Ceritasilat Novel Online

Eragon 4

Eragon Karya Christhoper Paolini Bagian 4


"Stenr reisa," katanya dengan napas tersentak. Kerikilnya bergoyang dan terangkat ke udara di atas telapak tangannya berpendar samar. Ia berjuang keras mempertahankan kerikil itu tetap mengambang, tapi kekuatannya memudar dan menghilang kembali ke balik hambatan. Kerikil jatuh ke tangannya diiringi suara pelan, dan telapak tangannya kembalinormal. Ia merasa agak kelelahan, tapi nyengir atas keberhasilannya.
"Tidak buruk untuk pertama kali," Brom berkomentar.
"Kenapa tanganku begitu" Seperti lentera kecil."
"Tidak ada yang tahu pasti," Brom mengakui. "Para Penunggang sejak dulu lebih suka mengalirkan kekuatan mereka melalui tangan yang memiliki gedwey ignasia. Kau bisa menggunakan telapak tanganmu yang lain, tapi tidak mudah." Ia memandang Eragon sejenak. "Akan kubelikan kau sarung tangan di kota berikutnya, kalau kota itu belum dihancurkan. Kau mampu menyembunyikan sendiri tanda itu dengan baik, tapi kita tidak ingin ada yang tanpa sengaja melihatnya. Lagi pula, akan ada saat-saat ketika kau tidak ingin pancaran cahayanya memperingatkan musuh."
"Apakah kau sendiri memiliki tanda""
"Tidak. Hanya Penunggang yang memilikinya," kata Brom. "Selain itu, kau harus mengetahui bahwa sihir dipengaruhi jarak, seperti anak panah atau tombak. Kalau kau mencoba mengangkat atau menggerakkan benda dari jarak satu mil, kau akan menghabiskan lebih banyak energi daripada kalau kau melakukannya dari jarak yang lebih dekat. Jadi kalau kau melihat musuh-musuhmu menyerbu dari jarak hampir tiga mil, biarkan mereka mendekat sebelum kau menggunakan sihir.
Sekarang, kembali bekerja! Cobalah mengangkat kerikil itu lagi."
Lagi"" tanya Eragon lemah, memikirkan kerja keras yang telah dilakukannya hanya untuk mengangkat kerikil itu satu kali.
"Ya! Dan kali ini lakukan lebih cepat."
Mereka melanjutkan latihan itu hampir sepanjang hari. Sewaktu Eragon akhirnya berhenti, ia merasa kelelahan dan sangat jengkel. Selama berjam-jam itu, ia akhirnya membenci kerikil tersebut dan segala hal mengenainya. Ia hendak membuangnya, tapi Brom berkata, "Jangan. Simpan
saja." Eragon" memelototinya, lalu dengan enggan menjejalkan kerikil itu ke salah satu saku.
"Kita belum selesai," Brom memperingatkan, "jadi jangan merasa santai." Ia menunjuk tanaman kecil. "Itu disebut delois." Sejak saat itu Ia mengajarkan bahasa kuno kepada Eragon, memberinya kata-kata untuk dihafalkan, dari vondr, tongkat kecil dan lurus, hingga bintang fajar, Aiedail.
Malam itu mereka berlatih-tanding di sekitar api unggun. Walaupun Brom bertempur menggunakan tangan kiri, keahliannya tidak berkurang.
Hari-hari berikutnya dijalani dengan pola yang sama. Mula-mula, Eragon bersusah payah mempelajari kata-kata kuno dan memanipulasi kerikilnya. Lalu, di malam hari, ia berlatih menghadapi Brom dengan pedang palsu. Eragon selalu menderita, tapi perlahan-lahan ia mulai berubah, nyaris tanpa menyadarinya. Dalam waktu singkat kerikilnya tidak lagi bergoyang-goyang saat ia mengangkatnya. Ia menguasai latihan pertama yang diberikan Brom padanya dan melanjutkannya dengan latihan-latihan yang lebih sulit, dan pengetahuannya tentang bahasa kuno pun bertambah.
Selama latih-tanding, kepercayaan diri dan kecepatan Eragon bertambah, ia menyerang seperti ular. Pukulan-pukulannya menjadi lebih berat, dan lengannya tidak lagi gemetar sewaktu ia menangkis serangan. Adu pedang kayu berlangsung semakin lama sementara ia belajar cara menangkis serangan-serangan Brom. Sekarang, sewaktu mereka tidur, Eragon bukanlah satu-satunya yang memar.
Saphira juga terus tumbuh, tapi lebih lambat daripada sebelumnya. Terbangnya yang semakin lama, juga perburuan yang sesekali dilakukannya, membuatnya tetap sehat dansegar. Ia sekarang lebih tinggi daripada kuda, dan jauh lebih panjang. Karena ukuran tubuh dan kilau sisiknya, ia menjadi terlalu mencolok. Brom dan Eragon merasa khawatir mengenai hal itu, tapi mereka tidak bisa meyakinkan Saphira untuk membiarkan tanah menutupi kulitnya yang mengilap.
Mereka melanjutkan perjalanan ke selatan, melacak Ra'zac. Eragon merasa frustrasi karena seberapa cepat pun mereka berjalan, Ra'zac selalu beberapa hari di depan mereka. Terkadang ia ingin menyerah, tapi lalu menemukan tanda atau jejak kaki yang mengobarkan kembali harapannya. Tidak terlihat tanda-tanda manusia di sepanjang Ninor atau di dataran, sehingga ketiganya tidak terganggu sementara hari demi hari berlalu. Akhirnya, mereka mendekati Daret, desa pertama sejak Yazuac.
Di malam sebelum mereka tiba di desa, mimpi Eragon lebih hidup daripada mimpi-mimpinya sebelum ini.
Ia melihat Garrow dan Roran di rumah, duduk di dapur yang hancur. Mereka meminta bantuannya untuk membangun kembali pertanian, tapi ia hanya bisa menggeleng dengan kerinduan dalam hati. "Aku sedang melacak para pembunuhmu," bisiknya pada pamannya. Garrow tertegun menatapnya dan berkata, "Apakah aku tampak sudah mati di matamu""
"Aku tidak bisa membantumu," kata Eragon lembut, merasakan air mata di matanya.
Tiba-tiba terdengar raungan, dan Garrow berubah menjadi Ra'zac. "Kalau begitu matilah," desis mereka, dan menerjang Eragon.
Ia terjaga dengan perasaan tidak enak dan mengawasi bintang-bintang bergerak perlahan di langit.
Semuanya akan baik-baik saja, makhluk kecil, kata Saphira lembut.
DARET Daret terletak di kedua tepi Sungai Ninor-karena desa itu harus bertahan hidup. Desa tersebut kecil dan tampak liar, tanpa ada tanda-tanda dihuni sama sekali. Eragon dan Brom mendekatinya dengan sangat hati-hati. Saphira bersembunyi dekat dengan kota kali ini; kalau ada masalah, ia bisa mencapai tempat mereka dalam waktu beberapa detik.
Mereka berkuda memasuki Daret, berusaha keras tidak menimbulkan suara. Brom mencengkeram pedang dengan tangan yang masih sehat, pandangannya menyambar ke sana kemari. Eragon terus menarik busurnya sementara mereka melintasi rumah-rumah yang sunyi, sambil melirik dengan agak takut. Ini tidak tampak bagus, kata Eragon pada Saphira. Saphira tidak menjawab, tapi Eragon merasakan naganya siap menghambur mengejar mereka. Ia memandang ke tanah dan merasa lebih tenang melihat jejak kaki anak-anak yang masih baru. Tapi di mana mereka"
Brom mengejang sewaktu mereka memasuki tengah
kota Daret dan mendapati tempat itu kosong. Angin berembus melewati kota yang kosong tersebut, dan debu bergulung-gulung di beberapa tempat. Brom memutar balik Snowfire. "Sebaiknya kita pergi dari sini. Aku tidak menyukai suasana tempat ini." Ia menjejak Snowfire agar berderap.
Eragon mengikutinya, menjejak Cadoc agar berlari.
Mereka baru maju beberapa langkah, sewaktu kereta-kereta bermunculan dari balik rumah-rumah dan menghalangi jalan mereka. Cadoc mendengus dan menghunjamkan kuku-kukunya, meluncur berhenti di samping Snowfire. Seorang pria berkulit kehitaman melompat turun dari kereta dan berdiri di hadapan mereka, sebilah pedang lebar tergantung di sisinya dan busur terentang di tangannya. Eragon mengayunkan busurnya membidik orang asing itu, yang memerintah, "Berhenti! Letakkan senjata kalian. Kalian dikepung enam puluh pemanah. Mereka akan memanah kalau kalian berani bergerak."
Seakan mendapat perintah, sederet pria berdiri di atap rumah-rumah di sekitar mereka.
Menjauh, Saphira! seru Eragon. Mereka terlalu banyak Kalau kau datang, mereka akan memanahmu di langit. Menjauh! Saphira mendengarnya, tapi Eragon tidak yakin apakah naganya mau mematuhinya. Ia bersiap-siap menggunakan sihir. Aku harus menghentikan anak-anak panah itu sebelum mengenai diriku atau Brom.
"Apa maumu"" tanya Brom tenang.
"Kenapa kalian datang kemari"" tanya pria itu.
"Untuk membeli persediaan dan mendengar kabar. Tidak lebih. Kami dalam perjalanan ke rumah sepupuku di DrasLeona."
"Kau bersenjata cukup lengkap."
"Kau juga," kata Brom. "Sekarang masa yang berbahaya."
"Benar." Pria itu memandang mereka dengan hati-hati. "Kurasa kau tidak berniat jahat terhadap kami, tapi kami sudah terlalu sering menghadapi Urgal dan bandit, jadi aku tidak bisa memercayai kata-katamu begitu saja."
"Kalau yang kami katakan tidak penting, apa yang akan terjadi sekarang"" balas Brom.
Para pria di atap tidak bergerak. Mereka kaku bagai patung. Eragon yakin mereka entah sangat disiplin... atau ketakutan setengah mati. Ia mengharapkan yang pertama.
"Katamu kau hanya menginginkan persediaan. Apakah kau setuju untuk tetap tinggal di sini sementara kami bawakan apa yang kaubutuhkan, lalu kau bayar kami dan pergi secepatnya"
"Ya." "Baiklah," kata pria itu, sambil menurunkan busur, meskipun tetap siap memanah. Ia melambai kepada salah seorang pemanah, yang merosot turun ke tanah dan berlari mendekati. "Katakan apa yang kauinginkan padanya."
Brom menyebutkan kebutuhannya yang tidak banyak, lalu menambahkan, "Juga, kalau kau ada sepasang sarung tangan cadangan yang cocok untuk keponakanku, aku ingin membelinya."
Pemanah itu mengangguk dan berlari pergi.
"Namaku Trevor," kata pria yang berdiri di depan mereka. "Biasanya aku menjabat tangan kalian, tapi mengingat situasinya, kupikir sebaiknya aku tetap menjaga jarak. Katakan, dari mana kalian""
"Utara," Brom menjawab, "tapi kami tidak pernah tinggal di satu tempat cukup lama untuk bisa menyebutnya rumah. Apakah para Urgal yang memaksa kalian melakukan tindakan penjagaan ini""
"Ya," kata Trevor, "dan musuh-musuh yang lebih buruk lagi. Kau tahu kabar dari kota-kota lain" Kami jarang menerima berita dari mereka, tapi ada laporan-laporan bahwa mereka juga diserbu."
Brom berubah suram. "Kuharap bukan aku yang menyampaikan berita buruk ini padamu. Beberapa malam yang lalu kami melewati Yazuac dan mendapati tempat itu dijarah habis-habisan. Para penduduknya dibantai dan ditumpuk menjadi satu. Tadinya kami berniat menguburkan mereka, tapi dua Urgal menyerang kami."
Karena kaget Trevor melangkah mundur dan menunduk dengan air mata berurai. "Sialan, ini memang benar-benar hari yang gelap. Walaupun begitu, aku tidak mengerti bagaimana dua Urgal bisa mengalahkan seluruh penduduk Yazuac. Orang-orang di sana pejuang yang andal, beberapa di antaranya temanku."
"Ada tanda-tanda bahwa segerombolan Urgal menyerbu kota itu," kata Brom. "Kupikir kedua Urgal yang kami temui adalah desertir."
"Berapa jumlah mereka""
Brom mempermainkan tas pelananya sejenak. "Cukup banyak untuk meluluh lantakkan Yazuac, tapi cukup kecil untuk tidak menarik perhati
an di pedalaman. Tidak lebih dari seratus, dan tidak kurang dari lima puluh. Kalau aku tidak keliru, berapa pun jumlah mereka akan terbukti fatal bagi kalian." Trevor mengiyakan dengan lemah. "Sebaiknya kalian mempertimbangkan untuk pindah," lanjut Brom. "Kawasan ini terlalu berbahaya untuk bisa dihuni siapa pun dengan damai."
Aku tahu, tapi orang-orang di sini menolak mempertimbangkan pergi dari sini. Ini rumah mereka juga rumahku, walau aku baru di sini dua tahun dan mereka lebih menghargai tempat ini daripada nyawa sendiri." Trevor memandangnya serius. "Kami berhasil mengusir beberapa Urgal yang datang, dan itu menyebabkan penduduk kota lebih percaya diri daripada kemampuan mereka yang sebenarnya. Aku takut suatu pagi nanti kami terjaga dengan leher tergorok."
Pemanah tadi bergegas keluar rumah membawa setumpuk barang yang dipeluknya. Ia meletakkannya di samping kuda-kuda, dan Brom membayarnya. Saat pria itu berlalu, Brom bertanya, "Kenapa mereka memilih dirimu untuk mempertahankan Daret""
Trevor mengangkat bahu. "Aku pernah menjadi tentara Raja selama beberapa tahun."
Brom mengaduk-aduk barangnya, memberikan sarung tangan pada Eragon, dan mengemas persediaan lainnya ke tas-tas pelana mereka. Eragon mengenakan sarung tangannya, berhati-hati agar telapak tangannya tetap terarah ke bawah, dan menggerak-gerakkan tangan. Kulit sarung tangannya terasa nyaman dan kuat, walaupun tergores-gores karena pernah digunakan.
"Well," kata Brom, "seperti yang kujanjikan, kami akan pergi sekarang."
Trevor mengangguk. "Sesudah tiba di Dras-Leona nanti, bisakah kau membantu kami" Beritahu Kekaisaran mengenai perjuangan kami juga kota-kota lainnya. Kalau berita mengenai kejadian ini belum sampai ke telinga Raja, itu alasan yang cukup kuat untuk khawatir. Dan kalau sudah, tapi Raja memilih tidak berbuat apa-apa, itu juga mengkhawatirkan."
"Akan kami sampaikan pesanmu. Semoga pedangmu tetap tajam," kata Brom.
"Dan pedangmu juga."
Kereta-kereta ditarik dari jalan mereka, dan mereka berderap pergi dari Daret ke pepohonan di sepanjang tepi Sungai Ninor. Eragon mengirimkan pikirannya kepada Saphira. Kami dalam perjalanan kembali. Segalanya ternyata baik-baik saja.
Saphira hanya menjawab dengan kemarahan yang menggelegak.
Brom menarik-narik janggutnya. "Kekaisaran berada dalam kondisi yang lebih buruk daripada bayanganku semula. sewaktu, para pedagang berkunjung ke Carvahall, mereka membawa laporan mengenai adanya kekacauan, tapi aku tidak pernah memercayai kekacauannya terjadi seluas ini. Dengan adanya semua Urgal itu di sekitar sini, tampaknya Kekaisaran sendiri diserang, tapi tidak ada pasukan atau prajurit yang dikirim. Rasanya seakan Raja sendiri tidak peduli untuk mempertahankan wilayahnya."
"Aneh," Eragon menyetujui.
Brom merunduk menghindari sebatang cabang yang tergantung rendah. "Kau tadi menggunakan kekuatanmu sementara kita berada di Daret""
"Tidak ada alasan untuk itu."
"Keliru," kata Brom. "Kau bisa merasakan niat Trevor. Bahkan dengan kemampuanku yang terbatas, aku bisa berbuat begitu. Kalau para penduduk desa tadi berniat membunuh kita, aku tidak akan duduk diam begitu saja. Tapi aku merasa ada kemungkinan untuk berbicara baik-baik, yang kulakukan."
"Bagaimana aku bisa mengetahui pikiran Trevor"" tanya Eragon. "Apakah aku seharusnya bisa membaca pikiran orang lain""
"Ayolah," tegur Brom, "kau seharusnya sudah mengetahui jawabannya. Kau bisa mengetahui tujuan Trevor dengan cara yang sama seperti caramu berkomunikasi dengan Cadoc atau Saphira. Benak manusia tidak berbeda jauh dengan benak naga atau kuda. Mudah sekali melakukannya, tapi kau tidak boleh terlalu sering menggunakan kekuatan itu dan harus sangat berhati-hati dalam menggunakannya. Benak seseorang merupakan tempat perlindungan terakhirnya. Kau tidak boleh melanggarnya kecuali situasi memaksa dirimu berbuat begitu. Para Penunggang memiliki aturan yang sangat tegas mengenai hal ini. Kalau aturan ini dilanggar tanpa alasan yang jelas, hukumanya sangat berat."
"Dan kau bisa melakukannya meskipun kau bukan Penunggang"" Eragon ingin tahu.
Seperti yang kukatakan sebelumnya, den
gan instruksi yang tepat siapa saja bisa bercakap-cakap menggunakan pikirannya, namun dengan tingkat keberhasilan yang berbeda. Tapi apakah itu sihir atau bukan, sulit dikatakan. Kemampuan sihir jelas memicu bakat itu-atau kalau seseorang berkaitan dengan naga-tapi aku mengenal banyak orang yang mempelajari sendiri kemampuan tersebut. Coba pikirkan: kau bisa berkomunikasi dengan makhluk hidup apa pun, walau kontaknya mungkin tidak jelas. Kau bisa menghabiskan sepanjang hari untuk mendengarkan pikiran seekor burung atau memahami perasaan cacing tanah sewaktu hujan deras. Tapi aku tidak pernah menganggap pikiran burung sangat menarik. Kusarankan untuk memulainya dengan kucing; mereka memiliki kepribadian yang tidak biasa."
Eragon memuntir kekang Cadoc di tangannya, mempertimbangkan implikasi apa yang dikatakan Brom. "Tapi kalau aku bisa membaca pikiran orang lain, bukankah itu berarti orang lain juga bisa berbuat begitu padaku" Bagaimana caraku mengetahui ada orang yang berusaha membaca pikiranku" Apakah ada cara untuk menghentikannya"" Bagaimana aku tahu Brom bisa mengetahui apa yang kupikirkan sekarang"
"Wah, ya. Bukankah Saphira pernah menghalangimu memasuki pikirannya""
"Terkadang," Eragon mengakui. "Sewaktu ia membawaku ke tengah-tengah Spine, aku tidak bisa mengajaknya berbicara sama sekali. Bukannya ia mengabaikan diriku; kurasa ia bahkan tidak mendengarku. Ada dinding di sekeliling benaknya yang tidak bisa kutembus."
Brom memperbaiki perbannya sejenak, menaikkannya di lengannya. "Hanya sedikit orang yang bisa mengetahui kalau ada orang lain yang berusaha memasuki pikirannya, dan di antara mereka, hanya beberapa orang yang bisa menghalangimu masuk. Itu masalah latihan dan bagaimana caramu berpikir. Karena kekuatan sihirmu, kau akan selalu mengetahui kalau ada orang yang memasuki pikiranmu. Begitu kau mengetahuinya, menghalangi mereka hanyalah masalah berkonsentrasi pada satu hal hingga tidak memikirkan hal-hal lain. Misalnya kalau kau hanya memikirkan dinding bata, itulah yang akan ditemukan musuhmu dalam benakmu. Tapi, untuk menghalangi orang lain selama beberapa waktu membutuhkan energi dan disiplin yang sangat tinggi. Kalau perhatianmu teralih bahwa oleh hal sekecil apa pun, dindingmu akan goyah dan lawan akan menerobos kelemahannya."
"Bagaimana caraku belajar melakukannya"" tanya Eragon.
"Hanya ada satu cara: berlatih, berlatih, dan terus berlatih Bayangkan sesuatu dalam benakmu dan pertahankan bayangan itu hingga tidak ada hal lain dalam pikiranmu selama mungkin. Itu kemampuan yang sangat tinggi, hanya sedikit orang yang pernah menguasainya," kata Brom.
"Aku tidak membutuhkan kesempurnaan, hanya keamanan aku bisa memasuki benak orang lain, bisakah aku mengubah cara berpikirnya" Setiap kali aku mempelajari hal baru tentang sihir, aku menjadi semakin waspada menghadapinya.
Sewaktu mereka tiba di tempat Saphira, naga itu mengejutkan mereka dengan menjulurkan kepala ke arah mereka. Kuda-kuda melangkah mundur dengan gugup. Saphira memandangi Eragon dengan hati-hati dan mendesis pelan. Matanya berkilau-kilau. Eragon melontarkan pandangan prihatin ke arah Brom ia belum pernah melihat Saphira semarah ini-lalu bertanya,
Ada apa" Kau, raung Saphira. Kau masalahnya.
Eragon mengerutkan kening dan turun dari Cadoc. Begitu kakinya menyentuh tanah, Saphira menyapu kaki Eragon dengan ekornya dan menjepit Eragon dengan cakar. "Apa yang kaulakukan"" teriak Eragon, berusaha bangkit, tapi Saphira terlalu kuat baginya.
Brom mengawasi dengan penuh perhatian dari punggung Snowfire.
Saphira mengayunkan kepalanya ke Eragon hingga mereka beradu pandang dari jarak sangat dekat. Eragon menggeliat-geliat di bawah tatapan Saphira yang tidak tergoyahkan. Kau! Setiap kali menghilang dari pandanganku kau selalu menghadapi masalah. Kau seperti naga yang baru dilahirkan, terlalu usil terhadap segala sesuatu. Dan apa yang terjadi kalau kau mengusili apa yang bisa balas menggigit" Bagaimana kau bisa selamat kalau begitu" Aku tidak bisa membantumu kalau aku berada sejauh bermil-mil darimu. Aku bersembunyi agar tidak ada yang melihat diriku, tapi
sekarang tidak lagi! Tidak kalau risikonya kau kehilangan nyawa.
Aku tidak mengerti kenapa kau marah, balas Eragon, tapi aku lebih tua daripada dirimu dan bisa menjaga diri. Apa pun yang terjadi, kaulah yang perlu dilindungi.
Saphira meraung dan mengertakkan gigi di dekat telinga Eragon. Kau benar-benar memercayainya" tanyanya. Besok kau menunggang diriku bukan rusa menyedihkan yang kausebut kuda itu atau aku akan membawamu dengan cakarku. Kau ini Penunggang Naga atau bukan" Apakah kau tidak peduli padaku"
Pertanyaan itu membakar dalam diri Eragon, dan ia menunduk. Ia mengetahui Saphira benar, tapi ia takut menunggang naga itu. Penerbangan mereka merupakan cobaan paling berat yang pernah dialaminya.
"Well"" tanya Brom.
"Ia ingin aku menunggang dirinya besok pagi," kata Eragon.
Brom mempertimbangkannya dengan mata berkilau-kilau "Well, kau memiliki pelana. Kurasa kalau kalian berdua tetap tersembunyi, hal itu tidak menjadi masalah."
Saphira mengalihkan tatapannya kepada Brom, lalu kembali memandang Eragon.
"Tapi bagaimana kalau kau diserang atau terjadi kecelakaan" Aku tidak akan bisa tiba di tempatmu tepat pada waktunya dan-"
Saphira menekan dadanya lebih keras, menghentikan katakatanya. Tepat sekali, makhluk kecil.
Brom seperti menyembunyikan senyum. "Risiko yang layak diambil. Lagi pula kau memang perlu belajar menunggang Saphira. Anggap saja begini: dengan kau terbang terlebih dulu dan memeriksa situasi, kau pasti bisa menemukan jebakan, sergapan, atau kejutan-kejutan lainnya yang tidak bisa diterima."
Eragon menatap Saphira dan berkata, Oke, akan kulakukan. Tapi biarkan aku berdiri.
Berjanjilah. Apakah perlu" tanyanya. Saphira mengerjapkan mata. Baiklah. Aku berjanji akan terbang bersamamu besok. Puas" Aku puas.
Saphira membiarkan ia berdiri dan, setelah menjejakkan kaki terbang. Eragon menggigil sedikit saat mengawasi Saphira berputar di udara. Sambil menggerutu, ia kembali ke Cadoc dan mengikuti Brom.
Matahari hampir terbenam sewaktu mereka membuka kemah. Seperti biasa, Eragon berduel dengan Brom sebelum makan malam. Di tengah pertempuran, Eragon mengayunkan pukulan yang begitu kuat hingga mematahkan kedua tongkat seperti ranting. Potongan-potongannya melayang dalam hujan serpihan. Brom membuang sisa tongkatnya ke api dan berkata, "Kita sudah selesai menggunakan benda ini; buang juga tongkatmu. Kau belajar dengan baik, tapi kita sudah belajar semaksimal mungkin dengan menggunakan cabang pohon. Tidak ada lagi yang bisa kaudapatkan dari pedang kayu. Tiba waktunya bagimu untuk menggunakan pedang yang sebenarnya." Ia mengambil Zar'roc dari tas Eragon dan memberikannya pada Eragon.
"Kita akan saling mencincang habis-habisan," Eragon memprotes.
"Tidak juga. Sekali lagi kau melupakan sihir," kata Brom. Ia mengacungkan pedangnya dan membaliknya hingga cahaya api unggun memantul pada mata pedang. Ia menempelkan jari pada kedua sisi pedang dan memusatkan perhatian, memperdalam kerut-kerut di keningnya. Sejenak tidak terjadi apa-apa, lalu ia menggumam, "Geuloth du knifr!" dan bunga api merah kecil melompat di antara jemarinya. Sementara bunga api berlompatan dari jari ke jari, Brom menelusurkan jemarinya ke sepanjang pedang. Lalu ia memutar pedangnya dan mengulangi tindakannya pada mata pedang yang lain. Bunga api menghilang begitu jemarinya meninggalkan logamnya. Brom mengulurkan tangan, dengan telapak menghadap ke atas, dan mengayunkan pedangnya ke sana. Eragon melompat maju tapi terlambat untuk menghentikan Brom. Ia tertegun sewaktu Brom mengangkat tangannya yang tidak terluka sambil tersenyum. "Apa yang kaulakukan"" Eragon bertanya.
"Coba rasakan mata pedangnya," kata Brom.
Eragon menyentuhnya dan merasakan adanya permukaan yang tidak kasat mata. Halangan itu selebar seperempat inci dan sangat licin. "Sekarang coba kaulakukan pada Zar'roc," kata Brom. "Penghalangmu akan sedikit berbeda dari penghalangku, tapi seharusnya hasilnya sama saja."
Ia memberitahu Eragon cara mengucapkan kata-katanya dan membimbingnya sepanjang proses itu. Eragon harus mencoba beberapa kali, tapi tidak lama kemudian ia berhasil melindungi mata pe
dang Zar'roc. Setelah yakin, ia mengambil posisi menyerang. Brom menegurnya, "Pedang-pedang ini tidak melukai kita, tapi masih mampu mematahkan tulang. Aku lebih suka menghindari hal itu, jadi jangan bermain-main seperti biasa. Pukulan ke leher bisa fatal."
Eragon mengangguk, lalu menyerang tanpa peringatan. Bunga api berhamburan dari mata pedangnya, dan dentangan logam beradu memenuhi perkemahan mereka saat Brom menangkisnya. Pedangnya terasa lambat dan berat bagi Eragon sesudah begitu lama bertarung dengan tongkat. Karena tidak mampu menggerakkan Zar'roc cukup cepat, lututnya terhantam keras.
Mereka berdua dipenuhi memar besar saat berhenti, Eragon lebih banyak daripada Brom. Ia terpesona melihat Zar'roc tidak tergores atau bengkok akibat benturan-benturan keras yang diterimanya.
MELALUI MATA NAGA Keesokan paginya Eragon terjaga dengan tangan dan kaki yang kaku dan membengkak keunguan. Ia melihat Brom membawa pelana ke Saphira dan mencoba menghilangkan ketidak nyamanan yang dirasakannya. Saat sarapan siap, Brom telah mengikatkan pelana di punggung Saphira dan menggantungkan kantong Eragon di sana.
Sesudah mangkuknya kosong, Eragon mengambil busur dan mendekati Saphira tanpa berbicara. Brom berkata, "Sekarang ingat, kepit dengan lututmu, gunakan pikiranmu untuk membimbingnya, dan usahakan serata mungkin di punggungnya. Tidak akan terjadi apa-apa kalau kau tidak panik." Eragon mengangguk, menyelipkan busur yang tidak dipasang talinya ke tabung kulit, dan Brom mendorongnya naik ke pelana. Saphira menunggu dengan sabar sementara Eragon mengeratkan tali-tali di sekitar kakinya. Kau siap" tanyanya. Eragon menghirup udara pagi yang segar. Tidak, tapi kita lakukan saja! Saphira menyetujui dengan antusias. Eragon berPegangan saat Saphira berjongkok. Kaki-kaki Saphira yang kuat menjejak dan udara melecut melewati Eragon, menyentakan napasnya. Dengan tiga kepakan sayap, Saphira berada di udara, menanjak cepat.
Terakhir kali Eragon menunggang Saphira, setiap kepakan sayapnya terasa berat. Sekarang Saphira terbang dengan mantap bagai tanpa mengerahkan tenaga. Eragon melilitkan lengannya di leher Saphira saat naga itu berbelok. Sungai menyusut menjadi garis kelabu samar di bawah mereka. Awan awan mengambang di sekitar mereka.
Sewaktu mereka terbang tinggi di atas dataran, pepohonan di bawah mereka tidak lebih daripada bintik-bintik. Udara tipis, dingin menusuk, dan sangat bersih. "Ini luar biasa" Kata-kata Eragon hilang saat Saphira miring dan berputar penuh. Tanah terbalik memusingkan, dan vertigo mencengkeram Eragon. "Jangan berbuat begitu!" serunya. "Aku merasa seperti akan jatuh."
Kau harus membiasakan diri. Kalau aku diserang dari udara, itu salah satu manuver paling sederhana yang akan kulakukan, jawab Saphira. Eragon tidak bisa memikirkan ucapan balasan, jadi ia memusatkan perhatian untuk mengendalikan isi perutnya. Saphira menukik sedikit dan perlahan-lahan mendekati tanah.
Sekalipun perut Eragon bergolak hebat, ia mulai menikmatinya. Ia agak mengendurkan belitan lengannya dan menjulurkan leher ke belakang, menikmati pemandangannya. Saphira membiarkannya begitu sejenak, lalu berkata, Kutunjukkan seperti apa terbang yang sebenarnya. Seperti apa" tanya Eragon.
Tenang dan jangan takut, kata Saphira.
Benak Saphira menarik-narik benak Eragon, menjauhkannya dari tubuhnya. Eragon melawan sejenak, lalu pasrah. Pandangannya mengabur, dan ia mendapati dirinya memandang melalui mata Saphira. Segala sesuatu tampak terdistorsi: setiap warna tampak berpendar eksotis tepi-tepinya, warna biru sekarang lebih mencolok, sementara hijau dan merah agak pudar. Eragon mencoba memalingkan kepala dan tubuhnya, tapi tidak mampu.
Ia merasa seperti hantu yang melayang-layang.
Suka cita murni terpancar dari Saphira saat ia membubuh ke angkasa. Ia menyukai kebebasan untuk pergi ke mana pun ini. Sewaktu mereka telah tinggi di atas permukaan tanah. Saphira berpaling memandang Eragon. Eragon melihat dirinya sendiri saat Saphira berbuat begitu, berpegangan pada naga dengan pandangan kosong. Ia bisa merasakan tubuh Saphira menegang menentang udara, menggun
akan arus udara yang naik untuk membubung. Seluruh otot Saphira terasa seperti otot-ototnya sendiri. Ia merasakan ekor Saphira berayun-ayun diudara. Ia terkejut menyadari betapa besar ketergantungan Saphira pada ekornya.
Keterkaitan mereka semakin kuat hingga tidak lagi ada perbedaan identitas mereka. Mereka menangkupkan sayap bersama-sama dan menukik turun, seperti sebatang tombak yang dilontarkan dari ketinggian. Tidak ada kengerian jatuh yang menyentuh Eragon, ia tenggelam dalam kegembiraan Saphira. Udara menyapu wajah mereka. Ekor mereka melecut di udara, dan benak mereka yang menyatu menikmati pengalaman itu.
Bahkan sewaktu mereka meluncur ke tanah, tidak ada ketakutan tabrakan. Mereka membentangkan sayap pada saat yang tepat, menghentikan tukikan dengan kekuatan gabungan mereka. Miring ke langit, mereka melesat naik dan terus berputar balik membentuk lingkaran raksasa.
Saat mereka terbang datar, benak mereka mulai berpisah, sekali lagi menjadi dua kepribadian yang berbeda. Selama sepersekian detik, Eragon merasakan baik tubuhnya sendiri maupun tubuh Saphira. Lalu pandangannya mengabur dan ia kembali duduk di punggung Saphira. Ia tersentak dan jatuh di pelana. Baru beberapa menit kemudian jantungnya berhenti berdebar-debar dan napasnya kembali tenang. Sesudah pulih, ia berseru, Benar-benar luar biasa! Bagaimana kau bisa bertahan di darat kalau kau begitu menikmati terbang"
Aku harus makan, kata Saphira gembira. Tapi aku senang kau menikmatinya.
Kata kata itu kurang tepat untuk menggambarkan pengalaman seperti tadi. Sayang sekali aku tidak lebih sering terbang bersamamu; aku tidak pernah menduga terbang akan seperti itu. Apakah kau selalu melihat begitu banyak warna biru"
Begitulah diriku. Apakah kita akan lebih sering terbang bersama sekarang"
Ya! Setiap ada kesempatan.
Bagus, jawab Saphira dengan nada puas.
Mereka bertukar banyak pikiran sementara Saphira terbang, bercakap-cakap seperti telah berminggu-minggu tidak bicara.
Saphira menunjukkan pada Eragon cara menggunakan bukit-bukit dan pepohonan untuk bersembunyi dan bagaimana ia menyembunyikan diri dalam bayang-bayang awan. Mereka memeriksa jalan setapak untuk Brom, yang terbukti lebih melelahkan daripada dugaan Eragon. Mereka tidak bisa melihat jalan setapaknya kecuali Saphira terbang sangat dekat dengan jalan itu, yang berarti ia mengambil risiko ketahuan.
Menjelang tengah hari, dengungan yang mengganggu memenuhi telinga Eragon, dan ia menyadari ada tekanan aneh pada benaknya. Ia menggeleng, mencoba menyingkirkan, tekanan itu, tapi tekanan itu justru semakin kuat. kata-kata Brom tentang bagaimana orang bisa mendobrak masuk ke dalam pikiran orang lain melintas dalam kepala Eragon, dan dengan panik ia mencoba menjernihkan pikiran. Ia memusatkan perhatian pada salah satu sisik Saphira dan memaksa dirinya mengabaikan yang lain. Tekanannya berkurang sejenak, lalu kembali, lebih kuat daripada kapan pun. Embusan angin yang tiba-tiba menggoncang Saphira, dan konsentrasi Eragon hancur. Sebelum ia sempat menyusun pertahanan apa pun, kekuatan itu berhasil menerobos masuk. Tapi bukannya kehadiran benak lain yang invasif, yang terdengar hanyalah kata-kata, Apa yang sedang kaulakukan" Turunlah kemari. Ada hal penting yang kutemukan.
Brom" tanya Eragon. Ya, kata orang tua itu jengkel. Sekarang perintahkan kadal gendutmu Itu mendarat. Aku ada di sini... Ia mengirimkan gambaran lokasinya. Eragon bergegas memberitahu Saphira ke mana mereka harus pergi, naga itu pun berbelok ke sungai di bawahnya. Sementara itu, Eragon memasang tali busur dan mencabut beberapa anak panah.
Kalau ada masalah, aku akan siap menghadapinya. Aku juga, kata Saphira.
Sewaktu mereka tiba di tempat Brom, Eragon melihat orang tua itu berdiri di lapangan terbuka, melambai-lambaikan tangan. Saphira mendarat, dan Eragon melompat turun dari punggungnya dan memeriksa lokasi. Kuda-kuda terikat di pohon di tepi lapangan, tapi Brom hanya seorang diri. Eragon berlari-lari kecil dan bertan'ya, "Ada apa""
Brom menggaruk dagu dan menggumamkan serangkaian makian. "Jangan pernah memblokirku seperti itu lagi. Sudah cukup
sulit bagiku untuk menjangkau dirimu tanpa harus berjuang agar suaraku didengar."
"Maaf." Brom mendengus. "Aku menyusuri sungai lebih jauh sewaktu kusadari jejak Ra'zac menghilang. Aku mundur kembali hingga menemukan tempat mereka menghilang. periksalah tanahnya dan katakan padaku apa yang kaulihat."
Eragon berlutut memeriksa tanah dan mendapati jejak-jejak membingungkan yang sulit ditafsirkan. Puluhan jejak kaki Razac saling tumpang tindih. Eragon menebak jejak-jejak kaki itu baru berusia beberapa hari. Di atas jejak-jejak itu terdapat ceruk-ceruk panjang dan tebal yang menghunjam dalam di tanah. Jejak-jejak itu rasanya dikenalinya, tapi Eragon tidak bisa mengatakan sebabnya.
Ia berdiri, menggeleng. "Aku tidak mengetahui apa yang..." Lalu pandangannya jatuh pada Saphira dan ia menyadari apa yang membentuk ceruk-ceruk itu. Setiap kali Saphira lepas landas, bagian belakang cakar Saphira menghunjam ke tanah dan mencakarnya dengan cara yang sama. "Ini tidak masuk di akal, tapi satu-satunya yang bisa kupikirkan adalah bahwa Ra'zac terbang dengan naga. Atau mereka menunggang burung raksasa dan menghilang ke langit. Katakan kalau kau memiliki penjelasan yang lebih baik."
Brom mengangkat bahu. "Aku sudah mendengar beberapa laporan bahwa Ra'zac berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain dengan kecepatan yang luar biasa, tapi ini bukti pertama yang kumiliki mengenai hal itu. Akan nyaris mustahil menemukan mereka kalau mereka memiliki tunggangan yang bisa terbang. Tunggangan mereka bukan naga, aku tahu itu. Naga tidak akan pernah bersedia ditunggangi Ra'zac."
"Apa yang harus kita lakukan" Saphira tidak bisa melacak mereka di langit. Bahkan kalau ia bisa, kami akan meninggalkan dirimu jauh di belakang."
"Tidak ada pemecahan yang mudah untuk teka-teki ini," kata Brom. "Kita makan siang dulu sambil memikirkannya. Mungkin kita akan mendapat inspirasi sewaktu makan." Eragon dengan muram melangkah ke kantong makanannya. Mereka bersantap sambil membisu, menatap langit yang kosong.
Sekali lagi Eragon teringat rumahnya dan bertanya-tanya apa yang tengah dilakukan Roran. Gambaran rumah pertanian yang terbakar muncul di hadapannya dan kedukaan nyaris menenggelamkan dirinya. Apa yang akan kulakukan kalau kami tidak bisa menemukan Ra'zac" Apa tujuanku kalau begitu"
Aku bisa kembali ke Carvahall, ia mencabut sebatang ranting tanah dan mematahkannya dengan dua jari, atau sekadar berpergian bersama Brom dan melanjutkan latihanku. Eragon menatap dataran, berharap bisa menenangkan pikirannya.
Sesudah Brom makan, ia bangkit dan membuka kerudungnya "Aku telah mempertimbangkan setiap tipuan yang kuketahui setiap kata kekuatan yang kupahami, dan semua keahlian yang kita miliki, tapi aku masih tidak mengetahui bagaimana kita bisa menemukan Ra'zac." Eragon bersandar lesu pada Saphira dengan putus asa. "Saphira bisa menampakkan diri di beberapa kota. Dengan begitu akan menarik perhatian Ra'zac seperti lalat ke madu. Tapi tindakan seperti itu sangat berisiko untuk dicoba. Ra'zac bisa membawa prajurit, dan Raja mungkin cukup tertarik untuk datang sendiri, yang jelas akan menjadi kematian bagimu dan bagiku."
"Jadi sekarang apa"" tanya Eragon, sambil mengangkat tangan. Kau ada gagasan, Saphira"
Tidak. "Terserah padamu," kata Brom. "Ini petualanganmu."
Eragon mengertakkan gigi dengan marah dan berjalan menjauhi Brom dan Saphira. Tepat pada saat ia akan memasuki pepohonan, kakinya menghantam benda keras. Di tanah tergeletak botol air logam dengan tali kulit yang cukup panjang untuk menggantungkan botol itu di bahu seseorang. Lencana perak terukir di sana. Eragon mengenali lencana itu sebagai simbol Ra'zac.
Dengan penuh semangat, ia mengambil botol minuman itu dan membuka tutupnya. Bau busuk menyebar di udara-bau yang sama seperti yang diciumnya sewaktu ia menemukan Garrow di bawah reruntuhan rumah mereka. Ia memiringkan botol itu, dan setetes cairan jernih mengilap jatuh ke jarinya. Seketika jari Eragon terbakar seakan dimasukkan ke api. Ia menjerit dan menggosokkan tangan ke tanah. Sesaat kemudian sakitnya mereda namun meninggalkan denyutan-denyuta
n. Sepotong kulitnya hilang.
Sambil meringis, ia berlari-lari kembali ke Brom. "Lihat apa yang kutemukan." Brom mengambil botol itu dan memeriksanya, lalu menuangkan sedikit cairan itu ke tutupnya. Eragon hendak memperingatkan dirinya, "Awas, cairan itu bisa membakar-"
"Kulitku, aku tahu," kata Brom. "Dan kurasa kau menuangkannya ke tanganmu. Jarimu" Well, paling tidak kau cukap punya otak untuk tidak meminumnya. Kalau kau minum kau bakal tinggal berupa genangan."
"Cairan apa itu"" tanya Eragon.
,,Minyak dari kelopak tanaman Seithr, yang tumbuh di pulau kecil di laut utara yang beku. Dalam kondisi alamiahnya, minyak ini digunakan untuk mengawetkan mutiara, cairan ini menguatkan dan mengilaukan mutiara. Tapi kalau kata-kata tertentu diucapkan pada minyak ini, bersama pengorbanan darah, minyak jadi memiliki kemampuan memakan daging apa pun. Itu saja tidak akan menjadikannya istimewa, ada banyak asam yang bisa menghancurkan daging dan tulang masih ada fakta bahwa cairan ini tidak mengusik benda lain. Kau bisa mencelupkan apa pun ke minyak ini dan menariknya keluar tanpa cacat, kecuali benda itu bagian dari hewan atau manusia. Hal itu menjadikannya senjata pilihan untuk penyiksaan dan pembunuhan. Cairan ini bisa disimpan dalam kayu, diusapkan ke ujung tombak, atau diteteskan ke kain agar orang berikut yang menyentuhnya terbakar. Banyak sekali gunanya, hanya dibatasi kecerdasanmu. Luka apa pun yang disebabkan minyak ini selalu lama sembuh. Minyak ini agak langka dan mahal, terutama dalam bentuk yang telah berubah ini."
Eragon teringat luka-luka bakar mengerikan yang menutupi Garrow. Ini yang mereka gunakan pada dirinya, pikirnya, menyadari dengan perasaan ngeri. "Aku ingin tahu kenapa Ra'zac meninggalkan benda seberharga ini."
"Pasti terjatuh sewaktu mereka terbang."
"Tapi kenapa mereka tidak kembali mengambilnya" Aku ragu Raja akan senang karena mereka menghilangkannya."
"Tidak, ia tidak akan senang," kata Brom, "tapi ia akan lebih tidak senang lagi kalau mereka menunda mengirimkan berita tentang dirimu padanya. Malahan, kalau Ra'zac sudah bertemu dengannya sekarang, kau boleh merasa yakin Raja telah mengetahui namamu. Dan itu berarti kita harus jauh lebih berhati-hati sewaktu memasuki kota-kota. Akan ada peringatan dan Penyiagaan mengenai dirimu di seluruh Kekaisaran."
Eragon diam sejenak untuk berpikir. "Minyak itu, seberapa langka tepatnya"
Seperti berlian dalam kotoran babi," kata Brom. Ia mengubah kata-katanya sendiri sedetik kemudian, "Sebenarnya, minyak yang biasa digunakan tukang perhiasan, tapi hanya mereka yang mampu membelinya."
"Jadi ada orang-orang yang memperdagangkannya""
"Mungkin satu, atau dua orang."
"Bagus," kata Eragon. "Sekarang, apakah kota-kota di sepanjang pantai membuat catatan pengapalan""
Mata Brom berubah cerah. "Tentu saja mereka membuatnya. Kalau kita bisa mendapatkannya, catatan tersebut akan memberitahu kita siapa yang membawa minyak itu ke selatan dan dari sana dibawa ke mana."
"Dan catatan pembelian Kekaisaran akan memberitahu kita di mana Ra'zac tinggal!" kata Eragon menyimpulkan. "Aku tidak tahu berapa banyak yang mampu membeli minyak ini tapi seharusnya tidak sulit memperkirakan mana yang tidak bekerja bagi Kekaisaran."
"Jenius!" seru Brom, sambil tersenyum. "Seandainya aku memikirkannya bertahun-tahun yang lalu; aku tidak perlu sering pusing. Pantai dipenuhi puluhan kota besar dan kecil di mana kapal bisa merapat. Kurasa kita bisa mengawali dari Teirm, karena kota itu mengendalikan sebagian besar perdagangan." Brom diam sejenak. "Terakhir kudengar, teman lamaku Jeod tinggal di sana. Sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu, tapi ia mungkin bersedia membantu kita. Dan karena ia pedagang, ada kemungkinan ia memiliki akses terhadap catatan tersebut."
"Bagaimana cara kita ke Teirm""
"Kita harus pergi ke barat daya hingga tiba di celah tinggi di Spine. Begitu tiba di sisi lain, kita bisa menyusuri pantai ke Teirm," kata Brom. Angin lembut menarik-narik rambutnya.
"Bisakah kita mencapai celah itu dalam seminggu""
"Dengan mudah. Kalau kita menjauhi Ninor dan berjalan ke sebelah kanan kita, kita
mungkin bisa melihat pegunungannya besok."
Eragon melangkah mendekati Saphira dan naik ke punggungnya. "Sampai jumpa saat makan malam, kalau begitu.
Sewaktu mereka telah berada di ketinggian yang bagus berkata, Aku akan menunggang Cadoc besok. Sebelum kau memprotes, ketahuilah bahwa aku melakukannya hanya karena aku ingin bercakap-cakap dengan Brom.
Kau harus menunggang kuda bersamanya dua hari sekali. Dengan begitu kau masih bisa menerima Instruksimu, dan aku memiliki waktu untuk berburu.
Kau tidak merasa terganggu karenanya"
Itu memang perlu dilakukan.
Sewaktu mereka mendarat di akhir hari itu, Eragon merasa Senang mendapati kakinya tidak luka. Pelana melindungi dirinya dengan baik dari sisik-sisik Saphira.
Eragon dan Brom berlatih tanding lagi malam itu, tapi kekurangan energi, karena keduanya sibuk memikirkan kejadian-kejadian hari ini. Pada saat mereka selesai, lengan Eragon terasa terbakar karena belum terbiasa dengan berat
Zar'roc. NYANYIAN UNTUK JALAN Keesokan harinya sewaktu mereka berkuda, Eragon bertanya kepada Brom, "Seperti apa laut""
"Kau pasti pernah mendengar orang menggambarkannya," kata Brom.
"Ya, tapi seperti apa sebenarnya laut""
Pandangan Brom berubah menerawang, seakan melihat pemandangan tersembunyi. "Laut merupakan inkarnasi emosi. Laut mencintai, membenci, dan menangis. Laut mengalahkan semua usaha untuk menangkapnya dengan kata-kata dan menolak semua borgol. Tidak peduli apa pun yang kaukatakan mengenainya, selalu ada yang tidak bisa kaukatakan. Kau ingat apa yang pernah kukatakan tentang bagaimana para elf datang melintasi lautan"" "Ya."
"Sekalipun tinggal jauh dari pantai, mereka sangat terpesona dan bergairah terhadap lautan. Suara ombak memecah, bau udara bergaram, mempengaruhi mereka secara mendalam dan menginspirasi banyak lagu mereka yang paling indah. Ada lagu yang menceritakan cinta ini, kalau kau mau mendengarnya."
"Mau," kata Eragon, tertarik.
Brom berdeham dan berkata, "Akan kuterjemahkan syairnya dari bahasa kuno sebisa mungkin. Hasilnya tidak akan sempurna, tapi mungkin cukup untuk memberimu gambaran tentang bagaimana syair aslinya." Ia menghentikan Snowfire dan memejamkan mata. Ia terdiam sejenak, lalu bernyanyi dengan suara pelan:
O penggoda cair di bawah langit biru,
Kilaumu yang luas memanggilku, memanggilku.
Karena aku akan terus berlayar,
Kalau bukan karena wanita elf,
Yang memanggilku, memanggilku.
Ia mengikat hatiku dengan tali seputih teratai,
tidak akan pernah terputuskan, kecuali oleh laut,
Selamanya terbagi antara pepohonan dan ombak.
Kata-kata itu menggema dalam kepala Eragon. "Lagu itu, 'Du Silbena Datia', masih panjang. Aku hanya mengutip salah satu baitnya. Lagu itu merupakan kisah sedih dua kekasih, Acallamh dan Nuada, yang dipisahkan kerinduan pada laut. Para elf mendapatkan makna yang sangat hebat dalam cerita ini."
"Indah sekali," kata Eragon.
Spine hanyalah sosok samar di kaki langit sewaktu mereka berhenti malam itu.
Sewaktu tiba di kaki Spine, mereka berbelok dan menyusuri pegunungan itu ke selatan. Eragon merasa senang berada dekat dengan pegunungan lagi; pegunungan meletakkan batasan-batasan dunia yang nyaman. Tiga hari kemudian mereka tiba di jalan lebar yang dipenuhi jejak roda kereta. "Ini jalan utama antara ibu kota, Uru'baen, dan Teirm," kata Brom. "Jalan ini sering digunakan dan merupakan rute kesukaan para pedagang. Kita harus lebih berhati-hati. Sekarang bukan waktu yang paling sibuk sepanjang tahun, tapi pasti ada beberapa orang yang menggunakan jalan ini."
Hari-hari berlalu dengan cepat saat mereka menyusuri jalan di sepanjang Spine, mencari-cari celah pegunungan. Tidak ada yang membosankan bagi Eragon. Sewaktu tidak mempelajari bahasa elf, ia belajar cara merawat Saphira atau berlatih sihir. Eragon juga belajar cara membunuh hewan buruan dengan sihir, yang menghemat waktu berburu mereka. Ia memegang sebutir batu kecil dan menembakkannya ke buruannya. Mustahil meleset. Hasil usahanya dipanggang di api unggun setiap malam. Dan sesudah makan malam, Brom dan Eragon berlatih tanding dengan menggunakan pedang dan, terkadang, dengan tinju.
Har i-hari yang panjang dan kerja keras yang dijalani Eragon menyingkirkan semua kelebihan lemak dari tubuhnya. Lengan-lengannya menjadi kokoh, dan kulitnya yang kecokelatan bergelombang karena otot-otot yang keras. Segala sesuatu pada diriku berubah keras, pikirnya datar. Sewaktu mereka akhirnya tiba di celah, Eragon melihat ada sungai yang mengalir keluar dari celah itu dan memotong jalan. "Ini Toark," Brom menjelaskan. "Kita akan mengikutinya terus hingga ke laut."
"Mana mungkin," kata Eragon sambil tertawa, "sungai ini kan mengalir keluar dari Spine ke arah sini! Sungai ini tidak akan menuju laut kecuali ia berputar balik sendiri."
Brom memutar-mutar cincin di jarinya. "Karena di tengah pegunungan ini terdapat Danau Woadark. Sebuah sungai mengalir dari setiap ujungnya dan keduanya dinamai Toark. Kita melihat Toark yang mengalir ke timur sekarang. Sungai itu mengalir ke selatan dan berliku-liku melewati sesemakan hingga menyatu dengan Danau Leona. Sungai yang satu lagi mengalir ke laut."
Sesudah dua hari di Spine, mereka tiba di tonjolan batu tempat mereka bisa melihat pegunungannya tanpa terhalang. Eragon menyadari bagaimana tanah di kejauhan merata, dan ia mengerang melihat jauhnya jarak yang masih harus mereka tempuh. Brom menunjuk, "Teirm berada di bawah sana agak ke utara. Itu kota lama. Ada yang mengatakan di sanalah para elf pertama kali mendarat di Alagaesia. Bentengnya tidak pernah dikalahkan, juga para pejuangnya." Ia menjejak Snowfire agar maju dan meninggalkan tonjolan batu itu. Mereka membutuhkan waktu hingga tengah hari keesokan harinya untuk turun ke kaki perbukitan di sisi seberang Spine, di mana tanahnya yang berhutan dengan cepat merata. Tanpa adanya pegunungan yang bisa dijadikan tempat persembunyian, Saphira terbang dekat dengan tanah, menggunakan setiap lubang dan ceruk di tanah untuk menyembunyikan diri.
Di balik hutan, mereka menyadari adanya perubahan. Daerah pedalaman itu tertutup rerumputan dan sesemakan kecil berbunga ungu tempat kaki-kaki mereka melesak masuk. Lumut menutupi setiap batu juga cabang dan menjajari sungai-sungai kecil yang membelah padang. Di berbagai tempat di jalan, tempat kuda-kuda menginjak tanah, tampak genangan lumpur dalam waktu singkat Brom dan Eragon penuh cipratan kotoran.
Kenapa segalanya hijau"" tanya Eragon. "Apakah di sini mereka tidak pernah mengalami musim dingin""
"Ya, tapi musim dingin di sini ringan. Kabut bergulung-gulung dari laut dan menjaga segala sesuatu tetap hidup. Ada yang menyukai musim dingin seperti itu, tapi bagiku muram dan membosankan."
Sewaktu malam turun, mereka mendirikan kemah di tempat paling kering yang bisa mereka temukan. Sementara mereka makan, Brom berkata, "Kau seharusnya tetap menunggang Cadoc hingga kita tiba di Teirm. Kemungkinan kita akan bertemu para pelancong lain karena sekarang kita sudah keluar dari Spine, dan akan lebih baik kalau kau bersamaku. Pria tua yang bepergian seorang diri akan membangkitkan kecurigaan. Dengan adanya dirimu di sampingku, tidak akan ada yang bertanya-tanya. Lagi pula, aku tidak ingin muncul di kota karena bila ada orang yang melihatku di jalan setapak, mereka akan bertanya-tanya dari mana kau tiba-tiba muncul."
"Apakah kita akan menggunakan nama kita sendiri"" tanya Eragon.
Brom memikirkannya. "Kita tidak akan bisa menipu Jeod. Ia mengetahui namaku, dan kupikir aku memercayainya soal namamu. Tapi bagi semua orang lain, aku Neal dan kau Evan keponakanku. Kalau kita kelepasan bicara dan membuka rahasia, mungkin samaran itu tidak ada gunanya, tapi aku tidak ingin ada yang mengetahui nama kita. Orang-orang merniliki kebiasaan menjengkelkan dalam mengingat hal-hal Yang tidak seharusnya mereka ingat."
TEIRM SEKILAS Sesudah berjalan selama dua hari ke utara menuju lautan, Saphira melihat Teirm. Kabut tebal menggantung rendah di atas permukaan tanah, menghalangi pandangan Brom dan Eragon hingga angin dari barat mengusir kabut itu. Eragon ternganga saat Teirm tiba-tiba muncul di hadapan mereka, bertengger di tepi laut yang berkilau-kilau, tempat kapal-kapal yang anggun ditambatkan dengan layar digulung. Gemuru
h ombak terdengar samar-samar di kejauhan.
Kota itu terkurung dinding putih-seratus kaki tingginya dan tiga puluh kaki tebalnya-dengan celah-celah persegi untuk memanah dan jalur jalan di atasnya untuk para prajurit dan penjaga. Permukaan dinding yang halus disela dua jeruji besi, satu menghadap ke laut barat, yang lain terbuka ke selatan, ke jalan. Di atas dinding-dan didirikan menempel pada bagian timur laut menjulang benteng besar yang dibangun dari batu-batu raksasa dan menara-menaranya. Di menara tertinggi terdapat mercusuar yang menyala terang benderang. Puri itu merupakan satu-satunya bangunan yang kelihatan di atas benteng.
Gerbang selatan dijaga beberapa prajurit, tapi mereka memegang tombaknya dengan serampangan. Ini ujian pertama kita-kata Brom. "Semoga saja mereka belum menerima laporan mengenai kita dari Kekaisaran dan tidak menahan kita. Apa pun yang terjadi, jangan panik atau melakukan tindakan yang mencurigakan."
Eragon memberitahu Saphira, Kau harus mendarat dan bersembunyi sekarang. Kami akan masuk.
Mengusik apa yang bukan hakmu. Sekali lagi, kata Saphira masam.
Aku tahu. Tapi Brom dan aku memiliki kekuatan lebih yang tidak dimiliki sebagian besar orang lainnya. Kami akan baik-baik saja.
Kalau terjadi apa-apa, akan kuikat kau di punggungku dan tidak akan pernah kulepaskan lagi.
Aku juga menyayangimu. Kalau begitu aku akan mengikatmu lebih erat lagi.
Eragon dan Brom berkuda ke gerbang, mencoba tampak biasa saja. Bendera kuning bergambar singa meraung dan tangan memegang bunga teratai mekar tampak melambai-lambai di atas pintu masuk. Sewaktu mereka mendekati dinding, Eragon bertanya dengan tertegun. "Seberapa besar tempat ini""
"Lebih besar daripada kota besar mana pun yang pernah kau lihat," jawab Brom.
Di pintu masuk Teirm, para penjaga berdiri lebih tegap dan menghalangi gerbang dengan tombak mereka. "Siapa namamu"" tanya salah satu dari mereka dengan nada bosan.
"Aku dipanggil Neal," kata Brom dengan suara mendesis, sambil miring ke satu sisi, wajahnya memancarkan ekspresi gembira orang idiot. "Siapa satu lagi"" tanya penjaga.
"Yah, aku dah mau bilang. Ini ponakanku Evan. Ia anak adik perempuanku, bukan..."
Penjaga mengangguk tidak sabar. "Yeah, yeah. Urusanmu di sini""
"Ia mengunjungi teman lama," kata Eragon, dengan aksen kental. "Aku ikut untuk memastikan ia nggak tersesat, kalau kau mengerti maksudku. Ia nggak semuda dulu, agak terlalu banyak kena matahari waktu muda. Sempat kena demam otak,"
Brom mengangguk-angguk senang.
"Baik. Masuklah," kata penjaga, melambaikan tangan dan menurunkan tombaknya. "Pastikan saja ia tidak bikin masalah."
oh, nggak akan," Eragon berjanji. Ia menjejak Cadoc agar berjalan, dan mereka pun memasuki Teirm. Jalan dari batu-batu bulat berdetak-detak di bawah kuku kuda mereka. Begitu mereka telah jauh dari penjaga, Brom menegakkan duduknya dan menggerutu, "Kena demam otak, eh""
"Aku tidak bisa membiarkan kau bersenang-senang sendiri," goda Eragon.
Brom mendengus dan membuang muka.
Rumah-rumah di sana tampak muram dan tertutup. Jendela-jendelanya kecil, hanya cukup untuk masuknya sedikit cahaya matahari. Pintu-pintunya yang sempit agak masuk ke dalam, bangunan. Atapnya rata cuma ada pagar logam dan semuanya tertutup genteng lempengan. Eragon menyadari rumah-rumah yang paling dekat dengan dinding luar Teirm tidak lebih dari satu tingkat, tapi bangunannya semakin lama semakin tinggi saat mereka masuk makin dalam. Bangunan-bangunan di samping benteng tampak yang paling tinggi sekalipun masih kalah jauh dibandingkan bentengnya.
"Tempat ini tampaknya siap berperang," Eragon berkomentar.
Brom mengangguk. "Teirm memang pernah diserang para perompak, Urgal, dan musuh-musuh lain. Tempat ini sudah lama menjadi pusat perdagangan. Akan selalu ada konflik di tempat orang-orang kaya berkumpul sebanyak ini. Orang-orang di sini terpaksa mengambil langkah-langkah yang luar biasa untuk mengamankan diri dari serbuan. Fakta bahwa Galbatorix memberi mereka prajurit untuk mempertahankan kota mereka juga membantu."
"Kenapa ada rumah yang lebih tinggi daripada yang lain""
"Lihat benteng itu," kat
a Brom, sambil menunjuk. "Dari sana kau bisa memandang Teirm tanpa halangan. Kalau dinding luar berhasil ditembus, para pemanah akan ditempatkan di seluruh atap. Karena rumah-rumah di depan, dekat dinding luar, lebih rendah, orang-orang yang berada agak jauh di belakang tidak akan takut salah memanah rekan mereka sendiri. Juga, kalau ada musuh yang berhasil menguasai rumah-rumah itu dan menempatkan para pemanah mereka sendiri di atasnya tidak sulit untuk memanah mereka."
"Aku belum pernah melihat kota yang direncanakan seperti ini," kata Eragon heran.
"Ya, tapi ini dilakukan hanya sesudah Teirm nyaris dibakar habis perompak," Brom mengomentari. Saat mereka terus menyusuri jalan, orang-orang melontarkan pandangan bertanya pada mereka, tapi tidak ada yang menunjukkan ketertarikan yang lebih daripada yang seharusnya. Kalau dibandingkan dengan sambutan yang kami terima di deret, di sini boleh dikatakan kami disambut dengan tangan terbuka. Mungkin Teirm dilewatkan para Urgal, pikir Eragon. Ia berubah pendapat sewaktu seorang pria bertubuh besar menerobos di antara mereka, sebilah pedang tergantung di punggungnya. Ada juga yang lainnya, tanda-tanda yang lebih tidak kentara tentang masa berbahaya: tidak ada anak-anak yang bermain di jalan, orang-orang memancarkan ekspresi keras, dan banyak rumah yang kosong, alang-alang tumbuh dari retakan di halaman yang tertutup batu. "Tampaknya mereka pernah menghadapi masalah," kata Eragon. "Sama seperti tempat-tempat lain," kata Brom muram. "Kita harus menemukan Jeod." Mereka membimbing kuda-kuda mereka menyeberangi jalan ke kedai minuman dan mengikatkan kuda-kuda itu di tiang tambatan. "Green Chestnut... luar biasa," gumam Brom, sambil memandang papan nama pudar di atas mereka saat ia dan Eragon masuk.
Ruangan suram di tempat itu terasa tidak aman. Api mengepulkan asap di perapian, tapi tidak ada yang bersusah payah menambahkan kayu ke sana. Beberapa orang yang sendirian di sudut menikmati minuman masing-masing dengan ekspresi cemberut. Seorang pria yang kehilangan dua jari tangannya duduk di meja seberang, mengamati penggalan jarinya yang berkedut. Bibir bartender melengkung membentuk cibiran dan ia memegang gelas yang terus-menerus dilapnya, walau gelas itu telah retak.
Brom mencondongkan tubuh ke bar dan bertanya, "Kau tahu di mana kami bisa menemukan orang bernama Jeod"" Eragon berdiri di sampingnya, mempermainkan ujung busur di pinggangnya. Busurnya melintang di punggung, tapi saat itu ia berharap busurnya ada di tangannya. Bartender berbicara dengan suara yang terlalu keras, "Nah, kenapa aku harus tahu hal-hal semacam itu" Menurutmu aku mengikuti terus perkembangan keparat-keparat busuk di tempat terkutuk ini"" Eragon mengernyit saat semua mata terarah pada mereka. Brom terus berbicara dengan tenang. "Bisakah kau dibujuk untuk mengingatnya"" Ia menyodorkan sejumlah koin ke bar. Wajah pria itu berubah cerah dan ia meletakkan gelasnya. "Bisa saja," katanya, sambil merendahkan suara, "tapi ingatanku membutuhkan banyak dorongan."


Eragon Karya Christhoper Paolini di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wajah Brom berubah masam, tapi ia menyodorkan koin lagi ke bar.
Bartender itu mengisap salah satu pipinya tanpa bisa mengambil keputusan. "Baiklah," katanya akhirnya, dan meraih koin-koin itu.
Sebelum ia sempat menyentuhnya, pria yang kehilangan dua jari tangannya berseru dari mejanya, "Gareth, apa-apaan kau ini" Siapa pun di jalan bisa memberitahu mereka di mana Jeod tinggal. Untuk apa kau meminta bayaran dari mereka""
Brom menyapu kembali koin-koinnya dan memasukkannya ke kantongnya. Gareth melontarkan tatapan murka ke arah pria di meja tersebut, lalu berbalik memunggungi mereka dan mengambil gelasnya lagi.
Brom mendekati orang asing itu dan berkata, "Terima kasih. Namaku Neal. Ini Evan."
Pria itu mengangkat gelasnya ke arah mereka. "Martin, dan tentu saja kalian sudah bertemu Gareth." Suaranya dalam dan serak. Martin memberi isyarat ke arah kursi-kursi kosong. "Silakan duduk. Aku tidak keberatan."
Eragon mengambil kursi dan mengaturnya begitu rupa hingga ia duduk memunggungi dinding dan menghadap ke pintu. Martin mengangkat alis, tapi tidak berkomentar.
"Kau baru saja menyelamatkan beberapa crown milikku," kata Brom.
"Dengan senang hati. Tapi tidak bisa kusalahkan Gareth bisnis akhir-akhir ini kurang bagus." Martin menggaruk dagu, "Jeod tinggal di sisi barat kota, tepat di sebelah Angela, ahli tanaman obat. Kalian ada urusan dengannya""
"Begitulah," kata Brom.
" Well, ia tidak akan tertarik membeli apa pun; ia baru saja kehilangan kapal lagi beberapa hari yang lalu."
Brom mendengarkan berita itu dengan perhatian. "Apa yang terjadi" Bukan perbuatan Urgal""
"Bukan," kata Martin. "Mereka sudah meninggalkan kawasan ini. Tidak ada yang melihat mereka selama hampir setahun. Tampaknya mereka semua pergi ke selatan dan timur. Tapi mereka bukan masalah. Kau tahu, sebagian besar bisnis kami adalah perdagangan laut, dan aku yakin kalian tahu. Yah," berhenti sejenak untuk menenggak minuman, "mulai beberapa bulan yang lalu, ada yang menyerang kapal-kapal kami. Bukan perompakan biasa, karena hanya kapal-kapal yang membawa dagangan pedagang tertentu yang diserang. Jeod salah satunya. Keadaannya begitu buruk hingga tidak ada kapten yang bersedia menerima barang dagangan para pedagang itu, yang menyebabkan kehidupan di sekitar sini sulit. Terutama karena beberapa di antara mereka menjalankan bisnis pengapalan terbesar di Kekaisaran. Mereka terpaksa mengirim barang melalui darat. Biayanya sangat tinggi, dan iring-iringan mereka tidak selalu berhasil tiba di tempat tujuan."
"Kau punya gagasan siapa yang bertanggung jawab" Pasti ada saksi," kata Brom.
Martin menggeleng. "Tidak ada yang berhasil selamat dari serangan-serangan itu. Kapal-kapal berlayar, lalu menghilang; mereka tidak pernah terlihat lagi." Ia mencondongkan tubuh ke arah mereka dan berkata dengan nada bersekongkol, "Kata para kelasi serangan-serangan itu dilakukan dengan sihir." Iamengangguk dan mengedipkan sebelah mata, lalu menyandar ke belakang.
Brom tampak khawatir mendengar kata-katanya. "Menurut pendapatmu""
Martin mengangkat bahu tidak peduli. "Aku tidak tahu. Dan kurasa aku tidak akan mengetahuinya kecuali aku cukup beruntung bisa berada di salah satu kapal yang tertangkap itu."
"Kau pelaut"" Eragon bertanya.
"Bukan," kata Martin sambil mendengus. "Apakah tampangku seperti pelaut" Para kapten menyewa tenagaku untuk mempertahankan kapal mereka dari para perompak. Dan bajingan-bajingan, pencuri itu tidak begitu aktif akhir-akhir ini. Meskipun begitu, itu pekerjaan yang bagus."
"Tapi berbahaya," kata Brom. Martin kembali mengangkat bahu dan menghabiskan birnya. Brom dan Eragon berlalu dan menuju sisi barat kota, kawasan yang lebih baik di Teirm. Rumah-rumahnya bersih, berukir, dan besar. Orang-orang di jalan mengenakan pakaian-pakaian mahal dan melangkah dengan sikap berkuasa. Eragon merasa sangat mencolok dan tidak pada tempatnya.
TEMAN LAMA Toko tukang obat itu memiliki papan tanda yang ceria dan mudah ditemukan. Wanita pendek berambut keriting duduk di dekat pintunya. Ia memegang seekor katak di satu tangan dan menulis dengan tangan yang lain. Eragon menduga wanita itu Angela, si ahli tanaman obat. Di kedua sisi toko terdapat rumah. "Menurutmu rumah yang mana"" tanyanya.
Brom berpikir sejenak, lalu berkata, "Kita cari tahu." Ia mendekati wanita itu dan bertanya dengan sopan, "Bisakah kau beri tahu yang mana rumah Jeod""
"Bisa." Wanita itu terus menulis.
"Maukah kau memberi tahu kami""
"Ya." Wanita itu membisu, tapi penanya bergerak lebih cepat daripada sebelumnya. Katak di tangannya berbunyi dan memandang mereka dengan tatapan bosan. Brom dan Eragon menunggu dengan tidak nyaman, tapi wanita itu tidak mengatakan apa-apa lagi. Eragon hendak berbicara sewaktu Angela menengadah. "Tentu saja akan kuberi tahu! Kalian hanya perlu menanyakannya. Pertanyaan pertamamu adalah apakah aku bisa atau tidak memberitahumu, dan yang kedua adalah apakah aku mau memberitahumu. Tapi kau tidak pernah benar-benar menanyakannya padaku."
"Kalau begitu izinkan kutanyakan dengan selayaknya," kata Brom sambil tersenyum. "Yang mana rumah Jeod" Dan kenapa kau memegang katak""
"Sekarang baru benar," kata wanita itu. "Jeod tinggal di sebelah kanan. Se
dangkan mengenai kataknya, ia sebenarnya kodok. Aku berusaha membuktikan kodok tidak ada bahwa yang ada hanyalah katak."
"Bagaimana kodok bisa tidak ada kalau kau memegang salah satunya sekarang"" sela Eragon. "Lagi pula, apa gunanya membuktikan yang ada hanyalah katak""
Wanita itu menggeleng kuat-kuat, rambut keritingnya yang hitam memantul-mantul. "Tidak, tidak, kau tidak mengerti. Kalau aku bisa membuktikan kodok tidak ada, maka ini katak dan tidak pernah kodok. Oleh karena itu, kodok yang kau lihat sekarang tidak ada. Dan," ia mengangkat kelingkingnya, "kalau aku bisa membuktikan yang ada hanyalah katak, maka kodok tidak akan bisa melakukan tindakan buruk apa pun seperti membuat gigi rontok, menimbulkan kutil dan racun, atau membunuh orang. Selain itu, para penyihir tidak akan bisa menggunakan mantra jahat mereka yang mana pun karena, tentu saja, tidak ada kodok di sekitarnya."
"Aku mengerti," kata Brom hati-hati. "Kedengarannya menarik, dan aku ingin mendengar lebih banyak lagi, tapi kami harus menemui Jeod." "Tentu saja," kata Angela, sambil melambai dan kembali menulis.
Begitu mereka berada di luar jarak pendengaran tukang tanaman obat itu, Eragon berkata, "Ia sinting!"
"Mungkin," kata Brom, "tapi kau tidak akan perna hmengetahuinya. Ia mungkin menemukan sesuatu yang berguna, jadi jangan mengkritik. Siapa tahu, kodok mungkin memang sebenarnya katak!"
Dan sepatuku terbuat dari emas," ejek Eragon.
Mereka berhenti di depan pintu dengan pengetuk jeruji besi dan tangga marmer. Brom mengetuk tiga kali. Tidak ada yang menjawab.
Eragon merasa agak bodoh. "Mungkin ini rumah yang salah. Kita coba rumah yang satu lagi," katanya.
Brom mengabaikannya dan mengetuk lagi, lebih keras.
Sekali lagi tidak ada yang menjawab. Eragon berbalik jengkel lalu mendengar suara orang berlari ke pintu. Seorang wanita muda berkulit pucat dan rambut pirang yang juga pucat membuka pintu sedikit. Matanya bengkak; tampaknya ia baru menangis tapi suaranya mantap sepenuhnya. "Ya, mau apa kalian""
"Apakah Jeod tinggal di sini"" tanya Brom ramah.
Wanita itu menunduk sedikit. "Ya, ia suamiku. Apakah ia menunggu kedatangan kalian"" Ia tidak membuka pintu lebih lebar.
"Tidak, tapi kami perlu berbicara dengannya," kata Brom, "Ia sangat sibuk."
"Kami sudah menempuh perjalanan jauh. Penting sekali bagi kami untuk menemuinya."
Wajah wanita itu mengeras. "Ia sibuk."
Brom kesal, tapi suaranya tetap ramah. "Karena ia tidak ada di tempat, bisakah kau menyampaikan pesan untuknya"" Mulut wanita itu mencibir, tapi ia mengiyakan. "Beritahu Jeod seorang teman dari Gil'ead menunggu di luar."
Wanita itu tampak curiga, tapi berkata, "Baiklah." Ia menutup pintu dengan tiba-tiba.
Eragon mendengar suara langkahnya menjauh. "Tidak sopan," katanya.
"Simpan saja pendapatmu," sergah Brom. "Dan jangan mengatakan apa-apa. Biar aku yang berbicara." Ia bersedekap dan mengetuk-ngetukkan jemari. Eragon menutup mulut dan membuang muka.
Pintu mendadak terbuka lebar, dan pria jangkung menghambur keluar dari rumah. Pakaiannya yang mahal kusut, rambut kelabunya riap-riap, dan wajahnya muram dengan alis mata pendek. Bekas luka yang panjang melintang dari kulit kepala hingga dahinya.
Saat ia melihat mereka, matanya membelalak, dan ia tersandar ke kusen pintu, tidak mampu bicara. Mulutnya membuka dan menutup beberapa kali seperti ikan megap-megap. Ia bertanya pelan, tertegun, "Brom...""
Brom menempelkan jari ke bibir dan mengulurkan tangan, memegang lengan pria itu. "Senang bertemu denganmu, Jeod! Aku senang ingatanmu masih kuat, tapi jangan menggunakan nama itu. Sial sekali kalau sampai ada yang mengetahui aku berada di sini."
Jeod memandang sekitarnya dengan liar, ia tampak shock "Kukira kau sudah tewas," bisiknya. "Apa yang terjadi" Kenapa kau tidak menghubungiku sebelum ini""
"Segalanya akan dijelaskan. Kau punya tempat di mana kita bisa berbicara dengan aman""
Jeod ragu-ragu, menatap Eragon dan Brom bergantian, ekspresinya tidak bisa dibaca. Akhirnya ia berkata, "Kita tidak bisa berbicara di sini, tapi kalau kau mau menunggu sebentar, akan kubawa kau ke tempat kita bisa berbicara."
"B aik," kata Brom. Jeod mengangguk dan menghilang ke balik pintu.
Kuharap ada yang bisa kupelajari mengenai masa lalu Brom, pikir Eragon.
Ada pedang tipis di sisi Jeod sewaktu ia muncul kembali. Sehelai mantel berbordir tergantung longgar di bahunya, cocok dengan topi cokelat yang dikenakannya. Brom melontarkan pandangan mengkritik ke arah pakaian itu, dan Jeod dengan tak peduli mengangkat bahu. Ia mengajak mereka melintasi Teirm menuju benteng. Eragon membimbing kuda-kuda di belakang kedua pria itu. Jeod memberi isyarat ke arah tujuan mereka. "Risthart, pemimpin Teirm, memutuskan semua pemilik bisnis harus membuka markas besar di dalam purinya. Meskipun sebagian besar dari kami melakukan transaksi di tempat lain, kami tetap harus menyewa ruangan di sana. Itu omong kosong, tapi kami mematuhinya agar ia tenang. Kita akan bebas dari penguping di sana; dinding-dindingnya tebal."
Mereka melewati gerbang utama benteng dan masuk ke bagian dalam. Jeod melangkah ke pintu samping dan menunjuk sebuah cincin besi. "Kau bisa mengikat kuda-kuda di sana. Tidak seorang pun akan mengganggu mereka."
Sesudah Snowfire dan Cadoc ditambatkan dengan baik, ia membuka pintu dengan anak kunci besi dan mengajak mereka masuk.
Di dalamnya terdapat lorong panjang dan kosong yang diterangi obor-obor yang dipasang di dinding. Eragon terkejut menyadari betapa dingin dan lembapnya udara di sana. Sewaktu ia menyentuh dindingnya, jemarinya tergelincir lapisan berlendir. Bulu kuduknya langsung berdiri.
Jeod mengambil salah satu obor dari tempatnya dan mengajak mereka menyusuri lorong. Mereka berhenti di depan pintu kayu tebal. Ia membukanya dan mengajak mereka memasuki ruangan yang didominasi sehelai karpet kulit beruang tempat kursi-kursi berbantalan. Rak-rak buku dipenuhi buku-buku bersampul kulit menutupi dinding-dindingnya.
Jeod menumpuk kayu di perapian, lalu menjejalkan obor ke bawahnya. Api dengan cepat berkobar-kobar. "Kau, pak tua ada yang harus kaujelaskan." Wajah Brom mengerut karena tersenyum. "Siapa yang kau sebut pak tua" Terakhir kali aku bertemu denganmu tidak ada uban di rambutmu. Sekarang tampaknya rambutmu sudah mencapai tahap akhir pembusukan."
"Dan kau tampak sama seperti penampilanmu dua puluh tahun yang lalu. Waktu tampaknya mengawetkan dirimu sebagai pria tua sekadar untuk memberi kebijakan pada setiap generasi baru. Cukup mengenai hal ini! Lanjutkan ceritamu. Kau sejak dulu memang pandai bercerita," kata Jeod tidak sabar. Telinga Eragon bagai langsung tegak, dan ia menunggu dengan penuh semangat untuk mendengar apa yang akan dikatakan Brom.
Brom bersantai di kursi dan mengeluarkan pipa. Perlahan-lahan ia meniupkan cincin asap yang berubah warna jadi hijau, melesat ke perapian, lalu terbang menyusuri cerobong asap di ruangan itu. "Kau ingat apa yang kita lakukan di Gil'ead""
"Ya, tentu saja," kata Jeod. "Kejadian-kejadian semacam itu sulit dilupakan."
"Komentar yang meremehkan, tapi tetap saja benar," kata Brom datar. "Sewaktu kita... terpisah, aku tidak bisa menemukan dirimu. Di tengah kekacauan aku tanpa sengaja memasuki ruangan kecil. Tidak ada yang luar biasa di dalamnya hanya peti-peti dan kotak-kotak tapi karena penasaran, aku tetap saja memeriksanya. Dewi keberuntungan sedang tersenyum padaku saat itu, karena aku menemukan apa yang, kita cari."
Jeod tampak shock mendengarnya.
"Begitu benda itu ada di tanganku, aku tidak bisa menunggu dirimu. Setiap saat aku bisa ketahuan, dan semuanya hilang. Sesudah menyamarkan diri sebaik mungkin, aku melarikan diri dari kota dan pergi ke..." Brom ragu-ragu dan melirik Eragon, lalu berkata, "pergi menemui teman-teman kita. Mereka menyimpannya dalam lemari besi, demi keamanan, dan memaksaku berjanji merawat siapa pun yang menerimanya. Hingga saat keahlianku dibutuhkan, aku harus menghilang. Tidak ada yang boleh mengetahui aku masih hidup, bahkan diriku pun tidak meski aku sangat berduka karena terpaksa menyakitimu. Jadi aku pergi ke utara dan bersembunyi di Carvahall.
Eragon mengertakkan gigi, murka karena Brom sengaja menyimpan rahasia dari dirinya.
Jeod rnengerutkan kening dan bertanya, "Kal
au begitu... teman-teman kita mengetahui bahwa selama ini kau masih hidup.
"Ya." Ia mendesah. "Kurasa samaran itu memang tidak bisa dihindari, sekalipun aku berharap mereka memberitahuku. Bukankah Carvahall agak jauh di utara, di balik Spine""
Brom memiringkan kepala. Untuk pertama kalinya Jeod mengamati Eragon. Mata kelabunya meresapi setiap rincian. Ia mengangkat alis matanya dan berkata, "Kalau begitu, kuanggap kau sedang melaksanakan tugas."
Brom menggeleng. "Tidak, tidak sesederhana itu. Benda tersebut dicuri beberapa waktu yang lalu, sedikitnya itulah anggapanku, karena aku tidak menerima kabar dari teman-teman kita, dan kuduga kurir mereka dihadang jadi kuputuskan untuk mencari tahu sebisa mungkin. Eragon kebetulan bepergian ke arah yang sama. Kami sudah bersama-sama selama beberapa waktu."
Jeod tampak kebingungan. "Tapi kalau mereka tidak mengirim pesan apa pun, dari mana kau tahu benda itu"
Brom bergegas menyela, "Paman Eragon dibunuh Ra'zac secara brutal. Mereka membakar rumahnya dan nyaris menangkap Eragon. Ia layak membalas dendam, tapi mereka meninggalkan kami tanpa jejak yang bisa diikuti, dan kami membutuhkan bantuan untuk menemukan mereka."
Wajah Jeod berubah cerah. "Aku mengerti.... Tapi kenapa kau datang kemari" Aku tidak tahu di mana Ra'zac mungkin bersembunyi, dan siapa pun yang mengetahuinya tidak akan memberitahu dirimu."
Brom bangkit, memasukkan tangan ke balik jubahnya, dan mengeluarkan botol air Ra'zac. Ia melemparkannya pada Jeod. Ada minyak Sihir di dalamnya jenis yang berbahaya. Ra'zac membawanya. Mereka kehilangan botol itu di dekat jalan setapak dan kami kebetulan menemukannya. Kami perlu melihat catatan Pengapalan Teirm agar kami bisa melacak pembelian minyak yang dilakukan Kekaisaran. Seharusnya informasi itu memberitahu kita di mana sarang Ra'zac."
Kerut-kerut muncul di wajah Jeod saat ia berpikir. Ia menunjuk buku-buku di rak. "Kau lihat itu" Semuanya catatan bisnisku. Satu bisnis. Kau melibatkan diri ke dalam proyek yang bisa memakan waktu berbulan-bulan. Ada masalah lain yang lebih besar. Catatan yang kau cari disimpan di istana ini tapi hanya Brand, administrator perdagangan Risthart, yang mengunjunginya secara teratur. Para pedagang seperti diriku tidak diizinkan menangani catatan-catatan itu. Mereka takut kami akan memalsukan hasilnya, dengan begitu menggelapkan pajak yang berharga dari Kekaisaran."
"Aku bisa mengatasinya pada saatnya nanti," kata Brom, "Tapi kami membutuhkan istirahat beberapa hari sebelum bisa memikirkan tindakan selanjutnya."
Jeod tersenyum. "Tampaknya sekarang giliranku membantumu. Rumahku adalah rumahmu juga, tentu saja. Kau punya nama lain saat berada di sini""
"Ya," kata Brom, "Aku Neal, dan bocah ini Evan."
"Eragon," kata Jeod sambil berpikir. "Kau memiliki nama yang unik. Hanya sedikit yang pernah dinamai seperti nama Penunggang pertama. Seumur hidupku, aku membaca hanya tiga orang yang pernah memiliki nama itu." Eragon terkejut Jeod mengetahui asal namanya. Brom memandang Eragon. "Bisakah kau periksa kuda-kuda dan memastikan mereka baik-baik saja" Kurasa tadi aku tidak cukup erat mengikat Snowfire."
Ada yang hendak mereka sembunyikan dariku. Begitu aku pergi mereka akan membicarakannya. Eragon berdiri dan meninggalkan ruangan, membanting pintu hingga menutup. Snowfire tidak bergerak; simpul tambatannya menahan dirinya dengan baik. Sambil menggaruk-garuk leher kuda itu, Eragon bersandar dengan cemberut ke dinding istana.
Tidak adil, keluhnya sendiri. Kalau saja aku bisa mendengar apa yang mereka katakan. Ia tersentak bangkit, bagai tersengat listrik. Brom pernah mengajarkan beberapa kata yang akan meningkatkan pendengarannya. Telinga yang tajam bukanlah apa yang sebenarnya kuinginkan, tapi seharusnya aku bisa mengusahakan agar kata-kata itu berhasil. Bagaimanapun juga lihat apa yang bisa kulakukan dengan brisingr.!
Ia berkonsentrasi sekuat tenaga dan menjangkau kekuatannya. Begitu kekuatannya telah berada dalam jangkauan, ia berkata "Thverr stenr un atra eka horna!" dan menambahkan kemauannya pada kata-kata itu. Saat kekuatan menghambur keluar dari dirinya,
ia mendengar bisikan-bisikan samar di telinganya, tapi tidak lebih. Dengan kecewa, ia menyandar ke belakang, lalu terkejut sewaktu Jeod mengatakan, "-dan aku sudah melakukannya hampir delapan tahun sekarang."
Eragon memandang sekitarnya. Tidak ada seorang pun di sana kecuali beberapa penjaga yang bersandar ke dinding seberang istana. Sambil nyengir ia duduk di halaman dan memejamkan mata.
"Aku tidak pernah menduga kau akan menjadi pedagang," kata Brom. "Sesudah sekian lama kau berkutat dengan buku-buku. Dan menemukan jalan masuk dengan cara itu! Apa yang membuatmu terjun ke perdagangan dan bukannya tetap menjadi pelajar""
"Sesudah Gil'ead, aku tidak terlalu berselera untuk duduk dalam ruangan-ruangan berdebu dan membaca perkamen. Kuputuskan untuk membantu Ajihad sebisa mungkin, tapi aku bukan pejuang. Ayahku dulu juga pedagang-kau mungkin masihingat. Ia membantuku memulai. Tapi, sebagian besar bisnisku tidak lebih daripada samaran untuk mengirimkan barang-barang ke Surda."
"Tapi kudengar situasinya memburuk," kata Brom.
"Ya, tidak ada satu pun dari pengiriman berhasil tiba di tujuan akhir-akhir ini, dan pasokan di Tronjheim sudah menipis. Entah bagaimana Kekaisaran sedikitnya menurutku merekalah pelakunya-berhasil mengetahui siapa di antara kami yang selama ini membantu mendukung Tronjheim. Tapi aku masih tidak yakin Kekaisaran pelakunya. Tidak ada yang melihat prajurit. Aku tidak mengerti. Mungkin Galbatorix menyewa orang-orang bayaran untuk mengganggu kita."
"Kudengar kau baru-baru ini kehilangan kapal."
"Kapal terakhir yang kumiliki," jawab Jeod pahit. "Setiap orang di kapal itu setia dan pemberani. Aku ragu akan pernah menjumpai mereka lagi.... Satu-satunya pilihan yang terbuka bagiku hanyalah mengirim karavan ke Surda atau Gil'ead yang aku tahu tidak akan tiba di sana, tidak peduli berapa banyak pengawalan yang perlu kusewa-atau menyewa kapal orang lain untuk mengirimkan barang-barangnya. Tapi tidak ada yang bersedia mengangkutnya sekarang."
"Berapa banyak pedagang yang selama ini membantumu"" tanya Brom.
"Oh, cukup banyak di sepanjang pantai. Mereka semua terkena masalah yang sama. Aku tahu apa yang kaupikirkan aku sendiri sudah bermalam-malam memikirkannya, tapi aku tidak mampu menahan pikiran tentang adanya pengkhianat yang memiliki pengetahuan dan kekuasaan sebesar itu. Kalau ada pengkhianat, kita semua terancam. Kau seharusnya kembali ke Tronjheim."
"Dan membawa Eragon ke sana"" sela Brom. "Mereka akan mencabik-cabiknya. Itu tempat terburuk yang bisa ditujunya sekarang. Mungkin beberapa bulan lagi atau, lebih baik, setahun lagi. Bisa kaubayangkan bagaimana reaksi para kurcaci" Semua orang akan berusaha mempengaruhi dirinya, terutama Islanzadi. Ia dan Saphira tidak akan aman di Tronjheim sebelum aku setidaknya memasukkan mereka ke tuatha du orothrim."
Kurcaci! pikir Eragon penuh semangat. Di mana Tronjheim ini" Dan kenapa Ia memberitahu Jeod tentang Saphira" Ia seharusnya tidak berbuat begitu tanpa seizinku!
"Sekalipun begitu, aku merasa mereka membutuhkan kekuatan dan kebijakanmu."
"Kebijakan," dengus Brom. "Aku hanyalah apa yang kaukatakan tadi-pria tua karatan."
"Banyak yang tidak akan menyetujuinya."
"Biarkan. Aku tidak perlu menjelaskan diriku sendiri. Tidak, Ajihad harus bertahan tanpa diriku. Apa yang kulakukan sekarang jauh lebih penting. Tapi kemungkinan adanya pengkhianat memang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu. Aku penasaran apakah begitu cara Kekaisaran mengetahui kapan harus berada di mana..." Suaranya mengambang.
"Dan aku ingin tahu kenapa aku tidak dihubungi mengenai hal ini," kata Jeod.
"Mungkin mereka sudah mencobanya. Tapi kalau ada pengkhianat..." Brom diam sejenak. "Aku harus mengirim kabar kepada Ajihad. Kau punya kurir yang bisa kau percaya""
"Kurasa begitu," kata Jeod. "Tergantung ia harus ke mana"
"Entahlah," kata Brom. "Aku terisolir begitu lama, kontak-kontakku mungkin sudah meninggal atau melupakan diriku. Bisakah kau mengirim kurirmu kepada siapa pun yang menerima kiriman barang-barangmu""
"Ya, tapi itu berisiko."
"Apa yang tidak sekarang ini" Seberapa cepat ia bisa
berangkat"" "Ia bisa berangkat besok pagi. Akan kukirim ia ke Gil'ead.
Dengan begitu akan lebih cepat," kata Jeod. "Apa yang bisa dibawanya untuk meyakinkan Ajihad bahwa pesannya berasal dari dirimu""
"Ini, berikan cincinku pada orangmu. Dan beritahukan bahwa kalau ia menghilangkannya, aku sendiri yang akan mencabut jantungnya. Cincin itu pemberian Ratu."
"Kau benar-benar periang," Jeod mengomentari.
Brom menggerung. Sesudah membisu cukup lama ia berkata, "Sebaiknya kita keluar dan menemui Eragon. Aku khawatir kalau ia sendirian. Bocah itu memiliki kecenderungan tidak wajar untuk berada di tempat yang bermasalah."
"Kau terkejut""
"Tidak juga." Eragon mendengar suara kursi-kursi didorong kebelakang. Ia bergegas menarik pikirannya dan membuka mata. "Apa yang terjadi"" gumamnya sendiri. Jeod dan para pedagang lain mendapat masalah karena membantu orang-orang yang tidak disukai Kekaisaran. Ada yang ditemukan Brom di Gil'ead dan ia pergi ke Carvahall untuk bersembunyi. Apa yang bisa sepenting itu hingga ia membiarkan teman-temannya sendiri menganggap dirinya sudah tewas selama nyaris dua puluh tahun" Ia menyebut-nyebut mengenai Ratu padahal tidak ada ratu di kerajaan-kerajaan yang dikenal-dan kurcaci, yang, sebagaimana yang dikatakannya sendiri padaku, menghilang ke bawah tanah bertahun-tahun yang lalu.
Ia menginginkan jawaban! Tapi ia tidak akan mengkonfrontasi Brom sekarang dan mengambil risiko mempertaruhkan misi mereka. Tidak, ia akan menunggu hingga mereka telah meninggalkan Teirm, lalu ia akan berkeras hingga pria tua itu menjelaskan rahasia-rahasianya. Pikiran Eragon masih berputar-putar sewaktu pintu terbuka.
"Apakah kuda-kudanya baik-baik saja"" tanya Brom.
"Baik," jawab Eragon.
Mereka melepaskan tambatan kuda-kuda dan meninggalkan Istana.
Sewaktu mereka memasuki jalan utama Teirm, Brom berkata, "Nah, Jeod, kau akhirnya menikah. Dan," ia mengedipkan sebelah mata dengan jail, "dengan wanita muda yang manis. Selamat."
Jeod tidak tampak gembira dengan pujian itu. Bahunya membungkuk dan ia menunduk menatap jalan. "Entah ucapan selamat layak diucapkan atau tidak masih merupakan perdebatan. Helen tidak terlalu bahagia."
"Kenapa" Apa yang ia inginkan"" tanya Brom.
"Seperti biasa," kata Jeod sambil mengangkat bahu dengan sikap pasrah. "Rumah yang bagus, anak-anak yang gembira, makanan di meja, dan teman yang menyenangkan. Masalahnya adalah ia berasal dari keluarga yang kaya; ayahnya menanam modal besar-besaran dalam bisnisku. Kalau aku terus mengalami kerugian, tidak akan ada cukup uang bagi Helen untuk hidup seperti dulu."
Jeod melanjutkan, "Tapi, please, masalahku bukanlah masalahmu. Tuan rumah seharusnya tidak boleh membebani tamu-tamunya dengan masalahnya sendiri. Sementara kalian berada di rumahku, aku tidak akan membiarkan apa pun mengganggu kalian, selain perut yang terlalu penuh."
"Terima kasih," kata Brom. "Kami hargai keramahanmu. Perjalanan kami sudah lama tanpa kenyamanan apa pun. Apakah kau tahu di mana kami bisa menemukan toko yang murah" Perjalanan berkuda ini melusuhkan pakaian kami."
"Tentu saja. Itu tugasku," kata Jeod, berubahcerah. Ia berbicara penuh semangat mengenai harga-harga dan toko-toko hingga rumahnya tampak. Lalu ia bertanya, "Apakah kalian tidak keberatan kalau kita makan di tempat lain" Mungkin tidak enak kalau kalian masuk sekarang."
"Apa pun yang bisa membuatmu merasa nyaman," kata Brom.
Jeod tampak lega. "Terima kasih. Sebaiknya kita kandangkan dulu kuda-kudamu di istalku."
Mereka menuruti sarannya, lalu mengikutinya ke kedai besar. Tidak seperti Green Chestnut, kedai yang ini ramai, bersih dan penuh orang-orang yang bersemangat. Sewaktu hidangan utama disajikan, anak babi isi, Eragon dengan lapar menyantapnya, tapi ia terutama menyukai kentang, wortel, lobak, apel manis yang mendampingi hidangan itu. Sudah lama sekali ia cuma makan hewan liar buruan.
Mereka menikmati santapan selama berjam-jam sementara Brom dan Jeod bertukar cerita. Eragon tidak keberatan. Ia merasa hangat, nada-nada yang ceria terdengar di latar belakang, dan ada makanan yang lebih dari cukup. Dengung percakapan yang penu
h semangat di kedai menyusup ke telinganya dengan menyenangkan.
Sewaktu mereka akhirnya meninggalkan kedai, matahari telah mendekati kaki langit. "Kalian berdua pergilah dulu, ada yang harus kuperiksa," kata Eragon. Ia ingin menemui Saphira dan memastikan naganya bersembunyi dengan aman.
Brom menyetujui dengan setengah sadar. "Hati-hati. Jangan terlalu lama."
"Tunggu," kata Jeod. "Apakah kau akan keluar dari Teirm""
Eragon ragu-ragu, lalu mengangguk enggan.
"Pastikan kau sudah masuk lagi sebelum gelap. Gerbang-gerbangnya akan ditutup waktu itu, dan para penjaga tidak akan mengizinkanmu masuk hingga besok pagi."
"Aku tidak akan terlambat," Eragon berjanji. Ia berputar balik dan berlari-lari kecil menyusuri jalan, menuju dinding luar Teirm. Begitu tiba di luar kota, ia menarik napas dalam, menikmati udara segar. Saphira! serunya. Kau di mana" Saphira membimbingnya keluar dari jalan, ke kaki tebing berlumut yang dikelilingi pohon maple. Eragon melihat kepala Saphira menjulur keluar dari pepohonan di puncak tebing dan melambai. Bagaimana caraku naik ke sana"
Kalau kau bisa menemukan lapangan terbuka, aku akan turun menjemputmu.
Tidak, kata Eragon, sambil mengamati tebing, tidak perlu. Aku akan memanjat saja. Terlalu berbahaya.
Dan kau terlalu khawatir. Biarkan aku bersenang-senang.
Eragon menanggalkan sarung tangannya dan mulai memanjat. Ia menikmati tantangan fisik itu. Ada banyak tempat berpegangan, jadi pendakiannya mudah. Dalam waktu singkat ia telah berada tinggi di atas pepohonan. Di pertengahan jalan, ia berhenti di tonjolan batu untuk menenangkan napas.
Begitu kekuatannya pulih, ia mengulurkan tangan mencari-cari pegangan selanjutnya, tapi lengannya tidak cukup panjang. Dengan jengkel, ia mencari ceruk atau retakan untuk dijadikan pegangan. Tidak ada. Ia mencoba turun kembali, tapi kakinya tidak bisa menjangkau pijakan terakhirnya.
Saphira mengawasi dengan mata tidak berkedip.
Eragon menyerah dan berkata, Aku butuh bantuan.
Ini kesalahanmu sendiri. Ya! Aku tahu. Kau akan turun menjemputku atau tidak"
Kalau aku tidak ada, kau menghadapi situasi yang sangat berbahaya.
Eragon memutar bola matanya. Kau tidak perlu memberitahuku. Kau benar. Bagaimanapun juga, mana mungkin seekor naga memberitahu manusia seperti dirimu harus berbuat apa" Malahan, semua orang seharusnya berdiri terpesona melihat kecerdasanmu dalam menemukan satu-satunya jalan buntu. Wah, kalau saja kau memanjat beberapa kaki ke arah mana pun dan pilihanmu sekarang, jalan ke puncak akan terbuka lebar. Saphira memiringkan kepala kepadanya, matanya bersinar-sinar.
Baiklah! Aku melakukan kesalahan. Sekarang bisakah kaukeluarkan aku dari sini" tanya Eragon, memohon. Saphira menarik kepalanya kembali dari tepi tebing. Sesaat kemudian Eragon berseru, "Saphira"" Di atasnya yang terlihat hanyalah pepohonan yang bergoyang-goyang. "Saphira! Kembalilah!" raungnya.
Diiringi suara keras, Saphira melompat dari puncak tebing, berputar di udara. Ia melayang turun ke Eragon seperti kelelawar raksasa dan mencengkeram kemejanya dengan cakar, menggores punggung Eragon. Eragon melepaskan batunya saat Saphira menyentakkannya ke udara. Sesudah penerbangan yang singkat, Saphira meletakkannya dengan lembut di puncak tebing dan menarik cakar dari kemeja Eragon.
Kebodohan, kata Saphira lembut.
Eragon membuang muka, mengamati pemandangan. Tebing itu memberi pemandangan yang luar biasa di sekitar mereka terutama laut yang berbuih, juga perlindungan terhadap pandangan yang tidak diinginkan. Hanya burung-burung Yang akan melihat Saphira di sini. Ini lokasi yang ideal.
Apakah teman Brom bisa dipercayai" Saphira bertanya.
Entahlah. Eragon lalu menceritakan apa yang terjadi selama seharian. Ada kekuatan-kekuatan di sekeliling kita yang tidak kita sadari. Terkadang aku penasaran apakah kita akan pernah bisa memahami motif yang sebenarnya dari orang-orang di sekitar ,kita. Mereka semua tampaknya memiliki rahasia. Begitulah dunia. Abaikan semua rencana dan percayailah Sifat dasar setiap orang. Brom baik. Ia tidak berniat jahat pada kita. Kita tidak perlu takut terhadap rencana-rencananya.
Ku harap begitu, kata Eragon, sambil menunduk memandang tangannya.
Menemukan Ra'zac melalui tulisan ini cara melacak yang aneh, Saphira mengomentari. Adakah cara untuk menggunakan sihir agar kita bisa melihat catatan-catatan itu tanpa harus berada di dalam ruangannya"
Aku tidak yakin. Kau hams mengkombinasikan kata "melihat" dengan "jarak"... atau mungkin "cahaya" dengan "jarak". Yang mana pun, rasanya sulit. Akan kutanyakan pada Brom.
Itu tindakan yang bijaksana. Mereka terdiam dalam ketenangan.
Kau tahu, kita mungkin terpaksa tinggal di sini selama beberapa waktu.
Jawaban Saphira terdengar agak keras. Dan seperti biasa, aku akan dibiarkan menunggu di luar.
Bukan begitu yang kuinginkan. Tidak lama lagi kita akan bepergian bersama-sama kembali.
Semoga hari itu cepat datang. Eragon tersenyum dan memeluknya. Ia lalu menyadari betapa cepatnya cuaca berubah gelap. Aku harus pergi sekarang, sebelum aku terkunci di luar Teirm. Berburulah besok, dan aku akan mengunjungimu sore harinya.
Saphira membentangkan sayap. Ayo, akan kuturunkan kau.
Eragon naik ke punggung Saphira yang bersisik dan berpegangan seerat mungkin sewaktu naga itu melompat dari tebing, melayang di atas pepohonan, lalu mendarat di gundukan. Eragon berterima kasih padanya dan berlari kembali ke Teirm.
Ia muncul saat pagar jerujinya mulai turun. Sambil berseru meminta mereka menunggu, ia mengerahkan tenaga dan menyelulap masuk beberapa detik sebelum gerbangnya terempas menutup.
"Kau nyaris terkunci di luar," kata salah seorang penjaga.
Tidak akan terulang lagi," kata Eragon berusaha meyakinkannya, sambil membungkuk untuk menenangkannapas. Ia menyusuri jalan-jalan kota yang gelap dan berliku-liku ke rumah Jeod. Lentera tergantung di luarnya bagai mercusuar.
Kepala pelayan bertubuh gemuk menjawab ketukannya dan mempersilakannya masuk tanpa mengatakan apa-apa. Tirai menutupi dinding-dinding batunya. Karpet-karpet yang bergambar rumit menghiasi lantai kayu dipernis, yang berpendar karena cahaya dari tiga kandil emas yang menjuntai dari langit-langit. Asap mengepul di udara dan berkumpul di atas.
"Lewat sini, Sir. Teman Anda ada di ruang belajar."
Mereka melewati puluhan pintu hingga kepala pelayan membuka pintu yang di baliknya tampak ruang belajar. Buku-buku menutupi seluruh dinding ruangan. Tapi tidak seperti buku-buku di kantor Jeod, buku-buku ini dalam berbagai ukuran dan bentuk. Perapian yang dipenuhi balok-balok yang berkobar-kobar menghangatkan ruangan. Brom dan Jeod duduk di depan meja tulis oval, bercakap-cakap riang. Brom mengangkat pipanya dan berkata dengan nada gembira, "Ah, kau sudah datang. Kami mulai mengkhawatirkan dirimu. Bagaimana jalan-jalanmu""
Aku ingin tahu kenapa ia begitu ceria" Kenapa ia tidak terus terang saja menanyakan kabar Saphira" "Menyenangkan, tapi para penjaga nyaris mengunciku di luar kota. Dan Teirm benar-benar besar. Aku mengalami kesulitan menemukan rumah ini."
Jeod tergelak. "Sesudah kau melihat Dras-Leona, Gil'ead, atau bahkan Kuasta, kau tidak akan begitu mudah terkesan pada kota kecil di tepi laut seperti ini. Tapi aku menyukai tempat ini. Kalau tidak sedang hujan, Teirm benar-benar indah."
Eragon berpaling pada Brom. "Kau punya gambaran berapa lama kita akan berada di sini""
Brom membentangkan telapak tangannya ke atas. "Itu sulit dipastikan. Tergantung apakah kita bisa mendapatkan catatan itu dan berapa lama waktu yang kita perlukan untuk menemukan apa yang kita cari. Kita semua harus berusaha; itu pekerjaan yang sangat besar. Aku akan berbicara dengan Brand besok dan mencari tahu apakah ia mengizinkan kita memeriksa catatannya."
"Kurasa aku tidak bisa membantu," kata Eragon, sambil bergerak-gerak gelisah.
"Kenapa tidak"" tanya Brom. "Akan ada banyak pekerjaan untukmu."
Eragon menunduk. "Aku tidak bisa membaca."
Brom menegakkan tubuh dengan tidak percaya. "Maksudmu Garrow tidak pernah mengajarimu""
"Ia bisa membaca"" tanya Eragon, kebingungan.
Joed mengawasi mereka dengan penuh minat.
"Tentu saja ia bisa," dengus Brom. "Orang bodoh dan sombong-kenapa dia" Seharusnya kusadari ia tidak akan mengajarimu membaca. Ia mungkin meng
anggapnya sebagai kemewahan yang tidak perlu." Brom merengut dan menarik-narik janggutnya dengan marah. "Ini mengundurkan rencanaku, tapi bukannya tidak bisa diperbaiki. Aku hanya perlu mengajarimu membaca. Tidak akan memakan waktu lama kalau kau membulatkan tekad untuk itu."
Eragon mengernyit. Pelajaran-pelajaran Brom biasanya padat dan brutal. Berapa banyak lagi yang bisa kupelajari dalam satu waktu" "Kurasa itu memang perlu," katanya muram.
"Kau akan menikmatinya. Banyak yang bisa kaupelajari dari buku-buku dan gulungan-gulungan perkamen," kata Jeod. Ia memberi isyarat ke arah dinding. "Buku-buku ini teman-temanku, pendampingku. Mereka membuatku tertawa, menangis, dan menemukan arti hidup ini." "Kedengarannya menarik," Eragon mengakui.
"Selalu jadi pelajar kau, ya"" tanya Brom.
Jeod mengangkat bahu. "Tidak lagi. Sayangnya aku sudah merosot menjadi bibliofil."
"Apa itu"" tanya Eragon.
"Orang yang mencintai buku," Jeod menjelaskan, dan kembali bercakap-cakap dengan Brom. Karena bosan, Eragon mengamati rak-rak. Sebuah buku yang anggun dengan paku-paku emas menarik perhatiannya. Ia menariknya dari rak dan menatapnya dengan penasaran. Buku itu bersampul kulit hitam yang dipenuhi ukiran huruf-huruf misterius. Eragon mengeluskan jari di sampulnya dan menikmati kehalusannya yang sejuk. Huruf-huruf di dalamnya dicetak dengan tinta kemerahan yang mengilap. Ia membiarkan halaman demi halaman melewati jemarinya. Sekolom tulisan, terpisah dari kolom-kolom biasa, menarik perhatiannya. Kata-katanya panjang dan mengalir, penuh garis anggun dan ujung tajam.
Eragon membawa buku itu ke meja Brom. "Apa ini"" tanyanya, sambil menunjuk tulisan yang aneh itu.
Brom mengamati halaman tersebut dan mengangkat alis matanya karena terkejut. "Jeod, kau sudah menambah koleksimu. Dari mana kau mendapatkan buku ini" Aku sudah berabad-abad tidak melihatnya."
Jeod mengulurkan leher untuk melihat buku itu. "Ah, ya, Domia abr Wyrda. Ada orang yang melewati kota ini beberapa tahun yang lalu dan mencoba menjualnya pada pedagang di dermaga. Untungnya aku kebetulan berada di sana dan mampu menyelamatkan buku ini, sekaligus leher orang itu. Ia tidak menyadari sama sekali buku apa ini."
"Aneh sekali, Eragon, bahwa kau memilih buku ini, Domi-nasi Nasib," kata Brom. "Di antara semua benda di rumah ini, buku ini mungkin yang paling berharga. Buku ini menjabarkan secara rinci sejarah lengkap Alagaesia dimulai lama sebelum para elf mendarat di sini dan berakhir beberapa dekade yang lalu. Buku ini sangat langka dan merupakan yang terbaik dalam jenisnya. Sewaktu buku ini ditulis, Kekaisaran menyatakannya sebagai penghujatan dan membakar penulisnya, Heslant si Biarawan. Aku tidak mengira buku ini masih ada. Huruf-huruf yang kautanyakan itu berasal dari bahasa kuno."
"Apa isinya"" tanya Eragon.
Brom membutuhkan waktu sejenak untuk membaca tulisan itu. "Ini bagian dari puisi elf yang menceritakan tahun-tahun mereka melawan naga. Kutipan ini menjabarkan salah satu raja mereka, Ceranthor, sewaktu ia berkuda ke medan tempur. Para elf menyukai puisi ini dan menceritakannya secara teratur, walaupun kau membutuhkan waktu tiga hari untuk melakukannya dengan benar, supaya mereka tidak mengulangi kesalahan di masa lalu. Terkadang mereka menyanyikannya begitu indah sehingga bahkan bebatuan seperti akan menangis."
Eragon kembali ke kursinya, memegang buku itu dengan hati-hati. Sungguh mengagumkan bahwa seseorang yang sudah meninggal bisa berbicara kepada orang-orang melalui halaman-halaman ini. Selama buku ini masih ada, gagasan gagasannya, tetap hidup. Aku ingin tahu apakah ada informasi mengenai Ra'zac dalam buku ini.
Ia membalik-balik halaman buku itu sementara Brom dan Jeod bercakap-cakap. Berjam-jam berlalu, dan Eragon mulai mengantuk. Karena kasihan terhadap kelelahannya, Jeod mengucapkan selamat malam pada mereka. "Kepala pelayan akan mengantar kalian ke kamar." Dalam perjalanan ke lantai atas, pelayan berkata, "Kalau ada yang Anda butuhkan, gunakan tali genta di samping ranjang." Ia berhenti di depan tiga pintu yang berdekatan, membungkuk, lalu mengundurkan diri.
Sewaktu B rom memasuki kamar di sebelah kanan, Eragon bertanya, "Bisa kita bicara""
"Kau baru saja melakukannya, tapi masuklah."
Eragon menutup pintu di belakangnya. "Saphira dan aku punya gagasan. Apakah ada-"
Brom menghentikannya dengan mengangkat tangan dan menarik tirai-tirai hingga menutupi jendela. "Kalau kau membicarakan hal-hal seperti itu, sebaiknya kaupastikan dulu apakah tidak ada orang lain yang mendengarnya."
"Maaf," kata Eragon, memarahi diri sendiri karena kecerobohannya. "Pokoknya, apakah mungkin memanggil gambaran sesuatu yang tidak bisa kau lihat""
Brom duduk di tepi ranjang. "Yang kau maksud itu disebut scrying. Kemungkinan itu ada dan sangat membantu dalam beberapa situasi, tapi ada satu kekurangan besarnya. Kau hanya bisa mengamati orang-orang, tempat-tempat, dan benda-benda yang pernah kau lihat. Kalau kau mencoba melihat Ra'zac, kau memang akan melihat mereka, tapi tidak bisa melihat sekelilingnya. Juga ada masalah lain. Anggap saja kau ingin melihat halaman sebuah buku, buku yang pernah kau lihat. Kau bisa melihat halaman itu hanya kalau bukunya terbuka di sana. Kalau bukunya tertutup sewaktu kau mencoba melihatnya, halamannya akan terlihat hitam pekat."
"Kenapa kau tidak bisa melihat benda-benda yang belum pernah kau lihat"" tanya Eragon. Bahkan dengan keterbatasan itu, ia menyadari, scrying bisa sangat berguna. Aku ingin tahu apakah aku bisa melihat sesuatu yang bermil-mil jauhnya dan menggunakan sihir untuk mempengaruhi kejadian yang berlangsung di sana"
"Karena," kata Brom sabar, "untuk melakukannya, kau harus mengetahui apa yang akan kau lihat dan ke mana kau harus mengarahkan kekuatanmu. Bahkan kalau seorang asing dijabarkan padamu, masih cukup mustahil untuk melihat dirinya, belum lagi tanah dan tempat lain yang ada di sekitarnya. Kau harus mengetahui apa yang akan kau lihat sebelum kau bisa melihatnya. Apakah pertanyaanmu terjawab""
Eragon memikirkannya sejenak. "Tapi bagaimana melakukannya" Apakah kau membayangkannya begitu saja""
"Biasanya tidak," kata Brom, sambil menggelengkan kepalanya yang beruban. "Itu membutuhkan lebih banyak energi daripada memproyeksikan kekuatanmu kepermukaan yang bisa memantul seperti kolam atau cermin. Beberapa Penunggang biasa bepergian ke mana pun, mencoba melihat sebanyak mungkin. Dengan begitu, setiap kali ada perang atau kekacauan, mereka bisa melihat kejadian-kejadian yang berlangsung di seluruh Alagaesia."
"Aku boleh mencobanya"" tanya Eragon.
Brom memandangnya dengan hati-hati. "Tidak, jangan sekarang. Kau lelah, dan scrying membutuhkan banyak tenaga. Akan kuberitahukan kata-katanya padamu, tapi kau harus berjanji untuk tidak mencoba melakukannya malam ini. Dan aku lebih suka kau menunggu hingga kita sudah pergi dari Teirm, masih ada hal lain lagi yang harus kuajarkan padamu."
Eragon tersenyum. "Aku berjanji."
"Baiklah." Brom membungkuk dan dengan sangat pelan membisikkan, "Draumr kopa" ke telinga Eragon.
Eragon membutuhkan waktu sejenak untuk menghafalkan kata-kata itu. "Mungkin sesudah kita pergi dari Teirm, aku bisa melihat Roran. Aku ingin mengetahui bagaimana keadaannya. Aku khawatir Ra'zac juga memburunya."
"Aku bukannya mau menakut-nakuti dirimu, tapi kemungkinan itu ada," kata Brom. "Sekalipun Roran tidak ada selama Ra'zac berada di Carvahall, aku yakin mereka sudah bertanya-tanya mengenai dirinya. Siapa tahu, mereka bahkan mungkin bertemu dengannya sewaktu mereka berada di Therinsford. Apa pun yang terjadi, aku ragu rasa penasaran mereka sudah terpuaskan. Bagaimanapun juga, kau masih berkeliaran bebas, dan Raja mungkin mengancam mereka dengan hukuman yang mengerikan kalau kau tidak ditemukan. Kalau merasa cukup frustrasi, mereka akan kembali dan menginterogasi Roran. Hanya masalah waktu."
"Kalau itu benar, berarti satu-satunya jalan agar Roran tetap selamat adalah dengan membiarkan Ra'zac mengetahui di mana aku berada, jadi mereka akan mengejar diriku dan bukannya Roran."
"Tidak, itu juga tidak akan berhasil. Kau tidak berpikir," tegur Brom. "Kalau kau tidak bisa memahami musuh-musuhmu, bagaimana kau bisa mengantisipasi mereka" Bahkan kalau kau mengungk
apkan lokasimu, Ra'zac tetap akan mengejar Roran. Kau tahu kenapa""
Eragon menegakkan tubuh dan mencoba mempertimbangkan setiap kemungkinan. "Well, kalau aku bersembunyi cukup lama, mereka mungkin akan merasa frustrasi dan menangkap Roran untuk memaksaku menunjukkan diri. Kalau itu tidak berhasil, mereka akan membunuhnya sekadar untuk menyakiti diriku. Selain itu, kalau aku menjadi musuh masyarakat di Kekaisaran, mereka mungkin akan menggunakan dirinya sebagai umpan untuk menangkap diriku. Dan kalau aku menemui Roran dan mereka mengetahuinya, mereka akan menyiksanya untuk mengetahui di mana aku berada."
"Bagus sekali. Kau menebaknya dengan cukup tepat," kata Brom.
"Tapi apa solusinya" Aku tidak bisa membiarkan ia dibunuh!"
Brom menangkupkan tangan. "Solusinya cukup jelas. Roran harus belajar membela diri. Itu mungkin kedengarannya kejam, tapi seperti yang kaukatakan sendiri tadi, kau tidak bisa mengambil risiko menemui dirinya. Kau mungkin tidak ingat kau setengah mengigau waktu itu, tapi sewaktu kita meninggalkan Carvahall, kukatakan aku sudah meninggalkan surat peringatan kepada Roran agar ia tidak terlalu tak siap menghadapi bahaya. Kalau ia memiliki otak, sewaktu Ra'zac muncul di Carvahall lagi, ia akan menerima nasihatku dan melarikan diri."
"Aku tidak suka ini," kata Eragon muram.
"Ah, tapi ada yang kaulupakan."
Apa"" tanyanya.
"Ada keuntungan dari semua ini. Raja tidak bisa membiarkan seorang penunggang berkeliaran tanpa berada di bawah kendalinya. Galbatorix adalah satu-satunya Penunggang yang diketahui masih hidup selain dirimu, tapi ia pasti menginginkan Penunggang lain di bawah perintahnya. Sebelum ia mencoba membunuh dirimu atau Roran, ia akan menawarimu kesempatan untuk mengabdi padanya. Sialnya, kalau ia berada cukup dekat untuk mengajukan penawaran itu, akan terlambat bagimu untuk menolak dan tetap hidup."
"Kau menyebut itu keuntungan""
"Hanya itu yang melindungi Roran. Selama Raja tidak mengetahui kau berada di pihak mana, ia tidak akan mengambil risiko mengucilkan dirimu dengan menyakiti sepupumu. Ingatlah itu baik-baik. Ra'zac sudah membunuh Garrow, tapi kurasa itu keputusan mereka yang dipertimbangkan dengan buruk. Dari apa yang kuketahui tentang Galbatorix, ia tidak akan pernah menyetujuinya kecuali ada yang bisa ia dapatkan dari tindakan itu."
"Dan bagaimana aku bisa menolak keinginan Raja sewaktu ia mengancamku dengan kematian"" tanya Eragon tajam.
Brom mendesah. Ia melangkah ke meja samping ranjang dan mencelupkan jemarinya ke baskom berisi air mawar. "Galbatorix menginginkan kerja sama suka rela darimu. Tanpa itu, kau tidak berguna baginya. Jadi pertanyaannya adalah, kalau kau menghadapi pilihan itu, apakah kau bersedia mati demi apa yang kaupercayai" Karena hanya itulah satu-satunya jalan bagimu untuk menolak keinginannya." Pertanyaan itu menggantung di udara.
Brom akhirnya berkata, "Itu pertanyaan yang sulit dan tidak bisa kau jawab sebelum kau menghadapinya. Ingatlah baik-baik bahwa banyak orang yang tewas demi keyakinan mereka,sebenarnya kejadian seperti itu cukup umum. Keberanian Yang sebenarnya adalah hidup dan menderita demi apa yang kaupercayai dalam hidupmu."
PENYIHIR DAN KUCING JADI-JADIAN
Saat Eragon terjaga, hari sudah agak siang. Ia mengenakan pakaian, mencuci wajahnya di baskom, lalu mengangkat cermin dan menyikat rambutnya hingga rapi. Ada sesuatu pada bayangan dirinya yang menyebabkan ia berhenti dan mengamatinya lebih teliti. Wajahnya berubah sejak ia melarikan diri dari Carvahall belum lama ini. Tidak ada kelebihan lemak sekarang, tersingkirkan perjalanan, latih tanding, dan latihannya. Tulang pipinya sekarang lebih menonjol dan garis rahangnya lebih tajam. Ada sedikit kesedihan di matanya yang, sewaktu diamatinya lebih cermat, menyebabkan wajahnya tampak liar,asing. Ia menjauhkan cermin sepanjang lengan dan wajahnya kembali tampak normal, tapi masih tidak tampak seperti wajahnya sendiri.
Dengan perasaan agak gundah, ia menyandang busur dan tabung anak panah di punggung, lalu meninggalkan kamar. Sebelum ia tiba di ujung lorong, kepala pelayan mengejar dirinya dan berkata, "Sir,
Neal pergi bersama majikan saya ke istana tadi pagi. Katanya Anda boleh melakukan apa saja yang Anda inginkan hari ini karena ia baru akan kembali nanti malam."
Eragon mengucapkan terima kasih untuk pesan itu, lalu dengan penuh semangat mulai menjelajahi Teirm. Selama berjam-jam ia berkeliaran di jalan, memasuki setiap toko yang menurutnya bagus dan bercakap-cakap dengan berbagai orang. Akhirnya ia terpaksa kembali ke rumah Jeod karena lapar dan kekurangan uang.
Sewaktu tiba di jalan tempat pedagang itu tinggal, ia berhenti di toko tanaman obat di sebelahnya. Tempat itu tidak biasa untuk toko. Toko-toko lain berada di dekat dinding kota bukan terselip di sela rumah-rumah mewah. Ia mencoba mengintip dari balik etalasenya, tapi etalasenya tertutup tanaman menjalar yang lebat. Karena penasaran, ia masuk.
Mula-mula ia tidak melihat apa-apa karena toko itu begitu gelap, tapi lalu matanya menyesuaikan diri dengan cahaya samar kehijauan yang menerobos memasuki etalase. Burung warna-warni dengan bulu ekor lebar dan paruh yang tampak tajam dan kuat memandang Eragon dengan tatapan menyelidik dari kandang di dekat etalase. Dinding-dindingnya tertutup tanaman, sulur-sulurnya menjuntai ke langit-langit, menutupi semuanya kecuali tempat lilin tua, dan di lantai terdapat pot besar berisi bunga kuning. Sekumpulan lumpang, alat penumbuk, mangkok logam, dan bola kristal sebesar kepala Eragon tampak di meja panjang.
Ia berjalan ke meja itu, dengan hati-hati melangkah mengitari berbagai mesin yang rumit, berpeti-peti batu, bertumpuk-tumpuk gulungan, dan aneka benda lain yang tidak dikenalinya. Dinding di belakang meja tertutup laci berbagai ukuran. Beberapa di antaranya tidak lebih besar daripada jarinya yang paling kecil, sementara yang lain cukup besar untuk menyimpan tong. Ada celah selebar satu kaki di rak-rak yang tinggi di atas.
Sepasang mata merah tiba-tiba menyala dari ruang yang gelap, dan seekor kucing besar dan buas melompat ke meja. Kucing itu bertubuh ramping dengan bahu yang kokoh dan cakar yang terlalu besar. Surai yang riap-riap mengelilingi wajahnya yang bulat; ujung telinganya ditumbuhi bulu-bulu hitam kaku. Taring-taring putih melengkung turun melewati rahangnya. Secara keseluruhan, kucing itu tidak tampak seperti kucing-kucing yang pernah dilihat Eragon. Hewan itu mengamati dirinya dengan pandangan tajam, lalu menjilat ekornya dengan acuh tak acuh.
Didorong gagasan yang muncul tiba-tiba, Eragon menjankau dengan benaknya dan menyentuh kesadaran kucing itu. Dengan lembut, ia memasukkan pikirannya ke pikiran kucing tersebut mengusahakan hewan itu mengerti bahwa ia teman.
Kau tidak perlu berbuat begitu.
Eragon memandang sekitarnya dengan terkejut. Kucing itu mengabaikan dirinya dan terus menjilati salah satu cakarnya. Saphira" Kau di mana" tanyanya. Tidak ada yang menjawab. Dengan kebingungan Eragon bersandar ke meja dan meraih apa yang bijaksana. seperti sebatang tongkat kayu.
Dewa Cadas Pangeran 3 Pendekar Rajawali Sakti 79 Penyamaran Raden Sanjaya Naga Dari Selatan 8

Cari Blog Ini