Patung Hok Lok Sioe Karya Okt Bagian 1
. Malam jang sunji-senjap dan gelap-gulita bagaikan mengurung sebuah rumah gedung jang besar dengan tamannja jang luas.
Hanja dua kali sadja terdengar mendengungnja suara lontjeng jang berada di dalam kamar tulis di tingkat ke-dua.
Untuk sedjenak, suara lontjeng itu memetjah ketenangan gedung itu.
Djusteru itu pintu kamar tulis itu terbuka, segera terlihat satu bajangan hitam, jang bertindak berindap- indap, tangannja merabah-rabah tembok, melintasi dua lorong jang banjak tikungannja, hingga tibalah ia bagaikan merajap, dia menjampaikan sebuah tangga ke bawah mana dia bertindak turun.
Di dalam gelap itu dia berdjalan terus, melintasi dua lorong jang banjak tikungannja, hingga tibalah ia di bagian rumah terbawah.
Dari sini dia melewati taman, pergi ke sebuah bangunan, akan achirnja berhenti di depan sebuah kamar tidur.
Bajangan itu merogo ke dalam sakunja.
Ia mengeluarkan sesuatu. Ia menggunai itu untuk dapat membuka pintu.
Dengan berhati-hati dia menolak daun pintu itu.
Segera setelah berada di dalam kamar, ia menubruk ke pembaringan kaju.
Di atas pembaringan itu tengah rebah seorang budjang wanita muda dan tjantik, umurnja kira-kira duapuluh tahun.
Ia rebah tanpa membuka pakaian luar.
Ketika itu ia masih belum pulas.
Ketika ia ditubruk, ia berontak, untuk melepaskan diri.
Ia lantas lari ke kenop listrik, untuk menjalakannja.
Ia rupanja telah bersiap-sedia, maka ia lantas ingat pada api.
"Ah, tuan....." katanja, perlahan dan tenang.
"Tengah malam begini kau datang ke kamarku, ada apakah?" "Oh, Giok Hoan, djangan memanggil madjikan lagi padaku," berkata bajangan itu.
"Marilah, lekas kau mendjadi isteriku jang ke-lima!" Kho Giok Hoan mengawasi madjikannja itu, seorang dengan rambut sudah berwarna abu-abu.
Ia melihat sepasang mata tadjam, hidung jang bengkung, tulang pipi jang nondjol, dan bibir jang tipis.
Orang itu mempunjai raut muka persegi pandjang dan lantjip ke djanggut, sedang tubuhnja gemuk terokmok.
Setelah mengawasi ia menggeleng-geleng kepala.
Madjikan ini menjangka orang malu-malu kutjing, sedang hatinja diam-diam menerima baik tawarannja itu.
Ia bertindak menghampirkan.
Giok Hoan, si budjang, lantas mendjerit, tetapi mulutnja segera ditutup.
Biar bagaimana, budjang itu sudah mendjerit, maka suaranja itu terdengar ke sekitarnja.
Maka bangunlah budjang-budjang jang tidur berdekatan, djuga Yo Lee In, njonja mantu jang telah mendjadi djanda.
Ketika mereka itu datang dan menolak pintu kamarnja Giok Hoan, sesuatunja mendjadi serba salah, madju salah, mundur salah .........
"Tolong! Tolong!" teriak Giok Hoan.
"Madjikan mau ........." Budjang muda ini berada di dalam pelukan Seng Yoe Tek, madjikannja itu, ia meronta-ronta dengan sia-sia belaka ...............
Yoe Tek lantas sadja mendjadi gusar sekali melihat muntjulnja sang menantu serta tiga-empat budjangnja jang lainnja.
Ia djusteru paling membentji menantunja itu.
"Semua pergi!" ia memerintah, bengis.
"Tuan, besok hendak aku pulang ke kampungku," berkat Giok Hoan.
"Biarnja aku mati tak dapat aku mendjadi budjang di sini....." Air matanja lantas melele turun.
"Njonja muda, tolong kau mengidjinkan aku menumpang di kamarmu semalaman ini.
Aku takut tidur sendirian sadja...." Orang-orang di luar itu lantas lenjap, dan Giok Hoan si tjantik-manis pun lenjap bersama.
Maka kamar budjang jang buruk itu mendjadi kosong ketjuali Yoe Tek seorang diri.........
Di rumah keluarga hartawan, peristiwa itu peristiwa umum.
Besoknja pagi Kho Giok Hoan meletaki djabatan dan mengangkat kaki.
Lalu, kemudian, peristiwa itu tidak ada jang menjebut-njebut pula.
Hanjalah tidak demikian dengan Seng Yoe Tek.
Kebentjiannja meluap, ia menimpahkan kesalahan kepada Lee In, si nona mantu.
Ia tidak mau menjalahkan budjang-budjangnja.
Ia kata, tanpa muntjulnja si nona mantu nistjajalah Giok Hoan telah mendjadi isterinja jang nomor lima.
Ia menamakan si nona mantu sebagai bintang sapu, hingga sesuatu jang paling indah berubah mendjadi jang paling buruk........
Yoe Tek menganggap ada alasannja mengapa ia menjebutnja nona mantunja sebagai bintang sapu.
Puteranja menikah sama Lee In baru satu bulan atau puteranja itu lantas meninggal dunia, ia tidak mengambil mumat bahwa puteranja sudah lama mendapat sakit tbc dan karenanja dirampas djiwanja oleh penjakit itu.
Ia djusteru menganggap nona mantu ini "penakluk" suami.
Dan masih ada satu sebab lainnja.
Ia mempunjai sebuah toko barang- barang perak, di hari nikah puteranja itu, kuasanja kabur dengan uang toko jang berdjumlah besar.
Maka ia menganggap Lee In jalah bintang sapu jang menitis, mendjelma di dunia, jang membawa kesialan padanja.........
Tidak ada seorang djua jang mau pertjaja anggapannja Yoe Tek itu, akan tetapi ialah radja di rumahnja, ia jang paling berkuasa.
Siapa jang ia bentji, ingin ia membinasakannja, dan siapa jang ia sajang, ia menghendaki hidupnja.
Maka itu, untuk si menantu ia mengadakan aturannja tersendiri.
Lee In boleh menikah sama lain orang tetapi dia dilarang membawa anaknja, anak perempuan nama Siauw Lee, jang baru berumur lima tahun " anak satu- satunja.
Tentu sekali, tanpa anak itu, Lee In tidak mau pergi ke mana djuga.
Dengan berdiam di rumah mentuanja, Lee In mesti menderita, dibentji dan diperlakukan tak selajaknja nona mantu.
Bahkan seberlalunja Giok Hoan, Yoe Tek semakin menjiksa menantunja itu.
Pada suatu lohor Yoe Tek merapikan pelbagai kado dari sahabat-sahahatnja berhubung ulangtahunnja jang ke-50.
Ia mendapatkan banjak sekali barang berharga jang membuatnja girang sekali.
Tengah ia bergembira itu tiba-tiba Siauw Lee, tjutjunja, muntjul di dalam kamarnja itu.
Tjutju ini lantjang masuk karena dia sedang menguber andjingnja, seekor Pekingese jang ketjil-mungil, jang bulunja putih.
Dia kaget melihat kakeknja berada di dalam kamar, dia takut bukan main.
Lekas-lekas dia memutar tubuh untuk lari pergi.
"Bintang sapu tjilik, berhenti!" Yoe Tek memerintah.
"Kakek, ampun," betkata si tjutju.
Tak berani dia tak berhenti.
"Siapa suruh kau masuk ke sini?" tanja engkong itu, bengis.
"Aku.... aku.... mengedjar andjingku...." sahut tjutju itu ketakutan, suaranja tidak lantjar, mukanja putjat.
"Aku telah peringatkan kamu, bintang sapu tua- bangka dan bintang sapu tjilik, sampai beratus kali, bahwa kamu dilarang masuk ke mari, kenapa sekarang kau berani datang pula?" Sambil berkata begitu, mata Yoe Tek melotot dan tangannja mengambil sebatang rotan jang digantung di belakang lemari.
"Kakek, ampun, lain kali aku tidak berani pula...." kata Siauw Lee, takutnja bertambah.
"Sungguh, aku tidak berani pula........." ia lantas berlutut.
"Aku larang kau, kau berani langgar!" berkata kakek itu keren.
"Djikalau aku tidak hadjar kau, dua bintang sapu bangkotan dan tjilik, maka kamulah jang bakal menakluki aku! Bisa-bisa akulah jang mampus....." "Kakek, sudah lama aku tidak berani datang ke mari...." si tjutju masih memohon.
"Hari ini disebabkan andjing ini lari ke mari, aku menjusul ........." "Bukankah tiga minggu jang lalu kau pun telah menguber andjingmu datang ke mari?" kata kakek itu, jang lantas mengajun rotannja, dengan bengis ia menghadjar, bagaikan ia menghadjar musuh turunannja.
Siauw Lee lantas sadja menangis berkaok-kaok, hingga suaranja terdengar sampai di luar kamar, terdengar oleh satu budjang.
Dia ini mengenali suaranja si nona ketjil dan dapat menduga sebabnja itu, lantaran dia tidak bisa membudjuki madjikannja, dia lantas lari kepada Lee In, untuk memberi kabar.
Namanja Lee In nona mantu tetapi dia tinggalnja di belakang, di dalam sebuah rumah peranti budjang- budjang, bertjampur sama semua budjang.
Bisalah dimengerti kalau kamar itu buruk demikian djuga perlengkapannja.
Dia mesti bekerdja seperti budjang djuga, hanja bedanja, kalau budjang mendapat gadji, dia sendiri tidak............
"Njonja muda," berkata si budjang, jang datang sambil berlari-lari, "Nona ketjil Siauw Lee masuk ke kamar tulis, sekarang dia lagi dianiaja si tua-bangka jang djahat!" Luar biasa budjang ini.
Ia memanggil njonja muda pada Lee In " itulah suatu tanda menghormat.
Sebaliknja, madjikannja sendiri, jang menggadji padanja, dia menjebutnja tua-bangka jang djahat............
Lee In kaget bukan main, hingga ia berseru tertahan, sedang airmatanja lantas mengutjur turun.
Lantas dia melemparkan badju jang lagi ditjutji, dia lari ke kamar buku.
Selagi mendekati ia sudah mendapat dengar djeritan anaknja jang menjajatkan serta suara rangkelan djuga, ditjampur sama tjatjiannja Yoe Tek, hatinja mentjelos.
Maka ia melekaskan larinja, akan setibanja lantas menghadang di depan anaknja, guna manda mengasi dirinja jang disabet pergi-pulang.
"Papa, ampuni Siauw Lee," ia berkata.
"Kau hadjarlah aku..." Amarahnja Yoe Tek bertambah melihat datangnja si "bintang sapu" bangkotan, tanpa membilang apa-apa, ia menghadjar semakin sengit.
Lee In mengertak gigi, ia tidak mengasi dengar suara, melainkan airmatanja mengutjur deras.
Ia menahan sakit sebisa-bisanja.
Achir-achirnja rotan patah dan tangan Yoe Tek pun pegal.
"Pergilah!" dia membentak.
"Kalau lain kali kamu berani datang pula, aku hadjar kamu berdua sampai mampus!" Ia bernapas sengal-sengal.
Malam itu Yoe Tek lantas mengasi instruksi pada kuasa rumahnja untuk persiapan pesta besok, di hari ulangtahunnja jang ke-50.
"Ajah, berhubung dengan pesta ulangtahun besok, apakah ajah akan berbuat seperti biasanja tahun- tahun jang sudah dengan mengeluarkan patung batu sapir dari ketiga bintang malaikat Hok Lok Sioe?" Itulah pertanjaan Nona Pek Hoa, gadisnja Yoe Tek.
"Pasti aku akan mengeluarkan patung malaikat itu!" menjahut si ajah tjepat.
"Ketiga patung itu pasti akan menambah redjeki, kebahagiaan dan pandjang umur!" "Djadi ajah akan mengundang Detektip To Tjie An jang mendjadi sahabat-karib ajah serta A Poan detektip pembantunja jang gemuk itu untuk sekalian melindunginja?" si anak menanja pula.
"Tanpa detektip jang melindungi, mana berani aku mengeluarkan ketiga patung malaikat itu?" membaliki sang ajah.
"Umpama-kata ketiga patung itu lenjap.
sudah terang malapetaka bakal datang mengantjam kita hingga bisa-bisa musnalah rumahtangga kita.
Di rumah kita sudah muntjul dua bintang sapu, sjukur kita mempunjai ketiga malaikat itu, kita mendjadi ketolongan...." "Ajah tachajul ajah hebat sekali," kata Pek Hoa.
"Aku mengharap ajah dapat menjingkirkan kepertjajaanmu jang tak masuk di akal itu...." "Angin........." berkata Yoe Tek, terus tertahan.
Ia ingin menjebutkan "angin busuk" atau tiba-tiba ia tidak tega karena ia ingat Pek Hoa ialah gadisnja jang tersajang dan termandjakan.
"Kau masih muda, kau tahu apa" Aku sudah tua begini, mustahil aku kalah pengetahuan dengan kau?" Melihat ajahnja kurang senang, Pek Hoa berdiam.
Ketika itu seorang budjang djangkung kurus masuk dengan membawa tiga buah dos, jang ia terus letaki di atas medja.
"Tuan, ada orang mengantar bingkisan," katanja.
Yoe Tek melihat kartjis nama di atas ketiga dos itu, bunjinja "In Hong, Kat Po dan Hiang Kat." "Aku tidak kenal tiga orang ini," katanja.
"Tapi aku sering mendengar nama mereka.........
Aneh, kita toh tidak mempunjai perhubungan satu dengan lain?" "Ajah, merekalah sahabat-sahabatku!" berkata Pek Hoa.
"Aku jang mengirimkan mereka surat undangan agar mereka datang minum arak pandjang umur." "Sahabat-sahabatmu?" kata Yoe Tek.
"Aku ingat sekarang! Merekalah ketiga pendjahat wanita jang kesohor!" "Bukan, bukan, ajah!" kata Pek Hoa lekas.
"Sebaliknja merekalah tiga nona gagah dan mulia jang gemar menolongi sesamanja!" "Eh, Pek, mengapa kau kenal mereka" Kau bergaul sama bandit.
apa itu tidak menurunkan deradjatmu?" Yoe Tek mendongkol bukan kepalang tetapi ia menjabarkan diri.
"Sahabatku, Tjoe Lee Hong, kenal mereka," Pek Hoa mendjelaskan, "lantas aku minta Lee Hong mengadjar aku kenal dengan mereka itu, lantas kita mendjadi sahabat-sahabat kekal.
Merekalah wanita-wanita luar biasa! Ajah, harap kau tidak memandang rendah kepada mereka itu.
Mari aku lihat, apakah bingkisan mereka............"
Pek Hoa baru berusia enambelas tahun, masih ada sifat kekanak-kanakannja.
Ia lantas membuka dos kado dari In Hong, Kat Po dan Hiang Kat.
In Hong mengirim kuwe koe, Hiang Kat menghadiahkan mie- shoa.
Jang hebat jalah Kat Po. Dia mengirim seekor kura-kura jang di punggungnja dituliskan dua huruf merah, bunjinja "Djin Tjoe," artinja, "Welas-asih dan Murah-hati." "Kurang adjar! Kurang adjar!" Yoe Tek mengumbar kemarahannja.
"Njata sengadja mereka hendak mengganggu aku! Besok aku larang dia mengindjak rumahku!" "Sabar, ajah," berkata Pek Hoa.
"Memang hadiah mereka tidak berarti tetapi maksudnja baik.
Mana bisa mereka ditolak?" "Tidak apa kuwe dan mie-shoa itu," kata sang ajah.
"Tapi itu kura-kura" Bukankah mereka menghina aku?" Hartawan ini memandang kura-kura sebagai edjekan untuknja.
"Siapa bilang kura-kura berani menghina, ajah" Bukankah kura-kura lambang usia pandjang" Kata- kata 'djin tjoe" itu pun doa pandjang umur djuga.
Orang memudjikan ajah pandjang umur seperti pandjang umurnja sang kura." "Aku tidak mengerti mengapa kau membelai mereka itu" Pasti aku menolak kedatangan mereka.
Atau ketiga patungku jang berharga akan terantjam bahaja lenjap!" "Bukankah ajah mengidjinkan mereka datang?" si anak mendesak.
"Biarlah aku minta Detektip To mengirim lebih banjak orangnja untuk membuat pendjagaan." Benarlah besok pagi, atas undangan Yoe Tek, Detektip To datang bersama A Poan.
"Tuan To, aku minta kau mendajakan lima atau enam agen polisi untuk mendjaga pelbagai pintuku," Yoe Tek lantas memohon.
"Apa perlunja pendjagaan demikian kuat, Tuan Seng?" "Oleh karena aku hendak menolak datangnja ke rumahku tiga tetamu jang tidak aku inginkan!" "Itulah gampang.
Adakah mereka itu sanakmu jang melarat" Kau serahkan sadja padaku!" Detektip To bitjara sambil melembungkan dada, bitjaranja pun enak sadja.
"Bukan, bukan sanakku," Yoe Tek menggeleng kepala, "Merekalah ketiga bandit wanita jang kesohor!" "In Hong, Kat Po dan Hiang Kat?" kata Detektip To, jang alisnja lantas mengkerut dan dadanja tidak melembung lagi.
"Djadi mereka pun bakal datang?" "Mereka telah mengantar kado, pasti mereka akan datang!" "Inilah sulit.
Mereka dapat masuk dengan dua djalan, melompati tembok atau dengan menjamar.
Mereka mau datang, itu artinja mereka tidak dapat ditjegah." Tjie An menggaruk-garuk kepalanja.
"Kalau begitu, mustikaku harus dipersembahkan pada orang?" "Lebih baik patung itu djangan dibawa keluar." "Setiap tahun biasa dikeluarkan, kalau tidak, itulah merusak nasib baik," kata Yoe Tek jang tebal ketachajulannja.
"Maka mesti aku mengeluarkannja! Aku tjuma minta kau, saudara, sukalah kau membantu melindunginja.
Dapat kau mengasi datang lebih banjak agen." Detektip To tidak berdaja untuk menampik, maka ia lantas menugaskan empat agen guna mendampingi kiri dan kanan ketiga patung mustika itu, sedang setiap pintu masuk dan keluar didjaga masing-masing dua agen lainnja.
Di kaki tembok pekarangan taman pun ada sepuluh orang polisi dengan senapan mereka untuk terus meronda.
Walaupun semua pendjagaannja itu, hati Detektip To berdebaran.
In Hong bukannja pendjahat kebanjakan............
Pada djam 10.00 lebih-kurang.
tetamu mulai mengalir datang.
Yoe Tek bersama kuasanja repot melakukan penjambutan.
Mereka dibantu beberapa budjang tua jang dipertjaja.
Setiap sanak atau tetamu, jang kurang dikenal, ditanja dulu tegas-tegas, baru dilajani.
Perdjamuan berdjalan dengan menggembirakan, peristiwa pun tidak terdjadi dan ketiga patung malaikat Hok Lok Sioe bertjokol di atas medjanja.
In Hong bertiga tidak muntjul di medan pesta itu.
Hanjalah sekira djam 6.00, baru di ruang pesta itu terlihat seorang jang mentjurigai.
Ruang pesta jalah ruang tengah jang besar, ruang itu dirias setjara kuno, hingga djaman seperti mundur beberapa ratus tahun.
Di sebelah utara, nempel pada tembok, ada sebuah medja pandjang terbuat dari kaju merah.
Di depan itu ada dua buah medja pat- sian-to, di kiri-kanan itu ada dua buah kursi thaysoe- ie.
Di kedua sisi itu ada lagi masing-masing sebuah medja ketjil untuk teh serta kursinja dari kaju merah djuga.
Semua kursi dan medja ditutup dengan kain penutup jang tersulam benang emas.
Di tengah-tengah medja pandjang itu, di sanalah terletak ketiga patung Hok Lok Sioe jang terbuat dari batu sapir, masing-masing tingginja empat tjoen.
Tatakannja pun dari batu akik.
Pernah seorang saudagar barang kuno menawar ketiga patung itu untuk dua-ribu tail emas.
Seng Yoe Tek sajang untuk mendjualnja.
Di atas medja pat-sian-to itu ada diatur pelbagai barang sembahjang serta lilin dan hio.
Dan di kedua sisi itu berdiri masing-masing dua agen polisi.
Keletakannja ketiga patung adalah jang dibilang, dapat dipandang, tak dapat diraba, ketjuali keempat agen polisi itu disuruh minggir lebih dulu dan orang lalu mendekati, mengulur tangan pandjang-pandjang untuk mendjambretnja.
Tapi si agen polisi berdiri di situ bagaikan patug-patung hidup .........
Orang jang mentjurigai itu muda usianja dan tubuhnja sedang, kulitnja putih, parasnja tampan, sepasang alisnja lentik tetapi gemuk dan hitam, rambutnja djuga hitam mengkilap sedap dipandang.
Badjunja jalah badju hidjau tua model Barat dengan dasi putih bawahnja hidjau.
Dengan gerak-geriknja jang halus, tak dapat disangkal bahwa ialah pemuda jang ganteng.
Hanjalah, ia terus memperhatikan ketiga patung jang berharga mahal itu, ia agaknja tidak mau menjingkir djauh dari medja itu...............
Detektip To berdjalan mundar-mandir di dalam ruangan, ia sangat bersangsi untuk pemuda itu.
Tidak nanti ada prija demikian tampan.........
Rambutnja pun terlalu tebal dan mengkilap.
Adakah itu rambut palsu" Pula, alis prija tidak demikian lentik.
Bukankah dia wanita jang menjamar" Dia pun berpotongan tubuh berimbang sama potongan tubuhnja In Hong......
Wadjah In Hong lain sekali, ia mengenalinja dengan baik, hanja In Hong itu pandai menjamar, umpama hidungnja bisa dipalsukan dengan lilin dan warna kulitnja bisa dipulas, bahkan raut muka bundar bisa disulap mendjadi potongan telur atau kwa-tjie.........
Ada lagi jang mentjurigai, jalah matanja pemuda itu, jang begitu hitam dan djeli, mata itu mesti dimiliki seorang wanita.
Mata itu mirip dengan matanja In Hong..................
Detektip To tidak berani memastikan orang itu In Hong walaupun dugaannja sudah sampai delapan atau sembilan dalam sepuluh.
Ia pun tidak berani datang mendekati, ia memasang mata dari kedjauhan sadja.
Tetamu banjak dan banjak jang memperhatikan ketiga patung malaikat Hok Lok Sioe itu, walaupun demikian, mereka tidak sebagai si pemuda, mereka mengawasi, mereka kagum, lantas mereka pergi ke lain ruang, untuk bersuka-ria.
Untuk mengudji ketjurigaannja, Detektip To jang menempatkan diri di antara lain-lain tetamu mendadak berseru: "Nona In Hong, sudah lamakah kau datang?" Semua tetamu lainnja tidak memperhatikan suara itu, tetapi si pemuda tampan lantas sadja menoleh, matanja menjapu keliling ruang.
Maka dugaannja Tjie An mendjadi makin kuat.
Masih pemuda tampan itu tidak mau berkisar dari dekat medja patung berharga, saban-saban ia melirik kepada keempat agen polisi.
Baru kemudian, achirnja, dia pergi djuga bertindak ke ruang belakang, tindakannja tjepat.
Detektip To menguntit dari kedjauhan, hingga ia melihat orang masuk ke ruang jang mendjadi kamar tidur para budjang.
Semua budjang lagi repot bekerdja, tetapi di ruang itu, jalah kamar timur, terdengar suara orang berbitjara perlahan.
"Mama, aku sudah lapar, aku ingin makan!" demikian suara itu, jalah suaranja Siauw Lee, jang duduk di sebuah kursi kaju sambil tangannja memeluki andjingnja, si andjing pekingese jang putih dan mungil.
Pada lengan dan mukanja botjah itu masih ada tanda balan bekas rangketan kakeknja.
"Siauw Lee, sabar," berkata Lee In, sang ibu.
"Di dapur orang lagi repot sekali masak tetapi itu bukan untuk kita, sebentar sisanja sekalian tetamu, baru dapat kita makan.
Kau tunggulah sebentar lagi........." Selagi berkata, Lee In berhenti mendjahit.
Djuga, ia, muka dan lengannja bertanda balan bekas rotan.........
Yo Lee In baru berusia duapuluh lebih, ia kurus dan perok, tetapi itu tidak menghilangi bekas-bekas ketjantikannja.
Ia mengenakan badju abu-abu dan rambutnja didjepit bersama setangkai bunga putih terbuat dari benang wol.
Ajah dan ibunja telah mati dalam satu bentjana kebakaran dan sampai sekarang ia masih berkabung.
"Mama, mengapa kakek sangat menghina kita?" tanja si botjah selang sesaat.
"Kakek gemar sekali menganiaja kita serta tidak mau mengasikan kita barang santapan jang lezad?" Tidak tahu bagaimana Lee In harus mendjawab anaknja itu, sedang airmatanja lantas sadja mengembeng dan meleleh keluar, maka lekas-lekas ia berpaling ke lain arah.
Sakit rasa hatinja. Detektip To mengikuti sampai di taman, di luar djendela kamar tidur itu.
Ketika si pemuda masuk ke dalam kamar itu, Lee In menjambul dengan girang, lantas mereka berbitjara, hanja suara mereka tidak dapat didengar terang oleh detektip itu.
"Tjelaka!" Tjie An mendumal dalam hatinja, sebab untuk menghampirkan sampai dekat, ia tidak berani.
Karena ia menduga pemuda itu pasti In Hong adanja, ia pun mau menduga, mungkin In Hong menemui si njonja muda untuk mendajakan perubahan penghidupannja itu.........
Lama djuga mereka itu bitjara, lalu si pemuda mengempo Siauw Lee, jang diberikan kembang gula.
Kemudian baru ia meletakkan botjah itu di kursinja dan ia ngelojor keluar.
Ketika itu telah tiba saatnja bersantap, semua tetamu berkumpul di ruang makan.
Di tempat patung tinggal keempat agen polisi tadi, jang tetap berdiri diam bagaikan patung.
Si pemuda tampan kembali ke ruang itu.
Ia lantas memilih sebuah kursi di kiri dekat medja pat-sian-to, duduknja menghadapi ketiga patung malaikat Hok Lok Sioe.
Ia mengeluarkan sigaret, ia menjulut itu, lalu mengelepus dengan asjik.
Detektip To bersembunji diluar ruang itu, di belakang sebuah pohon hoay.
Ia merasa pasti niatnja pemuda itu, jang bukan pergi bersantap atau minum arak hanja bertjokol setjara tenang luar biasa di ruang jang sunji itu.
Sudah sering Tjie An ketjele terhadap In Hong, maka itu perhatiannja mendjadi luar biasa.
Ia mau menjangka In Hong tidak menduga sama sekali bahwa ia telah mengetahui penjamarannja itu dan bahwa si Burung Kenari tidak mengetahui jang dirinja lagi diintjar.
Senang hatinja si detektip.
Ia pertjaja, asal si nona turun tangan, dapat ia turun tangan djuga, untuk mempergoki dan mentjekuk nona itu.
Asal ia dapat mentjekuk orang berikut buktinja, pikir Tiie An, ia tentu akan dapat membuktikan bahwa In Hong ialah Oey Eng, atau Oey Eng ialah In Hong.
Djikalau si Burung Kenari telah dibekuk dan didjebluskan dalam pendjara, pasti nama Detektip To Tjie An bakal djadi tersohor sekali.........
Oleh karena memikir begitu, lantaran ia girang sekali, lantas Tjie An memberi tanda dengan tangannja agar keempat agen polisi itu meninggalkan djagaan mereka.
"Kau tunggu di sini sebentar," kata satu agen kepada kawannja jang ke-empat.
"Kita akan dahar dulu, lantas kita akan kembali." Lantas ia berlalu bersama dua kawannja.
"Bagus betul!" kata agen jang ditinggal pergi itu.
"Kamu bertiga enak-enakan makan, aku ditinggal sendirian!.........
Biar aku menghisap sigaret sadja........." Dan ia bertindak ke medja teh di ruang kanan, ia mengambil sebatang sigaret, untuk terus dimasuki ke dalam mulutnja.
Dengan begitu maka ketiga patung Hok Lok Sioe seperti tidak ada lagi pendjaganja.
Inilah ketika jang ditunggu-tunggu si pemuda tampan, dengan berdjingkrak, ia bangun dari kursinja, dengan lekas ia menghampirkan medja pat-sian-to di mana segera ia mengulur tangannja menjamber sebuah patung .........
Detektip To dari belakang pohon terus memasang mata.
Ia melihat sepak-terdjangnja si pemuda tampan.
Ia membiarkannja, ia mengawasi terus.
Tapi ia merasa tegang sendirinja.
Maka ia mengeluarkan revolvernja, ia bersiapsedia.
ia mau menunggu sampai tangan orang mendjumppit untuk ke-dua kalinja, baru ia mau turun tangan.
Ia menghendaki pendjahat berikut barang buktinja.
Si pemuda menoleh ke arah si agen polisi.
Dia ini tidak hanja menghisap sigaret.
Dengan membalik tubuh, membelakangi, dia lagi dahar manisan, ia tidak mau mensia-siakan tempo lagi, untuk ke-dua kalinja, ia mengulur tangannja, jang terus dimasukkan ke dalam sakunja.
Hampir berbareng dengan itu, Detektip To lompat keluar dari tempatnja bersembunji.
Ia lari kedalam, lekas ia tiba di dekat pemuda itu, punggung siapa ia lantas todong dengan sendjata apinja.
"Angkat tangan!" ia mengantjam bengis.
"Djangan melawan!" Bukan main girangnja detektip ini.
Ia telah menawan In Hong alias Oey Eng si Burung Kenari, si pendjahat wanita jang litjin.........
"Bagaimana eh?" menanja si pemuda tampan, heran.
"Mengapa kau mengantjam aku dengan sendjata api?" Ketika itu, selain si agen polisi jang menghisap sigaret dan makan kembang gula, djuga ketiga kawannja telah balik dengan tjepat.
Maka mereka lantas membantui sep mereka memasang mata atas si pemuda.
"Aku telah membekuk pendjahat berikut barang bukti, kau hendak bilang apa?" Tjie An menjahuti.
"Artinja kau membekuk pendjahat berikut barang buktinja?" "Memang, tanpa bukti, kau tidak mempunjai urusan apa-apa di sini!........." djawab Detektip To.
Patung Hok Lok Sioe Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kau hebat, ketjuali pandai menjamar, kau pun dapat mengubah lagu suaramu!" Suara si pemuda tampan tidak mirip suaranja In Hong.
"Aku tidak mengerti!" kata dia.
"Mana barang buktinja?" "Di dalam saku badjumu!" "Silahkan kau geledah!" Detektip To lantas menggeledah.
Patung sapir itu tak ada.
"Sep, dia mentjuri apa?" tanja si agen, jang menghisap sigaret.
"Tentu sekali patung malaikat! Aku melihat sendiri dia mengambilnja dan dimasuki ke dalam sakunja!" "Tetapi, tuan, bukankah ketiga patung tetap berada di tempatnja?" tanja si agen.
"Tadi aku menggunai tali jang kuat untuk mengikat ketiga patung kepada medja." Detektip To menoleh ke arah medja patung, di sana ia melihat tiga buah patung itu tetap di tempatnja.
Ia mendjadi melongoh. Njata ia terlalu sembrono, rupanja disebabkan ketegangannja, tadi ia tidak memperhatikan lain ketjuali gerakan tangan si pemuda tampan.
Ia sampai tidak melihat bahwa orang sebenarnja tidak merabah patung-patung itu.
"Nona In, sungguh beruntung kau lolos dari tanganku........." katanja kemudian.
"Aku bukan Nona In," berkata si anak muda.
"Aku she Eng. Mustahil seorang detektip tak dapat membedakan prija dari wanita?" "Apa?" tanja detektip itu.
"Kau Tuan?" Saking penasaran, Tjie An menjamber rambut orang serta hidungnja, hingga ia mendapat bukti dari rambut dan hidung tulen.
Saking djengah, ia mengawasi sadja, dan membiarkannja orang bertindak pergi.........
Sampai djam 12.00 tengah-malam maka bubarlah pesta.
In Hong bertiga Kat Po dan Hiang Kat terus tidak muntjul.
Ketiga patung Hok Lok Sioe tetap bertjokol di atas medja, tidak hilang-lenjap, tidak rusak djuga.
Dan Seng Yoe Tek. dengan hati-hati tetapi girang, membawanja sendiri ke lauwteng tingkat ke-dua di mana ada kamar istimewanja peranti dia menjimpannja.
Detektip To telah selesai mendjalankan tugasnja, dengan mengadjak orang-orangnja, ia berangkat pulang.
Dua djam kemudian, sunjilah gedung Yoe Tek itu.
Semua orang tidur njenjak setelah bekerdja berat dan letih.
Adalah di saat demikian itu, di belakang taman tampak bajangan satu orang, jang gerak-geriknja gesit sekali.
Bajangan itu lari ke gedung, memasukinja, terus naik ke lauwteng tingkat ke-dua.
Tidak sulit dia membuka pintu, karena dia membekal seperangkat kuntji maling.
Maka di lain saat, terbukalah pintu kamar istimewa Yoe Tek.
Dia masuk ke dalam, sama tjepatnja dia keluar pula, untuk lari turun di tangga.
Tiba di dalam taman, dia lari ke arah kamarnja budjang.
Djusteru itu di belakangnja, ada suara tindakan mcngedjar.
"Berhenti! Atau aku akan tembak padamu!" demikian antjaman jang halus tetapi tadjam dari pengedjar itu.
Bajangan itu lari masuk ke dalam, ia membuka pintunja sebuah kamar dengan merusak kuntji dengan pisau belatinja.
Selagi pintu terbuka, suara andjing ketjil menggonggong berulang-ulang.
Yo Lee In mendusin dari tidurnja.
atau ia segera diantjam dengan pisau belati hingga ia terguguh dan bungkam, maka dengan gampang sadja kepalanja dibungkus dengan selimut hingga ia mendjadi tidak berdaja.
Si pengedjar sudah lantas tiba, ia mendengar suara andjing, menduga orang lari ke dalam kamarnja Lee In, ia memburu masuk, ia membawa sendjata api, ia mendjadi tidak takut-takut.
Lee In dengan kepala terbungkus rapat mendengar suara pintu menggabruk, disusul sama djeritan tertahan, lalu kamarnja itu mendjadi sunji-senjap.
Sesaat kemudian ia mendengar suara sangat perlahan dari andjing pekingese.
Dengan perlahan ia membuka bungkusan jang membungkus kepalanja, lantas paling dulu ia menekan kenop listrik di samping pembaringannja.
Begitu kamar mendjadi terang dan ia bisa melihat segala apa, Lee In kaget tidak terkira.
Di pinggir pintu rebah seorang wanita dengan badju dan tjelana tidur, tangannja mentjekal revolver, tetapi dia mandi darah.
Teranglah, dia sudah tidak ada njawanja.
Tanpa melihat muka orang, ia bisa menduga kepada Nona Seng Pek Hoa, jalah nona rumah atau gadisnja Yoe Tek.
Sebaliknja di situ tidak lagi ada bajangan orang jang mentjekal pisau belati tadi.
Saking kaget dan bingung, njonja muda ini duduk diam sadja.
Lama djuga Lee in bertjokol bagaikan patung, lalu ia disandingi rasa takutnja, ia segera menginsafi bahaja jang mengantjam atas dirinja.
Bukankah ia bisa dituduh sebagai pembunuh oleh Yoe Tek jang kedjam itu" Mana dapat ia menjangkal" Sedjenak itu ia ingat: Lari! ke mana" Itulah ia tidak tahu.
Ia pun tidak mempunjai uang.
Tapi ia mesti menjingkir! Dengan tubuh bergemetaran, ia turun dari pembaringannja.
Di atas pembaringannja ada badjunja warna abu-abu, ketika ia melihatnja, ia terkedjut.
Badju itu telah terkena darah.
Maka batal ia mengambil itu; ia mengambil sepotong jang lain, jang warnanja biru, ia lekas mengenakannja.
Ia mengasi bangun pada Siauw Lee, ia menolongi anak itu memakai pakaian.
"Kakek bakal menganiaja kita sampai mati, mari kita lari......" ia berbisik di kuping anak itu, jang ia dustakan.
"Djangan berisik........." Siauw Lee tjerdik, ia mengerti, maka sambil mengempo andjingnja, tanpa bersuara ia mengikuti ibunja.
Tiba di pintu taman, mereka terintang pintu, jang dikuntji.
"Pintu dikuntji....." kata Siauw Lee.
"Hus, djangan berisik!" sang ibu berbisik.
"Kau tunggu di sini, nanti aku minta dari tukang kebun........." Dengan tindakan perlahan, Lee In menudju ke gubuknja si tukang kebun jang terpisahnja tjuma beberapa puluh tindak, ia tahu anak kuntji digantung di samping djendela, maka ia menghampirkan djendela, ia menolaknja dengan perlahan, dengan merabah-rabah, ia dapat memegang anak kuntji.
Ia ambil itu, dengan lekas ia kembali ke pintu.
Setelah pintu terbuka, ia melemparkan anak kuntji itu, ia mengadjak anaknja lari ke djalan besar.
Ketika ia menoleh ke belakang, ia melihat satu bajangan orang berkelebat di atas wuwungan gedung mertuanja, bajangan mana lantas lenjap.
Ia tidak berani berdiam lama-lama di situ, ia menikung di sebuah pengkolan, lantas ia lari tanpa tudjuan.
"Mama," kata Siauw Lee di tengah djalan, "bukankah kita sudah lari tjukup djauh" Bukankah kakek tidak bakal dapat mengedjar kita?" "Kita masih perlu lari, lari sampai sangat djauh," ibunja menjahuti.
Di malam jang sunji itu, jang tjuma diterangi sang rembulan, ibu dan anak ini menjingkir terus, tubuh mereka berbajang di djalanan jang litjin dan mengkilap.
"Kita lari ke mana, mama?" si anak tanja lagi.
Itulah pertanjaan jang Lee In tidak dapat djawab.
"Mama, mari kita pergi ke rumah paman Eng," si anak berkata pula.
"Dia membuka paberik kembang gula, di sana setiap hari aku dapat makan kembang gula........." Lee In seperti disadarkan, ia mendjadi ingat Eng Sie Tjiang, kakak misan dari Pek Hoa, Sie Tjiang bersimpati kepadanja, pemuda itu menentang perlakuan kedjam dari Yoe Tek terhadap mereka ibu dan anak.
Tadi sore pun Sie Tjiang berdjandji akan membudjuki Yoe Tek agar Yoe Tek mengubah perlakuannja jang buruk itu, supaja mereka diidjinkan meninggalkan rumah Yoe Tek.
Tidak disangka sekarang terdjadi peristiwa hebat ini.
Ia pertjaja, kalau ia pergi pada Sie Tjiang, tidak nanti Sie Tjiang menolak mereka.
"Baiklah, anak, kita pergi ke rumah pamanmu itu." * Besoknja pagi-pagi, Detektip To masih tidur ketika ia dikasi bangun dengan kaget oleh bel tilponnja.
Dengan tangan kirinja mengutjak-ngutjak mata, dengan tangan kanan ia menjamber alat pendengar, guna memasang kupingnja.
"Hallo!" "Hallo! Detektip To di sana" Aku Seng Yoe Tek! Lekas datang ke rumahku! Lekas! Tiga patungku lenjap! Anak perempuanku dibunuh si bintang sapu Lee In!........." Detektip itu terkedjut.
"Apakah kau telah tangkap dia?" "Kalau aku telah menangkap, buat apa aku minta bantuanmu?" djawab Yoe Tek mendongkol.
"Baiklah, aku segera datang!" Di lain saat, To Tjie An, bersama A Poan serta dua orang sersi, jang menaiki oto polisi, jang membuatnja berisik di sepandjang djalan, tiba di rumah Seng Yoe Tek, djusteru hartawan itu lagi mentjatji dan mengutuk kalang-kabutan.
Umpama kata kutukannja mandjur, pastilah Yo Lee In dan anaknja telah mati sendirinja.........
Lantas Yoe Tek membawa Detektip To semua ke kamar Lee In.
"Menggunai waktu kami semua lagi tidur njenjak, si bintang sapu pergi mentjuri tiga patungku itu!" kata Yoe Tek, tetap sengit, suaranja menjalakan sangat membentjinja ia terhadap menantunja.
"Dia kena dipergoki anakku, dia dikedjar, tetapi dengan pisau belati dia membunuh anakku, jang ditikam tenggorokannja.
Lihat itu badjunja, jang masih ada tanda darahnja! Setelah itu, ibu dan anak itu mentjuri kuntji kebun, untuk kabur! Maka itu, Tuan To.
lekas kau tangkap kedua bintang sapu jang djahat itu, dan kau rampas pulang patung-patungku jang harganja tak terkirakan! Awas, atau kau nanti tidak dapat melindungi kedudukanmu!" "Baiklah, Tuan Seng," berkata si detektip, jang tidak dapat banjak omong, ia ketahui baik sekali, hartawan ini erat perhubungannja sama banjak orang besar, djadi benar, kalau ia diganggu, ia dapat ditjopot dengan gampang dari pangkatnja.
Dalam pemeriksaan, Tjie An mendapatkan buku tjatatan hari2 dari Yo Lee In " buku tahun 1944, djadi tjatatan dari satu tahun jang baru berselang.
Di situ ada ditjatat perlakuan buruk Yoe Tek pada menantu dan tjutjunja, antaranja ini: "Hari ini, dengan tidak disengadja, aku menjebut- njebut kepada Siauw Lee bahwa ia mempunjai seorang bibi serta seorang paman.
Mertuaku mendengar perkataanku itu, aku lantas digampari hingga belasan kali....." Tidak tertarik hatinja detektip ini, tjatatan itu tidak ada hubungannja sama perkara djiwa itu, maka ia melemparkannja pula ke atas pembaringan.
Dari situ ia naik ke lauwteng ke-dua, ke kamar tempat simpan patung malaikat.
Kamar itu berdampingan sama kamar tulis Yoe Tek.
Bagian luar, tembok kamarnja itu berlapisan tembaga, untuk pentjegah kebakaran dan di antara tiga bagian, jang dua terlindung terali besi serta pintunja pun pintu besi, sedang kuntji pintu ada kuntji rahasia, jang tak dapat dibuka dengan anak kuntji sembarangan.
Di dalam kamar, jang mendjadi gudang istimewa itu, ada dua buah lemari besi jang besar dalam mana biasa disimpan pelbagai surat-surat penting dan berharga.
Di tengah ruang ada sebuah medja dengan bok-djie-kam kaju tjendana.
Itulah tempat disimpan, atau dipudjanja, ketiga patung Hok Lok Sioe jang lenjap itu.
Yoe Tek menganggap ketiga patungnja bukanlah barang kuno, dari itu ia tidak menjimpannja di dalam lemari besi.
Ia kuatir nanti kwalat dan nanti mendapat tjelaka karenanja, maka ia memudjanja di atas medja itu, medja mana dikurung dengan terali besi, supaja, andaikata pendjahat dapat memasuki gudangnja itu, si pendjahat masih tidak dapat mengambilnja ketjuali terali besi itu dirusak.
Orang tentunja tjuma dapat memandang sadja dari luar terali.........
Di luar terali ada diatur medja serta alasannja, peranti berlutut.
Di atas medja ada teratur tjiaktay, hiolouw, lilin dan hio, djuga bunga segar dan bebuahan peranti suguhan atau pemudjaan.
Sebab biasanja setiap pagi Seng Yoe Tek datang ke situ, guna berlutut, guna memasang hio, untuk bersudjut.
Terali besi itu dipasang djarang tiga dim, karena mana, orang tidak bisa nelusup masuk ke situ.
Bok- djie-kam pun terpisah kira delapanbelas kaki dari terali, mendjadi tangan djuga tidak dapat diulur sampai kepada patung.
Semua itu menjatakan ketiga patung telah terdjaga sempurna sekali.
Setelah memperhatikan semua itu, pusing kepalanja Detektip To.
"Ketika tadi malam kau membawa ketiga patung ke mari, kuntjinja dikuntji betul atau tidak?" ia tanja.
"Mustahil aku tidak kuntji! Bahkan habis dikuntji, aku periksa pula!" Yoe Tek tidak senang ditanja begitu, ia mendongkol sekali.
"Apakah tidak ada lain orang jang ketahui rahasianja kuntji ini?" "Ketjuali aku sendiri, tidak ada orang jang ke-dua!" sahut Yoe Tek, kaku.
"Kalau begitu, tak mungkin ketiga patung lenjap!" kata Tjie An, jang alisnja berkerut.
"Tidak ada orang dapat membuka pintu kamar ini, kuntji terali ini tidak dapat diganggu, tidak ada tubuh jang dapat molos di terali ini, pula tidak ada tangan jang dapat disodorkan sampai ke bokdjiekam untuk mentjuri patung....." "Djadi kau tidak pertjaja ketiga patung ilu lenjap?" tanja Yoe Tek gusar, kakinja dibanting.
"Habis, ke mana perginja ketiga patung itu ?" Tjie An mengawasi bokdjiekam jang kosong.
Pentjurian jalah kenjataan, tetapi untuk itu tidak ada alasannja.........
"Tolong kau buka pintu teralinja, ingin aku memeriksa," ia minta.
"Tjoba kamu keluar dulu, nanti aku buka," kata Yoe Tek, jang masih hendak menjimpan rahasia kuntjinja itu.
Detektip To dan A Poan menurut, mereka pergi keluar.
Mereka mendengar suara bergelotak, habis mana, tuan rumah memanggil mereka masuk.
Mereka terus masuk ke dalam ruang jang terkurung bagaikan pendjara itu, akan mulai memeriksa.
Di lantai kedapatan tapak-tapak bundar dan persegi seperti tapak uang tembaga.
Di kursi kedapatan pula beberapa lembar bulu halus warna putih, dan di kolong medja ada sekuntum bunga putih terbikin dari benang wol.
"Bulu putih halus ini," kata Yoe Tek, "dan bunga wol itu jalah bunga wol putih jang dipakai di rambutnja si bintang sapu Yo Lee In.
Inilah njata luar biasa: Yo Lee In telah masuk ke dalam sini mentjuri patung mustikaku itu, terus dia lari ke kamarnja di mana dia dapat ditjandak anakku Pek Hoa, lalu dengan pisau belati dia menikam mati anakku itu.
Tuan To, asal kau dapat bekuk Yo Lee In, kau akan mendapatkan djuga tiga patungku itu.
Nah pergilah lekas bekuk si bintang sapu, lekas!" Kemarin sore Detektip To sendiri pernah melihat Yo Lee In memakai bunga wol putih di rambutnja, maka itu, dengan adanja bunga itu di dalam terali, teranglah Yo Lee In telah masuk ke dalam situ dan mentjuri.
Hanja masih mendjadi satu pertanjaan, tjara bagaimana dia masuknja" Pula adalah hal wadjar kalau habis mentjuri dan membunuh nrang, Lee In kabur, supaja dia tidak manda ditangkap.
Dia tentu kabur bersama anaknja.
Hanja, ke mana kaburnja dia" Tjie An mengasa otaknja memikirkan dua rupa pertanjaan itu.
Karena ia berpikir keras, ia mendjadi ingat si Tuan Eng, jang mentjurigai.
Tuan Eng itu telah bitjara lama dengan Lee In.
Mungkin mereka mendamaikan pekerdjaan mentjuri patung itu.
Mungkin djuga, si Tuan Eng jang mendjadi biang.........
"Tuan Seng, kenalkah kau seorang muda she Eng jang romannja tampan sekali?" ia tanja Yoe Tek.
"Kau maksudkan pemuda kemarin jang hadir di sini memberi selamat padaku?" tegaskan Yoe Tek.
"Ialah itu pemuda dengan pakaian Barat" Dialah Eng Sie Tjiang." "Benar, benar dia." "Dia keponakan-luarku.
Memang dia tidak menjetudjui sikapku terhadap Yo Lee In ibu dan anak akan tetapi dia tidak ada sangkutannja sama perkara ini.
Dia djudjur dan boleh dipertjaja! Ada apa kau menanja tentang dia?" "Aku merasa pasti seratus persen Yo Lee In dan anaknja kabur ke rumahnja dia," Detektip To mengutarakan dugaannja.
Ia memasuki bulu putih dan kembang wol itu ke dalam sebuah sampul.
Ia pertjaja itulah bukti penting untuk perkara ini.
"Mungkin mereka pergi kerumah keponakanku itu," bilang Yoe Tek.
"Di sini mereka tidak mempunjai sanak lainnja.
Pergi kau lekas tangkap ibu dan anak itu untuk dimasuki dalam tahanan.
Hanja keponakanku itu, djangan kau ganggu.
Aku berani mendjamin dia tidak sangkut-pautnja!" Yoe Tek pun memberitahukan alamatnja keponakan itu.
Detektip To lantas berpamitan, bersama orang- orangnja ia mengendarai mobilnja pergi ke rumah Eng Sie Tjiang.
Ketika oto polisi mendekati rumah Sie Tjiang, Lee In takut bukan main.
Ia mendengar suara mobil, hatinja berdebaran.
"Pasti polisi datang hendak melakukan penangkapan....." katanja.
"Belum tentu," kata Sie Tjiang.
"Mungkin mereka kebetulan lewat sadja.
"Hanjalah tidak ada salahnja kalau kita bersedia-sedia." "Bersedia bagaimana?" "Kau berdua serta andjingmu menjembunjikan diri." "Bagaimana" Di mana kami bersembunjinja?" tanja Lee In.
"Kemarin polisi telah mentjurigai kau, sudah tentu mereka datang untuk menjeret-njeret kau " "Mari!" mengadjak Sie Tjiang.
Mereka berputaran mentjari tempat sembunji, tidak ada jang kelihatan tepat.
Suara oto datang semakin dekat, suara itu membuat mereka bingung.
"Penasaranku ini sulit untuk diterangkan dengan mulut," kata Lee In putus asa.
"Daripada aku ditangkap dan dihukum tanpa bersalah, lebih baik aku mati sadja! Kau baik sekali, kau tolong rawat anakku ini, asal dia djangan terdjatuh kedalam tangannja Seng Yoe Tek " Lee In lari ke djendela lauwteng, niat menerdjunkan diri.
Sie Tjiang menubruk, memegangi erat-erat.
"Djangan!" tjegahnja.
"Mama, bukankah kakek menjuruh orang mengedjar kita untuk menangkap aku untuk nanti dipukuli hingga mati?" Siauw Lee tanja.
Botjah ini pun takut sekali.
Djusteru itu, oto sudah tiba di depan pintu, lalu disusul sama ketukan keras pada daun pintu, jang terus digedor, hingga suaranja bagaikan geruman hantu.........
"Benar-benar mereka datang!" kata Lee In, mukanja putjat.
"Mari turut aku!" mengadjak Sie Tjiang, jang masih lebih tenang.
Lee In dan anaknja mengikuti.
Mereka naik ke lauwteng ke-tiga, tempat mendjemur pakaian.
Siauw Lee lupa membawa andjingnja.
Di atas lauwteng itu terdapat sebuah peti kosong, jang tadinja dipakai memuatkan mesin pembuat kembang gula, karena sudah terlalu lama terdjemur, peti itu pada renggang, djadi tak dapat orang bersembunji di situ, tetapi Sie Tjiang toh mau menggunai itu.
Ia membuka tutup peti dan menjuruh Lee In dan anaknja masuk ke dalamnja, setelah menutup rapi, ia lantas turun, untuk pergi ke kamar tempat duduk-duduk di mana ia menjetel radio.
Ia membawa sikap tenang sekali.
Sie Tjiang mempunjai dua pegawai wanita tua, jang sudah bekerdja lama.
Tadi pagi mereka itu telah dipesan madjikannja, maka mereka tidak berani sembarang membukai pintu, tetapi gedoran pintu keras sekali, jang satu lantas pergi kepada madjikannja, untuk berkata: "Aku melihat polisi dengan otonja, djumlah mereka empat, lantas dua berdiam di depan, dua lagi pergi ke belakang.
Kalau mereka tidak dibukai pintu, mungkin mereka menggunai kekerasan." "Pergi kau membukai pintu!" Sie Tjiang mendjawab.
"Kau tahu bagaimana harus bersikap?" Budjang itu, jang usianja sudah limapuluh lebih, mengangguk, lantas dia bertindak pergi, tiba di pintu depan, ia lantas mendumal sendiri: "Siapakah jang menggedor pintu begini berisik" Tanganku tjuma dua, kakiku tjuma dua, aku mesti lakukan ini, mesti lakukan itu, habis bagaimana aku bisa kerdjakan semua itu?" Ia terus membukai pintu, ia memegangi palangannja seraja lantas menegur: "Kau tjari siapa?" Detektip To mendelik.
"Apakah ini rumahnja Eng Sie Tjiang?" dia tanja.
Budjang tua itu mengangguk.
"Tolong kau mengasi tahu Nona Yo Lee In, kami datang mendjenguk!" kata detektip itu.
Itulah siasatnja, untuk membuat orang kaget dan bingung.
Kadang-kadang siasat ini memberi hasil jang memuaskan.
Budjang itu tabah hatinja.
Ia rupanja telah berpengalaman.
Ia menggeleng kepala. "Di sini tidak ada Nona Yo Lee In.
Mungkin kau salah alamat!" Detektip To melotot pula.
Ia menduga orang main gila.
"Apakah Tuan Eng Sie Tjiang ada di rumah?" ia tanja pula.
Budjang itu mengangguk. Melihat itu, Detektip To dan A Poan lantas bertindak masuk.
"Eh, eh!" kata si budjang tua.
Kedua detektip itu masuk terus, maka mereka menemui Sia Tjiang lagi mendengari radio.
Detektip To mengawasi sambil tertawa dingin.
"Tuan Eng, tadi malam di rumah Tuan Seng telah terdjadi keonaran, tahukah kau?" dia tanja.
Dia mengawasi tadjam, untuk melihat air muka orang.
"Apakah kau maksudkan Tuan Seng Yoe Tek?" Sie Tjiang tanja.
Pemuda ini mentjoba menenangkan diri tetapi airmukanja tak wadjar dan suaranja pun kurang lantjar.
Njata dia kalah bersandiwara daripada budjang tuanja.
"Aku tidak tahui. Telah terdjadi perkara apakah?" Detektip To telah melihat perubahan airmuka orang itu, ia sudah lantas dapat membade.
"Hm! Hm!" ia mengasi dengar suara di hidung.
"Kau tahu, adik perempuanmu, Nona Seng Pek Hoa, telah dibunuh Yo Lee In dan tiga patung malaikat pamanmu telah ditjuri djuga oleh perempuan itu! Tadi malam Yo Lee In lari ke rumahmu ini, mustahilkah dia tidak memberitahukannja?" Sie Tjiang heran.
Ia tahu Pek Hoa telah terbunuh orang, tetapi tidak tentang lenjapnja ketiga patung itu, bahkan Lee In tidak mengetahuinja djuga.
"Aku tidak tahu," Sie Tjiang menjahut, menggeleng kepala.
"Yo Lee In djuga tidak datang ke rumahku ini.
Kenapa dia lari" Apakah dia tersangkut dalam perkara bunuh orang dan mentjuri patung mustika itu?" "Sudah dia mentjuri, dia pun membunuh orang!" djawab Tjie An tandas.
"Dialah orang jang tersangkut! Kau menjembunjikan dia, kau bisa kerembet-rembet! Maka lekas kau serahkan dia padaku!" "Aku berani tanggung dia tidak ada di rumahku!" Sie Tjiang menjangkal terus.
"Djikalau begitu, terpaksa aku tidak berlaku sungkan lagi untuk menggeledah rumahmu ini!" kata si detektip, karena ia merasa sangat pasti Lee In ada di rumah itu berikut barang tjuriannja.
"Silahkan geledah!" Sie Tjiang menantang.
Dia tetap bimbang hatinja.
"Djikalau kau tidak berhasil mendapatkan Yo Lee In, aku akan mendakwa kau!............" Detektip To tidak membilang apa-apa lagi, bersama A Poan ia mulai dengan penggeledahannja.
Pemeriksaan dimulai dari bawah lauwteng dan dilakukannja sangat teliti, sampai lemari dan latji- latjinja pun dibukai, tak terketjuali lemari buku.
Hasilnja nihil. Melihat tjara penggeledahan itu, hati Sie Tjiang kebat- kebit.
Ia takut Lee In dapat ditjari.
Maka ia menjedot sigaretnja dalam2 dan mengebulkannja dengan keras, guna menutupi kekuatirannja itu.
Tepat Detektip To dan A Poan membelakangi lemari barang makanan, hati Sie Tjiang gontjang keras.
Tiba- tiba ia melihat andjing-pekingese di luar kamar itu dan mengawasi ia sambil menggojang-gojang ekornja.
Hawa udara tidak panas tetapi dahinja mengutjurkan keringat.
Maka ia mengeluarkan saputangannja, untuk menjusuti itu, sedang mulutnja mengasi dengar suara "Hus! Hus!" dan tangannja jang lain digojang-gojangi, untuk mengusir andjingnja Siauw Lee itu.
Detektip To menoleh, dengan sinar mata penuh ketjurigaan, ia mengawasi tadjam kepada si anak muda, terus ia memandang ke luar kamar.
Hampir Sie Tjiang berteriak bahna kagetnja.
Ia menahan napas. Sjukur di saat si detektip melihat ke luar, andjing itu sudah ngelojor pergi.
Maka ia menghela napas lega.
Detektip To melirik, lalu ia meneruskan penggeledahannja.
Naik mulai lauwteng ke-dua, terus sampai ke lauwieng ke-tiga.
Di sini sebuah kamar tidur jalah kamar jang terachir jang mesti diperiksa.
Tetap Lee In dan anaknja tidak ada, dan ketiga patung terus tidak kedapatan.
Segera sampailah mereka ke kamar mandi.
"Tuan Eng, tolong buka pintunja kamar ini," Tjie An minta.
"Nenekku lagi mandi," kata Sie Tjiang.
"Kau periksa dulu lain kamar, sebentar baru kamar mandi ini........." "Tidak! Mintalah nenekmu keluar dulu!" kata Tjie An.
"Aku tahu Lee In berada di dalam kamar ini!" Terpaksa Sie Tjiang memanggil neneknja, mengasi tahu polisi hendak menggeledah dan ia minta neneknja itu keluar dulu.
Maka keluarlah si njonja tua, dengan pakaiannja tidak rapi, romannja mendongkol.
Kamar mandi itu ketjil, sebentar sadja maka selesailah pemeriksaan, jang hasilnja nihil.
Tjie An keluar sambil menggaruk-garuk kepala.
Benar- benar Lee In tidak kedapatan.
Ke mana menjingkirnja njonja muda itu " Ketika mereka keluar dari kamar mandi, di samping itu mereka melihat sebuah peti besar di tempat pendjemuran itu.
"Achir-achirnja!" berseru si detektip.
"Aku telah menemui Yo Lee In! Dia sembunji di dalam peti itu!" Ia tampaknja puas sekali.
Sie Tjiang bersender pada pintu kamar mandi neneknja, kulit mukanja tanpa darah.
Ia hampir tak kuat berdiri lebih lama pula.
Tjie An melihat roman orang, dia semakin mendapat hati.
Karena ini, dia tidak lantas menghampirkan peti itu.
"Tuan Eng, paras mukamu putjat sekali," kata dia, sengadja.
"Apakah kau tidak enak badan" Maukah kau aku memanggilkan tabib?" Ia bitjara dengan sabar sekali tapi nada suaranja menjindir.
"Aku sehat, tuan To, terima kasih," mendjawab Sie Tjiang, hampir suaranja tidak terdengar.
Tjie An tetap berlaku sabar, melainkan parasnja jang berubah, paras ini mengasi lihat kepuasan.
"A Poan, kau buka tutupnja peti itu, kau minta Nona Yo Lee In keluar untuk berbitjara," kemudian ia menitahkan djuga pembantunja.
A Poan turut perintah. Ia menghampirkan peti itu, untuk dibuka, hanja ia tidak melongok ke dalamnja, sembari mengetuk-ngetuk samping peti, ia berkata: "Nona Yo, silahkan keluar!" Yo Lee In tapinja tidak muntjul, tidak meskipun si detektip mengulangi permintaannja.
Kemudian baru ia melongok.
Sekarang ia tidak pertjaja matanja sendiri.
Peti itu kosong-melongpong! "Tuan sep!" katanja kemudian, setelah melongo sekian lama, "di dalam peti ini tidak ada Nona Yo Lee In! Inilah peti kosong!" Detektip To terkedjut.
"Apa?" serunja.
"Kosong?" Ia merasai kepalanja pusing.
Patung Hok Lok Sioe Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maka lekas ia menghampirkan, guna membuktikan sendiri.
Memang peti itu tidak ada isinja.
"Tuan To, paras mukamu putjat sekali!" kata Sie Tjiang, jang mendapat hati dengan tiba-tiba.
"Apakah kau tidak enak badan" Maukah kau aku panggilkan tabib?" Lee In tidak ada di dalam peti.
Sebenarnja bukan tjuma Detektip To, djuga Sie Tjiang bingung bukan main.
Ketjuali Lee In dan anaknja, andjing pekingese turut hilang bersama.
Tengah Tjie An belum mendapat pikiran bagaimana harus bertindak terlebih djauh, budjang perempuan jang tadi muntjul pula dengan beritanja: "Tuan, di bawah ada Nona In Hong bersama Nona Kat Po mohon bertemu!" "Ah!" berseru Sie Tjiang, napasnja lega.
"Aku djusteru hendak mengundjungi mereka! Lekas kau minta mereka menantikan di kamar tetamu, aku akan lantas menemuinja!" Budjang perempuan itu mengundurkan diri.
Detektip To masih sadia berpikir.
Yo Lee In lenjap, In Hong muntjul.
Tidakkah pada ini ada sesuatu hubungannja" "Tuan To," berkata Sie Tjiang, umpamakata kau hendak melandjuti penggeledahanmu, silahkan, lakukanlah sesukanja, maaf, tidak dapat aku menemani kamu lebih lama.
Hanja Ingat, apabila kau tidak berhasil mendapatkan Yo Lee In, kau harus bertanggungdjawab untuk perbuatanmu sudah merampas kemerdekaan rakjat!" Tanpa menanti djawaban, Sie Tjiang turun dari lauwteng separuh berlari.
Detektip To bersama A Poan terpaksa mengikuti turun djuga.
"Aneh kedatangan mereka!" kata si detektip, mendongkol.
"Aku pun ingin bitjara sama mereka itu!" Ketika mereka tiba di kamar tetamu, disana In Hong dan Kat Po lagi berduduk dengan tenang.
"Nona In! Nona Kat!" berkata Detektip To, mendahului tuan rumahnja.
"Tidak terlebih dulu, tidak terlebih belakang, kamu datang djusteru di saat seperti ini, sungguh kamu membuatnja kami tidak mengerti!" In Hong melirik detektip itu, ia tidak menjahuti, ia tidak mengambil mumat.
"Tuan, kau tentulah Tuan Eng Sie Tjiang kakak misan dari Nona Seng Pek Hoa!" ia tanja tuan rumah jang muda.
".Benar," Sie Tjiang mendiawab.
".Nona-nona datang ke rumahku ini, ada apatah pengadjaranmu?" Tuan rumah ini berlaku hormat.
"Djikalau tidak mendjadi halangan, kami menehendaki sedikit keterangan dari kau, tuan Eng," menjahut In Hong.
"Kami bersahabat sama Nona Seng Pek Hoa, dan kami ketahui djuga hal perlakuan buruk dari Tuan Seng Yoe Tek kepada njonja mantu serta tjutjunja.
Berhubung dengan itu, kami memikir untuk berbuat sesuatu agar Tuan Seng dapat mengubah sikapnja jang kolot itu.
Sajang sekali kemarin, di hari pesta ulangtahunnja, lantaran ada urusan, kami tidak dapat hadir.
Tadi pagi aku bitjara tilpon sama Nona Seng, menjesal kami mendapat kabar jang di luar dugaan.
Menurut budjang perempuan jang menjambuti tilpon, katanja Nona Seng telah dibunuh Yo Lee In njonia mantu Tuan Seng serta njonja mantu itu sudah mentjuri tiga patung.
Aku heran sekali atas kedjadian itu.
Aku kenal Lee In halus dan lemah, tidak mestinja dia mentjekal sendiata tadjam dan membunuh orang.
Maka itu mungkin di sini ada terselip sesuatu.
Kau sanaknia keluarga Seng, Tuan Eng, aku pertjaja kau dapat memberikan sesuatu keterangan kepada kami." "Maaf, nona, bahkan aku malu sekali," menjahut Sie Tjiang tjepat.
"Mengenai peristiwa di rumah Paman Yoe Tek, aku tidak tahu suatu apa, malah aku baru ketahui itu dari ini Tuan To, jang baru sadja berkundjung ke mari.
Tuan To menjangka saudara Lee In bersembunji di rumahku ini, dia datang untuk menggeledah, tetapi dia tidak menemukan Lee In!" "Nona In," Tjie An menjelak, "kesalahannja Yo Lee In itu sudah terang sekali, dia djadinja bukan terfitnah!" "Djikalau Seng Pek Hoa benar dibunuh Lee In, kami akan membantu dengan sekuat tenaga kami untuk membekuk dia, agar dia dapat dihukum," berkata In Hong.
"Sebaliknja djikalau dia tidak bersalah-dosa, dia tjuma difitnah, pasti kami akan membantu padanja! Tuan To, sudikah kau menuturkan duduknja perkara jang djelas kepada kami?" Mendengar suara si nona, Tjie An mau menduga nona ini tidak atau belum ada hubungannja sama Lee In, dari itu ia memberikan keterangan jang diminta itu, bahkan ia mengasi lihat djuga barang jang ditjurigai, jalah bulu putih jang halus serta bunga wol.
In Hong memindjam mikroskop dari detektip itu untuk ia memeriksa dengan seksama kedua barang bukti itu, jang bisa didjadikan bahan untuk menjelidiki perkara.
"Tuan To, dapatkah kau menemani aku memeriksa di tempat kedjadian?" kemudian In Hong minta pula.
"Menjesal, aku tidak mempunjai tempo akan menemani kau.
Tidak dapat aku membiarkan Yo Lee In kabur dengan merdeka!" "Pendjahat siapa djuga tidak pernah lolos dari genggamanmu, Tuan To, perlu apa kau begini terburu napsu?" In Hong kata dingin.
Detektip To terdesak, terpaksa ia menerima baik permintaan si nona.
Maka dengan bersama-sama mereka pergi ke rumah Seng Yoe Tek.
Hanja kepada A Poan ia meninggalkan titah untuk pembantunja itu melandjuti usaha mentjari Lee In, supaja semua djalan umum, pelabuhan dan perhentian-perhentian pelbagai kendaraan didjaga baik-baik.
Tegasnja detektip ini mau memasang thian-lo tee-bong, jaitu "djala langit dan djaring bumi," agar Lee In tidak dapat lolos dan kabur! Pemeriksaan In Hong di rumah Yoe Tek, singkat temponja, besar hasilnja untuknja.
Ialah ia telah mengantongi buku tjatatan hari-hari dari Lee In, jang Tjie An tidak memperdulikannja.
Ia merasa buku itu penting dan hendak memeriksanja terlebih djauh.
Ia mendapat perasaan, Lee In bukan si pembunuh dan bukan si pentjuri djuga.
"Nona In, apakah jang kau peroleh?" tanja Tjie An kemudian.
"Bagaimana kesanmu?" "Aku merasa sesuatu jang tidak tepat," menjahut In Hong.
"Badju Lee In jang terkena darah jalah udjung bawahnja, sebaliknja lukanja Pek Hoa di tenggorokannja, kalau benar Lee In si pembunuh, jang ketjipratan darah mesti badjunja bagian atas".
"Habis, dari mana datangnja darah di badju itu?" "Pastilah itu darah dari sendjata tadjamnja si pendjahat, jang disusutkan kepada badju itu, maksudnja untuk memfitnah! Djadi badju berdarah itu bukanlah bukti kuat bahwa Lee In si pembunuh adanja." Bitjaranja In Hong beralasan, mau atau tidak, gontjanglah pendapat Tjie An bahwa Lee In si pembunuh.
"Djikalau begitu, siapakah si pembunuh?" ia tanja pula.
"Dialah mesti lain orang, hanja sekarang belum ketahuan siapa dia." "Ketiga patung itu, siapakah pentjurinja?" "Si pembunuh.
Dia lebih dulu mentjuri, lalu dia melakukan pembunuhan itu." "Bagaimana dengan bunga putihnja Lee In" Kenapa itu bisa berada di dalam kamar terali dari patung- patung itu?" "Bunga itu bukan bunganja Lee In.
Bunga jang dipakai di rambut sedikitnja mesti terkena minjak atau pomade.
Pula itulah bunga jang belum pernah dipakai.
Laginja kalau bunga itu djatuh dari kepalanja, djatuhnja tidak nanti di kolong medja.
Maka terang sudah, Lee In tidak pernah masuk ke dalam kamar itu, lebih-lebih tidak sampaikan masuk ke dalam terali.
Si pendjahat melakukan pentjuriannja dari luar terali dan ia telah melemparkan bunganja, jang sudah disediakan, untuk memfitnah." Memangnja Tjie An heran pendjahat dapat masuk ke dalam terali, jang pintunja dikuntji dengan kuntji rahasia, jang tjuma dapat dibuka Yoe Tek sendiri, bahkan ketika Yoe Tek hendak membukanja, ia sampai diminta mengundurkan diri dulu, maka sekarang, tepat pendapat In Hong ini.
Djadinja nona ini seperti telah membantu ia menerka teka-teki itu.
"Hanjalah," dia masih menanja, "djikalau orang tidak masuk ke dalam terali, bagaimana orang dapat mentjuri ketiga patung itu?" "Tak usahlah si pendjahat masuk ke dalam terali itu.
Seekor andjing ketjil dapat membantu madjikannja memasukinja dan mentjurinja, setiap kalinja andjing itu menggigit sebuah patung, dengan tiga kali gigit sadja selesailah sudah tugasnja." "Tapi di lantai tak kedapatan tapak kaki andjing..............." "Tapak-tapak persegi dan bundar itu jalah tapaknja andjing itu.
Madjikan si andjing telah membungkus kaki andjingnja, dengan begitu di sana djadi tidak terdapat tapaknja." "Bulu halus itu bukan bulu benang wol, itulah bulunja si andjing ketjil.
Djikalau tuan memeriksa bulu itu dengan seksama dan mentjoba mentjium membauinja, pasti akan terasa bulu itu, ada sedikit bau andjingnja." "Djikalau demikian, bukankah Yo Lee In dapat dibantu andjing ketjilnja mentjuri patung-patung itu?" In Hong menggeleng kepala.
"Bulu itu tampaknja putih, tetapi djikalau telah diperiksa teliti, njata itu ada berwarna kuning muda jang samar sekali.
Hanjalah perbedaan itu sangat sukar dilihatnja." "Djadi maksud nona, andjing pentjuri itu berbulu semu kuning muda?" "Benar.
Djikalau tuan menganggap dugaanku ini tidak tepat dan tuan tetap mengusahakan ditangkapnja Yo Lee In, maka kau akan berdjalan bertentangan denganku!" berkata si nona tandas.
Detektip To bersuara sangat perlahan.
Ketika itu oto, jang dikendarai oleh seorang sersi dalam pakaian preman, menudju ke Hungjao Road.
"Apakah kau hendak mengantarkan aku pulang?" In Hong tanja sopir itu.
"Terima kasih I Aku masih ingin pergi ke lain tempat..............." Nona ini tidak meminta untuk kendaraan itu dihentikan, supaja ia dapat turun, hanja ketika ia membuka pintu, tubuhnja segera melesat keluar, gerakannja bagaikan burung walet terbang melajang, lintjah sekali, ia tiba di djalan besar, kakinja mengindjak tetap.
Ia segera ditelad Kat Po, jang masih sempat menggapai kepada detektip To, hingga Tjie An dan sersinja mendjadi kagum sekali.
Dengan naik kereta roda tiga, In Hong berdua kembali ke rumah Sie Tjiang.
Mereka disambut pemuda tampan itu di ruang tempat duduk-duduk.
"Tuan Eng," berkata In Hong, "bukankah kau masih ingat bahwa Lee In pernah membilangi Siauw Lee jang Siauw Lee masih mempunjai seorang paman, karena mana Lee In sudah digaplok Yoe Tek" Tahukah kau apa artinja itu?" Sie Tjiang heran.
"Kenapa kau ketahui hal itu, nona?" tanjanja.
"Di dalam buku tjatatannja Lee In, hal itu ada ditjatat." "Yoe Tek itu penggemar paras elok," berkata Sie Tjiang, menerangkan.
"Pada sepuluh tahun lebih jang sudah, dia telah berhasil memintjuk seorang budjangnja jang muda bernama Tjian Kiauw Kiauw.
Dari perhubungan mereka itu telah terlahir seorang anak laki-laki.
Lama-lama, datanglah bosannja Yoe Tek.
Dia menganggapnja seorang budjang jalah seorang rendah, maka ia usir budjangnja itu berikut anaknja.
Ia tjuma memberikan sedjumlah uang kepada budjang itu.
Anak itu apamau beraut muka mirip ajahnja.
Kemudian lagi Tjian Kiauw Kiauw tidak mau mengerti, ia mentjoba meminta pertolongan pengadilan.
Pengaduan itu terdjadi beberapa kali.
Yoe Tek menggunai pengaruh uangnja, ia membuat dakwaan bujar tanpa bekas-bekasnja.
Sampai sekarang ini sudah delapan atau sembilan tahun, urusan itu sirap.
Budjang itu serta anaknja setahu telah pergi ke mana.
Kenapa kau menanja hal budjang itu, nona" Adakah ia hubungannja sama peristiwa pembunuhan dan pentjurian ini?" "Setiap urusan, jang bagaimana ketjil djuga, kadang- kadang ada pentingnja," mendjawab si nona, "Bahkan itu satu waktu dapat mendjadi bahan terpenting." "Perbuatannja Yoe Tek sematjam itu lumrah dan banjak sekali," Sie Tjiang bilang pula.
"Umpama jang paling belakang ini, jaitu beberapa hari sebelum dia merajakan ulangtahunnja.
Dia telah mempermainkan seorang budjang perempuannja jang muda dan tjantik nama Kho Giok Hoan, tetapi budjang itu tidak sudi diperhina, dia meronta dan berkaok-kaok.
Maka Yoe Tek tidak berhasil sama niatnja jang buruk itu.
Besoknja Kho Giok Hoan berhenti dan pulang ke kampungnja." In Hong berdiam tetapi otaknja bekerdja.
"Yoe Tek jalah seekor binatang jang berpakaian!" kata Kat Po sengit.
"Kalau begitu, dia harus dibunuh, habis perkara!" "Nona In, di manakah kau menjembunjikan Lee In dan anaknja?" Sie Tijang tanja.
Inilah soal, jang sekian lama ia hendak tanjakan si nona tetapi baru sekarang ada ketikanja.
"Aku tidak menjembunjikan Lee In," sahut In Hong.
"Kenapa begitu?" Sie Tjiang heran.
"Djikalau begitu, dia benar-benar lenjap," katanja.
Ia lantas mengasi keterangan halnja Lee In datang untuk bersembunji tetapi sekarang dia benar-benar hilang.
Ia menuturkan djuga sebabnja kenapa Lee In minggat.
Keterangan Sie Tjiang ini membenarkan terkaan In Hong bahwa Lee In tidak mentjuri dan membunuh, hanja lenjapnja njonja muda itu serta anaknja menambah kesulitan, menambah pekerdjaan.
Kemana mereka itu mesti ditjari" "Kalau begitu, kita mesti bekerdja berpisahan," kata si nona kemudian.
Sie Tjiang suka membantu, maka ia diperbantukan kepada Kat Po guna mentjari Lee In, Ibu dan anak.
In Hong sendiri hendak mentjari si pembunuh dan pentjuri.
Tetapi di saat perbuatan biadab dan kedjam hendak dilakukan, pintu terdengar terketuk.
"Setan alas! Tentu si tua-bangka datang pula!" Khoe Hong mentjatji, tetapi dengan perlahan.
"Biariah dia pun digusur ke dalam dan djadikan tubuhnja potong- potongan ketjil untuk dikasi digegarasi singa dan harimau!" "Siapa?" Siauw Long bertanja seraja dia mengintai di liang kuntji.
"Lekas buka pintu! Aku!" Suara itu njaring tetapi halus dan sedap didengarnja.
"Oh, si Giok! Lekas buka pintu!" berkata Tat Tjie.
Siauw Long pun telah melihat Tat Giok, maka ia lantas membuka pintu, mengasi si nona masuk, setelah mana, pintu segera dikuntji pula.
Tat Giok baru selesai bermain trapes, ia lantas kembali ke kamarnja, untuk menjalin pakaian biasa, jalah shanghai dress sutera putih-perak, dan dengan menghisap sigaretnja, ia lantas datang ke kantor kakaknja.
Segera ia menjapu seluruh ruang dengan matanja, asap sigaretnja dikepulkan perlahan- perlahan.
"Kamu lagi membuat apa?" tanjanja tenang.
"Kita hendak melenjapkan penghalang kita!" menjahut Khoe Hong, tangannja menundjuk Sie Tjiang.
Tat Giok melihat si pemuda tampan, jang berdiri di samping tahang dengan kedua matanja ditutup, mukanja putjat, mulutnja disumbat saputangan, hingga nampaknja dia harus dikasihani.
"Inilah rentjana sangat tolol!" kata si nona.
"Siapakah jang mendapatkan pikiran ini?" "Tolol?" tanja Tat Tjie.
"Di manakah ketololannja?" "Dengan ini tjara kamu menganggap dia terbasmi- musna, bukankah?" si nona tanja.
"Bukankah pakaiannja mendjadi bukti" Bukankah tulang- tulangnja bukti djuga" Tulang-tulangnja toh beda daripada tulang kerbau " Laginja......" "Tjukup!" Tat Tjie memotong.
"Habis, bagaimana pikiranmu?" "Aku mempunjai suatu tjara.
Tunggu sebentar, aku hendak mengambil serupa barang.
Aku akan kembali." Tat Giok berlalu, akan kembali selang lima menit, tangannja membawa sebuah botol ketjil.
Ia lantas mengambil satu gelas, jang ia isikan air dingin, separuhnja, lalu isi botol, jalah obat bubuk, ia tuang ke dalam air itu.
Ia aduk itu sampai rata. Lantas ia menghampirkan Sie Tjiang di kuping kiri siapa ia berbisik: "Tuan Eng.
djangan takut, aku akan tolong kau.
Kau buka matamu dan lihat aku.
Apakah kau masih mengenali aku?" Pikirannja Sie Tjiang sebenarnja sudah katjau.
Tidak biasa ia menghadapi kawanan manusia kedjam itu.
Meski demikian, ketika ia membuka matanja, samar- samar ia mengenali Kho Giok Hoan, budjangnja Yoe Tek.
Ia merapatkan pula matanja, untuk menanti kematiannja.
"Kau djangan salah mengerti," Tat Giok berbisik pula.
"Aku hendak menolong kau, maka kau dengarlah perkataanku.
Kau minum ini air gula, kau akan mendapatkan kefaedahannja." Sie Tjiang tidak pertjaja si tjantik bagaikan ular berbisa ini, tetapi sama-sama bakal mati, ia tidak takut, bahkan minum ratjun lebih baik daripada disembelih dan dirinja dikasi gegares binatang liar.
Maka ia mengangguk. Tat Giok mentjabut saputangan sumbatan di mulut orang, ia membawa mulut gelas ke mulut orang itu.
Dengan sekali tjegluk, Sie Tjiang minum habis "air gula" itu, jang ia duga ratjun.
Benar rasanja itu manis dan lezad.
Hanja selang beberapa menit, ia mulai batuk-batuk, itu baru mendjadi kurangan belasan menit kemudian.
"Tuan Eng, bukankah kau sekarang merasa enak?" Tat Giok tanja.
Sie Tjiang membuka mulutnja, niatnja mengedjek si nona.
Apa mau, ia tidak dapat berkata-kata, suaranja lenjap.
Ia kaget. Tahulah ia jang ia telah dikasi minum obat menghilangi suara.
Tat Giok mendapat kenjataan obatnja sudah bekerdja.
"Pergi ambil kulit oranghutan," ia menitah Khoe Hong, sedang kepada Sie Tjiang, ia kata: "Tuan Eng, maaf.
Untuk beberapa hari, sukalah kau mendjadi oranghutan....." Khoe Hong berlalu tak lama, ia sudah kembali bersama kulit oranghutan itu, jang terbuat bagus sekali, kalau dipakaikan kepada tubuh orang, sukar orang mengenali kepalsuannja.
Ka Ka Roon Circus mempunjai sembilanbelas ekor oranghutan, belum lama, jang seekor mati.
Kho Tat Tjie tidak lantas memendam bangke binatang itu, hanja ia menitahkan orang mengeset baik-baik kulitnja, untuk didjemur dan disimpan.
Tat Giok ingat kulit binatang itu, maka ia menggunai akalnja ini guna menjembunjikan Sie Tjiang.........
"Khoe San, Khoe Hong," kata si nona kemudian, "kamu bawa dia ke kandang oranghutan, untuk mentjampurnja dengan jang lain-lain, asal kurungannja dipisahkan tjukup djauh satu dari lain.
Aku telah berikan ia obat gagu, jang bertahan untuk satu bulan, maka selama itu, dia tidak bakal dapat bitjara dan tidak akan mengasi dengar suara apa djuga.
Nanti, selagi berlajar ke Lamyang, di tengah djalan kita lemparkan dia ke laut! Bukankah itu berarti lenjap semua bekas-bekasnja?" Semua orang memudji ini akal, jang dianggap sempurna.
Khoe San dan Khoe Hong lantas bekerdja, menuntun Sie Tjiang ke kandang oranghutan.
Ketika itu, pertundjukan masih berdjalan, tinggal beberapa atjara lagi.
Maka djuga Hok Hong dan semua anggauta lainnja dari circus itu tidak ketahui perbuatannja rombongan Tat Tjie ini.
* In Hong dan Kat Po bekerdja sungguh-sungguh untuk memetjahkan perkara jang gelap itu.
Pagi itu mereka meninggalkan rumah mereka, pergi ke pelbagai tempat, guna membuat penjelidikan, guna mentjari endusan.
Achirnja mereka pulang dengan tangan kosong.
Lee In dan anaknja tak dapat ditjari.
Lohornja, kira djam 4.00, di tengah djalan mereka bertemu sama Detektip To.
Detektip itu mengundang mereka ke sebuah kedai kopi, untuk memasang omong.
Terhadap In Hong, si nona tjantik, gagah dan pintar, pikirannja Tjie An bertentangan sendirinja.
Dia sangat penasaran dan membentji, dia pun sangat menjintainja " menjintai sendirian.
Hampir tak hentinja dia memikirkan si nona.
Dia menjukai In Hong bukan tjuma disebabkan tjantik-manisnja, hanja kegagahannja, ketjerdasannja dan kelintjahannja.
Dia hanja mendongkol dan membentji kapan datang saatnja si nona mengadjar adat kepadanja sebagai akibat sepak-terdjangnja djuga.........
"Nona in, Nona Kat," ia tanja, "apakah kamu telah mendapat endusan di mana bersembunjinja si pentjuri merangkap pembunuh itu?" "Tidak," menjahut si nona menggeleng kepala.
"Kau sendiri, apakah kau telah berhasil menangkap Lee in?" "Belum," sahut Tjie An, jang pun menggojang kepala.
"Yoe Tek sebaliknja memberi tempo satu bulan untuk aku membekuk Lee In dan anaknja serta mendapatkan pulang ketiga mustikanja itu, djikalau tidak........." "Djikalau tidak.........
bagaimana ?" "Djikalau tidak.........
terpaksa aku mesti menjerahkan pangkatku ini kepada orang lain........." "Relakah kau menjerahkannja?" tanja In Hong dingin.
"Tentu tidak! tetapi Yoe Tek pasti menghendaki itu....." "Tidak mendjadi kepala detektip berarti bebas merdeka!" Kat Po tjampur bitjara.
"Dengan begitu kau djadi dapat mengurangi beberapa perkara penasaran, hingga orang tak usah meringkuk di dalam terali besi tanpa bersalahn-dosa!" Tawar suaranja nona ini, jang tak suka bitjara memakai tedeng-aling.
"Menurut rasa hatiku, penasaran ketjil mungkin ada, penasaran besar tidak sama sekali....." kata Tjie An.
"Di dalam banjak hal, kamu sering membantu aku.
Umpama dalam perkara Yo Lee In ini, aku sekarang pertjaja dia tidak bersalah.
Menurut pemeriksaan ahli, bulu putih itu benar bulu warna kuning muda.
Maka sekarang aku lagi mentjari andjing itu.
Asal andjing itu kedapatan, si pendjahatnja mesti kedapatan djuga....." "Kalau begitu, djalanmu ini tepat.
Semoga kau berhasil! kata In Hong.
"Tadi aku naik oto lewat di djalan besar ini," berkata pula Tjie An, "aku melihat satu anak ketjil bersama seekor andjing ketjil bulu kuning lagi bermain di gang ketjil sana.
Botjah itu melemparkan sehelai karet kulit, andjing itu mengubernja dan menggigit pulang.
Andjing itu bisa menggigit karet, dia tentu bisa menggigit patung.
Ketika aku menghentikan otoku dan pergi ke gang itu, botjah dan andjing itu telah pergi entah ke mana.
Maka itu sekarang aku lagi menantikan di sini, menanti keluarnja pula mereka itu....." Baru Tjie An menutup mulutnja atau matanja melihat seekor andjing ketjil warna kuning muda, dengan mulut menggigit kulit karet, lari lewat di depan kedai.
"Nah, itulah andjing itu!" ia berseru seraja berlompat bangun, untuk terus mengedjar.
Kat Po dan In Hong tidak turut memburu.
Djustru itu, nona sembrono ini nampak bersemangat sekali.
"Aku pun memperoleh endusan!" katanja keras.
"Kau lihat, itulah si orang mabuk dengan siapa aku bertempur di tengah djalan!" Ia menundjuk kepada iklan dalam surat kabar jang tertindih katja.
"Kau tidak melihat keliru?" tanja In Hong.
"Tidak!" Kat Po pastikan.
"Kalau begitu, dia pasti mengenali kau.
Mari kita menjamar dulu!" Mereka membajar uang kopi, terus mereka masuk ke kamar peranti mentjutji muka.
Di situ mereka lantas berdandan, memakai hidung palsu, sedang muka mereka dipulas, akan mengubah warna kulit muka mereka.
Tatkala kedua nona ini sampai di tempat circus, pertundjukan sudah mendekati achirnja.
Mereka berdiri di samping panggung, mata mereka melihat ke empat pendjuru.
Di dalam gelanggang, dua anak muda serta seorang botjah umur tiga atau empatbelas tahun lagi main berlompatan pergi-pulang melewati gelang api.
"Lihat itu orang di bawah panggung musik," kata Kat Po seraja tangannja menundjuk, "dialah jang kemarin bertempur sama aku! Dialah si pemabukan jang hendak melempar-lemparkan Sie Tjiang sampai mati." Kat Po bitjara dalam bahasa rahasianja, jalah sambil bersuit.
Kalau orang lain mendengarnja, mereka menjangka itulah suara anak burung lagi bernjanji.........
"Ia, aku telah melihat," menjahut In Hong, dengan bahasa rahasia djuga.
"Di samping dia itu, aku menemui seorang lain lagi.
Aku maksudkan itu botjah jang main gelang api.
Tahukah kau, siapa botjah itu?" Kat Po mengawasi tadjam kepada botjah itu, mata siapa rada djuling, hidungnja bengkung, kedua tulang pipinja nondjol, dan kedua bibirnja tipis, sedang raut mukanja persegi pandjang, lantjip ke bawahnja.
"Sungguh mirip!" serunja.
"Mirip siapakah?" In Hong tegaskan.
"Ketika itu hari kita turut Detektip To pergi ke rumah keluarga Seng, meski waktunja pemeriksaan singkat sekali, aku toh telah mendapat kesan jang dalam sekali," djawab Kat Po.
"Botjah ini mirip Seng Yoe Tek!" "Benar!" Nona In kata.
"Tidak salah lagi, botjah ini jalah botjahnja Yoe Tek jang belasan tahun jang lalu dia memperolehnja dari Tjian Kiauw Kiauw.
Ibu dan anak itu disia-siakan Yoe Tek.
mereka pergi entah ke mana setelah gagalnja pengaduan mereka, rupanja mereka mendapat pekerdjaan di dalam circus ini dan turut merantau, sampai sekarang mereka kembali ke mari.
Mungkin rombongan circus ini telah mengetahui hal-ichwal-nja ini ibu dan anak, lantas mereka memikir suatu usaha guna menjingkirkan achliwarisnja Seng Yoe Tek.
Orang kuat itu pasti turut di dalam komplotan ini.
Demikianlah, pertama-tama mereka mentjoba mentjuri ketiga patung malaikat.
Dengan djalan ini, mereka dapat memfitnah Lee In.
Bukankah Yoe Tek sangat membentji menantunja itu" Hanja di luar dugaan, pentjurian patung itu berakibat kebinasaannja Nona Pek Hoa, sebab si nona mempergokinja.
Si pentjuri mestinja mengenal baik gedung Yoe Tek.
Mungkin dialah si budjang Kho Giok Hoan, jang telah berhenti dan pulang ke kampungnja, katanja disebabkan Yoe Tek hendak mempermainkan padanja.
Siapa tahu dia jang sengadja memantjing Yoe Tek hingga Yoe Tek mendjadi tergila-gila kepadanja" Dengan berhenti setjara demikian, dia bebas dari sangkaan.
Ketika dia dipergoki Pek Hoa, mungkin dia ingat Lee In, maka sekalian sadja dia menggunai akal.
Dia lari ke kamar Lee In, di situ Pek Hoa dibunuh, lalu pisaunja disusut ke badjunja Lee In, guna memindahkan kedosaan atas diri njonja muda jang lemah itu.
Dengan Lee In terusir, usaha mereka hampir berhasil.
Achli waris Yoe Tek tinggal Sie Tjiang seorang, maka Sie Tjiang pun hendak disingkirkan.
Demikian Sie Tjiang dipegat di tengah djalan.
Kalau Sie Tjiang lenjap, maka Kiauw Kiauw dan anaknja jalah achliwaris satu-satunja.
Aku mau pertjaja, Kiauw Kiauw telah diadjak bekerdja sama, hanja kalau nanti warisan telah berpindah tangan, mereka ibu dan anak akan dapat bagian sedikit sekali.
Atau lagi, ada kemungkinan Kiauw Kiauw dan anaknja tjuma dipaksa didjadikan alat kawanan pendjahat itu.........
Sajang kita belum pernah melihat romannja Kho Giok Hoan si budjang perempuan, tetapi mungkin dia pun salah satu anggauta komedi kuda ini.
Aku harap kita nanti menemukan dia di sini...." Kat Po tidak dapat berpikir banjak, ia tjotjok sama pandangan In Hong itu.
"Sekarang marilah kita bekuk dulu si orang kuat, untuk korek keterangan dari mulutnja!" ia berkata.
"Asal dia membuka rahasia, pastilah semua-mua akan mendjadi terang! Tunggu, aku akan bekuk dia!" "Hus, djangan sembrono!" In Hong mentjegah.
"Dugaanku itu masih dugaan belaka, belum ada buktinja sebagai pegangan, djikalau mereka menjangkal, kita bisa bikin apa" Bahkan mereka bisa mendakwa kita memfitnah mereka." Nona ini berlaku sabar sekali.
"Maka itu, kita mesti sabar, kita mesti mentjari buktinja jang kuat.
Di dalam ini hal, kita mesti terus bekerdja sama Sie Tjiang.
Dia bisa mendjadi saksi kuat jang menuduh si orang kuat hendak membinasakannja.
Kita pula mesti mentjari Kho Giok Hoan.
Umpama kata dia benar ada di dalam circus, dia pasti akan memakai nama palsu.
Dari itu, djuga mengenai Giok Hoan, kita mesti mengandal kepada Sie Tjiang.
Kita mesti bertindak tepat, agar djangan rumput terkeprak hingga ular kaget dan kabur........." "Hari ini hari terachir, mereka mau berlajar ke Lamyang," Kat Po peringatkan.
"Meskipun hari ini hari terachir, pasti mereka memerlukan tempo lagi beberapa hari untuk berangkat.
Besok kita bekerdja bersama Sie Tjiang, untuk kita masih ada tempo." Tidak lama selesailah sudah pertundjukan, musik mengasi dengar lagu penutup, untuk mengasi selamat djalan kepada sekalian penonton, jang mulai berlerot keluar, hingga keadaan mendjadi ramai sekali.
Tapi keramaian itu tidak berdjalan lama, atau kalangan circus itu lantas mendjadi sepi.
"Mari kita pergi, supaja tidak membangunkan ketjurigaan," In Hong mengadjak.
Ketika mereka tiba di rumah mereka, di Hungjao Road, mereka mendapatkan Nona Tjoe Lee Hong, sahabatnja Hiang Kat, berada sendirian, romannja bingung dan ketakutan, Hiang Kat sendiri tidak nampak.
"Tjelaka!" kata Nona Tjoe itu begitu ia melihat datangnja kedua nona.
"Tjelaka! Mereka.........
mereka....." "Ada terdjadi apakah?" Kat Po menanja tjepat.
"Mereka...... Siapakah mereka" Mana Hiang Kat" Lekas bilang! Lekas!" Nona Tjoe mendjadi semakin bingung, sampai ia tergugu terus.
"Tenang," kata In Hong, jang sendirinja berlaku tenang luar biasa.
"Dia .........
Patung Hok Lok Sioe Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia ........." kata pula si nona.
"Dia apa" Lekas!" Kat Po mendesak pula.
"In Hong, kenapa kau diam sadja!"
"Ingatlah, ketenangan mengalahkan segala apa!" In Hong memberi ingat.
"Nona Tjoe, berlakulah tenang dan bitjaralah dengan sabar...." Nona itu mentjoba menenteramkan diri.
"Mereka ......... mereka membawa Hiang Kat lari ........." katanja achirnja.
Kat Po kaget sekali. "Dia dibawa ke mana?" In Hong tanja, sabar.
"Dati rumah aku datang ke mari mentjari Hiang Kat," menerangkan si nona terlebih djauh.
"Aku naik kereta roda tiga.
Selagi aku mendekati rumah ini enam atau tudjuhpuluh kaki, aku melihat mereka lagi memaksa membawa Hiang Kat berlalu, dia dinaiki ke atas sebuah oto jang dihentikan di tepi djalan, lantas oto dikasi lari keras.
Aku mengenali orang jang mendjadi kepala di antara mereka itu........." "Siapakah dia?" "Dialah kasir dari Cafe Lo Lo jang matanja bersorot bengis." "Ah, dialah salah seorang jang dulu hari lolos dari tangan polisi," kata In Hong.
"Tahukah kau nomornja oto?" "Aku telah tjatat itu," menjahut Nona Tjoe.
Ia merogo sakunja, mengeluarkan buku Notes.
"Inilah dia. Nomor 12881." Kedjadian ini sangat memusingkan dan menguatirkan In Hong dan Kat Po.
Tiga hari dan tiga malam sudah mereka melakukan penjelidikan, baru mereka berhasil.
Nomor oto itu mendjadi penundjuk djalan untuk mereka.
Hiang Kat dapat ditolong dari telaga Tai Hu dari tangan kawanan pendjahat, dengan si pendjahat dapat dibekuk sekalian.
Karena ini, di hari ke-empat pagi barulah Hiang Kat dapat menjampaikan kepada In Hong dan Kat Po pesan tilpon dari Sie Tjiang.
"Tjelaka!" Kat Po berteriak.
"Pasti Sie Tjiang tjelaka!" "Tjoba bitjara tilpon ke rumahnja," In Hong kata.
Kat Po menurut. Ia disambut budjang perempuan, jang memberitahukan sudah empat hari Sie Tjiang tidak pulang, bahwa mereka lagi sibuk mentjarinja.
Maka terang sudah, Sie tjiang dalam antjaman bahaja.
In Hong berlaku sebat. Dengan kembali merubah hidung dan warna kulit muka mereka, dengan tjepat mereka pergi ke tempat komedi kuda.
Kalau pada empat hari jang lampau tegalan itu ramai luar biasa, sekarang sepinja luar biasa djuga, tinggal lapangan kosong serta pagar bambu jang mengelilingnja.
Di dalamnja tinggal sisa-sisa pembongkaran gubuk, di antaranja sebuah medja dan beberapa kursi kaju di mana ada berduduk beberapa pegawai atau anggauta-anggauta circus itu, di antaranja dua orang nona lagi melatih ilmu djalan di atas tambang.
Kira setengah djam sebelum In Hong dan Kat Po tiba di tegalan itu, di sana ada kedapatan seorang wanita muda umur duapuluh lebih jang tangannja menuntun seorang nona tjilik usia lima atau enam tahun.
Dan si nona tjilik itu mengempo seekor andjing pekingese bulu putih.
Setjara diam-diam mereka memasuki pagar, agaknja mereka takut terlihat orang.
Merekalah Lee In dan Siauw Lee ibu dan anak.
Pagi itu Lee In dan anaknja bersembunji di peti kosong di rumah Sie Tjiang, andjing itu ngelojor seorang diri, tetapi dasar andjing, dia berhasil mentjari madjikannja di tempat bersembunji itu.
Lee In bersembunji dengan hatinja berdebaran.
Ia takut nanti kepergok. Tempat mengumpat itu sangat tidak tjotjok.
Dari sela-sela renggang, kebetulan ia melihat tembok pekarangan tetangga sebelah kanan, di mana ada tangga besinja.
"Kenapa aku tidak mau menjingikir ke sebelah" ........." pikirnja.
Dalam takut dan bingung, ia keluar dari dalam peti kosong itu, bersama anaknja ia menjingkir ke tembok dan menaiki tangga itu, akan melintasi tembok pekarangan itu, tiba di tempat pendjemuran djuga.
Dari sini mereka turun di tangga.
Mereka tiba di sebuah gang ketjil dan sunji tanpa ada jang lihat.
Mereka masuk ke dalam gang.
Di situ mereka menjewa sebuah kereta roda tiga.
Selagi menjingkir itu, mereka masih melihat oto polisi di depan rumah Sie Tjiang, oto mana tidak ada penumpangnja.
Lee In terus bingung. Ia tidak mempunjai tempat tudjuan.
Maka djuga, selagi duduk didalam kereta, otaknja bekerdja keras.
Kemudian ia ingat, di Petain Road, ada tinggal bekas budjangnja.
Ia pikir, mungkin ia dapat menumpang di sana.
Maka ia lantas menudju ke djalan itu.
Untuk beberapa hari, Lee In menumpang di rumah bekas budjang itu, jang ada seorang njonja tua jang baik hati.
Selama itu, tidak berani ia lantjang berhubungan sama Sie Tjiang.
Tidak djauh dari rumah si budjang ada tegalan di mana circus membuka pertundjukan.
Lee In melihat pengumuman circus mentjari orang.
Ia lantas mengadjukan lamaran.
Ia tahu, tidak dapat ia menumpang terus pada bekas budjangnja itu.
Ia pertjaja, dengan merantau ke Lamyang, pulau-pulau selatan, ia akan bebas dari tangan polisi.
Ia mendaftarkan diri, ia memakai nama palsu.
Dan itu pagi jalah hari jang ia bakal ditjoba.
Setibanja di dalam, ia menjerahkan tjatatan daftarnja.
Jang menjambuti ia jalah Kho Tat Tjie si direktur.
"Andjing jang dapat menghitung?" tanja Tat Tjie, suaranja djumawa.
"Apakah artinja itu?" "Artinja jalah andjing ini mengerti hitungan," kata Lee In, jang terus mengasi bukti, dengan menjuruh andjingnja memberi pertundjukan.
Siauw Lee menepuk tangan satu kali, andjingnja berbunji satu kali.
Selandjutnja, berapa kali Siauw Lee menepuk tangan, andjingnja dapat menggonggong dengan tak salah lagi.
"Inilah tidak menarik!" kata Tat Tjie.
"Mana bisa pertundjukan sematjam ini mendjadi atjara pertundjukan jang dapat menarik hati penonton" Pergilah, kamu mensia-siakan tempoku sadja!........." "Kami tidak menginginkan gadji," kata Lee In.
"Kasihlah kami ketika........." Hok Hong ada bersama Tat Tjie.
Dia berbisik: "Pertundjukan ini boleh djuga.
Ini andjing pun tjerdik, dia dapat diadjar terlebih djauh." Selagi mereka bitjara, Siauw Long, jang mendampingi Tat Tjie, melihat Tat Giok menggape terhadapnja.
Nona itu berada di luar pagar.
Ia lari menghampirkan. "Wanita itu jalah Yo Lee In dan anaknja" kata Tat Giok.
"Heran polisi belum berhasil mentjari dia.
Tahan mereka, nanti kita jang mengurusnja! Pergi kasi tahu pada tuan direktur." Tat Giok datang dari pondokan untuk turut melihat tjalon-tjalon, baru sampai di luar pagar, ia sudah dengar gonggongan andjing pekingese itu serta djuga suaranja Lee In dan Siauw Lee, maka ia lantas mengenali mereka.
Ia mendjadi girang sekali.
Lantas di otaknja berkelebat akal bulusnja.
Maka ia panggil Siauw Long, untuk memberi kisikan pada Tat Tjie.
"Baiklah!" Tat Tjie berkata, setelah Siauw Long berbisik padanja.
"Karena kamu tidak meminta gadji, baik, aku akan mentjoba.
Aku mau lihat, pertundjukan andjingmu menarik perhatian penonton atau tidak........." "Bagus!" kata Hok Hong.
Ia suka menerima si njonja dan anaknja hanja ia tidak berkuasa.
"Lebih dulu kami mau pergi ke Kwangtung buat lamanja satu bulan, kemudian baru terus ke Lamyang, aku harap pertundjukan kamu nanti digemari penonton, nanti kami memberi gadji kepada kamu." Tat Tjie mendelik kepada Hok Hong.
Dalam hal membajar gadji, ia jang paling pandai menguranginja.
"Khoe San, Khoe Hong," ia memerintah, "bahwa mereka ke pondokan.
Djangan perlakukan sembarangan pada mereka!" Titah itu mengandung titah rahasia.
"Djangan perlakukan sembarangan" berarti, ibu dan anak itu mesti diawasi agar mereka tidak kabur.........
Lee In mengadjak anaknja mengikuti dua orang itu.
Ia tidak tahu apa-apa, ia tidak bertjuriga.
Seberlalunja mereka, Tat Giok muntjul.
Ia mengangguk pada kakaknja, tanda bahwa di antara mereka ada saling pengertian.
Pengudjian kepada tjalon-tjalon dilakukan terus, ada jang diterima, ada jang ditolak.
Paling achir jalah dua tjalon wanita, untuk pertundjukan main tambang.
In Hong melihat gelagat rombongan circus benar bakal berangkat pindah.
Kalau mereka sudah mengangkat kaki, sulit untuk menjelidiki mereka.
Kat Po pun heran. "In Hong, bagaimana?" ia tanja.
"Tidak ada lain djalan ketjuali kita masuk bekerdja pada mereka!" kata In Hong, jang mengambil putusan tanpa berpikir pandjang lagi.
Kepandaian kedua nona itu biasa sadja, Tat Tjie tawar hatinja.
Dia tak sabaran. "Kepandaian sematjam ini tjuma dapat ditontonkan di depan kuil Seng Hong Bio atau di tegalan kosong!" katanja mengedjek.
"Mana bisa kamu turut dalam sebuah circus besar" Nah, lekas turun, kamu tjuma merusak pandanganku sadja!" Kedua nona itu merah mukanja, hampir mereka menangis.
Dengan ajal-ajalan mereka bertindak ke udjung tambang, ke tihang, untuk merosot turun.
"Lao Kho," kata Hok Hong, "kepandaian mereka memang tidak berarti, kita tidak dapat memakainja, meski begitu, tak usah kita menghinanja........." Sebagai orang djudjur, pemilik ini berkasihan kepada dua nona itu.
Api Di Bukit Menoreh 13 Aku Mau Saja Bilang Cinta, Tapi Setelah Itu Aku Harus Membunuhmu I"d Tell You I Love You But Then I"d Have To Kill You Gallagher Girls 1 Karya Ally Carter Live To Love 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama