03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 12
belarak jambe, atau duduk-duduk di serambi. Tetapi karena
desakan para pengawal, maka mereka pun berdiri juga di
halaman sambil membawa senjata masing-masing.
Sejenak kemudian mereka pun berlatih kembali
mengayunkan dan mempergunakan senjata mereka. Mereka
menebas batang-batang kayu dengan pedang, menusuknusuk
kayu yang lunak dengan ujung tombak. Mencoba
menangkis serangan dan mencoba pula menghindar.
Tetapi ketika keringat mereka mulai mengalir, kembali
mereka dijalari oleh keseganan. Tetapi mereka terpaksa
memaksa diri masing-masing untuk tetap memegang senjata
di halaman. Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Swandaru tidak ikut
serta menunggui latihan-latihan itu. Mereka pergi ke dalam
gerumbul-gerumbul di sekitar barak. Dengan lulup kayu,
mereka mencoba merentang dari pohon yang satu ke pohon
yang lain. "Apabila mereka berlari dengan tergesa-gesa, mereka tidak
akan melihatnya di malam hari, Kakang," berkata Swandaru.
"Apakah menurut perhitunganmu, mereka akan menyerang
di malam hari?" "Ya." "Kenapa?" "Sekedar kebiasaan. Mereka biasa bergerak di malam hari
selagi mereka bermain hantu-hantuan. Pasti tidak akan terpikir
oleh mereka untuk berbuat sesuatu di siang hari."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Alasan yang
sederhana sekali. Sama sekali bukan didasari oleh
perhitungan medan yang bakal terjadi apabila mereka
menyerang, tetapi sekedar didasari alasan yang sangat
sederhana. Namun demikian, dugaan itu masuk akal juga.
"Apakah kau mempunyai dugaan lain?"
Agung Sedayu menggeleng. Katanya, "Aku juga
berpendapat demikian. Mereka akan datang di malam hari.
Tetapi bukan sekedar karena kebiasaan. Tetapi mereka pasti
menganggap bahwa di malam hari orang-orang di barak kita
selalu dibayangi oleh ketakutan. Meskipun seandainya mereka
sadar, bahwa orang-orang di barak kita tidak lagi takut
terhadap hantu-hantu jadi-jadian itu, tetapi kesan yang mereka
dapat adalah, malam hari yang gelap adalah saat-saat yang
menakutkan sekali. Di dalam gelapnya malam, apa pun dapat
terjadi." Swandaru-lah yang kemudian mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia menjawab, "Pertimbangan yang
terlampau sulit. Kenapa kau tidak mencari alasan yang mudah
dan dapat masuk akal" Barangkali kau sekedar tidak mau
kalah dengan pikiranku."
"Macammu," desis Agung Sedayu.
"Kalau tidak, kenapa kau tidak mengiakan saja
pendapatku?" "Baiklah, aku sependapat dengan kau. Aku mengiakan
pendapatmu." "Sudah tentu aku tidak puas dengan cara itu."
"Jangan ribut," sahut Agung Sedayu kemudian, "sekarang,
manakah yang akan dipasang rintangan-rintangan
tersembunyi ini?" Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
pun mengangguk-angguk, "Ya, ya. Kita sedang memasang
rintangan-rintangan."
Setelah mereka menimbang-nimbang sejenak, maka
mereka pun menemukan beberapa arah yang menurut
pertimbangan mereka, akan dilalui orang-orang yang akan
mendekati barak itu. Kalau sebelum mereka sampai ke tempat
itu, maka orang-orang dari barak itu sudah menunjukkan
perlawanan, maka orang-orang yang datang itu pasti akan
segera berlari menyerang. Rintangan-rintangan ini akan dapat
menahan laju serangan itu dan memberi kesempatan orangorang
yang sedang bertahan menjadi mapan, menghadapi
lawan-lawan mereka yang berdatangan, tetapi tidak seperti
banjir yang melanda tanggul di tikungan yang dalam."
Demikianlah Agung Sedayu dan Swandaru telah
merentangkan beberapa utas tali lulup setinggi betis, dengan
harapan agar lawan mereka mulai terganggu sebelum
pertempuran yang sebenarnya mulai.
Tanpa mereka sadari, maka kedua orang itu pun menjadi
semakin jauh. "Haus sekali," desis Swandaru.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika
ia memandang sekelilingnya, barulah ia sadar, bahwa ia telah
berada di tempat yang memang cukup jauh.
"Aku haus sekali," sekali lagi Swandaru berdesis.
"Marilah kita kembali. Kalau kita mempunyai waktu, kita
akan pergi memasang tali-tali semacam ini di arah yang lain."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya pula. "Tentu
kita akan pergi keempat arah dan memasang perangkap di
semua tempat itu." "Aku akan beristirahat dahulu sejenak," berkata Swandaru
kemudian. Perlahan-lahan ia melangkah ke arah sebatang
pohon yang rimbun meskipun tidak begitu tinggi, yang tumbuh
di antara batang-batang perdu.
Agung Sedayu pun ikut pula duduk di sampingnya. Tetapi
ia tidak bersandar pohon itu.
Tiba-tiba saja keduanya terkejut ketika mereka mendengar
kuda meringkik. Dengan serta-merta mereka, menjatuhkan diri
dan berguling menyusup ke dalam batang-batang perdu.
"Kuda. Aku mendengar ringkik kuda, benar?"
"Ya, aku juga mendengar."
Keduanya pun kemudian bersembunyi semakin rapat.
Sambil saling berpandangan mereka mendengar suara derap
kuda semakin lama semakin dekat.
Keduanya hampir tidak bernafas lagi ketika kuda-kuda itu
berhenti beberapa langkah saja di hadapan mereka
bersembunyi. "Jangan terlampau dekat," berkata salah seorang dari
orang-orang berkuda itu. "Masih terlampau jauh."
"Tidak. Kita sudah dekat dengan barak itu. Kita tinggalkan
kuda-kuda kita di sini. Kita akan melihat, apa yang dikerjakan
oleh orang-orang di dalarn barak itu."
Dada Agung Sedayu dan Swandaru menjadi berdebardebar.
Kalau orang-orang itu berjalan terus, apakah mereka
tetap di atas punggung kudanya, atau mereka mendekat
dengan berjalan kaki, maka mereka pasti akan melihat rahasia
yang baru saja dipasang. Tali-tali lulup yang terentang di
antara pepohonan. "Apakah kita akan mendekati barak itu sekarang?"
"Ya," jawab kawannya.
"Baiklah. Kita akan berjalan kaki supaya kedatangan kita
tidak mereka ketahui."
Swandaru menggamit Agung Sedayu yang mulai dibasahi
oleh keringat dinginnya, ia menjadi bimbang. Apakah orangorang
itu akan dibiarkannya saja, atau sebaiknya orang-orang
itu ditangkapnya" Keduanya tidak memberikan keuntungan
bagi barak itu. Kalau orang yang datang itu dibiarkannya.
Mereka akan mengetahui rahasia tentang tali-tali dan
barangkali juga mereka akan melihat dari kejauhan, orangorang
yang sedang berlatih di halaman barak itu. Tetapi kalau
mereka akan ditangkapnya, maka ketidak-hadiran mereka
kembali ke dalam lingkungan mereka, akan dapat
menumbuhkan kecurigaan dan persoalan bagi mereka,
sehingga mereka akan menjadi lebih berhati-hati dan bahkan
akan lebih memperkuat pasukan yang akan datang ke barak
ini, karena baik Agung Sedayu mau pun Swandaru yakin,
bahwa orang-orang itu adalah orang-orang yang dikirim oleh
Kiai Damar untuk melihat keadaan.
Dalam keragu-raguan itu, Agung Sedayu melihat orangorang
itu sudah siap untuk turun dan kuda-kuda mereka.
"Empat orang," katannya di dalam hati.
Tiba-tiba saja tanpa disengaja, tangannya menyentuh
sebutir batu sebesar telur. Batu itu ternyata telah
menumbuhkan suatu pemecahan yang barangkali dapat
dilakukannya. Sambil menunjukkan batu itu kepada
Swandaru, Agung Sedayu memberikan isyarat, bahwa ia akan
melempar kuda yang berhenti beberapa langkah dari mereka
itu. Swandaru mengerutkan keningnya. Kemudian ia
mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum. Ia
mengerti, bahwa Agung Sedayu akan mengejutkan kuda-kuda
itu, sehingga kuda-kuda itu pasti akan berlari-larian dan sukar
dikendalikan. Demikianlah, maka Agung Sedayu bergeser setapak maju.
Kedua tangannya menggenggam masing-masing sebutir batu.
Ketika kuda-kuda itu berdiri beberapa langkah daripadanya,
dan ketika penunggangnya siap meloncat turun, maka Agung
Sedayu pun segera melepaskan kedua butir batu itu, kearah
dua ekor kuda yang berdiri di paling depan.
Ternyata usaha Agung Sedayu itu berhasil seperti yang
diharapkan. Kedua ekor kuda itu terkejut bukan buatan.
Keduanya hampir berbareng melonjak berdiri sambil meringkik
keras-keras. Kemudian meloncat dan berlari tidak tentu arah.
Kedua ekor kuda yang lain pun ikut terkejut pula. Tetapi
tidak seperti kedua ekor kuda yang pertama, sehingga
keduanya masih dapat dikuasai, meskipun keduanya juga
berlari secepat-cepatnya. Namun dengan susah payah kedua
penunggangnya berhasil menarik kekangnya untuk
menentukan arah, agar mereka tidak terperosok justru masuk
ke dalam barak. Dengan demikian maka kedua kuda yang
terakhir itu berpacu kembali ke arah darimana mereka datang.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya melihat hasil
usahanya, sedang Swandaru tidak dapat menahan
tertawanya. Tetapi suara tertawanya itu terputus, ketika Agung
Sedayu berkata, "He, kemana yang dua tadi berlari?"
"Entahlah," Swandaru menggelengkan kepalanya,
"mungkin ke arah barak."
"Marilah kita lihat. Kalau mereka tidak berhasil
mengendalikan kuda-kuda mereka, maka kuda-kuda itu pasti
akan tersangkut tali yang sudah kita rentang."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Segera ia
pun meloncat berdiri seperti anak-anak yang mendapat
mainan. Katanya, "Ayo kita kejar."
"Kau akan mengejar kuda-kuda yang sedang liar?"
"Maksudku, kita lihat, barangkali kedua ekor kuda beserta
penunggangnya itu sedang berbaring di gerumbul-gerumbul
liar itu." Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian berlari-larian
sambil mencoba mengamati jejak kuda-kuda yang sedang
kehilangan kekangan itu. Ternyata mereka berhasil menemukan jejak itu.
Rerumputan yang patah terinjak-injak, bekasnya di tanah yang
gembur dan ranting perdu yang patah.
Sejenak kemudian Agung Sedayu berdesis dan menggamit
Swandaru, "Aku mendengar suara."
Swandaru pun berhenti. Ia memang mendengar suara
beberapa langkah di hadapannya. Ringkik kuda, gemerasak
dedaunan dan desah seseorang.
"Pasti salah seorang dari keduanya. Jebakanku mengena,"
berkata Agung Sedayu. Lalu, "Uruslah. Bawalah ke barak.
Mungkin aku masih harus mencari yang satu lagi."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
berkata, "Tidak ada jejak ke arah lain. Keduanya ke arah ini."
Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Ia melihat jejak
yang tidak sejalan. Karena itu ia menjawab, "Lihat, mereka
beriringan sampai ke tempat ini. Tetapi kuda-kuda itu
bagaikan binal, sehingga penunggangnya tidak dapat
menguasainya. Jejak ini pasti salah satu di antaranya.
Berputar-putar menerjang gerumbul-gerumbul ini, kemudian
berbelok ke kiri." Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia
mengangguk-angguk. "Cepat, sebelum ia sempat lari," berkata Agung Sedayu
yang tidak menunggu jawabnya, segera berlari mengikuti jejak
kuda yang seekor lagi. Swandaru yang dengan tergesa-gesa mendekati suara
ribut itu pun segera menyakini, bahwa suara itu adalah suara
kuda yang sedang berusaha melepaskan diri dari belitan talitali
lulupnya. Sedang penunggangnya pun agaknya
terpelanting dan terjatuh pula di dekatnya. Ternyata Swandaru
telah mendengar orang itu mengumpat-umpat tidak keruan.
Swandaru yang sudah menjadi semakin dekat, menjadi
lebih berhati-hati. Ia kini bersembunyi di balik dedaunan.
Namun ketika ia sudah melihat penunggang kuda itu seorang
diri sambil mengibas-ngibaskan pakaiannya, maka ia pun
merayap semakin dekat lagi.
Sejenak kemudian, maka penunggang kuda itu berusaha
menenangkan kudanya yang masih berusaha untuk bangkit.
Ditepuk-tepuknya lehernya dan dipanggilnya namanya dengan
suara lembut Perlahan-lahan kudanya menjadi semakin jinak. Apalagi
ketika kemudian kuda itu berhasil bangun dan berdiri di atas
keempat kakinya. Sambil memegang kendali, penunggangnya masih saja
mengusap leher kudanya yang sudah mulai dapat dijinakkan.
Meskipun kadang-kadang kuda itu masih menengadahkan
kepalanya sambil meringkik tetapi kuda itu sudah tidak
berusaha untuk lari lagi.
Setelah kudanya menjadi tenang, maka penunggangnya
melanjutkan umpatannya. Ia tidak tahu kepada siapa ia harus
marah. Namun sejenak kemudian ia pun terkejut ketika tiba-tiba
saja seorang anak muda yang gemuk telah berdiri di
hadapannya. Sambil tertawa Swandaru memandanginya
dengan tatapan mata yang aneh.
"Kasihan," desis Swandaru, "apakah kau terjatuh?"
"Siapa kau?" bertanya orang itu.
"Kau ingin tahu tentang aku?"
Sekali lagi orang itu mengumpat. Dan ia bertanya lagi, "Apa
maumu datang kemari?"
"Aku melihat kudamu menjadi gila. Aku mencoba melihat
apakah yang terjadi kemudian. Agaknya kau terjatuh."
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gila." "Ya. Kudamu yang gila."
"Kau yang gila."
"Kenapa aku?" Pertanyaan itu telah membuat penunggang kuda itu
menjadi bingung. Karena itu sejenak ia tidak menjawab. Dan
karena ia terdiam, maka Swandaru pun berkata pula, "Hatihatilah
untuk lain kali. Hutan ini meskipun tidak begitu lebat di
bagian ini, tetapi banyak rintangan yang dapat menjerat kaki
kudamu." Orang itu masih berdiam diri. Agaknya ia belum menyadari
bahwa kaki kudanya telah terjerat oleh tali lulup yang memang
dipasang seseorang. "Persetan," orang itu menggeram. Dan tanpa sesadarnya ia
bertanya sekali lagi, "Siapa kau?"
Tiba-tiba saja Swandaru ingin mengganggunya. Maka
jawabnya, "Apakah kau belum pernah melihat aku?"
"Belum," orang itu menggeleng.
"Semua orang Mataram mengenal aku. Apalagi orang
orang yang sudah berada di pusat tanah ini."
"Siapa kau?"orang itu tidak sabar.
"Jangan membentak-bentak. Aku sedang akan
menyebutkan siapa aku ini."
"Cepat, sebut namamu."
"Aku adalah Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring
Pasar." Sejenak orang itu terdiam. Wajahnya menjadi tegang dan
matanya memancarkan sorot yang aneh.
Swandaru tertawa di dalam hatinya. Ia menyangka bahwa
orang itu terkeiut, bahwa tiba-tiba tanpa disangka-sangkanya
ia berhadapan dengan Sutawijaya.
Tetapi dugaan Swandaru ternyata salah. Sambil menuding
wajahnya, orang itu berkata, "Jangan mencoba berbohong.
Aku sudah mengenal orang yang bernama Sutawijaya.
Sutawijaya tidak gemuk seperti macammu. Meskipun tidak
kurus, tetapi tubuhnya langsing seperti kebanyakan orangorang
Istana." "Jadi kau tidak percaya?"
"Kau benar-benar gila. Aku tidak percaya."
"Baiklah. Terserahlah kepadamu. Mungkin kau pernah
melihat aku beberapa bulan yang lampau. Aku memang belum
segemuk ini. Baru tiga hari aku menjadi gemuk seperti ini."
Orang itu kini merasa, bahwa anak muda yang gemuk itu
sengaja mempermainkannya. Karena itu, maka
kemarahannya pun telah memuncak sampai diujung ubunubun.
Katanya, "Aku tidak peduli siapakah kau ini. Tetapi kau
sudah membuat aku marah. Karena itu, bukan salahku, kalau
aku membunuhmu." "Jangan berkata dengan istilah yang mendirikan bulu-bulu
kudukku. Jangan sebut kematian. Lebih baik kau berbicara
tentang dirimu sendiri."
"Persetan," giginya menjadi gemeretak, "kau memang
harus dicincang di sini."
Swandaru mengerutkan keningnya. Dilihatnya orang itu
menambatkan kudanya yang sudah jinak kembali pada
sebatang pohon perdu. Dengan demikian Swandaru pun kemudian mempersiapkan
dirinya. Ia sadar sepenuhnya, bahwa setelah menambatkan
kudanya, orang itu pasti akan segera menyerangnya.
Dugaan Swandaru itu sama sekali tidak salah. Dengan
wajah yang merah padam, orang itu melangkah setapak demi
setapak mendekatinya. "Apakah kau orang dari barak itu?" orang itu menggeram.
"Ya," jawab Swandaru.
"Adalah kebetulan sekali. Agaknya kau terlibat juga dalam
kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang barak itu atas
anak buah Kiai Damar."
Swandaru mengerutkan keningnya. Dan ia pun bertanya,
"Apakah kau bukan anak buah Kiai Damar?"
Orang itu menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Aku
datang atas permintaan Kiai Damar. Barangkali tidak ada
salahnya kalau kau tahu serba sedikit tentang aku, sebelum
kau mati." "Ya. Aku ingin mendengar."
"Sudah kau dengar. Aku bukan anak buah Kiai Damar."
Swandaru mengerutkan keningnya, "Jadi hanya itu" Hanya
sekedar mengetahui bahwa kau bukan anak buah Kiai
Damar." "Itu sudah cukup. Sekarang kau akan mati."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Sekarang aku tahu. Justru karena kau bukan anak buah dari
Kiai Damar. Kau pun pasti belum mengenal aku."
"Jangan sebut dirimu Sutawijaya lagi. Aku muak
mendengarnya. Aku sudah pernah mengenal Sutawijaya. Aku
pernah melihatnya." "Tidak. Aku tidak akan menyebut lagi bahwa aku
Sutawijaya. Tetapi setiap anak buah Kiai Damar pasti
mengenal aku, karena aku pernah berkelahi melawan mereka
dan Kiai Damar." Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Ya. Kiai Damar memang pernah mengatakan kegagalannya.
Agaknya kau salah seorang dari mereka. Siapa kau?"
"Itu sudah cukup. Kau sudah terlampau banyak mengetahui
tentang diriku. Bahwa aku pernah bertempur dengan Kiai
Damar, itu adalah pengetahuan yang cukup berharga bagimu
sebelum kau mati di sini."
"Setan alas," kemarahan orang itu pun segera memuncak.
Ia mengerti, bahwa anak yang gemuk itu memang sengaja
mempermainkannya. Karena itu, tanpa berkata sepatah kata
pun lagi, ia langsung menyerang Swandaru dengan
garangnya. Swandaru yang selalu berhati-hati, sama sekali tidak
terkejut menerima serangan itu. Karena itu ia pun segera
menghindarkan dirinya. Tangan orang itu terayun tidak lebih
dari sejengkal dari pipinya.
Namun yang mengejutkan Swandaru adalah desing tangan
itu. Dengan demikian ia dapat menjajagi betapa besar
kekuatan lawannya, sehingga dengan demikian ia pun harus
menjadi semakin berhati-hati menghadapinya.
Sejenak kemudian maka mereka pun terlibat dalam
perkelahian yang sengit. Orang itu berusaha untuk
mengalahkan Swandaru secepat-cepatnya, karena ia sadar,
bahwa ia sudah berada di dekat barak yang ingin diamatinya.
Ringkik kudanya mungkin dapat didengar dari barak, dan itu
berarti memanggil satu dua orang dari mereka. Kalau yang
datang Sutawijaya sendiri, maka ia tidak akan dapat pergi lagi
dari tempat itu dan kembali kepada induk gerombolannya.
Tetapi tanpa diduganya, ia mendapat lawan yang
terlampau kuat baginya. Swandaru yang telah dapat menilai
kekuatan lawannya, tidak mau mengambil akibat buruk
daripadanya, sehingga ia pun telah bertempur bersungguhsungguh.
Dengan demikian, maka dalam waktu yang singkat, segera
anak muda yang gemuk itu berhasil menguasai lawannya,
meskipun ia masih memerlukan waktu untuk
mengalahkannya. Seperti pesan Agung Sedayu, Swandaru ingin menangkap
orang itu hidup-hidup. Dengan demikian, orang itu akan
merupakan sumber keterangan tentang orang-orang yang
tidak dikenal yang telah mengepung barak ini. Apalagi
Swandaru mendengar dari orang itu, bahwa ia sama sekali
bukan anak buah Kiai Damar. Dengan demikian Swandaru
menduga, bahwa Kiai Damar telah memanggil kelompokkelompok
lain untuk menyerang barak itu kembali.
Tetapi menangkap orang itu hidup-hidup bukanlah
pekerjaan yang mudah. Apalagi setelah orang itu sadar,
bahwa lawannya bukanlah anak muda yang dengan mudah
dapat dikalahkan, maka ia pun segera menarik senjata dari
sarungnya. Sehelai pedang yang panjang.
Swandaru masih melawannya dengan tangannya untuk
beberapa saat. Namun akhirnya, ia menyadari, bahwa dengan
demikian, ia menghadapi kemungkinan yang kurang baik
baginya. Itulah sebabnya, maka ia pun segera mengurai
senjatanya, sehelai cambuk dengan juntai yang panjang.
Tiba-tiba lawannya mengerutkan keningnya. Kini ia sadar,
bahwa ia berhadapan dengan salah seorang dari orang-orang
bercambuk seperti yang dikatakan oleh Kiai Damar.
"Ya, yang seorang adalah anak yang gemuk ini. Aku baru
ingat ceritera itu sekarang," katanya di dalam hati. Namun
dengan demikian orang itu menjadi semakin berhati-hati.
Ternyata lawannya adalah seorang yang tangguh.
Namun sejenak kemudian, orang itu merasa, bahwa ia
harus melihat kenyataan. Betapa pun nafsunya membakar
dadanya untuk membunuh lawannya, tetapi ia tidak dapat
ingkar, bahwa lawannya mempunyai kelebihan daripadanya.
Karena itu, maka orang itu terpaksa berpikir, apakah yang
sebaiknya dilakukan. Ia sudah tidak mempunyai harapan lagi
untuk menang. Tetapi sudah tentu, bahwa ia tidak akan
bersedia menyerahkan dirinya. Sebab ia sadar, akibat apa
yang dapat timbul apabila ia jatuh ke tangan para pengawal
Tanah Mataram ini. Tetapi ternyata bahwa Swandaru-lah yang memegang arah
jalanannya perkelahian itu. Meskipun orang berkuda itu
merencanakan segala macam usaha, namun Swandaru
berhasil memaksakan kehendaknya sedikit demi sedikit.
Akhirnya orang itu sampai pada suatu kesimpulan bahwa,
ia harus melarikan diri. Ia tidak menyangka, bahwa orang
bercambuk yang dikatakan oleh Kiai Damar itu benar-benar
orang yang luar biasa. Semula ia menduga, bahwa anak buah
Kiai Damar-lah yang sama sekali tidak mampu
mempertahankan diri. Tetapi setelah ia mengalami
perkelahian, barulah ia sadar, bahwa lawannya memang
seorang anak muda yang tangguh.
Karena itu, orang itu berusaha untuk mendapat
kesempatan. Setiap kali ia mencoba bergeser mendekati
kudanya. Tetapi ia merasa, bahwa ia tidak akan mendapat
kesempatan itu. Selagi ia melepas tali tambatan kudanya,
anak muda yang gemuk itu pasti sudah berhasil
menangkapnya. "Aku harus lari. Lari saja tanpa membawa kuda itu
kembali," katanya di dalam hati.
Tetapi malang baginya. Ketika ia meloncat surut, kemudian
berusaha melarikan diri, ternyata ujung cambuk Swandaru
telah membelit kakinya, sehingga ia pun tertelungkup.
Dengan cepatnya ia meloncat berdiri. Tetapi demikian ia
tegak, tangan Swandaru telah menerkam pergelangan
tangannya dan memilinnya kebelakang, sehingga tangan itu
tidak lagi dapat mempertahankan genggaman senjatanya
Sejenak ia menyeringai menahan sakit. Namun kemudian
ia masih juga berusaha melepaskan dirinya. Tetapi semakin
kuat ia berusaha menarik tangannya, semakin kuat pula
tekanan tangan Swandaru pada pergelangannya dan
sekaligus pada punggungnya, sehingga tangannya seakanakan
patah karenanya. "Jangan, jangan," ia berdesis.
"Tanganmu akan patah. Dan kau akan kehilangan
kegaranganmu." "Jangan." "Aku tidak peduli. Aku akan membawa potongan tanganmu
kembali ke barak dan menyerahkannya kepada Sutawijaya
sebagai bukti, bahwa aku telah menemukan seseorang yang
sedang mengintai barak ini."
"Jangan. Jangan dipatahkan tanganku."
"Aku tidak memerlukan tanganmu lagi."
"Tetapi, tetapi" aku masih memerlukannya."
"Oh, maksudmu, aku pun memerlukan sebelah tanganmu,
atau sebaiknya kedua-duanya."
"Jangan, jangan."
Swandaru semakin menekankan tangan yang terpilin itu
pada punggung orang itu sambil mendorongnya maju.
"Tanganmu akan patah."
"Jangan." Tanpa disadari oleh orang itu, Swandaru selalu
mendorongnya semakin dekat dengan barak. Setapak demi
setapak mereka maju terus.
"Tanganmu itu sangat berharga bagiku," desis Swandaru.
"Jangan, jangan."
Swandaru mendorongnya terus. Sehingga akhirnya mereka
menjadi semakin dekat. Ketika mereka keluar dari segerumbul
perdu, mereka sampai pada sebuah lapangan rumput yang
meskipun masih juga ditumbuhi oleh batang perdu yang
bergerumbul di sana-sini, namun mereka dapat memandang
ke jarak yang agak jauh. Dengan demikian maka orang yang
tangannya terpilin itu pun segera menyadari keadaannya. Di
kejauhan dilihatnya beberapa orang berjalan hilir-mudik di
halaman sebuah barak yang besar. Meskipun jarak itu masih
belum dekat benar, dan bahkan masih juga dibayangi oleh
beberapa gerumbul, tetapi orang itu tahu benar, bahwa ia
telah dipaksa untuk pergi ke barak itu.
Tiba-tiba saja orang menghentakkan tangannya. Tetapi
pegangan tangan Swandaru bagaikan besi yang menjepit
pergelangannya, sehingga dengan demikian tangannya itu
justru menjadi semakin sakit karenanya.
"Jangan mencoba melepaskan diri," geram swandaru.
"Jangan bawa aku ke sana."
"Kenapa?" "Aku tidak mau. Aku tidak mau."
"Baiklah, kalau begitu kembalilah kepada orang yang
menyuruhmu kemari." Orang itu menjadi heran mendengar jawaban Swandaru.
"Ya, kembalilah. Pergilah cepat. Tetapi, masih ada
tetapinya," Swandaru berhenti sejenak, "kedua tanganmu
harus kau tinggal." "Gila," geram orang itu.
"Apa, apa kau bilang?" Swandaru menekan tangan itu
semakin keras. "Tidak, tidak."
"Kau memang tidak mempunyai pilihan lain. Kau harus
mengikuti aku pergi ke barak itu. Kau harus menghadap
Sutawijaya dan menjawab semua pertanyaannya, sebelum
tubuhmu hancur menjadi kepingan tulang-tulang. Kau
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengerti." Terasa tubuh orang itu meremang. Dan Swandaru berkata
terus, "Karena itu, jawab sajalah semua pertanyaannya
sebelum ia menjadi marah. Kau mengerti" Orang yang
menjawab semua pertanyaannya dengan baik, tidak akan
mengalami apa pun juga."
Dada orang itu menjadi berdebar-debar. Tetapi ia memang
tidak mempunyai pilihan lain. Kini tangannya telah berada di
dalam genggaman jari-jari Swandaru.
"Kenapa aku tidak melawannya sampai mati," ia
menggeram. Swandaru yang mendengar justru menyahut, "Kau tidak
akan mati." Orang itu menggeram, tetapi ia tidak dapat banyak berbuat.
Tangannya seolah-olah sudah tidak dapat dikuasainya sendiri.
Yang terasa hanyalah sengatan-sengatan rasa sakit yang
semakin tajam. Dengan demikian, ia tidak dapat menolak ketika Swandaru
mendorongnya masuk ke halaman barak. Beberapa orang
yang ada di halaman itu tertegun dan memandanginya dengan
sorot mata yang aneh. Tetapi Swandaru terkejut ketika ia melihat Agung Sedayu
sudah duduk di serambi barak itu bersama Sutawijaya. Karena
itu, maka ia pun segera bertanya, "Kenapa kau sudah duduk
di situ, Kakang?" Agung Sedayu tidak segera menyahut. Tetapi ia justru
bertanya, "Itukah orang yang berkuda bersama empat orang
kawannya?" "Ya. Aku ketemukan ia sedang bergumul dengan kudanya."
"Di mana kuda itu?"
Barulah Swandaru teringat, bahwa kuda orang itu masih
terikat di semak-semak. "He, kuda itu bermanfaat juga bagi kita di sini," desisnya.
"Baiklah aku akan mengambilnya setelah orang ini aku
serahkan. Tetapi bagaimana dengan kau?"
Agung sedayu tidak menjawab. Ia hanya menunjuk
seseorang yang sedang diobati oleh Kiai Gringsing karena
luka-luka di kepalanya. "Kau apakan orang itu?" bertanya Swandaru.
"Aku telah mendukungnya."
Swandaru mengerutkan keningnya.
"Ia jatuh dari kudanya yang gila. Agaknya kepalanya
membentur sesuatu. Aku menemukannya dalam keadaan
pingsan." Swandaru mengumpat perlahan-lahan. Katanya, "Kau
menemukannya pingsan sehingga kau tidak perlu berkelahi."
"Apakah kau berkelahi?"
"Bertanyalah kepada orang ini," jawab Swandaru sambil
mendorong tangan orang itu.
Orang itu menyeringai kesakitan karena tangannya yang
terpilin. Tetapi ia tidak menyahut.
"Kenapa kau diam saja," bentak Swandaru, "ayo katakan."
"Apakah yang harus aku katakan?"
"Jawab dari pertanyaan itu."
"Apakah yang ditanyakan."
Swandaru menjadi jengkel. Tangannya memilin tangan
orang itu semakin keras, hingga orang itu menjadi semakin
kesakitan. Akhirnya ia terpaksa berkata, "Ya, ya. Kita sudah
berkelahi sebentar."
"Sebut, siapa yang kalah dan siapa yang menang," desak
Swandaru. "Anak bengal," desis Agung Sedayu sambil tersenyum.
Bahkan Sutawijaya dan Sumangkar pun tersenyum pula.
Hanya Kiai Gringsing sajalah yang mengerutkan keningnya. Di
mana-mana Swandaru berbuat menurut kesenangannya
sendiri dalam keadaan apa pun juga.
Tetapi Swandaru masih juga memaksanya menjawab, "Ayo
jawab. Siapa yang menang dan siapa yang kalah."
"Ya, ya," orang itu menyeringai, "kau yang menang. Kaulah
yang menang." "Sebut yang kalah."
"Aku. Akulah yang kalah."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Bagus. Kau jujur. Kau dapat berkata sebenarnya. Karena itu,
nanti untuk seterusnya kau harus juga menjawab semua
pertanyaan dengan sebenarnya. Kalau kau tidak mau
menjawab, bukan sekedar tanganmulah yang akan dipilin,
tetapi kumismu, eh, lehermu."
Orang itu tidak menjawab. Tetapi ketika tangan Swandaru
mengendor, ia dapat melihat satu-satu orang yang duduk di
serambi. Tetapi sekali lagi ia terkejut ketika Swandaru bertanya,
"Nah, kalau kau benar-benar pernah, melihat Raden
Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring pasar, yang
manakah orangnya." "Ah kau," Agung Sedayu-lah yang menyahut. Ia tidak tahan
lagi melihat gurau Swandaru. Sambil mengerutkan dahinya ia
berkata, "Pakaian kita masing-masing telah menunjukkan.
Meskipun seandainya ia belum pernah melihat sekali pun."
"Menurut pengakuannya ia pernah melihat Raden
Sutawijaya. Ia tidak percaya ketika aku menyebut namaku
Raden Sutawijaya. Katanya Raden Sutawijaya tidak segemuk
aku." Raden Sutawijaya tidak dapat menahan senyumnya.
Karena itu ia pun kemudian berkata, "Biarlah ia menunjuk,
siapakah di antara kami yang bernama Sutawijaya. Ia pasti
akan melihat bentuk lahiriah kita. Pakaian kita misalnya."
Orang itu justru menjadi ragu-ragu. Ia memang pernah
melihat Raden Sutawijaya Tetapi hanya sekilas di pusat tanah
Mataram, ketika ia sengaja menyusup ke sana. Tetapi kini ia
melihat dua orang anak muda yang duduk di serambi itu,
sehingga ia menjadi ragu-ragu, meskipun menilik pakaiannya
ia akan segera dapat menunjuk siapakah yang sebenarnya
Raden Sutawijaya. Tetapi justru karena Sutawijaya sendiri
berkata demikian, ia menjadi bimbang.
"Cepat, sebut yang mana. Salah satu dari kedua anak-anak
muda yang duduk itu atau aku. Tetapi jelas, bukan salah satu
dari dua orang tua-tua itu," desak Swandaru.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi
dibiarkannya saja Swandaru mengisi waktunya dengan
kelakarnya. Orang tua itu pun kembali meneliti luka-luka di
kepala orang yang terbanting dari kuda yang liar itu.
Akhirnya, untung-untungan orang itu menunjuk Sutawijaya
yang sebenarnya sambil berkata, "Itulah Raden Sutawijaya."
"Bagus," desis Swandaru, "kebetulan kau menunjuk orang
yang benar. Orang yang akan segera memeriksamu dengan
seribu macam pertanyaan. Nah, jawablah pertanyaannya,
supaya tubuhmu tidak tersayat. Lihat, di sini ada beberapa
orang tawanan seperti kau, yang mengalami pemeriksaan
sebelumnya." Terasa tubuh orang itu meremang. Tanpa sesadarnya ia
memandang ke arah Swandaru menudingkan jarinya.
Dilihatnya beberapa orang yang duduk dengan lesu dan wajah
yang pucat. "Tentu akan segera datang giliranmu," berkata Swandaru.
Orang itu tidak menjawab. Ketika Swandaru mendorongnya
semakin maju, ia pun maju tertatih-tatih.
"Orang ini memerlukan pengawasan khusus," berkata
Swandaru kemudian, "ia akan dapat melepaskan diri dan lari
kepada kawan-kawannya, apabila kita lengah."
"Kita terpaksa mengikatnya," berkata Sutawijaya.
"Tidak mau," orang itu berteriak, "aku bukan seekor kuda
liar." "Jangan hiraukan," berkata Sutawijaya, "orang itu memang
harus diikat pada tiang."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
"Aku kira itu adalah cara yang terbaik agar orang ini tidak lari."
Bagaimana pun juga orang itu meronta-ronta, namun
Swandaru mendorongnya ke sebuah tiang bambu petung
yang besar. Karena orang itu masih berteriak-teriak saja,
maka Sutawijaya pun berkata, "Kalau orang itu tidak mau
diikat, baiklah. Tetapi sebagai jaminan bahwa ia tidak akan
lari, patahkanlah kedua kakinya."
"Tidak mau, tidak mau. Kalian adalah manusia yang paling
kejam yang pernah aku temui."
"Mungkin," sahut Sutawijaya, "karena itu jangan mencoba
untuk membantah kemauan kami."
Orang itu tidak berani membantah lagi. Ia hanya dapat
mengumpat-umpat di dalam hati ketika seorang pengawal
benar-benar telah mengikatnya pada sebuah tiang.
Dalam pada itu, setelah Swandaru duduk di serambi, maka
ia pun bertanya kepada Agung Sedayu, "Bukankah dengan
cara ini tidak ada bedanya, bahwa Kiai Damar dan orangorangnya
akan menaruh kecurigaan, seperti kalau kita
menangkap saja mereka berempat?"
"Tetapi lain," berkata Agung Sedayu, "dalam hal ini, kawankawannya
benar-benar telah melihat bahwa kuda itu menjadi
liar dan melonjak-lonjak. Mereka masih mempunyai beberapa
dugaan. Penunggangnya itu dibawa lari ke tempat yang tidak
diketahui, atau kemungkinan yang sebenarnya dapat terjadi
seperti yang seorang itu."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya Dan Agung
Sedayu berkata selanjutnya, "Meskipun demikian, pasti juga
ada dugaan bahwa orang-orangnya itu telah jatuh ke tangan
kita di sini." "Orang itu bukan orang Kiai Damar."
"Orang siapa?" "Kiai Damar telah minta kepada orang lain untuk
membantunya. Orang itu adalah salah seorang dari orangorang
yang didatangkannya itu. Mungkin satu atau dua orang
dari empat orang berkuda itu adalah orang-orang Kiai Damar,
tetapi yang lain bukan."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya, "Aku
memerlukan keterangannya," katanya.
Sejenak kemudian Sutawijaya pun sudah berdiri. Perlahanlahan
ia melangkah mendekati orang yang sudah diikat pada
tiang itu. Sambil mengacukan ujung tombak pada hidung
orang itu ia bertanya, "Jadi kau bukan orang Kiai Damar?"
Orang itu tidak segera menjawab. Dipandanginya
Sutawijaya dengan tajamnya.
"O, kau baru memandang aku" Kau ingin mengenal aku
lebih baik lagi" Baiklah. Aku memang bernama Sutawijaya.
Akulah yang sudah membunuh orang-orang yang melawan
kehendak Ayahanda Pemanahan yang ingin membuka hutan
ini menjadi sebuah negeri yang besar. Mungkin memang
akulah orang yang paling kejam di dunia ini."
Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, "Sekarang jawablah,
siapakah kau ini" Kalau kau bukan anak buah Kiai Damar,
siapakah yang membawamu kemari?"
Orang itu masih berdiam diri. Dipandanginya Sutawijaya
dengan tatapan mata yang aneh.
"Kau memandang aku seperti memandang hantu," berkata
Sutawijaya. "Matamulah yang paling memuakkan bagiku.
Karena itu, mata itukah yang akan aku ambil dari dalam
rongganya di batok kepalamu."
Tiba-tiba saja Sutawijaya sudah mendekat dan meraba
dahinya sambil mengangkat ujung tombaknya, "Jangan
menyesal, bahwa untuk seterusnya kau tidak akan melihat
wajahmu lagi. Kau tidak akan melihat hijaunya dedaunan dan
semaraknya bunga kantil pada ujung batang dan rantingrantingnya.
Kau tidak akan dapat pula melihat cahaya fajar
yang kemerah-merahan, membayang di ujung langit di antara
gemerlapnya bintang. Kau tidak akan melihat cahaya matahari
pagi yang riang meloncat di dedaunan yang hijau. Sekarang,
tengadahkan wajahmu, aku akan mengambil kedua biji
matamu." Ketika Sutawijaya menekan dahinya, tiba-tiba saja orang itu
berteriak, "Jangan, jangan."
"Apa peduliku?"
"Jangan. Aku tidak mau menjadi buta."
"Aku tidak peduli."
"Jangan, jangan."
Tiba-tiba saja Sutawijaya mencengkam baju orang itu.
Sambil mengguncangnya ia bertanya mengejut, "Siapa yang
membawamu kemari" Siapa yang memperbantukan kau pada
Kiai Damar." "Ki Lurah," jawabnya menyentak pula.
Sambil menarik leher baju orang itu Sutawijaya membentak
lagi, "Sebut namanya. Atau matamu akan meloncat ke luar."
"Kiai Telapak Jalak."
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Dilepaskannya
baju orang itu. Terdengar ia menggeram, "Ternyata keduanya
adalah orang-orang yang menerima jalur perintah yang
serupa. Sama sekali bukan kekuatan, yang terpisah seperti
yang kita duga semula. Yang seolah-olah keduanya belum
saling mengenal. Sekarang semuanya menjadi semakin jelas
bagi kita." Orang-orang yang mendengar keterangan itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Para pengawal yang
mengikuti Sutawijaya pun menjadi jelas pula. Semula mereka
menganggap bahwa keduanya tidak mempunyai hubungan.
Bahkan mereka menganggap bahwa Kiai Telapak Jalak dan
Kiai Damar belum saling mengenal. Hanya kebetulan saja
keduanya mampu berhubungan dengan hantu-hantu Alas
Mentaok. Sambil memandang orang yang terikat itu, Sutawijaya
berkata, "Jadi sekarang Kiai Telapak Jalak juga ada di sini?"
Orang itu mengangguk meskipun tidak menjawab sama
sekali. "Terima kasih. Aku mengerti, bahwa mereka akan
menghancurkan barak ini dengan kekuatan yang mereka
gabungkan itu. Itulah sebabnya kami harus bersiaga
sepenuhnya," berkata Sutawijaya.
Kemudian kepada pengawalnya ia berkata, "Kumpulkan
orang-orang semuanya. Mereka harus menghentikan latihanlatihan
mereka. Mereka harus mendapat penjelasan tentang
keadaan yang sebenarnya. Mereka harus mendapat
penjelasan pula tentang medan yang bakal mereka hadapi,
karena aku yakin bahwa Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak
tidak hanya akan sekedar bermain-main."
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lalu, sambil mengacukan tombaknya di muka hidung orang
yang terikat itu Sutawijaya bertanya, "Apakah ada orang-orang
tua atau orang-orang yang terpilih."
Orang yang terikat itu menggelengkan kepalauya.
"Baiklah," berkata Sutawijaya, "untuk sementara aku
percaya. Dan untuk sementara kau dapat beristirahat
bersandar tiang itu."
Sutawijaya pun kemudian meninggalkan orang yang masih
terikat itu. Sejenak kemudian ia sudah duduk di serambi
bersama dengan Sumangkar dan Kiai Gringsing beserta
kedua muridnya. Dalam pada itu, maka orang-orang dari barak itu pun sudah
berkumpul pula. Para pengawal telah mencoba menjelaskan
apa yang akan terjadi. "Kami sama sekali tidak berniat untuk menakut-nakuti
kalian karena kalian memang bukan penakut. Tetapi kalian
memang lebih baik mengetahui keadaan yang sebenarnya
supaya kalian tidak terkejut karenanya, dan justru menjadi
kehilangan akal. Sejak sekarang kalian sudah harus
mempersiapkan hati kalian masing-masing untuk menghadapi
keadaan yang bakal datang," berkata salah seorang pengawal
kepada orang dari barak itu. "Semuanya yang bakal terjadi
memang tergantung sekali kepada kalian. Kalau kalian gigih
mempertahankan diri, kalian akan selamat. Tetapi kalau kalian
menyerahkan diri kalian kepada keadaan, kepada kehendak
dan keputusan lawan, maka nasib kalian pun akan berada di
tangan mereka. Kau dapat melihat beberapa contoh di sini.
Orang yang menyerahkan dirinya karena sebab apa pun, akan
mengalami nasib yang tidak menyenangkan. Karena itu, kalian
tidak boleh mengalami hal itu. Kalian harus berjuang sebaikbaiknya."
Orang-orang yang mendengarkan uraian pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Seakan-akan
mereka menyadari bahwa selama ini mereka telah dicengkam
oleh ketakutan tanpa arti. Dan ketakutan mereka itulah yang
telah membuat mereka hidup dalam keadaan yang sangat
tertekan. Kini seakan-akan mereka menghadap kepada suatu
keadaan, yang baru, yang diletakkan di hadapan mereka.
Mereka mempunyai kesempatan untuk menentukan keadaan
itu. Di serambi, Sutawijaya pun telah berbicara panjang lebar
dengan Kiai Gringsing dan Sumangkar, apakah yang
sebenarnya mereka hadapi. Kiai Telapak Jalak menurut
pendengaran Sutawijaya dari para pengawalnya adalah
seorang yang memang pilih tanding. Itulah sebabnya maka
mereka harus benar-benar berhati-hati.
"Kita harus memperhitungkan setiap kemungkinan," berkata
Kiai Gringsing, "juga atas kemungkinan penggunaan racun."
"Ya." "Untunglah di sini aku menemukan sejenis tumbuhkan yang
dapat menawarkan racun. Berhari-hari aku menyelidikinya,
akhirnya aku berkesimpulan bahwa pohon itu memang
mempunyai kekuatan penawar."
"Pohon apakah itu?"
"Daunnya kecil bersirip ganda"
"Darimana Kiai tahu?"
"Semula aku hanya menduga-duga. Pohon sejenis perdu
itu terdapat banyak sekali di halaman dukun yang terbunuh itu,
seakan-akan sengaja telah ditanam. Dan agaknya memang
demikian. Aku tidak pasti apakah kasiatnya. Tetapi karena
dukun itu mempunyai kemampuan menawarkan racun, aku
sudah berpikir ke arah itu. Apalagi, ketika di dapur rumahnya
yang kecil aku menemukan daun-daun pohon perdu itu yang
sudah kering. Yang sudah dipanasi. Aku yakin bahwa
dedaunan itu mengandung kasiat. Ternyata penyelidikanku
berhasil. Dedaunan itu mempunyai kekuatan menawarkan
racun. Yang aku belum tahu, sampai berapa lama kekuatan itu
tetap ada di dalam tubuh seseorang."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak
heran, kalau dalam setiap kesempatan seorang dukun seperti
Kiai Gringsing itu melakukan percobaan-percobaan.
Tetapi Sutawijaya berkata, "Hal itu pasti akan
menguntungkan sekali. Tetapi mudah-mudahan mereka tidak
mempergunakan racun. Racun adalah bahan yang sukar
dibuat, sehingga hanya orang-orang penting sajalah yang
akan mempergunakannya."
"Ya. Mudah-mudahan. Tetapi kita harus selalu bersiap
menghadapi segala kemungkinan. Persediaan yang ada
padaku sudah sangat menipis. Aku sudah cemas apabila pada
suatu saat kita akan kehabisan penawarnya. Namun tiba-tiba
aku telah menemukannya."
Demikianlah, maka orang-orang yang berada di barak itu
sudah menyiapkan diri dalam segala kemungkinan. Ia yakin
bahwa serangan yang bakal datang pasti sudah
diperhitungkan benar-benar oleh Kiai Damar dan Kiai Telapak
Jalak. Tetapi bahwa ada dua orang dari antara, mereka yang hari
ini tidak kembali, memang mungkin akan menumbuhkah
persoalan-persoalan baru di dalam lingkungan mereka.
Tetapi agaknya Agung Seaayu sudah mempergunakan
cara yang paling baik untuk dilakukan. Ia ingin membuat
kesan, bahwa kedua orang itu sama sekali tidak ditangkap
oleh Sutawijaya dan pengawalnya. Yang terjadi seolah-olah
hanyalah sekedar kecelakaan.
Sejenak kemudian maka persiapan para pengawal dan
orang-orang di barak itu pun telah ditingkatkan pula.
Swandaru masih sempat melepaskan tali kuda dari orang
yang telah ditangkapnya. Tetapi kuda itu tidak dibawanya
kembali ke barak, seperti yang direncanakan. Kiai Gringsing
menasehatkan agar kuda itu dilepaskan saja. Kalau kawankawan
orang yang tertangkap itu menemukannya, maka
mereka pasti tidak akan segera menduga, bahwa kedua
kawannya telah tertangkap. Mereka akan menyangka, bahwa
keduanya mengalami kecelakaan selama kuda-kuda itu
menjadi liar. Kiai Gringsing mengharap, bahwa mereka
memperhitungkan, seandainya kawan-kawannya tertangkap,
pasti beserta kudanya sekaligus.
Ternyata perhitungan Kiai Gringsing itu berhasil. Setelah
dua orang, dari keempat orang yang menyelidiki barak itu
berhasil kembali ke sarang mereka, maka mereka segera
membuat rencana baru. Empat orang lain, bersama dua orang
yang sempat kembali itu telah dikirim untuk melihat keadaan
dan mencari kedua kawannya yang hilang.
Tetapi mereka hanya menemukan kuda-kuda yang lepas.
Keduanya berusaha untuk kembali ke sarang mereka. Dan
kedua ekor kuda itu telah di ketemukan oleh keenam orang
yang mencarinya. "Di mana penunggangnya?" salah seorang berdesis.
"Kuda-kuda ini benar-benar menjadi liar," sahut yang lain,
yang melihat luka dipaha kudanya. Agaknya kuda itu telah
berlari tanpa menghiraukan apa pun juga, sehingga kakinya
telah tergores sebatang ranting yang patah.
"Bagaimanakah nasib penunggangnya?" orang-orang itu
masih saja bertanya-tanya.
Namun dengan demikian mereka tidak lagi berusaha
mendekati barak dari arah yang dilalui semula. Mereka
mencari jalan lain untuk mencoba mendekat. Dengan
demikian, mereka tidak menemukan tali-tali lulup yang telah di
rentangkan oleh Swandaru dan Agung Sedayu di arah depan
barak. Keenam orang itu telah melingkar, agak jauh. Setelah,
menambatkan kuda-kuda mereka, maka mereka pun merayap
mendekat. Mereka ternyata datang dari arah belakang,
sehingga dengan demikian, tidak banyaklah yang dapat
mereka lihat. "Tidak ada persiapan yang khusus," desis salah seorang
dari mereka. Dari kejauhan mereka memang melihat
seseorang yang berdiri di sudut barak. Kemudian berjalan hilirmudik
sejenak, lalu duduk di bebatur batu.
"Mungkin orang itu memang sedang menjaga barak itu,"
berkata salah seorang dari mereka.
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak mereka bersembunyi di balik semak-semak sambil
memperhatikan barak itu baik-baik. Mereka mencoba untuk
melihat kalau ada persiapan-persiapan khusus yang perlu
mereka beritahukan kepada lurahnya.
"Bukankah tidak ada hal-hal yang menarik perhatian,"
berkata salah seorang dari mereka.
"Tidak," yang lain menyahut, "Adalah kebiasaan yang wajar
bahwa satu dua orang berjaga-jaga di sekitar tempat yang
dihuni oleh orang-orang penting. Kali ini Sutawijaya, meskipun
aku kira hanya untuk waktu yang singkat. Tetapi sayang,
bahwa ia tidak akan pernah kembali ke pusat pemerintahan
Tanah Mataram." "Apakah dengan demikian kita tidak akan dimusnakan oleh
Sultan Pajang?" Orang yang berbicara tentang Sutawijaya itu tersenyum,
"Memang orang-orang Kiai Telapak Jalak tidak banyak yang
mengetahui persoalan ini. Orang-orang Kiai Damar pun
sangat terbatas sekali. Tetapi kami sudah mendapat
penjelasan, bahwa Sultan Pajang menjadi sangat marah
karena Mataram justru telah dibuka menjadi sebuah negeri."
"Siapa yang mengatakannya?" bertanya kawannya, "aku
kira itu mustahil sekali."
"Tetapi aku percaya. Kepergian Pemanahan tanpa pamit
membuat Sultan Pajang marah. Dengan terpaksa sekali ia
menyerahkan Alas Mentaok yang begitu saja dibuka oleh
Pemanahan sebelum secara resmi Sultan memberikan. Jadi
kemarahan Sultan Pajang kepada Sutawijaya, putera
angkatnya yang sejak kecil dipelihara dengan baik, adalah
wajar sekali." "Omong kosong," tiba-tiba orang lain lagi memotong,
"seakan-akan kau seorang tumenggung yang mengerti benar
akan persoalan itu. Kau pasti mendengar ceritera itu dari
orang ke lima, ke tujuh atau bahkan ke seratus kali dari
sumbernya. Kita memang tidak tahu apa-apa. Kita amati saja
barak itu. Kita laporkan apa yang kita lihat. Apakah Sultan
Pajang akan murka atau tidak, itu bukan persoalan, kita di
sini." Kawan-kawannya tersenyum. Wajah orang yang
berceritera tentang Sultan Pajang itu menjadi kemerahmerahan.
Tetapi sejenak kemudian ia pun tersenyum pula.
Katanya, "Mungkin aku mendengar dari orang yang langsung
berkepentingan." "Uh, kau pasti mendengar ketika aku berceritera semalam,"
bantah kawannya yang memotong pembicaraannya. Lalu,
"Aku pun hanya mendengar dari orang lain yang sedang
mengisi waktunya dengan berbicara."
"He, apakah aku mendengar dari kau."
"Tentu. Kau mendengar dari aku, dan sekarang kau
menceriterakannya kembali kepadaku. Sekarang kita tidak
usah menghiraukannya lagi. Kita akan menghancurkan barak
ini. Hancur lebur menjadi abu yang paling lembut."
Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Memang itulah
tugas mereka. Apakah dengan demikian mereka akan
dihancurkan oleh Sultan Pajang, atau justru akan mendapat
hadiah Tanah Mataram, mereka tidak peduli.
"Apakah kita tidak perlu melihat bagian depan dari barak
ini?" Kawannya menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Kita
sudah melihat sebagian. Kalau kuda-kuda liar tadi berlarilarian
sampai ke dekat barak ini, maka orang-orang di barak
itu justru akan mengintai apakah ada orang-orang lain yang
datang. Kalau kita gagal lagi, tidak akan ada keterangan yang
akan sampai kepada Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak
tentang daerah ini."
Yang lain tidak menyahut. Mereka memandang pemimpin
kelompok yang harus membuat keputusan terakhir.
"Kita sudah cukup," berkata pemimpin kelompok itu, "kita
yang hanya merupakan kelompok kecil ini memang sebaiknya
tidak melakukan hal-hal yang sangat berbahaya. Misalnya
melihat barak dari bagian depan."
"Jadi?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Kita kembali dan melaporkan apa yang telah kita lihat."
"Nanti malam kita akan menghancurkan semuanya itu.
Kenapa Kiai Damar harus minta bantuan kami kalau yang
dihadapi hanya orang-orang malas di dalam barak itu."
"Jangan berkata begitu,"salah seorang menjawab, "di
antara mereka ada orang yang tidak terkalahkan."
"Suatu mimpi yang menarik," desis orang yang lain sambil
tertawa. "Coba sajalah nanti malam. Lehermu akan terjerat oleh
ujung cambuk." "Memang mimpi yang buruk. Orang-orang tidak terkalahkan
yang bersenjata cambuk."
Yang lain tidak menjawab lagi meskipun hatinya menjadi
panas. Tetapi ia yakin bahwa apabila orang-orang Kiai
Telapak Jalak itu sudah mengalaminya sendiri, maka mereka
pasti akan berkata lain. Tetapi salah seorang dari orang-orang Kiai Telapak Jalak
itu masih berkata, "Nanti malam aku akan menangkap orangorang
bercambuk itu. Aku ingin menunjukkan kepada kalian
bahwa mereka tidak lebih dari penghuni-penghuni barak yang
lain." Kawannya berbicara masih tetap berdiam diri saja,
meskipun hatinya mengumpat-umpat.
Demikianlah, maka sekelompok kecil orang-orang yang
mengintai barak itu kemudian menarik diri masuk ke dalam
gerumbul yang lebih lebat lagi. Sejenak kemudian mereka pun
telah menghilang dan kembali kepada kuda-kuda mereka.
"Kita harus segera memberikan laporan," berkata pemimpin
kelompok itu, "semua jalan sudah rata. Kita akan segera dapat
menyelesaikan tugas ini. Kita harus kembali segera ke daerah
garapan kami yang sampai saat ini masih dapat kami pelihara
dengan baik. Tetapi kalau orang-orang di dalam barak ini tidak
dihancurkan, maka mereka pasti akan menyebarkan berita
yang sangat merugikan bagi kita."
Mereka pun kemudian berloncatan keatas punggung kuda
masing-masing. Sejenak kemudian kuda-kuda itu pun segera
berderap dan menghilang di dalam rimbunnya semak-semak.
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Yang sama sekali tidak mereka ketahui, bahwa sepasang
mata selalu mengikuti mereka sejak mereka datang,
bersembunyi di dalam semak-semak di belakang barak dan
kemudian kembali ke kuda-kuda mereka.
Setelah orang-orang itu hilang di balik semak-semak, maka
orang yang mengikuti mereka itu pun berdiri tegak sambil
menggeliat. Agaknya punggungnya terasa pegal-pegal setelah
sekian lama terbungkuk-bungkuk sambil menahan nafas.
"Nanti malam agaknya mereka akan kembali," desis orang
itu yang tidak lain adalah Kiai Gringsing. Kecurigaannya
bahwa akan ada orang baru lagi yang menyelidiki barak itu
serta mencari kawan-kawannya ternyata benar. Ia berhasil
melihat sekelompok kecil orang-orang yang ingin melihat-lihat
barak dan kesiagaannya itu.
"Untunglah bahwa latihan-latihan sudah selesai. Kalau
masih, mereka pasti mempunyai perhitungan lain. Mereka
pasti akan memperkuat pasukan mereka dan mereka akan
lebih berhati-hati. Kini yang mereka perhitungkan adalah
Sutawijaya dan pengawalnya," katanya di dalam hati. "Tetapi
sudah tentu Kiai Telapak Jalak sendiri akan mengambil
kesimpulan lain. Agaknya Kiai Telapak Jalak termasuk orang
yang agak lebih tinggi tingkat ilmunya dari Kiai Damar. Dan
rencana mereka benar-benar bukan rencana yang tanggungtanggung.
Memusnakan seluruh isi barak ini sampai lumat."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Seisi barak itu
harus benar-benar bersiaga menghadapi segala
kemungkinan. Ia tidak tahu pasti, berapakah jumlah orangorang
yang nanti malam akan menyerang barak ini. Ia juga
tidak mengetahui, ada berapa orang yang perlu
diperhitungkan untuk mendapat perlawanan khusus.
"Untunglah Adi Sumangkar datang menjemput Swandaru
dalam keadaan yang sulit dan berbahaya ini. Kalau tidak,
mungkin kami akan mengalami banyak kesulitan," desisnya.
Kiai Gringsing pun kemudian segera kembali ke barak. Ia
segera memberitahukan apa yang dilihatnya kepada
Sutawijaya. "Jadi nanti malam mereka akan datang?"
"Menurut orang-orang itu."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia harus
mempersiapkan penyambutan sebaik-baiknya. Semua
kekuatan harus dikerahkan karena mereka tidak mendapat
gambaran yang pasti dari kekuatan lawan. Yang dapat
menjadi bahan pertimbangan adalah, bahwa dua kekuatan
yang ada di ujung-ujung hutan ini telah dipersatukan untuk
membinasakan isi barak ini.
Setiap orang di dalam barak itu menyadari, Sutawijaya
memang tidak merahasiakan lagi apa yang akan terjadi.
Bahkan sekali lagi ia minta para pengawalnya menjelaskan
semuanya itu. "Mereka akan membinasakan barak ini menjadi debu.
Semua orang akan dibunuh tanpa ampun. Mereka ingin
melenyapkan segala macam ceritera tentang daerah ini.
Kegagalan mereka menakut-nakuti kalian sebagai hantu Alas
Mentaok. Mereka menjaga agar kegagalan itu tidak akan
menjalar ke daerah-daerah lain. Dengan demikian mereka
harus menghapuskan sumber yang dapat menyebarkan
ceritera itu. Yaitu kita semua. Kita semua akan mereka bunuh.
Bahkan bukan hanya laki-laki saja, tetapi juga perempuan dan
anak-anak." Berita itu memang menumbuhkan ketakutan yang tiada
taranya. Perempuan-perempuan mulai menggigil memeluk
anak-anak mereka yang dengan heran melihat ibunya
menitikkan air matanya. "Kenapa kita dahulu tersesat ke neraka ini," keluh seorang
perempuan sambil menciumi anaknya.
Akibat yang timbul dari ketakutan itu ternyata luar biasa.
Laki-laki yang semula gemetar mendengar ancaman itu, tibatiba
menggeletakkan giginya melihat isterinya menangisi
anaknya yang masih bayi. "Anak itu tidak tahu apa-apa," laki-laki itu menggeram di
dalam hatinya. Demikianlah tekad yang bulat telah menggelepar, di dalam
dadanya, "Biarlah aku mati. Tetapi perempuan dan anak-anak
harus diselamatkan."
"Nah," berkata para pengawal kemudian, "sekali lagi
tergantung kepada kita di sini. Apakah kita akan menyerahkan
leher kita, leher isteri tercinta dan anak-anak tersayang
kepada serigala-serigala yang buas itu, atau kita masih
berusaha untuk mempertahankan diri dan mempertahankan
nilai-nilai kemanusiaan."
Demikianlah, ancaman itu justru telah menumbuhkan,
kebulatan tekad bagi setiap lak"-laki di barak itu untuk
mempertahankan dirinya. Mereka telah menemukan
kesadaran, berbuat sesuatu atau tidak, mereka akan
dibinasakan. Diam pun mereka akan dibinasakan juga. Dari
pada mati berpeluk tangan, lebih baik mati bertolak pinggang.
Dengan demikian, maka setiap orang kemudian
menyatakan dirinya untuk ikut di dalam perlawanan. Bahkan
orang tua-tua pun telah menyatakan kesediaannya. Seorang
yang berambut seputih kapas mengacukan tangannya sambil
berkata, "Aku pun pernah menjadi pengawal padesanku. Aku
pernah berlatih mempergunakan senjata. Berilah aku senjata.
Aku akan berkelahi."
Para pengawal mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi
menurut pembagian tugas yang telah mereka perbincangkan,
orang-orang tua akan menjaga pintu-pintu barak. Mereka baru
akan berkelahi di dalam perlawanan yang terakhir, apabila ada
satu dua orang lawan yang berhasil menembus pertahanan
dan sengaja akan melakukan perbuatan terkutuk dan tidak
berperikemanusiaan terhadap perempuan dan anak-anak.
Bahkan salah seorang pengawal berkata kepada perempuan
yang mendukung anak-anak mereka, "Bukan saja laki-laki,
tetapi setiap ibu yang mendukung anaknya pun pasti akan
mempertahankan anak-anaknya dengan cara apa pun."
Demikianlah seisi barak itu pun benar-benar telah dibakar
oleh kesiagaan tertinggi dengan tekad yang membara di
dalam hati. Mereka sadar, bahwa laki-laki adalah tempat
bergantung bagi seluruh keluarga, juga di dalam keadaan
yang paling gawat, sehingga sepantasnyalah laki-laki
mempertaruhkan nyawa mereka untuk anak dan isteri.
"Kita menunggu sampai hari menjadi gelap," berkata
Sutawijaya. "Kita tidak tahu, apakah di sekeliling kita tidak ada
satu dua orang yang sedang mengintai kita."
Ketika senja sudah turun, ternyata bahwa Sutawijaya pun
telah mengirimkan beberapa orang ke sekeliling barak itu
untuk melihat saat-saat lawan mereka mendekati barak.
Mereka harus segera mengirimkan tanda dengan panah
sendaren apabila keadaan sudah meningkat menjadi semakin
gawat. "Aku ikut dengan kalian," berkata Swandaru.
"Kau tetap di sini," berkata Sutawijaya, "kita akan
memperhitungkan setiap persoalan yang timbul."
Swandaru tidak segera menjawab. Tetapi dipandanginya
Agung Sedayu dengan tatapan mata yang gelisah.
"Kenapa?" bertanya Kiai Gringsing.
Agung Sedayu justru tersenyum. Katanya, "Kenapa tidak
kau katakan saja supaya para pengawas itu tidak terperosok
ke dalam pasanganmu?"
"Apa yang sudah kau lakukan?" bertanya gurunya.
"Kami memasang perangkap. Kami telah merentangkan
tali-tali lulup di semak-semak sebelah."
"Kenapa kau pasang tali-tali itu?"
"Kami ingin menahan laju orang-orang yang menyerang
barak ini." Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi seperti
Sutawijaya dan Sumangkar, ia pun tersenyum. "Agaknya
perangkapmu itu pula yang telah menjerat kaki-kaki kuda yang
menjadi liar itu." "Ya. Tetapi aku cemas, bahwa justru pengawas kita sendiri
yang terjerat kakinya. Karena itu, aku akan ikut serta dan
menunjukkan jerat-jerat yang telah kami pasang."
Tetapi Sutawijaya menggeleng, "Tidak. Asal saja mereka
sudah mengetahuinya, mereka akan berhati-hati. Mereka akan
selalu mengingat-ingat di mana mereka menemukan jerat."
Swandaru mengangguk. Tetapi ia masih tetap
mencemaskan para pengawas. Kalau mereka tergesa-gesa
mundur apabila lawan sudah mendekat, maka mereka tidak
akan lagi dapat mengingat tali-tali yang terentang itu.
Tetapi Swandaru tidak dapat berbuat lain. Sutawijaya telah
memutuskan mengirim tiga orang pengawas yang terpisah.
Mereka hanya sekedar memberikan tanda-tanda. Tetapi
mereka sendiri harus segera bergabung dengan induk
pasukan. Demikianlah, maka ketiga orang itu pun segera berpencar
setelah Swandaru menunjukkan kepada mereka, di mana ia
merentangkan tali-tali lulup. Bahkan ada di antaranya yang
diikat berganda. Sepeninggal orang-orang itu, gelap malam telah
menyelubungi barak yang terpencil itu, Sutawijaya pun
kemudian memerintahkan setiap kelompok yang sudah
disusun mulai menyiapkan dirinya. Mereka harus siap di
segala saat. Karena itu, maka senjata-senjata mereka tidak
boleh terpisah lagi dari tangan masing-masing.
Selain tiga orang yang memencar, Sutawijaya juga
meletakkan beberapa orang pengawas dekat di luar halaman
barak itu. Seandainya para pengawas yang berpencar itu tidak
berhasil melihat gerakan lawan, dan tiba-tiba saja mereka
telah berada di dekat halaman, maka masih ada juga yang
sempat memberikan tanda bagi orang-orang yang sudah siap
menunggu itu. Demikianlah, sekejap demi sekejap, malam merayap
semakin dalam. Gelap yang menjadi semakin pekat telah
membatasi jarak pandangan orang-orang yang ada di serambi
barak. Apalagi malam itu, di serambi sama sekali tidak dipasang
lampu minyak seperti biasa. Tetapi kali ini lampu minyak yang
biasanya tergantung di serambi telah digantungkan pada
sebatang pohon di sudut halaman dan yang lain di mulut regol
butulan yang tertutup rapat. Bahkan lampu di dalam barak pun
seakan-akan tidak sempat menembus lubang-lubang dinding
karena memang sengaja diredupkan, dan bahkan ditutup
dengan helai-helai daun pisang.
Tetapi dalam pada itu, di serambi dan di segala sudut
barak, setiap laki-laki telah siap menghadapi kemungkinan
yang dapat terjadi. "Kalau kalian bingung menghadapi seseorang, apakah ia
lawan atau bukan, sebutlah kata-kata sandi yang sudah kita
tentukan. Kalau orang itu tidak menjawab, maka ia pasti lawan
yang harus kita hadapi," berkata para pengawal.
Semua orang di dalam barak itu sudah mengenal kata-kata
sandi yang harus mereka ucapkan. Mereka tidak boleh
melupakannya agar tidak menimbulkan salah paham di antara
kawan sendiri Di langit perlahan-lahan bintang gemintang bergeser ke
Barat. Angin malam yang sejuk berhembus di sela-sela
dedaunan mengusap wajah-wajah yang tegang di sekitar
barak itu. Derik bilalang di daun ilalang terdengar sahutmenyahut
tidak putus-putusnya. "Kalian dapat menunggu sambil beristirahat," ber-kata salah
seorang pengawal yang memimpin sekelompak kecil laki-laki
penghuni barak itu, "duduklah. Berbuatlah seenaknya seperti
tidak akan terjadi apa-apa, meskipun dalam kesiap-siagaan.
Kita akan mendapat tanda apabila bahaya itu sebenarnya
akan datang." Seorang laki-laki muda tiba-tiba menjawab, "Mereka akan
datang dekat tengah malam."
"Darimana kau tahu?" bertanya pengawal itu.
"Demikianlah kebiasaan mereka. Selagi mereka masih
bermain hantu-hantuan, mereka datang dekat tengah malam.
Aku kira kali ini pun mereka akan datang dekat tengah
malam." "Memang masuk akal. Mereka tidak akan dapat
meninggalkan kebiasaan mereka yang sudah berlangsung
lama. Di daerah Selatan, hantu-hantu itu juga keluar dekat
tengah malam. Kami pun pernah terjebak dalam kepercayaan
atas hantu-hantu itu, meskipun kami ragu-ragu. Tetapi
sekarang kami yakin, bahwa yang terjadi di daerah Selatan
tidak banyak bedanya dengan daerah ini. Agaknya
kedatangan laki-laki yang bersenjata cambuk bersama dua
orang anaknya itu sangat menentukan bagi daerah ini dan
bahkan ujung-ujung yang lain dari daerah yang sedang dibuka
ini." "Ya, orang-orang itulah yang dengan caranya yang kadangkadang
aneh dan tidak kami mengerti, akhirnya
mengungkapkan semuanya yang selama ini masih gelap bagi
kami di sini. Hantu-hantu, jerangkong, kuda semberani, dan
segala macam lagi. Tetapi kini kami sudah berdiri berhadapan
dalam keadaan yang pasti. Apa pun yang akan terjadi."
(***) Buku 60 PENGAWAL itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya kemudian, "Baiklah. Beristirahatlah sambil
menunggu. Mungkin. Kita memang harus menunggu sampai
mendekati tengah malam."
Dalam pada itu di serambi Sutawijaya duduk bersama Kiai
Gringsing dan Sumangkar. Di belakang Sutawijaya pengawas
yang terluka itu pun duduk pula bersandar tiang. Tetapi
ditangannya sudah siap pula sehelai pedang. Meskipun
lukanya masih terasa sakit, namun ia tidak akan dapat duduk
berpangku tangan apabila keadaan menjadi semakin panas.
Sedang Swandaru dan Agung Sedayu duduk di tangga
memandang ke dalam kegelapan malam, seolah-olah ingin
melihat langsung orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak
Jalak yang sedang merayap mendekati barak itu.
Swandaru yang gelisah itu pun kemudian berkata, "Aku
tidak sabar lagi. Apakah yang mereka tunggu. Malam sudah
cukup gelap. Kita pun sudah siap. Apalagi?"
"Sst," desis Agung Sedayu, "mereka tidak akan menyerang
begitu saja tanpa perhitungan."
"Apalagi yang mereka perhitungkan?"
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itulah yang kita tidak tahu."
"Aku akan tidur saja."
"Nah, itulah salah satu hal yang mereka tunggu."
"Apa?" "Orang-orang di barak ini menjadi jemu menunggu dan tidur
pulas." "Ah," Swandaru berdesah, "ada-ada saja kau ini. Sudah
tentu aku mempunyai perhitungan sendiri."
"Apa?" "Kalau aku tidur, aku pasti sudah mempercayakan
pengawasan kepada orang lain."
"Siapa?" "Kau. Belum saja aku selesai berbicara. Aku akan tidur.
Kau yang harus mengawasi keadaan. Kalau musuh itu datang,
kau harus membangunkan aku. Tetapi jaga, jangan sampai
aku terkejut. Kalau aku terkejut, aku tidak akan dapat berbuat
apa-apa karena bingung."
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sedang
berpikir, bagaimana ia harus menjawab. Tetapi ternyata
Swandaru sudah berkata, "Jangan mengada-ada. Kau tidak
usah menjawab. Kau tinggal menjalankan perintah. Tidak ada
alasan untuk mengelak."
"Aku tidak akan mengelak," berkata Agung Sedayu, "tetapi
aku ingin bertanya, di mana kau akan tidur?"
"He?" "Di mana kau akan tidur" Di sini" Bersandar dinding atau
bersandar aku?" "Tidak bersandar. Aku dapat tidur sambil duduk tanpa
bersandar apa pun." "Cobalah," berkata Agung Sedayu, "aku ingin melihat."
Swandaru mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun
menyilangkan kedua tangannya di dada. Matanya pun segera
terpejam. Tetapi ia pun segera membelalakkan matanya ketika
Agung Sedayu berdiri dan melangkah pergi.
"He, kemana kau?"
"Melihat musuh di luar pagar. Kalau ada aku akan
membangunkan kau." "Ah kau," Swandaru pun kemudian berdiri dan meloncat
menyusul Agung Sedayu. "Kenapa kau tidak jadi tidur?"
"Aku sudah puas tidur sejenak. Aku tidak kantuk lagi."
Keduanya pun kemudian menghilangkan kejemuan mereka
sambil berjalan hilir-mudik di halaman. Di beberapa tempat
mereka melihat kelompok-kelompok kecil yang berserakan.
Masing-masing dipimpin oleh seorang pengawal. Setiap
kelompok terdiri dari tiga atau empat orang. Kelompokkelompok
yang sedang ditinggalkan oleh pimpinannya
mengawasi keadaan, masih harus bergabung dengan
kelompok yang lain sampai pengawal yang harus
memimpinnya itu kembali. "Cukup banyak," desis Agung Sedayu, "selain orang-orang
tua yang bertugas menjaga pintu-pintu masuk ke dalam barak,
ada kira-kira duapuluh lima orang yang telah bersiaga untuk
bertempur apabila orang-orang Kiai Damar itu benar-benar
datang." "Ya. Dua puluh lima orang, ditambah dengan para
pengawal itu sendiri dan kita berlima."
"Kenapa lima?" "Kita berdua, guru, Ki Sumangkar, dan Raden Sutawijaya."
"Pemimpin pengawas itu?"
"Jangan dihitung. Kalau kau mau menghitung juga laki-laki
berambut putih itu."
Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi tampaknya kekuatan
itu cukup baik untuk menghadapi setiap kemungkinan. Namun
tidak ada seorang pun yang tahu, berapa jumlah sebenarnya
dari kekuatan Kiai Damar dan Kiai Te-lapak Jalak. Keterangan
dari orang yang dapat ditangkapnya tidak akan dapat
dipergunakan sebagai pegangan. Masih ada kemungkinan
bahwa orang itu sengaja membuat kesan yang salah, agar
orang-orang dibarak ini menjadi lengah.
Namun demikian, keterangan-keterangan yang dapat
disadap dari orang-orang itu akan dapat dijadikan bahan
pertimbangan. Demikianlah malarn pun menjadi semakin malam. Orangorang
yang menunggu dengan berdebar-debar itu semakin
lama menjadi semakin jemu sehingga suasana di barak itu
terasa menjadi semakin gelisah.
"Kegelisahan adalah lawan yang harus diatasi pula,"
berkata seorang pengawal kepada orang-orang di dalam
kelompoknya. Dan seorang pengawal yang lain yang berdiri
tidak jauh daripadanya bersama kelompok kecilnya,
menyambung, "Kalau kita tidak dapat mengatasi kegelisahan
semacam ini, maka kita akan kehilangan kewaspadaan.
Kesabaran dan keseimbangan di dalam keadaan semacam ini
dituntut oleh keadaan. Lawan kita agaknya sengaja menunggu
sampai kita menjadi jemu dan kehilangan ketajaman
pengamatan atas keadaan yang berkembang selanjutnya."
Orang-orang di dalam kelompok-kelompok kecil itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mencoba untuk
menyadari keadaannya. Mereka mencoba untuk
menenangkan perasaannya masing-masing.
Sejenak kemudian seorang pengawal yang berdiri di sudut
barak menengadahkan kepalanya ke langit. Dilihatnya bintang
gubug penceng di ujung Selatan, hampir berdiri tegak lurus.
Karena itu, maka ia pun berkata, "Hampir tengah malam.
Adakah saat-saat semacam ini yang selalu dipilih oleh hantuhantu
itu untuk keluar dari sarang mereka?"
"Ya," jawab salah seorang dari penghuni barak yang ada di
dalam kelompok itu. "Bagus. Kita akan menunggu sejenak."
Belum lagi kata-kata itu lenyap dari pendengaran, tiba-tiba
seisi barak itu dikejutkan oleh suara derap kaki-kaki kuda.
Tetapi tidak begitu banyak. Namun yang menggetarkan setiap
dada penghuni barak itu adalah suara gemerincing yang
semakin lama menjadi semakin keras.
"Hantu itu datang lagi," terdengar desis seseorang.
Untunglah bahwa tidak seorang pun yang mendengarnya.
Namun demikian, hampir setiap dada telah mengucapkan
kata-kata yang serupa, Orang-orang yang ada di serambi pun segera berloncatan
berdiri. Tetapi Kiai Gringsing segera mencegah mereka,
"Jangan tergesa-gesa mengambil sikap. Kita menunggu
perkembangan keadaan. Bukan inilah lawan yang
sebenarnya." Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mungkin
Kiai benar. Tetapi aku akan berada di antara para pengawal
dan orang-orang dari barak ini yang sudah bersiaga di
halaman." "Kita pergi bersama-sama."
Demikianlah mereka pun segera menuruni tangga serambi
barak itu. Sejenak mereka berdiri di dalam kegelapan untuk
menuai keadaan yang bakal berkembang.
"Kuda itu datang dari arah belakang," berkata Kiai
Gringsing. Mereka masih ingin mempengaruhi perasaan kita
dengan cara yang sudah sekian lama dipergunakannya."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
sependapat dengan Kiai Gringsing. Orang itu masih berusaha
mempergunakan sisa-sisa pengaruh yang mereka tanamkan
untuk waktu yang lama atas perasaan orang-orang di dalam
barak itu. Dan sedikit banyak usaha mereka itu berguna pula.
Masih saja ada di antara orang-orang penghuni barak itu yang
meremang mendengar bunyi gemerincing yang menggelitik
jantung itu. Beberapa orang telah berusaha memerangi perasaan itu
dengan nalar. Mereka mencoba meyakini, bahwa sebenarnya
hantu-hantu itu adalah permainan yang menggelikan saja,
seperti anak-anak bermain hantu-hantuan di malam hari.
Siapa yang penakut, akan menjadi benar-benar ketakutan
karenanya, meskipun mereka tahu benar, bahwa mereka
sedang bermain-main. Sejenak kemudian suara gemerincing itu pun menjadi
semakin dekat. Namun kemudian berhenti beberapa puluh
langkah dari barak. "Mereka berhenti," berkata Sutawijaya.
"Mereka agak menjadi bingung karena lampu-lampu itu
telah berubah letaknya. Mereka tidak mempunyai ancar-ancar
lagi." Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Biasanya mereka mengelilingi barak ini," desis Kiai
Gringsing yang berdiri di tempat yang terlindung.
Sutawijaya tidak menyahut.
Namun ternyata bahwa dugaan mereka itu benar. Kudakuda
itu mulai bergerak kembali dan mencoba mengelilingi
barak. Tetapi karena mereka kehilangan ancar-ancar, maka
mereka telah mengambil jarak yang agak panjang.
"Mereka berusaha meredupkan gairah keberanian kita di
sini," berkata Kiai Gringsing, "kemudian pasukan mereka yang
sebenarnya akan datang."
"Ya." "Kita harus mulai bersiap-siap."
Sutawijaya meng-angguk-anggukkan kepalanya.
Diperintahkannya seorang pengawal untuk menyampaikan
perintahnya. Sejenak kemudian pengawal itu telah mengelilingi halaman
meskipun ia berusaha selalu berada di dalam kegelapan dan
perintah Sutawijaya pun telah tersebar, "Bersiap."
"Kita hampir mulai," berkata salah seorang pengawal
kepada orang-orang di dalam kelompoknya, "bersiaplah. Lahir
dan batin." "Suara gemerincing itu?" tiba-tiba salah seorang bertanya.
"Hantu-hantu Alas Mentaok. Tetapi hantu-hantu yang ini
sama sekali tidak menakutkan lagi. Bukankah di serambi kita
juga telah menahan beberapa sosok hantu semacam itu."
Dada orang itu berdesir. Namun kemudian ia menganggukanggukkan
kepalanya sambil bergumam kepada diri sendiri.
"Tidak ada hantu. Yang ada adalah orang-orang liar yang
buas itu. Aku harus melawan sebelum mereka membinasakan
seluruh keluargaku."
Dengan demikian hatinya yang sudah mulai tumelung, tibatiba
telah tengadah kembali. Sambil menggeretakkan giginya
ia telah mempersiapkan senjatanya untuk menghadapi setiap
kemungkinan. Orang-orang yang ada di halaman barak itu telah bersiap
dalam kesiagaan tertinggi. Setiap saat mereka dapat mulai.
Mereka tinggal menunggu perintah untuk bertempur.
Dalam pada itu, suara gemerincing itu pun bergerak
perlahan-lahan sekali. Tidak seperti yang biasa mereka
lakukan. Rasa-rasanya barak itu sudah berubah.
Namun akhirnya mereka menyadari, bahwa sebenarnya
hanya lampu-lampu sajalah yang berubah letaknya. Barak itu
masih tetap berada di tempatnya. Perlahan-lahan mereka
mulai melihat cahaya yang sangat redup membayang di dalam
dinding barak. "Pasti akal Sutawijaya," desis salah seorang dari hantuhantu
itu. "Marilah kita teruskan perjalanan ini. Kita harus
berputar tiga kali. Sesudah itu, maka pasukan yang
bersembunyi di sekitar barak ini akan segera menyerbu.
Putaran kita merupakan aba-aba bagi mereka."
Suara gemerincing itu pun kemudian bergerak pula.
Mereka telah mengelilingi hampir separo bagian dari
perjalanan mereka. Namun dalam pada itu, salah seorang pengawas yang ada
di luar barak telah berhasil menyusup kembali masuk ke
halaman. Dengan nafas terengah-engah ia berkata, "Aku tidak
melepaskan panah sendaren karena aku mempunyai
kesempatan untuk kembali. Mereka sudah bergerak
mendekat. Tetapi mereka agaknya masih menunggu."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
tidak segera mengambil sikap. Sambil memandang ke dalam
kegelapan ia berkata, "Kita akan menunggu mereka. Semua
orang di halaman ini sudah bersiaga."
Pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
"Kembalilah ke dalam kelompokmu. Kau tidak usah
mendekati lawan lagi. Kita sudah dapat menduga di mana
mereka berada." Belum lagi percakapan itu selesai, ternyata pengawas yang
lain pun telah melihat kedatangan orang-orang yang hendak
menyerang barak itu. Tetapi ia tidak berbuat seperti pengawas
yang terdahulu. Ternyata ia lebih senang melepaskan anak
panah sendaren. Suara sendaren itu pun berdesing menyobek sepinya
malam. Namun demikian, suaranya bagaikan gelora yang
dahsyat di setiap dada. Baik di dada orang-orang yang
menunggu di barak, mau pun orang-orang yang sedang
mengendap-endap di gerumbul-gerumbul.
"Agaknya pengawas dari barak itu telah melihat gerakan
kita," desis Kiai Damar yang berdiri di samping Kiai Telapak
Jalak. "Suara panah sendaren itu pasti suatu isyarat bagi
mereka." Kiai Telapak Jalak mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia
bergumam. "Kenapa orang-orangmu yang berkuda melingkari
barak itu sebagai isyarat, berjalan terlampau lamban."
"Tidak begitu kebiasaan mereka. Suara gemerincing itu
memang seolah-olah tidak bergerak."
Kiai Telapak Jalak menjadi tegang. Agaknya sudah tidak
ada gunanya lagi menunggu isyarat suara gemerincing itu
melingkari barak sampai tiga kali. Ia yakin bahwa pengawaspengawas
yang mengawal Sutawijaya dapat bertindak jauh
lebih sempurna dari orang-orang di barak itu. Mereka sudah
mempunyai banyak pengalaman sehingga mereka mengerti
gunanya pengawasan. Dalam pada itu, orang-orang yang berkuda dengan
kerincing itu pun menjadi bingung. Mereka juga mendengar
suara panah sendaren yang terbang di udara. Dan mereka
juga mengerti, bahwa di kelompoknya tidak seorang pun yang
mempergunakan isyarat itu.
"Pasti suara isyarat orang-orang Sutawijaya," desis salah
seorang dari mereka. "Kita percepat langkah kuda kita."
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kita hampir tersesat. Lampu-lampu di barak itu
membingungkan." "Kita sekarang sudah mengetahuinya dengan pasti. Kita
dapat berpacu agak cepat."
"Baiklah. Kita akan berpacu."
Mereka pun segera mencambuk kuda mereka, sehingga
kuda-kuda itu pun segera berloncatan di dalam gelap.
Menyusup di antara gerumbul-gerumbul yang liar.
Namun ternyata mereka sama sekali tidak mengerti, bahwa
di hadapan barak agak menjorok masuk ke dalam padang
perdu, Swandaru dan Agung Sedayu telah merentangkan talitali
lulup, sehingga karena itu, maka hampir bersamaan, dua
ekor kuda telah terjerat. Kuda yang lain menjadi sangat
terkejut karenanya, sehingga ketika dua ekor kuda yang
terjerat itu jatuh terjerembab, maka yang lain pun menjadi liar
pula karenanya. Namun seperti yang dua itu, kuda-kuda yang
lain pun telah terjerat pula dan berjatuhan tindih-menindih.
Suara ribut dan ringkik kuda itu telah mengejutkan Kiai
Damar dan Kiai Telapak Jalak di kejauhan. Mereka segera
menyadari bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak sewajarnya.
Karena itu, maka Kiai Telapak Jalak pun segera berkata,
"Kita menempuh cara kedua. Kita melontarkan panah api.
Pasti terjadi sesuatu dengan hantu-hantuanmu itu."
Kiai Damar tidak menyahut. Ia pun segera menyalakan api
dan membakar dimik belirang. Setelah ujung sebuah panah
api dibakarnya, maka panah itu pun segera dilontarkannya ke
udara. Sebuah nyala yang merah telah naik memanjat langit.
Sinarnya memancar ke segenap arah, sehingga orang-orang
Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak pun dapat melihatnya.
Karena itu, maka mereka menyadari bahwa telah jatuh
perintah bagi mereka untuk menyerang isi barak yang
terpencil itu. Seperti banjir bandang, orang-orang itu pun segera
berloncatan maju. Sambil berteriak-teriak mengerikan mereka
mengacukan senjata mereka. Sementara Kiai Damar
meneriakkan perintah, "Jangan ada yang tersisa!"
Dalam pada itu, di halaman barak, Sutawijaya, Kiai
Gringsing dan murid-muridnya serta Ki Sumangkar,
menyaksikan pula nyala api yang terbang di udara. Mereka
pun segera menduga, bahwa itu pasti suatu perintah bagi
orang-orang-Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.
Karena itu, maka Sutawijaya pun segera meneriakkan
perintah kepada para pengawas yang memimpin kelompokkelompok
kecil untuk bersiap menghadapi lawan yang
sebentar lagi pasti akan datang.
Para pengawal yang bertugas mengawasi keadaan pun
telah bermunculan masuk kembali ke halaman. Mereka
segera berlari-lari ke kelompoknya dan langsung membawa
mereka ke pagar halaman. "Kita menyambut mereka. Kita tidak akan menunggu. Kita
harus menyongsong mereka," berkata para pengawal.
Kelompok-kelompok kecil itu pun kemudian berloncatan
dengan senjata terhunus. Sekali para pengawal
memperingatkan, kalau mereka menyerah, berarti kepala
mereka akan terpisah. Bukan saja kepala mereka, tetapi juga
anak-anak dan isteri mereka.
Ternyata orang-orang Kiai Damar itu tidak semuanya
datang dari depan. Ada beberapa kelompok yang menyerang
barak itu dari belakang. Namun Sutawijaya pun telah
meletakkan beberapa kelompok kecil untuk melawan
kemungkinan itu. Sejenak kemudian barak itu menjadi hiruk-pikuk. Suara
derap kaki terdengar di segala penjuru. Di kejauhan orangorang
Kiai Damar berteriak-teriak mengerikan.
Sutawijaya masih berdiri tegak di halaman. Ia harus
menguasai seluruh medan. Karena itu, maka katanya kepada
Agung Sedayu dan Swandaru, "Tinggallah di sini. Awasilah
bagian belakang dari barak ini. Kalau jumlah mereka ternyata
terlampau banyak, maka kau berdua harus ikut campur pula.
Aku bersama gurumu dan Ki Sumangkar akan menyongsong
mereka." Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, "Tetapi apabila
kau bertemu dengan Kiai Damar atau Kiai Telapak Jalak, kau
harus memberikan isyarat agar gurumu datang membantumu."
"Apakah isyarat itu."
"Suruh seseorang membunyikan kentongan dua ganda."
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sebenarnya ia ingin ikut menyongsong lawan yang
datang dari depan, tetapi yang datang dari belakang pun
merupakan bahaya yang harus mendapat perhatian.
Sejenak kemudian Sutawijaya yang kali ini membawa
tombaknya segera berlari menyongsong lawan diikuti oleh Kiai
Gringsing dan Sumangkar. Menilik isyarat yang melonjak ke
udara dari arah depan, maka agaknya pemimpin-pemimpin
mereka pun ada di sana pula.
Agung Sedayu dan Swandaru yang masih berdiri di
halaman menjadi termangu-mangu sejenak. Ketika mereka
berpaling, dilihatnya beberapa laki-laki bersenjata berdiri di
serambi. Mereka adalah laki-laki yang telah mendekati separo
baya. Mereka harus menjaga perempuan dan anak-anak
apabila ada di antara lawan yang berhasil menerobos
pertahanan. Ternyata bahwa mereka pun telah berbuat sebaik-baiknya.
Mereka tidak saja berdiri di muka pintu, tetapi dalam
kelompok-kelompok kecil mereka berdiri di sudut-sudut barak.
Empat atau lima orang. Beberapa di antara mereka benarbenar
berdiri di muka pintu, sedang yang lebih tua lagi dari
mereka berada di dalam barak. Tetapi yang ada di dalam
barak itu pun telah mempersenjatai diri mereka bersama anakanak
tanggung. "Pertahanan yang berlapis-lapis ini agaknya cukup baik,"
berkata Agung Sedayu. Lalu, "Marilah kita melihat di bagian
belakang dari barak ini."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya.
Keduanya pun kemudian berjalan tergesa-gesa ke bagian
belakang dari barak itu, karena dari arah itu pun beberapa
orang musuh agaknya berusaha menembus pertahanan para
pengawal yang memimpin beberapa orang dari barak itu.
Tetapi pertahanan di bagian belakang itu tidak begitu kuat
dibandingkan dengan jumlah orang-orang yang ada di bagian
depan dan samping sebelah-menyebelah.
Belum lagi keduanya sampai di halaman belakang, mereka
terkejut ketika mereka melihat dua orang yang berlari-larian
langsung menuju ke barak dengan senjata terhunus. Menilik
sikap dan tandangnya, mereka pasti bukan pengawal
Sutawijaya dan bukan pula orang dari barak itu. Agaknya dua
orang lawan telah berhasil menyusup mendekati barak.
Ketika Agung Sedayu hampir saja meloncat mengejar,
Swandaru berkata, "Kita lihat, apa yang akan dikerjakan oleh
orang-orang tua itu."
"Ah kau, apakah kita menunggu jatuhnya korban."
"Tidak, Kita membayanginya."
Keduanya pun kemudian berlari-lari mengikuti orang itu.
Agaknya orang itu langsung menuju ke serambi. Mereka
membawa perintah dari pemimpin mereka, membunuh setiap
orang di dalam barak itu. Kalau mungkin menimbulkan
keributan, agar perempuan dan anak-anak berteriak-teriak
dengan kerasnya, dan mempengaruhi perlawanan suamisuami
mereka. Tetapi kedua orang itu terkejut. Ternyata masih ada
beberapa orang laki-laki di serambi, meskipun laki-laki yang
sudah agak lanjut usia. Karena itu, keduanya pun segera berhenti mempersiapkan
diri menghadapi kemungkinan yang tidak terduga-duga itu.
Empat orang laki-laki telah mendekati keduanya. Bahkan
masih, ada tiga orang lagi dari sudut serambi itu. Tujuh orang.
Kedua orang itu menjadi termangu-mangu sejenak. Namun
mereka sadar, bahwa tujuh orang itu bukanlah pengawalpengawal
yang sudah mapan mempergunakan senjata.
Agaknya orang-orang tua itu pun tidak banyak membuang
waktu. Salah seorang dari mereka mengucapkan kata-kata
sandi. Tetapi dua orang itu tidak dapat menjawab dengan
tepat. Karena itu, hampir berbareng ketujuh laki-laki itu
menyerangnya. Adalah di luar dugaan. Salah seorang laki-laki tua itu
ternyata dengan tangkasnya menggerakkan senjatanya.
Sambil menyerang salah seorang lawan ia berkata, "Aku
pernah menjadi pengawal padukuhanku. Aku pernah
mendapat latihan olah kanuragan dari kakekku selagi aku
berumur 20 tahun. Ternyata sekarang aku baru
mempergunakannya." Tetapi bukan seorang itu saja yang membuat lawannya
berdebar-debar. Laki-laki lain pun telah menyerang lawan
mereka yang lain sambil berkata, "Aku pernah mengikuti
pendadaran menjadi seorang prajurit ketika aku muda
meskipun dari orang-orang ini."
Namun demikian, ternyata mereka tidak setangkas lawanlawannya.
Hampir saja senjata lawan-lawan mereka langsung
menembus tubuh mereka. Untunglah bahwa mereka
berjumlah tujuh orang seluruhnya, sehingga dengan demikian
dua orang lawan itu pun agaknya harus berjuang mati-matian.
"Gila," geram salah seorang dari kedua orang yang berhasil
menyusup ke halaman itu, "orang-orang ini benar-benar sudah
jemu hidup." "Lebih baik kamilah yang mati lebih dahulu daripada
perempuan dan anak-anak."
"Kalian akan mati dan perempuan dan anak-anak itu pun
akan mati pula." "Jangan membual."
Ternyata meskipun ketujuh orang itu sudah hampir sampai
ke pertengahan abad, namun tenaga mereka masih hampir
utuh. Mereka masih sanggup mengayunkan kapak menebang
pohon-pohon raksasa di hutan-hutan. Dan kini mereka pun
masih sanggup mengayunkan senjata mereka melawan dua
orang. Tetapi kawan-kawannya yang lain agaknya tidak sampai
hati membiarkan ke tujuh orang itu berkelahi mati-matian.
Yang berada di sudut lain pun segera membagi diri. Mereka
berada di sana empat orang. Yang dua berkata, "Aku akan
membantu mereka. Kau awasi keadaan. Kalau kau melihat
ada orang datang, berteriaklah memanggil kami."
"Baiklah," jawab yang lain.
Yang dua orang pun segera berlari-lari mendekati medan
perkelahian di halaman itu. Bahkan tiga orang anak-anak
muda tanggung yang berada di dalam barak pun telah keluar
pula meskipun ibuya melarangnya, "Jangan Ngger. Jangan."
"Aku hanya akan melihat saja, Ibu."
Tepat pada saat kedua orang yang berlari-lari dari sudut
yang lain itu mendekat, salah seorang dari ketujuh orang yang
berkelahi itu berdesis. Ujung senjata lawannya telah mengenai
lengannya, sehingga ia harus meloncat mundur. Tetapi dua
orang lain segera menggantikannya.
Anak-anak tanggung itu pun akhirnya tidak hanya sekedar
melihat saja. Mereka pun ikut pula mengurung dua orang
lawan yang tidak menduga akan mendapat lawan sekian
banyaknya. Di serambi, kawan-kawannya yang sudah tertawan lebih
dahulu menjadi gelisah pula. Tetapi mereka mendapat
penjagaan yang cukup kuat, selain tangan mereka telah
terikat. Beberapa orang di antara mereka mulai mencoba untuk
merencanakan suatu usaha, agar mereka dapat terlepas.
Tetapi meskipun yang menjaga mereka adalah orang-orang
tua, namun ikatan tangan mereka yang dikaitkan dengan
ikatan kawannya yang lain, sepasang demi sepasang, sangat
mengganggunya, selain luka-luka yang memang masih terasa
terlampau sakit. Tetapi mereka pun sadar, apabila mereka tidak dapat lepas
dari ikatannya, apabila kawan-kawannya tidak mendapat
kesempatan membebaskannya, maka akibatnya pasti akan
sebaliknya. Kawan-kawannya pasti akan justru
membunuhnya. Sekilas mereka memandang senjata-senjata terhunus di
tangan laki-laki yang sudah mendekati setengah abad. Salah
seorang dari mereka berkata kepada diri sendiri, "Kalau saja
aku mendapat kesempatan melepaskan tanganku. Orangorang
tua itu tidak akan banyak berarti bagiku."
Belum lagi orang-orang itu menemukan cara yang sebaikbaiknya
untuk melepaskan diri, ternyata mereka mendengar
orang-orang di sudut barak itu berteriak-teriak, "Bunuh saja.
Bunuh saja keduanya."
Tetapi orang-orang itu tidak dapat melihat dengan jelas,
apa yang terjadi di sudut barak itu.
Dalam pada itu, ternyata bahwa salah seorang dari kedua
orang yang menyusup ke halaman itu, tidak mampu lagi
menahan serangan-serangan sekian banyak ujung senjata.
Bahkan ketika sepotong besi yang panjang menyentuh
matanya, ia kehilangan keseimbangan. Sekejap ia
memejamkan matanya. Namun yang sekejap itu berakibat
kekal padanya, karena sehelai pedang telah terhunjam di
dadanya. Kemudian disusul oleh tikaman-tikaman yang
hampir bersamaan waktunya. Dengan demikian maka orang
itu pun segera roboh di tanah untuk tidak akan pernah bangun
kembali. Kini yang melakukan perlawanan atas mereka tinggal
seorang saja. Meskipun ia sudah berhasil melukai beberapa
orang, tetapi luka-luka yang tidak berarti sama sekali.
Ia sadar, bahwa ia seorang diri tidak akan dapat melawan
sekian banyak orang, meskipun mereka bukan pengawal
tanah Mataram. Karena itu, maka lebih baik baginya untuk
segera menyingkir dan kembali ke induk pasukannya saja.
Karena itu, maka sejenak kemudian, ia pun segera
meloncat ke luar dari lingkaran perkelahian dan langsung
berlari kencang-kencang meninggalkan orang-orang yang
masih mengejarnya. Tetapi malang baginya. Di dalam kegelapan kakinya
ternyata telah terjerat sesuatu, sehingga ia pun terpelanting
dan jatuh tertelungkup. Ternyata ujung cambuk Swandaru telah menjeratnya,
sehingga ia tidak berhasil melarikan dirinya. Sepasang tangan
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang kuat telah memilin tangannya tanpa ampun lagi.
"Ikat saja orang ini," berkata Swandaru kepada orang-orang
yang mengejarnya. "Bunuh saja." "Jangan. Ia sudah menyerah. Ikat saja kuat-kuat. Orang ini
masih berbahaya. Meskipun demikian, jangan kalian bunuh."
Orang-orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala. Salah
seorang segera maju sambil berkata, "Ikat saja ia erat-erat.
Kemudian kita ikat orang itu dengan tiang."
Tanpa diduga-duga ia menyambar ikat kepala orang yang
tangannya masih terpilin itu. Kemudian dengan ikat kepala itu,
ia mengikat tangan orang yang masih berbahaya itu erat-erat.
Katanya, "Marilah orang ini kita bawa ke serambi."
Ternyata kemenangan itu telah mengungkat keberanian
orang tua-tua itu lebih bergelora lagi. Mereka seakan-akan
sudah tidak mengenal takut lagi menghadapi setiap
kemungkinan. Setelah mengikat orang itu, mereka pun
kemudian turun ke halaman dan berjalan hilir-mudik dengan
senjata di tangan. Dalam pada itu. Swandaru dan Agung Sedayu masih saja
berdiri di samping barak. Mereka pun kemudian berkisar ke
belakang. Di dalam gelapnya malam mereka tidak segera
melihat, apa yang terjadi di gerumbul-gerumbul di belakang
barak itu. "Agaknya kekuatan lawan pun terpusat di arah depan,"
desis Swandaru. "Ternyata tidak ada seorang pun yang
berhasil menembus pertahanan dua kelompok kecil yang
dipimpin oleh dua orang pengawal."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
lamat-lamat ia memang mendengar suara perkelahian.
"Suara itu semakin lama menjadi semakin dekat," desis
Agung Sedayu. Wajah Swandaru menegang. Katanya, "Kalau begitu,
mereka pasti terdesak."
"Marilah kita lihat."
Keduanya pun kemudian berloncatan berlari masuk ke
dalam gelapnya malam. Dalam pada itu Swandaru masih
sempat bergumam, "Orang-orang tua di halaman itu masih
dapat dipercaya." Di arah depan barak, pasukan lawan memang cukup kuat.
Ketika saatnya telah dataug, serta isyarat telah mereka
lontarkan ke udara karena suara gemerincing itu tidak dapat
berputar secara wajar, maka mereka pun seperti banjir yang
memecahkan bendungan, langsung mencoba menyerbu ke
halaman barak. Tetapi tanpa mereka sadari, ternyata sebagian dari mereka
telah terpelanting karena kaki-kaki mereka telah terjerat oleh
tali-tali lulup yang direntangkan oleh Swandaru dan Agung
Sedayu dari batang perdu yang satu kebatang yang lain. Talitali
lulup yang putus telah mengguncang pohon-pohon perdu
di gerumbul dan membuat kejutan-kejutan yang langsung
menghambat laju orang-orang yang menyerbu barak itu.
Dengan demikian, maka usaha Swandaru ada juga
hasilnya. Serangan itu terpaksa terhambat. Laju banjir itu pun
tidak seperti yang mereka rencanakan, untuk memberikan
kesan yang mengerikan pada serangan yang pertama.
Bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang kakinya
terkilir dan dahinya membentur batu.
Terdengar mereka yang terjerat oleh tali-tali lulup itu
mengumpat tidak habis-habisnya. Apalagi mereka yang oleh
kejutan itu, senjatanya telah terlepas. Di dalam kegelapan
orang itu harus merunduk-runduk mencari senjatanya yang
terjatuh. "He, apa kerjamu?" bentak kawannya.
"Senjataku terjatuh."
"Bodoh kau. Seorang prajurit yang kehilangan senjata di
medan perang, sama saja sudah kehilangan separo dari
nyawanya." "Itulah sebabnya aku mencari separo nyawaku yang
hilang." "Persetan," kawannya menggeram. Tetapi ketika kawannya
itu meloncat meninggalkan orang yang sedang mencari
senjata itu, kakinya sendiri terjerat pula, sehingga ia pun jatuh
menelungkup. Senjatanya pun terlepas dan ter-pelanting jatuh
ke dalam gerumbul perdu. "Setan alas!" ia mengumpat.
Dalam pada itu kawannya yang terdahulu kehilangan
senjatanya, sudah dapat menemukannya. Didekatinya
kawannya yang terjatuh kemudian sambil berkata, "Apa yang
kau cari?" "Gila, senjataku pun terjatuh."
"Bodoh kau. Seorang prjaurit yang kehilangan senjata di
medan perang, sama saja sudah kehilangan separo
nyawanya." Kawannya menggeretakkan giginya. Tetapi ia pun segera
menjawab, "Itulah sebabnya aku mencari separo nyawaku
yang hilang." "Macammu," desis kawannya yang sudah menemukan
senjatanya. Tetapi ia tidak mau menunggu lebih lama lagi.
Dengan tergesa-gesa ia pun segera maju menyusul kawankawannya
meskipun ia harus berhati-hati karena ia tidak mau
terjerat lagi oleh tali-tali lulup.
Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak yang melihat laju orangorangnya
tertahan-tahan mengumpat pula di dalam hati. Laju
pasukan pada benturan yang pertama itu cukup berpengaruh.
Apalagi lawannya adalah orang-orang yang tidak
berpengalaman dalam peperangan. Hanya beberapa orang
sajalah yang mempunyai kemampuan mempergunakan
senjata sebaik-baiknya. Demikianlah maka akhirnya dua pasukan itu pun bertemu.
Tetapi tidak di tepi halaman seperti yang diharapkan oleh
orang-orang Kiai Damar, karena pasukan yang
mempertahankan barak itu sudah agak maju menyongsong
mereka. Memang ada satu dua orang yang lolos, dan mencoba
langsung menyerbu ke barak untuk mempengaruhi hati orangorang
barak yang sedang berkelahi itu. Tetapi orang-orang tua
yang pernah memenangkan perkelahian, menjadi semakin
terbesar hati, sehingga mereka pun berjuang semakin gigih.
Setiap orang yang mencoba memasuki barak itu pasti berhasil
mereka lumpuhkan beramai-ramai. Itulah yang tidak pernah
diduga oleh orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.
Demikianlah maka perkelahian itu pun menjadi semakin
seru. Orang-orang yang bertempur menjadi semakin bernafsu.
Demikian juga penghuni barak yang selama itu hanyalah
sekedar mengayunkan kapak-kapak mereka menebang
pepohonan, tetapi kini mereka mengayunkan senjata mereka
sekuat tenaga untuk melawan orang-orang yang akan
menghancurkan segala usaha yang selama ini pernah mereka
rintis. Dengan demikian, meskipun mereka bukan orang-orang
yang cakap mempermainkan senjata tetapi kekuatan ayunan
senjatanya dapat dibanggakan, sehingga lawan-lawan mereka
pun menjadi ngeri juga karenanya.
Di samping orang-orang yang bertenaga raksasa itu, para
pengawal dan pengawas yang ada di antara mereka pun
bertempur mati-matian. Mereka bukan sekedar orang-orang
yang dapat memegang senjata, tetapi terlebih-lebih pengawal
Sutawijaya adalah orang-orang pilihan. Orang-orang yang
mempunyai kemampuan bertempur melampaui seorang
prajurit biasa. Sutawijaya sendiri bersama Kiai Gringsing dan Sumangkar
masih berdiri termangu-mangu. Sejenak mereka
memperhatikan medan yang meluas, hampir meliputi separo
lingkaran. Sedang mereka pun mengetahuinya, bahwa di
belakang barak pun ada juga orang-orang Kiai Damar yang
mencoba menem-bus pertahanan. Tetapi mereka percaya
bahwa Agung Sedayu dan Swandaru akan dapat membantu
orang-orang yang bertahan di belakang dengan kekuatan
yang kecil. Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu dan Swandaru telah
terjun ke dalam kancah perkelahian. Jumlah lawan memang
tidak begitu banyak. Tetapi mereka berhasil mendesak para
penghuni barak yang hanya dipimpin oleh dua atau tiga orang
pengawal. Namun kehadiran Agung Sedayu dan Swandaru
ternyata mempunyai pengaruh yang besar sekali.
Meskipun keduanya tidak bernafsu untuk membunuh, tetapi
mereka sadar, bahwa mereka harus melumpuhkan lawannya.
Membuat mereka pingsan atau membuat mereka tidak
berdaya sama sekali. Namun demikian apabila ada yang
terbunuh juga di antara mereka, sama sekali bukanlah yang
dikehendaki. Sejenak kemudian di bagian belakang barak itu telah
bergema suara cambuk Agung Sedayu dan Swandaru.
Meledak-ledak seperti menghentak-hentak jantung. Semakin
lama semakin sering, dan setiap kali terdengar seseorang
mengaduh tertahan. Seorang laki-laki yang berkumis lebat tetapi berkepala
botak, menggeram, "Nah, sekarang barulah aku mendapat
kesempatan. Aku tidak percaya bahwa cambuk itu mampu
melawan sepasang pedangku."
Dengan garangnya orang berkumis itu pun segera
meloncat menyerang Agung Sedayu.
Selangkah Agung Sedayu meloncat surut. Ia melihat orang
berkumis lebat di dalam keremangan malam. Semula ia
termangu-mangu melihat ikat kepala orang itu berkilat-kilat.
Tetapi ternyata bahwa orang itu sama sekali tidak memakai
ikat kepala. Botak kepalanyalah yang memantulkan cahaya
bintang gemintang di langit yang jernih.
"Sekarang kau akan mati," desis orang botak itu.
Agung Sedayu meloncat surut sekali lagi. Ternyata bahwa
sepasang pedang orang itu memang garang. Yang satu
mematuk, sedang yang lain tiba-tiba terayun mendatar.
"Jangan lari," orang itu berteriak, "inikah yang dikatakan
orang bercambuk itu" Sama sekali tidak seperti yang pernah
aku dengar. Apakah memang begitu caramu berkelahi?"
"Ya," jawab Agung Sedayu, "beginilah caraku berkelahi."
"Licik. Kalau begitu ?"
Tetapi orang itu tidak sempat menyelesaikan kalimatnya.
Tiba-tiba selaput telinganya serasa pecah. Cambuk Agung
Sedayu meledak dengan dahsyatnya beberapa jengkal saja
dari kepalanya. "Gila," orang berkepala botak dan berkumis lebat itu
mengumpat. Namun sekali lagi ia harus menundukkan
kepalanya dalam-dalam karena ujung cambuk Agung Sedayu
berdesing di atas kepalanya.
Selanjutnya Agung Sedayu tidak memberinya kesempatan.
Ujung cambuknya menyusup di antara sepasang pedang
lawannya, seperti seekor lalat. Sekali-sekali hinggap di
tubuhnya, kemudian terbang lagi dengan cepatnya.
"Kubunuh, kau," orang itu berteriak sekali lagi. Pedangnya
berputar semakin cepat dan garang. Namun ujung cambuk
Agung Sedayu masih juga sempat hinggap di kulitnya,
meskipun belum menumbuhkan luka-luka yang parah.
Namun demikian, sentuhan-sentuhan ujung cambuk itu
membuatnya seakan-akan berdiri di atas bara. Setiap kali ia
berloncatan menghindar, kemudian maju menyerang dengan
dahsyatnya, meskipun serangannya sama sekali tidak pernah
menyentuh lawannya. Dalam pada itu, justru ujung cambuk Agung Sedayu-lah
yang semakin sering mengenainya. Semakin lama semakin
keras, sehingga kemudian terasa, kulitnya seakan-akan
terkelupas. Darah mulai menitik dari luka-luka yang timbul oleh
sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu itu.
Di bagian lain, Swandaru harus berkelahi melawan dua
orang sekaligus. Yang seorang gemuk hampir seperti dirinya
sendiri, sedang yang lain bertubuh tinggi dan besar,
bersenjata tombak pendek, bergerigi seperti duri pandan.
"Juntai cambukmu akan rantas tersentuh senjataku," orang
yang tinggi itu bergumam.
Tetapi Swandaru tidak menghiraukannya. Bahkan ia
berkata kepada lawannya yang gemuk, "Kenapa kau tidak
memakai baju" Kulitmu akan terkelupas oleh ujung cambukku.
Kalau kau masih mempunyainya, ambillah, pakailah bajumu
sekedar untuk mengurangi jalur-jalur merah biru di
punggungmu." "Persetan!" ia membentak. Suaranya melengking seperti
suara perempuan. "He, suaramu aneh," desis Swandaru.
"Gila. Kau masih sempat berbicara tentang suara," orang
yang tinggi besar itulah yang menjawab.
Swandaru tiba-tiba justru tertawa. Tetapi ia tidak menjawab
lagi. Cambuknya semakin lama menjadi semakin cepat,
sehingga kedua lawannya itu pun menjadi semakin bingung
karenanya. Dalam pada itu, para pengawal dan orang-orang yang
tinggal di dalam barak itu pun masih berkelahi mati-matian.
Jumlah lawan memang agak lebih banyak di bagian belakang
ini. Tetapi ternyata bahwa para pengawal pun cukup tangkas.
Apalagi karena Agung Sedayu kemudian tidak mengikatkan
diri pada lawannya yang seorang itu. Orang yang berkumis
lebat dan berkepala botak. Setiap kali Agung Sedayu masih
juga sempat menyerang siapa pun yang mendekatinya. Dan
serangan Agung Sedayu itu ternyata benar-benar
mengejutkan. Demikian pula orang berkepala botak itu. Semakin lama ia
pun semakin menyadari keadaannya. Sebenarnya, bahwa
orang yang bersenjata cambuk itu adalah orang yang luar
biasa, sambil berloncatan kian kemari, membantu orang-orang
lain di dalam perkelahian itu, ia masih sempat melukainya.
Semakin lama semakin banyak. Jalur-jalur merah biru menjadi
silang-menyilang dipunggung dan lengannya.
"Anak ini memang anak setan," desisnya, "aku harus
membunuhnya beramai-ramai. Kalau orang ini sudah mati,
maka, aku akan dapat segera membunuh orang-orang lain di
dalam perkelahian ini."
Demikianlah, maka orang itu pun memberi isyarat kepada
tiga orang yang lain untuk bersama-sama melawan Agung
Sedayu. Menurut perhitungan orang berkepala botak itu,
03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
apabila Agung Sedayu sudah terbunuh, maka semuanya akan
berjalan lancar. Tetapi perhitungan itu pun tidak terlampau mudah
dilakukan. Dengan demikian, maka orang-orang lain di dalam
perkelahian itu menjadi lebih bebas lagi karena lawannya
berkurang. Orang-orang dari barak yang semula menjadi
cemas dan kadang-kadang bingung, kini mereka merasa
lapang, karena lawan-lawan mereka telah terhisap oleh Agung
Sedayu. Demikian juga pengawal yang ada di arena
perkelahian itu, sehingga mereka pun segera berhasil
mendesak lawan mereka. Sejenak kemudian perkelahian itu menjadi semakin berat
sebelah. Agung Sedayu dan Swandaru menganggap bahwa
tenaganya mungkin diperlukan pula di medan yang lain,
sehingga akhirnya mereka pun mengerahkan segenap
kemampuan mereka. Cambuk kedua anak-anak muda itu
segera meledak-ledak semakin keras dan cepat. Ujungnya
yang berkarah besi baja, rasa-rasanya menjadi semacam
ujung pedang. Setiap sentuhan, tidak lagi sekedar
meninggalkan bekas merah biru, tetapi ujung cambuk itu
mampu merobek kulit dan membuat luka memanjang yang
mengalirkan darah yang segar.
"Anak setan!" geram orang berkepala botak itu. Tetapi ia
pun segera menyeringai ketika ujung cambuk Agung Sedayu
justru menyentuh botaknya meskipun tidak terlampau keras.
Pasukan yang menyerang barak itu pun semakin lama
menjadi semakin terdesak. Agung Sedayu dan Swandaru
bersama-sama dengan para pengawal dan orang-orang yang
tinggal di dalam barak itu berusaha sekuat-kuatnya untuk
segera menyelesaikan perkelahian itu.
Meskipun jumlah para penyerang itu agak lebih banyak,
namun sebagian terbesar dari mereka berkerumun di sekitar
Agung Sedayu dan Swandaru. Namun demikian, mereka
sama sekali tidak berhasil mendesaknya. Bahkan, cambuk
kedua anak-anak muda itu kadang-kadang telah membuat
mereka kebingungan dan saling membentur di antara mereka
sendiri. Namun demikian korban-korban di kedua belah pihak tidak
dapat dihindarkan lagi. Demikian juga pada lingkaran
perkelahian di belakang barak itu. Meskipun Agung Sedayu
dan Swandaru sama sekali tidak didorong oleh nafsu untuk
membunuh, namun mereka tidak dapat menilik dengan
saksama akibat dari ujung cambuk masing-masing, sehingga
ada juga di antara mereka yang terlempar dan terbanting di
atas tanah, namun tidak akan dapat bangkit kembali.
Di bagian depan dari barak itu, pertempuran pun menjadi
semakin sengit. Berbeda dengan pertempuran di bagian
belakang, di bagian depan jumlah para penyerang tidak lebih
banyak dari mereka yang mempertahankan barak itu. Tetapi
nilai mereka seorang demi seorang agak jauh berbeda. Di
dalam perkelahian yang lebih besar, ternyata orang-orang
yang menghuni barak itu masih juga kebingungan. Meskipun
pemimpin-pemimpin kelompok mereka, sempat memberikan
aba-aba, namun kadang-kadang mereka tidak dapat berbuat
apa pun juga, selain kebingungan.
Dengan demikian, maka pasukan penyerang itu pun segera
dapat mendesak orang-orang yang mencoba
mempertahankan baraknya. Meskipun para pengawal sudah
berjuang sekuat tenaga mereka, tetapi tenaga mereka pun
sangat terbatas. Sutawijaya yang melihat hal itu, menjadi berdebar-debar
karenanya. Dengan demikian ia tidak akan dapat tinggal diam
menunggu. Dengan tombak yang bergetar di tangannya, ia
berkata kepada Kiai Gringsing dan Sumangkar, "Aku akan
mulai Kiai. Keadaan menjadi semakin buruk."
"Marilah, kita akan mulai bersama-sama," desis Kiai
Gringsing. "Kiai harus mengamati, apakah Kiai Damar dan Kiai
Telapak Jalak juga sudah mulai. Mereka adalah orang-orang
yang berbahaya, yang harus mendapat perhatian khusus."
"Aku akan mencari, Ngger. Tetapi sambil mencari, aku
dapat berbuat sesuatu untuk mengurangi perlawanan musuh."
Sutawijaya tidak menyahut. Dengan tombak yang
merunduk ia maju mendekati arena yang menjadi semakin
sibuk. Sejenak kemudian Sutawijaya telah terjun di dalam
pertempuran. Pertempuran yang seru, namun dipenuhi oleh
keragu-raguan. Di dalam gelapnya malam tidak mudah untuk
segera membedakan, manakah kawan dan manakah lawan.
Namun apabila keduanya sudah bertemu, maka mereka pun
akan berkelahi mati-matian.
Agaknya Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak mengetahui
akan hal itu. Karena itu, maka mereka pun berusaha, agar
tidak terjadi terlampau banyak kesalahan dan keragu-raguan.
Supaya anak buahnya tidak lagi harus membuang banyak
waktu sebelum menghunjamkan pedangnya karena
kebimbangan. Orang-orang yang tinggal di dalam barak, dan yang
ternyata ikut melakukan perlawanan, adalah lawan-lawan
yang sangat lunak. Hanya karena kegelapan dan keraguraguan
sajalah, mereka masih sempat hidup terus.
Dengan demikian, maka Kiai Damar pun segera
memerintahkan beberapa orangnya yang memang sudah
ditentukannya, untuk segera menyalakan obor. Selain itu,
panah-panah api pun diterbangkannya ke udara, sehingga
medan itu bagaikan hujan api yang berjatuhan dari langit.
Sejenak kemudian medan yang ribut itu menjadi semakin
terang. Beberapa orang maju ke medan dengan obor di
tangan kiri dan pedang di tangan kanan, atau menancapkan
obor-obor mereka di tanah dan menyelipkannya di cabangcabang
batang perdu. Ternyata bahwa obor-obor itu sangat berguna bagi mereka.
Di dalam keremangan cahayanya yang kemerah-merahan,
mereka segera mengenal, yang manakah lawan-lawan
mereka, bahkan mereka dapat mengenal pula, yang manakah
pengawal yang memang cakap mempergunakan senjata, dan
yang manakah orang-orang yang dapat dengan mudah
mereka sergap dan mereka jadikan korban.
Tetapi sejenak kemudian dada mereka menjadi berdebardebar,
ketika justru cahaya obor itu telah memberikan banyak
petunjuk pula bagi Sutawijaya. Itulah sebabnya, maka di
medan pertempuran yang menjadi terang itu, tiba-tiba telah
timbul kebingungan. Seorang anak muda dengan tombak di
tangan, telah meloncat dengan lincahnya menyelusupi medan
sambil memutar tombaknya itu.
"Anak setan!" salah seorang lawannya menggeram. Hampir
saja hidungnya tersentuh ujung tombak itu. Namun ia tidak
sempat berbuat banyak ketika tiba-tiba saja pundaknyalah
yang telah tergores oleh ujung tombak yang terbang bagaikan
sikatan menyambar bilalang.
Demikianlah kehadiran Sutawijaya di medan peperangan,
itu memberikan banyak pengaruh bagi orang-orangnya. Para
pengawal yang harus berjuang mati-matian, bukan saja
mempertahankan dirinya sendiri, tetapi kadang-kadang harus
juga melindungi anak buahnya itu, menjadi sedikit lapang.
Lawan-lawannya menjadi agak bingung dan memecah
perhatian di antara mereka.
Tetapi Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak pun tidak tinggal
diam di tempatnya. Mereka pun melihat bayangan yang
bagaikan berterbangan kian kemari, menyambar-nyambar
dengan dahsyatnya. "Itulah Sutawijaya," desis Kiai Telapak Jalak.
Kiai Damar mengerutkan keningnya. Katanya, "Bagaimana
maksudmu dengan anak itu?"
"Kita binasakan."
"Baik, lalu?" "Kau menghadangnya di ujung sebelah, aku di ujung yang
lain. Jangan ragu-ragu, kita akan membunuhnya."
Kiai Damar mengangguk-angguk, tetapi ia tidak segera
beranjak dari tempatnya. Sikapnya menunjukkan keraguraguan
yang mengganggu hatinya. "Kenapa kau masih diam saja?"
"Tetapi, bukankah Raden Sutawijaya itu putera Ki Gede
Aji Wisa Dahana 2 Luruh Kuncup Sebelum Berbunga Karya Mira W Kasih Diantara Remaja 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama