Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 7

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 7


"Tiba-tiba saja terbersit akal untuk memungut batu. Kalau
tidak, maka aku akan hangus seperti orang itu pula."
"Sudahlah," berkata Kiai Gringsing, "kita masih harus
mencoba membersihkan tempat ini dari racun itu." Lalu
katanya kepada para pengawas, "Kalau kalian masih
mempunyai kekuatan, silahkan kembali ke gardu pengawas.
Nanti aku akan mengobati luka-luka itu. Aku dan anak-anakku
akan mengurusi tempat ini supaya tidak berbahaya bagi orang
lewat." Ketiga pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Te"tapi Wanakerti berkata, "Tetapi bagaimana dengan
pe"mimpin kami itu?"
Kiai Gringsing pun kemudian berpaling. Dilihatnya
pemimpin pengawas itu masih duduk saja di tempatnya.
Meskipun demikian pemimpin pengawas itu menjadi tegang
pula. Ia tidak segera tahu apa yang terjadi di arena. Namun
ketika ia melihat orang tua dan kedua anaknya, ketiga
pengawas bawahannya masih berdiri tegak, ia pun menarik
nafas dalam-dalam. "Kita harus membawanya ke gardu pengawas," berkata
Wanakerti. "Ya. Tetapi bagaimana" Kita sendiri hampir tidak dapat
membawa tubuh kita masing-masing. Apalagi membawa
seseorang," jawab kawannya.
Mereka saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka tidak
segera menemukan jawaban.
"Bagaimana dengan tawanan yang terikat itu?" bertanya
Swandaru. "Apakah mungkin ia menolong?"
"Tetapi ia terikat," sahut Wanakerti.
"Lepaskan ikatannya sementara ia harus membantu
pemimpin pengawas itu berjalan. Kalian bertiga dapat
mengawasi di belakangnya. Supaya ia tidak mungkin lari lagi,
siapkan pedang kalian di punggungnya. Meskipun ka"lian
sudah lemah, tetapi kalian pasti masih dapat mengua"sainya.
Apalagi kalian bertiga."
Ketiga pengawas itu saling berpandangan sejenak.
Akhirnya mereka mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah kita coba," berkata Wanakerti, "mung"kin kita
masih dapat menguasainya. Nanti, di gardu penga"was orang
itu akan segera kita ikat lagi."
Demikianlah, maka ketiga pengawas itu diikuti oleh Kiai
Gringsing bersama kedua muridnya mendekati pemimpin
pengawas yang terluka. Mereka memberitahukan maksud
mereka kepada keduanya, kepada pemimpin pengawas itu
dan kepada tawanan mereka.
"Aku tidak mau," geram tawanan itu.
"Coba ucapkan sekali lagi," desis Swandaru sambil
mengangkat cambuknya. "Ayo ulangi."
Tawanan itu memandang Swandaru dengan sorot mata
yang memancarkan kemarahan. Tetapi ia tidak
mengu"langinya, ia sadar bahwa ujung cambuk itu akan dapat
menyobek bukan saja pakaiannya, tetapi juga kulitnya.
"Nah, lepaskan talinya," berkata Swandaru kemu"dian
kepada ketiga pengawas yang sudah berjongkok di samping
pemimpinnya. "Kalian terluka?" bertanya pemimpin itu.
"Ya," sahut Wanakerti, "ia jauh lebih parah daripadaku.
Untunglah bahwa Ki Sanak itu dapat memberi obat pemampat
darah, sehingga kami tidak kehabisan te"naga karenanya."
"Omong kosong," tawanan itulah yang menyahut, "tidak ada
orang yang dapat memampatkan darah dan mengobati lukaluka
selain aku. Apalagi luka-luka beracun."
"Jangan mengigau," jawab pemimpin pengawas itu, "kau
lihat bahwa aku tidak mati karena racunmu, meskipun aku
menjadi sangat lemah saat ini?"
Dukun yang telah menjadi tawanan itu mengerutkan
keningnya. Ia memang menjadi heran, kenapa pemimpin
pengawas itu tidak mati. "Nah, apa katamu sekarang" Apakah kau masih te"tap
tidak mau mematuhi perintahku?" bertanya pemim"pin
pengawas itu. "Katakanlah, apakah kau tidak mau menolongnya?"
bertanya Agung Sedayu pula.
Orang itu menjadi termangu-mangu. Tetapi setiap kali ia
melihat ujung cambuk yang berjuntai menyentuh kaki"nya,
kemudian ujung-ujung pedang yang berkilat-kilat, hatinya
menjadi susut. "Jawablah," desak Swandaru.
"Tetapi ?".."
"Jawablah," sekali lagi Swandaru mendesaknya sambil
memutar cambuknya. "Ya, ya. Aku akan menolongnya."
"Terima kasih," berkata Kiai Gringsing kemudian.
"Lepaskan talinya."
"Tetapi hati-hatilah," berkata Swandaru, "jangan biarkan
orang itu lari. Ia sangat penting bagi kita."
"Ya. Kami akan menjaganya sebaik-baiknya. Meskipun aku
terluka, tetapi tenagaku serasa masih cukup kuat untuk
menghunjamkan ujung pedang."
Demikianlah, maka dukun itu pun kemudian dibebaskan
dari ikatannya. Setelah ia berdiri tegak, maka di bawah
ancaman pedang, ia menolong pemimpin pengawas yang
terluka itu. "Bawa pedangku," berkata pemimpin pengawas itu kepada
Wanakerti. Wanakerti menerima pedang itu sambil bertanya, "Kenapa
tidak disarungkan saja?"
"Berbahaya. Orang ini dapat menyalahgunakan senjata itu,"
jawabnya. Namun tidak setahu siapa pun, ia membawa pisau
beracun yang diambilnya di medan dan diselusupkannya di
dalam sarung pedangnya. Meskipun sarung itu terlampau
longgar, namun tangkai pisau belati itu tidak dapat masuk
seluruhnya ke dalam. Tertatih-tatih mereka pun kemudian berjalan menuju ke
gardu pengawas. Tawanan itu telah memapah pemimpin
pengawas yang masih lemah. Sedang ketiga pengawas yang
lain, betapapun lemahnya namun mereka masih harus
mengikuti dukun yang memapah pemimpin mereka dan
langsung mengawasi dengan saksama.
Sementara itu Kiai Gringsing bersama kedua anaknya telah
sibuk mencari upih atau dedaunan yang cukup lebar untuk
menampung air. Mereka harus mencairkan sejenis racun yang
ada pada Kiai Gringsing untuk memunahkan racun yang
tersebar di sekitar mayat orang berkumis itu.
Akhirnya mereka mendapatkan daun lumbu yang besar,
yang dapat mereka pergunakan seperlunya.
Dalam daun lumbu itulah mereka mencairkan racun
pemunah itu. Kedua murid Kiai Gringsing itu masing-masing
memegang selembar daun lumbu yang besar. Kemudian
setelah ditaburi racun yang dilarutkan ke dalam air, maka
cairan itu pun dipercikkan kepada mayat orang berkumis itu
dan sekitarnya. "Jangan mendekat," Kiai Gringsing memperingat"kan
kedua muridnya. Sejenak, kemudian ketiganya berdiri saja mengawasi apa
yang terjadi. Mereka tidak melihat apa pun juga selain
gelembung-gelembung kecil di kulit orang berkumis yang
sudah tidak bernyawa lagi itu. Gelembung-gelembung yang
hanya sesaat, kemu"dian pecah dan mengeluarkan asap
yang tipis. Agung Sedayu dan Swandaru berdiri membeku di
tempatnya. Meskipun mereka belum memahami betapa kerja
berjenis-jenis racun, tetapi yang mereka lihat itu telah
men"dirikan bulu roma mereka.
Bukan saja di tubuh orang berkumis itu, tetapi juga di atas
pasir dan tanah di sekitarnya. Tetapi tidak sejelas yang
mereka lihat pada tubuh mayat yang masih terbujur itu.
"Tidak ada kesempatan untuk menolong orang yang
terkena serbuk racun itu. Apalagi apabila sudah masuk ke
dalam arus pernafasan. Racun itu adalah reramuan dari jenis
racun ular dan racun tumbuh-tumbuhan yang dapat melukai
kulit," berkata Kiai Gringsing.
"Tetapi bagaimana dengan obat pemunah itu?" bertanya
Agung Sedayu. Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya,
"Tidak dapat banyak menolong seandainya racun itu belum
membunuhnya sekalipun. Aku hanya dapat memperlunak dan
mempercepat hilangnya daya perusak dari racun itu atas
jaringan-jaringan tubuh manusia, bahkan binatang yang kebal
akan racun ular sekalipun."
Kedua muridnya hanya dapat mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Kita tidak dapat berbuat apa-apa atas mayat itu hari ini.
Kita terpaksa meninggalkannya di sini."
"Bagaimana dengan binatang buas, Guru?" berta"nya
Swandaru. Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Terdengar ia
kemu"dian menjawab, "Binatang buas yang berani menjamah
mayat itu akan terkena racun pula. Harimau adalah bina"tang
yang termasuk tahan terhadap racun. Tetapi kalau ia
menjilatnya hari ini, ia pasti akan mati."
"Hanya hari ini?"
"Mudah-mudahan racun itu akan segera menjadi lemah dan
kehilangan kemampuannya yang mengerikan."
"Jadi, apakah kita tidak dapat berbuat apa-apa?" bertanya
Agung Sedayu. Gurunya menggelengkan kepalanya, "Apa boleh buat. Kita
tidak dapat mengatasi persoalannya."
Kedua muridnya itu pun mengangguk-anggukkan kepala
me"reka pula. Tetapi mereka hanya dapat berdiri tegak
me"mandangi mayat yang terbujur di tanah. Kulitnya benarbenar
menjadi seperti hangus. Apalagi di tempat-tempat yang
langsung tersentuh oleh serbuk racun yang dahsyat itu.
"Kenapa ia sendiri tidak mempergunakan pemunah atau
obat yang membuat mereka sendiri kebal akan racun?"
bertanya Swandaru tiba-tiba.
"Memang seseorang dapat membekali dirinya dengan
semacam obat yang dapat membuatnya kebal terhadap racun.
Tetapi itu pun sangat terbatas. Hanya orang-orang yang
benar-benar ahli dan menguasai persoalan segala jenis racun
sajalah yang dapat melakukannya. Seseorang yang berusaha
untuk mengebalkan dirinya terhadap racun-racun tertentu,
harus meracuni dirinya lebih dahulu. Itulah yang sulit. Kalau
takarannya tidak tepat, maka orang itu telah mem"bunuh
dirinya sendiri. Tetapi kalau ia berhasil, maka ia akan dapat
menjadi kebal untuk bertahun-tahun lamanya.
Kedua muridnya hanya dapat mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Aku pernah mempelajarinya," berkata Kiai Gringsing
kemudian, "tetapi belum sempurna sekali, sehingga aku masih
ragu-ragu untuk mencobanya. Kalau aku pada suatu saat
tidak lagi melakukan pengembaraan dan petualangan serupa
ini, mungkin aku akan berhasil setelah melakukan percobaanpercobaan
atas berjenis-jenis binatang termasuk ular, dan
tumbuh-tumbuhan." "Kapan hal itu akan Guru lakukan?" bertanya Swandaru.
"Pertanyaan aneh," sahut gurunya, "aku tidak tahu."
Swandaru mengerutkan keningnya. Dan gurunya masih
berkata terus, "Tergantung kepada keadaanku, keadaan di
sekitarku dan keadaan kalian berdua."
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling
ke arah Agung Sedayu, maka dilihatnya anak muda itu justru
menundukkan kepalanya. Swandaru pun tidak bertanya lagi. Kini ia kembali
merenungi mayat yang hangus itu.
Sementara itu, para pengawas berjalan tertatih-tatih
menuju ke gardu mereka. Dukun yang menjadi tawanan
mereka itu pun dengan tanpa dapat berbuat apa-apa, harus
memapah pemimpin pengawas yang telah dilukainya sendiri,
sedang di punggungnya, tiga ujung pedang telah siap untuk
melubangi tubuhnya apabila ia berbuat sesuatu.
Tetapi ternyata dukun itu bukan seseorang yang mudah
berputus asa. Ia masih juga mencari akal, bagaimana ia dapat
melepaskan dirinya. Ia sadar, bahwa orang ber"kumis itu telah
mati. Dengan demikian, maka ia merupa"kan tawanan tunggal
yang pasti akan dihadapkan kepada para pemimpin di
Mataram. Ia akan menjadi sumber ke"terangan tentang
keadaan di daerah yang kisruh ini.
"Kalau aku mencoba menutup mulut, aku pasti, aku akan
diperasnya sampai darahku kering," desisnya. Meskipun ia
baru berangan-angan, tetapi terasa bulu-bulu tengkuk"nya
telah berdiri. Orang-orang Mataram akan dapat banyak
berbuat hal itu. Dadanya berdesir apabila terbayang ujung-ujung pisau
yang akan menyentuhnya apabila ia kelak dihukum picis.
Hukuman yang paling terkutuk buat seorang pengkhia"nat.
"Aku pasti dianggapnya seorang pengkhianat," katanya di
dalam hati. "Ki Gede Pemanahan dan puteranya dapat saja
memutuskan untuk menghukum aku de"ngan cara demikian.
Hukum picis yang mengerikan itu."
Dengan demikian, maka dukun yang menjadi tawanan itu
masih tetap berusaha, bagaimana ia dapat lolos dari semua
kemungkinan yang mengerikan itu.
Sekali-sekali ia mencoba memandang pemimpin pengawas
yang terluka itu dengan sudut matanya. Tetapi ia tidak dapat
menangkap kesan apa pun, karena pemimpin pengawas itu
sekali-sekali masih saja menyeringai menahan sakit.
Ketika ia mencoba berpaling, terasa hampir bersamaan
ketiga ujung pedang para pengawas yang terluka itu
me"nyentuh tubuhnya.
"Kau akan berbuat sesuatu yang dapat mencelaka"kan
dirimu sendiri?" bentak Wanakerti.
Tawanan itu menarik nafas. Memang ketiga pengawas itu
selalu bersiaga dengan ujung pedangnya, sehingga se"tiap
usaha untuk melarikan diri, agaknya memang sulit dilakukan.
Namun demikian, apakah itu berarti bahwa ia harus menyerah
untuk dihukum picis"
"Aku harus menemukan cara," ia berdesis di dalam
dadanya.

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pada itu, mereka pun setapak demi setapak ma"ju.
Semakin lama menjadi semakin dekat dengan gardu
pengawas. Apabila ia kemudian meletakkan pemimpin
pe"ngawas itu di gardu, maka ketiga pengawas yang lain itu
akan segera mengikatnya kembali dan besok atau lusa
menyerahkannya kepada Ki Gede Pemanahan.
Ketika dukun itu kemudian memandang ke depan, hatinya
berdesir. Gardu pengawas itu sudah tidak begitu jauh lagi di
hadapannya. Sebelum sampai ke gardu itu ia harus mendapat
akal. Harus. Selangkah demi selangkah ia maju. Dalam pada itu
dadanya pun menjadi semakin berdebar-debar.
Namun yang dilakukan kemudian adalah menundukkan
kepalanya. Dipapahnya pemimpin yang terluka itu sebaikbaiknya.
Bahkan seperti memapah anak sendiri yang sedang
sakit. Dengan demikian ia berharap, bahwa pengawas yang lain
menjadi lengah. Ia ingin mendapat waktu sekejap saja, untuk
dapat melarikan diri seperti yang diinginkannya.
"Para pengawas itu terluka. Mereka agaknya sudah sangat
lemah. Kalau aku dapat meloncat selangkah menjauh, maka
mereka pasti tidak akan dapat mengejar aku. Agaknya aku
masih cukup kuat untuk berlari dan bersem"bunyi di dalam
hutan itu." Akhirnya dukun yang tertawan itu memutuskan, bahwa ia
akan melakukannya. Lari. Semakin dekat mereka dengan gardu pengawas, hati
dukun itu menjadi kian berdebar-debar. Ia memerlukan waktu
hanya selangkah maju. Kini mereka sudah siap memasuki halaman sempit di
depan gardu pengawas. Dengan demikian maka dukun itu pun
segera mulai mempersiapkan dirinya. Ia tidak ber"buat
sesuatu ketika mereka memasuki halaman yang ber-pagar
kayu itu. Pagar itu sama sekali tidak berarti apa-apa baginya.
Ia akan dengan mudahnya meloncati pagar yang tidak begitu
tinggi itu. Yang diperlukannya kemudian adalah kesempatan itu.
Kesempatan yang hanya sekejap saja.
Ketika mereka sudah sampai di depan gardu pengawas,
maka dukun itu merasa, waktunya memang sudah tiba. Ia
tidak dapat menunggu lagi, karena apabila sudah terlanjur
masuk, maka ia tidak akan dapat keluar lagi tanpa terikat kaki
dan tangannya. Demikianlah, maka ketika ia benar-benar sudah hampir
melangkah memasuki ruangan gardu pengawas, maka tibatiba
saja ia bertindak. Dengan kecepatan yang tinggi, ia
memutar pemimpin pengawas itu, kemudian didorongnya ke
arah ketiga pengawas yang mengikutinya.
Semua itu terjadi di dalam sekejap mata. Apalagi ketiga
pengawas itu tidak menduga sama sekali. Dukun itu
tampaknya sudah menjadi sangat jinak, bahkan berpaling pun
tidak berani lagi. Namun tiba-tiba mereka melihat pemimpin
pengawas yang terluka itu seakan-akan terlempar ke arah
mereka. Yang dapat mereka lakukan adalah menyingkirkan ujung
pedang-pedang mereka agar tidak justru mengenai
pemim"pin mereka yang terlempar itu. Namun sejenak
kemudian mereka harus berusaha menahan pemimpin
mereka yang terlempar itu agar ia tidak jatuh.
Tetapi ternyata para pengawas itu sudah begitu lemahnya.
Ketika mereka menahan pemimpin mereka, maka justru
mereka pun telah terdorong selangkah surut, ke"mudian
tanpa dapat mempertahankan keseimbangan me-reka lagi,
mereka pun berjatuhan saling menimpa, sehingga ketiganya
tidak dapat bertahan sama sekali, jatuh tindih menindih.
Sejenak dukun itu menikmati kemenangannya. Ia melihat
para pengawas itu tidak berdaya lagi. Mereka tidak akan dapat
segera bangkit dan mengejarnya. Seandai"nya salah seorang
dari mereka dapat segera bangun kem-bali, ia tidak akan
dapat berbuat banyak. Bahkan, seandainya mereka bertiga
sekalipun, dukun itu tidak akan gentar lagi menghadapinya.
Karena itu, dukun itu seolah-olah tidak menghiraukan para
pengawas itu lagi. Sejenak ia masih melihat mereka
menggeliat dan mencoba berkisar dari tempat mereka, dan
tertatih-tatih mereka mencoba untuk bangkit.
Dukun itu tertawa berkepanjangan. Ia berdiri beberapa
langkah sambil bertolak pinggang.
"Kenapa aku harus lari?" ia berkata. "Kenapa aku tidak
membunuh kalian saja?"
Ternyata ketiga pengawas yang mengawal pemimpin
mereka yang terluka itu tidak segera dapat bangkit dan berdiri
tegak. Namun demikian dukun itu berkata, "Te"tapi kalau
kalian benar-benar mengerahkan sisa-sisa tenaga ka"lian,
agaknya cukup berbahaya juga bagiku. Aku memang tidak
setangkas kawanku yang kalian bunuh itu. Namun demikian,
aku yakin kalian tidak akan dapat menangkap aku."
"Gila. Jangan mencoba berlari," desis Wanakerti.
Tetapi orang itu tertawa, "Kau akan mengejar aku"
Silahkan. Aku akan melihat apakah kalian masih mampu
melangkahkan kaki?" Wanakerti dan kedua kawannya yang sudah berhasil berdiri
menggeretakkan giginya. Mereka sadar, bahwa me"reka
sudah tidak akan dapat lagi berlari seperti apabila mereka
tidak sedang terluka. Namun demikian, Wanakerti masih
mencoba berkata, "Jangan merasa bahwa kau menang kali
ini. Kau pun pasti tidak akan dapat lari secepat yang kau
inginkan karena kau pun baru saja sadar dari pingsan yang
panjang." "Tetapi, aku sudah merasa segar sekarang," jawab orang
itu, "jauh lebih segar dari kalian yang sudah tidak mampu lagi
berdiri tegak." "Persetan," Wanakerti maju selangkah.
Orang itu mundur selangkah sambil berkata, "Ha, kau akan
mencoba mendekat" Sia-sia. Kau harus merelakan aku pergi
sekarang ke mana aku suka. Di sekitar tempat ini tidak ada
orang yang dapat membantumu. Orang-orang yang tinggal di
barak sudah lari bercerai-berai. Mungkin mere"ka kembali ke
barak atau bersembunyi di mana saja. Sedang ketiga orang,
ayah dan anaknya itu, masih sibuk mengu"rusi mayat orang
berkumis itu. Yang ada sekarang adalah kalian dan aku.
Pemimpin kalian itu sama sekali sudah tidak dapat bangkit,
dan kalian bertiga hanya mampu ber"jalan tertatih-tatih
meskipun kalian berpedang."
"Tetapi kami tidak akan membiarkan kau lari," geram salah
seorang kawan Wanakerti. Betapapun lemahnya, namun ia
melangkah maju juga berpencaran, seolah-olah mereka akan
mengepung orang berkumis itu.
Tetapi sikap para pengawas itu tampak sangat lucu di mata
dukun yang telah berhasil melepaskan diri itu. Sambil tertawa
ia berkata, "Aku seakan-akan melihat tiga ekor siput merayaprayap.
Apakah kalian ingin berlomba lari" Aku memang tidak
dapat lari setangkas kijang. Tetapi sudah pasti, jauh lebih
cepat dari tiga ekor siput. Asal aku tidak dapat kalian tipu,
maka aku pasti akan dapat menyelamatkan diri."
Ketiga pengawas itu masih juga mencoba maju.
"Cukup," berkata orang yang sudah berhasil melepaskan
dirinya itu, "kalian tidak usah merayap-rayap lagi. Aku
sekarang akan lari. Lari jauh sekali melintasi hutan dan
pegunungan. Tetapi itu akan jauh lebih baik daripada aku
kalian serahkan kepada Ki Gede Pemanahan atau puteranya,
Raden Sutawijaya." "Jangan lari. Mari kita berhadapan secara jantan."
"Kali ini aku sama sekali tidak memerlukan sikap jantan itu.
Aku lebih baik lari saja, meskipun kalian meng"anggap aku
bersikap licik, betina atau segala macam isti"lah yang paling
jelek dan menyakitkan hati. Tetapi aku tidak akan menjadi
sakit hati kemudian karena harga diri aku berbuat bodoh
melawan kalian. Sekarang, yang paling baik bagiku memang
lari. Lari sejauh-jauhnya."
Wanakerti menggeretakkan giginya. Tetapi ia memang
tidak akan dapat mengejar orang itu. Apa pun yang
dila"kukan, maka ia sudah tidak berpengharapan lagi untuk
menangkapnya. Karena itu ia hanya dapat mengumpat-umpat
meskipun ia masih juga berusaha mendekati lawannya.
Tetapi yang terdengar kemudian adalah suara tertawa.
Katanya, "Lepaskan niatmu yang gila itu. Kalian tidak akan
mampu menangkap aku kecuali ketiga orang yang menyusup
di dalam lingkungan orang-orang yang membu"ka hutan itu
datang kemari. Mereka adalah orang-orang gila yang berpurapura,"
orang itu berhenti sejenak. Lalu, "Se"lamat tinggal.
Mudah-mudahan kalian diterkam harimau lapar yang tersesat
sampai kemari." "Gila! Anak setan!" Wanakerti yang menjadi ma"rah bukan
kepalang hanya dapat mengumpat-umpat saja. Tetapi ia tidak
dapat berbuat apa-apa ketika orang itu kemu"dian memutar
dirinya dan siap untuk berlari meninggal-kan mereka.
Tetapi Wanakerti dan kedua kawannya tiba-tiba saja
terkejut bukan buatan. Ketika orang itu meloncat maju
selangkah, tiba-tiba ia tertegun. Sejenak ia terhuyung-huyung,
kemudian dengan wajah yang pucat pasi ia berpaling.
"Siapa, siapa yang telah melakukannya?"
Orang itu masih berdiri sejenak, namun kemudian tubuhnya
mulai gemetar, akhirnya ia pun terjatuh di tanah.
Wanakerti dan kedua kawannya menyaksikan hal itu
dengan pandangan yang tidak berkedip. Sejenak kemudian ia
sadar, apa yang telah terjadi.
Ternyata pemimpin pengawas yang sangat lemah itu masih
berhasil mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk
melemparkan sebilah pisau kepada orang yang akan
melari"kan diri itu, tepat mengenai punggungnya meskipun
tidak menghunjam terlampau dalam, karena tenaganya sudah
tidak memungkinkan. Tetapi sentuhan yang panas seperti
bara, kemudian perasaan sakit yang segera menjalar ke
segenap tubuh disertai kekejangan yang perlahan-lahan
mencengkamnya, dukun itu sadar, bahwa ia telah terkena
racun yang kuat sekali. Itulah sebabnya ia menjadi bingung dan tidak tahu apa
yang dilakukan, sedangkan racun itu terlampau cepat mengalir
di dalam arus darah, beredar ke segenap tubuhnya.
Ketika Wanakerti berpaling, memandang pemimpinnya,
ternyata pemimpinnya itu sudah berbaring di tanah. Nafasnya
terengah-engah dan matanya sudah separo terpejam.
"Kenapa kau?" bertanya Wanakerti sambil melangkah
mendekatinya. Ia pun kemudian bersama kawan-kawan"nya
berjongkok di sampingnya.
"Aku telah mencoba melepaskan seluruh sisa tena"ga yang
ada," suara pemimpin pengawas itu menjadi se"rak. "Aku
melemparkan pisau itu kepadanya. Terpaksa sekali, karena
tidak ada jalan lain untuk menangkapnya, meskipun kita
sangat memerlukannya."
"Ya, pisau itu mengenainya," sahut salah seorang
pengawas. "Ia akan mati karena racun yang kuat. Tunggu du"lu.
Jangan kau sentuh orang itu. Tunggulah gembala tua beserta
kedua anaknya itu. Mungkin mereka dapat memberikan
nasehat kepada kalian."
Wanakerti dan kawannya mengangguk. Namun ia tidak
sempat bertanya lagi karena pemimpin pengawas itu
kemudian jatuh pingsan. Sejenak kemudian ketiga pengawas yang telah menjadi
sangat letih itu, kebingungan. Mereka tidak tahu apa yang
harus mereka lakukan. Mereka sama sekali tidak mengerti,
bagaimana mereka harus menolong pemimpin mereka yang
pingsan karena kehabisan tenaga itu. Sedang mereka sendiri
pun rasa-rasanya hampir menjadi pingsan pula.
Wanakerti yang masih merasa paling baik di antara kawankawannya
berkata, "Tidak ada jalan lain. Aku akan
me"manggil gembala tua beserta kedua anak-anaknya itu.
Aku mengharap bahwa mereka akan dapat membantu kita."
"Ya, ternyata mereka pun memahami ilmu obat-obatan.
Bahkan mungkin lebih baik dari dukun yang terbunuh itu,"
sahut kawannya. "Tunggulah kalian berdua di sini."
Kedua kawannya itu pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun terasa tubuh mereka sendiri sudah tidak
wajar lagi. Kadang-kadang mata mereka menjadi berkunangkunang
dan seolah-olah di telinganya terngiang suara
berdesing yang berpu"taran tidak henti-hentinya.
Demikianlah, maka Wanakerti pun segera berjalan
ter"tatih-tatih mencari Kiai Gringsing beserta kedua muridnya,
yang untunglah bahwa mereka masih berdiri tegak,
menung"gui mayat orang berkumis yang menjadi ajang
pertarungan dua jenis racun.
"Mudah-mudahan aku berhasil," berkata Kiai Gringsing,
"sehingga besok mayat itu dapat dikuburkan dengan baik."
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah, kita tinggalkan saja mayat itu. Sudah tentu kita
tidak akan menungguinya sampai besok."
"Lalu, kemana kita sekarang?" bertanya Swandaru.
"Kita pulang ke barak untuk sementara."
Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Tetapi sebelum mereka beranjak dari tempat mereka,
me"reka melihat Wanakerti yang lemah berjalan tertatih-tatih
mendekati mereka. "Guru," desis Agung Sedayu, "kenapa Ki Wana"kerti
datang pula kemari?"
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya, "Marilah,
kita pergi mendapatkannya."
Ketiganya pun kemudian berjalan dengan tergesa-gesa
menyongsong Wanakerti yang sudah menjadi semakin lemah.
Nafasnya terengah-engah dan wajahnya kian menjadi pucat.
"Kenapa Tuan kemari?" bertanya Kiai Gringsing.
Wanakerti menarik nafas dalam-dalam. Sekali, dua kali,
seakan-akan ingin mengendapkan nafasnya yang melonjaklonjak.
"Panggil namaku, Wanakerti," desisnya. "Ternyata kalian
adalah orang-orang aneh di sini."
Kiai Gringsing tidak menyahut. Dibiarkannya Wanakerti
berkata selanjutnya, "Aku minta kalian datang ke gardu
pengawas." "Kenapa?"

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pemimpin kami pingsan."
"O, kenapa?" Dengan singkat Wanakerti menceriterakan apa yang sudah
terjadi atas pemimpinnya dan atas dukun yang men"jadi
tawanannya itu. "Jadi dukun itu terbunuh?" bertanya Kiai Gring"sing.
"Ya." "Tidak ada harapan untuk diobati?"
"Aku kira ia sudah mati. Aku tidak berani merabanya,
mungkin racun itu akan berpengaruh atas aku yang sudah
terlampau lemah ini."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Satu-satunya
orang yang akan dapat memberikan keterangan mengenai
teki-teki di daerah ini justru sudah terbunuh. Dengan demikian
maka mereka telah kehilangan satu-satunya sumber
keterang"an mengenai rahasia yang selama ini menyelubungi
dae"rah ini. "Kami tidak sengaja membunuhnya," berkata Wanakerti,
"tetapi agaknya memang lebih baik begitu dari"pada ia
berhasil melarikan diri dan memberikan keteranganketerangan
kepada kawan-kawannya. Sebab aku yakin
bah"wa mereka tidak berdiri sendiri. Orang berkumis, kawan
kami itu, agaknya orang yang bertanggung jawab di daerah
ini." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemu"dian katanya, "Kita masih mempunyai dua orang.
Tetapi mereka tidak akan dapat menjawab pertanyaanpertanyaan
yang penting. Mereka hanya tenaga yang
diumpankan." "Siapa?" "Orang yang tinggi kekar dan yang kekurus-kurusan itu."
Wanakerti mengangguk-angguk pula. Tetapi ia pun
sependa"pat bahwa keduanya pasti tidak akan banyak
mengetahui tentang gerakan mereka sendiri.
"Baiklah," berkata Kiai Gringsing. "Kemudian bagaimana
dengan pemimpinmu itu?"
"Ia jatuh pingsan setelah melontarkan pisau ke punggung
orang yang berusaha melarikan diri itu."
"Marilah kita lihat."
Mereka pun kemudian berjalan perlahan-lahan ke gardu
pe"ngawas karena Wanakerti sudah menjadi kian letih dan
lemah. Swandaru yang tidak telaten kemudian mendekati"nya
sambil berkata, "Marilah, aku bantu kau berjalan."
Wanakerti pun kemudian bergantung pada pundak
Swandaru. Dengan demikian maka mereka pun dapat berjalan
lebih cepat. "Mereka yang pingsan segera memerlukan bantuan,"
berkata Swandaru kemudian.
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya, "Terima
kasih," katanya. Sejenak kemudian mereka pun telah sampai ke halaman
gardu pengawas. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya
ketika dilihatnya, bukan saja pemimpin pengawas itu yang
pingsan, tetapi salah seorang dari kedua pengawas yang
tinggal, telah menjadi pingsan pula, sedang yang se"orang
lagi telah menjadi sangat lemah dan duduk di samping
kawannya yang pingsan itu.
Wanakerti pun menjadi cemas. Meskipun tubuhnya sendiri
serasa tidak bertulang lagi, namun ia berusaha secepatcepatnya
menghampiri kawan-kawannya yang pingsan.
"Kenapa mereka, Ki Sanak?" Wanakerti bertanya kepada
Kiai Gringsing yang sudah berjongkok pula di samping mereka
yang sedang pingsan. Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah
pengawas yang masih tetap sadar, meskipun menjadi lemah
sekali. Pengawas itu seakan-akan dapat mengerti pertanyaan
yang terbayang di mata Kiai Gringsing, sehingga ia menjawab,
"Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba ia pingsan."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia pun
kemudian bergumam, "Kalian terlampau lelah."
*** "Jadi, maksud Ki Sanak, mereka tidak terkena racun?"
bertanya Wanakerti. Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya.
"Tidak," jawabnya, "mereka tidak terkena racun yang lain.
Pemimpinmu ini memang terkena racun, tetapi kekuatan racun
itu sudah teratasi."
Wanakerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
kece"masan masih saja membayang di wajahnya. Dan ia pun
ber"tanya pula, "Tetapi apakah keadaan mereka tidak
ber"bahaya?" Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. "Tidak. Mereka
hanya kehabisan tenaga."
Kemudian Kiai Gringsing pun mulai meraba-raba tubuh
para pengawas yang pingsan itu. Dikendorkannya ikat
pinggang mereka, kemudian perlahan-lahan Kiai Gringsing
menggerak-gerakkan tangan pemimpin pengawas itu, sedang
Agung Sedayu melakukan hal yang sama pada pengawas
yang lain. "Swandaru," berkata Kiai Gringsing, "ambillah air dingin."
Swandaru pun kemudian mengambil air kendi di dalam
gardu pengawas. Oleh Kiai Gringsing, bibir mereka yang
pingsan itu dibasahinya dengan titik-titik air yang dingin. Setitik
demi setitik. Ternyata bahwa kesejukan air itu telah menyejukkan tubuhtubuh
yang lemah itu. Perlahan-lahan mereka mulai bergerakgerak.
Yang pertama-tama mereka lakukan adalah membuka
mata mereka dan mencoba mengenali keadaan di
sekelilingnya. Kemudian mereka mencoba mengingat-ingat
apakah yang telah terjadi atas diri mereka masing-masing.
Wanakerti menarik nafas dalam-dalam. Ternyata kedua
kawannya yang pingsan itu sudah mulai menyadari dirinya.
Bahkan pengawas yang seorang, telah berusaha untuk
bangkit perlahan-lahan. Sambil menggosok matanya ia memandang tubuh yang
terbujur berapa langkah daripadanya, "Ya, orang itu sudah
mati." "Aku menyesal," berkata Kiai Gringsing.
"Aku tidak melihat jalan lain," pemimpin pengawas itulah
yang menjawab. "Ya. Agaknya keadaanlah yang sudah menentukan. Tetapi
dengan demikian kita kehilangan sumber keterangan, dan kita
masih tetap menghadapi suatu rahasia yang gelap."
Pemimpin pengawas yang terluka itu pun kemudian
mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, dan
berusaha untuk bangkit. Agung Sedayu yang melihatnya,
segera menolongnya sehingga pemimpin pengawas itu pun
kemu"dian duduk bersandar pada tangannya. Sambil menarik
nafas dalam-dalam ia berkata, "Badanku menjadi lemah
sekali." "Beristirahatlah."
Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, "Kami semua, para pengawas sama
sekali sudah tidak berdaya lagi apabila ada sesuatu yang
terjadi di sini saat ini. Aku sendiri rasa-rasanya sudah hampir
mati, ketiga sisa orang-orangku pun agaknya sudah menjadi
sangat letih." "Untuk sementara tidak akan ada apa-apa lagi. Untuk
sementara," sahut Kiai Gringsing.
"Belum tentu. Berita kematian kedua orang itu akan segera
didengar oleh kawan-kawan mereka. Dan mereka akan
segera mengambil tindakan."
"Mungkin," Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
ke"palanya, "tetapi kematian mereka telah menutup segala
kemungkinan kita di sini untuk menyelusur suatu kumpulan
yang bagi kita sekarang masih merupakan suatu ra"hasia."
Pemimpin pengawas itu mengangguk-angguk pula.
"Karena itu," sambung Kiai Gringsing, "justru keduanya
terbunuh, maka kawan-kawan mereka akan berbuat dengan
lebih berhati-hati. Seandainya salah seorang dari mereka
masih hidup, mungkin ada usaha-usaha yang segera me"reka
lakukan untuk mengambil orangnya atau membinasakan sama
sekali." Pemimpin pengawal itu masih mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Sekarang," berkata Kiai Gringsing kemudian, "marilah kita
masuk ke dalam gardu pengawas. Agaknya gardu itu sepi."
"Ya. Beberapa orang pembantu kami agaknya menjadi
ketakutan dan bersembunyi. Aku kira mereka semua
berkumpul di dalam barak."
"Mereka harus ditenangkan."
"Ya. Tetapi kami tidak dapat berbuat banyak saat ini."
"Nantilah kita pikirkan. Marilah, kita masuk ke dalam."
Swandaru dan Agung Sedayu pun kemudian ikut pula
menolong, membimbing pengawas-pengawas yang masih
sangat lemah itu, sedang Kiai Gringsing menolong pemimpin
pe"ngawas yang agak parah itu.
Setelah mereka duduk di sebuah amben di dalam gardu,
maka pemimpin pengawas itu berkata, "Ki Sanak. Meskipun
aku belum tahu siapakah kau sebenarnya, tetapi aku telah
mempercayaimu. Karena itu selama kami tidak dapat
menjalankan tugas, maka terserahlah kepada kalian, apa yang
sebaiknya kalian lakukan di sini."
Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, "Bu"kan
begitu. Kau tetap memegang tugasmu. Kami akan
membantu." Kiai Gringsing berhenti sejenak lalu, "Te"tapi
apakah tidak ada penghubung yang selalu datang kemari?"
Pemimpin pengawas itu termangu-mangu sebentar.
Kemu"dian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Ya. Setiap kali memang ada pengawas yang datang
kemari dari pusat tanah yang baru dibuka ini. Tetapi baru dua
hari yang lalu penghubung yang terakhir datang kemari,
sehingga mungkin masih tiga empat hari lagi penghubung
berikutnya akan datang."
"Kitalah yang akan memberikan laporan," sahut Wanakerti.
"Apakah kau mampu?" bertanya pemimpin pe"ngawas itu.
"Aku mampu. Mungkin besok badanku akan terasa
bertambah baik. Dengan seekor kuda, aku kira aku akan
sampai." "Sendiri" Di dalam keadaan seperti ini, kau tidak boleh
menganggap perjalanan ke pusat kota Mataram ini seperti
sebuah tamasya yang menyenangkan."
"Berdua atau bertiga."
"Apakah kawan-kawanmu sudah siap untuk pergi" Mereka
terlampau lemah." "Besok atau selambat-lambatnya lusa, kami sudah siap
apabila penghubung dari pusat tanah Mataram belum juga
datang," sahut seorang pengawas.
"Atau," sambung Wanakerti, "barangkali kita da"pat minta
tolong kepada salah seorang dari Ki Sanak ini untuk
menemani aku pergi ke Mataram."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya sejenak. Namun
kemudian ia tersenyum sambil menyahut, "Jangan di antara
kami. Kami adalah orang-orang padesan yang sama sekali
tidak mengerti unggah-ungguh."
"Ah, kalian masih saja berpura-pura," berkata pemim"pin
pengawas itu. "Tetapi seandainya demikian itu pun sama
sekali tidak akan mengganggu, salah seorang dari kalian
hanya mengawasi selama perjalanan. Biarlah Wana-kerti nanti
yang menghadap pada pimpinan pengawal ta"nah ini."
Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, "Maaf.
Kami akan membantu kalian apa saja yang dapat kami
lakukan. Tetapi di sini. Tidak ke pusat pemerintahan dari tanah
yang baru ini." " Kenapa?" Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun katanya
kemudian, "Kami benar-benar tidak pantas. Kami adalah
orang-orang yang tidak tahu diri. Berilah kami pekerjaan di
sini. Kami akan dengan senang hati melakukannya."
Pemimpin pengawas itu merasa heran, "Kenapa gembala
itu berkeberatan apabila salah seorang dari mereka itu
mengawasi salah seorang pengawas pergi ke Mataram.
Banyak sekali dugaan yang melintas di kepalanya. Apakah
benar mereka merasa tidak pantas menghadap pimpinan
Pemerintahan Mataram, sehingga dengan demikian mereka
merasa rendah diri" Atau mereka malas untuk melibatkan diri
secara langsung di dalam persoalan ini, atau menu"rut
pertimbangan mereka, jalan ke Mataram sama sekali tidak
aman" Tetapi mustahil kalau mereka takut untuk menempuh
perjalanan itu. Pasti mereka mempunyai alasan lain. Mungkin
mereka memang merasa rendah diri, tetapi mungkin juga
mereka segan untuk melibatkan diri langsung di dalam
persoalan-persolan pengamanan daerah yang baru dibuka
ini." Karena itu maka peimimpin pengawas itu tidak mau
memaksanya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
berkata, "Baiklah. Kalian akan mendapat tugas kalian di sini.
Yang sebenarnya lebih tepat, kami akan minta tolong kepada
kalian untuk membantu kami di sini."
"Kami tidak akan berkeberatan," jawab Kiai Gringsing.
"Selama ini kalian kami minta tinggal di gardu ini."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya,
"Baiklah. Tetapi aku kira saat ini orang-orang di barak itu
menjadi tegang. Mereka harus ditenangkan."
"Ya. Kami masih akan minta kepada kalian untuk
menenangkan mereka."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baiklah," katanya, "aku akan pergi ke barak itu. Biarlah anakKang
Zusi - http://kangzusi.com/
anakku di sini. Aku akan membawa dua tiga orang untuk
menguburkan mayat itu."
"Apakah mayat itu tidak berbahaya?"
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, "Racun yang
menyerangnya langsung masuk ke dalam saluran darahnya.
Berbeda dengan serbuk racun seperti yang mem"bunuh
pengawas yang berkumis itu."
Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Nah, aku minta diri untuk pergi ke barak. Biarlah anakanakku


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelesaikan pekerjaan kalian di sini apabila
memang diperlukan." "Ya. Aku berterima kasih."
"Kalian berdua tinggal di sini. Aku kira untuk sementara
tidak akan ada apa-apa lagi. Meskipun demikian, kau berdua
jangan lengah," berkata Kiai Gringsing kepada kedua
muridnya. "Baiklah," jawab Agung Sedayu.
Namun Swandaru kemudian berkata, "Apakah hari ini tidak
ada rangsum?" "Ah," desah Agung Sedayu, "tidak ada orang yang sempat
masak pagi ini." "Mereka pasti sudah masak ketika keributan ini terjadi.
Mungkin mereka belum sempat membungkusnya. Adalah
kebetulan sekali apabila aku boleh membungkus sendiri."
"Hati-hatilah, Swandaru," berkata Kiai Gringsing, "bersihkan
tanganmu. Meskipun hanya sedikit sekali, kau pasti sudah
bersentuhan dengan racun. Kalau begitu saja kau menyuap
mulutmu dengan tanganmu, mungkin di dalam makanan itu
akan ikut tertelan racun di tanganmu itu. Walaupun tidak
membahayakan jiwa, tetapi pasti dapat menumbuhkan
gangguan pada pernafasan dan syaraf. Nah, sebelum
rangsum itu datang, bersihkan tangan dan tubuhmu."
"Kapan rangsum itu akan datang?"
"Mungkin sore nanti," Agung Sedayu-lah yang menyahut.
Swandaru berpaling. Namun kemudian ia bergumam di
dalam mulutnya sehingga tidak seorang pun yang mendengar.
Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing pun meninggalkan
gardu itu, pergi ke barak untuk menenteramkan hati orangorang
yang ada di sana. Ternyata memang seperti yang diduganya, orang-orang di
dalam barak itu pun telah dilanda oleh kebingungan,
kecemasan dan ketakutan yang amat sangat. Bahkan ada di
antara mereka yang lari dari pinggir arena perkelahian antara
pengawas berkumis dengan Agung Sedayu, masih tetap
bersembunyi. Mereka tidak berani menampakkan mereka
karena mereka menyangka, bahwa orang berkumis itu benarbenar
akan mengamuk dan membunuh setiap orang yang
dijumpainya. Ketika Kiai Gringsing sampai ke barak, dilihatnya be"rapa
orang yang ada di barak itu memandanginya seperti orang
asing. Mereka duduk di sudut-sudut sambil mengerutkan leher
mereka, bahkan ada di antara mereka yang telah
membungkus semua milik mereka.
Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar karenanya. Ia tidak
boleh salah langkah supaya orang-orang di dalam barak itu
tidak menjadi semakin ketakutan.
Karena itu, ketika ia memasuki barak itu, dicobanya untuk
tersenyum. Namun senyumnya justru membuat orang-orang
yang ada di dalam barak itu bertanya-tanya.
Meskipun demikian ada sedikit kelegaan di hati orangorang
yang ada di dalam barak itu. Ternyata orang tua itu
masih hidup. Dan ia datang ke barak itu dengan tenang.
Hampir bersamaan tumbuhlah pertanyaan di setiap dada.
"Lalu kemanakah perginya orang berkumis itu?"
Kiai Gringsing agaknya mengetahui apa yang tersimpan di
dalam hati orang-orang itu. Ia pun sadar, untuk menenangkan
mereka, mereka harus tahu bahwa orang yang mereka takuti
itu sudah tidak ada lagi. Karena itu, maka katanya, "Sekarang
kalian tidak perlu takut lagi. Aku yang hampir mati ketakutan,
sekarang sudah dapat mengangkat kepala sambil tertawa."
Beberapa orang saling berpandangan sejenak.
"Bukankah kalian takut kepada orang yang mengamuk dan
mengancam akan membunuh kita semua itu?" bertanya Kiai
Gringsing. Tanpa disadarinya, beberapa orang menganggukkan
kepalanya. "Orang itu sudah tidak ada lagi."
Orang-orang di dalam barak itu mengerutkan keningnya.
Salah seorang yang duduk di sudut memberanikan diri untuk
bertanya, "Ke mana pengawas itu sekarang?"
"Ia sudah terbunuh."
Sejenak ruangan itu menjadi sepi. Tetapi Kiai Gringsing
sadar, bahwa sebagian dari mereka hampir tidak da"pat
mempercayainya. "Orang itu terbunuh oleh racunnya sendiri. Ketika ia
mengangkat bumbung racun itu tinggi-tinggi, ternyata racun itu
sudah tumpah dan mengenai hidungnya, sehingga masuk ke
jalur pernafasannya. Akhirnya justru ia mati oleh senjatanya
sendiri." Kiai Gringsing melihat wajah-wajah yang menegang.
Me"reka saling berpandangan. Tetapi agaknya mereka tidak
meyakini. "Apakah kalian ingin melihatnya?"
Tidak seorang pun yang menjawabnya.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Agaknya
keta"kutan yang amat sangat memang telah melanda seisi
ba"rak itu. "He," berkata Kiai Gringsing kemudian, "di manakah kawankawan
yang lain" Apakah mereka pergi bekerja?"
Tidak ada jawaban. Dan Kiai Gringsing hanya menarik
nafas dan menarik nafas. Sambil menggeleng-gelengkan
ke"palanya ia pergi ke tempatnya. Kemudian duduk sambil
menggeliat, "Aku akan tidur di sini. Ternyata lebih aman
daripada di tempat-tempat lain. Semalam aku hampir terbakar
hidup-hidup." Beberapa orang di sekitarnya masih saja mematung.
Namun Kiai Giingsing tidak menghiraukan mereka lagi.
Apakah mereka mendengarkan atau tidak. Kiai Gringsing
langsung saja berbicara, "Memang mengerikan sekali. Orang
berkumis itu harus mati oleh senjatanya sen"diri. Kini kita
pasti akan merasa aman dan tidak akan ter"ganggu lagi.
Setidak-tidaknya untuk sementara."
Beberapa orang yang ada di dalam barak itu
mendengarkan kata-kata itu. Tetapi mereka masih juga
berdiam diri. Dan tiba-tiba saja Kiai Gringsing bertanya, "He, apakah
kalian sudah makan" Anak-anakku sudah lapar sejak
perkelahian itu. Mereka telah memeras tenaga. Tetapi mereka
masih belum makan." Masih belum ada jawaban, tetapi beberapa orang sudah
mulai menyadari bahwa keadaan memang sudah mu"lai
tenang. Dan seseorang yang tadi bertanya, bertanya lagi, "Jadi,
pengawas berkumis itu benar-benar sudah tidak ada lagi?"
"Percayalah. Ia sudah meninggal. Kau dapat meli"hat
mayatnya yang masih terbaring di tempatnya, karena racun
yang keras, sehingga masih terlampau berbahaya apabila
disentuh tangan." Orang itu menarik nafas dalam-dalam. "Jadi, sekarang kita
telah bebas daripadanya?"
"Ya. Kita sudah bebas."
"Kau berkata sebenarnya?"
"Percayalah. Aku tidak akan berbohong. Buat apa aku
berbohong kepada kalian?"
"Di mana anak-anakmu sekarang" Apakah mereka masih
hidup?" "Tentu. Mereka berada di gardu pengawas. Mereka sedang
merawat pemimpin pengawas yang terluka itu."
Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan seorang
yang lain berkata, "Apakah tidak akan mungkin lagi kami
dibunuh bersama-sama?"
"Siapakah sekarang yang akan membunuh kita" Kita
memang sudah bebas. Kita dapat bekerja dengan te"nang."
Kiai Gringsing berhenti sejenak. Lalu, "Tetapi, apakah
rangsum sudah datang?"
"Tidak ada yang sempat membuatnya. Di dapur pasti tidak
ada orang. Mereka bersembunyi seperti sebagian besar dari
orang-orang di sini."
"Kenapa mereka bersembunyi?"
"Mereka tidak mau mati."
"Dan kenapa kalian tidak?"
Orang-orang itu tidak segera menyahut. Sejenak mereka
saling berpandangan, seolah-olah mereka pun bertanya pula
satu kepada yang lain, seperti pertanyaan yang diucapkan
oleh Kiai Gringsing. Namun sejenak kemudian salah seorang dari mereka
menjawab, "Kami pun sudah siap untuk lari, Ki Sanak.
Beberapa orang yang ada di serambi itu akan
memberitahukan kepada kita apabila mereka melihat orang itu
da"tang. Dan kita sudah siap untuk lari menanggalkan barak
ini. Tetapi kami memang mengharap bahwa orang itu ti"dak
akan datang kemari. Karena kami baginya adalah orang-orang
yang tidak berarti sama sekali."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan
tiba-tiba saja ia bertanya, "Di mana orang yang bertubuh tinggi
kekar dan orang yang kekurus-kurusan itu?"
Orang-orang di dalam barak itu mengerutkan keningnya,
"Mereka tidak datang kemari. Mungkin mereka ada di dapur."
Kiai Gringsing termenung sejenak. Keduanya yang sudah
sangat lemah itu pasti tidak akan dapat pergi terlampau jauh.
Apalagi orang yang kekurus-kurusan itu. Tenaga"nya seakanakan
sudah habis diperas di perkelahian melawan Swandaru.
"Aku akan pergi ke dapur," desis Kiai Gringsing, "aku sudah
sangat lapar. Apalagi anak-anakku."
"Di manakah mereka sekarang?" bertanya seseo"rang.
"Di gardu pengawas."
Orang-orang itu pun kemudian terdiam. Meskipun pada
so"rot mata mereka memancar berbagai pertanyaan, namun
mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi.
Kiai Gringsing pun kemudian meninggalkan barak itu dan
pergi ke barak yang lain, yang dipergunakan sebagai dapur
dan penampungan perempuan dan anak-anak.
Kiai Gringsing terkejut ketika ia memasuki barak itu.
Suasananya benar-benar seperti suasana kuburan. Meskipun
perempuan dan anak-anak tidak melihat apa yang terjadi,
tetapi agaknya mereka memang sudah mendengar, bahwa
telah terjadi sesuatu yang dapat mengancam ketenangan
mereka. Di barak itu, Kiai Gringsing melihat beberapa orang
perempuan memeluk anak-anaknya sambil menyediakan
barangnya, pakaiannya dan semua miliknya yang telah
terbungkus dengan kain di sisinya. Agaknya ia merasa, bahwa
apabila ia harus lari meninggalkan barak itu semuanya sudah
dipersiapkannya. Ternyata kedatangan Kiai Gringsing telah mengejutkan
mereka. Mereka yang ketakutan menjadi semakin ketakutan.
Anak-anak sudah tidak berani menangis lagi. Mereka
menahan isak mereka di dalam dada, sehingga dada mereka
justru menjadi terlampau sakit.
Kiai Gringsing menyadari keadaan itu. Karena itu, maka
untuk mengurangi ketegangan, ia bertanya kepada siapa pun
yang ada di dalam barak, "He, apakah kalian sudah menanak
nasi?" Tidak seorang pun yang menjawab.
"Bukankah biasanya kalian membantu menanak nasi dan
menyiapkan makan orang-orang yang akan bekerja di hutan?"
Tidak seorang pun yang menyahut. Tetapi beberapa orang
menganggukkan kepalanya. "Agaknya kalian telah terpengaruh oleh keributan itu.
Kenapa kalian menjadi ketakutan" Semuanya seka"rang
sudah diselesaikan. Kalian harus percaya kepada pa"ra
pengawas. Ternyata para pengawas sudah berhasil
mengatasi keadaan yang sebenarnya memang tidak berarti
apa-apa. Hanya keributan kecil yang segera dapat dikuasai."
Beberapa orang saling berpandangan sejenak. Tetapi
tampak wajah-wajah mereka dibayangi oleh kebimbangan.
"Apakah kalian ragu-ragu?"
Tidak ada yang menjawab. Namun hampir bersamaan
beberapa orang memandang ke pintu butulan yang menuju ke
dapur. Kiai Gringsing adalah orang tua yang berpengalaman.
Pandangan beberapa orang itu agaknya telah menarik
perhatiannya. Karena itu, maka ia pun maju selangkah sambil
berkata, "Aku akan melihat, apakah kalian sudah mulai
masak." Beberapa wajah menegang karenanya. Tetapi Kiai
Gringsing pura-pura tidak mengetahuinya. Ia maju selangkah
lagi sambi1 berkata, "Kalau sudah ada nasi saja yang masak,
maka cukuplah kiranya. Nasi dan garam."
Perempuan-perempuan itu menjadi semakin tegang. Tetapi
tidak seorang pun yang mencegah Kiai Gringsing. Namun
semua memandanginya dengan mata yang hampir tidak
berkedip. Kiai Gringsing menyadari keadaan itu. Karena itu, ia pun
menjadi semakin berhati-hati. Dengan penuh kewaspadaan ia
mendekati pintu butulan. Kemudian dengan kesiagaan
sepenuhnya ia melangkah masuk ke dapur.
Tetapi ia tidak segera melihat seseorang. Namun Kiai
Gringsing yang mempunyai pendengaran yang tajam, segera
mendengar arus nafas di sekitar ruangan itu.
Ketika Kiai Gringsing memandang berkeliling ruangan yang
belum pernah dimasukinya sebelumnya itu, dilihat"nya
sebuah pintu butulan pula. Dan Kiai Gringsing yakin, suara
tarikan nafas itu berasal dari luar pintu.
Sejenak Kiai Gringsing berdiri di tempatnya. Dipandanginya
keadaan di sekelilingnya. Ruang itu memang sepi. Tidak ada
seorang pun di dalamnya. Beberapa peralatan dapur masih
berserakan di sana-sini. Kelapa yang baru se-paro selesai
diparut. Nasi yang sudah masak, tetapi masih belum sempat
disenduk dari kukusan, sementara api di perapian sudah
padam. "Dapur ini agaknya telah ditinggalkan dengan tergesagesa,"
berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. "Ter"nyata di
sini tidak ada seorang laki-laki pun. Semua orang laki-laki
melarikan diri, bersembunyi atau pergi ke barak sebelah
mencari kawan. Di sini tinggal beberapa orang perempuan
dan anak-anak yang sudah siap pula untuk lari."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya ketika ia mendengar
suara nafas itu lagi. Lebih jelas lagi. Apalagi kalau ia sendiri


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menahan nafasnya. Maka tarikan nafas yang didengarnya itu
seperti hembusan angin di lubang-lubang dinding dapur itu.
Perlahan-lahan, Kiai Gringsing maju mendekati pintu
bu"tulan. Ia sendiri berusaha untuk mengatur pernafasannya
supaya orang di balik pintu itu tidak mendengarnya.
Kiai Gringsing berhenti beberapa langkah di depan pintu.
Sejenak ia berdiri tegang. Namun kemudian ia meneruskan
langkahnya. Dari tarikan nafas orang itu Kiai Gringsing segera
mengetahui, bahwa orang itu tidak terlampau berbahaya
baginya, atau orang itu sengaja memancingnya.
Namun Kiai Gringsing kemudian menyadarinya bahwa
suara tarikan nafas itu bukan sekedar tarikan nafas
seseorang. Tetapi, pasti dua orang.
Sejenak kemudian Kiai Gringsing telah melekat pintu
leregan itu. Dengan hati-hati ia menempelkan telinganya.
"Tidak salah lagi. Dua orang."
Tiba-tiba tangannya menghentakkan daun pintu butulan itu.
Ketika pintu itu terbuka dilihatnya sebuah ruang ke"cil.
Serambi yang diberi dinding.
Ketika ia melangkah masuk, di dalam ruang yang agak
kegelapan karena tidak ada seberkas sinar pun yang ma"suk,
Kiai Gringsing melihat dua orang yang terbaring di lantai.
Salah seorang dari mereka mencoba untuk berdiri. Tetapi ia
sudah tidak dapat tegak dengan segera. Sambil berpegangan
tiang akhirnya ia berhasil berdiri juga. Orang itu adalah orang
yang bertubuh kekar, yang sudah dikalahkan oleh Swandaru.
"Kau," desis orang itu.
"Ya." "Apa maksudmu datang kemari?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin melihat, apakah kau dapat
lari jauh dari tempat ini."
"Aku hampir mati kehabisan tenaga. Kawanku ini juga.
Karena itu aku beristirahat di sini."
"Sebelum melarikan diri?"
"Kami tidak akan melarikan diri."
"Selagi kalian masih belum sehat benar. Tetapi pada
saatnya kalian akan lari juga."
Orang itu menggeleng, "Aku tidak akan lari."
Kiai Gringsing tidak menyahut lagi. Dilihatnya orang yang
kekurus-kurusan yang tubuhnya penuh dengan jalur-jalur
bekas ujung senjata Swandaru itu pun mencoba untuk
bang"kit dan duduk. Namun ia masih selalu menyeringai
menahan sakit. "Berbaringlah," berkata Kiai Gringsing. Tetapi orang itu
agaknya tidak menghiraukannya. Dengan susah payah
akhirnya ia berhasil duduk bersandar kedua tangan"nya.
"Seluruh tubuhku terasa sakit dan pedih seperti berbaring di
atas bara," desisnya.
"Tetapi itu akan lebih baik daripada kau mencoba berbuat
sesuatu. Luka-lukamu akan berdarah lebih banyak lagi.
Kekuatanmu akan menjadi semakin susut. Dan barangkali kau
akan pingsan sekali lagi untuk waktu yang lebih lama. Bahkan
kalau kau tidak menjaga dirimu baik-baik, kau akan pingsan
selama-lamanya." "Kau menakut-nakuti aku."
"Tidak. Aku berkata sebenarnya. Dan kau sekarang
memang tidak perlu takut lagi kepadaku. Apalagi kepada
hantu-hantu yang akan marah karena aku dan anak-anakku."
Wajah keduanya menjadi tegang.
"Sudah aku katakan. Jangan terlampau menghirau"kan aku
dan anak-anakku. Biarlah kami ditelan hantu-hantu itu.
Sekarang akibatnya kau sendirilah yang menanggung,"
berkata Kiai Gringsing. "Karena kau ingin menyelamat"kan
orang-orang di barak itu, maka kau telah menumbuhkan
keonaran." "Kami tidak bermaksud membuat keonaran," ber"kata
orang yang kekurus-kurusan itu. "Kami tetap pada pendirian
kami, hantu-hantu itu akan dapat marah kepada kami
semuanya. Kepada kita."
"Sekali lagi aku katakan. Jangan hiraukan kami."
"Tidak mungkin."
"Dengar. Apakah wajar kalau kalian mencoba mencegah
kemungkinan malapetaka melanda seisi barak karena hantuhantu
itu marah, tetapi pengawas berkumis yang garang itu
akan membunuh orang-orang itu."
"O, benarkah begitu?"
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya kemudian,
"Orang berkumis itu sudah mati. Dukun itu pun sudah mati
pula. Yang tinggal adalah kalian berdua."
"Kenapa dengan kami berdua?"
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, "Tidak apa-apa.
Tetapi kenapa kalian berada di sini" Tidak di barak?"
"Aku merasa lebih tenang di sini. Sakit kami tidak
terganggu dan kami dapat beristirahat."
Kiai Gringsing tidak menyahut lagi. Tetapi ia masih berdiri
di tempatnya. Sejenak ia merenungi keduanya. Ia menjadi
ragu-ragu. Apakah ia akan segera mengobati keduanya atau
tidak. Tetapi justru karena luka-luka keduanya tidak berbahaya
bagi jiwa mereka, maka Kiai Gringsing mengambil keputusan
untuk membiarkan saja mereka dahulu, agar mereka tidak
dapat pergi meninggalkan tempat itu.
"Bagaimanapun juga, keduanya masih diperlukan," katanya
di dalam hati, "meskipun pengetahuannya tentang
lingkungannya terlampau sedikit, tetapi mungkin ia dapat
menunjukkan jalur yang dapat ditelusur lebih jauh, sehing"ga
akhirnya dapat diketemukan pusat dari usaha yang masih
belum dapat diketahui dengan pasti itu."
"Sudahlah," berkata Kiai Gringsing kemudian, "aku juga
tidak akan mengganggu kalian. Beristirahatlah."
Kedua orang itu tidak menjawab. Mereka memandang saja
wajah Kiai Gringsing dengan sorot mata yang membayangkan
keheranan. Mereka sama sekali tidak berbuat apa pun ketika
Kiai Gringsing kemudian melangkah meninggalkan ruangan
itu. Dimuka pintu ia berpaling sambil berkata, "Kalian memang
harus beristirahat. Tidurlah supaya keadaan tubuh kalian
segera menjadi baik."
Kedua orang itu sama sekali tidak menjawab, selain
memandang dengan mata mereka yang hampir tidak
berkedip. Tetapi keduanya terkejut ketika Kiai Gringsing kemudian
tidak saja menutup pintu. Tetapi pintu itu di selaraknya dari
luar. "He, Ki Sanak," orang yang kekar itu berteriak, "apa artinya
ini?" "Tidak apa-apa," jawab Kiai Gringsing dari luar, "supaya
kalian dapat beristirahat dengan tenang. Jangan cemas, aku
tidak akan pergi jauh. Aku selalu ada di sekitar tempat ini,
sehingga apabila kalian memerlukan aku, kalian dapat
berteriak memanggil."
"Tetapi kenapa pintu itu diselarak?"
"Tidak apa-apa. Sudah aku katakan, tidak apa-apa."
"Buka sajalah. Buka sajalah. Kalau aku memerlukan keluar
dari tempat ini, aku tidak usah berteriak memanggil siapa
pun." "Jangan," sahut Kiai Gringsing, "nanti kau akan terganggu
oleh orang-orang yang keluar masuk ruangan ini."
"Tidak, tidak," dan tiba-tiba saja tertatih-tatih orang yang
tinggi kekar itu melangkah ke pintu. Sambil memukul-mukul
daun pintu leregan ia berkata, "Buka, buka pintu ini."
"Tentu, nanti aku akan membukanya. Sekarang biarlah saja
dahulu. Jangan hiraukan pintu itu. Sudah aku katakan, kau
akan dapat beristirahat dengan tenang."
Kiai Gringsing pun kemudian tidak menghiraukan orang itu
lagi, meskipun ia masih memukul-mukul pintu. Meskipun
demikian, orang tua itu masih juga ragu-ragu meninggalkan
tempat itu. Perlahan-lahan saja ia melangkah memasuki ruang
yang lain. Dilihatnya beberapa orang perempuan dan anak-anak
menjadi semakin cemas. Tetapi tidak seorang pun dari
me"reka yang bertanya kepadanya apa yang telah terjadi.
"Jangan takut," berkata Kiai Gringsing, karena ia yakin,
perempuan-perempuan itu telah mendengar suara orang yang
tinggi kekar itu berteriak-teriak. Katanya kemudian, "Orang itu
tidak akan terbuat apa-apa. Ia marah kepadaku. Tidak kepada
kalian. Aku sengaja menutup dan menyelarak pintu itu dari
luar. Jangan dibuka, supaya ia tidak pergi."
Perempuan dan anak-anak itu memandanginya seperti
memandang sebuah tontonan yang paling mencemaskan,
seperti mereka melihat seorang penari yang kehilangan
kesadaran oleh irama gamelan yang cepat dan menikam
dirinya sendiri meskipun tidak terluka.
Kiai Gringsing sadar sepenuhnya akan hal itu. Perempuan
dan anak-anak itu memang telah dicengkam oleh
kece"masan. Tetapi mereka tidak berani mengatakannya.
"Mereka memerlukan perlindungan," berkata Kiai Gringsing
di dalam hatinya. "Sayang, bahwa laki-laki yang ada di barak
itu telah terpengaruh oleh lingkungan yang dibangkitkan oleh
orang-orang itu, sehingga selalu diliputi oleh ketakutan.
Bahkan para pengawas pun telah terpengaruh pula, justru
karena di dalam lingkungan mereka pun terda"pat seorang
yang ikut serta di dalam usaha menakut-nakuti para pekerja."
Dalam pada itu, tiba-tiba saja Kiai Gringsing teringat
kepada kedua muridnya. Mungkin ia dapat membagi tugas.
Salah seorang tetap di gardu pengawas, yang lain
menung"gui kedua orang ini.
Kiai Gringsing tiba-tiba mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya kepada perempuan dan anak-anak yang ketakutan
itu, "Tunggulah sebentar. Aku akan mencari kawan untuk
kalian." Kiai Gringsing pun kemudian segera pergi dengan tergesagesa
kembali ke barak. Ia mengajak beberapa orang yang
masih mempunyai sedikit keberanian untuk mengubur mayat
dukun yang terbunuh oleh pisau belati beracun, pisaunya
sendiri yang dilemparkannya kepada pemimpin pengawas,
tetapi yang kemudian justru kembali menikam punggungnya.
Kepada beberapa orang yang lain ia berpesan, bahwa
sebentar lagi anaknya akan datang dan memerlukan beberapa
kawan sekedar untuk menghilangkan kejemuan, me"nunggui
kedua orang yang sedang beristirahat di sebelah dapur.
Agung Sedayu-lah yang kemudian mendapat tugas untuk
menunggui kedua orang yang berada di serambi dapur itu.
Bersama dua orang yang diajaknya dari barak, ia pergi ke
tempat kedua orang itu terkurung.
"Apakah mereka tidak melarikan diri?" bertanya salah
seorang dari dua orang yang diajaknya itu.
"Menurut ayahku, pintunya telah diselarak dari luar."
"Tetapi mereka pasti dapat membuka dinding yang tidak
terlampau kuat. Melepas tali-talinya kemudian menyuruk
keluar." "Keduanya sangat lemah," jawab Agung Sedayu. "Menurut
Ayah keduanya tidak akan mampu berbuat banyak."
(***) Buku 56 KEDUA orang kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi tiba-tiba salah seorang dari mereka
bertanya, "Apakah benar orang tua itu ayahmu?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya, "Ya, kenapa?"
jawabnya. "Wajahmu sama sekali tidak mempunyai persamaan
dengan orang tua itu. Apakah kau anak tirinya?"
"Bukan, aku memang anaknya."
"Saudaramu, yang bernama Sangkan itu pun tidak mirip
sama sekali dengan ayahmu, dan dengan kau sendiri."
Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, "Kalau ia tidak
segemuk itu, kalian akan segera melihat persamaan itu. Tetapi
ia menjadi sangat gemuk, sehingga kehilangan bentuk."
Kedua orang yang mengawaninya itu pun menganggukanggukkan
kepalanya. Mereka mencoba membayangkan
wajah Swandaru apabila ia tidak menjadi segemuk itu.
"Mungkin, mungkin," yang seorang berdesis.
"Apa yang mungkin?" bertanya kawannya.
"Kalau anak muda itu tidak terlampau gemuk. mungkin ia
mirip dengan kakaknya dan ayahnya."
"Tetapi," bertanya yang lain, "kenapa adikmu dapat
segemuk itu, tetapi kau tidak?"
"Anak itu lahir di musim hujan, dan aku lahir di musim
kemarau," jawab Agung Sedayu sambil tersenyum.
Kedua orang itu pun tersenyum pula. Sekilas mereka
melupakan kecemasan yang selama ini telah mencengkam
seluruh isi barak, dan orang-orang yang masih bersembunyi di
sekitar tempat itu. Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri. Mereka
melangkahkan kaki mereka dengan ayunan yang teratur,
justru karena mereka sedang tenggelam dalam angan-angan
masing-masing. Kadang-kadang terlintas di kepala kedua orang yang
mengawani Agung Sedayu itu, ketakutan dan kecemasan
yang selama ini selalu menghantui seisi barak dan bahkan
para pengawas. Anak muda itu, bersama adik dan ayahnya,
ternyata telah melahirkan suasana yang baru bagi mereka,
meskipun mereka masih belum tahu pasti, apakah yang akan
terjadi selanjutnya tanpa orang yang kekar, yang kekuruskurusan
dan orang-orang lain yang selama ini memegang
sebagian besar peranan di dalam lingkungan mereka.
"Orang-orang ini akan segera menggantikan mereka,"
berkata kedua orang itu di dalam hatinya, "dan kami
semuanya masih belum mengetahui, apakah keadaan akan
menjadi lebih baik atau bahkan sebaliknya?"
Sambil merenungi angan-angan masing-masing, maka
mereka pun kemudian menjadi semakin dekat dengan barak
yang sebagian telah dipergunakan sebagai dapur.
"Kita sudah hampir sampai," desis Agung Sedayu.
"Ya. Tetapi bagaimana kalau kedua orang itu sudah
menjadi pulih kembali dan melarikan diri?"
"Kita akan mencegah mereka."
"Kalau mereka melawan?"
"Kita akan menangkap mereka."
Kedua kawan Agung Sedayu itu tidak menyahut. Tetapi


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka merasa ngeri apabila mereka pun harus berkelahi
menangkap kedua orang yang selama ini mereka takuti.
Terlebih-lebih lagi orang yang tinggi dan kekar itu, meskipun
ternyata bahwa orang yang kekurus-kurusan itu mempunyai
peranan yang lebih penting dari orang yang tinggi kekar itu.
Ketika mereka memasuki pintu barak itu, mereka masih
melihat perempuan dan anak-anak duduk diam di tempatnya.
Seakan-akan mereka sama sekali tidak berani beranjak dari
tempat mereka. Dengan wajah yang tegang dan dibayangi
oleh ketakutan, mereka memandang ketiga orang yang
memasuki barak mereka itu.
Sejenak, Agung Sedayu dan kedua kawannya berdiri saja
di muka pintu nemandangi seisi barak. Namun sejenak
kemudian, maka Agung Sedayu pun berkata, "Kami bertiga
datang untuk menemani kalian di barak ini, supaya kalian tidak
terlampau ketakutan. Kami akan mencoba menjaga kalian dari
segala macam kemungkinan yang tidak kita kehendaki
bersama-sama." Beberapa orang perempuan saling berpandangan. Tetapi
sorot mata mereka masih tetap membayangkan keraguraguan
dan kebimbangan. "Ya," sahut salah seorang kawan Agung Sedayu, "kami
akan berada di tempat ini untuk beberapa saat. Bukankah
kalian tidak berkeberatan?"
Sekali lagi perempuan-perempuan yang ada di dalam barak
itu saling berpandangan. Tetapi mereka masih tetap berdiam
diri. Namun demikian, karena kedua kawan Agung Sedayu itu
telah mereka kenal dengan baik sebelumnya, maka
kedatangan mereka benar-benar telah mengurangi perasaan
takut yang mencengkam. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun berkata
kepada kedua kawannya, "Tinggallah kalian di sini. Aku akan
melihat, apakah kedua orang itu masih ada di tempatnya?"
Agung Sedayu tidak menunggu jawaban kawan-kawannya.
Ia pun segera melangkah masuk lewat pintu butulan sampai
ke dapur. Kemudian seperti petunjuk yang sudah diberikan
oleh Kiai Gringsing, ia pergi ke pintu yang masih diselarak.
Di muka pintu. itu Agung Sedayu berhenti sejenak. Dengan
seksama ia mencoba mendengarkan tarikan nafas dari
dalamnya, sedang ia sendiri berusaha untuk menahan
nafasnya sebaik-baiknya. "Mereka masih ada di dalam," desis Agung Sedayu di
dalam hatinya. Namun demikian Agung Sedayu menjadi curiga, karena ia
mendengar suara gemerisik dan derak bambu yang patah.
"Apakah yang mereka lakukan?" bertanya Agung Sedayu
kepada dirinya sendiri. Kecurigaan Agung Sedayu pun bertambah-tambah pula,
karena suara itu semakin lama justru menjadi semakin keras,
sejalan dengan tarikan nafas yang semakin memburu.
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Ia tidak
mendapat lubang yang cukup besar untuk mengintip apa saja
yang telah mereka lakukan di dalam bilik yang sempit itu.
Karena Agung Sedayu tidak ingin menduga-duga saja
untuk selanjutnya, maka Agung Sedayu pun dengan hati-hati
mendekati selarak pintu butulan. Perlahan-lahan pula ia
mengangkat selarak itu. Kemudian menyentak ia mendorong
pintu butulan itu ke samping, sehingga pintu itu pun terbuka.
Dada Agung Sedayu berdesir. Ia melihat orang yang tinggi
kekar itu, betapapun lemahnya masih mencoba untuk
membuka dinding bilik yang tidak terlampau kuat itu.
Betapa terkejut mereka berdua ketika mereka menyadari,
bahwa pintu yang diselarak itu kini sudah terbuka, dan
seorang anak muda berdiri di muka pintu itu sambil
menyaksikan apa yang telah mereka lakukan,
Sejenak Agung Sedayu berdiri tegang memandang orang
yang tinggi kekar, yang masih mencoba membuka dinding.
Namun tanpa sesadarnya ia pun kemudian melangkah maju
mendekatinya sambil berkata, "Apakah kau masih berusaha
untuk lari?" Tanpa diduga-duga, orang yang tinggi kekar itu
mengerahkan segenap tenaga yang masih tersisa padanya.
Dengan serta-merta ia berdiri dan menyerang Agung Sedayu.
Agung Sedayu yang mengerti benar, bahwa orang itu
sebenarnya sudah terlampau lemah, sama sekali tidak
melawan. Ia hanya mengelakkan dirinya. Selangkah ia
bergeser ke samping sambil memutar tubuhnya.
Ternyata, karena serangannya sama sekali tidak
menyentuh anak muda itu, orang yang kekar itu terdorong
oleh sisa kekuatannya sendiri, yang sudah dihentakkan
sejauh-jauh dapat dilakukan. Sehingga dengan demikian, ia
terhuyung-huyung dan dengan kerasnya jatuh terjerembab.
Kepalanya membentur tiang barak itu, yang untung, terbuat
dari bambu, sehingga tidak begitu menyakitinya.
Namun demikian, sisa tenaga orang itu seakan-akan benarbenar
telah terkuras habis. Dengan demikian, maka orang
yang tinggi kekar itu sama sekali tidak lagi menyimpan tenaga
yang cukup dapat membawanya bangkit.
Agung Sedayu menarik nafas menyaksikan orang itu
terbaring diam. Namun dari sorot matanya, Agung Sedayu
masih dapat membaca apa yang tergores di hatinya. Agaknya
orang itu cukup keras kepala.
"Kau berbaring saja di situ?" bertanya Agung Sedayu
kepada orang yang tinggi kekar.
Orang itu menggeram, sekilas dipandanginya kawannya
yang masih juga terlampau lemah, berbaring di tengah-tengah
ruangan. "Seandainya kau berbasil membuka dinding ruangan ini,
apa yang akan kau lakukan?" bertanya Agung Sedayu pula.
Orang itu masih tidak menjawab.
"Apakah kau akan lari" Seandainya kau dapat melarikan
dirimu, bagaimana dengan kawanmu yang sudah sangat
lemah ini?" Sekali lagi orang yang tinggi kekar itu menggeram. Tetapi
ia masih belum dapat bangkit. Dipandanginya saja Agung
Sedayu dengan sorot mata yang semakin menyala.
"Kau telah melakukan sesuatu yang ternyata merugikan
dirimu sendiri," berkata Agung Sedayu. Lalu, "Usahamu untuk
melarikan diri, telah menumbuhkan suatu keinginan padaku
untuk mengikatmu pada tiang barak ini."
"Gila!" tiba-tiba orang itu membentak.
"Kalau kemudian kekuatanmu pulih kembali, dan kau
memaksa untuk lari, maka tiang barak yang tidak begitu kuat
ini akan terseret dan atap ini akan runtuh menimpa kau dan
kawanmu itu." "Gila, kau benar-benar anak gila! Aku tidak mau, aku tidak
mau!" "Tentu kau tidak mau. Tetapi seperti kawanmu yang lemah
sekali itu pun pasti tidak mau apabila adikku bertanya
kepadanya, apakah ia mau dipukuli dengan cambuk" Juga
pemimpin pengawas itu akan membiarkan dirinya terluka di
punggung" Tentu tidak. Tetapi kita kadang-kadang memang
harus menerima perlakuan yang tidak sesuai dengan
keinginan kita sendiri. Bukankah begitu?"
"Persetan!" "Tetapi, terpaksa sekali. Terpaksa sekali, aku berbuat
demikian." Wajah orang yang tinggi kekar itu tiba-tiba menyala. Ia
masih berusaha untuk bangkit. Tetapi tubuhnya memang
sudah terlampau lemah, sehingga ia harus berpegangan pada
dinding. "Kau jangan berbuat gila!" orang itu masih mencoba
berteriak. "Tidak. Aku berbuat demikian, karena kau sama sekali tidak
mau menunjukkan sikap bersahabat. Kau masih juga ingin
melarikan diri." Wajah orang itu kini berubah menjadi liar. Sejenak ia
memandang berkeliling. Kemudian dengan tiba-tiba saja ia
meloncat dan mencoba berlari menerobos pintu.
Agung Sedayu tidak segera mengejarnya. Ia tahu bahwa
orang itu tidak mempunyai tenaga yang cukup untuk melarikan
diri dari bilik itu. Dengan demikian, maka dengan tenang
Agung Sedayu melangkah ke luar pintu ruangan itu.
Ia menarik nafas ketika ia melihat orang yang tinggi kekar
itu terjerembab di muka perapian. Untunglah bahwa api
memang sudah padam, sehingga tangannya yang terperosok
ke dalamnya tidak terbakar karenanya, meskipun abunya
masih cukup panas. "Sudah aku katakan," berkata Agung Sedayu, "kau masih
terlampau lemah. Dan kau tidak akan dapat ingkar dari
perlakuan yang harus kau jalani. Marilah, aku tolong kau
kembali ke ruang kecil itu."
"Tidak, tidak!"
Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya lagi.
Diangkatnya orang itu untuk berdiri dan dipapahnya kembali
ke dalam bilik sempit dan pengap itu.
Meskipun orang itu masih berusaha melawan, bahkan
mencoba mencekik Agung Sedayu yang memapahnya,
namun Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Dengan
mudahnya ia mengibaskan tangan orang itu sambil berkata,
"Jangan berbuat demikian, nanti aku banting kau."
Orang itu menggeram. Namun ia memang tidak dapat
berbuat apa-apa lagi. Tulang-tulangnya serasa sudah terlepas
dari tubuhnya, dan otot-ototnya menjadi tidak bertenaga.
Karena itu, ia tidak dapat berbuat lain kecuali menurut saja,
dibawa oleh Agung Sedayu ke dalam bilik yang sempit itu.
"Tunggulah di sini sebentar, aku akan mencari seutas tali."
"Gila!" ia menggeram.
Agung Sedayu tidak menyahut. Ia melangkah keluar
meninggalkan orang itu duduk bersandar di dinding. Namun
Agung Sedayu tidak lupa menyelarak pintu itu rapat-rapat.
Ketika ia masuk ke ruang sebelah, ia masih tetap melihat
orang-orang yang kecemasan. Bahkan kedua kawannya pun
tampaknya masih juga ragu-ragu menghadapi keadaan.
Ketika keduanya melihat Agung Sedayu, maka dengan
serta-merta keduanya bertanya hampir berbareng, "Sudah?"
Agung Sedayu mengerutkan keningnya, "Apa yang sudah?"
ia bertanya. "Apakah kita sudah selesai dan dapat kembali ke barak kita
sendiri?" bertanya salah seorang dari mereka.
Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya
orang-orang di tempat ini benar-benar telah dicengkam oleh
ketakutan dan kecemasan. Namun jawabnya kemudian, "Kita
tidak sekedar melihat orang-orang yang ada di sebelah dapur
itu. Kita harus menungguinya. Jadi, tugas kita masih panjang."
"Di sini?" "Apa salahnya" Bukankah kita memang harus melindungi
perempuan dan anak-anak" Bukankah perempuan yang ada
di barak ini dan anak-anaknya adalah isteri kalian dan anakanak
kalian?" "Aku belum beristeri," berkata salah seorang dari keduanya.
"Aku juga belum," jawab Agung Sedayu, "tetapi adalah
kuwajiban kita melindungi perempuan dan anak-anak."
Kedua kawannya itu saling berpandangan. Dan mereka
mendengar Agung Sedayu meneruskan, "Seharusnya kita
berbuat sesuatu yang dapat memberikan ketenteraman di hati
perempuan dan anak-anak di sini. Bukan sebaliknya."
Kedua orang itu tidak menyahut. Mereka menundukkan
kepala mereka. Tetapi mereka tidak dapat mengusir begitu
saja perasaan takut dan cemas yang seakan-akan sudah
bersarang di dalam hati mereka. Namun demikian, mereka
mengerti apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Mereka
memang tidak boleh menambah ketakutan dan kecemasan di
dalam barak ini. "Duduklah di situ," berkata Agung Sedayu kemudian,
"kawani perempuan dan anak-anak yang ketakutan. Kalian
harus yakin bahwa untuk sementara pasti tidak akan terjadi
apa-apa. Dan dalam waktu yang sementara itu, para
pengawas sudah akan dapat membuat hubungan dengan
induk pasukan mereka. Kalian tidak akan ditakut-takuti lagi."
Kedua orang itu memandang Agung Sedayu sejenak.
Salah seorang dari keduanya mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil berkata, "Ya. Mudah-mudahan."
"Aku yakin. Kalian pun harus yakin."
Keduanya mengangguk-angguk pula. Namun salah
seorang dari mereka kemudian bertanya, "Sekarang kau mau
ke mana?" "Tidak ke mana-mana. Aku memerlukan seutas tali."
"Untuk apa?" "Untuk mengikat pintu," jawab Agung Sedayu sambil
melangkahkan kakinya ke luar barak.
Di halaman, Agung Sedayu mendapatkan beberapa potong
tali dari bambu bekas pengikat kayu. Tetapi ketika ia
mengambil tali itu, terasa tali itu terlampau keras.
"Tali-tali ini akan melukai tangannya," katanya kepada diri
sendiri. Karena itu, maka Agung Sedayu pun tidak mau
mempergunakannya, ia mencari tali yang lebih lunak lagi. Tali
dari sabut. Akhirnya ia menemukannya di sudut barak itu. Mungkin tali
itu bekas tali pengikat barang-barang dan alat-alat untuk
dapur. Meskipun tali itu bukan dari sabut, tetapi dari lulup
kayu, namun tali itu cukup lunak untuk mengikat orang yang
keras kepala itu. Agung Sedayu pun kemudian membawa tali itu masuk ke
dalam bilik kecil di sebelah dapur. Orang yang tinggi kekar itu
telah merangkak dan bergeser dari tempatnya. Ia masih
berusaha melepas tali-tali dinding. Tetapi ia masih belum
berhasil ketika Agung Sedayu masuk ke dalam bilik itu.
"Tidak. Aku tidak mau!" orang itu tiba-tiba berteriak ketika ia
melihat Agung Sedayu membawa seutas tali.
"Jangan melawan," berkata Agung Sedayu, "kalau kau
melawan, tanganmu mungkin akan terluka. Tetapi kalau kau
diam, maka tidak akan menumbuhkan gangguan apa pun
padamu." "Aku bukan seekor kerbau yang membiarkan hidungnya
dicocok dengan tali keluh. Tidak. Aku tidak mau."
"Apakah kau ingin aku melubangi hidungmu seperti seekor
kerbau?" "Tidak, tidak!"
"Kalau begitu, serahkan tanganmu. Aku akan mengikatnya


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada tiang ini." Mata orang itu menjadi merah menyala. Tetapi ia akhirnya
harus menyadari, bahwa tenaganya benar-benar sudah tidak
dapat dipergunakannya lagi.
Meskipun demikian, ia masih meronta juga ketika Agung
Sedayu kemudian mengikat tangannya.
"Maaf. Kalau tidak, kau pasti akan berusaha melarikan
dirimu. Aku terpaksa berbuat demikian, karena aku tidak akan
dapat terus-menerus menunggui kau di dalam bilik yang
pengap ini." "Gila!" orang itu berteriak. "Kau sangka aku kerasan tinggal
di dalam bilik ini?"
"Untuk sementara. Lebih baik kau melepaskan segala
pikiran dan angan-angan untuk keluar dalam waktu dekat.
Dengan demikian kau akan dapat tidur nyenyak."
"Persetan!" orang itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat
melawan, ketika Agung Sedayu kemudian mengikat orang itu
pada tiang bambu Petung yang besar.
Sejenak, Agung Sedayu memandangi seorang lagi yang
berbaring dengan lemahnya. Luka-lukanya membujur lintang
di tubuhnya. Pakaiannya yang sudah terkoyak-koyak sama
sekali tidak lagi dapat menutupi dada dan lengannya yang
sobek. Darah yang beku seakan-akan telah membalut seluruh
permukaan kulitnya. "Guru masih belum mengobatinya," desis Agung Sedayu di
dalam hati. Tetapi Agung Sedayu tahu benar alasan gurunya,
kenapa ia masih membiarkan saja orang itu.
Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun dengan tenang
meninggalkan kedua orang itu. Yang seorang sudah diikatnya
erat-erat, dan tidak akan dapat lolos lagi, sedang yang
seorang masih terlampau lemah untuk meninggalkan
tempatnya. Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun keluar dari
tempat itu dan kembali kepada kedua orang kawan-kawannya
yang masih duduk di tempatnya. Keduanya duduk dengan
tegangnya, tetapi keduanya tidak bercakap-cakap sama
sekali. Baru ketika mereka melihat Agung Sedayu, salah seorang
bertanya, "Bagaimana dengan kita?"
"Kita akan duduk-duduk di sini untuk beberapa lama.
Bukankah kita tidak mempunyai pekerjaan apa pun hari ini?"
"Apa yang akan kita kerjakan hari ini?"
"Tidak apa-apa. Kita duduk-duduk di sini. Kalau kita lapar,
di dapur ada nasi cukup banyak."
"Nasi?" "Ya, nasi. Apakah kalian tidak melihat" Kita mengharap
bahwa mereka yang bertugas untuk menyediakan makan
akan segera kembali dan dapat membungkus nasi seperti
biasanya. Kalau tidak, kita akan kelaparan hari ini."
Kedua orang itu tidak menyahut.
"Kalau mereka menyadari keadaan, maka seorang demi
seorang pasti akan segera datang."
Kedua kawannya masih tetap berdiam diri.
"Marilah, kita duduk di serambi depan. Di sini udaranya
terlampau panas." Keduanya sama sekali tidak menjawab. Tetapi ketika
Agung Sedayu melangkah keluar, keduanya mengikutinya di
belakang. Ketika Agung Sedayu sudah hilang di balik pintu, tanpa
sesadamya, beberapa orang di dalam barak itu menarik nafas
dalam-dalam. Mereka merasa seolah-olah tekanan yang
menyesak di dalam dada mereka sudah mulai mengendor,
meskipun mereka masih tetap dicengkam oleh ketakutan dan
kecemasan. Di serambi depan, Agung Sedayu duduk bersandar dinding
sambil menjelujurkan kakinya. Desisnya, "Desir angin
membuat aku mengantuk."
"Jangan tidur," tiba-tiba seorang kawannya menyahut.
"Kenapa?" Sejenak ia terdiam, namun kemudian ia menggelengkan
kepalanya sambil menjawab, "Tidak apa-apa."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Bangunkanlah kalau
aku tertidur. Semalam suntuk aku hampir tidak memejamkan
mata sama sekali." Keduanya tampak ragu-ragu. Tetapi mereka pun
menganggukkan kepalanya. Agaknya Agung Ssdayu yang kemudian memejamkan
matanya itu, dapat menimbulkan kesan tersendiri. Anak muda
itu sama sekali tidak terpengaruh oleh ketakutan dan
kecemasan. Bahkan begitu mudahnya ia memejamkan mata
meskipun barangkali tidak segera jatuh tertidur.
Sementara itu, Kiai Gringsing yang telah selesai mengubur
dukun yang terbunuh itu pun terpaksa mengantarkan kembali
beberapa orang yang pergi bersamanya dari barak. Sedang
Swandaru ditinggalkannya mengawani para pengawas yang
masih belum sembuh dari kelelahan dan kesakitan.
"Tidak akan ada apa-apa untuk sementara," berkata Kiai
Gringsing kepada para pengawas dan Agung Sedayu. "Tetapi
kalau terjadi sesuatu, panggil aku dengan tengara, kentongan,
atau apa saja." "Baiklah," jawab pemimpin pengawas yang masih berbaring
di amben bambu di dalam gardunya.
Kiai Gringsing pun kemudian bersama-sama dengan
beberapa orang berjalan kembali ke barak. Tetapi Kiai
Gringsing sengaja menempuh jalan melingkar. Katanya,
"Kalau ada di antara mereka yang bersembunyi melihat kita
berjalan dari gardu pengawas, mudah-mudahan mereka
mengerti, bahwa keadaan telah berangsur baik."
Kawan-kawannya yang berjalan bersamanya menganggukanggukkan
kepalanya. Salah seorang dari mereka menjawab,
"Tetapi apakah mereka akan melihat kita?"
"Mudah-mudahan. Mereka akan keluar dari persembunyian
mereka, setelah sekian lama duduk di bawah gerumbulgerumbul
yang lebat dan di atas tanah yang lembab.
Barangkali mereka menjadi jemu digigit nyamuk dan semut
merah. Tetapi karena mereka masih belum berani keluar dari
pinggir hutan, mereka pasti hanya mengintip saja."
Orang-orang yang berjalan bersama Kiai Gringsing itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebenarnyalah bahwa memang satu dua orang yang
sedang bersembunyi melihat Kiai Gringsing berjalan bersama
beberapa orang menuju ke barak mereka. Dengan ragu-ragu
mereka mengikuti saja dengan tatapan mata yang suram.
Sekali-kali mereka berdesah, dan mereka yang bersembunyi
dua tiga orang bersama-sama, saling berpandangan sejenak.
Tetapi mereka masih tetap saja berdiam diri.
Ternyata Kiai Gringsing membawa mereka berjalan lewat
bekas arena perkelahian. Dengan tengkuk yang meremang,
orang-orang itu melihat pengawas yang berkumis itu masih
terbujur di tempatnya, "Tidak ada seorang pun yang dapat menyentuhnya hari ini,"
berkata Kiai Gringsing. "Mudah-mudahan besok kita dapat
menguburkannya." Orang-orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, bukankah kalian sudah melihat, bahwa tidak akan
ada apa-apa lagi untuk sementara?"
"Tetapi. Tetapi," salah seorang dari mereka menjawab,
"bagaimana dengan orang yang tinggi kekar, dan orang yang
kekurus-kurusan itu?"
"Mereka ada di dapur. Mereka sudah menjadi jinak," jawab
Kiai Gringsing. "Apakah kalian akan bertemu dengan
mereka?" Tetapi agaknya orang-orang itu sama sekali tidak berniat
untuk bertemu dengan kedua orang itu. Apalagi membantu
mengawasi mereka. Bagi mereka memang lebih baik ikut
dengan orang tua itu menguburkan mayat yang sudah pasti
tidak akan dapat berbuat apa-apa.
"Siapakah yang kemudian pergi mengawani anak muda
itu?" mereka pun bertanya di dalam hati, karena Kiai Gringsing
memang sudah memberitahukan sebelumnya, bahwa
beberapa orang nanti akan diajak oleh seorang anaknya
menunggui kedua orang itu.
Namun demikian, perlahan-lahan Kiai Gringsing berhasil
menumbuhkan ketenangan di hati orang-orang yang
ketakutan itu. Meskipun untuk beberapa saat lamanya,
mereka pasti masih selalu dipengaruhi oleh perasaan takut
dan ngeri. Sejenak kemudian, mereka pun melintasi sebuah tempat
terbuka yang agak panjang. Tempat yang sudah bersih dari
pepohonan hutan, yang sedianya akan dipergunakan menjadi
tanah pekarangan. Tetapi karena orang-orang di tempat itu
selalu dibayangi oleh ketakutan, maka rencana itu masih
belum dapat dilakukan. Apalagi saat itu, daerah yang terbuka itu benar-benar
seperti kuburan. Sepi. Tidak ada sesosok tubuh pun yang
tampak melintas, selain Kiai Gringsing dan orang-orang yang
mengikutinya. Beberapa buah rumah yang sudah jadi pun
seakan-akan seperti cungkup-cungkup yang sepi.
Namun di belakang mereka, beberapa orang yang
bersembunyi di pinggir-pinggir hutan pun segera mengikuti.
Bahkan beberapa orang berlari-lari dan menggabungkan diri
pada iring-iringan kecil itu, sehingga tampaknya semakin lama
menjadi semakin panjang. Perasaan mereka menjadi semakin tenang, ketika mereka
sudah berada di barak. Mereka segera duduk di tempat
masing-masing dengan nafas yang tertahan-tahan. Beberapa
orang kemudian menarik nafas dalam-dalam dan
mengucapkan sukur di dalam hati, bahwa mereka tidak ikut
serta menjadi korban pertentangan yang tiba-tiba saja terjadi.
"Nah," bertanya Kiai Gringsing, "siapakah di antara kalian
yang mendapat tugas di dapur hari ini?"
Beberapa orang saling berpandangan.
"Siapa" Sayang bahan-bahan yang telah masak di dapur.
Dan bukankah kita hari ini memerlukan makan pula?"
Beberapa orang mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Marilah," ajak Kiai Gringsing, "kita pergi ke dapur. Yang
bertugas kami harapkan untuk melakukan tugasnya seperti
biasa. Semua persoalan yang terjadi, anggaplah sudah
selesai untuk sementara."
Meskipun masih belum ada yang menyahut, tetapi Kiai
Gringsing sudah melihat kesanggupan pada beberapa wajah
di antara mereka. Karena itu katanya kemudian, "Marilah,
siapa yang akan membantu menyelesaikan makan kita, ikutlah
aku. Yang lain kami harap tinggal di sini sambil menunggu
rangsum yang nanti akan segera kami kirimkan, meskipun
seandainya hanya sekedar nasi dengan garam atau dengan
sambal kelapa." Kiai Gringsing menunggu sesaat. Kemudian ia pun
melangkah keluar barak itu. Beberapa orang pun kemudian
bergeser dari tempatnya. Ketika seseorang berdiri, maka
beberapa orang yang lain pun telah berdiri pula dan mengikuti
langkah Kiai Gringsing pergi ke barak yang lain. Mereka
sebagian adalah orang-orang yang memang bertugas di dapur
hari ini, yang seharusnya dibantu oleh beberapa orang
perempuan. Jalan setapak yang menghubungkan kedua barak itu yang
biasanya di siang hari sering dilalui orang-orang yang pergi
hilir-mudik, masih juga terlampau sepi. Tidak ada seorang pun
yang berani berjalan sendiri, meskipun suasana sudah
menjadi semakin tenang. Di serambi depan barak yang lain, Agung Sedayu masih
saja duduk bersandar dinding sambil menjelujurkan kakinya.
Bahkan sekilas ia terlena oleh kelelahan. Sedang kedua
kawannya yang duduk di sampingnya, seakan-akan sedang
menungguinya. Menunggui anak-anak yang baru saja dapat
tertidur setelah bermain-main sehari penuh.
Agung Sedayu terperanjat ketika salah seorang kawannya
itu tiba-tiba menggamitnya sambil berkata, "He, lihat. Mereka
sudah datang?" "Siapa?" bertanya Agung Sedayu.
Namun setelah menggosok matanya yang kemerahmerahan,
ia pun segera melihat bahwa yang datang adalah
gurunya bersama beberapa orang yang lain.
"Kenapa mereka kemari?" desis kawan Agung Sedayu
yang lain. Agung Sedayu menggelengkan kepalanya, "Entahlah.
Tetapi mereka tampaknya sudah berhasil mengatasi
ketakutan mereka. Lihatlah, wajah-wajah mereka sudah
menjadi bening." Kedua kawan Agung Sedayu itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sejenak kemudian, Kiai Gringsing pun sudah ada di
serambi itu pula. Sambil tersenyum ia berkata, "Inilah
beberapa orang yang akan membantu menyelenggarakan
rangsum kita hari ini. Apakah ada beberapa orang perempuan
yang siap membantu pula?"
"Aku belum menanyakannya. Tetapi kalau dapur itu sudah
dipanasi oleh perapian, aku rasa mereka pun akan segera
melakukannya," jawab Agung Sedayu.
"Baiklah. Silahkanlah. Kami akan tetap tinggal di sini
menunggu lauk masak. Apa pun wujudnya."
Beberapa orang pun kemudian pergi ke dapur. Mereka
membenahi beberapa macam alat yang masih berserakan.
Beberapa orang perempuan kemudian telah berani bangkit
dari tempatnya dan masuk dengan ragu-ragu ke dalam dapur.
Dengan hati yang berdebar-debar mereka memandang
dinding pintu yang diselarak oleh Agung Sedayu. Kepada lakilaki
yang ada di dalam dapur itu, mereka berdesis lambat
sekali, "Jangan membuka pintu itu."
"Kenapa?" "Di situlah kedua orang itu bersembunyi."
"O, bukankah mereka tidak bersembunyi" Orang tua dan
anaknya itu sudah mengetahuinya, bahwa mereka ada di
dalam." Perempuan itu tidak menyahut. Mereka hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi tatapan mata
mereka, masih membayangkan kecemasan.
Seorang laki-laki yang ingin disebut lebih berani dari
kawan-kawannya melangkah mendekati pintu yang diselarak
itu. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Bahkan kemudian ia pun


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertanya kepada seorang perempuan, "Kenapa diselarak dari
luar?" Perempuan itu menggelengkan kepalanya. Namun
perempuan yang lain berdesis, "Aku mendengar mereka
bertengkar." "Siapa?" "Anak muda itu. Tetapi aku tidak tahu apa yang
dipertengkarkan. Dari dalam barak, suara mereka tidak jelas
terdengar." Laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi
ia mendekati pintu, seolah-olah ingin meyakinkan apakah
pintu itu benar-benar tidak dapat lagi dibuka dari dalam.
Kemudian berlagak seperti seorang yang menyaksikan kerja
bawahannya, ia mengangguk-angguk sambil berdesis lambat,
"Baik. Baik. Selarak itu sudah mapan. Aku kira, mereka tidak
akan dapat membuka lagi dari dalam."
Dengan demikian maka orang-orang yang bekerja di dapur
itu merasa semakin tenang. Di dalam bilik tertutup itu sama
sekali tidak terdengar suara apa pun. Agaknya orang-orang
yang ada di dalam sama sekali sudah tidak mampu berbuat
apa-apa lagi. Karena itu, maka sebentar kemudian bau masakan sudah
mulai memenuhi dapur. Perlahan-lahan oleh kesibukan
masing-masing, mereka hampir melupakan peristiwa yang
sudah mencengkam jantung mereka. Kini mereka disibukkan
oleh air yang sudah mendidih, santan yang harus dituang,
kemudian dedaunan yang sedang direbus, sedang yang lain
menyiapkan daun pisang untuk membungkus nasi yang akan
dibagikan sebagai rangsum orang-orang yang ada di barak
dan para pengawas. Kiai Gringsing dan Agung Sedayu yang masih duduk di
serambi depan, merasa bahwa usaha mereka sudah sebagian
berhasil. Perempuan-perempuan di dalam barak itu pun sudah
tidak lagi dibayangi oleh wajah-wajah yang gelap, penuh
ketakutan dan kecemasan. "Aku akan kembali ke gardu pengawas," desis Kiai
Gringsing. Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya,
"Baiklah. Aku akan menunggui barak ini. Menunggu nasi
masak." "Kalau nasi masak jangan lupa, bawa rangsum kami ke
gardu itu," sahut Kiai Gringsing.
"Baiklah." "Tetapi, aku ingin melihat orang-orang itu sejenak."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Sekarang?" ia bertanya.
Kiai Gringsing merenung sejenak. Namun kemudian ia
menganggukkan kepalanya, "Ya. Aku akan melihatnya
sejenak sekarang." "Aku telah mengikatnya. Mereka selalu berusaha melarikan
diri dengan membuka dinding," desis Agung Sedayu perlahanlahan
sekali. "Keduanya?" "Orang yang tinggi kekar. Yang seorang masih terlampau
lemah." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun
sejenak kemudian ia pun bangkit dan berkata, "Aku akan
melihatnya sekarang."
Agung Sedayu kemudian bangkit pula dan mengikutinya.
Beberapa orang memandangi keduanya dengan sorot mata
yang memancarkan berbagai macam pertanyaan. Tetapi
pertanyaan-pertanyaan itu tidak terucapkan.
Diiringi oleh agung Sedayu, maka Kiai Gringsing segera
masuk ke dalam dapur. Ia menjadi ragu-ragu ketika ia melihat
orang-orang di dalam dapur itu sedang sibuk. Kalau terjadi
sesuatu, maka hal itu pasti akan mengganggu. Karena itu, Kiai
Gringsing tidak langsung masuk ke dalam bilik yang tertutup
itu. Bersama Agung Sedayu ia berputar-putar sejenak di
dalam dapur, melihat-lihat berbagai macam masakan yang
sedang dipanasi. Namun kemudian mereka berdua sampai
pada dinding yang memisahkan bilik kecil itu.
Sejenak mereka berdua berdiri sambil berdiam diri. Namun
sejenak kemudian, tampak kening Kiai Gringsing menjadi
berkerut. Perlahan-lahan ia berbisik kepada Agung Sedayu,
"Kau menangkap sesuatu yang tidak wajar di dalam bilik kecil
itu?" Agung Sedayu tidak segera menyahut.
"Kau mendengar sesuatu di dalam?" bertanya Kiai
Gringsing. Agung Sedayu menggeleng, "Tidak."
"Justru tidak itulah, aku menjadi curiga."
Agung Sedayu mengerutkan keningnya, "Ya," katanya di
dalam hati, "aku justru tidak mendengar sesuatu. Tarikan
nafas pun tidak." Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Kepalanya
terangguk-angguk kecil. Namun ia tidak berkata apa pun juga.
Meskipun demikian wajahnya tampak menjadi tegang.
"Apakah kita melihat sekarang?" bertanya Agung Sedayu.
"Tunggu. Justru ada sesuatu yang kurang wajar, aku tidak
ingin membuka pintu ini. Aku tidak mau mengganggu kerja
yang sudah mulai lancar."
"Lalu?" "Marilah kita melihatnya dari luar."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun
kemudian mengikuti gurunya melangkah keluar dapur dan
kemudian turun ke halaman. Dengan tanpa menarik perhatian
mereka segera melingkar lewat di sebelah barak itu langsung
pergi ke belakang, ke bagian luar dari bilik kecil di sebelah
dapur. Belum lagi mereka sampai, mereka telah melihat sesuatu
yang tidak pada tempatnya. Sebuah dinding di sudut bilik itu
ternyata telah terbuka. "Guru," desis Agung Sedayu.
"Marilah kita lihat," sahut gurunya sebelum Agung Sedayu
selesai berbicara. Keduanya pun kemudian dengan tergesa-gesa mendekati
dinding yang ternyata sudah terbuka itu.
Sejenak mereka berdiri termangu-mangu di muka dinding
yang terbuka itu. Namun telah merayap di dalam hati mereka,
bahwa yang tidak mereka harapkan itu sudah terjadi. Orangorang
yang mereka anggap sudah tidak akan dapat melarikan
diri itu, ternyata berhasil membuka dinding bambu.
"Marilah kita melihatnya," desis Kiai Gringsing.
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.
Perlahan-lahan, Kiai Gringsing mendekati lubang sudut
dinding itu. (BERSAMBUNG) Perlahan-lahan pula ia berjongkok dan membuka dinding
itu semakin lebar. Setelah ia yakin tidak ada bahaya apa pun,
maka ia pun segera menyuruk masuk ke dalamnya dengan
hati-hati. Agung Sedayu yang masih berdiri di luar menjadi
termangu-mangu. Namun sejenak kemudian, ia mendapat
isyarat dari gurunya, agar ia pun masuk pula ke dalamnya.
Seperti gurunya, Agung Sedayu pun menyuruk pula masuk.
Tetapi begitu ia berdiri di dalam bilik itu, matanya tiba-tiba
terbelalak. Dilihatnya orang yang tinggi kekar, yang diikatnya dengan
tampar lulup itu, ternyata telah tidak bernyawa lagi. Sedang
orang yang kekurus-kurusan, yang di anggapnya masih
terlampau lemah, telah tidak ada di dalam bilik yang pengap
itu. Terasa dada Agung Sedayu bergetar dahsyat sekali. Ia
merasa bahwa ia sudah salah hitung. Ternyata bahwa ia kali
ini tidak berbuat tepat atas kedua orang itu.
Tetapi ketika Agung Sedayu akan membuka mulutnya,
gurunya berdesis sambil meletakkan jari telunjuknya di muka
bibirnya. Kemudian ia berbisik, "Hati-hatilah. Jangan merusak
suasana. Orang-orang di dapur itu sudah mulai tenang. Kalau
mereka tahu apa yang terjadi di sini, mereka akan segera
menjadi gelisah dan ketakutan."
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya. Karena itu,
maka ia pun bertanya perlahan-lahan sekali, "Kenapa orang
itu mati, Guru?" Kiai Gringsing tidak segera menyahut. Didekatinya orang
yang tinggi kekar, yang ternyata memang sudah tidak
bernyawa lagi itu. "Ia mati lemas," berkata gurunya, "pernafasannya agaknya
telah tersumbat." "Maksud Guru, apakah karena ia terikat, maka ia tidak
dapat melepaskan diri dari kemungkinan pernafasannya
terganggu itu?" Gurunya menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Ia masih
sempat menggelengkan kepalanya. Tetapi pasti sudah terjadi
sesuatu. Orang yang kekurus-kurusaan itu ternyata telah
pergi." Agung Sedayu mengerutkan keningnya.
"Bagaimana pendapatmu tentang orang itu?"
"Menurut dugaanku, ia masih terlampau lemah, Guru."
"Apakah yang telah diperbuatnya ketika kau mengikat
orang ini?" "Tidak apa-apa. Ia berbaring saja. Aku kira ia sama sekali
sudah tidak sempat berbuat apa-apa."
"Itulah kelebihannya. Dengan demikian, maka kita memang
telah salah hitung. Aku pun menyangka bahwa ia masih
terlampau lemah. Tetapi kini aku berpikir lain. Ia sengaja
membuat dirinya demikian, sehingga menumbuhkan kesan,
bahwa ia masih terlampau lemah dan tidak mampu berbuat
apa-apa." "Jadi?" "Ia sudah berhasil mengelabuhi kita. Orang itu telah
melarikan diri." "Tetapi bagaimana dengan orang ini" Kenapa ia tidak
berusaha melepaskan ikatannya dan membawanya pergi"
Bukankah orang ini justru masih lebih kuat dari padanya?"
"Begitulah tampaknya. Tetapi aku kira, orang yang kekuruskurusan
itu menganggap peran orang ini sudah selesai, ia
tidak memerlukannya lagi, sehingga karena itu, maka orang ini
telah dibunuhnya. Kau telah membantunya dengan mengikat
tangan dan kakinya."
"Aku tidak sengaja."
"Ya. Kau memang tidak sengaja. Kau memang tidak
bersalah. Tetapi hal itu telah dipergunakannya sebaik-baiknya.
Ia tinggal menutup lubang pernafasannya saja, sehingga
kawannya itu akan mati lemas."
Agung Sedayu menggeretakkan giginya. Desisnya, "Aku
akan mencarinya sampai ketemu."
Tetapi gurunya menggelengkan kepalanya, "Jangan kau.
Kau masih terlampau muda untuk menjelajahi hutan ini."
"Meskipun ia berhasil keluar dan tempat ini, tetapi ia pasti
belum begitu jauh." "Mungkin, tetapi kita tidak tahu dengan pasti, isi dari hutan
belantara di sekitar tempat ini."
"Jadi, apakah kita akan membiarkan orang itu pergi?"
"Aku akan mencarinya. Tetapi seandainya tidak aku
ketemukan, apa boleh buat. Namun itu berarti bahwa kita
harus lebih berhati-hati, dan kita harus lebih cepat lagi
menghubungi Ki Gede Pemanahan."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Para pengawas itu akan menjadi segera baik kembali.
Mereka akan pergi bertiga menemui Ki Gede Pemanahan atau
puteranya. Biarlah pemimpin pengawal dan kita bertiga di sini
mengambil alih untuk sementara tugas-tugas itu."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, biarlah aku mencarinya sekarang. Namun meskipun
aku menemukannya itu bukan berarti, bahwa kita dapat
melepaskan kewaspadaan. Ternyata daerah ini benar-benar
telah dikelilingi oleh suatu kelompok yang belum kita ketahui
dengan pasti, maksud dan tujuannya."
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.
"Mudah-mudahan aku dapat menemukan orang itu. Aku
kira ia memang belum terlampau jauh dari tempat ini. Tetapi
aku masih harus mencari arah yang tepat untuk
menemukannya." Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sejenak ia
berdiam diri. Namun angan-angannya melambung ke segenap
penjuru. Terbayang di rongga matanya, orang yang lemah itu
berjalan tertatih-tatih menyuruk di antara semak-semak yang
rimbun. Namun usaha untuk melarikan diri itu benar telah
menyakitkan hatinya. "Guru," berkata Agung Sedayu kemudian, "apakah aku
diperkenankan ikut mencari orang itu?"
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Kau tinggal di sini.
Orang-orang itu harus tetap tenang. Kalau mereka dihinggapi
lagi oleh ketakutan, maka mereka hanya akan menyusahkan
saja. Usahakan agar mereka tetap bekerja di dapur, dan agar
makan dapat dikirim ke barak dan gardu pengawas."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku akan pergi sekarang. Kalau ada kesempatan, beritahu
adikmu, supaya ia tidak menunggu. Beritahukan kepadanya
apa yang sudah terjadi. Para pengawas memang perlu
mengetahui, tetapi orang lain tidak. Maksudku, tidak sekarang.
Mungkin nanti atau kapan saja, mereka pun perlu
mengetahuinya." "Ya, Guru." "Kembalilah ke dapur. Kau harus berlaku seperti orangorang
kebanyakan untuk sementara, meskipun mereka sudah
melihat kelebihanmu."
"Ya, Guru. "Hati-hatilah, aku akan pergi."
"Tetapi, apakah guru tidak makan lebih dahulu" Aku kira
semuanya sudah masak."
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian
ia tersenyum. Ditepuknya bahu Agung Sedayu sambil berkata,
"Ah, kenapa kau bertanya begitu" Kalau orang-orang di dapur
itulah yang bertanya kepadaku, itu sama sekali tidak aneh.
Tetapi sekarang kau yang bertanya tentang makan itu.
Apakah aku belum pernah mengatakan kepadamu bahwa aku
pernah berpuasa sampai enam bulan penuh dan hanya
sekedar makan seadanya di sore hari" Kalau aku berbicara


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tentang nasi masak, lauk"pauk, dan rangsum barangkali kau
tahu maksudnya." Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Wajahnya
menjadi kemerah-merahan. Ternyata kadang-kadang ia masih
salah menangkap maksud gurunya. Sambil menganggukangguk
keeil ia berdesis, "Ya, agaknya Guru ingin membuat
kesan bahwa semuanya sudah tenang, dan membelokkan
perhatian orang-orang ini."
Sekali lagi Kiai Gringsing menepuk pundak Agung Sedayu.
Kemudian ia berkata pula, "Sudahlah. Tungguilah mereka.
Ikutlah dengan mereka, apa yang sebaiknya mereka lakukan.
Aku akan mencoba mencari jejak orang yang hilang ini. Yang
sebenarnya berbahaya bukan orang yang aku cari itu sendiri,
tetapi apa yang akan dikerjakannya kemudian."
"Baik, Guru." "Sekarang, marilah kita keluar dari tempat ini. Jangan kau
sentuh dahulu mayat itu, supaya tidak menumbuhkan
kekacauan di ruang sebelah. Biarlah ia di tempatnya. Nanti
apabila kita sudah mendapatkan waktu yang tepat, baiklah kita
selenggarakan sebagaimana seharusnya."
Agung Sedayu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya
saja. Ia pun kemudian mengikutinya, ketika gurunya keluar
dari bilik yang sempit itu.
Sejenak kemudian, Kiai Gringsing sudah mulai melihat-lihat
jejak yang barangkali dapat menunjukkan, kemana orang yang
kekurus-kurusan itu pergi.
Ternyata rerumputan liar di sekitar barak itu telah
menolongnya. Orang yang kekurus-kurusan itu sama sekali
tidak sempat menghapus jejaknya. Rerumputan yang patah
oleh injakan kakinya segera dapat dilihat oleh Kiai Gringsing.
"Agung Sedayu," katanya, "untuk sementara aku dapat
menemukan jejaknya. Aku akan mencoba mengikutinya.
Tetapi apabila ia sempat masuk ke hutan, maka pencaharian
itu akan menjadi semakin sulit. Meskipun begitu, aku akan
mencoba mencarinya sehari ini. Kalau aku gagal hari ini, aku
akan menghentikannya."
"Baiklah, Guru. Aku akan berada di tengah-tengah mereka
yang sedang bekerja di dapur itu."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Kemudian ia pun melangkahkan kakinya, mengikuti jejak
orang yang kekurus-kurusan.
Dari jejak itu Kiai Gringsing dapat menduga bahwa orang
itu pasti masih terlampau lemah. Kadang ia melihat bekas kaki
yang diseret di atas rerumputan.
"Mudah-mudahan orang itu masih belum terlampau jauh,"
berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Namun sudah jelas
baginya, bahwa jejak itu menuju langsung ke dalam hutan
belukar yang masih belum digarap.
Kiai Gringsing pun kemudian berhenti sejenak ketika ia
sudah sampai di tempat yang liar, rerumputan alang-alang,
dan gerumbul-gerumbul perdu yang lebat. Ditatapnya daerah
di sekelilingnya dengan seksama, kemudian dipandanginya
hutan yang lebat, beberapa ratus langkah lagi di hadapannya.
"Orang itu pasti masuk ke sana," desisnya. Tetapi
gerumbul-gerumbul liar, pohon-pohon perdu, dan bahkan
batu-batu besar, akan dapat menjadi tempat persembunyian
yang baik. Tetapi Kiai Gringsing masih belum kehilangan jejak.
Semakin tinggi batang-batang ilalang, semakin jelas jejak itu
pergi ke mana. Sesekali Kiai Gringsing melihat jejak itu masuk ke dalam
gerumbul. Tetapi ia masih dapat menemukan jejak
kelanjutannya, sehingga Kiai Gringsing masih berjalan
mengikutinya. Dan bahkan semakin jelas, bahwa orang itu
telah masuk ke dalam hutan.
Kiai Gringsing tidak dapat menganggap tugas itu dapat
dikerjakan sambil lalu saja. Mungkin orang yang kekuruskurusan
itu sendiri memang sudah tidak berbahaya, tetapi apa
yang berada di dalam hutan yang lebat itu merupakan suatu
rahasia baginya. Rahasia yang tidak mudah dapat
dipecahkannya. Seolah-olah ia harus berjalan dan merabaraba
di dalam gelap yang pekat.
Tetapi Kiai Gringsing tidak mengurungkan niatnya, ia tetap
ingin mengikuti jejak orang yang kekurus-kurusan itu. Ia ingin
lebih hanyak tahu tentang keadaan yang sebenarnya, di
sekitar daerah pembukaan hutan ini.
Persoalan yang selama ini menarik perhatiannya adalah
ketakutan orang-orang di dalam barak dan bahkan para
pengawas terhadap hantu-hantu. Kemudian peristiwa yang
timbul berturut-turut di saat-saat terakhir. Namun dalam pada
itu, bagi Kiai Gringsing tidak lagi dapat memisah-misahkan,
hantu-hantu yang menakutkan itu dengan tindakan-tindakan,
perbuatan-perbuatan orang-orang yang terpaksa
mengorbankan dirinya. Demikianlah, maka dengan penuh kewaspadaan, Kiai
Gringsing bergerak maju mengikuti jejak kaki di atas
rerumputan. Semakin lama semakin dekat dengan hutan yang
lebat. "Apakah orang kekurus-kurusan, yang telah terluka itu,
tidak takut memasuki hutan yang liar itu?" bertanya Kiai
Gringsing kepada diri sendiri, "dalam keadaan itu, maka ia
pasti tidak akan dapat berbuat apa-apa seandainya ada
seekor harimau lapar yang menjumpainya."
Tetapi ternyata orang itu telah memilih bersembunyi ke
dalam hutan yang lebat itu. Agaknya menurut perhitungannya,
ia lebih baik bertemu, dan kalau perlu membuat perhitungan
dengan biatang buas daripada dengan manusia, jenisnya
sendiri. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya di
dalam hati, "Memang pada suatu saat, seseorang lebih
merasa dirinya aman hidup di tempat yang terasing dari
manusia lainnya, meskipun ada kemungkinan ia harus
berhadapan dengan seekor binatang buas. Pada suatu saat,
memang manusia menjadi mahluk yang lebih menakutkan
bagi manusia lainnya dari segala jenis makhluk yang lain,
termasuk binatang yang paling buas sekalipun. Demikian juga
agaknya bagi orang yang kekurus-kurusan itu. Manusia saat
ini adalah mahluk yang paling ditakutinya. Apalagi manusiamanusia
tertentu yang memang ingin menangkapnya."
Kiai Gringsing pun kemudian tertegun sejenak, ketika ia
telah sampai di tempat yang mulai rimbun. Beberapa batang
pohon yang dikelilingi oleh semak-semak yang dapat
bertebaran di sana-sini, di antara batang-batang ilalang
setinggi dada. Dengan demikian Kiai Gringsing menjadi semakin berhatihati.
Setiap saat ia memperhatikan keadaan di sekelilingnya.
Bukan saja binatang buas, tetapi mungkin bahaya-bahaya
yang lain telah mengancamnya pula.
Sampai di tempat yang mulai rimbun itu, Kiai Gringsing
masih belum kehilangan jejak. Ia masih melihat bekas kaki
yang menuju langsung masuk ke dalam hutan yang lebat.
Bahkan di beberapa tempat, ia melihat orang yang diikutinya
itu beristirahat. Bekas-bekas rerumputan yang berpatahan
menimbulkan dugaan padanya, bahwa orang yang kekuruskurusan
itu telah benar-benar kelelahan dan duduk di atas
rerumputan liar, atau bahkan berbaring sama sekali. Sehingga
dengan demikian, Kiai Gringsing memperhitungkan bahwa
orang itu masih belum terlampau jauh di hadapannya. Bahkan,
mungkin ia telah hampir dapat menyusulnya.
Dengan demikian, Kiai Gringsing menjadi semakin berhatihati.
Banyak kemungkinan yang dihadapinya di balik
rimbunnya dedaunan dan lebatnya pepohonan.
Langkah Kiai Gringsing pun menjadi semakin perlahanlahan.
Ia mencoba mempergunakan segenap inderanya untuk
memperhatikan setiap bunyi apapun. Desir dedaunan yang
disentuh angin, atau derik ranting-ranting yang patah.
Dada Kiai Gringsing berdesir ketika tiba-tiba saja ia
mendengar suara burung kedasih di kejauhan. Suara burung
kedasih seperti yang pernah didengarnya di tempat kerjanya.
Di tempat Kiai Gringsing dan kedua muridnya membuka
hutan. Tetapi kali ini Kiai Gringsing menangkap irama yang
berbeda dari suara burung kedasih yang pernah didengarnya.
Kali ini suara burung itu terdengar semakin lamban dan tidak
terus seperti yang pernah didengarnya.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia
mengerti bahwa suara burung itu, bukanlah suara burung
yang sewajarnya. Ia mencoba menarik hubungan antara suara
burung yang yang sering didengarnya dengan suara burung
yang kini sedang melengking hampir tidak putus-putusnya
dalam irama yang berbeda.
Perlahan-lahan Kiai Gringsing itu melangkah terus. Ia kini
ingin melihat, siapa atau apakah yang telah menimbulkan
bunyi itu. Apakah benar-benar seekor burung kedasih, atau
sama sekali bukan seekor burung.
Dengan dada yang berdebar-debar Kiai Gringsing
berusaha untuk tidak mengejutkan sumber bunyi itu. Ia harus
menjaga langkahnya baik-baik. Bukan saja langkahnya, tetapi
juga pernafasannya. Sekali lagi Kiai Gringsing tertegun. Di kejauhan ia
mendengar pula suara burung kedasih. Mirip dengan suara
Serangan Nekat 2 Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Pendekar Latah 17

Cari Blog Ini