Ceritasilat Novel Online

Terkoyaknya Raja Digdaya 1

Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura Bagian 1


Novel PRABU SILIWANGI: Bara di Balik Terkoyaknya Raja
Digdaya karya E. Rokajat Asura ini diambil dari http://indozone.net/ yang di upload pertama kali oleh Tjareuh_Boelan dan dilanjutkan oleh anuraga...
BEBER LAYAR Nurut galuring karuhun. Mapay tata para bujangga Menelisik hilir Kerajaan Pajajaran terutama saat mencapai zaman keemasan dibawah kepemimpinan Sri
Maharaja Prabu Siliwangi, perlu mengetahui aliran dari hulunya. Dengan demikian kita yang di hilir, bisa
menerima aliran air kehidupan dari hulu dengan dada penuh kebanggaan. Sikap yang akan m enumbuhkan
semangat untuk tetap membangkitkan etos pada zaman kekinian. Aliran raja-raja Sunda ini saya rangkum dari
berbagai bahan rujukan. 1. Maharaja Tarusbawa (670-723 M)
Mendirikan ibukota kerajaan di daerah pedalaman dekat hulu Cipakancilan. Maharaja Tarusbawa adalah
menantu Raja Tarumanagara yang menjadi cikal bakal Raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M.
Maharaja Tarusbawa bergelar Tohaan di Sunda atau Raja Sunda. Karena putra mahkotanya meninggal
mendahului, maka anak perempuan bernama Tejakancana diangkat sebagai ahli waris kerajaan.
2. Raja Sanjaya (723-732 M)
Raja Sanjaya atau Rakeyan Jamri atau Prabu Harisdama adalah cicit dari Wretikandayun. Sebagai penguasa
Sunda, ia kemudian dikenal dengan nama Prabu Harisdarma yang menguasai Kerajaan Galuh. Ibu Raja Sanjaya
adalah Sanaha, cucu Maharani Sirna dari Kalingga, Jepara. Ayahnya adalah Bratanasenawa, Raja Galuh ke-3,
seorang teman dekat Tarusbawa. Bratanasenawa adalah cucu Wretikandayun dari putra bungsunya
Mandiminyak, Raja Galuh ke-2. Pada tahun 716 M Bratanasenawa dikudeta oleh Purbasora. Purbasora dan
Bratanasenawa sebenarnya adalah Saudara dari ibu tapi lain ayah. Bratanasenawa dan keluarganya kemudian
menyelamatkan diri ke Pakuan dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Di kemudian hari, Sanjaya yang
merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa untuk
melengserkan Purbasora. Wretikandayun, sebelumnya pernah menuntut Tarusbawa untuk memisahkan
Kerajaan Galuh dari Kerajaan Sunda. Sebagai ahli waris Kalingga, pada tahun 732 M Sanjaya kemudian
menjadi penguasa Kalingga Utara atau Bumi Mataram. Dengan demikian Sanjaya adalah penguasa Kerajaan
Sunda, Galuh dan Mataram Hindu. Sementara kekuasan di Jawa Barat diserahkannya kepada sang putra dari
Tejakencana yakni Tamperan Barmawijaya atau Rakeyan Panaraban.
3. Rakeyan Panaraban (732-739 M)
Rakeyan Panaraban atau Tamperan Barmawijaya adalah putra Sanjaya yang berkuasa di Kerajaan Hindu ke-2.
4. Rakeyan Banga (739-766 M)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783 M)
6. Prabu Gilingwesi (783-795 M)
Menantu no. 5 7. Pucukbumi Darmeswara (795-819 M)
Menantu no. 6 8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M)
9. Prabu Darmaraksa (891-895)
10. Windusakti Prabu Dewageng (895-913 M)
11. Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916 M)
12. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa (916-942 M) Menantu no. 11
13. Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M)
14. Limbur Kancana (954-964 M)
Putra no. 11 15. Prabu Munding Ganawirya (964-973 M)
16. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973-989 M)
17. Prabu Brajawisesa (989-1012 M)
18. Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019 M)
19. Prabu Sanghyang Ageng (1019 - 1030 M),
berkedudukan di Galuh 20. Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030-1042 M)
Berkedudukan di Pakuan. Pada masa itu Sriwijaya (orang Melayu) menjadi momok yang menakutkan.
Kerajaan Sunda Galuh untuk menghindari konflik dengan Sriwijaya, melakukan hubungan pernikahan antara
Raja ke-19, Prabu Sanghyang Ageng (ayah dari Sri Jayabupati) dengan putri Sriwijaya. Jadi ibu Sri Jayabupati
adalah seorang putri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja Wurawuri. Permaisuri Sri Jayabupati adalah putri
Dharmawangsa (adik Dewi Laksmi, istri Airlangga). Akibat dari pernikahan tersebut Jayabupati mendapat
anugerah gelar dari mertuanya, Dharmawangsa, yang kemudian dicantumkan dalam Prasasti Cibadak. Sebagai
Putra Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Dharmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan
yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya, Dharmawangsa. Pada puncak krisis ia hanya
menjadi penonton dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus menyaksikan Dharmawangsa
diserang dan dibinasakan oleh Raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan
itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya diancam agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan
Wurawuri yang dalam Prasasti Calcuta disebut Pralaya itu terjadi tahun 1019 M.
Sriwijaya sendiri musnah di tahun 1025 karena serangan Kerajaan Chola dari India. Tahun 1088, Kerajaan
Melayu Jambi, menaklukkan Sriwijaya, dan berkuasa selama dua ratus tahun. Dua abad kemudian, kedua
kerajaan tersebut ditaklukkan Kerajaan Singhasari pada saat Raja Kertanegara bertahta, dengan mengirimkan
Senopati Mahisa atau lebih dikenal sebagai Lembu Anabrang dalam ekspedisi PAMALAYU 1 dan 2, dengan
pertimbangan untuk mengamankan jalur pelayaran di selat Malaka yang sangat rawan Bajak Laut setelah
runtuhnya Sriwijaya di tahun 1025. Mahisa Anabrang yang menikah dengan Dara Jingga (putri Raja
Mauliwarmadhewa dari Kerajaan Melayu Jambi), ayah dari Adityawarman, pendiri Kerajaan Pagar Ruyung.
Dalam hikayat Kerajaan Minangkabau, Dara Jingga dikenal juga sebagai Bundo Kanduang.
21. Raja Sunda ke-21 berkedudukan di Galuh
22. Raja Sunda ke-22 berkedudukan di Pakuan
23. Raja Sunda ke-23 berkedudukan di Pakuan
24. Raja Sunda ke-24 berkedudukan di Galuh
25. Prabu Guru Dharmasiksa, mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan
26. Rakeyan Jayadarma, berkedudukan di Pakuan
Rakeyan Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan Dyah
Singamurti alias Dyah Lembu Tal. Mahisa Campaka adalah, anak dari Mahisa Wongateleng, yang merupakan
anak dari Ken Arok dan Ken Dedes dari Kerajaan Singhasari. Mahisa Campaka dan Dyah Lembu Tal berputra
Sang Naraya Sanggramawijaya atau lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya, lahir di Pakuan. Dengan kata
lain, Raden Wijaya adalah turunan ke-4 dari Ken Arok dan Ken Dedes. Karena Jayadarma wafat dalam usia
muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa
Timur. Dalam Babad Tanah Jawi, Raden Wijaya disebut pula Jaka Susuruh dari Pajajaran yang kemudian
menjadi Raja Majapahit I. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putra mahkota karena Raden
Wijaya berada di Jawa Timur. Jadi, sebenarnya, Raden Wijaya, Raja Majapahit I, adalah penerus sah dari tahta
Kerajaan Sunda ke-27. 27. Prabu Ragasuci (1297-1303 M)
Berkedudukan di Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis. Prabu Ragasuci sebenarnya bukan putra
mahkota karena kedudukannya itu dijabat kakaknya, Rakeyan Jayadarma. Permaisuri Ragasuci adalah Dara
Puspa, Putri Kerajaan Melayu, adik Dara Kencana, istri Kertanegara dari Kerajaan Singhasari di Jawa Timur.
28. Prabu Citraganda (1303-1311 M)
Berkedudukan di Pakuan. Ketika wafat ia dipusarakan di Tanjung.
29. Prabu Lingga Dewata (1311-1333 M)
Berkedudukan di Kawali 30. Prabu Ajiguna Wisesa (1333-1340 M)
Berkedudukan di Kawali. Prabu Ajiguna Wisesa adalah menantu Prabu Lingga Dewata. Sampai tahun 1482
pusat pemerintahan tetap berada di sana. Bisa dikatakan bahwa tahun 1333-1482 adalah Zaman Kawali dalam
sejarah pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal 5 orang raja. Lain dengan Galuh, nama Kawali terabadikan
dalam dua buah prasasti batu peninggalan Prabu Raja Wastu yang tersimpan di Astana Gede Kawali. Dalam
prasasti itu ditegaskan mangadeg di Kuta Kawali1 dan keratonnya disebut Surawisesa yang berfungsi sebagai
dalem sipawindu huripi. 31. Prabu Maharaja Lingga Buana (1340 - 1357 M)
32. Mangkubumi Suradipati atau Prabu Bunisora (1357-1371 M)
Prabu Bunisora adalah adik Prabu Lingga Buana. Ada yang menyebut Prabu Kuda Lelean. Dalam Babad Panjalu
disebut Prabu Borosngora. Selain itu di Jampang, ia pun dijuluki Batara Guru karena ia menjadi pertapa dan resi
yang ulung, 33. Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana (1371-1475)
Niskala Wastu Kancana adalah anak Prabu Lingga Buana, dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371. Bertahta di
Kuta Kawali Keraton yang memberikan ketenangan hidup
pada usia 23 tahun. Permaisurinya yang pertama adalah Lara Sarkati, putri dari Lampung. Dari perkawinan ini
lahir Sang Haliwungan, setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar Prabu Susuktunggal. Permaisuri yang
kedua adalah Mayangsari, putri sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinan ini lahir Ningrat
Kancana, setelah menjadi penguasa Galuh bergelar Prabu Dewa Niskala. Setelah Wastu Kancana wafat tahun
1475, kerajaan dipecah dua di antara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat. Politik
kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana.
34. Prabu Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi.
Bertahta dari tahun 1482-1521 M. Jayadewata, putra Dewa Niskala ini mula-mula memperistri Nyai Ambetkasih,
putri Ki Gedeng Sindangkasih. Kemudian memperistri Nyai Subanglarang, putri Ki Gedeng Tapa, seorang muslim.
Dari Nyai Subanglarang lahir Raden Prabu Anom Walangsungsang dan Nyimas Rarasantang. Prabu Siliwangi
kemudian memperistri Nyai Kentring Manik Mayang Sunda, putri Prabu Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda
dan Raja Galuh yang seayah ini menjadi besan. Di tahun 1482, Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta
Kerajaan Galuh kepada Prabu Siliwangi, demikian pula dengan Prabu Susuktunggal yang menyerahkan Tahta
Kerajaan Sunda kepada menantunya ini. Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu
Kencana berada kembali dalam satu tangan.
Jayadewata memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai "Susuhunan" karena ia telah lama tinggal di
sini menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat
pemerintahan. Zaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Ratu Jayadewata yang bergelar Sri Baduga
Maharaja yang memerintah selama 39 tahun (1482-1521) dan mencapai puncak perkembangannya. Pada
rentang masa inilah kisah ini terjadi.
*
MENDUNG DI PAJAJARAN Purbatisi purbajati Mana mo kadatangan ku musuh
Ganal musuh alit Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa
Tan kreta ja lakibi dina urang reya
Ja loba di sanghiyang siksa
*
Prabu Jayadewata menegang. Kegundahan menyergapnya. Memuncak. Sesekali diliriknya Prabu Anom
Walangsungsang, darah dagingnya sendiri, calon putra mahkota yang telah dipersiapkan sejak ja bang bayi.
Sama sekali tak pernah dibayangkan sebelumnya, jika calon pewaris tahta Kerajaan Pajajaran ini begitu kukuh
pendiriannya sekalipun usianya masih muda. Andai saja pendirian yang kukuh itu sejalan dengan pikirannya,
lelaki gagah perkasa bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata
Mahaprabu Sri Baduga tentu akan senang. Sangat senang. Bangga. Bangga sekali. Keteguhan dan ketegasan
yang selama ini mengalir di merah darahnya juga telah terlihat nyata mengalir pada putranya itu. Tapi ini lain.
Sesuatu yang sama sekali tak pernah terlintas di benaknya.
Prabu Anom Walangsungsang adalah buah perkawinannya dengan Ratu Subanglarang, putri Ki Gedeng Tapa.
Ketika memutuskan menikah dengan Ratu Subanglarang, Sri Maharaja Prabu Siliwangi -penganut ajaran Jati
Sunda- sadar betul bahwa putri Ki Gedeng Tapa itu seorang santri, muslimah yang baik. Perbedaan keyakinan
itu sama sekali tidak membuatnya khawatir. Tapi kini, ketika Walangsungsang, putra mahkota yang telah ia
persiapkan untuk memegang tampuk kekuasaan tersebut, menggugat masalah itu, kekhawatiran menyeretnya
pada dinding kokoh. Betapa tidak. Jika Walangsungsang diizinkan untuk memiliki keyakinan yang berbeda,
bagaimana dengan masyarakat
Pajajaran kelak. Kabut hitam mengambang menutupi pandangannya. Kegundahan itu tak terkendalikan lagi.
Dadanya turun naik hingga nyata benar bagaimana siger dan hiasan di dadanya bergerak-gerak tak beraturan.
Sesekali menyibak rambut hitamnya. Rahang yang menonjol kuat itu jelas benar gemelutuk menahan amarah.
Andaikata yang ada di hadapannya adalah seorang musuh atau siapa pun di luar trah Pajajaran, Kujang sakti
yang terselip di pinggangnya tentu yang akan banyak bicara. Atau sekadar pembuka ganjaran atas
kelancangannya itu, telapak tangan kanan nya yang terisi aji tapak naga tentu akan segera mem buat hangus
wajah lelaki muda dihadapannya itu.
Walangsungsang masih menunduk. Tak sedikit pun ketakutan menyelimutinya. Ia menunduk semata rasa
hormat kepada orang tuanya, lelaki perkasa yang sejak kecil selalu ia banggakan. Sampai kini tak pernah
sekalipun lelaki gagah di hadapannya itu berubah. Tidak. Tidak ada alasan bagi Walangsungsang untuk tidak
memelihara rasa hormat dan kekagumannya itu. Kekaguman seorang anak pada ayahnya. Kekaguman
seorang manusia kecil pada keperkasaan sosok lelaki di hadapannya. Bahkan kekaguman seorang lelaki pada
sesamanya. Kekaguman pada kemuliaan dan keluhuran budi pekertinya.
Kembali menit-menit keheningan menyeruak, Sri Maharaja Prabu Siliwangi memejamkan kedua matanya,
sekadar membingkai kembali bayangan indah saat Walangsungsang balita yang lucu dan menggemaskan itu
menjejal hadir. Ia menaruh harapan besar bahwa seluruh kesaktian dan keteguhannya memegang prinsip,
akan terwariskan pada putranya itu.
Kini, ketika putra kesayangannya itu cukup umur, Sri Maharaja Prabu Siliwangi tak salah melihat. Kesaktian dan
keteguhan hati Walangsungsang memang sudah tampak. Tapi keteguhan sikap itu kini dirasakan sebagai pisau
bermata dua. Tak hanya akan mengancam musuh, tapi bisa melukai pemegangnya sendiri. Di ruangan lapang
yang sekelilingnya berdinding batu kokoh itu, ia seperti tidak menemukan sedikit pun tempat yang
membuatnya tenteram. "Kau tak akan menarik kembali omonganmu itu, Walangsungsang?" selidik Sri Maharaja Prabu Siliwangi dengan
suara agak bergetar. Suara yang sebenarnya tak pantas keluar dari mulut seorang lelaki sakti mandraguna,
dengan postur tinggi besar dan kokoh itu. Sosok ksatria yang selalu membuat miris musuh yang berhadapan
dengannya. "Tidak, Kanjeng Rama!" tenang suara Walangsungsang, setenang air Cipakancilan. Tapi siapa sangka jika air
tenang itu bisa menghanyutkan kerbau.
"Kau sadar sedang berhadapan dengan siapa sekarang ini?"
"Aku sadar, Kanjeng Rama!"
Sri Maharaja Prabu Siliwangi beringsut menuju jendela. Di sisi kiri terdapat bokor emas berisi melati. Saat angin
semilir akan menyeruakkan wangi melati ke seluruh penjuru ruangan. Tapi kini sama sekali tidak menarik
perhatiannya. Pandangan Sri Maharaja Prabu Siliwangi justru terpapar pada hamparan tanah luas yang
menghubungkan ke jalan kecil menuju Taman Sari. Ingatannya bahkan lebih cepat manapaki tanah-tanah
tempat lokasi keraton berada. Ia seperti sedang menjajal kekuatan ingatannya sendiri atau sekadar
mengurangi gundah hati yang terasa semakin menjeratnya. Perasaan yang tak pernah dirasakan sewaktu
berhadapan dengan musuh mana pun. Lembaran-lembaran lontar atau kulit hewan, telah terpatri dengan tinta
emas bagaimana sakti sak durung winarah-nya Sri Maharaja Prabu Siliwangi. Sebagai sosok raja adil
palamarta, welas asih, bijaksana, "ngaping ngajaring" anak cucu Sunda. Betapa berat mengemban semua itu.
Semakin berat saat putra mahkotanya sendiri ke hulu tak sejalan ke hilir tak satu pikir.
Keraton Pakuan terletak pada lahan lemah-duwur (lahan datar di atas bukit) yang diapit oleh tiga batang
sungai berlereng curam yaitu Cisadane, Ciliwung dan Cipaku. Sebagai berkah di tengah-tengahnya mengalir
Cipakancilan yang ke bagian hulu sungainya bernama Ciawi. Pakuan terlindung oleh lereng terjal pada ketiga
sisinya. Hanya pada sisi tenggara kota yang berbatas dengan lahan yang datar, sehingga perlu dibuat kuta atau
benteng yang paling besar dengan lebar dasar 7 meter dan tingginya 4 meter serta pada bagian atasnya
diperkuat dengan batu. Seperti di Karang Kamulyan, pada tepi bagian luar benteng tersebut terd apat parit yang
merupakan bentuk negatif dari benteng itu. Tanah galian parit inilah yang dijadikan bagan pembangunan
benteng. Keraton Pakuan berada di lokasi yang aman dan kokoh terlindungi alam. Tuhan telah menganugerahkan
keamanan alami, selain kekayaan alam dan tanah yang subur. Tapi semua itu kini terasa tidak ada artinya. Tiga
batang sungai dan bukit terjal yang menjadi tembok pengaman alami, terasa hancur luluh sehingga terbuka ke
segala arah, manakala hati Sri Maharaja Prabu Siliwangi sedang disergap gundah gulana. Ia seperti sedang
mempertontonkan kelemahannya sendiri, dan anehnya hal itu terjadi, di hadapan putra mahkota yang kelak
diharapkan akan meneruskan jejak langkahnya. Walangsungsang dalam pandangan Sri Maharaja Prabu
Siliwangi, bukan anak kecil yang lucu lagi kini. Tapi sosok menyeramkan yang terasa akan menjadi duri dalam
daging. Bahkan tak terbayangkan jika kewibawaan sebagai penguasa Pajajaran justru harus ternoda gara-gara
tak bisa mendidik putranya sendiri. Kalaupun gegabah menghadapi keinginan putranya ini, bagaimana kelak
sejarah akan mencatat dengan tinta merah tentang seorang penguasa yang adil kepada rakyat tapi tak bisa
menegakkan keadilan pada putranya sendiri. Pun jika ia membinasakan putranya sendiri, sejarah tak bisa
dipungkiri akan mencatat kenistaan seorang Raja Pajajaran, seorang manusia haus darah sampai-sampai anak
sendiri dibinasakan. Gelegak nafsu hewani yang lebih rendah dari hewan sendiri. Bukankah seekor harimau tak
akan pernah makan anaknya sendiri dalam keadaan terjebak rasa lapar sekalipun. Sekalipun saat menelisik
cerita-cerita lama, ada pula seorang anak dan ayah bertanding menyabung nyawa untuk memperebutkan
tahta Kerajaan. Sri Maharaja Prabu Siliwangi mengusap wajahnya dan terasa mulai muncul titik-titik keringat dingin.
Sri Maharaja Prabu Siliwangi paham benar bagaimana masyarakat Pajajaran yang demikian segan dan
memegang teguh tradisi untuk tidak menyebut gelar seorang raja.
(Menurut tradisi lama, orang segan atau tidak boleh menyebut gelar raja yang sesungguhnya, maka juru
pantun mempopulerkan sebutan Siliwangi. Dengan nama itulah ia dikenal dalam literatur Sunda. Wangsakerta
pun mengungkapkan bahwa Siliwangi bukan nama pribadi, ia menulis: "Kawalya ta wwang Sunda lawan ika
wwang Carbon mwang sakweh ira wwang Jawa Kulwan anyebuta Prabhu Siliwangi raja Pajajaran. Dadyeka
dudu ngaran swaraga nira" (Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua orang Jawa Barat yang
menyebut Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya)
Tapi apakah rasa hormat seperti ini akan tetap bertahan manakala sang raja diketahui tak pandai mendidik
putranya sendiri" Atau raja yang diagung-agungkannya itu salah dalam bertindak manakala berhadapan
dengan putranya sendiri"
"Oh, tidak, Hyang Jaga Nata! Hilangkan aku dari pikiran-pikiran buruk seperti itu. Berikan aku, Hyang Jaga Nata,
kepercayaan diri dan keyakinan dengan keputusanku sendiri...." gumam Sri Maharaja Prabu Siliw angi.
Sri Maharaja Prabu Siliwangi telah menerapkan peraturan bahwa ajaran dari leluhur harus senantiasa dijunjung
tinggi sehingga tidak akan kedatangan musuh, baik berupa laskar maupun penyakit batin. Senang sejahtera di
utara, barat dan timur. Yang tidak merasa sejahtera hanyalah rumah tangga orang banyak yang serakah akan
ajaran agama. Inilah konsep atau peraturan yang selalu dipegang teguh pemerintahan Sri Maharaja Prabu
Siliwangi dan ditakzimi oleh seluruh rakyat. Inti dari ajaran Jati Sunda yang dianggap telah sempurna sebagai
pegangan hidup. Ia memang tak pernah menyangkal bahwa mungkin ada saja masyarakat Pajajaran yang
mulai terpengaruh ajaran lain, sekalipun itu diyakini sebagai sikap serakah yang akan berakibat hidupnya tidak
merasa sejahtera. Tapi bagaimana kini dengan putranya sendiri"
Darah menggelegak begitu cepat naik ke ubun-ubun. Sri Maharaja Prabu Siliwangi menggertak. Suaranya
menggema menembus langit. Walangsungsang terperanjat. Kaget luar-biasa. Tapi sebagai calon ksatria yang
telah ditempa sejak kanak-kanak, kekagetan itu bisa dikendalikannya dengan menggenggam kuat-kuat jarijemarinya. Sejak kecil ia memang sudah diperkenalkan dengan berbagai cakra di tubuh dari mulai cakra dasar
sampai dengan cakra mahkota, energi tertinggi pada rubuh manusia yang berasal dari energi Ilahiah. Energi ini
terdapat pada seseorang berjiwa tinggi. Selain dilatih untuk membangkit energi cakra yang terdapat di atas
kepala manusia, Walangsungsang pun sudah dilatih untuk membangkitkan energi kundalini, berupa gulungan
ular yang tidur melingkar, sebuah energi spiritualitas berupa gulungan energi yang tertidur yang terletak di


Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tulang sacrum, dasar tulang belakang manusia. Seseorang yang telah terlatih, kedua energi tersebut akan
optimal dan terpancar merata ke setiap mili tubuhnya sendiri sehingga memberi kekuatan yang sempurna,
sekokoh batu karang. "Dengar, Walangsungsang!"
Walangsungsang mengangkat kepala, lalu menunduk kembali. Rasa hormat kepada orangtua tetap akan
dipegang teguh, sekalipun mendapat perlakuan kasar sebagai balasan dari keinginan anehnya. Tidak. Keinginan
Walangsungsang tidak aneh. Sri Maharaja Prabu Siliwangi pun menyadari hal ini bukan sebagai se suatu yang
aneh. Tak ada yang aneh ketika seseorang mencari kesejatian hidup. Tapi pencarian itu menjadi tidak
sederhana lagi manakala harus berbeda dengan keyakinan yang dipegang teguh selama ini. Ketika seorang
anak rakyat jelata, mencari kesejatian hidup yang berbeda dengan orangtuanya, tak lebih dari riak air dalam
tempayan. Tapi ketika seorang putra mahkota melakukan hal yang sama, riak tadi bisa berubah jadi
gelombang yang siap menghantam tembok karang kekuasaan.
"Kau ingat Purbatisi purbajati. Mana mo kadatangan ku musuh. Ganal musuh alit. Suka kreta tang lor kidul
kulon wetan kena kreta rasa. Tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa. Kau ingat itu?"
suara Sri Maharaja Prabu Siliwangi menggeram. Memantul pada dinding batu, memantulkan gema yang
membuat bulu kuduk berdiri, bagi yang mendengarnya. Tapi tidak bagi Walangsungsang. Ia terlihat
mengangguk takzim. "Jadi untuk apa sebenarnya keinginanmu itu?"
"Mencari kebenaran sejati, Kanjeng Rama!"
"Kebenaran sejati?"
Walangsungsang untuk kesekian kalinya mengangguk. Takzim.
"Apakah bukan kebenaran sejati apa yang dipegang teguh ayahmu sekarang ini?"
Walangsungsang diam. "Apa yang kau lihat sebagai ketidakkesempurnaan ajaran Jati Sunda sehingga kau masih mencari
kesempurnaan lain?" Walangsungsang tak bersuara. Tak berani membenarkan juga tak ada kuasa menyalahkan. Ia sendiri merasa
yakin bahwa apa yang terjadi dalam mimpinya, itulah petunjuk untuk mencari kebenaran sejati itu. Bayangan
tentang ibunya menari-nari. Ia beberapa kali melihat cara-cara sembahyang ibunya yang sama sekali berbeda
dengan ayahnya. Mungkin yang dituju dalam sembahyangnya itu pun berbeda. Inilah yang selalu menggoda
pikiran Walangsungsang, sampai akhirnya suatu malam ia bermimpi bertemu dengan sosok laki-laki suci yang
pandangan matanya kemilau matahari, yang getar suaranya semilir angin bukit. Untaian kata-kata biasa yang
bermakna dalam. Terang kembali dalam kelopak mata Walangsungsang bagaimana perbincangan dalam
mimpinya itu. Perbincangan yang menyisakan kepenasaran dan keberanian dalam hatinya kelak.
"Apa yang menurutmu paling tinggi, Nak?" tanya laki-laki suci itu dalam mimpinya yang teramat indah, suatu
malam. "Dulu aku mengira, tembok keraton adalah tempat yang paling tinggi. Tapi ketika aku keluar dari keraton, aku
melihat pohon lebih tinggi dari tembok keraton..." jawab Walangsungsang, terasa begitu saja akrab dengan
laki-laki suci itu, yang sama sekali tak pernah terbayangkan sebelumnya.
"Ketika kau naik ke pohon itu, Nak, apa yang terjadi?"
"Aku pernah naik pohon kelapa yang paling tinggi. Aku bisa melihat ada yang lebih tinggi yai tu gunung!"
"Saat kau naik ke puncak gunung, kau pernah membayangkan ada tempat lain yang lebih tinggi?"
"Mungkin! Aku belum pernah naik ke puncak gunung yang tinggi, sekalipun aku punya kesanggupan untuk
itu..." "Itulah ilmu, Nak! Ilmu manusia hanya bayang-bayang semata. Ilmu Allahlah yang sesungguhnya benar dan
nyata..." "Allah" Siapa gerangan itu?"
"Allah adalah Zat yang tak ada kesamaan sedikit pun dengan makhluk. Mustahil ada yang menyerupai, karena
Allah Zat yang menciptakan semua makhluk..."
Pertanyaan disusul jawaban, jawaban disusul pertanyaan berikutnya. Begitulah terus-menerus sehingga
perbincangan Prabu Anom Walangsungsang dengan laki-laki suci dalam alam mimpi itu terasa menohok. Lakilaki suci itu tidak saja membawa kebaruan pandangan, tapi juga telah berhasil merangkai pernik-pernik yang
selama ini berceceran dalam alam pikiran Walangsungsang.
"Sepandai-pandai kau melihat ke depan, hanya ada dua pilihan jalan, jalan hak dan jalan salah. Setiap manusia
diberi kebebasan untuk memilih salah satu dari dua jalan yang disediakan Allah. Bila memilih jalan hak, siapa
pun akan mendapat limpahan nikmat. Sebaliknya bila memili
h jalan salah, harus mendapat limpahan laknat...."
Walangsungsang tercekat. Ia pernah mendapat ajaran seperti itu dari ayahnya sendiri manakala membahas
masalah pembagian alam di bumi ini. Dari situlah ia mengenal ada empat Hyang yang punya peran dan
julukan berlainan. Walangsungsang belum sampai pada titik kemengertian apakah Hyang-Hyang dalam ajaran
Jati Sunda itu bersumber dari zat yang satu seperti dijelaskan laki-laki suci itu"
"Menurutku kebebasan itu tidak benar-benar bebas, Paman!"
"Kenapa?" "Kalau benar-benar bebas, kenapa harus ada limpahan nikmat dan limpahan laknat?" sergah Walangsungsang.
"Di sinilah letak keadilannya, Nak! Kebebasan yang bertanggung jawab. Kebebasan itu telah diberikan sebebasbebasnya oleh Zat yang menciptakan kepada makhluk yang diciptakan, tapi bukan berarti bisa melepaskan diri
dari sebab akibat." "Kalau memang diberikan kebebasan, ken apa tidak diberikan pula untuk menentukan sebab akib atnya?"
"Maksudmu, Nak, diberikannya kebebasan untuk menentukan apakah jalan benar itu mendapat limpahan
laknat, atau ketika memilih jalan salah, mendapat limpahan nikmat?"
"Begitulah..." "Kalau begitu kenapa tidak kau tentukan pula kebebasan, letak tangan kiri di tempat yang bukan tempatnya
sekarang, dan tangan kanan diletakkan pada tempat yang bukan tempatnya sekarang?"
"Karena masing-masing tangan berada pada tempatnya seperti sekarang, telah memberi manfaat yang lebih
banyak buat setiap manusia?"
"Apakah ketika kebebasan itu benar-benar diberikan padamu, kau yakin bahwa akan banyak memberi
manfaat jika memilih jalan salah mendapat limpahan nikmat" Kau yakin lebih banyak memberi manfaat ketika
memilih jalan hak mendapat limpahan laknat?"
"Tak ada jaminan untuk itu, Paman!"
"Kalau begitu kenapa tidak kau serahkan jaminan kebenaran itu, pada Zat yang menciptakannya" Karena di
tangan kuasa-Nya, kebenaran itu pasti benar adanya..." jelas lelaki suci itu lagi.
Prabu Anom Wulangsungsang tercenung beberapa saat. Dilafalkannya kembali kata demi kata, dari setiap
perbincangan yang dilakukannya. Zat yang menciptakannya. Zat yang satu dan tidak ada yang menyerupainya.
Jalan pikiran yang dapat diterima akal sehat.
"Jawab, Walangsungsang! Apakah kau tetap akan memegang teguh keinginanmu itu?" gertak Mahaprabu Sri
Baduga untuk kedua kalinya, membuyarkan lamunan Walangsungsang tentang rangkaian mimpi-mimpinya
tadi. Pelan Walangsungsang menggelengkan kepala.
"Kenapa" Kau sangsi dengan niatmu itu?"
"Tidak, Kanjeng Rama!"
"Baiklah! Aku mau mendengar seberapa yakin kau sendiri dengan niatmu itu. Sekarang jawab, apakah bukan
kebenaran sejati apa yang dipegang teguh ayahmu selama ini?"
"Membenarkan dan tidak membenarkan, bukan tugas seorang bodoh seperti anakmu ini, Kanjeng Rama! Biarlah
kebenaran itulah yang akan membenarkannya, sehingga akan terlihat di mana letak tidak benarnya tanpa
lurus menyalahkan," jawab Walangsungsang.
Sri Maharaja Prabu Siliwangi tersentak kaget. Jauh dari yang dibayangkan, putra terkasihnya itu bisa berkata
seperti itu. Sama sekali tak ada yang salah dengan kata-katanya. Ajaran itu pernah ia dapatkan dalam
perenungan panjang sebelum akhirnya Nu Ngersakeun memberi petunjuk, kepada siapa dan di mana mencari
acining hidup. Kini, anaknya sendiri berkeinginan untuk mencari kesejatian hidup berdasarkan impiannya
bertemu dengan Kanjeng Muhammad. Sri Maharaja Prabu Siliwangi makin terombang-ambing dalam
kegelisahan. Sepanjang hidupnya baru kali ini ia merasakan begitu gelapnya awan hitam di hadapannya.
Kenapa mencari jauh-jauh guru yang akan menunjukkan kesejatian hidup, jika dalam diri Walangsungsang
sendiri sudah didapatkan. Kenapa harus mencari agama lain yang berbeda dengan keyakinan dirinya, jika
dalam agama leluhur Jati Sunda yang selama ini dipegang teguh, juga didapatkan kesejatian hidup itu.
Menit-menit keheningan kembali menyeruak. Sri Maharaja Prabu Siliwangi kembali bergumul dengan getarangetaran yang terasa semakin mendesak-desak dalam dadanya, sementara Walangsungsang, putra mahkota
kebanggaannya tetap duduk kukuh seolah batu karang yang menantang hempasan ombak. Walangsungsang
sang batu karang itu, selalu menghempas dan meluluhlantakkan ombak menjadi butir-butir air tanpa kekuatan
sebelum menghancurkan karang dirinya.
Sri Maharaja Prabu Siliwangi memejamkan kedua matanya yang mulai terasa perih. Sekonyong-konyong
wajah permaisurinya, Ratu Subanglarang menari-nari di kelopak matanya. Ya, wajah cantik itu mengingatkan
tentang siapa jati dirinya. Sri Maharaja Prabu Siliwangi ingat sekarang, bahwa kekasih belahan jiwanya - putri
Ki Gedeng Tapa - itu adalah berbeda keyakinan dengan dirinya. Ratu Subanglarang penganut Islam, seorang
santri yang pernah mondok di Pesantren Quro. Seorang santri yang cerdas murid Syaikh Hasanudin. Ah, apakah
dia yang telah mempengaruhi pikiran Walangsungsang" Tidak. Sri Maharaja Prabu Siliwangi menggeleng
kencang. Menepis wajah itu agar menjauh dari kelopak matanya. Tak ingin kembali gambar-gambar di
benaknya itu semakin nyata terlukis. Hanya saja - ketika berusaha menepis gambar-gambar di benaknya itu Sri Maharaja Prabu Siliwangi merasa napasnya berat.
"Kau telah mengajukan pilihan, Walangsungsang, aku pun akan memberi pilihan. Angkat kaki dari istana atau
hentikan niat pencarianmu itu!" gertak Mahaprabu Sri Baduga untuk kedua kalinya. Dia berharap
Walangsungsang akan kaget dan mulai gamang dengan pilihannya itu. Tapi ternyata tidak. Karang itu tetap
kukuh berdiri. Mendung tiba-tiba bergelayut di bumi Pajajaran. Angin mempermainkan pucuk-pucuk daun. Orang
menengadah ke langit, mereka-reka gerangan apa yang akan terjadi. Beberapa ahli nujum mulai mendugaduga. Keahlian mereka menghitung dan menelaah alam, seperti tertantang. Ingin segera membuka tabir alam
dan maksud dari Nu Ngersakeun ini. Agar masyarakat dan kalangan istana tak kena imbasnya. Pun para
pinisepuh istana tak kalah khusyuk merenung, ada apa gerangan di bumi ini.
Beberapa tahun yang lalu memang pernah kejadian, angin kencang menderu, menggoyang bumi Pajajaran.
Banyak pohon tumbang dan saung-saung rakyat beterbangan tersapu angin. Para ahli nujum menerjemahkan
bahwa akan ada goncangan di istana. Memang benar, selang seminggu setelah kejadian itu Sri Sang Ratu
Dewata Wisesa (nama lain Prabu Siliwangi), diketahui murka karena permintaan salah seorang permaisurinya
di luar kebiasaanya. Sebegitu lekatkah alam dengan penguasa bumi Pajajaran" Sehingga kemarahannya tidak
saja direspon kalangan istana tapi juga alam sekitarnya. Sri Maharaja Prabu Siliwangi yang terbakar amarah
kemudian mengumpulkan para penasihatnya. Tak sampai berhari-hari, suasana hati Sri Maharaja Prabu
Siliwangi pun kembali tenang. Masyarakat yang mulai mencemaskannya, kembali ikut adem. Tengtrem.
Keluhuran ilmu menempel di pundak Sri Maharaja Prabu Siliwangi. Disegani lawan dan dihormati segenap
masyarakat. Sebagai penghormatan atas diri Sri Maharaja Prabu Siliwangi, dalam tradisi yang terpatri kuat di
masyarakat kala itu, tak seorang pun yang berani menyebut gelar raja yang sesungguhnya, seorang juru
pantun kemudian mempopulerkan nama Sri Baduga dengan nama Sri Maharaja Prabu Siliwangi.
Kawalya ta wwang Sunda lawan ika wwang Carbon mwang sakweb ira wwang Jawa Kulwan anyebuta
Prabhu Siliwangi Raja Pajajaran Dadyeka dudu ngaran swaraga nira
(Dalam literatur Sunda, nama Siliwangi bukan nama atau gelar raja melainkan sebutan. Wangsakerta menulis
seperti dicuplik dalam f rase di atas yang artinya bahwa "Hanya orang Sunda dan orang Cirebon serta semua
orang Jawa Barat yang menyebut Prabu Siliwangi Raja Pajajaran. Jadi nama itu bukan nama pribadinya. Nama
Siliwangi sudah tercatat dalam Kropak 630 sebagai lakon pantun. Naskah itu ditulis tahun 1518 ketika Sri
Baduga masih hidup.) Langit mendung adalah pertanda. Tapi pertanda apa" Seperti ramalan para ahli nujum, ada yang tidak beres di
istana" Apakah Sri Mahaprabu Siliwangi sedang murka" Akan ada kesedihankah seperti langit yang mendadak
mendung" Pikiran dan pertanyaan berkecamuk di dalam dada para abdi dalem istana, juga seluruh hati rakyat
Pajajaran. Berbagai cara penangkal secara bersama atau sendiri-sendiri dilakukan. Mereka memanjatkan doa
pada Hyang Jaga Nata, kepada Nu Ngersakeun untuk keselamatan dan terhindari dari malapetaka terutama
untuk kalangan istana. Bagaimana pun seluruh masyarakat akan ikut berduka manakala ada anggota keluarga
istana yang berduka, demikian pula sebaliknya seluruh masyarakat akan ikut berbahagia manakala anggota
keluarga istana sedang bahagia. Kebahagiaan dan kesedihan menyatu dengan derap perubahan di istana.
Seperti juga dua orang kekasih, hati dan perasaannya senantiasa menyatu walau jarak memisahkan. Sri
Maharaja Prabu Siliwangi adalah kekasih tercinta masyarakat Pajajaran.
Seorang pencari kayu tengadah menatap langit. Gelap menggelayut di atas kepalanya. Ia mengu mpulkan
ranting kayu yang masih berserakan. Dengan tangkas mengikatnya menggunakan tali bambu yang telah
disiapkan dari rumah. Seorang anak muda memperhatikan tak paham.
"Balik sekarang, Wak" Kenapa buru-buru" Lohor belum lama rasanya...."
"Tak kau lihat, Jang, langit mendung lagi!" jelas lelaki yang dipanggil 'Wak' sambil menengadah menatap langit
untuk ke sekian kalinya. Anak muda itu begitu saja terkekeh, tetap duduk di atas batu, tak bergeming.
"Hanya mendung, Wak, tak perlu takut. Teruskan saja. Kayu yang kita kumpulkan belum seberapa, bagaimana
cukup untuk dijual?"
"Ah, benar juga kau! Tapi bagaimana kalau benar-benar hujan?"
"Apa salahnya dengan hujan" Wak sendiri sering bilang, hujan itu rezeki. Tak terhitung pula kita kehujanan di
tengah hutan, tak pernah Wak takut, tapi kenapa sekarang?"
Lelaki pencari kayu itu bergeming. Tak ada yang salah dengan kata-kata anak saudaranya itu. Tapi langit yang
tiba-tiba mendung, justru mengingatkan lelaki pencari kayu itu pada kejadian beberapa tahun silam. Langit
yang tiba-tiba mendung ada hubungannya dengan keadaan di istana. Itulah yang membuatnya khawatir. Tapi
apakah harus pula dijelaskan tentang masalah ini pada anak semata wayang temannya mencari kayu bakar
itu" Lelaki pencari kayu itu menggelengkan kepala.
"Nah, begitu, Wak! Wak pasti tidak takut dengan hujan, apalagi hanya mendung!"
Langit masih mendung. Menggelayut makin pekat. Lelaki pencari kayu itu merasakan hawa aneh mengambang
di sekitarnya. Pekerjaannya mengumpulkan kayu mendadak ia hentikan. Ia lalu duduk di atas batu.
Mengangkat kedua tangannya. Khusyuk berdoa pada Nu Ngersakeun. Melihat kelakuan uwaknya, anak semata
wayang itu malah bengong. Ia tak paham apa hubungannya antara langit mendung dan uwaknya yang tibatiba berdoa. "Wak?" tanyanya. Uwaknya membuka mata. Menatap tanpa bicara.
"Berdoa, Wak?" tanyanya lagi polos. Uwaknya mengangguk.
"Kenapa harus berdoa?"
"Langit yang tiba-tiba mendung, bukan sembarang mendung, bukan karena akan turun hujan, Jang?"
"Terus?" "Kalau mendung datang tiba-tiba begini, itu namanya...."
"Ada siluman lewat?" anak semata wayang itu memotong cepat.
"Hus! Sembarangan!"
"Terus kenapa, Wak?"
"Ini pertanda!"
"Uwak tahu dari mana" Emang beda ya, Wak, mendung mau hujan sama mendung pertanda?"
"Ah, rupanya kamu sudah lupa, Jang. Dulu ada angin besar tiba-tiba menerjang. Pohon-pohon besar banyak
yang tumbang. Saung-saung ikut terbang. Kau tak ingat, seminggu, kemudian tersiar kabar Sri Mahaprabu
sedang murka?" Anak muda itu tercenung. Ia seperti mengingat-ingat. Alam memang senantiasa memberi simbol-simbol. Penuh
dengan tanda-tanda. Hanya mata batin yang bisa melihatnya.
"Wah... hebat, ternyata Uwak masih ingat!"
Lelaki pencari kayu itu mengangguk. Wajahnya masih tetap dingin dan datar seperti sebelumnya.
"Wak sering bilang, kita harus berdoa untuk kesejahteraan keluarga istana. Kalau mereka berduka, kita juga
ikut berduka," jawabnya seperti mulai tersadarkan.
"Berdoalah!" "Sebelum uwak berdoa, saya malah sudah melakukannya!"
"Kapan" Jangan suka bohong ah, pamali, ketulah nanti..."
"Saya sudah berdoa, Wak, di sini! Tadi...." jawab anak muda itu seraya menunjuk dadanya. Ia tersenyum begitu
didapat wajah uwaknya tercengang.
"Ada-ada saja kau ini..." lelaki tua itu hanya geleng-geleng kepala.
*
Seperti juga Sri Maharaja Prabu Siliwangi. Ia terlihat beberapa kali geleng-geleng kepala. Sri Maharaja Prabu
Siliwangi mula-mula memperistri Nyi Ambetkasih, putri Ki Gedeng Sindangkasih, kemudian memperistri Nyi
Subanglarang, putri Ki Gedeng Tapa. Lalu memperistri Nyi Kentring Manik Mayang Sunda, putri Prabu
Susuktunggal. Perkawinan antar cucu Wastu Kancana ini mengukuhkan kesatuan wilayah Galuh dan Pakuan.
Dari istri-istrinya itu lahir empat orang anak, dua di antaranya Prabu Anom Walangsungsang dan Nyimas Ratu
Rarasantang. Sebagai ksatria pemberani, tangkas dalam berperang, semakin mengukuhkan bahwa Sri Maharaja Prabu
Siliwangi sejak muda berilmu tinggi. Ketinggian ilmunya itu pula satu-satunya yang pernah mengalahkan Ratu
Japura atau Ratu Amuk Murugul saat memperebutkan Nyai Subanglarang. Kesaktian dan ketinggian ilmu Sri
Maharaja Prabu Siliwangi ini tentu akan sontak mengingatkan orang pada mendiang buyutnya, Prabu Maharaja
Lingga Buana bergelar Prabu Wangi yang gugur di medan bubat.
Medan Bubat adalah nestapa. Medan Bubat adalah harga diri. Medan Bubat sebuah harga mati: tentang rasa tak
sudi negara dijajah orang lain. Prabu Maharaja sangat menguasai ilmu senjata dan mahir berperang, dengan
gagah berani menghadapi pasukan besar Majapahit yang dipimpin oleh sang Patih Mada yang jumlahnya tidak
terhitung. Oleh karena itu, ia bersama semua pengiringnya gugur tidak tersisa. Nyawa memang sirna tapi harga
diri abadi. Namanya mengharum semerbak, seharum cita-cita suci yang senantiasa terpatri dalam sanubari. Cita
suci untuk kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyatnya. Beberapa raja di pulau-pulau Dwipantara pun
mengakui kehebatan Sri Prabu Maharaja. Nama harum yang membanggakan keluarga, menteri-menteri
kerajaan, angkatan perang dan seluruh rakyat Pajajaran ini membuat namanya semakin mewangi. Sri Prabu
Maharaja yang mewangi itu digelari Prabu Wangi.
Kehebatan di medan perang yang diwariskan dari leluhurnya, tak selamanya hebat dalam urusan memelihara
perasaan. Lihat, Sri Maharaja Prabu Siliwangi sedang dirundung bingung kini. Lelaki gagah dan tampan itu tidak
terlihat lagi mengumbar senyum, tak bernafsu berburu bahkan sama sekali tidak pernah mau terlibat dengan
kegiatan-kegiatan istana. Kegundahan hati itu terus membuncah. Ia sedang dihadapkan pada pilihan sulit.
Keinginan Walangsungsang bukan lagi riak, tapi telah berkumpul dengan sempurna menjadi gelombang.
Sebuah ancaman. Sri Maharaja Prabu Siliwangi marah. Ia sadar betul kemarahan itu akibat keinginan Walangsungsang. Mungkin
ada benarnya bahwa kemarahan adalah sebuah kekuatan. Kekuatan untuk perubahan. Kini, saat Sri Maharaja
Prabu Siliwangi marah, benarkah akan melahirkan kekuatan untuk perubahan" Merubah keinginan
Walangsungsang" Sri Maharaja Prabu Siliwangi sangsi dengan keyakinannya sendiri. Getaran hati yang tak
pernah ia rasakan saat dalam suasana sesulit apa pun, kecuali hari ini.
*
KE HILIR MENCARI HULU Langit Pajajaran makin mendung. Tapi tak ada yang berhasil meramal atau sekadar mengira-ngira. Sri
Maharaja Prabu Siliwangi sendiri tak banyak bicara, tidak juga dengan para penasihat kerajaan. Hal inilah yang
membuat mereka saling bertanya. Sepanjang hari Sri Maharaja Prabu Siliwangi mengisi waktunya dengan
semedi. Mendekatkan diri pada Sang Hyang Jaga Nata untuk menghilangkan kegundahan yang kian
membuncah. Ada dua jalan membentang dihadapannya. Ke kiri dan ke kanan. Salah pilih jalan tentu tidak
hanya dirinya yang akan tersesat tapi juga para pengikutnya. Rakyat dan seluruh abdi dalem Pajajaran. Inilah
yang tidak diinginkannya. Tidak menginginkan sejarah salah mencatat. Biarlah dari hulu sampai hilir, aliran
sungai sejarah Sunda itu tetap bening, selalu bening. Tetap bermartabat dan selalu bermartabat.
Tapi apakah aliran sungai yang bening itu akan tetap bening, ketika Walangsungsang secara terbuka
menginginkan mencari kesejatian hidup, yang sama sekali tak didapatkan dalam ajaran Jati Sunda" Apakah
sudah demikian dangkalkah ajaran Jati Sunda bagi Walangsungsang sehingga terdorong mencari sesuatu yang
baru" Jangan-jangan - inilah kekhawatiran Sri Maharaja Prabu Siliwangi - justru bukan ajaran Jati Sunda yang
dangkal, tapi Walangsungsang sendiri yang belum sungguh-sungguh mendalaminya. Kedangkalan itu justru


Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terletak pada ketidaksungguhan Walangsungsang sendiri, bukan pada ajaran Jati Sunda.
Sri Maharaja Prabu Siliwangi seperti juga para leluhurnya telah melakukan pengembaraan dalam mencari siapa
sesungguhnya sumber kekuatan Yang Mahakuat. Pengembaraan dalam mencari sumber kekuasaan Yang
Mahakuasa. Pemahaman berikutnya kemudian bersinggungan dengan Hyang Jaga Nata, sebagai satu-satunya
sumber kekuatan dan kekuasaan hasil pengembaraannya itu. Hyang adalah zat gaib yang menciptakan,
menguasai dan menentukan kehidupan manusia dan keberlangsungan alam pada umumnya. Hyang bertahta di
luar alam kehidupan manusia, bersemayam di Kahyangan.
Bagaimana dengan Walangsungsang" Apakah sudah sedemikian dalamkah pengembaraan menemukan Hyang
dalam kehidupannya" Dalam pandangan Sri Maharaja Prabu Siliwangi, Hyang adalah sumber kekuatan dan
kekuasaan. Kekuasaan dan kekuatan Hyang telah melingkupi segala sumber kehidupan. Inilah yang
menambah kegundahan Sri Maharaja Prabu Siliwangi dalam kesendirian di kamar tempatnya bersemedi.
Ruangan berdinding batu kokoh itu terasa semakin dingin. Cahaya matahari yang menerobos masuk melalui
lubang-lubang dinding tak berhasil memberikan kehangatan.
"Oh, Batara Seda Niskala!" gemuruh hati Sri Maharaja Prabu Siliwangi. "Terangkan jalan gelap ini, Batara! Berilah
jalan yang sungguh akan gampang kami lalui!"
Sri Maharaja Prabu Siliwangi memusatkan pikiran lahir dan pikiran batin. Ia memusatkan segala kehendak
pada Batara Tunggal, Sang Hyang Keresa dan Batara Jagat, perwujudan dari segenap kekuasaan diri dan
kehendak. Sri Maharaja Prabu Siliwangi bersikukuh tak menerima pendapat putranya sendiri, Walangsungsang,
tentang kesejatian hidup. Ia sendiri telah menemukan kesejatian hidup itu dalam Jati Sunda. Kenapa harus
mencari yang baru, seandainya dalam ajaran lama telah ditemukan kesempurnaan. Sementara Ratu
Subanglarang membenarkan kesejatian hidup seperti didapat Walangsungsang dalam impiannya. Ia teringat
nama putra terkasihnya, Walangsungsang.
"Ini rahasia di antara kita saja, Nak! Hyang dalam ajaran Jati Sunda sama-sama meneguhkan keyakinan
bahwa Yang Murbeng Alam ini ada dan hanya satu. Hyang Batara Tunggal adalah kekuatan Yang Tunggal.
Kelak kau akan menemukan kesejatian Allah Yang Ahad. Melangkahlah kemana kau akan melangkah, tapi
jangan kamu tinggalkan Mahaprabu dalam keadaan dendam kesumat. Apa pun alasannya," urai Ratu
Subanglarang suatu malam, di antara sepi yang berkembang. Ia sengaja mematikan obor yang jadi
penerangan ruangan tempat putranya merebahkan diri. Ia datang mengendap-endap saat seluruh penghuni
Keraton Pakuan sedang terlelap.
"Itulah yang aku inginkan, Kanjeng Ibu! Mencari kesejatian hidup adalah tugasku, tapi menghormati Kanjeng
Rama juga bagian dari tugas dan kewajibanku," jawab Prabu Anom Walangsungsang dengan napas tertahan.
Ia tak menginginkan ada abdi dalem istana yang mengetahui pertemuan itu. Apalagi jika sampai ketahuan
saudara-saudara tirinya. Akan semakin meruncinglah hubungan di antara mereka yang sekalipun diusahakan
agar hidup rukun, selalu gampang tersulut oleh hal-hal kecil.
"Ibu melihat adanya kesamaan pada ajaran Jati Sunda tentang keberadaan Hyang dengan Allah dalam agama
ibu. Batara Seda Niskala sebagai gambaran Yang Mahagaib, ibu menemukan pula sifat wujud adh-dhahiru wal
baatinu dalam ajaran yang selama ini ibu pegang teguh..."
"Kenapa ibu tidak menyatakan secara terang-terangan agar seluruh abdi dalem juga rakyat Pakuan dituntun ke
arah jalan yang benar?" gugat Walangsungsang.
"Bukankah kau sendiri pernah bicara dengan Mahaprabu, bahwa membenarkan dan tidak membenarkan,
bukan tugas seorang bodoh seperti ibumu ini, Nak! Biarlah kebenaran itulah yang akan membenarkannya,
sehingga akan terlihat dimana letak tidak benarnya tanpa harus menyalahkannya," jelas Ratu Subanglarang
mengikuti kata-kata anaknya. Andai saja saat itu adalah siang hari dimana matahari akan menjelaskan warna
putih yang sesungguhnya atau setidaknya cahaya obor masih menyala di tempatnya, tentu Prabu Anom
Walangsungsang akan melihat bagaimana Ratu Subanglarang tersenyum bangga, membenarkan apa yang jadi
pegangan hidup putranya itu.
Ratu Subanglarang memang telah melihat bagaimana Tuhan Pencipta Alam Semesta itu bukan makhluk dan
jadi dengan sendirinya, karena mustahil jika ada kekuatan Yang Maha Mengatur justru lahir dari makhluk yang
ada awal dan akhir. Kesejatian inilah yang didapat manakala dulu berguru di Pesantren Quro. Jika Sri Maharaja
Prabu Siliwangi meyakini dengan sebenarnya keberadaan Hyang Batara Jagat dan Sanghyang Keresa yang
menguasai alam semesta. Ratu Subanglarang meyakini tentang Rabb al-Alamin.
Dari kitab-kitab ajaran yang telah dipelajarinya, Ratu Subanglarang menemukan kesejatian tentang pembagian
empat bumi yang terdiri madyapada yakni alam tempat hidup manusia, diatas bumi ini terdapat saptabuwana
yang berlapis tujuh, diatasnya ada alam lain yang suasananya makin hening sampai yang paling tinggi yakni
alam Kahyangan, tempat bersemayam Hyang. Sementara di bawah bumi madyapada terdapat saptapatala
berwujud neraka. "Dalam Islam yang ibu pelajari, ada pembagian surga dan neraka, ada bumi dan arsy tempat bersemayam
Allah Yang Ahad. Tapi dalam mensyukuri keberadaan itu semua, ibu tidak melihat kesesuaian antara Jati Sunda
dengan Islam, Anakku!" jelas Ratu Subanglarang.
"Itulah yang membuat aku gamang, Kanjeng Ibu! Sampai akhirnya impian itu datang, dan aku mendapat
pencerahan..." Prabu Anom Walangsungsang mengamini.
Malam itu di antara detik yang berloncatan dalam hening, perbincangan antara anak dan ibu itu sampai pula
kepada ajaran kesejatian dalam pembagian alam ini. Tentu saja Walangsungsang semakin diteguhkan
keyakinannya bahwa apa yang diperoleh dalam impian saat bertemu dengan guru suci itu, sama sekali tidak
ada yang salah. "Maaf, Kanjeng Ibu, apakah dalam perjalanan penyucian diri itu, bolehkah aku membawa orang lain untuk ikut
serta?" tanya Walangsungsang tiba-tiba.
"Orang lain siapa, Nak?"
"Orang lain yang serupa tapi berbeda wujud. Serupa dalam tujuan dan berbeda wujudnya, Kanjeng Ibu!"
"Menurutku, berjal anlah sendiri saja dulu, karena kesejatian yang kau cari belum tentu menjadi kesejatian
yang dicari orang lain. Kalaupun Allah menakdirkan kau menemukan orang lain yang mencari kesejatian yang
sama, biarlah ia menempuh jalan lain, karena sesungguhnya nilai kesejatian itu hanya bersumber dari satu dan
hanya menempati satu tempat pula. Kau harus yakin, kalian akan bertemu juga pada satu tempat yang sama
atau setidak-tidaknya kau akan bertemu dalam pencarian dan menemukan hal yang sama..." jelas Ratu
Subanglarang. Ia seperti tidak sedang bicara dengan anaknya sendiri, melainkan seolah sedang bicara dengan
wujud lain dari dirinya sendiri.
"Kenapa, Kanjeng Ibu?"
"Karena sesungguhnya kau lahir ke dunia ini sendiri, dan kelak kau akan melepaskan raga juga sendiri.
Bukankah Mahaprabu pernah mengungkapkan tentang peristiwa kalepasan, terlepasnya nyawa dari tempatnya
yang bernama raga, suatu keadaan yang harus dihadapi sendiri-sendiri..."
"Tapi bukankah ajaran kesejatian hidup itu untuk diperoleh orang lain juga, Kanjeng Ibu?"
"Kau tidak salah, Nak. Kesejatian hidup memang untuk diperoleh semua orang, tapi tidak harus dengan jalan
yang sama. Bukankah seseorang yang selalu melakukan hubungan dengan Hyang melalui upacara-upacara
ritual dan menjaga perilaku hidup selama hidup di dunia dengan baik, baik dengan dirinya, baik dengan
sesama, baik dengan alam, seperti yang dipegang teguh Mahaprabu, kelak dalam peristiwa kalepasannya,
akan berlangsung dengan tenang dan kemudian segera diikuti moksa, ruhnya naik ke atas menuju Kahyangan
melalui alam saptabuwana... Apa yang kau bisa petik dari semua ini, Putra?"
"Semua punya jalan sendiri-sendiri maksud Kanjeng Ibu!"
"Semua punya jalan sendiri, punya takdir sendiri-sendiri. Punya cara sendiri-sendiri dalam menafsirkan aturan
yang tertuang dalam kitab-kitab itu, sehingga orang punya derajat sendiri-sendiri. Hanya Yang Mahakuasa telah
memberi arahan, ada dua jalan yang harus dipilih, tidak ada jalan diantaranya, itulah jalan benar dan jalan
salah. Sehingga siapa saja dimana pengetahuan telah sampai kepadanya, lalu tidak pernah melakukan
pemujaan, tidak menjaga perilaku hidupnya selama di madyapada, dia harus rela menjalani peristiwa
kalepasan-nya dengan mengerikan, sehingga ruhnya turun ke alam saptapatala...."
"Apa Ibu juga menemukan hal yang sama dalam ajaran yang Ibu pegang?" selidik Walangsungsang. Ia
semakin menemukan benang merah antara dialog di dalam mimpinya dengan kesejatian yang diajarkan
ibunya. "Tentu, Nak! Islam juga mengajarkan tentang maut yang bisa menimpa siapa saja yang bernyawa di
madyapada ini. Setelah ilmu sampai kepadanya, orang itu diberi kesempatan memilih kedua jalan tadi. Andai
orang itu memilih jalan benar, ia akan memetik buah keselamatan baik di madyapada maupun di alam setelah
sekarang ini. Alam yang dalam Islam bersifat kekal, berawal tanpa akhir. Sebaliknya ketika memilih jalan
salah, ia akan merasakan penyesalan hidup baik di madyapada maupun di alam setelah sekarang ini.
Kesempurnaan raga dan nyawa, adalah modal untuk memilih itu. Maka carilah ilmu itu, Nak, setelah itu kau
akan terkena aturan dan diberi kesempatan untuk memilih satu di antara dua...."
"Berkah Kanjeng Ibu akan aku pegang manakala berketetapan mencari ilmu itu, Ibu?"
"Tentu, Nak!" "Sekalipun Mahaprabu tetap melarangku?"
"Tak perlu kau tanyakan itu, Nak, karena ibu akan sulit menjawabnya. Ketika ibu tidak mengizinkan, kau tentu
akan mengira ibu mendukung Mahaprabu. Demikian pula sebaliknya manakala ibu mengizinkan, tentu
Mahaprabu akan merasakan dan beranggapan hal serupa bahwa ibu berkhianat padanya...."
"Apa yang harus aku lakukan, Kanjeng Ibu?"
"Kau masih ingat tentang dasakreta, Nak?"
"Tentu Ibu," jawab Walangsungsang dan tanpa diminta dia merapalkan ajaran tentang dasakreta, sepuluh
konsep kesejahteraan. Seseorang akan bisa mencapai kesejahteraan manakala bisa memfungsikan secara baik
dan benar sesuai dengan tuntunan agama dasa indra yang meliputi indra telinga, mata, kulit, lidah, hidung,
mulut, tangan, kaki, dubur dan kemaluan. Sebaliknya manakala dasa indra tidak difungsikan secara baik dan
benar sesuai dengan tuntunan agama, bukan kesejahteraan dan kebahagiaan yang diperolehnya melainkan
kehinaan semata. Ratu Subanglarang tersenyum bangga. Membetulkan patrem kuning emas pada sanggulnya. Kebahagiaan
membuncah memenuhi dadanya. Ia seperti telah menemukan kerlip cahaya yang hilang selama ini.
"Berjalanlah, Nak!" gumamnya lirih. Wala ngsungsang mengangguk.
"Bagaimana dengan Kanjeng Rama?" tanyanya kemudian seperti masih sangsi. Ratu Subanglarang menepuk
bahu putranya, lalu ia membisikkan sesuatu pada telinga putranya itu. Sejenak Walangsungsang tertegun. Tak
percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Seperti juga ia dan ibundanya, Ratu Subanglarang, tak akan
pernah percaya bahwa di penghujung malam itu, di salah satu kamar kaputren, dalam temaram cahaya obor di
sudut tembok batu, Ratu Kentring Manik Mayang Sunda, putri Prabu Susuk Tunggal juga sedang membicarakan
sesuatu yang tampaknya juga rahasia. Menghabiskan penghujung malam, Ratu Kentring Manik Mayang Sunda
berbicara serius dengan sang putra, Surawisesa. Kelak, dalam perjalanan sejarah, Surawisesa yang dijuluki
kasuran, kadiran dan kuwanen ini, akan mencatat sejarah sendiri dengan gemilang. Tak akan banyak yang
tahu apa yang dibicarakan dengan sang ibunda.
Dengan mengendap-endap Ratu Subanglarang keluar dari kamar putra terkasihnya. Dari kejauhan terdengar
kokok ayam yang pertama, pertanda sebentar lagi fajar akan menyingsing. Di lorong menuju peristirahatannya,
cahaya obor masih terlihat menerangi jalan, sesekali cahaya meliuk-liuk tertiup angin malam. Di antara
langkahnya yang bergegas, Ratu Subanglarang tiba-tiba melihat sekelebat bayangan hitam di antara pilar-pilar
kokoh keraton di kiri dan kanan tempatnya melangkah. Ratu Subanglarang berhenti sejenak, menahan napas
dan memusatkan konsentrasi. Tapi tak ada tanda-tanda yang mencurigakan sekalipun mata batinnya
mengatakan ada seseorang yang sedang bersembunyi.
Ratu Subanglarang bergegas melanjutkan langkahnya dan secara mendadak ia berhenti. Pada saat itulah dari
belakang salah satu pilar, Ratu Subanglarang dengan cepat melihat bayangan hitam berkelebat menjauh. Tapi
dengan kecepatan luarbiasa, sebelum bayangan itu menjauh, Ratu Subanglarang melemparkan selendangnya.
Selendang sutra yang bukan sembarang selendang itu berkelebat membentuk pusaran angin, dan melesat
mengejar bayangan hitam tanpa menimbulkan suara apalagi kegaduhan. Tanpa sempat menghindar bayangan
hitam itu dalam hitungan lipatan jari sudah terjerat selendang. Ratu Subanglarang dengan jelas bisa melihat
bagaimana kedua tangan bayangan hitam itu sibuk membuka jeratan. Tapi sebelum berhasil melepaskan
jeratan selendang miliknya, Ratu Subanglarang dengan satu gerakan ringan, melakukan salto dan berdiri di
hadapan bayangan hitam itu. Dengan gerakan lembut tapi tidak lambat, Ratu Subanglarang telah
menempelkan senjata kecil berupa patrem yang selalu diselipkan di sanggulnya pada leher sosok asing itu.
Sosok serba hitam itu hanya mengangkat tangan. Ia tahu betul bagaimana kesaktian senjata kecil dari emas
itu, salah satu senjata andalan yang ujung runcingnya mengandung racun mematikan.
"Ampun, Gusti Ratu!" serak suara sosok hitam itu tertahan. Ketakutan jelas menyelimuti sekujur tubuhnya. Ia
sama sekali tak bisa mengelak, karena sekujur tubuhnya masih terlilit selendang sakti milik Ratu Subanglarang.
  Pada saat yang sama Ratu Subanglarang melihat gerakan cahaya obor mendekat. Beberapa penjaga malam
memang sedang menuju ke arah mereka, melakukan pemeriksaan rutin. Untuk menjaga hal-hal yang tidak
diinginkan, dengan gerakan sigap, Ratu Subanglarang mendorong sosok bayangan hitam yang masih sibuk
membuka jeratan ke belakang pilar keraton.
"Jangan begerak dan menimbulkan suara!" bisik Ratu Subanglarang seraya mendorong sosok itu sembunyi.
Tak berapa berselang, beberapa prajurit jaga malam lewat ke hadapan mereka. Tapi rupanya tak seorang pun
yang menaruh curiga pada dua sosok yang sedang bersembunyi. Mereka terus melangkah dengan dibantu
penerangan obor, menelusuri lorong untuk memeriksa sekeliling keraton.
"Kau tak akan bisa membuka jeratan selendangku, Ki Sanak!" gumam Ratu Subanglarang seraya membantu
membuka ikatan selendangnya. Yakin bahwa sosok serba hitam ini tidak akan berbuat maca m-macam, Ratu
Subanglarang menarik patremnya dan menancapkan kembali pada gelungnya. Jeratan itu memang aneh,
karena semakin membuat gerakan, ikatannya semakin mencengkeram kuat.
"Maafkan hamba, Gusti Ratu!" gumam sosok misterius itu dan merasakan napasnya hampir terputus dengan
leher terjerat selendang.
"Siapa kau ini sebenarnya?" selidik Ratu Subanglarang. Pendengarannya seperti mengenali nada suara sosok
yang ada di hadapannya. Dengan satu gerakan indah, Ratu Subanglarang berhasil membuka penutup kepala
sosok serta hitam itu. Samar disinari cahaya obor yang meliuk-liuk tertiup angin malam, Ratu Subanglarang bisa
melihat wajah dingin yang disergap ketakutan.
"Paman Nalaraya?" Ratu Subanglarang benar-benar tersentak kaget.
"Betul, Gusti Ratu!"
"Kenapa malam-malam begini...." Ratu Subanglarang tak melanjutkan bicaranya karena melihat isyarat
Nalaraya yang menempelkan telunjuknya di bibir. Rupanya ada yang baru saja keluar dari salah satu kamar
kaputren. "Lebih baik Gusti Ratu beristirahatlah, besok hamba yang akan menghadap untuk menjelaskan kenapa saat
fajar hampir tiba, hamba masih kelayapan di luar seperti ini..." jelas Ki Nalaraya sambil mengangguk diiringi
dengan satu gerakan tangan memberi hormat. Ratu Subanglarang mengangguk dan saat itu pula bergegas
menuju peraduannya. Sampai fajar menyingsing, Ratu Subanglarang tak sedikit pun bisa memicingkan mata. Perbincangan dengan
Walangsungsang dilanjutkan pertemuan tidak sengaja dengan Ki Nalaraya, telah menyita pikirannya. Sambil
menunggu saatnya shalat subuh, Ratu Subanglarang merenungkan kejadian-kejadian yang baru saja
dialaminya. Sejauh ini, dalam pandangannya, Ki Nalaraya adalah seorang penasihat raja yang baik dan
bertanggung jawab. Tak pernah sekalipun mengecewakan. Tapi ada apa gerangan malam ini ia justru
berpakaian serba hitam dengan penutup wajah sekaligus. Ia seperti sedang mengintip seseorang. Lalu, siapa
gerangan yang sedang diintipnya" Dirinyakah" Kalau memang mengintipku, batin Ratu Subanglarang, artinya
dia tahu pertemuanku dengan Walangsungsang. Kalau tidak sedang mengintipku, siapa yang jadi sasarannya"
Para prajurit jaga malamkah karena tidak menjalankan tugasnya dengan baik" Atau sosok yang baru keluar
dari kamar tempat peraduan Mayang Sunda"
"Aku harus segera mengetahuinya sebelum ada kejadian yang tidak diinginkan terjadi," batin Ratu
Subanglarang. Tangannya tak henti memutarkan tasbih yang terbuat dari kayu Dewadaru, yang terlihat sudah
hitam mengkilat. "Aku harus hati-hati, karena siapa tahu pertentangan antara putraku dengan Mahaprabu, juga sudah mulai
tercium istri yang lain. Siapa pun tahu, Walangsungsang putraku, adalah calon penerus kepemimpinan di
Pakuan ini. Kalau kemudian ia bertekad untuk mengikuti impiannya itu, mencari guru sejati, tentu akan ada
kekosongan. Ah, akan terbuka lebar kesempatan putra-putra Mahaprabu dari istri yang lain untuk dipersiapkan
jadi putra mahkota. Ya, aku harus hati-hati menghadapi masalah ini," batin Ratu Subanglarang. Ia mengangkat
kedua tangannya, memohon petunjuk pada Allah Yang Murbeng Alam, sesuai dengan agama dan
keyakinannya. Sekelebat ia begitu saja teringat dalam salah satu catatan yang memuat perjalanan para leluhur suaminya.
Begitu jelas dalam ingatan Ratu Subanglarang bagaimana pertentangan antara dua orang saudara dari satu ibu
tapi lain ayah. Kejadian itu terjadi pada leluhur Sri Maharaja Prabu Siliwangi. Ya, saat Bratanasenawa dikudeta
oleh Purbasora pada tahun 716. Purbasora dan Bratanasenawa sebenarnya adalah saudara dari ibu tapi lain
ayah. Bratanasenawa adalah cucu Wretikandayun dari putra bungsunya Mandiminyak, Raja Galuh ke-2.
Ratu Subanglarang mengangguk pelan. Ia teringat pada cerita selanjutnya saat Sanjaya berkuasa. Masih
berdasarkan catatan yang sempat ia baca, Raja Sanjaya
adalah cicit dari Wretikandayun. Sebagai penguasa Sunda, ia kemudian dikenal dengan nama Prabu Harisdarma
yang menguasai Kerajaan Galuh. Ibu Raja Sanjaya adalah Sanaha, cucu Maharani Sima dari
Kalingga. Ayahnya adalah Bratanasenawa, Raja Galuh
ke-3, seorang teman dekat Tarusbawa. Saat Bratanasenawa dikudeta oleh saudaranya sendiri, Purbasora,
beserta keluarganya kemudian menyelamatkan diri ke Pakuan dan meminta pertolongan pada Tarusbawa.
Saat Sanjaya berkuasa, yang merupakan
penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh dengan bantuan Tarusbawa untuk melengserkan
Purbasora. Ironis memang padahal sebelumnya Wretikandayun, pernah menuntut Tarusba wa untuk
memisahkan Kerajaan Galuh dari Kerajaan Sunda. Sebagai ahli waris Kalingga, pada tahun 732 Sanjaya
kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara atau Bumi Mataram.
Teringat akan kisah leluhur suaminya tersebut, Ratu Subanglarang tiba-tiba saja menggigil. Ia dicekam rasa
takut. Takut dengan nasib yang akan menimpa putra pertamanya, Prabu Anom Walangsungsang. Ya, tidak
mustahil bahwa sejarah akan kembali terulang. Akan terjadi pertumpahan darah antara sesama saudara yang
akan meneruskan tahta Kerajaan Pajajaran. Kini bukan dua saudara seibu lain ayah seperti Bratanasenawa
dengan Purbasora, melainkan dua saudara seayah lain ibu. Satu-satunya yang akan punya andil dalam
perebutan kekuasan itu siapa lagi kalau bukan Surawisesa. Inilah yang membuat Ratu Subanglarang dicekam
gelisah. Walangsungsang, anakku, gumamnya di antara bibir basah dengan puji-pujian. Namamu itu, Ratu
Subanglarang merenung, bukankah juga sebuah ciri. Nama tak sekadar gabungan huruf-huruf. Tugasmu
mencari kebenaran ciri itu, Nak, gumamnya.
Saat cahaya obor-obor yang tertambat di dinding dan pilar batu keraton meredup, tergantikan sinar matahari
pagi, bahkan sebagian sudah dipadamkan, Ratu Subanglarang baru terlelap tidur.
*
Sri Maharaja Prabu Siliwangi berdiri kukuh di dalam kamarnya. Mengedarkan matanya pada sekeliling. Decak
kagum senantiasa tertuju pada sekeselernya yang telah membangun keraton ini di atas lahan lemah-duwur
yang diapit tiga batang sungai berlereng curam. Membentuk pertahanan alami yang hebat. Musuh yang datang
akan cepat terdeteksi dan dihalau sebelum berhasil melaksanakan niat jahatnya. Ia tidak khawatir lerhadap
serangan musuh. Kalaupun kekhawatiran itu muncul maka sikap rakyatnyalah yang berbuat tamak yaitu
memilih ajaran selain memegang teguh ajaran Jati Sunda. Karena itulah ia selalu menanamkan paham pada
siapa saja bahwa Purbatisi purbajati mana mo kadatangan ku musuh, ganal musuh alit, suka kreta tang lor
kidul kulon wetan kena kreta rasa, tan kreta ja lakibi dina urang reya, ja loba di sanghiyang siksa.
Ya, Sri Maharaja Prabu S iliwangi mengangguk takzim. Saat musuh dari luar datang, seluruh ponggawa dan juga
jagabaya tentu telah siaga untuk menghalaunya. Tak perlu diragukan kesaktian dan keterampilan mereka
menggunakan senjata untuk mengamankan negeri. Tak perlu membuatnya gundah kalau tiba-tiba pada tengah
malam, serombongan pengacau datang. Tapi ketika musuh datang dari dalam, dari tempat yang tidak terduga
para ponggawa dan prajurit jaga, bagaimana tidak membuatnya gundah. Sri Maharaja Prabu Siliwangi
mengusap wajah. Dingin. Ampun, Hyang Jaga Nata, bagaimana mungkin hamba menganggap musuh putra
hamba sendiri, gumamnya. Keinginan kuat Prabu Anom Walangsungsang untuk mencari kebenaran yang tidak
sama dengan hamba, apa layak dianggap sebagai musuh"
Sri Maharaja Prabu Siliwangi seperti juga kebanyakan para ksatria dalam mempersiapkan penerusnya,
menginginkan melanggengkan kebijakannya. Kalaulah harus mencari acining hirup, pergilah ke hulu seperti
juga dirinya mencari. Kenapa harus ke hilir justru untuk mencari hulu"
"Walangsungsang... Walangsungsang..." gumam Sri Maharaja Prabu Siliwangi. Berlama-lama menyepi sendiri,
tak juga baik akibatnya. Sebagai pemangku negeri, setiap saat diperlukan titah dan kebijakannya. Kalaulah


Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terus-menerus mengurung diri tentu saja akan sangat merepotkan kala ada masalah yang harus diselesaikan.
Mengingat akan hal itu, Ratu Subanglarang memberanikan diri masuk ke kamar Sri Maharaja Prabu Siliwangi.
Di dalam kamar dengan segala hormat, Ratu Subanglarang mulai bicara. Ia tahu hal itu sebagai perbuatan
lancang. Tapi ia sudah siap menerima hardikan, jika Mahaprabu memilih menghardiknya. Hardikan itu akan jadi
pengukuh dan pembuktian di alam keabadiaan nanti. Ratu Subanglarang tentu mafhum bagaimana Islam telah
mengajarkan untuk tidak diam manakala diam akan menambah kemudharatan. Diam menjadi emas manakala
bicara mengantarkan pada kemudharatan.
Seraya duduk tepekur, Ratu Subanglarang mulai melantunkan syair-syair penggugah jiwa yang ia dapatkan
dari para juru pantun. Sri Maharaja Prabu Siliwangi ternyata terhibur. Seulas senyum hambar menghiasi
bibirnya. Terlolos kalimat singkat dari mulutnya.
"Duduklah di sini, Nyai!"
Ratu Subanglarang mengangkat wajahnya sedikit, mata bulatnya mengerjap indah. Sepasang bola mata
penghias langit manakala malam menyelimuti. Cahaya bola mata Kijang yang mengkilat, menyambar jantung
ksatria kinayungan yang sedang gemar berburu. Ia menunduk bersemu malu, meronakan pipi bersemu dadu.
"Nyai!" "Hamba, Kaka!" "Duduklah di sini!"
Ratu Subanglarang berdiri pelan, melangkah gemulai lir macan teunangan. Mendekat dengan langkah yang
teratur, gerakan-gerakan yang tertata, langkah indah putri Sunda. Dalam pandangan Sri Maharaja Prabu
Siliwangi, sekujur tubuh istrinya itu seperti bermandi cahaya. Membangkitkan gairah kelelakian. Ratu
Subanglarang duduk di sampingnya. Menunduk dalam. Dan siap mengerling manakala Mahaprabu bertitah.
"Syair apa yang kau lantunkan tadi, Nyai?" selidik Mahaprabu.
Ratu Subanglarang tak segera menjawab. Melemparkan sesungging senyum menawan, sehingga wajah kuning
langsat itu kini terlihat semakin mempesona.
"Syair sederhana yang aku temukan dari pustaka yang tak bernama!"
"Indah! Indah sekali kedengarannya!"
"Biarkan ia tumbuh di taman hati, Kaka, kalau syair-syair itu memang terdengar indah!"
"Pasti! Pasti, Nyai! Aku akan selalu memupuknya..." Sri Maharaja Prabu Siliwangi kemudian bersipongang,
berjalan mengilingi ruangan itu, kedua tangan disilangkan
__ (Lir Macan Teunangan kurang lebih berarti seperti seekor macan melangkah gemulai. Peribahasa ini
biasanya dipergunakan untuk melukiskan cara berjalan seorang perempuan Sunda, yang melangkah
teratur, pelan dan penuh perhitungan seperti diaplikasikan dalam tarian-tarian klasik.)
__ di belakang, menunjukkan dadanya yang bidang dihiaskan manik-manik bertahtakan emas permata. Ratu
Subanglarang menunduk makin dalam. Tak kuasa melihat kstria pilih tanding bersipongang di hadapannya.
Kekaguman mengisi seluruh kesadaran Ratu Subanglarang saat itu. Ksatria yang tak saja digjaya di medan
laga, tapi juga hebat dan perkasa di medan dahaga asmara. Dengan rasa kagum dan menghormati suaminya,
tanpa diminta, Ratu Subanglarang melantunkan syair-syair itu lagi dengan suara teramat merdu. Bagaikan buluh
perindu yang meninabobokkan rasa dahaga Sri Maharaja Prabu Siliwangi. Meruntuhkan kesiagaan.
Fragmen yang dirancang Ratu Subanglarang berlangsung dengan gemilang. Ratu sangat yakin kalau suaminya
tak lagi bermuram durja. Tidak mengapa sekalipun untuk sesaat. Sesaat itu akan menjadi berarti manakala
diisinya dengan tepat. Desir angin yang berhasil mengembalikan kegerahan seorang musafir, tak butuh
berlama-lama. Hanya cukup beberapa saat tapi datang dengan tepat. Hal itulah yang telah dipersiapkan Ratu
Subanglarang. Ia tak ingin mencari ikan dengan mengeruhkan kolam.
"Bicaralah! Aku yakin ada sesuatu yang ingin kau sampaikan, Nyai!" urai Sri Maharaja Prabu Siliwangi. Sinyal itu
dengan cepat ditangkapnya. Ratu Subanglarang kembali tersenyum. Manja.
"Betul, Kaka!" "Bicaralah!" "Tadi malam aku bermimpi, Kaka!"
"Tentang apa?" "Kebakaran hebat terjadi di sepanjang sungai Cipakancilan, Kaka! Api tak bisa dipadamkan. Aku juga heran
kenapa api bisa menjilat-jilat air yang mengalir deras itu..."
Sri Maharaja Prabu Siliwangi menunduk dalam. Keningnya terlihat berlipat. Mata bulatnya tak diam mengerjapngerjap. Ia berpikir keras, pertanda apakah mimpi permaisurinya itu: Api - Sungai - Api menjilat air.
"Kau terlalu khawatir barangkali sebelum tidur, Nyai!"
"Sepanjang Kaka berdiri kukuh, kota dijaga prajurit dan desa-desa diawasi jagabaya, tak pernah sedikit pun
rasa khawatir singgah barang sebentar, Kaka!"
"Kalau begitu, mungkin itu pertanda. Kita perlu mengundang ahli ramal, Nyai, agar segera menyingkap tabir
impianmu itu!" Sri Maharaja Prabu Siliwangi melontar usul. Berjalan mendekati permaisurinya. Memegang
pundak Ratu Subanglarang dengan tangan kiri, sementara tangan kanan memegang dagunya. Diangkat pelan
agar bisa menatap wajah Ratu Subanglarang dengan leluasa. Diperlakukan seperti itu, Ratu Subanglarang
hanya mengerjap-ngerjap, tak kuasa menatap balik sorot mata perkasa Mahaprabu Sri Baduga. Menatap sorot
matanya itu seperti melihat pusaran air. Dibalik ketenangannya ada kekuatan dahsyat yang bisa menyedot
siapa saja dan apa saja yang ditatapnya. Tatapan mata harimau perbawa keagungan budi dan kewibawaan.
"Kaka sendiri pasti tahu arti mimpiku itu. Keluhuran ilmu Kaka telah melampaui untuk menafsirkan mimpi
sederhana itu." "Kenapa kau merasa yakin?"
"Mata Kaka yang bicara!"
"Mataku?" "Mata Kaka juga mata hati!"
"Bukakan mataku, kalau dibaliknya kau akan menemukan jawaban, Nyai!"
"Kegundahan Kaka belakangan ini, bukankah juga bagian dari mimpiku itu, Kaka?" telisik Ratu Subanglarang. Sri
Maharaja Prabu Siliwangi mengernyit. Tapi cepat-cepat ia menyembunyikan keheranannya, tak ingin
permaisurinya cepat menangkap kalau sesungguhnya ia mulai terjebak pada permainan yang dikembangkan
permaisurinya itu. Syair-syair yang dilantunkan, gemulai langkah yang mempesona dan cerita tentang mimpi
melihat api yang berkobar di Cipakancilan, tentu bukan bagian yang terpisah sendiri-sendiri. Mahaprabu Sri
baduga sadar, sebagai santri pinilih di Pesantren Quro, kecerdasan permaisurinya melampaui kebanyakan
perempuan saat itu, juga melampaui kemampuan permaisuri yang lainnya. Dulu, saat pertama kali menikahi
Nyai Ambetkasih, Sri Maharaja Prabu Siliwangi tak menangkap kecerdasan perempuan itu.
"Bukakan mataku, Nyai, agar segera kau temukan jawaban atas mimpimu itu!" Mahaprabu mengulang
titahnya. "Tak ada kuasa, Kaka, untuk membukakan mata Kaka apalagi mata hati!"
Sri Maharaja Prabu Siliwangi menghentak. Menarik tangan dan memutar tubuhnya. Ia kembali bersipongang,
melangkah tenang mengitari ruangan. Sesekali wajahnya menengadah, menembus langit-langit, mencari
jawaban dari teka-teki yang sedang menjadi perbincangannya tadi.
"Air Cipakancilan, api menjilat air, api... ada api berkobar! Ah, api! Api yang menjilat-jilat hati kita, Nyai. Api
yang berkobar membakar air kehidupan dalam hati kita, Nyai! Oh, Hyang Jaga Nata, gerangan apa yang terjadi
dengan api di hati kami!" teriak Sri Maharaja Prabu Siliwangi. Teriakan yang melengking tinggi itu membahana
ke segala penjuru. Gema suara itu membangunkan para prajurit yang tidak jaga, membangunkan binatangbinatang hutan sehingga lari pontang-panting. Gema suara itu telah membangunkan para penghuni langit.
Hujan deras diiringi petir yang menyambar-nyambar datang begitu saja. Hujan seperti ditumpahkan langsung
dari langit, tanpa tedeng aling-aling mengguyur pengisi alam panca tengah, membasahi madyapada tanpa
didahului dengan mendung. Ratu Subanglarang terperangah. Ia hampir loncat saking kagetnya. Tapi begitu
dilihatnya Sri Maharaja Prabu Siliwangi masih berdiri kukuh di tempatnya semula, berangsur-angsur ketenangan
kembali menyertai Ratu Subanglarang.
"Air, Nyai! Hujan!"
"Api akan padam dengan air, Kaka!"
"Tapi dalam mimpi, api malah berhasil menjilati air!"
"Ya, Allah, apakah pertanda api akan merajai air?"
Sri Maharaja Prabu Siliwangi mengernyit untuk kesekian kalinya. Cara permaisurinya menunjukkan
keputuasaan itu telah mengingatkan dirinya pada kenyataan bahwa Ratu Subanglarang seorang penganut
Islam yang baik. Beberapa saat Sri Maharaja Prabu Siliwangi menatap lekat permaisurinya. Diperlakukan
seperti itu, Ratu Subanglarang jadi salah tingkah. Ia meneliti diri, gerangan apa yang salah dengan dirinya
sehingga diperlakukan tak biasa oleh suaminya. Tatapan penuh tanya itu telah mengusik ketenangan batin
Ratu Subanglarang. Ia tanpa diminta mulai berkaca diri. Sanggul, patrem, rangkaian melati, kebaya hijau lumut
dari bahan sutera yang indah, kain batik halusan warna hijau tua senada, sepertinya tak ada yang salah. Ia
mendengus ingin menciumi sekujur tubuhnya sendiri untuk memastikan bahwa saat itu masih memancarkan
wangi. "Ada yang tidak berkenan denganku, Kaka?" tanyanya kemudian. Sri Maharaja Prabu Siliwangi berpaling. Ia
menatap ke titik abstrak, pada rinai hujan yang masih mengguyur. Pada langit tanpa batas. Pada pandangan
yang tak juga berbatas. Ia mengumbar pandangan, menari-nari kesana-ke mari. Kebiasaanya saat ia sedang
gundah. Ah, sebelum hujan turun, ruangan ini sempat memancarkan wangi bunga. Tapi sekarang, terasa dingin.
Hampa menyergapnya. "Jangan sampai Kaka terus bermuram durja seperti itu. Kalau memang Walangsungsang telah menyinggung
perasaan Kaka, kenapa tidak diberi pelajaran saja. Itu akan lebih baik daripada Kaka membiarkan negara dan
seluruh rakyat Pajajaran telantar," jelas Ratu Subanglarang pada akhirnya.
Sri Maharaja Prabu Siliwangi menahan senyum. Akhirnya fragmen yang dikembangkan sejak tadi menemukan
titik temu juga. "Itulah tafsir mimpimu semalam, Nyai!" jelas Sri Maharaja Prabu Siliwangi kemudian dengan suara datar tapi
cukup membangkitkan rasa nyeri yang mendengarnya.
"Api menjilati air, Walangsungsang..."
"Walangsungsang menjilati nuraniku, Nyai!"
"Apa Kaka merasakan itu?"
"Aku sakit. Sakit sekali. Kenapa anak itu jadi kurang ajar, padahal
aku sangat mengharapkan dialah yang akan
menjadi satu-satu penerus dan pemangku raja di negeri ini, Nyai. Siapa gerangan yang telah salah
mengasuhnya?" "Kaka menuduhku telah salah asuh pada putra kita itu?" telisik Ratu Subanglarang tak enak. Seolah tuduhannya
itu ditujukan pada dirinya. Sri Maharaja Prabu Siliwangi membuang muka. Pada hujan dan pada keriuhan di
luar sana, Mahaprabu bicara:
"Tak ada yang lebih sakit dibandingkan dengan ditikam pisau buatan sendiri, yang telah lama di persiapkan
untuk menghadapi musuh. Siapa menyangka pisau bermata dua itu akan melukai sekaligus pemiliknya dan
musuhnya. Tapi sekarang, saat ini, Nyai, kau harus lalui, musuh dan pemilik pisau itu menjadi tidak jelas.
Akulah pemilik pisau itu atau anak kita, Walangsungsang...."
Tanpa menatap pada suaminya, Ratu Subanglarang bicara:
"Barangkali karena ia anak muda masih disesaki amarah, masih senang bermain-main dengan api, Kaka. Ah,
akal sehatnya, mungkin air itu, rupanya telah dikalahkan api yang berkobar menjilat-jilat. Menurutku, api itulah
darah kemarahan putra kita yang tak berdasarkan akal sehatnya..."
"Kalau api itu emosi Walangsungsang yang tak berdasarkan akal sehat, aku pasti bisa memadamkannya, Nyai.
Tapi bagaimana jika api itu justru emosi yang berdasarkan akal sehatnya" Api itu akan terus berkobar karena
sengaja dipelihara untuk senantiasa berkobar. Aku mendapatkan kobaran itu pada putra kita!"
Mahaprabu Sri Baduga mematung. Sesaat kemudian terdengar ia menggumamkan bait-bait syair:
Purbatisi purbajati Mana mo kadatangan ku musuh
Ganal musuh alit Suka kreta tang lor kidul kulon wetan kena kreta rasa
Tan kreta ja lakibi dina urang reya
Ja loba di sanghiyang siksa
Ratu Subanglarang menghela napas panjang. Berat terasa bongkahan karang yang menghimpit dadanya saat
ini. Ia paham ke arah mana syair itu dimaksudkan.
Tapi karang yang menghimpit itu harus dipecahkan, gumam Ratu Subanglarang. Ya, karang itu harus
dipecahkan. Dan Ratu Subanglarang tahu bagaimana memecahkannya. Ia berdiri, beringsut mendekati Sri
Maharaja Prabu Siliwangi yang sedang dibalut amarah. Aura panas terasa menguasai ruangan itu. Di balik tirai
tempat tidur dengan sepasang bantal bers ulam emas teronggok. Diam tak bergerak. Lain tentu sa ja antara
aura panas tersulut birahi dengan aura panas dikuasai amarah seperti sekarang ini. Tapi amarah itu juga
diperlukan agar tak ada energi dingin yang menggumpal dalam badan.
Dengan langkah sangat hati-hati, Ratu Subanglarang menyingkap tirai. Jari jemarinya yang kuncup, lentik,
membentuk gerakan-gerakan indah. Sebagai seorang permaisuri raja, langkah dan lagaknya tak terdapat
sedikit pun cacat. Kulit kuning langsat terbalut kain sutra hijau lumut itu semakin terlihat menyala-nyala.
Ratu Subanglarang tahu persis, sebagai seorang raja, Sri Maharaja Prabu Siliwangi telah melakukan tugasnya
dengan baik, tidak saja dalam menjalankan roda pemerintahan, tapi juga menjalankan roda rumah tangga
dengan para permaisurinya. Gemah ripah repeh rapih loh jinawi, terbukti di gunung dan di lembah, di kampung
dan di kota. Langkah pertama Sri Maharaja Prabu Siliwangi seulah resmi dinobatkan sebagai raja adalah melaksanakan
amanat dari Wastu Kancana, yang disampaikan melalui ayahnya sendiri, Ningrat Kancana ketika masih menjadi
Mangkubumi di Kawali. Amanat yang tertulis dalam sehelai kulit itu disimpan rapi sebagai pusaka sekaligus
undang-undang agar senantiasa menjadi acuan.
Semoga selamat Ini tanda peringatan bagi Rahyang Niskala Wastu Kancana
Turun kepada Rahyang Ningrat Kancana
Maka selanjutnya kepada Susuhunan sekarang di Pakuan Pajajaran
Harus menitipkan ibukota di Jayagiri dan ibukota di Sunda Sembawa
Semoga ada yang mengurusnya
Jangan memberatkannya dengan dasa, calagra, kapas timbang dan pare dongdang
Maka diperintahkan kepada petugas muara agar jangan memungut bea
Karena merekalah yang selalu berbakti dan membaktikan diri kepada ajaran-ajaran
Merekalah yang terus mengamalkan peraturan Dewa
Sesuai dengan amanat dari para leluhurnya, dalam menjalankan roda pemerintahan Kerajaan Pajajaran,
Mahaprabu Sri Baduga membebaskan dayeuhan di Jayagiri dan Sunda Sembawa dari 4 macam upeti yaitu
dasa (pajak perorangan), calagra (pajak tenaga kolektif), kapas timbang (kapas 10 pikulan) dan pare dongdang
(satu gotongan padi). Piagam-piagam Sri Baduga lainnya berupa piteket, karena langsung merupakan
perintahnya. Isinya tidak hanya pembebasan pajak tetapi juga
penetapan batas-batas kabuyutan di Sunda Sembawa dan Gunung Samaya yang dinyatakan sebagai lurah
kwikuan atau dikenal sebagai desa bebas pajak. Peraturan ini membawa kesejahteraan dan penghormatan
kepada Sri Maharaja Prabu Siliwangi. Ya, tentang masalah ini, sebagai permaisuri Ratu Subanglarang telah
sangat paham. Kebijakan Sri Maharaja Prabu Siliwangi sebagai raja, tentu akan bisa dirasakan tidak saja oleh abdi dalem
keraton tapi juga oleh seluruh rakyat Pajajaran. Ratu Subanglarang juga paham pada realita bagaimana Sri
Maharaja Prabu Siliwangi menetapkan bahwa untuk daerah Kandang Wesi, harus membawa kapas sepuluh
carangka (10 carangka sama dengan 10 pikul) sebagai upeti ke Pakuan setiap tahun. Kapas termasuk upeti, jadi
tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan kepada penguasa setempat. Kebijakan ini telah
menumbuhkan rasa keadilan pada rakyat. Begitu pula ketika Sri Maharaja Prabu Siliwangi menetapkan
kebijakan bahwa pare dongdang atau disebut pula panggeres reuma, yang merupakan hasil lebih atau hasil
cuma-cuma tanpa usaha. Reuma adalah bekas ladang. Untuk padi yang tumbuh terlambat di bekas ladang
setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau
penguasa setempat. Pajak yang benar-benar murni pajak hanya pajak tenaga dalam bentuk dasa dan calagara. Tugas-tugas yang
harus dilaksanakan perorangan dan kolektif sebagai bentuk pajak berupa kerja bakti, seperti di antaranya
menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air, bekerja di ladang atau di serang ageung yaitu ladang
kerajaan yang hasil panennya diperuntukkan bagi upacara resmi.
Ratu Subanglarang merasakan betul bagaimana gundah gulananya Sri Maharaja Prabu Siliwangi. Bagaimana
pun juga jejak langkah sebagai pemimpin yang adil, manusia sakti yang tak takut dengan musuh, telah
menumbuhkan rasa hormat yang tinggi dari seluruh rakyat Pajajaran, juga telah menumbuhkan rasa kagum
dari kerajaan lain. Tapi manakala terjadi salah langkah dalam menyikapi keinginan Walangsungsang, citra baik
itu tentu akan ternoda. Inilah yang tak diinginkan Sri Maharaja Prabu Siliwangi juga dia sendiri sebagai
permaisurinya. Sebagai permaisuri, Ratu Subanglarang tentu paham benar di mana harus menempatkan diri.
Tapi sebagai ibu kandung yang denyut jantung anaknya adalah juga denyut jantungnya, juga paham kalau
keinginan Walangsungsang sama sekali tidak salah. Ia bahkan harus secara jujur mendukung keinginannya itu.
Impian yang dialami Walangsungsang bagi Ratu Subanglarang adalah semacam ilham yang harus segera
diwujudkan agar menjadi kebenaran yang bermanfaat bagi orang kebanyakan, sesuatu yang tak bisa ia
lakukan selama ini. Hal itu bisa mewujud manakala Walangsungsang melaksanakan keinginannya. Sungguh,
sebuah pilihan dalam suasana yang sulit.
Ratu Subanglarang merebahkan tubuhnya di atas tempat peraduan, bersulam sutra bertahtakan emas permata.
Tembok batu sekeliling ruangan itu t
erasa semakin dingin, walaupun angin tak semilir. Jari-jemarinya yang
lentik terawat membuka sebuah patrem yang mengeratkan untaian rambutnya. Kini rambutnya dibiarkan
tergerai seperti ombak yang terhampar di lautan luas, menari-nari dalam kemilau dan semerbak wangi. Sri
Maharaja Prabu Siliwangi bergeming. Kelelakiannya seperti tertantang. Ia mendekati tempat peraduan itu.
Siang terasa damai apalagi sehabis hujan. Rinai masih membekas di langit, juga titik-titik air masih bermainmain pada pucuk-pucuk daun dan membasahi rerumputan dan tegalan yang terbuka, menyemburkan bau yang
khas. "Kau sendiri telah mengajak bicara anak kita, Nyai?" desak Sri Maharaja Prabu Siliwangi tiba-tiba.
Tenggorokannya naik turun merasakan ada yang mendesak-desak di sana.
"Kaka tentu akan jauh lebih tepat mengajaknya bicara!" urai Ratu Subanglarang.
Sejenak Sri Maharaja Prabu Siliwangi diam. Diam bukan karena merasa takut, tapi sedang mencari ucapan
yang pantas agar permaisurinya itu tak merasa disudutkan dengan kelakuan putranya.
Sejenak gambaran-gambaran itu hadir kembali. Sri Maharaja Prabu Siliwangi teringat kembali pada pertemuan
terakhirnya dengan Walangsungsang. Sekalipun diancam, putranya itu tak bergeming.
"Bagaimana, Walangsungsang?" desak Sri Maha-prabu Siliwangi.
"Apa pun yang akan terjadi, hamba telah siap untuk menerimanya, Kanjeng Rama?"
"Termasuk diusir dari istana?"
"Lebih dari itu pun hukuman yang bakal hamba terima akan dengan senang hati hamba jalani, daripada hamba
berbohong dengan desakan hati sendiri."
Begitu segar dalam ingat Sri Maharaja Prabu Siliwangi bagaimana jawaban putranya itu. Mendengar jawaban
dari anaknya seperti itu, Mahaprabu benar-benar marah. Wajahnya berubah merah padam. Napasnya terlihat
seperti tersengal menahan emosi yang mendesak dari dalam dadanya. Lalu dengan secepat ki lat Sri Maharaja
Prabu Siliwangi mencabut Kujang pusaka dan diacungkan ke atas.
"Demi langit dan bumi aku tak suka mendengar jawabanmu itu, Walangsungsang!"
"Mulai saat ini juga, kau, Walangsungsang lebih baik keluar dari istana sebelum kau berubah pikiran untuk
meninggalkan keyakinan yang diajarkan Kanjeng Muhammad itu!" titah Sri Maharaja Prabu Siliwangi. Tentu
saja kata-kata seperti itu tadinya dimaksudkan sebagai gertakan saja. Tapi di luar perhitungan Sri Maharaja
Prabu Siliwangi, diancam seperti itu tiba-tiba Walangsungsang berdiri lalu menyembah takzim. Pelan tapi pasti
tanpa berkata-kata lagi, Walangsungsang mundur dari hadapan ayahandanya. Ia keluar kamar dengan hati
puas karena keinginannya untuk mempelajari agama yang dibawa oleh Kanjeng Muhammad serasa sudah ada
di depan mata. Sri Maharaja Prabu Siliwangi mengusap wajahnya yang tiba-tiba terasa memanas. Jawaban dan keadaan
itulah yang telah mengganggunya selama ini. Ia khawatir sekadar membayangkan kejadian itu. Entah kenapa,
ia justru seolah telah bisa menerawang apa yang akan terjadi. Jawaban terakhir itulah yang akan dipilih
putranya dan bukan mengurungkan niatnya. Tidak. Tidak ada sedikit pun keinginan Walangsungsang untuk


Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengurungkan niat, sekalipun mendapatkan gertakan dan ancaman.
"Oh, Hyang Jaga Nata, ampunilah kelancangan putra hamba. Hamba tidak bisa melarang juga tidak rela
membiarkan semua ini terjadi, Hyang Jaga Nata!"
Sri Maharaja Prabu Siliwangi melangkah menuju tempat duduknya. Tangannya yang tadi begitu kokoh
memegang pusaka Kujang, kini terlihat begitu lemas. Perlahan pusakanya itu dimasukkan kembali ke dalam
warangkanya dan diselipkan di pinggangnya. Dari sorot matanya terlihat betapa berat beban yang sedang
dipikulnya. Ya, gambaran itu kini bisa dilihat Ratu Subanglarang dengan jelas tanpa terhalang apa pun.
"Maafkan hamba, Kaka. Hamba mengaku tidak bisa mendidik anak seperti seharusnya," ungkap Ratu
Subanglarang dengan perasaan berdosa. Ia bisa merasakan bagaimana kesedihan suaminya sekalipun hal itu
belum benar-benar terjadi. Ratu Subanglarang seolah telah melangkah selangkah ke depan, sehingga
merasakan betapa kegundahan yang membuncah memenuhi dada Sri Maharaja Prabu Siliwa ngi saat itu.
"Kau tidak bersalah, Nyai. Akulah yang bersalah. Sebagai ayah, aku tidak bisa mengikuti jalan pikiran anakku
sendiri. Dan sebagai pemimpin, aku tak bisa mempertahankan kehormatan dan ajaran Jati Sunda ini agar selalu
diikuti oleh seluruh masyarakat termasuk juga anakku. Aku sangat sedih. Bagaimana aku bisa memimpin
masyarakat ke depan, kalau memimpin anak sendiri saja tidak bisa," urai Sri Maharaja Prabu Siliwangi, benarbenar sedih sekaligus kecewa dengan apa yang telah menjadi ketetapan Walangsungsang itu. Ah, padahal itu
baru ada dalam bayang-bayang sendiri. Bayang-bayang yang muncul akibat kekhawatiran yang menderanya.
"Selayaknya Kaka tidak harus sedih seperti itu. Kalau memang Walangsungsang sudah tidak bisa dicegah lagi,
bukankah selayaknya Kaka membiarkan anak itu tumbuh dengan sendirinya karena masih banyak tugas
penting lain yang harus segera Kaka selesaikan," Ratu Subanglarang mengingatkan suaminya agar tidak terusmenerus berada dalam kekecewaan. Mendengar hal seperti itu, Sri Maharaja Prabu Siliwangi mengangguk
pelan. Entah kenapa hari itu, Sri Maharaja Prabu Siliwangi seperti telah kehilangan separuh dari kekuatannya
sehingga kalau hari-hari sebelumnya tampak gagah, sekarang justru terlihat tidak bersemangat.
Goncangan itu ternyata tidak berakhir sampai di situ. Kelak, anak cucu Pajajaran juga akan mengetahui dengan
pasti bagaimana desakan seperti yang dilakukan Walangsungsang, juga menjadi desakan dari beberapa
daerah bawahan Kerajaan Pakuan.
Proses penodaan terhadap ajaran Jati Sunda itu memang berlangsung secara damai dan terjadi di tatar Sunda.
Sejarah kelak akan mencatat, kekhawatiran Sri Maharaja Prabu Siliwangi itu menjadi kenyataan. Sekalipun
tidak terjadi pergolakan yang meluas kecuali di beberapa lokasi seperti Rajagaluh, Kalapa, Pakuan, Galuh,
Datar, Madiri, Jawakalapa, Gegelang, dan Salajo. Islam tidak dinyatakan sebagai musuh melainkan dipandang
sebagai pihak yang mendatangkan bencana dan telah menodai ajaran Jati Sunda.
Sri Maharaja Prabu Siliwangi sama sekali tidak pernah membayangkan satu kenyataan jika langkah
Walangsungsang yang tidak bisa dibendung itu sebagai awal dari proses penistaan ajaran Jati Sunda.
Mahaprabu membayangkan bagaimana proses masuknya pengaruh Hindu ke tatar Sunda dulu, bermula dari
kalangan atas keraton. Berbeda dengan proses masuknya pengaruh Islam. Sejarah kelak mencatat, ajaran baru
ini justru mulai diterima kalangan rakyat biasa.
Sri Maharaja Prabu Siliwangi terlilit rasa khawatir. Tapi ketika melihat istri tercintanya duduk di bibir ranjang,
serta-merta Sri Maharaja Prabu Siliwangi mencium wangi melati, semerbak mengisi ruangan. Sejenak ia
melepaskan dari perasaan bersalah yang mengungkungnya. Ratu Subanglarang tersenyum manis seolah telah
bisa menangkap getaran yang mendetak-detak di balik dada bidang suaminya itu. Ia seperti merpati,
mempermainkan keindahan lenggok tubuhnya, memancing agar merpati jantan mendekat. Mendekap.
Siang itu saat hujan mulai reda, Ratu Subanglarang merasakan dekapan lembut Sri Maharaja Prabu Siliwangi
dari arah belakang. Ia bisa merasakan hembusan napas hangat pada tengkuknya. Matanya terpejam damai,
menyerahkan segenap rasa bulat-bulat pada suasana yang terjadi. Saat jemari kokoh Mahaprabu
mencengkeram jemarinya, Ratu Subanglarang merasakan perasaan lembut menjalar, membuat simpul-simpul
sarafnya merasa damai. Sri Maharaja Prabu Siliwangi berhasil melupakan segenap rasa yang mengungkungnya kecuali satu rasa indah
yang terkembang di atas pembaringan itu.
*
MENDAKI KAKI SENDIRI Dalam semedinya Sri Maharaja Prabu Siliwangi, tak berhasil menemukan sinar terang. Berkali-kali memusatkan
segenap rasa dan pikirannya pada Hyang Jaga Nata, berharap diberi petunjuk tentang apa yang bakal terjadi.
Gelap. Terawangannya terlihat masih tetap gelap. Ia tidak tahu apa yang bakal terjadi.
Seperti ketidaktahuannya tentang Ratu Subanglarang yang bertemu dengan Ki Nalaraya di salah satu tempat
rahasia tak jauh dari taman sari. Perbincangan serius berlangsung di tempat itu. Perbincangan antara hidup dan
mati. Perbincangan yang sangat menentukan langkah-langkah Walangsungsang berikutnya. Ratu Subanglarang
merasa yakin tempat itu cukup aman untuk mengatur strategi. Ia sama sekali tidak mengetahui dari tempat
yang juga tersembunyi Nyimas Kentring Manik sedang menajamkan indra pendengarannya. Dengan kekuatan
ilmu pendengaran jarak jauhnya, ia bisa menangkap perbincangan orang yang dituju. Tapi saat ini berkali-kali
ia fokuskan pikiran, pendengarannya seperti terhalang sesuatu. Ia hanya samar mendengar perbincangan
antara Nalaraya dan Ratu Subanglarang. Dalam samar itu pula, Nyimas Kentring Manik tak begitu bisa
memastikan bahwa yang sedang berbicara adalah Ratu Subanglarang dengan Ki Nalaraya. Ia hanya
mendengar dalam samar itu, suara perbincangan antara seorang laki-laki dan perempuan. Tapi ia bisa
memastikan kalau perempuan yang bicara itu adalah Ratu Subanglarang, karena ia menyaksikan dengan mata
kepalanya sendiri bagaimana Ratu Subanglarang masuk ke ruangan rahasia tersebut.
"Duhai, Hyang, ada apa gerangan dengan pendengaranku ini" Aku tak mampu mendengar dengan jelas suara
obrolan mereka!" keluh Nyimas Kentring Manik mengutuk dirinya sendiri. Semakin konsentrasi, semakin kabur
pula pendengaran jarak jauhnya. Ia kini bahkan mendengar suara-suara lain saling berjejal masuk ke rongga
telinganya. Suara aliran Cipankancilan, suara burung-burung, suara obrolan prajurit. Nyimas Kentring Manik
menjerit dan menutup kedua telinganya. Ilmu pendengaran jarak jauhnya sekarang justru menjadi siksaan
yang terasa amat berat. Ia begitu geram. Sama sekali tak pernah membayangkan jika dalam suasana yang
sangat dibutuhkan, ilmu pendengaran jarak jauhnya itu justru sama sekali tak berfungsi.
"Sialan! Ilmu apa yang aku anut ini" Ilmu pendengaran jarak jauh ini tak berfungsi sebagaimana mestinya..."
keluh Nyimas Kentring Manik panjang pendek. Ia menyesal karena gagal mendengar perbincangan Ratu
Subanglarang dengan seorang lelaki, padahal siapa tahu justru perbincangan tentang rahasia, yang bisa
membuka jalan untuk memuluskan rencana yang telah disusunnya itu.
"Aku harus berhasil!" gumam Nyimas Kentring Manik geram. Darah bergolak memenuhi ubun-ubunnya.
Ratu Subanglarang merenung. Ia tak percaya dengan penjelasan Ki Nalaraya saat itu.
"Kau bisa memegang ucapanmu itu, Paman?" selidik Ratu Subanglarang.
"Demi Tuhan yang menciptakan aku dan Gusti Ratu. Aku sama sekali tidak mengada-ada. Bilamana perlu aku
bisa membawa beberapa emban pengasuh Prabu Anom Walangsungsang...." jelas Ki Nalaraya. Ratu
Subanglarang mengangguk pelan.
"Selama ini, Paman memang tidak pernah membuat aku kecewa. Tak mendengar sesuatu yang pantas untuk
didengar, tak bicara sesuatu yang tak pantas untuk diceritakan," gumam Ratu Subanglarang. Ki Nalaraya
mengangguk pelan. Ia menunduk tak kuasa menerima pujian setinggi itu. Selama ini ia hanya melaksanakan
tugas sebaik-baiknya apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.
"Ceuli ulah barang denge mo ma nu sieup didenge, keunana dora bancana, sangkan urang nemu mala na lunas
papa naraka, hengan lamun kapahayu ma sinengguh utama tipangreungeu..." ungkap Ki Nalaraya kemudian
menyitir salah satu ajaran dalam Jati Sunda yang selama ini ia pegang teguh. Ungkapan itu kurang lebih berarti
"telinga jangan mendengarkan yang tidak layak didengar karena menjadi pintu bencana, penyebab kita
mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun kalau telinga terpelihara, kita akan mendapat keutamaan
dalam pendengaran". "Kalau memang apa yang dilakukan saudara-saudara seayahnya itu benar, Paman, kira-kira apa maksudnya"
Apa mereka menginginkan anakku, Walangsungsang dan Rarasantang, tidak betah tinggal di Pakuan?" selidik
Ratu Subanglarang. "Gusti Ratu tentu mafhum, sebagai putra mahkota penerus tahta kerajaan, Gusti Prabu akan menunjuk Prabu
Anom Walangsungsang. Mau tidak mau hal ini yang telah mengusik perasaan Prabu Surawisesa...."
"Tapi Surawisesa belum cukup umur, Paman?"
"Urusan itu, aku tidak tahu, Gusti Ratu!"
"Baiklah kalau memang urusan penerus tahta kerajaan yang jadi pangkalnya, kenapa mereka membuat gerah
putriku, Rarasantang?" Ratu Subanglarang semakin penasaran setelah mendengar laporan dari Ki Nalaraya
bahwa diam-diam di Keraton Pakuan ini telah berlangsung intrik-intrik yang ditujukan kepada Prabu Anom
Walangsungsang dan Nyimas Rarasantang dari saudara-saudara tirinya. Tapi kalau ini benar, kenapa Gusti
Prabu seolah membiarkan"
"Maaf, Gusti Ratu, kalau kita mengamati bagaimana kedekatan Prabu Anom Walangsungsang dengan Nyimas
Ratu Rarasantang, tentu akan masuk akal bahwa untuk membuat Prabu Anom tidak betah di sini salah satu
caranya adalah dengan mengusik keberadaan Nyimas Ratu Rarasantang. Maaf beribu maaf, Gusti Ratu, ini
hanya pikiran aku yang bodoh, tidak dimaksudkan untuk mengeruhkan suasana...." jelas Ki Nalaraya seraya
mengangkat kedua tangannya ke atas dada dalam posisi menyembah. Gelang yang terbuat dari perak putih
selebar tiga jari tangannya itu berkilauan. Gelang sebening cermin salah satu kesenangan Ki Nalaraya, sehingga
secara rutin merawatnya. Ratu Subanglarang mengibaskan tangannya memberi isyarat agar Ki Nalaraya tak
perlu minta maaf seperti itu.
"Aku merasakan ada yang aneh di keraton sekarang ini, Paman?"
"Apa itu Gusti Ratu?"
"Kalau memang benar perbuatan licik itu terus dilakukan untuk membuat gerah putra-putriku, tapi kenapa tak
seorang pun yang melapor kepadaku, tidak para emban dan juga para prajurit itu, Paman?"
"Pertanyaan yang sulit untuk dijawab sesulit mereka yang mengetahui masalah ini untuk melaporkan kepada
Gusti Ratu!" Ratu Subanglarang beringsut bangkit. Ia terlihat geram sekali.
"Gusti Ratu, Gusti Ratu Ambetkasih maupun Gusti Ratu Kentring Manik Mayang Sunda, bagi para emban dan
seluruh abdi dalem Keraton Pakuan adalah atasan yang sama-sama harus dihormat, Gusti Ratu!" jelas Ki
Nalaraya seperti mengingatkan bagaimana mereka ada pada pilihan sulit manakala melihat ketidakcocokan
atau intrik-intrik yang berkembang di keraton. Tak akan cukup keberanian untuk melaporkan setiap kejadian
itu. Kalau-lah kejadian yang dilaporkan itu benar-benar bisa dibuktikan di depan para penasihat kerajaan, paling
akan mendapat pujian. Tapi manakala apa yang dilaporkan itu tidak cukup bukti, pelapor tentu akan dianggap
sebagai penyebar fitnah yang bermaksud memperkeruh suasana di keraton. Hukuman untuk orang semacam
ini sudah jelas yakni akan dipenjara seumur hidup kecuali kalau mendapat pengampunan dari raja yang
bertahta. "Apa yang harus aku lakukan, Paman?"
"Jangan melakukan apa-apa kecuali a
da bukti-bukti kuat atau pengakuan dari putra-putri Gusti Ratu!"
"Maksud Paman?"
"Kita sama-sama lihat untuk beberapa hari ke depan, Gusti Ratu. Seperti juga malam kemarin saat aku
kepergok Gusti Ratu, aku akan tetap melakukan pemeriksaan secara diam-diam. Mudah-mudahan nanti akan
Pedang Pelangi 3 Dewa Linglung Lodra Si Ular Sanca Beracun Cermin Alam Gaib 2

Cari Blog Ini