Ceritasilat Novel Online

Hijaunya Lembah Hijaunya 36

02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 36


Apalagi berdasarkan laporan pengamatan y ang
sebelumnya dilakukan serta keterangan-keterangan yang
berhasil dikumpulkan, maka isi padepokan itu tidak akan
cukup banyak untuk melawan tiga padepokan dari satu
perguruan yang sangat besar sebagaimana perguruan Windu
Putih itu. Bahkan separuh-pun tidak.
Karena itu, maka para pemimpin padepokan Windu
Putih m emang sudah memastikan, bahwa mereka akan dapat
mematahkan tunas y ang nampaknya akan tumbuh menjadi
sebuah perguruan baru diatas reruntuhan perguruan
Suriantal, y ang bagi mereka agaknya akan lebih baik daripada
perguruan itu tumbuh dan menjadi subur. Bahkan dengan
demikian, maka padepokan itu akan dapat dijadikan
padepokan keempat dari perguruan Windu Putih. Meskipun
jaraknya dari padepokan-padepokan y ang lain cukup jauh,
namun agaknya tidak akan banyak perguruan lain y ang akan
berani mengganggu, karena dengan demikian mereka akan
berhadapan dengan seluruh perguruan Windu Putih yang
akan menjadi semakin besar. Orang-orang y ang ada di dalam
padepokan itu, tentu akan dengan senang hati atau pun tidak,
bersedia masuk ke dalam lingkungan perguruan Windu Putih.
Setidak-tidaknya mereka akan dapat menjadi budak-budak
yang pada saat-saat tertentu justru dapat dipaksa untuk
bertempur asal mereka tidak terikat dalam kelompokkelompok.
Apalagi y ang m emimpin padepokan itu tidak lebih dari
dua orang anak muda yang mengaku diri mereka Putut di
padepokan itu. Demikianlah, maka kedua belah pihak agaknya telah
mempergunakan kesempatan yang tersisa di m alam itu untuk
beristirahat sebaik-baiknya.
Ketika malam mendekati dini, maka sebagian dari
pasukan di kedua belah pihak telah terbangun. Mereka yang
bertugas pun segera menyalakan perapian dan menyiapkan
makan bagi seluruh pasukan. Mereka tidak boleh kehabisan
tenaga di medan pertempuran, seandainya pertempuran itu
berlangsung sampai petang dan apalagi tertunda dikeesokan
harinya. Sementara itu, y ang lain pun seorang demi seorang telah
terbangun pula. Mereka tidak membuang waktu y ang memang
tidak terlalu banyak. Demikian nasi masak, maka mereka yang
lebih dahulu bersiap telah mendapat kesempatan untuk
makan seberapa dapat mereka makan. Sebelum mereka benarbenar
turun ke medan, mereka telah mendapat waktu
beberapa saat untuk mengendapkan makanan dan minuman
di dalam perut mereka. Ketika saatnya cahaya langit menjadi merah, serta tanah
mulai m enjadi nampak semakin terang, maka ternyata kedua
belah pihak telah menyusun pasukan mereka masing-masing.
Para pengamat diatas dinding padepokan agaknya
melihat, bahwa kekuatan lawan ju stru dipusatkan tidak di
depan padepokan, tetapi justru di arah Timur.
Ketika hal itu dilaporkan kepada Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, maka keduanya segera mengetahui, bahwa
orang-orang dari Windu Putih itu berusaha untuk
memanfaatkan sinar matahari agar orang-orang padepokan
Suriantal itu terpaksa melawan dengan mata y ang silau.
"Beritahukan kepada semua orang yang berada di sisi
Timur," berkata Mahisa Murti, "jika mereka menyadari akan
hal ini, maka m ereka akan m enempatkan diri. Mereka tidak
membidik lawan di arah yang silau. Tetapi mereka akan
menyerang lawan tanpa menghadap lurus ke matahari.
Memang dengan demikian mungkin serangan kita tidak lurus
mengarah lawan y ang dihadapan kita langsung, tetapi
serangan itu akan menjadi akan condong dan bahkan mungkin
bersilang." Perintah itu pun segera telah tersebar diantara mereka
yang bertugas di sisi sebelah Timur. Bahkan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah menarik beberapa orang di sisi y ang lain
untuk juga berada di sisi Timur.
Demikianlah, sebelum matahari terbit, kedua belah
pihak memang sudah bersiap. Mereka hanya tinggal
menunggu perintah untuk bergerak.
Dalam pada itu, di dalam padepokan, Mahendra dan
orang yang menyebut dirinya guru Akuwu Sangling itu pun
telah bersiap pula. Namun kedua orang tua sempat juga
menilai keadaan y ang mereka hadapi.
"Pasukan mereka terlalu besar untuk orang-orang di
padepokan ini," berkata guru Akuwu Sangling y ang lama itu.
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, "Mudahmudahan
penghuni padepokan ini sempat memanfaatkan apa
yang mereka miliki disini untuk menahan arus yang akan
melanda." "Kita, yang tua-tua tidak dapat berpangku tangan,"
berkata orang yang meny ebut dirinya guru Akuwu Sangling
yang lama itu, "tetapi aku akan segera terikat pertempuran
dengan Kiai Windu Putih. Aku memang ingin membuat
perhitungan dengan orang itu. Namun sebelum aku b ertemu
dengan Kiai Windu Putih aku akan berusaha sebaik-baiknya
untuk membantu menahan arus itu."
Mahendra mengangguk-angguk. Melihat gelar dan
jumlah lawan memang sulit bagi padepokan itu untuk
bertahan. Hanya dengan tekad yang menyala serta
kemampuan dan ketrampilan mempermainkan senjata, maka
arus itu akan dapat dihambat.
Namun Mahendra tidak akan dapat menyalahkan kedua
anaknya jika mereka terpaksa m empergunakan kemampuan
ilmu mereka untuk meny erang lawannya pada jarak jauh,
sebelum mereka mencapai pintu gerbang.
Tetapi Mahendra pun menyadari, bahwa perguruan
Windu Putih pun tentu memiliki orang-orang yang menguasai
ilmu y ang tinggi pula. Demikianlah, m aka sejenak kemudian, telah terdengar
isy arat dari antara pasukan perguruan Windu Putih, bahwa
pasukan mereka mulai m eny erang. Suara bende yang dipukul
dengan irama datar terus-menerus disahut oleh bende di sisi
yang lain. Sejenak kemudian, maka suara bende itu pun terdengar
di seputar padepokan Suriantal. Rasa-rasanya padepokan itu
memang sudah dikepung rapat, sehingga tidak ada lagi lubang
seujung duri sekalipun. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah naik pula ke
panggung di sebelah reg ol padepokan yang t ertutup rapat.
Mahendra dan orang yang meny ebut guru Akuwu Sangling
yang lama-pun telah ikut naik pula mengamati keadaan.
"Kekuatan mereka tidak berada di bagian depan
padepokan ini," berkata Mahendra.
"Ya ayah," jawab Mahisa Murti, "mereka ingin
memanfaatkan cahaya matahari pagi. Tetapi kami sudah
memberikan beberapa petunjuk kepada mereka y ang berada di
sisi Timur." Mahendra mengangguk-angguk. Namun memang
terbersit, perasaan cemas di hatinya. Lawan agaknya memang
terlalu banyak. Hanya karena Mahendra tahu bahwa penghuni
padepokan itu telah menempa diri dengan sekuat tenaga yang
ada, bukan hanya satu dua hari menghadapi serangan itu,
tetapi sudah sejak jauh sebelumnya, m aka m asih tetap ada
harapan pada Mahendra, bahwa penghuni padepokan itu akan
mampu bertahan. "Tidak ada pilihan lain kecuali mengurangi jumlah lawan
sebanyak-banyaknya," berkata Mahendra di dalam hatinya.
Dalam pada itu, dengan derap y ang tetap dan penuh
kepercayaan kepada diri sendiri, orang-orang Windu Putih
bergerak maju. Sebagian dari mereka telah m empersiapkan
tongkat-tongkat y ang akan mereka pergunakan untuk
memanjat dinding. Sedangkan y ang lain telah mempersiapkan
perisai untuk berlindung dari patukan anak panah dan
lembing yang tentu akan terlontar dari dinding padepokan.
Orang-orang padepokan itu m emang melihat per siapan
yang matang dari orang-orang Windu Putih. Namun sebagai
penghuni padepokan itu, maka mereka harus
mempertahankan mati-matian. Apalagi mereka pun merasa
bahwa mereka telah berlatih sebaik-baiknya untuk waktu yang
lama, sehingga mereka y akin akan mampu mengimbangi
orang-orang Windu Putih. Tetapi di setiap dada orang-orang padepokan Suriantal
itu terdengar desah, "Jumlah mereka terlalu banyak."
Dalam pada itu, maka orang-orang Windu Putih itu pun
semakin lama menjadi semakin dekat. Namun agaknya
mereka tidak langsung menggempur pertahanan padepokan
Suriantal. Tetapi pemimpin tertinggi padepokan Windu Putih itu
diiringi oleh tiga orang muridnya y ang masing-masing sudah
mendapat kepercayaan untuk memimpin sebuah padepokan,
telah m endekati regol. Beberapa pengawal terpilih memencar
di sebelah meny ebelahnya dengan senjata siap di tangan.
Bahkan beberapa diantara mereka telah siap dengan anak
panah di busurnya. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tidak segera
memberikan perintah untuk melontarkan anak panah dan
lembing. Ketika terdengar isy arat suara bende tiga kali ganda,
maka pasukan Windu Putih itu pun berhenti beberapa puluh
langkah dari dinding padepokan Suriantal.
Dalam pada itu, ternyata orang yang meny ebut guru
Akuwu Sangling y ang lama itu t idak segera mau
menampakkan diri kepada pemimpin tertinggi perguruan
Windu Putih. Kepada Mahendra ia berkata, "Aku akan
mengejutkannya di saat yang tepat."
Mahendra mengangguk. Tetapi ia pun tidak berdiri
diantara anak-anaknya. Tetapi berada diantara para pemimpin
padepokan yang lain. Dalam pada itu, pemimpin tertinggi perguruan Windu
Putih y ang juga disebut Kiai Windu Putih itu berdiri di depan
regol sambil menengadahkan wajahnya m emandang Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat yang berdiri diatas regol
padepokannya. "He, siapakah diantara kalian y ang mengaku Putut y ang
memimpin padepokan ini?" bertanya Kiai Windu Putih.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergeser maju setapak.
Dengan lantang Mahisa Murti menyahut, "Kami berdua. Kami
adalah Putut yang m emimpin padepokan ini. Nah, Ki Sanak.
Siapakah kau dan kenapa tiba -tiba saja kau bawa pasukan
mengepung padepokan ini?"
"Seharusnya kau sudah mengetahui jawabnya. Aku
sudah pernah mengirimkan sekelompok orang yang mewakili
tiga padepokan untuk datang kemari. Kau ternyata telah
menyakiti hati mereka, sehingga kami datang untuk
menghukum kalian," jawab Kiai Windu Putih.
"Begitu sederhana persoalannya," berkata Mahisa Murti,
"begitu mudahnya kau mengambil keputusan untuk
menghukum kami. Aku percaya, karena aku telah melihat
sendiri, betapa besarnya perguruanmu. Kau sempat membawa
orang sekian banyaknya untuk mengepung padepokanku. Nah,
apakah hal itu bukan tidak sewenang-wenang" Karena kau
merasa terlalu kuat, maka kau berbuat apa saja menurut
keinginan kalian tanpa menghiraukan kepentingan orang
lain." "Ternyata kau pandai berbicara anak muda," jawab Kiai
Windu, "tetapi say ang, bahwa kata-katamu itu sama sekali
tidak menarik bagiku. Karena itu, kata-katamu itu seperti
tidak pernah aku dengar," orang itu berhenti sejenak, lalu
"Anak-anak muda yang m eny ebut dirinya Putut. Aku m asih
memberi kesempatan kepadamu. Meny erahlah tanpa syarat.
Ikat semua senjata yang ada di padepokan ini. Maka kalian
semuanya akan aku ampuni. Tetapi jika kau berkeras kepala,
maka akibatnya akan terasa sangat pahit bagi kalian. Nah,
kalian boleh memilih Para pemimpin yang lain pun boleh
memilih." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat menggeram, "Kau
lihat, bahwa kami sudah siap?"
"Tentu," jawab Kiai Windu Putih, "tetapi karena kau
berdua memerintahkan semua penghuni padepokan ini
bersiap. Tetapi aku ingin berbicara langsung kepada m ereka,
siapa y ang mau meny erah, aku akan mengampuni mereka.
Mereka yang m elihat keny ataan, bahwa pasukan kami jauh
lebih kuat dari pasukan y ang ada di padepokan ini tentu sudah
memperhitungkan bahwa seisi padepokan ini tentu akan
hancur. Dengan demikian, mereka y ang berpandangan jauh
dan melihat kenyataan, tentu akan memilih menyerah kepada
kami dan bahkan ikut membantu kami menghancurkan
pemimpin-pemimpin padepokan ini y ang telah
menjerumuskan mereka k e dalam kesulitan. Nah, siapa yang
akan meny erah, pintu masih terbuka. Atau barang kali mereka
akan menunggu pertempuran segera dimulai dan bahkan
berpihak kepada kami, karena kemungkinan y ang lebih baik
tentu akan mereka dapatkan dari kami.
"Kau licik," geram Mahisa Pukat. Namun tiba-tiba saja
Mahisa Pukat itu pun berteriak, "Nah, para penghuni
padepokan ini. Kalian sudah mendengar keterangan dari
pemimpin perguruan Windu Putih itu" Nah, siapakah diantara
kalian y ang akan berkhianat, akan mendapat pengampunan
dan barangkali tempat y ang baik diantara orang-orang
perguruan Windu Putih."
Suasana justru menjadi tegang, sementara Mahisa Pukat
mengulanginya lagi, "Cepat. Aku pun m emberi kesempatan.
Kal ian boleh meloncat turun meninggalkan padepokan ini,
atau m emang benar-benar akan menunggu jika pertempuran
sudah m ulai dan berbalik m eny erang kami, para pemimpin
padepokan?" Orang-orang padepokan Suriantal itu menjadi tegang.
Namun Mahisa Pukat berteriak lagi, "jawab. Apakah kalian
akan berkhianat atau tidak?"
Terdengar sorak yang gemuruh. Orang-orang Suriantal
itu mengacu-acukan senjatanya dengan gejolak kemarahan
didalam hati. "Nah, Kiai Windu Putih," berkata Mahisa Pukat, "kau
dengar suara mereka y ang gemuruh" Atau barangkali kau
masih belum y akin" Marilah kita mulai. Apakah mereka akan
berkhianat atau tidak."


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kiai Windu Putih itu m engerutkan keningnya. Namun
kemudian ia pun terseny um, "Baiklah. Jika demikian, m aka
kami harus membantai kalian seperti menebas hutan ilalang.
May at kalian pun akan terbujur lintang di padepokan ini."
"Bukankah itu lebih baik daripada kami harus dipenggal
kepala kami dengan tangan kuncup terikat?" geram Mahisa
Pukat pula. "Persetan," geram Kiai Windu Putih, "kita akan
menghancurkan mereka."
Sejenak Kiai Windu Putih memandang orang-orang y ang
berada di atas pintu gerbang itu. Kemudian ia menengadah ke
langit yang cerah. Matahari m emang sudah mulai m erambat
naik. Kiai Windu Putih tidak mau kehilangan kesempatan
sebagaimana diperhitungkan. Jika orang-orangnya meny erang
dari arah Timur, maka orang -orang padepokan Suriantal itu
tentu akan menjadi silau.
Karena itu, maka ia pun segera memberikan isy arat.
Sejenak kemudian m aka telah terdengar suara bende dalam
nada datar mengumandang di sekitar padepokan tersebut.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun t idak lagi
menunggu. Ia pun telah memberikan isy arat kepada beberapa
orang y ang siap dengan panah sendaren di halaman, di
belakang regol. Sesaat kemudian, maka beberapa anak panah telah
terlepas ke segala penjuru. Suaranya berdesing di udara. Sahut
menyahut meninggalkan gema yang panjang.
Dengan demikian, maka setiap busur pun kemudian
telah dilekati oleh anak panah. Lembing pun telah tergenggam
dan setiap ujung senjata mulai bergetar.
Orang-orang dari perguruan Windu Putih pun menjadi
semakin dekat. Di paling depan adalah mereka yang
melindungi diri dengan peri sai. Kemudian di belakangnya,
adalah mereka yang siap untuk melontarkan anak panah,
menyerang orang-orang y ang berada diatas panggungan di
belakang dinding. Sejenak kemudian, ketika orang-orang Windu Putih
telah sampai pada jarak jangkau anak-anak panah orangorang
padepokan Suriantal itu, maka mereka tidak menunggu
perintah lagi. Suara panah sendaren itu sudah merupakan
perintah yang tidak perlu diulang lagi.
Dengan demikian, maka anak panah pun telah meluncur
dari kedua belah pihak. Seperti pesan Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat, maka orang-orang yang menghadap ke arah
Timur telah berusaha untuk tidak menghadap ke arah
matahari. Mereka telah meny erang ke arah yang condong dan
bahkan bersilang. Cara yang tidak diperhitungkan sebelumnya oleh orangorang
Windu Putih. Mereka semula mengharap agar orangorang
padepokan itu menjadi silau. Namun y ang terjadi ju stru
sebaliknya. Serangan dari atas dinding padepokan itu telah
meluncur dari samping dan bahkan dari kedua sisi, sehingga
mereka untuk sesaat menjadi agak kebingungan. Di mana
mereka harus menaruh perisai mereka.
Dengan demikian, langkah orang-orang Windu Putih itu
justru telah dihambat. Mereka harus berusaha untuk
mengimbangi cara yang dipergunakan oleh orang-orang
padepokan Suriantal. Namun dalam kekalutan itu, beberapa anak panah dan
lembing ternyata telah sempat mengoyak kulit orang-orang
Windu Putih y ang sedang mencari bentuk perlawanan.
Beberapa orang pemimpin kelompok dari orang-orang
Windu Putih itu mengumpat. Beberapa orang kawan m ereka
telah jatuh dan tidak dapat meneruskan tugas mereka.
Dengan kemarahan y ang membakar jantung, maka
orang-orang Windu Putih itu pun telah berusaha membalas.
Mereka telah melontarkan anak panah pula sebanyakbanyaknya
ke atas dinding padepokan. Namun orang-orang
Suriantal telah membuat dinding padepokan mereka
sedemikian, sehingga mereka mendapat kesempatan untuk
berlindung pada tonggak-tonggak kayu papan-papan yang
telah dipersiapkan. Sementara itu, ujung-ujung anak panah
mereka meluncur dengan cepat menyusup diantara papanpapan
pelindung itu. Dengan demikian maka pertempuran anak panah
diantara kedua belah pihak itu pun menjadi semakin seru.
Kedua belah pihak telah berusaha untuk melontarkan anak
panah sebanyak-banyaknya. Bahkan kemudian dari balik
papan-papan pelindung pada dinding padepokan, lembinglembing
pun telah terlontar. Mereka yang melemparkan
lembing ke pasukan Windu Putih itu pun sama sekali tidak
membidik lagi. Yang penting bagi mereka adalah ketrampilan
melemparkan lembing itu, sehingga lembing itu dapat
menukik pada sasaran. Meskipun dari pasukan Windu Putih, anak panah pun
juga dilemparkan, namun ternyata mereka banyak mengalami
hambatan karena anak panah yang menghujan serta lembing
yang jatuh beruntun tanpa henti-hentinya.
Para pemimpin kelompok dari pasukan Windu Putih
pun m enjadi semakin marah melihat perlawanan y ang sengit
dari orang-orang padepokan Suriantal. Mereka tidak mengira,
bahwa orang-orang padepokan y ang dianggap terdiri dari
berbagai sumber i lmu itu akan mampu bekerja sama dengan
baik. Bahkan mereka telah menunjukkan kemampuan dan
ketrampilan yang sangat tinggi.
Sebenarnyalah bahwa orang-orang padepokan telah
mengalami latihan y ang sangat berat. Mereka telah
membentuk diri dan merasa diri mereka satu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang berada di dekat
orang tua y ang banyak memberikan pendapatnya kepada
keduanya itu pun melihat betapa perlawanan dari orang-orang
Suriantal itu dapat dibanggakan.
"Untunglah bahwa mereka tidak datang pada saat-saat
orang-orang padepokan ini sedang membersihkan diri dari
ilmu mereka y ang lama," berkata Mahisa Murti.
"Ya. Pada saat kekuatan padepokan ini jauh susut,"
sahut Mahisa Pukat, "Jika mereka datang pada saat itu, maka
semuanya akan hancur jadi debu."
"Karena itu, maka kita wajib mengucap sy ukur kepada
Yang Maha Agung, bahwa mereka datang pada saat kita sudah
siap menghadapinya, "desis Mahisa Murti.
Dalam pada itu, maka pertempuran berjarak itu menjadi
semakin sengit. Anak panah pun menjadi semakin deras
meluncur dari kedua belah pihak. Sedangkan orang-orang
Suriantal yang mempunyai kedudukan y ang lebih baik, telah
memanfaatkannya dengan melontarkan lembing -lembing
bambu yang berat. Kadang-kadang orang -orang Windu Putih memang
mengalami kesulitan. Anak panah itu meluncur lurus dari
busurnya, sementara lontaran lembing bambu y ang berujung
besi baja yang tajam, meluncur dari arah y ang lebih tinggi.
Sehingga dengan demikian, maka mereka harus
memanfaatkan peri sai mereka dengan tepat.
Namun dengan demikian, maka kemajuan pasukan
Windu Putih itu pun telah terhambat.
Para pemimpin perguruan Windu Putih memperhatikan
gerak pasukan mereka dengan dahi yang berkerut. Namun
mereka masih belum berbuat sesuatu. Mereka ingin melihat
sejauh mana orang -orang padepokan Suriantal mampu
mempertahankan dirinya dari serbuan pasukan y ang jauh
lebih besar dari jumlah mereka.
Tetapi pada benturan itu, orang-orang Windu Putih
segera melihat bahwa orang-orang padepokan Suriantal
adalah orang-orang y ang memiliki keberanian dan tekad baja.
Mereka sama sekali tidak menjadi gentar.
Sekelompok orang-orang Windu Putih telah
dipersiapkan untuk memecahkan dinding padepokan.
Meskipun serangan terbesar datang dari arah timur, namun
yang berada di depan padepokan itu pun cukup besar untuk
mendesak maju. Orang-orang yang dipersiapkan untuk memecahkan
regol padepokan itu pun telah bersiap dengan sebuah balok
kayu yang panjang, y ang akan dapat mereka pergunakan
untuk membentur pintu itu sehingga pecah.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih menunggu. Ia
tidak y akin bahwa orang-orang Windu Putih benar-benar akan
mempergunakan balok-balok kayu untuk memecahkan regol.
Jika saatnya datang, maka agaknya para pemimpinnya tentu
akan mempergunakan cara lain untuk membuka pintu itu.
Demikianlah m aka pertempuran itu berlangsung terus.
Orang-orang Windu Putih memang menjadi semakin lama
semakin dekat. Tetapi mereka tidak maju secepat mereka
duga. Orang-orang yang berada di bagian depan padepokan
itu-pun telah berusaha untuk mendekati pintu gerbang.
Dilindungi oleh peri sai -peri sai yang kuat, m aka orang-orang
yang memang sudah disiapkan, telah mengangkat sebuah
balok kayu yang cukup besar dan panjang, yang telah
dipersiapkan sebelumnya. Beberapa pasak telah dipasang
untuk mengikat balok itu dengan tali-tali, sehingga dengan
demikian, balok itu dapat diangkat lebih mudah dengan
pikulan-pikulan oleh sekelompok orang.
Ketika pasukan Windu Putih menjadi semakin dekat,
maka sekelompok orang y ang m engangkat balok itu dengan
beberapa cara, segera telah bersiap. Sepasukan khusus telah
melindungi m ereka bukan saja dengan perisai, tetapi dengan
lontaran anak panah. Seorang diantara para pemimpin dari perguruan Windu
Putih itu telah bersiap untuk m emberikan aba-aba. Dengan
tegap orang itu berdiri menghadap ke arah pintu gerbang,
seolah-olah ingin mengetahui, seberapa tebalnya pintu
gerbang itu. Sejenak kemudian, ia pun telah mengangkat pedangnya,
sementara orang-orang y ang akan memanggul dan mendorong
kayu itu pun telah siap pula. Mereka yang membawa perisai
untuk melindungi kawan-kawannya y ang mengusung kayu itu
pun telah bersiap sedangkan yang lain akan melindungi
mereka dengan anak panah.
Ketika pedang salah seorang pemimpin perguruan
Windu Putih itu terangkat, maka semuanya sudah bersiap.
Perlahan-lahan pedang itu m ulai bergerak. Namun kemudian
dengan gerak y ang menghentak, pedang itu terayun turun.
Terdengar teriakan serentak beberapa orang y ang
memanggul kayu itu. Dengan serta merta m ereka pun telah
berlari sekencang-kencangnya menuju ke pintu gerbang.
Sementara itu, anak panah bagaikan semburan air
meluncur dari busurnya menyiram orang-orang padepokan
Suriantal yang berada di atas pintu gerbang.
Tetapi dengan tangkas orang-orang padepokan Suriantal
itu pun telah berusaha berlindung di balik batang-batang kayu
yang memang telah dipasang dan papan-papan yang tebal.
Sedangkan yang lain telah berusaha menangkis anak panah itu
dengan peri sai dan pedang.
Namun bukan berarti bahwa orang-orang Suriantal
membiarkan saja orang-orang Windu Putih itu m embongkar
pintu gerbang mereka tanpa dicegah sama sekali. Karena itu,
maka justru mereka y ang berada beberapa langkah di
panggungan di samping pintu gerbang itulah yang telah
menyerang orang-orang y ang berusaha untuk memecahkan
pintu gerbang itu. Anak panah bagaikan hujan y ang ditumpahkan dari
langit, sementara itu lembing-lembing pun meluncur dengan
derasnya. Meskipun lembing itu terbuat dari bam bu, namun
ujungnya dipasang mata lembing y ang terbuat dari besi baja.
Dengan demikian maka perhatian mereka y ang
melindungi orang-orang yang memanggul batang kayu yang
panjang itu pun terbagi. Mereka harus menangkis seranganserangan
itu dan membalas menyerangnya. Namun dengan
demikian maka orang-orang yang berada di panggungan
diatas pintu gerbang-pun mendapat kesempatan pula.
Namun balok kayu itu sudah meluncur deras. Karena itu,
maka sejenak kemudian, terdengar benturan y ang keras. Balok
kayu yang dipanggul dan kemudian didor ong membentur
gerbang itu telah mengguncang bukan saja daun pintunya
yang tebal, tetapi juga tulang-tulang pintu gerbang itu.
Pintu gerbang itu telah beberapa kali pecah dengan
berbagai cara. Antara lain dengan cara seperti itu juga. Setiap
kali pintu gerbang itu diperbaiki, maka tulang-tulangnya telah
diperkuat dengan kayu y ang baru dari jenis yang lebih baik
dan lebih besar. Demikian papan daun pintu reg ol itu.
Selaraknya pun dibuat dari balok y ang lebih kuat pula.
Tetapi ketika beberapa kali benturan masih juga belum
berhasil memecahkan pintu regol atau mematahkan
selaraknya, maka pemimpin perguruan Windu Putih yang
memimpin orang-orangnya untuk memecahkan pintu regol itu
pun telah m emerintahkan menarik balok kayu yang panjang
itu mundur untuk mengambil ancang-ancang lagi.
Namun dalam pada itu, beberapa orang diantara mereka
harus ditinggalkan di pintu gerbang, karena luka -luka mereka
yang parah. Anak panah dan lembing masih nampak
menancap di tubuh mereka y ang terbaring diam.
Dalam pada itu, pemimpin perguruan Windu Putih itu
pun telah berteriak, "Jika sekali lagi u saha ini gagal, maka aku
akan mempergunakan cara lain, meskipun akan membuat seisi
padepokan itu gemetar dan kehilangan gairah perlawanan
mereka, sehingga dengan demikian pertempuran ini akan
menjadi hambar. Tidak ada alasan untuk m embunuh mereka,
jika mereka tiba -tiba saja menyerah sebelum pertempuran
yang sebenarnya terjadi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang mendengar
teriakan itu hampir saja kehilangan kendali. Untunglah,
bahwa orang tua yang banyak memberikan pendapatnya itu
berada di dekatnya. Katanya, "Biarkan saja, apa yang
dikatakannya." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat m engangguk-angguk.
Di luar sadar m ereka telah berpaling ke arah Mahendra yang
berada diantara para pemimpin kelompok di padepokan itu.
Namun Mahendra pun condong untuk membiarkan saja
apa y ang akan mereka perbuat.
Sebenarnyalah, maka orang-orang Windu Putih itu telah


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bersiap untuk kedua kalinya membentur pintu gerbang
dengan balok mereka y ang panjang itu.
Namun dalam pada itu, di belakang pintu gerbang, para
penghuni padepokan Suriantal telah sempat membuat
congkok-congkok kayu dan bambu untuk menahan selarak
pintu gerbang itu agar tidak menjadi retak dan patah.
Demikian pula orang-orang padepokan Suriantal telah
membuat congkok-congkok untuk m enahan papan pintu agar
tidak menjadi pecah. Sementara itu, anak panah dan lembing pun m eluncur
dari kedua belah pihak dengan derasnya.
Beberapa saat kemudian, maka balok kayu y ang
dipanggul oleh orang-orang Windu Putih itu telah m eluncur
pula dengan derasnya. Sekali lagi telah terjadi benturan yang
sangat kuat. Pintu gerbang itu bergetar keras sekali, sehingga
beberapa buah congkok di belakang pintu gerbang justru telah
terlepas. Namun dengan sigap orang-orang padepokan itu
telah memasangnya kembali.
Beberapa kali benturan yang keras memang telah terjadi.
Orang-orang Windu Putih m emang ingin m emecahkan pintu
gerbang dengan cara y ang terbanyak dilakukan oleh mereka
yang berusaha memasuki lingkungan lawan.
Tetapi usaha itu m emang tidak mudah. Beberapa kali
benturan telah t erjadi. Satu -satu orang-orang Windu Putih itu
jatuh. Anak panah dan lembing orang-orang Suriantal telah
membunuh mereka, sementara pintu gerbang itu belum
terbuka. Namun setiap benturan yang terjadi telah m enghentak
selarak regol y ang besar itu. Semakin lama hentakan-hentakan
itu ternyata telah meretakkan selarak yang besar itu, meskipun
telah dicongkok dengan beberapa batang kayu.
Orang-orang Suriantal pun telah bersiap-siap
menghadapi setiap kemungkinan yang bakal terjadi. Jika pintu
gerbang itu pecah, maka orang-orang Windu Putih yang
jumlahnya jauh lebih besar dari orang -orang dari padepokan
Suriantal itu tentu akan m eny erbu masuk. Dengan demikian,
satu kenyataan tidak akan dapat diingkari, bahwa orang-orang
dari padepokan Suriantal itu akan mengalami kesulitan.
Sementara itu, mereka yang datang dari arah Timur pun
telah menjadi semakin dekat. Namun ternyata bahwa usaha
mereka untuk memasuki padepokan Suriantal tidak semudah
yang mereka duga. Usaha mereka memanfaatkan cahaya
matahari yang sedang terbit, tidak banyak b erarti, karena hal
itu ternyata telah mampu diatasi oleh orang-orang dari
padepokan Suriantal. Tetapi meskipun demikian, jika pintu gerbang itu pecah,
maka yang berada di semua sisi padepokan itu akan
mengalami kesulitan. Orang-orang Windu Putih akan
mengalir seperti banjir y ang melanda setiap sudut dan relung
dari padepokan Suriantal itu.
Namun keny ataan itu tidak akan menggetarkan tekad
orang-orang Suriantal untuk mempertahankan padepokannya.
Bahkan sampai orang y ang terakhir, mereka memang berniat
untuk tetap bertahan. "Jika orang-orang Windu Putih berhasil menduduki
padepokan ini, berarti bahwa orang terakhir di padepokan ini
sudah m ati," berkata orang-orang padepokan Suriantal itu di
dalam hatinya. Demikianlah, maka ketegangan pun m emuncak ketika
selarak pintu gerbang yang retak itu pun tiba -tiba telah
menjadi patah pada hentakkan yang terakhir, justru tepat
pada saat orang-orang Windu Putih tidak lagi kuat
mengangkat balok yang panjang itu karena semakin sedikit
orang yang masih tinggal ikut memanggul balok itu. Yang lain
telah terkapar jatuh. Balok yang membentur pintu gerbang itu
telah terlempar pula jatuh. Bahkan beberapa orang ju stru
telah tertindih oleh balok itu .
Namun pintu gerbang dengan demikian telah terbuka.
Pa da saat yang demikian, maka sepasukan orang-orang
dari padepokan Suriantal telah bersiap menunggu arus yang
akan melanda padepokan itu seperti banjir bandang.
Namun pasukan dari perguruan Windu Putih ternyata
masih belum mengalir dengan derasnya memasuki pintu
gerbang. Yang kemudian berdiri di pintu gerbang adalah para
pemimpin perguruan itu. Yang berdiri di tengah adalah Kiai
Windu Putih itu sendiri. Kemudian di sebelah meny ebelah
adalah ketiga orang muridnya y ang telah memegang
padepokan mereka masing-masing. Namun mereka masih
tetap t erikat dengan perguruan induk, Windu Putih.
Dengan nada tinggi, Kiai Windu Putih itu pun kemudian
berkata lantang, "He, orang-orang padepokan Suriantal. Aku
masih memberimu kesempatan sekali lagi, agar kalian tidak
menyesal. Nah, meny erahlah."
Tetapi orang-orang dari padepokan Suriantal itu tidak
bergeser dari tempatnya. Justru senjata mereka telah teracu.
Mereka siap untuk bertahan sampai batas terakhir dari hidup
mereka. Namun tiba -tiba orang-orang padepokan Suriantal itu
menyibak. Beberapa orang menyusup diantara mereka dan
kemudian b erdiri di depan orang-orang padepokan Suriantal
yang siap itu. Ternyata kehadiran mereka telah mengejutkan orangorang
dari perguruan Windu Putih itu. Terutama orang yang
berdiri di paling depan. Orang yang mengaku guru dari Akuwu
Sangling itu. "Kau," desis Kiai Windu Putih.
Orang y ang mengaku dirinya guru Akuwu Sangling y ang
lama itu terseny um. Katanya, "Kau masih ingat kepadaku?"
"Tentu. Seumurku aku tidak akan melupakanmu," jawab
Kiai Windu Putih. "Terlebih-lebih aku," jawab guru Akuwu Sangling itu,
"aku tidak akan dapat m elupakan bukan saja kau, tetapi apa
yang telah kau lakukan."
Kiai Windu Putih tiba -tiba saja tertawa. Katanya, "Kau
masih meny esali peri stiwa itu" Itu bukan salahku. Kenapa kau
biarkan perempuan itu sendiri di rumah, sehingga aku sempat
mengambilnya. Satu hal yang perlu kau ketahui, bahwa
isterimu itu memang mengharapkan aku datang."
"Aku sudah mengerti," jawab guru Akuwu Sangling itu,
"sebenarnya aku tidak akan mempersoalkannya lagi. Tetapi
ketika kemudian aku tahu, bahwa anakku y ang dikandung oleh
perempuan yang mengkhianatiku itu kemudian kau singkirkan
untuk selama-lamanya, maka dendam itu telah membakar
hatiku." Kiai Windu Putih itu tertawa berkepanjangan. Katanya,
" Itu pun bukan salahku. Apa yang dapat aku lakukan, jika ia
menjadi sakit dan mati" Semua usaha sudah dilakukan. Semua
tabib dan dukun telah aku panggil. T etapi anak itu mati juga
meskipun umurnya sudah menjadi semakin mendekati
remaja. "Aku sudah m enunggu kesempatan seperti ini," berkata
orang y ang disebut guru Akuwu Sangling itu, "sekarang kita
bertemu dalam keadaan y ang pantas. Aku sudah minta kepada
para pemimpin dari padepokan Suriantal, bahwa aku ingin
mendapat kesempatan membuat perhitungan dengan Kiai
Windu Putih." "Bagus," berkata Kiai Windu Putih, "disini aku memang
merasa bahwa kedatanganku tidak lebih dari sekedar
menyaksikan ketiga orang m uridku membantai orang-orang
padepokan Suriantal."
Orang yang mengaku guru Akuwu Sangling itu m enarik
nafas dalam-dalam. Ia memang menyadari pula bahwa jumlah
orang-orang Windu Putih memang jauh lebih banyak dari
orang-orang padepokan Suriantal. Meskipun orang-orang
Suriantal berhasil mengurangi jumlah orang-orang Windu
Putih sebelum mereka memasuki pintu gerbang, namun
jumlah mereka masih tetap terlalu banyak.
Tetapi bahwa ia akan mengikat Kiai Windu Putih dalam
persoalan tersendiri, tentu akan dapat mengurangi beban
orang-orang dari padepokan Suriantal, meskipun beban itu
akan tetap merupakan beban yang sangat berat.
Dalam pada itu, maka Kiai Windu Putih pun kemudian
berkata, "Nah, sekarang apa yang kau inginkan?"
"Kita mencari tempat tersendiri. Marilah, kita akan
berada di halaman dalam padepokan ini. Agaknya kita tidak
akan banyak terganggu, karena pertempuran akan terjadi di
batas dinding padepokan," jawab guru Akuwu Sangling yang
lama itu. "Terserah kepadamu. Tetapi ketahuilah, bahwa
pertempuran akan segera memenuhi seluruh padepokan.
Semua orang padepokan ini yang tidak mau m eny erah akan
mati, sementara y ang lain akan menjadi budak-budak kami.
Meskipun demikian mungkin masih ada kesempatan hidup
bagi mereka yang meny erah itu," berkata Kiai Windu Putih.
Guru Akuwu Sangling itu pun kemudian berpaling
kepada Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Katanya, "Anak-anak
muda. Jangan hiraukan kami yang tua-tua ini. Kami akan
membuat permainan sendiri, yang barangkali tidak m enarik
bagi kalian. Namun mudah-mudahan dengan demikian aku
sudah membantu mengurangi kekuatan lawan meskipun
hanya satu orang." "Terima kasih Kiai," berkata Mahisa Murti, " silahkanlah.
Biarlah kami bertiga yang akan menghadapi ketiga orang
pemimpin yang lain. Mudah-mudahan orang-orang kami akan
mampu bertahan sampai kami dapat meny elesaikan para
pemimpin mereka." Guru Akuwu Sangling itu menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia tidak dapat berbuat lebih dari y ang akan
dilakukannya. Demikianlah, maka kedua orang tua itu telah
memisahkan diri untuk membuat perhitungan tersendiri,
sementara kedua pasukan dari padepokan Windu Putih dan
padepokan Suriantal telah bersiap untuk mulai dengan
pertempuran brubuh. Para pemimpin perguruan Windu Putih yang lain, mulamula
merasa heran akan sikap gurunya. Tetapi gurunya itu
pun berkata, "Aku akan m embuat perhitungan dengan orang
ini lebih dahulu. Selesaikan orang-orang padepokan ini, apa
pun y ang kalian kehendaki. Jumlah kita jauh lebih banyak dari
mereka. Aku berharap bahwa kalian akan dapat
menyelesaikan dalam waktu singkat."
Yang tertua diantara ketiga muridnya mengangguk.
Katanya, "Kami akan berbuat sebaik-baiknya guru."
Demikianlah, sepeninggalan Kiai Windu Putih, maka
yang t ertua diantara ketiga orang muridnya itu pun telah
memerintahkan untuk membunyikan isy arat. Mereka akan
segera meny erang dan menghancurkan padepokan Suriantal.
Demikianlah, sejenak kemudian, sekali lagi terdengar
suara bende. Iramanya datar, namun semakin lama semakin
cepat sebagai pertanda bahwa pasukan dari perguruan Windu
Putih itu harus dengan cepat menghancurkan lawan mereka.
Mahisa Murti, dan Mahisa Pukat dan Mahendra pun
telah bersiap pula. Mereka menyadari, bahwa ketiga murid
Kiai Windu Putih itu pun tentu merupakan orang-orang yang
berilmu sangat tinggi, sementara pasukannya jauh lebih besar
dari pasukan y ang ada. Pa da saat suara bende itu terdengar, maka seluruh
pasukan Windu Putih pun mulai bergerak. Mereka yang
mengepung padepokan itu, terutama y ang berada di sisi
Timur, berusaha untuk lebih cepat, mencapai dinding. Namun
dari atas dinding, perlawanannya datang dengan kekuatan
penuh dari sepasukan orang y ang terlatih.
Yang mendebarkan adalah mereka y ang berada di depan
pintu gerbang padepokan. Demikian isyarat itu terdengar,
maka mereka pun mulai bergerak, seperti air yang akan
memecahkan bendungan. Ketika ketiga orang pemimpin mereka memasuki
gerbang, maka sebenarnyalah bendungan itu bagaikan pecah.
Pa sukan Windu Putih telah dengan gegap gempita memasuki
padepokan dan mengalir ke segala arah.
Namun pasukan dari padepokan Suriantal telah
memperhitungkannya. Karena itu, maka anak panah pun telah
dilepaskan oleh mereka yang telah m enunggu di arah pintu
gerbang itu. Sementara mereka yang ada di panggungan,
diatas pintu gerbang, telah mengarahkan serangan mereka
kepada orang-orang Windu Putih yang telah berada di dalam.
Sergapan pertama itu memang telah menjatuhkan
banyak korban. Orang-orang Windu Putih yang tergesa -gesa
ingin menguasai padepokan itu telah kehilangan kewaspadaan
sehingga ujung-ujung anak panah telah mengoy ak dada
mereka. Namun para pemimpin kelompok cepat menguasai
keadaan. Perisai pun mulai dipergunakan sebaik-baiknya
menghadapi serangan itu. Mereka pun bahkan telah siap
untuk membalas meny erang.
Bahkan terdengar seorang pemimpin kelompok
meneriakkan aba-aba dengan marah, "Hancurkan mereka.
Mereka telah membunuh kawan-kawan kita."
Kemarahan memang membakar jantung orang-orang
Windu Putih, sehingga mereka benar-benar ingin
menghancurkan padepokan itu dalam waktu y ang sesingkatsingkatnya.
Bahkan tidak ada lagi seorang pun diantara orangorang
Windu Putih yang berniat untuk membiarkan lawanlawan
mereka untuk tetap hidup.
"Kami tidak memerlukan budak-budak. Kami akan
membunuh mereka semuanya, sebagaimana mereka
membunuh kawan-kawan kami," geram seorang pemimpin
kelompok. Dengan demikian, maka ketika ujung pasukan Windu
Putih mulai bersentuhan dengan pasukan dari padepokan
Suriantal, m aka pertempuran y ang dahsy at pun tidak dapat
dihindari lagi. Namun dengan demikian, maka kehancuran pasukan
padepokan Suriantal mulai terbayang.
Namun ternyata benturan dari ujung kedua pasukan itu
telah mengejutkan. Terutama bagi orang-orang Windu Putih.
Mereka sama sekali t idak m enduga, bahwa orang-orang
dari padepokan yang disebut Suriantal itu memiliki
kemampuan, ketrampilan dan kekuatan yang patut
dibanggakan. Mereka mampu mempergunakan senjata di


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tangan masing-masing dengan tangkas dan sangat berbahaya.
Bahkan orang-orang Windu Putih itu tidak lagi melihat orangorang
Suriantal y ang menurut pengetahuan mereka bersenjata
tongkat panjang. Yang kemudian mereka lihat di pertempuran
itu adalah pedang y ang tajam, y ang terbuat dari besi baja
pilihan, tombak pendek berlandaskan kayu berlian, canggah
dan trisula, bahkan senjata-senjata dari jeni s yang jarang
sekali pernah dilihat oleh orang-orang Windu Putih.
Sebenarnyalah orang -orang padepokan Suriantal, y ang
telah menempa diri dalam kesatuan ilmu yang utuh, telah
mengembangkan kemampuan m ereka atas jenis senjata yang
berbeda-beda. Senjata y ang mereka terima dari Singasari.
Sehingga karena itu, m aka sebagian besar dari orang-orang
padepokan Suriantal itu telah mempergunakan senjata
pilihan. Karena itulah, maka setiap orang padepokan Suriantal
sama sekali tidak ragu-ragu m empergunakan senjata mereka.
Mereka yakin bahwa senjata yang mereka terima dari
Singasari tentu lebih baik dari senjata orang-orang Windu
Putih y ang sebagian besar telah m ereka buat sendiri. Hanya
satu dua orang sajalah yang memiliki senjata y ang baik, yang
berhasil mereka rampas dari lawan-lawan mereka
sebelumnya. Ternyata kepercayaan orang-orang padepokan Suriantal
atas senjata mereka mempunyai pengaruh y ang besar dalam
pertempuran itu. Mereka yang membawa pedang telah
mengayun-ayunkan pedang mereka dengan kekuatan penuh
tanpa mencemaskan mata pedangnya akan patah. Bahkan
sebenarnyalah jika lawan mereka dengan kekuatan y ang besar
pula membenturkan pedang mereka y ang dibuat oleh orangorang
Windu Putih sendiri, maka ada diantara senjata mereka
yang patah di tengah. Dengan demikian, meskipun jumlah orang-orang
padepokan Suriantal jauh lebih sedikit, tetapi kepercayaan diri
mereka ternyata jauh lebih besar dari orang-orang Windu
Putih. Namun arus yang mengalir memasuki padepokan
memang sulit untuk dibendung. Orang-orang yang
mengepung padepokan itu, ternyata telah ikut pula mengalir
melalui pintu gerbang. Mereka tidak perlu berusaha untuk
meloncati dinding dengan kemungkinan yang buruk.
Dengan demikian, maka orang-orang padepokan
Suriantal yang ada diatas panggungan pada dinding -dinding
yang mengitari padepokan itu pun telah mengalir pula menuju
ke halaman depan. Mereka ikut menahan arus orang-orang
Windu Putih yang agaknya akan mengalir ke seluruh
padepokan. Dengan demikian, maka pertempuran seakan-akan
berpusat di sekitar pintu gerbang, justru di bagian dalam.
Namun bagaimanapun juga, arus y ang sangat deras telah
mendorong orang-orang padepokan Suriantal untuk menarik
diri perlahan-lahan. Tetapi seakan-akan hampir di setiap langkah mundur,
mereka telah m eninggalkan tubuh orang-orang Windu Putih
yang terkapar. Ketiga orang pemimpin padepokan Windu Putih,
ternyata belum m emasuki halaman semakin dalam. Mereka
justru bergeser menepi dan membiarkan orang-orangnya
membanjiri padepokan itu.
Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat diiringi
oleh Mahendra masih juga belum langsung turun ke m edan.
Mereka mengikuti gerak mundur orang-orang padepokannya.
Mereka ingin melihat suasana pertempuran itu dalam
keseluruhan, agar mereka dapat mengambil langkah yang
tepat. Demikianlah pertempuran yang semakin melebar itu
pun berlangsung semakin sengit. Ternyata secara pribadi
Orang-orang padepokan Suriantal memang memiliki
kelebihan dari orang-orang Windu Putih. Demikian pula jenis
senjata y ang mereka pergunakan. Namun jumlah orang-orang
Windu Putih yang jauh lebih banyak, telah berhasil mendesak
orang-orang padepokan Suriantal semakin surut.
Namun dalam pada itu, selagi orang-orang padepokan
Suriantal berjuang tanpa m engenal gentar mempertahankan
hak m ereka atas padepokan mereka, di luar padepokan telah
terjadi kegemparan. Beberapa orang y ang masih tinggal untuk
mengawasi keadaan di atas panggungan diatas dinding di
sebelah regol y ang pecah, tiba -tiba saja berteriak, "Pasukan
berkuda." Namun orang-orang Windu Putih tidak sempat berbuat
sesuatu. Pasukan berkuda yang berderap dengan cepat, tibatiba
saja telah m enyambar pasukan Windu Putih yang masih
berada di luar padepokan dan sedang berdesakan untuk
masuk lewat regol y ang runtuh.
Ternyata bahwa pasukan berkuda dari Sangling
gelombang pertama telah datang.
Serangan pasukan berkuda itu benar-benar mengejutkan
orang-orang Windu Putih. Mereka hampir tidak mendapat
kesempatan untuk berbuat sesuatu. Ujung-ujung pedang dan
tombak telah terjulur mematuk dada dan leher mereka.
Sejenak kemudian maka debu pun telah berhamburan.
Dalam waktu y ang singkat, kuda-kuda itu pun telah berputar.
Mereka telah berlari kembali ke arah pasukan Windu Putih.
Kembali kuda-kuda yang menebar itu menyambar dengan
dahsy atnya. Korban pun telah berjatuhan. Para pemimpin kelompok
yang berada di bagian belakang itu pun segera m engatur diri.
Dengan tergesa -gesa mereka menyusun orang-orangnya untuk
menghadapi pasukan berkuda yang tidak terlalu banyak
jumlahnya itu. Namun y ang ternyata bagaikan sekelompok
burung sikatan menyambar bilalang.
Kedatangan pasukan berkuda itu benar-benar telah
mengguncang keseimbangan pertempuran itu.
Orang-orang Windu Putih yang semula m erasa bahwa
mereka akan dengan mudah menghancurkan lawannya,
mereka harus membuat perhitungan-perhitungan baru. Jika
semula dengan sewenang-wenang mereka akan dapat
menentukan apa pun yang mereka inginkan atas lawan
mereka, ternyata persoalannya telah berubah sama sekali.
Para prajurit Sangling yang memang terlatih itu benarbenar
menggetarkan jantung orang-orang Windu Putih.
Pa sukan berkuda itu benar-benar pasukan y ang perkasa.
Meskipun jumlahnya tidak begitu banyak, namun orangorang
Windu Putih telah berhasil diporak-porandakan pada
bagian belakang. Sementara mereka y ang telah berhasil
memasuki reg ol telah menghadapi perlawanan yang keras pula
dari orang-orang Suriantal y ang terlatih.
Dengan demikian, maka orang-orang Windu Putih tidak
lagi dapat berbuat menurut keinginan mereka. Korban telah
berjatuhan, sehingga jumlah m ereka pun telah cepat menjadi
su sut. Para pemimpin perguruan Windu Putih itu pun telah
mengumpat sejadi-jadinya. Dengan garang salah seorang
diantara mereka berkata, "Kita hancurkan saja lebih dahulu
pasukan berkuda itu. Baru kemudian kita akan dapat berbuat
apa saja terhadap padepokan ini. Kita dapat menuangkan sakit
hati kita karena korban y ang jatuh itu atas orang-orang
padepokan ini. Sehingga karena itu, maka sebagian dari orangorang
padepokan ini memang harus tertangkap hidup-hidup
agar kita mendapat kepuasan karenanya."
Seorang y ang lain pun kemudian menyahut, "Ya. Kita
hancurkan orang-orang berkuda itu lebih dahulu dengan
kemampuan tertinggi kita."
Namun ketika ketiga orang itu siap untuk bergerak,
maka dua orang penghubung telah datang kepada mereka.
Seorang diantara m ereka telah melaporkan, "beberapa orang
telah membunuh orang-orang kita dengan semena-mena."
"Siapa?" bertanya murid Kiai Windu Putih y ang tertua.
"Antara lain kedua orang anak muda yang disebut Putut
itu," jawab penghubung itu.
"Apakah sekelompok-sekelompok tidak mampu
menahan mereka?" bertanya murid-murid Kiai Windu.
"Sudah dicoba. Tetapi selalu gagal," jawab penghubung
itu. "Lihatlah," berkata y ang tertua, "Aku akan melihat
orang-orang berkuda itu."
Kedua orang saudara seperguruannya mengangguk.
Mereka pun kemudian menyusup diantara pasukannya untuk
melihat apa yang telah dilakukan oleh kedua orang Putut
muda itu. Dan bahkan seorang lagi yang belum dikenal
sebelumnya. Sebenarnyalah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak
dapat berdiam diri m elihat orang-orang padepokan Suriantal
itu bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan dan
tenaga. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat melihat kelebihan
dari orang-orang Suriantal pada benturan pertama. Tetapi jika
pertempuran itu berlangsung lama, maka orang-orang
Suriantal tentu akan kehabisan tenaga, karena mereka telah
mengerahkan segenap tenaga mereka sejak benturan pertama
terjadi. Demikian banyaknya lawan, maka mereka memang
tidak dapat berbuat lain kecuali mengerahkan segenap tenaga
dan kemampuan. Namun dengan demikian mereka tidak akan
dapat bertahan pada tingkat kemampuan mereka sampai
matahari terbenam. Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah turun pula ke m edan. Namun mereka tidak sampai hati
untuk membakar lawan-lawan mereka dengan kekejaman
yang tidak t erbatas meskipun mereka mampu m elakukannya.
Jika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat dengan mengerahkan
ilmu mereka memasuki lingkungan lawan, maka ia akan dapat
membunuh lawan tanpa hitungan.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah terjun ke
pertempuran dengan cara-cara sebagaimana dilakukan oleh
kedua belah pihak yang sedang bertempur.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah m empergunakan
pedang di tangan mereka. Dengan pedang itu, keduanya telah
bertempur dan satu-satu melumpuhkan lawannya. Tetapi
bukan berarti bahwa ia telah membunuh dan menghancurkan
lawannya yang tidak memiliki ilmu yang seimbang menjadi
abu. Meskipun dengan pedang di tangan, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat benar-benar menggetarkan lawan-lawan
mereka. Setiap ay unan pedang telah melemparkan seorang
diantara lawannya, sehingga dengan demikian, m aka kedua
orang itu seakan-akan telah menjadi hantu di riuhnya
pertempuran. Dalam pada itu, dua orang murid terpercaya dari
perguruan Windu Putih y ang telah mendapat kepercayaan
untuk memimpin padepokan tersendiri itu akhirnya sampai
juga di medan y ang garang itu. Mereka melihat bagaimana
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bertempur bagaikan banteng
yang terluka. "Anak-anak gila," desis salah seorang murid Windu
Putih itu. Yang lain tidak menjawab. Tetapi m ereka berdua
telah melangkah semakin dekat.
"He, siapakah kalian sebenarnya?" bertanya salah
seorang dari kedua orang murid Windu Putih itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terkejut mendengar
sa paan itu. Mereka pun kemudian telah bergeser m asuk ke
dalam lingkungan pertahanan pasukan padepokan Suriantal.
"Kalian murid-murid perguruan Windu Putih y ang
terpercaya itu?" bertanya Mahisa Pukat.
"Ya. Tetapi kalian belum menjawab pertanyaanku,"
sahut orang itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
menempatkan diri, sementara kedua orang itu pun telah
berada dihadapan mereka. Dengan demikian maka orangorang
mereka dari kedua belah pihak pun telah meny ibak
pula. "Aku Putut Mahisa Murti dan Putut Mahisa Pukat,"
jawab Mahisa Murti. Murid terpercaya dari perguruan Windu Putih itu pun
mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata,
"Bagus. Jadi aku berhadapan dengan pemimpin padepokan
Suriantal. Tetapi aku ingin tahu, dari perguruan manakah
sebenarnya kalian berdua. Seorang Putut adalah seorang
pemimpin dari sekelompok cantrik dari sebuah perguruan.
Nah, sebut perguruanmu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat memang sulit untuk
menyebut sebuah perguruan. Mereka bukan benar-benar
Putut y ang pernah menjadi pemimpin sekelompok cantrik dari
sebuah perguruan. Tetapi mereka meny ebut diri mereka Putut
karena mereka tidak mau mendapat sebutan lain.
"He, sebut perguruanmu dan siapakah gurumu?" bentak
murid Windu Putih itu. Mahisa Murti termangu -mangu. Namun kemudian
katanya, "Kami adalah Putut dari perguruan Suriantal."
Kedua orang murid terpercaya dari Windu Putih itu
tertawa. Seorang diantara mereka berkata, "Jangan mengigau.
Orang-orang Suriantal mempunyai ciri orang-orang
bertongkat yang ke m ana-mana m embawa tongkat panjang.
Bukan saja untuk bertempur dan melindungi diri, tetapi
sekali-sekali dapat juga untuk mencuri jambu air di
perjalanan." "Tepat," jawab Mahisa Pukat, "t ongkat-tongkat itu
mempunyai arti ganda. Sebagai senjata dan sekaligus untuk
dijadikan galah yang dapat untuk merontokkan bukan saja
jambu air, tetapi juga kepala kalian."
"Setan," geram salah seorang dari murid Windu Putih,
"jangan mencoba menghina kami. Kami mempunyai kebiasaan
menghukum berat, siapa pun yang berani menghina kami."
" Ingat Ki Sanak. Kita berada di m edan pertempuran,"
berkata Mahisa Pukat, "kita tidak berhak saling menghukum.
Tetapi kita justru berhak saling membunuh."
Kedua orang itu menggeram. Mereka benar-benar
menjadi marah. Karena itu, maka keduanya pun kemudian
telah melangkah merenggang.
Sementara itu, pertempuran di padepokan itu telah
merambat semakin dalam. Di beberapa tempat orang-orang
dari padepokan Suriantal telah terdesak. Beberapa orang yang


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada diatas panggungan telah berloncatan turun untuk
membantu kawan-kawannya. Namun orang-orang Windu
Putih masih saja selalu mendesak.
Tetapi dengan kehadiran orang-orang berkuda, maka
orang-orang Windu Putih yang berada di luar padepokan tidak
lagi dengan tergesa -gesa berusaha memasuki pintu gerbang.
Mereka telah berusaha untuk mengerahkan kemampuan
mereka menghadapi orang-orang berkuda y ang garang. Yang
ternyata adalah prajurit berkuda dari Sangling.
Dengan demikian maka arus pasukan Windu Putih y ang
memasuki padepokan Suriantal itu pun bagaikan terbendung.
Bukan karena kekuatan dari dalam lingkungan padepokan,
tetapi justru terhisap dari luar.
Namun para pemimpin kelompok orang-orang Windu
Putih pun segera berusaha mengatasi keadaan. Mereka segera
menempatkan diri dalam gelar yang mapan untuk bertempur
menghadapi sekelompok pasukan berkuda.
Dengan demikian, maka pa sukan berkuda dari Sangling
itu pun mulai mendapat perlawanan y ang sebenarnya. Namun
mereka sudah terlanjur menjatuhkan banyak korban.
Dalam pada itu, kedua orang pemimpin dari perguruan
Windu Putih itu pun sudah siap menghadapi Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Keduanya merasa mempunyai kemampuan
dan ilmu yang tinggi sehingga m ereka memang terlalu y akin
bahwa dalam waktu dekat, m ereka akan dapat menyelesaikan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Namun mereka pun tidak mau membunuh lawannya
dengan serta merta, apalagi keduanya merasa yakin pula
bahwa orang-orangnya akan dapat segera menghancurkan isi
padepokan itu. Namun dalam pada itu, di sisi lain, seorang tua telah
bertempur melampaui garangnya burung alap-alap diantara
sekumpulan burung merpati. Mahendra yang juga bersenjata
pedang, telah melemparkan setiap orang yang meny erangnya.
Sehingga dengan demikian, maka orang-orang Windu Putih
yang ada di sekitarnya menjadi demikian cepatnya susut.
Bahkan orang-orang dari padepokan Suriantal y ang bertempur
bersamanya menjadi heran pula, sehingga kadang-kadang
mereka tidak tahu apa yang telah terjadi."
Sementara itu, orang-orang Windu Putih tidak lagi dapat
mendesak orang-orang padepokan Suriantal seperti
sebelumnya. Orang-orang Suriantal y ang jumlahnya lebih
sedikit, namun memiliki kemampuan secara pribadi lebih
besar dari orang-orang Windu Putih, memang mampu
menahan lawan. Namun para pemimpin kelompok menyadari, bahwa
mereka tidak akan mampu mempertahankan day a tahan
mereka sampai matahari terbenam. Sehingga karena itu, jika
tidak ada perubahan yang terjadi, maka pada saat matahari
turun ke Barat, orang-orang Suriantal yang telah memeras
segenap kekuatan dan kemampuannya akan tidak lagi mampu
bertempur dengan sepenuh tenaga.
Di luar padepokan, para prajurit berkuda dari Sangling
masih saja b ertempur dengan garangnya. Kuda -kuda m ereka
berlari-larian hilir mudik. Debu yang kelabu berhamburan di
belakang kaki-kaki kuda, sementara mata pedang dan tombakpun
berkilat-kilat diterpa sinar matahari.
Pertempuran baik di dalam maupun di luar padepokan
menjadi semakin sengit. Namun sebenarnyalah jumlah
pasukan memang sangat berpengaruh. Meskipun para prajurit
berkuda dari Sangling telah bertempur dengan cara yang
paling baik dilakukan oleh sekelompok pasukan y ang kecil
berhadapan dengan pasukan yang lebih besar, dengan
menyerang dan berlari, namun mereka mulai merasakan
perlawanan yang berat dari orang-orang Windu Putih yang
jumlahnya lebih banyak itu.
Untuk beberapa saat pertempuran itu nampaknya
memang berimbang. Namun kemudian ternyata y ang sudah
terlanjur mengerahkan segenap kekuatannya telah mulai
menjadi susut. Karena itu, perlahan-lahan orang-orang Windu
Putih mulai merambat maju lagi betapapun lambatnya.
Sementara itu, dua orang murid perguruan Windu Putih
yang telah berhadapan dengan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah mulai m eny erang lawan masing-masing. Namun
kedua orang murid perguruan Windu Putih itu pun telah
menggenggam senjata di tangan. Ternyata keduanya telah
membawa sebatang tombak pendek. Yang lebih tua dari kedua
orang itu berkata, "Bia sanya orang-orang Suriantal lah yang
membawa tongkat panjang. Sekarang justru akulah yang
bertongkat. Biarlah kalian menilai, siapakah yang lebih baik
mempergunakan tongkat. Kami atau kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
menjawab. Tetapi mereka pun kemudian telah bersiap untuk
bertempur menghadapi kedua murid t erpilih dari perguruan
Windu Putih itu. Karena itu, ketika ujung -ujung tombak mulai berbicara,
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun segera berloncatan
bukan saja sekedar menghindar, tetapi juga menyerang.
Kedua orang murid terpilih dari perguruan Windu Putih
memang menjadi heran melihat kemampuan kedua orang
anak muda y ang mengaku sebagai Putut itu dalam ilmu
pedang. Meskipun keduanya tidak membawa peri sai, tetapi
keduanya mampu mengimbangi putaran tombak lawan-lawan
mereka. Sementara itu, seorang murid Kiai Windu Putih y ang
tidak melibatkan diri melawan kedua orang Putut di
padepokan Suriantal itu telah berada di luar padepokan.
Dengan tajamnya diamatinya para prajurit Sangling dari
pasukan berkuda yang menyambar-nyambar. Beberapa saat ia
berdiri tegak. Namun kemudian ia pun menggeretakkan
giginya sambil berdesis, "Mereka harus dibunuh."
Namun ketika orang itu mulai bergerak, tiba -tiba
terdengar sorak yang menggelegak dari para prajurit Sangling.
Ternyata mereka telah melihat pasukan berkuda yang
menyusul mereka. Pasukan berkuda dari gelombang kedua itu
pun ternyata tidak membuang banyak waktu. Dengan serta
merta mereka telah turun ke medan dari sisi yang lain.
Orang-orang Windu Putih kembali bagaikan diguncang.
Kuda-kuda y ang baru datang itu menyambar-nyambar
segarang pasukan y ang datang lebih dahulu. Agaknya mereka
pun tidak mau menyia-ny iakan saat-saat yang penting di kala
orang-orang Windu Putih terkejut melihat kehadiran mereka.
Namun dalam goncangan-goncangan itu, murid
terpercaya dari pasukan Windu Putih itu mulai m enggeram.
Dengan langkah tetap ia berjalan, menguak para pengikutnya
dan m enuju ke garis benturan antara orang-orangnya dengan
pasukan berkuda dari Sangling itu.
Kehadiran pasukan berkuda pada gelombang kedua itu
telah membuat goncangan-goncangan baru pada seluruh
pertempuran itu. Para pengikut Windu Putih diluar
padepokan susut dengan cepat, sehingga beberapa kelompok
memang harus ditarik dari dalam padepokan. Mereka yang
sudah terlanjur berdesakan memasuki padepokan harus
ditarik kembali untuk menghadapi pasukan berkuda yang
jumlahnya semakin banyak.
"Gila," geram murid terpercaya dari Windu Putih itu,
"aku harus membunuh mereka."
Selangkah demi selangkah murid terpercaya dari Windu
Putih itu m aju terus, sehingga akhirnya ia muncul di garis
benturan. "Setan-setan dari Sangling," tiba-tiba orang itu berteriak,
"jangan terlalu besar kepala. Sebentar lagi, kalian semua akan
terbunuh di sini." Seorang prajurit berkuda melihat orang y ang berdiri
bertolak pinggang itu. Karena itu, maka tiba -tiba saja kudanya
telah berlari dengan serta m erta ke arah orang y ang berdiri
dengan dada tengadah itu.
Namun yang terjadi sangat mengejutkannya. Orang y ang
berdiri itu nampaknya tidak berbuat sesuatu. Namun
demikian kuda itu meluncur dihadapannya, maka
penunggangnya telah terpelanting jatuh dan untuk seterusnya
tidak pernah bangun lagi.
Beberapa orang kawan prajurit berkuda itu terkejut.
Namun mereka segera menyadari, bahwa orang itu tentu
orang y ang memiliki ilmu yang sangat tinggi.
Dengan demikian maka para prajurit dari pasukan
berkuda itu menjadi sangat berhati-hati. Mereka pun
kemudian seakan-akan telah menjauhi orang berilmu tinggi
itu. Mereka meny erang orang -orang Windu Putih yang
berjarak agak jauh dari orang berilmu tinggi itu.
Orang itu agaknya menyadari, bahwa para prajurit
berkuda itu dengan cerdik mencari sa saran yang paling lemah
dari orang-orang Windu Putih. Karena itu, maka ia pun
kemudian telah meloncat maju. Dengan tangkasnya ia bersiap
menghadapi orang-orang berkuda y ang berkeliaran di luar
padepokan. Ternyata para prajurit berkuda tidak membiarkannya.
Dua orang prajurit berkuda bersama-sama telah
menyerangnya. Namun keduanya pun telah terpelanting jatuh
dari atas punggung kudanya. Seperti y ang terdahulu, maka
keduanya-pun tidak bangkit pula untuk seterusnya.
Para prajurit berkuda semakin yakin akan kemampuan
orang itu. Karena itulah maka mereka telah menjadi semakin
berhati-hati lagi. Mereka berputaran dalam beberapa
lingkaran menyambar pasukan Windu Putih yang ter sebar.
Tetapi tidak mendekati orang y ang berilmu tinggi itu.
Murid terpercaya dari perguruan Windu Putih itu
menjadi semakin sangat marah. Dengan lantang ia berteriak,
"Pengecut. Ayo, siapa yang berani menghadapi aku sekarang
ini." Tetapi para prajurit dari pasukan berkuda itu sama
sekali tidak menghiraukannya. Mereka masih sempat
mempergunakan penalaran y ang jernih. Dengan demikian
mereka tidak terpancing untuk meny erang orang y ang berilmu
sangat tinggi itu. Sementara itu dengan marah orang y ang berilmu tinggi
itu berusaha untuk mendapatkan lawan. Sambil m engumpatumpat
ia menantang prajurit-prajurit berkuda itu untuk
mendekat. Tetapi kuda-kuda mereka setiap kali sempat
membawa setiap prajurit untuk menghindarinya.
Dengan demikian kemarahan menjadi semakin
menghentak-hentak. Tetapi ia tidak berhasil mendapatkan
seorang lawan pun. Dalam kemarahan itu, jantungnya menjadi semakin
cepat berdegub. Bahkan rasa-rasanya dadanya hampir
meledak. Namun ia tidak dapat berlari-lari mengejar kudakuda
y ang menyambar-nyambar. Kemarahannya menjadi semakin memuncak, ketika ia
melihat pasukan berkuda y ang datang pada gelombang ketiga.
Pa sukan berkuda y ang justru datang bersama Akuwu Sangling
sendiri. Dengan demikian maka kekuatan pasukan berkuda itu
pun m enjadi semakin besar, sementara orang -orang Windu
Putih, terutama yang berada di luar padepokan itu pun
menjadi semakin cemas menghadapi keny ataan seperti itu.
Kedatangan pasukan y ang baru itu benar-benar telah
mengacaukan pertahanan orang -orang Windu Putih.
Sementara itu, mereka y ang telah berada di dalam lingkungan
padepokan pun telah terhisap semakin banyak keluar,
sehingga beban orang-orang padepokan Suriantal pun menjadi
semakin ringan. Mereka tidak perlu lagi mengerahkan segenap
kemampuan dan kekuatan mereka tanpa memikirkan
kemungkinan pertempuran y ang akan memerlukan waktu
yang lama. Mereka menumpahkan segenap kemampuan
mereka untuk bertahan agar mereka tetap hidup, meskipun
jika tidak terjadi perubahan, mereka hanya sekedar mampu
memperpanjang saat-saat menjelang kematian.
Tetapi perubahan itu m emang terjadi. Pasukan berkuda
dari Sangling telah meny elamatkan mereka. Orang-orang
Windu Putih y ang jumlahnya terlalu banyak itu, sebagian
harus berhadapan dengan pasukan berkuda yang mampu
bergerak cepat. Mereka sengaja bertempur diatas punggung
kuda, agar mereka dapat mempergunakan cara yang
menyulitkan lawan. Memukul dan menghindar.
Dalam pada itu, para prajurit berkuda y ang telah datang
lebih dahulu di arena, tidak sempat memperingatkan para
prajurit baru y ang datang kemudian. Dua orang prajurit
berkuda y ang melihat seseorang berdiri di arena, telah
menyerang bersama-sama dari dua arah. Namun seperti yang
pernah terjadi, maka keduanya telah terlempar dari punggung
kuda mereka untuk seterusnya tidak pernah terbangun lagi.
Seorang pemimpin kelompok dari pasukan berkuda itu
kemudian berkata, "Hindari orang itu."
"Pengecut. Ayo, siapa yang berani menghadapi aku,"
tantang murid terpercaya dari perguruan Windu Putih itu.
Para prajurit memang tidak menghiraukannya. Tetapi
seorang diantara mereka y ang datang berkuda itu telah
mendekatinya. Ia tidak meny erang dengan serta merta. Tetapi
ketika ia berada beberapa langkah dihadapan orang itu, maka
orang berkuda itu justru meloncat turun.
"Kau siapa?" bertanya orang y ang marah itu.
"Mahisa Bungalan," jawab orang berkuda itu, "Akuwu
Sangling." Murid terpercaya dari perguruan Windu Putih itu
mengangguk-angguk. Katanya, "Jadi kaulah Akuwu Sangling?"
"Ya. Aku Akuwu Sangling yang baru," jawab Mahisa
Bungalan. Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya,
"Baiklah. Kau sudah mengacaukan rencanaku dengan
kedatangan prajurit-prajuritmu. Karena itu, m aka kau harus
menanggung akibatnya. Kau harus mati."
Tetapi Akuwu Sangling itu menjawab, "Marilah. Kita
akan melihat siapakah yang akan mati. Aku m emang m erasa
tersinggung atas tingkah lakumu y ang sewenang-wenang.
Karena kau merasa kuat, maka tanpa sebab, kau serang
padepokan yang lebih kecil ini."
"Persetan," jawab m urid tertua Windu Putih itu, "apa
pedulimu. Aku berhak untuk menghancurkan siapa pun yang
akan dapat mengganggu kedudukanku."


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Itulah yang aku sebut sewenang-wenang. Kau terlalu
mementingkan dirimu sendiri dan perguruanmu," jawab
Akuwu Sangling, "sebagai Akuwu di Sangling, aku memang
mempunyai kewajiban untuk melindungi orang-orang yang
lemah, y ang akan menjadi korban ketamakanmu."
"Kenapa kau yang ikut campur di lingkungan ini"
Kenapa tidak Akuwu Lemah Warah?" geram orang itu.
"Siapa pun y ang mengetahui tingkah lakumu itu, berhak
untuk mencegahnya. Termasuk Sangling yang memerintah
atas nama Kediri sebagai kepanjangan jalur pemerintahan
Singasari." "Omong kosong," geram orang itu, "Kediri bukan
Singasari." "Bukan waktunya untuk berbicara tentang Kediri dan
Singasari. Sekarang meny erahlah. Tarik semua orangorangmu
y ang menjadi semakin su sut, sebelum mereka binasa
seluruhnya." "Orang-orangku jauh lebih banyak," geram orang itu.
"Mungkin semula begitu," jawab Akuwu Sangling, "tetapi
sekarang tidak lagi. Orang -orangmu telah banyak sekali yang
tidak berdaya lagi. Mungkin terluka parah, bahkan mungkin
terbunuh di peperangan ini."
"Karena itu, kau harus menjadi tebusannya. Kau harus
mati," geram orang itu.
Akuwu Sangling tidak menjawab lagi. Ketika orang itu
bergeser, maka Mahisa Bungalan yang memiliki k emampuan
ilmu y ang sangat tinggi itu pun telah bersiap.
Demikianlah keduanya telah ber siaga. Murid terpercaya
dari perguruan Windu Putih itu m ulai bergeser. Sementara
Akuwu Sangling pun mulai berputar pula menghadap ke arah
lawannya bergerak. Sementara itu, para prajurit Sangling menjadi semakin
leluasa bergerak. Tidak ada lagi orang yang harus
diperhitungkan. Mereka bergerak semakin cepat dengan kudakuda
mereka. Meny ambar dengan pedang, kemudian berpacu
menjauh sebelum mereka memutar kuda mereka dan
menyerang kembali ke arah lain.
Korban diantara orang-orang Windu Putih menjadi
semakin banyak. Namun para pemimpin kelompok diantara
mereka-pun berusaha untuk mengatasi kesulitan y ang mereka
hadapi. Mereka merapat dalam kelompok-kelompok. Dengan
kemampuan yang ada pada mereka, maka kelompokkelompok
itu berusaha untuk melawan setiap prajurit Sangling
yang menyambar dengan kuda-kuda mereka. Ujung-ujung
pedang dan tombak telah teracu sehingga tidak ada seujung
duri pun lubang yang akan dapat ditembus oleh senjata orangorang
berkuda itu. Tetapi orang-orang Sangling pun menyadari bahaya
yang mereka hadapi. Karena itu, maka mereka telah
mengambil sikap pula. Mereka tidak lagi menyambar-nyambar
sebagaimana telah mereka lakukan seorang demi seorang.
Namun mereka-pun kemudian telah menyerang dalam
kelompok-kelompok pula, sehingga dengan demikian, maka
kelompok-kelompok orang Windu Putih tergetar karenanya.
Dalam perang gelar dan kelompok, prajurit Sangling
memang memiliki kemampuan yang tinggi. Sehingga dengan
demikian, maka mereka benar-benar telah menghisap para
pengikut dari perguruan Windu Putih justru keluar dari
padepokan. Dengan demikian maka orang-orang dari padepokan
Suriantal seakan-akan telah mendapat kesempatan untuk
mengurangi ketegangan. Jantung mereka tidak lagi berdegup
terlalu keras. Meskipun ada juga di antara mereka yang jatuh
oleh tusukan senjata lawan, namun jumlah orang-orang
Windu Putih y ang susut dengan cepat, telah m embuat tugas
mereka semakin ringan. Sebenarnyalah, di dalam lingkungan padepokan
Suriantal itu sendiri, seorang telah ikut bertempur diantara
orang-orang padepokan itu. Dengan kemampuannya y ang luar
biasa, ternyata ia pun berhasil mengurangi jumlah lawan
dengan cepat. Hampir setiap kejap mata, ia telah
menyingkirkan seorang lawan. Meskipun pedangnya tidak
selalu menghunjam ke jantung, tetapi luka di pundak, di
lambung dan di bagian-bagian tubuh y ang lain, telah
melumpuhkan lawan-lawannya itu pula.
Orang itu memang sudah tua. Ujudnya tidak lebih
berbahaya dari orang -orang padepokan Suriantal. Namun
ternyata bahwa senjatanya benar-benar sangat berbahaya bagi
lawan-lawannya. Orang itu adalah Mahendra.
Ia tidak sempat menghadapi seorang lawan y ang berilmu
tinggi. Sehingga karena itu, m aka ia bertempur sebagaimana
orang-orang padepokan Suriantal itu bertempur. Namun
karena Mahendra m emang memiliki ilmu yang sangat tinggi,
maka yang dilakukannya benar-benar telah mengacaukan
gelar orang-orang perguruan Windu Putih.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat y ang
bertempur melawan dua orang murid terpercaya dari Windu
Putih, telah meningkatkan ilmunya pula. Ternyata bahwa
kedua orang murid Windu Putih itu telah membentur
kekuatan dua orang anak-anak muda y ang berilmu sangat
tinggi. Dengan demikian, maka lambat laun, keduanya mulai
merasa betapa beratnya harus melayani kedua Putut yang
masih muda itu. Sementara hiruk pikuk pertempuran terjadi di dalam
dan di luar padepokan, dua orang telah m engambil tempat
yang khusus. Kiai Windu Putih dan orang y ang meny ebut
dirinya guru Akuwu Sangling yang lama.
Kedua orang itu ternyata telah menyimpan persoalan
yang tumbuh sejak lama. Tidak hanya satu dua tahun. Tetapi
di saat-saat mereka masih t erjerat oleh persoalan seorang
perempuan. Namun yang paling m enyakitkan hati bagi orang y ang
menyatakan diriny a guru Akuwu Sangling itu adalah kematian
anaknya y ang dilahirkan oleh seorang perempuan yang
kemudian mengkhianatinya, karena ia memilih Kiai Windu
Putih. Keduanya adalah orang -orang yang sudah keny ang
makan asin pahitnya kehidupan. Karena itu, cara mereka
mengatasi persoalan mereka pun mereka lakukan dengan cara
tersendiri. Untuk beberapa saat keduanya berdiri berhadapan
diantara barak-barak padepokan. Dengan nada tinggi Kiai
Windu Putih masih juga berkata, "Jadi kau masih juga
menuntut kematian anakmu?"
"Ya. Aku tidak peduli tentang perempuan jahanam itu.
Tetapi anakku adalah keturunanku," berkata guru Akuwu
Sangling itu, "karena itu, maka nilainya sama dengan jiwaku
sendiri." "Bagus," berkata Kiai Windu Putih, "bersiaplah. Kita
sudah sama-sama tua sekarang. Kita sudah cukup
berpengalaman, sehingga kita tidak perlu lagi berbasi-basi."
"Aku mengerti. Marilah," jawab guru Akuwu Sangling.
Kiai Windu Putih termangu-mangu sejenak. Namun ia
pun kemudian telah bersiap. Demikian juga guru Akuwu
Sangling y ang lama itu telah berdiri tegak menghadap ke arah
Kiai Windu Putih. Untuk beberapa saat keduanya saling berpandangan.
Namun ternyata mereka benar -benar tidak memerlukan waktu
untuk saling menjajagi. Ternyata bahwa pandangan mata keduanya semakin
lama semakin menjadi semakin tajam. Keduanya ternyata
telah m elepaskan ilmu m ereka masing-masing. Dengan sorot
mata, keduanya berusaha untuk saling mempengaruhi.
Keduanya berusaha untuk mengangkat dan membanting
lawannya. Pertempuran y ang aneh itu berlangsung untuk beberapa
lamanya. Namun ternyata keduanya tidak segera berhasil
mengatasi lawannya. Keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan
mereka. Tetapi keduanya masih tetap berdiri dan berjejak
diatas tanah. Demikian dahsyatnya kedua orang itu mengerahkan
segenap kemampuan yang ada di dalam diri m ereka masingmasing,
sehingga dari ubun-ubun m ereka nampak a sap putih
yang mengepul. Namun akhirnya mereka menganggap bahwa y ang
mereka lakukan itu akan sia -sia. Mereka akan dapat bersamasama
jatuh terkapar dan mungkin justru mati dibunuh oleh
orang-orang y ang tidak berilmu sama sekali.
Karena itu, maka Kiai Windu Putih pun kemudian telah
memberikan isyarat, agar pertempuran yang tidak akan dapat
membuat peny elesaian itu dihentikan saja.
Lawannya ternyata menanggapinya. Perlahan-lahan
keduanya telah menurunkan kadar kemampuan mereka,
sehingga akhirnya terlepas sama sekali.
Sejenak keduanya berdiri termangu-mangu. Nafas
mereka terengah-engah sedangkan seluruh tubuh mereka
telah basah oleh keringat yang bagaikan terperas dari tubuh
mereka. Namun ketika nafas mereka mulai teratur kembali, maka
mereka pun segera ber siap pula. Mereka akan mulai dengan
pertempuran-pertempuran dengan cara lain y ang tidak kalah
dahsy atnya. Kedua orang yang berdiri berjarak beberapa langkah itupun
kemudian saling mendekat. Keduanya pun kemudian
bersiap dan mulai bertempur sebagaimana dua orang yang
bertempur secara wadag. Tetapi gerak keduanya agaknya nampak sangat lamban.
Keduanya hanya m engayun-ayunkan tangannya sekali-sekali.
Sedangkan y ang lain bergeser menghindar dengan gerak yang
lamban pula. Dalam pada itu, Mahendra yang kemudian berkisar dari
arena pertempuran telah melihat kedua orang yang bertempur
itu. Sejenak ia termangu-mangu. Sebagai seorang yang
berilmu tinggi pula. Maka Mahendra pun segera m engetahui
tentang keduanya. Karena itu ia pun kemudian berdesis
dengan suara berat, "Ternyata keduanya adalah saudara
seperguruan." Pengakuan itu belum pernah disebut -sebut oleh orang
yang mengaku guru Akuwu Sangling itu. Namun menilik ilmu
yang mereka tumpahkan dalam perang tanding itu, maka
agaknya kesimpulan Mahendra tidak keliru.
Sebenarnyalah bahwa keduanya adalah saudara
seperguruan, Orang yang mengaku guru Akuwu Sangling itu
lebih dahulu berguru dari pada Kiai Windu Putih. Namun
dalam pada itu, di saat-saat mereka mencapai usia dewasa,
seorang perempuan telah mengacaukan persaudaraan mereka.
Perempuan itu ternyata juga seorang perempuan y ang berjiwa
rendah, sehingga y ang terjadi adalah pengkhianatan terhadap
kesetiaan seorang suami. Dalam pada itu, maka pertempuran itu pun berlangsung
dengan sengitnya. Meskipun keduanya bergerak lamban
sekali, t etapi ternyata tenaga y ang terlontar dari gerakangerakan
y ang lamban itu memang sangat besar. Bahkan bukan
sentuhan wadag itu sendiri, tetapi angin yang terayun pun
bagaikan prahara y ang menerpa dinding -dinding barak di
sebelah meny ebelahnya. Sebenarnyalah barak-barak itu menjadi retak. Dindingdinding
pun telah terhempas dan bahkan kemudian tiangtiangnya
pun telah berpatahan pula.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat
kerusakan y ang ditimbulkan oleh kedua orang itu justru lebih
besar dari kerusakan y ang timbul karena pertempuran yang
seakan-akan telah merata di seluruh padepokan.
Namun akhirnya Mahendra mengambil keputusan untuk
tidak mencampuri pertempuran yang dahsyat itu. Ia sadar,
jika ia berpihak, maka orang y ang harus melawan dua orang
sekaligus itu tentu akan kalah. Tetapi y ang menang pun
mungkin justru akan merasa terhina, sehingga justru akan
dapat timbul persoalan yang lain.
Karena itu, untuk sementara Mahendra telah kembali
untuk menyusut jumlah lawan. Tetapi Mahendra tidak
bertempur di satu tempat. Ia bergerak dari satu tempat ke
tempat lain. Di setiap garis pertempuran Mahendra telah
meninggalkan tubuh lawan y ang berserakan.
Dengan demikian maka Mahendra telah benar-benar
men-jadi hantu tua di medan perang itu.
Sebenarnyalah, bahwa orang-orang Windu Putih telah
menjadi semakin susut. Di luar padepokan, keadaan mereka
lebih parah daripada di dalam padepokan.
Namun pertempuran antara Akuwu Sangling dan murid
terpercaya Kiai Windu Putih itu pun menjadi semakin dahsyat.
Ilmu Mahisa Bungalan yang diterima dari Mahisa Agni dan
Witantra y ang telah dimatangkannya, benar -benar merupakan
ilmu yang sulit dicari bandingnya. Sementara itu, murid tertua
dari perguruan Windu Putih itu pun merupakan murid yang
telah tuntas menyadap ilmu dari perguruannya, meskipun
masih harus dibentuk dan dikembangkan.
Karena itu, maka keduanya telah bertempur dengan
dahsy atnya. Kekuatan ilmu mereka masing-masing y ang tidak
dikenal oleh orang lain benar-benar telah membuat
pertempuran di-antara mereka menjadi sangat seru.
Namun dalam pada itu, m au tidak mau murid tertua
Perguruan Windu Putih itu telah terpengaruh oleh keadaan di
sekitar-ny a. Jika Satu dua orang Windu Putih terlempar jatuh,
maka jantungnya ikut pula tergetar.
Sebenarnyalah, meskipun jumlah prajurit dari pasukan
berkuda itu pun juga susut, tetapi jumlahnya dalam
perbandingan dengan orang-orang Windu Putih agaknya
berlipat ganda. Selain kejutan-kejutan gelombang kedatangan
mereka, maka agaknya pasukan berkuda itu memang
mempunyai kesempatan yang lebih baik di tempat yang luas
sebagaimana di depan padepokan Suriantal itu.
(Bersambung ke Jilid 53).Jilid 053
KARENA ITU, maka setiap kali perhatian murid
terpercaya dari pemimpin perguruan Windu Putih itu memang
telah terguncang. Sehingga dengan demikian, maka kadangkadang


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia harus meloncat surut untuk mengambil jarak, jika
keadaan menjadi sulit. Tetapi dalam keadaan y ang paling gawat, maka m urid
tertua dari perguruan Windu Putih itu tidak sempat lagi untuk
memperhatikan keadaan orang -orangnya. Ketika Mahisa
Bungalan menyerangnya seperti prahara.
Pertempuran antara kedua orang itu pun menjadi
semakin sengit. Murid Windu Putih itu tidak lagi mau
membagi perhatiannya. Dipusatkannya segenap
kemampuannya untuk melawan Mahisa Bungalan.
Namun betapapun juga ia berusaha, Mahisa Bungalan
selalu berhasil mendesaknya.
Namun dalam batas kemungkinan terakhir, orang itu
harus mengerahkan kemampuan puncaknya. Ia tidak
mempunyai pilihan lain kecuali harus melepaskan ilmunya
dengan daya lontar menggetarkan.
Demikianlah, ketika keduanya sedang terlibat dalam
pertempuran yang sengit, tiba-tiba saja murid terpercaya dari
Windu Putih itu telah m eloncat mengambil jarak. Ia memang
memerlukan waktu sekejap untuk membangunkan ilmunya
yang akan mampu menyerang lawannya dari jarak tertentu.
Namun Mahisa Bungalan menyadari bahaya itu. Karena
itu, maka ia pun telah bersiap menghadapinya.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian, murid Windu Putih
itu telah mengangkat tangannya. Dari telapak tangannya
seakan-akan telah terhempas kekuatan y ang dahsyat
mengarah ke tubuh Mahisa Bungalan. Namun Mahisa
Bungalan dengan cepat m elenting m enghindarinya. Ia bukan
sa ja meloncat m enyamping, tetapi kemampuannya bergerak
cepat benar-benar diluar jangkauan kemampuan lawannya,
ketika ia justru meloncat mendekat.
Lawannya tidak sempat mempersiapkan serangan
berikutnya, sehingga karena itu, m aka ia terpaksa melenting
mengambil jarak. Namun Mahisa Bungalan y ang m enyadari,
telah berusaha untuk memburunya.
Murid Windu Putih itu memang mempunyai waktu
sekejap. Dengan tergesa -gesa ia sempat juga melontarkan
ilmunya. Namun justru karena ia tergesa-gesa, maka
sa sarannya sama sekali tidak mampu dikenainya. Bahkan
dalam waktu y ang sekejap, serangan Mahisa Bungalan lah
yang datang menerkamnya. Murid Windu Putih itu berusaha untuk menghindar.
Demikian sulitnya kemungkinan y ang dapat ditempuhnya,
sehingga ia ju stru telah menjatuhkan diriny a berguling
beberapa kali. Murid perguruan Windu Putih itu tidak sempat untuk
bangkit. Ma sih sambil berbaring, ia telah meny erang Mahisa
Bungalan dengan ilmunya yang menggetarkan itu. Tanpa
bangkit, ia telah menggerakkan tangannya.
Seperti yang pernah terjadi, dari tangannya, telah
menyambar kekuatan ilmunya y ang dahsy at. Mahisa Bungalan
memang terkejut mendapat serangan itu. Dengan serta merta
ia -pun telah berusaha untuk mengelak. Tetapi ternyata bahwa
kekuatan lawannya itu masih sempat menyambar pundaknya,
sehingga Mahisa Bungalan telah terlempar selangkah surut.
Lawannya melihat serangannya berhasil. Ia pun dengan
sigapnya meloncat berdiri. Namun pada saat yang demikian,
Mahisa Bungalan pun telah melenting pula. Bahkan ketika
lawannya bersiap untuk menyerangnya, Mahisa Bungalan
yang menjadi sangat marah karena sentuhan serangan
lawannya itu telah mendahuluinya. Dengan kecepatan yang
tidak teratasi oleh lawannya, Mahisa Bungalan telah meloncat
mendekat. Satu kakinya telah terjulur hampir saja mengenai
dada lawannya. Namun lawannya sempat mengelak dan
meloncat ke samping. Mahisa Bungalan tidak mau kehilangan kesempatan itu.
Ia pun dengan cepat memburu. Namun sekali lagi langkahnya
tertahan, ketika lawannya melontarkan serangan sekali lagi.
Mahisa Bungalan berdesis. Lengannyalah yang telah
tersentuh serangan itu. Namun dengan demikian, Mahisa Bungalan tidak lagi
menahan dirinya. Kemarahannya benar-benar telah
memuncak. Karena itu, maka dihentakkannya segenap
kemampuan ilmunya untuk m engatasi kemampuan lawannya
melontarkan ilmunya itu. Mahisa Bungalan pun kemudian bergerak cepat sekali,
seperti bay angan yang tidak berjejak diatas tanah. Namun
tiba -tiba saja ia sudah berputar dekat sekali dengan lawannya.
Ketika lawannya sempat melepaskan serangan, maka Mahisa
Bungalan justru sudah berada di belakangnya.
Pa da saat-saat yang berat bagi Mahisa Bungalan itulah,
maka ia telah mempergunakan segenap kemampuan yang ada
pada dirinya. Bukan saja kecepatan gerak, tetapi juga kekuatan
ilmunya yang jarang ada duanya.
Ketika lawannya tiba -tiba saja berputar ke arahnya dan
bersiap menggerakkan tangannya, maka Mahisa Bungalan
telah meloncat mendahuluinya. Ia tidak saja mempergunakan
kekuatan wadagnya, tetapi di tangannya telah terpusat
kekuatan ilmunya Gundala Sasra yang diwarisiny a dari Mahisa
Agni. Semula Mahisa Bungalan memang ingin mengenai
lawannya di dahinya. Namun sesuatu telah mengekangnya,
sehingga arah tangannya pun telah bergeser ke samping.
Murid Windu Putih itu tidak sempat mengelak lagi.
Pundaknya lah yang kemudian dihantam oleh kekuatan ilmu
Mahisa Bungalan y ang dahsyat, sehingga orang itu telah
terlempar beberapa langkah surut.
Tubuhnya kemudian terbanting di tanah. Sekali ia
menggeliat, namun kemudian ia tidak bergerak lagi.
Mahisa Bungalan termangu-mangu. Perlahan-lahan ia
mendekati lawannya. Ternyata bahwa lawannya benar-benar
sudah tidak bergerak sama sekali.
Meskipun demikian Mahisa Bungalan tidak dengan serta
merta menghampirinya. Ia masih berdiri selangkah dari orang
yang terbaring diam itu. Sementara itu, orang -orang Windu Putih y ang m elihat
salah seorang pemimpinnya terkapar di tanah, tidak sempat
mendekatinya. Sekelompok orang Windu Putih y ang ingin
mendekat, selalu dihalau oleh pasukan-pasukan berkuda yang
menjadi semakin mapan, justru karena murid terpercaya dari
Windu Putih itu dikalahkan oleh Akuwu Sangling.
Namun, terasa luka-luka Akuwu Sangling itu pun
menjadi semakin pedih. Tetapi Akuwu Sangling itu berusaha untuk mengatasi
perasaan sakitnya. Bahkan kemudian, ketika ia sudah y akin
bahwa lawannya memang tidak akan bergerak lagi, ia pun
telah mendekatinya. Tiga orang prajurit berkuda telah meloncat dari
kudanya. Seorang diantaranya adalah Senopati yang
memimpin pasukan berkuda itu pada gelombang kedua.
Mereka pun kemudian telah berjongkok pula ketika Mahisa
Bungalan pun b erjongkok di sisi tubuh murid terpercaya dari
Windu Putih itu. Namun Mahisa Bungalan telah menggelengkan
kepalanya. Ternyata kekuatan ilmunya Gundala Sasra yang
dilontarkan sepenuh kemampuan ilmunya itu, tidak melukai
tubuh lawannya itu sama sekali. Pundaknya pun sama sekali
tidak terkelupas kulitnya.
Tetapi ketika Mahisa Bungalan meraba pundak itu, maka
ia pun mengetahui bahwa beberapa tulang telah menjadi
goyah, meskipun juga tidak patah.
"Bukan main," desis Mahisa Bungalan, "orang ini sudah
ada di permulaan ilmu kebal, meskipun belum mapan."
" Ilmu kebal" " ulang Senopati y ang ada di belakangnya.
"Ya. Ilmuku tidak melukai kulitnya. Tetapi luka di dalam
bagian tubuhnya, ternyata telah mencekiknya dari dalam.
Sehingga akhirnya ia mati juga," berkata Akuwu Sangling.
"Bukan karena ilmu kebalnya belum mapan," berkata
Senopati itu, "tetapi kekuatan ilmu Akuwu y ang tidak ada
duanya," berkata Senopati itu.
"Tidak terlalu baik," berkata Akuwu, "pertempuran ini
telah memperingatkan aku untuk berbuat lebih banyak lagi."
Senopati itu tidak menjawab lagi. Tetapi ia memang
melihat orang yang terbaring itu sama sekali tidak terluka.
Dalam pada itu, maka para prajurit berkuda pun seakanakan
menjadi semakin garang. Bahkan sekelompok diantara
mereka telah menerobos pertempuran dan memasuki
padepokan. Dengan demikian, maka keseimbangan pertempuran di
dalam padepokan itu pun telah terguncang. Pasukan berkuda
itu dengan garangnya telah bergerak sepanjang dinding
padepokan. Tetapi ternyata bahwa kesempatan bagi pasukan
berkuda itu lebih besar di luar padepokan y ang luas daripada
di dalam lingkungan padepokan, sehingga karena itu, m aka
para prajurit berkuda itu memang nampak lebih garang jika
bertempur di luar. Meskipun demikian, kehadiran pasukan berkuda itu
benar-benar telah membuat orang-orang Windu Putih
menjadi semakin cemas. Orang-orang dari padepokan
Suriantal y ang bebannya telah dikurangi, merasa menjadi
semakin longgar lagi untuk bernafas. Karena itu, maka mereka
yakin, bahwa mereka akan dapat bertahan sampai matahari
terbenam. Jika orang-orang Windu Putih menjadi kehilangan
nalar dan t idak menghentikan pertempuran, maka orangorang
dari padepokan Suriantal pun tidak akan gentar
menghadapinya. Yang bertempur diantara para pengikut dari perguruan
Windu Putih dan orang-orang padepokan Suriantal adalah
para pemimpin mereka pula. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
dengan kemampuan mereka y ang telah berhasil mengimbangi
kemampuan murid-murid terpercaya dari Windu Putih.
Bahkan semakin lama m enjadi semakin nyata, bahwa Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat akan dapat mengatasi lawanlawannya
itu. Sedangkan di sisi lain, Mahendra tetap merupakan
hantu bagi orang -orang perguruan Windu Putih.
Dengan demikian, meskipun jumlah orang -orang Windu
Putih dari tiga padepokan y ang besar, ia semula jauh lebih
banyak dari orang-orang dari padepokan Suriantal, namun
ternyata kemudian bahwa akhirnya, jumlah orang-orang
Windu Putih itu cepat menjadi susut.
Kenyataan itu tidak dapat dihindari oleh orang-orang
Windu Putih. Mereka harus mengakui, bahwa jumlah m ereka
telah jauh berkurang. Sementara itu, m ereka merasa bahwa
mereka sama sekali tidak lagi mendapat perlindungan dari
para pemimpin mereka. Sementara itu di tengah-tengah padepokan, justru di
tempat yang terpisah dari pertempuran yang tersebar. Kiai
Windu Putih masih bertempur melawan guru Akuwu Singling
yang lama. Keduanya memang memiliki kemampuan yang
seimbang. Dengan berbagai cara mereka telah m enunjukkan
kemampuan m ereka. Namun apa yang dapat dilakukan oleh
yang seorang, yang lain pun dapat melakukannya pula.
Karena itu, maka masih belum ada tanda-tanda bahwa
salah seorang diantara mereka akan kalah. Sekali-sekali Kiai
Windu Putih terdesak, namun kemudian guru Akuwu Sangling
itulah yang harus melenting menghindari serangan lawannya.
Namun dengan demikian keduanya tidak lagi sempat
menghiraukan apa yang telah t erjadi di padepokan itu. Kiai
Windu Putih terlalu percaya dan y akin akan murid-muridnya
serta jumlah yang besar dari orang -orangnya. Namun Kiai
Windu Putih tidak sempat memperhitungkan apa y ang dapat
dilakukan oleh pasukan berkuda dari Sangling serta
kedatangan Akuwu Sangling sendiri.
Karena itu, maka Kiai Windu Putih benar-benar
memusatkan perhatiannya kepada lawannya, orang yang
mengaku guru dari Akuwu Sangling itu. Dengan penuh
kebencian, maka ia memang bertekad untuk membunuhnya,
karena selama orang itu m asih hidup, m aka ia akan selalu
membayanginya dengan dendamnya, karena anak orang itu
telah dijeratnya ke dalam maut, meskipun dengan cara yang
licik dan rumit, sehingga tidak m udah untuk diketahui oleh
orang lain. Semua orang mengira, bahwa anak itu memang
meninggal karena sakit y ang tidak terobati, meskipun Kiai
Windu Putih nampaknya sudah m emanggil orang-orang yang
berilmu dalam pengobatan.
Tetapi guru Akuwu Sangling itu ternyata tidak dapat
dikelabuinya. Anak y ang tidak lain adalah anaknya itu,
memang telah dibunuh dengan perlahan -lahan.
Betapa dendam menyala di hati orang itu, sehingga ia
selalu berusaha untuk mendapatkan kesempatan. Tetapi
karena Kiai Windu Putih ternyata berhasil menyusun satu
perguruan y ang besar dan bahkan membangun tiga
padepokan dengan pengikut y ang cukup banyak, maka guru
Akuwu Sangling itu tidak dapat melakukan balas dendam
begitu saja. Ketika seorang muridnya menjadi Akuwu di
Sangling, ia berharap, bahwa dengan kekuatan y ang ada di
Sangling ia akan dapat meny erang perguruan Ki Windu Putih,
sehingga ia akan dapat m embuat perhitungan dengan orang
yang telah membunuh anaknya itu. Jika para pengikut Kiai
Windu Putih dapat diikat dalam pertempuran m elawan para
prajurit Sangling, maka ia akan mendapat kesempatan
bertemu seorang dengan seorang untuk membuat perhitungan
sebagai orang laki-laki. Tetapi muridnya yang menjadi Akuwu Sangling itu
ternyata bukannya seorang yang dapat diharapkan. Ia adalah
seorang yang akhirnya jatuh ke dalam sikap yang tercela.
Ketamakan dan nafsu yang berlebihan tanpa menghiraukan
gurunya lagi. Karena itu, maka gurunya itu sama sekali tidak
berkeberatan ketika akhirnya Akuwu Sangling itu terbunuh.
Namun akhirnya niatnya itu pun dapat juga
dipenuhinya. Bertemu dan mendapat kesempatan untuk
membuat perhitungan dengan Kiai Windu Putih.
Karena itu, maka guru Akuwu Sangling itu tidak lagi
mempunyai perhitungan lain kecuali untuk membalas sakit
hatinya. Ternyata dalam keadaan y ang demikian, ia tidak saja
merasa bahwa anaknya telah disingkirkan, tetapi telah
terungkat pula kebenciannya kepada orang y ang telah
mengambil istrinya itu. Jika semula ia seolah-olah telah


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengiklhaskannya, justru karena anaknya terbunuh, maka
dendamnya rasa-rasanya menjadi berlipat ganda.
Dengan demikian maka pertempuran antara kedua
orang itu menjadi semakin seru. Dengan ilmu y ang tinggi
keduanya telah saling meny erang, menghindar dan
membenturkan ilmu mereka yang ber sumber dari i lmu yang
sama. Sementara itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih juga bertempur melawan murid-murid terpercaya dari
perguruan Windu Putih. Betapapun murid-murid Windu Putih
itu mengerahkan kemampuan mereka, namun ternyata
mereka memang tidak dapat m elampaui kemampuan Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat itu.
Dalam saat-saat yang gawat, m aka kedua orang m urid
Windu Putih itu memang tidak akan dapat m enghindarkan
diri dari penggunaan ilmu puncak m ereka. Sebelum orangorangnya
menjadi semakin susut, maka mereka berniat untuk
mengakhiri perlawanan kedua orang yang mengaku sebagai
Putut itu. Dengan demikian maka kedua orang murid dari
perguruan Windu Putih itu telah berusaha untuk meny ibakkan
pertempuran, sehingga mendapat kesempatan untuk
bertempur di arena y ang lebih luas.
Ternyata Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali
tidak berkeberatan. Keduanya pun telah bersiap menghadapi
kedua orang murid dari perguruan Windu Putih itu, apa pun
yang akan mereka lakukan.
Ternyata dalam kesempatan itu, kedua orang murid
terpercaya dari perguruan Windu Putih itu sempat
memperhatikan pertempuran meskipun hanya sekila s. Mereka
melihat bahwa keadaan orang-orangnya menjadi semakin
parah. Apalagi ketika mereka kemudian melihat beberapa
orang prajurit berkuda berpacu di dalam lingkungan
padepokan itu. Namun mereka tidak mendapat kesempatan terlalu
banyak. Ternyata bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
segera menghadapi mereka. Sehingga karena itu, m ereka pun
segera telah terlibat lagi dalam pertempuran.
Namun murid-murid perguruan Windu Putih itu pun
telah mengambil sikap. Mereka harus membinasakan lawanlawan
mereka dengan cepat sehingga mereka akan segera
dapat membantu orang-orangnya yang mengalami kesulitan.
Karena itu, maka kedua orang itu pun segera sampai ke
ilmu puncaknya. Sebagaimana murid tertua dari perguruan
Windu Putih, m aka kedua orang itu pun mampu m elepaskan
kekuatan ilmunya, menyerang lawan-lawannya pada jarak
tertentu. Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun memiliki
ilmu yang mampu mengimbanginya. Ketika murid-murid
Windu Putih itu meny erang mereka dari jarak jauh, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat menghindarinya.
Serangan-serangan berikutnya pun sempat dihindarinya pula.
Bahkan kemudian baik Mahisa Murti maupun Mahisa Pukat
tidak membiarkan dirinya diburu oleh serangan-serangan
lawan-lawannya. Ketika mereka mendapat kesempatan, maka sambil
melenting berkisar dari tempatnya, maka keduanya telah
mempersiapkan diri. Demikian mereka berdiri tegak, maka
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah melepaskan
serangan pula dari tempat mereka berdiri menyambar lawanlawan
mereka. Dengan demikian m aka pertempuran diantara m erekapun
semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua orangorang
m urid Windu Putih itu pun sempat pula m enghindari
serangan itu. Bahkan lawan Mahisa Murti telah meloncat ke
samping sambil menjatuhkan dirinya, sehingga serangan
Mahisa Murti sama sekali tidak menyentuhnya.
Sebelum Mahisa Murti menyerangnya lagi, maka sambil
melenting tegak, orang itu telah menghentakkan tangannya.
Tetapi serangannya y ang dilontarkan dengan tergesa gesa itu kurang terarah, sehingga dengan bergeser selangkah,
Mahisa Murti sudah bebas dari sentuhan serangan itu.
Tetapi Mahisa Murti lah y ang kemudian telah
membidikkan serangannya. Dengan cepat ia telah
menggerakkan tangannya. Hentakkan kekuatannya telah
meluncur mengarah ke lawannya. Demikian cepatnya,
sehingga lawannya itu pun telah terkejut karenanya.
Karena itu, sekali lagi ia telah menjatuhkan diri dan
berguling di tanah. Namun secepat itu pula ia telah melenting
berdiri. Agaknya orang itu tidak mau didahului lagi oleh
lawannya. Karena itu, maka dengan tergesa -gesa pula ia telah
melontarkan serangannya. Namun ia tidak mau serangannya
itu tidak mengarah tepat ke sasaran.
Mahisa Murti memang melihat orang itu melepaskan
serangannya. Tetapi ia sudah bertekad untuk menyelesaikan
pertempuran itu. Karena itu, maka ia sekali tidak ingin
menghindar. Bahkan apa pun y ang terjadi, Mahisa Murti
berniat untuk membentur serangan itu dengan kekuatan
ilmunya. Karena itu, ketika lawannya melepaskan ilmunya,
Mahisa Murti pun telah melakukannya pula. Ia telah
menghentakkan segala kemampuan y ang ada padanya.
Dengan berdiri kokoh pada kedua kakinya yang renggang
Mahisa Murti telah mengangkat kedua tangannya dengan
telapak tangan menghadap ke arah lawannya.
Seakan-akan dari telapak tangan itu telah meluncur
kekuatan ilmunya y ang luar bia sa, y ang diwarisi dan kemudian
dikembangkan dan ditingkatkannya atas tuntunan beberapa
orang y ang dianggapnya sebagai gurunya.
Sejenak kemudian telah terjadi benturan yang sangat
dahsy at. Kedua kekuatan ilmu y ang dahsyat telah saling
menghantam dengan kekuatan masing -masing.
Namun ternyata bahwa kekuatan kedua ilmu itu tidak
sama. Kekuatan ilmu y ang lebih besar telah mendorong
kekuatan ilmu yang lebih kecil, seakan-akan kembali ke dalam
sumbernya. Karena itulah, maka tiba-tiba terdengar teriakan
kesakitan. Lawan Mahisa Murti itu t elah terlempar beberapa
langkah surut. Jika kemudian ia terjatuh dan terguling, sama
sekali bukan untuk menghindari, tetapi ia memang telah
didera dengan dahsyatnya oleh kekuatan ilmu Mahisa Murti
yang seakan-akan telah mendorong ilmunya dan berbalik
menghantam bagian dalam dirinya sendiri.
Sejenak kemudian, m aka orang itu pun telah terbaring
diam. Demikian dahsy atnya benturan itu terjadi, sehingga
jantung orang itu rasa -rasanya bagaikan terbakar oleh ilmunya
sendiri yang didor ong ke arah sumbernya oleh k ekuatan ilmu
Mahisa Murti. Namun itu tidak berarti bahwa Mahisa Murti tidak
mengalami kesulitan di dalam dirinya. Ketika benturan itu
terjadi, ternyata bahwa sebagian getaran ilmunya pun telah
terdorong kembali. Meskipun tidak sedahsy at benturan di
dalam diri lawannya, namun terasa bahwa dada Mahisa Murti
itu pun bagaikan terhimpit oleh sebongkah batu padas.
Karena itu, maka Mahisa Murti pun kemudian telah
terduduk. Ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali
memusatkan nalar budinya untuk mengatasi kesulitan di
dalam dadanya dan pernafasannya.
Karena itu, Mahisa Murti tidak mendengar teriakan y ang
membahana diantara orang-orang padepokan Suriantal yang
melihat lawan Mahisa Murti itu jatuh terbaring dan tidak
bergerak lagi. Namun dalam pada itu, beberapa orang dari perguruan
Windu Putih y ang melihat keadaan Mahisa Murti ingin
memanfaatkan keadaan itu. Apalagi ketika mereka melihat
salah seorang pemimpinnya terjatuh. Dengan garangnya
mereka telah m eny erang Mahisa Murti yang sedang berusaha
untuk memperbaiki keadaannya.
Tetapi mereka tidak pernah sempat mencapai Mahisa
Murti. Beberapa orang padepokan Windu Putih yang dengan
pedang teracu siap untuk membantai Mahisa Murti yang baru
dalam keadaan y ang khusus itu, telah membentur kekuatan
dari padepokan Suriantal. Beberapa orang padepokan
Suriantal y ang melihat keadaan Mahisa Murti, tidak saja
sekedar berteriak mengungkapkan kemenangannya atas
lawannya, tetapi mereka pun dengan serta merta telah
melindunginya. Karena itu, maka dengan cepat, orang-orang dari
padepokan Suriantal telah berada di sekitar Mahisa Murti.
Dengan garangnya mereka telah mendesak orang-orang
Windu Putih yang ingin mempergunakan kesempatan itu
untuk menghancurkannya. Namun dalam pada itu, Mahisa Pukat yang masih
bertempur ternyata telah berdesis menahan sakit ketika
pundaknya ter sentuh serangan lawannya. Demikian kuatnya
sehingga Mahisa Pukat telah terputar di tempatnya. Agaknya
lawannya tidak mau kehilangan kesempatan yang baik itu.
Sekali lagi telah meny erang Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Pukat sempat melihat serangan itu.
Dengan sigapnya ia telah menjatuhkan diri dan berjongkok
rendah. Dengan demikian maka serangan lawannya tidak
mengenainya. Sementara itu, betapa sakit luka y ang dideritanya, tetapi
Mahisa Pukat telah menghentakkan sisa kekuatan dan
kemampuannya. Tanpa bangkit berdiri, maka ia telah
mengangkat tangannya sebagaimana dilakukan oleh Mahisa
Murti di saat ia meny erang lawannya dengan kemampuan
ilmunya. Serangan itu sama sekali tidak diduga oleh lawannya.
Karena itu maka murid Windu Putih itu terkejut sekali.
Namun ia sudah tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat
sesuatu. Karena itu, maka sebelum ia sempat m enemukan jalan
untuk mengatasi persoalannya, maka serangan Mahisa Pukat
telah menghantam dadanya.
Meskipun di saat Mahisa Pukat melepaskan ilmunya, ia
masih dibebani perasaan sakit di pundaknya y ang terluka,
namun serangan ilmunya masih juga mampu menghancurkan
isi dada lawannya. Tulang-tulang rusuknya telah berpatahan, sementara
jantungnya bagaikan runtuh dari tangkainya.
Lawan Mahisa Pukat itu telah terlempar jatuh
terlentang. Orang itu masih berusaha untuk bangkit sambil
mengumpat kasar. Namun kemudian tubuhnya telah sekali
lagi r oboh di tanah untuk tidak bergerak sama sekali.
Mahisa Pukat pun telah terduduk pula di tanah. Dari
pundaknya y ang bagaikan terkelupas karena serangan
lawannya, tiba-tiba saja darah mulai mengalir meskipun
menjadi agak kehitam-hitaman.
Tubuh Mahisa Pukat bagaikan kehilangan kekuatannya
sama sekali. Ia telah memaksa diri untuk menghempaskan
kekuatannya, justru pada saat ia terluka. Dengan demikian,
maka darahnya pun kemudian bagaikan diperas pula lewat
lukanya itu. Seperti y ang terjadi saat Mahisa Murti membunuh
lawannya, maka ketika lawan Mahisa Pukat itu terjatuh sekali
lagi dan tidak bergerak sama sekali, maka orang-orang
padepokan Suriantal pun telah bersorak bagaikan hendak
meruntuhkan langit. Namun seperti y ang terjadi pada Mahisa Murti pula,
orang-orang Windu Putih ingin memanfaatkan keadaan
Mahisa Pukat yang lemah. Namun demikian mereka mulai
bergerak, Mahisa Pukat sudah dikerumuni orang-orang
padepokan Suriantal. Memang keadaan Mahisa Murti agak berbeda dengan
keadaan Mahisa Pukat. Setelah memusatkan nalar budi dan
mengerahkan kemampuan ilmunya, mengatur pernafasannya
sebaik-baiknya, maka keadaan Mahisa Murti menjadi
berangsur baik. Kekuatannya perlahan-lahan bagaikan mulai
bergetar di pusat jantungnya dan m erambat ke seluruh urat
darahnya. Nafasny a pun telah menjadi teratur dan rasarasanya
sebagian dari kekuatannya telah berangsur pulih
kembali. Agak berbeda dengan Mahisa Pukat. Mahisa Pukat
memang telah terluka. Karena itu, maka ia tidak dapat sekedar
duduk m emusatkan nalar budi dan m engatur pernafasannya.
Seandainya hal itu juga dilakukan, namun Mahisa Pukat
memang memerlukan obat untuk mengatasi lukanya.
Untunglah bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat selalu
berbekal obat, apalagi dalam pertempuran seperti itu. Karena
itu, maka tanpa bantuan orang lain, Mahisa Pukat telah
mengobati lukanya sendiri, sementara di sekitarnya
pertempuran telah berlangsung dengan sengitnya. Orangorang
Suriantal bertempur dengan berani, berbekal
kemampuan y ang ada serta senjata yang lebih baik dari lawanlawannya.
Namun, meskipun Mahisa Pukat sudah mengobati
lukanya, ternyata keadaannya memang agak parah. Karena itu,
maka beberapa orang telah mengangkatnya dan membawanya
ke bayangan sebatang pohon y ang rimbun di bawah
perlindungan beberapa orang padepokan Suriantal.
Mahisa Murti yang kemudian mengetahui keadaan
Mahisa Pukat, dengan tergesa-gesa telah meny ibak orangorang
Suriantal untuk mengetahui keadaannya.
Bagaimana juga Mahisa Murti juga merasa cemas
melihat keadaan Mahisa Pukat. Namun kemudian Mahisa
Pukat sendiri justru telah berkata, "Aku tidak apa -apa.
Memang lukaku semula agaknya cukup parah. Tetapi setelah
aku obati, darahnya telah tidak terlalu banyak mengalir,
bahkan sekarang telah pampat."
"Tetapi kau dalam keadaan lemah," berkata Mahisa
Murti. "Ya," Mahisa Pukat tidak ingkar.
Namun ia ternyata tidak mau berbaring diatas
rerumputan. Ia minta duduk bersandar pada pohon yang
melindunginya dari teriknya matahari itu.
Dalam pada itu beberapa orang padepokan Suriantal
telah bersiap di sekitar Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Meskipun pada Mahisa Murti keadaannya berangsur pulih


02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali, tetapi orang-orang Suriantal masih mencemaskan
keadaannya. Sementara itu pertempuran di seluruh padepokan itu
pun menjadi semakin susut pula. Orang-orang Windu Putih
yang jumlahnya dengan cepat susut, memang menyadari
bahwa mereka telah kehilangan para pemimpin mereka.
Murid-murid terpercaya y ang berjumlah tiga orang, y ang telah
dipercaya untuk memimpin padepokan sendiri-sendiri,
ternyata semuanya telah terbunuh. Yang berada di luar
padepokan telah terbunuh oleh Mahisa Bungalan, sementara
yang berada di dalam t elah dibunuh pula oleh Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat. Dalam pada itu, maka Mahendra y ang melihat keadaan
orang-orang Suriantal menjadi berangsur semakin baik, maka
ia pun telah datang pula menghampiri Mahisa Pukat yang
tersandar pada sebatang pohon.
"Bagaimana keadaanmu?" bertanya Mahendra.
Mahisa Pukat masih juga sempat ter senyum. Katanya,
"Tidak apa -apa ayah. Hanya sedikit kesulitan dengan
pundakku ini." Mahendra memperhatikan luka itu dengan saksama.
Namun kemudian katanya, "Bukankah sudah diobati?"
"Ya," jawab Mahisa Murti, "Mahisa Pukat mengobatinya
sendiri." "Obat itu cukup baik," berkata Mahendra, "keadaannya
akan segera menjadi pulih kembali."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara itu,
perasaan sakit pada tubuh Mahisa Pukat memang berangsur
telah berkurang, meskipun ia masih harus berjuang mengatasi
keadaannya. Di saat -saat Mahisa Pukat sedikit demi sedikit berhasil
mengatasi k eadaannya, maka pertempuran pun telah sampai
pada kemungkinan yang pasti. Orang-orang Windu Putih
menjadi semakin lemah. Sedangkan jumlahnya pun m enjadi
semakin sedikit. Karena itu, maka pada akhirnya orang-orang Windu
Putih itu telah kehilangan harapan. Apa yang mereka
perhitungkan semula telah terlepas sama sekali dari keny ataan
Eragon 4 Wiro Sableng 008 Dewi Siluman Bukit Tunggul Memburu Yeerk Kembar 3

Cari Blog Ini