Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 31

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 31


Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata
kepada Ki Sumangkar, "Jalan memang cukup berbahaya."
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Medan memang berat. Tetapi agaknya Daksina benar-benar
menyiapkan dirinya untuk menyongsong pasukan pengawal
dari Mataram itu." "Bukan saja Daksina. Di belakang bukit ini telah tersusun
kekuatan yang luar biasa. Pertahanan yang berlapis-lapis.
Senjata yang mencuat di segala sudut bagaikan batang
ilalang. Dan lebih dari itu adalah kemampuan yang aneh dari
orang yang disebut Panembahan Agung itu."
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia
pun bertanya, "Jadi menurut pertimbanganmu, apakah yang
sebaiknya kita lakukan?"
"Kita mendekat. Aku masih tetap yakin, bahwa aku akan
menemukan tempat anakku itu. Dan tujuan yang dicapai oleh
Raden Sutawijaya adalah tujuan yang semu. Bukan pusat dari
kekuatan lawan yang sebenarnya. Aku semakin yakin.
Mungkin Raden Sutawijaya akan segera menemukan tempat
yang dicarinya. Tetapi ia masih harus melanjutkan perjalanan."
Ki Sumangkar masih mengangguk-angguk.
"Baiklah kita berjalan terus," berkata Ki Waskita kemudian,
"mudah-mudahan kita dapat melihat, apa yang ada di sekitar
bukit sebelah." "Tetapi," bertanya Sumangkar ragu-ragu, "jika benar
Panembahan Agung memiliki indera yang lain dari indera
wadagnya, apakah ia tidak akan mampu melihat kehadiran
kita?" "Kita dapat berusaha mengaburkan penglihatan itu. Seperti
juga Panembahan Agung. Jika ia mengetahui bahwa aku akan
mendekat, maka ia pun tentu akan mengaburkan
penglihatanku atas mereka. Tetapi Panembahan Agung itu
tentu belum melihat kehadiranku sampai di sini."
"Apakah dalam keadaan kita sekarang ini, Panembahan
Agung akan melihat?"
"Tidak. Selain agaknya Panembahan Agung memusatkan
perhatiannya pada gerak yang besar dari pasukan pengawal
dari Mataram, maka aku pun akan selalu berusaha
menyamarkan diri ke dalam getar alam yang luas."
Ki Sumangkar mengerutkan keningnya. Ia mengerti bahwa
Ki Waskita memiliki ketajaman penglihatan batiniah. Tetapi
agaknya terlalu sulit baginya untuk mengerti bahwa Ki Waskita
dapat menyamarkan diri ke dalam getar alam di sekitarnya.
"Mungkin ia menyesuaikan diri dengan lingkungannya,
sehingga penglihatan batin Panembahan Agung
menangkapnya sebagai getar alam benda di sekitarnya.
Seperti kayu dan batu atau bahkan seperti mendung yang
lewat di langit." Tetapi Sumangkar tidak bertanya.
"Marilah kita maju lagi," berkata Ki Waskita. "Kita berusaha
untuk melihat padepokan itu. Jika mungkin aku akan masuk ke
dalam dan melihat dari dekat, apa yang sudah dilakukan. Jika
tidak, kita akan melihat dari kejauhan. Dan jika perlu kita harus
memberitahukan kepada pasukan Pengawal Mataram dan
Menoreh, apa yang sebenarnya mereka hadapi."
Ki Sumangkar hanya mengangguk-anggukkan kepalanya
saja. Dan ia pun kemudian mengikuti ayah dari anak yang
hilang itu, berjalan di sepanjang tebing yang sulit. Mereka
berusaha melintasi salah sebuah puncak bukit kecil yang
berbatu padas untuk melihat, apa yang ada di seberang.
Dengan susah payah, akhirnya mereka pun berhasil
mencapai puncak bukit. Dengan keringat yang membasahi
segenap tubuh, mereka berdiri termangu-mangu memandang
puncak yang hanya ditumbuhi oleh gerumbul-gerumbul yang
jarang. "Kita akan melintasi puncak itu," berkata Ki Waskita,
"kemudian kita akan menuruni lereng sebelah, dan kita sudah
akan berada di dalam lingkaran pengawasan Panembahan
Agung." Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah
seseorang yang memiliki pengalaman yang luas di medan
yang betapa pun beratnya. Tetapi agaknya kali ini ia akan
sampai ke medan yang sangat berat. Selain melawan
pasukan lawan yang sudah menunggu, maka lereng
pegunungan dan batu-batu padas di bawah kakinya, akan
merupakan lawan yang harus diperhitungkan pula.
Demikianlah mereka pun kemudian berjalan di atas batu
padas di puncak bukit yang membujur di antara beberapa
bukit yang lain itu. Meskipun mereka masih belum terlalu
dekat, tetapi mereka harus berhati-hati. Mereka sejauh
mungkin berjalan di antara semak-semak yang tumbuh di
antara batu-batu padas yang retak-retak oleh terik matahari.
Setelah melintasi puncak itu, maka mereka pun segera
sampai di tebing seberang. Namun rasa-rasanya nafas
mereka mulai bekejaran oleh letih yang merayapi seluruh
tubuh. "Kita beristirahat dahulu di sini," berkata Ki Waskita,
"perjalanan kita masih jauh, meskipun kita sudah dekat
dengan padepokan yang kita cari. Aku tidak dapat
membayangkan bentuk padepokan itu. Mungkin sebuah
padesan kecil, mungkin bentuk yang lain. Tetapi dugaanku
kuat, Rudita ada di sini."
Demikianlah maka Ki Waskita itu pun kemudian duduk di
bawah gerumbul dan berlindung dari kemungkinan dapat
dilihat oleh lawan. Ki Sumangkar yang masih mengawasi
medan sejenak itu pun kemudian duduk pula di sebelah ayah
Rudita yang mulai merenung lagi. Sambil menyilangkan
tangan di dadanya, kepalanya pun tunduk dalam-dalam.
Seperti yang selalu dilakukan, maka Ki Sumangkar pun
sama sekali tidak mengganggunya. Ia sadar, betapa
gelisahnya hati Ki Waskita yang kehilangan satu-satunya anak
laki-laki. Sejenak kemudian Ki Waskita itu mengangkat kepalanya.
Dan seakan-akan kepada dirinya sendiri ia bergumam, "Aku
yakin, anakku masih tetap sehat. Ia ada di sekitar tempat ini.
Padukuhan yang akan diketemukan oleh Raden Sutawijaya
adalah padukuhan yang kurang berarti. Tetapi ia sudah harus
melalui pertempuran-pertempuran yang menelan korban." Ia
berhenti sejenak, lalu, "Kita masih mempunyai waktu. Jika
nafas kita sudah teratur kembali, kita akan mendekati
padukuhan itu. Tetapi kita harus membuat perhitungan sebaikbaiknya
agar kita tidak terjebak di dalam kesulitan yang tidak
teratasi." Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak
ia mengedarkan tatapan matanya, lalu, "Apakah pasukan
Raden Sutawijaya itu masih akan memerlukan waktu yang
panjang untuk sampai ke tempat ini?"
"Ya. Kita telah memintas meskipun ternyata jalan yang kita
lalui sangat sulit. Selain daripada itu, Raden Sutawijaya harus
melalui pertahanan demi pertahanan. Dan itu juga
memerlukan waktu. Bahkan mungkin pasukan Mataram dan
Menoreh akan bermalam sebelum memasuki daerah
pertahanan yang sebenarnya dari padepok Panembahan
Agung. Dan agaknya itu akan lebih baik."
Sumangkar masih mengangguk-angguk.
"Dan kita pun harus menyesuaikan diri dengan pasukan
Mataram yang bakal datang itu."
Sumangkar tidak menyahut. Dipandanginya wajah langit
yang jernih dan awan yang sedang berarak. Puncak pebukitan
yang berlapis-lapis dan lembah yang kehijau-hijauan.
Sumangkar mengerutkan keningnya. Hampir di luar
sadarnya ia berdesis, "Di lembah itu tentu ada pategalan."
Ki Waskita mengangguk. Katanya, "Aku juga mengira
demikian." Sumangkar menjadi heran mendengar jawaban itu.
Meskipun ia tidak bertanya sesuatu, tetapi rasa-rasanya Ki
Waskita dapat menebak pertanyaan yang tersimpan di hati
Sumangkar. Maka katanya, "Yang hijau lebat itu tentu
tanaman yang diatur dengan tangan manusia. Tentu aku tidak
dapat melihat segala sesuatunya seperti aku melihat alam.
Sudah berkali-kali aku katakan, bahwa aku hanya menerima
isyarat. Dan sudah barang tentu isyarat itu kadang-kadang
kabur, kadang-kadang agak lebih jelas. Dan aku tidak dapat
dengan mudah membedakan, belukar, hutan, perdu, dan
tanah pategalan. Tetapi indera wadagkulah yang dapat
melihat dan kemudian menduga, bahwa di lembah itu
memang terdapat tanah pategalan yang agaknya ditanami
buah-buahan dan pohon-pohon perdu yang menghasilkan."
Sumangkar mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Jika
demikian, kita benar-benar telah memasuki daerah
Panembahan Agung. Agaknya tanah pategalan itu merupakan
cadangan persediaan makanan apabila mereka tidak sempat
mencari perbekalan keluar daerah pegunungan ini."
"Agaknya memang demikian. Kita akan mendekati daerah
pategalan itu dan kemudian menelusur mendekati pusat
padepokannya." Sumangkar tidak menyahut lagi. Tetapi seolah-olah ia
mencoba memandang menembus lembah dan tebing.
Dalam pada itu, pasukan pengawal Mataram dan Menoreh
masih beristirahat. Meskipun demikian, mereka tidak
kehilangan kewaspadaan. Beberapa orang maju beberapa
langkah dan mengawasi keadaan. Dengan pengalaman yang
mendebarkan itu, mereka harus memperhitungkan setiap
kemungkinan yang dapat terjadi.
"Tentu tidak di tebing itu," desis seorang pengawal kepada
kawannya yang berbaring di sampingnya, di atas rerumputan
sambil memandangi tebing di hadapannya.
"Ya, tentu tidak dengan cara seperti yang sudah di
lakukan. Selain tebing itu agak landai, maka lembah ini
bukannya tempat yang baik untuk mengubur sepasukan
pengawal, karena lembah ini terlampau luas untuk keperluan
itu." Kawannya tidak menyahut. Tetapi ia menjadi ngeri
mengenang kawannya yang begitu saja ditelan oleh batu dan
batang-batang kayu tanpa dapat berbuat sesuatu.
"Tubuhnya tentu hancur di bawah timbunan batu-batu itu,"
desisnya dengan suara yang datar.
"Apa?" bertanya kawannya.
"Mereka yang tertimbun batu di lembah itu."
Kawannya menarik nafas. Tetapi ia tidak menjawab.
Dalam pada itu, Ki Argapati sudah mulai merasa sehat
kembali meskipun ia sadar, bahwa kakinya akan tetap menjadi
gangguan. Jika ia berbuat sesuatu yang memerlukan gerak
dan kekuatan kakinya, maka seperti yang sudah terjadi, ia
akan kehilangan kemampuan mempergunakan kakinya itu.
Dengan obat yang digosokkan di kakinya, perasaan sakit yang
menyengat itu menjadi jauh berkurang. Tetapi tentu keadaan
kakinya yang sebenarnya masih belum berubah. Karena itu Ki
Argapati harus memperhitungkan setiap tindakannya dengan
tepat menghadapi medan yang semakin berat.
Sementara itu, pasukan Daksina yang mengundurkan diri
dan bergabung kembali dengan Putut Nantang Pati itu pun
telah berada di padepokan. Tetapi padepokan itu memang
sudah dikosongkannya. Dengan para penjaga yang tersisa
maka mereka pun menarik pasukannya ke pertahanan di
hadapan padepokan Panembahan Agung.
Meskipun demikian, Daksina yang memiliki pengalaman
perang yang cukup dan Putut Nantang Pati yang pengenal
daerah pertahanannya dengan baik, tidak melepaskan
pasukan Mataram begitu saja berjalan dengan lancar
menyusuri jejak mereka. Karena itulah, maka mereka pun meninggalkan beberapa
kelompok yang harus mengganggu perjalanan pasukan
pengawal dari Mataram dan dari Menoreh.
Kelompok-kelompok itu harus berada di tebing-tebing yang
cukup tinggi. Mereka akan melontarkan anak panah kepada
pasukan Mataram dan Menoreh. Kemudian apabila pasukanpasukan
itu mencoba membalas, mereka dapat menghilang di
balik gerumbul-gerumbul di atas tebing. Meskipun gerumbulgerumbul
itu tidak lebat, namun cukup baik untuk
melindungkan diri. Demikianlah, ketika pasukan Mataram dan pasukan
Menoreh itu sudah cukup beristirahat, maka mereka pun
segera bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Namun menilik
sinar matahari yang menjadi semakin kuning, mereka harus
memperhitungkan kemungkinan yang akan terjadi. Mereka
tidak dapat mengesampingkan perhitungan hari yang semakin
mendekati ujungnya. "Kita akan maju beberapa ratus langkah lagi," berkata
Sutawijaya, "jika sekiranya kita perlu bermalam sebelum kita
menemukan sarang mereka, kita pun akan beristirahat."
Orang-orang yang ada di sekitamya hanya menganggukanggukkan
kepalanya saja. Mereka pun menganggap bahwa
hari sudah terlalu jauh untuk mulai dengan sebuah perjuangan
merebut padepokan yang kuat dan mencari Rudita di
dalamnya, karena mereka masih belum tahu pasti, di
manakah anak itu disembunyikan.
"Kita terpaksa mengikat kalian," berkata Sutawijaya
kepada beberapa orang tawanan yang dibawa oleh pasukan
Mataram dan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu.
"Jika tidak, kalian akan mempersulit keadaan kami."
Tawanan-tawanan itu hanya menundukkan kepalanya
saja. "Nah, marilah," berkata Sutawijaya kemudian, lalu ia
berpaling kepada Ki Argapati, "apakah Ki Gede sudah siap
untuk memulai lagi?"
Betapa pun juga Ki Argapati itu menjawab, "Sudah. Aku
sudah siap." Sejenak kemudian pasukan itu pun mulai bergerak.
Seorang prajurit yang baru saja memejamkan matanya,
terpaksa berjalan dengan malasnya di samping kawannya
yang mulai enggan melanjutkan perjalanan itu. Tetapi karena
yang dilakukan itu adalah sebuah kuwajiban, maka ia pun
berusaha untuk meyakinkan dirinya sendiri, bahwa pasukan
itu bukanlah segerombolan orang yang pergi bertamasya di
lembah dan ngarai. Dengan hati-hati dua orang pengawal dari Menoreh
berjalan di paling depan sambil berusaha mengenal arah
lawannya. Mereka menyusur jejak kaki pasukan Daksina dan


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Putut Nantang Pati yang mengundurkan diri.
Meskipun demikian, mereka tidak dapat dengan tergesagesa
maju, karena mereka masih harus memperhatikan setiap
keadaan yang mungkin dipergunakan sebaik-baiknya oleh
lawan untuk menjebak mereka. Setiap gerumbul, setiap tebing
padas yang menjorok dan setiap tikungan di lembah yang
semakin luas itu. Seluruh pasukan itu menjadi berdebar-debar ketika
mereka hampir bersamaan melihat sebuah jalan setapak di
tebing yang membelit meloncati sebuah ujung dari pebukitan
itu ke arah seberang dan seakan-akan hilang di balik
gerumbul-gerumbul di puncak bukit.
"Jalur jalan itulah agaknya yang kita lihat sambungannya di
balik pebukitan itu, dan menuju ke padesan di sebelah," desis
pengawas yang pernah mendahului pasukan itu.
Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
tidak sempat menyahut, karena mereka mendengar Raden
Sutawijaya berkata, "kita tentu sudah mendekati padepokan
mereka." Kiai Gringsing yang berjalan di sebelahnya menyahut, "Ya.
Agaknya padepokan yang mereka pergunakan sebagai
sarang itu, merupakan padesan yang cukup luas dan
terlindung. Jalur jalan itulah agaknya yang menghubungkan
sarang mereka dengan dunia luar, apa pun bentuknya.
Memang mungkin sebuah padesan atau padepokan, tetapi
mungkin pula sebuah goa yang besar dan dalam."
Raden Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Apa pun bentuknya, kita harus menguasainya dan
sekaligus mencari Rudita. Tetapi yang tidak kalah pentingnya,
adalah menghancurkan mereka, agar mereka tidak akan
dapat mengganggu Mataram dan juga Tanah Perdikan
Menoreh." Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi terbayang padanya,
sebuah padesan yang dijaga oleh sepasukan pengawal yang
kuat di setiap sudut dan di luar padesan itu berbaris
sepasukan pengawal dan prajurit-prajurit Pajang yang telah
mencoba berkhianat. Baik terhadap Pajang yang masih
berdiri, mau pun kepada Mataram yang sedang tumbuh dan
berkembang, sehingga dengan demikian, terbayang juga
sebuah kesulitan yang benar-benar memerlukan tenaga
sepenuhnya. Belum lagi mereka sempat meneruskan pembicaraan,
maka mereka pun terkejut ketika dari atas tebing, dari balik
gerumbul-gerumbul yang lebat, meluncur beberapa buah anak
panah. Semakin lama semakin banyak.
Dengan serta-merta, mereka yang berperisai di dalam
pasukan pengawal Mataram dan Menoreh itu pun berloncatan
maju. Mereka berusaha menahan anak panah itu dengan
perisai agar tidak mengenai seorang pun di antara mereka.
Meskipun demikian, ada juga satu dua dari anak panah itu
yang berhasil melukai para pengawal. Tetapi luka-luka itu
tidak begitu parah dan tidak berbahaya, sehingga hampir tidak
berarti bagi kekuatan kedua pasukan itu. Namun demikian
anak panah semacam itu tentu akan memperlambat gerak
maju kedua pasukan itu. Seperti yang dikehendaki oleh Daksina dengan orangorangnya
itu, maka sebenarnyalah bahwa pasukan pengawal
Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh memang harus
berhenti. Beberapa orang yang bersenjata panah pun segera
berlindung di balik perisai kawan-kawannya dan membalas
melontarkan anak panah ke atas tebing.
Tetapi dengan demikian, yang lain tidak tinggal diam
melihat pertempuran jarak jauh itu. Beberapa orang segera
menebar, dan merayap perlahan-lahan ke atas tebing,
melingkar agak jauh dari pertempuran itu. Seperti sapit urang
mereka dengan hati-hati mendekat, mencepit orang-orang
yang sedang melemparkan anak panah.
Tetapi orang-orang itu pun cukup berwaspada, sehingga
mereka pun segera menarik diri ke dalam gerumbul-gerumbul
liar. Namun ternyata bahwa kehadiran pasukan pengawal
Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang tiba-tiba saja di
sebelah-menyebelah itu memang tidak mereka perhitungkan
lebih dahulu, maka di dalam gerak mundur itu pun mereka
harus meninggalkan korban.
"Orang-orang Mataram dan Menoreh memang gila," desis
salah seorang pengawal padepokan Putut Nantang Pati yang
sedang melarikan diri itu.
"Ya. Kami menyangka bahwa mereka akan sekedar
mencari tempat bersembunyi. Sejauh-jauhnya mereka akan
membalas dengan panah dari lembah."
"Ternyata sebagian dari mereka memanjat tebing dan
menjepit kita dari dua arah."
Kawan-kawannya terdiam. Mereka sama sekali tidak
memperhitungkan bahwa akan ada korban yang jatuh dalam
serangan yang demikian. Namun ternyata bahwa tiga orang
kawan mereka tidak dapat kembali bersama mereka.
Dalam pada itu, pasukan pengawal Mataram dan Menoreh
itu pun segera berkumpul. Namun Raden Sutawijaya cukup
cerdas menanggapi keadaan. Katanya, "Mereka hanya
sekedar mengganggu perjalanan kami."
"Meskipun demikian, kami tidak dapat membiarkan mereka
menghujani pasukan ini dengan anak panah," sahut Ki Lurah
Branjangan. "Ya, dan kita sudah mengusir mereka."
"Tetapi kita akan menjumpainya lagi di beberapa tempat.
Seperti yang Raden katakan, mereka sengaja memperlambat
perjalanan kita, dan terlebih-lebih lagi jika mereka berhasil,
mereka ingin mengganggu ketabahan hati kita," berkata Kiai
Gringsing. "Ya, Kiai." "Jika demikian menurut pertimbanganku, apakah kita tidak
lebih baik bermalam sebelum kita berada di muka padepokan
itu. Kita tidak mengenal medan sebaik-baiknya, seperti
mereka mengenalnya. Karena itu, kita tidak berani mendekat
lagi. Kita masih belum tahu, apalagi yang akan dipergunakan
oleh Daksina dan barangkali Panembahan Agung itu untuk
menjebak kita." "Maksud, Kiai, bahwa di malam hari banyak peristiwa yang
dapat terjadi?" "Ya," jawab Kiai Gringsing, "dan saat ini, matahari sudah
terlampau rendah." Raden Sutawijaya tidak segera menyahut. Tetapi
dipandanginya wajah Ki Argapati yang berkerut-merut.
"Aku sependapat, Raden," berkata Ki Argapati kemudian,
"jika kita bermalam di sini, di tempat yang masih belum
terlampau dekat dengan padepokan, kita masih mempunyai
banyak kesempatan untuk melakukan tindakan yang perlu,
pengawasan yang agak longgar, dan barangkali jika ada
jebakan-jebakan yang mungkin telah dipasang di padepokan
itu tanpa sepengetahuan kita."
"Baiklah," berkata Raden Sutawijaya, "kita bermalam di
sini. Kita akan membuat beberapa kelompok penjagaan
beberapa puluh langkah di hadapan kita, dan di sudut-sudut
yang kita anggap perlu. Tidak mustahil mereka akan
menghujani anak panah di malam hari selagi sebagian besar
dari kita sedang tertidur nyenyak."
"Ya. Kita harus berada di sela-sela gerumbul sehingga kita
sedikit terlindung dari anak panah yang tiba-tiba saja
datangnya. Kita harus menyiapkan perisai sebanyak mungkin
ada pada kita dan kulit kayu yang mungkin dapat
dipergunakan untuk melawan anak panah itu," berkata Ki
Argapati. "Selain itu, pengawasan yang ketat, yang seakanakan
melingkari tempat ini."
"Beberapa orang akan berada di lereng sebelah. Mungkin
mereka dapat berbuat sesuatu jika ada orang yang
menyerang kita dari tempat yang tinggi itu."
Demikianlah, maka mereka pun segera mengatur diri,
mencari tempat yang sebaik-baiknya untuk bermalam,
sebelum mereka berada di depan padukuhan yang mereka
sangka langsung padukuhan Panembahan Agung.
Namun dalam pada itu, orang yang ditugaskan untuk
melontarkan berita tentang Raden Sutawijaya telah berhasil
masuk ke pusat pemerintahan Mataram. Bahkan ia sempat
menyampaikannya kepada orang-orang di dalam lingkungan
keluarga Ki Gede Pemanahan, bahwa Raden Sutawijaya telah
berhubungan dengan salah seorang gadis dari Kalinyamat
yang sebenarnya akan dipersembahkan kepada Sultan
Pajang sendiri, sehingga gadis itu mengandung.
Beberapa orang yang mendengar itu mengerutkan
keningnya dan berkata, "Ah, tentu tidak."
"Tentu tidak," dan yang lain pun, "tentu tidak."
Namun akhirnya berita itu pun sampai juga kepada Ki
Gede Pemanahan pada hari itu juga, karena seorang abdinya
yang menjadi sangat cemas mendengar berita itu, langsung
menghadap Ki Gede Pemanahan dan dengan tubuh gemetar
menyampaikannya. Ki Gede Pemanahan menahan nafasnya. Hatinya
melonjak, tetapi sebagai seorang yang telah mengendap,
maka ia tidak tergesa-gesa memberikan tanggapan betapa
pun sesak dadanya. Tetapi bagaimana pun juga, berita tentang Raden
Sutawijaya itu tentu sudah tersebar. Tidak usah menunggu
sampai matahari terbenam. Para pengawal tentu akan saling
membicarakannya. "Siapakah yang mula-mula mengatakannya?" bertanya Ki
Gede Pemanahan kepada abdinya.
"Kami tidak mengetahui Ki Gede. Tetapi baru saja kami
melihat seorang prajurit Pajang di sini. Mungkin prajurit itu
telah membawa berita tentang Raden Sutawijaya. Bahkan aku
mendengar bahwa prajurit itu berusaha menghadap Ki Gede
Pemanahan." Tetapi Ki Gede menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku
belum dapat mempercayainya. Tetapi aku pun tidak dapat
mengabaikan kabar ini."
"Demikianlah sebaiknya Ki Gede. Sebaiknya Ki Gede
mendapatkan kepastian dari berita itu." Abdi itu berhenti
sejenak, lalu, "apakah Ki Gede akan memanggil prajurit
Pajang itu menghadap?"
Ki Gede termangu-mangu sejenak. Tetapi ia bukan
seorang yang sekedar mempergunakan perasaannya. Ia
mendengar bahwa beberapa orang prajurit Pajang telah
meninggalkan kesatuannya karena harapan-harapan yang
diberikan oleh orang lain yang merasa dirinya akan mampu
menguasai telalah yang luas. Dari pesisir Utara sampai ke
pesisir Selatan. Dari ujung Kulon sampai ujung Timur. Apalagi
prajurit Pajang itu memang melihat sikap dan tingkah laku
yang semakin lama semakin jauh menyimpang dari Sultan
Pajang sendiri. Pengendalian daerah yang tidak lagi
berpegang pada dasar-dasar yang sama-sama diletakkan
seperti pada saat ia berhasil mengangkat dirinya sebagai
Sultan Pajang. "Baiklah," berkata Ki Gede Pemanahan kepada abdinya,
"aku memperhatikan laporanmu. Tetapi sebaiknya kau pergi
ke Pajang dan mencari kebenaran, apakah Sutawijaya benarbenar
telah melakukan perbuatan itu atau tidak."
"Jadi aku harus menyelusur berita ini, Ki Gede?"
"Tidak. Kau tidak perlu mencari siapakah sumber berita itu.
Tetapi kau harus berusaha mendengar dari orang yang dapat
kau percaya di Pajang, apakah benar salah orang gadis dari
Kalinyamat itu sudah berhubungan dengan Sutawijaya dan
bahkan sudah mengandung seperti berita yang kau dengar
itu." "Baiklah, Ki Gede. Dan apakah Raden Sutawijaya perlu
diberitahukan akan hal ini, agar ia dapat berbuat sesuatu" Jika
tidak benar, biarlah ia membersihkan namanya."
"Tetapi jika benar?" potong Ki Gede Pemanahan.
Abdi itu menundukkan kepalanya. Namun di luar
kehendaknya sendiri ia berkata, "Ia sudah terlalu lama berada
dibawah asuhan ayahanda angkatnya, Sultan Pajang."
"Kenapa?" "Apakah tindakan dan tingkah laku Sultan Pajang telah
berpengaruh pula atasnya?"
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Sekilas
teringat olehnya sebutir kelapa muda di Giring. Kelapa muda
yang menurut Ki Ageng Giring akan mendatangkan keluhuran
bagi yang meneguk airnya.
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Ketika
abdinya bertanya kepadanya, maka Ki Gede itu pun seakanakan
terbangun dari mimpinya yang menumbuhkan harapan
itu. "Ki Gede," bertanya abdinya itu, "apakah sebaiknya aku
segera berangkat, atau menunggu kedatangan Raden
Sutawijaya yang sedang pergi ke seberang Kali Praga?"
"Berangkatlah," jawab Ki Gede Pemanahan, "mungkin kau
memerlukan waktu yang tidak hanya satu dua hari. Bukankah
kau masih mempunyai sanak keluarga di Pajang."
"Cukup banyak, Ki Gede," sahut abdi itu, "mungkin aku
akan segera mendapatkan keterangan tentang berita itu."
Demikianlah maka abdi itu pun segera pergi ke Pajang
dikawal oleh beberapa orang pengawal, dan kemudian
dilepaskan pergi sendiri setelah melampaui hutan yang
terakhir yang masih meragukan pengamanannya. Namun
agaknya, Panembahan Agung telah benar-benar menarik
orang-orangnya menghadapi kedatangan Raden Sutawijaya
dan Ki Argapati. "Jemput aku di sini dua hari lagi. Jika aku belum datang,
maka tunggu sampai hari ketiga dan keempat."
"Bagaimana jika aku berada di sini sebulan lamanya?"
bertanya pengawal yang mengantarkannya.
"Barangkali itu lebih baik. Tetapi jika aku mati di hutan itu,
kau akan digantung oleh Ki Gede Pemanahan."
Pemimpin pengawal itu tidak menyahut lagi.
Dipandanginya saja abdi terdekat dari Ki Gede Pemanahan itu
memacu kudanya ke arah Timur.
"Perjalanan yang cukup jauh," berkata abdi itu di dalam
hatinya. Matahari yang tenggelam membuat hatinya ragu-ragu,
apakah ia akan meneruskan perjalanannya di malam hari"
Tetapi ia berpacu terus. "Aku akan bermalam di Candi Sari," katanya di dalam hati,


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena ia mempunyai seorang saudara yang tinggal di dekat
Candi Sari. Kedatangannya di Candi Sari memang mengejutkan.
Namun ia berhasil memberikan keterangan sehingga
saudaranya yang menjadi berdebar-debar itu menepuk
bahunya, sambil berdesis, "Kau mengejutkan kami."
Dalam pada itu, Raden Sutawijaya yang bermalam di
lembah di perbukitan sebelah Barat Kali Praga, terkejut ketika
seseorang membangunkannya.
"Ada apa?" ia bertanya.
"Kami melihat api obor di atas bukit itu," berkata seorang
pengawas. "Awasi denga baik," perintahnya, "aku tetap di sini."
Pengawas itu pun mengangguk. Perlahan-lahan ia
meninggalkan Sutawijaya yang berbaring lagi di atas
rerumputan kering. Namun ia pun melihat sekilas sebuah obor
yang seakan-akan menusup pepohonan jauh di atas bukit,
seperti seekor burung kemamang yang terbang di sela-sela
gerumbul-gerumbul. "Tentu orang-orang Daksina," katanya di dalam hati, "tetapi
apa maksudnya dengan sengaja menunjukkan kehadirannya
di bukit itu?" Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun
kesimpulannya adalah, bahwa obor itu sekedar memancing
perhatian, dan di sekitar obor itu justru, tidak akan ada apaapa
sama sekali. Tetapi tiba-tiba saja Raden Sutawijaya bangkit.
Dipanggilnya pengawal yang terdekat. Katanya kemudian
setengah berbisik, "Hubungi Ki Lurah Branjangan. Beritahukan
agar para pengawas berhati-hati. Obor itu tentu sekedar
pancingan, agar perhatian kita terampas olehnya, tapi yang
justru berbahaya akan datang dari arah lain. Kemudian
hubungi pula Ki Argapati dan Kiai Gringsing atau kedua
muridnya." Pengawal itu pun kemudian pergi meninggalkan
Sutawijaya yang duduk termenung.
Yang mula-mula dihubungi adalah Ki Lurah Branjangan
yang perhatiannya memang tertarik kepada obor yang
bergerak itu. "Baiklah," katanya setelah mendengar penjelasan
pengawal itu atas perintah Raden Sutawijaya, "kami akan
mengawasi obor itu. Tetapi kami akan mengawasi bagianbagian
yang lain pula, yang menjadi daerah pengawasanku
dengan baik. Tetapi sebaiknya orang-orang Tanah Perdikan
Menoreh diberitahukan juga, agar mereka tidak menjadi
lengah, meskipun di sana ada Ki Argapati dan Kiai Gringsing."
"Aku memang akan menghubunginya."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-anggukkan kepalanya,
seperti Raden Sutawijaya ia pun kemudian duduk di antara
beberapa orang pengawal. "Hati-hatilah," desis Ki Lurah Branjangan, "awasi segala
arah." Dan perintah itu pun kemudian menjalar dari seorang ke
orang yang lain. Ketika pengawal yang menghubungi Ki Argapati sampai ke
tempatnya di ujung lain dari lembah itu, dilihatnya Ki Argapati
justru sedang duduk bersama Kiai Gringsing.
"O," desis pengawal itu, "selamat malam Ki Gede."
"Selamat malam," jawab Ki Gede, "apakah ada
kepentinganmu datang kemari?"
"Tidak apa-apa Ki Gede. Hanya barangkali Ki Gede juga
melihat obor di sela-sela pepohonan itu?"
"Ya, kami sedang memperhatikannya."
Pengawal itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu
di sampaikannya pesan Sutawijaya.
"Terima kasih," sahut Ki Argapati, "tetapi sebenarnya kami
punya rencana tersendiri. Kami ingin melihat apakah
sebenarnya obor itu."
"Ya, Ki Gede," jawab pengawal itu, "tetapi barangkali benar
juga kata Raden Sutawijaya, bahwa obor itu hanya sekedar
pancingan saja." "Kemungkinan yang paling besar. Tetapi kita pun akan
memancing mereka. Baiklah, aku akan menemui Raden
Sutawijaya." "Silahkan Ki Gede," jawab pengawal itu, lalu, "obor itu
sampai sekarang masih ada. Seakan-akan sekedar melingkari
tempat ini." Ki Argapati dan Kiai Gringsing pun kemudian pergi
menemui Raden Sutawijaya. Mereka ternyata bersepakat
untuk memancing lawannya yang barangkali sedang
memancing mereka pula. "Sebagian dari pengawal ini akan terpancing oleh obor itu,"
berkata Ki Argapati, "tetapi dengan diam-diam yang lain
menunggu, apakah yang akan terjadi."
"Ya," sahut Raden Sutawijaya, "obor itu berhenti," tiba-tiba
Raden Sutawijaya menunjuk. "He, tidak hanya ada satu obor,
dua, eh, tiga." "Mereka akan membuat kesan, bahwa mereka akan
menyerang dari sana. Karena itu, kita akan terpancing
karenanya. Tetapi kita akan mengawasi setiap arah."
Setelah rencana itu kemudian disepakati, maka kedua
pasukan itu pun menyebarkan perintah untuk memanggil
setiap pimpinan kelompok, dan perintah berikutnya pun
diberikan dengan singkat.
Para pengawal yang sedang tidur itu pun segera
terbangun. Beberapa orang kemudian memencar
menghubungi para pengawas yang terpisah.
Pada saat yang ditentukan maka pasukan yang sedang
beristirahat itu pun seakan-akan telah terbangun. Dengan
riuhnya mereka menyongsong lawan yang datang dengan
membawa obor di atas tebing. Namun di bagian lain, pasukan
Mataram dan Menoreh telah siap untuk menghadapi
kemungkinan. Tetapi beberapa lamanya mereka merayap maju, mereka
sama sekali tidak menjumpai siapa pun. Sedang mereka yang
berjaga-jaga di bagian lain pun sama sekali tidak menemukan
pasukan lawan yang merayap mendekat.
"Kita benar-benar terpancing," desis Ki Argapati, "mereka
agaknya hanya meletakkan obor itu pada cabang batang
pohon dan meninggalkannya."
Raden Sutawijaya menganggukkan kepalanya. Namun
mereka yang ada di lereng bukit itu terbelalak ketika mereka
melihat di bagian lain api obor itu seakan-akan menjadi
semakin lama semakin besar, semakin besar. Bahkan bukan
hanya tiga, tetapi lima, sembilan dan lebih dari dua belas.
Dalam kebingungan itu, tiba-tiba Kiai Gringsing berdesis
perlahan-lahan, "Kita sudah berhadapan dengan ilmu
Panembahan Agung. Tetapi tentu bukan orang itu sendiri yang
melontarkannya." Yang mendengar kata-kata Kiai Gringsing itu terkejut.
Sejenak mereka tertegun. Namun ketika mereka memandang
api yang berada di atas tebing itu, maka mereka pun mulai
dijalari oleh kecurigaan.
"Api itu bukan tiruan api yang sempurna," berkata Kiai
Gringsing, "karena itu, menurut pendapatku, orang yang
melontarkan ilmu itu adalah orang yang baru mulai belajar
pada Panembahan Agung. Mungkin ia muridnya yang
terpercaya, tetapi di dalam ilmunya yang satu ini, ia adalah
murid yang baru sama sekali."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Kiai benar.
Obor-obor itu seperti api yang terpisah dari alam sekelilingnya.
Jika obor itu adalah bayangan semu yang sempurna, maka
obor itu akan melemparkan cahayanya atas alam di
sekitarnya. Tetapi obor itu tidak menumbuhkan bayangan dan
nyalanya seakan-akan tidak menerangi pepohonan di
sekitarnya." Kiai Gringsing mengusap keringatnya yang mengembun di
kening. Ternyata bahwa medan kali ini adalah medan yang
benar-benar berat. Jika mereka benar-benar bertemu dengan
seseorang yang menyebut dirinya bernama Panembahan
Agung, maka mereka tentu akan mengalami kesulitan.
Agung Sedayu, Swandaru, Pandan Wangi, dan Prastawa,
serta para pengawal pun mengangguk-anggukkan kepala
pula. Mereka juga menyadari keanehan dari api yang menyala
semakin besar dan banyak. Namun yang sampai pada suatu
saat, api itu menjadi susut kembali.
"Itukah ilmu yang dimiliki oleh Panembahan Agung?"
bertanya Sutawijaya. "Ya. Dan tentu lebih sempurna," sahut Kiai Gringsing.
Sutawijaya menjadi termangu-mangu. Bahkan kemudian ia
berkata, "Pasukan kita akan mengalami kesulitan. Mereka
dapat membuat rintangan-rintangan semu yang
membingungkan." "Benar Raden. Apalagi Panembahan Agung sendiri."
"Apakah Kiai tidak dapat mengatasi kesulitan ini?"
Kiai Gringsing menjadi ragu-ragu sejenak. Namun
kemudian ia pun berkata, "Raden. Aku mempunyai cara untuk
melawan pengaruh bayangan-bayangan semu itu di dalam
diriku. Aku dapat menguasai indera wadagku, dan
menghapuskan bayangan semu. Aku pernah mempelajari ilmu
itu. Tetapi hanya untuk diriku sendiri. Aku tidak mempunyai
kemampuan untuk melawan ilmu semacam itu bagi orang
lain." "Baiklah," Raden Sutawijaya yang masih dialiri darah
mudanya itu menyahut, "itu sudah cukup. Kiai akan berdiri di
paling depan dari pasukan ini. Kiai dapat memberikan aba-aba
kepada kami apa yang sebaiknya harus kami jakukan. Jika
kita melihat sesuatu, Kiai dapat mengatakan, apakah yang kita
lihat itu sebenarnya memang ada."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya
Raden Sutawijaya sejenak, lalu katanya, "Memang mungkin
dapat dicoba. Tetapi jika pertempuran terjadi di antara kita
dengan mereka, maka kesempatan itu terlampau kecil."
"Itu lebih, baik daripada tidak sama sekali."
"Tetapi Kiai," berkata Ki Argapati, "jika pertempuran sudah
terjadi, apakah Panembahan Agung masih dapat melontarkan
ilmunya dengan bentuk-bentuk semu itu khusus bagi kita dan
tidak mempengaruhi anak buahnya sendiri?"
"Itulah yang aku kurang mengerti," berkata Kiai Gringsing,
"Panembahan Agung dapat memilih sasaran bagi ilmunya.
Tetapi di dalam campur baurnya pertempuran, maka bentukbentuk
semu agaknya akan mempengaruhi orang-orang
mereka juga." Ki Argapati menganggukkan kepalanya. Desisnya, "Jika
demikian kita harus berusaha untuk segera melibatkan diri di
dalam pertempuran." Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Tetapi ketika ia
menengadahkan wajahnya, obor-obor itu sudah menjadi
semakin kecil dan kemudian hilang di dalam kegelapan.
"Marilah kita kembali ke tempat kita semula. Kita sedang
disuguhi suatu permainan yang kurang menarik," berkata Kiai
Gringsing. Pasukan pengawal Mataram dan Menoreh itu pun segera
kembali ke tempat mereka semula. Tetapi Kiai Gringsing, Ki
Argapati, kedua muridnya, Pandan Wangi, dan Prastawa
berkumpul di ujung lembah. Bahkan Ki Demang Sangkal
Putung yang tidak banyak berbuat apa-apa itu berkata,
"Benar-benar sebuah pertahanan yang kuat sekali."
"Ya, Ki Demang," berkata Kiai Gringsing, "jika ada dua
atau tiga orang yang memiliki dasar ilmu itu, meskipun belum
berkembang sama sekali, kita sudah akan terganggu semalam
suntuk." "Kenapa harus dua atau tiga orang?"
"Tentu tidak akan dapat dilakukan oleh seorang. Mereka
yang baru mulai dengan ilmu ini, masih harus mengerahkan
segenap daya pikir dan rasa untuk menimbulkan bayangan
semu seperti ini. Orang itu memerlukan waktu yang agak lama
dan pengerahan segenap kemampuan."
(***) Buku 75 KI DEMANG mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
tidak mengatakan sesuatu lagi.
Dalam pada itu, Putut Nantang Pati duduk di atas sebuah
batu sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Tubuhnya
menjadi gemetar oleh getaran yang serasa menyesakkan
dadanya. Di sekitarnya beberapa orang pengawalnya berjagajaga
dengan senjata telanjang untuk melindunginya selama ia
mengerahkan kemampuannya, permukaan dari ilmu yang
didapatkannya dan Panembahan Agung. Ternyata bahwa ia
sudah memberanikan diri untuk melepaskan ilmu yang baru
permulaannya saja didapatkannya itu dengan akibat yang
cukup melelahkan baginya.
Daksina yang berada di belakannya memandangnya
dengan cemas, ketika kemudian Putut Nantang Pati menarik
nafas dalam-dalam dan mengurai tangannya yang menyilang
di dadanya, maka Daksina pun ikut menarik nafas dalamdalam
pula. "Ternyata kau juga sudah mempelajari ilmu itu."
"Baru mulai. Sebenarnya belum waktunya aku mencoba
kemampuanku." "Tetapi tentu telah membingungkan orang-orang Mataram
itu. Jika kau memang memiliki kemampuan itu, sebenarnya
kau akan dapat menumpas orang-orang Mataram di lembah
itu dengan membuat bentuk-bentuk semu."
"Apakah kau sekarang percaya, bahwa hal yang lebih
dahsyat dapat dilakukan oleh Panembahan Agung."
"Aku percaya. Tetapi aku tidak tahu, apakah orang
Mataram tidak memiliki kemampuan pemunah dari ilmu itu?"
"Ternyata tidak. Ilmu yang belum dapat disebut, atau
bahkan sebenarnya aku belum pantas menyebut diriku
menerima ilmu itu meskipun baru permulaannya, telah dapat
membuat mereka menjadi bingung. Kau dengar, bahwa
mereka dengan mantap telah menyambut api yang semu itu."
"Tetapi apakah akhirnya mereka mengetahui bahwa api itu
sebenarnya hanya semu?"
"Aku tidak tahu. Tetapi barangkali mereka menganggap itu
sebagai suatu keajaiban. Aku mengharap bahwa mereka
menyangka, bahwa di daerah ini memang terdapat keajaiban
itu. Hantu, misalnya. Di Mentaok, hantu-hantu yang kami


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ciptakan ternyata telah gagal."
"Kenapa kau tidak membantu hantu-hantuanmu dengan
caramu ini?" "Seperti aku katakan, aku sedang mencoba. Untuk
mencoba satu kali seperti ini, aku memerlukan waktu
pemusatan pikiran yang lama. Dan sudah barang tentu aku
tidak akan berani mengulanginya malam ini. Jika sekali lagi
aku mencoba, maka aku tidak akan mampu menahan diri. Aku
tentu akan pingsan, dan jika ada kesalahan pemulihan syaraf,
aku dapat menjadi gila. Gila adalah akibat buruk yang
mungkin terjadi atas mereka yang mempelajari ilmu serupa
ini." Daksina menarik nafas dalam-dalam. Lalu, "Jika demikian,
kenapa bukan Panembahan Agung sendiri yang datang ke
Mataram, dan dengan ilmunya, ia mengacaukan tata
pemerintahan dan hubungan yang ada di antara mereka."
"Panembahan Agung hampir tidak pernah meninggalkan
padepokannya," sahut Putut Nantang Pati, "kecuali jika ada
sesuatu yang luar biasa. Bukankah kau mengetahui, bahwa
Panembahan Agung tidak pernah keluar pagar batu
padepokannya" Selama aku menjadi pengikutnya, baru satu
kali Panembahan Agung meninggalkan padepokannya."
"Kapan dan untuk apa?"
"Pada saat Demak runtuh."
"Demak tidak pernah runtuh. Sepeninggal Sultan Demak,
maka pemerintahan hanya berpindah ke Pajang."
"Tetapi kebesaran Demak telah runtuh, kekuasaan Sultan
Pajang jauh berada di bawah kekuasaan yang sebenarnya
dari Sultan Demak. Apalagi perang di antara mereka yang
merasa berhak mewarisi kerajaan, membuat Pajang hanya
sekedar abu dari kekuasaan yang pernah menyala
sebelumnya. Apalagi dibandingkan dengan kebesaran
Majapahit." Daksina menarik nafas dalam-dalam.
"Pada saat itulah maka Panembahan Agung yang waktu
itu masih lebih muda, pergi ke puncak gunung Merapi untuk
melihat kemungkinan yang bakal terjadi di pulau ini. Dari
puncak gunung itulah ia melihat bahwa Alas Mentaok seakanakan
menyala di malam hari. Tiga hari tiga malam
Panembahan Agung menyaksikan Alas Mentaok itu bagaikan
bara. Dan pada malam berikutnya, Panembahan Agung
melihat segumpal cahaya yang berwarna pulih kebiru-biruan
meluncur dan jatuh di atas Alas Mentaok. Itulah sebabnya,
maka Panembahan Agung menganggap bahwa Mataram
pada suatu saat akan menjadi pusat pemerintahan."
Daksina mengerutkan keningnya. Jika demikian, maka
Panembahan Agung sudah mempunyai rencana tersendiri
bagi Mataram. Dengan demikian, maka bagi Panembahan
Agung, kekuatan Pajang yang ada di padepokannya dan di
padepokan Putut Nantang Pati itu hanya sekedar
pemanfaatan yang tidak akan diperhitungkan kelak.
Tetapi Daksina itu berkata di dalam hatinya, "Memang
dahsyat sekali. Tetapi Kakang Tumenggung dan Kakang Panji
bukannya anak-anak kemarin sore. Terlebih-lebih lagi jika
Paman Ajar di Kleca ikut campur di dalam persoalan ini.
Agaknya Panembahan Agung masih harus membuat
pertimbangan khusus jika ia sendirilah yang ingin berkuasa."
Namun yang kemudian dikatakan adalah, "Jika demikian,
jika menurut pandangan Panembahan Agung, berdasarkan
atas isyarat yang pernah diterimanya, bahwa Mataram akan
menjadi pusat pemerintahan, kenapa ia tidak mengerahkan
semua kemampuan, tenaga dan apa pun juga untuk merebut
Mataram?" "Itu tidak bijaksana. Selain Panembahan Agung harus
memperhitungkan kemampuan yang ada di Mataram
sekarang, juga pengaruh dan kewibawaan nama Ki Gede
Pemanahan. Meskipun hubungan Mataram dan Pajang agak
renggang, namun jika Panembahan Agung menghancurkan
Mataram dengan kekuatan senjata, apabila berhasil, maka
Panembahan akan berhadapan dengan Pajang. Dan seperti
yang kita ketahui, Pajang memiliki kemampuan dan kekuatan
yang tidak dapat dijajagi. Antara lain adalah Sultan Pajang
sendiri, yang menyimpan seribu macam ilmu di dalam dirinya.
Ilmu yang dipelajari, disadap dari guru-gurunya yang sakti,
dan ilmu yang tiba-tiba saja ada pada dirinya tanpa
diketahuinya sendiri."
Daksina menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah yang
katakan oleh Putut Nantang Pati itu benar. Bagi Pajang, maka
Sultan Hadiwijaya adalah seorang yang diliputi oleh rahasia.
Tidak seorang pun dapat menjajagi kemampuan yang
sebenarnya ada pada dirinya. Namun bahwa Pajang tiba-tiba
menjadi buram, karena Sultan Pajang itu tidak lagi memiliki api
perjuangan bagi perkembangan negerinya. Bahkan ia pun
kemudian tenggelam di dalam hidup yang di buatnya sendiri
bagaikan sorga, meskipun hanya sekedar bagi wadagnya.
Tetapi sikap Sutawijaya, telah sangat mempengaruhinya.
Sutawijaya adalah anak angkatnya yang sangat kasihinya.
Dan yang tiba-tiba saja telah meninggalkannya dalam
tahtanya yang terasa menjadi sepi.
Sejenak mereka yang ada di atas tebing itu saling berdiam
diri. Mereka tidak mendapat isyarat gerakan apa pun dari para
pengawal yang mengawasi pasukan Mataram dan Menoreh
yang ada di tebing. "Ternyata aku memerlukan waktu yang lama untuk
memulihkan tenagaku," berkata Putut Nantang Pati.
"Kenapa?" "Sebenarnya belum waktunya aku memaksa diri dengan
ilmu itu. Tetapi aku ingin melakukannya. Dan kini terasa
badanku menjadi lemah."
"Bagaimana dengan besok?"
"O, tentu sudah pulih kembali. Sebelum fajar, tentu sudah
mendapatkan tenagaku sepenuhnya. Dan sebelum fajar kita
sudah akan berada di pertahanan terakhir."
"Tetapi apakah Panembahan Agung juga mengalami
keadaan seperti kau, jika ia melontarkan ilmunya itu ?"
"Tentu tidak. Meskipun ia memerlukan pemusatan pikiran,
tetapi ilmu itu sudah bekerja seolah-olah dengan sendirinya
jika ia menghendakinya."
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
tidak mengatakan sesuatu. Bahkan di dalam hatinya ia
merasa beruntung, bahwa ia akan dapat melihat dan mencoba
mengetahui serba sedikit rahasia dari ilmu yang aneh itu.
"Jika datang saatnya, Kakang Tumenggung akan
berterima kasih kepadaku, jika aku dapat mengatakan
bagaimana harus melawan ilmu itu," namun kemudian, "tetapi
Paman Ajar di Kleca tentu sudah tahu."
Demikianlah maka Daksina dan beberapa orang pengawal
padepokan serta beberapa orang bekas prajurit Pajang masih
tetap berada di tempatnya. Mereka menunggu Putut Nantang
Pati mendapatkan kekuatannya kembali setelah ia memaksa
diri dengan melontarkan ilmu yang sebenarnya masih belum
dikuasainya itu. Baru ketika Putut Nantang Pati merasa dirinya lebih baik,
ia berdiri tertatih-tatih sambil berkata, "Marilah, kita
mendahului para pengawal. Kita langsung pergi ke padepokan
Panembahan Agung. Biarlah anak-anak itu mengganggu
orang-orang Mataram dengan anak panah, atau biarlah
mereka membuat beberapa buah obor yang sebenarnya. Jika
obor-oborku tadi berhasil menumbuhkan gambaran tentang
keajaiban, maka obor-obor yang akan dinyalakan oleh para
pengawal dan ditancapkan di tebing, akan menimbulkan
tanggapan serupa." "Tetapi obor itu akan menyala sampai pagi. Dan mereka
akan menemukan bekas-bekasnya, sehingga tanggapan yang
semula akan larut karenanya, jika mereka menyangka bahwa
yang dilihatnya semalam juga hanya sekedar obor-obor
biasa." "Obor-obor itu hanya akan dibasahi dengan minyak sedikit
saja, sehingga akan segera padam. Orang-orang yang tinggal
di sini akan mengambil obor itu dan menyembunyikannya."
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa
bertanya lagi, maka ia pun kemudian mengikuti Putut Nantang
Pati meninggalkan tebing.
Ternyata mereka tidak singgah lagi di padepokan Putut
Nantang Pati yang memang sudah dikosongkan. Mereka
langsung pergi ke padepokan Panembahan Agung diiringi
oleh beberapa orang pengawal. Meskipun malam masih
disaput oleh gelap yang pekat, namun agaknya mereka sudah
terlalu biasa berjalan di tebing padas yang curam itu.
Para pengawal yang ditinggalkan oleh Daksina mulai
berusaha mengganggu pasukan Mataram dan Tanah
Perdikan Menoreh yang ingin mempergunakan sisa malam itu
untuk beristirahat. Jika besok mereka akan menghadapi
perang yang sebenarnya, maka mereka perlu mengumpulkan
tenaga untuk melayani lawannya. Mungkin sehari penuh
mereka harus bertempur. Mungkin bahkan masih akan
berlanjut di hari kemudian.
Seperti yang dikatakan oleh Putut Nantang Pati, maka satu
dua orang mulai menyalakan obor dan pergi ke atas tebing
yang agak jauh. Nyala api obor itu memang dapat mengejutkan sesaat.
Namun indera wadag orang-orang Mataram dan Menoreh
yang tajam, segera dapat membedakan obor itu dengan obor
yang semu. Apalagi Ki Argapati dan Kiai Gringsing.
"Agung Sedayu," bertanya Kiai Gringsing, "kau melihat
obor itu." "Ya, Guru," jawab Agung Sedayu.
"Kau melihat sesuatu selain obor?"
"Aku melihat bayangan seseorang, meskipun ia berusaha
bersembunyi di balik pepohonan."
"Nah, itulah bedanya dengan obor yang tadi. Orang itu
tentu akan mengganggu kita, seakan-akan obor yang semu itu
menyala lagi. Nah, kau tahu apa yang harus kau lakukan?"
"Maksud Guru?" "Ambillah busurmu."
"O," Agung Sedayu pun kemudian mengambil busur dan
anak panah. "Cepat, sebelum orang itu pergi dan meninggalkan obor di
tebing." Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Tetapi segera ia
sadar, bahwa ia berada di medan peperangan. Itulah
sebabnya, maka ia pun segera menarik busurnya meskipun
dengan hati yang berdebar-debar.
Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang memiliki
kemampuan bidik yang luar biasa, seakan-akan mewarisi
kemampuan ayahnya. Karena itu, maka ketika anak panahnya
meluncur dengan cepat, segera terdengar sebuah keluhan di
atas tebing. Orang yang sedang berusaha menancapkan obor,
yang meskipun sebagian tubuhnya terlindung oleh gerumbul
dan pepohonan perdu, namun ternyata Agung Sedaya telah
berhasil mengenai lengannya yang memegang obor itu.
Sengatan anak panah itu sama sekali tidak diduganya,
sehingga karena itu, maka obor ditangannya itu pun bagaikan
dilemparkannya ke dalam lembah berbatu padas.
Kawan-kawannya yang mendengar keluhan itu pun segera
mendekatinya. Beberapa buah obor yang seharusnya
ditancapkan di tempat yang agak memencar, seakan-akan
telah berkumpul menjadi satu.
"Kau dapat membidik mereka Agung Sedayu," berkata
gurunya. Sekali lagi Agung Sedayu disentuh oleh keragu-raguan.
Namun sekali lagi ia mencoba memaksa dirinya untuk
menyadari, bahwa di dalam peperangan, tidak ada pilihan lain
daripada berusaha melemahkan lawan dengan segala cara.
Karena itu, selagi orang-orang di atas tebing itu sedang
sibuk menolong kawannya yang terluka, dan tanpa mereka
sadari, mereka telah mempergunakan obor-obor mereka justru
untuk menerangi luka di lengan itu, Agung Sedayu telah
menarik busurnya sekali lagi. Bahkan bukan saja Agung
Sedayu, tetapi juga Pandan Wangi, Swandaru dan Prastawa,
hampir bersamaan telah menyerang orang-orang yang sedang
mengerumuni kawannya yang terluka di atas tebing itu.
Sekali lagi terdengar sebuah keluhan. Bukan dari satu
orang. Agaknya anak panah yang meluncur itu telah berhasil
melukai lebih dari seorang sekaligus. Sejenak kemudian
terjadi kebingungan di antara mereka, Namun sejenak
kemudian maka mereka pun segera menghilang di balik
gerumbul dan pepohonan sambil membawa kawan-kawan
mereka yang terluka. Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Mau tidak
mau ia mengakui kemampuan Agung Sedayu. Bidikannya
hampir tidak pernah salah.
"Mereka mencoba untuk membuat kita semakin bingung,"
berkata Kiai Gringsing kemudian, "Mereka berusaha agar kita
menyangka, bahwa obor-obor itu pun tentu bukan obor yang
sebenarnya." "Bagaimana Kiai mengetahuinya?" bertanya Raden
Sutawijaya. "Orang-orang yang membawa obor itu berusaha
meletakkan obor mereka di bibir tebing. Sudah barang tentu
mereka mengharapkan kesan, seakan-akan obor itu pun tidak
ada bedanya dengan obor yang sebenarnya hanya semu itu.
Dengan demikian akan menimbulkan dugaan, bahwa ada di
antara mereka memiliki ilmu itu dengan baik."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Kiai
Gringsing pun berkata selanjutnya, "Tetapi sebenarnyalah
bahwa untuk menimbulkan kesan yang pertama, orang itu
telah kehabisan tenaga, sehingga ia sudah tidak mampu lagi
melakukannya." Dalam pada itu Agung Sedayu dan Swandaru pun
kemudian duduk di antara para Pengawal Tanah Perdikan
Menoreh. Namun mereka sama sekali tidak lagi merasa
kantuk, karena hampir setiap orang telah dicengkam oleh
persoalan yang hampir serupa.
"Apakah kira-kira yang akan dijumpainya besok di dalam
perang yang tentu akan lebih besar dari yang pernah terjadi?"
mereka bertanya kepada diri sendiri.
Demikianlah, meskipun lawan tidak lagi mengganggu di
sisa malam itu, namun para pengawal dari Mataram dan dari
Tanah Perdikan Menoreh itu tidak dapat lengah. Setiap saat


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka akan dapat menerkam dengan segala cara. Karena
itulah, maka bukan saja yang lagi bertugas yang merasa wajib
berjaga-jaga. Tetapi semuanya.
Jika ada di antara mereka yang diserang oleh perasaan
kantuk pula, maka mereka pun hanya dapat terlena beberapa
kejap saja sambil duduk memeluk lutut atau bersandar
pepohonan. Dalam pada itu, orang-orang yang mencoba memasang
obor di atas tebing, dengan tergesa-gesa meninggalkan
daerah yang terkutuk itu. Beberapa orang dari mereka telah
terluka. Bahkan salah seorang dari mereka terluka agak
parah, karena sebuah anak panah telah menancap di
punggung. Tetapi mereka tidak akan dapat menghubungi dan
menunggu perintah yang lain dari Putut Nantang Pati dan
Daksina karena keduanya telah mundur bersama pasukannya
menempatkan diri pada pertahanan terakhir di muka
padepokan Panembahan Agung. Sedang yang ada di
padepokan Putut Nantang Pati sendiri tentu hanya sekedar
pengawal yang bertugas mengganggu perjalanan pasukan
pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, yang dapat mereka lakukan adalah sekedar
menyingkir dan menyerahkan tugas mereka kepada orangorang
lain. Namun yang lain pun menganggap bahwa
permainan obor tentu tidak akan berguna lagi. Karena itu,
mereka memusatkan diri pada tebing yang tinggi untuk
menghujani pasukan yang bakal lewat dengan anak panah
dan tombak-tombak pendek.
Tetapi hal yang serupa itu telah diperhitungkan oleh Raden
Sutawijaya dan Ki Argapati, sehingga pasukan mereka telah
siap menghadapi setiap kemungkinan.
Demikianlah ketika matahari mulai membayangkan warnawarna
merah, maka pasukan di lembah itu pun telah bersiap.
Tetapi agaknya Sutawijaya menyadari sepenuhnya, bahwa di
hadapannya terbentang medan yang berat sekali.
Karena itu, maka Sutawijaya pun berpendapat, bahwa
pasukannya tidak akan dengan mudah dapat menyelesaikan
tugasnya. Mungkin mereka memerlukan waktu lebih dari
sehari. Sehingga karena itu, maka Sutawijaya pun harus
mempersiapkan semua segi dari pasukannya. Kemampuan,
kekuatan jasmaniah dan ketahanannya, perbekalan dan
persoalan yang lain lagi.
Ternyata bahwa mereka tidak dapat membiarkan kudakuda
mereka terikat beberapa hari tanpa minum meskipun
diseputarnya terdapat rumput-rumput segar. Sehingga karena
itu, maka dua orang dari pasukan Pengawal Mataram dan dari
Menoreh mendapat tugas untuk kembali memelihara kudakuda
mereka, sedang apabila perlu, Sutawijaya dan Ki
Argapati harus telah bersetuju untuk menyiapkan beberapa
orang yang harus mengambil perbekalan kembali ke Menoreh,
dan bahkan jika perlu memanggil beberapa orang pasukan
Pengawal untuk memperkuat kedudukan mereka.
"Kita akan menjajagi," berkata Raden Sutawijaya, "mudahmudahan
kita tidak memerlukan lagi. Baik pasukan mau pun
perbekalan." Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, "Raden
benar. Tetapi jika perlu, pasukan Pengawal Menoreh dapat
mempersiapkan diri dalam waktu setengah hari, sedang
pasukan cadangan dapat dipersiapkan dalam waktu satu hari
satu malam." Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
berdesis, "Ternyata pasukan Pengawal Tanah Perdikan
Menoreh mempunyai susunan yang hampir sempurna,
sehingga dalam waktu yang singkat, sudah dapat digerakkan
seluruhnya." "Bukan sempurna, Raden. Tetapi karena pengalaman
pahit di masa lampau, maka pasukan kami masih tetap di
dalam susunan yang mapan."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia percaya
sepenuhnya bahwa pasukan Pengawal Tanah Perdikan
Menoreh susunannya tidak jauh berbeda dengan anak-anak
muda yang menjadi Pengawal Kademangan Sangkal
Putung.Kedua daerah ini pernah mengalami masa yang
hampir saja mengguncangkan kelestarian daerah mereka,
sehingga karena itu, maka mereka justru mempunyai
ketahanan diri yang mapan.
Dan tidak berbeda pula dan bahkan memiliki susunan yang
lebih tertib adalah pasukan Pengawal Mataram yang sebagian
disusun seperti dan oleh bekas prajurit-prajurit Pajang.
Ketika matahari kemudian mulai melontarkan sinarnya di
atas punggung pegunungan, maka mulailah pasukan yang
berada di lembah itu bergerak. Mereka menyadari bahwa
pada suatu saat mereka akan mendapat serangan kecil dari
tebing. Namun serangan-serangan itu bukannya lawan yang
sebenarnya sehingga karena itu, maka mereka tidak boleh
terpancang pada serangan-serangan itu. Meskipun demikian
bukan berarti bahwa mereka tidak harus berhati-hati, karena
betapa pun juga anak panah yang dilontarkan dari tebing itu
akan mampu membunuh dalam arti yang sebenarnya.
Demikianlah, maka pasukan pengawal Mataram dan
Tanah Perdikan Menoreh itu mulai bergerak maju. Untuk
mengurangi kemungkinan yang tidak diharapkan, serta
jebakan-jebakan yang akan dapat mengganggu pasukan itu,
maka atas persetujuan Raden Sutawijaya dan Ki Argapati,
maka pasukan itu pun berjalan dalam urutan yang panjang.
Yang berjalan di sisi kiri luar lembah yang agak luas itu adalah
pasukan Pengawal Mataram. Kemudian di sisi kanan adalah
Pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Berurutan dan bahkan
kelompok demi kelompok saling membatasi diri beberapa
langkah. Tetapi ternyata bahwa jalan yang mereka lalui adalah
daerah yang liar, sehingga mereka tidak dapat maju dengan
pesat. Namun beberapa puluh langkah kemudian, ternyata
lembah itu menjadi semakin mudah dilalui. Bahkan pepohonan
pun menjadi semakin jarang, sehingga akhirnya Raden
Sutawijaya tertegun sejenak sambil berdesis, "Kita sampai ke
daerah yang sering disentuh oleh tangan manusia."
"Tentu kita sudah dekat dengan perkemahan atau
padepokan atau semacam itu," sahut Ki Lurah Branjangan."
"Ya. Di hadapan kita itu tentu daerah yang dapat ditanami.
Lihat hijaunya lain dengan daerah yang liar. Di sini pepohonan
tumbuh tanpa diatur, sehingga jenis pohon apa pun tumbuh
bersama-sama. Tetapi menilik hijaunya daun, maka di depan
kita tentu pategalan yang sudah mengalami pemeliharaan."
Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Namun ia pun
kemudian menunjuk sebuah tebing yang menjorok sambil
berdesis, "Jika masih ada orang yang ingin mengganggu
perjalanan kita, maka tebing itu merupakan tempat yang
paling baik untuk melakukannya."
Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun
kemudian ia pun menganggukkan kepalanya.
Pada saat yang bersamaan di sisi lain, Ki Argapati pun
menunjuk tebing yang menjorok itu. Katanya, "Kita harus
berhati-hati." "Kenapa, Ayah?" bertanya Pandan Wangi.
"Tebing itu." Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Ia mengerti
maksud ayahnya, sehingga ia pun segera mempersiapkan
dirinya sambil berdesis kepada Prastawa, "Beritahukan
seluruh pasukan. Kita harus berhati-hati."
Prastawa pun kemudian surut beberapa langkah.
Diberitahukannya pemimpin kelompok terdepan dari pasukan
Pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang kemudian menjalar
ke setiap telinga. Ketika Prastawa melihat Kiai Gringsing dan kedua
muridnya yang berjalan agak di belakang, maka ia pun
mendekatinya sambil berkata, "Tebing itu."
Kiai Gringsing mengangguk. Katanya, "Sebaiknya kita
mempersiapkan anak panah dan busur."
"Ya. Paman sudah memerintahkan kepada seluruh
pasukan." Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dipalingkannya
wajahnya kepada kedua muridnya yang ternyata juga
menyandang busur dan anak panah, yang didapatkannya dari
para pengawal. Ki Demang Sangkal Putung yang berada beberapa
langkah di belakang mereka, berjalan sambil menundukkan
kepalanya. Kadang-kadang ia merasa aneh, bahwa
kedatangannya ke Menoreh adalah untuk melamar seorang
gadis bagi anaknya. Namun tiba-tiba ia telah terlempar ke
dalam lembah yang liar di antara bukit-bukit padas ini.
Bahkan, bersama anaknya ia sudah berada di depan bahaya
yang mungkin dapat merampas nyawanya.
"Bukan main," katanya kepada diri sendiri di dalam hatinya,
"kadang-kadang kita memang harus menjalani liku-liku
kehidupan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Jika karena sesuatu hal, apakah Swandaru apakah Pandan
Wangi yang tersentuh oleh tajamnya senjata, maka
kedatangan kami di Menoreh adalah sia-sia. Bahkan adalah
suatu kegagalan." Tetapi Ki Demang tidak dapat menyalahkan siapa pun
juga. Keadaan yang memang di luar kekuasaannya, bahkan di
luar kekuasaan Ki Argapati, dan telah menyeret pasukan
pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu
menyusur lembah ini. Ki Demang terkejut ketika Swandaru yang berhenti
menunggunya menggamit lengannya. "Ayah," berkata
Swandaru, "marilah berjalan bersama kami."
"Kenapa" Apakah kita sudah dekat?"
"Tidak, Ayah. Tetapi tebing yang menjorok itu
mememerlukan perhatian yang khusus."
Ki Demang mengangkat wajahnya. Dilihatnya tebing yang
menjorok itu. Dan ia pun mengerti, bahwa di atas tebing itu
mungkin tersembunyi beberapa orang lawan. Mereka dapat
menggulingkan batu dan batang-batang kayu seperti yang
pernah mereka lakukan. Tetapi lembah di sebelah tebing yang
menjorok itu tidak menguntungkan untuk mengulangi cara itu.
"Tentu serangan dengan anak panah," desis Ki Demang.
"Kita sedang menduga," sahut Swandaru, "mungkin
memang demikian, tetapi mungkin tidak. Tetapi jika benar, kita
harus bersiap menghadapinya."
"Baiklah," berkata Ki Demang, "tetapi aku dapat meminjam
sebuah perisai dari seorang pengawal."
"Dan pengawal itu?"
"Bersama-sama berlindung di bawah dua orang kawannya
yang berperisai juga."
Swandaru tersenyum. Tetapi Swandaru sendiri tidak
memerlukan perisai. Jika perlu, cambuknya dapat
melindungnya. Dengan putaran secepat baling-baling, maka
setiap anak panah akan terlempar menjauhinya
Demikianlah pasukan itu merayap semakin dekat. Dan Ki
Demang telah berada bersama dengan Kiai Gringsing dan
kedua muridnya yang kemudian berjalan di belakang Ki
Argapati, Pandan Wangi dan Prastawa.
Kini di hadapan mereka telah berjalan lebih dahulu
beberapa orang pengawal yang membawa perisai, agar
mereka dapat melindungi diri mereka dari serangan anak
panah lawan. Semakin dekat kedua pasukan yang berjalan sebelahmenyebelah
itu dari tebing yang menjorok, maka kedua
pasukan itu menjadi semakin berhati-hati. Beberapa orang
telah mempersiapkan perisai mereka, sedang yang lain
mempersiapkan busur dan anak panah.
Hampir setiap mata memandang ke arah tebing yang
menjorok itu. Setiap pepohonan dan setiap gerumbul tidak
terlepas dari pengawasan, seakan-akan di balik setiap batang
pohon dan setiap gerumbul perdu, bersembunyi orang-orang
siap melemparkan anak panah.
Tetapi tiba-tiba saja mereka terkejut ketika mereka
mendengar teriakan nyaring disusul dengan sorak sorai yang
riuh. Selagi pasukan itu tertegun heran, maka anak panah pun
meluncur seperti hujan yang dicurahkan dari langit.
Sekejap kedua pasukan itu menjadi bingung. Namun
hampir bersamaan, maka Raden Sutawijaya, Ki Lurah
Branjangan, Ki Argapati dan Swandaru berteriak, "Berlindung.
Cepat." Setiap orang di dalam pasukan itu segera mencari
perlindungan. Batang-batang pohon, gerumbul-gerumbul dan
mereka yang membawa perisai, langsung melindungi diri
mereka dengan perisai. "Gila," Prastawa mengumpat, "ternyata mereka tidak
menunggu sampai kita sampai di bawah tebing itu."
Tidak seorang pun yang menyahut. Beberapa orang
menggeretakkan giginya, sedang yang lain mengumpatumpat,
karena mereka hanya dapat menyembunyikan diri
tanpa dapat berbuat apa-apa.
Tetapi Agung Sedayu, Swandaru, dan mereka yang
membawa busur dan panah, segera mencari tempat. Mereka
bergeser dari satu pohon ke balik pohon yang lain, sehingga
mereka dapat menemukan tempat yang paling baik untuk
melawan anak panah itu. Sejenak kemudian beberapa buah anak panah meluncur
pula dari lembah. Dengan demikian, maka deras anak panah
yang menghujan itu pun segera berkurang, karena orangorang
yang berada di atas tebing pun harus mencari
perlindungan. Tetapi ada pula di antara mereka yang dengan
beraninya berdiri saja di bibir tebing sambil melontarkan anak
panah mereka dan sekedar berlindung pada sebatang pohon
perdu yang tidak begitu rapat.
Sejenak Agung Sedayu mengamati medan. Namun
sejenak kemudian ia serasa disentuh oleh perasaan wajib.
Karena itu, maka perlahan-lahan tangannya mulai memasang
anak panah pada busurnya, sementara Swandaru telah
melepaskan beberapa anak panahnya.
Di bagian lain, Sutawijaya pun telah membalas seranganserangan
itu. Tetapi mereka harus bersembunyi sebaikbaiknya
karena ternyata bukan saja anak panah yang ringan
dan kecil, tetapi mereka telah melemparkan pula tombaktombak
pendek dan lembing-lembing bambu cendani sebesar


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ibu jari kaki, yang mereka beri semacam bedor besi
diujungnya. Sejenak maka kedua pasukan yang ada di lembah itu
harus melayani lawan-lawannya meskipun mereka tahu,
bahwa yang mereka hadapi adalah sekedar usaha untuk
memperlambat laju mereka.
Meskipun demikian, pasukan pengawal Mataram dan
Tanah Perdikan Menoreh itu memerlukan waktu yang cukup
lama untuk melayani orang-orang yang berada di atas tebing
itu. Untuk menghindari korban-korban yang tidak perlu, maka
para pengawal itu pun masih saja berlindung di balik
pepohonan, sementara mereka yang bersenjata panah,
mengurangi derasnya serangan lawan dengan anak panahpanah
pula. "Jika kita masih tetap ada di sini, maka mereka tidak akan
segera pergi," desis Ki Lurah Branjangan.
"Maksudmu?" bertanya Sutawijaya.
"Aku akan membawa beberapa orang pengawal, merayap
naik tebing dan menyerang mereka dari jarak dekat."
"Bagaimana kau akan naik?"
"Kami memerlukan perlindungan dari mereka yang
bersenjata panah." Sutawijaya menganggukkan kepalanya. Katanya, "Baiklah.
Pergilah dengan beberapa orang pengawal. Beritahukan Ki
Argapati dan para pemimpin dari Menoreh, agar pasukanmu
tidak justru menjadi sasaran serangan panah mereka."
Ki Lurah Branjangan pun kemudian membawa beberapa
orang untuk menghalau orang-orang yang menyerang mereka
dari atas tebing itu. Dengan sedikit melingkar, mereka
merayap naik setelah mereka memberitahukan rencananya
kepada pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Beberapa orang pengawal Mataram yang bersenjata
panah melindunginya dari serangan orang-orang di atas
tebing dengan melontarkan panah sebanyak-banyaknya,
dibantu oleh para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.
Demikianlah, maka anak panah pun meluncur dengan
derasnya dari kedua belah pihak. Sekali-sekali jika dua batang
anak panah kebetulan beradu, maka sepercik bunga api telah
meletik di udara. Ternyata pasukan yang merayap itu telah menarik
perhatian orang-orang yang berada di atas tebing. Dengan
demikian, maka serangan-serangan mereka pun segera
dipusatkan ke arah mereka, karena pengawal yang naik ke
atas tebing akan langsung dapat menyerang mereka dari jarak
dekat. Tetapi dengan demikian, maka pasukan pengawal yang
ada di lembah mendapat kesempatan lebih banyak. Mereka
segera menghujani orang-orang di atas tebing itu sebanyakbanyaknya
yang dapat mereka lemparkan.
"Apakah anak panah kalian akan kalian habiskan di sini?"
bertanya Swandaru kepada salah seorang pengawal.
"Mereka harus dihalau."
"Jika panahmu habis dan kita masih menjumpai gangguan
yang sama, apa yang dapat kita lakukan?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia
masih mendapat jawaban, "Kita akan memungut anak panah
yang bertebaran di sekitar kita dan kita masukkan ke dalam
endong kita." Swandaru tersenyum sambil mengumpat, "Ada saja
jawabanmu itu." Orang itu pun tersenyum. Tetapi keduanya terkejut ketika mereka mendengar
teriakan nyaring. Mereka masih sempat berpaling dan melihat
seseorang di atas tebing itu menggeliat dan tanpa dapat
menguasai dirinya, ia terjatuh ke dalam jurang yang terjal.
Sebuah anak panah menancap di dadanya, dan darah yang
merah seakan-akan memancar dari luka itu.
Semua mata tertambat kepada orang yang berguling itu,
kecuali Swandaru. Ia mencoba memandang wajah Agung
Sedayu yang berdiri beberapa langkah daripadanya.
Dilihatnya Agung Sedayu tiba-tiba saja menundukkan
kepalanya. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam
hati, "Tentu Kakang Agung sedayu yang mengenainya dengan
tepat. Ia benar-benar seorang yang memiliki kemampuan bidik
yang luar biasa. Orang yang sudah berlindung di belakang
ilalang itu tepat dikenai dadanya," Swandaru menarik nafas
dalam-dalam, lalu, "Tetapi ia memang bukan seorang prajurit
yang baik. Ia bukan Untara, dan ia bukan Raden Sutawijaya.
Bukan pula seperti aku."
Agung Sedayu masih berdiri sambil menunduk di balik
sebatang pohon. Namun hiruk-pikuk di sekelilingnya seakanakan
telah membangunkannya, sehingga sejenak kemudian ia
mulai mengangkat wajannya dan memandang ke atas tebing.
Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak berbuat
sesuatu. Justru ia sengaja agar Agung Sedayu tidak
mengetahui bahwa ia sedang memperhatikannya.
Ketika Swandaru pun kemudian menengadahkan
wajahnya pula, dilihatnya pasukan Ki Lurah Branjangan yang
dengan susah payah merayap naik itu telah hampir mencapai
bibir tebing di bawah perlindungan anak panah dari para
pengawal di bawah, dan perisai-perisai yang mereka bawa.
Beberapa orang lawan yang melihat usaha itu hampir
berhasil segera berlari-lari mendekat dengan pedang
terhunus. Namun satu dua di antara mereka terpaksa jatuh
terkapar, ketika anak panah yang dilontarkan dari lembah
mengenai mereka. Tetapi mereka bukan orang-orang yang dungu. Mereka
pun segera menjauhi bibir tebing, dan mencoba menyerang
Lurah Branjangan dengan anak panah dari tempat yang tidak
terlihat dari lembah. Namun pasukan Ki Lurah pun sudah mulai menebar. Satu
dua orang sudah mencapai bibir tebing, dan yang satu dua itu
langsung terlibat di dalam perkelahian. Sementara yang lain
segera menyusulnya. Meskipun pertempuran yang terjadi itu sekedar merupakan
bagian kecil dari keseluruhan, namun para pemimpin Mataram
dan Tanah Perdikan Menoreh mengikutinya dengan dada
yang berdebar-debar. Bahkan beberapa orang menjadi cemas, jika sekiranya
mereka salah hitung, dan ternyata orang-orang yang berada di
atas tebing itu berjumlah jauh lebih banyak dari anak buah Ki
Lurah Branjangan, maka keadaannya akan menyulitkannya.
Apalagi ketika pertempuran sudah berkobar, maka para
pengawal dilembah tidak berani lagi melontarkan anak panah
mereka. Sehingga dengan demikian, mereka hanya dapat
sekedar memperhatikan pertempuran yang sedang
berlangsung. Namun pertempuran itu tidak berlangsung lama. Ketika
Sutawijaya memerintahkan beberapa orang pengawalnya
untuk menyusul naik ke atas tebing pegunungan itu, maka
orang-orang yang sedang mengganggu perjalanan itu pun
harus memperhitungkannya.
Karena itu, maka sejenak kemudian mereka pun segera
berusaha menarik diri. Dengan sebuah isyarat, maka
perlahan-lahan mereka surut, dan kemudian berhamburan
masuk ke dalam semak-semak dan belukar di atas tebing.
Ki Lurah Branjangan mencoba mengejar mereka beberapa
puluh langkah. Namun ia pun kemudian memerintahkan anak
buahnya berhenti. Mereka tidak mengetahui apa yang ada di
balik gerumbul-gerumbul dan belukar yang cukup lebat itu,
sehingga karena itu, maka ia pun segera menghentikan
pasukannya. Beberapa orang yang sedang memanjat naik itu pun
mengurungkan usahanya untuk mencapai bibir tebing, karena
tidak ada lagi lawan yang harus dihadapinya. Dan
sebenarnyalah menurut perhitungan Sutawijaya, orangorangnya
itu bukannya benar-benar harus bertempur. Dengan
memerintahkan beberapa orang naik, pasukan lawan itu tentu
akan menghindar. Sejenak kemudian Ki Lurah Branjangan pun telah sampai
ke induk pasukannya. Segera mereka melanjutkan perjalanan.
Meskipun mereka baru saja bertempur, namun di bawah
tebing yang menjorok itu, mereka tetap berhati-hati.
Tetapi ternyata mereka lewat tanpa gangguan apa pun.
Meskipun demikian, ternyata ada juga di antara anak buah Ki
Lurah yang terluka. Meskipun lukanya tidak partah, tetapi
sambil berjalan, kawan-kawannya berusaha untuk menahan
arus darah yang mengalir dari luka itu. Dan dari Kiai Gringsing
mereka mendapat serbuk obat yang dapat mengurangi titiktitik
darah yang keluar dari luka-luka itu.
Beberapa saat kemudian mereka sudah sampai ke daerah
pategalan yang seperti telah diduga oleh para pengawal
Mataram dan Menoreh, merupakan tanah yang sudah digarap.
Ternyata bahwa lembah itu memang menjadi semakin luas
dan merupakan sebuah dataran yang tersembunyi di antara
pegunungan. "Ada mata air," tiba-tiba salah seorang dari para pengawal
itu berteriak. Pasukan itu terhenti. Di lereng sebelah kiri, di bawah
sebatang pohon ketapang yang besar, terdapat sebuah mata
air yang cukup besar sehingga airnya mengalir ke dalam
sebuah parit. Sutawijaya memperhatikan mata air itu sejenak. Kiai
Gringsing, kedua muridnya, Ki Demang Sangkal Putung, dan
para pemimpin dari Tanah Perdikan Menoreh pun kemudian
berkerumun di sekitar mata air itu.
"Suatu sumber penghidupan di lembah ini," desis
Sutawijaya. "Ya," sahut Kiai Gringsing, "air itu tentu mengalir ke tempat
yang lebih rendah. Dengan demikian, jika kita menyusuri air
yang mengalir ini, kita akan sampai kepada dua kemungkinan.
Keluar dari lembah ini, mungkin memang ada jalan keluar
tanpa melalui puncak-puncak bukit kecil itu, atau menerobos
di bawah tanah. Sedang kemungkinan yang lain, bahwa kita
akan sampai ke daerah yang berawa-rawa."
"Kemungkinan yang pertama itulah yang paling dekat
dengan keadaan daerah ini," berkata Ki Argapati. "Jika kita
akan sampai ke daerah yang berawa-rawa, selain tanah akan
menjadi semakin lembab, kita akan dapat melihat rawa-rawa
itu dari tebing pegunungan ini."
Yang lain mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
mereka mendapatkan satu kesimpulan, bahwa tanah dataran
di antara bukit-bukit kecil ini merupakan tanah yang baik untuk
digarap. Dengan demikian maka mereka berpendapat, bahwa
mereka tentu akan sampai kepada sebuah padukuhan. Dan
padukuhan itulah yang mungkin telah dipergunakan sebagai
pusat gerakan dari seorang yang menyebut dirinya
Panembahan Agung. Dengan demikian, maka mereka pun menduga, bahwa
mereka benar-benar telah berada di ambang pintu padepokan
yang mereka cari. Karena itulah maka sejenak kemudian, para
pemimpin dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu pun
segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.
Dengan kesiagaan sepenuhnya maka pasukan itu pun
merayap maju. Di sela-sela pategalan mereka menemukan
jejak dari sebuah pasukan yang cukup besar. Karena itulah
maka para pengawal itu telah menggenggam senjata di
tangan masing-masing. Mereka menyangka bahwa sebentar
lagi mereka tentu akan disergap oleh sepasukan yang kuat
dari sela-sela pepohonan di pategalan itu.
Tetapi sampai beberapa puluh langkah kemudian mereka
tidak mengalami sesuatu. Apalagi pategalan itu menjadi
semakin jarang dan sekedar ditanami dengan pohon buahbuahan
dan agaknya baru saja orang-orang di padukuhan itu
mengambil hasil tanaman mereka. Menilik bekasnya, maka
tanah di antara pohon buah-buahan yang jarang itu baru saja
ditanami dengan ketela pohon dan sebagian dengan sejenis
kacang. Namun yang mereka yakini, bahwa mereka telah menjadi
semakin dekat dengan sebuah padukuhan.
Pasukan itu pun kemudian menjadi semakin berhati-hati.
Sebelum mereka maju lagi, maka mereka telah mengirimkan
tiga orang yang akan mengawasi keadaan di hadapan
mereka, apakah mereka akan masuk ke dalam perangkap
atau tidak. Para pengawas itu dengan hati-hati merayap maju
mendahului pasukannya. Mereka membawa beberapa macam
alat untuk mengirimkan isyarat. Panah sendaren, bahkan
kentongan kecil. Tetapi mereka sama sekali tidak menjumpai apa pun yang
mencurigakan. Mereka tidak melihat sebuah pertahanan yang
kuat, dan ujung-ujung senjata yang mencuat.
Namun mereka tidak tergesa-gesa maju terus, karena
mereka masih selalu dibayangi oleh kecurigaan, bahwa lawan
tereka dapat memasang jebakan yang tidak mereka duga
lebih dahulu. Dengan sangat hati-hati mereka maju beberapa puluh
langkah lagi, bergeser di antara pepohonan.
Tetapi mereka pun tidak menemukan apa-apa. Di antara
pepohonan yang jarang itu, mereka sama sekali tidak melihat
pasukan pengawal segelar sepapan.
"Kenapa begitu sepi?" bertanya salah seorang di antara
para pengawas itu sambil berbisik.
"Ya. Aku justru menjadi curiga. Mungkin mereka berada di
balik dinding batu di belakang pategalan itu."
"Itu pun sepi."
"Mereka sengaja berlindung."
"Tetapi itu tidak menguntungkan. Jika kita datang dengan
seluruh pasukan, mereka akan terkepung di dalam halaman
yang sempit. Dan karena itu, maka mereka tidak akan dapat
memberikan perlawanan yang sempurna."
"Itulah yang aneh. Dan yang tidak lazim itulah yang harus
kita perhatikan." "Aku akan maju lagi," berkata yang lain dengan tiba-tiba,
"aku tidak telaten untuk sekedar menduga-duga saja."
Kawan-kawannya tidak membantah, sehingga karena itu
maka mereka pun mulai bergerak maju dengan hati-hati.
Mereka selalu berusaha berlindung di antara pepohonan dan
pohon-pohon perdu yang bertebaran di pategalan di hadapan


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padukuhan yang sudah nampak.
"Padukuhan itu kecil," desis salah seorang.
"Ya. Tetapi rumah-rumah yang nampak itu adalah barakbarak
yang dihuni bersama-sama oleh beberapa orang."
"Memang menarik sekali. Mungkin mereka
mempertahankan setiap rumah yang mereka huni itu dengan
cara yang asing bagi kita."
"Mungkin, memang mungkin," potong yang lain, "tetapi
yang paling baik adalah mendekat."
Mereka bertiga menjadi semakin gelisah. Tetapi justru
karena itu, mereka ingin mengetahui dengan pasti, apakah
yang mereka hadapi. Meskipun demikian salah seorang dari
mereka harus mempersiapkan isyarat. Jika tiba-tiba saja
mereka disergap, maka mereka sempat membunyikan tanda
bahaya itu. Setidak-tidaknya kentongan dengan nada yang
sudah mereka sepakati. Tetapi mereka sama sekali tidak menjumpai apa pun juga
di dalam padepokan itu. Ketika mereka dengan hati-hati
menjenguk ke balik dinding batu yang mengelilingi padepokan
itu, maka mereka sama sekali tidak melihat apa pun.
Padepokan itu agaknya memang benar-benar telah kosong.
"Gila, perangkap apa lagi yang akan mereka pasang buat
kita?" berkata salah seorang dari ketiganya.
"Aku akan masuk. Biarlah apa yang akan terjadi. Tetapi
semuanya ini membuat aku justru menjadi semakin ingin
tahu." Orang itu pun kemudian meloncat masuk ke dalam
lingkungan dinding batu. Kedua kawannya pun segera
mengikutinya. Disamping alat-alat yang dapat memberikan
isyarat, mereka menggenggam senjata telanjang pula di
tangannya. Dengan dada yang berdebar-debar mereka melangkah
maju melintasi sela-sela pepohonan di kebun padepokan itu.
Perasaan ingin tahu yang semakin besar telah mendorong
mereka untuk melihat-lihat, apakah yang sebenarnya sedang
mereka hadapi. Sejenak mereka saling berpandangan ketika mereka
melihat sebuah pintu barak yang tertutup. Mereka menjadi
ragu-ragu sejenak. Tetapi salah seorang berbisik, "Aku akan
melihat apakah yang ada di dalam barak itu."
"Baiklah," berkata yang lain, lalu katanya kepada
kawannya yang satu lagi, "kau tetap di sini. Jika terjadi
sesuatu, kau sempat memberikan isyarat. Aku kira induk
pasukan itu tidak begitu jauh di belakang kita, karena mereka
pun maju terus." "Baiklah. Tetapi berusahalah untuk memberikan tanda apa
pun." "Maksudmu jika tiba-tiba kami disergap?"
"Ya. Memang mungkin kalian kehilangan kesempatan."
"Kami akan masuk seorang demi seorang."
"Baik. Lakukan. Tetapi berhati-hatilah. Kita berhadapan
dengan lawan yang dibayangi oleh semacam rahasia."
Kedua pengawas itu pun kemudian dengan perlahan-lahan
mendekati pintu yang tertutup itu, sedang yang seorang lagi
menempatkan dirinya di tempat yang agak terlindung
sehingga tidak mungkin mendapat serangan dari jarak jauh.
Namun demikian, orang yang tinggal itu selalu
digelisahkan oleh kemungkinan-kemungkinan yang dapat
terjadi. Kadang-kadang ia harus mengawasi cabang-cabang
pepohonan jika ada satu dua orang yang mengintainya. Tetapi
sepi. Benar-benar sepi. Dalam pada itu, kedua orang yang
mendekati pintu barak tertutup itu pun menjadi semakin
berdebar-debar. Tetapi mereka maju terus. Perlahan-lahan
mereka meraba pintu lereg itu. Dan ketika dengan isyarat
keduanya bersepakat untuk membuka, maka perlahan-lahan
mereka mendorong pintu itu ke samping.
Mereka terkejut ketika terdengar gerit pintu itu sendiri.
Namun kemudian mereka mendorongnya lebih lebar lagi,
sehingga mereka dapat menjengukkan kepala ke dalam barak
yang tampak kegelapan karena tidak ada lubang sama sekali
selain pintu yang sedikit terbuka itu.
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian
mereka pun yakin bahwa barak itu ternyata kosong. Tidak ada
seorang pun yang ada di dalamnya.
Perlahan-lahan pintu itu pun kemudian terbuka semakin
lebar, dan cahaya matahari pun semakin banyak memercik
kedalamnya. Namun mereka benar-benar tidak menemukan
seorang pun meskipun mereka mendapatkan bekasbekasnya.
Di dalam barak itu masih terdapat beberapa jenis
mangkuk dan bumbung. Bahkan masih ada beberapa macam
alat yang dipergunakan di sawah atau pategalan.
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian salah
seorang dari keduanya berkata, "Aku yakin, padepokan ini
memang dikosongkan."
"Lalu, di manakah penghuninya?"
"Itulah yang merupakan teka-teki."
"Biarlah bukan kita yang menjawabnya. Marilah kita
meyakinkan kekosongan padepokan ini, kemudian
melaporkannya kepada induk pasukan."
Demikianlah mereka kemudian mengelilingi sebagian dari
padepokan itu. Dan seperti yang mereka duga padepokan itu
memang sudah kosong. Dengan tergesa-gesa mereka bertiga pun kemudian
kembali kepada Induk pasukan yang menunggu beberapa
puluh langkah dari dinding padepokan itu,
"Jadi mereka sudah meninggalkan padepokan itu?"
bertanya Pandan Wangi. "Ya. Padepokan itu sudah sepi," jawab salah seorang dari
pengawas itu. "Ke mana mereka pergi?"
"Kami belum tahu."
Pandan Wangi menjadi tegang. Bukan karena pasukan itu
tidak dapat menguasai lawan yang tentu masih akan tetap
berbahaya bagi Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh, tetapi
dengan demikian mereka tentu tidak akan menemukan Rudita
pula. Ayahnya, Ki Argapati agaknya dapat menangkap
kegelisahan hati anaknya, sehingga karena itu ia bertanya
kepada ketiga pengawas itu, "Apakah kau tidak dapat melihat
bekas-bekas kepergian mereka?"
"Kami belum menyelidikinya dengan teliti."
Pandan Wangi yang menjadi sangat gelisah itu pun
kemudian serasa tidak sabar lagi. Katanya, "Kita memasuki
padepokan itu, barangkali kita menemukan sesuatu."
Raden Sutawijaya pun menjadi gelisah pula. Orang-orang
yang meninggalkan padepokan itu tentu akan menjadi seperti
semut yang disentuh sarangnya. Buyar bertebaran ke
segenap arah. Jika demikian, maka mereka akan dapat
menimbulkan banyak kesulitan. Baik bagi Mataram mau pun
bagi Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi jika Raden Sutawijaya
itu pun memikirkan nasib anak muda yang namanya Rudita.
Dengan demikian, maka pasukan itu pun kemudian
dengan tidak meninggalkan kewaspadaan memasuki
padepokan yang sudah kosong itu. Tetapi agar mereka tidak
terjebak dalam sebuah kepungan, maka baik Raden
Sutawijaya mau pun Ki Argapati memerintahkan agar
pasukannya sebagian besar tetap berada di luar dan
mengawasi setiap kemungkinan. Mengawasi tebing dan
daerah di seberang padepokan itu.
"Kita tidak boleh ditepuk dengan sebelah tangan di dalam
padepokan sempit ini," berkata Raden Sutawijaya.
Dengan demikian maka Ki Lurah Branjangan pun
membawa sepasukan pengawal di depan padepokan itu,
sedang pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh bersama
Prastawa berada di antara pategalan di sisi padepokan.
Tetapi padepokan itu benar-benar kosong. Mereka tidak
menemukan seorang pun di dalam padepokan itu.
Namun demikian, menurut penyelidikan yang kemudian
mereka lakukan, mereka menemukan jejak sepasukan yang
cukup besar meninggalkan padepokan itu.
"Mereka menarik pasukannya," berkata Raden Sutawijaya.
Kiai Gingsing yang melihat bekas-bekas pasukan yang
meninggalkan padepokan itu pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia pun memikirkan nasib Rudita. Apakah anak itu
masih selamat atau karena orang-orang di padepokan ini
merasa tidak memerlukan lagi, maka ia pun mengalami nasib
yang buruk. Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam.
"Kiai," bertanya Sutawijaya, "apakah yang menurut
pertimbangan Kiai sebaiknya kita lakukan kemudian?"
Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Dilayangkannya
pandangan matanya berkeliling. Dilihatnya puncak
pegunungan yang seakan-akan memagari lembah yang cukup
luas itu. "Apakah Kiai sedang memikirkan aliran air dari mata air
itu?" bertanya Ki Argapati.
Kiai Gringsing memandanginya sejenak, lalu
menganggukkan kepalanya, "Ya, Ki Gede. Jalan keluar dari
parit itu merupakan jalur yang dapat kita ikuti, kecuali apabila
air itu kemudian menembus di bawah tanah."
"Kenapa jalur parit itu?" tiba-tiba saja Agung Sedayu
bertanya. "Kita sudah menemukan jejak mereka."
"Ya. Jejak itu memang dapat kita ikuti. Tetapi jika kita
kehilangan jejak itu, maka kita mempunyai pegangan lain."
"Tetapi apakah mereka akan selalu mengikuti air itu"
Mungkin mereka mempunyai jalan lain," potong Swandaru.
"Memang mungkin. Kita memang dihadapkan pada banyak
kemungkinan. Tetapi semuanya memerlukan perhatian dan
perhitungan yang cermat."
Ki Argapati dan para pemimpin yang lain menganggukanggukkan
kepala. Tetapi tidak seorang pun dari mereka yang
menduga, bahwa di hadapan mereka masih terdapat sebuah
padepokan lagi dan justru merupakan pusat pertahanan yang
sangat kuat. Karena itulah, yang mereka putuskan kemudian adalah
sekedar mengikuti jejak pasukan yang telah meninggalkan
padepokan itu. "Kita berusaha untuk menemukan mereka di mana pun,"
berkata Raden Sutawijaya.
"Tetapi jika mereka keluar dari lembah ini," sahut Ki
Argapati, "kita akan mendapatkan kesulitan. Mereka akan
menenggelamkan diri dalam kehidupan biasa di antara orangorang
padesan. Kita tidak akan dapat membedakan lagi, yang
manakah orang-orang yang ikut di dalam pasukan di lembah
ini dan yang manakah orang-orang padesan yang
sewajarnya." "Orang-orang padesan itu, atau para bebahu akan dapat
menunjukkan kepada kita, siapakah di antara mereka yang
harus kita ambil." "Berbahaya sekali. Berbahaya bagi orang-orang padesan
itu. Sebab mereka akan diancam dan pada saat lain akan
mengalami nasib yang sangat buruk." Ki Argapati berhenti
sejenak, lalu, "Tetapi kita dapat mencoba. Marilah kita ikuti
jejak itu, agar kita mendapatkan kepastian, apakah yang harus
kita lakukan." Para pemimpin kedua pasukan itu bersama-sama
sependapat, bahwa mereka akan melanjutkan perjalanan,
mengikuti jejak pasukan yang meninggalkan padepokan itu.
Setelah mereka berhenti sejenak untuk meneliti
padepokan itu, maka mereka pun segera mengatur
pasukankan berjalan menyusuri bekas pasukan yang telah
pergi menghindar itu. Namun mereka sama-sama berpendapat, bahwa
padepokan itu bukan sebenarnya padepokan. Mereka tidak
mendapatkan tanda-tanda bahwa di padepokan itu tinggal
pula perempuan dan anak-anak, seperti kewajaran keluarga.
"Padepokan itu tidak lebih dari sarang segerombolan
perampok yang sangat besar jumlahnya," desis Kiai Gringsing
yang samar-samar teringat pada sarang pasukan Jipang yang
dipimpin oleh Tohpati di hutan rindang di hadapan
Kademangan Sangkal Putung. Padepokan ini tidak ubahnya
seperti sarang pasukan Jipang yang sudah kehilangan
bentuknya itu. Namun agaknya sarang yang besar ini memiliki
susunan yang lebih baik dari sebuah masyarakat yang tidak
wajar. "Agaknya memang demikian," berkata Raden Sutawijaya
kemudian. "Dengan demikian kita dapat mengambil
kesimpulan, bahwa padepokan ini adalah sebuah pusat
pemerintahan yang tersendiri. Penghuni-penghuninya adalah
orang-orang yang meninggalkan keluarga mereka dan
berhimpun di sini. Tentu di dalam keadaan yang sulit mereka
akan memencar dan kembali kepada keluarga masingmasing."
"Tetapi itu bukan berarti bahwa usaha mereka sudah
berakhir. Hadirnya prajurit-prajurit Pajang di daerah ini tentu
menimbulkan pertimbangan-pertimbangan tersendiri di dalam
penilaian ini," sahut Ki Argapati.
Yang mendengarkan kata-kata Ki Argapati itu mengangguanggukkan
kepalanya. Memang mereka tidak dapat
melupakan begitu saja peranan yang dipegang oleh beberapa
orang Senapati dari Pajang, yang tentu bukannya sekedar
seperti daun kuning yang berguguran dari ranting-rantingnya.
Kehadiran pasukan Pajang di daerah ini tentu masih
mempunyai jalur hubungan dengan para senapati yang ada di
istana. Demikianlah pasukan itu berjalan maju perlahan-lahan.
Mereka menyusuri bekas yang dapat mereka ketemukan
dengan jelas. Seakan-akan orang-orang yang meninggalkan
padepokannya itu sama sekali tidak menjadi cemas atas jejak
yang mereka tinggalkan. Dalam pada itu, masih agak jauh dari pasukan yang
bergerak maju itu, Putut Nantang Pati dan Daksina sedang
mengatur sebuah pertahanan yang kuat untuk menghentikan
pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang tentu
akan segera datang. "Kita akan menghadapinya dengan perlawanan terbuka,"
berkata Putut Nantang Pati, "kita tidak usah membuat
jebakan-jebakan seperti yang pernah kita lakukan. Di sini kita
akan menghancurkan mereka. Hancur lumat."
Daksina menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kau
terlampau percaya kepada kemampuan diri sendiri tanpa


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memperhitungkan kemampuan lawan."
Putut Nantang Pati tersenyum. Katanya, "Kau harus
menyadari kemampuan kita di sini. Kau melihat sendiri, bahwa
dengan permainan api yang kecil itu, pasukan Mataram dan
Menoreh sudah menjadi bingung. Apalagi apabila
Panembahan Agung sendiri yang melepaskan ilmu itu.
Pasukan Mataram dan Menoreh akan kehilangan
keseimbangan." "Ya. Menghadapi pasukan yang besar itu, apakah kira-kira
yang akan dilakukan oleh Panembahan Agung?"
"O, tentu ada seribu cara dapat dilakukannya.
Panembahan Agung dapat membuat seakan-akan hutan di
sekitar tempat ini terbakar. Atau seakan-akan langit dipenuhi
burung garuda yang menyambar-nyambar."
"Tetapi bukankah bentuk-bentuk semu itu tidak dapat
berbuat apa-apa" Maksudku, seandainya di langit ada
berates-ratus atau bahkan beribu-ribu burung garuda sebesar
kerbau sekalipun, namun burung-burung semu itu tentu tidak
akan dapat menyentuh pasukan Menoreh dan Mataram."
"Tidak. Tetapi sementara mereka kebingungan karena
bentuk semu itu, kita akan dapat menghancurkan sebagian
dari mereka. Jika kemudian bentuk-bentuk itu hilang, maka
pasukan mereka tinggal tidak lebih dari separo. Apalagi jika
hadir bentuk-bentuk yang lain, seekor Naga bertanduk dan
bertaring, atau berkepala lima dan menyemburkan api dari
mulutnya." Daksina menarik nafas dalam-dalam. Bentuk-bentuk itu
memang mengerikan. Tetapi apakah pasukan Mataram dan
Menoreh dapat dikelabuhinya dengan mudah"
Tetapi agaknya Putut Nantang Pati memang yakin, bahwa
pasukannya akan dapat menghancurkan pasukan Mataram
dan Tanah Perdikan Menoreh betapapun kuatnya. Dengan
bentuk-bentuk semu kedua pasukan itu akan kehilangan
pemusatan arah perlawanan sehingga dengan mudah
pasukan Putut Nantang Pati akan dapat membinasakan
sebagian besar dari mereka.
Tetapi agaknya Daksina lebih mementingkan kepada
pertahanannya. Pasukan yang berada di dalam garis
pertahanan itu mendapatkan petunjuk-petunjuk bagaimana
mereka harus menghentikan gerak pasukan Mataram dan
Tanah Perdikan Menoreh yang kuat.
"Mereka adalah pengawal-pengawal yang memiliki nilai
tempur seperti prajurit-prajurit Pajang," berkata Daksina,
"karena itu, jangan lengah. Kita bukannya tidak percaya,
bahwa Panembahan Agung akan mampu menciptakan
bentuk-bentuk semu, tetapi kita pun harus memperhitungkan
kemungkinan yang ada pada pasukan lawan. Aku kira tidak
ada di antara mereka yang mampu melawan ilmu
Panembahan Agung. Tetapi mungkin ada di antara mereka
yang menyadari, bahwa mereka tidak boleh dibingungkan oleh
bentuk-bentuk semu itu sehingga mereka sama sekali
mengabaikan penglihatan mereka yang tidak wajar itu."
Anak buahnya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka,
terutama prajurit-prajurit Pajang memang tidak meletakkan
kekuatan mereka kepada ilmu yang belum pernah mereka
lihat sebelumnya. Tetapi mereka harus menyandarkan
perlawanan mereka kepada kemampuan diri sendiri. Meskipun
demikian, ada juga semacam harapan, bahwa mereka tidak
perlu memeras segenap tenaga dan kemampuan mereka, jika
benar ilmu Panembahan Agung dapat mempengaruhi lawan.
"Daksina," berkata Putut Nantang Pati yang mengetahui
bahwa Daksina masih meragukan kelebihan ilmu
Panembahan Agung, "mungkin orang-orang Mataram dan
Menoreh tidak menghiraukan sama sekali burung-burung
garuda di langit, ular naga sebesar pohon nyamplung di
sebelah itu, atau bentuk-bentuk yang lain karena mereka
sadar, bahwa bentuk-bentuk itu adalah bentuk-bentuk semu,
tetapi mereka tidak akan dapat membedakan bentuk semu
yang berupa lembah dan pegunungan. Kayu-kayu besar yang
roboh dan angin pusaran di lereng pegunungan. Mereka tentu
akan bingung melihat pasukan kita terbang di atas jurang yang
dalam, karena jurang itu sebenarnya tidak pernah ada."
Daksina mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia memang
berdiri di persimpangan. Ia sudah melihat sendiri, bentuk
semu yang dibuat oleh Putut Nantang Pati meskipun menurut
pengakuannya sama sekali belum sempurna. Namun
demikian, ia adalah senapati prajurit, yang memperhitungkan
kekuatan di peperangan dengan jumlah ujung senjata dan
kemampuan setiap pribadi di dalam pasukannya.
Namun sebenarnyalah dengan demikian pertahanan yang
disusun oleh Putut Nantang Pati dan Daksina adalah
pertahanan yang sangat kuat, justru karena Daksina tidak
menumpukan kekuatannya kepada ilmu ajaib yang dimiliki
oleh Panembahan Agung. Jika ternyata kemudian
Penembahan Agung juga berhasil membingungkan pasukan
Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh, maka kedua pasukan
itu benar-benar akan diancam kepunahan.
Dalam pada itu, di hadapan garis pertahanan itu pasukan
Mataram yang tidak sempat mengetahui kekuatan lawan,
bersama pasukan Tanah Perdikan Menoreh bergerak maju.
Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa di hadapan
mereka terbentang sebuah pertahanan yang kuat dari tebing
sampai ke tebing. Bukan saja pertahanan yang dilambari
dengan kemampuan tempur pasukan yang telah
menggemparkan Mataram itu, tetapi juga dibayangi oleh ilmu
yang belum pernah ditemui di medan yang mana pun.
Yang berjalan di paling depan, adalah para pengawas
yang perhatiannya lebih banyak ditujukan kepada jejak orangorang
yang mereka cari daripada sebuah pertahanan yang
bagaikan benteng baja. Mereka sibuk menundukkan
kepalanya, mengungkit ranting-ranting patah dan dedaunan
yang tumelung di atas jalur jalan yang mereka tempuh,
sehingga dengan demikian mereka tidak mengetahui, bahwa
jarak pertahanan di hadapan mereka semakin lama menjadi
semakin pendek. Sementara pasukan Mataram dan Tanah Perdikan
Menoreh merayap semakin dekat, maka Daksina dan Putut
Nantang Pati menjadi berdebar-debar ketika ia dipanggil
menghadap di padepokan di belakang pertahanan mereka.
"Apakah yang penting" Jika tiba-tiba saja pasukan
Mataram dan Menoreh melanda pasukan kita, maka
pertahanan ini akan menjadi hancur. Aku di sini justru sedang
menunggu kehadiran Panembahan Agung, jika setiap saat
lawan kita itu datang," jawab Daksina.
"Kenapa kau bertanya?" bertanya utusan itu.
"Panembahan Agung memiliki perhitungan yang sempurna.
Apakah kau merasa bahwa perhitunganmu lebih matang?"
"O," Daksina menjadi tergagap karenanya, "bukan
maksudku. Tetapi aku mendasarkan pada perhitungan
keprajuritan." "Jangan membantah lagi," berkata Putut Nantang Pati
pula, "marilah, kita menghadap."
Keduanya pun kemudian dengan ter-gesa-gesa pergi ke
padepokan. Daksina tampak menjadi sangat gelisah. Ia tidak
biasa meninggalkan pasukannya di saat yang paling genting
meskipun sudah diserahkannya kepada orang yang
dipercayainya. Daksina hampir tidak sabar ketika ia harus duduk di
serambi depan menunggu kehadiran Panembahan Agung.
Keringatnya mengalir membasahi kening dan punggung.
Ketika pintu terbuka, maka yang hadir sama sekali bukan
Panembahan Agung, tetapi Panembahan Alit, yang juga
menyebut dirinya Panembahan Tidak Bernama.
"O," desis Daksina yang mulai menjadi jengkel, "apakah
kami sudah diperbolehkan menghadap Panembahan Agung
yang memanggil kami?"
Panembahan Alit memandanginya sejenak. Kemudian ia
pun duduk pula di antara mereka sambil berkata, "Aku tidak
tahu, kapan kalian diperbolehkan menghadap. Tetapi justru
aku mendapat perintah untuk berada bersama kalian di sini."
"Tetapi pasukan lawan tentu sudah menjadi semakin
dekat. Naluri keprajuritanku sudah memperingatkan agar aku
siap menunggu mereka di dalam pasukan yang harus
bersiaga sepenuhnya."
"Ah kau," Putut Nantang Pati tersenyum, "percayalah.
Panembahan Agung mengetahui apa yang sedang kita
hadapi. Pasukan itu tentu terhalang oleh orang-orang kita
yang bertugas memperlambat dan mengganggu pasukan
mereka. Bukan saja agar mereka tidak dapat maju dengan
pesat. Tetapi mereka akan menjadi marah sehingga mereka
lebih banyak mempergunakan perasaannya daripada
perhitungan nalarnya. Karena itu, mereka tentu masih berada
di jarak yang jauh."
Daksina menarik nafas dalam-dalam. Dan Panembahan
Alit itu pun berkata, "Jangan gelisah. Percayalah."
Daksina tidak menyahut lagi. Tetapi rasa-rasanya hatinya
selalu melonjak-lonjak di dalam dadanya. Sebagai seorang
senapati, ia merasa wajib berada di gelanggang di saat
pertempuran mulai berkobar.
Tetapi agaknya Putut Nantang Pati sama sekali tidak
merasa gelisah. Ia menyandarkan semua pertimbangan di
saat itu kepada Panembahan Agung, meskipun biasanya ia
adalah seorang pemimpin yang baik di peperangan.
Baru sejenak kemudian maka seseorang telah keluar lagi
dari ruang dalam dan berkata, "Panembahan Alit diharap
menghadap lebih dahulu."
"Hanya Panembahan Alit?" desak Daksina.
"Ya." Panembahan Alit itu pun berdiri sambil menepuk bahu
Daksina, "Sabarlah. Tidak akan ada apa-apa yang terjadi."
Daksina menarik nafas dalam-dalam.
Sejenak kemudian, maka Panembahan Alit itu pun hilang
di balik pintu. "Kita masih harus menunggu?" bertanya Daksina yang
kehilangan kesabaran. "Semakin kau mendesak, maka kau akan merasa semakin
lama menunggu di sini. Jangan hiraukan, agar kau tidak
terlampau gelisah." Daksina hanya menarik nafas saja dalam-dalam. Sesaat
kemudian pintu itu pun terbuka lagi. Yang tampak keluar lewat
pintu itu adalah Panembahan Alit. Sambil membawa sebatang
tongkat ia berkata, "Daksina dan Putut Nantang Pati. Ternyata
aku menerima tongkat kekuasaan tertinggi di padepokan ini.
Karena itu. maka akulah yang akan menjadi senapati besar di
dalam pertempuran yang akan segera terjadi. Menurut
pengamatan Panembahan Agung, pasukan Mataram dan
Tanah Perdikan Menoreh yang datang ke padepokan ini
cukup besar, sehingga kita di sini harus berjuang sebaikbaiknya
melawan mereka. Panembahan Agung sendiri akan
hadir di medan dan dengan kuasanya akan berusaha untuk
memperlemah daya tempur pasukan Mataram dan Tanah
Perdikan Menoreh." Putut Nantang Pati mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil berkata, "Jika memang itu yang diperintahkan. Aku
percaya bahwa Panembahan Alit akan dapat melakukan tugas
itu sebaik-baiknya."
Tetapi Daksina berkata, "Jadi, apakah kami sudah dapat
menghadap Panembahan Agung?"
"Kalian tidak perlu menghadap. Perintahnya sudah jelas.
Dan tongkat kekuasaan ini merupakan bukti perintah yang
sudah diucapkan itu."
"Jadi buat apa aku harus datang kemari?" bertanya
Daksina. "Itu adalah kehendak Panembahan Agung. Kenapa kau
tampak kecewa?" "Tentu. Sebaiknya aku berada di antara pasukanku jika
aku di sini hanya sekedar duduk menunggu dan tidak ada
kepentingan apa pun juga."
"Kau tidak dapat membantah perintahnya."
"Aku bukan anak buahnya. Tetapi aku adalah seorang
senapati yang dikirim oleh Kakang Tumenggung untuk
memimpin pasukan Pajang yang ada di sini."
"Di sini kau berada di bawah perintah Panembahan Agung
yang kali ini dilimpahkan kepadaku," berkata Panembahan
Alit, "jangan membuat keributan di saat pasukan lawan sudah
berada di depan hidung."
Daksina menggeretakkan giginya. Katanya, "Hanya karena
kesadaran itu aku melalaikannya. Tetapi jika kau mengecilkan
arti Daksina di sini, berarti kau mengecilkan arti Kakang
Tumenggung dan Kakang Panji di Pajang. Jangan kau sangka
bahwa keduanya dapat kalian perintah seperti memerintah
anak-anak yang paling dungu seperti ini. Namun sekali lagi
aku katakan, bahwa aku hanya sekedar mengingat bahwa
musuh kini sudah berada di hadapan hidungku."
"Jangan bersikap begitu kasar. Agaknya sikapmu tidak
akan menguntungkan sama sekali."
"Tetapi bukan berarti bahwa kalian dapat menghinakan
dan memerintah aku seperti seorang budak."
Panembahan Alit mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih
tetap menyadari, bahwa untuk menghadapi Mataram dan
Tanah Perdikan Menoreh, mereka memerlukan paduan
kekuatan yang ada, dan karena itulah maka ia masih tetap
menahan diri. Namun dalam pada itu, mereka bertiga terkejut ketika tibatiba
saja mereka mendengar seekor kuda meringkik.
Kemudian dari pintu itu pun muncul seekor kuda yang tegar
meloncat ke halaman. Sekali kuda itu melonjak, namun
kemudian berlari kencang sekali seperti angin, sedang di
atasnya duduk seorang anak kecil berambut putih.
Tetapi ketika kuda itu kemudian hilang di balik pepohonan,
Panembahan Alit dan Putut Nantang Pati justru tersenyum
karenanya, sedang Daksina masih saja termangu-mangu.
"Siapa anak itu?" bertanya Daksina. "Aku belum pernah
melihatnya. Bahkan bentuknya agak aneh. Wujudnya kecil,
tetapi rambutnya sudah memutih,"
Panembahan Alit tertawa. Katanya, "Itu adalah salah
seorang prajurit Panembahan Agung. Kau tentu belum pernah
melihatnya. Aku juga belum."
Daksina menjadi semakin tidak mengerti. Apalagi ketika
Panembahan Alit bertanya, "Apakah menurut pengenalanmu,


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rambutnya memang sudah putih?"
"Ya." "Matanya lebar?"
Daksina mengingat-ingat sejenak, lalu, "Ya."
"Hidungnya?" Daksina agak bingung. Dan Panembahan itu berkata,
"Mungkin kita menangkap suatu perbedaan kecil pada bagianbagiannya.
Tetapi tentu tidak pada keseluruhannya."
"Aku tidak mengerti."
"Itulah yang dimaksud dengan ilmu Panembahan Agung.
Semula aku juga terkejut karena tiba-tiba saja aku mendengar
derap kuda itu. Tetapi lihatlah, pintu itu hanya terbuka sedikit.
Apakah menurut dugaanmu, kuda yang setegar itu benarbenar
dapat meloncat keluar dari pintu yang tidak terbuka
seluruhnya itu" Dan apalagi pintu itu adalah pintu yang
rendah." Daksina memandang pintu itu sesaat. Kemudaan
dipandanginya arah kuda itu hilang di balik gerumbulgerumbul.
Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Inikah
yang dimaksud dengan bentuk-bentuk semu itu?"
Putut Nantang Pati pun tertawa sambil berkata, "Ya itulah.
Jangan bingung. Kau harus meyakinkan pasukanmu, bahwa
mereka tidak usah menghiraukan jika di dalam peperangan
nanti ada bentuk-bentuk semu yang kadang-kadang
mengerikan, karena sebenarnya mereka tidak berpengaruh
secara langsung. Di dalam keadaan yang memungkinkan
itulah, kita menghancurkan lawan, selagi orang-orang
Mataram dan Menoreh kebingungan. Tetapi jika kita sendiri
bingung, maka kita tidak akan dapat berbuat apa-apa."
Daksina termangu-mangu sejenak. Dadanya menjadi
berdebar-debar. Apa yang dikatakan dengan bentuk semu itu
memang aneh sekali baginya. Kuda itu adalah kuda yang
sangat bagus. Dan anak yang ada di punggungnya itu adalah
anak yang aneh sekali. "Nah, marilah," berkata Panembahan Alit, "kita harus
segera berada di garis pertahanan. Pasukan Mataram dan
Tanah Perdikan Menoreh itu memang sudah mendekati
daerah ini. Mereka telah melampaui gangguan-gangguan kecil
di perjalanan mereka menuju ke pertahanan ini. Tetapi sudah
pasti, bahwa mereka tidak tahu, bahwa kita sudah menunggu
mereka dan siap menghancurkan mereka dengan cara yang
paling menarik." Daksina mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia
bertanya, "Jadi, pasukan Mataram dan Tanah Perdikan
penoreh itu akan dicengkam oleh bentuk-bentuk semu seperti
itu" Dan kita akan menyerang mereka selagi mereka
kebingungan?" "Ya. Jika datang saatnya mereka menyadari bahwa yang
mereka hadapi sekedar bentuk-bentuk semu, maka jumlah
mereka sudah jauh berkurang."
"Mengerikan," desis Daksina tiba-tiba.
"Kenapa?" "Aku tidak biasa berbuat seperti itu di peperangan. Ada
semacam ketidak-adilan dengan cara itu. Kita akan
membunuh orang-orang yang sedang kebingungan dan tidak
tahu apa yang dikerjakan. Itu bukan sikap jantan."
Tetapi Panembahan Alit dan Putut Nantang Pati tertawa
bersama-sama. Di sela-sela suara tertawanya Panembahan
Alit berkata, "Jangan menyalahkan diri sendiri. Di dalam
perang semua ilmu dapat dipergunakan. Itulah kelebihan kita
dari mereka. Dan bukannya suatu kecurangan bahwa kita
memiliki kelebihan. Baik yang berupa senjata, jumlah orang
dan juga ilmu yang dapat mereka anggap ajaib."
"Aku mengerti. Tetapi perasaanku agak kurang mapan."
"He, Daksina," berkata Panembahan Alit, "barangkali kau
pernah mendengar ceritera tentang usaha penyerbuan Adipati
Unus ke seberang lautan melawan orang-orang berkulit putih.
Nah, apakah juga dapat disebut tidak adil, bahwa orang-orang
berkulit putih itu bersenjatakan petir"
"Petir?" "Tentu bukan petir di langit. Tetapi mereka mempunyai
senjata yang dapat meledak dan menghancurkan lawan dari
jarak yang jauh. Apakah itu juga tidak adil jika lawan mereka
hanya sekedar bersenjata tombak dan pedang seperti kita
sekarang ini?" Daksina tidak menyahut. Pertanyaan itu memang tidak
dapat dijawabnya. Tetapi di dalam relung hatinya yang paling
dalam ia merasakan perbedaan dari kedua persoalan itu.
"Sudahlah," berkata Panembahan Alit, "mumpung masih
ada waktu. Marilah kita pergi. Pada saatnya Panembahan
Agung akan menyusul kita dan akan menyusun pertahanan
yang sempurna. Tetapi sekali lagi aku ingatkan bahwa
pasukanmu harus kau beritahu dengan segera, bahwa jangan
terpengaruh oleh bentuk-bentuk semu yang akan dijumpainya
di peperangan. Kau sudah melihat sendiri contoh dari bentuk
itu." Seperti tanpa disadari, Daksina pun melangkah sambil
menganggukkan kepalanya di sisi Panembahan Alit dan Putut
Nantang Pati. Tetapi tiba-tiba langkah mereka tertegun. Tiba-tiba saja
Daksina merasa sebuah gempa telah mengguncang daerah
itu dan tanah di hadapannya bagaikan runtuh ke dalam jmung
yang dalam. Namun ia segera menguasai diri dan mengerti, bahwa
yang terjadi hanyalah sekedar guncangan pada inderanya
sendiri. Karena itu, maka sambil menarik nafas Daksina berpaling.
Tetapi ia tidak melihat Panembahan Agung, yang dilihatnya
hanyalah beberapa orang pengawal yang berdiri di sebelah
rumah yang baru saja ditinggalkannya.
"Marilah," ajak Panembahan Alit.
Daksina termangu-mangu. Ia melihat sebuah jurang yang
menganga di hadapannya. Meskipun tidak begitu lebar, tetapi
jurang itu sangat dalam. "Marilah," desak Putut Nantang Pati pula. Daksina masih
berdiri di tempatnya. Ia menjadi ragu-ragu untuk melangkah,
karena seakan-akan ia melihat sebuah jurang yang terbentang
di hadapannya. Tetapi agaknya Panembahan Alit tidak menghiraukannya
sama sekali. Meskipun jurang itu sangat dalam, namun
Relikui Kematian 11 Siluman Ular Putih 07 Tombak Raja Akherat Pendekar Lembah Naga 26

Cari Blog Ini