Ceritasilat Novel Online

Si Walet Hitam 5

Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


wajahnya menjadi merah. Apalagi ketika tanpa banyak cakap Bun Gai lalu menggunakan pedangnya untuk
memutuskan semua tali yang mengikat Bwee Hwa kemudian menepuk pundak mereka membebaskan
pengaruh totokan, gadis ini berbisik.
"Terima kasih!"
Akan tetapi setelah melepaskan mereka, tiba-tiba Bun Gai berseru nyaring sekali. "Bangsat perempuan rendah!
Kalian hendak lari ke mana?" dan ia lalu menyerang Mei Ling dengan pedang di tangan kiri, ia melempar dua
batang pedang gadis itu yang tadi telah diambilnya dari ruang dalam di mana pedang kedua orang gadis itu
disimpan! Tentu saja Bwee Hwa menjadi kaget dan heran dan menyangka bahwa orang yang menolongnya ini tentu
seorang gila! Akan tetapi, sambil menangkis serangan Bun Gai dengan pedang di tangan kanan dan mengusap
matanya yang tiba-tiba terasa pedas dan mengalirkan air mata karena terharu, Mei Ling lalu berkata, "Adik
Bwee serang dia!" Biarpun ragu-ragu karena diharuskan menyerang seorang yang telah menolongnya, akan tetapi karena selama
dalam tahanan dan bicara serta mengenal Mei Ling sebagai seorang wanita gagah yang lebih tinggi
kepandaiannya dari dia sendiri, juga lebih tua usianya, maka Bwee Hwa segera mentaati perintah ini dan
mengeroyok Bun Gai! Bun Gai melawan mereka dengan pedangnya yang diputar hebat sekali dan tiada hentinya pemuda ini
berteriak-teriak, "Penjahat perempuan! Kali ini kalian pasti mampus di tangan Yap Bun Gai!"
Kemudian, dengan suara perlahan sekali ia berbisik kepada Mei Ling. "Lekas melarikan diri ke atas genteng dan
pada saat aku mengejar, jangan ragu-ragu kau lukai aku!"
Mendengar ini, dengan terharu sekali Mei Ling mengangguk dan karena ia maklum bahwa di situ terdapat Bong
Cu Sianjin, Hek Li Suthai dan lain-lain yang amat lihai, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu berseru. "Adik Bwee
mari kita lari!" Mereka lalu melompat keluar dan terus naik ke atas genteng!
"Penjahat-penjahat perempuan, hendak lari ke mana?" Bun Gai mengejar dan juga melompat naik ke atas
genteng! Akan tetapi, baru saja ia naik, Mei Ling sudah mengirim tusukan ke arah dadanya dan ketika melihat betapa
pemuda ini sama sekali tidak menangkis, Mei Ling terkejut sekali dan cepat miringkan pedangnya ke atas
hingga tidak menusuk ke dada, akan tetapi meleset dan melukai pundak Bun Gai! Darah mengalir dan Bun Gai
berteriak keras. "Aduh!" tubuhnya lalu terguling ke bawah!
Pada saat itu, Bong Cu Sianjin sedang mendesak Kong Liang dengan hebat sekali. Mendengar teriak Bun Gai
dan melihat betapa tubuh muridnya itu terguling, kakek buntung ini terkejut dan cepat melompat ke bawah.
Melihat betapa muridnya jatuh sambil berdiri dan tidak menderita luka berat, ia marah sekali kepada lawanlawannya dan berseru. "Kalian lari ke mana?" Ia hendak melompat mengejar, akan tetapi Bun Gai cepat mencegah.
"Suhu biarlah mereka itu lari. Tiga bulan lagi kita membuat pembalasan di Hoa-mo-san!"
Bong Cu Sianjin teringat dan ia menahan kakinya.
Sementara itu Mei Ling cepat berseru kepada Kong Liang. "Koko, lekas lari!"
Kong Liang merasa heran dan girang sekali melihat bahwa adiknya dan Bwee Hwa telah terbebas dari ikatan,
maka tanpa membuang waktu lagi ia lalu ikut melarikan diri.
Tiba-tiba Hek Li Suthai, Tik Kong, dan Bi Mo-li yang melihat mereka melarikan diri, lalu mengejar. Hek Li Suthai
mengayunkan tangannya berkali-kali dan senjata rahasia yang berwarna hitam dan halus sekali bentuknya
menyambar ke arah tiga orang itu.
"Awas jarum rahasia!" seru Kong Liang sambil membalikkan tubuh dan memutar-mutarkan pedangnya untuk
melindungi kedua orang gadis itu.
Beberapa batang jarum yang dilepas oleh Hek Li Suthai terpukul oleh pedang itu sedangkan Mei Ling dan Bwee
Hwa berlari terus, akan tetapi ketika Kong Liang hendak menyusul kedua kawannya, tiba-tiba ia merasa
betapa pundak kirinya sakit sekali. Ia tahu bahwa ia telah terkena senjata rahasia lawan, maka ia lalu cepat
menyusul adiknya dan berlari cepat.
Malam itu gelap sekali hingga memudahkan ketiga orang muda itu untuk melarikan diri dan sebentar saja Hek
Li Suthai dan kawan-kawannya kehilangan bayangan mereka. Dengan gemas sekali Hek Li Suthai dan kawankawannya lalu kembali ke kuil.
Ternyata bahwa tadi ketika tidak melihat musuh, Hek Li Suthai, muridnya dan Tik Kong, lalu memadamkan api
yang membakar kuil dan setelah api padam, mereka melihat bayangan Kong Liang dan dua orang gadis itu
melarikan diri. Sedangkan Bong Cu Sianjin setelah dicegah oleh Bun Gai untuk mengejar, lalu minta keterangan dari anak
muda ini bagaimana tawanan mereka bisa lari.
"Teecu melihat bayangan seorang laki laki tua yang tiba-tiba datang menyerang dan gerakannya demikian
cepatnya hingga teecu tidak melihat jelas mukanya. Kemudian orang itu melarikan diri ke dalam kamar
tahanan dan teecu melihat bahwa kedua nona yang tertawan itu telah terlepas. Teecu menyerang akan tetapi
laki laki tua itu dengan hebat telah menyambut serangan teecu dan ternyata bahwa ilmu kepandaiannya hebat
sekali, mem buat teecu tidak berdaya. Kemudian orang itu melarikan diri dan melihat bahwa kedua nona itu
juga melarikan diri ke atas genteng, teecu lalu mengejar akan tetapi sial teecu karena mendapat luka di
pundak akibat kena pedang salah seorang diantara, penjahat-penjahat perempuan itu!"
Di dalam hati Bong Cu merasa heran dan kurang percaya kepada muridnya ini, akan tetapi ia tidak berkata
sesuatupun. Ketika Hek Li Suthai mendengar cerita ini, to-kouw tua inipun menyatakan keheranannya.
"Kalau memang musuh yang lihai datang, mengapa dia tidak muncul dan memperlihatkan diri" Siapakah lakilaki lihai itu, apakah barangkali dia Pat-chiu Koai-hiap, guru Kim-gan-eng itu?"
Sambil berkata demikian, Hek Li Suthai memandang tajam kepada Bun Gai, dan ia menaruh hati curiga sekali
kepada adik seperguruan ini, akan tetapi oleh karena ia takut menuduh di depan Bong Cu Sianjin, juga oleh
karena ia sendiri merasa segan kepada Bun Gai yang diketahui memiliki kepandaian tinggi, maka daripada itu
ia juga diam saja. Pembicaraan mereka itu dilakukan di luar kuil dan dengan suara keras. Tiba-tiba dari tempat gelap terdengar
suara orang laki-laki tertawa dan disusul dengan ucapan mengejek.
"Bong Cu, aku tidak mempunyai banyak waktu untuk bertemu dengan kau. Nanti saja di Hoa-mo-san kita
bertemu!" Semua orang terkejut dan yang lebih heran lagi adalah Bun Gai. Mereka cepat melompat ke arah suara, akan
tetapi karena malam itu gelap sekali, mereka hanya mendengar suara kaki orang cepat berlari, akan tetapi
sama sekali tidak melihat orangnya!
Suara ini otomatis melenyapkan keraguan di hati Bong Cu dan Hek Li Suthai dan mereka kini percaya penuh
akan keterangan Bun Gai tadi bahwa benar-benar ada seorang laki-laki pihak lawan yang lihai telah datang
menolong tawanan-tawanan itu! Sedangkan di dalam hatinya, Bun Gai menduga-duga dengan penuh
keheranan. Laki-laki yang diceritakannya tadi hanyalah karangan kosong belaka untuk memperkuat
kedudukannya agar jangan sampai menimbulkan curiga, akan tetapi, tiba-tiba saja ada seorang laki-laki datang
memperkuat cerita bohongnya!
Baik Bun Gai sendiri, maupun yang lain-lain itu sama sekali tidak tahu bahwa yang datang itu bukan lain ialah
Mei Ling. Gadis ini telah berhasil melarikan diri, lalu teringat kepada Bun Gai yang telah menolongnya. Ia
merasa terharu sekali, terutama kalau ia teringat betapa untuk menolongnya, pemuda itu tidak ragu-ragu untuk
menerima tusukan pedang dengan dadanya!
Pemuda itu rela berkorban jiwa untuk menolong dia! Alangkah mulia hatinya. Ia bergidik kalau teringat betapa
Bun Gai tadi sama sekali tidak menangkis tusukannya dan kalau ia tidak lekas-lekas merobah gerakan
pedangnya, tentu dada pemuda itu telah tertembus oleh pedangnya!
Dan sekarang pemuda itu tentu berada dalam bahaya karena kalau sampai diketahui oleh gurunya dan lainlain orang tentang pengkhianatannya, tentu ia akan menderita celaka! Mengingat hal ini, Mei Ling berlari
mengucurkan air mata! Dan aku?" aku melarikan dengan selamat, membiarkan dia menderita bencana karena
telah menolongku, pikirnya!
08.23. Kegelapan Mempertemukan Dua Hati
Tiba-tiba ia berkata kepada Kong Liang dan Bwee Hwa. "Kalian berangkatlah dulu, aku perlu kembali sebentar!"
Kong Liang dan Bwee Hwa terkejut dan hendak bertanya, akan tetapi Mei Ling sudah melompat dan berlari
kembali. Terpaksa mereka lalu menanti di dalam hutan.
Semenjak tadi, sebetulnya Kong Liang telah merasa payah sekali akibat luka di pundaknya yang terkena jarum
yang dilepaskan oleh Hek Li Suthai. Akan tetapi oleh karena mereka sedang melarikan diri, dia tidak mau
mengganggu kedua orang gadis itu diam-diam ia menahan lukanya dan berlari terus. Sekarang, setelah ia
berhenti berlari, luka di pundaknya terasa sakit hingga tak terasa lagi ia menjatuhkan diri sambil mengeluh dan
memegangi pundaknya. Bwee Hwa terkejut dan karena malam itu gelap sekali, ia tidak dapat melihat wajah Kong Liang. "Kau...... kau
kenapa......?" tanyanya sambil berjongkok di depan Kong Liang yang duduk menyandarkan tubuh di batang
pohon. "Pundakku...... aku terluka oleh jarum yang dilepaskan oleh Hek Li Suthai...... agaknya mengandung bisa?""
jawabnya dengan napas memburu karena ia menahan sakitnya.
Bwee Hwa merasa bingung sekali dan hatinya berdebar penuh kekhawatiran. Semenjak Kong Liang dan Mei
Ling datang menolong ketika ia tertawan oleh Bong Cu Sianjin tadi, ia merasa kagum dan tertarik sekali
kepada Kong Liang yang gagah dan tampan. Dan sekarang pemuda ini terkena jarum beracun, tentu saja ia
merasa bingung sekali. Tak terasa pula ia mengulurkan tangan dan meraba pundak orang.
"Di mana?"" Di mana yang terkena jarum?" Gerakan ini adalah terdorong oleh rasa khawatir hingga pada saat
itu ia tidak ingat akan rasa malu-malu atau kesopanan.
"Yang kiri?"" jawab Kong Liang dalam gelap, dan membantu dengan memegang tangan Bwee Hwa yang
meraba-raba pundak kanannya lalu membawa tangan yang berkulit halus itu ke atas pundak kirinya.
Bwee Hwa berlutut di dekatnya dan gadis ini dengan cekatan lalu merobek baju Kong Liang di pundak itu,
kemudian kedua tangannya meraba-raba. Benar saja, ia meraba sebatang jarum yang halus sekali menancap
di pundak pemuda itu. "Aduh!" Kong Liang berseru dengan suara tertahan ketika jari tangan Bwee Hwa menyentuh jarum.
"Hm, ini dia!" kata Bwee Hwa sambil meraba-raba jarum dan tahulah ia bahwa daging di sekitar jarum yang
menancap itu, telah membengkak dan panas sekali.
"Engko Kong Liang, kau diamlah dan jangan bergerak, aku hendak mencabut jarum ini!"
"He, kau telah tahu namaku?" tanya Kong Liang hingga di dalam gelap Bwee Hwa tersenyum.
"Aku tahu namamu dari cici Mei Ling. Sudahlah, kau diam saja aku mencabut jarum ini!" Sambil berkata
demikian, Bwee Hwa menggunakan tangan kiri menahan pundak Kong Liang dan dengan jari-jari tangan
kanan ia menjepit jarum itu lalu mencabutnya perlahan.
Gadis ini telah mendapat banyak pelajaran dari suhunya tentang segala senjata rahasia, maka dalam
melakukan pencabutan jarum ini, ia tidak berani mencabut dengan cepat, khawatir kalau-kalau jarum itu di
ujungnya mempunyai kaitan. Banyak terdapat senjata rahasia keji yang dipasangi kaitan seperti pancing
hingga kalau dicabut, kaitan itu akan mengait daging bahkan ada kaitan yang sengaja dipasang sedemikian
rupa hingga kalau senjata rahasia itu dicabut, maka kaitannya akan tertinggal di dalam daging.
Kong Liang merasa sakit sekali, karena biarpun jarum itu kecil, namun mengandung racun yang membuat ia
merasa panas dan perih pada lukanya. Pemuda ini menggigit bibirnya dan akhirnya jarum itu terlepas dari
pundaknya. Ketika meraba dengan hati-hati sekali ujung jarum itu Bwee Hwa merasa lega sekali jarum ini
tidak dipasangi kaitan. Rasa sakit membuat tubuh Kong Liang agak menggigil dan Bwee Hwa pun tahu akan hal ini, maka diam-diam
ia merasa amat kasihan kepada pemuda ini.
"Kau sudah tahu namaku, akan tetapi aku belum mengetahui namamu," kata Kong Liang hingga lagi-lagi Bwee
Hwa tersenyum dalam gelap. Di dalam menderita sakit, ternyata pemuda ini masih teringat akan soal nama
tadi. Sungguh lucu. "Nanti saja soal itu," jawabnya, "sekarang yang perlu aku harus mengeluarkan bisa dari pundakmu. Kalau
tidak, racun jarum ini akan menjalar ke dalam tubuh dan hal ini akan berbahaya sekali."
Hati Kong Liang berdebar karena baru ia teringat bahwa Hek Li Suthai terkenal sebagai ahli racun. Ia ingat akan
penuturan Ang Lian Lihiap tentang kelihaian mereka ini mempergunakan benda-benda berbisa yang berbahaya.
Maka ia lalu diam tak bergerak dan merasa khawatir juga.
"Bagaimana kau bisa melakukan hal itu?" tanyanya dengan perlahan karena sesungguhnya debar hatinya
bukan hanya karena kekhawatirannya belaka, akan tetapi sebagian besar adalah karena adanya Bwee Hwa
yang duduk demikian dekat dengannya hingga ia seakan-akan dapat mendengar detak jantung gadis itu dan
dapat merasai hawa panas yang keluar dari pernapasannya.
"Liang-ko, kau diamlah saja dan mudah-mudahan aku akan dapat mengeluarkan racun ini."
Alangkah merdunya suara ini, dan alangkah mesranya panggilan yang keluar dari mulut gadis ini. Belum pernah
Kong Liang merasa sesenang ini. Ia meramkan mata dan tiba-tiba ia berseru kesakitan karena merasa betapa
ujung pedang yang tajam ditusukkan perlahan pada daging pundaknya.
"Aduh?"" "Tahankanlah, Liang-ko. Aku perlu membuat jalan keluar bagi darah dan racun."
Kong Liang menggigit bibirnya dan menahan sakit. Karena keadaan amat gelap, maka ia tidak dapat melihat
betapa gadis itu mengeluarkan bungkusan dari kantong bajunya dan menelan tiga butir pel ke dalam
mulutnya. Bwee Hwa mengunyah pel ini, kemudian ia mendekatkan mulutnya pada pundak yang terluka itu.
  Kong Liang tiba-tiba mencium keharuman rambut Bwee Hwa yang mengusap mukanya dan ia merasa heran
sekali, juga kagum dan senang. Tiba-tiba pemuda itu merasa betapa mulut gadis itu ditempelkan di pundaknya
dan dari luka yang dibuat oleh ujung pedang tadi, gadis itu lalu menyedot dengan mulutnya.
Kong Liang merasa betapa tubuhnya menggigil dan keringat dingin membasahi dahinya, akan tetapi ia
sedikitpun tidak mengeluh. Ia bukan terlalu kuat menahan sakit, akan tetapi karena memang pada saat itu ia
tidak dapat mengeluh. Agaknya, biar lehernya ditusuk pedang, ia takkan merasa sama sekali, karena seluruh perasaannya sedang
tergetar oleh haru dan bahagia. Bibir gadis itu yang menempel di pundak dan menyedot keluar darah dan
racun, agaknya telah menyedot semangatnya keluar dari tubuh.
Hampir saja ia tidak percaya akan semua ini. Gadis itu telah menggunakan bibirnya yang indah dan lemas
untuk menyedot racun dari lukanya. Hebat sekali.
Memang, Bwee Hwa tidak melihat jalan lain untuk menolong Kong Liang dari bahaya dan ancaman racun
kecuali menyedot keluar bisa itu dari pundak Kong Liang. Dan gadis ini selalu membawa pel anti racun
pemberian gurunya, maka ia lalu melakukan perbuatan menolong jiwa pemuda itu tanpa ragu-ragu lagi.
Untung sekali baginya bahwa keadaan di sekitar mereka gelap sekali hingga wajah orang yang berada dekat
di depan pun tidak kelihatan jelas. Kalau keadaan di situ terang, tentu ia akan merasa kikuk dan malu sekali.
Kini ia dapat bekerja dengan leluasa tanpa merasa sungkan, apalagi di situ tidak ada orang lain yang
melihatnya. Ia perlu menolong pemuda ini, perlu membalas budinya, dan ia melakukannya dengan segala
kerelaan hatinya bahkan ia merasa bangga dan bahagia dapat menolong pemuda yang amat baik ini.
Setelah akhirnya menyedot keluar darah yang encer, Bwee Hwa tahu bahwa racun telah dikeluarkan dari
tubuh Kong Liang. Tadi ia berkali-kali menyedot dan meludahkan darah kental bercampur racun, dan Kong Liang
masih saja duduk bersandar pohon tanpa berani berkutik!
"Nah, racun telah keluar semua," bisik Bwee Hwa yang cepat mengunakan sapu tangan pembungkus
rambutnya untuk membalut pundak itu. Tiba-tiba Kong Liang memegang tangannya dan menggenggam jari-jari
tangannya erat-erat. "Kau?" kau?" siapakah namamu......?"
Kini setelah bahaya yang mengancam pemuda itu telah lenyap, mendengar pertanyaan ini meledaklah suara
tertawa Bwee Hwa. Ia cepat-cepat membetot tangannya yang digenggam itu dengan gerakan halus, lalu
mengundurkan diri dalam gelap. Ia anggap pemuda ini lucu sekali.
"Namaku Coa Bwee Hwa."
"Indah sekali namamu?" Bwee Hwa?"" bisik Kong Liang.
"Akan tetapi kalau kau sudah tahu benar siapa aku sebetulnya, kau tentu takkan menganggapnya indah lagi,"
kata Bwee Hwa sambil menghela napas panjang.
"Mengapa begitu" Aku selamanya akan menganggap kau seorang yang termulia, seorang yang paling baik di
atas dunia ini, seorang yang?""
"Sst?"" cegah Bwee Hwa, kemudian karena tahu bahwa pemuda itu sudah terbebas daripada bahaya maut. Ia
berkelakar. "Agaknya sedikit racun telah menjalar ke dalam kepalamu hingga kau bicara melantur tidak
karuan!" "Tidak, Bwee Hwa?" aku...... aku berhutang budi besar sekali padamu, aku...... suka padamu."
"Biarpun aku seorang perampok jahat, biarpun aku seorang perempuan ganas?"
"Tak mungkin! Siapa yang bilang bahwa kau seorang perempuan jahat dan ganas" Akan kurobek mulutnya!"
"Aku?" aku adalah......"
Sampai lama Kong Liang menanti kelanjutan pengakuan ini, akan tetapi agaknya berat bagi Bwee Hwa untuk
mengaku hingga ia tidak melanjutkan kata-katanya.
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita tertawa dan berkata. "Koko, dia adalah Kim-gan-eng yang terkenal
gagah perkasa!" Ternyata yang datang ini adalah Mei Ling dan yang secara main-main melanjutkan kata-kata Bwee Hwa!
Kong Liang merasa terkejut karena ia pernah mendengar nama Kim-gan-eng sebagai perampok wanita tunggal
yang disegani. Akan tetapi, pernah ia mendengar dari Ang Lian Lihiap yang menyatakan bahwa biarpun
seorang perampok, akan tetapi Kim-gan-eng tidak jahat dan diam-diam pemuda ini menarik napas lega, karena
betul gadis ini tidak jahat bahkan berhati mulia.
"Bagus sekali," katanya dan mengubah suaranya menjadi biasa lagi, "kita telah berkenalan bahkan ditolong
oleh seorang pendekar wanita yang terkenal gagah perkasa!"
Mei Ling tertawa lagi dan suara tertawanya membuat Kong Liang dan Bwee Hwa bermerah muka di dalam
gelap, karena mereka merasa betapa Mei Ling mentertawakan mereka. Agaknya gadis ini sudah lama berada
di situ hingga mencuri dan mendengar percakapan mereka tadi!
"Mei Ling, kau tadi pergi ke mana saja?" Kong Liang menegur dengan suara keras untuk mengalihkan perhatian
mereka dan memecahkan keadaan yang membuat nya merasa malu itu.
Mei Ling lalu menuturkan pengalamannya. Terus terang ia mengaku bahwa karena mengkhawatirkan nasib
Yap Bun Gai yang telah menolong dia dan Bwee Hwa, maka ia sengaja mengintai dan ketika mendengar
percakapan yang terjadi antara Bun Gai dan gurunya, ia lalu membantu dan memperkuat alasan itu dengan
menirukan suara laki-laki dari dalam gelap.
Tiba-tiba terdengar Bwee Hwa bertepuk tangan gembira dan berkata, "Bagus, bagus. Pemuda she Yap itu
memang gagah dan berbudi, sudah sepantasnya kalau cici Mei Ling pergi membelanya."
Syukur sekali bahwa Mei Ling berada di dalam gelap, kalau tidak tentu ia akan bermerah muka karena merasa
betapa sindiran Bwee Hwa itu tepat mengenai hatinya. Kong Liang merasa tertarik sekali lalu bertanya.
"Akupun telah menduga bahwa tentu pemuda itu yang menolong kalian. Bagaimana
kah terjadinya?" Dengan suara gembira Bwee Hwa lalu menceritakan pengalamannya. Ia sengaja melakukan ini karena ia ingin
membalas godaan Mei Ling tadi, maka ia menceritakan semua dengan sejelasnya kepada Kong Liang, betapa
Yap Bun Gai melepaskan mereka, menipu gurunya dan bahkan rela dilukai oleh pedang Mei Ling pada
pundaknya. Mendengar ini, dengan suara terharu Kong Liang berkata, "Nyata bahwa Yap Bun Gai adalah seorang yang
berbudi dan mulia. Telah dua kali ia sengaja menerima tusukan pedang Mei Ling untuk membela dan menolong
dia. Ia boleh diumpamakan setangkai bunga teratai yang indah bersih tumbuh di dalam lumpur."
Kata-katanya ini mendatangkan dua akibat. Pertama, Mei Ling yang ingat akan kebaikan dan pengorbanan Bun
Gai dan teringat betapa Bun Gai yang malang itu hidup diantara orang-orang jahat, maka ia merasa terharu
sekali hingga ke dua matanya menjadi basah, sedangkan akibat kedua ialah bahwa Bwee Hwa merasa
tertarik sekali mendengar ini dan lalu minta kepada Kong Liang untuk menceritakan mengapa Bun Gai sudah
dua kali menerima tusukan pedang Mei Ling.
Kong Liang lalu menceritakan pengalaman mereka di atas bukit Hoa-mo-san dan kembali Bwee Hwa memuji
kebijaksanaan pemuda she Yap itu.
Biarpun Mei Ling dengan terharu sekali mengalirkan air mata, namun tentu saja kedua orang yang lain itu tidak
melihatnya. "Eh, cici Mei Ling, mengapa kau diam saja" Apakah kau tidak menganggap bahwa pemuda she Yap itu benarbenar mulia sekali hatinya?"
Terdengar jawaban Mei Ling disertai tarikan napas panjang.


Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Memang ia seorang yang baik hati."
"Akan tetapi aku tidak tahu siapakah pemuda, yang berada di antara mereka itu," kata Kong Liang.
Dan Bwee Hwa lalu menceritakan bahwa pemuda itu adalah Lui Tik Kong yang menjadi musuh Lee Ing, lalu ia
menuturkan pengalamannya ketika bertemu dengan Lee Ing yang mengejar-ngejar Tik Kong.
Kong Liang dan Mei Ling mendengarkan penuturan ini dengan hati tertarik dan mereka merasa makin bingung
dan ruwet melihat persoalan yang hanya mereka ketahui setengah-setengah itu. Mereka mendengar penuturan
Ang Lian Lihiap bahwa Tik Kong adalah murid Kong Sin Ek yang murtad dan bahwa justru pemuda ini dipilih
oleh Nyo Tiang Pek untuk dijodohkan dengan Lee Ing puteri tunggal Nyo Tiang Pek dan kemudian Lo Sin
datang mengacau hingga kedua pengantin itu melarikan diri dan akibatnya Nyo Tiang Pek menjadi marah
sekali kepada Lo Sin bahkan lalu menulis surat kepada Ang Lian Lihiap dan suaminya.
Akan tetapi, mengapa kini Bwee Hwa menceritakan bahwa Lee Ing mengejar-ngejar Tik Kong dan hendak
membunuhnya" Mereka diam-diam memuji Lee Ing yang merasa benci kepada calon suami itu karena telah
mengerti bahwa Tik Kong telah menganiaya Kong Sin Ek, akan tetapi kemanakah perginya Lee Ing dan ke
mana perginya Lo Sin"
Oleh karena melihat bahwa Bwee Hwa telah menjadi seorang kawan yang baik dan boleh dipercaya penuh,
maka Kong Liang dan Mei Ling menceritakan hubungan mereka dengan Ang Lian Lihiap dan menceritakan pula
bahwa mereka sedang menuju Bong-kee-san untuk menemui Nyo Tiang Pek dan mendamaikan urusan itu.
Ketika malam berganti fajar dan mereka bisa saling melihat wajah masing-masing, tak terasa pula Kong Liang
dan Bwee Hwa menjadi malu dan tidak berani saling pandang. Ketika mendengar betapa Bwee Hwa telah
menyembuhkan luka Kong Liang, diam-diam Mei Ling merasa bersyukur sekali dan ia telah mengambil
keputusan di dalam hati untuk mengusulkan kepada cicinya, yakni Ang Lian Lihiap, untuk menjodohkan
kakaknya itu dengan Bwee Hwa.
Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Kong Liang mempunyai maksud yang sama, yakni hendak minta
pertolongan Cin Han untuk menjodohkan adiknya dengan pemuda Yap Bun Gai!
Bwee Hwa yang sudah jatuh "jatuh hati" betul-betul kepada Kong Liang dan suka pula kepada Mei Ling, lalu
mengajukan permintaan untuk menyertai kedua saudara kembar itu menuju ke Bong-kee-san untuk mencari
Nyo Tiang Pek. Tentu saja permintaan ini diterima dengan baik dan dengan girang hati, oleh karena selain gadis
ini merupakan teman seperjalanan yang menyenangkan, juga kehadiran gadis ini dihadapan Nyo Tiang Pek
perlu sekali karena Bwee Hwa dapat menjadi saksi untuk meyakinkan jago tua ini bahwa ia telah salah pilih
dan bahwa Lui Tik Kong memang benar-benar seorang pemuda jahat.
Demikianlah, mereka bertiga lalu berangkat, ke Bong-kee-san untuk menemui Nyo Tiang Pek!
"Y" Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong maklum bahwa nanti apabila terjadi pertempuran di p uncak Hoa-mosan keadaan musuh kuat sekali. Apalagi kalau Lian Bwee Niang-niang sendiri turun tangan, maka sukar bagi
mereka berdua untuk mendapat kemenangan.
"Kalau saja ada Nyo-twako seperti dulu, tentu keadaan kita lebih kuat," kata Cin Han.
"Sudahlah jangan mengharapkan bantuan orang," jawab Lian Hwa, "apakah tanpa bantuan orang she Nyo itu,
kita tak dapat berdiri sendiri" Kau, aku dan Sin-ji bertiga cukup untuk menghadapi Lian Bwee Niang-niang dan
kawan-kawannya." Cin Han menarik napas panjang. "Kau terlampau memandang rendah keadaan lawan. Dan pula, kita tidak tahu
bila Sin-ji akan pulang, bahkan sekarangpun kita tidak tahu dia berada di mana."
"Mengapa kau tidak pergi mencarinya" Carilah dia, kitapun perlu mendengar tentang usahanya menangkap
penjahat yang menganiaya Kong-twako."
Mendengar ucapan isterinya ini darah perantau bergolak pula di dalam hati Cin Han. Ia tertarik sekali untuk
pergi mencari puteranya sambil merantau, mengunjungi tempat-tempat indah, menengok sahabat-sahabat
lama. "Isteriku, mengapa kita berdua tidak pergi dan menikmati perjalanan lagi seperti dulu?" katanya
gembira. Untuk sejenak Lian Hwa terpengaruh oleh kegembiraan dan ajakan suaminya itu, akan tetapi ia lalu
menggelengkan kepalanya. "Kalau kita berdua pergi, siapa yang menunggu rumah" Pula kalau sewaktu-waktu Sin-ji datang bukankah dia
akan mencari-cari kita ke mana-mana" Tidak, suamiku. Sekarang bukan waktunya untuk melancong. Pergilah
kau sendiri mencari Sin-ji, sedangkan aku akan menunggu saja di sini, menanti kedatangan Sin-ji dan
kedatangan Kong Liang dan Mei Ling dari Bong-kee-san. Aku khawatir kalau-kalau pihak Bong Cu akan datang
mengganggu dan kalau kita berdua pergi, siapa yang akan menyambutnya?"
Setelah berpikir-pikir akhirnya Cin Han menyetujui pendapat isterinya dan pada keesokan harinya, dengan
membawa buntalan terisi pakaian dan bekal, Hwee-thian Kim-hong berangkat melakukan perjalanannya untuk
mencari anaknya. Pada suatu pagi, dua hari kemudian setel ah suaminya pergi, seorang diri Lian Hwa berlatih silat d i kebun
belakang rumahnya. Ia akan menghadapi pertempuran besar beberapa bulan lagi, maka ia hendak melatih
ilmu pedangnya untuk melemaskan tangan dan menyempumakan gerakan-gerakan yang paling sulit dan sukar
dari ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut.
Pendekar wanita yang gagah perkasa ini berlatih silat seorang diri dengan gesitnya dan dalam pakaiannya
yang berwarna putih itu tubuhnya lenyap berubah menjadi sinar putih yang dikelilingi cahaya berkeredepan
dari pedangnya yang bergerak secara luar biasa sekali!
09.24. Perwira Muda, Murid Kun-lun-pai
Tiba-tiba terdengar seruan memuji yang diucapkan dengan keras sekali. "Bagus, bagus! Ang Lian Lihiap ternyata
hebat sekali ilmu pedangnya!"
Lian Hwa cepat-cepat memasukkan kembali pedangnya ke belakang punggung dan memandang. Ternyata
yang datang memasuki kebunnya tanpa permisi adalah seorang perwira muda tinggi besar yang luar biasa
gagahnya, seperti seorang raksasa saja!
Lian Hwa memandang kagum karena belum pernah ia melihat seorang pemuda yang sehebat ini tubuhnya,
tinggi besar dan kelihatan amat kuat, sedangkan senyum pada wajahnya membayangkan hati yang jujur dan
polos. Perwira muda ini tak lain ialah Can Kok In sendiri!
Lian Hwa bertanya dengan heran, "Ciang-kun yang muda ini siapakah dan apakah keperluanmu mengunjungi
tempatku ini?" Dari pertanyaan ini saja dapat diketahui bahwa Lian Hwa sekarang sudah jauh sekali bedanya dengan dulu
ketika masih muda. Kalau saja tabiat dan kekerasan hati Lian Hwa masih seperti dulu ketika masa mudanya,
tentu ia akan marah sekali melihat ada orang berani masuk ke dalam kebunnya tanpa permisi, akan tetapi
sekarang ia memiliki pandangan tajam dan dapat membedakan orang baik atau jahat.
Can Kok In tertawa bergelak karena sesungguhnya ia merasa gembira sekali dapat bertemu dengan pendekar
wanita yang telah lama sekali dikagumi n amanya itu.
"Aku bernama Can Kok In, anak murid Kun-lun-pai! Aku sengaja datang ke sini hendak mencari Lo Sin,
puteramu si Walet Hitam itu. Kebetulan sekali aku pernah bertemu dengan dia, akan tetapi tidak mendapat
kesempatan untuk mengukur kepandaiannya. Ang Lian Lihiap, harap kau suka memanggil keluar Lo Sin agar
aku dapat mencoba kepandaianhya."
Mendengar ucapan yang polos dan kasar ini Lian Hwa makin tertarik. Benar-benar seorang yang jujur dan
kasar, pikir nya. "Anak muda, kau ini murid siapakah?"
Can Kok In tertawa lagi. "Guruku adalah Lui Siok Tojin dari Kun-lun-san."
Lian Hwa terkejut dan merasa girang. Lui Siok Tojin adalah seorang kenalan baik yang dulu bahkan pernah
berusaha mendamaikan permusuhan yang timbul antara dia dan pihak Pek-lian-kauw, akan tetapi usahanya ini
gagal. Ia maklum bahwa Lui Siok Tojin berilmu tinggi dan lihai sekali, maka ia dapat menduga pula bahwa
perwira muda yang seperti raksasa ini tentu lihai juga.
"Ah, tidak tahunya kau adalah murid Lui Siok Tosu yang lihai. Bagaimana, apakah suhumu baik-baik saja?"
"Entahlah, suhu sudah tua dan tinggal di gunung saja sedangkan telah beberapa tahun aku tidak naik ke Kunlun, Ang Lian Lihiap, harap kau orang tua suka memanggil keluar si Walet Hitam."
"Can-ciangkun mengapa kau berkeras hendak mengadu kepandaian dengan Lo Sin" Apakah puteraku itu
berbuat sesuatu yang salah dan yang menyakitkan hatimu?"
"Tidak, tidak! Puteramu gagah perkasa dan tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan aku, akan tetapi,
kami telah berjanji hendak bertemu dan saling menguji kepandaian!"
Ang Lian Lihiap menjadi lega hatinya. "Kalau begitu, sayang sekali, Can-ciangkun. Puteraku itu sampai sekarang
belum juga pulang. Sedangkan aku sendiripun sedang menanti-nanti kembalinya."
Can Kok In kelihatan kecewa sekali. Alis matanya yang tebal dan panjang bergerak-gerak dan sepasang
matanya yang bundar besar itu menatap wajah Ang Lian Lihiap, kemudian ia mencabut pedangnya yang
panjang dan besar itu dari sarung pedang.
"Kalau begitu, Ang Lian Lihiap, kau wakililah puteramu itu dan mari kita mencoba-coba ilmu kepandaian kita."
Sambil berkata demikian, Can Kok In menggerak-gerakkan pedang besar itu di tangannya hingga berkesiurlah
angin pedang bersiutan. Gerakan ini menandakan bahwa pemuda raksasa ini benar-benar memiliki tenaga
yang kuat sekali. Ang Lian Lihiap terkejut dan berkata, "Apakah perlunya itu, Can-ciangkun" Antara kita tidak terdapat
permusuhan sesuatu, bahkan antara aku dan suhumu terdapat tali persahabatan yang erat, bagaimana aku
dapat bertempur melayanimu" Kalau hal ini terdengar oleh suhumu, bukankah aku akan menjadi malu" Tidak,
aku tak dapat melayani kau, anak muda. Kau tunggulah sampai puteraku pulang. Kalian anak-anak muda boleh
main-main menguji tenaga, akan tetapi jangan kau mengajak aku berpibu!"
Akan tetapi Can Kok In telah datang dari tempat jauh dengan maksud mengukur tenaga. Sudah lama sekali ia
kagum mendengar nama Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong, maka setelah kini bertemu dengan
pendekar wanita ini, mana ia mau melepaskannya begitu saja tanpa bertanding lebih dulu"
"Ang Lian Lihiap! Kalau anakmu tidak ada, panggilah suamimu keluar, biar dia yang mewakili Walet Hitam!
Sudah lama aku mengagumi Hwee-thian Kim-hong dan ingin sekali menyaksikan sampai dimana
kehebatannya!" "Suamiku juga tidak berada di rumah, sedang pergi. Hanya aku sendiri yang berada di sini."
"Ha, ha, ha! Kalau begitu mau tidak mau kau orang tua harus melayani aku yang sudah datang dari jauh!
Bagiku sama saja. Walet Hitam atau si Teratai Merah, maupun si Burung Hong! Marilah, kau cabut pedangmu
dan biarkan aku merasakan kelihaianmu sebentar!"
Sambil berkata demikian, Can Kok lalu memasang kuda-kuda dengan kedua kaki bersilang, mengangkat
tangan kirinya dengan jari-jari terbuka didorongkan ke depan dan tangan kanan yang memegang pedang
panjangnya itu diangkat ke atas kepalanya, siap untuk melancarkan serangan. Inilah gerak pembukaan dari
ilmu pedang Kun-lun yang lihai.
Melihat ini, Ang Lian Lihiap menjadi bingung. Ia merasa segan untuk melayani perwira muda yang kasar tapi
jujur ini, karena hal ini dapat menimbulkan perasaan tidak enak pada Lui Siok Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang
menjadi sahabatnya itu . Maka ia lalu mengangkat kedua lengannya untuk mencegah pemuda itu bertindak
jauh dan berkata. "Jangan, jangan, Can-ciangkun! Aku tidak mau turun tangan terhadap murid sahabatku. Ilmu kepandaianmu
tinggi dan kalau kita bertanding, sukar menjaga pukulan yang tak bermata," kata-kata ini mengandung sindiran
bahwa kalau mereka bertanding, besar kemungkinan perwira raksasa itu akan terluka olehnya.
Akan tetapi Can Kok In terlalu polos hatinya untuk dapat menangkap sindiran ini. Ia bahkan tertawa bergelak
sambil berkata. "Eh, apakah Ang Lian Lihiap yang tersohor gagah perkasa itu takut menghadapi Can Kok In?"
Ucapan yang sedikit ini cukup membuat alis Ang Lian Lihiap berdiri karena marah dan penasaran. Ang Lian
Lihiap takut" Ah, pendekar wanita ini semenjak mudanya belum pernah mengenal kata-kata takut! Perasaan
takut menjadi pantangan besar baginya. Orang boleh berkata apa saja terhadapnya dan ia mungkin dapat
menahan kesabarannya, akan tetapi janganlah orang berani mengatakan, bahwa dia takut!
Mendengar ucapan ini, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat dan ia lalu membentak. "Can Kok In,
orang muda kasar! Aku takut kepadamu" Hm, kau belajarlah seratus tahun lagi dan belum tentu aku Ang Lian
Lihiap akan merasa takut padamu. Majulah dan perlihatkan kebodohan!"
Can Kok In terkejut sekali melihat perubahan ini. Kalau tadi Ang Lian Lihiap bersikap halus dan lemah-lembut
hingga agaknya seperti orang takut, kini pendekar wanita itu berubah menjadi ganas dan menyeramkan. Sinar
matanya saja sudah cukup membuat kuncup hati seorang laki-laki gagah, seakan-akan dari kedua mata yang
jeli dan tajam itu melayang keluar anak panah yang runcing sekali!
Akan tetapi, ia sudah terlanjur menghunus pedang dan memalukan sekali kalau ia mundur lagi. Dengan cepat
ia melangkah maju dan menyerang dalam gerak tipu Raja Ular Menyambar Burung sambil berseru,
"Awas pedang!" Ia heran sekali melihat betapa pendekar wanita itu tidak mau mencabut pedangnya untuk
menangkis, maka cepat-cepat Kok In menahan serangannya.
"Eh, eh, mengapa kau tidak jadi menyerang?" tanya Ang Lian Lihiap dengan heran.
"Lihiap, cabutlah pedangmu. Aku bersedia menerima pengajaran darimu!" jawab Kok In dan tiba-tiba Ang Lian
Lihiap tersenyum manis. Tak disangkanya bahwa perwira muda yang seperti raksasa dan yang kasar sekali
sikapnya ini memiliki sifat gagah dan yang merasa sungkan untuk menyerang seorang yang bertangan kosong!
"Kalau aku yang tua menghadapi yang muda dengan pedang di tangan, bukankah berarti aku terlalu menekan
padamu" Maju seranglah dan jangan ragu-ragu. Belum tentu kau akan dapat merobohkan Ang Lian Lihiap yang
bertangan kosong!" Tentu saja Kok In yang berwatak jujur menjadi marah sekali oleh karena ia menganggap bahwa pendekar
wanita ini terlalu memandang rendah kepadanya! Ia lalu melangkah maju dan menyerang dengan hebat.
Memang lihai sekali gerakan raksasa muda ini. Tidak saja tenaganya yang besar membuat pedangnya yang
berat itu meluncur cepat, sambil mendatangkan angin bersiutan, akan tetapi juga ia memiliki ginkang yang
cukup hebat sehingga nampak mengagumkan sekali betapa seorang yang mempunyai tubuh tinggi besar itu
dapat bergerak sedemikian lincahnya.
Akan tetapi, tiba-tiba saja tubuh Ang Lian Lihiap lenyap dari depan matanya! Ia hanya melihat berkelebatnya
bayangan putih dan tahu-tahu pendekar wanita itu telah lenyap. Kok In maklum bahwa lawannya memiliki
ginkang yang jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri, maka ia dapat menduga cepat. Dengan
teriakan ganas ia lalu memutar tubuh sambil menyabet dengan pedangnya dan betul saja, Ang Lian Lihiap tadi
telah melompat ke belakangnya dan kini cepat mengelak ketika pedang yang panjang dan berat itu
menyambar pinggang! Can Kok In kini berlaku hati-hati dan memainkan pedangnya dengan tenang dan teratur. Ia mengeluarkan
seluruh kepandaiannya dan menggunakan jurus ilmu pedang Kun-lun-pai yang paling lihai dan tak terduga
gerakannya. Tubuhnya berputar-putar cepat, dan pedangnya merupakan seekor naga sakti yang bergerak-gerak dan
menyambar-nyambar ke arah tubuh lawan. Ujung pedangnya terus menerus mengejar bayangan putih yang
berkelebat ke sana ke mari itu.
Diam-diam Ang Lian Lihiap merasa kagum. Tidak memalukan atau mengecewakan raksasa muda ini menjadi
murid Lui Siok Tojin yang terkenal memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Kalau saja ia tidak memiliki ginkang yang telah dilatih sempurna, akan sukarlah baginya untuk dapat
menghadapi raksasa muda ini dengan hanya berkelit saja. Ilmu pedang Kun-lun-pai memang terkenal sekali
karena kecepatan dan keteguhannya dan melihat gerakan Can Kok In, maka dapat diduga bahwa pemuda
tinggi besar ini memang sudah memiliki sedikitnya tujuh bagian dari Kun-lun-kiam-hwat.
Makin lama menghadapi pemuda raksasa ini, makin kagumlah hati Ang Lian Lihiap dan ia makin tidak tega
untuk melukai pemuda ini. Ia hanya mempergunakan kecepatannya untuk mengelak dari setiap serangan
sehingga karena gerakan Ang Lian Lihiap berputar-putar, di sekeliling tubuh Kok In sehingga memaksa pemuda
inipun berputar-putaran, maka lambat-laun Kok In merasa pusing sekali!
Akan tetapi, pemuda raksasa ini agaknya memiliki daya tahan raksasa pula dan hatinya pun keras tidak
mudah menyerah. Biarpun napasnya telah tersengal-sengal dan keringat telah mengucur membasahi mukanya
yang lebar hingga pandangan matanya berkunang, namun ia tetap menyerang hebat dan tidak mau mengaku
kalah. Akhirnya, ia tidak kuat lagi dan tubuhnya terhuyung-huyung dan berputaran karena peningnya, lalu ia roboh
terduduk di atas tanah sambil memejamkan mata. Ketika ia membuka matanya lagi,
ia melihat Ang Lian Lihiap
berdiri dengan tenang di depannya. Ia tadinya menyangka bahwa pendekar wanita ini tentu akan
mentertawakannya, akan tetapi ternyata Ang Lian Lihiap sama sekali tidak mentertawakannya, bahkan
pendekar wanita itu berdiri memandang dengan kagum.
Kalau saja Ang Lian Lihiap mentertawakannya, tentu Kok In akan merasa penasaran dan marah, akan tetapi
oleh karena pendekar wanita itu sama sekali tidak mengejek atau mentertawakannya, bahkan
memandangnya sambil tersenyum kagum, maka ia buru-buru bangun berdiri dan menjura sambil menganggukanggukkan kepala berulang-ulang.
"Hebat, hebat! Ang Lian Lihiap memang hebat sekali, dan benarlah kata suhu bahwa di dunia ini tidak ada
wanita yang melebihi kegagahan Ang Lian Lihiap! Siauwte Can Kok In yang goblok telah mendapat pengajaran
dan mohon maaf sebesarnya atas kelancangan siauwte!"
Setelah berkata demikian, perwira muda yang bertubuh seperti raksasa itu lalu melompat pergi setelah
menjura sekali lagi sebagai penghormatan terakhir.
"Can-ciangkun! Sampaikan salamku kepada gurumu!" teriak Ang Lian Lihiap.
"Akan siauwte perhatikan!" terdengar jawaban Can Kok In dari jauh.
Ang Lian Lihiap menggeleng-gelengkan kepalanya. Sungguh seorang pemuda luar biasa, pikirnya. Dan dengan
munculnya Can Kok In, pandangannya terhadap para perwira barisan pemerintah yang tadinya rendah,
menjadi berubah. Ternyata bahwa di mana-mana terdapat orang pilihan pikirnya.
Setelah menanti sampai tiga hari, akan tetapi belum juga ada berita dari suaminya dan Lo Sin yang dinantinanti tidak kunjung pulang, Ang Lian Lihiap menjadi hilang kesabarannya. Ia tidak biasa berada di rumah
seorang diri dan kalau Lo Sin pergi saja, ia sudah merasa sunyi walaupun masih ada suaminya yang mencinta
dan sering berkelakar. Kini kedua-duanya, kedua orang yang tersayang, pergi meninggalkan rumah, maka ia merasa makin sunyi dan
tidak betah. Ia merasa menyesal mengapa ia tidak mau ikut pergi dengan suaminya mencari Lo Sin.
Akhirnya Ang Lian Lihiap tidak dapat menahan lagi. Ia meninggalkan sepucuk surat untuk suami atau
puteranya apabila seorang di antara mereka pulang dan memesan kepada pembantu rumah tangganya untuk
menjaga rumah dan memberi surat itu kepada anak atau suaminya. Kemudian, Ang Lian Lihiap membawa
buntalan pakaian dan menunggang kuda meninggalkan rumahnya, mencari suami dan anaknya!
"Y" Kong Liang, Mei Ling dan Bwee Hwa tiba di Bong-kee-san dan dengan cepat mereka bertiga mencari tempat
tinggal Nyo Tiang Pek. Kong Liang dan adiknya sudah sering datang ke tempat ini, maka mereka lalu langsung
pergi ke rumah kepala kampung Nyo.
Kedatangan mereka disambut oleh Giok Lie dan alangkah girangnya nyonya ini ketika melihat Mei Ling.
Datang-datang, Giok Lie lalu menubruk dan memeluk Mei Ling sambil menangis sedih.
"Tenanglah, cici, kami telah tahu semua akan urusanmu dan kami memang sengaja datang untuk
mendamaikan urusan ini."
Dalam tangisnya yang sedih terisak-isak. Giok Lie tak dapat mengeluarkan suara, hanya menggeleng-geleng
kepalanya. Bwee Hwa memandang kepada nyonya ini ibu dari Lee Ing yang telah menjadi sahabat baiknya,
walaupun baru satu kali bertemu. Diam-diam Bwee Hwa merasa heran dan kagum betapa seorang wanita
cantik jelita yang begini lemah lembut dan halus dapat memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa.
Sebelum mereka sempat bercakap-cakap, bahkan Bwee Hwa pun belum diperkenalkan oleh Kong Liang dan
adiknya kepada Giok Lie, tiba-tiba Nyo Tiang Pek muncul dari dalam rumah. Bukan main kagetnya Kong Liang
dan Mei Ling ketika melihat Nyo Tiang Pek. Kalau bertemu di jalan, tentu mereka tak mengenalnya lagi.
Demikian besar perubahan yang terjadi pada diri pendekar ini. Tubuhnya menjadi kurus pucat dan rambut
kepalanya awut-awutan tak terpelihara, bahkan pakaiannyapun kusut dan agaknya sudah beberapa hari tidak
diganti. Yang menakutkan adalah sepasang matanya. Kalau dulu mata ini tajam dan berbentuk gagah, kini
memandang sayu dan kadang-kadang seperti ada api bernyala-nyala di dalamnya.
"Nyo-twako!" seru Kong Liang sambil memberi hormat.
Juga Mei Ling cepat memberi hormat. "Twako, kau kenapakah" Kau begini kurus dan pucat. Sakitkah kau?"
Ditanya demikian oleh Mei Ling, Nyo Tiang Pek menghela napas dan menggelengkan kepala. "Kalian baik-baik
sajakah?" katanya membelokkan pertanyaan Mei Ling, kemudian ketika melihat Bwee Hwa, ia bertanya, "Dan
nona ini siapakah?" Mei Ling lalu memperkenalkan Bwee Hwa kepada Nyo Tiang Pek dan isterinya. Kim-gan-eng lalu memberi
hormat dengan sopan santun.


Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalian datang dari mana?" tanya Nyo Tiang Pek dengan acuh tak acuh dan sikap serta suaranya menyatakan
bahwa ia tidak gembira menerima orang-orang yang tadinya amat disayanginya itu.
"Nyo-twako, kedatanganku bersama Mei Ling ini tidak lain karena mendengar tentang urusamu dan Lian Hwa
Suci. Kami datang untuk mendamaikan urusan ini dan?""
"Cukup!" tiba-tiba Nyo Tiang Pek membentak keras. "Jangan sebut-sebut lagi nama keluarga Lo di depanku.
Aku tidak sudi mendengarnya."
"Nyo-twako!" jerit Mei Ling dan kembali terdengar isak tangis Giok Lie.
"Nyo-twako, kuharap kau sudi bersabar dan mendengarkan bicaraku," kata pula Kong Liang. "Segala hal bisa
diurus dengan baik, apalagi kalau urusan itu terjadi antara kau dan Lo-twako yang sudah demikian lama
menjadi sahabat baik, bahkan seperti saudara sendiri. Kesalahan dapat diurus dan diperiksa siapa yang benar
siapa yang salah dan?""
"Diam?"!!!" Tiba-tiba Nyo Tiang Pek bangkit dari kursinya dan berdiri sambil mendelikkan matanya kepada
Kong Liang. "Nyo-twako!" Mei Ling berseru de
ngan penasaran sekali. "Kaupun diam!! Pendeknya, aku melarang siapa saja menyebut nama mereka di depanku dan kalau kau tetap
hendak melanggar laranganku, lebih baik kau keluar dari rumah ini!"
Bukan main kagetnya Kong Liang dan Mei Ling. Tak mereka sangka bahwa Nyo Tiang Pek menjadi marah
sedemikian rupa dan kebenciannya terhadap Ang Lian Lihiap sekeluarga agaknya telah memuncak.
"Toako, kedatangan kami ini bukannya hendak membela atau memenangkan mereka, akan tetapi hendak
mendamaikan urusan."
"Sudahlah, jangan kau lanjutkan bicaramu!" kata pula Nyo Tiang Pek yang menahan keras bergolaknya api di
dalam dadanya. "Kalian ini tahu apa?" Enak saja bicara mau mendamaikan urusan dan tahukah kalian urusan
apa yang hendak kau damaikan" Apalagi yang harus didamaikan"
"Si bangsat muda she Lo itu telah membikin malu, menghina dan mencemarkan nama keluargaku! Bahkan
bangsat besar itu kemudian memikat hati anakku dan membawanya lari bersama!
"Anakku yang semenjak kecil taat patuh kepada orang tua, yang kudidik dengan susah payah, yang menjadi
pengharapanku satu-satunya, telah membelakangi ayahnya dan rela pergi minggat bersama bangsat muda itu!
Ya, ya, baru sekarang kalian tahu dan menjadi pucat mendengar ini! Anakku telah melarikan diri dengan
pemuda keparat yang menodai nama keluargaku dan apalagi yang harus didamaikan?""
"Dengarkan, kalau sampai Lo Sin dan Lee Ing bertemu dengan aku tua bangka yang rendah ini, pasti akan
kuhabiskan nyawa keduanya! Ya kalian boleh memberitahukan hal ini kepada Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian
Kim-hong yang gagah perkasa, aku tidak takut! Kuulangi lagi, kalau sampai kedua setan itu bertemu dengan
aku, akan kuhabiskan nyawa mereka, atau aku sendiri yang akan mampus di tangan mereka!"
Setelah berkata demikian, Nyo Tiang Pek mengepalkan tinjunya dan berdiri dengan dada turun naik dan dari
kedua matanya keluar air mata!
09.25. Kegalauan Hati Pendekar Tua
Kong Liang dan Mei Ling berdiri saling memandang dengan muka pucat sekali, sedangkan tangisnya Giok Lie
makin keras saja hingga Mei Ling lalu memeluknya dan ikut menangis.
Bwee Hwa merasa kedua kakinya gemetar ketika melihat kemarahan hebat ini. Belum pernah ia melihat orang
marah sedemikian hebat dan mengingat bahwa orang ini adalah Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas yang
kegagahannya telah menggegerkan dunia persilatan ketika ia masih muda, Bwee Hwa menjadi takut dan
gentar. Akan tetapi, ia merasa penasaran mendengar betapa ayah yang murka ini menjadi begitu mata gelap
dan telah mengeluarkan ancaman untuk membunuh Lee Ing puteri tunggalnya sendiri, maka tanpa terasa pula
ia berkata dengan perlahan.
"Lo-cianpwe, Lee Ing tidak bersalah. Pemuda busuk bernama Tik Kong itu......"
"Tutup mulutmu!!"
Tiba-tiba Nyo Tiang Pek yang sudah mara h itu merasa seakan-akan api di dalam dadanya ditamb ah minyak
dan sambil membentak ia lalu menepuk kursi yang tadi didudukinya. Kursi itu tidak hancur, akan tetapi
keempat kakinya masuk ke dalam lantai sampai habis tak kelihatan pula! Inilah tenaga lweekang yang hebat
sekali hingga Bwee Hwa yang kena dibentak menjadi pucat.
"Beritahukan kepada Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong, kalau mereka berdua tidak mencari putera
mereka yang jahat dan membawa pula Lee Ing untuk dihadapkan keduanya di depanku, untuk menerima
keputusan dan hukumanku, selamanya aku tidak mau berdamai dengan mereka!" Setelah berkata demikian,
Nyo Tiang Pek masuk ke dalam rumah dengan marah.
Melihat keadaan ini, tidak ada lain jalan bagi Kong Liang, Mei Ling dan Bwee Hwa, selain meninggalkan tempat
itu. Giok Lie memeluk Mei Ling dan menangis sambil berbisik.
"Adikku, dan kau juga Kong Liang, serta kau pula, nona, harap kalian maafkan suamiku. Kasihan dia...... dia
menderita kedukaan besar, maaf......"
Melihat keadaan Giok Lie, lenyaplah kemarahan yang tadi mendesak di dada ketiga orang muda karena sikap
Nyo Tiang Pek. Mereka tidak dapat menyelami hati Nyo Tiang Pek dan tak dapat merasakan pula penderitaan
pendekar tua itu, tetapi mereka terharu melihat sikap Giok Lie yang terang sekali tertekan hebat batinnya itu.
Sambil memeluk Giok Lie, Mei Ling berkata, "Tidak apa, cici, sudah selayaknya kami yang muda-muda
menerima marah dari Nyo-twako. Kalau ia sudah menjadi sadar kembali, tentu ia akan menyesal."
"Terima kasih, Mei Ling?" terima kasih?"" Mereka bertiga lalu meninggalkan nyonya yang sedang berduka itu.
Setelah ketiga tamunya pergi dengan hati marah Giok Lie berlari masuk ke kamar suaminya, siap untuk
menegur sikap suaminya, yang amat tak pantas itu. Akan tetapi, ketika melihat Nyo Tiang Pek duduk di atas
pembaringan dengan wajah pucat dan pipi basah air mata, nyonya ini tidak jadi marah. Bahkan lalu menubruk
suaminya. Nyo Tiang Pek merangkul isterinya dan air matanya makin deras mengalir keluar.
Giok Lie maklum sepenuhnya akan derita, yang membuat suaminya hancur hatinya. Ia tahu, bahwa suaminya
merasa malu, kecewa, menyesal, sedih, tercampur aduk menjadi satu dan semua ini lalu memperkuat
kekerasan hatinya, hingga ia berlaku pan as dan keras.
Siapa orangnya yang takkan hancur hatinya menghadapi peristiwa yang memalukan itu" Anak sedang
dirayakan hari kawinnya tahu-tahu datang kekacauan yang dilakukan oleh Lo Sin dan yang memburukkan
nama calon mantu mereka, kemudian bahkan anak dan calon mantu lari berkejaran.
Kemudian, ternyata bahwa calon mantunya itu terpukul hampir mati oleh Lee Ing, sedangkan Lee Ing bahkan
membela Lo Sin dan agaknya mencinta pemuda itu hingga keduanya lari bersama.
Sebenarnya, Nyo Tiang Pek bukanlah seorang yang buta atau terlalu bodoh hingga ia membela Tik Kong matimatian. Akan tetapi, karena tidak melihat bukti-bukti kejahatan Tik Kong dan pula karena pemuda yang pandai
mengambil hati itu telah mendatangkan kepercayaan sepenuhnya, maka Nyo Tiang Pek belum tahu bahwa Tik
Kong adalah seorang pemuda jahat.
Pula, biarpun ada sedikit keraguan di dalam hatinya, namun ia segera melenyapkan keraguan itu, karena ia
telah terlanjur memilih pemuda itu sebagai menantunya, maka ia tidak berani membayangkan kenyataan ngeri
bahwa ia telah salah pilih dan memberikan anak tunggal yang disayangnya itu kepada orang jahat.
Pada saat kedua orang suami isteri itu masih terbenam dalam kesedihan, tiba-tiba di luar rumah terdengar
suara orang berseru keras.
"Kim-jiauw-eng Nyo Tiang Pek! Kau keluarlah menemui pinto!"
Suara ini terdengar keras sekali dari dalam rumah hingga Nyo Tiang Pek dan Coa Giok Lie maklum bahwa
orang yang datang itu tentu seorang berilmu tinggi, maka keduanya dengan cepat lalu menghapus air mata
dan berlari keluar. Untuk beberapa lamanya Nyo Tiang Pek memandang kepada orang yang berada di luar rumah dan ia tidak
kenal siapa adanya pertapa itu. Orang itu adalah seorang tosu tua yang rambutnya telah putih, akan tetapi
mukanya masih segar kemerah-merahan.
Tosu ini memegang sebuah tongkat bambu dan berdiri dengan sepasang mata memandang tajam kepadanya.
Di belakang tosu ini masih terdapat dua orang tosu lain yang juga sudah tua serta di punggung masing-masing
terdapat pedang panjang. "Nyo Tiang Pek, pinto datang hendak merasai pukulanmu Gin-san-ciang seperti yang telah kau jatuhkan
kepada murid keponakan pinto itu!" kata tosu ini dengan suara marah.
Nyo Tiang Pek merasa heran sekali. Ia seperti pernah bertemu dan mengenal muka tosu ini akan tetapi ia lupa
lagi bila dan di mana. Giok Lie yang memperhatikan pakaian ketiga orang tosu itu, lalu berbisik, "Bukankah
mereka itu tosu- tosu dari Kun-lun-san?"
Teringatlah Nyo Tiang Pek. "Kalau aku tidak salah sangka, yang berdiri di depan adalah Lui S
iok Tojin dari Kun- lun-san. Betulkah?" Tosu itu memang betul Lui Siok Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang terkenal dan ia ini bukan lain, ialah guru dari Can
Kok In, perwira raksasa muda yang gagah itu! Lui Siok Tojin datang bersama dua orang adik seperguruannya
oleh karena ia merasa marah sekali mendengar tentang terbunuhnya seorang tosu yang menjadi murid Kunlun-san, yakni tosu yang telah terbunuh oleh Lui Tik Kong di dusun hingga pedang Ceng-lun-kia m pemberian
Nyo Tiang Pek tertinggal di tubuh tosu yang terbunuh itu.
Dan oleh karena tosu itu terbunuh dengan pukulan Gin-san-ciang dan pedang Ceng-lun-kiam, maka tentu saja
semua orang menjatuhkan tuduhan kepada Nyo Tiang Pek.
Biarpun tidak mempunyai hubungan erat dengan Lui Siok Tojin, akan tetapi selamanya Nyo Tiang Pek
mengindahkan tokoh ini dan tak pernah terjadi sesuatu di antara mereka, maka sudah tentu saja ia heran
sekali mendengar ucapan tosu, itu. Akan tetapi, pada saat itu, hati Nyo Tiang Pek sedang panas urusan
puterinya, sedangkan pikirannya pun menjadi gelap, maka kesabarannya pun lenyap, terganti oleh sifat
berangasan dan mudah marah.
Rasa malu yang dideritanya karena gagalnya perkawinan, anaknya, membuat ia menganggap bahwa setiap
orang memandangnya dengan penuh ejekan dan penghinaan dan kini kedatangan tosu-tosu yang tiba-tiba
menuduhnya tidak karuan inipun tentu saja menambah kemarahan hatinya.
"Nyo Tiang Pek, kalau bukan pinto sendiri Lui Siok Tojin yang datang, dari pihak kami Kun-lun-pai siapa lagi
yang akan sanggup menghadapimu" Kau terkenal ahli Gin-san-ciang yang lihai dan bertangan maut!"
"Lui Siok Tojin! Aku berhadapan dengan seorang anak kecil atau dengan seorang tua yang telah miring
otaknya" Mengapa kau datang-datang menghinaku?"
Lui Siok Tojin marah sekali dan menuding dengan tongkat bambunya.
"Orang she Nyo! Membunuh dan melukai orang tak berdosa dengan kejam adalah perbuatan rendah, akan
tetapi mengingkari perbuatan sendiri dan berpura-pura suci bersih adalah perbuatan yang lebih rendah lagi. Kau
membunuh seorang murid keponakanku yang tak berdosa, namun masih berpura-pura lagi. Sungguh rendah
dan memalukan!" Bukan main marahnya Nyo Tiang Pek mendengar ini. Sambil berseru ia menggerakkan tubuh dan tahu-tahu
tubuhnya telah berkelebat dalam sebuah lompatan indah dan turun di depan tosu itu.
"Lui Siok Tojin! Jangan sembarangan membuka mulut! Apa kaukira aku takut padamu?"
"Ha, ha, ha! Anjing kalau terinjak ekornya akan tampak sifat aslinya! Majulah, majulah! Memang pinto ingin
sekali mencoba Gin-san-ciangmu yang lihai!"
Dalam keadaan biasa, tentu Nyo Tiang Pek akan mencari tahu persoalannya lebih dahulu sebelum bertindak,
akan tetapi dalam keadaannya seperti saat itu, ia tidak perduli akan segala sebab-sebab yang membuat tosu
itu datang-datang marah kepadanya. Ia hanya menganggap bahwa orang telah menghinanya dan penghina itu
perlu dihajar! Maka dengan berseru marah, Nyo Tiang Pek lalu maju memukul!
Lui Siok Tojin adalah seorang tokoh persilatan yang tinggi ilmu silatnya, maka dengan mudah ia lalu mengelak
dan membalas menyerang dengan tongkat bambunya. Tongkat ini biarpun hanya terbuat daripada bambu dan
kecil sekali, justeru bentuknya yang kecil dan ringan itu membuat tongkat itu menjadi sebuah senjata penotok
yang lihai sekali! Tongkat itu diputarnya cepat dan sebentar saja tongkat itu telah melakukan serangan bertubi-tubi mengarah
jalan darah di tubuh Nyo Tiang Pek! Si Garuda Kuku Emas merasa terkejut dan marah karena tongkat itu
benar-benar berbahaya sekali. Dalam pertempuran kurang lebih sepuluh jurus saja hampir ia kena tertotok,
maka sambil berseru keras ia lalu memukul dengan ilmu Gin-san-ciangnya yang luar biasa!
Lui Siok Tojin tahu akan kehebatan ilmu pukulan ini, maka cepat ia mengelak, akan tetapi terlambat! Angin
pukulan Gin-san-ciang masih menyerempet pundak kanannya hingga ia merasa betapa pundak dan lengannya
menjadi kesemutan dan hampir saja tongkat bambunya terlepas!
Pada saat itu, Giok Lie melompat ke dekat suaminya untuk mencegah Nyo Tiang Pek menurunkan tangan
kejam. Melihat gerak lompatan nyonya ini, bukan main terkejutnya hati Lui Siok Tojin, oleh karena memang
gin-kang dari Giok Lie lihai sekali, bahkan lebih tinggi tingkatnya dari ilmu gin-kang Nyo Tiang Pek sendiri!
Sebetulnya, kalau ia mau, pada saat Lui Siok Tojin terhuyung karena terserempet angin pukulan Gin-san-ciang,
mudah saja bagi Nyo Tiang Pek untuk menyusul dengan pukulan maut, akan tetapi betapapun sedang
marahnya, ia masih ingat dan tidak mau sembarangan membunuh orang.
Lui Siok Tojin merasa bahwa ia masih belum dapat menandingi Nyo Tiang Pek, apalagi di situ ada isteri
pendekar itu yang agaknya memiliki ilmu silat tinggi juga, maka ia lalu menjura dan berkata,
"Orang she Nyo! Tiga bulan lagi pinto minta pengajaran darimu!"
Setelah berkata demikian, tosu itu pergi, diikuti oleh kedua adik seperguruannya yang tidak berani
sembarangan bergerak tanpa perintah dari Lui Siok Tojin.
"Lui Siok Tosu, tunggu dulu dan minta penjelasan!" kata Giok Lie.
Akan tetapi, sambil berjalan terus dan hanya menengok dengan kepala, Lui Siok Tojin berkata. "Penjelasan
apalagi" Tanya saja kepada suamimu yang gagah!" Lalu ia mempercepat larinya meninggalkan Bong-kee-san!
Giok Lie menghela napas panjang dan berkata, "Celaka benar, datang lagi orang mencari permusuhan! Heran
sekali, siapakah orangnya yang membunuh anak murid Kun-lun-pai dengan menggunakan Gin-san-ciang?"
Nyo Tiang Peki tidak menjawab, hanya bertindak perlahan memasuki rumah. Pikirnya juga ruwet sekali.
Dulu ketika ia dan Cin Han serta Lian Hwa dengan banyak orang yang gagah lagi menyerbu ke puncak Hoamo-san untuk mengadakan pertandingan dengan pihak Pek-lian
-kauw, Lui Siok Tojin itupun ikut datang pula,
bukannya dengan maksud membantunya atau membantu pihak musuh, akan tetapi hanya berusaha
mendamaikan dan mencegah pertempuran, dan ternyata kemudian tidak berhasil.
Dan semenjak itu, ia tidak pernah mengadakan hubungan dengan Kun-lun-pai. Mengapa tosu ini datang-datang
menuduhnya membunuh anak murid Kun-lun-pai dengan pukulan Gin-san-ciang"
"Jangan-jangan anak kita yang durhaka itu yang melakukannya," katanya perlahan.
Giok Lie memandang dengan penasaran. Sinar matanya menyangkal keras dan ia lalu menjawab.
"Tak mungkin! Aku lebih menduga bahwa ini tentu perbuatan Lui Tik Kong!"
Nyo Tiang Pek menggeleng kepalanya. "Biarpun ia mempelajari Gin-san-ciang, namun belum cukup pandai
untuk dapat digunakan memukul mati seorang anak murid Kun-lun-pai," katanya.
"Suamiku, kau terlalu membela Lui Tik Kong," isterinya mencela.
Nyo Tiang Pek membalas pandangan isterinya. "Dia dimusuhi semua orang tanpa salah dan kita sudah
memilihnya sebagai calon mantu, kalau bukan kita yang membela, siapa lagi?"
Giok Lan hanya menghela napas panjang dan sedih karena dia sendiri sebetulnya juga bingung dan ragu-ragu
menghadapi persoalan yang menyangkut diri Tik Kong itu.
"Y" Ketika Kong Liang dan Mei Ling diikuti oleh Bwee Hwa cepat menuju ke Tit-lee untuk memberitahukan hasil
kunjungan mereka di rumah Nyo Tiang Pek itu kepada Ang Lian Lihiap dan suaminya, mereka kebetulan sekali
bertemu dengan Ang Lian Lihiap yang hendak mencari suami dan puteranya.
Dengan hati-hati sekali Kong Liang dan Mei Ling lalu menceritakan pengalaman mereka dan di dalam
penuturannya ini, seringkali Kong Liang menghibur Ang Lian Lihiap yang mendengar dengan wajah pucat.
"Harap cici suka bersabar," kata Mei Ling juga dalam usahanya menghibur dan menyabarkan Ang Lian Lihiap,
"pada saat itu Nyo-twako benar-benar sedang marah sekali hingga sukar untuk mengajaknya bicara."
Tiba-tiba Ang Lian Lihiap tertawa keras dan agaknya ia mengeluarkan semua hawa amarah melalui suara
ketawa ini. Bwee Hwa memandang dengan kagum semenjak pertemuan tadi. Telah lama sekali ia mendengar nama Ang
Lian Lihiap dan kini melihat orangnya, ia merasa kagum sekali. Dari sikap dan sinar matanya saja, sudah dapat
diduga dengan mudah bahwa nyonya ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali.
"Nyo Tiang Pek, kau memang terlalu dan sesat," katanya, kemudian sambil memandang kepada Kong Liang
dan Mei Ling ia berkata. "Mudah saja ia menuduh Lo Sin melarikan anaknya. Anakku takkan berwatak
serendah itu. Nyo Tiang Pek terlalu menghina anakku, apa dia kira hanya dia sendiri yang mempunyai seorang
anak perempuan yang cantik dan gagah" Hem, Tiang Pek, Tiang Pek! Seandainya kau berikan juga anak
perempuanmu kepadaku untuk dijodohkan dengan Lo Sin, aku takkan sudi menerimanya. Aku sendiri yang
melarang Lo Sin mendekati anakmu!"
"Cici mengapa begitu" Lee Ing jangan dibawa-bawa, anak itu tidak bersalah apa apa," kata Mei Ling. Juga
Bwee Hwa tak tahan untuk tidak ikut berkata.
"Toanio, Lee Ing adalah seorang gadis yang baik budi dan gagah."
Mendengar semua kata-kata ini, Ang Lian Lihiap makin cemberut. "Betapapun baiknya gadis she Nyo itu, ia
akan menjadi rusak karena terlalu dibanggakan ayahnya yang sesat. Nyo Tiang Pek telah melemparkan anak
sendiri ke langit dan menjajarkan dengan bintang-bintang, sedangkan ia merendahkan derajat anakku sampai
serendah tanah lumpur. Apa sih hebatnya gadis she Nyo itu" Lihat saja, aku akan dapat mencarikan jodoh
untuk anakku yang seratus kali lebih cantik dari pada gadis she Nyo itu dan seribu kali lebih gagah dan pandai."
Kong Liang dan Mei Ling melihat betapa Lian Hwa mulai gemas dan marah, tidak berani membuka mulut lagi.
Mereka berdua sudah mengenal baik watak Ang Lian Lihiap yang kalau sedang baik dan sabar, mau mengalah
terhadap siapapun juga, akan tetapi kalau sedang marah, hatinya yang keras sukar sekali ditundukkan dan ia
tidak takut kepada siapapun.
"Eh, nona ini siapakah?" tiba-tiba Lian Hwa bertanya sambil memandang Bwee Hwa setelah marahnya agak
reda, seakan akan ia baru melihat gadis itu.
Dengan sikap manis dan penuh hormat, Bwee Hwa memperkenalkan diri dan Mei Ling lalu menceritakan
pengalamannya ketika bertemu dengan Bwee Hwa. Mendengar bahwa gadis ini bukan lain ialah Kim-gan-eng
yang telah terkenal juga, Ang Lian Lihiap memandang kagum.
Sekali pandang saja, ia merasa suka kepada gadis yang manis dan bersikap gagah ini, dan ia teringat akan
masa mudanya. Walaupun ia tidak menjadi perampok akan tetapi ia juga merantau dan malang melintang di
dunia kang-ouw, menjatuhkan banyak orang-orang gagah hingga nama Ang Lian Lihiap terkenal sekali.
"Siapakah gurumu, nona?" tanyanya.
"Suhu adalah Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan," jawab Bwee Hwa.
"Pernah aku mendengar nama ini, aku tetapi sayang aku belum mendapat kehormatan untuk bertemu muka
dengan dia," kata Lian Hwa mengingat-ingat.
Melihat betapa cicinya sudah menjadi sabar kembali, Mei Ling lalu mengajak dia pergi menjauhi Kong Liang dan
Bwee Hwa, minta agar supaya kakaknya itu beserta Bwee Hwa suka menanti sebentar.
Ang Lian Lihiap merasa heran melihat sikap Mei Ling yang hendak bermain rahasia-rahasiaan ini, akan tetapi
sambil tersenyum ia menurut saja ketika Mei Ling menarik tangannya dan mengajaknya ke bawah sebatang
pohon yang tak jauh dari situ letaknya.
"Cici, ada satu hal yang amat menggirangkan. Cici sudah melihat Bwee Hwa itu dan bagaimana pendapat cici?"
"Dia cantik dan gagah," kata Ang Lian Lihiap dengan ragu-ragu karena tiba-tiba ia timbul dugaan bahwa tentu
Mei Ling hendak mengusulkan perjodohan antara Kim-gan-eng itu dengan puteranya Lo Sin.
Wajah Mei Ling girang mendengar pujian Lian
Hwa ini, maka ia lalu berkata lagi. "Cici bagaimana kalau gadis
itu dijodohkan dengan...... engko Kong Liang?"
"Apa"...?" Lian Hwa benar-benar tercengang karena tidak menyangka, kemudian bayangan ragu yang tadi
menyelimuti wajahnya, terganti oleh seri gembira. "Kong Liang?""
"Benar, ketahuilah, cici, keduanya sudah saling suka?"" kemudian dengan suara bisik yang ramai seperti yang
hanya dapat dilakukan oleh dua orang wanita yang sedang membicarakan urusan orang lain sambil berbisikbisik, Mei Ling menceritakan kepada Lian Hwa tentang pengalaman malam hari itu ketika Kong Liang terluka
senjata berbisa dan ditolong oleh Bwee Hwa. Lian Hwa mendengarkan dengan tersenyum-senyum gembira,
kemudian ia berkata. "Baiklah, aku setuju sekali! Biarlah aku akan sekalian mencari-cari di mana adanya Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan,
agar aku dapat mengajukan lamaran untuk Kong Liang."
Mei Ling menjadi girang sekali dan kedua orang wanita cantik ini tertawa-tawa. Dari jauh Kong Liang dan
Bwee Hwa melihat keadaan mereka ini, ikut tersenyum gembira dan beberapa kali mereka saling bertukar
pandang. Mereka berdua menduga-duga apakah yang sedang dibicarakan oleh Mei Ling dan Ang Lian Lihiap itu
hingga perlu menjauhkan diri dan merahasiakannya dari mereka.
Tiba-tiba Bwee Hwa yang cerdik itu dapat menduganya. Apalagi yang perlu dirahasiakan oleh Mei Ling kepada


Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka selain perkara perjodohan" Bwee Hwa lalu menundukkan mukanya yang berubah merah dan ia tidak
berani lagi menatap pandang mata Kong Liang.
Ang Lian Lihiap dan Mei Ling kembali ke tempat itu dengan muka gembira, dan melihat betapa Bwee Hwa
menundukkan mukanya yang kemerah-merahan diam-diam Lian Hwa mengagumi kecerdikan gadis ini yang
agaknya telah tahu akan apa yang dirundingkannya dengan Mei Ling tadi. Sebaliknya, Kong Liang memandang
mereka dengan penasaran karena ia tidak diikutkan dalam perundingan itu.
09.26. Dua Anak Kehilangan Restu
Lian Hwa lalu menghampiri Bwee Hwa dan memegang tangannya, kemudian tanyanya halus,
"Bwee Hwa, kita telah menjadi sahabat-sahabat baik yang sepaham, maka harap kau suka menjawab
pertanyaanku dengan terus terang saja."
Bwee Hwa tidak berani memandang wajah Lian Hwa, hanya sambil bertunduk ia mengerling dan tersenyum.
"Berapakah usiamu tahun ini?"
Dengan suara hampir tidak terdengar oleh orang lain, Bwee Hwa menjawab, "Duapuluh tahun."
"Dan dari Mei Ling aku mendengar bahwa kau tidak mempunyai orang tua lagi. Maka kau anggaplah aku
sebagai wakil orang tua atau cicimu sendiri. Bwee Hwa, kami semua suka sekali kepadamu dan bagaimana
pikiranmu apabila kita mengikat tali perhubungan lebih erat lagi?"
Bwee Hwa adalah seorang gadis yang cerdik dan tentu saja ia telah maklum apa yang dimaksudkan oleh Ang
Lian Lihiap yang bicara terus terang ini, akan tetapi, mana ia berani menyatakan perasaan hatinya" Ia menjadi
makin malu dan tidak berani bergerak, bahkan dalam kebingungan dan malunya, keringat sampai keluar
membasahi dahinya! Melihat keadaan ini, Kong Liang yang masih belum mengerti, lalu menegur Ang Lian Lihiap. "Suci, sebenarnya
apakah artinya semua ini" Kau seakan-akan bicara dengan bahasa rahasia!"
Tiba-tiba Mei Ling memandang kepada kakaknya dengan tertawa geli, hingga Kong Liang menjadi heran dan
Lian Hwa juga ikut tertawa.
"Anak bodoh! Lebih baik aku berterus terang saja. Aku mempunyai usul dan pikiran untuk merangkapkan
jodoh antara kau dan Bwee Hwa, bagaimana pendapatmu"''
Kong Liang menjadi bengong dan warna merah menjalar di seluruh mukanya. "Ini...... ini?" terserah kepada cici
saja?"" katanya gagap dan memandang kepada adiknya dengan mata mendelik akan tetapi sinar matanya
mengandung pernyataan terima kasih yang besar sekali!
Ang Lian Lihiap tersenyum girang.
"Bwee Hwa seperti juga engkau, Kong Liang telah yatim piatu dan boleh dibilang akulah yang menjadi
wakilnya. Bagaimana pendapatmu tentang pinangan ini?"
"Toanio?"" jawab Bwee Hwa.
"Jangan menyebut aku toanio, sebutlah saja dengan cici, bukankah kita telah menjadi orang sendiri?"
Bwee Hwa makin jengah dan malu.
"Cici?"" katanya perlahan sekali, "kau...... kau baik sekali dan terima kasih atas kebaikan kalian ini...... akan
tetapi, hal itu?" aku harus bertanya kepada suhu karena suhu adalah seperti orang tuaku sendiri......"
Lian Hwa tersenyum. "Tentu saja, Bwee Hwa. Tentu saja harus mendapat perkenan dari gurumu, akan tetapi
hal itu kurasa tak perlu disangsikan lagi. Aku mendengar bahwa Pat-chiu Koai-hiap adalah seorang gagah dan
budiman, maka sudah tentu dia ingin sekali melihat muridnya berbahagia. Bagiku yang terpenting adalah
perasaan hati kalian berdua, kau dan Kong Liang, orang lain hanyalah ikut bergembira belaka dan ingin melihat
kalian hidup berbahagia. Maka, sebelum aku bertemu dengan suhumu, apabila kalian berdua tidak
berkeberatan, aku ingin melihat kalian bertukar pedang sebagai tanda persetujuan hati masing-masing!"
Tentu saja Bwee Hwa dan Kong Liang merasa malu dan tidak berani bergerak. Melihat hal ini, Mei Ling menjadi
kasihan sekali dan ia lalu menghampiri Kong Liang dan berkata,
"Koko, kalau kau tidak setuju, jangan biarkan aku mengambil pedangmu!" Setelah berkata demikian, gadis ini
lalu mengambil pedang dan sarung pedang yang tergantung di pinggang Kong Liang.
Pemuda ini merasa berdebar dan girang dan sama sekali tidak mencegah adiknya mengambil pedang itu!
Kemudian, dengan pedang di tangan, Mei Ling lalu menghampiri Bwee Hwa yang masih berdiri diam sambil
menundukkan kepala. Mei Ling lalu memberikan pedang Kong Liang pada gadis itu yang diterima tanpa berani
memandang. "Adikku yang manis, pedangmu harus diberikan kepada dia!" bisik Mei Ling kepadanya dan dengan tangan
gemetar Bwee Hwa lalu melepaskan pedangnya dan diberikannya kepada Mei Ling yang segera membawanya
kepada Kong Liang. Kedua orang anak muda itu setelah bertukar pedang lalu memakai pedang itu di pinggang
masing-masing dan wajah mereka merah sekali.
Setelah itu, Bwee Hwa lalu berkata kepada Ang Lian Lihiap dengan terharu. "Cici yang mulia, sungguh besar
sekali budi kalian terhadap aku yang bodoh dan hina. Sekarang aku mohon diri karena aku hendak mencari
suhu." Lian Hwa mengangguk-anggukkan kepala. "Memang kau harus selekasnya menemui suhumu dan kalau
mungkin memberi kabar kepadaku di mana dia berada agar aku dapat pula menjumpainya. Agaknya akan
sukar bagiku untuk mencari perantau aneh itu!"
Setelah berpelukan dengan Mei Ling dan bertukar kerling dengan Kong Liang, Bwee Hwa lalu cepat
meninggalkan tempat itu untuk pergi mencari Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan.
Setelah Bwee Hwa pergi, baru Kong Liang berani buka mulut.
"Mei Ling, kau benar-benar nakal dan suka menggoda orang!"
"Eh, eh! Bilang saja seperti apa yang dibisikkan hatimu. Jangan bicara lain di mulut lain di hati!" tegur adiknya.
"Apa maksudmu?"
"Aku mendengar hatimu berkata "Mei Ling terima kasih atas bantuanmu" akan tetapi mulutmu pura-pura
menegur lagi!" Lian Hwa tertawa dan Kong Liang dengan gemas berkata. "Awas kau! Sekarang juga akan kubuka rahasia
hatimu kepada suci!"
Terbelalak mata Mei Ling memandang kakaknya. "Rahasia" Rahasia apa?"
"Apalagi kalau bukan rahasia tentang kau menyamar menjadi laki-laki!"
Mendengar ini, merahlah wajah Mei Ling karena malu.
"Eh, eh, anak-anak. Kalian sedang bicara apakah?" tanya Lian Hwa.
"Cici, jangan percaya padanya. Mulutnya memang usil dan jahat!" kata Mei Ling sambil cemberut.
"Siapa usil dan jahat" Kalau tidak ada Yap Bun Gai yang menolong kau dan Bwee Hwa, apakah kita akan
dapat bergirang pada sa at ini" Dan kalau tidak ada kau yang menolong pemuda gagah itu, apakah dia tidak
akan mendapat celaka?"
Lian Hwa makin tertarik hatinya mendengar nama Yap Bun Gai disebut oleh Kong Liang, maka ia lalu
mendesak kepada pemuda itu untuk menceritakan pengalaman mereka.
Kong Liang dengan girang lalu menceritakan tentang kebaikan dan pertolongan Bun Gai, bahkan tentang cara
Mei Ling menolong dan membela pemuda itu. Mei Ling mendengarkan ini semua dengan menundukkan
mukanya dan kini dialah yang tidak berani berkutik.
Setelah mendengar cerita itu dan melihat betapa Kong Liang memberi isyarat mata ke arah Mei Ling, Lian Hwa
lalu memandang kepada gadis itu dan bukan main girang hatinya.
"Baiklah," katanya, "kalau aku sudah bertemu dengan suamiku, akan kubicarakan hal ini kepadanya. Aku
sendiripun setuju kepada pemuda yang baik hati itu, sayangnya dia muncul di tengah-tengah pihak mereka
yang jahat!" "Suci, emas murni tidak takut karat, dan bunga teratai tidak takut kena lumpur!" Kong Liang berkata dalam
pembelaannya sehingga diam-diam Mei Ling merasa berterima kasih kepada kakaknya itu yang membela Bun
Gai. "Ya, ya, aku tahu," jawab Lian Hwa. "Memang tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagiku melainkan
melihat kalian berdua mendirikan rumah tangga yang penuh kebahagiaan." Kata-kata terakhir ini diucapkan
dengan suara mengharukan karena pendekar wanita ini teringat akan puteranya.
Kemudian kakak beradik itu menyatakan bahwa merekapun hendak membantu mencari Cin Han dan Lo Sin
dan oleh karena tidak diketahui di mana adanya kedua orang itu, maka mereka lalu mengambil keputusan
untuk mencari sambil berpencar Kong Liang dan Mei Ling mencari ke utara dan Lian Hwa mencari ke timur.
Setelah Lian Hwa pergi, Mei Ling dengan gemas lalu mendekati kakaknya dan hendak dicubitnya sambil
berseru. "Kau lancang dan kurang ajar!"
Sambil tertawa-tawa Kong Liang berlari cepat dan kemudian berkata, "Adikku yang baik, mengapa kau tidak
bicara seperti hatimu?" Ia membalas menggoda. "Kalau menurut suara hatimu, kau seharusnya berlutut dan
menghaturkan terima kasih kepadaku!"
Demikianlah, kedua kakak beradik yang bahagia itu bersendau gurau di sepanjang jalan dalam perantauan
mereka mencari jejak Lo Sin atau Cin Han.
"Y" Lo Sin melarikan diri dari depan Nyo Tiang Pek yang marah sekali kepadanya, sedangkan Lee Ing mengikutinya
sambil menangis terisak-isak. Setelah berlari jauh dan memasuki sebuah hutan pohon siong, Lo Sin berhenti
dan Lee Ing lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis tersedu-sedu sambil mengeluh,
"Ayah?" ayah?""
Lo Sin segera memeluk pundak Lee Ing dan berkata perlahan.
"Ing-moi, tenangkanlah hatimu dan jangan bersedih. Ayahmu sedang marah, maka kemarahan telah membuat
pikirannya gelap. Biarlah kelak kalau ayahmu sudah sadar, tentu ia akan menjadi baik kembali. Untuk
sementara waktu, biarlah kita menjauhkan diri dan jangan kau khawatir, bukankah masih ada aku yang
melindungi dan mencintamu?"
Mendengar kata-kata ini, terhibur juga hati Lee Ing dan gadis ini lalu menyandarkan kepalanya di dada
kekasihnya. Pada saat itu, terdengar bunyi ringkik kuda dan sebentar juga Pek-liong-ma telah muncul di situ
sambil berlari congklang.
"Lihat Pek-liong-ma juga tidak mau berpisah dari kita!" Keduanya lalu bangun berdiri dan memeluk kuda yang
menjadi sahabat baik itu.
"Sayang sekali bahwa Tik Kong terlepas lagi dari tangan kita!" kata Lo Sin dengan gemasnya.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan dan masuk ke dalam hutan yang ternyata besar sekali dan di sebelah
dalam terdapat banyak pohon-pohon yang mempunyai buah-buahan hingga mereka girang sekali karena di
dalam hutan ini mereka tidak usah khawatir kekurangan makanan. Juga banyak sekali binatang-binatang
hutan yang dapat diburu dan dimakan dagingnya.
Lo Sin lalu menceritakan tentang semua pengalamannya hingga Lee Ing makin jelas dan mengerti tentang
kejahatan Tik Kong. Gadis ini merasa menyesal sekali bahwa ayahnya telah tertipu dan terpikat oleh pemuda
jahat itu. "Aku tidak dapat menyalahkan ayahmu," kata Lo Sin dengan sejujurnya. "Aku sendiri kalau belum mengetahui
tentang segala perbuatannya, apabila bertemu muka dengan Tik Kong yang berwajah tampan dan bersikap
menarik itu, tentu akan tertipu dan terpikat. Pemuda itu memang pandai membawa diri dan mempunyai muka
palsu yang sama sekali tidak mencerminkan keadaan hatinya."
"Akan tetapi, semenjak pertama kali bertemu aku sudah mempunyai rasa tidak suka dan benci kepadanya,"
kata Lee Ing. "Juga aku tahu bahwa ibupun kurang suka kepadanya, hanya sayangnya, ibu selalu menurut
kehendak ayah tanpa membantah sedikitpun."
"Memang sudah seharusnya demikian!" kata Lo Sin.
Lee Ing memandangnya dengan tajam. "Apa katamu" Sudah seharusnya demikian, bagaimana maksudmu?"
"Sudah seharusnya seorang isteri menurut kehendak suaminya."
Tiba-tiba Lee Ing berdiri lurus, mengedikkan kepalanya dan mendelikkan mata. "Enak saja kau bicara! Apakah
perempuan dianggap patung saja yang hanya boleh mengangguk dan menurut segala macam kehendak lakilaki" Apakah segala macam kehendak suami, biarpun tidak pantas dan tidak benar harus diturut saja dan isteri
tidak boleh membantah sedikitpun, bagaikan seekor lembu yang dituntun pada hidungnya" Ah, dasar kaupun
laki-laki! Dan laki-laki biasanya hendak menang sendiri saja, hendak enak sendiri, hendak diturut segala
kehendaknya!" Lo Sin tersenyum. "Aku tidak hendak menang sendiri saja, Ing-moi, juga tidak hendak enak sendiri atau diturut
segala kehendakku. Aku bukan laki-laki seperti itu, Ing-moi!"
Pandangan mata Lee Ing melembut. "Lebih baik kau jangan bersifat seperti itu, karena akupun bukan seorang
  perempuan yang mau dijadikan boneka yang hanya bisa mengangguk dan berkata. "Baik, tuan besar!"
Tiba-tiba Lo Sin memandang kepada gadis itu dengan mata berseri dan ia tertawa bergelak. "Ing-moi?" ha-haha! Kalau sudah begini, kau sama betul dengan ibuku! Ha-ha-ha! Sama-sama keras hati, liar dan tak mau
ditundukkan." Merah muka Lee Ing mendengar ini. "Memang ibu jauh lebih baik daripada aku, akan tetapi, ia terlampau
lemah dan mengalah!"
"Akan tetapi ibuku sangat mencintai ayahku, biarpun ia tukang membantah. Bahkan tidak jarang setelah
bersitegang, ibu menyatakan kesalahannya dan menurut kata-kata ayah!"
"Apa kaukira akupun tahuku hanya membantah dan sekehendakku sendiri saja" Akupun mempunyai pikiran!"
Kembali Lo Sin tertawa, ia merasa gembira sekali melihat watak dan sifat-sifat gadis ini yang benar-benar
seperti ibunya. Keras hati, panas, dan bergelora, akan tetapi memiliki kehalusan budi, penuh kegembiraan hidup
seperti kuda liar yang indah!
"Sin-ko, bagaimana kalau?" kalau orang tuamu tidak setuju dengan hubungan kita?" tiba-tiba Lee Ing bertanya
dengan suara sedih. "Ayahku terang tidak menyetujui, biarpun aku berani menanggung bahwa ibu tentu setuju
dan kalau orang tuamu juga tidak setuju, bagaimanakah akan jadinya dengan nasib kita?"
Lo Sin tersenyum untuk menghibur hati kekasihnya itu. "Jangan khawatir, Ing-moi. Ayah ibuku memang
tadinya bermaksud melamarmu, mengapa mereka tidak setuju" Bahkan terus terang saja, aku sendirilah yang
tadinya tidak setuju ketika mereka melamar kau."
"He"!?" Lee Ing memandang dengan mata terbuka lebar dan mulut cemberut hingga dalam pandangan mata Lo
Sin ia nampak makin cantik dan makin manis!
"Memang, aku bahkan menjadi marah," kata pula Lo Sin sambil tertawa. "Aku tidak suka dijodohkan dengan
puteri Nyo peh-peh oleh karena pada waktu itu hatiku telah tercuri oleh seorang gadis!"
"Apa katamu?" Lee Ing makin marah.
"Hatiku telah tercuri oleh gadis yang berdiri di bawah pohon dengan pakaian basah kuyup!"
Lenyaplah sinar kemarahan dari wajah Lee Ing, terganti oleh senyum yang membuat wajahnya kemerahmerahan. "Sin-ko, kau harus memberi pelajaran ilmu silat padaku," katanya kemudian dan karena memang Lo Sin
menganggap bahwa ilmu kepandaian Lee Ing masih jauh daripada mencukupi untuk menjaga diri, maka ia lalu
mulai mengajar silat kepada gadis itu.
Ia mulai mengajarkan gerakan pertama dari ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut dan ia tidak ragu-ragu lagi
untuk menurunkan ilmu pedang luar biasa ini kepada Lee Ing biarpun dulu ia telah disumpah oleh orang tuanya
bahwa ia tidak boleh menurunkan ilmu pedang itu kecuali kepada isteri atau anaknya kelak! Dengan perbuatan
ini, Lo Sin ternyata telah bertekad bulat untuk mengambil Lee Ing sebagai isterinya, biarpun seluruh dunia akan
menentangnya! Ia tidak takut akan ancaman Nyo Tiang Pek dan tidak takut pula kalau-kalau kedua orang tuanya melarang ia
berjodoh dengan gadis ini! Memang, kekerasan dan kenekatan hati Lo Sin ini adalah warisan dari Ang Lian
Lihiap yang terkenal memiliki hati keras dan keteguhan iman. Kalau telah menghendaki sesuatu, maka segala
rintangan akan diterjang dan diberantas!
Berhari-hari mereka hidup di dalam hutan, berlatih silat dan bersendau-gurau. Pek-liong-ma juga senang tinggal
di hutan yang banyak mempunyai rumput-rumput hijau yang gemuk untuknya itu. Akan tetapi, biarpun
perhubungan kedua anak muda ini mesra sekali, namun mereka selalu menjaga diri dan membatasi hati
mereka sehingga tidak mau melanggar batas-batas kesusilaan. Mereka terlampau gagah untuk dapat dikuasai
oleh nafsu-nafsu buruk dan rendah.
Mereka tidak tinggal di tempat yang tertentu dalam hutan itu dan setiap hari berpindah tempat mencari tempat
yang lebih indah dan menyenangkan. Pada suatu hari mereka tiba di sebelah timur hutan itu tiba-tiba mereka
mendengar suara orang bertempur.
Ketika Lo Sin dan Lee Ing cepat memburu ke tempat itu, mereka terkejut sekali oleh karena melihat bahwa
yang bertempur itu adalah Bwee Hwa si Garuda Mata Emas dan Hek Li Suthai. Kim-gan-eng Bwee Hwa sedang
didesak keras sekali oleh kedua pedang Hek Li Suthai hingga keadaan gadis itu dalam bahaya. Pedang yang
bersinar hijau dan hitam di kedua tangan to-kouw itu telah mengurung rapat dan Bwee Hwa hanya dapat
menangkis dan mengelak sambil mundur dalam keadaan terjepit!
Lo Sin lalu melompat dengan pedang di tangan dan sekali ia bergerak, maka kedua pedang Hek Li Suthai telah
ditangkis! Melihat datangnya orang yang membantunya, Bwee Hwa lalu mundur dan alangkah girangnya
ketika melihat bahwa yang membantunya adalah Ouw-yan-cu Lo Sin, si Walet Hitam! Dan lebih girang lagi
ketika ia melihat Lee Ing berdiri di situ.
Serta merta gadis ini lalu lari menghampiri Lee Ing dan memeluknya sambil menangis! Lee Ing heran sekali
melihat gadis ini nampak sedih dan menangis, maka ia lalu balas memeluk dan menghiburnya.
Kemudian keduanya lalu berdiri memanda ng ke arah Lo Sin yang menghadapi Hek Li Suthai yang menjadi
marah sekali karena ternyata olehnya bahwa yang menolong Bwee Hwa adalah putera Ang Lian Lihiap yang
sudah dikenal kelihaiannya itu! Dan di bawah pohon, di belakang Hek Li Suthai, berdiri si kakek buntung Bong
Cu Sianjin yang lihai! "Ouw-yan-cu! Bagus sekali kau datang mengantarkan jiwa!" teriak Hek Li Suthai dengan marah sekali dan
dengan sikap mengancam, akan tetapi ia tidak berani sembarangan bergerak atau menyerang. Sementara itu
ketika mendengar nama ini, Bong Cu Sianjin melangkah maju dengan penuh perhatian.
"Hm, inikah putera Ang Lian Lihiap yang tersohor?" katanya sambil tersenyum memandang rendah.
Bagaimana tiba-tiba saja Hek Li Suthai dan Bong Cu Sianjin bisa berada di situ dan bertempur dengan Kim-ganeng Bwee Hwa" Ternyata bahwa setelah mendengar dari Yap Bun Gai akan perjanjian mengadu kepandaian di puncak Hoa-mosan tiga bulan kemudian, Bong Cu Sianjin lalu mengajak Hek Li Suthai untuk mengunjungi kawan-kawan dan
mencari pembantu untuk menghadapi Ang Lian Lihiap dan suaminya yang lihai itu. Juga Lui Tik Kong
menyatakan hendak mencari bala bantuan dari orang-orang pandai yang dikenalnya dan Bi Mo-li yang tidak
dapat berpisah dari Tik Kong, lalu ikut pergi dengan pemuda itu.
Kebetulan sekali ketika mereka bertemu dengan Bwee Hwa yang sedang berjalan mencari suhunya. Melihat
Kim-gan-eng, tanpa banyak cakap lagi Hek Li Suthai lalu menyerangnya dan terpaksa Bwee Hwa melakukan
perlawanan sengit. Semenjak mendapat latihan-latihan dari suhunya, memang kepandaian Bwee Hwa telah
maju pesat. 10.27. Dukungan dan Keteguhan Hati Kekasih
Apalagi pertempuran-pertempuran yang pernah dilakukan dengan Hek Li Suthai dan kawan-kawannya
membuat ia berlaku hati-hati dan dapat menjaga diri dengan baik hingga walaupun ia selalu didesak hebat,
namun sebegitu jauh Hek Li Suthai belum berhasil merobohkannya! Sementara itu, Bong Cu Sianjin tidak mau
merendahkan diri untuk ikut menyerbu, betul bahwa Hek Li Suthai seorang diripun akan sanggup merobohkan
Kim-gan-eng. Kini mehhat bahwa putera Ang Lian Lihiap datang menolong Bwee Hwa, Bong Cu Sianjin memandang dengan
penuh perhatian dan berkata kepada Hek Li Suthai, "Ceng Hwa, seranglah dia dan jangan khawatir, aku
melihat dari sini." Biarpun sudah maklum akan kelihaian Lo Sin, namun Hek Li Suthai tidak mau menunjukkan rasa takut, maka
sambil berseru nyaring ia lalu memutar sepasang pedangnya dan menyerang dengan hebat. Harus diingat
bahwa to-kouw ini telah menerima latihan ilmu silat yang lebih tinggi dari Lan Bwee Niang-niang, maka
serangannya pun hebat sekali, jauh lebih hebat daripada ketika ia bertempur melawan Lo Sin di hujan badai
dulu itu. Namun Lo Sin menyambut serangannya dengan tenang saja. Pemuda ini mempergunakan pedang pusakanya
yang disebut Kim-hong-kiam atau Pedang Burung Hong Emas yang mengeluarkan sinar kuning keemasan lalu
memainkan ilmu pedangnya yang luar biasa.
Biarpun sepasang pedang Hek Li Suthai itu menyambar-nyambar merupakan dua buah sinar hijau dan hitam
dengan hebat dan garang, namun dengan sebatang pedangnya ia dapat menangkis dengan baik dan kuat
hingga tiap kali pedangnya bertemu dengan pedang di tangan Hek Li Suthai, to-kouw itu merasa betapa
telapak tangannya tergetar.
Lo Sin kali ini tidak mau memberi hati kepada lawannya dan ia lalu mengeluarkan ilmu pedangnya bagian
menyerang hingga sebatang pedang di tangannya itu berkelebat bagaikan seekor naga sakti mengamuk.
Belum juga mereka bertempur tigapuluh jurus. Hek Li Suthai sudah terdesak hebat dan terpaksa mengerahkan
segala ilmu kepandaiannya untuk menjaga diri dari desakan ini.
Bong Cu Sianjin merasa kagum sekali melihat kelihaian pemuda itu, maka ia lalu berseru, "Ceng Hwa, kau


Si Walet Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mundurlah dulu. Biar aku tangkap tikus kecil ini!"
Lega hati Hek Li Suthai mendengar perintah susioknya, karena memang ia telah mengeluarkan peluh dingin
pada dahinya menghadapi rangsekan yang membuatnya tidak berdaya itu.
Sementara itu, ketika melihat bahwa kakek buntung itu mengajukan diri dengan tabah dan berani sekali, Lo
Sin lalu menyimpan kembali pedangnya.
"Bong Cu Sianjin, kebetulan sekali. Aku telah lama ingin menyaksikan kelihaian kedua kakimu!" katanya
dengan tenang dan memasang kuda-kuda untuk menghadapi serangan kaki yang kabarnya lihai sekali itu.
Kalau Bong Cu merasa girang dan juga heran melihat keberanian Lo Sin, Lee Ing dan Bwee Hwa sebaliknya
merasa khawatir sekali. "Sin-ko, hati-hatilah, kakinya lihai sekali!" seru Lee Ing memperingatkan Lo Sin agar pemuda ini suka
mempergunakan pedang menghadapi kakek buntung itu. Akan tetapi Lo Sin hanya tersenyum danmenjawab,
"Aku tidak tega untuk menghadapinya dengan pedang, Ing-moi."
Jawaban ini membuat alis Bong Cu Sianjin seakan-akan berdiri karena marahnya. Ia merasa dianggap rendah
dan dihina oleh Lo Sin, maka sambil menggeram keras ia lalu melangkah maju dan mengirim serangan dengan
tendangan kakinya yang mengeluarkan angin keras.
Lo Sin maklum akan kelihaian lawan, maka ia tidak berani berlaku sembrono, bahkan menghadapinya dengan
hati-hati sekali. Ia mempergunakan kelincahan dan keringanan tubuhnya untuk berkelit cep at dan membalas
dengan serangan kilat yang tidak kalah hebatnya.
Menyaksikan ginkang pemuda ini yang tinggi, diam-diam Bong Cu Sianjin terkejut sekali. Selama berpuluh
tahun setelah kedua lengannya buntung, Bong Cu Sianjin setiap hari melatih kedua kakinya hingga kehebatan
kedua kaki ini tidak kalah dengan kedua lengan tangannya dulu ketika masih belum buntung. Bahkan kini
tenaga kakinya hebat sekali dan ia telah berhasil melatih kakinya sedemikian rupa hingga ujung kakinya dapat
digunakan untuk menotok jalan-jalan darah lawan.
Tiap kali ia menendang, bukanlah merupakan tendangan biasa yang hanya mempergunakan tenaga besar
belaka, akan tetapi selalu tendangannya itu mengarah urat-urat kematian atau bagian-bagian tubuh yang
berbahaya. Juga ia dapat memainkan kedua kakinya sedemikian rupa hingga kakinya dapat menendang dari
belakang, depan dan kanan kiri. Bahkan ia dapat melompat tinggi sambil menendang dari udara, atau ia dapat
menendang hingga kakinya itu mengarah kepala lawan.
Menghadapi ilmu tendangan yang luar biasa dan yang agaknya tiada keduanya ini, Lo Sin diam-diam merasa
terkejut sekali. Bukan kosong belaka kebesaran nama Bong Cu Sianjin dan ilmu tendangannya yang benarbenar membuat Lo Sin terpaksa harus berlaku hati-hati sekali.
Melihat betapa tendangan-tendangannya tak berhasil mengenai lawan yang muda dan tangguh ini, Bong Cu
Sianjin menggereng hebat karena penasaran dan marahnya. Ia lalu merubah gerak kakinya dan kini ia
melancarkan gerakan tendangan yang dinamai Jian-liong-tiam-jiauw atau Ribuan Naga Mengulur Kuku.
Tendangannya dilakukan dengan kedua kaki yang susul menyusul hingga serangan itu datang bagaikan hujan
mengarah bagian-bagian berbahaya dari tubuh Lo Sin.
Melihat serangan hebat ini, diam-diam hati Lee Ing berdebar cemas dan ia lalu memegang tangan Bwee Hwa
erat-erat. Juga Bwee Hwa merasa khawatir sekali, sungguhpun semenjak tadi tiada habisnya ia mengagumi
kepandaian Lo Sin, bukan main hebatnya sepak terjang putera Ang Lian Lihiap ini, pikirnya. Ke dua orang gadis
itu memandang dengan mata tanpa berkedip ke arah perkelahian yang hebat itu.
  Diserang secara demikian, Lo Sin terkejut sekali. Ia merasa betapa akan sukarnya untuk mengelakkan diri dari
serangan kedua kaki yang bertubi-tubi ini, maka ia lalu berseru keras dan tahu-tahu ia telah mempergunakan
ginkangnya dan tubuhnya mencelat ke atas. Akan tetapi, bukannya kaget, bahkan Bong Cu Sianjin lalu tertawa
girang dan kedua kakinya cepat mengejar dan kini tendangan-tendangan ditujukan ke atas menjaga turunnya
tubuh pemuda itu. Agaknya sudah tidak ada jalan lagi bagi Lo Sin untuk menghindarkan diri dari bahaya maut.
Akan tetapi, tidak kecewa Lo Sin mendapat gemblengan sepenuh hati dari kedua orang tuanya dan ia telah
menerima pula pelajaran ginkang yang tinggi dari ibunya, yaitu warisan ilmu ginkang dari Song Cu Ling si Dewi
Tanpa Bayangan. Melihat datangnya kedua kaki yang menyambar ke arah dirinya, tiba-tiba tubuh Lo Sin
berjungkir balik di tengah udara, kaki ke atas dan kedua tangan ke bawah. Ia lalu menyambut ujung kaki
lawannya yang menyambar dari bawah itu dan yang didahului oleh angin tendangan keras.
Lo Sin mengerahkan lweekangnya dan dengan tangannya ia menotol ujung kaki yang datang menyambar
hingga ia terdorong oleh tenaga tendangan itu dan tubuhnya melayang kembali ke atas. Berkali-kali Lo Sin
turun dan menotol ujung kaki hingga tubuhnya melayang lagi tanpa menderita luka.
Pemandangan ini sungguh indah dan mentakjubkan hingga Lee Ing dan Bwee Hwa memandang dengan
melongo. Juga Hek Li Suthai diam-diam merasa kagum sekali dan memuji dalam hatinya. Rasa penasaran di
dalam hatinya karena dikalahkan oleh Lo Sin, kini menjadi menipis oleh karena memang pemuda itu memiliki
ilmu kepandaian yang luar biasa sekali.
Sementara itu, dari atas, tubuh Lo Sin menyambar-nyambar naik turun sambil meminjam tenaga tendangan
lawan hingga seolah-olah ia merupakan seekor burung besar yang menyambar-nyambar turun dan kedua kaki
Bong Cu Sianjin merupakan dua ekor ular yang mencoba untuk menggigit burung yang menyambar turun itu.
Dan dari atas, Lo Sin melihat betapa kedua kaki lawannya itu bergerak bagaikan dua batang tongkat besar
yang lempeng menyerang ke atas. Tiba-tiba ia mendapat kenyataan hahwa seluruh kaki itu, dari ujung sampai
pangkalnya, yang paling lemah adalah bagian sambungan lutut. Maka ia lalu menotol ujung k aki lawan yang
menyambar lagi dan mengenjot tubuhnya jauh dari situ lalu turun di atas tanah.
Bong Cu Sianjin memburu sambil berteriak. "Jangan lari!"
"Siapa yang lari?" jawab Lo Sin sambil menyambut serangan lawannya lagi.
Kini Lo Sin sambil membalas dengan serangan pukulan dan tendangan yang semua ditujukan ke arah lutut
Bong Cu Sianjin. Memang sukar menghadapi lawan buntung yang tidak diketahui gerak geriknya. Jika
menghadapi seorang lawan yang berlengan, kita dapat mengikuti dan menduga gerakan lawan itu dari
pundaknya yang bergerak lebih dulu sebelum melakukan serangan, akan tetapi oleh karena Bong Cu Sianjin
tidak berlengan dan tidak melakukan serangan dengan tangan, maka pundaknya tidak bergerak hingga Lo Sin
tidak dapat menduga cara-cara ia bergerak melakukan serangan.
Kini pemuda itu mendapatkan akal dan memusatkan seluruh serangan pembalasan ke arah lutut lawan hingga
Bong Cu Sianjin menjadi sibuk juga. Kini ia tidak dapat mendesak seperti tadi oleh karena serangan-serangan
Lo Sin ke arah sambungan lututnya itu berbahaya sekali dan ia harus menjaga sekuatnya agar sambungan
lututnya jangan sampai kena terpukul. Dari paha, betis, sampai ke jari kakinya ia tidak takut menghadapi
pukulan, akan tetapi sambungan lututnya kalau sampai terpukul dan terlepas sambungannya, berarti ia akan
mendapat celaka. Pertempuran menjadi makin hebat karena keadaan mereka kini seimbang. Kalau saja Lo Sin mempergunakan
pedangnya, agaknya Bong Cu Sianjin takkan dapat tahan lama, akan tetapi pemuda itu merasa malu untuk
mempergunakan senjata apalagi setelah tadi ia menyatakan bahwa ia tidak tega menghadapi Bong Cu Sianjin
dengan senjata. Sedangkan sekarang, biarpun ia telah mengetahui letak kelemahan lawannya, namun oleh
karena Bong Cu Sianjin benar-benar kosen, ia tidak berdaya untuk mendesaknya apalagi hendak
merobohkannya. Lee Ing dan Bwee Hwa yang melihat betapa Lo Sin tidak terdesak hebat lagi, merasa lega, akan tetapi mereka
tetap merasa khawatir dan bingung karena tidak berdaya menolong kawan ini. Tadinya Bwee Hwa hendak
maju membantu, akan tetapi Lee Ing menahan tangannya sambil berbisik.
"Sin-ko tidak mau dibantu. Kalau dia sendiri tidak minta dibantu, kita tidak boleh turun tangan."
Akan tetapi tidak demikian dengan Hek Li Suthai. Melihat betapa kini susioknya tidak dapat mendesak lawan
bahkan keadaan mereka berimbang dan saling menyerang dengan hebatnya, ia lalu melompat maju dan
berkata. "Susiok, biar kita bersama menangkap anjing ini."
Tiba-tiba Lo Sin tertawa bergelak dan merasa bahwa kedatangan Hek Li Suthai itu menguntungkannya. Oleh
karena dikeroyok dua dan Hek Li Suthai mempergunakan sepasang pedang hijau hitamnya yan g lihai, maka ia
tidak malu untuk cepat-cepat menarik keluar pedangnya dan kini ia mengamuk dengan pedang Kim-hong-kiam
di tangan. Kini ia tidak mau berlaku setengah hati lagi dan mengeluarkan ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut bagian
gerakan menyerang yang paling hebat, yakni Naga Sakti Mandi di Api. Gerakan pedangnya bagaikan bunga api
menjilat-jilat atau cahaya kilat menyambar-nyambar, menimbulkan hawa panas yang keluar dari hawa pedang
dan ia mengurung kedua lawannya dengan sinar pedangnya yang lihai itu.
Bong Cu Sianjin kini terkejut sekali, demikian Hek Li Suthai. Biarpun keadaannya masih sanggup
mempertahankan diri, namun permainan pedang ini benar-benar hebat dan mengerikan. Kalau saja yang
menghadapi permainan pedang Lo Sin bukannya Bong
Cu Sianjin dan Hek Li Suthai, maka pasti keduanya
sudah sedari tadi kena dirobohkan.
Bong Cu Sianjin dan Hek Li Suthai yang berilmu tinggi itu merasa sangat penasaran dan terus mempertahankan
diri dengan ulet dan nekad. Akan tetapi setelah bertempur menghadapi ilmu pedang sakti ini sampai seratus
jurus, mereka tidak dapat menahan lagi. Keringat telah membasahi seluruh tubuh mereka dan pandangan mata
mereka telah berkunang-kunang.
"Ouw-yan-cu! Ibumu telah berjanji hendak bertanding dengan kami di puncak Hoa-mo-san pada bulan ketiga,
kalau kau memang berani, datanglah pada waktu yang ditentukan!" kata Bong Cu Sianjin sambil melompat
berjumpalitan ke belakang!
Hek Li Suthai juga hendak melompat keluar dari kurungan pedang Lo Sin, akan tetapi tiba-tiba pedang Lo Sin
telah bergerak sedemikian cepat sehingga kedua lengan tangannya tergores pedang dan mengeluarkan darah
dan kedua pedangnya itu terlepas dari pegangan!
"Ha-ha-ha, Hek Li Suthai! Biarlah kali ini aku memberi kesempatan padamu. Lain kali kubikin buntung kedua
lenganmu seperti susiokmu itu!"
"Walet Hitam! Biarlah lain kali aku membalas dendam ini di puncak Hoa-mo-san," kata Hek Li Suthai sambil
menahan marahnya dan memungut pedangnya, sedangkan luka goresan pedang di kedua tangannya
mengeluarkan banyak darah ketika ia mengikuti Bong Cu Sianjin melarikan diri situ dengan perasaan marah,
malu mendongkol dan penasaran!
Pertemuan dengan Lo Sin ini lebih menguatkan niat Bong Cu Sianjin untuk pergi mencari bala bantuan oleh
karena ia maklum bahwa dengan adanya Lo Sin ini, pihak Ang Lian Lihiap menjadi lebih kuat!
Lo Sin lalu menghampiri Bwee Hwa yang menjura kepadanya dan berkata.
"Terima kasih, taihiap. Kalau tidak ada kau dan adik Lee Ing yang membantu, tentu saat ini Kim-gan-eng hanya
tinggal namanya saja."
Ia lalu memeluk Lee Ing dengan terharu sekali dan ketika ia teringat akan nasib Lee Ing dan keadaan orang
tua kedua pemuda pemudi ini, tiba-tiba Bwee Hwa menangis sambil mengeluh.
"Lee Ing?" sungguh kasihan sekali kau......"
Lee Ing terkejut sekali. "Eh, eh, enci Bwee mengapa kau ini" Mengapa kau menyusahkan keadaanku" Ada
apakah?" Juga Lo Sin menjadi tidak enak hati dan berkata. "Nona, kau datang dari manakah dan hendak ke mana?"
"Lo-taihiap belum lama ini aku telah bertemu dengan Nyo lo-enghiong dan juga bertemu dengan ibumu."
Terkejutlah Lee Ing dan Lo Sin mendengar ini.
"Bagaimana keadaan mereka?" mereka berdua bertanya dengan suara hampir berbareng.
Dengan masih menahan tangisnya, Bwee Hwa lalu menceritakan betapa ia ikut dengan Kong Liang dan Mei
Ling ke rumah Nyo Tiang Pek dan bahwa pendekar itu masih marah sekali bahkan mengancam hendak
membunuh Lo Sin dan Lee Ing apabila mereka dapat bertemu dengan kedua anak muda ini!
Mendengar ancaman ayahnya ini, Lee Ing lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis sambil mengeluh.
"Ayah...... ayah?" sekejam itukah hatimu kepadaku"..?"
Bwee Hwa memeluk pundak Lee Ing dan ikut menangis, sedangkan Lo Sin lalu berkata menghibur.
"Tenangkanlah hatimu, Ing-moi. Akulah yang akan bertanggung jawab terhadap semua ini. Dan bagaimana
dengan ibu, nona" Bagaimana sikap ibu setelah mendengar ucapan Nyo-pehpeh itu?"
"Ibumu marah sekali dan kalau sampai kedua pendekar tua itu bertemu muka, aku tidak dapat
membayangkan apa yang akan terjadi! Ibumu bahkan menyatakan bahwa oleh karena ayah Lee Ing
membencimu dan mengancam hendak membunuh, maka ibumu juga tidak rela kalau?" kalau kau berjodoh
dengan Lee Ing......"
Mendengar ini, Lee Ing memekik ngeri dan roboh pingsan dalam pelukan Bwee Hwa!
"Lee Ing...... Lee Ing?" ah, ampunkan aku, taihiap?" aku telah gila! Lee Ing...... mengapa mulutku begini
Piramida Bangsa Astek 3 Pendekar Bayangan Sukma 15 Maut Buat Madewa Gumilang Delapan Pocong Menari 2

Cari Blog Ini