02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja Bagian 8
gemetar. "Selamat pagi Ki Sanak," sapa Mahisa Pukat.
Orang itu sama sekali tidak menjawab. Namun tubuhnya
menjadi semakin gemetar sehingga bahkan terdengar
giginya berderik seperti orang kedinginan.
Untuk beberapa saat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berdiri saja memandangi orang itu. Namun bagi orang itu,
sikap Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu benar-benar sikap
iblis yang paling terkutuk dialasnya neraka.
Sejenak kemudian mereka saling berdiam diri. Saling
memandang dengan gejolak perasaan masing-masing.
Namun ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat bergerak
selangkah maju, maka orang itu pun tiba-tiba telah
berteriak, "Jangan mendekat. Jangan mendekat."
Ketakutan yang sangat telah membayang di wajahnya,
sehingga sambil melekat dinding ia menutup wajahnya
dengan kedua belah tangannya.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat maju semakin dekat.
Kemudian dengan nada datar Mahisa Pukat pun berkata,
"Marilah Ki Sanak. Kami mendapat perintah untuk
membawa Ki Sanak menghadap para pemimpin prajurit
Kediri." "Tidak. Aku tidak mau," tiba-tiba saja orang itu seakanakan
menjadi liar. Sambil gemetar ia berjongkok melekat
disudut bilik itu. "Jangan takut," berkata Mahisa Pukat, "tidak ada apaapa.
Kau hanya akan menjawab beberapa pertanyaan saja."
"Aku tidak mau. Kalian akan memperlakukan aku
seperti seekor keledai atau seekor anjing kurapan. Kalau
kalian ingin membunuh aku, bunuhlah di sini sekarang,"
teriak orang itu. "Jangan salah paham Ki Sanak," jawab Mahisa Pukat
"Tidak akan ada tindakan kekerasan sama sekali."
"Omong kosong. Omong kosong," teriak orang itu
semakin keras. Mahisa Pukat memandang Mahisa Murti sekilas. Lalu ia
pun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, "baiklah
Ki Sanak. Jika demikian, maka aku pun tidak akan
membawamu menghadap. Tetapi akulah yang akan
mewakilimu menjawab beberapa pertanyaan. Namun
jawabku harus benar, karena jika jawabku salah, maka
bukan aku yang akan mengalami perlakuan yang tidak kita
inginkan, tetapi kau."
"pertanyaan apa yang harus kau jawab" " justru orang
itulah yang bertanya. "Aku harus menjawab pertanyaan antara lain,
"Siapakah kalian sebenarnya, dan darimanakah kalian
datang." Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun karena
orang itu tidak segera menjawab, maka Mahisa pukat
berkata, "Tetapi sebaiknya biar kau sajalah yang langsung
menjawab pertanyaan-pertanyaan itu."
"Tidak. Aku tidak mau. Lebih baik aku kau bunuh saja
sekarang," berkata orang itu.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Jika
demikian, tolong, ajari aku menjawab yang sebenarnya,
karena mungkin jawabanku itu akan dibuktikan oleh para
pemimpin prajurit Kediri."
Orang itu nampak kebingungan. Betapapun ketakutan
mencengkam, namun masih ada juga kebimbangan untuk
menyebutnya. Karena orang itu tidak menjawab, maka Mahisa Pukatpun
berkata, "sebaiknya kau memang harus menghadap
sendiri." "Tidak. Itu tidak perlu. Aku tidak mau," orang itu
berteriak keras-keras. "Jika demikian, sebutlah siapakah kalian dan kalian
berasal dari padepokan mana," desak Mahisa Murti.
Orang itu masih saja gemetar. Wajahnya pucat dan
nalarnya seakan-akan tidak lagi berjalan dengan wajar.
"jawab, atau aku seret kau menghadap di belakang
seekor kuda," geram Mahisa Pukat.
Orang itu seakan-akan merintih. "Jangan seret aku."
"Kalau begitu sebut," sahut Mahisa Pukat.
Ketakutan di hati orang itu benar-benar tidak teratasi
sehingga akhirnya ia berkata, "Kami berasal dari
padepokan Suriantal."
Jantung Mahisa Murti dan Mahisa Pukat terasa bergetar.
Nama itu pernah didengarnya meskipun hanya sekilas pada
saat-saat ia berbincang dengan orang-orang berilmu tinggi
di Singasari maupun di Kediri. Ayahnya pernah
menyebutnya, sedangkan Pangeran Singa Narpada pernah
juga mengatakan sedikit tentang padepokan yang bernama
Suriantal itu. Sebuah padepokan yang namanya cukup
menggetarkan dimasa lalu.
Namun, dengan kematian guru orang itu, apakah berarti
pemimpin padepokan Suriantal itu sudah tidak ada lagi,
sehingga padepokan itu akaan kehilangan ikatannya.
Tetapi hal itu masih belum ditanyakan kepada orang
yang masih saja ketakutan itu. Namun yang ditanyakan
kemudian adalah, "Jika demikian, maka untuk siapa orangorang
Suriantal itu bekerja."
Orang itu tidak segera menjawab. Wajahnya yang pucat
menjadi semakin pucat, sementara matanya justru
bertambah liar. Dipandanginya Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
berganti-ganti. Namun tiba-tiba saja ia berdiri dan meloncat
menuju ke pintu. "Tunggu," cegah Mahisa Pukat.
Tetapi orang itu berlari terus, sehingga akhirnya Mahisa
Pukat tidak berbuat lain kecuali dengan tangkasnya ia
meloncat memotong langkah orang itu dan sekaligus
memukul tengkuknya. Orang itu terhenti. Namun kemudian ia kehilangan
keseimbangannya. Untunglah pada saat ia terhuyunghuyung,
Mahisa Murti sempat menangkapnya.
"Kau terlalu keras memukulnya," berkata Mahisa
Murti. "Tetapi bukanlah ia tidak mati?" Mahisa Pukat benarbenar
menjadi cemas. "Tidak," Mahisa Murti menggeleng, sementara Mahisa
Pukat pun telah menarik nafas dalam-dalam. "Agaknya
orang ini hanya pingsan saja."
Mahisa Pukat memandang orang yang kemudian
dibaringkan di lantai itu sambil berdesis. "Kasihan. Ia
benar-benar mengalami tekanan batin yang sulit
diatasinya." Mahisa Murti mengangguk-angguk. Ia pun kemudian
berkata, "Biarlah orang ini beristirahat. Mudah-mudahan ia
tidak kehilangan kesadarannya."
"Kita sudah menempuh satu cara yang sangat
menegangkan syarafnya. Tetapi tanpa dengan cara ini, ia
tidak akan menyebut apa pun juga. Bahkan padepokan
Suriantal itu sendiri tidak akan pernah diucapkannya,"
jawab Mahisa Pukat. "Mungkin nama padepokan itu akan dapat dijadikan
salah satu alas untuk menemukan pemecahan atas
persoalan yang lebih luas lagi dari usaha orang-orang ini
untuk mendapatkan benda yang paling berharga di Kediri,"
berkata Mahisa Murti kemudian.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu katanya,
"Marilah. Kita tinggalkan orang ini. Ia akan sadar dan
mungkin ada kesempatan baginya untuk beristirahat."
"Tetapi apakah kita masih memerlukan jawabanjawaban
yang lain" Aku kira ia akan mengatakan apa pun
lagi," berkata Mahisa Murti. "Sementara itu, nama
padepokan yang disebutnya merupakan pintu yang dapat
kita masuki untuk melihat ke dalam persoalan mereka."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Jika
demikian maka persoalan kita dengan orang ini sudah
selesai," berkata Mahisa Pukat.
"Kita menghadap Pangeran Singa Narpada," desis
Mahisa Murti. Namun demikian sebelum mereka meninggalkan tempat
itu, maka Mahisa Murti masih menitikkan air kebibir orang
yang sedang pingsan itu. Katanya, "Mudah-mudahan ia
segera sadar." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun kemudian
meninggalkan tempat itu. Tetapi mereka telah berpesan
kepada para petugas untuk menjaga dengan baik, karena itu
justru agak terganggu jiwanya oleh ketegangan yang sangat.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menghadap Pangeran Singan Narpada. Keduanya telah
melaporkan apa yang mereka dengar dari mulut tawanan
yang terakhir itu. "Suriantal," desis Pangeran Singa Narpada, "bukankah
sekali dua kali aku pernah menyebutkan di antara nama
beberapa padepokan yang memiliki nama?"
"Ya Pangeran," sahut Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
hampir berbareng. Sementara itu Mahisa Murti berkata
selanjutnya, "Namun apakah dengan mengenal nama
padepokan itu, kita akan dapat melangkah lebih lanjut."
"Mungkin kita akan dapat berusaha," berkata Pangeran
Singa Narpada, "tetapi apakah rasa-rasanya orang-orang itu
tidak akan dapat berbicara lebih banyak lagi?"
"Sulit Pangeran," jawab Mahisa Murti, "agaknya
mereda benar-benar dilandasi perasaan setia yang
berlebihan terhadap guru dan perguruan mereka."
"Itu adalah sikap yang wajar bagi seorang murid,"
berkata Pangeran Singa Narpada.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil.
Sebenarnyalah kesetiaan yang demikian memang
sepantasnya dilakukan oleh murid-murid sebuah
padepokan. Sementara itu Pangeran Singa Narpada pun kemudian
berkata, "Jadi menurut perhitungan kalian, kita sudah tidak
akan dapat mengorek lebih dalam?"
"Sulit Pangeran," sahut Mahisa Pukat, "agaknya nama
padepokan itu adalah kemungkinan tertinggi yang dapat
kita sadap dari orang itu."
Pangeran Singa Narpada pun kemudian menganggukangguk.
Lalu katanya, "Jika demikian, maka kita tidak
memerlukan orang itu lagi."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk kecil.
Mereka mengerti maksud Pangeran Singa Narpada.
Namun dalam pada itu, keduanya pun menyadari,
bahwa telah terbentang satu kewajiban yang akan dapat
menjadi beban mereka. Bagaimanapun juga, sebaiknya
mereka mengenal lebih dalam lagi tentang padepokan yang
hanya disebut namanya meskipun keduanya tahu, bahwa
dengan demikian mereka akan memasuki tugas yang sangat
berbahaya. "Kita harus lebih banyak berusaha mendengar tentang
padepokan itu sebelum kita sendiri turun ke lapangan untuk
melihat dan mendengar lebih banyak tentang padepokan
itu," berkata Mahisa Murti.
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Katanya, "Kita
mempunyai banyak waktu. Kita akan dapat berhubungan
dengan ayah dan Paman Mahisa Agni dan paman Witantra
jika mereka ada di istana."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Ya.
Agaknya mereka mengenal serba sedikit tentang padepokan
itu. Dengan bekal itu pun maka kita akan mendekati
padepokan yang mempunyai kedudukan tersendiri itu."
"Tetapi Pangeran Singa Narpada belum menjatuhkan
perintah apa pun juga," berkata Mahisa Pukat kemudian.
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Pangeran
Singa Narpada memang belum menjatuhkan perintah.
Tetapi agaknya ditilik dari sikapnya, perintah itu akan jatuh
juga pada saat. Perintah seorang guru kepada muridnya,
karena keduanya memang bukan prajurit Kediri. Namun
demikian hal itu tidak akan dapat menghalangi perintah
Pangeran Singa Narpada apabila pada suatu saat memang
akan diberikan kepada mereka.
Dalam pada itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukatpun
telah berusaha untuk menyelesaikan persoalan tawanan
mereka yang menurut Pangeran Singa Narpada sudah tidak
diperlukan karena tidak akan ada yang dapat disadapnya
lagi. Karena itulah, maka ketika orang yang termuda, yang
pingsan terlalu lama itu mulai membuka matanya, maka ia
pun telah terkejut bukan buatan.
Mula-mula dilihatnya samar-samar bayangan beberapa
orang di sekitarnya. Ketika pandangan matanya menjadi
semakin jelas, maka ia pun mulai melihat wajah-wajah.
Wajah-wajah itu adalah wajah-wajah kakak
seperguruannya. Tiga orang.
"O," orang itu pun berdesis perlahan. Dengan ragu ia
pun kemudian berkata, "apakah kita memang sudah berada
di dunia yang lain."
Ketiga orang itu mengambil nafas hampir berbareng.
Sejenak mereka saling berpandangan. Namun kemudian
yang tertua di antara mereka berkata, "Kita masih dalam
dunia kita. Sadarlah. Kau baru saja pingsan."
Orang itu berusaha untuk bergerak. Kemudian dibantu
oleh ketiga orang saudara seperguruannya, ia berusaha
untuk duduk. "Apakah penglihatanku benar bahwa aku berada di
antara saudara-saudaraku," desis orang itu.
"Ya. Kau berada di antara saudara-saudaramu," jawab
seorang di antara mereka.
"Jadi apa artinya segala sesuatu yang pernah terjadi
selama ini atas kita?" bertanya yang termuda di antara
mereka. "Kita adalah korban permainan yang sangat licik,"
jawab yang tertua, "akhirnya kita tahu, bahwa cara orangorang
Kediri memeras keterangan kita benar-benar sulit
untuk dihindari." Orang yang baru sadar dari pingsan itu merenung
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, "Ya, orangorang
Kediri memang sangat licik. Aku mengerti sekarang.
Jadi pakaian-pakaian kalian itu telah ditukar oleh orangorang
Kediri untuk tujuan tertentu."
"Ya," jawab yang tertua di antara mereka.
"Jadi kalian sama sekali tidak mengalami sesuatu
sebagaimana kita bayangkan sebelumnya?" bertanya yang
termuda. "Secara badani kami tidak mengalami sesuatu," jawab
yang tertua, "tetapi siksaan jiwani, terutama yang kau
alami, benar-benar satu siksaan yang kejam. Kami tidak
mengalami apapun juga kecuali dipaksa untuk
menyerahkan pakaian kami. Baru kemudian aku sadari,
bahwa pakaian itu telah dipergunakan untuk menyiksa
perasaanmu dengan memberikan pakaian itu dalam
keadaan yang mengerikan, sehingga kau mendapat kesan,
bahwa kami telah mengalami satu keadaan yang parah."
"O," yang termuda di antara orang-orang itu pun
mengeluh. Dengan suara lemah ia pun kemudian berdesis,
"Ternyata hatiku lemah seperti perempuan. Aku telah
mengalami tekanan jiwa yang tidak dapat aku atasi. Aku
telah menyerah." "Bukan salahmu," desis yang tertua.
Tiba-tiba orang yang termuda itu telah beringsut ke arah
saudara seperguruannya yang tertua. Dengan wajah tegang,
ia pun kemudian berdesis, "Kakang, bunuh aku. Aku telah
berkhianat terhadap perguruan kita."
"Ah," desah saudaranya yang tertua, "apakah yang
telah kau lakukan?" "Aku telah menyebut nama padepokan kita," jawab
yang termuda itu. Wajah-wajah itu pun menjadi tegang. Namun kemudian
yang tertua itu berkata, "Bukan salahmu. Bukankah aku
sudah mengatakannya. Kau tentu mengalami tekanan jiwa
yang luar biasa. Cara yang ditempuh oleh orang-orang
Kediri memang sangat keji."
"Tetapi seharusnya aku siap menghadapi keadaan yang
bagaimanapun juga, sehingga aku tidak melontarkan
rahasia yang seharusnya memang tidak aku ucapkan,"
berkata yang termuda itu.
"Agaknya memang tidak akan ada seorang pun yang
mampu bertahan mengalami siksaan jiwani sebagaimana
dilakukan oleh orang-orang Kediri itu," berkata yang tertua.
Lalu, "Karena itu, sudahlah. Kita tidak usah menyesali apa
yang sudah terjadi. Pada saat kita mulai melangkah, maka
kemungkinan yang paling buruk itu sudah kita
perhitungkan akan dapat terjadi atas kita dan seluruh
padepokan kita." "Tetapi dengan menyebut nama padepokan kita, maka
orang-orang Kediri tentu akan menelusurinya sampai
kepadepokan itu," berkata yang termuda.
"Memang mungkin," jawab yang tertua, "tetapi
kegagalan kita tentu sudah didengar oleh saudara-saudara
kita. Kematian guru tentu merupakan sesuatu yang penting
dan pantas diperhatikan oleh bukan saja seisi padepokan,
tetapi semua orang yang berhubungan dengan padepokan
kita. Dengan demikian mereka tentu sudah mempersiapkan
diri. Mereka tahu apa yang harus mereka lakukan
menanggapi persoalan yang terakhir yang akan sangat
berpengaruh atas kehidupan padepokan kita."
Yang termuda di antara mereka itu pun menarik nafas
dalam-dalam. Terbayang kembali betapa ketegangan
mencengkam jiwanya pada saat-saat ia melihat pakaian
saudara-saudara seperguruannya, terkoyak-koyak dan
terpercik noda-noda darah.
Tetapi ternyata bahwa tidak terjadi sesuatu atas sau-darasaudara
seperguruannya itu. Namun segala sesuatunya memang sudah terlanjur. Ia
sudah mengucapkan nama padepokannya, sehingga orangorang
Kediri tentu akan menelusurinya dengan cara yang
dianggapnya paling baik. Namun untuk menenangkan
hatinya, yang termuda di antara mereka itu kemudian
berdesis, "Mudah-mudahan isi padepokan kita sudah siap
menghadapi segala kemungkinan."
"Kita yakin," berkata saudara yang tertua di antara
mereka, "saudara-saudara kita bukan orang-orang
kebanyakan yang tidak mampu berpikir."
Yang termuda di antara keempat orang itu pun
mengangguk-angguk. Betapa ia dibebani oleh penyesalan,
bahwa ia telah menyebut nama padepokan mereka. Dengan
demikian ia telah membuka jalan bagi orang-orang Kediri
untuk menelusuri kegiatan mereka.
Tetapi saudara-saudara seperguruan telah dapat
mengerti, kenapa hal itu harus terjadi, sehingga ketiga
saudaranya yang lain itu tidak menganggapnya bersalah.
Tetapi apakah orang-orang lain di padepokannya juga
menganggapnya demikian" Itulah yang tidak diketahuinya.
Demikianlah, selagi mereka berbincang, maka pintu bilik
itu telah terbuka. Ketika keempat orang itu berpaling, maka
nampaklah wajah-wajah yang mereka anggap wajah-wajah
iblis yang paling terkutuk. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
"Setan," geram yang termuda, "apa lagi yang kau
kehendaki dari kami?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Mahisa Murti lah yang melangkah lebih dahulu
memasuki bilik itu, baru kemudian Mahisa Pukat.
"Kami minta maaf," berkata Mahisa Murti, "Mungkin
kami telah membuat perasaan kalian menjadi tegang selama
ini. Tetapi kami tidak dapat berbuat lain untuk mendengar
sedikit keterangan tentang diri kalian."
"Kalian memang orang-orang yang tidak berperasaan,"
geram yang termuda di antara keempat orang itu.
"Ah, jangan begitu, "jawab Mahisa Murti, "Bukankah
kami tidak berbuat apa-apa. Seperti yang berulang kali kami
katakan, bahwa kami berdua hanyalah orang-orang yang
melaksanakan perintah" Bukankah kami tidak berbuat apaapa
atas ketiga saudara seperguruanmu. Kami hanya
memanggil mereka dan menyerahkan kepada orang yang
memerlukannya. Bahkan orang yang memerlukannya itu
pun agaknya tidak berbuat apa-apa pula atas mereka."
"Omong kosong," geram yang termuda, "tetapi dengan
langkah-langkah yang sudah kalian perhitungkan dengan
cermat itu, membuat aku kehilangan jiwa. Bahkan aku telah
menyebut nama padepokanku."
"Jangan menyesal Ki Sanak," berkata Mahisa Murti
"Sebenarnyalah kami mengagumi kalian. Ketahanan
jiwa kalian sebagai murid dari sebuah padepokan dapat
dibanggakan. Dalam keadaan yang menekan, maka satusatunya
yang dapat terlepas dari kerahasiaan kalian adalah
nama padepokan kalian. Tetapi nama itu akan menjadi alas
usaha kami menemukan persoalan yang sebenarnya yang
telah terjadi di padepokan kalian yang bagaimanapun juga
telah mengguncang Kediri."
"Kau tidak usah memuji," berkata yang tertua, "karena
apapun yang kalian lakukan, tentu dengan maksud untuk
memeras keterangan kami sebanyak-banyaknya."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Sementara
itu Mahisa Pukat pun berkata, "Kami dapat mengerti
perasaan kalian. Apa pun yang kami lakukan, tentu kalian
menjadi curiga. Kami pun mengerti, bahwa yang kami
lakukan memang terlalu menegangkan urat syaraf kalian,
terutama yang termuda di antara kalian yang diluar
kemampuannya menolak, telah menyebut nama padepokan
kalian." "Kau memang dapat berbangga atas kemenanganmu,"
berkata yang termuda itu, "Tetapi yang kalian lakukan
memang terlalu keji."
"Kami memilih jalan yang paling baik yang dapat kami
lakukan. Kadang-kadang orang lain mempergunakan cara
yang lain pula. Mungkin dengan memeras keterangan
dengan memberikan tekanan badani. Penyiksaan diluar
batas kemanusiaan sebagaimana kalian bayangkan," sahut
Mahisa Pukat. "Tetapi tekanan jiwani yang kalian lakukan atas adik
seperguruan kami, dan bahkan kami semuanya, juga
merupakan tindakan yang paling kejam," geram yang tertua
di antara kalian. "O, itukah penilaian kalian" Jadi menurut kalian, lebih
baik kami lakukan tekanan badani atas kalian daripada apa
yang sudah kami lakukan" Bukankah kami seakan-akan
tidak pernah menyentuh wadag kalian untuk memaksa
kalian menyebut sesuatu" Tetapi jika itu yang kalian
maksud, maka kami akan dapat merubah cara kami. Kalian
baru menyebut nama padepokan kalian. Masih banyak
yang ingin kami dengar dari mulut kalian. Karena itu
nampaknya kalian lebih setuju jika kami memberikan
tekanan badan. Mungkin dengan salah satu cara penyiksaan
yang paling menarik," jawab Mahisa Pukat.
"Kalian memang iblis buruk," geram yang tertua, "apa
pun yang ingin kau lakukan, lakukanlah."
"Ada perasaan belas kasihan di dalam dada kami.
Tetapi tantangan kalian bukannya kami abaikan sama
sekali. Jika perlu kami akan menyawab tantangan kalian,
karena kematian kalian tidak akan ada yang dapat
menuntut kami. Kalian ditangkap dan langsung dibawa ke
istana ini," suara Mahisa Pukat menjadi agak keras.
Keempat orang itu termangu-mangu sejenak.
Bagaimanapun juga mereka lebih senang untuk tidak
mengalami tekanan lagi agar mereka menyebut sesuatu.
Karena itulah maka mereka sama sekali tidak menjawab
lagi, agar tidak memancing sikap kasar dari kedua orang
anak muda itu. Dengan demikian maka untuk sejenak suasana menjadi
lengang, tetapi cukup menegangkan. Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat memandang keempat orang itu bergantiganti.
Namun sekali lagi ia yakin bahwa yang paling lemah
di antara mereka adalah orang yang termuda.
Namun agaknya sikap keempat orang itu memang tidak
menyenangkan bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Karena itu, maka Mahisa Pukat pun berkata, "Ki Sanak.
Sebenarnyalah bahwa kami dapat melakukan apa saja.
Bagaimanapun seandainya kami menekan yang termuda di
antara kalian dengan cara yang pernah kami lakukan
sementara itu kami benar-benar memperlakukan seorang
demi seorang sebagaimana yang diduga?"
Wajah keempat orang itu menjadi tegang. Memang
kedua orang anak muda itu akan dapat memperlakukan
mereka sebagaimana dikatakannya. Karena itu, maka
barulah mereka melihat, bahwa kedua orang anak muda itu
sudah berusaha untuk membatasi tingkah lakunya.
Dengan demikian maka orang-orang itu pun telah
menahan diri untuk tidak mengucapkan kata-kata yang
dapat membangkitkan kemarahan kedua anak muda itu
semakin menjadi. Sementara itu Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
melihat bahwa keempat orang itu agaknya telah berusaha
menguasai diri. Sehingga kedua anak muda itu pun tidak
lagi ingin mengungkit persoalan di antara mereka.
Sejenak kemudian, maka Mahisa Murti itu pun berkata,
"Sudahlah Ki Sanak. Sebaiknya kalian berusaha
menenangkan diri di bilik ini. Senang atau tidak senang.
Persoalan di antara kita agaknya memang sudah hampir
selesai. Nama padepokan kalian memang sangat menarik.
Karena itu maka persoalannya akan berpindah dari
persoalan di antara kita menjadi persoalan antara kami dan
padepokan kalian." Keempat orang itu sama sekali tidak menjawab.
Sementara itu Mahisa Pukat masihjjuga bertanya, "Dengan
kematian guru kalian, bagaimana dengan padepokan yang
kalian tinggalkan?" Keempat orang itu sama sekali tidak menjawab, sehingga
dengan demikian maka Mahisa Pukat pun bergumam,
"Aku sudah mengira bahwa kalian akan tinggal diam.
Baiklah. Kami akan mencari sendiri jawabnya. Meskipun
kami tahu dengan pasti, bahwa karena kegagalan kalian,
maka padepokan kalian tentu telah bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan, karena mereka yang
masih berada di padepokan akan memperhitungkan, bahwa
kalian pada akhirnya akan menyebut juga nama padepokan
itu?" "Tetapi ada kemungkinan lain," berkata Mahisa Murti
"Jika orang-orang padepokan itu terlalu yakin bahwa
tidak seorang pun di antara mereka yang akan pernah
mengucapkan sepatah kata rahasia, maka mereka tidak
akan bersiap sama sekali," Mahisa Pukat menganggukangguk.
Katanya, "Satu kelengahan."
Demikianlah, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu
pun segera meninggalkan bilik itu. Ketika mereka berada di
pintu, maka mereka masih sempat berpaling.
Keempat orang yang ditinggalkannya memandangi
kedua anak muda itu. Namun ternyata mereka mempunyai
kesan yang lain dengan keduanya. Keduanya tidak lagi
nampak sebagai sosok-sosok hantu yang menakutkan.
Tetapi mereka justru melihat bahwa kedua anak muda itu
telah berusaha untuk memperlakukan mereka dengan baik,
sehingga gambaran-gambaran tentang peristiwa yang keji
itu tidak sebenarnya dilakukan, meskipun akibatnya dapat
menimbulkan ketegangan jiwa yang luar biasa. Tetapi jika
keduanya memang orang-orang yang mempunyai
kegemaran melihat darah, maka peristiwa yang keji itu akan
benar-benar dilakukan. Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah menghadap Pangeran Singa Narpada. Mereka
melaporkan, bahwa sebagaimana telah mereka
perhitungkan, bahwa tidak akan ada persoalan yang dapat
mereka sadap lagi dari keempat orang yang tertawan itu.
"Baiklah," berkata Pangeran Singa Narpada, "tetapi
nama padepokan itu akan banyak memberikan petunjuk.
Bukankah sangat menarik bagi kita untuk mencari
keterangan tentang padepokan itu."
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata, "Apakah
kami berdua diperkenankan untuk mencari keterangan
tentang padepokan itu"
Pangeran Singa Narpada menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian sambil tersenyum ia berkata, "Sebenarnyalah
bahwa aku ingin minta kalian melakukannya. Tetapi masih
ada sedikit keseganan padaku untuk menjatuhkan perintah.
Meskipun kalian adalah murid-muridku, tetapi kalian juga
mempunyai guru yang lain yang lebih dahulu menempa
kalian menjadi orang-orang yang berilmu tinggi."
"Pangeran," berkata Mahisa Murti, "yang ada sekarang
adalah Pangeran. Karena itu, bagi kami Pangeran adalah
guru kami. Jika Pangeran akan menjatuhkan perintah,
maka kami akan melaksanakannya dengan sebaik-baiknya."
"Aku mengerti," berkata Pangeran Singa Narpada,
"tetapi aku tetap minta kepada kalian untuk menghubungi
ayah kalian yang juga guru itu. Alangkah baiknya jika
kalian menghubungi pula paman-paman kalian, sehingga
dengan demikian maka kalian akan mendapat bekal yang
cukup untuk mencari dan menelusuri watak dan tingkah
laku padepokan Suriantal?"
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Dengan nada dalam Mahisa Murti berkata, "Kami akan
melakukannya Pangeran. Meskipun nampaknya persoalan
orang-orang bertongkat itu sudah selesai dengan kematian
guru mereka dan paman guru mereka, namun kita masih
belum menemukan latar belakang dari perbuatan mereka,
yang justru mungkin lebih berbahaya dari pemberontakan
yang pernah dilakukan oleh Pengeran Kuda Permati,"
Pangeran Singa Narpada mengangguk-angguk. Katanya,
"Aku akan sangat berterima kasih atas kesediaan kalian,
sementara aku akan tetap dapat mengawasi keadaan di
Kediri, karena bagaimanapun juga, rasa-rasanya masih ada
yang mengancam ketenangan kehidupan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengang-guk-angguk.
Mereka sadar, bahwa Pangeran Singa Narpada memang
tidak akan dapat bertindak sebagai guru sepenuhnya,
karena ia tahu, bahwa Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
masih mempunyai guru yang lain yang kebetulan adalah
ayah kedua anak muda itu sendiri.
Karena itu, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
tanggap akan kehendak gurunya, telah mendahului
menyatakan diri mereka untuk melakukan tugas yang berat
itu. Namun demikian Pangeran Singa Narpada itu pun telah
berpesan agar kedua anak muda itu minta diri kepada
ayahnya dan paman-pamannya yang juga mempunyai
pengaruh didalam hidupnya.
Tetapi Pangeran Singa Narpada tidak tergesa-gesa. Ia
masih menahan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk
beberapa hari. Karena dalam beberapa hari Pangeran Singa
Narpada akan semakin lebar membuka pintu kemungkinan
pengembangan ilmu yang pernah diwariskannya kepada
kedua orang anak muda itu, sehingga dengan demikian
maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan menjadi lebih
mudah untuk mengembangkan dan meningkatkan ilmu
yang diwariskan dari Pangeran Singa Narpada.
Sementara itu, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat masih
juga sempat berkunjung kepada keempat orang bertongkat
itu. Namun tingkah laku kedua anak muda itu benar-benar
telah berubah sehingga kesannya pun telah berubah sama
sekali sehingga keempat orang bertongkat itu telah
mengenal sebenarnya kedua anak muda yang semula
mereka kenal lebih kejam dari anak iblis di dasar neraka.
Tetapi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tidak lagi
berusaha untuk mendapatkan keterangan apapun juga dari
mereka. Jika berdua mereka berada di dalam bilik keempat
orang itu, maka yang mereka bicarakan adalah sekedar
keadaan mereka serta keinginan-keinginan mereka
berempat. Sehingga akhirnya, ketika sampai saatnya Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat akan meninggalkan Kediri, maka
disempatkannya untuk minta diri kepada keempat orang
itu. "Kau akan mencari dan kemudian mengerti apa yang
sudah terjadi di padepokan Suriantal?" bertanya yang tertua
di antara keempat orang itu.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan
sejenak. Baru kemudian Mahisa Murti menjawab, "Kami
memang mendapat tugas untuk mencari padepokan kalian.
Satu pekerjaan yang sangat berat yang harus kami lakukan,
karena kami tidak mempunyai pegangan apapun yang
dapat menjadi tuntutan betapapun kecilnya untuk sampai
kepada padepokan yang namanya Suriantal itu."
Orang tertua di antara keempat orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, "Maaf Ki Sanak. Aku tidak dapat
membantu kalian karena janji setiaku kepada padepokan."
"Kami mengerti," jawab Mahisa Murti, "kami pun tidak
berniat untuk membujuk kalian agar kalian berkhianat.
Usaha kami memeras keterangan dari kalian sudah lewat.
Segalanya untuk selanjutnya harus kami usahakan sendiri.
Namun sementara itu, dengan berat hati, kami masih
terpaksa harus menyimpan kalian di dalam tempat yang
barangkali tidak menyenangkan bagi kalian."
"Kami mengerti. Dan kami pun menyadari, bahwa kami
tidak akan selalu berada di tempat yang baik dan terpisah
seperti ini. Pada suatu saat, jika Ki Sanak sudah
meninggalkan Kediri, maka kami tentu akan dilemparkan
kedalam tempat yang dihuni oleh banyak orang. Mungkin
kami akan menjadi satu bilik dengan para penyamun dan
perampok, atau barangkali kami termasuk golongan
pemberontak sebagaimana pernah terjadi, sehingga kami
akan dilemparkan kedalam ruang yang diperuntukkan bagi
para pemberontak. Namun kami tidak akan ingkar, karena
yang demikian seharusnya sudah kami sadari sejak kami
menentukan langkah kami," jawab yang tertua di antara
mereka. Mahisa Murti mengangguk-angguk. Sementara itu
Mahisa Pukat pun berkata, "Kami memang akan segera
meninggalkan Kediri. Mudah-mudahan kita akan dapat
bertemu lagi kelak jika kami datang kembali kemari."
"Semoga kalian berhasil Ki Sanak," desis salah seorang
di antara orang-orang bertongkat itu.
Sementara yang terkecil di antara keempat orang itu pun
berkata, "Maafkan aku Ki Sanak, atas kesan yang pernah
tergores di dalam angan-anganku tentang kalian."
"Kami mengerti," jawab Mahisa Murti, "semoga untuk
selanjutnya kita masing-masing akan selalu dilindungi oleh
Yang Maha Agung." Keempat orang itu termangu-mangu. Namun kemudian
mereka harus melepaskan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
meninggalkan mereka. Keempat orang itu mengerti, bahwa
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat akan meninggalkan Kediri
untuk mencari padepokan yang bernama Suriantal.
Sementara mereka berempat tahu pasti dimana letaknya
dan apa yang sebenarnya ada di dalamnya. Namun mereka
tidak dapat mengatakannya Sedangkan jalan menuju ke
padepokan itu adalah jalan yang sangat berbahaya.
Tetapi keempat orang itu mengerti, bahwa kedua anak
muda itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Keduanya
ternyata mampu melawan dan bahkan membunuh paman
guru mereka. Meskipun demikian, kemungkinan lain masih akan
dapat terjadi, karena Kebo Sarik yang terbunuh itu bukan
seorang yang memiliki ilmu tertinggi.
Namun di hari-hari terakhir, jalan menuju ke
peningkatan ilmu bagi Mahisa Murti dan Mahisa Pukat
telah terbuka semakin lebar, sehingga kemungkinankemungkinan
pun akan dapat terjadi atas mereka.
Demikianlah maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun
telah meninggalkan Kediri. Bekal yang mereka bawa cukup
memadai untuk memasuki lingkungan yang keras didalam
olah kanuragan. Bahkan mereka pun telah mendapat
tuntunan untuk memasuki kemungkinan yang lebih luas
memperdalam ilmu mereka, mengembangkan dan
meningkatkan. Namun seperti pesan Pangeran Singa Narpada, maka
sekali lagi mereka harus kembali ke Singasari. Mungkin
mereka akan mendapat sedikit penjelasan tentang
padepokan yang bernama Suriantal.
Tidak ada hambatan sama sekali di perjalanan. Bahkan
keduanya mendapat kesempatan untuk berlatih di
sepanjang jalan. Keduanya ternyata telah memilih jalan
yang tidak banyak dilalui orang. Justru mereka telah
berjalan menyusuri lereng-lereng pegunungan yang hijau
oleh hutan yang tumbuh subur, serta lembah-lembah yang
lebat oleh pepohonan dan tanaman di ladang serta
menyusuri pematang di antara tanaman padi di sawah.
Di lereng-lereng yang terjal kedua unak muda itu sempat
mempertajam ilmu mereka. Tanpa dilihat oleh seorang,
mereka telah mencoba kemampuan ilmu mereka. Baik yang
mereka terima dari ayah mereka, maupun yang telah
mereka terima dari Pangeran Singa Narpada.
Dengan ilmu yang mereka terima dari ayah mereka,
maka keduanya mampu menghantam dan menghancurkan
batu-batu padas, sementara dengan ilmu yang mereka
warisi dari Pangeran Singa Narpada maka mereka mampu
menghisap kekuatan dan tenaga lawan-lawan mereka.
Dengan kemungkinan yang telah dibuka oleh Pangeran
Singa Narpada, maka kedua anak muda itu berusaha untuk
memperdalam ilmu mereka. Bahkan keduanya telah
berusaha untuk mampu bukan saja melemahkan kekuatan
lawan, namun memanfaatkan kekuatan itu bagi
kemampuan mereka. "Kita tidak akan dapat menemukan jalur itu dengan
serta merta," berkata Mahisa Murti.
"Tetapi aku melihat jalan menuju ke kemungkinan itu,"
desis Mahisa Murti. "Memang mungkin sekali," jawab Mahisa Murti,
"Tetapi kita memerlukan waktu untuk mengamati dan
mempelajari kemungkinan-kemungkinannya."
Mahisa Pukat mengangguk-angguk. Namun kedua anak
muda itu yakin bahwa dalam pengembangan ilmu mereka,
maka hal itu akan dapat mereka lakukan.
Dengan demikian, maka latihan-latihan yang mereka
lakukan di sepanjang jalan-jalan sepi di lereng pegunungan
dan dilembah-lembah yang hijau oleh lebatnya hutan, tanpa
dilihat oleh orang lain, adalah untuk mencapai kedalaman
dari ilmu mereka. Karena itu, maka perjalanan mereka dari Kediri sampai
ke Singasari memerlukan waktu yang berlipat dari
perjalanan biasa. Namun, akhirnya keduanya telah sampai ke rumah
mereka. Mahendra menyambut kedua anaknya dengan
wajah cerah. "Hampir saja kita berselisih jalan," berkata Mahendra,
"aku sudah merencanakan untuk pergi ke Kediri. Ada
beberapa pesanan wesi aji yang sudah aku dapat, sehingga
akan aku serahkan kepada pemesannya. Untunglah aku
belum berangkat, sehingga aku masih dapat menerima
kedatanganmu." "Untunglah," berkata Mahisa Murti, "Tetapi
seandainya kita berselisih jalan, demikian ayah sampai di
Kediri dan kembali ke Singasari, agaknya kami masih
belum sampai." "Kenapa" Meskipun aku berkuda dan kalian berjalan
kaki, tetapi selisih itu tentu tidak akan terlalu lama," berkata
Mahendra. "Tetapi kami berjalan sangat lamban," sahut Mahisa
Pukat, "kami menyusuri lereng-lereng pegunungan dan
lembah-lembah berhutan lebat."
Mahendra mengangguk-angguk. Barulah ia mengerti,
bahwa di sepanjang jalan kedua anaknya itu tentu
memanfaatkan alam dan kesempatan yang ada untuk
memperdalam ilmu mereka. Setelah kedua anaknya beristirahat, membenahi diri dan
makan, barulah menjelang malam Mahendra bertanya,
apakah kedua anaknya pulang sekedar menengok
keluarganya atau mempunyai keperluan yang khusus.
Kepada ayahnya kedua anak muda itu telah
menceriterakan apa yang terjadi pada saat-saat terakhir di
Kediri. Bahwa seorang di antara orang-orang bertongkat yang
berhasil mereka tangkap itu telah menyebut nama sebuah
padepokan. "Padepokan mana?" bertanya Mahendra.
"Padepokan Suriantal," jawab Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat hampir berbareng.
Wajah Mahendra menegang sejenak. Dengan nada berat
ia mengulang " Suriantal?"
"Ya," jawab Mahisa Murti.
Mahendra menarik nafas dalam-dalam. Kemudian
katanya, "apakah aku belum pernah menyebut nama
padepokan itu?" "Mungkin ayah pernah menyebutnya diantara sekian
banyak padepokan yang pernah ayah sebutkan," jawab
Mahisa Murti, "Tetapi agaknya padepokan ini memiliki
kekhususan." Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, "Sayang
sekali. Aku tidak banyak mengetahui tentang padepokan
ini. Tetapi kalian akan sempat bertanya kepada kedua
pamanmu. Mahisa Agni dan Witantra. Mudah-mudahan
keduanya tidak sedang pergi, karena keduanya nampaknya
telah mempergunakan hari-hari tuanya untuk melihat
cerahnya alam terbuka di padesan dan di sela-sela bukit dan
hutan-hutan kecil." "Agaknya berbeda dengan yang ayah lakukan?" desis
Mahisa Pukat. Mahendra mengerutkan keningnya. Namun ia pun
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian tertawa sambil menjawab, "Tetapi aku pun
melakukannya. Menjelajahi padukuhan-padukuhan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat tersenyum. Dengan
nada datar ia berkata, "Tetapi jika ayah menjelajahi
padukuhan-padukuhan tentu dengan harapan untuk
mendapatkan sepotong barang yang akan dapat diperjual
belikan, atau sebaliknya membawa barang sesuai dengan
pesanan." Mahendra tertegun sejanak. Namun ia pun tertawa pula
sambil berkata, "Sambil bertamasya, aku dapat memenuhi
kebutuhan hidup sekeluarga. Berbeda dengan pamanpamanmu
yang memiliki jabatan dalam tatanan
keprajuritan Singasari, sehingga mereka tidak memikirkan
bagaimana harus mendapatkan uang."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun tertawa pula,
sementara Mahisa Murti berkata, "Apakah ayah mau
mengajarkan cara yang ayah tempuh itu kepada kami"
Selain mendatangkan keuntungan, maka pekerjaan ayah itu
merupakan satu cara yang baik untuk melakukan tugastugas
sandi." "Kenapa tidak?" berkata ayahnya, "kau harus belajar
mengenali bentuk dan jenis benda-benda yang akan kau
jadikan dagangan. Jika kau ingin memperjual belikan jenisjenis
wesi aji, maka kau harus mengenali bentuk dan jenisjenis
pusaka. Atau mungkin kau tertarik pada bebatuan
yang disenangi dan bernilai tinggi, maka kau harus
mencoba mengenalinya pula. Demikian pula batu permata
dan intan berlian." "Senang sekali untuk dapat melakukannya ayah," jawab
Mahisa Pukat, "dengan pengetahuan itu, maka kami akan
mempunyai ruang gerak yang lebih leluasa."
"Baik," berkata ayahnya, "tetapi kau pun harus
mempunyai cara lain untuk menjelajahi daerah
pengamatanmu, karena jika kau hanya mengenali satu cara,
maka jika cara itu mulai dicurigai kau akan kehilangan
kesempatan untuk berbuat sesuatu."
"Tentu ayah," jawab Mahisa Murti, "jika kau melihat
cara sebagaimana pekerjaan yang ayah lakukan, agaknya
cara itu mempunyai kemungkinan yang luas dari sekedar
berkeliaran sebagaimana kami lakukan sekarang ini.
Sementara itu, agaknya kami pun harus belajar, bagaimana
caranya bekerja di bidang-bidang tertentu yang lain."
Mahendra mengangguk-angguk. Katanya, "Ternyata
pikiranmu semakin berkembang. Selama ini kau bertualang
tanpa pegangan. Namun agaknya pengalaman kalian telah
membuka pikiran kalian untuk bekerja lebih cermat, dan
dengan cara yang lebih baik dan berencana."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menarik nafas dalamdalam.
Sementara ayahnya berkata, "Tetapi itu sangat
wajar, sejalan dengan umur kalian yang menjadi semakin
bertambah." "Ya ayah," desis Mahisa Murti, "Mungkin selama ini
kami menganggap bahwa yang kalian lakukan adalah
sekedar main-main." "Mungkin," jawab ayahnya, "tetapi juga karena kalian
belum mengenal tugas kalian yang sebenarnya. Aku tidak
menyangka bahwa kalian senang akan pekerjaan seperti itu.
Aku kira pada satu dua bulan kalian akan menjadi jemu dan
mulai menetap untuk menekuni satu tugas tertentu
sebagaimana kakakmu Mahisa Bungalan."
Mahisa Murti menarik nafas dalam-dalam. Namun
kemudian jawabnya, "Kakang Mahisa Bungalan pun harus
dibujuk untuk bersedia menjadi seorang prajurit."
Ayahnya mengangguk. Katanya, "Ya. Agaknya memang
demikian. Aku pun ingin membujuk kalian berdua, bahwa
kalian berdua sebaiknya menjadi prajurit sebagaimana
kakakmu. Atau menjadi saudagar yang tekun seperti aku
lakukan, disamping sawah dan ladang yang terbentang di
ngarai yang luas itu."
"Pada saatnya kami akan memilih ayah," jawab Mahisa
Pukat, "tetapi sebenarnyalah sekarang kami telah menekuni
satu kerja yang tidak kalah pentingnya dengan tugas-tugas
yang lain di dalam kehidupan ini."
Mahendra mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Baiklah.
Aku mengerti. Tetapi mungkin apa yang kalian inginkan itu
akan merupakan luluhnya tugas-tugas yang dapat kau
lakukan. Menjadi petugas sandi dan sekaligus bekerja
sebagai pedagang sebagaimana aku lakukan."
Kedua anaknya itu tertawa. Sambil mengangguk-angguk
Mahisa Murti menjawab, "Satu rencana yang sangat
menarik." Namun dalam pada itu, ayahnya pun berkata, "Jika
demikian kita akan pergi bersama-sama. Kalian akan aku
perkenalkan kepada kawan-kawanku bahwa kalian adalah
anak-anakku yang pada suatu saat akan menggantikan
pekerjaanku." Namun kedua anaknya itu mengerutkan keningnya. Lalu
katanya, "Apakah sebaiknya kami dapat dengan mudah
dikenali dalam tugas-tugas sandi?"
"Tetapi sebagai seorang pedagang kalian harus
mendapat kepercayaan. Jika kalian tidak dikenal, maka
kalian akan mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan
dan menjual dagangan yang tidak ada patokan dan pola
jenisnya yang tertentu," jawab ayahnya.
"Ternyata disinilah letak persoalannya," jawab Mahisa
Murti, "Memang mungkin kami bekerja sebagai pedagang,
tetapi dalam batas-batas tertentu kami tidak boleh dengan
mudah dikenali siapakah kami sebenarnya."
"Ya. Aku tahu. Tetapi bukanlah kalian dalam hal ini
bekerja untuk Kediri" Sementara orang-orang yang pernah
berhubungan dengan kau mengenaliku sebagai orang
Singasari," berkata ayahnya.
"Kadang-kadang kami harus dikenal sebagai orang yang
tinggal dekat dari tempat tertentu, atau justru dikenal
sebagai orang yang tinggal diluar lingkungan Kediri dan
Singasari agar tidak cepat menimbulkan dugaan bahwa
kami bekerja untuk Kediri atau Singasari dalam persoalanpersoalan
tertentu," jawab Mahisa Pukat, "Bukankah ayah
juga menganjurkan agar aku mengenali beberapa jenis
pekerjaan." Ayahnya mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba ia
bertanya, "Jadi bagaimana dengan rencana kalian" Aku
mengerti keberatan kalian."
Mahisa Murti danMahisa Pukat termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian Mahisa Murti pun berkata,
"Ayah. Kami memang ingin ikut bersama ayah untuk
mengenali cara yang ayah pergunakan serta mengenali
lingkungan perdagangan sebagaimana ayah lakukan. Tetapi
ayah tidak usah mengaku kami sebagai anak-anak ayah.
Bukan karena keseganan kami, tetapi semata-mata untuk
mengamankan tugas-tugas yang akan kami lakukan
kemudian. Bahkan mungkin juga untuk mengamankan
ayah jika pada suatu saat kami dapat dikenali oleh pihakpihak
tertentu. Jika mereka mengetahui bahwa kami adalah
anak ayah, maka mungkin ayah akan menjadi sasaran
dendam mereka." Ayahnya mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Baiklah. Aku memahami keadaan kalian. Aku sependapat
dengan cara yang ingin kalian tempuh. Meskipun demikian,
kalian harus dengan tekun berusaha mengenali benda-benda
yang akan kau perdagangkan itu."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama sekali tidak
berkeberatan. Karena itu, maka sebagaimana dianjurkan
oleh ayahnya, mereka mulai tekun mempelajari bendabenda
berharga yang menjadi sasaran diperjual belikan oleh
ayahnya dengan keuntungan yang cukup baik.
Sebagaimana keduanya memperdalam ilmunya, maka
mereka pun dengan tekad dan bersungguh-sungguh
mencoba mengenali berbagai jenis bebatuan dan besi yang
bertuah. Juga beberapa jenis permata dan logam mulia.
Sementara mereka mempelajari cara mengenali bendabenda
itu, mereka pun menyempatkan diri untuk bertemu
dan berbicara dengan Mahisa Bungalan, bahkan kemudian
sekaligus Mahisa Agni dan Witantra yang kebetulan tidak
sedang keluar untuk menempuh perjalanan-perjalanan
pendek dalam dua tiga hari.
Ketika Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menanyakan
sesuatu yang mereka ketahui tentang padepokan Suriantal,
maka yang paling terkejut adalah Mahisa Bungalan.
Dengan nada tinggi ia bertanya, "Kenapa dengan
padepokan Suriantal?"
Mahisa Murti pun menceriterakan apa yang sudah
terjadi di Kediri. Bahkan Mahisa Bungalan pun telah
sempat mendengar sebagian dari ceritera itu dari Mahisa
Agni dan Witantra. "Jadi orang-orang yang disebut bertongkat itu adalah
orang-orang dari padepokan Suriantal?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Ya. Guru keempat orang bertongkat itu telah terbunuh
oleh Pangeran Singa Narpada, sementara kami berdua
berhasil membunuh adik seperguruannya, sedangkan
paman Mahisa Agni, paman Witantra dan ayah bermainmain
dengan orang-orang bertongkat itu" jawab Mahisa
Pukat. Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Dengan nada
dalam ia berkata, "Satu tugas yang berat. Pihak keprajuritan
pernah mendapat keterangan dari petugas sandi bahwa
padepokan itu merupakan padepokan yang penuh dengan
rahasia. Padepokan yang seakan-akan tertutup bagi
kebanyakan orang. Namun bukan berarti bahwa orangorang
di padepokan itu sama sekali tidak berhubungan
dengan orang-orang luar. Satu dua di antara mereka juga
sering keluar dari padepokan untuk berbelanja atau
membeli kebutuhan-kebutuhan lain. Mereka pun membayar
dengan tertib barang-barang yang mereka kehendaki.
Menurut laporan yang diterima oleh pihak keprajuritan di
Singasari, orang-orang padepokan itu tidak mengganggu
orang-orang yang hidup di sekitar padepokan itu. Namun
tidak seorang pun mengetahui dengan pasti, apa saja yang
dikerjakan oleh orang-orang di padepokan yang disebut
Suriantal itu." "Dan sekarang kalian akan berhadapan dengan
padepokan Suriantal," berkata Mahisa Bungalan.
"Kami ingin mengetahui latar belakang dari perbuatan
mereka. Apa yang mendorong mereka berusaha untuk
mengambil mahkota yang sangat berharga itu," berkata
Mahisa Murti, "dengan mengetahui latar belakangnya,
maka Pangeran Singa Narpada akan dapat menentukan
langkah-langkah pengamanan untuk selanjutnya."
"Baiklah," berkata Mahisa Bungalan, "Aku akan
berusaha untuk mendapat keterangan lebih banyak tentang
padepokan itu. Mungkin letaknya, ke mana padepokan itu
menghadap, lingkungannya dan mungkin waktu-waktu
tertentu orang-orang dari padepokan itu berbelanja."
"Terima kasih," jawab Mahisa Murti, "selama itu, aku
akan mendapat kesempatan untuk ikut bersama memperjual
belikan batu-batu akik, wesi aji, permata dan logam mulia."
Demikianlah, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai
dengan perjalanan-perjalanan sebagaimana ditempuh oleh
ayahnya. Tetapi ayahnya memang tidak
memperkenalkannya sebagai anak-anaknya. Tetapi
keduanya disebutnya sebagai pedagang-pedagang muda
yang memiliki kemauan keras dalam usahanya untuk maju.
Setelah beberapa kali keduanya mengikuti perjalanan
ayahnya pada jarak-jarak yang tidak terlalu jauh, maka
keduanya dapat mengerti, meskipun belum terlalu lancar,
apa saja yang harus dilakukan oleh pedagang.
"Kau tidak usah menipu calon pembelimu," pesan
ayahnya, "kau katakan sebagaimana adanya dan kau dapat
berterus terang bahwa kau mengambil keuntungan atas
harga yang kau tentukan itu. Jika kau tidak mengambil
keuntungan terlalu besar, maka biasanya calon pembeli itu
tidak berkeberatan. Mereka tidak pernah merasa tertipu dan
di saat lain jika mereka memerlukan lagi, mereka akan
menghubungimu. Tetapi jika sekali mereka merasa tertipu,
maka mereka tidak akan lagi mau berkenalan denganmu,
karena ada orang-orang lain yang melakukan pekerjaan
yang sama dengan yang kita lakukan."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat ternyata memiliki bakat
ayahnya. Bukan saja dalam olah kanuragan, bahwa mereka
telah mewarisi ilmu yang nggegirisi. Namun ternyata
mereka pun dengan cepat mampu melakukan sebagaimana
dilakukan ayah mereka dalam perdagangan.
Setelah beberapa lamanya kedua anak muda itu
mengikuti Mahendra, maka keduanya kemudian telah
mampu melakukannya sendiri.
"Tetapi kita tidak boleh melupakan tugas yang
dibebankan di pundak kita," berkata Mahisa Murti.
"Bukankah kita tidak dibatasi waktu?"
"Sementara ini kita menunggu keterangan yang sedang
dikumpulkan oleh kakang Mahisa Bungalan tentang
padepokan itu," sahut Mahisa Pukat.
"Jika kita mengharapkan keterangan yang lengkap,
maka kita tidak perlu lagi pergi ke padepokan itu. Kita
tinggal menyadap keterangan itu dan kita sampaikan
kepada Pangeran Singa Narpada," jawab Mahisa Murti.
"Bukan begitu, "desis Mahisa Pukat, "keterangan yang
aku maksud adalah sekedar keterangan yang akan dapat
menuntun kita ke dalam persoalan yang lebih dalam lagi."
Mahisa Murti mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah.
Besok kita menghadap kakang Mahisa Bungalan. Apakah ia
sudah dapat mengumpulkan keterangan lebih banyak."
Demikianlah, maka dikeesokan harinya, sepengetahuan
ayah mereka, maka Mahisa Murti dan Mahisa Pukat telah
menemui kakaknya untuk menanyakan apakah kakaknya
sudah mendapat keterangan lebih banyak tentang
padepokan Suriantal. Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Aku memang sudah bertemu dengan orang yang pernah
mendekati daerah yang bernama Suriantal itu. Ia sampai ke
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
padepokan itu dengan tidak sengaja. Namun ia akan dapat
memberikan ancar-ancar, jika kalian berdua memang benarbenar
ingin sampai ke sana."
"Baiklah kakang. Ancar-ancar itu tentu akan sangat
berarti bagi kami berdua," jawab Mahisa Murti.
Dengan demikian maka Mahisa Bungalan pun telah
mengajak kedua adiknya langsung bertemu dengan petugas
sandi Singasari yang pernah tersesat sampai ke padepokan
Suriantal. Beberapa keterangan yang tidak penting memang dan
didengar oleh Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Namun
yang sangat berarti bagi mereka adalah ancar-ancar jalan
menuju ke padepokan itu. "Aku tidak mampu mengingat, bagaimana aku sampai
ke tempat itu. Aku tersesat pada waktu itu. Kebetulan saja
aku sampai ke satu daerah yang ternyata berada di bawah
pengaruh padepokan yang bernama Suriantal itu," berkata
petugas itu. "Tetapi bagaimana kau dapat kembali ke Singasari?"
bertanya Mahisa Murti. "Aku ke luar dari daerah yang tidak dikenal itu tanpa
tahu jalan mana yang harus aku tempuh. Namun akhirnya
aku mengenali satu daerah yang pernah aku datangi dalam
tugas sandiku mengikuti seorang perampok yang lolos dari
tangkapan prajurit Singasari. Dengan demikian, maka aku
mampu menempuh jalan kembali ke Singasari ini."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Agaknya jalan menuju ke padepokan itu memang sulit.
Namun bagaimanapun juga kedua anak muda itu sudah
bertekad untuk pergi menuju ke tempat itu.
Dari petugas sandi Singasari itu, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat mendapat petunjuk sebuah daerah
pemukiman yang agak ramai yang terletak tidak terlalu jauh
dari tempat petugas sandi itu mulai mengenali tempat di
mana ia tersesat. "Bagus," berkata Mahisa Murti, "jadi kota kecil itu,
cukup ramai?" bertanya Mahisa Murti.
"Bukan sebuah kota," jawab petugas sandi itu, "hanya
sebuah lingkungan yang dihuni oleh orang-orang yang
terdiri dari satu keturunan, yang berkembang semakin
banyak. Dari tempat itu masih ada jarak kira-kira tujuh
ratus tonggak untuk mencapai ujung pengenalanku itu.
Seterusnya aku memang menjadi bingung. Yang aku ngat,
aku telah melewati sebatang pohon randu alas. Kemudian
sebatang sungai kecil tanpa jembatan dan sesak. Hutan
yang lebat meskipun tidak aku masuki. Dan sebuah batu
besar berwarna hijau oleh lumut yang tebal. Hanya itulah
yang aku ingat. Kemudian aku melihat sebuah pintu
gerbang yang ternyata adalah pintu gerbang padepokan
Suriantal yang hanya banyak dikenal namanya saja."
"Nah," berkata Mahisa Bungalan, "Kalian harus
menemukan daerah itu. Ancar-ancar itu pun tidak terlalu
banyak menolongmu. Tetapi itulah yang dapat,
disampaikan kepada kalian. Tidak lebih."
"Terima kasih," berkata Mahisa Murti, "kami akan
berusaha dengan segala upaya."
"Perjalanan yang berbahaya," berkata petugas sandi itu,
"Tetapi aku sependapat dengan kalian. Berjalan terus.
Bahkan seandainya kalian tidak berkeberatan, aku bersedia
untuk ikut bersama kalian."
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat saling berpandangan.
Namun kemudian Mahisa Murti berkata, "Aku tidak tahu
apakah keikutsertaanmu itu akan memberikan arti. Tetapi
setidak-tidaknya kau dapat membawa aku sampai ke ujung
daerah pengenalanmu itu apabila kakang Mahisa Bungalan
tidak mempunyai pikiran lain."
Mahisa Bungalan termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian katanya, "Aku tidak berkeberatan. Tetapi karena
orang itu berada di kesatuan yang bukan menjadi tanggung
jawabku, maka diperlukan ijin dari panglimanya."
"Aku akan melakukannya," jawab petugas sadi itu, "aku
kira Panglima tidak akan berkeberatan, karena jika aku
berhasil, maka hasilnya akan berarti juga bagi Singasari."
Sejenak Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun ia
mengenal dengan baik Panglima yang memimpin pasukan
sandi itu. Karena itu, maka Mahisa Bungalan berkata,
"Baiklah. Tetapi biarlah kami berpikir barang satu dua hari.
Apakah aku sependapat dengan usulmu, bahwa kau akan
pergi juga kembali ke daerah yang pernah menyesatkanmu
itu." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat nampaknya sependapat
dengan kakaknya. Mereka mempertimbangkan untung
ruginya jika mereka pergi bersama dengan petugas sandi
itu. Apakah mereka masih akan dapat memegang tugas
rahasia kepergian mereka ke sarang orang-orang bertongkat
itu. "Baiklah," berkata petugas sandi itu, "jika memang
diperlukan, aku siap melakukannya."
"Terima kasih," berkata Mahisa Bungalan, "Sebenarnya
kami memang sangat memerlukan petunjuk-petunjuk itu.
Tetapi seperti kami katakan, kami memerlukan waktu
untuk memikirkannya."
Demikianlah, maka Mahisa Bungalan mendapat
kesempatan untuk bertemu dengan pemimpin langsung dari
petugas sandi itu. Kepada pemimpin petugas sandi itu
Mahisa Bungalan mengemukakan persoalan yang
dihadapinya. "Tetapi aku berterus terang kepadamu, bahwa adikku
itu bekerja untuk Kediri. Tentu saja Kediri yang mengerti
dengan baik dan benar, hubungannya dengan Singasari."
Pemimpin pasukan sandi itu mengangguk-angguk. Lalu
katanya, "Masalah apa yang paling penting kita
persoalkan." "Kesetiaan orang itu," sahut Mahisa Bungalan.
"Orang itu sudah bekerja bersamaku bertahun-tahun,
Aku percaya kepadanya," jawab pemimpin pasukan itu.
"Bagaimana dengan kemampuannya?" bertanya Mahisa
Bungalan. "Jangan dibanding dengan kemampuanmu," jawab
pemimpin pasukan itu, "aku pun tidak dapat menyamai
kemampuanmu. Namun untuk menjaga dirinya, ia cukup
mempunyai bekal. Ia tidak menyadap ilmu setelah menjadi
prajurit dan apalagi memasuki tugas sandi. Sebelumnya ia
memang sudah berguru dan membawa bekal ilmu ketika ia
berada didalam lingkungan pasukan sandi."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk pula. Katanya,
"Bagaimana pendapatmu atas kesediaannya untuk
mengikuti kedua adikku karena ia merasa pernah sampai ke
tempat itu meskipun sudah dikatakannya bahwa ia merasa
tersesat." Panglima pasukan sandi itu termangu-mangu sejenak. Ia
mencoba untuk membayangkan, apakah yang mungkin
terjadi di perjalanan mereka. Karena itu, maka katanya.
"Apakah kau yakin bahwa kedua adikmu itu akan mampu
pula menjaga dirinya?"
"Aku kira begitu. Tetapi karena aku belum tahu
kemampuan petugas itu, maka belum dapat mengatakan,
apakah kedua adikku itu memiliki ilmu setidak-tidaknya
setingkat dengan petugas sandi itu," jawab Mahisa
Bungalan. Namun kemudian pemimpin pasukan sandi itu pun
berkata, "Sebenarnya aku cenderung untuk tidak
berkeberatan. Mungkin tugas ini akan berarti pula bagi
Singasari. Tetapi dengan satu pembicaraan semacam
perjanjian, bahwa masing-masing bertanggung jawab
tentang dirinya sendiri. Artinya, bahwa masing-masing
tidak ada ketergantungan. Bukan berarti bahwa mereka
tidak dapat bekerja bersama. Justru mereka harus bekerja
bersama. Tetapi jika terjadi sesuatu atas salah seorang dari
mereka, maka tanggung jawab berada atas diri mereka
masing-masing. Yang lain tidak akan dianggap bersalah
karena tidak mampu melindungi kawan-kawannya."
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Ia mengerti
maksud perwira yang menjabat sebagai Panglima pasukan
sandi itu. Agaknya ia tidak mau mempertaruhkan anak
buahnya dalam tugas itu. Dan ia pun tidak mau petugas
sandi bertanggung jawab atas kedua adik Mahisa Bungalan
yang masih sangat muda. Karena itu, maka Mahisa Bungalan berkata, "Baiklah."
Karena itu, maka Mahisa Bungalan itu pun berkata,
"Baiklah. Aku mengerti. Maksudmu mereka harus bersiap
menghadapi segala kemungkinan atas tanggung jawab
mereka masing-masing. Yang satu tidak menjadi pelindung
yang lain. Namun mereka harus bekerja bersama sebaikbaiknya."
Panglima pasukan sandi itu mengangguk-angguk.
Namun ia masih menjambung lagi, "Bukan maksudku
mencurigai kemampuan kedua adik-adikmu yang masih
sangat muda itu. Tetapi jika terjadi sesuatu jangan kita
saling menyalahkan. Demikian juga jika petugasku itu tidak
kembali karena sesuatu hal, maka kau tidak akan dapat
menuntut kedua adik-adikmu."
"Aku setuju, tetapi dengan jaminan bahwa petugasmu
itu adalah petugas yang setia dan dapat dipercaya," berkata
Mahisa Bungalan kemudian.
Panglima itu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku
yakin." "Jika demikian, maka kita akan berjanji, bahwa kita
akan melepaskan mereka bekerja bersama dalam tugas ini.
Kedua adikku dengan petugas sandi itu. Mudah-mudahan
mereka akan dapat menyelesaikan tugas mereka dengan
baik." Panglima itu mengangguk. Namun ia pun kemudian
mengerutkan keningnya sambil berdesis, "Apakah kau
sudah memberikan sedikit penjelasan kepada kedua
adikmu, bahwa banyak kemungkinan dapat terjadi?"
"Ya. Aku sudah berbicara banyak dengan mereka,"
jawab Mahisa Bungalan. "Sebenarnyalah mereka masih sangat muda. Apalagi
untuk menangani tugas ini. Aku kurang mengerti, kenapa
Kediri tidak memilih petugas yang lebih tua dan
berpengalaman," desis Panglima pasukan sandi itu.
Mahisa Bungalan tersenyum. Katanya, "Aku juga heran
bahwa kedua adikku itu telah mendapat kepercayaan yang
besar dari para pemimpin di Kediri. Tetapi mungkin juga
karena pertimbangan lain. Kediri tidak mau kehilangan
orang-orang terbaiknya. Karena Kediri tidak yakin bahwa
tugas ini akan dapat diselesaikan dengan baik, dan para
petugas yang akan melakukannya sempat kembali dengan
selamat, maka Kediri merasa lebih baik mengirimkan orang
lain namun yang dapat dipercaya."
Panglima itu tersenyum. Katanya, "Kau pandai
mengada-ada. Tetapi biarlah kedua adikmu itu mendapat
pengalaman. Petugas sandi itu akan membantu kedua
adikmu untuk menempuh satu perjalanan yang sulit,
namun sekali lagi, dalam tanggung jawab masing-masing
atas diri sendiri." "Baiklah. Besok kita akan berjanji, kapan mereka akan
berangkat," berkata Mahisa Bungalan.
Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan pun menemui
kedua adiknya. Ia mengatakan apa yang didengarnya dari
panglima petugas sandi itu.
"Kakang yakin akan mereka?"
"Aku yakin," jawab Mahisa Bungalan, "Jika aku keliru,
maka yang salah adalah Panglimanya itu."
Dengan kesediaan kedua belah pihak maka Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun telah bersiap-siap untuk
berangkat bersama seorang petugas sandi yang
memperkenalkan dirinya dengan nama Urawan.
Beberapa pesan telah diberikan kepada mereka bertiga.
Panglima petugas sandi itu pun telah memberikan pesanpesan
langkah-langkah terbaik yang harus mereka lakukan
sebagai petugas sandi. Kemudian Mahisa Agni, Wirantra
dan Mahendra pun telah memberikan pesan-pesannya pula.
"Berhati-hatilah dalam semua langkah yang kalian
ambil," berkata Mahisa Agni, "aku berpengalaman cukup
lama selaku seorang perantau. Banyak sekali bahaya yang
mengancam diluar dugaan kita. Apalagi kalian telah dengan
sengaja mendekati satu daerah yang kurang kalian kenal.
Banyak sekali kemungkinan yang akan kalian ketemukan di
daerah itu. Mungkin tidak ada apa-apa, tetapi mungkin
daerah itu menyambutmu dengan keras dan kasar. Bahkan
kejam dan keji." Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Mereka bertiga
mengenal siapakah Mahisa Agni, sehingga apa yang
dikatakan itu tentu akan memberikan arti kepada mereka.
Demikian pula Witantra dan Mahendra. Apalagi Mahendra
yang pekerjaaannya sehari-hari adalah seorang pedagang
keliling, maka pengalaman menempuh perjalanan tentu
sudah banyak sekali. Demikianlah maka pada hari yang sudah ditentukan
mereka bertiga pun telah berangkat. Untuk tidak menai
perhatian orang-orang di Kota Raja, maka mereka bertiga
telah berangkat dari rumah Mahendra. Mereka seperti
biasanya, berpakaian seperti orang kebanyakan. Mereka
tidak membawa bekal yang berlebih-lebihan. Mereka hanya
membawa sepengadeg pakaian selain yang mereka pakai.
Namun seperti yang telah dilakukannya, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat membawa bekal uang yang cukup. Selain
mereka dapat dari Pangeran isinga Narpada. karena
Pangeran Singa Narpada menyadari tugas itu sangat berat,
sehingga mungkin memerlukan uang yang cukup banyak
pula selama di perjalanan, mereka pun telah menerima
bekal dari ayah mereka. Bahkan Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat telah membawa pula beberapa buah batu akik dan
batu-batu berharga sebagai dagangan apabila mereka
mendapat kesempatan untuk menjualnya.
Di hari-hari pertama dalam perjalanan mereka, petugas
sandi itu pun sedang berusaha untuk menemukan jalan
yang pernah ditempuhnya pada saat ia mengikuti seorang
penjahat, sehingga jika jalan itu diketemukan, maka ia akan
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dapat menelusuri jalan itu sampai kepada satu tempat yang
memang sulit, sehingga mungkin mereka harus bekerja
keras untuk menemukan jalan menuju ke padepokan
Suriantal. "Apa yang akan kita lakukan setelah kita berada di
sekitar padepokan itu akan kita pikirkan kemudian,"
berkata petugas sandi itu.
"Ya," jawab Mahisa Murti, "kau memiliki pengalaman
jauh lebih banyak dari kami. Kami berdua akan mengikut
saja apa yang menurut pertimbangan baik."
"Ah, jangan begitu," sahut Urawan, "kita akan bersamasama
melakukan tugas ini. Tetapi sudah barang tentu, yang
memiliki pengenalan lebih banyak akan dapat menuntun
yang lain." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun tiba-tiba Mahisa Pukat bertanya, "Sepanjang
perjalan, bagaimanakah susunan hubungan kita?"
"Maksudmu?" bertanya Urawan.
"Apakah kita tetap orang lain seperti sekarang, ataukah
kita akan menjadi saudara atau hubungan yang lain"
Apakah kita akan tetap dengan nama kita masing-masing
atau kita akan menentukan nama yang lain bagi kita."
"Kita bukan orang-orang terkenal," jawab Urawan,
"karena itu, jika kita memakai nama kita pun tidak akan
mudah diketahui siapakah kita sebenarnya. Orang-orang di
sepanjang jalan yang akan kita lalui tetap tidak akan
mengerti, apakah kita bernama seperti nama kita yang
sebenarnya atau kita akan mempergunakan nama yang lain.
Tetapi dalam hubungan di antara kita aku setuju, bahwa
aku menjadi saudara kalian yang tertua. Sehingga kita akan
menempuh perjalanan tiga bersaudara."
"Apa acara kita" Sekedar mengembara atau ada tugas
lain yang kita emban dalam perjalanan ini?" bertanya
Mahisa Murti kemudian. Urawan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
katanya, "Kita adalah pengembara. Tidak ada yang akan
kita lakukan selain mengembara dari satu tempat ke tempat
lain." Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Namun tiba-tiba saja Mahisa Pukat berdesis sambil
tersenyum, "Tetapi nama kita sama sekali tidak
bersentuhan. Namun kami berdua adalah Mahisa Murti
dan Mahisa Pukat." Urawan itu pun tersenyum pula. Jawabnya, "Baiklah.
Namaku akan berubah menjadi Mahisa Ura."
"O," sahut Mahisa Murti, "kau tahu apa artinya ura?"
"Tahu, Kenapa" Ura adalah satu kerja tanpa tujuan.
Asal saja dilakukan. Nah, bukankah aku juga sedang
berbuat demikian sekarang," jawab Urawan yang telah
merubah namanya menjadi Mahisa Ura.
"Baiklah," jawab Mahisa Pukat, "kita adalah tiga
bersaudara. Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat."
Ketiganya tertawa. Sementara itu kaki mereka
melangkah terus menyusuri jalan yang masih belum dapat
dikenali. Tetapi petugas sandi yang menyebut dirinya Mahisa Ura
itu pun mempunyai beberapa ancar-ancar yang dapat
meyakinkannya, bahwa pada saat ia akan menemukan jalan
yang pernah ditelusurinya, pada satu tugasnya yang berat,
mengikuti seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi,
namun telah dipergunakan untuk melakukan tindakantindakan
yang sesat. Seorang perampok yang berhasil
terlepas dari tangan para prajurit.
"Bagaimana kau berhasil menangkap perampok itu?"
bertanya Mahisa Pukat. "Aku berhasil mengetahui persembunyiannya," jawab
Mahisa Ura, "keterangan dari orang-orang di padukuhan
yang aku datangi atas dasar beberapa petunjuk,
memberikan jalan kepadaku. Meskipun agaknya setiap
orang tidak ada yang berani menyebutkan tempat
persembunyiannya itu, namun beberapa patah kata dapat
menuntun aku pada satu kepastian, bahwa orang itu
akhirnya dapat aku ketemukan."
"Di rumahnya?" bertanya Mahisa Murti.
"Sama sekali tidak," jawab petugas sandi itu, "aku
menemukan di rumah seorang perempuan yang akan
dijadikan isterinya yang ke lima. Menurut keterangannya
dua orang isterinya telah dibunuhnya. Sementara ia akan
mengawini isteri kelimanya, satu lagi isterinya sudah
direncanakannya untuk dibunuh. Tetapi sebelum ia sempat
melakukannya, ia sudah tertangkap."
"Bukan main," desis Mahisa Pukat, "hukuman apakah
yang kemudian diterima dengan segala laku jahatnya itu?"
"Hukuman seumur hidupnya. Ia tidak akan dilepaskan
dari sebuah penjara untuk selamanya-lamanya, karena
orang seperti perampok itu sudah tidak ada lagi harapan
untuk dapat menyembuhkan tabiatnya," jawab petugas
sandi itu. Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mengangguk-angguk.
Mereka mengerti, mengapa orang itu harus dihukum
seumur hidup. Demikianlah, maka ketiga orang itu telah menelusuri
jalan yang diduga akan sampai pada satu jalur yang pernah
dikenal oleh petugas sandi itu.
Jika malam turun, maka mereka dapat bermalam dimana
saja. Di tengah-tengah bulak, di pategalan atau di hutan.
Namun sekali-sekali mereka sempat juga bermalam di
sebuah banjar. Ternyata bahwa akhirnya yang diperhitungkan oleh
betugas sandi itu benar juga. Ketika mereka bertiga muncul
dari sebuah jalan sempit dan turun ke sebuah jalan yang
lebih besar, maka tiba-tiba saja petugas sandi yang
berpengalaman melakukan pengembaraan itu melihat
sebuah gumuk kecil yang ditumbuhi sebatang pohon preh
dan dijalari beberapa batang sejenis rotan yang lebat
sehingga pohon preh raksasa itu hampir tidak dapat dikenali
lagi. Yang nampak hanyalah jalur-jalur panjang yang
membelit dari ranting dengan daunnya yang lebat.
Petugas sandi itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kita sudah sampai ke satu tempat yang dapat aku kenali."
"O," Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun mengangguk.
Ketika mereka mengikuti tatapan mata petugas sandi itu,
maka mereka pun telah melihat gumuk itu pula.
"Aku tidak akan keliru. Jenis tanaman itu jarang sekali
terdapat disini," berkata Mahisa Ura.
"Bagus," sahut Mahisa Pukat, "kita akan menemukan
sasaran kita. Tetapi jalan masih panjang. Mungkin besok
kita baru akan sampai ke padukuhan tempat yang terakkhir
aku kenali, karena di padukuhan itu aku berhasil
menangkap orang yang aku cari."
"Ya," jawab Mahisa Murti, "Mudah-mudahan
perjalanan selanjutnya lancar."
Petugas sandi itu mengangguk-angguk. Sebagaimana
dikatakannya maka jarak yang mereka tempuh memang
masih panjang. Namun ketika mereka sedang beristirahat di sebuah
kedai, maka tiba-tiba saja telah terjadi sesuatu yang sangat
mengejutkan. Dua orang tiba-tiba saja telah muncul di
ambang pintu. Wajah mereka kasar sebagaimana sikap
mereka. Dengan langkah yang kasar pula keduanya
memasuki kedai itu dan duduk dengan tanpa mengenal
unggah-ungguh. Tetapi yang lebih mengejutkan lagi adalah Mahisa Ura
yang berdesis, "Gila. Orang itulah yang aku katakan.
Apakah ia terlepas dari penjara?"
Sebelum Mahisa Murti dan Mahisa Pukat menjawab,
Mahisa Ura telah meloncat ke arah orang itu sambil
membentak, "He, apakah kau sempat melarikan diri. Jika
demikian, maka aku datang untuk menangkapmu."
Orang-orang berwajah kasar itu termangu-mangu.
Sementara itu keadaan menjadi tegang. Mahisa telah
berdiri di hadapan orang berwajah kasar itu. Dengan sikap
yang garang Mahisa Ura siap bertindak jika orang itu
berbuat sesuatu. "He, apakah kau gila Ki Sanak," geram salah seorang
dari keduanya, "agaknya kau belum mengenal kami."
"Aku mengenal kawanmu ini," geram Mahisa Ura,
"aku sudah menangkapnya beberapa saat yang lain. Tetapi
agaknya ia sempat melarikan diri."
"Aku bunuh kau," kawan orang yang disebut telah
pernah ditangkap itu berteriak.
Tetapi Mahisa Ura pun telah bersiap. Sementara Mahisa
Murti dan Mahisa Pukat pun telah berdiri pula.
Namun tiba-tiba saja orang yang disebut pernah
ditangkap itu bersikap lain. Ia justru menggamit kawannya
sambil berkata, "Duduklah. Mungkin terjadi salah paham."
"He?" kawannya merasa heran, "kau membiarkan diri
kita diperlakukan seperti ini?"
"Tunggulah," jawab orang yang disebut pernah
ditangkap itu. Lalu katanya kepada Mahisa Ura, "Ki Sanak.
Siapakah sebenarnya kalian. Dan kenapa kau menyebut
bahwa aku pernah kau tangkap" Selain ini aku tidak pernah
berbuat apa-apa yang dapat menjadi alasan untuk
menangkapku. Kami memang orang-orang kasar, karena
kami adalah tukang blandong yang bekerja sekedar untuk
dapat hidup. Apakah seorang tukang blandong memang
dapat ditangkap hanya karena ia seorang tukang
blandong?" Mahisa Ura termangu-mangu sejenak. Tetapi menurut
penglihatannya orang itu benar-benar orang yang pernah
ditangkapnya. Namun Mahisa Ura memang melihat sikap yang agak
berbeda dengan orang yang pernah ditangkapnya. Suaranya
pun mempunyai tekanan yang berbeda pula.
"Apakah kau belum pernah ditangkap?" bertanya
Mahisa Ura kemudian. "Menurut ingatanku belum Ki Sanak. Sudah aku
katakan, aku adalah seorang tukang blandong yang
barangkali memang bersikap dan ujud sangat kasar menurut
penglihatanmu," jawab orang itu.
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Semakin lama
ia memang melihat beberapa kelainan pada orang itu.
Orang yang pernah ditangkapnya itu mempunyai cacat
dibawah mata kirinya. Sementara orang ini tidak.
Betapapun kecilnya cacat itu, tetapi karena pada saat itu ia
benar-benar memperhatikan wajah orang yang menjadi
buruannya, maka ia dapat melihatnya.
"Kau tidak mempunyai cacat dibawah mata kirimu?"
bertanya Mahisa Ura. "Sebagaimana kau lihat," jawab orang itu, "aku justru
mempunyai cacat di bawah telinga kananku. Satu
kecelakaan ketika aku menebang sebatang pohon cangkring
di pinggir sungai di ujung padukuhan ini."
Mahisa Ura menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Maaf Ki Sanak. Agaknya aku memang bersalah."
Kawan orang yang dicurigai itu hampir saja membentak
dan berteriak. Tetapi orang yang disangka terlepas dari
penjara itu justru menggamitnya. Bahkan katanya, "Ah,
tidak apa-apa Ki Sanak. Setiap orang pada satu saat akan
dapat keliru." Mahisa Ura bergeser mundur. Ia pun kemudian duduk
kembali di sebelah Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
sudah duduk pula. Namun dalam pada itu, kedua orang kasar itulah yang
justru berdiri. Orang yang disangka lari dari penjara itu
berkata, "Sudahlah Ki Sanak. Aku merasa berdebar-debar.
Biarlah aku mengurungkan niatku untuk makan."
"Kenapa?" bertanya Mahisa Ura, "silahkan makan.
Biarlah aku yang membayarnya."
"Terima kasih," jawab orang itu, "Biarlah aku sempat
menenangkan hatiku sejenak."
Mahisa Ura tidak dapat menahannya. Bahkan sekali lagi
ia minta maaf kepada kedua orang itu.
Ketika kedua orang itu sudah tidak nampak lagi, maka
Mahisa Ura itu pun berkata, "Aku memang keliru. Aku
telah melakukan satu kebodohan. Dengan demikian maka
perhatian beberapa orang sudah tertuju kepadaku."
"Ya," jawab Mahisa Murti, "kau terlalu cepat
mengambil sikap." "Aku tidak ingin membiarkannya terlepas. Tetapi
ternyata aku keliru. Biasanya pengenalanku atas seseorang
jarang sekali salah," desis Mahisa Ura.
"Tetapi kita belum terlambat," gumam Mahisa Murti
"Kita dapat segera meninggalkan tempat ini. Seterusnya
tidak ada lagi orang yang mengenali kita di padukuhanpadukuhan
berikutnya." Mahisa Ura mengangguk-angguk. Katanya, "Ya. Kita
harus segera pergi."
"Tetapi kita selesaikan dahulu makanan dan minuman
kita," sahut Mahisa Pukat.
Dengan demikian maka mereka masih duduk untuk
beberapa saat. Namun setelah makan dan minuman mereka
habis, maka mereka pun telah meninggalkan kedai itu
setelah mereka membayar harganya.
Ketika mereka berada di luar kedai, tidak terlalu banyak
orang yang mereka jumpai melintasi dijalan didepan kedai
itu. Yang berjalan melintas itu pun sama sekali tidak
menghiraukan mereka. Sehingga dengan demikian mereka
merasa bahwa yang terjadi itu tidak menarik perhatian
orang, sementara yang berkepentingan pun agaknya telah
melupakannya. Karena itulah, maka ketiga orang itu pun telah berjalan
dengan tenang meninggalkan padukuhan itu menuju
kepadukuhan berikutnya. Sementara itu, kedua orang yang telah meninggalkan
kedai itu pun telah menghilang di tikungan. Dengan
tergesa-gesa mereka berjalan kesebuah rumah di ujung
jalan. "Kenapa kau menjadi bingung seperti itu," bertanya
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kawan dari orang yang disangka terlepas dari penjara. "kau
tidak biasa berbuat demikian lunak kepada seseorang.
Apalagi kau sudah dihina seperti itu."
Orang itu tersenyum. Katanya, "Satu kebetulan yang
tidak pernah aku mimpikan sebelumnya. Orang itu tentu
orang yang pernah menangkap saudara kembarku. Saudara
kembarku telah diikuti oleh seorang petugas sandi dari
Singasari dan tiba-tiba menangkapnya dan membawanya ke
Singasari. Calon isterinya mengetahuinya, tetapi ia tidak
dapat berbuat apa-apa. Saudara kembarku yang memiliki
ilmu yang tinggi itu pun tidak mampu melawannya. Karena
itu, aku harus berpikir dua kali untuk bertindak."
"Tetapi ada aku," berkata kawannya.
"Mereka bertiga. Mungkin kedua orang kawannya itu
pun berilmu tinggi pula," jawab orang itu.
"Lalu apa maksudmu?" bertanya kawannya.
"Kita memanggil kawan-kawan kita. Kita akan
mencegatnya dan aku ingin membalas dendam atas
tertangkapnya saudara kembarku."
"Mudah-mudahan mereka ada di rumah," sahut
kawannya, "karena itu kita harus cepat, sebelum kita
kehilangan jejak." Sejenak kemudian mereka telah sampai di rumah yang
dituju. Dengan tergesa-gesa mereka menceriterakan
kepentingan mereka dan dengan tergesa-gesa pula mereka
keluar dari rumah itu pula. Ternyata mereka masih juga
singgah di dua rumah yang lain, sehingga mereka semua
berjumlah lima orang. "Bantu aku membalas dendam," berkata orang yang
kehilangan saudara kembarnya itu. "Bukankah aku sudah
sering membantumu pula."
"Kau tidak usah berkata begitu, "jawab kawannya,
"apakah tanpa kata-kata itu aku akan menolak."
"Maaf," berkata orang yang ingin membalas dendam
itu, "kita akan menyusulnya sekarang."
Kelima orang itu pun kemudian telah kembali ke kedai
tempat mereka bertemu dengan Mahisa Ura. Namun
ternyata kedai itu telah kosong.
"Kemana orang-orang itu pergi?" bertanya orang yang
mendendam itu kepada pemilik kedai.
"Aku tidak tahu," jawab pemilik kedai itu.
Namun pemilik kedai itu tiba-tiba saja menyeringai
menahan sakit ketika tangannya terpilih oleh orang yang
sedang mendendam itu, "Sebut, atau tanganmu akan
patah." Pemilik kedai itu tidak dapat mengelak. Karena itu maka
ia pun telah menunjukkan arah perjalanan Mahisa Ura.
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat.
Kelima orang itu pun dengan tergesa-gesa telah
menyusul ketiga orang yang baru saja meninggalkan kedai
itu sambil mengancam, "Jika kau berbohong dan aku tidak
dapat menyusul mereka, maka kau akan menjadi mayat
disini." Pemilik kedai itu menjadi gemetar. Tetapi ia tidak dapat
menjawab. Dengan tergesa-gesa kelima orang itu pun berjalan
searah dengan perjalanan Mahisa Ura. Orang yang
mendendam itu pun berkata, "Aku yakin ia memang
berjalan dijalan ini. Mungkin ia ingin menunjukkan kepada
kawannya itu, dimana ia berhasil menangkap saudara
kembarku." "Saudara kembarku mungkin menjadi lengah karena ia
berada di rumah calon isterinya, sehingga petugas itu dapat
menangkapnya. Menurut penglihatanku, saudaramu itu
memiliki ilmu yang cukup tinggi."
"Kami berguru bersama," jawab saudara kembar itu.
"Kita memiliki tingkat ilmu yang sama. Tetapi nasib
saudara kembarku itu memang agak buruk, sehingga ia
tertangkap oleh petugas itu memang nasibnya agak buruk,
sehingga ia tertangkap oleh petugas yang gila itu."
Kawan-kawannya mengangguk angguk. Katanya,
"Sekarang kita yang akan menangkap mereka bertiga. Kita
akan membawa mereka kedalam satu pertemuan di antara
kawan-kawan kita. Dengan demikian maka kita akan
mendapatkan satu permainan yang mengasyikkan."
Kelima orang itu tertawa. Orang yang mendendam itu
berkata, "Aku akan berbuat apa saja untuk kepuasan
hatiku. Kemudian kita menghubungi Singasari lewat jalur
apa pun juga. Kita akan menukarkan petugas itu dengan
saudara kembarku." "Bagaimana mungkin dapat dilakukan," jawab
kawannya, "jika pada satu saat tukar menukar itu benarbenar
berlangsung, maka disaat berikutnya kita semuanya
justru akan ditangkap oleh pasukan segelar sepapan yang
tentu sudah disiapkan."
"Jadi bagaimana," bertanya orang yang mendendam.
"Terserah kepada kita. Tetapi tidak untuk
dipertukarkan, karena kita justru akan terjebak," jawab
kawannya. Orang yang mendendam itu mengangguk-angguk yang
lain pun ternyata sependapat, sehingga sebaiknya mereka
tidak usah berpikir untuk menukarkannya.
Dalam pada itu kelima orang itu pun telah mempercepat
langkah mereka. Ketika mereka mendekati regol, maka
rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi. Karena itu, maka
orang yang mendendam itu pun berjalan semakin cepat.
Ia mencapai regol sesaat kemudian. Dengan jantung
yang berdebar-debar dipandanginya bulak yang terbentang
di hadapan mereka untuk melihat, apakah ketiga orang
yang meninggalkan kedai itu masih dapat dilihatnya.
Keempat orang kawannya pun segera berdiri pula di
sebelahnya. Mereka berlima berusaha untuk mengamati
bulak yang cukup luas. Sejenak kemudian, orang yang mendendam itu pun
berdesis, "Kau lihat bintik-bintik sebelah pohon gayam itu?"
Yang lain mengangguk-angguk. Seorang di antara
mereka berdisis, "Ya. Tiga orang. Itu tentu mereka."
"Kita akan menyusulnya. Kita akan menangkap
mereka," berkata orang yang kehilangan saudara
kembarnya. Mereka berlima pun kemudian dengan tergesa-gesa telah
memotong jalan. Mereka memintas lewat pematang yang
silang menyilang. Namun mereka pun sadar, bahwa mereka tidak akan
dapat menyusul ketiga orang itu di bulak itu pula. Mereka
akan mengikuti ketiganya sampai pada suatu yang
memungkinkan bagi mereka untuk membuat perhitungan
tanpa diganggu oleh orang lain.
Sejenak kemudian, maka ketiga orang yang disusul oleh
kelima orang itu pun telah memasuki padukuhan. Tetapi itu
bukan soal. Mereka tentu akan muncul di seberang
padukuhan itu dan memasuki bulak di sebelah pula.
"Jalan di bulak sebelah menyeberangi sungai," berkata
salah seorang kelima orang itu.
"Kita cegat saja mereka di sungai itu. Kita akan
memaksa mereka untuk bergeser dari jalan sepanjang
tepian. Dan kita akan menangkap atau menyelesaikan
mereka tanpa diganggu oleh orang lewat," geram orang
yang mendendam karena saudara kembarnya telah
ditangkap. Sebenarnyalah maka Mahisa Ura, Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat telah menembus jalan padukuhan. Tetapi
mereka memang tidak berhenti di padukuhan itu. Mereka
menembus regol di ujung dan keluar di ujung yang lain.
Kemudian mereka pun menyusuri jalan bulak yang
memang akan sampai ke sebuah tepian dan mereka harus
menuruninya, karena mereka memang harus menyeberang
sebuah sungai yang tidak begitu besar.
Seperti yang diperhitungkan, maka kelima orang yang
mengambil jalan memintas itu telah menunggu ketiga orang
itu. Mereka bersiap untuk membuat perhitungan. Mereka
akan menangkap ketiganya untuk menjadi permainan yang
mengasikkan bagi mereka. Namun jika sulit untuk
menangkap, maka ketiga orang itu akan dibinasakan saja.
Seorang dari kelima orang itu telah duduk ditebing
sungai untuk mengamati keadaan. Demikian ia melihat
ketiga orang yang mereka tunggu itu berjalan mendekat,
maka ia pun telah memberikan isyarat kepada kawankawannya.
Keempat orang yang lain pun segera bersiap-siap.
Mereka harus berusaha memancing atau memaksa ketiga
orang itu bergeser dari jalan, sehingga mereka akan dapat
membuat perhitungan sampai tuntas.
Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama
sekali tidak mengira bahwa mereka telah ditunggu. Mereka
juga tidak memperhatikan seseorang yang duduk di tebing
sambil memberikan beberapa isyarat yang tidak menarik
perhatian. Karena itu, maka keempat orang yang menunggu segera
bersiap. Demikian ketiga orang itu sampai ketepian, maka
seorang di antara keempat orang itu pun menghampirinya.
"Ki Sanak," berkata orang itu, "apakah kami dapat
berbicara barang sejenak dengan Ki Sanak."
"Kau siapa?" bertanya Mahisa Ura.
"Aku kawan dari orang yang pernah kau temui disebuah
kedai itu," jawab orang itu.
Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat pun telah
memperhatikan seseorang yang berdiri agak jauh. Ternyata
orang itu benar orang yang telah mereka jumpai dikedai.
"Apa kepentingannya dengan aku?" bertanya Mahisa
Ura. "Tentang salah paham itu," jawab orang yang
mendekati mereka bertiga, "ia ingin menjelaskan lebih jauh.
Memang ada hubungan antara orang itu dengan orang yang
disebut-sebut pernah ditangkap dan dibawa ke Singasari."
Mahisa Ura mengerutkan keningnya. Ia melihat orang
itu bersama dua kawannya. Seorang ada di hadapannya dan
ketika ia berpaling maka orang yang duduk ditepian itu
telan melangkah mendekat pula.
Ketiga orang itu segera menangkap suasana. Karena itu,
maka mereka pun segera mempersiapkan diri.
"Silahkan Ki Sanak," berkata orang yang mendekat itu.
Mahisa Ura memang tidak berkeberatan. Ia pun sadar,
bahwa mungkin akan terjadi sesuatu yang tidak
dikehendakinya. Tetapi jika hal itu harus terjadi apaboleh
buat. Apalagi jika benar, orang yang diduganya telah
melarikan diri itu, hanyalah seorang blandong. Mungkin ia
memiliki kekuatan kewadagan. Tetapi sudah tentu tidak
akan banyak berarti. Mahisa Ura pun telah memberikan isyarat kepada
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat untuk mengikuti orang itu.
Beberapa puluh langkah mereka berjalan. Semakin lama
semakin jauh dari jalan yang mereka lewati sebagaimana
memang dikehendaki oleh kelima orang itu.
Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat yang
mengikuti orang yang mendatanginya itu menyadari bahwa
di belakangnya berjalan orang yang duduk di atas tebing itu.
Untuk beberapa saat tidak ada seorang pun yang
berbicara. Mereka berjalan saja dengan sikap dan dalam
suasana yang kaku mencengkam.
Ketika mereka telah melampaui. beberapa puluh
langkah, maka mereka melihat orang yang mereka temui di
kedai itu sudah siap menunggu.
-ooo0dw0ooo Jilid 029 TERNYATA Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa
Pukat menjadi berdebar-debar juga menghadapi orangorang
yang tidak dikenalnya serta tidak diketahui dengan
jelas maksudnya. "Marilah Ki Sanak," berkata orang yang dikiranya telah
terlepas dari penjara itu.
Mahisa Ura lah yang berdiri dipaling depan. Dengan
nada datar ia bertanya, "Apakah maksud kalian
menghentikan perjalanan kami?"
Orang yang mengaku sebagai tukang blandong itu
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun berkata, "Ki
Sanak. Agaknya lebih baik j ika aku berkata langsung pada
persoalannya." "Ya," jawab Mahisa Ura, "dengan demikian persoalan
kita cepat selesai, dan kami akan dapat dengan segera
meninggalkan tempat ini."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Mudah-mudahan kalian dapat segera pergi. Tetapi aku
sangsi apakah kalian akan dapat pergi."
"Apa maksudmu?" bertanya Mahisa Ura.
Tiba-tiba saja orang yang mempunyai saudara kembar
itu tertawa. Dengan nada tinggi ia berkata, "Ki Sanak.
Betapapun tinggi kemampuan ilmu dan bekal pengetahuan
seseorang, pada suatu saat akan tergelincir juga."
"Apa maksudmu?" tiba-tiba saja Mahisa Ura bertanya.
"Seorang petugas sandi pun suatu saat tidak mampu
merahasiakan dirinya," berkata orang itu.
Wajah Mahisa Ura tiba-tiba menjadi tegang. Ia mulai
curiga bahwa orang itu benar-benar orang yang telah
pernah ditangkapnya. Namun demikian ia masih bertanya,
"Aku tidak tahu arah bicaramu."
"Baiklah Ki Sanak. Aku memang tidak ingin melingkarlingkar.
Ki Sanak tentu seorang petugas sandi yang telah
menangkap orang yang Ki Sanak kira adalah aku.
Betapapun tajamnya penglihatan Ki Sanak, namun Ki
Sanak telah salah sangka," berkata orang yang mendendam
itu, "Tetapi itu adalah wajar. Aku adalah saudara kembar
dari orang yang telah kau tangkap itu. Karena itu, adalah
satu kebetulan bahwa kita telah bertemu. Selama ini aku
hanya dapat menahan dendamku di dalam hati. Tiba-tiba
saja kau datang sendiri kepadaku, dan melaporkan diri
bahwa kaulah orang yang selama ini aku cari."
Mahisa Ura menarik nalas dalam-dalam. Dengan nada
rendah ia berkata, "Aku harus mengakui kekeliruanku.
Tetapi aku belum terlambat, karena kau juga telah
menempatkan dirimu sendiri pada kemungkinan yang
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buruk. Aku masih mempunyai kesempatan untuk
menangkapmu sekarang."
"O," orang yang mendendam itu tertawa. Katanya,
"Kau lihat bahwa aku tidak sendiri?"
"Aku juga tidak sendiri," jawab Mahisa Ura, "aku
datang bersama adik-adikku."
"Nampaknya kau sedang membawa adik-adikmu untuk
mendengarkan bualanmu, bahwa di satu tempat kau telah
berhasil menangkap seorang yang tentu kau sebut sebagai
seorang penjahat besar," berkata orang itu.
"Ya. Aku memang sudah berhasil menangkap seorang
penjahat besar. Nah, apakah kau menyadari, bahwa
saudara kembarmu itu tidak mampu melawanku pada
waktu itu, karena aku pun datang seorang diri," berkata
Mahisa Ura. "sekarang, apakah kau kira kau akan dapat
berbuat sesuatu atasku dan adik-adikku."
"Mungkin kau akan berjuang untuk menyelamatkan
dirimu. Tetapi bagaimana dengan anak-anak ingusan itu"
Meskipun mungkin kau mampu bertahan, tetapi jika kedua
adikmu itu terancam jiwanya, maka apakah kau akan
sampai hati membiarkannya," bertanya orang yang
mendendam itu. "Tentu tidak," jawab Mahisa Ura, "aku tidak akan
membiarkannya. Karena itu, siapa yang berani mengganggu
adik-adikku, ia akan aku bunuh lebih dahulu."
Orang yang mendendam itu tertawa. Kawan-kawannya
pun tertawa pula. Kelima orang itu telah berdiri mengitari
Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat. Seorang di
antara mereka berkata, "Seorang petugas sandi yang berani.
Tetapi pada suatu saat seperti ini, kau akan mati terkapar di
tepian." "Bukankah kita akan menangkapnya, "desis yang lain.
"O, ya," jawab yang lain, "Kita akan menangkap ketigatiganya.
Kita akan memeliharanya untuk memperlengkap
ternak di kandang." Mahisa Pukat mulai bergeser mendengar kata-kata itu.
Tetapi Mahisa Murti menggamitnya, sehingga Mahisa
Pukat hanya dapat menggeretakkan giginya.
Sementara itu petugas sandi itu pun menjawab, "Baiklah.
Kau nampaknya yakin sekali akan dapat menangkap kami
bertiga. Marilah kita buktikan, siapakah yang akan berhasil
melakukannya." "Kami akan menangkap kalian hidup-hidup. Tetapi jika
itu sulit kami lakukan karena kalian melawan, maka
mungkin sekali kalian akan mati di sini. Tetapi barangkali
mati akan menjadi pilihan kalian daripada kalian harus
tetap hidup di antara kawan-kawan kami yang semuanya
membenci para petugas sandi dan para prajurit mana pun
juga," berkata orang yang mendendam itu.
Mahisa Ura mengerutkan keningnya. Dengan suara
tajam ia berkata, "Jika demikian maka kau ternyata lebih
jahat dari saudara kembarmu. Ia hanya perampok dan
penyamun. Mungkin membunuh. Tetapi tidak ada niat di
hatinya untuk menyiksa seseorang seperti yang pernah kau
angankan itu." "O," orang itu tertawa keras-keras, "kau menjadi cemas.
Tetapi mungkin aku memang lebih jahat dari saudara
kembarku. Namun kejahatanku didukung oleh
kemampuanku yang juga lebih tinggi dari saudara
kembarku. Karena itu jika kalian ingin melawan tentu akan
sia-sia saja." Sekali lagi Mahisa Murti terpaksa menggamit Mahisa
Pukat yang hampir kehilangan kesabaran. Bahkan Mahisa
Murti pun berdesis, "Biarlah ia berbicara sampai puas."
Ternyata orang yang mendendam itu mendengarnya
juga. Dengan wajah yang tegang ia berpaling ke arah
Mahisa Murti, "Apa yang kau katakan" " ia bertanya
dengan nada keras. "Yang aku katakan adalah, biar kau berkicau sampai
puas. Saudaraku hampir kehilangan kesabarannya
mendengar suaramu yang bagaikan guntur meledak di
langit," jawab Mahisa Murti. Lalu, "tetapi aku cegah ia
berbuat sesuatu. Bukankah kau mengatakan bahwa
perlawanan kami akan sia-sia?"
Wajah orang itu menjadi merah. Ternyata bahwa katakata
Mahisa Murti itu pun merupakan ungkapan dari
kemarahan yang tertahan di dalam dadanya.
Bahkan sebelum orang itu menjawab, Mahisa Ura telah
mendahuluinya, "Nah, kau dengar apa kata adik-adikku"
Pertimbangkan. Apakah kau akan melawan, atau kau akan
menyerah dan sekaligus aku bawa ke Singasari agar kau
dapat berkumpul dengan saudaramu yang kembar
denganmu itu." Orang yang mempunyai saudara kembar itulah yang
justru lebih dahulu tidak dapat menahan kemarahannya
Dengan suara lantang ia pun kemudian berkata kepada
kawan-kawannya, "Kita akan bersiap melakukan rencana
kita. Jangan seorang pun dari ketiga kelinci ini yang
melarikan diri." "O," geram Mahisa Pukat yang tidak dapat menahan
hati, "jika kalian sebut kami sebagai kelinci, maka kalian
adalah tikus-tikus celurut yang tidak ada artinya sama
sekali. Cepat, berlutut sajalah. Biar mudah kami mencekik
lehermu." "Gila," teriak orang yang mendendam itu, "kaulah yang
akan mati untuk pertama kali."
"Jangan banyak bicara. Jika kau memang mendendam
karena saudara kembarmu tertangkap, berbuatlah sesuatu.
Bukan sekedar berbicara, menyindir, mengancam dan
menakut-nakuti. Kami bukan kanak-kanak lagi yang akan
menjadi cemas, gelisah dan takut."
"Bagus," orang itu berteriak semakin keras, "kita akan
bertempur. Kita tangkap mereka hidup-hidup. Kita dapat
mengikatnya seperti seekor beruk dan berbuat apa saja
sesuka hati." Mahisa Ura, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sama
sekali tidak menjawab lagi. Ketika kelima orang itu bersiap,
maka mereka bertiga pun telah bersiap pula. Mereka berdiri
saling membelakangi. Dalam pada itu, Mahisa Ura berbisik, "Aku belum
pernah melihat bentuk dan ungkapan ilmu kalian
sebagaimana kalian juga belum pernah melihat ilmuku.
Mudah-mudahan kita akan dapat saling mengisi."
"Kita masing-masing akan berusaha," jawab Mahisa
Murti. Sejenak mereka menunggu, sementara kelima orang
lawan mereka telah bersiap pula.
"Aku akan memilih lawan," berkata orang yang
mendendam itu, "aku akan melawan orang yang telah
menangkap saudara kembarku. Aku ingin tahu, apakah ia
mampu melawan aku." Kawan-kawannya berusaha untuk menyesuaikan diri.
Tetapi Mahisa Pukat tiba-tiba saja menjawab, "Siapa yang
memberi hak kepadamu untuk memilih lawan" Kau tidak
boleh melawan kakang Mahisa Ura. Tetapi kau harus
melawan aku." Jantung orang yang mendendam itu bagaikan akan
meledak. Dengan nada lantang ia menjawab, "Bagus. Aku
akan membunuhmu lebih dahulu."
Mahisa Pukat justru tersenyum. Katanya, "Nah, ternyata
kau jantan juga berani melawan aku. Apakah kau tidak
gentar melihat tampangku."
Orang itu benar-benar tidak mampu lagi menahan diri.
Tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang Mahisa Pukat.
Tetapi Mahisa Pukat sudah bersiaga. Ia memang ingin
memancing orang itu untuk melawannya. Sejak orang itu
membual Mahisa Pukat sudah merasa jengkel dan sangat
benci kepadanya. Mahisa Ura tidak dapat mencegahnya, meskipun
sebenarnya ia ingin juga bertempur melawan orang itu. Ia
ingin menangkap orang itu sebagaimana ia menangkap
saudara kembarnya. Karena Mahisa Ura belum yakin akan
kemampuan Mahisa Pukat, maka ia merasa cemas juga
bahwa Mahisa Pukat akan mengalami kesulitan dan orang
itu akan terlepas dari tangannya.
Namun sejenak kemudian Mahisa Pukat telah bertempur
melawan orang itu. Orang yang didorong oleh perasaan
dendam dan kemarahan. Mahisa Ura tidak sempat memperhatikan pertempuran
antara Mahisa Pukat melawan orang yang bersaudara
kembar itu, karena salah seorang di antara kelima orang itu
telah menyerangnya. Yang masih berdiri bebas adalah Mahisa Murti.
Sementara itu ketiga orang yang berpihak kepada orang
yang mendendam itu pun masih berdiri termangu-mangu.
"Nah," berkata Mahisa Murti, "aku tinggal sendiri dan
kalian masih bertiga. Ayo, kita akan bertempur. Kalian
bertiga dan aku sendiri. Kita akan melihat, siapakah yang
akan menang di antara kita."
"Persetan," geram salah seorang di antara mereka, "aku
akan melawanmu seorang dengan seorang."
Tetapi Mahisa Murti masih menjawab, "jika demikian,
lalu dua di antara kalian akan berbuat apa?"
"Tutup mulutmu," teriak seorang di antara mereka.
Mahisa Murti tidak sempat menjawab. Orang itu tibatiba
saja telah menyerangnya dengan garang.
Dengan demikian maka tiga orang di antara kelima
orang itu telah bertempur. Dua orang di antara mereka
masih berdiri termangu-mangu. Namun keduanya telah
bersiap untuk turun kegelanggang apabila diperlukan.
Ternyata orang yang terkuat di antara kelima orang
adalah saudara kembar dari orang yang pernah ditangkap
oleji Mahisa Ura. Seperti yang dikatakannya, ia memang
memiliki kelebihan dari saudara kembarnya yang
tertangkap itu. Namun yang ternyata pertama-tama mendapat perhatian
dari petugas di Singasari adalah justru saudara kembarnya,
bukan karena saudara kembarnya itu lebih berbahaya dari
padanya. Berita tentang perampok dan penyamun yang ganas itu
memang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Pada saat yang
bersamaan ia mampu berada didua tempat dan melakukan
kejahatan yang serupa. Karena itulah, maka perampok itu
sangat ditakuti, sehingga Singasari telah secara khusus
mengirimkan seorang petugas sandinya untuk melacaknya.
Sampai pada saat orang itu diketemukan, ternyata para
petugas tidak mengetahui bahwa ia mempunyai saudara
kembarnya. Bahkan untuk menjaga kebesaran namanya,
maka saudara kembarnya itu untuk sementara tidak
melakukan kejahatan agar tidak ada orang yang kemudian
menyadari, bahwa ilmu yang sangat tinggi itu sebenarnya
nampak karena penjahat itu adalah dua orang kembar. Ia
sama sekali tidak mampu berada didua tempat pada saat
yang sama jika mereka berdua tidak mengaturnya.
Saat itu yang mendapat kehormatan untuk melawannya
adalah Mahisa Pukat. Mahisa Ura sendiri memang mendapat lawan yang
cukup kuat, meskipun tak sekuat orang kembar itu. Dengan
demikian maka Mahisa Ura tidak terlalu banyak mengalami
kesulitan. Dengan tangkasnya ia menempatkan dirinya
sebagai lawan yang mendebarkan jantung, karena sikap dan
gerak Mahisa Ura sangat meyakinkan.
Sementara itu, Mahisa Murti pun harus bertempur
melawan seorang yang ilmunya tidak terlalu tinggi. Tetapi
Mahisa Murti sengaja menempatkan dirinya sejajar dengan
kemampuan orang itu, agar kemampuannya tidak justru
mengejutkan, termasuk bagi Mahisa Ura.
Dalam pada itu, Mahisa Ura ternyata masih saja
mencemaskan keadaan Mahisa Pukat. Ia pernah bertempur
melawan saudara kembar lawan Mahisa Pukat itu dan
dengan susah payah telah menangkapnya. Jika benar
pengakuan orang itu, bahwa ia memiliki kelebihan dari
saudara kembarnya, maka ia tentu seorang yang memang
memiliki ilmu yang tinggi.
"Ia berani menantangku," berkata Mahisa Ura di dalam
hatinya, "jika ia tidak yakin akan kemampuannya, tentu ia
tidak berani melakukannya karena ia tahu bahwa aku
mampu menangkap saudara kembarnya."
Sebenarnyalah pertempuran antara Mahisa Pukat dan
lawannya itu menjadi semakin seru. Namun Mahisa Ura
tidak menyadari, bahwa sebenarnya Mahisa Pukat pun
masih belum sampai pada puncak kemampuannya. Ia
masih mempergunakan dasar ilmunya berdasarkan atas
kekuatan kewadagannya didukung oleh kekuatan tenaga
cadangannya. Dengan demikian maka seakan-akan tata
geraknya menjadi semakin tangkas dan cepat. Tetapi
Mahisa Pukat sama sekali masih belum sampai pada ilmu
andalannya dalam bentuk lunak atau keras, karena keduaduanya
akan dapat membunuh lawannya.
Namun Mahisa Ura benar-benar seorang yang keras ke
para. Ia merasa bahwa dirinya memang memiliki ilmu yang
sangat tinggi, sehingga karena itu, maka tidak mudah
baginya untuk melihat kenyataan, bahwa ia tidak akan
mampu mengalahkan anak muda yang bernama Mahisa
Pukat itu. Demikianlah pertempuran pun semakin lama menjadi
semakin seru. Mereka saling mendorong, saling menyerang
dan saling mendesak. Dalam permainannya, Mahisa Murti
pun kadang-kadang harus bergeser surut, agar pertempuran
itu nampak menjadi sangat seru.
Mahisa Ura yang kurang memahami kemampuan
Mahisa Pukat yang sebenarnya, memang menjadi cemas. Ia
merasa betapa lawannya tidak terlalu kuat sebagaimana
saudara kembar orang yang bertempur melawan Mahisa
Pukat yang pernah ditangkapnya itu.
Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak, "Mahisa
Pukat, serahkan orang itu kepadaku."
"Aku masih mampu melawannya," jawab Mahisa
Pukat. "Soalnya bukan mampu atau tidak mampu. Tetapi ia
02 Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah mengenali aku. Apalagi ia telah mengaku sebagai
seorang penjahat. Karena itu adalah menjadi kewajibanku
untuk menangkapnya," berkata Mahisa Ura.
"Persetan," yang berteriak adalah lawan Mahisa Ura,
"kau akan mampus sejenak lagi."
Tetapi Mahisa Ura tidak banyak menghiraukannya. Ia
tidak mengalami banyak kesulitan ketika orang itu meloncat
menyerangnya dengan garang. Bahkan ia masih sempat
berbicara terus, "Yang penting adalah kewajibanku untuk
menangkapnya. Ia tentu merasa senang bahwa ia mendapat
kesempatan untuk menghindari aku."
"Omong kosong," orang yang mempunyai saudara
kembar itulah yang kemudian berteriak, "kau akan mati."
"Bagaimana mungkin kau mampu membunuhku,
karena kau tidak bertempur melawan aku," sahut Mahisa
Ura.. Ternyata Mahisa Ura berhasil menyinggung perasaan
lawan Mahisa Pukat itu. Karena itu, maka ia pun telah
berkata kepada kawannya yang bertempur melawan Mahisa
Ura, "Kita bertukar lawan. Tangkap anak muda ini, karena
ia pun akan dapat kita jadikan bahan permainan
sebagaimana orang yang telah menangkap saudara
kembarku itu." Lawan Mahisa Ura tidak membantah. Namun Mahisa
Ura dengan sengaja telah melepaskannya dan dengan cepat
menempatkan diri di hadapan lawan Mahisa Pukat.
Sementara itu, lawan Mahisa Ura itulah yang kemudian
menjadi lawan Mahisa Pukat.
Mahisa Pukat tidak mencegahnya. Ia pun justru ingin
menyerahkan tanggung jawab atas orang itu kepada Mahisa
Ura yang sebenarnya adalah petugas sandi yang bernama
Urawan. Demikianlah maka pertempuran antara Mahisa Ura dan
orang yang bersaudara kembar itu menjadi semakin sengit.
Mahisa Ura, memang merasa bertangung jawab untuk
menangkap orang itu, sementara orang itu telah didera oleh
perasaan dendamnya kepada petugas sandi yang telah
menangkap saudara kembarnya itu.
Kedua orang itu telah mengerahkan segenap
kemampuannya, sehingga benturan-benturan kekuatan
yang kemudian terjadi benar-benar telah mengguncangkaan
kedua belah pihak. Mahisa Ura merasakan bahwa orang itu memang
memiliki kelebihan dari saudara kembarnya. Orang itu
memilliki kekuatan yang lebih besar dan kecepatan gerak
yang lebih tinggi. Karena itu, maka Mahisa Ura harus
bekerja lebih keras untuk dapat menundukkan lawannya.
Mahisa Pukat yang kemudian melihat Mahisa Ura
bertempur dengan sengitnya melawan saudara kembar dari
orang yang pernah ditangkapnya itu pun serba sedikit dapat
menduga, seberapa tinggi kemampuan Mahisa Ura yang
sebenarnya. Demikianlah maka pertempuran di tiga lingkaran itu
semakin lama menjadi semakin seru. Sementara itu, dua
orang yang lain dari kelima orang yang mencegat
perjalanan Mahisa Ura bertiga masih berdiri termangumangu.
Namun sejenak kemudian, maka mereka pun mulai
melihat Mahisa Murti dan Mahisa Pukat mulai mendesak
lawannya. Dua di antara kelima orang yang mencegat
perjalanan Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu meniadi
cemas, bahwa kawannya yang bertempur melawan dua
orang anak-anak muda itu akan terdesak semakin jauh.
Karena itu, sambil menunggu perkembangan
selanjutnya, mereka berniat untuk turun ke gelanggang.
Keduanya akan membantu dua orang kawannya, masingmasing
seorang. "Apa pun yang akan terjadi, jika aku dapat dengan cepat
membantu menyelesaikan pertempuran itu, maka tugas
kami akan menjadi semakin ringan. Mungkin kami akan
segera dapat menyelesaikan ketiga orang itu seluruhnya dan
membawa mereka kepada kawan-kawan kami," berkata
kedua orang itu didalam hati.
Dengan demikian maka dengan saling memberikan
isyarat, maka keduanya telah meloncat ke arah yang
berbeda. Seorang telah turun karena untuk melawan
Mahisa Murti, sementara yang seorang telah membantu
kawannya yang berhadapan dengan Mahisa Pukat.
Dalam pertempuran berikutnya, maka Mahisa Murti dan
Mahisa Pukat masing-masing harus bertempur melawan
dua orang. Mahisa Ura kembali menjadi cemas. Meskipun mereka
sudah berjanji untuk melindungi diri mereka masingmasing,
tetapi bagaimanapun juga ia tidak dapat berdiam
diri jika terjadi sesuatu dengan kedua orang anak muda itu.
Kedua anak muda yang diakuinya sebagai adiknya itu bagi
Mahisa Ura merupakan sahabat yang sangat baik.
Seakan-akan keduanya mampu menyesuaikan diri
dengan sifat dan watak Mahisa Ura. Apalagi nampaknya
keduanya memang memiliki bekal yang cukup untuk
melakukan tugasnya. "Tetapi apakah keduanya mampu bertempur melawan
masing-masing dua orang?" bertanya Mahisa Ura didalam
hatinya. Tetapi Mahisa Ura itu tidak dapat mengelakkan diri dari
kenyataan, bahwa lawannya memiliki kemampuan yang
tinggi, sehingga karena itu, maka Mahisa Ura tidak segera
dapat menundukkannya. Namun, ketika ia sempat sedikit mengikuti kedua anak
muda yang bertempur itu, nampaknya keduanya tidak
dalam keadaan yang berbahaya.
"Mudah-mudahan mereka dapat bertahan sampai aku
dapat melumpuhkan orang kembar yang tinggal seorang
ini," berkata Mahisa Ura di dalam hatinya. Bahkan ia pun
berharap, bahwa orang-orang yang bertempur melawan
Mahisa Murti dan Mahisa Pukat itu bukan orang-orang
yang berilmu tinggi seperti orang kembar yang mendendam
itu. Seorang di antara mereka telah bertempur melawannya.
Agaknya orang itu juga berilmu, tetapi tidak sekuat
lawannya yang kemudian itu.
Dengan mengerahkan segenap kemampuannya Mahisa
Ura ingin segera mengalahkan lawannya. Tetapi lawannya
pun telah mengerahkan ilmunya pula. Ia merasa memiliki
ilmu yang sangat tinggi, sehingga karena itu, ia pun
berharap akan dapat membalaskan dendam saudara
kembarnya itu. Ternyata bahwa kedua orang itu telah bertempur dengan
serunya tanpa dapat diduga sebelumnya, siapakah yang
akan memenangkan pertempuran. Bahkan keduanya tidak
lagi bertempur dengan tangannya, tetapi keduanya telah
mempergunakan senjatanya masing-masing.
Dalam loncatan-loncatan yang semakin cepat, maka
senjata mereka telah saling berbenturan. Namun sekalisekali
mereka telah meloncat mundur apabila ujung senjata
lawannya hampir saya mengoyak kulit.
Tetapi dalam putaran selanjutnya, mereka tidak selalu
dapat menghindari ujung senjata lawan. Kecepatan gerak
mereka yang seimbang itu, kadang-kadang telah
menimbulkan kesulitan dikedua belah pihak karena
perhitungan yang kurang tepat.
Karena itulah, maka pertempuran di antara kedua orang
yang memiliki ilmu seimbang itu banyak tergantung kepada
kemampuan mereka menanggapi tata gerak lawan dan
kecepatan mereka mengambil sikap dan menentukan
langkah-langkah berikutnya.
Karena itulah maka pada satu saat, orang yang
mempunyai. saudara kembar itu mengumpat habis habisan
Kisah Sepasang Rajawali 13 Wiro Sableng 039 Kelelawar Hantu Maut Di Lembah Sampit 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama