Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura Bagian 2
mendapat bukti-bukti nyata, apa benar Gusti Ratu Kentring Manik itu menginginkan Prabu Anom enyah dari
sini" Atau siapa sebenarnya yang mengatur semua ini?"
"Paman yakin?" "Seyakin ketika aku melangkahkan kaki ke ruangan ini, bahwa tidak akan ada orang yang mengetahui!"
Ratu Subanglarang tersenyum bangga. Ia memang sudah tahu bagaimana kualitas kejujuran dan ketinggian
budi Ki Nalaraya untuk mengabdi kepada Sri Maharaja Prabu Siliwangi, juga kepada dirinya. Ki Nalaraya adalah
satu dari sedikit sosok penasihat kerajaan yang benar-benar telah teruji.
"Jangan sampai ada orang lain yang memperkeruh suasana, Paman!"
"Benar, Gusti Ratu! Itulah kenapa aku tak mau ditemani oleh orang lain dalam mengatasi masalah ini," jelas Ki
Nalaraya. Ratu Subanglarang memberi isyarat bahwa pertemuan rahasia itu dinilai sudah lebih dari cukup. Ki Nalaraya
mengangguk takzim. Ia minta diri. Berjalan bergegas ke arah belakang ruangan itu menuju satu pintu rahasia
yang terhalang bongkahan batu besar. Batu itu digeserkan sedikit sekadar untuk cukup dilewa ti tubuhnya. Ki
Nalaraya sedikit membungkuk masuk ke lubang rahasia disaksikan oleh Ratu Subanglarang dengan tatapan
takjub. Lorong rahasia itu akan berakhir di tepi Sungai Cipakancilan. Di sana, di tepi Sungai Cipakancilan tentu
saja Ki Nalaraya akan gampang mengelabui siapa saja yang ditemuinya, dengan berpura-pura memeriksa
keadaan atau dengan alasan lain.
Pikiran Ratu Subanglarang dijejali berbagai pertanyaan yang belum semuanya dapat ter jawab. Ia seperti
disadarkan kini bahwa keinginan Prabu Anom Walangsungsang, putranya, yang ingin belajar Islam, janganjangan hanya reka perdaya saja sekadar untuk membebaskan diri dari intrik-intrik tak mengenakkan yang
dikembangkan saudara tirinya. Tapi ketika teringat bagaimana ketajaman berpikir putranya itu manakala
menyikapi ajaran Jati Sunda dan dibandingkan dengan ajaran yang diperolehnya melalui impian, kesangsian itu
sirna. Ratu Subanglarang merasa yakin bahwa putranya benar-benar ingin mencari kesejatian hidup dan
karenanya rela meninggalkan posisi sebagai putra mahkota.
Ucapan-ucapan Ki Nalaraya terus menari-nari di benaknya yang berujung pada kebingungan sendiri.
Sebenarnya Ratu Subanglarang bisa saja menanyakan kebenaran itu pada Nyi Ratu Kentring Manik Mayang
Sunda atau memanggil seluruh emban pengasuh putra dan putrinya. Tapi ia teringat kembali ucapan Ki
Nalaraya bahwa jangan melakukan sesuatu yang bisa mengacaukan apa yang sedang ditelitinya.
Ratu Subanglarang lagi-lagi hanya mengangguk membenarkan. Sri Maharaja Prabu Siliwangi tentu akan terusik
manakala ia salah berbuat. Sejarah telah mencatat bahwa Nyi Ratu Ambetkasih adalah permaisuri pertama Sri
Maharaja Prabu Siliwangi, yang tentunya mendapat kehormatan yang lebih. Ketika ia berniat memberontak,
tentu suasana akan semakin keruh sehingga sulit melihat siapa yang benar dan siapa yang salah. Ia tak ingin
salah satu di antara permaisuri Sri Maharaja Prabu Siliwangi tersinggung dan marah karena perbuatannya. Ratu
Subanglarang paham betul bagaimana seorang penasihat kerajaan beberapa kali menceritakan prosesi
kepindahan Sri Maharaja Prabu Siliwangi dari Galuh ke Pakuan. Ini tentu dimaksudkan agar sebagai seorang
permaisuri berikutnya, Ratu Subanglarang, lebih tahu diri dan menghargai sejarah dengan menghormati para
pelakunya. Terasa segar dalam ingatan Ratu Subanglarang bagaimana proses kepindahan permaisuri Ratu-ratu Pakuan dari
Keraton Galuh ke Keraton Pakuan seperti ditulis Kai Raga. Yang dikisahkan dalam pantun itu adalah
Ngabetkasih atau Nyi Ratu Ambetkasih. Pencantuman nama Nyi Ratu Ambetkasih dan bukan nama permaisuri
yang lain, tentu ada hubungannya dengan tingkat penghormatan.
Tersebutlah Ngabetkasih bersama madu-madunya bergerak payung kebesaran melintas tugu
yang seia dan sekata hendak pulang ke Pakuan kembali dari keraton di timur
halaman cahaya putih induk permata cahaya datar namanya keraton berseri emas permata rumah berukir
lukisan alun di Sanghiyang Pandan-larang keraton penenang hidup
Bergerak barisan depan disusul yang kemudian
teduh dalam ikatan dijunjung
bakul kue dengan tutup yang diukir
kotak jati bersudut bulatan emas
tempat sirih nampan perak
bertiang gading ukiran telapak gajah
hendak dibawa ke Pakuan Bergerak tandu kencana beratap cemara gading bertiang emas bernama lingkaran langit berpuncak permata indah ditatahkan pada watang yang bercungap
Singa-singaan di sebelah kiri-kanan payung hijau bertiang gading berpuncak getas yang bertiang berpuncak
emas dan payung saberilen berumbai potongan benang
tapok terongnya emas berlekuk
berayun panjang langkahnya
terkedip sambil menoleh ibarat semut, rukun dengan saudaranya
tingkahnya seperti semut beralih
bergerak seperti pematang cahaya melayang-layang
berlenggang di awang-awang
pembawa gendi di belakang
pembawa kandaga di depan dan ayam-ayaman emas kiri-kanan
kidang-kidangan emas di tengah
siapa diusun di singa barong
Bergerak yang di depan, menyusul yang kemudian barisan yang lain lagi
Ratu Subanglarang menghela napas panjang. Untaian syair tersebut telah menyadarkan posisi dirinya, agar
senantiasa rukun damai dengan istri Mahaprabu yang lain. Tapi ketika intrik-intrik itu muncul, mengusik
ketenangan hidup putra-putrinya, apa itu bukan pengkhianatan" Akankah diam saja ketika dikhianati" Begitu
terasa ada yang teronggok dalam rongga dadanya saat itu, yang membuatnya sesak. Ingin sekali ia
memberontak saat itu sekadar menghilangkan rasa sesak di dadanya. Ia merasa ilmunya cukup untuk
mengatasi siapa pun yang menghalangi pemberontakannya. Ratu Subanglarang sadar betul bahwa
sesungguhnya tindakan memberontak mempunyai satu bentuk. Akan tetapi sesadar itu pula Ratu Subanglarang
meyakini bahwa pengkhianatan adalah makhluk yang lentur, ia akan membentuk si pemberontak tersebut
sebagaimana ia mau. Inilah yang tak diinginkan Ratu Subanglarang.
Matahari hampir bersembunyi dengan teriknya yang mengubun-ubun ketika ketukan pintu yang keras
terdengar. Meski siang belum juga padam, dan Ratu Subanglarang mengiyakan memberi isyarat, tetap saja
tangan itu bersikukuh mengetuk pintu seolah tak akan mendapatkan pintu itu terbuka. Bahkan bisa saja ia
akan mendobraknya jika tak segera dibukakan. Ratu Subanglarang bergegas mendekati pintu dan
membukanya. Seorang penasihat kerajaan lain berdiri kukuh di depan pintu, menatap lurus pada Ratu
Subanglarang yang juga sedang menatapnya.
"Ada apa, Paman?"
"Maaf, Gusti Ratu, kalau aku bertindak kurang ajar. Sri Maharaja Prabu Siliwangi memanggil Gusti Ratu segera!"
"Ada apa tanyaku?"
"Prabu Anom Walangsungsang lari dari kerajaan!"
"Anakku lari?" Ratu Subanglarang tersentak kaget. Penasihat kerajaan itu hanya mengangguk pelan. Ratu
Subanglarang menatap tajam dan lama, sesuatu yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Kini, kemarahan
jelas membara berkilat-kilat dalam matanya. Tapi saat melihat penasihat kerajaan itu terus menunduk, Ratu
Subanglarang seperti menyadari kekeliruannya. Ia mengibaskan tangannya meminta jalan. Penasihat Kerajaan
beringsut menggeser dari tempatnya berdiri, memberi jalan pada sang ratu. Dengan menahan mata yang tibatiba saja terasa perih, tergopoh Ratu Subanglarang berlari menunju balairung. Entah darimana ia mendengar
suara Mahaprabu menggelegar terdengar ke seluruh penjuru keraton, bahkan mungkin ke seluruh lembah.
Suara itu - suara yang berasal dari dalam hatinya - seperti mengisyaratkan kejadian buruk akan terjadi. Segera.
Tidak lama lagi. *
Keluar dari keraton Pakuan, Walangsungsang seolah mendapat energi tambahan. Seperti petunjuk yang
diperoleh dari mimpi, ia terus berjalan ke arah timur. Ia tak mempedulikan lagi waktu istirahat, terus berjalan
menyusuri jalan perkampungan, menembus lebatnya belantara, naik dan turun bukit tanpa sedikit merasa
kelelahan. Ia seperti sedang menyongsong kekasih tercinta yang tak mengenal rasa lelah. Ia seperti sedang
mendekati air kehidupan bagi seorang musafir yang kehausan. Sejak keluar dari keraton Pakuan, ia telah
menanggalkan pakaian sebagai putra raja. Ia kini berpakaian seperti layaknya masyarakat Sunda pada
umumnya, mengenakan celana pangsi setengah lutut, mengenakan alas kaki dari kulit kayu, membawa
pakaian salin dalam ikatan kain persegi. Makan pun sedapatnya.
Entah pada hitungan hari ke berapa, ketika untuk pertama kalinya bertemu dengan seorang kakek pencari
kayu bakar. Dari lelaki tua yang sebagian kehidupannya dihabiskan dalam balutan derita itu, Walangsungsang
mendapatkan kebersahajaan hidup. Dari kakek itu pula Walangsungsang mendapatkan makanan sehingga bisa
mengurangi rasa lapar yang sudah hampir dua hari ini tak diisinya.
"Anak ini sebenarnya hendak ke mana?" tanya kakek pencari kayu tersebut sama sekali tidak mengetahui
siapa sebenarnya lelaki tampan dan gagah yang sedang berada di hadapannya itu. Dalam kesederhanaan
pakaian, memang tak bisa menyembunyikan kegagahan dan ketampanan Walangsungsang saat itu.
"Aku sedang mencari seorang guru yang bisa memberitahukan bagaimana caranya, agar aku bisa belajar
agama seperti yang diajarkan Kanjeng Muhammad, Kek!" jelas Walangsungsang tanpa sedikit pun yang
disembunyikan, sekalipun ia paham benar bahwa masalah tersebut mungkin saja masih terdengar asing di
telinga masyarakat Pajajaran pada umumnya. Dengan keterusterangan seperti itu, Walangsungsang berharap
akan mendapat informasi yang dicarinya.
"Apa kakek ini tidak salah dengar, Nak?"
"Tidak, Kek. Kakek tidak salah dengar. Aku memang sedang mencari guru yang dapat mengajarkan ilmu
agama itu, Kek. Kalau kakek mengetahui di mana tempat guru itu, aku harap kakek tidak akan
menyembunyikan atau dengan sengaja menutup-nutupinya. Tidak perlu khawatir, bantuan kakek seperti itu
akan aku hargai dengan sebuah hadiah," bujuk Walangsungsang.
Mendengar perkataan Walangsungsang seperti itu, kakek pencari kayu tadi hanya tersenyum. "Kakek tidak
butuh hadiah, Nak. Kakek bertanya seperti itu karena merasa penasaran saja, tidak mengira anak yang masih
muda dan gagah ini, justru sedang mencari ilmu agama, sementara kakek sendiri yang telah sedemikian tua
ini, justru tidak pernah berpikir untuk belajar ilmu agama. Hehehe..." kakek itu terkekeh; "Kak ek sudah tahu dari
dulu ajaran Jati Sunda, tapi tak pernah benar-benar menjalankannya," aku si kakek jujur. Walangsungsang
hanya tersenyum, lalu singkong rebus itu kembali dimakannya. Nikmat benar kelihatannya.
"Doakan saja aku segera menemukan guru itu, Kek. Dan kalau aku telah belajar ilmu itu, tentu saja bisa
kembali ke sini dan mengajari kakek. Mudah-mudahan saja kakek masih panjang umur."
Kakek pencari kayu itu mengangguk pelan. Setelah memakan beberapa potong singkong rebus,
Walangsungsang pamit untuk meneruskan kembali perjalannya. Kakek pencari kayu memperhatikannya. Dari
sorot matanya tergambar jelas kekagumannya.
*
Sementara di Keraton Pakuan, yang dirundung sedih karena ditinggalkan Prabu Anom Walangsungsang tidak
hanya Sri Maharaja Prabu Siliwangi dan permaisurinya, demikian pula dengan adik Walangsungsang, Nyimas
Ratu Rarasantang. Kerinduan kepada kaka knya tersebut membuat ia menangis siang dan malam. Suasana
duka mengambang menyelimuti lingkungan Keraton Pakuan.
Berbeda dengan Walangsungsang sendiri, ketika keluar dari istana ia merasa semakin bebas dan keinginannya
untuk mempelajari agama Kanjeng Muhammad semakin terbuka. Sekarang ia merasa tidak akan ada
hambatan dari siapa-siapa lagi. Kalau memang apa yang dipilihnya tersebut suatu kebenaran seperti hal yang
ia yakini dalam mimpinya itu, Walangsungsang juga merasa yakin lambat laun keluarganya di Keraton Pakuan
akan mengikuti jejak langkahnya, seperti juga yang menjadi keyakinan ibunya, Ratu Subanglarang seorang
muslimah. Keyakinan seperti itulah yang memberikan energi tambahan sehingga Walangsungsang tak pernah lelah untuk
terus turun dan naik gunung. Bahkan belakangan setelah bertemu dengan kakek pencari kayu, keinginan
memperoleh ilmu agama itu semakin menggunung. Kalau saja ia telah mendapatkan ilmu tersebut, tentu si
kakek pencari kayu itu pun akan diajarinya pula.
Kelak keinginan dan harapan Walangsungsang itu memang menjadi kenyataan. Sejarah kemudian akan
mencatat bagaimana kelak agama Islam mulai berkembang justru dari kalangan rakyat biasa, kemudian
merambah para pemangku negeri di Pakuan.
Walangsungsang menyadari benar di kalangan rakyat jelata masih banyak orang-orang semacam kakek
pencari kayu tadi. Kalaupun hidup mereka dinilai lebih saleh, maka semua itu hanya berdasarkan bagaimana
kualitas bertapanya, seperti juga pernah ia dapatkan dari Mahaprabu. Walangsungsang ingat benar bagaimana
ungkapan Mahaprabu dalam satu kesempatan mengajarkan tentang kesejatian hidup itu.
"Na urang lanang wadwan, iya twah iya tapa, iya twah na urang, gwareng twah gwareng tapa, maja twah
maja tapa, rampes twah waya tapa, apana urang ku twah na man beunghar ku twah na mana waya tapa..."
Kata-kata Mahaprabu itu selalu Walangsungsang ingat sampai akhirnya ia bermimpi bertemu dengan seorang
lelaki suci yang mengajarkan hakikat kebenaran, hakikat kebenaran yang bersumber dari Kanjeng Muhammad.
Walangsungsang itu paham benar bagaimana kesalehan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat
Pajajaran. Bagi kita, pria dan wanita, ya beramal ya bertapa, itulah perbuatan kita. Buruk amalnya berarti buruk tapanya,
sedang amalnya berarti sedang tapanya, sempurna amalnya berarti berhasil tapanya. Adapun kita ini, karena
amallah dapat menjadi kaya, karena amal pula berhasil tapa kita.
Kualitas tapa seseorang dan juga hasil yang bisa diperoleh seseorang, sangat ditentukan oleh tingkat
kebenaran, kesungguhan dan keikhlasan dalam melaksanakan tugas, kewajiban dan pekerjaannya.
Walangsungsang terus berjalan keluar dari kampung, mencari pencerahan dari kemelut batin yang terasa
pengap. Untuk mencari acining hirup, Prabu Anom Walangsungsang di usia belia rela meninggalkan keraton
dengan segenap kenikmatan yang mengitarinya dan memilih hidup berusah-susah di tengah belantara hutan
Parahyangan. Langkah kakinya tak terlihat sedikit-pun lelah. Ia terus berjalan keluar masuk hutan mengikuti
jalan setapak yang terbuka. Angin berdesir mengalirkan udara dingin yang mengambang. Walangsungsang
menarik napas panjang-panjang, seolah ingin mengisi penuh rongga paru-parunya. Di dalam hutan ini beratus
tahun ke depan sepertinya tak akan pernah kehabisan udara bersih sebelum pohon-pohon jati dan waru yang
tinggi menjulang itu semuanya rontok. Makin kedalam cahaya matahari semakin terbatas, hanya terlihat pada
lubang-lubang kecil di angkasa menyorot kuat. Siang belum terlalu tua sebenarnya. Sesekali Walangsungsang
menggunakan Ajian Kidang Kencana, berjalan secepat kilat sehingga yang terlihat hanya kelebat bayangannya
saja. Beberapa saat setelah menembus gelapnya belantara, Walangsungsang akhirnya sampai di tanah ladang
kosong, bekas pertanian yang ditinggalkan petani. Tak jauh dari tempatnya berdiri, ke arah barat terletak
sebuah sungai yang airnya mengalir deras dan jernih. Sungai itu mengalir di antara bebatuan sehingga
membentuk puluhan air terjun kecil. Suara air yang gemuruh dan membubungkan kabut putih tipis ke atas,
telah menyedot perhatian Prabu Anom Walangsungsang. Dengan dua tiga gerakan kecil, meloncati pematang
dan tanah ladang kering, ia telah sampai di pinggir sungai itu. Matanya melotot takjub. Riak air sungai dan air
terjun yang ditimbulkan oleh bebatuan dan beda ketinggian itu, begitu mempesona. Warna air keperakan yang
tersorot cahaya matahari tepat di atas ubun-ubun itu terlihat seperti kilau mutiara. Pandangan Prabu Anom
Walangsungsang kemudian tertuju pada batu besar, datar dan hitam mengkilat tanda sering diduduki orang.
Batu itu terletak agak ke tengah dari sungai yang lebar sepuluh mereran. Walangsungsang benar-benar tertarik
dengan batu itu. Ia memperhatikan sekelilingnya, mengukur ke arah mana ia harus loncat terlebih dahulu
sebelum akhirnya sampai di batu datar itu.
Prabu Anom Walangsungsang telah memperhitungkan dengan jitu. Celana pangsi hitamnya agak ditarik ke
atas, lalu ia bersiap, satu...dua...tap...kaki kirinya menapak di atas batu yang agak curam dengan posisi badan
ditarik ke depan, sementara kaki kanannya menggantung berayun-ayun di atas air. Sebuah keseimbangan
yang sempurna dan mengagumkan. Sebelum kaki kanannya mengenai air, dengan gerakan salto, tubuhnya
kemudian jumpalitan di udara. Dengan dua kali gerakan memutar di udara, akhirnya kedua kaki Prabu Anom
Walangsungsang menapak sempurna di atas batu hitam mengkilat. Ia mengibaskan ujung rambut panjangnya
yang tak terikat iket ke belakang. Ia tersenyum senang memperlihatkan gigi putih yang berbaris rapi di bawah
garis menghitam sepanjang bibir atas bakal kumisnya yang belum tumbuh panjang. Ia benar-benar merasakan
kegembiraan, pengalaman yang tak pernah ia dapatkan selama berada di Keraton Pakuan. Padahal Keraton
Pakuan sendiri dikelilingi aliran sungai dan di tengahnya bahkan mengalir Cipakancilan.
Hadir nyata dalam kelopak mata Prabu Anom Walangsungsang bagaimana keindahan tanpa kebebasan saat
berada di Keraton Pakuan. Dulu, ia sempat didera rasa cemburu yang membuncah manakala diajak berburu
oleh pasukan berburu Pajajaran ke sebuah hutan larangan. Di sebuah perkampungan ia melihat anak-anak
telanjang dada bermain air di sungai yang cukup deras. Tak sedikit pun rasa takut menyelimuti wajah lugu
anak-anak itu. Ia terus bermain air, bercanda dengan teman-temannya, loncat ke dalam air berbarengan atau
satu-satu sehingga menghamburkan air ke atas seperti ombak. Ingin sekali ikut bermain, tapi para penjaganya
yang siap menyabung nyawa untuk keselamatan putra mahkota, sama sekali tak akan pernah
mengizinkannya. Tapi kini dalam kesendirian kendati bukan anak-anak lagi, Prabu Anom Walangsungsang
merasakan keindahan, kedamaian sekaligus kesenangan luarbiasa. Padahal tidak berloncatan seperti anakanak dulu. Ia hanya duduk di atas batu hitam mengkilat, sesekali berjongkok, menahan laju air dengan sebelah
tangannya, sehingga membelah arus air itu, laksana sebuah perahu kecil.
Keraton Pakuan Pajajaran lambang keindahan dan kemewahan tak terkira untuk masa itu, bagi siapa pun
yang melihatnya. Keraton itu berdiri di atas kota yang indah, terletak di puncak sebuah bukit yang berada di
muara tiga sungai besar. Keraton itu dikelilingi dinding kuat dan beberapa menara dari batu alam yang
mengkilat sehingga memantulkan sinar menyilaukan mata seperti bintang-bintang yang berkilauan di antara
bebatuan. Baik bangunan keraton, pilar-pilar, benteng maupun kuta dibangun dengan sangat baik dan megah.
Berdiri dari ketinggian menara, akan terlihat di luar keraton hamparan perkampungan yang tak kalah indahnya.
Rumah-rumah penduduk ancal-ancalan dalam jarak tidak teratur, menyembul di antara kerimbunan pepohonan.
Dalam jarak lebih jauh ke arah timur dipagari hutan yang masih perawan. Sementara pada jarak yang tak
hingga di antara garis tipis kebiruan cakrawala adalah pantai selatan yang selalu bergelora. Tentang pantai
selatan ini kelak punya hubungan yang sangat erat dengan Keraton Pakuan Pajajaran baik secara historis
maupun secara mistis. Di halaman salah satu keraton yang berjejer itu, Prabu Anom Walangsungsang kecil bermain menghabiskan
hari dengan binatang kesayangan maupun menyusuri rerumputan, dan dalam jarak tertentu para emban dan
penjaga pribadinya selalu siap siaga mengawasi, dalam kelompok yang terdiri dua atau tiga orang. Suasana
yang terlalu kaku bagi anak seusianya tentu saja. Sebab itu sesekali Prabu Anom Walangsungsang berbuat
iseng, tiba-tiba ia menjerit dan meloncat-loncat seperti kesakitan. Para emban dan penjaga akan tergopohgopoh menolong dengan sikap yang terlalu berlebihan, sebelum dari dalam keraton mendengar lengkingan
suara Sri Maraharaja Prabu Siliwangi yang sedang istirahat atau sedang rapat dengan para penasihat kerajaan.
Sang Susuk Tunggal inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di
Paktuan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri
Ratu Dewata. (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana untuk Sri Baduga Maharaja
Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di Keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati,
yaitu Pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Keraton Pakuan Pajajaran terdiri dari beberapa keraton yang sejajar dan masing-masing diberi
nama Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati, yang kemudian dikenal sebagai pancapersada (lima keraton).
Suradipati adalah nama keraton induk.
Keraton Pakuan sebagai ibukota Kerajaan Pajajaran yang oleh masyarakat Sunda disebut dayeuh - bisa
ditempuh dua hari perjalanan dari pelabuhan kalapa di muara Sungai Ciliwung.
Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Prabu Anom Walangsungsang mengusap mata, mengusir rasa rindu yang begitu saja mendesak-desak
perasaannya. Padahal kepergiannya dari Keraton Pakuan belum ketemu Jumat. Ia kembali menikmati
kesenangan sebagian keliaran masa kanak-kanaknya yang tak sempat dinikmati. Ia merendam kedua kakinya
sampai setengah betis, diayun-ayunkan dan bergerak maju mundur menimbulkan suara kecipak, tak peduli ada
ranting yang tertahan. Pada satu saat kedua telapak kakinya dirapatkan dan agak dijungkit membentuk sudut
empat puluh derajat dengan muka air. Tekanan arus terasa semakin besar kini. Ia sedang membayangkan
sebuah benteng pertahanan yang menahan gelombang tentara musuh. Untuk kesekian kalinya Prabu Anom
Walangsungsang tersenyum bahagia, sinar matanya berkilat-kilat. Kepalanya yang hanya tertutup iket
barangbangsemplak tersebut dibiarkan dijilati panas matahari yang. mulai menyengat. Keindahan itu tak akan
tergantikan sehingga tak perlu terlalu waswas dengan kulitnya yang terbakar matahari.
Namun kebahagiaan dan ketenteraman duduk diatas batu hitam mengkilat itu terganggu dengan suara jeritan
seorang perempuan. "Tolong.... toloooongggg....!"
Prabu Anom Walangsungsang tersentak kaget. Kenangan-kenangan tentang masa kecil yang sedang ia rangkai
hancur berkeping-keping diterpa kekagetan seperti gerabah yang terjatuh ke atas tanah keras. Ia menajamkan
pendengarannya mengikuti arah datangnya suara. Di tempat seperti ini, suara air dan perbukitan bisa saling
meniadakan dan mengaburkan suara.
"Tolonggg...." jerit suara itu. Jelas suara perempuan. Tapi dari mana" Dari hulu sungaikah atau dari hilir dari
dalam hutan" Prabu Anom Walangsungsang berdiri di atas batu hitam mengkilat, tangan kiri diangkat keatas
kepala melindungi sinar matahari yang terik. Ia terus menajamkan pendengarannya. Suara itu lama tidak
terdengar lagi. Walangsungsang mulai dihantui rasa khawatir. Jangan-jangan, gumamnya, suar a itu datang dari
dalam hutan. Bisa saja seorang perempuan masuk ke dalam lobang jerat untuk hewan liar yang biasa
dipasang para pemburu. Atau siapa tahu perempuan itu sedang terancam binatang buas"
"Wahai Yang Murbeng Alam," gumam Prabu Anom Walangsungsang menengadahkan tangan, "lindungi
perempuan malang itu!"
Angin bertiup agak kencang dari arah bukit di sebelah barat. Suara jeritan perempuan itu masih juga belum
terdengar lagi. Walangsungsang berdiri kaku. Ia terlihat mulai gelisah. Entah kenapa seperti dihantui rasa
bersalah. Padahal ia sendiri tidak tahu siapa gerangan perempuan itu. Benarkah sedang terancam bahaya atau
sengaja ia sendiri seorang perempuan yang dijadikan umpan untuk memancing seseorang" Tapi seseorang
siapa" Dirinyakah yang jadi sasaran" Perempuan itu bagian dari kelompok penyamun" Prabu Anom
Walangsungsang menggeleng kencang. Lalu apa perlunya penyamun memancing dirinya agar datang, toh ia
tidak membawa barang berharga apa pun.
"Kenapa aku jadi berpikiran konyol seperti itu," gumamnya seraya siap-siap untuk loncat ke pinggir sungai lagi.
Tangan kirinya menenteng pakaian salin. Kedua kakinya masih basah setelah berkecipak bermain air tadi. Saat
itulah - ketika Walangsungsang bersiap untuk loncat - terdengar kembali suara jerit perempuan. Tidak. Ia tidak
menjerit sekarang. Suaranya sudah parau. Suara itu suara keputusasaan. Ah, mungkin binatang buas itu
semakin mendekat dan siap menerkam, sementara ia tak punya sedikit pun ruang untuk menghindar. Atau jika
perempuan itu terkena jerat pemburu, mungkin ia sudah mulai merasakan pengaruh racun dari ujung-ujung
bambu runcing dalam jerat tersebut.
Prabu Anom Walangsungsang merasa yakin jika suara perempuan yang kini terdengar timbul tenggelam itu
dari arah hilir ke arah belantara yang masi h perawan.
"Oh, perempuan malang, tunggulah barang sebentar..." gumam Walangsungsang. Ia meloncat-loncat dari satu
batu ke batu yang lain. Gerakannya cepat dan tepat. Terlihat ringan sekali menandakan bahwa sekalipun
usianya belum genap 20 tahun saat itu, tapi sudah terlatih melakukan gerakan-gerakan itu. Gerakan-gerakan
dasar dari serangkaian ilmu beladiri kasaran yang sejak dini sudah diperkenalkan ayahandanya. Ia baru
menyadari ternyata ada gunanya juga berlatih beladiri sejak dini.
Prabu Anom Walangsungsang menerobos masuk belantara. Akar-akar pohon harendong dan pohon-pohon tua
lainnya cukup menyulitkannya. Ia memang tidak menggunakan jalan setapak yang biasa dipergunakan para
pencari kayu atau petani karena ingin cepat menemui perempuan yang sedang dilanda kesulitan itu. Ia teringat
pada sebilah Kujang pusaka yang diselipkan di pinggangnya. Sedikit banyak senjata itu bisa membantunya.
_ Dalam ilmu beladiri terutama beladiri silat yang sudah dikenal Raja-raja Sunda terdapat dua jenis ilmu
beladiri yaitu jurus kasaran dan lemesan. Jurus kasaran adalah mengandalkan kekuatan fisik berupa
kecepatan dan ketepatan gerakan hasil dari serangkaian latihan. Sementara jurus lemesan adalah
berupa jurus-jurus yang gerakannya sederhana dan tidak terlalu mengandalkan kekuatan fisik. Jurus
lemesan ini telah diisi oleh ilmu-ilmu kebatinan hasil olah batin berupa puasa, semedi dan membacakan
sejumlah wirid tertentu. Jurus lemesan akan diberikan pada seseorang yang telah menguasai jurusjurus kasaran. __ Setelah berhasil melewati akar-akar pohon yang berusia puluhan tahun yang merambat silang sengkarut
menghalangi jalan, akhirnya tampaklah seorang perempuan sedang mengerang kesakitan, sebelah kakinya
tergencet di antara batu, darah terlihat menetes dari kaki yang tergencet. Perempuan muda berkulit kuning
langsat yang hanya mengenakan kemben itu menunduk malu demi dihadapannya hadir seorang laki-laki
tampan. Sekalipun terlihat mengenakan pakaian rakyat biasa, tapi perempuan muda tak akan salah melihat
bahwa lelaki di hadapannya ini seorang putra bangsawan. Aura yang terpancar dari wajah dan gerak
lagaknya, Prabu Anom Walangsungsang memang tidak bisa serta-merta menyembunyikan darah
kebangsawanannya. "Bagaimana kau bisa tergencet batu besar ini, Nyi?" selidik Prabu Anom Walangsungsang bersiap-siap untuk
mendekati batu yang menindih kaki perempuan muda itu.
Ditanya seperti itu, si perempuan hanya mengerling menggoda lalu menunduk bersemu malu.
"Hamba teledor, Raden!" katanya sambil terus menunduk, punggung tangan kirinya terus-menerus menyeka
airmata di antara rintihan menahan sakit, membuat Walangsungsang semakin iba.
"Sabarlah barang sebentar, Nyi! Aku akan meloloskan kakimu dari gencetan batu ini!" imbuh Walangsungsang.
Perempuan itu terlihat tersenyum bahagia bahwa ia akan segera terbebas dari siksaan itu. Tapi kebahagiaan itu
pupus karena melihat Walangsungsang tertegun menahan langkahnya. Ia baru saja mendengar suara berbisik
di telinganya. Suara seorang kakek yang ia yakin hanya didengarnya sendi
ri, tidak oleh perempuan yang
sedang menahan derita dihadapannya.
"Hati-hati cucuku, Walangsungsang! Bukalah mata dan hatimu. Perempuan yang sedang tergencet batu itu
bukanlah perempuan biasa, ia jelmaan siluman yang tak senang dengan keinginanmu. Luruskan niatmu, Cu!"
Prabu Anom Walangsungsang langsung mengusap wajah seperti teringat kembali dengan dirinya. Beberapa
saat tadi ia terlalu asyik bermain-main. Ia sadar dirinya telah lengah hanya karena terninabobokan lentikan
keinginan melakukan kesenangan kanak-kanaknya bermain air di sungai, yang tak pernah kesampaian. Kini ia
tak peduli dengan perempuan di hadapannya yang terlihat kesal bahkan mulai merengek-rengek meminta
tolong dan meringis kesakitan. Tidak. Walangsungsang tidak tergoda. Ia memusatkan pikiran dan hatinya,
meminta pertolongan pada Yang Mahakuasa.
"Tolonglah aku, Raden! Bebaskan aku dari himpitan batu ini..." serak suara perempuan di hadapannya menahan
sakit. Tapi sedikit pun Walangsungsang tidak bergeming. Ia tetap konsentrasi dan menyerahkan diri dan
hatinya bulat-bulat pada Yang Murbeng Alam.
Plup! Kini perempuan itu berani melempar Walangsungsang dengan kerikil. Kerikil itu tepat mengenai bahu
kanannya. Walangsungsang membuka mata tapi cepat-cepat ia memusatkan pikirannya lagi. Ucapan kakek
misterius tadi terngiang kembali di telinganya. Saat Walangsung terpejam, kejadian aneh berlangsung dengan
cepat. Kedua kaki perempuan yang tergencet batu itu menyatu diikuti bagian lainnya mulai bersisik. Perlahan
tapi pasti, sosok perempuan kuning langsat yang hanya tertutup kemben itu berubah menjadi seekor ular. la
mulai mendesis kendati sebagian tubuhnya masih tergencet batu. Dari sorot matanya terlihat bagaimana ular
itu menatap tajam penuh dendam.
Prabu Anom Walangsungsang tersentak, jantungnya berdegup-degup kencang di balik tulang rusuknya. Ia
kaget luarbiasa manakala membuka mata dan terlihat seekor ular sedang mengancam, sementara perempuan
yang sedang menahan sakit karena sebelah kakinya tergencet batu itu lenyap entah ke mana.
Walangsungsang sempat merasakan desiran hawa aneh manakala saling menatap dengan ular siluman
tersebut. Pengaruh jahatnya terasa mengambang dan mengelilingi tubuhnya, ia sempat merasa limbung dan
tak sadar empat arah penjuru mata angin.
"Kanjeng Ibu, loloskan aku dari pengaruh jahat ini," gumam Prabu Anom Walangsungsang begitu saja teringat
ibunya. Walangsungsang berdiri kukuh sampai merapatkan kedua tangannya di dada untuk menambah
konsentrasi. Hembusan pengaruh jahat yang dikeluarkan siluman ular itu terasa makin kuat. Hawa panas
berpusar di sekelilingnya. Butiran-butiran keringat tampak di dahi, bergulir mengikuti alur di wajahnya.
Teringat kembali dalam impiannya bahwa ia diharuskan pergi ke arah timur menuju bukit Amparan Jati. Inilah
yang selalu ia pegang teguh. Ia berangkat dari Keraton Pakuan untuk selalu menuju ke arah timur. Tapi kini
saat pengaruh jahat dari ular siluman itu mengitari sekelilingnya, Walangsungsang tak bisa menentukan mana
arah timur yang harus dituju. Ia benar-benar menyesal kenapa perhatiannya teralihkan gara-gara terlalu asyik
melihat jernihnya air sungai yang mengalir tanpa henti tadi.
Awan hitam perlahan turun lalu mengambang di atas tanah, menutup pandangan Walangsungsang sehingga
hanya mampu melihat dalam jarak beberapa
deupa. Sementara ular itu terlihat meliuk-liukkan kepalanya dan
badannya dengan irama yang tidak beraturan. Kadang rancak kadang perlahan. Suaranya terus mendesis,
mengancam. Pepohonan tinggi dan besar yang ada di hadapannya terasa semakin merapat, matahari
bersembunyi di balik kepekatan awan hitam. Walangsungsang tak lagi bisa melihat punggung-punggung
gunung di hadapannya, semuanya tertutup awan hitam. Ia meratap sedih. Betapa kesalahan kecil saja bisa
berakibat fatal seperti ini. Ia hanya bisa merangkai harap akan segera mendengar kembali
___ Deupa: ukuran panjang dalam masyarakat tradisional Sunda setara dengan bentangan tangan kiri kanan
orang dewasa dari ujung jari tengah kiri sampai ke ujung jari tangan kanan, setara dengan 1,6 meter.
___ bisikan di telinganya dari kakek misterius tadi, agar cepat terbebas dari pengaruh jahat ular siluman yang
sempat menjelma menjadi sosok perempuan cantik tadi. Tapi harapan itu sirna, hilang seperti hilangnya jarak
pandang ia saat itu. Tanpa didahului petir, hujan turun tiba-tiba. Cukup lebat kendati hanya sesaat. Walangsungsang basah kuyup
tanpa sedikit pun niat berlindung. Kaki tertancap kuat ke tanah tempatnya berpijak. Ia tak ingin bergerak
walau sesenti pun saat kekuatan jahat siluman ular masih menguasai. Apa pun yang akan terjadi.
Saat hujan reda, Walangsungsang tak mendengar lagi desis suara ular siluman juga tidak melihat sosoknya
lagi, tidak juga jelmaan sosok perempuan cantik lagi. Disekelilingnya tergantikan sinar matahari yang cerah dan
bekas hujan yang masih terlihat membasahi tanah, sedikit lembab, sebagian berupa titik -titik turun dari ujung
daun pohon jati. Tubuhnya masih basah kuyup, tapi perasaannya demikian suka cita karena Yang Mahakuasa
telah membebaskan dirinya dari jeratan kekuatan jahat ular siluman. Kini ia kembali bisa memandang
pepohonan berbaris tegak, punggung gunung di kejauhan, bukit yang tertutup rumput, angin dingin bertiup dari
arah belakang. Walangsungsang dengan tepat bisa menentukan bahwa arah timur kini berada di sebelah
kirinya. Matahari sepertinya sedang berada persis di atas ubun-ubun kini.
"Terima kasih Yang Murbeng Alam, terima kasih Kanjeng Ibu, terima kasih Kakek..." gumam Walang-sungsang
seraya meloncat melewati bebatuan, menembus akar-akar dan akhirnya sampai di jalan setapak yang masih
basah bekas hujan. Di jalan setapak itulah Walangsungsang mempercepat langkahnya, untuk menebus saat-saat terjerembab
dalam pengaruh jahat siluman ular tadi. Sebuah getaran ringan menggerakkan tetes airmata yang terasa diam
menggenang di sudut matanya sejak tadi. Lalu cepat-cepat menyekanya. Pantang bagi seorang laki-laki untuk
gampang menumpahkan airmata, tekadnya. Ia terus berjalan cepat, kadang diselingi lari-lari kecil, terus lurus
ke arah timur membelakangi matahari. Belum habis
sapanyeupahan, ia kembali menghentikan langkahnya.
Kini di hadapannya jalan mulai bercabang, ke kiri dan ke kanan, sama-sama jalan lurus dan mulus tanda
bahwa jalan itu sering dilalui orang.
"Saat kegelapan pekat menjerat, kau harus mencari sekerlip bintang, seberat apa pun caranya bahkan meski
hanya dengan cara membayangkannya," gumam Prabu Anom Walangsungsang. Ia terpejam dan
membayangkan bahwa bukit Amparan Jati adalah tanah lapang tempat di mana ibunya dilahirkan. Ia terus
membayangkan kendati tak punya sedikit pun pengetahuan untuk menguatkan yang dibayangkannya itu,
sehingga hasilnya hanya sebuah hamparan tanah khayalan yang bisa saja tidak ada dalam kenyataannya. Tapi
kekuatan membayangkan itu telah melahirkan hasil yang gemilang berupa keteguhan pilihan, bahwa ia harus
segera melangkah ke jalan sebelah kanan, sekalipun tidak juga tahu apa yang akan terjadi sedetik kemudian
di depannya. *
Sapanyeupahan = Waktu yang diperlukan seorang ibu untuk makan sirih dari mulai melipat sirih, mengoles
apu dan kelengkapan makan sirih lainnya. Waktu persiapan sampai bisa mengeluarkan air liur yang merah
itulah yang diistilahkan sapanyeupahan
*
SUDUT MATA KI NALARAYA Pagi yang cerah. Sinar matahari berwarna perak menyapu benteng kuta di sebelah utara, berpendad
membentuk pernik-pernik putih seperti binatang di1 langit malam. Kehidupan di Keraton Pakuan sudah
berdenyut jauh sebelum sinar matahari menyingsingkan kabut tipis di cakrawala. Para kawula kerajaan sibuk
membersihkan halaman keraton yang dipenuhi daun-daun waru kering yang berserakan ditambah sampah
dedaunan lain, yang dibawa angin semalam.
Sri Maharaja Prabu Siliwangi baru saja keluar dari balairung diiringi mahapatih dan penasihat kerajaan.
Balairung mewah dengan langit-langit tinggi ditopang pilar kokoh, didominasi kebiruan batu alam. Keluar dari
balairung Sri Maharaja Prabu Siliwangi memilih berjalan-jalan menikmati udara sejuk di taman. Para kawula
langsung menunduk menyembah manakala berpapasan dengan raja. Sri Maharaja Prabu Siliwangi mengangkat
tangan memberi tanda agar meneruskan pekerjaan, sementara ia sendiri meneruskan jalan-jalan.
"Cepat laksanakan rencana itu sebelum matahari terlalu tinggi," titah Sri Maharaja Prabu Siliwangi kepada
mahapatih. "Baik, Baginda, kami laksanakan!" jawab mahapatih seraya memberi perintah kepada anak buahnya.
Dari sorot mata dan cara bicara Sri Maharaja Prabu Siliwangi saat itu terlihat jelas jika perasaannya sedang
tidak tenteram. Kepergian Prabu Anom Walangsungsang telah mengganggu pikirannya, terutama karena Ratu
Subanglarang tak mampu menyembunyikan kesedihan dan kekecewaannya. Sepeninggal Prabu Anom
Walangsungsang, di Keraton Pakuan seolah terbagi dua antara yang setuju dan tidak setuju. Kalau dulu
Surawisesa lebih banyak diam, sekarang malah terlihat sebaliknya. Karena itulah Ratu Subanglarang semakin
membenarkan kata-kata Ki Nalaraya yang menangkap ada yang tidak beres di istana saat ini.
Dalam sekejap dari arah Keraton Narayana beberapa penunggang kuda siaga di atas kuda-kuda mereka
bersenjata lengkap, melenggang keluar, suara sepatu kuda berdetak di atas bebatuan diiringi parau suara
burung gagak di kejauhan. Pemandangan yang ganjil jika pagi yang cerah itu justru terdengar suara burung
gagak. Tapi tak seorang pun yang peduli, sekalipun mungkin saja suara gagak itu adalah pertanda. Setelah
melakukan penghormatan, beberapa orang penunggang kuda itu melesat keluar dari pintu gerbang dan
berderap melewati pilar, lalu menuruni bukit panjang menuju kota dan terus melesat ke arah hutan perawan.
Lima atau enam penunggang kuda lengkap dengan tombak mereka yang melesat keluar itu sesungguhnya
juga aneh. Pasukan kecil yang baru saja meninggalkan komplek Keraton Pakuan itu tidak dipimpin oleh
seorang komandan regu atau seorang pemburu yang handal misalnya, melainkan dipimpin langsung oleh Ki
Nalaraya, yang pekerjaan sehari-harinya lebih banyak sebagai penasihat raja. Tugas pasukan berkuda itu tidak
lain menyusul Prabu Anom Walangsungsang untuk dipaksa dibawa pulang kembali ke istana. Sri Maharaja
Prabu Siliwangi merasa suasana akan bertambah buruk dengan kepergian calon putra mahkotanya tersebut.
Sebelum memasuki hutan perawan, pasukan berkuda Ki Nalaraya tiba di tanjakan. Ki Nalaraya memutar
punggung di atas sadel kudanya dan melihat ke belakang, lima orang anggota pasukan siap menerima
perintah. Pandangan Ki Nalaraya tertuju tidak pada anggota pasukannya melainkan jauh ke belakang, pada
jalan yang baru saja dilewatinya yang masih menimbulkan kabut abu tipis bekas hentakan kaki-kaki kuda.
Bahkan pandangannya lebih jauh lagi menembus memasuki areal keraton yang baru beberapa saat
ditinggalkannya. Kekhawatiran membuncah di kilau matanya.
"Ke arah mana harus kita cari Prabu Anom itu, Ki?" seorang anggota pasukan memberanikan bertanya
manakala melihat Ki Nalaraya terpatung seperti kebingungan. Ki Nalaraya agak tersentak, tersadar dari
lamunannya. "Sebaiknya kita dibagi dua! Dua orang bersamaku melewati jalan setapak ini, dan bertiga memutar lewat jalan
lain di sisi luar hutan ini. Tak ada yang tahu persis jalan mana yang ditempuh Prabu Anom hari-hari yang lalu,"
jelas Ki Nalaraya. Ia memberi isyarat agar pasukan berpencar; "Tapi jika senja telah memulas langit belum juga
ketemu, kalian yang bertiga cepat ambil jalan pulang lewat jalan yang sama."
Bagi orang yang paham sebenarnya akan dengan gampang betapa pandangan mata Ki Nalaraya saat itu
penuh ketidakpastian, bahkan juga keraguan. Sungguh berat meninggalkan Keraton Pakuan, terutama
memikirkan Nyimas Ratu Rarasantang dan ibundanya, Ratu Subanglarang. Ki Nalaraya paham benar goncangan
di keraton belakangan ini tak bisa dilepaskan dari perseteruan istri-istri Sri Maharaja Prabu Siliwangi sendiri.
Sayang sekali apa yang sedang ditelitinya selama ini belum berbuah hasil, sementara Prabu Anom
Walangsungsang sudah telanjur keluar dari istana. Dan anehnya Mahaprabu seperti tidak tahu tentang hal ini.
Atau pura-pura tidak tahu" Ki Nalaraya menepis lamunan itu. Ia tak mau berprasangka pada Mahaprabu yang
dihormatinya, pun tidak ingin lancang menasehati sebelum ia bisa memberikan bukti kuat.
Pasukan berkuda itu kemudian berpencar, masing-masing tiga orang. Dengan ujung kakinya Ki Nalaraya
menepuk perut kuda memberi isyarat dan kuda pun berjalan makin lama makin kencang seiring dengan setiap
hentakan ujung kaki Ki Nalaraya ke tubuh kuda itu. Ki Nalaraya diiringi dua orang penunggang kuda lain terus
melesat menembus hutan, tanpa pernah tahu kapan akan segera menemukan Prabu Anom Walangsungsang.
Di tengah hutan cahaya mulai berkurang, Ki Nalaraya menahan laju kudanya hingga tinggal meringkik saja.
Sesekali pandangannya melirik kiri dan kanan. Ia baru saja mencium bekas bau tubuh manusia, tapi tak ada
tanda-tanda baik di kiri maupun di sebelah kanan. Mungkin juga bau tubuh manusia itu sudah cukup lama. Ki
Nalaraya tersenyum muram, lalu turun dari kudanya, memegang erat tali kendali dengan sebelah tangannya.
Tanpa disuruh kedua penunggang kuda lainnya melakukan hal yang sama tanpa tahu apa maksudnya.
"Aku mencium bau tubuh manusia di sekitar ini," jelas Ki Nalaraya. Lalu memberi isyarat agar kedua
penunggang kuda lain berpencar. Penunggang kuda yang seorang berjalan ke sebelah kiri Ki Naralaya setelah
menambatkan tali kendali pada akar pohon, sementara yang seorang lagi berjalan ke arah kanan.
Belakangan ini sering tersiar kabar, sekelompok perampok kadang-kadang muncul di tempat seperti ini setelah
membuat keonaran di lembah-lembah yang jadi tempat penduduk sekitar menggembalakan kambing dan
kerbau, atau membuat keonaran di perkampungan, menggeledah para pemilik ternak atau meminta paksa apa
pun kekayaan yang dimiliki penduduk yang sekiranya bisa diambil. Jika ada anak perawan dan mereka
menyukainya karena paras cantiknya atau tubuh yang masih segar dan ranum, itu pun dipaksanya untuk
dibawa. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi kemudian manakala gadis malang itu dibawa masuk ke
belantara untuk beberapa hari lamanya. Setelah selesai pesta-pora dan para perampok itu memutuskan
menjarah ke tempat lain, maka si gadis malang itu akan ditinggalkan begitu saja seperti lahan pertanian atau
perkebunan yang sudah tidak memberikan hasil maksimal lagi.
"Aku tak menemukan tanda apa pun, Ki!" cerita yang seorang, ditimpa
li temannya karena memang mata dan
pendengarannya tak setajam mata dan pendengaran Ki Nalaraya yang sudah terlatih.
"Kukira bekas para perampok berpesta-pora," gumam Ki Nalaraya seraya menyibakkan semak-semak. Ia
memutar tubuhnya, mendekati kuda dan memegang tali kendalinya, lalu dengan sekali gerakan ia loncat ke
atas punggung kuda, lalu memberi isyarat agar melanjutkan perjalanan.
Sama sekali tak ada yang mengira sesungguhnya, ketika Ki Nalaraya berbicara terakhir kali tadi, di balik semak
di antara bebatuan besar dan hitam, ia melihat, dan mencium jejak di sana. Jejak yang sebenarnya bisa saja
jadi kunci untuk mengikuti ke arah mana sesungguhnya pemilik jejak itu berjalan.
"Beruntung kedua orang prajurit ini tak sepintar yang aku kira," batin Ki Nalaraya; "sehingga mereka tak
mengetahui bahwa di antara bebatuan itu ada jejak Prabu Anom Walangsungsang. Ia berjalan ke arah timur,
aku kira. Dan aku akan mengikuti jejaknya sekalipun aku tak yakin apa sesungguhnya yang akan aku lakukan
manakala Yang Murbeng Alam mempertemukan aku dengannya."
Ki Nalaraya diikuti kedua orang prajurit memacu kembali kudanya, melesat ke arah timur meninggalkan jejak
debu yang menggumpal ke atas. Mereka terus memacu kudanya untuk waktu yang tidak pernah tahu kapan
Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akan berakhir. *
Di Keraton Suradipati - istana induk Pakuan - Sri Maharaja Prabu Siliwangi duduk di singgasana yang terbuat
dari ukiran kayu di atas batu, berlapiskan permadani berwarna merah tua. Di sisi kiri dan kanannya beberapa
orang dayang berbaris sambil tak henti mengibas-ngibaskan kipas agar Sri Maharaja Prabu Siliwangi tidak
kegerahan. Padahal ruangan itu
berdinding batu tinggi dan lubang-lubang di sekelilingnya. Setiap lubang itu dihiasi ukiran batu pualam yang
mengkilat manakala tertimpa sinar matahari, menimbulkan efek penerangan berbentuk gurat-gurat putih
keperakan ke dalam ruangan.
Bersimpuh dihadapannya mahapatih, para penasihat, para kepala regu prajurit dan para kawula kerajaan, dua
orang prajurit berdiri kukuh berjaga di pintu masuk. Di bawah sisi kiri singgasana raja, dalam jarak terjangkau
terletak sebuah meja marmer yang di atasnya tersaji buah-buah segar. Di sisi kiri dan kanan agak ke belakang,
kursi gading tempat permaisuri raja duduk, siang itu terlihat kosong. Ratu Subanglarang dan istri-istri yang lain
tidak kelihatan ada di ruangan saat itu. Sri Maharaja Prabu Siliwangi kemudian terdengar bicara. Suaranya
datar berwibawa penuh kharisma, menggetarkan siapa saja yang mendengar. Saat Sri Maharaja Prabu
Siliwangi bicara seperti itu, tak ada yang berani menatap wajah agungnya karena sorot mata harimau itu
seperti akan mencabik-cabik.
"Siapa saja di antara kalian yang mencoba berbohong atau sengaja ingin mengacaukan suasana di istana
sekarang ini, aku pastikan kalian akan hidup menderita. Jika kalian bisa lolos dari hukuman penjara karena
para penasihat menaruh belas kasihan pada kalian, atau kalian bisa bebas dari gantungan di alun-alun karena
kebaikan kalian selama ini dinilai patut untuk dipertimbangkan, itu artinya kalian bukan berarti benar-benar
bebas, karena kutukanku akan menyertai kalian ke mana pun kalian pergi.
Ka luhur mo sirungan, ka handap
mo akaran..." "Baik, Baginda Raja!" serempak orang-orang yang hadir mengiyakan sekaligus membenarkan kata-kata yang
keluar dari mulut raja agung Kerajaan Pajajaran tersebut.
"Sekarang aku mau tahu, siapa di antara kalian yang mengetahui putraku Prabu Anom Walangsungsang
berselisih paham dengan saudara tirinya?"
Hening. Tak ada yang berani menjawab.
_ Sebuah peribahasa dalam bahasa Sunda yang berarti ke atas tidak akan tumbuh batang dan ke bawah
tidak akan tumbuh akar, melambangkan betapa hidup tidak berguna sama sekali
___ "Hayoh jawab!" perintah Sri Maharaja Prabu Siliwangi.
Bertambah hening. Semua menunduk takut.
"Baiklah! Karena kalian tak ada yang mau bicara, maka aku akan menunjuknya langsung!" jelas Sri Maharaja
Prabu Siliwangi sambil berdiri dari tempat duduknya. Ketakutan telah menebar merata pada orang-orang yang
berada di ruangan itu. Semuanya terus menunduk seolah pundak terbebani beban di luar kemampuannya.
Semua mata memelototi lantai batu malam tempatnya berpijak, lalu makin lama makin kabur dan tak terlihat
apa-apa lagi pada akhirnya. Sebuah teror paling menakutkan sepanjang kehidupan mereka.
"Kau!" tunjuk Sri Maharaja Prabu Siliwangi menunjuk pada seseorang tanpa seorang pun mengetahui siapa
yang dimaksud, karena semuanya menunduk hampir rata dengan lantai, gemetar terjerat rasa takut yang
luarbiasa. Belum pernah sekalipun kejadian seperti siang ini, berkumpul di balairung justru untuk ditunjuk
hidung karena dianggap telah memperkeruh suasana di istana.
"Maaf beribu maaf, Kanjeng Rama! Mudah-mudahan awan hitam tidak sedang menaungi hati kita semua...
Bukankah tak ada artinya menunjuk seseorang manakala semua yang hadir sedang menunduk" Kenapa tidak
disebut nama saja!" seru suara belia yang terdengar jelas dan lantang, menandakan bahwa ia seorang
pemberani. Dari tutur katanya itu tak sedikit pun ia sedang menahan rasa takut, seperti yang menghantui
semua yang di hadir di balairung saat itu.
"Kau tak punya hak bicara di sini, Putraku Surawisesa!" setengah menghardik Sri Maharaja Prabu Siliwangi
bicara. Mendengar sang raja menyebut-nyebut nama Surawisesa, para abdi kerajaan yang hadir di balairung terbagi
dua, sebagian tetap menunduk dan semakin merunduk, sebagian lagi mencoba mencuri pandang ke arah
datangnya suara. Di pintu masuk diapit dua orang prajurit jaga, berdiri kukuh Prabu Surawisesa. Siapa pun tahu
bahwa sepanjang ada Prabu Anom Walangsungsang, Prabu Surawisesa tak pernah diberi kesempatan untuk
bicara bahkan untuk belajar menyelesaikan masalah-masalah kecil sekalipun. Siapa pun paham bahwa Sri
Maharaja Prabu Siliwangi telah jauh-jauh hari mempersiapkan Prabu Anom Walangsungsang sebagai putra
mahkota dan bukan Prabu Surawisesa. Tapi sekarang - ketika Prabu Anom Walangsungsang lari dari Keraton
Pakuan - apakah Prabu Siliwangi akan tetap pada pendiriannya atau justru mulai menghitung-hitung
kemungkinan lain" Semuanya masih gelap, segelap perasaan takut yang masih memayungi balairung saat itu.
"Baiklah, Kanjeng Rama! Tentu saja aku tak punya hak untuk bicara sepanjang ada Kakang Prabu Anom
Walangsungsang, tapi sekarang, apakah juga masih tidak punya hak untuk bicara?" protes Surawisesa. Sri
Maharaja Prabu Siliwangi tersenyum kecut, marah tapi juga berdesir rasa bangga atas keberanian salah
seorang putranya yang selama ini tak pernah diperhatikannya itu. Tapi tentu saja Sri Maharaja harus segera
menuntaskan sebelum Surawisesa terlalu banyak bicara. Ia bertepuk tangan memberi isyarat agar putranya itu
segera berlalu dari balairung. Dua orang prajurit dengan sigap membawanya pergi dengan sopan dan hormat
sekalipun Surawisesa berontak, sementara dua orang prajurit lain mengambil posisi jaga di depan gerbang
balairung. Prabu Surawisesa terus digiring dibawa ke Keraton Bima kendati terus berontak. Dari dalam Keraton Suradipati
sepasang mata sendu memperhatika
nnya. Makin lama pandangannya makin kabur, dengan gerakan kecil
mampu menggerakkan airmata yang sedari tadi mengambang di kelopak matanya. Pelan disekanya airmata
yang bergulir saling mendahului di pipinya itu dengan ujung selendang satin warna merah menyala, yang
sebenarnya terlihat cantik dan gemebyar. Ada ribuan jarum yang menusuk-nusuk tajam dalam hatinya. Perih
dan menyakitkan. Melihat sosok Prabu Surawisesa yang congkak tersebut, semakin meneguhkan dalam
hatinya bahwa kepergian Prabu Anom Walangsungsang dari Pakuan bukan semata terdorong keinginan kuat
untuk belajar ilmu agama Islam, tapi lebih karena desakan-desakan pihak luar yang salah satu di antaranya
tentu saja anak muda yang baru saja lewat.
Ratu Subanglarang duduk termenung di kursi gading yang empuk. Selama berjam-jam ia masih tak mau
beranjak dari tempat itu, juga tak berkeinginan untuk melakukan apa pun selain merangkai lamunan demi
lamunan. Sosok Prabu Anom Walangsungsang, putranya, seperti menari-nari dalam bayangannya. Ia begitu
sering mengisi kelopak matanya. Lama dan terus-menerus, seolah menyiratkan hubungan kasih dan sayang
seorang ibu dengan putranya yang tak akan pernah dan bisa pupus dengan apa pun.
"Ampun, Gusti Ratu, hamba membawa makanan kesukaan Gusti Ratu, Permaisuri Raja yang hamba kasihi..."
seorang emban duduk bersimpuh menyodorkan nampan berisi afieka penganan dari bahan beras ketan rasa
manis dan asin, kesukaan Ratu Subanglarang. Ia tersenyum dan mengangguk, lalu memberi isyarat agar
disimpan di atas meja marmer yang ada di samping tempat duduknya. Emban menghormat takzim, lalu
menggeser langkahnya. Nampan berisi makanan baru itu disimpan di bawah, ia menurunkan nampan dari atas
meja, berisi makanan lain yang jangankan dimakan, disentuh pun tidak. Dengan perasaan tertekan putus asa
dan merasa kasihan, makanan yang baru ia bawa disimpan di atas meja, sementara ia mohon diri sambil
membawa nampan makanan sebelumnya.
"Hamba pamit, Gusti Ratu, semoga makanan baru itu tidak semalang nasib makanan ini, sampai basi tanpa
pernah disentuh..." Ratu Subanglarang tak sedikit pun bicara. Ia lagi-lagi hanya memberi isyarat menginginkan ia ditinggalkan
sendiri di tempat itu. Emban benar-benar beringsut pergi. Kejadian yang sama juga terjadi di kaputren, tempat
Nyimas Rarasantang tinggal. Kedua emban yang bertugas di tempat berbeda itu berpapasan di selasar keraton
menuju dapur. Kedua emban bertubuh montok dengan pipi tembem dan rambut diikat di atas kepala itu, hanya
saling pandang, merasa sedih karena persembahannya tak membuat putri dan permaisuri raja merasa senang.
"Tidak dimakan lagi?" tanya emban yang bertugas melayani Nyimas Raransantang.
Emban yang bertugas melayani Ratu Subanglarang mengangguk lesu. "Sampai basi," katanya.
"Masih untung aku..."
"Kenapa?" "Makanan Nyimas Rarasantang tak sampai basi, bisa aku habiskan nanti di dapur..."
"Dasar gembul! Badan sudah melar masih saja main hantam..."
"Ceuceu juga yang jarang makan, badannya sama-sama melar..."
Lalu keduanya tertawa, terus bergegas melangkah menuju dapur. Di dapur beberapa juru masak kerajaan
tetap saja sibuk menyiapkan makanan untuk raja, para prajurit dan abdi dalem kerajaan yang lain. Sesekali
mereka terlibat perbincangan tentang suasana yang terasa makin menghangat dan sesekali terasa menyeruak
rasa duka setelah kepergian Prabu Anom Walangsungsang.
"Ya, Hyang Jaga Nata, apa Raden Prabu Anom sudah makan belum siang ini..." seru Ceuk Srinten, perempuan
bertubuh gemuk yang sedari tadi mulutnya tak henti mengunyah makanan, mencicipi makanan yang akan
disajikan buat Sri Maharaja Prabu Siliwangi maupun makanan buat para prajurit kerajaan. Pipi tembemnya
terlihat semakin menenggelamkan kelopak matanya. Ia terus duduk di sudut seperti gundukan karung, tak
berhenti makan dan tak juga berhenti bicara.
"Hyang Jaga Nata selalu melindungi hambanya yang baik, seperti Raden Prabu Anom!" seru seorang lelaki dari
sudut lain. "Tapi makan apa gerangan di hutan, Kang!"
"Hyang Jaga Nata tentu tidak sebodoh kau, Ceuk! Pasti akan memberi makan seperti juga kita yang selalu
mendapat jatah makan di sini..."
"Ya, sayang aku ini memang bodoh...coba kalau aku ini pinter, pasti akan meramal di mana gerangan Prabu
Anom berada sekarang..." celetuk Ceuk Srinten gembrot sambil memasukkan sepotong kue.
"Kalau tahu di mana Raden Prabu, kau mau lapor sama Gusti Prabu?" pancing yang lain.
"Tidak!" "Terus buat apa kau ramal keberadaan Raden Prabu?"
"Aku akan ke sana, membawa makanan agar Raden Prabu tidak sampai kelaparan!"
"Jalan kaki, Ceuk" Kapan mau sampai?"
"Tidak! Aku akan minta bantuan prajurit berkuda untuk diantarkan ke sana..."
"Nanti ketahuan Gusti Prabu gimana?"
"Oh, iya, dasar aku ini memang bodoh... merencanakan sesuatu saja tetap saja ketahuan bodohnya...
Hahahaha...." ia tertawa. Mentertawakan dirinya sendiri, lalu menyuapkan makanan lain.
Ceuk Srinten seperti mendengar derap langkah kaki kuda yang mengejutkan, dari arah yang tak diketahuinya.
Langkah kaki kuda itu diikuti derap langkah yang berbaris. Ia berusaha keras untuk berdiri dengan bertumpu
pada sudut meja, dan sebelah tangannya memegang tembok batu ruang dapur itu. Ia celingukan mencari arah
datangnya suara. Tidak. Tidak ada derap kuda. Tidak ada derap langkah prajurit kerajaan yang berbaris rapi
dengan senjata lengkap, tombak dipegang tangan kanan dan pedang berayun-ayun di pinggang.
*
Prabu Anom Walangsungsang nun jauh di pedalaman hutan Parahyangan yang sedang beristirahat di atas
dahan persilangan dari dua pohon jati, juga terperanjat kaget. Ia baru saja mendengar derap langkah kaki
yang mengejutkan, berasal dari arah barat tempatnya ia terbaring. Ya, derap langkah kaki kuda makin lama
terasa mendekat. Prabu Anom Walangsungsang bergegas turun dari atas pohon, lalu bersembunyi di balik
semak-semak setinggi pinggang dan rapat. Dari sela-sela di antaranya, Prabu Anom Walangsungsang mengintip
ke arah datangnya derap langkah kaki kuda tersebut. Makin lama makin terlihat jelas, tiga orang penunggang
dalam formasi satu penunggang di depan diikuti agak ke belakang dua penunggang kuda lainnya dalam posisi
sejajar, dengan pakaian kebesaran prajurit Kerajaan Pakuan. Prabu Anom Walangsungsang benar-benar kaget.
Tapi sebelum kejadian yang tidak diinginkan benar-benar terjadi, dengan cepat ia menggunakan
aji halimunan, agar tak bisa ketahuan orang lain. Sekalipun ia sendiri masih agak ragu, apakah seorang lelaki tegap yang
menunggang kuda paling depan itu juga tidak akan melihatnya. Prabu Anom Walangsungsang pantas ragu,
karena penunggang kuda di posisi paling depan itu adalah Ki Nalaraya, seorang penasihat kerajaan yang
dikenal punya ajipamuka halimunan - sebuah kekuatan ilmu batin yang bisa mengurai tabir yang menghalangi
seseorang yang terlindungi aji halimunan.
"Apakah di Pakuan sudah kekurangan prajurit berkuda, sehingga sampai mengutus Ki Nalaraya ke belantara
ini..." gumam Prabu Anom Walangsungsang. Tiga orang berkuda itu kini benar-benar ada di depan tempatnya
bersembunyi. Terlihat Ki Nalaraya mengangkat tang
an kirinya memberi isyarat. Ketiga kuda itu serempak
berdiri. Tapi ketiga kuda itu kaki belakangnya tetap menendang-nendang seperti merasakan ada aura yang
tidak baik. "Kau menemukan sesuatu atau mencium sesuatu lagi, Ki?" tanya seorang prajurit penunggang kuda. Ki
Nalaraya mengangguk pelan. Ia lalu melihat ke kiri dan kanan, sebelum akhirnya menancapkan pandangannya
ke arah kiri persis ke atas gundukan semak-semak. Ki Nalaraya menatap tajam ke arah tempat bersembunyi
orang yang dicarinya. Prabu Anom Walangsungsang benar-benar gugup. Ia terjerat rasa ragu, apakah aji
halimunan-nya masih bisa melindungi dari pandangan Ki Nalaraya" Merasa melihat dan menemukan sesuatu, Ki
Nalaraya memejamkan matanya erat-erat, napasnya yang tersengal dicoba dikendalikan. Ia melihat dengan
jelas Prabu Anom Walangsungsang yang sedang dicarinya ada di balik semak-semak itu, tapi hatinya sedikit
pun tak punya keberanian untuk menceritakan pada dua prajurit berkuda yang menyertainya. Tidak. Tak ada
keberanian untuk melakukan itu. Ia tahu sendiri betapa mulianya niat Prabu Anom Walangsungsang pergi dari
Keraton Pakuan, sekalipun masih beredar desas-desus bahwa bepergiannya itu juga dipicu karena sikap
saudara-saudara tirinya. "Kau menemukan sesuatu, Ki?" ulang prajurit itu lagi dengan nada lebih keras. Prabu Anom Walangsungsang
gemetaran dibuatnya. Gemetaran bukan karena takut menghadapi ketiga orang berkuda itu, tapi takut karena
pasti akan kembali dibawa ke Keraton Pakuan. Sekalipun tidak didasari sikap sombong sedikit pun, Prabu
Anom Walangsungsang merasa yakin bahwa ia dalam waktu singkat bisa melumpuhkan kedua prajurit itu
kalau terpaksa harus melakukannya. Kalaupun itu perlu waktu, saat ia harus menghadapi Ki Nalaraya. Tapi apa
gunanya bertempur dengan prajurit dan penasihat kerajaan tempat dirinya dibesarkan" Apa manfaatnya harus
berseteru dengan orang-orang yang mungkin selama ini selalu mencurahkan hati dan pikirannya untuk
keselamatan dirinya sebagai calon putra mahkota. Prabu Anom Walangsungsang terpejam erat, ia berdoa ada
kekuatan lain yang turut menguraikan masalah ini. Dan ia yakin kekuatan itu akan benar-benar hadir kini.
"Ki, apa kau sakit?"
"Tidak!" jawab Ki Naralaya tegas.
"Lalu untuk apa kau berlama-lama di sini dan tidak pula menjawab pertanyaanku tadi?"
"Aku sedang konsentrasi memusatkan ilmu pamuka halimunan," jawab Ki Nalaraya. Mendengar nama ilmu
pamuka halimunan, Prabu Anom Walangsungsang kaget bukan kepalang dan langsung membuka matanya,
menatap tajam ke arah Ki Nalaraya, seolah ingin saling menjajaki ilmu yang sedang mereka jalankan.
"Kau melihat sesuatu dengan ilmumu itu, Ki?"
"Tidak!" jawab Ki Nalaraya lebih kencang seolah ditujukan tidak hanya pada kedua prajurit berkuda yang
menyertainya tapi juga kepada Prabu Anom Walangsungsang yang sedang berada di balik semak
menggunakan ilmu halimunan.
Ki Nalaraya menendang perut kuda dengan ujung kakinya dan menarik tali kendali, kuda pun meringkik dan
berjalan kembali, diikuti oleh dua kuda lainnya yang ditunggangi dua prajurit yang masih bengong, tak bisa
mengerti dengan apa yang dilakukan Ki Nalaraya saat itu.
Prabu Anom Walangsungsang mengusap dada yang sedari tadi berdegup kencang. Ia melihat tiga penunggang
kuda menjauh ke arah timur, entah ke mana. Ia terduduk lunglai setelah merasakan desakan rasa takut tadi.
Kekuatan lain yang tak terlihat, benar-benar menunjukkan wujudnya baru saja, di belantara ini. Prabu Anom
Walangsungsang yakin akan hal itu, dan akan tetap memelihara keyakinannya itu.
Belum sampai bernapas lega dan bersiap melanjutkan perjalanan, Prabu Anom Walangsungsang mendengar
dari jauh suara derap langkah kuda kembali, makin lama makin mendekat. Rupanya seorang prajurit yang
menemani Ki Nalaraya kembali ke tempat semula. Prabu Anom Walangsungsang kembali sembunyi. Berapa
saat kuda itu meronta-ronta, lalu meringkik, memutar-mutar seperti sedang mencari sesuatu. Penunggangnya
turun, menuntun tali kendali dan mengaitkannya pada akar pohon di sekitar itu.
"Aku curiga dengan kelakuan Ki Nalaraya, pasti ada sesuatu di sini," gumam prajurit penunggang kuda. Ia
berdiri persis di tempat Ki Nalaraya tadi berdiri di atas kudanya. Ia melirik kiri dan kanan, mencari sesuatu tapi
tak juga ditemukannya. Ia berjalan ke arah semak-semak, berdiri mematung, membuka tali celana dan buang
air kecil. Prabu Anom Walangsungsang ingin teriak sekuatnya manakala merasakan air yang baunya
menyengat itu memerciki pakaiannya.
"Kurang ajar, kupatahkan lehermu!" batin Prabu Anom Walangsungsang, sementara prajurit berkuda yang baru
menuntaskan hajatnya itu kembali loncat ke atas kuda. Kuda itu meringkik, berputar-putar di tempat Ki
Nalaraya berdiri, melirik kiri dan kanan, tapi tidak melihat apa pun kecuali semak-semak yang bergerak-gerak.
Tapi ia tak mengira di belakangnya ada manusia yang menambah semak-semak itu bergetar selain karena
tertiup angin. *
EYANG DANUWARSIH Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu
Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati inyana pakwan
Sanghiyang Sri Ratu Dewata
Prabu Anom Walangsungsang belum diketahui sudah sampai daerah mana perjalanannya, sekalipun ada yang
mulai menemukan jejak yaitu tiga prajurit berkuda yang menyusur bagian luar hutan Parahyangan bahwa
Prabu Anom Walangsungsang berjalan menuju arah timur. Jejak ini disanggah Ki Nalaraya bahwa selama
pencariannya yang juga ke arah timur, tak menemukan jejak itu. Tentu saja Sri Maharaja Prabu Siliwangi lebih
mempercayai Ki Nalaraya berdasarkan pada pengabdian dan pengalamannya sebagai penasihatnya selama ini.
Tapi ketika upeti berupa kapas sepuluh
carangka dari daerah Kandang Wesi, sudah terlambat satu minggu,
petugas pencatatan di Pakuan mulai menghubung-hubungkannya. Daerah Kandang Wesi terletak sebelah timur
dan Prabu Anom Walangsungsang juga pergi ke arah timur. Berbagai spekulasi mulai mengemuka. Penistaan
terhadap membayar upeti bagi Kerajaan Pakuan jelas pembangkangan yang harus segera diselesaikan. Untuk
keperluan itulah Sri Maharaja Prabu Siliwangi mengutus beberapa orang prajuritnya untuk menelusuri jalan
yang biasa dipergunakan utusan dari Kandang Wesi, untuk mengecek apakah mereka terlambat karena
mendapat gangguan para perampok atau tetua di sana memang sengaja membangkang.
____
carangka sama dengan 10 pikul atau 1 timbang.
__ Berdasarkan beberapa catatan daerah Kandang Wesi adalah daerah sekitar Bungbulang, Kabupaten Garut
sekarang ini. ___ Mendapat kabar angin bahwa ayahandanya akan mengutus beberapa orang prajurit melalui jalur timur yang
biasa dipergunakan para utusan dari Kandang Wesi, hati Nyimas Rarasantang sempat berbunga-bunga. Tapi
sejauh ini ia belum menemukan jalan bagaimana meloloskan diri dari keputren, sementara secara terus-terang
mengatakan keinginannya untuk ikut dengan para prajurit tersebut bisa dikatakan mustahil. Sejak Prabu Anom
Walangsungsang meninggalkan Pakuan, pengawasan terhadap Nyimas Rarasantang ditingkatkan, jauh lebih
dari biasanya. "Jangan tambah penderitaan ibu dengan cara kau tak henti menangis seperti itu, Nyimas! Kasihanilah ibu. Kalau
pun tidak kasihan dengan ibu, kasihanilah dirimu sendiri...." jelas Ratu Subanglarang ketika menemui putrinya di
kaputren. Ingin sekali saat itu Nyimas Rarasantang bicara terus-terang keinginannya untuk ikut bersama
rombongan prajurit yang akan melakukan perjalanan ke timur. Tapi entah kenapa, lidahnya tetap kelu. Kata
yang terangkai dari dalam hatinya hanya berjejal sampai kerongkongan, lalu mengumpul di sana membuat
napasnya tercekat. "Apa tidak kangen dengan Kakang Walangsungsang, Kanjeng Ibu?"
"Mana ada seorang ibu yang tidak kangen dengan kepergiannya anaknya, apalagi..."
"Apalagi apa, Kanjeng Ibu?"
"Apalagi..." Ratu Subanglarang seperti tak kuasa untuk bicara lebih lanjut, dan hal inilah yang menimbulkan rasa
penasaran Nyimas Rarasantang.
Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ada sesuatu yang aku tidak boleh mengetahuinya, ibu?"
"Kau adalah adik sekaligus teman sepermainan kakangmu. Anom Walangsungsang lebih senang bergaul
dengan kamu daripada dengan saudara-saudara seayahnya sendiri. Ibu bisa merasakan bagaimana rasa
kehilangan yang kamu derita, Nyimas!" urai Ratu Subanglarang mengalihkan pembicaraan. Nyimas Rarasatang
mendengus, kecewa. "Ada prajurit yang akan melakukan perjalanan ke timur, Kanjeng Ibu!"
"Ya, katanya demikian. Ada yang kau pikir kan, Nyimas?"
Nyimas Rarasantang menggeleng pelan. Ia menunduk, menata hati dan pikirannya yang tiba-tiba saja terasa
tak karuan. Ia gugup sekali, sekalipun tak menyebutkan keinginannya.
"Mudah-mudahan selain bertemu dengan utusan dari Kandang Wesi, juga akan menemukan berita yang
menggembirakan tentang keberadaan kakangmu itu..." harap Ratu Subanglarang.
"Perjalanan ke timur seperti juga yang dilakukan Kakang Walangsungsang, apa perjalanannya tidak
membahayakan, Kanjeng Ibu?"
"Ada beberapa jalur, setahuku, perjalanan ke arah timur itu...." jelas Ratu Subanglarang, ingatannya kembali
hinggap pada kisah saat Sri Maharaja Prabu Siliwangi kembali ke Pakuan. Iring-iringan dengan payung
kebesaran kerajaan bergerak melintasi tugu. Diikuti di belakangnya rombongan yang mengangkut bakul kue
dalam kotak jati bersudut balutan emas, tempat sirih, dan barang-barang milik para permaisuri. Permaisuri dan
raja ditandu dalam tandu kencana beratap cemara gading, tiang emas melengkung dan di puncaknya
bertahtakan permata indah. Payung hijau bertiang emas memayungi dari sebelah kiri dan kanan. Sebuah
pemandangan yang menakjubkan siapa saja yang menyaksikan iringan-iringan saat itu.
"Ada kemungkinan bisa ketemu Kakang Prabu kalau ikut dengan prajurit yang akan melakukan perjalanan ke
timur itu, Ibu?" tanya Nyimas Rarasantang, matanya tiba-tiba berbinar indah. Ada kebahagiaan terpancar
diantara kegundahan dan kesedihan yang selama ini dialaminya. Ratu Subanglarang tersentak kaget
mendengar pertanyaan itu.
"Apa maksudmu, Nyimas?"
"Alangkah senangnya jika kembali bisa bertemu Kakang Walangsungsang..."
"Ibu juga pasti merasakan hal serupa, tapi ikut dengan para prajurit ke arah timur, sungguh sangat berisiko.
Bahaya bisa mengancam setiap saat..."
"Karena para perampok, Ibu?"
"Bukan hanya perampok, tapi ancaman bisa datang dari mana-mana. Lebih baik kita berdoa saja agar apa
yang dicari kakakmu cepat terlaksana. Kalau sudah selesai pasti akan kembali ke istana... berkumpul kembali
dengan kita. Karena bagaimanapun juga, ayahandamu telah mempersiapkan kakakmu itu sebagai putra
mahkota yang akan meneruskan memimpin kerajaan ini...."
"Bagaimana dengan Kakang Wirasesa?"
"Maksudmu?" "Apa juga akan dipersiapkan jadi putra mahkota?"
"Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Karena sama-sama laki-laki dan sama-sama anak dari Kanjeng Rama Prabu!" jelas Nyimas Rarasantang sama
sekali tak ragu-ragu dengan apa yang dibicarakannya itu. Ratu Subanglarang hanya mengurut dada. Tak pernah
sedikit pun ia berpikir bahwa putri kecilnya itu juga sudah punya pengamatan. Kembali pikirannya terusik oleh
ucapan Ki Nalaraya saat secara rahasia bertemu di taman sari.
"Jangan-jangan tanpa sepengetahuanku, putra-putriku ini tidak harmonis dengan saudara-saudara seayahnya...
Ya, Allah, jangan-jangan memang karena masalah inilah anakku Walangsungsang pergi dari istana," gumam
Ratu Subanglarang; "dan kepergiannya tentu akan sangat merugikan, baik dirinya maupun aku sendiri.
Walangsungsang harus tetap ada di sini untuk melanjutkan kepemimpinan di sini, karena yang lebih berhak
bukan yang lain..." Nyimas Rarasantang melihat dengan jelas kalau ibunya sedang melamun. Ia menunggunya tanpa berkata-kata
sampai akhirnya sang ibu akan kembali bicara. Untuk beberapa saat keduanya terdiam.
Tiga orang prajurit yang ditugaskan untuk melakukan perjalanan mengecek kenapa utusan dari Kandang Wesi
belum juga datang untuk menyampaikan upeti, telah keluar dari lingkungan keraton, melesat memasuki kota
lalu menelusuri perkampungan sebelum akhirnya masuk ke belantara Parahyangan. Nyimas Rarasantang tak
mengetahui kepergian ketiga prajurit tersebut, sehingga masih saja ada sedikit harap, ibunya akan
mengizinkan ia pergi bersama mereka melakukan perjalanan ke timur. Hal inilah yang tidak terlalu diperhatikan
Ratu Subanglarang. Ia sendiri belakangan sibuk mencari tahu, bertanya langsung kepada beberapa emban dan
para prajurit tentang kemungkinan-kemungkinan adanya perselisihan antara Prabu Anom Walangsungsang
dengan Surawisesa, yang membuat putranya itu kukuh pendirian untuk meninggalkan Pakuan.
Matahari meninggalkan siang bersemayam di ufuk barat, sembunyi di balik cakrawala sehingga hanya
meninggalkan semburat kemerahan. Beberapa obor yang dipasang pada pilar-pilar keraton maupun pada
benteng-benteng mulai dinyalakan. Beberapa orang prajurit hilir-mudik mempersiapkan pengamanan keraton di
malam hari. Mereka berjaga secara bergantian. Para juru masak kerajaan sejenak beristirahat karena baru saja
hidangan untuk makan raja dan seluruh ponggawa selesai dipersiapkan.
Di kaputren tidak seperti biasanya, Nyimas Rarasantang sudah menutup diri di dalam kamar. Tanpa
sepengetahuannya, di depan tempat peraduannya berjaga-jaga dua orang prajurit, begitu pula di halaman
depan dan belakang, semua dalam keadaan siaga. Sri Maharaja Prabu Siliwangi sudah wanti-wanti jangan
sampai ada kejadian yang tidak diinginkan dengan Nyimas Rarasantang.
Saat malam makin panjang, suara binatang malam tak juga dipedulikan, Nyimas Rarasantang dibuai mimpi.
Malam itu ia bertemu dengan seorang laki-laki berjubah tapi tidak kelihatan wajahnya. Keduanya bercerita
banyak tentang banyak hal. Tapi kata-kata terakhir laki-laki itulah yang telah menyadarkan Nyimas
Rarasantang. "Putriku yang jelita, Rarasantang tak usah terus berduka. Berdirilah! Berjalanlah seperti kakakmu berjalan, ke
arah yang telah ia tempuh sekarang. Dukacita yang kau rasakan hanya akan menambah beban hidupmu. Tak
usah khawatir dengan esok pagi, karena pagi selalu datang tepat waktu, tinggal kau yang harus berbeda agar
bisa menemukan jalan keabadian itu..."
"Mengikuti jalan kakakku" Keluar dari istana?" ragu, tanya Nyimas Rarasantang saat itu.
"Itulah jalan bagimu, Putri! Belajarlah ajaran yang dipelajari kakakmu, karena ajaran itu yang kelak akan jadi
jalan hidupmu... akan hidup bersamamu menuliskan cerita hidupmu... Dialah yang akan menuliskannya dan
bukan dirimu!" jelas lelaki itu dengan kata-kata simbolik. Nyimas Rarasantang untuk beberapa saat tertegun,
mencerna kata-kata itu. Sebagian dapat ia mengerti dan tak dimengerti sebagiannya lagi.
Nyimas Rarasantang tersadar bertepatan dengan hilangnya sosok lelaki yang baru saja memberi petuah itu.
Malam masih gelap dan suasana istana seperti berhenti dari kehidupan. Sambil terus mengingat-ingat
mimpinya, Nyimas Rarasantang mengemasi barang-barang seperlunya. Selesai mengemasi barang, ia berniat
pergi malam itu juga. Tapi terlintas dalam pikirannya, kalau jalan yang ditempuh kakaknya adalah juga jalan
yang ditempuh tiga prajurit berkuda yang diutus menjemput utusan dari Kandang Wesi, besar kemungkinannya
akan berpapasan dengan tiga prajurit itu pulang. Inilah yang dikhawatirkan Nyimas Rarasantang. lapi ia tak
ingin berlama-lama berpikir, rasa rindu kepada sang kakak dan petunjuk dalam impian yang baru saja
dialaminya, cukup sebagai tanda bahwa ia sudah waktunya untuk meninggalkan istana.
Dengan hati-hati Nyimas Rarasantang mendorong pintu kamar. Disinari cahaya obor yang menempel di dinding
batu, dua orang penjaga terkantuk-kantuk. Ini kesempatan yang baik, gumam Nyimas Rarasantang. Ia teringat
selendang pemberian dari ibunya. Pergunakan selendang ini bila benar-benar perlu, begitu perintah sang ibu.
Saat itu, Nyimas Rarasantang tak begitu peduli, ia menganggap bahwa selendang itu sama halnya dengan
selendang yang dipakai para penari yang sering menghibur raja setiap bulan-bulan tertentu. Pernah suatu hari
secara bermain-main saat salah seorang emban menemani di kaputren, Nyimas Rarasantang mengibaskan
selendangnya itu ke arah emban dan dalam waktu sesaat, emban itu tertidur dalam posisi duduk di lantai.
Teringat akan kejadian tersebut, tanpa membuang waktu lagi, ia mengibaskan selendang hijau lumut itu ke
arah dua penjaga yang terkantuk-kantuk di depan kamarnya. Hasilnya memang mencengangkan, karena pada
saat yang bersamaan kedua penjaga itu langsung terduduk dan sesaat kemudian terdengar ngorok. Nyimas
Rarasantang mengendap-endap keluar dari kamar, menyusuri lorong dengan penerangan samar karena hanya
diterangi obor yang apinya melenggok-lenggok tertiup angin malam. Ia tahu persis seluk-beluk kaputren
tersebut. Sebelum menuju pintu gerbang, harus keluar dulu dari arena kaputren yang di luarnya dikelilingi pagar
setinggi dada orang dewasa, dijaga setiap sudut oleh minimal satu orang penjaga. Kemudian akan masuk ke
selasar yang menghubungkan dengan keraton Bima, lurus ke arah selatan, baru bisa keluar menuju tanah
lapang. Tapi itu bukan berarti telah aman, karena di setiap sudutnya ada pos jaga yang tentu saja dikawal
beberapa orang prajurit. Nyimas Rarasantang menanggalkan pakaian kebesarannya sebagai putri keraton. Malam itu ia justru
mengenakan pakaian pangsi yang bisa di kenakan ketika ia latihan jurus-jurus silat, sehingga ger ak-geriknya
lebih ringan dan singset. Ia berjalan lurus ke arah timur menyusuri selasar, kemudian masuk ke area gudang.
Keluar dari tempat itu, ia berlari cepat menuju tanah kosong yang menghubungkan dengan benteng keraton.
Dekat pos jaga yang malam itu tidak dijaga, ia menemukan tangga kayu tua. Tangga kayu itu ia tarik dengan
sekuat tenaga mendekati tembok. Tapi baru saja tangga itu akan diberdirikan, sebuah pusaran api melesat ke
arahnya. Ia langsung menjatuhkan diri. Rupanya api itu dikirim dengan anak panah, mungkin karena melihat
ada bayangan orang yang mencurigakan. Sebentar lagi tentu akan ada beberapa orang prajurit jaga yang
mendekatinya, untuk memastikan bahwa bayangan tadi bukan sebuah ancaman bagi keselamatan Keraton
Pakuan. Nyimas Rarasantang hampir kehabisan akal ketika terdengar derap langkah kaki mendekat ke arahnya. Tentu
langkah kaki para prajurit. Menggunakan kembali selendang saktinya, tentu saja tidak mungkin karena para
prajurit itu telah dekat menuju ke arahnya. Satu-satunya cara yang ia lakukan adalah mendorong tubuhnya ke
belakang, kemudian turun ke dalam sebuah parit yang ada di sepanjang benteng yang mengelilingi keraton.
Jika bagian luar benteng Keraton Pakuan dengan alun-alun luar dipisahkan oleh parit yang lebar, maka di dalam
keraton bentuk paritnya lebih kecil dan dangkal. Tapi parit yang dimaksudkan sebagai rintangan itu memang
cukup aman untuk dijadikan tempat sembunyi. Di dalam parit itulah Nyimas Rarasantang bersembunyi. Dua
orang memeriksa tangga yang tergeletak di samping benteng, mereka sama sekali tidak memeriksa parit. Para
prajurit itu justru kembali ke tempatnya berjaga.
Rencana akan menaiki tangga dengan bantuan tangga kayu tua itu tidak jadi dilaksanakan. Nyimas
Raransantang mengira akan gampang ketahuan. Maka jalan satu-satunya adalah menyusuri parit tersebut ke
arah selatan menuju dapur. Ia tahu di belakang dapur itu ada parit pembuangan menuju ke Sungai
Cipakancilan. Ke arah sanalah Nyimas Rarasantang berjalan merayap di dalam parit. Malam masih pekat. Kabut
di atas sungai Cipakancilan tentu juga masih sama pekatnya. Tapi menurut perhitungan Nyimas Rarasantang
dalam waktu tidak terlalu lama lagi akan terdengar suara kokok ayam pertanda fajar pertama akan datang. Ia
harus berpacu dengan waktu. Setelah merasa aman, ia berjalan di dalam parit tidak dengan cara merangkak
lagi melainkan langsung berlari. Makin jauh ke arah selatan, parit itu terasa makin banyak genangan air, dan
terus ke selatan makin dalam pula genangan itu.
Petir tiba-tiba menyambar bumi. Nyimas Rarasantang tersentak kaget. Hampir saja ia menjerit ketakutan. Sinar
terang yang ditimbulkan petir tadi sempat menerangi parit itu dan dapur umum kini benar-benar ada di
hadapannya. Ia pun mulai merangkak lagi. Ia tahu para juru masak itu akan bangun lebih awal dan tidur lebih
akhir. Ia harus selalu siap sedia menyediakan konsumsi. Tapi walaupun terbiasa bangun lebih awal, Nyimas
Rarasantang tahu benar bahwa rata-rata para juru masak itu kalau tidur seperti bangkai, gajah lewat di
sampingnya saja bisa tidak terganggu kecuali barangkali jika ada kebakaran besar.
Setelah menelusuri tembok dapur umum, Nyimas Rarasantang kini sampai di lubang pembuangan. Dengan
menahan rasa jijik, ia akhirnya turun juga, kemudian melangkah lurus ke arah selatan. Akhirnya sampai juga di
pinggir Cipakancilan yang membelah areal Keraton Pakuan. Pengamanan di sekitar Cipakancilan ternyata lebih
ketat. Beberapa orang prajurit secara berkelompok dua atau tiga orang hilir mudik. Nyimas Rarasantang yang
mengendap-endap merasa heran juga melihat kenyataan seperti itu. Ia hampir saja dilanda putus asa.
Sebelumnya tak pernah sedikit pun terlintas di benaknya jika pengamanan keraton pada malam hari seperti ini.
Ia teringat selendangnya lalu dikibaskan ke arah dua orang prajurit yang sedang berjalan. Beberapa saat
kemudian terlihat kedua prajurit tersebut berjalan limbung, terkena pengaruh kibasan angin dari selendang
sakti yang digenggam Nyimas Rarasantang. Pada akhirnya kedua prajurit itu sempoyongan dan terjungkal di
pinggir jalan, tak kuasa menahan kantuk. Tapi Nyimas Rarasantang tak berani terus-menerus melakukan hal
itu, karena khawatir para prajurit jaga akan mulai curiga. Kalau kecurigaan itu sampai muncul, bisa-bisa akan
ada gong peringatan ditabuh pertanda keraton dalam keadaan bahaya. Tidak. Jangan sampai hal ini terjadi.
Nyimas Rarasantang kemudian berjalan mengendap-endap menyusuri sungai Cipakancilan. Pada saat
menyusuri sungai Cipakancilan itulah tiba-tiba tubuhnya terasa ringan, ia seperti melayang-layang di udara
dengan kesadaran yang hampir hilang. Ia tak bisa mengingat apa yang terjadi dan di mana ia berada.
Pengaruh gaib seperti sudah melingkupinya dan tak ada sedikit celah untuk membebaskannya. Nyimas
Rarasantang benar-benar tidak sadar seperti dalam keadaan nyenyak tidur saja.
Kabut pagi menggantung di atas sungai Ciawi yang melingkari bukit. Embun berkilauan di ujung helai daun dan
rumput. Sedikit demi sedikit Nyimas Rarasantang merasakan di sekitar sungai itu kehidupan mulai berdenyut.
Dalam pandangan mata yang masih perih karena kurang tidur, di kejauhan sebelah berat ia melihat tembok
kokoh yang melindungi Keraton Pakuan. Ia baru sadar kalau dirinya sekarang sudah berada di luar tembok
keraton. Dan kesadarannya itu hanya sampai pada saat ia mengibaskan selendangnya pada dua orang prajurit
jaga hingga sempoyongan menahan kantuk, setelah itu ia tak bisa mengetahui apa yang selanjutnya terjadi.
Cicit burung dan kokok ayam di kejauhan sayup-sayup mengisi udara pagi yang tenang. Cahaya matahari
menyingsing dan sinarnya yang keperakan menyentuh puncak-puncak pohon, juga menerpa permukaan sungai
yang tenang dengan sedikit riak air, memantulkan cahaya matahari pada benda-benda yang ada di atas,
beriak-riak berkilauan. Agak jauh ke sebelah selatan, di atas permukaan air masih terlihat kabut yang
menggumpal. Nyimas Rarasantang merentangkan tangan, memeluk bungkusan yang ternyata basah. Mungkin
karena saat mengendap-endap di pinggir Cipakancilan malam tadi, bungkusan itu terendam air sungai. Ia
berdiri, menguap dan menatap langit yang mulai terang. Warna kebiruannya yang bersih menandakan tak
akan turun hujan dalam waktu dekat. Sayup-sayup suara gong dari kejauhan mengalahkan cicit burung.
Nyimas Rarasantang seperti disadarkan dari tidurnya. Ia ingat sekarang bahwa dari jumlah pukulan dan cara
memukul gong, itu artinya tanda bahaya. Ya, peringatan bahwa Keraton Pakuan dalam keadaan bahaya.
Dirinyakah yang jadi sebab keadaan Keraton Pakuan dalam bahaya" Teringat akan hal itu, ia cepat berkemas
dan berlari pontang-panting ke arah timur tanpa tahu ke mana dan di mana ia akan berhenti.
*
Rajadesa, Abad XIV M. Prabu Anom Walangsungsang menjejak kaki di desa itu dalam perjalanannya hampir bertemu dua purnama.
Dari penduduk yang ia temui, ia berada di
Desa Rajadesa sekarang ini. Matahari hampir tenggelam di
cakrawala saat ia duduk sendiri di sebuah saung petani. Belum sedikit pun makanan masuk ke dalam perutnya
hari ini, tapi tak terasa lapar juga haus. Ia hanya bersyukur pada Yang Mahakuasa, akan setiap perubahan dan
pengalaman yang telah didapat selama ini. Saat itulah ia teringat kembali pada mimpinya, harus berjalan ke
arah timur menuju Amparan Jati. Ia yakin bahwa daerah yang baru saja dijejak ini juga ada di bagian timur. Ia
bisa melihat dengan jelas bagaimana matahari yang tenggelam di cakrawala sebelah barat sana, yang selalu
ada di belakangnya. Sekalipun belum bisa bertemu dengan guru yang akan membimbingnya berkenalan dengan ajaran dari
Kanjeng Muhammad, tapi Prabu Anom Walangsungsang tak sedikit pun berkecil hati atau melemah
semangatnya. Ia yakin dalam setiap perjalanan yang dilewati, dalam setiap kejadian yang berlangsung, telah
banyak hikmah. Hanya saja ia belum bisa merangkai butiran-butiran hikmah yang berceceran itu menjadi satu
teladan untuk dijadikan pegangan hidup, yang bisa menyelamatkan dirinya juga orang lain. Seperti yang
selama ini diajarkan ibunya, tentang kesenangan dan kesengsaraan hidup ditentukan oleh amal perbuatan
selama hidup di dunia. Jika amal perbuatannya baik atau banyak melakukan kebaikan menurut tuntunan
ajaran hidup yang berlaku, akan mengalami kesenangan di saptabuana dan akhirnya ke kahyangan, sekalipun
untuk yang terakhir ini Prabu Anom Walangsungsang belum bisa mengerti hakikatnya.
Prabu Anom Walangsungsang berdiri memunggungi matahari yang sudah hampir tenggelam. Ia berdiri kukuh
dengan pandangannya lurus ke arah timur, pada hamparan hijau tanah pertanian. Ratu Subanglarang pernah
mengajarkan tentang amal perbuatan sesuai dengan ajaran yang dipegangnya, tapi tak sedikit pun pernah
memaksa untuk menjalankannya. Kalau saja yang ia cari adalah juga menjadi pegangan hidup ibunya itu,
yang tak habis dimengerti adalah kenapa ibunya seperti mengizinkan kepergiannya dari Keraton Pakuan.
Apakah ini berarti, gumam Prabu Anom Walangsungsang, Kanjeng ibu memberikan kebebasan untuk
menemukan kesejatian hidup, seperti juga adanya pilihan baik dalam ajaran Jati Sunda yang dipegang teguh
Mahaprabu, ayahku, maupun ajaran yang dipegang teguh Kanjeng Ibu" Ya, Prabu Anom Walangsungsang
mengangguk-angguk seperti menemukan pelajaran baru dari perenungannya itu.
"Kanjeng ibu pernah bicara bahwa Yang Mahakuasa memberi dua pilihan jalan, jalan baik dan jalan salah,
keduanya dapat menentukan baik dan buruk perjalanan manusia di dunia maupun di alam setelah dunia ini,"
pikir Walangsungsang. Tak tahu dari mana datangnya dan kapan ia datang, seorang kakek berjubah putih dengan sorot mata setajam
elang tapi memiliki senyum lembut, kini berdiri di sampingnya. Prabu Anom Walangsungsang te rsentak kaget.
Ketika ia pasang kuda-kuda (posisi siaga atau ancang-ancang dalam beladiri silat sebelum melakukan jurus
menyerang atau menahan serangan lawan), kakek itu terlihat tersenyum makin lebar. Ia mengangkat tangan
kanannya seperti memberi isyarat bahwa dirinya tak perlu diwaspadai seperti itu.
"Kita mulai pertemuan ini tanpa harus ada prasangka jelek," usul kakek itu.
"Siapa gerangan kakek ini?"
"Akulah Danuwarsih, Nak. Dan engkau ini siapa dan darimana?"
"Danuwarsih?" Prabu Anom Walangsungsang bergumam; "Danuwarsih" Eyang Danuwarsih?"
Kakek itu mengangguk pelan.
"Maafkan aku, Kek, telah salah sangka!" jelas Prabu Anom Walangsungsang seraya menghormat takzim. Ia
pernah mendengar nama itu, kendati masih samar-samar. Entah dari mana mendengarnya, dari cerita Kanjeng
ibunya atau dari Sri Maharaja Prabu Siliwangi, ayahandanya.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Nak! Siapa, gerangan engkau ini" Sedari tadi duduk termenung seperti
tak pernah lelah untuk berpikir," Eyang Danuwarsih mulai mengajak bicara. Ditanya seperti itu, Pangeran
Walangsungsang tidak langsung bicara melainkan berpikir sejenak karena tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Apakah Eyang Danuwarsih, kakek linuhung ilmu itu tidak bisa menebak siapa diriku" Atau hanya
untuk memancing agar aku bicara"
"Kau aneh dengan pertanyaanku, Nak?"
"Tidak, Kek!" Prabu Anom Walangsungsang tergagap; "aku Walangsungsang, Kek! Dari Pakuan asalku!"
"Oh, sudah kuduga. Seorang pria tampan trah Pajajaran. Apa gerangan yang mendorong anak ini pergi jauh
dari istana, keluar masuk hutan tanpa disertai para prajurit kerajaan?"
"Aku yakin, kakek sendiri sebenarnya sudah tahu. Aku pergi jauh dari Pakuan, karena ingin bertemu dengan
seorang guru yang bisa mengajarkan agama Kanjeng Muhammad, seperti aku temukan dalam impianku, Kek.
Kakek itukah guru yang sedang aku cari?"
"Bukan, Nak! Tapi menurutku kau ini telah berjalan ke arah yang benar. Sekarang mendakilah ke atas Gunung
Maraapi. Di sana kau akan bertemu dengan yang sedang kau cari. Di sana juga kau akan bertemu dengan
calon jodohmu," jelas Eyang Danuwarsih.
Betapa gembiranya Prabu Anom Walangsungsang mendengar penjelasan seperti itu. Terlilit rasa gembira yang
luarbiasa, ia langsung memeluk Eyang Danuwarsih. Tapi ia tersentak kaget, karena yang dipeluk hanya angin
semata. Eyang Danuwarsih lenyap dari pandangan mata lahirnya, kendati masih terasa dekat dalam mata
batinnya. Prabu Anom Walangsungsang melakukan beberapa gerakan atraktif, tapi tak juga ada perubahan. Ia
menempeleng pipinya sendiri dan merasakan sakit, pertanda bahwa ia tidak sedang bermimpi.
Prabu Anom Walangsungsang tersenyum sendiri, betapa indahnya apa yang akan terjadi jika memang
demikian. Ia akan ketemu dengan guru yang sedang dicari, juga akan ketemu jodoh sekalipun tak pernah ia
cari atau pikirkan sebelumnya. Satu lagi butiran hikmah ia genggam tanpa bisa merangkainya dengan butiranbutiran yang lain. *
Taarr!! Lecutan itu mengenai punggung seorang prajurit yang tadi malam baru selesai berjaga. Lecutan beracun itu
memercikan api ke udara pagi. Ia tak menjerit, tidak juga mengaduh selain tubuhnya menegang dan darah
segar menetes dari bekas luka yang menghitam seperti terbakar.
Sri Maharaja Prabu Siliwangi bersipongang lalu memutar tubuhnya meninggalkan tempat terjadinya penyiksaan
pada seorang prajurit yang dinilai lalai itu. Wajahnya merah padam menahan amarah. Geliginya terlihat ditekan
kuat-kuat sehingga sesekali terdengar bunyi gemelutuk. Mata elangnya itu kini merah menyala-nyala. Tak ada
Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang pun yang berani menenangkannya, tidak juga permaisurinya.
*
PESONA NINI INDANGAYU Kecantikan Putri Nini Indangayu telah memenjarakan akal sehat Prabu Anom Walangsungsang. Ia demikian
terpesona. Tak ada kata-kata yang pantas untuk melukiskan kecantikan putri Eyang Danuwarsih tersebut. Di
puncak Gunung Maraapi tempat tinggal Eyang Danuwarsih terasa semakin indah. Saat matahari terbit ia bisa
menyaksikan sinar kemerahan menyembul dari garis cakrawala di ufuk timur, lalu perlahan naik. Mula-mula
hanya semburat kemerahan yang memenuhi langit sebelah timur itu, lalu perlahan berubah sebentuk bulan
sabit. Gerakannya lambat tapi ketika kehilangan konsentrasi, tiba-tiba bentuk sabit itu berubah jadi setengah
lingkaran dan cahaya kemerahan membaur menjadi lebih pucat. Ketika benar-benar telah utuh membentuk
lingkaran, sinar matahari terlihat berwarna perak menyala. Saat itulah Prabu Anom Walangsungsang tak tahan
untuk terus menatap pergerakannya.
Seperti juga ia selalu tak tahan melihat tingkah Putri Nini Indangayu, yang kadang terlihat manja tapi juga bisa
berubah jadi pemarah. Ah, seperti merpati yang seolah jinak tapi sulit untuk ditaklukkan. Baru kali itulah untuk
pertama kalinya Prabu Anom Walangsungsang merasakan kasmaran. Sekalipun masih terlihat malu-malu tapi
Eyang Danuwarsih tentu saja tak bisa tutup mata dengan perubahan sikap Prabu Anom Walangsungsang
tersebut. "Diminum airnya, Kakang Prabu!" Putri Nini Indangayu berkali-kali menawarkan. Ia jadi khawatir karena
memperhatikan Prabu Anom Walangsungsang jadi banyak melamun. Sejak pertama kali bertemu saat Prabu
Anom Walangsungsang menjejakkan kaki di Gunung Maraapi ini, Putri Nini Indangayu terlalu banyak
mengharap. Entah kenapa hatinya selalu dagdigdug manakala ketahuan sedang mencuri pandang ke arah
pemuda tampan trah Pajajaran tersebut. Karenanya ketika sekarang pemuda yang telah melambungkan
angan-angannya ke tempat paling tinggi itu ketahuan jadi banyak melamun, ia khawatir Prabu Anom
Walangsungsang terserang penyakit atau merasa tidak cocok karena harus berada di puncak gunung. Prabu
Anom Walangsungsang memang sedang terserang penyakit: penyakit bengong!
"Kakang Prabu...." desah Putri Nini Indangayu.
Walangsungsang tersentak kaget. Ia melirik ke arah putri cantik di sebelahnya yang duduk pada batu di
sebelah kiri agak berjarak dari tempatnya duduk. Angin gunung terasa mulai dingin. Tapi Putri Nini Indangayu
tak terlihat kedinginan. Ia bahkan membiarkan angin mempermainkan anak-anak rambutnya di dahi hingga
terlihat meriap-riap, seperti menari-nari di atas hamparan permadani kuning langsang kulit wajahnya. Prabu
Anom Walangsungsang menunduk bersemu malu, padahal tidak semestinya begitu.
"Kenapa" Ada yang tidak beres denganku, Kakang Prabu?" desak Putri Nini Indangayu.
Prabu Anom Walangsungsang menggeleng. "Tidak!"
"Terus kenapa diam saja?"
"Karena diam terasa lebih indah daripada harus berkata-kata..."
"Kakang Prabu senang tinggal di tempat ini?"
"Lebih senang karena selalu bersamamu, Indangayu!"
"Sungguh" Kakang Prabu tidak sedang bercanda atau sekadar membuatku tersanjung?" tanya Putri Nini
Indangayu merona. Ia menunduk. Tapi kemudian mengangkat kembali wajah sebentar, mencuri pandang ke
arah Prabu Anom Walangsungsang, seperti takut kehilangan kesempatan menikmati ketampanan pemuda
penuh pesona tersebut. Yang Kuasa telah mempersatukan dua hati dua pemuda-pemudi ini, di tempat ini.
"Kenapa harus bohong" Tak pantas aku berbohong!" jawab Walangsungsang. Kini Nini Indangayu benar-benar
tersanjung. Pipinya terlihat semakin merona. Keduanya kemudian tersenyum, padahal tidak ada yang lucu yang
harus ditertawakan. Dari dalam pondok, Eyang Danuwarsih memperhatikannya dengan saksama. Ia merasa
yakin bahwa keduanya adalah akan berjodoh.
"Kakang tidak haus?"
"Kenapa?" "Airnya tidak diminum, pasti sekarang telah dingin kembali!"
"Kurasa tetap hangat, Indangayu, karena ada yang membuatnya air itu terus hangat...." Prabu Anom
Walangsungsang mengajak bercanda, sekadar membebaskan dari rasa kikuk yang selalu saja menyergapnya
manakala ada kesempatan berduaan seperti itu.
"Siapa?" Nini Indangayu penasaran. Perasaannya harap-harap cemas menunggu jawaban yang terlontar dari
mulut Prabu Anom Walangsungsang.
"Matahari!" Nini Indangayu tengadah ke langit. Kecewa.
"Tak ada matahari!"
"Kurasa ada!" "Di mana?" "Dekat!" "Ah, kakang Prabu pasti bercanda. Ini sudah hampir sore, matahari telah condong ke barat bahkan sebentar lagi
akan tenggelam. Tak mungkin bisa menghangatkan tempat ini... karena tidak dekat lagi dengan kita," Putri Nini
Indangayu makin penasaran. Harapan yang telah bersemi tadi secepatnya dibuang jauh-jauh, karena ia tahu
sekarang yang bisa menghangatkan air minum itu ternyata matahari dan bukan yang lain.
"Ada matahari kedua yang bisa menghangatkan air minumku!" jelas Prabu Anom Walangsungsang masih tetap
bicara secara simbolik. Kini Nini Indangayu terdiam. Ia seperti berpikir keras. Cara-cara seperti itu cukup memberi kesempatan pada
Prabu Anom Walangsungsang untuk lebih banyak bicara dan lebih banyak menunjukkan keberaniannya.
"Kau tahu ada matahari kedua?" tanya Prabu Anom Walangsungsang kemudian setelah beberapa saat diam
terkembang di antara mereka berdua. Nini Indangayu menatap.
"Yakin?" Kini ia mengangguk. Ragu. Takut apa yang terlintas di benaknya tidak sesuai dengan yang dimaksud
Walangsungsang. "Tak menyesal jika aku beritaku?"
Nini Indangayu menatap. Ragu. Putri cantik yang terlihat pemberani ini menjadi mati kutu ketika terganggu
gejolak rasa. Rasa ragu dan khawatir bertahta.
Prabu Anom Walangsungsang tergelak. Lucu sekali. Saat menggeleng ragu, mata bulat Nini Indangayu seperti
menari-nari. Saat menggangguk tak yakin, mata bulat Nini Indangayu seperti menyipit.
"Ah, susah jadinya..." keluh Prabu Anom Walangsungsang.
"Susah kenapa?"
"Kau menggeleng ragu, tapi mengangguk pun tak yakin, Nini Indangayu!"
Nini Indangayu menunduk bersemu malu.
"Kenapa tidak tanya ayahandamu?"
Putri Nini Indangayu tersenyum manis. Tanpa menunggu Walangsungsang berkata-kata lagi, ia pamit dan
dengan satu dua kali gerakan telah menghambur menuju pondok. Tentu saja membuat Walangsungsang
gugup dibuatnya. Ia tak mengira sedikit pun Nini Indangayu akan melakukannya. Tiba-tiba Walangsungsang
merasakan wajahnya panas seperti terbakar api. Ia tak bisa membayangkan jika apa yang sedang mereka
perbincangkan tadi itu, ditanyakan langsung kepada Eyang Danuwarsih. Bukankah akan malu sendiri nantinya"
Nini Indangayu memang menghambur masuk pondok, tapi tidak menemui ayahandanya. Hal inilah yang sama
sekali tidak diketahui Prabu Anom Walangsungsang. Terlintas begitu saja Putri Nini Indangayu bercanda.
Beberapa saat kemudian kembali lagi menemui Prabu Anom Walangsungsang. Pemuda trah Pajajaran ini
menunggu harap-harap cemas.
"Jadi kau tanyakan?" pancing Walangsungsang.
"Sudah!" "Kau tanyakan pada ayahandamu?"
"Ya!" jawab Nini Indangayu; "kenapa?" Nini Indangayu menahan tawa tapi cepat-cepat ia menunduk.
"Kenapa kau tanyakan, Indangayu, aku kan hanya bercanda!"
"Aku nggak tahu kalau kakang bercanda!"
Prabu Anom Walangsungsang kalang-kabut dibuatnya. Malu. Malu sekali jika sampai Eyang Danuwarsih
mengetahui hal ini. Tapi kepalang tanggung, ia berdiri dan sengaja ingin mempermainkan Nini Indangayu. Kini,
ia pura-pura marah tanpa disadari Indangayu.
"Kau telah membuat aku malu! Tahu" Apa jadinya jika urusan sepele saja harus bertanya pada beliau" Kau kan
sudah besar, seharusnya bisa menjawab dan menentukan sendiri..." jelas Prabu Anom Walangsungsang sambil
bersipongang. Eyang Danuwarsih yang memperhatikan dari dalam pondok, terlihat mengernyit. Sementara Nini
Indangayu begitu dilihatnya Prabu Anom Walangsungsang marah, ia langsung bersimpuh di atas batu,
membelakangi Prabu Anom Walangsungsang. Punggungnya terlihat berguncang. Ia menangis. Melihat hal
seperti itu giliran Walangsungsang yang kaget. Ia sama sekali tidak bermaksud membuat Putri Nini Indangayu
menangis. Walangsungsang terlihat kikuk. Ia mendekat ke arah batu tempat Nini Indangayu menangis. Tangan
kanannya bergerak ke depan ingin mengusap kepala Putri Nini Indangayu, tapi tak cukup keberanian untuk
melakukannya hingga tangan itu dibiarkan menggantung. Ia mengerling ke arah pondok khawatir Eyang
Danuwarsih mengetahui kejadian tersebut.
Serombongan burung terbang di atas, berkelompok membentuk barisan, dalam formasi V. Prabu Anom
Walangsungsang teringat ajaran seorang guru di Keraton Pakuan dulu yang mengaja
ri tentang hakikat burung
terbang. Segar kembali dalam ingatannya, tapi cepat-cepat ia enyahkan karena kini ia justru harus memikirkan
agar Nini Indangayu tidak terus menangis.
"Sudahlah, Indangayu, aku tak bermaksud membuatmu menangis! Sungguh!" jelas Walangsungsang.
Mendengar kata-kata itu, Nini Indangayu mengangkat wajahnya lalu memutar menghadap ke arah
Walangsungsang. Terlihat jelas tak ada tanda-tanda habis menangis. Ia tersenyum melihat Walangsungsang
tersenyum kecut karena untuk kedua kalinya terkena akal bulusnya.
Pom Pom Boys 2 Pendekar Naga Geni 19 Tragedi Di Tengah Kabut Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama