Panah Kekasih Karya Gu Long Bagian 18
Perlu diketahui, dalam situasi dan keadaan seperti ini, sudah tak mungkin bagi Tong Hong untuk kawin dengan orang lain, karenanya selain berbuat begitu, memang sudah tak ada cara lain lagi.
Hong Sin berdiri mematung, air mata berlinang membasahi pipinya yang mulai berkeriput, katanya: "Lo-cou-cong, sekalipun kau berharap ia bertobat, kenapa .
. . . . .." Sambil membopong tubuh Hong It, air matanya bercucuran makin deras.
"Apa yang kulakukan kali ini bukan saja telah selamatkan dia, juga selamatkan dirimu," kata Tong Bu-im, "kalau tidak, cepat atau lambat suatu hari nanti, nyawamu bakal hilang ditangan putramu ini." Mengawasi putranya yang tak sadarkan diri, Hong Sin sudah tak mampu berbicara lagi.
"Pa-ji, kemari," teriak Tong Bu-im, "bangunkan adikmu." Tong Pa menurut dan membangunkan Tong Hong.
Kembali perintah Tong Bu-im: "Geledah semua senjata rahasia yang ada ditubuhnya." Tong Pa tertegun, tapi dengan cepat dia lepas kantung kulit yang tergembol dipinggang Tong Hong, meski dengan tangan gemetar.
Tong Ti segera melompat ke depan, serunya dengan wajah berubah: "Ayah!" Tong Bu-im sama sekali tidak menengok kearah mereka berdua, ujarnya dengan suara keras: "Semua sahabat dikolong langit, dengarkan baik baik, mulai detik ini Tong Hong adalah anggota keluarga Hong, dengan keluarga Tong kami sudah sama sekali tak ada sangkut paut lagi, selanjutnya bila mereka suami istri melakukan perbuatan jahat atau kesalahan, silahkan teman teman turun tangan untuk membasminya, aku Tong Bu-im tak akan campur tangan." "Kau .
. . . .." jerit Hong Sin dengan wajah berubah, "kau mengusir II dia .
. . . . .. Tong Bu-im tertawa dingin, katanya: "Bukankah yang diinginkan putramu adalah orangnya" Kini lohu sudah serahkan orangnya kepadamu, apa lagi yang kau kehendaki" Cepat bawa mereka pergi dari sini!" Bagaikan diguyur dengan satu tong air dingin, Hong Sin berdiri tertegun, berulang kali dia atur rencana dan siasat busuk, tujuannya agar putra sendiri bisa masuk ke kalangan yang terhormat, bisa menonjolkan diri.
Siapa sangka semua rencana busuknya berhasil dibongkar orang tua yang cerdas, bahkan bukan saja rencananya gagal total, putranya malah jadi orang cacat.
Untuk sesaat Hong Sin merasa ujung kepala hingga ujung kakinya dingin bagaikan es, dia mencoba berpaling kearah Tong Ti, berharap orang tua itu mau mintakan ampun bagi putrinya.
Siapa tahu si Tangan pencabut nyawa hanya membungkam dengan wajah hijau membesi, apalagi Tong Pa, dia sama sekali tak berani bersuara.
Tampak Tong Bu-im pejamkan matanya dan berkata lagi: "Sampai lohu membuka mata kembali, bila melihat kalian bertiga masih berada disini, jangan harap kalian bertiga bisa pergi lagi." Biarpun perkataan itu disampaikan secara datar dan tenang, namun terselip hawa dingin yang sukar dilukiskan dengan kata.
Hong Sin termangu berapa saat, akhirnya sambil menggigit bibir dia bopong Hong It lalu menengok Tong Hong.
Waktu itu Tong Hong sudah mendusin, ia pun berlutut memberi hormat kepada Tong Bu-im serta Tong Ti, setelah itu diiringi isak tangis yang amat sedih berlari keluar dari ruangan.
Hong Sin mengintil dari belakang, wajahnya diliputi perasaan benci dan dendam yang luar biasa.
Para jago pun segera membuka sebuah jalan bagi mereka, dalam waktu singkat ke tiga orang itu sudah keluar dari gedung, isak tangis Tong Hong pun lambat laun makin menjauh sebelum akhirnya hilang dari pendengaran.
Pada saat inilah air mata terlihat mengembang dalam kelopak mata orang tua itu, sedang si Tangan pencabut nyawa berpaling ke arah lain, mengawasi sepasang lilin diatas altar dan sampai lama sekali tidak berpaling.
Suasana dalam ruang gedung hening sepi tak kedengaran sedikit suara pun, Tong Pa sambil memegang kantung amgi milik adiknya menatap kosong ke tempat kejauhan, air mata tampak meleleh membasahi pipinya.
Sekonyong-konyong terdengar Tong Lojin tertawa terbahak-bahak, lalu katanya: "Sepasang pengantin baru sudah pergi, masih ada pasangan pengantin batu disini, aah, cepat hidangkan arak dan sayur, biar aku menyulang teman teman dengan arak kegirangan." Para tamu kembali duduk ke tempat masing masing dan arakpun segera diedarkan, namun sesudah menyaksikan peristiwa yang sama sekali diluar dugaan tadi, siapa yang benar benar masih bisa gembira" Dengan langkah lebar Siau Hui-uh berjalan menuju ke depan orang tua itu, katanya: "Kau orang tua perlu tahu, kedatanganku hari ini betul betul karena keinginanku sendiri, ayah sama sekali tak tahu.
Dengan tatapan termangu Tong Bu-im mengawasi gadis itu sekejap lalu mengawasi pula Tian Mong-pek, setelah tertawa getir katanya: "Perduli barang bagus seperti apa pun, aku selalu gagal merebutnya dari Siau Ong-sun." Disisi lain, Tu Hun-thian telah menghampiri pula Siau Hui-uh dan berkata: "Terima kasih banyak nona karena kau telah membantu menemukan II putriku .
. . . .. Sambil tertawa dingin tukas Kim Hui: "Bukan hanya menemukan kembali, kalau bukan lohu turun tangan menolong, putrimu sudah dibuang orang ke dalam sungai untuk umpan ikan." Berubah paras muka Tu Hun-thian, teriaknya: "Kenapa caramu berbicara begitu tak tahu sopan?" "Hahaha.
Tu Hun-thian, masa kau sudah tak kenal lohu?" kata Kim Hui sambil tertawa keras.
Tu Hun-thian tertegun, dia mencoba mengamati dengan seksama, terasa mimik muka orang ini mirip sekali dengan binatang buas, selama hidup belum pernah ia jumpai tokoh silat semacam ini.
Perlu diketahui, paras muka asli Kim Hui seperti puluhan tahun berselang telah hilang lenyap, bukan saja telah terjadi perubahan drastis, bahkan istri sendiripun tak dapat mengenalnya, apa lagi Tu Hun-thian" Suara tertawa Kim Hui semakin keras, katanya: "Tua bangka yang tak sanggup menjaga putri sendiri, tua bangka tak kenal mampus, bangsat tua, makhluk tua .
. . . . . . . .." Semua rasa benci dan dendamnya yang tertimbun hampir dua puluh tahun seketika dilontarkan semua lewat umpatan itu, kemudian caci maki pun makin menghebat.
Tu Hun-thian yang dimaki orang jadi tertegun, biarpun hatinya gusar tapi dia jadi gelagapan sendiri hingga tak mampu bersuara.
Perlu diketahui, sepanjang hidup dia adalah orang kenamaan, sejak kapan dia pernah diumpat orang semacam ini" Tong Bu-im tak kuat menahan gusarnya, dia ikut berteriak: "Hei monyet tua, tahukah kau siapa yang sedang kau maki?"
Bab 41. Bunga terbang memenuhi ruangan.
II "Yang kumaki adalah besan putrimu, seru Kim Hui, "hei makhluk tua, kalau merasa tidak puas, kenapa tidak sekalian maju?" Terjadi kegemparan diantara para jago, semua orang menganggap orang ini pasti sudah sinting, berada dalam ruang pertemuan keluarga Tong, ternyata berani bersikap kurang ajar terhadap Tong Bu-im, bukankah sama artinya sedang mencari kematian" Tiba tiba Si tangan pencabut nyawa Tong Ti membalikkan badan, wajahnya dingin menyeramkan, telapak tangan Tong-bun-cap-pwee-hong (delapan belas lebah dari perguruan Tong) serentak merogoh ke dalam kantong senjata rahasia, siap melancarkan serangan mematikan.
Siapa tahu kembali Tong Bu-im tertawa terbahak bahak, katanya: "Aku si orang tua sudah hidup sampai kini, boleh dikata setiap tahun bertemu kejadian aneh, tapi belum sebanyak hari ini." Sambil menuding Siau Hui-uh, lanjutnya sambil tertawa: "Seorang gadis perawan dari keluarga baik baik, datang kerumah orang untuk merebut menantu, kejadian ini sudah aneh, ternyata masih ada orang dirumah keluarga Tong di Suchuan, memaki aku si orang tua dan Tu Hun-thian, hahaha....
kalau kejadian ini diceritakan keluar, mungkin tiada orang yang mau percaya." "Kenapa tak ada orang yang percaya" Tu Hun-thian itu manusia macam apa" Kenapa pula kalau maki dia" Tua bangka tak tahu mampus, makhluk aneh .
. . . .." Tiba tiba pandangan mata terasa kabur, Tu Hun-thian dengan tubuh yang kurus sudah melompat kehadapannya, paras yang semula pucat, kini muncul cahaya kemerahan.
Deretan tamu yang berdiri dipaling depan jadi tegang, ramai ramai mereka mundur ke samping.
Menyaksikan musuh yang selama dua puluhan tahun selalu terbayang, selalu terkenang dan tak pernah dilupakan itu kini berdiri dihadapannya, Kim Hui menggertak gigi makin kencang, dalam keadaan begini dia malah tak sanggup berbicara.
Tian Mong-pek sendiri meski tak ingin kedua orang ini bertarung, namun diapun sadar bahwa rasa benci dan dendam ini sulit diurai, merasa cemas pun tak ada gunanya, maka diapun ikut berdiam diri.
Dalam keheningan, yang terdengar hanya suara gigi Kim Hui yang gemerutukan, sama sekali tak terdengar suara lain.
Lam-yan merasa kasihan dan sedih ketika menyaksikan sikap suaminya, kepada Tu Hun-thian ujarnya: "Kau jangan salahkan dia bila memakimu, membencimu, karena kau telah mencelakainya hingga hidup dia kelewat menderita." Bagaimanapun cinta kasih suami istri memang amat dalam, dia bukannya menyalahkan Kim Hui yang dimasa lalu banyak melakukan kejahatan, sebaliknya malah menyalahkan orang lain.
Tu Hun-thian tertegun ketika mendengar teguran itu, tanyanya keheranan: "Kapan aku pernah celakai dirimu?" "Kau....
kau tidak.... tidak kenali aku lagi....." bagus!" teriak Kim Hui.
Tiba tiba sepasang tinjunya disodok ke depan, setelah membuat gerak setengah lingkaran busur, secara terpisah menohok jalan darah tay-yang-hiat dikening lawan.
Jurus ini mirip sekali dengan ilmu Siang-dong-jiu dari partai utara, tapi kedahsyatan dan keampuhannya justru merupakan salah satu jurus dari ilmu Bu-ciong-cap-jit-si (tujuh belas gerakan tak berusus) yang diandalkan Kim Hui dimasa lalu, japitan sepasang kepalangnya persis seperti japitan dari kepiting.
Tu Hun-thian segera bersalto diudara menghindari ancaman tersebut, dengan wajah berubah, jeritnya kaget: "Kau adalah malaikat tak berusus Kim Hui?" Biarpun sudah tak mengenal wajah Kim Hui, namun keanehan jurus serangannya, sampai mati pun tak bakal dia lupakan.
"Hahaha, betul, apa yang kau katakan betul sekali," sahut Kim Hui sambil tertawa seram, "kau pasti tak mengira bukan kalau aku Kim Hui ternyata belum mati ditanganmu?" Tiong-tiau-jit-ok (tujuh orang jahat dari Tiong-tiau) sudah mati banyak tahun, kalangan muda dunia persilatan sudah tidak banyak yang mengenali nama malaikat tak berusus, tapi bagi angkatan tua, nama tersebut seketika membuat tangan dan kaki mereka berubah jadi dingin kaku.
Tong Bu-im ayah beranak pun segera tunjukkan wajah tercengang, sebaliknya Tong Pa yang tidak kenal asal usul Kim Hui, dia hanya tahu penghinaan yang diperolehnya tadi, kontan teriaknya: "Peduli siapapun dirimu, jangan coba coba bikin onar dalam perguruan keluarga Tong." Cambuk lemasnya digetar, dengan jurus Kuan-jit-tiang-hong (bianglala menembus sang surya), ujung cambuk yang tegang lurus langsung menyodok jalan darah Hian-ki-hiat didada Kim Hui.
Sudah hampir dua puluh tahun dia tekuni ilmu Leng-coa-san-pian (cambuk ular lincah) ini, dalam harapannya, kepandaian itu bisa merebut kembali kehilangan wajahnya tadi.
Tangan pencabut nyawa Tong Ti cukup tahu akan kekejian Kim Hui, dalam kagetnya dia menjerit: "Pa-ji, tidak boleh." Ketika menyusul ke muka, keadaan sudah terlambat.
Terdengar Kim Hui tertawa latah, tubuhnya berputar, dia balik cengkeram ujung cambuk pemuda itu.
Kuatir dengan keselamatan jiwa putranya, Tong Ti segera menjerit keras: "Saudara Kim, ampuni jiwanya." "Hahaha," Kim Hui tertawa keras, "jangan kuatir manusia she-Tong, aku tak bakal mencabut nyawa angkatan muda." Tidak jelas jurus serangan apa yang digunakan, tahu tahu Tong Pa sudah terlempar jauh dan terjungkal ke tanah.
Sekarang para hadirin baru tahu kalau kehebatan silat manusia aneh ini tak terlukiskan dengan perkataan.
Tiba tiba Tu Hun-thian melepas jubah panjangnya, lalu dengan suara dalam berkata: "Orang she-Kim, kalau memang dirimu, kita pun tak perlu banyak bicara, toh pertarungan mati hidup tak mungkin bisa terhindarkan." "Tepat sekali, terhitung kau si setan tua belum pikun." "Tapi hari ini merupakan pertarungan antara kau dan aku, terlepas siapa menang siapa kalah, kau tak boleh sembarangan turun tangan melukai orang lain." "Hahaha, bagus, kita tetapkan begitu." Kata Kim Hui sambil tertawa makin keras.
Selama ini Tu Kuan hanya mengawasi ayahnya dengan mata terbelalak lebar, tiba tiba ia tertawa bodoh sambil berkata: "Bagus.....
hore bagus sekali, ayah lagi lagi mau menghajar orang, kali ini jangan salah pukul lagi!" Biarpun otaknya kurang waras, namun dihati kecilnya selalu teringat akan peristiwa Tu Hun-thian yang salah melukai Tian Mong-pek tempo hari, tak heran semua orang jago melongo ketika secara tiba tiba dia mengucapkan perkataan itu.
Hanya Tu Hun-thian dan Tian Mong-pek yang merasa sedih sekali, perlahan Tu Hun-thian membalikkan tubuh dan menengok kearah putrinya.
Ia sadar, pertarungannya hari ini merupakan pertempuan untuk menentukan mati hidup, sepanjang hidup ia sudah malang melintang dalam dunia persilatan, sekalipun harus mati hari ini, tak ada yang perlu disesalkan.
Tapi sayang putrinya masih muda, sekarang pun linglung tak sadar, tidak jelas bagaimana masa depannya nanti, kalau dipikir kembali, memang dialah penyebab putrinya jadi begini.
Berpikir demikian, diapun menghela napas panjang, kepada Tong Bu-im dia memberi hormat, lalu katanya: "Kehidupan putriku .
. . . . .. selanjutnya kuserahkan kepada cianpwe." Oleh karena putrinya dipersunting cucu Tong Bu-im, otomatis dia harus menyebut orang tua itu sebagai cianpwee.
Berkilat sorot mata Tong Bu-im, tanyanya: "Kau benar benar akan beradu jiwa dengannya?" Tu Hun-thian manggut manggut.
Saat itulah Kim Hui berseru sambil tertawa: "Jadi lelaki jangan lemah seperti perempuan, cepat maju dan hantar kematianmu!" Sambil menggigit bibir, Tu Hun-thian membalikkan badan.
Kim Hui kembali tertawa aneh, cepat dia tanggalkan jubah panjangnya.
Tiba tiba terdengar Lam-yan memanggil dengan lirih: "Kim Hui .
. . . . . . . " Kim Hui tertegun, perlahan ia berpaling.
Air mata menggenangi kelopak mata Lam-yan, dia seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi akhirnya dia hanya berpesan: "Kau.....
kau harus hati hati." Kepalanya tertunduk dan tidak lagi menatap kearahnya.
Tiba tiba Kim Hui jadi teringat, sejak dia kawin mendapat dirinya, sepanjang hidup selalu terlunta lunta dan tak tenteram, dengan susah payah akhirnya hari ini mereka dapat menikmati kehidupan yang nyaman, tapi sekarang dia harus beradu jiwa dengan orang lain, masih mending kalau menang, bila kalah, bukankah dia akan sia siakan seluruh kehidupannya" Perasaan ini kontan membuat hatinya cengeng, tapi sesudah menatap Tu Hun-thian sekejap, tiba tiba serunya sambil tertawa seram: "Kau tak usah kuatir, aku tak bakal mati." "Hmm, belum tentu begitu." Ejek Tu Hun-thian sambil tertawa dingin.
"kalau tak percaya, coba saja." Seru Kim Hui gusar.
Kedua orang itu saling mempersiapkan diri, situasi ibarat anak panah yang sudah berada di gendawa, setiap saat dapat dilepas.
Orang orang diseputar arena menyingkir jauh jauh, mereka sadar, pertempuran yang bakal berlangsung pasti luar biasa.
Tiba tiba terdengar Tong Bu-im membentak: "Tu Hun-thian, cepat menyingkir." Sementara Tu Hun-thian masih tertegun, kereta roda Tong Bu-im telah bergerak maju.
Dengan nada berat seru Tu Hun-thian: "Dendamku dengan dia sedalam lautan, tak seorangpun dapat mengurai, buat apa cianpwee ikut campur?" Setelah mengerdipkan matanya, teriak Tong Bu-im: "Kau hanya tahu kalau dendam kesumatmu dengan dia tak mungkin diurai, lantas bagaimana pula dengan perselisihan aku si orang tua dengan dia?" "Perselisihan apa antara cianpwee dengan dia?" Sambil memukul pegangan tangan kursi rodanya, ujar Tong Bu-im gusar: "Makhluk tua ini telah melukai cucuku, memaki aku, kalau dibilang tak ada perselisihan denganku, lantas dia berselisih dengan siapa?" "Kalau begitu biarlah kuselesaikan semua hutangku terlebih dulu, baru cianpwee cari dia untuk bikin perhitungan." "Omong kosong, jika kau berhasil membunuhnya, lantas aku si orang tua harus bikin perhitungan dengan siapa?" "Jadi .
. . . .. jadi . . . . . .." untuk sesaat Tu Hun-thian jadi tertegun.
Tong Bu-im tidak ambil peduli lagi, sambil menuding Kim Hui, serunya: "Orang she-Kim, karena kau sudah berani bersikap jumawa disini, beranikah menerima senjata rahasia ku?" "Jangankan baru satu tangan, sepuluh tanganpun tidak masalah, asal kau berhasil melukai seujung rambutku, anggap saja aku Kim Hui yang kalah." "Bagusl" seru Tong Bu-im sambil bertepuk tangan, tiba tiba sambil menarik muka, sepatah demi sepatah kata ujarnya, "siapkan senjata rahasia." Walaupun hanya ucapan yang singkat, namun setiap patah kata diutarakan dengan tandas.
Setiap jago yang hadir didalam ruangan menarik napas dingin, semua orang tahu bahwa cianpwee dari keluarga Tong ini merupakan jago senjata rahasia nomor wahid dikolong langit, serangan yang dilancarkan sudah pasti luar biasa.
Serentak orang orang yang berdiri disekeliling dan belakang Kim Hui membubarkan diri, tak lama tempat itu sudah bersih dari manusia.
Walaupun tadi Tong Pa terbanting cukup keras dilantai, kini dia lari paling cepat, tak lama kemudian dari ruang belakang dia sudah membawa sebuah kantung kulit macan yang ukurannya jauh lebih besar daripada ukuran biasa.
Biarpun warna kulit kantung itu sudah mulai memudar sehingga kelihatan cukup antik, namun berhubung benda ini menjadi milik Tong Bu-im dimasa jayanya dulu, maka dalam pandangan orang banyak, kantung antik itu seakan membawa daya pengaruh iblis yang sukar dilukiskan dengan kata, cukup sekali pandang, mereka tak berani lagi memandang untuk kedua kalinya.
Begitu memegang kantung kulit itu, tubuh Tong Lojin yang semula loyo, seketika dipenuhi tenaga kehidupan, ditatapnya Kim Hui dengan sorot mata tajam, lalu tanyanya: "Apakah kau sudah siap?" Kim Hui tertawa seram.
"Kalau ingin menyerang, silahkan saja turun tangan." sahutnya.
Biarpun dia sempat tertawa latah, sedikit banyak hati kecilnya mulai merasa tegang, tanpa sadar dia mundur setengah langkah.
Sambil tetap menatap wajah lawannya, kembali orang tua itu berkata dingin: "Tahukah kau, dalam enam puluh tahun terakhir, sudah berapa banyak jago persilatan yang tewas oleh senjata rahasia yang ada didalam kantung ini?" Tidak menunggu Kim Hui menjawab, dia telah melanjutkan: "Sejak enam puluh tahun berselang, ketika lohu menggunakan darah segar dari Hoa-yang-ji-pa untuk memuja dewa, selanjutnya dalam pertarungan di Cwan-tang aku berhasil melukai lima harimau dari keluarga Li, kemudian seorang diri menerjang Tay-heng, dengan ilmu pasir dingin hujan bunga memenuhi angkasa kubantai Tay-heng-kun-to, kemudian ditengah badai salju di bukit ci-lian-san ku bunuh tiga beruang dari Kwan-gw a .
. . . . . . . .." Hampir setiap nama yang dia sebut, tak satupun bukan jago silat yang pernah menghebohkan dunia persilatan waktu itu, semuanya merupakan tokoh kelas wahid jaman itu.
Para jago yang memenuhi ruangan dapat merasakan, dibalik sorot matanya, dibalik setiap ucapannya, tersimpan hawa napsu membunuh yang luar biasa, setiap kali dia berbicara sepatah kata, para jago merasakan tubuh mereka ikut gemetar.
Kim Hui sendiri, biarpun dia yakin ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sangat lihay, tak sejenispun senjata rahasia didunia ini yang mampu melukainya.
Tapi kini, keyakinannya sedikit ikut goyah, perasaan hatinya terasa ikut goncang.
Hampir seluruh hadirin sudah dibuat tertegun oleh perkataan orang tua itu, ibarat orang mabuk, mereka tertegun, terperana, melongo dan terbelalak.
Tampak jari tangan Tong Bu-im yang kurus dan panjang, dengan lembut membelai ukiran diatas kantung kulitnya, kembali dia berkata: "Sejak terjun ke dalam dunia persilatan hingga kini, belum pernah kulukai jago tanpa nama, tapi setiap kali berhasil merobohkan seseorang maka lohu akan tinggalkan satu tanda diatas kantungku ini, bila dihitung sampai sekarang, sudah ada seratus dua puluh tujuh goresan yang tertinggal, tak nyana hari ini bakal bertambah lagi dengan satu goresan.
Kim Hui wahai Kim Hui, hati hati kau, lohu segera akan turun tangan."
Tampak jari tangan Tong Bu-im yang kurus dan panjang, dengan lembut membelai ukiran diatas kantung kulitnya, kembali dia berkata: "Sejak terjun ke dalam dunia persilatan hingga kini, belum pernah kulukai jago tanpa nama, tapi setiap kali berhasil merobohkan seseorang maka lohu akan tinggalkan satu tanda diatas kantungku ini, bila dihitung sampai sekarang, sudah ada seratus dua puluh tujuh goresan yang tertinggal, tak nyana hari ini bakal bertambah lagi dengan satu goresan.
Kim Hui wahai Kim Hui, hati hati kau, lohu segera akan turun tangan." Tiba tiba ia membentak: "Kena!" Ditengah bentakan yang menggelegar bagai suara geledek, para jago merasakan jantung mereka berdebar keras, pandangan mata terasa kabur, pada hakekatnya tak seorangpun yang dapat melihat orang tua itu melepaskan senjata rahasianya.
Tampak Kim Hui membentak nyaring, tiba tiba badannya melejit ke udara, bersalto beberapa kali ditengah udara dan tiba tiba hilang lenyap entah ke mana.
Didepan ruang gedung terdengar serentetan suara dentingan, lalu terlihat jarum perak berjatuhan ke lantai.
Sebelum jarum itu menyentuh lantai, tak seorangpun dari kawanan jago yang hadir disana dapat melihat bayangan dari senjata rahasia itu.
Selewat dua kali bentakan, suasana didalam ruangan berubah jadi hening dan sepi sekali.
Berapa orang yang bernyali kecil, saat itu sudah jatuh terduduk dilantai karena ketakutan, sementara mereka yang bernyali lebih besar, merasakan tubuh mereka gemetar keras, peluh dingin membasahi seluruh badan.
Lam-yan merasa kepalanya pening, dia tak berani membuka matanya.
Tian Mong-pek merasa jantungnya berdebar keras, sedang Siau Hui-uh tanpa sadar telah menggenggam kencang tangan Tian Mong-pek, telapak tangan mereka berdua jadi basah, basah karena keringat dingin.
Dalam pada itu paras muka kakek itu tanpa ekspresi, kaku dan tenang.
Tiba tiba dari atas tiang penglari, kurang lebih tiga kaki diatap ruangan, berkumandang suara tertawa keras.
"Hahaha, bagus, senjata rahasia yang amat cepat, sayang belum berhasil melukai aku Kim Hui." "Turun kau." Teriak si kakek.
"Baik, turun, aku turun .
. . . .." Kim Hui tertawa keras.
Bagaikan burung walet dia segera meluncur turun.
Padahal diruangan itu hadir beratus pasang mata, ternyata tak satupun diantara mereka yang melihat sejak kapan ia sudah melompat naik keatas tiang penglari.
Berubah juga paras muka Tu Hun-thian setelah mengetahui ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Kim Hui mengalami kemajuan yang amat pesat.
Sambil pejamkan matanya kata orang tua itu: "Coba kau perhatikan, ada apa di ujung bajumu sebelah kiri dan kanan." Kim Hui terperanjat, ketika ditengok, ternyata diujung bajunya sebelah kiri dan kanan masing masing tertancap tiga batang jarum perak, dalam kagetnya dia berseru: "Ini.....
ini . . . . . .." "Ini terhitung apa?" tanya orang tua itu tersenyum, matanya tetap terpejam.
Sesudah tertegun sesaat, jawab Kim Hui sambil menghela napas panjang: "Terhitung aku sudah kalah." "Bagaimana kalau sudah kalah .
. . . . . .." Belum selesai perkataan itu, tiba tiba terdengar Siau Hui-uh berseru lantang: "Itu tidak adil." Tiba tiba orang tua itu membuka matanya, sinar setajam petir memancar keluar dari balik mata itu, katanya: "Kenapa tidak adil" Bukankah sebelum melepaskan senjata rahasia, aku sudah memberitahukan." Siau Hui-uh maju lagi selangkah, teriaknya: "Tapi sebelum kau lepaskan senjata rahasia, dengan segala obrolan kau sudah mengacaukan konsentrasinya, tentu saja tak bisa dibilang kau berhasil meraih kemenangan karena menggunakan senjata rahasia." Orang tua itu memandangnya berapa kejap, lalu tertawa terbahak bahak.
"Hahaha... bocah perempuan, kau tahu apa?" Siau Hui-uh mendengus, katanya: "Aku hanya tahu, jurus Bunga terbang memenuhi ruangan yang cianpwee barusan gunakan meski hebat, tapi kalau tidak menggunakan akal muslihat, jangan harap kau bisa menyentuh seujung rambut engku ku." Orang tua itu tersenyum, katanya: "Aku mau tanya, bagaimana dengan ilmu silat yang dimiliki ayahmu?" "Bukan aku yang jadi putrinya ingin memuji kehebatan dia orang tua, kehebatan ilmu silat ayahku sudah menjago seluruh kolong langit, siapa pun tahu akan hal ini." "Dengan ilmu silat yang dimiliki ayahmu, dapatkah ia merobohkan engku mu dalam sepuluh gebrakan?" "Tentu saja mungkin .
. . . . .." "Tapi jika ayahmu menyerang disaat dia tak siap, sudah pasti engku mu bakal dirobohkan bukan?" Siau Hui-uh jadi gusar, teriaknya: "Ayahku adalah seorang lelaki sejati, tak mungkin dia akan menyerang dikala orang lain tak siap." orang tua itu segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, itulah dia, tentu saja ayahmu tak akan menyerang disaat orang tak siap.
Ini dikarenakan yang dia andalkan adalah kepalan dan kaki, sementara yang kuandalkan adalah senjata rahasia.
Diurai dari kata am-gi, senjata gelap atau senjata rahasia, artinya senjata ini hanya bisa digunakan disaat orang lain tidak siap, kalau tidak, bagaimana mungkin dapat melukai orang yang berilmu silat tinggi" Coba bayangkan saja, ayahmu saja tak mungkin bisa melukai Kim Hui dalam sepuluh gebrakan, bagaimana mungkin aku si orang tua dapat saling berhadapan dengan Kim Hui dan berhasil melukainya" Tentu saja aku musti kacaukan dulu konsentrasinya." II "Tapi .
. . . . . .. II "Bocah perempuan, ujar orang tua itu lagi lembut, "kau harus mengerti, mengacau konsentrasi orang serta melepas senjata rahasia sesungguhnya merupakan dua masalah yang tak mungkin terpisahkan, orang yang dapat melepaskan senjata rahasia harus pandai pula mengacukan konsentrasi orang, begitu pikiran orang mulai kalut, disaat itulah kau akan menyerang, kalau tidak begitu, senjata rahasia hanya dapat melukai mereka yang berilmu silat cetek dan mustahil dapat melukai jagoan ampuh semacam Kim Hui, kalau bukan begitu, bagaimana mungkin aku si orang tua dapat menempati urutan dalam dunia persilatan dan bertahan hampir puluhan tahun" Oleh karena itu disaat Kim Hui harus berjaga atas serangan senjata rahasiaku, dia harus mewaspadi dulu usahaku untuk mengacau konsentrasinya, disinilah letak rahasia dari ilmu senjata rahasia dan merupakan kunci kesuksesan dari senjata rahasia.
Bocah perempuan, kau harus ingat baik baik apa yang telah kuucapkan hari ini." Para jago yang hadir dalam ruangan hanya bisa saling bertukar pandangan, dalam hati mereka merasa sangat kagum.
Tanpa terasa Siau Hui-uh ikut menundukkan kepalanya sambil berpikir: "Benar juga, secepat apapun orang melepaskan senjata rahasia, tak mungkin dia mampu melukai jagoan setangguh engku, jika senjata rahasia tak sanggup melukai jago lihay, bukankah semua jago senjata rahasia yang ada didunia ini tak mungkin bisa menjadi jagoan tangguh dunia persilatan" Aaai, teori ini sangat jelas dan gamblang, kenapa belum pernah terpikir olehku" Dan kecuali orang tua ini, tak mungkin orang lain mau menjelaskan." Tian Mong-pek ikut menghela napas, detak jantungnya tiba tiba tambah cepat, dia jadi teringat kembali dengan kata kata Chin Mo-cuan, ketua perkumpulan panji kain putih menjelang ajalnya.
Orang tua itu pernah berkata begini: " .
. . . .. bagian paling rahasia dari panah kekasih adalah hubungannya deng kartu kematian Si-sin-tiap.....
bila ingin mewaspadai panah itu, bukan disaat panah itu dilepaskan melainkan disaat menerima kartu Si-sin-tiap, jika menunggu sampai panah dilepas, segalanya akan terlambat .
. . . .. dengan pengalamanku dalam ilmu meringankan tubuh, begitu melihat panah kekasih, tubuhku segera melompat menghindar, namun tak urung terkena panah juga .
. . . .. Tatkala ucapan itu dijajarkan dengan penjelasan dari Tong Bu-im tadi, II dengan cepat pemuda itu jadi paham akan duduknya masalah.
"Sudah pasti Si-sin-tiap digunakan sebagai benda pengacau konsentrasi orang, sama seperti apa yang dikatakan Tong Lojin hari ini, sedang Chin Mo-cuan bisa terkena panah, alasannya pasti sama seperti hari ini Kim Hui termakan jarum perak, ditinjau dari sini dapat disimpulkan bahwa panah kekasih sesungguhnya bukan benda yang menakutkan dan teori yang digunakan sesungguhnya telah diketahui Tong Bu-im." Berpendapat begitu, rasa ngeri dan takutnya terhadap panah kekasih pun seketika berkurang banyak.
Terdengar orang tua itu bertanya lagi sambil tertawa terbahak-bahak: "Hahaha, sudah tunduk bocah perempuan?" "Bukan hanya dia yang tunduk," teriak Kim Hui, "aku Kim Hui pun merasa tunduk dengan kehebatan ilmu senjata rahasiamu, tapi kedatanganku hari ini adalah untuk mencari balas, bukan beradu silat, biar aku tunduk kepadamu, tetap akan kucari dia." "Kalau kau sudah tunduk dengan orang lain," ejek Tu Hun-thian sambil tertawa dingin, "tidak seharusnya bertarung ditengah ruang upacara perkawinan orang, jika ingin adu nyawa, kita adu nyawa di luar sana." "Bagus, ayoh jalan." "Bila kau ingin dia pergi dari sini, seharusnya tunggulah setelah dia II menghadiri upacara perkawinan putrinya.
Kata orang tua itu. Tiba tiba Kim Hui mencak mencak, bentaknya: "Kenapa dia harus melihat putrinya naik ke pelaminan" Gara gara dia celakai lohu, sampai saat inipun aku tak sempat melihat wajah putriku." Orang tua itu mendengus.
"Aku tak ingin mencampuri urusan dendam kesumat antara kalian berdua, tapi sebelum upacara perkawinan selesai diselenggarakan, siapa pun jangan harap bisa pergi dari sini." Kim Hui rentangkan sepasang lengannya sambil melotot garang kearah orang tua itu, tapi sekejap kemudian ia menghela napas.
"Baik, baiklah, kalian cepat selenggarakan akad nikah." Sambil tersenyum kakek itu segera bertepuk tangan.
"Musik 2 " Dengan usianya yang sudah uzur, dia selalu berharap pesta perkawinan yang diselenggarakan hari ini dapat berjalan dengan lancar, dapat menyaksikan cucu sendiri menikah, sudah pasti merupakan harapan setiap orang tua.
Para pemusik meski masih ketakutan dengan semua peristiwa yang terjadi disana, tapi tetap memainkan alat musik dengan muka murung.
Begitu musik dimainkan, suasana kegembiraan pun berangsur pulih kembali didalam ruangan itu.
Siapa tahu tiba tiba dari luar gedung berlarian masuk dua orang lelaki, mereka lari dengan tergopoh, wajahnya diliputi rasa panik dan kaget.
"Urusan apa membuat kalian gugup?" tegur Tong Ti dengan wajah berubah.
Dengan napas tersengkal kata lelaki itu: "Tandu pengantin dari keluarga Chin telah tiba, sekarang telah berada di .
. . . . . .." Dia hanya mengucapkan perkataan itu, karena kata selanjutnya tenggelam dibalik teriakan kaget para jago.
Si Tangan pencabut nyawa Tong Ti terbelalak, putranya, Tong Yan kelihatan gugup dan panik, bahkan sedikit gelagapan.
Bahkan Tu Hun-thian sendiripun ikut tertegun, dengan termangu dia awasi putrinya.
Andaikata Chin Ki betul-betul telah datang, bukankah Tu Kuan bakal gagal jadi pengantin" Tong Bu-im terlebih kaget bercampur marah, selama melang melintang dalam dunia persilatan, banyak kejadian aneh yang pernah dia alami, tapi kejadian yang berlangsung hari ini, hampir semuanya berada diluar dugaan.
"Ayah," bisik Tong Ti sambil bungkukkan badan, "bagaimana baiknya sekarang?" ll "Tua bangka sialan, cucu kura kura, umpat Tong Bu-im dengan gusar, "disaat harus datang, dia justru tak datang, tak ingin dia datang, dia justru muncul semaunya sendiri." Pada dasarnya tabiat orang tua ini memang bertemperamen tinggi, begitu marah, semua umpatan kasar pun dilontarkan, tapi sesudah diucapkan, dia baru teringat kalau usianya sudah lanjut dan tak pantas mengumbar kasar kasar didepan anak cucu.
Maka sambil tertawa katanya: "Bagaimana baiknya" Hm, terpaksa harus keluar dulu untuk melihat keadaan." Sambil berkata, dia mendorong kursi rodanya dan menuju ke ruang depan.
Buru buru para jago menyingkir memberi jalan, pikir mereka: "Biarpun arak kegirangan kali ini kurang bisa dinikmati, namun keramaiannya sungguh memuaskan pandangan mata." Semua orang ingin tahu, ketika seorang pengantin lelaki kedatangan dua orang pengantin wanita, bagaimana penyelesaian akhir dari persoalan ini" Tanpa banyak bicara, semua orang pun ikut meluruk keluar, siapapun tak mau ketinggalan.
Tian Mong-pek sudah meraba gagang pedangnya dan digenggam kencang.
Dalam pada itu si walet hitam Tong Yan dengan mengenakan pakaian pengantin menarik Tu Kuan berdiri di sudut ruangan, dia tak bernyali untuk menghadapi masalah, pun tak bernyali untuk melarikan diri.
Semakin dilihat Tian Mong-pek merasa semakin jengkel, namun karena musuh besar berada didepan mata, diapun enggan mencampuri urusan lain.
Dengan satu lompatan, dia melewati atas kepala para tamu dan menuju ke pintu keluar.
Baru saja berdiri tegak, tiba tiba terasa desingan angin bergetar disisi tubuhnya, lalu terdengar seseorang berkata sambil tertawa merdu: "Keramaian kali ini bakal tambah seru...." Ternyata Siau Hui-uh sudah ikut menyusul keluar.
Tian Mong-pek ingin sekali melempar senyuman kearahnya, apa mau dikata rasa tegang yang mencekam, membuat dia tak sanggup tersenyum.
Dibawah cahaya lampu, terlihat beberapa orang menggotong sebuah tandu pengantin, diatas tandu itu bertuliskan: "Perkawinan keluarga Chin" Tapi tandu yang digotong hanya satu, sedang pengikutnya kebanyakan adalah orang dusun yang disewa keluarga Chin.
"Apa yang terjadi?" terdengar banyak orang berbisik keheranan,"kenapa tak nampak Chin Siu-ang?" Tong Bu-im marah sekali, umpatnya: "Jangan jangan si tua bangka Chin sudah mampus, kenapa belum juga
Tong Bu-im marah sekali, umpatnya: "Jangan jangan si tua bangka Chin sudah mampus, kenapa belum juga munculkan diri" Belum pernah kujumpai manusia busuk macam dia." "Mungkin dia jadi kebingungan karena belum pernah nikahkan anak putrinya." Kata Tong Ti.
Bagaimana pun, perkawinan ini atas prakarsa dirinya, jadi mau tak mau dia harus bantu untuk mengatakan yang baik tentang Chin Siu-ang.
II "Perkataan apa itu, umpat Tong Bu-im marah, "sekalipun belum pernah makan daging babi, seharusnya pernah melihat babi berjalan .
Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
. . . .. eeei, kenapa tandu itu tidak berhenti dan mau diangkut ke dalam rumah?" Sambil menggerutu, lelaki dusun itupun menghentikan tandunya didepan pintu.
Salah seorang diantaranya segera berkata: "Selama hidup belum pernah aku menggotong tandu pengantin semacam ini, ngotot minta kami berkeliling satu lingkaran dulu sebelum dibawa kemari." Sambil berkata, dia ambil saputangan dan mulai menyeka keringat ditubuhnya.
"Siapa yang suruh kalian berkeliling satu lingkaran?" tanya Tong Ti dengan wajah berubah.
"Chin loya." "Dimana dia sekarang?" "Tadinya masih mengintil di belakang tandu, tapi dalam sekejap orangnya sudah hilang, hamba sekalian tak berani ambil keputusan maka harus menunggu lama lagi sebelum menggotong tandu ini kemari." Tong Bu-im mendengus dingin.
"Sok misterius!" umpatnya, diapun memberi tanda sambil katanya lagi, "coba bimbing keluar orang yang ada didalam tandu, tanya dia, apakah ayahnya sudah kena penyakit sinting?" Siau Hui-uh yang mendengar perkataan itu segera berbisik sambil tertawa: "Coba lihat, tua bangka itu tidak bilang bimbing keluar pengantin wanita itu, tapi bilang bimbing keluar orang itu, kelihatannya dia lebih penuju pada Tu Kuan." Ketika berpaling, dia saksikan Tian Mong-pek berdiri melongo seperti orang yang kehilangan sukma, tampaknya dia sama sekali tidak mendengar apa yang dikatakan.
"Hei," tegur Siau Hui-uh keheranan, "kenapa kau?" ll "Aaai, Chin Siu-ang .
. . . . . .. Mendadak terdengar jeritan kaget berkumandang di empat penjuru, perempuan yang bertugas membuka tirai tandu itu tampak mundur sempoyongan lalu jatuh terduduk ke lantai.
Ternyata begitu tirai tandu disingkap, dari dalam tandu muncul tubuh seseorang yang langsung roboh ke depan.
Dalam waktu singkat semua orang jadi kaget, teriakan tertahan bergema disana sini.
Sewaktu tubuh orang itu diperiksa, ternyata badannya sudah dingin kaku, ternyata orang yang berada didalam tandu itu bukan pengantin wanita, melainkan sesosok mayat yang mengenakan pakaian pria.
Ditengah kekalutan, Tong Bu-im membentak gusar: "Rekan mana yang merah mata melihat keluarga Tong menyelenggarakan pesta perkawinan sehingga datang mengajak bergurau" Anak Ti, coba ditengok." Si Tangan pencabut nyawa Tong Ti melompat baju ke depan mayat itu dan memeriksanya.
Dalam waktu singkat terlihat paras mukanya berubah hebat, sambil menuding kearah mayat itu, jeritnya dengan gemetar: "Panah kekasih .
. . . . .. Chin Siu-ang . . . . . .. panah kekasih . . . . . .." Dengan satu lompatan Tian Mong-pek meluncur ke samping mayat itu lalu memeriksanya dengan seksama.
Terlihat mayat itu kurus kering berwajah pucat, kedua pipinya cekung tanpa daging, kalau bukan Chin Siu-ang lantas siapa lagi" Setelah diamati lagi, terlihat diatas dada Chin Siu-ang, orang yang selama ini dianggap Tian Mong-pek sebagai pemilik panah kekasih, terhujam dua batang anak panah pendek, satu berwarna merah, satu lagi berwarna hitam.
Rasa kaget yang mencekam hati Tian Mong-pek kali ini benar-benar tak terkirakan, sedemikian terperananya hingga suara pekikan dari empat penjuru yang begitu keras bagai gelombang tsunami pun sama sekali tak terdengar olehnya.
Entah berapa lama kekalutan itu berlangsung, dia masih berdiri kaku, tak bergerak, matanya tak berkedip.
Dengan kaget Siau Hui-uh menatap pemuda itu, diapun tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi" Darimana gadis itu bisa menyelami kepedihan hatinya" Satu satunya jejak yang berhasil dia lacak dengan susah payah, kini hilang lenyap dengan begitu saja.
Dengan hilangnya jejak tersebut, bukan pekerjaan yang gampang baginya untuk menelusuri kembali siapakah pemilik panah kekasih.
"Karena dia mati oleh panah kekasih, berarti dalangnya pasti bukan dia." Gumamnya.
Sementara itu Tong Bu-im sedang menginterogasi para lelaki pemikul tandu.
Dengan ketakutan jawab lelaki itu: "Chin loya perintah kami sekalian untuk tidak segera menggotong masuk tandu ini tapi berputar putar dulu di empat penjuru, dia pun mengintil dibelakang tandu sambil menengok kesana kemari, kemudian hamba sekalian menggotong tandu ini ke belakang bukit sebelah sana, tiba tiba dia minta hamba sekalian pergi minum teh dan beristirahat, sejujurnya hamba sekalian memang merasa sangat lelah, maka....
maka kami pun pergi." Tempat yang ditunjuk adalah bayangan bukit sebelah depan, tempat itu tak lain adalah gua rahasia tempat keluarga Tong meramu senjata rahasia.
Dengan wajah berubah Tong Bu-im memandang kearah Tong Ti, katanya sambil tertawa dingin: "Jangan jangan tua bangka itu dengan memakai tandu pengantin sebagai alasan, dia bermaksud ke sana untuk mencuri rumput pelumat impian?" "Tapi....
tapi rumput pelumat impian tidak berada disana!" sahut Tong Ti.
"Goblok," umpat Tong Bu-im makin gusar, "darimana dia tahu kalau rumput pelumat impian tidak berada disana" Sudah pasti dia sangka rumput pelumat impian disimpan dalam gua tempat meramu senjata rahasia." Tong Ti menundukkan kepalanya, tidak berani membantah.
Sesudah mengatur napas yang tersengkal, kembali lelaki penggotong tandu itu berkata: "Sewaktu hamba sekalian balik ke sana seusai minum teh, tandu masih berada disitu, tapi Chin loya sudah pergi, waktu itu hamba sekalian memutuskan untuk menunggu sampai kedatangannya kemudian baru ambil keputusan, tapi setelah ditunggu lama dan langit semakin gelap, kami mulai kuatir kalau pengantin yang ada dalam tandu mulai cemas, terpaksa tandu pun kami gotong kemari.
"Dalam perjalanan, hamba sekalian pernah bertanya kepada sang pengantin dalam tandu, tapi tak pernah ada jawaban, hamba sangka pengantinnya malu, enggan menjawab, jadi sama sekali tak heran, namun.....
namun hamba sekalian tak pernah mengira kalau pengantin perempuan yang ada dalam tandu, tiba tiba telah berubah jadi sesosok mayat!" Tong Bu-im menghela napas panjang, katanya: "Tak heran kalau orang lain tak berhasil menemukan tandu itu, ternyata tandu berada dibelakang gunung, sudah pasti orang lain tak akan menemukan, hanya saja .
. . . .. hanya saja . . . . . .." Setelah memukul sandaran kereta rodanya kuat kuat, dia meneruskan: "Kenapa si tua bangka Chin bisa mati" Dia mati ditangan siapa" Kenapa diatas dadanya .
. . . .. diatas dadanya terhujam dua batang panah kekasih?" Tian Mong-pek terlebih bingung, makin dipikir dia semakin bertambah bodoh, dengan segala akal muslihat Chin Siu-ang berusaha mendapatkan rumput pelumat impian, dia mirip sekali dengan pemilik panah kekasih.
Tapi sekarang, dia justru mati karena panah kekasih, itu berarti .
. . . .. Mendadak satu ingatan melintas dalam benak pemuda itu, pikirnya" "Jangan jangan semuanya ini hanya siasat comberet emas lolos dari kepompong dari Chin Siu-ang, dia sembarangan mencari sesosok mayat, didandani seperti wajah dirinya, agar orang persilatan menyangka dia sudah mati, kemudian secara diam diam melanjutkan perbuatan terkutuknya?" Makin dipikir dia merasa dugaan itu semakin masuk akal, batinnya: "Asal kuperiksa mayat itu dengan seksama, bukankah segera akan diperoleh jawabannya?" Ketika berpaling lagi, ternyata mayat itu sudah digotong pergi.
Tampak Tong Pa dengan wajah murung berjalan dari sisinya, cepat Tian Mong-pek menariknya dan bertanya: "Tahukah saudara Tong, jenasah Chin Siu-ang telah digotong pergi ke mana?" Waktu itu Tong Pa sendiri sedang dirundung banyak persoalan, diapun tidak bertanya mengapa pemuda itu menanyakan hal tersebut, jawabnya: "Lo-cou-cong merasa kehadiran mayat diruang ini sangat mengganggu pemandangan, aku diperintah untuk menggotongnya ke dalam gua didepan sana." Tempat yang dia tunjuk tak lain adalah gua rahasia dimana keluarga Tong meramu senjata rahasia.
Buru buru Tian Mong-pek mengucapkan terima kasih dan segera berlalu.
Waktu itu tak seorang jago pun yang memperhatikan gerak geriknya, mereka sedang memperbincangkan peristiwa yang baru terjadi, hanya Siau Hui-uh seorang yang mengamati terus gerak gerik pemuda itu.
Timbul rasa heran dihati kecilnya setelah melihat gerak geriknya yang misterius, baru saja dia hendak mengintil, tiba tiba lengannya ditarik orang.
Dalam kaget dan gusarnya, nona itu berpaling, ternyata Lam-yan.
Dengan wajah panik dan tak tenang kata Lam-yan: "Uh-ji, engku .
. . . .. engku mu ke mana?" Siau Hui-uh tertegun, balik tanyanya: "Tu.....
Tu Hun-thian?" "Tu lo-enghiong juga tak terlihat, pasti mereka berdua telah pergi secara diam-diam untuk bertarung, aaai, kali ini mereka pasti akan bertarung mati hidup." Dari mukanya yang murung, jelas menampilkan perasaan kuatirnya yang berlebihan.
"Tenang," hibur Siau Hui-uh, "dengan kungfu yang dimiliki engku, tak mungkin dia akan kalah." Lam-yan menghela napas panjang.
"Aaai, kungfu engku mu memang bagus, tapi ilmu silat Tu Hun-thian pun tidak jelek, bila salah seorang diantara mereka salah turun tangan.....
aaai, apalagi meski dia melukai Tu lo-enghiong pun, keadaan akan bertambah runyam." "Bibi tak usah gugup," kembali hibur Siau Hui-uh sambil tertawa paksa, "karena buru buru ingin berkelahi, sudah pasti mereka tak perlu jauh, asal kita periksa empat penjuru, jejak mereka pasti akan ditemukan." Oleh karena mengurusi masalah disini, terpaksa urusan lain harus dikesampingkan, meski dia heran dengan gerak gerik Tian Mong-pek yang aneh, setelah melihat kegelisahan Lam-yan, terpaksa dia pergi menemani bibinya.
Oo0oo Dengan menelusuri jalan setapak, dalam waktu singkat Tian Mong-pek sudah menemukan sumber air panas, ketika menelusuri aliran sungai itu, dalam waktu singkat gua karang yang menyerupai hewan buas itu sudah muncul dibalik kegelapan.
Cahaya penerangan diseputar tempat itu tidak seterang ruang pesta, diantara hembusan angin malam, terlihat bayangan manusia berjalan mondar mandir melakukan perondaan, ternyata penjagaan disana amat ketat.
"Siapa?" dari balik kegelapan terdengar seseorang membentak nyaring.
Diantara kilauan cahaya golok, empat lima orang telah muncul mengepung.
Tian Mong-pek segera memberi hormat sambil memperkenalkan diri: "Aku, Tian Mong-pek." Para peronda segera mengendorkan kewaspadaannya, menanti Tian Mong-pek mengemukakan maksud kedatangannya, meski orang orang itu merasa keheranan, tapi lantaran tahu kalau belakangan Tian kongcu menjadi orang kesayangan Lo-cou-cong, maka tak seorangpun berani membangkang.
Salah seorang diantaranya segera berkata sambil tertawa: "Kami semua pun merasa kehadiran mayat itu sangat mengganggu suasana, maka jenasahnya kami gotong ke dalam gua sana.
Bila Tian siangkong ingin melihat .
. . . . .. eeei... Ong jite, coba kalian berdua hantar Tian siangkong ke situ!" Setelah menyampaikan rasa terima kasih, cepat pemuda itu mengintil dibelakang mereka melewati sebuah pintu besi dan tiba di tebing yang gelap.
Dalam tebing itu, diantara pepohonan pendek dan semak terdapat sebuah tandu, didalam tandu itulah jenasah Chin Siu-ang berbaring.
Sambil menuding dari kejauhan, kedua orang itu segera menghentikan langkahnya.
Tian Mong-pek tahu, kedua orang ini pasti enggan menuju ke situ, maka buru buru katanya sambil tertawa: "Aku hanya ingin menengok apa penyebab kematian orang itu, tidak perlu merepotkan kalian berdua lagi." Memang itulah yang diinginkan mereka berdua, setelah berbasa basi, merekapun segera berlalu.
Dihari pernikahan yang baik, siapapun pasti enggan melihat mayat, tidak terkecuali lelaki lelaki kasar itu.
Dengan langkah lebar Tian Mong-pek berjalan mendekat, jantungnya berdebar keras, tiba didepan tandu, dia angkat mayat itu, terasa jari tangannya sedikit agak gemetar.
Cepat pemuda itu tenangkan hatinya, meminjam cahaya bintang ditambah ketajaman matanya yang melebihi orang lain, dia periksa mayat itu dengan seksama.
Sekarang ia dapat melihat dengan pasti, mayat itu memang mayat Chin Siu-ang, bukan samaran orang lain.
Untuk sesaat dia merasa amat kecewa, tak tahan pemuda itu menghela napas panjang, perlahan dia membaringkan kembali mayat dari Chin Siu-ang itu ke dalam tandu.
Sekonyong-konyong . . . . . .. mayat Chin Siu-ang yang baru saja dibaringkan tiba tiba melejit bangun, lengan kanannya langsung menghantam jalan darah cian-keng-hiat di bahu kanan pemuda itu, deruan angin yang kencang menandakan serangan itu dahsyat.
Dalam kagetnya Tian Mong-pek mencelat ke udara dan mundur sejauh berapa
Untuk sesaat dia merasa amat kecewa, tak tahan pemuda itu menghela napas panjang, perlahan dia membaringkan kembali mayat dari Chin Siu-ang itu ke dalam tandu.
Sekonyong-konyong . . . . . .. mayat Chin Siu-ang yang baru saja dibaringkan tiba tiba melejit bangun, lengan kanannya langsung menghantam jalan darah cian-keng-hiat di bahu kanan pemuda itu, deruan angin yang kencang menandakan serangan itu dahsyat.
Dalam kagetnya Tian Mong-pek mencelat ke udara dan mundur sejauh berapa kaki, kendatipun dia berkelit cukup cepat, tak urung bahunya tersapu sedikit, segera timbul rasa sakit dan panas yang luar biasa.
Masih untung belakangan ilmu silatnya peroleh kemajuan yang pesat, coba berganti setahun yang lalu, berada dalam situasi tak siap begini, niscaya ia sudah mampus kena serangan.
Sesudah melancarkan sebuah pukulan, "mayat" Chin Siu-ang tidak melanjutkan serangannya, lagi lagi dia berbaring ke tempat semula.
Tian Mong-pek berdiri kaku dengan hati tak karuan, rasa kaget dan ngerinya tak terkirakan, pikirnya: "Jangan jangan Chin Siu-ang memang belum mati?" Tapi barusan dia sudah periksa tubuh mayat itu, dengan mata kepala sendiri dia buktikan kalau Chin Siu-ang sudah mati bera pa saat, ingatan lain segera melintas: "Jangan jangan dia bangkit dari mati dan berubah jadi mayat hidup?" Berpikir begitu, peluh dingin serasa bercucuran membasahi jidatnya, coba berganti orang lain, saat itu mungkin sudah kabur dari situ dan tak berani lagi tinggal disana.
Tapi Tian Mong-pek memang pemuda nekat, nyalinya lebih keras dari baja, sesudah termangu sesaat, tiba tiba ujarnya sambil tertawa tergelak: "Hahaha, Chin Siu-ang, sewaktu masih hidup aku tak takut kepadamu, masa setelah mati, aku harus takut" Mari, mari, mari, kita bertarung sekali lagi." Dengan satu gerakan cepat dia loloskan pedang bajanya lalu menyongsong dengan langkah lebar.
Sekalipun nyalinya besar, saat ini langkahnya sangat berhati hati, tangannya yang menggenggam pedang pun mulai dibasahi oleh keringat dingin.
Oo0oo Sudah seluruh pelosok ruangan dilacak Siau Hui-uh dan Lam-yan, ketika berjumpa Tu Kuan, sambil tertawa tanya Lam-yan: "Nona Tu, tahukah ayahmu berada dimana?" Tu Kuan membelalakkan matanya lebar lebar, katanya sambil tertawa: "Ayahku.....
nona baik, Tian Mong-pek juga orang baik, aduh ayah, kau jangan lukai dia." Tiba tiba dia menutup wajahnya sambil menjerit.
Buru buru Tong Yan mendekati sambil menghibur, dengan sapu tangan dia seka air mata diwajahnya.
Sebaliknya Siau Hui-uh dan Lam-yan berdiri melongo, tertegun, keheranan.
Dari jawaban Tu Kuan yang melantur, kedua orang itu tahu bahwa tekanan batin yang diderita gadis ini selama banyak waktu, membuat pikirannya kalut, tanpa terasa timbul perasaan iba dihati.
Namun mereka sedikit terhibur setelah melihat kasih sayang yang diperlihatkan Tong Yan kepadanya.
Pikir mereka: "Bagaimana pun, akhirnya dia telah peroleh pasangan yang menyayanginya." Mereka berdua saling bertukar pandangn lalu diam diam meninggalkan tempat itu.
"Cepat!" ujar Lam-yan kemudian cemas, "harus cepat! Kalau tidak, jika mereka berdua suka adu jiwa, tak seorangpun yang dapat melerai." "Mau bertanya orang, belum tentu orang bisa menjawab, lebih baik kita beradu keberuntungan diluar sana, siapa tahu malah bisa menemukan jejak mereka." Karena tak punya pandangan lain, terpaksa Lam-yan keluar dari gedung pertemuan.
Pikir Siau Hui-uh kemudian: "Saat itu ruang depan sedang kacau balau, sudah pasti mereka melalui ruang belakang." Maka mereka berdua pun menuju ke ruang belakang, setelah periksa berapa tempat, dari balik halaman terlihat ada berapa orang sedang berjalan keluar, Siau Hui-uh segera menghampiri untuk mencari kabar.
Siapa sangka berapa orang itu berwatak aneh, bukan saja tidak menggubris, bahkan berlalu begitu saja sambil gelengkan kepala, mereka pergi terburu buru, seolah ada urusan penting yang harus segera dikerjakan.
Biarpun mendongkol, namun dalam situasi seperti ini, Siau Hui-uh enggan jadi gara gara, mana dia tahu kalau berapa orang itu sesungguhnya sahabat karib Tian Mong-pek, yakni Ho Kun-hiong dan rekan rekannya.
Ho Kun-hiong sendiripun tidak tahu kalau gadis itu adalah Siau Hui-uh, mereka sedang mencari Tian Mong-pek.
Coba kalau berapa orang itu bertanya kepada Siau Hui-uh, niscaya mereka akan mengetahui ke mana Tian Mong-pek pergi.
Sayang berapa orang itu baru sadar dari mabuk, kepala mereka pasih pening, gara gara membuang kesempatan inilah, mereka jadi kesulitan menemukan jejak rekannya.
Sesudah pergi jauh, Ho Kun-hiong baru teringat kalau gadis itu agak aneh, mereka baru merasa kalau gadis itu mirip sekali dengan Siau Hui-uh seperti yang dituturkan Tian Mong-pek, sayang waktu itu Siau Hui-uh sudah pergi jauh.
Saat ini, kecuali Siau Hui-uh, memang tak seorangpun yang mengetahui jejak Tian Mong-pek, sedang Siau Hui-uh harus menemani Lam-yan mencari Kim Hui, untuk sementara waktu urusan pemuda itupun jadi terabaikan.
Oo0oo Dengan pedang hitam dalam genggaman, Tian Mong-pek menghampiri tandu itu dengan langkah lebar.
Tiba tiba terdengar "mayat" didalam tandu itu tertawa dingin, kemudian menegur: "Tian Mong-pek, besar amat nyalimu, apakah kau benar benar datang untuk menghantar kematian?" Ditengah hembusan angin malam, ternyata mayat itu dapat berbicara, kejadian ini betul betul satu peristiwa yang menakutkan.
Tergerak hati Tian Mong-pek, setelah berhasil menenangkan hati, dengan pedang digenggam makin kencang, dia melompat maju ke depan tandu.
Mendadak mayat itu melayang ke udara, dengan cakar setannya mencengkeram tubuh pemuda itu.
Tian Mong-pek segera menggetarkan pedangnya sambil melambung, setelah berjumpalitan dan melewati tubuh mayat itu, bentaknya: "Ke mana mau pergi?" Pedang bajanya dibacok ke bawah, bukan membacok mayat itu sebaliknya malah membelah tandu pengantin.
Rupanya sejak awal dia sudah menduga, pasti ada orang bersembunyi dalam tandu itu dan menggunakan tubuh mayat itu untuk membokongnya.
Bagi seorang jago yang memiliki tenaga dalam sempurna, bukan hal yang sulit untuk menyerang dari balik suatu benda.
Karena itulah gempuran yang dilakukan mayat tadi disertai kekuatan yang menakutkan.
Siapa sangka bukan saja ilmu silat yang dimiliki Tian Mong-pek sudah mengalami kemajuan pesat, nyalinya pun besar, akhirnya siasat licik itu berhasil dibongkar.
saat ini pedangnya telah disertai tenaga murni, apalagi menyerang dari tengah udara, kekuatannya benar benar ibarat guntur yang membelah bumi, apalagi pedang hitam itu merupakan senjata mustika yang tajam.
Dimana pedang itu menyambar, tandu pengantin itu seketika terbelah jadi dua bagian, "kraaak!" diantara percikan hancuran kayu, betul saja, dari balik tandu muncul sesosok bayangan manusia.
Gerakan tubuh bayangan manusia itu cepat tak terkirakan, terdengar ia menghardik: "Pedang bagus!" Tubuhnya melambung ke udara, dalam sekali lompatan dia sudah berada sejauh tiga kaki lebih.
Kuatir disaat tubuhnya meluncur ke bawah, pihak lawan melancarkan serangan, Tian Mong-pek kembali memutar pedangnya melindungi badan, setelah itu baru angkat muka.
Terlihat bayangan manusia itu sudah berdiri diatas dahan pohon yang melintang diatas tebing karang, ujung bajunya berkibar terhembus angin, tubuhnya bergoyang mengikuti lenturan dahan, sayang tak terlihat jelas raut mukanya.
Melihat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki lawan ternyata sudah mencapai taraf yang luar biasa, diam diam Tian Mong-pek merasa terperanjat, segera bentaknya: "Hei sobat, tak usah berlagak jadi setan lagi, masa kau tak berani bertemu orang?" "Kalau ingin bertemu, ikuti aku!" sahut bayangan itu sambil tertawa dingin.
Sekali mengebas bajunya, dia sudah meluncur sejauh empat lima kaki dari posisi semula, begitu ujung kakinya menutul tanah, kembali badannya melambung.
Selama bergerak, dia seolah kuatir Tian Mong-pek tak mampu mengikuti, beberapa kali dia menggapai sambil tertawa dingin.
Setelah berada dalam situasi seperti ini, Tian Mong-pek semakin bertekad untuk menyelidiki masalah ini hingga tuntas, dia besumpah, biar harus mengejar sampai ujung langit atau dasar samudra pun, dia harus berhasil mengejarnya.
Gerakan tubuh mereka berdua sama sama amat cepat, setelah mengitari tanah perbukitan, makin lama mereka menuju ke tempat yang makin terpencil.
Namun Tian Mong-pek tetap bergeming, dia mengintil terus dengan ketat.
Seperminum teh kemudian, tibalah mereka di belakang bukit.
Pada saat itulah tiba tiba bayangan manusia itu berhenti berlari dan membalikkan badan, dibawah cahaya bintang, terlihat orang itu mengenakan jubah warna abu abu, mukanya pucat keabu abuan, dingin dan kaku.
Setelah diamati lebih seksama, pemuda ini segera merasa kalau orang itu tampaknya mengenakan topeng kulit manusia, tapi ketika diamati lebih teliti, ternyata otot wajahnya dapat bergerak, wajah orang ini tak ubahnya seperti wajah sesosok mayat.
Tian Mong-pek segera menghentikan langkahnya, rasa bergidik tiba tiba muncul dari dalam hatinya, dengan suara keras bentaknya: "Kau.....
sebenarnya siapa kau?" "Kau tidak kenal aku?" orang berjubah abu-abu itu balik bertanya.
"Hmm, diantara sobatku, tak seorang pun yang beraninya berlagak jadi setan." "Jika tak kenal aku, kenapa dimana mana kau sebar tantangan kepadaku?" kata orang berjubah abu abu itu ketus.
Tergetar hati Tian Mong-pek.
"Jadi kau.... kau adalah Busur empat senar Hong Ji-siong?" Kembali manusia berjubah abu abu itu tertawa dingin.
"Kalau memang berani menantang aku berduel, kenapa setelah bertemu aku jadi kaget" Jangan jangan mulai takut?" Dia mendongakkan dan tertawa keras, suaranya bergetar keras membuat ranting dan daun diseputar sana berguguran.
Sedikit banyak Tian Mong-pek terperanjat juga setelah bertemu dengan pemimpin dari tujuh manusia tersohor, tokoh silat yang paling disegani di kolong langit.
Tapi dengan cepat hawa amarah memenuhi benaknya, dengan marah bentaknya: "Dasar Hong Ji-siong, tak disangka kau adalah manusia kurcaci yang tak bisa dipercaya dan tak berbudi, beraninya main bokong, jika tadi aku tewas ditanganmu, bukankah .
. . . . .." "Sudah sewajarnya bila kau mampus ditanganku." Tukas Hong Ji-siong ketus.
Il "Kurangajar, umpat Tian Mong-pek semakin gusar, "sudah lupa kau dengan sumpah yang pernah kalian ucapkan didepan suhu dia orang tua" Atau mungkin kau memang berniat ingkari sumpahmu?" "Tak pernah kulupakan, tak pernah kuingkari." II "Kalau memang begitu, kenapa kau .
. . . . .. Hong Ji-siong tertawa dingin, selanya: "Sumpah itu hanya berlaku disaat Jit-ci-sin-ang (kakek sakti berjari tujuh) masih hidup, bila dia belum mampus, tentu harus kutaati, kalau orangnya sudah modar, apa lagi yang musti kupegang?" "Apa.....
apa kau bilang?" tanya Tian Mong-pek dengan hati bergetar.
Hong Ji-siong tertawa latah.
"Hahaha, gurumu sudah mampus, masa kau belum tahu" Masa Tio Beng-teng dan Li Siong-hong tidak memberitahukan kepadamu?" Semenjak melihat kemunculan Li Siong-hong dan Tio Beng-teng, Tian Mong-pek sudah tahu kalau dalam hutan penyesat telah terjadi perubahan, tapi dia tak mengira kalau gurunya sudah mati.
"Jadi kau yang telah mencelai dia orang tua?" jeritnya.
Kembali Hong Ji-siong tertawa dingin.
"Sebelum dia mati, aku tak bakal ingkari sumpah, kalau bukan begitu, mungkin sejak dulu dia sudah mati, buat apa musti menunggu sampai hari ini?" Tian Mong-pek sadar, apa yang dia katakan memang betul, kembali bentaknya: "Lalu siapa yang telah mencelakai dia orang tua?" Gelak tertawa Hong Ji-siong semakin keras.
"Hahaha, kau ingin tahu siapa yang mencelakainya" Hehehe.....
hahaha, setelah kukatakan, mungkin kaupun tak akan percaya." "Siapa.....
siapa dia?" bentak Tian Mong-pek sambil menggigit bibir.
Hong Ji-siong hanya mendongakkan kepala sambil tertawa seram, sama sekali tak menjawab.
Suara tertawanya sangat aneh, mimik mukanya juga aneh, orang tidak tahu apakah dia sedang bangga atau kecewa, sedih atau gembira.
Perlu diketahui, selama hampir dua puluh tahunan, dia jarang sekali bertemu matahari, karena itulah paras mukanya seperti orang mati, apalagi ketika tertawa, suara tertawanya sangat menggidikkan hati.
Mendengar suara tertawanya begitu aneh, Tian Mong-pek mersa gusar bercampur keheranan, dia tak bisa menebak apa yang menjadi penyebab kematian gurunya, diapun tak paham kenapa tertawa Hong Ji-siong begitu aneh.
Perlahan-lahan Hong Ji-siong berhenti tertawa, dengan mata yang menyeramkan ditatapnya Tian Mong-pek tanpa berkedip.
Sorot mata orang ini sangat menakutkan, ditengah kegelapan malam, mata itu seperti mata iblis, memancarkan sinar keabuan yang menggidikkan.
Dengan suara keras, sepatah demi sepatah kata dia berkata: "Aku beritahu kepadamu, yang mencelakai dia adalah dirinya sendiri."
Bab 42. Guntur penentu mati hidup.
Merasa semangat orang tua itu dalam mempertahankan hidup begitu kuat, mana mungkin Tian Mong-pek percaya kalau dia telah mencelakai diri sendiri, dengan penuh amarah umpatnya: "Kentut, kau .
. . . . . .." "Hahaha, kau tidak percaya?" ejek Hong Ji-siong sambil tertawa terkekeh.
"Tentu saja tidak percaya." "Kalau begitu aku beritahu, si tua bangka yang tak mati diracun, tak mampus dibikin lapar itu telah mampus gara gara kekenyangan makan." Tian Mong-pek merasa bergidik, bulu kuduknya pada berdiri, ia merasa mual dan ingin muntah.
Hong Ji-siong tertawa menyeringai, katanya lagi: "Kau suruh orang menghantar arak dan daging, ternyata kedua orang itu sangat penurut, tak sampai sehari, arak dan daging sudah mengalir masuk ke dalam hutan.
Padahal keinginan orang orang dalam hutan untuk makan arak dan daging sudah membuat mereka nyaris gila, begitu melihat arak daging, mata mereka mulai memerah, sekuat tenaga mereka melahap, tampang mereka .
. . . . . .. hahaha, persis seperti anjing kelaparan yang berebut tahi." "Tutup mulut!" bentak Tian Mong-pek.
Melihat pemuda itu amat sedih, Hong Ji-siong bercerita makin semangat.
Terdengar ia tertawa terbahak-bahak, terusnya: "Hahaha, biarpun pengetahuan tua bangka itu luas, biarpun ilmunya hebat, tapi setelah melihat arak dan daging, cara makannya tak berbeda dengan kuli kasar pendorong gerobak.
Siapa sangka kelaparan yang diderita selama puluhan tahun, membuat lambung dan ususnya jadi lemah dan tipis, bagaimana mungkin bisa menahan makanan berminyak" "Sekalipun dia belajar ilmu sepanjang tahun, sayang ilmunya tak bisa dilatih hingga membuat perut dan ususnya jadi kebal, terlebih usianya sudah ibarat lentera kehabisan minyak, setelah makan minum sepuasnya, tak sampai setengah hari dia mulai muntah berat, lalu lewat setengah hari kemudian nyawa pun ikut melayang.
"Hahaha, sebelum mati dia bahkan masih sempat tertawa tergelak, mengatakan dia mati dengan gagah, mati dengan nyaman.
Mungkin disaat mampus, dia telah merasakan kenyaman yang luar biasa, hahaha...
paling tidak bisa mati sebagai setan kekenyangan." Biarpun kisah itu sangat beralasan, namun ketika diucapkan dari mulut Hong Ji-siong, Tian Mong-pek merasa hatinya kecut dan teramat sedih.
Melihat kepedihan hatinya, gelak tertawa Hong Ji-siong makin menjadi, terusnya: "Sekal dulu hingga kini,belum pernah ada jago silat yang mati karena kekenyangan, tak disangka dia telah menjadi pembuka sejarah yang akan dikenang sepanjang masa.
Hahaha, sepanjang hidupnya, dia begitu senang membuat karya yang mengejutkan, tak nyana setelah mati pun dia tetap mengejutkan orang banyak, anggap saja apa yang menjadi pengharapannya selama ini telah terkabulkan.
Dikemudian hari pabila ada orang akan menulis sejarah dunia persilatan, setelah menulis sampai disini, bisa dipastikan mereka akan menambahkan berapa patah kata pujian." Tak terlukiskan rasa sedih dan gusar Tian Mong-pek setelah mendengar ejekan dan gurauan yang dituturkan orang itu dengan nada menghina, sambil membentak, dia ayun pedangnya melancarkan terjangan.
Kembali Hong Ji-siong tertawa seram.
"Hahaha.... sudah tak tahan untuk segera berangkat mampus" Hehehe, Jit-ci-sin-ang telah mampus, manusia semacam kau memang tak perlu hidup lagi didunia ini .
. . . . .. aduh, pedang bagus!" Sementara pembicaraan masih berlangsung, mereka berdua telah saling menyerang sebanyak lima, enam gebrakan, ketika membentak terakhir tadi, bentakan itu merupakan pujian atas jurus Lui-teng-pun-huat (Letusan nyaring guntur membelah) yang digunakan pemuda itu.
Tampak hawa pedang yang memancar ibarat gulungan ombak ditengah badai, menciptakan beribu lapis gulungan yang menyapu ke depan bersama sama, bacokan itu memang tak ubahny seperti guntur yang membelah bumi, tak heran Hong Ji-siong bersorak memuji meski mereka sedang bertarung.
Tian Mong-pek sadar, bila hari ini dia gagal membinasakan orang ini, maka dia sendiri yang bakal tewas ditangannya, dia lebih takut lagi jika adik perempuannya tiba tiba menyusul kesana, oleh sebab itulah dia berharap serangan kilat bisa mempercepat selesainya pertarungan.
Sebaliknya Hong Ji-siong ingin tahu sampai dimana ketangguhan kungfu pemuda ini, setiap serangan yang dilancarkan nyaris merupakan jurus tipuan, sama sekali bukan gempuran sesungguhnya.
Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siapa sangka belasan jurus kemudian, serangan pukulan ditangan kiri, serangan pedang ditangan kanan Tian Mong-pek makin lama semakin menggencet, berapa gebrakan kemudian ia telah berhasil paksa Hong Ji-siong berada di posisi bawah angin.
Perlu diketahui, meskipun berbicara soal ilmu silat, tenaga dalam serta pengalaman, dia masih belum mampu melampui Busur sakti empat senar, namun pengalaman yang diperolehnya selama banyak tahun, keaneka ragaman ilmu silat yang diperoleh, keganasaran dari Lan Thian-jui, kelembutan dari lembah kaisar, kehebatan dari Lak-yang-sin-kang, kelincahan dan kegesitan dari Jit-ci-sin-ang, membuat pemuda itu benar benar nyaris sempurna.
Ketika seluruh jenis ilmu silat itu dipersatukan, hasilnya sudah begitu dahsyat, apalagi saat ini, dada dan pikirannya diliputi hawa amarah, setiap serangan yang dilancarkan selalu merupakan serangan mematikan, bisa dibayangkan betapa mengerikannya setiap ancaman yang dilontarkan.
Hong Ji-siong sendiri, ketika melihat musuhnya yang masih muda belia ternyata memiliki ilmu silat yang mampu menandingi tujuh orang ternama dari dunia persilatan, kenyataan ini membuat hatinya sangat terperanjat.
Tapi yang membuat dia lebih kaget adalah daya kekuatan yang berhasil dipancarkan pemuda itu didalam ilmu pedngnya,kemampuan semacam ini boleh dibilang jarang dijumpai dalam dunia persilatan, bahkan sanggup membuat musuhnya keder lebih dulu sebelum pertarungan dimulai.
Dalam kaget dan ngerinya, diapun berpikir: "Jika diberi waktu sepuluh tahun lagi, orang ini pasti akan merajai dunia persilatan, sampai waktunya, tak akan ada umat persilatan yang sanggup menandingi kehebatannya." Berpikir sampai disini, diapun semakin mantab ambil keputusan untuk membunuh Tian Mong-pek pada hari ini juga.
Hong Ji-siong memang orng yang angkuh dan selalu pandang tinggi kemampuan sendiri, kalau bukan karena wataknya ini, bagaimana mungkin dia begitu tega mengurung gurunya selama banyak tahun dan dibiarkan mati tak bisa hiduppun susah.
Dalam waktu sekejap, jurus serangannya segera berubah, setiap serangan, setiap gerakan yang digunakan hampir semuanya telengas dan keji.
Situasi saat ini meski tidak sama bila dibandingkan dengan kegarangan dari Lan Toa-sianseng maupun kelembutan dari Kokcu lembah kaisar, namun kebuasan jurus serangannya dan kekejian arah sasarannya, tak satupun bisa ditandingi Lan Toa-sianseng maupun kokcu lembah kaisar.
Banyak diantara jurus serangan yang tak mungkin dilakukan orang lain karena tak tega, dia justru menggunakannya berulang kali, bahkan selalu mencecer daerah yang mematikan.
Biarpun selama ini Tian Mong-pek pernah menjumpai banyak sekali jago tangguh yang telah menambah pengetahuan serta pengalamannya, namun semua jago tangguh yang dijumpai selama ini merupakan para enghiong yang jujur dan berhati bersih, tak pernah mereka mau menggunakan jurus licik yang bisa menurunkan derajat dan status sendiri.
Berbeda sekali dengan manusia macam Hong Ji-siong, bukan saja manusia ini licik dan berhati busuk, jurus keji macam apapun digunakan tanpa tedeng aling aling, seperti misalnya berusaha meremas kelamin atau menendang ginjal, perbuatanya tak mencerminkan kalau dia adalah seorang tokoh silat terhormat.
Dua puluh gebrakan kemudian, Tian Mong-pek mulai merasa bahwa jurus serangan semacam ini ternyata jauh lebih sulit dihadapi , walaupun diam diam dia mengutuk lawannya yang tak pedulikan status sendiri, dalam hati diapun harus mengakui bahwa kepandaian semacam ini sesungguhnya merupakan satu aliran tersendiri.
Bila membandingkan ilmu silat dengan kaligrafi, maka ilmu silat dari Lan Toa-sianseng adalah gaya tulisan yang keras, tegas dan tandas, sedang ilmu silat dari pemilik lembah kaisar lebih cenderung gaya tulisan yang luwes, penuh liukan dan lincah.
Sebaliknya ilmu silat dari Hong Ji-siong ibarat gaya tulisan orang kasar, biarpun penuh liku liku tapi terkesan curang dan ambil jalan pintas.
Biarpun berada dalam posisi sulit, anak muda itu tetap melancarkan serangan berantai dengan mengerahkan seluruh kekuatannya dalam pedang, sekalipun dia sadar bukan tandingan lawan, namun makin bertarung dia semakin berani, betul betul mencerminkan kegagahan seorang jagoan muda dunia persilatan.
Melihat kenekatan pemuda itu, Hong Ji-siong semakin terkejut, tiba tiba katanya sambil tertawa dingin: "Orang mengatakan kalau Tian Mong-pek adalah enghiong muda yang luar biasa, tapi setelah bertemu hari ini, ternyata kemampuanmu hanya begitu saja.: Tian Mong-pek balas tertawa dingin.
"Kau tak usah memasani hatiku agar kubuang pedang ini dan bertarung tangan kosong melawanmu, mungkin saja aku tak akan menggunakan pedang disaat bertarung melawan orang yang bertangan kosong, tapi terhadap kau, murid murtad yang telah membunuh guru sendiri, aku tak bakal berbuat begitu." Sekali lagi Hong Ji-siong merasa terperanjat.
"Kelihatannya dia sudah mempunyai pengalaman buruk dalam hal ini, sehingga sekarang berubah lebih pintar!" Tebakannya memang benar sekali, kali ini Tian Mong-pek belajar dari pengalaman.
Sebagaimana diketahui, sewaktu berada didalam gua pembuat panah kekasih, Tian Mong-pek pernah ditipu orang untuk melepas pedang hitamnya, tapi kemudian pedang itu malah digunakan lawan sehingga nyaris dia mengalami celaka.
Pepatah mengatakan: bodoh untuk pertama kali, kesalahan berada pada dirimu, bodoh untuk kedua kalinya, kesalahan berada pada diri sendiri.
Biarpun watak Tian Mong-pek polos dan jujur, namun dia bukanlah orang bodoh yang mau tertipu untuk kedua kalinya.
Gagal dengan siasat busuknya, jurus serangan yang digunakan Hong Ji-siong semakin keji.
Biarpun bicara soal pengalaman dan ilmu silat dia masih berada diatas Tian Mong-pek, namun bukan pekerjaan yang gampang untuk menghabisi nyawa pemuda itu, karena itulah tadi dia sempat berusaha gunakan akal licik, agar bisa menghemat banyak tenaga.
Dalam waktu singkat belasan jurus kembali berlalu, makin lama jurus serangan yang digunakan Hong Ji-siong semakin keji dan telengas, namun tenaga perlawanan dari Tian Mong-pek makin lamapun semakin bertambah kuat.
Ternyata saat ini dia telah menggabungkan ilmu silat dari Lan Toa-sianseng serta Kokcu lembah kaisar, dua tokoh maha sakti dari dunia persilatan itu menjadi satu kekuatan, dengan gerakan yang kuat serta perubahan yang cepat dan gesit, dia hadapi lawannya.
Hanya sayang pengalamannya masih cetek, penggabungan pun baru dilakukan pertama kali, hal ini membuat serangannya kurang begitu lancar.
Namun setelah bertarung sekian lama menghadapi lawan setangguh Hong Ji-siong, apalagi dia melawan dengan sekuat tenaga, lambat laun pembauran dari dua jenis ilmu silat ini makin lama semakin hapal dan lues, apalagi setelah dia menggabungkan pula ilmu Lak-yang-sin-kang, posisi yang semula terdesak, sedikit demi sedikit berhasil di stabilkan kembali.
Dengan sorot mata yang tajam Hong Ji-siong coba mengamati wajah pemuda itu, terlihat musuhnya telah memusatkan seluruh konsentrasi sehingga mimik mukanya macam orang sedang mabuk kepayang, dia sadar, ilmu silat lawan sedang bertambah maju.
Ditengah hembusan angin malam dan cahaya bintang, tampak bayangan pedangnya menyelimuti angkasa, desingan angin tajam serasa menyayat badan.
Semakin melihat Hong Ji-siong merasa semakin terperanjat, tiba tiba dia gunakan jurus Cun-hong-jut-tong (angin semi mulai bergerak), tubuhnya berjumpalitan di udara dan mundur sejauh dua meter lebih.
Jurus Cun-hong-jut-tong yang dia gunakan ini sebetulnya hanya jurus pancingan, setelah itu dibelakangnya akan menyusul serentetan serangan berantai yang sama sekali tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk berganti napas.
Siapa sangka setelah menggunakan jurus itu, bukannya maju dia malah mundur, satu langkah yang melanggar teori ilmu silat yang benar, coba berganti dihari biasa, belum tentu Tian Mong-pek akan merasa keheranan.
Tapi sekarang, Tian Mong-pek sedang mencurahkan seluruh konsentrasinya untuk mengikuti setiap perubahan dari ilmu silatnya, melihat tindakan lawan yang menyimpang dari kebiasaan itu, dia jadi tertegun dibuatnya.
Didalam waktu yang teramat singkat itulah, tubuh Hong Ji-siong kembali melambung, lagi lagi dia lancarkan serangan dengan jurus Cun-hong- jut-tong, hanya kali ini gerakan dilakukan secepat sambaran petir.
Tian Mong-pek segera membalikkan badan mengunci serangan lawan dengan jurus Sip-li-tiang-ti (bendungan panjang sepuluh li).
Perlu diketahui, jurus Cun-hong-jut-tong yang digunakan lawan sesungguhnya merupakan pertanda awal datangnya serangan, karena itu Tian Mong-pek harus menggunakan jurus pertahanan untuk menghadapi segala kemungkinan.
Siapa tahu, begitu menggunakan jurus tadi, lagi lagi Hong Ji-siong berjumpalitan di udara dan mundur sejauh dua meter.
Sebenarnya dalam posisi begini, Tian Mong-pek bisa manfaat peluang untuk merangsek maju dan merebut posisi diatas angin, apa mau dikata jurus pertahanan yang digunakan kelewat rapat, sehingga untuk sesaat sulit baginya untuk berganti jadi jurus serangan.
Dalam kaget dan gusarnya, sekali lagi dia dibuat tertegun.
Hong Ji-siong pun menggunakan kesempatan itu untuk menerjang maju, sepasang tangannya menyerang berulang kali, angin pukulan menderu tiada putus, lagi lagi dia gunakan jurus Cun-hong-jut-tong.
Bayangan tubuhnya sebentar maju sebentar mundur, persis seperti setan gentayangan, hal ini tidak sampai membuat Tian Mong-pek keheranan, yang aneh adalah ternyata dia sudah tiga kali menggunakan jurus Cun-hong- jut-tong.
Dalam pertempuran antara jago lihay, jarang sekali ada orang menggunakan satu jurus yang sama sebanyak tiga kali, bahkan mungkin belum pernah ada di dunia ini, tak heran bila Tian Mong-pek dibuat keheranan.
Dia tak dapat menebak siasat busuk apa yang sedang dipersiapkan Hong Ji-siong, sejujurnya dia sudah habis kesabarannya, dia pun kuatir Hong Ji-siong akan mundur lagi setelah maju, bila jurus pertahanan yang digunakan kelewat rapat, bukankah dia akan kehilangan lagi peluang untuk merangsek maju" Berpikir sampai disitu, dia tidak sangsi lagi, pedang dan tangan kosong digunakan bersama, dengan jurus Ban-li-hui-hong (bianglala terbang selaksa li) dia lancarkan serangan mematikan.
Tampak pedangnya merangsek ke depan sedang pukulan tangan kosongnya dalam posisi bertahan, serangan secepat petir, bertahan bagai bukit karang, satu kombinasi posisi menyerang dan bertahan yang hebat.
Meskipun jurus ini hebat, sayang mempunyai satu kelemahan besar, oleh karena dalam satu posisi mempunyai dua tujuan, tanpa sadar dia telah membagi kekuatan tubuhnya menjadi dua bagian pula.
Oleh sebab itu, jurus semacam ini tak akan menghabiskan serangan yang mematikan, mustahil memberikan pertahanan yang stabil, andaikata menghadapi musuh biasa, mungkin gerakan ini masih boleh dipakai, tapi saat ini adalah pertarungan melawan musuh tangguh, tidak seharusnya dia gunakan jurus ini, terutama menghadapi musuh yang memiliki tenaga dalam lebih dahsyat.
Dengan menggunakan jurus ini, sama artinya dengan memberi peluang bagus untuk lawan.
Tujuan Hong Ji-siong memang ingin membuat lawannya habis kesabaran dan mengeluarkan jurus semacam ini, dalam girangnya dia tidak mundur lagi,
Tujuan Hong Ji-siong memang ingin membuat lawannya habis kesabaran dan mengeluarkan jurus semacam ini, dalam girangnya dia tidak mundur lagi, sepasang tangannya bagai ular berbisa langsung menyerobot masuk ke balik cahaya pedang tianmjongpek.
Jurus Hun-kong-tui-im (memecah cahaya mengejar bayangan) ini meski hebat, namun seandainya Tian Mong-pek tidak memperlihatkan titik kelemahan, diapun tak berani menggunakan jurus berbahaya ini.
Dalam kagetnya, terlambat bagi Tian Mong-pek untuk memperbaiki posisi, seketika itu juga sikutnya terasa kaku, pedangnya tak mampu digenggam lagi, pedang yang berat itu segera terjatuh ke tanah.
Waktu itu sepasang tangan Hong Ji-siong sudah menerobos masuk melewati posisi terbuka di depan dada pemuda itu.
Walau berada dalam situasi kritis, Tian Mong-pek tidak menjadi kalut, telapak kirinya segera menangkis, sayang kekuatan yang ada dalam tangannya tinggal separuh, bagaimana mungkin bisa membendung serangan Hong Ji-siong yang dilancarkan sepenuh tenaga itu" Ketika sepasang tangan saling beradu, "Blaaam!" Tian Mong-pek merasakan tubuhnya tergoncang keras, tangannya kehilangan kekuatan, hawa darah dalam dadanya bergolak keras, tak kuasa lagi badannya roboh terjengkang.
Namun Hong Ji-siong tidak membiarkan tubuhnya roboh terjungkal, dengan jurus Kim-si-huan-ti-jiu (serat emas membelit tangan) tangan kanannya balik menggaet dan mencengkeram urat nadi di pergelangan tangan Tian Mong-pek, sementara tangan kirinya membacok tenggorokannya.
Dalam posisi sambungan tulang tangan kanannya terlepas, tangan kiri dicengkeram lawan, Tian Mong-pek sudah kehilangan tenaga perlawanan, tampaknya jika bacokan itu dilanjutkan, pemuda itu segera akan menemui ajalnya.
Tian Mong-pek sadar, kini dia sudah tak mampu memberi perlawanan, mau berkelit pun tak mungkin, terpaksa dia pejamkan mata menanti kematian.
Oo0oo Lam-yan dan Siau Hui-uh sudah berputar satu lingkaran, mereka belum juga menemukan jejak Kim Hui maupun Tu Hun-thian, hal ini membuat Lam-yan jadi panik dan cemas sekali.
Buru buru Siau Hui-uh menghibur: "Engku maupun Tu Hun-thian adalah orang orang berusia enam, tujuh puluh II tahunan, mana mungkin mereka akan beradu nyawa" Siapa tahu .
. . . . . . .. Setelah tersenyum, lanjutnya: "siapa tahu mereka berdua sengaja mencari tempat yang jauh dari manusia untuk adu kepandaian, siapa menang siapa kalah tak sampai diketahui orang lain." "Aai," Lam-yan menghela napas, "kau tahu apa" Tu Hun-thian punya julukan panah yang terlepas dari busur, artinya apa yang sudah diperbuat tak akan ditarik kembali, sekali mereka bertarung, kalau belum ada yang mati tak bakal berhenti." "Tapi usia mereka .
. . . . .." "Kau pernah dengar orang berkata bukan, jahe itu makin tua semakin pedas, bila wataknya begitu, sampai matipun tak akan berubah, sedang engkumu, II dia .
. . . . . .. Sesudah menghela napas, diapun berhenti bicara.
Tentu saja Siau Hui-uh juga mengerti, setelah engku nya merasakan penderitaan selama puluhan tahun, rasa dendamnya tak mungkin bisa mereda sebelum sakit hatinya terbalaskan.
Ketika mereka berdua melanjutkan perondaan, tiba tiba dari balik pepohonan terdengar seseorang mendesis: "Hei!" "Siapa?" bentak Siau Hui-uh dan Lam-yan serentak.
Orang dibalik semak itu tidak menjawab, terlihat sesosok bayangan manusia berkelebat lewat menuju kearah kegelapan, gerakannya lincah dan cepat.
Menyaksikan hal itu, Siau Hui-uh segera berbisik: "Kejar!" Gadis ini memang besar nyalinya, begitu mendapat sedikit petunjuk, tentu saja dia tak mau melepaskan begitu saja, dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, dia melakukan pengejaran.
Terpaksa Lam-yan mengintil dari belakang.
Tampak bayangan manusia yang berada didepan itu bergerak diantara pepohonan bagaikan burung walet, terkadang dia tampilkan diri seakan sedang menanti Siau Hui-uh serta Lam-yan/ Setelah bergerak kurang lebih seperminum teh kemudian, suasana disekeliling tempat itu semakin sepi dan terpencil, pepohonan makin lebat tapi rumput dan bebungahan makin minim, sudah jelas mereka telah keluar dari lingkungan tempat tinggal keluarga Tong.
Tiba tiba bayangan manusia itu melambung ke tengah udara, lalu lenyap tak berbekas.
Siau Hui-uh dan Lam-yan tak mau menyerah begitu saja, mereka melanjutkan pencarian, tapi bayangan manusia itu sudah tidak muncul lagi, yang terdengar adalah suara bentakan yang lamat lamat dari balik hutan lebat.
Tergerak hati mereka berdua, kini mereka tidak lagi mencari jejak bayangan manusia itu tapi bergerak menuju ke asal munculnya suara bentakan.
Tak selang berapa saat, mereka saksikan ada dua sosok bayangan manusia sedang bertarung sengit.
Kedua sosok bayanga manusia itu berlompatan bagaikan naga sakti, ketika berhenti bagaikan batu karang, ternyata mereka tak lain adalah Tu Hun-thian dan Kim Hui.
Sambil berteriak Siau Hui-uh dan Lam-yan melompat maju, tapi Tu Hun-thian dan Kim Hui masih terlibat pertarungan sengit, hal ini membuat kedua orang wanita ini tak sanggup melerai.
Suasana disekeling hutan itu amat kacau, ada tujuh delapan batang pohon yang bertumbangan, kelihatannya untuk mencari tempat bertarung, mereka telah merobohkan batang batang pohon itu sehingga terbuka sebuah lapangan luas.
Pepohonan yang tumbuh diempat penjuru meski tidak ikut tumbang, namun ranting dan dedaunan berguguran dimana mana, jelas hal ini disebabkan terkena getaran angin pukulan mereka yang luar biasa.
Selain pepohonan yang tumbang tadi, diatas permukaan tanah pun berserakan senjata rahasia yang berkilauan, namun jumlahnya tidak banyak, karena kedua orang ini bukan jagoan yang termashur karena mengandalkan senjata rahasia.
Cukup ditinjau dari arena pertempuran yang kacau, bisa dibayangkan betapa sengitnya pertarungan tadi, namun baik Kim Hui maupun Tu Hun-thian tampak masih segar, sama sekali tak terlihat letih atau kehabisan tenaga.
Aliran ilmu silat yang diandalkan kedua orang ini, yang satu lembut dan penuh perubahan, sedang yang lain keras dan mapan, untuk sesaat siapa pun jangan berharap bisa menempati posisi diatas angin.
Ternyata selama berada dalam rawa rawa berlumpur, meski Kim Hui berhasil melatih ilmu yang aneh dan sakti, namun terhadap Tu Hun-thian, ia tetap menaruh perasaan jeri.
Sebaliknya Tu Hun-thian selalu memandang lawan sebagai bekas musuh yang pernah dikalahkan, ketika bertarung semangat dan keberaniannya tetap berkobar.
Oleh karena itu walaupun bicara soal ilmu silat Tu Hun-thian bukan tandingan Kim Hui, tapi keberanian dan wibawa Tu Hun-thian memaksa Kim Hui bertarung seimbang.
Tatkala Siau Hui-uh dan Lam-yan tiba disana, kedua belah pihak sedang bertempur sengit sengitnya.
Dengan suara lengking, Lam-yan segera menjerit: "Kim Hui, aku mohon, kau yangan berkelahi lagi!" Baik Tu Hun-thian maupun Kim Hui, mereka sama sama terperanjat, agaknya kedua orang itu tidak menyangka ada orang yang bisa temukan tempat itu.
Dengan cepat Tu Hun-thian melepaskan satu serangan tipuan lalu mundur berapa langkah.
"Kau mengaku kalah?" tegur Kim Hui.
Tu Hun-thian tertawa dingin.
"Tunggu sampai bala bantuanmu tiba semua, lohu baru akan turun tangan lagi." Berubah paras muka Kim Hui, teriaknya penuh amarah: "Kentut!" Mendadak dia patahkan sebatang ranting pohon lalu mematahkan jadi dua.
"Kau..... mau apa kau?" tanya Lam-yan dengan wajah berubah.
"Bila ada yang membantuku, aku segera akan mengaku kalah, bila tidak mentaati sumpah, biar sama seperti ranting ini!" Dia sambit kedua ranting itu hingga menancap diatas tanah.
Berubah paras muka Lam-yan, tubuhnya jadi lemas hingga bersandar di pohon.
Sedang Siau Hui-uh segera berputar biji matanya kemudian bertanya: "Apa yang harus dilakukan mereka yang mengaku kalah?" Sedang dalam hati berpikir: "Bila dua ekor harimau bertarung, pasti ada yang terluka, bila tak ingin mereka berdua beradu nyawa, lebih baik paksa Kim Hui untuk mengaku kalah, daripada membuat Lam-yan sedih." Terdengar Tu Hun-thian menjawab sambil tersenyum: "Orang yang mengaku kalah harus bunuh diri didepan lawannya." Siau Hui-uh tertegun, dia tak mampu berbicara lagi.
Kembali Tu Hun-thian berkata sambil tertawa keras: "Hebat kamu Kim Hui, setelah lewat dua puluh tahun, akhirnya watakmu mulai berubah, tidak lagi menjadi budak yang mencari menang dengan andalkan jumlah banyak, mari, mari, mari, kuhormati kau dengan satu kepalan." Swesss! Sebuah pukulan tinju langsung dikirim ke bahu kiri lawan.
Perlu diketahui, ilmu silat yang dimiliki kedua orang ini hampir seimbang, karena itu siapa pun enggan menyerempet bahaya dengan menghantam dada lawan.
Begitu pukulan itu dilontarkan, kedua orang itu tidak bicara lagi, pertempuran sengit kembali berkobar.
Puluhan gebrakan kemudian, situasi dimedan pertempuran semakin garang, angin pukulan yang menderu deru membuat kawasan hutan itu seolah sedang dilanda angin topan.
Tiba tiba terdengar Lam-yan menghela napas panjang, serunya keras: "Jika kau tidak segera berhenti, biar aku mati dihadapanmu saja!" Biasanya kata jimat itu sangat manjur hasilnya.
Siapa tahu Kim Hui bukannya menghentikan serangan, dia malah menjawab sambil tertawa keras: "Hahaha, kali ini ancamanmu itu tidak manjur." "Apa kau bilang?" teriak Lam-yan gusar, "kalau tidak percaya biar aku mati dulu dihadapanmu." Gelak tertawa Kim Hui semakin keras.
"Hahaha, pertarungan kali ini merupakan pertarungan mati hidup, bila aku menghentikan serangan, belum tentu si tua bangka Tu akan berhenti menyerang, artinya aku bakal mati dihajar dia.
Masa kau tega membiarkan aku mati?" Lam-yan tertegun, dia tak bisa bersuara lagi.
Sebagaimana diketahui, kata jimat kaum wanita terhadap suaminya, paling banter hanya ancaman kematian, begitu kata jimat ini tidak manjur, Lam-yan pun kehabisan daya.
Siau Hui-uh pun sangat gelisah, dia hanya menghela napas tanpa sanggup berbuat apa apa.
Dengan andalkan jurus serangan dan gerakan tubuh yang aneh, lambat laun Kim Hui berhasil merebut posisi diatas angin, ternyata semangat tempurnya semakin berkobar, apalagi berada dihadapan Lam-yan, dia semakin ingin mempamerkan kebolehannya.
Tu Hun-thian sudah puluhan tahun malang melintang dalam dunia persilatan, diapun sudah menjumpai banyak jago lihay, tapi belum pernah sekali pun menjumpai gerakan tubuh seaneh yang dimiliki Kim Hui.
Makin bertempur hatinya makin terkejut, semangat tempurnya jadi melemah, begitu melemah, dia semakin tak mampu melawn.
Ketika melihat Kim Hui melontarkan satu pukulan, Tu Hun-thian tidak berusaha menghindar, diapun memapaki serangan itu dengan satu pukulan.
"Blaaam!" begitu empat tangan saling beradu, dengan cepat melengket satu dengan lainnya.
Dengan terjadinya keadaan ini, paras muka Lam-yan serta Siau Hui-uh berubah hebat, mereka sadar bila kedua orang ini mulai beradu tenaga dalam, maka akan semakin sulit untuk melerainya.
Jangan lagi kedua orang itu, Kim Hui sendiripun ikut terperanjat, dia tak mengira kalau Tu Hun-thian bakal nekad melakukan tindakan tersebut.
Sebab siapapun tahu, bila dua jago saling beradu tenaga dalam maka sebelum ada yang mati tak mungkin bisa berhenti dan tak bisa dilerai siapa pun, bahkan pada akhirnya bisa menyebabkan kedua belah pihak sama sama terluka.
Bagi yang kalah, sudah pasti mati, sedang yang menang pun paling tidak akan terluka parah.
Darimana mereka tahu kalau Tu Hun-thian sebagai jagoan yang pernah menjagoi dunia persilatan memiliki pengalaman yang luar biasa, bagaimana mungkin orang yang berpengalaman tidak bisa membedakan mana yang berbahaya mana yang tidak, tindakan kali ini memang sengaja dia lakukan karena punya maksud lain.
Dia sadar, bicara soal gerakan tubuh, jelas dia bukan tandingan Kim Hui, bila pertarungan dilanjut maka pihaknya yang akan kalah, daripada begitu mending dia beradu nasib dengan mengambil langkah berbahaya ini.
Begitu pertempuran berlangsung, Lam-yan dan Siau Hui-uh dibikin semakin terkesiap.
Tampak paras muka kedua orang itu makin lama semakin bertambah serius, peluh yang membasahi jidat pun makin lama semakin bertambah banyak.
Mendadak . . . . .. tubuh kedua orang itu terlihat lebih pendek berapa inci, setelah diamati, baru diketahui ternyata kaki mereka berdua sudah mulai amblas ke dalam tanah.
Lam-yan menggenggam pergelangan tangan Siau Hui-uh erat-erat, dia nyaris tak berani melihat lagi, sedang Siau Hui-uh pun membelalakkan matanya tanpa berkedip, peluh dingin telah membasahi tubuh mereka berdua.
Mereka sadar, walaupun Kim Hui dan Tu Hun-thian sudah tidak lagi menggerakkan tubuhnya, namun situasi bertambah gawat, setiap saat kemungkinan besar ada seorang diantara mereka yang bakal roboh terluka.
Berbicara soal ilmu gerakan tubuh, biarpun Kim Hui jauh lebih sempurna ketimbang Tu Hun-thian, tapi bicara soal tenaga dalam, dia masih belum
Mereka sadar, walaupun Kim Hui dan Tu Hun-thian sudah tidak lagi menggerakkan tubuhnya, namun situasi bertambah gawat, setiap saat kemungkinan besar ada seorang diantara mereka yang bakal roboh terluka.
Berbicara soal ilmu gerakan tubuh, biarpun Kim Hui jauh lebih sempurna ketimbang Tu Hun-thian, tapi bicara soal tenaga dalam, dia masih belum bisa mengungguli tenaga dalam yang dilatih Tu Hun-thian selama puluhan tahun, latihan yang dilakukan selama berada dalam rawa rawa lumpur hanya mampu membuat dia tak cepat kalah.
Oleh sebab itu siapa yang bakal roboh dalam pertarungan sengit ini masih merupakan tanda tanya besar.
Oo0oo Tangan kanan Hong Ji-siong telah berhasil mencengkeram urat nadi Tian Mong-pek, waktu itu telapak tangan kirinya sudah siap membabat ke bawah.
Pada saat yang amat kritis itulah, mendadak terdengar seseorang membentak keras: "Hong Ji-siong, coba lihat siapa dia?" Suara bentakan itu keras dan nyaring, tanpa berpaling Tian Mong-pek sudah tahu kalau dia adalah Ui Hau.
Ujung jari Hong Ji-siong sudah menempel diatas tenggorokan Tian Mong-pek, asal dia mengerahkan tenaga, niscaya anak muda itu bakal tewas.
Tapi bentakan itu membuat dia mau tak mau harus berpaling.
Begitu melihat apa yang berada didepan mata, paras mukanya berubah hebat.
Tampak seorang lelaki kekar dengan tangan kiri mencengkeram pergelangan tangan seseorang, golok ditangan kanan dipalangkan di leher orang itu, sedang berjalan dari balik bukit dengan langkah lebar.
Terdengar lelaki itu membentak lagi: "Bila kau menghendaki nyawa adikmu, lepaskan dulu Tian toako ku." Lelaki itu tak lain adalah Ui Hau, sedang orang yang berada dalam ancaman Ui Hau tak lain adalah Hong San-hoa, adik perempuan Hong Ji-siong.
Terlihat perempuan itu mengenakan jubah abu abu dengan rambut panjang terurai dipundak, tapi wajahnya seperti orang mati, tak mampu meronta atau berkutik.
Rupanya disaat Hong Ji-siong sedang menanti kedatangan Tian Mong-pek, Hong San-hoa telah memancing keluar Ui Hau, rencana mereka, pada saat yang bersamaan mereka akan menyerang Tian Mong-pek serta Ui Hau dan berusaha membinasakannya.
Mimpi pun Hong Ji-siong tidak menyangka kalau adiknya bisa jatuh ketangan lelaki kasar itu, menghadapi perubahan yang sama sekali tak terduga ini, biar dia banyak akal pun tak urung wajahnya berubah jadi pucat pasi.
Sejak awal Tian Mong-pek sendiripun sudah curiga kenapa tidak tampak Hong San-hoa, dia kutir perempuan itu mencari gara gara dengan Ui Hau, tapi sesudah menyaksikan kejadian ini, diapun ikut tercengang.
Melihat orang lain dibuat terkejut oleh kehadirannya, Ui Hau merasa amat bangga, katanya kemudian sambil tertawa keras: "Sudah kau dengar perkataanku tadi" Kenapa kau masih belum membebaskan Tian toako?" Melihat adiknya tertunduk tanpa bicara tanpa bergerak, Hong Ji-siong tahu dia pasti menderita luka dalam, terdorong rasa kuatirnya akan keadaan saudaranya, dengan keras teriaknya: "Bebaskan dia lebih dulu." Tian Mong-pek tahu orang itu licik dan buas, baru saja akan menjerit: "Jangan dilepas." Siapa tahu Ui Hau sudah berseru sambil tertawa: "Kalau aku sudah bebaskan dia dan ternyata kau tidak membebaskan Tian toako, lantas bagaimana aku" Hahaha....
Ui toaya mah ogah kau tipu!" Tian Mong-pek jadi girang mendengar jawaban ini, pikirnya: "Tak disangka Ui lote ku ini telah berubah semakin pintar." Darimana dia tahu kalau Ui Hau bisa berbicara begitu karena sudah mendapat petunjuk dari orang pintar.
Tampak Hong Ji-siong mengerutkan dahinya, jelas dia merasa serba salah.
Tadi dia sempat menyaksikan kehebatan kungfu Tian Mong-pek, dia tahu bila membebaskan pemuda itu, sama halnya dengan membebaskan harimau pulang gunung, sebaliknya kalau tidak dilepas, bagaimana caranya menyelamatkan nyawa adiknya" sudah puluhan tahun mereka kakak beradik hidup bersama, hubungan batin mereka jauh lebih kental daripada hubungan persaudaraan lainnya, menyaksikan keadaan Hong San-hoa, sejak tadi dia sudah merasa sedih bagaikan diiris iris.
Sementar itu Ui Hau sudah memandang kearah Tian Mong-pek sambil mengerdipkan mata, dia seakan sudah yakin kalau kemenangan berpihak dirinya, dengan hati yang riang kembali desaknya: "Ayoh cepat.....
cepat memberi jawaban." Berputar biji mata Hong Ji-siong, mendadak katanya sambil tertawa dingin: "Aku berhasil menaklukan Tian Mong-pek dengan andalkan kepandaian, sementara kau berhasil membekuk adikku dengan akal licik, apakah pertukaran semacam ini disebut adil?" Dia percaya kungfu yang dimiliki Ui Hau tidak sebanding dengan Hong San-hoa, maka sengaja dia berkata begitu dengan harapan bisa memancing perasaan ingin menangnya.
Siapa tahu kembali Ui Hau tertawa terbahak, ejeknya: "Dasar tua bangka yang tak tahu malu.
Memangnya kau berhasil mengungguli Tian toako dengan andalkan ilmu silat" Hahaha, tiga jurus Cun-hong- jut-tong yang kau gunakan memangnya bukan siasat licik?" Hong Ji-siong tertegun, pikirnya: "Jangan jangan orang ini memang orang pintar yang berlagak bodoh .
. . . . . .." Begitu melihat keadaan Hong San-hoa semakin layu dan menderita, dalam sakit hatinya muncul pikiran keji dihati orang ini, bentaknya: "Aku akan bebaskan Tian Mong-pek, tapi bersamaan waktu kaupun harus lepas tangan!" Diam diam dia kerahkan tenaga dalamnya siap melukai Tian Mong-pek, agar pemuda itu terluka parah dan selama hidup cacat tubuh.
Siapa tahu belum sempat dia turun tangan, kembali Ui Hau membentak nyaring: "Akupun perlu memberitahukan dirimu lebih dulu, jangan coba coba main setan, asal jari tanganmu mengerahkan sedikit tenaga, aku akan menjagal adikmu terlebih dulu." Diam diam Hong Ji-siong menghela napas, pikirnya: "Yaa sudah, tak disangka penampilan orang ini tampaknya polos dan jujur, ternyata dia ulet sekali." Setelah mengendorkan tangannya dan mundur berapa langkah, serunya: "Bagaimana?" "Anggap saja kau memang pintar, kami bukanlah orang yang ingkar janji." Sambil mengendorkan kelima jari tangannya, ia berseru: "Cepat kau ambil adikmu!" Tidak sampai dia menyelesaikan perkataannya, Hong Ji-siong sudah melompat maju dan memayang tubuh Hong San-hoa.
Tapi begitu tahu seluruh tubuh adiknya lemas tak bertenaga, dengan gusar teriaknya: "Kau.....
kau lukai dia?" "Hmm, siapa yang melukai dia,' I sahut Ui Hau sambil tertawa dingin, "sejak awal dia sudah terluka parah, tadi, tidak seharusnya menggunakan hawa murni untuk melukai aku, siapa sangka gagal mencelakai orang, diri sendiri yang celaka." Hong Ji-siong menggertak gigi menahan amarah yang meluap, dengan penuh kebencian dia menatap wajah Ui Hau, lalu menatap pula Tian Mong-pek, katanya kemudian: "Baik, kita bertemu setahun yang akan datang." Dengan membopong tubuh Hong San-hoa, ia siap meninggalkan tempat itu.
Andaikata Hong San-hoa belum terluka, dia masih bisa mengajaknya bertarung lagi, tapi dengan kondisi Hong San-hoa saat ini, dia sadar kalau mereka bukan tandingan lawannya, terpaksa dengan membawa dendam ia berlalu.
Kembali Ui Hau berseru dengan lantang: "Dengan kepandaian silat yang dimiliki kalian berdua, sebenarnya dapat melakukan banyak perbuatan yang baik dan angkat martabat sendiri, tapi kalian justru karena rasa dengki dan rakus, ingin jadi jago nomor satu serta melakukan perbuatan yang mencelakai orang lain maupun mencelakai diri sendiri.
Tahukah kalian, dalam jagad raya yang begini luas, masih terdapat banyak jago yang sanggup mengalahkan kalian berdua, apalagi ombak belakang mendorong ombak didepannya, angkatan muda akan selalu bermunculan.
Terlebih sekarang, sudah sejak lama tak ada umat persilatan yang menganggap kalian sebagai jago nomor wahid lagi." Sebetulnya Hong Ji-siong sudah membalikkan badan, tapi kini tak tahan dia berpaling lagi, dengan wajah hijau membesi, bentaknya: "Siapa yang berani tidak mengakui aku Hong Ji-siong sebagai jago nomor satu dikolong langit?" Walaupun dia licik dan banyak akal, namun rasa ingin menangnya kelewat kental sehingga paling tak tahan bila dipanasi hatinya.
Sambil tertawa ujar Ui Hau: "Hanya orang yang sanggup membongkar rahasia panah kekasih baru bisa disebut jago nomor satu dikolong langit, bila tak puas, silahkan ikut memperebutkannya, kalau tidak, kuanjurkan lebih baik cuci tangan saja untuk hidup mengasingkan diri." "Benda apa itu panah kekasih?" dengus Hong Ji-siong sambil tertawa dingin, "akan kubongkar rahasia ini untuk membuktikan aku tetap paling hebat." Kemudian sambil membopong adiknya, ia berlalu dengan langkah lebar.
Tian Mong-pek merasa terkejut bercampur keheranan, dia tak menyangka Ui Hau dengan berapa patah katanya berhasil membujuk Hong Ji-siong untuk ikut memusuhi panah kekasih, dia tak tahu sejak kapan rekannya ini berubah jadi pintar.
Setelah Hong Ji-siong pergi jauh, Tian Mong-pek tak kuasa menahan diri lagi, ujarnya sambil tersenyum: "Pepatah biang, berpisah tiga hari, segala sesuatu dapat berubah.
Tak kusangka baru berpisah setengah hari, kau sudah berubah jadi manusia hebat, bukan saja berhasil mengungguli Hong San-hoa, datang selamatkan diriku, ini masih belum mengherankan, yang lebih aneh lagi adalah perkataanmu barusan, aku tak mengerti darimana kau bisa berbicara begitu?" Sebagaimana diketahui, hubungannya dengan Ui Hau memang istimewa sehingga dia tak merasa perlu untuk berterima kasih atas pertolongannya.
Siapa tahu baru selesai dia bicara, Ui Hau telah tertawa terbahak bahak.
"Hahaha.... toako, kau sangka perkataanku tadi benar benar merupakan hasil pemikiranku?" Tian Mong-pek tertegun, katanya keheranan: "Perkataan muncul dari mulutmu, masuk ke telingaku, aku mendengar semuanya dengan sangat jelas, kalau bukan kau yang bicara, lantas siapa?" "Setiap perkataan yang siaute katakan tadi, sesungguhnya sudah didiktekan orang lain disisi telingaku, hanya saja dia orang tua menyampaikan dikte nya memakai ilmu coan-im-jip-pit sehingga kalian tak ada yang menyadari." "Lantas siapa yang mendikte mu?" tanya Tian Mong-pek semakin keheranan.
Belum sempat Ui Hau menjawab, dari balik kegelapan terdengar seseorang menyahut: "Aku!" Terlihat seorang berbaju kuning berjalan keluar dari balik kegelapan, walaupun bibirnya tersenyum namun wajahnya dingin kaku tanpa ekspresi.
Tian Mong-pek merasa kaget bercampur girang, teriaknya: "cianpwee, rupanya kaupun sudah datang?" Orang berbaju kuning itu tak lain adalah Kokcu lembah kaisar, Siau Ong-sun.
Ujarnya lagi sambil tersenyum: "Semua orang sudah pergi, dalam lembah jadi sepi, tentu saja akupun ikut keluar, hanya saja kau berada didepan sementara aku mengintil dari belakang." Ui Hau menghela napas panjang.
"Andai cianpwee tidak datang, hari ini Ui Hau sudah pasti mati!" katanya.
"Bagaimana ceritanya?" tanya Tian Mong-pek terkejut bercampur girang.
"Sewaktu sadar dari mabuk, kau sudah tak terlihat, orang lainpun tergeletak disana sini, aku merasa tenggorokanpun panas, teko air teh kosong semua .
. . . . .." "Aku yang telah menghabiskan air dingin itu." Ujar Tian Mong-pek sambil tersenyum.
Ui Hau ikut tertawa. "Aku tahu, maka akupun membawa teko menuju belakang, maksudnya mau mencari air dingin, tiba tiba dari kejauhan kulihat ada sesosok bayangan manusia sedang menggapai kearahku." "Apakah orang itu adalah Siau locianpwee?" Ui Hau menggeleng.
"Bukan," katanya, "orang itu mempunyai rambut sepanjang bahu, jubah panjangnya lebar, didalam kegelapan aku tak bisa melihat dengan jelas siapa dia, sehingga untuk berapa saat aku tak tahu harus berbuat apa" Setelah tersenyum, lanjutnya: "Pada saat itulah Siau locianpwee mulai ajak aku berbicara dengan ilmu coan-im-jip-pit, mula mula aku kaget setengah mati." "Apa yang dikatakan dia orang tua?" "Mula mula dia orang tua memperkenalkan diri dan minta aku mengikuti saja dengan perasaan lega, toako kan tahu, aku memang bukan bangsa bernyali kecil, maka akupun mengikuti." Mendengar sampai disini, tak tahan Tian Mong-pek dan Kokcu lembah kaisar tertawa geli.
Ujar Ui Hau lebih lanjut: "Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki bayangan manusia itu hebat, dia membawaku berkeliling cukup lama sebelum tampilkan diri, begitu tahu kalau dia adalah perempuan dari marga Hong, akupun bertanya apa dia mencari aku untuk beradu senjata rahasia?" Sebagaimana diketahui, Ui Hau adalah orang kasar yang tak pernah memperhatikan urusan secara detil, karenanya dia bukannya menegur kenapa Hong San-hoa mengingkar sumpah dengan datang mencarinya, malahan dia mengajak orang untuk beradu ilmu.
Karena Hong San-hoa memang berniat akan lenyapkan dia, tentu saja perempuan itupun tidak banyak bicara.
Tenaga dalamnya memang sudah menderita luka, namun masih berlebihan untuk mengungguli Ui Hau.
Siapa sangka Ui Hau justru mendapat bantuan Siau Ong-sun secara diam diam, dengan ilmu coan-im-jip-pit tiada hentinya dia memberi petunjuk jurus serangan, sehingga berulang kali dia berhasil merebut posisi diatas angin.
Istana Berdarah 1 Pengaruh Yang Tak Tampak The Invisible Influence Karya Pouw Kioe An Badai Awan Angin 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama