02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 28
sebagaimana dilakukannya."
Tiba-tiba saja Senapati y ang memimpin pasukan kecil
itu mengangguk hormat. Katanya, "Maaf Ki Sanak. Jika benar
Ki Sanak guru dari Akuwu, doakan agar hari -harinya cerah di
seberang kehidupan y ang fana ini."
"Bawalah," desis orang itu.
Sekali lagi Senapati itu m engangguk hormat. Kemudian
ia -pun memberikan perintah kepada pasukannya untuk
bergerak. Sejenak kemudian m aka kaki-kaki kuda itu pun mulai
berderap. Tetapi tidak terlalu cepat. Semakin lama iringiringan
itu menjadi semakin jauh dan akhirnya hilang di balik
batang-batang perdu di kejauhan.
Yang masih berdiri di tempatnya adalah orang y ang
mengaku guru Akuwu Sangling itu. Namun beberapa saat
kemudian orang itu telah melangkah menjauhi pintu gerbang,
kembali ke tempat ia duduk bersandar di bawah sebatang
pohon. "Nampaknya orang itu berkata sebenarnya," berkata
Akuwu Lemah Warah. "Apapun dapat dilakukannya," desis Mahisa Pukat, "ia
dapat mempergunakan cara y ang kasar dan y ang halus.
Namun menilik sikap Senapati itu, agaknya orang itu memang
bersikap jujur." "Nampaknya memang demikian," sahut Mahisa Murti,
"tidak ada tanda-tanda ia berbuat sesuatu atas tubuh Akuwu.
Namun yang nampak adalah peny esalan."
Akuwu Lemah Warah termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Kita tunggu saja, apa yang dilakukannya."
" Ia pun agaknya menunggu," desis Mahisa Murti.
" Jika ia sekali lagi datang untuk minta saudara
seperguruan Akuwu, maka kita akan memberikannya," berkata
Akuwu itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Namun ketiga orang itu terkejut. Orang yang duduk
dikejauhan itu seolah-olah m endengar pembicaraan mereka.
Karena itu, maka tiba-tiba saja orang itu bangkit berdiri dan
berjalan menuju ke pintu gerbang.
Bagaimanapun juga Akuwu Lemah Warah harus berhatihati.
Demikian pula Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Mereka
dengan segera telah mempersiapkan segenap ilmu y ang ada di
dalam diri mereka. Namun orang itu sama sekali tidak memberikan kesan
untuk melakukan kekerasan. Ia berjalan dengan lesu. Sekalisekali
kepalanya justru tertunduk.
Beberapa langkah dari pintu gerbang ia b erdiri. Ia pun
kemudian telah menengadahkan kepalanya sambil berkata,
"Akuwu. Apakah Akuwu sudah mengambil keputusan tentang
muridku y ang seorang."
Akuwu Lemah Warah termangu-mangu. Lalu ia pun
bertanya, "Kenapa kau begitu bersungguh-sungguh ingin
melepaskan muridmu yang seorang itu?"
" Ia tidak bersalah meskipun ia kasar seperti y ang
pernah aku katakan kepadamu. Aku yakin hal itu. Ia tentu
terpengaruh oleh Akuwu Sangling y ang sesat itu."
"Bagaimanapun juga ia sudah melakukan kesalahan
disini," berkata Akuwu Lemah Warah pula.
"Aku m engerti," jawab orang itu, "tetapi j ika ia berada
ditanganku, aku sanggup untuk memperbaikinya selagi belum
terlambat. Tetapi jika ia tidak berada ditanganku, sekali ia
terperosok ke dalam langkah yang sesat sadar atau tidak sadar,
maka biasanya akan sulit untuk mencari jalan kembali. Orang
yang demikian akan mencari keseimbangan hidupnya dengan
langkah-langkah yang kurang diperhitungkannya. Mungkin
karena dendam, mungkin karena harga diri atau mungkin
karena ia tidak melihat jalan lain y ang pantas ditempuhnya.
Kadang-kadang orang y ang demikian akan merasa dirinya
tidak berharga lagi dan m erasa ter sisih. Karena itu, maka ia
berusaha membalas dendam kepada sasaran yang manapun,
juga sasaran yang salah."
Akuwu Lemah Warah termangu-mangu. Diluar sadarnya
ia berpaling kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun
agaknya kedua anak muda itu pun tidak tahu keputusan
apakah yang sebaiknya dijatuhkan menanggapi permintaan
orang itu. Apalagi mereka menyadari, bahwa kewenangan
sepenuhnya ada di tangan Akuwu.
Orang itu pun kemudian bangkit dengan susah payah.
Selangkah demi selangkah ia berjalan. Tubuhnya memang
masih t erlalu lemah. Namun ia berjalan terus. Ia memang
ingin meny ongsong satu keadaan baru. Apakah itu akan
menjadi lebih baik atau lebih buruk. Ia sudah merasa jemu
dengan keadaannya itu. Diiringi oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, maka
orang itu telah dibawa ke reg ol padepokan. Beberapa orang
prajurit mengamatinya dengan pertanyaan yang meloncat di
dalam hati, untuk apa orang itu dibawa ke regol.
Namun m eskipun agak lama, orang itu telah mencapai
regol padepokan. Mahisa Murtilah y ang kemudian naik ke
panggungan lebih dahulu dan melaporkan bahwa saudara
seperguruan Akuwu Sangling telah dibawanya.
"Apakah ia dapat naik kemari?" bertanya Akuwu.
"Tubuhnya masih lemah Akuwu," jawab Mahisa Murti.
Akuwu termangu-mangu. Namun kepercayaannya
kepada guru Akuwu Sangling itu menjadi semakin tebal.
Karena itu, maka ia pun kemudian memerintahkan,
"Buka pintu regol. Aku akan bertemu dengan orang itu."
"Akuwu," desis Mahisa Murti.
"Amati aku," berkata Akuwu, "tetapi aku y akin bahwa
orang itu tidak akan berbuat apa-apa."
Mahisa Murti tidak menjawab lagi. Ia pun kemudian
mengikuti Akuwu itu turun dari panggungan di sebelah regol.
Ketika ia berada di belakang regol, ternyata prajurit y ang
mendapat perintah untuk membuka itu pun ragu-ragu. Tetapi
sekali lagi Akuwu berkata, "Buka pintu itu."
Prajurit yang bertugas tidak membantah. Pintu regol itu
pun kemudian telah dibukakannya.
"Marilah," berkata Akuwu Lemah Warah kepada
saudara seperguruan Akuwu Sangling. Lalu ditunjukkan orang
yang berada di luar regol itu sambil bertanya, "Apakah kau
mengenal orang itu?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
bibirnya berdesis, "Guru."
Akuwu Lemah Warah menarik nafas dalam-dalam.
Ternyata orang itu memang guru Akuwu Sangling.
Orang yang berdiri di luar reg ol itu memandanginya
dengan perasaan iba. Bahkan kemudian ia pun melangkah
maju meny ongsong muridnya yang lemah itu. Sementara itu
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengawasi peristiwa itu
dengan sikap y ang berhati-hati sekali.
Ketika orang y ang berada di luar regol itu berdiri
selangkah dihadapan saudara sepergururuan Akuwu Sangling,
maka orang itu pun telah menjatuhkan dirinya dan berjongkok
dihadapan gurunya itu sambil berdesis, "Ampun guru. Aku
tidak tahu apa yang telah aku lakukan sebenarnya. Aku tidak
tahu apakah langkahku ini benar atau salah. Tetapi aku telah
berusaha membela kakangmas Akuwu."
Untuk beberapa saat Akuwu Lemah Warah membuat
pertimbangan di dalam hatinya. Namun agaknya nuraninya
tidak berkeberatan jika ia m enyerahkan saudara seperguruan
Akuwu Sangling. Menurut pengamatannya, orang yang
mengaku gurunya itu telah mengatakan dengan sikap terbuka
yang jujur. Karena itu, tiba-tiba saja Akuwu itu berdesis, "Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Bagaimana pendapatmu jika aku
serahkan saja orang itu kepada gurunya."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat berpandangan sejenak.
Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, "Apakah Akuwu
percaya sepenuhnya kepada orang itu?"
Akuwu Lemah Warah mengangguk. Katanya, "Ya, aku
percaya kepadanya. Nampaknya ia bukan orang yang jahat. Ia
bukan pula orang y ang mempunyai keinginan y ang tamak."
"Tetapi apakah ia tidak berbahaya," bertanya Mahisa
Pukat, "apalagi jika saudara seperguruan Akuwu Sangling itu
telah mendapatkan kembali kekuatannya."
"Aku kira ia cukup jantan," jawab Akuwu Lemah Warah.
Lalu, "Memang semua perhitungan akan dapat keliru. Namun
mudah-mudahan perhitungan kita kali ini benar."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akhirnya hanya
mengangguk-angguk saja. Sementara itu, Akuwu Lemah
Warah berkata, "Bawa orang itu kemari."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah turun dari
panggungan dan pergi ke bilik yang dipergunakan untuk
menyimpan saudara seperguruan Akuwu itu. Kepada prajurit
Lemah Warah y ang bertugas menjaga orang itu, Mahisa Murti
berkata, "Perintah Akuwu Lemah Warah, kami harus
membawanya ke panggungan diatas regol."
"Apakah ia mampu berjalan sampai ke reg ol?" bertanya
penjaganya. "Agaknya ia akan dapat berjalan sendiri sampai di
regol," jawab Mahisa Murti.
Prajurit itu tidak bertanya lebih lanjut. Sementara itu
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah m emasuki bilik orang
itu dan m engatakan apa y ang harus dikerjakan, "Ki Sanak.
Akuwu Lemah Warah minta Ki Sanak datang kepadanya."
Orang itu memandang kedua anak muda itu dengan
tajamnya. Bahkan kemudian dengan nada rendah ia bertanya,
"Untuk apa?" "Akuwu akan menjelaskan," jawab Mahisa Murti.
"Apakah aku akan dihukum mati?" desak orang itu.
Mahisa Murti menggeleng. Dengan nada rendah ia
berkata, "Tidak ada hukuman yang akan dijatuhkannya. Tetapi
semuanya tergantung kepada Akuwu."
"Hukuman mati bagiku akan lebih baik dari pada
mengalami kehidupan yang sangat pahit seperti ini," geram
orang itu. "Marilah," Mahisa Murti sama sekali tidak
menanggapinya. Orang y ang mengaku guru Akuwu Sangling telah
menarik orang yang berjongkok itu untuk berdiri. Dengan
suara lembut ia berkata, "Kau sudah berusaha untuk
membantu saudara seperguruanmu. Itu adalah sikap yang
baik. Namun ternyata saudara seperguruanmu itulah yang
telah mengecewakan kau."
"Apakah, y ang sebenarnya sudah dilakukannya guru"
Sejak semula memang sudah terasa pada penggraitaku bahwa
ada sesuatu yang kurang mapan. Tetapi aku tidak melihatnya
langsung. Karena itu aku m enyangka bahwa penggraitaku itu
hanya sekedar gambaran yang kabur dari seorang saudara
seperguruan," desis muridnya itu, "namun agaknya memang
ada y ang tidak wajar pada Akuwu Sangling."
"Sudahlah," berkata gurunya, "kita tidak perlu
mempersoalkannya di sini. Kita akan minta diri. Akuwu
Lemah Warah ternyata seorang Akuwu yang baik. Tanpa
kebesaran jiwanya, maka kau tidak akan dilepaskannya."
Muridnya mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling,
maka dilihatnya dua orang anak muda yang berdiri tegak
memandanginya pula. Orang itu m enarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Anakanak
muda y ang luar biasa. Ternyata mereka memiliki
berbagai ilmu yang jarang ada bandingnya. Keduanya mampu
menghisap tenagaku sehingga rasa-rasanya aku memang
menjadi lumpuh. Meskipun aku sempat membakar beberapa
bagian dari kulitnya, namun keduanya masih dapat
mengatasinya. Bahkan keduanya sengaja membiarkan dirinya
tersentuh oleh apiku. Meskipun apiku membakar kulitnya,
tetapi kekuatanku pun dengan cepat surut, sehingga akhirnya
aku jatuh tanpa mampu untuk bangkit lagi."
Gurunya mengangguk-angguk. Katanya, "Keduanya
pantas mendapat pujian dengan jujur."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak menyahut sama
sekali. Tetapi seperti Akuwu Lemah Warah, maka orang itu
memang benar-benar m emujinya. Bukan sekedar begitu saja
meluncur dari bibirnya karena ia sudah mendapat kebebasan.
Sementara itu, guru Akuwu Sangling itu pun berkata
kepada Akuwu Lemah Warah, "Sudahlah Akuwu. Aku
mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga. Akuwu telah
menyerahkan kembali muridku y ang satu ini. Mudahmudahan
aku belum terlambat."
"Silahkan Ki Sanak," berkata Akuwu Lemah Warah,
"aku akan ikut berdoa, semoga Ki Sanak berhasil."
Guru Akuwu Sangling itu pun kemudian minta diri.
Dengan nada rendah ia berkata, "Aku minta diri. Mudahmudahan
kita dapat bertemu lagi dalam keadaan yang lebih
baik tanpa nafas permusuhan sama sekali."
"Baiklah Ki Sanak. Tempatku jelas, Lemah Warah,"
jawab Akuwu Lemah Warah itu.
Sejenak kemudian, maka kedua orang itu pun telah siap
untuk berangkat. Namun orang yang masih lemah itu sempat
juga berbicara kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, "Aku
kagum akan kelebihan kalian dalam umur kalian yang masih
sangat muda." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat t idak menjawab. Tetapi
wajah mereka tidak lagi membayangkan ketegangan dan
apalagi permusuhan. Demikianlah maka kedua orang itu telah bergeser
meninggalkan padepokan itu setelah sekali lagi minta diri
kepada Akuwu Lemah Warah. Dengan sabar guru Akuwu
Sangling itu memapah muridnya y ang masih sangat lemah.
Namun nampaknya keduanya sama sekali tidak mendendam,
meskipun telah terjadi sesuatu yang pahit di padepokan itu.
Untuk beberapa saat Akuwu Lemah Warah masih tetap
berdiri tegak. Dipandanginya kedua orang y ang berjalan
semakin lama semakin jauh itu. Bahkan kemudian katanya,
"Orang itu memang merasa kehilangan Akuwu Sangling.
Tetapi kehilangan itu tidak saja baru terjadi saat Akuwu
terbunuh." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak begitu mengerti
maksudnya, sehingga Akuwu itu menjelaskan, "Orang itu
merasa kehilangan sejak Akuwu Sangling telah m eninggalkan
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jalan y ang benar sesuai dengan ajaran gurunya. Sejak Akuwu
Sangling terjerumus kedalam kesesatan, maka gurunya merasa
kehilangan." Demikianlah, maka ketika kedua orang itu telah hilang,
Akuwu Lemah Warah telah melangkah memasuki pintu,
gerbang padepokan diikuti oleh Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat. Para prajurit yang bertugas di pintu gerbang itu pun
telah menutup pintu itu kembali.
Akuwu Lemah Warah y ang berjalan semakin dalam
memasuki padepokan itu tiba -tiba telah berhenti.
Dipandanginya sebuah barak yang panjang yang dijaga oleh
sekelompok prajurit dengan senjata telanjang. Barak itu berisi
tawanan prajurit Sangling yang cukup banyak jumlahnya,
sehingga diperlukan kekuatan y ang memadai untuk
menjaganya. Dengan demikian maka sebagian kekuatan
prajurit Lemah warah telah terikat pada barak itu. Seandainya
ada bahaya y ang mendatangi padepokan itu, maka tidak
semua kekuatan dapat dikerahkan, karena sebagian dari
mereka harus menjaga para tawanan. Kareka itu para tawanan
yang cukup banyak jumlahnya itu akan dapat merupakan
kekuatan yang harus diperhitungkan. Jika m ereka pada suatu
saat dengan serta merta berusaha untuk melepaskan diri,
maka mereka akan dapat menjadi bahaya yang sebenarnya.
Dalam pada itu Akuwu Lemah Warah pun berkata,
"Mereka akan aku serahkan kembali kepada para Senapati dari
Sangling. Nampaknya guru Akuwu Sangling itu tidak akan
memanfaatkan mereka. Dengan demikian kita akan beba s dari
beban meny ediakan makan untuk mereka."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun menganggukangguk.
Dengan nada rendah Mahisa Murti berkata, "Agaknya
itu merupakan satu sikap y ang paling baik Akuwu."
Karena bagaimanapun juga mereka tidak akan dapat
ingkar dari satu kenyataan, bahwa pasukan Lemah Warah
ternyata jauh lebih kuat dari pasukannya. Apalagi tanpa
Akuwu Sangling dan saudara/perguruannya yang keduaduanya
sudah dikalahkan. Akuwu Sangling justru telah gugur
dalam pertempuran itu. Dengan demikian maka Akuwu Lemah Warah pun telah
mengambil keputusan di dalam hatinya, bahwa para tawanan
itu pun akan dilepaskan. Namun mengenai Ki Buyut Bapang,
agaknya Akuwu masih mempunyai pertimbangan tersendiri.
Hampir di luar sadarnya, maka Akuwu Lemah Warah
telah m elangkah ke arah barak yang panjang itu. Dua orang
prajurit y ang ada di sebelah meny ebelah pintu pun
mengangguk hormat. "Buka pintunya," berkata Akuwu Lemah Warah.
"Akuwu akan m asuk?" bertanya prajurit yang bertugas
itu. "Ya. Aku akan menemui Senapati y ang tertinggi y ang
ada diantara mereka," berkata Akuwu.
Kedua prajurit yang bertugas itu saling berpandangan.
Namun mereka memang tidak akan dapat membantah. Karena
itu, maka mereka pun telah mengangkat selarak pintu dan
membukanya. Beberapa orang y ang berada di dalam dan kebetulan
dekat dengan pintu yang tiba -tiba terbuka itu telah bersiap.
Naluri keprajuritan mereka telah m embuat mereka bersiaga
menghadapi segala kemungkinan.
Namun ketika mereka melihat Akuwu Lemah Warah
memasuki barak itu bersama dengan dua orang anak muda
yang memiliki kemampuan yang jarang ada duanya itu, maka
mereka pun telah bergeser surut.
Sejenak Akuwu Lemah Warah memandangi orang-orang
yang tertawan itu. Keadaan mereka memang tidak begitu baik.
Para prajurit Lemah Warah tidak mempunyai cukup
persediaan pakaian seandainya ingin memberikannya kepada
prajurit Sangling y ang pakaiannya terkoyak dalam
pertempuran. Karena itu maka Akuwu semakin berketetapan hati
untuk meny erahkan kembali para prajurit Sangling itu kepada
pemimpin tertinggi y ang masih ada di Sangling mewakili
Akuwu y ang telah terbunuh itu.
Setelah melihat -lihat keadaan para tawanan itu sejenak,
maka Akuwu pun berkata kepada prajurit Sangling yang
berdiri dihadapannya, "Siapakah Senapati tertinggi dari
prajurit Sangling y ang ada di sini?"
"Senapati dari pasukan ketiga," jawab prajurit itu.
"Katakan kepadanya, bahwa Akuwu Lemah Warah ingin
berbicara," perintah Akuwu.
Prajurit itu pun kemudian meninggalkan Akuwu dan
melangkah mencari Senapati dari pasukan ketiga seperti yang
dikatakannya. Ternyata Senapati y ang baru duduk merenungi nasibny a
itu terkejut ketika prajurit itu memberitahukan bahwa Akuwu
Lemah Warah berada di barak itu dan memanggilnya
menghadap. Senapati itu membenahi dirinya. Kemudian ia pun
mendapati Akuwu Lemah Warah y ang sudah berada di luar
pintu. Senapati itu memang ragu-ragu untuk melangkah keluar
ketika dilihatnya dua orang penjaga di luar pintu. Namun
Akuwu telah memberikan isyarat kepadanya, agar Senapati itu
datang kepadanya. Senapati itu pun mendekat dengan dada yang berdebardebar.
Tetapi bagaimanapun juga ia adalah seorang Senapati
besar bagi Sangling. Karena itu, maka ia pun masih juga
bersikap sebagai seorang prajurit.
Ketika Senapati itu telah berdiri dihadapan Akuwu,
maka ia pun telah mengangguk hormat.
"Aku memerlukan kau," berkata Akuwu Lemah Warah.
"Hamba Akuwu," jawab Senapati itu, "apakah y ang
dapat hamba lakukan."
"Senapati," berkata Akuwu Lemah Warah, "aku ingin
minta pertolonganmu untuk pergi ke Sangling sebagaimana
dua orang prajurit yang pernah aku perintahkan ke Sangling
pula. Tetapi tugasmu tidak sekedar m emberitahukan kepada
pemimpin yang kini memegang pemerintahan, di Sangling
siapa pun orangnya sebelum diangkat Akuwu yang baru. Kau
harus berbicara dengan pemimpin di Sangling itu untuk tugas
yang cukup berat." Senapati itu m engerutkan keningnya. Namun kemudian
katanya, "Tugas apakah y ang harus hamba emban?"
"Senapati," suara Akuwu menjadi rendah, "aku berniat
untuk meny erahkan para tawanan itu kepada pemimpin
pemerintahan tertinggi Sangling sekarang. Aku kira sudah
tidak ada lagi per soalan antara Lemah Warah dan Sangling,
setelah Akuwu Sangling terbunuh. Setelah para tawanan itu
kami serahkan, maka kami akan memberikan laporan kepada
Sri Baginda di Kediri."
Senapati itu terkejut. Seakan-akan ia tidak y akin akan
pendengarannya. Namun Akuwu Lemah Warah b erkata lebih
lanjut, "Karena itu, aku ingin memerintahkan kau dan satu
atau dua orang prajuritmu y ang paling kau percaya untuk
pergi ke Sangling membicarakan rencana ini. Tetapi ingat,
bahwa kau adalah seorang prajurit. Karena itu maka kau harus
dapat m emegang rahasia keprajuritan. Peny erahan ini masih
dalam tataran pembicaraan. Karena itu, kau tidak perlu
memberitahukan kepada seorang pun diantara kalian. Namun
segala sesuatunya terserah kepadamu, apakah kau masih tetap
berpegang pada martabat keprajuritanmu atau tidak."
Senapati itu mengangguk hormat. Katanya dengan suara
bergetar, "Kemurahan hati Akuwu benar-benar tidak hamba
sangka. Apa y ang Akuwu titahkan, hamba akan
melakukannya. Sementara itu hamba akan tetap berpegang
pada laku seorang prajurit. Hamba akan memegang rahasia ini
sampai saatnya rahasia ini dapat dibuka bagi kawan-kawan
hamba." "Terima ka sih," berkata Akuwu. Lalu, "Mungkin kalian
telah mendengar bahwa tubuh Akuwu Sangling telah dibawa
kembali oleh para prajurit Sangling yang masih berada di
Pakuwon." Senapati itu mengangguk-angguk.
Namun dari wajahnya memancar harapan bagi satu
keadaan yang lebih baik dari yang mereka sandang pada saat
itu, sejalan dengan kekagumannya terhadap kebesaran jiwa
Akuwu Lemah Warah. Dalam pada itu maka Akuwu Lemah Warah itu pun
kemudian berkata, "Baiklah. Kembalilah ke barakmu. Besok
kau dapat berangkat bersama dua orang yang kau tunjuk.
Tetapi kau harus menunggu aku memanggilmu."
"Hamba Akuwu," jawab Senapati itu, "hamba akan
menjalankan segala perintah Akuwu."
"Perjalanan pasukan y ang membawa tubuh Akuwu
Sangling itu tentu tidak akan dapat terlalu cepat. Jika kau
besok berkuda menyusul iring-iringan itu, maka kau akan
sampai ke Pakuwon Sangling dengan selisih waktu yang tidak
akan terlalu lama," berkata Akuwu Lemah Warah.
"Tetapi agaknya iring-iringan itu tidak akan berhenti di
perjalanan," sahut Senapati itu.
Akuwu Lemah Warah mengangguk. Jawabnya, "Ya.
Mereka tentu akan berjalan terus meskipun malam hari, ju stru
karena mereka membawa tubuh Akuwu Sangling. Namun
demikian agaknya akan lebih baik bagimu. Kau datang setelah
iring-iringan itu mapan di Pakuwon Sangling. Karena kau
akan m enyampaikan per soalan baru kepada para pemimpin
Sangling." "Hamba Akuwu," jawab Senapati itu, "hamba akan
menjalankan perintah yang manapun."
"Sekarang kembalilah kepada kawan-kawanmu. Ingat,
belum waktunya kau mengatakan kepada siapa pun juga
sebelum semuanya selesai dibicarakan dan mendapat
kesimpulan," pesan Akuwu.
Demikianlah, maka Senapati itu pun telah kembali
masuk ke dalam baraknya. Beberapa orang memang ingin
segera mengetahui, apakah yang dibicarakannya dengan
Akuwu. Namun Senapati itu menjawab, "Keadaan kita pada
umumnya. Akuwu ingin mendengar jika ada keluhan-keluhan
diantara kita." "Banyak sekali," sahut seorang prajurit.
"Ya," desis Senapati itu, "aku sudah menyampaikannya.
Juga tentang keadaan pakaian kita. Tetapi prajurit Lemah
Warah sendiri tidak memiliki pakaian rangkap disini."
Para prajurit itu termangu-mangu. Seorang diantara
mereka berkata, "Lalu apa artinya keluhan-keluhan kita itu?"
"Setidak -tidaknya Akuwu Lemah Warah sudah
mendengarnya," jawab Senapati itu.
Beberapa orang m asih akan menanyakan beberapa hal
tentang pertemuan itu. Tetapi Senapati itu berkata, "Sudahlah.
Aku akan tidur sambil menunggu putaran nasib."
"Kita akan meny erah kepada nasib?" bertanya seorang
perwira muda y ang memimpin sekelompok prajurit.
Senapati y ang sudah mulai melangkah itu tertegun.
Katanya, "Bagus. Nada pernyataanmu itu adalah salah satu
gejolak perjuangan yang tinggi. Tetapi kita tidak boleh
menolak keny ataan yang berlaku atas kita sekarang ini.
Apakah y ang dapat kita lakukan?"
"Berbuat sesuatu," jawab perwira muda itu.
"Kita akan memikirkannya. Jika kesempatan itu datang,
kita akan berbuat sesuatu. Tetapi sesuatu itu apa?" bertanya
Senapati itu. "Setidak -tidaknya kita tidak berpangku tangan
menunggu ajal kita di sini tanpa berbuat dan berusaha,"
berkata perwira muda itu. Lalu, "Apakah tidak pernah
melintas di dalam benak kita untuk berusaha melarikan diri
atau memberontak melawan prajurit Lemah Warah yang
sombong itu." "Kita meny erah pada saat kita masih menggenggam
senjata," jawab Senapati itu.
"Satu langkah y ang salah. Saat itu kita tidak sempat
membuat perhitungan yang cermat dan mapan. Sekarang kita
berkumpul di barak ini. Kita dapat berbicara dengan tenang
untuk menemukan satu tindakan yang paling baik yang dapat
kita lakukan," berkata perwira itu.
"Satu usaha y ang sia-sia," jawab Senapati itu.
"Tetapi kita sudah berusaha. Apakah y ang kita dapatkan
dengan duduk bertopang dagu atau berbaring sambil
berangan-angan?" bertanya perwira muda itu.
"Memang tidak ada. Tetapi apakah kita melupakan satu
kemungkinan yang tidak dapat diperhitungkan oleh
seseorang?" bertanya Senapati itu.
"Apa?" bertanya perwira muda itu.
"Kemurahan Yang Maha Agung atas kita," jawab
Senapati itu. " Itu adalah pangkal kelemahan kita. Itu tidak ada
bedanya dengan pasrah kepada nasib," jawab perwira itu, "kita
harus berusaha. Tidak ada sesuatu y ang kita dapatkan tanpa
berusaha." Senapati itu m enarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya,
"Kau benar. Tetapi tidak tergesa -gesa. Kita harus melihat
suasana." "Menunggu sampai saatnya mereka memenggal leher
kita?" sahut perwira muda itu.
Senapati itu tidak menjawab. Ia pun kemudian
meninggalkan perwira muda yang kecewa itu.
Para prajurit y ang mendengar pembicaraan itu
mempunyai tanggapan yang berbeda -beda. Sebagian dari
mereka menganggap bahwa betapapun juga, mereka tidak
dapat melepaskan diri dari keadaan y ang memang
membelenggu mereka. Jika mereka berbuat sesuatu untuk
melepaskan diri, maka hal itu tidak lebih dari satu tindakan
bunuh diri karena keputus asaan. Namun beberapa orang yang
lain menganggap, bahwa hanya karena kekuatan mereka serta
usaha mereka sajalah keadaan mereka akan berubah. Memang
sudah diperhitungkan, bahwa akibat yang lain adalah
kematian. Namun kematian bukan sesuatu y ang harus
ditakutkan oleh seorang prajurit.
Tetapi ketika sebuah pertanyaan m uncul di lubuk hati
mereka kenapa mereka meny erah, hati m ereka pun m enjadi
hambar. Namun demikian, ia masih tetap m erahasiakan kepada
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
si apapun sebagaimana dipesankan oleh Akuwu Lemah
Warah. Dalam pada itu Senapati dari pasukan ketiga y ang
merupakan Senapati t ertinggi diantara pasukan Sangling yang
tertawan itu, tengah m empersiapkan dirinya untuk pergi ke
Sangling. Ia sedang memilih diantara para prajuritnya yang
paling baik untuk mengawaninya pergi ke Sangling. Kecuali
orang itu harus prajurit yang baik, orang itu pun harus masih
tetap bersikap sebagai seorang prajurit pula.
Akhirnya Senapati itu menemukan beberapa orang y ang
akan dipilihnya besok jika saatnya sudah tiba. Sementara ia
sempat mengamati mereka di saat-saat terakhir menjelang
jatuhnya pilihan. Namun dalam pada itu, seakan-akan perwira muda itu
telah mengungkit persoalan diantara para tawanan. Ia telah
menumpahkan perasaan kecewanya kepada semua orang yang
ditemuinya. "Kenapa kita tidak berusaha untuk lari," beberapa kali
hal itu dikemukakan kepada beberapa orang kawannya.
Seorang perwira lain y ang lebih tua ternyata tidak
senang mendengar ajakan itu. Dengan hati-hati agar tidak
menimbulkan persoalan, perwira itu berusaha menghentikan
hasutan itu. Katanya, "Sudahlah. Mungkin sikapmu itu benar.
Tetapi kau tidak akan dapat melakukannya dengan cara
seperti itu." "Aku tidak mau meny erah kepada nasib seperti ini,"
berkata perwira muda itu.
"Aku pun tidak," berkata perwira yang lebih tua, "tetapi
kita tidak dapat ingkar dari kenyataan. Di sekeliling barak ini,
prajurit Lemah Warah berjaga-jaga dengan ketat. Sementara
itu di setiap sudut halaman, di setiap pintu dan di setiap
lor ong diawasi pula dengan keras. Bagaimana mungkin kita
akan dapat lolos. Sedangkan seekor lalat pun tidak akan dapat
lepas dari setiap pengawasan."
" Itu adalah sikap putus a sa," geram perwira y ang masih
muda itu, "aku tidak mau meny erah dalam keputus-a saan.
Meskipun seandainya aku akan mati dalam usaha m elarikan
diri itu." Perwira y ang lebih tua itu pun berusaha menjelaskan,
"Bukan watak seorang prajurit untuk bertindak tergesa -gesa
tanpa perhitungan. Seseorang y ang mempertimbangkan
langkah-langkahnya bukan berarti berputus-asa. Sedangkan
mereka y ang bertindak dengan tergesa -gesa sekedar karena
dor ongan perasaan, maka mereka tidak ubahnya seperti
sedang membunuh diri."
"Aku tidak peduli," sahut perwira muda itu, "aku akan
melakukannya. Terserah kepada kalian, apakah kalian akan
ikut bersama aku atau tidak."
Perwira y ang lebih tua itu pun menjadi jengkel. Karena
itu maka katanya, "Jika kau m emang ingin membunuh diri,
jangan membawa orang lain serta. Kecuali mereka yang dungu
atau kehilangan akal seperti kau."
Perwira yang muda itu menjadi marah. Tiba-tiba saja ia
berdiri tegak di hadapan perwira y ang lebih tua itu sambil
membentak, "Tidak ada hakmu mengatur tingkah lakuku."
Tetapi perwira y ang lebih tua itu pun menjadi marah
pula. Tidak kalah garangnya ia pun membentak, "Lihat dengan
matamu. Siapa aku he?"
Ternyata perwira y ang masih muda itu menyadari
dengan siapa ia berhadapan. Perwira itu bukan saja lebih tua
umurnya, tetapi juga pangkat dan kedudukannya. Meskipun
mereka telah menjadi tawanan, tetapi tataran keprajuritan
tidak dapat mereka tinggalkan begitu saja.
Karena itu, maka perwira y ang lebih muda itu pun
segera menganguk hormat sambil berkata, "Aku minta maaf."
Perwira yang lebih tua itu tidak menjawab. Tetapi dari
tatapan matanya ia seakan-akan m engatakan bahwa perwira
muda itu perlu mendapat peringatan y ang lebih keras.
Perwira yang muda itu pun kemudian beringsut
meninggalkan perwira y ang lebih tua itu. Meskipun ia sudah
minta maaf, tetapi bukan berarti bahwa sikapnya berubah. Ia
masih tetap ingin melarikan diri dari tempat itu.
Namun betapapun perwira y ang masih muda itu
didorong oleh gejolak perasaannya, namun ternyata ia masih
juga harus membuat perhitungan-perhitungan. Ketika
kemudian malam turun, maka dengan cermat ia
memperhatikan keadaan di luar dinding baraknya.
"Setan alas," geramnya ketika ia mendengar langkah
mondar-mandir di luar dinding barak, "Kenapa mereka tidak
diterkam iblis pada kepalanya."
Seorang prajurit y ang mendengarnya mengerutkan
keningnya. Namun ia tidak mengatakan apa-apa, karena ia
tahu, apa yang akan dilakukan oleh perwira itu bersama
beberapa orang prajurit yang dapat dihasutnya.
Tetapi ternyata sampai menjelang pagi, perwira itu tidak
mendapat kesempatan sama sekali. Para prajurit Lemah
Warah di luar barak itu ternyata tidak pernah lengah
sekejappun. Perwira itu mengumpat ka sar. Malam itu tidak ada jalan
baginya. Sehingga karena itu, maka ia harus menunggu lagi.
Dan menunggu adalah sesuatu y ang sangat
menjemukan. Bahkan seolah-olah ia telah membenarkan
pendapat perwira yang lebih tua itu, bahwa mereka yang
bertindak terge-gesa tidak ubahnya sebagaimana sedang
membunuh diri. "Persetan," geram perwira muda itu, "tetapi mereka
akan melihat bahwa pada suatu saat aku akan berteriak dalam
kebebasan dengan suara tanpa terkekang."
Dalam pada itu, Senapati dari pasukan k etiga y ang ikut
tertawan telah bersiap-siap pula. Ia telah m enentukan siapa
yang akan dibawanya ke Sangling hari itu.
Menj elang matahari terbit, maka ia telah bersiap-siap.
Tetapi ia masih belum m emberitahukan kepada orang yang
telah dipilihnya. Sebenarnyalah, maka sejenak kemudian Akuwu telah
memanggilnya. Dua orang prajurit telah m emasuki barak itu
untuk menemui Senapati dari pasukan ketiga.
Perwira muda yang melihat dua orang prajurit
memasuki barak itu tiba-tiba timbul gejolak didalam hatinya.
Ra sa -rasanya kedua orang itu akan dapat dipergunakannya
landasan untuk melarikan diri dari barak itu. Karena itu, maka
ia pun telah mengikutinya.
Tetapi ia telah terbentur lagi pada satu keny ataan bahwa
ia tidak akan dapat melakukannya. Beberapa orang prajurit
Sangling y ang melihat sikapnya sama sekali tidak tertarik
untuk melakukannya. Beberapa orang prajurit Sangling yang
melihat sikapnya sama sekali tidak tertarik untuk
melakukannya pula. Kedua prajurit Lemah Warah itu pun
ternyata membawa senjata terhunus. Jika ia berbuat sesuatu
dengan tiba-tiba atas kedua prajurit itu dengan licik dan
berhasil membunuhnya, m aka apakah ia akan dapat keluar
dari barak itu. Sekali lagi ia terbentur pada satu keharusan untuk
membuat perhitungan. Perwira muda itu mengumpat. Tetapi ia tidak dapat
menghindar. Ia memang harus membuat perhitungan untuk
menentukan langkah-langkahnya. Sebagai seorang prajurit,
maka hal itu merupakan bagian dari setiap langkahnya.
Namun dalam kegelapan nalar, maka perwira muda itu telah
mencoba untuk ingkar, bahwa perhitungan itu perlu bagi
setiap tindakannya. Ia menganggap perhitungan m erupakan
sikap y ang lemah. Tetapi akhirnya ia sendiri tidak dapat
meninggalkan perhitungan itu. Senang atau tidak senang.
Saat itu pun ternyata perwira muda itu harus
mengurungkan niatnya. Dan terngiang kembali kata-kata
perwira y ang lebih tua daripadanya, "Bukan watak seorang
prajurit untuk bertindak tergesa-gesa tanpa perhitungan."
"Persetan," geramnya. Namun ia tidak berbuat apa -apa.
Bahkan ia tidak mengikuti kedua prajurit Lemah Warah itu
lebih jauh. Sementara itu, kedua prajurit itu telah menemui
Senapati dari pasukan ketiga. Ia pun segera menyampaikan
perintah Akuwu Lemah Warah, bahwa Senapati itu telah
dipanggilnya. "Sekarang ?" bertanya Senapati itu.
"Ya, sekarang," jawab salah seorang prajurit Lemah
Warah itu. Senapati itu memang sudah siap. Karena itu, maka tanpa
banyak persoalan Senapati itu pun mengikuti keduanya keluar
dari barak. Disebelah barak y ang lain Akuwu Lemah Warah sudah
menunggu. Ketika Senapati itu m enghadap dan mengangguk
hormat, maka Akuwu itu pun kemudian bertanya, "Apakah
kau sudah menemukan orang-orang y ang pantas kau bawa
serta?" "Hamba Akuwu. Dua orang prajurit y ang menurut
pendapat hamba akan dapat mengawani hamba. Bukan saja
sekedar kawan perjalanan. Tetapi rasa-rasanya pendapat
mereka-pun akan banyak y ang sejalan dengan pendapatku
dalam beberapa hal. Dalam hubungan keprajuritan mereka
bersikap sebagai prajurit yang baik dan patuh."
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Lalu
katanya, "Biarlah keduanya dipanggil."
Senapati itu pun kemudian telah memberikan dua nama
dari pasukan ketiga k elompok dua. Seorang diantara prajurit
itu adalah seorang perwira yang memimpin kelompok itu.
Ternyata bahwa ketika kedua orang prajurit itu
dipanggil, agaknya telah menarik banyak perhatian. Beberapa
orang kawan-kawannya saling bertanya -tanya. Kenapa kedua
orang itu juga dipanggil sebagaimana Senapati dari pasukan
ketiga. Kedua orang prajurit itu sendiri telah terkejut pula
karenanya. Tetapi mereka tidak dapat mengelak. Ketika
pemimpin kelompok itu bertanya untuk apa mereka dipanggil,
prajurit Lemah Warah itu menjawab sambil menggelengkan
kepalanya, "Entahlah. Aku tidak tahu."
Dengan jantung yang berdebar-debar maka keduanya
telah mengikuti kedua prajurit Lemah Warah itu untuk
menghadap Akuwu. Apalagi ketika mereka melihat Akuwu
telah menunggunya bersama Senapatinya.
Demikian keduanya mengangguk hormat, maka Akuwu
Lemah Warah pun telah memerintahkan kepada Senapati dari
pasukan Ketiga dari Sangling itu, "Katakan kepada mereka,
apa y ang harus mereka lakukan."
Kedua orang prajurit itu menjadi semakin berdebardebar.
Namun Senapati itu pun kemudian telah menjelaskan
tugas y ang dibebankan kepada mereka.
Seperti Senapati itu pada saat pertama kali ia mendengar
rencana itu, maka rasa-rasanya kedua orang prajurit itu tidak
yakin akan pendengarannya. Namun Senapati itu agaknya
dapat menangkap kebimbangan di hati kedua prajurit itu.
Karena itu maka ia pun dengan hati-hati telah m enjelaskan
maksud Akuwu Lemah Warah.
(Bersambung ke Jilid 45) Jilid 045 KEDUANYA t elah menarik nafas dalam-dalam. Perwira
yang memimpin kelompok itu kemudian berdesis, "Hampir
tidak dapat dipercaya, bahwa kami akan mendapatkan
kebebasan." "Tetapi hal ini masih merupakan rahasia sebelum
segalanya siap dilakukan," berkata Senapati itu.
"Kami mengerti," jawab pemimpin kelompok itu.
"Nah, bersiaplah. Kita akan berangkat sekarang,"
berkata Senapati itu. "Sekarang?" bertanya pemimpin kelompok itu.
"Ya sekarang," jawab Senapati dari pasukan ketiga itu.
"Tetapi, aku tidak lagi mempunyai pakaian y ang
memadai untuk pergi ke Sangling. Pakaianku ini telah koyak.
Perlengkapan keprajuritanku pun telah rusak."
"Di sini kalian akan mendapat pakaian. Kalian tidak
usah kembali lagi memasuki barak," berkata Akuwu Lemah
Warah. Kedua orang prajurit itu menarik nafas dalam-dalam.
Ra sa -rasanya seperti sebuah mimpi. Namun mereka y akin
bahwa mereka memang akan melakukannya.
Akuwu Lemah Warah pun kemudian memberikan
perlengkapan kepada ketiga orang y ang akan pergi ke Sangling
itu, bahkan tiga ekor kuda pula.
"Nah," berkata Akuwu Lemah Warah setelah mereka
benar-benar bersiap, "Kalian adalah prajurit dengan
kelengkapan prajurit pula."
"Terima kasih Akuwu," jawab Senapati yang akan
memimpin kelompok kecil itu.
"Kalian bukan lagi tawanan. Di lam bung kalian
tergantung pedang. Karena itu, maka kalian akan dapat
bertindak sebagai prajurit y ang bebas untuk menjalankan
tugas sebagaimana aku perintahkan. Meskipun demikian
kalian tetap prajurid Sangling," berkata Akuwu Lemah Warah.
"Akuwu," berkata Senopati itu, "kami telah siap
menjalankan perintah Akuwu. Siapa pun kami, namun bagi
kami perintah Akuwu akan kami junjung tinggi."
"Pergilah. Bicarakan dengan para pemimpin yang ada di
Sangling, bahwa aku, Akuwu Lemah Warah akan
menyerahkan semua tawanan dari Sangling kecuali Ki Buyut
Bapang," berkata Akuwu Lemah Warah.
Demikianlah maka ketiga orang prajurit Sangling itu pun
telah meninggalkan padepokan. Para prajurit Lemah Warah
yang bertugas serta Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
melepaskan mereka di pintu gerbang. Di atas punggung kuda
mereka memang nampak sebagai prajurit yang utuh. Apalagi
dilengkapi dengan senjata di lambung.
Senapati dan kedua orang pengawalnya itu masih
sempat berpaling. Mereka melihat Akuwu Lemah Warah
masih berada di pintu gerbang padepokan.
Namun sejenak kemudian, maka kuda mereka pun telah
berpacu meninggalkan lingkungan y ang telah merampas
kebebasannya untuk beberapa saat lamanya.
Ketika mereka kemudian menyusup di bawah
pepohonan dan kemudian melintasi padang perdu dan apalagi
kemudian memasuki daerah persawahan, maka mereka benarbenar
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
merasa bebas sepenuhnya. Mereka t idak lagi
terkungkung di dalam barak yang pepat, dijaga oleh prajurit
Lemah Warah. Namun Senapati y ang memimpin kelompok kecil itu
tiba -tiba mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia menyadari,
bahwa meskipun ia telah bebas dari kungkungan dinding
barak dan pintu-pintu reg ol padepokan serta pengawasan
orang-orang Lemah Warah, namun ia telah terjerat oleh ikatan
yang lain. Kebesaran jiwa Akuwu Lemah Warah t ernyata telah
mengikatnya, sehingga ia tidak dapat berbuat lain kecuali
menjalankan perintahnya, meskipun seandainya ia mau, ia
dan kedua orang prajurit yang meny ertainya itu dapat berbuat
lain. Mereka dapat dengan leluasa melarikan diri. Mereka
dapat menempuh perjalanan ke arah lain dan tidak menuju ke
Sangling. Tetapi rasa-rasanya itu hanya akan membuatnya
hidup tidak tenteram karena ia akan selalu m erasa dikejarkejar
oleh prajurit Lemah Warah.
Tetapi jika ia bersama kedua pengawalnya menuju ke
Sangling dan benar-benar mendapat kebebasan seperti yang
dijanjikan oleh Akuwu Lemah Warah, maka hutangnya
seakan-akan telah terbayar.
Namun ada juga sepercik pertanyaan, apakah Akuwu
Lemah Warah benar-benar akan membebaskan mereka begitu
sa ja tanpa sy arat apa pun juga"
Tetapi Akuwu Lemah Warah tidak pantas dicurigai.
Karena itu, bagaimanapun juga mereka harus y akin, bahwa
Akuwu akan memenuhi janjinya.
Dalam pada itu, ketika berpacu semakin cepat. Rasarasany a mereka ingin segera memasuki Pakuwon Sangling
meskipun mereka sadar bahwa jaraknya masih terlalu jauh.
Sementara itu, Senapati y ang memimpin kelompok kecil itu
sama sekali tidak menyampaikan persoalan y ang bergejolak di
dalam hatinya kepada kedua prajurit y ang mengiringinya itu.
Demikianlah maka ketiga orang itu telah menelusuri
jalan y ang panjang. Sementara itu Akuwu Lemah Warah masih
tetap berhati-hati. Pasukan Lemah Warah dan para penghuni
padepokan Suriantal masih tetap bersiaga sepenuhnya.
Setelah tubuh Akuwu Sangling dibawa mungkin ada
perubahan sikap para pemimpin Sangling y ang masih ada.
Mungkin juga Senapati dan kedua orang pengawalnya
membawa pemikiran baru pula.
Setelah menempuh jalan panjang maka akhirnya ketiga
orang itu telah memasuki dinding kota. Ketika mereka
mendekati istana Pakuwon, maka jantung mereka memang
merasa berdebar-debar. Ketiganya terpaksa berhenti di beberapa pintu y ang
bersusun sebelum m ereka masuk ke dalam istana. Beberapa
orang prajurit Sangling yang pernah m engenalinya menjadi
heran karena menurut pendengaran mereka, Senapati itu telah
tertawan. Namun kini ia datang dengan senjata di lambung.
"Apa y ang telah terjadi?" bertanya para prajurit Sangling
yang telah mengenalnya itu.
"Aku akan memberikan laporan kepada Akuwu," jawab
Senapati itu, "karena itu, aku belum dapat memberikan
keterangan kepada kalian."
"Maksud kami tentang dirimu sendiri," berkata para
prajurit itu. Senapati itu tersenyum. Katanya, "Sebagaimana kalian
lihat. Aku selamat kembali ke Sangling sekarang ini."
Para prajurit yang bertanya kepadanya itu termangumangu.
Namun sebenarnya Senapati itu kembali dengan
selamat. Kedatangan Senapati itu memang mengejutkan. Ketika
kedatangannya dilaporkan kepada Senapati tertinggi yang
masih ada di Sangling Senapati itu pun terkejut.
"Siapa?" bertanya Senapati itu.
"Senapati dari pasukan ketiga," jawab prajurit y ang
menghadap. Senapati itu termangu-mangu. Menurut
pengetahuannya, Senapati dari pasukan ketiga itu telah
tertawan. Namun kini Senapati itu datang menghadap.
Karena itu, maka katanya, "Biarlah ia masuk."
Prajurit itu pun kemudian telah memberitahukan
kepada Senapati dari pasukan k etiga bahwa ia akan diterima
oleh Senapati tertinggi yang untuk sementara memegang
pimpinan di Sangling. Demikianlah, maka sejenak kemudian Senapati pasukan
ketiga itu telah menghadap Senapati tertinggi di Sangling
bersama dua orang prajurit pengawalnya.
"Silahkan," berkata Senapati tertinggi itu, "aku baru saja
datang dengan membawa tubuh Akuwu. Demikian cepat kau
menyusul. Apakah ada sesuatu yang salah."
Senapati dari pasukan ketiga itu menggeleng. Jawabnya,
"Tidak. Akuwu Lemah Warah juga memberitahukan
kepadaku, bahwa tubuh Akuwu baru saja dibawa kembali ke
Sangling. Sementara itu, aku t elah diperintahkan pula untuk
kembali ke Sangling dalam persoalan terpisah."
"Oo," Senapati y ang membawa tubuh Akuwu itu menarik
nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku menjadi berdebar-debar.
Sementara tubuh Akuwu masih berada di ruang tengah istana,
sedangkan segala persiapan untuk upacara sedang dilakukan."
Senapati dari pasukan ketiga itu m engangguk-angguk.
Lalu katanya, "Persoalan ini menyangkut semua tawanan."
Senapati tertinggi di Sangling itu mengerutkan
keningnya. Lalu ia pun bertanya, "Apakah ada soal yang
penting tentang para prajurit Sangling yang tertawan?"
Senapati dari pasukan ketiga itu pun kemudian
menjawab, "Sebaiknya aku langsung mengatakannya. Nanti
setelah semuanya jela s, aku akan sempat beristirahat."
"Baiklah. Katakan," desis Senapati tertinggi y ang untuk
sementara memimpin Pakuwon Sangling itu.
Senapati dari pasukan ketiga itu pun kemudian telah
menyampaikan keinginan Akuwu Lemah Warah untuk
menyerahkan para tawanan kembali kepada Sangling.
Berita itu ternyata memang sangat mengejutkan. Namun
kemudian hampir diluar sadarnya ia bertanya, "Apakah benar
demikian?" "Ya. Untuk membicarakan hal itulah maka aku telah
dibebaskan lebih dahulu bersama dua orang prajuritku," jawab
Senapati dari pasukan ketiga itu.
Senapati tertinggi itu mengangguk-angguk. Katanya
kemudian, "Memang masuk akal. Kita masing-masing akan
mendapat keuntungan. Kita akan mendapatkan kekuatan kita
kembali, sementara Akuwu Lemah Warah tidak dibebani oleh
kebutuhan dari para tawanan itu. Setidak-tidaknya Lemah
Warah tidak usah mengadakan beras y ang cukup banyak di
setiap harinya." "Nah, segala sesuatunya ter serah kepada Senapati.
Apakah para tawanan itu akan kita terima atau tidak," desis
Senapati dari pasukan ketiga.
"Tentu. Setidak-tidaknya aku pribadi sangat menghargai
sikap Akuwu itu," sahut Senapati y ang untuk sementara
mengambil alih pemerintahan di Sangling itu.
"Jika demikian, maka tidak ada persoalan lagi di antara
Sangling dan Lemah Warah. Besok aku akan kembali ke
padepokan Suriantal membawa keputusan para pemimpin
Sangling. Bukankah hari ini hal itu dapat dibicarakan" Aku
yakin bahwa pendapat Senapati itu akan merupakan pendapat
para pemimpin yang lain pula," berkata Senapati dari pasukan
ketiga itu. "Mudah-mudahan. Tetapi aku k ira m emang demikian,"
jawab Senapati itu. Lalu, "Nah, jika demikian silahkan kalian
beristirahat. Aku akan mengadakan pembicaraan malam ini.
Kami m engharap bahwa kalian akan dapat datang sebelum
wayah sirep bocah." "Baiklah. Jika demikian kami sempat mengunjungi
keluarga kami y ang tentu masih diliputi oleh kegelisahan,"
berkata Senapati itu. Demikianlah, maka Senapati dari pasukan ketiga itu
telah minta diri untuk m engunjungi keluarganya. Pada saat
sirep bocah ia harus sudah berada kembali di istana Pakuwon
Sangling untuk berbicara dengan para pemimpin Sangling
yang lain tentang usaha Akuwu Lemah Warah mengembalikan
para tawanan prajurit Sangling di padepokan Suriantal.
Ber sama Senapati dari pasukan ketiga itu, kedua prajurit
yang menyertainya pun telah mendapat kesempatan untuk
mengunjungi keluarga mereka pula.
Kedatangan m ereka di rumah masing-masing ternyata
sangat mengejutkan. Keluarga mereka menganggap bahwa
mereka seakan-akan telah hilang. Harapan untuk dapat
bertemu kembali sangat tipis.
Namun tiba-tiba saja mereka telah kembali di tengahtengah
keluarga mereka. Yang terdengar kemudian adalah tangis keharuan dari
keluarga para prajurit itu. Baru kemudian mereka
mendengarkan ceritera tentang para prajurit y ang tiba-tiba
telah berada di tengah-tengah keluarganya itu.
"Kita bersyukur kepada Yang Maha Agung dan berterima
kasih kepada Akuwu Lemah Warah," berkata Senapati dari
pasukan ketiga itu kepada keluarganya.
Demikianlah, ketika saatnya datang, maka Senapati dari
pasukan ketiga dan kedua orang prajurit y ang m engawalnya
itu pun telah berada di istana Akuwu.
Seperti yang direncanakan oleh Senapati tertinggi dari
Sangling yang masih ada dan untuk sementara mengambil alih
pemerintahan, m aka pada saat sirep bocah, para pemimpin
yang tersisa di Sangling itu pun telah mengadakan pertemuan.
Yang terpenting yang mereka bicarakan adalah pesan Akuwu
Lemah Warah untuk menyerahkan kembali para prajurit yang
tertawan di padepokan Suriantal.
"Apakah ada keberatannya jika mereka kita terima
kembali?" bertanya Senapati y ang tertinggi y ang masih ada itu.
Hampir semuanya telah menyahut bersama-sama,
"Tidak." Sementara ada juga di antara mereka yang berdiam diri.
Tetapi bukan berarti bahwa orang yang berdiam diri itu tidak
sependapat. Ternyata tidak seorang pun y ang telah menolak usul
Akuwu Lemah Warah untuk menyerahkan kembali para
tawanannya. "Jika kita sepakat, maka aku akan segera kembali ke
padepokan Suriantal itu," berkata Senapati dari pasukan
ketiga, "aku akan menyampaikan keputusan ini kepada Akuwu
Lemah Warah." Demikianlah maka pertemuan itu memang mengutus
Senapati dari pa sukan ketiga itu untuk kembali ke padepokan
Suriantal dan menyampaikan kepada Akuwu, bahwa keinginan
Akuwu itu sepantasny a diterima dengan ucapan terima kasih.
"Jika demikian pendapat kalian, m aka aku akan pergi
dan membawakan keputusan kalian itu kepada Akuwu," jawab
Senapati tertinggi dari pasukan ketiga itu.
Demikianlah, maka para pemimpin di Sangling itu telah
sependapat. Karena itu, maka mereka pun akan menerima
peny erahan itu, kapan dan di mana pun juga. Segala sesuatu
terserah kepada Akuwu Lemah Warah.
"Baik. Besok aku akan berangkat," berkata Senapati dari
pasukan ketiga itu. Ternyata pembicaraan itu tidak berlangsung lama.
Dengan demikian, maka setelah keputusan jatuh, maka
pertemuan itu-pun segera dibubarkan.
Para prajurit Sangling y ang mendapat kebebasannya itupun
telah diijinkan kembali ke rumah masing-masing. Tetapi
besok jika mereka akan berangkat ke Suriantal, maka m ereka
harus menemui para pemimpin Sangling lebih dahulu.
Malam itu, ketiga orang prajurit y ang untuk beberapa
lama menjadi tawanan di Suriantal itu benar-benar merasakan
kebebasannya. Semalam mereka sempat berada bersama
keluarga mereka. Namun di hari berikutnya mereka akan
kembali ke padepokan Suriantal.
Namun memang terbersit kecemasan di hati ketiga
orang prajurit itu. Jika yang dikatakan oleh Akuwu Lemah
Warah itu bukan y ang sebenarnya, mereka bertiga akan
mengalami kesulitan. Demikianlah di hari berikutnya mereka bertiga telah
meninggalkan Pakuwon Sangling kembali ke Padepokan
Suriantal. Perjalanan itu adalah perjalanan yang panjang,
sebagaimana mereka tempuh sebelumnya. Bahkan masih
dengan jantung y ang berdebar-debar. Namun mereka y akin
bahwa y ang mereka lakukan merupakan pengabdian bagi
sesamanya, khususny a bagi para prajurit Sangling.
Betapapun jauhnya jarak yang memisahkan Sangling
dan Padepokan Suriantal, namun akhirnya mereka sampai
juga di padepokan itu. Dengan jantung y ang telah berdebardebar
mereka memasuki pintu gerbang padepokan yang telah
dibuka bagi mereka. Kedatangan mereka dengan cepat telah diketahui oleh
Akuwu Lemah Warah dari laporan seorang prajurit. Karena
itulah, maka Akuwu pun telah memanggil ketiga orang prajurit
Sangling y ang baru saja datang itu.
Ber sama Mahisa Murti dan Mahisa Pukat, Akuwu Lemah
Warah m enerima Senapati dari pasukan ketiga bersama dua
orang pengawalnya. Mereka pun menyampaikan laporan
sebagaimana mereka ketahui dari para pemimpin Sangling
tentang kawan-kawan mereka y ang tertawan.
"Jadi tidak ada persoalan y ang dapat menghambat
peny erahan ini?" bertanya Akuwu Lemah Warah.
"Tentu saja tidak," jawab Senapati dari pasukan ketiga
itu. "Pada umumnya kami menyambut kebijak sanaan Akuwu
itu dengan gembira."
Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Katanya
kemudian, "Baiklah. Jika demikian kita tinggal membicarakan
pelaksanaan dari keputusan itu."
"Semuanya terserah kepada Akuwu," berkata Senapati
dari pasukan ketiga itu. Akuwu Lemah Warah mengangguk-angguk. Lalu
katanya, "Sekali lagi kau harus pergi ke Sangling. Aku
menghendaki orang-orang yang mendapat kepercayaan dari
pemimpin pemerintahan di Sangling dengan pertanda
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuasanya datang bersama beberapa orang prajurit untuk
menerima peny erahan itu. Sampai saat ini, biarlah kawankawanmu
tidak mengetahui rencana ini."
Akhirnya Senapati dari pasukan k etiga itu yakin bahwa
yang akan terjadi adalah sebenarnya demikian. Akuwu Lemah
Warah tidak akan berbuat licik dengan menjebak beberapa
orang prajurit Sangling y ang tersisa dengan cara itu.
Karena itu, maka setelah beristirahat semalam di
padepokan Suriantal, maka ketiga orang itu telah kembali lagi
ke Pakuwon Sangling, untuk menyampaikan perintah terakhir
dari Akuwu Lemah Warah tentang peny erahan kawan-kawan
mereka y ang tertawan di padepokan Suriantal.
Namun dalam pada itu, pada saat Senapati dari pasukan
ketiga serta kedua pengiringnya mondar-mandir dari
padepokan Suriantal ke Sangling dan sebaliknya, para
tawanan yang ada di dalam barak itu masih belum tahu bahwa
mereka akan segera mendapatkan kebebasan. Karena itu,
maka mereka masih saja m erasa diri m ereka berada dalam
kungkungan dinding barak itu tanpa batas waktu.
Karena itulah, maka seorang perwira muda y ang
memang sudah menunjukkan keinginan untuk melarikan diri
itu masih saja tetap dalam usahanya. Tetapi rasa-rasanya
kesempatan itu masih belum datang. Para prajurit Lemah
Warah menjaga dan mengamati mereka dengan ketatnya.
Setiap pintu barak selalu dijaga setiap saat dan di sekitar barak
itu hampir tidak pernah terputus selalu dikelilingi oleh para
prajurit Lemah Warah y ang bersenjata.
Karena itu, maka seandainya perwira muda itu dapat
memecahkan dinding, namun ia tidak akan dapat lari tanpa
dilihat oleh para prajurit Lemah Warah atau penghuni
padepokan itu y ang lain, yang selalu bersiaga sepenuhnya.
Bahkan jika seseorang dapat menembus pengawasan di sekitar
barak itu, maka sulitlah baginya untuk dapat keluar dari
padepokan. Tetapi perwira muda yang merasa tidak betah berada
dalam tahanan itu, seakan-akan tidak mau tahu, kesulitankesulitan
y ang bakal dihadapinya apabila ia memaksa diri
untuk melarikan diri. Beberapa orang telah berusaha untuk mencegahnya.
Tetapi perwira muda itu nampaknya sulit untuk dapat
dikendalikan, baginya hanya ada dua pilihan. Bebas atau mati.
Meskipun demikian, perwira itu memang tidak ingin
membunuh diri. Karena itu maka masih harus menunggu.
Sementara itu, Senapati dari pasukan ketiga sedang
menuju ke Sangling membawa perintah Akuwu Lemah Warah
agar sekelompok prajurit Sangling serta orang yang untuk
sementara memegang pimpinan di Sangling datang ke
padepokan itu untuk menerima sekelompok prajuritnya yang
tertawan. Kelompok yang besar.
Para pemimpin di Sangling memang sudah menduga.
Jika Akuwu Lemah Warah bersungguh-sungguh, maka ia
tentu minta sekelompok prajurit serta para pemimpin
Sangling untuk datang mengambil prajurit-prajuritnya yang
tertawan itu. Namun dalam pada itu, maka keberangkatan
sekelompok prajurit Sangling dan para pemimpinnya agak
tertahan karena mereka sedang menyelenggarakan tubuh
Akuwu Sangling y ang gugur di padepokan Suriantal.
Baru setelah segalanya selesai, maka Senapati y ang
untuk sementara memegang kepemimpinan di Sangling telah
menyiapkan sekelompok kecil prajurit y ang akan pergi ke
padepokan Suriantal menjemput kawan-kawan mereka yang
tertawan. Dengan sedikit upacara kecil pasukan itu telah dilepas
oleh para pemimpin Sangling yang tidak ikut menjemput para
prajurit y ang telah tertawan itu.
Beberapa saat kemudian, maka pasukan itu telah
berderap membelah jalan-jalan bulak yang panjang dan
memasuki padukuhan-padukuhan. Beberapa orang terkejut
menyaksikan pasukan y ang lewat itu. Rasa-rasanya pasukan
itu akan berangkat berperang. Namun jumlahnya ternyata
tidak begitu banyak. "Ke mana mereka?" bertanya beberapa orang y ang
menyaksikan pasukan itu lewat.
Namun yang lain hanya dapat menggelengkan kepalanya
sa ja. Karena m emang tidak banyak y ang tahu, apa yang akan
dilakukan oleh pasukan berkuda itu.
Dalam jumlah yang lebih banyak, maka pasukan itu
tidak dapat berpacu secepat perjalanan Senapati dari pasukan
ketiga y ang hanya bertiga. Dalam pasukan y ang jumlahnya
lebih banyak itu ternyata terdapat beberapa hambatan. Jika
seekor kuda saja diantara seluruh pasukan itu m enjadi agak
lamban, maka seluruh pa sukan pun menjadi lamban pula.
Senapati dari pasukan ketiga berada di ujung pasukan
bersama Senapati tertinggi y ang m asih ada dan yang untuk
sementara telah memimpin Sangling.
Perjalanan mereka memang terhambat oleh datangnya
malam. Meskipun mereka hanya beristirahat sedikit sekali,
tetapi iring-iringan itu tidak dapat mencapai padepokan
Suriantal sebelum gelap. Menurut pertimbangan Senapati dari pasukan ketiga,
mereka tidak perlu berhenti dan bermalam di jalan. Mereka
hanya memerlukan istirahat beberapa saat, terutama untuk
kuda-kuda mereka. Karena itu, maka meskipun malam menjadi gelap, tetapi
iring-iringan itu tetap berjalan terus.
Tetapi ketika mereka mendekati padepokan, maka
mereka pun berhenti tidak terlalu dekat dengan pintu gerbang
agar tidak m enimbulkan salah paham. Senapati dari pasukan
ketiga dan dua orang pengiringnya sajalah y ang mendekati
pintu gerbang. Namun mereka terkejut ketika mereka mendapat
sambutan yang agak lain dari para prajurit Lemah Warah yang
berada di pintu gerbang. Demikian m ereka mendekat, maka
seorang pemimpin kelompok yang bertugas di regol telah
meneriakkan aba-aba, "Berhenti di situ."
Senapati itu pun menarik kendali kudanya dan berhenti
beberapa langkah dari reg ol. Dengan nada tinggi ia berkata,
"Kami datang bersama pasukan y ang dikehendaki oleh
Akuwu." "Jangan mendekat," perintah petugas di reg ol itu,
"tunggu sampai Akuwu datang."
Senapati itu menjadi heran. Apakah memang ada
perubahan sikap Akuwu atau seperti y ang dicemaskannya,
semua ini sekedar jebakan untuk memusnahkan seluruh
kekuatan Sangling sehingga tidak tersisa sama sekali"
Senapati itu memang ragu-ragu. Tetapi ia mematuhi
perintah untuk m enunggu sampai Akuwu datang. Ia m emang
ingin mendengar apa y ang dikatakan oleh Akuwu Lemah
Warah itu. Untuk beberapa saat lamanya Senapati dari pasukan ketiga
itu menunggu. Baru kemudian Akuwu Lemah Warah diiri ngi oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat naik ke atas
panggungan di sebelah regol.
Sejenak Akuwu itu memandang Senapati dari pasukan
ketiga itu. Baru kemudian ia berkata, "Ma suklah. Di mana kawankawanmu?" "Kawan-kawan kami menunggu beberapa puluh tonggak
dari pintu gerbang ini. Hamba cemas bahwa akan terjadi salah
paham jika kawan-kawan hamba sekaligus datang bersama
hamba," jawab Senapati itu.
"Bawalah mereka masuk," perintah Akuwu sekali lagi.
Senapati itu memang digelitik oleh kecurigaan tentang
sikap Akuwu. Tetapi ia sudah berada di pintu gerbang
padepokan itu. Karena itu maka ia tidak akan melangkah
surut. Jika Akuwu kemudian ternyata mengingkari janji, maka
ia tidak akan membiarkan pedangnya tergantung di lambung.
Ia akan m eneriakkan aba-aba untuk bertempur sampai orang
terakhir. Bagaimanapun juga, mereka harus mempertahankan
martabat prajurit Sangling.
Demikianlah maka Senapati dari pasukan ketiga itu telah
memerintahkan kedua orang pengiringnya untuk memanggil
seluruh pa sukan kecil yang datang bersamanya, agar m ereka
masuk ke dalam padepokan.
Sejenak kemudian, maka pintu gerbang itu pun telah
terbuka. Sebuah iring-iringan kecil m emasuki pintu gerbang
itu tanpa kecurigaan apapun. Namun Senapati dari pasukan
ketiga yang berada di paling depan itu pun telah bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan.
Sebenarnyalah, ketika mereka memasuki padepokan.
Senapati itu melihat pasukan Lemah Warah dalam kesiagaan
penuh. Bahkan di beberapa tempat ia m elihat prajurit yang
membawa senjata telanjang.
"Persetan," Senapati dari pasukan ketiga itu berdesis
perlahan, "apakah Akuwu benar-benar akan menjebak kami
untuk menghancurkan sama sekali sisa pasukan Sangling?"
Tidak ada yang mendengar kata-katanya. Tetapi
Senapati itu benar-benar telah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. Namun sejenak kemudian, Akuwu Lemah Warah diiringi
oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah turun dari
panggungan dan meny ongsongnya. Dengan wajah y ang sedikit
buram Akuwu itu berkata, "Satu gejolak kecil telah terjadi,
justru pada saat kalian datang."
"Apa yang telah terjadi?" bertanya Senapati dari pasukan
ketiga itu. "Marilah. Kami akan menerima pimpinan pasukan ini,"
berkata Akuwu Lemah Warah kemudian.
Senapati dari pasukan ketiga itu masih tetap ragu-ragu.
Namun demikian, bersama dengan Senapati tertinggi dari
Sangling yang untuk sementara memegang pemerintahan
bersama tiga orang pengawalnya telah diterima di pendapa
barak induk padepokan Suriantal.
Baru kemudian para Senapati dari Sangling itu
mengetahui apa yang telah terjadi.
"Enam orang prajurit Sangling berusaha melarikan diri,"
berkata Akuwu Lemah Warah, "mereka mengoy ak dinding,
kemudian meny ergap tiga orang per onda. Dua orang langsung
jatuh tak sadarkan diri. Untunglah y ang seorang sempat
berteriak. Dengan cepat mereka dikepung. Namun mereka
berenam ternyata tidak meny erah. Karena itu, m aka mereka
berenam harus ditangkap dengan kekerasan, sementara
pasukan Lemah Warah dan penghuni padepokan ini telah
berjaga-jaga dan mengawasi tawanan yang lain. Dalam
keadaan tertentu, maka para tawanan itu dapat menjadi
bagaikan minyak y ang setiap saat dapat menyala."
Senapati tertinggi dari Sangling itu menarik nafas
dalam-dalam. Ju stru pada saat mereka siap untuk menerima
peny erahan, beberapa orang tawanan telah berusaha
melarikan diri. "Bagaimana dengan keenam orang itu?" bertanya
Senapati Sangling y ang memimpin pemerintahan itu.
Akuwu Lemah Warah termangu-mangu sejenak. Dengan
nada rendah ia berkata, "Dua orang telah terbunuh."
"Oo," Senapati itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun k emudian bertanya pula, "Bagaimana dengan dua orang
prajurit Lemah Warah y ang telah disergap itu?"
"Mereka dalam keadaan parah. Tetapi mereka masih tetap
hidup," jawab Akuwu.
Senapati tertinggi dari Sangling itu termangu-mangu.
Namun kemudian ia pun bertanya, "Dengan peri stiwa itu,
apakah ada perubahan dari rencana Akuwu?"
Akuwu termenung sejenak. Namun kemudian jawabnya
sambil menggeleng, "Tidak. Tidak ada perubahan apa -apa.
Aku tetap pada rencanaku. Aku akan menyerahkan semua tawanan
selain Ki Buyut Bapang."
Senapati itu menarik nafas dalam-dalam sambil berkata,
"Terima kasih Akuwu. Kami datang untuk memenuhi perintah
Akuwu, menerima para tawanan itu. Namun apakah kami
boleh bertanya, kenapa Ki Buyut Bapang tidak termasuk di
antara mereka y ang akan diserahkan?"
"Mungkin kalian belum mengenal Ki Buyut Bapang
sampai ke pusat jantungnya. Ki Buyut Bapang semula adalah
penghuni Pakuwon Lemah Warah y ang banyak berbuat
kesalahan. Kemudian ia hilang dan tidak pernah kita temukan
lagi. Baru kemudian ia datang sendiri ke padepokan ini.
Namun sebagai seorang Buyut di Bapang. Tetapi meskipun ia
sudah disebut Ki Buyut di Bapang, tetapi wataknya masih
tetap sebagaimana aku kenal di Lemah Warah."
Senapati tertinggi di Sangling serta beberapa perwira
yang lain itu m engangguk-angguk, m eskipun mereka kurang
yakin akan kebenaran keterangan Akuwu Lemah Warah itu.
Meskipun demikian mereka tidak akan dapat m emaksa
Akuwu Lemah Warah untuk meny erahkan yang seorang itu.
Untuk beberapa saat lamanya mereka masih berbincang.
Mereka menentukan waktu y ang terbaik untuk menerima
kembali para tawanan itu.
"Kalian dapat bermalam semalam lagi di sini. Meskipun
tidak ada lagi tempat y ang m emadai, tetapi pendapa ini dan
barangkali juga serambi samping dapat dipergunakan untuk
semalam," berkata Akuwu, "dengan demikian semua
pembicaraan akan dapat dilakukan dengan tidak tergesa -gesa
bersama para tawanan sendiri."
Senapati tertinggi dari Sangling itu telah menerima
tawaran itu tanpa perasaan curiga. Karena itu, maka Akuwu
pun telah memerintahkan untuk membersihkan serambi
samping sebelah meny ebelah dan membentangkan tikar
pandan. Demikianlah maka para prajurit Sangling itu sempat
beristirahat. Mereka sempat mandi makan pun telah
disediakan bagi mereka. Di hari berikutnya mereka akan dapat
mengatur para tawanan dan m erencanakan jalan kembali ke
Sangling. Setelah kesempatan bermalam semalaman lagi di
padepokan itu, maka mereka di hari berikutnya akan kembali
ke Sangling bersama para tawanan.
Seperti y ang direncanakan, ketika matahari terbit di hari
berikutnya, maka Akuwu telah memerintahkan semua
pemimpin kelompok dari pasukan Sangling y ang ada di dalam
barak para tawanan untuk berkumpul.
Mereka m engira bahwa perintah itu dikeluarkan setelah
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beberapa orang kawan mereka mencoba untuk melarikan diri.
Tetapi para pemimpin kelompok itu terkejut ketika
mereka kemudian ternyata melihat sepasukan kecil prajurit
Sangling berada di halaman padepokan itu. Prajurit Sangling
dalam kelengkapan yang utuh serta senjata di lam bung.
Mereka sama sekali bukan tawanan. Bahkan m ereka melihat
Senapati dari pasukan ketiga serta dua orang prajurit yang
lebih dahulu meninggalkan barak itu berada bersama mereka.
"Jangan terkejut," berkata Akuwu Lemah Warah, "ada
sesuatu yang penting y ang perlu kalian dengar."
Para pemimpin kelompok itu t ermangu-mangu. Namun
kemudian Akuwu Lemah Warah pun telah menjelaskan
maksudnya untuk meny erahkan m ereka kembali kepada para
pemimpin Sangling y ang masih ada.
Ketika mereka mendengar Akuwu mengucapkannya
pertama kali, mereka seakan-akan t idak mempercayai
pendengaran mereka sendiri. Namun ketika Akuwu Lemah
Warah m engulanginya, m aka mereka serentak di luar sadar
telah bersorak penuh kegembiraan.
Sorak itu memang mengejutkan kawan-kawan m ereka
yang ada di dalam barak. Ada beberapa macam dugaan karena
mereka tidak tahu apa y ang terjadi. Bahkan ada di antara
mereka y ang menyangka bahwa orang-orang Lemah Warah
lah y ang bersorak-sorak itu menyaksikan hukuman yang
mengerikan y ang dijatuhkan kepada para pemimpin kelompok
setelah peristiwa beberapa orang di antara mereka melarikan
diri. Namun dalam pada itu, para pemimpin kelompok itu
benar-benar t erlempar ke dalam kegembiraan y ang m eledak.
Satu hal y ang sama sekali tidak mereka duga. Dengan
demikian maka mereka akan dapat kembali k e Sangling dan
berkumpul kembali dengan keluarga mereka yang tentu telah
menunggu-nunggu dan bahkan mungkin menjadi putus a sa
karenanya. Sementara itu Akuwu pun telah memerintahkan kepada
Senapati tertinggi dari Sangling untuk memberikan petunjuk
kepada mereka, bagaimana mereka akan diterima kembali
oleh pasukan Sangling y ang telah berada di padepokan itu.
Demikianlah maka para pemimpin kelompok itu pun
kemudian telah diperintahkan kembali ke kelompok m asingmasing.
Mereka harus memimpin kelompoknya agar
segalanya dapat berjalan dengan tertib.
"Kalian mempunyai waktu hari ini dan malam nanti,"
berkata Akuwu, "besok kalian akan berangkat pagi-pagi."
Ketika para pemimpin kelompok itu kembali m emasuki
barak, m aka barak itu bagaikan meledak. Kegembiraan para
prajurit Sangling itu rasa -rasanya tidak dapat tertahankan lagi.
Namun mereka tidak lagi ingin memecahkan dinding barak itu
sebagaimana pernah dilakukan oleh beberapa orang kawan
mereka, sehingga ada diantara mereka y ang gugur karenanya.
Hari itu seisi barak telah membenahi diri. Mereka
memang menjadi bersedih jika mereka mengingat pakaian
mereka y ang tidak lengkap lagi. Namun apa artinya pakaian
mereka, jika mereka mendapat kesempatan untuk kembali ke
sanak kadang mereka. Menj elang sore hari, maka Akuwu telah memberikan
kesempatan kepada semua tawanan untuk hadir di halaman.
Mereka akan mendengar langsung keterangan dari Senapati
tertinggi y ang untuk sementara telah m emerintah Sangling.
Apa y ang harus mereka lakukan.
"Kita akan bersama-sama mengucapkan t erima kasih
kepada Akuwu Lemah Warah," berkata Senapati tertinggi itu.
Malam yang kemudian datang, rasa -rasanya terlalu
lamban beredar. Para prajurit Sangling y ang t ertawan itu,
seakan-akan tidak sabar lagi menunggu pagi. Hampir semua
orang dalam barak itu tidak sempat tidur. Mereka dengan
jantung y ang berdebar-debar menunggu saat pembebasan
mereka. Jika ada yang tertidur rasa-rasanya hanya sekejapkejap
terlena saja. Pagi-pagi benar semuanya sudah bersiap. Pintu barak
telah terbuka sepenuhnya. Tidak ada lagi prajurit Lemah
Warah y ang berjaga-jaga di depan pintu. Para prajurit
Sangling itu dapat bebas pergi ke pakiwan untuk
membersihkan diri. Namun mereka pun melihat prajurit Lemah Warah
berdiri berjajar rapat di sekitar padepokan itu dengan senjata
siap di tangan. Sedangkan di sebelah m enyebelah regol yang
masih tertutup, para penghuni padepokan Suriantal itu pun
berbaris tertib dengan senjata y ang telah disiapkan pula.
Senapati dari pasukan ketiga menjadi ngeri juga melihat
kesiagaan pasukan Lemah Warah. Jika mereka serentak
bergerak, maka tumpaslah prajurit Sangling seluruhnya.
Tetapi Senapati dari pasukan ketiga itu mengerti juga
bahwa Lemah Warah memang harus bersiaga sepenuhnya
menghadapi segala kemungkinan karena jumlah tawanan yang
cukup banyak. Sementara itu Akuwu Lemah Warah telah m emberikan
pesan pendek kepada prajurit Sangling yang akan
meninggalkan padepokan itu. Mereka setelah keluar dari pintu
gerbang padepokan itu akan menjadi orang-orang y ang bebas
sebagaimana mereka datang. Tetapi Akuwu Lemah Warah
minta agar mereka menghentikan permusuhan. Bukan saja
dalam sikap dan tingkah laku, tetapi juga rasa dan pikir.
Setelah Akuwu Lemah Warah, maka Senapati itu pun
telah berbicara pula. Selain beberapa pesan bagi para prajurit
yang dibebaskan itu, maka ia pun telah m engucapkan terima
kasih kepada Akuwu Lemah Warah.
Demikianlah, maka sejenak kemudian maka Akuwu
Lemah Warah memberikan isyarat, bahwa mereka dapat
meninggalkan padepokan itu. Sedangkan isy arat itu juga
merupakan perintah kepada para penjaga gerbang untuk
membukakan pintu bagi mereka y ang akan meninggalkan
padepokan itu. Sejenak kemudian, maka sebuah iring-iringan telah
keluar dari pintu gerbang itu. Iring -iringan y ang cukup
panjang dari para prajurit Sangling. Namun mereka tidak lagi
bersenjata selain prajurit Sangling yang menjemput mereka.
Ketika pasukan itu melintas di pintu gerbang, maka
Senapati tertinggi dari Sangling itu serta Senapati dari
pasukan ketiga berdiri di sebelah m eny ebelah pintu gerbang
menunggu sampai orang terakhir keluar dari padepokan.
Demikian ujung dari pa sukan itu m elintasi pintu, maka
pintu itu pun perlahan-lahan telah tertutup kembali.
Kedua orang Senapati itu termangu-mangu. Namun
tiba -tiba mereka mendengar seseorang berkata dari atas
panggungan, "Selamat jalan."
Kedua orang Senapati itu mengangkat kepalanya.
Mereka melihat Akuwu Lemah Warah didampingi oleh Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat serta beberapa orang Senapati dari
Lemah Warah berdiri tegak memandangi mereka berdua.
Namun keduanya masih dapat melihat senyum di bibir
Akuwu. "Hamba m ohon diri Akuwu," teriak Senapati tertinggi
dari Sangling itu. Akuwu menganggukkan kepalanya sambil berkata,
"Hati-hatilah. Perjalanan kalian cukup panjang."
"Kami akan berhati-hati Akuwu," jawab Senapati itu.
Akuwu Lemah Warah hanya mengangguk-angguk saja.
Sementara itu kedua Senapati itu pun telah menyusul
pasukannya yang telah berjalan beberapa puluh langkah
menjauh. Akuwu Lemah Warah dan beberapa orang y ang lain
masih berdiri diatas panggungan. Mereka melihat iringiringan
itu berjalan menjauh. Di antara mereka yang berjalan
dalam barisan, beberapa ekor kuda berderap perlahan-lahan
di ujung-ujungnya. Meskipun iring-iringan itu adalah bekas
tawanan, namun mereka adalah prajurit sehingga
bagaimanapun juga sikap keprajuritan itu masih tetap nampak
pada mereka. Namun, melihat ujud dan pakaian mereka, maka
mereka memang bukan sepasukan prajurit. Apalagi sebagian
besar mereka tidak bersenjata.
Tetapi kegembiraan nampak terbersit di setiap wajah.
Mereka yang mengira bahwa mereka tidak akan sempat lagi
keluar dari padepokan itu, ternyata dugaan itu keliru.
"Kasihan perwira muda itu," desis seorang diantara
mereka y ang berbaris meninggalkan padepokan itu.
" Ia terlalu tergesa -gesa," jawab kawannya, "justru pada
saat Senapati sedang membicarakan pembebasan.
"Tetapi kenapa kami tidak mendapat penjelasan
sebelumnya" Jika hal ini diberitahukan kepada kita
sebelumnya, maka perwira muda itu tidak akan berusaha
melarikan diri dan bahkan terbunuh," berkata orang yang
pertama. "Tentu mereka menunggu semuanya menjadi jelas,"
sahut kawannya, "jika para Senapati terlanjur
memberitahukan kepada kita, sementara itu persoalannya
ternyata tidak terpecahkan, maka tentu akan menimbulkan
persoalan tersendiri."
Kawannya y ang lain y ang m endengar pembicaraan itu
pun mengangguk-angguk pula.
Demikianlah maka iring-iringan itu berjalan semakin
jauh. Namun ketika mereka mulai melintasi padukuhan, para
bekas tawanan itu mulai m elihat kepada diri m ereka sendiri.
Mereka tidak mengenakan kelengkapan seorang prajurit yang
utuh. Pakaian mereka tidak lagi lengkap dan bahkan ada yang
tidak utuh. Ternyata hal itu menjadi perhatian pula bagi para
Senapati. Karena itu maka mereka pun telah berbicara dengan
beberapa orang pemimpin kelompok.
"Kita harus menghindari padukuhan," jawab seorang
perwira y ang memimpin sebuah kelompok, "aku sendiri
merasa seakan-akan kita adalah tontonan y ang lewat di
padukuhan-padukuhan. Meskipun tidak terucapkan, tetapi
mereka tentu merasa heran melihat barisan ini dengan
pakaian y ang aneh-aneh. Sementara sepasukan kecil prajurit
dalam kelengkapan yang utuh serta senjata di lam bung
mengawal kita. Orang-orang y ang tidak m engenal kita akan
tetap menganggap kita tawanan y ang sedang digiring oleh
sekelompok prajurit Sangling."
Namun seorang perwira y ang lain menyahut, "Kita tidak
hiraukan anggapan itu. Setelah kita sampai di Sangling, maka
segalanya akan berubah."
Untuk sementara para prajurit itu memang tidak
mempersoalkan keadaan mereka. Bahkan sebagian besar dari
mereka menganggap bahwa mereka berada di daerah yang
tidak dikenal dan tidak mengenal mereka. Karena itu,
bagaimanapun juga keadaan mereka, maka besok atau pada
kesempatan lain jika mereka bertemu dengan orang-orang
yang berdiri di sepanjang jalan itu, maka orang-orang itu tidak
akan mengenalinya sama sekali.
Dengan demikian maka iring-iringan itu berjalan saja
terus tanpa menghiraukan orang-orang di sepanjang jalan.
Apalagi ketika malam mulai turun.
Untuk beberapa lama pasukan itu berjalan terus dalam
kegelapan. Tetapi akhirnya mereka menjadi letih juga. Dengan
demikian maka Senapati yang memimpin seluruh pasukan itupun
telah memerintahkan iring-iringan itu untuk beri stirahat.
Namun sebagaimana sepasukan prajurit y ang
beristirahat, maka mereka telah mengatur penjagaan.
Bergantian pada setiap kelompok, maka seorang di antara
mereka harus tetap berjaga-jaga. Di samping itu, maka para
prajurit yang berpakaian dan bersenjata di lambung, telah
mengatur saat-saat bertugas tersendiri.
Ternyata bahwa malam itu telah m ereka lalui dengan
tenang. Tidak ada gangguan sama sekali yang dapat
menimbulkan per soalan. Menj elang fajar, maka m ereka telah membersihkan diri
di sebuah sungai kecil y ang mengalir di sela-sela hutan perdu
yang telah mereka pilih menjadi tempat untuk bermalam.
Sebelum matahari mulai memanjat langit, maka iring-iringan
itu sudah mempersiapkan diri.
Tetapi mereka sempat menunggu sekelompok petugas
yang mempersiapkan makan bagi mereka. Akuwu Lemah
Warah telah memberikan bekal untuk itu, karena menurut
perhitungan maka mereka memang akan berhenti dan
bermalam di perjalanan. Setelah makan betapapun sederhananya, namun terasa
tubuh mereka menjadi segar kembali. Karena itu, maka
mereka-pun telah melanjutkan perjalanan menuju ke
Pakuwon Sangling. Namun semakin dekat dengan Pakuwon Sangling, maka
setiap orang merasa diri mereka tidak berpakaian dengan baik
dan lengkap. Mereka tidak lagi dalam keadaan y ang pantas,
apalagi bagi seorang prajurit. Meskipun sebagian besar dari
mereka masih tetap berdiam diri, namun sekali-sekali mereka
telah memperhatikan diri mereka masing-masing.
Tetapi ketika mereka menjadi semakin dekat dengan
Pakuwon Sangling, maka seorang perwira yang memimpin
sebuah kelompok mulai bertanya kepada seorang prajurit,
"He, bagaimana dengan ujud pakaianku" Apakah aku m asih
pantas disebut seorang prajurit?"
Prajurit itu termangu-mangu. Pakaian perwira itu masih
jauh lebih baik dari pakaiannya. Ketika ia bertempur di
padepokan Suriantal, pedang lawannya telah melukainya.
Namun dengan demikian pakaiannya telah terkoyak pula.
Ketika luka itu sudah sembuh, maka luka pada pakaiannya
justru menjadi semakin lebar, sementara itu para prajurit
Lemah Warah tidak dapat memberikan pakaian apapun
kepada mereka. "Jika kita memasuki Pakuwon dengan pakaian seperti
ini, bagaimana tanggapan orang -orang Sangling?" berkata
pemimpin kelompok itu. Seorang prajurit muda y ang pakaiannya juga sudah
koy ak di beberapa tempat berbisik kepada kawannya,
"Bagaimana jika bakal isteriku melihat aku seperti ini berjalan
di sepanjang jalan?"
Ternyata tidak hanya seorang dua orang yang merasa
segan memasuki Pakuwon dengan keadaan mereka. Memang
beberapa orang prajurit yang tidak terhitung muda lagi tidak
begitu menghiraukan keadaan mereka. Tetapi sebagian besar
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dari pasukan itu, rasa-rasanya tidak sampai hati
melakukannya. Semula para prajurit y ang mengawal mereka tidak
begitu menghiraukan keadaan itu. Namun lambat laun
seorang pemimpin kelompok menggamit seorang prajurit yang
mengawal mereka sambil berkata, "He, kita bertukar
pakaian?" "Kenapa?" bertanya prajurit itu.
"Pakaianku kotor dan koy ak," jawab pemimpin
kelompok itu. "Jadi maksudmu, biar aku yang memakai pakaian kotor
dan koy ak?" bertanya prajurit y ang mengawal itu.
"Ya. Aku sudah bertempur dengan keras dan kemudian
menjadi tawanan. Sementara itu kau datang menjemput kami
dengan pakaian dan kelengkapan seorang prajurit, sementara
pakaian kami, tidak lebih baik dari budak-budak y ang hina,"
berkata pemimpin kelompok itu.
Tetapi prajurit itu menjawab, "Bukankah kau juga
seorang prajurit, bahkan seorang pemimpin kelompok
sehingga kau pun tahu, bahwa apa y ang melekat pada seorang
prajurit adalah bagian dari dirinya" Karena itu, bagian dari
seorang prajurit tidak akan dapat diserahkan kepada orang
lain." Pemimpin kelompok itu m engangguk-angguk. Katanya,
"Ya. Kau benar. Tetapi bagaimana dengan kami" Jika dalam
keadaan ini kami memasuki Pakuwon, apakah kami tidak akan
menjadi tontonan anak-anak kecil dan barangkali mereka
akan melempari dengan batu?"
Prajurit itu mengerutkan keningnya. Tetapi katanya,
"Sampaikan persoalanmu kepada Senapati."
Pemimpin kelompok itu t erdiam. Untuk beberapa lama
ia tidak mengatakan apa -apa. Tetapi kawannya berdesis,
"Tentu orang yang melihat kami, m ereka menganggap bahwa
kami adalah tawanan. Atau barangkali, kami dianggap tidak
berharga karena kami tidak dapat menundukkan padepokan
Suriantal." "Aku akan melaporkan kepada Senapati dari pasukan
ketiga. Ia agak lebih dekat dengan kami daripada Senapati
yang kini memimpin Sangling itu."
Sebenarnyalah bahwa pemimpin kelompok itu pun telah
berusaha menemui Senapati dari pasukan ketiga. Meskipun ia
harus menyusup melewati beberapa kelompok namun
akhirnya ia sempat juga bertemu dengan Senapati pasukan
Ketiga itu. "Ada apa?" bertanya Senapati itu.
Pemimpin kelompok itu pun kemudian m enceriterakan
tentang keadaan pasukan itu. Para prajurit yang merasa
dirinya telah m elakukan tugas dengan sepenuh kemampuan,
namun kini mereka harus memasuki Pakuwonnya dengan
keadaan yang sangat buruk.
"Apakah kami akan menjadi tontonan rakyat Sangling?"
bertanya pemimpin kelompok itu.
Senapati dari pasukan ketiga y ang pernah ikut serta
menjadi tawanan pula dapat mengerti perasaan para prajurit
Sangling itu. Bahkan ia meny esal bahwa persoalan yang dapat
dianggap kecil itu tidak terpikirkan sebelumnya, sehingga
pada saat pasukan Sangling menjemput para prajurit itu,
mereka tidak membawa perlengkapan termasuk pakaian para
prajurit itu. Karena itu, maka Senapati itu berkata, "Baiklah. Aku
akan membicarakannya. Tetapi sudah tentu bahwa kita tidak
akan kembali ke padepokan itu."
Ketika kedua Senapati itu kemudian m embicarakannya,
maka akhirnya mereka mencapai satu kesepakatan, bahwa
mereka tidak akan memasuki Pakuwon Sangling di siang hari.
Karena itu, maka meskipun baru lewat tengah hari,
namun ketika pasukan itu menjadi semakin dekat dengan
batas Pakuwon Sangling, maka Senapati yang memimpin
seluruh pasukan itu pun kemudian m emerintahkan pasukan
itu berhenti di tepi sebuah hutan perdu y ang tidak t erlalu
besar. Senapati itu pun kemudian telah memanggil semua
pemimpin kelompok yang ada di pasukan itu. Dengan singkat,
Senapati itu pun kemudian memberikan beberapa penjelasan,
kenapa m ereka harus berhenti, meskipun m asih ada waktu
seandainya mereka akan meneruskan perjalanan.
"Kita akan memasuki Pakuwon di malam hari agar tidak
banyak orang, setidak-tidaknya dapat dibatasi, yang akan
melihat keadaan kita," berkata Senapati tertinggi itu.
Ternyata keterangan Senapati itu disambut baik oleh
prajurit Sangling y ang dalam keadaan yang kurang mapan itu.
Mereka menganggap bahwa langkah yang diambil oleh
Senapati itu cukup baik bagi para prajurit, agar mereka tidak
menjadi tontonan y ang pahit bagi rakyat Sangling sendiri.
Karena itu, maka pasukan itu pun segera mencari tempat
yang paling baik untuk beristirahat. Mereka akan berada di
tempat itu sampai senja. Ju stru setelah senja mereka baru
akan melanjutkan perjalanan. Mereka telah mengenal jalan
yang akan mereka lalui dengan baik, karena beberapa ratus
tonggak lagi, mereka akan memasuki batas Pakuwon Sangling.
Di Padang perdu itu, para prajurit Sangling tidak sempat
menyediakan makan bagi mereka sendiri. Selain mereka sudah
tidak m empunyai bekal lagi, mereka pun tidak mau menarik
perhatian dengan asap y ang mengepul. Karena itu, mereka
memang harus menahan diri untuk tidak merasakan lapar,
karena mereka baru makan sekali di saat mereka
meninggalkan tempat mereka bermalam semalam.
Tetapi para prajurit itu memang sudah terlatih untuk
menahan haus dan lapar. Jika mereka terlibat dalam
pertempuran sehari penuh maka mereka tidak boleh
menyerah karena lapar dan haus.
Namun seorang prajurit y ang berbaring di bawah
sebatang pohon perdu berdesis, "Ada bedanya. Dalam
pertempuran kita tidak sempat merasakan lapar dan haus.
Tetapi justru karena kita hanya terbaring sambil merenung
seperti ini, maka rasa-rasanya perutku tidak dapat lagi
menahan pedih." "Jika demikian, coba saja membuat perkara dengan
seseorang. Lalu kalian berkelahi. Maka perasaan laparmu akan
hilang," desis kawannya.
"Jangan begitu," geram prajurit y ang lapar itu, "kau
menghina aku. Kau kira aku senang membuat perkara."
"Sudahlah," desis kawannya.
"Apa"," sahut prajurit y ang lapar itu, "cukup begitu"
Sudahlah. Dan kau dapat menghinaku sesukamu."
"Lalu bagaimana?" bertanya kawannya.
"Minta maaf kepadaku. Aku akan mencoba
melupakannya," berkata prajurit yang lapar itu.
"Jangan aneh-aneh," sahut kawannya, "tidur sajalah."
"Kau belum minta maaf," geram prajurit itu.
"Aku tidak akan minta maaf," jawab kawannya.
"Kalau begitu, maka kita selesaikan dengan cara lain,"
prajurit y ang lapar itu bangkit berdiri.
Kawannya mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba
sa ja ia pun tertawa. Katanya, "Oo, jadi kau sedang membuat
perkara itu ya" Sekedar untuk melupakan laparmu?"
"Anak setan," prajurit yang lapar itu mengumpat. Tetapi
ia pun kemudian melangkah m enjauhi kawannya yang masih
sa ja tertawa itu sambil bergeremang, "Orang gila."
Tetapi suara tertawa kawannya itu masih didengarnya.
Demikianlah maka para prajurit itu telah mengisi
waktunya dengan berbagai cara. Ada y ang berusaha untuk
tidur di bawah bay angan pohon perdu, sementara langit
bagaikan dibakar oleh t erik matahari, sedangkan y ang lain
mengisi waktunya dengan bermain macanan atau berkelakar
atau kegiatan-kegiatan kecil y ang lain.
Betapapun lam batnya, namun matahari pun semakin
jauh bergeser ke Barat. Perlahan -lahan matahari itu turun dan
semakin mendekati punggung bukit.
Para prajurit Sangling itu mulai ber siap-siap. Meskipun
belum ada perintah, namun rasa-rasanya mereka memang
sudah sangat lama menunggu.
Ketika k emudian gelap mulai turun, maka pasukan itupun
telah bersiap untuk melanjutkan perjalanannya memasuki
daerah Pakuwon Sangling. Memang tidak banyak orang yang mengetahui ketika
pasukan itu memasuki pintu gerbang Pakuwon Sangling.
Ju stru pada saat malam sudah menjadi semakin dalam.
Pa sukan itu sendiri berusaha agar tidak menimbulkan suara
yang dapat menarik perhatian, sehingga membangunkan
orang-orang Sangling y ang sudah tertidur.
Meskipun demikian, seandainya orang-orang itu
terbangun, mereka tidak akan dapat melihat dengan jela s, apa
yang sedang lewat. Pasukan itu sengaja tidak membawa
sebuah obor -pun untuk menghindari agar pakaian mereka
yang koyak tidak nampak oleh orang-orang y ang kebetulan
masih berada di jalan-jalan.
Dengan demikian maka diam-diam pasukan Sangling itu
memasuki Pakuwon semakin dalam, sehingga pasukan itu pun
telah mendekati Istana Akuwu yang tidak lagi dihuni oleh
Akuwu Sangling. Mereka pun kemudian telah berkumpul di alun-alun
yang luas di depan istana.
Ternyata rencana mereka berhasil dengan baik. Tidak
banyak orang y ang mengetahui, bahwa pasukan Sangling telah
datang dalam keadaan yang memprihatinkan itu.
Di alun-alun itu masih diadakan beberapa kata
penyambutan. Namun para pemimpin Sangling itu benarbenar
menyadari keadaan sehingga mereka tidak berbicara
berkepanjangan. Namun Senapati y ang untuk sementara memimpin
Sangling itu sempat berkata, "Saudara-saudaraku. Sangling
ternyata minta m aaf y ang sebesar-besarnya, bahwa Sangling
belum dapat meny ediakan kelengkapan y ang pantas untuk
dibagikan sekarang. Mudah-mudahan dalam waktu yang
dekat, Sangling akan dapat meny ediakan pakaian keprajuritan
yang lebih baik. Tetapi untuk sementara kalian akan
dipersilahkan pulang dan berganti pakaian di rumah masingmasing."
"Kenapa kami memilih jalan itu," berkata Senapati
Sangling, "selain kami memang belum dapat meny ediakan
pakaian itu sekarang, kami pun yakin bahwa kalian telah
terlalu lama terpisah dari keluarga kalian, sehingga kalian
akan disambut gembira oleh keluarga kalian."
Sebenarnyalah para prajurit Sangling y ang pernah
menjadi tawanan di padepokan Suriantal itu memang gembira
dengan kesempatan itu, meskipun pakaian mereka tidak
pantas lagi untuk disebut pakaian seorang prajurit. Namun
keluarga m ereka -pun tentu akan memaklumi, bahwa m ereka
adalah prajurit yang lelah mengalami kekalahan di
peperangan. Sejenak kemudian, pasukan itu pun telah dibubarkan.
Pa sukan Sangling yang berpakaian lengkap telah m emasuki
halaman istana Akuwu, sementara bekas tawanan yang
kembali itu pun telah bertebaran kembali k e rumah masingmasing.
Karena kedatangan pasukan itu tidak banyak dilihat
orang, m aka kedatangan para prajurit itu di rumah m asingmasing
memang sangat mengejutkan. Ketika pintu rumah
yang sudah t ertutup itu diketuk orang, maka penghuninya
merasa ragu-ragu untuk membukakannya. Tetapi tiba-tiba
sa ja mereka mendengar suara y ang mereka kenal dengan baik
yang sudah cukup lama tidak pernah meny entuh telinganya.
Meskipun ragu-ragu. namun keluarga mereka pun
akhirnya telah membuka pintu rumahnya. Maka sesaat
kemudian di Pakuwon Sangling itu telah terdengar banyak
suara tangis. Meskipun bukan tangis kesedihan.
Rumah-rumah yang telah diketuk pintunya dan
menerima kembali salah seorang keluarganya y ang dianggap
sudah hilang itu pun menjadi sibuk. Dapur pun mulai berasap
lagi dan di pakiwan pun terdengar senggot timba berderit.
Demikian orang-orang yang pulang itu selesai mandi
dan berpakaian lebih baik dari y ang dikenakannya, maka
makanan dan minuman panas pun telah tersedia.
Sambil makan dan minum, maka orang-orang yang baru
pulang itu pun telah berceritera tentang pengalamannya
selama berada di padepokan Suriantal.
"Sebenarnya sikap Akuwu Lemah Warah cukup baik,"
berkata orang-orang itu, "tetapi prajurit Lemah Warah adalah
prajurit y ang keras."
Suasana y ang gembira itu berlangsung sampai
menjelang matahari terbit. Baru kemudian prajurit yang
pernah ditawan di padepokan Suriantal itu merasa kantuk oleh
kelebihan yang menekannya.
Namun ada di antara mereka y ang berpesan kepada
keluarganya agar pakaiannya y ang kotor dan koyak itu jangan
dibuang. "Besok aku akan mencucinya dan menyimpannya
sebagai kenang -kenangan bahwa aku pernah menjadi tawanan
di padepokan Suriantal," berkata para bekas tawanan itu.
Namun ada juga di antara mereka yang menjadi sangat
benci dengan pakaiannya itu sehingga malam itu juga mereka
telah membakarnya. Sementara itu di istana Akuwu telah terjadi kesibukan
tersendiri. Para Senapati sedang menyusun daftar nama
mereka y ang tidak dapat pulang kembali ke Sangling. Namun
ternyata bahwa mereka memerlukan para pemimpin
kelompok untuk melengkapi nama-nama prajurit Sangling
yang gugur di padepokan Suriantal.
Tetapi para pemimpin itu menyadari, bahwa mereka
tidak pada tempatnya mendendam Akuwu Lemah Warah.
Tetapi mereka memang harus menyalahkan diri sendiri.
Sedangkan yang bertanggung jawab telah gugur pula di
peperangan. Akuwu Sangling.
Ketika matahari t erbit, maka para prajurit y ang sudah
sempat berkunjung kepada keluarganya itu pun telah
berkumpul lagi. Para pemimpin kelompok langsung dipanggil
oleh Senapati yang untuk sementara memimpin Sangling. Ia
harus mengumpulkan nama-nama mereka yang menjadi
korban dalam pertempuran-pertemuan yang terjadi di
padepokan Suriantal. Sebenarnyalah seperti y ang diduga oleh para pemimpin
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sangling. Ketika orang-orang Sangling mengetahui bahwa
para prajurit sudah datang, maka mereka yang merasa
mempunyai keluarga yang ikut serta dalam pasukan Sangling
menuju ke padepokan itu dan m asih belum kembali, dengan
gelisah telah datang ke istana Akuwu.
Namun para prajurit telah menahan mereka untuk
menunggu di luar. "Senapati akan mengumumkan sesuatu y ang penting
kita ketahui bersama," berkata para prajurit.
Sebenarnyalah, ketika sudah berkumpul banyak
keluarga yang ingin mendapat penjelasan, maka Senapati dari
pasukan ketigalah y ang berdiri dihadapan mereka dan
memberikan penjelasan tentang perjalanan pasukan Sangling
ke padepokan Suriantal. Ia pulalah yang harus meny ebut
nama-nama dari mereka y ang tidak dapat kembali lagi ke
Sangling. Setiap Senapati dari pasukan ketiga itu meny ebutkan
sebuah nama, maka terdengar tangis yang tertahan. Bahkan
ada diantara mereka y ang tiba-tiba saja tanpa dapat menahan
diri telah menjerit dengan keras.
Bahkan beberapa orang laki -laki y ang anaknya termasuk
diantara mereka y ang tidak kembali telah berteriak.
"Hancurkan Lemah Warah!"
Ternyata teriakan itu telah disahut oleh beberapa orang
lain y ang juga telah kehilangan keluarganya. Semakin lama
semakin keras. Bahkan orang-orang lain yang tidak kehilangan
pun telah ikut pula berteriak ny aring. "Hancurkan Lemah
Warah!" Senapati dari pasukan ketiga menjadi bingung.
Seharusnya ia dapat mengendalikan perasaan semacam itu.
Bahkan Sangling harus mengucapkan terima kasih kepada
Akuwu Lemah Warah. Namun ia m erasa tidak pada tempatnya jika ia dengan
serta merta menentang pendapat orang -orang yang marah dan
kecewa itu. Sehingga karena itu maka Senapati dari pasukan
ketiga itu sama sekali tidak menanggapinya.
Ketika ia sudah selesai dengan menyebut nama-nama
mereka y ang menjadi korban, m aka Senapati itu pun telah
menyerahkan segala sesuatunya kepada Senapati y ang untuk
sementara memimpin Sangling.
Sebenarnya Senapati itu juga merasa gelisah
menghadapi sikap orang-orang Sangling. Jika ia
membiarkannya, maka pengaruhnya akan kurang baik bagi
hubungan antara Sangling dan Lemah Warah. Bahkan
mungkin sekali lingkungan keprajuritan Sangling pun ada
yang akan terpengaruh oleh sikap itu.
Karena itu, maka Senapati itu pun merasa perlu untuk
memberikan penjelasan y ang akan mempengaruhi jalan
pikiran orang-orang Sangling y ang marah itu.
Tetapi ia harus menelusuri cara yang paling bijak sana.
Karena itu, m aka Senapati itu pun telah m ulai dengan
persoalan yang timbul antara Sangling dan Lemah Warah.
Persoalan itu bermula karena sikap seorang Buyut di Sangling
yang ternyata telah m enghendaki sesuatu yang telah m enjadi
milik padepokan Suriantal. Dengan su sah payah orang-orang
padepokan Suriantal telah mengambil sebuah batu y ang besar
yang berwarna kehijau -hijauan.
Usaha Ki Buyut itu tentu saja mendapat perlawanan dari
orang-orang Suriantal. Adalah kebetulan bahwa pemimpin di
padepokan Suriantal adalah kemanakan Akuwu Lemah
Warah. Senapati itu pun menceriterakan pula bahwa Buyut itu
adalah Buyut dari Bapang.
"Sementara itu," berkata Senapati itu, "Akuwu Lemah
Warah ternyata dapat mengenali pula Buyut dari Bapang itu
sebagai seorang penjahat yang telah melarikan diri dari Lemah
Warah." Orang-orang Sangling ternyata mendengarkan ceritera
itu dengan sungguh-sungguh.
Dengan hati-hati Senapati itu meneruskan
keterangannya, "Adalah satu langkah yang keliru bahwa
Sangling telah m embela Ki Buyut di Bapang y ang kemudian
ternyata tertangkap oleh orang -orang padepokan Suriantal.
Sebelum pertentangan y ang gawat antara Sangling dan
Suriantal terjadi, Akuwu Lemah Warah pernah datang ke
Sangling, tentunya kita ingat betul, untuk berbicara khusus
tentang pokal Ki Buyut dari Bapang. Tetapi Akuwu Sangling
tidak mau mendengarkannya. Akibatnya, pasukan Sangling
telah terjerumus ke dalam keadaan yang sangat pahit. Perang
yang besar tidak dapat dihindari lagi, ju stru karena Akuwu
Sangling ingin membebaskan Ki Buyut di Bapang. Seorang itu
telah mengambil nyawa beberapa orang yang tadi disebut
namanya oleh Senapati dari pasukan ketiga.
"Tetapi m ereka t elah dibunuh oleh orang-orang Lemah
Warah," teriak seseorang.
"Tetapi kita tidak boleh m elupakan sebabnya," berkata
Senapati itu, "Sangling lah y ang m enyerang, sehingga Lemah
Warah harus bertahan. Tetapi ternyata bahwa kita semuanya
menjadi korban. Akuwu sendiri terbunuh, karena Akuwu
terlalu memanjakan Ki Buyut Bapang y ang ternyata bukan
orang baik-baik. Saudara seperguruan Akuwu pun terluka
parah. Namun sekarang telah diam bil oleh gurunya y ang juga
guru Akuwu Sangling. Ternyata guru Akuwu Sangling tidak
berusaha untuk membalas sakit hati muridnya. Ia ju stru
menyesali sikap Akuwu Sangling itu."
Beberapa orang menjadi termangu-mangu. Namun
seorang yang lain berteriak, "Kenapa tiba -tiba kita berniat
untuk berkhianat terhadap Akuwu?"
Senapati yang untuk sementara memimpin Pakuwon
Sangling itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun
berkata, "Marilah kita mencoba melihat kebenaran. Selama ini
kita m emang berusaha untuk menjadi rakyat Sangling yang
setia. Kita telah melakukan segala perintah Akuwu dengan
baik. Tetapi ketika kami mengetahui siapakah sebenarnya
Akuwu Sangling dan apa pula yang pernah dilakukannya,
apakah kita harus menutup mata terhadap kenyataan itu?"
"Keny ataan yang mana?" bertanya seseorang, "Akuwu
telah gugur untuk kita semua. Dan kita membiarkannya hilang
bahkan juga namanya."
"Siapa yang gugur untuk kita?" bertanya Senapati itu,
"apakah Akuwu memang gugur untuk kita" Tidak. Akuwu
gugur untuk Ki Buyut Bapang. Sementara Ki Buyut Bapang
adalah seorang yang dapat dianggap sebagai seorang penjahat.
Aku tidak akan dapat mengatakan, kenapa Akuwu demikian
besar perhatiannya kepada Ki Buyut Bapang itu. Sementara
Akuwu Lemah Warah sampai saat ini tidak mau m elepaskan
Buyut Bapang itu." Suasana jadi hening. Namun seorang yang kecewa
berkata, "jadi kau menuduh, bahwa gugurnya Akuwu adalah
sia -sia" Demikian juga kematian anakku juga sia-sia?"
Senapati itu menjadi berdebar-debar. Pertanyaan itu
memang sulit untuk dijawabnya.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar suara
lantang. Bukan sekedar menggetarkan selaput telinga, tetapi
suara itu rasa -rasanya bagaikan menggeletarkan udara,
menerpa isi dada setiap orang.
"Ya. Kematian itu memang sia -sia!"
Semua orang berpaling ke arah y ang tidak sama. Mereka
tidak tahu pasti, dari mana arah suara itu.
Namun kemudian mereka melihat seorang y ang berjalan
dengan langkah tetap ke arah Senapati yang untuk sementara
memimpin Pakuwon Sangling.
Orang itu pun kemudian berdiri tegak di sebelah
Senapati ini. Sekali lagi ia berkata, "Seperti aku katakan,
kematian Akuwu adalah sia-sia. Kematian prajurit Sangling
yang lain juga sia -sia."
"Persetan," seorang ay ah yang marah tiba-tiba saja telah
melangkah maju, "kau katakan kematian anakku sia -sia?"
"Ya. sia -sia. Sekali lagi, kematian prajurit Sangling sia sia," berkata orang itu.
Seorang ayah y ang marah tiba -tiba telah meny erang
orang itu. Ternyata ia membawa pisau belati y ang tajam.
Dengan garangnya ia telah mengayunkan pisaunya ke arah
dada orang itu. Demikian cepatnya sehingga tidak sempat dicegah oleh
siapa-pun, karena tidak seorang pun menduga bahwa hal
seperti itu akan terjadi.
Beberapa orang memang meloncat untuk berusaha
mencegah. Tetapi m ereka agaknya telah terlambat. Demikian
juga Senapati y ang sedang berbicara kepada orang-orang
Sangling itu. Namun y ang terjadi memang sulit untuk dimengerti.
Ketika orang-orang itu menyadari keadaan, maka mereka
melihat orang y ang diserang itu tengah menolong ay ah
prajurit y ang gugur itu untuk berdiri. Sementara pisau
belatinya telah berada di tangannya.
"Berdirilah," berkata orang itu.
Ayah dari prajurit yang gugur itu pun tidak mengerti apa
yang telah terjadi. Ia hanya merasakan seakan-akan semuanya
menjadi gelap. Hanya untuk sesaat. Kemudian ketika ia
menyadari keadaannya orang itu telah m enolongnya berdiri.
Pisaunya telah berada di tangan orang itu.
Semua orang tercengang karenanya. Bahkan Senapati
dari pasukan ketiga serta Senapati y ang untuk sementara
memimpin Sangling itu pun menjadi heran.
"Pergilah," berkata orang itu sambil m eny erahkan pisau
itu kembali. Tanpa sadar, maka orang itu telah m enerima pisaunya.
Kemudian melangkah dengan kepala tunduk meninggalkan
orang y ang aneh itu. Sementara itu ia mendengar suara orang itu bergulunggulung
menggetarkan udara, "Aku adalah guru Akuwu
Sangling." Semua orang terkejut karenanya. Itulah sebabnya maka
ia mampu membuat pengeram-eram. Sementara itu semua
orang-pun merasakan getaran y ang bahkan mengguncang
dada mereka. "Nah, dengar," berkata orang y ang meny ebut dirinya
guru Akuwu Sangling itu, "kematian Akuwu Sangling dan para
prajurit memang sia -sia. Mereka tidak m emberikan arti apaapa
bagi Tanah ini, karena sebenarnyalah Akuwu berperang
tidak untuk kepentingan Ki Buyut di Bapang. Tetapi meskipun
kematian para prajurit itu sia-sia, tetapi bukan karena
kesalahan mereka. Tanggung jawabnya terletak di pundak
Akuwu. Para prajurit y ang mati dalam kesia -siaan itu
merupakan korban dari ketamakan Akuwu Sangling. Ia
merasa memiliki ilmu yang sulit diimbangi. Karena itu maka ia
pun merasa dirinya tidak terkalahkan. Namun ternyata Akuwu
Lemah Warah pun memiliki ilmu y ang sangat tinggi, sehingga
akhirnya Akuwu Lemah Warah telah berhasil membunuhnya."
Semua orang mendengarkannya dengan saksama.
Sementara guru Akuwu itu berkata, "Itulah sebabny a aku sama
sekali tidak menuntut balas. Biarlah muridku yang tamak itu
dihancurkan oleh ketamakannya sendiri, sehingga dengan
demikian, maka akan tumbuh kekuatan baru y ang lebih baik
di Tanah ini." Para prajurit dan orang-orang Sangling
mendengarkannya dengan saksama. Namun mereka mengerti
maksud dari apa yang dikatakan oleh orang itu.
Karena itu, maka orang-orang yang semula menjadi
marah karena sikap para prajurit terhadap Akuwu Sangling,
apalagi mereka telah terlanjur mengorbankan salah seorang
keluarganya, menjadi mengerti persoalan yang sebenarnya.
Bahkan orang yang mengaku guru Akuwu Sangling itu
pun berkata, "Dalam peri stiwa ini hampir saja Akuwu Sangling
menyeret pula saudara seperguruannya. Untunglah bahwa
saudara seperguruan Akuwu itu masih dapat diselamatkan dan
kini aku rawat di padepokanku. Jika orang itu mati pula, maka
aku telah kehilangan dua orang muridku."
Orang-orang Sangling yang telah kehilangan seorang
keluarganya itu pun kemudian menjadi pasrah dan tidak lagi
berusaha untuk menuntut. Senapati yang untuk sementara m emimpin Sangling itu
menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata,
"Terima kasih atas kehadiran Ki Sanak."
Orang itu berpaling kepada Senapati itu. Katanya, "Aku
memang guru Akuwu Sangling, aku sudah mengira bahwa hal
seperti ini akan terjadi. Sebenarnyalah kalian harus berterima
kasih kepada Akuwu Lemah Warah."
"Ya," jawab Senapati itu, "kami memang harus berterima
kasih kepada Akuwu Lemah Warah."
"Sudahlah," berkata orang itu, "semoga tidak terjadi
sesuatu di Sangling. Namun dalam hubungan dengan
meninggalnya Akuwu, apa y ang akan kau lakukan?"
"Aku akan memberikan laporan selengkap-lengkapnya
ke Kediri," jawab Senapati itu.
"Satu langkah yang tepat," berkata orang itu,
"lakukanlah. Jika kau terlambat, mungkin kau dapat dianggap
bersalah. Mungkin Akuwu Lemah Warah pun akan
memberikan laporan pula, sehingga laporan kalian akan
diperbandingkan dengan laporan Akuwu Lemah Warah."
"Mudah-mudahan laporan Akuwu Lemah Warah tidak
bergeser dari kenyataan y ang telah terjadi," berkata Senapati
itu, "sehingga laporannya tidak akan berselisih dengan laporan
yang akan aku berikan."
"Menurut perhitunganku, laporan Akuwu Lemah Warah
akan memuat kenyataan yang telah terjadi menurut
penglihatannya. Jika ada y ang berbeda itu bukan karena
Akuwu ingin memalsukan kenyataan. Tetapi agaknya memang
tanggapan Akuwu terhadap peristiwa y ang dilaporkannya itu
berbeda dengan tanggapanmu," berkata orang itu.
Senapati itu mengangguk kecil sambil berkata, "Ya.
Agaknya memang demikian."
"Tetapi apa pun juga yang terjadi, maka kau segera harus
melaporkannya kepada para pemimpin di Kediri," berkata
orang itu. "Besok aku akan pergi ke Kediri," jawab Senapati itu,
"hari ini aku akan menyusun laporan itu selengkaplengkapnya."
"Bagus," berkata orang itu, "lakukanlah. Sekarang aku
minta diri."
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Orang itu pun kemudian telah berkata kepada orangorang
Sangling dan para prajurit, "Tenanglah kalian. Lakukan
kewajiban kalian masing-masing. Kediri akan menentukan
kebijaksanaan yang paling baik bagi Sangling."
Orang itu pun kemudian melangkah meninggalkan
tempat itu. Ia berjalan tanpa berpaling lagi, menyusuri jalan
yang panjang di tengah-tengah kota Sangling.
Di a lun-alun Senapati yang untuk sementara memimpin
Sangling itu pun kemudian berkata kepada para prajurit
Sangling, "Kalian masih mendapat kesempatan untuk
beristirahat. Bagi kalian akan disiapkan kelengkapan
keprajuritan yang baru, karena apa y ang ada pada kalian
sekarang, terutama pakaian, adalah pakaian yang kalian ambil
dari rumah kalian m asing-masing. Mungkin masih ada juga
ciri -ciri keprajuritan, tetapi ciri -ciri itu tidak lengkap lagi.
Dalam waktu dua pekan maka semuanya akan siap, dan kalian
akan kembali ke barak-barak kalian."
Demikianlah m aka pertemuan itu pun kemudian telah
dibubarkan. Para prajurit yang baru saja dibebaskan dari
tawanan itu mendapat kesempatan untuk beri stirahat. Namun
demikian kepada mereka telah dipesankan, dalam keadaan
yang penting, mereka akan dapat dipanggil setiap saat.
Sementara itu, ketika para prajurit yang baru saja
dibebaskan dari tawanan itu telah meninggalkan alun-alun
Sangling, maka para Senapati telah berkumpul untuk
menyusun laporan y ang akan disampaikan kepada para
pemimpin di Kediri. Jika mungkin utusan mereka akan
menghadap Sri Baginda langsung.
Dengan teliti para Senapati itu t elah menyusun laporan
yang akan dibawa oleh utusan mereka, sehingga laporan
mereka itu benar-benar merupakan laporan yang tidak dibuatbuat
dan apalagi dapat dituduh sebagai laporan palsu.
Di hari berikutnya, maka tiga orang Senapati telah
meninggalkan Sangling menuju ke Kediri.
Ternyata permohonan mereka untuk menghadap Sri
Baginda dikabulkan. Tetapi mereka harus menunggu semalam
lagi, karena baru di hari kemudian Sri Baginda mempunyai
waktu untuk menerima mereka.
Namun para Senapati itu terkejut, ketika di hari
berikutnya, ketika m ereka menghadap, Akuwu Lemah Warah
telah menghadap pula. Tetapi Akuwu datang sendiri tanpa
kedua orang kemanakannya yang disebutnya bernama Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat. Akuwu Lemah Warah hanya m enarik nafas saja ketika
dilihatnya utusan dari Sangling itu pun telah datang. Namun
bagaimanapun juga terbersit pertanyaan di hatinya, "Apakah
orang-orang Sangling akan memberikan laporan dengan jujur
sebagaimana peristiwa itu terjadi?"
Sri Baginda yang duduk diatas Singgasananya
memandangi m ereka yang menghadap. Dihadapannya duduk
pula Pangeran Singa Narpada di samping beberapa orang
pemimpin Kediri y ang lain.
Dengan nada rendah Sri Baginda pun kemudian
memberitahukan bahwa pertemuan itu, terutama adalah
Imbauan Pendekar 7 Pendekar Rajawali Sakti 130 Pemburu Darah Pendekar Lembah Naga 19
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama