Ceritasilat Novel Online

Terkoyaknya Raja Digdaya 5

Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura Bagian 5


tuduhanya itu ternyata tidak benar, terutama ketika Ratu Subanglarang mulai terserang sakit-sakitan, rasa
sayang yang besar terhadap permaisurinya itu kemudian menutup segala sak- wasangkanya. Ia luluh kembali
dan menerima Ratu Subanglarang sebagai permaisuri yang tidak saja cantik, tapi juga menghormati suaminya
tiada banding. Kesan inilah yang terakhir tumbuh dalam hati Prabu Siliwangi sehingga ketika Ratu Subanglarang meninggalkan
dunia fana ini, Prabu Siliwangi sangat terpukul. Dalam kondisi itulah kehadiran Nyimas Rarasantang untuk
berbela sungkawa, sama sekali tak menarik perhatiannya juga tidak menumbuhkan kemarahan karena
dianggap sebagai penyebab kematian permaisurinya akibat terus- menerus memikirkan kepergian putraputrinya itu. Dalam kondisi seperti ini Nyi Ratu Kentring Manik melihat celah besar untuk mempengaruhi Sri Maharaja Prabu
Siliwangi. Ia pun mulai mengukuhkan pengaruhnya itu pada orang-orang yang dianggap berada di pihaknya.
Pembicaraan itulah yang malam ini sedang dilakukan Nyi Ratu Kentring Manik dengan Argatala.
"Terlalu gegabah kalau benar Ki Nalaraya masih hidup, Argatala. Bagaimana hal ini bisa terjadi?" jelas Nyi Ratu
Kentring Manik menunjukkan ketidaksenangannya.
"Maaf, Gusti Ratu, aku merasa yakin saat itu Ki Nalaraya sudah tidak bergerak dengan luka di beberapa bagian.
Aku sangat yakin dia bukannya pingsan melainkan mati."
"Tapi kenyataannya?"
"Aku tidak yakin laki-laki itu Ki Nalaraya! Kalaupun memang benar dia, beberapa orang prajurit terpilih telah
siap untuk melenyapkannya!"
"Tapi tidak sekarang!"
"Maksud Gusti Ratu?"
"Karena Maha Prabu sudah bertemu dengan dia!"
"Bukankah Gusti Prabu sedang kaleleban^, Gusti Ratu?"
"Bagaimana kau bisa yakin jika Maha Prabu sedang kaleleban sehingga tidak bisa mengenal siapa yang
datang" Kau tahu bagaimana Ki Nalaraya bicara berlama- lama berdua?"
"Tapi kekhawatiran itu tidak perlu terjadi, Gusti Ratu!"
"Keyakinan apa yang membuat kau bicara seperti
itu" "Aku telah mengerahkan puluhan gerobak berisi batu dan kerikil, diawasi dua orang prajurit terpilih!"
"Untuk keperluan apa?"
"Untuk menghancurkan saung tempat persembunyian Ki Nalaraya!"
"Kau yakin?" "Sangat yakin karena serangan itu dilakukan tepat ketika Ki Nalaraya masuk ke dalam saungnya. Kalaupun
kemudian ada prajurit lain yang menemukan atau orang desa yang pulang berladang, kemudian tersebar kabar
sampai ke Gusti Prabu, maka semua itu akan dianggap sebagai kecelakan alam biasa! Mana ada kekuatan
yang bisa menolak alam, Gusti Ratu?" Argatala begitu yakin dengan hasil kerjanya.
Ratu Kentring Manik hanya tertawa setengah mengejek.
"Keyakinan itu pula yang kau ceritakan padaku dulu, Argatala! Tapi kenyataannya Ki Nalaraya masih hidup!"
Argatala mendelik. Pintu kaputren diketok dari luar. Argatala bangkit, meminta izin untuk membuka pintu.
Ketika pintu terkuak, seorang prajurit berdiri gugup, mulutnya ternganga tapi tak satu patah kata pun keluar
dari mulutnya. Ia kelu. Juga Nyimas Rarasantang. Lidahnya juga kelu. Di sepertiga malam itu ia masih terjaga. Tapi lidahnya benarbenar kelu ketika Nyai Nini Indangayu menanyakan perihal kebenaran kejadian di istana beberapa waktu lalu.
"Memangnya benar, Nyimas,. selama di istana kau dan kakangmu sering diperlakukan tidak baik oleh saudarasaudara seayahmu?" tanya Nyai Nini Indangayu. Dan Nyimas Rarasantang tak bisa menjawabnya.
Dari mana dan apa yang harus dijelaskannya. "Lho, kok malah melamun?"
"Bukan melamun, Ceuceu, tapi bingung harus bicara apa?"
"Nyimas nggak merasa?"
Nyimas Rarasantang menggeleng. Selama ini saudara-saudara seayahnya itu baik-baik saja. Entahlah, mungkin
aku sendiri saja yang nggak begitu perhatian, gumam Nyimas Rarasantang.
"Memangnya kenapa, Ceuceu?"
"Nggak apa-apa! Aku hanya ingin tahu saja benar atau tidak apa yang diceritakan Ki NaJaraya tadi!"
"Coba saja tanya Kakang! Mungkin karena aku masih kecil, jadi tidak terlalu memerhatikannya!"
"Itu tidak terlalu penting, Nyimas!"
Nyai Nini Indangayu tidak terus mengorek keterangan dari Nyimas Rarasantang alias Nyai Ratnaeling. Sejauh
ini menurut pengamatannya, adiknya itu memang agak kurang halus perasaannya, tidak seperti kebanyakan
perempuan. Nyimas Rarasantang pada beberapa sisi, terlihat lebih seperti laki-laki. Nanti, pikir Nyai Nini Indangayu, ada
baiknya mengorek keterangan dari suamiku. Mungkin karena lebih dewasa, bisa merasakan mana perhatian
yang tulus dan mana yang sesungguhnya pura-pura.
Kisah perjalanan Ki Nalaraya selama ini diam-diam telah menarik perhatian Prabu Anom Walangsungsang. Tadi
malam hanya sebentar seka i ia memicingkan mata, selebihnya membayangkan kejadian-kejadian yang
menimpa Ki Nalaraya. Tidak mengherankan ketika pagi menyingsing dan embun masih bergelayut pada daun- daun jati dan di atas
batu, Walangsungsang telah duduk berdua di bale-bale, ngobrol dengan Ki Nalaraya ditemani rebus ubi dan
gula kawung. "Sejak Raden masih kecil, Ki Argatala memang kurang baik denganku! Entah apa yang menjadi penyebabnya.
Aku sendiri tidak terlalu mau peduli, bekerja dengan baik dan mengabdi kepada Gusti Prabu,bagiku lebih
penting dan mulia daripada mempermasalahkan hubunganku dengan Ki Argatala!"
Ki Nalaraya mulai menceritakan pengalamannya selama ini. "Pernah dibicarakan dengan Kanjeng Rama, Ki?"
"Tidak! Tidak baik, Raden! Aku tidak mau hubunganku itu menjadi lebih buruk gara-gara melapor pada Gusti
Prabu, sekalipun hal itu adalah hakku!"
"Itulah kenapa Argatala merasa di atas angin, Ki!" "Mungkin Raden benar, tapi aku juga punya pendapat yang
lain!" "Apa itu?" "Kebaikan adalah kebaikan dan sampai kapan pun tetap saja namanya kebaikan sekalipun dunia ini jungkir
balik. Kejahatan tetap kejahatan dan namanya tetap kejahatan, sekalipun semua manusia di dunia ini
menyebutnya kebaikan. Kebaikan dan kejelekan tidak pernah berubah, seperti tidak berubahnya minyak dalam
air, Raden!" "Ya...ya...aku bisa memahaminya, Ki! Tapi bagaimana bisa, Argatala bermaksud menghilangkan nyawa Aki?"
"Sederhana saja sebenarnya, Raden! Semua itu dia lakukan karena ketakutan..."
"Karena merasa ia salah melangkah dan hal itu Aki mengetahuinya?"
"Salah satunya memang demikian, Raden! Tapi aku terlalu banyak tahu apa yang sesungguhnya dia perbuat
selama ini..." jelas Ki Nalaraya.
"Termasuk rencana busuk dengan ibunda Kentring Manik?"
"Ya!" "Aku heran, Ki, sebenarnya ia mengabdi pada Kanjeng Rama atau..."
"Ia sangat paham, sesungguhnya Gusti Prabu sudah mengetahui kelicikannya. Ia bekerja sungguh-sungguh
hanya karena ketakutan. Ia berbaik-baik dengan Gusti Ratu Kentring Manik, juga karena ketakutan. Ketika
Gusti Prabu murka, ia merasa punya tempat berlindung!" "Kalau begitu Ibu Ratu dimanfaatkan, Ki?"
"Saling memanfaatkan tepatnya, Raden. Argatala tentu menangkap bagaimana keinginan Gusti Ratu Kentring
Manik..." "Ya, aku paham!" Prabu Anom Walangsungsang mengangguk.
"Ia pintar bersilat lidah, pandai mencari muka!"
"Tapi Ki Nalaraya tahu persis rahasianya!"
  Ki Nalaraya mengangguk pelan.
"Ya...ya...ya...aku paham sekarang kenapa ia ingin melenyapkan nyawa Aki!"
"Dan benar-benar dilaksanakannya, Raden!"
"Ya, dilaksanakannya! Kapan itu, Ki" Bagaimana ceritanya?"
Ki Nalaraya menghirup napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan, membentuk gumpalan- gumpalan
embun kecil-kecil, udara memang sangat dingin saat itu.
"Dia mengatur siasat ketika kami bersama tiga orang prajurit melakukan pencarian Raden untuk kedua kalinya!
Ternyata semuanya sudah diatur, termasuk memanah kudaku yang sedang berjalan, Raden!" jelas Ki Nalaraya,
lalu menceritakan kronologis kejadian bagaimana busuknya Ki Argatala dan kawan-kawan yang bermaksud
melenyapkan nyawa Ki Nalaraya.
Walangsungsang hanya menggeleng-gelengkan kepala, sama sekali tak pernah berpikir kenapa Argatala bisa
seburuk itu kelakuannya. "Dan Allah masih melindungiku!" tambah Ki Nalaraya.
"Ya, beruntunglah kau, Ki!"
"Dia mengira seluruh prajurit ada di bawah ketiaknya!"
"Maksud Aki?" "Tak semua prajurit Pajajaran mendukung segala niat jahatnya, buktinya ada beberapa prajurit yang masih
menganggap aku ini, Raden, sebagai orang yang patut dikasihani. Mereka melaporkan segala rencana Argatala
kepadaku!" "Dan Aki menyusun kekuatan tandingan?"
"Tidak, Raden! Aku hanya meminta beberapa orang prajurit untuk mengikuti dari jarak jauh. Jika memang aku
ini jadi dicelakakan Argatala dan kawan-kawan, paling tidak masih ada yang bisa menolong! Dan ternyata,
atas bantuan prajurit-prajurit itulah lukaku bisa sembuh!" jelas Ki Nalaraya seraya menceritakan detail kejadian
sampai hari di mana mereka bertemu di pasar.
Untuk kesekian kalinya Walangsungsang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
*---*
Sebelum matahari condong ke barat, Prabu Anom Walangsungsang telah menemukan petapa yang sedang
dicarinya. Wajah petapa itu memancarkan cahaya putih kehijauan mengelilingi sekujur tubuhnya beberapa mili
diatas kulitnya. Ia duduk bersila, bersandar pada pohon yang rindang jauh dari keramaian. Walangsungsang melepas cincin
Ampai, melafalkan doa-doanya lalu mengeluarkan Nyai Nini Indangayu dan Nyai Ratnaeling.
"Aku yakin beliau itulah petapa yang sedang kita cari. Segeralah bersujud sebagai tanda hormat kita padanya!"
perintah Prabu Anom Walangsung, lalu mereka bersujud.
"Wa alaikum salam, ada tiga orang tamu rupanya. Untuk apa kalian ini memberi hormat seperti itu, bukankah
nabi sendiri melarang umatnya menghormati seseorang secara berlebihan?" gugat petapa yang tak lain
bernama Syaikh Nurjati. "Kami merasa layak untuk menghormatmu, Sepuh!" jawab Prabu Anom Walangsungsang.
"Baiklah, jika memang itu keinginan kalian! Aku sendiri tak pernah minta dihormat oleh siapa pun dan bangsa
mana pun, karena sesungguhnya hanya Allah yang pantas dihormat dan menerima sujud. Aku yang kata
kalian terhormat, sungguh seseorang yang hina di hadapan-Nya jika tak bisa membawa diri ini pada jalan
ridha-Nya! Dari mana kalian ini?"
"Aku Walangsungsang, Sepuh, dan ini adikku, Nyai Ratnaeling, kami dari Pajajaran. Ini istriku, Nyai Nini
Indangayu dari Gunung Maraapi, Eyang Danuwarsih ayahandanya!" urai Walangsungsang, jelas, singkat dan
padat. Syaikh Nurjati mengangguk paham. "Sebuah kerajaan hebat," komentarnya.
"Apa yang mendorong kalian jauh-jauh dari Pajajaran sampai datang ke tempat ini" Ceritakanlah!" selidik
Syaikh Nurjati. Lalu Walangsungsang menceritakan apa sesungguhnya yang mendorongnya pergi jauh-jauh dari Pajajaran, tak
kenal lelah, meninggalkan segala kesenangan duniawi yang melingkupinya di Keraton Pakuan.
"Subhanallah! Kalian ini anak-anak luarbiasa. Bagaimana mungkin putri pemangku agama Budha dan putra-putri
Raja Pajajaran berniat belajar Islam" Siapa gerangan yang mendorong kalian" Benarkah ingin belajar Islam
atau hanya sekadar ikut-ikutan?"
Ditanya seperti itu Walangsungsang tidak langsung menjawab. Sebenarnya Walangsungsang sendiri merasa
yakin sesungguhnya Syaikh Nurjati telah mengetahuinya. Tidak mungkin Sanghyang Nanggo dan Eyang
Danuwarsih menyuruhnya mencari petapa di Amparan Jati, jika bukan seseorang berilmu tinggi. Ia juga
teringat dengan impiannya.
Nyai Nini Indangayu dan Nyai Ratnaeling hanya diam terpaku. Dari caranya bicara, keduanya begitu saja
mengagumi petapa sepuh yang ada di hadapannya itu, sekalipun ada kata-kata yang masih asing dalam
pendengarannya. "Aku mohon maaf, Sepuh, tanpa diceritakan pun aku punya keyakinan sesungguhnya Sepuh sudah mengetahui
maksud dan tujuan kami datang ke sini," ungkap Walangsungsang lagi.
Syaikh Nurjati menatap tajam. Sorot matanya teduh tapi mengandung daya magnet yang luarbiasa, sampaisampai Walangsungsang yang telah memiliki ilmu pengabaran pun tak kuasa untuk membalas tatapannya.
Apa yang dijelaskan Walangsungsang memang sama sekali tidak meleset. Syaikh Nurjati sendiri sejak lama
menunggu murid yang benar-benar mau belajar Islam. Tapi setiap ada yang datang, hati kecilnya selalu
menjelaskan "bukan ini yang sedang aku tunggu".
Pada pertemuan hari pertama itu Walangsungsang tidak diajarkan apa-apa, bahkan dibiarkan sekendak
hatinya. Awalnya muncul prasangka jelek kenapa mereka bertiga dibiarkan begitu saja.
Tapi Walangsungsang langsung teringat ucapan Eyang Danuwarsih bahwa untuk mempelajari Islam diperlukan
kesabaran, serta- merta ia membuang jauh segala prasangkanya itu. Ia menunggu dengan sabar, mengalir
seperti air sungai, sampai akhirnya nanti akan ketemu dengan muara. Tapi tidak demikian dengan Nyai Nini
Indangayu dan Nyai Ratnaeling, kebosanan mulai menyergapnya.
"Kakang, apa sebenarnya yang kita lakukan di sini tanpa diberi ilmu apa-apa" Bukankah itu sia-sia saja,
Kakang" Atau ini yang dinamakan Islam" Membiarkan kita melakukan sekehendak kita sendiri?" Nyai
Ratnaeling seperti hilang kesabaran dan kembali kepada watak aslinya, perempuan yang temperamental.
"Sabar, Nyimas, adikku! Aku yakin inilah cara beliau mengajarkan pada kita bagaimana membangun dasardasar kesabaran. Sekarang, duduklah, kosongkan pikiran, dan kita rasakan bagaimana keheningan itu terasa.
Kau masih ingat pelajaran dari Eyang Danuwarsih?"
"Tentang apa?" Nyai Ratnaeling acuh tak acuh.
"Hakikat kehidupan adalah keheningan!"
"Ya, aku ingat! Tapi apa bisa mencapai keheningan di tempat seperti ini, Kakang?"
"Berusahalah!" "Baik!" Nyai Ratnaeling lalu duduk bersila dalam posisi yoga, mempertemukan jari-jemari dengan pusat kekuatan pada
dua ibu jari, perlahan jari-jemari itu agak direnggangkan membentuk segitiga.
Tapi tiba-tiba rekatan antara jari-jemari itu melemah dan akhirnya lepas satu sama lainnya. Nyai Ratnaeling
menghela napas. Menyesal karena telah gagal menghadirkan energi cakra pada tubuhnya. Walangsungsang
tersenyum memerhatikan. "Pusatkan pikiran dan hati, Nyimas! Kita yang mengendalikan bukan kita yang dikendalikan!" bisik
Walangsungsang. Nyai Ratnaeling memperbaiki posisi duduknya. Kedua telapak tangannya memegang dengkul dengan kekuatan
penuh, sementara punggung tegak lurus pada tanah, membentuk sudut sembilan puluh derajat dengan paha.
Nyai Ratnaeling terlihat menegang, tubuh bergoyang lembut tapi kuat. Ia mulai merasakan sekujur tubuhnya
dialiri udara dingin. Nyai Ratnaeling terus konsentrasi agar mencapai kondisi pada gelombang tetha, di mana pusat konsentrasi
optimal sehingga bisa menerima energi positif dari alam jauh lebih banyak lagi.
Sementara Walangsungsang beberapa saat sebelumnya sudah mencapai titik keheningan, tubuhnya kaku,
membatu. Ia tidak mendengar apa pun kecuali suara- suara yang diperintah untuk hadir. Saat itulah ia
mendengar suara seseorang lembut melafalkan bacaan yang sama sekali tidak ia pahami. Tapi bacaan itu
mengalirkan udara lembut mengantarkan pada puncak keheningan. Nyai Nini Indangayu memerhatikan dengan
saksama apa yang dilakukan suami dan adik iparnya itu, seperti juga dari kejauhan diam-diam Syaikh Nurjati
pun memerhatikannya. Matahari telah kehilangan daya sengatnya ketika hampir mencapai garis lurus cakrawala, selain me?
nyemburatkan warna kemerahan yang membias pada wajah siapa saja dan pada apa-apa yang disinarinya.
Syaikh Nurjati masih juga belum memberi arahan apa pun selain membiarkan ketiga calon muridnya itu
melakukan sekehendak hatinya. Dibiarkan seperti itu akhirnya mendorong Walangsungsang memberanikan diri
bertanya. Saat itu Syaikh Nurjati baru selesai shalat maghrib, dan Walangsungsang sudah hampir setengah jam
menunggu. "Maaf, Sepuh, bukan kami tidak mengerti tata-titi dan sopan santun kepada guru. Tapi kami khawatir, kalau
kehadiran kami di sini justru mengganggu guru," jelas Pangeran Walangsungsang sambil tetap hormat.
Sementara Nyai Nini Indangayu dan Nyai Ratnaeling tertidur pulas. Mungkin keduanya terlampau capek setelah
melakukan perjalanan yang cukup jauh dari belantara Parahyangan, sekalipun berada dalam cincin Amp
al . "Memangnya kenapa Walangsungsang" Kau melihat ada yang ganjil" Atau kalian merasa berat meng?
hadapinya?" Syaikh Nurjati baik bertanya.
Dengan tetap duduk di tempat shalat, Syaikh Nurjati memberi isyarat agar kesempatan itu tidak disia-siakan,
Walangsungsang duduk mendekat.
"Sejak awal sudah aku katakan, sama sekali tidak punya hak bagiku untuk menolak kehadiran seseorang,
apalagi ia punya niat baik ingin mempel ajari agama Islam. Tidak, sama sekali aku tidak merasa keberatan
dengan kehadiran kalian bertiga sekarang ini," jelas Syaikh Nurjati sambil menyembunyikan senyumnya.
"Kalau begitu betapa bahagianya kami ini. Aku mohon diri, kasihan istri dan adikku kedinginan karena tertidur
di halaman," jelas Walangsungsang sambil bersiap undur diri.
Tapi tangan kiri Syaikh Nurjati memegang tangan Walangsungsang.
"Kenapa kau tidak bertanya sejak kedatanganmu, tak ada yang aku berikan padamu" Kalian tidak
mendapatkan pelajaran apa-apa dariku selama beberapa hari ini?" pancing Syaikh Nurjati. Syaikh Nurjati
memang telah mengetahui apa yang sedang dipikirkan Walangsungsang saat itu.
Walangsungsang menunduk makin dalam. "Tak ada yang harus aku katakan lagi, Guru!" katanya kemudian.
"Sudahlah, kalau begitu, ceritakan bagaimana kau seorang putra Pajajaran, yang setahuku punya keyakinan
beda, tiba-tiba berniat mempelajari Islam" Bukankah sebagai putra mahkota, kau seharusnya meneruskan apa
yang menjadi pemahaman ayahandamu?" telisik Syaikh Nurjati seperti masih sangsi ingin mengetahui sejauhmana keinginan Walangsungsang tersebut.
"Pertanyaan itu pula yang ditanyakan Kanjeng Rama, Guru. Tentu guru sebenarnya sudah mengetahui kenapa
aku mau berguru. Pada suatu malam," jelas Walangsungsang mulai menceritakan mimpi bertemu dengan guru
sejati yang membawa agama baru, agama dari Kanjeng Nabi Muhammad.
Semua diceritakan tanpa ada yang terlewat. Mendengar penuturan Walangsungsang tersebut, Syaikh Nurjati
semakin yakin bagaimana kecerdasan Putra Pajajaran ini. Ia juga memiliki kemampuan lebih dibanding orang
lain terutama dalam hal menghadirkan energi cakra.
Pandangan Syaikh Nurjati tak bisa dibohongi bagaimana sekujur tubuh Walangsungsang terselimuti garis
cahaya berwana kehijauan. Tidak sembarang orang bisa memiliki aura yang terpancar kuat seperti itu.
"Siapa sesungguhnya yang menyuruhmu ke Amparan Jati, Nak?"
"Hanya kekuatan yang luarbiasa itulah yang telah mengantarkan kami bertiga datang ke mari," jelas
Walangsungsang setelah menceritakan pertemuannya yang menakjubkan dengan Sanghyang Bangau.
Nyai Nini Indangayu dan Nyai Ratnaeling secara bersamaan bangun dari tidurnya. Tapi keduanya hanya
memandang dari kejauhan pada Walangsungsang yang sedang berbicara dengan Syaikh Nurjati. Tak sedikit
pun keberanian untuk masuk ke dalam masjid apalagi ikut bicara.
"Suruh masuk adik dan istrimu itu, kalau memang kalian mau bersama-sama untuk mempelajari Islam dengan
sungguh-sungguh," perintah Syaikh Nurjati seperti memiliki mata di pundaknya sehingga bisa melihat yang ada
di belakangnya. Di halaman masjid, Nyai Nini Indangayu dan Nyai Ratnaeling sudah terbangun dari tidurnya. Nyai Nini
Indangayu dan Nyai Ratnaeling akhirnya masuk ke dalam masjid mengikuti sang kakak yang berjalan di
depan. Keduanya mengangguk hormat sebelum duduk agar berjarak dari Walangsungsang dan Syaikh Nurjati.
"Mempelajari Islam itu," Syaikh Nurjati melanjutkan bicaranya, kini ditujukan pada ketiga muridnya itu;


Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"tidaklah gampang. Kalian harus mempertanggung jawabkan kepada sesama manusia dan kepada Allah, apa
yang kalian pelajari nanti."
Hampir tengah malam sebelum Syaikh Nurjati melakukan shalat malam, Prabu Anom Walangsungsang, Nyai
Nini Indangayu dan Nyai Ratnaeling mulai dibimbing untuk mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai
pembuka jalan menuju jalan cahaya.
Ketiganya bisa mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa kesulitan berarti.
Baik Walangsungsang maupun Nyai Ratnaeling pernah diperkenalkan Ratu Subanglarang bacaan itu, sekalipun
hanya sebagai pengetahuan belaka.
"Alhamdulillah, artinya kalian sekarang telah resmi memeluk Islam," Syaikh Nurjati mengangkat kedua
tangannya, lalu berdoa atas karunia dan hidayah kepada ketiga orang muridnya itu.
Sebuah babak baru yang sebenarnya telah masuk ke dalam agenda Syaikh Nurjati, untuk menyebarkan Islam.
Kelak, Walangsungsang sendiri punya peran penting dalam hal ini.
"Ternyata untuk masuk Islam itu gampang, kenapa harus melakukan perjalanan jauh, pindah dari satu guru ke
guru lainnya," bisik batin Nyai Ratnaeling.
"Untuk masuk ke dalam Islam memang mudah, hanya tinggal mengetuk pintu, dengan membaca kalimah
syahadat, tapi setelah masuk kita tidak seperti ketika ada di luar. Itulah yang sulit sehingga banyak manusia
gagal berada di dalamnya. Kalaupun ada ia tetap menjadi tamu, sehingga merasa gerak-geriknya diperhatikan.
Semestinya setelah masuk, kita melebur menjadi bagian darinya sehingga tak akan merasa bahwa diri selalu
dimata-matai!" jelas Syaikh Nurjati.
Nyai Ratnaeling menunduk bersemu malu, pipinya kontan merona. Baru saja ia menggumamkan keherannya,
dan kini langsung terjawab.
Sementara Walangsungsang dan Nyai Nini Indangayu hanya saling lirik, tidak mengerti kenapa tiba-tiba Syaikh
Nurjati bicara seperti itu seolah menjawab pertanyaan seseorang.
Sekalipun belum mendapat pelajaran lebih jauh, tapi Walangsungsang merasakan perubahan yang dramatis
dalam dirinya. Ada perasaan lain yang ia rasakan saat itu, sekalipun tidak bisa menjabarkannya. Mungkin
karena perjalanan mencari guru sejati sekian lama dengan pengorbanan yang tak sedikit, kini telah
menemukan sedikit dari apa yang sedang ia cari.
Tak kuasa matanya memerah, pedih dan ketika berkedip, airmata ikut menitik. Nyai Ratnaeling melirik ke arah
Walangsungsang saat kakaknya tersebut menunduk haru.
Malam itu mereka bertiga disuruh melihat bagaimana cara shalat. Syaikh Nurjati melaksanakan shalat malam
sekaligus untuk memberi pelajaran pertama tentang gerakan-gerakan yang harus dilakukan ketika shalat.
Dengan bimbingan Syaikh Nurjati, malam itu Walangsungsang mulai melakukan gerakan-gerakan itu. Berbeda
dengan anggapan Walangsungsang bahwa ia akan diajari ilmu-ilmu tingkat tinggi, tapi ternyata kenyataannya
bersama Syaikh ia lebih banyak diam.
Walangsungsang sama sekali tidak paham sesungguhnya Syaikh Nurjati sedang menyelaraskan keseimbangan
kesabaran fisik dan batin. Ketika telah mampu mencapai kesabaran yang sempurna "seseorang sudah benarbenar bisa mengendalikan hawa nafsunya- ia akan berucap hanya kata-kata bijak yang bersumber dari kalam
Ilahi, kelakukannya akan selaras dengan tuntunan Jeng Muhammad.
Sementara Nyai Ratnaeling yang tidak sabaran, justru sering diberi pelajaran-pelajaran tertentu sehingga
membuat Nyai Nini Indangayu dan Walangsungsang merasa heran.
"Kenapa adik kita, Nyai Ratnaeling selalu diberi wejangan dan ilmu-ilmu tentang Islam, Kakang, sementara kita
dibiarkannya sendiri, melakukan apa pun yang kita kehendaki," tanya Nyai Nini Indangayu suatu saat ketika
mereka berdua berada di dapur.
"Itulah yang membuatku juga heran, Nyai!"
"Apa perlu kita tanya Nyai Ratnaeling?"
"Aku pikir tak perlu kita lakukan itu. Syaikh Nurjati tentu telah tahu apa yang kita butuhkan. Mungkin karena
adikku itu kurang sabaran, jadi perlu diasah terus perasaannya...." jelas Walangsungsang.
"Kuharap juga begitu?"
"Memangnya kenapa, Nyai" Khawatir kau akan ketinggalan pelajaran tentang Islam?"
"Kekawatiran itu tentu saja ada, Kakang! Aku juga ingin menjadi muslimah yang sesungguhnya, yang menjadi
bagian dari kesemestaan di dalamnya, ketika kita telah bersama-sama mengetuk pintu dan ada di dalamnya,"
jelas Nyai Nini Indangayu mengingat kembali kata-kata Syaikh Nurjati ketika mereka baru saja membacakan
dua kalimat syahadat. Walangsungsang tersenyum bangga, kata-kata itu telah pula ia tanamkan dalam-dalam, di balik kesadarannya.
Dengan cara itulah ia berkeyakinan, tidak akan melakukan kesia-siaan. Keduanya terdiam karena Nyai
Ratnaeling baru saja masuk ke ruangan dan bergabung bersamanya. Baik Walangsungsang maupun Nyai Nini
Indangayu sama sekali tidak menanyakan apa yang baru saja diajarkan Syaikh Nurjati kepada adiknya itu.
Pada suatu malam Prabu Anom Walangsungsang diperintahkan untuk duduk di atas batu semalam suntuk. Hal
itu dilakukan sejak selesai shalat Isya sampai terdengar kokok ayam yang pertama.
"Ketika terdengar kokok ayam yang pertama, kau boleh berhenti dan bersiap-siap untuk shalat subuh. Lakukan
semua itu dengan sepenuh hati agar kau, Putra Pajajaran, memperoleh sajatining diri" perintah Syaikh Nurjati.
Beliau sendiri saat itu melanjutkan wiridnya di dalam masjid.
"Apa hanya wirid inilah yang harus hamba baca
selama semedi tersebut, Guru?" tanya Walangsungsang.
"Ya, itu namanya shalawat nabi. Bacalah shalawat itu sambil kau menenangkan pikiran. Nanti setelah subuh
kau temui aku di bukit!"
"Baik, Guru!" Lalu tanpa berpikir panjang lagi, Walangsungsang beringsut pergi menuju sebuah batu yang terletak agak jauh
dari halaman masjid. Batu itu terlihat mengkilat karena sering dipergunakan untuk duduk-duduk oleh Syaikh
Nurjati dan tamu-tamunya.
Dari atas batu itu bisa melihat ke segala penjuru. Angin menyapa sepoi-sepoi. Suasana di sekitarnya terasa
angker. Walangsungsang berucap syukur sebelum melakukan ini, ternyata Eyang Danuwarsih telah memberi
latihan kanuragan, dengan demik an punya modal agar bisa terus duduk di atas batu sekian jam dengan
melafalkan shalawat. Walangsungsang menunduk betapa Allah telah membuat rencana yang mahasempurna. Malam itulah ia paham
kenapa perjalanan sebelum sampai di tempat ini, harus ditempuh sekian lama dan berpindah-pindah dari satu
guru ke guru yang lain. Malam ini ia merasakan tak ada satu pelajaran pun yang tidak berguna.
Mungkin inilah bedanya dengan Nyai Ratnaeling yang datang bertemu di tempat Eyang Danuwarsih sekian hari
sesudahnya. Keduanya telah menempuh jalan yang beda dan jalur perjalanan yang beda pula, sehingga
bertemu dengan guru yang berbeda pula.
"Tidak mungkin aku disuruh duduk di atas batu ini kalau memang tidak ada maksud dan tujuannya. Aku harus
melakukan semua ini dengan sebaik mungkin sehingga bisa berhasil menemukan sajatining diri," gumam
Walangsungsang seraya duduk di atas batu itu.
Setelah berkonsentrasi ia mulai membaca shalat. Walangsungsang terus khusyuk membaca shalat sampai pada
satu saat, ia merasa tubuhnya terdorong dan jatuh berguling-guling. Tapi anehnya sekalipun berguling- guling
tubuhnya tidak menyentuh tanah. Ia melayang di atas tanah sampai muncul kemudian cahaya terangbenderang. Walangsungsang menggosok-gosok mata dengan punggung tangannya, la kini berada di Keraton Pakuan, lalu
sambil terus melafalkan shalawat, ia sampai di kaputren. Di tempat itulah ia melihat ayahandanya, Prabu
Siliwangi. Belum sempat ia menemukan jawaban kenapa tiba-tiba ada di Keraton Pakuan, keheranannya bertambah
manakala melihat ayahandanya tak bebas bergerak, kaki kanannya dirantai dengan bandul besi pemberat
sebesar kelapa. "Assalamu alaikum, Kanjeng Rama," Walangsungsang mengucap salam. Mendengar anaknya berkata demikian,
Sri Maharaja Prabu Siliwangi hanya menatapnya heran.
"Kau bicara apa putraku, Walangsungsang, aku tak paham. Bicaralah dengan bahasa yang dapat aku mengerti,
wahai anak hilang," sindir Sri Maha Prabu Siliwangi.
"Maaf, Kanjeng Rama, maksudku mendoakan semoga tetap sehat, selamat dan mendapat keberkahan dari
Allah," jawab Walangsungsang menerjemahkan kata-kata yang ia ucapkan sebelumnya.
"Oh, Hyang Jaga Nata, ternyata putraku telah jauh melangkah, memasuki dunia yang sama sekali belum
pernah aku jamah," Sri Maharaja Prabu Siliwangi menunduk lesu. Ia terlihat demikian sendu.
Menyaksikan kesedihan sang ayah seperti itu, Walangsungsang juga tidak kuat menahan diri. Namun ia tidak
bisa hanyut dalam kedukaan seperti itu. Walangsungsang kembali meneruskan wiridnya.
"Walangsungsang, tolonglah, apakah kau tidak lihat aku dikerangkeng seperti ini?" teriak Prabu Siliwangi ketika
melihat anaknya seperti akan meninggalkan tempat itu.
Tapi entah kenapa Walangsungsang seperti tidak mendengarnya, ia hanya melirik sebentar setelah itu
melanjutkan kembali perjalanannya.
Ketika Walangsungsang berhasil melewati satu pintu keluar dari kaputren itu, tiba-tiba pandangannya kembali
gelap. Ia kembali berada di atas batu tempat semula membaca shalawat. Malam masih larut dan belum
terdengar suara kokok ayam. Walangsungsang kembali meneruskan wiridnya.
Ketika itu di kamar tak jauh dari masjid Nyai Nini Indangayu sedang gelisah. Tak sedikit pun bisa memicingkan
mata, sementara Nyai Ratnaeling saat itu sudah terlelap tidur. Sehabis shalat Isya tadi, Nyai Ratnaeling hanya
membaca kembali beberapa pelajaran yang ia dapatkan hari itu Nyai Nini Indangayu semakin lama tak bisa
menahan diri, tiba-tiba ingat dengan salah satu batu akik pemberian dari ayahnya.
Melalui batu sakti tersebut siapa pun bisa melihat seseorang atau sesuatu yang diinginkannya kendati terhalang
jarak sangat jauh. Ingat akan hal itu, Nyai Nini Indangayu langsung membuka pembungkus batu akik tersebut.
Sejenak ia memohon kepada Yang Mahakuasa agar diperkenankan mempergunakan batu tersebut.
"Aku ingin bisa melihat suamiku," gumam Nyai Nini Indangayu sambil konsentrasi. Beberapa saat kemudian ia
bisa melihat Walangsungsang sedang khusyuk membaca wirid di atas sebuah batu. Melihat Walangsungsang
sedang khusyuk. Nyai Nini Indangayu merasakan kekangenan yang luarbiasa. Gelegak dari dalam hatinya,
tidak bisa ditahan kendati untuk beberapa saat saja. Akhirnya Nyai Nini Indangayu bersikeras keluar kamar. Ia
lupa padahal sebelumnya Syaikh Nurjati wanti-wanti mengingatkan agar malam itu ia dan Nyai Ratnaeling
jangan keluar dari kamar setelah selesai shalat Isya.
Nyai Nini Indangayu keluar dari kamar, mengendap- endap melewati pinggir masjid dan akhirnya bisa melihat
Walangsungsang yang sedang wirid beberapa tumbak di hadapannya.
"Kakang..." gumam Nyai Nini Indangayu, serak, terdorong rasa kangen yang semakin memuncak; "Aku datang
Kakang..." tambah Nyai Nini Indangayu. Belum juga mengatupkan bibirnya, tiba-tiba terjadi kejadian tidak
masuk akal, pakaian Nyai Nini Indangayu melorot. Nyai Nini Indangayu terpekik kaget sambil menutup
sebagian tubuhnya dengan kedua tangannya. Pekikan kaget Nyai Nini Indangayu tersebut telah membuyarkan
konsentrasi Walangsungsang.
Ketika matanya terbuka, terlihat dihadapannya sang istri tanpa dibungkus sehelai pakaian pun.
Walangsungsang tersentak kaget, hingga tubuhnya terpental beberapa tumbak ke belakang. Nyai Nini
Indangayu terbirit-birit masuk ke dalam kamarnya, sementara Walangsungsang bangun dari jatuhnya. Saat
itulah terdengar kokok ayam dari kejauh an, lama kelamaan terdengar saling bersahutan.
"Ya, Allah, kokok ayam" Artinya aku gagal menyelesaikan wiridan ini hanya karena tergoda pekikan seorang
wanita," gumam Walangsungsang dengan wajah sangat menyesal. Ia sama sekali tidak menyangka akan
demikian kejadiannya. Pantas Syaikh Nurjati wanti-wanti agar hati-hati dan menjaga diri untuk menemukan
sajatining diri itu. Selesai shalat Subuh dengan lesu Walangsungsang menemui Syaikh Nurjati di bukit tak jauh dari masjid. Di
luar dugaannya, ternyata Syaikh Nurjati telah berada di tempat tersebut. Padahal ketika Walangsungsang
meninggalkan masjid, ia melihat Syaikh Nurjati masih wiridan.
"Assalamu alaikum, Guru."
"Wa alaikum salam!"
"Guru..." "Kenapa kau aneh, Putra Pajajaran, karena aku sudah berada di tempat ini?"
"Begitulah, Guru," Walangsungsang tersipu karena apa yang sedang dipikirkannya telah diketahui gurunya.
"Itulah ketika ia telah berhasil menemukan sajatiningdiri," jelas Syaikh Nurjati dilanjutkan dengan membahas
hasil wiridan Walangsungsang semalam. Untuk kesekian kalinya Walangsungsang menaruh hormat, karena
sebelum diceritakan justru gurunya telah mengetahui detail kejadian tadi malam.
Beberapa lama belajar dengan Syaikh Nurjati, telah banyak pula pengetahuan dan amalan yang didapat
Walangsungsang. Tidak saja mengetahui hakikat keberadaan Allah Swt, tapi juga telah dipelajari secara
saksama bagaimana cara dan mengamalkan shalawat, cara dan mengamalkan zikir, tentang hukum islam,
rukun Islam dan rukun Iman. Tidak lupa Walangsungsang pun diajari membaca kitab suci Al- Qur"an, kitab fiqih
dan tasawuf. Dengan demikian baik Walangsungsang, Nyai Nini Indangayu maupun Nyai Ratnaeling alias Nyimas
Rarasantang, telah berubah menjadi sosok muslim dan muslimah yang bisa diandalkan untuk men
ghadapi zamannya. Suatu malam selepas shalat Isya, mereka bertiga berkumpul bersama Syaikh Nurjati. Syaikh Nurjadi
menjelaskan maksud pertemuan itu.
"Anak-anakku sekalian, kalian telah cukup lama berada di sini dan telah banyak pengetahuan dan aturan
keislaman yang kalian peroleh. Sekarang tinggal bagaimana kalian mengamalkannya sehingga akan mendapat
hikmah dari semua ilmu yang dimiliki itu. Tanpa diamalkan, ilmu kalian tidak akan berguna sama sekali. Nur
ilahi ini tidak saja harus mampu menerangi jalan kita tapi juga harus mampu menerangi jalan orang lain. Islam
adalah agama yang sempurna, sehingga tidak akan kalian dapatkan satu aturan pun yang menguntungkan
pribadi dan merugikan orang lain. Paham?" Syaikh Nurjati membuka perbincangan malam itu.
Sebelum menjawab pertanyaan itu, Walangsungsang, Nyai Nini Indangayu dan Nyai Rarasantang saling
menatap lalu mengangguk tanda mengerti.
"Alhamdulillah kalau memang kalian telah bisa memahami," ungkap Syaikh Nurjati seraya memandang ke arah
Walangsungsang. "Kalau memang semua ilmu yang telah hamba peroleh harus segera diamalkan, tolong ajari kami guru,
bagaimana mengamalkan ilmu itu agar bermanfaat bagi orang lain," tiba-tiba Walangsungsang mengajukan
pertanyaan yang mengejutkan bagi Nyai Nini Indangayu dan Nyimas Rarasantang.
"Bagus, Walangsungsang! Untuk itulah sebenarnya kalian malam ini sengaja aku kumpulkan di sini. Begini,
anak-anakku," jelas Syaikh Nurjati lalu membuka salah satu kitab.
Di sana diterangkan bagaimana perlunya hijrah bagi seseorang agar bisa menemukan hakikat hidup sekaligus
untuk menguji sejauhmana ketangguhan keimanannya.
"Jadi kami harus berhijrah?" gumam Nyai Nini Indangayu.
"Begitulah...Tapi...sebelum melaksanakannya, tentu ada banyak hal yang harus kalian persiapkan. Ada banyak
tugas yang satu sama lain berbeda. Untuk itu, mulai malam ini, aku harapkan kau, anakku, Walangsungsang,
gantilah namamu jadi Somadullah," jelas Syaikh Nurjati.
"Maaf, Guru, apa perlunya hamba ini mengganti nama?" tanya Walangsungsang.
"Nama itu penting agar bisa menyamarkan siapa dirimu sebenarnya. Aku paham, Somadullah, dengan
menggunakan nama Walangsungsang akan banyak hambatan di samping memang menguntungkan untuk
menyebarkan agama Allah ini," jelas Syaikh Nurjati. Walangsungsang mengangguk paham.
"Dan kau Nyai Ratnaeling, kembali dengan nama aslimu, Nyimas Rarasantang!" jelas Syaikh Nurjati.
Nyimas Rarasantang mengangguk. Ia ingin protes kenapa dibedakan dengan kakaknya, tapi keinginan itu cepat
ia padamkan. Tak ada gunanya sama sekali, gumamnya.
Sementara Nyai Nini Indangayu tidak diganti namanya. Mereka kemudian mendapat pelajaran bagaimana ilmu
hakikat sehingga bisa menyelamatkan diri dari hadangan musuh. Ilmu tersebut akan sangat berpengaruh
karena sebelumnya ketiga murid Syaikh Nurjati ini telah mendapat Ilmu Kanuragan yang luarbiasa.
Sehingga semakin sempurnalah ilmu bela diri mereka dibanding dengan jawara-jawara lain di tatar
Parahyangan saat itu. "Nanti, pada hari Abad tanggal 1 bulan Sura, kau anakku Somadullah pergilah ke suatu tempat. Aku beri izin
kau di sana untuk babakyasa,"
"Maksud Guru?" "Kau kuizinkan untuk membangun sebuah dukuh atau pemukiman di mana saja menurut kamu baik sesuai
dengan syariat yang telah kau pelajari. Sampai menjelang tanggal 1 bulan Sura, laksanakan puasa, agar kau
mendapat petunjuk dari Allah Subhanahu wata"ala," ujar Syaikh Nurjati.
Walangsungsang terlihat gelisah.
Syaikh Nurjati menatapnya.
"Ada rencana lain, Nak?"
"Maaf, Guru, apa diperbolehkan kalau aku dan adikku untuk kembali sebentar ke Pakuan!" ujar
Walangsungsang hati-hati sekali.
"Untuk apa?" "Ada beberapa hal yang ingin aku selesaikan, agar kelak tidak jadi ganjalan atau setidak-tidaknya akan
mengganggu pemahaman mereka!"
Syaikh Nurjati terpejam. Lalu ia mengangguk pelan diiringi kata-kata; "tapi jangan sampai ketemu waktu
shalat yang sama..."
"Maksud, Guru?"
"Carilah sendiri jawabannya!" ujar Syaikh Nurjadi dengan senyum mengambang, lalu ia bangkit dan
meninggalkan tempat itu setelah membaca doa menutup majelis.
"Bagaimana menurutmu, istriku dengan tugas berat ini"
"Aku sebagai istrimu, Kakang, tentu akan mengikuti ke mana saja Kakang pergi. Aku juga akan mendukung
apa yang menjadi tugas Kakang dari guru kita," ungkap Nyai Nini Indangayu membesarkan hati
Walangsungsang dalam menyongsong tugas berat tersebut.
"Kau sendiri bagaimana Adikku?"
"Seperti awal aku meninggalkan keraton, Kakang, aku akan tetap mengikuti langkah Kakang sepanjang
mencari kebenaran, tapi kalau perjalanan itu akan menyesatkan, aku orang pertama yang akan menasihati
Kakang. Bahkan jika tidak bisa menerima nasihat untuk kembali ke jalan yang benar, maka aku pula orang
pertama yang akan menghadapi Kakang sebagai musuh," jelas Nyimas Rarasantang tegas.
Mendengar hal tersebut Nyai Nini Indangayu tersentak. Tapi Walangsungsang malah berterima kasih, karena ia
akan punya seseorang yang memantau jalan yang akan ditempuh.
"Kalau begitu besok kita ke Pakuan! Tapi aku masih belum mengerti kata-kata guru tadi, kita harus
menyelesaikan masalah di Pakuan "jangan sampai ketemu waktu shalat yang sama.' Kalian ada yang paham?"
"Mungkin maksud guru, kalau kita sampai di Pakuan ketika waktu shalat subuh, kita harus menyelesaikan
masalah di Pakuan secepatnya sebelum bertemu dengan waktu shalat subuh berikutnya..." jelas Nyimas
Rarasantang. "Ya...ya...ya...bisa jadi begitu, kenapa tadi tidak terpikir ya?" Walangsungsang tersenyum; "Artinya harus cepat!
Apa kita akan mampu?"
"Mudah-mudahan saja, Kakang! Tapi agar ada tenaga tambahan, bawalah aku serta dan simpan di dalam cincin
Ampaimu, Kakang! Dari balik cincin Ampai itu aku akan ikut memikirkan mencari jalan keluar, jika Kakang dan
Nyimas Rarasantang sedang menemui jalan buntu." usul Nyai Nini Indangayu.
Walangsungsang mengangguk. "Lebih baik begitu," katanya.
Malam semakin larut tapi ketiganya masih terlibat obrolan seru. Saat itulah mata ketiganya menangkap
sekelebat bayangan. Ketiganya bereaksi tanpa dikomando.
Mereka bereaksi dengan cepat tapi tetap tak seorang pun berhasil menangkap sekelebat bayangan itu. Ia
bergerak melebihi kecepatan cahaya. Tapi hal ini tak menyurutkan niat ketiganya untuk mengejar hingga bisa
menangkap bayangan siapa gerangan yang baru saja berkelebat itu.
Ketiganya menyebar ke arah tiga penjuru mata angin. Di lapangan yang biasa dipergunakan latihan, Nyai Nini
Indangayu yang pertama kali berhasil mengejar sosok itu. Tapi mengalami kesulitan ketika akan
menangkapnya. Sosok itu licin seperti belut.
"Hey, siapa sebenarnya sampeyan dan apa maksudnya mengganggu kami?" hardik Nyai Nini Indangayu yang
datang dari arah selatan. Sosok itu tak menjawabnya selain mengirim pukulan tenaga dalam secara
bergelombang. Nyai Nini Indangayu menghadangnya dengan pukulan yang sama menimbulkan suara benturan seperti
halilintar. Keduanya terjengkang ke belakang beberapa tumbak jauhnya. Lalu keduanya berdiri kembali,
memperkokoh kuda-kuda dan siap mengirim pukulan jarak jauh lagi.
Dua cahaya melesat dari masing-masing telapak tangannya, lalu beradu beberapa langkah di depan Nyai Nini
Indangayu. Ia rupanya kalah cepat, sehingga pukulan itu berhasil menghantam dadanya. Nyai Nini Indangayu


Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjerit seraya memegang dadanya yang terasa sesak dan seperti terbakar. Sosok itu terdengar tertawa dan
langsung mengirimkan pukulan berikutnya.
Dalam keadaan lemah dengan dadanya yang sesak bekas pukulan tadi, ia berguling-guling di tanah
menghindari pukulan . Tapi anehnya pukulan itu seperti terus mengikutinya ke mana saja ia bergerak,
bergelombang seperti angin topan bisa menerbangkan segala apa yang dilewatinya. Nyai Nini Indangayu
kemudian berputar seperti gangsing dan melesat ke udara. Pukulan itupun mengikutinya. Sesaat sebelum
menginjak tanah, pukulan berikutnya tetap membabat kaki Nyai Nini Indangayu.
Ia pun seketika roboh mencium tanah. Lalu tak bergerak lagi. Pingsan.
Sebelum sosok misterius itu pergi, Walangsungsang yang sempat kehilangan jejak sampai juga di tanah lapang
itu. Ia baru saja akan mengirimkan pukulan, tapi matanya melirik istrinya yang terkapar di tanah.
Dengan kekuatan penuh istrinya dibopong dan melesat dibawa kabur. Nyai Nini Indangayu dibaringkan di
kamarnya. Dengan berbagai cara ia mulai mengobati Nyai Nini Indangayu yang terkena pukulan dahsyat tadi.
Pengejaran sosok misterius itu kini dilakukan Nyimas Rarasantang. Sosok itu terus berlari menjauhi pondok
Syaikh Nurjati. Seperti sengaja sosok itu menjauh dan Nyimas Rarasantang terus mengejarnya. Ia seperti tidak
kehabisan tenaga. Sesekali sosok yang dikejarnya tertawa menghina, bertambah semangatlah Nyimas
Rarasantang untuk mengejarnya hingga ia lupa bahwa kini ia mengejar dengan rasa angkuh dan kemarahan
yang membuncah. "Jangan kau tertawa, bangsat, aku akan terus mengejarmu," sesumbar Nyimas Rarasantang sambil terus
mengejar. Namun untuk kesekian kalinya sosok itu tak juga bisa dikejarnya. Akhirnya dalam satu kesempatan Nyimas
Rarasantang mulai kehabisan napas dan berhenti sejenak. Ketika ia mengejarnya lagi, sosok misterius itu sudah
tidak ada lagi di hadapannya. Nyai Ratnaeling tercenung menyesali apa yang telah diperbuatnya.
"Kenapa aku istirahat?" gumamnya menyesali.
Gagal mengejar sosok yang berkelebat tadi, Nyimas Rarasantang kembali ke pondok. Di pondok bertemu
Walangsungsang yang baru saja berhasil menyembuhkan luka di tubuh istrinya akibat pukulan lawan.
Mereka tetap tidak mengetahui siapa gerangan bayangan hitam itu. Baru menjelang subuh ketika
Walangsungsang akan pergi ke masjid, ia melihat bayangan hitam itu lagi lalu mengejarnya. Anehnya
bayangan itu masuk ke dalam masjid. Saat ia sampai di dalam masjid, Walangsungsang tidak menemukan
siapa-siapa selain Syaikh Nurjati.
"Apakah bayangan hitam yang mengganggu tadi malam juga guru" Untuk apa maksudnya" Apakah salah aku
membicarakan tugas itu dengan adik dan istriku sendiri?"
Pikiran-pikiran itu berputar-putar dalam otaknya. Sampai selesai shalat ia masih memikirkan masalah itu.
Rupanya hal ini cepat diketahui oleh Syaikh Nurjati sehingga tanpa diminta pun menjelaskannya.
"Bayangan hitam itu akan menjelma dalam pandanganmu kalau hatimu masih bergejolak perang untuk
menentukan mana yang baik dan mana yang buruk," jelas Syaikh Nurjati.
"Pantas bayangan itu tidak bisa kami kejar, Guru!"
"Tak akan pernah kau bisa menangkap bayangan hitam yang ada di depanmu, ketika hati masih terpecah
memikirkan mana yang baik dan mana yang buruk," tambah Syaikh Nurjati; "bawalah hatimu pada titik
cahaya, setelah itu kau pasti tidak akan diganggu bayangan hitam lagi.
Walangsungsang mengangguk. Ia bisa memahami ungkapan gurunya itu.
Selesai shalat subuh, Walangsungsang bersama adik dan istrinya pamit kepada Syaikh Nurjati untuk
meneruskan perjalanannya, hijrah membuka dukuh. Tapi sebelumnya mereka bertiga minta izin untuk
menyelesaikan urusan di Keraton Pakuan. Ada beberapa hal yang harus diluruskan, seperti keinginannya
semula. Syaikh Nurjati mempersilakan dengan tetap mengingatkan satu syarat "jangan sampai ketemu waktu shalat
yang sama". Perjalanan dari Amparan Jati ke Keraton Pakuan bisa ditempuh dalam waktu singkat. Kedewasaan pikiran dan
kematangan ilmu kidang kancana, Walangsungsang bisa mengatasi rentang waktu dan tempat.
Di pondok tempat Ki Nalaraya bersembunyi, Prabu Anom Walangsungsang dan Nyimas Ratnaeling mengatur
siasat. Saat itu sesuai janjinya, Nyai Nini Indangayu disimpan di dalam cincin Ampal.
Selama Walangsungsang pergi, beberapa kejadian berlangsung. Ki Nalaraya menceritakan hal itu; "sejak
kepergian mendiang Gusti Ratu, Gusti Prabu sulit ditemui, Raden! Beliau lebih banyak mengurung diri. Kejadian
ini rupanya yang dikehendaki Argatala..."
"Juga Kanjeng Ibu, Kentring Manik, Ki?" Walangs ingsang memotong. Ki Nalaraya diam mematung.
"Benar kan, Ki, apa yang ditanyakan Kakang Walangsungsang itu?" Nyimas Rarasantang mendesak. Akhirnya Ki
Nalaraya mengangguk. "Kalau begitu keadaannya, niat Kanjeng ibu, Nyai Kentring Manik sudah kesampaian. Upayanya dari dulu untuk
membuat kami tidak betah tinggal di istana, sudah kesampaian..." jelas Walangsungsang tak sadar. Nyimas
Rarasantang yang penasaran langsung menyusulnya dengan pertanyaan.
"Maksud Kakang memang benar dari dulu mereka tidak senang dengan keberadaan kita di istana" Kenapa
baru bicara sekarang, Kakang?"
"Begitulah keadaan sebenarnya, Nyimas! Tapi kau tidak sadar karena usiamu masih terlalu mud a. Tapi Allah
sudah memberi jalan, mengirim impian padaku tentang pertemuan dengan guru sejati agar aku mencari ilmu
Islam!" jelas Walangsungsang.
"Sudah ketemu, Raden?" Ki Nalaraya yang kini penasaran.
Walangsungsang mengangguk pelan.
"Kalau begitu ajaklah aku masuk ke dalamnya, Raden!"
"Memangnya kenapa, Ki?"
"Sejak dulu sudah diperkenalkan dengan Islam oleh ibumu, Gusti Ratu Subanglarang. Tapi sebelum selesai,
Raden keburu pergi dan urusan menjadi kacau-balau..." jelas Ki Nalaraya.
Walangsungsang hanya saling lirik dengan adiknya.
"Sudah sejauhmana Ki Nalaraya tahu tentang Islam?"
"Banyak dan sedikit, Raden!"
"Maksud Aki?" "Sudah banyak mendengar dari Gusti Ratu, tapi sedikit sekali yang bisa masuk pikiranku. Kalau memang cara
masuk ke dalamnya itu bisa ditempuh oleh manusia sepertiku, Raden harus membimbingnya masuk sebelum
aku meninggalkan dunia ini!"
"Ki Nalaraya pernah mendengar ucapan ini?" tanya Walangsungsang seraya membacakan dua kalimat
syahadat. Ki Nalaraya mengernyit mengingat-ingat. Tapi akhirnya ia menggelengkan kepala. Walangsungsang kemudian
membagi ilmu itu dan ketika Ki Nalaraya sudah memahami, disaksikan Nyimas Rarasantang dan Ceuk Srinten,
Walangsungsang membimbing Ki Nalaraya untuk masuk Islam.
"Tinggal Embi!" Nyimas Rarasantang bercanda dan melirik Ceuk Srinten.
"Biarkah Embi berpikir dulu! Embi takut disebut ikut-ikutan!"
"Ya, silakan, Embi!" ujar Walangsungsang tak memaksa.
Setelah mempersiapkan untuk kepergian ke Keraton Pakuan, Walangsungsang dan Nyimas Rarasantang
melanjutkan perjalanan. Sebelum pergi Walangsungsang berpesan, jika ada angin gemuruh di depan pondok tapi tidak menggerakkan
pohon-pohon, loncatlah ke dalam pusaran angin itu. Ki Nalaraya hanya mengangguk. Ketinggian ilmu
Walangsungsang memang sudah bukan bandingannya lagi. Ki Nalaraya yakin, tidak semata-mata
Walangsungsang bicara seperti itu kalau tidak ada maksud dan tujuan tertentu.
Walangsungsang akhirnya sampai di gerbang Keraton Pakuan. Diam-diam Walangsungsang dan Nyimas
Rarasantang menyamar memasuki istana.
Penjaga melihatnya dan langsung menyerang. Tapi sebelum ia mengeluarkan jurus-jurusnya dan seorang
temannya memukul kentongan tanda ada bahaya di depan gerbang, Walangsungsang membuka penyamar?
annya. Prajurit jaga itu terhenyak, lalu ia membungkuk memberi hormat.
"Maaf, Raden! Aku pikir ini siapa?" Walangsungsang tersenyum.
"Tak perlu kau meminta maaf, karena tugasmulah untuk memeriksa siapa saja yang akan masuk istana!"
Prajurit itu tertawa lebar merasa mendapat pembelaan dan masa dep
an terasa kembali cerah. Tak bisa
membayangkan apa yang akan terjadi jika seorang putra mahkota merasa terganggu.
Walangsungsang berjalan bersama Nyimas Rarasantang diikuti oleh dua orang prajurit, mereka melewati jalan
lurus sebelum akhirnya masuk ke jalan melingkar, di tengahnya diletakkan hiasan dan air mancur, dikelilingi
aneka macam bunga yang menyejukkan mata.
Hanya sampai di jalan melingkar itulah dua prajurit jaga mengantarnya, karena seterusnya telah siap prajuritprajurit lain yang akan mendampinginya. Walangsungsang bicara pada prajurit yang mengantarnya bahwa ia
akan langsung ke Keraton Suradipura, menemui ayahandanya. Dengan sigap prajurit itu berlari dan memberi
tahu prajurit lain. Walangsungsang bersipongang memeriksa keadaan sekelilingnya.
"Tak ada yang berubah, Nyimas!"
"Begitu juga pengamatanku, Kakang!"
Di ruang tamu khusus, Prabu Siliwangi menerima kedatangan putra-putrinya itu. Keduanya tangannya
merentang menyambut kedatangannya.
Walangsungsang dan Nyimas Rarasantang menghormat takzim, lalu duduk di kursi di hadapan ayahandanya.
Kursi itu lebih rendah dari tempat duduk Prabu Siliwangi namun sama- sama mewah bertatahkan emas berlian,
sehingga sinar matahari yang masuk melalui jendela dan lubang angin, memancarkan kilau indah yang
mengambang di ruangan itu. Suasana tempat itu terasa semakin mewah.
"Akhirnya si anak hilang itu kembali!" Prabu Siliwangi terkekeh.
Tapi Walangsungsang melihat sinar mata ayahandanya itu tak sebening dan setajam dulu. Mungkin karena
dilanda lelah yang berkepanjangan akibat kurang tidur.
"Bicaralah apa yang akan kau sampaikan....kuharap kalian sudah tahu, bahwa ibumu, Subanglarang yang
sangat kukasihi telah meninggalkan kita semua..." tambah Prabu Siliwangi.
Walangsungsang mengernyit. Tempo hari ia berkunjung ke tempat ini untuk mengucapkan bela sungkawa, tapi
ternyata ayahandanya sama sekali tidak mengingatnya. Satu keanehan lagi didapat siang ini. Apakah
ayahandanya kalelebarii .
"Terima kasih, Kanjeng Rama! Banyak hal yang ingin aku sampaikan!"
"Bicaralah! Kau juga boleh bicara gadis kecilku yang pemarah!" Prabu Siliwangi melirik ke arah Nyimas
Rarasantang. Ia menunduk. Kata-kata itu demikian akrab didengarnya dulu, saat berjalan bersama di taman sari, bercanda
bersama. Tapi tidak mau terjebak pada romantisme masa lalu, Nyimas Rarasantang menjawab lantang.
"Terima kasih, Kanjeng Rama!"
"Oh, Putriku, kau sudah hisa bicara jelas dan tegas kini. Tak pernah menangis lagi rupanya..." Prabu Siliwangi
terbahak. Walangsungsang dan Nyimas Rarasantang tersenyum. Untuk kesekian kalinya ia menemukan sinar mata yang
aneh manakala ayahandanya terbahak seperti itu. Alt, sorot mata itu penuh duka. Duka karena apa" Duka oleh
siapa" . Walangsungsang kemudian bicara tentang perjalanannya selama ini. Tak lupa ia memohon maaf. Prahu
Siliwangi mengangguk bahwa semua itu tak jadi masalah. Lalu Walangsungsang mulai menanyakan kabar Ki
Nalaraya. Ditanya masalah itu, Prabu Siliwangi mengernyit. "Ada yang aneh dengan penasihatku itu?" tanyanya
kemudian. Walangsungsang mengangguk, membenarkan.
"Sudah lama dia meninggal, saat kau tidak ada di sini tentu saja, Walangsungsang!"
"Sebagai kerabatan keraton, apa dia juga dimakamkan di tempat yang semestinya?" selidik Walangsungsang.
Prabu Siliwangi turun dari kursinya, bersipongang sebentar, lalu berjalan gagah ke depan jendela. Matanya
jatuh pada titik tak hingga.
Walangsungsang melihat bagaimana sosok tinggi besar itu hampir menutup lubang jendela. Tapi kini dibalik
sosoknya yang tinggi besar, ia seperti sedang melihat tubuhnya yang mulai lelah. Ringkih.
"Seharusnya memang begitu, Walangsungsang! Tapi karena kecelakaan di hutan, tentu kita akan kerepotan me
lgurusnya. Kudengar ia masuk ke dalam jurang dan sulit untuk ditemukan!" jelas Prabu Siliwangi.
Untuk kesekian kalinya Walangsungsang saling pandang dengan Nyimas Rarasantang, berbagi rasa heran.
"Kalau aku mengatakan baru saja bertemu dengan Ki Nalaraya, bagaimana pendapat Kanjeng Rama?"
"Mungkin aku akan mengira kau sedang mimpi, Wal angs ungs ang! "
"Kalau aku juga mengatakan hal yang sama, Kanjeng Rama?" Nyimas Rarasantang menambahkan. Prabu
Siliwangi tertegun. Ia masih tetap menatap keluar jendela, tak menghiraukan kedua anaknya ada di belakang
sedang saling pandang diliputi rasa heran.
"Mungkin dugaanku yang pertama tadi salah! Tapi ada dugaanku yang kedua! Kalian berdua ba ru saja melihat
ruhnya yang gentayangan karena arwahnya tidak diterima sempurna, tidak bisa moksa dan ruhnya gagal ke
atas menuju kahyangan melalui alam saptabuivana."
"Karena kejelekan amalannya ketika hidup di dunia maksud Kanjeng Rama?"
"Ya, seperti itulah kepastiannya. Bagi siapa saja yang tak pernah atau jarang melakukan pemujaan terhadap
hyang, sering melakukan kejahatan selama hidupnya peristiwa kalepasan-nya berlangsung mengerikan, lalu
ruhnya turun ke alam saptapatala"
"Kejahatan apa yang pernah Ki Nalaraya lakukan, Kanjeng Rama, sehingga ruhnya harus mengambang seperti
itu?" Walangsungsang terus mengejarnya.
Prabu Siliwangi memutar tubuhnya, menatap tajam pada Walangsungsang. Mata tajamnya yang kini lelah dan
meredup itu, masih juga terlihat perkasa dan sempat membuat Walangsungsang gemetaran dibuatnya.
"Apa yang sedang kau pikirkan, Nak?" tanya Prabu Siliwangi kemudian, "tak pernah sekalipun kau terus
mengejar seperti itu ketika ada yang membuatmu heran. Tapi sekarang, tentu ada yang jauh lebih
mengherankanmu." Walangsungsang mengangguk. Prabu Siliwangi terhenyak.
"Baiklah, aku yakin kau bukan anak kecil lagi," urai Prabu Siliwangi; "Kesalahan terbesar dalam kehidupan Ki
Nalaraya adalah sikapnya yang sering mengadu domba. Tapi jauh-jauh hari sebelum ia meninggal trag s di
dalam hutan, aku telah memaafkannya. Karena jauh lebih banyak lagi nasihat-nasihatnya untuk kelangsungan
dan kemakmuran Pajajaran! Tapi kesalahan tetap kesalahan. Bahkan ibumu yang sakit-sakit juga karena sering
termakan hasutannya."
Bebeberapa saat suasana menggantung. Walangsungsang menunduk dalam. Prabu Siliwangi mengira putranya
itu sedang menaksir-naksir apa yang
hal .. 350 dan 351 hilang ....
berjanji akan menyelesaikan masalah ini sebaik mungkin. Tapi kelak Walangsungsang mengeta hui bahwa
ayahandanya itu tak pernah bersungguh-sungguh untuk menyelesaikannya, karena dianggapnya masalah itu
terlalu sepele untuk dibawa ke pertemuan dengan para penasihat kerajaan. Atau tak siap menerima aib lebih
besar. "Kuharap kau masih mau berkunjung ke sini, anakku! Karena rumah kalian di sini, sekalipun ibumu sudah pergi
meninggalkan kita!" "Itu pasti, Kanjeng Rama! Tapi mungkin saja aku atau adikku datang ke sini dengan tujuan yang berbeda atau
siapa tahu Kanjeng Rama sendiri sudah berubah!" jelas Walangsungsang.
"Kau melihat -tanda-tanda itu, Nak?"
'"Tidak terlalu jelas, Kanjeng Rama!"
"Apa pun yang terjadi, pintu ini selalu terbuka untuk kalian. Dan jika suatu saat benar-benar tertutup, aku
harap kalian sudah ada di dalamnya. Tidak berdiri di luar pintu ini dengan tujuan untuk saling menghinakan!"
jelas Prabu Siliwangi, mempersilakan Walangsungsang, Nyimas Rarasantang dan Ki Nalaraya undur diri.
Sepanjang jalan Walangsungsang selalu terngiang dengan kata-kata ayahandanya itu "tidak berdiri di luar
pintu ini dengan tujuan untuk saling menghinakan". Ia teringat impiannya saat melakukan wirid di atas batu.
******
Matahari dengan teriknya yang mengubun-ubun, tak menghentikan langkah Somadullah alias Prabu
Anom Walangsungsang disertai adik dan istrinya. Mereka terus berjalan menyusuri pinggir pantai ke arah
selatan. "Kalian tak berniat untuk istirahat?" pancing Somadullah.
Keduanya menggeleng kencang.
"Alhamdulillah, kalian luarbiasa!" puji Somadullah. "Aku tak ingin menciptakan sendiri kekalahanku hanya
karena terik matahari, Kakang! Biarlah aku terus berjalan dengan sedikit harap, matahari akan redup juga pada
akhirnya nanti," jawab Nyimas Rarasantang. Ia baru saja terkenang ucapan ayahandanya yang mengira ia
masih anak ingusan, yang selalu menyelesaikan masalah dengan tangis. Somadullah menatapnya bangga.
Nyimas Rarasantang terlihat senyum penuh percaya diri.
Langkahnya masih tegap dengan napas yang teratur. Tak hirau dengan keringat yang mengucur deras. Padahal
kepalanya hanya terlindung selindang yang diikatkan beberapa kali mengelilingi lingkaran kepala, lalu
menjuntaikan sedikit ujung sisi ke arah dahi, dan sebagian besar menutup atas kepalanya.
"Peliharalah selalu harapan itu, Nyimas! Juga kau, Nyai Nini Indangayu, istriku!" jelas Somadullah diiringi
pandangan menggoda ke arah Nyai Nini Indangayu, yang terlihat serius menghabiskan jarak. "Itu pasti,
Kakang!" jawab keduanya serempak.
"Peliharalah harapan-harapan itu, karena ia yang akan mendorong kita membangkitkan semangat dalam diri.
Ketika sebuah keinginan mendesak terus-menerus, kita harus yakin tidak ada jalan lain untuk menempuhnya
selain dengan harapan itu. Biarlah rasa takut itu hilang sendiri oleh kekuatan harapan, seperti juga yang selalu
kita pelihara ketika kita terdesak pada tepi jurang tanpa apa pun, bahwa di sana masih ada satu harapan,
Allah akan bersama kita. Sehingga sekalipun nyawa kita melayang bersama tubuh kita terjun ke jurang, kita
masih juga punya harapan, kita ada dalam ridha- Nya..." jelas Somadullah yang sesungguhnya memberi
semangat untuk dirinya dan kedua perempuan setia yang ada di sampingnya.
Mereka lalu berbelok ke arah barat menuju Lemahwungkuk, tempat Ki Gedeng Alang- Alang bermukim.
Saat masuk waktu zuhur, Somadullah beserta istri dan adiknya ikut shalat sekalian istirahat di rumah Ki Gedeng
Alang-Alang. Selesai shalat ditambah wirid yang cukup panjang, barulah Ki Gedeng Alang-Alang memeriksa
tamunya. Ia yakin mereka bertiga adalah para musafir, karena sehabis wirid masih juga duduk-duduk di emper
masjid. Somadullah merasa bersyukur karena cepat diperiksa.
"Kami santri dari Amparan Jati, Ki! Somadullah namaku. Ini istriku Nyai Nini Indangayu, sedang ini adikku, kami
panggil Nyai Rarasantang!" jelas Somadullah. Ki Gedeng Alang-Alang mengangguk paham.
"Subhanallah, kalian ini santri-santri Syaikh Nurjati rupanya. Apa perlu kalian datang ke sini, Nak?"
"Kami datang mengemban tugas dari Syaikh Nurjati, untuk membangun dukuh di daerah ini," jelas Somadullah;
"tepat besok tanggal 1 Suro, pekerjaan itu dimulai, Ki, sesuai dengan perintah dari guru kami. Kalau Aki tidak
keberatan, kami ingin beristirahat malam ini di sini, sebelum besok pag' kami mulai babad alas."
Sejenak Ki Gedeng Alang-Alang terdiam. R asa waswas dan tak percaya tergambar dalam sorot m atanya. Mana
mungkin, pikirnya, tiga orang pemuda dua di antaranya perempuan, mau babad alas. Tapi kekhawatirannya itu
segera ditepisnya. Tak ingin berprasangkan buruk sebelum melihat apa yang dikerjakannya besok.
"Soal istirahat di sini, silakan, dengan tangan terbuka, sekali-kali kami tak keberatan. Bahkan andaikan kalian
mau, mulai sekarang akan kuanggap kalian bertiga ini sebagai anakku sendiri. Aku memang tidak punya anak,
lapi yang jadi pikiranku adalah bagaimana kalian bisa babad alas" Apa mungkin bisa kalian kerjakan dengan
hanya bertiga" Di sini tak ada orang yang bisa diajak membantu kalian," jelas Ki Gedeng Alang-Alang apa
adanya. Mendengar akan dijadikan anak angkat oleh Ki Gedeng Alang-Alang, bukan mainnya gembiranya Somadullah,
demikian pula dengan istri dan adiknya. Rasa haru menyelimuti perasaan mereka bertiga.
"Terima kasih, Ki, atas budi baik Aki untuk menerima kami sebagai anak Aki sendiri," jelas Somadullah terharu.
"Alhamdulillah kalau kalian menerima keinginanku itu. Terhadap jiwa dan raga kalian, aku juga bertanggung
jawab. Dan mulai saat ini juga, kau Somadullah, akan kuberi nama Cakrabumi. Pakailah nama itu, Nak!
Sekarang istirahatlah. Aku tahu kalian sudah berjalan sangat jauh, tentu lelah tak terkirakan lagi."
Cakrabumi, Nyai Nini Indangayu dan Nyimas Rarasantang beristirahat. Setelah shalat isya, mereka langsung
tertidur pulas sekali. Ki Gedeng Alang-Alang memeriksa mereka sebelum dirinya sendiri istirahat. Rasa kasihan
dan kagum membaur memenuhi dadanya, sampai-sampai tak kuasa menahan airmata.
Keesokan harinya, Cakrabumi bismillah mulai babad alas dibantu adik dan istrinya. Membabat akar dan ilalang,
menebangi pohon-pohon besar dan kecil. Dengan kesungguhan luarbiasa, pekerjaan mereka cepat
membuahkan hasil. Setiap hari tak pernah didera lelah, ketiganya terus membabad alas sehingga dalam waktu


Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beberapa hari ke depan, telah terbuka tanah lapang yang subur. Apa pun yang akan ditanam di tanah baru itu,
tentu akan cepat memberi hasil.
Setelah lahan terbuka dan siap ditanami, mereka mulai membagi tugas. Cakrabumi terus menebang pohon
memperluas areal terbuka, sementara Nyai Nini Indangayu dan Nyimas Rarasantang mulai menanam palawija.
Pembagian kerja yang tidak saja proporsional tapi juga profesional. Dalam waktu singkat jerih payah mereka
bertiga telah membuahkan hasil, tanah terbuka makin luas dan palawija mulai memberikan hasil.
Saat itulah Ki Gedeng Alang-Alang mulai percaya pada ketiga anak angkatnya itu. Mereka tidak saja anak-anak
yang kuat, tapi juga cerdik, dan tentu saja tak pernah melupakan saat-saat beribadah. Malam harinya mereka
beristirahat untuk beberapa jam, lalu bang un dua pertiga malam untuk beribadah. Begitulah ritme yang dijalani
Cakrabumi bersama adik dan istrinya. Mereka bahu-membahu memanfaatkan tanah luas yang baru dibukanya
itu, juga bahu-membahu dalam urusan meninggikan kalimat tauhid.
"Kalian memang luarbiasa, hilang sudah kekhawatiranku. Dulu ketika mendengar kalian bertiga akan babad alas, aku sempat miris. Tapi sekarang, tak ada
yang perlu dikhawatirkan," puji Ki Gedeng Alang-Alang sambil tak henti mengagumi hasil pekerjaan ketiga
anak angkatnya tersebut. Betapa tidak mengagumkan, tanah hutan yang dibabad makin luas, dan hasil
tanaman palawija juga melimpah. Hasil dari kebun tersebut kemudian mereka jual kepada tengkulak yang
datang dari Palimanan dan Rajagaluh.
Mulailah terjadi saling ketergantungan. Setiap musim panen, para tengkulak itu datang mengerubuti hasil
panen, sementara Cakrabumi mendapat barang-barang kebutuhan pokok yang lain hasil dari barter dengan
mereka. Beberapa tengkulak bahkan membeli dengan uang tunai.
Nama Cakrabumi sebagai seorang petani mulai terkenal ke mana-mana. Namun sebagaimana layaknya hidup,
selalu masuk ke dalam pusaran, perpaduan dari energi positif dan energi negatif. Menjelang musim panen, tibatiba beberapa palawija di kebun Cakrabumi itu terlihat layu bahkan ada di antaranya yang langsung mati.
Cakrabumi melihatnya dengan gusar, ia langsung melaporkan kejadian tersebut kepada Ki Gedeng AlangAlang. "Sabarlah, Nak, serahkan semuanya pada Allah yang menghidupkan dari yang mati, dan yang mematikan dari
yang hidup. Itulah hak Allah, dan jangan sekali-kali kita sombong dengan mengambil apa yang menjadi hak
Allah itu hanya karena diberi sedikit kepandaian " " jelas Ki Gedeng Alang-Alang.
Cakrabumi terhenyak, ia langsung mengusap wajah diiringi kalimat tobat. Kenapa begitu gusar hanya karena
palawija banyak yang mati, seolah-olah semuanya akan berakhir dan besok akan kelaparan. Padahal sejak
pergi dari keraton untuk mengembara, juga tak membawa bekal, tak pernah memikirkan palawija, tapi tak
pernah merasa khawatir besok akan kelaparan. Kini, ketika sebagian tugasnya mengurus duniawi,
Walangsungsang mulai menyadari ketergantungannya.
"Maafkan aku, Ki, kenapa didera khawatir padahal kita tak pernah punya kuasa bahkan untuk mengangkat jari
kelingking saja, apalagi harus menjaga agar palawija semuanya hidup!"
"Benar, Nak! Ketinggian seseorang naik ke atas pohon, sejatinya bukan
karena ia pintar memanjat. Kau tahu
karena apa?" Cakrabumi termenung memikirkan kata-kata Ki Gedeng Alang-Alang.
"Karena kuasa Allah?"
"Pasti! Itu memang hakikatnya, tapi secara syariatnya sebenarnya karena ia kuat menahan terpaan angin.
Yakinlah semakin tinggi kita naik, semakin besar angin itu menerpa. Anggap saja matinya sebagian palawija
kita sebagai terpaan angin yang akan menentukan apakah engkau ini akan semakin kokoh berpijak di atas
atau sebaliknya cepat goyah dengan terpaan angin itu," jelas Ki Gedeng Alang-Alang dengan bijaksana.
"Apa yang akan kita lakukan sekarang, Ki?"
"Kalian cabuti saja palawija yang mati, bawa ke sini semua, kita bakar semuanya. Mudah-mudahan saja masih
ada sisanya sehingga musim panen nanti, para tengkulak dari Palimanan dan Rajagaluh itu tidak terlalu
kecewa," usul Ki Gedeng Alang-Alang.
Cakrabumi melaksanakan usul itu, dibantu adik dan istrinya, mereka mencabut palawija yang mati dan kering.
Bongkahan sampah itu dibawa ke halaman rumah Ki Gedeng Alang-Alang.
"MasyaAllah, ini bukan karena hama, Nak, tapi kerjaan orang yang tak senang dengan kita," jelas Ki Gedeng
Alang-Alang, kemudian menatap gundukan tanaman mati itu. Dengan mata batinnya ia melihat siapa gerangan
yang punya kerjaan. Lalu Ki Gedeng Alang- Alang berjalan mengelilingi gundukan tanaman yang sudah mati
tersebut. Ia berdoa dan mulai mengeluarkan kesaktiannya.
"Bakarlah sekarang, panas bara api ini tentu akan membuat panas pelakunya," katanya seraya mundur
beberapa langkah. Seonggok tanaman yang layu karena terkena guna- guna itu akhirnya dibakar.
"Akan kita apakan selanjutnya, Ki?"
"Biarkanlah padam sendiri. Bara api ini " mudah- mudahan Allah mengizinkan " akan sampai kepada dia yang
berbuat jahat ini!" jelas Ki Gedeng Alang-Alang, menatap api yang membara, menjilat-jilat ke angkasa.
Dengan kesaktiannya, Ki Gedeng Alang-Alang terus mengirimkan panas dari bara api itu.
Nun jauh di sana seorang tengkulak yang pada musim panen kemarin tidak berhasil merayu Cakrabumi,
berteriak-teriak sendiri. Sekujur tubuhnya terasa panas seperti terbakar api. Ia membuka baju dan celana, lalu
berlari ke sana ke mari sambil tak henti teriak-teriak.
Tak kuasa menahan panas itu, ia lalu menceburkan diri ke sungai. Air sungai mendidih terpengaruh panas tubuh
tengkulak itu. Keesokan harinya dengan sekujur tubuh hitam seperti terbakar, tengkulak itu datang ke
kediaman Cakrabumi. Di hadapan putra Pajajaran itu, tengkulak tadi langsung bersujud mencium kaki
Cakrabumi dan meminta disembuhkan.
"Aku mengaku salah, Raden, aku kapok tak akan berbuat itu lagi. Sekarang mohon sembuhkan panas tubuhku
ini, aku tak kuat menahannya," jerit tengkulak itu bersimbah airmata. Cakrabumi hanya diam karena bingung,
apa yang harus dilakukannya. Berdesir di hatinya rasa sakit hati ketika melihat palawijanya mendadak layu
dan mati, tapi cepat-cepat rasa itu ia buang jauh-jauh.
"Aku tak punya kepandaian untuk mengobatinya, Kang. Itu semua terjadi akibat perbuatan Akang sendiri,
semestinya akang tahu bagaimana cara mengobatinya seperti juga Akang mengetahui bagaimana cara
membuat tanaman itu layu dan mati," urai Cakrabumi.
"Aku paham, Raden! Aku tahu itu, tapi tolonglah tak kuat lagi aku menerima panas ini," tengkulak itu terus
memohon, merengek-rengek, tak terbayangkan ketika ia mengirim guna-guna untuk menghancurkan tanaman
orang lain, juga akan membuat sakit hati pemiliknya.
Cakrabumi tak bergeming karena memang tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia tak berani untuk
mencoba- coba. Syukur kalau bisa menyembuhkan, tapi apa jadinya jika panas yang membakar tubuh
tengkulak itu semakin menjad-jadi.
Ki Gedeng Alang-Alang datang. Ia menatap tengkulak yang tubuhnya menghitam, tak henti memohon agar
bisa segera dibebaskan dari rasa panas yang terus membakar tubuhnya itu. "Kau rupanya pengirim guna-guna
itu?" Ki Gedeng Alang-Alang memastikan. Tengkulak itu kini berpaling, lalu memburu kaki Ki Gedeng AlangAlang. "Betul, Ki, aku mengaku khilaf dan tak akan mengulangi perbuatan itu lagi. Aku salah dan minta ampun,
sembuhkan dari panas ini, Ki, agar aku bisa bekerja seperti biasa untuk menghidupi anak dan istri!" tengkulak
itu meratap, bahkan merendahkan diri.
Ki Gedeng Alang-Alang saling pandang dengan Cakrabumi.
"Kasihan sekali anak istrimu, Mang! lega-teganya kau memberi mereka makan dan minum dari uang hasil
mencelakakan orang lain..." sindir Ki Gedeng Alang- Alang.
"Ampun, aku menyesal, tak akan mengulangi lagi, Ki!"
"Kemarahan seperti apa yang akan kau perlihatkan jika kau pemilik kebun palawija itu, Mang, kepada orang
yang telah mengirim guna-guna sehingga tanamannya layu dan mati?"
Tengkulak itu tak bisa menjawab, selain terus menunduk bersimbah airmata. Ia terus memohon di antara jerit
kesakitan karena tak kuasa menahan panas yang terus menjalari sekujur tubuhnya.
"Benar kau menyesal?"
"Betul, Ki, aku menyesal. Menyesal sekali!"
"Kau sanggup mengganti seluruh palawija yang mati dan menumbuhkannya sebesar yang engkau hancurkan
kemarin?" tanya Ki Gedeng Alang-Alang.
Ditanya seperti itu tengkulak itu kembali diam seribu bahasa. "Kenapa engkau tidak menjawab?"
"Kalau menyediakan bibitnya mungkin aku bisa, tapi menanamnya hingga sebesar yang aku hancurkan
kemarin, aku tidak akan sanggup. Aku bukan petani, aku hanya tengkulak, Ki!"
"Enak benar kau bicara. Kenapa tak pernah dipikirkan sebelum kau menghancurkannya?"
"Ampun, Ki! Panas...panas...Sembuhkanlah!"
"Aku tidak bisa menyembuhkan. Yang bisa menyembuhkan dan memberi penyakit hanyalah Allah. Berani
engkau minta kesembuhan pada-Nya?"
Lagi-lagi tengkulak itu terdiam. Selama ini ia memang jarang melaksanakan perintah Islam. Ia hanya
berdagang dan menghabiskan seluruh waktunya untuk berdagang. Bagaimana mungkin tiba-tiba saja
memohon kesembuhan, padahal mendekat saja pun tidak.
"Bagaimana?" ulang Ki Gedeng Alang-Alang. Tengkulak itu menggeleng.
"Sekarang mau kuajari sedikit ilmu agama dari yang aku tahu?"
Pelan tengkulak itu mengangguk. Melihat kejadian seperti itu Cakrabumi hanya tersenyum. Singkat kata
tengkulak itu bertaubat dan berbalik menjadi pengikut Cakrabumi. Ia tidak jadi tengkulak lagi melainkan
menjadi tukang kebun sehingga semakin banyak waktu untuk belajar ilmu agama. Tengkulak itu sekarang
telah berubah menjadi salah seorang sahabat Cakrabumi yang setia.
Seiring waktu, selain bertani dan berkebun, Cakrabumi mulai mencari ikan di laut menggunakan jakung .Tiap
malam selepas shalat isya, Cakrabumi mencari ikan dan rebon .
Keesokan harinya, ketika istri dan adiknya berkebun, sesekali Cakrabumi membabad alas untuk memperluas
tanah garapannya. Rebon yang ditangkap pada malam harinya, kemudian ditumbuk, diberinya bumbu, jadilah
terasi. Dalam waktu singkat terasi buatan Cakrabumi ini ternyata lezat dan disukai orang, sehingga semakin
banyaklah para langganannya. Berita itu pun tersebar dari mulut ke mulut. Kiprah Cakrabumi yang ternyata
memberi hasil menggembirakan itu, telah menginspirasi banyak orang. Tak sedikit mereka yang ikut berkebun
dan mengolah rebon menjadi terasi. Rasa senang terlukis di wajah Cakrabumi ketika ia mengetahui semakin
hari semakin banyak yang mengikuti jejak langkahnya. Kesempatan untuk mengajari mereka ilmu agama pun
sangat terbuka luas sekarang.
****
Merasa sudah tertutup kesempatan untuk kembali mengabdikan diri di Keraton Pakuan, akhirnya suatu hari Ki
Nalaraya berketetapan mengikuti kata hatinya, untuk mengikuti jejak Prabu Anom Walangsungsang. Tentu
saja hal tersebut mengagetkan Ceuk Srint en. Ketakutan membayang di matanya. Ia tak bisa untu k sekadar
membayangkannya, jika tiba-tiba para prajurit Pajajaran datang.
"Kalau kau berangkat, Ki, bagaimana dengan nasibku, sendirian di sini! Tak ada siapa-siapa bahkan tak punya
kuasa sedikit pun untuk menghadapi prajurit Pajajaran, yang selalu tidak senang melihat kita hidup!" rajuk
Ceuk Srinten, lalu tubuhnya terguncang menahan desakan dari dalam dadanya. Dadanya bergoyang- goyang
mengikuti rintihannya. Ki Nalaraya bisa memahami kekhawatiran teman seperjuangannya tersebut.
"Kau ikutlah denganku atau pergi ke tempat lain yang lebih aman!"
"Ikut denganmu jelas
aku nggak akan sanggup, Ki! Tubuh yang gembrot ini sulit untuk bisa menempuh jalan
yang jauh. Sementara mencari tempat yang lebih aman, tak pernah aku bayangkan, Ki!"
"Menunggu kamu kurus dengan tidak makan setiap hari, masih perlu berhari-hari, Ceuk! Apa kau tidak ada
rencana kembali ke dapur keraton, meminta maaf pada Argatala misalnya?"
"Dulu sempat terpikir, tapi tidak untuk sekarang!"
"Kenapa?" "Karena kebenciannya padaku jelas semakin berlipat-lipat, terlebih setelah tahu bahwa akulah yang merawat
lukamu akibat akal bulus Ki Argatala!"
Ki Nalaraya terhenyak. Kata-kata CeukSrinten telah mengembalikan kenangan pahit yang telah lalu. Ya, ia tak
bisa memungkiri, Ceuk Srintenlah sesungguhnya yang merawat luka dan memberi makan selama ia sakit. Aku
benar-benar berhutang nyawa padanya, gumam Ki Nalaraya. Melihat mata Ki Nalaraya mengerjap-ngerjap
seperti mengingat sesuatu, Ceuk Srinten malah terlihat gugup. Lalu Ki Nalaraya bicara.
"Kau harus ikut denganku, Ceuk, mengikuti jejak langkah Prabu Anom Walangsungsang! Ke arah timur
tujuanku, sesuai dengan impiannya bahwa ia akan ke arah timur. Tapi..."
"Kau pasti memikirkan bagaimana mengatasi badanku yang bengkak ini, ya "kan, Ki?"
"Tidak hanya itu!"
"Lalu?" "Aku juga memikirkan hubungan kita. Kalau kita berjalan terus ke arah timur, tak akan perna h bisa
dibayangkan di mana kita istirahat, siang atau malam. Dari sedikit ilmu Islam yang sempat diajarkan almarhum
Gusti Ratu dan dari Prabu Anom Walangsungsang, semestinya kita tidak bisa terus-terusan begini, berduaan
selama di perjalanan, karena kita bukan muhrim," jelas Ki Nalaraya.
Ceuk Srinten kini yang matanya mengerjap- ngerjap. Paling tidak ia membayangkan bagaimana rasanya
menjadi seorang istri. "Aku ikut saja!"
"Maksud kamu ikut apa, Ceuk?"
"Ikut apa yang akan direncanakan sampeyan, Ki!"
"Apa kita harus kawin" Tapi bagaimana caranya, aku sendiri tak paham! Lebih tak paham lagi bagaimana aku
harus mengangkut kamu, Ceuk, selama di perjalanan ketika kau kecapekan..."
"Harusnya ada kuda!"
"Ah, kau benar! Kita harus punya kuda! Tapi bagaimana caranya?"
"Kalau aku bisa mendatangkan kuda, apa sampeyan jadi kawin denganku?"
"Itu harus, Ceuk!"
"Sampeyan tidak malu, kawin dengan juru masak!"
"Bekas juru masak istana, bagiku terhormat rasanya!"
"Tapi sampeyan kan penasihat raja!"
"Bekas penasihat raja, Ceuk!"
"Bekas penasihat reja lebih terhormat daripada bekas juru masak!"
"Tapi aku telah lama membuang gelar itu, Ceuk!" "Aku juga telah lama membuang gelar juru masak itu! "
"Tapi kau tetap juru masak di sini!"
"Kau juga tetap penasihat di sini!"
"Ah...artinya kita sederajat...sama-sama bekas, lalu sama-sama menjalankan terus bekas-bekas itu!"
Mata Ceuk Srinten makin mengerjap-ngerjap, bibirnya yang nyaris tak kelihatan karena terdorong dagu dan
pipinya yang bengkak, terlihat menari-nari. Ki Nalaraya baru pertama kali melihat seperti itu.
Dipandang dari depan dengan mata sedikit terpejam, sebenarnya Ceuk Srinten ini cukup cantik. Paling tidak
yang tercantik saat ini, di tempat ini. Karena kalau mau dibandingkan ya dengan monyet-monyet yang
suaranya berisik setiap pagi itu. Jelas tidak bijaksana membandingkan Ceuk Srinten yang juru masak dengan
monyet yang kerjanya teriak-teriak.
Ki Nalaraya membulat tekad untuk menikahi Ceuk Srinten dan segera pergi dari tempat itu, dan CeukSrinten
bertekad untuk mengikuti Ki Nalaraya dan segera mencari kuda tunggangan.
Entah bagaimana caranya ketika senja yang hampir temaram, Ceuk Srinten datang tergopoh. Ki Nalaraya
dibuat cemas, karena ia mengira prajurit Pajajaran kembali akan menterornya. Entah teror macam apa lagi
yang akan dilaksanakannya sekarang.
"Prajurit Pajajaran, Ceuk?" tanya Ki Nalaraya pasrah.
"Bukan! Aku berhasil memperolah kuda tunggangan!" jelas Ceuk Srinten tersenyum lebar. Ki Nalaraya melotot
tak percaya. Jika itu benar, artinya ia harus segera melamarnya agar skornya satu-satu.
"Darimana kuda itu?"
"Ceritanya panjang!"
"Aman?" "Untuk jangka seminggu ke depan bisa saja aman, asal kita bisa berjalan jauh dari sini dalam waktu satu
minggu itu..." Tak ingin berpayah-payah memikirkan bagaimana Ceuk Srinten mendapatkan kuda tunggangan, Ki Nalaraya
saat itu juga berikrar melamar Ceuk Srinten.
"Segera setelah ketemu dengan orang yang lebih paham tentang ini, kita akan minta menyaksikannya!"
Ceuk Srinten tak bisa berkata-kata selain matanya yang berurai airmata. Entah kenapa rasa bahagia
membuncah bahkan hampir meledak di dada. Ki Nalaraya pun bahagia melihat Ceuk Srinten seperti itu.
Ia merasa telah melakukan sesuatu ke arah yang lebih baru saja dijelaskannya, padahal sesungguhnya
Walangsungsang justru sedang memanggil Ki Nalaraya. Dalam sekejap kemudian, tiba-tiba saja ruang itu
diketuk dari luar. Prabu Siliwangi teriak menyuruh membuka pintu. Suaranya menggema mengisi ruangan itu.
Seorang prajurit muncul laporan bahwa ada tamu yang ingin bertemu.
"Siapa?" Prabu Siliwangi memeriksa.
"Ki Nalaraya, Gusti Prabu!"
Prabu Siliwangi tersentak kaget. Serta-merta ia menatap pada Walangsungsang bergantian menatap Nyimas
Rarasantang. "Persengkongkolan apa yang telah kalian rancang?" hardik Prabu Siliwangi.
Ruangan itu terasa bergetar hebat seiring hardikan Prabu Siliwangi yang memekakkan telinga. Ta k ada
jawaban. "Suruh dia masuk!" perintahnya kemudian.
Ki Nalaraya masuk ke ruangan dan menghormat takzim. Prabu Siliwangi memeriksa dengan saksama dari
ujung rambut sampai ujung kaki, dengan tatapan keheranan. Lalu ia mengangkat telunjuknya, serta-merta
angin berpusar. Ki Nalaraya berdiri kukuh tak terpengaruh oleh sedotan angin yang berpusat mengelilinginya,
angin yang keluar dari sela-sela jemari Prabu Siliwangi. Setelah melihat Ki Nalaraya tak bergeming, Prabu
Siliwangi memutar tubuhnya, berjalan menuju singgasananya.
"Duduklah!" perintahnya. Ki Nalaraya duduk di hadapannya mengatur jarak tertentu dengan Walangsungsang
dan Nyi mas Rarasantang yang duduk di sisi kiri dan kanan Prabu Siliwangi.
Pertemuan yang mencengangkan itu juga telah membuka tabir yang selama ini menyelimuti.
Prabu Siliwangi mendengar langsung dari mulut Ki Nalaraya kejadian-kejadian yang terjadi selama ini. Dari
mulut lelaki setengah tua yang sebagian rambutnya telah memutih itu, Prabu Siliwangi pun mendengar
penjelasan tentang bagaimana Nyi Kentring Manik yang terobsesi agar yang menjadi putra mahkota itu
Surawisesa dan bukan Prabu Anom Walangsungsang.
Pertemuan yang berlangsung hampir munculnya fajar itu, benar-benar telah membuka mata Prabu Siliwangi
yang selama ini terlalu menganggap bah wa istri-istrinya itu selalu manut, seperti manutnya para prajurit dan
para penasihat kerajaan. Sri Maharaja Prabu Siliwangi menunduk dalam. Ia seperti telah menemukan
kesadaran baru. Ternyata rasa cinta yang berlebihan pada istri-istrinya, telah memandulkan mata hati dan
instuisinya, sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya.
Prabu Siliwangi mendengus pada angin. Napasnya terasa berat dan detak jantung yang aneh.
Sebelum subuh Walangsungsang pamit, karena waktunya hampir habis. Prabu Siliwangi menahannya untuk
beberapa saat tapi baik Walangsungsang maupun Nyimas Rarasantang bersikeras untuk menyudahi pertemuan
itu. Ki Nalaraya sendiri ikut bersama-sama dengan Walangsungsang.
Prabu Siliwangi kemudian baik, sesuai dengan pemahaman dari sedikit ilmu Islam yang telah sampai kepada
mereka berdua. Mereka menutup malam itu dengan teramat indah, seindah matahari pagi di ufuk timur, warna
keperakan dan membias pada apa yang tersinarinya. Pada batu, pada pohon, pada akar-akar. Bahkan ketika
sinar keperakan itu membias pada embun lembut yang menggantung di pucuk rerumputan, seperti kilauan
mutiara yang tak habis-habisnya membangkitkan kekaguman. Rasa itulah yang akan dipelihara Ki Nalaraya.
Juga ia harapkan dari Ceuk Srinten.
******
Prabu Rajagaluh sedang melaksanakan pertemuan dengan para abdi dalem. Seluruh bupati, sentana,
mantri dan para penggede negeri sudah berkumpul. Adipati Palimanan, Ki Gedeng Kiban, pun telah menghadap
raja. Prabu Rajagaluh bicara.
"Aku dengar, Adipati Palimanan, tanah pantai yang dijadikan dukuh itu sudah banyak orang berkebun. Hasil
palawijanya selalu jadi rebutan para tengkulak dari Palimanan dan Rajagaluh. Bukankah itu daerah kekuasanmu, Adipati?" "Benar, Gusti!"
"Ceritakan padaku siapa mereka itu" Aku dengar penduduk di sana juga senang mencari ikan dan rebon di


Prabu Siliwangi : Bara Di Balik Terkoyaknya Raja Digdaya Karya E. Rokajat Asura di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laut, benarkah?" "Tidak salah lagi, Gusti!"
"Aku tertarik dengan tumbukan ikan rebon itu yang katanya sedap dan nikmat untuk dimakan. Tugasmu
sekarang, cobalah hubungi mereka, siapa petani dan nelayan itu! Aku yakin pasti ada yang menjadi pe?
mimpinnya. Karena ada di bawah kekuasaanmu, mulai sekarang tetapkan upeti kepada mereka. Bilang kepada
pemimpin penduduk di sana, Prabu Rajagaluh meminta upeti dalam setahun sepikul rebon yang halus dalam
bentuk gelondongan," titah Prabu Rajagaluh.
Ki Gedeng Kiban menerima perintah itu dan siap untuk melaksanakannya.
Selesai pertemuan Ki Gedeng Kiban memanggil tujuh orang ponggawa atau mantri. Ketika ketujuh ponggawa
itu sudah berkumpul, berkatalah Ki Gedeng Kiban.
"Hai ponggawa pepitu sekarang periksalah dukuh baru di pinggir pantai itu, ada berapa jumlah penghuninya
dan nelayan penangkap ikan rebon itu. Katakan kepada pemimpinnya bahwa setiap tahun wajib menyetor
upeti sepikul bubuk rebon halus dalam bentuk gelondongan. Periksalah dengan benar, Gusti Prabu sangat
menyenangi gelondongan bubuk rebon itu," perintah Ki Gedeng Kiban. Ketujuh ponggawa itu menerima
perintah dan segera melaksanakannya.
Menuju dukuh itu tidaklah terlalu jauh tapi menjadi terasa sangat lama karena banyak rintangan di perjalanan.
Mereka pun terheran-heran, jangan-jangan ini firasat akan mendapat pengalaman tidak menyenangkan di
dukuh baru itu. "Kita harus melaporkan kejadian ini kepada Adipati Palimanan," usul seorang ponggawa
"Tidak perlu, buang-buang waktu saja!"
"Aku khawatir akan terlalu lama kita sampai ke sana, padahal jaraknya lidak terlalu jauh. Bagaimana kalau
Adipati curiga dan menganggap kita tidak sungguh- sungguh melaksanakan tugas ini?" tanya ponggawa lain.
Akhirnya mereka berembuk, dan hasilnya tujuh ponggawa itu dibagi dua kelompok, satu kelompok
meneruskan perjalanan dan kelompok kedua kembali menghadap Adipati Palimanan.
Ki Gedeng Kiban hanya tercenung mendengar laporan yang dipandangnya aneh tersebut.
"Berjalanlah kalian lurus, jangan sekali-kali melihat ke belakang. Apa pun yang terjadi, pandangan harus lurus
ke depan," ungkap Ki Gedeng Kiban setelah beberapa saat termenung. Para ponggawa itu melanjutkan
perjalanan. Mereka kini diberi keleluasaan, tak perlu risau dengan waktu tempuh yang bisa molor, yang penting
asal jangan saat Prabu Rajagaluh menanyakan perkembangan dukuh itu, kita belum punya gambaran apa-apa.
Setelah ada kesepakatan seperti itu, ketiga ponggawa pelapor menjadi lebih bersemangat. Kejadian ini terus
jadi bahan pikiran Adipati Palimanan.
Pinggir luar dukuh itu sudah ada di depan mata. Orang-orang sibuk bekerja, bertani dan berkebun.
Kehidupan mereka pun terlihat lebih sejahtera dibanding beberapa pedukuhan yang pernah dilewati utusan
Adipati Palimanan tersebut. Ki Cakrabumi saat itu sedang berkumpul bersama adik dan istrinya, sesaat setelah
pulang dari ladang. Sekalipun istirahat tapi tidak benar-benar bebas dari kegiatan, lihat saja sekarang, mereka
sedang menumbuk rebon. Beberapa orang tengkulak hilir-mudik di halaman, menunggu hasil bubuk rebon
gelondongan itu. Seorang bocah datang tergopoh.
"Ki Cakra...Ki Cakra..." teriak bocah itu, napasnya masih terengah-engah.
"Ada apa, Nak?" Ki Cakrabumi memeriksa, menghentikan pekerjaannya ketika melihat anak itu seperti dikejarkejar binatang buas. "Itu...Ki Cakra...ada tujuh ponggawa datang... menuju ke arah sini....Mereka akan menyerang dukuh kita, Ki
Cakra!" jelas anak itu. Mendengar ada tamu yang datang, Ki Cakrabumi hanya tersenyum. Sambil memberi
minum kepada anak kecil itu, Ki Cakrabumi meneruskan bicaranya.
"Nggak apa-apa...barangkali mereka itu mau membeli bubuk rebon. Sudah, sekarang kamu istirahat saja,
minum dulu ya...atur napasmu jangan terengah- engah begitu!"
Anak itu mengangguk lalu pamit. Cakrabumi meneruskan pekerjaanya. Para tengkulak rebon berebut saling
mendahului, berdesak-desakan takut tidak kebagian bubuk rebon. Begitulah memang pemandangan sehari-hari
manakala Cakrabumi sedang menumbuk rebon. Sebelum bubuk rebon itu selesai, calon pembeli justru telah
antri. Sambil menunggu bubuk rebon para tengkulak itu tak henti-hentinya berceloteh:
"Oga age geura age, geura bebek !"
Cakrabumi, istri dan adiknya terus menumbuk memenuhi permintaan mereka. Para tengkulak itu terus
berceloteh "oga age, geura age...oga age geura age..." sehingga akhirnya pedukuhan yang dibuka Cakrabumi
itu kemudian termasyhur dengan nama Grage.
Belum sapanyeupahan, tujuh ponggawa utusan Palimanan datang. Mereka memeriksa dukuh baru itu.
Berdasarkan catatan mereka, dukuh baru yang dikenal sebagai Dukuh Grage itu sudah dihuni tidak kurang oleh
346 orang. "Sampurasun, Ki Sanak!" ujar seorang ponggawa ketika bertemu dengan Ki Cakrabumi.
"Rampes, Ki Semah, mari masuk!" ajak Cakrabumi. Para tamu masuk, sementara Cakrabumi membersikan
tangan di belakang, menghilangkan bau amis yang menempel. Setelah berganti pakaian, Cakrabumi
menghadapi para tamu. Pemimpin ponggawa itu kemudian mengutarakan maksud dan tujuannya. Cakrabumi
mengangguk menyetujui aturan tersebut.
"Adipati Palimanan sangat terasih dengan bubuk rebon hasil olahan kalian di sini!"
"Kalau memang itu telah menjadi kewaji ban kami, tentu akan kami penuhi. Untuk satu pikul bu buk rebon
selama setahun menurutku tidak terlalu memberatkan. Haturkan salam dari kami kepada Gusti Adipati," ujar
Cakrabumi tanpa merasa keberatan, la justru sedang berpikir, seandainya bisa menjalin hubungan baik dengan
para pejabat negeri, tentu akan memudahkan urusannya. Ia sedang membayangkan urusan besar di
depannya. "Karena Adipati Palimanan sangat terasih dengan bubuk rebon itu, mulai sekarang aku namakan saja bubuk
rebon itu dengan nama terasi. Bagaimana, apa kau tidak keberatan?"
"Oh, terima kasih, dulu kami justru tidak terlalu memikirkan hal itu," jawab Cakrabumi. Sementara itu adik dan
istrinya mengintip dari ruang belakang. Mereka rupanya khawatir kedatangan ketujuh tamu itu akan
mengancam keselamatan Cakrabumi.
"Adipati Palimanan juga tidak lupa menghaturkan salam kepada Andika. Beliau pun ingin mengetahui
bagaimana cara menangkap rebon itu dan mengolahnya menjadi terasi. Ceritakanlah kepada kami, untuk
menyenangkan hati Adipati!" pinta seorang ponggawa.
"Tentu saja kami tidak keberatan. Jangankan untuk menyenangkan hati Gusti Adipati, siapa pun yang bertanya
tentu akan kami jawab dengan senang hati.
Dalam agama kami, setiap setetes ilmu akan bermanfaat manakala diamalkan dan diajarkan kepada orang
lain," jelas Cakrabumi. Para ponggawa itu hanya saling pandang; "Cara menangkap rebon sama seperti
menangkan ikan di laut, dengan jala tiap malam, lalu pagi-pagi sekali jala itu diambil. Kalau sedang beruntung,
rebon-rebon itu terkumpul dalam jala. Rebon hasil tangkapan itu kami garami dan dibiarkan beberapa saat.
Setelah cukup waktu sampai garam meresap, rebon- rebon diperas dan hasilnya dijemur. Nanti setelah kering
lalu ditumbuk dan digelondongi, demikianlah tak ada yang kami rahasiakan lagi!" ungkap Cakrabumi.
Ketujuh ponggawa itu mengangguk, mengerti dengan apa yang baru dijelaskan tuan rumah.
"Sebentar, Ki Cakra, kau ke manakan air perasan rebon itu?" tanya salah seorang ponggawa. Sebelum
Cakrabumi menjawab, di depan terjadi keributan.
Rupanya para tengkulak yang sedari tadi menunggu telah tidak sabar sehingga satu demi satu menyerbu ke
dapur. Sebelum kekacauan terjadi, Cakrabumi bertindak cepat mengamankan suasana.
"Kalau kalian tidak sabar, kami tak akan bisa menyelesaikan pekerjaan ini," Cakrabumi memberi pengertian.
Terdengar para tengkulak teriak-teriak. Melihat keadaan seperti itu ketujuh ponggawa dari Palimanan ingin
membereskannya namun cepat-cepat dilarang oleh Cakrabumi. Bagaimana pun mereka adalahlangganan yang
selama ini telah turut membesarkan usaha para pengarajin terasi ini, katanya.
"Kalau tak keberatan, tolong jaga di depan agar
keributan ini tidak berlanjut," pinta Cakrabumi. Ketujuh
ponggawa itu membereskan antrian dan menjaga agar tidak terjadi keributan. Rupanya karena memang
dijaga oleh para ponggawa, tak ada seorang pun yang berani berbuat macam-macam. Cakrabumi bisa
menyelesaikan pekerjaannya. Lalu membagi-bagikan kepada para langganan itu sesuai dengan jumlah
pesanan mereka, sementara sisanya dibungkus untuk dipersembahkan kepada Adipati Palimanan.
"Kami masih penasaran, Ki Cakra, kau kemanakan air perasan terasi itu" Tentu saja cukup banyak!"
"Oh, ya, aku hampir lupa. Air perasan air rebon ini dimasak dengan diberi bumbu-bumu. Masakan perasan air
rebon menurutku lebih enak. Kami menamakan Petis Bendrang," ungkap Ki Cakrabumi.
"Boleh aku mencicipinya, Ki Cakra?"
"Tunggulah sebentar, kami masih memasaknya!" Selesai memasak, petis Bendrang itu disajikan. Mereka makan
bersama. Para ponggawa terlihat lahap sekali. Petis Bendrang ternyata lebih gurih dan membangkitkan selera.
"Perasan Cai Rebon lebih enak ketimbang terasinya," komentar seorang ponggawa. Selesai makan ponggawa
kepala mengumumkan kepada penduduk Dukuh Grage, agar mengganti nama dukuh ini dengan Cai Rebon
yang lama kelamaan menjadi Cirebon.
Seiring penetap nama menjadi Dukuh Cirebon, mulai ditetapkanlah aturan dan tata tertib sebaimana layaknya
sebuah pedukuhan. Paling tidak harus ada seorang pemimpin yang akan menggerakkan rakyat serta
membangun pedukuhan itu sesuai dengan garis yang telah ditetapkan Adipati Palimanan. Dipimpin ponggawa
Palimanan, mereka mengadakan rembugan.
"Kenapa tidak kita angkat saja Ki Cakrabumi sebagai pemimpin dukuh ini, Kakang?" usul seorang utusan
Palimanan. "Tidak semudah itu! Kita harus kumpulkan penduduk pedukuhan ini, untuk memilih siapa menurut mereka yang
pantas menjadi pemimpin di sini," usul ponggawa yang lain.
"Aku kan sudah tua, lebih baik yang muda-muda saja yang memimpin dukuh ini," ungkap Ki Gedeng AlangAlang ketika dimintai pendapatnya. Ki Cakrabumi menimpali.
"Justru karena sudah sepuh, akan lebih baik memimpin dukuh ini. Agar dengan segala kebijaksanaan dan
pengalamannya menghadapi kehidupan ini, bisa membawa dukuh ini ke arah yang lebih baik. Insya allah."
"Kalau begitu tidak ada salahnya usul dari utusan Palimanan ini, untuk menyerahkan semuanya kepada rakyat
yang telah menetap di dukuh ini," jelas Ki Gedeng Alang-Alang.
Dikumpulkanlah penduduk dukuh Cirebon di lapangan cukup besar. Setelah semuanya kumpul, seorang utusan
Palimanan mengumumkan maksud dan tujuan kenapa mereka dikumpulkan. Sebagai calon pemimpin dukuh
saat itu diajukan tiga orang calon yaitu Ki Gedeng Alang-Alang, Ki Cakrabumi dan seorang nelayan pendatang
yang sebenarnya kurang begitu paham dalam urusan memimpin pedukuhan.
Tidak mengherankan ketika diajukan ke depan, calon ketiga tersebut dengan legowo mengundurkan diri.
"Aku tidak pintar untuk memimpin pedukuhan. Lagipula aku baru beberapa saat diam di pedukuhan baru ini.
Alangkah tidak pantasnya kalau aku memaksakan diri untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin pedukuhan
ini. Aku yakin nanti pgnduduk juga akan memilih satu dari kedua tokoh yang telah kita ketahui bagaimana
perannya dalam mengembangkan dukuh ini. Dengan segala hormat kepada kasepuhan Ki Gedeng Alang-Alang
dan sahabat serta guru saya yang terhormat, Ki Cakrabumi, saya mengundurkan diri dari pemilihan ini," jelas
lelaki bertubuh tegap itu.
Semua hadirin bertepuk tangan merasa senang dan kagum dengan kebesaran hatinya. Kendati dia sendiri
dicalonkan oleh sekelompok orang yang telah pula mengetahui bagaimana sepak terjangnya selama berada di
Dukuh Cirebon. "Baiklah, dengan mengundurkan diri salah seorang calon, berarti sekarang hanya tinggal ada dua orang
calonpemimpin Dukuh Cirebon ini yaitu Ki Gedeng Alang- Alang dan Ki Cakrabumi. Nah, sekarang kalian semua
harus memilih siapa di antara kedua calon pemimpin ini. Caranya cukup sederhana, cukup dengan masingmasing maju ke depan dan menunjuk pemimpin yang kalian inginkan. Kami semua akan mencatatnya," jelas
salah seorang utusan Palimanan.
Dimulailah pemilihan langsung itu.
Sementara itu Ki Gedeng Alang-Alang dan Ki Cakrabumi duduk di atas bangku dengan ditutup kepala. Hal ini
dimaksudkan agar pemilihan itu berlangsung dengan jujur dan disaksikan oleh semua pemilih tanpa diketahui
oleh yang dipilihnya. Pemilihan langsung itu dimulai. Seorang penduduk menunjuk ke arah Ki Cakrabumi, lalu petugas mencatat
hasilnya di atas tanah lapang itu.
Penduduk yang kedua menunjuk Ki Gedeng Alang-Alang, kemudian petugas pencatatan melakukan hal yang
sama yaitu mencatatnya di atas tanah lapang.
Begitulah seterusnya hingga semua pemilih telah menentukan pilihannya. Setelah selesai pemilihan, kemudian
penutup mata Ki Gedeng Alang- Alang dan Ki Cakrabumi dibuka. Disaksikan utusan Palimanan, masyarakat
pemilih dan kedua calon pemimpin dukuh itu, penghitungan dimulai. Ternyata setelah dilakukan berkali-kali
penghitungan, mereka merasa yakin bahwa perhitungannya tidak salah. Hasilnya Ki Gedeng Alang-Alang
unggul satu suara dibanding Ki Cakrabumi.
Dengan demikian saat itu juga utusan dari Palimanan menetapkan Ki Gedeng Alang -Alang sebagai kuwn
Dukuh Cirebon dan Ki Cakrabumi sebagai wakilnya. Sehari setelah pemilihan dilaksanakan, utusan Adipati
Palimanan pulang untuk melaporkan hasilnya.
Dalam waktu singkat Ki Gedeng Alang-Al ang telah terkenal sebagai kuwu Dukuh Cirebon. Nama nya semakin
termasyhur karena berhasil mengembangkan pembangunan dukuh itu. Masyarakatnya terkenal rajin bekerja,
kehidupan mereka makmur tidak kurang suatu apa.
Penduduk yang bertani berhasil dalam pertaniannya, sehingga tidak saja mencukupi untuk dimakan tapi bisa
menyisihkan untuk dijual atau ditukar dengan barang lain. Demikian pula penduduk yang sehari-harinya
menjadi nelayan. Ki Gedeng Alang-Alang secara rutin setiap tahun memberikan upeti kepada Adipati Palimanan
berupa segelondongan terasi buatan Ki Cakrabumi sekeluarga.
Matahari hampir tenggelam di garis cakrawala ketika seorang tamu yang mengaku santri dari Gunung Jati,
bertamu dan bermalam di rumah Ki Gedeng Alang- Alang. Keesokan harinya ia menitipkan tas.
"Aku mau bertemu dengan Syaikh Nurjati. Tidak sopan rasanya kalau harus membawa barang ini. Aku titipkan
kepada Ki Kuwu tas ini, nanti sepulang dari Syaikh Nurjati aku akan ambil kembali," jelas santri tersebut.
"Kalau kau percaya, Nak, silakan saja. Aku tidak keberatan untuk dititipi tas ini," jelas Ki Gedeng Alang- Alang.
Santri itu kemudian keluar dan meneruskan perjalanannya. Setelah santri itu tidak terlihat lagi, Ki Gedeng
Alang-Alang memanggil Nyimas Rarasantang.
"Nyai, ada seorang santri yang akan bertemu dengan Syaikh Nurjati menitipkan tas ini. Simp anlah baik-baik
agar jangan sampai terbuka apalagi hilang. Nanti ketika santri itu pulang, berikan tas ini," ungkap Ki Gedeng
Alang-Alang. Nyimas Rarasantang mengangguk.
"Baiklah, Ki, aku akan menyimpan tas ini," Nyimas Rarasantang menerima tas itu kemudian beringsut dari
hadapan Ki Gedeng Alang-Alang.
Saat sendiri di dalam kamar, rasa penasaran untuk membuka tas itu tak bisa dikendalikan. Dilihatnya lekatlekat, namun tetap tidak bisa mengetahui apa sebenarnya isi tas tersebut. Kenapa harus dititipkan di sini" Kalau
dibawa pun tidak akan memberatkan selama di perjalanan, gumam Nyimas Rarasantang.
"Aku harus membukanya, biar tahu apa sebenarnya isi tas ini!" desak batinnya. Lupa sudah bahwa ia sedang
memegang amanat. Sebelah hatinya melarangnya. "Jangan! Tas ini milik orang lain. Kalau kau membukanya
berarti berkhianat."
"Ah, buka saja! Bagaimana kalau isinya ternyata membahayakan, bukankah bisa mengancam keselamatan
kau, Rarasantang?" "Benar juga!" "Cepatlah buka!"
"Jangan, Rarasantang! Kau diberi amanat, jangan coba-coba khianat!"
"Ah, kenapa takut" Toh di kamar ini tidak ada siapa- siapa dan nanti setelah dibuka, kau bisa menutupnya
kembali, Ki Gedeng Alang-Alang pun pasti tidak akan mengetahuinya."
"Buka?" "Buka saja!" "Jangan!" "Buka!" "Jangan!" Pergulatan semakin memuncak, saling mendesak seperti antrian penonton bola yang tak kebagian tiket.
Nyimas Rarasantang tak kuasa didera rasa itu. Akhirnya dengan perasaan waswas takut ketahuan oleh Ki
Gedeng Alang-Alang, akhirnya Nyimas Rarasantang membuka tas titipan santri tersebut. Ketika dibuka, ia
menemukan cupu hijau. Entah kenapa ketika ia memegang cupu itu, hatinya bergetar hebat. Akibat hebatnya
geta ran itu tangannya bergetar sehingga cupu hijau itu hampir terjatuh.
"Aku harus membuka apa isi cupu ini," pikir Nyimas Rarasantang.
Dengan mengatur napas agar tidak terlalu memburu, ia mulai membuka cupu hijau tersebut; "Ya, ampun,
ternyata isinya air. Wangi sekali air ini..." Nyimas Rarasantang lagi-lagi tersentak kaget. Lama ia memandangi
Blind Date 1 Lima Sekawan Patung Dewa Aneh Iblis Dan Bidadari 3

Cari Blog Ini