Ceritasilat Novel Online

Panah Kekasih 8

Panah Kekasih Karya Gu Long Bagian 8


Kata orang berbaju kuning itu, mendadak sorot matanya yang tajam dialihkan ke wajah Hoa-san-sam-ing.
Bergidik juga perasaan ke tiga kepodang dari Hoa-san setelah terbentur dengan sorot mata orang itu.
"Cianpwee, ada suatu petunjuk?" tanya Ouyang Miau cepat.
"Sudah berapa lama kalian bertiga berada diatas pagoda Cu-hun-ta?" Hoa-san-sam-ing saling bertukar pandangan sekejap, kemudian kepodang perak Ouyang Miau baru menjawab: "Kurang lebih satu jam." Tampaknya mereka bertiga sadar, tak ada gunanya berbohong, karena itu mereka menjawab sejujurnya.
"Pagoda Cu-hun-ta tidak memiliki sesuatu yang pantas ditunggui selama itu, mengapa kalian bertiga berada disana hingga satu jam lebih?" Kepodang batu Sik Ling-uh segera menyahut: "Pagoda Cu-hun-ta menjuang tinggi hingga menembus awan, bangunan ini sudah terlihat sejak dari hulu sungai, karena itulah kami bertiga berada disana cukup lama." II "Bagus jawabanmu itu .
. . . . . .. ucap orang berbaju kuning itu, mendadak hardiknya, "benarkah begitu?" "Tidak benar!" teriak kepodang baja Thiat Hui-keng lantang.
Tian Mong-pek segera tersenyum, pikirnya: "Cepat amat perempuan ini mengambil keputusan." Terlihat mukanya yang lembut membawa ketegasan, mungil dibalik kulitnya yang agak hitam, dia terhitung seorang wanita cantik.
"Baik!" kata orang berbaju kuning itu sambil tersenyum, "kalau ucapan tadi bukan jawaban yang benar, aku ingin tahu, apa jawaban yang sebenarnya?" Thiat Hui-keng memandang sekejap kedua orang sucinya, lalu bertanya: "Bagaimana kalau diutarakan?" "Masa mereka akan percaya?" Sik Ling-uh menimpali sambil menghela napas.
"Asal kita menjawab sejujurnya, sekalipun orang lain belum tentu percaya, aku yakin sobat berbaju kuning ini pasti akan mempercayainya." "Betul sekali!" kata orang berbaju kuning itu sambil tersenyum, tatapan matanya pun ikut berubah lebih lembut.
Perlahan si kepodang perak Ouyang Miau berkata: "Sebenarnya kami tiga bersaudara sudah ingin mengungkap kejadian yang sesungguhnya, akan tetapi kamipun kuatir, pengakuan kami akan menimbulkan konflik terbuka dengan pihak biara." "Tidak menjadi masalah." Walaupun semua orang tidak mengetahui asal usul orang berbaju kuning itu, namun setiap patah kata yang diucapkan, selalu tersisip kewibawaan yang alami.
Dengan suara keras Thiat Hui-keng berkata: "Belakangan, kami bertiga selalu dikendalikan oleh toa-suci hingga jarang turun dari Hoa-san, tapi kali ini gara gara urusan siau-sumoay, ll dia .
. . . . .. Ouyang Miau mendeham berulang kali, sadar kalau salah bicara, buru-buru Thiat Hui-keng menambahkan: "Karena kami sudah tiba di Kangou, maka timbul keinginan untuk menyaksikan tambur tembaga dan sabuk kumala yang tersohor itu." Sambil menuding kearah pendeta berjenggot itu, tambahnya: "Siapa sangka dia enggan memenuhi harapan kami, maka akupun mengambil keputusan untuk mencuri tambur tembaga dan sabuk kumala itu agar bisa dinikmati lebih seksama." "Kau .
. . . . . .." bentak pendeta berjenggot itu.
Tidak memberi kesempatan pendeta itu menyela perkataannya, Thiat Hui-keng berkata lebih lanjut: "Aku pun menarik para suci untuk mengintai disekeliling ruang tidur hongtiang, kami saksikan hongtiang tua itu mengendon terus dalam ruangannya sehabis menghantar tamunya pulang.
"Hingga menjelang malam, suasana dalam ruang hongtiang tetap tenang tanpa ada perubahan, habis sudah kesabaran kami, secara diam diam kamipun menyusup ke belakang ruangan, kebetulan disana tumbuh sebatang pohon II besar .
. . . . . . .. "Apakah kalian bisa melihat situasi dalam ruang hongtiang dari atas pohon itu?" tanya sang pendeta dengan wajah berubah.
"Tentu saja." "Lantas apa yang kau saksikan?" tanya orang berbaju kuning itu.
"Kusaksikan ada seorang hwesio beralis abu-abu berada didalam ruang Hongtiang." Orang berbaju kuning itu segera saling bertukar pandangan dengan Tian Mong-pek, hati mereka tergerak.
"Orang itu adalah su-sute ku." Pendeta itu menerangkan.
"Secara lamat-lamat kudengar su-sute mu itu berkata kepada hongtiang tua: "Suheng, kau benar-benar menolak?", terlihat hongtiang tua itu menggeleng dan tidak menjawab." "Menolak apa?" tanya pendeta itu.
"Sayang aku tidak mendengar jelas perkataan sebelumnya." Saat itu rasa ingin tahu timbul juga dihati kecil Tian Mong-pek, tanyanya cepat6: "Bagaimana selanjutnya?" Thiat Hui-keng memandangnya sekejap, lalu menjawab: "Kemudian hwesio beralis abu abu itu bangkit berdiri, dengan wajah penuh amarah dia berdiri kaku sampai lama sekali." Setelah menghela napas, Sik Ling-uh menambahkan: "Kebetulan aku berdiri persis dihadapannya hingga dapat melihat lebih jelas, terlihat mukanya sebentar memerah, sebentar lagi pucat, seakan-akan dalam hati sedang memutuskan suatu persoalan besar, lewat lama kemudian dari balik sakunya tiba tiba meluncur selembar kertas berwarna merah, kertas itu meluncur kehadapan lo-hongtiang." "Kartu undangan malaikat kematian!" pekik Tian Mong-pek dengan perasaan terperanjat.
Sik Ling-un menghela napas panjang, lanjutnya: "Waktu itu kami belum menduga tentang undangan dari malaikat kematian, yang kami saksikan lo-hongtiang mengangkat bahunya secara tiba tiba setelah menyaksikan kartu merah itu." "Oleh karena punggungnya menghadap kearah jendela," sambung Thiat Hui-keng, "maka kamipun tak dapat melihat perubahan mimik mukanya, kami saksikan su-sute kalian tiba tiba membungkukkan badan, setelah mengambil dua buah kotak kumala dari bawah ranjang lo-hongtiang dan melihat sekejap sekeliling tempat itu, diapun berlalu dengan cepat.
Waktu itu aku meras keheranan bercampur menyesal, heran kenapa lo-hongtiang tidak bergerak, menyesal karena kedatangan kami terlambat selangkah hingga dia berhasil merebutnya lebih dulu." Setelah menghela napas panjang, ujarnya lagi: "Kini aku baru mengerti, rupanya waktu itu Lo-hongtiang sudah terkena panah kekasih dan menemui ajalnya." "Sebetulnya kami berada ditempat yang lebih tinggi,"kata Sik Ling-uh lagi, "semua peristiwa yang berlangsung dalam ruangan dapat terlihat amat jelas, tapi kami bertiga tak tahu sejak kapan panah kekasih itu dilancarkan." Hoa-san-sam-ing kembali saling bertukar pandangan, rasa ngeri terpancar dari balik mata mereka.
Paras muka pendeta berjenggot itu pucat kehijauan, tiba-tiba bentaknya: "Boleh saja kalian bertiga menfitnah orang lain, tapi tidak seharusnya menfitnah su sute kami." "Peduli mau percaya atau tidak, memang begitulah kenyataannya," kata Thiat Hui-keng sambil tertawa dingin, "karena alasan itu pula kami menunggu cukup lama diatas pagoda, kami berniat sewaktu ia balik ke sana, kami pun bisa merampas tambur tembaga serta ikat pinggang kumala itu." Terlihat otot hijau menonjol keluar diseluruh wajah pendeta berjenggot itu.
Terdengar kepodang perak Ouyang Miau berkata pula: "Jika kau tak percaya, temukan saja sute mu itu, kita buktikan bersama apa benar perkataan kami itu?" "Baik!" sahut pendeta itu gusar, dia membalikkan badan dan siap meninggalkan tempat itu.
Tiba tiba orang berbaju kuning itu menegur: "Memangnya kau tahu dimana dia sekarang?" "Akhirnya toh pasti dapat ditemukan." sahut sang pendeta sambil menghentikan langkahnya.
"Aaai, sekalipun dapat ditemukan, dia tak akan mampu berbicara lagi." Kata orang berbaju kuning itu sambil menghela napas panjang.
Pendeta berjenggot itu membalikkan badan dengan wajah pucat pias, bisiknya gemetar: II "Dia .
. . . .. dia . . . . . .. Begitu tergetar perasaan hatinya, membuat pendeta itu selain gemetar badannya, jenggot pun ikut bergetar.
"Su sute mu sudah tewas terkena panah kekasih," orang berbaju kuning itu menjelaskan, "kini jenasahnya tergeletak dalam pavilion Liu-hun-teng." Tubuh pendeta itu bergetar keras, dia mundur tiga langkah dan terduduk diatas bangku, kemudian secara tiba tiba melompat bangun dan membentak keras.
"Dia sudah mati?" serentak Hoa-san-sam-ing menjerit.
"Su sute ku tewas oleh panah kekasih, tapi kalian bertiga menuduh panah kekasih itu dilepaskan oleh dirinya." Teriak pendeta itu pula.
Ditengah teriakan keras, ke lima jari tangannya bagaikan kaitan menyambar ke wajah Thiat Hui-keng.
"Tunggu sebentar!" bentak orang berbaju kuning itu, tangannya langsung menyambar ke muka, mencengkeram urat nadinya.
Kontan saja seluruh tenaga yang dimiliki pendeta itu hilang lenyap tak berbekas, tapi sambil menggigit bibir teriaknya pula: "Masa kau percaya dengan perkataannya?" Orang berbaju kuning itu menghela napas panjang.
"Mereka bertiga menyaksikan pendeta beralis mata abu abu itu membunuh lo-hongtiang dengan panah kekasih, sedang aku adalah saksi yang melihat dia tewas oleh panah kekasih, kalau dibicarakan, semua kejadian ini susah II untuk dipercaya.
Katanya. "Orang bloon pun tak bakal percaya." Imbuh pendeta itu gusar.
"Tapi aku amat mempercayainya." Kata orang berbaju kuning itu tegas.
"Kau..... kau . . . . . . .." "Setelah dipikir kembali, sebenarnya persoalan ini dapat dijelaskan, karena itu harus mempercayainya.
Justru masalah lain yang susah kupahami." Saking gusarnya pendeta itu tertawa dingin, teriaknya: "Persoalan yang tak masuk diakal pun dapat kau pahami, masa masih ada kejadian lain yang tidak bisa kau pahami?" Orang berbaju kuning itu tidak memberi tanggapan, ia berpaling kearah Hoa-san-sam-ing dan tanyanya: "Kalau toh kalian telah menyaksikan peristiwa ini, kenapa tidak dikatakan sejak awal, masa kalian benar benar kuatir ribut dengan mereka?" "Bukan." Ouyang Miau menghela napas.
Dia merasa ucapan orang berbaju kuning itu lebih tajam dari ujung pisau, seakan-akan hendak menembusi ulu hati orang.
"Lantas karena apa?" tanya orang berbaju kuning itu lagi.
"Sejak suhu meninggal, toa-suci yang mengendalikan perguruan, ia melarang para adik seperguruannya mencampuri urusan perguruan lain." "Itulah dia," ucap orang berbaju kuning itu sambil mengangguk, "aku pun pernah mendengar orang berkata bahwa sejak kematian Hoa-san ciangbun, perguruan kalian tak pernah mencampuri urusan partai lain lagi." Ouyang Miau menghela napas.
"Aaai, pertama kami belum tahu dengan pasti pertikaian apa yang sudah terjalin diantara mereka, kedua, kamipun tak mau melanggar perintah ciangbunjin, karena itulah hingga kini enggan membicarakan persoalan itu." "Sekarang, semua persoalan sudah terungkap," teriak pendeta berjenggot itu lantang, "sudah sepantasnya bila kalian pun memberi penjelasan, pinceng siap mendengarkannya." Orang berbaju kuning itu memandang sekejap sekeliling ruangan, kemudian katanya: "Tampaknya pendeta beralis abu-abu dipaksa pemilik panah kekasih untuk menyerahkan tambur tembaga dan sabuk kemala, tapi lo-hongtiang menampik permintaan itu, hingga akhirnya pendeta beralis abu abu menggunakan panah kekasih untuk membokong dan mencabut nyawa lo-hongtiang." "Mengapa diapun tewas karena panah kekasih?" tanya pendeta berjenggot itu.
"Aaai, setelah menyerahkan tambur tembaga dan sabuk kumala, timbul niat pemilik panah kekasih untuk menghilangkan jejak, maka diapun turut dibunuh." Jelas orang berbaju kuning itu sambil menghela napas.
Hanya dengan dua, tiga patah kata, ternyata orang itu mampu menguak persoalan besar yang begitu pelik, mau tak mau Hoa-san-sam-ing merasa amat kagum.
Pendeta berjenggot itu termangu berapa saat, akhirnya dia menghela napas sedih dan bergumam: "Aaai.....
musibah perguruan . . . . .. musibah perguruan . . . . . .." Tiba tiba saja dia menangis tersedu-sedu.
Walaupun sudah ada usia, ternyata pendeta itu menangis dengan begitu sedihnya, Tian Mong-pek segera tahu, meski orang ini sudah menjadi pendeta, namun dia tetap seorang lelaki emosional, apalagi teringat sepak terjangnya tadi, tanpa terasa muncul rasa simpatiknya.
Dia segera menepuk bahunya dan berkata sambil menghela napas panjang: "Taysu tak usah bersedih hati, Tian Mong-pek pasti akan membantumu untuk menemukan pusaka itu serta menuntut balas bagi biara kalian." "Coba aku mengetahui siapa pemilik panah kekasih itu, pasti akan kutusuk dadanya hingga mampus." Kata Thiat Hui-keng pula, "Cuma.....
aku tetap ingin melihat macam apakah tambur tembaga dan sabuk kumala itu." "Memangnya kau mengetahui siapakah pemilik panah kekasih itu?" mendengar ucapan yang begitu polos, tak tahan sekulum senyuman menghiasi bibir Tian Mong-pek.
"Aku tidak tahu, memangnya kau tahu?" teriak Thiat Hui-keng dengan mata melotot.
\\ "Setelah terjadinya peristiwa ini, ucap orang berbaju kuning itu, "walaupun jejak pemilik panah kekasih belum jelas, tapi dia pasti meninggalkan jejak, asal diselidiki dengan seksama, rasanya tak sulit untuk ditemukan." "Betul," seru Thian Hui-keng, "asal kita melihat orang itu menggembol tambur tembaga dan sakut kencana, sudah pasti dialah pemilik panah kekasih." "Kau sangka sepanjang hari dia akan selalu menggembol tambur tembaga dan sakut kencana itu, agar jejaknya sudah kau ketahui?" dengus Sik Ling-un.
Thiat Hui-keng tertegun, untuk sesaat dia tak mampu berbicara.
Dengan suara dalam ujar orang berbaju kuning itu: "Sebagian besar orang yang mendatangi biara Kim-san-sie hari ini merupakan jago-jago persilatan, diantara mereka pasti ada seseorang yang punya hubungan dengan panah kekasih." "Betul sekali." Teriak Thiat Hui-keng kegirangan.
Dalam pada itu si pendeta berjenggot telah berhenti menangis, perlahan ujarnya: "Sesudah terjadi peristiwa ini, ji-suheng Thiat-kut segera menyusul ke kota Tin-kang dan mengundang kembali seluruh umat persilatan yang hari ini datang kemari!" I "Satu tindakan yang tepat sekali,' orang berbaju kuning itu manggut manggut, "bila ada yang menolak kembali, berarti orang itu patut dicurigai." Mendadak Tian Mong-pek membalikkan tubuh dan berjalan menuju keluar pintu.
"Mau ke mana kau saudara cilik?" tanya orang berbaju kuning itu keheranan.
"Aku akan melihat keindahan alam di belakang bukit sana." "Apakah kau enggan bertemu dua bersaudara dari keluarga Siau, hingga sebelum mereka tiba disini, kau menyingkir duluan?" "Betul sekali." Tanpa berpaling Tian Mong-pek melanjutkan langkahnya.
Tiba tiba orang berbaju kuning itu tertawa dingin.
"Bagi seorang lelaki sejati, matipun tidak takut, kenapa harus takut menghadapi dua orang wanita?" Seketika itu juga Tian Mong-pek menghentikan langkahnya, balik badan dan kembali ke bangkunya dengan langkah lebar.
Thiat Hui-keng mengerling sekejap kearah pemuda itu, sindirnya kemudian: "Apa pun tak perlu ditakuti, yang ditakuti justru kalau dipanasi hatinya." Tian Mong-pek berlagak seolah tidak mendengar, sementara si kepodang perak Ouyang Miau melotot sekejap kearah sumoay nya, namun senyuman terselip dibalik sinar matanya.
Tampak pendeta berjenggot itu berjalan bolak balik dalam ruangan dengan perasaan tak tenang, sedangkan orang berbaju kuning itu mengambil selembar kain korden lalu ditutupkan diatas layon hongtiang itu.
Asap dupa mulai menyelimuti ruangan, menyiarkan bau harum yang semerbak.
Mendadak pendeta itu seakan teringat akan sesuatu, dengan langkah lebar dia menuju keluar pintu, lalu memerintahkan berapa orang muridnya untuk
Asap dupa mulai menyelimuti ruangan, menyiarkan bau harum yang semerbak.
Mendadak pendeta itu seakan teringat akan sesuatu, dengan langkah lebar dia menuju keluar pintu, lalu memerintahkan berapa orang muridnya untuk mengambil jenasah hwesio beralis abu abu yang masih berada di pavilion Liu-hun-teng.
Ditengah kecemasan dan perasaan tak tenang itulah, tiba tiba terdengar seseorang berteriak keras: "Ji susiok telah kembali, ji susiok telah kembali!" Semua orang merasa hatinya berdebar, pendeta berjenggot panjang itu segera lari keluar untuk menyongsong kedatangannya.
Dengan hati kebat kebit, Tian Mong-pek mengawasi keluar pintu, begitu pula Hoa-san-sam-ing, merekapun enggan bertemu dengan dua bersaudara Siau, karena itu mereka menyingkir ke sudut ruangan.
Terdengar suara langkah kaki semakin mendekat, lalu terlihat dua orang lelaki berwajah asing muncul lebih dulu dalam ruangan, setelah memandang sekejap seputar tempat itu, mereka menyingkir ke samping.
Diikuti kemudian muncul tiga orang lelaki berjubah panjang, sikap maupun gerak geriknya halus dan sopan, tampaknya mereka bukan jago silat melainkan kaum saudagar.
Menyusul kemudian terlihat seorang hwesio tua bertubuh kurus kering, menemani si tabib ternama Chin Siu-ang masuk ke dalam ruangan.
Paras muka Chin Siu-ang tampak murung dan tak suka hati, diliriknya Tian Mong-pek sekejap kemudian langsung menuju ke depan pembaringan.
Hwesio kurus kering itu tak lain adalah Thiat-kut taysu dari biara Kim-san-sie, kini dengan wajah penuh pengharapan bertanya: "Apakah masih bisa ditolong?" Chin Siu-ang mendengus, sambil menurunkan kembali kain penutup, dia balik ke tempat duduknya.
II "Biar lohu dewa pun tak mungkin bisa selamatkan jiwanya lagi.
Katanya ketus. Thiat-kut taysu menghela napas sedih, wajahnya seakan akan menjadi lebih tua berapa tahun.
Sementara itu Tian Mong-pek masih mengawasi ke depan pintu, ketika melihat pendeta berjenggot itu melangkah masuk, ia segera bertanya: "Apakah sudah tak ada lagi yang datang?" "Hampir semua tamu agung yang pernah datang ke biara hari ini, telah sampai semua disini terkecuali dua bersaudara Siau." Ucap pendeta itu dengan wajah serius.
"Kenapa?" tanya Tian Mong-pek dengan wajah berubah.
Thiat-kut taysu memandangnya sekejap, kemudian menjawab dengan nada berat: "Kiongcu dari lembah kaisar enggan datang kemari lagi, biar pinceng bernyali pun tak akan berani memaksakan kehendak." Dua orang lelaki berbaju perlente itu saling bertukar pandangan, salah seorang diantaranya yang bercodet dipipinya segera berseru keheranan: "Sama sekali tak kusangka kalau kedua orang nona itu adalah kiongcu dari lembah kaisar, cayhe .
. . . . .." Dia seperti ingin mengucapkan sesuatu, namun niat tersebut segera diurungkan.
"Kalau ingin mengucapkan sesuatu, cepat katakan." Sindir Chin Siu-ang ketus.
II "Tidak ada apa apa, ucap lelaki bercodet itu, "hanya saja sewaktu kami akan turun gunung tadi, masih sempat mereka berdua balik lagi keatas bukit, malah kusangka mereka adalah putri saudagar kaya yang sedang berpesiar." "Balik lagi keatas gunung" Kapan itu?" tanya pendeta berjenggot itu dengan wajah berubah.
"Aku kurang tahu kepan perginya." Paras muka Thiat-kut taysu maupun pendeta berjenggot itu berubah hebat.
"Bagus, bagus sekali!" seru Chin Siu-ang pula sambil tertawa dingin.
Tiba tiba orang berbaju kuning itu munculkan diri dari balik kegelapan, katanya: "Minta tolong taysu perkenalkan nama dari kedua orang sahabat ini." Nadanya dingin, sorot matanya lebih dingin.
Thiat-kut taysu memandangnya sekejap, dengan hati bergidik sahutnya segera: "Mereka berdua adalah murid preman dari Siau-lim, orang menyebutnya Ho-lam-siang-gi (sepasang manusia gagah dari Ho-lam)." "Tidak berani, tidak berani." Seru kedua lelaki perlente itu.
Kemudian lelaki yang berusia lebih tua berkata sambil tertawa paksa: "Aku Cian Tiong-co, adikku Cian Tiong-lam, Cian Tiong-oak merupakan saudagar obat obatan dari wilayah Suchuan.
Berhubung perjalanan yang sulit, maka kami berlatih silat untuk membela diri, jadi tidak bisa dianggap sebagai jago kenamaan." Tergerak hati Tian Mong-pek setelah mendengar itu, pikirnya: "Ke tiga orang ini tampak sederhana dan tidak mencolok, sungguh tak disangka ternyata mereka adalah Siok-tiong-sam-liau (tiga burung dari Siok-tiong) yang angkat nama bersama Lau-san-sam-gan." Sementara itu Kiu-lian-huan Lim Luan-hong telah menyebut pula namanya, terlihat orang berbaju kuning itu menunjukkan perasa an kecewa dan mundur dari situ.
Dengan sedih ujar Thiat-kut taysu: "Peristiwa tragis yang menimpa biara kami memaksa aku harus menyusahkan kalian semua, aku hanya ingin bertanya akan satu hal, apakah hari ini kalian melihat su-sute ku berbincang dengan seseorang?" "Rasanya belum pernah" sahut Lim Luan-hong setelah termenung sejenak.
Dengan hati pedih kembali ujar Thiat-kut taysu: "Dendam ini lebih dalam dari samudra, aku berharap kalian mau membantu kami untuk mengusut jejak pembunuh itu serta mencari kembali pusaka II biara .
. . . . . . .. "Suheng, buat apa kau banyak bicara?" teriak pendeta berjenggot itu sedih, "dendam sakit hati ini sulit untuk dibalas." II "Sute, kau .
. . . . . .. "Suheng, masa hingga kini kau belum tahu siapakah musuh besarmu" Apakah kau masih ingin menuntut balas?" Thiat-kut taysu menghela napas sedih, kepalanya terkulai lemas.
Sambil tersenyum ujar Chin Siu-ang: "Sudah lama kudengar Sin-ki taysu pintar menganalisa pelbagai persoalan, kalau memang sudah kau tebak iblis keji itu, apa salahnya kalau diutarakan keluar?" Ketika mendengar kalau pendeta berjenggot panjang itu bernama Sin-ki taysu, diam-diam Hoa-san-sam-ing saling berpandangan sekejap, mereka merasa geli sekali.
Terdengar Sin-ki taysu berteriak keras: "Siapakah diantara rekan persilatan yang enggan balik kemari" Tempat mana dalam dunia persilatan yang cocok untuk membuat panah kekasih" Apakah aku harus mengutarakan keluar?" "Aaah benar," ucap Chin Siu-ang sambil menarik kembali senyumannya, "sudah lama kudengar orang berkata bahwa pemilik lembah kaisar adalah II orang yang senang mengumpulkan benda antik, bisa jadi hari ini .
. . . . . . .. Tiba tiba ia membungkam dan tidak melanjutkan perkataannya.
Maksud ucapan itu jelas, biar tidak diucapkan pun semua orang pasti tahu jawabannya.
Betul saja, agak berubah paras muka semua orang, pikir mereka: "Tak heran kalau panah kekasih memiliki kemampuan sedahsyat itu, ternyata lembah kaisar yang menciptakan benda itu.
Dikolong langit dewasa ini, selain lembah kaisar, rasanya memang tak ada tempat lain yang mampu membuat senjata rahasia sehebat itu." Sebagaimana diketahui, lembah kaisar memang merupakan tempat yang paling misterius dalam dunia persilatan, tempat yang misterius menciptakan senjata misterius, hal ini jelas satu hal yang sangat masuk akal.
Kembali terdengar Sin-ki taysu menjerit: "Sungguh tragis nasib biara kami, dengan kekuatan yang kami miliki, sudah jelas sulit untuk melawan musuh besar setangguh pemilik lembah kaisar, pinceng juga tak berani mohon bantuan dari kalian, aku....
aku hanya merasa terharu karena kesediaan kalian datang kembali ke sini." Tiba tiba ia menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada semua orang.
Kini paras muka semua orang telah berubah jadi berat dan sedih, untuk sesaat mereka tak tahu bagaimana harus menghibur.
Cian Tiong-lam menghela napas panjang, katanya: "Sebetulnya kami tiga bersaudara rela memberi bantuan, tapi sayang kekuatan kami .
. . . . .. aaai, karena peristiwa di biara ini, kami tak ingin mengganggu lebih lama, maaf kalau kami harus mohon diri lebih dulu." Sementara itu orang berbaju kuning itu telah berkata dengan nada aneh: "Aku rasa kesimpulan mu salah besar." "Tidak bakal salah." Tukas Sin-ki taysu.
"Lebih baik diselidiki lebih dulu sebelum .
. . . . . .." Belum selesai dia berkata, tiba tiba terlihat Tian Mong-pek berlarian meninggalkan tempat itu sambil menjerit kalap.
Selama ini, Thiat Hui-keng sempat berapa kali mencuri lihat kearahnya, ia saksikan pemuda itu berdiri kaku dengan mata mendel ong, wajahnya kelihatan aneh sekali.
Maka sewaktu melihat dia lari sambil menjerit kalap, sambil berseru kaget, nona ini siap menyusulnya.
Cepat Ouyang Miau menarik tangannya sambil menegur: "Mau apa kau?" "Tampaknya dia gila, jangan sampai membuat keonaran." "Kau tak usah kuatir, pasti ada yang menyusulnya." Ketika Thiat Hui-keng berpaling, betul saja, manusia berbaju kuning yang misterius itu sudah lenyap dari sana.
Setelah tertegun berapa saat, diapun menghela napas sambil bergumam: "Sebenarnya siapakah orang ini" Cepat benar gerakan tubuhnya." Chin Siu-ang mengerutkan pula dahinya seakan sedang menelusuri asal usul orang berbaju kuning itu, belum sempat menemukan sesuatu, tiba tiba tampak empat orang pendeta berlarian masuk dengan langkah tergesa gesa.
"Ada apa?" hardik Thiat-ku taysu.
"Kami tidak menemukan jenasah su suiok dalam pavilion Liu-hun-teng." Tak terlukiskan rasa kaget Thiat-kut maupun Sin-ki taysu, untuk sesaat mereka saling berpandangan dengan mulut melongo.
Peristiwa aneh yang terjadi beruntun, membuat suasana dalam ruangan senyap bagai di kuburan.
Biara nomor satu di wilayah Kanglam inipun terjerumus dalam kabut kedukaan yang mendalam.
Oo0oo Ketika berlarian meninggalkan biara Kim-san-sie, tak nampak seorang manusia pun yang menghalangi perjalanan Tian Mong-pek.
Dia langsung turun gunung, menuju ke tepi pantai dimana perahu penyeberang ditambatkan.
"Pemilik perahu, pemilik perahu, segera berangkat." Teriak Tian Mong-pek tanpa menghentikan larinya.
Tapi begitu tiba di atas perahu, pemuda itu kontan berdiri terperanjat.
Ternyata orang berbaju kuning itu sudah duduk menunggunya dalam ruang perahu, begitu bertemu, segera tegurnya sambil tersenyum: "Saudara cilik, janji kita selama satu tahun belum berakhir, masa kau hendak meninggalkan aku seorang diri?" Tian Mong-pek menghela napas panjang, sambil duduk sahutnya gemetar: "Boanpwee merasa pikiran dan perasanku amat kalut, rasanya tak bisa lagi menemani cianpwee untuk berpesiar." "Kenapa?" "Setelah dipikir bolak balik, aku rasa dugaan Sin-ki hwesio cukup masuk akal, karena itu hatiku amat gelisah dan ingin secepatnya berangkat ke lembah kaisar." "Dengan ilmu silat yang kau miliki sekarang, setibanya di lembah kaisar, orang akan memandang hina dirimu, apalagi kau toh sudah punya janji dengan diriku, akan mengunjungi lembah kaisar bersama-sama." "Saat ini beda sekali keadaannya dengan waktu itu, boanpwee tak dapat memenuhi janjiku itu." "Apa bedanya?" "Waktu itu aku tak punya dendam kesumat dengan lembah kaisar, akupun tak Kata Tian Mong-pek sedih.
tahu jejak dari musuh besarku, karenanya aku bisa menemani cianpwee." Kemudian sambil busungkan dada, terusnya: "Tapi sekarang aku sudah mendapat tahu jejak musuhku, itu berarti aku sudah terikat oleh dendam kesumat, biar dihadapanku terbentang gunung golok lautan api pun, aku tetap akan berangkat untuk balas dendam." "Aaai, kemampuanmu masih belum cukup untuk dipakai membalas dendam, "kata orang berbaju kuning itu sesudah termenung sesaat, "sekalipun bisa mencapai tempat itu, kau bakal menghantar nyawa dengan percuma." "Aku hidup untuk balas dendam, mengapa harus takut mati karena balas dendam" Biar tak mampu melawan pun, aku rela terkapar ditengah genangan darah." Perahu telah meluncur menembus arus, mengawasi riak air disepanjang sungai kembali orang berbaju kuning itu termenung, tiba tiba ia berpaling sambil bertanya: "Apakah kau sudah tahu letak lembah kaisar?" Pertanyaan ini kontan membuat Tian Mong-pek tertegun, air mata berlinang membasahi pipinya, agak gemetar pintanya: "Bila cianpwee kasihan kepadaku, tolong ajaklah boanpwee menuju lembah kaisar." "Mengajakmu ke lembah kaisar?" "Asal cianpwee bersedia memberi petunjuk kepadaku letak lembah kaisar, biar harus matipun, boanpwe akan sangat berterima kasih atas budi kebaikanmu itu." Orang berbaju kuning itu menghela napas panjang, gumamnya: "Aaai, dasar bocah keras kepala .
. . . . . ..aai, bisa saja kuajak kau berkunjung ke lembah kaisar, tapi apakah aku tega membiarkan kau pergi menghantar kematian?" Dengan perasaan kecewa Tian Mong-pek menghela napas panjang, perlahan dia pejamkan matanya.
Terdengar orang berbaju kuning itu berkata lagi: "Bila kau bersedia memenuhi sebuah permintaanku, bukan saja akan kuhantar kau ke lembah kaisar, bahkan akan kuajarkan serangkaian jurus silat yang khusus untuk mematahkan ilmu silat lembah kaisar." Kontan Tian Mong-pek merasa semangatnya bangkit, sahutnya lantang: "Asal tecu sanggup melaksanakan, biar harus menyeberangi lautan api pun, tecu tak bakal berkerut kening." "Setibanya di lembah kaisar, kau harus bertemu dulu dengan majikan lembah kaisar dan menyampaikan sepucuk surat kepadanya sebelum turun tangan membalas dendam." "Paling banter hal itu hanya akan menunda niatku sekian menit." Pikir Tian Mong-pek.
Maka sahutnya cepat: "Baik, sebelum bertemu majikan lembah kaisar, tecu tak akan mencari mati." "Sebelum berangkat ke lembah kaisar, kaupun harus menemani aku, paling tidak berziarah ke biara Siau-lim di siong-san." Tian Mong-pek sangsi sejenak, tapi akhirnya diapun menyanggupi.
Kini, harapan untuk balas dendam telah tumbuh, dia merasa darah panas bergelora dalam rongga dadanya.
Lama sekali orang berbaju kuning itu memandang keluar jendela, tiba tiba ujarnya lagi: "Dalam kehidupan seseorang didunia ini, dia pasti mempunyai sesosok figur yang amat dikagumi dan dihormati, betapa pun keras kepalanya dirimu, asal mendengar perkataannya, kau pasti akan mentaati .
. . . . .. saudara cilik, bolehkah aku tahu, siapa figur yang paling kau kagumi dan hormati?" "Dia sudah mati!" jawab Tian Mong-pek sedih.
"Selain ayahmu, apakah masih ada orang lain?" "Tecu tidak dapat menjawab." sahut Tian Mong-pek setelah berpikir sejenak.
"Kenapa tak dapat kau jawab?" orang berbaju kuning itu keheranan.
Perlahan Tian Mong-pek menundukkan kepalanya.
"Cianpwee begitu sayang dan perhatikan tecu, kini, asal cianpwee memberi perintah, persoalan apapun pasti akan tecu laksanakan." Berkilat sepasang mata orang berbaju kuning itu, tapi kembali desaknya: "Aku tidak termasuk, apakah masih ada yang lain?" Lama sekali Tian Mong-pek berpikir, tiba tiba ia mendongakkan kepala dan berkata: "Semasa masih hidup dulu, mendiang ayahku paling menghormati ciangbunjin dari Bu-tong-pay, Gio-ki totiang, mendiang ayahku pernah berkata, beliau sangat mengagumi kehebatan pedang sakti dari Giok-ki cinjin, tindak tanduknya lurus dan jujur, karena mendiang ayahku kagum kepadanya, boanpwee pun amat mengagumi sosok ini." Orang berbaju kuning itu hanya mengiakan dengan suara tawar, tatapan matanya tetap memandang ketempat kejauhan.
Memandang bayangan punggungnya, dalam hati Tian Mong-pek berpikir: "Ilmu silat maupun kecerdasan orang ini luar biasa, dia berjiwa ksatria dan sangat mengagumkan, tapi kenapa caranya bicara serta tingkah lakunya selalu aneh?" Sementara dia masih termenung, terlihat ada sebuah sampan bergerak mendekat dengan kecepatan tinggi.
Bab 17. Gelombang intrik. Saat itu malam sangat pekat, sampan bergerak amat cepat.
Disaat dua sampan saling bersimpangan inilah tiba tiba Tian Mong-pek melihat seorang pendeta beralis abu-abu duduk dalam sampan itu.
Jantungnya kontan berdebar keras, dia meras pendeta itu mirip sekali dengan pendeta yang tewas di pavilion Liu-hun-teng, walau tidak berani memastikan.
Pada saat bersamaan, dengan wajah berubah orang berbaju kuning itu telah melompat keluar dari ruang perahu sambil membentak: "Kejar!" "Kejar apa?" tanya pemilik sampan keheranan.
"Kejar sampan itu!" kata orang berbaju kuning itu sambil menunjuk ke arah sampan yang mulai menjauh, dari saku dia mengeluarkan sekeping uang perak dan dilempar keatas geladak.
Berkilat mata pemilik perahu itu, sekuat tenaga ia memutar kemudi sampan lalu mulai menyusul di belakang sampan tadi.
"Cianpwee," bisik Tian Mong-pek, "apakah kau merasa perahu itu .
. . . . .." "Dalam kejadian ini pasti terdapat rahasia yang penuh misteri," tukas orang berbaju kuning itu, "aku kuatir apa yang kita duga tadi merupakan satu kesalahan besar, aku hanya berharap bisa menuntaskan semua peristiwa ini sehingga tidak salah menuduh orang lain." Mengawasi bayangan sampan didepan yang melesat menembus arus, ujar Tian Mong-pek dengan kening berkerut: "Gerak laju perahu itu cepat sekali, aku kuatir kita tak mampu mengejarnya." "Tidak tahu perahu itu menuju ke arah mana?" "Tampaknya menuju bukit Ciau-san." sahut pemilik perahu.
Berkilat sepasang mata orang berbaju kuning itu, mendadak dia meraih selempar papan, membelahnya jadi tiga bagian lalu melempar satu keping sejauh tiga tombak ke tengah sungai.
"Cianpwee hati-hati, arus kelewat deras." Seru Tian Mong-pek terperanjat.
Belum selesai dia berkata, orang berbaju kuning itu sudah melesat ke tengah sungai.
Dari kejauhan Tian Mong-pek mendengar orang itu berseru: "secepatnya susul aku." Ucapan terakhir berkumandang dari tempat sejauh belasan tombak dari perahu.
Sementara pemilik perahu masih tertegun dan melongo, cepat Tian Mong-pek meraih kemudi perhu dan bantu mendayung dengan sepenuh tenaga.
Tak lama kemudian, bayangan sampan didepan sana semakin kentara, Tian Mong-pek tahu, perahu tersebut pasti sudah terhadang oleh kehadiran orang berbaju kuning itu.
Kini, perasaan hatinya makin gelisah, pemuda itu berharap bisa segera menyusul ke atas sampan lawan dan memeriksa, apa benar hwesio itu adalah hwesio yang terbunuh di pavilion Liu-hun-teng" Ketika jarak kedua sampan itu tinggal dua tombak, dengan tak sabar Tian Mong-pek segera melompat ke perahu lain.
Begitu masuk ke ruang perahu, dilihatnya orang berbaju kuning itu sedang berdiri mematung, dihadapannya duduk seseorang, siapa lagi kalau bukan pendeta beralis abu abu yang dijumpai dalam pavilion Liu-hun-teng.
"Ternyata memang dia!" seru Tian Mong-pek kegirangan.
"Betul, memang dia." sahut orang berbaju kuning itu dingin.


Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tian Mong-pek segera menerjang kehadapan pendeta itu, bentaknya: II "Kau sebenarnya .
. . . .. Tiba tiba ia terbungkam, paras mukanya berubah.
Ternyata ia menjumpai kalau pendeta itu tak lebih hanya sesosok mayat, panah kekasih didepan dadanya sudah lenyap, yang tersisa hanya mulut luka selebar mata uang.
Peristiwa ini sungguh diluar dugaan siapa pun.
Ketika berpaling, ia tidak menjumpai orang berbaju kuning itu berada disitu.
Kemudian dari luar ruang perahu terdengar suara bentakan keras, buru buru Tian Mong-pek berteriak: "Cianpwee .
. . . . . . .." Belum selesai dia berteriak, terlihat orang berbaju kuning itu sudah melangkah masuk sambil menenteng tubuh seseorang, katanya: "Perubahan ini pasti terlebih diluar dugaanmu bukan, dalam hati kecil mu pasti terganjal banyak teka teki yang tak terjawab bukan?" "Memang begitu." Sahut Tian Mong-pek sambil menghela napas.
Orang berbaju kuning itu meletakkan tubuh seorang lelaki bercelana pendek diatas dek perahu, setelah menepuk bebas jalan darahnya, ia berseru: "Sekarang duduk bersila." Lelaki itu benar benar duduk bersila dengan wajah ketakutan, sedemikian takutnya hingga sepasang lututnya yang gemetar saling beradu dengan lantai perahu.
Dengan tangan kiri mencengkeram urat nadinya, tangan kanan menempel diatas punggung orang itu, orang berbaju kuning ikut bersila pula dibelakang tubuhnya.
"Sekarang, bertanyalah!" ia perintahkan.
"Bertanya kepada siapa" Bertanya tentang apa?" tanya Tian Mong-pek keheranan.
"Orang ini adalah pemilik perahu, kecurigaan apa pun yang mengganjal dihatimu kini, bisa kau tanyakan kepadanya." Selesai bicara, diapun pejamkan mata seolah olah sedang bersamadi.
Tian Mong-pek sangat keheranan dengan tingkah lakunya, ketika berpaling, ia jumpai dengus napas pemilik perahu itu sudah mulai normal kembali.
Dia sadar, hal ini tentu disebabkan orang berbaju kuning itu telah membantu si tukang perahu untuk menenangkan dengus napasnya, tapi dia tetap tak habis mengerti, apa gunanya orang berbaju kuning itu berbuat begitu.
Lewat berapa saat kemudian, ia baru bertanya: "Kau pemilik perahu ini?" Sang pemilik perahu mengangguk.
"Jangan hanya mengangguk," tegur orang berbaju kuning itu dingin, "harus menjawab dengan mengeluarkan suara." "Betul, hamba pemilik perahu ini." Buru buru sang pemilik perahu menjawab.
"Siapa yang menggotong naik jenasah itu?" tanya Tian Mong-pek kemudian dengan kening berkerut.
Sang pemilik perahu melirik mayat itu sekejap, butiran keringat dingin bercucuran membasahi jidatnya, dengan bibir yang pucat dan kering karena ketakutan, sahutnya kemudian: "Tak ada yang menggotong naik .
. . . . . .." "Kalau tak ada yang menggotong, kau anggap mayat i tu bisa berjalan sendiri?" tegur Tian Mong-pek gusar.
Bibir yang pucat, kini semakin memutih, buru buru sang pemilik perahu menyahut: "Sewaktu naik perahu, hwesio ini belum mati, dia bahkan membayar sekeping uang perak kepada hamba." "Kapan kejadiannya?" "Belum lama berselang, dia naik keatas perahu dengan menjinjing sebuah peti kayu cendana, dari arah biara Kim-san-sie sana, ia menyewa perahu hamba untuk membawanya ke bukit Ciau-san." "Mana peti itu?" tanya Tian Mong-pek sambil memandang sekejap sekeliling ruangan.
"Tidak lama setelah berada di perahu, hamba mendengar suara benda yang diceburkan ke dalam air, tampaknya hwesio itu telah membuang peti yang dibawanya ke dalam sungai." "Hmm!" Tian Mong-pek mendengus, "kalau memang dia naik perahu dalam keadaan hidup, dan kini dia telah tewas, itu berarti kaulah yang telah membunuhnya?" "Hamba tidak berani, hamba hanya ingin hidup selamat.....
ll "Kalau ingin selamat, kenapa jawabanmu ngaco belo?" bentak Tian Mong-pek makin gusar.
"Hamba . . . . .. hamba tak berani berbohong." "Sudah jelas hwesio itu telah tewas menjelang magrib, mana mungkin dia bisa berjalan sendiri naik perahu" Apakah cerita semacam ini bukan bohong?" II "Dia.....
dia.... sejak magrib . . . . . . . .. saking takutnya, sang pemilik perahu gemetar keras, sepasang gigi saling beradu keras.
Mendadak orang berbaju kuning itu mengendorkan tangannya sambil menghardik: "Pergi sana!" "Cianpwee, sebelum urusan jadi jelas, kenapa kau membebaskan dirinya?" tanya Tian Mong-pek.
Orang berbaju kuning itu menghela napas panjang.
"Aaai, yang dia ketahui paling hanya sebatas itu, ditanya lebih jauh pun tak ada gunanya." Sementara itu sang pemilik perahu sudah kabur keluar dari ruang perahu.
"Jujurkah setiap jawabannya tadi?" tanya Tian Mong-pek kemudian dengan kening berkerut.
"Aku rasa setiap patah katanya jujur." "Darimana cianpwee bisa begitu yakin?" "Jika dia sedang berbohong, denyut jantung dan nadi serta peredaran darahnya pasti tidak lancar dan berbeda sekali." Mendengar itu, Tian Mong-pek manggut-manggut.
"Betul juga, orang bilang: kalau kau punya pikiran jahat, denyut nadimu pasti kalut." "Tadi, aku sengaja bersamadi, dengan tenaga dalam yang kumiliki, asal denyut nadi dan peredaran darahnya terjadi perubahan, aku pasti dapat merasakan kalau dia sedang bicara jujur atau bohong, memang jarang orang persilatan melatih kepandaian semacam ini, itulah sebabnya kunamakan ilmu ini sebagai ilmu test kebohongan." Mendengar perkataan itu, Tian Mong-pek jadi melongo, lama setelah termangu, diapun menghela napas panjang.
"Jika setiap patah katanya jujur, lantas bagaimana penjelasannya dengan semua peristiwa ini?" Kemudian setelah berhenti sejenak, sambil gelengkan kepala kembali ujarnya: "Kalau dibilang mayat pun bisa turun gunung untuk menyewa perahu, kemudian setelah berada diperahu dan membuang peti tersebut ke sungai baru betul-betul mati, aaai....
rasanya sulit bagiku untuk mempercayainya." Orang berbaju kuning itu ikut menghela napas.
"Aai, sudah pasti ada tipu muslihat atau intrik lain dibalik peristiwa ini, setelah aku pikir bolak balik, rasanya hanya ada satu penjelasan yang masuk diakal." "Bagaimana penjelasannya?" "Kecuali ada seseorang yang pandai menyaru muka telah menyamar menjadi dirinya, lalu masukkan mayat itu ke dalam peti dan turun gunung, kemudian setelah berada diperahu, dia keluarkan mayat tersebut dari dalam peti, didudukkan keatas bangku, lalu dirinya dengan membawa peti kosong menceburkan diri ke air untuk melarikan diri, oleh sebab itu dalam perahu hanya tersisa sesosok mayat yang duduk diatas bangku." Dengan kepala tertunduk, Tian Mong-pek termenung berapa saat, jawabnya kemudian: "Walaupun penjelasan ini masuk akal, tapi tidak sesuai dengan kondisi saat ini, coba bayangkan, apa tujuannya orang itu repot repot berbuat begitu?" "Tentang hal ini .
. . . . . . .. aaai, aku sendiripun tak dapat menjelaskan." Sambil menghela napas dia memanggil pemilik perahu itu, memberinya sekeping perak sambil berpesan agar mengubur baik baik mayat hwesio itu, kemudian bersama Tian Mong-pek balik keatas perahu sendiri.
Mengawasi bayangan punggung kedua orang itu semakin menjauh, pemilik perahu itu merasa girang bercampur mendongkol, girang karena peroleh pemasukan yang lumayan hari ini, mendongkol karena dalam perahunya tertinggal sesosok mayat dan dia harus menguburnya.
Ketika perahu merapat di daratan, sambil menghela napas dia masuk ke dalam ruang perahu, tapi dengan cepat pemilik perahu itu menjerit kalap, sepasang kakinya jadi lemas, ia jatuh terduduk diatas lantai.
Ternyata mayat yang berada diperahunya kembali hilang lenyap tak berbekas.
Disisi jendela perahu, diatas geladak tersisa bekas percikan air sungai yang belum mengering.
Oo0oo Ketika perahu merapat ke daratan, malam sudah makin larut.
Kota Tin-kang-shia bermandikan cahaya lentera, kerdipan lentera yang menyebar disetiap sudut, memantul bagaikan cahaya bintang di langit.
Hingga detik ini, orang berbaju kuning itu tetap membungkam tanpa bicara, Tian Mong-pek sendiripun merasa masgul dan murung.
Akhirnya Tian Mong-pek tak kuasa menahan diri, setelah menghela napas panjang, panggilnya: II "Cianpwee .
. . . . . .. "Ssst, jangan berisik!" belum selesai dia memanggil, tiba tiba orang berbaju kuning itu membentak lirih.
"Ada apa?" Tanpa menghentikan langkahnya, sahut orang berbaju kuning itu: "Jangan tunjukkan sikap gugup atau panik, berlagak seakan akan tak ada kejadian apa pun, tetap melanjutkan langkah ke depan." Tian Mong-pek mengiakan, walaupun langkah kakinya tetap seperti semula, namun sepasang matanya tak tahan untuk menengok ke sekeliling tempat itu, namun hanya angin yang menggoyangkan dedaunan, tak terlihat sesosok bayangan manusia pun.
Dari balik pepohonan disebelah kiri, tiba tiba melayang jatuh selembar kertas yang ringan bagaikan daun kering.
Orang berbaju kuning itu membentak keras, satu pukulan dilontarkan membuat kertas itu terpental ke udara bagaikan layang-layang putus tali, sampai lama sekali baru melayang ke bawah.
Ditengah serangan yang dilancarkan, tubuhnya menerjang ke balik semak dikanan sebatang pohon, terdengar dua desingan tajam melesat keluar dari balik semak belukar itu.
Dua titik senjata rahasia meluncur datang dari kiri dan kanan dengan kecepatan luar biasa.
Begitu melihat senjata rahasia itu, dengan wajah berubah Tian Mong-pek segera membentak: "Panah kekasih!" Terlihat orang berbaju kuning itu mengebaskan jubahnya lalu menggulung kedua titik senjata rahasia itu, sementara tangan kanannya menggunakan kesempatan itu melepaskan ikat pinggang, lalu dengan jurus Poa-cau- sin-coa (mencabut rumput mencari ular) dia serang semak belukar itu sembari membentak nyaring: "Masih belum mau keluar?" Dalam waktu singkat terdengar suara jeritan kaget bergema dari atas pepohonan, lalu terlihat sesosok bayangan manusia terjatuh ke bawah dan tidak bergerak lagi.
Dari balik semak sebelah kanan kembali terlihat sesosok bayangan manusia melompat keluar, baru saja orang itu hendak melarikan diri, tahu tahu orang berbaju kuning itu telah menggetarkan angkin nya dan membelenggu kakinya.
Tampaknya ilmu silat yang dimiliki orang itu cukup tangguh, meski menghadapi bahaya, ia tak sampai jadi panik, telapak tangannya dibalik langsung membabat keatas angkin.
"Hmm, ikan dalam perangkap pun masih ingin kabur?" ejek orang berbaju kuning itu sambil tertawa dingin.
Sementara pembicaraan berlangsung, pergelangan tangannya digetarkan, ikat pinggang itu segera bergetar bagaikan teraliri gelombang listrik.
Tampak sekujur tubuh orang itu gemetar keras, diiringi jeritan ngeri, tubuhnya terkapar lemas diatas tanah.
Hanya dalam sekali gebrakan, dua orang musuh berhasil dikuasahi, diam diam Tian Mong-pek merasa terkejut bercampur kagum.
Baru saja dia akan membekuk orang dalam semak itu, terdengar orang berbaju kuning itu berseru dengan suara dalam: "Bangsat itu sudah mampus, tak usah diperiksa lagi, hati hati dengan benda yang jatuh dari langit." "Benda yang jatuh dari langit?" pikir Tian Mong-pek dengan perasaan tertegun dan keheranan.
Ketika mendongakkan kepalanya, benar saja, ia saksikan selembar kertas sedang melayang turun dari angkasa, ternyata itulah benda yang terpental ke udara karena terkena angin pukulan orang berbaju kuning.
Tian Mong-pek segera melompat untuk menerimanya, tapi ia segera merasakan hatinya bergetar keras, ditengah kegelapan, kertas itu tampak berwarna merah darah dengan sebuah lukisan tengkorak hitam diatasnya.
"Kartu undangan malaikat kematian!" Itulah benda paling berbahaya yang telah membunuh ayahnya, pamannya serta membuat seluruh umat persilatan merasa tak tenang, merasa gelisah dan tegang.
Perasaan sedih bercampur gusar membara dalam dada Tian Mong-pek, tak mampu mengendalikan diri, dia melompat kehadapan orang itu dan jeritnya: "Ternyata kau." Orang itu mengenakan pakaian ringkas berwarna hitam, wajahnya pucat keabu abuan, sepasang matanya terpejam, mulutnya membungkam, butiran keringat membasahi seluruh jidatnya, jelas dia sedang menahan rasa sakit yang luar biasa.
Setelah menghela napas panjang kata orang berbaju kuning itu: "Pemilik panah kekasih pasti bukan dia, orang itu tak lebih hanya boneka nya, mungkin manusia semacam inilah yang digunakan untuk membokong aku dengan panah kekasih." "Jadi kau yang telah mencelakai orang orang dari Jin-gi-su-hiap?" tanya Tian Mong-pek gemetar.
Tiba tiba lelaki berbaju hitam itu membuka matanya, setelah tertawa seram sahutnya: "Semua yang mati karena panah kekasih merupakan hasil karya toaya mu." "Bagus!" bentak Tian Mong-pek sambil mengayunkan tangannya siap melepaskan satu pukulan lagi.
Baru saja tangannya bergerak, orang berbaju kuning itu telah mencegahnya sambil berkata: "Musuh besarmu adalah pemilik panah kekasih, apa gunanya kau bunuh orang ini?" "Toaya mu inilah pemilik panah kekasih itu." Teriak lelaki berbaju hitam itu.
"Huh, kau pantas?" ejek orang berbaju kuning itu, tiba tiba ia perkencang cengkeramannya, kontan lelaki itu menjerit kesakitan, peluh dingin membasahi tubuhnya .
Perlahan Tian Mong-pek menarik kembali tangannya, sesudah menghela napas katanya: "Akupun tahu tak mungkin semua orang yang tewas karena panah kekasih, II dilakukan oleh dia seorang, tapi .
. . . . . .. "Tapi kau tak sanggup mengendalikan diri begitu melihat ada orang menggunakan panah kekasih bukan?" "Benar, moga cianpwee bisa mencari tahu asal usul pemilik panah kekasih yang sesungguhnya dari mulut orang ini, siapa tahu bisa menemukan pembunuh yang telah menghabisi nyawa ayahku." "Jangan mimpi." Jerit lelaki berbaju hitam itu sambil menggigit bibir.
"Aku tahu kau tidak takut mati," kata orang berbaju kuning itu ketus, "tapi hari ini, bila kau tak mau menyebutkan siapa yang mendalangi perbuatanmu ini, aku akan membuat kau hidup tak bisa, mati pun tak dapat." "Benarkah begitu?" lelaki berbaju hitam itu tertawa seram, tiba tiba dia menggigit bibir sendiri, suara tertawa seketika terhenti, darah segar menyembur keluar dari ke tujuh lubang inderanya.
"Aduh celaka!" teriak orang berbaju kuning itu sambil menghentakkan kakinya, cepat dia berusaha merenggangkan dagunya, tapi sayang orang itu keburu mengejang lalu menghembuskan napas penghabisan.
"Racun yang amat ganas!" teriak Tian Mong-pek dengan hati bergidik.
Orang berbaju kuning itu menghela napas panjang.
"Aaai, aku sama sekali tak menyangka kalau bangsat ini sudah menyiapkan obat racun dimulutnya .
. . . .. hanya salah langkah sedikit saja, pertaruhan ini harus diakhiri dengan kekalahan total." Mengawasi lelaki berbaju hitam yang terkapar dengan penuh darah itu, gumam Tian Mong-pek: "Sama sekali tak kusangka, ternyata bajingan ini adalah seorang hohan yang tidak takut mati." Setelah menjumpai orang yang tidak takut mati, timbul perasaan simpatik dihati kecilnya, karena dia sendiripun merupakan seseorang yang tak pernah memikirkan keselamatan sendiri.
Terdengar orang berbaju kuning itu berkata: "Kalau dilihat dari sinar matanya yang redup, sudah jelas dia bukan type manusia yang tak takut mati, mungkin dia sadar bila dirinya membocorkan rahasia besar itu, mungkin bakalan menghadapi penderi taan yang jauh lebih menakutkan, sehingga ia lebih suka mati daripada buka suara." Tian Mong-pek termenung berapa saat, sesudah menghela napas panjang katanya: "Bila pemilik panah kekasih bisa memberi kesan yang begitu menakutkan kepada anak buahnya, entah tindakan keji apa yang bakal ia gunakan?" Orang berbaju kuning itu tidak menjawab, dengan cepat dia menggeledah sekujur tubuh lelaki berbaju hitam itu, tiba tiba dengan nada girang serunya: "Aah, ini dia." Ketika Tian Mong-pek berpaling, ia saksikan ditangan rekannya telah bertambah dengan sebuah tabung besi sepanjang tujuh inci, segera tanyanya: "Jangan-jangan benda ini .
. . . . . . .." "Benar, sudah pasti tabung berpegas yang dipakai untuk membidikkan panah kekasih, akan kulihat dimana letak kehebatan tehnik dari alat pembunuh ini." Sambil duduk bersila dia mencoba memeriksa benda tersebut, kemudian dia bongkar tabung itu dan memeriksa isinya, ternyata didalam tabung hanya terdapat dua lingkaran kawat baja serta dua batang jarum baja.
Menanti berapa saat, tak tahan Tian Mong-pek bertanya: "Cianpwee, apakah berhasil menemukan sesuatu?" Dengan kecewa orang berbaju kuning itu menggeleng, gumamnya sambil menghela napas: "Kalau kuncinya bukan berada dalam tabung ini, masa berada pada anak panah itu?" Sambil berkata dia rentangkan jubahnya, terlihat dua batang panah kekasih itu sudah menembusi jubahnya, terbukti ilmu Liu-hun-thiat-siu (awan mengalir jubah baja) yang dilatihnya telah mencapai tingkat kesempurnaan sehingga rentangan jubah itu lebih keras daripada lempengan baja.
Tapi dalam kenyatan, jubah itu tetap berlubang, hal ini menunjukkan kalau tenaga bidikan senjata itu kuat sekali, bahkan kecepatan bidikannya melebihi bidikan dari tabung berpegas biasa.
Sementara orang berbaju kuning itu masih membolak balik tabung baja itu, Tian Mong-pek berkata: "Jangan jangan antara kartu undangan serta anak panah merupakan dua jenis senjata yang saling berhubungan?" "Kartu undangan malaikat kematian tak lebih hanya berguna untuk mengalutkan pikiran dan konsentrasi korbannya, justru ketangguhannya terletak pada panah kekasih." "Heran, setiap kali kupandang dua titik cahaya hijau yang berada dimata tengkorak itu, pandangan mataku seolah olah susah digeser kearah lain." Kata Tian Mong-pek dengan kening berkerut.
"Benar, kedua titik cahaya fosfor itu mengandung daya pikat yang menakutkan, khurusnya orang persilatan telah menganggap kartu undangan serta panah kekasih sebagai senjata pencabut nyawa, oleh karena itu ketika melihat kartu kematian itu, konsentrasi mereka jadi buyar, saat itulah panah kekasih segera menyusup masuk.
Karena alasan itu pula tadi aku tak mau menerima kartu undangan kematian, tapi menjebol serangan panah kekasih terlebih dulu!" "Aai, pendapat cianpwee sungguh luar biasa," puji Tian Mong-pek sambil menghela napas, "tapi aku tetap yakin masih ada kehebatan lain dari kartu undangan serta anak panah itu, kalau tidak, mana mungkin ada begitu banyak jago lihay yang berhasil dibokong hingga mati?" Orang berbaju kuning itu tertawa dingin.
"Hehehe, biarpun memiliki kekuatan iblis, toh bukan senjata yang luar biasa," katanya, "terbukti baru saja kita berdua berhasil meloloskan diri dari pembantaian." "Semenjak kemunculan panah kekasih di dalam dunia persilatan, mungkin baru cianpwee seorang yang berhasil menggagalkan ancamannya, tapi orang lain .
. . . . . .." Dia menghela napas dan tidak melanjutkan perkataannya.
Sementara itu orang berbaju kuning itu sudah memasukkan kartu undangan serta anak panah itu ke dalam sakunya, kemudian sam bil membesihkan debu dari jubahnya, dia bangkit berdiri.
"Saudara cilik," katanya sambil menepuk bahu Tian Mong-pek, "tak perlu bersedih hati, tak ada rahasia didunia ini yang selamanya tak bisa dibongkar." "Aai, tapi sampai kapan rahasia itu baru akan terbongkar?" II "Suatu saat nanti .
. . . . . .. "Sayang Kiu-lian-huan Lim Luan-hong tidak berada disini, kalau tidak, paling tidak ia bisa mengenali asal usul dari lelaki berbaju hitam ini." "Ilmu silat yang ia gunakan untuk membabat tali angkin ditanganku tadi berasal dari aliran Bu-tong, aku yakin orang ini pastilah murid preman dari Bu-tong-pay." "Masa anak murid Bu-tong-pay bersedia menjadi budaknya panah kekasih?" seru Tian Mong-pek terperanjat.
Orang berbaju kuning itu tertawa dingin.
"Menurut pendapatku, orang persilatan yang berhasil dikendalikan panah kekasih sudah meliputih seluruh perguruan besar yang ada saat ini, jadi bukan melulu Bu-tong-pay saja." sekujur tubuh Tian Mong-pek bergetar keras, sesudah termenung berapa saat, tiba tiba ujarnnya dengan suara keras: "Ayoh berangkat! Aku akan menemani dulu cianpwee berkunjung ke biara Siau-lim, kemudian baru berangkat ke lembah kaisar, sekalipun dendam kesumatku belum tentu terbalas, paling tidak aku harus dapat membongkar rahasianya, kalau harus menunggu hingga seluruh umat persilatan dikendalikan mereka, mungkin keadaan sudah terlambat." Begitu selesai bicara, dia langsung beranjak dengan kecepatan tinggi.
Melihat itu, orang berbaju kuning itu hanya bisa gelengkan kepala sambil menghela napas: "Aai, dasar bocah yang kelewat emosional .
. . . . . .." Tanpa membuang waktu, ia pun menyusul dari belakang.
Dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka berdua sudah lenyap dibalik kegelapan malam.
Oo0oo Dari bukit Kim-san menuju gunung Siong-san, perjalanan yang harus ditempuh sangat panjang dan jauh.
Sepanjang jalan, Tian Mong-pek nyaris lupa makan lupa tidur, sekuat tenaga ia pelajari segenap ilmu silat yang diajarkan orang berbaju kuning.
Pada dasarnya pemuda ini memang gemar silat, kini se telah mendapat petunjuk dari guru sakti, dia seolah enggan membuang setiap waktu yang ada dengan percuma.
Kini, satu satunya tujuan yang ada dalam benaknya hanyalah belajar silat sehebat mungkin lalu berangkat ke lembah kaisar untuk membuat perhitungan.
Tentu saja orang berbaju kuning itu memahami jalan pikirannya, karena itu kebanyakan jurus silat yang diajarkan merupakan jurus jurus tangguh yang khusus untuk mematahkan serangan dari lembah kaisar, banyak gerak serangan yang begitu hebat hingga bagi Tian Mong-pek, bermimpi pun dia
Tentu saja orang berbaju kuning itu memahami jalan pikirannya, karena itu kebanyakan jurus silat yang diajarkan merupakan jurus jurus tangguh yang khusus untuk mematahkan serangan dari lembah kaisar, banyak gerak serangan yang begitu hebat hingga bagi Tian Mong-pek, bermimpi pun dia tak pernah menyangka.
Ketika pertama kali menyaksikan kehebatan ilmu silat dari Hoa Hui serta dua bersaudara keluarga Siau, dia sangka tak mungkin ada jurus serangan didunia ini yang bisa mematahkan keampuhan mereka, tapi setelah mempelajari ilmu silat yang diajarkan orang berbaju kuning itu dengan seksama, dia baru sadar, walau seampuh dan seketat apapun suatu gerak serangan, dibalik kekokohannya pasti terdapat titik kelemahan, dan ilmu silat yang dia pelajari saat ini, walau hanya satu gerakan yang sederhana namun sudah cukup untuk mengancam titik kematian ditubuh mereka.
Terkadang dia tak tahan untuk bertanya kepada orang berbaju kuning itu, apakah dia punya dendam kesumat dengan pihak lembah kaisar, kalau tidak, mengapa dia mampu menyelidiki dan mempelajari setiap gerakan untuk mematahkan semua jurus serangan aliran lembah kaisar" Tapi orang berbaju kuning itu hanya tersenyum tanpa menjawab.
Hari itu, mereka telah tiba di wilayah bukit Siong-san, menjelang tibanya sang fajar, kedua orang itu menelusuri jalan setapak menuju keatas bukit.
Ditengah hembusan angin yang sepoi dan sinar fajar berwarna keemasan, Tian Mong-pek dan orang berbaju kuning itu menembusi sebuah hutan siong.
Dari kejauhan sana, mereka saksikan bangunan biara Siau-lim yang megah serta terdengar suara nyanyian doa pagi yang merdu.
Sementara Tian Mong-pek masih menikmati indahnya alam gunung, mendadak dari balik hutan siong terdengar suara pujian kepada sang Buddha, diikuti munculnya empat orang pendeta.
Salah seorang pendeta diantaranya segera memberi hormat sambil berseru: "Harap sicu memaklumi, biara kami .
. . . . . .." Tapi begitu melihat raut muka orang berbaju kuning itu, ucapannya seketika terhenti.
"Masih kenal dengan diriku?" sapa orang berbaju kuning itu sambil tersenyum.
"Pinceng . . . . . . .." Orang berbaju kuning itu tertawa terbahak-bahak, ujarnya lebih lanjut: "Sepuluh tahun berselang, ketika aku bermain catur hampir sepuluh hari lawannya melawan gurumu, kau selalu berdiri disamping untuk melayani air teh, saat itu usiamu masih muda .
. . . . .. aaai, tak disangka sepuluh tahun telah berlalu dengan begitu cepat." Baru selesai ucapan itu, pendeta tadi sudah menjatuhkan diri berlutut sambil ujarnya penuh rasa hormat: "Tecu Cin-kong memang bodoh, untuk sesaat ternyata tak bisa mengenali cianpwee." Ke tiga orang pendeta lainnya ikut jatuhkan diri berlutut, walaupun mereka tak kenal siapakah orang ini.
Orang berbaju kuning itu segera membangunkan mere ka, ujarnya dengan suara berat: "Walaupun topeng yang kukenakan selalu berganti rupa, tapi pakaian berwarna kuning ku ini paling gampang dikenali, tapi kenyataan kau tetap tidak mengenalnya.
Jangan jangan ada suatu masalah yang sedang membuat kau gugup dan kalut pikiran?" Cin Kong tertegun sesaat, sahutnya cepat: "Ternyata ketajaman mata cianpwee memang luar biasa." "Apakah sudah terjadi suatu peristiwa dalam biara?" Il "Dugaan cianpwee tepat sekali, saat ini dalam biara .
. . . . . .. Berkilat sepasang mata orang berbaju kuning itu, jelas ia merasa amat terkejut, tak sampai pendeta itu menyelesaikan perkataannya, dia sudah menukas: "Kalau memang begitu, cepat bawa aku menghadap gurumu." Dengan wajah berat Cin Kong menghela napas panjang, ujarnya: "Rasanya hari ini cianpwee tak dapat bertemu muka dengan dia orang tua." "Apa maksudmu?" "Silahkan ikuti tecu, cianpwee bakal tahu dengan sendirinya." Diam-diam Tian Mong-pek merasa sangat terperanjat, sebagaimana diketahui, Biara Siau-lim sudah lama menjagoi dunia persilatan, walaupun dunia kangou sering terjadi keonaran dan pertumpahan darah, namun selama ini biara Siau-lim-si selalu aman tenteram.
Tapi sekarang, biara Siau-lim pun ketimpa musibah, ia benar benar tak habis mengerti, jagoan dari mana yang begitu bernyali hingga berani mengusik ketenangan biara tersebut.
Sementara itu Cin Kong telah mengajak mereka memasuki biara Siau-lim-si.
Tampak bangunan biara itu terdiri dari berpuluh halaman dengan berapa puluh gedung tinggi besar, anehnya suasana amat hening dan tenang.
Paras muka semua murid biara terlihat serius dan berat, bahkan langkah kaki mereka pun tak berisik, sama sekali tak menimbulkan suara.
Berada dalam suasana seperti ini, tanpa terasa Tian Mong-pek ikut tertular oleh perasaan berat, pelbagai kecurigaan dan pertanyaan berkecamuk jadi satu, namun ia tak berani buka suara.
Sesudah melewati berapa lapis halaman, tibalah mereka di halaman belakang, tempat tinggal hongtiang.
Terlihat berapa orang pendeta beralis putih, berjenggot panjang berjalan mondar mandir didepan pintu halaman, wajah mereka kelihatan tegang dan tidak tenang.
Tian Mong-pek semakin terperanjat, sudah jelas masalah yang dapat membuat para pendeta Siau-lim merasa tegang merupakan peristiwa besar yang luar biasa.
Tapi suasana disekeliling tempat itu sangat hening, tak kedengaran suara bentakan, suara bentrokan senjata maupun pertarungan, sementara kawanan pendeta itu meski berwajah serius, namun wajah mereka tiada napsu membunuh, dalam genggaman mereka pun tak bersen jata.
Belum habis dia berpikir, tiba tiba dilihatnya kawanan pendeta itu segera menunjukkan wajah kegirangan begitu melihat kemunculan orang berbaju kuning itu, seakan-akan mereka telah melihat datangnya bintang penolong.
Berapa orang diantaranya bahkan berniat maju menyongsong, tapi niat itu segera diurungkan, mereka hanya memberi hormat sambil mundur dan memberi jalan lewat.
Menyaksikan situasi yang luar biasa ini, dalam hati orang berbaju kuning itu merasa terkejut, tidak menunggu dihantar Cin Kong, cepat dia menyelinap ke dalam halaman.
Tian Mong-pek agak sangsi sejenak, ketika melihat para pendeta Siau-lim itu tidak berniat menghalangi jalan perginya, dia pun ikut melangkah masuk ke dalam halaman.
Menanti ia berpaling kembali, terlihat kawanan pendeta itu masih tetap tertinggal di halaman luar, tak seorang pun yang ikut masuk.
Dalam waktu singkat Tian Mong-pek merasakan hawa pembunuhan yang tebal seolah menyelimuti sekeliling tempat itu.
Ternyata orang berbaju kuning itu hapal sekali dengan jalan ditempat itu, setelah mengitari sebuah gunung-gunungan, terlihat ada puluhan orang lelaki berbaju biru berdiri berjajar didepan ruang hongtiang.
Paras muka orang orang itu tampak tegang dan serius, tapi semangat mereka seketika bangkit setelah melihat kehadiran orang berbaju kuning itu, serentak mereka membungkukkan badan memberi hormat.
Tiba-tiba perasaan Tian Mong-pek tergerak, dia merasa kawanan lelaki itu seakan pernah dikenalnya, pernah bertemu disuatu tempat, tapi lupa siapakah mereka.
"Kalian pun berada disini?" terdengar orang berbaju kuning itu menegur dengan nada terperanjat.
Tampak seorang pemuda tampan berbaju biru maju menyambut kedatangan tamunya seraya memberi hormat.
"Cayhe tidak tahu kalau cianpwee pun ikut datang kemari, maaf bila tidak menyambut dari jauh." Orang berbaju kuning itu mendengus, katanya ketus: "Tempat ini toh bukan tempat tinggalmu, kenapa harus menyambut dari jauh" Benar benar sangat aneh." "Benar, benar .
. . . . .." pemuda berbaju biru itu buru buru tertawa paksa.
"Kau tak perlu jual lagak lagi dihadapanku, cepat mingkir biar aku lewat." Kembali pemuda berbaju biru itu menjawab sambil tertawa paksa: "Suhu telah menurunkan perintah, dalam tiga hari, siapapun dilarang memasuki ruang hongtiang, harap cianpwee maklum." "Apa" Gurumu hadir juga disini?" berkilat sepasang mata orang berbaju kuning itu.
"Kalau bukan diajak guru, mana mungkin tecu sekalian berani sembarangan bergerak dalam biara Siau-lim, terlebih berani menghalangi cianpwee." "Dia kemari" Mau apa dia kemari?" gumam orang berbaju kuning itu.
Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benak Tian Mong-pek, serunya tertahan: "Apakah Lan Toa-sianseng telah datang kemari?" Pemuda berbaju biru itu memandangnya sekejap sambil tersenyum, kemudian manggut-manggut.
Biarpun wajah pemuda itu penuh dihiasi senyuman, namun sorot matanya setajam sembilu, dia tetap menghadang didepan orang berbaju kuning itu dan sama sekali tak mau mundur.
Suasana didalam ruang hongtiang sepi bagai di kuburan, hanya kepulan asap tipis yang menyebar dari balik tirai bambu.
"Apakah didalam sana masih ada orang lain?" kembali orang berbaju kuning itu bertanya dengan kening berkerut.
"Tecu kurang begitu jelas." "Kalau begitu biar aku masuk untuk memeriksanya." "Suhu berulang kali berpesan, dalam tiga hari ini, siapapun dilarang memasuki ruang hongtiang, tecu sendiripun tidak tahu mengapa begitu." Kata pemuda berbaju biru itu tetap bergeming.
"Guru mu sendiripun tak berani menghalangi aku, kau .
. . . . . .." bentak orang berbaju kuning itu gusar.
Cepat pemuda berbaju biru itu memberi hormat, katanya: "cianpwee adalah sahabat karib guru, bila cianpwee tetap bersikeras ingin II masuk, tentu saja tecu tak berani menghalangi, akan tetapi .
. . . .

Panah Kekasih Karya Gu Long di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

. .. Dengan wajah serius dan nada sungguh sungguh, tambahnya: "Setelah cianpwee menerjang masuk, bila suhu sampai terjadi sesuatu yang tak diinginkan, tecu tak akan menanggung semua resiko dan tanggung jawabnya." "Masa bisa terjadi sesuatu?" tanya orang berbaju kuning itu tertegun.
"Yang paling enteng hanya akan kehilangan peluang, yang terberat bisa terancam keselamatan jiwanya, segala kemungkinan bisa terjadi, karena itu harap cianpwee mau berpikir tiga kali sebelum bertindak." "Sebenarnya apa yang sedang dia lakukan didalam sana?" tanya orang berbaju kuning itu terperanjat, "kenapa bisa mengakibatkan situasi yang begitu gawat" Masa .
. . . .. masa dia bertarung melawan ciangbunjin dari biara Siau-lim?" "Dua hari kemudian segala sesuatunya baru akan menjadi jelas." Sahut pemuda berbaju biru itu sambil menundukkan kepala.
Orang berbaju kuning itu termenung berapa saat, akhirnya dia duduk diatas sebuah batu hijau dibawah pohon siong.
Ketika memandang ke arah ruang hongtiang, selain asap dupa, suasana tetap hening tak kedengaran sedikit suara pun.
Kini hanya terdengar hanya gesekan daun siong yang terhembus angin sepoi.
Suasana dalam halaman itu makin lama semakin hening, suasana pun makin lama semakin bertambah serius.
Dari luar halaman terlihat ada anggota Siau-lim yang melongok kedalam untuk melihat keadaan, namun tak seorangpun berani memasuki halaman itu, terlebih tak kedengaran sedikit suarapun.
Lewat lama kemudian, akhirnya Tian Mong-pek tak kuasa menahan diri, dengan merendahkan suaranya dia bertanya: "Apa rencana cianpwee selanjutnya?" "Kita lihat keadaan lebih dulu." Jawab orang berbaju kuning itu tetap bersila diatas batu tanpa bergerak.
Matahari telah tenggelam di ujung barat, cahaya senja berwarna merah membiaskan selapis cahaya terang disekeliling hutan.
Dari luar halaman, lamat-lamat terdengar suara orang berdoa, suasana yang hening menambah keangkeran dan keseriusan tempat tersebut.
Orang berbaju kuning itu masih duduk diatas batu, tampaknya ia sedang bersamadi, sementara kawanan lelaki berbaju biru itu tampak tampil tegang, kesedihan dan kekuatiran terselip diantara alis mata mereka.
Tiba tiba terlihat empat orang pendeta kecil berusia sebelas-dua belas tahunan, dengan membawa empat keranjang makanan, bergerak masuk dari luar halaman, langkah mereka enteng dan lincah, sewaktu berjalan tidak menimbulkan suara.
Salah seorang diantaranya meletakkan kotak makanan itu didepan kamar hongtiang, sementara tiga orang lainnya menyerahkan kotak makanan itu ke tangan pemuda berbaju biru.
"Terima kasih banyak suheng sekalian." Kata pemuda berbaju biru itu sambil tersenyum.
Selesai memberi hormat, ke empat orang hwesio cilik itu segera berlalu dari sana.
Pemuda berbaju biru itu membuka kotak makanan lalu memilih berapa macam hidangan terbaik dan diserahkan kepada orang berbaju kuning serta Tian Mong-pek, kemudian ia baru bersantap bersama kawanan lelaki lainnya.
Sambil bersantap, dengan sorot mata yang tajam Tian Mong-pek mengawasi terus pintu kamar hongtiang.
Tiba tiba terlihat tirai bambu disingkap orang, muncul sebuah tangan putih halus dengan ujung baju berwarna merah cerah.
Tangan halus itu hanya melintas lewat, kotak makanan telah diambil masuk ke dalam ruangan.
Berdebar hati Tian Mong-pek, bisiknya ke sisi telinga orang berbaju kuning itu: "Cianpwee, sudah kau lihat" Ternyata ada perempuan didalam kamar hongtiang." Orang berbaju kuning itu manggut-manggut, mendadak bibirnya bergetar, seolah sedang berbicara dengan seseorang, tapi Tian Mong-pek sama sekali tidak mendengar suara apapun.
Tergetar pikirannya, diapun berpikir: "Jangan-jangan ia sedang mengajak bicara orang yang berada dalam ruang Hongtiang dengan ilmu coan-im-jip-pit?" Belum habis ingatan itu melintas, tampak tirai bambu didepan kamar hongtiang disingkap orang, sesosok bayangan manusia tampilkan diri.
Dia adalah seorang perempuan cantik bersanggul tinggi yang mengenakan pakaian serba merah.
Dia adalah seorang perempuan cantik bersanggul tinggi yang mengenakan pakaian serba merah.
Tian Mong-pek merasa matanya jadi kabur, perempuan berbaju merah itu telah tiba dihadapan orang berbaju kuning itu.
Kini pemuda itu baru dapat melihat dengan jelas, meski wanita berbaju merah itu cantik jelita, namun wajahnya sudah berkeriput, jelas usia nya telah lanjut hingga hanya tersisa bekas keayuannya dimasa lampau.
Begitu melihat kehadiran wanita cantik berbaju merah itu, serentak kawanan lelaki berbaju biru itu membungkukkan diri memberi hormat.
Sambil menatap orang berbaju kuning itu, tegur nyonya cantik itu: "Barusan, apakah kau yang telah mengajak aku berbicara dengan ilmu coan-im-jip-pit?" "Maaf kalau hanya pamer kejelekan." Jawab orang berbaju kuning itu tersenyum.
Nyonya cantik berbaju merah itu balas tersenyum.
"Kau sanggup melatih ilmu coan-im-jip-pit hingga mencapai sedemikian sempurna, aku rasa kau pastilah orang yang dimaksud Szauezan sebagai musuh tandingannya selama ini." Biarpun usianya sudah pertengahan, namun nada suaranya tetap merdu, senyumannya tetap menawan hati.
"Kalau dilihat dari dandanan hujin," kata orang berbaju kuning itu pula sambil tertawa, "tak usah ditanyapun sudah pasti kau adalah Liat-hwee hujin yang termashur namanya dikolong langit." "Dugaanmu keliru, dia adalah ciciku, andai aku adalah Liat-hwee hujin, tak mungkin akan mengajakmu berbincang dengan ramah." "Ooh, ternyata Tiau-yang hujin, maaf akan kebodohanku!" Mendengar nama itu, diam diam Tian Mong-pek terkesiap, dia sama sekali tak menyangka akan bertemu dengan Liat-hwee hujin dan Tiau-yang hujin yang sudah tersohor semenjak empat puluh tahun berselang dalam biara Siau-lim.
Sudah cukup banyak kejadian romantis yang dilakukan kedua orang wanita ini dalam dunia persilatan, bahkan nama kedua orang inipun ada sangkutnya dengan begitu banyak pendekar kenamaan dalam dunia persiatan.
Dari begitu panjang daftar nama yang ada, yang paling menonjol diantaranya adalah Lan Toa-sianseng dari istana Au-sian-kiong serta majikan lembah kaisar.
Begitu rumitnya hubungan ke empat orang itu, selain mereka sendiri, tak seorangpun anggota persilatan yang tahu secara jelas, tapi persoalan yang makin tak jelas, biasanya akan diikuti dengan rumor yang semakin banyak.
Dari perawakan tubuh Tiau-yang hujin yang ramping, khususnya sewaktu ditimpa cahaya senja, ternyata dipandang dari kejauhan, dia tak ubahnya seperti seorang nona yang baru berusia dua puluh tahunan.
Sambil tertawa kata perempuan itu: "Sian-Lan sedang beradu nyawa dengan si hwesio tua didalam sana, mereka undang aku datang sebagai juri, coba bayangkan, bikin pusing orang tidak?" "Kenapa dia bertarung melawan Thian-huan taysu?" tanya orang berbaju kuning itu terperanjat.
"Kemungkinan besar lantaran kau." Sahut Tiau-yang hujin sambil tertawa.
"Karena aku" Mana mungkin karena aku?" "Ayoh, ikut aku." Undang Tiau-yang hujin sambil menggapai.
Baru perempuan itu selesai bicara, pemuda berbaju biru itu telah menghadang ditengah jalan.
"Mau apa kau?" tegur Tiau-yang hujin sambil menarik muka.
"Suhu ada perintah, selain hujin, siapapun dilarang memasuki ruang hongtiang, bukankah hujin pun mendengar sendiri perintah ini?" kata pemuda berbaju biru itu sambil tertawa paksa.
"Aku yang mengajaknya masuk, jadi aku pula yang bertanggung jawab." "Maaf, tecu bodoh, tecu hanya tahu mentaati perintah suhu seorang." Berubah paras muka Tiau-yang hujin.
"Jadi kau tidak menurut dengan perkataanku?" Pemuda berbaju biru itu tetap berdiri tegar dengan mulut membungkam.
"Ternyata pemuda ini betul-betul seorang lelaki sejati." Puji Tian Mong-pek diam diam.
Perlahan sekulum senyuman menghiasi wajah Tiau-yang hujin dengan dingin, katanya: "Anak pintar, tampaknya kau sangat setia!" "Perintah suhu tak boleh dibantah, harap hujin sudi memaafkan." "Kalau begitu, terpaksa aku harus memenuhi pengharapanmu." Tiba tiba Tiau-yang hujin mengayunkan tangan kirinya, diantara kibaran kain merah, secepat kilat ia sudah menotok jalan darah penting didepan dada pemuda berbaju biru itu.
sedemikian cepat serangan itu dilancarkan, nyaris Tian Mong-pek tak dapat melihat jelas, dia hanya merasa bayangan merah melintas, pemuda berbaju biru itu sudah roboh ke tanah.
"Sekarang kita boleh masuk," ajak Tiau-yang hujin kemudian sambil tersenyum, "kejadian ini tak ada sangkut pautnya dengan dirimu, biarkan saja dia berbaring disitu, paling sehari kemudian jalan darahnya akan terbebas dengan sendirinya." Sambil berkata dia pun menarik ujung baju orang berbaju kuning itu dan berjalan menuju ke kamar hongtiang.
Benar saja, tak seorang pun berani menghalangi jalan perginya.
"Saudara cilik, ayoh ikut aku!" ajak orang berbaju kuning itu.
Baru berjalan berapa langkah, tak tahan Tian Mong-pek berteriak lantang: "Sahabat ini hanya mentaati perintah gurunya, kenapa hujin harus turun tangan melukainya?" Tiau-yang hujin berpaling memandangnya sekejap, lalu tegurnya: "Siapa kau?" "Aku Tian Mong-pek." Tiau-yang hujin menghentikan langkahnya, berpaling dan menatapnya tajam- tajam.
Tian Mong-pek sama sekali tidak menghindar, dia balas melototi wajah Tiau-yang hujin, sama sekali tak ada perasaan takut.
Sementara itu, orang berbaju kuning itu hanya menonton dari samping, senyuman terlintas diantara sorot matanya.
Lama sekali Tiau-yang hujin mengawasinya, tiba tiba sambil tersenyum katanya: "Besar amat kobaran amarahmu anak muda, persis seperti 5220-Lan disaat masih muda dulu." Setelah tersenyum, terusnya: "Karena kau merasa watak pemuda itu sama kerasnya seperti watakmu, maka kau merasa marah bukan ketika melihat aku merobohkan dirinya?" "Orang dewasa menganiaya kaum muda, orang kuat menindas yang lemah, aku .
. . . . .." "Siapa yang menindas dan menganiaya dirinya?" tukas Tiau-yang hujin tertawa, "aku tak lebih hanya memberi peringatan, agar dikemudian hari dia tak usah berlagak sok setia, padahal dalam perutnya penuh dengan akal busuk." "Melaksanakan perintah guru bukan hal yang jelek, masa dianggap banyak akal busuk?" "Selama hidup, sudah terlalu banyak lelaki yang kujumpai, tak bakal salah lihat, biji matanya berputar tak menentu, dia pasti bukan orang setia seperti apa yang kau bayangkan." "Hujin cari menangnya sendiri, aku sangat tidak puas." "Hahaha," Tiau-yang hujin tertawa tergelak, "bukan saja emosimu persis seperti sia&-Lan, sifat keras kepala pun tak jauh berbeda.
Baik, setelah kalian masuk nanti, aku segera akan membebaskan dirinya." Sinar senyuman semakin kentara dari balik mata orang berbaju kuning itu, bahkan dia nyaris tertawa tergelak.
"Hei, apa yang kau tertawakan?" Tiau-yang hujin segera menegur.
"Kalau kukatakan, mungkin hujin bakal marah." "Aku tak bakalan marah." Gerak geriknya bukan saja seperti gadis muda, sikap maupun caranya bicara pun tak beda dengan gadis remaja.
"Orang persilatan bilang, cinta hujin terhadap Lan toa-sianseng sangat mendalam, sebetulnya aku tidak percaya dengan rumor tersebut, tapi hari ini aku telah mempercayainya." "Apa maksud perkataanmu itu?" "Orang bilang: karena menyukai rumahnya, akan menyukai pula segala yang berhubungan dengan rumah itu.
Karena itulah sewaktu hujin bertemu dengan orang yang memiliki watak sama dengan Lan Toa-sianseng, kaupun menaruh kesan baik kepadanya, kalau tidak .
. . . . .." Setelah melempar sekulum senyuman, terusnya: "Kalau tidak, dengan watak hujin, mana mungkin kau akan bersikap begitu sungkan terhadap saudara cilikku?" Tiau-yang hujin tertegun berapa saat, mendadak dia menghela napas sedih: II "Betul, aku memang sangat mencintainya .
. . . . . .. Sesudah berhenti sejenak, dia ulapkan tangannya sambil berseru: "Mari kita masuk lebih dulu!" Berkilat sepasang mata orang berbaju kuning itu, dari balik kilatan matanya seolah tersimpan sesuatu rahasia, tapi rahasia apakah itu" Selain dia sendiri, siapa yang tahu" Perlahan dia menyingkap tirai bambu dan menyelinap masuk, asap tipis menyelimuti ruang hongtiang.
Asap tipis itu menyebarkan bau harum, berasal dari sebuah hiolo terbuat dari tembaga.
Diatas pembaringan duduk bersila Lan Toa-sianseng yang tinggi besar, dia masih mengenakan jubah pendeta berwarna biru, namun paras mukanya kelihatan amat serius.
Dihadapannya duduk bersila seorang pendeta tua, dialah Thian-huan taysu, ciangbunjin dari partai Siau-lim yang menjagoi dunia persilatan saat ini.
Telapak tangan kanan mereka saling menempel satu dengan lainnya, jelas kedua orang itu sedang beradu tenaga dalam, tapi anehnya, diantara kedua orang itu terletak pula sebuah papan catur.
Sudah jelas permainan catur itu belum berakhir, jari telunjuk dan tengah dari Thian-huan taysu masih menjepit sebiji catur warna putih, terlihat dia lama sekali termenung dan sama sekali tidak menurunkan biji caturnya.
Sepasang mata Lan Toa-sianseng yang tajam, sedang mengawasi pula papan cantur itu, seakan sedang mempertimbangkan langkah berikut, sepasang alis matanya yang tebal tampak berkerut kencang.
Rupanya kedua orang jago lihay ini sembari beradu tenaga, merekapun bermain catur, sebuah cara bertanding yang aneh dan luar biasa.
Perlu diketahui, tenaga dalam harus dilatih dari ilmu silat, sedang bermain catur mengandalkan kecerdasan, kedua hal itu sama sekali tak ada sangkut pautnya, bahkan sama sekali tak berkaitan.
Untuk meraih kemenangan dalam kedua bidang itu, bukan saja dibutuhkan konsentrasi bahkan begitu perhatian buyar, tenaga da lam akan ikut buyar dan permainan catur pun bakal menderita kalah.
Tapi kedua orang itu bertarung dengan begitu serius, bukan saja saling beradu tenaga, mereka pun beradu kecerdasan.
Menyaksikan pemandangan itu, orang berbaju kuning itu kontan berdiri tertegun, apalagi Tian Mong-pek yang belum pernah menyaksikan pertarungan semacam ini, dia berdiri tertegun, matanya mendelong, mulutnya melongo, tubuhnya sama sekali tak bergerak.
Terendus bau harum, Tiau-yang hujin ikut menyelinap masuk pula ke dalam ruangan.
Tapi kondisi Lan Toa-sianseng maupun Thian-huan taysu saat itu sudah berada dalam keadaan lupa segalanya, bertambah atau berkurangnya seseorang dalam ruangan, sama sekali tak mereka perhatikan.
Hal ini menunjukkan kalau mereka telah menggunakan setiap kekuatan, setiap kecerdasannya untuk memenangkan pertarungan mati hidup ini.
Bab 18. Liat-hwee Hujin. Dalam keadaan begini, terpaksa orang berbaju kuning dan Tian Mong-pek harus menahan napas dan tak berani sembarangan bergerak.
Tampak paras muka Thian-huan taysu berubah semakin berat, butiran keringat mulai membasahi jidatnya, biji catur yang berada dalam tangannya pun sampai lama belum juga diturunkan.
Orang berbaju kuning itu mencoba memperhatikan posisi papan catur, ia jumpai posisi catur putih sudah sangat mendekat hingga langkah berikut jadi sangat penting karena mempengaruhi keseluruh permainan itu.
Bila ia salah meletakkan biji catur ini, bukan saja pendeta itu harus menghadapi ancaman dari sayap kiri, gencetan biji catur dari sayap kanan bisa menyebabkan dia mati langkah.
Akhirnya Thian-huan taysu menurunkan biji caturnya, terlintas cahaya girang dari balik mata Tian Mong-pek.
Pemuda ini meski masih muda, namun dia sangat mengerti tentang ilmu bermain catur, dia tahu jika biji catur itu diletakkan pada posisi yang akan dilakukan Thian-huan taysu, maka kekalahan catur putih sudah dapat dipastikan.
Hal ini bisa dimaklumi, selama ini dia memang punya kesan mendalam terhadap Lan Toa-sianseng, tentu saja dia berharap Lan Toa-sianseng yang memenangkan pertarungan ini.
Siapa tahu disaat yang kritis itulah, suara nyanyian doa yang sudah terhenti sejak tadi, tiba tiba bergema kembali di udara, suara doa itu seketika menyelimuti seluruh angkasa.
Begitu mendengar suara nyanyian doa, paras muka Thian-huan taysu yang semula murung, tiba tiba saja berubah lebih tenang, tangannya kembali terhenti di udara, sampai lama kemudian biji catur itu baru diletakkan.
Posisi yang dia pilih untuk meletakkan biji catur itu memang luar biasa sekali, suasana pun seketika berubah drastis, sekalipun pihak putih tak bisa meraih kemenangan, paling tidak ia tak bakalan menderita kekalahan.
Terlihat tangan Lan Toa-sianseng gemetar keras, alis matanya berkerut makin kencang, perubahan tersebut membuat kesempatan emasnya seketika hilang.
Sesudah berpikir lama sekali, akhirnya diapun meletakk an sebiji catur, Thian-huan taysu segera meletakkan pula biji catur yang lain, pertarungan sengit kembali berkobar.
Tak lama setelah nyanyian doa bergema, paras muka Thian-huan taysu makin tampak tenang, sebaliknya Lan Toa-sianseng justru berubah makin gelisah dan tidak tenang.
Ditengah keheningan yang mencekam, tiba-tiba Tian Mong-pek membentak keras: "Tidak adil!" "Ssttt!" buru-buru Tiau-yang hujin meletakkan jari tangannya keatas bibir, minta Tian Mong-pek jangan berteriak, walau begitu tanyanya juga: "Bagaimana tidak adilnya?" "Kawanan hwesio Siau-lim sedang menggunakan nyanyian doa dari kalangan Buddha untuk membantu hawa murni serte ketenangan taysu itu, sebaliknya justru mengalutkan pikiran serta kecerdasan Lan Toa-sianseng." ll "Betul juga, pikir Tiau-yang hujin dengan kening berkerut, "Thian-huan taysu merupakan pendeta tinggi, dia dapat menggunakan nyanyian doa untuk menenangkan pikiran, sebaliknya Szauezan bukan kalangan Buddha, suara nyanyian doa itu justru akan membuatnya gelisah dan tak tenang.
Ternyata biara Siau-lim memang hebat, mereka telah membantu ciangbunjinnya tanpa meninggalkan jejak." Berpikir begitu, perasaan hatinya jadi semakin murung, tapi diluaran segera pujinya sambil tersenyum: "Saudara cilik, sungguh tak kusangka walaupun watakmu agak temperamen, II tapi otakmu encer, sangat cerdas, hanya saja .
. . . . .. Setelah berhenti sejenak, tambahnya: "Hanya saja, sebelum pertarungan dimulai tadi, tak ada peraturan yang melarang para hwesio itu membaca doa, saudara cilik, menurutmu bagaimana baiknya?" Berkilat sepasang mata orang berbaju kuning itu, selanya: "Cara tentu saja ada, hanya persoalannya, masalah apa yang membuat mereka berdua bertarung mati-matian?" "Aai, semestinya kaupun mengetahui watak sjau-Lan, apapun dia lakukan, hanya gara-gara jengkel pun sudah cukup baginya untuk beradu nyawa." Orang berbaju kuning itu gelengkan kepalanya berulang kali, katanya: "Tak mungkin masalahnya sesederhana itu, hanya saja hujin enggan memberitahu.
Yaa, karena tidak tahu persoalan apa yang membuat mereka ribut, terpaksa akupun hanya bisa berpeluk tangan saja." "Siapa yang minta kau mencampurinya" Aku pasti punya cara." Walaupun perempuan itu mengatakan punya cara, padahal dia sendiripun bingung, tak tahu apa yang harus diperbuat.
Sementara pembicaraan berlangsung, situasi dipapan catur sudah berubah makin tegang, hanya saja pertarungan yang bisa disaksikan dengan mata telanjang ini, tak bisa melebihi rasa kuatir dikarenakan pertarungan yang kasat mata....
Lengan kanan Lan Toa-sianseng yang saling menempel dengan tangan Thian-huan taysu makin lama mengembang makin besar dan kasar, uap panas pun mulai mengepul dari atas kepalanya.
Sedang Thian-huan taysu makin lama justru semakin tenang, sorot matanya saja makin redup dan sedih, mata sebagai jendela mati mengartikan bahwa meredupnya sinar mata menunjukkan kalau hawa murninya mulai mengalami gangguan.
Bila dua ekor harimau berkelahi, salah satu diantaranya bakal terluka, namun siapapun dari mereka berdua yang terluka, keja dian ini pasti dapat menimbulkan kekalutan dan keonaran dalam dunia persilatan.
Hanya saja, sebelum hasil pertarungan antara kedua orang itu ketahuan, tak seorang manusiapun berani memisahkan mereka secara sembarangan, hal ini dikarenakan siapa pun tidak memiliki tenaga dalam sedemikian sempurna.
Bahkan bagi orang yang memiliki tenaga dalam setara dengan Lan Toa-sianseng maupun Thian-huan taysu pun tak berani bertindak sembarangan, salah salah bukan saja akan melukai kedua orang itu, kemungkinan besar akan melukai pula diri sendiri.
Waktu berjalan sangat lamban, tiba tiba Tian Mong-pek berteriak: "Aku pun akan ikut bernyanyi." "Nyanyian apa yang hendak kau bawakan?" tanya Tiau-yang hujin keheranan.
"Hwesio boleh menyanyikan doa, masa aku tak boleh membawakan sebuah lagu?" Berputar sepasang biji mata Tiau-yang hujin, katanya sambil tertawa ringan: "Daripada kau yang nyanyi, lebih baik biar aku saja." Dia telah menduga kalau Tian Mong-pek ingin menggunakan suara nyanyiannya untuk mengacaukan nyanyian doa.
"Jika hujin ingin bernyanyi, tentu saja hal ini jauh lebih baik." Seru Tian Mong-pek.
Sesudah membenahi rambutnya yang kusut, Tiau-yang hujin pun mulai bersenandung membawakan sebuah lagu.
Suaranya halus dan merdu, walaupun hanya sebuah lagu pendek namun perempuan itu dapat membawakan dengan penuh keindahan.
Ketika semua lagu selesai dibawakan, lagu berikut segera dilanjutkan, lambat laun paras muka perempuan itu berubah jadi semu merah, seakan nyanyian itu membangkitkan kembali kenangan indahnya dimasa remaja dulu.
Benar saja, mimik muka Thian-huan taysu lambat laun kelihatan mulai kalut, dia berpikir lebih lama lagi untuk meletakkan biji caturnya, melihat itu Tian Mong-pek kegirangan, pikirnya: "Kali ini caraku memberikan hasil yang menggembirakan." Siapa tahu, dia segera menyaksikan sinar mata Lan Toa-sianseng jauh lebih kacau, perasaan hati nya semakin tak tenang, bahkan lamat lamat terlihat gejolak perasaan hatinya yang luar biasa.
Orang berbaju kuning itupun pejamkan mata sambil menikmati, tampaknya diapun terbuai oleh suara nyanyian itu.
"Celaka!" pekik Tian Mong-pek dalam hati.
Pemuda ini dasarnya memang berotak cerdas, tiba-tiba saja ia teringat kalau antara Tiau-yang hujin dengan Lan Toa-sianseng sebenarnya merupakan sepasang kekasih selama banyak tahun, hanya dikarenakan pelbagai persoalan, mereka tak sampai mengikat diri dalam satu ikatan tali perkawinan.
Dan kini, walaupun nyanyian Tiau-yang hujin berhasil mengalutkan konsentrasi Thian-huan taysu, tapi merangsang pula gejolak emosi Lan Toa-sianseng, membawanya terjerumus dalam impian lama disaat masih muda dulu.
Akibatnya keadaan jadi terbalik, bukannya menolong, nyanyian itu justru membuatnya makin kalut.
Sementara Tian Mong-pek masih panik, mendadak terdengar suara nyanyian doa mulai kalut, bahkan diantaranya terselip pula jeritan kaget.
Menyusul kemudian terdengar suara bentakan nyaring yang diikuti suara langkah manusia.
"Ji-moay, kau ada dimana?" dari kejauhan terdengar seseorang memanggil dengan suara lengking.
Berubah paras muka Tiau-yang hujin, seketika dia menghentikan suara nyanyiannya.
"Apakah Liat-hwee hujin telah datang?" tanya orang berbaju kuning itu sambil membuka matanya.
Tiau-yang hujin manggut-manggut.
Terdengar dari luar ruangan bergema lagi suara teriakan: "Ji-moay, cepat keluar!" Teriakan itu dari jauh makin mendekat, dalam waktu sekejap telah tiba di halaman belakang.
Terdengar Lan Toa-sianseng mendengus lalu mimik mukanya berubah jadi tenang kembali.
"Omintohud!" bisik Thian-huan taysu pula, sinar matany a kembali terang benderang.
Kedua orang ini mulai memulihkan kembali ketenangannya, sorot mata mereka tertuju ke atas papan catur, terhadap kekacauan didunia luar, mereka seolah tidak melihat dan tidak mendengar.
Tatapan mata Tiau-yang hujin tertuju ke luar pintu, wajahnya kelihatan tegang, ternyata dia tak berani menyahut.
Melihat itu, Tian Mong-pek merasa sangat keheranan, ia tak menyangka kalau perempuan itupun takut dengan seseorang.
Tak lama kemudian terlihat bayangan merah menyelinap masuk dari balik tirai bambu, seorang wanita bersanggul tinggi, berbaju merah menyala, bagaikan segumpal api membara telah muncul dalam ruangan.
Wanita itu mengerling sekejap sekeliling tempat itu, lalu sambil tertawa dingin serunya: "Bagus sekali, ternyata kau dan 52QUfLdU telah mengelabuhi cici dan berpacaran dalam biara hwesio." "Cici, coba lihat, masa keadaan seperti ini mirip tempat berpacaran?" jawab Tiau-yang hujin sambil tertawa paksa.
Perempuan bersanggul tinggi, berjubah merah darah ini meski memiliki raut muka yang sangat mirip dengan Tiau-yang hujin, namun ia memiliki sepasang alis mata yang lebih tebal, sinar mata yang lebih terang dan pancaran cahaya yang lebih benderang.
Dengan tatapan yang tajam dia menyapu sekejap wajah semua orang, lalu katanya: "Kalau bukan datang untuk berpacaran, tidak seharusnya kalian mengelabuhi aku dengan kabur kemari secara diam-diam!" Tiau-yang hujin menghela napas panjang.
"Bagaikan kebakaran janggut &iau-Lan datang mencari aku, mana sempat aku beritahu dirimu" Toaci, masa kau salahkan aku?" "Dia bisa datang mencari kau, mengapa tidak mencari aku?" protes Liat-hwee hujin gusar.
Tiba tiba ia melompat kedepan pembaringan lalu mengebaskan ujung bajunya, membubarkan papan catur itu, teriaknya: 'I, c "Kenapa kalian berdua masih berlagak pilon, ayoh cepat jawab Baik Lan Toa-sianseng maupun Thian-huan taysu sama sama terperanjat, namun telapak tangan kanan mereka masih tetap saling menempel.
Kontan Liat-hwee hujin berteriak keras dengan mata melotot: "Hei hwesio tua, kenapa kau pegangi terus tangan Siau
"Suhu sudah banyak tahun tak pernah turun gunung, mungkin .
. . . .. "Justru karena aku sudah banyak tahun tak pernah turun gunung," tukas Thian-huan taysu, "maka akan kugunakan kesempatan ini untuk jalan jalan, ingin kulihat ada berapa pendekar muda lagi yang bermunculan dalam dunia persilatan." "Bila sudah terjadi sesuatu, seharusnya tecu sekalian yang mewakili, buat apa suhu harus bersusah payah menempuh perjalanan sendiri?" ujar Thian-ki taysu setelah berpikir sebentar.
Berkilat sepasang mata Thian-huan taysu, sahutnya sambil tersenyum: "Dalam urusan ini, kalian tak mungkin bisa mewakili aku, tapi tak usah kuatir, tak bakal ada mara bahaya, kalian tak usah banyak bicara lagi, pergi sana!" Keesokan harinya, ditengah gentangan bunyi lonceng biara, Thian-huan taysu dengan membawa Bu-wi dan Bu-sim taysu berangkat meninggalkan Siau-lim menuju Bu-tong.
Pendeta agung ini sudah belasan tahun tak pernah turun gunung, tentu saja beratus orang anggota biara Siau-lim dibuat tercengang, mereka tak tahu persoalan apa yang memaksa ciangbun suhunya berangkat turun gunung.
Oo0oo Gunung Kun-lun jauh dipinggir perbatasan, luas bukit itu mencapai ribuan li dengan tebing yang tegak lurus dan curam, jauh lebih berbahaya dari Siau-lim maupun Go-bi.
Ditengah hutan lebat diatas bukit, berdiri sebuah pavilion yang berlantai batu geranit dengan atap rumbai daun cemara, dalam pavilion itu duduklah Tian Mong-pek, sang pemuda tampan.
Orang berbaju kuning berdiri disamping tubuhnya, sedang menempelkan sepasang telapak tangan menguruti jalan darah penting disekujur tubuhnya.
Saat itu suasana amat hening, yang terdengar hanya suara angin yang menggoyangkan daun cemara.
Entah berapa lama sudah lewat, mendadak terdengar orang berbaju kuning itu membentak keras: "Sudah!" "Blamm!" dia hantam tulang punggung pemuda itu.
Tian Mong-pek segera merentangkan sepasang lengan, ruas tulangnya segera gemerutuk bagaikan rentetan mercon, wajahnya lebih bercahaya, sinar matanya lebih bening dari air kolam.
"Bagaimana kondisi badanmu sekarang?" tanya orang berbaju kuning itu setelah menatapnya berapa kejap.
"Selama hidup, belum pernah kurasakan senyaman ini." sahut Tian Mong-pek setelah menarik napas dalam dan tertawa.
Kini, ia merasa seluruh tubuhnya dipenuhi tenaga kehidupan, setiap detik setiap menit organ tubuhnya seolah sedang berkembang dan bergairah.
Kata orang berbaju kuning itu lagi sambil tersenyum: "Selama setengah bulan ini, dengan ketat kukendalikan makanan serta cara hidupmu, tujuannya tak lain agar kekuatan tubuhmu bisa terbina hingga mencapai puncaknya, mengerti kau?" Tian Mong-pek menghela napas panjang, sahutnya sambil menundukkan kepala: "Semua pengorbanan cianpwee membuat aku.....
aku . . . . .." Pemuda ini memang tak pandai bicara, ia tak mampu menyelesaikan perkataan itu.
"Duduklah, tak usah buang tenaga," tukas orang berbaju kuning itu lembut, "bakal ada satu pertarungan sengit sedang menanti dirimu, tahukah itu?" Tian Mong-pek menurut dan segera duduk, perasaan terima kasih terpancar dari matanya.
Dengan suara mendalam kembali orang berbaju kuning itu berkata: "Lembah kaisar bisa terkenal selama banyak tahun dalam dunia persilatan, jelas nama itu bukan diperoleh dengan begitu saja, jadi kau tak boleh memandang enteng kekuatan mereka." Kemudian dengan nada suara yang lebih berat, lanjutnya: "Sejak memasuki jalan menuju ke dalam lembah, mara bahaya sudah mengancam disetiap sudut tempat, apalagi setelah berada dalam lembah, hakekatnya hawa pembunuhan menyelimuti empat penjuru, hampir setiap penghuni lembah memiliki ilmu silat yang sangat tinggi." Ia tersenyum, tam bahnya: "Tapi aku telah mewariskan semua ilmu silat tandingan lembah kaisar kepadamu, dengan bakat serta kecerdasanmu, ilmu tersebut pasti dapat kau kuasahi dengan cepat." "Tapi masih ada banyak bagian yang tidak kupahami." "Ilmu silat yang khusus menjebol ilmu silat aliran lembah kaisar merupakan ilmu silat paling hebat dalam dunia persilatan, bukan pekerjaan yang mudah untuk menguasahi kepandaian tersebut dalam waktu singkat macam dirimu." Setelah berhenti sejenak, tambahnya: "Bukan kemampuan silatmu yang aku kuatirkan, melainkan kepolosan serta kejujuranmu, aku tak tahu apakah kau sanggup menghadapi tiga orang tokoh yang paling susah dihadapi dari dalam lembah itu." "Siapakah ke tiga orang itu?" tanya Tian Mong-pek.
"Orang pertama adalah seorang kakek bungkuk, dia paling ramah tapi paling gemar bertaruh, asal kau dapat menangkan taruhan darinya, apapun permintaanmu pasti akan dia kabulkan." Setelah menghela napas, tambahnya: "Kalau gagal menangkan pertaruhan, hanya cukup dia seorang pun sudah sulit bagimu untuk menghadapinya." "Cayhe pasti akan berusaha dengan sekuat tenaga." Orang berbaju kuning itu manggut-manggut.
"Orang ke dua adalah seorang nyonya setengah umur, perempuan ini paling suka berdebat mulut, asal kau mampu mengalahkan ketajaman mulutnya, perempuan inipun tak akan menyusahkan dirimu!" Tian Mong-pek segera tersenyum, ujarnya: "Walaupun cayhe tak pandai jilat pantat atau tekebur, namun belum pernah kalah bila harus berdebat melawan orang lain, jadi cianpwee tak usah kuatir." "Bagus sekali." sahut orang berbaju kuning itu sambil tersenyum.
"Lantas siapakah orang ke tiga?" tanya Tian Mong-pek kemudian.
"Orang ke tiga yang susah dihadapi adalah Siau Man-hong, perempuan yang pernah kau jumpai itu, orang ini cerdas, aneh dan banyak akal, siasat busuk macam apapun dapat ia gunakan." "Ehm, orang ini memang agak susah untuk dihadapi." "Apabila kau berhasil melewati ke tiga orang itu, kemungkinan besar sudah tak ada masalah lagi, kalau tidak, kau bisa gunakan benda pengenal ku ini, mereka pasti akan mengajakmu pergi menjumpai sang Kokcu." Setelah berhenti sejenak, tambahnya: "Oleh sebab itu, begitu tiba dalam lembah, paling baik jika kau segera tunjukkan tanda pengenalku, sudah pasti mereka tak akan menyusahkan dirimu lagi." Berkilat sepasang mata Tian Mong-pek, sambil bangkit berdiri serunya: "Kalau begitu sekarang juga aku berangkat." orang berbaju kuning itu tersenyum.
"Akupun tahu kalau keinginanmu ke sana seperti orang menghadapi kebakaran, kalau begitu berangkatlah segera!" Tiba tiba paras muka Tian Mong-pek berubah jadi amat sedih, katanya sambil tundukkan kepala: "Setelah kepergianku, jika dalam tiga hari belum juga kembali, cianpwee pun tak usah menunggu lagi." Tiba tiba ia menjatuhkan diri berlutut, menyembah berapa kali, kemudian balik badan dan lari pergi.
"Tunggu sebentar!" bentak orang berbaju kuning itu.
"Masih ada pesan apa lagi cianpwee?" tanya Tian Mong-pek seraya berpaling.
"Biar aku menghantarmu." Waktu itu langit sudah mulai gelap, angin dingin berhembus kencang, mendatangkan suasana yang menegangkan diseluruh jagad.
Orang berbaju kuning itu berjalan mendampingi Tian Mong-pek menelusuri jalan setapak yang curam, setelah berjalan sekian lama, tiba tiba tanyanya: "Kau masih ingat jalan masuk kemari?" "Masih!" "Lebih baik kau ulangi sekali lagi." "Mengitari batu hitam, jangan menginjak batu putih, bertemu patung yang II membawa pedang, berputar mengikuti tunjukkan ujung pedang .
. . . . . .. "Selain itu?" "Bertemu tulisan yang terukir di batu hitam, taati semua perintahnya dan jangan membangkang.
Bertemu tulisan yang terukir di batu putih, kau harus abaikan semuanya." "Betul sekali." Orang berbaju kuning itu manggut-manggut.
Sambil menatap tajam wajah pemuda itu, sepatah demi sepatah kata tambahnya: "Kau tak boleh melanggar setiap patah kata itu, bila salah langkah, kematian segera akan kau hadapi." "Cayhe tak bakal melanggarnya." "Di depan sana ada jalan menuju ke dalam lembah." Kata orang berbaju kuning itu kemudian sambil menuding ke depan.
Mengikuti arah yang ditunjuk, Tian Mong-pek saksikan sebuah tebing dengan jurang yang sangat dalam, antara dua tebing terhubung dengan sebuah jembatan kayu yang lebarnya hanya tujuh inci.
Jarak antara kedua tebing selebar lima puluhan tombak, dibawahnya merupakan sebuah jurang yang tak nampak dasarnya, bukan saja diselimuti kabut tebal, batu yang dilempar ke bawah pun tak terdengar gaungnya.
Walaupun Tian Mong-pek sudah tahu kalau jalan menuj u lembah penuh rintangan berbahaya, tak urung dia menarik napas dingin juga setelah menyaksikan medan yang terbentang didepan mata, peluh dingin mulai membasahi jidatnya.
"Bagaimana" Saat ini, apakah kau masih punya keberanian untuk memasuki lembah itu?" tanya orang berbaju kuning itu.
Sambil busungkan dada, Tian Mong-pek tertawa nyaring.
"Mati saja tidak takut, apa lagi yang harus kutakuti?" jawabnya.
Ditengah gelak tertawa, dia sudah melangkah ke atas jembatan kayu itu.
Selangkah demi selangkah pemuda itu berjalan meniti diatas jembatan kayu, hembusan angin dingin mengibarkan rambut serta ujung bajunya, asal sedikit saja meleset, dia bakal terjatuh ke dalam jurang dan mati dengan tubuh hancur lebur.
Baru berjalan setengah jalan, mendadak angin kencang berhembus lewat, kakinya langsung tergelincir, tubuhnya tiba tiba terjatuh ke samping.
Orang berbaju kuning itu menjerit kaget, kepalanya terasa pening, nyaris dia jatuh pingsan.
Tampak pemuda itu segera bersalto ditengah udara, dengan tangan mencengkeram tepi jembatan, ia tarik badannya ke depan, lalu meluncur turun persis ditepi seberang.
Diam diam orang berbaju kuning itu menghembuskan napas lega, meski begitu, tak urung peluh dingin sempat membasahi punggungnya.
Terdengar Tian Mong-pek berteriak dari tepi seberang: "cianpwee, aku pergi dulu!" Tubuhnya berputar, langsung menerobos ke balik kabut tebal yang menyelimuti permukaan tanah.
Memandang hingga bayangan tubuhnya lenyap dari pandangan, orang berbaju kuning itu baru melambung ke udara secara tiba tiba dan melayang bagaikan seekor burung elang.
Bersamaan waktu, dari balik bebatuan cadas tampak dua sosok bayangan berkelebat dan ikut melambung ke udara.
Ke tiga sosok bayangan manusia itu saling memberi tanda di udara, kemudian secepat petir melesat ke arah sisi kiri.
Waktu itu, Tian Mong-pek sudah meneruskan perjalanannya.
Ditengah kabut yang menyelimuti permukaan tanah, dia melangkah dengan sangat hati-hati, sama sekali tak berani gegabah.
Lewat berapa saat kemudian, jalanan dihadapannya bercabang dua.
Jalan pertama penuh bertaburkan batu granis berwarna putih, jalannya datar dan rata, kedua sisi jalan ditumbuhi aneka pohon dan bunga yang tertata rapi, bau harum semerbak terendus dari arah sana.
Sedang jalan kedua terbuat dari batu granit warna hitam, jalannya berliku tak rata dan mengarah ke sebuah hutan lebat yang tampak gelap, bukan saja jalannya berliku dan naik turun, bahkan dari balik hutan terendus bau busuk dari tanah lembab yang menusuk penciuman.
Tanpa ragu Tian Mong-pek berbelok ke jalan berlapis granit hitam itu dan menembusi hutan.
Semakin dalam memasuki hutan itu, sinar yang masuk tampak semakin redup dan samar, menembusi jalan bergranit hitam itu seolah sedang berjalan menembusi neraka jahanam.
Tian Mong-pek tak ambil peduli, dia berjalan terus menembusi keremangan, akhirnya medan dihadapannya terasa melebar dan lebih terang.
Ujung hutan merupakan sebuah tanah perbukitan yang datar, sebuah jalanan berlapis batu granit hitam membentang menuju ke dataran rendah, sepasang jalan berjajar patung patung dewa terbuat dari batu.
Sambil berjalan, pemuda itu menikmati patung patung itu, ada patung yang mirip panglima berkuda, ada pula yang berpakaian militer lengkap, semuanya terukir sangat indah dan hidup.
Tian Mong-pek melanjutkan perjalanan dengan lamban, dia merasa seolah sedang menembusi kerumunan kaum pendekar dan orang gagah yang sedang mengadakan pertemuan, patung patung itu ada yang memandangnya sambil tertawa, ada pula yang sedang menatap gusar.
Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 5 Wiro Sableng 173 Roh Jemputan Perjalanan Ke Akhirat 2

Cari Blog Ini