Ceritasilat Novel Online

Panah Kekasih 12

Panah Kekasih Karya Gu Long Bagian 12


Perempuan berbaju merah itu tampak ingin mengejar, tapi akhirnya dia urungkan niat tersebut, setelah menghela napas dia pun duduk kembali.
Dengan perasaan penuh amarah Tian Mong-pek berlarian turun gunung, pikirnya dengan rasa dendam: "Aku begitu baik kepadanya, bersedia angkat saudara, kenapa dia berniat mencelakai diriku?" Kini, dia hanya ingin secepatnya menemukan Yo Swan dan menanyakan persoalan itu hingga jelas.
Setelah berlarian berapa saat, dalam waktu singkat ia sudah menyaksikan batu prasasti ditengah lautan bunga itu.
Diluar batu prasasti itu terlihat ada sesosok bayangan manusia sedang bergerak mendekat.
Diluar batu prasasti itu terlihat ada sesosok bayangan manusia sedang bergerak mendekat.
Tian Mong-pek sama sekali tidak menghentikan langkahnya, dia sambut kedatangan orang itu.
Begitu mengetahui wajah Tian Mong-pek, bayangan manusia itu kelihatan terperanjat dan segera menghentikan langkahnya.
Ternyata orang itu adalah Yo Swan, menurut perkiraannya, saat itu seharusnya Tian Mong-pek sudah mampus ditangan Kun-lun-siang-coat, jadi dia secara khusus naik keatas bukit dengan niat untuk mengambil jenasahnya.
Sepanjang perjalanan, otaknya berputar terus menyusun rencana, berpikir bagaimana harus berbicara.
Tentu saja dia harus memberi penjelasan terlebih dulu kalau dia adalah murid istana Au-sian-kiong, maka Kun-lun-siang-coat dengan memandang muka Lan Thian-jui pasti tak akan menyusahkan dirinya.
Maka, diapun dapat membawa pulang jenasah Tian Mong-pek dengan mudah, membawanya balik ke istana Au-sian-kiong .
. . . . . .. Sementara ia sedang melamun dengan penuh rasa girang inilah, sama sekali diluar dugaan, ternyata Tian Mong-pek telah turun gunung dalam keadaan hidup.
Dalam terperanjatnya, tanpa sadar ia menjerit: "Kau.....
kau belum mati!" "Tentu saja belum." Jawab Tian Mong-pek ketus, hawa amarah membara dalam dadanya.
Berputar sepasang biji mata Yo Swan, tiba-tiba dengan wajah berseri, jeritnya: "Ooh, ternyata Thian memang maha pengasih, akhirnya kau berhasil dengan misimu!" Menyaksikan tingkah laku lawannya, untuk sesaat kembali Tian Mong-pek dibuat tertegun.
Sambil menggenggam tangan Tian Mong-pek, kembali seru Yo Swan: "Aku sangka kau sudah terbunuh ditangan mereka, karena itulah dengan II segala resiko aku berniat menyusulmu keatas gunung .
. . . . . .. Lalu dengan air mata bercucuran, lanjutnya: "Jite, bila kau mati, aku akan balaskan dendam bagi kematianmu itu, walau nyawaku jadi taruhannya, sungguh beruntung Thian maha pengasih .
. . . . .. Thian maha pengasih . . . . . . . .." Berbicara sampai disini, butiran air mata telah bercucuran membasahi pipinya, saking gembiranya dia sampai menangis.
Tian Mong-pek merasakan hawa panas bergelora dalam dadanya, pikir pemuda ini: "Bila dia berniat mencelakaiku, buat apa musti menyusul ke gunung untuk menolongku" Kelihatannya diapun sudah dibohongi orang lain!" Sementara itu Yo Swan sedang menyepa air matanya, dari celah celah jari tangan, ia mencuri pandang perubahan mimik muka lawan.
Begitu melihat hawa amarah sudah lenyap dari wajah Tian Mong-pek, Yo Swan jadi kegirangan, kembali ujarnya: "Jite, mana ular beracun merah itu" Aku .
. . . . . . .." "Aai, siaute gagal mendapatkannya." Jawab Tian Mong-pek sambil menghela napas.
Yo Swan sengaja tertegun, bisiknya agak bingung: "Se...
sebetulnya apa yang telah terjadi?" Dalam hati kembali Tian Mong-pek menghela napas, pikirnya: "Dia begitu perhatian terhadapku, andaikata dia tahu kejadian yang sebenarnya, tahu kalau aku telah salah menuduhnya, mungkin dia akan merasa amat sedih, lebih pedih daripada perasaanku." Berpikir begitu, jawabnya kemudian setelah menghela napas: "Aai, panjang sekali untuk diceritakan, siaute harus naik gunung sekali lagi, toako, tunggulah aku selama tiga hari, bila tiga hari kemudian siaute tetap tidak muncul .
. . . . . . .." "Setelah berhasil turun gunung, jangan sekali-kali kau mencoba untuk naik lagi!" cegah Yo Swan dengan wajah berubah.
Tian Mong-pek menggeleng, tiba tiba dari arah belakang terdengar seseorang sedang memanggilnya, buru buru dia mendorong tubuh Yo Swan seraya berseru: "Toako, cepat turun gunung .
. . . . . . .." Suara panggilan itu semakin mendekat, tidak sempat lagi menyelesaikan perkataannya, pemuda itu membalikkan badan, menyongsong datangnya suara panggilan itu.
"Jite," teriak Yo Swan, "biar toako menemanimu .
. . . . .." Langkah kakinya bukan maju, sebaliknya justru membalikkan tubuh dan kabur ke bawah, dalam waktu singkat ia sudah meninggalkan pintu "Mo-ji-bun" atau pintu jangan masuk.
Sejujurnya dia sendiripun merasa tercengang bercampur tak habis mengerti, dia tak tahu kejadian apa yang telah dialami Tian Mong-pek diatas gunung,.
Dalam keadaan begini, terpaksa dengan membawa perasaan kebat kebit ia menuruni bukit itu.
Hari pertama lewat dengan begitu saja, pada hari kedua persediaan rangsum mulai habis, masih untung diatas gunung terdapat mata air yang bisa digunakan untuk menghilangkan dahaga, barulah pada hari ke tiga ia merasa tersiksa dan sengsara.
Tapi hingga senja hari ke tiga, Tian Mong-pek belum juga turun gunung.
Perasaan hatinya kalut tak karuan, sebentar sedih sebentar gembira, sebentar curiga sebentar takut, pikirnya berulang kali" "Tiga hari sudah dia naik gunung tapi belum nampak bayangan tubuhnya, sudah pasti ia telah mampus disana!" Kalau dibilang hal mana merupakan dugaannya, lebih tepat kalau dikatakan, inilah yang paling diharapkan.
Oo0oo Sewaktu mendengar ada suara panggilan, cepat Tian Mong-pek menyusul kearah sumber suara itu, betul saja, ia saksikan perempuan berbaju merah itu sedang bergerak mendekat.
"Ada apa cianpwee?" tanya Tian Mong-pek sambil menghentikan langkahnya.
"Sebetulnya aku enggan mencampuri urusan pribadimu, tapi tiba tiba teringat kalau tujuanmu turun gunung, besar kemungkinan karena hendak mencari orang yang menipumu, karena itulah buru buru aku menyusul kemari." Tian Mong-pek segera merasakan jantungnya berdebar keras, buru buru katanya: "Dalam gusarku tadi, sebenarnya cayhe berniat mencari orang itu, tapi aku duga ia pasti sudah melarikan diri, jadi baru sampai setengah jalan sudah kembali." Sambil menghela napas perempuan berbaju merah itu manggut manggut, katanya: "Betul, bila dia berniat menipumu, buat apa masih menunggu dibawah bukit?" Selama hidup, belum pernah Tian Mong-pek berbohong, tapi sekarang, demi saudara angkatnya, mau tak mau terpaksa ia harus berbuat begitu, kendatipun demikian, sewaktu bicara kedengaran agak gagap, muka pun ikut berubah merah jengah.
Untungnya perempuan berbaju merah itu sedang ada urusan dalam hati kecilnya, sehingga bukan saja tidak menaruh perhatian, sebaliknya malah mengiakan.
Diam-diam Tian Mong-pek menghembuskan napas lega, cepat dia mengalihkan pembicaraan ke soal lain, katanya: "Tampaknya masih ada banyak urusan yang ingin cianpwee bicarakan denganku, masalah apa saja?" Untuk berapa saat perempuan berbaju merah itu hanya termangu-mangu, lambat laun penderitaan terlintas diwajahnya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia berbalik menuju ke atas bukit.
Tanpa bicara Tian Mong-pek mengintil dari belakang.
Lewat berapa saat kemudian, perempuan itu baru menghela napas panjang, gumamnya: "Dua puluh tujuh tahun, sudah dua puluh tujuh tahun, tahukah kau?" Tian Mong-pek hanya melongo, dia tak tahu bagaimana harus menjawab ucapan itu.
Sesudah menghela napas, kembali perempuan berbaju merah itu melanjutkan: "Selama dua puluh tujuh tahun, belum pernah kutinggalkan pintu Mo-ji-bun barang setengah langkah pun, aku tidak tahu bagaimana situasi dunia persilatan saat ini?" "Situasi dunia persilatan masih sama seperti dulu, demi nama dan pahala, orang saling membunuh, saling menipu dan saling menjegal! Intrik busuk tak pernah berubah, mungkin sampai seribu tahun lagipun keadaan tak akan berubah." Perlahan perempuan berbaju merah itu mengangguk, tiba tiba tanyanya: "Apakah belakangan, keadaan Tiau-yang hujin dan Liat-hwee hujin baik-baik saja" Apakah mereka sudah menikah?" "Beluml" pemuda itu menggeleng.
"Aai, sedari dulu, perempuan berparas cantik selalu bernasib jelek, sejak awal aku sudah tahu, mereka tak bakal mendapatkan pasangan hidup yang serasi, yaa, mereka tentu kesepian." Tian Mong-pek tidak tahu bagaimana harus menjawab, dia hanya mengintil dibelakangnya dan balik ke kebun bunga seruni.
Ditengah sisa cahaya matahari senja, ia merasakan pula kesenduan dihati perempuan ini.
Ia tahuy, dimasa lalu perempuan ini pasti pernah mengalami masa yang gemilang, tapi dengan berjalannya sang waktu, segala sesuatunya kini sudah hilang lenyap terbawa arus.
Perempuan berbaju merah itu menghentikan langkahnya, tiba tiba berkata sambil tertawa sedih: "Aku hanya mengajakmu berbicara terus, sampai lupa kalau seharusnya suruh kau pergi dari sini!" "Cayhe masih harus menunggu Thian-heng lojin disini." "Aai, perangainya kasar dan berangasan, watak busuknya sudah tersohor sejak dulu, lebih baik cepatlah tinggalkan tempat ini, biar aku saja yang menghadapinya." "Sepanjang hidup, belum pernah cayhe ingkar janji." "Bila dia berniat mencari gara-gara, siapa pun tak sanggup menghalanginya, buat apa kau musti cari penyakit" Apalagi jika urusan jadi buntu, kemungkinan besar .
. . . . . . . .." "Sekalipun aku harus tewas ditempat ini, aku tak akan ingkar janji," tukas Tian Mong-pek, "apalagi aku memang terlalu gegabah, jadi pantas kalau mendapat hukuman." "Hah, ternyata kau pun berani mengaku salah?" bisik perempuan itu keheranan.
"Kalau sudah salah, tetap salah, kenapa tak berani mengakui" Bila tak berani mengaku salah, bukankah dia seorang dungu yang tak berotak" Kalau sudah mengaku salah, sepantasnya mendapat hukuman, sekalipun bakal dibacok dengan golok, hukuman tetap harus diterima, mana boleh aku kabur dari tanggung jawab?" Sekulum senyuman segera tersungging dibibir perempuan itu, pikirnya: "Dasar anak baik .
. . . . . . . .." Tiba-tiba terdengar suara dari kejauhan, perempuan itu segera berkata: "Dia sudah datang, aku tak ingin tinggal lebih lama disini, baik baiklah jaga diri!" Belum lama dia berlalu, Kongsun Thian-heng yang tinggi besar telah muncul di tempat itu, ditatapnya Tian Mong-pek berapa kejap, lalu tegurnya: "Bocah muda, ternyata kau belum pergi." "Mau menghajar, mau menghukum, silahkan saja kau lakukan!" "Kalau harus dihukum, hukuman tak boleh terlalu ringan, memang kau sanggup menjalaninya?" "Selama hukuman itu cengli dan bisa diterima akal sehat, aku akan melaksanakannya." Kongsun Thian-heng tertawa terbahak-bahak.
II "Hahaha, anak muda, kau pintar sekali, serunya, "setelah mengetahui nama besarku, kau tak berani melawan, atau kau menginginkan hukuman yang agak ringan?" "Kalau aku merasa bersalah, mau jatuhkan hukuman seperti apapun pasti II akan kulaksanakan, sahut Tian Mong-pek gusar, "tapi kalau aku merasa tak bersalah, jangan harap aku mau menyerah dengan begitu saja!" "Kau telah mengobrak abrik kebun bungaku, andai lohu akan memotong sepasang tanganmu, masa kau tak akan melawan?" tanya orang tua itu sambil mengerdipkan matanya.
Kontan Tian Mong-pek berkerut kening, jawabnya: "Bunga yang rusak bisa ditanam kembali, tangan yang kutung tak akan tumbuh kembali, hukuman semacam ini tidak pantas, masa aku harus menerima dengan begitu saja?" "Hahaha, betul, masuk akal .
. . . . . . .." Setelah menghentikan tertawanya, dia melanjutkan: "Kalau memang begitu, kau seharusnya menanam kembali sebuah bunga seruni yang kau obrak abrik, hukuman ini pantas sekali bukan?" "Aku merasa kelewat enteng." Jawab Tian Mong-pek setelah termangu sejenak.
"Darimana kau tahu kalau enteng?" Kongsun Thian-heng tertawa dingin, "tahukah kau, bunga seruni yang kutanam adalah bunga langka, tidak gampang untuk menanamnya kembali!" "Jika kau sanggup, akupun pasti mampu." "Baik! Kalau begitu kau cangkul dulu semua tanah ditempat ini, cangkulanmu harus mempunyai kedalaman yang sama!" Diambilnya sebuah cangkul dan dilempar ke hadapan Tian Mong-pek, kemudian lanjutnya: "cangkul dari depan ke arah belakang, dari kiri menuju kanan, semua tanah harus dicangkul satu per satu, tak boleh pakai tehnik, mengerti?" Kemudian sambil balik ke rumah gubuknya, ia berteriak keras: "Bila semua tanah selesai dicangkul, panggil aku." "Blaaam!" ia menutup pintu rumahnya keras keras dan tidak pedulikan pemuda itu lagi.
Tian Mong-pek mendongakkan kepalanya memandang cuaca, kemudian pikirnya sambil menghela napas: "Mungkin aku harus mencangkul hingga esok hari sebelum selesai!" Tanpa bicara lagi dia mengambil cangkul itu dan mulai mengayunkan cangkulnya.
Begitu ayunan cangkul pertama dilakukan, seketika itu juga hatinya terasa tenggelam ke dasar jurang, ternyata tanah disana kerasnya bukan kepalang, biarpun dia sudah mencangkul sekuat tenaga, itupun hanya menghasilkan cangkulan sedalam berapa inci, sudah jelas tak mungkin ia selesaikan seluruh cangkulan tersebut dalam satu hari saja.
Sambil menggigit bibir dia mengayunkan cangkulnya tanpa berhenti, hingga rembulan tenggelam diujung langit, sepasang lengan terasa kaku dan kesemutan, hasil cangkulannya belum lagi mencapai setengah.
Memandang tanah garapannya yang belum selesai, tanpa terasa pemuda itu menghela napas panjang, diapun merebahkan diri ke tanah, pejamkan matanya dan tanpa sadar sudah terlelap tidur.
Ketika mendusin kembali keesokan harinya, tampak cahaya sang surya telah menyinari seluruh jagad, disisi tubuhnya kini bertambah dengan sepoci air bersih serta dua potong ransum, sementara pintu rumah rumah aneh itu tetap dalam keadaan tertutup.
Ketika menggeliatkan tubuh, ia meras sepasang lengannya lamat lamat terasa linu dan sakit, selesai bersantap pemuda itu kembali bekerja.
Jangka waktu yang ia gunakan untuk mencangkul tanah pada hari kedua ini jauh lebih lama ketimbang sebelumnya, namun sayang tanah yang berhasil dicangkul tidak sebanyak hari pertama, tanah yang belum terjamah masih tetap sangat luas.
Menyaksikan kesemuanya ini dia hanya bisa tertawa getir, tiba tiba saja pemuda itu merasa bahwa bekerja mencangkul jauh le bih menguras tenaga daripada bertempur sebagai jago persilatan, saat ini pula dia baru sadar kalau hukuman yang sedang dilaksanakan teramat sangat berat.
Pada saat mendusin dari tidurnya pada hari ke tiga, ia merasa semakin terpuruk dan sengsara.
Bukan hanya sepasang lengannya linu dan sakit, bahkan luka luka lama pun ikut meradang dan sakitnya bukan kepalang.
Tak heran kalau pekerjaan yang dilakukan pada hari ke tiga ini jauh lebih sengsara dan tersiksa, ibarat setiap cangkulan harus dibayar dengan setetes keringat.
Coba berganti orang lain, biar tidak menghentikan pekerjaan setengah jalan pun, paling tidak pekerjaan itu akan dilakukan dengan tehnik lain.
Tapi dasar keras kepala, sambil gigit bibir dia tetap melakukan pekerjaan itu dengan sungguh sungguh, bukan Cuma wajahnya tetap riang, mengeluh pun tidak.
Sekalipun tiada orang yang mengawasi, namun setiap jengkal tanah dicangkul nya dengan kedalaman yang sama.
Ketika mencangkul pada bidang tanah terakhir, senja telah menjelang tiba, kini ia tampak dekil sekali, tanah bercampur peluh membuatnya sangat kotor dan bau, bahkan tanah yang dicangkul terasa lebih keras dari batu cadas.
Ia membutuhkan waktu hampir satu jam untuk mencangkul tanah ini, disaat cangkulnya menyentuh kedalaman tanah inilah, mendadak .
. . . .. "Traaang!" ujung cangkulnya seakan membentur benda logam yang keras.
Bab 26. Karena bencana mendapat berkah.
Sewaktu ditengok, ternyata dalam tanah muncul sebuah peti besi kecil, maka dia pun mengayunkan kembali cangkulnya untuk mengeluarkan peti tadi.
Sampai akhirnya pemuda itu benar-benar kehabisan tenaga, jatuh terduduk ditanah.
Saat ini, bila dia diharuskan mengayunkan kembali cangkulnya, pada hakekatnya pemuda itu sudah tidak bertenaga lagi.
Sampai lama kemudian, ia baru sanggup berteriak: "Sudah selesai .
. . . . .. sudah selesai . . . . . . . .." Kembali lewat berapa saat, Thian-heng lojin baru muncul dari balik rumahnya sambil bertanya: Il "Sudah selesai semuanya" Cepat betul cangkulanmu, cepat sekali .
. . . . .. Sambil bergendong tangan dia periksa sekeliling tempat itu satu lingkaran, kemudian katanya: "Biar lohu kerjakan sendiripun paling tidak butuh dua tiga hari untuk menyelesaikannya, aku rasa kau main tipu muslihat!" "Bila kurang percaya, kenapa tidak kau cangkul sendiri?" teriak Tian Mong-pek gusar.
Biarpun sedang kelelahan dan kehabisan tenaga, teriakan yang dilakukan dalam keadaan gusar ini tetap keras bertenaga.
Mendengar itu, Thian-heng lojin tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, baik, baiklah, anggap saja lohu percaya, bila ingin pergi dari sini, pungut peti besi itu dan segera tinggalkan bukit ini!" "Kenapa aku harus pungut peti besi itu?" "Sudah tahu apa isi peti itu?" "Biarpun berisikan zamrud, berlian atau mutu manikam, aku tak bakal sudi membawanya." Jerit Tian Mong-pek sewot.
"Hahaha, boleh saja kau buang zamrud atau mutu man ikam, sayangnya dalam peti itu berisikan cara menanam bunga, kalau tidak kau ambil, lalu bagaimana caramu menanam bunga?" "Menanam bunga .
. . . . . .." Tian Mong-pek tertegun.
"Betul, menanam bunga! Kalau hanya membalik tanah belum cukup." "Bawa kemari bibit bunganya!" teriak pemuda itu sambil melompat bangun.
"Kalau tidak belajar bagaimana cara menanam bunga, dengan cara bagaimana kau hendak menanamnya?" "Masa menanam bunga pun harus belajar caranya?" Thian-heng lojin tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, belajarlah barang dua tiga tahun cara menanam bunga seperti apa yang tercantum dalam peti itu, dengan begitu kau baru tahu harus menggunakan cara apa untuk menanam bungaku ini!" "Dua tiga tahun?" Tian Mong-pek bertambah gusar, "rupanya kau berniat membodohi aku .
. . . . . . .." Belum selesai ucapan itu, tiba tiba perempuan berbaju merah itu sudah muncul disampingnya seraya berseru: "Kalau disuruh belajar, cepatlah turun gunung dan mempelajarinya, apa lagi yang hendak kau bicarakan?" "Tapi .
. . . . . .." "Tidak ada tapi tapian, cepat pergi .
. . . . .." tiba tiba perempuan berbaju merah itu mengerlingkan matanya memberi tanda, lalu sambil menarik lengan pemuda itu beranjak pergi dari sana.
Walaupun merasa keheranan, namun berhubung pemuda itu lemas tak bertenaga, tanpa terasa ia sudah terseret keluar dari kebun bunga itu.
"Hujin, lepaskan tanganmu, aku bisa jalan sendiri." Protes anak muda itu.
Perempuan berbaju merah itu tersenyum, sambil serahkan peti besi dan kantung sutera ketangan Tian Mong-pek, katanya seraya tertawa: "Cepatlah pergi dari sini, dua tiga tahun lagi datanglah menjumpai diriku." Pelbagai pertanyaan dan rasa curiga berkecamuk dalam benak Tian Mong-pek, tak tahan dia ingin bertanya, tapi tampaknya perempuan berbaju merah itu enggan mendengarkan lebih jauh, sambil tersenyum ia sudah membalikkan badan dan berlalu dari sana seringan asap putih.
Untuk berapa waktu pemuda itu hanya berdiri melongo, dia merasa setiap penghuni gunung itu tampak begitu misterius, kendatipun sudah peras otak, dia gagal untuk menebak apa maksud dan tujuan dari orang-orang itu.
Terdengar Thian-heng lojin dengan suaranya yang nyaring, berteriak dari kejauhan: "Hei bocah dungu, kalau kau gagal mempelajari cara menanam bunga, berarti kau memang goblok, manusia tak berguna, mengerti?" "Biar harus pertaruhkan nyawa pun, aku akan mempelajarinya." Jawab Tian Mong-pek marah.
"Hahaha, bagus, kalau sudah kau pelajari ilmu itu, jangan lupa untuk naik gunung dan bantu lohu menanam bunga." Suara gelak tertawa itu makin lama semakin menjauh sebelum akhirnya lenyap dari pendengaran.
Tian Mong-pek dengan tangan kanan menjinjing peti, tangan kiri memegang kantung sutera, untuk berapa saat dia hanya bisa berdiri termangu sebelum akhirnya beranjak turun gunung.
Ia merasa sepasang kakinya sangat berat, seperti digantungi beban beribu kati, setiap langkah harus dilakukan dengan bersusah payah dan menggunakan tenaga penuh.
Dengan susah payah akhirnya ia berhasil turun dari pintu Mo-ji-bun, waktu itu langit sudah gelap, bintang dan rembulan mulai bergelantungan di angkasa, cahaya yang redup, bayangan bunga yang samar, seakan terselubung oleh kain sutera tipis.
Ia bersandar disisi batu prasasti sambil beristirahat sejenak, ketika membuka kembali matanya, permukaan tanah terlihat lebih terang, rupanya cahaya bintang bertaburan di angkasa, rembulan mulai memancarkan cahaya keperakan.
Begitu dekat taburan bintang dan rembulan, seakan ia dapat meraihnya dengan mudah dari tempatnya berada.
Baru pertama kali ini dia merasa berada begitu dekat dengan angkasa, tubuhnya terasa makin lemas tak bertenaga, dalam keadaan seperti ini, dia sama sekali tak ingin bergerak.
Lewat berapa saat lagi, ia baru mengambil peti besi itu dan perlahan lahan membukanya.
Ternyata dalam peti itu berisikan dua buah botol, kecuali berwarna beda, bentuk maupun besar kecilnya sama satu dengan lainnya.
Selain itu terdapat pula dua jilid kitab serta selembar surat, huruf dalam surat itu telihat tegas dan kuat.
Dibawah sinar rembulan, terbaca surat itu berbunyi begini: "Obat berwarna putih dapat membantu untuk pulihkan kekuatan, kau bisa meneguknya sekarang, sementara obat berwarna merah punya kasiat membantumu melatih tenaga, gunakan disaat kau mulai berlatih ilmu yang tercatat dalam kitab itu." Tian Mong-pek berkerut kening, dia tak tahu bunga seruni macam apa yang harus ditanam dan mengapa harus berbuat begitu, bahkan harus minum obat sambil berlatih tenaga, satu kejadian yang aneh sekali.
Tapi saat ini dia benar-benar merasa kehabisan tenaga, dahaga bercampur lapar, tak tahan dia ambil obat putih itu, membuka penutupnya dan menelan semua isinya hingga habis.
Ternyata benda dalam botol berupa cairan putih, mirip sekali dengan susu kambing, sejak dibuka penutupnya, terendus bau harum semerbak, apalagi setelah ditelan, seluruh badan terasa dingin dan nyaman, semua dahaga dan rasa lapar hilang lenyap, semua kepenatan tersapu ludas, begitu cepat daya kerjanya membuat Tian Mong-pek nyaris tertegun dibuatnya.
Tapi tulisan yang tertera dalam surat itu membuatnya semakin kaget bercampur keheranan.
"Seruni dingin dari Giok-hu merupakan bunga seruni dari jenis langka, bersifat dingin, hidup didalam gua bawah tanah, tumbuh karena tenaga panas bumi dan pupus bila dipindah ke tempat lain.
"Bila ingin menanam bunga seruni ini ditempat lain, dibutuhkan tenaga pukulan berhawa positip untuk memeliharanya, tenaga pukulan berhawa positip itu tak lain adalah Kun-lun-lak-yang-jiu." Ketika ia membuka halaman kedua, maka terbacalah rahasia untuk berlatih ilmu tenaga dalam Kun-lun-lak-yang-jiu.
Untuk berapa waktu Tian Mong-pek hanya berdiri tertegun, ia merasa kaget, keheranan dan terharu.
Ternyata Thian-heng lojin menyiksanya dengan pelbagai cara, tak lain karena ingin mewariskan ilmu Lak-yang-sin-ciang yang maha sakti itu .
. . . .. Coba kalau saat mencangkul tanah waktu itu dia main curang, tak mungkin ilmu silat maha sakti itu dapat dipelajari .
. . . .. siapa pun tak menyangka kalau kesempatan emas semacam ini akhirnya justru jatuh ke tangannya.
Sesudah termangu berapa waktu, mendadak ia bersorak sorai lalu melompat bangun, ia merasa hawa darah panas menggelora dalam dadanya, seluruh tubuh dipenuhi tenaga murni, bagaikan seekor burung walet dia melesat turun dari tanah perbukitan itu.
Saat itu, Yo Swan yang berhati busuk masih menanti kedatangannya dibawah gunung.
Menurut perkiraannya, Tian Mong-pek tak mungkin akan turun gunung lagi, meski masih ada perasaan ragu, namun dengan hati gembira ia bersiap siap meninggalkan tempat itu.
Siapa sangka, saat itulah Tian Mong-pek telah muncul dari balik bukit, bukan saja tidak terluka atau mati, malahan wajahnya tampak berseri, penuh cahaya kegembiraan, malah jauh lebih bercahaya ketimbang sebelum naik gunung.
Rasa kecewa, mendongkol, berkecamuk jadi hati, tapi Yo Swan berusaha tampil dengan perasaan terkejut bercampur girang, teriaknya sambil bertepuk tangan: "Hahaha, jite, akhirnya kau muncul juga, aku sudah tak sabar menantikan kedatanganmu!" "Terima kasih toako karena kau telah menyuruhku naik gunung!" sahut Tian Mong-pek sambil memberi hormat.
Kuatir niat busuknya ketahuan, dengan wajah berubah tegur Yo Swan: "Apa maksudmu?" Tian Mong-pek menghela napas panjang, katanya lagi: "Toako, tahukah bahwa kau sudah tertipu oleh kebohongan orang" Diatas gunung sama sekali tak ada orang jahat yang pandai tenung orang, yang ada hanya Kun-lun-siang-coat." "Bee....
benarkah begitu?" dengan hati tergetar sahut Yo Swan tergagap.
"Buat apa siaute bohong." Yo Swan merasakan jantungnya hampir melompat keluar, buru buru dia tampar wajah sendiri sambil berteriak: ll "Kurangajar, betul betul kurangajar .
. . . . .. Dalam keadaan panik bercampur kuatir, terpaksa ia harus bersandiwara lebih jauh.
Tergopoh Tian Mong-pek menarik tangannya.
"Toako tak usah kelewat menyalahkan diri sendiri," bujuknya, "lagipula siaute bukan saja tidak rugi apa apa, malahan karena bencana aku mendapat rejeki." "Rejeki apa?" Yo Swan makin tercekat.
Secara ringkas Tian Mong-pek menceritakan kembali semua pengalaman yang baru dialaminya, terakhir dia menambahkan: "Andaikata tak ada kesalah pahaman ini, mana mungkin siaute berkesempatan mempelajari ilmu pukulan Lak-yang-sin-ciang!" Pucat kehijauan paras muka Yo Swan, rasa dengki, jengkel, benci bercampur aduk jadi satu.
Tian Mong-pek jadi kaget ketika melihat perubahan mimik mukanya itu, teriaknya: "Toako, kenapa kau?" II "Aah, tidak apa apa, sahut Yo Swan tergagap, cepat dia berusaha menenangkan hatinya, "mungkin lantaran kelewat gembira....
yaa, kelewat gembira . . .

Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. . . .." Perasaan hatinya saat ini bagaikan ditembusi berjuta batang anak panah beracun, begitu sakitnya membuat dia sulit untuk tertawa, biar akhirnya tertawa juga, sudah jelas senyumannya saat itu teramat jelek.
Semakin dilihat, Tian Mong-pek merasa makin keheranan, tapi setelah berpikir sejenak, seakan menyadari akan sesuatu katanya: "Toako, setelah menunggu selama tiga hari, kau pasti kelelahan setengah mati, lebih baik kita segera turun gunung!" "Betul, betul sekali .
. . . . . .." Mereka berdua berjalan mengitari punggung bukit, medan terasa makin tinggi, hembusan angin dingin terasa tajam bagaikan sayatan pisau, permukaan tanah pun mulai muncul lapisan salju abadi yang makin lama semakin menebal.
Ternyata tempat tinggal Kun-lun-siang-coat maupun lembah kaisar, berada diatas sebuah bukit kecil yang dikelilingi pegunungan tinggi.
Tapi setelah berjalan keluar dari wilayah perbukitan, keadaan pun sama sekali berubah.
Sebagaimana diketahui, tempat dimana mereka berada sekarang adalah wilayah pegunungan yang sangat tinggi dan sepanjang tahun berhawa dingin, biarpun saat itu musim panas, namun timbunan dan lapisan salju tetap menyelimuti gunung Kun-lun sepanjang tahun.
Kedua orang ini memiliki ilmu silat yang cukup tangguh, tapi mereka butuh waktu semalaman sebelum berhasil mencapai kaki perbukitan.
Suasana dibawah gunung terang benderang, suhu udara mulai terasa panas, Yo Swan pun membeli dua buah topi rumput yang lebar serta dua ekor kuda yang penampilannya meski bersahaja namun kemampuan larinya sangat hebat.
"Dengan kemampuan lari kita berdua, buat apa harus membeli kuda?" tanya Tian Mong-pek.
"Kita harus ambil jalan raya Cing-hay masuk tengah daratan, jite, selama berapa hari ini kau sudah menguras banyak tenaga, buat apa musti bersusah payah mengarungi padang rumput dengan berjalan kaki?" Meski diluar Tian Mong-pek mengiakan dengan hambar, hati kecilnya sangat berterima kasih, pikirnya sambil menghela napas: "Tak kusangka rasa persaudaraannya begitu kental, melebihi saudara II kandung sendiri .
. . . .. Setelah meninggalkan wilayah Kun-lun, sehari kemudian mereka sudah tiba di wilayah Cing-hay.
Sejauh mata memandang, hanya padang rumput yang tak bertepian, diantara ayunan lembut sang rumput yang dihembus angin, disana sini terlihat kumpulan sapi dan domba.
Kembali sang kakek memanggil seorang "kiak-cu" atau pemuda lainnya untuk menghantar Tian Mong-pek berdua, kembali katanya: "Kiak-cu ini mengerti bahasa Han, hanya saja kurang begitu lancar." Tampaknya kiak-cu ini punya kesan baik terhadap mereka berdua, wajahnya pun tidak cemberut seperti pemuda tadi, katanya kemudian sambil tertawa: "Silahkan kalian berdua mengikuti diriku." Selesai mengucapkan terima kasih kepada tuan rumah, Tian Mong-pek berdua pun mengikuti dibelakang pemuda itu menuju ke sebuah tenda dipaling ujung.
Waktu itu semua lentera telah dipadamkan, ditengah remang remangnya cuaca, hanya suara kambing dan sapi yang bergema memecahkan keheningan malam Sewaktu mereka memasuki tenda itu, tiba tiba dari balik tenda terdengar suara jeritan kaget.
Rupanya sepasang muda mudi itu sudah tertidur didalam tenda itu, ketika melihat kedatangan mereka, nona berbaju putih itu seketika melompat bangun sambil menjerit: "Mau apa kalian?" "Mau tidur." Jawab Kiak-cu itu ketus.
"Cepat pergi," teriak nona berbaju putih itu dengan wajah berubah, "mana boleh kalian tidur disini?" Kiak-cu itu tertawa terkekeh.
"Kalau tidak tidur disini, lantas kami harus tidur dimana" Beginilah adat kami suku Tibet, merasa keberatan pun percuma saja," "Benarkah begitu?" nona berbaju putih itu segera berpaling kearah rekannya.
Pemuda berbaju putih itu manggut manggut, kepada kiak-cu itu tanyanya: "Apakah masih ada tempat tidur lain?" "Ada, ada, tenda ku masih ada tempat, jadi kalian berdua mau tidur bersamaku" Tempat itu jauh lebih ramai ketimbang tempat ini." "Kau.....
kentut busukmu!" umpat nona berbaju putih itu dengan wajah berubah.
Kiak-cu itu sama sekali tak ambil peduli, sambil mengerdipkan matanya kearah Tian Mong-pek, serunya seraya tertawa: "Sampai besok pagi!" Diiringi gelak tertawa, kiak-cu itupun berlalu dengan langkah lebar.
"Memuakkan . . . . .. sungguh memuakkan . . . . . . .." sumpah nona berbaju putih itu.
Sambil menghela napas tukas pemuda berbaju putih itu: "Beginilah adat istiadat mereka, sudahlah, toh malam akan cepat berlalu!" Diam diam Tian Mong-pek saling berpandangan sekejap dengan Yo Swan, dalam hati mereka merasa kegelian.
Tidak mempedulikan lagi kedua orang itu, mereka segera merebahkan diri sambil menarik selimut.
Cepat nona berbaju putih itu melompat bangun, teriaknya: "Keluar, kalian .
. . . .. kalian segera enyah dari sini." Tian Mong-pek sama sekali tak ambil peduli, sambil menggeliat katanya: "Toako, mari kita tidur, kalau masih menganggap tempat ini kurang nyaman, biarkan saja tidur bersama anak bini orang lain." Kontan saja nona berbaju putih itu meradang, dengan alis mata berkenyit, tampaknya dia ingin menendang pantat Tian Mong-pek.
Tapi niatnya itu segera dicegah pemuda berbaju putih itu, bisiknya: "Kita sedang mengemban tugas penting, lebih baik berhati hati dalam setiap tindakan, buat apa mengumbar hawa amarahmu" Cepat tidur!" "Mereka berada disini, mana mungkin aku bisa tidur?" keluh nona itu sambil menghentakkan kakinya jengkel.
"Kalau tak bisa tidur, duduklah bersamadi sambil mengembalikan tenaga." Mendengar pembicaraan itu, Tian Mong-pek berdua merasa makin kegelian, walaupun masing masing berlagak mendengkur, padahal semua orang tak dapat tertidur nyenyak, mereka tenggelam pada masalah masing masing.
Ditengah keheningan malam, hanya terdengar suara hembusan angin diluar tenda diikuti ringkikan kuda dan dengusan kerbau.
Berada dalam lingkungan yang asing dengan suasana yang aneh, mau tak mau Tian Mong-pek merasakan hatinya semakin sendu.
Entah berapa lama sudah lewat, rasa mengantuk mulai menyelimuti dirinya .
. . . . .. Pada saat itulah mendadak terdengar nona berbaju putih itu berbisik: "Jiko, ayah berpesan agar kau tidak meninggalkan buntalan itu dari sisi tubuhmu, apakah kau masih ingat?" "Mana mungkin aku melupakannya .
. . . . . .. Il jawab sang pemuda. "Sungguh aneh, sepanjang jalan tiada pertanda atau peringatan apapun, jangan jangan .
. . . .. kedua orang itu adalah . . . . . . . .." "Aah, tidak mungkin .
. . . . . . . . .." Suasana kembali dicekam dalam keheningan.
Diam diam Tian Mong-pek berpikir: "Rupanya dalam buntalan sepasang muda mudi ini terdapat benda mustika yang tak ternilai harganya .
. . . . .." Belum habis dia berpikir .
. . . . .. "Bruuk!" sebatang anak panah telah meluncur tiba dan menembusi tenda, tenaga bidikan anak panah itu sangat kuat dan membawa desingan angin tajam.
Dengan perasaan terkejut pemuda berbaju putih itu melompat bangun sambil mencabut anak panah itu, selembar kain terlilit diujung anak panah, diatas kain tertera berapa huruf.
"Akhirnya datang juga," teriak nona berbaju putih itu kaget, "apa yang tertulis dalam surat itu?" Baca pemuda berbaju putih itu dengan suara lirih: "Kalau tidak segera keluar, kubakar tenda itu." Kontan saja nona berbaju putih itu tertawa dingin, serunya: "Keluar yaa keluar, memang aku bakal takut dengan kalian?" "Yang muncul tidak berniat baik, yang berniat baik tak bakal datang, kau harus berhati-hati!" pesan pemuda itu.
"Aku mengerti, justru kau yang harus lebih berhati hati dengan barang yang kau gembol." Pemuda berbaju putih itu mendengus, tiba tiba katanya dengan suara berat: "Lebih baik sobat berdua tetap tidur disini, jangan mencampuri urusan orang lain, mengerti?" Sambil tertawa dingin sela nona berbaju putih itu: "Mereka berdua sudah tertidur macam babi, buat apa banyak bicara?" Diikuti hembusan angin, dua bersaudara itu sudah keluar dari balik tenda.
Dengan cepat Tian Mong-pek serta Yo Swan ikut melompat bangun.
Dengan suara setengah berbisik kata Yo Swan: "Kedua orang ini meski masih muda belia, tampaknya mereka menggembol benda mustika yang tak ternilai harganya, entah siapa musuh yang mereka hadapi" Lebih baik kita jangan mencampuri urusan mereka!" "Biarpun kedua orang itu agak sombong dan jumawa, mereka tidak mirip orang jahat," kata Tian Mong-pek dengan kening berkerut, "apalagi kita pernah tidur setenda, paling tidak kita pun tak boleh berpeluk tangan saja." Berputar biji mata Yo Swan, ujarnya kemudian: "Kalau begitu kita harus keluar untuk menengok keadaan." Mereka berdua memang tidur tanpa membuka baju, karena itu dengan cepat mereka melompat keluar dari tenda, ditengah kegelapan malam, terasa hembusan angin makin membekukan badan.
Kumpulan hewan terlihat berbaring belasan tombak disekeliling tenda, dalam waktu singkat muda mudi berbaju putih itu sudah berjalan keluar dari lingkaran tenda.
"Hebat juga ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kedua orang itu." Bisik Tian Mong-pek.
"Gerak gerik kita harus berhati hati, jangan sampai ketahuan mereka." Pesan Yo Swan.
Sementara berbicara, kedua orang itu sudah ikut melesat keluar dari tenda.
Setelah meninggalkan tenda, muda mudi berbaju putih itu langsung menuju kearah berasalnya anak panah itu, gerak gerik mereka lincah, ringan dan cepat, tak salah kalau berasal dari perguruan kenamaan.
Sejauh mata memandang, hanya kerumunan kerbau dalam jumlah yang banyak, tak nampak sesosok bayangan manusia pun.
Dengan suara rendah tapi berat bentak pemuda berbaju putih itu: "Sobat, setelah mengundang kehadiran kami dua bersaudara, kenapa masih bersembunyi dibalik kegelapan macam kura kura?" Hanya suara kerbau yang terdengar, tiada jawaban dari empat penjuru.
Kembali nona berbaju putih itu mengumpat sambil tertawa dingin: "Dasar manusia busuk yang takut bertemu manusia, lihat saja nona mu akan menyeret kalian keluar." Sembari berkata, dia melompat naik ke punggung kerbau dan mulai bergerak ke depan.
Kawanan kerbau itu berdiri saling berhimpit hingga minim sekali tempat luang untuk bergerak, tapi kedua orang itu bergerak lewat punggung kerbau kerbau itu, saking ringannya tubuh mereka, ternyata kawanan kerbau itu sama sekali tidak merasa terusik.
Diiringi suara tertawa dingin, nona berbaju putih itu bergerak cepat menggeledah seputar tempat itu.
Tiba tiba terdengar suara tertawa dingin bergema dari arah belakang, tahu tahu lima sosok bayangan manusia telah muncul dari balik perut kawanan kerbau itu.
Mereka mengenakan baju ringkas warna hitam dengan kain kerudung hitam, yang tampak hanya sepasang mata yang bersinar tajam.
Begitu munculkan diri, kelima orang itu serentak menyebarkan diri dan mengepung sepasang muda mudi itu.
Agak terkejut hardik pemuda berbaju putih itu: "Apa maksud kehadiran sobat sekalian?" Berdiri dihadapannya adalah seorang lelaki jangkung berbaju hitam, sahutnya ketus: "Kami datang untuk mencari kalian." Setelah memandang sekeliling sekejap, kembali ujar pemuda berbaju putih itu: "Kami dua bersaudara sedang melakukan perjalanan jauh, bila bersikap kurang sopan terhadap sobat sekalian, kami harap dengan memandang nama benteng keluarga Tong dari Cuan-tiong, sudilah kalian memberi muka!" Ternyata dua bersaudara ini memang berasal dari perguruan kenamaan, rupanya mereka adalah anggota benteng Tong-ke-po dari propinsi Suchuan yang tersohor karena kelihayan senjata rahasianya.
Orang berbaju hitam itu tertawa dingin, dengusnya: "Hek-yan-cu, Hui-hong-hong, kalian sangka kamu tidak mengenali asal usulmu" Cepat serahkan barang dalam gembolan atau tidak kuampuni nyawa kalian." "Kami tidak membawa barang yang kau inginkan .
. . . . .." tukas pemuda berbaju putih itu.
"Dasar keparat," umpat seorang pemuda berbaju hitam, "buat apa berlagak pilon" Mau diserahkan tidak?" Hek-yan-cu dan Hui-hong-hong saling bertukar pandangan sekejap, bersamaan waktu mereka berdua putar setengah badan sambil melepas jubah putih berwarna putih itu.
Kini, terlihatlah pakaian ringkas yang mereka kenakan.
Yang lelaki memakai baju ringkas berwarna hitam sementara yang perempuan berbaju serba merah, kantung kulit macan tutul tergantung dipinggang, sementara dipunggung Hek Yan-cu si walet hitam terdapat sebuah buntalan berwarna ungu.
"Menginginkan barang kami?" ejek burung Hong api sambil tertawa dingin, "tanyakan dulu kepadanya, apakah diijinkan atau tidak." Sambil berkata, tangan kanannya menepuk kantung kulit dipinggangnya sementara tangan kirinya mengenakan sebuah sarung tangan yang terbuat dari kulit macan tutul.
Dengan wajah serius, burung walet hitam menambahkan: "Senjata rahasia beracun dari keluarga Tong sudah termashur dimana-mana, aku yakin kalian pasti pernah mendengarnya, aku nasehati kalian lebih baik cepatnya menyingkir dari sini!" Orang berbaju hitam itu serentak tertawa dingin, tiba tiba ke lima orang itu memutar badan sambil meloloskan senjata di tangan kanan dan sebuah tameng tebal ditangan kiri.
Berubah paras muka Hek-yan-cu, teriaknya: "Ternyata kalian sudah mempersiapkan diri." Lelaki berbaju hitam yang ada dipaling depan tertawa dingin, dengan menggetarkan ujung goloknya, dia sabet pundak Hek-yan-cu, hardiknya: "Jika tidak kau serahkan benda itu, serahkan saja nyawamu!" Goloknya bergera secepat kilat, dengan satu bacokan maut dia ancam tubuh lawan.
Baru saja Hek-yan-cu berkelit ke samping, sebuah tombak perak lagi lagi menyapu datang dari sisi kiri.
Jurus serangan yang digunakan golok maupun tombak itu cepat, kilat dan telengas, belum lewat sepuluh gebrakan, Hek-yan-cu yang bertelanjang tangan telah dipaksa berada dibawah angin.
Disisi lain, Hui-hong-hong dengan suara nyaring telah membentak: "Nonamu ingin tahu apakah tameng rongsokan milik kalian itu memang sanggup membendung kelihayan senjata rahasia dari keluarga Tong kami!" Siapa tahu, belum sempat senjata amgi disambit, dua bilah pedang telah menyambar tiba, jurus serangan yang digunakan lembek tapi bersambungan, kerja sama kedua pedang itu sungguh rapat dan luar biasa.
Tergopoh-gopoh Hui Hong-hong melejit kian kemari berusaha meloloskan diri, apa mau dibilang ia justru tak sanggup melepaskan diri dari belenggu cahaya pedang lawan, apalagi merogoh senjata amginya.
Berada dalam keadaan begini, terpaksa dia harus mengandalkan sepasang kepalannya untuk menghadapi kedua bilah senjata lawan.
Perlu diketahui, biarpun ke lima orang manusia berbaju hitam itu sudah membuat persiapan matang, tak urung timbul juga perasaan jeri dan ngeri untuk menghadapi senjata rahasia beracun keluarga Tong.
Kini, kecuali lelaki bersenjata cambuk yang masih berdiri diluar arena, ke empat orang lainnya telah memainkan senjata mereka dengan sepenuh tenaga, pada hakekatnya tidak memberi peluang bagi dua bersaudara itu untuk melepaskan senjata rahasia beracunnya.
Kerja sama kedua bilah pedang itu mendatangkan daya tekanan yang amat besar, apalagi jurus serangan yang digunakan pemain tombak berantai itu aneh dan ampuh, hampir semua gerakannya berbeda dengan jurus yang biasa dijumpai dalam dunia persilatan, hal ini membuat Hek yan-cu terkejut bercampur keheranan.
Biarpun dia adalah keturunan keluarga persilatan, tapi sejak kecil sudah terbiasa berpandangan tinggi, selain mengagumi ilmu silat sendiri, jarang mau mengagumi kemampuan orang, sehingga tak heran kalau pengalamannya tidak luas.
Kini, biarpun dia terkagum-kagum oleh kelihayan kungfu ke lima orang itu, namun gagal untuk mengenali asal usulnya.
Tiga puluh gebrakan kemudian, ke dua orang bersaudara ini sudah lebih banyak bertahan daripada menyerang, lambat laun posisi mereka makin keteter dan menunjukkan gejala tak mampu bertahan lama.
Sebagaimana diketahui, biarpun murid keluarga Tong lihay dalam ilmu meringankan tubuh serta melepaskan senjata rahasia, tapi dalam hal jurus pukulan dan tendangan, mereka boleh dibilang asor dan kalah jauh dibandingkan perguruan lain.
sudah jelas ke lima orang manusia berbaju hitam itu memiliki asal usul yang luar biasa, ketangguhan ilmu silatnya boleh dibilang termasuk jagoan kelas satu, ditambah lagi mereka menyerang secara telengas, tanpa belas kasihan, tak heran kalau kedua orang dari keluarga Tong itu tak sanggup menahan diri.
Tian Mong-pek serta Yo Swan bersembunyi dibalik semak sambil menonton jalannya pertarungan, sesaat kemudian mendadak terdengar Yo Swan berbisik: "Jite, apakah kau bisa mengenali asal usul dari bebera pa orang itu?" Setelah termenung sejenak, sahut Tian Mong-pek: "Dari kantung kulit yang tergembol dipinggang muda mudi itu, tampaknya mereka berasal dari keluarga Tong di Suchuan .
. . . . . .." "Delapan puluh persen dugaanmu benar!" "Dua orang bangsa Han yang memainkan pedang itu memiliki gerak serangan yang enteng, bersambungan dan rapat, jika dugaanku tak keliru, mereka berdua pasti berasal dari Bu-tong-pay." II "Wah, tak nyana ketajaman mata jite luar biasa sekali, puji Yo Swan sambil tertawa, "bisa kau tebal asal usul lelaki jangkung ceking yang bersenjatakan golok panjang itu?" "Dalam dunia persilatan, hanya keluarga Ong dan keluarga Liu yang tinggal di tepi barat sungai besar tersohor karena kemahiran permainan golok panjangnya, sudah pasti orang itu berasal dari kedua keluarga itu." "Betul, ilmu golok keluarga Ong mengandalkan panjang dan kuatnya senjata, sedang ilmu golok keluarga Liu lebih mengutamakan kelincahan, dilihat kemantapan dan kebuasan permainan lelaki ini, jelas dia berasal dari keluarga Ong." "sayang siaute tak bisa menebak asal usul dari lelaki bertombak itu, kalau dilihat jurus yang digunakan, rasanya beda sekali dengan jurus pada umumnya." "Akupun tidak mengenali aliran kungfu orang ini, bila dugaanku tak keliru, kemungkinan besar dia telah melebur jurus dari ilmu senjata lain ke dalam jurus tombaknya." "Apapun latar belakang mereka, yang jelas berapa orang ini pasti termasuk tokoh tokoh kenamaan, tapi sekarang mereka tampil dengan menutup wajah, jelas niat orang orang ini tidak baik." Kata Tian Mong"pek.
"Jadi jite ingin ikut campur dalam urusan ini?" Tian Mong-pek segera tersenyum.
"Ternyata toako bisa membaca jalan pikiran siate." Bisiknya.
Yo Swan ikut tersenyum. "Kalau ingin turut campur dalam kejadian ini, lebih baik jika kita berdua menyusup ke bawah perut kawanan kerbau itu, kemudian lakukan satu gebrakan yang membuat mereka kelabakan!" Maka kedua orang itu pun bergerak cepat, menyusup dari balik kawanan kerbau itu bagaikan ular yang melata.
Dipihak lain, dua bersaudara dari keluarga Tong sudah keteter hebat dan mulai bermandikan keringat.
Terdengar Hui hong-hong mengumpat dengan penuh amarah: "Kalau toh kalian sudah menggembol tameng, kenapa tidak berani membiarkan nonamu gunakan amgi" Kalau memang bernyali, minggir ke samping, agar nona mu bisa tunjukkan kelihayan." "Tampaknya kau sedang bermimpi!" dengus manusia berpedang itu sambil tertawa dingin.
"Lelaki busuk, tak tahu malu .
. . . . .." jerit Hui Hong-hong.
Karena luapan emosi, gerakan tubuhnya sedikit melamban, manfaatkan kesempatan itu satu tusukan pedang menerobos masuk dan .
. . . . . .. Sreeet! Merobek ujung bajunya.
Terkejut bercampur ngeri, nona itu tak berani mencaci maki lagi.
Disisi lain, Hek-yan-cu sudah dipaksa kalang kabut, langkahnya semakin berat sementara kawanan kerbau yang berada disekelilingnya mulai mendengus diikuti terjadinya kegaduhan.
Dengan kening berkerut, manusia baju hitam yang bersenjata ruyung diluar arena segera berteriak: "Ping-gui-cu (sobat), harus lebih cepat!" Baru selesai ia berteriak, tiba tiba dari balik perut kerbau muncul sebuah tangan yang langsung menangkap kakinya, baru ia menjerit kaget, tubuhnya sudah roboh terjungkal.
Kawanan manusia berbaju hitam itu jadi gaduh, sambil menjerit kaget, teriak mereka: "Celaka, disini ada perangkap." Sementara itu si walet hitam dan burung hong api pun ikut merasa keheranan, mereka tak bisa menebak darimana datangnya bintang penolong.
Begitu berhasil mencengkeram lelaki bersenjata cambuk itu, Tian Mong-pek langsung menotok jalan darahnya.
Dalam pada itu Yo Swan telah melompat keluar juga sambil membentak: "Tong lote tak usah kuatir, anak murid Au-sian-kiong telah datang!" Ditengah bentakan, sepasang kepalannya dilancarkan berulang kali, kekuatan sedahsyat sambaran guntur langsung menghajar lelaki bersenjata golok.
Dengan satu gerakan cepat, Tian Mong-pek telah mewakili Hui Hong-hong menyambut datangnya sambaran pedang, gerak serangannya jauh lebih dahsyat, dia tangkis pedang yang tajam itu dengan kepalannya.
Setelah bertarung berapa gebrakan, tampaknya manusia baju hitam yang bersenjata golok itu sudah mengenali aliran silat yang digunakan Tian Mong"pek berdua, dengan wajah berubah teriaknya: "Celaka, ternyata memang murid au-sian-kiong/" ?"Ping-gui-cu (sobat), angin kencang!" teriak rekannya yang bersenjata pedang.
Mendadak dia mengayunkan senjatanya membacok punggung kerbau, diiringi jerit kesakitan, kerbau hitam itu berlarian menerjang ke muka.
Seketika suasana jadi gaduh dan kacau, kawanan kerbau pun bubar dan kabur ke empat penjuru.
Manfaatkan situasi yang kalut itu, ke empat manusia berbaju tersebut segera melarikan diri, dua orang kabur ke tengah kerumunan kuda sedang dua lainnya kabur ke tengah kerumunan domba.
Menggunakan kesempatan itu, Hui hong-hong segera merogoh senjata rahasia beracunnya, tanpa ampun dia menghardik nyaring: "Mau kabur ke mana kalian!" Tangannya diayun, selapis pasir hitam seketika menyelimuti angkasa, inilah pasir beracun Cu-bu-tok-sah yang menggetarkan sungai telaga.
Kedua orang itu mengobat-abitkan pedangnya tanpa berani berpaling, mereka kabur terbirit birit, lapisan pasir yang hitam pekat pun bagaikan awan gelap menyelimuti belakang tubuh mereka.
Hui hong-hong tidak ambil diam, dia ikut mengejar dengan ketatnya.
Dipihak lain, jago bersenjata golok dan tombak itu kabur ketengah kerumunan kuda, Hek yan-cu yang nyaris kehilangan nyawa ditangan mereka, bahkan punggungnya sempat terhajar pukulan cambuk, tentu saja tak mau lepas tangan dengan begitu saja, terdorong rasa benci dan dendam, diapun mengejar dengan ketatnya.
Hanya saja pemuda ini jauh lebih matang pengetahuannya, dia tak berani sembarangan menggunakan pasir beracun Cu-bu-tok-sa yang sudah diwanti wanti gurunya tak boleh sembarangan digunakan, tangannya diayun, dia hanya melepaskan lima bias cahaya tajam.
Menyaksikan kejadian ini, Yo Swan segera berseru: "Jite, coba kau susul kearah sana, enci itu tak tahu tingginya langit tebalnya bumi, jangan sampai pengejarannya malah berakibat ia terjatuh ke tangan lawan.
" Sementara berbicara, ia sendiri sudah menyusul ke arah Hek-yan-cu .
. . . . . .. Sebagai manusia licik yang banyak akal, dia ingin tahu, benda mustika apa yang digembol si burung walet hitam ini.
Setelah agak termangu sejenak, terpaksa Tian Mong-pek mengejar ke arah Hui Hong-hong.
Waktu itu, Hui Hong-hong maupun dua orang lelaki bersenjata pedang itu sudah menyusup masuk ke tengah gerombolan domba, biarpun kawanan domba itu terusik oleh ulah mereka, namun dengan sifatnya yang lemah dan lembut, kegaduhan yang terjadi tidak sampai menimbulkan keonaran.
Berulang kali gadis itu melepaskan pasir beracunnya, sayang amgi nya meski ganas dan mematikan, namun tak bisa mencapai jarak yang jauh.
Diiringi umpatan penuh amarah, akhirnya gadis itu mengganti senjata rahasianya, kali ini dia gunakan paku beracun.
Tampak tujuh bilah cahaya hitam membelah angkasa, diiringi desingan tajam, secara terpisah mengancam jalan darah mematikan di punggung dua orang lelaki itu, biarpun dalam kegelapan, ternyata sasarannya sama sekali tak meleset.
Siapa tahu, disaat yang kritis itulah, dua orang lelaki itu membentak nyaring, sambil membalikkan tubuh, mereka menyongsong datangnya ancaman, menyambut kedatangan ke tujuh cahaya hitam itu dengan tamengnya.
Hui Hong-hong terkejut sampai berdiri melongo, belum sempat berbuat sesuatu, dua bilah pedang telah menyambar tiba.
Serangan yang dilancarkan dalam keadaan terdesak ini sungguh dahsyat dan mematikan, sasaran yang dituju pun bagian tubuh Hui Hong-hong yang mematikan.
Tiga gebrakan kemudian, bahu Hui Hong-hong sudah tersambar senjata lawan hingga berdarah.
Ketika mundur dengan sempoyongan, tanpa sengaja kakinya menginjak diatas tanduk seekor domba, sambil mengembik, domba itu kontan mendongakkan tanduknya, tak ampun ujung tanduk menggaet kaki gadis itu hingga si nona tak sanggup berdiri tegak, roboh terjungkal mencium tanah.
Serentak dua orang manusia berbaju hitam itu mengayunkan pedangnya, menusuk tubuh gadis itu.
Sekonyong-konyong terdengar suara bentakan nyaring, sesosok bayangan manusia meluncur turun bagaikan seekor rajawali, begitu tiba kaki kiri dan kanannya melancarkan tendangan berantai, mengancam wajah dua orang manusia berbaju hitam itu.
Gagal melukai lawan, terpaksa orang itu berusaha melindungi diri, ia miringkan badan menghindari tendangan berantai lawan.
Tapi sebelum ia sempat berbuat sesuatu, kepalan Tian Mong-pek secara berantai telah melepaskan tujuh buah serangan, semuanya dahsyat bagaikan guntur membelah bumi.
Kelihatannya kedua orang manusia berbaju hitam itu su dah dibuat keder oleh kebesaran nama Au-sian-kiong, bukan saja permainan pedang mereka tak bisa dikembangkan, bahkan sambil bertarung mereka mundur terus, lagi-lagi berusaha meloloskan diri.
Dengan wajah penuh rasa dendam dan kebencian Hui Hong-hong melesat maju berapa depa, tanpa bersuara apa pun, tiba tiba saja dia ayunkan kembali tangannya, melepaskan pasir beracun! Dalam kagetnya, lelaki baju hitam yang ada disebelah kanan memutar pedang sambil berusaha menahan serangan lawan dengan tamengnya, kemudian ia balik badan sambil berusaha kabur.
sayang, biarpun reaksinya cukup cepat, keadaan sudah terlambat, sepasang lengannya terhajar telak oleh pasir beracun itu.
Diiringi jerit kesakitan yang memilukan hati, pedangnya terlepas dari genggaman, menyusul kemudian tubuhnya jatuh terguling ke tanah.
Pecah nyali manusia berbaju hitam rekannya, diiringi jeritan kalap, dia kabur makin cepat.
"Kau tak bakal bisa lolos dari cengkeramanku!" ejek Hui Hong-hong sambil membentak.
Lagi-lagi dia mencoba melakukan pengejaran.
Tian Mong"pek segera menghadang jalan perginya seraya menegur: "Buat apa nona harus membunuhnya?" Hui Hong-hong tertegun sesaat, tapi segera bentaknya: "Minggir kamu, jangan mencampuri urusanku!" Tian Mong-pek melirik sekejap, melihat orang berbaju hitam itu sudah pergi jauh dan yakin nona ini tak bakalan bisa menyusul, diapun menyingkir ke samping sambil tertawa dingin.
Dengan satu gerakan cepat Hui Hong-hong melintas dari sisi tubuhnya, pada detik terakhir, Tian Mong-pek seakan menyaksikan sen yum bangga menghiasi wajah gadis itu.
sambil menghela napas ia gelengkan kepalanya berulang kali, ketika berpaling, perasaan hatinya jadi ngeri.
Tampak lelaki berbaju hitam yang terkena pasir beracun itu masih bergulingan diantara kerumunan domba sambil menjerit kesakitan, wajahnya telah hancur berdarah karena cakaran tangannya, keadaan orang itu sungguh mengenaskan.
Jeritan penuh kesakitan, rintihan yang memilukan hati menggema ditengah keheningan malam, sesudah bergulingan berapa kali, akhirnya dia berhasil menemukan kembali pedangnya.
Jeritnya kemudian dengan nada pilu: "Orang she-Tong, kau .
. . . .. kau sangat kejam!" sambil melompat bangun, dia hujamkan pedangnya keatas dada sendiri hingga tembus ke punggung, tampaknya lelaki itu tak kuasa menahan siksaan dan penderitaan yang dialami sehingga lebih rela mati bunuh diri.
sambil pejamkan mata, diam diam Tian Mong-pek menghela napas panjang, pikirnya: "Tak heran kalau pasir beracun Cu-bu-tok-sa disegani umat persilatan, II ternyata hasilnya begitu mengerikan .
. . . . . . .. Sementara dia masih termenung, dari arah belakang mendadak terdengar suara bentakan nyaring: "semua ini gara gara kau, membuat aku gagal mengejar orang itu!" Tian Mong-pek membuka matanya, memandang Hui Hong-hong sekejap, kemudian dengan kening berkerut dia balik tubuh dan beranjak pergi dari situ.
Bab 27. Misteri. "Jangan pergi dulu!" seru Hui Hong-hong sambil tertawa.
Sekulum senyum kebanggaan kembali tersungging diwajahnya yang dingin.
"Sudah begitu jauh kau mengejarku, masa sekarang masih berlagak malu malu kucing?" tambahnya.
Tian Mong-pek membalikkan badannya sambil menegur: "Apa maksud nona dengan perkataan itu" Aku tidak mengerti." "Aah, sudahlah! Tak usah berlagak pilon lagi," kata Hui Hong-hong tertawa, "masa aku tak bisa menduga apa yang sedang kau pikirkan sekarang?" Masih mending kalau dia tidak tertawa, begitu tersenyum, wajahnya semakin membuat hati berdebar.
"Aa...apa... apa yang kau ketahui?" tanya Tian Mong-pek setelah tertegun sejenak.
"Sebetulnya aku sangat mendongkol karena sepanjang jalan kau ikuti aku terus!" kata Hui Hong-hong.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi.... siapa.... siapa yang sedang mengikutimu?" "Tak usah takut," kata Hui Hong-hong lagi sambil tertawa, "sekarang aku sudah tak marah, karena kau telah selamatkan aku.
Meski aku amat berterima kasih dan berhutang budi, tapi akupun tak bisa mengabulkan permintaanmu dengan begitu saja." Dengan pandangan penuh rasa cinta, ditatapnya Tian Mong-pek berapa saat.
Tak terlukiskan rasa kaget anak muda itu, dengan perasaan terperanjat serunya: "Kau .
. . . . .. permintaan apa yang kau kabulkan?" Tiba-tiba Hui Hong-hong berbicara dengan wajah sungguh-sungguh: "Kita semua adalah murid perguruan kenamaan, tidak mungkin bagi orang semacam kita melakukan hubungan secara sembarangan, paling tidak harus dipinang secara terang-terangan." Tian Mong-pek makin terkesiap, saking kagetnya dia sampai berdiri melongo dengan mata terbelalak.
"Dipinang secara terang-terangan .
. . . . .." kau.... jangan-jangan Il kau . . . . . . .. Tiba-tiba Hui Hong-hong menundukkan kepalanya, dengan wajah tersipu bisiknya: "Aku bernama Tong Beng-hong, jangan lupa, aku menunggumu dirumah .
. . . . .. II minta tolong orang untuk meminangku .
. . . . . . .. Siapa yang mengira kalau si nona yang begitu galak, tiba tiba saja jadi malu dan tersipu-sipu, baru selesai bicara, ia sudah balik badan dan meninggalkan tempat itu.
Tian Mong-pek makin tercekat, teriaknya: "Nona, tunggu sebentar .
. . . . . . .." Hui Hong-hong tertawa cekikikan.
"Sebelum kau meminangku secara baik-baik, aku tak akan berbicara denganmu." Kemudian diiringi suara tertawanya yang merdu, ia berlalu dari sana.
"Kau keliru besar," teriak Tian Mong-pek setelah termangu sesaat, "sudah II terjadi salah paham, kau .
. . . .. kau . . . . . .. Sekuat tenaga ia berusaha memberi penjelasan, tapi Hui Hong-hong tak mau mendengarkan.
Saking panik dan cemasnya, pemuda itu sampai mendepakkan kakinya berulang kali, gumamnya sembari garuk-garuk kepala: "Apa apaan ini .
. . . . . . . . .." Dia merasa mendongkol, heran bercampur geli, sesudah menghela napas panjang, gumamnya lagi: "Kusangka aku adalah pria yang romantis, siapa tahu gadis itu lebih romantis, bahkan begitu mulai mabok, jauh lebih lihay ketimbang laki laki....." Semakin dipikir ia merasa makin serba salah: "Hui Hong-hong .
. . . .. wahai Hui Hong-hong . . . . . . . . .! bila burung hong terbakar hangus, bukankah dia akan berubah jadi burung gagak?" Padang rumput yang semula sudah terlelap tidur dibalik kegelapan, kini mulai gaduh dan riuh kembali.
Ringkikan kuda, dengusan kerbau, jeritan hewan yang ketakutan.....
bercampur aduk tak karuan.
Tampak belasan orang lelaki bertelanjang dada, berlarian keluar dari dalam tenda, sambil mengayun lecut dan menggiring kawanan hewan yang kalut, teriak mereka berulang kali: "Bandit pencuri kuda, cepat tangkap dan gantung sampai mampus!" Setelah bekerja seharian penuh, kawanan lelaki itu sudah kelelahan hingga begitu mabuk, mereka pun terlelap nyenyak.
Kini, begitu terbangun oleh kegaduhan, tak sempat lagi berpakaian, mereka segera menerobos keluar dari selimut dan berlarian keluar.
Jangan dilihat orang-orang itu tak pandai bersilat, namun gerak geriknya lincah dan cekatan.
Diam-diam Tian Mong-pek tertawa getir, pikirnya: "Kenapa aku masih berdiri mematung disini" Tidak lucu kalau sampai dituduh orang sebagai pencuri kuda dan mati digantung." Berpikir sampai disitu, diapun segera beranjak pergi, mencari jejak Yo Swan.
Oo0oo Dengan gerakan tubuh yang cekatan Yo Swan menyusul dibelakang Hek-yan-cu, dalam waktu singkat dia telah menyusup diantara kerumunan kuda.
Sepanjang jalan, lelaki bersenjata golok dan tombak itu tak berani melayani pertarungan lawan, karena itu Yo Swan pun tidak mengejar terlalu kencang.
Berulang kali Hek-yan-cu melepaskan senjata amginya, sayang tak satupun yang berhasil mengenai sasaran.
Maka ke tiga orang itupun melayang diatas punggung kuda, yang membuat kegaduhan ditempat tersebut.
Tiba-tiba terlihat orang berbaju hitam itu mengayunkan cambuknya berulang kali, semua lecutan ditujukan kepunggung kawanan kuda, akibatnya diiringi ringkik kesakitan, kawanan kuda itupun berlarian tersebar ke-mana mana.
"Sampai jumpa lain kesempatan!" bentak dua orang berbaju hitam itu.
Serentak mereka menyusup ke bawah perut kuda dan ikut kabur dari situ.
Hek-yan-cu tertegun, dalam keadaan begini, mau tak mau ia turut bergerak mengikuti gelombang kawanan kuda itu, andaikata tidak berbuat begitu, biar tubuhnya terbuat dari baja pun niscaya akan hancur terinjak-injak.
Dengan satu gerakan cepat Yo Swan meluncur keatas kuda yang ditunggangi hek-yan-cu itu, dengan dua orang menunggang seekor kuda dan memeluk pemuda itu erat-erat, dia membawa binatang tunggangan itu lolos dari kekacauan.
Sambil berpaling dan menghela napas, ujar Hek-yan-cu kemudian: "Terima kasih hengtai telah selamatkan jiwaku, kalau tidak, tak bisa dibayangkan bagaimana nasib siaute hari ini, aai....
bukan saja barang lenyap, mungkin nyawa pun ikut hilang." Yo Swan yang duduk dibelakangnya, seolah tanpa sengaja menyentuh buntalan dipunggung lawan, dia ingin tahu apa isi buntalan tersebut" Dimana tangannya menyentuh, terasa benda dalam buntalan itu keras seperti kotak yang terbuat dari besi, hanya sayang dia tak dapat menduga benda apa yang ada didalam kotak besi itu.
Akhirnya ia tak kuasa menahan diri, tanyanya dengan kening berkerut: "Sebenarnya karena apa ke lima orang itu tak segan melakukan perjalanan jauh, mengejar kalian hingga kemari" Apakah hengtai membawa benda mestika yang luar biasa sehingga memancing keinginan ke lima orang itu untuk merebutnya?" "Padahal bukan benda mustika yang luar biasa, tak lebih hanya tumbuhan saja." "Aah, hengtai terlalu memandang rendah aku," seru Yo Swan sambil tertawa dingin, "kalau hanya lantaran tumbuhan, masa ke lima orang itu begitu rela menempuh perjalanan jauh" Atau mungkin hengtai anggap siaute orang tolol?" Tercekat hati Hek-yan-cu, buru-buru sahutnya: "Tapi memang hanya tumbuhan." "Bunga apa" Rumput apa?" desak Yo Swan lebih jauh.
Lantaran orang lain berada dibelakang punggungnya, Hek-yan-cu tak berani menampik, terpaksa akunya: "Sebuah tumbuhan beracun, bunga beracun itu bernama toan-jong (pemutus usus) sedang rumput beracun itu bernama Jui-bong (penghancur impian)." "Terlalu banyak tumbuhan beracun di dunia ini, lantas apa keistimewaan tumbuhan itu?" "Bunga beracun itu mah tidak seberapa hebat, justru rumput penghancur impian merupakan benda yang sangat beracun, bukan saja merupakan obat mustika peramu senjata rahasia beracun, bahkan masih memiliki kegunaan lain yang lebih istimewa." "Apa keistimewaannya?" Hek-yan-cu menghela napas panjang, ujarnya: "Hengtai telah selamatkan nyawaku, jadi mau tak mau cayhe harus mengatakannya .
. . . . . . .." "Katakan saja." "Siapa bilang cayhe tidak mau bicara," kata Hek-yan-cu sambil tertawa paksa, "bila rumput penghancur impian itu diseduh dalam air teh, dalam setengah jam, nyawa orang itu akan tercabut, bahkan setelah mati, sang korban sama sekali tidak meninggalkan pertanda apapun, dia seakan mati wajar, bahkan diperiksa tabib sakti pun, jangan harap gejala keracunan itu bisa ketahuan.
Itulah sebabnya rumput beracun ini tak ternilai harganya." Yo Swan jadi kegirangan setengah mati, diam-diam pikirnya: "Tian Mong-pek wahai Tian Mong-pek, siapa suruh kau suka mencampuri urusan orang lain" Kali ini kau bakal kehilangan nyawa gara gara persoalan ini." Sebagaimana diketahui, selama ini dia selalu berharap bisa menghabisi nyawa Tian Mong-pek, tapi lantaran ia takut perbuatannya terlacak Lan Toa-sianseng, maka selama ini dia tak berani turun tangan sendiri, kuatir rahasianya terbongkar.
Tapi sekarang, sesudah tahu kasiat rumput beracun itu, dia jadi kegirangan setengah mati, ia tahu, asal dia campurkan air teh untuk Tian Mong-pek dengan racun rumput ini, niscaya orang lain akan menyangka pemuda itu mati secara wajar.
Walaupun senangnya bukan kepalang, diluar dia tetap tampil hambar, katanya: "Ooh, ternyata rumput itu memiliki kasiat yang luar biasa, tak heran orang lain jadi tertarik.
Hengtai, bolehkah kau perlihatkan rumput itu kepadaku, biar aku menambah pengetahuanku?" Hek-yan-cu tertegun, ia jadi serba salah.
Siapa sangka, sementara dia masih ragu, Yo Swan telah membuka buntalannya dan mengeluarkan sebuah peti besi .
. . . . .. Saat itu mereka sedang berada dipunggung kuda yang berlarian kencang, karena tempat duduk yang bergelombang, maka Hek-yan-cu sama sekali tidak merasakan akan hal itu.
Setelah membuka peti besi itu, kata Yo Swan sambil tersenyum: "Tak kusangka sebatang rumput kering macam begini, ternyata memiliki kasiat yang luar biasa, aku jadi ingin membawanya pulang dan perlihatkan kepada semua orang." "Maafkan daku, hengtai tak boleh berbuat begitu, rumput itu merupakan benda mustika dan bahan utama membuat pasir beracun cu-bu-tok-sah, sudah berulang kali ayah berpesan agar siaute menjaganya baik baik, aku tak bisa membiarkan benda itu hilang." Diam diam Yo Swan memetik sedikit rumput beracun itu lalu sembunyikan kebalik sakunya, setelah itu ia baru berkata lagi sambil tertawa: "Hahaha, masa sungguhan" Cayhe hanya bergurau saja, harap hengtai jangan panik." Dia tutup kembali kotak besi itu lalu diserahkan kembali ke tangan Hek-yan-cu.
Kini si walet hitam baru bisa menghembuskan napas lega, katanya sambil tertawa: "Bukannya siaute pelit, tapi .
. . . . . . .." Belum selesai berkata, dari kejauhan sudah terdengar seseorang berteriak memanggil: "Jiko .
. . . . .. jiko . . . . .." "Sam-moay, aku berada disini." Hek-yan-cu segera berteriak sambil menggapai.
Ditengah kerumunan hewan, terlihat setitik bayangan merah berlompatan dengan lincahnya, melesat mendekat dengan kecepatan tinggi.
"Dimana jite ku?" dengan kening berkerut Yo Swan segera menegur.
Kemudian sambil melejit, meninggalkan pelana, tambahnya seraya tertawa: "Pergilah bersama adikmu, cayhe akan mencari adikku." Oleh karena rumput beracun telah berada ditangan, dia enggan banyak bicara lagi, tidak sampai Hui Hong-hong mendekat, dia sudah melompat ke punggung kuda lain dan meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu, para peternak dengan bertelanjang dada telah melompat naik ke punggung berapa ekor kuda tanpa pelana, sambil mengayunkan cambuk, mereka mulai mengejar dan mengepung kawanan hewan yang tersebar di empat penjuru.
Sambil melesat ke depan, tanya Hui Hong-hong: "Jiko, bagaimana dengan orang yang kau kejar?" "Gagal kukejar!" sahut Hek-yan-cu sambil tertawa getir.
"Kalau gagal ya sudahlah!" Hui Hong-hong menanggapi sambil tertawa.
Dengan keheranan Hek-yan-cu segera menegur: "Heran, kenapa caramu bicara berubah jadi begitu halus?" Kontan Hui Hong-hong tertawa cekikikan, dia pun membisikkan sesuatu ke telinga saudaranya bilang kalau ada lelaki yang ingin meminangnya.
II "Oh, rupanya begitu, seru Hek-yan-cu dengan wajah berseri, "pemuda itu ganteng dan ampuh ilmu silatnya, diapun murid Au-sian-kiong, rasanya tidak akan memalukan dirimu." Hui Hong-hong tertawa bangga, tiba tiba serunya: "Ayoh jalan!" "Jalan?" Hek-yan-cu semakin keheranan, "paling tidak aku harus mencarinya II dan ajak dia berbicara .
. . . . .. "Ayoh jalan!" "Jalan?" Hek-yan-cu semakin keheranan, "paling tidak aku harus mencarinya dan ajak dia berbicara .
. . . . .." "Apa lagi yang dibicarakan," tukas Hui Hong-hong sambil tertawa, "kenapa tidak menunggu sampai ia datang meminang, apalagi .
. . . .. malu aku kalau musti bertemu dia lagi sekarang!" "Hahaha, ternyata kaupun tahu malu, tapi bagaimana dengan kuda kita?" "Kuda" Bukankah disini ada banyak sekali kuda liar!" "Hahaha, baik, kita berbicang sambil berjalan, toh penyaruan kita sudah terbongkar, ada baiknya ganti kuda tunggangan." Begitulah, kedua orang itupun melanjutkan perjalanan sambil berbincang bincang.
Oo0oo Yo Swan merasa amat gembira, kini dia tinggal mencari kesempatan untuk mengirim rumput penghancur impian ke dalam perut Tian Mong-pek.
Saking riang hatinya, dia merasa gerakan tubuhnya jauh lebih enteng dan lincah daripada di hari biasa.
Lima orang penggembara dengan bertelanjang dada dan mengayun cambuknya, sedang menggiring sekawanan kuda menuju ke kandang, ilmu menunggang kuda yang dimiliki ke lima orang ini sangat hebat, sudah jelas mereka adalah penggembara unggulan.
Saat itulah, mendadak terlihat sesosok bayangan manusia menyusup keluar dari bawah perut kuda, terlihat cahaya perak berkilauan, orang itu tak lain adalah manusia baju hitam bersenjata tombak itu.
Kontan saja kawanan penggembala itu membentak keras: "Pencuri kuda .
. . . . .. pencuri kuda . . . . . . .." Keadaan manusia berbaju hitam itu amat mengenaskan, matanya yang buta berputar kian kemari.
Diiringi bentakan nyaring, Yo Swan menyongsong kedatangannya, bagaikan titiran air hujan dia lepaskan pukulan berantai ke tubuh lawan.
Ibarat burung yang baru kaget karena dipanah, mana berani orang berbaju hitam itu bertarung lebih lama" Baru dua gebrakan, dia sudah balik badan melarikan diri.
Belum jauh dia kabur, tiba tiba seutas tali laso telah menjerat tengkuknya.
Sebagaimana diketahui, para penggembala ini boleh dibilang sangat mahir bermain tali laso, walaupun orang berbaju hitam itu memiliki kungfu yang hebat, namun dalam gugup dan paniknya, tak urung ia berhasil juga dipecundangi.
Begitu pengembala itu menarik tali lasonya, orang berbaju hitam itu seketika terjatuh dari kudanya, masih untung dia adalah seorang jago lihay, walau terancam jiwanya namun tidak jadi gugup, cepat dia balik tangannya, balas menangkap tali laso itu dan membetotnya kuat kuat.
Dengan cepat pengembala itu lari mendekat, diiringi caci maki, dia lontarkan satu pukulan ke depan.
Secepat kilat orang berbaju hitam itu menangkis datangnya ancaman, kemudian dia balas cengkeram pergelangan tangan lawan.
Baru saja dia akan patahkan pergelangan tangan itu, siapa tahu sedikit tenaga pun tak sanggup dikerahkan, entah sejak kapan, tahu tahu tangan sendiri sudah dicekal orang lain, diikuti badannya terangkat ke udara dan .
. . . .. Blaaam! Terbanting diatas tanah keras-keras.
Ternyata ilmu bantingan yang digunakan penggembala itu adalah ilmu gulat yang paling tersohor dari wilayah perbatasan, orang ini sangat menguasahi ilmu gulat, asal tubuh lawan teraba, biar dia seorang dewa pun pasti akan terbanting jatuh.
Kendatipun ilmu gulat tidak mampu menandingi kehebatan Tian-ih- cap-pwe-tiap dari Bu-tong-lay, namun kehebatannya patut diacungi jempol, khususnya bila digunakan disaat lawan tidak menduga.
Biarpun ilmu silat yang dimiliki orang berbaju hitam itu jauh diatas kemampuannya, tak urung orang itu terbanting juga hingga pusing tujuh keliling, saat itulah berapa orang rekannya telah menyusul tiba, mereka segera menghimpitnya diatas tanah lalu mengikat tubuhnya kuat kuat.
Seorang penggembala segera maju dan merampas tombak peraknya, lalu tanpa buang waktu langsung menusuk tubuhnya berulang kali.
Sambil menusuk, umpatnya berulang kali: "Dasar pencuri kuda sialan, dasar pencuri kuda sialan .
. . . . .." Perlu diketahui, para penggembala yang hidup diluar perbatasan sangat tergantung dengan kehadiran kuda, mereka paling benci terhadap para pencuri kuda, menurut tradisi dan kebiasaan, asal ada pencuri kuda yang tertangkap maka kalau bukan dikirim ke pengadilan, pastilah mereka jatuhi hukuman mati.
Termakan berapa puluh tusukan tombak, sekujur tubuh orang berbaju merah itu penuh luka merekah, darah dan hancuran daging berceceran dimana mana, tombak perak itupun nyaris berubah warna jadi merah darah.
Selama ini Yo Swan hanya berpangku tangan, sama sekali tak berusaha untuk menghalangi.
Orang berbaju hitam itu sudah terhajar hingga sekujur tubuhnya bermandikan darah, namun ia sama sekali tak mengeluh atau menjerit kesakitan, Tian Mong-pek yang kebetulan lewat jadi tak tega setelah menyaksikan kejadian ini.
Tiba tiba muncul seorang penggembala yang melontarkan satu tendangan, membuat manusia berbaju hitam itu terguling ke samping.
Akibatnya kain kerudung hitam yang dikenakan terlepas dari wajahnya, apalagi dia roboh terlentang, begitu Tian Mong-pek melihat wajah orang itu, kontan saja ia menjerit kaget.
Ternyata manusia berbaju hitam yang dihajar sampai setengah mati itu tak lain adalah jago kenamaan dari kota Hangciu, Kiu-lian-huan (sembilan berantai) Lim Luan-hong.
Saking kagetnya, tanpa sadar Tian Mong-pek membentak nyaring: Il "Lepaskan dia .
. . . . . . .. Banyak diantara penggembala yang mengerti bahasa Han, lagipula merekapun tahu kalau dia adalah tamu majikannya, begitu mendengar suara bentakan, serentak mereka menghentikan pukulan dengan hati tercengang.
Tian Mong-pek segera memburu ke depan, membopong bahu Lim Luan-hong lalu bisiknya lirih: "Saudara Lim, saudara Lim, mengapa kau datang kemari" Mengapa kau sampai seperti ini?" Lim Luan-hong membuka m atanya, memandang pemuda itu dengan tatapan kosong, kemudian matanya terpejam dan tidak bicara lagi.
Sesudah menghela napas, kembali ujar Tian Mong-pek: "Setelah menyaksikan jurus serangan yang digunakan saudara Lim, seharusnya aku bisa menduga siapakah dirimu .
. . . .. aai, alangkah baiknya bila aku dapat mengenalimu sejak tadi." Lim Luan-hong tetap tidak ambil peduli.
Rupanya Lim Luan-hong sadar kalau senjata Kiu-lian-huan miliknya kelewat mencolok mata, karena itu dia menukar senjatanya dengan sebuah tombak perak.
Dia telah melebur semua jurus serangan Kiu-lian-huan miliknya ke dalam tombak perak itu, tak heran bila Tian Mong-pek dan Hek-yan-cu sekalian tak dapat menebak asal usulnya.
Sementara itu si kakek dan pemuda kekar itu sudah muncul dari kejauhan, para penggembala pun maju merubung dan menceritakan kejadian dengan bahasa Tibet.
Setelah manggut-manggut, orang tua itu menghampiri Tian Mong-pek dan bertanya: "Apakah pencuri kuda ini sahabat kalian?" Dari nada pertanyaannya, sudah jelas ia merasa tak puas.
Tian Mong-pek menghela napas panjang, sahutnya: "Sebetulnya saudara Lim mempunyai sedikit dendam pribadi dengan sepasang muda mudi itu, karenanya ia datang menyatroninya." "Jadi mereka bukan datang untuk mencuri kuda?" kembali kakek itu bertanya.
"Dia bukan pencuri kuda, cayhe berani menjamin dengan nyawaku." "Baiklah," ujar kakek itu kemudian sambil tertawa, "aku mempercayaimu, sungguh beruntung nasib orang ini karena ia dapat memiliki seorang sahabat seperti kau." Dalam pada itu, kawanan kuda yang kalut telah berhasil ditenangkan kawanan penggembala itu, semua hewan sudah kembali ke kandang, suasana di padang rumput pun telah pulih dalam ketenangan.
Langit pun lambat laun jadi terang kembali.
Balik ke dalam tenda, kakek itu segera perintahkan untuk menggotong Lim Luan-hong dan dirawat lukanya, berada dalam keadaan seperti ini, walaupun ada banyak masalah yang ingin ditanyakan Tian Mong-pek, mau tak mau terpaksa dia harus urungkan dulu niatnya.
Terdengar kakek itu berkata: "Keponakanku telah melukai sahabatmu, kau tidak marah bukan?" "Aah, kejadian timbul karena salah paham, jadi bisa dimaklumi," jawab Tian Mong-pek sambil tertawa, "seandainya aku berganti kalian, mungkin saja akan kulecuti dia dengan cambuk berduri." "Hahaha, bagus, sungguh beruntung aku bisa berkenalan dengan pemuda macam II kau, seru kakek itu sambil tertawa tergelak, "Kakcu, perintahkan anak-anak untuk menyiapkan hidangan." Selama ini Yo Swan hanya membungkam tanpa menjawab, saat itulah terlihat dua orang penggembala menggotong Lim Loan-hong menuju ke tenda lain.
Ia termenung berapa saat kemudian melengos kearah lain, pura pura tidak melihat.
Begitu menyaksikan kedua orang gembala itu sudah meninggalkan tenda, tanpa membuang waktu lagi, Yo Swan segera menyelinap masuk ke dalam tenda.
Waktu itu Lim Luan-hong sedang berusaha untuk bangun, agak kaget ketika secara tiba tiba melihat seseorang masuk ke dalam tenda.
Dengan wajah berubah, tegurnya: "Siapa kau?" Yo Swan tidak menjawab, dia mendekat sambil membebaskan ikatan tali ditubuh orang itu, kemudian katanya dingin: "Luka yang kau derita hanya luka lecet, tidak masalah, sekarang cepat pergi dari sini!" "Sii.....siapa kau?" tanya Lim Luan-hong tercengang.
"Mungkin kau tidak mengenaliku, tapi aku kenal kau." II "Jadi kaupun .
. . . . . . .. seru Lim Luan-hong semakin kaget.
"Betul sekali," Yo Swan manggut-manggut, "akupun sama seperti dirimu, hanya sayang kau tidak mengontakku sejak awal hingga urusan jadi berantakan.
Sekarang, terpaksa aku harus selamatkan proyek ini dengan cara lain." "Aah, jadi kau Yo Swan?" berkilat sorot mata Lim Luan-hong.
"Baguslah bila kau sudah tahu." Terkejut bercampur girang, bisik Lim Luan-hong lagi: "Majikan sangat minat dengan rumput penghancur impian, kali ini .


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. . . . . . .." Mendadak terdengar suara langkah manusia berkumandang dari luar tenda.
"Jangan banyak bicara!" bentak Yo Swan.
Sambil membopong Lim Luan-hong, dia cabut pisau belati, merobek tenda bagian belakang kemudian menyelinap keluar dengan kecepatan tinggi.
Kebetulan kedua ekor kuda putih tunggangan dua bersaudara Tong tertambat dibelakang tenda, cepat Yo Swan memutus tali les kuda kemudian sambil mendorong Lim Luan-hong naik ke punggung kuda, serunya: "Cepat pergi." "Bagaimana dengan Yo-heng .
. . . . . .." Yo Swan tidak menjawab, dia ayun tangannya menabok pantat kuda, diiringi ringkikan, kuda putih itu segera berlarian menembus padang rumput yang luas.
Waktu itu kekacauan baru saja mereda, semua orang sudah balik ke tenda untuk beristirahat, karenanya tak seorangpun yang me naruh perhatian akan kejadian tersebut.
Setelah sembunyikan pisau belatinya, sambil bergendong tangan, seakan akan tak pernah terjadi sesuatu, Yo Swan berjalan balik ke tenda nya.
Semua tingkah lakunya, baik sewaktu masuk maupun sewaktu keluar, dilakukan begitu santai, tak heran kalau tak ada orang yang perhatikan perbuatan busuknya itu.
Dalam pada itu Tian Mong-pek sedang mengawasi tombak perak yang digenggam dalam tangannya, warna tombak sudah dinodai darah kering, bekas noda yang membeku disana sini, tak ubahnya seperti karat pada batang besi.
Sampai lama sekali dia awasi senjata itu, kemudian setelah menghela napas panjang gumamnya: "Padahal selama ini sepak terjang Lim Luan-hong selalu jujur, terbuka dan lurus, kenapa sekarang berubah jadi begitu aneh dan mencurigakan?" "Tiada urusan yang tak bakal berubah di dunia ini," sahut orang tua itu menghela napas, "manusia pun dapat berubah, orang yang dulunya jahat sekali bisa berubah jadi baik, ada yang dulunya sangat baik berubah jadi jahat." "Aaai, kelihatannya dia memang agak berubah, kalau tidak, mustahil dia bakal kasak kusuk sampai memperlihatkan wajah asli pun tak berani, II namun .
. . . . . . . . Sesudah berkerut kening dan menghela napas, lanjutnya: "Kenapa dia harus menempuh perjalanan jauh datang kemari" Apa pula barang yang dia harapkan?" "Bila sahabatmu telah berubah, tak mungkin kau bisa menebak apa yang hendak mereka lakukan," kakek itu menerangkan, "bila kau sudah seusiaku nanti, teori ini pasti akan kau pahami." Dengan tatapan kosong Tian Mong-pek memandang kejauhan, kembali gumamnya: "Berubah, dia benar-benar telah berubah, tapi .
. . . . .. karena alasan apa dia harus berubah?" Tiba-tiba terlihat seorang penggembala berlarian masuk dengan panik, berbicara dengan gugup.
"Apa yang dia katakan?" tanya Tian Mong-pek terperanjat.
"Dia bilang, sahabatmu telah merobek kain tenda dan melarikan diri." Jawaban kakek itu sangat tawar.
Saking terperanjatnya, mendadak Tian Mong-pek melompat bangun, tapi.....
lagi lagi ia terduduk, bisiknya bimbang: "Dia kabur" Mengapa dia harus kabur?" "Mungkin dia malu bertemu kau, maka terpaksa angkat kaki dari sini." Sahut Yo Swan.
Perlahan Tian Mong-pek mengangguk, untuk berapa saat dia tak sanggup berbicara.
II "Sudahlah, tak perlu dicemaskan, ucap si kakek pula sambil tertawa,
"Sudahlah, tak perlu dicemaskan, ucap si kakek pula sambil tertawa, "sekalipun dia sudah kabur, aku toh tak akan menyalahkan kau, ayoh minum dulu susu sapi hangat itu!" Kelihatannya kakek itu menaruh kesan baik terhadap Tian Mong-pek, sesudah terang tanah, ketika Tian Mong-pek hendak pamit, berulang kali ia menahannya agar menginap berapa hari lagi, terpaksa pemuda itu menuruti permintaannya.
Begitulah, setelah menginap semalam lagi, akhirnya berangkatlah mereka berdua menembusi padang rumput yang luas, dibutuhkan perjalanan sehari semalam sebelum akhirnya tiba di sebuah kota.
Kota itu termasuk sebuah kota yang rapi, dikedua sisi jalan raya yang lebar berjajar berapa toko dan penginapan.
Tapi orang yang berlalu lalang sebagian besar berdandan suku Tibet, dialek bicara yang digunakan pun bahasa Tibet, malah gerombolan domba dan unta ikut berjejal disepanjang jalanan itu.
Dengan tubuh yang dekil karena debu gurun, begitu menginap di losmen, Tian Mong-pek maupun Yo Swan segera membersihkan diri.
Malam itu, mereka berdua bersantap didepan cahaya lentera, setelah menempuh perjalanan selama berapa hari, baru sekarang Tian Mong-pek dapat meneguk arak, tak heran kalau air kata kata pun mengalir dengan derasnya.
Arak yang pedas, seolah membersihkan debu yang mengotori tubuhnya, membersihkan pula kesumpekan hatinya karena perubahan watak Lim Luan-hong.
Ketika dia kembali ke kamar dalam keadaan setengah mabuk, Yo Swan muncul sambil menenteng sepoci air teh dan berkata seraya tertawa: "Minumlah air teh untuk menawarkan pengaruh arak, besok kau tak akan menderita lagi." Tak terlukiskan rasa terima kasih Tian Mong-pek, katanya sambil menghela napas panjang: "Begitu baik toako terhadap diriku, membuat siaute tak tahu bagaimana harus membalas, sepantasnya siaute lah yang menghantar air teh untuk toako." "Hahaha, antar saudara tak perlu bicara begitu, malah kesannya kau pandang aku sebagai orang luar." Tukas Yo Swan sambil tertawa.
"Silahkan duduk toako, bagaimana kalau minum secawan air teh lebih dulu?" "Tidak usah," cepat tampik Yo Swan, "setelah berapa hari tak bisa tidur nyenyak, hari ini aku ingin tidur lebih awal, lagipula kaupun sudah lelah, cepat minum teh lalu pergilah istirahat!" Begitu selesai bicara, dia langsung meninggalkan ruangan.
Tiba dalam kamar sendiri, pikirnya sambil tertawa dingin: "Selamat tinggal saudaraku, besok aku akan datang mengurusi layonmu." Dalam keadaan setengah mabuk, Tian Mong-pek ambil keluar botol kumala dan kitab pusaka pemberian Thian-heng lojin, gumamnya: "Lak-yang-ciang wahai Lak-yang-ciang, aku bersumpah harus mempelajarimu sampai bisa." Dalam berapa hari terakhir, dia sibuk melakukan perjalanan, hal ini membuatnya tak punya peluang untuk berlatih silat, keadaan tersebut cukup membuatnya gelisah, perasaan hatinya waktu itu ibarat seorang setan arak yang membekal arak wangi namun tak berkesempatan untuk menikmatinya.
Dia buka penutup botol dan mengeluarkan tiga belas butir pil, pil berwarna merah membara bagaikan jilatan api, bau harum semerbak segera menyebar memenuhi ruangan.
Kembali gumamnya: "Obat merah dalam botol ini berkasiat membantu aku berlatih ilmu dan harus diminum sebelum berlatih ilmu dalam kitab itu .
. . . .. baik, aku II segera akan mulai berlatih .
. . . . . .. Berjalan menghampiri meja, dia ingin menggunakan air teh sebagai penghantar minum obat, siapa tahu cawan teh tidak ditemukan, akhirnya sambil gelengkan kepala dan menghela napas, dia telan ke tiga belas biji obat merah itu sekaligus.
Dalam waktu sekejap, ia merasa dari dalam perutnya seolah menyebar hawa panas yang membara.
Tapi pemuda itu tidak berpikir lebih jauh, ia segera duduk bersila diatas ranjang dan membuka kitab pusaka itu dibawah cahaya lentera.
Ia sudah pernah periksa halaman pertama, maka dibukanya halaman kedua yang tertulis: "Lak-yang-sin-kang merajai dunia persilatan, diperoleh yang berjodoh dan tiada tandingan dikolong langit." Diam-diam Tian Mong-pek tertawa geli, pikirnya: "Aah, mana mungkin bisa menjadi jagoan yang tiada tandingan di kolong langit." Ia mulai membuka halaman ke tiga, disana tertulis: "Bagi murid golongan lurus yang pernah mempelajari tenaga dalam, berlatih Lak-yang-sin-kang sama artinya menambah setengah kekuatan semula, tapi dilarang mencapai kemajuan secara terburu-buru.
"Hanya pil Hwee-yang-wan dalam botol porselen merah yang mempunyai kasiat mempercepat berlatih sinkang ini.
Setiap hari menelan sebutir dan berlatih selama tiga jam, tiga belas hari kemudian akan terbukti kasiatnya." "Setiap hari hanya boleh menelan sebutir?" gumam Tian Mong-pek agak tertegun.
Ketika membuka halaman ke empat, disitu tertulis: "Pil Hwee-yang-wan bersifat panas, Lak-yang-ciang merupakan ilmu pukulan terpanas diantara ilmu lain, dengan panas membantu panas, kasiatnya akan luar biasa, tapi pantang diraih secara terburu buru.
"Menelan sebutir hwe-yang-wan lebih banyak dapat menyebabkan seluruh tubuh terbakar, menelan empat butir sekaligus dapat membuat isi perut rusak, dalam dua jam kemudian seluruh isi badan akan rusak dan II mengakibatkan kematian .
. . . . . . .. Membaca sampai disitu, Tian Mong-pek merasa hatinya goncang keras, tangannya begitu gemetar hingga buku yang dipegang pun ikut terjatuh ke lantai .
. . . . .. Angin malam berhembus lewat, menggerakkan halaman kitab, goyangan yang seakan mengejek kebodohan pemuda itu, mentertawakan perbuatannya yang gegabah.
Hembusan angin malam terasa makin dingin, tapi isi Tian Mong-pek justru makin membara bagaikan terbakar api, ke empat anggota badannya panas dan menggelembung, sekujur tubuh terasa makin mengem bang seakan siap meledak.
Dia mencoba merangkak bangun dari ranjang, lagi-lagi air teh beracun dalam teko diteguknya hingga habis, wataknya yang keras kepala membuat anak muda itu tak pernah takut menghadapi ancaman kematian.
Yang dia lakukan saat ini hanya tertawa getir, menyeringai sambil berpikir: "Tak terhitung berapa kali aku lolos dari bahaya maut, tak sekali pun tercabut nyawaku, aaai, siapa sangka, pada akhirnya aku harus mati konyol ditempat ini." Oo0oo Cukup lama Yo Swan menunggu diluar kamar, ketika tak mendengar suara apapun, tak tahan diam diam ia ngeloyor ke depan jendela, kebetulan saat itulah dia saksikan Tian Mong-pek sedang meneguk air teh beracun itu.
Dengan luapan gembira yang bukan kepalang, ia segera kembali ke dalam kamar, tidur dengan nyenyak, menunggu orang lain datang mewartakan berita kematian Tian Mong-pek.
Ketika terbayang berapa banyak keuntungan yang bakal diraih dengan matinya pemuda itu, ia merasa makin gembira dan puas, tanpa terasa diapun terlelap tidur.
Entah berapa lama sudah lewat, disaat ia masih tertidur nyenyak, mendadak terdengar suara ketukan pintu yang ramai membuatnya terjaga.
Cepat dia melompat turun dari ranjang, disangka ada orang menyampaikan berita kematian, sambil membuka pintu teriaknya: "Ada apa?" Belum selesai dia bertanya, Tian Mong-pek tampak sudah muncul dihadapannya, pemuda itu tampil dengan wajah merah bercahaya, jauh lebih segar dan gagah daripada semalam.
Tak terlukiskan rasa kaget Yo Swan, pikirnya tercekat: "Jangan jangan aku bertemu setan" Jangan jangan dia datang untuk mencabut nyawaku?" Dia merasa sepasang lututnya jadi lemas, tubuhnya gontai dan terduduk diatas bangku.
Begitu masuk ke dalam kamar, Tian Mong-pek segera memberi hormat seraya berkata: "Terima kasih banyak toako, atas pemberian air teh mu .
. . . . . . .. II "Bukan aku . . . . .. bukan aku . . . . . .." berulang kali Yo Swan menggoyang tangannya, sementara peluh dingin membasahi punggungnya.
"Aaai, padahal toako telah mencampuri air teh itu dengan obat mujarab," kata Tian Mong-pek sambil menghela napas, "buat apa kau masih mengelabuhi siaute" Kenapa tidak membiarkan siaute tahu akan hal ini." II "Rumput obat itu buu .
. . . .. bukan milikku . . . . . . .. "Sekalipun bukan milik toako, tapi toako lah yang telah menghantar rumput obat itu kepadaku .
. . . . . .." "Mau..... mau apa aku sekarang?" suara Yo Swan semakin gemetar.
"Kalau bukan gara-gara obat mujarab toako, mungkin saat ini siaute sudah mati konyol, harap toako sudi menerima satu penghormatanku." Betul saja, ia segera jatuhkan diri berlutut.
Terkejut bercampur penuh tanda tanya, Yo Swan membesut keringat dingin yang membasahi jidatnya.
"Apa..... apa kau bilang?" tanyanya kemudian.
Kembali Tian Mong-pek menghela napas, katanya: "Gara-gara bertindak gegabah, tanpa dibaca lebih teliti, siaute telah menelan tiga belas butir pil hwee-yang-wan sekaligus, mustinya siaute bakal mati karena isi perutku terbakar." "Lalu.....
lalu apa yang terjadi?" sambil menggenggam kencang punggung kursi, tanya Yo Swan gemetar.
Tian Mong-pek tersenyum, katanya: "Waktu itu, siaute merasa sekujur tubuhku panas bagaikan terbakar, kusangka bakal mati konyol, siapa tahu, tidak sampai satu jam setelah kuhabiskan air teh dalam teko pemberian toako, lambat laun tubuhku jadi dingin dan segar, siksaan karena menggelembung dan kepanasan yang luar biasa pun ikut hilang tak berbekas, sudah pasti dalam air teh pemberian toako, telah dicampuri obat mujarab penghilang rasa panas, sehingga racun api ditubuh siaute ikut terbasmi .
. . . ..aai, berulang kali toako telah selamatkan nyawa siaute, entah bagaimana caraku untuk membalasnya." Yo Swan merasa dadanya seolah terhantam martil besi, tak sampai mendengar hingga selesai, sekujur tubuhnya sudah gemetaran keras, gumamnya: "Itulah dia .
. . . . .. yaa, itulah dia . . . . . . .." Melihat mimik mukanya yang jelek, Tian Mong-pek terkesiap, tegurnya cepat: "Toako, kenapa kau?" "Aah, betul, betul sekali," batin Yo Swan, "rumput penghancur impian merupakan benda terdingin yang ada di dunia ini, bila ditelan orang biasa, isi perutnya akan kedinginan dan membeku hingga tak tertolong, tapi bagi orang yang keracunan hawa panas, obat ini justru merupakan obat paling mustajab untuk mengurai sifat racunnya, aaai, dengan susah payah kucuri racun itu dengan niat membunuhnya, siapa tahu justru perbuatanku II ini telah selamatkan nyawanya .
. . . . . .. Semakin dipikir, ia merasa makin tersiksa, makin jengkel, makin mendongkol: "Coba tidak kuberi air teh itu, bukankah saat ini dia sudah mati konyol" Enyah dari muka bumi?" Membayangkan sampai disini, dia tak tahan untuk meninju dada sendiri sambil menghentak kakinya berulang kali, nyaris menangis tersedu-sedu.
Dengan penuh rasa haru Tian Mong-pek menggenggam bahunya, dengan nada gemetar teriaknya berulang kali: II "Toako .
. . . .. toako . . . . . . .. Hampir gila saking mendongkolnya Yo Swan, tapi dia paksakan senyuman menghiasi wajahnya, setelah tertawa tergelak serunya: "Hahaha.....
aku terlalu senang, pada hakekatnya aku merasa senang sekali." "Oh, rupanya toako sedang ikut gembira karena siaute," seru Tian Mong-pek sambil menghembuskan napas lega, "tadinya siaute sangka tiba tiba toako 'I' c terserang penyakit Dalam hati Yo Swan menyumpai pemuda itu, tapi diluar, ia berkata sambil tertawa: "Tadinya kusangka obat itu hanya bisa menyegarkan otak, sama sekali tak kusangka begitu hebat kasiatnya." "Benar sekali, pada hakekatnya tiada duanya dikolong langit, saat ini bukan saja siaute merasa segar bugar, bahkan tenaga dalamku terasa meningkat tajam." "Betulkah begitu?" tanya Yo Swan dengan mata terbelalak.
"Tentu saja." "Bagus, bagus, hahahaha.....
bagus . . . . .." Semakin didengar, ia merasa makin mendongkol, makin kesal dan jengkel, mendadak sambil berteriak keras, tubuhnya terjengkang ke belakang, roboh tak sadarkan diri.
Sambil menjerit kaget buru-buru Tian Mong-pek membopong tubuhnya sambil direbahkan diatas ranjang, ia semkin terharu dan berterima kasih, pikirnya: "Toako memang nyata sangat menguatirkan diriku, buktinya, gara gara urusanku dia sampai jatuh semaput." Hingga melanjutkan perjalanan keesokan harinya, perasaan hati Yo Swan masih amat masgul.
Setiap kali melihat gerak gerik Tian Mong-pek yang segar penuh semangat, perasaan hatinya seakan ditembusi berjuta batang panah beracun, apalagi setiap saat dia harus melayani pembicaraan dengan pemuda itu, menebar senyuman.
Kuatir borok dihatinya ketahuan Tian Mong-pek, sepanjang jalan sikapnya terhadap pemuda itu amat hangat dan penuh perhatian, malah semua keinginannya dipenuhi.
Hari itu, tibalah mereka di Hin-hay, sejauh mata memandang, yang terlihat hanya bentangan padang rumput yang luas, selisih jarak dari kota Say-leng di propinsi Cing-hay sudah tidak jauh lagi.
Menyaksikan panorama alam diluar perbatasan, perasaan hati Tian Mong-pek makin lama semakin riang, senja itu dia mengajak Yo Swan berkeliling kota, bahkan menyempatkan diri membeli sepasang sepatu kulit.
Sewaktu akan membayar uang sepatu, mendadak terdengar suara rentetan mercon berkumandang dari toko sebelah, dilihat dari kejauhan, tampak banyak orang sedang berkerumun disitu, bahkan dimeja altar tersedia sesaji.
Menyaksikan hal ini, sambil tertawa kata Tian Mong-pek: "Rupanya hari ini mereka sedang merayakan hari besar, aku jadi ingin tahu dewa apa yang mereka sembah." Sementara berbicara, dia sudah ikut berdesakan masuk ke dalam ruangan.
Ternyata dibalik ruangan terdapat sebuah meja altar, diatas altar tersedia lilin, hio dan sesaji, berapa orang sedang berlutut didepan altar, melakukan penghormatan.
Tapi diatas meja altar tak terlihat patung Budha, yang ada hanya lengpay.
Dibawah sinar lilin, terlihat jelas tulisan yang tertera diatas lengpay itu yang berbunyi: "Tempat abu tuan penolong Tian Mong-pek." Betapa terkejutnya Tian Mong-pek setelah membaca tulisan itu, mula mula dia sangka matanya kabur, tapi setelah dipandang lebih seksama, jelas tertera tulisan diatas.
Dengan perasaan tak percaya iapun berpaling seraya bertanya: "Toako, sudah kau lihat?" Paras muka Yo Swan sendiripun diselimuti rasa kaget bercampur bingung, diam diam dia tarik ujung baju pemuda itu sambil bisiknya: "Jangan bikin gaduh, biar kucari dulu berita tentang hal ini." Ditepi jalan, mereka bertemu dengan pedagang sepatu yang mengerti bahasa Han, setelah menariknya ke tepian, tanyanya: "Tolong tanya toako, apakah tahu apa yang terjadi disana?" "Aai, panjang untuk diceritakan .
. . . . . .." jawab orang itu sambil menghela napas.
"Kalau begitu, cerita saja secara ringkas." Dengan tatapan heran orang itu mengawasi mereka sekejap, kemudian ujarnya: "Sebenarnya mereka sekeluarga sudah mati, tapi seorang pemuda bernama Tian siangkong telah selamatkan nyawa mereka semua, itulah yang terjadi." "Toako, tidakkah kau merasa kalau ceritamu kelewat sederhana." Kata Yo Swan tertawa.
"Kisah yang sejelasnya tidak kuketahui, yang aku dengar, semalam, pendekar muda Tian Mong-pek telah melakukan berapa perbuatan baik, bila maju lebih ke depan, kalian akan menyaksikan banyak keluarga sedang menyembahnya.
Coba tanyalah ke orang lain, siapa tahu mereka bisa memberi penjelasan." Diliputi perasaan kaget bercampur keheranan, Tian Mong-pek saling bertukar pandangan dengan Yo Swan, kemudian setelah mengucapkan terima kasih, berangkatlah kedua orang itu melanjutkan perjalanan.
Betul saja, sepanjang jalan mereka jumpai ada dua-tiga keluarga yang melakukan hal sama, setelah ditanya secara hati-hati, diketahui bahwa berapa keluarga itu telah peroleh pertolongan dari "Tian Mong-pek" disaat saat kritis.
Mendapat pertanyaan semacam itu, orang lain justru balik bertanya: "Apakah kalian berdua adalah sahabat Tian inkong" Atau ada urusan mencari kami?" II "Benar, sahut Yo Swan cepat, "kami adalah sahabat Tian Mong-pek, tapi tidak terlalu yakin apa benar dialah Tian siangkong yang dimaksud, tolong tanya toako, apakah kalian sempat mengenali wajah aslinya?" Mengetahui mereka berdua adalah teman "Tian Mong-pek", sikap orang itu berubah jadi amat menghormat, jawabnya: ll "Tian inkong adalah seorang kongcu muda .
. . . . . .. "Apakah wajahnya mirip aku?" sela Tian Mong-pek.
Orang itu perhatikan sang anak muda berapa saat, lalu sahutnya sambil tertawa: "Terus terang, kami semua tak ada yang pernah menyaksikan wajah Tian inkong, kami hanya menduga kalau usianya pasti sangat muda." Tian Mong-pek mengiakan dengan perasaan kecewa, kembali dia melanjutkan perjalanan setelah mengucapkan terima kasih.
Setelah melangkah berapa jauh, Tian Mong-pek baru menghela napas sambil bergumam: "Sudah jamak orang persilatan mencatut nama orang untuk melakukan kejahatan, tapi amat jarang yang mencatut nama untuk melakukan kebaikan, benar-benar satu kejadian aneh." "Mungkin saja kita bertemu dengan orang yang bernama sama." Kata Yo Swan.
Tian Mong-pek termenung sambil berpikir sejenak, setelah menggeleng dan menghela napas, katanya: "Memiliki nama yang sama .
. . . . . .." aai, rasanya begitu kebetulan, tapi kalau bukan begitu, rasanya kejadian ini lebih aneh lagi." Berjalan berapa saat kemudian, tanpa terasa kedua orang itu sudah berjalan dari sisi selatan kota menuju ke utara kota.
Kota Hin-hay merupakan pusat perdagangan rempah rempah dan tanduk menjangan yang mahal harganya, alas jalan dalam kota terbuat dari batu granit yang mahal, pertokoan sepanjang jalan pun sangat megah, khususnya pertokoan disepanjang jalan menuju utara kota.
Diantara pertokoan yang megah, terselip pula rumah makan dengan bau masakan yang harum.
Tanpa terasa Tian Mong-pek memperlambat langkah kakinya.
Melihat hal itu, Yo Swan pun bertanya: "Apakah jite ingin minum berapa cawan?" "Begitulah niatku." Kedua orang itupun mencari rumah makan yang dibuka bangsa Han, dari balik kain tirai yang tebal, segera terendus bau arak yang kental dan harum semerbak.
Karena terganjal masalah, Tian Mong-pek hanya bersantap dan minum arak sambil melamun, sementara Yo Swan mulai memperhatikan sekeliling tempat itu.
Tiba tiba terdengar suara derap kaki kuda berhenti diluar pintu, empat orang lelaki berdandan suku Tibet dengan mantel besar, melangkah masuk ke dalam ruangan dengan langkah lebar.
Bukan suatu kebiasaan melarikan kuda didalam jalan kota, apalagi penunggangnya berdandan orang persilatan, tanpa terasa Yo Swan menaruh perhatian lebih terhadap beberapa orang itu.
Ke empat orang itu, dengan tatapan yang tajam balas melototi mereka berdua, hanya saja waktu itu Tian Mong-pek sedang melamun sehingga sama sekali tak ambil peduli dengan tatapan mereka berempat.
Tak lama kemudian, ke empat orang itupun mulai meneguk arak sambil berbincang, nada suara mereka makin lama makin meninggi.....
seolah olah dalam ruangan itu hanya terdiri mereka berempat.
Mendadak terdengar seseorang menggebrak meja seraya mengumpat: "Konon Tian Mong-pek si bajingan ini adalah anak Tian Hua-yu, kenapa perbuatan yang dia lakukan tidak mirip perbuatan manusia?" Walaupun mereka mengenakan baju Tibet, namun berbicara dengan dialek bahasa Han.
Kembali Tian Mong-pek dibuat tertegun setelah mendengar perkataan itu, belum sempat bereaksi, terdengar seorang yang lain ikut mengumpat: "Tian Hua-uh mah terhitung seorang enghiong, sama sekali tak disangka ia justru mempunyai seorang anak macam anjing beruang." Paras muka Yo Swan ikut berubah setelah mendengar perkataan itu, diam-diam ia menggenggam tangan Tian Mong-pek, kemudian serunya dengan suara berat: "Apakah orang yang kalian umpat adalah Tian Mong-pek dari kota Hang-ciu?" Orang itu melirik Yo Swan sekejap, kemudian jawabnya: "Betul, dialah yang kami umpat." Orang ini berperawakan tinggi besar, mukanya semerah pantat babi, tampaknya mirip seorang lelaki sejati.
"Apakah kalian kenal dengan orang bermarga Tian itu?" kembali tanya Yo Swan dengan kening berkerut.
"Huh, siapa yang kesudian kenal dengan anak jadah itu." Sahut lelaki bermuka merah itu sambil tertawa dingin.
"Kalau tidak kenal, kenapa kalian mencaci maki dirinya?" "Kami bersaudara menempuh perjalanan melalui Dakonto, Asako serta berapa tempat sepanjang pesisir sungai kuning, hampir setiap tempat yang kami singgahi selalu diwarnai dengan pembunuhan berdarah yang dilakukan Tian Mong-pek .
. . . . . . .." Sebetulnya Tian Mong-pek sudah dikuasahi api amarah yang luar biasa, tapi ia jadi tercengang setelah mendengar sampai disitu, tanyanya keheranan: "Pembunuhan berdarah apa?" Dia pun segera menebak kalau ada orang telah mencatut namanya untuk melakukan tindak kejahatan.
"Hmm, pembunuhan berdarah apa lagi?" dengus lelaki bermuka merah itu, "bukan saja merampok, membunuh, bahkan merogol kaum wanita, nyaris semua kejahatan telah dia lakukan." Baru saja api kemarahan Tian Mong-pek meluap, belum sempat dia buka suara, dari sudut ruangan terdengar seseorang menyela dengan nada dingin: "Darimana kalian tahu kalau dia yang melakukan perbuatan itu?" Dengan gusar teriak lelaki berwajah merah itu: "Sepanjang jalan, dia selalu meninggalkan namanya, hakekatnya dia sudah menganggap pekerjaan membunuh sebagai pekerjaan rutin, bila suatu saat kami dapat bertemu dengannya, pasti akan kucincang bajingan itu hingga hancur berkeping." Belum selesai dia berkata, tiba tiba dari sudut ruangan melompat bangun seorang pemuda, serunya gusar: "Dari Kamsiok hingga tempat ini, sauya hanya mendengar sepak terjang Tian Mong-pek yang gagah berani dan melakukan perbuatan kebajikan, memang kalian sangka dia bisa memecah diri jadi dua orang, yang satu berbuat kebajikan di sebelah timur, sementara yang lain melakukan pembantaian disebelah barat?" Lelaki bermuka merah itu tak mau kalah, sambil menggebrak meja teriaknya pula: "Hmm, jangan jangan kau adalah begundal Tian Mong-pek, berapa banyak hasil rampokan Tian Mong-pek yang dibagikan kepadamu?" "Kentut busuk!" umpat pemuda itu.
The Bridesmaids Story 1 Pedang Siluman Darah 5 Hidung Belang Penghisap Darah Dendam Datuk Geni 2

Cari Blog Ini