03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 1
Buku 51 Api di Bukit Menoreh "AGAKNYA Prastawa ada di rumah," desis Agung Sedayu.
"Ya," jawab Sekar Mirah, "ia baru datang malam ini."
Prastawa menjadi semakin gelisah.
"Bersama anak ini?" Agung Sedayu melanjutkan.
"Ya," berkata Sekar Mirah selanjutnya, "anak ini ingin
menjemput aku dan membawa pergi ke rumahnya."
Dahi Agung Sedayu menjadi berkerut-merut karenanya.
Namun Sekar Mirah segera berkata, "Tetapi kami, maksudku,
Ki Argajaya dan seisi rumah ini, mengharap ia tinggal di sini
bersama putera Ki Argajaya itu."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Perlahan-lahan ia bertanya, "Apakah anak itu sudah
menyatakan keinginannya untuk kembali ke rumah ini?"
"Ya. Ia sudah amat merindukan keluarganya," jawab Sekar
Mirah. "Tetapi ia tidak berani memasuki rumah ini lewat pintu
depan, karena para pengawal ada di halaman dan kebun
belakang rumah ini."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
ia ma"sih belum mengerti, bagaimana anak itu dapat
memasuki rumah ini tanpa diketahui oleh para pengawal.
Tetapi agaknya pemimpin pengawal itu tidak sekedar
ber"tanya-tanya di dalam hati, karena pertanyaan itu
kemudian diucap"kannya, "Dari mana ia memasuki rumah
ini?" "Ada dua kemungkinan," jawab Sekar Mirah, "demikian
hebatnya kedua anak-anak muda ini, atau para pengawal
telah tertidur semuanya."
Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Katanya,
"Kami selalu bersiaga di halaman."
Sekar Mirah tersenyum. "Tetapi suatu kenyataan. Anak itu
telah berada di dalam rumah ini."
Pemimpin pengawal itu dan Agung Sedayu saling
berpan"dangan sejenak.
"Tetapi kenapa anak ini akan berlari?" bertanya Agung
Sedayu tiba-tiba. Sekar Mirah terdiam sejenak, namun kemudian ia
menjawab, "Ia tidak yakin, bahwa ia dapat diterima oleh
keluarga ini. Bahkan ia ingin membawa aku bersamanya."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya
anak muda yang berdiri temangu-mangu itu.
"Tetapi jangan marah kepadanya," Sekar Mirah
melanjutkannya, "mungkin sudah terlampau lama ia
ditinggalkan kekasihnya, sehingga ia menjadi salah lihat. Aku
sudah menawarkan, apakah ia bersedia menjadi adikku,
karena aku hanya mempunyai seorang saudara laki-laki."
Anak muda itu masih berdiri dengan tegangnya. Sedang
Agung Sedayu memandanginya dengan hampir tidak
mengedipkan matanya. Namun akhirnya Sekar Mirah berkata, "Yang penting
kemudian, apakah kehadiran Prastawa dapat diterima seperti
kehadiran Ki Argajaya di antara para pemimpin Menoreh yang
lain, dalam hubungannya dengan pengampunan umum
bersama-sama kawannya ini apabila ia bersedia?"
Agung Sedayu berpaling kepada pemimpin pengawal itu.
Katanya, "Aku tidak tahu apakah jawabnya?"
"Aku melihat betapa besar kerinduan yang bergolak di
dalam dada Ibu dan anak. Juga di dalam dada Ki Argajaya.
Apa"kah kalian sampai hati untuk memisahkannya kembali?"
Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Lalu
ka"tanya, "Itu bukan hakku. Aku akan menyampaikannya
kepada Ki Argapati, sementara anak itu berada di dalam
pengawasan kami di sini. Tetapi aku sendiri juga mempunyai
anak. Aku da"pat mengerti arti perpisahan yeng lama antara
orang tua dan anaknya. Namun pengampunan itu berada di
luar kekuasaanku." "Ki Argapati akan mengampuninya," desis Agung Se"dayu.
"Aku condong pada pendapat itu. Aku harap keluarga ini dapat
segera pulih kembali."
Tidak seorang pun yang menyahut, sehingga ruangan itu
dicengkam oleh kesenyapan. Hanya wajah-wajah yang tegang
sajalah yang saling memandang berganti-ganti.
Ketika Nyai Argajaya berpaling ke arah Prastawa, maka
di"lihatnya anak muda itu menundukkan kepalanya dalamdalam.
Suara Agung Sedayu pulalah yang kemudian memecahkan
kesenyapan. "Aku akan ikut berusaha, agar semuanya dapat
segera kembali seperti sediakala. Tanah Perdikan Menoreh,
dan setiap keluarga yang selama ini terpecah-belah. Mungkin
oleh ketakutan sehingga mereka mengungsi tercerai-berai,
mungkin karena sudut pandangan yang berlainan. Mungkin
oleh sebab-sebab yang lain."
Tidak seorang pun yang menjawab. Semuanya masih
diam, seakan-akan membeku di tempatnya.
Agung Sedayu pun kemudian terdiam pula. Sehingga
dengan demikian ruangan itu kembali menjadi sepi. Hanya
desah-desah nafas sajalah yang terdengar bersahut-sahutan.
Dalam pada itu, Prastawa yang menundukkan kepalanya
itu pun seakan-akan mendapat kesempatan untuk mengerti
tentang dirinya sendiri selama ini. Seakan-akan terbayang di
kepalanya, dirinya sendiri dan beberapa orang kawankawannya
berkeliaran tidak menentu. Mereka sama sekali
tidak mempunyai tujuan apa pun dengan segala macam
perbuatan mereka, selain melepaskan dendam.
"Apakah hal itu akan bermanfaat untuk dipertahankan lebih
lama lagi?" pertanyaan itu melonjak di dalam dadanya.
Selagi ia dibayangi oleh masalah-masalah yang telah
mendebarkan jantungnya, tiba-tiba saja terdengar suara
ibunya, "Prastawa, apakah kau sudah menemukan keputusan
yang mantap. Tidak ragu-ragu?"
Prastawa mengangkat wajahnya. Sejenak ditatapnya wajah
ayahnya yang sedang memandanginya pula. Tiba-tiba dari
sela-sela bi"birnya terdengar suaranya lambat sekali.
"Maafkan aku, Ayah."
"Prastawa," Ibunya hampir memekik.
"Aku menyadari kesalahanku. Bagaimana pun juga, aku
berhadapan dengan orang tuaku."
Ki Argajaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
Nyai Argajaya tidak dapat menahan perasaan yang melonjak
di dadanya. Tiba-tiba ia berlari ke arah anak muda itu. Seperti
anak-anak yang sedang tumbuh, dipeluknya Prastawa sambil
menitikkan air matanya. Katanya, "Kau memang harus
kembali padaku, Ngger. Kau tidak boleh pergi berkeliaran
tidak menentu." Prastawa tidak menjawab. Kepalanya tertunduk di dalam
pelukan ibunya. Tetapi matanya pun menjadi basah
karenanya. Sekar Mirah yang berdiri di pringgitan menarik nafas dalamdalam.
Sekilas dipandanginya Agung Sedayu yang membeku
di samping pemimpin pengawal yang mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Aku tidak akan pergi lagi, Ibu," desis Prastawa. "Meskipun
seandainya Paman Argapati tidak memaafkan aku. Aku akan
mengangkat wajahku untuk menerima segala macam
hukumanku." "Kami, aku dan ayahmu akan mohon kepadanya, agar kau
mendapat kesempatan hidup di antara kami," suara Nyai
Argajaya menjadi parau. Prastawa tidak menyahut. Ketika perlahan-lahan ibunya
melepaskan pelukannya, anak muda itu mengusap matanya
yang kemerah-merahan. Dalam pada itu, anak muda kawan Prastawa yang masih
berdiri termangu-mangu itu tiba-tiba meyadari keadaannya.
Dengan na"nar ia memandang berkeliling. Di muka pintu
berdiri Agung Sedayu dan pemimpin pengawal. Di samping
pintu dalam, Sekar Mirah menimang-nimang pedang yang
dirampas dari tangannya, meskipun kepalanya menunduk,
sedang di ruang dalam terdiri Ki Argajaya dan orang tua yang
disebut ayah Sekar Mirah. Agak jauh masuk ke dalam,
Prastawa dan ibunya. Dalam keragu-raguan itu ia mendengar, "Bagaimana
dengan kau?" Anak muda itu terkejut. Dilihatnya Agung Sedayu
melang"kah maju sehingga tanpa disadarinya, ia pun mundur
setapak. "Aku harap kau pun dapat menilai keadaan. Kalau kau
masih menganggap bahwa perjuanganmu sekarang ini masih
per"lu dilanjutkan, maka kau adalah seorang pemimpi yang
malang. Bukan saja karena kau sudah kehilangan kekuatan,
tetapi yang lebih parah lagi, kau sudah kehilangan tujuan."
Agung Sedayu berhenti sejenak. Lalu, "Apakah kau masih
akan berpikir?" Anak muda itu tidak menjawab.
"Sedang saat yang kau hadapi kini pun tidak akan dapat
kau atasi, apa yang dapat kau lakukan saat ini?"
Anak muda itu masih berdiam diri.
"Kalau kau masih dapat berpikir bening, sebaiknya kau
menyerah. Sudah tentu perlakuan atasmu berbeda dengan
perlakuan atas Prastawa. Tetapi kau pun pasti akan mendapat
ke"sempatan, seperti yang pernah diumumkan oleh Ki
Argapati, bahwa Ki Argapati akan memberikan pengampunan
kepada me"reka yang menyadari keadaan mereka, sejauh itu
tidak berbahaya bagi Menoreh. Nah, pertimbangkan."
Anak itu sama sekali tidak menjawab.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Pilihlah. Apakah kau akan kami bawa sebagai
seorang yang menyerah dan menyadari keadaan, atau kau
harus kami tangkap dan kami bawa ke padukuhan induk
Tanah Perdikan ini sebagai tawanan?"
Wajah anak itu menjadi tegang, ia sedang berjuang di
antara kenyataan yang dihadapinya dan harga dirinya sebagai
se"seorang yang menganggap dirinya seorang pejuang yang
tidak ingkar. "Pilihlah," desis Agung Sedayu.
Namun wajah itu pun kemudian mengendor. Dari sela-sela
bi"birnya terdengar suaranya dalam, "Aku menyerah."
Agung Sedayu, pemimpin pengawal, dan Sekar Mirah
meng"anggukkan kepalanya. Mereka merasa, bahwa jalan
yang akan ditempuh oleh Ki Argapati akan menjadi semakin
lancar untuk memulihkan kembali Tanah yang sudah
tersobek-sobek dari dalam itu sendiri.
Malam yang kelam menjadi semakin kelam. Dingin telah
merasuk sampai ke tulang. Namun beberapa wajah telah
dihiasi dengan senyum yang bening.
(***) BAG. IV YANG SEDANG TUMBUH PAGI yang cerah telah membangunkan Tanah Perdikan
Menoreh yang sedang lelap. Perlahan-lahan mulailah
kehidupan yang berlangsung dari hari ke hari. Setiap kali lebih
sibuk dari hari yang kemarin, karena tanah-tanah yang kering
telah mulai di"airi, sawah yang tidak digarap, telah mulai
dicangkul, dan pasar-pasar telah mulai terisi oleh para
pedagang yang selama ini bersembunyi di pengungsiannya.
Ketika matahari menebarkan sinarnya di lambung
pegunung"an, pedati yang memuat bahan-bahan makanan
telah mulai mengalir ke pusat-pusat perdagangan di
padukuhan-padukuhan yang berserakan di sepanjang tanah
Perdikan yang mulai sembuh dari luka-lukanya, akibat perang
yang berkecamuk di antara keluarga sendiri.
Sekelompok demi sekelompok, sisa-sisa pasukan Sidanti
telah kembali memenuhi panggilan Ki Argapati. Apalagi
setelah Pras"tawa hilang dari lingkungan mereka. Maka
gerombolan-gerombolan yang semula merasa, bahwa satusatunya
jalan adalah menumbuhkan pe"rasaan takut, ngeri,
dan penyebaran pembalasan dendam, mulai menyadari
keadaan mereka, bahwa mereka masih mungkin
me"nemukan jalan kembali ke dalam kehidupan yang wajar,
tidak seperti rusa yang sedang diburu di tengah-tengah
semak-semak yang rimbun, yang selalu dibayangi oleh
ketakutan dan kecemasan. Betapapun lambatnya namun pasti, bahwa luka Ki Argapati
pun akan sembuh pula. Tetapi ada sesuatu yang berada di
luar kemampuan manusia, bahwa Ki Argapati tidak dapat pulih
kembali seperti sediakala. Betapa pun dukun tua yang
bernama Ki Tanu Metir berusaha, namun pada akhirnya ia
hanya dapat mengucap sukur kepada Tuhan, bahwa Ki
Argapati masih juga dapat sembuh dari luka-lukanya,
meskipun ada sesuatu yang telah diambil daripadanya. Kaki
kiri Ki Argapati seakan-akan telah mengalami kelumpuhan
karena urat-urat yang terputus oleh luka-lukanya. Sedang
tangan kirinya pun mengalami kelemahan yang meskipun
tidak separah kakinya, namun tangannya itu tidak lagi dapat
bergerak leluasa. "Tuhan telah mengutukku," desisnya setiap kali. "Aku
ternyata tidak mampu mengendalikan Tanah yang
dipercayakan kepadaku sebaik-baiknya. Kini Tanah ini telah
menjadi tenang. Te"tapi seperti tanah ini, maka tubuhku pun
tidak dapat pulih se"perti sediakala."
Meskipun demikian, Ki Argapati tidak menjadi putus-asa. Ia
tidak menyesali nasibnya dengan keluhan-keluhan yang
cengeng. Meskipun kaki dan tangannya tidak dapat pulih
kembali, namun ia masih selalu berada di punggung kudanya,
mengelilingi Tanah Perdikan Menoreh yang telah mulai hijau
kembali. Tanah yang membentang dari perbukitan di sebelah
Barat sampai ke daerah-daerah yang berhutan di sebelah
Barat Kali Praga, rasa-rasanya sudah mulai hidup kembali.
Dengan bimbingan Ki Argapati, maka Tanah Perdikan
Me"noreh mulai mengobati diri mereka. Mereka mulai
menyembuhkan luka-luka yang agak parah sedikit demi
sedikit. Demikian juga dendam yang selama ini tersebar di atas
Ta"nah itu pun sedikit demi sedikit mulai mencair dari setiap
dada. Terutama anak-anak mudanya, yang semula terbagi di
dua pihak. Meskipun masih ada satu dua yang mengeraskan hatinya
di dalam kesesatan, namun pada umumnya Tanah Perdikan
Me"noreh sudah menjadi baik. Seperti juga Ki Argapati yang
menjadi baik. Namun di dalam lubuk hatinya paling dalam,
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
maka masih juga terdapat cacat seperti cacat pada tubuh Ki
Argapati. Ki Argajaya, adik Ki Argapati, telah dapat menampakkan
dirinya kembali di antara rakyat Menoreh. Karena
kesungguhannya, serta seluruh keluarganya ikut membangun
Tanah yang sudah hampir menjadi abu itulah, maka perlahanlahan
ia mendapatkan tempatnya kembali sebagai adik
seorang Kepala Tanah Perdikan.
Perlahan-lahan, seperti pertumbuhan Tanah Perdikan itu,
tumbuh dan mekar pulalah perasaan yang tersimpan di dada
gadis satu-satunya dari Kepala Tanah Perdikan itu. Putera Ki
Demang Sangkal Putung, ternyata lambat-laun mendapatkan
tempat di hatinya. Sifatnya yang gembira dan terbuka, telah
membuat Pandan Wangi sedikit demi sedikit melupakan
kepahitan yang bertimbun-timbun telah menimpanya.
Dengan sadar, Agung Sedayu berusaha untuk tidak
mengganggu hubungan yang sedang mekar di hati kedua
anak-anak muda itu. Apalagi Sekar Mirah untuk sementara
masih juga berada di atas Tanah Perdikan itu. Sedang kedua
orang-orang tua, Kiai Gringsing dan Sumangkar, seperti
gembala-gembala yang sedang tekun menunggui dombadomba
gembalaan mereka, masih juga berada di Menoreh.
Selain menunggui murid-murid mereka, maka kedua orang tua
itu pun dapat menjadi kawan bercakap-cakap yang mapan
bagi Ki Argapati. "Kalau kalian tinggalkan kami, maka aku akan kehilangan
kawan berbicara di sore hari," berkata Ki Argapati kepada
mereka berdua. Keduanya tersenyum. Kiai Gringsing pun kemudian
menjawab, "Apakah tidak ada orang tua di atas Tanah
Perdikan ini?" "Mereka terlampau tua untuk bercakap-cakap tanpa arti,"
jawab Ki Argapati sambil tersenyum. "Mereka sukar untuk
berbicara tentang bermacam-macam persoalan yang tidak
menegangkan urat syaraf, namun bermanfaat bagi
pengalaman pengenalan kita atas kehidupan di sekitar kita.
Mereka, orang-orang tua di Meno"reh hanya senang
berbicara tentang air, padi yang sedang tumbuh, bintang
Gubuk Penceng, bintang Waluku dan bintang Panjer saja."
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tertawa. Berkata Ki
Su"mangkar, "Itu pertanda bahwa mereka adalah petanipetani
yang rajin. Petani-petani yang tekun di dalam kerja.
Kawan mereka yang terdekat adalah air, musim, dan bintangbintang
yang memberikan petunjuk kepada mereka, kapan
mereka harus memulai musim tanam padi, musim tanam
palawija, dan musim-musim yang lain, termasuk musim
mencari ikan di sungai Praga."
"He, kau pandai juga membaca pertanda bintang?"
"Aku juga seorang petani."
"Petani di istana Kepatihan Jipang."
Sumangkar tertawa. "Aku petani, juru masak, dan sekaligus
pemomong di Kepatihan."
"Jabatan rangkap yang sukar dikerjakan bersama-sama."
Ketiga orang tua-tua itu tertawa. Di dalam kepala mereka
ter"lintas kenangan masa silam mereka. Terutama
Sumangkar. Namun, meskipun ia tertawa seperti anak-anak
yang mendapatkan permainan, namun terasa desir yang halus
telah menyengat dada"nya. Kenangan itu sebenarnya tidak
begitu menyenangkannya. Tetapi perasaan itu sama sekali
tidak berkesan di wajahnya.
Dalam pada itu, Kiai Gringising pun kemudian berkata,
"Tetapi bagaimana pun juga, akan datang saatnya, kami minta
diri." "Ya, aku pun menyadari. Tetapi sudah tentu tidak besok
atau lusa." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Terkilas
sesu"atu di dalam angan-angannya, tetapi ia tidak
mengatakannya. Di luar rumah, Pandan Wangi duduk di bawah sejuknya
pepohonan di kebun belakang. Di sebelahnya, seorang anak
muda yang gemuk duduk bersandar sebatang pohon
melandingan. Mereka tampaknya sedang asyik bercakap-cakap.
Mempercakapkan diri mereka sendiri. Sedang di dalam dada
mereka, api cinta telah mulai menyala.
"Setiap saat guru dapat membawa aku pergi, Wangi," kata
Swandaru. "Kapan, Kakang?" bertanya Gadis itu.
"Aku tidak tahu," berkata Swandaru, "tetapi aku mengharap
tidak segera." Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi tatapan matanya
jauh menusuk bayangan dedaunan yang menari-nari di atas
tanah yang kering. "Tetapi sebelum aku meninggalkan Tanah Perdikan ini, aku
akan minta guruku, mewakili ayah dan ibuku, untuk sementara
menyampaikan lamaranku, sampai pada saatnya ayah dan
ibuku sendiri akan aku minta datang kepada ayahmu."
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
"Aku harap bahwa pada suatu saat kau pun dapat melihat
Kademangan Sangkal Putung. Meskipun tidak sebesar Tanah
Perdikan ini, tetapi Sangkal Putung adalah daerah yang subur
dan kaya raya." "Aku ingin sekali melihat daerah itu," berkata Pandan
Wangi. "Apakah Sangkal Putung sudah tidak pernah diganggu
oleh gerombolan-gerombolan seperti yang pernah kau
ceriterakan kepadaku?"
Swandaru menggelengkan kepalanya. "Tidak. Sejak
mereka dihancurkan di padepokan Tambak Wedi, maka tidak
ada lagi gangguan yang berarti bagi kademangan itu."
Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Apakah Sangkal Putung memiliki sawah yang luas?"
"Ya, amat luas sawah dan pategalan. Dari ujung sampai ke
ujung, Sangkal Putung tampak hijau segar."
"Aku pasti akan senang sekali," desis Pandan Wangi.
"Orangnya pun cukup ramah dan baik seperti orang-orang
Tanah Perdikan Menoreh."
"O. Menyenangkan sekali."
"Dan kau akan tinggal di daerah itu kelak."
Tetapi Pandan Wangi pun kemudian mengerutkan
kening"nya. Tiba-tiba saja sorot matanya menjadi buram.
"Tetapi," suaranya menurun, "apakah kelak aku harus
meninggalkan Tanah Perdikan ini?"
"Aku mempunyai kewajiban atas Kademangan Sangkal
Putung," jawab Swandaru. "Aku akan menggantikan ayah
yang menjadi semakin tua."
"Aku mengerti. Tetapi bagaimana dengan Tanah ini" Ayah
pun menjadi semakin tua, dan aku adalah satu-satunya
anaknya." Kening Swandaru pun berkerut pula. Tanpa sesadarnya ia
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera
dapat men"jawab. Ia mengerti kerisauan perasaan gadis itu.
Kalau ia men"jadi isterinya kelak, gadis itu wajib mengikutinya
ke Sangkal Putung. Tetapi sebagai satu-satunya anak Kepala
Tanah Perdikan ini, ia akan menggantikan ayahnya.
Suaminyalah yang kelak harus menjadi Kepala Tanan
Perdikan ini. Tetapi bakal suaminya yang gemuk itu
mempunyai kewajiban sendiri atas tanah kela"hirannya.
"Tetapi jangan hiraukan semuanya itu," berkata Swan"daru
kemudian. "Kita akan dirisaukan oleh masalah yang masih
akan datang kelak. Jangan hiraukan supaya hati kita tidak
risau kali ini. Pada saatnya kita pasti akan menemukan cara,
bagaimana kita akan memecahkan masalah ini."
Pandan Wangi menganggukkan kepalanya.
"Sekarang kita hanya akan membuang-buang waktu saja.
Senyum kita akan terganggu oleh masalah-masalah yang
masih jauh. Jangan hiraukan."
Pandan Wangi pun kemudian tersenyum pula. Kini ia sudah
mengenal anak yang gemuk itu agak lebih baik lagi. Swandaru
tidak mau diganggu oleh angan-angan yang suram. Ia ingin
menikmati keriangan hari ini. Dan itu dapat menghiburnya di
saat-saat kepe"dihan menyentuh jantungnya.
"Kenapa kita mesti bermuram hati?" berkata Swandaru
setiap kali. "Lihatlah langit yang cerah. Hati kita pun harus
cerah pula karenanya."
Dan Pandan Wangi pun berusaha untuk menyesuaikan
diri"nya. Perlahan-lahan ia menemukan kegembiraannya
kembali. Kini ia sudah mulai berkeliaran lagi di hutan-hutan
perburuan. Tidak sendiri, tetapi bersama-sama dengan
kawan-kawannya yang agaknya sesuai dengan keadaannya.
Kadang-kadang, Pandan Wangi pergi berburu ber"sama
Swandaru, Sekar Mirah, dan Agung Sedayu. Namun ka"dangkadang
ia hanya berdua saja dengan anak muda yang gemuk
itu, meskipun dalam waktu yang sangat terbatas sekali,
karena Ki Argapati selalu mengawasi mereka, meskipun tidak
mengekang terlampau keras. Juga Kiai Gringsing, tidak
pernah membiarkan keduanya lepas dari pengawasannya,
karena apabila Swandaru tergelincir bersama Pandan Wangi,
karena gelora remaja mereka, maka semua hubungan yang
baik itu pun akan menjadi rusak karenanya. Ki Argapati pasti
menganggap muridnya sebagai seorang anak muda yang
kurang menghargai hubungan yang dianggap suci menjelang
terjalinnya suatu keluarga.
Diketahui atau tidak diketahui, Swandaru selalu tidak
per"nah lepas dari pengamatan dukun tua itu.
Hubungan kedua anak-anak muda itu pun sama sekali
tidak lepas dari pengamatan Argapati. Sebagai seorang ayah
ia mengerti, betapa di hati anaknya sedang tumbuh perasaan
seorang gadis dewasa. Ia menyadari bahwa Pandan Wangi
dan Swandaru Geni telah saling mencintai.
Dan Ki Argapati tidak berkeberatan atas cinta yang sedang
bersemi itu, meskipun belum seorang pun yang pernah
menyata"kannya kepadanya, sebagai seorang ayah.
Karena Swandaru mempunyai kesibukan sendiri, maka
Agung Sedayu pun mengisi waktunya dengan kesibukannya
sendiri. Kadang-kadang ia bersama Sekar Mirah mengikuti Ki
Argapati menge"dari tlatah Menoreh yang sedang
membangun, diiringi oleh para pemimpin Menoreh yang lain.
Namun kadang-kadang ia pergi seorang diri mengikuti Ki
Argapati tanpa pengawal. Sedang di saat yang lain, Agung
Sedayu berpacu di jalan-jalan yang berbatu padas, di lerenglereng
bukit bersama Samekta atau Kerti. Bahkan kadangkadang
Agung Sedayu, hanya berdua saja bersama Sekar
Mirah menjelajahi sawah dan pategalan.
Dengan demikian, maka kedua anak-anak muda itu rasarasanya
bukan lagi orang asing di Tanah Perdikan Menoreh.
Setiap orang Tanah Perdikan Menoreh mengenal mereka
berdua. Setiap orang Tanah Perdikan Menoreh menghormati
keduanya sebagai orang yang berjasa bagi Tanah Perdikan
ini. Bahkan, anak-anak muda yang sebaya dengan Agung
Sedayu sambil berkelakar menyebut mereka berdua sebagai,
Sepasang Orang Berkuda. Agung Sedayu dan Sekar Mirah hanya tertawa saja
men"dengar sebutan itu. Bahkan Agung Sedayu sering
berdesis kepada Sekar Mirah, "Lain kali, kalau Adi Swandaru
sudah tidak terlampau sibuk dengan masalahnya, dan kedua
anak-anak itu sering berpacu di sepanjang jalan-jalan Tanah
Perdikan Menoreh, akan tum"buh sebutan baru bagi kita
semua." "Sebutan apa kira-kira itu, Kakang?" bertanya Sekar Mirah.
"Dua pasang Orang-orang Berkuda."
Sekar Mirah tertawa. Katanya kemudian, "Tetapi mereka
tidak akan sempat melakukannya."
"Sekarang. Tetapi pada suatu saat, mereka pasti akan
tertarik. Apalagi Pandan Wangi adalah satu-satunya anak Ki
Argapati." Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya.
Pandan Wangi adalah satu-satunya pewaris Tanah Perdikan
ini." Namun demikian, di saat-saat terakhir, Ki Argapati banyak
berbicara mengenai Tanah Perdikan ini justru dengan Agung
Sedayu, selain dengan pemimpin-pemimpin Menoreh sendiri.
Ki Argapati sangat menghargai pikiran-pikiran Agung Sedayu
yang mantap, yang dapat memberikan jawaban atas kesulitan
yang berkembang di saat-saat Menoreh sedang
menyembuhkan dirinya sendiri.
"Kedua murid Kiai Gringsing ini memang agak berbeda,"
berkata Ki Argapati di dalam hatinya. "Namun nampaknya
Agung Sedayu agak lebih bersungguh-sungguh dari
Swandaru. Anak ini mempunyai daya pikir yang luar biasa
kuatnya. Pantas, kalau ia adalah adik dari Panglima Pajang
yang berkuasa di daerah Selatan, Untara."
Meskipun demikian, Ki Argapati sama sekali tidak kecewa
terhadap Swandaru. Katanya kepada diri sendiri, "Anak muda
yang gemuk ini mempunyai kegembiraan dan kemampuan
menye"suaikan diri dengan keadaan, meskipun agak
terlampau didorong oleh perasaannya. Tetapi ia adalah
seorang anak muda yang kuat dan terbuka."
Karena itulah, maka ketika pada suatu saat, Kiai Gringsing
atas permintaan Swandaru menyampaikan permohonannya
kepada Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan itu tidak terkejut
lagi. "Maaf, Ki Gede. Agaknya aku terlampau berani
menda"hului ayah dan ibu muridku. Tetapi anggaplah bahwa
apa yang aku sampaikan itu sekedar pemberitahuan, bahwa
ada hasrat dari Swandaru, untuk meminang puteri Ki Gede.
Pada suatu saat, tentu ayah dan ibunya akan datang
mengunjungi Tanah Perdikan Menoreh ini."
Ki Argapati tersenyum. Katanya sambil menganggukanggukkan
kepalanya. "Aku mengerti. Dan aku tidak akan
dapat berbuat lain kecuali mengijinkan anakku memilih bakal
suaminya sendiri." "Terima kasih," sahut Kiai Gringsing. "Muridku akan sangat
berterima kasih pula."
"Aku mengenal muridmu yang gemuk itu. Aku mengeta"hui
serba sedikit tentang anak muda itu. Karena itu maka
keputusanku untuk mengijinkan Pandan Wangi memilih bakal
suami"nya, sama sekali bukan berarti bahwa aku telah
melepaskannya sama sekali."
"Anak itu anak bengal, bodoh, dan kadang-kadang agak
kurang mengendalikan dirinya."
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ia periang dan berhati terbuka," Ki Gede Menoreh
mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku tidak berkeberatan
apa pun." Kabar itu benar-benar telah menggembirakan hati
Swandaru, sehingga tanpa sesadarnya ia memukul pundak
Agung Sedayu sambil berkata, "Akhirnya aku pun
mendapatkan seorang gadis."
"Hus," desis Agung Sedayu. "Kenapa tidak" Kau cukup
tampan. Wajahmu cerah seperti matahari."
"Cukup, cukup," potong Swandaru.
Agung Sedayu tertawa, dan akhirnya Swandaru dan Sekar
Mirah pun tertawa pula. Namun dengan demikian, maka Swandaru pun mulai
berpikir untuk segera pulang ke rumahnya, menyampaikan
masalahnya itu kepada ayah dan ibunya. Meskipun ia yakin
bahwa ayah dan ibunya tidak berkeberatan, namun tiba-tiba
saja di luar sadarnya ia berkata, "Ayah dan ibu harus segera
pergi ke Tanah Perdikan ini sebelum jalan dari Sangkal
Putung kemari menjadi sulit dan bahkan tertutup."
"Kenapa?" bertanya Kiai Gringsing.
"Bukankah telah tumbuh suatu daerah baru di atas Alas
Mentaok yang dibuka oleh Ki Gede Pemanahan dan
puteranya, Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring
Pasar?" Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sambil
mengang"guk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Memang
mungkin hal itu akan menjadi masalah. Tetapi mungkin pula,
jalan justru menjadi bertambah baik karena daerah baru itu."
Kedua muridnya tidak menjawab. Sumangkar yang ada di
antara mereka pun tidak menyahut pula.
Dengan demikian maka mereka pun sejenak saling
berdiam diri. Namun kini tanpa mereka sadari, angan-angan
mereka telah ber"geser dari pembicaraan mereka semula.
Mereka tidak lagi mem"bayangkan apakah orang tua
Swandaru akan dengan senang hati memenuhi permintaan
anaknya yang ingin kawin dengan seorang gadis, yang
berasal dari tempat yang cukup jauh, yang tidak berasal dari
kademangannya sendiri" Apakah ayah dan ibunya masih
belum mempunyai seorang calon isteri bagi anak laki-lakinya"
Tetapi menilik sikapnya yang terbuka atas anak gadisnya
yang telah membuat hubungan dengan Agung Sedayu, yang
ber"asal dari Jati Anom itu, maka agaknya Ki Demang
Sangkal Putung pun tidak akan berkeberatan.
Kini yang mereka pikirkan dan mereka bayangkan, adalah
suatu daerah baru di Alas Mentaok. Daerah yang dibuka oleh
Ki Ageng Pemanahan dan puteranya, Sutawijaya.
Dalam keheningan itu kemudian terdengar Agung Sedayu
berkata, "Tetapi, apakah ketika Ki Sumangkar dan Sekar
Mirah melintasi daerah baru itu, tidak ada tanda-tanda apa
pun yang dapat memberikan petunjuk, apakah yang kira-kira
akan berkembang di sana?"
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Memang sulit untuk menilai apakah yang sedang
berkembang di daerah baru itu. Aku tidak dapat mengatakan,
apakah daerah itu akan men"jadi bertambah baik bagi lalu
lintas atau justru menjadi semakin sulit."
"Tetapi bagaimana dengan perjalanan Kiai bersama Sekar
Mirah pada saat Kiai melintasi daerah itu?"
"Kami memilih jalan yang paling aman. Kami melingkar
daerah-daerah yang sedang berkembang, yang mendapat
pengawasan yang tajam." Ki Sumangkar berhenti sejenak.
Lalu, "Tetapi yang kami dengar di sepanjang jalan, daerah
baru itu selain membangun wilayahnya, namun juga langsung
membangun pertahanannya."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya.
"Itulah yang merupakan teka-teki bagiku," berkata Ki
Sumangkar. "Tetapi aku sudah berusaha untuk menjauhi
masalah tata pemerintahan di mana pun. Aku tidak akan lagi
menghiraukan apa yang terjadi di Pajang dan daerah yang
baru itu, supaya aku tidak terlibat dalam keadaan yang
kadang-kadang cengkah dengan hati nuraniku."
Kiai Gringsing tersenyum. Sepintas terbayang olehnya,
keragu-raguan Sumangkar pada saat-saat pasukan Jipang
yang menjadi liar di bawah pimpinan Tohpati, masih
merupakan masalah bagi Pajang.
"Pada suatu saat, aku akan melihat daerah baru itu,"
berkata Kiai Gringsing. "Aku ikut bersama Guru. Sekaligus aku ingin menemui
ayah dan ibu." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah. Kalau begitu, kita akan menyelam sekaligus minum
sebanyak-banyaknya," berkata Swandaru.
"Apakah perutmu masih kurang gembung?" bertanya Sekar
Mirah. "Ini bukan masalah perut, tetapi masalah yang penting."
"Penting bagi siapa?" bertanya Sekar Mirah.
"Bagi Sangkal Putung. Kau tahu, bahwa Sangkal Putung
terletak di sekitar garis yang menghubungkan dua kekuasaan
itu." "Kenapa dengan Pajang dan daerah baru itu?" berta"nya
Sekar Mirah. "Aku tidak tahu pasti. Itulah yang ingin aku ketahui sejauhjauh
mungkin. Tetapi menurut pendengaran kami di sini,
agak"nya hubungan antara Pajang dan daerah baru itu tidak
begitu baik." Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Sebagai
seseorang yang telah lama berada di lingkungan kepatihan,
yang hampir setiap hari mempersoalkan tata pemerintahan
negara, Sumangkar tidak dapat mengingkari bahwa di dalam
dirinya telah tumbuh bebe"rapa pertimbangan mengenai
masalah itu. Tetapi sejauh-jauh dapat dilakukan, ia tidak ingin
mengucapkannya. Seperti yang telah dikatakan, ia akan
menghindari masalah-masalah yang bersangkut paut dengan
masalah pemerintahan. "Adi Sumangkar," berkata Kiai Gringsing, yang tiba-tiba
saja bertanya, "bagaimanakah tanggapan Adi sebenarnya
atas hal ini" Mustahillah kalau Adi Sumangkar tidak melihat
masalah yang sedang berkembang. Di dalam tata
pemerintahan, dan masalah-masalah yang berhubungan
dengan itu, Adi Sumangkar pasti jauh lebih tajam
penglihatannya daripada aku."
Tetapi Sumangkar menggelengkan kepalanya. "Aku tidak
mempunyai bahan yang cukup untuk menilai perkembangan
dae"rah baru itu, Kiai."
"Eh, kau ini," desis Kiai Gringsing. "Tetapi baiklah. Agaknya
Adi memang sedang berusaha untuk menjauhi masalahmasalah
yang demikian. Begitu?"
Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
segera menjawab. "Baiklah. Kita akan melihat kelak, apa yang telah terjadi.
Tetapi, bukankah Adi Sumangkar telah mengetahui, bahwa Ki
Pemanahan telah meninggalkan istana dan pulang ke Sela,
sebe"lum Mentaok diserahkan dengan resmi?"
"Ya. Aku mendengarnya?"
"Baik. Itulah yang sebenarnya menjadi masalah. Dan
Sangkal Putung terletak di antara dua pihak yang terlibat
dalam masalah itu. Mungkin Adi Sumangkar tidak menaruh
minat untuk ikut mempersoalkan masalah itu. Tetapi Sekar
Mirah tidak akan dapat acuh tidak acuh. Sangkal Putung
pernah menjadi pusat pertahanan pasukan Pajang
menghadapi Tohpati dan pasukannya."
"Bukan begitu," Sumangkar mencoba membetulkannya.
"Yang benar, Pajang telah meletakkan pasukannya untuk
mem"bantu rakyat Sangkal Putung. Bukankah begitu, Angger
Swandaru?" "Ya. Begitulah."
"Tepat," sahut Kiai Gringsing. "Aku keliru. Dan seka"rang,
bagaimana dengan Sangkal Putung?"
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Kiai
Gringsing memang mencoba menariknya ke dalam masalah
itu. Tetapi ia masih menggelengkan kepalanya. "Tergantung
sekali kepada Ki Demang di Sangkal Putung."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian
ia tersenyum. Ternyata Sumangkar masih tetap berusaha
untuk mengelakkan usaha Kiai Gringsing untuk menyatakan
pendapat"nya tentang keadaan Alas Mentaok sekarang.
"Memang, yang paling baik bagi kita adalah melihat
sen"diri keadaan daerah baru itu," berkata Kiai Gringsing
kemudian. "Tepat," Swandaru menyahut. "Kapan kita berangkat?"
"Huh," Sekar Mirah mencibirkan bibirnya. "Kalau kau, tentu
kepentinganmu sendirilah yang lebih dahulu kau pikirkan.
Pulang untuk mengajak ayah dan ibu kemari."
"Tidak," jawab Swandaru, "sama sekali tidak. Tetapi
seandainya demikian, aku pun tidak akan menolak."
Gurunya dan Ki Sumangkar tersenyum. Dan Sekar Mirah
menyahut, "Jangan terlampau banyak tingkah. Bukankah
kamu juga setuju bahwa ayah dan ibu kita undang untuk
datang ke Tanah Perdikan ini?"
"He," Swandaru mengerutkan keningnya. "Kenapa kau
marah-marah saja kepadaku" Kau kira akan merampas
segala perhatianaAyah dan ibu, hingga mereka tidak sempat
mengurusmu?" "Apa urusanku?"
"Ini," sahut Swandaru sambil menunjuk Agung Sedayu.
"Sombong kau," Sekar Mirah mencubit lengan Swandaru
sehingga anak itu menyeringai.
"Mirah, he." "Nah, lihat. Kau sekarang terlampau cengeng. Tentu kau
ingin bukan aku lagi yang mencubitmu."
"Sudahlah. Aku menyerah. Aku memang tidak pernah
menang berbantah dengan kau. Apalagi sekarang, kau
mempunyai pengawal dan aku hanya sendiri."
"Jangan, jangan." Swandaru itu pun kemudian meloncat
menjauhi adiknya yang sudah menjulurkan tangannya untuk
men"cubitnya lagi. Dan tiba-tiba saja ia menyentuh punggung
Agung Sedayu sambil bertanya, "Kenapa kau diam saja?"
Agung Sedayu hanya tersenyum saja. Tetapi ia tidak
menya"hut. "Dengarlah," berkata Kiai Gringsing kemudian, "kita akan
segera minta diri kepada Ki Argapati. Aku kira dua tiga hari
lagi. Selain mengurus soal Swandaru, kita singgah untuk
melihat-lihat Alas Mentaok sekarang."
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ayah dan
ibu Swandaru pasti sudah menunggu Sekar Mirah pula.
Ibunyalah yang pasti selalu cemas."
"Ya. Kita tahu hati seorang ibu. Karena itu, baiklah kita
memutuskan saja. Lusa kita berangkat."
"Semakin cepat makin baik," sela Swandaru.
"Makin cepat apa?" bertanya Agung Sedayu. "Makin cepat
kita meninggalkan tempat ini atau makin cepat kita kem"bali
ke tempat ini?" Swandaru merenung sejenak. Jawabnya, "Kedua-duanya.
Makin cepat kita pergi untuk semakin cepat kita kembali ke
Tanah Perdikan Menoreh."
"Pantas," desis Sekar Mirah.
Ketika Swandaru membuka mulutnya untuk menjawab,
gurunya mendahului, "Kau tidak usah membantah. Semua
orang tahu, bahwa kau memang ingin demikian."
"Aku memang tidak akan membantah, Guru. Aku justru
akan mengiakannya." Yang mendengar jawaban itu tertawa. Bahkan Sekar Mirah
pun tersenyum pula. Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar,
menyampaikan maksud itu kepada Ki Argapati, di saat-saat
mereka duduk di pendapa ketika senja menjadi semakin
gelap. "Begitu tergesa-gesa?" Ki Argapati mengerutkan
keningnya. "Memang kami agak tergesa-gesa, Ki Gede, tetapi juga
tergesa-gesa untuk segera kembali bersama ayah dan ibu
Swandaru." Ki Argapati tersenyum. Katanya, "Tetapi akulah yang akan
menjadi kesepian." "Tanah Perdikan ini sudah akan pulih kembali. Ki Argajaya
lambat laun berhasil memperbaiki namanya sendiri."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah,"
katanya kemudian, "kami, orang-orang Menoreh, menunggu
keda"tangan kalian. Harapan kami beserta dengan murid Kiai
yang gemuk itu. Karena Pandan Wangi adalah satu-satunya
anakku." Kiai Gringsing dan Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepala"nya. Mereka menyadari, bahwa tumpuan harapan Ki
Argapati dan seluruh rakyat Menoreh ada pada Swandaru.
Dan tiba-tiba saja tumbuh pertanyaan di hati Kiai Gringsing,
"Apakah Swandaru menyadarinya" Ia tidak sekedar
meminang Pandan Wangi. Tetapi ia meminang Pandan Wangi
beserta se"gala macam kewajiban yang akan besertanya."
"Kapan Kiai akan berangkat?" bertanya Ki Argapati.
"Lusa," jawab Kiai Gringsing, "kami akan berangkat pagipagi."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah.
Ka"mi akan menyediakan semua keperluan kalian. Apakah
kalian akan memerlukan kuda?"
Kiai Gringsing merenung sejenak. Ketika ia memandang
wajah Sumangkar, orang tua itu pun tampak ragu-ragu.
"Bagaimana, Adi Sumangkar?"
"Bukankah kita ingin melihat-melihat keadaan di sepanjang
ja"lan?" Kiai Gringsing mengangguk. Dan sebelum ia menjawab, Ki
Argapati sudah bertanya lebih dahulu, "Maksud Kiai, me"lihat
keadaan daerah baru itu?"
Sumangkar menganggukkan kepalanya. "Ya. Kami ingin
melihat daerah baru itu."
"Kumandangnya sudah sampai ke sebelah Sungai Praga.
Terutama kumandangnya tentang perdagangan. Mereka
memer"lukan beberapa jenis barang dari Menoreh. Para
pedaganglah yang lebih dahulu telah melakukan hubungan
tidak resmi. Tetapi laporan tentang daerah baru itu sudah ada
padaku." Ki Argapati diam sejenak. Lalu, "Kebetulan sekali,
kalau Swandaru mendapatkan beberapa kesimpulan tentang
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
daerah itu kelak, sebelum Tanah ini menentukan sikap."
Kiai Gringsing dan Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepala"nya. Namun mereka menyadari, bahwa dengan
demikian Swan"daru sudah mulai membawa tugas bagi
Tanah Perdikan ini. Dan tugas itu berat baginya, meskipun
cara mengucapkannya cukup sederhana. Tetapi kesimpulan
yang akan dibawa Swandaru itu menentukan, sesuai dengan
kata-kata Ki Gede di Menoreh, "Se"belum Tanah ini
menentukan sikap." "Sudah sewajarnya," berkata Kiai Gringsing di dalam
hatinya, "anak itu harus mulai belajar bersikap dan berbuat
dengan bersungguh-sungguh."
Namun seandainya tidak ada yang memperingatkan, maka
pasti Swandaru hanya sekedar akan melihat perkembangan
Ta"nah yang baru dibuka itu menurut seleranya sendiri.
Bukan se"lera suatu Tanah Perdikan yang besar, Menoreh,
yang langsung atau tidak langsung akan menjadi tetangga
dekat dari daerah baru itu.
Demikianlah, maka pada hari yang ditentukan, Kiai
Gring"sing, Ki Sumangkar, dan murid-muridnya telah siap
meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, untuk memulai
dengan perjalanannya ke Timur.
Dengan rendah hati, Kiai Gringsing menyatakan bahwa
me"reka akan lebih senang berjalan kaki saja sambil melihatlihat
keadaan daerah-daerah yang dilaluinya.
Segenap pemimpin Tanah Perdikan Menoreh, Ki Argajaya,
dan puteranya, mengantar mereka sampai ke regol halaman
rumah Ki Argapati. Meskipun mereka bukan orang-orang
Menoreh, tetapi apa yang sudah mereka lakukan buat
Menoreh ternyata tidak segera dapat dilupakan. Mereka telah
ikut serta mema"damkan api yang membakar Tanah Perdikan
ini dengan berbagai macam cara. Kasar dan halus. Lahiriah
dan batiniah. *** Tanpa gembala tua dan anak-anaknya. Tanah Perdikan ini
pasti akan menjadi lebih parah lagi. Apalagi, apabila luka Ki
Argapati tidak dapat disembuhkan.
Pandan Wangi yang sedang mulai dijalari perasaan
seorang gadis merasa menjadi sangat kecewa atas kepergian
Swandaru. Ia merasa kehilangan seseorang yang dapat
membuatnya tersenyum dan tertawa.
"Aku akan segera kembali," berkata Swandaru.
"Kau tidak bersungguh-sungguh, seperti apa yang kau
lakukan selama ini. Kau selalu mengatakan tentang sesuatu
yang tidak benar. Kau mengatakan bahwa pada suatu ketika
kau akan ber"hasil menangkap sesosok tuyul yang sedang
mencuri uang di rumahmu. Lain kali kau katakan bahwa
seorang kawanmu mempunyai kuda sembrani yang dapat
terbang sampai ke bulan. Se-dang yang benar, kau adalah
seorang pemimpi." Pandan Wangi berhenti sejenak. Lalu,
"Dan bagaimana kalau perlawatanmu ke Menoreh ini nanti kau
anggap sekedar sebuah mimpi?"
"Mungkin," jawab Swandaru, "tetapi yang tidak ada
hubungannya dengan kau. Sedangkan semua masalah yang
ada bubungannya dengan kau, tentu sama sekali bukan
sebuah mimpi." "Apakah kau berkata sebenarnya?"
"Maksudku memang demikian."
"He?" "Ya. Ya. Aku berkata sebenarnya."
Wajah Pandan Wangi menjadi bersungut-sungut, tetapi
Swan"daru kemudian berkata, "Aku akan segera kembali
membawa tiga ekor, eh, tiga orang, maksudku tiga, bilangan
tiga untuk tuyul-tuyul itu."
"Benar?" tiba-tiba wajah Pandan Wangi menjadi cerah.
"Kau akan membawanya untukku?"
"Ya, ya. Tetapi ?""."
"Katakan bahwa kau bersumpah, bahwa kau akan segera
kembali membawa tuyul."
"Eh." "Nah, bukankah kau berbohong?"
Swandaru menjadi bingung. Namun kemudian ia berkata,
"Baiklah. Aku akan membawa tiga sosok tuyul. Aku sudah
mem"punyai dua. Aku tinggal mencari satu."
"Kau sudah mempunyai dua?"
"Ya." "Mana?" "Itu. Yang satu tuyul jantan, yang lain tuyul betina,"
"Ah, kau," desah Pandan Wangi.
Namun Swandaru-lah yang menyeringai kesakitan karena
Sekar Mirah mencubitnya. "Aku kau anggap tuyul ya" Kalau
aku tuyul, termasuk jenis apakah kakaknya?"
"Sudah Mirah. Sudah."
Pandan Wangi terpaksa tersenyum karenanya. Sebetulnya
tangannya pun hampir saja terjulur. Tetapi segera ditariknya
kembali, karena Swandaru masih belum menjadi keluarga
atau apa pun secara resmi.
Demikianlah, maka rombongan kecil itu pun segera
mening"galkan halaman rumah Ki Argapati. Perpisahan itu
agaknya benar-benar berkesan bagi yang pergi dan bagi yang
ditinggalkan. Namun Kiai Gringsing berkata kepada mereka,
"Kami akan segera kembali. Dan bukankah tanah ini telah
menjadi utuh kem"bali?"
"Kami selalu mengharap kedatangan kalian," berkata Ki
Argapati. Maka dilepaslah rombongan kecil itu berangkat
meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.
Ketika beberapa langkah kemudian Sekar Mirah berpaling,
tiba-tiba hatinya berdesir. Ia melihat sorot mata anak muda
yang bernama Prastawa itu seakan-akan menyala membakar
jantungnya. Namun hanya sejenak, karena anak muda itu
segera memalingkan wajahnya, memandang ke kejauhan.
Sentuhan tatapan mata yang hanya sekejap itu telah
meninggalkan kesan yang aneh bagi Sekar Mirah, meskipun
ia berusaha untuk menghalaunya dari hatinya.
"Adalah kebetulan saja ia memandangku," katanya di
dalam hati, "atau barangkali ia mendendamku?"
Ki Argapati, Ki Argajaya, Samekta, Kerti dan yang lain,
memandangi mereka sampai rombongan kecil itu hilang di
balik sebuah tikungan. Meskipun demikian, Ki Argapati yang berdiri bersandar
pada sebuah torgkat yang panjang berkata perlahan-lahan,
"Me"reka bagaikan sepasukan prajurit yang pulang dari
medan. Meskipun mereka hanya berjumlah 5 orang."
Ki Argajaya yang berdiri di sampingnya menganggukanggukkan
kepalanya, meskipun ia tidak menjawab. Matanya
masih tersang"kut pada tikungan tempat kelima orang itu
menghilang. Yang mula-mula sekali meninggalkan regol itu adalah
Pandan Wangi. Sambil menundukkan kepalanya ia melangkah
dengan tergesa-gesa melintasi halaman.
Ayahnya, Ki Argapati, menarik nafas dalam-dalam. Ia
mengerti, perasaan apakah yang sedang mengganggu
puterinya itu. Hati"nya yang sedang mekar, tiba-tiba terputus
meskipun hanya untuk beberapa saat. Namun agaknya,
dunianya akan menjadi terlam"pau sepi untuk sementara.
Karena itu, maka ketika Ki Argapati melihat puterinya itu
merenung di biliknya, ia sama sekali tidak menegurnya.
Biarlah anak itu berangan-angan sebagaimana kebiasaan
gadis-gadis. Kalau puterinya itu selalu dibebani oleh sepasang
pedangnya, tanpa mem"beri kesempatan pribadinya sebagai
seorang gadis berkembang, maka kelak Pandan Wangi tidak
akan dapat menjadi seorang ibu yang baik.
Argajaya dan puteranya pun segera minta diri pula, kembali
ke rumahnya. Mereka datang sekedar melepaskan kelima
orang itu meninggalkan Menoreh.
"Aku masih mempunyai pekerjaan di sawah, Kakang,"
berkata Argajaya. "Kau kerjakan sendiri sawahmu?"
"Tentu hanya sebagian kecil. Tenagaku sudah tidak
se"kuat anak-anak muda. Tetapi aku ingin mengisi waktuku
dengan kerja." Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Prastawa juga?"
"Ya, Paman. Aku harus membantu ayah di rumah."
"Bagus," desis Ki Argapati.
Keduanya pun kemudian meninggalkan halaman rumah Ki
Argapati. Di atas punggung kuda mereka menyusuri jalanjalan
padukuhan induk, dan kemudian mereka melintas di
jalan yang membelah sebuah bulak yang panjang.
"Ayah," tiba-tiba Prsstawa bertanya, "apakah benar, Sekar
Mirah itu adik Swandaru?"
"Ya, kenapa?" "Keduanya sangat berlainan."
Ayahnya mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Mungkin
bentuk tubuhnya. Sudah tentu, bagi seorang gadis kurang
pantas apabila ia bertubuh gemuk seperti Swandaru. Tetapi
justru Swandaru menjadi pantas. Wajahnya yang bulat dan
cerah itu memancarkan kesan keterbukaan hatinya." Ki
Argajaya ber"henti sejenak. Lalu, "Tetapi kalau kau
memandang kening, hidung, dan alisnya, keduanya
mempunyai banyak persamaan."
Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
terkejut ketika ia mendengar ayahnya bertanya, "Kenapa?"
"O, tidak apa-apa," anak muda itu tergagap. Lalu,
"Bu"kankah, Swandaru kelak akan menjadi ipar sepupuku?"
"Ya. Agaknya demikian, meskipun masih belum resmi."
Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
Katanya ke"mudian, "Sekar Mirah adalah gadis yang luar
biasa. Dengan mudah ia menguasai kawanku yang bertubuh
kekar seperti badak itu."
"Gurunya pun luar biasa, meskipun rendah hati seperti guru
Swandaru." "Tetapi, saudara seperguruan Swandaru itu terlampau
sombong." "Agung Sedayu maksudmu?"
"Ya. Ia menganggap aku seorang tawanan. Sampai saat ia
meninggalkan rumah Paman Argapati."
"He. Kau salah, Prastawa. Ia anak yang baik. Ia tidak
berbuat apa-apa ketika ia melihat kedatanganmu dan
kawanmu di rumah beberapa saat yang lalu."
"Tetapi agaknya ia merasa tidak pantas berbicara dengan
aku. Tidak seperti Swandaru, yang suka berkelakar."
"Itu adalah sifatnya. Ia pendiam."
Prastawa terdiam sejenak. Terbayang perkelahian yang
terjadi sebelum ia kembali kepada ayahnya, ketika Agung
Sedayu berada di bukit bersama Pandan Wangi.
Kekalahannya saat itu tidak dapat dilupakannya.
Tetapi tiba-tiba terbersit suatu pertanyaan di hatinya,
"Kenapa aku mendendam Agung Sedayu, dan tidak kakak
Pandan Wangi?" Prastawa menelan ludahnya.
Dan ayahnya berkata, "Agung Sedayu pun anak yang baik.
Memang sifatnya agak berbeda dengan anak yang gemuk itu.
Tetapi bukan maksudnya menyombongkan dirinya."
Prastawa mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia
bertanya, "Apakah benar, Agung Sedayu itu bakal suami
Sekar Mirah?" "Ya. Tetapi itu pun belum resmi seperti Swandaru dan
Pan"dan Wangi, meskipun orang tuanya tidak berkeberatan
seperti juga Kakang Argapati."
Prastawa tidak menjawab. Tetapi ia tidak mengerti, kenapa
wajah gadis, yang bernama Sekar Mirah, itu selalu
membayang. Gadis itu begitu tenangnya menghadapi
keadaan. Pada saat ia datang ke rumahnya, langsung
memasuki bilik ibunya yang ditempati oleh gadis, yang
bernama Sekar Mirah itu, gadis itu sama sekali tidak menjadi
ketakutan. Justru ia tersenyum penuh keper-cayaan kepada
diri sendiri, bahwa ia akan dapat mengatasi setiap persoalan
yang tumbuh. "Gadis itu luar biasa," desisnya tanpa sesadarnya.
Prastawa terkejut ketika ayahnya bertanya, "Siapa?"
"Maksudku, Sekar Mirah itu hampir seperti Kakak Pandan
Wangi. Meskipun ia seorang gadis, tetapi ia mampu
melindungi dirinya sendiri. Bedanya, Kakak Pandan Wangi
bersenjata sepa"sang pedang yang ringan, justru gadis ini
mempunyai senjata yang aneh. Tongkat baja putih dan
berkepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan."
"Senjata yang diterima turun-temurun, dari guru ke
muridnya." Prastawa mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Tetapi
ia tidak berkata-kata lagi. Namun pertanyaan-pertanyaan Prastawa itu telah
memberikan kesan yang aneh pada Ki Argajaya. Agaknya
anak itu menaruh per"hatian pada Sekar Mirah. Tetapi Ki
Argajaya tidak tahu, apa"kah yang agaknya telah menarik hati
anaknya. Mungkin justru karena senjatanya yang aneh itu,
atau karena jarang sekali terdapat seorang gadis yang
memiliki kemampuan seperti Sekar Mirah dan Pandan Wangi
di atas Tanah Perdikan ini. Justru kebanyakan gadis-gadis
hanya menunggu hari-hari perkawinannya dengan
menganyam tikar, atau menunggui perapian untuk membuat
gula kelapa di rumah. "Anak itu akan segera melupakannya," berkata Ki
Arga"jaya kepada diri sendiri.
Dalam pada itu, Ki Tanu Metir, Ki Sumangkar, dan muridmuridnya
berjalan semakin lama semakin menjauhi
pedukuhan induk. Namun di sepanjang jalan beberapa orang
yang mengenalnya, selalu menganggukkan kepalanya sambil
bertanya, "Kemanakah kalian akan pergi?"
"Kami akan menengok rumah kami," jawab Kiai Gring"sing.
"O, apakah kalian tidak akan kembali kemari?"
"Tentu. Kami akan kembali lagi."
"Selamat jalan."
"Terima kasih."
Bahkan ada orang-orang yang mencoba untuk
mempersilahkan mereka singgah.
"Kami akan senang sekali kalau kalian tinggal di rumah
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kami sehari dua hari."
"Maafkanlah. Kami harus segera menyeberangi sungai
Praga." "Kenapa tergesa-gesa?"
"Tidak apa-apa. Tetapi anak-anak sudah rindu kepada
kampung halaman." Demikianlah, maka mereka berlima berjalan semakin lama
semakin cepat. Matahari yang memanjat langit pun menjadi
se"makin lama semakin tinggi pula. Panasnya pun menjadi
semakin tajam menggigit kulit.
Semakin lama, maka padukuhan-padukuhan pun menjadi
semakin jarang dan kecil. Hampir tidak ada lagi orang-orang
yang mengenal mereka, Orang-orang di padukuhanpadukuhan
itu adalah orang yang setiap hari selalu tenggelam
di dalam kerja, seperti yang selalu mereka lakukan sehari-hari.
Pagi bangun tidur, makan sekedarnya, lalu pergi ke sawah. Di
siang hari mereka berhenti. Makan dan minum. Kemudian
mereka melanjutkan kerja sampai matahari menjadi sangat
rendah. Di senja hari mereka pulang, singgah di sungai
sebentar membersihkan diri dan alat-alat mereka. Barulah
mereka pulang. Kadang-kadang mereka masih makan sore,
tetapi kadang-kadang sudah tidak lagi. Mereka langsung pergi
tidur apabila tidak ada keper"luan yang penting untuk keluar
rumah. Meskipun demikian, hidup mereka tampaknya sangat
tente"ram. Mereka sama sekali tidak mengacuhkan apa pun
yang terjadi di luar pedukuhan mereka. Namun demikian,
kemajuan tata kehi"dupan mereka pun sangat lamban, karena
seolah-olah mereka menutup pintu padukuhan mereka
dengan tata kehidupan yang sudah mereka miliki itu.
Ternyata, tata kehidupan yang demikian itu sangat menarik
perhatian Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah.
Kehidupan yang sangat sederhana.
"Apakah mereka akan tetap dalam keadaan yang demikian
itu sampai puluhan tahun mendatang?" bertanya Agung
Sedayu. "Tentu tidak." jawab Kiai Gringsing.
"Tetapi kalau tidak ada seseorang yang berani memasuki
daerah itu dengan membawa adat dan cara-cara yang lebih
baik untuk meningkatkan kehidupan mereka, mereka akan
tetap dalam keadaannya," sahut Swandaru.
"Bukankah tanah ini masih tlatah Menoreh?" tiba-tiba Kiai
Gringsing bertanya. Tidak seorang pun yang menjawab.
"Nah. Kalau demikian, akan menjadi tugas Swandaru kelak
untuk menerobos masuk sampai ke padukuhan yang terpencil
ini." "Ah," desis Swandaru, sedang Sekar Mirah tertawa sambil
berkata, "Tetapi jangan kau mulai sejak sekarang. Kau
sekarang belum apa-apa di sini."
"Kupuntir telingamu," potong Swandaru. Tetapi Sekar Mirah
masih saja tertawa. Sementara itu, langkah mereka menjadi semakin jauh.
Ketika mereka menengadahkan wajah mereka, ternyata
matahari telah melampaui puncak langit.
"Hem, aku haus," desis Sekar Mirah.
"Kau tadi membawa bekal makanan dari Pandan Wangi,
bukan?" bertanya Swandaru.
"Aku haus, tidak lapar," jawab Sekar Mirah.
Swandaru terdiam. Tetapi mereka masih berjalan terus.
Sejenak kemudian mereka pun segera sampai ke hutanhutan
rindang. Hutan perburuan yang memanjang, sebelum
mereka memasuki hutan lebat di seberatag hutan perburuan
ini. "Apakah kita akan langsung mencari tempat kediaman Ki
Gede Pemanahan dan puteranya, Sutawijaya?" bertanya
Swan"daru kemudian. Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
"Tentu tidak. Kita ingin mengetahui keadaan sebenarnya.
Kalau kita langsung mengunjungi Ki Gede Pemanahan dan
puteranya, maka kita tidak akan dapat melihat seluruh segi
kehidupan di daerah baru itu. Kita hanya akan melihat apa
yang pantas kita lihat, sehingga kita tidak akan dapat menilai
daerah itu seperti yang sebenarnya, dipandang dari sudut
kepentingan kita masing-masing. Bagi Sangkal Putung dan
bagi Tanah Perdikan Menoreh."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Besok kita akan memasuki daerah itu. Kita akan melihat
apakah yang sedang tumbuh itu akan bermanfaat bagi kita,
bagi daerah-daerah di sekitarnya dan bagi keseluruhan
keluarga besar di Pulau Jawa ini."
"Pulau Jawa?" Swandaru mengerutkan keningnya.
Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Swandaru mengerutkan keningnya. Gurunya telah
menyebut suatu tempat yang hanya dapat dibayangkan oleh
Swandaru, Pulau Jawa. Suatu daerah yang tentu sangat luas.
"Apakah hubungannya daerah yang baru dibuka itu dengan
Pulau Jawa?" bertanya Swandaru kemudian.
Gurunya tertawa. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia berkata, "Bukan salahmu, kalau kau mengajukan
pertanyaan itu. Akulah yang seharusnya menunjukkan
kepadamu, bahwa daerah baru itu akan mempengaruhi
keadaan Pulau Jawa seluruhnya."
"Tetapi, bukankah Pulau Jawa itu terbentang dari ujung
Timur sampai ke ujung Barat?"
"Ya." Swandaru mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk
mem"bayangkan, berapa luasnya daerah yang disebut oleh
gurunya itu, Pulau Jawa. "Apakah Pajang juga mempunyai pengaruh yang luas atas
Pulau Jawa?" bertanya Agung Sedayu.
"Kau pernah mendengar hal itu?"
"Aku memang pernah mendengar."
"Nah. Sekarang kalian tahu, bahwa pengalaman kalian itu
baru setetes dari air yang melimpah-limpah di telaga. Tetapi
untunglah bahwa kalian berada dekat dari pusat
pemerintahan, yang mempengaruhi Pulau Jawa itu."
"Maksud Guru?" "Meskipun sudah jauh surut, tetapi Pajang memang masih
mempunyai pengaruh atas Pulau Jawa. Di saat-saat terakhir
Demak masih mengikat kesatuan banyak daerah-daerah di
pesisir Utara mem"bujur ke Timur. Tetapi sebagaimana kalian
mengetahui, perpe"cahan di saat-saat lahirnya Pajang, telah
membuat ikatan itu semakin kendor, sehingga banyak sekali
daerah-daerah yang merasa berhak berdiri sendiri-sendiri.
Kesatuan yang pernah dibina pada jaman Majapahit itu pun
sedikit demi sedikit menjadi mundur."
"Majapahit pernah mempersatukan bukan saja Pulau
Jawa," berkata Agung Sedayu.
"Ya. Nusantara. Pulau-pulau yang dibatasi oleh lautanlautan
yang luas." Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang
pernah mendengar ceritera tentang kebesaran Majapahit.
Perpecahan yang kemudian terjadi, sehingga yang masih
dapat dilihatnya adalah perpecahan antara Pajang dan Jipang
sepeninggal Sultan Demak yang terakhir.
Sekilas terbayang Kademangan Sangkal Putung yang kaya
raya. Tetapi Sangkal Putung adalah sebagian kecil, kecil
sekali dari seluruh Pulau Jawa. Seluruh Nusantara.
Namun kemudian terbersit pertanyaan di hatinya,
"Benar"kah Sutawijaya itu mampu berbuat sesuatu yang akan
dapat mempengaruhi seluruh pulau Jawa" Memang ia
mempunyai banyak kelebihan dari kami, aku dan Kakang
Agung Sedayu, tetapi dalam suatu saat kami pun mampu
memiliki ilmu setingkat itu. Dan apabila demikian, apakah kami
pun mampu berbuat sesuatu yang dapat berkumandang
sampai ke ujung-ujung pulau Jawa ini?"
Tetapi Swandaru tetap menyimpan pertanyaan itu di dalam
hatinya. "Kalau kalian ingin lebih jelas lagi," berkata Kiai Gring"sing,
"bertanyalah kepada Ki Sumangkar. Sebagai seorang yang
selalu berada di lingkungan kepatihan, ia pasti jauh lebih
menge"tahui masalah-masalah pemerintahan daripada aku."
"Ah," desis Sumangkar. Namun Sekar Mirah segera
bertanya, "Benarkah begitu, Guru?"
"Aku adalah seorang juru masak di kepatihan."
Kiai Gringsing tertawa. Tetapi ia tidak berkata apa-apa.
"Seharusnya Guru sering berceritera kepadaku tentang
susunan pemerintahan. Kalau Guru berceritera, hanyalah
sekedar garis besarnya saja. Pada suatu saat aku ingin
mengetahui lebih banyak lagi, sehingga aku dapat
membayangkan tata pemerin"tahan dari suatu negara yang
besar. Bukan sekedar sebuah kademangan. Dengan demikian
kami tidak merasa bahwa seolah-olah yang paling penting di
muka bumi ini." Sumangkar tersenyum. Desisnya, "Kiai membebani aku
pekerjaan yang aku tidak mengerti."
Kiai Gringsing pun tertawa pula. "Sudah waktunya hati
anak-anak itu terbuka, melihat dunia yang semakin luas ini.
Dengan demikian mereka sadar, bahwa lingkungan mereka
sebenarnya amat luas. Bukan sekedar pasukan Tohpati yang
berada di sekitar Sangkal Putung, kemudian datang Widura
dan Untara membawa sebagian kecil dari pasukannya. Anakanak
harus tahu, bahwa itu hanya sebagian kecil dari
keseluruhan ceritera mengalirnya peme-rintahan sejak jaman
dahulu kala. Sejak jaman Sri Rajasa Batara Sang
Amurwabumi. Bahkan sebelumnya, sampai pada jaman
kebesaran Majapahit, kemudian menurun dengan pesatnya
sejak Demak kehilangan rajanya yang terakhir.
Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bukankah masalah Tohpati yang kehilangan sasaran
per"juangannya itu akan menjadi sangat berlainan dengan
saat-saat daerah baru yang sedang tumbuh ini" Benturan
antara Tohpati dan Untara di sekitar Sangkal Putung adalah
merupakan babak-babak terakhir dari tenggelamnya
kekuasaan Adipati Jipang. Masalah"nya merupakan masalah
yang dapat dibatasi menjadi masalah setempat, Sangkal
Putung. Tetapi yang sedang tumbuh ini mendapat sorotan dari
segenap wilayah Pajang, karena justru Ki Gede Pemanahan
sendiri yang menyingkir dari lingkungan istana, setelah Ki
Penjawi menempati tanahnya yang baru, Pati."
Kedua orang-orang tua itu tiba-tiba berpaling ketika mereka
mendengar Swandaru berdesah.
"Swandaru," berkata Kiai Gringsing "kau dan Agung
Sedayu harus mencoba untuk mengerti masalah-masalah ini.
Kalian akan mempunyai wewenang meskipun di daerah yang
kecil. Tetapi daerah-daerah yang kecil itulah yang
menumbuhkan daerah yang lebih besar dan seterusnya."
Keduanya pun mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Terbayang di hadapan mereka masalah yang jauh lebih besar
dari api yang membakar Tanah Perdikan Menoreh.
Masalah daerah baru yang dimulai dengan nada yang
sum"bang itu akan langsung menyangkut pimpinan tertinggi
peme"rintah. Seperti pada masa Adipati Jipang masih ada.
Bukan sekedar pecahan-pecahan pasukan yang berserakan.
Dengan demikian, maka kelima orang itu harus
memper"siapkan dirinya untuk memasuki suatu daerah yang
masih di bayangi oleh kekelaman, seakan-akan mereka
hendak meloncat ke dalam gelap. Mereka tidak tahu apa yang
sebenarnya ada di belakang kegelapan itu.
Mereka baru mendengar daerah baru itu dari Sutawijaya.
Yang barang tentu, akan memiliki masalah-masalah yang
dapat dikatakannya. Yang tidak, tentu akan
disembunyikannya. Karena itu, Kiai Gringsing sudah bertekad untuk melihat
daerah baru itu langsung tanpa memberitahukan lebih dahulu
kepada Sutawijaya, apalagi Ki Gede Pemanahan.
Namun pada hari itu kelima orang itu tidak dapat langsung
mencapai Alas Mentaok. Hutan yang lebat di sebelahmenyebelah
Kali Praga, agaknya menghambat jalan mereka.
Mereka harus mencari jalan setapak yang sering dilalui para
pedagang yang saling tukar menukar barang-barang antara
mereka yang tinggal di sebelah sungai.
Tetapi kelima orang itu sadar, bahwa kadang-kadang di
perjalanan mereka menjumpai penyamun yang masih saja
berkeliaran. Apa"lagi dengan tumbuhnya daerah baru, maka
jalan setapak itu menjadi lebih sering dilalui, sehingga para
penyamun menjadi semakin mantap melakukan pengintaian.
Meskipun demikian, kadang-kadang para penyamun itu gagal
melakukan kegiatannya, karena serombongan pedagang yang
lewat, dikawal oleh orang-orang yang cukup mampu melayani
penyamun-penyamun kecil yang berkeliaran itu.
"Kita bermalam di sebelah Timur sungai," berkata Kiai
Gringsing. "Besok kita mencari tempat yang baik untuk
mem"buat gubug. Kita akan tinggal di tempat itu untuk
sementara." "Kita akan tinggal?" bertanya Sekar Mirah.
"Ya." "Berapa hari?" "Aku tidak dapat menyebutkan, Mirah. Mungkin sehari,
mungkin sebulan." Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
kemudian ia berkata, "Sebenarnya aku ingin tinggal bersama
Kiai, Kakang Swandaru, dan Kakang Agung Sedayu,"
suaranya tiba-tiba merendah. Sambil berpaling kepada
gurunya ia bertanya, "Tetapi bagaimana dengan ibu di rumah,
Guru?" Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak
segera dapat menjawab. Sebenarnya Sumangkar tidak begitu senang untuk ikut
men"campuri persoalan daerah baru itu, meskipun ia
mengerti, bahwa masalahnya akan langsung menyangkut
Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi sebagai
seseorang yang baru saja dilepaskan dari segala tuntutan oleh
Pajang, karena ia langsung atau tidak langsung berada di
dalam pasukan Tohpati, maka untuk ikut serta di dalam
persoalan yang akan menyangkut juga Pajang, ia agaknya
menjadi segan. Jauh-jauh telah terbayang di angan-angannya,
bahwa ia akan menjumpai banyak kesulitan apabila masalah
daerah baru itu nanti berkembang seperti yang
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diper"hitungkannya, meskipun tidak dalam waktu yang dekat.
Kalau Ki Gede Pemanahan dan Sultan Pajang masingmasing
tetap di dorong oleh perasaannya, maka jarak antara
Pajang dan daerah baru itu akan menjadi semakin panjang.
Sudah tentu ia tidak akan dapat menjerumuskan dirinya
sekali lagi dalam persoalan-persoalan yang tidak sejalan
dengan hati nuraninya, seperti adanya di dalam pasukan
Tohpati, karena ia merasa terikat oleh suatu keharusan.
Kali ini, ia pun melihat kedua belah sisi yang saling
berha"dapan itu pun telah mengikatnya. Ia merasa berhutang
budi kepada Pajang yang telah melepaskannya dari segala
tuntutan. Sultan Pajang tidak menjatuhkan hukuman atasnya,
karena ia tahu, bahwa bukan seperti yang dilakukan oleh
Tohpati, bahkan oleh Adipati Jipang itulah yang dimaksudkan
oleh Sumangkar. Tetapi ia tahu benar, bahwa penjelasan tentang
pendiriannya itu sebagian terbesar diberikan oleh Ki Gede
Pemanahan, yang menerima langsung penyerahan sebagian
laskar Tohpati, yang menyerah di Sangkal Putung.
Karena itu, apabila ia melibatkan diri di dalam masalah
yang sedang tumbuh itu, ia akan menjumpai banyak kesulitan
di dalam dadanya sendiri.
Ki Sumangkar terkejut ketika ia mendengar Sekar Mirah
mendesaknya, "Bagaimana, Guru. Apakah ibu tidak terlampau
cemas?" Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Sekar Mirah. Aku tahu kesulitanmu. Kau ingin
tinggal di sini bersama kakak-kakakmu, tetapi kau juga
mencemaskan ibumu. Bukan"kah begitu?"
"Ya, Guru." "Dan aku juga mengerti, bagaimana perasaan seorang ibu.
Padahal, selama ini kau tidak pernah berpisah daripadanya."
"Ya, Guru." Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya
Kiai Gringsing seakan-akan ia minta pertimbangan tentang
muridnya itu. Tetapi yang pertama-tama menyatakan sikapnya adalah
Swandaru. "Mirah. Sebaiknya kau pulang saja dahulu.
Katakan kepada ayah dan ibu, agar mereka bersiap-siap
dengan sepengadeg pakaian yang paling baik yang ada di
Sangkal Putung. Seperang"kat upacara peningset dan
pedang bertangkai gading itu." Swandaru berhenti sejenak.
Lalu, "Ceriterakan kepada ayah dan ibu, bahwa kita bersamasama
akan pergi melamar gadis Tanah Perdikan Menoreh.
Selain itu, dengan demikian ibu pun tidak akan terlampau
lama menunggu. Aku yakin bahwa ibu tidak akan pernah
dapat tidur nyenyak setiap malam. Kalau salah seorang dari
kita sudah datang, dan membawa kabar baik, maka orang tua
kita tidak akan terlampau cemas lagi."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjawab,
"Kenapa bukan kau saja yang pulang?"
"Aku di sini bersama guru dan Kakang Agung Sedayu, itu
lebih pantas daripada kau yang tinggal di sini."
Sekar Mirah tidak menjawab. Ia memang sedang bimbang,
apakah ia tinggal bersama kakaknya dan Agung Sedayu, atau
pulang dahulu menemui ibu dan ayahnya.
Dalam kebimbangan itu terdengar Kiai Gringsing berkata
kepadanya, "Memang sebaiknya kau kembali lebih dahulu,
Sekar Mirah." "Apakah aku akan mengganggu di sini?" ia bertanya.
"Tentu tidak," jawab Kiai Gringsing, "karena kau bukan
seorang gadis yang hanya dapat menggantungkan
kesela"matannya kepada orang lain. Kau, seperti juga
Pandan Wangi, akan dapat membantu kami apabila terjadi
sesuatu. Bahkan sudah tentu juga gurumu, Ki Sumangkar.
Tetapi yang kita pikirkan bersama adalah ayah dan ibu.
Swandaru pergi sudah sekian lama. Kemudian kau dan
gurumu menyusulnya. Tetapi keduanya tidak terdengar kabar
beritanya." Sekar Mirah tidak segera menjawab. Wajahnya masih juga
dibayangi oleh keragu-raguan.
"Baiklah, kau aku antar pulang, Mirah," berkata Ki
Su"mangkar. "Seperti kata Kiai Gringsing, soalnya adalah
ayah dan ibumu. Terutama sekali ibumu. Meskipun
kepergianmu kali ini tidak seperti kepergianmu ke Tambak
Wedi, namun sebagai ibu, maka ia pasti akan selalu
mengharap kau segera kembali."
Sejenak Sekar Mirah merenung. Kemudian jawabnya, "Aku
akan menentukan kemudian. Biarlah aku ikut semalam dua
malam berada di Alas Mentaok."
Sejenak Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar saling
berpan"dangan. Namun keduanya kemudian menganggukanggukkan
kepalanya. Berkata Kiai Gringsing, "Apakah begitu
menurut pertimbanganmu, Adi Sumangkar?"
"Baiklah. Biarlah ia melihat semalam dua malam suasana
hutan yang lebat itu, meskipun sebagian sudah menjadi
daerah yang ramai." Maka mereka pun kemudian memutuskan, bahwa Sekar
Mirah akan beserta dengan mereka meskipun hanya semalam
atau dua malam di tlatah Alas Mentaok.
Demikianlah, maka ketika hari telah menjadi buram, kelima
orang itu pun segera mencari tempat yang baik untuk
bermalam. Meskipun mereka sudah berada di sebelah Timur
Sungai Praga, tetapi mereka masih belum sampai ke daerah
yang telah dibuka oleh Ki Gede Pemanahan.
"Di sini ada jalan," desis Sekar Mirah.
"Jalan setapak," sahut Gurunya, "tentu jalan para
peda"gang yang datang dari daerah di luar daerah baru itu,
termasuk dari Tanah Perdikan Menoreh."
"Bukan ini," jawab Sekar Mirah, "jalan dari Menoreh adalah
jalan sempit yang kita lalui. Tetapi ini jalan menuju ke daerah
yang lain." "Ya, jalan yang serupa. Mungkin ada padukuhan atau
tempat-tempat yang berpenghuni di ujung lorong sempit ini."
Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Memang menarik," sela Agung Sedayu.
"Apa yang menarik?" bertanya Swandaru. "Lorong ini
lorong biasa saja. Apakah anehnya" Seperti juga lorong yang
kita lalui ini." "Memang, tidak ada hal-hal yang tampaknya menarik.
Lorong sempit di tengah-tengah hutan yang lebat. Meskipun
masih terlampau sulit untuk dilalui begitu saja, tetapi
tampaknya lorong ini memang pernah dilalui orang."
"Bukan sekedar pernah, tetapi setiap kali. Mungkin
sepe"kan sekali, atau selapan sekali."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkam kepalanya.
Sekilas dipandanginya Gurunya yang masih tetap berdiam diri.
"Yang menarik," berkata Agung Sedayu kemudian, "sebuah
simpang empat di tengah-tengah hutan."
"Ya, simpang empat kecil. Lihat, ujung-ujung lorong ini
tam"paknya aneh. Seperti juga lorong yang menuju ke
Menoreh ini, sebelum kita lalui tampaknya aneh pula, seolaholah
sebuah lubang goa di kaki sebuah gunung, yang kadangkadang
terhalang oleh sulur-sulur dan pepohonan yang
roboh," berkata Sekar Mirah.
Dan tiba-tiba saja Kiai Gringsing berkata, "Kita mencari
tempat untuk bermalam."
"Di simpang empat ini?" bertanya Sekar Mirah.
"Tentu tidak," jawab Kiai Gringsing. "Di sebelahnya. Tetapi
tidak terlampau dekat."
Mereka pun kemudian menemukan tempat yang mereka
ke"hendaki. Secercah tanah yang tidak begitu banyak
ditumbuhi oleh pepohonan perdu meskipun agak lembab.
Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah segera
member"sihkan tempat itu. Mereka menimbun ranting-ranting
dan dedaunan kering untuk tempat duduk, karena mereka
tidak akan tidur sambil berbaring.
"Hati-hatilah dengan ular," Kiai Gringsing
memperingat"kan, "di sini ada ular yang paling berbisa di
seluruh daerah yang pernah diambah kaki manusia,"
"Ular apa, Kiai?"
"Bandotan tanah."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bulubuluku
meremang. Aku lebih senang bertemu dengan Sidanti
daripada ular." "Tentu setelah Sidanti tidak ada lagi."
"He," Swandaru membelalakkan matanya. "Justru
seka"rang kalau ia datang, aku akan mati lemas."
Agung Sedayu tertawa kecil. "Sudahlah. Kita akan makan,"
"Aku haus," desis Sekar Mirah.
"Bukankah kau sudah minum tadi di belik dekat sungai
Praga?" "Sekarang aku haus lagi."
"Tahankanlah. Besok kita cari mata air, kau harus melatih
diri menjadi seorang perantau."
Sekar Mirah terdiam. Dipandanginya Swandaru yang
makan bekal mereka dengan lahapnya.
Namun dalam pada itu, simpang empat itu memang
menarik perhatian Kiai Gringsing, meskipun tidak
dikatakannya. Setiap kali ia berpaling ke arah jalan sempit
yang menyilang jalan yang dilaluinya.
"Lorong itu, Kiai," tiba-tiba Ki Sumangkar berdesis.
Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya, "Mungkin aku
terlampau hati-hati. Mungkin Swandaru benar, bahwa lorong
itu tidak ada anehnya seperti lorong yang kita lalui," orang tua
itu berbisik. Sumangkar terdiam sejenak. Namun kemudian ia pun
meng"angguk-anggukkan kepalanya pula. Tetapi ia tidak
mengatakan sesuatu. Sementara itu, Swandaru, Agung Sedayu, dan Sekar
Mirah, yang telah selesai menyuapi mulut masing-masing,
duduk bersandar batang-batang pohon yang tidak terlampau
rimbun. Sekali-sekali mereka menggeliat sambil menggosokgosok
kaki mereka yang lelah. "Kenapa Guru tidak makan?" bertanya Sekar Mirah, "Dan
Kiai Gringsing juga tidak?"
"Nanti sajalah," jawab Sumangkar.
"Kami sudah menyisihkan untuk Kiai berdua."
"Terima kasih. Biarlah di situ. Nanti, kalau kami sudah
lapar, kami akan mengambilnya."
Sekar Mirah tidak bertanya lagi. Sekali ia menengadahkan
wajahnya. Namun tiba-tiba saja bulu-bulunya meremang.
Dalam kesu"raman senja, dedaunan yang rimbun di atasnya
tampaknya bagai"kan tangan-tangan raksasa yang siap untuk
menerkamnya. Swandaru yang kemudian duduk sambil memeluk lututnya
memandang jauh menerawang ke dalam kesuraman.
Meskipun demikian ia masih sempat melihat sekilas seekor
kijang yang berlari kencang.
"He. Kijang," desisnya.
"Apakah kau akan mengejarnya?" bertanya Agung Sedayu.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih
bergumam, "Aku mengharap ada seekor harimau yang
menerkam salah seorang dari kita."
"Kenapa, he?" "Aku memerlukan kulitnya."
Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau
yakin bahwa kita dapat membunuh harimau itu?"
"Apalagi seekor harimau, sedang Macan Kepatihan pun
dapat dibunuh." "Tetapi bukan kau yang membunuhnya."
Swandaru tidak menyahut. Matanya kembali tersangkut ke
kejauhan. Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang duduk berdekatan,
masih juga saling berdiam diri. Sambil memandang muridmuridnya,
mereka merenungkan masalah yang mereka
hadapi. Daerah baru yang ada di sebelah bagian hutan ini.
Malam pun semakin lama menjadi semakin malam. Karena
nyamuk yang berterbangan di telinga Swandaru, anak itu
berdesis, "Kita nyalakan perapian, Kiai."
Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. "Kali ini kita tidak
menyalakan perapian."
"Nyamuknya banyak sekali, belum lagi embun yang dingin
ini." Yang menjawab adalah Sekar Mirah, "Tahankanlah. Kau
harus melatih diri menjadi seorang perantau."
Swandaru tidak menyahut. Diselubungkannya kain
panjangnya menutup telinganya.
Namun sebentar kemudian, karena kantuk dan lelah, maka
ketiga anak-anak muda itu pun segera jatuh tertidur. Sekar
Mirah bersandar sebatang pohon, Swandaru memeluk
lututnya dan mem"benamkan kepalanya di antara lenganlengannya.
Sedang Agung Sedayu duduk bersila sambil
menyilangkan tangannya di dadanya.
"Anak-anak sudah tidur," desis Kiai Gringsing.
Ki Sumangkar menganggukkan kepalanya. "Ya. Mereka
merasa lelah juga." "Lebih dari itu, mereka merasa aman. Itulah sifat anak-anak
nakal. Orang tua jugalah yang harus menungguinya."
Sumangkar tersenyum. Tetapi ia tidak menyahut.
Keduanya pun kemudian terdiam. Mereka pun merasa
perlu pula untuk beristirahat, meskipun tidak tidur senyenyak
murid-murid mereka. Bahkan tanpa berjanji, keduanya seolaholah
telah membagi waktu mereka, apabila sesuatu terjadi di
tempat yang kurang mereka kenal itu.
Angin yang lembab, yang mengusap tubuh-tubuh mereka,
mengalir perlahan-lahan. Daun-daun yang berdesir gemerisik
seperti suara orang yang berbisik-bisik.
Lamat-lamat di kejauhan terdengar suara binatangbinatang
hutan. Seekor harimau mengaum dengan
dahsyatnya, sehingga Swandaru terbangun karenanya.
"Apakah harimau itu akan datang kemari?" desisnya.
Meskipun Agung Sedayu masih saja memejamkan
matanya, namun ia menjawab, "Jauh sekali. Apalagi arah
angin justru dari arah harimau itu, sehingga bau keringatmu
tidak tercium olehnya."
Swandaru tidak menyahut lagi. Kembali ia membenamkan
kepalanya dan menutup telinganya dengan kain panjangnya.
Te"tapi sekali-sekali ia masih juga harus menggaruk-garuk
lengannya yang gatal dimakan nyamuk.
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suasana malam di hutan itu telah membuat bulu-bulu roma
Sekar Mirah meremang. Tetapi malam ini bukan untuk
pertama kalinya ia bermalam. Ketika ia berangkat dari Sangkal
Putung, ia pun telah bermalam di perjalanan. Dan sekali di
tengah-tengah hutan seperti ini, meskipun Sumangkar
membawanya lewat daerah yang tidak selebat tempat ini.
Dalam pada itu, selagi kedua orang-orang tua itu mulai
terkantuk-kantuk, tiba-tiba hampir bersamaan mereka
mengangkat wajah-wajah mereka. Meskipun masih berbaur
dengan desir angin, namun mereka mendengar suara yang
lain. Suara yang mereka kenal. Derap kaki-kaki kuda.
Sejenak kedua orang tua itu saling berpandangan.
Kemudian perlahan-lahan Kiai Gringsing berdesis, "Kau
dengar derap kaki kuda, Adi?"
Sumangkar menganggukkan kepalanya. "Ya. Aku
mende"ngarnya meskipun agaknya masih jauh sekali."
"Apakah ada orang yang lewat jalan setapak itu di malam
begini?" Sumangkar tidak segera menyahut. Sekilas disambarnya
anak-anak muda yang sedang tidur itu dengan tatapan
matanya. Kemudian ia menarik nafas dalam-dalam.
"Jalan silang itu memang menarik," desis Kiai Gringsing.
"Mungkin juga, atau sekedar suatu kebetulan."
Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi ia memasang
teli"nganya baik-baik. Derap kaki-kaki kuda itu terdengar
semakin lama menjadi semakin jelas.
Sejenak keduanya seakan-akan membeku. Mereka
mencoba menebak, siapakah yang berkuda di malam hari,
apalagi di tengah hutan yang lebat ini" Tetapi mereka sama
sekali tidak dapat menduga apa pun karena mereka sama
sekali belum mengenal daerah dan isi dari daerah ini.
Namun demikian jelas bagi keduanya, bahwa derap kuda
itu agaknya menyusur jalan setapak yang menuju ke daerah
baru yang sedang berkembang itu.
"Tidak hanya seekor kuda," tiba-tiba Ki Sumangkar
ber"desis. "Ya. Tiga atau empat," sahut Kiai Gringsing.
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
kembali ia terdiam. Dalam pada itu, derap kaki-kaki kuda itu semakin lama
menjadi semakin jelas, sehingga ketiga anak-anak muda yang
tertidur itu pun terbangun karenanya.
Sambil menggosok matanya, Swandaru mencoba
meyakinkan dirinya, apakah ia tidak sedang bermimpi, sedang
Agung Sedayu berdesis, "Aku mendengar suara derap kaki
kuda." "Ha," sahut Swandaru, "kalau begitu aku tidak ber"mimpi."
"Ya," gumam Sekar Mirah dengan suara parau, "aku juga
mendengar." "Tenanglah," berkata Kiai Gringsing kemudian, "Tinggalah
kalian di sini. Aku akan melihat, siapakah yang berkuda di
tengah malam itu." *** "Aku ikut, Guru," minta Swandaru.
"Tinggallah di sini bertiga," jawab Kiai Gringsing. "Kita
belum tahu siapakah mereka itu."
Swandaru ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia
mengangguk"kan kepalanya.
"Aku ikut bersama Kiai." berkata Sumangkar.
"Marilah, kita melihat siapakah mereka itu." Lalu kata"nya
kepada Agung Sedayu, "Hati-hatilah di sini. Daerah ini
meru"pakan daerah asing yang masih penuh dengan rahasia
bagi kita. Kalian harus mengawasi keadaan di segenap arah.
Jangan sampai kalian diterkam oleh kesulitan tanpa sempat
membela diri sama sekali."
"Baik, Guru." "Aku dan pamanmu Sumangkar akan melihat, apakah
se"benarnya yang kami dengar ini benar-benar suara telapak
kaki kuda." "Atau Sidanti benar-benar menyusulku?" desis Swandaru.
"Ah, kau," potong Sekar Mirah. "Lebih baik aku ber"temu
dengan Sidanti yang sebenarnya."
"Jangan hiraukan Swandaru," berkata Kiai Gringsing. "Ia
sendiri agaknya mulai diraba oleh ketakutan."
"Tidak, Guru. Aku tidak pernah mengenal takut," ia berhenti
sejenak. Lalu, "Kecuali kepada Sidanti sekarang."
Mau tidak mau Agung Sedayu terpaksa tersenyum.
Katanya, "Biarlah aku yang menemuinya. Ia baik kepadaku."
Swandaru mengerutkan keningnya, tetapi ia tidak
menjawab. Sejenak kemudian, Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar pun meninggalkan ketiga anak-anak muda itu.
Dengan hati-hati mereka menyusup semak-semak di bawah
pohon-pohon raksasa yang menjulang tinggi menusuk
kekelaman malam. Yang ditinggalkan, ketiga anak-anak muda itu pun mulai
menga"tur diri. Tanpa berjanji mereka bergeser maju dan
menunggu apa yang akan dikatakan oleh Agung Sedayu,
sebagai orang tertua di antara mereka.
"Kita mengawasi segala arah," desisnya.
"Apakah kita akan duduk beradu punggung?" bertanya
Swandaru. Agung Sedayu berpikir sejenak, lalu katanya, "Tidak perlu,
tetapi kita harus mencoba menguasai semua arah dari tempat
kita masing-masing. Bukankah dengan duduk berhadapan kita
dapat melihat arah yang berlawanan?"
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya, kita
memang harus berhati-hati dalam suasana yang tidak kita
mengerti." "Ya." "Kita sama sekali tidak dapat membayangkan apa yang ada
di sekitar kita. Lebih baik kita dikerumuni oleh binatangbinatang
buas daripada rahasia yang sama sekali belum kita
kenal." "Ya." "Menghadapi binatang buas, kita dapat membuat
perhi"tungan yang mapan."
"Ya." "Tetapi," Sekar Mirah tiba-tiba menyela, "kau berbicara
terus, Kakang Swandaru. Kalau ada seseorang yang
mengintai kita, kau adalah penunjuk yang baik."
"O, ya. Aku akan diam."
"Tetapi, apakah yang akan kau lakukan kalau kita
dikeru"muni oleh binatang buas" Membunuh mereka bersama
sekali"gus?" bertanya Agung Sedayu.
"Tidak." "Lalu?" "Memanjat pohon setinggi-tingginya."
"Ah, kalian berbicara saja," sekali lagi Sekar Mirah
memotong. "Dengar. Derap kaki-kaki kuda itu menjadi
semakin dekat." "Masih agak jauh," berkata Swandaru. "Gemanya
me"lontar ke segenap penjuru di dalam hutan yang sepi
begini." Sekar Mirah tidak menyahut lagi, sedang Agung Sedayu
pun kemudian terdiam mendengarkan derap kaki-kaki kuda
yang menjadi semakin jelas.
Tanpa mereka sadari, maka mereka pun segera
mempersiap"kan diri masing-masing. Sekar Mirah yang
menggenggam tongkat baja putihnya, mulai membelai kepala
tongkatnya yang berwarna kekuning-kuningan itu. Sedang
tanpa sesadarnya, Swandaru telah meng"urai cambuk yang
membelit di pinggangnya. Ketiganya pun menjadi semakin lama semakin tegang.
Agaknya kuda-kuda itu tidak berlari terlampaui kencang.
Mungkin karena jalan yang licin berbatu-batu padas, mungkin
karena rintangan-rintangan lain.
Tetapi mungkin juga karena penunggang-penunggangnya
sengaja memperlambat jalan kuda mereka untuk kepentingankepentingan
tertentu. Sejenak ketiga anak-anak muda yang masih duduk di
tempatnya itu saling berpandangan. Namun agaknya mereka
tidak tenang duduk saja sambil membelai senjata masingmasing,
tiba-tiba tanpa disadarinya Swandaru mulai bergerak
sambil berdesis lambat, "Aku akan berdiri."
Tanpa menunggu jawaban ia pun kemudian bangkit berdiri,
diikuti oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Perlahan-lahan
mereka bergeser memencar. Masing-masing bersandar pada
sebatang pohon yang cukup besar, sehingga seakan-akan
mereka telah hilang ditelan oleh batang-batang yang besar itu.
Sementara itu, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pun
dengan hati-hati merayap mendekati jalan sempit yang
bersilang di tengah-tengah hutan yang lebat itu.
Dengan telunjuknya, Kiai Gringsing memberi isyarat
kepada Ki Sumangkar, bahwa mereka akan melihat simpang
empat itu, karena menurut perhitungan Kiai Gringsing kuda itu
pasti akan melintas di jalan silang, lorong mana pun yang
dilaluinya. Ki Sumangkar pun menganggukkan kepalanya.
Perlahan-lahan mereka semakin maju, sehingga akhirnya
mereka berada beberapa langkah saja di sebelah simpang
empat kecil itu. Ternyata kuda-kuda itu masih belum lewat, karena
suaranya masih menuju ke arah mereka.
"Kita menunggu di sini." Kiai Gringsing berbisik. Ki
Sumangkar menganggukkan kepalanya.
Sambil menahan desah pernafasan mereka, maka kedua
orang tua-tua itu pun berjongkok di balik gerumbul-gerumbul
yang rimbun, menunggu kuda-kuda yang sebentar lagi pasti
akan lewat. Ternyata mereka tidak usah menunggu terlampau lama.
Sejenak kemudian, tampaklah bayang-bayang kehitaman di
gelapnya malam, beberapa ekor kuda melintas di lorong
sempit itu. Tepat di jalan silang penunggang kuda yang paling
depan menarik ken"dali kudanya, sehingga kuda itu pun
berhenti, diikuti oleh orang-orang yang berada di belakangnya.
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar menahan nafasnya,
su"paya orang-orang berkuda itu tidak mendengarnya.
Sejenak kemudian kedua orang itu pun terkejut ketika
mereka mendengar salah seorang dari mereka berkata, "Kita
tidak menjumpai apa pun. Kita sudah menjelajahi bagian
hutan ini." Dada kedua orang itu menjadi berdebar-debar. Mereka
kenal suara itu. Suara Raden Sutawijaya yang bergelar Mas
Ngabehi Loring Pasar, sehingga sejenak mereka saling
berpandangan. Tetapi mereka tidak berani mengucapkan
sepatah kata pun. "Tetapi," terdengar yang lain menjawab, "sebagian dari
rakyat menjadi ketakutan karenanya."
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Sekarang kemana kita pergi. Ke jalan yang mana?"
"Jalan yang ini menuju ke Kali Praga."
"Langsung ke Tanah Perdikan Menoreh."
"Ya, dan yang ini akan menerobos daerah yang masih buas
menuju ke tlatah Mangir."
"Ya," suara Sutawijaya merendah. "Lalu kita sekarang ke
mana" Ternyata kita tidak pernah menjumpai apa pun,
meskipun sudah tiga malam kita meronda."
Sejenak pengikut-pengikut Sutawijaya itu tidak menyahut.
Namun sejenak kemudian salah seorang berkata, "Memang
sulit untuk menemukan hantu-hantu itu."
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar mengerutkan keningnya.
Agaknya Sutawijaya sedang mencari sesuatu. Hantu,
sebenar"nya hantu atau seseorang yang telah mengganggu
ketenteraman daerah baru ini"
"Apakah kau yakin, bahwa rakyat kita benar-benar telah
diganggu oleh hantu-hantu?" Sutawijaya-lah yang bertanya
kepada pengikut-pengikutnya.
"Demikianlah menurut pendengaran kami. Hantu itu
ber"kerudung hitam. Tetapi yang dapat dilihat oleh rakyat di
pinggir hutan yang belum dibuka, hantu-hantu itu kerkepala
tengkorak. Kadang-kadang saja terlihat sepintas apabila
kerudung tubuh mereka tersingkap, tulang-tulang iga yang
tampak jelas pada dada mereka."
"Apakah hantu-hantu itu berwujud jerangkong?" bertanya
Sutawijaya. "Ya." "Aku ingin melihat," desis Sutawijaya, "sampai sebe"sar ini
aku belum pernah melihat jerangkong."
"Bukan saja jerangkong," terdengar suara yang lain, "kudakuda
yang mereka pergunakan bertelapak putih yang
bercaha"ya. Seseorang pernah melihat di antara dua sosok
jerangkong terdapat sesosok hantu yang lain. Berwarna
merah menyala, dan di bagian-bagian tertentu berkeredipan
seperti kunang-kunang."
"Ya. Aku sebenarnya juga pernah mendengar keluhan itu.
Tetapi aku kira tidak setajam ini, sehingga baru sekarang aku
menaruh perhatian." "Hantu-hantu itu benar-benar mengganggu pembukaan
daerah-daerah yang sudah direncanakan. Bahkan beberapa
orang mulai menyingkir ke daerah yang sudah mulai ramai."
"Baik. Baik," jawab Sutawijaya. "Tetapi ke mana kita
sekarang?" Tidak seorang pun yang menjawab.
"Aku ingin menemukan sarang hantu," suara Sutawijaya
meninggi sejalan dengan kekesalan hatinya yang memuncak.
"Hantu-hantu itu dapat menghilang," terdengar seseorang
menjawab. "Aku ingin tahu, apakah hantu-hantu itu mampu melawan
pusaka-pusaka Kiai Pasir Sawukir ini, atau Kiai Naga Kemala.
Kalau sentuhan ujung tombakku atau ujung keris Ayahanda Ki
Gede Pemanahan ini tidak mempan, aku akan bersimpuh di
ujung kaki jerangkong-jerangkong itu."
Suasana menjadi hening. Yang terdengar hanyalah desah
nafas Mas Ngabehi Loring Pasar yang sedang menahan
perasaannya dan yang tiba-tiba saja bertanya keras-keras,
"He, kemana ki"ta sekarang" Apakah kita akan melanjutkan
perjalanan yang tidak berketentuan ini untuk berburu hantu?"
Tetapi suaranya itu pun segera hilang ditelan oleh
geram"nya sendiri di hutan yang sepi itu. Tidak seorang pun
dari para pengiringnya yang menjawab.
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terdengar nafas Raden Sutawijaya itu berdesah. Katanya
kemudian, "Baiklah. Kita sekarang pulang. Tetapi aku tidak
akan berhenti sebelum aku menemukan hantu-hantu itu.
Kalau kalian mendengar laporan tentang hantu-hantu itu,
kalian harus langsung memberitahukan kepadaku."
Tetapi Sutawijaya tidak menunggu jawaban. Segera ia
menarik kendali kudanya, sehingga kudanya segera bergerak.
Sejenak kemudian kudanya itu pun berderap meninggalkan
jalan silang, menuju ke daerah yang sudah menjadi ramai dan
berpenghuni padat, diiringi oleh para pengawal.
Ketika derap kuda itu menjadi semakin jauh, maka
terde"ngarlah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar hampir
bersamaan menarik nafas dalam-dalam.
"Itulah persoalan yang tumbuh di daerah baru ini," ber"kata
Kiai Gringsing. "Persoalan yang menarik. Sama sekali bukan persoalan
antara daerah baru ini dengan Pajang. Tetapi justru dengan
hantu-hantu." Kiai Gringsing tersenyum. Katanya kemudian, "Tetapi
Anakmas Sutawijaya agaknya tidak percaya, bahwa yang
meng"ganggu daerah barunya ini benar-benar hantu, iblis,
dan gendruwo." "Tetapi menilik ceritera para pengawalnya itu, agaknya
mereka yakin atau setidak-tidaknya ada sedikit kepercayaan
bahwa yang berkeliaran dengan bentuk yang menakutkan itu
adalah hantu-hantu. Jerangkong dan yang merah-merah itu
adalah banaspati." "Bagaimana dengan warna-warna yang bercahaya di
bagian tubuh mereka?"
"Tentu kita belum dapat menyebutkan, karena kita belum
melihatnya sendiri."
Kedua orang itu pun kemudian merenung sejenak. Mereka
mencoba menghubungkan keterangan-keterangan yang
didengarnya dari orang-orang yang baru saja lewat di jalan
silang itu. Tetapi sambil menggeleng-gelengkan kepalanya,
Kiai Gringsing berkata, "Aku pun tiba-tiba ingin melihat hantu
itu." "Aku pun tertarik pula. Seandainya aku tidak membawa
Sekar Mirah." Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya. Tetapi ia
ber"kata, "Adi Sumangkar. Kita menghadapi suatu keadaan
yang tidak wajar, apakah menurut pertimbangan Adi, Sekar
Mirah dapat ikut serta" Aku yakin bahwa Sekar Mirah bukan
seorang penakut, seandainya ia harus bertempur sebagai
seorang prajurit di peperangan yang besar pun ia tidak akan
gentar. Tetapi seba"gai seorang gadis, bagaimanakah kirakira
kalau ia melihat sesuatu yang tidak masuk akal, seperti
hantu-hantu itu misalnya. Bukankah seorang gadis lebih
banyak dikuasai oleh perasaannya daripada nalarnya?"
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Itulah yang aku pikirkan. Tetapi juga kegelisahan
ibunya di rumah menjadi persoalan. Dahulu aku berjanji,
bahwa aku tidak akan terlampau lama membawa Sekar Mirah
untuk melihat-lihat daerah-daerah di luar kademangan itu, dan
sekaligus mencari berita tentang Swandaru."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya ke"mudian, "Jadi, bagaimana sebaiknya?"
"Aku juga menjadi ragu-ragu seperti Sekar Mirah sendiri.
Apalagi persoalan hantu ini sangat menarik perhatianku."
Kiai Gringsing tidak menyahut.
"Tetapi," berkata Ki Sumangkar selanjutnya, "aku kira, aku
memang lebih baik membawa Sekar Mirah kembali ke
Sang"kal Putung lebih dahulu."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya,"
ka"tanya, "Memang agaknya lebih baik demikian. Kalau
persoalan"nya bukan persoalan hantu, mungkin Sekar Mirah
akan dapat ikut serta."
"Baiklah. Aku akan mengambil keputusan itu. Aku akan
mengatakan kepadanya, bahwa sebaiknya ia kembali lebih
da"hulu ke Sangkal Putung."
"Aku kira begitu," sahut Kiai Gringsing.
Demikianlah, maka kedua orang tua itu telah mengambil
suatu keputusan, bahwa Sekar Mirah dan Ki Sumangkar akan
mendahului Kiai Gringsing dan murid-muridnya, kembali ke
Sangkal Putung. Ketika mereka berdua kembali ke tempat mereka semula,
mereka mengangguk-anggukkan kepala, karena mereka
melihat ketiga anak-anak muda itu masih juga bersiaga. Sekar
Mirah bersandarpada sebatang pohon sambil membelai
kepala tongkatnya, sedang Swandaru bermain-main dengan
cambuknya. Meskipun Agung Se"dayu belum mengurai
senjatanya sama sekali, tetapi ia sudah memegangi
tangkainya erat-erat. "Bagus," berkata Kiai Gringsing, "kalian telah siap
menghadapi setiap kemungkinan yang dapat timbul setiap
saat." "Ya," jawab Agung Sedayu, "apalagi ketika aku
men"dengar derap kuda itu agaknya berhenti di jalan silang.
Lamat-lamat aku mendengar juga suara seseorang meskipun
tidak jelas, apa yang dikatakannya."
"Ya," jawab Kiai Gringsing, "salah seorang dari me"reka
telah berbicara dengan keras."
"Apakah yang mereka bicarakan?" bertanya Swandaru.
"Aku menjadi cemas, bahwa mereka telah melihat Kiai
berdua, sehingga timbul salah paham."
"Tidak. Ternyata mereka hanya orang-orang lewat, seperti
orang-orang lain. Agaknya pedagang-pedagang yang
membawa dagangannya ke daerah baru itu."
"Apakah mereka tidak takut bertemu dengan penyamun?"
bertanya Sekar Mirah. "Menilik sikap dan senjata di lambung masing-masing,
mereka tidak takut kepada penyamun-penyamun."
Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
tidak bertanya lagi. "Sekarang, kita dapat beristirahat dengan tenteram.
Ter"nyata tidak ada apa-apa di hutan ini."
"Selain ular bandotan," potong Swandaru.
Agung Sedayu tersenyum, tetapi ia tidak menyahut. Ia pun
kemudian duduk bersandar sebatang pohon. Sekali ia
menguap, kemudian menggosok-gosok matanya yang mulai
kantuk lagi. Namun Swandaru masih berkata, "Tetapi, terhadap ular
bandotan pun kita tidak usah takut. Guru pasti sudah
menyediakan obatnya."
"Ah, kau," berkata Kiai Gringsing. "Tidurlah, kalau kau
masih ingin tidur." Semuanya pun kemudian duduk kembali. Masing-masing
mencari tempat yang baik untuk tidur sambil duduk bersandar.
Tetapi orang-orang tua yang melihat Sutawijaya itu pun,
sama sekali tidak dapat memejamkan mata. Mereka masih
dicengkam oleh teka-teki yang tidak akan dapat mereka
pecahkan begitu saja. Mereka memerlukan bahan-bahan yang
lebih banyak. Tetapi untuk seterusnya Sumangkar tidak akan
dapat ikut serta, karena ia harus mengantarkan Sekar Mirah,
kembali ke Sangkal Putung.
Ketika matahari terbit di keesokan harinya, maka kelima
orang itu pun segera membenahi dirinya. Mereka akan
meneruskan perjalanan, mencari tempat yang baik bagi
mereka yang masih akan tinggal di daerah yang baru itu.
"Kita akan segera berpisah," berkata Sumangkar, "karena
aku dan Sekar Mirah akan kembali ke Sangkal Putung."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Katanya, "Jadi kita
mendahului, Guru?" "Ya. Kita mendahului. Bukankah kau juga memikirkan
perasaan ibu dan ayahmu?"
Sekar Mirah menganggukkan kepalanya. Tetapi ia
ber"tanya, "Kenapa kita tidak pulang saja bersama-sama?"
"Kakakmu memerlukan bahan yang cukup dari daerah ini.
Untuk kepentingan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan
Me"noreh. Dua daerah, yang letaknya berseberangan bagi
daerah baru ini." Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
"Nah, sekarang kau harus minta diri kepada Kiai Gringsing."
Sekar Mirah memandang gurunya sejenak, lalu berpaling
kepada Kiai Gringsing. "Aku minta diri, Kiai."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Jawabnya, "Hati-hatilah di jalan. Patuhi perintah gurumu,
karena jalan yang akan kau lalui adalah jalan yang masih
belum memiliki kepastian."
"Mudah-mudahan kita tidak akan bermalam lagi di jalan,"
ber"kata Ki Sumangkar, "meskipun agaknya kita akan sampai
di Sangkal Putung larut malam. Tetapi hutan di seberang Alas
Tambak Baya tidak ada lagi yang berbahaya dan lebat."
"Ya. Sampaikan salamku kepada Ki Demang Sangkal
Putung, suami isteri."
"Baiklah." Lalu kepada Agung Sedayu dan Swandaru, Ki
Sumangkar berkata, "Kawani gurumu. Ia akan segera
menemukan permainan baru di Alas Mentaok."
Kedua anak-anak muda itu mengerutkan keningnya. Dan
Agung Sedayu pun segera menjawab, "Baik, Kiai. Kami akan
menung"gui guru di sini beberapa waktu."
"Apabila kami sudah selesai, kami akan segera menyusul,"
sela Swandaru. Sekar Mirah pun kemudian minta diri pula kepada
kakak"nya dan kepada Agung Sedayu. "Hati-hatilah kalian
berdua," berkata gadis itu. "Daerah ini agaknya memang
mempunyai nafas yang menyesakkan."
"Eh, kau menasehati" Begini segar udara di hutan ini,"
Jawab Swandaru. Sekar Mirah mengerutkan keningnya. "Mudah-mudahan
kau menemukan macan tutul. Tetapi ingat, bawa kulitnya
pulang ke Sangkal Putung. Aku memerlukannya."
"Buat apa kau?"
"Selongsong tongkatku. Bukankah lebih baik aku
mem"buat selongsong dan aku gantungkan di punggung
seperti pedang?" "Tidak usah kulit harimau. Kalau aku mendapatkannya
akan aku pergunakan sendiri untuk pembalut wrangka
pedangku yang bertangkai gading. Aku sudah mempunyai
seutas tali yang berwarna kuning keemasan untuk
mengikatnya." Sekar Mirah memberengut. Tetapi ia tidak berkata apa pun
lagi. Beberapa langkah kemudian, maka mereka pun berpisah.
Sekar Mirah dan Ki Sumangkar berjalan lurus ke Timur,
mengikuti jalan setapak yang membelah hutan yang lebat,
tetapi yang sudah mulai menipis. Sedang Kiai Gringsing dan
kedua murid"nya, akan menjelajahi daerah itu, mencari
tempat yang dapat mereka pergunakan untuk tinggal
beberapa lama, seperti ketika mereka berada di Tanah
Perdikan Menoreh, sebelum mereka secara terbuka berpihak
kepada Ki Argapati. Setelah mereka berpisah, barulah Kiai Gringsing
memberitahukan kepada kedua muridnya, apa yang telah
dilihatnya semalam bersama Ki Sumangkar.
"Kenapa Guru tidak memanggil kami semalam?" bertanya
Swandaru. "Kenapa kau bertanya begitu?" sahut gurunya.
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Memang
seharusnya ia tidak usah bertanya begitu.
"Dengan demikian, maka Ki Sumangkar mengambil
keputusan bahwa Sekar Mirah harus dibawa kembali. Mungkin
ia tidak gentar menghadapi apa pun, tetapi berhadapan
dengan hantu, masalahnya jadi lain. Mungkin Sekar Mirah
tidak dapat mengendalikan perasaannya melihat wujud-wujud
yang mengerikan. Jerangkong, wedon, banaspati, dan jenisjenis
hantu yang lain," berkata Kiai Gringsing.
"Persetan dengan hantu-hantu," Swandaru menggeram.
"Jangan congkak," gurunya tersenyum, "tetapi memang
sebaiknya kalian mempersiapkan diri menghadapi masalah
yang agaknya tidak mudah kita temui di tempat dan di saat
lain." Kedua anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Agaknya daerah baru ini mempunyai banyak persoalan."
gumam Agung Sedayu, "Suatu ketika Raden Sutawijaya baru
berbicara tentang Pajang. Dan kita pun harus bertanya-tanya,
apakah yang akan dilakukan oleh Kakang Untara" Sementara
ini kita semuanya akan disibukkan oleh hantu-hantu yang
agaknya ikut mengambil bagian dalam kesibukan ini."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya mendengar katakata
Agung Sedayu itu. Tanpa sesadarnya ia pun
mengangguk-angguk sambil berkata, "Ya. Demikianlah
agaknya. " "Tetapi persoalan daerah ini dengan Pajang, agaknya
masih belum terasa kini," berkata Agung Sedayu kemudian,
"lebih-lebih bagi orang kebanyakan."
"Yang terasa agaknya baru masalah hantu-hantu itu," sahut
Swandaru. Gurunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang
yang terasa agaknya barulah masalah hantu-hantu itu.
Mereka yang kini tinggal bertiga itu pun kemudian sam"pai
pada daerah yang sedang dibuka. Dengan sedikit merubah
langkah kakinya dan lenggang tangannya, serta pakaian yang
paling kumal yang ada padanya. Kiai Gringsing pun kemudian
menempatkan dirinya di antara mereka yang dengan suka rela
datang dan ikut membuka daerah baru ini.
"Agaknya Ki Gede Pemanahan melakukan pembukaan
hutan ini dengan tertib sekali," Berkata Kiai Gringsing.
"Ter"nyata hutan ini telah terbagi-bagi."
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Pembukaan hutan yang dilakukan oleh Ki Gede
Pemanahan agak"nya telah diatur, sesuai dengan sebuah
rencana yang rapi. Bagian-bagian yang telah ditentukan
sajalah yang boleh dibuka oleh para pendatang. Mereka tidak
boleh menebang hutan sesuka hati mereka. Beberapa orang
petugas telah ditempatkan di daerah yang masih akan
diperluas, untuk mencegah meluasnya daerah baru ini yang
tidak sejalan dengan rencananya Ki Gede Pema"nahan.
"Nah, kita menyatakan diri sebagai orang-orang yang ingin
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ikut serta membuka hutan ini," berkata Kiai Gringsing kepada
dua muridnya. "Kita harus menghubungi petugas-petugas itu," desis
Agung Sedayu. "Ya. Kita minta ijin untuk ikut serta. Bukankah sampai saat
ini masih terus mengalir orang-orang baru yang ingin
bertempat tinggal di tlatah yang baru ini?"
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka pun kemudian dengan caranya yang khusus telah
menghubungi para petugas, untuk minta diperkenankan ikut
membuka daerah baru itu. "Siapa namamu, Kek?" bertanya petugas itu.
"Truna Podang," jawab Kiai Gringsing.
"He, kenapa Podang" Burung Kepodang adalah burung
yang manis." "Bukankah aku manis juga, Tuan."
Para petugas itu pun tertawa. "Siapa yang dua orang ini?"
"Anak-anakku, Tuan."
Para petugas itu pun mengerutkan keningnya. Mereka
memandang Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti.
Salah se"orang dari mereka bergumam seperti kepada diri
sendiri, "Keduanya tidak mirip sama sekali."
Dan Kiai Gringsing menjawab, "Keduanya lahir dari ibu
yang berlainan." "He," petugas itu membelalakkan matanya. "Kau dapat juga
mendapatkan dua orang isteri?"
"Kenapa?" "Kau yang timpang dan tampaknya sakit-sakitan itu?"
"Ya, kenapa" Apakah aku ini tidak semanis podang"
Bu"kan hanya dua orang itu saja yang mau menjadi isteriisteriku,
Tuan. Tetapi akulah yang berkeberatan."
Para petugas itu tertawa. Sedang Swandaru mengumpat di
dalam hatinya. "Bukan hanya berbeda ibu, tetapi saudara
kandung bukan seayah dan ibu."
"Apakah kalian sudah siap ikut serta menebang hutan?"
bertanya para petugas itu.
"Tentu, Tuan. Kami sudah sedia."
"Dimana isteri-isterimu itu?"
"Keduanya sudah meninggal. Dan aku tidak mau kawin lagi
meskipun banyak perempuan yang menghendaki."
"He, jangan membual!" bentak salah seorang petugas yang
tidak senang mendengar kelakar orang tua itu. Tetapi
pe"tugas yang lain tertawa sambil berkata, "Memang
sebaiknya kau kawin lagi. Mungkin masih ada nenek-nenek
yang mau menjadi isterimu sebelum masuk ke liang
kuburnya." Kiai Gringsing tertawa dengan nada yang tinggi
melengking. "He, kau tertawa seperti kuda meringkik," berkata
sa"lah seorang dari petugas-petugas itu. "Agaknya suara
tertawanya itulah yang menyebabkan kau disebut Truna
Podang." "Mungkin, Tuan. Memang mungkin sekali."
"Jangan diajak berbicara," sela yang lain, "orang ini akan
mengigau terus-menerus." Kemudian kepada Kiai Gring"sing
petugas itu bertanya, "Di mana alat-alatmu?"
"Alat-alat apa, Tuan?" bertanya Kiai Gringsing.
"Kau datang kemari mau apa?" bertanya petugas itu.
"Ikut membuka Alas Mentaok."
"Kenapa kau tidak membawa alat-alat untuk menebangi
pepohonan?" "Barangkali ada tanah yang sudah bersih, Tuan."
"Tutup mulutmu," petugas yang satu itu agaknya
ter"lampau keras. "Bicaralah sungguh-sungguh kalau kau
tidak mau aku tampar mulutmu."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dipandanginya
beberapa petugas yang lain, yang masih tersenyum-senyum
saja. Bahkan kemudian salah seorang dari mereka berkata,
"Kita perlu me"melihara orang-orang macam ini. Yang tua ini
pandai berkicau, anak-anaknya pun tentu pandai menciapciap."
"Lempar saja ia ke tengah-tengah hutan yang lebat. Biarlah
ia dimakan hantu yang berkeliaran itu."
"Tetapi, tetapi kami ingin ikut serta Tuan-Tuan, jangan
disangka kami tidak bersungguh-sungguh. Meskipun kami
tidak membawa alat-alat untuk itu. Kami menyangka bahwa
alat-alat untuk itu telah disediakan di sini."
"Kau memang bodoh. Apakah kami harus menyediakan
alat-alat itu untuk ratusan orang" Setiap hari, masih saja
mengalir orang-orang baru yang ingin ikut membuka hutan
ini." Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sejenak ia
berpa"ling kepada kedua anak-anaknya. Tetapi baik Agung
Sedayu maupun Swandaru, tidak dapat memberikan
pertimbangan apa pun. "Jadi bagaimana?" bertanya petugas itu.
"Tetapi, bukankah hal yang demikian itulah yang
dikehendaki" Semakin banyak orang yang datang ke tlatah ini,
daerah baru ini akan menjadi semakin cepat ramai."
"Tetapi mereka harus membawa alat-alatnya masingmasing.
Kita tidak akan menyediakan apa pun juga di sini."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
kemu"dian katanya, "Bagaimana kalau kami meminjam?"
"Dari siapa kau meminjam?"
"Dari para petugas di sini. Apakah di sini tidak ada kapak,
parang dan sebagainya?"
Petugas itu menggelengkan kepalanya. Bahkan kemudian
ia membentak, "Jangan mengganggu tugas kami. Pergilah
kamu. Kalian memang tidak menyiapkan diri untuk ikut
membuka hutan ini." Sejenak Kiai Gringsing merenung. Ia hampir kehabisan
akal untuk menyatakan dirinya ikut serta di dalam perluasan
tanah garapan di daerah yang baru ini.
"Apakah aku harus langsung ke pusat daerah ini, daerah
yang pasti sudah menjadi ramai?" bertanya Kiai Gringsing
kepada diri sendiri, "Tetapi menilik pembicaraan Raden
Sutawijaya, maka hantu-hantu itu berkeliaran terutama di
daerah-daerah yang baru dibuka ini."
"Menyingkirlah! Jangan berdiri mematung di situ," ben"tak
seorang petugas. Dalam kebingungan itu, tiba-tiba seorang petugas yang lain
menghampirinya sambil bertanya, "Kau benar-benar tidak
mempu"nyai alat-alat?"
"Tidak, Tuan. Kami tidak mempunyai apa pun di rumah
kami. Itulah sebabnya kami mencoba mengadu untung ke
daerah baru ini. Tetapi ternyata tanpa modal alat-alat yang
tidak kami miliki itu, kami tidak dapat berbuat apa-apa di sini."
"Apakah kau seorang petani?"
Kiai Gringsing mengangguk. "Ya, Tuan. Kami adalah
petani-petani miskin. Bahkan yang paling miskin di daerah
kami." "Kalau kau tidak mempunyai alat-alat, dengan apa kau
bertani?" "Kami mempunyai beberapa macam alat pertanian. Tetapi
tidak ada harganya sama sekali. Cangkul yang geropok,
parang yang sudah patah dan sedikit buntung. Tetapi alat-alat
itu sudah tidak pantas kami bawa kemari."
Petugas itu merenungi Kiai Gringsing dan kedua anakanaknya
berganti-ganti. Tersirat keheranan disorot matanya,
melihat tubuh Agung Sedayu yang kuat dan Swandaru yang
gemuk. "Bukankah sayang sekali, tuan?" berkata Kiai Gringsing.
"Aku mempunyai anak-anak yang masih muda dan kuat.
Kalau tenaganya tidak dipergunakan sebanyak-banyaknya,
maka ia akan menjadi beban yang sangat berat bagiku.
Padahal keduanya sedang menginjak musim makan
sebanyak-banyaknya. "Apakah mereka tidak mau membantu ayahnya?"
"Tentu mereka mau membantu aku. Tetapi alat-alat kamilah
yang tidak mencukupi, sehingga kami harus bekerja
bergantian." Petugas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
tiba-tiba kawannya membentak, "Biarlah mereka pergi.
Mereka pasti hanya akan mengganggu saja di sini."
"Tunggu," jawab kawannya, lalu katanya kepada Kiai
Gringsing, "Podang. Eh, bukankah namamu, Truna Podang?"
Kiai Gringsing mengangguk. "Ya."
"Mungkin kau berguna di sini. Kau pasti pandai
berceri"tera. Meskipun ceritera-ceritera khayal sekalipun.
Karena itu, aku menjadi kasihan kepadamu. Kalau kau
memang berniat untuk ikut menebangi pepohonan dan
membuka hutan, aku akan meminjam"kan alat-alat
kepadamu." "He" Tentu kami akan sangat berterima kasih, Tuan."
"Biasanya di sini orang-orang baru bekerja di dalam
kelompok-kelompok. Mereka bersama-sama membuka suatu
daerah yang kami tunjukkan kepada mereka, menurut rencana
yang sudah disusun. Tetapi karena kalian hanya bertiga, maka
kami akan memberikan daerah yang barangkali tidak
terlampau sulit dikerjakan."
"Terima kasih, terima kasih."
Sebelum petugas itu berkata terus, kawannya telah
menyahut, "Buat apa kau pelihara orang-orang malas itu?"
"Aku akan melihat, apakah mereka dapat bekerja atau
tidak," jawab kawannya. Dan kepada Kiai Gringsing ia berkata,
"Aku beri kau daerah yang berada di pinggir patok yang sudah
kami pasang. Agak di tengah. Apakah kalian sanggup
mengerjakannya" Tetapi daerah itu tidak terlalu banyak
pohon-pohonnya yang besar."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. "Di mana?" ia
bertanya. "Di bagian Utara. Di bagian ini hutan terlampau lebat untuk
kalian bertiga. Tetapi kau perlu mengetahui, bahwa daerah itu
tidak akan dapat sesubur daerah yang lebat ini."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Baiklah, Tuan. Meskipun daerah ini subur, tetapi
kami tidak akan mampu membukanya, karena kami hanya
bertiga." "Baiklah. Marilah, kita ambil alat-alat itu. Alat-alat itu bukan
milikku sendiri. Tetapi aku mendapat titipan dari mereka yang
tidak kerasan tinggal di sini."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dan di luar
sadarnya ia bertanya, "Kenapa ada yang tidak kerasan
sebelum mereka berhasil menyelesaikan pekerjaan mereka?"
"Satu dua orang yang berhati kecil, kini sedang
meng"hindari daerah ini."
"Apa pedulimu?" sahut petugas yang lain. Sedang
Iblis Sungai Telaga 10 Pedang Tanpa Perasaan Karya Khu Lung Have I Told You Lately 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama