Ceritasilat Novel Online

Panah Kekasih 15

Panah Kekasih Karya Gu Long Bagian 15


. . . . . .. apakah siangkong ingin . . . . .. ingin . . . . . . .. Sambil menggigit bibir, dia menghentikan ucapannya.
"Tidak perlu! Tidak perlu!" teriak Tian Mong-pek.
Tiba tiba Ping-ji mendongakkan kepalanya, dengan sedih tanyanya lagi: "siangkong tidak menghendaki apapun, lantas apa yang harus Ping-ji lakukan untuk siangkong?" Belum sempat Tian Mong-pek menjawab, butiran air mata telah membasahi wajahnya, terlihat kalau dia amat sedih.
"Hei, kenapa kau menangis?" tegur pemuda itu keheranan.
"Kenapa siangkong tak ingin Ping-ji layani?" tanya Ping-ji sambil terisak.
"Kenapa kau harus layani aku?" "Perempuan memang dilahirkan untuk melayani lelaki, bila siangkong tak mau Ping-ji layani, tentu saja Ping-ji merasa amat sedih." Tian Mong-pek jadi melongo oleh perkataan itu, setelah menghela napas, katanya: "Nona Ping-ji.....
lebih baik.... lebih baik kau pulang saja!" Tubuh Ping-ji goncang keras, tiba-tiba dia menangis tersedu-sedu.
Selama hidup, belum pernah Tian Mong-pek menghadapi perempuan yang menangis sesedih ini, dia jadi gelagapan, tak tahu bagaimana cara untuk membujuknya.
Sesudah menangis berapa saat, sambil terisak tanyanya: "Apakah siangkong menganggap wajah Ping-ji terlalu jelek?" "Siapa bilang kau jelek?" sahut Tian Mong-pek sambil tertawa getir.
"Atau siangkong anggap tubuh Ping-ji sudah tidak bersih" Walaupun Ping-ji berasal dari .
. . . . . .. dari tempat itu, tapi hingga hari ini aku masih suci bersih!" Bicara sampai disitu, kembali wajahnya berubah jadi merah padam.
Kembali Tian Mong-pek dibikin tertegun, setelah berpikir sesaat, dengan wajah sungguh-sungguh katanya: "Itulah dia, kalau kau masih suci bersih, mengapa tidak pulang saja
Kembali Tian Mong-pek dibikin tertegun, setelah berpikir sesaat, dengan wajah sungguh-sungguh katanya: "Itulah dia, kalau kau masih suci bersih, mengapa tidak pulang saja dengan tubuh bersih" Siapa tahu suatu hari akan bertemu dengan tambatan hati dan hidup sebagai suami istri yang bahagia.
Dengan demikian baik untuk kau, baik juga untuk diriku." Dia anggap perkataan ini masuk diakal dan bermaksud baik, tak ada alasan lagi bagi Ping-ji untuk bersedih hati.
Siapa sangka Ping-ji menangis makin sedih, sambil berb aring di lantai, dia menangis tersedu-sedu.
"Tidak, tidak, biar matipun aku tak akan pergi." Tian Mong-pek melongo, tapi cepat katanya: "Kalau kau enggan pergi, terpaksa aku yang pergi." Tiba tiba Ping-ji melompat bangun, ditatapnya wajah pemuda itu dengan mata melotot, teriaknya: "Bila siangkong pergi, sekarang juga Ping-ji akan mati disini." Selain kaget, Tian Mong-pek merasa mendongkol, teriaknya keras keras: "Aku tak pernah kenal dengan dirimu, bertemu pun baru hari ini, kenapa kau bersikeras hendak mengintil aku?" "Hu toaya telah mengeluarkan beaya besar untuk membeli Ping-ji, tujuannya adalah agar Ping-ji mengikuti siangkong sepanjang hidup, melayani siangkong sampai tua." "Tapi .
. . . .. tapi..... masa menolak pun tak boleh" Mulai sekarang, kau sudah bebas merdeka, bukankah kejadian ini merupakan peristiwa yang pantas dirayakan" Mari, biar kita bersulang satu cawan." Dia berusaha keras untuk membujuk gadis itu, siapa sangka bukan saja Ping-ji tak mempan dengan bujukannya, malahan isak tangisnya makin menjadi.
"Kalau aku harus pergi dari sini, dikemudian hari mana ada muka lagi untuk bertemu orang?" "Kenapa tak punya muka bertemu orang" Setelah bebas, kau adalah masyarakat biasa, justru teman temanmu dimasa lalu yang seharusnya tak punya muka untuk bertemu dengan dirimu." "siangkong, kau keliru." Ping-ji menggeleng.
"Sudah jelas kau yang salah, kenapa jadi aku yang keliru?" seru Tian Mong-pek sambil menahan diri.
"Bila orang tahu kalau siangkong telah mengusirku, mereka pasti akan mentertawakan diriku, jadi aku .
. . . .. terpaksa aku harus mati dihadapan siangkong sekarang juga." "Kau tidak boleh mati disini." Teriak pemuda itu kaget.
Ping-ji segera tersenyum getir, katanya: "Kalau siangkong tak tega melihat Ping-ji mati, biarkan Ping-ji tetap berada disini." Dia ambil cawan teh dari tangan Tian Mong-pek lalu menuang dengan air teh baru.
Tian Mong-pek tertegun, dia hanya bisa mengeluh dihati, pikirnya: "Jalan pikiran perempuan semacam ini terkadang hanya bisa membuat orang menangis tak bisa tertawapun sungkan, tahu begini, aku lebih rela melanjutkan perjalanan sambil menahan lapar." Biarpun dia sudah malang melintang di dalam dunia persilatan, tapi saat ini benar benar sudah kehabisan akal, setelah duduk termangu berapa saat, ia baru menghela napas panjang.
"Kalau enggan pulang, baiklah, akan kubawa dirimu hingga ke kota Tin-kang." "Baik." "Tapi setibanya di Tin-kang, kau harus pergi sendiri." "Baik!" "Jangan melulu menjawab baik, harus kau dengarkan juga baik baik." "Selama siangkong mengijinkan Ping-ji untuk tetap tinggal disini, apa pun baik untukku." Dengan perasaan apa boleh buat Tian Mong-pek menghela napas panjang, sementara si kakek kusir yang berada diluar diam diam tertawa geli, hal ini membuat Tian Mong-pek mendongkol bercampur geli.
Dia sangka kakek itu benar benar tuli, ternyata ketajaman pendengarannya luar biasa.
Kepandaian orang ini dalam menjalankan kereta benar benar luar biasa, tak malu dia memiliki pengalaman sampai puluhan tahun.
Sepanjang jalan, nyaris kereta tak pernah berhenti.
Semua hidangan lezat maupun arak wangi sudah tersedia dalam kereta, hal ini menghemat waktu mereka dalam melanjutkan perjalanan.
Setiap kali melewati kota besar, si kakek tak hentinya menambah bekal mereka, namun kereta itu tak pernah berhenti lama, apalagi menginap di losmen.
Tian Mong-pek sendiripun berusaha mengendalikan diri, kalau belum mencapai luar kota atau tengah malam, diapun tidak turun dari keretanya.
Ping-ji pun selalu menurut dan penuh dengan canda tertawa, sekalipun Tian Mong-pek berusaha menghindar, tak disangkal dia telah menikmati kehangatan dan kelembutan sepanjang perjalanan.
Walaupun terkadang ia mendengar suara derap kaki kuda yang lewat diluar keretanya, mendengar suara sarung pedang yang beradu dengan pelana, tanpa dilihatpun secara lamat lamat dapat diduga siapa penunggang kuda yang baru lewat.
Ada kalanya dia meneguk dua cawan arak, semua kemasgulan seketika terkumpul jadi satu, ingin sekali dia keluar dari kereta untuk melampiaskan rasa kesalnya, mencari kambing hitam sebagai bahan pelampiasan.
Tapi pada akhirnya dia berhasil menahan diri.
Dalam keadaan begini dia hanya duduk bersila mengatur napas, atau tiduran sambil membaca, terkadang mendengarkan Ping-ji membawakan lagu merdu, atau bermain catur dengan perempuan itu.
Ada kalanya pula dia mengajak si kakek kusir untuk berbincang bincang.
Lambat laun dia dapat merasakan kalau pengetahuan kakek itu luar biasa, diapun mulai dapat merasakan kepolosan Ping-ji.
Tapi semua pengalaman ini akhirnya harus berakhir juga.
Tibalah mereka di kota Tin-kang.
Tian Mong-pek merasa semangatnya bangkit kembali, sedang Ping-ji tundukkan kepala sambil bertanya lesu: "Sudah sampaikah siangkong?" Sambil tersenyum Tian Mong-pek manggut-manggut.
"Apa rencana siangkong tentang nasib Ping-ji?" tanya nona itu kemudian.
"Buu..... bukankah sudah kukatakan sedari awal?" tanya pemuda itu agak tertegun.
Ping-ji mengangguk lirih, sahutnya dengan kepala tertunduk: "Kalau begitu Ping-ji segera akan pergi." Kemudian setelah menyeka air mata, katanya lagi: "Bolehkah Ping-ji bawa serta semua pakaianku?" "Dalam almari ada uang." Kembali Ping-ji manggut-manggut, sembari menyeka air mata dia membenahi semua barang miliknya.
Sementara si kakek kusir yang ada diluar bergumam pula sambil menghela napas: "Nona Ping-ji, cepatan sedikit bebenah, toh harus pergi, lebih baik kita pergi secepatnya.
Walaupun kau sebatang kara disini, belum tentu bakal mati kelaparan." Tian Mong-pek pura pura tidak mendengar, diapun tidak berusaha memperhatikan mereka, hanya gumamnya pula sambil menghela napas: "Sepanjang hidup aku berkelana dalam dunia persilatan, nasib sendiri pun masih menjadi tanda tanya, mana mungkin bisa memikirkan nasib orang lain." "Ping-ji mengerti." Sahut si nona dengan air mata berlinang.
I `Sudah kau dengar nona Ping-ji,' seru si kakek kusir pula, "biarpun Tian kongcu adalah seorang pendekar besar, diapun tak mampu menjagamu, lebih baik cepatlah bereskan barangmu!" Kali ini dia berbicara sangat lancar, sedikitpun tidak tampak gagap.
Tian Mong-pek masih berlagak tidak mendengar, padahal semua pembicaraan ia dengar amat jelas, diapun mendengar isak tangis Ping-ji yang amat sedih.
Terdengar kakek itu berseru lagi: "Nona Ping-ji, apa lagi yang kau tangisi" Bukan hanya kau seorang yang hidup sebatang kara di dunia ini, mana mungkin Tian kongcu harus memperhatikan dirimu." Il "Ping-ji tidak menangis .
. . . . . . .. masih dengan terisak, dia ambil sebuah buntalan kecil dan tambahnya, "siangkong, Ping-ji pergi dulu." "Baik baiklah jaga diri." Ping-ji mengangguk, perlahan ia menggeser tubuhnya sambil menyeka air mata, katanya: "Ping-ji akan berusaha untuk hidup terus, harap siangkong jangan merindukan .
. . . . .. "Tunggu sebentar!" tiba tiba Tian Mong-pek membentak.
II "Siang.... siangkong, kau . . . . . . . .. "Bila kau tahan penderitaan, pergilah ke rumahku, disana masih tertinggal II berapa bau sawah, cukup untuk memeliharamu .
. . . . . . .. Belum selesai perkataan itu, Ping-ji telah membuang buntalannya dan menubruk ke dalam rangkulan pemuda itu, sepasang bahunya goncang keras, entah sedang menangis ataukah tertawa" Tian Mong-pek sendiripun merasa sepasang matanya memerah, tenggorokan jadi gatal, untuk berapa saat tak mampu berbicara.
Terdengar si kakek kusir tertawa terbahak-bahak seraya berkata: "Sudah kuduga kalau Tian kongcu bukan orang berhati keras, tak bakalan meninggalkan dirimu." Walaupun suara tertawanya dipenuhi rasa puas, namun terselip rasa kecut dan sedih.
II "Kau jangan gembira dulu, seru Tian Mong-pek sambil tertawa, "aku akan menghukummu untuk menghantarnya sampai ke Hang-ciu." "Hahaha .
. . . .. aku si tua bangka memang tak berencana untuk jadi kusir kereta lagi, hidupku pun sebatang kara, setelah menghantar nona Ping-ji, aku bakal tinggal dirumah kongcu sambil menikmati hidup!" Tentu saja Tian Mong-pek mengabulkan permintaannya, setelah memberi alamat rumahnya dan meninggalkan berapa pesan, katanya: "Pergilah kalian, aku akan turun disini saja sambil mencari perahu untuk menyeberang." Waktu itu, Ping-ji telah menggosok pedang hitam itu hingga berkilat, bahkan Hu Tiong-peng telah menyediakan pula sebuah sarung pedang terbuat dari kulit ikan hiu dengan manik manik indah digagang pedangnya.
Setelah menggembol pedangnya, tak tahan Tian Mong-pek mengelus rambut si nona dengan penuh rasa sayang, ujarnya sambil menghela napas sedih: II "Kepergianku kali ini, entah sampai kapan baru .
. . . . . . .. Tiba tiba dia menyingkap tirai kereta sambil melompat turun dari kereta, dia kuatir perasaan cinta muda mudi akan membuat semangatnya pupus.
"Siangkong," terdengar Ping-ji berbisik lirih, "baik baiklah menjaga diri." Tian Mong-pek berlarian berapa saat lamanya sebelum berani berpaling.
Dia saksikan kereta masih berhenti ditempat semula, Ping-ji masih melongok dari balik jendela dengan air mata berlinang.
Maka diapun tak berani berpaling lagi, kali ini dia berlari makin kencang, perasaan hatinya bercampur aduk, kecut, manis, getir bertumpuk jadi satu, pikirnya: "Aaai, kenapa aku harus terlibat lagi dalam urusan cinta" Bagaimana caraku untuk memutusnya dikemudian hari?" Dari dulu hingga kini, orang gagah mana yang bisa lolos dari penderitaan cinta" Oo0oo Bukit Kim-san, berdiri ditepi sungai, suasana masih tetap seperti sedia kala.
Dalam kuil Kim-san-sie, ditengah aula Tay-hiong-tian, hongtiang baru Thiat-kut taysu sedang berdoa ditengah lapisan asap hio.
Sin-ki taysu dengan jubah putih bersepatu rumput, berdiri tegak ditengah aula sambil memegang sebuah tongkat bergelang sembilan, rupanya dia hendak melakukan perjalanan jauh.
Kecuali mereka berdua, ditengah aula hanya terdapat seorang hwesio cilik yang berdiri disamping sambil memegang sebuah baki kayu, diatas baki terdapat sebuah bungkusan kain kuning, mengikuti di belakang Thiat-kut taysu dan Sin-ki taysu, diapun bersujud tiga kali didepan altar.
Suasana di empat penjuru sangat hening, hanya suara jubah panjang yang menggesek lantai bergema memenuhi ruangan.
Tiba tiba terdengar suara genta dibunyikan tiga kali, suara genta yang keras dan nyaring membelah keheningan kuil.
Ditengah dentingan genta, perlahan Thiat-kut taysu berdiri, memasang hio lalu berdoa: "Mohon kemurahan sang Buddha, bantulah tecu sekalian untuk menemukan kembali mustika kuil." Kemudian dia membalikkan badan, menyerahkan bungkusan kain kuning itu ke tangan Sin-ki taysu sambil katanya: "Sute, kau harus baik baik menjaga diri." Sin-ki taysu menerima buntalan itu dengan wajah serius, tak sepatah kata pun diucapkan.
Saat inilah, sekonyong-konyong terlihat seorang pendeta muda berlarian masuk ke dalam ruangan dan melapor: "Lapor suhu, susiok, didepan kuil ada seorang siangkong yang mohon bertemu." Sambil menarik muka tegur Thiat-kut taysu: "Bukankah aku telah berpesan, hari ini Kim-san-sie tutup pintu, masa kau tak bisa menyampaikan kepada siangkong itu?" "Telah tecu sampaikan, hanya saja .
. . . . . . .." Belum selesai pendeta itu menjawab, terdengar seseorang telah menimbrung dari belakang tubuhnya: "Akulah yang telah masuk sendiri dengan melewati pagar kuil." Terlihat bayangan manusia berkelebat, seseorang telah muncul di belakang tubuh pendeta itu.
Berubah paras muka Thiat-kut maupun Sin-ki taysu, serentak mereka berpaling sambil berteriak: "Ternyata Tian siangkong." Rupanya orang yang baru saja melewati pagar kuil tak lain adalah Tian Mong-pek.
Bab 34...hilang/gak ada...cerita agak melompat sedikit....
Bab 35. Misteri Hutan penyesat. Tian Mong-pek merasa semangatnya bangkit, tiba tiba dia cabut pedang hitamnya, dengan mengerahkan segenap tenaga dia melompat ke depan, tapi lantaran dibawah kakinya berupa air, maka lompatannya kali ini mencapai ketinggian satu kaki.
Tapi pedang hitamnya langsung menancap diatas dinding tanah, menggunakan kesempatan itu badannya ikut menempel diatas dinding, setelah atur pernapasan sejenak, sepasang kakinya menjejak diatas dinding, pedangnya dicabut dan tubuhnya melesat maju lagi dengan cepat.
Kembali pedangnya diayun ke belakang, menusuk tebing dinding yang lain, dengan begitu tubuhnya saat ini sudah tinggal satu tombak dari sisi liang.
Begitu dia melompat satu dua kali, diiringi pekikan panjang, badannya sudah menerjang keluar dari perangkap.
Sejauh mata memandang, kabut tebal masih menyelimuti seluruh permukaan, diseputar liang perangkap tak nampak sesosok bayangan manusia pun.
Tiba tiba Tian Mong-pek merasa hatinya bergidik.
Diatas sebatang pohon besar ditepi liang perangkap, terpantek empat orang lelaki yang berdiri berjajar, orang yang paling atas berdiri dengan mata melotot gusar, tapi rasa takut yang luar biasa menghiasi wajahnya, sebatang panah panjang tertancap didepan dada.
Panah itu menembus hingga ke dalam dada dan tersisa ujungnya saja, ini menunjukkan kalau kekuatan memanah sang penyerang luar biasa, sedang bulu pada ujung panah berwarna merah darah.
Tian Mong-pek tidak habis mengerti bagaimana mungkin ke empat orang itu bisa berdiri dengan punggung dan perut saling menempel dan semuanya terpantek dipohon.
Sepintas lalu mereka seperti empat jangkrik yang ditusuk dengan sebatang lidi.
Mungkinkah dikolong langit terdapat busur yang begitu besar sehingga dapat melepaskan anak panah yang begitu panjang" Tidak tahan pemuda itu menghampiri mayat pertama dan menariknya, mayat itu segera terlepas.
Tampak pada bagian dada mayat kedua pun tertancap sebatang panah berbulu merah.
Sekarang Tian Mong-pek baru tahu, rupanya ke empat orang itu terluka oleh empat batang panah, panah pertama memantek tubuh orang pertama di pohon, panah kedua memantek orang ke dua ditubuh orang pertama.
Orang ke tiga terpantek di tubuh orang ke dua, sedang orang ke empat terpantek ditubuh orang ke tiga, karena itu bila dilihat sepintas, ke empat orang itu seolah-olah tertembus oleh sebatang panah yang sama.
Tapi suara panah yang mendesing di udara rasanya hanya satu kali, jerit kesakitan ke empat orang itu saling bersahutan, hal ini membuktikan tenaga memanah yang dimiliki orang itu luar biasa.
Diam diam Tian Mong-pek merasa terperanjat, baru saja dia menghembuskan napas panjang, mendadak dari balik kegelapan hutan terdengar lagi ada orang berbicara sambil tertawa: "Kau sendiri sudah naik ke atas" Bagus, bagus sekali, aku memang tak sudi II menjadi bau gara gara harus menolongmu .
. . . .. Suaranya lembut tapi tajam dan aneh, penuh disertai tenaga dalam yang kuat.
Tian Mong-pek semakin terkesiap, buru buru dia menjura memberi hormat.
"Tokoh sakti dari mana yang telah selamatkan nyawa Tian Mong-pek" Harap segera tampilkan diri." Suasana dibalik kegelapan hutan senyap sesaat, setelah itu bentaknya: "Ternyata kaulah Tian Mong-pek." "Benar, aku adalah Tian Mong-pek." Tiba tiba suara tertawa dibalik hutan itu berubah jadi amat keras dan aneh, kembali bentaknya: "Sudah lama kudengar katanya Tian Mong-pek hebat dan tiada tandingan dikolong langit, kenapa hari ini malah aku yang menolong nyawamu?" Tian Mong-pek melengak, katanya tergagap: "Soal ini .
. . . .. soal ini . . . . . . .." Orang ini telah selamatkan jiwanya, tapi dibalik ucapannya justru terselip nada sendiran dan permusuhan, Tian Mong-pek terkejut bercampur keheranan, dia tak tahu bagaimana harus menjawab.
Terdengar orang itu kembali tertawa latah, serunya: "Usia masih muda tapi mempunyai nama besar begitu cemerlang, huh, sudah pasti nama besarmu hanya nama kosong, biar kuberi pelajaran kepadamu." Sesudah berhenti sejenak, tiba tiba bentaknya: "Lihat panah!" Begitu suara bentakan bergema, kembali terdengar suara desingan angin tajam meluncur datang dengan membelah bumi.
Dalam terkejut dan gusarnya, Tian Mong-pek menengok kearah datangnya suara, terlihat sebatang bayangan panah muncul dari balik ketebalan kabut.
Walaupun desingan suaranya keras dan tajam, namun daya luncurnya tidak terlampau cepat.
Tian Mong-pek membalik badan sambil melangkah silang, baru saja dia akan tangkap panah itu .
. . . . . .. Tiba tiba saja bayangan panah yang tiba dihadapannya itu membelah diri jadi empat lalu menyerang ke empat sasaran yang berbeda.
Desingan angin mendadak lenyap, tapi daya luncur anak panah semakin cepat, secara terpisah mengancam jalan darah Ing-hiang, Ji-swan, tiong-ki serta hoa-kay-hiatnya.
Mimpi pun Tian Mong-pek tidak menyangka kalau dikolong langit terdapat ilmu memanah yang begitu sakti.
Dalam kagetnya dia memutar pedang sambil mengayun tangan dan melepaskan tendangan.
Dalam waktu singkat pedangnya berputar menangkis panah yang datang dari atas, kaki kirinya menendang panah dari bawah, sedang jari tangan kirinya bagai gunting, mengguling panah yang datang dari sisi kanan, sementara tubuhnya bergerak diantara kekalutan, menghindari panah dari kiri lalu melesat maju dan menyusup ke balik ketebalan kabut.
"Bagus!" dari balik hutan terdengar seseorang berteriak memuji.
Menyusul kemudian suara yang tinggi melengking itu berkumandang lagi: "Ternyata hebat juga, mengingat kau mampu menghindari ke empat buah panah itu, hari ini kubebaskan dirimu, tapi dalam hutan penyesat ini terdapat banyak perangkap, setiap langkah bisa mendatangkan kematian, bila kau mampu kabur dari sini, dikemudian hari mungkin kita dapat berjumpa lagi." Suara ucapan itu makin lama semakin menjauh, kata terakhir muncul dari balik kabut dikejauhan sana, yang tersisa pun hanya suara tertawa lengkingnya yang menyebar ke seluruh penjuru.
Tian Mong-pek tertegun berapa saat, sebenarnya dia berniat melakukan pengejaran, sayang Ui Hau masih terperangkap dalam liang, akhirnya dia balik badan dan melompat ke depan.
Kabut yang tebal, ditambah air gamping dalam liang, membuat hutan penyesat ini semakin diliputi misteri.
Bahkan manusia aneh tadi pun mengatakan kalau dibalik hutan penyesat terdapat jebakan jebakan mematikan, hal ini semakin membuktikan kalau setiap jengkal tanah di tempat ini memang sangat berbahaya.
Tian Mong-pek semakin tak berani gegabah, dengan langkah yang hati hati dia mendekati tepi liang jebakan lalu melongok ke bawah, diantara remangnya cuaca, terlihat Ui Hau sedang berdiri bersandar didinding, sikapnya tampak amat santai.
Begitu melihat kemunculan Tian Mong-pek, dari bawah liang perangkap, Ui Hau tertawa terbahak-bahak.
"Tian toako kah disitu" Hahaha, sejak tadi siaute sudah menunggu, tolong Tian toako bebaskan aku dari sini." "Hahaha, tadinya kusangka kau pasti gugup dan panik," seru Tian Mong-pek geli, "sama sekali tak kusangka kau justru begitu santai berdiri ditepi dinding, seakan lagi menunggu orang saja.
Padahal aku sendiripun nyaris tak dapat kemari." "Kenapa musti gugup apalagi panik?" Ui Hau tertawa keras, "sejak awal aku sudah tahu kalau Thian tak akan membiarkan Tian toako mati muda, jadi aku betul betul lega." Tian Mong-pek merasa geli bercampur terima kasih, dia berbalik melepaskan ikat pinggang dari tubuh ke empat sosok mayat itu, merangkainya jadi seutas tali panjang, lalu dijulurkan ke bawah.
Ui Hau segera merangkak ke atas, sambil menggeliatkan pinggang, katanya tertawa: "Biarpun siaute tidak takut, sejujurnya aku merasa pengab dan kesal, suasana dibawah sana betul betul tak nyaman, pabila Tian-heng tidak segera datang, siaute benar benar akan mati kesal." "Ooh, rupanya kaupun mengerti gelisah?" "Gelisah" Hahaha, menghadapi kejadian seperti apa pun, siaute belum pernah gelisah, bila Thian benar-benar menghendaki kematianku, masa aku masih bisa hidup hingga kini?" Diam-diam Tian Mong-pek tertawa getir, pikirnya: "Biarpun dia rada blo'on, sesungguhnya dialah panglima perang yang hebat." Sementara diluar ujarnya: "Mari kita balik ke jalan semula, tapi langkahmu musti berhati hati." "Ke mana kaburnya kawanan cecunguk tadi" Kenapa malah bersembunyi macam cucu kura-kura" Atau mungkin mereka jadi takut setelah mendengar nama besar Tian toako?" "Tidak sesederhana itu.
Aku kuatir masih terdapat banyak jebakan dan perangkap didalam Hutan penyesat ini, sementara kawanan manusia itu sedang menunggu kita masuk perangkap, buat apa harus tampilkan diri untuk bertarung?" Sambil gelengkan kepala, Ui Hau menghela napas panjang.
"Aaai, andaikata harus bertarung memakai senjata, siaute memang tidak kuatir, tapi kalau musti adu kelicikan dan muslihat, rasanya siaute tak berdaya." "Kalau hanya ingin meloloskan diri, hal ini mudah sekali, tapi bila kita ingin balas dendam, maka kawanan cecunguk itu tak bisa dibebaskan dengan begitu saja." Kata Tian Mong-pek sengit.
"Silahkan Tian-heng pergi balas dendam," teriak Ui Hau, "biar merasa agak takut pun, siaute pasti akan mengintil di belakangmu, bahkan biar musti 'I' n mati karena masuk perangkap pun, aku rela dan ikhlas "Baik, ikuti aku!" seru Tian Mong-pek sambil busungkan dada, dia cabut pedang hitamnya lalu membacok sebatang pohon yang tumbuh disisi kiri.
"Kraaaak!" batang pohon sebesar cawan arak itu seketika terbabat kutung jadi dua dan roboh ke tanah.
Sambil melompat naik keatas batang pohon yang roboh itu, seru Tian Mong-pek lagi sambil tertawa keras: "Aku tidak percaya kalau dia dapat membuat perangkap diatas batang pohon II yang tumbang .
. . . . .. "Apakah saudara Tian akan membuka sebuah jalan tembus dengan membabat batang-batang pohon itu dan kita melewati dari atasnya?" tanya Ui Hau kegirangan.
"Betull Akan kubabat setiap batang pohon yang berada dalam hutan penyesat ini dan menemukan tempat persembunyian dari kawanan begundal itu." "Hahaha, bagus! Bagus, bagus!" Ui Hau tertawa keras, "bila siaute dapat mengikuti Tian toako sepanjang hidup, sekalipun siaute harus menuntun kuda pun, hatiku tetap akan gembira." Ditengah gelak tertawa yang keras, lagi-lagi Tian Mong-pek mengayunkan pedangnya.
Tampak cahaya pedang berwarna hitam gelap berkelebat ditengah lapisan kabut, kembali sebatang pohon terbelah dua, Tian Mong-pek layangkan satu tendangan, batang pohon itupun roboh dihadapannya.
Dalam waktu singkat dia telah membabat sembilan batang pohon, sedang Ui Hau membuntuti dari belakang, namun dari balik hutan penyesat tetap tidak terdengar suara apapun.
Dengan kening berkerut ujar Ui Hau: "Besar kemungkinan kawanan bangsat itu sudah melarikan diri terbirit-birit karena takut dengan kegagahan saudara Tian, bagaimana baiknya sekarang" Bukankah perbuatan saudara Tian hanya buang tenaga dengan percuma?" Tian Mong-pek melengak, pikirnya: "Benar juga perkataan ini, tujuan mereka adalah merampok kuda dan sekarang telah berhasil, mana mungkin kawanan begundal itu tetap tinggal disini?" Sementara dia masih termenung, Ui Hau kembali sudah mencaci maki kalang kabut.
Siapa sangka, baru mengumpat berapa kata, dari balik kabut tiba tiba berkumandang lagi suara tertawa yang menyeramkan.
"Kami semua sedang siap menunggu untuk mencabut nyawamu, tak mungkin bakal pergi." Tian Mong-pek membentak nyaring, tubuhnya melesat maju secepat petir, dimana pedangnya diayun, pohon bertumbangan kian kemari.
Namun dibalik pepohonan yang tumbang, sama sekali tak tampak bayangan manusia, padahal sudah jelas suara tertawa itu berasal dari balik pepohonan.
Saat itulah dari sebatang pohon agak jauh dari sana, kembali terdengar seseorang berkata sambil tertawa dingin: "Hutan penyesat ini luasnya mencapai sepuluh li, jika kau benar benar sanggup membabat rata semua hutan ini, aku akan takluk kepadamu." Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya: "Namun bila kau tak sanggup meratakan hutan ini, jangan harap kalian bisa keluar dari sini dalam keadaan hidup." "Hei bangsat!" umpat Ui Hau, "kalau memang bernyali, jangan bersembunyi terus macam kura-kura." Kembali terdengar seseorang berkata sambil tertawa dingin: "Buat apa kami bersaudara buang tenaga untuk melayani kalian, didalam hutan penyesat ini bukan saja terdapat banyak jebakan, bahkan mengandung unsur barisan dan perbintangan yang sakti, cukup untuk mengurung kalian berdua hingga mampus disitu." Kalau suara tertawa tadi berasal dari sisi barat, maka ejekan kali ini muncul dari sisi timur, sudah jelas dibalik hutan penyesat ini tersembunyi musuh dalam jumlah tak terhingga.
Kalau suara tertawa tadi berasal dari sisi barat, maka ejekan kali ini muncul dari sisi timur, sudah jelas dibalik hutan penyesat ini tersembunyi musuh dalam jumlah tak terhingga.
Kembali Ui Hau mencaci maki kalang kabut, tapi tiada reaksi maupun jawaban dari seputar sana.
Sesudah termangu sesaat, diam-diam bisiknya: "Tian toako, apakah kau menguasahi ilmu barisan seperti pat-kwa dan lain sebagainya" Aku lihat hutan ini memang sedikit agak aneh." Tian Mong-pek tertawa sambil menggeleng.
"Ilmu semacam itu rumit dan membingungkan, siapa yang sabar untuk mempelajarinya?" Kembali dia mengayun pedangnya sambil menerobos maju.
Dalam waktu sekejap, kembali berapa batang pohon bertumbangan, ranting berguguran, daun beterbangan dan suara benturan menggaung ke mana mana.
Baru saja Tian Mong-pek menghembuskan napas lega, tiba tiba dari balik pepohonan terdengar suara ringkikan kuda.
Dengan perasaan terperanjat, mereka berdua menerjang kearah mana berasalnya suara ringkikan itu, tampak didalam sebuah liang perangkap, terjebak seekor kuda, ternyata kuda itu tak lain adalah kuda jempolan milik Tian Mong-pek.
Kuda itu sama sekali tak cedera, tapi pelana emas yang ada dipunggung binatang itu sudah lenyap tak berbekas.
Terlihat kuda itu menghentakkan kakinya berulang kali didalam air sambil meringkik panjang, jelas ia terjerumus ke dalam liang ketika berlarian dalam hutan.
Biarpun kuda itu termasuk kuda jempolan, tapi setelah berkurung dalam liang kecil itu, sulit baginya untuk meloloskan diri.
Tian Mong-pek memiliki ketajaman mata yang luar biasa, sejak minum cairan embun kumala dari botol pemberian Thian-heng lojin, ketajaman matanya melebihi siapa pun.
Ui Hau belum sempat melihat jelas keadaan yang sebenarnya, agak ragu tanyanya: "Apakah kuda yang ada dalam liang jebakan adalah .
. . . .." "Kuda itu adalah kuda tungganganku." Tukas Tian Mong-pek dengan wajah terperanjat.
"Kalau memang kuda itu, kenapa kawanan bangsat itu membiarkannya terjerumus ke dalam liang jebakan?" "Tapi pelana kudanya hilang .
. .

Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. .." Ui Hau melengak.
"Kalau begitu, jangan jangan tujuan dari kawanan begal itu hanya mengincar kedua pelana kuda itu dan dugaan kita keliru besar?" "Aaaai, besar kemungkinan memang demikian." sahut Tian Mong-pek sambil menghela napas panjang.
"Penasaran, sungguh penasaran," teriak Ui Hau sambil menghentakkan kakinya, "masih mending bila kita harus tewas atau terluka oleh kerumunan musuh besar dari Ho toako, tapi kalau hanya gara gara dua buah pelana kuda .
. . . . .. kematian semacam ini sungguh penasaran." Tian Mong-pek menghela napas panjang, untuk berapa saat tak mampu berbicara.
Sebagaimana diketahui, apabila orang-orang dibalik hutan penyesat adalah kawanan manusia berkerudung yang berniat membegal kuda, dapat dipastikan mereka tidak akan membiarkan kuda jempolan itu terperosok ke dalam perangkap.
Ujar Ui Hau kemudian: "Bagaimana pun, baik buruk kita harus selamatkan dahulu kuda itu dari dalam liang perangkap." Satu ingatan tiba tiba melintas dalam benak Tian Mong-pek, ujarnya girang: "Pernah kudengar orang berkata, kuda itu mengenali jalan, pabila kita mengintil dibelakang kuda ini, bukankah segera akan terlepas dari kurungan?" II "Hahaha, bagus, ide bagus .
. . . . .. seru Ui Hau sambil bertepuk tangan dan tertawa, tapi kemudian ia menggeleng seraya menghela napas panjang, "tidak bisa, masih tidak bisa dan tidak mungkin bisa berhasil." "Kenapa tidak bisa?" "Biarpun sifat kuda mengenali jalan," kata Ui Hau dengan wajah murung, "tapi dia tak bisa membedakan mana perangkap mana bukan, kalau tidak, mustahil kuda ini ikutan terperosok disitu." "Kuda ini berhasil lolos dari cengkeraman kawanan bajingan itu, sementara kudamu gagal meloloskan diri, sudah pasti hal ini dikar enakan mereka gagal membekuknya hingga si kuda kabur kemari, sementara merekapun tak berani mengejar karena kuatir bertemu kita berdua, bukan begitu?" "Betul." Biarpun dia membenarkan ucapan itu, namun sejujurnya tidak paham apa maksud dari perkataan itu, bahkan secara tak sadar ia menyalahkan Tian Mong-pek karena mengalihkan pokok pembicaraan.
Terdengar Tian Mong-pek bicara lagi jauh: "Tapi pelana yang berada dipunggungnya telah dilepas orang, bukankah hal ini membuktikan kalau sang kuda berhasil kabur dari tempat dimana kawanan bajingan itu berkumpul?" "Benar juga." "Sudah pasti dia terperosok disini karena harus berlarian kabur dari tempat berkumpulnya kawanan bajingan itu, atau dengan perkataan lain, kuda ini pasti dapat menuntun kita menuju ke tempat berkumpulnya kaum pencoleng bukan?" Ui Hau tertegun berapa saat, gumamnya: II "Dari sini .
. . . .. sampai disitu . . . . . . . .. Tiba tiba teriaknya sambil tertawa tergelak: "Hahaha, betul, betul sekali." Sambil membesut keringat yang membasahi jidatnya, ia berkata lebih lanjut dengan nada girang: "Kusangka jalan pikiranku sudah begitu cermat dan mendetil, siapa sangka pemikiran Tian-heng jauh lebih cemerlang, kalau memang begitu, ayoh cepat kita tolong kuda itu." Tian Mong-pek melompat masuk ke dalam liang perangkap, sang kuda segera meringkik kegirangan sambil mendekat.
Sambil menepuk punggung kuda itu, ujar Tian Mong-pek: "Kuda, wahai kudaku, aku telah menyiksa dirimu." Tiba tiba dia tangkap sepasang kaki belakang kuda itu, kemudian melontarkan keatas.
Kuda itu memang tak malu disebut kuda jempolan, meminjam tenaga lontaran itu, bagaikan kuda sakti terbang di langit, dia segera melompat keluar dari dalam perangkap.
Sambil tertawa Ui Hau segera berseru: "Untung saja ikat pinggang yang dipakai Tian-heng untuk menolong siaute tadi masih tersimpan, tak disangka siaute pun harus menolong Tian-heng." Sembari bicara, dia sudah menurunkan ikat pinggang itu ke dalam liang jebakan.
Begitu ikat pinggang terjulai ke bawah, Tian Mong-pek langsung melompat naik.
Sambil menepuk kepala sang kuda, bisik Ui Hau kemudian: "Saudara kuda yang baik, bagaimana kalau sekarang kau tuntun kami keluar dari sini?" Kuda itu meringkik perlahan dan mulai bergerak maju.
Melihat itu, Ui Hau gelengkan kepala sambil tertawa tergelak.
"Hahaha, sungguh tak disangka dia begitu mengerti maksud manusia, kalau begitu, tidak sia sia kupanggil dia saudara kuda.
Hahaha..." Ditengah gelak tertawa, ia bergerak mengintil di belakang kuda itu.
Terlihat kuda itu berjalan ditengah hutan lebat dan berbelok kian kemari, langkahnya sangat lambat, terkadang bahkan berhenti untuk mengendus disekeliling tempat itu sebelum melanjutkan perjalanan, terkadang pun berkeliling kian kemari.
Sesudah berjalan berapa saat, tiba tiba mereka saksikan dua buah pelana kuda tergeletak disisi jalan, ternyata pelana itu tak lain adalah pelana emas milik Tian Mong-pek serta Ui Hau.
Menjumpai hal ini, Tian Mong-pek serta Ui Hau saling berpandangan dengan perasaan keheranan.
"Kalau pelana kuda yang berharga pun bukan benda yang mereka inginkan, lantas apa yang mereka incar?" Ui Hau ikut menghela napas, katanya: "Kalau gagal mencari tahu urusan ini, aku pun ikut merasa murung dan tak ingin keluar dari hutan penyesat ini." Hutan penyesat itu tetap terselimuti kabut tebal, Tian Mong-pek serta Ui Hau yang mengintil di belakang kuda, diam diam merasa tercekat hatinya, sekalipun tiada jebakan atau perangkap, hutan penyesat ini benar benar merupakan tempat yang sulit dijangkau.
Kembali mereka menempuh perjalanan dua perminum teh lamanya, mendadak dari balik hutan berkumandang suara bentrokan senjata yang ramai, suara itu makin lama semakin bertambah nyaring, sementara kuda itupun meringkik tiada hentinya.
"Jangan jangan kita sudah tiba di tempat tujuan?" bisik Ui Hau dengan kening berkerut.
"Sstt . . . . . .." bisik Tian Mong-pek sambil manggut-manggut.
Betul saja, kuda itu telah menghentikan langkahnya.
Dengan pedang hitam terhunus, Tian Mong-pek mulai memeriksa keadaan disekeliling tempat itu, ternyata ditengah lebatnya pepohonan, muncul sebuah tanah lapang yang cukup luas.
Ditengah lapisan kabut yang tebal, meski tak dapat melihat dengan jelas pemandangan diseputar tanah lapang, namun lamat lamat terlihat juga kalau ada berapa orang sedang bertarung sengit ditengah tanah kosong itu.
Terlihat dua orang diantaranya mengenakan pakaian ketat, seorang bersenjata sepasang golok, cahaya senjata yang berwarna hijau keputihan menyambar kian kemari dengan cepat, jelas dia adalah seorang jago kelas satu dari dunia persilatan.
orang kedua bersenjatakan sepasang senjata kaitan, jurus serangannya aneh tapi ganas, gerakan tubuhnya gesit dan lincah, bahkan jauh diatas kemampuan orang bersenjata golok.
Sayangnya, walaupun ada empat buah senjata yang bekerja sama melawan musuh, namun posisi mereka sudah terdesak dibawah angin.
Musuh yang dihadapi mereka berdua adalah lima orang lelaki berpakaian compang camping, hanya dua diantaranya menggembol senjata, sementara yang lain bertarung dengan tangan kosong.
Dari perubahan gerak tubuh serta angin pukulan yang dihasilkan ke lima orang itu, dapat dilihat kalau kepandaian silat yang dimiliki mereka berlima jauh dari kedua orang lawannya dan bukan tandingannya, tapi yang aneh, bukan saja kedua orang itu terdesak dibawah angin, bahkan gerak serangannya tampak agak bebal dan melambat, sudah jelas tenaga dalam mereka sudah melemah.
Peristiwa yang bertolak belakang dari kenyataan ini segera membuat Tian Mong-pek terkejut bercampur keheranan.
Saat itulah dia mendengar ada suara lirih sedang bergema dari sisi tanah lapang: "Nomor empat, merentang awan musim gugur .
. . . . . .. nomor dua, air dingin memantul di angkasa .
. . . . .. nomor lima, burung camar menyapu pasir .
. . . . . . .." Setiap perkataan itu diucapkan, segera terlihat salah satu diantara ke lima orang lelaki berbaju compang camping itu menggunakan jurus serangan yang diperintahkan, ke dua orang lawannya seketika terdesak hingga mundur selangkah.
Sekarang Tian Mong-pek baru paham apa yang telah terjadi, ternyata biarpun ke lima orang lelaki berbaju compang camping itu tak berilmu tinggi, namun ada seorang tokoh silat yang berilmu sakti memberi petunjuk dari sisi arena.
Nomor yang disebut mungkin menandakan ke lima orang lelaki itu, dengan seorang diri dia beri komando kepada ke lima orang itu, bukan saja tak menimbulkan kesalahan, bahkan bisa mengubah yang lemah jadi kuat, kejadian seperti ini sungguh merupakan satu berita luar biasa.
Tian Mong-pek semakin keheranan, kalau memang ditempat itu terdapat seorang jago yang berilmu begitu tinggi, mengapa dia tidak turun tangan sendiri, sebaliknya malah berepot repot memberi petunjuk kepada orang lain" Dalam pada itu, Ui Hau sudah dapat mengenali bayangan manusia yang ada dalam hutan, tiba tiba teriaknya: "Apakah Hong-ciu-oh-hau-to dan Sin-yang-boan-liong-kou yang berada dalam hutan?" Perlu diketahui, Tian Mong-pek memiliki ketajaman mata yang luar biasa untuk melihat dibalik kegelapan, sayang dia hanya memperhatikan keanehan ilmu silat lawan dan justru mengabaikan gerakan tubuh yang digunakan.
Sebaliknya Ui Hau yang polos justru memperhatikan gerakan lawan, sehingga begitu melihat, dia langsung dapat menebak siapa gerangan mereka berdua.
Benar saja, semangat kedua orang itu langsung bangkit kembali, teriaknya serentak: "Apakah Tian tayhiap dan Ui toako yang datang?" "Kalian berdua tak usah gugup, biar aku datang membantu." Bentak Ui Hau.
Belum selesai dia berteriak, Tian Mong-pek sambil mengayunkan pedangnya sudah menyerbu ke tengah arena.
Bacokan pedangnya disertai kekuatan yang luar biasa, dimana deruan angin menyambar lewat, seorang lelaki berbaju compang camping itu sudah terlempar keluar dengan sempoyongan.
Ke empat orang lelaki lainnya jadi ketakutan, serentak mereka membalikkan tubuh dan melarikan diri.
Tian Mong-pek sadar, ditempat itu masih hadir seorang tokoh silat berilmu tinggi, maka sambil memutar pedang, dia membalik badan.
Benar saja, disudut tanah lapang itu, berdiri berjajar tiga buah rumah kayu yang amat sederhana.
Didepan rumah terdapat seonggok api unggun, dua orang lelaki berbaju compang camping sedang mengiris daging kuda Jian-li-soat milik Ui Hau.
Diantara jilatan api unggun, terlihat seorang kakek bertubuh kurus kering yang botak, duduk disebuah bangku yang amat besar.
Kakek botak itu hanya mengenakan selembar kulit hewan untuk menutupi tubuhnya yang kurus tinggal kulit membungkus tulang, jidatnya lebar, mukanya penyakitan, tapi memiliki sepasang mata yang memancarkan sinar aneh.
Biarpun Tian Mong-pek bernyali baja, tak urung bergidik juga hatinya sesudah bertemu kakek berambut putih itu, tanpa sadar dia mundur berapa langkah.
Biarpun Tian Mong-pek bernyali baja, tak urung bergidik juga hatinya sesudah bertemu kakek berambut putih itu, tanpa sada r dia mundur berapa langkah.
Sinar mata iblis dari kakek ceking itupun sedang mengawasi dirinya tanpa berkedip.
Sementara berapa orang lelaki berbaju compang camping itu sudah kabur ke belakang tubuhnya.
Berapa orang itu bukan Cuma pakaiannya yang dekil dan compang camping, tubuh merekapun kotor dan kurus, rasa haus dan lapar yang tak terlukiskan dengan kata menghiasi wajahnya, seakan akan sudah berapa tahun mereka kekurangan makanan.
Cukup lama Liong Hau-jin dan Ui Hau sekalian berkelana dalam dunia persilatan, namun belum pernah menjumpai orang yang begini kelaparan, terlebih tidak mengira kalau dikolong langit ternyata terdapat begal yang begini kere.
Untuk sesaat merekapun ikut tertegun.
Yang membuat Tian Mong-pek semakin keheranan adalah keadaan yang terbentang didepan mata, dengan kepandaian silat yang begitu tinggi dari si kakek, apalagi pekerjaan mereka adalah membegal dan merampok, kenapa anak buahnya begitu kere" Begitu kelaparan" Begitu menderita" sebuah kejadian yang sama sekali diluar akal sehat.
Sekali lagi Tian Mong-pek mengalihkan tatapannya ke wajah kakek itu, hanya kali ini, begitu sorot mata mereka saling bertemu, dia seakan tak mampu bergeser lagi.
Kakek itu memiliki sinar mata yang tajam, sinar yang memancar dari balik tulang alisnya yang tinggi.
Entah berapa lama Tian Mong-pek mengawasi sinar mata itu, tiba tiba ia merasa sinar matanya berubah jadi biru, lalu berubah ladi jadi ungu dan akhirnya berubah jadi coklat.
Tatapan mata yang begitu tajam membuat Tian Mong-pek merasa matanya jadi sakit, tanpa sadar kulit matanya mengerut dan akhirnya tundukkan kepala.
Semenjak lahir di dunia, belum pernah pemuda itu mengalami kejadian yang begini aneh, disaat matanya terasa sakit bagaikan tertusuk tadi, seakan pihak lawan sedang menyerang dengan jurus aneh, yang membuat dirinya tak sanggup menghindar.
Dengan rasa kaget dan ngeri dia menengadah, tampak sinar mata Ui Hau masih menatap di wajah kakek itu, namun dia seakan tidak mengalami apa pun.
Mendadak kakek itu buka suara, nadanya kering dan parau, tenang tapi lambat, ujarnya: "Hei anak muda, kau sedang keheranan?" Biarpun kakek itu tidak menjelaskan siapa lawan bicaranya, tapi Tian Mong-pek tahu, perkataan itu ditujukan kepadanya, tanpa sadar dia mengangguk.
Kembali kakek itu berkata: "Kau pasti merasa matamu aneh sementara rekanmu tidak" Hal ini bukan dikarenakan kau lebih lemah daripadanya, tapi karena kau kelewat kuat." Perkataannya yang lamban dan tenang itu, sejak awal sudah mengendalikan pikiran Tian Mong-pek, membuat pemuda itu tak mampu berkonsentrasi, tak mampu mendengarkan dengan seksama.
Kembali kakek itu berkata: "Apa yang kalian saksikan dalam tatapan mataku, tak lebih hanya hawa pembunuhanmu sendiri, kesemena-menaanmu sendiri, bila sikapmu dapat sedikit lebih lemah, maka tiada tandingan lagi di kolong langit." Sekalipun Tian Mong-pek tidak paham dengan makna yang terkandung dalam ucapannya, namun perasaan hatinya mulai bergejolak, oleh sebab itu secara tak sadar timbullah perasaan hormatnya terhadap orang ini.
Telapak tangannya yang menggenggam gagang pedang terasa mulai basah, seakan keringat dingin telah bercucuran keluar.
Tiba tiba terdengar kakek itu menghela napas panjang, kembali ujarnya: "Sayang sekali manusia berbakat macam kau, hari ini harus terjebak dalam lingkar kematian dan mustahil bisa keluar lagi dalam keadaan hidup." "Siapa bilang Tian Mong-pek tak bisa keluar dalam keadaan hidup?" mendadak Ui Hau membentak keras.
"Siapa Tian Mong-pek?" tanya si kakek.
Sambil menuding kearah Tian Mong-pek, kembali bentak Ui Hau: "Dialah Tian Mong-pek, manusia mana dikolong langit saat ini yang tidak mengenal nama Tian Mong-pek" Siapa pula yang bisa mengungguli dirinya?" Selama ini, dia menaruh keyakinan penuh atas kemampuan Tian Mong-pek, kecuali itu, persoalan apa pun tak pernah dipikirkan dalam hati, tak heran kalau saat ini dia masih bisa mencaci maki kalang kabut.
Dengan tatapan termangu, si kakek mengawasi telapak tangannya, sinar mata yang terpancar keluar tampak semakin aneh, tiba tiba katanya gemetar: "Ada .
. . . .. ada . . . . . . . . .. satu . . . . . . . . .." "Ada apa?" teriak Ui Hau, "sudah kau dengar perkataanku?" Siapa tahu kakek itu kembali menghela napas panjang.
II "Aaaai, tidak ada apa apa .
. . . .. tidak ada apa apa . . . . . . .. Ui Hau melongo, pikirnya: "Jangan jangan kakek ini dungu" Kenapa caranya bicara tidak genah, bikin orang tidak paham saja." Berbeda dengan Tian Mong-pek, dia merasa perkataan kakek itu bukan saja mengandung teori ilmu silat tingkat tinggi, bahkan setiap kata, setiap ucapannya seolah menyimpan cerita yang penuh misteri.
Tiba tiba dari tengah udara berkumandang suara keluhan seperti suara wanita, suara itu berteriak berulang kali: "Sudah mati, sudah mati, semuanya sudah mati .
. . . . . .." Menyusul kemudian, terlihat setitik bayangan hitam meluncur turun dari udara, melewati atas kepala Tian Mong-pek, melayang turun diatas tangan kakek itu, ternyata seekor burung betet.
Tian Mong-pek tertegun, ia berdiri kaku bagaikan sebuah patung.
Kembali terdengar Ui Hau membentak: "Ternyata burung kecil itu yang menjerit, tak heran kalau dalam hutan tidak nampak ada wanita, ternyata tadi kalian sengaja suruh burung itu menjerit seperti perempuan minta tolong, agar kami terpancing masuk kemari?" "Betul." "Kenapa kau memancing kehadiran kami" Cuuh! Tak heran kalau jadi penyamun, kalian tetap kere.
Ternyata kamu semua memang goblok tak ketolongan." Kemudian sambil menuding kearah Tian Mong-pek, kembali umpatnya: "Penyamun kere yang begitu goblok macam kalian, masih ingin menghadapi Tian toako ku" Hm, rupanya sedang bermimpi di siang hari bolong." Sekulum senyuman sadis tersungging dibibir kakek itu, katanya perlahan: "Tujuan lohu memancing kalian masuk ke dalam hutan, tak lain karena ingin makan daging kuda milik kalian itu." "A .
. . . . .. apa?" dengan tubuh bergetar teriak Ui Hau.
Akhirnya dia peroleh jawaban juga atas rasa herannya ketika menemukan pelana kuda emasnya tergeletak disisi jalan, hanya saja jawaban yang muncul sama sekali diluar dugaan.
Kembali kakek itu berkata sambil tertawa pedih: "Selama puluhan tahun, lohu harus andalkan kecerdasan dan kekuatan untuk mencari makanan, tapi sepanjang tahun belum pernah sekali pun makan kenyang." Ui Hau tertegun, sampai lama kemudian baru teriaknya: "Apa katamu" Aku tidak mengerti." "Bagaimana pun, toh kau tak bakal bisa lolos dari sini, perlahan-lahan pasti akan mengerti dengan sendirinya." "Siapa bilang kami tak bisa tinggalkan tempat ini?" "Bila kalian berani melangkah keluar dari tanah kosong ini, tak selang berapa saat, segera akan datang seorang pengejar nyawa yang akan merenggut nyawa kamu berdua." Ui Hau tertawa keras.
"Hahaha.... kau si kakek yang makan pun tak pernah kenyang masih ingin disebut pengejar nyawa" Hahaha .
. . . .. tak ada salahnya untuk dicoba." "Bukan lohu yang dimaksud, tapi orang lain." "Siapa?" Tiba tiba secerca cahaya kebencian terlintas dimata kakek itu, sahutnya: "Dia adalah orang yang telah mengurung lohu selama puluhan tahun di tempat ini." "Kenapa tadi tidak kujumpai?" "Sebelum menginjak tanah kosong ini, mungkin kalian masih bisa hidup, tapi begitu menginjak lingkaran ini, jangan harap bisa keluar lagi dalam keadaan selamat, peraturan ini ditetapkan orang itu sejak puluhan tahun berselang.
Tadi kau belum menginjak lingkaran ini, tentu saja dia tak akan menjumpaimu." Peraturan apa itu, aku tidak percaya." Seru Ui Hau gusar.
Tiba-tiba kakek itu tertawa mengenaskan, nada suaranya berubah makin lamban, tapi dibalik nadanya yang lamban itu mendadak tersisip kekuatan aneh yang dapat membetot pikiran orang.
Perlahan dia berkata: "Sudah kau lihat orang-orang yang berada dibelakang lohu" Orang orang yang kelaparan seperti puluhan tahun tak pernah makan itu, sebelum tiba disini, mereka pun sama seperti kau, segar begar dan lincah bagai harimau ganas.
"Sudah kau lihat orang yang sedang mengiris daging kuda itu" Untuk mengiris sepotong daging kuda, dia seakan butuh tenaga yang amat besar, percayakah dirimu kalau dia adalah Tiam-cong-kek jago dari bukit Tiam-cong Tio Beng-teng?" Biarpun kakek itu tidak berpaling, namun setiap gerak gerik yang ada dibelakang tubuhnya seolah terlihat dengan jelas.
Tanpa sadar Ui Hau berpaling kearah yang dikatakan, cairan darah ditubuhnya seketika membeku, tiap inci, tiap bagian menjadi dingin lalu membeku.
Kembali si kakek berkata: "Sewaktu datang kemari, keadaan mereka tak beda jauh dengan dirimu, tidak percaya dengan peraturan itu, tapi kini, mereka semua telah percaya.
"Dengan mata kepala sendiri mereka saksikan orang orang yang berilmu silat lebih hebat dari mereka berusaha menerobos keluar dari sini, tapi tak seorangpun bisa berjalan lebih dari sepuluh langkah, belum pernah ada orang mencapai sepuluh langkah." Tiada pilihan lain bagi Ui Hau kecuali mendengarkan lebih jauh, dengus napasnya lambat laun makin berat dan kasar.
"Oleh sebab itu mereka telah rela menahan lapar, kesepian, dekil, dahaga serta siksaan dan penderitaan yang tak mungkin bisa ditahan oleh siapa pun daripada melangkah pergi dari tempat ini.
"Padahal siksaan ini berkepanjangan dan tiada batas akhir, yang ada hanya siksaan dan penderitaan, siksaan yang lambat laun merampas semua kegagahannya, mereka hanya bisa bertahan.
"Ketika kau saksikan ilmu silat yang mereka miliki, hatimu pasti merasa geli, ini dikarenakan seluruh kekuatan yang dimiliki telah digunakan untuk menghadapi kelaparan, otomatis ilmu silatnya semakin mundur, suatu hari nanti kau akan menemukan bahwa dirimu pun telah berubah seperti mereka.
Kecuali hari ini juga kau mati di tempat ini." Para lelaki berbaju compang camping yang berada dibelakang kakek itu kelihatan mulai menggigil ketakutan, wajahnya memperlihatkan rasa malu dan marah yang tak terhingga, keadaan mereka saat ini betul-betul mengerikan.
Namun disaat hawa harum daging kuda yang matang mulai terendus di udara, rasa malu dan marah yang semula menghiasi wajah orang orang itu seketika lenyap dan kini berubah jadi setan setan kelaparan yang siap menerkam mangsanya.
Bergetar keras hati Ui Hau setelah menyaksikan keadaan orang orang itu, peluh dingin membasahi wajahnya, mendadak sambil memberanikan diri bentaknya: "Bangsat yang ada diluar hutan itu bukan setan kan?" "Sekalipun bukan setan, paling tidak sudah mendekati." Jawab si kakek.
"Asal dia manusia, Tian toako pasti sanggup untuk menghadapinya." Kakek itu tertawa pedih.
"Dikolong langit dewasa ini, kecuali lohu, tak seorangpun sanggup menandingi kehebatan mereka berdua, padahal lohu saat ini sama sekali tak mampu bergerak." "Sebetulnya siapa dirimu?" tak tahan Ui Hau bertanya.
"Manusia macam kau, mana mungkin bisa mengenali lohu...." "Belum tentu." Teriak Ui Hau makin gusar.
Tiba tiba ia berpaling, menggenggam tangan Hong-ciu-to dan Sim-yang-kou dan teriaknya: "Apakah kalian berdua mengenalnya?" Liong Hau-jin serta Lim Ciu-kok bermandikan keringat dingin, mereka menggeleng tidak menjawab.
"Bila kalian berdua tidak mengenalnya, kenapa bisa sampai di tempat ini?" tanya Ui Hau sambil menghentakkan kakinya.
Dengan wajah pucat pasi, sahut Liong Hau-jin: "Sebenarnya kami mempunyai seorang sahabat Liok-lim yang tinggal didalam hutan penyesat ini dan berulang kali menasehati kami agar tidak memasuki tempat ini, tapi berhubung kami menguatirkan keselamatan kalian berdua, maka kami pun paksakan diri untuk masuk kemari.
Hanya saja kami tidak mengetahui rahasia dibalik hutan penyesat ini." "Bicaralah lebih jelas, kalau begitu caramu bicara, siapa yang bakal mengerti?" tegur Ui Hau mendongkol.
Liong Hau-jin menyeka peluh yang membasahi jidatnya, setelah berhasil menenangkan diri, katanya: "Sudah lama kami bersaudara ingin berkenalan dengan Tian tayhiap, sejujurnya kami tak ingin berpisah dengannya, tapi karena takut Tian tayhiap menampik keinginan kami untuk bergabung, maka walaupun sudah mohon diri, sesungguhnya kami selalu mengintil kalian dari belakang.
"Tapi setelah memasuki bukit ini, tiba tiba kami kehilangan jejak kalian berdua.
"Kami merasa terkejut bercampur panik, ketika tiba di depan hutan penyesat, kamipun tak bisa ambil keputusan apakah akan memasuki hutan yang disebut hutan setan ini atau tidak.
"Pada saat itulah, dari dalam hutan tiba tiba muncul dua sosok manusia.
"Mereka berdua, yang satu bernama pisau kecil Thio Jit, yang lain bernama Pelepas kulit Khong Sam merupakan jago jago kalangan hijau, melihat sikap mereka yang tergopoh gopoh, kami pun memanggil kedua orang itu.
"Dimasa lalu, kedua orang ini pernah lolos dari cengkeraman maut kami berdua dan sudah lama tak pernah muncul dalam dunia persilatan, tentu
"Dimasa lalu, kedua orang ini pernah lolos dari cengker aman maut kami berdua dan sudah lama tak pernah muncul dalam dunia persilatan, tentu saja mereka tak berani mendekat ketika melihat kehadiran kami berdua.
"Ketika kami bertanya apakah mereka sempat melihat kehadiran kalian berdua, sebenarnya mereka tak berani bicara, tapi akhirnya mengakui kalau kalian berdua berada dalam hutan penyesat.
"Maka kami berdua pun memutuskan untuk melakukan pencarian didalam hutan penyesat, tapi kedua orang itu bersikeras mencegah, katanya bila masuk ke dalam hutan, selama hidup tak bakal bisa keluar lagi.
Ketika kami desaak, si pisau kecil Thio Jit hanya berkata bahwa dalam hutan penuh dengan jebakan dan perangkap mematikan, serta adanya kakek misterius.
Sisanya dia tak berani mengungkap.
"Melihat kepanikan dan rasa takut diwajah mereka, kami berdua semakin menguatirkan keselamatan kalian, maka kamipun mencari tahu jalan masuk menuju kemari.
"Kedua orang itu sangsi berapa saat, tapi akhirnya Thio Jit berkata: setelah masuk hutan, setiap selesai melewati tiga batang pohon, segera berubah arah lain, dengan begitu akan kau jumpai kakek misterius itu.
"Selesai bicara, mereka berdua segera berlutut dan mohon kami membiarkan mereka kabur, karena kuatir keselamatan kalian, kamipun bebaskan mereka Il dan langsung menuju kemari .
. . . . .. Ui Hau menghembuskan napas panjang, keningnya berkerut makin kencang, dadanya masih dipenuhi rasa mangkal, sambil menggeleng tanyanya: "Hanya sebanyak itu yang kalian berdua ketahui?" "Padahal siaute sendiripun masih diliputi pelbagai kecuri gaan." Kata Liong Hau-jin sambil menghela napas.
Mendadak terdengar kakek itu menukas: "Apa lagi yang ingin kau ketahui?" "Manusia macam apa pula Thio Jit dan Khong Sam itu?" tanya Ui Hau.
"Karena mereka sudah tak punya tempat berpijak lagi dalam dunia persilatan, maka hutan penyesat ini digunakan sebagai tempat merampok, itulah alasan kenapa mereka berani menyerempet bahaya masuk kemari.
"Secara tidak sengaja mereka tiba ditempat tinggal lohu, maka lohu pun menghentikan mereka ditempat jauh serta mengajak mereka untuk melakukan sebuah transaksi secara adil." "Transaksi apa?" tanya Ui Hau keheranan.
"Lohu memberi petunjuk kepada mereka untuk menyiapkan pelbagai perangkap dan jebakan dalam hutan penyesat, lalu mencari akal untuk memancing orang yang lewat memasuki hutan ini.
"Tapi syarat yang lohu ajukan adalah mereka harus merampok dulu harta kekayaan miliki pendatang, kemudian mengiring kuda kuda mereka menuju kemari." "Hmm, sebuah transaksi yang keji." Umpat Ui Hau gusar.
Kakek itu menghela napas sedih, katanya: "Bila kau pernah merasakan penderitaan karena menahan lapar selama puluhan tahun, perbuatan yang sepuluh kali lipat lebih kejam pun mungkin bisa kau lakukan." Setelah tertawa pedih lanjutnya: "Sungguh kasihan, baru saja perangkap mereka selesai dibuat dan baru melakukan transaksi yang pertama, mereka harus mengalami nasib tragis yang sama seperti rekan rekannya, hampir semuanya mengalami nasib menakutkan." "Siapa pula rekan rekannya yang lain?" berubah paras muka Ui Hau.
"Selama puluhan tahun, entah sudah berapa banyak manusia macam Thio Jit yang pernah menjalin transaksi dengan lohu, asal mereka tidak menginjak tanah kosong ini, apapun yang mereka lakukan dalam hutan penyesat ini, semuanya bisa dilakukan dengan aman, oleh karena itu mereka pasti berhasil melaksanakan transaksi yang pertama." Tiba tiba nada suaranya berubah jadi begitu keji, begitu mengenaskan, tambahnya: "Tapi, ketika mereka berhasil melaksanakan transaksi pertama dan menghantar makanan serta kuda kemari, saat itu juga orang orang itu akan mengalami kematian yang tragis." "Kenapa?" "Sebab mereka telah menghantar makanan, sudah membantu lohu, sedang orang yang berani membantu lohu, selamanya belum pernah ada yang bisa hidup sehari lebih lama." Segulung angin berhembus lewat, Ui Hau merasa pakaiannya dingin, ternyata peluh telah menembusi baju yang dikenakan.
Tiba tiba ia teringat akan Tian Mong-pek, yang hingga kini sama sekali tak bereaksi, ujarnya dengan nada gemetar: "Tian-heng, tahukah kau, siapa kakek macam setan ini?" Tian Mong-pek masih mengawasi kakek itu tanpa berkedip, dia seakan sudah mabuk dibuatnya.
"Saudara Tian, kau .
. . . . . . .." teriak Ui Hau kaget.
Tian Mong-pek segera tersadar kembali dari lamunannya, sambil menuding tangan kakek itu, ujarnya: "Coba lihat, apakah telapak tangannya ada yang aneh?" saat itu, kesadaran Ui Hau sudah dipengaruhi oleh kemisteriusan yang meliputi hutan penyesat itu, tanpa terasa dia berpaling memandang tangan kakek itu, lalu memandang pula telapak tangan sendiri.
Ternyata telapak tangan kanan Ui Hau maupun kakek itu, memiliki tujuh buah jari tangan.
"Coba kau perhatikan pula telinganya." Kembali Tian Mong-pek berkata.
Nada suaranya ikut berubah seperti orang yang terperana.
Kembali Ui Hau menengok ke depan, ternyata kakek itu memiliki sepasang telinga yang ukurannya beda.
Telinga kanan panjang melebihi bibir, diatas telinga yang terkulai, tumbuh lima buah butiran daging berwarna merah darah.
"Coba kau perhatikan lagi mata kirinya." Kembali Tian Mong-pek berkata.
Dengan napas tersengkal Ui Hau segera berpaling.
Mata kiri kakek itu memancarkan cahaya berkilauan, ketika diamati lebih seksama, baru diketahui kalau dalam matanya itu terdapat dua buah pupil mata.
"Sudah melihat dengan jelas?" tanya Tian Mong-pek.
"Sudah." Sahut Ui Hau sambil membesut keringat.
"Setelah menyaksikan kesemuanya ini, masih bisa kau kenali siapa dia?" Ui Hau tertegun, sahutnya: "Tentu saja masih belum mengenalinya." Sambil putar badan, tanyanya pula, "kalian berdua kenal dengan orang ini?" Dengan perasaan bingung Liong Hau-jin serta Lim Ciu-kok menggeleng.
"Aneh . . . . ..

Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sungguh aneh . . . . . . .." gumam Tian Mong-pek keheranan.
Tiba tiba paras muka kakek itu berubah agak emosi, dengus napasnya memburu, tanyanya dengan gemetar: "Kau.....
kau kenal lohu?" Tian Mong-pek seolah tidak mendengar pertanyaan itu, hanya gumamnya: "Hati berlubang sembilan, cerdas diantara yang cerdas, tangan berjari tujuh, lincah diantara yang lincah, telinga bertasbeh lima, antik diantara yang antik, mata berpupil tiga, aneh diantara yang aneh....." Tiba tiba dia membalikkan badan sambil berteriak keras: "Kalian bertiga sudah lama terjun dalam dunia persilatan, pernah mendengar perkataan ini?" "Belum pernah." Serentak Liong Hau-jin, Lim Ciu-kok serta Ui Hau menggeleng.
Tiba tiba Tian Mong-pek tertawa ewa, katanya: "Sungguh tak disangka pendekar sakti yang luar biasa ini betul betul seorang manusia tak bernama, hari ini aku baru benar benar mempercayainya." "Kau benar benar mengetahui tentang lohu?" kakek itu semakin bergetar perasaannya.
"Puluhan tahun berselang, dalam dunia persilatan terdapat seorang pendekar aneh yang luar biasa, bukan saja ilmu silatnya amat tinggi, diapun memiliki kecerdasan yang luar biasa.
"Dalam pandangannya, tiada persoalan yang tak bisa diselesaikan di dunia ini, sebab persoalan sesulit apapun, begitu jatuh ke tangannya, semua jadi beres dan selesai, tapi dalam dunia persilatan hanya ada tiga sampai lima orang yang tahu tentang dirinya.
"Karena dia tak pernah mau muncul dengan wajah aslinya dan memiliki tampilan yang beribu macam bentuknya.
"Entah sudah berapa kali dia tampil dengan wajah dan nama yang berbeda, walaupun setiap penampilan hanya dilakukan satu kali, tapi penampilannya yang satu kali itu sudah cukup membuat namanya menggetarkan sungai telaga.
"Karena identitas serta wataknya yang penuh misteri, hal ini membuat dia pribadi berubah menjadi satu rahasia besar bagi umat persilatan.
Ketika mendengar kisah ini, aku sendiripun tidak percaya.
"Tapi akhirnya hari ini, aku telah bertemu dengan orang yang menjadi lakon dalam kisah ini, aku merasa makin terperanjat karena ternyata dalam dunia persilatan benar benar tak ada orang yang mengenalinya .
. . . . . .." "Kalau dilihat dari penampilanmu tadi, bukan saja terkesan kaget dan keheranan, bahkan seakan termangu dan kecewa, karena apa itu?" tiba tiba kakek itu menyela.
Sambil tertunduk Tian Mong-pek menghela napas.
"Karena aku pernah mendengar orang berkata, siapa pun dia, disaat bertemu dengan pendekar sakti ini, bila kau tidak mengenalnya maka dapat minta petunjuk akan satu persoalan sulit kepadanya.
"Tapi bila kau mengenalinya, bukan saja tak dapat minta petunjuk akan persoalan pelik,, bahkan besar kemungkinan ajal segera akan tiba.
Padahal sekarang, aku justru mempunyai masalah pelik yang ingin minta petunjuk cianpwee, sayangnya tadi aku masih belum begitu percaya dengan segera dongeng sehingga tanpa sadar telah mengungkap semua ciri khas dari cianpwee!" Kembali wajah kakek itu diliputi luapan emosi, entah terkejut, entah merasa gembira.
Sampai lama, lama kemudian dia baru bertanya: "Siapa yang beritahu hal ini kepadamu?" "Kokcu lembah kaisar." Jawab Tian Mong-pek serius.
Kembali paras muka kakek itu berubah, gumamnya: "Kokcu lembah kaisar .
. . . . . .. kokcu lembah kaisar . . . . . . . .." Tiba tiba serunya dengan suara dalam: "Angkat pedangmu." Tian Mong-pek agak sangsi, tapi akhirnya dia angkat pedang hitamnya.
Setelah menatapnya berapa saat, kembali ujarnya dengan suara dalam: "Gunakan seluruh kekuatan yang kau miliki, mainkan jurus Hong-hong- tan-dian-ci (burung hong pentang sayap) dengan pedangmu, tidak lebih tidak kurang, cukup satu jurus." Tian Mong-pek merasa tatapan mata kakek itu memiliki kekuatan yang membuat orang tak berani membangkang, maka dia melangkah maju, pedangnya berputar dan jurus Hong-hong-tan-dian-ci telah dimainkan.
Jurus ini bergerak dari kiri menuju ke kanan, diantara desingan angin tajam, tubuhnya menggunakan kesempatan itu berputar setengah lingkaran.
Tapi sebelum desingan angin pedang sirna, dia telah balik ke posisi semula, pedangnya terselip dibelakang ketiak, semua gerakan dilakukan cepat dan tepat.
Lim Ciu-kok berdua yang menyaksikan hal ini jadi terperanjat, sedang Ui Hau telah berseru sambil tertawa nyaring: "Sudah kau lihat" Dengan andalkan jurus dari Tian tayhiap ini, masa kami tak bisa lolos dari hutan ini?" Suara tertawa yang nyaring berbaur dengan deruan angin yang tajam, sampai lama sekali mendengung di angkasa sebelum hilang kembali.
Bab 36. Kejadian masa lalu. Ditengah kabut yang tebal, paras muka si kakek yang tergoncang lambat laun menjadi tenang kembali.
"Betul," katanya perlahan, "ternyata memang ilmu pedang warisan lembah kaisar, dari dulu hingga kini, bila jago pedang dari pelbagai aliran menggunakan jurus Hong-hong-tan-dian-ci (burung hong pentang sayap), mata pedang mereka selalu bergerak dari kanan menuju kiri dengan membiarkan dadanya terbuka, langkah kaki ikut merangsek diikuti serangan tangan! Hanya ilmu pedang ajaran lembah Kaisar yang menyerang dari kiri menuju kanan, bukan saja dapat melindungi dadanya yang terbuka, bahkan mata pedang dapat dipecah menjadi tiga jalan untuk melancarkan serangan maupun pertahanan dengan sempurna." Orang tua ini selain tajam matanya, pengetahuannya tentang dunia persilatan amat luas, dalam hati Tian Mong-pek menghela napas, karena kakek ini memang tak malu disebut pendekar aneh dari dunia persilatan.
Ketika mendongak kembali, ia saksikan sekilas perasaan kecewa menghiasi mimik muka kakek itu, katanya: "Apa yang dikatakan Kokcu lembah kaisar memang bukan isapan jempol." Setelah tertawa sedih, lanjutnya: "Tapi dia sama sekali tidak tahu kalau kakek yang serba bisa itu kini, bukan saja tak mampu membantu orang, bahkan menolong diri sendiripun tak sanggup." Lelaki berbaju compang camping yang ada dibelakangnya datang memberi sepotong daging kuda yang sudah dipanggang matang.
Tapi kakek itu segera mengulapkan tangannya seraya berkata: "Kalian makan dulu!" Lelaki berbaju compang camping itu kelihatan agak tertegun, salah satu diantaranya berkata gemetar: "Tapi kau orang tua sudah dua hari .
. . . . . .." Kembali kakek itu mengulapkan tangannya, memotong perkataannya yang belum selesai.
Akhirnya lelaki berbaju compang camping itu tidak sangsi lagi, secara lahap dia makan hidangan yang tersedia, bagi mereka tampaknya asal ada hidangan maka urusan lain sudah bukan menjadi masalah penting lagi.
Ditengah suara kunyahan yang menusuk telinga, tanpa sadar Ui Hau berpaling memandang kuda tunggangan milik Tian Mong-pek, melihat binatang itu sudah masuk ke hutan, dia baru menghembuskan napas lega.
ll "Cianpwee, ujar Tian Mong-pek kemudian dengan suara dalam, "siapa yang telah mengurung cianpwee di sini" Dengan kemampuan cianpwee yang luar biasa, kenapa tak bisa membebaskan diri" Dalam hati aku benar benar merasa keheranan." Dari balik mata si kakek yang aneh tiba tiba terpancar cahaya yang tajam bagaikan kilat.
Seluruh dendam kesumat yang terhimpun selama puluhan tahun dalam hatinya, seolah meletus keluar lewat pancaran cahaya itu, kalau bukan orang yang mengerti permasalahannya, siapa pun tak bakal paham apa makna dari cahaya kebuasan itu.
Sekali lagi Tian Mong-pek sekalian merasa hatinya tercekat.
"Orang yang telah mengurung lohu ditempat ini tak lain adalah muridku sendiri." Ujar kakek itu dengan suara berat.
Kembali Tian Mong-pek sekalian merasakan hatinya bergetar, lama tak mampu bicara.
Setelah tertawa sedih, kakek itu berkata lebih jauh: "Penyesalan terbesar yang lohu lakukan sepanjang hidupku ini adalah menerima kedua orang murid itu dan mewariskan segenap ilmu silat yang kumiliki kepada mereka.
"Tiga puluh sembilan tahun berselang, dengan ilmu silat mereka berdua, apalagi bila bekerja sama, dikolong langit sudah sulit dicarikan tandingannya, bahkan Thian-jui toojin pun belum tentu mampu menandingi mereka berdua." "Bahkan Lan Toa-sianseng pun bukan tandingan mereka berdua?" seru Tian Mong-pek dengan wajah berubah.
Kakek itu mengangguk, terusnya: "Dalam masa dunia persilatan yang paling tenang, ketua Hoa-san-pay, Pek-hoa siancu menyelenggarakan pertemuan besar Hoa-tiau-tay-hwe dipuncak bukit Hoa-san.
"Pertemuan besar Hoa-tiau-tay-hwee sudah diselenggarakan cukup lama, setiap umat persilatan akan merasa amat bangga bisa bisa peroleh surat undangan, maka setiap tahun disaat terselenggaranya pertemuan ini, boleh dibilang semua jago tangguh berkumpul di puncak Hoa-san.
"Khususnya pada tahun itu, keadaan boleh dibilang lain daripada yang lain.
"Ini disebabkan Pek-hoa siancu dalam undangannya mengatakan bahwa pada hari pertemuan, akan diadakan adu kepandaian untuk memilih tujuh tokoh paling ternama.
"Sebetulnya Pek-hoa Siancu punya ambisi pribadi dalam penyelenggaraan ini, ia berharap tujuh tokoh paling ternama yang terpilih nanti merupakan tujuh orang ciangbunjin dari tujuh partai besar waktu itu.
"Ini dikarenakan saat itu dunia persilatan amat tenang, tidak terlihat ada jagoan aneh yang sanggup mengungguli tujuh orang ketua partai, dalam anggapannya, dalam pertemuan akbar ini, nama mereka akan semakin berkibar.
"Mimpi pun dia tak mengira kalau dibalik dunia persilatan yang begitu tenang, sesungguhnya tersembunyi banyak naga dan harimau yang sedang menunggu kesempatan, begitu tersiar kabar ini, berbondong bondong orang naik ke puncak Hoa-san.
"Diantara mereka, ada pula kawanan jago yang merasa kepandaian silatnya belum cukup, namun hadir untuk menambah pengalaman, siapa pun tak ingin melewatkan kesempatan baik ini untuk menyaksikan sendiri jago mana yang paling ampuh.
"Diantara mereka hanya Lan Thian-jui dari istana Au-sian-kiong yang sudah was was atas keampuhan ilmu silat kedua orang muridku, sehingga tak ikut hadir.
"Apa pula jago seperti kokcu lembah kaisar yang tak ingin mencari nama, tentu saja diapun enggan berebut dengan orang lain." Mendengar sampai disini, Tian Mong-pek baru tersadar kembali, pikirnya: "Tak aneh kalau Lan Toa-sianseng dengan kepandaian silatnya yang hebat, dengan wataknya yang berangasan, tapi nama besarnya tidak tercantum diantara tujuh tokoh ternama." Berpikir begitu, kembali tanyanya: "Apakah cianpwee ikut hadir?" Kakek itu mengangguk.
"Lohu ikut hadir, tapi hanya ikut berbaur dalam kelompok jago persilatan dan menonton dari kejauhan, aku ingin menyaksikan muridku itu memperoleh posisi teratas.
"Begitu pertemuan akbar dibuka, Pek-hoa siancu segera sadar kalau dia telah melakukan satu kesalahan besar.
"Hanya dalam satu malam, tujuh orang ciangbunjin dari tujuh partai besar telah kalah ditangan orang, sedang orang orang yang berhasil mengalahkan mereka nyaris merupakan jago jago tak bernama.
"Dunia persilatan seketika dibikin gempar, saat itulah orang baru mengenali nama nama seperti Mo-siau-to (golok tanpa sarung) Go Jit, Bu-im-ciong (tombak tanpa bayangan) Yo Hui, Pek-poh-kie (panji kain putih) Chin Mo-cuan, Li-hian-ciam (panah lepas dari busur) Tu Hun-thian, Jian-hong-kiam (pedang seribu ujung) Kiong Gim-bit, Ban-hoa-kun (pukulan selaksa bunga) Be Giok-thian serta Su-hian-kiong (busur empat senar) Hong Ji-siong.
Tujuh tokoh maha sakti. "Ke tujuh orang ini memiliki kepandaian silat yang luar biasa, ada yang mengandalkan senjata, ada yang pukulan tangan kosongnya tanpa tanding, ada pula yang menjagoi dalam ilmu melepaskan senjata rahasia.
"Bisa dibayangkan, pertempuran yang berlangsung saat itu merupakan pertarungan paling sengit yang pernah terjadi dalam seratus tahun terakhir, selama tiga hari, puncak bukit Hoa-san ibarat dilapisi hawa pedang dan suara teriakan yang gegap gempita." Ketika mendengar kisah tentang tokoh tokoh silat kenamaan serta peristiwa masa lampau yang menggetar sukma, Ui Hau sekalian merasakan darah panas dalam dadanya mendidih, nyaris lupa berada dimanakah mereka sekarang.
"Kemudian, bagaimana cara untuk menentukan pemenangnya?" tanya Tian Mong-pek tanpa terasa.
"Sesudah bertempur selama tiga hari tiga malam, Yo Hui serta Go Jit sekalian berenam masih sulit untuk menentukan siapa lebih unggul, hanya busur empat senar Hong Ji-siong dengan andalkan ilmu pukulan, pedang dan panah berhasil menaklukkan kawanan jago lain hingga berhasil merebut posisi ke satu dari tujuh manusia paling top.
Setelah itu, dengan cara mengambil undian menetapkan urutan nama ke enam orang lainnya.
"Dan Busur empat senar tak lain adalah kedua orang murid lohu." Ui Hau tertegun, tiba tiba teriaknya: "Tidak benar, tidak benar." "Apa yang tidak benar?" "Sudah jelas Busur empat senar adalah satu orang, kenapa kau menyebutnya sebagai kedua muridmu?" Kakek itu menghela napas panjang.
"Orang persilatan menganggap Busur empat senar ada lah satu orang, padahal mereka tidak tahu kalau mereka sebetulnya terdiri dari dua orang saudara kembar.
Sang kakak Hong Ji-siong menjagoi dunia persilatan dengan andalkan ilmu pukulan dan ilmu pedang.
"Sedangkan adik perempuan kembarnya, Hong San-hoa berhasil mempelajari ilmu andalan lohu yang disebut Su-hian-sin-kiong (Busur sakti empat senar), empat senar dengan empat panah, sulit bagi orang lain untuk membendungnya.
"Dalam pertempuan akbar Hoa-tiau-tayhwee waktu itu, mereka dua bersaudara dengan satu berada di terang, yang lain berada di gelap, secara bergilir melakukan pertarungan, itulah sebabnya kemampuan mereka berhasil mengalahkan jago lainnya.
"Wajah mereka berdua terlalu mirip satu sama lainnya, selain itu, mereka pun sama sama berdandan lelaki, jadi tak seorang pun yang tahu bahwa mereka sesungguhnya terdiri dari dua orang." "Ooh....." kini Ui Hau baru mengerti, tiba tiba teriaknya sambil gelengkan kepala, "tapi kemenangan semacam ini tidak gagah, mana bisa dibilang kemampuan mereka tiada tandingan di kolong langit?" "Meskipun kemenangan yang mereka raih tidak gagah, tapi ilmu silat yang dimiliki betul-betul tiada tandingan di kolong langit.
"Sejak kecil, mereka berdua tumbuh bersama, selama hidup belum pernah meninggalkan saudaranya, bila bertemu musuh, mereka berdua pun selalu turun tangan bersama, apa bedanya dengan satu orang?" "Hmm!" dengus Ui Hau, jelas dia tak puas.
Terdengar kakek itu berkata lagi setelah menghela napas sedih: "Biarpun aku tak suka mencari nama dan kedudukan, namun hati lohu sempat girang juga setelah menyaksikan murid didikanku berhasil mencapai prestasi yang luar biasa.
"Seusai pertemuan akbar itu, setelah para jago bubaran, dalam keadaan malu bercampur menyesal, Pek-hoa siancu muntah darah dan meninggal dunia.
Sementara ketua Siau-lim dan ketua Bu-tong segera menurunkan jabatan mereka kepada murid muridnya sekembali ke gunung.
Maka situasi dalam dunia persilatan terjadi perubahan besar, Hoa-san-pay tak pernah bisa berkembang lagi.
Yang tersisa hanya pertemuan Hoa-tiau tayhwee yang diselenggarakan setiap tahun satu kali.
Sementara Siau-lim-pay dan Bu-tong-pay butuh banyak tahun sebelum dapat membangun kembali prestasi mereka.
"Setelah pertemuan itu, lohu pun menjamu kedua orang muridku itu dengan minum arak.
"Siapa sangka, disaat mabuk arak, tiba tiba Hong San-hoa bertanya kepadaku, apakah ilmu silat mereka berdua dapat terhitung tiada tandingan dikolong langit" Lohu pun menjawab, biarpun kalian berdua turun tangan bersama, kemampuan mereka masih belum bisa mena ndingi lohu.
"Kembali Hong San-hoa bertanya, dengan cara apa mereka baru bisa mengungguli lohu" "Biarpun pertanyaan ini diajukan dengan sangat tak sopan, tapi menyaksikan kecantikan wajahnya yang menawan, lagipula selama ini lohu amat memanjakan mereka berdua, kusangka pertanyaan itu hanya gurauan saja.
"Maka akupun beritahu mereka, kecuali mereka berdua dapat memunahkan ilmu silat lohu, kemudian membelenggu ku dengan sumpah yang berat, memaksa lohu tak dapat berusaha untuk pulihkan kembali ilmu sil atnya, mereka baru betul betul bisa mengungguli lohu.
Kecuali itu, tiada cara lain lagi kecuali menunggu lohu mati.
"Hal ini kukatakan karena saat mereka jadi muridku pernah mengangkat sumpah berat, selamanya tak boleh membunuh guru sendiri! Sedang lohu pun meski sudah dipunahkan ilmu silatnya, pasti punya cara untuk memulihkan kembali.
"Waktu itu lohu sudah sembilan puluh persen mabuk arak, dalam banggaku, aku bahkan berkata lagi sambil tertawa tergelak: "Bila kalian tak pernah mengangkat sumpah berat tak akan membunuh guru sendiri, sebenarnya gampang sekali caranya." "Siapa sangka belum selesai tertawaku, Hong San-hoa telah menyembah sambil tertawa, katanya: "Terima kasih banyak atas petunjuk suhu, murid akan melaksanakan sesuai dengan caramu." "Dalam kaget dan gusarku, lohu segera sadar kalau mereka telah melakukan apa yang telah kuucapkan, rupanya mereka telah mencampurkan obat pemabuk dalam arak, sewaktu lohu coba menghimpun tenaga, betul saja, seluruh Il tenaga dalamku telah punah .....
Mendengar sampai disini, paras muka Tian Mong-pek sekalian berubah hebat, rasa gusar menghiasi wajah mereka.
Terlihat kakek itu tertawa pedih, terusnya: "Maka lohu pun termakan oleh ulah sendiri, ilmu silatku benar-benar mereka punahkan, bahkan dipaksa untuk mengangkat sumpah berat.
"Sejak itu mereka berdua mengurung lohu di tempat ini, berhubung kedua orang itu masih berharap lohu merasakan penderitaan yang tak bertepian.
Maka aku dilarang meninggalkan hutan ini barang selangkah pun.
Hingga kini, lohu sudah tiga puluh sembilan tahun merasakan penderitaan ini.
"Selama tiga puluh sembilan tahun ini, lohu telah menggunakan segala cara dan akal untuk memancing orang lain memasuki lingkaran ini, tapi sebagian besar orang orang itu harus mati mengenaskan disini.
"Dengan tubuh tak mampu bergerak, lohu sudah menjalani siksaan selama tiga puluh sembilan tahun, aku tak ingin mati lebih dulu, karena lohu ingin menyaksikan mereka berdua mati duluan." siksaan dan penderitaan selama tiga puluh sembilan tahun telah mengubah pikiran dan perasaan orang tua ini nyaris kaku, ketika menuturkan semua pengalamannya yang mengenaskan, paras mukanya tetap kaku dan tenang.
Sebaliknya air mata nyaris meleleh dari mata Tian Mong-pek, gumamnya gemetar: "Tiga puluh sembilan tahun .
. . . . . .." Peluh membasahi pula jidat Ui Hau, tidak tahan teriaknya: "Lotiang, tidak disangka kau bisa bertahan hidup selama tiga puluh sembilan tahun, Ui Hau sungguh kagum kepadamu." Kakek itu tertawa getir, ujarnya lagi: "Kalau lohu harus mengandalkan kekuatan sendiri untuk mencari makan, mungkin sejak awal telah mati kelaparan, sekalipun lohu hisap tanah diseputar sumber air pun, sulit rasanya untuk menghilangkan rasa dahaga ku
"Kalau lohu harus mengandalkan kekuatan sendiri untuk mencari makan, mungkin sejak awal telah mati kelaparan, sekalipun lohu hisap tanah diseputar sumber air pun, sulit rasanya untuk menghilangkan rasa dahaga ku." Ui Hau tertegun, serunya: "Kalau begitu, secara berkala dua bersaudara she-Hong itu masih datang menghantar makanan" Kalau tidak, siapa pula yang akan datang menghantar makanan?" "Memang Hong Ji-siong serta Hong San-hoa, setiap musim dingin yang membeku tiba, disaat binatang dan burung sirna dan lohu benar benar tak mampu mencari makanan, mereka akan datang menghantar makanan." "Kenapa begitu?" "Karena setelah ilmu silat lohu punah, Hong San-hoa kembali bertanya kepadaku sambil tertawa: "Kini, apakah ilmu silat kami berdua terhitung nomor wahid dikolong langit?".
Lohu beritahu kepada mereka, di kolong langit masih ada satu orang yang ilmu silatnya melebihi lohu.
"Dengan wajah berubah, mereka berdua berulang kali mendesakku untuk menjawab, tapi lohu tak pernah mau menjawab, karena lohu cukup paham dengan watak mereka berdua, bila tahu kalau di kolong langit masih ada orang lain yang dapat mengalahkan mereka, dapat dipastikan mereka akan makan tak enak, tidur tak nyenyak.
Karena mereka masih ingin tahu siapa gerangan yang kumaksud, maka selama ini mereka tak biarkan lohu mati kelaparan.
Coba kalau bukan begitu, dengan kebuasan dan kekejaman mereka berdua, sekalipun pernah bersumpah tak akan membunuh aku dengan tangan mereka, masih terdapat banyak cara untuk memaksa lohu mati sendiri." "Benarkah di dunia ini masih ada orang lain yang memiliki kungfu jauh diatas cianpwee?" tak tahan Tian Mong-pek bertanya.
"Memang ada orang seperti ini." "Siapa?" "Ada di dunia ini, tak jelas dimana ia berada." Sambil menghela napas orang tua itu menggeleng.
Tian Mong-pek tahu, sudah pasti kakek itu tak mau menyebutkan siapakah orang ini, maka diapun tidak bertanya lebih jauh.
Terbayang kisah yang dialami kakek itu dan keadaan yang menimpa dirinya sekarang, tanpa terasa pemuda itu jadi sedih.
"Aku tidak percaya dikolong langit sudah tak ada orang yang bisa menolongmu." Tiba tiba Ui Hau berteriak keras.
"Aaai, ada sih ada, Cuma harus mencarinya dimana?" kata kakek itu sambil menghela napas.
Seketika Tian Mong-pek merasa semangatnya bangkit.
"Siapa?" teriak Ui Hau pula.
Berkilat sorot mata kakek itu, sambil menatap tajam wajah Ui Hau, ujarnya: "Sekarang sudah ada satu orang, hanya orang yang satunya lagi susah ditemukan." Tergerak hati Tian Mong-pek, dia jadi teringat dengan ulah kakek itu sewaktu memandang telapak tangan Ui Hau, saat itu tiba tiba dia berbisik II dengan gemetar: "Ada.....
sudah ada satu . . . . .. Ingatan tersebut melintas lewat dalam benaknya, tak tahan serunya juga: "cianpwee mengatakan sudah ada satu orang, apakah Ui Hau, Ui toako yang kau maksud?" "Benar." Kakek itu mengangguk.
Ui Hau agak tertegun, buru buru serunya sambil goyangkan tangannya: "Keliru, keliru, biarpun aku punya tampang yang lumayan, sesungguhnya kemampuanku parah, mana mungkin bisa selamatkan lotiang?" Burung beo yang selama ini bertengger manja ditangan si kakek itu tiba tiba terbang ke udara, sambil melayang ke tangan Ui Hau, teriaknya: "Kau orangnya.....
kau orangnya . . . . .." Kembali kakek itu berkata lembut: "Pikiranmu tak bercabang, hatimu bersih ibarat sekeping pualam, asal kau berkonsentrasi, tidak kalut dalam menghadapi pelbagai masalah, maka biarpun kau tatap langsung mata lohu, namun sama sekali tak akan merasakan apa apa." "Hal semacam ini belum terhitung seberapa." "Benar, tapi yang paling penting adalah kau memiliki tujuh buah jari tangan, biarpun terhitung barang langka, namun hal semacam ini hanya bisa dijumpai dan tak mungkin bisa diharapkan." Sambil membelai burung beo ditangannya dan tertawa getir, ujar Ui Hau sembari menggeleng: "Apa gunanya berjari tujuh" Dua jari yang lebih hanya barang tak berguna." "Dalam pandanganmu mungkin barang tak berguna, tapi dalam pandangan lohu justru merupakan mustika tak ternilai harganya, tanpa kelebihan dua jari tangan ini, siapa pun tak bisa mengungguli Busur sakti empat senar." "Lotiang, perkataanmu makin lama semakin bikin aku bingung dan tak mengerti." "Busur bersenar empat dapat melepaskan empat batang panah sekaligus, dengan ke lima jari tangan manusia biasa, lima jari bisa menjepit empat panah, bila empat panah terpasang semua di senar maka dalam sekali bidikan, empat anak panah akan terlepas bersamaan, kecepatan serangannya begitu luar biasa, sampai ilmu panah berantai milik benteng keluarga Cay yang begitu tersohor pun masih belum mampu menandinginya.
"Lohu melakukan penelitian hampir belasan tahun lamanya sebelum dapat menciptakan ilmu Busur sakti empat senar dengan kemampuan lima jari menjepit empat panah, dimana Hong San-hoa berhasil mengalahkan semua jago dalam pertemuan akbar Hoa-tiau Tayhwee.
"Inilah alasan mengapa orang lain dengan ilmu memanah macam apapun, tak sanggup menjebol kepandaianku ini kecuali orang berjari tujuh seperti kau dan aku." Sekarang Ui Hau sudah sedikit paham, gumamnya: "Bagaimana pun, orang yang berjari tujuh memiliki dua jari lebih banyak daripada orang lain." "Memiliki dua jari lebih merupakan kunci dari semua masalah! Dan hanya orang yang memiliki tujuh jari baru bisa mencebol ilmu maha sakti itu.
"Kalau lima jari dapat menjepit empat anak panah, m aka tujuh jari dapat menjepit lima anak panah, hanya orang yang memiliki tujuh jari baru bisa memakinkan Busur lima senar ku, dan hanya Busur lima senar yang bisa menangkan ke empat anak panah dari Hong San-hoa." Terkejut bercampur girang, seru Ui Hau: "Tapi .
. . . .. tapi ke dua jari tambahan yang tumbuh di telapak tangan ku ini ibarat barang tak berguna, sama sekali tak bisa digunakan dengan luwes." Kakek itu menghela napas.
"Dengan hati dan pikiranmu yang bersih, lohu punya cara untuk melatih kau menggunakan ilmu tujuh jari menjepit panah dalam tiga bulan saja.
Hanya sayang kalau Cuma kau seorang masih tak ada gunanya." Setelah berhenti sejenak, lanjutnya: "Karena sumpah berat yang dipaksakan dua bersaudara Hong kepada lohu adalah harus menemukan seseorang yang memiliki ilmu memanah jauh melebihi dirinya, dengan begitu lohu baru bisa lolos dari kurungan ini.
"Tapi orang berjari tujuh sudah merupakan barang langka, apalagi orang yang berjari tujuh itu harus memiliki watak macam kau.
Lohu sangka, dalam kehidupan kali ini mustahil bisa menemukannya, siapa tahu aku justru berhasil menemukan dirimu." "Manusia macam apa pula yang kau butuhkan lagi?" tanya Tian Mong-pek tiba tiba.
orang tua itu tertawa getir.
"Sumpah berat itu memang merupakan persoalan pelik yang diciptakan dua bersaudara itu dengan segala muslihat, orang kedua yang disyaratkan sudah pasti lebih susah dan tak masuk akal." "Tak ada salahnya lotiang katakan." "Aaai, kalau ingin menemukan orang ini, kecuali anugerah dari Thian, rasanya mustahil, lebih baik tak usah kukatakan." "Siapa tahu hari ini Thian justru memberikan anugerahnya kepadamu!" teriak Tian Mong-pek.
Kakek itu termenung berapa saat, kemudian ujarnya sambil menghela napas: II "Pertama, orang itu harus kenal lohu .
. . . . . .. "Bukankah aku kenal dengan dirimu?" teriak Tian Mong-pek.
Kembali kakek itu tertawa getir.
"Baiklah, biar kubeberkan semua sumpah yang mereka tetapkan untukku, dengan begitu kau akan tahu kalau hal semacam ini nyaris mustahil.
Dua bersaudara itu paksa lohu angkat sumpah berat, yaitu lohu harus mencari lagi dua orang murid yang bisa menangkan mereka berdua.
Salah satu murid baru ini harus bertanding ilmu memanah melawan Hong San-hoa, untuk mencari manusia semacam ini nyaris lebih susah daripada mendaki langit, apalagi lohu tak mungkin mencari murid diluar hutan sana.
"Sedangkan orang kedua harus bertarung melawan Hong Ji-siong, orang itu harus kenal lohu, belum pernah angkat guru dan didalam tiga bulan sudah menguasahi ilmu silat yang bisa mengungguli dirinya, selain itu dia harus dapat menghiandari bidikan Busur sakti empat senar nya dan harus memiliki senjata mustika yang amat tajam." "Hanya itu syaratnya?" tanya Tian Mong-pek.
"Aaai, masih tidak cukupkah syarat itu?" si kakek menghela napas, "bayangkan saja, tidak banyak orang persilatan yang mengetahui asal usulku, kalau belum pernah berguru, darimana bisa kenal lohu, sedang lohu pernah bersumpah, tak akan menerima orang yang pernah berguru menjadi muridku.
"Kalau orang itu belum pernah berguru, bagaimana mungkin bisa mempelajari ilmu silat yang bisa merobohkan Hong Ji-siong hanya dalam tiga bulan" Sekalipun ada orang semacam ini, dia pun masih harus mampu menghindari bidikan Busur sakti empat senar.
"Ini dikarenakan sekali bidikan Busur sakti empat senar tidak mengena sasaran, maka selamanya tak akan bisa digunakan lagi.
"Bila dia mampu menghindar sekali, sepanjang hidupnya tak bakal menjumpai untuk kedua kalinya, dengan begitu disaat dia bertarung melawan Hong Ji-siong, Hong San-hoa tak akan mampu membantunya dari sisi arena.
"Kalau tidak begitu, sekalipun ilmu silatnya dapat mengungguli Hong Ji-siong, sulit juga baginya untuk pecahkan perhatian disaat bertarung, otomatis sulit baginya untuk menghindari bidikan maut Busur sakti empat senar.
"Bicara soal senjata mustika yang amat tajam, benda ini lebih lebih merupakan satu benda yang sulit didapat.
"Semua syarat yang mereka ajukan saling bertumbukan, urusan yang saling bertumbukan tak mungkin bisa diperoleh kalau bukan mukjijat, sekalipun ada manusia semacm ini, bagaimana mungkin bisa sampai di tempat ini?" Liong Hau-jin dan Lim Ciu-kiok saling bertukar pandangan sambil pikirnya: "Dua bersaudara Hong ini sungguh keji dan licik, masih mending bila mereka tidak ajukan syarat semacam ini, padahal apa yang mereka kemukakan nyaris merupakan hal yang mustahil.
Sepintas, orang tua itu seakan telah diberi harapan, tapi mereka justru ingin orang tua itu setiap hari II tersiksa oleh harapannya, tersiksa pada penantian yang mustahil .
. . . . . .. Tampak Tian Mong-pek termenung berapa saat, tiba tiba ujarnya dengan suara dalam: "Orang yang kau maksud, saat ini berada disini." "Siapa?" tanya si kakek dengan wajah berubah.
"Akulah orangnya!" Perkataan ini seketika membuat Liong Hau-jin serta Lim Ciu-kiok merasakan hatinya bergetar.
Paras muka si kakek yang semula tenang pun mulai timbul gejolak, tanyanya gemetar: "Apakah kau dapat memenuhi semua syarat yang dibutuhkan?" "Satu pun tak ada yang kurang." "Tapi.....
tapi..... bukankah kau murid kokcu lembah Kaisar?" Dengan nada bersungguh-sungguh sahut Tian Mong-pek" "Selama hidup belum pernah cayhe angkat guru, tapi hari ini bersedia menjadi murid cianpwee, apakah cianpwee bersedia menerima ku?" Tiba tiba air mata kegirangan meleleh keluar dari sepasang mata kakek itu.
Sambil menengadah memandang langit, jeritnya: "Thian .
. . . .. oooh Thian . . . . . .. mukjijat . . . . . .. mukjijat . . . . . . . .. setelah tiga puluh sembilan tahun menderita, akan berakhirkah hari ini?" Tian Mong-pek mengayunkan pedang hitamnya seraya berteriak lantang: "Pedang ini sanggup membelah emas memotong kumala, dalam hutan penyesat tadi, aku pun berhasil menghindari ke empat panah bidikan Busur sakti empat senar, aku yakin pedang baja dalam genggamanku ini, tak bakal kalah ditangan kawanan bajingan durjana itu." Walaupun tadi, dia masih belum tahu apakah panah yang dijumpai dalam hutan penyesat berasal dari Busur sakti empat senar atau bukan, tapi sekarang dia sudah percaya seratus persen.
Kawanan lelaki berbaju compang camping yang berada di belakang serentak bersorak sorai dengan gembira, bahkan ada yang berlutut dan berterima kasih atas kemukjijatan yang dilimpahkan Thian kepada mereka.
Dengan nada gemetar ujar kakek itu: "Tian.....
Tian Mong-pek, bersediakah kau mengasihani lohu, sekarang juga menjadi muridku?" Tanpa ragu Tian Mong-pek segera menjatuhkan diri berlutut.
Walaupun selama ini ada banyak jago tangguh yang bersedia menerima dia menjadi murid, tapi semuanya telah dia tolak mentah mentah.
Tapi sekarang, tanpa ragu dia bersedia menjadi murid seorang kakek yang sudah lumpuh bak barang tak berharga, dari sini dapat dilihat betapa besar jiwa pemuda ini.
Dikolong langit saat ini, kecuali Tian Mong-pek, siapa pula yang berani menampik tawaran begitu banyak jago lihay" Siapa pula yang rela menyerempet bahaya dengan mengangkat seorang kakek yang tak punya kemampuan untuk melindungi diri sebagai gurunya" Sorak sorai kawanan lelaki berbaju compang camping itu semakin keras dan nyaring.
Ui Hau pun ikut bersujud, ujarnya sambil tertawa nyaring: "Akupun akan mengangkat kau sebagai guruku, bisa menjadi adik seperguruan Tian Mong-pek, sudah jelas hal ini merupakan rejeki ku." Berlinang air mata kakek itu, tiba-tiba dia melepaskan kulit binatang yang menutupi badannya, kemudian ujarnya sambil tertawa sedih: "Muridku, coba lihat pedang saktimu, apakah mampu memutus rantai emas penembus tulang ini?" Ketika Tian Mong-pek mendongakkan kepalanya, terlihat seutas rantai emas berwarna hitam menembusi tulang bahu kakek itu dan tembus keluar disisi jalan darah Ki-hay-hiat, rantai yang membelenggu seluruh tulang belulang bagian atas kakek itu.
Dengan perasaan sedih pemuda itu mengayunkan pedangnya secepat kilat.
Diantara kilatan cahaya hitam, "Criiiing!" tahu tahu rantai emas hitam itu sudah terpapas hingga putus jadi dua.
Oo0ooo Empat puluh sembilan hari kemudian, kabut tebal masih menyelimuti seluruh hutan.
Biarpun para penghuni lingkaran kematian dalam hutan penyesat itu masih kurus kering karena kelaparan, namun perasaan hati mereka amat gembira.
Penderitaan dan siksaan yang membelenggunya selama tiga puluh sembilan tahun, akhirnya terpapas putus oleh sabetan pedang Tian Mong-pek.
Meskipun sebelum Tian Mong-pek dan Ui Hau bertarung melawan Busur sakti empat senar Hong bersaudara terselenggara, mereka belum bisa melangkah keluar dari lingkaran kematian, namun saat untuk meninggalkan tempat itu sudah berada di depan mata.
Kakek itu sudah dapat bergerak bebas, ini dikarenakan Tian Mong-pek masih memiliki ilmu maha sakti lain yang sama sekali diluar dugaan, ilmu Kun-lun-lak-yang-jiu.
Dengan mengerahkan tenaga Lak-yang-jiu, Tian Mong-pek berhasil mengusir keluar hawa dingin yang mengendon dalam tubuh kakek itu selama tiga puluh sembilan tahun, hal ini membuat si kakek yang harus duduk kaku hampir tiga puluh sembilan tahun, kini dapat merasakan kembali berjalan dan bergerak secara bebas.
Yang lebih membuat kakek itu tak mengira adalah dasar kemampuan Tian Mong-pek yang kuat, ilmu silat yang hebat, kecerdasan yang luar biasa serta keberanian yang tegar.
Kemampuan Ui Hau pun diluar dugaan si kakek, ternyata cukup dalam waktu empat puluh sembilan hari, ia berhasil menguasahi ilmu memanah Tujuh jari penjepit panah.
Empat puluh sembilan hari berselang, setiap persoalan membuat Tian Mong-pek dan Ui Hau terkejut bercampur keheranan, tapi empat puluh sembilan hari kemudian, kemampuan Tian Mong-pek dan Ui Hau yang membuat kakek itu terperanjat.
Matahari baru muncul dari ufuk timur, kakek itu duduk bersandar di sebuah bangku.
Akhirnya ia berkata: "Kalian boleh tinggalkan hutan ini lebih awal!" Dia tahu, Tian Mong-pek ingin sekali meninggalkan hutan itu secepatnya, sedang dia pun ingin secepatnya mengakhiri semua penderitaan yang dirasakan.
Sebab dia baru bisa tinggalkan hutan itu disaat Hong Ji-siong bersaudara sudah mengaku kalah.
"Kalian boleh tinggalkan hutan ini lebih awal!" Dia tahu, Tian Mong-pek ingin sekali meninggalkan hutan itu secepatnya, sedang dia pun ingin secepatnya mengakhiri semua penderitaan yang dirasakan.
Sebab dia baru bisa tinggalkan hutan itu disaat Hong Ji-siong bersaudara sudah mengaku kalah.
Begitu perkataannya diucapkan, sorak sorai gembira pun bergema gegap gempira.
Dengan penuh kegirangan, Tian Mong-pek dan Ui Hau segera bersujud.
Kembali kakek itu berkata dengan nada serius: "Setelah keluar dari hutan ini, setiap saat kalian akan menghadapi pertempuran yang menakutkan, dan hasil dari pertarungan itu masih merupakan tanda tanya besar.
"Khususnya Ui Hau, walaupun kau berhasil menguasahi kepandaianmu dalam empat puluh sembilan hari, tapi kesempurnaanmu masih jauh dibawah Hong San-hoa." Ui Hau termangu, agak sedih ujarnya: "Lantas .
. . . ..

Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lantas . . . . .. apakah kegembiraan ini bakal menjadi kegembiraan yang kosong" Tecu tidak bisa menerima keadaan seperti ini!" Kakek itu tersenyum, katanya: "Untung saja Hong San-hoa memiliki dua titik kelemah an yang mematikan.
"Sebetulnya dia memiliki kondisi tubuh yang lemah dan berumur pendek, sekalipun kemudian berhasil melatih diri, namun matanya tak kuat menahan sinar yang terang.
Setelah itu, sewaktu berlatih tenaga dalam, diapun mengalami Cau-hwe-jip-mo, meski sudah kutolong, tapi setiap tengah hari, disaat sinar matahari sangat terik, tenaga dalamnya bakal lenyap delapan puluh persen, oleh sebab itu bila ingin menantangnya bertarung, kau harus pilih disaat tengah hari tepat, arah yang dia hadapi haru s tepat menghadap sinar sang surya, dengan demikian baik dalam tenaga dalam maupun dalam ketajaman mata, dia akan berada jauh dibawahmu.
"Dalam keadaan begini, dengan kecepatan bidikan tujuh jari penjepit panah II mu, bisa jadi kau dapat mengunggulinya .
. . . . .. "Bagaimana kalau dia menolak bertarung tepat ditengah hari?" tanya Ui Hau.
"Dahulu, dia pernah berkata, waktu, tempat, arah untuk bertempur bisa ditentukan pihak lawan, karena dia tak pernah menyangka kalau di dunia ini bisa muncul kemukjijatan semacam ini." "Bagaimana kalau dia ingkari sumpahnya?" "Biarpun dua orang bersaudara ini kejam dan buas, namun belum pernah ingkar janji, kalau tidak, bukankah sejak dulu dia bisa ingkari sumpah dan membunuh aku?" Ui Hau menghela napas panjang.
"Kalau begitu, tecu sekalian mohon diri." "Setelah keluar dari hutan ini, tak selang berapa saat, dua bersaudara Hong bakal mencari kalian.
Saat itulah merupakan saat pertempuran penentuan, kalian berdua harus berhati hati, pergilah!" Biarpun penghuni lingkaran kematian kurus dan kelaparan, sang kuda justru bertambah gemuk.
Ini dikarenakan dalam hutan penuh tumbuh rerumputan, bahan ransum yang berlimpah untuk kuda itu.
Liong Hau-jin dan Lim Ciu-kok segera mengintil dibelakang kedua orang rekannya.
Sambil tertawa kembali kakek itu berkata: "Mulai sekarang, kecuali lohu, siapa pun boleh keluar tinggalkan hutan ini.
Dalam keadaan demikian, aku rasa dua bersaudar Hong sudah tak punya waktu lagi untuk mencelakai kalian, karena mereka harus persiapkan diri untuk menghadapi pertempuan penentu." Tapi kawanan lelaki berbaju compang camping itu rela menemaninya untuk mengusir kesepian.
Maka sambil tertawa tergelak seru si kakek: "Hahaha, kalau begitu, minta tolong Liong dan Lim berdua setelah keluar dari hutan, untuk menghantar makanan bagi kami semua." Tentu saja Liong Hau-jin mengiakan.
Pelana emas masih tergeletak disisi hutan, hanya saja karena dimakan waktu, warnanya yang semula kehitaman kini muncul warna kuning disana sini.
Tian Mong-pek serta Ui Hau meski tampak lebih dekil dan kumal, penampilannya sudah jauh lebih redup ketimbang penampilan mereka pada empat puluh sembilan hari berselang, namun hasil yang mereka raih sudah cukup untuk membayar kesemuanya ini.
Kejumawaan Tian Mong-pek, kini sudah jauh berkurang, sorot matanya yang tajam bagai sembilu, kini berubah jadi tenang, lembut tapi penuh dengan kepintaran.
Disaat dia berpamit kepada kakek itu, perasaan hatinya dipenuhi ketulusan dan hormat, jauh berbeda dengan perasaan hatinya disaat angkat guru dulu.
Dia belum pernah menyangka bakal mendapat begitu banyak dari orang tua itu, pun belum pernah punya pengharapan, oleh karena itu perasaan hatinya kini bukan lagi perasaan terharu dan terima kasih, melainkan perasaan hormat dan salut.
Oo0oo Cuaca diluar hutan cerah dan terang benderang.
Walaupun Liong Hau-jin dan Lim Ciu-kok merasa berat hati untuk berpisah, namun perpisahan tetap berlangsung.
Dalam pergaulan selama empat puluh sembilan hari, persahabatan mereka berempat sudah begitu mengental hingga dalam pergaulan sekarang, mereka sudah tak perlu basa basi lagi.
Berdiri dibawah sinar matahari yang cerah, Tian Mong-pek termenung berapa saat lamanya.
Dia merasa beban yang dipikul bertambah berat, meski manfaat yang diperoleh bertambah, tugas yang terbeban pun makin berat.
Tiba tiba ia menengadah, lalu teriaknya keras keras: "Hong Ji-siong, keluar kamu! Musuh yang sudah kau tunggu hampir tiga puluh sembilan tahun, kini sudah berdiri menantimu disini!" Teriak yang keras menembus awan dan menggaung ke empat penjuru.
Suasana tetap hening, tidak terdengar suara jawaban.
Cahaya matahari bersinar makin terang, menyinari pemuda yang dengan gagah berani menantang manusia paling terkenal dikolong langit, menantang duel busur sakti empat senar, menyinari pula pedang hitam yang tersoren dipinggangnya.
Oo0oo Ternyata ada orang berani menantang duel pemimpin dari tujuh manusia paling tersohor dikolong langit, Busur empat senar! Berita ini ibarat guntur yang membelah bumi disiang hari bolong, seketika menggemparkan seluruh dunia persilatan.
Inilah berita besar yang pernah tersiar semenjak tiga puluh sembilan tahun berselang.
Sejak digetarkan oleh kemunculan panah kekasih yang penuh misteri dan horor, sudah lama dunia persilatan tenggelam dibalik kegelapan, dan kini, kabar berita itu bagaikan amukan gelombang dahsyat yang menghantam pesisir.
Karena kuatir Busur empat senar mencelakai rekan-rekannya yang masih tertinggal dalam hutan penyesat, maka sepanjang perjalanan, Tian Mong-pek selalu menyiarkan berita tentang ajakannya untuk berduel, dia minta orang nomor wahid ini datang mencarinya.
Keleningan yang bergoyang dileher sang kuda, perlahan lahan bergerak melewati wilayah Ou-pak.
Para jago dari wilayah Cou-yang, Han-shia, Siang-yang, Ging-bun.
Tang-yang, Yi-ciong dan Ui-leng-an pun berbondong bondong mengintil di belakang suara keleningan.
Berita tantangan berduel, mengikuti derap kaki kuda dan suara keleningan, dengan cepat tersebar ke empat arah delapan penjuru.
Namun tiada jawaban yang diterima, tiada berita yang mengabarkan kalau tantangan itu diterima.
Oo0oo Li-cuan ditepi propinsi Ou-pak, bukan merupakan sebuah kota yang ramai.
Tapi hari ini, tiba tiba saja kota itu menjadi sangat ramai.
Gerombolan kuda dengan penunggang yang kekar, berbondong bondong memasuki kota itu, membuat kota kecil yang biasa sepi, mendadak menggelembung dan jadi ramai sekali.
Hampir setiap penunggang kuda yang muncul selalu bertubuh kekar, bernama tersohor dan merupakan orang kenamaan diseputar wilayah itu.
Tapi mereka semua hanya merupakan taburan bintang yang ikut meramaikan kecerian malam ini, sebab rembulan yang sedang purnama justru berada diatas pelana seekor kuda berkeleningan emas.
Dialah Tian Mong-pek! Semua orang berdatangan karena ingin menghantar kepergian Tian Mong-pek untuk berduel.
Kota kecil yang dihari biasa selalu sepi dan tenang, tampaknya tak sanggup menerima pembengkakan serta rangsangan yang berlebihan, akibatnya suasana mulai gaduh, mulai tak tenteram.
Hampir semua arak wangi yang disimpan dalam gudang, nyaris terkuras habis hanya dalam semalaman.
Topik pembicaraan yang paling ramai diangkat para pendekar pun tak jauh dari sepak terjang Tian Mong-pek.
Namun disaat untuk ke empat kalinya mereka menghormati Tian Mong-pek dengan arak, dijumpai Tian Mong-pek dan Ui Hau sudah lenyap tak berbekas, yang tertinggal hanya secarik kertas.
"Menghantar ribuan li, biarlah berakhir pada malam ini, perjalanan berikut susah dan penuh rintangan, setelah berpisah kini, semoga akan bertemu lagi lain waktu." Dengan menempuh perjalanan paling cepat, Tian Mong-pek dan Ui Hau telah melewati tapal batas dan tiba di Sik-ciok.
Pedang Pusaka Naga Putih 3 Pedang Siluman Darah 16 Cinta Memendam Dendam Mestika Burung Hong Kemala 7

Cari Blog Ini