Ceritasilat Novel Online

Mata Malaikat 3

Rajawali Emas 10 Mata Malaikat Bagian 3


pasti akan menggoda gadis
murid Dewi Bulan itu.
"Dewi.... Lebih baik kita mencari di mana Goa
Seratus Laknat berada. Barangkali saja Tirta menuju
ke sana." "Berulang kali kita bertanya, berbusa sudah
mulut kita, tetapi tak seorangpun yang kita tanyai
memberi jawaban yang pasti tentang Goa Seratus Laknat." "Tetapi...."
Belum lagi Pendekar Judi meneruskan ucapan,
mendadak saja satu suara cukup nyaring namun lembut terdengar, "Pemuda itu benar, Dewi Berlian. Sebaiknya, kau meneruskan
langkah mencari Goa Seratus Laknat di mana Hantu Seribu Tangan yang telah
membunuh kedua orangtua mu berada."
Pendekar Judi dan Dewi Berlian sama-sama
tersentak kaget. Keduanya sama-sama segera memalingkan kepala ke arah kanan dari mana datangnya
suara itu. Berjarak tiga tombak dari hadapan keduanya,
berdiri seorang perempuan berusia setengah baya yang mengenakan pakaian panjang
berwarna biru kehita-man. Wajah perempuan itu begitu tenang sekali.
Mengenakan tudung kepala berbentuk kerucut.
Wajahnya masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikan
di masa mudanya. Di pergelangan tangan dan jarijarinya, terdapat gelang dan cincin bertahtakan berlian yang berkilauan.
Pendekar Judi tanpa sadar bersiaga. Karena,
saat ini sangat sulit sekali menentukan siapa kawan
dan siapa lawan. Sementara Dewi Berlian yang sejak
tadi wajahnya selalu menekuk cemberut, mendadak
berubah cerah. Segera saja dia menghambur ke depan
dan bersuara, "Guru!!"
Perempuan yang baru datang ini menyunggingkan senyuman di bibirnya. Tangannya yang dipenuhi
dengan cincin bermatakan berlian mengusap rambut
panjang gadis berbaju merah muda yang sedang berlutut di hadapannya.
"Berdirilah, Muridku...."
Perlahan-lahan Dewi Berlian berdiri. Sementara
Pendekar Judi menurunkan sikap bersiaganya.
"Mengapa Guru hadir di sini?"
Perempuan setengah baya yang bertudung kepala berbentuk kerucut yang tak lain Dewi Bulan
adanya, tersenyum mendengar pertanyaan muridnya.
"Rasanya, aku tak tega melepaskan kau seorang diri di rimba persilatan ini, Dewi. Perjalananmu mencari orang yang
membunuh kedua orangtua mu
akan mengalami jejak-jejak yang sangat sulit. Itulah sebabnya aku keluar dari
tempat bersemayam untuk
mengetahui keadaan dirimu."
Dewi Berlian menganggukkan kepalanya.
Terima kasih, Guru." Lalu diperkenalkannya
gurunya pada Pendekar Judi yang menjura memberi
hormat pula. "Dari percakapan yang kudengar tadi, kalian
saat ini sedang kehilangan jejak Rajawali Emas. Pendekar perkasa yang namanya akhir-akhir ini membuat
orang-orang rimba persilatan harus berpikir dua kali untuk bertarung dengannya.
Dewi, tak perlu kau urus
persoalan hati. Bila kau memang tetap hendak mencari Hantu Seribu Tangan,
berjalanlah ke arah Timur."
Dewi Berlian tersedak, lalu menundukkan kepalanya yang mendadak memerah mendengar katakata gurunya. Setelah beberapa saat, kepalanya di
angkat dan dia berucap lirih,
"Guru sendiri hendak ke mana?"
"Sebelum berjumpa denganmu dan Pendekar
Judi, aku telah bertemu dengan Mata Malaikat. Keterangan yang kudapat darinyalah yang membuatku bisa
mengatakan soal itu. Karena aku hendak mencarimu
dulu Dewi, makanya tak segera ku ikuti kemana perginya Mata Malaikat. Hanya yang ku tahu, orang tua
yang selalu memejamkan kedua matanya itu sedang
menuju ke Goa Seratus Laknat pula. Dan perlu kalian
ketahui, keadaan Rajawali I-mas saat ini baik-baik sa-ja. Karena, Mata Malaikat
telah berjumpa dengannya.
Dia mengatakan, sengaja meninggalkan Rajawali Emas
tatkala mendengar suara orang berkelebat di kejauhan yang diyakininya adalah
perempuan setengah baya da-ri golongan sesat yang berjuluk Ratu Api. Juga suara
gulingan tubuh yang dikenalnya berasal dari orang
yang berjuluk Bocah Maut."
"Oh! Lalu di manakah Kang Tirta sekarang berada, Guru?" tanya Dewi Berlian segera. Dari nada suara dan pancaran kedua
matanya tak bisa disembunyikan betapa dia sangat senang mendengar kabar
tentang Rajawali Emas.
Dewi Bulan tersenyum. Sedikit banyaknya dia
mulai merasa gembira karena muridnya mulai mengenal tentang asmara. Itu berarti, muridnya sedang
menuju pada jalan kedewasaan. Namun yang dikhawatirkan bila asmara yang singgah di hati muridnya akan mengalami benturan pada
sebuah dinding yang kokoh
dan tinggi. Lalu katanya, "Tak perlu mencemaskannya,
Dewi. Dan kau Pendekar Judi, apakah salah bila kukatakan kau murid dari Peramal Sakti atau juga yang
berjuluk Malaikat Judi dari Lembah Sumur Tua?"
Pendekar Judi menjura hormat. Lalu katanya
dengan suara yang menghormat pula, "Tak salah apa yang kau katakan itu. Peramal
Sakti atau Malaikat Ju-di memang guruku. Guru juga banyak menceritakan
tentang seorang perempuan perkasa yang berjuluk
Dewi Bulan. Dan beruntung sekali hari ini aku berjumpa dengan orang yang sering dibicarakan Guru."
Dewi Bulan tersenyum.
"Aku tak tahu urusan apa yang menyebabkan
mu juga mencari Hantu Seribu Tangan. Tetapi satu pesanku, berhati-hatilah dan jaga muridku yang sedang
kasmaran ini."
Pendekar Judi menganggukkan kepala sambil
nyengir dan matanya sengaja dikerlingkan menggoda
pada Dewi Berlian yang semakin memerah wajahnya. Belum lagi ada kata yang terucap dari mulut
dua muda-mudi itu, mendadak saja Dewi Bulan mendesis, "Ada orang yang datang! Kita bersembunyi du-lu!!"
Segera masing-masing orang berkelebat ke balik semak dan mengerahkan ilmu peringan tubuh.
*** Bab 8 Beberapa tarikan napas berlalu dalam kesunyian. Masing-masing orang yang bersembunyi, menunggu kedatangan orang yang didengar langkahnya
oleh Dewi Bulan dengan kedua mata dibuka lebih lebar. Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara orang
seperti membentak, "Orang tua pemarah! Ke mana lagi
jalan yang harus kita tempuh"!"
"Sontoloyo! Heran! Mengapa tak bosanbosannya kau bertanya soal itu kepadaku, hah" Apa
kau pikir aku tahu ke mana lagi jalan yang harus kutempuh"!" sahutan yang bernada membentak pun terdengar keras.
Dua suara yang berbeda namun bernada samasama keras itu seperti menggebah tempat yang cukup
sunyi. Tak lama kemudian tampaklah siapa orang
yang saling membentak tadi.
Bidadari Hati Kejam dan Manusia Pemarah.
Setelah mengobati Bidadari Hati Kejam yang
terluka akibat bentrokan dengan Sandang Kutung,
Manusia Pemarah berusaha mencari jejak orang berambut digelung ke atas dan wajah yang dipenuhi pupur putih itu. Setelah beberapa saat, orang tua berkuncir itu kembali lagi ke tempat semula. Kali ini dilihatnya si nenek berkonde
yang tadi terbaring sudah
duduk. Si nenek langsung bertanya tentang San dang
Kutung yang lagi-lagi dijawab oleh Manusia Pemarah
tidak tahu. Setelah itu, keduanya pun memutuskan
melanjutkan perjalanan kembali. Dan sekarang, mereka tiba di tempat itu.
Bidadari Hati Kejam melotot pada kakek berkuncir yang berdiri acuh tak acuh di sampingnya.
"Jangan berpikir karena kau telah mengobati
ku, aku harus berterima kasih kepadamu sehingga
kau bisa berbuat semau jidat nonong mu saja, hah"!"
"Sembarangan! Siapa yang butuh ucapan terima kasih mu, hah" Kau sendiri yang bersikap sok kuat padahal dirimu sudah mau
rontok terkena serangan
orang!" balas Manusia Pemarah dengan kedua mata yang melotot pula.
"Dasar orang tua pemarah!"sungut Bidadari Ha-ti Kejam jengkel. Lalu katanya
tanpa menoleh pada
Manusia Pemarah, "Dimana pula muridku itu?"
"Sontoloyo!! Otakmu ditaruh di mana, Kunti"
Aku tidak tahu soal itu! Kau pikir aku tidak bingung karena tak menemukan dimana
mana calon menantu-ku itu, hah?"
"Bicara sembarangan! Siapa sudi melihat muridnya bermertua kau orang tua busuk bau tanah! Heran! Mengapa kau bisa memiliki murid secantik Ayu
Wulan, hah" Bila saja dia bukan muridmu, tanpa di
minta pun akan kuminta gadis itu untuk berjodoh
dengan muridku!!"
"Sontoloyo! Urusan perjodohan urusan belakangan! Kunti, kau hendak memilih jalan yang mana
yang akan kita lalui?"
Selagi kedua orang tua yang sama-sama keras
kepal a itu saling berbicara tetap dengan nada membentak, Dewi Bulan yang mengintip tiba-tiba saja menyunggingkan sebuah senyum. Dia langsung keluar
dari balik semak dan berkata, "Dua sahabat yang selama ini ku rindukan. Bidadari
Hati Kejam dan Manusia Pemarah."
Kedua orang tua yang sama-sama keras kepala
itu seketika menolehkan kepala pada arah datangnya
suara. Bidadari Hati Kejam yang tadi bersungutsungut, tiba-tiba terkekeh-kekeh, "Dewi Bulan. Lama tak berjumpa, kau masih
tetap saja jelita."
"Kau pun tak jauh berbeda, Bidadari. Kau tetap
perkasa kendati sudah dimakan usia."
"Dan bertambah peot!" sambung Manusia Pemarah sambil mendengus.
Tangan kanan Bidadari Hati Kejam segera bergerak. "Bicara sembarangan!!"
Wuuuttt! Angin keras menderu seperti hendak menerabas leher Manusia Pemarah. Kakek berambut dikuncir
itu menggeram. Tanpa bergeser dari tempatnya, segera diangkat sebelah tangannya.
Wuuuss! Plaaarr! Sentakan angin yang keluar dari kibasan tangan kanan Bidadari Hati Kejam tertahan dan menimbulkan suara letupan keras. Masing-masing orang
yang melepaskan pukulan mundur tiga tindak bila tidak ingin tersambar oleh benturan angin yang cukup
kuat barusan. Begitu pula dengan Dewi Bulan yang
kini berdiri berjarak empat tombak dari keduanya.
"Sontoloyo! Mengapa kau main serang aku begitu saja, hah"! Ingin kuhajar rupanya!" maki Manusia Pemarah sambil mengangkat
sebelah tangannya.
Bidadari Hati Kejam memutar tubuh dan mementangkan kedua matanya ke arah Manusia Pemarah. "Justru kau yang akan kuhajar!!"
Dewi Bulan yang sudah tak merasa asing dengan sikap kedua sahabatnya itu menengahi seraya melangkah mendekat, "Mengapa satu sama lain harus terus bertengkar" Bukankah kita
punya urusan yang
sama?" Bidadari Hati Kejam menolehkan kepala lagi pada perempuan yang di jarijari tangannya dipenuhi
cincin berlian. Mulutnya masih merutuk jengkel pada
Manusia Pemarah. Kejap lain dia berkata, "Bila urusan yang hendak di tuntaskan
sama, apakah kau sudah
tahu ke mana tujuan?"
"Goa Seratus Laknat."
"Kalau memang benar yang kau katakan itu,
mengapa kau masih berada di sini" Apakah kau sudah
mengetahui kedatangan kami dan hendak menunggu.... Keparat! Dewi Bulan, sejak kapan kau membawa
dua anak manusia dan kau biarkan mengintip seperti
orang-orang busuk yang kurang kerjaan?"
Dewi Bulan yang tadi hendak menjawab katakata Bidadari Hati Kejam mengatupkan mulutnya lagi
dengan wajah memerah mendengar ucapan si nenek.
Tetapi karena paham bagaimana sifat Bidadari Hati
Kejam, segera ditindih rasa jengkelnya.
Lalu dia berkata, "Tak ada maksud untuk
membiarkan kedua orang itu mengintip. Muridku dan
kau Pendekar Judi, silakan keluar. Beri hormat dan
salam pada kedua orang tua ini."
Dewi Berlian dan Pendekar Judi yang terkejut
pula mendengar ucapan si nenek berkonde, keluar dari tempat masing-masing.
Sebenarnya sejak melihat Dewi
Bulan menyambut kedatangan keduanya mereka sudah ingin keluar, tetapi entah mengapa keduanya seperti menunggu isyarat dari perempuan berbaju panjang hitam kebiruan. Dan perlahan-lahan keduanya
berdiri tegak. Sepasang mata Manusia Pemarah melotot melihat pada Dewi Berlian. "Sontoloyo! Dewi Bulan.... Apakah gadis itu muridmu?"
"Betul."
"Cantik sekali."
"Orang tua bau tanah! Ucapanmu seperti pemuda berusia tujuh belas tahun! Apakah kau tak sadar berapa usiamu sekarang ini, hah" Cacing-cacing


Rajawali Emas 10 Mata Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanah sudah tak sabar menunggu jasad mu yang tinggal tulang!" maki Bidadari Hati Kejam segera, sementara Dewi Berlian hanya
tersenyum geli melihat kelakuan kedua orang tua yang sekilas saja bisa diketahui
kalau keduanya sama-sama keras kepala dan suka marah-marah. Dia teringat katakata Rajawali Emas yang saat ini kehilangan jejak guru dan lelaki tua yang
berjuluk Manusia Pemarah. Sudah tentu, kedua orang tua inilah yang dicari Rajawali Emas.
Manusia Pemarah mendengus. "Apa urusannya
denganmu yang sudah peot seperti itu, hah"! Sontoloyo! Urusan genit atau tidak urusan belakangan. Dewi Bulan, ceritakan apa yang
kau ketahui tentang Hantu
Seribu Tangan?"
Merasa lebih baik segera mengiyakan daripada
terjadi pertengkaran antara Manusia Pemarah dengan
Bidadari Hati Kejam, Dewi Bulan pun menceritakan
apa yang diketahuinya tentang Hantu Seribu Tangan.
Setelah ceritanya selesai, terlihat Bidadari Hati
Kejam mengangguk-anggukkan kepalanya sementara
Manusia Pemarah hanya terdiam saja.
"Jadi kau tidak berjumpa dengan murid kebluk
ku itu?" tanya Bidadari Hati Kejam kemudian.
"Tidak. Hanya Mata Malaikat yang mengatakan
kalau dia berjumpa dengannya."
"Kurang asem betul orang tua yang memejamkan kedua matanya itu!" maki Bidadari Hati Kejam.
"Dia sengaja meninggalkan muridku sementara dia ta-hu Ratu Api dan si cebol yang
berjuluk Bocah Maut
datang" Akan ku jitak kepalanya sampai benjol karena berani membiarkan muridku
sendirian."
"Bidadari Hati Kejam. Siapa pun tahu kesaktian
yang dimiliki muridmu itu. Julukannya akhir-akhir ini cukup santer sekali. Aku
yakin dia mampu mengatasi
masalah," kata Dewi Bulan.
"Hhhh! Terus terang, aku mencemaskan dirinya
yang nekat mencari Hantu Seribu Tangan. Orang sinting yang suka membunuh dengan senjatanya yang diberi nama Keranda Maut Perenggut Nyawa adalah
orang yang kejam dan memiliki kesaktian tinggi. Terbukti, sampai sekarang kita hanya tahu tempat tinggalnya tanpa diketahui di mana letaknya. Hanya saja,
petunjuk Mata Malaikat bisa kita jadikan patokan sekarang!" "Kalau memang seperti itu.... Mengapa kita masih berdiam di sini?" tanya Pendekar Judi sambil mengangkat sepasang alisnya
yang hitam. Bibirnya tersenyum. "Yang dikatakan Kang Cakra benar. Kita memang harus segera berangkat
sekarang," kata Dewi Berlian, namun lebih banyak ditekankan pada keinginan untuk
bertemu dengan Rajawali Emas.
Hanya Dewi Bulan yang merasakan hal itu sementara yang lainnya mengiyakan.
Pendekar Judi berkata, "Kalau begitu.... Biarlah saya berangkat lebih dulu."
Dan tanpa menunggu jawaban dari siapa pun,
pemuda itu telah berkelebat cepat. Dewi Berlian yang hendak menahan mendengus
jengkel. Tetapi tak berkata apa-apa.
"Sebaiknya memang begitu. Dewi Bulan, aku
ingin muridmu berangkat bersamaku. Kau setuju, bukan?" tanya Manusia Pemarah sambil melirik Bidadari Hati Kejam.
Si nenek berkonde tahu ke mana arti lirikan si
kakek berkuncir ekor kuda. Dia mendengus, "Siapa sudi berjalan bersamamu lebih
lama, hah" Orang tua
bau tanah! Rupanya di balik usiamu yang sudah memasuki malam, kau masih punya moral busuk bila
melihat jidat licin!"!"
"Sontoloyo! Sekali waktu ingin rasanya menampar mulutmu yang kurang ajar itu! Lebih baik berjalan bersama gadis ini,
ketimbang bersama nenek peot
pembentak!"
Bidadari Hati Kejam hendak menyahuti ucapan
Manusia Pemarah, tetapi urung tatkala mendengar kata-kata Dewi Bulan, "Untuk saat ini, saling marah di
antara kita tak perlu diperlihatkan."
Bidadari Hati Kejam kembali keluarkan dengusan. Lalu katanya pada Dewi Berlian, "Bocah Ayu! Kalau kau berjumpa dengan
muridku si Kebluk itu, sampaikan salamku."
"Kang Tirta bukan 'kebluk'!" bentak Dewi Berlian yang membuat kening Bidadari
Hati Kejam berkerut. Lalu seperti orang bodoh, si nenek berkata,
"Lebih banyak ditujukan pada dirinya sendiri, "Jadi....
Kau sudah mengenal muridku itu, ya" Sialan! Bodohnya aku! Sudah tentu kau mengenalnya! Ya, ya.... Bagus!" Habis kata-katanya, Bidadari Hati Kejam sudah berkelebat ke arah yang
dilalui Pendekar Judi tadi.
Manusia Pemarah menggeram. "Nenek peot
sontoloyo! Ayo, Bocah Ayu! Kita berangkat sekarang!!"
Tangan kurus si kakek berkuncir ekor kuda,
menyambar tangan lembut Dewi Berlian. Kejap lain,
dia sudah menyentaknya. Gadis berbaju merah muda
itu pun seperti terbawa dengan cepat.
Tinggal Dewi Bulan yang masih berada di sana.
"Urusan memang semakin membentang. Dan
rasanya, kendati tak ingin membalas dendam pada
Hantu Seribu Tangan yang telah membunuh kedua
orangtua muridku itu, tetapi rasanya, aku memang harus turun tangan sekarang."
Kejap lain, perempuan berbaju panjang hitam
kebiruan itu sudah meninggalkan tempat yang kembali
disergap kesunyian.
*** Bab 9 Sebilah papan kecil itu bergerak meninggalkan
Teluk Tenggorong tepat pertengahan malam tiba. Air
berombak tenang dan angin berhembus perlahan. Di
atas, gumpalan awan hitam yang biasanya bertumpuk
tumpuk seolah lenyap didorong angin. Diganti dengan
alam yang sangat cerah.
Sebilah papan yang nampaknya tak mengundang perhatian apa pun justru nampak satu bayangan
tegak berdiri di tengah-tengah papan itu. Orang yang berdiri di tengah papan itu
adalah seorang kakek berambut panjang beriap-riap sampai ke punggung. Air
yang memercik menampar ke atas papan, tak membikin basah pakaian putih panjang hingga ke mata kaki.
Orang tua itu mengenakan jubah warna putih pula.
Wajahnya teduh dengan sepasang mata jernih.
Kendati air tak bergerak cepat, namun anehnya
papan kecil yang dijadikan semacam tumpangan oleh
si kakek itu meluncur sangat cepat. Dan lebih aneh la-gi karena baju dan jubah
panjang yang dikenakan si
kakek tidak terdorong oleh angin yang melaju. Jangankan jubah dan pakaiannya, rambutnya yang panjang pun tak tergerai oleh angin yang mendesir cukup kencang.
Kedua mata si kakek memandang kejauhan,
menembus kegelapan malam. Dari raut wajahnya yang
sejak tadi tertekuk, jelas kalau dia memikirkan sesua-tu.
"Tiga bulan dia sudah meninggalkan Lembah
Sumur Tua. Tetapi sampai hari ini belum kembali juga.
Ada apa sebenarnya" Apakah ada urusan yang menghadang dalam perjalanannya?" Membatin si kakek tetap dengan bersedekap. "Tak
mungkin dia berani melanggar perintahku yang hanya mengizinkannya pergi
selama tiga bulan untuk melacak jejak Hantu Seribu
Tangan. Aku sudah semakin tua dimakan usia. Tetapi
rasanya, urusan Hantu Seribu Tangan yang bertambah
santer memaksaku harus keluar pula. Terutama, untuk mencari keterangan ke mana muridku itu pergi?"
Si kakek menolehkan kepalanya ke arah barat,
lalu ke timur dan kembali memandang ke depan. Yang
ada dalam pandangannya hanya kegelapan malam belaka. "Apakah ada urusan yang menghadangnya" Kalau memang iya, urusan apa hingga
dia terlambat kembali ke Lembah Sumur Tua?" desis si kakek lagi.
"Telah ku ramalkan kalau dia akan gagal berjumpa dengan Hantu Seribu Tangan.
Namun ramalan ku semalam justru mengatakan dia akan berhasil sampai di
Goa Seratus Laknat. Hmm.... Tetapi mengapa dia belum kembali?"
Si kakek terdiam kembali. Dan tiba-tiba saja si
kakek tersenyum.
"Ada tamu tak diundang rupanya," gumamnya
kemudian. Lalu dijejakkan kaki kanannya ke papan
kecil yang membawa tubuhnya itu. Dan....
Wuuutt! Papan kecil itu lebih cepat meluncur dari sebelumnya. Dan lagi-lagi pakaian serta jubah si kakek tak bergerak terkena tamparan
angin. Beberapa tarikan napas berlalu. Si kakek yang
menjalankan papan yang mengapung itu dengan tekanan tenaga dalam melalui sebelah kakinya pada papan, melihat sebuah bayangan di kejauhan.
"Daratan. Hmmm.... Orang belakang yang
mempergunakan sampan nampaknya terus mengikutiku. Aku jadi penasaran ingin tahu siapa orang itu.
Biarlah ku tunda untuk sementara mencari jejak muridku." Tak lama kemudian, papan kecil itu pun men-darat di tepi sebuah pantai
yang dipenuhi dengan pohon-pohon nyiur dan ranggasan pohon bakau. Sebelum benar-benar menepi, si kakek sudah berkelebat
cepat. Wuuutttt!
Tahu-tahu ia sudah berdiri tegak berjarak lima
belas tombak dari pantai dalam posisi menghadap ke
laut. Kedua matanya yang jernih dipentangkan ke depan. Tak nampak apa-apa sebenarnya, namun si kakek berujar pelan, "Orang itu masih membuntuti. Entah sejak kapan dia
mengikutiku."
Perlahan-lahan orang tua yang masih berdiri
dengan kedua tangan bersedekap itu terdiam. Beberapa kejap berlalu. Dalam pandangannya, satu bayangan
mencelat dari sebuah sampan kecil yang menepi di tepi papan yang dipergunakannya
untuk menyeberang tadi.
Di udara, orang yang melesat itu berjungkir balik beberapa kali sebelum menjejakkan kedua kakinya
di tanah dan berdiri tegak berjarak tiga tombak dari hadapan orang tua berbaju
dan berjubah panjang
warna putih. Orang yang baru datang itu ternyata seorang
nenek berwajah cukup mengerikan. Hidungnya bulat
dengan bibir yang tebal. Rambutnya hitam panjang
tergerai awut-awutan. Mengenakan pakaian panjang
berwarna jingga. Dari wujudnya yang mengerikan itu,
ternyata dia hanya memiliki telinga sebelah kiri yang dicanteli anting tiga
buah. Entah ke mana telinga sebelah kanannya itu.
Mendapati siapa yang datang, si kakek tetap
tenang. Bahkan tersenyum saat berkata, "Rupanya....
Iblis Cadas Siluman yang hadir di sini. Apakah urusan perjodohan di antara
murid-murid kita belum tuntas
sampai saat ini?"
Si nenek yang disebut Iblis Cadas Siluman
menggertakkan giginya yang hanya tinggal beberapa
buah, hingga kedua pipinya yang peot seperti tertarik ke dalam.
"Peramal Sakti! Kau tahu apa akibat penolakan
muridmu yang menolak cinta muridku, hah"!" sentak si nenek kemudian dengan nada
keras, menggema ke
seantero pulau.
"Iblis Cadas Siluman. Bukankah kita pernah
membicarakan soal itu. Urusan perjodohan di antara
murid-murid kita bukanlah urusan kita. Itu adalah
urusan mereka. Bila aku menerima ternyata muridku
tidak, itu merupakan sebuah kebijaksanaan. Begitu
pula sebaliknya. Lagi pula, sampai saat ini muridku
belum kembali dan tugas yang kuberikan."
"Jangan suka usilan kalau bicara!" bentak si nenek. "Bila saja kau mau
memaksanya, sudah tentu muridmu akan menerima muridku sebagai calon is-trinya.
Dia harus bertanggung jawab ke mana perginya muridku."
Kali ini si kakek yang ternyata adalah Peramal
Sakti atau Malaikat Judi terdiam beberapa saat. Lalu katanya, "Apa yang terjadi
dengan muridmu yang bernama Diah Srinti atau yang kau juluki si Angin Racun
Barat?" "Setan keparat! Jangan jual lagak di hadapan-ku! Gara-gara muridmu
menolak cintanya, muridku
pergi entah kemana. Sudah satu bulan aku melacak
jejaknya namun tak ketahuan juntrungannya. Hingga
ku putuskan untuk meminta pertanggungjawaban muridmu. Dan tak tahunya, Lembah Sumur Tua sudah
tak dihuni lagi. Masih untung aku bisa melacak jejak mu!!" "Nyi Randa barong!
Jangan kau limpahkan kesalahan itu kepada muridku yang tidak tahu apa-apa.
Lagi pula, urusan sudah jelas bukan?"
"Urusan akan tuntas bila sudah kutemukan
muridku dan kuberi pelajaran pada muridmu."
"Rasanya, tak baik kita membuka silang sengketa. Selama ini, bukankah kita sama-sama tenang di
tempat masing-masing tanpa gangguan apa-apa"
Hanya perjumpaan tak sengaja antara muridmu dengan muridku dan kemudian muridmu jatuh cinta kepada muridkulah yang akhirnya mengakibatkan putusnya ketenangan kita."
"Berbicara padamu memang berbelit-belit. Katakan, di mana muridmu yang berjuluk Pendekar Judi
itu berada"!" geram Nyi Randa Barong atau yang di kenal dengan julukan Iblis
Cadas Siluman. Peramal Sakti tahu kegarangan dan ketidaksabaran perempuan tua di hadapannya. Dia juga tak ingin mencari masalah hanya gara-gara urusan yang boleh dikatakan sepele dan sebenarnya mereka tak berhak mencampuri urusan itu.
"Muridku sedang kutugaskan untuk melacak
jejak Hantu Seribu Tangan yang akhir-akhir ini namanya semakin santer. Perlu kau ketahui pula, kalau
sebenarnya aku tidak pernah tertarik untuk mendatangi dunia ramai. Karena, satu ramalan yang telah


Rajawali Emas 10 Mata Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kubuat sendiri, betapa Hantu Seribu Tangan akan banyak menurunkan tangan telengas. Satu hal lagi yang
paring penting, aku tak bisa meramalkan bagaimana
keadaan Hantu Seribu Tangan kelak. Yang bisa ku ramalkan, kalau banyak yang akan tewas di tangannya."
"Peduli setan dengan Hantu Seribu Tangan! Bagaimana dengan urusan perjodohan muridmu dengan
muridku?" seru Nyi Randa Barong jemu.
"Sekali lagi kukatakan, itu adalah urusan mereka." "Tua bangka keparat! Lama-lama justru kau
yang sengaja memutuskan segala ketenangan!!" teriak si nenek dengan kegusaran
tinggi. Dan mendadak saja perempuan bertelinga satu
ini menggerakkan kepalanya ke arah kanan. Dari tiga
buah anting yang mencantel di telinga satu-satunya
mendadak saja melesat tiga sinar hitam yang menggidikkan. Mendapati serangan yang tidak terduga ini, Peramal Sakti dibuat cukup
tersentak. Cepat dia melompat ke samping. Iblis Cadas Siluman tak mau bertindak ayal rupanya. Penolakan Pendekar Judi, murid dari Peramal Sakti alias Malaikat Judi sangat menyakitkan hatinya. Apalagi mengingat kalau sampai saat
ini muridnya menghilang entah ke mana.
Dengan gerakan yang sangat cepat si nenek
mengejar seraya mendorong kedua tangannya kedepan. Dua gelombang angin deras menderu menimbulkan suara bergemuruh ke arah Peramal Sakti.
Orang tua yang memiliki sepasang mata jernih
itu pun tak tinggal diam kendati dia sangat menyesali tindakan dari Nyi Randa
Barong. Sambil melompat
mundur, dikebutkan lengan jubahnya sebelah kanan.
Wyuutt! Terdengar suara angin berkesiur cepat. Menyusul hamparan angin dingin yang mematahkan serangan Nyi Randa Barong. Bahkan, tubuh perempuan bertelinga satu ini terjajar tiga tindak ke belakang. Bila saja Peramal Sakti ingin
meneruskan serangan, maka
dengan mudahnya akan dilakukan. Namun, si kakek
yang memang tak man memperbesar urusan, tak melakukan apa-apa. Hanya terdiam dengan wajah jernihnya. Justru sikap Peramal Sakti itu memancing kemarahan Nyi Randa Barong menjadi semakin besar.
Karena si nenek merasa diremehkan dengan perbuatan
Peramal Sakti yang tak meneruskan serangan.
Dengan satu teriakan membahana, si nenek
mencelat ke muka. Kali ini kedua tangannya dikembangkan dan disentak dari atas ke bawah, lalu didorong ke muka. Bersamaan dengan itu kepalanya kembali digoyangkan ke arah kanan dan melesat tiga buah sinar hitam, deras ke arah
Peramal Sakti. Diam-diam si kakek mengeluh dalam hati melihat sikap Nyi Randa Barong. Sambil menggelenggelengkan kepala dia menggerakkan tangannya ke depan seraya melompat ke samping.
Sinar putih panjang meluncur ke muka dan
anehnya justru bergerak pada posisi empat persegi
panjang besar. Dan.... Blamm! Blaaammm!
Serangan Iblis Cadas Siluman terbentur sekaligus tertahan oleh tameng aneh yang barusan dibuat
oleh Peramal Sakti. Dengan wajah tegang si nenek
memutar tubuh ke belakang dan menggeram hebat,
"Hhhh! Ilmu 'Pembuka dan Penutup Sukma'!
Rupanya kau benar-benar hendak memutuskan ketenangan di antara kita! Baik! Kau lihat sekarang!"
"Nyi Randa Barong. Mengapa jadi lebih panjang
waktu yang kita buang secara percuma" Bukankah
masing-masing mempunyai urusan?"
"Setan keparat! Apakah kau takut menghadapi
ilmu 'Cadas Jiwa'"!" seraya membentak sebuah senyuman mengejek bertengger di
bibir tebal si nenek.
Peramal Sakti hanya tersenyum.
"Sekian puluh tahun aku meramal dan berjudi.
Sekian puluh tahun ramalan ku tak pernah meleset
dan permainan judi ku tak pernah kalah. Nyi Randa
Barong, menurut ramalan ku, muridmu akan bertemu
dengan seorang pemuda yang berjuluk Rajawali Emas.
Tetapi entah mengapa, kelak Rajawali Emas pun menolak cinta muridmu itu. Dan di penghujung ramalan
ku, muridmu akan berjumpa dengan seorang manusia
serigala...."
"Tua bangka keparat! Jaga mulutmu!!" putus si nenek dengan kegeraman yang luar
biasa. "Apakah kau pikir muridku akan bersanding dengan manusia
serigala, hah" Jangan membuat urusan semakin kacau!" "Itulah yang ada dalam ramalan ku. Ramalan berkaitan erat dengan apa yang
disebut perjudian. Perjudian penuh dengan pertaruhan. Seorang penjudi
akan bertaruh besar untuk mendapatkan untung besar!" "Apa maksud ucapanmu itu, hah"!" "Kau telah berjudi dengan cara memaksakan
kehendak, Nyi Randa. Keinginanmu agar muridmu tetap berjodoh dengan
muridku adalah sebuah taruhan untuk masa depan
mereka, yang akan dibayar mahal oleh keduanya!"
"Jangan menggurui ku!" bentak Nyi Randa Barong kendati dia sedikit banyaknya
membenarkan kata-kata orang. "Aku hanya mengemukakan apa yang kulihat."
"Kalau kau memang bisa meramal dan ramalan mu ji-tu, katakan, di mana muridku
berada?" "Yang terlihat oleh kedua mataku yang semakin
menua ini, muridmu sedang menuju ke arah selatan
yang berjarak cukup jauh dengan Hutan Seratus Kematian. Hutan yang akan menjadi titik pangkal jalan
menuju Goa Seratus Laknat di mana Hantu Seribu
Tangan berada."
Kali ini Iblis Cadas Siluman terdiam. Jelas sekali kalau si nenek mulai mendengarkan kata-kata Peramal Sakti. Untuk beberapa saat tempat itu disekap
kesunyian yang cukup pekat. Waktu semakin melangkah dan tak terasa pagi hari sudah menjelma. Di kejauhan, hamparan sinar surya mulai merajai sekitar
pulau itu. Laut yang sejak semalam tak bisa ditembusi oleh pandangan, kini
seperti menguak lebih lebar.
Di lain kejap, Nyi Randa Barong berkata, "Yang
kau katakan itu kemungkinan memang benar. Tetapi
jangan harap aku akan menghentikan segala keinginan untuk memberi pelajaran kepada muridmu!! Dia
harus diajar adat untuk bisa menghargai perasaan
seorang perempuan."
Peramal Sakti tersenyum. "Nyi Randa Barong.
Apa yang hendak kau lakukan itu adalah urusanmu.
Tetapi menurut hematku, lebih baik tunda segala
keinginan. Karena dalam ramalan ku, kau pun akan
berada di Goa Seratus Laknat."
"Keparat! Bicara apa kau ini, hah" Aku tak
punya urusan dengan Hantu Seribu Tangan. Kendati
dia bermaksud hendak menjadi raja diraja orang-orang rimba persilatan, tetaplah
bukan urusanku!!"
"Apa yang kukatakan ini hanyalah sebuah ramalan. Kau boleh mempercayainya boleh tidak. Tetapi.... Entah mengapa ramalan ku justru mengarah pada muridmu yang akan tiba pula di Goa Seratus Laknat?" "Orang tua keparat! Kukatakan jangan bicara sembarangan!!" bentak Iblis
Cadas Siluman dengan mulut berbentuk kerucut. Sepasang matanya memerah
garang tanda tak suka mendengar kata-kata orang.
Lagi-lagi si Peramal Sakti hanya tersenyum.
"Maafkan bila aku membuatmu gusar. Tetapi
hanya itulah yang bisa kukatakan."
"Orang tua ini sudah bicara keterlaluan," maki Iblis Cadas Siluman dalam hati.
Lalu berteriak garang,
"Urusan apa yang menyebabkan muridku tiba di sana, hah" Selama ini dia belum
mengenal dunia luas! Dan
selagi mengenalnya, justru dia bertemu dengan murid
sialan mu itu!"
"Aku tak bisa menjelaskan lebih panjang lebar.
Untuk membuktikan setiap ucapanku, ada baiknya
kau pun melangkah ke sana pula Nyi Randa Barong,
kita sama-sama tak punya waktu banyak. Bila tak ada
urusan lagi sebaiknya kita berpisah di sini."
Lalu dengan langkah yang tenang, orang tua
berbaju dan berjubah putih panjang itu melangkah.
Meninggalkan Iblis Cadas Siluman yang tengah terdiam seperti merenungi kata-kata si kakek tadi.
"Hantu Seribu Tangan. Goa Seratus Laknat.
Apakah aku harus punya urusan di sana?" batinnya sambil memandang kepergian
Peramal Sakti yang semakin menjauh. "Ucapan orang tua itu memang boleh dikatakan
manjur. Kesaktiannya dalam hal meramal
memang tak pernah diragukan lagi. Lalu.... Muridku,
Diah Srinti alias si Angin Racun Barat akan berada di sana" Ada urusan apa dia
ke sana?" Si nenek terdiam beberapa saat dan membiarkan rambutnya yang panjang digerai angin laut. Kejap lain dia seperti tersentak
tatkala satu pikiran singgah,
"Jangan-jangan.... Muridku tak sengaja sampai
di Goa Seratus Laknat" Celaka! Aku harus segera ke
sana!!" Kejap lain, si nenek sudah berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
*** Bab 10 Suara yang keras itu terdengar membedah
alam, seperti menggebah kesunyian di saat sang fajar mulai menyingsing kembali.
Dari naungan mata langit yang cukup cerah
dan pendaran cahaya mentari yang lembut, terlihat sa-tu bayangan keemasan
terbang berputaran di atas sebuah hutan yang sunyi dan menyeramkan. Dari atas,
hutan itu laksana raksasa yang berjajar tegak mengerikan. Bayangan raksasa keemasan yang ternyata
Bwana, burung rajawali raksasa itu terus melingkari
hutan lebat di bawahnya. Pemuda berbaju keemasan
yang duduk di antara punggung dan leher Bwana dan
tak lain Tirta adanya, menepuk leher burung kesayangannya dan berkata cukup keras karena sentakan kepakan kedua sayap Bwana menimbulkan suara bergemuruh. Berjarak tiga puluh tombak ke bawah, dedaunan pada ujung pepohonan itu beterbangan terkena angin yang ditimbulkan dari kepakan sayap Bwana.
"Bwana.... Menurut petunjuk Mata Malaikat,
pasti hutan ini yang disebut Hutan Serat us Kematian.
Berarti, tak lama lagi kita akan tiba di Padang Seratus Dosa." Bwana mengkirik
menyahuti ucapan majikan-nya. Tirta yang sejak tadi memperhatikan ke bawah
tiba-tiba tersentak dan berteriak, "Bwana! Aku
melihat ada kelebatan tubuh di hutan itu! Cepat kau
terbang merendah! Aku akan melihat siapa orang yang
berkelebat itu!!"
Kembali Bwana mengkirik lalu menukik dan
terbang agak merendah. Si pemuda yang menunggangi
burung rajawali raksasa itu memperhitungkan jarak.
Lalu dia berseru, "Sekarang, Bwana!"
Burung rajawali raksasa keemasan itu semakin
menukik. Berjarak sepuluh tombak dari ujung pepohonan yang tumbuh di hutan itu yang segera meranggas dedaunannya tatkala terkena sambaran angin kepakan sayap Bwana, Tirta melompat.
Wuuuut! Tap! Begitu kakinya menginjak pucuk pohon, Tirta
langsung memutar tubuh dan meluncur turun. Bersamaan dengan itu, tangan kanannya disentakkan pada batang pohon dan kejap lain, dia sudah hinggap di tanah tanpa kurang suatu
apa. Segera ditengadahkan kepala dan dilihatnya
Bwana yang masih berputar lalu terbang menjauh.
Sepeninggal Bwana, perlahan-lahan pemuda
dari Gunung Rajawali ini mengedarkan pandangan.
Sejenak perasaan kecut menyergapnya melihat betapa
tinggi pepohonan yang ada di sekitarnya. Di sana-sini ditumbuhi oleh ranggasan
semak belukar setinggi dada dan beberapa jalan setapak yang simpang siur.
"Tak heran bila hutan ini dinamakan Hutan Seratus Kematian. Keadaannya sungguh mengerikan sekali. Hmmm.... Siapa orang yang tadi kulihat berkelebat di hutan menyeramkan
seperti ini" Sebaiknya, kuperiksa saja sebelum ku coba menemukan jalan menuju Padang Seratus Dosa. Padahal, menunggangi Bwana
lebih memudahkan bagiku untuk menemukan Padang
Seratus Dosa dan menuju Goa Seratus Laknat. Tetapi,
aku ingin tahu siapa orang yang berkelebat tadi. Kalau begitu, tentunya ada
orang yang telah tiba di Hutan
Seratus Kematian ini."
Memutuskan begitu, Rajawali Emas berkelebat
cepat. Gerakannya laksana terbang belaka. Melesat
lincah sambil menghindari akar-akar yang menyembul
keluar, melompati semak belukar. Setelah beberapa
saat, Tirta justru menghentikan kelebatan tubuhnya
sambil menolehkan kepala ke sana kemari.
"Hmmmmm... Ke mana orang itu" Apakah aku
salah, kalau sebenarnya hanya hewan yang menghuni
tempat ini yang kulihat dari atas tadi" Kalaupun dia
manusia adanya, biarlah. Yang penting aku harus menemukan Goa Seratus laknat!"
Selagi Rajawali Emas menimbang-nimbang,
mendadak saja gelombang angin dahsyat datang menderu dan arah samping dan mengarah pada Rajawali
Emas, yang seketika membuat si pemuda melompat ke
belakang menyelamatkan diri lalu bergerak ke samping kanan seraya membatin,
"Benar dugaanku kalau yang kulihat tadi memang orang yang berkelebat. Dan aku
bisa menduga kalau orang itulah yang barusan menyerangku." Saat hinggap kembali di tanah, pemuda dari
Gunung Rajawali itu berseru kencang, "Rupanya ada teman di sini" Mengapa harus
melakukan serangan bi-la ingin kenal?"
Belum lenyap seruan Rajawali Emas, terdengar
suara tawa mengekeh panjang. Di lain kejap, satu sosok bayangan berkelebat dari sebuah semak dan berdi

Rajawali Emas 10 Mata Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ri tegak berjarak tiga tombak di hadapan si pemuda.
*** Sepasang mata Rajawali Emas menatap tajam
pada sosok di hadapannya. Sosok seorang laki-laki.
Tubuh lelaki itu kurus, agak bongkok. Bulu-bulu yang memenuhi tubuhnya, berwarna
kemerahan. Hanya
mengenakan cawat hitam dengan sepasang kaki kurus
yang panjang. Bila melihat wajahnya, cukup membuat
orang yang melihatnya tertegun sebelum menyadari
kalau yang dilihatnya adalah manusia belaka. Hidungnya besar dengan sebuah daging lebih sebesar ibu jari di pipi kanannya. Kedua
matanya turun ke bawah
dengan sinar merah yang nyalang. Kedua telinganya
kecil. Bibir bawahnya nampak sebuah luka. Rambutnya berdiri jarang, berwarna kemerahan pula. Sungguh, wujudnya sangat mengerikan sekali.
"Sinting! Rupanya yang kulihat tadi ternyata setan gentayangan," batin Tirta
dengan perasaan tak menentu. Matanya masih lekat menatap ke depan.
Lelaki berbulu kemerahan dan mengenakan
cawat hitam itu mengeluarkan suara tajam, menciutkan hati, "Orang muda! Kau telah tiba di Hutan Seratus Laknat. Aku cukup
dibuat bosan menunggu kedatangan orang-orang yang ingin bertemu denganku.
Kuberi kesempatan bagimu untuk melihat siapa orang yang kau cari."
Seperti berhenti berdetak jantung Rajawali
Emas mendengar kata-kata orang.
"Ucapan orang berwujud aneh ini sungguh
mengherankan. Dia merasa dirinya yang dicari orangorang rimba persilatan dengan bermacam alasan Apakah dia... memang orang yang selama ini kucari"
Karena tak mendapati sahutan apa-apa, orang
berhidung besar itu menggeram. Sepasang matanya
semakin nyalang saat berkata, "Kau telah kuberi kesempatan untuk berjumpa
denganku. Akulah Hantu
Seribu Tangan."
Melengak Tirta mendengarnya dan tanpa sadar
kakinya surut satu langkah. Entah mengapa dadanya
menjadi berdebar sekarang. Lain kejap dia sudah bersikap tenang. "Hantu Seribu Tangan. lama kucari akhirnya
bertemu juga. Kedatanganku hanya satu, meminta Keranda Maut Perenggut Nyawa yang kau miliki untuk
kuhancurkan. Bila sudah kumiliki, urusan telah selesai." Terbahak keras lelaki bercawat yang memang Hantu Seribu Tangan adanya.
Saking keras tawanya,
membual semak belukar mendadak tercabut dan terlempar. Bahkan sebatang pohon besar tumbang. Sementara Tirta sendiri segera mengalirkan tenaga dalamnya menerima gempuran tenaga dalam yang disalurkan melalui tawa yang keras.
"Gila! Tenaga dalamnya sangat kuat sekali. Ini
baru tawanya saja, entah bagaimana bila dia menyerang?" maki Tirta dalam hati. Lalu didengarnya ucapan orang di hadapannya,
"Keranda Maut Perenggut Nyawa adalah sebuah
tempat yang sangat nyaman untuk orang-orang yang
tak mau mengakui keberadaanku sebagai orang nomor
satu di rimba persilatan. Orang muda, lebih baik tinggalkan tempat. Karena bukan
engkau yang kutunggu
saat ini."
"Hantu Seribu Tangan! Aku telah bersusah
payah untuk mencapai tempat ini dan mendapatkan
bermacam rintangan. Tak mungkin aku undur langkah
bila urusan belum terselesaikan."
"Kau terlalu sesumbar rupanya. Perlu kau ketahui Orang muda, kau bukanlah tandinganku."
"Tak peduli aku tandingan mu atau bukan.
Yang kuminta, Keranda Maut Perenggut Nyawa."
Mengkelap wajah orang bercawat itu. Dari kepalanya yang hanya ditumbuhi rambut yang jarang
dan berdiri, seperti mengeluarkan asap tanda dia berada dalam kemarahan.
Tirta kembali mundur satu langkah. Memperhitungkan jarak. Dan diam-diam dialirkan tenaga surya
pada kedua tangannya.
"Kendati aku belum pernah bertarung dengannya, tetapi aku bisa menebak kesaktiannya. Lebih baik ku dahului menyerang."
Habis berpikir begitu, segera saja Tirta melompat dan menyentakkan kedua tangannya ke depan.
Seketika hawa panas yang keluar dari tenaga surya
menindih udara dingin di sekitar tempat itu. Namun
bersamaan kedua tangannya disentakkan, mendadak
saja gerakannya laksana tertahan!
Rajawali Emas tersentak dengan wajah kaget.
Belum lagi si pemuda tahu apa yang terjadi, mendadak saja tubuhnya seperti
dihempas oleh gelombang angin
dahsyat. Meski Rajawali Emas berusaha melipatgandakan tenaga dalamnya untuk menahan dorong tenaga
yang tak nampak itu, tubuhnya tetap saja terdorong.
Bahkan tenaga yang tak nampak seperti gelombang
angin semakin deras mengejar. Brak!
Dengan keras tubuhnya menabrak sebatang
pohon di belakangnya hingga tumbang. Tirta merasakan tulang iganya seperti patah. Tetapi, dia segera berdiri kembali sambil
mengerahkan tenaga dalam menahan sakit. Wajahnya kali ini pias dan berkeringat. "Celaka!
Ilmunya sangat tinggi sekali. Aku bahkan tak melihat bagaimana dia menyerangku."
Di seberang, Hantu Seribu Tangan berkata dingin, "Sudah kukatakan tadi, lebih baik tinggalkan tempat ini. Tetapi sayangnya,
kau tak akan kubiarkan lagi hidup lebih lama!!"
Habis ucapannya, Hantu Seribu Tangan menggerakkan tangan kanannya tanpa bergeser dari tempatnya. Melihat ganasnya serangan, Rajawali Emas cepat-cepat melompat ke samping. Serangan itu seketika melabrak delapan buah pohon
sekaligus yang langsung hangus dan tumbang menimbulkan suara berdebam. Sementara tempat itu mendadak seperti diterangi sinar keemasan. Rupanya, tatkala melompat
menghindar, Tirta sudah mencabut Pedang Batu Bintang. Dari sanalah sinar keemasan itu berasal.
Tak mau bertindak ayal, Pedang Batu Bintang yang dipadukan dengan tenaga surya segera digerakkan. Sinar keemasan diiringi hawa panas luar biasa menghampar ke arah orang bercawat hitam.
Hantu Seribu Tangan mementangkan kedua
matanya lebih lebar dan sesaat terlihat dia terkesiap.
Bersamaan dengan itu, kedua telapak tangannya yang
kurus dan dipenuhi bulu kemerahan saling mengatup
dan segera dibuka, lalu didorong perlahan ke depan.
Wuuuuuss! Dua gulungan cahaya melesat tanpa mengeluarkan suara. Namun bersamaan lesatan dua cahaya tadi, angin dahsyat menderu menghempas.
Blaaarrr!! Dan begitu bentrok dengan serangan Tirta, terdengar suara letupan berkali-kali disertai pijaran cahaya yang bertebaran. Tanah
di tempat bertemunya
dua serangan tadi muncrat tiga tombak disertai memburainya semak belukar hingga menghalangi pandangan. Tatkala semuanya sirap, terlihat Tirta terkapar di tanah dengan napas
memburu kencang. Dari hidungnya mengalir darah segar. Dadanya dirasakan
laksana terbakar dengan aliran darah yang kacau.
Kendati demikian, Pedang Batu Bintang masih tergenggam erat di tangannya.
Di seberang, sosok Hantu Seribu Tangan nampak terhuyung. Namun tiba-tiba saja lelaki tua bercawat hitam ini membuat
gerakan melompat, berputar
dua kali dan tatkala hinggap di tanah, kedua tangannya sudah menyatu di dada. Sosok orang aneh ini sesaat nampak bergetar. Namun sekejap kemudian getaran tubuhnya terhenti. Dan kedua matanya membuka
lebih lebar, semakin nyalang dan menyiratkan sinar
merah. "Hebat!" desisnya dalam hati beriring makian.
"Pedang di tangan pemuda itu sungguh dahsyat! Sementara tenaga panas dahsyat yang melebihi terjangan tiga ekor gajah dewasa,
cukup mengkederkan juga
kendati masih bisa diatasi. Justru pedang itulah yang mengerikan."
Saat Hantu Seribu Tangan membatin, Tirta perlahan-lahan bangkit. Terlihat sekali kalau kedua kakinya bergetar. Dengan tangan kiri, dihapusnya darah yang mengalir dalam
hidungnya. "Rasanya sulit bagiku untuk menghadapi orang
bercawat ini. Masih untung ku lihat dia tidak membawa senjata mengerikannya yang disebut Keranda Maut
Perenggut Nyawa. Tetapi, semuanya sudah terlanjur
basah. Tak mungkin aku mundur," kata Tirta dengan rasa nyeri di dada yang
semakin terasa. "Apakah saat ini waktu yang tepat untuk menggunakan ilmu pamungkas yang diajarkan Eyang Guru Sepuh Mahisa
Agni di Gunung Siguntang?"
Memang, sewaktu terjadi pertarungan sengit
antara jago-jago rimba persilatan di Gunung Siguntang untuk menuntaskan
kehadiran Iblis Kubur, Rajawali
Emas mendapatkan dua ilmu sakti dari dua orang tokoh rimba persilatan. Yang pertama dari Ki Sampurno
Pamungkas atau yang dikenal dengan julukan Manusia Agung Setengah Dewa. Ilmu yang didapatkan merupakan sebuah ilmu langka. Ilmu 'Penolak Sejuta Racun' yang membuat Rajawali Emas tak mempan terkena jenis racun apa pun dan sebuah ilmu dahsyat yang
disebut 'Matahari Rangkul Jagat'.
Sementara yang didapatkan dari Eyang Sepuh
Mahisa Agni atau yang berjuluk Malaikat Dewa, adalah sebuah ilmu langka yang
terletak pada kedua rajahan
burung rajawali keemasan di lengan kanan kiri Tirta.
Ilmu 'Inti Roh Rajawali'. Sebuah ilmu yang bisa mengeluarkan dua ekor rajawali
dalam bentuk roh. Saat itu Tirta bertanya tentang keheranannya tatkala melihat
Bwana hanya terdiam saja saat ilmu langka itu dicobanya. Ketika dia mengajukan pertanyaan, Malaikat
Dewa justru menyuruhnya untuk memecahkan rahasia itu. (Untuk lebih jelasnya silakan baca: "Gerhana Gunung Siguntang").
Belum lagi Rajawali Emas memutuskan, orang
berwajah mengerikan yang hanya mengenakan cawat
berwarna hitam dan tubuh penuh bulu-bulu kemerahan, sudah menggeram dengan suara dingin, "Orang muda. Yang kau inginkan adalah
Keranda Maut Perenggut Nyawa. Sekarang, tibalah saatnya kau menuju
Goa Seratus Laknat."
Sebenarnya, Tirta cukup dibuat keheranan
mendapati kata-kata Hantu Seribu Tangan. Namun
saat itu yang ada di benaknya, hanyalah Keranda Maut Perenggut Nyawa. Kendati
demikian, dia berkata pula,
"Keranda Maut Perenggut Nyawa hanya sebuah alat.
Bila yang mempergunakannya tak ada, maka alat itu
tak akan menjadi ampuh."
Mengkelap wajah Hantu Seribu Tangan menyadari ucapan pemuda di hadapannya. Sepasang matanya yang turun nampak seperti semakin turun, seperti bertengger di atas kedua pipinya yang ditumbuhi jerawat dan di pipi
sebelah kanan ditumbuhi daging
lebih sebesar ibu jari.
"Tak tahu diuntung!!" geramnya seraya mengatupkan kedua tangannya lagi. Lebih
geram lagi karena menyadari kalau dia telah dibuat jeri dengan pedang di tangan
si pemuda. Ucapan yang dilakukannya tadi hanyalah pancingan belaka. Bila tiba di
Goa Seratus Laknat, pemuda itu akan dihabisinya dengan Keranda
Maut Perenggut Nyawa.
Tirta yang tahu kalau lawan hendak melancarkan serangan kembali, dengan segera melompat ke
muka. Tangan kanannya mengibaskan Pedang Batu
Bintang, sementara tangan kirinya bergerak cepat. Tenaga 'Selaksa Surya'
digebah. Bersamaan hamparan sinar keemasan berkiblat, terasa pula angin yang menderu sangat panas. Dan dari telapak kirinya
membersit cahaya yang menyilau-kan. Orang bercawat yang jeri dengan kesaktian
Pe- dang Batu Bintang, berubah wajahnya. Di lain kejap,
kedua tangannya yang sejak tadi dikatupkan digerakkan perlahan sebanyak dua kali. Tenaga dalamnya dilipatgandakan. Empat gulungan cahaya terang menderu tanpa
menimbulkan suara. Namun mendadak saja angin seperti topan menghantam pesisir bermunculan saling
susul menyusul.
Blaaarrr! Seketika tempat itu seperti dilanda gempa yang
sangat dahsyat. Gebrakan Pedang Batu Bintang tertahan oleh dua gulungan cahaya yang mencelat pertama.
Sementara pukulan tangan kiri Tirta sedikit tertahan.
Tirta bertahan agar tidak sampai terkapar seperti tadi. Kedua kakinya dialirkan tenaga surya. Karena bertahan, tanah yang
dipijaknya melesak sampai
ke batas lutut. Sementara kedua tangannya bergetar
hebat. Di seberang, Hantu Seribu Tangan yang memang sudah melipatgandakan tenaga dalamnya hanya
tergoyang sejenak. Kejap berikutnya dia sudah mencelat ke muka seraya melepaskan kedua tangannya ke
depan. Tirta terhenyak mendapati serangan yang sangat ganas. Untuk memapaki serangan itu jelas tidak
mungkin. Juga untuk menghindar karena saat ini kedua kakinya melesak ke dalam. Jalan satu-satunya
hanya mencoba menunggu dan membabat pukulan itu
dalam jarak dekat. Itu pun mengandung risiko yang tidak sedikit. Hanya saja,
cuma itulah yang bisa dilakukan. Namun sebelum serangan yang dilancarkan
orang bercawat itu mengenai sasaran, mendadak saja
tiga batang pohon rubuh terhantam gelombang angin
dari angkasa. Menyusul suara koakan yang sangat keras sekali. Hantu Seribu Tangan memekik tertahan dan
menghentikan gerakannya. Kepalanya diangkat bersamaan kedua tangannya yang tadi siap dipukulkan
pada Rajawali Emas, diangkat ke atas. Wuuusss!


Rajawali Emas 10 Mata Malaikat di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiga batang pohon yang menghalangi dan hendak menimpa kepalanya, seketika menjadi hangus dan
tinggal serpihan. Namun angin yang datang susul menyusul membuatnya terpelanting ke belakang!
"Kraaaggghhh!!"
Tirta segera mengangkat kepalanya dan melihat
Bwana yang terbang berputaran di atasnya. Tak bisa
hinggap karena tempat itu terhalang pepohonan tinggi.
Menyadari harus bergerak cepat, Tirta melompat dari
tanah yang kedua kakinya tertanam.
Broooll! Tanah itu rengkah dan ambrol, muncrat satu
tombak. Ketika suasana terang kembali, terlihat Rajawali Emas telah berdiri
tegak dengan kedua kaki dipentangkan. Di depan sana, Hantu Seribu Tangan mendongak dengan wajah membesi. Kedua matanya yang menyiratkan sinar merah memandang tak percaya pada
burung rajawali raksasa yang terbang berputaran di
atas. "Gila! Jadi suara keras yang kudengar tadi itu berasal dari burung itu
sebelum pemuda jahanam ini
berada dihadapan ku" Burung apakah itu?" dengusnya. Lalu menyambung dengan makian geram, "Jahanam! Burung itulah yang
menghalangi keinginanku!
Setan alas!!"
Dengan kegeraman tinggi, orang bercawat hitam menggerakkan kedua tangannya ke angkasa.
Wussss!! Tatkala dua gulungan cahaya berpendar meluncur ke atas disusul dengan angin yang bergemuruh, dedaunan dari dua pohon
yang dilalui oleh gulungan
cahaya dan gemuruh angin itu langsung hangus.
Di angkasa, cahaya itu pecah berkebyar dan
menerangi alam beberapa kejap. Sementara Bwana
sudah menghindar lebih ke atas dan mengeluarkan
suara. "Kraaaghhggg!"
"Setan keparat! Akan ku hanguskan burung
sialan itu!!" maki Hantu Seribu Tangan. Lalu menoleh kepada Tirta yang cukup
dibuat cemas tadi ketika melihat orang bercawat dengan kegeraman tinggi sedang
menggempur ke arah Bwana.
"Orang muda! Pertarungan kita hentikan disini!
Bila memang kau masih menginginkan Keranda Maut
Perenggut Nyawa, kuundang kau ke Goa Seratus Laknat! Tetapi perlu kau ingat, Hutan Seratus Kematian
dan Padang Seratus Dosa adalah dua daerah kekuasaanku dan ku kendalikan dengan baik. Selama ini
kau tak mendapatkan gangguan di Hutan Seratus Kematian, karena aku sengaja tidak mengeluarkan segenap rahasia yang dimiliki oleh Hutan Seratus Kematian. Tetapi, di Padang Seratus Dosa, kau akan mendapatkan sebuah permainan yang menarik. Berusahalah mengatasinya hingga kau bisa selamat tiba di Goa Seratus Laknat!!"
Habis kata-katanya, orang bercawat dengan
wajah mengerikan itu berkelebat cepat seperti ditekan
angin. Tirta yang sejak tadi mendengarkan dengan posisi tegap berdiri, tiba-tiba saja jatuh terduduk. Di rasakan betapa lelah
tubuhnya. Dihapus keringat
yang sejak tadi mengalir.
"Luar biasa. Perjalananku kali ini sungguh sangat sulit sekali...," desisnya. Lalu diatur nafasnya perlahan-lahan. Dialirkan
pula tenaga dalamnya guna
mengatasi nyeri yang mulai terasa.
Namun baru saja semuanya selesai dilakukan
mendadak saja di kejauhan terdengar suara orang bersyair. Panjang jalan terlewati separuh titian yang goyang akan terus dipacu
waktu akan membunuh kita penantian akankah kunjung tiba
SELESAI Episode selanjutnya:
JEJAK-JEJAK KEMATIAN
E-Book by Abu Keisel Darah Dan Cinta Di Kota Medang 16 Mustika Lidah Naga 7 Sumpah Palapa 30

Cari Blog Ini