Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 8

03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 8


yang masih saja bergema di antara pepohonan hutan. Bahkan
seolah-olah suara burung itu menjadi saling sahut-menyahut.
"Akhirnya menjadi semakin jelas," desisnya, "usaha
membuka hutan ini memang menghadapi tantangan yang
berat. Ternyata ada suatu kekuatan yang tersusun rapi dan
luas, yang membayangi usaha perluasan Tanah Mataram."
Namun Kiai Gringsing tidak dapat membayangkan apakah
usaha untuk merintangi perluasan Tanah Mataram ini hanya
terbatas di daerah ini saja, atau tersebar di seluruh medan
kerja dari rencana pembukaan hutan Mentaok ini"
Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun menjadi semakin dekat
dengan sumber bunyi yang menyerupai suara burung kedasih
itu, sehingga suara itu menjadi semakin jelas karenanya.
Sedang di kejauhan masih juga terdengar bunyi yang lain,
yang seolah-olah sedang menjawab keluhan yang memelas
dari suara burung yang semakin dekat ini.
"Suatu cara yang baik," berkata Kiai Gringsing di dalam
hatinya, "isyarat yang tidak mudah diketahui oleh orang lain."
Dengan demikian Kiai Gringsing kini mempunyai dua
petunjuk untuk melangkah maju. Bekas-bekas kaki yang
menjadi semakin samar karena semak-semak yang menjadi
rimbun dan pepohonan kian lebat, dan suara burung kedasih
itu. Tetapi Kiai Gringsing masih juga belum yakin, bahwa ada
hubungan yang erat antara suara burung itu dengan orang
yang kekurus-kurusan yang telah melarikan diri setelah
membunuh kawannya, orang yang tinggi kekar, yang sedang
diikat oleh Agung Sedayu.
Karena itu, maka Kiai Gringsing masih harus melihat dan
membuktikan apakah sebenarnya yang sedang dihadapinya.
Demikianlah, perlahan-lahan ia bergerak maju. Semakin
lama semakin dekat. Suara burung kedasih itu kini seakanakan
sudah berada di depan hidungnya.
Dalam pada itu suara burung kedasih yang lain pun, rasarasanya
menjadi semakin dekat pula. Seakan-akan kedua
bunyi itu sedang berusaha saling mendekati.
Dengan menahan nafasnya, Kiai Gringsing menyusup ke
dalam semak-semak. Kini ia sudah berada di dalam hutan
yang semakin lebat. Suara itu sudah terlampau dekat
daripadanya. Kiai Gringsing tertegun sejenak. Dadanya berdesir ketika ia
menyibakkan dedaunan yang rimbun. Kini ia melihat dengan
sepasang matanya, bahwa suara burung kedasih itu sama
sekali bukan suara seekor burung. Di balik sebatang kayu
yang besar, ia melihat dengan jelas seseorang bersandar
dengan lemahnya. Dengan nafas yang terengah-engah ia
tengah menirukan suara burung kedasih yang seakan-akan
sedang mengeluh. Dan orang itu adalah orang yang kekuruskurusan
yang badannya dipenuhi oleh luka-luka bekas ujung
cambuk Swandaru. Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya. Ternyata
orang itu bukannya orang yang dengan mudah menyerah
pada keadaan. Meskipun tubuhnya sudah terlampau lelah,
namun ia masih juga berusaha untuk melarikan diri dan
menghubungi kawan-kawannya.
Dengan demikian maka Kiai Gringsing tidak segera
bertindak sesuatu. Ia justru berusaha bersembunyi. Ia ingin
melihat apa yang akan segera terjadi. Ia mengharap
seseorang, yang menyambut dengan suara burung kedasih itu
pula, akan datang ke tempat itu, untuk menolong kawannya
yang terluka ini. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun dengan hati-hati sekali
berusaha pula untuk mendapat tempat yang mapan, yang
dengan agak mudah dapat mengintip orang yang kini sedang
bersandar dengan lemahnya pada sebatang pohon besar.
Dengan dada yang berdebar-debar, Kiai Gringsing pun
menunggu. Seperti orang yang kekurus-kurusan itu, maka
terasa waktu berjalan dengan lambatnya. Dengan gelisah,
setiap kali orang itu menirukan suara burung kedasih, yang
selalu disahut oleh suara yang lain, yang terdengar semakin
lama menjadi semakin dekat.
"Mudah-mudahan aku dapat menemukan mereka," berkata
Kiai Gringsing di dalam hatinya. "Kalau seseorang datang, aku
berharap bahwa orang itu akan mampu memberikan banyak
keterangan tentang ligkungannya, yang merupakan rahasia
bagi orang-orang yang sedang membuka hutan ini. Tetapi aku
sama sekali masih belum dapat menilai, berapa banyak dan
berapa tinggi kemampuan mereka."
Kiai Gringsing menjadi semakin berhati-hati, ketika ia
mendengar suara burung kedasih itu semakin dekat. Semakin
lama semakin dekat. Bahkan Kiai Gringsing kemudian hampir
tidak dapat menarik nafas lagi ketika tiba-tiba saja ia melihat
seseorang muncul dari balik semak-semak.
Kiai Gringsing terkejut melihat orang itu. Orang itu adalah
dukun yang pernah didatanginya. Dukun yang mengaku
dirinya mampu berhubungan dengan hantu-hantu di Alas
Mentaok. Sejenak Kiai Gringsing terpesona. Agaknya memang ada
suatu kumpulan orang-orang yang telah menyusun dirinya
dalam suatu ikatan yang rapi. Masih mempunyai tugasnya
sendiri di tempat yang sudah mereka bagi sebaik-baiknya. Di
lingkungan pengawas, di lingkungan pendatang dan bahkan
dukun itu yang menampung persoalan-persoalan yang tidak
dapat dipecahkan oleh orang-orang di dalam lingkungan
masing-masing. Dengan penuh minat Kiai Gringsing memperhatikan, apa
yang akan terjadi di hadapannya. Karena itu, maka ia pun
berusaha untuk tidak menumbuhkan bunyi apa pun yang akan
dapat mengganggu pertemuan itu.
"Hem," dukun itu menarik nafas dalam-dalam, "ternyata kau
tidak mampu menyelesaikan tugasmu dengan baik."
Orang yang kekurus-kurusan itu menyahut, "Maaf. Bukan
aku tidak mampu. Tetapi kali ini kita berhadapan dengan
orang-orang gila yang harus diperhitungkan."
"Kenapa kau?" bertanya dukun itu.
"Aku tidak dapat melawan senjata anak muda yang gemuk
itu. Anak Truna Podang."
"Anak yang menurut keterangan, bernama Sangkan itu?"
"Ya. Tetapi aku kemudian pasti, bahwa itu bukan namanya.
Seperti Truna Podang itu pun pasti bukan namanya pula."
Dukun itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Apakah kau sudah berusaha sebaik-baiknya?"
"Tentu. Bahkan semua orang di antara kami sudah
bergerak saat itu." "Dan kalian tetap tidak berhasil?" Orang yang terluka itu
menggelengkan kepalanya, "Aku lemah sekali."
"Di mana kawan-kawanmu sekarang?"
"Semuanya sudah terbunuh."
"Semuanya" Juga pengawas itu?"
"Ya." "Gila! Bukankah kalian mempunyai jenis senjata yang tidak
dimiliki oleh orang lain" Bukankah kalian telah dibekali dengan
senjata-senjata beracun?"
"Ya. Tetapi kami tidak mampu melawannya. Dan ternyata
racun itu bukan tidak terlawan. Kami sudah mempergunakan
segala macam cara. Tetapi kami tidak berhasil melawan Truna
Podang beserta kedua anak-anaknya."
Dukun itu mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang
yang kekurus-kurusan itu dengan saksama seolah-olah ia
ingin menyakinkan apakah kata-kata yang diucapkannya itu
benar. Sejenak kemudian, ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ia melihat luka yang silang-melintang di tubuh orang yang
kekurus-kurusan itu. "Untunglah bahwa kau masih hidup," desis dukun yang
bernama Ki Damar itu. "Apakah semua kawan-kawanmu
sudah mati." "Ya. Semua sudah mati."
Dukun itu menggeram., "Dan kau pun luka-luka parah.
Agaknya kau pun hampir mati pula."
"Ya. Kalau aku dibiarkan begini untuk tiga hari, barangkali
aku memang akan mati. Tetapi kalau kau mengobati aku, aku
akan berusaha untuk bertahan."
Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya, "Baiklah.
Aku akan mengobatimu. Mungkin kita masih mempunyai
kesempatan untuk berbuat sesuatu."
"Aku masih melihat kemungkinan itu. Terutama apabila
Truna Podang dan kedua anaknya dapat disingkirkan."
Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
"Baiklah. Aku sendiri akan menemuinya. Aku sendiri akan
membunuhnya dengan cara apa pun. Tetapi aku kira, kia tidak
perlu lagi mempergunakan cara yang berbelit-belit. Kalau
pada suatu saat ia bekerja di tanah garapannya, kita temui
saja orang itu. Kita langsung membunuhnya. Menusuk
perutnya dengan pedang. Begitu?"
"Tetapi tidak semudah itu. Ia mampu berkelahi. Kedua
anak-anaknya adalah anak-anak muda yang berbahaya. Aku
tidak tahu, apakah ayahnya juga berbahaya."
"Aku tidak akan sendiri. Aku akan datang dengan dua atau
tiga orang, sehingga aku yakin bahwa aku akan dapat
membunuhnya." "Terserahlah. Sekarang, aku memerlukan pertolongan."
"Baiklah aku akan membawamu ke gubugku."
"Tetapi, aku sudah tidak mampu lagi berjalan sendiri."
"Apakah aku harus mendukungmu?"
"Tidak perlu. Tetapi kau harus membantu aku berjalan."
"Baiklah, beruntunglah kau bahwa aku tidak memutuskan
untuk membunuhmu saja daripada kau menambah tugas
tanpa arti." "Jangan menganggap aku tidak berarti lagi. Aku dapat
banyak memberikan bahan kepadamu, tentang Truna Podang
dan kedua anak-anaknya."
"Baiklah. Marilah, aku akan memapahmu." Demikianlah,
maka Kiai Damar pun segera berusaha menolong orang yang
kekurus-kurusan itu dan memapahnya berjalan perlahanlahan.
Dalam pada itu Kiai Gringsing yang menunggui keduanya
menjadi termangu-mangu. Ia tidak segera dapat menentukan
apakah yang sebaiknya dilakukannya. Namun kemudian ia
memutuskan untuk membiarkan saja keduanya pergi. Ia masih
memerlukannya, untuk mengetahui hubungan yang lebih luas
lagi dari mereka itu. Kiai Gringsing memperhitungkan, bahwa
Kiai Damar pasti akan menghubungi kawan-kawannya yang
lain. Dengan demikian, Kiai Gringsing mengharap bahwa ia
pada suatu saat akan dapat menemukan sebagian besar dari
anggauta kelompok dari orang-orang yang selama ini selalu
membayangi kerja orang-orang yang sedang membuka hutan
itu. Dengan demikian maka Kiai Gringsing masih saja tetap di
dalam persembunyiannya. Bahkan ia masih juga mencoba
menahan desah nafasnya agar tidak didengar oleh kedua
orang itu. Dari tempatnya Kiai Gringsing melihat keduanya berjalan
tertatih-tatih menembus gerumbul-gerumbul yang lebat,
menyusup di antara pepohonan dan semak-semak berduri.
Namun Kiai Gringsing itu pun berkata di dalam hatinya,
"Tetapi apakah mereka pasti pergi ke rumah Kiai Damar yang
dahulu" Yang pernah aku datangi?"
Karena itu, maka timbullah keinginan Kiai Gringsing untuk
melihat dan mengikuti ke mana mereka itu pergi.
Demikianlah maka dengan hati-hati Kiai Gringsing
mencoba untuk mengikutinya. Dari jarak yang agak jauh Kiai
Gringsing dengan hati-hati menyusup pula di antara
pepohonan dan meloncat dari sebatang pohon yang besar ke
batang yang lain, mengikuti kedua orang yang berjalan
perlahan-lahan. "Orang itu termasuk orang yang kuat," berkata Kiai
Gringsing di dalam hatinya. Ia memang pernah menjajagi
kekuatan Kiai Damar di satu malam, selagi ia datang
kepadanya untuk mendapatkan obat untuk Swandaru, yang
bahkan bersamaan dengan beberapa orang pengawal Tanah
Mataram. Dalam keadaan yang tidak menentu dan penuh
dengan keragu-raguan Kiai Damar sama sekali tidak dapat
berbuat banyak. Tetapi apabila mereka harus bertempur
dalam kesiagaan penuh dan beradu dada, maka Kiai Damar
pasti akan dapat berbuat lebih banyak lagi.
Beberapa saat lamanya, Kiai Gringsing mengikuti
keduanya. Dan akhirnya ia mengangguk-anggukkan
kepalanya. Keduanya memang pergi ke gubug Kiai Damar.
Gubug yang terpencil di pinggir hutan yang lebat, di antara
batu-batu besar yang berserakan.
"Orang itu pasti mempunyai suatu cita-cita," berkata Kiai
Gringsing di dalam hatinya. "Kalau tidak, ia pasti tidak akan
mau menyepikan diri di tempat ini. Di tempat yang terasing
dan bahkan berbahaya. Sewaktu-waktu ia akan berhadapan
dengan binatang buas yang tersesat sampai ke gubugnya."
Setelah Kiai Gringsing yakin bahwa kedua orang itu benarbenar
berada di dalam gubug itu, maka iapun segera
beringsut menjauh. "Rumah ini pasti akan menjadi pusat pertemuan," katanya
di dalam hati. "Orang-orang lain dari lingkungan mereka,
apabila masih ada, pasti akan datang. Setidak-tidaknya malam
nanti aku harus melihat, apa yang sedang mereka bicarakan.
Tetapi untuk bertindak terlampau tergesa-gesa agaknya
memang sangat berbahaya sekali. Karena itu aku harus
membuat perhitungan-perhitungan yang sebaik-baiknya
menghadapi keadaan ini."
Kadang-kadang memang timbul niat di hati Kiai Gringsing
untuk berusaha menangkap keduanya sama sekali. Tetapi niat
itu dapat dicegahnya sendiri oleh perhitungan-perhitungan
yang lebih masak. "Aku tidak perlu bersusah payah setiap kali datang
mengintip rumah ini," katanya di dalam hati. "Mereka akan
mencari aku di tempat kerjaku."
Namun dengan demikian Kiai Gringsing harus menjadi
lebih berhati-bati. Setiap saat ia dapat diserang oleh Kiai
Damar bersama pembantu-pembantunya, yang disebutnya
dua atau tiga orang, sedang orang yang kekurus-kurusan itu
telah dapat memberikan gambaran kekuatan Swandaru dan
Agung Sedayu. Orang yang kekurus-kurusan itu tentu dapat
mengatakan bahwa Swandaru telah dapat mengalahkan


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang tinggi kekar, yang justru kini terbunuh di dalam
bilik sempit itu, setelah ia menolong orang yang kekuruskurusan
itu, dan orang yang kekurus-kurusan itu sendiri.
Kemudian Agung Sedayu telah berhasil mengalahkan pula
pengawas berkumis yang ternyata adalah anggauta dari
kumpulan mereka pula. Tanpa sesadarnya Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya, sementara ia sudah menjadi semakin jauh dari
gubug Kiai Damar. Dengan demikian maka langkahnya pun
menjadi semakin cepat pula, menyusup di antara gerumbulgerumbul
liar. Ia telah memilih jalan di antara pepohonan dan
perdu seperti pada saat ia datang.
Ketika ia sampai di dapur, ternyata orang-orang di dapur
telah selesai dengan kerja mereka. Mereka telah membagikan
rangsum menurut jumlah yang biasa mereka buat. Agung
Sedayu-lah yang mengawal mereka, yang mengirimkan
rangsum ke barak yang lain, dan ke gardu pengawas.
Ketika ia melihat gurunya datang, segera ia
mendapatkannya. "Bagaimana, Guru?" bisiknya.
Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya, "Orang
itu, orang yang mati di bilik sebelah, harus segera kita
kuburkan." "Bagaimana dengan orang yang kekurus-kurusan itu?"
"Kita menghadapi suatu lingkungan yang sama sekali tidak
mengenal belas perikemanusiaan. Mereka yang tidak dapat
dipergunakan lagi, biasanya memang dibunuhnya, seperti
orang yang tinggi kekar itu, meskipun orang itu pula yang
menolong orang yang kekurus-kurusan itu berjalan."
"Kenapa tidak sebaliknya" Kenapa bukan orang yang tinggi
kekar itulah yang membunuh orang yang kekurus-kurusan
selagi ia tidak berdaya?"
"Agaknya orang yang kekurus-kurusan itu mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi. Bukankah kau melihat sikapnya
terhadap orang yang tinggi kekar itu?"
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.
"Nantilah aku ceriterakan. Sekarang, masuklah ke dalam
bilik itu lewat belakang. Lepaskan talinya dan kita akan
mengatakan bahwa ia mati karena luka-lukanya, sedang
kawannya yang lain telah pergi. Aku mengharap bahwa hal itu
tidak menimbulkan persoalan baru bagi orang di barak ini."
Meskipun demikian, agaknya hal itu telah menimbulkan
kejutan pula bagi orang-orang di barak itu. Mereka untuk
beberapa saat telah dicengkam kembali oleh ketakutan dan
kecemasan. Tetapi Kiai Gringsing telah berhasil mengatasinya
dengan berbagai macam cara.
"Sebaiknya orang itu memang pergi saja. Ia sudah tidak
dapat menempatkan diri di antara kita," berkata Kiai Gringsing
kepada mereka. "Kalau orang yang kekurus-kurusan itu masih
ada di sini, maka ia masih saja dapat menumbuhkan
persoalan-persoalan yang tidak kita inginkan."
Orang-orang di barak itu mengangguk-angguk.
"Karena itu," berkata Kiai Gringsing, "lupakan saja orang
itu." "Apakah ia tidak mendendam?" bertanya salah seorang
dari orang-orang di dalam barak itu.
"Tetapi ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Ia hanya
seorang diri. Kita di sini terdiri dari banyak orang. Kenapa kita
mesti mencemaskannya" Selama ini kita memang tidak
pernah berbuat apa-apa selain ketakutan. Bukankah begitu?"
Orang-orang di barak itu mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Kemudian, beberapa orang laki-laki yang
masih ada di tempat itu, bersama Agung Sedayu dan Kiai
Gringsing telah menguburkan mayat itu agak jauh dari barak
mereka. Ketika malam kemudian datang, barak-barak di pinggir
hutan itu agaknya telah dicengkam oleh ketakutan yang
sangat. Meskipun Kiai Gringsing telah berusaha untuk
menjelaskan, bahwa malam itu pasti tidak akan terjadi
sesuatu. Namun, hati yang telah dicengkam oleh ketakutan dan
kecemasan itu, sama sekali tidak berdaya untuk
menghalaukannya. Karena itu, maka Kiai Gringsing berusaha untuk tinggal
bersama dengan orang-orang yang ketakutan itu, agar mereka
menjadi agak tenang. Bahkan para pengawaslah yang
dibawanya ke dalam barak, bersama-sama menjadi suatu
kelompok yang sedikit dapat memberikan ketenangan.
Sedang Agung Sedayu dan Swandaru berada di barak yang
lain, bersama perempuan dan anak-anak.
Namun Kiai Gringsing telah sempat memberitahukan apa
yang didengarnya dari Kiai Damar kepada kedua muridnya,
bahwa mereka memang sedang terancam. Terutama apabila
mereka sedang berada di lapangan kerja mereka.
"Kami akan menunggu," desis Swandaru. "Besok kita akan
pergi ke tempat kerja itu."
"Kita harus berhati-hati, Swandaru," berkata gurunya. Lalu,
"Biarlah besok kita perbincangkan. Malam ini kita akan
beristirakat sebaik-baiknya."
Kedua anak-anaknya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi hal itu tetap menjadi beban pikiran mereka hampir
semalam suntuk. Dan Swandaru masih juga sempat berkata
kepada Agung Sedayu, "Sudah cukup lama kita berada di sini.
Sebaiknya kita segera menyelesaikan masalah ini. Memang
kalau perlu dengan kekerasan dan tidak usah dengan segala
macam tirai yang membosankan ini."
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebenarnya ia pun telah jemu pula dengan permainan yang
mereka lakukan di tempat sepi yang terpencil ini. Baginya
sebenarnya akan lebih senang tinggal di Kademangan
Sangkal Putung. Daerah itu pasti menjadi bertambah ramai
setelah keadaan bertambah baik.
Namun tiba-tiba dadanya berdesir tajam. Sekilas terbayang
kakaknya, Untara, bersama pasukannya yang bersiaga penuh
berada di Jati Anom justru menghadap ke Mataram, tanah
yang sedang dibuka ini. "Apakah salah paham antara Pajang dan Mataram akan
semakin berlarut-larut?" pertanyaan itu tumbuh di dalam
hatinya. "Apakah orang-orang yang berjiwa besar seperti Ki Gede
Pemanahan dan Sultan Pajang itu tidak dapat menemukan
jalan keluar dari kesalahpahaman ini?"
Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak dapat menjawab
pertanyaan itu. Betapapun besarnya jiwa seseorang, apabila
kepentingan-kepentingan puncak masing-masing sudah saling
berbenturan, maka mereka akan kembali kepada sifat
manusiawi yang berpijak pada kepentingan sendiri.
"Apa yang kau renungkan?" bertanya Swandaru tiba-tiba.
Agung Sedayu terkejut. Diangguk-anggukkannya
kepalanya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
"Kau melamun?" "Aku mengantuk."
"Aku tidak percaya. Matamu masih bening, dan tatapan
matamu melambung ke dunia yang lain."
Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Kita harus tidur
sekarang." "Kau belum menjawab. Bagaimana pendapatmu tentang
keadaan ini" Apakah kita akan berlarut-larut menghadapi
masalah yang menjemukan ini" Kalau aku menjadi guru, aku
akan datang ke rumah orang yang menyebut dirinya bernama
Kiai Damar itu. Aku tangkap saja orang itu dan aku bawa
menghadap Ki Gede Pemanahan. Terserah apa yang akan
dilakukan olehnya atas Kiai Damar, dan kita akan segera
dapat kembali ke Sangkal Putung supaya ayah dan ibu segera
dapat berbuat sesuatu."
"Berbuat apa?" bertanya Agung Sedayu. Swandaru
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab,
"Tidak. Tidak berbuat apa-apa."
(BERSAMBUNG) Agung Sedayu tersenyum. Katanya, "Bukankah kau ingin
ayah dan ibumu segera pergi ke Menoreh?" Swandaru tidak
menjawab. "Kenapa kau diam saja" Atau barangkali tidak begitu?"
"Ah kau," desis Swandaru kemudian, "agaknya memang
lebih baik kalau kita tidur. Bukankah kau sudah mengantuk?"
Agung Sedayu menggeleng, "Tidak. Mataku masih bening
dan tatapan mataku melambung ke dunia yang lain.
"Ah kau," sahut Swandaru. Tetapi ia pun kemudian
menjatuhkan dirinya dan tidur melingkar di bawah kain
panjangnya. Agung Sedayu tersenyum. Ia masih juga berkata "Sst,
apakah kau sedang menyiapkan sebuah mimpi?"
"Aku tidak mendengar."
"Apa yang tidak kau dengar."
"Pertanyaanmu."
"Tetapi kau dapat menjawab dengan tepat."
Swandaru tidak menyahut lagi. Ia menutup kupingnya
dengan ujung jari telunjuknya.
Agung Sedayu pun kemudian terdiam pula. Dipandanginya
ruangan yang luas di barak itu. Semua orang sudah berbaring
diam di tempatnya masing-masing, meskipun ada juga di
antara mereka yang tidak dapat tidur sama sekali karena
ketakutan. Anak-anak kecil dipeluk oleh ibunya dengan dada
yang berdebar-debar. Bahkan ada seorang ibu yang
menitikkan air mata di kening anaknya.
"Kenapa aku membawamu ke neraka ini," katanya di dalam
hati. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Suaminya sama
sekali tidak mempunyai harapan apa pun di tempatnya yang
lama. Kini mereka mencoba mengadu nasib, ikut serta
membuka hutan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan baru
sebagai seorang petani. Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika ia
mendengar suara ayam jantan berkokok bersahutan. Tengah
malam telah lewat. Dan ia sama sekali tidak dapat
memejamkan matanya, sementara ayam-ayam jantan yang
dipelihara oleh orang-orang yang membuka hutan itu masih
saja berkokok tidak henti-hentinya.
Ketika malam menjadi semakin hening, pikiran Agung
Sedayu merantau semakin jauh. Dicobanya membayangkan
apa yang dapat terjadi di daerah ini dan apa yang bakal terjadi
atas dirinya sendiri. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ketika ia
melihat Swandaru melingkar diam di tempatnya. Tetapi
ternyata menurut tarikan nafasnya anak yang gemuk itu masih
juga belum tidur, sehingga Agung Sedayu tersenyum
melihatnya. Katanya perlahan-lahan, "Kau akan menjadi
pening, justru karena kau berpura-pura tidur."
Swandaru sama sekali tidak menyahut. Dan Agung Sedayu
pun kemudian tertawa lirih, "Perutmu akan menjadi semakin
besar, kalau kau tidur dengan cara itu."
Swandaru masih diam. Ia sama sekali tidak bergerak.
Bahkan ia memejamkan matanya semakin rapat.
Agung Sedayu masih juga duduk di sisinya. Sekali lagi ia
menyapu ruangan itu dengan tatapan matanya. Dan ruangan
itu menjadi kian hening karenanya.
Namun tiba-tiba Agung Sedayu itu terkejut. Lamat-lamat ia
mendengar derap kaki kuda. Semakin lama semakin dekat,
sehingga hatinya pun menjadi berdebar-debar karenanya.
Agaknya Swandaru pun mendengarnya pula. Perlahanlahan
ia menelentang dan mendengarkan bunyi telapak kaki
kuda itu dengan saksama. "Derap kaki kuda," desisnya.
Agung Sedayu menganggukkan kepalanya.
Ketika Swandaru bangkit, maka Agung Sedayu pun
memberikan isyarat kepadanya, agar ia tidak mengejutkan
orang-orang yang sedang tidur nyenyak.
"Siapakah mereka itu?" bisik Swandaru. Agung Sedayu
menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Aku tidak mengerti."
Swandaru pun kemudian terdiam. Dengan dada yang
berdebar-debar ia mendengarkan derap yang semakin lama
semakin dekat itu. Ternyata bahwa bunyi derap kaki-kaki kuda itu telah
membangunkan beberapa orang di dalam barak itu. Dengan
wajah ketakutan mereka bangkit perlahan-lahan dan duduk
dengan tubuh gemetar. Agung Sedayu dan Swandaru masih belum beranjak dari
tempatnya. Derap kaki kuda itu memang mendebarkan
jantung. Tetapi kedua anak muda itu tidak segera dapat
berbuat apa-apa. Ia melihat ketakutan yang mencekap barak
ini. "Bagaimana dengan kita?" bertanya Swandaru berbisik.
"Maksudmu?" "Apakah kita akan melihat, siapakah yang berkuda itu?"
"Kita menunggu di sini. Lihat, orang-orang itu menjadi
ketakutan. Kalau kita pergi, mereka akan kehilangan
ketenangan sama sekali. Apalagi kita masih belum tahu,
siapakah yang datang itu" Kita harus berhati-hati di daerah
yang asing ini." "Kau memang terlampau berhati-hati, Kakang."
"Bukankah guru berpesan begitu?"
Swandaru tidak menyahut. Tetapi dirabanya senjatanya
yang melilit di lambungnya. Kakinya sudah gatal-gatal untuk
meloncat, melihat siapakah yang berkuda jauh lewat tengah
malam itu" Sejenak mereka mendengar derap kuda itu berhenti.
Namun sejenak kemudian mereka telah mendengarnya lagi.
Bukan saja derap kaki-kaki kuda, tetapi kini mereka telah
mendengar suara gemerincing yang menyentuh bulu-bulu
roma mereka. "Suara itu," desis Swandaru.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Suara
itu adalah suara yang telah mereka kenal, suara hantu.
"Aku akan melihat," desis Swandaru.
"Jangan," sahut Agung Sedayu. "Biarlah guru mengambil
sikap menanggapi keadaan ini."
"Kau selalu ragu-ragu, Kakang."
"Kita harus mempunyai perhitungan. Bukan sekedar
menuruti perasaan. Aku pun ingin untuk segera melihat.
Tetapi kita tidak tahu, apakah yang sebenarnya kita hadapi.
Apalagi kita tidak akan dapat begitu saja meninggalkan orangorang


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di dalam barak ini menjadi semakin ketakutan."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia
menggerutu di dalam hatinya. Meskipun demikian ia tetap
duduk di tempatnya. Suara derap kaki kuda dan suara gemerincing itu semakin
lama menjadi semakin jelas. Dengan demikian maka orangorang
di dalam barak itu hampir semuanya terbangun
karenanya, kecuali anak-anak. Mereka menjadi cemas dan
ketakutan. Tubuh mereka menggigil seperti kedinginan.
Sesekali Swandaru berpaling memandang kakak
seperguruannya. Seolah-olah ia ingin bertanya, apakah
mereka akan tetap diam saja"
Agaknya Agung Sedayu dapat merasakan gejolak hati
Swandaru. Sehingga ia pun berbisik, "Kita tetap di sini. Kalau
ada sesuatu yang langsung mengganggu barak ini, kita harus
berbuat sesuatu. Tetapi kita tidak terjun ke medan yang tidak
kita kenal, kecuali apabila tidak ada jalan lain."
Swandaru tidak menyahut. Tetapi ia justru bersandar
dinding sambil memejamkan matanya. Seolah-olah ia tidak
mengacuhkan lagi suara gemerincing yang semakin dekat.
Setelah mengelilingi barak itu dua kali, maka suara
gemerincing itu pun kemudian menjauh. Semakin lama
semakin jauh. Beberapa orang menarik nafas dalam-dalam sambil
mengusap dada mereka. Seorang perempuan muda
menitikkan air matanya sambil memeluk anaknya.
Tetapi Swandaru menggeretakkan giginya sambil
menggeram, "Kalau kita tidak berbuat apa-apa, maka hal ini
akan terjadi terus menerus untuk selanjutnya. Kita akan
kehilangan kesempatan untuk mencari penyelesaian."
"Kita harus yakin dan mengetahui dengan pasti, apa yang
sedang kita hadapi."
"Dengan duduk diam di sini?"
Agung Sedayu menarik nafas. Katanya, "Bukan begitu.
Tetapi kita dapat berbicara dahulu dengan guru."
Swandaru tidak menyahut. Dipandanginya nyala api pelita
yang bergetar disentuh angin.
"Kemana suara itu pergi?" desis Swandaru.
"Aku kira kuda yang bergemerincing itu pergi ke barak
sebelah." "Guru pasti akan mendengar juga."
"Ya, guru dan para pengawas yang ada di sana akan
mengambil kesimpulan."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia
sama sekali kecewa bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa.
Dalam pada itu, benarlah dugaan Agung Sedayu. Derap
kaki-kaki kuda yang diikuti oleh suara gemerincing itu memang
menuju ke barak yang lain. Semakin lama semakin dekat dan
kemudian mengelilinginya pula seperti di barak yang ditunggui
oleh Agung Sedayu dan Swandaru.
Kiai Gringsing yang ternyata masih juga belum tidur,
terkejut pula mendengar suara itu. Sejenak ia mengangkat
wajahnya dengan tatapan mata yang tegang. Namun
kemudian ia mengangguk-angguk sambil berkata di dalam
hati, "Suatu kumpulan dari orang-orang yang keras kepala dan
teratur baik. Mereka bergerak demikian cepatnya, sehingga
malam ini mereka sudah dapat berbuat sesuatu."
Seperti orang-orang perempuan dan anak-anak serta
orang-orang yang ada di barak sebelah, maka barak itu pun
segera dicengkam pula oleh ketakutan yang sangat, setelah
orang-orang di barak itu terbangun.
Sejenak mereka saling memandang. Kemudian mereka
menjadi pucat dan gemetar. Bahkan para pengawas yang ada
di dalam barak itu pun menjadi gelisah pula. Terlebih-lebih
orang-orang yang hanya mendapat tempat di serambi yang
terbuka. Mereka sama sekali tidak berani mengangkat kepala
mereka. Mereka justru menutupi diri mereka dengan selimut.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Keadaan itu
memang harus dirubah. Orang itu tidak boleh terlampau
mudah dicengkam oleh ketakutan.
Tetapi suasana itu sudah berlangsung untuk waktu yang
lama. Setiap saat mereka selalu dibayangi oleh ketakutan dan
kecemasan, sehingga tanpa mereka sadari, bayangan serupa
itu lambat laun seakan-akan telah terpahat di dalam dada
mereka. Dan kini, selagi mereka baru saja dicengkam oleh
ketakutan sepanjang hari, mereka telah mendengar suara itu
kembali. Suara yang selama ini telah membuat orang-orang di
dalam barak itu kehilangan akal.
Kiai Gringsing masih saja berada di tempatnya.
Diperhatikannya saja suara itu dengan saksama. Semakin
lama semakin dekat. "Tentu bukan orang kebanyakan," berkata Kiai Gringsing di
dalam hatinya. "Orang yang kekurus-kurusan itu pasti sudah
memberitahukan tingkat kemampuan Swandaru dan Agung
Sedayu. Kini mereka masih juga berani mendekati tempat ini.
Mereka pasti yakin, setidak-tidaknya mereka dapat melawan
Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama."
Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar karenanya. Kalau
Swandaru dan Agung Sedayu tidak dapat menahan dirinya,
maka pasti akan terjadi sesuatu yang tidak dinginkannya.
Apalagi apabila teringat oleh Kiai Gringsing, bahwa orangorang
itu adalah orang-orang yang bermain-main dengan
racun. Racun yang tajam sekalipun mereka pergunakan.
Bahkan berupa serbuk seperti yang telah mengenai diri
sendiri. "Kami di sini harus mempersiapkan diri untuk menghadapi
perang yang mengerikan melawan orang-orang itu. Melawan
racun yang kejam, di tangan orang-orang yang kejam,"
berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Dalam kegelisahannya itu tiba-tiba ia bergeser dan
berdesis, "Aku akan melihatnya."
"Jangan gila," sahut pemimpin penjaga yang terluka di
punggungnya. "Kenapa?" "Kita sedang menghadapi suatu lingkungan kelompok
orang-orang gila yang sengaja membuat keributan. Sekarang
kau akan menyeret hantu-hantu ke dalam persoalan kita di
sini." "Kau menganggap bahwa orang-orang yang membuat onar
itu tidak ada bubungannya dengan suara gemerincing itu?"
"Tentu tidak," jawab pemimpin pengawas itu. "Aku tidak
ingin melibatkan hantu-hantu itu di dalam keadaan yang sulit
ini." "Kita harus membatasi diri," berkata Wanakerti kemudian.
"Jadi, kalian menganggap bahwa kita sedang berada di
hadapan dua lingkungan yang berbeda" Orang-orang yang
bermain-main dengan racun itu dan yang lain, hantu-hantu?"
Para pengawas itu tidak segera menyahut. Tetapi dada
mereka menjadi semakin berdebar-debar karena suara
gemerincing yang semakin dekat.
"Dengarlah, Ki Wanakerti," desis Kiai Gringsing, "kita
jangan terlampau tergoncang pada kepercayaan kita selama
ini. Kepercayaan yang membuat kita selalu dibayangi oleh
ketakutan. Kalau benar hantu-hantu itu memusuhi kita atau
lebih jelas lagi, kalau memang ada hantu-hantu itu, maka
mereka pasti sudah berbuat lebih banyak dari hanya sekedar
menakut-nakuti kita dengan suara gemerincing di kejauhan.
Apalagi apabila kuda-kuda semberani itu benar-benar kuda
hantu-hantu yang berkuasa di Alas Mentaok, kita pasti tidak
akan mendengar derap kakinya, karena kuda-kuda itu pasti
tidak menyentuh tanah. Tetapi apakah kita pernah mendengar
gemerincing itu di atas atap barak kita?"
"Kami pernah mendengar suara berdesing di atas barak
kita di saat-saat tertentu."
"Suara apa?" "Kami tidak tahu. Suara berdesing yang melingkar-lingkar."
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Memang ia
harus bersabar dan perlahan-lahan. Ketakutan yang sudah
terlampau lama mencengkam mereka, tidak akan segera
dapat dihapus begitu saja.
"Marilah kita besok membuatnya," berkata Kiai Gringsing.
"Membuat apa?" "Suara berdesing yang melingkar-lingkar itu."
Wajah para pengawas itu menjadi tegang. Dan Kiai
Gringsing meneruskan, "Sudahlah. Aku akan keluar sebentar.
Aku tidak akan mengganggu hantu-hantu itu. Tetapi aku akan
melihat anak-anakku. Mereka adalah anak-anak bengal, justru
aku ingin agar anak-anakku tidak mengganggu hantu-hantu
itu." Para pengawas itu saling berpandangan sejenak. Dan Kiai
Gringsing berkata pula, "Aku tidak mau membiarkan anakanakku
kesiku atau kena kutuk. Apakah kalian, tidak
berkeberatan?" Sejenak mereka saling berpandangan.
Kiai Gringsing membiarkan mereka bepikir sejenak. Namun
ia melihat keragu-raguan yang memancar di hati para
pengawas itu. Agaknya mereka sama sekali belum dapat
melepaskan diri dari ketakutan yang selama ini mencengkam
daerah yang sedang dibuka ini.
"Aku tidak dapat membiarkan anak-anakku itu," desak Kiai
Gringsing. Akhirnya pemimpin pengawas itu mengangguk. Katanya,
"Terserahlah kepadamu. Kau termasuk orang baru di sini.
Kami adalah orang-orang yang sudah sekian lama dan
mengalami banyak masalah yang kadang-kadang tidak masuk
akal." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya,
aku mengerti," katanya. "Aku hanya sekedar menengok anakanakku."
Para pengawas kemudian hanya memandangi saja ketika
Kiai Gringsing keluar dari pintu barak, masuk kegelapan
malam. Orang-orang yang ada di dalam barak menahan nafas
mereka ketika mereka melihat orang tua yang mereka kenal
bernama Truna Podang itu meninggalkan barak. Sedang
orang-orang yang ada di serambi sama sekali sudah tidak
melihatnya lagi, karena mereka sama sekali tidak berani
mengangkat wajah-wajah mereka.
Ketika Kiai Gringsing menjejakkan kakinya di halaman
barak itu, ia mengerutkan keningnya. Ternyata suara derap
kaki kuda itu sudah menjauh.
Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, "Aku
terlambat kali ini. Tetapi aku berharap, mereka akan segera
datang lagi." Namun Kiai Gringsing meneruskan langkahnya pergi ke
barak sebelah. Ia benar-benar ingin melihat apakah Agung
Sedayu dan Swandaru masih tetap berada di tempatnya.
Ketika ia sampai ke pintu barak, dilihatnya suasana di
barak itu pun tidak ada bedanya dengan barak yang
ditinggalkannya. Tetapi di barak ini, pintunya tidak terbuka
selebar pintu baraknya, dan di serambi luar tidak terlampau
banyak orang-orang yang sedang tidur. Hanya laki-laki yang
sudah kurang kuat bekerja di lapangan, yang mendapat tugas
membantu mengurus dapurlah yang berada di serambi.
Mereka berbaring sambil menutup seluruh tubuh mereka yang
menggigil dengan kain panjang. Agaknya mereka pun telah
dicengkam oleh ketakutan pula.
"Di manakah anak-anak itu?" desis Kiai Gringsing.
Perlahan-lahan ia mendorong pintu lereg ke samping. Hati-hati
sekali, agar tidak mengejutkan orang-orang yang sedang
ketakutan itu. Tetapi suara berderit yang lambat itu justru telah
mendebarkan hati Agung Sedayu dan Swandaru yang ada di
dalam barak itu. Tanpa berjanji mereka serentak berdiri.
Perlahan-lahan mereka bergeser mendekati pintu itu sambil
meraba hulu senjata masing-masing.
Tetapi langkah mereka segera terhenti ketika mereka
mendengar suara berdesis, "Agung Sedayu, Swandaru,
apakah kalian ada di dalam?"
Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Desisnya,
"Jantungku sudah berdetak semakin cepat. Aku kira aku akan
mendapat kesempatan malam ini."
"Ah kau," desis Agung Sedayu.
Sejenak kemudian mereka melihat gurunya menjengukkan
kepalanya. Ketika dilihatnya Agung Sedayu dan Swandaru
masih berdiri melekat dinding, Kiai Gringsing segera bertanya
kepada mereka, "Kenapa kalian?"
"Aku kira hantu itu datang kemari. Aku sudah ingin sekali
berkenalan." "Kau tidak mengejarnya?"
Swandaru mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah
kakak seperguruannya sejenak. Lalu, "Kakang Agung Sedayu
mencegahnya. Kalau tidak, aku memang sudah akan
mengejarnya." Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Marilah kita duduk. Aku akan berbicara sedikit."
Mereka pun kemudian duduk di serambi, di sisi pintu.
Beberapa orang yang ada di dalam dan di luar barak,
mencoba mengintip ketiga orang itu dari sela-sela kain
selimutnya. Tetapi karena ketiga orang itu tampaknya duduk
dengan tenang, maka mereka mulai berani menarik selimut
mereka dan perlahan-lahan mengangkat kepala. Seolah-olah
mereka ingin membuktikan, apakah yang mereka lihat itu
benar-benar Truna Podang bersama dua anaknya atau hanya
sekedar bayangan hantu saja"
Kiai Gringsing yang duduk bersama Agung Sedayu dan
Swandaru menyadari akan hal itu. Tetapi mereka seolah-olah
tidak memperhatikannya sama sekali. Mereka memang
sengaja membuat kesan, bahwa mereka dapat berbicara
dengan tenang meskipun hantu-hantu itu baru saja lewat.
"Jadi kau memang ingin mengejar hantu itu?" bertanya Kiai
Gringsing. "Ya. Aku berkeyakinan bahwa yang naik kuda dengan
suara gemerincing itu sama sekali bukan hantu. Tetapi
mereka adalah orang-orang yang dengan sengaja ingin
membuat suasana di daerah ini menjadi buram."
"Ya. Tetapi kita harus masih membuktikan."
"Karena itu aku ingin menangkap satu atau dua hantu."
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, "Hal serupa inilah yang
memang harus aku peringatkan. Jadilah pengalaman
Swandaru, supaya kau tidak terlibat dalam kesulitan."


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Swandaru mengerutkan keningnya, "Aku tidak mengerti
maksud, Guru. Apakah Guru membenarkan sikapku untuk
menangkap atau justru sebaliknya?"
Gurunya masih tersenyum. Jawabnya, "Jangan berkecil
hati. Tetapi aku ingin memberimu peringatan. Lain kali,
pikirkanlah setiap tindakan lebih masak lagi. Untunglah bahwa
di sini ada kakakmu, sehingga ia dapat mencegahmu."
"O," Swandaru berpaling ke arah Agung Sedayu, "jadinya
aku yang salah. Aku kira, Guru membenarkan sikapku. Hampir
saja aku menunjuk hidung Kakang Agung Sedayu sambil
mencibir." Kiai Gringsing tertawa karenanya. Katanya, "Begitulah kirakira."
"Jadi bagaimana seharusnya yang kami lakukan, Guru?"
bertanya Swandaru kemudian.
"Dengarlah. Sekarang aku berkata sebenarnya. Orangorang
yang kita hadapi adalah orang-orang yang memiliki
kemampuan bermain-main dengan racun. Kalau benar
dugaan kita, bahwa yang kita sangka hantu itu sama sekali
bukan hantu, tetapi sebagian dari mereka, maka kita akan
berhadapan dengan segala jenis senjata racun itu. Padahal
kita sama sekali belum siap melakukannya sekarang. Apakah
kau mengerti?" Swandaru mengerutkan keningnya semakin tinggi. Namun
kemudian ia mengangguk-angguk. Sedang gurunya berkata
terus, "Karena itu kita harus segera mempersiapkan diri kita,
karena memang mereka ingin membunuh kita apabila kita
sudah ada di lapangan kerja itu."
Kedua murid Kiai Gringsing itu pun menganggukanggukkan
kepala mereka. Kini mereka menyadari, betapa
berbahayanya bertindak tergesa-gesa terhadap orang-orang
yang tidak begitu mereka kenal, tetapi sudah mereka ketahui,
bahwa orang-orang itu telah mempergunakan racun untuk
membinasakan lawan. "Nah, sudahlah," berkata Kiai Gringsing kemudian, "hari
sudah hampir pagi. Kalau kalian masih sempat, ada waktu
sedikit buat beristirahat. Aku kira kalian memang perlu
beristirahat." Tanpa disadari, kedua murid Kiai Gringsing itu pun
memandang warna kehitaman di halaman yang sudah mulai
dibayangi oleh warna merah.
"Aku akan kembali," berkata Kiai Gringsing kemudian.
"Baiklah, Guru," berkata Agung Sedayu, "kami menyadari
kedudukan kami sekarang."
"Ya. Perhitungkan setiap tindakan. Kau mengerti,
Swandaru?" "Ya, Guru." "Sudahlah, beristirahatlah. Waktu tinggal sempit sekali,
sebelum fajar menyingsing. Aku kira di hari yang akan datang
ini, tidak akan ada seorang pun yang akan pergi bekerja."
"Tetapi bagaimana dengan mayat pengawas itu, Guru?"
"Nanti akan kita lihat."
Kiai Gringsing pun kemudian meninggalkan barak itu.
Sementara Agung Sedayu dan Swandaru kemudian mencoba
membaringkan dirinya di atas anyaman daun kelapa, di
serambi barak itu. Agaknya Swandaru masih dapat
mempergunakan kesempatan itu, sehingga sekilas ia masih
dapat tertidur. Sedang Agung Sedayu hanyalah sekedar lupa
diri untuk sesaat. Tetapi hampir setiap bunyi masih tetap
didengarnya. Demikian pula bunyi ayam jantan di ujung pagi.
Orang-orang di kedua barak itu, masih ragu-ragu untuk
keluar dari barak masing-masing oleh ketakutan yang telah
mencengkam hati mereka. Tetapi Agung Sedayu dan
Swandaru di barak yang satu dan Kiai Gringsing di barak yang
lain, mendahului mereka pergi ke pakiwan dan membersihkan
dirinya. Karena itu, maka mereka pun ragu-ragu, satu dua di
antara mereka pun segera mengikutinya, meskipun mereka
menunggu hari menjadi terang.
Ternyata dugaan Kiai Gringsing tepat, bahwa tidak ada
seorang pun yang mempunyai minat untuk pergi bekerja pada
hari itu. Bahkan para pengawas pun masih tetap ragu-ragu.
Wanakerti dan kedua kawannya sudah menjadi semakin
sehat. Bahkan pemimpin mereka yang terluka itu pun sudah
menjadi berangsur baik. "Kenapa tiba-tiba kalian telah diterkam oleh ketakutan itu
kembali?" bertanya Kiai Gringsing kepada mereka. "Bukankah
kalian mengerti, bahwa orang yang berkumis itu telah berhasil
menggelitik hati kalian, para pengawas" Tetapi ketika
terdengar lagi suara gemerincing itu, kalian benar-benar
kehabisan akal." Para pengawas itu mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Di siang hari mereka merasa, seakan-akan mereka
benar-benar telah menyadari kekeliruan mereka, bahwa
mereka telah terjerumus ke dalam ketakutan yang tidak pada
tempatnya. Tetapi apabila malam tiba, terasa bulu tengkuk
mereka masih juga berdiri. Mereka justru masih mempercayai
bahwa suara gemerincing itu adalah suara hantu.
"Agaknya kita tidak akan bekerja hari ini," berkata Kiai
Gringsing, "tetapi aku masih mempunyai kerja khusus yang
harus aku lakukan." "Apa?" "Mengubur mayat itu, apabila sudah memungkinkan. Para
pengawas itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Wanakerti menyahut, "Ya. Agaknya kita memang tidak
akan bekerja hari ini. Tetapi kerja yang satu itu pun agaknya
telah menimbulkan kesibukan yang menarik di hari ini."
Kiai Gringsing pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, "Kita akan segera pergi ke tempat itu, apabila
matahari sudah naik setinggi ujung pepohonan."
Demikianlah, ketika matahari menjadi semakin tinggi, Kiai
Gringsing telah memanggil kedua muridnya yang akan
dibawanya pergi melihat mayat pengawas berkumis itu.
Beberapa orang yang sedikit mempunyai keberanian, serta
para pengawas yang tidak terluka, ikut serta bersama Kiai
Gringsing pergi ke tempat mayat itu.
"Yang lain, kami harap melakukan tugas kalian dengan baik
seperti biasanya," berkata Kiai Gringsing. "Yang bekerja di
dapur diharap menyiapkan makan seperti biasa, sedang yang
lain dipersilahkan ikut membantu."
Demikianlah, maka Kiai Gringsing pun kemudian pergi
melihat mayat yang kemarin mereka tinggalkan. Para
pengawas dan beberapa orang pergi mengiringkannya sambil
membawa alat untuk menguburkan mayat itu.
Tetapi langkah Kiai Gringsing pun tertegun. Wajahnya
menjadi tegang. Dan ia pun kemudian berhenti sambil
menebarkan pandangan matanya berkeliling.
"Apa, Guru?" bertanya Agung Sedayu perlahan-lahan.
"Bukankah mayat itu kemarin terletak di sini?" Agung
Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian ia menganggukanggukkan
kepalanya. Katanya, "Ya. Kemarin mayat itu ada di
sini. Bukan begitu?" ia pun bertanya pula kepada Swandaru.
"Ya. Di sini. Betul di sini," desis Swandaru. Sebelum
mereka membicarakan hal itu lebih lanjut.
Wanakerti telah menggamit Truna Podang sambil bertanya,
"He, apakah aku keliru" Bukankah kemarin mayat itu tergolek
di samping batang perdu yang kering itu?"
"Ya," jawab Kiai Gringsing, "batang perdu itu kering oleh
serbuk racun yang barangkali tertabur sampai ke akarnya.
Dan mayat itu memang tergolek beberapa langkah di
dekatnya." "Mayat itu hilang," desis Wanakerti.
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi
wajahnya masih tetap menegang.
Tangan Kiai Gringsing segera menangkap lengan
Swandaru ketika anak muda itu hampir saja melangkah
mendekati bekas tempat mayat itu.
Swandaru tertegun karenanya. Dipandanginya wajah
gurunya yang tampak bersungguh-sungguh. Sambil menarik
tangan Swandaru gurunya berkata, "Jangan tergesa-gesa,
Swandaru. Aku masih belum yakin, apakah racun yang
bertaburan di sekitar tempat itu sudah tidak berbahaya lagi."
Swandaru mengerutkan keningnya. Namun ia pun
kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata,
"Ya. Hampir aku tidak teringat lagi. Tetapi, karena mayat itu
sudah tidak ada lagi, aku kira pasti sudah ada seseorang yang
merabanya." Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Diamatinya tempat
itu dengan saksama. Dan tiba-tiba saja ia melangkah maju
sambil berdesis, "Mudah-mudahan aku berhasil. Lihat, seekor
kadal." "Kenapa dengan kadal itu?" bertanya kedua murid-nya
hampir berbareng. "Ia masih tetap hidup meskipun ia berada di dalam daerah
yang berbahaya. Aku kira, usahaku untuk mempercepat
lenyapnya bisa racun itu berhasil, meskipun seandainya tidak
seluruhnya." Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Wanakerti dan para pengawas pun telah berdiri di samping
mereka sambil memperhatikan percakapan itu pula.
"Tetapi," bertanya Wanakerti, "sudah barang tentu, mayat
itu di ambil semalam. Apakah yang mengambil mayat itu sama
sekali tidak akan terpengaruh oleh racun, meskipun
seandainya binatang buas?"
"Tentu racun itu masih ada pengaruhnya, meskipun
seandainya binatang buas yang mengambilnya. Tetapi".."
kata-kata Kiai Gringsing terhenti.
Wanakerti, para pengawas dan orang-orang yang
mendengar kata-kata Kiai Gringsing yang tidak selesai itu tibatiba
mengerutkan kening mereka, beberapa orang tergetar
hatinya. Apalagi ketika mereka mendengar Wanakerti
menegaskan, "Tetapi kau maksud bukan manusia dan bukan
pula binatang buas?"
"Ah," Kiai Gringsing menyahut dengan serta-merta, "hantu,
begitu?" Wanakerti memandang wajah Kiai Gringsing dengan sorot
mata yang aneh, sedang Kiai Gringsing berkata selanjutnya,
"Sama sekali tidak. Hantu-hantu tidak memerlukannya."
"Jadi siapakah maksudmu?"
"Kawan-kawannya."
"Kawan-kawan orang berkumis itu?"
"Ya. Mereka yang terdiri dari satu lingkungan dengan orang
berkumis itu. Dengan orang yang tinggi kekar yang meninggal
di barak dan orang yang kekurus-kurusan."
"Jadi, siapakah yang mengambil" Orang yang kekuruskurusan
itu?" Kiai Gringsing menggeleng, "Bukan. Tetapi bukankah
semalam kita mendengar derap kaki kuda?"
"Ah," hampir bersamaan beberapa orang berdesah.
"Jadi kalian tetap menyangka bahwa mereka itu hantu yang
naik kuda semberani?"
Tidak seorang pun yang menyahut.
"Kita dapat mencurigainya," berkata Kiai Gringsing
kemudian. "Memang mungkin sekali orang berkuda semalam."
Para pengawas itu masih tetap berdiam diri.
"Baiklah, aku akan melihat, kemana kira-kira mayat itu
pergi," berkata Kiai Gringsing kemudian. "Tunggulah kalian di
sini. Aku akan mendekat."
Kedua muridnya menjadi tegang sesaat. Tetapi kemudian
mereka dapat menenangkan hati mereka, karena mereka
percaya bahwa gurunya pasti sudah membuat perhitungan
yang sebaik-baiknya. Para pengawal dan orang-orang yang ikut serta ke tempat
itu pun menjadi berdebar-debar melihat Kiai Gringsing berjalan
dengan hati-hati mendekati bekas tempat mayat itu terbaring.
Dengan seksama ia memperhatikan tempat itu. Sejenak
kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Seolah-olah
ia menemukan sesuatu. Bahkan kemudian Kiai Gringsing itu
mengikuti beberapa langkah menjauhi tempat itu.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai Gringsing
mengamati rerumputan di sekitarnya. Ketika ia sudah berada
di luar daerah yang disangkanya masih mempunyai pengaruh
karena racun, ia pun memanggil kedua muridnya dan para
pengawas. "Lihatlah," berkata Kiai Gringsing kepada mereka, "kalian
dapat melihat bekas kaki kuda."
Kedua muridnya dan para pengawas itu menganggukanggukkan
kepalanya. "Dan yang di sini adalah bekas sesuatu yang diseret begitu
saja. Bekas rerumputan dan batang-batang perdu yang roboh
menunjukkan, bahwa benda yang diseret itu cukup berat."
"Maksud Guru, mayat itu?" bertanya Agung Sedayu.
"Demikianlah agaknya. Mereka mengerti bahwa racun pada
tubuh mayat itu berbahaya. Karena itu mereka tidak
membawanya, tetapi mereka menjeratnya, kemudian
menyeretnya." Bulu-bulu kuduk mereka yang mendengar keterangan itu
meremang. Ternyata orang-orang yang termasuk di dalam
kelompok itu adalah orang-orang yang hampir tidak
berperasaan. "Kenapa mereka memerlukan mayat itu?" bertanya Agung
Sedayu pula. Kiai Gringsing merenung sejenak. Kemudian jawabnya,
"Aku tidak tahu pasti. Tetapi agaknya mereka akan menyelidiki
hasil pekerjaan racun-racun pada tubuh seseorang. Tetapi
apabila mereka kurang teliti, maka mereka tidak akan
memperhitungkan cairan yang sudah aku berikan itu.
Para pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya
pula. Dan mereka mendengar Kiai Gringsing berkata, "Nah,
apakah kalian masih menyangka bahwa suara gemerincing itu
suara hantu?" Para pengawas itu masih ragu-ragu. Meskipun menurut
pertimbangan nalar mereka, mereka memastikan bahwa
mereka tidak berhadapan dengan hantu, namun mereka
masih juga tetap ragu-ragu.
"Apa pun yang kita hadapi," berkata Kiai Gringsing
kemudian, "adalah kekuatan yang tidak dapat dianggap
ringan." Para pengawas dan murid-murid Kiai Gringsing tidak
menyahut. Mereka dapat membayangkan apa yang dikatakan
oleh Kiai Gringsing itu. Sekelompok orang yang berani,
tangguh dan dapat melakukan tindakan apa pun juga,


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meskipun bertentangan dengan perikemanusiaan. Karena itu,
maka mereka pun harus sangat berhati-hati.
"Tidak ada yang dapat kita lakukan di sini sekarang,"
berkata Kiai Gringsing kemudian, "marilah kita kembali ke
barak." "Tetapi bagaimana dengan orang itu?" bertanya Wanakerti.
"Siapa?" "Yang mayatnya hilang itu."
"Ia sudah berada di antara kawan-kawannya. Biarlah, kita
tidak akan dapat berbuat apa-apa."
Para pengawas itu pun kemudian hanya dapat
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Berbagai macam
persoalan telah bergulat di dalam hati. Mereka harus berdiri di
antara kebimbangan perasaan dan tugas-tugas mereka
sebagai seorang pengawas.
"Kita akan membicarakannya nanti," berkata Kiai Gringsing
kemudian. Mereka, orang-orang yang ada di tempat itu, yang berniat
untuk mengubur orang berkumis itu, segera diikuti Kiai
Gringsing dan para pengawas kembali ke barak.
"Laporan itu harus segera sampai," berkata Kiai Gringsing
kemudian. "Ya," Wanakerti menyahut, "Ki Gede Pemanahan harus
segera tahu, apakah yang sebenarnya telah terjadi."
"Hanya ada satu jalan," berkata pemimpin pengawas yang
terluka, "kita mengirimkan orang untuk menghadap."
Sejenak mereka berdiam diri. Bagaimanapun juga, di dalam
hati para pengawas masih juga berkecamuk bayanganbayangan
yang mengerikan. Kadang-kadang masih juga
tumbuh pertanyaan, "Kalau kita tidak berhadapan dengan
hantu-hantu, lalu siapakah atau apakah yang pernah tampak
sebagai jerangkong yang mengerikan naik seekor kuda yang
bercahaya itu?" Tetapi para pengawas itu tidak mengucapkan pertanyaan
itu. Namun ternyata pertanyaan yang serupa bergolak di setiap
dada orang-orang yang ada di dalam barak. Bagi mereka,
hantu hampir merupakan suatu keyakinan yang tidak dapat
dibantah lagi. Karena itu, mereka masih selalu dibayangi oleh
gambaran-gambaran jerangkong, kemamang, dan hantuKang
Zusi - http://kangzusi.com/
hantu yang wujudnya mengerikan. Tetapi hampir merupakan
keyakinan pula bagi mereka, bahwa di belakang mereka
adalah hantu-hantu yang bermartabat tinggi, gendruwo dan
prayangan, didampingi oleh peri yang cantik-cantik.
"Ki Sanak," berkata Kiai Gringsing kemudian, "aku memang
merasa wajib untuk membantu para pekerja, segera
mendapatkan ketenangan. Karena itu, biarlah kami akan
mencobanya." "Apa yang akan kalian lakukan?"
"Kalau kalian bersedia melakukannya, kalian memang
harus pergi menemui Ki Gede Pemanahan atau puteranya.
Laporkan apa yang terjadi di sini. Seluruhnya, jangan ada
yang terlampaui. Sementara aku akan menyingkir, tetapi
apabila perlu kami akan segera datang."
"Kemana?" bertanya pemimpin pengawas itu.
"Agaknya aku dan kedua anak-anakkulah yang menjadi
pusat perhatian mereka. Pada saat kami menempati rumah
yang kosong itu, mereka sudah mulai menyerang kami.
Mereka telah memasukkan ular-ular berbisa ke dalam rumah
itu, kemudian mereka membakarnya ketika mereka sadar,
bahwa ular-ular itu tidak berhasil membinasakan kami."
Para pengawas itu menjadi tegang.
"Bagi kami sebenarnya sudah jelas, bahwa kami tidak
melawan hantu. Yang belum jelas, siapakah lawan kami
sebenarnya dan maksud mereka mengganggu kita di sini?"
Para pengawas masih belum menjawab.
"Nah, apakah kalian sependapat?"
"Lalu bagaimanakah dengan orang-orang di dalam barak
ini?" "Biarlah, untuk sementara, biarlah mereka berada di dalam
keadaan itu. Supaya mereka tidak menjadi sasaran pula
seperti kami bertiga, dan mungkin sebentar lagi kalian, para
pengawas." Pemimpin pengawas itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba
ia berkata, "Itu adalah tugas kami. Besok para pengawas akan
pergi ke Mataram, menghadap Raden Sutawijaya. Biarlah aku
di sini mengawani orang-orang di dalam barak ini. Dan kalian
bertiga dapat membuat rencana yang kalian anggap baik. Aku
percaya kepada kalian."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Adalah aneh sekali, bahwa selama ini kami seolah-olah
telah terbius. Kami tidak pernah gentar dan takut mati
menghadapi perampok yang betapapun garangnya. Tetapi
kenapa tiba-tiba kami menjadi ketakutan apabila kami
mendengar gemerincing di malam hari atau derap kaki kuda
dan jerangkong yang berkeliaran di pinggir hutan?"
"Mudah-mudahan kalian menemukan pribadi kalian kembali
sebagai pengawas." "Baik, baik. Kami akan mencoba. Sudah cukup lama kami
dibayangi oleh perasaan yang tidak dapat kami pahami
sendiri. Ternyata orang berkumis yang ada di antara kami itu
telah berhasil melumpuhkan kami tanpa merampas senjatasenjata
kami." "Nah, agaknya kita akan dapat bekeria bersama," berkata
Kiai Gringsing kemudian. "kami akan berada di tempat kerja
kami. Kami harap orang-orang di dalam barak ini beristirahat
dahulu sampai persoalan ini menjadi semakin jelas, atau
menunggu keputusan Raden Sutawijaya, agar tidak jatuh
korban yang tidak berarti."
(BERSAMBUNG) Para pengawas menarik nafas dalam-dalam. Katanya
kemudian, "Tetapi bagaimana kalian sendiri" Apakah kalian
sanggup mengatasi setiap kesulitan hanya bertiga?"
"Mudah-mudahan"
"Aku percaya kepada kalian. Truna Podang sekarang
bukan Truna Podang pada saat ia datang. Kalau anakanakmu
yang kadang-kadang lupa memanggilmu guru itu
mampu berbuat demikian, maka aku yakin, ayahnya pun
dapat berbuat lebih banyak lagi."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia
mengharap bahwa ia akan segera berhasil membangunkan
para pengawas yang seolah-olah sedang terbius oleh
perasaan takut dan cemas, meskipun mereka bukan penakut.
Tetapi, mereka merasa bahwa mereka tidak akan berdaya
sama sekali untuk melawan hantu-hantu. Itulah sebabnya
maka lambat laun, mereka hanya dapat menyembunyikan diri
mereka, apabila mereka mendengar suara-suara aneh di
sekitar mereka, atau bentuk-bentuk yang agak
membingungkan tanpa menyelidikinya lebih teliti lagi.
Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan pemimpin pengawas
itu kemudian berpendapat, bahwa mereka harus segera
melakukan sesuatu. Para pengawas yang lain pun tidak
merasa berkeberatan apabila mereka harus segera pergi ke
Mataram menghadap Raden Sutawijaya.
"Kami sudah sehat kembali," berkata Wanakerti.
"Kami akan pergi besok," sahut yang lain.
"Bagus," jawab pemimpinnya, "kalian adalah pengawal
Tanah Mataram yang baru dibuka. Jangan takut menghadapi
bahaya apa pun juga."
"Kami akan melakukannya. Dan kami menyadari setiap
kemungkinan yang dapat terjadi. Di siang hari kami tidak akan
bertemu dengan hantu-hantu, tetapi kami sadar bahwa di balik
pepohonan itu memang banyak sekali terdapat rahasia yang
belum dapat kami pecahkan. Namun demikian, itu adalah
kemungkinan-kemungkinan yang memang harus kami atasi."
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Hampir
di luar sadarnya ia berkata, "Kalian telah berada di tempat
kalian kembali, setelah kalian sekian lamanya hanyut di dalam
arus yang tidak menentu."
"Ya. Kami mengucapkan terima kasih. Kehadiran kalian di
sini banyak memberikan manfaat kepada kami dan kepada
tanah ini. Mudah-mudahan Ki Gede Pemanahan dan
puteranya akan dapat mengerti, apa yang telah kalian lakukan
di sini." Kiai Gringsing tersenyum. "Itu tidak perlu."
Dalam pada itu, maka baik Kiai Gringsing maupun para
pengawas berusaha untuk membiarkan orang-orang yang ada
di dalam barak itu di dalam keadaannya untuk sementara.
Untuk sedikit memberikan ketenangan kepada mereka, maka
mereka harus menjalankan tugas mereka sehari-hari, kecuali
pergi ke hutan, menebang, dan membuka hutan.
Di pagi hari berikutnya, orang-orang di barak itu menjadi
heran melihat Kiai Gringsing dan kedua anak-anaknya
mempersiapkan alat-alat mereka, sehingga salah seorang dari
mereka bertanya. "Kemanakah kau sepagi ini?"
"Aku akan mulai bekerja lagi. Sudah cukup agaknya aku
dan anak-anakku beristirahat."
"Tetapi, bagaimana dengan kami?"
Pemimpin pengawas yang mendengar percakapan itu
menyahut, "Biarlah kalian beristirahat dahulu. Orang itu tidak
dapat dicegah lagi. Semua akan menjadi tanggung jawabnya
sendiri." Orang di barak itu saling berpandangan sejenak. Namun
kemudian mereka pun mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Beberapa orang pun bergumam, "Orang itu adalah
orang yang aneh. Tetapi mereka seakan-akan tidak dapat
diatur." Tetapi mereka tidak mengatakannya kepada para
pengawas. Mereka merasa tidak berhak untuk ikut
mencampurinya apabila para pengawas memang sudah
mengijinkannya. Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya pun
segera meninggalkan barak itu menuju ke tempat kerja
mereka. Kiai Gringsing memang sadar sepenuhnya, bahwa
bahaya agaknya telah menunggunya bersama kedua anaknya
itu. Tetapi ia harus melakukannya apabila ia ingin mengetahui
latar belakang dari semua yang pernah terjadi itu.
"Mudah-mudahan para pengawas akan sampai ke hadapan
Ki Gede Pemanahan atau puteranya, Raden Sutawijaya.
Mudah-mudahan mereka tidak terhenti di jalan dan menjadi
korban pula dari keganasan orang-orang yang masih menjadi
rahasia itu. Di tengah perjalanannya menuju ke tempat kerjanya, Kiai
Gringsing masih juga mempersiapkan kedua muridnya untuk
menghadapi setiap kemungkinan. Apalagi apabila mereka
harus berhadapan dengan racun seperti yang pernah terjadi
dengan Swandaru. Karena itu, maka diberinya kedua
muridnya itu masing-masing sebutir obat reramuan yang akan
dapat sedikit memberi perlindungan kepada tubuh mereka.
"Makanlah," berkata Kiai Gringsing, "mudah-mudahan
kalian akan dapat bertahan apabila kalian terkena racun.
Setidak-tidaknya akan membantu daya tahan tubuh kalian
sendiri. Obat itu akan langsung berpengaruh atas darah
kalian. Tetapi kalian jangan terkejut, bahwa untuk beberapa
lama tubuh kalian akan merasa panas, dan barangkali sedikit
pening. Tetapi itu tidak berbahaya. Perasaan-perasaan itu
akan hilang kemudian dan obat dari sejenis racun itu pula
akan dapat sedikit memberikan perlindungan kepada kalian
untuk beberapa lama, apabila kalian benar-benar harus
bergulat melawan racun. Menurut penyelidikanku, racun yang
dipergunakan di sini pada umumnya adalah racun ular."
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Mereka pun kemudian menelan obat yang
diberikan oleh gurunya itu.
"Kita tidak tahu, apakah orang-orang itu akan bertindak
cepat seperti yang mereka lakukan kemarin malam. Kita sama
sekali tidak menyangka, bahwa malam itu juga, mereka sudah
sempat membuat suara gemerincing itu sambil mengambil
mayat kawan-kawannya sekaligus. Agaknya mereka memang
tidak ingin menunda-nunda waktu lagi. Dengan demikian,
maka persoalan kita pun agaknya tidak akan tertunda pula."
Swandaru mengangguk-angguk sambil berkata, "Kenapa
kita tidak melawan mereka dengan racun pula, Guru.
Misalnya, kita membuat ujung senjata kita beracun, sehingga
tiap sentuhan akan dapat membunuh mereka."
Gurunya tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah
Swandaru sejenak dengan tatapan mata yang suram.
Pertanyaan itu agaknya telah menggetarkan dadanya.
Namun sejenak kemudian ia menjawab, "Swandaru.
Bukahkah pada suatu ketika, kita ingin mengalahkan lawan
kita tanpa membunuhnya, meskipun untuk melumpuhkannya
kita harus melukainya" Kalau senjata kita beracun,
kemungkinan itu hampir tidak ada sama sekali. Kalau kita
sudah mencabut senjata, itu berarti kita akan melakukan
permusuhan, berhasil atau tidak berhasil, tetapi niat itu sudah
ada." Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, "Apalagi jenis
senjata kita bukanlah jenis senjata yang mempunyai wrangka.
Kalau senjata kita beracun maka senjata itu akan berbahaya
bagi diri kita sendiri."
Swandaru menjadi berdebar-debar mendengar jawaban itu.
Ia merasa bahwa pertanyaannya tidak begitu menyenangkan
gurunya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
kemudian berkata, "Aku mengerti, Guru."
Mereka pun kemudian tidak berbicara lagi sampai ke
tempat tujuan. Mereka melihat batang-batang pohon masih
silang melintang seperti saat terakhir mereka datang beberapa
hari yang lalu. Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa
sesadarnya. Dan ia masih berbisik sekali lagi, "Hati-hatilah."
Kedua muridnya tidak menjawab. Tetapi mereka telah
menyiapkan diri mereka untuk menghadapi setiap
kemungkinan. "Marilah kita mulai," berkata gurunya kemudian.
Ketiga orang itu pun kemudian mengambil beberapa jenis
alat-alat mereka yang mereka simpan di bawah sebatang
pohon. Alat-alat yang berat, yang tidak setiap hari mereka
bawa kembali ke barak. Sebentar kemudian maka ketiganya telah mulai dengan
kerja mereka. Memotong pepohonan yang sudah ditebang


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh pendatang sebelumnya, tetapi yang tidak sempat
menyelesaikan kerja itu, karena mereka terusir oleh perasaan
takut. Ketika matahari menjadi semakin tinggi di langit, maka
mereka pun segera menjadi basah oleh keringat yang seakanakan
mengembun dari seluruh wajah kulit mereka. Sesekali
mereka berhenti sejenak untuk mengusap keringat yang
mengalir di kening. Tetapi setelah sekian lama mereka terlibat dalam persoalan
yang memusingkan, kini terasa, betapa segarnya bekerja di
alam terbuka, di bawah sinar matahari yang belum terlampau
panas, dan angin yang berhembus dari Selatan. Dikejauhan
terdengar burung-burung liar berkicau, seakan-akan ikut
memuji langit yang cerah dibayangi oleh mega putih yang
bergerak didorong oleh angin yang lembut.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya ketika ia melihat
gurunya bekerja dengan tekunnya, seakan-akan pekerjaan itu
harus selesai sehari ini. Sedang Swandaru yang gemuk itu
sesekali menggeliat sambil menekan lambungnya.
Tetapi tiba-tiba saja, hampir berbareng mereka
mengangkat kepala ketika dari dalam hutan yang lebat,
terdengar suara burung kedasih.
Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tanpa
berpaling kepada murid-muridnya ia berkata, "Seperti yang
kita duga, mereka bekerja cepat dan tidak mensia-siakan
waktu." Swandaru menyahut, "Baik sekali, Guru. Pekerjaan kita pun
akan segera selesai." Ia terdiam sejenak, lalu "Aku akan
berteriak. Bukankah suara burung kedasih yang menjemukan
itu akan terdiam apabila ia terkejut."
"Biar sajalah. Kalau ia lelah, ia akan terdiam dengan
sendirinya. Tetapi kita tidak boleh mengabaikan isyarat itu.
Aku kira ia mengisyaratkan bahwa hari ini kita telah berada di
lapangan kerja kita ini."
Swandaru menggeliat sambil menepuk punggungnya
sendiri. Katanya, "Aku lebih senang berkelahi daripada
terbungkuk-bungkuk memotong kayu. Punggungku menjadi
sakit." "Kau terlampau gemuk," desis Agung Sedayu. Lalu, "Tetapi
bukankah kerja ini masih lebih baik dari mencangkul di
sawah" Di sawah kita harus lebih dalam membungkukkan
badan kita." Swandaru mengangguk-angguk. "Ya. Tetapi di sawah aku
tidak diganggu oleh suara burung kedasih yang menjemukan
itu." "Bekerjalah," potong Kiai Gringsing. "Kita pura-purta tidak
tahu tentang suara burung itu."
Ketiganya pun kemudian melanjutkan kerja mereka,
memotong pepohonan yang silang melintang.
Dalam pada itu, tiga ekor kuda sedang berlari dengan
kencangnya di jalan setapak di tengah-tengah hutan. Mereka
adalah Wanakerti dan kawan-kawannya. Ketika mereka
merasa bahwa tubuh mereka telah menjadi baik dan pulih
kembali, mereka merasa wajib untuk segera melaporkan
semua peristiwa yang terjadi di daerah pengawasan mereka
kepada Ki Gede Pemanahan atau puteranya, Raden
Sutawijaya. Dengan pedang di lambung mereka berpacu secepatcepatnya.
Bagaimanapun juga, namun hati mereka tergetar ketika
mereka menjadi semakin dalam menyusup ke dalam hutan,
lewat jalan yang sempit dan kotor, karena jarang sekali dilalui
orang. Sesekali kuda-kuda mereka harus meloncati
pepohonan yang roboh melintang di jalan, kemudian
menyusup di bawah cabang-cabang dan sulur kayu yang
terjuntai di atas lorong sempit itu.
Tetapi para pengawas itu pun telah bertekad, apa pun yang
akan terjadi, mereka harus melakukan tugas mereka sebaikbaiknya.
Demikianlah maka derap kaki-kaki kuda itu pun bergema di
antara kekayuan. Gemeretak di atas tanah berbatu padas.
Wanakerti mengerutkan keningnya ketika ia mendengar
derap kaki kuda yang lain. Bukan gema dari kaki-kaki kuda
mereka sendiri, kepada kawannya yang berpacu di
belakangnya ia bertanya, "Apakah kau mendengar derap kaki
kuda yang lain, bukan gema suara kaki-kaki kuda kita
sendiri?" Orang itu mencoba mempertajam pendengarannya Dan ia
pun kemudian menjawab, "Ya, aku mendengar."
Sejenak kemudian mereka pun saling berdiam diri. Tetapi
mereka mencoba untuk mengetahui dengan pasti, dari arah
manakah suara derap kaki-kaki kuda itn.
"Di belakang kita," desis orang yang paling belakang.
Wanakerti menganggukkan kepalanya. "Ya, di belakang
kita. Agaknya memang ada orang yang mengejar kita."
Kedua kawannva tidak segera menyahut. Mereka hanya
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi ketika mereka
berpaling, rimbunnya dedaunan masih saja menghalangi
pandangan mata mereka sehingga mereka tidak melihat lagi
jalur jalan yang baru saja mereka lalui.
"Apakah kita akan berhenti ?" bertanya salah seorang dari
kawan Wanakarti itu. "Kenapa?" "Kita melihat siapakah yang mengejar kita itu." Wanakerti
tidak segera menjawab. Tanpa sesadarnya ia meraba
senjatanya. Namun kemudian ia berkata, "Kita berjalan terus.
Kalau mereka berhasil mengejar dan mengganggu kita, kita
akan melawan. Tetapi kalau tidak, lebih baik kita berjalan
terus. Bukan karena kita takut menghadapi siapa pun, tetapi
lebih baik bagi kita apabila kita dapat mencapai Mataram dan
melaporkan keadaan di daerah pengawasan kita."
Kawan-kawannya tidak menyahut lagi. Mereka justru
memacu kuda mereka semakin cepat. Tanpa menghiraukan
apa pun lagi, mereka berusaha secepat-cepatnya dapat
menyampaikan laporan mereka tentang daerah pengawasan
mereka. Derap kuda yang mengejar mereka pun menjadi semakin
cepat pula. Agaknya mereka berusaha untuk dapat menyusul
ketiga pengawas yang mendahului itu.
"Banyak sekali," tiba-tiba Wanakerti bergumam seperti
kepada diri sendiri, "lebih dari lima ekor kuda."
"Ya. Lebih dari lima ekor kuda."
"Pasti bukan kawan-kawan kita. Ternyata mereka juga
mempunyai persiapan yang baik sekali."
Tidak ada yang menjawab. Mereka kini berpacu pada jalur
jalan yang agak lurus dan panjang. Karena itu, ketika mereka
berpaling, mereka dapat melihat dari sela-sela dedaunan yang
mencuat ke tengah lorong sempit itu, beberapa ekor kuda
berpacu di belakang mereka.
"Orang-oang yang tidak kita kenal," berkata pengawas yang
paling belakang. "Memang lebih dari lima orang."
"Kita tidak melayaninya. Kalau kita gagal sampai ke tujuan,
maka Ki Gede Pemanahan tidak akan segera mengetahui apa
yang sudah terjadi. Demikianiah maka Wanakerti dan kedua kawannya
berusaha mempercepat derap kuda mereka. Mereka benarbenar
tidak ingin bertempur melawan orang-orang yang tidak
dikenal yang mengejar di belakang mereka. Tetapi mereka
merasa wajib untuk segera menghadap para pemimpin
tertinggi dari Tanah Mataram yang sedang dibuka ini.
Tetapi agaknya orang-orang yang mengejar mereka itu pun
tidak ingin melepaskan ketiga pengawas itu. Mereka pun
berusaha untuk dapat mengejar buruan mereka. Karena itu,
mereka pun telah melecut kuda mereka agar berlari lebih
cepat lagi. Ternyata bahwa orang-orang yang tidak dikenal itu lebih
berpengalaman. Kuda-kuda mereka pun agaknya lebih
mengenal jalan-jalan yang sempit dan sulit itu. Karena itu,
maka jarak mereka pun semakin lama menjadi semakin dekat.
Meskipun demikian Wanakerti dan kawan-kawannya masih
tetap berusaha. Jarak yang ada itu harus dimanfaatkan
sebaik-baiknya. "Mereka akan mengejar kita sebelum kita keluar dari hutan
ini," desis seorang kawannya. Lalu, "Pergi dahulu. Aku, akan
mencoba menghambat mereka."
"Jangan gila," sahut Wanakerti.
"Ya. Kami berdua," berkata yang lain. "Salah seorang dari
kita harus sampai ke tempat tujuan."
"Kalian akan membunuh diri. Mereka tidak memerlukan
waktu yang lama untuk membunuh kalian, kemudian mengejar
aku pula. Kalian akan dilempar dengan pisau beracun.
Kemudian mereka sama sekali tidak perlu berhenti menunggui
mayat kalian." "Tentu tidak semudah itu. Kami akan mencoba menahan
mereka meskipun hanya beberapa saat saja. Kau akan
mendapat kesempatan itu."
"Tidak. Aku tidak sependapat. Kita berpacu terus. Kedua
kawannya tidak menyahut lagi. Yang paling belakang
menyadari sepenuhnya, bahwa jarak mereka menjadi semakin
pendek. Tetapi kalau kuda mereka tidak terganggu, untuk
menutup jarak yang pendek itu memang memerlukan waktu.
Dengan demikian maka kedua kelompok itu masih saja
berpacu beriringan. Orang-orang yang mengejar para
pengawas itu pun kemudian berteriak-teriak seperti anak-anak
yang sedang mengejar tupai. Mereka mengharap agar dengan
demikian, perasaan para pengawas itu terpengaruh
karenanya. Tetapi Wanakerti berkata kepada kedua kawan-kawannya.
"Jangan hiraukan. Kita akan dapat mencapai gardu peronda
yang pertama. "Berapa orang peronda yang ada di sana?"
"Aku tidak tahu. Tetapi jumlah kita akan bertambah. Aku
dapat ikut menahan mereka, sedang salah seorang dari kita
akan meneruskan perjalanan."
Kedua kawannya mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Karena itu, mereka pun berpacu semakin cepat.
Beberapa saat kemudian, maka lorong yang sempit itu
nampaknya menjadi semakin lapang. Dedaunan dan sulursulur
kayu tidak lagi banyak yang bergayutan di atas jalan itu.
Dengan demikian, para pengawas itu merasa, bahwa sebentar
lagi mereka akan segera keluar dari dalam hutan. Tetapi
mereka masih harus melintasi sebuah hutan perdu dan
lapangan rumput yang agak luas di pinggir hutan yang tebal
ini. Demikianlah, maka kuda-kuda itu pun berpacu semakin
cepat, karena jalan yang menjadi semakin lapang. Sejenak
kemudian, hutan menjadi semakin tipis, sehingga di hadapan
mereka kini terbentang sebuah hutan rindang. Padang perdu
yang liar berserakan di antara batang-batang ilalang setinggi
dada. "Sebentar lagi kita tkan sampai ke gardu pengawas yang
pertama di daerah yang baru dipersiapkan untuk dibuka itu,"
desis Wanakerti. "Mudah-mudahan di sana terdapat cukup
banyak orang untuk melawan orang-orang yang mengejar kita
itu." Kawan-kawannya tidak menyahut. Mereka hanya
mengangguk-anggukkan kepala mereka sambil melecut kudakuda
mereka. Ternyata orang-orang yang tidak dikenal, yang berusaha
mengejar mereka pun berpacu semakin cepat pula. Mereka
masih saja berteriak-teriak seperti sedang mengejar tupai.
Bahkan ada di antara mereka yang sudah mengacu-acukan
senjata mereka. Pedang yang mengkilap. Namun dengan
demikian justru Wanakerti menjadi agak tenang. Katanya di
dalam hati ketika ia melihat kilatan pedang itu, "Agaknya
pedang itu tidak beracun."
Beberapa saat kemudian, mereka pun telah melintasi
padang perdu yang seakan-akan ditaburi oleh gerumbulgerumbul
liar. Dan kini mereka justru berpacu di padang
ilalang yang lebat. Sedang di hadapan mereka terdapat hutan
rindang lagi. Hutan yang tidak begitu lebat, yang kini sedang
dipersiapkan untuk dibuka pula.
Dengan hati yang berdebar-debar mereka berpacu terus. Di
ujung lorong yang memasuki hutan yang rindang itu terdapat
sebuah gardu pengawas. Agaknya orang-orang yang. mengejar mereka mengetahui
juga bahwa para pengawas itu ingin mencapai gardu di pinggir
padang rumput itu. Sehingga karena itu, mereka pun berusaha
semakin keras untuk mengejar buruannya.
Tetapi agaknya para pengawas itu pun memiliki
kemampuan yang cukup untuk menguasai kuda-kuda mereka.
Karena itu, maka mereka pun tidak segera dapat disusul oleh
orang-orang yang tidak dikenal, yang mengejar mereka sambil
mengacu-acukan senjata. "Di depan kita itulah gardu pengawas itu," teriak Wanakerti
tanpa sesadarnya. "Ya" sahut kawan-kawannya hampir berbareng.
"Mereka pasti sudah mendengar derap kaki kuda kita,"
desis Wanakerti. Kedua kawannya tidak menjawab.
Tetapi Wanakerti menjadi berdebar-debar. Kalau mereka
sudah mendengar derap kaki-kaki kuda itu, maka mereka
pasti akan turun ke lorong ini. Tetapi Wanakerti dan kawannya
tidak melihat seorang pun di hadapan mereka.
"Kenapa gardu itu sepi?" desis salah seorang.
Wanakerti tidak menyahut. Tetapi ia berpacu semakin
cepat, secepat dapat dilakukan oleh kudanya.
Sejenak kemudian mereka sudah menjadi semakin dekat.
Sekejap lagi mereka akan sampai ke depan gardu itu. Mereka
sndah melihat sebuah kentongan yang tergantung di depan.
Tetapi mereka sama sekali belum melihat seorang pun.
Dengan demikian maka Wanakerti menjadi semakin
berdebar-debar. Tetapi ia tidak sempat menduga-duga karena
sejenak kemudian mereka sudah berada di depan gardu itu.
Tetapi alangkah kecewa hati para pengawas itu. Ternyata
gardu itu memang kosong. Sama sekali kosong. Menilik
sarang laba-laba yang bergayutan di sana-sini, maka gardu itu
pasti sudah beberapa hari tidak dipergunakan.
"Gardu ini kosong," teriak salah seorang dari ketiga
pengawas itu. Wajah Wanakerti pun tiba-tiba menjadi tegang.
Penunggang kuda yang mengejar mereka menjadi semakin


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dekat pula. Karena itu ia harus segera mengambil suatu sikap.
"Kita berlari terus," perintahnya kepada kedua kawankawannya.
"Jangan membantah dahulu. Kita berpikir sambil
berjalan." Ketiganya pun kemudian berpacu pula. Tetapi jarak mereka
kini menjadi semakin dekat dari pengejarannya.
"Kau, salah seorang dari kalian, ambil jalan simpang. Hatihati.
Kami berdua akan memancing mereka terus," berkata
Wanakerti. "Kaulah yang mengambil jalan simpang. Kau yang
mengetahui semua persoalan dengan gamblang. Biarlah kami
berdua yang melawan mereka."
"Jalankan perintahku. Aku mendapat kekuasaan dari
pemimpin kita untuk memimpin perjalanan ini. Cepat."
Keduanya saling berpandangan. Tetapi Wanakerti berteriak
sambil menunjuk orang yang bermata tajam, "Kaulah yang
mengambil jalan simpang. Di depan kita ada tikungan.
Lakukan perintah ini."
Orang yang bermata tajam itu tidak dapat membantah lagi.
Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan diri untuk
mengambil simpangan di sebelah tikungan.
Ketika kuda-kuda itu berbelok, maka sekali lagi Wanakerti
berkata, "Sekarang. Lakukan. Hati-hatilah."
Orang yang bermata tajam itu pun kemudian menarik
kendali kudanya kekanan, sehingga dengan serta-merta
kudanya pun berbelok pula kekanan, menyusup gerumbulgerumbul
yang rimbun di pinggir hutan yang rindang itu. Tetapi
orang itu tidak berpacu terus. Untuk tidak menarik perhatian,
maka ia pun segera menghentikan kudanya dan bersembunyi
di balik gerumbul yang lebat.
Ternyata perhatian orang-orang yang mengejar mereka itu,
tetap terpancang pada Wanakerti dan seorang kawannya
yang berpacu terus. Mereka tidak segera memperhatikan
bahwa salah seorang dari ketiganya telah berbelok dan
bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul yang lebat.
Demikian orang-orang yang mengejarnya itu lewat, maka
orang bermata tajam itu segera memacu kudanya pula, justru
menyeberangi lorong sempit itu beberapa langkah dari
tempatnya berbelok meninggalkan lorong itu.
Ternyata beberapa saat kemudian, orang-orang yang
mengejar Wanakerti pun menyadari, bahwa seorang dari
buruannya telah hilang. Sejenak kemudian mereka masih mencoba meyakinkan
apakah yang berpacu di depan mereka itu tinggal dua orang.
Namun sejenak kemudian seseorang yang agaknya menjadi
pemimpin mereka berteriak, "Yang dua di antara kalian
kembali. Cari yang seorang. Ia pasti hilang di tikungan.
Jangan sampai lolos dari tanganmu berdua."
Dua orang yang berkuda di paling belakang segera menarik
kendali kuda mereka. Dengan tergesa-gesa mereka pun
kemudian berbalik ke tikungan, sedang tiga orang yang lain
mengejar Wanakerti dan seorang kawannya.
Ketika dua orang yang berbalik itu sampai di tikungan,
mereka menjadi termangu-mangu sejenak. Mereka tidak
segera menemukan jejak. Kemanakah yang seorang itu
berlari" "Pasti belum terlampau jauh."
"Ya. Tetapi ke mana?"
Keduanya pun kemudian meloncat turun. Dengan teliti
mereka mencoba mengamati bekas-bekas telapak kaki kuda
yang bertebaran di lorong sempit itu.
Tiba-tiba saja seorang dari mereka menemukan bekas kaki
kuda yang berbelok masuk ke gerumbul di antara batangbatang
ilalang. Dengan serta-merta ia berkata "Lihat. Bekas
kaki kuda ini." Yang seorang pun segera mendekatinva. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, "Ya, ia
berbelok kemari." "Keduanya pun segera berlari kekuda masing-masing.
Dengan tergesa-gesa mereka berlompatan naik. dan sejenak
kemudian merekapun mencoba mengikuti bekas kaki kuda
yang masuk ke dalam rimbunnya batang ilalang yang liar,
sehingga mereka tidak begitu sulit untuk menemukan jejak itu
selanjutnya. Tetapi mereka terhenti sejenak karena bekas-bekas kaki itu
menjadi kabur ketika jejak itu masuk ke dalam gerumbul.
Mereka memerlukan waktu sejenak untuk menemukan, dari
mana bekas kaki itu keluar lagi.
"Cepat, kita ikuti. Kita jangan kehilangan lagi." Sambil
mengumpat-umpat mereka berhasil mengikuti jejak itu,
melingkari beberapa buah rumpun perdu, kemudian justru
menyilang kembali jalan sempit yang sudah dilaluinya.
"Cerdik sekali," desis yang seorang dari mereka, "ia
mencoba menghilangkan jejak."
"Tetapi kita bukan anak kecil yang dapat dikelabuinya.
Kalau ia berhasil menghapus jejaknya, maka barulah kita akan
kehilangan pengamatan."
Yang lain tidak menyahut. Tetapi mereka kini berpacu di
antara batang ilalang. Mereka tidak lagi melalui jalan sempit
yang sering dilalui orang meskipun jarang sekali. Tetapi kini
mereka benar-benar melintas padang yang liar.
"Jurusan ini sama sekali tidak menguntungkannya," berkata
salah seorang dari mereka. "Orang itu akan terjerumus
kedalam rawa-rawa." "Itu akan mempermudah pekerjaan kita. Kita tinggal
membenamkannya saja. Kita ikat sebuah batu di lehernya.
Kemudian kita lemparkan orang itu ke dalam lumpur. Ia akan
terbenam perlahan-lahan."
"Tidak pada lehernya. Pada kakinya. Mungkin akan lebih
menyenangkan baginya. Akan diperlukan waktu dua hari
sebelum kepalanya terbenam sama sekali.
Kawannya tidak menyahut. Tetapi mereka berpacu
semakin cepat. Mereka sama sekali tidak kehilangan jejak
yang diikutinya Seperti sengaja memberikan petunjuk bagi
orang yang mengejarnya, bekas-bekas kaki kuda dan
rerumputan yang tersibak, telah menuntun kedua orang itu
semakin lama menjadi semakin mendekati buruannya.
Dalam pada itu, Wanakerti masih berpacu secepatcepatnya.
Tetapi ia menyadari bahwa ia tidak akan dapat
lepas dari orang-orang yang mengejarnya. Gardu pengawas
berikutnya masih agak jauh, sedang orang-orang yang
mengejarnya menjadi semakin dekat.
"Agaknya kita akan bertempur," berkata Wanakerti kepada
kawannya yang tinggal seorang.
"Ya. Tetapi mereka pun tinggal tiga orang, Yang lain telah
kembali berusaha mengejar kawan kita yang berbelok di
tikungan." "Mudah-mudahan ia dapat lolos dan menyampaikan
laporan kepada para pemimpin di Mataram tentang daerah
kerja kita." Kawannya tidak menyahut. Dilecutnya kudanya, dan kuda
itu pun seakan-akan telah melonjak dan terbang di atas jalan
yang sempit. Tetapi seperti yang diperhitungkan oleh Wanakerti, jarak
yang sudah dekat itu pun menjadi semakin dekat. Yang tiga
orang itu pun masih juga berteriak-teriak sambil
mengacungkan pedangnya. "Pedang itu agaknya tidak beracun," desis Wanakerti.
"Darimana kau tahu?"
"Senjata beracun biasanya tidak mengkilap, tetapi buram
dan hitam kemerah-merahanan seperti karat."
"Mudah-mudahan," desis kawannya. Lalu, "Apakah kita
tidak sebaiknya berhenti saja?"
"Kita harus berusaha sampai sejauh-jauh dapat kita
lakukan. Semakin dekat dengan gardu pengawas yang kedua
akan menjadi semakin baik. Apalagi kalau kita dapat
mencapai gardu itu."
"Terlampau sulit. Kuda-kuda kita kalah berpengalaman."
"Apa boleh buat," desis Wanakerti pula.
Namun demikian mereka masih berpacu terus, sehingga
pada suatu saat, kuda-kuda yang mengejar mereka itu
menjadi semakin dekat. "Kita mencari tempat yang agak lapang desis Wanakerti.
"Kita akan bertempur sekarang?"
"Tidak ada jalan lain. Kita akan bertempur di atas punggung
kuda." "Aku bekas pasukan berkuda dari Demak," sahut
kawannya. "Kau lupa akulah juara watangan bagi para pengawal tanah
ini, kecuali para pemimpin."
Kedua orang itu pun kemudian memencar ke daerah yang
agak luas. Di atas batang ilalang setinggi dada, mereka
mempersiapkan diri, menyongsong lawan mereka yang
mengejarnya. "He, kalian akan menyerah?" teriak salah seorang dari
mereka yang mengejarnya. Wanakerti tidak menjawab. Tetapi ia mencabut pedangnya.
Kudanya kini sudah berputar menghadap ke arah ketiga
penunggang kuda yang sudah semakin dekat.
Dengan isyarat Wanakerti pun kemudian memerintahkan
kepada kawannya untuk menyerang bersama-sama dari
jurusan yang berbeda selagi ketiga penunggang kuda itu
masih belum mapan. Sejenak kemudian maka kedua ekor kuda itu bagaikan
melompat dan menyerang. Ternyata Wanakerti dan kawannya
benar-benar mempunyai pengalaman yang baik untuk
bertempur di atas punggung kuda.
Tetapi ternyata pula bahwa lawan mereka pun cukup
mampu untuk mengelakkan serangan itu. Bahkan sambil
mengumpat-umpat pemimpin mereka berteriak, "Bunuh saja
tikus-tikus sombong itu. Kalau kalian menyerah, kalian akan
selamat." Wanakerti seolah-olah sudah tidak sempat lagi untuk
mengucapkan sepatah kata pun. Ia sama sekali tidak
menghiraukan apa saja yang dikatakan oleh lawannya.
Namun pedangnya sajalah yang berputar seperti balingbaling.
Sejenak kemudian maka Wanakerti dan kawannya telah
terlibat dalam perkelahian sengit. Meskipun Wanakerti dan
kawannya mempunyai pengalaman yang cukup, tetapi mereka
harus melayani tiga orang. Karena itu, Wanakerti tidak
membiarkan salah seorang dari mereka dikerubut dua.
Dengan demikian maka perkelahian itu akan segera selesai.
Yang dikerubut itu pasti akan segera dapat dikalahkan,
sehingga kesempatan untuk mengalahkan yang lain pun
menjadi semakin besar. Karena itu, maka Wanakerti bertempur seperti sepasang
elang yang menyambar silang-menyilang. Sejenak ia melayani
seorang lawannya. Namun kemudian kudanya melonjak dan
menyambar lawannya yang lain. Demikian pula kawannya,
bekas seorang prajurit berkuda. Dengan garangnya ia
menyerang sambil memutar pedangnya. Kemudian berputar
menjauh. Meskipun demikian, mereka harus mengakui, bahwa ketiga
lawannya adalah orang-orang yang tangguh. Orang-orang
yang berpengalaman bertempur di atas punggung kuda pula.
Sekilas Wanakerti teringat kepada seorang kawannya yang
telah terbunuh oleh racunnya sendiri. Orang berkumis yang
sebenarnya sekedar menyusupkan diri di dalam lingkungan
para pengawas itu. Ternyata orang itu mampu melawan tiga
orang pengawas sekaligus.
"Waktu itu, hatiku telah dibakar oleh kekecilan arti diri
sendiri," berkata Wanakerti kepada dirinya. "Tetapi sekarang
aku tidak." Meskipun demikian, ternyata Wanakerti dan kawannya
segera merasa, bahwa untuk melawan ketiga orang itu adalah
pekerjaan yang terlampau berat bagi mereka.
Tetapi Wanakerti dan kawannya sama sekali tidak berputus
asa. Dengan sekuat-kuat tenaga mereka bertempur. Bahkan
bagi Wanakerti, pertempuran itu hanya sekedar berarti
mengikat ketiga orang itu. Kalau kemudian ia dan kawannya
itu gugur, itu adalah kemungkinan yang sudah diperhitungkan
sejak ia memasuki lingkungan pengawal Tanah Mataram yang
baru dibuka ini. Di dalam menjalankan tugas, kemungkinan itu
pasti ada. Yang diharapkan olehnya satu-satunya adalah, agar
kawannya yang seorang lagi mampu melepaskan dirinya dan
berhasil menghadap para pemimpin di Mataram. Sukurlah
kalau dapat langsung menghadap Mas Ngabehi Loring Pasar.
Dengan demikian maka Wanakerti dan kawannya itu pun
justru menjadi tenang. Bencana yang tertinggi, mati, sama
sekali tidak menakutkan lagi bagi mereka berdua. Sehingga
dengan demikian keduanya mampu bertempur sambil berpikir.
Mereka tidak saja menumpahkan segenap kemampuan, tetapi
juga mereka mempergunakan otak mereka, bagaimana
mereka dapat bertahan sejauh-jauh dapat mereka lakukan.
Maka, semakin lama perkelahian itu pun menjadi semakin
seru. Wanakerti dan kawannya ternyata dapat bekerja
bersama sebaik-baiknya. Mereka seolah-olah menjelajahi
padang ilalang itu dengan kuda mereka yang berlari-lari
melingkari menyilang dan kadang-kadang mereka bertempur
beradu punggung. "Selan alas!" pemimpin orang-orang yang mengejar
Wanakerti itu mengumpat. "Kalian ternyata sangat licik. Kalian
tidak bertempur secara jantan."
"Apakah ukuran kejantanan itu?" bertanya Wanakerti.
"Berkelahi beradu dada. Tidak berlari-lari dan berputarputar."
"Bertempur beradu dada seorang lawan seorang, atau
berapa saja jumlah yang ada ?"
"Persetan. Aku tidak peduli."
"Kalian atau kamilah yang tidak jantan?"
"Kalian memang harus mampus."
"Kenapa?" bertanya kawan Wanakerti sambil menyambar
dengan pedangnya. Ketika lawannya mengelakkan pedang
itu, terdengar kedua senjata itu beradu.
"Kalian, para pengawas memang harus mati."
"Apa salah kami?"
Mereka tidak menjawab lagi. Tetapi mereka menekan
kedua pengawas itu semakin berat. Kadang-kadang mereka
memang mencoba memisahkan Wanakerti dari kawannya.
Mereka akan membinasakan keduanya seorang demi


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang. Tetapi hal itu disadari oleh kedua pengawas itu,
sehingga mereka selalu berusaha, agar perkelahian itu tidak
dapat diurai menjadi dua lingkaran pertempuran.
Namun, terasa tenaga kedua pengawas itu menjadi
semakin susut setelah mereka mengerahkan segenap
kemampuan mereka untuk tetap bertahan.
(***) Buku 57 KETIGA orang lawannya yang mengetahui bahwa tenaga
kedua pengawas itu sudah semakin susut, justru berusaha
untuk segera dapat membinasakan mereka. Mereka menjadi
semakin garang dan serangannyapun menjadi semakin cepat.
Dalam pada itu, seorang pengawas yang memisahkan diri
masih juga berpacu diatas punggung kudanya. Ia mencoba
untuk meninggalkan pengejarnya. Menurut perhitungannya,
apabila para pengejarnya mengetahui bahwa buruannya
berkurang seorang, sebagian dari mereka pasti akan kembali
dan mencarinya Seperti yang dikatakan oleh pengejarnya, bahwa pengawas
itu memang menuju kedaerah rawa-rawa. Tetapi pengawas itu
telah mengenal daerah itu dengan. baik pula, karena ia
memang pernah mengelilinginya. Ia pernah meronda
mengitari hutan dan belukar, bahkan sebelum mereka mulai
membuka hutan. Ia pernah mengawal Raden Sutawijaya
mencari tempat yang paling baik untuk dijadikan padukuhan
dan tanah persawahan. Dan kini ia melewati daerah itu lagi.
Justru didaerah yang berawa-rawa itulah ia ingin
menghilangkan jejaknya. Diatas tanah yang basah dan
digenangi air setinggi mata kaki, pengawal itu ingin
menghilangkan jejak kaki kudanya.
Tetapi lebih daripada itu, ia tahu pasti, bahwa diujung rawarawa
inipun ada pula sebuah gardu peronda.
"Mudah-mudahan gardu itu tidak kosong seperti gardu
diujung padang ilalang itu." desisnya.
Karena itu, maka ia mencoba berpacu lebih cepat lagi.
Setelah melalui daerah yang berair beberapa lama, maka
iapun segera berbelok dan mencari daerah yang sama sekali
tidak berlumpur. Kalau ia sampai kedaerah yang lebih gembur
lagi didaerah rawa-rawa itu, maka ia justru akan menemui
kesulitan. Kaki-kaki kudanya akan dapat terperosok kedalam
lumpur dan tidak akan dapat berlari cepat lagi, bahkan
mungkin ia akan terjerumus kedalam daerah yang seakanakan
dapat menghisapnya masuk terbenam kedalam lumpur.
Tetapi ternyata usahanya itu sia-sia. Para pengejarnya
masih dapat menemukan jejaknya didalam air yang sangat
dangkal. "Gila" desis salah scorang pengejamya "apakah ia akan
membunuh diri dengan membenamkan dirinya ke dalam rawarawa?"
"Mungkin sekali ia sudah menjadi berputus asa." Keduanya
tersenyum. Senyumnya benar-benar mengerikan sekali.
Aku mempunyai seutas tali. Kita benar-benar akan
mengikat sebuah batu dikakinya."
Yang lain tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja ia berkata.
"Ia mulai menjauhi rawa-rawa. Kalau begitu ia mencoba untuk
melenyapkan jejaknya. Kasihan. Kita masih akan tetap
mengikutinya. Sebentar lagi kita akan menemukannya."
Keduanyapun kemudian memacu kudanya pula. Semakin
cepat. Pengawas yang bermata tajam itupun masih juga tetap
berpacu. Ia mengharapkan, bahwa ia akan dapat menunaikan
tugas yang dibebankan kepadanya.
Ternyata bahwa usaha yang dilakukannya itu kini tidak siasia.
Ketika ia melampaui tanah yang basah, ia segera sampai
kepadang rumput yang sempit. Dihadapannya adalah sebuah
hutan rindang disisi sebelah Timur. Dipinggir hutan itu ada
pula sebuah gardu pengawas.
Tetaoi menilik tempat yang menjadi sepi itu, agaknya
seperti diujung lorong yang dilampauinya, gardu itu kosong
pula. Gardu itu sudah tidak ditunggui seorang pengawaspun.
Namun demikian ia masih tidak menjadi gelisah. Ia masih
belum melihat seorangpun yang mengejar dibelakangnya.
Tetapi hatinya tiba-tiba melonjak ketika tiba-tiba saja ia
melihat seseorang berdiri didepan gardu, sedang gardu itu
sudah sangat dekat. Dengan demikian maka iapun segera
menarik kendali kudanya sehingga kuda itu berdiri sambil
meringkik keras-keras. "Siapa kau?" sapa orang yang berdiri didepan gardu itu.
Pengawas itu tidak segera menyahut. Dicobanya untuk
menguasai kudanya. Ketika kuda itu sudah tenang, barulah ia
berkata. "Apakah kalian tidak mengenal aku?"
Seorang yang masih berada didalam gardu segera
meloncat keluar. Hampir berteriak ia berkata "Kau" Bukankah
kau bertugas mengawasi daerah yang sedang dibuka itu?"
"Ya. Aku akan segera menghadap Raden Sutawijaya atau
siapapun pemimpin tertinggi Tanah Mataram."
"Kenapa ?" "Ada sesuatu yang akan aku sampaikan"
"Kenapa kau menempuh jalan ini" Bukankah ada jalan
yang lebih dekat dan lebih baik?"
Pengawas itu menarik natas dalam-dalam untuk
menenangkan debar jantungnya. Kemudian diceriterakannya
apa yang telah terjadi atasnya.
"Jadi bagaimana dengan Wanakerti?" Pengawas itu
menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu. Bahkan, aku kira,
ada satu dua orang yang akan "mencoba mengikuti jejakku.
Para pengawas digardu itupun saling berpandangan
sejenak. "Berapa orang kalian disini?"
"Kami semua sepuluh orang disini. Tetapi yang tiga orang
sedang menghadap ke Mataram. Setiap hari tiga diantara
kami menghubungkan gardu ini dengan gardu induk"
Pengawas itu berpikir sejenak. Kemudian katanya. "Aku
menyerahkan persoalan ini kepada kalian. Apakah aku harus
menunggu orang-orang yang mengejarku disini atau aku
harus segera melanjutkan perjalanan."
"Teruskan! Serahkan orang-orang yang mengejarmu itu
Kepadaku apabila ia sampai ketempat ini pula."
"Baiklah. Aku akan terus."
"Jangan pergi sendiri. Dua orang akan mengawanimu.
Kami masih cukup banyak orang disini."
Maka pengawas yang bermata tajam itupun segera
melanjutkan perjalanannya menghadap para pemimpin Tanah
Mataram. Dua orang dari gardu yang baru saja dilaluinya
itupun mengawaninya. "Kenapa begitu banyak orang digardu itu?" bertanya
pengawas bermata tajam itu kepada kedua kawannya.
"Daerah ini masih merupakan daerah yang sedang
direncanakan untuk dibuka. Daerah ini masih sangat sepi,
sehingga akan menjemukan sekali apabila kami bertugas,
disini hanya berdua atau paling banyak lima orang. Smakin
banyak kawan, semakin hilanglah kejemuan disini." jawab
salah seorang. "Apakah hanya itu alasannya?"
"Ya." "Tidak ada alasan lain?"
"Tidak. Mungkin tidak sampai sepuluh orang yang bertugas
bersamamu. Tetapi kau mempunyai banyak sekali kawan,
sehingga daerahmu tidak lagi merupakan daerah yang sangat
menjemukan, meskipun kini kau menghadapi persoalan lain."
"Apakah didaerah ini kalian tidak memperhitungkan hantu
misalnya?" Keduanya sama sekali tidak menyahut. Sejenak mereka
hanya saling berpandangan saja, sementara kaki kuda
mereka berderap semakin cepat.
Pengawas yang bermata tajam itupvm sama sekali tidak
bertanya lagi. Dicambuknya kudanya supaya menjadi semakin cepat
berlari. Dalam pada itu, para pengawas yang masih tinggal digardu
menunggu orang-orang yang mengejar pengawas bermata
tajam itu. Tetapi untuk beberapa saat mereka tidak melihat
seorangpun lewat sehingga mereka justru menjadi gelisah.
"Apakah mereka mengetahui bahwa disini ada gardu
peronda?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Mungkin sekali." jawab yang lain.
"Berapa orang menurut perhitunganmu, seandainya benarbenar
ada Orang yang mengejarnya."
"Paling banyak tiga orang. Bukankah mereka hanya berlima
atau enam" Sedang Wanakerti masih berpacu bersama
seorang kawan yaag lain."
"Ya, agaknya demikianlah perbandingan menurut
perhitungan kita." orang itu berhenti sejenak, lalu "aku ingin
menyongsong mereka. Marilah, kita bertiga. yang dua orang
tinggal digardu. Kita akan membawa alat yang dapat
memberikan isyarat apabila salah satu pinak diantara kita
mengalami kesulitan. Biarlah kentongan yang besar itu
menjadi alat untuk memberikan isyarat diantara kita akan
membawa kentongan yang kecil."
Beberapa orang saling berpandangan. Namun kemudian
seorang kavannya berkata "Itu akan lebih baik Kita akan
segera mendapatkan kepastian."
Demikianlah kemudian tiga orang pengawas telah siap
diatas punggung kuda dengan senjata masing-masing.
Mereka akan menyongsong orang-orang yang diduga sedang
mengejar pengawas yang bermata tajam itu, sedang dua
orang yang lain tetap mesmnggui gardu pengawas itu.
"Tetapi kalian tidak boleh kehilangan perhitungan" pesan
pemimpin pengawas digardu itu "kalian tidak boleh terpancing
sehingga kalian meninggalkan tempat ini terlampau jauh.
Kalau kami tidak dapat mendengar isyarat yang kalian
berikan, maka kami tidak akan berbuat apa-apa, seandainya
kalian memerlukan." "Baiklah. Kami akan segera kemball apabila kami tidak
menjumpainya." Demikianlah, maka ketiga orang itupun menyelusur jejak
kuda pengawas yang bermata tajam itu, Justru kearah yang
berlawanan. Mereka mengharap bahwa mereka akan segera
dapat menemui orang-orang yang mengejar pengawas itu.
Tetapi setelah sejenak mereka menyelusuri jejak itu
mereka sama sekali tidak menjumpai apapun. Di padang
rumput yang sempit dihadapan merekapun, sama sekali tidak
mereka lihat orang-orang berkuda.
"Tidak ada seorangpun yang mengejarnya" desis salah
seorang dari mereka. Yang lain mengangguk-angukkan kepalanya. Namun ia
berkata "Kita maju beberapa langkah lagi."
Ketiga pengawas itupun maju lagi beberapa puluh langkah
sambil mengamat-amati jejak kuda diatas rerumputan.
Tiba-tiba saja mereka terkejut ketika mereka melihat
beberapa buah jejak yang lain dari jejak kaki kuda pengawas
bermata tajam itu. Dengan serta-merta salah seorang dari
mereka meloncat turun sambil berkata "Jejak ini berbelok."
Yang lain mengerutkan keningnya. Salah seorang dari
keduanya berkata "Kalau begitu pengawas itu terjebak.
Pengejarnya menyadari bahwa dihadapan ini ada gardu.
Mereka nasti melmgkar dan memotong jalan."
"Cepat, kita kembali. Mungkin mereka mengalami
kesulitan." "Tetapi bekas ini hanya bekas dua ekor kuda."
"Meskipun demiklan kita tidak tahu, betapa tinggi
kemampuan mereka. Apakah ketiga. orang pengawas itu akan
mampu melawan mereka berdua."
"Setidaknya mereka akan mampu bertahan. Demikianlah
maka ketiga pengawas itupun segera berpacu meninggalkan
tempat itu. Sampai didepan gardu pengawas mereka berhenti
sejenak untuk menyampaikan pengamatan mereka.
"Baik"ah, lihatlah apakah dugaan kalian itu benar.
Ketiganyapun kemudian melanjutkan perjalanan mereka,
menyusul para pengawas yang telah mendahului.
Dalam pada itu, ketiga pengawas yang lebih dahulu sama
sekali tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja mereka telah
diberhentikan oleh dua orarig yang berwajah garang,
bersenjata telanjang dan bermata liar.
"Nah, apakah kalian menyangka, aku terlampau bodoh
mengejarmu lewat gardu peronda itu" berkata salah seorang
dari mereka. Ternyata kehadiran kedua orang yang tidak disangkasangka
itu telah mengejutkan ketiga pengawas yang sedang
berpacu untuk menghadap para pemimpin Tanah Mataram.
Karena itu, merekapun dengan serta-merta telah menarik
kekang kuda mereka. "Kalian tidak akan dapat lari" berkata salah seorang dari
kedua orang yang mencegat itu" meskipun kini kalian bertiga,
tetapi kalian tidak akan dapat melawan kami berdua."
Para pengawas itu terdiam sejenak. Namun kemudian
salah seorang dan mereka berkata "Kalian belum mengenal
kami. Apakah kalian yakin akan hal itu?"
"Kami tahu pasti, sampai berapa jauh kemampuan para
pengawas. Seorang dari kami akan cukup kuat untuk melawan
kalian bertiga. Apalagi kami berdua."
"Darimana kalian mendapat nilai imbangan itu?"
"Kami meyakininya."
Kalau begitu, sebaiknya memang kita buktikan."
Kedua orang yang mengejar pengawas bermata tajam itu
mengerutkan keningnya. Namun keduanyapun kemudian
tertawa. Sa"ah seorang berkata "Kalian memang keras
kepala." Para pengawas itu tidak menjawab. Tetapi mereka telah
mcmpersiapkan diri untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Sejenak kemudian maka kedua belah pihakpun telah
meniadi semakin tegang. Kuda-kuda mereka selangkah demi
selangkah maju saling mendekati.
Dalam kesempatan itu salah seorang pengawas dari gardu
yang baru saja dilewati itu berkata kepada kawannya yang
bermata tajam "Kalau kita sudah mulai bertemnur, kau harus
segera meneruskan perjalananmu. Jaraknya sudah tidak
begitu jauh lagi." "Tetapi bagaimana dengan kalian disini?"
"Serahkan kepada kami. Jumlah merekapun hanya dua


03 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang dan kami juga berdua."
" Tetapi begaimana dengan kemampuan mereka."
"Jangan hiraukan. Itu adalah cara yang lama untuk
menurunkan keberanian lawan. Kami sudah biasa
menghadani cara-cara yang licik itu"
Pengawas bermata tajam itu tidak segera menjawab,
dipandangnya kedua lawannya yang sudah menjadi semakin
dekat. Menilik wajah mereka yang kasar dan bengis, maka
mereka pasti dapat berbuat apa saja untuk mengalahkan,
lawannya. meskipun dengan curang jika perlu.
"Jangan pikirkan kami" desis kawannya "berita yang kau
bawa harus segera sampai. Ditambah lagi dengan pengejaran
yang mereka lakukan ini"
Pengawas bermata tajam itu tidak sempat menjawab.
Kedua kawannya tiba-tiba sudah menyambar dengan pedang
yang berputar seperti baling-baling.
Tetapi para pengawas itupun sudah bersiaga, sehingga
mereka masih sempat menghindari serangan yang pertama
itu" Dengan demikian maka perkelahian diantara merekapun
segera mulai membakar jalan sepi dihutan yang rindang itu.
Mereka bertempur berputar-putar diantara pepohonan dan
rimbunnya batang-batang perdu.
Ternyata kedua orang yahg berwajah kasar itu bukan orang
yang luar biasa seperti yang mereka katakan. Mereka tidak
segera berhenti mengatasi kemampuan ketiga pengawas
yang bertempur berpasangan.
Namun sejenak kemudian salah seorang dari para
pengawas itupun memberikari isyarat, agar pengawas
bermata tajam itu segera meninggalkan perkelahian.
Pengawas bermata tajam itu ragu-ragu sejenak. Namun
dengan hati yang berat, ia ternaksa meninggalkan medan. Ia
sadar bahwa berita yang dibawanya adalah berita yang cukup
penting yang harus disampaikan kepada para pemimpin
tertinggi di Mataram. Dengan demikian, maka sejenak kemudian iapun segera
meningkatkan arena, dan berpacu menuju ke pusat Tanah
Mataram. Kedua pengejarnya terkejut melihat pengawas itu
meninggalkan arena. Tetapi mereka tidak dapat mengejarnya,
karena dua orang pengawas yang lain, selalu
membayanginya, bahkan menyerang mereka dengan
garangnya, tanpa memberi kesempatan sama sekali untuk
beringsut dari medan. "Biarlah ia pergi" desis salah seorang pengawas.
"Licik" sahut salah seorang lawannya.
"Siapa yang licik?"
"Yang lari itu."
"Tidak. Ia ingin memberi kesempatan agar kami bersikap
jantan. Kami ingin bertempur seorang melawan seoang."
"Persetan !" geram salah seorang dari kedua lawannya
"kalian memang ingin membunuh diri."
PerKelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit.
Kedua belah pihak berusaha dengan segenap kemampuanya
untuk segera dapat menguasai lawan masing-masing.
Namun kemudian ternyata bahwa kedua orang yang
meneeiar pengawas bermata tajam itu mempunyai kelebihan
dari kedua pengawas itu. Mereka adalah orang-orang yang
kasar yang tidak merasa terikat oleh peraturan apapun,
sehingga mereka dapat berbuat. apa saja sesuka hati, asal
dapat menguntungkan mereka didalam perkelahian itu.
Dengan demikian maka kedua pengawas itupun akhirnya
merasa terdesak. Mereka tidak tahan melawan kekasaran dan
kekuatan kedua lawannya. Namun demikian mereka
bertempur terus, apapun yang bakal dan mungkin teriadi atas
mereka berdua. Dalam pada itu, pengawas bermata tajam itu berpacu terus
menuju kepusat Tanah Mataram. Ia sudah mengorbankan
kawan-kawannya untuk menahan pengejar-pengejarnya.
Wanakerti dan seorang kawannya terpaksa berusaha
memancing lawan mereka, agar ia mendapat kesempatan.
Kini kedua pengawas itupun berbuat serupa.
Perkelahian diantara kedua pengawas itupun semakin lama
menjadi semakin berat sebelah. Kedua orang lawannya benarbenar
orang yang kasar dan dapat berbuat apa saja, tanpa
menghiraukan tata perkelahian yang sewajarnya.
Karena itu, maka kedua pengawas itupun kemudian hanya
sekedar menahan mereka, kadang-kadang mereka
menghindar, mwlingkar-lingkar diantara pepohonan. Tetapi
kadang-kadang Mereka menyerahg dengan garangnya.
"Sudah aku duga" geram salah seorang dari kedua orangorang
yang tidak dikenal itu "para pengawal Tanah Mataram
adalah orang-orang yang licik."
Kedua pengawas itu tidak menjawab. Mereka bertempur
terus dengan cara mereka. Yang penting bagi mereka,
pengawas bermata tajam itu sampai kepusat Tanah Mataram.
Namun kedua lawannya sama sekali tidak puas dengan
perkelahian yang seakan-akan hanya sekedar berkejarkejaran
itu. Merekapun kemudian menjadi semakin garang.
Serangan mereka datang bertubi-tubi seperti badai dimusim
ke Sanga. Kedua pengawal itupun menjadi semakin terdesak. Mereka
menjadi semakin kehilangan kesempatan untuk melawan.
Bahkan mereka hampir tidak dapat berbuat apa-apa selain
menghindar. Tetapi dalam pada itu, salah seorang dari kedua orang
yang tidak dikenal itu berkata "kalian telah mengganggu
usahaku menangkap seorang kawanmu itu. Kalianlah yang
akan menjadi gantinya. Kalian akan aku bunuh dengan cara
yang pasti tidak akan kalian senangi."
"Perseta" desis salah seorang dari kedua pengawas itu.
"Kami sudah jemu bertempur dengan cara ini. Kalian harus
segera mati, dan kami masih akan mengejar orang yang lari
itu." "Kita akan berbuat seperti mereka" berkata kawannya "aku
akan mengejar yang lari itu. Kau sendiri dapat menyelesaikan
pengawas-pengawas yang licik ini."
Kawannya berfikir sejenak. Kemudian ia mengangguk
"Pikiran yang bagus. Kenapa baru sekarang kau katakan.
Cepat, kejarlah orang itu."
Yang lain segera bersiap untuk mengejar pengawas
bermata tajam itu. Namun setiap kali pengawas yang lain telah
mengganggunya, menyerang dengan tiba-tiba kemudian
menghindar jauh-jauh. Akhirnya orang itu tidak menghiraukannya lagi. Ia harus
segera mengejar pengawas bermata tajam itu. Mungkin masih
ada kesempatan baginya. Tanpa menghiraukan serangan-serangan yang datang
kemudian, orang itupun segera memacu kudanya. Tetapi
seorang dari kedua pengawas itu tidak mau melepaskannya.
Iapun segera mengejarnya pula. Menurut perhitungannya,
apabila orang itu berhasil mengeiar pengawas bermata tajam.
ia akan dapat membantu melawannya. Sedang seorang
kawannya yang ditinggalkannya biarlah mencari kesempatan
untuk mempertahankan hidupnya. Tetapi karena pengawas
bermata tajam Itulah yang membawa pesan bagi para para
pemimpin di pusat Tanah Mataram, maka orang itulah yang
wajib mendapat perlindungan lebih dahulu.
"Ia akan dapat bertahan atau menyingkir kalau keadaan
memaksa" katanya didalam hati.
Ternyata penyawas yang ditinggalkan seorang diri itupun
menyadari keadaannya. Sikap yang diambil oleh kawannya itu
Kasih Diantara Remaja 11 Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pedang Kail Emas 5

Cari Blog Ini