Ceritasilat Novel Online

Panah Kekasih 7

Panah Kekasih Karya Gu Long Bagian 7


Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benak Tian Mong-pek, dia merasa gerak serangan yang digunakan kakek itu ternyata mempunyai banyak kemiripan dengan ilmu pukulan miliknya.
Ketika sedang gusar dan bertekad akan beradu jiwa tempo hari, pemuda itu sempat menciptakan jurus jurus serangan, dan ketika menyaksikan jurus pukulan dari kakek itu, ternyata jurus ciptaannya terdapat banyak kemiripan.
Tentu saja pemuda ini sama sekali tak menyangka kalau tanpa sengaja dia telah melangkah masuk ke jalan silat tingkat tinggi, perasaan kaget, tercengang dan girang membuat pemuda itu makin terkesima menonton jalannya pertarungan.
Makin dilihat dia semakin gembira, apalagi sewaktu menyaksikan jawaban dari keraguan yang dirasakan selama ini, ibarat bagian tubuhnya yang gatal dan sudah berapa hari tak bisa digaruk, kini digaruk orang hingga nyaman, tak sadar tangan dan kakinya ikut bergoyang, rasa sedih, marah, penat, dahaga dan lapar pun seketika terlupakan semua.
Andaikata dia hidup nyaman didalam rumah, mungkin selama hidup ilmu silatnya tak akan berhasil dikuasai, tapi sekarang, dia sudah kenyang merasakan siksaan, penderitaan, fitnahan dan penghinaan, segenap tenaga tersembunyi yang dimiliki telah terbakar oleh api amarah, hanya saja ilmu silatnya masih banyak bagian tersumbat dan belum tertembus, tapi setelah menyaksikan permainan dari kakek berjubah biru itu, ibarat bendungan air yang jebol, semua bagian yang tersumbat pun jadi tembus dan lancar.
Sementara itu orang berbaju kuning itu sudah menggunakan pelbagai ilmu pukulan untuk menghadapi lawannya, hampir setiap ilmu pukulan yang digunakan, memiliki jurus serangan yang aneh, gerakan tubuh yang digunakan pun merupakan gerakan langka yang belum pernah terlihat dalam dunia persilatan.
Saat itulah, tiba-tiba terdengar kakek berjubah biru itu membentak keras, sedangkan orang berbaju kuning itu tertawa nyaring, bayangan tubuh kedua orang itupun tahu-tahu sudah terpisah.
"Hahaha, sudah cukup?" tanya orang berbaju kuning itu sambil tertawa keras.
"Cukup." sahut kakek berjubah biru itu sambil menghembuskan napas panjang.
Tian Mong-pek merasa sinar matahari amat menusuk pandangan, kini ia baru sadar kalau kedua orang itu sudah bertarung semalaman suntuk, kini sang surya telah memenuhi angkasa, waktu menunjukkan mendekati tengah hari.
Sambil menyeka peluh yang membasahi jidatnya, kakek berjubah biru itu menghampiri Tian Mong-pek, tanyanya sambil tertawa keras: "Bagaimana sobat kecil" Sudah puas menontonnya?" "Aku sering mendengar orang berkata bahwa jago lihay yang bertarung, jurus serangannya makin lama pasti makin lambat, bahkan sampai pada akhirnya akan menjadi lamban sekali, tapi kalian berdu a berbeda sekali dengan keadaan tersebut, dtengah pertarungan sengit, tiba tiba saja bisa berhenti sama sekali." "Hahaha, rupanya kau belum cukup menontonnya." Kata kakek berjubah biru itu sambil tertawa keras.
Sedang orang berbaju kuning itu segera menimpali: "Jika pertarungan itu untuk menentukan mati hidup, menang kalah dengan seseorang, apalagi lawannya memiliki ilmu silat yang berimbang, keadaan waktu itu akan sama seperti yang barusan kau katakan, makin bertarung semakin melambat, tapi pertarunganku melawan dia jauh berbeda, pertarungan ini hanya kami jadikan sebagai permainan untuk menghilangkan kejenuhan." "Hahaha, betul sekali, oleh karena dihari biasa kami jarang mendapat kesempatan untuk bertarung, maka pertarungan tadi kami gunakan sebagai "I I permainan penghilang stress "Jadi pertarungan masih akan berlanjut?" tanya Tian Mong-pek.
Kembali kakek berjubah biru itu tertawa tergelak.
"Kau belum puas menonton, lohu belum puas bertarung, setelah anak cucu lohu berdatangan nanti, tentu saja pertarungan harus dilanjutkan." Katanya.
Seusai berkata, diapun duduk, pejamkan mata dan mulai bersamadi.
Bab 14. Martil langit. Menanti kedua orang itu mulai bersamadi, Tian Mong-pek baru teringat kalau dia sudah dua hari tidak makan, tidak minum.
Masih mending tidak dipikirkan, begitu teringat, rasa lapar dan dahaganya sukar ditahan, baru saja dia akan menuruni bukit untuk mencari makanan, tiba tiba dari bawah gunung terdengar suara aneh, suara itu seperti suara gerombolan kerbau yang mendengus, sahut menyahut, makin lama makin kasar, makin lama makin mendekat dan akhirnya suara itu muncul dari bawah tebing.
Pemuda itu merasa kaget, dia kuatir diatas tebing telah kedatangan segerombolan binatang buas.
Siapa tahu kakek berjubah biru itu segera membuka matanya dan berseru kegirangan: "Aah, sudah datang!" Terlihat berapa orang lelaki kekar berbaju biru sedang berjalan naik keatas tebing dengan napas tersengkal, empat orang yang berada dibarisan depan membawa berapa keranjang makanan, sedang dua orang dibelakangnya menggotong sejenis senjata besi berwarna hitam yang panjangnya satu meter dengan ketebalan seperti pinggang manusia, bulat bagai telur ayam, dibagian ujung yang runcing merupakan gagang besi, panjangnya sekitar tujuh, delapan inci.
"Ternyata benar-benar sudah datang!" kata orang berbaju kuning pula sambil tersenyum.
Begitu tiba dipuncak tebing, ke enam orang lelaki berbaju biru itu segera menjatuhkan diri berlutut, "Traaangl" senjata besi yang beradu dengan batu cadas segera menimbulkan suara dentingan nyaring diikuti percikan bunga api.
"Dasar dungu!" umpat kakek berjubah biru itu sambil berkerut kening, "memangnya kalian datang kemari dengan merangkak?" Salah seorang dari lelaki berbaju biru itu segera menjawab dengan ketakutan: "Hamba telah berulang kali ganti kuda untuk menyusul kemari, sedetik pun tak berani berhenti." "Hmm, sekarang cepat turun gunung," dengus kakek berbaju biru itu, "kalau berani mengintip disini, akan kucongkel mata kalian." Serentak kawanan lelaki berbaju biru itu menyahut kemudian beranjak meninggalkan tebing.
Jangan dilihat pakaian yang dikenakan kakek itu kumal, kotor lagi busuk, baju biru yang dikenakan kawanan lelaki itu justru halus, indah dan terbuat dari sutera.
Tidak tahan Tian Mong-pek segera menghampiri senjata aneh itu dan mencoba mengangkatnya, ternyata benda itu berbobot seratus kati lebih, senjata terberat dikolong langit pun mungkin hanya setengah dari bobot senjata ini.
Dalam pada itu kakek berjubah biru itu sudah duduk dilantai sambil mulai bersantap, katanya sambil tertawa: "Sobat cilik, kemarilah, ayoh makan dulu hingga kenyang sebelum melanjutkan tontonanmu." Tian Mong-pek tidak sungkan-sungkan lagi, sejak awal dia memang sudah lapar, setelah melihat hidangan yang tersedia begitu beraneka ragam, tanpa menunggu lama dia ikut menyikat semua makanan yang tersedia.
Tidak lama kemudian, hidangan yang tersedia dalam empat keranjang sudah habis tak tersisa.
Sambil menepuk perut yang kekenyangan, tanya kakek berbaju biru itu: "Sudah kenyang sobat cilik?" "Semisal masih ada, mungkin akan kusikat juga." Sahut Tian Mong-pek tertawa.
I "Hahaha, tak kusangka watak kalian berdua begitu mirip,' ujar orang berbaju kuning itu pula sambil tertawa, "hei anak muda, kenapa kau tidak takut kotor?" "Matipun tidak takut, kenapa harus takut kotor?" sahut Tian Mong-pek tanpa berpikir panjang.
Il "Hahaha, anak bagus, anak baik .
. . . . .. seru kakek berbaju biru itu sambil tertawa tergelak, dia sambar senjata aneh itu kemudian diputar di angkasa.
"Weessss!" deruan angin tajam menyapu di angkasa, kontan semua keranjang makanan terpental berantakan.
"Hahaha, sobat cilik, kau kenal senjataku ini?" tanya si kakek sambil tertawa keras.
"Tidak kenal." "Kenapa tidak kau tanyakan?" tanya si kakek lagi keheranan.
Bagi seorang jago silat, siapa pun pasti akan bertanya setelah menjumpai senjata yang belum pernah dikenal dan belum pernah dilihat sebelumnya.
Tian Mong-pek tersenyum, sahutnya: "Kalau kutanya asal usul senjatamu itu, berarti aku dapat pula menebak ll siapa dirimu .
. . . . .. "Memangnya kurang baik kalau berhasil ditebak?" "Kungfumu sepuluh kali lipat lebih tinggi dari kepandaianku, sudah pasti kau adalah Bu-lim cianpwee, jika aku tahu siapa dirimu kemudian baru menjalin persahabatan, bukankah sama artinya aku bersahabat karena kedudukanmu" Kini, aku belum tahu dirimu, kaupun belum tahu diriku, kalau cocok bisa berteman, kalau tidak cocok bisa jalan sendiri-sendiri, bukankah enak dan bebas?" Kakek berjubah biru itu tertegun berapa saat, kemudian katanya sambil menghela napas panjang: "Sobat cilik, terus terang aku bilang, watak macam diri mu bakal rugi bila hidup dalam.masyarakat ramai." Tian Mong-pek termangu, terbayang semua kejadian tragis yang menimpa dirinya, perasaan sedih dan gusar segera terpancar keluar dari balik matanya.
Kakek berjubah biru itu mengawasinya berapa saat, tiba tiba ia membalikkan badan.
Sinar mata orang berbaju kuning itu pun perlahan bergeser lewat dari wajah Tian Mong-pek, ujarnya kemudian sambil tersenyum: "Sudah hampir sepuluh tahun aku belum pernah mencicipi bagaimana rasanya martil raksasa seberat sembilan puluh tujuh kati mu itu, hari ll lnl .
. . . . . .. "Hahaha..." kakek berbaju biru itu tertawa keras, "hari ini, aku akan suruh kau menikmatinya sampai puas, hei sobat cilik, angkat kepalamu, saksikan kehebatan martil baja ku ini." Ketika Tian Mong-pek mendongakkan kepala, ia saksikan orang berbaju kuning itu sedang melepaskan seuntai ikat pinggang sutera yang bobotnya paling satu tahil, ternyata dia gunakan ikat pinggang sutera itu untuk menghadapi martil besi seberat ratusan kati.
"Itukah senjata andalanmu?" tanya Tian Mong-pek tercengang.
orang berbaju kuning itu tersenyum.
"Martil bajanya itu merupakan senjata pamungkas dari kolong langit, konon pendekar besar Cu Hay pada jaman kerajaan Gui, ketika pasukan kerajaan Gui membantu kerajaan Tio, Cu Hay dengan martil raksasanya itulah berhasil membunuh Cin Tie.
Bayangkan saja, jenderal Cin Tie memiliki pasukan sebanyak sepuluh laksa orang, dia sendiripun merupakan seorang jenderal luar biasa, tapi pada akhirnya toh tak mampu menghadapi satu pukulan martil dari Cu Hay, bisa dibayangkan betapa dahsyatnya senjata ini?" "Hahaha, makhluk tua, kau memang hebat." Seru kakek berjubah biru sambil tertawa, "ternyata kau mengetahui asal usul senjataku itu jauh lebih jelas daripada aku." Orang berbaju kuning itu tersenyum.
"Biarpun senjata yang ada didunia ini beraneka ragam, namun martil baja ini merupakan senjata pamungkas, sekalipun pedang mestika golok tajam pun tak bakal menang bila bertemu dengannya, hanya ikat pinggang sutera ku yang bisa meliuk tanpa putus, mau ditempa pun tak bakal patah, akan kugunakan kelembutan untuk menghadapi kekerasanmu, aku rasa kau bakal rugi besar.
Hahaha, tahukah kau, aku sudah mengambil banyak keuntungan dari hal ini." "Hahaha, tak disangka kau cukup jujur!" "Terhadap pemuda polos macam dia, tentu saja aku harus blak blakan, tapi II terhadap dirimu .
. . . . . . .. Tiba tiba ikat pinggangnya melesat ke depan, menyapu sepasang mata kakek berjubah biru itu.
"Hai, lagi lagi lohu tertipu olehmu!" bentak kakek itu nyaring.
Ditengah bentakan keras, bayangan tubuh kedua orang itu saling menyambar dengan kecepatan tinggi.
Ikat pinggang sutera ditangan orang berbaju kuning itu tetap menyambar dan berkelebat kesana kemari, tak sedetik pun senjata tersebut meninggalkan sepasang mata dan sepasang telinga lawan.
Kakek berjubah biru itu merasakan bayangan kuning berkelebat didepan mata, sementara suara deruan angin menusuk pendengaran, pada hakekatnya sulit baginya untuk menyaksikan gerakan tubuh lawan, sulit mendengarkan suara apapun dari musuhnya.
Sekalipun sekarang ia berdiri sambil memegang sebuah senjata martil seberat seratus kati, namun untuk berapa saat senjata tersebut seolah tak berguna, yang dia pikirkan kini hanya bagaimana caranya melepaskan diri dari kurungan senjata angkin lawan.
Apa mau dikata, angkin sutera itu justru bagaikan seekor ular lincah yang membelenggu kencang tubuhnya.
Berdebar jantung Tian Mong-pek menyaksikan ketangguhan kakek itu, belum sempat ia berpikir lebih jauh, terdengar kakek berjubah biru itu berteriak keras: "Sungguh menjengkelkan!" Martil raksasanya diayun, langsung tertuju keatas ubun-ubun sendiri.
Jika martil itu sampai mengenai sasaran, jangankan manusia berdarah daging, manusia dari besi pun pasti akan gepeng jadinya.
Dengan hati terperanjat Tian Mong-pek menjerit kaget, cepat dia melompat bangun, siap memberi pertolongan.
Tampaknya orang berbaju kuning itupun tak kalah kagetnya, buru buru dia menggetarkan pergelangan tangannya, angkin sutera itu bagaikan ular berbisa yang berbelok, secepat kilat menjerat martil raksasa itu.
Siapa sangka, baru saja angkin sutera itu berputar arah, martil besi ditangan kakek berjubah biru itu sudah berhenti bergerak, diikuti tubuhnya ikut mundur sejauh satu tombak.
Sementara Tian Mong-pek masih tertegun, kakek berjubah biru itu sudah berseru sambil tertawa tergelak: "Hahaha, makhluk tua, akhirnya kau tertipu juga oleh muslihatku!" Orang berbaju kuning itu tertawa getir, katanya: "Kau sudah berulang kali bertarung melawanku, sedikit banyak sudah kau pelajari banyak tipu muslihat dariku, aaai, tahu begitu, aku tak bakalan menolongmu, biar kulihat bagaimana kau mundur dari keadaan tersebut." "Hahaha, sepanjang hidup, belum pernah lohu begitu bodoh dan konyol ingin bunuh diri, tapi lantaran kau berhasil merebut posisi diatas angin, sementara akupun tak berdaya menemukan jurus penolong, apa mau dikata, terpaksa aku harus membohongi mu.
Hahaha.. hitung hitung kita semua tak ada yang dirugikan.
Ayoh, kita mulai lagi dari awal." Menyaksikan kesemuanya itu, diam-diam Tian Mong-pek tertawa geli, pikirnya: "Ternyata diapun pintar menipu orang." Sementara masih berpikir, deruan angin tajam kembali sudah bergema.
Tian Mong-pek merasakan pandangan matanya jadi silau, terlihat kakek berjubah biru itu sudah melangkah maju, martil besinya secepat petir menghantam dada kiri lawan.
Cepat orang berbaju kuning itu berputar ke samping, tangan kirinya bergetar, ikat pinggang sutera itu segera menegang bagaikan sebuah tongkat sepanjang dua meter, dengan ujungnya yang bergetar, dia langsung menusuk Kian-cing, Sou-oh, Su-Pek, Say-keng tujuh buah jalan darah penting.
Kakek berjubah biru itu membentak nyaring, martil besinya diayun berulang kali, ditengah deruan angin tajam, dalam waktu sekejap diapun balas melancarkan tujuh jurus serangan, mengancam tujuh buah jalan darah penting ditubuh kakek berbaju kuning itu.
Biarpun kedua jenis senjata itu bukan termasuk senjata yang bisa dipakai untuk menotok jalan darah, namun ditangan mereka berdua, senjata mereka seolah dapat digunakan sekehendak hati, menyaksikan hal ini, Tian Mong-pek merasa makin tercengang, keheranan.
Puluhan gebrakan kemudian, perasaan tercengang dan heran nya berlipat ganda.
Dalam dugaannya, kakek berjubah biru itu dengan senjata martil raksasanya pasti akan menggunakan tehnik menyapu, menghantam, menghancurkan, menumbuk, membelah, membacok, melumat dan sebangsanya untuk menghadapi lawan.
Siapa sangka, begitu martil raksasa seberat seratus kati itu berada ditangan kakek berjubah biru itu, ternyata senjata tadi seolah telah berubah jadi sebatang ranting, jurus serangan yang digunakan justru merupakan tehnik menutul, membelah, menusuk dan memuntir seperti sering yang dipakai dalam ilmu pedang, walaupun gerak serangannya melebar dan terbuka, namun kecepatannya luar biasa, perubahan gerak pun sekehendak hati, semua kelebihan dari sebuah ilmu pedang telah dia rangkum dalam serangannya.
Dengan perasaan tercekat pikir Tian Mong-pek: "Dengan senjata martil yang digunakan sebagai jurus pedangpun, dia tetap bisa menyerang dengan cepat dan gesit, apa jadinya kalau senjata yang dia gunakan benar-benar sebilah pedang mustika" Bukankah serangannya lebih menakutkan?" Tanpa sadar diapun mengawasi gerak jurus kakek itu dengan seksama, karena ilmu pukulan telah dikuasai, tidak terlalu sulit baginya untuk mempelajari ilmu pedang.
Sebaliknya orang berbaju kuning itu meski memainkan angkin suteranya bagaikan seekor naga yang sedang terbang, namun gerak jurusnya mencakup kelincahan dari pedang, gaya melebar dari ilmu golok, keganasan dari ilmu tombak, ketajaman dari ilmu trisula, kemantapan dari ilmu kapak dan kegesitan dari ilmu kait .
. . . .. Jangan dilihat senjata itu hanya seutas angkin sutera, namun kemampuannya justru ibarat ada delapan belas jago lihay dengan delapan belas jenis senjata yang menyerang kakek berjubah biru itu bersamaan waktu.
Kini, matahari sudah tenggelam ke langit barat, tidak jelas berapa ratus gebrakan telah dilampaui kedua orang itu, Tian Mong-pek yang menonton jalannya pertarungan merasakan hatinya makin lama makin tercekat, kini dia baru sadar bahwa kehebatan ilmu silat bagaikan luasnya samudra, tak terukur oleh siapapun.
Tiba tiba terdengar orang berbaju kuning itu membentak keras: "Lan Thian-tui, masih akan dilanjutkan?" "Hahaha, betul sekali!" jawab kakek berjubah biru itu sambil tertawa tergelak, secara beruntun dia lancarkan kembali lima jurus serangan.
Kembali Tian Mong-pek merasakan hatinya bergetar, pikirnya: "Ternyata dia tak lain adalah pendekar nomor wahid dalam dunia persilatan, Lan Thian-tui, Lan Toa-sianseng! Tidak heran kalau ilmu silatnya sangat lihay, senjata yang dipakai pun menakutkan, kenapa tidak terpikir olehku sejak tadi?" Perlu diketahui, walaupun Lan Toa-sianseng disebut orang "tojin", padahal dia bukan pendeta, tentang asal usulnya banyak versi yang beredar, bukan saja beragam, juga sangat misterius, cukup dari tempat tinggalnya saja, istana Au-sian-kiong (istana dewa congkak), tidak banyak orang yang tahu letak serta keadaannya.
Selama puluhan tahun terakhir, belum pernah ada jago silat yang benar-benar bertarung melawannya, sedemikian termashurnya orang ini hingga cukup menyebut nama besarnya, banyak pertikaian dapat terselesaikan dengan begitu saja.
Disaat masa jayanya Hong Sin, dia terkenal congkak, latah dan telengas, tapi begitu Thian-tui tojin mengucapkan berapa patah kata, perkataannya itu sudah mampu mendesak Hong Sin untuk hidup mengasingkan diri selama sepuluh tahun dan tak berani tampilkan diri, dari sini bisa disimpulkan betapa takutnya orang persilatan terhadap tokoh sakti ini.
Sementara dia masih melamun, situasi ditengah arena telah terjadi perubahan besar, gerak serangan orang berbaju kuning itu maupun Lan Toa-sianseng sudah makin melambat, jelas tenaga dalam mereka berdua telah dikerahkan hingga puncaknya, perubahan gerak jurus serangan pun semakin lamban hingga Tian Mong-pek dapat mengikuti lebih jelas.
Sekarang dia baru tahu, meski jurus serangan dari orang berbaju kuning itu lebih lembut dan cermat dan jauh berbeda dengan gerak serangan Lan Toa-sianseng yang lebih terbuka, namun daya kekuatan serta kehebatan kungfunya sama sekali tidak berada dibawah kemampuan lawan.
Sementara dia masih melamun, situasi ditengah arena telah terjadi perubahan besar, gerak serangan orang berbaju kuning itu maupun Lan Toa-sianseng sudah makin melambat, jelas tenaga dalam mereka berdua telah dikerahkan hingga puncaknya, perubahan gerak jurus serangan pun semakin lamban hingga Tian Mong-pek dapat mengikuti lebih jelas.
Sekarang dia baru tahu, meski jurus serangan dari orang berbaju kuning itu lebih lembut dan cermat dan jauh berbeda dengan gerak serangan Lan Toa-sianseng yang lebih terbuka, namun daya kekuatan serta kehebatan kungfunya sama sekali tidak berada dibawah kemampuan lawan.
Lalu siapakah orang ini" Kalau kepandaian silatnya begitu tinggi, mengapa belum pernah terdengar nama besarnya disebut orang" Tian Mong-pek peras otak mencoba berpikir asal usul orang itu, namun usahanya tidak berhasil.
Mendadak terdengar orang berbaju kuning itu membentak nyaring, angkin suteranya dilempar keluar bagai bianglala, disaat Lan Toa-sianseng berkelit ke samping, tiba tiba angkin itu membelok, dari menggulung berubah jadi melingkar kemudian mengancam jalan darah Ming-bun dipunggung lawan.
Cepat Lan Toa-sianseng membuang bahu ke samping lalu melompat sejauh lima kaki.
Begitu melambung ke udara, Lan toa-sianseng menjejakkan kakinya sambil berputar posisi, bagaikan bintang kejora, dia melesat ke bawah sambil mengayunkan martil raksasanya.
Begitu hebat serangan itu, tak malu disebut martil langit.
Siapa tahu, tidak menunggu lawannya melayang turun, orang berbaju kuning itu sudah melambung lebih dahulu.
Dalam waktu singkat terlihat sesosok bayangan kuning menembus angkasa sementara sekilas cahaya hitam meluncur ke bawah, kedua orang itu saling menyerang satu gebrakan lalu masing masing berpisah bagai dua lembar daun yang berguguran.
Begitu tiba di permukaan tanah, kedua orang itu sama-sama duduk bersila, sedang martil besi itu diiringi percikan bunga api terjatuh disampingnya.
Paras muka Lan Toa-sianseng yang semula merah membara, kini berubah pucat keabu-abuan, butiran keringat jatuh bercucuran, dengan napas tersengkal katanya: "Kali ini aku harus takluk kepadamu .
. . . . . .." "Kenapa kau harus takluk?" tanya orang berbaju kuning itu setengah picingkan matanya.
"Sekarang seluruh kekuatanku telah habis, dalam bentrokan yang terakhir tadi aku telah menggunakan seluruh kekuatan yang dimiliki, ibarat lentera kehabisan minyak, tenaga untuk mengangkat martil pun tak punya, asal kau II menyerang sekali lagi, aku tak bakal mampu menghadapinya .
. . . . .. "Kau sangka aku masih memiliki sisa tenaga?" orang berbaju kuning itu balik bertanya sambil tersenyum.
Lan Toa-sianseng segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, bagus, bagus sekali, tak disangka hasil pertempuran hari ini pun Il tetap seri, tak ada yang kalah, tak ada yang menang .
. . . .. Meskipun sedang tertawa keras, suara tertawanya lemah dan tidak sekuat tadi lagi.
"Sebenarnya telah kuperhitungkan, selesai melancarkan jurus serangan tadi, kau pasti akan kehabisan tenaga, saat itu, asal aku masih memiliki sisa kekuatan sebesar tiga puluh persen saja, kemenangan pasti akan berpihak kepadaku.
Siapa sangka, begitu bersentuhan dengan jurus seranganmu itu, aku baru sadar, bukan saja harus kukerahkan segenap kekuatan yang kumiliki, bahkan harus kugunakan juga tenaga ekstra agar bisa membendung kekuatanmu itu!" "Kemampuanmu membendung jurus seranganku tadi sesungguh nya telah berada dalam dugaanku, namun setelah berlatih tekun hampir sepuluh tahun lamanya, aku yakin ilmu silatku kembali telah peroleh kemajuan.
Tapi dalam kenyataan, aku masih gagal mengunggulimu barang setengah jurus pun, kejadian ini sungguh bikin hatiku mendelu, tampaknya julukan "pendekar nomor wahid dari dunia persilatan" yang dihadiahkan orang kepadaku, harus kuberikan kepadamu.
Satu hal yang membuat aku lebih menyesal adalah hingga sekarang aku masih belum mengetahui asal usul dari satu-satunya lawan tangguhku." Orang berbaju kuning itu tersenyum.
"Suatu saat nanti, kau pasti bakal tahu." Katanya.
"Masa kau suruh aku menunggu sepuluh tahun lagi?" "Sepuluh tahun akan lewat bagai sentikan jari, tidak terhitung kelewat lama." "Bila sampai matipun belum bisa kupecahkan teka teki ini, bukankah aku bakal mati dengan membawa segala penyesalan?" "Kau tak bakal mati." "Hal ini sukar untuk dibicarakan,"kata Lan toa-sianseng sambil tertawa, "selama ini sepak terjangku keras dan berangasan, musuhku tersebar diseantero jagad, kini, asal ada satu saja diantara mereka yang datang kemari, aku tak bakalan hidup lebih lama lagi!" Tian Mong-pek yang mendengar perkataan itu jadi terperanjat, serunya tanpa terasa: "Apakah ada umat persilatan yang tahu kalau kalian berdua akan beradu silat disini" Kalau sampai ada yang tahu, aku kuatir .
. . . . .." "Sobat cilik, kau tak perlu kuatir, "hibur Lan Toa-sianseng sambil tertawa, "sudah hampir sepuluh tahun kami berdua tak pernah menginjak kembali bukit ini, kecuali ada orang bersedia menunggu selama sepuluh tahun ditempat ini, kalau tidak, siapa pula yang bakal tahu kalau hari ini, kami berdua akan beradu ilmu lagi ditempat ini" Mana mungkin pula ada orang goblok didunia ini yang mau menunggu selama sepuluh tahun diatas bukit gersang ini, menunggu kami berdua beradu ilmu lagi disini?" Baru selesai ucapan itu diutarakan, mendadak dari bawah tebing terdengar seseorang menimpali sambil tertawa dingin: "Mana mungkin ada orang goblok semacam ini" Hehehe, lohu lah si goblok itu!" Orang berbaju kuning, Lan Toa-sianseng serta Tian Mong-pek sama-sama terperanjat, ketika berpaling, terlihat dibawah tebing karang telah muncul sesosok bayangan manusia.
orang itu memiliki rambut panjang yang awut-awutan, tubuhnya dekil, kumis dan jenggotnya lebat bagai rumput ilalang hingga nyaris menutupi separuh bagian wajahnya, dia membawa sebuah kapak besar yang besinya sudah berkarat.
Sekilas pandang, dandanan orang itu mirip sekali dengan orang liar yang sudah banyak tahun tidak makan, tapi gerak geriknya lincah, kuat dan penuh tenaga.
Begitu tiba diatas bukit, ia menengadah lalu tertawa seram, katanya: "Lohu mau hidup menderita dan menahan segala siksaan diatas bukit ini, tak lain karena menunggu datangnya kesempatan seperti saat ini, tak disangka penderitaan dan kesepian yang kurasakan hampir sepuluh tahun, II akhirnya memperoleh imbalan yang setimpal .
. . . . . .. Dengan satu gerakan cepat Tian Mong-pek melompat maju dan menghadang dihadapan orang berbaju kuning serta Lan Toa-sianseng, katanya nyaring: "Sobat, kau jangan bangga dulu, selama ada aku orang she-Tian ditempat ini, jangan harap kau dapat menyentuh mereka berdua barang seujung rambut pun_n "Huh, kau manusia macam apa" Berani amat bicara sesumbar dihadapanku," ejek orang liar bersenjata kapak itu sinis, "ketika lohu malang melintang dalam dunia persilatan, mungkin kau masih belum lahir!" Sambil mengayunkan kapak raksasanya, dengan langkah lebar dia mulai berjalan mendekat.
Dari desingan tajam yang dihasilkan mata kapak, Tian Mong-pek sadar kalau ilmu silat yang dimiliki orang liar ini pasti hebat, pikirnya: "Selama ini, hampir semua orang dijagad raya menghina dan memandang remeh diriku, tapi kedua orang ini, biarpun punya nama besar dan berilmu silat tinggi, bahkan sama sekali tak kenal dan tak ada hubungan apa-apa denganku, justru bersikap begitu santun dan marah.
Hmm! Meski aku bukan tandingan orang liar itu, biar musti kehilangan nyawa, hari ini aku tetap akan melindungi mereka berdua dari usikan orang ini." Berpikir begitu, sambil mengepal tinjunya dan busungkan dada, ia berdiri menghadang.
"Sobat cilik," terdengar Lan Toa-sianseng berkata, "minggirlah, biar aku tanyai dulu orang ini." Tian Mong-pek agak sangsi sejenak, tapi kemudian dia minggir ke samping.
Sambil tersenyum tanya Lan Toa-sianseng kemudian: "Kau sudah menunggu aku selama sepuluh tahun untuk balas dendam" Sebetulnya ada urusan apa?" "Lan Thian-tui, masa kau dikenali aku?" dengus orang liar itu sambil tertawa dingin.
"Makhluk tua, kau kenal dengan orang ini?" tanya Lan Toa-sianseng seraya berpaling.
Orang berbaju kuning itu tetap duduk sambil pejamkan mata, sahutnya: "Dia datang mencarimu untuk balas dendam, urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan diriku, lebih baik kau tak usah menyeret aku masuk ke dalam persoalanmu." Mula-mula Lan Toa-sianseng agak tertegun, kemudian sahutnya sambil tertawa tergelak: "Hahaha, baik, baiklah, kalau begitu, kenapa kau masih belum pergi?" "Kenapa aku harus pergi" Aku masih ingin menonton keramaian disini." "Hmm, kau anggap bisa menonton keramaian secara gratis?" jengek orang liar itu sambil tertawa seram, "paling tidak lohu akan memberi sedikit pelajaran kepadamu, bahkan akan kusingkap topeng mukamu, akan kulihat bagaimana tampang muka aslimu itu." Lan Toa-sianseng kembali tertawa tergelak.
"Hahaha, bagus, bagus sekali, kalau kau bisa menyingkap wajah aslinya, tidak sia-sia aku mati disini, tapi siapa kau sebenarnya" Paling tidak .
. . . . .." orang liar itu tertawa seram.
"siksaan selama belasan tahun telah membuat tampang lohu tidak mirip manusia lagi, tentu saja kau tak akan mengenali diriku lagi," katanya, "dari kami tujuh bersaudara, kini hanya tersisa lohu seorang, sementara yang lain sudah tewas ditangan Tu Hun-thian si manusia bedebah itu.
Coba kalau aku tidak dipecundangimu ditempat ini, mana mungkin Tu Hun-thian ll bisa melipas habis ke tujuh orang saudaraku yang lain .
. . . . . .. "Tiong-tiau-jit-ok (tujuh orang jahat dari Tiong-tiau)?" bisik Lan Toa-sianseng dengan wajah berubah, "jadi kau adalah Bu-ciang-kun (manusia tanpa usus) Kim Hui yang telah dihajar masuk jurang oleh Tu Hun-thian?" Kembali manusia liar itu tertawa seram.
"Sayangnya, hantaman bedebah itu tidak sampai membuat lohu mati, lolos dari lubang jarum, seharusnya sejak awal lohu sudah akan mencarimu untuk menuntut balas, sayang aku sadar kalau kepandaianku masih bukan tandinganmu, maka setelah berpikir pulang pergi, akhinya kuputuskan untuk menantimu disini, bila kau tidak kemari, lohu terpaksa harus mati penuh penyesalan, tapi kalau kau muncul disini, berarti saat ajalmu telah tiba.
Dan ternyata Thian memang mendukung keinginanku, akhirnya kau datang juga_? "Bagus, bagus sekali," kata Lan Toa-sianseng sambil tersenyum, "tidak gampang memiliki kesabaran seperti dirimu, lagipula lohu sudah hidup kelewat lama, sudah pantas bila mati, tapi sebelum kau turun tangan, paling baik lagi jika kau bisa menyingkap dulu wajah asli makhluk tua itu, lohu sudah banyak membunuh orang, meski akhirnya bakal mati oleh bacokan kapakmu, aku tak pernah akan menyesal!" "Baiklah!" seru Kim Hui, si manusia liar itu sambil tertawa seram, "lohu akan kabulkan permintaanmu itu." Ia pun membalikkan tubuh dan berjalan menghampiri orang berbaju kuning itu.
Tian Mong-pek tidak tinggal diam, dengan satu kecepatan tinggi dia menghadang dihadapannya seraya membentak: "Bila ingin menyentuh kedua orang itu, langkahi dulu mayatku." "Hmm, kau anggap lohu tak berani membunuhmu?" ejek Kim Hui sambil tertawa keras.
Baru saja kapaknya siap diayunkan, orang berbaju kuning dan Lan Toa-sianseng telah membentak bersama: "Tunggu dulu!" \\ "Urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan dia .
. . . . .. seru Lan Toa-sianseng pula.
"Sobat kecil," kata orang berbaju kuning itu sambil tertawa, "kau bukan tandingan orang itu, lebih baik menyingkirlah lebih dulu, apa salahnya kalau dia ingin melihat wajah asliku?" Sejujurnya, Tian Mong-pek sendiripun ingin sekali melihat wajah asli tokoh aneh itu, dia ingin tahu asal usul serta identitasnya yang sesunggunya, karena itu diapun tidak bergerak lagi.
Perlahan-lahan orang berbaju kuning itu mengangkat tangannya, lalu melepas selembar topeng kulit manusia yang sangat tipis, tapi apa yang kemudian terlihat segera membuat semua orang tertegun.
Ternyata dibalik topeng kulit manusia itu, dia memiliki wajah yang putih keabu abuan dengan mata yang buram, wajahnya jauh lebih tak sedap dipandang ketimbang sewaktu mengenakan topeng tadi.
Sambil tersenyum ujar orang berbaju kuning itu: "Ada yang mengenali diriku" Kalau tidak ada, aku akan mengenakannya kembali." Bu-ciang-kun Kim Hui tertegun, bentaknya kemudian: "Bawa kemari!" Dia ambil topeng kulit manusia itu dari tangan orang berbaju kuning, kemudian masukkan ke dalam saku.
"Makhluk tua," ujar Lan Toa-sianseng sambil menghela napas, "hitung- hitung kau memang tega, lohu masih tetap tidak mengenalimu .
. . . .. baiklah, Kim Hui, sekarang juga kau akan turun tangan?" "Kalau tidak turun tangan sekarang juga, memangnya harus menunggu sampai tenaga dalammu pulih kembali?" ejek Kim Hui sambil tertawa dingin.
"Seorang lelaki sejati harus bisa membedakan mana budi mana dendam, lohu ada dendam denganmu, kalau kau ingin menuntut balas, lohu pun tak bisa salahkan dirimu, tapi pemuda itu tak ada urusan denganku, lebih baik bebaskan saja dirinya." "Mau dibebaskan atau tidak, itu bukan urusanmu, lihat saja nanti aku sedang senang hati atau tidak." Kata Kim Hui tertawa.
Kontan saja Lan toa-sianseng mengernyitkan alis matanya yang tebal, setelah berpikir sejenak, ujarnya lagi: "Kebetulan aku membawa dua jilid kitab ilmu silat, bila kau bersedia membebaskan pemuda itu, lohu segera akan hadiahkan kitab itu untukmu." Terlintas perasaan girang dibalik sorot mata Kim Hui, sahutnya sambil tertawa: "Lohu tahu kalau kau memiliki kitab ilmu silat, asal kubunuh kalian semua, bukankah barang-barang itu bakal menjadi milikku" Kenapa harus menunggu sampai kau serahkan sendiri?" Kapak raksasanya diputar lalu membacok langsung ke tubuh Tian Mong-pek, sementara satu tendangan diarahkan ke perut Lan Toa-sianseng.
Kapak raksasanya diputar lalu membacok langsung ke tubuh Tian Mong-pek, sementara satu tendangan diarahkan ke perut Lan Toa-sianseng.
Dengan menggunakan segenap tenaga yang masih tersisa, Lan Toa-sianseng menghindarkan diri dari tendangan itu, ketika melihat Tian Mong-pek sudah bertarung melawan Kim Hui, buru-buru teriaknya cemas: "Sobat cilik, cepat kabur, dia tak bakal mengejarmu, antara kau dan aku tak pernah saling mengenal, buat apa kau kehilangan nyawa karena kami." Tenaga murninya betul-betul sudah ludas, sesudah menghindari tendangan itu, kekuatan tubuhnya nyaris lenyap, untuk mengucapkan berapa patah kata itupun, napasnya sudah tersengkal.
"Kau jangan pandang rendah diriku," teriak Tian Mong-pek gusar, "memangnya kau anggap aku Tian Mong-pek adalah pengecut yang kabur dari pertarungan?" Api amarah yang berkobar membuat pemuda itu menyerang sebanyak lima gebrakan dengan sepenuh tenaga.
Ilmu pukulan yang digunakan merupakan ilmu ajaran keluarganya, kobaran hawa amarah membuat pemuda itu segera menyerang dengan menggunakan gerakan jurus yang belum lama dipahami.
Ditengah hembusan angin pukulan, tampak kepalannya menyambar kian kemari secara melebar, lima buah serangan berantainya memaksa manusia tanpa usus Kim Hui mundur berapa langkah ke samping.
"Hei tosu tua, sudah kau saksikan?" kata orang berbaju kuning itu tiba-tiba sambil tersenyum, "bukan saja kungfu yang dimiliki pemuda ini tangguh, gerak jurus yang digunakan pun berapa bagian mirip dengan seranganmu." "Betul-betul aneh .
. . . . . . .." gumam Lan toa-sianseng tercengang.
Terlihat Kim Hui sendiripun sedang tertegun oleh kehebatan lawan, tubuhnya mundur berulang kali, walaupun dia menggenggam kapak raksasa, namun serangan gencar dari Tian Mong-pek memaksa dia tak mampu memanfaatkan senjatanya itu.
Tian Mong-pek merasa semangatnya berkobar, permainan jurusnya makin lama semakin lancar, kegagahan dan kegarangannya membuat lawan jadi bergidik.
Lan Toa-sianseng merasa heran bercampur girang, serunya berulang kali: "Bagus, bagus sekali .
. . . . .. kau memang bocah hebat! Dari mana kau pelajari jurus serangan itu?" Puluhan jurus kemudian, tiba-tiba Tian Mong-pek membentak keras, sepasang kepalannya dilontarkan bersama langsung menghajar ulu hati musuh.
Buru-buru Kim Hui putar kapaknya sambil melepaskan satu tendangan.
Siapa tahu kepalan kiri Tian Mong-pek menghajar ke bawah sementara kepalan kanannya berputar ke samping lalu secepat kilat menyodok ke iga musuh.
Seketika itu juga Kim Hui merasakan sikut tangannya kesemutan, tak ampun kapaknya mencelat dan terlepas dari genggaman.
Menyaksikan kejadian ini, dengan keheranan seru orang berbaju kuning itu: "Sudah cukup lama Tiong-tiau-jit-ok merajai dunia persilatan, masa sebebal itu kemampuan silatnya?" Belum habis perkataan itu, tampak Tian Mong-pek telah menggunakan kesempatan itu untuk merangsek maju, kembali dia desak Kim Hui hingga berada ditepi tebing.
Waktu itu sekujur badan Kim Hui telah dibasahi keringat dingin, gerak serangannya makin lama semakin lemah, jurus serangan yang digunakan pun merupakan jurus serangan umum yang banyak digunakan dalam dunia persilatan, bahkan kulit wajahnya yang basah oleh keringat telah menampilkan muka aslinya, kulit wajah yang putih bersih.
Lan Toa-sianseng segera mengetahui perubahan itu, tiba tiba bentaknya nyaring: "Orang itu bukan Manusia tanpa usus Kim Hui, pasti ada tipu muslihat dibalik dirinya, sobat cilik, tangkap hidup hidup orang itu, aku harus menginterogasinya." Sementara Tian Mong-pek masih tertegun, terdengar Kim Hui sudah membentak gusar: "Aku bukan Kim Hui, aku adalah nenek moyangmu!" Tiba-tiba permainan jurusnya berubah, bagaikan hujan badai dia lancarkan lima jurus serangan.
Ternyata ke lima jurus serangan yang ia gunakan sama persis seperti ke lima gerakan yang baru saja digunakan Tian Mong-pek.
Kejadian ini tentu saja membuat anak muda itu tercengang, sedangkan orang berbaju kuning itu segera berseru sambil tertawa tergelak: "Sungguh bagus sekali, ternyata jurus serangan yang digunakan bajingan ini tak lain adalah jurus aliran kau si tosu tua." Lan Toa-sianseng tidak berkata-kata, namun paras mukanya telah berubah amat serius.
Tampak kedua orang itu bertempur makin seru, betul saja, gerak serangan yang digunakan sama persis sehingga orang yang tak tahu urusan akan mengira mereka adalah dua saudara seperguruan yang sedang latihan bersama.
Dengan gerakan tubuh yang lincah, Kim Hui melancarkan serangan secara bertubi-tubi, meskipun dia dapat memainkan semua gerak serangan lebih hapal dan lancar ketimbang Tian Mong-pek, namun sayang semua serangannya tidak memiliki kekuatan seperti yang dimiliki pemuda itu.
Puluhan jurus kemudian, dengan satu gerakan cepat Tian Mong-pek mencoba menghantam dari samping, siapa tahu pihak lawan telah membendung gerak majunya terlebih dulu, sebagaimana diketahui, Kim Hui sudah hapal sekali dengan semua gerak serangan itu, tak heran kalau ia dapat menduga sebelumnya kearah mana sasaran lawan.
Beberapa kali Tian Mong-pek berganti gerakan, tapi hampir semuanya berhasil dicegat lawan, lama kelamaan hatinya jadi terkesiap.
Tiba tiba terdengar Lan Toa-sianseng berseru dengan suara berat: "Bergeser ke tengah, serang dengan kepalan kiri, berputar badan mengancam sepasang telinga .
. . . . . .." Tanpa berpikir panjang, Tian Mong-pek segera melakukan seperti apa yang diteriakkan.
Dengan wajah serius kembali Lan Toa-sianseng berseru: II "Kiri menghantam wajah, kanan menyerang dada .
. . . . .

Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

.. Secara beruntun dia teriakkan belasan gerakan, meski hanya jurus sederhana namun hasil yang diperoleh justru luar biasa.
Sesuai dengan apa yang dikatakan, belasan jurus kemudian Tian Mong-pek sudah dapat mainkan jurus serangan itu lebih matang.
Kini Kim Hui berhasil didesak hebat sehingga berulang kali harus mundur dari arena.
Tiba tiba terdengar orang berbaju kuning itu berseru pula dengan suara dalam: II "Kaki kanan hindari tengah, burung Hong pentang sayap .
. . . .. Tanpa berpikir panjang kembali Tian Mong-pek mengikuti petunjuk itu.
Sebagaimana diketahui, orang berbaju kuning itu sudah berulang kali bertempur melawan Lan Toa-sianseng, pada hakekatnya dia sudah hapal diluar kepala semua gerak serangannya.
Apa yang diserukan saat ini tak lain adalah gerak serangan untuk menembusi titik kelemahan dari Kim Hui dan memaksanya melangkah ke sudut kematian.
Tak terlukiskan rasa kaget Kim Hui, ketika cengkeraman Tian Mong-pek mengarah ke wajahnya, cepat dia melengos ke samping sambil mengundurkan diri.
Siapa tahu disaat terakhir Tian Mong-pek menggetarkan tangannya, dari pukulan dia rubah jadi serangan mencengkeram, ke lima jari tangannya dipentang lalu menyapu ke muka.
Tak ampun lagi rambut serta jenggot kusut yang memenuhi wajah Kim Hui telah tersambar oleh Tian Mong-pek hingga terlepas dari tempat, kini terlihatlah kulit mukanya yang bulat putih, meski masih berlumur lumpur namun tak dapat lagi menutupi wajah aslinya.
Ternyata orang itu bukan orang liar seperti yang diduga semula, dia bukan lain adalah Thian-kiau-seng Sun Giok-hud.
Dalam kagetnya Tian Mong-pek sempat tertegun, teriaknya tak tahan: "Ternyata kau." Berubah paras muka Sun Giok-hud, cepat dia lepaskan satu pukulan kemudian membalikkan tubuh dan melarikan diri terbirit-birit.
"Mau kabur ke mana kau!" bentak Tian Mong-pek.
Baru saja dia akan melakukan pengejaran, terdengar Lan Toa-sianseng telah berseru sambil menghela napas panjang: "Biarkan saja dia pergi!" Dalam waktu singkat bayangan tubuh Sun Giok-hud telah hilang lenyap tak berbekas.
Terdengar Lan Toa-sianseng kembali berkata: "Sejak awal lohu sudah menduga, bajingan itu sudah pasti hasil penyamaran murid murtadku itu, sepuluh tahun berselang ketika lohu selesai bertarung disini, dalam perjalanan pulang kujumpai murid murtad itu, waktu itu penampilannya jujur dan polos, siapa sangka ia justru orang licik yang berhati busuk, karena itu lohu pun mengusirnya dari perguruan bahkan melarang dia berkelana dalam dunia persilatan dengan mengatas namakan murid Au-sian-kiong.
Sungguh tak nyana hari ini dia berani menyamar sebagai Manusia tanpa usus Kim Hui untuk membohongi lohu, coba kalau tak ada sobat cilik, tak bisa kubayangkan bagaimana kejadiannya hari ini." Sambil tersenyum ujar orang berbaju kuning itu: "Tahukah kau kalau muridmu yang berhianat bukan hanya dia seorang?" "Memangnya masih ada siapa lagi?" tanya Lan Toa-sianseng dengan wajah berubah.
"Paling tidak masih ada enam orang lagi." Jawab orang berbaju kuning itu tertawa.
"Darimana kau tahu?" "Kalau dia bukannya sudah berkomplot dengan ke enam orang muridmu yang kau kirim untuk menghantar makanan dan martil besi, darimana dia bisa tahu akan kehadiranmu disini" Aku rasa begitu kau turun gunung, mereka pasti sudah mengirim kabar kepadanya sehingga diapun datang kemari untuk menantikan kehadiranmu, memangnya dia benar benar sudah menanti disini selama sepuluh tahun?" Lan Toa-sianseng tertegun, kemudian serunya dengan gusar: "Tak aneh kalau kehadiran mereka berenam begitu lamban, rupanya mereka mengirim kabar lebih dahulu." Perlahan-lahan orang berbaju kuning itu bangkit berdiri, ujarnya lagi sambil tertawa: "Mau marahpun tak ada gunanya, aku yakin saat ini mereka semua pasti sudah melarikan diri, masih untung sepak terjang berapa orang itu kelewat hati-hati, lagian mereka pun berniat menipu kitab ilmu silatmu, kalau tidak, bayangkan saja bagaimana akibatnya bila mereka bertujuh maju bersama" Memangnya saat ini kita masih dapat hidup terus?" Lan Toa-sianseng menghela napas panjang, ia berpaling memandang Tian Mong-pek sekejap, mendadak sambil menarik tangan pemuda itu, serunya: "Ayoh jalan! Ikut lohu pulang ke istana." "Mau apa ikut kau pulang?" tanya Tian Mong-pek keheranan.
Sambil tertawa tergelak seru orang berbaju kuning itu: "Tosu tua itu sangat berterima kasih kepadamu, dia ingin mewariskan ilmu silatnya kepadamu, bukan begitu tosu tua?" "Betul sekali!" jawab Lan Toa-sianseng sambil menghela napas panjang, "walaupun jumlah muridku di istana Au-sian-kiong banyak sekali, namun tak satupun mampu mempelajari ilmu silat yang kumiliki, terlebih tak ada II seorangpun yang memiliki watak .
. . . .. Sambil menepuk bahu Tian Mong-pek, kata orang berbaju kuning itu sambil tertawa: "Tosu tua ini ingin menerima kau sebagai muridnya, sedang aku hanya ingin bersahabat denganmu dan melakukan perjalanan bersama dalam dunia persilatan, silahkan kau pilih sendiri, mau ikuti dia ataukah ikut aku?" Perlu diketahui, dia sudah cukup memahami watak Tian Mong-pek, perkataannya itu justru dengan tepat mengenai isi hatinya.
Mendengar perkataan itu, dengan gusar Lan Toa-sianseng berteriak: "Lohu sudah puluhan tahun lamanya mencari, hari ini aku saja menemukan orang yang cocok, masa kau berebut dengan lohu?" orang berbaju kuning itu hanya tersenyum tanpa menjawab.
Tian Mong-pek segera maju memberi hormat, ujarnya: "Sejak tadi cayhe sudah mencuri belajar ilmu silat cianpwee, semestinya aku harus menjadi muridmu .
. . . . . .." "Tapi ada dasarnya kau hanya ingin berteman dengannya, jadi saat ini belum bersedia menjadi muridnya bukan?" timbrung orang berbaju kuning itu sambil tertawa.
"Kini, cayhe sudah mengetahui identitas cianpwee, mana berani aku berteman dengan cianpwee" Hanya saja .
. . . . . .." "Kalau kau bisa bersahabat dengan makhluk aneh itu, kenapa tak dapat berteman dengan lohu?" protes Lan Toa-sianseng, "kau harus ikut aku pulang dan paling tidak bermabukan selama sepuluh hari." Tian Mong-pek merasakan aliran darah ditubuhnya bergerak lebih cepat, dengan kepala tertunduk ucapnya: II "Tak disangka cianpwee begitu menghargai diriku, aku....
aku..... Saking terharunya, untuk berapa saat dia sampai tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
orang berbaju kuning itu segera tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, bagaimana pun kita berkenalan duluan, jadi kau seharusnya menemani aku si orang tua yang kesepian ini lebih dahulu.
Setahun kemudian, aku tak akan menahanmu lagi, jadi waktu itu kau bisa berkunjung ke istana Au-sian-kiong, mau angkat dia jadi guru atau berteman, terserah padamu." "Baik, baik," ujar Lan Toa-sianseng, "biarlah dia berpesiar dulu selama satu tahun dalam dunia persilatan, tapi.....
saudara cilik, setahun kemudian jangan lupa untuk mampir ke istana Au-sian-kiong." "Kita tetatapkan begitu saja," tegas orang berbaju kuning itu, "saudara cilik, mari kita pergi!" Dia segera menarik tangan Tian Mong-pek dan meninggalkan tebing dengan langkah lebar.
Perasaan terharu dan berterima kasih Tian Mong-pek terhadap kedua orang itu boleh dibilang sudah meluap, semisalnya kedua orang itu minta dia pergi mati pun, dengan rela hati pasti akan dia lakukan.
Maka setelah berjanji waktu untuk bertemu lagi, dia memberi hormat kepada Lan Toa-sianseng lalu mengikuti orang berbaju kuning itu beranjak pergi dari situ.
Sampai dibawah tebing, ia saksikan Lan Toa-sianseng masih berdiri termangu ditepi bukit, berdiri sambil mengawasi bayangan tubuh mereka berdua.
Bab 15. Pemandangan alam nomor wahid dikolong langit.
Diluar kota Tin-kang, berdiri sebuah bukit ditengah sungai, tegar bagaikan patung raksasa.
Itulah bukit Kim-san, tempat yang disebut para enghiong sebagai tempat dengan pemandangan alam nomor wahid dikolong langit.
Suara nyanyian terdengar berkumandang ditengah sungai, sebuah sampan terlihat berlayar ditengah riak lembut.
Diujung sampan tampak sebuah anglo, diatas anglo terdapat poci, harum teh dalam poci menyebar mengharumkan udara.
Seorang lelaki berbaju kuning duduk diujung perahu, dia duduk tanpa bergerak sambil bersenandung membawakan sebuah lagu, tampaknya ia sedang terkenang kejadian masa lalu.
Dihadapannya duduk bersila seseorang, dia adalah seorang pemuda berwajah tampan.
Ketika selesai bersenandung, terdengar orang berbaju kuning itu berkata sedih: "Lagu ini kuciptakan disaat aku masih sering berkelana dulu, aaai, walaupun sekarang aku berpesiar lagi ditempat yang sama, tapi manusia telah berubah." "Aku lihat dalam pikiran cianpwee seolah selalu hanya terkenang akan seseorang, siapa pula manusia di dunia ini yang pantas dipikirkan dan dirindukan cianpwee?" tanya pemuda itu dengan kening berkerut.
Orang berbaju kuning itu menghela napas sedih, dia segera terbungkam dan tidak bicara lagi.
Hingga sampan itu menepi di daratan, tatapan mata orang berbaju kuning itu tetap murung dan sedih.
Pemuda tampan itu tak lain adalah Tian Mong-pek, melihat kesedihan orang, dia jadi menyesal, kenapa harus menyentuh luka hati orang, maka buru-buru ujarnya lagi sambil tertawa: "Aku dengar didalam kuil Kim-san-sie tersimpan hiolo dari jaman kerajaan Ciu, tambur dari kerajaan Han, sabuk kemala dari Tong-po, mata air nomor wahid untuk wilayah Kanglam yang lezat bila dipakai merebus teh, nyaris semua kemegahan dan mustika dunia terkumpul ditempat ini, hanya sayang .
. . . . . .. bukit Kimrsan kelewat kecil, tidak cukup untuk memuaskan perasaan hatiku." "Puluhan tahun aku mengembara dan mengarungi empat penjuru, dulu, akupun merasa wilayah Kanglam hanya sebesar kepalan tangan, tapi kini aku sudah merasakan sentuhan lain, aku sudah tidak merasakan lagi betapa kecilnya wilayah ini." Tian Mong-pek tertawa getir, ia merasa ucapan itu mengandung filosori yang terlalu dalam, pemuda berdarah panas macam dia tentu saja tak dapat menerima dan meresapinya.
Ia mencoba memandang ke tempat kejauhan, ditengah tanah perbukitan yang terjal, dibalik pohon bambu yang lebat, lamat lamat terlihat atap bangunan yang megah.
Seketika Tian Mong-pek merasa dadanya jadi lega.
Dari jalan setapak diatas bukit, terlihat seorang pendeta berjubah abu abu sedang berjalan menuju ke arah seorang kakek berjubah perlente yang sedang berdiri di kaki bukit.
Begitu tiba dihadapan orang itu, pendeta tadi segera berseru: "Kuil kami tidak tahu kalau ada tamu jauh yang datang berkunjung, karena itu hongtiang tidak dapat menyambut sendiri kehadiran tamunya, mohon sicu bisa memaklumi." Kakek berbaju perlente itu segera menyahut sambil tersenyum: "Lohu selalu datang pergi sekehendak hati, bila hongtiang taysu harus datang menyambut sendiri, hal mana malah membuat lohu merasa tak tenang." Sambil berkata, sorot matanya menyapu sekejap sekeliling tempat itu, tiba tiba pandangannya terhenti di wajah Tian Mong-pek yang sedang berjalan mendekat.
Begitu melihat siapa kakek itu, dengan tubuh bergetar seru Tian Mong-pek tanpa terasa: "Chin Siu-ang!" Rupanya kakek berbaju perlente itu bukan lain adalah tabib kenamaan dari dunia persilatan, Chin Siu-ang! Tampak kakek itu tertawa dingin lalu tanpa melirik lagi kearah pemuda itu, dengan langkah lebar ia berjalan lewat dari sisinya, dari balik suara tertawa dinginnya jelas sekali penuh dengan nada menghina dan memandang rendah.
"Tabib bedebah, masih kenal dengan sauya mu?" bentak Tian Mong-pek gusar, dia melangkah ke samping, lalu dengan kepalan dikencangkan menghadang jalan pergi tabib itu.
"Minggir!" bentak Chin Siu-ang ketus.
"Bila kau bersedia datang lebih cepat, ayahku tak sampai tewas secara mengenaskan, rasa benciku terhadapmu sudah merasu k hingga ke tulang, hari ini aku harus memberi pelajaran kepadamu!" kata Tian Mong-pek gusar.
"Ingin memberi pelajaran kepadaku?" ejek Chin Siu-ang sambil tertawa dingin.
"Tepat sekali!" sambil membentak, Tian Mong-pek lancarkan satu pukulan ke wajah kakek itu.
Chin Siu-ang sama sekali tak bergerak, tapi baru saja Tian Mong-pek melepaskan pukulannya, tiba-tiba terdengar seseorang membentak nyaring: "Tahan!" Segulung desingan angin tajam mengancam sikut tangannya.
Karena angin serangan itu tajam, terpaksa Tian Mong-pek tarik kembali serangannya sambil mundur.
Tampak pendeta beralis abu-abu itu telah muncul dihadapannya sambil menegur: "Anak muda, kenapa kau begitu kurangajar?" Rupanya barusan pendeta itu sudah pukul mundur Tian Mong-pek dengan menggunakan tasbeh yang berada dalam genggamannya, hal ini membuktikan kalau ilmu silat yang dimiliki pendeta ini sangat tinggi.
Sambil menahan amarah, seru Tian Mong-pek: II "Taysu, lebih baik kau tak usah ikut campur .
. . . .. "Chin sicu adalah tamu yang sering berkunjung ke kuil Kimrsan-sie .
. . . . .." kata pendeta itu sambil berkerut kening.
"Dia tak lebih hanya tabib pembunuh dari kota Hangciu, bukan mengobati orang, dia lebih banyak melakukan pembantaian, dosanya melebihi dosa seorang bandit, taysu, masa kau tidak tahu?" "Peduli apa pun yang kau katakan, kau tidak boleh sembarangan menyerang orang disini, lebih baik segera mengundurkan diri." Bentak pendeta itu lagi.
Sementara Chin Siu-ang mengejek pula sambil tertawa dingin: "Jika kau tetap ingin turun tangan, hal itu sama saja dengan mencari malu untuk diri sendiri." Bicara sampai disitu, sambil bergendong tangan ia tetap melanjutkan perjalanan, sama sekali tak pandang sebelah matapun terhadap Tian Mong-pek.
Tiba-tiba orang berbaju kuning itu berkata sambil tersenyum: "Saudara cilik, masa kau tidak melihat para pengawal dari lo-sianseng itu?" Mendengar ucapan itu, Tian Mong-pek segera menyapu sekejap ke sekeliling hutan, betul saja, ia saksikan ada bayangan manusia bergerak disitu.
"Paling tidak ada tiga orang." Imbuh orang berbaju kuning itu sambil tertawa.
"Betul sekali, memang ada tiga orang." Suara bentakan tiba tiba berkumandang dari balik hutan.
Bersamaan itu, terlihat tiga sosok bayangan manusia melompat keluar dari tempat persembunyian, mereka adalah tiga orang manusia berpakaian ringkas, bersenjata tajam dan mengenakan kain kerudung hitam.
"Kasak usuk main sembunyi, siapa kalian?" bentak Tian Mong-pek.
Orang berbaju hitam.yang bertindak sebagai pemimpin segera menjawab dengan suara berat: "Sobat, kau tak perlu tahu siapa kami bertiga.
Yang pasti kami datang dari empat arah delapan penjuru yang bertugas untuk melindingi keselamatan Chin lo-sianseng." orang yang berada disebelah kiri menambahkan: "Dikolong langit saat ini, hanya Chin lo-sianseng seorang yang dapat memunahkan racun panah kekasih, kami tak lebih hanya sumbang tenaga demi semua sahabat dunia persilatan." Mula-mula Tian Mong-pek agak tertegun, kemudian ia mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak.
"Dilingkungan tempat beribadah, harap jangan berisik." Tegur pendeta itu lagi.
"Kalian mati-matian berusaha melindungi dia, mungkin disaat kalian benar-benar terkena panah kekasih, belum tentu ia bersedia turun tangan untuk selamatkan nyawa kamu semua." Kata pemuda itu.
"Sobat, apakah kau adalah putra Tian Hua-uh, Tian tayhiap?" tiba tiba orang disebelah kanan bertanya.
"Betul! Aku adalah Tian Mong-pek." Terlihat tubuh ke tiga orang berbaju hitam itu bergetar keras, bahkan orang berbaju kuning itupun berubah wajah setelah mendengar nama Tian Hua-uh disebut.
Dengan wajah agak sedih kata pendeta itu pula: "Kalau toh kau adalah putra Tian tayhiap, sewajarnya tidak boleh bersikap begitu kurangajar, tahukah kau, lolap dan ayahmu adalah sahabat karib?" Tanpa sadar Tian Mong-pek mundur selangkah.
Kembali pendeta itu berkata: "Minggirlah, lolap akan menghantar Chin sicu lewat sana." Sambil kebaskan jubahnya, dia lewat dari sisi tubuh anak muda itu.
"Saudara cilik," seru orang berbaju kuning itu kemudian, "bukankah tujuan kita berpesiar" Kenapa musti mengumbar amarah?" Dia menarik ujung baju Tian Mong-pek kemudian beranjak pergi dengan langkah lebar.
Tian Mong-pek berpikir sejenak, kemudian ia mendepakkan kakinya berulang kali dan siap pergi dari situ.
Tiba tiba terdengar Chin Siu-ang mengejek lagi dengan nada dingin: "Lohu sepanjang tahun berada di kota Hangciu, kau boleh cari aku setiap saat, akan lohu sambut kedatanganmu dengan senang hati!" Setelah itu tanpa berpaling lagi, ia teruskan langkahnya.
Tampak ke tiga orang berbaju hitam itu termangu selama berapa saat, akhirnya salah satu diantaranya berkata dengan terbata: "Semasa hidup Tian tayhiap dulu, kami sangat mengaguminya, tapi orang mati tak bisa hidup kembali .
. . . . .." "Cepat pergi!" bentak Tian Mong-pek.
Orang berbaju hitam itu menghela napas panjang, dengan kepala tertunduk mereka pun ikut beranjak pergi.
"Sudah tahu siapakah mereka bertiga?" "Paling juga begundal begundal jahanam." Sahut sang pemuda penuh kebencian.
"Ketiga orang itu merupakan anak murid dari Pik-pa-ciang (pukulan pembelah macan kumbang) aliran utara, bahkan pasti punya hubungan yang erat dengan ayahmu, apakah kau tahu kenapa mereka datang kemari?" "Cianpwee, hanya melihat tingkah laku orang orang itu, masa kau segera bisa menebak asal perguruan mereka?" "Benar." "Tak bisa kutebak siapakah orang orang itu." "Yaa sudah kalau tak bisa kau tebak," ucap orang berbaju kuning itu kemudian sambil tersenyum, "lebih baik kita pergi menikmati sabung kumala dari Tong-po serta tambung dari Cukat." Begitulah, dengan membawa hati yang mendelu, berangkatlah Tian Mong-pek mengikuti orang berbaju kuning itu menuju ke bukit Kimrsan.
Bangunan kuil yang ada dibukit Kimrsan sungguh anggun dan megah, suasana ditempat itu begitu indah hingga tak malu disebut tempat ziarah paling utama di wilayah Kanglam.
Dari balik ruang utama kuil yang dipenuhi asap dupa, tiba tiba muncul lima orang pendeta berjubah abu-abu yang menghadang jalan pergi mereka.
"Sicu sekalian hendak ke mana?" tanya pemimpin pendeta itu sambil memberi hormat.
"Kami ingin bertemu hongtiang dan minta ijin untuk menyaksikan keindahan hiolo jaman Ciu, kitab jaman Chin, sabuk kumala Tong-po serta lonceng Cukat." Pendeta itu mempunyai jenggot sepanjang dada, kelihatannya mempunyai kedudukan yang cukup tinggi, terdengar dia menyahut dengan suara dalam: "Hongtiang sedang menerima tamu agung, silahkan sicu berdua datang lagi dilain hari." "Tamu agung" Memangnya kami dianggap tamu durjana?" dengus Tian Mong-pek.
Pendeta berjenggot panjang itu tersenyum, katanya: "Omintohud, dalam pandangan orang beribadah, semua umat manusia adalah tamu agung, tapi tamu diruang hongtiang sudah ada janji lebih dulu dengan ketua kami, jadi mohon kalian berdua sudi memaafkan." Baru selesai pendeta itu bicara, tiba tiba terdengar seseorang menegur dengan suara merdu: "Apa" Pesiar ke dalam kuil pun harus punya janji lebih dulu" Betul betul satu kejadian aneh." Sewaktu Tian Mong-pek berpaling, terlihat seorang tokoh berusia muda, seorang gadis berbaju hitam serta seorang nyonya berbaju putih telah berdiri berjajar dibelakang tubuhnya.
Ke tiga orang itu tak lain adalah tiga kepodang dari gunung Hoa-san, kepodang batu Sik Ling-un, kepodang baja Thiat Hui-keng serta kepodang perak ouyang Miau.
Tertegun Tian Mong-pek setelah menyaksikan kehadiran ke tiga orang itu, begitu juga ke tiga orang perempuan itupun tampak sedikit melengak ketika melihat kehadiran anak muda itu.
Tampak kepodang perak ouyang Miau tersenyum sambil memberi hormat.
Sambil balas memberi hormat kata Tian Mong-pek: Il "Kalian bertiga .
. . . . .. Tapi sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, ke tiga orang kepodang dari gunung Hoa-san itu sudah lewat dari sisinya, lalu terdengar kepodang baja Thiat Hui-keng berkata: "Jadi kami tak dapat melihat tambur tembaga dan sabuk kumala karena dalam ruang hongtiang ada tamu lain?" "Biarpun tak ada tamu, li-sicu bertiga pun tak boleh masuk ke dalam." Sahut pendeta itu cepat.
"Kenapa?" tanya Thiat Hui-keng gusar.
"Kecuali gedung utama Tay-hiong-po-tian, selama ini belum pernah ada perempuan yang menginjakkan kaki disini, harap li-sicu bertiga bisa memaklumi." "Kenapa perempuan tak boleh masuk" Memang kau anggap perempuan bukan manusia?" teriak Thiat Hui-keng makin lantang.
ll "Samrmoay . . . . . . .. cegah ouyang Miau. "Kau tak usah menghalangi aku, paling tidak aku harus melihat sendiri bagaimana bentuk tambur tembaga serta sabuk kumala itu, kalau dilarang masuk maka secara diam diam aku akan menyusup masuk ke tempat ini." "Hati-hatilah li-sicu kalau bicara .
. . . . . .." tegur pendeta itu dengan wajah membesi.
Kontan saja paras muka Hoa-san-samring berubah hebat, Tian Mong-pek sendiripun merasa amat gusar, pikirnya: "Dia melarang kaum perempuan untuk masuk, kenapa dari balik ruangan terdengar suara tertawa perempuan?" Tampaknya Thiat Hui-keng semakin gusar, bentaknya: "Bukankah suara itu suara tertawa perempuan?" "Benar." Pendeta itu menjawab dengan wajah tak berubah.
Kontan saja Thiat Hui-keng dan Sik Ling-uh jadi berang, bahkan si kepodang perak ouyang Miau ikut tak tahan, tegurnya: "Kalau begitu kamipun akan masuk ke dalam." Serentak empat orang pendeta yang berjajar di belakang itu bergerak maju dan menghadang jalan pergi perempuan perempuan itu.
Sambil tertawa dingin dengus Sik Ling-uh: "Sudah lama kudengar, para hwesio dari biara Kim-san-sie memiliki kungfu yang hebat, tapi sebagai pendeta, tidak seharusnya kalian main kasar dengan andalkan ilmu silat!" "Tamu wanita yang berada didalam sana hadir karena undangan serta persetujuan hongtiang, lagipula beliau adalah orang yang sudah lama dikagumi hongtiang taysu kami .
. . . . . . .." kata pendeta berjenggot panjang itu menjelaskan.
"Aku tidak paham dengan apa yang kau ucapkan," bentak Thiat Hui-keng gusar, "pokoknya hari ini nonamu harus bisa melihat tambur tembaga dan sabuk kumala itu!"
Seraya berkata, dia langsung menerjang masuk.
"Bila li-sicu memaksakan diri, jangan salahkan kalau pinceng akan bersikap kurangajar." Kata pendeta itu dengan suara berat.
Ujung jubahnya segera dikebut ke depan, deruan angin pukulan pun menyambar ke tubuh perempuan itu.
"Serangan yang hebat!" bentak Thiat Hui-keng sambil melepaskan satu pukulan menghajar iga kanan pendeta itu sementara kedua jari tangan kirinya mengancam sepasang matanya.
Tanpa bergeser setengah langkah pun, pendeta berjenggot itu membendung datangnya ke tiga jurus serangan itu.
"Ternyata kungfu pendeta biara Kimrsan-sie memang hebat." Bisik orang berbaju kuning itu sambil tersenyum.
Il "Tapi sikap serta tingkah lakunya kelewatan .
. . . . .. imbuh Tian Mong-pek. "0mintohud!" tiba tiba terdengar suara pujian berkumandang dari balik ruang kuil.
Disaat Thiat Hui-keng menghentikan serangannya, dari balik ruangan kuil telah berjalan keluar serombongan manusia.
Diantara rombongan, terlihat ada dua orang wanita, yang satu berwajah cantik dengan rambut disanggul dan mengenakan pakaian indah, sementara yang lain berdandan seperti seorang lelaki.
Hanya dalam sekilas pandang saja Tian Mong-pek sudah mengenali kedua orang itu, pikirnya terkesiap: "Ternyata dua orang tamu agung yang berada dalam ruang hongtiang tak lain adalah Siau Hui-uh dua bersaudara." Pemuda itu tak ingin bertemu mereka berdua, cepat dia melompat ke samping, berusaha menghindarkan diri.
Saat itulah, salah seorang wanita itu telah menjerit kaget: "Tian Mong-pek .
. . . . . . .." Lalu terdengar suara seorang pria berteriak keras: "Tian-heng! Mau ke mana kau?" orang berbaju kuning itu kelihatan agak tercengang, tapi ia segera mengebaskan ujung bajunya dan ikut melompat ke samping, dalam waktu sekejap bayangan tubuhnya telah lenyap dari pandangan.
Suasana pun jadi kacau, menggunakan kesempatan itu Hoa-san-sam-ing ikut ngeloyor pergi, mereka memang tak ingin bertemu Siau Hui-uh, sebaliknya Siau Hui-uh sendiripun sama sekali tak memperhatikan kehadiran ke tiga orang itu.
Didalam pandangannya sekarang hanya ada Tian Mong-pek seorang.
"Tian Mong-pek!" kembali dia berteriak sambil siap melakukan pengejaran, tapi tangannya segera ditarik Siau Man-hong.
"Aku akan mengajaknya pulang .
. . . . . .." teriak Siau Hui-uh.
"Mengajaknya pulang?" tukas Siau Man-hong sambil tertawa, "buat apa kau mengajaknya pulang" Coba lihat, semua orang sedang memperhatikan dirimu, masa kau tidak malu?" Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Siau Hui-uh mengurungkan niatnya, meski dihati kecil ia merasa gelisah, cemas bercampur marah.
Sementara itu hongtiang taysu yang ikut keluar dari ruang belakang terlihat mengawasi bayangan punggung yang makin menjauh dengan tatapan keheranan, tanyanya kemudian: "Siapakah orang itu?" Dibelakang hongtiang taysu masih terdapat serombongan tamu lain, salah satu diantaranya kembali berteriak: "Tian-heng! Ke mana kau?" Ketika mendengar pertanyaan itu, diapun menjawab: "Dialah Tian Mong-pek, putra Tian Hua-uh, pendekar kenamaan dari kota Hang-ciu." Sembari bicara, dia memandang sekejap dua bersaudara Siau dengan pandangan tercengang, dia heran, kenapa Tian Mong-pek bisa berhubungan dengan kedua orang perempuan itu.
"Oh, ternyata Lim sicu pun kenal dengan sicu muda itu," kata hongtiang taysu sambil tersenyum, "tapi lolap merasa heran dengan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang berbaju kuning itu." Rupanya orang itu tak lain adalah Kiu-lian-huan (sembilan berantai) Lim Luan-hong, kecuali dia, rombongan tamu agung lainnya merupakan jago-jago silat berilmu tinggi.
Terdengar Hongtiang taysu kembali berkata: "Lolap percaya, pengetahuan dari sicu sekalian sangat luas dan matang, pasti dapat melihat bahwa ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang berbaju kuning itu sangat menakutkan, hanya sayang gerakan tubuhnya kelewat cepat sehingga lolap tidak sempat melihat wajah aslinya." Oo0oo Dengan mengerahkan segenap tenaga yang dimiliki, Tian Mong-pek berlari meninggalkan kuil Kim-san-sie.
Entah berapa lama dia sudah berlarian ketika tiba-tiba terdengar seseorang menegur dari belakang: "Saudara cilik, kenapa kau melarikan diri setelah berjumpa dengan mereka?" Diam-diam Tian Mong-pek terperanjat, selama ini orang berbaju kuning itu selalu mengintil dibelakangnya, namun sampai detik terakhir pun ia tidak menyadari akan hal tersebut.
Setelah menghela napas panjang, sahutnya: "Aku tak ingin bertemu dengan mereka." "Kau tidak ingin bertemu siapa?" "Cianpwee, kau lihat dua orang perempuan diantara kelompok orang orang itu?" "Aku melihatnya." "Cianpwee pasti mengetahui asal usul kedua orang itu, mereka berdua adalah putri kesayangan kokcu lembah kaisar." "Kenapa kau enggan bertemu mereka" Lembah kaisar bukan tempat yang memalukan, apa salahnya bertemu mereka berdua?" Tian Mong-pek menghela napas panjang, sampai lama sekali dia tidak menjawab.
Melihat perasaan gusar dan mendongdol yang menghiasi wajahnya, kembali orang berbaju kuning itu berkata: "Apakah mereka menganiayamu" Menghinamu?" Tiba tiba Tian Mong-pek mendongakkan kepalanya, dengan penuh kebencian ia berkata: "Aku menyesal kenapa ilmu silatku cetek, kenapa keluargaku tertimpa musibah hingga aku harus bergelandangan dalam dunia persilatan dan dihina orang." "Bagaimana mereka menghinamu?" tanya orang berbaju kuning itu setelah termenung sejenak.
"Dari kedua orang kakak beradik itu, yang seorang memaksa aku mengikutinya pulang ke lembah, tapi yang lain mengejek, menghina dan mentertawakan aku, katanya aku tak pantas ikut kembali ke lembah." Kini, dia sudah menganggap orang berbaju kuning itu sebagai sahabat karib, hingga semua rahasia hatinya diutarakan.
Tiba tiba orang berbaju kuning itu tertawa geli, ujarnya: "Aku selama hidup berkelana ke seantero jagad, akupun tahu dimana letak lembah kaisar, kalau begitu ikutilah aku, mari kita berkunjung ke sana .
. . . . . .." "Tidak," tukas Tian Mong-pek sambil membusungkan dada, "sebelum berhasil melatih ilmu silat yang hebat, aku tak akan menjumpai orang-orang lembah kaisar.
Cianpwee, aku lebih suka orang lain memebenciku, melukaiku bahkan memenggal kepalaku, tapi tak sudi dipandang rendah, dipandang hina orang lain.
Aku tak sudi merendahkan diri dengan merengek ingin masuk ke lembah mereka." "Hahaha, bagus, bagus, punya semangat!" puji orang berbaju kuning itu sambil tertawa terbahak-bahak, "belajarlah dulu berapa jurus ilmu silat dariku, kemudian belajar pula ilmu pukulan dari martil langit si tosu tua itu, kujamin kau bisa bergaya ketika datang ke lembah kaisar dan menghajar mereka hingga pontang panting.
Hahaha, saat itu pasti akan membuat hatiku puas." Tergerak hati Tian Mong-pek.
"Memangnya cianpwee punya masalah dengan lembah kaisar?" tanyanya kemudian, "suatu hari kelak, tecu pasti akan membalaskan sakit hatimu itu." "Bagus! Bagus!" kata orang berbaju kuning itu tertawa keras, "sudah lama aku tak leluasa melihat kesombongan para budak dari lembah kaisar, hanya saja aku agak segan untuk turun tangan sendiri, kalau kau bersedia mewakiliku, tentu hal ini sangat bagus." Tampaknya dia merasa gembira sekali, setelah tertawa berulang kali, kembali katanya: "Setengah tahun kemudian aku akan mengajakmu mengunjungi lembah kaisar, sekarang, ayoh kita nikmati dulu keindahan alam bukit Kimrsan." Walaupun bukit Kim-san tidak terhitung luas, namun batu tebing curam dan menjulang tinggi ke angkasa, disana sini terlihat gua karang yang dalam, air selokan mengalir jernih, aneka bunga dan pepohonan hampir tumbuh disegala penjuru.
Pagoda Cu-hun-ta menjulang keatas menembusi awan, bangunan ini tampak kokoh mempersona.
Dengan langkah santai orang berbaju kuning itu mengajak Tian Mong-pek mengitari pagoda Cu-hun-ta menuju ke tebing yang lebih tinggi, dipuncak tebing terdapat sebuah bangunan pavilion, pavilion Liu-hun-teng.
Mereka mendaki ke bukit, menembusi hembusan angin dan kabut tipis, suasana yang sejuk membuat perasaan mereka berdua jadi lega.
Mendadak terdengar orang berbaju kuning itu berbisik: "Dalam pavilion terdapat orang!" Baru selesai dia berbisik, terlihat dari balik pavilion berkelebat keluar dua sosok bayangan manusia, gerak tubuh mereka lincah, cepat dan cekatan.
"Siapa?" hardik Tian Mong-pek, baru saja dia hendak mengejar, orang berbaju kuning itu telah menarik tangannya.
"Gerak gerik orang itu mencurigakan, pasti bukan manusia baik baik, kenapa tidak kita periksa?" tanya Tian Mong-pek.
orang berbaju kuning itu tersenyum, sahutnya: "Dipuncak bukit yang terpencil seperti ini, tak sedikit terdapat orang aneh, apa yang akan kau periksa?" Baru bicara sampai disitu, tiba tiba ia kembali berseru tertahan.
Mengikuti arah yang dipandang rekannya, Tian Mong-pek ikut berpaling, ternyata dalam pavilion itu duduk bersila seseorang, tubuhnya tegap sama sekali tak bergerak.
Hembusan angin kencang mengibarkan jenggot panjang serta jubahnya, ketika diamati lebih seksama, segera dikenali kalau orang itu tak lain adalah pendeta beralis abu-abu yang menghantar Chin Siu-ang turun gunung tadi.
"Taysul" sapa orang berbaju kuning itu, "persoalan apa yang mengganjal hatimu hingga kau duduk seorang diri disini?" Pendeta itu tidak bergerak, dia seolah tidak mendengar pertanyaan itu.
II "Kurangajar, umpat Tian Mong-pek gusar, "buat apa kita mengajak bicara manusia semacam ini .
. . . . . .." Tiba tiba ia saksikan tatapan mata orang berbaju kuning itu menunjukkan perubahan aneh, selangkah demi selangkah dia mendekati pendeta itu.
Tian Mong-pek menyusul dibelakangnya, tapi cepat ia menjerit kaget: "Panah kekasih!" Ternyata pendeta yang duduk bersila itu meski tiada luka ditubuh, namun nyawanya sudah melayang karena persis diatas dadanya tertancap sepasang panah, sebatang panah merah dan sebatang panah hitam, panah kekasih! Raut mukanya sama sekali tak berubah, namun sepasang matanya melotot besar, sinar matanya melukiskan perasaan ngeri dan seram yang luar biasa menjelang ajalnya, seolah dia baru menyadari akan datangnya bahaya sedetik menjelang saat ajalnya tiba.
Ditengah hembusan angin gunung, Tian Mong-pek merasakan tubuhnya gemetar.
Sesudah menghantar tamunya, mengapa pendeta itu datang ke tempat ini" Kalau dilihat dari kehadirannya yang terburu-buru, kemungkinan besar ia sudah ada janji dengan seseorang dan orang itu membawa Panah kekasih, hingga sewaktu pembicaraan buntu, serangan mematikan pun segera dilakukan.
Dalam pikiran sekilas, orang berbaju kuning itu menyimpulkan, kemungkinan besar begitulah peristiwa itu berlangsung.
Tapi siapakah orang yang membuat janji dengannya" Apa pula yang mereka bicarakan" Karena tak habis berpikir, diam-diam orang berbaju kuning itu menghela napas, dia mencoba untuk periksa seputar sana, tapi kecuali kedua batang panah kekasih, tidak ditemukan pertanda lain dalam pavilion itu.
Tian Mong-pek tertegun pula berapa saat, mendadak sambil membentak dia melompat keluar dari pavilion.
"Mau apa kau?" cepat orang berbaju kuning itu menghadang jalan perginya.
"Dua orang yang melesat keluar tadi pastilah pemilik panah kekasih, aku punya dendam sedalam samudra dengannya, biar harus naik ke langit atau masuk ke bumi pun, aku tetap akan mencari dan menemukan mereka." orang berbaju kuning itu menghela napas panjang, ujarnya: "Kehebatan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kedua orang ini boleh dibilang sudah mencapai puncak kesempurnaan, aku sendiripun tak sanggup mengejar mereka, apalagi dirimu?" "Aai, lagi-lagi terlambat selangkah." Teriak Tian Mong-pek sambil menghentakkan kakinya dengan gemas.
Pada saat itulah terdengar suara genta dibunyikan bertalu talu.
Suara genta yang nyaring berkumandang dari dalam kuil Kimrsan-sie dan menembusi angkasa.
Kembali orang berbaju kuning itu berkata dengan suara dalam: "Biara ini pasti sudah mengalami peristiwa besar, kita tak perlu banyak urusan disini, asal kau yakin dengan kemampuan sendiri, kenapa harus risau tak dapat menemukan jejak musuh musuhmu?" Sambil bicara, dia menarik tangan Tian Mong-pek dan bergerak menuruni bukit.
Ditengah dentingan suara genta yang bertalu-talu, terlihat mercon api diluncurkan dan meledak di angkasa biara Cu-hun-ta.
Menyusul kemudian tampak empat sosok bayangan manusia, bagaikan burung elang yang menukik, meluncur turun dari pagoda lantai ke tiga.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ke empat orang itu bergerak cepat, diantara suara ujung baju yang tersampok angin, mereka meluncur ke arah Tian Mong-pek berdua dengan kecepatan tinggi, rupanya mereka adalah pendeta dari biara Kimrsan-sie.
Seketika anak muda itu menghentikan langkahnya, dalam waktu singkat ke empat pendeta itu sudah mengepung mereka berdua dari empat penjuru.
Ke empat orang itu bergerak cepat, diantara suara ujung baju yang tersampok angin, mereka meluncur ke arah Tian Mong-pek berdua dengan kecepatan tinggi, rupanya mereka adalah pendeta dari biara Kimrsan-sie.
Seketika anak muda itu menghentikan langkahnya, dalam waktu singkat ke empat pendeta itu sudah mengepung mereka berdua dari empat penjuru.
"Ada urusan apa taysu?" tegur orang berbaju kuning itu dengan suara dalam.
Paras muka ke empat orang pendeta itu amat serius, selapis napsu membunuh menyelimuti wajah mereka, mereka hanya mengawasi kedua orang itu tanpa bicara.
Sementara itu suara genta berbunyi makin kencang dan keras.
Dengan kening berkerut Tian Mong-pek segera menegur: "Kami hanya pelancong yang berpesiar kemari, pertama tidak mengusik biara kalian, kedua, kamipun berlaku sopan terhadap Buddha, mengapa taysu sekalian menghalangi jalan pergi kami berdua?" Salah seorang pendeta yang bertubuh tinggi besar segera tertawa dingin, sahutnya ketus: "Kalau memang begitu, silahkan kalian ikuti pinceng untuk kembali ke biara." "Kenapa harus balik ke biara?" teriak Tian Mong-pek makin gusar.
"Hmm, tidak maupun tetap harus pergi." Dengan penuh amarah Tian Mong-pek membentak keras, satu pukulan langsung dilontarkan ke dada pendeta itu.
Melihat itu, sambil tertawa nyaring kata orang berbaju kuning itu: "Aku memang sedang risau karena kau tak punya lawan tanding dalam berlatih silat, kebetulan sekali bila ke empat orang itu bersedia menemanimu berlatih." Ditengah gelak tertawa nyaring, tiba tiba tubuhnya melayang naik dan melayang ke lantai satu pagoda itu.
Sebetulnya ke empat orang pendeta itu hendak memisahkan diri dengan dua orang mengejar orang berbaju kuning itu, siapa sangka Tian Mong-pek secara beruntun melancarkan empat pukulan yang memaksa ke empat orang pendeta itu tak sanggup memisahkan diri.
Pendeta bertubuh tinggi besar itu memiliki kekuatan tubuh yang luar biasa, ketika melihat datangnya pukulan dari Tian Mong-pek, dia tidak berkelit atau menghindar, satu pukulan balas dilontarkan untuk menyongsong datangnya ancaman.
"Blaaam!" ketika sepasang tangan saling beradu, pendeta tinggi besar itu merasakan pergelangan tangannya kesemutan, tubuhnya bergetar keras, tak kuasa lagi dia mundur berulang kali dan "Bruukk!" jatuh terduduk ke lantai.
Begitu berhasil dengan serangannya, Tian Mong-pek sama sekali tidak memandang lagi kearah korbannya, dia putar badan, se pasang kepalannya dihantamkan bersama, kaki kanan ikut pula menendang pergelangan tangan lawannya yang lain.
Tentu saja ke tiga orang pendeta itu tak berani beradu kekerasan dengannya, cepat mereka berkelit ke samping menghindari datangnya ancaman.
Siapa sangka Tian Mong-pek tidak berhenti sampai disitu, badannya berputar, serangan yang seharusnya ditujukan ke tangan orang yang disebelah kiri, tahu-tahu dihantamkan ke bahu pendeta disebelah kanan.
Mana mungkin pendeta itu mampu menahan pukulan tersebut" Sambil menjerit kesakitan, tubuhnya roboh terjungkal ke tanah.
"Bagus, bagus," puji orang berbaju kuning itu sambil tertawa, "gerak pukulanmu nyaris sama persis seperti gerak pukulan si tua bangka Lan, hanya sayang kepalan kirimu tidak disertakan, coba kalau tidak, kedua orang itu pasti ikut terjungkal!" Sementara pembicaraan masih berlangsung, pendeta tinggi besar itu lagi-lagi menerkam maju, sedangkan pendeta yang roboh terjungkal tadi segera kabur turun gunung.
Perlu diketahui, dalam serangannya Tian Mong-pek tidak sertakan tenaga mematikan, karena itu walaupun terkena pukulan namun tak sampai membuat korbannya terluka parah.
Tak lama kemudian muncul lagi puluhan sosok bayangan manusia dari balik remang-remangnya kegelapan malam, mereka bergerak cepat, langsung menerjang ke arah Tian Mong-pek.
Dari rombongan itu, terlihat seorang diantaranya bergerak amat cepat, hanya dalam berapa kali lompatan ia sudah mendekat.
Ternyata orang itu tidak lain adalah pendeta berjenggot panjang tadi.
Waktu itu, sesungguhnya ke tiga orang pendeta itu sudah dibuat pontang panting oleh serangan Tian Mong-pek, serentak mereka lancarkan pukulan berantai lalu mundur dari arena.
Tian Mong-pek hanya tertawa dingin, ia tidak melakukan pengejaran.
Begitu tahu siapa yang berada dihadapannya, dengan paras berubah seru pendeta berjenggot panjang itu: "Ternyata kau." "Kalau aku lantas kenapa?" Tian Mong-pek balik bertanya.
"Aku mengenali dirimu!" kata sang pendeta sambil tertawa dingin.
"Kalau kenal lantas kenapa?" "Hahaha, jawaban yang tepat! Jawaban yang tepat!" sambung orang berbaju kuning itu sambil tertawa keras.
Berubah paras muka pendeta berjenggot panjang itu.
"Apa yang kau tertawakan?" hardiknya, "jangan harap kalian berdua dapat meninggalkan bukit ini dalam keadaan hidup!" Sementara pembicaraan masih berlangsung, puluhan orang pendeta berjubah abu-abu itu telah berdatangan, serentak mereka mengurung disekeliling arena, semua orang bersiaga dengan wajah diliputi hawa pembunuhan yang tebal.
Kawanan pendeta yang seharusnya berwajah penuh welas kasih, kini telah berubah jadi bengis dan buas bagaikan malaikat jibril, sikap maupun mimik muka menunjukkan seolah mereka mempunyai dendam sedalam lautan dengan Tian Mong-pek, bukan hanya dendam, sinar mata pun nyaris menyemburkan cahaya api.
Melihat itu Tian Mong-pek tertawa keras, katanya: "Antara aku dengan kalian para hwesio tak ada dendam.maupun sakit hati.
Tapi sekarang kalian justru ingin membunuhku, memang begitukah sikap yang benar dari murid kaum Buddha?" "Tak ada dendam sakit hati" Hm!" dengus pendeta berjenggot panjang itu, "kalau memang tak ada sakit hati, kenapa kau tidak berani datang ke biara kami, kenapa kau menghajar anak buah kami?" Tian Mong-pek tertawa dingin.
"Siapa bilang aku tak berani memasuki biara kalian?" jengeknya, "masuk ke sarang naga gua harimau pun tidak takut, apalagi hanya biara Kimrsan-sie yang kecil." "Kalau memang begitu, silahkan saja ikut kami." "Ayoh jalan." Pemuda ini memang tak tahan kalau dipanasi hatinya, langsung saja dengan busungkan dada dia berjalan maju.
Tiba tiba terdengar orang berbaju kuning itu tertawa tergelak sambil berseru: "Saudara cilik, hwesio itu takut dengan ilmu silatmu, diapun kuatir kau melarikan diri, karena itu sengaja menipu kau untuk masuk ke dalam biara, kemudian baru meringkusmu .
. . . . .." "Turun." Bentak pendeta berjenggot panjang itu gusar.
Tubuhnya bagaikan sebatang pit, langsung meluncur ke tengah udara sambil melepaskan satu pukulan.
Siapa tahu baru saja pukulan itu dilancarkan, orang b erbaju kuning itu lagi-lagi meluncur ke atas, kali ini dia hinggap di lantai dua pagoda.
"Hahaha, memangnya kau bisa paksa lohu untuk turun?" ejeknya sambil tertawa keras.
Ditengah bentakan gusar, pendeta berjenggot panjang itu menutulkan ujung kakinya dan meluncur kembali ke tengah udara.
Gerakan tubuhnya cepat, perubahan jurusnya lincah, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pun tangguh, dengan jurus Li-hay-tam-cu (laut hitam mencari mutiara) dia hantam bahu lawan.
Orang berbaju kuning itu tertawa tiada hentinya, kembali dia melompat naik ke lantai tiga.
Terkejut bercampur gusar, dalam waktu singkat pendeta itu melancarkan tiga jurus serangan secara beruntun, tapi hasilnya, jangan lagi merobohkan lawan, meraba ujung baju musuhpun tak sanggup.
Kawanan pendeta yang berada dibawah pagoda beramai-ramai melongok keatas, tampak tubuh orang berbaju kuning itu sudah naik hingga ke lantai ke enam bangunan itu, dimana ujung kakinya menjejak, badannya langsung melambung.
Gerak geriknya tak berbeda seperti dewa yang sedang terbang dibalik awan, membuat para pendeta itu terkejut bercampur kagum, tak seorang pun berani bersuara.
Secara beruntun pendeta berjenggot panjang itu menyusul hingga ke lantai lima, saat itu tenaga dalamnya sudah hampir terkuras, ia merasa suasana begitu sepi, ketika melongok ke bawah, tampak berapa puluh pasang mata sedang mengawasinya tanpa berkedip.
Tentu saja pendeta itu tak mau kehilangan muka dihadapan murid muridnya, sambil menghimpun tenaga dalam, sekali lagi dia melompat naik keatas lantai pagoda.
Kali ini dia telah mengerahkan segenap kekuatan yang dimiliki untuk bertaruh, tubuhnya bagaikan mercon yang menembusi angkasa, melewati orang berbaju kuning itu dan meluncur ke lantai tingkat tujuh.
Menyaksikan gerakan tubuhnya yang indah sontak para muridnya bersorak sorai memuji.
Berada ditengah udara teriak pendeta berjenggot panjang itu sambil tertawa keras: "Kau hendak naik atau turun?" ll "Hahaha, kau saja yang turun.
jawab orang berbaju kuning itu.
Sembari berkata tubuhnya kembali melambung, kali ini dia melewati tubuh pendeta berjenggot panjang itu hingga terlampau dua kaki, dari situ dia baru meluncur ke bawah.
Siapa sangka baru saja tubuhnya meluncur ke bawah, mendadak terdengar pendeta berjenggot panjang itu menjerit kaget lalu menyusup masuk ke dalam pagoda, dia seakan telah menemukan sesuatu kejadian yang mengagetkan dalam gedung itu.
Tergerak hatinya, orang berbaju kuning itu ikut menyusup pula ke dalam pagoda.
Selain pendeta berjenggot panjang itu, ternyata didalam pagoda terdapat pula tiga orang wanita, mereka tak lain adalah Hoa-san-sam-ing, tiga kepodang dari Hoa-san.
Setelah tertegun sesaat, bentak pendeta berjenggot panjang itu: "Kenapa kalian bersembunyi disini?" Tiga kepodang dari Hoa-san sendiri meski ikut terperanjat, namun paras muka mereka sama sekali tak berubah.
Setelah tertawa dingin sahut si kepodang baja Thiat Hui-keng: "Setiap orang boleh mendatangi pagoda Cu-hun-ta, kenapa kami tiga bersaudara tak boleh kemari" Aneh sekali." Pendeta berjenggot panjang itu mendengus, katanya: "Pinceng memang sedang keheranan, kenapa kalian bertiga akan pergi dari sini sebelum melihat tambur tembaga dan sabuk kumala itu...." Sesudah menatap sekejap ke tiga orang itu, terusnya: "Ternyata kalian bertiga telah mencuri tambur serta sabuk kumala itu, bagus juga cara kalian itu." "Apa kau bilang?" berubah paras muka Thiat Hui-keng.
"Hmm, nona sendiri yang berkata begitu, masa belum lewat sehari, kau sudah menyangkal?" ucap pendeta itu dengan wajah berubah aneh.
"Bagus, rupanya murid Buddha pun pandai menfitnah orang, akan kulihat apa dasar dari perkataanmu itu, akan kulihat siapa yang telah mencuri tambur serta sabuk kumala itu." "Pinceng memang ingin kalian balik ke biara untuk menyelesaikan persoalan ini." "Kalau begitu ayoh jalan." Teriak Thiat Hui-keng lantang.
Dalam pada itu para pendeta yang berada dibawah pagoda mulai heboh dan saling berbisik.
Sementara orang berbaju kuning itu ikut berpikir: "Tidak heran kalau kawanan pendeta itu kelihatan marah sekali, ternyata pusaka mereka telah dicuri orang, tampaknya akupun harus ikut mereka untuk menjelaskan persoalan ini." Berpikir begitu, segera serunya: "Akupun akan ikut kalian untuk kembali ke biara!!" Tubuhnya segera meluncur turun dari tingkat tujuh pagoda itu, langsung menuju ke permukaan tanah, gerak tubuhnya tidak menimbulkan suara apapun, betul betul ibarat seekor naga yang sedang melayang.
Pendeta berjenggot panjang serta Hoa-san-samring ikut meluncur ke bawah, meski ke tiga kepodang itu tersohor karena ilmu meringankan tubuhnya, namun mereka tak berani melompat turun dalam sekali loncatan.
Tian Mong-pek merasa tercengang juga ketika melihat kemunculan ke tiga kepodang dari gunung Hoa-san itu, namun dia pun tidak banyak bicara, mengikuti dibelakang kawanan pendeta itu, kembali menuju biara.
Dalam pada itu suasana dalam biara Kim-san-sie terlihat serius dan menyeramkan, tiga ratusan pendeta dengan pakaian diketatkan dan menghunus senjata, berjaga jaga disekeliling bangunan itu, sikap mereka begitu serius seakan sedang menghadapi serbuan musuh tangguh.
Dalam aula Tay-hiong-po-tian pun sudah tak nampak jejak peziarah, lilin dan lentera minyak disulut menerangi empat penjuru.
Dengan wajah menyeramkan ujar pendeta berjenggot panjang itu kemudian: "Kalian datang sebagai peziarah, sebetulnya kami harus menghormati, tapi kini, pinceng tak bisa memandang kalian sebagai peziarah lagi." "Hmm, ingin kudengar, sekarang, kau menganggap kami sebagai apa?" seru Thiat Hui-keng gusar.
Pendeta itu tertawa dingin, sebelum menjawab, orang berbaju kuning itu sudah berkata lebih dulu: "Urusan telah berkembang jadi begini rupa, lebih baik undang hongtiang kalian untuk berbicara." "Kau masih ingin bertemu ciangbun hongtiang kami?" bentak pendeta itu dengan wajah berubah.
"Hmm, jika kau mencari menangnya sendiri, lebih baik lohu pergi dari sini." "Ingin pergi" Hahaha, jangan harap kau bisa tinggalkan tempat ini .
. . . . .." seru pendeta itu sambil mendongakkan kepala dan tertawa seram.
"Tutup mulutmu!" bentak orang berbaju kuning itu geram.
Dibalik suara bentakan, terselip kewibawaan yang luar biasa, dari perubahan mimik muka pun, semua orang sudah dibikin tercekat, tentu saja pendeta itu tak berani bicara lebih jauh.
Bab 16. kemelut yang membingungkan.
"Bagus!" kembali orang berbaju kuning itu berkata, "tidak bertemu ciangbun hongtiang kalianpun, lohu tak akan pergi dari sini." Paras muka pendeta itu berubah jadi hijau membesi, sesudah tertegun sesaat, teriaknya: "Ikuti aku." Ia membalikkan badan dan beranjak lebih dulu.
Sepanjang perjalanan terlihat cahaya golok berkilauan, entah ada berapa banyak pendeta berjubah abu-abu yang berdiri disepanjang jalan dengan senjata terhunus.
"Apa-apaan ini" Jebakan dibalik pesta?" ejek Thiat Hui-keng sambil tertawa dingin.
Pendeta itu tidak menanggapi, dia tetap melanjutkan perjalanan dengan langkah lebar.
Setelah melewati serambi yang berliku-liku, sampailah mereka didepan sebuah halaman yang hening.
Aneka bunga dan pepohonan tumbuh dibalik sebuah kebun kecil, gemercik air dari gunung-gunungan tak dapat menghapus suasana penuh hawa pembunuham yang mencekam tempat itu.
Enam orang pendeta dengan golok terhunus, berdiri berjajar didepan sebuah ruangan.
Pendeta itu menghentikan langkahnya didepan ruangan itu, tiba tiba ia membalikkan badan lalu dengan wajah sedih bercampur gusar katanya: "Inilah kamar tidur hongtiang kami." II "Tenang benar suasana disini.
Kata Thiat Hui-keng sambil mencoba melangkah masuk.
Tiba tiba terlihat cahaya golok berkelebat lewat, enam bilah golok besar telah menghadang didepan pintu.
"Apa-apaan kalian?" tegur Thiat Hui-keng dengan wajah berubah, II "memangnya .
. . . . . . . .. "Silahkan baca tulisan ini." Ujar pendeta itu sambil menunjuk kearah sebuah papan nama yang tergantung didepan pintu.
Diatas papan nama itu tertuliskan: "Silahkan melaporkan nama sebelum memasuki ruang hongtiang." "Besar amat lagaknya." Teriak Thiat Hui-keng sambil terttawa dingin.
"Masih untung kita bukan orang yang tak punya nama." Sambung Sik Ling-un.
"Ouyang Miau menjumpai hongtiang." Lanjut kepodang perak sambil memberi hormat.
Cahaya golok segera buyar, dipimpin Ouyang Miau, dua saudara lainnya yang telah menyebut nama secara beruntun memasuki ru ang tidur sang ketua.
Sorot mata pendeta itu kini dialihkan ke wajah orang berbaju kuning itu, katanya dengan suara dalam: "Dari kepandaian silatmu yang hebat, bisa diduga kau bukan manusia tak bernama bukan." "Hahaha, aku tak akan menyebut namaku." Ucap orang berbaju kuning itu sambil tertawa nyaring.
Cahaya golok kembali berkelebat lewat, menghadang jalan masuk ke ruangan.
"Hahaha, hanya mengandalkan ke enam bilah golok inipun, kalian ingin menghalangi lohu?" dengus orang berbaju kuning itu sambil tertawa keras.
Sekalipun sedang tertawa, mimik mukanya tetap kaku tanpa perubahan, bibir pun tiada senyuman sedikitpun.
Tercekat perasaan hati ke enam orang pendeta itu, nyaris mereka tak sanggup menggenggam goloknya.
Agaknya pendeta berjenggot itu sudah menduga kalau orang ini mempunyai asal usul yang luar biasa, wajahnya segera berubah serius, serunya: "Kalau tak mau menyebut nama, silahkan menunggu diluar saja." Pada saat itulah dari ruang tidur hongtiang terdengar suara jeritan kaget Hoa-san-sam-ing.
Tian Mong-pek terperanjat, belum sempat ia berbuat sesuatu, terdengar orang berbaju kuning itu telah berseru sambil tertawa nyaring: "Biarlah lohu melanggar kebiasaan ini." Tiba tiba ujung bajunya dikebas, kawanan pendeta itu seketika merasakan pandangan matanya jadi kabur .
. . . .. Menyusul kemudian terdengar suara gemerincingan nyaring, ke enam bilah golok itu sudah rontok ke tanah.
Menanti pendeta berjenggot panjang itu berpaling, bayangan tubuh manusia berbaju kuning itu sudah lenyap dari pandangan.
Padahal selama ini dia mengawasi terus gerak gerik orang itu tanpa berkedip, namun hingga detik terakhir sama sekali tidak melihat bagaimana cara orang berbaju kuning itu masuk ke dalam ruangan, kenyataan ini membuatnya amat terperanjat.
Tian Mong-pek tertegun sejenak, kemudian serunya: "Tian Mong-pek!" Dengan melewati samping pendeta yang masih termangu itu, dia menerobos masuk ke dalam ruangan.
Terlihat Hoa-san-sam-ing masih berdiri kaku disamping pintu dengan wajah kaget, sedangkan orang berbaju kuning itu meski wajahnya tidak berubah, namun sorot matanya berubah jadi aneh.
Asap dupa tipis masih menyelimuti seluruh ruangan.
Diatas dipan duduk bersila seorang pendeta berjenggot putih, matanya terpejam seperti sedang samadi, namun diatas dadanya tertancap dua batang anak panah berwarna merah dan hitam.
"Panah kekasih!" Dengan badan gemetar Tian Mong-pek mundur sampai tiga langkah, sementara si pendeta berjenggot panjang telah menyusul masuk ke dalam ruangan.
Tanpa berpaling gumam orang berbaju kuning itu: "Panah kekasih, lagi-lagi panah kekasih!" "Sudah kau lihat dengan jelas?" kata pendeta itu sambil tertawa dingin, II "begitu terkena panah kekasih, hongtiang taysu seketika tewas....
"Begitu menyerang langsung kena sasaran, begitu kena sasaran langsung mati, panah kekasih memang luar biasa hebatnya hingga sang korban pun tak mampu menyebut nama pembunuhnya." "Tak perlu disebut, aku pun dapat menebak siapakah orang itu." Tukas pendeta itu.
"Siapa?" "Kau!" "Aku" Darimana kau bisa menuduhku?" Pendeta itu tertawa dingin.
"Kau mengenakan topeng kulit manusia, sepak terjangmu mencurigakan, kedatanganmu jelas bukan untuk berpesiar, kalau bukan kau yang lakukan rencana busuk ini, lantas siapa pula orang itu?" "Ada lagi yang lain?" dengus orang berbaju kuning itu sambil tertawa dingin.
"Ilmu silatmu tinggi, asal usulmu misterius, belum pernah kudengar ada manusia misterius yang memiliki ilmu meringankan tubuh sehebat dirimu .
. . . . . .." "Ehmm, memang tidak ada." Orang berbaju kuning itu mengangguk.
Dengan wajah makin menyeramkan, sepatah demi sepatah kata ujar pendeta itu: "Berdasarkan semua alasan dan gejala yang ditemukan, aku dapat menyimpulkan satu hal." "Coba katakan." "Kaulah pemilik panah kekasih itu." Teriak pendeta itu penuh emosi.
Ucapan tersebut seketika membuat semua orang merasa terperanjat.
Hoa-san-sam-ing tampak bingung bercampur bimbang, tampaknya mereka pun sudah percaya tujuh puluh persen.
Orang berbaju kuning itu segera berpaling ke arah Tian Mong-pek, katanya sambil tersenyum: "Sudah kau dengar semua perkataannya" Lantas apa pertimbangan serta kesimpulanmu?" "Berlagak sok pinter." Jawab Tian Mong-pek singkat.
"Wah, kesimpulanmu itu tepat sekali." "Peduli kau mau mengakui atau tidak, aku sudah yakin akan pandanganku II itu.
Tukas pendeta berjenggot itu tegas.
"Kalau sudah yakin lantas kenapa?" Pendeta itu tertegun, belum sempat menjawab, orang berbaju kuning itu kembali berkata: "Kau sangka biara Kim-san-sie ibarat sarang naga gua harimau?" Pendeta berjenggot panjang itu tidak bicara, tapi sepasang kepalannya sudah digenggam kencang, segenap tenaga dalam yang dimiliki telah disalurkan ke tangannya itu.
Kembali orang berbaju kuning itu tertawa terbahak-bahak.
"Hahaha, tempat yang kau pandang sebagai sarang naga gua harimau, justru merupakan tempat yang biasa bagi diriku, lihat saja, aku akan pergi dan datang sekehendak hati." Ditengah gelak tertawa, dia tarik tangan Tian Mong-pek sambil berseru: "Ayoh kita pergi." Pendeta itu membentak nyaring, dengan jurus Po-hu-kay-san (mengayun kapak membelah bukit) dia lancarkan satu serangan dahsyat.
Siapa sangka baru saja serangannya dilancarkan, tahu-tahu dia sudah kehilangan jejak orang berbaju kuning serta Tian Mong-pek, terdengar suara desingan dari arah belakang, kedua orang itu sudah menerobos keluar lewat pintu ruangan.
"Kalian bertiga jangan pergi dulu, pinceng akan mengejar musuh." Bentak pendeta itu.
I "Kami punya nama marga punya julukan,' sahut Thiat Hui-keng, "sebelum urusan jadi jelas, kami tak sudi menjadi kambing hitam, jangan lagi kabur dari sini, minta kami pergi pun jangan harap." Belum selesai perkataan itu, pendeta itu sudah menyelinap keluar dari ruangan.
Tampak dia mengayunkan tangannya melepaskan mercon api ke udara, para pendeta yang sebelumnya memenuhi halaman pun seketika jadi gempar.
Tian Mong-pek yang digenggam tangannya merasa ada segulung hawa murni mengalir masuk lewat lengannya, seketika dia merasa badannya lebih enteng, gerakan tubuh pun lebih ringan dan cepat.
Ia saksikan bayangan manusia mulai berkelebat dari empat penjuru, diantara kilauan cahaya golok, suara bentakan bergema silih berganti.
Orang berbaju kuning itu bergerak cepat, dalam waktu singkat dia sudah berada puluhan tombak dari tempat semula.
Baru saja melewati sebuah wuwungan rumah, mendadak terlihat puluhan orang pendeta berjubah abu-abu dengan golok terhunus menghadang jalan pergi mereka.
Pada saat yang bersamaan, dari balik semak terdengar pula suara desingan angin tajam, rupanya ada puluhan batang anak panah telah dibidikkan kearah mereka berdua.
Orang berbaju kuning itu tertawa dingin, tiba tiba ia lepaskan sebuah angkin panjang dari pinggangnya, kemudian ia kebaskan angkin itu ke tengah udara.
"Praaakl" puluhan batang anak panah itu seakan-akan terhisap oleh semacam besi semberani, tahu-tahu sudah terhisap dan lenyap dibalik gulungan angkin itu.
Begitu menggetarkan tangannya, angkin itu menggulung dan semua anak panah yang diarahkan ke tubuhnya pun ikut terbelenggu.
Tak terlukiskan rasa kaget kawanan pendeta itu, untuk berapa saat mereka hanya bisa berdiri tertegun.
"Pergi!" bentak orang berbaju kuning itu.
Tali angkin digetarkan, anak panah yang terbelenggu pun segera melesat ke udara dan balik menyerang kawanan pendeta itu.
Desingan angin tajam menembus angkasa, ternyata kekuatan yang ditimbulkan jauh lebih dahsyat daripada panah yang dibidik dengan busur berpegas.
Dalam kagetnya kawanan pendeta itu menggelinding ke balik wuwungan, diantara desingan angin tajam, orang berbaju kuning itu bersama Tian Mong-pek telah meluncur meninggalkan tempat itu.
Semua peristiwa itu berlangsung dalam waktu singkat, menanti para pemanah menyiapkan kembali anak panahnya, bayangan tubuh orang berbaju kuning itu sudah lenyap tak berbekas.
Ditengah kegelapan yang mencekam jagad, tidak terlihat bayangan apapun disekitar sana.
Pendeta berjenggot panjang itu berdiri mematung, ia sadar, biar punya sayap pun jangan harap bisa mengejar musuhnya, meski gelisah bercampur panik, untuk sesaat diapun tak tahu harus berbuat apa.
Sementara itu sebagian besar pendeta biara Kim-san-sie telah menyusul ke tempat kejadian, terdengar mereka bertanya dengan panik: "Mana musuhnya" Sudah kabur?" Dengan jengkel pendeta berjenggot panjang itu menghentakkan kakinya, lalu teriaknya gusar: "Siapa suruh kalian menyusul kemari" Siapa yang menjaga ruang Hongtiang?" Kawanan pendeta itu saling berpandangan, untuk sesaat mereka tak sanggup berbicara.
Kembali pendeta itu berteriak gusar: "Kalau sampai &ba-san-sam-jng'menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri, bagaimana mungkin lolap bisa memberikan pertanggungan jawab kepada ji-suheng dan su-sute?" Setelah tertegun berapa saat, serentak kawanan pendeta itu berlarian menuju ke ruang Hongtiang.
"Kembali!" bentak pendeta berjenggot itu.
Dengan hati bergetar kembali kawanan pendeta itu menghentikan langkahnya.
"Bukankah kalian mempunyai tempat tugas masing-masing" Kenapa meninggalkan tempat tugas?" kembali pendeta itu membentak, "apapun yang terjadi dalam biara, kalian tidak seharusnya meninggalk an tempat masing- masing, mengerti?" Serentak semua pendeta mengiakan.
Dengan berapa kali lompatan, pendeta itu kembali ke dalam ruang ketua.
Tampak suasana disekeliling ruangan hening, walaupun kawanan pendeta yang mengepung halaman luar telah ditarik, enam orang pendeta dengan golok terhunus masih berdiri tegak didepan pintu kamar.
"Apakah terjadi sesuatu ditempat ini?" tegur pendeta berjenggot itu sambil berjalan mendekat.
Ke enam orang pendeta itu tetap berdiri kaku, berdiri seperti orang bodoh, tak seorangpun menjawab.
"Kalian semua sudah tuli?" hardik pendeta berjenggot itu gusar, "kenapa .
. . . . .." Ucapannya seketika terhenti, ia jumpai ke enam orang pendeta itu meski memegang golok terhunus namun wajah mereka tertegun seperti orang bloon, jangan lagi bergerak, matapun tidak berkedip, sudah jelas jalan darahnya telah tertotok.
Baru saja mereka mengayunkan goloknya, jalan darah sudah keburu tertotok, dari sini bisa disimpulkan kalau gerakan tubuh orang itu amat cepat, kehebatan ilmu silatnya pun luar biasa.
"Aduh celaka!" pekik pendeta berjenggot itu dengan wajah berubah, "jangan jangan Hoa-san-sam-ing sudah pergi pula?" Buru-buru dia melangkah masuk ke dalam ruangan.
Tiba-tiba terdengar seseorang menyapa sambil tertawa ringan: "Taysu, baru sekarang tiba disini" Cayhe sudah menunggu semenjak tadi." Pendeta berjenggot itu merasa jantungnya berdebar keras, ternyata didalam ruangan itu selain Hoa-san-sam-ing, terlihat pula seorang manusia berbaju kuning dan seorang pemuda berdiri berjajar.
Dia nyaris tidak percaya dengan pandangan mata sendiri, bagaimana mungkin kedua orang itu bisa muncul dalam ruangan tanpa diketahui olehnya" Sambil tertawa dingin ejek Thiat Hui-keng: "Wah, sarang naga gua harimau yang luar biasa, sedemikian angkernya hingga orang lain bisa masuk keluar sekehendak hati." Pendeta berjenggot itu berdiri kaku, wajahnya pucat kehijauan, rasa malu, kaget, tercengang bercampur aduk jadi satu.
Terdengar orang berbaju kuning itu berkata kembali: "Tahukah kau, mengapa aku balik lagi setelah pergi tadi?" Pendeta berjenggot itu hanya bisa berdiri dengan muka membesi, tak sepatah katapun sanggup dikatakan.
Orang berbaju kuning itu berkata lagi: "Didalam menghadapi setiap permasalahan, jangan kau duga berdasarkan emosi, coba bayangkan sendiri, seandainya aku adalah pembunuhnya, selesai membantai, aku pasti sudah menghilang dari tempat ini, masa harus menunggu sampai kau tangkap" Terlebih tak mungkin balik lagi bukan setelah berhasil melarikan diri?" Pendeta itu tidak menjawab, pun tidak bergerak.
Sesudah tertawa dingin, lanjut orang berbaju kuning itu: "Apalagi dengan andalkan ilmu silat yang kumiliki, segampang membalikkan telapak tangan bila ingin membunuh seseorang, buat apa harus gunakan senjata rahasia beracun?" Perlahan-lahan pendeta itu menundukkan kepala, perasaan malu semakin menghiasi wajahnya.
Setelah menghela napas, kata orang berbaju kuning itu lagi: "Selama ini, biara Kim-san-sie tak pernah menyandang nama busuk, setelah menyaksikan peristiwa tragis yang menimpa biara kalian, masa aku harus berpeluk tangan tanpa ambil peduli?" "Mohon petunjuk dari sicu," kata pendeta berjenggot itu kemudian sambil menghela napas panjang, "sejujurnya, pikiran pinceng sangat kalut dan panik, khususnya setelah terjadi peristiwa ini."
"Biarpun kau telah salah menebak akan satu hal, namun tidak salah menduga II dalam persoalan yang lain.
Ciuman Selamat Malam Ii 2 Miss Cupid Karya Mia Arsjad The Truth About Forever 2

Cari Blog Ini