Ceritasilat Novel Online

Relikui Kematian 11

Harry Potter Dan Relikui Kematian Deathly Hallows Karya Jk Rowling Bagian 11


"Tidak-tidak-tidak!" seseorang menjerit. "Tidak-Fred-tidak!"
Dan Percy mengguncang-guncang tubuh saudaranya, Ron berlutut disampingnya, dan mata Fred terbuka dengan hampa, bayangan tawa terakhir masih terukir di wajahnya.
[1] chimaera = monster berkepala singa, bertubuh kambing dan berekor ular yang dapat menghembuskan api (legenda Yunani)
Bab 32 The Elder Wand Tongkat Elder Dunia sudah berakhir, jadi kenapa pertempuran tidak berhenti, kastil jadi terdiam dalam kengerian, dan para pejuang meletakkan senjatanya" Benak Harry terjun bebas, berputar tanpa kendali, tak mampu menangkap hal yang tak mungkin, karena Fred Weasley tak mungkin mati, bukti-bukti yang diberikan oleh semua indranya pasti berbohongLalu sesosok tubuh jatuh melewati lubang ledakan di sisi sekolah, dan kutukan-kutukan berhamburan menuju mereka dari kegelapan, mengenai dinding di belakang kepala-kepala mereka.
"Tiarap!" seru Harry, saat makin lama kutukan semakin banyak menghujani mereka
melewati malam: ia dan Ron menangkap Hermione lalu menariknya bertiarap di lantai, tapi Percy berbaring menutupi Fred, melindunginya dari bahaya, dan saat Harry berteriak,
"Percy, ayo, kita harus bergerak!" ia malah menggelengkan kepala.
"Percy!" Harry melihat bekas airmata membelah debu yang menutupi wajah Ron saat ia meraih bahu kakak laki-lakinya, dan menariknya, tapi Percy bergeming.
"Percy, kau tidak dapat melakukan apapun untuknya. Kita akan-"
Hermione berteriak, dan Harry menoleh, tak perlu bertanya kenapa. Laba-laba yang besar sekali seukuran mobil kecil mencoba memanjat lubang besa
r di dinding: salah satu keturunan Aragog telah bergabung dalam pertempuran.
Ron dan Harry berseru bersamaan: mantra mereka bertabrakan dan monster itu dihajar mundur, kaki-kakinya menyentak-nyentak mengerikan dan menghilang dalam kegelapan.
"Dia membawa teman!" Harry memberitahu yang lain, memandang sepintas tepi kastil melalui lubang di dinding yang diledakkan oleh kutukan-kutukan: lebih banyak laba-laba raksasa memanjat sisi bangunan, lepas dari Hutan Terlarang ke mana para Pelahap Maut pasti telah meranjah. Harry menembakkan Mantra Pembius pada mereka, monster pemimpinnya jatuh terguling menimpa rekannya.
Jadi mereka merangkak menuruni bangunan kembali dan lenyap. Lalu lebih banyak kutukan bertebaran di atas kepala Harry, sangat dekat ia rasakan kekuatan mereka meniup rambutnya.
"Ayo bergerak, SEKARANG!"
Mendorong Hermione maju bersama Ron, Harry membungkuk meraih jenazah Fred dari ketiaknya. Percy, menyadari apa yang sedang Harry coba lakukan, tak lagi menempel pada jenazah, dan membantu; bersama, membungkuk rendah menghindari kutukan melayang-layang dari tanah, mereka menyeret jenazah Fred.
"Di sini," sahut Harry, dan mereka menempatkannya di sebuah ceruk yang tadinya tempat seperangkat baju besi. Harry tak mampu memandang jenazah Fred lebih lama lagi, dan setelah yakin bahwa jenazahnya disembunyikan dengan baik, ia mengejar Ron dan Hermione. Malfoy dan Goyle sudah menghilang, tapi di ujung koridor, yang sekarang penuh debu dan puing-puing, kaca sudah lenyap
dari jendela, ia banyak melihat banyak orang berlari ke sana ke mari, kawan atau lawan ia tak tahu. Membelok di sudut, Percy meraung bagai banteng,
"ROOKWOOD!" dan berlari secepat ia bisa ke arah seorang jangkung yang sedang mengejar sepasang siswa. "Harry, sini!" Hermione berteriak.
Hermione sedang menarik Ron di belakang sebuah hiasan gantung. Mereka kelihatan seperti orang yang sedang bergulat, dan untuk sedetik yang gila, Harry mengira mereka berpelukan lagi; lalu dia melihat bahwa Hermione mencoba menahan Ron, menghentikannya berlari mengikuti Percy.
"Dengarkan aku-DENGAR, RON!"
"Aku ingin menolong-aku ingin membunuh para Pelahap Maut-"
Wajahnya berubah, coreng-moreng debu dan asap, dan ia terguncang oleh kemarahan dan kedukaan.
"Ron, hanya kita yang bisa menghentikan semua ini. Tolong-Ron-kita harus mencari ular itu, kita harus membunuh ular itu!" sahut Hermione.
Tapi Harry tahu apa yang dirasakan Ron; mencari Horcrux tidak memenuhi hasrat untuk membalas dendam; ia juga ingin bertempur, ingin menghukum mereka, orang-orang yang membunuh Fred, dan dia ingin mencari anggota keluarga Weasley yang lain, dan di atas segalanya, ingin yakin bahwa Ginny tidak-tapi dia tidak mengijinkan gagasan itu terbentuk di benaknya.
"Kita akan bertempur," sahut Hermione. "Kita harus mencapai ular itu! Tapi kita tidak boleh kehilangan pandangan, akan apa yang harus kita 1-lakukan!
Hanya kita yang bisa menghentikan ini!"
Hermione sedang menangis juga, ia mengusap wajahnya dengan lengan bajunya yang sobek dan hangus, sambil bicara, menarik napas panjang untuk menenangkan diri, masih memegang Ron erat-erat, dia menoleh pada Harry.
"Kau perlu menemukan di mana Voldemort, karena ularnya ada bersamanya, kan"
Lakukan, Harry-lihat dia!"
Mengapa hal itu tadinya begitu mudah" Karena bekas lukanya membara berjam-jam, ingin memperlihatkan padanya pikiran-pikiran Voldemort" Ia menutup matanya atas perintah Hermione, dan seketika itu juga jeritan-jeritan dan ledakan-ledakan dan suarasuara peperangan terdengar sangat jauh, ia berdiri jauh, jauh sekali dari mereka ...
Ia berdiri di tengah ruangan yang sunyi tapi anehnya ia merasa kenal, dengan kertas dinding yang mengelupas, semua jendela menutup kecuali satu. Suarasuara penyerangan di kastil terdengar sayup-sayup dan jauh. Satu-satunya jendela yang terbuka memperlihatkan cahaya kejauhan di mana kastil itu berdiri, tapi di dalam ruangan gelap kecuali sebuah lampu minyak.
Ia memutar-mutar tongkatnya di antara jemarinya, mengamatinya, pikirannya ada pada ruangan di dalam kastil, ruang rahasia yang hanya dia saja yang mengetahuinya, ruangan -sepe
rti Kamar Rahasia- yang memerlukan kecerdasan, kecerdikan dan rasa ingin tahu untuk bisa menemukannya.. .dia yakin anak itu tidak dapat menemukan diadem tersebut, walau boneka Dumbledore itu sudah berjalan lebih jauh dari apa yang ia perkirakan ... terlalu jauh.
"Tuanku," sahut sebuah suara, putus asa dan tak berdaya. Ia menoleh: Lucius Malfoy duduk di sudut paling gelap, compang-camping, masih ada bekas-bekas hukuman yang ia terima setelah pelarian terakhir anak itu. Satu matanya tertutup dan bengkak. "Tuanku ... Tolong ... anak saya ..."
"Kalau anakmu mati, Lucius, itu bukan salahku. Ia tidak datang bergabung seperti para Slytherin yang lain. Mungkin dia memutuskan untuk berteman dengan Harry Potter""
"Tidak-tidak pernah," bisik Malfoy.
"Kau harus berharap ia tidak akan pernah."
"Apakah-apakah kau tak takut, Tuanku, bahwa Potter bisa saja mati di tangan orang lain selain tanganmu"" tanya Malfoy, suaranya terguncang.
"Tidakkah lebih baik ... ampuni hamba ... lebih bijaksana untuk menghentikan perang ini, masuk ke kastil dan mencarinya s-sendiri""
"Jangan berpura-pura, Lucius. Kau yang ingin agar perang ini berhenti supaya kau bisa tahu apa yang terjadi dengan anakmu. Dan aku tidak perlu mencari Potter. Sebelum malam berlalu, Potter yang akan mencariku."
Voldemort menurunkan pandangan sekali lagi pada tongkat di jemarinya.
Tongkat ini menyusahkannya .. dan hal-hal yang menyusahkan Lord Voldemort harus dibereskan. "Pergi dan jemput Snape." "Snape, T-Tuanku""
"Snape. Sekarang. Aku perlu dia. Ada satu-pelayanan-yang kuperlukan darinya.
Pergi." Ketakutan, sedikit tersandung dalam kegelapan, Lucius meninggalkan ruangan.
Voldemort terus berdiri, memutar-mutar tongkat di jemarinya, memandanginya. "Ini satu-satunya jalan. Nagini," bisiknya, melihat sekeliling, di sana ada seekor ular besar, gemuk tertahan di tengah-tengah udara, bergulung anggun dalam tempat yang telah ia buat, dimantrai, dilindungi, antara kandang dan tangki, berkilat dan transparan. Dengan napas tertahan, Harry menarik diri dan membuka matanya: saat yang bersamaan telinganya diserbu suara jeritan, tangisan, bantingan dan ledakan peperangan.
"Dia ada di Shrieking Shack. Ularnya bersamanya, ular itu dilindungi oleh pelindung sihir di sekelilingnya. Dia baru saja mengirim Lucius Malfoy untuk mencari Snape." "Voldemort duduk di Shrieking Shack"" sahut Hermione, seperti terhina, "Dia tidak-dia bahkan tidak bertempur"""Ia pikir tidak perlu bertempur," sahut Harry, "Ia kira aku yang akan mendatanginya.""Tapi kenapa"""Dia tahu aku mencari Horcruxes-dia menjaga Nagini dekatnya-jelas aku harus pergi padanya agar bisa mendekati ular itu-"
"Baik," sahut Ron sambil menegakkan bahunya, "Jadi kau tak bisa pergi, itu yang dia inginkan, yang dia harapkan. Kau tinggal di sini, jaga Hermione, aku akan pergi dan mendapatkannya-"Harry memotong Ron.
"Kalian berdua tinggal di sini. Aku pergi di bawah Jubah dan akan kembali segera setelah aku-"
"Tidak," sahut Hermione, "lebih masuk akal kalau aku memakai Jubah dan-"
"Jangan coba-coba memikirkannya," geram Ron pada Hermione.
Sebelum Hermione bisa lebih jauh dari, "Ron, aku sama mampunya dengan-"
hiasan gantung di atas tangga di mana mereka berdiri, disobek terbuka. "POTTER!"
Dua Pelahap Maut bertopeng berdiri di sana, tapi sebelum mereka mengacungkan tongkat, Hermione berteriak, "Glisseo!"
Anak-anak tangga di bawah kaki mereka jadi rata seperti seluncuran.
Hermione, Harry, dan Ron meluncur ke bawah, tidak dapat mengendalikan kecepatannya tapi sedemikian cepat sehingga Mantra Bius para Pelahap Maut meleset di atas kepala mereka. Mereka terus meluncur melalui hiasan gantung yang tersembunyi di dasar tangga, berputar di lantai, menubruk dinding.
"Duro!" jerit Hermione, menunjukkan tongkatnya pada hiasan gantung itu, dan terdengar dua derakan yang menyakitkan dan keras saat hiasan itu berubah
menjadi batu dan kedua Pelahap Maut yang mengejar mereka terbentur di sana.
"Minggir!" seru Ron, dan dia, Hermione, dan Harry merapatkan diri di sebuah pintu di saat sekawanan meja berderap riuh rendah melewati mereka, digembalakan oleh Profesor McGo
nagall yang sedang berlari cepat. Dia nampaknya tidak memperhatikan mereka bertiga: rambutnya acak-acakan, ada bekas luka di pipi. Saat ia membelok di tikungan, mereka mendengar ia berteriak,
"CHARGE!" "Harry, pakai Jubah," sahut Hermione, "Jangan pedulikan kami-"
Tapi dia melemparkannya agar menutupi mereka bertiga: cukup besar untuk mereka bertiga, dia ragu apakah ada orang yang bisa melihat kaki-kaki mereka melalui debu yang menutupi udara, batu-batu yang terus berjatuhan, kilatan-kilatan mantra.
Mereka berlari turun di tangga berikutnya, menemkan koridor penuh dengan para petarung. Lukisan di kedua sisi penuh dengan sosok-sosok, meneriakkan saran-saran dan dukungan, di mana para Pelahap Maut bertopeng atau tidak bertarung dengan para siswa dan guru. Dean sudah memperoleh tongkat, dia sedang bertarung dengan Dolohov, Parvati dengan Travers. Harry, Ron, dan Hermione mengacungkan tongkat saat itu juga, siap-siap menyerang, tapi para petarung sedang mengayunkan dan melontarkan manta sedemikian rupa sehingga besar kemungkinan melukai salah satu dari pihak mereka sendiri kalau mereka merapal mantra. Bahkan saat mereka berdiri terpaku, mencari kesempatan untuk bertindak, terdengar suara keras, wheeeeeeeeeeee, dan saat Harry melihat ke atas ia menemukan Peeves membubung ke udara menjatuhkan polong kacang Snargaluff pada para Pelahap Maut, kepala-kepala mereka tiba-tiba ditelan umbi-umbian hijau menggeliat-geliut sepeti cacing-cacing gemuk.
"Argh!" Sekepalan umbi mengenai Jubah di kepala Ron, akar hijau berlendir tergantung di udara saat Ron mencoba melepaskannya.
"Seseorang tak terlihat di sana!" teriak seorang Pelahap Maut menunjuk.
Dean menjadikan seorang Pelahap Maut yang teralih perhatiannya, menjatuhkannya dengan Mantra Pembius: Dolohov mencoba membalas dendam dan Parvati menembakkan Mantra Ikat Tubuh padanya.
"AYO!" Harry berteriak, dan dia, Ron, dan Hermione bersama di bawah Jubah lebih rapat lagi, kepala dirundukkan di antara para petarung, terpeleset sedikit di kolam cairan Snargaluff, menuju ke tangga marmer ke Pintu Masuk.
"Aku Draco Malfoy. Aku Draco,aku di pihakmu!"
Draco sedang di atas, memohon pada seorang Pelahap Maut bertopeng. Harry meMingsankan Pelahap Maut itu saat mereka lewat: Malfoy mencari-cari, sambil berseriseri, mencari penolongnya, dan Ron meninjunya dari bawah Jubah. Malfoy terjengkang menindih Pelahap Maut yang tadi, mulutnya berdarah, benar-benar melongo.
"Dan itu kali kedua kami menyelamatkan hidupmu malam ini, dasar bajingan bermuka dua!" Ron berteriak.
Lebih banyak lagi yang sedang bertempur di mana-mana, di tangga dan di Pintu Masuk, Pelahap Maut di mana-mana yang Harry lihat: Yaxley dekat pintu depan bertarung dengan Flitwick, seorang Pelahap Maut bertopeng berduel dengan Kingsley tepat di sisi mereka. Siswa-siswa berlarian ke segala arah, beberapa membawa atau menyeret teman yang luka. Harry mengarahkan Mantra Pembius pada Pelahap Maut bertopeng, luput tapi nyaris kena Neville, yang muncul entah dari mana dan melepas sepemelukan Venomous Tentacula yang berjungkir balik dengan gembira di sekitar Pelahap Maut terdekat dan mulai menggulungnya.
Harry, Ron, dan Hermione berjalan cepat ke arah tangga pualam: pecahan kaca di kiri mereka, jam pasir Slytherin yang menandai poin asrama, batu jamrudnya berceceran di mana-mana, sehingga orang terpeleset dan berjalan terhuyunghuyung saat mereka berlari di situ. Dua sosok jatuh dari balkon di atas saat mereka sampai ke atas dan Harry melihat samar-samar seekor binatang berkaki empat berlari cepat melintas Aula untuk menancapkan giginya pada yang jatuh.
"TIDAK!" jerit Hermione dan dengan ledakan yang menulikan dari tongkatnya, Fenrir Greyback terlempar ke belakang dari tubuh Lavender Brown yang gerakannya sudah lemah. Fenrir menabrak sandaran tangga marmer dan sedang berjuang untuk berdiri kembali. Lalu dengan kilasan cahaya putih dan suara berderak, sebuah bola kristal jatuh dari atas kepalanya, dia jatuh ke tanah dan tidak bergerak lagi.
"Aku masih punya lagi," jerit Profesor Trelawney dari atas pegangan tangga.
"Lebih banyak untuk siapapun yang mau!
Sini-" Dengan gerakan seperti servis tenis, ia mengeluarkan bola kristal yang besarnya luar biasa dari dalam tasnya, mengayunkan tongkatnya di udara dan menyebabkan bola itu meluncur melintas aula dan pecah kena jendela. Pada saat yang sama, pintu depan dari kayu yang berat tiba-tiba terbuka dan lebih banyak lagi laba-laba raksasa memaksa masuk ke Pintu Masuk.
Teriakan ngeri memecah udara: yang sedang bertempur pun bertemperasan.
Pelahap Maut maupun penghuni Hogwarts sama saja, dan kilasan sinar merah dan hijau beterbangan di tengah-tengah monster-monster yang datang, mengerikan, lebih mengerikan dari apa yang ada.
"Bagaimana kita bisa keluar"" pekik Ron di antara jeritan-jeritan, tapi sebelum Harry atau Hermione menjawab, mereka terpaksa menepi: Hagrid telah datang dari tangga menenteng payung pink berbunga.
"Jangan sakiti mereka, jangan sakiti mereka!" ia berteriak.
"HAGRID, JANGAN!"
Harry lupa segalanya: ia berlari secepat ia bisa keluar dari Jubah, lari membungkuk untuk menghindari Kutukan-kutukan yang membuat Aula terang benderang.
"HAGRID, KEMBALI!"
Tapi Harry bahkan belum setengah jalan saat ia melihatnya terjadi: Hagrid lenyap di antara para laba-laba, yang berlari ke sana kemari, dengan gerakan mengerumuni, labalaba itu mundur di bawah serangan gencar mantra, Hagrid terkubur di tengahnya.
"HAGRID!" Harry mendengar seseorang memanggil namanya, tak tahu kawan atau lawan dia tak peduli: ia berlari secepat ia bisa di tanah gelap dan laba-laba itu pergi dengan mangsanya, dan ia tidak bisa melihat Hagrid sama sekali.
"HAGRID!" Harry mengira dia bisa menciptakan tangan besar dari tengah kerumunan labalaba; tapi saat ia mengejar mereka, langkahnya terhenti dengan adanya kaki yang besar terayun dari kegelapan membuat bumi tempat ia berdiri bergetar. Harry melihat ke atas: seorang raksasa berdiri di hadapannya, tinggi duapuluh kaki, kepalanya tersembunyi di balik bayangan, tak ada selain bahwa dia seperti pohon, rambut disinari cahaya dari pintu kastil. Dengan satu gerakan brutal, raksasa itu menghunjamkan tinju pada jendela di atas Harry, dan pecahan kaca menghujani Harry, memaksanya mundur dengan lindungan pintu.
"Oh-" jerit Hermione, saat dia dan Ron mencapai Harry dan memandang ke atas ke raksasa yang sedang mencoba menangkap orang dari jendela di atas.
"JANGAN!" Ron berteriak, menangkap tangan Hermione yang sudah mengacungkan tongkatnya. "Pingsankan dia dan dia akan menghancurkan
setengah kastil-" "HAGGER""
Grawp datang dengan tiba-tiba dari sudut kastil; baru sekarang Harry menyadari bahwa Grawp memang raksasa berukuran mini. Monster yang besar sekali itu sedang mencoba menghancurkan orang-orang di lantai atas, melihat sekeliling dan menggeram. Undakan batu bergetar saat raksasa itu menghentakkan kaki pada sebangsanya yang lebih kecil dan mulut miring Grawp terbuka, memperlihatkan gigi sebesar setengah batu bata dan kuning, lalu mereka saling menyerang dengan kebuasan singa.
"LARI!" raung Harry; malam itu dipenuhi oleh teriakan-teriakan dan pukulan-pukulan mengerikan saat kedua raksasa itu bergulat, Harry menangkap tangan Hermione dan melangkahi undakan, Ron mengikuti. Harry tak kehilangan harapan untuk menemukan dan menyelamatkan Hagrid; dia lari begitu cepatnya hingga mereka sudah setengah jalan ke Hutan sebelum mereka sadar.
Udara di sekitarnya membeku: Harry tercekat dan dadanya memadat. Bentuk-bentuk bergerak dalam kegelapan, sosok-sosok berputar hitam pekat, bergerak dalam gelombang besar menuju kastil, wajahnya bertudung, napasnya gemeretak
Ron dan Hermione mendekat ke sampingnya saat suara pertempuran di belakang tiba-tiba terhenti, mati, karena keheningan hanya bisa diawa oleh Dementor, turun di malam hari...
"Ayo, Harry!" sahut suara Hermione, dari suatu tempat yang rasanya jauh sekali. "Patronus, Harry, ayo!"
Ia mengangkat tangannya, tapi rasa keputusasaan menyebar dalam dirinya: Fred sudah pergi, Hagrid pasti sekarat atau bahkan sudah mati: berapa banyak lagi yang terbaring mati yang dia belum tahu: ia merasa nyawanya seperti sudah setengah meninggalkan tubuhnya ...
"HARRY, AYO!" pekik Hermione.
Seratus Dementor mendekat, meluncur menuju mereka, menghisap jalan keputusasaan Harry, seperti janji untuk berpesta ...
Ia melihat anjing terrier perak milik Ron meluncur ke udara, bekelip lemah dan berlalu: ia melihat berang-berang kepunyaan Hermione berputar di udara dan menghilang, dan tongkatnya sendiri bergetar di tangannya, nyaris ia menyambut pelupaan yang sedang datang, janji akan ketiadaan, tak ada rasa ...
Lalu seekor kelinci perak, seekor babi hutan, dan seekor rubah melayang
melampaui kepala Harry, Ron, dan Hermione: Dementor-dementor itu mundur sebelum makhlukmakhluk itu mendekat. Tiga orang datang dari kegelapan, berdiri di samping mereka, tongkat mereka terulur, terus merapal Patronus mereka: Luna, Ernie, dan Seamus.
"Iya, betul," sahut Luna memberi semangat, seperti saat mereka ada di Kamar Kebutuhan dan ini hanyalah latihan mantra untuk Laskar Dumbledore, "Itu betul, Harry ... ayo, pikirkan sesuatu yang membahagiakan ..."
"Sesuatu yang membahagiakan"" sahutnya, suaranya tercekat.
"Kami masih di sini," ia berbisik, "kami masih bertempur. Ayo ..."
Lalu ada percikan api perak, lalu cahaya berkelap-kelip, lalu dengan usaha yang teramat keras yang pernah dilakukan Harry, seekor rusa jantan meluncur keluar dari ujung tongkat Harry. Rusa jantan itu maju miring, dan sekarang para Dementor benar-benar tercerai berai, segera saja malam menjadi sejuk kembali, tapi suara-suara pertempuran memekakkan telinga.
"Tak cukup rasa terima kasih," sahut Ron masih gemetar, menoleh pada Luna, Ernie, dan Seamus, "Kalian menyelamatkan-"
Dengan raungan dan getar seperti gempa bumi, satu raksasa lain datang keluar dari kegelapan dari arah Hutan menjinjing pentungan yang tingginya melebihi siapapun.
"LARI!" Harry berteriak lagi, tapi yang lain tka perlu diingatkan: mereka bertemperasan, dan tak terlalu cepat karena kaki lebar makhluk itu jatuh berdebam tepat di mana tadi mereka berdiri. Harry menoleh, Ron dan Hermione mengikutinya, tapi ketiga yang lain telah menghilang kembali ke kancah pertempuran.
"Ayo keluar dari sini!" teriak Ron, saat raksasa itu mengayunkan pentungannya lagi, dan bunyinya bergema memintasi malam, melintasi tanah di mana kilasankilasan merah dan hijau menerangi kegelapan.
"Dedalu Perkasa!" sahut Harry. "Ayo!"
Ia membentenginya tinggi-tinggi, menyimpannya di ruangan kecil yang tak dapat ia lihat sekarang: pikiran tentang Fred dan Hagrid, dan ketakutannya akan orang-orang yang ia cintai yng ada di dalam dan luar kastil, semua harus menunggu, karena mereka harus berlari, harus mencapai ular itu, dan Voldemort karena itu seperti kata Hermione, satusatunya jalan untuk mengakhirinya ...
Ia berlari, setengah percaya bahwa ia bisa meninggalkan kematian sendiri, mengacuhkan kilasan cahaya dalam kegelapan di sekeliling, dan suara danau yang berombak bagai laut, dan Hutan Terlarang berbunyi keriat-keriut walau malam itu tak berangin, melalui tanah yang nampaknya bangkit dan memberontak, ia lari lebih cepat dari yang pernah ia lakukan dalam hidupnya, dan dialah yang pertama melihat pohon besar itu, Dedalu yang melindungi rahasia di akarnya dengan dahan-dahannya yang bagai cambuk.
Terengah-engah Harry berlari lebih pelan, menyusuri dahan-dahan Dedalu yang mengayukan pukulan, memandang tajam lewat kegelapan melalui cabang-cabangnya yang tebal, mencoba melihat tonjolan pada pohon tua yang akan melumpuhkannya. Ron dan Hermione berhasil mengejarnya, Hermione benarbenar kehabisan napas, dia tak bisa bicara.
"Bagai-bagaimana kita masuk"" sahut Ron terengah-engah, "Aku bisamelihatnya- kalau kita harus-Crookshanks lagi-"
"Crookshanks"" cuit Hermione, membungkuk mencengkeram dadanya.
"Apa kau penyihir, atau apa""
" Oh-betul-yeah-"
Ron melihat sekeliling, lalu mengarahkan tongkatnya pada ranting di tanah dan berkata, "Winggardium Leviosa!". Ranting itu melayang dari tanah, berputar di udara seperti diputarkan oleh angin, lalu meluncur tepat pada batang di mana dahan-dahan Dedalu memukul. Ranting itu menusuk dekat akar, dan saat itu juga pohon yang menggeliat itu terdiam.
"Sempurna," sahut Hermione. "Tunggu."
Untuk sedetik, saat dentuman
dan ledakan pertempuran mengisi udara, Harry ragu. Voldemort menginginkan dia melakukannya, ingin ia datang ...
apakah dia menuntun Ron dan Hermione ke dalam perangkap"
Tapi kenyataan nampaknya menutupi segalanya, kejam dan perih: satu-satunya jalan untuk maju adalah membunuh ular itu, dan ular itu berada di mana Voldemort ada, dan Voldemort ada di ujung terowongan ...
"Harry, kami datang, ayo masuk," sahut Ron, mendorongnya maju.
Harry turun ke jalan masuk tersembunyi di akar pohon. Lebih sesak dari waktu terakhir mereka masuk ke situ. Terowongan itu berlangit-langit rendah: empat
tahun yang lalu mereka harus meringkuk untuk maju, sekarang terpaksa merangkak. Harry masuk pertama, tongkatnya bercahaya, ia bersiaga akan adanya rintangan setiap saat, tapi tak ada. Mereka bergerak dalam kesunyian, pandangan Harry terpancang pada cahaya di ujung tongkat yang digenggamnya.
Akhirnya terowongan sampai pada tanjakan dan Harry melihat cahaya keperakan di depan. Hermione menyentuh pergelangan kakinya.
"Jubah," Hermione berbisik, "Pakai Jubahnya!"
Harry meraba-raba di punggungnya, dan Hermione menjejalkan buntalan kain licin itu ke tangan Harry yang kosong. Dengan kesulitan, ia mengerudungkan pad adirinya, bergumam 'Nox' memadamkan cahaya tongkatnya, dan meratakan Jubah di tangan dan di lututnya sesunyi mungkin, semua indranya tegang, bersiaga tiap saat bisa ketahuan, bersiaga mendengar suara dingin dan jernih, bersiaga melihat kilasan cahaya hijau.
Lalu ia mendengar suara yang datang dari ruangan yang tepat di hadapan mereka, hanya dihalangi oleh, nampaknya bukaan terowongan di ujung terowongan telah dihalangi oleh sesuatu yang seperti peti mati. Nyaris tak berani bernapas, Harry maju ke bukaan dan mengintip ke celah kecil di antara peti dan dinding.
Ruangan itu remang-remang, tapi dia bisa melihat Nagini, bergelung seperti ular bawah air, aman dalam kurungannya yang sudah dimantrai, terapung tanpa penopang di tengah udara. Ia bisa melihat tepi meja dan sebuah tangan putih berjari panjang memainkan tongkat. Lalu Snape bicara, dan jantung Harry nyaris terlepas: Snape hanya beberapa inci jauhnya dari tempat ia meringkuk bersembunyi.
"...Tuanku, perlawanan mereka buruk-"
"-dan sama saja tanpamu," sahut Voldemort, dengan suaranya yang tinggi dan jernih. "Penyihir dengan ketrampilan sepertimu, Severus, kupikir kau tak akan membuat banyak perubahan. Kita hampir tiba ... hampir."
"Biarkan aku menemukan anak itu. Biarkan aku membawa Potter. Aku tahu aku bisa menemukannya, Tuanku. Please."
Snape berjalan melewati celah, dan Harry begerak mundur sedikit, menjaga matanya tetap pada Nagini, bertanya-tanya apakah ada mantra yang bisa menembus perlindungan ular itu, tapi dia tak dapat memikirkannya. Satu percobaan saja gagal, sama saja dengan dia membuka rahasia di mana ia berada.
Voldemort berdiri, Harry dapat melihatnya sekarang, melihat matanya yang merah, wajahnya yang rata seperti ular, kepucatannya yang bersinar di ruangan setengah gelap.
"Aku ada masalah, Severus," sahut Voldemort pelan.
"Tuanku"" sahut Snape.
Voldemort mengangkat Elder Wand, memegangnya dengan lembut, mirip sekali dengan tongkat konduktor. "Mengapa tongkat ini tidak bisa berfungsi untukku, Severus""
Dalam kesunyian Harry membayangkan ia bisa mendengar ular itu mendesis pelan saat ia bergelung, atau apakah itu suara keluhan Voldemort yang berdesis"
"Tu-Tuanku"" tanya Snape hampa. "Aku tak mengerti. Anda-Anda telah menampilkan sihir yang istimewa dengan tongkat itu."
"Tidak," sahut Voldemort. "Aku hanya menampilkan sihir yang biasa. Aku memang istimewa, tetapi tongkat ini... tidak. Tongkat ini tidak menampilkan keistimewaan yang dijanjikan.Aku tidak merasakan perbedaan antara tongkat ini dengan tingkat yang kudapat dari Ollivander."
Nada suara Voldemort seperti merenung, tenang, tapi bekas luka Harry mulai berdenyut, nyeri sedang dibangun di keningnya dan dia bisa merasakan Voldemort mengendalikan kemarahan di dalamnya.
"Tak ada perbedaan," sahut Voldemort lagi.
Snape tidak bicara. Harry tidak dapat melihat wajahnya: ia ingin tahu apakah Snape bisa mengendus adanya bahaya
, dan mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkan tuannya.
Voldemort mulai bergerak sekeliling ruangan. Harry kehilangan pandangan selama beberapa detik saat Voldemort berputar, berbicara dengan suara yang terukur, saat nyeri dan kemarahan memuncak di kepala Harry.
"Aku sudah berpikir lama dan keras, Severus, ... tahukah kau kenapa aku memanggilmu kembali dari pertempuran""
Dan untuk sesaat Harry bisa melihat sosok Severus: matanya terpancang pada ular yang sedang bergelung di kandang bermantra.
"Tidak, Tuanku, tapi kumohon ijinkan aku kembali. Biarkan aku menemukan Potter."
"Kau kedengaran seperti Lucius. Tak ada di antara kalian yang mengerti Potter sepertiku. Dia tidak usah dicari. Potter yang akan datang padaku. Aku tahu kelemahannya, kau tahu, satu kesalahannya yang besar. Ia akan benci melihat orang lain gugur di sekitarnya, tahu bahwa itu terjadi untuknya. Ia akan menghentikannya dengan segala cara. Ia akan datang."
"Tapi, Tuanku, dia bisa saja tak sengaja terbunuh oleh orang lain selain dirimu-"
"Perintahku untuk para Pelahap Maut sudah jelas. Tangkap Potter. Bunuh temannyamakin banyak makin baik-tapi jangan bunuh dia."
"Tapi aku berbicara tentangmu, Severus, bukan Harry Potter. Kau sangat berharga untukku. Sangat berharga."
"Tuanku tahu aku hanya ingin melayanimu. Tapi-biarkan aku pergi dan mencari anak itu, Tuanku. Biarkan kubawa dia padamu. Aku tahu aku bisa-" "Sudah kukatakan, tidak!" sahut Voldemort dan Harry melihat kilatan merah pada matanya saat ia menoleh lagi, dan kibasan jubahnya seperti ular merayap, dan ia merasaka ketidaksabaran Voldemort di bekas lukanya yang membara.
"Perhatianku pada saat ini Severus, adalah apa yang akan terjadi jika aku bertemu dengan anak itu."
"Tuanku, kukira tak akan ada pertanyaan, tentulah-" "-tapi memang ada pertanyaan, Severus. Memang ada."
Voldemort berhenti, dan Harry dapat melihatnya lagi saat dia menyelipkan Elder Wand di antara jari-jarinya yang putih, memandang Snape.
"Mengapa kedua tongkat yang kugunakan gagal saat aku arahkan pada Harry Potter"" "Aku-aku tak bisa menjawabnya, Tuanku." "Tak dapatkah""
Tikaman kemarahan terasa seperti sebuah paku ditancapkan ke kepala Harry: ia memaksakan kepalan tinjunya ke dalam mulut agar ia tidak berteriak kesakitan.
Ia menutup matanya, dan tiba-tiba ia menjadi Voldemort, melihat wajah Snape yang pucat.
"Tongkatku yang dari kayu yew itu melakukan apapun yang kuminta, Severus, kecuali membunuh Harry Potter. Dua kali ia gagal. Ollivander mengatakan
padaku di bawah siksaan tentang dua inti tongkat. Aku diminta menggunakan tongkat orang lain. Aku melakukannya, tetapi tongkat Lucius malah hancur waktu bertemu Potter."
"Aku-aku tak punya penjelasannya, Tuanku."
Snape tidak sedang melihat pada Voldemort sekarang. Matanya yang gelap masih terpancang pada ular yang melingkar dalam sangkar pelindungnya.
"Aku mencari tongkat ketiga, Severus. The Elder Wand, Tongkat Takdir, Tongkat Kematian. Aku mengambilnya dari tuannya terdahulu. Aku mengambilnya dari kuburan Albus Dumbledore."
Dan sekarang Snape memandang Voldemort, dan wajah Snape nampak seperti topeng kematian [Death Mask-topeng kematian, adalah cetakan yang dibuat dari plester/gips/semen diambil dari wajah orang mati. Bukan seutuhnya istilah Inggris karena ini juga digunakan di Paris untuk mencatat wajah orang tak dikenal yang tenggelam di sungai Seine. Dengan demikian, wajah Snape diibaratkan seperti topeng kematian, sangat pucat/putih dan tak ada gerakanpersis seperti topeng kematian. Diambil dari HP Lexicon] Wajahnya putih pualam dan kaku, sehingga saat dia bicara, suatu kejutan melihat ada orang hidup di balik mata yang kosong itu.
"Tuanku-biarkan aku mencari anak itu-" "Semalaman ini, saat aku berada di tepi kemenangan, aku duduk di sini," sahut Voldemort, suaranya hanya lebih keras dari bisikan, "berpikir, berpikir, kenapa Elder Wand menolak apa yang harus dia lakukan, menolak melakukan seperti kata legenda, ia harus mau melakukan apa yang diinginkan oleh pemilik yang berhak ... dan kupikir aku tahu apa jawabannya."
Snape tak menjawab. "Mungkin kau sudah tahu jawab
annya" Kau pandai, Severus. Kau sudah menjadi pelayan yang baik dan setia, dan aku menyesali apa yang harus terjadi."
"Tuanku-" "Elder Wand tidak dapat melayaniku dengan baik, Severus, karena aku bukan tuannya yang sejati. Elder Wand adalah milik penyihir yang membunuh pemiliknya yang terakhir. Kau pembunuh Albus Dumbledore. Selagi kau masih hidup, Severus, Elder Wand tak bisa sepenuhnya menjadi kepunyaanku."
"Tuanku!" protes Snape, mengangkat tongkatnya.
"Tentu tidak bisa dengan cara lain," sahut Voldemort. "Aku harus menguasai tongkat itu, Severus. Kuasai tongkat, dan aku akan menguasai Potter akhirnya."
Dan Voldemort membelah udara dengan Elder Wand. Tongkat itu seperti tidak melakukan apa-apa pada Snape yang untuk sedetik berpikir dia telah mendapat pengampunan: tapi kemudian tujuan Voldemort menjadi jelas. Kandang ular itu berputar di udara dan sebelum Snape bisa berbuat apapun selain berteriak, ular itu sudah melingkarinya, kepala dan bahu, dan Voldemort berbicara dalam Parseltongue.
"Bunuh." Jeritannya mengerikan. Harry melihat wajah Snape kehilangan sedikit warna yang tersisa, wajahnya memutih saat mata hitamnya melebar saat taring ular itu menghunjam lehernya, saat ia gagal mendorong kandang bermantra itu, saat lututnya menyerah, dan ia jatuh ke lantai.
"Aku menyesalinya," sahut Voldemort dingin.
Ia pergi; tak ada rasa sedih padanya, tak ada penyesalan. Ini sudah waktunya meninggalkan gubuk dan mengambil alih, dengan tongkat yang sekarang akan mengerjakan apapun yang dimintanya. Ia mengacungkannya pada kandang yang berisi ular, mengarah ke atas, melepaskan Snape yang jatuh menyamping di lantai, darah mengalir dari luka di lehernya. Voldemort berayun keluar dari ruangan tanpa memandang ke belakang lagi, dan ular besarnya melayang di belakangnya dalam perlindungannya.
Kembali ke terowongan dan kembali ke pikirannya sendiri, Harry membuka matanya: ia berdarah, menggigit buku jarinya sedemikian agar ia tak berteriak.
Sekarang ia melihat celah antara peti dan tembok, mengamati kaki dengan sepatu boot hitam gemetar di lantai.
"Harry," Hermione berbisik di belakangnya, tapi Harry sudah mengacungkan tongkatnya pada peti yang menghalangi pandangan. Peti itu terangkat satu inci dan bergerak ke samping tanpa suara. Sediam mungkin ia menyelinap ke dalam ruangan.
Ia tak tahu mengapa ia melakuan hal ini, mengapa ia mendekati orang yang sedang sekarat ini: ia tidak tahu apa yang ia rasa saat melihat wajah putih Snape, dan jemari yang mencoba menghentikan luak berdarah di lehernya. Harry melepaskan Jubah Gaib dan melihat ke bawah, melihat pada orang yang ia benci, orang yang mata hitamnya melebar menemukan Harry saat ia berusaha bicara.
Harry membungkuk di atasnya: dan Snape menangkap bagian depan jubahnya dan menariknya mendekat. Sebuah suara serak berdeguk mengerikan keluar dari kerongkongan Snape. "Ambil... itu ... Ambil... itu."
Sesuatu yang lebih dari darah merembes keluar dari Snape. Biru keperakan, bukan gas bukan cairan, memancar dari mulutnya, dari telinganya, dari matanya, dan Harry tahu itu apa, tapi Harry tidak tahu apa yang harus ia lakukanSebuah tabung tercipta dari udara, dijejalkan pada tangan gemetar Harry oleh Hermione. Harry menampung bahan keperakan itu ke dalam tabung dengan tongkatnya. Saat tabung itu penuh, dan Snape terlihat seakan tak ada darah tersisa lagi padanya, cengkeramannya pada jubah Harry mengendur.
"Pandang ... aku," ia berbisik.
Mata yang hijau beradu dengan yang hitam, tapi setelah sedetik sesuatu di kedalaman dari pasangan yang gelap nampaknya lenyap: meninggalkannya kaku, hampa dan kosong. Tangan yang memegang Harry bergedebuk di lantai, dan Snape tak bergerak lagi.
Bab 33 Prince's Tale Kisah Pangeran Harry tetap berlutut di samping Snape, hanya menatapnya, hingga sebuah suara melengking dingin berbicara sangat dekat pada mereka, sampai-sampai Harry terlonjak berdiri, mencengkeram tabungnya erat-erat, mengira Voldemort telah kembali ke ruangan itu.
Suara Voldemort bergaung dari dinding, dari lantai, dan Harry menyadari bahwa dia berbicara pada Hogwarts dan daerah sekitarnya, agar pendu
duk Hogsmeade dan semua yang masih bertempur di kastil akan mendengarnya sejelas bila ia berdiri di samping mereka, napasnya di belakang leher, mengembuskan kematian.
"Kalian telah bertempur," sahut suara melengking dingin itu, "dengan gagah berani. Lord Voldemort paham caranya menghargai keberanian."
"Tapi kalian menderita kekalahan yang besar. Kalau kalian bertahan, tetap menolakku, kalian akan mati semuanya, satu persatu. Aku tak menginginkan ini terjadi. Setiap tetes darah sihir yang tertumpah adalah suatu kehilangan, suatu penghamburan."
"Lord Voldemort bermurah hati. Aku perintahkan pasukanku untuk mundur sekarang juga." "Kalian punya waktu satu jam. Perlakukan yang mati secara bermartabat. Rawatlah lukalukamu."
Aku berbicara sekarang, Harry Potter, langsung padamu. Kau mengijinkan teman-temanmu mati untukmu, daripada menghadapiku sendiri. Aku akan menunggumu selama satu jam di Hutan Terlarang. Jika di akhir masa itu kau tidak datang padaku, tidak menyerahkan dirimu, maka pertempuran akan dimulai lagi. Saat itu aku sendiri akan terjun di kancah pertempuran, Harry Potter, dan aku akan menemukanmu, dan aku akan menghukum tiap laki-laki, perempuan, maupun anak kecil yang mencoba menyembunyikanmu dalam waktu satu jam. Satu jam."
Baik Ron maupun Hermione menggelengkan kepala dengan keras, menatap Harry. "Jangan dengarkan dia," sahut Ron.
"Kau akan baik-baik saja," ujar Hermione. "Mari-mari kita kembali ke kastil, jika ia kembali ke Hutan Terlarang kita harus memikirkan rencana baru-"
Ia memandang sekilas pada jenazah Snape, lalu buru-buru kembali ke terowongan. Ron mengikutinya. Harry melipat Jubah Gaibnya lalu menatap Snape. Dia tak tahu apa yang harus dia rasakan, kecuali keterkejutannya atas bagaimana Snape dibunuh, dan alasan mengapa itu terjadi.
Mereka merangkak kembali melalui terowongan, tidak ada satupun yang berbicara, dan Harry ingin tahu apakah Ron dan Hermione masih bisa mendengar suara Voldemort berdering-dering di kepala mereka, seperti dirinya.
Kau mengijinkan teman-temanmu mati untukmu, daripada menghadapiku sendiri. Aku akan menunggumu selama satu jam di Hutan Terlarang ... satu jam ...
Gumpalan-gumpalan kecil mengotori halaman berumput di depan kastil. Mungkin hanya kira-kira sejam atau sekitarnya menjelang fajar, tapi keadaannya gelap gulita. Ketiganya bergegas melintasi pijakan batu. Sebelah bakiak, seukuran perahu kecil tergeletak di depan mereka. Tak ada tanda-tanda Grawp ataupun penyerangnya.
Kastil itu sunyi secara tak wajar. Tidak ada cahaya atau sinar, tak ada letusan, jeritan atau teriakan. Ubin besar di Pintu Masuk telantar ternoda darah. Batubatu jamrud masih berserakan di lantai bersama potongan marmer dan pecahan kayu. Sebagian pegangan tangga luluh lantak.
"Ke mana semua orang"" bisik Hermione.
Ron memimpin jalan ke Aula Besar. Harry berhenti di pintu.
Meja asrama lenyap dan ruangan penuh sesak. Mereka yang selamat berdiri berkelompok, tangan-tangan mereka saling berangkulan. Mereka yang terluka dirawat dipanggung yang didirikan Madam Pomfrey dan sekelompok sukarelawan.
Firenze ada di antara yang terluka, panggulnya mengucurkan darah, gemetar di mana ia dibaringkan, tak mampu berdiri.
Mereka yang tewas dibaringkan berjajar di tengah aula. Harry tidak bisa melihat jenazah Fred karena dikelilingi keluarganya. George berlutut dekat kepalanya, Mrs Weasley melintang di dada Fred, badannya berguncang, Mr Weasley mengusap rambut Mrs Weasley, air matanya mengalir menuruni pipinya.
Tanpa bicara pada Harry, Ron dan Hermione menjauh. Harry melihat Hermione mendekati Ginny yang wajahnya bengkak, dan memeluknya. Ron bergabung dengan Bill dan Fleur, Percy mengalungkan lengannya di pundak Ron. Saat Ginny dan Hermione bergerak mendekati keluarga, Harry bisa melihat dengan jelas jenazah yang terbaring dekat Fred: Remus dan Tonks, pucat dan diam, nampak damai seperti yang sedang tidur di bawah langit-langit yang disihir gelap.
Aula Besar terasa lebih kecil, mengerut, saat Harry berbalik membelakangi pintu. Ia tidak bernapas. Dia tidak tahan melihat jenazah lain, agar bisa melihat siapa lagi yang mati untuk
nya. Ia tidak bisa bergabung dengan keluarga Weasley, tidak bisa menatap mereka, seandainya saja ia sudah menyerahkan diri, Fred tidak akan mati...
Ia berbalik dan lari di tangga marmer. Lupin, Tonks ... keinginannya agar iatidak bisa merasakan ... ia berharap bisa merenggut jantungnya, bagian-bagian dalam tubuhnya, semua yang menjerit di dalam dirinya ...
Kastil itu benar-benar kosong, bahkan para hantu nampaknya bergabung berkabung di Aula Besar. Harry berlari tanpa berhenti, menggenggam erat tabung yang berisi pikiran terakhir Snape, ia tidak melambat hingga ia mencapai gargoyle batu penjaga kantor Kepala Sekolah.
"Kata kunci""
"Dumbledore!" sahut Harry tanpa berpikir, karena Dumbledore-lah yang ingin ia temui, dan ia terkejut ketika gargoyle itu minggir, memperlihatkan tangga spiral di belakangnya ...
Ketika Harry menghambur masuk ke kantor bundar, ia menemukan perubahan.
Lukisanlukisan yang tergantung di dinding kosong. Tidak satupun Kepala Sekolah tinggal untuk bertemu dengannya: semua, nampaknya, semua pergi, lewat lukisan-lukisan yang berjajar di kastil, sehingga mereka bisa melihat dengan jelas apa yag terjadi.
Harry memandang tanpa harapan pada bingkai yang ditinggalkan Dumbledore, digantungkan tepat di belakan kursi Kepala Sekolah, lalu Harry membelakanginya.
Pensieve disimpan di lemari seperti biasanya. Harry mengangkatnya ke atas meja dan menuangkan memori Snape ke dalam baskom lebar dengan huruf rune di sekitarnya. Keluar dari kepala seseorang mungkin melegakan ... bahkan apa yang ditinggalkan oleh Snape mungkin tidak lebih buruk dari pikirannya sendiri.
Memori-memori itu berputar, putih keperakan dan aneh, tanpa ragu, dengan rasa nekat, berharap ini akan menenangkan kepedihan yang menyiksa, Harry terjun.
Ia jatuh seketika di cahaya mentari, dan kakinya menemukan landasan yang hangat. Waktu ia meluruskan diri, nampak bahwa ia berada di taman bermain yang nyaris telantar. Sebuah cerobong besar mendominasi pemandangan. Dua gadis kecil berayunayun, dan seorang anak laki-laki kurus mengamati mereka dari belakang semak. Rambut hitamnya terlalu panjang dan bajunya tak sepadan sehingga kelihatan seperti disengaja: jeans yang terlalu pendek, mantel yang terlalu besar dan bulukan, nampaknya kepunyaan orang dewasa, dan sebuah kemeja pelapis yang aneh.
Harry bergerak mendekati si anak laki-laki. Snape terlihat berumur 9 atau 10
tahun, tidak lebih, pucat, kecil, kurus. Ada kerakusan yang tidak dapat disembunyikan di wajahnya yang kurus saat ia mengamati gadis yang lebih muda berayun lebih tinggi dan lebih tinggi lagi dari saudaranya.
"Lily, jangan!" jerit yang lebih tua.
Tapi gadis itu membiarkan ayunan berayun hingga ke titik lebih tinggi dan melayang ke udara, secara harafiah benar-benar terbang, melempar diri ke arah langit dengan tawa lepas, dan bukannya jatuh di aspal malah dia meluncur seperti pemain trapeze, tetap di udara terlalu lama, mendarat sangat halus.
"Mummy bilang jangan!"
Petunia menghentikan ayunannya dengan menarik tumit sandalnya di tanah, membuat suara berderit, melompat, tangan di pinggul.
"Mummy bilang kau tidak diijinkan begitu, Lily!"
"Tapi aku nggak apa-apa," sahut Lily masih terkekeh, "Tuney, lihat ini. Lihat apa yang bisa kulakukan." Petunia memandang berkeliling. Taman bermain itu sudah ditinggalkan orang,
kecuali mereka berdua, dan walau gadis-gadis itu tidak tahu, Snape. Lily memungut bunga jatuh di dekat semak-semak di mana Snape bersembunyi.
Petunia maju, jelas terbagi antara rasa ingin tahu dan ketidaksetujuan. Lily menunggu hingga Petunia cukup dekat untuk melihat dengan jelas, lalu membuka telapak tangannya. Bunga diletakkan di situ, kelopaknya membuka dan menutup seperti tiram yang aneh.
"Hentikan!" jerit Petunia.
"Takkan melukaimu," sahut Lily, tapi ia menggenggam kembang itu dan melemparnya kembali ke tanah. "Itu tidak benar," sahut Petunia, tapi matanya mengikuti kembang itu, "bagaimana kau melakukannya""
"Sudah jelas, kan"" Snape tidak dapat menahan diri dan melompat keluar dari semaksemak.


Harry Potter Dan Relikui Kematian Deathly Hallows Karya Jk Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Petunia mengkerut dan berlari kembali ke ayunan, tapi Lily, walaupun terlihat bingung, te
tap di tempat. Snape nampak menyesal telah mengagetkan mereka dengan kemunculannya. Ada semburat warna muncul di pipi pucat itu saat ia memandang Lily.
"Apanya yang jelas"" tanya Lily.
Snape kelihatan gugup. Sambil memandang Petunia dari kejauhan, ia menurunkan suaranya, "Aku tahu kau ini apa." "Apa maksudmu""
"Kau ... kau seorang penyihir," bisik Snape. Lily nampak terhina.
"Bukan begitu caranya berbicara dengan orang lain."
Ia berbalik dengan angkuh dan berjalan menuju saudarinya.
"Bukan!" sahut Snape. Wajahnya merah padam sekarang, dan Harry heran kenapa ia tidak membuka mantelnya yang menggelikan itu, kecuali kalau dia tidak mau memperlihatkan baju pelaspis di baliknya. Ia mengejar gadis itu, kelihatan seperti kelelawar, seperti Snape yang lebih tua.
Kedua bersaudara itu mempertimbangkannya, sama-sama tak setuju, berpegangan pada tiang ayunan, seakan itu tempat yang aman.
"Kau adalah," sahut Snape pada Lily, "kau adalah penyihir. Aku telah mengamatimu sejak lama. Tapi tak ada yang salah dengan itu. Ibuku penyihir, dan aku juga penyihir."
Tawa Petunia seperti air dingin.
"Penyihir!" ia menjerit, keberaniannya kembali sekarang saat ia pulih dari keterkejutannya akan kemunculan Snape tadi yang tidak diharapkan. "Aku tahu siapa kau. Kau anak si Snape itu ya" Mereka tinggal di Spinner's End dekat sungai," sahutnya pada Lily, dan jelas pada suaranya bahwa ia menilai rendah para penduduk di Spinner's End. "Kenapa kau memata-matai kami""
"Aku tidak memata-matai," sahut Snape memanas, tidak nyaman dan rambut kotor di terangnya cahaya matahari. "Buat apa memata-matai," katanya tajam, "kau hanya seorang Muggle."
Walau Petunia jelas-jelas tidak mengerti arti kata itu tapi dia tidak bisa salah mengartikan nada suara Snape.
"Lily, ayo kita pergi!" katanya melengking. Lily mematuhi saudaranya seketika, menatap Snape saat ia pergi. Ia berdiri mematung mengamati saat mereka berjalan melintasi gerbang taman bermain, dan Harry, satu-satunya yang tertinggal untuk memantau mereka, mengenali kekecewaan Snape, dan paham bahwa Snape sudah lama merencanakan saat ini tapi tidak berjalan baik...
Pemandangan itu mengabur, dan sebelum Harry menyadari, terbentuk lagi yang baru di sekitarnya. Ia sekarang ada di sebuah rumpun semak-semak. Ia bisa melihat sungai yang disinari matahari, gemerlapan alirannya. Bayangan yang ditimbulkan oleh pepohonan menciptakan naungan teduh dan hijau. Dua anak duduk bersila berhadapan di tanah. Snape sudah membuka mantelnya, baju lapisannya terlihat, tidak begitu aneh terlihat di cahaya redup.
"-dan Kementrian bisa menghukummu jika kau melakukan sihir di luar sekolah, kau akan mendapat surat."
"Tapi aku sudah melakukannya!"
"Kita tidak apa-apa, kita belum dapat tongkat. Mereka masih membiarkanmu jika kau masih anak-anak dan kau belum bisa mengendalikannya. Tapi sekalinya kau sudah berusia 11," dia mengangguk memberi kesan penting, "dan mereka mulai melatihmu, kau harus hati-hati."
Ada sedikit keheningan. Lily memungut ranting yang gugur dan memutarnya di udara, dan Harry tahu bahwa Lily sedang membayangkan akan ada percikan api
keluar dari ranting itu. Ia mejatuhkan ranting, bersandar pada anak laki-laki itu dan berkata, "Ini benar nyata kan" Bukan lelucon" Petunia bilang kau bohong.
Petunia bilang tak ada yang namanya Hogwarts. Bener nggak""
"Itu benar, untuk kita," sahut Snape. "Bukan untuk dia. Tapi kita akan menerima surat, kau dan aku." "Sungguh"" bisik Lily.
"Tentu saja," ujar Snape, dan meski dengan potongan rambut yang aneh, pakaian yang ganjil, anehnya dia menampilkan sosok yang mengesankan di depan Lily, penuh
keyakinan. "Dan benar-benar akan datang dengan burung hantu"" Lily berbisik.
"Biasanya," sahut Snape, "tapi kau kelahiran Muggle, jadi seseorang dari sekolah akan datang dan menjelaskan pada orangtuamu."
"Apakah ada bedanya, menjadi kelahiran Muggle""
Snape ragu. Mata hitamnya menyimpan keinginan dalam kesuraman, bergerakgerak di wajah yang pucat memandang rambut merah gelap itu.
"Tidak," sahutnya, "tidak ada perbedaan."
"Baguslah," sahut Lily menjadi tenang. Jelas bahwa ia tadinya cemas.
"Kau memilik i kemampuan sihir yang hebat sekali," sahut Snape. "Aku melihatnya.
Setiap waktu aku mengamatimu..."
Suaranya melemah, Lily tidak sedang mendengar, berbaring menelentang di tanah beralaskan daun-daun, sedang memandangi kanopi daun di atas. Snape memandangi
sama rakusnya seperti dulu ia memandangi Lily di taman bermain.
"Bagaimana keadaan rumahmu"" Lily bertanya.
Sejumput kerutan muncul di antara kedua mata Snape.
"Baik." katanya.
"Mereka tidak bertengkar lagi""
"Oh, mereka masih bertengkar," ujar Snape. Ia meraih segenggam daun dan menyobek-nyobeknya, kelihatan ia tak sadar akan apa yang sedang lakukan. "Tapi tak akan lama, dan aku akan pergi"
"Ayahmu tidak suka sihir""
"Dia tidak suka apapun."
"Severus""
Sesudut senyum terpilin di mulit Snape saat Lily menyebut namanya. "Yeah""
"Ceritakan lagi soal Dementor."
"Kenapa kau ingin tahu mengenai Dementor""
"Kalau aku menggunakan sihir di luar sekolah-"
"Mereka tidak akan mengirimmu pada Dementor untuk pelanggaran seperti itu! Dementor itu untuk orang-orang yang melakukan hal-hal yang benar-benar jahat. Mereka
menjaga penjara sihir, Azkaban. Kau tidak akan berakhir di Azkaban, kau terlalu-" Wajahnya langsung memerah dan ia mengoyak-ngoyak daun lagi. Ada suara gemerisik di belakang Harry membuatnya menoleh, Petunia bersembunyi di belakang pohon, salah menginjak.
"Tuney!" sahut Lily terkejut namun ada nada menyambut dalam suaranya. Tapi Snape langsung melompat berdiri. "Siapa yang memata-matai sekarang"" ia berteriak, "apa yang kau inginkan""
Petunia tidak bisa bernapas, ia tertangkap basah. Harry bisa melihat ia berjuang untuk tidak mengatakan apa yang menyakitkan jika diungkapkan.
"Apa uang kau pakai sebenarnya"" sahut Petunia, menunjuk pada dada Snape,
"blus ibumu"" Ada suara gemeretak, sebuah dahan pohon di atas kepala Petunia runtuh. Lily berteriak; dahan itu mengenai bahu Petunia, dia mungur dan menghambur penuh air mata.
"Tuney!" Tapi Petunia sudah lari. Lily memberondong Snape. "Apakah kau yang berbuat""
"Bukan!" Snape terlihat menantang tapi juga pada saat yang sama ketakutan. "Kau yang melakukannya," Lily mundur, "Kau melakukannya. Kau menyakitinya!" "Bukan-aku tak melakukanya!"
Tapi dusta itu tidak meyakinkan Lily; setelah satu pandangan marah, ia lari dari rumpun pohon itu mengejar saudarinya. Snape terlihat menyedihkan dan bingung
Adegan berubah lagi, Harry melihat ke sekeliling; dia ada di Peron 9 %, dan Snape berdiri di sampingnya, sedikit membungkuk, di samping seorang wanita yang kurus, berwajah pucat, nampak masam, yang sepertinya mencerminkan diri Snape. Snape sedang mencermati sebuah keluarga dengan empat anggotanya tidak terlalu jauh darinya. Dua gadis berdiri agak jauh dari orangtuanya. Lily seperti sedang memohon pada saudarinya. Harry mendekat agar bisa mendengar.
".. .Maaf, Tuney, aku menyesal. Dengar-" ia menangkap tangan saudarinya dan memegangnya erat-erat walau Petunia mencoba untuk melepasnya. "Mungkin setibanya aku di sana, tidak, dengar Tuney! Mungkin setibanya aku di sana, aku bisa pergi ke Profesor Dumbledore dan membujuknya untuk berubah pikiran!"
"Aku tidak-ingin-pergi," sahut Petunia, dan dia menarik tangannya dari pegangan saudarinya, "Kau ingin aku pergi ke kastil bodoh itu dan belajar jadi-jadi-"
Mata pucatnya menelusuri peron, pada kucing-kucing yang mengeong di tangan pemiliknya, pada burung hantu yang mengibaskan sayap dan ber-uhu sesama mereka di sangkar, pada pada siswa sebagian sudah memakai jubah hitam panjang, memuat koperkoper mereka di kereta api uap merah atau saling bertukar salam dengan teriakan kegembiraan setelah berpisah selama satu musim panas.
"-kau pikir aku ingin jadi orang-orang sinting""
Mata Lily penuh dengan air mata tatkala Petunia berhasil menarik tangannya. "Aku bukan orang sinting," ujar Lily, "kau mengatakan hal-hal yang mengerikan!" "Itulah tempat yang kau tuju," nampaknya Petunia menikmati betul ucapannya.
"Sekolah khusus untuk orang sinting. Kau dan pemuda Snape ... orang aneh, itulah kalian berdua. Bagus kalau kalian dipisahkan dari orang normal. Untuk keselamatan kami."
Lily memandang orangtuanya yang sed
ang sepenuh hati menikmati pemandangan di peron. Dan dia melihat saudaranya lagi dan suaranya rendah dan kasar.
"Kau tidak memandang sebagai sekolah untuk orang sinting waktu kau menulis untuk Kepala Sekolah dan memohon padanya untuk menyertakanmu."
Wajah Petunia memerah. "Memohon" Aku tidak memohon!"
"Aku melihat jawaban Dumbledore. Ia sangat baik."
Kau tidak boleh membaca" bisik Petunia. "Itu barang pribadiku-bagaimana kau"" Lily membuka rahasianya sendiri dengan setengah memandang ke tempat Snape berdiri, di dekatnya. Petunia menahan napas."Anak itu menemukannya! Kau dan
anak itu mengendap-endap di kamarku!""Tidak-tidak mengendap-endap-"
sekarang Lily yang membela diri. "Severus melihat amplop itu dan dia tidak percaya bahwa seorang Muggle bisa menghubungi Hogwarts, itu saja. Dia bilang pasti ada penyihir menyamar bekerja di kantor pos untuk menangani-"
"Jelas-jelas penyihir ikut campur di mana-mana," sahut Petunia, wajahnya pucat seperti baru dibilas. "Orang Sinting!" dia meludah pada saudaranya, menggelepakkan badannya karena marah, ia kembali pada orangtuanya.
Adegan berganti lagi. Snape tergesa-gesa menyusuri koridor Hogwarts Express saat kereta itu menyusuri pinggir kota. Ia sudah berganti pakaian dengan jubah sekolah, mungkin mempergunakan kesempatan pertama untuk menyingkirkan baju Mugglenya yang mengerikan. Akhirnya ia berhenti di luar sebuah kompartemen di mana sekumpulan anaklaki-laki sedang ribut berbicara. Meringkuk di sudut kursi dekat jendela ternyata adalah Lily, wajahnya ditekankan pada jendela kaca.
Snape menggeser pintu kompartemen dan duduk di seberang Lily. Lily memandang Snape sekilas lalu memandang ke jendela lagi. Dia baru saja menangis. "Aku tak ingin bicara denganmu," katanya dalam suara tertahan.
"Kenapa"" "Tuney m-membenciku. Karena kita melihat surat dari Dumbledore itu!"
"Memangnya kenapa""
Lily melontarkan pandangan tak suka.
"Karena dia saudaraku!"
"Dia hanya seorang-" Snape cepat menghentikan ucapannya; Lily terlalu sibuk mencoba mengelap matanya tanpa terlihat, tidak mendengarkan ucapannya.
"Tapi kita pergi!" sahut Snape, tak dapat menahan kegembiraan dalam suaranya. "Inilah dia, kita menuju Hogwarts!"
Lily mengangguk, mengelap matanya, tapi dia setengah tersenyum.
"Kau lebih baik berada di Slytherin!" sahut Snape, membesarkan hati agar Lily gembira sedikit.
"Slytherin""Salah satu anak yang berbagi kompartemen, yang dari tadi mengacuhkan Lily maupun Snape, memperhatikan kata itu, dan Harry yang dari tadi memperhatikan Lily dan Snape, melihat ayahnya: langsing, rambut hitam seperti Snape tetapi terlihat jelas bahwa ia berasal dari keluarga berada, diperhatikan bahkan dikagumi, hal-hal yang tidak ditemukan pada diri Snape.
"Siapa yang mau di Slytherin" Kalau aku ditempatkan di Slytherin, aku akan pergi,
bagaimana denganmu"" James bertanya pada anak laki-laki yang duduk di seberangnya.
Dengan satu sentakan Harry menyadari bahwa itu Sirius. Sirius tidak tersenyum.
"Seluruh keluargaku di Slytherin." katanya.
"Blimey," sahut James, "dan kukira kau baik-baik saja."
Sirius menyeringai. "Mungkin aku akan memecahkan tradisi. Kalau begitu, kau mau ke mana"" James menarik pedang yang hanya ada dalam bayangan. '"Gryffindor, dimana tempat berkumpulnya pemberani'. Seperti ayahku." Snape membuat bunyi yang meremehkan. James menoleh padanya. "Kau keberatan""
"Tidak," sahut Snape walau seringai sekilasnya mengemukakan sebaliknya, "jika kau merasa lebih baik punya otot daripada punya otak-"
"Kalau begitu kau sendiri mau ke mana, sedangkan kau tak memiliki keduanya""
Sirius menyela. James tertawa terbahak-bahak. Lily bangkit, terlihat marah dan menatap James hingga Sirius dengan perasaan tak suka.
"Ayo, Severus, kita cari kompartemen lain!" "Ooooooo..."
James dan Sirius menirukan suara tinggi Lily; James berusaha menjegal kaki Snape saat ia lewat.
"Sampai jumpa, Snivellus!" sebuah suara terdengar, saat pintu kompartemen dibanting. Dan adegan berganti lagi.
Harry berdiri tepat di belakang Snape saat mereka menghadapi meja asrama yang diterangi ribuan lilin, barisan yang penuh wajah-wajah penuh perhatian.
Kemudian Profesor McGonagall berkata, "Evans, Lily!"
Harry menyaksikan ibunya berjalan ke depan dengan kaki gemetar dan duduk di bangku reyot itu. Profesor McGonagall menjatuhkan Topi Seleksi ke atas kepala Lily, dan tak lebih dari sedetik sesudah Topi Seleksi menyentuh rambut merah tua itu, Topi berteriak, Gryffindor!
Harry mendengar Snape mengerang. Lily melepaskan Topi, mengembalikannya pada Profesor McGonagall, kemudian bergegas bergabung dengan para
Gryffindor, saat ia memandang balik pada Snape, ada senyum sedih di wajahnya. Harry melihat Sirius menggerakkan bangku agar ada ruangan untuk Lily. Lily melihat Sirius lama sekali, nampak mengenalinya waktu di kereta, melipat lengannya dan tidak menoleh lagi padanya.
Pemanggilan diteruskan. Harry menyaksikan Lupin, Pettigrew, dan ayahnya bergabung dengan Lily dan Sirius di meja Gryffindor. Akhirnya, saat hanya tinggal selusin siswa yang tersisa untuk diseleksi, Profesor McGonagall memanggil Snape.
Harry berjalan bersamanya ke kursi, menyaksikan ia menempatkan Topi di atas kepalanya. Slytherin!, teriak Topi Seleksi.
Dan Severus Snape bergerak ke ujung lain di Aula, jauh dari Lily, di mana para Slytherin menyambutnya, di mana Lucius Malfoy, dengan lencana Prefek berkilauan di dadanya, menepuk punggung Snape saat Snape duduk di sampingnya.
Dan adegan berganti... Lily dan Snape berjalan melintasi halaman kastil, jelas sedang bertengkar.
Harry bergegas mengejar mereka, untuk mendengar lebih jelas. Saat ia mencapai mereka, ia sadar bahwa mereka sudah jauh lebih tinggi sekarang, nampaknya mereka sudah melewati beberapa tahun setelah Topi Seleksi.
"...meski kita seharusnya berteman"" Snape berkata, "Teman baik""
"Kita berteman, Sev, tapi aku tidak suka beberapa temanmu. Maafkan aku, tapi aku benci Avery dan Mulciber. Mulciber! Apa yang kau lihat dari mereka, Sev"
Dia penjilat. Apakah kau tahu apa yang dia lakukan pada Mary Macdonald kemarin dulu"" Lily mencapai pilar dan bersandar di sana, menatap wajah pucat dan kurus itu. "Itu bukan apa-apa," ujar Snape, "itu cuma lelucon, cuma itu-" "Itu Sihir Hitam, dan kalau kau pikir itu lucu-"
"Lalu bagaimana dengan apa yang dilakukan Potter dan sobat-sobatnya"" tuntut Snape, wajahnya memerah lagi saat ia mengatakannya, sepertinya tidak dapat menahan kemarahan.
"Memangnya ada apa dengan Potter"" tanya Lily.
"Mereka menyelinap di malam hari. Ada seusatu yang aneh dengan Lupin. Ke mana dia selalu pergi""
"Dia sakit," ucap Lily, "mereka bilang dia sakit." "Tiap bulan saat purnama"" tanya Snape.
"Aku tahu teorimu," ujar Lily, dan dia terdengar dingin, "Kau terobsesi dengan mereka kan" Kenapa kau begitu perhatian dengan apa yang mereka lakukan di malam hari""
"Aku hanya mencoba menunjukkan padamu, mereka tidak semenakjubkan seperti orang-orang pikir." Kesungguhan pandangan mata Snape membuat Lily tersipu.
"Walaupun begitu, mereka tidak menggunakan Sihir Hitam," Lily menurunkan suaranya. "Dan kau benar-benar tidak bisa berterima kasih. Aku dengar apa yang terjadi malam kemarin. Kau menyelinap ke terowongan di bawah Dedalu Perkasa dan James Potter menolongmu dari apapun yang terjadi di bawah sana-"
Seluruh wajah Snape berubah dan bicaranya bergetar, "Menyelamatkan"
Menyelamatkan" Kau kira dia sedang bermain peran sebagai pahlawan" Dia sedang menyelamatkan diri dan sobat-sobatnya juga. Kau tidak akan-aku tidak akan membiarkanmu-"
"Membiarkanku" Membiarkanku""
Lily memicingkan mata hijaunya yang terang. Snape mundur seketika.
"Aku tidak bermaksud-Aku hanya tidak ingin kau memperolok-dia naksir kau, James Potter naksir kau!" kata-kata itu seperti meluncur keluar dari Snape di luar keinginannya. "Dan dia tidak ... Tiap orang mengira ... Pahlawan Quidditch-"
kebencian dan ketidaksukaan Snape membuat ia bicara tidak jelas, dan alis Lily semakin naik di keningnya.
"Aku tahu James Potter hanyalah seseorang yang sombong," kata Lily memotong ucapan Snape. "Aku tidak perlu diberitahu olehmu. Tapi gagasan Mulciber dan Avery tentang humor itu jahat. Jahat, Sev. Aku tidak paham bagaimana kau bisa berteman dengan mereka."
Harry ragu apakah Snape mendengarkan
kritik Lily tentang Mulciber dan Avery.
Saat Lily menghina James Potter, seluruh tubuh Snape menjadi tenang, rileks, dan saat mereka berjalan menjauh terasa ada kekuatan baru di setiap langkah Snape.
Adegan berubah lagi. Harry mengamati lagi, saat Snape meninggalkan Aula Besar setelah mengerjakan OWLnya untuk Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam. Mengamati saat Snape berjalan menjauhi kastil, melamun menyimpang dari jalan, tidak hati-hati, mendekati tempat di bawah pohon beech di mana James, Sirius, Lupin, dan Pettigrew duduk bersama. Tapi Harry menjaga jarak saat ini, karena dia tahu apa yang terjadi setelah James mengangkat Severus ke udara dan mengejeknya; ia tahu apa yag dilakukan dan dikatakan, dan samasekali tidak menyenangkan untuk mendengarnya lagi. Dari jauh ia mendengar Snape berteriak pada Lily dalam penghinaannya dan kemarahannya, kata yang tak termaafkan: Darah Lumpur.
Adegan berganti ... "Maafkan aku." "Aku tak tertarik." "Aku menyesal." "Percuma bicara."
Saat itu malam. Lily mengenakan baju tidur, berdiri dengan tangan terlipat di depan lukisan Nyonya Gemuk dijalan masuk Menara Gryffindor.
"Aku hanya datang karena Mary bilang kau mau menginap di sini."
"Memang. Aku tak pernah bermaksud memanggilmu Darah Lumpur, itu hanya-"
"Keceplosan"" Tak ada rasa kasihan pada suara Lily. "Sudah terlambat. Aku sudah bertahun-tahun mengarang alasan untuk semua tindakanmu. Tak satupun temanku bisa paham kenapa aku bisa bicara padamu. Kau dan teman-teman Pelahap Mautmu yang berharga -kau lihat, kau bahkan tidak menyangkalnya. Kau bahkan tidak menyangkal bahwa itu adalah tujuanmu. Kau tak bisa menunggu untuk bergabung dengan Kau-Tahu-Siapa, bukan""
Snape membuka mulut, tapi menutupnya lagi tanpa bersuara.
"Aku tak dapat berpura-pura lagi. Kau memilih jalanmu, aku memilih jalanku."
"Tidak -dengar, aku tak bermaksud-"
"-memanggilku Darah Lumpur" Tapi kau memanggil semua yang kelahirannya sama denganku Darah Lumpur, Severus. Kenapa aku mesti dibedakan""
Snape berusaha untuk berbicara, tapi dengan pandangan menghina Lily membuang muka, dan memanjat kembali lubang lukisan ...
Koridor mengabur dan adegan yang ini agak sulit tersusun. Harry seperti terbang melalui bentuk dan warna yang berubah-ubah hingga sekitarnya padat kembali, dan ia berdiri di atas bukit, sedih dan dingin dalam kegelapan, angin bertiup melalui cabang-cabang pohon yang tinggal sedikit daunnya. Snape dewasa terengah. Menoleh pada suatu tempat, tongkatnya dicengkeram erat-erat, menunggu seseorang atau sesuatu ... Ketakutannya menular pada Harry, walau Harry tahu ia tidak mungkin dicelakai, dan ia memandang jauh, berpikir apakah yang sedang ditunggu Snape ...
Kemudian seberkas cahaya putih membutakan melayang di udara; Harry mengira petir,
tetapi Snape jatuh berlutut dan tongkatnya terlempar dari tangannya.
"Jangan bunuh saya!"
"Aku tidak berniat demikian."
Suara Dumbledore ber-Apparate ditenggelamkan oleh suara angin di cabang-cabang
pohon. Dumbledore berdiri di depan Snape dengan jubah melambai-lambai dan wajahnya diterangi cahaya dari tongkatnya.
"Jadi apa, Severus" Pesan macam apa yang Lord Voldemort punya untukku"" "Tidak -tidak ada pesan-saya datang atas keinginan sendiri!"
Snape meremas tangannya; dia terlihat sedikit gila, dengan rambut hitam terurai di sekitarnya. "Saya-saya datang dengan peringatan-bukan, sebuah permintaan- kumohon-"
Dumbledore menjentikan tongkatnya. Walau daun-daun dan cabang-cabang masih beterbangan di udara malam di sekitar mereka, tempat di mana ia dan Snape berada terasa sunyi.
"Permintaan apa yang bisa kupenuhi dari seorang Pelahap Maut"" "Ra-ramalan, ... perkiraan ... Trelawney ..."
"Ah, ya," sahut Dumbledore, "seberapa banyak yang kau sampaikan pada Lord Voldemort""
"Semua-semua yang saya dengar!" sahut Snape. "Karena itulah-untuk alasan itu-ia mengira itu berarti Lily Evans!" "Ramalan itu tidak mengacu pada seorang wanita," sahut Dumbledore, "isinya mengenai anak laki-laki yang lahir di akhir Juli-"
"Anda tahu apa yang saya maksud! Pangeran Kegelapan mengira itu adalah anak Lily, ia akan memburu Lily- membunuhnya-" "Kalau Lily memang
berarti begitu banyak bagimu," sahut Dumbledore, "tentu saja Lord Voldemort akan mengampuninya" Tidakkah kau bisa meminta untuk mengasihani ibunya, sebagai ganti anaknya""
"Saya-saya sudah meminta padanya-"
"Kau membuatku jijik," sahut Dumbledore, dan Harry belum pernah mendengar suara Dumbledore begitu merendahkan. Snape terlihat sedikit menyusut.
"Kau tidak peduli akan kematian suami dan anaknya" Mereka boleh mati, asal kau mendapat apa yang kau inginkan"" Snape tidak berbicara, hanya memandang Dumbledore.
"Kalau begitu, sembunyikan mereka," sahutnya parau, "Selamatkan dia-mereka- Kumohon."
"Dan apa yang kau berikan padaku sebagai imbalan, Severus""
"Sebagai-sebagai imbalan"" Snape terperangah pada Dumbledore, dan Harry mengharap Snape akan protes, tetapi setelah saat yang lama ia menyahut,
"Segalanya."Puncak bukit itu tersamar, dan Harry berdiri di kantor Dumbledore, dan sesuatu berbunyi seperti binatang terluka. Snape merosot di kursinya, dan Dumbledore berdiri di depannya, nampak suram. Sesaat Snape mengangkat wajahnya, ia nampak seperti orang yang sudah hidup beratus tahun dalam penderitaan sejak meninggalkan puncak bukit itu.
"Saya kira ... Anda akan ... menjamin dia ... selamat."
"Dia dan James menyimpan kepercayaan pada orang yang salah," sahut Dumbledore,
"Hampir seperti dirimu, Severus. Bukankah kau berharap Lord Voldemort akan mengampuninya""Napas Snape terdengar pendek.
"Anak laki-lakinya selamat," ujar Dumbledore.
Dengan sentakan kecil di kepalanya, Snape terlihat membunuh lalat yang menjengkelkan.
"Putra Lily hidup. Ia punya mata Lily, persis mata Lily. Kau ingat bentuk dan warna mata Lily Evans, kan"""JANGAN!" lenguh Snape, "Pergi...
Meninggal...""Apakah ini penyesalan, Severus"""Saya harap ... Saya harap saya mati ...""Lalu apa gunanya untuk orang lain"" sahut Dumbledore dingin, "Kalau kau mencintai Lily Evans, kalau kau benar-benar mencintainya, jalan untukmu terbuka lebar."
Snape nampak melalui perih yang samar-samar, dan arti kata-kata Dumbledore terlihat lama sekali sampai kepadanya. "Apa-apa maksud Anda""
"Kau tahu bagaimana dan mengapa Lily meninggal. Pastikan kematian itu tidak sia-sia. Bantulah aku melindungi anak Lily."
"Dia tidak perlu perlindungan. Pangeran Kegelapan sudah pergi-"
"-Pangeran Kegelapan akan kembali, dan pada saat itu Harry Potter akan berada dalam bahaya besar." Ada sunyi yang lama, dan perlahan Snape bisa mengendalikan diri lagi, menguasai napasnya lagi. Akhirnya ia berucap, "Baiklah. Baiklah. Tapi jangan pernah- jangan ceritakan, Dumbledore! Ini hanya di antara kita saja! Bersumpahlah! Saya tidak bisa
menanggung ... khususnya anak Potter ... Saya ingin Anda berjanji!"
"Janjiku, Severus, bahwa aku tidak pernah akan memperlihatkan sisi terbaikmu""
Dumbledore mengeluh, menatap wajah garang Snape yang diliputi kesedihan yang mendalam. "Kalau kau bersikeras
Kantor Kepala Sekolah memudar tapi langsung terbentuk kembali. Snape sedang berjalan mondar-mandir di depan Dumbledore.
"-biasa saja, sombong seperti ayahnya, kecenderungan untuk melanggar peraturan, suka
melihat dirinya terkenal, mencari perhatian, tidak sopan-""Kau melihat apa yang ingin kau lihat, Severus," sahut Dumbledore tanpa mengangkat matanya dari Transfigurasi Terkini*. "Guru lain melaporkan bahwa anak itu rendah hati, cukup disenangi, dan berbakat. Kurasa dia cukup menarik."
Dumbledore membalik lembaran bacaannya dan berkata tanpa mengangkat matanya, "Tolong perhatikan Quirrell,
ya"" Seputaran warna dan semuanya gelap, Snape dan Dumbledore berdiri agak jauh di Pintu Masuk, saat orang terakhir dari Pesta Dansa Natal melintasi mereka untuk pergi tidur.
"Jadi"" gumam Dumbledore.
"Tanda Kegelapan Karkaroff menjadi lebih gelap juga. Dia panik, dia takut pembalasan; Anda tahu sejauh mana ia membantu Kementerian setelah
kejatuhan Pangeran Kegelapan." Snape melihat ke samping melalui sosok hidung bengkok Dumbledore. "Karkaroff berniat untuk melarikan diri jika Tanda itu terbakar."
"Apakah demikian"" sahut Dumbledore lembut, saat Fleur Delacour dan Roger Davis lewat terkikik-kikik bangkit dari tanah. "Apakah kau tergoda untu
k bergabung dengannya""
"Tidak," sahut Snape, matanya tertuju pada sosok Fleur dan Roger yang makin mengecil. "Saya bukan pengecut."
"Bukan," Dumbledore setuju, "Kau jauh lebih berani daripada Igor Karkaroff.
Kau tahu, kadang aku merasa kita Menyeleksi terlalu cepat..."
Dumbledore berjalan menjauh, meninggalkan Snape yang terlihat mematung.
Dan sekarang Harry berdiri di Kantor Kepala Sekolah lagi. Saatnya malam dan Dumbledore merosot di kursinya yang seperti singgasana di balik meja, nyata-nyata setengah sadar. Tangan kanannya terjuntai di sisinya, menghitam dan terbakar. Snape sedang menggumamkan mantra, menujukan tongkatnya pada pergelangan tangan Dumbledore, saat yang sama tangan kirinya menuangkan piala berisi ramuan kental keemasan ke dalam tenggorokan Dumbledore.
Setelah beberapa saat, kelopak mata Dumbledore bergetar dan membuka.
"Mengapa," sahut Snape tanpa basa-basi, "mengapa Anda mengenakan cincin itu" Di dalamnya terkandung Kutukan, pasti Anda mengetahuinya. Mengapa bahkan Anda menyentuhnya""
Cincin Marvolo Gaunt tersimpan di meja dekat Dumbledore. Cincin itu retak; pedang Gryffindor terletak di sebelahnya.
Dumbledore meringis. "Aku ... bodoh. Aku tergoda ..."
"Tergoda oleh apa""
Dumbledore tak menjawab. "Suatu keajaiban Anda berhasil kembali kesini," Snape terdengar geram,
"Cincin itu mengandung Kutukan dari kekuatan yang luarbiasa, kita hanya bisa berharap kita bisa menahannya; saya sudah memerangkap kutukan itu di satu tangan untuk sementara."
Dumbledore mengangkat tangan yang menhitam dan sudah tak berguna lagi,
memperhatikannya dengan ekspresi seperti seseorang yang sedang diperlihatkan barang ajaib yang menarik. "Kau bekerja sangat baik, Severus. Berapa lama kau kira aku bisa bertahan""
Nada suara Dumbledore sangat biasa, sebiasa seperti kalau dia sedang bertanya ramalan cuaca. Snape ragu, kemudian berucap, "Saya tidak bisa mengatakannya.
Mungkin setahun. Tidak ada yang bisa menghentikan mantra itu untuk selamanya. Mantra itu pasti akan menyebar, ini termasuk Kutukan yang menguat setiap saat."
Dumbledore tersenyum. Kabar bahwa ia hanya punya kurang dari satu tahun untuk hidup nampaknya hanya sedikit atau bahkan tidak berpengaruh sama sekali padanya.
"Aku beruntung, sangat beruntung, bahwa aku punya kau, Severus."
"Kalau saja Anda memanggil saya lebih cepat, saya mungkin bisa berbuat lebih baik lagi, memberikan Anda lebih banyak waktu," sahut Snape geram. Ia melihat pada cincin yang retak dan pedang. "Apakah Anda pikir merusak cincin bisa mematahkan Kutukan""
"Sesuatu seperti itulah ... aku lupa daratan, tak ada keraguan ..." sahut Dumbledore. Dengan susah payah ia menegakkan diri di kursi. "Yah, sebenarnya ini membuat masalah-masalah lebih terlihat mudah."
Snape terlihat benar-benar kebingungan. Dumbledore tersenyum.
"Aku mengacu pada rencana Lord Voldemort yang berputar di sekitarku.
Rencananya ialah membuat putra Malfoy yang malang itu membunuhku."
Smape duduk di kursi yang sering Harry duduki, di seberang meja Dumbledore.
Harry dapat mengatakan bahwa Snape ingin mengatakan lebih banyak lagi tentang tangan Dumbledore yang terkena Kutukan, tapi Dumbledore menolak untuk membahasnya lebih lanjut, dengan sopan. Sambil memberengut, Snape menyahut, "Pangeran Kegelapan tidak mengharapkan Draco berhasil. Ini semua hukuman untuk kegagalan Lucius. Siksaan yang pelan untuk orangtua Draco, saat mereka menyaksikan Draco gagal dan mendapat ganjarannya."
"Singkatnya, anak itu sudah mendapat vonis mati, aku yakin," sahut Dumbledore.
Sekarang, aku mengira, pengganti untuk melakukan pekerjaan itu, sekali Draco gagal, adalah kau sendiri"" Hening sejenak.
"Saya kira ya, itu memang rencana Pangeran Kegelapan."
"Lord Voldemort memperkirakan dalam jangka pendek ia tidak memerlukan mata-mata lagi di Hogwarts""
"Ia percaya sekolah ini akan berada dalam genggamannya, ya betul."
"Dan jika sekolah ini benar-benar jatuh ke dalam genggamannya," sahut Dumbledore, dalam suara rendah, "aku dapat jaminan bahwa kau akan berusaha sekuatmu untuk melindungi para siswa di Hogwarts""
Snape mengangguk kaku. "Bagus. Sekarang. Prioritas pertama
, temukan apa yang sedang dituju oleh Draco.
Seorang ABG yang sedang ketakutan merupakan bahaya untuk orang lain juga bagi dirinya sendiri. Tawarkan padanya pertolongan dan bimbingan, ia harus menerimanya, ia suka padamu-"
"-sekarang berkurang sejak ayahnya tidak disukai. Draco menyalahkan saya, ia mengira saya telah merampas posisi Lucius."
"Walau demikian, cobalah terus. Aku lebih memperhatikan korban-korban kejadian akan rencana yang akan dilakukan oleh anak itu, daripada diriku sendiri.
Akhirnya, tentu saja, hanya ada satu hal yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan dia dari kemurkaan Lord Voldemort."
Snape menaikkan alisnya dan nada suaranya sengit saat ia bertanya, "Anda bermaksud membiarkannya membunuh Anda""
"Tentu saja tidak. Kau yang harus membunuhku."
Hening yang panjang, terpecahkan hanya dengan suara klik yang aneh.
Fawkes si phoenix sedang menggerogoti tulang belulang.
"Anda ingin saya mengerjakannya sekarang"" tanya Snape, suaranya penuh ironi, "Atau Anda ingin beberapa saat untuk merancang tulisan di batu nisan""
"Oh, belum saatnya," Dumbledore tersenyum, "Aku berani mengatakan bahwa waktu untuk itu akan datang dengan sendirinya. Dengan adanya kejadian malam ini," ia menunjukkan tangannya yang layu, "kita bisa yakin itu akan terjadi dalam waktu setahun."
"Kalau Anda tidak berkeberatan mati," sahut Snape kasar, "mengapa tidak membiarkan Draco yang melakukannya"" "Jiwanya belum rusak," sahut Dumbledore, "aku tak mau merenggutnya." "Dan jiwa saya, Dumbledore" Jiwa saya""
"Kau sendiri tahu apakah ini akan mengganggu jiwamu atau tidak, untuk menolong seorang tua menghindari nyeri dan malu," sahut Dumbledore, "aku meminta pertolongan, pertolongan yang besar darimu, Severus, karena kematian datang padaku sama pastinya Chudley Cannons akan berada di peringkat terakhir pada liga tahun ini. Aku mengaku aku memilih jalan keluar yang cepat dan tidak nyeri dari masalah yang berlarut-larut dan kusut ini, misalnya, Greyback terlibatkudengar Voldemort merekrutnya" Atau Bellatrix tercinta, yang suka bermain-main dengan korbannya sebelum ia 'memakannya'."
Nada suaranya lembut tapi mata birunya menusuk Snape sebagaimana kedua mata itu sering menusuk mata Harry, sebagaimana jiwa yang sedang mereka diskusikan bisa terlihat oleh mereka. Akhirnya Snape mengangguk lagi, kaku.
Dumbledore nampak puas. "Terimakasih , Severus."
Kantor menghilang, dan sekarang Snape dan Dumbledore berjalan bersama di halaman kastil yang sunyi sejak senjakala.
"Apa yang Anda lakukan dengan Potter, pada tiap malam Anda bersamanya"" Snape bertanya kasar. Dumbledore terlihat lelah.
"Kenapa" Kau tak mencoba menambah detensinya, kan, Severus" Anak itu kelihatannya sebentar lagi akan menghabiskan waktunya untuk detensi."
"Dia sudah mulai seperti ayahnya lagi."


Harry Potter Dan Relikui Kematian Deathly Hallows Karya Jk Rowling di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Penampilannya, mungkin. Tetapi di dalamnya, ia lebih mirip ibunya. Aku menghabiskan waktu dengan Harry karena aku perlu berdiskusi dengannya, informasi yang harus kuberikan padanya sebelum terlambat."
"Informasi," ulang Snape, "Anda mempercayai dia ... Anda tidak mempercayai saya."
"Ini bukan soal mempercayai. Aku punya, seperti yang kau tahu, waktu yang terbatas. Penting untuk memberi cukup informasi untuknya, agar ia bisa melakukan apa yang harus ia lakukan."
"Dan mengapa saya tidak boleh mendapat informasi yang sama""
"Aku memilih untuk tidak menyimpan semua informasi dalam satu keranjang, khususnya bukan keranjang yang dekat dengan tangan Voldemort."
"Yang saya lakukan atas perintah Anda."
"Dan kau melakukannya dengan sangat baik. Jangan mengira aku menganggap remeh bahaya yang terus menerus kau hadapi, Severus. Untuk memberikan Voldemort informasi yang sepertinya berharga, di sisi lain menyembunyikan intinya, adalah pekerjaan yang tidak akan kuberikan pada siapapun kecuali kau."
"Dan Anda lebih percaya pada anak yang tidak mampu Occlumency, yang sihirnya biasabiasa saja, dan punya hubungan langsung dengan pikiran Pangeran Kegelapan!"
"Voldemort takut akan hubungan itu," sahut Dumbledore, "Belum begitu lama berselang, ia dapat mencicipi bagaimana sebenarnya berbagi pikiran Harry itu rasanya ba
gi dia. Sakit yang tak terperi seperti yang tak pernah ia rasakan. Ia tidak akan mencoba untuk menguasai pikiran Harry lagi, aku yakin. Tidak dengan cara itu."
"Saya tidak mengerti."
"Jiwa Lord Voldemort tidak bisa menahan hubungan dekat dengan jiwa seperti Harry. Seperti lidah dengan baja beku, seperti daging dalam api ..."
"Jiwa" Kita bicara tentang pikiran!"
"Dalam kasus Harry dan Voldemort, bicara tentang yang satu berarti bicara tentang yang lainnya."
Dumbledore memandang berkeliling untuk yakin mereka sendiri. Mereka dekat ke Hutan Terlarang, tapi tak ada tanda-tanda siapapun dekat sana.
"Setelah kau membunuhku, Severus-"
"Anda menolak untuk mengatakan semuanya, tapi Anda mengharapkan saya melakukan hal kecil itu," Snape geram, dan kemarahan yang sesungguhnya memancar dari wajah kurus itu; "Anda menganggap segala hal sudah pasti, Dumbledore! Mungkin saya akan berubah pikiran!"
"Kau sudah berjanji, Severus. Dan saat kita bicara tentang pekerjaan di mana kau berhutang padaku, aku kira kau setuju untuk mengamati lebih
dekat teman muda Slytherin kita""
Snape terlihat marah, memberontak. Dumbledore mengeluh.
"Datanglah ke kantorku nanti malam, Severus, jam sebelas, dan kau tak akan mengeluh lagi bahwa aku tak percaya padamu..."
Mereka kembali ke kantor Dumbledore, jendela nampak gelap, dan Fawkes bertengger diam, saat Snape duduk tenang, saat Dumbledore berjalan mengelilinginya, berbicara.
"Harry tak boleh tahu, tidak sampai saat terakhir, tidak sampai jika sudah diperlukan, jika tidak, bagaimana dia dapat kekuatan untuk melakukan apa yang harus dilakukan""
"Tapi apa yang harus dilakukannya""
"Itu akan menjadi persoalan antara aku dan dia. Sekarang, dengarkan baik-baik, Severus. Akan datang saatnya- setelah kematianku-jangan membantah, jangan menyela. Akan datang saatnya Lord Voldemort terlihat takut akan hidup ularnya."
"Nagini"" Snape keheranan.
"Betul sekali. Jika datang saatnya Lord Voldemort berhenti mengirim Nagini untuk melakukan apa yang diperintahkan, melainkan menjaga Nagini di sebelahnya, pakai perlindungan sihir, maka kurasa sudah aman untuk memberitahu Harry."
"Beritahu apa""
Dumbledore menarik napas panjang dan menutup matanya.
"Beritahu padanya bahwa pada malam di mana Lord Voldemort mencoba membunuhnya, saat Lily menjadikan nyawanya sebagai pelindung, Kutukan Pembunuh-nya memantul kembali pada Lord Voldemort, dan satu pecahan jiwa Voldemort terlepas dari keseluruhan, menempel pada satu-satunya jiwa yang masih hidup di gedung yang runtuh itu. Sebagian dari Lord Voldemort hidup di dalam Harry. Itulah yang membuatnya bisa bahasa ular, dan ada hubungannya dengan pikiran Lord Voldemort, yang tak pernah bisa dimengertinya. Dan dengan pecahan jiwa itu, tidak disadari oleh Voldemort, tetap menempel pada, dan dilindungi oleh Harry, Lord Voldemort tak bisa mati.
"Jadi anak itu ... anak itu harus mati"" tanya Snape perlahan.
"Dan Voldemort sendiri yang melakukannya, Severus. Itu penting."
Senyap yang panjang lagi. Kemudian Snape menyahut, "Saya kira ... selama ini ...
kita melindungi anak itu untuk Lily. Untuk Lily."
"Kita melindunginya karena penting untuk mengajarinya, membesarkan dia, membiarkan dia mencoba kekuatannya," sahut Dumbledore, matanya masih terpejam rapat. Sementara itu, hubungan antara Voldemort dan Harry tumbuh semakin kuat, pertumbuhan yang seperti benalu; kadang aku mengira Harry sendiri akan mencurigainya. Kalau aku mengenalinya, ia akan mengatur hal-hal sedemikian rupa sehingga saat ia bertemu dengan kematian, itu berarti akhir dari Voldemort yang sebenar-benarnya."
Dumbledore membuka matanya. Snape nampak terkejut.
"Anda membiarkannya hidup agar ia bisa mati pada saat yang tepat""
"Jangan terkejut, Severus. Berapa banyak laki-laki dan perempuan yang kau amati kematiannya""
"Akhir-akhir ini hanya mereka yang tidak bisa saya selamatkan," sahut Snape. Ia beranjak berdiri. "Anda memperalat saya."
"Maksudnya""
"Saya memata-matai untuk Anda, berbohong untuk Anda, menempatkan diri saya dalam bahaya kematian untuk Anda. Semuanya ditujukan untuk menjaga keselamatan putra Lily. Sekarang Anda mengatakan
pada saya, Anda membesarkannya seperti babi siap untuk disembelih-"
"Menyentuh sekali, Severus," sahut Dumbledore serius. "Apakah kau sekarang sudah punya rasa peduli pada anak itu""
"Pada anak itu"" teriak Snape, "Expecto patronum!"
Dari ujung tongkatnya keluar rusa betina perak, rusa itu mendarat di lantai kantor, melambung sekali melintasi kantor dan meluncur ke luar dari jendela. Dumbloedore mengamati rusa itu melayang pergi, dan saat cahaya keperakannya mulai lenyap, Dumbledore menoleh pada Snape, matanya basah.
"Selama ini""
"Selalu," sahut Snape.
Dan adegan berganti. Sekarang Harry melihat Snape sedang berbicara pada lukisan Dumbledore di belakang meja.
"Kau akan memberikan tanggal pasti keberangkatan Harry dari rumah paman dan bibinya pada Voldemort," sahut Dumbledore. "Tidak melakukannya berarti membangkitkan kecurigaan karena Voldemort percaya kau selalu punya informasi bagus. Tapi kau harus menanamkan gagasan umpan pengalih perhatian-yang kukira bisa menjamin keselamatan Harry. Coba memantrai Mundungus dengan Confundus. Dan Severus, jika kau terpaksa untuk mengambil bagian dalam pengejaran, berperanlah dengan meyakinkan ... Aku mengandalkanmu untuk tetap dalam hitungan Voldemort selama mungkin, agar Hogwarts tidak jatuh ke tangan Carrows ..."
Sekarang Snape berhadapan dengan Mundungus di rumah minum yang tidak dikenal, wajah Mundungus terlihat kosong, Snape mengerutkan kening berkonsentrasi.
"Kau akan mengusulkan pada Orde Phoenix," Snape bergumam, "bahwa mereka akan menggunakan umpan pengalih perhatian. Ramuan Polijus. Potter kembar.
Itu satusatunya yang mungkin berhasil. Kau akan melupakan bahwa aku yang mengusulkan itu. Kau akan mengajukannya sebagai gagasanmu sendiri. Paham""
"Aku paham," gumam Mundungus, matanya tak fokus ...
Sekarang Harry terbang di sisi Snape di atas sapu di malam gelap yang bersih; dia disertai para Pelahap Maut bertudung, di depan ada Lupin dan seorang Harry yang sebenarnya adalah George ... seorang Pelahap Maut maju mendahului Snape dan mengangkat tongkatnya, menunjuk langsung pada punggung Lupin -"
"Sectumsempra!" teriak Snape.
Tapi mantra yang dimaksud pada tangan bertomgkat dari Pelahap Maut itu meleset dan mengenai George-"
Selanjutnya Snape sedang berlutut di kamar lama Sirius. Air mata berlinang dari hidungnya yang bengkok saat ia membaca surat lama dari Lily. Halaman kedua surat itu hanya berisi beberapa kata:
kok bisa sih berteman dengan Gellert Grindelwald. Kukira dia sudah gila!
Penuh cinta, Lily Snape mengambil halaman yang bertandatangan Lily, dan cintanya, diselipkan ke dalam jubahnya. Ia merobek foto yang sedang dipegangnya, ia menyimpan bagian Lily sedang tertawa, dan menjatuhkan bagian James dan Harry, jatuh di bawah lemari.
Dan sekarang Snape berdiri lagi di ruang baca Kepala Sekolah, saat Phineas Nigellus bergegas datang dalam lukisannya.
"Kepala Sekolah! Mereka sedang berkemah di Hutan Dean. Darah Lumpur itu-" "Jangan gunakan kata itu!"
"-baiklah, gadis Granger itu menyebut nama tempat itu saat ia membuka tasnya dan aku mendengarnya!" "Bagus. Bagus sekali!" teriak Dumbledore dari belakang kursi Kepala Sekolah.
Sekarang, Severus, pedangnya! Jangan lupa bahwa pedang itu hanya bisa diambil dalam kondisi memerlukan, dan dengan keberanian-dan dia tidak boleh tahu kau yang memberinya! Jika Voldemort membaca pikiran Harry dan melihat kau bergerak untuknya-"
"Saya tahu," sahut Snape kaku. Ia mendekati lukisan Dumbledore dan menarik sisinya. Lukisan itu mengayun maju, memperlihatkan rongga tersembunyi di belakangnya, dari situ Snape mengambil Pedang Gryffindor.
"Dan Anda masih belum akan memberitahu saya mengapa sebegitu penting untuk memberi Potter sebuah pedang"" sahut Snape sembari mengayunkan mantel bepergian di atas jubahnya.
"Kurasa tidak," sahut lukisan Dumbledore. "Ia tahu apa yang harus dilakukan.
Dan Severus, berhati-hatilah, mereka tidak akan berbaik hati pada kemunculanmu setelah peristiwa George Weasley Snape menuju pintu.
"Tidak usah khawatir, Dumbledore," sahutnya dingin, "saya punya rencana..."
Dan Snape meninggalkan ruangan. Harry bangkit, keluar dari Pens
ieve, sesaat kemudian ia tergeletak di lantai berkarpet di ruangan yang sama; Snape mungkin baru saja menutup pintu.
BAB 34 KEMBALI KE HUTAN Pada akhirnya, kebenaran. Sambil berbaring dengan wajah menekan karpet
berdebu di dalam ruangan yang dianggapnya dulu sebagai tempat yang mengajarkannya rahasia kemenangan, Harry akhirnya mengerti kalau dia tak semestinya selamat. Tugasnya adalah melangkah tenang ke dalam pelukan Kematian sekaligus memutuskan hubungan yang masih tersisa antara Voldemort dengan kehidupan. Maka ketika akhirnya dia melemparkan diri menghadapi Voldemort dan tidak menghunus tongkatnya untuk membela diri, kesudahannya akan jelas, dan tugas yang mestinya telah tuntas di Godric's Hallow akhirnya akan selesai. Tak seorangpun akan hidup, tak seorangpun akan selamat.
Dia merasakan gemuruh jantung yang berdentam-dentam dalam dadanya.
Betapa anehnya, dalam ketakutannya akan maut jantung itu malah memompa dengan begitu kencangnya, menjaganya tetap hidup. Tapi jantung itu mesti berhenti, segera. Detaknya tinggal menghitung waktu. Berapa banyak waktu yang
diperlukan, sementara dia bangkit dan melangkah sepanjang kastil itu untuk terakhir kalinya, untuk berjalan keluar dan pergi memasuki hutan"
Rasa ngeri mencengkeramnya ketika berbaring di lantai, dan genderang penguburan bertalu-talu dalam jantungnya. Akankah kematian itu menyakitkan"
Selama ini dia telah menduga bahwa itu akan terjadi, dan dia akan selamat, dan tak pernah dia memikirkan tentang kematian itu sendiri. Kemauannya untuk hidup jauh lebih besar dibanding rasa takut akan kematian. Namun sekarang tak terpikir olehnya sama sekali untuk mencoba mengelak, untuk melarikan diri dari Voldemort. Semua sudah berakhir, dia tahu, dan yang tersisa hanyalah satu hal: mati.
Seandainya saja dia mati di malam musim panas lalu ketika meninggalkan Privet Drive No.4 untuk terakhir kalinya, ketika tongkat sihir berbulu Phoenix menyelamatkannya! Seandainya saja dia mati seperti Hedwig, begitu cepat sampai dia tak menyadarinya! Atau seandainya saja dia melemparkan diri menerima serangan tongkat demi menyelamatkan orang yang dicintainya...Sekarang dia iri dengan kematian kedua orangtuanya. Langkah dingin menuju kehancurannya sendiri memerlukan jenis keberanian yang lain.
Dirasakannya jari-jemarinya agak gemetaran dan dia berusaha mengendalikannya meski tak seorangpun melihat; potret-potret di dinding semua kosong tak berpenghuni.
Dengan amat perlahan dia duduk dan mulai merasa lebih hidup dan lebih sadar akan tubuhnya dibanding sebelumnya. Kenapa tak pernah dia menghargai betapa dia adalah sebuah keajaiban, otak dan saraf dan jantung yang berdetak" Semua itu akan berlalu, atau setidaknya dia akan berlalu dari semua itu. Nafasnya mulai melambat dan dalam, dan mulut serta tenggorokannya kering sama sekali, tapi begitu pula dengan matanya.
Pengkhianatan Dumbeldore hampir tak ada artinya. Tentu saja telah ada rencana yang lebih besar; Harry saja yang terlalu bodoh untuk melihatnya, dia baru menyadarinya sekarang. Tak pernah dia pertanyakan keyakinannya bahwa Dumbledore ingin dia hidup. Sekarang dia menyadari bahwa rentang umurnya ditentukan oleh seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menghancurkan semua Horcrux. Dumbledore telah meneruskan tugas itu kepadanya, dan dengan taat dia terus menerus memotong putus tali-tali yang menyokong nyawa, bukan hanya nyawa Voldemort, tapi nyawanya juga! Betapa rapinya, betapa elegannya, tak lagi mengorbankan banyak nyawa tapi memberikan tugas berbahaya itu kepada seorang anak yang selama ini telah dicap untuk disembelih, dan yang kematiannya bukan lagi sebuah malapetaka, melainkan satu hantaman lagi terhadap Voldemort.
Dan Dumbledore telah tahu bahwa Harry tak akan mengelak, dia akan terus berjalan hingga kesudahan, meski itu adalah kesudahan bagi dirinya, karena bukankah selama ini Dumbledore telah bersusah payah untuk mengenalnya"
Dumbledore tahu, dan Voldemort juga, kalau Harry takkan membiarkan orang lain mati demi dia setelah jelas bahwa dialah yang punya kekuatan untuk menghentikannya. Bayangan Fred, Lupin dan Tonks yang sedang terbar
ing mati di Great Hall (Aula Besar) memenuhi pikiran Harry begitu hebatnya sampai-sampai untuk sejenak dia tak sanggup bernafas. Sungguh Maut tak punya kesabaran....
Tapi Dumbledore terlalu tinggi menilai Harry. Dia telah gagal: sang ular selamat.
Masih ada satu Horcrux yang menambatkan Voldemort ke bumi, bahkan setelah terbunuhnya Harry. Memang benar, hal itu akan lebih memudahkan tugas orang berikutnya. Dia mengira-ngira siapakah orangnya...Ron dan Hermione tentu akan tahu apa yang harus dilakukan.. .Itulah sebabnya mengapa Dumbledore ingin Harry mempercayai kedua orang itu....supaya jika dia menemukan takdirnya lebih dini, mereka akan melanjutkannya.
Bagaikan hujan di jendala yang dingin, semua pikiran ini berdera-derai menghantam dinding kebenaran, yaitu dia harus mati. Harus mati. Harus berakhir.
Ron dan Hermione terasa jauh sekali, di negara lain di belahan lain bumi; rasanya mereka sudah berpisah begitu lama. Harry yakin takkan ada salam perpisahan, atau penjelasan. Ini perjalanan yang tak mungkin mereka lalui bersama, dan upaya mereka untuk menghentikannya akan menghamburkan waktunya yang berharga. Harry menatap arloji emas tua hadiah ulang tahun ke-17-nya. Hampir setengah dari waktu yang diberikan Voldemort baginya untuk menyerah telah habis.
Dia berdiri. Jantungnya masih berdegup kencang. Mungkin jantungnya menyadari kalau tinggal sedikit waktu baginya, mungkin bertekad untuk menunaikan tugasnya untuk kali terakhir. Dia tak menoleh ke belakang ketika menutup pintu ruangan itu.
Kastil dalam keadaan kosong. Berjalan sendirian di sana dia merasa seakan-akan sudah mati. Para penghuni portret di dinding masih belum kembali; kastil itu diam dalam atmosfir yang membuat merinding, seakan-akan sisa kehidupan tempat itu terpusat di Aula Besar yang penuh dengan mayat-mayat dan orang-orang yang menangisinya
Harry menyelubungi tubuhnya dengan Jubah Gaib dan turun lantai demi lantai, akhirnya menuruni anak tangga marmer menuju aula depan. Dia setengah berharap akan dikenali, terlihat atau dihentikan tapi Jubah itu menutupinya dengan sempurna dan dia sampai ke pintu depan dengan mudah.
Kemudian Neville hampir saja berjalan melaluinya. Dia bersama seorang lain sedang menggotong sesosok tubuh. Harry melirik ke bawah dan merasa satu pukulan hebat lagi di dalam perutnya: Colin Creevey, meskipun masih di bawah umur, pastilah ikut menyelinap masuk, sebagaimana Malfoy, Crabbe dan Goyle juga. Dia terlihat kurus dalam matinya.
"Rasanya aku bisa menggotongnya sendiri Neville", kata Oliver Wood, dan memanggul tubuh Colin di pundaknya meniru cara petugas pemadam kebakaran, dan membawanya masuk Aula Besar.
Neville bersandar sejenak pada kusen pintu dan menyeka dahinya dengan punggung tangan. Dia terlihat bagai seorang pria tua. Lalu dia bergerak kembali, melangkah ke kegelapan untuk mengangkat lebih banyak mayat.
Harry melirik ke belakangnya, ke arah pintu masuk Aula Besar. Orang-orang sibuk bergerak ke sana kemari, saling menghibur, minum, berlutut di samping jenazah, tapi tak dilihatnya satupun orang-orang yang dia sayangi, baik Hermione, Ron, Ginny atau anggota keluarga Weasley lainnya, Luna juga tidak terlihat. Rasanya dia rela menyerahkan sisa waktu yang dia miliki demi satu kesempatan terakhir memandang mereka, tapi seandainya itu terjadi, cukup kuatkah dia untuk berhenti memandang" Lebih baik begini.
Dia turuni anak tangga dan keluar menuju kegelapan. Hampir jam 4 pagi, dan keheningan jalan yang menyeramkan terasa seolah mencengkeram nafasnya, menunggu apakah dia sanggup melakukan apa yang harus dia lakukan.
Harry bergerak ke arah Neville yang sedang membungkuk di atas mayat lain.
"Neville." "Blimey, Harry, kau hampir bikin aku jantungan!"
Harry sudah menarik Jubahnya. Gagasan itu timbul begitu saja dalam pikirannya, lahir dari keinginpastian. "Mau kemana sendirian"" tanya Neville curiga.
"Itu bagian dari rencananya", kata Harry. "Ada yang mesti aku lakukan. Dengar -Neville-"
"Harry!" mendadak Neville ketakutan. "Harry, kau tidak berpikir mau menyerahkan diri bukan""
"Tidak", Harry dengan mudah berbohong. "Tentu saja tidak...ini so
al lain. Tapi aku mungkin akan menghilang sebentar. Kau tahu kan ular milik Voldemort" Dia punya seekor ular besar. Namanya Nagini..."
"Aku sudah dengar.. .memangnya kenapa""
"Ular itu mesti dibunuh. Ron dan Hermione tahu tentang itu, tapi siapa tahu mereka-"
Membayangkan kemungkinan yang mengerikan itu membuat Harry sejenak tercekat, sampai dia tak sanggup meneruskan kalimatnya. Tapi dia kembali mengendalikan dirinya: Ini masalah genting, dia haruslah seperti Dumbledore, berkepala dingin, memastikan ada tenaga cadangan, orang yang melanjutkan.
Sebelum meninggal Dumbledore sudah tahu ada tiga orang yang masih tahu soal Horcrux-horcrux ini; sekarang Neville akan mengambil alih tempat Harry: jadi akan tetap ada 3 orang yang tahu akan rahasia itu.
"Kalau-kalau mereka - sibuk - dan kau punya kesempatan-" "Membunuh ular itu""
"Membunuh ular itu", ulang Harry.
"Baiklah Harry. Kau baik-baik saja kan""
"Aku baik-baik saja. Makasih Neville"
Tapi Neville mencekal tangan Harry ketika dia hendak beranjak. "Kami semua akan terus berjuang, Harry. Kau tahu kan"" "Yah, aku -"
Perasaan tercekik melenyapkan akhir kalimat itu; dia tak sanggup meneruskannya. Neville tak merasakan adanya keanehan. Dia menepuk pundak Harry, melepaskannya dan menjauh untuk mencari lebih banyak mayat.
Harry menangkupkan Jubah ke tubuhnya dan terus berjalan. Ada seseorang sedang bergerak tak jauh darinya, membungkuk di atas sesosok mayat. Mereka hanya berjarak satu kaki ketika dia menyadari orang itu adalah Ginny.
Dia berhenti. Ginny sedang berjongkok dekat seorang gadis yang sedang berbisik memanggil ibunya.
"Tidak apa-apa", kata Ginny. "Tidak apa-apa. Kami akan membawamu masuk"
"Tapi aku mau pulang", bisik gadis itu. "Aku nggak mau bertarung lagi" "Aku tahu", kata Ginny, dan suaranya serak. "Semua akan baik-baik saja"
Gelombang dingin menyapu kulit Harry. Betapa ingin dia berteriak, ingin Ginny menyadari kehadirannya, ingin Ginny tahu kemana dia hendak pergi. Dia ingin dihentikan, diseret, dikirim pulang...
Tapi dia sudah di pulang. Hogwards adalah rumah pertama dan terbaik yang pernah dia kenal. Dia dan Voldemort dan Snape, para anak laki-laki yang terlantar, sudah menemukan rumah di sini...
Ginny sekarang sedang berlutut disamping gadis yang terluka itu, menggenggam tangannya. Dengan usaha keras, Harry memaksa terus melangkah. Rasanya dia melihat Ginny memandang ke sekeliling ketika Harry melewatinya, dan bertanya-tanya apakah inderanya menangkap adanya seseorang berjalan di sana, tapi Harry tak bicara, dan tak melihat ke belakang.
Pondok Hagrid muncul dari kegelapan. Tak ada cahaya, tak ada suara Fang mengonggong menyambutnya. Seluruh kunjungannya ke Hagrid, dan kemilau kuali tembaga di atas tungku, dan kue-kue keras dan makanan-makanan besar, dan wajah besarnya yang dipenuhi jenggot, dan Ron yang muntah, dan Hermione yang menolongnya menyelamatkan Norbert...
Dia terus berjalan, dan sekarang mencapai tepi hutan, lalu dia berhenti.
Sekawanan dementor sedang meluncur di antara pepohonan; dia bisa rasakan hawa dingin mereka, dan dia tak yakin apakah bisa lewat dengan selamat. Dia tak punya kekuatan lagi untuk mengeluarkan Patronus. Dia tak bisa lagi mengendalikan gemetar tubuhnya. Ternyata tak semudah itu untuk mati. Dalam setiap tarikan nafasnya, bau rerumputan dan udara dingin di wajahnya terasa
begitu berharga; kalau memikirkan betapa orang memiliki tahun demi tahun, waktu untuk dibuang percuma, sementara dia bergelantung pada setiap detik.
Pada saat yang bersamaan dia berpikir tak sanggup lagi untuk melanjutkan, sekaligus sadar kalau dia harus. Pertandingan yang panjang berakhir sudah, Snitch telah tertangkap, waktunya untuk meninggalkan udara...
Snitch. Jemarinya sejenak meraba-raba kantung di lehernya, lalu dia menarik benda itu keluar.
I open at the close. Dengan nafas yang kencang dia menatap benda itu. Sekarang ketika dia ingin waktu bergerak selambat mungkin, rasanya dia makin cepat, dan pemahamannya datang begitu cepatnya seolah-olah telah melewatinya. Inilah the close (penutupannya). Inilah saatnya.
Dia tekankan logam keemasan itu ke bibirnya dan b
erbisik, "Aku segera akan mati"
Kulit logam itu pecah terbuka. Dia rendahkan tangannya yang gemetaran, mengangkat tongkat Draco di bawah Jubah dan menggumam, "Lumos"
Batu hitam yang retak bergerigi ke bagian tengah terletak di dalam Snitch yang terbelah dua. Batu Bertuah (Resurrection Stone) itu telah retak secara vertikal, melambangkan Tongkat Sihir Tua-tua (Elder Wand). Segitiga dan lingkaran melambangkan Jubah dan batu itu masih bisa terlihat sebagai batu.
Dan lagi-lagi Harry mengerti tanpa harus berpikir. Tak perlu membawa mereka kembali, karena dia sendiri akan bergabung dengan mereka. Bukan dia yang menjemput mereka. Merekalah yang menjemputnya.
Dia menutup mata dan diputarnya batu itu dalam tangannya tiga kali.
Dia tahu hal itu sudah terjadi karena dia mendengar gerakan-gerakan kecil di sekelilingnya, seperti gerakan tubuh-tubuh lemah yang menggeser pijakannya di atas tanah bertabur ranting-ranting yang menandai tepi luar hutan itu. Dia buka matanya dan memandang ke sekeliling.
Mereka bukanlah hantu bukan pula tubuh jasmani, itulah yang dia lihat. Mereka lebih kelihatan seperti Riddle yang lolos dari perpustakaan di waktu dulu sekali, yaitu ingatan yang hampir-hampir membentuk zat padat. Kurang dari tubuh-tubuh yang hidup, tapi lebih dari hantu. Mereka bergerak ke arahnya. Dan pada tiap wajah mereka tersungging senyum penuh kasih sayang.
Tinggi James persis sama dengan Harry. Dia mengenakan pakaian yang dipakainya ketika meninggal, dan rambutnya acak-acakan, dan kacamatanya agak berat sebelah, seperti kepunyaan Tuan Weasley.
Sirius jangkung dan tampan, dan jauh lebih muda dibanding yang pernah Harry lihat ketika dia masih hidup. Dia melompat dengan anggun, tangan di dalam saku dan wajah menyeringai.
Lupin juga jauh lebih muda, dan lebih langsing, dan rambutnya lebih lebat dan hitam. Dia terlihat bahagia kembali ke tempat yang sangat dia kenal ini, tempat yang begitu banyak dia jelajahi di masa mudanya.
Senyuman Lily adalah yang paling lebar. Dia sibakkan rambut hitamnya ke belakang sementara dia mendekati Harry, dan mata hijaunya, begitu mirip dengan matanya, memandangi wajah Harry tanpa puas, seakan-akan takkan pernah cukup baginya memandangnya.
"Kau telah bertindak sangat berani"
Dia tak sanggup bicara. Matanya terpusat kepada Lily, dan dia pikir dia mau berdiri memandanginya untuk selamanya, dan itu saja sudah cukup.
"Kau sudah hampir sampai", kata James. "Dekat sekali. Kami... .sangat bangga terhadapmu" "Sakitkah rasanya""
Pertanyaan kekanak-kanakan itu terlontar begitu saja dari mulut Harry tanpa bisa dicegahnya. "Mati" Tidak sama sekali", kata Sirius. "Lebih cepat dan lebih mudah daripada jatuh tertidur" "Dan dia akan menginginkan cepat terjadinya. Dia ingin semua berakhir", kata Lupin.
"Aku tidak menginginkan kalian mati", jawab Harry. Kata-kata ini terlontar begitu saja. "Kalian semua. Maafkan aku
Kata-kata itu lebih ditujukannya kepada Lupin dibanding yang lain, dengan nada memohon.
"- tepat setelah kau punya anakmu...Remus, aku menyesal-"
"Aku juga menyesal", kata Lupin. "Menyesal tak lagi bisa mengenalnya...tapi dia
akan tahu mengapa aku mati dan aku harap dia akan mengerti. Aku telah mencoba membuat sebuah dunia dimana dia bisa menjalani hidup yang lebih bahagia"
Hembusan angin dingin yang seolah keluar dari pusat hutan itu mengangkat rambut di bagian kening Harry. Dia tahu mereka akan tidak akan menyuruhnya pergi. Dia sendirilah yang harus mengambil keputusan itu.
"Kalian akan menemaniku""
"Sampai pada akhirnya", kata James.
"Mereka tak akan bisa melihat kalian""
"Kami adalah bagian dirimu", kata Sirius. "Tak terlihat oleh siapapun"
Harry menatap ibunya. "Dekatlah terus denganku", ucapnya lirih.
Dan dia beranjak. Hawa dingin membeku dari Dementor tidak mengalahkannya, dia lewat bersama para pengiringnya, dan mereka bertindak bagaikan Patronus-Patronus untuknya, dan bersama-sama mereka beriringan melewati pepohonan tua yang tumbuh rapat, cabang-cabangnya saling melilit, akar-akarnya berbonggol-bonggol dan berpilin-pilin di bawah kaki mereka. Harry menutupi dirinya rapat-rapat dengan Jubah Gaib dalam ke
gelapan, berjalan masuk dan masuk terus ke dalam hutan, tanpa punya gambaran dimana Voldemort berada tapi yakin Voldemort akan menemukannya. Di sampingnya James, Sirius, Lupin dan Lily berjalan hampir tanpa menimbulkan suara, dan kehadiran mereka adalah keberaniannya, dan alasan yang membuatnya mampu menggerakkan kakinya ke depan.
Si Cantik Dalam Guci 2 Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Panji Sakti 1

Cari Blog Ini