Panah Kekasih Karya Gu Long Bagian 21
Ujar Tong Ti kemudian: "Sebagai putra seorang manusia, meski tak bisa berbakti kepada orang tua disaat beliau masih hidup, setelah meninggal pasti akan berbakti semampu mungkin, Tong Ti telah putuskan untuk selenggarakan upacara perkabungan yang terbaik untuk mendiang ayahku, agar dia orang tua bisa beristirahat dengan tenang dialam baka.
Aku percaya, diantara para hadirin, kalau bukan merupakan sahabatku Tong Ti, pasti merupakan teman mendiang ayahku, dengan memberanikan diri Tong Ti berharap, kalau bisa tinggallah disini selama tujuh kali tujuh, empat puluh sembilan hari, pulanglah setelah jenasah mendiang ayah masuk ke liang lahat.
Hanya saja, Tong Ti tak dapat melayani sendiri para tamu karena adanya kesedihan ini, hanya putraku Tong Pa dan Tong Yan yang akan melayani." Kata kata itu ditulis dengan jelas diatas kertas berkabung dan dibacakan para pelayan disetiap sudut ruangan, tentu saja para kerabat yang mendengar perkataan itu, baik yang punya hubungan akrab atau tidak, merasa tidak leluasa untuk berpamitan dengan begitu saja.
Sejak itu, Tong Ti tak pernah tampilkan diri, para jago menyangka dia kelewat sedih hingga pikirannya kalut dan tak mampu melayani para tamunya, tapi semua orang dapat memaklumi dan memaafkannya.
Kemudian para jagopun mendapat kabar kalau Tong Ti telah mengunci diri didalam ruang tempat tinggal mendiang ayahnya sambil merenung diri, kecuali seorang pelayan yang setiap hari menghantar air putih serta makanan berpantang, bahkan Tong Pa dan Tong Yan pun sulit untuk bertemu.
Para undangan pun merasa semakin kagum, mereka tak mengira si Tangan pencabut nyawa Tong Ti begitu berbakti kepada orang tuanya.
Dua hari kemudian, tiba tiba dari arah timur muncul empat orang lelaki berbaju putih yang menunggang kuda cepat, wajah mereka dipenuhi pasir dan debu, namun mimik muka menunjukkan wajah gembira.
Mereka tidak mengenakan kopiah, hanya dahinya terikat kain putih selebar dua inci, namun mereka pun belum tahu tentang berita kematian Tong Bu-im, sudah jelas kedatangannya bukan lantaran hendak berkabung.
Sebagian besar tamu yang ada didalam gedung keluarga Tong tidak terlalu memperhatikan kehadiran ke empat orang itu, diantaranya hanya dua puluhan orang yang segera maju menyambut dengan wajah berubah.
Tong Pa yang menyaksikan kejadian ini, meski merasa agak tercengang, namun ia merasa kurang leluasa untuk mencari tahu.
Terdengar ke empat orang berbaju putih itu berseru dengan nada berat: "Ciangbunjin baru telah muncul .
. . . . .. diperintahkan untuk berkumpul di II .
. . . .. Keng-ciu....... Suara selanjutnya rendah dan berat, Tong Pa sendiri tidak mendengar terlalu jelas.
Tapi ke dua puluhan orang itu segera menunjukkan sikap gembira, buru buru mereka masuk ke dalam dan segera memohon kepada Tong Ti untuk berpamitan.
Tong Pa sadar, mereka pasti berasal dari suatu perguruan rahasia dan saat ini sedang menghadapi urusan penting.
Tentu saja dia tak leluasa untuk mencegah, katanya sambil memberi hormat: "Karena sedang sedih, ayah tak dapat bertemu dengan siapa pun, bila kalian ada urusan penting, boanpwee pun tak berani menahan lebih lama .
. . . . .." Sebagai orang yang berpakaian kabung, diapun berlutut ditanah memberikan penghormatan.
Ke dua puluhan orang itu serentak membalas hormat kemudian tergesa gesa meninggalkan tempat itu.
Yang aneh, biarpun ke dua puluhan orang itu berasal dari perguruan yang sama, namun satu dengan lainnya tidak saling mengenal, tapi semuanya kenal dengan ke empat orang lelaki berbaju putih itu.
Kenapa bisa begitu" Biarpun Tong Pa merasa heran, tapi saat ini dia sudah tak punya kesempatan lagi untuk berpikir lebih cermat.
Oo0oo Saat itu, Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh sudah tiba di kota Kang-leng.
Dari wilayah Siok-tiong menuju telaga Tong-ting, semua orang pasti melewati kota Kang-leng, hanya saja kalau ingin mengambil jalan pintas maka mereka harus melewati banyak jalan perbukitan.
Mengingat luka yang diderita Tian Mong-pek, Siau Hui-uh memutuskan untuk lebih baik mengambil jalan berputar.
Kota Kang-leng, jaman dulu disebut kota Keng-ciu, merupakan sebuah kota yang strategis dan menjadi ajang perebutan semua negara besar, karena itu tak heran kalau kotanya makmur dan berkembang.
Kalau menurut keinginan Tian Mong-pek, paling dia mencari sebuah penginapan kecil yang agak sepi dan terpencil diluar kota.
Tapi Siau Hui-uh yang sejak kecil sudah biasa dimanja, dia justru mencari rumah penginapan terbesar didalam kota, bahkan memborong satu halaman penuh.
Tian Mong-pek cukup sadar akan penderitaan si nona sepanjang jalan yang harus menginap di penginapan kecil, dia tak tega menampik keinginannya, maka setelah membersihkan badan dan isi perut, pemuda itu pun tiduran di bangku, enggan bergerak lagi.
Dengan manja Siau Hui-uh menemaninya sepanjang hari, kegelisahan dan kepanikan yang harus diderita sepanjang hari membuat gadis ini tambah kurus dan pucat.
Sementara mereka berdua sedang duduk termenung, tiba tiba dari luar halaman terdengar suara roda kereta serta ringkikan kuda yang bergema tiba.
Menyusul kemudian tampak sang pelayan mengetuk pintu dan berkata sambil tertawa paksa: "Entah mengapa, tiba tiba penginapan kami kedatangan banyak sekali teman dunia persilatan, orang orang itu liar dan galak, bila kekkoan tak ada urusan, lebih baik cepatlah beristirahat, daripada membuat gara gara dengan mereka." Dari potongan tubuh dan dandanan mereka berdua, pelayan rumah penginapan itu mengira mereka adalah sepasang suami istri dari keluarga kaya, karena itu dia sengaja datang memberi nasehat.
Masih mending kalau tidak mendengar perkataan ini, begitu tahu, Siau Hui-uh segera merasa tak tenang, tapi setelah memandang Tian Mong-pek sekejap, kembali ia duduk dengan kepala tertunduk.
"Apakah kau ingin keluar untuk melihat?" tanya Tian Mong-pek kemudian sambil tersenyum.
Siau Hui-uh manggut manggut, katanya lagi: "Aku temani kau, luka mu .
. . . . .." "Bagus juga kalau ingin melihat keadaan, tapi jangan sampai mengagetkan mereka." "Aku hanya keluar lihat sebentar, kau beristirahatlah dulu!" Setelah menuangkan secawan teh panas, bagaikan hembusan angin, diapun beranjak pergi.
Waktu itu cahaya lentera dihalaman luar redup, Siau Hui-uh berdiri dibawah sebatang pohon besar, tampak rombongan demi rombongan lelaki berjubah panjang berjalan masuk dari pintu penginapan menuju halaman sebelah timur.
Walaupun mereka mengenakan baju panjang, tapi siapapun segera akan mengenali orang orang itu sebagai umat persilatan, namun begitu tiba diluar halaman sebelah timur, serentak mereka menghentikan langkah.
Lewat berapa saat kemudian, dari balik halaman muncul seorang dayang yang muda dan berkata: "Bila kalian ingin menyambangi hujin, masuk empat empat, tapi harus melangkah dengan perlahan, mengerti?" Padahal mereka adalah kawanan lelaki kekar, tapi sikapnya terhadap dayang cilik itu sangat menghormat, maka ada empat orang segera melangkah masuk ke dalam halaman.
Sisanya menunggu diluar halaman dengan tenang, tak seorangpun berani berisik, tak selang berapa saat, tampak empat orang pertama keluar dengan kepala tertunduk, diganti dengan empat orang berikut.
Sekalipun Siau Hui-uh tidak mengenali kawanan sahabat persilatan itu, tapi dari gerak gerik mereka, sudah jelas orang orang itu bukan termasuk manusia tanpa nama, namun anehnya, sikap mereka terhadap orang didalam halaman sangat takut dan jeri.
Semakin dilihat gadis itu merasa semakin keheranan, tak tahan dia balik ke dalam kamar dan berkata kepada Tian Mong-pek: "Tidak jelas siapa hujin yang tinggal di dalam halaman itu, apakah kau bisa menebaknya?" Dengan kening berkerut Tian Mong-pek berpikir sejenak, kemudian katanya: "Kalau dilihat dari gayanya, mungkinkah dia adalah Tiau-yang hujin .
. . . .." atau mungkin enci Siau Man-hong .
. . . .." aaai, aku tak bisa menebaknya." II "Mungkinkah So .
. . . .. "Aah, betul, kemungkinan besar dia." "siapa tahu dari antara sahabat Bu-lim itu, ada yang kau kenal?" "Apakah kau minta aku keluar untuk melihat kawanan jago itu berasal dari mana" Dengan begitu kau bisa menebak siapa hujin yang ada dalam halaman?" Sambil tersenyum Siau Hui-uh manggut manggut, tapi kemudian katanya lagi sambil menghela napas: "Tapi urusan orang, apa sangkut pautnya dengan kita?" Setelah duduk kembali, ujarnya dengan lembut: "Lebih baik kau beristirahat dulu!" Dari helaan panas si nona, Tian Mong-pek segera tahu kalau gadis itu ingin sekali segera memecahkan teka teki ini, hanya saja karena menguatirkan lukanya, maka dia sengaja berkata begitu.
Gadis yang diwaktu biasa tak pernah memikirkan orang lain, sekarang ternyata sangat menguatirkan keselamatannya, Tian Mong-pek merasa berterima kasih bercampur gembira.
Maka sambil tertawa katanya: "apa salahnya kalau secara diam diam aku mengintip?" "Kau....
kau benar benar akan mengintip?" Siau Hui-uh kegirangan.
Sambil tertawa Tian Mong-pek manggut manggut.
"Tapi aku hanya mengijinkan kau mengintip sebentar dan segera kembali, jangan mengusik ketenangan orang lain." Pesan si nona.
Pesan itu tak lain adalah pesan Tian Mong-pek kepadanya tadi, tentu saja pemuda itu jadi kegelian.
Maka mereka berdua pun bersembunyi dibawah pohon besar, untung pohon itu besar dan rindang, apalagi perhatian para jago pun terpusat ke dalam halaman, sehingga tak seorang pun yang menemukan jejak mereka.
Tian Mong-pek mengintip dari belakang pohon, dia saksikan kawanan jago itu sebagian besar berdiri membelakanginya dan hampir semua berdiri dengan kepala tertunduk, ada empat orang yang baru keluar dari halaman, namun masih berdiri diluar dan tak berani meninggalkan tempat itu.
Begitulah empat orang keluar, empat orang berikut masuk, biarpun keluar masuk berjalan cepat, tapi bungkusan atau kotak yang dibawa sewaktu masuk, tidak terlihat lagi ketika keluar.
Diam diam Tian Mong-pek berpikir: "Kalau ditinjau dari keadaan ini, jangan jangan nyonya didalam halaman itu adalah kepala rampok, sementara teman teman persilatan datang menghantar upeti?" Namun setelah dipikir bolak balik, diapun tak bisa menebak siapa gerangan kepala rampok ini, kecuali dia adalah So Kin-soat.
Berpikir sampai disitu, dia semakin bertekad untuk mencari tahu, apalagi Siau Hui-uh, dia seolah sudah lupa dengan pesannya sendiri tadi.
Tiba tiba Tian Mong-pek menemukan kalau ada orang yang berpaling diantara para jago itu, paras mukanya cukup dikenal tapi lupa siapakah dirinya.
Ketika dilihat dari dari bayangan punggungnya, orang itu berperawaan kurus kecil dan pendek, sepasang lengannya lebih panjang dari lutut, kalau bukan karena dia berjalan dibelakang orang lain, mungkin Tian Mong-pek tak akan mengenalnya.
Begitu menyaksikan ciri khas orang ini, Tian Mong-pek segera teringat akan seseorang, ternyata orang ini adalah naga mega Sun Kiu-si.
Tian Mong-pek cukup tahu kalau Sun Kiu-si adalah hartawan kaya raya, dia tersohor dikalangan putih dan tak mungkin bekerja sebagai gerombolan Liok-lim.
Dengan begitu dia semakin membuktikan kalau dugaannya tadi keliru, tapi kalau mereka bukan kawanan Liok-lim, kenapa bergerombol disitu dan sama sama mengirim upeti untuk seorang "Hujin?" Seusai beranjang sana, para jago itu tak berani berlalu, dengan tertib mereka berdiri berjajar didepan pintu halaman dan seakan menunggu perintah dari nyonya itu.
Tak selang berapa saat kemudian, dayang tadi muncul kembali, Siau Hui-uh segera berbisik: "Dialah dayang yang muncul tadi." Begitu melihat wajah dayang itu, paras muka Tian Mong-pek berubah, ditatapnya nona itu tanpa berkedip.
Dengan keheranan Siau Hui-uh segera bertanya: "Aneh, yang lain kau tak kenal, masa malah kenal dengan dia?" Saking kagetnya, Tian Mong-pek sudah tak mampu berbicara lagi, dia memandang dayang itu tanpa berkedip, berapa kali dia mengucak mata sendiri, seakan curiga kalau matanya sudah rabun.
Sambil menggigit bibir Siau Hui-uh segera berbisik lagi: "Coba lihat tampangmu itu, kalau bukan dayang itu masih kecil, mungkin aku benar benar sudah cemburu." "Kenapa dia....
dia adalah Siau-cui?" "Siapa itu Siau-cui" Jangan jangan dia adalah dayang kekasih lamamu?" Tiba tiba saja dia menggigit telinga pemuda itu.
Tian Mong-pek kaget, tapi setelah menghela napas katanya: "Siau-cui adalah budak rumahku." Perkataan ini sama sekali diluar dugaan Siau Hui-uh, setelah tertegun katanya sedih: "Kalau Siau-cui adalah budakmu, berarti Hujin itu adalah istrimu?" "Siapa bilang aku punya istri .
. . . .." aku benar benar merasa II keheranan.....
kata Tian Mong-pek sambil tertawa getir.
Tampak Siau-cui membawa keranjang bambu, dari dalam keranjang dia membagikan semua yang hadir sebuah benda, benda itu tak besar bentuknya tapi tak jelas apakah itu.
Kemudian terdengar siau-cui berkata lagi: "Hujin telah istirahat, kalian boleh kembali, jangan satu per satu, jangan mengagetkan hujin." Para jago mengiakan dan segera mengundurkan diri dengan teratur.
Kebetulan Sun Kiu-si berjalan dipaling belakang.
Menunggu Siau-cui sudah masuk ke dalam halaman dan Sun Kiu-si belum pergi jauh, cepat Tian Mong-pek bertepuk tangan sambil memanggil: "Sun Kiu-si, saudara Sun." Dengan wajah keheranan bercampur kaget Sun Kiu-si berpaling sambil menghentikan langkahnya.
"Saudara Sun, masih ingat aku"' tanya Tian Mong-pek sambil berjalan keluar dari balik hutan.
Saudara Sun, masih ingat aku"' tanya Tian Mong-pek sambil berjalan keluar dari balik hutan.
Belum selesai bicara, Sun Kiu-si sudah melompat mendekat sambil teriaknya: "Saudara Tian, kenapa kau bisa disini?" "Panjang untuk diceritakan, bila ada waktu silahkan saudara Sun ikut aku ke dalam kamar." Setelah berada dalam kamar, dengan mata yang tajam Sun Kiu-si mengamati kedua orang itu, tiba tiba katanya sambil tertawa: "Apakah saudara Tian hendak mengundang siaute minum arak kegirangan?" Tian Mong-pek kuatir Siau Hui-uh marah oleh kelancangan rekannya, siapa tahu gadis itu malah tertunduk dengan wajah memerah, bukan saja tidak marah, malah sedikit kelihatan gembira.
"Nona ini adalah . . . . .." kata Sun Kiu-si sambil tertawa.
"Dia adalah nona Siau, Siau Hui-uh dari lembah Kaisar." Sun Kiu-si jadi kaget, senyumannya membeku, lewat sesaat kemudian ia baru berkata agak gagap: "Cayhe....
maafkan bila aku lancang, nona.....
nona....." Tian Mong-pek tidak menyangka kalau nama lembah kaisar memiliki daya pengaruh sebesar itu, melihat dia ketakutan, buru buru katanya: "Aku sengaja memanggil hengtai, karena ingin menanyakan sesuatu." "Katakan saja saudara Tian." Kali ini Sun Kiu-si tak berani bergurau, wajahnya serius.
"Jauh jauh hengtai datang kemari, sebenarnya karena urusan apa, yang ada dalam halaman itu .
. . . . .." Tiba tiba Siau Hui-uh ikut angkat kepala, selanya sambil tertawa: "Apakah orang yang ada dalam halaman itu adalah nyonya Tian Mong-pek?" Ternyata dia masih kuatir, takut Tian Mong-pek benar benar telah beristri.
Dalam hati Tian Mong-pek tertawa geli, tapi diluar ujarnya serius: "Saudara Sun tak usah gubris gurauan nona Siau, sebetulnya hujin mana yang ada dalam halaman itu?" Sun Kiu-si segera memperlihatkan wajah serba salah, dengan kening berkerut dan wajah murung sahutnya: II "Soal ini.....
soal ini . . . . .. "Memang ada yang pantas dirahasiakan?" tegur Siau Hui-uh, "Kalau ingin bicara, cepat katakan!" Setelah tertawa getir ujar Sun Kiu-si: "Sebenarnya urusan ini susah untuk dikatakan, tapi saudara Tian adalah ksatria sejati, bila tidak kujawab, bukankah aku jadi manusia kurcaci?" "Betul!" sambung Siau Hui-uh sambil tertawa, "kalau bicara ragu ragu, bukan manusia kurcaci lantas apa?" Sebenarnya Tian Mong-pek mengira Siau Hui-uh itu lembut, tapi setelah mendengar ucapannya, diapun tertawa getir, pikirnya: "Ternyata dia hanya lembut terhadapku, sedang terhadap orang lain masih sama saja." Tampak Sun Kiu-si semakin murung, wajahnya bingung, tangannya menggaruk kepalanya yang tak gatal, jelas dia sudah dibikin kepala pusing oleh ulah gadis ini.
II "Terus terang saudara Tian, akhir Sun Kiu-si berkata, "sebenarnya aku adalah anggota panji kain putih .
. . . .." "Ooh, mengerti aku sekarang," sela Siau Hui-uh, "berarti orang yang tinggal dalam halaman itu adalah istri ciangbunjin mu.....
kalau begitu aku pun . . . . . .." Sambil tersenyum dia melirik Tian Mong-pek sekejap, kata "merasa lega" akhirnya tidak sampai diucapkan.
Sun Kiu-si bukan jago kemarin sore, sejak awal dia sudah menangkap maksudnya, iapun merasa geli dan gelengkan kepala.
"Kenapa geleng kepala?" kembali gadis itu menegur, "apakah rambutmu ada kutunya?" Sun Kiu-si mendeham berapa kali, kemudian katanya: "Sebenarnya perguruan kami ibarat sebaskom pasir, sejak kematian Chin lo-ciangbunjin, keadaan semakin kacau, tapi kini, ketua baru telah ll muncul .
. . . .. Tian Mong-pek berseru kaget, tapi cepat katanya: "Coba dilanjutkan." "Sejak muncul ketua baru, ternyata dia bercita cita membangun kembali citra perguruan, lagipula dia gagah dan pandai, karena itu semua anggota perguruan sangat menaruh hormat kepada hujin ini." Tian Mong-pek segera melompat bangun, tak tahan bentaknya: "Siapa nama ciangbunjin baru mu" Apakah dia memiliki panji kain putih peninggalan Chin locianpwee?" Sun Kiu-si terperanjat mendengar bentakan itu, pikirnya sambil tertawa getir: "Jangan jangan Tian tayhiap terlalu lama berkumpul dengan nona Siau hingga sekarang berubah sedikit sinting" Kalau tidak, kenapa dia teriak teriak karena urusan perguruanku?" Namun diluar ia tak berani berayal, jawabnya: "Biarpun cayhe tidak mengetahui apa isi surat wasiat yang diterima ketua baru, namun yang dia pegang adalah panji kain putih peninggalan Chin lo ciangbunjin serta kitab pusaka perguruan." "Panji itu tidak palsu?" "Biarpun panji kami hanya berupa selembar kain putih, namun setelah direndam dalam air akan muncul warna bunga, mana mungkin orang lain bisa memalsukan?" Tian Mong-pek merasakan tubuhnya bergetar dan ia terduduk kembali di bangku.
Sudah jelas dia masukkan panji kain putih serta kitab pusaka panji kain ke dalam sebuah gua di bukit Mo-kan-san, kecuali atas petunjuknya, sulit bagi orang lain untuk menemukannya.
Tapi selama ini dia selalu tutup mulut, lalu darimana ketua baru itu bisa memperolehnya" Melihat sikap pemuda itu, Sun Kiu-si semakin keheranan.
Tiba tiba Siau Hui-uh bertanya: "Apakah dayang yang melayani ciangbun hujin mu bernama Siau-cui?" "Darimana nona bisa tahu"' tanya Sun Kiu-si keheranan.
"Tahukah kau Siau-cui itu dayang siapa?" Dengan kebingungan Sun Kiu-si menggeleng.
Sambil menuding kearah Tian Mong-pek, seru Siau Hui-uh: "Dayang keluarganya." "Bee...
benarkah itu?" tanya Sun Kiu-si keheranan.
"Sejak kecil dia dibesarkan dikeluarga ku, sudah pasti tak bakalan salah!" Sun Kiu-si jadi tertegun berapa saat, setelah berpikir sejenak, ujarnya: "Jangan jangan .
. . . .. jangan jangan Siau-cui meninggalkan keluarga Tian dan bergabung dengan ciangbun hujin untuk melayaninya." "Aku sudah banyak waktu belum pernah pulang, kemungkinan besar bisa begitu.....
tapi bagaimana wajah ciangbun hujin mu itu" Apakah hengtai bisa beritahu?" "Orangnya halus, lembut, cerdas dan cantik bagaikan bidadari." "Berapa usianya"' tanya Siau Hui-uh.
Mendengar pertanyaan mereka semakin aneh, meski dihati merasa curiga, Sun Kiu-si tak berani tidak menjawab, sahutnya: "Berusia dua puluh tahunan, hampir sebaya dengan nona." Dengan kening berkerut pikir Tian Mong-pek: "Kalau baru berusia dua puluh tahunan, berarti dia bukan Tiau-yang hujin, bukan juga Siau Man-hong, lalu siapakah dia" Kenapa siau-cui bisa ikut dia?" Dengan mata yang bening Siau Hui-uh segera mengerling kearah pemuda itu, katanya lembut: "Cantik bagaikan bidadari, berusia dua puluh tahunan, adakah manusia semacam ini dirumahmu?" Tian Mong-pek menggeleng, setelah berpikir keras, gumamnya: II "Siapakah dia .
. . . .." kenapa . . . . . .. Sun Kiu-si mendeham berapa kali, katanya: "Andaikata aku tidak tahu kalau saudara Tian adalah seorang kstatria sejati, aku pasti akan keheranan, kenapa saudara Tian bertanya begitu banyak?" Tian Mong-pek menghela napas panjang, sahutnya: "Tak heran kalau hengtai tercengang .
. . . .. aai, alangkah baiknya jika aku dapat berjumpa dengan ciangbunjin serta ciangbun hujin perguruanmu." II "Sayang.....
aaai . . . . .. gumam Siau Hui-uh. Apa yang dipikirkan mereka berdua tidak jauh berbeda, seandainya Tian Mong-pek tidak terluka, tentu dia bisa melompat keatas atap rumah dan mengintai secara diam diam, asalkan dapat melihat wajah orang itu, tidak sulit untuk menebak keadaan sebenarnya.
Tapi kini Tian Mong-pek terlka, sekalipun Siau Hui-uh bisa pergi mengintai, sayang diapun tidak kenal.
Tiba tiba berkilat mata Tian Mong-pek, ujarnya cepat: "Apakah hengtai bisa mengajak siaute untuk pergi menjumpai mereka?" "Ciangbunjin kami tak pernah bertemu orang dengan wajah asli, sepanjang hari dia selalu mengenakan kain kerudung putih, apalagi mereka suami istri berdua memang tak ingin bertemu tamu asing." "Asal hengtai mau berusaha .
. . . .." Sun Kiu-si menghela napas panjang, ujarnya: "Dengan budi kebaikan saudara Tian terhadap sahabat persilatan, sepantasnya bila cayhe pun berusaha untukmu, hanya saja .
. . . .. kenapa" Kenapa saudara Tian ingin bertemu mereka?" Tian Mong-pek menatap rekannya sesaat, kemudian sahutnya: "Kenapa" Aku tak bisa menjelaskan sekarang, tapi saudara Sun tak usah kuatir, alasan dan tujuanku lurus dan bersih, semuanya demi menegakkan keadilan dalam dunia persilatan." Melihat kegagahan anak muda itu, Sun Kiu-si segera tertunduk dengan wajah termangu, akhirnya dia berkata sambil menghela napas: "Seandainya berganti orang lain, urusan ini teramat sulit, tapi terhadap saudara Tian, aku percaya seratus persen." "Mohon petunjuk." "Ciangbunjin telah turunkan perintah kepada seluruh anggota perguruan, agar berkumpul di kota Keng-ciu.
Yang hadir saat ini merupakan rombongan pertama yang kebetulan berada di gedung keluarga Tong .
. . . .." Ternyata ke empat orang lelaki berbalut kain putih dikepala yang muncul di gedung keluarga Tong merupakan utusan khusus dari perguruan kain putih, asal dia adalah anggota perguruan, dari dandanannya segera akan mengenali.
Terdengar Sun Kiu-si berkata lebih jauh: "Biarpun anggota perguruan kami banyak, tapi yang dicari ciangbunjin kali ini hanyalah orang orang yang punya nama dalam dunia persilatan, tempat yang dipakai untuk pertemuan pun merupakan rumah dari seorang anggota kami di kota Keng-ciu.
Aku rasa didalam dua tiga hari mendatang pasti akan berdatangan saudara lainnya, mereka semua mengenakan kain kerudung II muka .
. . . . . .. Tanpa terasa Siau Hui-uh jadi teringat dengan ulahnya mempermainkan anggota perguruan kain putih di tepi telaga Tay-ou, tanpa terasa ia tertawa geli.
II "Bagus sekali, seru Tian Mong-pek kegirangan, "asal saudara Sun mau beritahu waktu dan alamat pertemuan, aku akan menyusup masuk dengan mengenakan jubah putih kain cadar." "Sayangnya, ciangbunjin baru kami bukan saja cerdas dan hebat bahkan cara bekerjanya sangat teliti, jumlah yang harus hadir sudah pasti bahkan setiap orang memiliki sebuah lencana tanda pengenal." Sambil berkata, dia mengeluarkan sebuah lencana bambu yang kedua sisinya mempunyai ukiran bermotif bunga, mungkin benda inilah yang dibagikan siau-cui tadi.
Kembali Sun Kiu-si menjelaskan: "Lencana bambu ini memang bisa dipalsukan, tapi nama yang tercantum diatasnya bisa dilacak dari "Dasar samudra", yang dimaksud "dasar samudra" adalah buku keanggotaan partai." "Setiap pendatang harus tunjukkan lencana bambu yang bernama, ketika masuk pintu, nama dicocokkan ke buku keanggotaan....aaai, cara ini memang II sangat teliti.
Kata Tian Mong-pek dengan kening berkerut.
"Terjang saja ke dalam, peduli dengan lencana dan nama." Usul Siau Hui-uh." "Bagi orang lain mungkin harus memaksa masuk, tapi tidak perlu bagi saudara Tian." Ujar Sun Kiu-si tertawa.
"Mohon petunjuk." "Tidak sedikit anggota perguruan kami yang berhutang budi kepada saudara Tian, asal kau memberi instruksi, mereka pasti akan mempersembahkan lencananya secara sukarela." I "Bagus sekali,' seru Siau Hui-uh, "kalau begitu tolong carikan dua buah untuk kami." "Menurut apa yang kuketahui, disini adir Kang Tiong-cu serta Tio San-kun, mereka pasti bersedia menyerahkan tanda pengenalnya, akan kupanggil mereka berdua kemari." "Bagaimana dengan kau" Kenapa tidak kau serahkan lencana mu?" tanya si nona.
Sun Kiu-si segera tertawa.
"Aku ingin mengikuti kalian berdua untuk menonton keramaian, selain itu bisa membantu untuk melindungi identitas kalian." Setelah memberi hormat, cepat dia mohon diri.
Tian Mong-pek sadar, yang dimaksud berhutang budi pastilah merupakan hasil perbuatan kebajikan yang dilakukan Tu Hun-thian sekalian atas nama dirinya, diam diam ia tertawa getir.
Dua hari kemudian, ditengah malam yang buta, diluar kota Keng-ciu, diluar sebuah gedung yang luas terlihat bayangan manusia bergerak, mereka mengenakan jubah putih, berkain kerudung putih dan bergerak bagaikan sukma gentayangan.
Gedung bangunan itu merupakan gedung angker yang tersohor di kota Keng-ciu, sudah lama terbengkalai, bahkan pejalan kaki pun enggan melewati daerah sekitar sana.
Tapi saat ini, bukan saja terlihat banyak bayangan manusia yang bergerak, dibalik gedung pun lamat lamat terdengar suara manusia serta cahaya lentera.
Kentongan ke tiga kemudian, bayangan putih yang berlalu lalang semakin jarang, saat itulah terlihat tiga orang manusia berbaju putih bergerak dari dalam kota.
Langkah kaki mereka amat cepat, salah satu diantara nya berkata: "Dengan datang sedikit terlambat dan pertemuan sudah dibuka, kalian berdua pun bisa terhindar dari komunikasi dengan anggota lain." "Cara saudara Sun memang bagus sekali." Kata rekan yang lain.
Sementara dalam pembicaraa, mereka bertiga sudah tiba didepan pintu gedung.
Dari dalam bangunan segera terdengar seseorang menegur: "Siapa?" Ke tiga orang itu menjawab: "Angin menderu hujan berderai, hanya panji kain yang tiada duanya." Pintu gerbang segera terbuka, ke tiga orang itu segera menyusup masuk.
Salah satu dari enam manusia berkerudung yang berjaga dibelakang pintu segera menegur: "Kalian bertiga datang terlambat, tunjukkan tanda pengenal." Ke tiga orang itu segera menunjukkan lencana bambunya, setelah diteliti sejenak, seru orang itu: "Sun Kiu-si, Kang Tiong-cu, Tio San-kun." Rekannya segera mencocokkan nama itu dengan kitab keanggotaan, kemudian sahutnya: "Betul, silahkan." Ke tiga orang itu melewati halaman yang terbengkalai menuju ruang depan, disana berdiri lagi seorang petugas yang sekali lagi memeriksa lencana tanda pengenal, setelah itu dia baru membukakan pintu sambil berkata: "Silahkan." Dua orang yang menyamar sebagai Kang tiong-cu serta Tio San-kun itu tak lain adalah Tian Mong-pek serta Siau Hui-uh.
Kini mereka baru bisa menghembuskan napas lega sambil berpikir: "Ternyata pemeriksaan mereka ketat sekali." Menyaksikan cara kerja sang ciangbunjin baru yang begitu teliti dan cermat, dalam hati Tian Mong-pek merasa kuatir, dia semakin ingin tahu siapa gerangan orang itu.
Cahaya lentera menerangi seluruh gedung pertemuan, jendela di empat penjuru tertutup dengan lapisan kain hitam, saat itu sudah ada ratusan orang yang duduk bersila ditengah ruangan, mereka semua mengenakan kain kerudung putih hingga sukar dikenali wajahnya.
Tampaknya tadi Sun Kiu-si kelewat banyak curiga, sebab saat ini, meski pertemuan belum dimulai namun hampir semua yang hadir duduk dengan serius, tak seorang pun yang buka suara atau berbincang bincang.
Ke tiga orang itu segera mencari sebuah sudut untuk duduk, tak lama kemudian kembali ada lima, enam orang yang masuk ke dalam ruangan.
Karena tak ada pekerjaan lain, iseng Siau Hui-uh mencoba menghitung yang hadir, ternyata semuanya berjumlah seratus tujuh puluh tujuh orang, anehnya sejak awal hingga kini, tak terdengar seorangpun yang bersuara.
Bab 48. Badai di Pertemuan kota Keng-ciu.
Pada saat itulah dari belakang aula tiba tiba muncul seorang kakek bungkuk berambun putih, dia membawa sebuah kemoceng (pembersih debu dari bulu ayam), begitu sampai didepan dua kursi yang ada dalam aula, orang tua itu mulai membersihkan debu disekelilingnya.
Gerak gerik orang tua itu selain lamban, wajahnya layu sama sekali tak bersemangat, walaupun sedang membersihkan debu, matanya justru setengah terpicing seperti mengantuk sekali.
Melihat kemunculan orang itu, para jago segera berpikir: "Jangan jangan kakek inipun seorang jago lihay dunia persilatan yang sengaja menyamar jadi begini, kalau tidak kenapa ciangbunjin menggunakan orang semacam dia jadi pelayannya?" Sebaliknya Tian Mong-pek yang melihat orang tua itu jadi sangat terperanjat.
"Kenapa dia bisa berada disini?" pikirnya.
Ternyata kakek itu tak lain adalah orang tua yang menjadi kusir kereta dan menghantar perempuan bernama Ping-ji itu pulang ke Kanglam.
Berapa hari berselang Tian Mong-pek sudah keheranan ketika bertemu Siau-cui, setelah hari ini bertemu kakek itu, dia semakin terperangah, dia tak habis mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi.
Tiba tiba terdengar suara dentingan nyaring.....
"Traang, traaang....." begitu suara genta berbunyi, semua orang yang hadir dalam ruangan serentak berdiri serius, Tian Mong-pek tahu sudah pasti ciangbunjin telah datang.
Ketika menengok ke depan, tampak Siau-cui dan seorang bocah berbaju putih muncul dari balik ruangan, ditangan mereka berdua masing masing membawa sebuah nampan kumala.
Pada nampan pertama terletak panji kain putih sedang pada nampan kedua berisi kitab pusaka perguruan kain putih.
Karena terlalu jaraknya, sulit bagi Tian Mong-pek untuk memeriksa apakah benda itu palsu atau tidak.
Begitu melihat kemunculan kedua buah benda mustika itu, serentak para jago yang hadir sama sama berlutut dan menyembah hingga mencium tanah, tak seorangpun berani angkat kepala.
Sebenarnya Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh enggan berlutut, tapi pikir mereka kemudian: "Apa salahnya kalau ikut berlutut untuk dua benda peninggalan bulim cianpwee?" Kedua orang itu segera saling berpandangan lalu sama sama berlutut.
Tiba tiba terdengar seseorang berseru dengan suara berat: "Saudara semua, dipersilahkan berdiri." Meskipun suaranya parau dan berat tapi menggema diseluruh ruangan, jelas tenaga dalamnya sempurna.
Tampak seorang lelaki dan seorang wanita bersama sama tampil ke depan ruangan, yang lelaki berbaju panjang tapi tidak memiliki lengan kiri, Tian Mong-pek merasa terperanjat bercampur keheranan, dia tak mengira kalau ciangbunjin perguruan kain putih yang baru merupakan seorang berlengan tunggal.
Sedang yang perempuan berdandan indah dengan baju yang halus, wajahnya cantik rupawan.
Cukup dalam sekilas pandangan, Tian Mong-pek merasa jantungnya berdebar keras, ternyata ciangbun hujin tak lain adalah Peng-ji, si nona yang dibeli Hok Tiong-peng dan dihadiahkan kepada dirinya.
Ping-ji menjadi ciangbunji hujin" Siapa pula sang ketua berlengan buntung itu" Darimana dia bisa menemukan rahasia panji kain putih" Dalam sekejap pelbagai persoalan berkecamuk dalam benaknya, membuat pemuda itu termangu.
Tiba tiba lengannya terasa sakit, ternyata Siau Hui-uh telah mencubitnya keras keras.
Cubitan ini sungguh keras, nyaris membuat Tian Mong-pek menjerit kesakitan.
Ketika berpaling, tampak Siau Hui-uh sedang menatapnya tajam tajam, seolah sedang berkata: "Kau sudah mabuk karena kecantikan ciangbun hujin itu?" Dalam pada itu para jago sudah duduk kembali dengan serius, sementara sang ketua berlengan buntung dengan mata yang tajam memandang kesana kemari, sampai lama sekali tak berbicara.
Ketika sorot mata Tian Mong-pek beradu dengan sorot matanya, tiba tiba muncul satu perasaan bergidik dalam hatinya, belum pernah ia saksikan manusia semacam ini.
Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tiba tiba ciangbunjin berlengan tunggal itu mengangkat tinggi panji kain putih sambil berseru: "Berpekik bagaikan hembusan angin, panji kain putih tiada duanya dikolong langit....
kini kupimpin perguruan ini dan akan memberi komando ke empat penjuru." Sorak sorai yang gegap gempita segera bergema memenuhi seluruh ruangan.
saat itulah Tian Mong-pek dapat mengenali kalau panji tersebut memang panji asli yang diserahkan Chin Mo-cuan kepada dirinya.
Kembali ketua berlengan buntung itu berseru dengan bangga: "Sejak lama perguruan kita tercerai berai, betapa gembiraku setelah menyaksikan seluruh kekuatan inti perguruan dapat berkumpul kembali disini, mulai sekarang kita harus menggalang persatuan dan selamanya II tidak tercerai berai lagi .
. . . .. Kembali para jago bertepuk tangan sambil bersorak sorai.
Terdengar sang ketua berkata lebih jauh: "Dengan kemampuan saudara kita semua, asal mau bersatu padu, tidak sulit untuk menandingi kemampuan siau-lim, Bu-tong, Kun-lun maupun II Kay-pang .
. . . .. Tiba tiba seorang lelaki disisi kiri bangkit berdiri dan berkata dengan hormat: "Lapor ciangbunjin, tecu He Kong-peng ingin menyampaikan sesuatu." Orang ini berperawakan tinggi besar, suaranya keras bagai genta, sebagian besar jago mengenalinya sebagai jago kota Keng-ciu, si golok guntur dan halilintar.
"Katakan." Ujar sang ketua.
"Tujuan utama perguruan panji kain putih adalah menggalang persatuan dan persaudaraan antar anggota, bukan bermaksud mencari nama dan posisi dalam dunia persilatan, apalagi membunuh dan bertikai .
. . . . . .. "Kau sangka aku tidak mengetahui tujuan perguruan dan butuh petunjuk dari Hee tayhiap?" tukas sang ketua ketus.
"Tecu tidak berani, tapi .
. . . .." "Anggota perguruan kita banyak orang pintar dan berbakat, kenapa tak boleh ikut berperan dalam dunia persilatan, kau sangka milik siapa dunia persilatan saat ini" Apakah kau rela dijajah dan berada dibawah orang lain?" bentak sang ketua gusar.
Perkataan ini sangat gagah dan tegas, kontan para jago merasakan darah panas bergolak, sekali lagi sorak sorai yang nyaring bergema diseluruh ruangan.
Terdengar seseorang berseru: "Perkataan ciangbunjin benar, biarpun kita hanya menggalang persaudaraan, apa salahnya ikut merebut posisi dalam dunia persilatan.
Hee toako, lebih baik duduk lah!" Melihat orang itu dengan berapa patah kata sudah mampu membangkitkan semangat para jago, Tian Mong-pek sadar, orang ini punya kemampuan luar biasa, tapi anehnya dia selalu merasa orang ini licik dan banyak akal, pikirnya: "Chin locianpwee serahkan panji kain sakti kepadaku, aku tak boleh menyia-nyiakan harapannya." Terdengar sang ketua berkata lagi: "Bila saudara sekalian bersedia mendukung diriku, akupun akan berusaha dengan sepenuh tenaga.
Almarhum Chin cianpwee....." Tiba tiba ia berhenti bicara.
Serentak para jago bangkit berdiri begitu mendengar nama almarhum ketua mereka disebut, hal ini menunjukkan rasa hormat mereka yang luar biasa.
Menanti semua orang sudah duduk kembali, ketua berlengan tunggal itu baru berkata lagi: "Ketika almarhum ketua Chin menyerahkan tanggung jawab ini kepadaku, aku pun pernah angkat sumpah dihadapannya untuk melaksanakan tiga hal." "Ke tiga hal yang mana?" "Tiga tugas yang diserahkan dia orang tua kepadaku menjelang ajalnya, pertama minta aku untuk membawa semua anggota perguruan untuk setia sampai mati demi perjuangan perkumpulan kain putih." "Setia sampai mati!" teriak para jago.
Berkilat sepasang mata ketua berlengan tunggal itu, lanjutnya: "Kedua, minta aku memimpin semua saudara seperguruan untuk membalas budi kepada seseorang." "Boleh tahu cianpwee mana yang telah melepas budi untuk dia orang tua?" "Orang itu tak lain adalah So hujin dari bukit Kun-san, kebetulan belakangan ini so hujin memang butuh tenaga bantuan." "Inilah kesempatan bagi kami untuk balas budi, kami tak akan menyia nyiakan kesempatan tersebut." Kembali para jago berteriak.
Tian Mong-pek segera saling bertukar pandangan dengan Siau Hui-uh, mereka sama sama terperanjat, pikirnya: "Tak disangka orang inipun antek So Kin-soat, tapi kenapa bisa mendapatkan panji kain putih dan memperistri Ping-ji?" Siau Hui-uh segera menarik tangan Tian Mong-pek dan berbisik: "Apakah So Kin-soat mengetahui tempat kau menyimpan panji pusaka itu?" Ternyata selama dua hari ini dia selalu membicarakan hal yang berhubungan dengan perguruan ini.
"Tidak tahu." sahut sang pemuda.
Terdengar ketua berlengan buntung itu berseru lagi: "Tugas ke tiga dan ini yang paling penting adalah membalaskan dendam bagi dia orang tua, tugas yang berlaku untuk setiap anggota perguruan." Kehebohan segera terjadi diantara para jago, teriak mereka: "siapakah bajingan itu" Siapa yang telah mencelakai dia orang tua?" "Dia adalah Tian .
. . . . . .. Mong . . . . .. Pek!" Tak terlukiskan rasa kaget Tian Mong-pek mendengar ucapan itu, sejak ketua berlengan buntung itu menyampaikan banyak cerita bohong, dia sudah tahu kalau manusia ini jahat dan licik, apalagi setelah mendengar dia menuduh dirinya sebagai pembunuh Chin Mo-cuan, bahkan menganggap So Kin-soat sebagai tuan penolong Chin Mo-chuan, dia semakin yakin kalau dibalik kesemuanya itu tersisip intrik dan rencana besar lainnya.
Masih untung dia hadir didalam pertemuan ini dan ada kesempatan untuk membongkar rahasianya, kalau bukan begitu, apa jadinya" Berpikir begitu diapun siap bangkit berdiri untuk membongkar kebohongan itu.
Tiba tiba ia merasa Siau Hui-uh menarik lengannya dan menulis ditelapak tangannya: "Kau ingin mencari mati?" Kini Tian Mong-pek baru teringat kalau selama dua hari ini meski kekuatannya telah pulih namun belum bisa menggunakan tenaga murni.
Jika sekarang dia bangkit berdiri, memang tak usahnya seperti menghantar kematian, dalam gelisah dan gusarnya, peluh membasahi seluruh tubuhnya.
Dalam pada itu suasana dalam ruangan telah terjadi kekalutan, nama Tian Mong-pek sudah terlalu termashur dalam dunia persilatan belakangan, boleh dibilang tak ada yang tidak mengenalnya.
Segera terdengar seseorang berseru: "Konon Tian Mong-pek itu seorang ksatria sejati, mana mungkin dia yang mencelakai ketua Chin?" Tapi ada pula yang berseru: "Tian Mong-pek tak menentu wataknya, sebentar melakukan kebaikan sebentar melakukan kejahatan, jangan jangan ketua Chin memang dicelakainya." Dengan seksama ketua berlengan buntung itu mengikuti setiap komentar yang diucapkan para anggotanya, tiba tiba katanya dengan suara dalam: "Bila bertarung satu lawan satu, sudah pasti Tian Mong-pek bukan tandingan ketua Chin, sayang dia menggunakan siasat licik untuk menjebaknya, coba aku tidak datang tepat waktu hingga membuatnya kabur, mungkin mayat ketua Chin sudah tercecer ditengah gunung dan tiada tempat kubur.
Kecuali aku, So hujin menyaksikan pula kejadian ini." Perkataan itu bukan saja disampaikan dengan rapi bahkan setiap katanya disisipi niat keji yang mengerikan, seolah olah dia memang menaruh dendam kesumat dengan pemuda itu.
Para jago mulai goyah hatinya, kini hampir semua orang percaya dengan uraian itu, hawa amarah dan dendam pun menyelimuti perasaan setiap orang.
Kembali Tian Mong-pek merasa terkesiap, pikirnya: "Peristiwa terbunuhnya Chin locianpwee oleh ayah beranak Hong Sin hanya diketahui So Kin-soat dan aku, jika So Kin-soat bersikeras menuduh akulah pembunuhnya, bukankah para jago dari perguruan kain putih akan semakin yakin kalau aku lah pembunuh Chin locianpwee?" Siau Hui-uh merasa tangannya yang digenggam mulai gemetar dan basah oleh keringat dingin, ia tahu pemuda itu selain marah juga sedih, hanya saja situasi dan kondisi sekarang tidak memungkinkan dia untuk melampiaskan keluar.
Sun Kiu-si yang duduk disisinya ikut merasa tak tenang, ia tampak mulai gelisah.
Tiba tiba si Golok halilintar Hee Kong-peng bangkit berdiri, teriaknya dengan lantang: "Tian tayhiap pernah selamatkan nyawaku, kalau dibilang dia telah melakukan perbuatan terkutuk ini, aku tak akan percaya.
Bila kalian tidak percaya dengan kebesaran hati Tian tayhiap, kenapa tidak tanyakan saja kepada Kang Tiong-cu toako serta Tiok San-kun, Tio toako." "Dengan selamatkan dirimu, memangnya dia tak bisa mencelakai orang lain?" dengus sang ketua dingin, "orang ini tak menentu wataknya, setiap orang tahu kalau dia terkadang jahat terkadang baik." II "Soal ini.....
soal ini..... "Kenapa" Kau sangka aku berbohong?" hardik ketua buntung itu gusar.
"Soal ini . . . . .." kembali Hee Kong-peng tertunduk, mendadak ia menjerit kesakitan lalu roboh ke tanah, darah segar bercucuran dari balik kain kerudung putihnya.
Kembali para jago terkejut, siapapun tak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.
Tapi Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh dapat menyaksikan dengan jelas sekali, disaat Hee Kong-peng menundukkan kepalanya tadi, berapa batang senjata rahasia segera meluncur keluar dari balik baju ketua berlengan buntung itu.
Senjata rahasia itu berwarna hitam, ketika dilepas dia sama sekali tidak menggerakkan tangan maupun bahu, tak heran kalau seluruh jago yang hadir, kecuali Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh, tak ada yang melihat hal ini.
Tampak Hee Kong-peng mencakar muka sendiri sambil menjerit: II "Kang Tiong-cu, Tio....
san-kun.... kalian.... kalian..... Tiba tiba tubuhnya mengejang keras kemudian tidak bergerak lagi, darah yang meleleh dari balik kain kerudungnya seketika berubah jadi hitam pekat.
Sampai menjelang ajalnya dia masih menyalahkan Kang Tiong-cu serta Tiok San-kun yang tidak mau tampil membela Tian Mong-pek, tentu saja dia tak tahu kalau dua orang yang dimaksud sama sekali tidak hadir dalam gedung itu.
Ketika orang yang berada disampingnya membuka kain penutup kepalanya, dengan cepat mereka mundur berapa langkah dengan sempoyongan.
Ternyata raut mukanya telah berubah jadi ungu kehitaman.
Selama hidup belum pernah para jago menyaksikan senjata rahasia sekeji ini, untuk sesaat mereka saling berpandangan dengan rasa kaget.
Siau Hui-uh dan Tian Mong-pek segera mengenali senjata rahasia itu sebagai milik keluarga Tong, tapi kenapa orang keluarga Tong bisa memasuki perguruan panji putih, kenapa bisa mengawini Ping-ji" Tian Mong-pek semakin bingung dan tidak habis mengerti.
Dalam pada itu ketua berlengan buntung itu sudah menyapu seluruh ruangan sambil membentak: "Siapa yang bernama Kang Tiong-cu dan Tio San-kun?" "Aduh celaka!" pekik Tian Mong-pek berdua dengan kaget.
Apalagi Sun Kiu-si, saking cemasnya dia sampai gemetar keras, mimpi pun tak disangka urusan bisa berkembang jadi begitu.
"Apakah mereka berdua telah hadir?" kembali ketua berlengan buntung bertanya.
"Mereka hadir." Jawab petugas penerima tamu.
"Kalau sudah hadir, kenapa tidak segera berdiri?" bentak ketua berlengan tunggal itu gusar.
Sambil menggigit bibir Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh segera bangkit berdiri.
"Tecu Tio San-kun." Kata Tian Mong-pek dengan kepala tertunduk.
Dia merasa sepasang matanya yang bengis dan jahat itu bergerak diatas wajahnya, meski terhadang kain kerudung namun hatinya tetap bergidik.
Siau Hui-uh ikut berseru sambil memperserak suaranya: "Cayhe adalah Kang Tiong-cu." "Tio San-kun, angkat wajahmu, tatap mataku." Perintah sang ketua lagi dingin.
Sambil menggigit bibir Tian Mong-pek mengangkat kepalanya, sorot mata merekapun saling bertemu, sampai lama sekali....
suasana dalam gedung berubah jadi sepi dan hening.
Tian Mong-pek merasa sorot mata lawan bukan saja menimbulkan perasaan bergidik, bahkan memunculkan sedikit kenangan baginya, membuat dia seperti teringat akan sesuatu.
Tapi pemikiran itu berubah jadi kabur...
susah diraba, namun ada satu hal yang pasti, dia merasa sinar mata itu sangat dikenal.....
sangat dikenalnya . . . . .. Mendadak Tian Mong-pek bergidik, bulu romanya bangkit berdiri.
Pada saat yang bersamaan itulah mendadak ketua berlengan satu itu membentak keras: "Tian Mong-pek!" Kemudian sambil memberi tanda, teriaknya: "Bangsat inilah Tian Mong-pek! Dia telah membunuh Tio San-kun, merampas tanda pengenalnya dan menyusup kemari, saudara sekalian, cepat tangkap bangsat itu!" Para jago merasa terkejut, gusar dan tercengang, kegaduhan pun segera terjadi.
Perubahan ini terjadi kelewat mendadak, sekalipun para jago yang hadir merupakan jago kawakan yang banyak pengalaman, tak urung dibuat gelagapan juga.
"Traaang!" tiba tiba terdengar suara nyaring.
Ternyata Siau-cui telah menjatuhkan baki kumalanya karena kaget, sementara ciangbun hujin, Ping-ji yang semula tersenyum manis, kinipun tampak terperanjat.
Dengan cepat Siau Hui-uh menarik Tian Mong-pek ke sudut ruangan dan menghadang dihadapannya.
Dalam pada itu Tian Mong-pek masih berdiri melongo, gumamnya berulang kali: "Dia.....
dia . . . . .. kenapa bisa dia . . . . .. II Dipihak lain, ketua berlengan buntung itu sudah mengibarkan panji pusaka sambil membentak: "Aku perintahkan semua anggota perguruan untuk segera turun tangan, tangkap hidup atau mati merupakan satu pahala besar, siapa berani membangkang, bunuh!" Bagaikan air bah, kawanan jago dari perkumpulan panji putih segera menyerbu maju, bentak mereka: "Tian Mong-pek, bangsat laknat, kembalikan nyawa ketua partai kami serta nyawa Tio San-kun, Tio toako kami." Siau Hui-uh segera melepas pula kain kerudung mukanya hingga terlihat wajahnya yang cantik.
Sekali lagi para jago dibikin tertegun.
Dengan garang bentak Siau Hui-uh:
Sekali lagi para jago dibikin tertegun.
Dengan garang bentak Siau Hui-uh: "Siau Hui-uh dari lembah kaisar berada disini, siapa yang berani turun tangan?" Ternyata kata lembah kaisar memiliki pengaruh yang luar biasa, serentak para jago menghentikan langkahnya.
Tapi ada juga yang berteriak: "Kembalikan nyawa ketua kami." "Sun Kiu-si," dengan gusar Siau Hui-uh membentak, "kenapa kau masih membungkam?" Terpaksa Sun Kiu-si melepas kain kerudungnya sambil berkata gagap: "Kang tiong-cu dan Tio San-kun belum .....
belum mati, mereka menyerahkan tanda pengenal itu dengan sukarela .
. . . .." "Sun Kiu-si, kau berani berhianat?" bentak ketua berlengan buntung gusar.
Sekujur tubuh Sun Kiu-si gemetar keras, seketika ia dibikin terbungkam.
Bagi umat persilatan, tuduhan sebagai penghianat merupakan dosa yang luar biasa, sekalipun dia menghormati Tian Mong-pek, namun sebab kematian Chin Mo-chuan yang sebetulnya hingga kini belum terungkap.
Ketika mengetahui Kang Tiong-cu dan Tio san-kun belum mati, amarah para jago sedikit mereda.
Mendadak ketua berlengan buntung itu bersuit nyaring, dari luar pintu segera menerobos masuk belasan lelaki berbaju putih, begitu menyerbu ke dalam, serentak mereka mengurung Siau Hui-uh dan melancarkan serangan bertubi tubi.
Sekalipun ilmu silat yang digunakan berapa orang itu merupakan tenaga gwakang, namun kungfunya cukup tangguh.
Kalau dihari biasa Siau Hui-uh tak pernah pandang sebelah mata, namun sekarang dia harus melayani dengan serius, apalagi harus melindungi keselamatan Tian Mong-pek, posisinya jadi amat dirugikan.
Kembali ketua berlengan buntung itu membentak: "Bunuh mereka berdua, jangan biarkan hidup." Begitu melihat Tian Mong-pek tidak turun tangan, sedang Siau Hui-uh berulang kali harus melindungi keselamatannya, dia segera tahu kalau pemuda itu sudah terluka, hatinya makin girang.
Serangan dari kawanan lelaki berbaju putih itu makin gencar, angin pukulan menderu deru, kepungan semakin ketat.
Tergerak hati Siau Hui-uh, tiba tiba bentaknya: "Apa hubungan kalian dengan Lan Toa-sianseng?" "Hahaha, kau sangka dirimu pantas menyebut nama Lan Toa-sianseng?" ejek ketua buntung itu tertawa seram.
Dari ucapan tersebut, tanpa sadar dia telah mengakui kalau ada hubungan dengan Lan Toa-sianseng.
Siau Hui-uh semakin keheranan, kalau senjata rahasia yang digunakan berasal dari keluarga Tong, sedang anak buahnya berasal dari istana au-sian-kiong, lalu siapakah orang ini" Ketika mencoba melirik kearah Tian Mong-pek, dia jumpai pemuda itu masih berdiri terperangah dengan wajah tak habis mengerti.
Gumamnya: "Tidak mungkin .
. . . . .. kenapa dia memutar balikkan fakta dan bicara II bohong .
. . . .. tapi jelas dia telah bersikap begitu .
. . . .. Siau Hui-uh tahu, pemuda itu pasti sedang menghadapi masalah pelik yang tak bisa dipecahkan, meski dia ikut prihatin, namun tekanan yang diterima dari arena pertarungan makin lama semakin berat.
Tampak kedua belas orang lelaki itu membagi diri jadi empat kelompok, tiga orang setiap kelompok melancarkan serangan secara bergilir.
Ketika kelompok pertama selesai melancarkan tiga pukulan, rombongan kedua segera menggantikan posisi kelompok pertama dan kembali melancarkan serangan.
Ketika mencapai rombongan ke empat maka rombongan pertama kembali menggantikan posisinya, begitu seterusnya, seranganpun dahsyat bagai gulungan ombak samudra.
Sesungguhnya jurus pukulan yang dimiliki kedua belas orang itu tidak canggih, yang hebat justru kerja sama mereka.
Semakin bertarung, ke dua belas orang lelaki itu semakin bersemangat, sorot mata ketua berlengan buntung pun semakin gembira, tiada hentinya dia berteriak: II "Jangan biarkan mereka hidup, jangan biarkan mereka hidup.....
"Yaa sudahlah!" diam diam Siau Hui-uh menghela napas, ia sadar bukan pekerjaan yang mudah untuk kabur dari kepungan ke dua belas orang itu, yang bisa dia lakukan sekarang hanya bertahan sekuat tenaga.
Sadar akan situasinya yang gawat, tiba tiba Siau Hui-uh tertawa keras, serunya: "Mong-pek, persoalan apa yang membuat kau kebingungan" Tidak perlu dipikirkan lagi." Tian Mong-pek tertegun sambil mendongak, serta merta dia melepas kain kerudung mukanya.
Sambil tertawa kembali Siau Hui-uh berseru: "Bagaimanapun hari ini kita bakal mati bersama, bisa mati berdampingan denganmu, hal ini merupakan anugerah dari Thian, peduli amat dengan II persoalan yang tak bisa kau pecahkan.....
Tiba tiba Tian Mong-pek menjerit: "Mengerti aku sekarang." "Baguslah kalau sudah mengerti." Siau Hui-uh tertawa tergelak, tiba tiba bentaknya: "Tahan!" "Dasar apa mau berhenti?" ejek sang ketua.
"Sejak berkenalan, aku jarang berkumpul dengan dia, biarkan kami berdua bicara dulu sebelum mati, kalau tidak....." "Kalau tidak kenapa?" "Kalau tidak, aku akan biarkan dia mati duluan kemudian baru berusaha membantai berapa puluh orang anak buahmu." Bentak Siau Hui-uh.
Dengan sekuat tenaga dia lancarkan tujuh buah serangan berantai.
Ke tujuh buah serangan itu menggunakan ilmu simpanan dari lembah kaisar, sekalipun tak dapat menjebol serangan berantai lawan, paling tidak cukup membuat pihak musuh kalang kabut.
Diam diam para jago merasa kagum juga dengan kehebatan gadis muda ini, tanpa terasa mereka memandang kearah ketua buntung itu dengan harapan sang ketua mau mengabulkan permintaannya.
Setelah termenung sejenak, akhirnya sang ketua berseru: "Berhenti!" Serentak ke dua belas orang itu menghentikan serangannya, gelombang ancaman pun seketika membuyar.
Siau Hui-uh tertawa terkekeh.
"Hahaha, anggap saja kau cerdas .
. . . .." Lalu sambil berpaling kearah Tian Mong-pek, bisiknya lirih: "Mong-pek .
. . . . .. Mong-pek . . . . .. Mong-pek . . . . . . .." Baru tiga kali panggilan, air matanya sudah jatuh berlinang, tiba tiba dia peluk pemuda itu erat erat sambil berbisik: "Aku sangat gembira, ternyata kita dapat mati bersama pada saat yang berbareng." Biarpun ucapan itu disampaikan sambil tersenyum, namun nadanya lebih mengenaskan daripada suara tangisan.
Sikap semacam ini kontan menimbulkan rasa iba dihati para jago, mereka ikut sedih dan segera berpaling kearah lain.
Sun Kiu-si terlebih sedih, dia sampai tak berani angkat kepalanya.
Sementara Ping-ji dan Siau-cui saling berpelukan, mereka seakan terperanjat, seperti juga ikut trenyuh.
Dalam pada itu Siau Hui-uh dan Tian Mong-pek sudah duduk disudut ruangan sambil berpelukan mesra, mereka bukan saja tidak menggubris soal mati hidup, bahkan terhadap musuh tangguh di empat penjuru pun seolah tidak melihat.
Setelah menghela napas panjang kata Tian Mong-pek: "Tahukah kau .
. . . . . .." Belum habis ia berkata, Siau Hui-uh sudah tutup mulutnya sambil berbisik: "Tak usah banyak bicara, mari kita duduk dulu dengan tenang, kemudian....." Setelah tertawa sedih, lanjutnya: "Setelah kupikirkan bolak balik, rasanya susah bagi kita pergi meloloskan diri hari ini, toh hidup itu sengsara, bila dapat mati bersama dengan tenang, hal ini justru merupakan rejeki kita, tak usah pusing lagi dengan urusan duniawi .
. . . . . .." Merasakan belaian tangannya yang halus, bau harum dari tubuhnya yang semerbak, Tian Mong-pek merasakan hatinya sedih, pikirnya: "Tak disangka dia begitu baik terhadapku, kalau bukan menghadapi kejadian sulit, tak mungkin dia akan perlihatkan kasih sayangnya .
. . . . . .. aaai, tapi.... tapi dalam kejadian hari ini, aku benar benar tak bisa mati dengan meram." Sesudah menggigit bibir, akhirnya dia berkata dengan suara berat: "Ketua berlengan satu itu adalah Yo Swan." "Yo....
Yo Swan" Bukankah dia sudah mati?" tanya Siau Hui-uh dengan tubuh gemetar.
"Lan Toa-sianseng yang mengatakan kepadaku kalau Yo Swan sudah mati, walaupun tidak menyaksikan sendiri tapi aku selalu mempercayainya, siapa tahu.....
siapa tahu . . . . .." "Masa dengan status Lan Toa-sianseng, dia....
dia pun bisa membohongimu?" "Tahu orangnya, tahu wajahnya, belum tentu tahu hatinya, kalau bukan kusaksikan sendiri penampilan Yo Swan pada hari ini, aku masih percaya kalau Lan Toa-sianseng tak akan membohongi aku." "Ti....
tidak salah lihat?" "Sejak bertatap mata dengan orang berlengan satu itu, hatiku langsung tercekat, pada mulanya kusangka nyaliku jadi kecil, kenapa begitu bertemu orang jadi ketakutan....
tapi . . . . .. tapi sekarang aku sudah tahu penyebabnya, sebab aku selalu menganggap dia sudah mati dan tiba tiba mata orang mati sedang melotot kearahku, tentu saja aku merasa takut, terlebih .
. . . .. terlebih orang mati ini sudah berulang kali mencoba mencelakaiku.....
membuat aku menderita . . . . .. membuat aku tersiksa . . . . . .." Sambil gigit bibir akhirnya dia berhenti bicara.
Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siau Hui-uh berseru tertahan.
"Aaah, tak heran kalau diapun segera mengenalimu begitu bertatap mata, kalau kedua belah pihak tidak saling mengingat hingga merasuk tulang, mana mungkin bisa saling mengenal hanya lewat tatapan mata?" "Benar, aku akan teringat akan dirinya sampai mati, selama hidup tak akan melupakan dirinya, bila bukan dia, siapa yang bisa mengenali diriku" Aaai, mungkin inilah kemauan takdir." "Sejujurnya....." bisik Siau Hui-uh, "akupun akan segera mengenalimu, II cukup dari tatapan mata.....
Maksudnya, diapun sudah mengingat Tian Mong-pek hingga ke lubuk hatinya yang terdalam.
Tian Mong-pek tertawa sedih, katanya: "Semula aku tak habis mengerti, panji kain putih itu sudah kusembunyikan begitu rahasia dan tak mungkin ditemukan orang, sekarang aku sudah mengerti." "Apakah kau pernah beritahukan tempat penyimpanan itu kepada Yo Swan?" Tian Mong-pek menghela napas panjang.
"Ketika pertama kali berkenalan, kusangka dia adalah seorang ksatria, pernah kuminta tolong dia untuk menyelesaikan harapan Chin locianpwee menjelang ajalnya, waktu itu sebenarnya aku hendak mengajak dia ke sana, tapi tidak sempat menjelaskan letaknya secara terperinci.
Tapi dia memang pintar, mungkin dari percakapan denganku dia berhasil mengorek banyak keterangan.
Tadi, aku masih mengira dia sudah mati hingga tidak sampai berpikir ke dia, begitu aku sadar kalau dia masih hidup, akupun jadi mengerti semua keterkaitannya." Siau Hui-uh cukup sadar akan kesetiaan Tian Mong-pek dengan janjinya dan dia percaya pemuda itu tak akan menyebutkan tempat penyimpanannya dengan jelas, karena terhadap dirinya pun, pemuda itu tetap pegang rahasia.
Namun kenyataannya dia telah memberitahukan rahasia ini kepada Yo Swan, dari sini bisa diketahui, sesungguhnya dia amat mempercayai Yo Swan, siapa sangka Yo Swan justru bersikap sebaliknya.
Berpikir sampai disini, rasa benci Siau Hui-uh terhadap Yo Swan merasuk hingga ke tulang sumsum, diapun menaruh perasaan iba terhadap Tian Mong-pek, tak tahan dia membelai wajahnya.
Kembali Tian Mong-pek berkata: "Sampai detik ini, aku masih tak percaya kalau Lan Toa-sianseng bakal berbohong kepadaku, hingga aku saksikan ilmu pukulan penghancur ombak yang digunakan kawanan lelaki itu ternyata merupakan ilmu ciptaan Lan Thian-jui." "Pukulan penghancur ombak" Aaai, sebuah nama yang aneh, ilmu silat yang aneh, kalau tidak menjumpai sendiri, aku tak percaya kalau dikolong langit terdapat pukulan semacam ini." "Andaikata secara tidak sengaja Lan Toa-sianseng tidak bercerita tentang asal usul ilmu pukulan penghancur ombak, mungkin akupun tak tahu.
Aaaai, bukan saja dia tidak membunuh Yo Swan, bahkan membohongi aku, tampaknya kejadian ini berubah makin rumit, siapa tahu....
siapa tahu Lan Toa-sianseng memang sealiran dengan So Kin-soat" Sewaktu Lan Toa-sianseng tiba tiba datang menolong aku ketika terjebak dalam gua rahasia pembuatan panah kekasih, sebenarnya aku merasa berterima kasih sekali, tapi sekarang baru merasakan adanya keanehan." "Keanehan apa?" sela si nona.
"Bayangkan saja, gua itu sangat rahasia letaknya, jika Lan Toa-sianseng tidak sering lewat kesitu, masa segampang itu dia menemukannya" Kalau dia hapal dengan daerah sana, bukankah sama artinya dia terlibat langsung dengan rahasia panah kekasih, atau mungkin dialah dalang sesungguhnya" Terlebih saat dia datang menolong, justru disaat nyawaku diujung tanduk.
Bukankah kejadian ini kelewat kebetulan?" Perkataan itu membuat Siau Hui-uh terkesiap, tangan kakinya sampai dingin semua.
Kembali Tian Mong-pek berkata: "Bukannya aku ingin membalas air susu dengan air tuba, tapi kejadian sudah berkembang jadi begini, mau tak mau pikiranku pun melayang ke sana." Siau Hui-uh menghela napas panjang.
"Aaai, nama besar Lan Toa-sianseng sudah tersohor di seantero jagad, seandainya ia berbuat begitu .
. . . .. sikapnya dihari biasa benar benar mengerikan." Tiba tiba katanya lagi: "Senjata rahasia yang digunakan Yo Swan tadi merupakan senjata rahasia dari keluarga Tong, mula mula kusangka dia murid Tong Ti, kalau dipikirkan sekarang, bisa jadi senjata rahasia itu merupakan pemberian Tong Ti kepada So Kin-soat, kemudian So Kin-soat menyerahkan lagi ll kepadanya .
. . . .. Para jago yang duduk di empat penjuru ikut terbungkam, mereka sangka kedua orang itu sedang berpacaran, siapa sangka kalau apa yang dibicarakan justru merupakan sebuah rahasia besar dunia persilatan.
Tiba tiba terdengar seseorang membentak nyaring: "Sudah selesai pembicaraan kalian berdua?" Tian Mong-pek segera berbisik: "Hari ini, salah satu dari kita harus bisa kabur dari sini, jika kita mati bersama, rahasia ini akan selamanya ikut terkubur." "Kau...
kau suruh aku kabur seorang diri?" "Benar." "Kau....
kau kejam," seru Siau Hui-uh dengan air mata bercucuran, "kau sangka aku bisa hidup terus tanpa dirimu" Atau mungkin kau....
kau belum tahu" Kau...
kau....." Tian Mong-pek merasa hatinya sakit bagaikan diiris iris, sambil menahan air matanya agar tidak meleleh, katanya lagi: "Bila kau tak bisa kabur, matipun aku tak meram." "Baik," tiba tiba Siau Hui-uh menyeka air matanya, "setelah kabur hari ini, akan kusampaikan rahasia ini ke seluruh dunia, kemudian....
aku... aku akan menemanimu." Tian Mong-pek sadar keputusan gadis itu sudah bulat, dia semakin sedih, bisiknya sambil membelai rambutnya: "Kenapa....
kenapa harus begini?" Siau Hui-uh tertawa sedih.
"Masa... masa kau belum paham dengan perasaanku" Masa kau masih perlu bertanya" Kalau kau suruh aku hidup seorang diri, kaulah orang yang paling keji di dunia ini." Tian Mong-pek menghela napas panjang.
"Aaai, kalau memang begitu, kau baru boleh mati setelah menyampaikan rahasia ini kepada orang yang paling tangguh dalam dunia persilatan." "Kenapa?" "Kalau bukan orang paling tangguh, mana mungkin bisa menghadapi Lan Thian-jui?" Siau Hui-uh termenung sejenak, kemudian jawabnya: "Baiklah, aku berjanji." Setelah mendengar persetujuan gadis itu, Tian Mong-pek baru merasa lega hatinya.
Tiba tiba ia teringat dengan dua bersaudara busur sakti empat senar, bukankah selama hidup merekapun mencari orang tertangguh di kolong langit namun gagal menemukannya, bagaimana mungkin Siau Hui-uh bisa menemukannya"
Tiba tiba ia teringat dengan dua bersaudara busur sakti empat senar, bukankah selama hidup merekapun mencari orang tertangguh di kolong langit namun gagal menemukannya, bagaimana mungkin Siau Hui-uh bisa menemukannya" Siapa sangka Siau Hui-uh pun berpikir: "Dia sengaja bicara begitu karena tak ingin aku mati, memang disangka aku tak tahu" Asal kuberitahukan rahasia ini kepada ayah dan engku, aku bisa segera mati, dengan tenaga gabungan mereka berdua, masa tak bisa dianggap jago nomor wahid?" Begitulah kedua orang itu sama sama berpikir demi pasangannya, pelukan merekapun makin kencang, siapa pun tak ingin segera dipisahkan.
Bisik Tian Mong-pek kemudian: "Aku akan menarik perhatian mereka, sementara kau berusaha untuk lolos dari sini." "Traang, traaang," tiba tiba dua bilah pisau belati dilemparkan ke samping tubuh mereka berdua, lalu terdengar ketua berlengan satu itu membentak: "Kalau kuberi hanya sebilah golok, mungkin kalian berdua lagi lagi akan saling berebut." Setelah mendongakkan kepala dan tertawa seram, lanjutnya: "Tapi sekarang telah kusediakan dua bilah pisau, jadi kalian berdua bisa mati bersamaan waktu, hahaha.....
lihatlah, aku cukup memperhatikan perasaan kamu berdua." Tian Mong-pek segera menyambar pisau belati itu dan bangkit berdiri, setelah maju berapa langkah, tiba tiba tegurnya sambil tertawa: "Yo toako, siapa yang telah mengutungi lengan kirimu?" Sekujur badan ketua berlengan satu itu bergoncang keras, bentaknya: "Siapa.....
siapakah Yo toako mu?" "Hahaha, kau bisa kenali siaute, masa siaute tak dapat mengenali dirimu?" Tiba tiba Ping-ji, ciangbunhujin itu menyela: "Kalau sudah dikenali lantas kenapa" Yo Swan, biarlah dia saksikan wajahmu sebelum meninggal." Tiba tiba dia menarik lepas kain kerudung muka sang ketua.
Sepasang suami istri itu berdiri sangat dekat, tindakan inipun dilakukan mendadak dan diluar dugaan, tak heran kalau kain kerudung muka sang ketua segera tersingkap.
Betul juga, dia tak lain adalah Yo Swan.
Tian Mong-pek tidak tahu apakah perbuatan Ping-ji itu berniat baik atau jahat, kontan dia tertawa terbahak bahak.
"Hahaha, bagus! Bagus, ternyata memang Yo toako." Paras muka Yo Swan hijau membesi, serunya dingin: "Biarpun kita pernah angkat saudara, tapi ditegakkannya keadilan dan kebenaran, hari ini terpaksa aku putus hubungan dengan dirimu." Begitu tahu kalau Tian Mong-pek dan ketua mereka pernah angkat saudara, kembali para jago dibuat terkejut.
Tiba tiba Yo Swan merobek ujung bajunya sambil berteriak: "Aku tak boleh membela kepentingan pribadi demi urusan orang banyak, mulai sekarang aku putus hubungan dengan dirimu." "Bagus," kata Tian Mong-pek sedih, "begitu baik toako kepadaku, tak disangka toako justru putuskan hubungan persaudaraan terlebih dulu." Sekalipun licik dan keji, tak urung muncul juga rasa malu diwajah Yo Swan, tapi segera bentaknya: "Tak usah banyak bicara lagi, kau ingin bunuh diri atau kami harus turun tangan?" Tian Mong-pek jadi gelisah ketika dilihatnya Siau Hui-uh belum berniat melarikan diri, tiba tiba katanya sambil tertawa: "Siaute hanya ingin mati ditangan toako." Sambil berkata, dia mulai melangkah maju.
Entah karena takut dengan ilmu silatnya atau karena sudah melihat ada hal yang tidak beres, ternyata tak seorangpun dari kawanan jago itu yang berusaha menghalangi.
"Gampng saja kalau kau ingin mati ditanganku." Kata Yo Swan, mendadak dia angkat tangannya .
Walaupun Siau Hui-uh tahu kalau Tian Mong-pek pasti mati, tak urung dia berteriak juga: "Hati hati dengan senjata rahasia." Kematian Hee Kong-peng tadi membuat gadis ini meningkatkan kewaspadaannya.
Terlebih dia tahu kalau pemuda itu tak punya kemampuan untuk berkelit, dalam kagetnya tampak setitik cahaya hitam sudah melesat kearah ulu hati Tian Mong-pek.
Siau Hui-uh segera merasakan lututnya jadi lemah hingga badannya roboh ke tanah.
Para jago ikut menjerit kaget, sementara paras muka Ping-ji berubah jadi pucat pasi, hampir saja roboh terjungkal.
Siapa tahu ketika senjata rahasia itu menghantam ulu hati Tian Mong-pek, terdengar suara dentingan nyaring lalu senyap, sedang pemuda itu masih berjalan ke depan seolah tiada kejadian apapun.
Para jago kembali terperanjat, Siau Hui-uh bersorak girang sementara Yo Swan jadi terkesiap.
Ternyata Tian Mong-pek menganggap pedang hitamnya kelewat mencolok mata sehingga selama sakit tak berani digantung ditubuhnya, diapun enggan berpisah dengan senjata itu hingga diam diam menyembunyikan didepan dada, dibalik jubah panjangnya.
Tentu saja para jago tidak menyangka kalau pedang hitam itulah yang telah menahan senjata rahasia Yo Swan, mereka sangka bukan saja ilmu silat Tian Mong-pek belum punah, bahkan memiliki ilmu maha sakti.
Mereka jadi semakin ketakutan hingga mundur berulang kali, semakin tak ada orang yang berani turun tangan, Sambil tertawa seram teriak Tian Mong-pek: "Jangan jangan toako tak tega turun tangan?" Sebagaimana diketahui, anak murid perguruan panji kain putih selama ini tersebar di empat penjuru, mereka tak pernah mempunyai hubungan yang akrab dengan sang ketua.
Sebaliknya nama harum Tian Mong-pek sudah tersebar ke seantero jagad, pelbagai alasan yang disatukan inilah membuat orang semakin tak berani turun tangan.
Yo Swan segera tertawa seram, serunya: "Bagus, bagus sekali, aku memang tak tega untuk turun tangan." Baru saja dia akan melancarkan serangan lagi, tiba tiba siau-cui si dayang menubruk maju ke depan dan menggigit lengannya.
"Budak sialan, lepas tangan." Teriak Yo Swan gusar.
Mendadak Ping-ji ikut tertawa keras, katanya: "Dia tak akan lepas tangan, kau telah membantai seluruh anggota keluarga Tian Mong-pek, seharusnya termasuk diapun harus kau bunuh." Suara tertawanya melebihi isak tangis, sangat menusuk perasaan.
Tian Mong-pek terkesiap, nyaris dia jatuh tak sadarkan diri, sekalipun dia sudah tak punya sanak famili, namun semua pegawai yang ada dirumah merupakan pembantu lama yang hubungannya melebihi saudara sendiri.
Tampak Yo Swan melotot kearah Ping-ji dengan gusar, umpatnya: "Kau....
kau sudah edan, cepat tutup mulut." Tangannya menekan ke bawah, langsung menotok ke atas jalan darah kematian di kepala siau-cui, maksudnya biar gadis itu terhajar lepas.
Siapa tahu meski Siau-cui sudah mati, darah segar meleleh dari mulutnya, namun giginya masih menggigit kencang kencang, biar ditabok seperti apapun, sulit bagi Yo Swan untuk melepaskan diri.
Menyaksikan peristiwa ini, kembali para jago dibuat terkejut dan bergidik.
Kembali Ping-ji berteriak sambil tertawa seram: "Kau telah membantai seluruh keluarga Tian Mong-pek, karena melihat wajahku lumayan maka kaupun telah menggagahi diriku....." "Tutup mulut." Hardik Yo Swan gusar.
Walaupun dia ingin melepaskan diri dari gigitan siau-cui, apa daya lengannya tinggal satu dan lengan yang digigitpun merupakan lengan tunggalnya, ditambah lagi gigitan orang mati jauh lebih kencang dari apapun.
Bukan saja Yo Swan gagal melepaskan diri, mau melancarkan serangan dengan senjata rahasia pun tak mampu, terpaksa sambil menyeret jenasah siau-cui, dia berusaha menghajar Ping-ji.
Akibatnya gerak gerik Yo Swan jadi sangat terganggu, ditambah Ping-ji memiliki ilmu ginkang yang bagus, untuk sesaat sulit baginya untuk membentuk perempuan itu.
Dengan cepat ke dua belas orang lelaki kekar itu maju membantu, siapa tahu Siau Hui-uh kembali menghadang mereka.
Sesungguhnya ilmu silat yang dimiliki kedua belas orang itu tidak mampu menandingi Siau Hui-uh, apalagi ilmu pukulan penghancur ombaknya tak mampu digelar, otomatis kekuatan mereka semakin melemah.
Tampak Siau Hui-uh bergerak kian kemari bagaikan sukma gentayangan, tak sampai berapa saat sudah berapa orang diantaranya yang tertotok jalan darahnya.
Tian Mong-pek merasa terkejut bercampur girang, sayang dia tak punya tenaga untuk membantu hingga untuk sesaat hanya berdiri melongo.
Sun Kiu-si berdiri disisi Tian Mong-pek, jelas dia berniat untuk memberi perlindungan.
Terdengar Ping-ji berseru lagi sambil berkelit: "Walaupun tubuhku masih suci, tapi sejak kecil sudah hidup dalam lingkungan kotor, banyak ilmu merayu yang berhasil kupelajari, sungguh menggelikan kau masih menganggap diriku sebagai gadis suci, baru dirayu berapa kata, semalam kemudian sudah tak tega membunuhku....." Saat itu, dia sudah berhasil kabur ke tengah kerumunan para jago, Yo Swan semakin tak mampu mengejarnya, sedang para jago pun enggan turun tangan terhadap ciangbun hujin.
Dengan marah teriak Yo Swan: "Dimana para anggota perkumpulan panji kain" Melihat ketua kalian dihina, kenapa tak ada yang turun tangan?" Para jago tertegun, ada satu dua orang siap turun tangan.
Perlu diketahui, bagi orang persilatan, seorang ketua partai adalah segalanya, sekalipun dia adalah orang jahat dan kejam, mereka tak akan membiarkan ketuanya dihina orang, bila ketua menghadapi bahaya, mereka pun wajib melindungi.
Peraturan semacam ini sudah berlaku ribuan tahun, karena itu pula Siau Hui-uh berdua tak bisa berbuat banyak.
Baru saja Tian Mong-pek merasa terperanjat, tiba tiba terdengar Ping-ji berseru sambil tertawa terkekeh: "Siapa bilang kau masih seorang ciangbunjin" Mana tanda pengenal panji kain putih mu?" Yo Swan terperanjat, ia merasa keringat dingin membasahi punggungnya.
Tampak Ping-ji mengayunkan tangannya, panji kain putih segera berkibar.
Rupanya dia sudah merampas tanda kebesaran itu, dan Yo Swan tidak pernah menyangka istrinya akan berhianat.
Dengan amarah yang memuncak bentak Yo Swan: "Dasar perempuan rendah sialan, besar amat nyalimu, tak kusangka berani amat kau mencuri panji kebesaran itu.
Saudara sekalian, bekuk dulu perempuan sialan itu." Kembali para jago siap melancarkan serangan.
Dengan lantang teriak Ping-ji: "Panji kain berada ditanganku, akulah ciangbunjin, siapa berani turun tangan?" Untuk kesekian kalinya para jago menghentikan aksinya.
Dengan marah teriak Yo Swan: "Dia telah mencuri panji kain itu, aku tetap sebagai ciangbunjin, siapa berani membangkang perintahku?" "Betul, aku memang mendapatkan panji ini dengan mencuri, memangnya kau tidak mendapatkan dengan mencuri" Saudara sekalian, cepat tangkap bajingan she-Yo itu!" Para jago dibikin kebingungan, untuk sesaat mereka tak tahu harus menuruti perintah siapa.
Tiba tiba terdengar seseorang berseru: "Mana Him toako" Cepat ambilkan keputusan!" Yang mereka panggil sebagai Him toako bernama Him Ceng-hiong, dia adalah seorang yang jujur dan adil.
Seseorang segera menyahut sambil bangkit berdiri, dia berperawakan tinggi besar, ketika melepas kain kerudungnya, terlihat rambutnya telah beruban.
Setelah berpikir sejenak, diapun berkata: "Bagaimana pun, kita harus persilahkan hujin untuk menyelesaikan dulu perkataannya, kemudian baru mengambil pertimbangan." Tian Mong-pek menghela napas, pikirnya: "Cukup adil dan bijaksana perkataan orang ini, tak heran kalau para jago mempercayainya." Benar saja, para jago segera memberikan dukungannya.
Yo Swan tak berdaya, terpaksa ujarnya dengan wajah hijau membesi: "Baik, baik, silahkan kalian bicara, jangan menyesal kalau nanti akan kulaksanakan peraturan perguruan." Tiba tiba terdengar seseorang erteriak: "Memangnya orang yang menentang pendapat juga harus dihukum sesuai peraturan?" Orang ini punya hubungan yang akrab dengan Hee Kong-peng, saat ini dia tak dapat mengendalikan lagi emosinya.
Dengan gemas Yo Swan melotot kearahnya, tapi dia tak banyak bicara lagi.
Yang harus dilakukan sekarang adalah berusaha melepaskan diri dari gigitan siau-cui yang telah jadi mayat, sebagai orang yang licik, tentu saja dia tak ingin menimbulkan kerusakan besar ditubuh mayat tersebut, karena hal ini bisa menimbulkan protes dan antipatik banyak orang.
Terdengar Ping-ji berkata lebih jauh: "Tahukah kau, kenapa aku tetap bertahan hidup walaupun kesucianku telah kau gagahi" Bahkan sebaliknya dengan pelbagai cara kuberusaha merayu dan memikat hatimu" Aku mengerti, pada awalnya kau tak percaya, terkadang memberi aku kesempatan untuk kabur, ada kalanya sengaja tidur mendengkur, bahkan sengaja meletakkan senjata disampingku, hm, tapi aku tidak berusaha kabur, pun tidak berusaha membunuhmu, melihat kau tertidur, akupun menyelimuti badanmu, melihat kau mabuk, aku pun membuatkan kuah penyadar mabuk." Sesudah tertawa terkekeh, lanjutnya: "Aku tahu, kau selalu mengawasi setiap gerak geriku, lama kelamaan kau baru percaya kalau aku telah mencintaimu, rela mengikutimu sepanjang masa." Suara tertawanya makin lama semakin kencang, lanjutnya: "Sekarang aku katakan, aku sengaja berbuat begitu karena ingin menanti peristiwa seperti hari ini, menyaksikan kau mampus ditanganku!" Yo Swan menggertak gigi saking geramnya, tiba tiba bentaknya nyaring: "Biarpun kau sudah bicara ngaco belo, tapi Tian Mong-pek terbukti sudah membunuh ketua Chin, dendam kesumat ini harus dibalas." Dengan suara gemetar Tian Mong-pek segera berseru: "Chin locianpwee tewas oleh panah kekasih, akulah yang telah mengebumikan jenasahnya, dia orang tua pula yang menyerahkan panji kain putih itu kepadaku." "Kentut!" jerit Yo Swan, "aku yang telah mengubur chin cianpwee, saudara sekalian, jangan sampai ditipu bajingan itu." Para jago semakin kebingungan, mereka tak tahu harus percaya dengan perkataan siapa.
Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benak Tian Mong-pek, teriaknya: "Kalau kau bilang dirimu yang telah mengubur jenasah Chin locianpwee, tahukah kau pakaian apa yang dikenakan dia orang tua ketika meninggal" Dimana pula jenasahnya dikuburkan?" Yo Swan kaget setengah mati, sahutnya agak tergagap: "Tentu saja di.....
di tebing Mo-kan-san." Karena mendapatkan rahasia panji kain putih itu di tebing bukit Mo-kan-san, dia sangka kuburan Chin Mo-chuan pasti berada diseputar sana.
"Kentut busuk," umpat Tian Mong-pek sambil tertawa keras, "untung saja aku tak pernah memberitahukan kepadamu dimana kukubur jenasah Chin locianpwee, bila saudara sekalian tak percaya, silahkan .
. . . . . .." Ketika mendengar sampai disitu, mendadak Him Ceng-hiong berteriak lantang: "Kami percaya penuh." Begitu kejadian sudah terungkap, mana benar mana salah sudah menjadi jelas, serentak para jago membentak nyaring: "Tian tayhiap tak akan berbohong." Menyaksikan keadaan ini, Yo Swan menghela napas panjang.
"Aaai, tak kusangka .
. . . . .." Mendadak dia tertawa seram sambil membentak: "Mampus semuanya!" Dia mengayunkan puluhan titik cahaya hitam yang langsung menyerang ke tubuh Ping-ji, Tian Mong-pek serta Siau Hui-uh, sementara dia sendiri sudah menerobos keluar dari pintu utama.
Tapi entah mengapa, sewaktu keluar dari pintu, mendadak terdengar lagi suara jeritan ngeri sebelum tubuhnya lenyap dari pandangan mata.
Ternyata pada saat itu dia telah berhasil menghancurkan gigitan di lengannya dengan tenaga dalam, hanya saja dengan sengaja membiarkan tetap menempel dilengannya.
Begitu dia melepaskan senjata rahasia secara tiba tiba, benar saja, Tian Mong-pek bertiga sama sekali tak menyangka akan hal ini, sementara para jago pun tak sempat menjerit kaget, apalagi datang memberi bantuan"
Bab 49. Diselimuti kabut keraguan.
Sudah cukup lama Siau Hui-uh bertarung melawan kedua belas orang lelaki kekar itu, meski sekarang telah berhenti bertarung, namun jaraknya dengan Tian Mong-pek tidak terlalu dekat, apalagi dia sedang repot mengurusi keselamatan sendiri, bagaimana mungkin bisa turun tangan untuk menolong orang lain" Pada saat itulah Tian Mong-pek merasakan datangnya satu kekuatan besar dari belakang, kekuatan yang membuat tubuhnya melambung tanpa sadar, senjata rahasia yang mengancam tiba seketika melesat lewat dari bawah alas kakinya kemudian lenyap tak berbekas.
Dalam kerepotan, dia melihat tubuh Ping-ji ikut melayang ke udara, sedang dari bawah kakinya menyambar lewat cahaya gelap bagai awan, sedang Siau Hui-uh tahu tahu menjerit lalu roboh terjungkal.
Diantara ke tiga orang itu, sesungguhnya hanya Siau Hui"uh seorang yang tak mungkin terkena senjata rahasia, hanya dia seorang yang dapat menghindar atau memukul rontok senjata rahasia itu, siapa tahu justru hanya dia yang terluka.
Kini para jago baru menjerit kaget, ada diantaranya yang bermata tajam pun baru dapat melihat dengan lebih jelas.
Ternyata dibelakang tubuh Tian Mong-pek serta Ping-ji selalu menempel seseorang, hanya saja karena orang itu mengenakan jubah putih maka siapapun tidak menaruh perhatian kepadanya.
Hingga senjata rahasia dilancarkan, tiba tiba kedua orang itu mendorong tubuh Tian Mong-pek dan Ping-ji hingga terpental, sementara tangan yang lain dipakai untuk menggulung senjata rahasia itu ke balik bajunya.
Para jago dapat melihat kalau tenaga dalam yang dimiliki kedua orang itu sudah mencapai tingkat yang luar biasa, sekarang mereka baru tahu kalau kedua orang itu bukan anggota perguruan panji kain.
Tapi yang lebih aneh lagi adalah Siau Hui"uh ternyata tidak berusaha menghindar, ia membiarkan senjata rahasia itu menghajar tubuhnya.
Suasana didalam gedung kontan jadi kacau, begitu kakinya menginjak tanah, tanpa berpikir lagi kenapa badannya bisa mencelat, Tian Mong-pek menjerit kaget kemudian langsung berlarian menghampiri Siau Hui-uh.
Dua orang yang berada dibelakang Ping-ji ikut melambung pula ke udara dan melayang turun disamping Siau Hui-uh.
Salah seorang diantaranya segera membopong tubuh Siau Hui-uh sambil bisiknya: "Anak Uh....
anak Uh . . . . . .." Sewaktu tutup kepalanya dilepas, ternyata dia adalah Siau Ong-sun, kokcu dari lembah kaisar.
Sedangkan orang yang lain ikut melepas penutup kepalanya, dia adalah Tu Hun-thian.
Tian Mong-pek sama sekali tidak menyangka kalau kedua orang Bu-lim cianpwee ini bakal muncul disini, dalam kagetnya belum sempat dia bertanya lebih jauh, Cepat dia menubruk ke sisi Siau Hui-uh.
Tampak Siau Ong-sun dengan mata berlinang berbisik: "Ayah tidak turun tangan lebih Cepat, ayah telah mencelakaimu, tapi.....
tapi... kenapa kau tidak berusaha menghindari senjata rahasia itu?" Walaupun pengetahuannya luas, menguasahi ilmu pertabiban, namun ia tak berani memberi pertolongan secara sembarangan karena tidak mengetahui sifat racun itu.
Maka dia totok dulu empat buah jalan darah penting ditubuh Siau Hui-uh, namun karena rasa kuatir yang berlebihan, peluh membasahi seluruh tubuhnya.
Siau Hui-uh membuka matanya, melihat ayahnya hadir disitu, dengan rasa girang ujarnya lirih: "Kalau dia.....
dia tak bisa menghindar, apa gunanya aku berkelit, kami.....
kami ingin mati bersama, kalau membiarkan dia berangkat seorang diri .
. . . .. dalam perjalanan menuju ke alam baka pasti akan kesepian....." mana mungkin aku tega .
. . . . ..?" Remuk redam perasaan Tian Mong-pek mendengar ucapan itu, saking sedihnya dia sampai tak mampu berkata kata.
Tu Hun"thian menghentakkan kakinya berulang kali, para jago tertunduk sedih, bahkan Ping-ji pun ikut menangis tersedu.
"Bocah bodoh," kata Siau Ong-sun, "dia....
dia tidak terkena senjata rahasia!" "Dia....
dia tidak . . . . . .." Siau Hui-uh segera berpaling memandang Tian Mong-pek, tiba tiba badannya gemetar lalu jatuh tak sadarkan diri dalam pelukan ayahnya.
Siau Ong-sun merasa amat menyesal, katanya: "Kenapa aku tidak turun tangan sejak awal, sebaliknya malah melatih kalian.
Aaai, kalau sejak tadi sudah turun tangan, mana mungkin akan terjadi peristiwa ini?" Baru selesai dia berkata, tiba tiba dari atas kepala terdengar seseorang berkata sambil menghela napas: "Benar, kalau kau turun tangan sejak awal, tentu lebih baik, tapi...
sekarang pun belum terlambat." Dengan kaget semua orang mendongakkan kepala, tampak diatas tiang penglari muncul empat buah kaki berkaus putih, dari jubahnya yang abu abu dapat diketahui kalau mereka semua adalah pendeta.
Suara itu lembut, halus tapi tajam, ketika para jago masih kaget, Tu Hun-thian telah berseru: II "Sobat .
. . . .. saudara . . . . .. taysu..... hujin . . . . . .. secara beruntun dia ganti panggilan sampai empat kali, namun semuanya merasa kurang pas, akhirnya dia berteriak: "siapa kau?" "Coba kau tebak?" sahut orang diatas tiang penglari sambil tertawa.
"Saat ini pikiranku sedang kalut," ujar Siau Ong-sun dengan suara dalam, "bila kau adalah sahabat, bukan musuh, tolong jangan mempermainkan lagi." Maksud dari perkataan itu: "Kalau masih mempermainkan, berarti mencari penyakit buat diri sendiri." "Turut perintah!" sahut orang diatas tiang penglari, disusul kemudian terlihat dua sosok bayangan abu abu melayang turun ke bawah.
Kedua orang itu mengenakan lhasa dengan tangan membawa tasbeh, ternyata dua orang nikouw, yang disebelah kiri tampak sudah tua sekali, wajahnya penuh keriput.
orang yang disebelah kanan, meski sudah berusia lanjut namun masih terlihat sisa kecantikannya.
Baru saja Tian Mong-pek merasa kedua orang nikouw itu seperti agak dikenal, Siau Ong-sun telah berseru: "Kau.....
kenapa kau jadi rahib?" Sesosok bayangan wanita cantik berbaju merah segera melintas dalam benak Tian Mong-pek, setelah diamati, diapun ikut menjerit kaget: "Tiau-yang hujin!" "Omintohud," nikouw itu merangkap tangannya sambil tersenyum, "Tiau-yang hujin sudah mati, yang ada sekarang tinggal Coat"hong nikouw." Dengan wajah sedih Siau Ong-sun segera memberi hormat, katanya: "Tak disangka sahabat lama telah mengikuti ajaran Budha, melihat keberhasilan ini, aku sungguh ikut merasa gembira." Dia seperti akan mengucapkan sesuatu, namun tenggorokannya terasa tersumbat dan tak mampu dilanjutkan.
Coat"hong taysu atau Tiau-yang hujin terlihat sedih, namun Cepat dia berkata sambil tersenyum: "Kokcu mendoakan yang baik, pinni mengucapkan banyak terima kasih." Kedua orang itu saling bertukar pandangan sekejap lalu masing masing melengos kearah lain, semua perasaan cinta dan benci yang membelit mereka hampir puluhan tahun, seolah sudah menguap dan hilang dalam sesaat itu.
Nikouw yang ada disebelah kiri segera berkata: "Buddha maha pengasih, ternyata suci benar benar sudah terbuka pikirannya." Biarpun usia orang ini lebih tua, ternyata posisinya hanya sebagai adik seperguruan.
Coat"hong taysu segera tertawa, katanya: "Bukankah sumoay pun telah berhasil membuka pikiranmu?" "Biarpun aku berhasil melepaskan diri dari pintu cinta jauh didepan suci, namun tidak secepat apa yang suci raih .
. . . .." Seakan terbayang kembali masa lalu, perlahan dia tundukkan kepalanya.
"Duuu, apa itu lebih dulu, belakangan, tak ada yang Cepat, tak ada yang lambat....." bentak Coat"hong taysu.
Kata "Duu" merupakan teguran yang dalam kalangan Buddha disebut "kemplangan diatas kepala" Nikouw berjubah abu abu itu tampak kaget, buru buru dia merangkap tangannya didepan dada seraya menyahut: "Benar!" setelah itu sambil tersenyum kearah Tian Mong-pek, tanyanya: "Tian sicu, sudah tidak kenal dengan pinni?" Tian Mong-pek tertegun.\ "Ini....
ini....." "Coba perhatikan lagi." Kata Coat"hong taysu pula.
Tian Mong-pek segera mengamati lebih seksama, mendadak hatinya kembali merasa kaget, sesosok tubuh semampai berbaju merah melintas dalam benaknya, tak tahan lagi dia menjerit kaget: "Ular merah .
. . . . . . .." Walaupun dia sudah mengenali nikouw berjubah abu abu itu sebagai ular merah bergincu yang pernah dijumpai di puncak bukit Kun-lun, namun pada akhirnya perkataan itu tak sampai selesai diutarakan.
Nikouw itu kembali tertawa.
"Omintohud, ular merah bergincu sudah mati, yang ada dalam dunia ini tinggal Miat-hong nikouw, yang ada sekarang jubah lhasa, bukan lagi baju berwarna merah." Tian Mong-pek merasa terkejut bercampur gembira, dia tahu perselisihan cinta antara dua bersaudara Kongsun dengan dirinya yang sudah menyiksa hampir puluhan tahun, memang sudah sepantasnya terselesaikan.
Dengan wajah bersungguh-sungguh diapun berkata: "Kionghi taysu." Miat"hong taysu tertawa.
"Andaikata Coat"hong suci tidak berkunjung ke bukit Kun-lun dan membawa aku menyeberangi samudra kesedihan, mungkin hingga hari ini aku belum bisa lolos dari urusan cinta." Coat"hong taysu ikut tertawa.
"Membawa kau menyeberang mah gampang, mau membawa dua bersaudara Kongsun itu susahnya melebihi naik ke langit, namun kalau dilihat watak mereka berdua, setelah hari ini menjadi murid Buddha, selamanya mereka akan tetap menjadi murid Buddha.....
Tian sicu, mereka berdua titip pesan kepada pinni untuk disampaikan kepadamu, bunga seruni giok-hu-han-kiok sudah tak perlu ditanam lagi, bila ada waktu nanti, jangan lupa untuk berkunjung ke kuil Mong-cing-sie di bukit Kun-lun dan menengok seorang pendeta yang bernama Mong-cing dan satu lagi bernama Mong-sin." Tian Mong-pek menyahut dengan hormat, perasaan hatinya makin trenyuh, pikirnya: "Tak heran kalau sudah lama aku tak mendengar kabar tentang Tiau-yang hujin, rupanya setelah mencukur rambut jadi nikouw, diapun berkunjung ke II bukit Kun-lun untuk menyadarkan rekan lainnya .
. . . .. Terbayang dua bersaudara Kongsun yang bersifat keras dan lembut, tapi kenyataannya berhasil disadarkan, sudah jelas hal ini bukan pekerjaan mudah, bisa dibayangkan betapa sulitnya perjalanan Coat-hong taysu waktu itu.
Terdengar Siau Ong-sun berkata sambil menghela napas sedih: "Tak kusangka kau .
. . . .. taysu berhasil dengan usahanya, dan berhasil membujuk orang untuk bertobat.
Hanya saja, apakah taysu dapat selamatkan pula putriku?" Coat"hong taysu segera tertawa, sahutnya" "Kalau berganti masa lalu, pinni tak berani berjanji, tapi setelah hari ini mendapat seorang ahli racun sebagai adik seperguruan, pinni yakin luka putrimu bukan masalah." Siau Ong-sun dan kegirangan.
II "Terima kasih taysu .
. . . . .. serunya. Dia cukup tahu akan kehebatan si ular merah bergincu dalam melepaskan racun, ditambah lagi dengan ilmu pertabiban dari Tiau-yang hujin, rasanya tiada racun didunia ini yang tak dapat mereka punahkan.
Tiba tiba terdengar Siau Hui-uh menjerit keras lalu tersadar dari pingsan, serunya gemetar: "Dia tidak mati.....
akupun tak ingin mati . . . . .. akupun tak ingin II mati .
. . . .. Meskipun luka yang diderita Tian Mong-pek sudah bukan masalah, namun jeritan yang menyayat hati itu seketika membuat hatinya jadi kecut, buru buru bisiknya lembut: "Kau.....
kau tak bakal mati." "Kau...
kau berbohong.... aku tahu.... aku . . . . .." air mata berlinang membasahi wajah Siau Hui-uh.
Miat"hong taysu segera membelai rambutnya dan berkata lembut: "Thian itu maha pengasih, bukan saja kau telah mengenakan baju berlapis, sekarang berjumpa pula dengan kami, mana mungkin kau bisa mati?" "Sungguh.....
Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
aku tak akan mati?" tanya nona itu sambil mendongak.
"Tentu saja sungguh," Coat-hong taysu tertawa ramah, "asal Siau sicu dan Tian sicu merelakan kau untuk berpisah berapa waktu dan menyerahkan kau II kepada kami .
. . . . . .. Belum habis ucapan itu, Tian Mong-pek sudah menyela: II "Tentu saja boanpwee rela .
. . . .. II Mendadak ia merasa penggunaan kata "rela kurang pas, dengan wajah memerah, diapun tertunduk malu.
II "Kalau begitu, merepotkan taysu berdua.
Kata Siau Ong-sun. Mendadak terlihat tubuh Miat"hong taysu menyelinap ke hadapan Ping-ji, sepasang tangannya bergerak Cepat mencengkeram pergelangan tangannya.
"Traaang!" sebilah pisau belati segera terlepas dari genggaman Ping-ji.
II "Lepas tangan....
lepas tangan..... seru Ping-ji gemetar, "tolong jangan mm"sahL" "Kau masih begitu muda, kenapa ingin mati?" "Apakah aku masih bisa hidup....." apakah aku masih bisa hidup" Biarpun aku adalah orang yang dibeli orang lain untuk diberikan kepada Tian kongcu, tapi aku sudah masuk ke dalam keluarga Tian, berarti aku sudah menjadi milik Tian kongcu, tapi aku sudah dinodai bajingan siluman, hanya dengan kematian aku baru bisa mencuci bersih noda ini.
Taysu, tolong lepaskan aku?" Sebetulnya para jago merasa kagum kepada gadis ini setelah menyaksikan kegagahan dan kecerdasannya tadi, melihat dia berniat bunuh diri, dengan perasaan kaget kembali semua orang mengerumuninya.
Cepat Tian Mong-pek menghampirinya.
sambil menutupi wajah sendiri, seru Ping-ji: "Tian kongcu, Ping-ji sudah tak punya muka bertemu denganmu, kau....
lebih baik kau cepatlah pergi!" "Kenapa kau malu bertemu dia?" tanya Miat-hong taysu, "toh dia tak bakal pandang rendah dirimu." "Betul," sambung Tian Mong-pek, "aku merasa sangat berhutang budi kepada nona, bila terbesit pikiran memandang rendah diri nona, aku lebih rendah dari binatang." Tapi isak tangis Ping-ji makin menjadi.
"Terserah apapun yang dikatakan kongcu, aku .
. . . .. aku tak mungkin mengikuti kongcu lagi, hanya nona Siau yang paling pantas mendampingi kongcu." Sejak awal Siau Hui-uh sudah menaruh kesan baik terhadap gadis ini, dia semakin iba setelah mendengar ucapan itu, meski tubuhnya tak mampu bergerak, namun katanya: "Kau tak usah bicara bodoh lagi, kenapa kau tak pantas?" "Nona Siau, tolong jangan bicara lagi, aku hanya berharap kau bisa hidup bersama Tian kongcu hingga ratusan tahun, untuk itu Ping-ji sudah senangnya bukan main." Siau Hui-uh merasa berterima kasih bercampur sedih, untuk sesaat dia tak tahu harus bicara apa.
Mendadak Him Ceng"hiong bangkit berdiri dan berseru: "Sekalipun hujin tak mau lagi menikah dengan Tian kongcu, tapi sekarang kau adalah ciangbunjin perguruan panji kain, mana boleh mati?" "Ucapan Him toako tepat sekali." Para jago segera berteriak hampir berbareng.
Ping-ji tertawa sedih, katanya: "Ucapanku tadi sebenarnya mengandung maksud ganda, perguruan panji kain putih sesungguhnya milik Tian kongcu, hanya Tian kongcu yang pantas menjabat ciangbunjin dari perguruan panji kain putih." "Bila aku berniat jadi ketua perguruan, sejak sebelum Chin locianpwee meninggal, tawaran itu pasti telah kuterima .
. . . .. nona, kau berhasil membongkar rencana busuk Yo Swan, berhasil selamatkan nama baik perguruan panji kain putih dari perbuatan kaum durjana, bila arwa Chin locianpwee tahu di surga, dia pasti akan mewariskan perguruan ini kepadamu." Kembali semua jago memberi dukungan.
"Betul sekali," kata Him Ceng"hiong dengan hormat, "hujin telah berkorban demi perguruan ini, selain hujin, siapa yang pantas jadi ciangbunjin perguruan panji kain putih ini?" "Aku....
aku tak lebih hanya seorang pelacur murahan, sekarang....sekarangpun aku telah ternoda, dengan statusku yang begini rendah, apa pantas menjadi ketua perguruan besar ini?" "siapa yang mengatakan kau rendah, dialah yang sebenarnya orang paling rendah," sela Miat-hong taysu dengan suara dalam, "menurut pendapatku, perempuan perempuan yang menganggap dirinya suci pun pasti akan angkat kepala bila bertemu dengan kau." "Tepat sekali perkataan taysu!" seru para jago.
"Apalagi bicara soal status rendah, di dunia ini tiada orang lain yang lebih rendah daripada diriku dimasa lalu, bukankah hingga kini aku masih hidup segar bugar?" "Perkataan sumoay tepat sekali!" ujar Coat"hong taysu pula, "menurut pendapatku, watak bocah ini banyak kemiripan dengan watakmu dimasa lalu, kenapa tidak kau terima saja menjadi muridmu!" "Nona Ping-ji, bersediakah?" tanya Miat-hong taysu sambil tertawa.
Belum sempat Ping-ji menjawab, Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh telah mewakilinya menjawab: "Tentu saja bersedia .
. . . . .." Tapi kemudian mereka berdua saling berpandangan lalu tertawa.
"Nona Ping-ji, kenapa kau belum berlutut?" seru Siau Hui-uh.
Belum sempat Ping-ji menjawab, Tian Mong"pek dan Siau Hui-uh telah mewakilinya menjawab: ll "Tentu saja bersedia .
. . . . .. Tapi kemudian mereka berdua saling berpandangan lalu tertawa.
"Nona Ping-ji, kenapa kau belum berlutut?" seru Siau Hui-uh.
Tampaknya Ping-ji bertekad ingin mengabdi pada Budd ha, ia segera berlutut sambil serunya: "Taysu....
ooh! Bukan . . . . .. suhu, bila kau orang tua bersedia menerima Ping-ji menjadi muridmu, Ping-ji tidak akan mati." Miat-hong taysu segera tertawa.
"Baiklah anak manis .
. . . .. kau boleh ikut aku selama berapa tahun, setelah itu bila kau bersedia meneruskan jabatanmu sebagai ketua II perguruan .
. . . . . .. "sebagai murid Miat-hong taysu, dia sangat pantas menjadi ketua perguruan panji kain putih, aku rasa semua pasti akan mendukungnya." Sambung Siau Ong-sun sambil tertawa.
Para jago jadi kegirangan, serentak mereka memberikan dukungannya.
Tiba tiba Siau Hui-uh menyela: "Apakah murid Miat-hong taysu pantas juga menjadi putri angkat ayahku?" "Dasar budak cilik," ujar Siau Ong-sun sambil tertawa, "baru saja orang bilang kau pantas mendampingi Tian kongcu, sekarang kau ingin angkat dia sebagai adik angkat, tak tahu malu." Gelak tertawa segera menggema dalam ruangan.
Siau Hui-uh malu bercampur girang, serunya manja: "Ayah, aku.....
aku . . . . . .." Perasaan senangnya merasuk sampai ke dasar hati, membuat gadis ini hampir saja melupakan lukanya.
II "sudah, tak usah membuang waktu lagi, seru Miat-hong taysu, "sebetulnya kau bersedia tidak menerimanya?" "Wah, pendeta yang lihay, mana berani aku menampik." "Omintohud, siancay, siancay, dibagian yang mana pinni jadi lihay .
. . . .." Gelak tertawa para jago pun semakin ramai.
Diiringi gelak tertawa yang ramai, Ping-ji menyembah dihadapan Siau Ong-sun, hawa pembunuhan serta kepedihan yang semula menyelimuti ruangnpun seketika berubah jadi suasana gembira.
Entah sedari kapan kakek tukang sapu itu muncul disitu, tiba tiba dia ikut bertepuk tangan sambil tertawa, mata yang sepanjang tahun selalu kelihatan mengantuk, kini telah terbuka sangat besar.
Dengan lantang Him Ceng-hiong berseru: "Perguruan kami bisa dipimpin murid Coat-hong taysu serta putri Kokcu lembah kaisar, jelas kejadian ini merupakan satu kegembiraan yang luar biasa, hari ini kita harus merayakannya." "Betul." seru para jago serentak.
"Begini saja, biar boanpwee yang menjadi bandar untuk menyiapkan arak serta hidangan, ditempat ini juga akan kuundang cianpwee sekalian untuk minum hingga puas, untuk taysu berdua pun tak ada salahnya untuk mencicipi arak pantang." I "Tawaran ini biar pinni terima dihati saja," ujar Coat-hong taysu sambil tertawa, "tapi luka yang diderita nona Siau sudah tak bisa ditunda lagi, pinni harus segera mohon diri." Mendengar perkataan itu, tentu saja para jago tak berani menahan lagi, serentak katanya: "Semoga hujin segera kembali untuk menata perguruan, biarlah saat itu kami baru menghormati taysu berdua dengan arak." I "Pasti akan kuterima nanti," sahut Miat-hong taysu tertawa, "tapi sekarang pinni masih ada berapa urusan yang ingin minta tolong Him sicu, apakah Him sicu bersedia mengabulkan?" "Katakan saja taysu." Sahut Him Ceng-hiong dengan hormat.
"Untuk sementara waktu biar pinni bawa serta kitab pusaka dari panji kain putih, sementara Him sicu harus mengatur perguruan ini untuk sementara waktu, segala urusan putuskan saja sesuai dengan jalan pikiranmu." "Terima perintah!" Melihat orang itu menjawab secara singkat tapi tandas, Miat-hong taysu segera tahu kalau orang ini tak pernah omong kosong dan betul betul merupakan seorang lelaki sejati.
Diapun merasa amat lega, karena paling tidak urusan perguruan panji kain putih telah terselesaikan.
Mendadak terdengar Ping-ji berkata: "Aku pun ingin memohon satu urusan." "Silahkan memberi perintah, hamba tak berani menerima kata mohon." Kata Him Ceng-hiong penuh hormat.
Ping-ji tertawa, sambil menuding kakek tukang sapu itu katanya: "Dia pun merupakan orang yang lolos dari cengkeraman maut Yo Swan, aku berharap kau bisa baik baik merawatnya, jangan biarkan dia kelewat banyak minum arak." "Baik!" Saking terharunya, titik air mata membasahi wajah kakek itu.
Kembali Coat-hong taysu berkata kepada Siau Ong-sun sambil tertawa: "Pinni akan membawa pergi putri kandung kokcu, sedang sumoay pun akan membawa putri angkatmu, apakah kokcu tidak keberatan?" "Tidak, tidak, pasti tidak keberatan." Sahut Siau Ong-sun sambil tertawa.
"Hahaha, ternyata kokcu pun pandai merendah." seru Coat-hong taysu tertawa.
"Masih untung dia masih punya seorang menantu yang bakal menemani, pasti tak akan kesepian." Sela Tu Hun-thian tiba tiba sambil tertawa.
Kakek yang dihari biasa selalu serius, saat ini timbul juga niatnya untuk menggoda.
Kontan saja paras muka Tian Mong-pek dan Siau Hui-uh berubah jadi semu merah.
"Baiklah," kata Coat-hong taysu kemudian sambil berpaling ke arah Siau Hui-uh, "mari kita berangkat!" "Ke mana?" tanya Siau Hui-uh tertegun.
"Ke mana lagi, tentu saja kau harus menyampaikan salam perpisahan kepadanya!" Wajah Siau Hui-uh bertambah merah.
"siapa yang akan berpamitan .
. . . .." biar begitu, kerlingan matanya toh diam diam diarahkan kepada Tian Mong-pek.
II "Hanya aku yang tahu suara hati cici .
. . . . .. seru Ping-ji sambil tertawa.
"Coba katakan." Kata Coat-hong taysu.
"Tak lama lagi, cici toh bakal berjumpa lagi dengan cihu, tentu saja dia harus berlagak sok tak kepikiran, coba kalau tidak....
hehehe.... masa kau orang tua tidak melihat sikapnya barusan .
. . . .. bila kau tidak membiarkan mereka berdua bermesraan dulu, mungkin .
. . . . .." Diapun segera menirukan gayanya yang garang.
Tapi sebelum selesai bicara, dia sudah tertawa terpingkal pingkal.
\\ II "Cerewet..... umpat Siau Hui-uh, "kau...
kau . . . . .. Dalam kondisi lemah, malu dan geli, dia tak mampu melanjutkan kata katanya.
Begitulah, para jago baru kembali duduk setelah menghantar kepergian Coat-hong taysu sekalian yang berlalu sambil mengajak Siau Hui-uh serta Ping-ji.
Siau Ong-sun, Tu Hun-thian maupun Tian Mong-pek menghembuskan napas lega.
Setelah duduk berapa saat, pemuda itu baru bertanya mengapa Siau Ong-sun berdua bisa tiba disana" Ujar Tu Hun-thian: "Sesudah berpisah dengan kau hari itu, betul saja tak sampai dua hari aku berhasil menyusul Siau kokcu.....
hahaha..... padahal Siau kokcu lah yang sedang mencari aku dijalanan itu." "Setelah cianpwee berhasil mengejarnya.....
berhasil mengejarnya . . . . .." sela Tian Mong"pek tak sabar.
Sambil tersenyum kata Siau Ong-sun: "Lebih baik saat ini kau masih memanggil aku sebagai kokcu saja, aku yakin panggilan gak-hu (ayah mertua) masih belum berani kau gunakan." Kontak gelak tertawa menggema dalam ruangan.
Terbongkar rahasia hatinya, merah padam paras muka Tian Mong-pek, katanya: "Setelah cianpwee berhasil mengejar...Gak.....
Gak-hu, penyakit putrimu pasti sudah pulih kembali bukan." sebagai pemuda yang keras kepala, semakin orang mengatakan ia tak berani memanggil Gak-hu, pemuda ini justru makin sengaja menggunakannya.
Tu Hun-thian dan Siau Ong-sun saling bertukar pandangan sambil tertawa, sementara para jago segera bertepuk tangan sambil bersorak sorai.
Ujar Tu Hun-thian kemudian: "Setelah berunding dengan Gak-hu mu, aku merasa lebih baik penyakit putriku tak usah disembuhkan saja." "Kenapa?" tanya Tian Mong-pek keheranan.
Sekilas bayangan gelap melintas diwajah Tu Hun-thian, sahutnya sambil menghela napas: "Terkadang, ada sementara orang akan merasa jauh lebih menderita disaat sadar ketimbang sewaktu masih linglung." Ucapan itu mengandung maksud yang sangat dalam, tapi Tian Mong-pek segera menangkap maksudnya, dia jadi sedih dan ikut menundukkan kepala.
Bayangkan saja, andai Tu Kuan tersadar dari linglungnya, melihat kekasih hatinya telah menjadi menantu orang lain, sedang dia sendiri justru menjadi bini orang lain, penderitaan semacam ini mungkin akan jauh lebih berat dan sukar ditahan oleh siapapun.
Daripada begitu, bukankah jauh lebih baik membiarkan dia tetap linglung tapi kehidupannya lebih aman tenteram, mungkin dia akan jauh lebih bahagia.
sebetulnya maksud Tu Hun-thian dengan menjelaskan keadaan tersebut adalah agar Tian Mong-pek tidak merasa bersalah, tapi begitu Tian Mong"pek memahami keadaan yang sebenarnya, rasa bersalah serta penderitaannya malah semakin bertambah.
Melihat mimik wajah pemuda itu, Tu Hun-thian segera bertanya sambil tertawa: "Apa yang kau sedihkan" Anak Kuan bisa melewati hidupnya dalam ketenteraman, kau seharusnya ikut gembira." II "Tapi....
tapi . . . . . .. "Hahaha, jelek jelek Tong Yan masih terhitung putra seorang tokoh dunia persilatan, dia sangat pantas mendampingi anak Kuan.
Lohu merasa puas sekali bisa mendapat menantu macam dia." Melihat kebesaran jiwa tokoh persilatan ini, Tian Mong-pek merasa kagum dan berterima kasih, tanpa terasa dia pun jatuhkan diri berlutut.
Selama ini Siau Ong-sun hanya duduk sambil tersenyum, tiba tiba selanya: "Barusan aku sudah terima seorang putri angkat, maukah saudara Tu menerima pula seorang putra angkat?" Tu Hun-thian tertegun, tapi dia segera menangkap maksudnya, tak kuasa dia tertawa terbahak bahak.
Para Ksatria Penjaga Majapahit 5 Pendekar Bodoh 4 Ratu Perut Bumi Mata Malaikat 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama