Ceritasilat Novel Online

Panah Kekasih 13

Panah Kekasih Karya Gu Long Bagian 13


"Hei, siapa yang kau maki?" "Tentu saja memaki kau si budak goblok yang punya mata tak ll berbiji .
. . . . . .. Begitu caci maki meledak, para tamu yang ada dikedai pun berbondong bondong kabur dari sana, hal ini membuat pemilik rumah makan serta pelayannya jadi panik dan tak tahu apa yang harus dilakukan.
Tian Mong-pek merasa mendongkol bercampur geli, mendengar caci maki yang berlangsung, dia merasa dirinya seakan jadi orang luar, yang lebih aneh lagi, dia sama sekali tidak mengenali pemuda yang membantunya.
Terlihat pemuda itu menggebrak meja, tubuhnya segera melambung ke tengah udara.
Ke empat orang lelaki itu tak mau kalah, mereka ikut melompat bangun.
Sekali tendang, lelaki berwajah merah itu membalikkan meja dihadapannya.
II "Bocah keparat," makinya, "kalau berani, kemari kau .
. . . . .. "Praaang . . . . . .. cawan dan mangkuk yang ada dimeja pun berjatuhan ke lantai, hancur berantakan.
Tiba tiba terlihat sang pelayan menuding kesana kemari sambil menghitung: "Piring empat biji, tiga puluh enam rence, cawan empat biji, dua puluh empat rence, mangkuk empat biji, empat puluh delapan rence,...
Sementara dia menghitung, sang kasir mencatatnya diselembar kertas.
Dengan suara lantang lelaki berwajah merah itu berteriak: II "Hitung baik baik, ganti rugi akan kami bayar .
. . . . .. Bab 2 8 . Membingungkan . Keempat orang itu bersama sama menyambar kaki meja, dalam sekali sentakan, ambrollah ke empat kaki itu, masing masing orang dengan menggenggam sepotong kayu dan bertelanjang dada, siap melakukan pertarungan.
Lagi-lagi sang pelayan berteriak: "Tambah sebuah meja lagi, satu tahil perak .
. . . . .." Dengan satu langkah cepat, pemuda itu menyerbu maju, ejeknya sambil tertawa dingin: "Budak yang ingin mampus, kalau sauya turun tangan beneran, kalian bakal mengenaskan." "Kau sendiri yang bakal mengenaskan." Bentak lelaki berwajah merah itu.
Kaki meja dalam genggamannya langsung dihantamkan keatas kepala pemuda itu, bersamaan waktu, lelaki lain yang bermata besar, mengayunkan kaki meja menghantam pinggang lawan.
Tiba tiba Tian Mong-pek membentak nyaring, sambil menghadang didepan pemuda itu, teriaknya: "Kalau ingin berkelahi, cari aku lebih dulu .
. . . . .." Diantara ayunan tangan, dia ancam urat nadi kedua orang lelaki itu.
Pemuda itu kontan tertawa terbahak-bahak, serunya: "Hahaha, bagus, bagus, aku mendapat bala bantuan" Tubuhnya berputar cepat, satu pukulan dilontarkan ke dada salah seorang lelaki itu.
Sambil berteriak keras, lelaki itu melompat keluar dari belakang meja, menggelinding ke hadapan Yo Swan yang sedang berpeluk tangan sambil tersenyum.
Dengan satu kecepatan tinggi, Yo Swan menjambak rambutnya kemudian menghadiahkan empat tempelengan keras, umpatnya seraya tertawa: "Akan kulihat apakah kau masih bisa banyak bicara?" Satu tendangan yang menyusul tiba membuat lelaki itu mencelat dan terjatuh diatas sebuah meja, tak ampun mangkuk cawan diatas meja hancur berantakan tertindih badannya.
Lelaki berwajah semu merah itu menggunakan meja sebagai pengganti golok panjang, dengan memainkan ilmu golok Lak-hap-to-hoat, dia menyerang bagian atas dengan jurus soat-hoa-gay-teng (bunga salju memenuhi atap) sementara menyerang bagian bawah dengan jurus Ku-su-puan-gun (pohon layu melilit akar), serangannya cukup mantap dan hebat.
Dengan pandangan dingin Tian Mong-pek perhatikan berapa jurus serangannya itu, tiba tiba kaki kirinya menggaet, kontan saja lelaki itu kehilangan keseimbangan dan roboh terjungkal.
"Hahaha, ada anjing makan taek!" teriak pemuda tampan itu sambil tertawa tergelak.
Sambil menjambak rambut lelaki bermuka merah itu, dengan meniru gaya Yo Swan tadi, diapun menghadiahkan empat buah tempelengan.
Tak ampun darah menyembur dari mulut dan hidung lelaki itu, tubuhnya terjungkal diatas meja yang lain, "Praanng!" lagi lagi mangkuk dan cawan tertindih hingga hancur berantakan.
Dipihak lain, lelaki bermata besar telah menyerang kearah Tian Mong-pek, dengan bersenjatakan kaki meja, ia membacok dan membelah kearah kiri kanan, bentaknya: "Rasakan berapa bacokan golok saktiku!" Bagi Tian Mong-pek, biar dia sangat mendongkol, namun tak berniat melukai berapa orang lelaki kasar itu, setelah menyambut tiga jurus serangan lawan, ia berbalik cengkeram kaki meja ditangan lawan.
"Lepas tangan!" hardik lelaki bermata besar itu, sambil perkuat kuda kuda, sekuat tenaga dia merebut balik senjatanya.
Siapa tahu kaki meja yang berada dalam genggaman Tian Mong-pek ibarat besi baja, sampai mukanya merah padam dan seluruh tenaga dikerahkan pun, kaki meja itu sama sekali bergeming, tak mampu bergerak.
"Pergilah!" kata Tian Mong-pek kemudian sambil tersenyum, tangannya didorong pelan ke depan.
Lelaki bermata besar itu tak mampu berdiri tegak, terhuyung huyung dia mundur sejauh tiga langkah dan kebetulan terjatuh ke atas tubuh lelaki bermuka merah yang baru saja berusaha merangkak bangun.
Suara benda pecah pun bergema memecahkan keheningan, dengan mata terbelalak sang pelayan tiada hentinya menghitung benda yang pecah, sementara sang kasir mencatat terus tiada habisnya.
Berada dalam keadaan begini, lelaki berwajah merah itu tak sempat mengurusi orang lain lagi, cepat dia dorong tubuh lelaki bermata besar, lalu setelah berdiri tegak, dia cabut keluar golok lengkungnya.
"Kau berani menggunakan senjata?" hardik Tian Mong-pek sambil menarik muka.
"Toaya akan adu nyawa denganmu." Teriak lelaki bermuka merah itu sambil menerkam maju.
Dengan cekatan Tian Mong-pek mengigos ke samping, telapak tangan kirinya membabat kearah tengkuk sebelah kiri, sementara Yo Swan mengangkat tubuh lelaki bermata besar itu dan membentak: "Pergi kamu!" Dia langsung melempar tubuhnya lurus ke depan.
Ketika dua orang lelaki lain baru saja merangkak bangun dengan wajah membengkak, sambil menghentakkan kakinya, pemuda jangkung itu sudah membentak nyaring: "Mau coba coba lagi .
. . . . . . .." Dua orang lelaki itu ketakutan setengah mati, dengan badan menggigil, mereka langsung kabur dari situ.
Saat itu, lelaki berwajah merah itu sedang menggelinding ke arah pintu depan, belum sempat berdiri, dia sudah ditarik kedua lelaki yang lain hingga terseret ke samping.
Dengan satu lompatan, Tian Mong-pek menyusul keluar pintu, ia saksikan ke empat lelaki itu sudah melompat naik ke punggung kuda dan melarikan diri terbirit-birit.
"Hahaha, puas, puas, pertarungan yang memuaskan." Kata pemuda jangkung itu sambil tertawa nyaring.
"Terima kasih banyak hengtai, atas bantuanmu .
. . . .." kata Tian Mong-pek pula sambil tertawa.
Menyaksikan ketampanan pemuda berbaju perlente ini, perasaan bermusuhan yang muncul dihatinya tadi, kini sudah tersapu bersih.
Pemuda jangkung itu balas tertawa.
"Hengtai yang telah bantu aku melampiaskan rasa jengkelku tadi,"katanya, "sudah sepantasnya kalau cayhe yang berterima kasih, masa justru hengtai yang berterima kasih kepadaku?" "Sudah sepantasnya bila cayhe yang berterima kasih kepada hengtai." Kata Tian Mong-pek lagi sambil tersenyum.
"Kenapa?" "Karena akulah Tian Mong-pek." Pemuda itu tampak tertegun, sampai lama tak sanggup berbicara, dengan tatapan tajam diamatinya Tian Mong-pek dari ujung kepala hingga ke ujung langit.
Sementara itu Yo Swan telah memungut kantong yang dan membayar kerugian dirumah makan itu.
Mengawasi wajah melongo pemuda itu, kembali Tian Mong-pek berkata sambil tertawa: "siaute hanya mengurusi orang berkelahi, sedang toako musti menanggung kerugian, toako, kau tidak merasa dirugikan?" "Hahaha, betul, betul sekali, kau puas berkelahi sementara aku musti pahit karena menguras kantong, makanya lain kali tak usah bertarung kalau musti keluar uang." Dalam pada itu pemuda jangkung itu sudah tertawa keras setelah termangu berapa saat, katanya: "Bagus, bagus sekali, rupanya kau adalah Tian Mong-pek, sungguh bagus sekali." "Boleh tahu siapa nama hengtai?" "Cepat atau lambat hengtai pasti akan mengetahui nama siaute,"sahut pemuda itu, "harap diingat saja, siaute pernah membantu mu berkelahi .
. . . . .." Belum sampai selesai bicara, dia sudah mengulapkan tangannya dan meninggalkan ruangan diiringi gelak tertawa.
Gantian Tian Mong-pek yang melongo, cepat teriaknya: "Hengtai, tunggu sebentar." Sayang sewaktu menyusul keluar pintu, pemuda jangkung itu sudah pergi entah ke mana.
"Kenapa sepak terjang pemuda itu aneh sekali?" gumam Yo Swan sambil berkerut kening.
"Benar!" Tian Mong-pek gelengkan kepalanya berulang kali, "siaute benar-benar dibikin bingung, orang itu masih begitu muda, kungfu nya sudah begitu hebat, tampaknya dia punya asal usul yang luar biasa." "Peduli apapun asal usulnya, yang penting dia sudah membantumu, yang menggemaskan justru orang yang berani mencatut namamu untuk melakukan kejahatan, entah siapa orang itu?" Tian Mong-pek menghela napas panjang.
"Kejadian ini meman aneh, yang satu dari arah timur menuju ke barat mencatut namaku untuk melakukan kebajikan, sementara yang satu lagi dari barat menuju ke timur mencatut namaku untuk berbuat kejahatan .
. . . . . .." Tiba tiba satu ingatan terlintas, katanya lagi: "Kalau ditinjau dari situasi sekarang, jangan jangan saat ini kedua orang itupun sudah berada dalam kota Hin-hay-shia?" "Jadi kau sudah dapat menebak siapa gerangan kedua orang itu?" tanya Yo Swan setelah berpikir sejenak.
Tian Mong-pek tertawa lebar.
"Biar kau bunuh akupun, tak bakalan bisa kutebak." Sahutnya.
Karena keadaan dalam ruangan sudah berantakan, kedua orang itu tak bernapsu untuk melanjutkan santapnya, mereka pun meninggalkan tempat itu.
Tiba di jalan raya, rumah pelacaran dan rumah makan yang semula terang benderang disepanjang jalan, tiba tiba berubah jadi senyap dan gelap gulita, suasana ditempat itu mendadak berubah jadi sepi, begitu hening bagaikan kota mati.
Kedua orang itu jadi keheranan, mereka mencoba mengawasi seputar tempat itu, terlihat semua orang telah menghentikan langkah mereka, hampir semua orang berdiri dibawah wuwungan rumah dengan kepala tertunduk.
Diantara kerumunan orang banyak, tiba tiba Tian Mong-pek menjumpai dua sosok bayangan manusia yang sangat dikenalnya, sepasang lelaki wanita, yang laki tak lain adalah Raja langit berwajah emas Li Koan-eng.
Dengan penuh rasa gembira, Tian Mong-pek segera berseru: "Saudara Li, saudara Li, Li Koan-eng .
. . . . . . .." Siapa tahu begitu mendengar panggilan itu, sekujur badan Li Koan-eng tiba tiba gemetar keras, tanpa berani angkat kepalanya, dia sudah ngeloyor pergi melewati belakang tubuh perempuan disisinya.
Sekali lagi Tian Mong-pek merasakan hatinya tergerak, baru saja akan mengejar, terdengar orang yang berada disampingnya telah menghardik: "Tuan tuan Lhama telah tiba, seluruh jalanan sudah hening, kenapa kau masih berteriak?" Baru selesai teguran itu, dari ujung jalan telah muncul satu rombongan lhama berjubah kuning, mereka berbaris dengan kepala tertunduk.
Biarpun terdiri dari puluhan orang, namun langkah mereka sama sekali tak menimbulkan suara.
Semua orang yang hadir disisi jalan semakin menundukkan kepalanya rendah rendah, bertemu dengan para lhama Tibet itu, mereka seakan telah bertemu dengan Buddha hidup.
Dengan perasaan tak berdaya terpaksa Tian Mong-pek ikut menunduk, untung gerak langkah rombongan lhama berjubah kuning itu amat cepat.
Dalam waktu singkat, mereka telah mencapai ujung jalan raya.
Begitu bayangan rombongan lenyap dari pandangan, suasana disekeliling kota pun pulih kembali jadi hidup, lampu terang kembali menyinari rumah makan maupun rumah pelesiran, suasana kehidupan tumbuh kembali sepanjang jalan.
Yo Swan menarik seorang yang berada disisinya seraya bisiknya: "Toako, tahukah kau, para hudya itu datang dari mana dan akan pergi ke mana?" Buru-buru jawab orang itu: "Toako, masa kau tak tahu" Kawanan hud-ya hidup itu berasal dari kuil Tok-lan-sie, konon akan melintas perbatasan menuju ke daratan." "Kenapa masuk perbatasan?" tanya Yo Swan lagi keheranan.
Orang itu melongok sekejap ke kiri kanan, lalu bisiknya lagi: "Konon dikarenakan peristiwa yang menimpa kuil Ta-li-sie tahun berselang, karena itu para lhama menuju perbatasan untuk melakukan penyelidikan." "Ooh .
. . . . .." berkilat sepasang mata Yo Swan.
Paras muka Tian Mong-pek ikut berubah, sambil menarik baju Yo Swan, katanya: "Ternyata kedatangan kawanan lhama berjubah kuning itu ke daratan Tionggoan lantaran kemunculan panah kekasih....." "Darimana kau tahu?" Tian Mong-pek menghela napas panjang.
"Paman kedua siaute, Gui Cu-hun justru tewas dalam kuil Ta-li-sie, mana mungkin siaute tidak tahu?" Sementara pembicaraan masih berlangsung, mendadak dari balik kerumunan orang banyak muncul sebuah tangan yang mencengkeram pergelangan tangannya dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat, kecepatan serangannya sungguh diluar dugaan.
Tian Mong-pek tidak menduga akan hal ini, dengan kaget dia membalikkan badan sambil menghardik: "Siapa?" Terlihat seorang lelaki bercambang, bermata hijau dengan pakaian perlente muncul dari balik kerumunan orang banyak sembari membentak: "Ternyata kau" "Ternyata kau?" bentak Tian Mong-pek pula dengan wajah berubah.
"Kau yang memanggil Li Koan-eng tadi?" kembali lelaki kekar itu menegur.
"Betul" "Di mana dia sekarang?" "Lepas tangan dulu sebelum bicara." Sela Yo Swan dingin.
Telapak tangannya seolah tak sengaja menyapu ke depan, ternyata sapuan itu tepat mengancam jalan darah ci-ti-hiat di sikut lawan.
Baru saja lelaki kekar itu menarik sikutnya, Tian Mong-pek sudah membalik pergelangan tangannya, melepaskan diri dari cengkeraman.
"Siapa kau" Kenapa mencampuri urusan lohu?" tegur lelaki kekar itu gusar.
"Sebut dulu, siapa namamu." Balas Yo Swan ketus.
"Kau tidak kenal lohu" Akulah Go Jit .
. . . . . . .." "Ah, ternyata kau adalah Jut-siau-to (golok terhunus dari sarung) Go Jit .
" "Mo-siau-to, bukan jut-siau-to" teriak lelaki itu makin gusar, "golokku tak bersarung, darimana bisa terhunus dari sarungnya" Bocah muda, jangan salah sebut namaku." "Aku adalah Yo Swan dari perguruan Au-sian-kiong." Mo-siau-to tertegun, tapi segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, ternyata murid Au-sian-kiong, tak heran kalau memiliki ilmu
"Aku adalah Yo Swan dari perguruan Au-sian-kiong." Mo-siau-to tertegun, tapi segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, ternyata murid Au-sian-kiong, tak heran kalau memiliki ilmu hebat dan nyali besar." Tiba tiba ia berhenti tertawa, sambil berpaling tanyanya: "Ke mana perginya Li Koan-eng?" "Tadi hanya terlintas melintas, sekarang sudah tak nampak lagi jejaknya." Sahut Tian Mong-pek.
"Benarkah itu?" "Hmm, kalau tak percaya, buat apa bertanya kepadaku?" Mo-siau-to termangu berapa saat, akhirnya sambil menghentakkan kakinya dan menghela napas, keluhnya: "Lohu tak segan melakukan pengejaran dari daratan Tionggoan hingga ke luar perbatasan, sama sekali tak kusangka, kali inipun mereka berhasil meloloskan diri." Semenjak Tian Mong-pek membebaskan Go Jit dari dalam kamar manusia siluman Liu Tan-yan di tepi hutan telaga Thay-ou, hingga kini, ia belum pernah mendengar kabar berita tentang dirinya.
Kini, tak tahan diapun menyahut sambil menghela napas: "Nona Beng begitu kejam dan tega terhadap cianpwee, buat apa cianpwee harus bersusah payah mengejar jejaknya?" "Sebelum berhasil mengejar kedua bangsat itu, mana mungkin rasa benci ku bisa terobati?" jawab Mo-siau-to penuh dendam.
Tian Mong-pek menghela napas.
"Aai, mereka berdua tak mampu balik ke rumah sendiri dan terpaksa harus melarikan diri ke luar perbatasan, keadaan semacam ini sudah cukup mengenaskan, cianpwee, apa salahnya bila kau berbaik hati dengan mengampuni mereka berdua?" "Bagus, bagus," teriak Mo-siau-to dengan wajah berubah, "bahkan kaupun sudah bantu berbicara untuk mereka" Dibilang mereka mengenaskan, memangnya aku Go Jit tidak cukup mengenaskan?" Tian Mong-pek menghela napas panjang.
"Haai, aku tidak bermaksud membantu mereka, hanya saja .
. . . .." "Hanya saja kenapa" Mungkin orang lain tidak tahu sampai dimana kasih sayang dan perhatianku terhadap Beng Li-si, tapi kau .
. . . .. seharusnya kau tahu bukan!" Membayangkan kembali keadaan Mo-siau-to yang terluka parah hanya gara-gara menguatirkan keselamatan Beng Li-si, tanpa sadar Tian Mong-pek mengangguk.
"Tapi bagaimana sikap dia terhadapku?" ucap Mo-siau-to lagi sedih, "dia .
. . . . .. dia..... aai, tanpa harus dijelaskan pun, aku rasa kau sudah sangat jelas." Kembali Tian Mong-pek terbayang sikap dingin, ketus dan kejam dari Beng Li-si terhadap orang itu, sekali lagi dia mengangguk sambil menghela napas panjang.
Yo Swan yang tidak tahu duduknya persoalan jadi tercengang, tak tahan selanya sambil tertawa: "Jite, teka teki bisu apa yang sedang kau lakukan dengan Go locianpwee" Bolehkah aku ikut mengetahui?" "Aaai, lebih baik toako tak usah menanyakan persoalan ini." Kata Tian Mong-pek sambil menghela napas.
Siapa tahu sambil tertawa pedih sela Mo-siau-to: "Saat ini lohu sedang mendongkol bercampur marah, dadaku sesak, kebetulan sekali jika saudara Yo bersedia mendengarkan keluh kesahku ini." "Tidak leluasa untuk bicara ditengah jalan, bagaimana kalau kia cari tempat duduk lebih dulu?" usul Yo Swan setelah berpikir sejenak.
Mo-siau-to segera menarik lengan bajunya seraya berseru: "Losmenku berada tak jauh dari sini, bagaimana pun, kalian berdua harus ikut lohu untuk minum berang dua cawan arak." Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa Tian Mong-pek mengintil dibelakang kedua orang itu.
Begitulah, setibanya di losmen, Mo-siau-to segera mengeluarkan seluruh isi hatinya dihadapan Yo Swan, sekalipun tak sampai diiringi linangan air mata, paling tidak, wajahnya menunjukkan rasa pedih yang mendalam.
Tian Mong-pek tidak sabar mendengarkan kisah pedih itu, tanpa terasa ia menelusuri serambi samping dan berjalan menuju ke tanah lapang, berjalan sambil melamun dibawah cahaya bintang yang bertaburan.
Sambil melamun, pikirnya: "Li Koan-eng melakukan perjalanan menuju ke luar perbatasan, itupun baru dua hari berselang tiba disini, jangan-jangan dialah orang yang menyaru sebagai diriku untuk melakukan segala kebajikan?" Semenjak Li Koan-eng sadar kalau sudah terjadi salah paham diantara mereka berdua, ia berulang kali mencoba untuk menebus dosanya itu.
Membayangkan hal tersebut, Tian Mong-pek semakin yakin kalau dugaannya tidak meleset.
Ketika berjalan pada putaran ke tiga, tiba-tiba pintu kamar sebelah yang ditempati Mo-siau-to terbuka sedikit, kemudian dari balik kamar muncul sebuah tangan yang putih dan halus.
Dengan perasaan terkejut Tian Mong-pek menghentikan langkahnya.
Ternyata tangan halus itu menggapai ke arahnya, seolah mengundang dia untuk masuk ke dalam kamar.
Pemuda itu semakin terperanjat, pikirnya penuh curiga: "Siapa dia" Tu Koan" Kiong Ling-ling" Siau Man-hong" Siau Man-uh" Atau so Kin-soat" Dia menduga hampir semua gadis yang pernah dikenal, tapi tak satupun yang kemungkinan betul, karena mustahil dia bisa bertemu dengan salah satu gadis itu ditempat semacam ini.
Meskipun dia masih sangsi, namun langkah kakinya tanpa terasa bergerak menuju ke depan kamar.
Begitu sampai, secara tiba-tiba dia dorong pintu kamar kemudian menyusup masuk dengan kecepatan tinggi.
Baru saja tubuhnya menyusup ke dalam ruangan, pintu kamar telah menutup kembali.
Dengan satu gerakan cepat Tian Mong-pek membalikkan badan, ternyata dihadapannya berdiri Li Koan-eng serta Beng Li-si.
Mimpi pun dia tak mengira kalau mereka berdua berani bersembunyi didalam kamar persis disamping kamar Mo-siau-to, saking kagetnya, hampir saja dia menjerit keras.
Buru buru Li Koan-eng mencegahnya untuk bersuara, dengan senyum dikulum, bisiknya: "Lama tak bersua, baik baiknya Tian kongcu?" Cepat Tian Mong-pek menarik tangannya seraya berbisik: "Li-heng, tahukah kau.....
Mo-siau-to berada dikamar sebelah?" "Tentu saja tahu." Sahut Li Koan-eng tertawa.
"Kalau sudah tahu, kenapa tidak segera pergi tinggalkan tempat ini?" tanya Tian Mong-pek semakin cemas.
Beng Li-si segera tertawa.
"Kalau bukan gara-gara dia tinggal disini, kami berduapun tak akan tinggal ditempat ini, kenapa harus pergi?" katanya.
II "Aku . . . . .. aku jadi tak habis mengerti, gumam Tian Mong-pek keheranan, "bukankah kalian berdua kabur ke luar perbatasan gara-gara menghindari pengejarannya" Kenapa sekarang malah tinggal dikamar sebelah?" "Go Jit itu kasar dan tidak teliti, tahu dia hanya mencari tempat tempat yang terpencil dan tersembunyi, sampai mati pun dia tak bakalan sadar kalau orang yang dia cari justru berada di depan mata." Setelah tertegun sejenak, dengan cepat Tian Mong-pek menyadari apa yang terjadi, serunya: "Ooh, ternyata begitu.
Saudara Li memang orang pintar, padahal bukan hanya Go Jit, sebagian besar orang di dunia ini selalu teledor dan tidak menaruh perhatian terhadap tempat yang paling dekat dan di depan mata." Berbicara sampai disini, satu ingatan tiba-tiba melintas, tanyanya lebih lanjut: "Kalau memang begitu, kenapa saudara Li tidak berbalik arah dan menggunakan kesempatan ini balik ke daratan Tionggoan" Sudah pasti dia tak akan menemukan jejakmu lagi!" Kembali Beng Li-si tertawa.
"Seandainya mau begitu, terlalu mudah bagi kami untuk meninggalkan kejarannya, tapi kami justru tak ingin dia kehilangan bayangan tubuh kami berdua." "Maksudmu .
. . . .." cayhe dibikin bingung lagi dengan perkataanmu itu." "Kalau bukan sengaja hendak memancingnya sampai disini, sejak dulu dia sudah tertinggal jauh di belakang sekarang, mana mungkin ia bisa tiba di tempat ini." "Lalu apa sebabnya kau memancingnya hingga sampai di tempat ini?" Tian Mong-pek semakin keheranan.
"Separuh hidupku telah kulewati dalam kehati-hatian dan kehidupan santai, jadi sekarang butuh kejadian-kejadian yang bisa memacu debaran jantungku, padahal kejadian yang paling menegangkan adalah berusaha keras meloloskan diri dari pengejaran orang lain." "Betul, seperti main petak sewaktu kecil dulu," imbuh Beng Li-si, "padahal main kejar kejaran seperti sekarang ini jauh lebih menegangkan ketimbang main petak umpat." "Tapi mau sampai kapan?" Li Koan-eng tertawa.
"Kejadian yang begini menarik hati, sayang kalau musti berhenti seketika, jadi....
biar main kejar kejaran sepanjang hidup pun tak ada salahnya.
Persoalan kami adalah jika dia tak mampu menemukan jejak kami, nah, itu baru tak menarik." Perkataan itu dia sampaikan dengan santai, tanpa beban apa pun, tapi Tian Mong-pek yang mendengarkan justru dibuat melongo, tertegun.
Bukan saja tak pernah menyangka akan mendengar kejadian semacam ini, biar mimpi pun tak pernah terbayangkan.
Sesudah termenung sejenak, pikirnya: "Ke tiga orang ini betul betul musuh bebuyutan, kalau harus saling berkejaran, entah sampai kapan urusan baru bisa terselesaikan....." Sementara dia masih termenung, terdengar Li Koan-eng telah berkata lagi sambil tertawa: "Sewaktu cayhe tiba ditempat ini kemarin, secara tak disengaja telah bertemu dengan dua sahabat lama yang sama sekali tak terduga." "Yang satu adalah cayhe, lalu siapa yang seorang lagi?" "Coba hengtai tebak .
. . . . . .." "Mana mungkin siaute bisa menebaknya?" "Dia pun penduduk kota Hangciu." Tergerak hati Tian Mong-pek, serunya tanpa sadar: "Jangan jangan Sun Giok-hud yang kau maksud?" "Betul sekali," sahut Li Koan-eng sambil bertepuk tangan, "memang orang ini yang kumaksud, dia datang didampingi seorang sobat asing, tapi sewaktu bertemu cayhe, mereka berdua tergopoh gopoh menghindarkan diri." Kembali pikiran Tian Mong-pek tergerak, pikirnya: "Betul, betul sekali, semenjak melarikan diri dari gunung Kun-lun, Sun Giok-hud pasti menelusuri jalan raya hingga tiba ditempat ini." Berpikir demikian, diapun semakin yakin kalau orang yang menyaru sebagai "Tian Mong-pek" untuk melakukan kejahatan itu, tak lain tak bukan adalah ulah Sun Giok-hud.
Tapi siapa pula yang menyaru sebagai dirnya untuk melakukan kebaikan" Mungkinkah Li Koan-eng" Kembali Tian Mong-pek berpikir: "Kalau ditanyakan secara langsung, belum tentu dia mau mengakui, apa salahnya kalau kugunakan akal, mungkin saja akan diperoleh hasil yang diharapkan." Karena itu ujarnya kemudian sambil menghela napas panjang: "Aku benar benar merasa sangat kagum dengan hengtai, karena berada dalam kondisi seperti inipun masih tak lupa melakukan kebajikan, hanya II saja .
. . . . .. "Hanya saja apa?" agak berubah wajah Li Koan-eng.
"Hanya saja, kenapa hengtai musti menggunakan nama jelekku untuk berbuat kebajikan?" kata Tian Mong-pek sambil tersenyum, "hal ini membuat siaute jadi malu sendiri, masa tak berbuat harus menerima pahalanya?" Li Koan-eng tertegun sesaat, setelah menghela napas dan geleng kepala, katanya: "Kusangka perbuatanku cukup rahasia dan tak mungkin ketahuan, tak disangka hal inipun berhasil hengtai tebak." "Bodoh," sela Beng Li-si, "mana mungkin dia tahu" Barusan kau sudah dijebak." Kini, Tian Mong-pek telah berhasil membuka semua tabir teka teki yang mengganjal hatinya, perasaan hatipun jadi amat lega.
"Hahaha, tidak masalah," kata Li Koan-eng tertawa, "toh cepat atau lambat, Tian-heng bakal tahu juga akan hal ini.
Tapi minta tolong, harap Tian-heng jangan bocorkan kalau siau-heng berdiam disini." Dengan wajah serius ujar Tian Mong-pek: "Ada satu hal rasanya harus siaute sampaikan kepada hengtai, sepandai pandainya tupai melompat, suatu saat akan terjatuh juga.
Disaat dapat lepas tangan, lebih baik lepas tangan!" "Nasehat hengtai, pasti akan kuingat didalam hati." Dengan termangu Tian Mong-pek mengawasi kedua orang itu berapa saat, karena tak tahu apa yang harus dibicarakan lagi, setelah menghela napas sedih akhirnya diapun mohon diri.
Perlahan-lahan dia membuka pintu, setelah menengok sekejap ke kanan kiri, diapun berjalan keluar dari ruangan, pikirnya lagi sambil menghela napas: "Haii, kenapa urusan perasaan cinta selalu susah untuk dijelaskan?" Dalam pada itu, Mo-siau-to yang berada dalam kamar sedang berkata sambil menghela napas: "Urusan cinta betul-betul membuat aku bingung, tak habis mengerti, padahal lohu begitu sayang kepadanya, sementara orang she-Li itu selalu menyiksa dan menghinanya, tapi perempuan sialan itu justru lebih suka mengintil dia." Sewaktu Tian Mong-pek masuk ke dalam ruangan, dia telah menyelesaikan kisah pedihnya dan kini sedang membuat kesimpulan.
Sambil tersenyum ujar Yo Swan: "Cianpwee, tahukah kau, justru karena cianpwee kelewat menyayanginya, maka ia tinggalkan dirimu." "Kenapa bisa begitu?" tanya Mo-siau-to dengan kening berkerut.
"Perempuan itu ibarat air, perasaan cintanya paling susah diraba, bila kau kelewat menyayanginya, ia justru merasa tak ada rangsangan, tak ada kejutan, sebaliknya jika kau menjauhinya, bersikap dingin terhadapnya, ia malah akan merengekmu, meminta minta kepadamu." "Bee....
benarkah begitu....." benarkah begitu .
. . . ..?" gumam Mo-siau-to setelah tertegun sesaat.
Diambilnya arak dan diteguknya berapa cawan,
"Bee.... benarkah begitu....." benarkah begitu .
. . . ..?" gumam Mo-siau-to setelah tertegun sesaat.
Diambilnya arak dan diteguknya berapa cawan, kemudian katanya lagi sambil menghela napas, "haai.....
kalau dibayangkan kembali, rasanya perkataanmu ada benarnya juga." "Makanya, lain kali bila cianpwee bertemu perempuan, jangan lupa menggembol pecut, boanpwee jamin, kau tak bakalan menjumpai lagi peristiwa semacam ini." "Hahaha, apakah toako tidak merasa kalau perkataanmu itu kelewat ekstrim!" tak tahan Tian Mong-pek menyela sambil tertawa.
Tak lama mereka bertiga menikmati arak, tiba tiba seorang pelayan mengetuk pintu lalu masuk ke dalam ruangan sambil menyerahkan selembar kertas yang terlipat rapi ke tangan Go Jit.
Mo-siau-to segera membuka lipatan kertas itu, ternyata bertuliskan: "Pemberhentian berikut adalah Cato-sinto, sampai jumpa nanti, kami berdua berangkat duluan." Berubah wajah orang itu, teriaknya dengan wajah berubah: "Siapa yang serahkan surat ini kepadamu?" II "Seorang pengemis didepan pintu losmen .


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. . . . . .. jawab pelayan itu tergagap.
Sambil menggebrak meja, Mo-siau-to bangkit berdiri, katanya sambil tertawa getir: "Lohu harus pergi, kalau kalian berdua menuju timur maka lohu akan ke barat, entah sampai kapan kita akan bersua lagi." "Haai, cianpwee, belum terlambat untuk berpaling," kata Tian Mong-pek II sambil menghela napas, "cianpwee, kau .
. . . . .. Belum selesai dia bicara, Mo-siau-to sudah menyelinap keluar melalui jendela, tubuhnya yang tinggi besar menyelinap keluar bagaikan segumpal asap, dalam sekejap mata telah lenyap dari pandangan.
Lewat berapa saat kemudian, dari luar pintu kembali terdengar suara ketukan pintu, tidak menunggu jawaban, pintu sudah terbuka dan muncullah Li Koan-eng serta Beng Li-si.
"Hah" Kalian berdua?" bisik Tian Mong-pek dengan mata terbelalak.
"Betul sekali," sahut Li Koan-eng sambil tertawa, "bila siaute harus pergi, terpaksa akan kupersilahkan dia untuk berangkat duluan." Dengan keheranan Yo Swan ikut berkata: "Jadi kau.....
kaulah saudara Li?" "Tidak berani." Yo Swan ikut tertegun sejenak, tapi kemudian serunya sambil tertawa: "Tidak heran kalau selamanya Go Jit tak pernah berhasil menemukan kalian berdua, rupanya kalian selalu mengintil dibelakangnya, kalau begitu caranya, mana mungkin ia dapat mengejar kamu berdua?" Setelah menatap Beng Li-si berapa saat, lanjutnya: "Aku Yo Swan, saudara angkat Tian Mong-pek, jadi tak usah kuatir bila kalian berdua ingin menyampaikan sesuatu." "Kedatanganku hanya untuk berpamit." Ucap Li Koan-eng sambil tertawa.
"Kami berdua pun akan melanjutkan perjalanan." "Kalian berdua hendak ke mana?" "Rumah penginapan ini toh bukan tempat kami menginap." Kata Yo Swan tertawa.
"Bila dalam setengah tahun ke depan, kami berdua tetap tak terkejar Go Jit, berarti sudah saatnya untuk balik ke daratan Tionggoan, sampai waktunya, sudah pasti kita akan bertemu lagi." "Moga moga saja begitu." Maka Li Koan-eng pun berpamit diri diikuti Beng Li-si, saat ini, perempuan itu seakan telah berubah menjadi bayangan Li Koan-eng, ke mana pun lelaki itu pergi, dia selalu mengikutinya.
Mengawasi hingga bayangan tubuh mereka berdua lenyap dari pandangan, Tian Mong-pek baru berkata: "Toako, silahkan kau balik dulu ke penginapan, sementara siaute masih ingin berputar sebentar." "Kau hendak ke mana?" tanya Yo Swan tercengang.
"Aku yakin orang yang mencatut namaku untuk melakukan kejahatan, pasti tak akan berpeluk tangan setibanya disini, jadi siaute pengen lihat, perbuatan terkutuk apa lagi yang akan dia lakukan malam ini." Berputar biji mata Yo Swan, sesudah berpikir sejenak, ujarnya: "Tidak ada salahnya kau lakukan penyelidikan, hanya saja .
. . . .. hanya saja musti hati-hati, lebih baik lagi bila sudah balik ke penginapan sebelum kentongan ke empat, dengan begitu akupun tak usah kuatir .
. . . . . .." "Akan siaute perhatikan." "Sekarang juga kau akan berangkat?" "Toako lewat pintu, siaute menerobos lewat jendela, kita bertemu pada kentongan ke empat." Dengan satu gerakan cepat, ia menyelinap keluar melalui jendela.
Memandang hingga bayangan tubuh pemuda itu pergi jauh, Yo Swan tergesa-gesa keluar dari kamar, seolah lagi-lagi dia hendak menyusun sebuah rencana busuk.
Walaupun malam sudah semakin larut, namun suasana di jalan raya masih ramai, cahaya terang masih menerangi rumah bordil maupun rumah makan, suara teriakan orang mabuk bergema dari sana sini.
Baru berjalan berapa langkah, tiba tiba muncul seorang lelaki pebndorong kereta yang bergerak cepat menuju ke arahnya, seakan tak sanggup menguasahi keretanya, dia langsung menerjang ke depan.
Dengan kening berkerut Yo Swan mundur berulang kali.
Siapa tahu dari arah belakang kembali terdengar seseorang menjerit kaget: "Celaka!" Lagi lagi muncul sebuah kereta yang langsung menumbuk ke arah tubuhnya.
Andaikata berganti orang lain, tergencet ditengah dua kereta yang bergerak cepat, pasti akan menimbulkan luka parah.
Masih untung kungfu Yo Swan cukup hebat, sambil miringkan badan, lagi lagi dia bergerak mundur.
Siapa tahu, secara tiba-tiba muncul lagi seorang lelaki mabuk yang bergerak menuju ke arahnya dengan sempoyongan, lalu diiringi jeritan kaget, tubuhnya langsung menumbuk Yo Swan.
Orang ini berperawakan tinggi besar, tumbukannya disertai tenaga yang cukup kuat, didalam gugup dan kalutnya, Yo Swan sama sekali tidak menduga sampai disitu, tak ampun tubuhnya tertumbuk telak, badannya jadi sempoyongan dan roboh ke arah belakang.
Kebetulan, belakang tubuhnya merupakan sebuah rumah bordil dengan lampu merah yang terang benderang, suara cekikikan yang bergema dari balik loteng membuat Yo Swan tambah sewaot, tak kuasa umpatnya marah: "Dasar binatang tak bermata." Belum selesai dia mengumpat, suara tertawa merdu telah bergema dari sisi tubuhnya, terdengar seseorang menegurnya: "Yo siangkong kah yang datang" Kenapa sekarang baru muncul" Orang sudah menunggumu dengan gelisah." Dalam terkejutnya, Yo Swan tak sempat lagi menggubris lelaki mabuk itu, cepat dia membalikkan tubuh seraya berpaling.
Terlihat seorang nyonya muda berbaju merah, sedang memandangnya dari sisi pintu sambil tertawa.
"Kita tidak saling kenal, darimana nona bisa mengetahui namaku?" tegur Yo Swan dengan suara berat.
Dandanan perempuan berbaju merah itu amat menor, kerlingan maupun tingkah lakunya genit, sudah jelas dia adalah wanita penghibur yang sangat berpengalaman.
"Coba kau terka?" katanya sambil tertawa cekikikan.
Sembari berbicara, tangan halusnya yang berbau harum sari bunga mawar, telah merangkul bahu pemuda itu.
"Nona, tolong jaga sopan santun." Kembali Yo Swan berteriak dengan wajah berubah.
"Aduh mak, galak amat .
. . . . . .." perempuan berbaju merah itu tertawa jalang, "masa kau sudah tak kenali diriku" Padahal aku kenal dirimu, bukankah kau bernama Yo Swan?" Selama hidup, Yo Swan tak pernah kenal dengan wanita penghibur, terlebih diapun tak pernah menginjakkan kakinya dirumah bordir, kini dia benar-benar dibuat terkejut bercampur keheranan.
Dalam gusarnya, tiba tiba ia cengkeram pergelangan tangan perempuan itu sambil menghardik: "Cepat jawab! " Bagaimana mungkin wanita mda itu tahan menghadapi cengkeraman eng-jiau-kang yang begitu hebat" Kontan wajahnya pucat pasi, katanya dengan nada gemetar: "Lepaskan aku, akan kujawab .
. . . . .. akan kujawab . . . . . .. orang lain yang beritahu aku." "Siapa yang beritahu kepadamu?" Yo Swan makin terperanjat.
"Seorang tamu yang ada diatas loteng, dia bilang, jika ada seseorang ditumbuk seorang lelaki mabuk, dialah Yo Swan, Yo kongcu, dia.....
dia pun bilang . . . . . . .." "Bilang apa lagi?" "Dia bilang, siangkong adalah orang baik, lembut dan penyabar," kata perempuan itu dengan wajah getir, "jadi tak ada salahnya bila kuajak Yo siangkong untuk bergurau, siapa tahu....
dia... dia justru membuat aku menderita." "Di mana orang itu sekarang?" "Masih....
masih diatas." "Bawa aku ke sana." Saking sakitnya, peluh dingin telah membasahi seluruh tubuh perempuan berbaju merah itu, kembali pintanya dengan gemetar: ll "Engkohku sayang, kau .
. . . .. "Siapa yang kesudian jadi engkohmu?" tegur Yo Swan gusar, cengkeramannya semakin diperkencang.
"Ohh, bukan engkohku .
. . . .. nenek moyangku . . . . . .." keluh perempuan itu makin gemetar, "aduh .
. . . .. nenek moyang cilikku, lepaskan aku, akan Il kuhantar kau ke sana .
. . . . .. Yo Swan mendengus, begitu dia lepas cengkeramannya, perempuan muda berbaju merah itu seketika jatuh terduduk sambil mengaduh.
"Cepat!" ancam Yo Swan.
Buru-buru perempuan berbaju merah itu merangkak bangun, sambil mengurut pergelangannya yang sakit, katanya: "Nenek moyangku, ikutilah aku .
. . . .. aduh mak..... haai, sakit amat . . . . . .." Yo Swan berjalan mengikuti dibelakangnya, setelah melewati ruang depan, belakang berupa sebuah kebun kecil, sekalipun bunga dan rumput yang ditanam dari jenis biasa, namun terhitung lumayan juga untuk ukuran luar perbatasan yang gersang.
Ditengah kebun terdapat sebuah loteng, cahaya lentera berwarna merah memancar dari balik jendela, diantara bayang bayang lentera, terdengar suara bicara merdu dan tertawa cekikikan, jelas ada banyak perempuan muda disana.
Perempuan muda berbaju merah itu mempercepat langkahnya menaiki anak tangga, sambil lari, teriaknya manja: "Aku telah berhasil mengundang datang siangkong yang ramah dan lembut itu .
. . . . . .." "Mana dia?" seseorang bertanya dari balik gelak tertawa.
Sambil menyingkap tirai, Yo Swan menerobos masuk ke ruang loteng, bentaknya: "Siapa yang begitu berani mempermainkan aku orang she-Yo?" Tapi apa yang kemudian terlihat, membuatnya tertegun, melongo.
Rupanya didalam sebuah bilik yang mungil, terdapat tujuh-delapan orang gadis berdandan menor yang berseliweran disitu bagaikan kupu kupu.
Ada yang membawa alat musik biepa, ada yang menggulung lengan bajunya sambil menuang arak, ada pula yang sudah mabok berat hingga tertidur dimeja.
Ada pula serombongan nona yang sedang bergurau dengan seorang lelaki, ternyata lelaki itu tak lain adalah Sun Giok-hud.
Sementara itu, nona muda berbaju merah itu sudah merangkus Sun Giok-hud dengan manja, lalu mengeluh: "Coba kau lihat sahabatmu yang ramah itu, hampir saja pergelangan tanganku patah." Sambil mendorong meja, Sun Giok-hud bangkit berdiri, katanya seraya tertawa tergelak: "Hahaha, saudara Yo ganteng dan gagah, biar masih muda tapi amat romantis, siapa bilang dia tahu menyayangi gadis lembut" Harus dihukum, harus dihukum." Yo Swan berdiri kaku dengan wajah sedingin salju, tiba tiba tegurnya sambil tertawa dingin: "Gurauan saudara Sun betul-betul menggelikan, hmm, hmm, sangat menggelikan." "Aah, kan Cuma gurauan" Kenapa saudara Yo musti menanggapi dengan serius?" jawab Sun Giok-hud sambil tertawa.
"Cuma gurauan?" seru Yo Swan sambil menarik muka, "hmm, hmm, dalam situasi dan kondisi seperti ini, aku tidak akan punya minat semacam saudara Sun yang senang bergurau." Kembali Sun Giok-hud tertawa.
"Padahal kalau bukan untuk menghindari perhatian orang, akupun tak akan berbuat begini, silahkan masuk saudara Yo .
. . . . .." "Masih banyak cara lain kalau hanya ingin menghindari perhatian orang," kata Yo Swan sewot, "kalau bukan gerakan tubuhku cukup lincah, sejak tadi badanku sudah tergencet mati oleh dua buah kereta itu." "Jadi saudara Yo marah?" Yo Swan mendengus tanpa menjawab.
"Harap saudara Yo jangan marah lebih dulu," kembali Sun Giok-hud berkata, "ketahuilah, semuanya inipun bukan prakarsa diriku." Sambil berkata, dia mengerling sekejap kesamping, kawanan gadis itupun segera tertawa cekikikan.
"Lantas ide siapa?" bentak Yo Swan.
Sun Giok-hud hanya tersenyum tidak menjawab, sementara kawanan gadis lainnya tertawa makin keras, kerlingan mata mereka pun bersama-sama dialihkan ke tubuh nona yang sedang tiduran dimeja.
"Apa yang menggelikan?" kembali teriak Yo Swan gusar, "sebetulnya ide siapa?" "Ide ku." Tiba tiba gadis yang tiduran dimeja itu menjawab.
"Siapa kau?" bentak Yo Swan.
Sambil tertawa ringan gadis itu mendongakkan kepalanya.
Sekonyong-konyong paras muka Yo Swan berubah hebat, dengan tangan lurus ke bawah katanya perlahan: "Ternyata kongcu telah tiba disini, maafkan kelancangan diriku."
Sekonyong-konyong paras muka Yo Swan berubah hebat, dengan tangan lurus ke bawah katanya perlahan: "Ternyata kongcu telah tiba disini, maafkan kelancangan diriku." "Tidak usah banyak adat, duduklah!" jawab perempuan itu.
Tak usah ditanyapun sudah jelas, perempuan itu tak lain adalah manusia siluman, Liu Tan-yan.
Kendatipun rasa mendongkol masih mengganjal dihati Yo Swan, namun mimik gusar diwajahnya sudah lenyap sama sekali, betul saja, dia segera ambil tempat duduk dan bertanya sambil tertawa: "Sedari kapan kongcu tiba disini?" "Jangan hanya bicara," tukas Liu Tan-yan sambil tertawa, "Cui-hong, kemari kau, cepat hormati Yo kongcu dengan secawan arak untuk meredakan rasa mendongkolnya." "Aku takut," seru nona berbaju merah itu sambil tertawa genit, "Yo kongcu ini kelewat lembut, aku takut pergelangan tanganku dipatahkan." Walaupun berbicara begitu, ia tetap mengambil poci arak dari meja.
"Sayangku, tak usah takt." Kata Liu Tan-yan sambil tertawa, "saudara Yo, bersikaplah lebih lembut terhadap sayangku itu.
Nah sayangku, kaupun harus tunjukkan semua kemampuanmu!" Kelihatan sekali kalau Yo Swan agak segan terhadap Liu Tan-yan, ia segera tampil dengan wajah lain bahkan ikutan tertawa tergelak.
Mengikuti arah hembusan angin memang merupakan tindakan yang sangat gampang, hampir semua orang dapat mempelajarinya secara mudah.
II "Hahaha, ternyata saudara Yo pun seorang romantis .
. . . .. goda Sun Giok-hud tertawa.
"Semua pelacur kenamaan yang berada di radius sepuluh li dari kota Hin-hay, hampir semuanya berkumpul ditempat ini," kata Liu Tan-yan pula sambil tertawa, "silahkan saudara Yo mogor lebih dulu, sebelum kita lanjutkan pembicaraan." "Bagaimana kalau kita bicarakan dulu urusan penting, kemudian baru pemogoran?" usul Yo Swan.
"Hahaha, begitupun baik juga .
. . . . . .." kata Liu Tan-yan seraya bertepuk tangan dan memberi tanda, diiringi suara tertawa cekikikan, ke tujuh delapan orang wanita penghibur itupun serentak meninggalkan ruangan.
Dalam waktu singkat senyuman yang semula menghiasi wajah Liu Tan-yan, kini sudah lenyap tak berbekas, selapis hawa pembunuhan yang dingin dan kaku mulai menyelimuti wajahnya, dalam sekejap dia seolah telah berubah menjadi seseorang yang lain.
Diam-diam Yo Swan bergidik, pikirnya: "Tak heran ia bisa memegang kekuasaan sebesar itu, kendatipun belum lama terjun ke dalam dunia persilatan, rupanya dia memang seorang tokoh yang patut disegani, aku tak boleh pandang enteng orang ini." Terdengar Liu Tan-yan berkata dengan nada serius: "Tahukah saudara Yo, apa sebabnya kuundang kau datang kemari" Dan menggunakan tempat semacam ini sebagai tempat pembicaraan?" "Kongcu banyak akal, susah ditebak orang lain." "Ini dikarenakan tempat semacam ini merupakan tempat yang kotor, semakin kotor tempat itu, semakin sulit mengundang perhatian orang, siapa pun tak akan menyangka kalau kita bakal menggunakan tempat semacam ini sebagai tempat perundingan." "Betul, tepat sekali." "Lim Luan-hong datang dengan mengemban tugas penting, tapi kembali dalam keadaan berantakan, aku dengar, kejadian itu merupakan hasil karya saudara Yo, hal ini membuat aku sangat keheranan." "Waktu itu telah terjadi salah paham, akupun merasa ikut bersedih hati." sahut Yo Swan sambil tertawa getir.
Liu Tan-yan mendengus. "Rumput penghancur impian merupakan bahan penting yang harus tersedia untuk membuat panah, pabila bahan itu sampai dibawa kembali keluarga Tong, sulit bagi kita untuk merebutnya kembali, siapa yang akan memikul tanggung jawab ini?" "Aku tahu salah." Jawab Yo Swan ketakutan.
"Baguslah kalau sudah tahu kesalahanmu, makanya dilain waktu, bila ingin turun tangan, bertindaklah lebih hati-hati." "Baik, baik .
. . . . . .." "Untuk menebus dosa dan kesalahannya, saat ini Lim Luan-hong sudah berangkat mengejar dua bersaudara keluarga Tong, ak u ingin tahu, apa rencana selanjutnya dari saudara Yo?" "Silahkan kongcu memberi perintah." "Perkumpulan kita menganut sistim satu arah, siapa yang memberi perintah, kepada siapa pula dia harus bertanggung jawab.
Saudara Yo toh bukan anak buahku, mana berani aku memberi perintah kepadamu." "Kalau begitu, terpaksa cayhe harus menanti kesempatan untuk menebus kesalahan ini." "Bagus sekali, saat ini Tian Mong-pek berada dimana?" "Pergi mencari orang yang telah mencatut namanya melakukan kejahatan." Sambil tertawa dingin, ujar Liu Tan-yan kemudian: "Saudara Sun, benar bukan kalau kunasehati dirimu untuk tidak tampil pada malam ini?" "Tepat sekali, tepat sekali." Sun Giok-hud membenarkan.
"Lan Thian-jui menyuruh kau membawa pulang Tian Mong-pek, hal ini menunjukkan kalau dia amat menyayangi orang itu, mungkin saja akan mewariskan kepandaian silat kepadanya, apa rencanamu terhadap orang ini?" II "Aku berniat menghapus dia dari muka bumi..
jawab Yo Swan sesudah berpikir sebentar.
"Sejak awal aku sudah tahu kalau kau berniat berbuat begitu....." ucap Liu Tan-yan dingin.
Tiba tiba ia menggebrak meja, bentaknya nyaring: "Tapi kau tak boleh melukai orang ini." "Kenapa?" tanya Yo Swan tercengang.
"Saudara Sun, tolong kau yang menjelaskan." "Ada dua alasan utama," terang Sun Giok-hud, "kesatu, karena nama besar bajingan itu sekarang kelewat tenar, sasarannya kelewat besar, membunuh orang ini bakal memancing munculnya rangkaian problem lain." ll "Semenjak tampil didalam dunia persilatan, ujar Yo Swan tergagap, "kendatipun ia pernah melakukan beberapa perbuatan yang menggemparkan, namun nama besarnya tidak terlalu tersohor, masih jauh bila dibandingkan II nama besar Jin-gi-su-hiap, kenapa .
. . . . .. Sun Giok-hud menghela napas, tukasnya: "Perubahan yang terjadi dalam dunia persilatan memang susah diramal, tahukah saudara Yo bahwa didalam berapa bulan terakhir, Tian Mong-pek telah berubah menjadi tokoh yang paling tersohor dalam dunia persilatan." "Bukankah selama ini dia berada di luar perbatasan" B agaimana mungkin namanya begitu tersohor di daratan Tionggoan?" tanya Yo Swan terperanjat.
Kembali Sun Giok-hud tertawa getir.
"Biarpun orangnya berada di luar perbatasan, namun namanya tetap tersohor, saudara Yo, kau pasti tahu bukan kalau belakangan ada orang mencatut nama Tian Mong-pek untuk melakukan perbuatan kebajikan dimana- mana." "Tahupun baru hari ini." "Bukan hanya ditempat ini saja, bahkan hampir disetiap tempat ada orang berbuat baik atas nama Tian Mong-pek, bahkan telah melakukan beberapa perbuatan yang menghebohkan." "Memangnya orang orang itu sudah gila semua?" seru Yo Swan keheranan, "kenapa mereka justru menghadiahkan nama harum untuk Tian Mong-pek" Saudara Sun, tahukah kau, siapa orang-orang itu?" Sambil menghela napas Sun Giok-hud gelengkan kepala.
"Siaute sendiripun kurang jelas, tapi kalau dihitung-hitung, paling tidak ada empat sampai lima orang yang berbuat begitu, bahkan mereka semua tergolong tokoh tokoh silat berilmu tinggi." Setelah berhenti sejenak, terusnya: "Menurut pendapat siaute, dimana lalu, orang-orang itu pasti pernah berhutang budi kepada Tian Mong-pek, atau pernah melakukan tindakan salah yang membuat mereka menyesal, karena itulah mereka tak segan melakukan perbuatan kebajikan dengan mengatas namakan Tian Mong-pek .
. . . . . .. aaai. Nama julukan Pendekar budiman Tian Mong-pek sudah amat tersohor saat ini dalam dunia persilatan." Yo Swan termangu berapa saat, setelah termenung dan berpikir sebentar, katanya: "Kalau benar ada empat, lima orang yang melakukan perbuatan ini, sudah pasti ada berapa kejadian yang berlangsung pada saat yang sama namun ditempat yang berbeda .
. . . .." "Betul." "Kalau memang begitu, orang kangouw pasti tahu juga kalau diantara berapa kejadian itu, paling tidak hanya satu yang benar-benar dilakukan Tian Mong-pek, sementara sisanya dilakukan manusia gadungan." "Haaai, sekalipun begitu, namun watak orang persilatan memang susah II dipahami, ucap Sun Giok-hud sambil menghela napas, "begitu mereka yakin kalau Tian Mong-pek adalah seorang hiap-kek sejati, apapun yang terjadi tak akan mengubah pandangan mereka." II "Karena itu saudara Sun pun .
. . . . . . .. seru Yo Swan setelah hatinya tergerak.
"Betul sekali, maka kamipun meniru cara yang sama dengan melakukan banyak kejahatan dibanyak tempat, tujuannya untuk merusak nama besarnya, inilah yang disebut siasat melawan racun dengan racun." "Memang seharusnya berbuat begini." "Itulah sebabnya, bila dalam kondisi begini kau membunuhnya, peristiwa ini bisa membangkitkan amarah umat persilatan yang fatalnya lagi justru akan meninggalkan nama harum baginya, bukankah hal ini rugi besar?" "Betul, betul sekali .
. . . . . .. lantas apa alasan yang kedua?" "Biarpun usia bajingan ini masih muda, tapi hubungannya dengan Lan Thian-jui, Siau Ong-sun serta Tu Hun-thian, Mo-mok-ngo lojin, Thian-be hwesio terhitung sangat akrab, dengan tidak membunuhnya bukan berarti kita menguatirkan kejadian lain, tapi justru ingin menggunakan keberangasannya untuk bantu kita menyelesaikan berapa urusan lain." "Siaute kurang paham dengan perkataan ini." Sun Giok-hud tersenyum.
"Aku sendiripun kurang begitu paham dengan rahasia dibalik taktik ini, "katanya, "aku hanya tahu orang ini tinggi emosinya, bila dapat digunakan sebaik baiknya, jelas akan memberi keuntungan besar bagi kita semua." Sekalipun ia sudah menerangkan begitu, namun hasilnya sama seperti tidak berkata apa-apa, Yo Swan tetap tidak paham, namun dimulut dia tetap mengiakan: "Betul, betul sekali .
. . . . . .." Saat itulah tiba-tiba Liu Tan-yan menyela: "Setelah tahu kalau tindakan kami betul, jangan sekali kali kau lukai dirinya, yang paling tepat adalah menggiring dia melakukan perbuatan salah, atau ciptakan kabut tebal untuk menutupi semua kejadian didepan mata." Il "Tapi .
. . . .. "Tapi apa?" potong Liu Tan-yan sambil menarik muka, "semua ini merupakan perintah atasan yang harus kusampaikan, apakah kau merasa tak puas?" "Cayhe tidak berani." Buru buru Yo Swan tundukkan kepalanya.
Mendadak Liu Tan-yan tertawa, katanya lembut: "Aku tahu kalau saudara Yo tak berniat menghianati perkumpulan, jika ucapanku kelewat berat, harap saudara Yo jangan marah." Dalam hati kecilnya diam diam Yo Swan mengumpat: "Cepat amat bangsat ini berubah muka, hmm, biar kau lihay pun, jangan disangka aku takut kepadamu." Tapi diluar ia menyahut dengan kepala tertunduk: "Kongcu kelewat sungkan."
Bab 29: Melakukan kesalahan lagi.
"Nah, urusan penting telah usai, inilah saat kita untuk mogor." Kata Liu Tan-yan sambil tertawa.
Begitu dia mulai tertawa, kelembutan dan kegenitan kembali menghiasi wajahnya, kelicikan, kebusukan serta kemunafikannya hilang sama sekali, dia sudah tidak mirip dengan tokoh pemegang kekuasaan tinggi, tapi lebih mirip seorang nona cantik rupawan yang lemah lembut.
Kembali Yo Swan menghela napas, pikirnya: "Entah berapa lembar muka yang dimiliki orang ini?" Sementara itu Sun Giok-hud telah bertepuk tangan sambil berseru: "Nona-nona sekalian, sekarang kalian boleh masuk!" Suara tertawa cekikian dan teriakan manja kembali memenuhi ruangan, kendatipun Yo Swan merasa sangat tidak puas, namun ia tak berani tunjukkan rasa tak senangnya itu diwajah.
Sambil kiri kanan memeluk seorang gadis, seru Liu Tan-yan: "Cui-hong, nyanyilah untuk kami!" "Ehmm, aku tak pandai menyanyi .
. . . . . .." kata Cui Hong manja, tapi diapun mengambil sebuah alat bie-pa.
"Betul-betul seorang gadis yang pintar berlagaki." Kata Liu Tan-yan tertawa.
"Aah, kalau kau bicara begitu lagi, aku benar-benar tak bisa menyanyi...." "Baiklah adikku sayang, aku tak akan bicara lagi, ayoh cepat nyanyi!" "Mau lagu apa?" tanya Cui Hong sambil mengerling genit.
"Kau toh sudah membopong alat bie-pa, bawakan saja lagu yang sesuai!" "Bagus, bagus sekali .
. .

Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. . . .." timpal Sun Giok-hud sambil bertepuk tangan dan tertawa.
Melihat itu, diam-diam Yo Swan tertawa dingin, batinnya: "Bangsat ini memang paling hebat kalau suruh menjilat pantat mencari muka .
. . . . . . .." Baru saja Cui Hong bersenandung membawakan sebuah lagu, tiba tiba dari luar jendela berhembus lewat segulung angin kencang.
Diantara cahaya lentera yang bergoyang, terlihat sesosok bayangan manusia menerobos masuk ke dalam ruangan.
Kelihatannya orang itu tak ingin wajah aslinya terlihat, dengan tangan kiri menutup wajah, secepat angin berpusing ia menerobos masuk, sementara tangan kanannya mencengkeram tubuh Cui Hong yang sedang memetik alat bie-pa.
Perubahan ini terjadi sangat mendadak dan diluar dugaan, untuk sesaat semua orang hanya bisa berdiri gelagapan, diiringi jerit ketakutan, tubuh Cui Hong sudah terlempar keluar dari jendela.
Menggunakan peluang disaat melempar tubuh perempuan itu, bayangan manusia tadi menerobos keluar melalui pintu depan.
Pada saat itulah, dari luar jendela kembali bergema suara bentakan, sesosok bayangan manusia sekali lagi menerobos masuk dan kebetulan menyongsong datangnya tubuh Cui Hong yang terlemp ar keluar.
Bayangan manusia yang muncul belakangan adalah seorang kakek bungkuk yang tinggi besar, dia sambut kedatangan tubuh Cui Hong dengan tangannya, sedang matanya yang besar melotot kearah mana bayangan pertama kabur.
Sambil menurunkan tubuh Cui Hong, serunya berulang kali: II "Jangan kaget, jangan kaget .
. . . . .. Lalu dia merogoh ke dalam saku dan melempar sekeping uang perak ke arah perempuan itu sambil menambahkan: "Terimalah uang kaget!" Secepat kilat kembali dia kejar bayangan pertama, ben taknya: "Bocah keparat, hari ini lohu bersumpah akan mengintil terus, jangan harap kau bisa lolos dari tanganku!" Ketika menyelesaikan ucapan terakhir, suara itu sudah berada dikejauhan sana.
Sejak muncul bayangan pertama, disusul bayangan kedua, semua peristiwa berlangsung dalam waktu singkat, ditengah jerit ketakutan, Cui Hong sudah roboh tak sadarkan diri.
"Kejar!" bentak Liu Tan-yan dengan kening berkerut.
Begitu melihat munculnya bayangan tubuh kakek bungkuk tinggi besar itu, serentak Yo Swan maupun Sun Giok-hud menutup wajahnya sambil membuang muka.
Kini, kedua orang itu sama-sama berteriak: "Jangan dikejar." "Kenapa?" tanya Liu Tan-yan gusar.
"Sudah kongcu lihat kalau kakek itu bungkuk" Dialah si bungkuk baja Kim Kiok yang dijuluki orang sebagai Ban-li-sin-heng (Pejalan sakti ribuan li)!" "Hah, jadi dia .
. . . . ..?" gumam Liu Tan-yan melongo, "kalau begitu jangan dikejar." Sesudah mengambil tempat duduk, tanyanya lagi: "Walaupun dimasa silam orang ini disebut jagoan tangguh, tapi aku dengar, ketika sedang sakit parah, ia dikejar orang hingga tak punya tempat tinggal, bahkan namanya telah sirna hampir belasan tahun, kenapa secara mendadak bisa muncul lagi disini?" Yo Swan menghela napas panjang, terangnya: "Selama belasan tahun terakhir, dia selalu berada dalam lembah kaisar, setelah melewati sekian tahun, mungkin ilmu silatnya jauh lebih tangguh lagi." "Ooh, tak sedikit yang kau ketahui." Dengus Liu Tan-yan dingin.
Yo Swan pura-pura tidak mendengar, kembali ia teguk berapa cawan arak.
Sementara itu dari kejauhan terdengar suara kentungan, ternyata tengah malam telah lewat dan kini mendekati kentungan ke empat.
Ia segera menggunakan kesempatan itu untuk mohon diri, katanya sembari tertawa paksa: "Aku sudah berjanji dengan Tian Mong-pek untuk bertemu pada kentongan ke empat, terpaksa aku mohon diri lebih dahulu." Berputar sepasang biji mata Liu Tan-yan, dia seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi akhirnya hanya berkata hambar: "Ooh, Yo Swan mau pergi" Tolong saudara Sun mewakili aku untuk menghantar tamu." Sampai Yo Swan telah berlalu, Sun Giok-hud baru membalikkan badan dan berkata sambil tertawa dingin: "Bangsat ini berlagak bodoh dan selalu merendah, aku kuatir dia punya maksud lain." "Memangnya dia berani?" jengek Liu Tan-yan sambil tertawa dingin.
Seolah tak sengaja, dia melirik Sun Giok-hud sekejap sambil menambahkan: "Aku sangat berharap muncul seorang penghianat dalam perkumpulan kita, agar sampai saatnya, orang lain bisa melihat bagaimana cara kita menghadapi sang penghianat itu." Sun Giok-hud merasa bergidik, dia tak berani berbicara lagi.
OooOooo Setelah meninggalkan ruangan, paras muka Yo Swan segera memperlihatkan mimik gusar, pikirnya sambil tertawa dingin: "Kalian minta aku tidak membunuh, memangnya aku lantas tidak membunuh" Dianggap aku benar-benar akan menuruti perkataan kalian?" Setelah mendongakkan kepala sambil menghembuskan rasa kesalnya, kembali ia berpikir: "Dengan susah payah aku telah menyusun rencana, masa rencana itu harus berantakan ditangan orang lain" Hmmm, siapa pun, jangan harap bisa mengubah rencanaku ini.
"Liu Tan-yan wahai Liu Tan-yan, hari ini kau begitu kurangajar kepadaku, tunggu saja, suatu saat bila aku berhasil menjadi pemilik istana Au-sian- kiong, akan kulihat apa yang bisa kau perbuatan" Saat itu, biar majikanmu sekalianpun, dia tetap harus bersikap sopan kepadaku.
Bukan saja waktu itu aku tidak berada dibawah siapa pun, kalianpun tak akan sanggup memperalat diriku, akan kusuruh kau rasakan sampai dimana kehebatanku." Sesudah menghela napas panjang, pikirnya lebih lanjut: "Tapi dengan adanya kejadian ini, urusan bakal semakin rumit, bila aku ingin melenyapkan Tian Mong-pek, selain harus bekerja seorang diri, akupun tak bisa meminjam kekuatan Panah kekasih.
Setelah berhasil membunuhpun, aku tak boleh memancing perhatian Lan Thian-jui, terlebih memancing kecurigaan kelompok orang orang itu .
. . . . . . .." Berpikir sampai disini, tanpa terasa sepasang alis matanya berkerut, tapi sekejap kemudian dengan senyum dikulum pikirnya la gi: "Dalam pandangan aku Yo Swan, tak ada persoalan di dunia ini yang tak sanggup kulakukan." Maka diapun mempercepat langkahnya menuju ke rumah penginapan.
Malam sudah larut, tiada manusia yang berlalu lalang sepanjang jalan, embun pagi yang memantul tertimpa cahaya rembulan, membiaskan keheningan yang mencekam diseluruh jagad.
Berbeda dengan Tian Mong-pek, jalan yang dia lewati gelap, senyap dan menyeramkan, hembusan angin kencang membawa hawa udara yang dingin menggigit, ia melangkah seorang diri dan berharap malam semakin kelam.
"Jika aku adalah Sun Giok-hud dan ingin mencatut namaku untuk melakukan kemaksiatan, tempat seperti apa yang bakal menjadi sasaranku?" demikian ia berpikir.
"Sudah pasti aku tak akan melakukan ditengah kota yang ramai, pertama kuatir ada yang campur tangan, kedua kuatir kedoknya terbongkar, bukankah hal semacam ini bakal berabe?" Dengan cepat diapun mengambil satu kesimpulan: "Tempat terpencil dan rumah orang kaya merupakan sasaran yang paling tepat, karena selain tujuannya mudah tercapai, tempat semacam inipun sangat aman." Berpendapat begitu, tanpa membuang waktu lagi, ia segera berangkat menuju ke tempat sepi.
Berapa saat kemudian, dari kejauhan sudah tampak bayang bayang rumah yang berlapis, sekalipun tidak terhitung megah, namun sudah termasuk bangunan gedung yang amat besar khususnya di wilayah luar perbatasan.
Anehnya, gedung itu gelap gulita, sama sekali tak ada cahaya api.
Dalam hati Tian Mong-pek pun berpikir: "Sudah pasti hal ini merupakan kebiasaan orang perbat asan yang suka hidup berhemat, biarpun keluarga kaya, untuk mengirit uang minyak, sejak magrib mereka sudah pergi tidur." Biar orang yang tidak berpengalaman pun pasti tahu kalau rumah orang kaya semacam ini merupakan sasaran paling pas untuk melakukan perampokan.
Tidak ragu lagi, diam-diam Tian Mong-pek maju menyelinap.
Dicarinya sudut bangunan yang paling gelap untuk menyembunyikan diri, dari situ dia mulai mengawasi suasana disekelilingnya.
Tapi tunggu punya tunggu, jangan lagi terjadi perampokan, bayangan Ya-heng-jin (orang yang berjalan malam) pun tidak nampak.
Biarpun dia sudah cukup lama terjun ke dalam dunia persilatan, sayang pemuda ini bodoh dan tak mengerti sama sekali tehnik Ya-heng-jin melakukan kejahatannya, setelah menunggu lama tanpa hasil, dia mulai gelisah.
Tidak sabar menunggu, lagi lagi dia berputar ke tempat lain, tapi setelah berpikir berapa saat, pemuda itu merasa gedung besar tersebut paling memungkinkan, maka diapun berjaga lagi disudut dinding.
Rembulan mulai memancarkan cahayanya, jagad terasa makin hening, tampaknya malam semakin larut.
Tiba tiba Tian Mong-pek tertawa geli, pikirnya: "Menunggu semacam aku, ibarat menjaga pohon menunggu kelinci, bila orang lain lewat sisi yang sana, mana mungkin aku bisa melihat kehadirannya." Sambil mengumpat kebodohan sendiri, dia mulai menelusuri dinding pagar, kemudian sekali lompat, dia pun naik keatas wuwungan rumah.
Sejauh mata memandang, dibalik dinding pekarangan selain terdapat gardu, tampak pohon bambu, gunung gunungan dan jembatan kecil, semua bangunan tampak indah ditengah kegelapan.
Tapi ketika diperhatikan lebih seksama, tampak semua pohon sudah lapuk, bambu amat kalut, jembatan telah jebol, bahkan air dalam kolam teratai pun telah membeku, disana sini terlihat puing bangunan berserakan, garpu pun sudah lama tak terawat.
Pemuda itu mencoba menengok lebih jauh, ternyata meski bangunan loteng masih berdiri tegak, namun daun jendela telah patah, pagar dinding telah roboh, jendela yang kosong dimainkan hembusan angin dingin, mendatangkan suasana yang sendu.
Bersusah payah menjaga setengah malaman, ternyata bangunan yang dijaga Tian Mong-pek tak lebih hanya bangunan terbengkalai, tak terlukis perasaan getir dihati kecilnya, diam diam dia mengumpat akan kecerobohan sendiri.
Siapa sangka, pada saat itulah tiba tiba terlintas bayangan pedang, dengan perasaan girang pikir Tian Mong-pek: "jangan jangan bajingan itu sama seperti aku, tertipu oleh suasana disini dan tidak tahu kalau bangunan ini sudah terbengkalai?" Sambil bertiarap diatas wuwungan rumah, dia mencoba melongok ke bawah, ditengah kegelapan malam, betul saja, ia saksikan munculnya sesosok bayangan manusia yang membawa pedang.
Bayangan itu tinggi semampai, mirip sekali dengan tubuh seorang wanita.
"Darimana datangnya perempuan ditengah bangunan terbengkalai ini?" pikir Tian Mong-pek keheranan, "masa dia adalah siluman rase seperti cerita dalam dongeng" Aku harus periksa dengan lebih seksama." Bayangan itu berjalan mendekat, rambutnya panjang terurai, ujung bajunya menari dimainkan hembusan angin, ditangan kiri ia menggenggam sebilah pedang, sementara tangan kanan menggandeng seorang bocah.
Dia menarik tangan bocah itu, melambung di udara menyeberangi jembatan kecil, jubahnya yang berwarna gelap, rambutnya yang hitam, parasnya yang putih pucat bagai salju .
. . . . . .. Dari balik kegelapan malam yang hening, dari balik pemandangan alam yang sendu, tiba tiba muncul seorang wanita seperti sukma gentayangan, membuat suasana dalam kebun itu penuh diliputi keanehan yang misterius serta hawa yang menggidikkan bulu roma.
Bukannya takut dengan suasana seperti itu, Tian Mong-pek justru semakin ingin tahu, kini dia sudah melupakan tujuan utama kedatangannya, tubuh yang bertiarap diatas wuwungan rumah, sama sekali tak bergerak.
Kembali perempuan itu menyeberangi jembatan kecil, tiba-tiba ia menghela napas panjang lalu duduk dibangku batu disisi jembaan.
Helaan napas yang panjang, terdengar penuh dengan hawa setan yang menakutkan.
Sementara Tian Mong-pek merasakan tubuhnya merinding, tiba tiba terlihat bocah itu menubruk ke dalam pelukan perempuan tadi sambil berbisik gemetar: "Ibu, aku .
. . . .. aku takut . . . . . .." "Ibu membawa pedang, setan pun tak berani mendekat, apa pula yang kau takuti?" jawab perempuan berbaju hitam itu.
Meski suaranya perlahan, namun ditengah keheningan malam, perkataannya kedengaran sangat jelas.
Diam-diam Tian Mong-pek menghembuskan napas lega, pikirnya: Il "Ternyata perempuan ini bukan setan gentayangan....
Terlihat perempuan berbaju hitam itu mulai mendendangkan lagu nina bobo sambil memeluk bocah itu dalam rangkulannya, sementara tangannya tetap menggosok pedang dalam genggamannya dengan seksama.
Lewat berapa saat kemudian terdengar bocah itu menghela napas dan berbisik sambil angkat wajahnya: "Ibu, bagaimana kalau jangan kau teruskan nyanyianmu" Toh aku tak bisa tidur." Paling banter bocah itu baru berusia empat, lima tahunan, seharusnya masih dalam masa belajar bicara, namun logat bicaranya justru seperti perkataan orang dewasa, ini menunjukkan kalau dia adalah seorang bocah yang cerdas.
Dengan penuh kasih sayang perempuan berbaju hitam itu menepuk kepalanya dan tidak menyanyi lagi.
"Kau sedang menanti kedatangannya?" kembali bocah itu berkata, "dia tahu akan hal ini?" "Jangan kau sebut dia, harus memanggilnya sebagai ayah, mengerti?" tegur perempuan itu.
"Kalau dia memang ayahku, kenapa tak berani hidup bersama ibu" Bukankah orang tua orang lain hidup bersama setiap hari?" Perempuan itu kelihatan agak tertegun, lama, sampai lama kemudian ia baru menghela napas sedih.
"Aaai, anakku," katanya, "banyak hal yang tak akan kau.....
kau II pahami . . . . . .. Bocah itu manggut-manggut, dengan tangannya yang mungil ia seka air mata yang membasahi wajah ibunya.
"Ananda akan memanggilnya ayah, ibu jangan menangis lagi, mau bukan?" pintanya.
Tampaknya perempuan berbaju hitam itu penuh diliputi perasaan benci bercampur cinta, kali ini dia tertawa, meski air mata masih membasahi matanya.
Menyaksikan kasih sayang ibu beranak ini, tanpa sadar Tian Mong-pek jadi terbayang kembali akan ibu sendiri, perasaan sendu pun ikut menyelimuti hatinya.
Berapa saat kembali berlalu, tiba tiba bocah itu melompat bangun, sambil mengawasi pedang ditangan ibunya dia bertanya: "Ibu, mengapa setiap hari kau mengasah pedangmu itu?" "Akan kuasah pedang ini, akan kubunuh seseorang." "Siapa yang akan kau bunuh ibu?" tanya bocah itu lagi sambil membelalakkan matanya.
Perempuan itu menengadah, mengawasi langit yang diselimuti kegelapan, lama kemudian baru sahutnya perlahan: "Ibu akan membunuh seorang wanita, dia bernama Siau Hui-uh....." Tak terlukiskan rasa kaget Tian Mong-pek, hampir saja tubuhnya terjatuh dari atas atap rumah.
Terdengar perempuan itu berkata lagi: "Ingat baik baik nama ini nak, biar ibu tak berhasil membunuhnya, bila telah dewasa nanti, kau harus membantu ibu untuk pergi membunuhnya." Bocah itu melototkan matanya bulat bulat, sambil menggenggam tinju, janjinya: "Baik, setelah dewasa nanti, aku pasti akan mewakili ibu untuk membunuh perempuan yang bernama Siau Hui-uh itu." Perempuan itu segera mendekapnya erat erat, bisiknya sambil tertawa: Il "Anak sayang .
. . . .. begini baru anak mama yang tersayang .
. . . .. Tetesan air mata kembali membasahi pipinya.
Perasaan curiga, bingung dan tak habis mengerti berkecamuk dalam benak Tian Mong-pek, dia tak tahu dendam kesumat apa yang telah terjalin antara perempuan itu dengan Siau Hui-uh, mengapa dia begitu membenci Siau Hui-uh hingga merasuk tulang sumsum" Terlihat perempuan itu menggandeng tangan putranya dan perlahan lahan bangkit berdiri, setelah berjalan berapa langkah, gumamnya sambil menengadah: "Mengapa hingga sekarang dia belum datang?"
Terlihat perempuan itu menggandeng tangan putranya dan perlahan lahan bangkit berdiri, setelah berjalan berapa langkah, gumamnya sambil menengadah: "Mengapa hingga sekarang dia belum datang?" Kebetulan cahaya rembulan menyinari wajahnya, kebetulan pula wajah perempuan itu sedang menghadap kearah Tian Mong-pek, dengan begitu raut mukanya terpampang jelas dihadapan anak muda itu.
Begitu menyaksikan raut wajah perempuan itu, sekujur badan Tian Mong-pek gemetar keras, sambil melompat keluar dari tempat persembunyiannya, ia menghardik: "Liu Tan-yan, rupanya kau." Kelihatannya, perempuan itupun sama sekali tak menyangka kalau dalam taman yang terbengkalai masih bersembunyi orang lain, dalam kagetnya dia bopong bocah itu lalu melompat mundur.
Tak terlukiskan rasa gusar Tian Mong-pek setelah tahu kalau perempuan itu adalah manusia siluman Liu Tan-yan, tanpa berpikir panjang, ia lakukan pengejaran.
Siapa tahu perempuan itu tiba tiba menghentikan langkahnya dan menegur ketus: "Mau apa kau?" "Liu Tan-yan," bentak Tian Mong-pek gusar, "sekalipun kau membawa bocah dan berulang kali menyebut diri sebagai ibu, aku tetap mengenalimu, biar kau sudah menjadi abu pun, aku tetap mengenalimu." "Tapi aku tidak kenal kau." Sahut perempuan itu ketus.
Tian Mong-pek mendongakkan kepala dan tertawa keras.
"Hahaha, kau boleh saja membohongi orang lain, tapi jangan harap bisa menipu aku," teriaknya, "Liu Tan-yan, hari ini kau telah bertemu aku, anggap saja kau sedang apes." Mendadak bocah itu mendelik sambil mengumpat: "Manusia macam apa kau ini?" "Cepat lepaskan bocah itu." Kembali Tian Mong-pek membentak.
Bocah itu sama sekali tak kelihatan takut, apalagi menangis atau menjerit ketakutan, malah serunya dengan lantang: "Kami tidak kenal kau, mau apa mencari gara gara dengan ibuku" Kelihatannya kau orang gila." "Nak, cepat turun dari bopongannya," bujuk Tian Mong-pek, "dia bukan ibumu." "Siapa bilang dia bukan ibuku?" II "Nak, tak usah digubris lagi, ujar perempuan berbaju hitam itu sambil menepuk kepala sang bocah, "kita tak usah peduli orang gila ini." Seusai bicara kembali dia balik tubuh, siap meninggalkan tempat itu.
Tian Mong-pek jadi semakin marah, serunya: "Jangan harap segala tipu muslihatmu bisa membohongi aku, hari ini, siauya akan membunuh kau si pembawa bencana bagi umat persilatan." Dengan satu gerakan cepat, dia melesat maju.
Siapa sangka, baru saja ia bergerak, mendadak terlihat sesosok bayangan manusia melesat datang dari arah jembatan dengan kecepatan tinggi.
"Turun!" hardiknya, sebuah ayunan tangan dihantamkan kearah dada lawan.
Dengan gerakan cepat kedua orang itu saling bertukar satu pukulan di udara sebelum akhirnya meluncur turun, begitu sepasang mata saling beradu, paras muka kedua belah pihak sama sama berubah.
"Ternyata kau!" jerit mereka berdua hampir berbareng.
Ternyata orang yang baru muncul itu tak lain adalah pemuda perlente yang bersama Tian Mong-pek pukul mundur serangan dari empat lelaki berutal waktu dirumah makan tadi.
Tampaknya kedua orang itu sama-sama tidak menyangka bakal bersua disini, tak heran mereka jadi tertegun.
Sambil tertawa dingin ujar pemuda perlente itu kemudian: "Aku sangka saudara Tian adalah seorang lelaki sejati, karena itu aku tak segan turun tangan ketika mendengar ada orang menghinamu, sama sekali tak II disangka .
. . . . . .. Sambil menuding perempuan itu, lanjutnya sambil tertawa seram: "Sama sekali tak disangka kau telah menganiaya perempuan lemah dan bocah II kecil ditempat terpencil ini .
. . . .. II "Tahukah kau siapa orang ini" Dia adalah .
. . . . .. "Tentu saja aku tahu,"tukas pemuda perlente itu sambil tertawa dingin, "dia adalah istriku." Terkejut bercampur marah, teriak Tian Mong-pek: "Sudah jelas dia adalah manusia siluman, lelaki yang menyamar jadi wanita, kenapa kau bilang dia adalah istrimu?" Pemuda perlente itu tertawa keras.
"Sudah banyak tahun kami suami istri hidup bersama, bahkan telah melahirkan seorang bocah, masa aku tak bisa membedakan dia laki atau perempuan?" "Tapi sudah jelas dia laki-laki .
. . . . .." teriak Tian Mong-pek tak kalah gusarnya.
"Kalau ada yang mengatakan dia lelaki, orang itu pasti buta." II "Tapi.....
tapi . . . . . . . .. Tian Mong-pek mulai sangsi, dari keseriusan dan kesungguhan pemuda itu berbicara, khususnya gejolak emosinya, jelas ia bukan sedang berbohong.
Tapi bila diamati kembali perempuan itu, sudah jelas dia adalah Liu Tan-yan, dari ujung rambut hingga ujung kaki, sedikitpun tak berbeda.
"Saudara Tian, mungkin kau sudah ditipu orang." Seru pemuda itu sambil tertawa dingin.
Il "Aku kuatir kaulah yang tertipu, dia .
. . . . .. "Sudah banyak tahun aku hidup seranjang dengannya, masa tertipu?" hardik pemuda itu.
Tian Mong-pek tak kalah sewotnya, dia balas berteriak: "Jika bukan tertipu, kau pasti satu komplotan dengannya, sekalipun alasanmu kuat, jangan harap aku percaya kalau dia memang seorang wanita." Tiba tiba perempuan itu berjalan mendekat sambil busungkan dadanya, sambil tertawa dingin katanya: "Perdebatan tak akan menjelaskan laki dan perempuan, kenapa kau tidak periksa sendiri jenis kelaminku?" Mula mula Tian Mong-pek agak tertegun, kemudian dengan wajah semu merah ia tundukkan kepalanya.
Tiba tiba saja ia menjumpai bahwa tinggi badan perem puan ini memang sedikit lebih pendek, bahkan lebih pendek dari perawakan tubuh sendiri.
Padahal seingatnya, Liu Tan-yan memiliki perawakan tubuh yang lebih tinggi atau paling tidak seimbang dengan dirinya.
Membayangkan hal ini, wajahnya kembali berubah, tanpa terasa dia mundur lagi berapa langkah.
"Sudah kau lihat lebih jelas?" desak perempuan itu sambil tertawa dingin.
Begitu menyadari kalau perawakan perempuan ini jauh lebih pendek daripada ukuran badan Liu Tan-yan, peluh mulai membasahi jidatnya.
"Mungkin..... mungkin aku salah lihat." Jawabnya tergagap.
Sekulum senyuman segera menghiasi wajah sang pemuda perlente itu, menyapu bersih mimik seramnya tadi.
"Banyak sekali manusia didunia ini yang memiliki persamaan wajah," katanya, "jadi, alangkah baiknya bila dikemudian hari saudara Tian bersikap lebih hati-hati." "Tapi.....
tapi . . . . .. wajah mereka berdua kelewat mirip, alisnya, II matanya, raut mukanya, jelas seperti saudara kembar .
. . . . . . .. Tiba tiba ia berhenti bicara, setelah bertepuk tangan, serunya: "Aaah, betul, apakah istri hengtai punya saudara kembar" Kalau tidak, mana mungkin ada manusia lain yang begitu mirip dengan wajahnya." "Sejak kecil ia sudah yatim piatu dan dibesarkan ibuku, apakah punya saudara kembar" Aku kurang jelas." "Ooh .
. . . .." Baru saja ia termenung sambil menunduk, sambil menjura pemuda perlente itu sudah berkata lagi: "Maaf, karena masih ada urusan penting, aku harus segera pergi dari sini, sampai jumpa lain waktu." "Tunggu sebentar." "Terus terang hengtai," tukas pemuda perlente itu gelisah, "jejakku sudah ketahuan seorang musuhku yang sangat tangguh, itulah sebab aku minta istri dan anakku menunggu disini, kami sedang berusaha menghindari pengejarannya, kalau saat ini tidak pergi, bila sampai terkejar, keadaan bisa berabe." Berbicara dari ilmu ginkang serta kungfunya, pemuda ini terhitung seorang jagoan kelas satu dalam dunia persilatan, tapi kelihatannya dia sangat takut menghadapi musuhnya, tidak sampai selesai bicara, lagi lagi dia sudah siap kabur dari situ.
"Boleh tahu apa sebabnya istrimu bermusuhan dengan Siau Hui-uh .
. . . . .." teriak Tian Mong-pek.
Belum selesai pertanyaan itu diajukan, dari kejauhan terdengar suara bentakan nyaring: "Bocah keparat, biar kabur ke ujung langit pun, lohu pasti akan mengejarmu." Perasaan gugup, panik dan takut seketika melintas diwajah pemuda perlente itu, keluhnya sambil menghentakkan kaki: "Saudara Tian, kau telah menyusahkan aku!" Cepat dia sambar tangan istrinya dan kabur meninggalkan tempat itu.
Tian Mong-pek jadi tak tenteram dibuatnya, buru buru teriaknya: "Hengtai tak usah panik, biar aku mewakili mu menghadang serbuan orang tersebut." Diiringi bentakan, diapun melesat memapak kedatangan suara bentakan nyaring tadi.
Betul saja, dari balik kegelapan terlihat sesosok bayangan tinggi besar meluncur datang dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Tanpa banyak bicara Tian Mong-pek menyongsong kedatangan orang itu, sepasang kepalannya dikembangkan lalu melepaskan serentetan pukulan gencar, seketika itu juga serangannya yang dahsyat bagaikan amukan topan, menghadang jalan maju manusia tinggi besar itu.
Terdengar bayangan tinggi besar itu membentak gusar, serangan balasan dilontarkan berulang kali.
Dari balik gencarnya angin pukulan, lamat lamat terlihat kalau orang itu berbadan bungkuk.
Mendadak satu ingatan melintas, dengan perasaan kaget Tian Mong-pek melompat mundur, teriaknya: "Hentikan seranganmu cianpwee." Manusia tinggi besar itu segera menarik kembali serangannya, begitu melihat jelas wajah Tian Mong-pek, teriaknya lantang: "Saudara cilik, kenapa bisa kau?" Mimpi pun Tian Mong-pek tidak menyangka kalau orang itu ternyata kakek bungkuk dari lembah Tee-ong-kok, si bungkuk baja.
Sebaliknya si bungkuk baja pun tidak mengira kalau orang yang menghadang kepergiannya adalah Tian Mong-pek.
Sebagaimana diketahui, kedua orang ini termasuk manusia berangasan yang sangat temperamen, itulah sebabnya tanpa mengetahui duduknya perkara, mereka langsung baku hantam.
Coba berganti orang lain, paling tidak mereka akan bertanya dulu hingga jelas sebelum melancarkan serangan.
Setelah tahu kalau orang yang menghadang adalah Tian Mong-pek, sambil menghentakkan kakinya dengan jengkel, seru si kakek bungkuk: "Kenapa bisa kau" Kenapa kau hadang jalan pergi lohu?" "Cayhe sendiripun tidak menyangka kalau cianpwee yang telah datang." Sahut Tian Mong-pek sambil tertawa getir.
"Sudah, sudahlah, tak usah banyak cingcong, ke mana kaburnya bajingan itu?" Sebetulnya Tian Mong-pek agak menyesal karena kesal ahannya itu, sengaja ia termenung sebentar, lalu sambil menuding ke depan, jawabnya: "Kelihatannya dia kabur ke sana." "Kentut!" teriak kakek bungkuk gusar, "lohu justru datang dari arah sana." Tian Mong-pek tertawa getir.
"Kalau bukan gara gara kecerobohan boanpwee, tak mungkin orang itu kabur jauh," katanya, "cianpwee, bila kau tak punya dendam kesumat dengan orang itu, mendingan kau urungkan pengejaran ini." "Bedebah, bedebah, kau masih mintakan ampun untuk orang itu?" teriak kakek bungkuk semakin sewaot, "tahukah kau, untuk siapa aku melakukan pengejaran ini?" "Darimana aku bisa tahu?" "Demi kau!" teriak si kakek nyaring.
"Demi aku?" Tian Mong-pek makin tercengang, "boanpwee tak punya dendam dengan orang itu, malahan hubungan kami cukup baik, bila cianpwee melakukan pengejaran gara gara aku, mungkin sudah terjadi kesalahan paham disini." "Nenek moyang muda ku, tahukah kau siapa orang itu?" keluh sang kakek.
Tergetar perasaan Tian Mong-pek, jeritnya: II "Jangan jangan .
. . . . . .. jangan jangan dia adalah panah kekasih .
. . . .. "Panah kekasih apa?" tukas kakek bungkuk gusar, "dialah orang yang telah mencatut namamu untuk menipu ilmu silat di lembah kaisar, dialah bajingan tengik yang telah menipu ikatan perkawinan dengan Hui-uh." Tian Mong-pek gemetar keras, ibarat badannya dicambuk keras, jeritnya: "Hah, ternyata bajingan ini penipunya" Kejar!" Dia balik tubuh dan segera melakukan pengejaran.
"Cepat kejar . . . . . .." teriak si kakek pula.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitulah dua orang itu, apa yang diucapkan seketika dilaksanakan, sayang sasarannya sudah kabur jauh entah ke mana, biar sudah dikejar setengah harian pun, mereka gagap menemukan bayangan tubuhnya.
Akahirnya mereka menghentikan pengejaran, setelah saling bertukar pandangan, keluh kakek bungkuk sambil menghela napas: "Tak terkejar lagi." "Betul, tak terkejar." "Aaai, tidak tahu siapa nama asli bajingan itu dan berasal dari mana?" kembali kakek bungkuk menghela napas, "dunia begitu luas, lohu harus pergi ke mana untuk melacak jejaknya?" "Betul, dunia begitu luas, memang sudah untuk menemukan jejaknya." Tiba tiba kakek bungkuk membalikkan badan sambil berteriak: "Masa kaupun tidak tahu namanya?"\ "Darimana aku bisa tahu" Pada hakekatnya aku tidak kenal orang itu." "Kau tidak kenal?" si kakek bungkuk semakin gusar, "kalau memang tidak kenal, kenapa kau menghadang pengejaran lohu?" Tian Mong-pek tertawa getir, secara ringkas dia menceritakan peristiwa yang menimpanya, kemudian menambahkan: "Hampir semua kejadian yang kualami belakangan ini merupakan kejadian yang aneh dan sukar diduga." "Aku rasa, semua kejadian ini pasti ada sangkut pautnya dengan panah kekasih." "Benar, akupun berpendapat begitu." "Bajingan ini telah mencatut namamu, diapun mengetahui asal usulmu sedemikian detil, dapat dipastikan dia punya hubungan erat denganmu, masa kau sama sekali tak dapat menebak asal usulnya?" Sambil menghela napas Tian Mong-pek menggeleng.
Melihat pemuda itu bermurung durja dan penuh diliputi kesedihan, tak tahan kakek bungkuk menghiburnya.
"Tak bakal ada rahasia yang tak terbongkar selama hidup, kau tak perlu kuatir." Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya: II "Kau tinggal dimana .
. . . . . . .. Tian Mong-pek mendongak, melihat sinar fajar telah muncul diufuk timur, agak terkejut teriaknya: "Aduh celaka, kentongan ke empat sudah lewat, toako pasti sedang menunggu dengan cemas." "Ada orang menunggumu?" "Betul, dia adalah Yo Swan, murid Lan Toa-sianseng." "Kalau begitu cepatlah pergi, lohu juga harus segera pergi.
Karena kau jalan bersama anggota perguruan Au-sian-kiong, lohu pun tak perlu kuatir lagi." "Cianpwee hendak ke mana?" "Pertaruhan kita belum berakhir, tentu saja lohu harus melacak rahasia panah kekasih, sekalian mencari tahu asal usul bajingan itu." Dengan watak mereka berdua yang hampir serasi, berangasan dan tak sabaran, begitu berpisah, mereka pun segera bubar menuju arah masing masing.
Sekembali ke penginapan, Tian Mong-pek kuatir Yo Swan cemas menunggu kedatangannya, maka dia langsung mengetuk pintu kamar rekannya.
Siapa tahu, suasana dalam kamar Yo Swan amat sepi, ketika membuka pintu kamar, jangan lagi bayangan tubuh rekannya, bahkan meninggalkan catatan pun tidak.
Kenyataan ini sama sekali diluar kebiasaan, kembali Tian Mong-pek menunggu berapa saat, pikirnya: "Jangan jangan toako tak sabar menanti, maka dia keluar untuk mencariku?" Berpikir begitu, diapun duduk kembali didalam kamar Yo Swan dan menantinya kembali.
Lambat laun, sinar fajar mulai memancar diluar jendela, irama kehidupan pun mulai menggema di jagad raya .
. . . . .. kicauan burung, suara manusia, roda pedati, ringkikan kuda .
. . . . . . .. tapi Tian Mong-pek sama sekali tidak menjumpai bayangan tubuh Yo Swan, tidak nampak rekannya muncul diluar jendela.
Biarpun berada dalam penantian yang penuh kecemasan dan kegelisahan,
Biarpun berada dalam penantian yang penuh kecemasan dan kegelisahan, namun pikiran Tian Mong-pek sangat jernih.
Dia mulai membayangkan setiap peristiwa yang dialami, mula mula dia menyimpulkan kalau pemuda perlente yang mencatut namanya datang ke lembah Kaisar, pasti mempunyai hubungan yang erat dengan So Kin-soat.
Alasannya, kecuali So Kin-soat, tak seorang pun yang tahu akan pesan terakhir yang ditinggalkan almarhum ibunya, bila tak mengetahui pesan terakhir ibunya, pemuda tersebut tak mungkin tahu kalau Mo-mok lojin dapat membawanya masuk ke dalam lembah.
Setelah berada dalam lembah, bila dia tidak mengetahui rahasia keluarga Tian, mustahil pemuda itu bisa memperoleh kepercayaan orang orang lembah kaisar.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pemuda perlente itu pasti merupakan orang dekat So Kin-soat, bahkan kemungkinan besar adalah murid kesayangannya.
Sebenarnya rahasia ini tak mungkin diketahui Tian Mong-pek, apa mau dikata Thian punya kehendak lain, anak muda itu justru tanpa sengaja bertemu dan berkenalan dengan Tee-ong kokcu.
Kedua, Tian Mong-pek pun dapat menyimpulkan bahwa perempuan berbaju hitam yang ditemui dalam kebun terbengkalai itu meski sudah melahirkan seorang putra dengan pemuda perlente itu, namun asal usul mereka berdua pasti mempunyai rahasia besar sehingga mereka berdua hanya bisa menjadi suami istri secara diam diam (hal ini dia simpulkan dari ucapan bocah itu).
Kemudian secara tiba tiba perempuan berbaju hitam itu tahu kalau kekasihnya telah bertunangan dengan Siau Hui-uh, tak heran kalau ia bersumpah akan membunuhnya.
Disamping itu, pemuda perlente itupun pernah berkata: "Perempuan berbaju hitam itu yatim piatu, sejak kecil dipelihara ibuku." Jika So Kin-soat adalah ibu pemuda perlente itu, atau ibu angkatnya, maka perempuan berbaju hitam itu pastilah putri angkat So Kin-soat.
Dapat dipastikan So Kin-soat mempunyai rencana terhadap kedua orang ini, karena itu melarang mereka menikah, padahal kedua orang itu tumbuh dewasa bersama, sejak kecil sudah tumbuh benih cinta diantara mereka berdua.
Itulah sebabnya walaupun mereka berdua telah berputra, namun tak berani menyingkap hubungan tersebut dihadapan orang lain, terpaksa mereka berhubungan secara diam diam.
Membayangkan sampai disitu, Tian Mong-pek merasa puas sekali dengan hasil kesimpulannya.
Tapi mengapa wajah perempuan berbaju hitam itu begitu mirip dengan Liu Tan-yan" Jika kedua orang itu adalah saudara kembar, bukankah hal ini mengartikan kalau So Kin-soat punya hubungan dengan Liu Tan-yan" Seandainya pemuda perlente itu anak angkat atau murid kesayangan So Kin-soat, mengapa hal ini belum pernah disinggung" Atau jangan jangan dia memang putra kandung So Kin-soat" Karena selama ini orang tahunya dia hidup membujang, tak punya suami, maka tak berani mengakui kalau dia telah berputra.
Kalau memang demikian, siapa ayah pemuda itu" Dia berani mengawini So Kin-soat hingga punya anak, tapi tak berani mengawininya secara resmi, dibalik semua ini pasti terdapat sebuah rahasia besar.
Berpikir sampai disini, Tian Mong-pek merasa makin kalut pikirannya, ketika mendongakkan kepala, terlihat sinar fajar telah menerangi jendela, namun bayangan Yo Swan masih tidak terlihat.
Mungkinkah dia telah pergi" Mengapa dia pergi tanpa pamit" Tian Mong-pek berkerut kening, ia berputar berapa kali mengelilingi ruang kamar, tapi akhirnya membuka pintu dan kembali ke kamar sendiri, tapi apa yang kemudian terlihat membuat hatinya kembali tergetar.
Ternyata ruang tidurnya acak acakan, ranjang tempat tidurnya seakan pernah dibacok orang dengan golok, bangku yang semula berada disudut ruangan, kini sudah terbelah jadi berapa bagian, seba tang kaki bangku tergeletak diatas ranjang, bacokan golok berada dimana mana, kelihatan jelas kalau dalam kamar pernah berlangsung suatu pertarungan seru.
Dengan perasaan terperanjat pikir Tian Mong-pek: "Jangan jangan toako diserang musuh berilmu tinggi ketika sedang menunggu di kamarku" Karena gagal menemukan senjata, maka dia gunakan kaki bangku untuk melakukan perlawanan?" Berpikir begitu, hatinya semakin gugup dan panik, "kalau toako yang menang dan berhasil pukul mundur musuh, ia pasti menungguku disini, dan ll sekarang .
. . . . .. jangan jangan . . . . . . .. Dalam paniknya, tiba tiba ia melihat ada guratan huruf diatas meja, cepat ia periksa tulisan itu.
Betul saja, ternyata Yo Swan meninggalkan pesan dengan menggurat permukaan meja memakai jari tangannya.
"Perubahan drastis .
. . . . . . .. tak sanggup melawan . . . . .. kabur..... bukit Cik-sik-san . . . . . .." Bukan Cuma tulisannya kacau hingga susah dibaca, susunan kalimat pun terputus putus, seolah olah tulisan itu dibuat Yo Swan sembari bertarung melawan musuh.
Dengan kemampuan kungfu yang dimiliki Yo Swan, dengan statusnya sebagai murid istana Au-sian-kiong, ternyata dia telah bertemu musuh tangguh yang susah dilawan, bahkan memaksanya untuk melarikan diri, dapat diduga, pihak lawan pastilah seorang jagoan tangguh yang menakutkan.
Dalam kaget dan paniknya, pemuda itu bergumam berulang kali: Il "Cik-sik-san .
. . . .. Cik-sik-san . . . . . . .. Terburu-buru dia bereskan buntalannya, menerobos keluar dari kamar dan berteriak: "Pemilik penginapan!" Teriakan itu ibarat geledek disiang hari bolong, membuat pemilik losmen muncul dengan tergopoh-gopoh.
Sambil cengkeram kerah bajunya, teriak Tian Mong-pek lagi: "Cik-sik-san berada dimana?" Pucat pias paras muka pemilik losmen itu, masih untung dia mengerti bahasa Han, jawabnya tergagap: II "Dari sini.....
jalan kearah selatan.....
Tian Mong-pek lepaskan cengkeramannya, kabur ke istal, lepaskan tali pengikat dan larikan kudanya kencang kencang.
Begitu tergesa gesanya dia larikan kuda, entah berapa banyak barang dan manusia yang tertabrak oleh ulahnya.
Ditengah umpatan dan caci maki, dia sudah pergi jauh diujung jalan.
Untung saja Yo Swan masih memiliki berapa ekor kuda yang tertinggal disana sehingga tak sampai merugikan pemilik losmen.
Tian Mong-pek melarikan kudanya menuju selatan, begitu keras dia cambuk kudanya membuat pantat binatang itu tercabik hingga berdarah, diiringi ringkikan keras, kuda itu lari semakin kencang.
Hembusan angin serasa sayatan golok diwajah pemuda itu, namun dia seperti tidak merasa, pikirannya hampir terpusat pada keselamatan Yo Swan, dia berpikir keras, mencari tahu siapa gerangan musuh tangguh yang telah datang.
Entah berapa jauh sudah lewat, darah meleleh diseluruh pantat kuda, dalam panik dan cemasnya, ayunan pecut Tian Mong-pek bertambah keras, tanpa disadari dia telah menghajar binatang tunggangannya hingga luka parah.
Kembali berapa saat sudah lewat, kini permukaan tanah makin lama semakin meninggi, lapisan mega terasa makin rendah menyelimuti permukaan, langit dan bumi serasa bersambungan hingga sulit untuk melihat bayangan pegunungan.
Dalam cemasnya, mendadak kudanya lepas kendali, langkahnya sempoyongan lalu kaki depannya berlutut ke muka, otomatis tubuh Tian Mong-pek ikut terperosok.
Dalam kagetnya cepat dia melompat turun, ternyata kuda itu sudah tergeletak ditanah dengan mulut berbuih, saking lelahnya, binatang itu mati seketika.
Tidak jelas berapa jauh lagi dia musti menempuh perjalanan, terpaksa sambil gigit bibir, Tian Mong-pek melanjutkan perjalanan, saat itulah ia mendengar suara kaki kuda bergerak mendekat.
Dalam keadaan begini, pemuda itu sadar, dia perlu menyimpan tenaga sebagai persiapan pertarungan di bukit Cik-sik-san nanti, tak terkirakan rasa girangnya ketika melihat ada seekor kuda sedang berlari menuju kearahnya.
Kelihatannya orang itupun sedang terburu buru melanjutkan perjalanan, ia mencemplak kudanya dan berlari kencang.
Tiba tiba Tian Mong-pek membentak nyaring, tubuhnya menyusup ke depan dengan kecepatan tinggi.
Karena kaget, kuda itu mengangkat sepasang kaki depannya, untung penunggang itu memiliki ilmu yang tinggi, sambil mempertahankan tubuhnya agar tidak terbanting, umpatnya: "Budak anjing, buta matamu!" Tian Mong-pek tidak banyak bicara, tubuhnya menyusup ke atas, menumbuk badan lelaki penunggang kuda itu, membuat orang tadi terpental dan jatuh dari kudanya.
Menggunakan kesempatan itu Tian Mong-pek berebut naik keatas pelana, sambil mencemplak kuda, teriaknya: "Karena ada urusan penting, aku pinjam kudamu, ambil lah uang ini sebagai penggantinya." Dengan tangan kiri dia lempar sekeping uang, tangan kanannya memukul pantat kuda.
Lelaki itu cukup lihay, begitu terjatuh, dengan gerakan Yan-cing- cap-pwe-boan (walet 18 kali jumpalitan) dia berguling berapa kali ke depan, tangannya menyambar ekor kuda itu sambil teriaknya: "Tunggu sebentar!" Sekali lagi kuda itu mengangkat tinggi sepasang kaki depannya, karena ekornya tertarik, binatang itu tak sanggup meneruskan larinya.
Tanpa berpaling Tian Mong-pek lancarkan satu bacokan ke belakang, dengan tepi tangannya setajam golok, dia babat ekor kuda itu hingga putus.
Tak ampun lelaki itu tak sanggup berdiri tegak, tubuhnya terjungkal dan roboh terkapar, menanti dia melompat bangun untuk kedua kalinya, Tian Mong-pek dengan kudanya sudah pergi jauh.
Dari kejauhan pemuda itu mendengar orang tadi sedang bersumpah serapah: "Bajingan, begal kuda .
. . . . . .. kau tak akan lolos dari tanganku, aku II kenali .
. . . . . . . . . .. Derap kuda yang ramai, deruan angin yang kencang, membuat pemuda itu tak dapat mendengar jelas kata selanjutnya.
Sekalipun merasa berdosa dengan perbuatannya, namun dalam keadaan begini, Tian Mong-pek tak mau berpikir terlalu jauh, diam diam ia merasa girang karena merasa kuda itu berlari kuat dan kencang.
Langit semakin gelap, tapi kuda itu betul betul seekor kuda jempolan, biarpun sudah berjalan cukup jauh, namun gerak larinya sama sekali tidak melambat.
Lari kuda itu betul-betul bagaikan seekor kuda, berada dipunggung kuda itu, Tian Mong-pek merasa tubuhnya seolah sedang melayang diantara awan, timbul perasaan menyesal dihati kecilnya, bagaimana pun dia telah merampas kuda jempolan milik orang lain.
Ketika mendongakkan kepala memandang kedepan, diantara langit yang kelabu tiba tiba muncul sebuah tanah perbukitan, perbukitan itu bersambungan dengan tanah dasar sehingga dalam remangnya cuaca, orang baru tahu kalau tempat itu adalah sebuah perbukitan setelah berada dekat disana.
Tian Mong-pek melarikan kudanya naik keatas bukit, pikirnya: "Jangan jangan tempat inilah yang disebut Cik-sik-san?" Saat ini, dia sudah merasa amat menyayangi kuda jempolan itu, tidak tega membiarkan binatang itu mati kelelahan, maka setelah naik ke atas bukit, diapun melompat turun dari kudanya dan berkata sambil mengelus bulu binatang itu: "Terima kasih banyak kau telah menghantarku, kalau kenali jalan kembali, pergilah mencari majikanmu, kalau tidak, tunggulah disini sambil merumput." Kemudian dia temukan disamping pelana terdapat kantung berisi ransum kering, diapun mengambil ransum tadi dan melahapnya berapa potong, tak disangka dia temukan lagi sebotol arak wangi.
Setelah ransum dan arak masuk perut, Tian Mong-pek merasa semangatnya kembali berkobar, ditepuknya pantat kuda itu sambil serunya: "Pergilah sekarang!" Ternyata kuda itu seperti memahami maksud perkataan manusia, diiringi ringkikan, perlahan-lahan ia beranjak pergi dari situ.
Dalam pada itu, langit sudah makin gelap, kabut tebal mulai menyelimuti tanah perbukitan.
Sambil menghimpun tenaga, Tian Mong-pek berlarian mengelilingi seputar tempat itu sambil melakukan pencarian, tapi ke manakah dia harus mencari seseorang ditengah perbukitan berkabut tebal ini" Bukankah perbuatannya ibarat mencari jarum di dasar samudra" Dalam cemas dan gelisahnya, tidak tahan diapun berteriak: "Yo Swan .
. . . .. Yo toako..... siaute telah datang . . . . .. Tian Mong-pek telah datang, dimana kau .
. . . . . . . .." Suasana tetap sepi, yang terdengar hanya gaung suaranya di empat penjuru: "Dimana kau .
. . . .. dimana kau . . . . . . . . . .." Ditengah suara gaung yang datang dari empat arah delapan penjuru, mendadak terdengar suara tertawa dingin yang tajam menyeramkan, ditengah suara pantulan, tertawa dingin itu bagaikan tusukan pisau tajam yang menusuk kendang telinga Tian Mong-pek.
Pemuda itu terkesiap, mengikuti sumber suara, secepat kilat ia meluncur maju.
Terdengar suara tertawa dingin itu sebentar muncul sebentar menghilang, terkadang tinggi terkadang rendah, ada kalanya dari tempat jauh tapi ada kalanya berada sangat dekat.
Lambat laun, Tian Mong-pek terpancing untuk memasuki sebuah tebing karang yang tinggi menjulang ke angkasa.
Kabut semakin tebal, malam semakin kelam, suasana begitu pekat hingga jarak lima langkah pun susah terlihat jelas.
Dengan mengandalkan ketajaman matanya, Tian Mong-pek mencoba menelusuri tempat itu, namun jarak pandangnya tak bisa melebihi dua kaki.
Dengan mengerahkan segenap kekuatan yang dimiliki, dia bergerak maju, sekarang pemuda itu tidak berteriak, tidak pula membentak, kuatir suara gaungnya mengacaukan arah berasalnya suara tertawa dingin itu.
Oo0oo Biarpun kakek berjubah abu abu itu sudah tersiksa hingga tak ada hawa kehidupan, namun dari balik matanya, terpancar sinar teguh yang luar biasa.
Ditatapnya Tian Mong-pek sampai lama, rasa kejut, girang, sayang bercampur aduk, sahutnya setelah tertawa pedih: "Baru berpisah berapa bulan, masa kau sudah tak kenal lagi dengan pinceng?" Tian Mong-pek coba putar otak mengingat kembali wajah orang itu, dia mencoba mencari tahu apakah dalam hidupnya pernah bertemu orang ini, namun sampai lama kemudian ia tetap tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Terdengar pendeta berjubah abu abu itu berkata lagi dengan pedih: "Ketika menghantar Chin Siu-an turun dari bukit Kim-san-sie tempo hari, II pinceng pernah bertemu Tian kongcu satu kali .
. . . . .. Kini Tian Mong-pek benar-benar terperanjat, teriaknya tertahan: "Jadi kau adalah Su sute dari hongtiang kuil Kim-san-sie, Hui-bi taysu?" "Betul .
. . . . .." pendeta itu tertawa sedih.
"Bukankah kau sudah mati" Kenapa bisa muncul ditempat ini?" tanya Tian Mong-pek lagi dengan suara gemetar.
Dia coba mengamati lebih seksama, benar saja, sepasang alis kakek itu memang terlihat warna abu yang khas, hanya sayang, karena siksaan yang bertubi tubi, kini alis matanya telah rontok, wajahnya berubah bentuk hingga susah untuk dikenali.
Walau begitu, dengan jelas dia masih teringat, untuk pertama kalinya dia melihat jenasah orang ini berada di belakang tugu peringatan dibelakang paviliun Liun-hun-teng, kuil Kim-san-sie.
Untuk kedua kalinya, dia pun pernah melihat jenasah pendeta ini sewaktu berada di perahu penyeberangan sungai Tiang-kan.
Dua kali dia telah periksa dengus napasnya dan memastikan kalau dia sudah putus napas, tapi jenasah orang ini dua kali hilang tak berbekas, dan sekarang, sama sekali tak disangka mayat yang hilang itu telah berubah jadi manusia hidup.
Semakin dipikir, Tian Mong-pek merasa kejadian ini bukan saja rumit penuh intrik, bahkan terasa amat misterius dan menakutkan.
Tampak pendeta berjubah abu-abu itu berkata lagi sambil tertawa sedih: "Kejadian ini panjang untuk diceritakan, bila Tian kongcu berminat, pinceng akan membeberkan semua rahasia kejadian yang mengenaskan ini dari awal hingga akhir." "Sudah sekian lama cayhe ingin tahu rahasia dibalik semua peristiwa ini, bila taysu bersedia membeberkan, tentu saja aku merasa sangat berterima kasih." Pendeta berjubah abu iu mendongakkan kepalanya memandang langit, lama....
lama sekali, wajahnya yang sayu lagi lagi mengejang keras, seolah semua peristiwa lama yang tragis dan mengenaskan itu kembali terpampang dengan jelas di lubuk hatinya.
Kemudian dia menghela napas panjang, katanya: "Orang sering berkata, banyak bicara akan menuai bencana, siapa tahu, banyak urusan pun akan menuai bencana yang lebih besar.
Gara-gara pinceng ikut mengetahui sebuah rahasia orang lain, kini harus terjerumus dalam keadaan yang begini mengenaskan, coba waktu itu pinceng tidak banyak urusan, tak mungkin hidupku akan berakhir setragis ini." Sinar matanya berkilat, setelah tertawa pedih, lanjutnya: "Biarpun nasib pinceng hari ini sangat mengenaskan, namun tak ada kata menyesal dihatiku, andaikata waktu bisa berulang kembali ke saat itu, pinceng tetap akan turut campur dalam urusan itu." Tian Mong-pek melongo, tidak paham, tak tahan tanyanya: "Saat itu" Mencampuri urusan" Dapatkah taysu menceritakan lebih jelas?" Perlahan pendeta itu pejamkan matanya, kemudian berkata: "Hari itu, dalam ruang hongtiang kuil Kim-san-sie telah kedatangan berapa orang jago yang berasal dari tempat jauh, mereka ingin menyaksikan ikat pinggang Tang-po-giok-tay serta tambur tembaga Cukat.
"Sebagai petugas penerima tamu, tentu saja pinceng melayani keinginan berapa orang tamu agung itu, tapi terhadap tambur tembaga dan ikat pinggang, pinceng sama sekali tak berniat untuk ikut menikmati, karena entah sudah berapa kali menyaksikan benda benda itu.
"Disaat orang lain sedang mengagumi benda benda mustika itulah, dari samping bangku pinceng menemukan sepucut surat berkulit hitam, sudah pasti benda itu bukan milik kuil kami.
"Tidak seharusnya timbul perasaan ingin tahu dihati pinceng saat itu, secara diam diam kupungut surat itu dan membukanya, aaaai, gara gara membuka surat itulah, pinceng harus terjerumus ke dalam nasib yang amat tragis." Kembali mimik mukanya mengejang keras, untuk sesaat dia tidak melanjutkan ceritanya.
Satu perasaan aneh lamat lamat muncul dihati Tian Mong-pek, tidak tahan tanyanya: "Apa yang tertulis di surat itu?" "Dibagian depan hanya tertulis nama berapa orang serta sejumlah nilai uang, sedang dibagian belakang tertulis nama obat obatan serta dimana memetiknya." "Apa anehnya catatan semacam ini?" agak kecewa Tian Mong-pek menghela napas.
Kembali sepasang mata pendeta berjubah abu itu berkilat.
"Tapi semua nama yang tertera adalah nama nama manusia laknat dalam dunia persilatan, sedang nama obat yang tertera pun merupakan bahan obat paling beracun." Katanya.
Tian Mong-pek merasa sangat terperanjat, detak jantungnya berdebar keras.
Terdengar pendeta itu bercerita lebih jauh: "Setelah melihatnya berapa saat, pinceng merasa amat terkejut hingga tanpa sadar berseru tertahan, seketika itu juga semua orang yang hadir dalam ruangan berpaling kearahku.
"Waktu itu, secara lamat-lamat pinceng sudah dapat merasakan kalau surat itu pasti menyimpan sebuah rahasia yang sangat besar, melihat semua orang berpaling kearahku, buru-buru kusembunyikan surat tersebut.
"Sungguh sayang pinceng tidak terlalu memperhatikan mimik wajah berapa orang itu saat tersebut, karena merasa kurang aman bila kusimpan surat itu dalam saku, maka menggunakan kesempatan ini kupindah ke tempat yang lain.
"Kemudian kawanan jago itu pun membubarkan diri, karena saat itu Chin Siu-ang datang berkunjung dan kebetulan dia adalah toa-sicu dari kuil kami, maka secara khusus pinceng menghantarnya turun gunung dan naik ke perahu.
"Waktu itu, semua pikiran dan konsentrasi pinceng hanya ingin menggali lebih dalam rahasia dibalik surat itu, maka segera kembali secara terburu buru, yang pinceng lewati pun jalan pintas yang kecil dan jarang dilewati orang.
Api Di Bukit Menoreh 13 Naga Kemala Putih Karya Gu Long Senopati Pamungkas I 14

Cari Blog Ini