandang tak &
sederhana apa yang tampak di depan mereka.
"Sebenarnya bagaimana sikap Gajah Enggon menurutmu,
Bhirawa?" senopati pertama yang tangan kanannya telah memegang
anak panah bertanya. Senopati kedua yang dipanggil dengan nama Bhirawa itu tak segera
menjawab. Yang dibayangkannya sekilas justru keadaan ayahnya yang
tengah tergolek sakit tanpa daya.
"Menurutmu tidak mungkinkah. Gajah Enggon mengambil sikap
tegas macam itu, Mudra?" balas Senopati Dyah Bhirawa dengan suara
yang tertahan pula. Senopati Mudra yang bernama lengkap Kebo Mudra itu
menyempatkan merenung. Akan tetapi, sejenak kemudian senopati itu
menggeleng. "Tak mungkin Gajah Enggon berani melakukan itu. Selama ini,
tak ada yang berani menempatkan diri berseberangan dengan Gajah
Mada, " kata Kebo Mudra.
Ternyata, Senopati Dyah Bhirawa tidak sependapat dengan
sejawatnya itu. "Siapa bilang tidak ada seorang pun yang berani kepada Gajah
_'Mada" Kaupikir, apa yang dilakukan ratusan orang yang sedang
mengepung istana kepatihan itu" Bagi Gajah Enggon, inilah kesempatan
untuk bisa menapak ke jenjang yang lebih tinggi. Selama ada Gajah Mada
di atasnya, Gajah Enggon tidak bisa apa-apa. Perbuatan Gajah Mada
terhadap para tamu dari Sunda Galuh benar-benar tak bisa dimaafkan.
Kanuruhan Gajah Enggon membaca keadaan itu dan dengantepat
mengambil keputusan. Sekarang aku melihat pendapat ayahku ternyata
benar," kata Dyah Bhirawa.
Senopati. Kebo Mudra menoleh dan menjelajahi wajah Dyah
Bhirawa, seolah ia berkepentingan untuk menghitung berapa jumlah
jerawamya dan menghafalkan seperti apa lekuk bekas luka di pipinya.
You have either reached a page that is Lihairailable feryiewihg or reached youryiewihg limitforthis
book. You have either reached a page that is Lihairailable feryiewihg or reached youryiewihg limitforthis
book. You have either reached a page that is Lihairailable feryiewihg or reached youryiewihg limitforthis
book. Maiaianpum Kamulah Blitz-Ega ' .
Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Pu Mada. Apa yang dilakukan
Kakang Gajah Mada terhadap para. tamu dari Sunda Galuh itulah
yang menggerakkan dan memimpin mereka berdatangan kemari.
Ketidakpuasan rakyat, ketidakpuasan para prajurit, ketidakpuasan
banyak pihak, semua itulah yang mendorong mereka berdatangan
kemari. Kau menyalahkan aku karena justru aku berada di antara
mereka. Kaupikir, kaupunya cara untuk menggagalkan perang yang
akan pecah ini" Pusatkanlah pikiranmu pada siapa orang yang bisa
mengendalikan keadaan ini, siapa yang mampu meredam semua pihak
agar jangan sampai kehilangan kendali."
Pasangguhan Gagak Bongol mulai memahami apa yang disampaikan
Kanuruhan Gajah Enggon. Bagaimanapun, Pasangguhan Gagak Bongol
merasa berdebar-debar ketika melihat dari arah utara, makin banyak
orang yang berjalan ke arah istana kepatihan. Tombak-tombak panjang
mereka tampak menuding langit, pertanda bahwa mereka adalah para
prajurit. "Lihatlah belakangmu," kata Gajah Enggon.
Gagak Bongol berbalik dan menoleh ke belakang.
"Gila," desis Paaangguhan Gagak Bongol yang tidak bisa menutupi
rasa. cemasnya. " Gajah Sagara juga berdebar"debar.
Rupanya, bakal terjadi perimbangan kekuatan karena dan arah
belakang istana, prajurit dalam jumlah berjejal juga sedang berjalan
menuju istana kepatihan. Mereka membawa berbagai jenis s'enjata,
trisula yang telah ditelanjangi dari terlangka-nya, anak panah, dan tombak
bergagang panjang. "Kaulihat itu?" tanya Gajah Enggon.
Gagak Bongol bingung. "Sekarang, bertanyalah kepada dirimu sendiri," lanjut Kanuruhan
Gajah Enggon. "Apa kau merasa mampu mengendalikan mereka,
sementara, baik kau maupun aku merasa yakin, pasti ada pihak tertentu
You have either reached a page that is Lihairailable feryiewihg or reached youryiewihg limitforthis
book. Gandakanpuru HamuiEp'LHaiEga : .
"Mundurlah," jawab Kanuruhan Gajah Enggon. "Bawalah pasukan
pengawal istana kepatihan itu mundur. Menurutku hanya itu cara yang
bisa digunakan untuk menyelamatkan keadaan. Gunakan akal sehatmu.
Orang yang kita harapkan untuk mengatasi keadaan'ini sedang menjadi
pengecut, tak berani menampakkan diri. Yang bisa kaulakukan hanyalah
menarik mundur pengawal istana kepatihan. Itu jauh lebih mudah."
Berdesir tajam permukaan hati Pasangguhan Gagak Bongol.
Ia tidak bisa menerima, Gajah Mada disebut pengecut. Akan tetapi,
ketiadaaan Gajah Mada memang layak dipertanyakan. Dengan cara
macam itukah Mahamantrimukya Rakrian Mahapatih Gajah Mada
mempertanggungjawabkan perbuatannya"
Pasangguhan Gagak Bongol merasa tidak bisa menolak usulan
Kanuruhan Gajah Enggon. Pasangguhan Gagak Bongol pun
mengangguk perlahan. Akan tetapi, dengan segera muncul pertanyaan,
maukah para prajurit pelindung istana kepatihan mundur" Jelas bukan
pekerjaan gampang meminta para prajurit pengawal istana kepatihan
mengalah dan mundur. Gagak Bongol lebih tidak yakin lagi karena
di pihak Mahapatih Gajah Mada ada orang-orang tertentu yangian'tat
berpengaruh. Orang-orang itu punya kesanggupan menggerakkan
pasukan, bahkan mengundangnya dari bangsal-bangsal kesatrian.
Keberadaan mereka bagai bayangan hantu, tak kelihatan, tetapi amat
nyata sentuhan perbuatannya. Mereka mengaku mendukung apa pun
yang dilakukan Gajah Mada, mendukung dengan membuta dan justru
menjerumuskan. "Baiklah, tak ada salahnya aku mencoba," kata Pasangguhan Gagak
Bongol. "Kita kembali?" tanya Gajah Enggon.
Pasangguhan Gagak Bongol mengangguk.
"Baik, aku akan berusaha berbicara dengan para penyerbu. Aku harap
aku bisa meredakan kemarahan mereka," kata Gajah Enggon lagi. '
Bagai melayang kaki Gajah Sagara karena tergoda keinginan untuk
menyusui ayahnya dan menempatkan diri di belakangnya. Namun, Gajah
You have either reached a page that is Lihairailable feryiewihg or reached youryiewihg limitforthis
book. Madaiunpura Hamwiiliuira ' .
Tidak terlalu sulit bagi Gajah Enggon untuk membuat sebuah
simpulan, sangat mungkin ada kaitan antara Dyah Bhirawa dengan geliat
yang sekarang tengah mengombak dan bergolak. Meskipun demikian,
dengan segera Kanuruhan Gajah Enggon membuang semua kesan dari
permukaan wajahnya. "Kita menunggu. Tolong salurkan perintah agar semua terkendali,
agar semua sabar menunggu, "kata Gajah Enggon.
Namun, jawaban itu tidak memberikan rasa puas yang dibutuhkan.
"Maksudnya sabar menunggu apa, Kanuruhan?" tanya seseorang.
Gajah Enggon menoleh, mencari- cari mulut siapa yang baru saja
melontarkan pertanyaan itu.
"Mengapa tidak kita serbu saja, tinggal ayunkan isyarat," tambah
suara lain dari arah belakang.
Lagi-lagi, Gajah Enggon terlambat. Ketika ia berbalik, mulut yang
mengucapkan usulan tidak sabar itu sudah tidak ada jejaknya.
"Siapa yang bicara tadi?" tanya Gajah Enggon.
Tak seorang pun yang menjawab.
Gajah Enggon yang mengedarkan tatapan mata tajam itu mendapati
kenyataan; betapa semua mata memandangnya dengan tajam dan tak
sabar. Bahkan, ada di antara mereka yang terkesan meremehkannya, tak
menghormatinya, meski ia mengemban jabatan sebagai kanuruhan.
Kebo Mudra maju selangkah sambil mengacungkan tangan.
"Apa yang akan kautanyakan, Mudra?" tanya Gajah Enggon.
Tak sebagaimana yang lain, suara Kebo Mudra terdengar lunak
dan sabar. "Mohon petunjuk apa yang harus kami lakukan, Kanuruhan," ucap
Kebo Mudra. "Juga mohon kami diberi penjelasan, bagainiana hasil
kesepakatan Kanuruhan dengan Tuan Pasangguhan Gagak Bongol. _jika
kita harus sabar untuk menunggu, sabar menanti apa?"
You have either reached a page that is Lihairailable feryiewihg or reached youryiewihg limitforthis
book. You have either reached a page that is Lihairailable feryiewihg or reached youryiewihg limitforthis
book. You have either reached a page that is Lihairailable feryiewihg or reached youryiewihg limitforthis
book. MEJ5&EHPHFE Hamm Metha ' .
marah. Kita yang masih bisa berpikir waras, kita mengalah. Tak ada
gunanya kita menghadapi orang-orang gila. Jika kita ladeni mereka, kita
tidak lebih waras dari mereka. Kita sama gilanya dengan mereka."
Ada banyak raut muka tak bisa menerima keputusan Pasangguhan
Gagak Bongol itu. Seorang prajurit merasa darahnya mendidih, telapak
tangannya basah kuyup oleh keringat. Tangannya yang menggenggam
gagang pedang terlihat gemetar. Dalam keadaan yang demikian, orang
itu bisa menjadi sumber bahaya bagi siapa pun yang berada di dekatnya.
Andaikata ia kehilangan kendali, ayunan pedangnya bisa melesat
mengenai siapa saja. "Maksudnya?" tanya seseorang.
"Kita tinggalkan istana kepatihan," jawab Gagak Bongol tegas.
"Hanya itu cara yang tersisa untuk menghindari pertempuran yang tak
perlu."

Gajah Mada Madakaripura Hamukti Moksa Karya Langit Kresna Hariadi di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bagi salah seorang prajurit, usulan Pasangguhan Gagak Bongol itu
benar-benar tak masuk akal.
"Pasangguhan," ucapnya, "sadarkah Pasangguhan apa yang akan
terjadi jika kita tinggalkan tempat ini" Istana kepatihan akan dijarah
rayah. Bahkan, aku yakin, mereka akan membakar istana kepatihan.
Lagi pula, aku bukan pengecut. Aku tidak keberatan terbunuh sekalipun
demi mempertahankan istana kepatihan. Sebagai prajurit pengawal
istana kepatihan, menjaga keutuhan istana kepatihan sampai titik darah
penghabisan adalah sebuah kehormatan."
Ucapan prajurit itu membakar semangat prajurit yang lain.
"Ya, benar!" timpal prajurit lainnya. "Kita tetap bertahan di sini.
Kita hadapi mereka. Kita berikan apa yang mereka inginkan. Mereka
menghendaki tajam tombak kepatihan" Kita berikan! Mereka ingin tahu
bagaimana rasanya anak panah yang menyambar tembus ke tenggorokan,
kita akan berikan." Melihat perkembangan yang bisa mengarah ke keadaan tak terkendali
itu, Gagak Bongol yang cemas segera mengangkat tangannya.
You have either reached a page that is unayailable feryiewihg er reached yeuryiewihg limitferthis
hoek. Manannpnm HnrauQiSl-fnira . .
telah mendidih dan membutuhkan penyaluran itu berusaha memahami
perintah tersebut. Meski Pasangguhan Gagak Bongol telah berusaha mengatur
sedemikian rupa dan para prajurit pengawal istana kepatihan telah siap
melaksanakan perintahnya, nyatanya apa yang dikehendaki tidak sejalan
dengan kenyataan. Seorang prajurit berlari menghadap Pasangguhan
Gagak Bongol. "Ada apa?" tanya Pasangguhan Gagal-: Bongol.
Prajurit muda itu memerlukan waktu untuk meredakan diri. Tarikan
napasnya tampak tersengal.
"Ada pasukan dengan kekuatan yang sangat besar akan menyerbu
dari arah belakang," lapor prajurit itu sigap.
Pasangguhan Gagak Bongol terkejut memperoleh laporan itu.
Namun, Pasangguhan Gagak Bongol tak perlu meragukan laporan itu.
Dengan kegesitan khas Bhayangkara, Gagak Bongol melompat ke atas
gapura istana kepatihan. Dari tempatnya, ia bisa melihat pergerakan
Mencari Bende Mataram 7 Trio Detektif 14 Misteri Naga Batuk Misteri Kapal Layar Pancawarna 2

Cari Blog Ini