Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 2

04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 2


Tetapi rasa-rasanya setiap orang tidak mempercayai penglihatannya. Panembahan Alit masih tetap berdiri tegak dengan senjata di tangannya. Dua ledakan cambuk yang didorong oleh kekuatan yang tiada taranya, itu sama sekali tidak melukai kulitnya selagi Panembahan Alit berada di puncak ilmu kebalnya pula.
Sejenak Kiai Gringsing pun menjadi termangu-mangu. Namun ketika Panembahan Alit mulai bergerak, sekali lagi Kiai Gringsing mendahuluinya. Cambuknya meledak sekali lagi tanpa menghiraukan darahnya sendiri yang mengucur dari luka.
Panembahan Alit tampak bergoyang sedikit seperti sebatang pohon raksasa yang disentuh angin. Namun sekejap kemudian, ia ternyata masih sempat meloncat menyerang dengan pedang terjulur.
Kiai Gringsing sama sekali tidak menyangka, bahwa Panembahan Alit masih mampu melakukan serangan yang dahsyat itu. Karena itu, Kiai Gringsing kehilangan kesempatan sekali lagi. Kali ini lambungnya telah sobek oleh senjata Panembahan Alit. Untunglah bahwa ia mempergunakan ikat pinggang kulit yang tebal dan besar, sehingga dengan menyumbatkan kainnya yang dibelitkan pada ikat pinggangnya, Kiai Gringsing dapat mengurangi kucuran darah dan rasa sakit.
Tetapi dengan demikian tenaga Kiai Gringsing pun menjadi semakin lemah. Pemusatan ilmunya pun mulai menjadi kabur. Sejenak ia melihat Panembahan Alit masih berdiri tegak di hadapannya.
Dengan mata terbelalak Kiai Gringsing melihat, bahwa kulit Panembahan Alit benar-benar tidak dapat dilukainya meskipun ia sudah berada di puncak ilmunya. Meskipun demikian, Panembahan Alit itu bagaikan sudah tidak berpakaian lagu. Pakaiannya ternyata telah terbakar oleh ledakan dahsyat dari cambuk Kiai Gringsing yang dilambari oleh puncak ilmu simpanannya.
Lembah itu benar-benar telah dicengkam oleh keheningan yang sangat tegang. Semua orang yang berdiri melingkari arena pertempuran yang sangat dahsyat itu tidak dapat menahan kekaguman di dalam hati. Di tengah-tengah arena itu berdiri dua orang yang memiliki kelebihan yang hampir tiada bandingnya. Kiai Gringsing yang melepaskan puncak ilmunya itu telah mampu menimbulkan kekaguman yang sangat. Ternyata ujung cambuknya bukan saja mampu menyayat-nyayat pakaian Panembahan Alit. Tetapi ternyata bahwa bekas cambuk itu bagaikan bara api yang mampu membakar Panembahan itu sehingga menjadi hangus.
Namun kekaguman mereka pun kemudian bertumpu kepada kemampuan Panembahan Alit bertahan atas ujung cambuk Kiai Gringsing yang telah membakar pakaiannya itu. Kulitnya yang dilambari oleh ilmu kekebalan itu sama sekali tidak terluka. Meskipun tampak juga jalur-jalur kehitam-hitaman seakan-akan kulit itu telah disengat oleh api.
Sejenak Panembahan Alit masih berdiri tegak dengan pedang terjulur. Kemudian tampak Panembahan itu menggerakkan tangannya, siap untuk menusuk perut Kiai Gringsing yang sudah menjadi semakin lemah.
Tetapi Kiai Gringsing pun pantang menyerah. Dengan sisa puncak ilmu yang masih ada, sekali lagi ia meledakkan cambuknya, tepat mengenai leher Panembahan Alit.
Ternyata ilmu Panembahan Alit masih mampu bertahan. Lehernya sama sekali tidak terluka.
Tetapi orang-orang yang berdiri di sekitar arena itu pun kemudian menyaksikan perubahan yang terjadi pada keduanya. Kiai Gringsing yang kehilangan pemusatan ilmunya itu pun menjadi semakin tidak berdaya. Cambuknya tidak lagi menggetarkan tebing dan meruntuhkan dedaunan.
Namun dalam pada itu, orang-orang itu pun melihat tatap mata Panembahan Alit seakan-akan menjadi kosong di dalam keputus-asaannya. Ia tidak lagi berpengharapan apa pun selain membinasakan lawannya sebelum ia sendiri menyudahi hidupnya di peperangan.
Sejenak orang-orang yang berdiri di seputar arena itu menjadi tegang. Mereka melihat Kiai Gringsing melangkah surut. Dan mereka pun melihat Panembahan Alit selangkah maju mendekati dengan pedang di tangan.
Betapa pun juga, Kiai Gringsing masih tetap siap melecutkan cemetinya, meskipun pandangan matanya menjadi kabur. Darah yang mengalir dari lukanya telah membasahi sebagian besar tubuhnya. Luka-lukanya di pundak, lengan, dan lambung rasa-rasanya telah menghisap semua tenaganya dan bahkan pemusatan puncak ilmunya.
Ketika Panembahan Alit melangkah sekali lagi, maka dengan lemahnya Kiai Gringsing masih mengayunkan cambuknya. Tetapi cambuknya tidak lagi melecut dan meledak dalam gerak sendal pancing. Bahkan di luar kemampuan Kiai Gringsing yang lemah itu, ternyata ujung cambuknya telah tersangkut pada tubuh Panembahan Agung.
Di saat terakhir itulah Kiai Gringsing telah kehilangan segenap kemampuannya untuk bertahan. Matanya menjadi berkunang-kunang. Ia sadar, bahwa terlampau banyak darah yang mengalir dari lukanya, sehingga ia tidak mampu lagi mempertahankan puncak ilmunya.
Sekilas Kiai Gringsing masih melihat Panembahan Alit yang tidak dapat dilukainya itu masih berdiri tegak tanpa mengibaskan ujung cambuknya.
Sesaat kemudian, Kiai Gringsing sudah tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya. Perlahan-lahan ia terhuyung-huyung dan jatuh pada lututnya. Ia masih mencoba berpegangan pada tangkai cambuknya yang ujungnya tersangkut pada lawannya. Tetapi rasa-rasanya kesadarannya menjadi semakin samar. Dan ia pun jatuh terlentang di atas tanah dengan perlahan-lahan.
Semua orang yang menyaksikan menahan nafas. Bakan rasa-rasanya jantung Agung Sedayu dan Swandaru akan meledak menyaksikan hal itu. Kekalahan gurunya akan berarti kebinasaan bagi semua orang yang ada di lembah itu, karena Panembahan Alit akan mampu mengalahkan setiap orang dari mereka. Apalagi apabila Panembahan Agung sendiri akan turun ke gelanggang.
Namun demikian, bukan saja keduanya, tetapi semua orang yang ada di sekitar arena itu telah membulatkan hati untuk melawan siapa pun juga tanpa menghiraukan apa pun akibatnya.
Tetapi ternyata bahwa sekali lagi mereka dicengkam oleh peristiwa yang menggetarkan dada mereka. Ternyata demikian Kai Gringsing terjatuh dan berpegangan pada tangkai cambuknya, perlahan-lahan Panembahan Alit pun bagaikan dihisap pula oleh ujung cambuk itu adbmcadangan.wordpress.com. Ternyata kemampuan jasmaniahnya terbatas pula seperti Kiai Gringsing. Meskipun kulitnya tidak terluka, namun Panembahan Alit telah kehilangan semua kekuatannya. Seperti Kiai Gringsing, maka perlahan-lahan Panembahan Alit pun terjerembab jatuh di atas tanah.
Mereka yang mengerumuni arena itu melihat, segumpal darah yang kehitam-hitaman meloncat dari mulut Panembahan Alit itu.
Sejenak orang-orang di sekitar arena itu terdiam mematung, namun Ki Argapati pun segera menyadari bahwa ia harus berbuat sesuatu. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia mendekati Kiai Gringsing yang sudah terbaring diam. Dilekatkannya telinganya di dada orang tua itu. Dan perlahan-lahan ia berdesis, "Aku masih mendengar detak jantungnya."
Agung Sedayu, Swandaru dan orang-orang lain bagaikan sadar dari mimpi mereka yang paling buruk. Mereka pun segera berloncatan mendekatinya.
"Darah ini masih saja mengalir," desis Ki Argapati. Lalu, "Jika Kiai Gringsing kehabisan darah, maka tidak ada jalan untuk menolongnya."
Orang-orang yang ada di sekitarnya saling berpandangan sejenak. Kiai Gringsing sendiri sudah menjadi semakin lemah. Matanya terpejam dan nafasnya menjadi terengah-engah.
"Ki Gede," tiba-tiba Agung Sedayu berdesis, "biasanya Kiai Gringsing membawa obat pada kantong ikat pinggangnya."
"O," Ki Argapati dengan tergesa-gesa mencari obat yang memang biasa dibawa oleh Kiai Gringsing.
Ternyata di kantong ikat pinggang Kiai Gringsing memang terdapat beberapa bumbung kecil berisi serbuk-serbuk obat. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat mengatakan, yang manakah yang harus dipergunakan.
Dalam kebingungan itu, Ki Argapati mencoba berbisik ditelinga Kiai Gringsung, "Kiai, Kiai?"
Ternyata bahwa perlahan-lahan Kiai Gringsing masih sempat membuka matanya. Meskipun kabur, namun ia melihat bayangan orang-orang yang mengerumuninya.
Ki Argapati mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Ditunjukkannya beberapa buah bumbung di tangannya. Bumbung kecil yang berwarna wulung, yang lain berwarna kuning dan yang lain lagi dari ujung pring tutul yang berbintik-bintik.
Ketika Ki Argapati menunjukkan sebuah bumbung kecil yang terbuat dari pring gading, maka Kiai Gringsing mengangguk kecil.
Ki Argapati tidak menyia-nyiakan waktu. Ia tahu bahwa obat yang dicarinya terdapat di dalam bumbung kecil itu. Karena itu, maka ia pun segera membukanya dan menaburkan serbuk berwarna putih kehitam-hitaman ke atas luka-luka di lengan, pundak dan lambung Kiai Gringsing.
Betapa lemahnya orang tua itu, namun ternyata perasaan sakit yang menyengat membuatnya menggeliat. Namun kemudian orang tua itu mengatupkan bibirya rapat-rapat. Bahkan Kiai Gringsing itu pun kemudian jatuh pingsan.
Namun dalam pada itu, ternyata obat yang ditaburkannya di atas luka-lukanya mulai bekerja. Perlahan-lahan darah yang mengalir itu pun menjadi mampat.
"Mudah-mudahan kita berhasil," desis Ki Demang yang sejak semula berdiri saja seperti patung.
"Mudah-mudahan," desis Ki Argapati.
Di belakang Ki Argapati, Pandan Wangi berdiri termangu-mangu. Sekilas terkenang ujung dari peristiwa ini. Semula yang akan dilakukannya hanyalah sekedar berburu di hutan liar itu. Tetapi akhirnya ia telah menyeret Tanah Perdikan Menoreh ke dalam peperangan yang gawat. Sudah barang tentu ada beberapa orang korban yang jatuh. Dan bahkan di hadapannya seorang tua yang memiliki ilmu hampir sempurna ini pun terbaring diam dengan beberapa buah luka di tubuhnya.
Tetapi ketika orang-orang itu melihat luka di tubuh Gringsing tidak lagi mengucurkan darah, mereka menjadi agak tenang dan berpengharapan.
Dalam pada itu, barulah mereka teringat pada tubuh yang lain yang terbaring tidak jauh dari tempat itu. Tubuh Panembahan Alit.
Prastawa yang pertama-tama menyentuh tubuh itu, menarik rafas dalam-dalam sambil berkata, "Ia sudah meninggal."
Ki Argapati mengerutkan keningnya. Orang-orang yang lain telah menyibak. Dan Ki Argapati pun mendekati tubuh yang terbaring diam itu. sementara Ki Demang di Sangkal Putung masih tetap menunggui Kiai Gringsing.
Ketika Ki Argapati meraba-raba tubuh Panembahan Alit yang bagaikan disengat oleh bara api hampir di seluruh tubuhnya, meskipun tubuh itu tidak terluka sama sekali, terasa betapa kedahsyatan ilmu Kiai Grmgsing telah meremukkan tulang-tulangnya.
"Panembahan Alit memang seorang yang kebal," berkata Ki Argapati, "tetapi ternyata bagian tubuhnya tidak mampu bertahan atas ujung cambuk Kiai Gringsing. Ujung cambuk yang mampu membakar pakaiannya dengan ledakan-ledakan yang dahsyat dan membuat jalur-jalur hitam di kulit yang kebal ini."
Orang-orang yang kemudian mengerumuni tubuh yang terbaring diam itu menjadi semakin kagum. Kagum akan kekebalan kulit Panembahan Alit dan kagum akan kedahsyatan tenaga Kiai Gringsing yang mampu meremukkan bagian dalam tubuh Panembahan Alit itu.
"Jika kita tidak bersama Kiai Gringsing dan Ki Waskita," berkata Sutawijaya kemudian dengan nada yang dalam dan datar, "aku kira, yang akan kembali hanyalah sekedar nama-nama kita saja."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia teringat Ki Waskita, sehingga tanpa sesadarnya ia berkata, "Ya, Ki Waskita masih belum ada di antara kita."
Semua orang menengadahkan wajahnya. Mereka tidak lagi melihat bentuk-bentuk semu di sekitar lembah itu. Karena itu, maka Pandan Wangi pun berdesis, "Masih ada seorang yang lain yang harus dihadapi."
"Ya, Panembahan Agung," desis Sutawijaya.
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tampak ketegangan membayang di wajahnya. Panembahan Agung tentu memiliki kemampuan yang setidak-tidakmya mengimbangi kemampuan Panembahan Alit di dalam olah kanuragan, selain ilmu semunya. Dan Ki Argapati tidak lagi dapat mengharapkan Kai Gringsing yang sudah terluka parah.
Namun dalam pada itu mereka semuanya terkejut ketika mereka mendengar seseorang berkata di antara mereka, "Serahkan Panembahan Agung kepada Ki Waskita."
"Ki Sumangkar," desis beberapa orang bersamaan. Perhatian mereka yang terpusat kepada Kiai Gringsing dan Panembahan Alit membuat mereka tidak segera melhat kehadiran Ki Sumangkar yang membimbing seorang anak muda.
Sumangkar tersenyum. Tetapi di wajahnya masih nampak ketegangan yang mencengkam perasaannya. Sambil membimbng Rudita ia melangkah maju.
"Aku telah mengambil Rudita dari sarang mereka," berkata Sumangkar.
"Sokurlah," Pandan Wangi-lah yang meloncat ke depan. Wajahnya seolah-olah memancar meskipun hanya sejenak. "Jadi, tidak terjadi apa-apa atasmu Rudita?"
Rudita termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian menggelengkan kepalanya.
"Kau tidak mengalami sesuatu?" bertanya Pandan Wangi seolah-olah tidak percaya.
Sekali lagi Rudita menggeleng. Perlahan-lahan ia menjawab seolah-olah suaranya tersangkut di kerongkongannya, "Tidak, Pandan Wangi."
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam sambil menekankan tangannya di dadanya, "Sokurlah. Tuhan masih melindungi kita semua."
Namun dalam pada itu Ki Argapati bertanya, "Tetapi di manakah Ki Waskita?"
"Aku sudah menyerahkan anak ini kepada ayahnya. Tetapi Ki Waskita mengembalikannya kepadaku. Ia kini sedang berusaha untuk menemukan Panembahan Agung."
"O," dada Ki Argapati menjadi berdebar-debar.
"Ia merasa berkewajiban untuk menemukannya," sambung Ki Sumangkar.
"Tetapi, apakah Ki Waskita sudah siap menghadapinya dengan segala macam cara?" bertanya Ki Argapati.
"Ia cukup masak di dalam sikap. Karena itu, ia tentu dapat mengukur dirinya sendiri sebelum ia memutuskan untuk menemui Panembahan Agung."
Ki Argapati tidak menyahut. Namun nampak kecemasan membayang di wajahnya meskipun tidak dikatakannya, karena jika dengan demikian Rudita akan menjadi semakin gelisah.
"Ki Waskita minta agar Rudita berada di antara kita. Agaknya tidak lagi akan ada bahaya yang mengancam. Seandainya masih ada juga, maka kita bersama-sama akan dapat melindungnya."
Ki Argapati masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun tiba-tiba saja Ki Sumangkar bertanya, "Jadi bagaimana dengan Kiai Gringsing?"
Ki Argapati berpaling memandangi tubuh Kiai Gringsing yang masih terbaring ditunggui oleh Ki Demang Sangkal Putung.
"Lukanya sudah tidak lagi mengucurkan darah. Tetapi ia menjadi sangat lemah."
"Luka itu tampaknya cukup parah."
"Ya, cukup parah. Mudah-mudahan kita tidak terlambat. Darahnya sudah terlampau banyak mengalir."
Ki Sumangkar termenung sejenak. Namun kemudian perlahan-lahan ia melangkah mendekati Kiai Gringsing.
"Ia pingsan," desis Ki Argapati.
"Tetapi ia sudah mulai menggerakkan pelupuk matanya," desis Ki Demang Sangkal Putung.
"Apakah tidak ada setitik air yang dapat dipercikkan ke bibirnya. Agaknya Kiai Gringsing merasa haus sekali."
"Kita belum tahu, apakah ada air di sekitar tempat ini. Dan seandainya di padukuhan itu ada air, apakah airnya masih dapat kita minum tanpa kecurigaan apa pun juga."
Ki Sumangkar menjadi termangu-mangu. Ia sadar, bahwa segala cara dapat dipakai oleh lawan untuk membunuh musuhnya. Dan Ki Sumangkar pun kadang-kadang masih merasa ngeri mendengar ceritera tentang racun di Alas Mentaok.
Ketika Ki Sumangkar kemudian berjongkok di samping Kiai Gringsing, ternyata orang itu sudah mulai sadar. Karena itu maka Ki Sumangkar pun kemudian berkata, "Jika Kiai Gringsing mendapatkan kesadarannya sepenuhnya kembali, kita berpengharapan besar bahwa ia akan dapat sembuh kembali. Kiai Grngsing tentu dapat menyebut obat apakah yang diperlukannya."
Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu katanya, "Apakah tidak sebaiknya Kiai Gringsing kita sisihkan dan kita tempatkan di tempat yang agak tenang?"
"Sebaiknya demikian. Biarlah murid-muridnya membawanya ke bawah pepohonan yang rimbun di kaki tebing itu," sahut Sumangkar.
Demikianlah maka Agung Sedayu dan Swandaru membawa Kiai Gringsing yang masih sangat lemah itu menepi. Tetapi Kiai Gringsing ternyata sudah tidak pingsan lagi. Tetapi wajahnya masih sangat pucat dan tubuhnya sangat lemah.
Dalam pada itu, ketika Kiai Gringsing sudah berada di tempat yang lebih tenang, maka Ki Argapati pun mulai menanyakan lagi tentang Ki Waskita.
"Ia pergi seorang diri."
Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam, lalu, "Apakah tidak sebaiknya kita menyusulnya?"
Sumangkar merenung selenak, lalu, "Ki Gede. Sebaiknya Ki Gede berada di tempat ini. Kiai Gringsing tidak akan dapat ditinggalkan begitu saja. Biar aku sajalah yang mencari Ki Waskita. Mungkin aku dapat menemukannya."
Ki Argapati memandang Ki Sumangkar sejenak, lalu, "Tugas itu cukup berbahaya, Ki Sumangkar."
"Aku sadari. Tetapi aku sudah berniat melakukannya," tanpa disadari Ki Sumangkar memandang kaki Ki Gede yang cacat, sehingga Ki Gede Menoreh memotong kata-katanya, "Aku mengerti, Ki Sumangkar. Agaknya Ki Sumangkar mencemaskan kakiku."
"Bukan, Ki Gede," cepat-cepat Sumangkar menyahut, "bukan hanya karena itu. Tetapi ada sebab-sebabnya yang lain. Dan agaknya Ki Argapati memang lebih baik berada di sini."
"Jika demikian, biarlah aku saja yang ikut bersamamu," berkata Sutawijaya tiba-tiba.
Ki Sumangkar memandang anak muda itu sejenak, lalu, "Angger memimpin pasukan dari Mataram."
Sutawijaya termenung seienak. Kemudian dilontarkannya pandangan matanya ke padepokan yang sudah benar-benar dikuasai oleh pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.
Maka katanya kemudian, "Di sini sudah tidak ada apa apa lagi. Pasukan kita sudah menguasai keadaan sepenuhnya."
"Tetapi persoalannya belum berarti selesai. Jika timbul sesuatu yang memerlukan keputusan Raden, maka Raden harus berada di antara mereka."
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak membantah lagi.
Dalam pada itu Ki Sumangkar pun kemudian berkata, "aku akan pergi sendiri. Aku serahkan Rudita kepada Ki Argapati. Mudah-mudahan aku segera menemukannya."
"Hati-hatilah," pesan Ki Argapati, "Panembahan Alit telah berhasil mengimbangi kemampuan Kiai Gringsing. Bahkan hampir saja membawanya serta ke dalam kekuasaan maut. Karena itu Panembahan Agung tentu merupakan orang yang lebih berbahaya dari Panembahan Alit itu."
"Baiklah, Ki Gede," jawab Sumangkar, "aku akan sangat berhati-hati."
Demikianlah maka Ki Sumangkar pun meninggalkan para pemimpin pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang sedang menunggui Kiai Gringsing. Namun agaknya keadaan Kiai Gringsing sendiri menjadi berangsur baik.
Dengan tergesa-gesa Sumangkar mencoba mencari jejak yang ditinggalkan oleh Ki waskita. Karena Ki Waskita tidak berusaha untuk menghilangkan jejaknya, maka Ki Sumangkar dapat melihat dengan jelas. Ranting-ranting yang patah, rerumputan yang terinjak kaki dan jejak-jejak kaki di atas tanah berdebu di sela-sela batu padas.
Sementara itu, Panembahan Agung masih menunggu. Beberapa orang pengawalnya yang menebar dengan penuh kewaspadaan mengawasi segala penjuru. Setiap saat Ki Waskita yang juga disebut Jaka Raras itu dapat meloncat menyerang.
Ki Waskita sendiri tidak berani bertindak dengan tergesa-gesa. Ia pun menyadari bahwa Panembahan Agung bukan orang yang dapat diabaikan kemampuannya, meskipun Jaka Raras sendiri memiliki bekal yang cukup untuk melawannya. Panahnya dan kekuatan busurnya yang besar, merupakan senjata yang sangat dahsyat. Jika anak panah itu berhasil menyentuh tubuhnya maka tulang-tulangnya pun akan menjadi lumat karenanya.
Karena itu Ki Waskita harus memperhitungkan sebaik-baiknya, apakah yang harus dilakukannya.
Dari tempatnya bersembunyi, ia dapat melihat samar-samar beberapa orang pengawal Panembahan Agung, sehingga karena itu ia harus bertindak dengan tepat. Jika pengawalnya itu dapat mengetahui, bahwa ia bersembunyi di balik gerumbul atau batu, maka Panembahan Agung tentu akan menghancurkan batu atau membakar gerumbul itu dengan panahnya yang besar sekali itu.
Sejenak Ki Waskita mencari cara yang paling baik dilakukan. Ia pun sadar, bahwa para pengawal Panembahan Agung itu tentu bukan orang-orang kebanyakan pula. Mereka tentu dipilih di antara pengawal yang lain.
Panembahan Agung sendiri menjadi sangat tegang. Sudah beberapa lama ia menunggu. Rasa-rasanya bahkan sudah terlampau lama. Tetapi Ki Waskita masih belum berbuat sesuatu.
Tetapi Ki Waskita tidak dapat dipancingnya keluar. Panembahan Agung sadar bahwa Ki Waskita yang dikenalnya bernama Jaka Raras itu pun mempunyai perhitungan yang masak pula.
Karena itu untuk beberapa saat lamanya, kedua belah pihak hanya saling menunggu saja. Panembahan Agung tidak dapat mencari Ki Waskita, sedang Ki Waskita tidak segera menemukan cara untuk menyerang, karena Panembahan Agung memiliki beberapa orang pengawal. Jika ia menyerang juga, maka kedatangannya tentu sudah diketahui sebelumnya, dan anak panah Panembahan Agung akan menghujaninya tanpa kesempatan untuk mengelak sama sekali.
Dalam pada itu, Sumangkar pun menjadi semakin dekat pula dengan arena ketegangan yang senyap itu. Dari puncak bukit ia mencoba memandang ke tebing seberang. Sejenak Sumangkar merenung. Ia tahu pasti, bahwa jejak Ki Waskita berhenti untuk sesaat di tempat itu.
Tiba-tiba dadanya menjadi berdebar-debar. Di lereng, ia melihat beberapa buah bintik yang bergerak-gerak. Ia melihat beberapa orang yang berdiri dan berjalan-jalan hilir-mudik.
"Apakah mereka itu Panembahan Agung dengan pengawalnya?" bertanya Sumangkar di dalam hati.
Tetapi Sumangkar tidak yakin akan penglihatannya. Kadang-kadang ia masih saja ragu-ragu, bahwa ia melihat bentuk semu yang sebenarnya sama sekali tidak ada.
Karena itu untuk beberapa saat Sumangkar tidak melanjutkan langkahnya. Ia masih menunggu, apakah sebenarnya yang dilihatnya itu.
Sementara itu, Ki Waskita yang masih saja bersembunyi di balik sebuah batu, tiba-tiba mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejengkal ia bergeser. Dilihatnya seseorang yang berdiri beberapa langkah daripadanya, menghadap ke arah yang lain. Ketika dengan hati-hati ia menjenguk semakin jauh, dilihatnya orang yang lain lagi dengan senjata telanjang di tangannya.
Tiba-tiba saja Ki Waskita bertekad untuk mulai. Ia tidak dapat berada di balik batu untuk waktu yang tidak terbatas. Apa pun yang terjadi, ia sudah bertekad untuk melawan Panembahan Agung sejadi-jadinya.
Sejenak ia memusatkan kemampuan lahir dan batinnya. Sekali lagi ia memohon kepada Penciptanya, agar ia mendapatkan petunjuk, apakah yang harus dilakukannya.
Dalam pada itu, para pengawal Panembahan Agung itu pun tiba-tiba terkejut ketika mereka melihat seseorang yang merunduk dari balik sebuah batu dan hilang di belakang semak-semak.
Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang dari mereka berdesis, "Aku melihat sesuatu bergerak di balik gerumbul itu."
"Ya. Aku juga," sahut yang lain.
"Kita lihat, siapa yang berada di balik gerumbul itu. Jika benar yang kita lihat itu seseorang, maka tentu orang yang sedang kita tunggu itulah."
Dengan hati-hati keduanya mendekati gerumbul itu. Beberapa langkah kemudian mereka berpencar. Mereka ingin mencapai orang yang bersembunyi itu dari dua arah.
Namun agaknya orang yang bersembunyi itu telah melihat keduanya lebih dahulu, karena tiba-tiba saja orang itu pun merunduk berlari meninggalkan gerumbul itu ke gerumbul yang lain.
Setelah yakin bahwa yang ditunggunya berusaha menghindar maka salah seorang dari kedua pengawal itu berkata lantang, "Orang itu berada di sini."
Para pengawal yang lain pun berlari-larian mendekatinya. Dengan tegang pengawal itu menunjuk sebuah gerumbul perdu yang rimbun sambil berkata, "Kepung gerumbul perdu itu."
Dalam pada itu, Panembahan Agung pun menjadi tegang. Dari tempatnya ia tidak melihat sesuatu, sehingga karena itu ia bertanya, "Apakah yang kalian lihat?"
"Seseorang. Tentu yang sedang mengejar kita," jawab salah seorang.
"Di mana?" "Ia berlari dari balik batu besar itu, kemudian bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul. Kita akan mengepungnya, agar orang itu tidak dapat lolos lagi."
Panembahan Agung menjadi ragu-ragu. Tetapi ia berkata, "Giringlah orang itu mendekat, agar aku dapat melumatkannya dengan anak panahku."
"Baik, Panembahan."
"Tetapi hati-hatilah. Ia bukan orang kebanyakan. Jika kalian tidak berhasil, berilah aku tanda sebelum kalian semuanya punah oleh ilmunya."
Para pengawalnya itu pun kemudian berdiri dalam sebuah lingkaran mengepung sebuah gerumbul yang rimbun. Selangkah demi selangkah mereka maju, sedang Panembahan Agung pun sudah siap dengan anak panahnya.
Namun betapa terkejut Panembahan Agung, ketika ia mendengar desir lembut di belakangnya. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya. Dan dilihatnya Jaka Raras itu berdiri beberapa langkah dari padanya.
"Gila," Panembahan Agung itu bergumam.
"Ajaklah anak buahmu mengenal bentuk-bentuk semu itu Panembahan, agar anak buahmu tidak mengejar sekedar bayangan yang tidak berarti."
Panembahan Agung tidak menjawab. Ia harus bertindak cepat menghadapi seseorang yang memiliki kelebihan seperti Jaka Raras itu agar ia tidak menjadi korban kelambatannya. Itulah sebabnya ia tidak menyahut lagi. Namun hampir tidak dapat dilihat dengan mata, tangannya telah memasang anak panah pada busurnya, menarik talinya, dan sekejap kemudian sebuah anak panah raksasa telah meluncur mengarah ke dada Jaka Raras.
Tetapi Jaka Raras pun sudah bersiap menghadapi serangan itu. Selangkah ia bergeser, dan anak panah itu menghantam sebuah batu padas di belakangnya sehingga pecah berantakan.
Namun Jaka Raras terkejut, bahwa sebelum ia sempat memperbaiki keseimbangannya, anak panah kedua telah terlepas dari busurnya. Dengan demikian Jaka Raras tidak dapat berbuat lain daripada melemparkan dirinya sekali lagi agar anak panah itu tidak menyambar lehernya.
Tetapi demikian kakinya menginjak tanah berbatu padas, anak panah ketiga telah mengarah ke dadanya pula. Tidak ada kesempatan baginya untuk menghindar. Karena itu, maka tidak ada cara lain daripada melindungi dadanya dengan menangkis anak panah raksasa itu.
Meskipun Jaka Raras masih agak ragu-ragu, tetapi ia tidak sempat membuat banyak pertimbangan. Diangkatnya tangannya yang dibalut dengan ikat pinggangnya yang berlapis baja tipis, tetapi baja pilihan.
Sejenak kemudian terdengarlah benturan yang sangat dahsyat. Sepercik bunga api meloncat keudara ketika mata anak panah Panembahan Agung menghantam baja pilihan lapisan dari ikat pinggang Ki Waskita yang dililitkan di tangannya itu.
Selangkah Ki Waskita terdesak surut. Tetapi ternyata bahwa lapisan baja pada ikat pinggangnya tidak sobek oleh ujung anak panah raksasa itu, meskipun tampak juga bekasnya yang lekuk cukup dalam.
Panembahan Agung menjadi termangu-mangu melihat kemampuan Jaka Raras. Apalagi ketika Panembahan Agung melepaskan anak panahnya yang berikutnya.
Jaka Raras yang telah berhasil menyiapkan dirinya, berdiri agak condong ke depan. Sebuah kakinya ditekuknya pada lututnya sedang kakinya yang lain ditariknya sedikit ke belakang. Tangan kirinya yang dibalut dengan ikat pinggangnya siap untuk menangkis setiap serangan, sedang tangannya yang lain telah memutar rantainya yang pada ujungnya disangkutkan sebuah cakram kecil yang bergerigi.
"Gila," geram Panembahan Agung, "kau berhasil menangkis anak panahku."
"Panembahan," berkata Ki Waskita, "kita sudah menjadi semakin tua. Sebaiknya kita berbuat baik bagi sesama. Karena itu, cobalah mengerti, bahwa tidak ada gunanya lagi kau menumbuhkan pertengkaran di antara kita."
"Tutup mulutmu!" bentak Panembahan Agung. "Sebentar lagi kau akan mati dan dicincang oleh pengawal-pengawalku."
Ki Waskita terdiam sejenak. Dilihatnya para pengawal Panembahan Agung yang agaknya sudah menyadari kesalahan mereka.
Sejenak Ki Waskita berdiri termangu-mangu. Dilihatnya para pengawal itu memandanginya masih dari tempat mereka disesatkan oleh bentuk semu yang dibuat oleh Ki Waskita.
"Jaka Raras," berkata Panembahan Agung, "jangan menyesal bahwa kau sudah menyusul aku. Agaknya kau benar-benar sudah jemu hidup. Jika kau sudah menemukan anakmu, sebenarnya persoalanmu sudah selesai. Dan kau tidak perlu ikut campur dalam persoalan-persoalan berikut."
Ki Waskita menarik nafas. Katanya, "Panembahan Agung. Aku sudah berjanji di dalam diriku sendiri untuk menghentikan petualanganmu yang sesat itu. Kenapa kau tidak mendengarkan tawaranku. Berhentilah. Dan marilah kita berbuat baik untuk tanah kelahiran kita. Kita tahu bahwa Mataram itu kini sedang tumbuh. Apakah salahnya jika kita justru membantu. Bukan menghalang-halangi. Sudah berapa puluh korban yang jatuh dalam usahamu menggagalkan perkembangan Mataram karena ternyata kau sendiri menghendakinya. Hantu-hantuanmu telah gagal. Racun yang kau sebarkan di daerah yang sedang dibuka itu pun tidak berhasil. Kemudian kau mencoba membenturkan Pajang dan Mataram ketika Senapati Pajang di daerah Selatan ini, Untara, sedang melangsungkan perkawinannya. Yang terakhir kau berusaha menutup daerah yang seharusnya sedang berkembang itu dari dunia luar. Nah, kenapa kau tidak berpikir untuk menghentikan usahamu yang selalu gagal itu?"
"Jaka Raras," jawab Panembahan Agung, "setiap orang tentu mempunyai cita-cita. Aku pun mempunyai cita-cita. Apakah yang akan aku dapatkan jika Mataram menjadi ramai dan bahkan menjadi sebuah negeri. Aku hormat kepada Ki Gede Pemanahan, tetapi aku membenci Sutawijaya dalam segala bentuknya. Ia adalah putera angkat Sultan Pajang. Seharusnya ia tunduk kepada semua perintah ayah angkatnya, karena Sultan Pajang bukan saja ayah angkatnya, tetapi juga guru dan rajanya adbmcadangan.wordpress.com. Tiga kedudukan yang seharusnya memaksa Sutawijaya itu untuk tidak berbuat khianat kepada Pajang. Tetapi apa yang dilakukannya. Ia membuka Mataram dengan tujuan yang tidak baik. Ia ingin menghisap kebesaran Pajang ke Mataram. Dan yang terakhir, ia telah menodai seorang gadis yang dipersiapkan untuk menjadi isteri Sultan Pajang itu sendiri. Yang seharusnya menjadi ibunya."
Jaka Raras mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, "Setiap orang dapat memandang Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu dari seginya masing-masing. Dan kau memandang dari segi yang buram. Tetapi demikian juga setiap orang berhak menyebut Sultan Pajang dengan semua kelebihan dan kekurangannya sehingga memaksa Sutawijaya untuk berbuat sesuatu."
"Apakah bedanya solah tingkah Sutawijaya itu dengan yang sedang aku lakukan" Kita masing-masing ingin mengambil alih kekuasaan Pajang. Dan kita masing-masing mempunyai cara kita sendiri."
"Panembahan Agung," berkata Jaka Raras, "apakah sebenarnya Sutawijaya itu sudah melakukan seperti yang kau katakan" Alas Mentaok sudah resmi diserahkan kepadanya oleh ayahandanya Sultan Pajang. Apakah salahnya jika ia membuka hutan itu dan kemudian mengusahakannya menjadi negeri yang ramai?"
"Kau jangan berpura-pura bodoh, Jaka Raras. Aku tahu kau memiliki ketajaman penglihatan lahir dan batin. Kau bukan saja mampu membuat uraian atas peristiwa-peristiwa yang terjadi, kemudian membuat kesimpulan berdasarkan perhitungan. Tetapi kau juga mampu melihat dari segi yang lain dari perhitungan nalarmu. Nah, karena itu jangan mencoba membodohkan diri sendiri."
"Hanya karena prasangka buruk saja kau berpendapat demikian, Panembahan Agung, yang juga bergelar Panembahan Cahyakusuma dan pernah menyebut dirimu sendiri dengan Panembahan Panjer Bumi atau barangkali masih ada sebutan-sebutan lain. Seharusnya kau tidak usah berprasangka demikian. Biarlah Mataram berkembang."
"Kau memiliki kemampuan tiada bandingnya. Tetapi jiwamu adalah jiwa penjilat kecil yang sama sekali tidak bercita-cita selain menggantungkan diri kepada orang lain. Kenapa kau tidak ingin berbuat sesuatu yang dapat mengangkat derajadmu" Kenapa kau sekedar menerima nasibmu yang buruk itu?"
"Setiap orang dapat bercita-cita setinggi bintang. Tetapi tidak setiap orang sampai hati berbuat onar seperti kau. Mengorbankan orang lain dan bahkan meletakkan bebanten tanpa hitungan. Caramu telah menimbulkan kekacauan dan bahkan kau harapkan peperangan antara Pajang dan Mataram. Apakah yang menarik dalam setiap peperangan" Kematian, luka-luka parah yang mengerikan" Anak-anak menjadi yatim dan perempuan menjadi janda" Adakah sepantasnya kita mencoba meraih cita-cita kita yang setinggi bintang itu dengan alas mayat yang bertimbun-timbun?"
"Kau memang berjiwa budak kecil yang hanya pantas menghambakan diri. Jika demikian sepanjang umurmu kau tidak akan dapat berdiri di depan."
"Aku tidak memerlukannya, Panembahan Agung. Karena itu, marilah kita hentikan semuanya ini. Kau dapat bekerja bersama kami, membangun Mataram menjadi sebuah negeri."
"Persetan! Jangan membujuk seperti membujuk anak kecil."
"Jadi, apakah kita harus bertempur?"
"Apa boleh buat. Anak panahku pada suatu saat akan menyobek dadamu."
Jaka Raras menarik nafas dalam-dalam. Dilihatnya para pengawal Panembahan Agung berdiri termangu-mangu.
"Panembahan," berkata Jaka Raras, "aku terpaksa bertindak atasmu. Aku akan menghapuskan semua kemampuan ilmumu. Jika kau tetap bertahan, maka aku minta maaf, bahwa jiwamu pun akan serta bersama ilmumu yang kau pergunakan untuk tujuan yang sesat itu, meskipun bukan itulah yang aku kehendaki."
Wajah Panembahan Agung menjadi merah padam. Ia benar-benar merasa terhina oleh Jaka Raras, seakan-akan Jaka Raras itu pasti, bahwa ia tidak akan dapat melawannya.
Karena itu, maka ia tidak berbicara lagi. Ia mulai lagi menghujani Jaka Raras dengan anak panah raksasa. Tetapi seperti yang sudah terjadi, Jaka Raras berhasil menangkis setiap anak panahnya. Sekali-sekali meloncat menghindar dan kadang-kadang memukul anak panah itu dengan cakram yang di putarnya seperti baling-baling.
Panembahan Agung menjadi semakin marah melihat kemampuan Jaka Raras yang seharusnya telah diketahuinya. Karena itu maka tiba-tiba saja ia berteriak, "Kepung orang ini! Hati-hati, jangan dikelabui lagi dengan bentuk-bentuk semu. Di hadapanku ia tidak akan sempat membuat bentuk-bentuk yang sebenarnya tidak ada itu."
(***) BUKU 77 KI WASKITA menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa beberapa orang Pengawal Panembahan Agung itu tentu bukan orang kebanyakan. Jika mereka bersama-sama menyerangnya, maka ia akan menjadi agak bingung juga. Namun ia sudah bertekad, bahwa ia harus terlibat dalam perkelahian yang kisruh sehingga Panembahan Agung akan menjadi ragu-ragu melepaskan anak panahnya, karena dengan demikian akan dapat mengenai anak buahnya sendiri. Atau ia justru harus langsung menyerang Panembahan Agung dalam jarak yang pendek, sehingga Panembahan Agung tidak sempat lagi melepaskan anak panah itu ke arahnya.
Dan agaknya cara yang kedua itulah yang condong akan diambil oleh Jaka Raras. Dengan tangkasnya ia meloncat maju sambil menangkis setiap serangan yang menghujaninya. Semakin lama semakin dekat. Ternyata bahwa ikat pinggangnya benar-benar memiliki kekuatan yang mengagumkan, sehingga ia tidak lagi mencemaskannya, bahwa ikat pinggang itu akan menjadi hancur.
Dalam pada itu, para pengawal Panembahan Agung pun mulai bergerak. Mereka sudah mendengar perintah yang diberikan oleh pemimpinnya, sehingga mereka sudah tidak ragu-ragu lagi untuk bertindak.
Tetapi sebelum mereka sempat berbuat apa-apa, mereka pun terkejut ketika mereka mendengar seseorang berkata, "He, Ki Sanak. Jangan ganggu Jaka Raras. Marilah kita membuat arena permainan sendiri."
Para pengawal itu pun berpaling. Dilihatnya seseorang muncul dari balik gerumbul-gerumbul perdu di belakang mereka.
Sejenak para pengawal itu termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang berkata, "Biarkan bentuk semu itu. Lawan Panembahan Agung yang licik itu tentu akan mencoba menahan kita di sini, agar ia tidak menjadi bingung karena ia harus melawan kita bersama-sama."
"Lihatlah dengan saksama," berkata orang itu, "ini bukan sekedar bentuk semu. Sebenarnyalah kau melihat seseorang yang berdiri di sini."
Tetapi para pengawal itu menjadi ragu-ragu. Sementara Panembahan Agung hampir tidak mendapat kesempatan untuk membantu mereka, karena Jaka Raras berloncatan semakin mendekatinya.
"Jangan hiraukan," sekali lagi seorang pengawal berdesis, "yang pasti, Jaka Raras itu sajalah yang harus kita binasakan."
Para pengawal itu pun kemudian tidak menghiraukan lagi orang yang berdiri di depan gerumbul-gerumbul perdu itu. Dengan tergesa-gesa mereka pun kemudian siap untuk menerjunkan diri melawan Jaka Raras yang sedang bertempur melawan Panembahan Agung.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja salah seorang pengawal itu pun memekik tertahan. Ternyata senjata orang yang berdiri di depan gerumbul itu telah menyambar lengannya, sehingga lengannya itu pun tersobek karenanya.
"He," salah seorang kawannya berdesis, "apakah kau benar-benar terluka, atau sekedar penglihatanku."
Orang yang terluka itu terdorong beberapa langkah dan bersandar pada sebuah batu padas yang besar sambil menggeram, "Setan. Ia benar-benar melukai tanganku."
"Nah, kalian harus percaya bahwa aku bukannya sekedar bentuk semu. Trisulaku telah berhasil menyobek lengan itu, dan sebentar lagi, dada kalian pun akan berlubang karenanya."
Meskipun demikian para pengawal itu masih termangu-mangu sejenak sehingga mereka tidak segera melibatkan diri dalam perkelahian.
"He, siapakah orang itu," Panembahan Agung yang sempat memperhatikan dengan seksama itu pun bertanya ketika ia sekilas melihat seseorang yang bersenjata sebuah trisula yang diikatkan pada ujung rantai, hampir seperti cakram bergerigi Jaka Raras.
"Ki Sumangkar," Ki Waskita-lah yang menjawab, "ia akan menghancurkan pengawalmu."
"Apakah kalian seperguruan di dalam olah kanuragan setelah kita berpisah dari perguruan kita itu?" bertanya Panembahan Agung.
"Ya. Kami seperguruan. Guru kami adalah tuntunan keadilan sehingga kami harus bekerja bersama melawanmu dan para pengawalmu kali ini."
Panembahan Agung menjadi semakin marah sehingga rasa-rasanya dadanya akan meledak karenanya. Sambil menyerang Jaka Raras dengan anak panahnya ia berteriak, "Bunuhlah orang itu. Yang berdiri di hadapan kalian itu bukannya bentuk semu."
Tetapi ketika para pengawal itu mulai menyadari sepenuhnya akan keadaan mereka, maka seorang lagi di antara mereka telah berteriak kesakitan. Trisula Sumangkar benar-benar telah menyambar lambung salah seorang dari mereka.
Yang lain tidak membiarkan Sumangkar mendahului lagi. Mereka pun segera menyerangnya hampir berbareng dengan senjata masing-masing.
Tetapi mereka tidak segera dapat mendekat. Sumangkar memutar rantai yang berujung trisula dan trisula yang lain di tangan kirinya.
Dengan demikian, maka di antara mereka, Sumangkar dan para pengawal Panembahan Agung itu pun segera timbul pertempuran yang sengit. Sumangkar harus melawan beberapa orang sekaligus yang mengepungnya rapat-rapat. Tetapi mereka tidak dapat dengan mudah menyerang Sumangkar yang mempunyai senjata yang aneh itu.
Meskipun demikian, karena jumlah mereka berlipat banyaknya, maka Sumangkar pun akhirnya harus berusaha melepaskan diri dari kepungan yang rapat itu. Untunglah bahwa di sekitarnya terdapat pohon-pohon perdu, sehingga Sumangkar dapat memanfaatkannya sebaik-baiknya.
"Licik," teriak salah seorang pengawal Panembahan Agung, "kau tidak bertempur secara jantan."
"Kenapa?" bertanya Sumangkar.
"Kau berlari-lari melingkar-lingkar di seputar gerumbul-gerumbul perdu. Bukan begitu caranya seorang laki-laki bertempur."
"Maaf, aku akan bersikap jantan terhadap orang-orang yang bersikap jantan pula. Jika salah seorang dari kalian siap untuk berperang tanding, aku akan melayaninya dengan jantan."
Sejenak para pengawal itu tidak menjawab. Namun sejenak kemudian salah seorang dari mereka berteriak, "Aku menantangmu. Marilah kita bertempur dengan jantan."
"Aku tidak membawa saksi," sahut Sumangkar sambil memutar senjatanya.
"Pengecut." "Aku mempunyai firasat bahwa kalian akan menjebak aku. Perang tanding itu sendiri adalah suatu cara yang licik dan pengecut."
"Jangan banyak bicara."
Di luar dugaan mereka, Sumangkar menjawab, "Baik."
Dan Sumangkar pun tidak berbicara lagi. Tetapi ia masih mempergunakan caranya. Sekali-sekali ia menyusup di balik batang-batang perdu, kemudian berlari-lari dan dengan tiba-tiba ia menyerang dengan garangnya. Di antara gerumbul-gerumbul yang rimbun itu, sulitlah untuk dapat mengepungnya dan kemudian menyerang bersama-sama dari banyak arah.
Selagi Sumangkar bertempur dengan sengitnya, maka Panembahan Agung pun mengerahkan segenap kemampuannya untuk membinasakan Jaka Raras.
Tetapi anak panahnya seakan-akan tidak banyak berarti lagi. Jaka Raras mempunyai perisai yang dapat memunahkan serangan-serangan anak panah Panembahan Agung. Bahkan semakin lama Jaka Raras justru menjadi semakin dekat.
"Kau tidak akan dapat lari lagi, Panembahan. Aku tahu bahwa kau terikat pada tempatmu itu."
"Persetan." Terdengar Jaka Raras tertawa. Suaranya dalam dan datar. Katanya, "Sekali lagi aku tawarkan kepadamu, hentikan semua kegiatanmu."
"Syaratnya?" tiba-tiba Panembahan Agung bertanya.
"Aku akan memunahkan semua kesaktian yang ada padamu. Kau akan menjadi seorang panembahan yang baik dan hidup tenteram di padukuhanmu di mana pun yang kau kehendaki."
"Gila. Syarat itulah yang gila. Lebih baik aku membunuhmu."
Jaka Raras tidak menjawab. Ia disibukkan oleh anak panah yang bagaikan hujan menyerangnya. Namun ia berhasil menangkis dan menghindarinya.
Betapa pun banyaknya persediaan anak panah pada Panembahan Agung, namun semakin lama menjadi semakin susut juga, sejalan dengan kecemasan yang semakin mengguncangkan dadanya. Apalagi karena ia sadar, bahwa tidak akan banyak gunanya lagi ia melepaskan anak panah itu kepada lawannya.
Apabila sekilas ia melihat kepada pertempuran yang berlangsung antara pengawalnya melawan Sumangkar, maka ia tidak mendapat gambaran sama sekali, siapakah yang akan dapat menang. Setiap kali Sumangkar berlari bersembunyi di balik batang-batang perdu yang rimbun. Kemudian dengan tiba-tiba saja ia menyerang lawan-lawannya yang sedang mencarinya. Setiap kali adbmcadangan.wordpress.com justru ialah yang berhasil melukai lawannya, sehingga kekuatan para pengawal itu pun semakin lama menjadi semakin berkurang.
Sekali lagi, Panembahan Agung menggeram. Ia tidak dapat mengelakkan kenyataan itu. Yang terjadi bukannya sekedar bentuk-bentuk semu yang dilontarkan oleh Jaka Raras. Tetapi yang terjadi adalah sebenarnya terjadi. Pengawalnya tidak segera dapat mengalahkan lawannya, sehingga karena itu mereka tidak akan segera dapat membantunya.
Karena itu, maka Panembahan Agung pun tidak lagi ingin berbuat setengah-setengah. Ia sudah melepaskan ilmunya yang dahsyat dengan membingungkan lawannya. Tetapi ternyata di antara lawan-lawannya itu terdapat orang yang memiliki kemampuan yang serupa.
Dengan demikian maka Panembahan Agung pun berusaha untuk sampai kepada puncak ilmunya. Ilmu yang didapatkannya dari perguruannya. Ia tahu, bahwa lawannya juga pernah menerima ilmu itu dari gurunya. Tetapi ia mendapatkan lebih banyak sampai saatnya gurunya tidak lagi mampu menambah ilmu itu, justru karena ia lebih dekat pada gurunya itu daripada Jaka Raras. Pada saat maut tidak lagi terelakkan, karena usia yang lanjut, gurunya belum sempat meratakan ilmunya itu kepada Jaka Raras sampai setingkat dengan dirinya.
"Aku terpaksa membinasakannya dengan ilmu ini," katanya di dalam hati, "jika tidak, maka akulah yang akan dibinasakannya, atau semua ilmuku akan dipunahkannya."
Dalam pada itu, Sumangkar pun semakin lama semakin sibuk melayani lawan-lawannya yang marah. Tetapi ia masih dapat melawan dengan caranya. Dengan trisula di ujung rantainya dan dengan berlari-lari sambil bersembunyi. Namun yang kemudian menyerang dengan tiba-tiba.
Agaknya Sumangkar berhasil mengurangi jumlah lawannya. Tetapi ia masih belum berhasil melepaskan dirinya sama sekali dari bahaya yang masih selalu mengancamnya dari segala arah. Apalagi ketika kemudian terasa nafasnya mulai mengganggu.
Tetapi Sumangkar adalah saudara seperguruan Patih Mantahun dari Jipang yang dikenal seakan-akan memiliki nyawa rangkap. Karena itu, maka ia masih mampu mengatasi kesulitan yang ada di sekitarnya.
Namun demikian, jumlah lawannya yang banyak itu telah menimbulkan kesulitan yang beruntun. Ketika ujung tombak seorang lawannya berhasil menyentuhnya, maka rasa-rasanya dadanya mulai diganggu oleh debar yang semakin cepat.
Ternyata ketika ia bersembunyi di balik sebuah gerumbul yang rimbun, seorang lawannya yang marah tidak menunggunya atau mengitari gerumbul itu. Untung-untungan ia melontarkan tombaknya dengan sekuat tenaga. Namun ternyata bahwa ujung tombak itu justru berhasil mengenai lengan Sumangkar yang sedang bersembunyi di dalamnya, meskipun luka itu tidak terlampau dalam.
"Setan alas," Sumangkar mengumpat. Kemarahannya bagaikan menyala sampai ke ujung ubun-ubun. Namun demikian ia harus menyadari bahwa kemampuannya pun terbatas. Apalagi menghadapi lawan yang jumlahnya cukup banyak.
Ternyata kemudian bahwa lawan-lawannya itu telah berhasil melukainya.
Sekilas teringat olehnya Kiai Gringsing yang terbaring dengan luka-lukanya pula. Bagi Sumangkar Kiai Gringsing adalah seorang yang memiliki kelebihan daripadanya betapa pun tipisnya. Meskipun di Jati Anom Kiai Gringsing pernah juga terluka, tetapi agaknya hal itu terjadi karena kesalahan yang dilakukan oleh Kiai Gringsing sendiri. Sedang berhadapan dengan Panembahan Alit, ternyata bahwa Kiai Gringsing tidak akan dapat menghindarkan diri dan luka-lukanya itu meskipun ia sama sekali tidak melakukan kesalahan di dalam pertempuran itu.
Dan kini, ia pun sudah mulai terluka. Seorang demi seorang lawan-lawannya bukannya orang yang harus disegani. Tetapi mereka berada di dalam satu kelompok yang berusaha mengepungnya dan menyerangnya dari segala penjuru.
Debar jantung Sumangkar terasa semakin cepat. Tangannya menggenggam senjata semakin erat. Ketika ia meraba lukanya dengan ujung jarinya, terasa ujung jari itu menjadi hangat oleh darah.
Tetapi Sumangkar tidak segera kehilangan akal. Ia masih tetap menguasai perasaannya. Karena itu ia tidak menjadi putus asa dan membabi buta. Ia masih sempat memperhitungkan dan mempertimbangkan setiap langkahnya.
Sementara itu Panembahan Agung yang sudah sampai pada puncak ilmunya, sudah siap untuk menghancurkan Jaka Raras. Namun Jaka Raras yang agaknya mengetahui bahwa Panembahan Agung berusaha untuk melontarkan ilmunya yang dahsyat, ia pun segera meloncat semakin dekat dan menyerangnya dengan cakramnya yang digantungkannya pada ujung rantainya.
Panembahan Agung mengumpat di dalam hati. Ia belum sempat melontarkan ilmunya itu ketika Jaka Raras mengayunkan cakramnya yang bergerigi itu hampir menyambar hidungnya.
Dengan demikian maka Panembahan Agung terpaksa mempergunakan busurnya untuk menangkis setiap serangan Jaka Raras, sedang tangannya yang lain menggenggam anak panahnya yang sekaligus dipergunakannya sebagai senjata yang mematuk-matuk.
Namun Jaka Raras ternyata sangat lincah. Ia mampu meloncat selincah anak kijang di padang perburuan. Ditambah lagi dengan ayunan senjatanya yang dahsyat itu.
Sekali-sekali terdengar Panembahan Agung menggeram ia belum mendapat kesempatan melontarkan ilmunya. Justru karena Jaka Raras berhasil mendekatinya sampai pada jarak putar cakramnya.
Namun Panembahan Agung pun memiliki kecepatan bergerak yarg luar biasa. Ketika terbuka sedikit kesempatan, maka anak panahnya telah melekat pada busurnya. Dalam jarak yang sangat pendek Panembahan Agung membidikkan anak panahnya.
Jaka Raras terkejut melihat kecepatan bergerak tangan Panembahan Agung itu. Namun jaraknya tidak lagi memungkinkannya untuk menyerang dengan cakramnya.
Karena itu, dadanya menjadi berdentangan. Jarak itu sangat pendek. Sedangkan Jaka Raras mengetahui dengan pasti kekuatan busur Panembahan Agung itu.
Tetapi Jaka Raras tidak membiarkan lehernya terputus oleh anak panah itu. Dengan memusatkan kekuatan pada tangan kirinya ia berdiri tegak. Justru memusatkan tatapan matanya kepada ujung anak panah Panembahan Agung itu.
Yang terjadi kemudian hanyalah beberapa saat yang pendek. Anak panah Panembahan Agung pun telah terlepas dari busurnya dan meluncur dengan cepatnya. Hampir berbareng, karena jarak yang sangat pendek, terdengar benturan yang sangat dahsyat. Jaka Raras terlontar beberapa langkah surut. Dorongan anak panah pada lengannya yang terbalut ikat pinggang itu benar-benar bagaikan merontokkan tulang-tulangnya.
Untunglah bahwa ia memiliki kemampuan dan ketahanan tubuh yang luar biasa sehingga ia masih sempat meloncat berdiri dan mempersiapkan diri dengan serangan berikutnya.
Tetapi Panembahan Agung tidak ingin menyerangnya lagi dengan anak panah, karena ia kini mendapat kesempatan untuk melontarkan puncak ilmunya.
Jaka Raras yang juga bernama Ki Waskita itu terkejut melihat tatapan mata Panembahan Agung. Ia tidak menduga bahwa Panembahan Agung telah sampai kepada ilmu simpanannya.


04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Untunglah bahwa Jaka Raras masih melihat seolah-olah asap yang tipis bergulung lepas dari mata Panembahan Agung.
Dengan serta-merta Jaka Raras meloncat dan berguling di atas batu-batu padas.
Pada saat itulah terdengar ledakan di sebelah Jaka Raras. Ternyata kekuatan aji pamungkas yang terlontar dari mata Panembahan Agung tidak mengenai sasarannya. Ketika kekuatan itu menyentuh batu padas, maka padas itu seakan-akan meledak.
"Kau gila Panembahan," teriak Jaka Raras.
"Kau harus lumat dibakar oleh ilmu ini."
Tetapi Jaka Raras tidak mau menjadi debu. Ia pun pernah menerima dasar-dasar dari ilmu yang dahsyat itu. Tetapi sebelum ia menjadi sempurna, bahkan belum sejauh Panembahan Agung yang dekat dengan gurunya, gurunya itu telah kehilangan kemampuannya karena kekuasaan yang seakan-akan tidak terbatas itu telah direnggut oleh Maha Kekuasaan yang tidak dapat dilawannya, dan yang sebenarnyalah memang tidak terbatas.
Namun dalam pada itu, sepeninggal gurunya ia masih sempat bersunyi diri mematangkan ilmu yang baru diterima dasar-dasarnya. Tetapi dengan dasar-dasar ilmu yang telah lengkap itu, ia telah berhasil membentuk dirinya pada saat itu menjadi orang yang luar biasa. Dengan mesu raga dan olah tapa, maka ternyata bahwa ia berhasil menguasai dan mengembangkan ilmu itu.
Itulah sebabnya, ketika ia diserang dengan kemampuan yang seakan-akan tidak terbatas itu, Jaka Raras benar-benar telah kehilangan pengekangan diri. Ia pun kemudian meloncat bangkit, berdiri pada kedua kakinya yang renggang, dan dengan wajah yang seakan-akan membara memandang mata Panembahan Agung yang mulai melepaskan asap yang tipis bergulung-gulung melibatnya.
Tetapi pada saat yang bersamaan, dari mata Jaka Raras pun telah memancar kabut yang tipis pula, sehingga sejenak kemudian gulungan asap tipis yang seakan-akan saling menyerang itu pun berbenturan dengan dahsyat sekali.
Tidak seorang pun yang mendengar sesuatu. Tidak seorang pun yang melihat batu-batu berguguran atau gumpalan api yang memancar. Namun terasa pada keduanya, maka dada mereka telah berguncang dengan dahsyatnya.
Benturan ilmu yang telah dilontarkan oleh dua buah ujung dari garis lurus yang menghubungkan pasangan mata kedua orang itu bagaikan guruh yang meledak hanya di dada masing-masing. Demikian dahsyatnya sehingga keduanya telah berguncang.
Sebenarnyalah telah terjadi pergolakan yang dahsyat di dalam diri masing-masing ketika keduanya kemudian saling perpandangan. Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada di dalam dirinya.
Panembahan Agung telah menerima ilmu itu hampir lengkap dari gurunya, sedang Jaka Raras baru menerima dasar-dasarnya saja. Tetapi ia telah berhasil mengembangkannya sendiri dan justru tidak kalah dahsyatnya dengan yang dimiliki Panembahan Agung. Panembahan Agung menerima dari gurunya seakan-akan telah berada dalam tingkatnya yang sekarang, sedang Jaka Raras yang harus mencari kesempurnaannya sendiri, ternyata telah justru mendapatkan lebih banyak dari yang ada pada Panembahan Agung yang sudah puas dengan apa yang telah dimilikinya itu.
Sejenak mereka masih saling memandang. Dari segenap lubang kulit mereka, mengembun bintik-bintik keringat yang semakin lama bukan saja keringat yang bening, tetapi menjadi semburat merah seakan-akan di dalam butiran-butiran keringat itu mengembun pula warna darah.
Dengan sekuat tenaga keduanya mencoba mengerahkan segenap kemampuan yang ada di dalam diri mereka. Kedua macam ilmu yang serupa itu bagaikan saling mendesak dan mendorong.
Namun dengan demikian, maka tubuh kedua orang itu rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin panas. Desakan-desakan yang tidak kasat mata itu membuat keduanya terbenam dalam ketegangan yang semakin memuncak.
Keringat yang semburat merah itu semakin lama justru menjadi semakin jelas berwarna darah. Semakin lama semakin rata di seluruh tubuh kedua orang yang sedang bertempur dengan ilmu yang dahsyat itu.
Untuk beberapa saat lamanya keduanya bagaikan menjadi patung. Nafas mereka semakin lama menjadi semakin cepat mengalir. Apalagi ketika kemudian dari ubun-ubun mereka seakan-akan telah mengepul kabut yang berwarna putih, seperti yang telah terlontar dari mata masing-masing.
Sejenak kemudian keduanya pun menjadi gemetar. Jantung mereka rasa-rasanya semakin lama semakin lemah, dan darah mereka pun mengalir semakin lambat. Tetapi dalam pada itu, keringat mereka telah benar-benar berwarna darah.
Tidak ada kekuatan seseorang yang dapat mencegah apa yang terjadi kemudian. Kedua sosok tubuh itu benar-benar telah menjadi gemetar seperti orang kedinginan. Perlahan-lahan keduanya telah kehilangan kekuatan mereka, sehingga akhirnya keduanya merasa bahwa pertempuran yang aneh itu memang harus segera berakhir.
Tetapi mereka masih belum tahu pasti, siapakah yang masih akan dapat menghisap udara pegunungan yang segar oleh angin lembah yang mengusap punggung-punggung bukit itu.
Jaka Raras pun kemudian tidak mampu lagi tetap berdiri tegak pada kedua kakinya. Perlahan-lahan ia jatuh berlutut dan mencoba menahan tubuhnya dengan kedua tangannya. Namun demikian ia masih tetap memandang sepasang mata Panembahan Agung yang masih juga memandanginya.
Dalam keadaan yang semakin lemah keduanya tidak mau melepaskan tatapan mata mereka, karena dari mata mereka itulah pancaran kekuatan mereka saling berbenturan. Betapa pun lemahnya keadaan mereka, namun keduanya masih tetap saling memandang dalam puncak ilmu masing-masing.
Dari tubuh kedua orang itu telah benar-benar mengalir keringat yang bercampur dengan darah. Wajah mereka menjadi kehitam-hitaman seakan-akan hangus terbakar oleh ilmu mereka masing-masing.
Dalam pada itu, Sumangkar pun masih harus bertempur mati-matian melawan para pengawal Panembahan Agung. Segores demi segores kulitnya telah disobek oleh senjata lawannya. Semakin lama semakin banyak. Seperti juga Panembahan Agung dan Jaka Raras, maka Sumangkar pun telah dibasahi oleh darahnya, meskipun tidak mengembun lewat lubang-lubang kulitnya, tetapi mengalir lewat luka senjata.
Tetapi senjata Sumangkar yang dahsyat itu masih juga sempat melukai lawan-lawannya. Seorang demi seorang telah tersentuh oleh ujung trisula, sehingga bukan saja dirinya sendiri yang terluka, tetapi beberapa orang lawannya pun telah dilukainya pula.
Namun demikian Sumangkar yang seorang diri itu semakin lama menjadi semakin lemah. Sedang jumlah lawannya masih cukup banyak mengepungnya dan mengejarnya kemana ia berlari dan bersembunyi sebelum ia tiba-tiba meloncat menyerang.
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak akan dapat berbuat lebih banyak lagi. Apalagi ketika ia sekilas melihat Jaka Raras yang berdiri pada lututnya dan menahan tubuhnya dengan kedua tangannya.
Tetapi bagi Sumangkar, tugas seorang di medan perang memang mengarah kepada kemungkinan yang paling pahit itu. Jika ia tidak berhasil, maka ia akan mati. Dan mati di peperangan adalah mati yang paling terhormat bagi seorang prajurit.
Meskipun Sumangkar sudah bukan seorang prajurit, tetapi tugasnya kini adalah tugas seorang prajurit, sehingga baginya apa pun yang akan terjadi, bukannya harus diratapi dan disesali. Meskipun demikian Sumangkar masih tetap bertempur sekuat tenaga.
Tetapi kemampuan dan tenaganya benar-benar tidak dapat dipaksakannya melampaui batas tertentu. Nafasnya yang semakin lama menjadi semakin dalam. Kekuatannya yang semakin susut, dan darah yang semakin banyak mengalir.
Namun dalam pada itu, selagi Sumangkar sudah hampir kehilangan kesempatan untuk mempertahankan hidupnya, seorang anak muda telah meloncat ke tengah-tengah perkelahian itu dengan sebatang tombak pendek. Kemudian disusul oleh dua orang yang lain dengan cambuk di tangannya.
Ketika seorang anak gadis muncul di antara mereka, maka terdengar anak muda bertombak pendek itu berdesis, "Tolonglah Paman Sumangkar lebih dahulu."
Gadis itu adalah Pandan Wangi. Mereka yang datang ke arena itu adalah anak-anak muda yang merasa cemas karena Sumangkar yang pergi menyusul Panembahan Agung. Setelah mendapat ijin dari orang-orang tua, serta menyerahkan pimpinan pasukan Mataram kepada Ki Lurah Branjangan, maka Sutawijaya bersama dengan kedua murid Kiai Grinsing dan Pandan Wangi adbmcadangan.wordpress.com mencoba menyusulnya. Semula mereka hanya akan melihat apakah kira-kira yang telah terjadi. Namun dari puncak bukit mereka melihat bahwa di lereng seberang. Sumangkar sedang bertempur melawan beberapa orang yang mengeroyoknya.
Anak-anak muda yang melihat perkelahian yang tidak seimbang itu tidak dapat membiarkannya terjadi. Karena itu, maka mereka pun segera berlari turun dan berusaha membantu Sumangkar yang menjadi semakin lemah.
Pandan Wangi segera mendekati Sumangkar. Masih ada satu dua orang yang mencoba menyelesaikan hidup Sumangkar yang sudah hampir tidak dapat melawan sama sekali, sedang yang lain menghambur melawan anak-anak muda yang berdatangan itu.
Namun Pandan Wangi ternyata cukup cepat. Dengan sepasang pedangnya ia menyerang orang-orang yang masih berusaha menghabisi nyawa Sumangkar.
Sumangkar melihat kehadiran anak-anak muda itu. Terasa dadanya berdesir oleh haru yang mendalam. Apalagi ketika dilihatnya dengan lincah Pandan Wangi berhasil menghalau dua orang yang masih tetap berusaha menyerangnya.
Sesaat Sumangkar masih tetap berdiri di tempatnya. Namun kemudian terasa tubuhnya menjadi semakin lemah. Karena itu, maka ia pun melangkah tertatih-tatih menepi dan duduk bersandar pada sebatang pohon sambil menyaksikan pertempuran yang seakan-akan menyala semakin dahsyat antara anak-anak muda itu melawan para pengawal Panembahan Agung.
Sutawijaya, Agung Sedayu, Swandaru, dan Pandan Wangi bertempur dengan gigihnya. Senjata mereka yang terayun-ayun itu pun berhasil memecah kesatuan pengawal Panembahan Agung yang menjadi kisruh.
Sementara itu Sumangkar melihat dalam sekilas, bahwa anak-anak muda itu akan segera berhasil menguasai keadaan. Jumlah mereka cukup banyak untuk melawan para pengawal yang jumlahnya sudah menjadi semakin susut.
Demikianlah, maka seorang demi seorang para pengawal itu pun terluka oleh ujung pedang, tombak, dan cambuk. Betapa pun mereka berusaha, namun mereka tidak dapat melawan anak-anak muda yang darahnya seolah-olah mendidih menyaksikan perkelahian yang tidak seimbang, sehingga hampir saja membunuh Ki Sumangkar.
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam, ketika ia melihat beberapa orang pengawal itu mencoba melarikan diri. Tetapi mereka justru tergelincir dan terperosok ke dalam tebing padas yang dalam, sehigga yang terdengar hanyalah teriakan ngeri yang menyayat.
Akhirnya, para pengawal Panembahan Agung itu pun tidak lagi dapat berbuat apa pun juga. Tiga orang yang tersisa, kemudian melemparkan senjatanya dan menyerah.
"Kalian benar-benar menyerah?" bertanya Sutawijaya.
"Ya. Kami benar-benar menyerah. Tetapi jangan bunuh kami."
Sutawijaya memandang mereka sejenak, lalu, "Kalian harus diikat, sementara kami akan melihat pertempuran antara Panembahan Agung dan Ki Waskita itu."
Ketiga orang pengawal yang menyerah itu tidak mengelak ketika tangan mereka kemudian diikat pada sebatang pohon dengan kain panjang mereka sendiri.
Dalam pada itu, maka anak-anak muda itu pun mendekati Ki Sumangkar dan bertanya, "Apakah Ki Sumangkar tidak terlampau parah?"
Sumangkar menggelengkan kepalanya. Katanya, "Tidak. Aku telah mencoba mengurangi arus darah dari luka-lukaku dengan serbuk-serbuk ini yang aku dapatkan dari Kiai Gringsing."
Sutawijaya melihat sebuah bumbung kecil di tangan Ki Sumangkar yang berisi serbuk seperti yang dikatakannya.
"Aku akan melihat pertempuran itu."
"Hati-hatilah. Mereka tidak saja mempergunakan ilmu kanuragan. Jangan memasuki daerah kemampuan kekuatan aji mereka yang belum kita ketahui dengan pasti."
Sutawijaya menganggukkan kepalanya. Ia tidak dapat membiarkan pula sesuatu terjadi atas Ki Waskita yang nampaknya telah menjadi sangat lemah dan berlutut di hadapan Panembahan Agung.
Dengan tergesa-gesa anak-anak muda itu berlari-lari mendekat arena itu. Tetapi langkah mereka tertegun beberapa langkah, ketika rasa-rasanya mereka telah menyentuh arena yang tidak dapat mereka masuki. Rasa-rasanya udara menjadi sangat panas dan mencengkam.
Yang dapat mereka lakukan adalah sekedar menyaksikan apa yang kemudian terjadi. Dengan hati yang berdebar-debar anak-anak muda itu menyaksikan Ki Waskita yang meskipun sudah berdiri di atas lututnya, namun ia masih tetap memandang mata Panembahan Agung. Sebaliknya Panembahan Agung pun masih tetap pula menatap sepasang mata Ki Waskita.
Namun dalam pada itu, anak-anak muda itu pun menjadi heran. Mereka hampir tidak percaya pada penglihatannya, bahwa Panembahan Agung di dalam keadaannya itu duduk bersila di atas sebuah amben kecil dengan sepasang kayu usungan. Tandu.
Serentak tumbuh dihati anak-anak muda itu dugaan, "Apakah Panembahan Agung telah diusung dengan tandu itu?"
Tetapi mereka tidak segera dapat kepastian. Yang dilihatnya adalah Panembahan Agung yang sedang bertempur itu duduk dengan lemahnya di atas sebuah amben kecil yang terikat dengan beberapa helai tali-temali pada usungan yang terletak di sebelah menyebelah amben kecil itu.
Untuk beberapa saat keduanya tetap dalam keadaannya. Mereka seakan-akan telah terpisah dengan dunia sekitarnya. Keduanya seakan-akan tidak melihat anak-anak muda yang ada di sekitar arena itu.
Dengan demikian keduanya masih tetap saling memandang. Agaknya ilmu mereka yang berdasarkan pada sumber yang sama itu sudah berada pada batas kemampuan mereka. Yang mereka lakukan kemudian adalah sekedar bertahan agar diri masing-masing tidak lumat dilanda oleh ilmu lawannya.
Tetapi keadaan itu pun sampai pula pada saatnya berakhir. Baik Panembahan Agung mau pun Jaka Raras benar-benar telah sampai pada batas kemampuan mereka. Namun batas itu ternyata berselisih beberapa kejap.
Pada saat terakhir, Panembahan Agung yang duduk bersila di atas ambennya itu masih sempat menghempaskan sisa-sisa kekuatannya pada saat yang pendek, sehingga hampir saja Jaka Raras kehilangan kemampuan untuk bertahan. Namun sekejap kemudian, ternyata Panembahan Agung benar-benar telah kehilangan segenap kekuatannya. Betapa pun ia mencoba bertahan namun perlahan-lahan kepalanya mulai menunduk dengan lemahnya.
Yang dapat dilakukan olehnya hanyalah mengatupkan giginya rapat-rapat. Tetapi kepalanya itu tetap bergerak perlahan-lahan.
Maka sampailah batas yang mengerikan itu. Ketika Panembahan Agung telah kehilangan segenap kekuatannya, ia pun tidak dapat lagi bertahan memandang sepasang mata Jaka Raras, sehingga dengan demikian, maka ilmunya pun perlahan-lahan menjadi padam sejalan dengan gerak kepalanya yang lemah itu.
Karena itulah, maka kekuatan ilmu Jaka Raras bagaikan mendapat kesempatan. Seakan-akan Panembahan Agung telah membuka pintu bagi serangan yang melontar dari kekeuatan ilmu Jaka Raras yang tidak kasat mata itu.
Demikianlah, maka sesaat Panembahan Agung terlepas dari kemampuan tatapan matanya, maka serasa api neraka telah melanda tubuhnya. Sejenak ia menggeliat. Namun ia pun kemudian terkapar tidak berdaya. Meskipun kakinya masih tetap bersila, namun tubuhnya terkulai di atas ambennya dan kepalanya seolah-olah bergantungan tanpa kekuatan sama sekali.
Panembahan Agung agaknya telah terbakar oleh ilmu yang dahsyat yang dilontarkan oleh Jaka Raras.
Namun dalam pada itu, dalam saat yang bersamaan, Jaka Raras pun seakan-akan telah kehilangan segenap kekuatannya pula. Sejenak ia bertahan pada lututnya, namun kemudian ia pun segera duduk bersila pula sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Kepalanya tertunduk dalam-dalam dan matanya telah terpejam.
Anak-anak muda itu berdiri termangu-mangu. Untuk beberapa lamanya mereka tidak tahu apa yang harus dilakukannya selain setiap kali memandang Jaka Raras yang duduk dengan kepala tunduk dan mata terpejam itu berganti-ganti dengan Panembahan Agung yang sudah terkulai dengan lemahnya.
Dalam ketegangan itu, mereka dikejutkan oleh suara di belakang mereka, "Pertempuran sudah selesai."
Serentak anak-anak muda itu berpaling. Dilihatnya Sumangkar yang lemah berdiri di belakang mereka. Kedua tangannya memegangi luka-lukanya yang dirasanya paling pedih.
"Bagaimana dengan Ki Waskita?" bertanya Agung Sedayu.
"Ia sedang memusatkan segenap kekuatan untuk memulihkan tenaganya. Kekuatan yang tidak tampak di mata kita, tetapi ada di dalam dirinya."
Anak-anak muda itu termangu-mangu sejenak. Tanpa sesadarnya Pandan Wangi memandang Panembahan Agung yang terkulai diam itu sambil berdesis, "Dan Panembahan Agung itu?"
"Ia kehabisan tenaga sama sekali, sehingga di saat terakhir kekuatan aji pamungkas Ki Waskta berhasil menghantamnya. Tetapi ternyata kekuatan itu pun tidak ada lagi sepersepuluh dari kemampuan yang sebenarnya sehingga Panembahan Agung tidak hancur menjadi debu karenanya."
Anak-anak muda itu mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu Sutawijaya pun kemudian bertanya, "Apakah kami dapat mendekati keduanya, Kiai?"
"Kita harus menunggu sampai Ki Waskita selesai dengan samadinya. Mudah-mudahan ia akan segera dapat pulih kembali."
Anak-anak muda itu tidak menyahut. Mereka masih saja berdiri termangu-mangu memandang kedua orang yang sudah tidak berdaya itu berganti-ganti. Namun tiba-tiba saja Swandaru bertanya, "Paman Sumangkar, apakah Panembahan Agung itu mati."
"Aku pun tidak tahu. Apakah ia mati atau sekedar pingsan karena kekuatan aji Ki Waskita yang sudah sangat lemah itu."
Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia pun kemudian bertanya pula, "Paman. Apakah sebenarnya amben kecil itu" Apakah benar amben itu sebuah tandu?"
"Ya," jawab Sumangkar.
"Kenapa Panembahan Agung harus ditandu" Apakah ia tidak mau berjalan sendiri atau ?"
Sumangkar menganggukkan kepalanya. Katanya, "Dugaanmu benar. Dari Ki Waskita aku mendengar bahwa Panembahan Agung memang cacat kaki. Lebih parah dari Ki Argapati. Tetapi bahwa ia harus berada di atas tandu itu pun baru aku ketahui ketika aku mengikuti perkelahian ini dan melibatkan diri ke dalamnya. Menilik keadaannya, maka Panembahan Agung telah mengalami cacat kaki yang sangat parah."
Anak-anak muda itu saling berpandangan sejenak. Meskipun tidak mereka ucapkan, namun seakan-akan mereka berkata di dalam hatinya bersama-sama, "Ia telah mengimbangi cacat tubuhnya dengan ilmu yang luar biasa dahsyatnya."
Dalam pada itu, Ki Waskita masih saja tekun dalam samadinya dalam usahanya untuk memulihkan segenap kekuatan tenaganya. Karena itu, ia sama sekali tidak menghiraukan apa pun yang terjadi di sekitarnya. Bahkan seandainya ada seekor harimau yang hendak menerkamnya pun ia tidak dapat melawannya sama sekali.
Karena itu, maka agar mereka tidak melakukan kesalahan, maka Sumangkar yang lemah itu pun berkata, "Baiklah, kita menunggunya sampai selesai. Lebh baik kita duduk sejenak di sini. Aku masih harus banyak beristirahat karena rasa-rasanya tubuhku terlampau lemah meskipun kini darah sudah tidak banyak mengalir lagi dari luka-lukaku. Sedangkan orang-orang yang terikat itu pun tidak akan dapat melepaskan diri mereka sendiri."
Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, "Baiklah, Kiai. Kita sudah tidak tergesa-gesa lagi. Semuanya seakan-akan sudah selesai. Rudita sudah diketemukan dan sarang Panembahan Agung ini sudah kita kuasai pula seluruhnya."
Dengan demikian, maka anak anak muda itu pun kemudian duduk di atas rerumputan menunggui Ki Waskita yang sedang samadi. Namun demikian, mereka masih saja selalu diganggu oleh kegelisahan. Mereka tidak dapat melepaskan diri dari perasaan, bahwa mereka masih tetap berada di medan peperangan.
Dada anak-anak muda itu bergetar ketika mereka melihat justru Panembahan Agung yang terkulai itulah yang mula-mula bergerak. Ternyata Panembahan Agung itu tidak mati. Bahkan perlahan-lahan ia berusaha mengangkat kepalanya dan bangkit duduk meskipun nampaknya masih terlampau lemah. Sejenak kepalanya tertunduk kembali karena kekuatannya sama sekali masih belum mampu menahan kepalanya yang tegak.
Sumangkar pun menjadi berdebar-debar. Ia mengenal Panembahan Agung sebagai seseorang yang memiliki ilmu yang luar biasa. Ia pun mengetahui bahwa busurnya yang besar itu dapat melontarkan anak panah raksasa yang dapat meledakkan kepala seseorang.
"Kiai," berkata Sutawijaya, "Panembahan Agung itu seolah-olah bagaikan mayat yang bangkit lagi dari kuburnya. Mengerikan sekali. Ia akan dapat membakar kita dengan ilmunya."
"Ya," sahut Sumangkar.
"Kita mendahuluinya," geram Swandaru, "kita membunuhnya selagi ia masih belum mampu berbuat apa-apa."
Sumangkar berpikir sejenak. Agaknya pendapat Swandaru itu dapat dimengertinya. Lebih baik mendahuluinya daripada mereka harus dibakar hidup-hidup oleh ilmunya yang sangat dahsyat itu.
Namun demikian mereka masih tetap ragu-ragu. Sekilas mereka berpaling. Dilihatnya Ki Waskita masih duduk dalam samadinya.
Dalam pada itu, perlahan-lahan Panembahan Agung mendapatkan sebagian kecil kekuatannya kembali sehingga meskipun masih bersandar pada kedua telapak tangannya yang bertelekan di sisi tubuhnya, ia sudah berhasil mengangkat kepalanya.
Dalam pada itu, mereka yang ditinggalkan oleh anak-anak muda itu menyusul Ki Sumangkar menjadi cemas juga. Namun mereka percaya bahwa anak-anak muda yang sudah cukup matang menghadapi berbagai jenis medan itu akan dapat menolong diri mereka sendiri apabila terjadi sesuatu.
Sementara itu, pasukan pengawal Menoreh dan pasukan pangawal dari Mataram telah benar-benar menguasai seluruh padepokan yang oleh Panembahan Agung disebutnya Padepokan Medang.
Sebagian dari para pengawal padepokan itu dapat dikuasai hidup-hidup. Namun korban pun berserakan hampir tidak terhitung jumlahnya dari kedua belah pihak. Namun karena pasukan Mataram dan Menoreh telah mempersiapkan diri menghadapi medan yang membingungkan, justru korban di antara mereka tidak jatuh sebanyak korban dari padepokan itu sendiri. Para pengawal Panembahan Agung ternyata telah terguncang oleh kenyataan yang tidak mereka duga-duga adbmcadangan.wordpress.com. Mereka menyangka bahwa hanya Panembahan Agung sajalah yang dapat menciptakan kebohongan-kebohongan yang membingungkan. Namun ternyata bahwa lawan mereka pun mampu melakukannya, sehingga karena mereka belum bersiap sama sekali menghadapi hal itu, justru merekalah yang menjadi sangat bingung sehingga korban berjatuhan tanpa hitungan.
Apalagi para pemimpin padepokan itu. Tidak seorang pun yang berusaha untuk tetap hidup. Sepeninggal Putut Nantang Pati dan Daksina, apalagi kemudian Panembahan Alit, maka mereka pun bagaikan saling mendahului membunuh diri di peperangan.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang lemah sudah dibawa ke padepokan. Dibaringkannya tubuhnya di pembaringan yang terletak di sebuah gubug kecil dekat regol terdepan padepokan Panembahan Alit.
Namun Kiai Gringsing sudah dapat memberikan petunjuk kepada Ki Demang Sangkal Putung, bagaimana merawat luka-lukanya sendiri. Sementara itu Ki Argapati dan Prastawa sibuk mengatur para pengawal yang memasuki padepokan itu. Menempatkan mereka di tempat-tempat yang pantas mendapat pengawasan dan menjaga para tawanan yang menyerah.
Sementara itu beberapa orang pemimpin pengawal dari Mataram telah mengatur beberapa orang pengawal dan para tawanan untuk membersihkan medan. Menyingkirkan mayat yang berserakan dan mengurus penguburannya.
Di dalam kesibukan itu, Ki Lurah Branjangan segera dapat mengenali beberapa orang yang sebenarnya prajurit-prajurit Pajang. Baik yang menjadi korban di dalam peperangan itu, maupun yang masih hidup dan menjadi tawanan.
Tetapi mereka adalah prajurit-prajurit. Mereka tidak akan dapat memberikan banyak keterangan selain menyebut nama Daksina sebagai senapati mereka yang telah membawa mereka ke padepokan terpencil itu.
Namun dengan demikian semakin nyata bagi Ki Lurah Branjangan, bahwa sebenarnyalah Pajang telah terpecah. Seperti dirinya sendiri yang pernah menjadi seorang senapati di Pajang, kini telah berada di antara para pengawal di tanah Mataram yang sedang berkembang itu. Dengan demikian maka ternyata bahwa kekuatan Pajang telah terpecah dalam bagian-bagian kecil yang saling bertentangan dan bahkan saling bertempur. Jika di peperangan ini ia bertemu dengan Daksina, itu berarti bahwa dua orang Senapati Pajang telah berhadapan di bawah panji-panji yang berbeda warna. Namun dengan demikian, warna-warna itu seakan-akan telah melambangkan keringkihan Pajang yang semakin lama menjadi semakin parah.
Sementara itu, selagi orang-orang di padepokan itu sibuk dengan menyingkirkan mayat-mayat yang akan dikubur di tempat yang masih harus dicari, maka Ki Pemanahan yang berada di Mataram dengan gelisah menunggu kedatangan Sutawijaya. Namun sebagai seorang prajurit ia menyadari, bahwa tugas Sutawijaya tidak akan dapat diselesaikan dalam waktu satu dua hari saja. Mungkin Sutawijaya berhasil menduduki sarang orang-orang bersenjata itu, tetapi tentu diperlukan waktu untuk menguasainya sama sekali.
Namun dalam pada itu, yang seakan-akan membuat Ki Gede Pemanahan tidak sabar lagi menunggunya adalah berita yang sudah sampai di telinganya, yang bersumber dari seorang prajurit Pajang, bahwa Sutawijaya telah melakukan tindakan yang tercela. Ia telah melakukan kesalahan yang besar sekali terhadap Sultan Pajang, yang telah mengangkat menjadi anaknya dan mengasihinya seperti anaknya sendiri.
"Jika berita ini benar, celakalah Sutawijaya. Sultan Pajang mempunyai alasan yang kuat untuk menghukum Sutawijaya. Jika beberapa daerah sebelumnya menyetujui sikapnya, meskipun hanya di dalam hati, tentu akan melepaskan dukungannya terhadap Mataram. Beberapa orang bupati yang menjunjung tinggi nilai kesopanan, akan mengutuknya dan meninggalkannya dalam kesulitan. Bahkan mereka tentu akan mendukung tindakan Sultan Pajang seandainya mereka akan menangkap Sutawijaya," keluh Ki Gede Pemanahan di dalam hati.
Sekali-sekali Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia tidak segera mengambil tindakan berhubung dengan berita yang sampai kepadanya, namun ia merasa seakan-akan tersiksa karenanya.
Karena itu, ketika ia tidak dapat menahan hati lagi, masa diperintahkannya beberapa orang penghubung untuk menyusul Sutawijaya ke Menoreh.
"Katakan kepadanya, jika persoalan yang dihadapinya sudah selesai, ia harus segera kembali ke Mataram. Ada sesuatu yang sangat penting untuk dibicarakan," berkata Ki Gede kepada utusan itu.
Utusan itu menjadi termangu-mangu. Kepergian Sutawijaya ke Menoreh dengan membawa pasukan berkuda adalah untuk melakukan tugas yang cukup berat. Namun tiba-tiba Ki Gede Pemanahan seolah-olah tidak sabar menunggunya dan memerintahkan puteranya segera kembali ke Mataram.
Karena itu maka utusan itu pun memberanikan diri untuk bertanya, "Ki Gede. Kami kurang mengerti Bukankah kepergian Raden Sutawijaya itu untuk menunaikan tugas pengamanan daerah Mataram?"
"Ya. Tetapi yang harus kau sampaikan itu ada juga sangkut pautnya dengan pengamanan daerah yang sedang kita buka ini. Justru tidak kalah pentingnya dengan persoalan yang kini sedang dihadapi oleh Sutawijaya di Menoreh."
"Apakah aku dapat menyampaikan persoalan itu kepada Raden Sutawijaya."
Ki Gede menggelengkan kepalanya. Katanya, "Kau tidak usah menyebut persoalan itu. Mungkin Sutawijaya sendiri tidak segera mengetahui apakah yang akan dijumpainya di dalam persoalan yang aku pesankan kepadamu. Itu tidak penting. Yang penting biarlah Sutawijaya segera kembali."
"Tetapi bagaimanakah jika tugas itu belum selesai."
Ki Gede Pemanahan termangu-mangu sejenak.
"Panggilan ini tentu akan menggelisahkannya, Ki Gede. Jika Raden Sutawijaya sedang berada di medan, sudah tentu bahwa aku tidak akan dapat menyampaikan kepadanya."
"Kenapa?" bertanya Ki Gede.
"Aku mengetahui benar tabiat Raden Sutawijaya. Jika ia dikecewakan oleh sesuatu persoalan, selagi persoalannya yang dahulu belum selesai, ia akan menjadi marah, dan berbuat atas landasan perasaannya."
"Kau benar." "Jadi?" "BaiKiah. Jika ia masih berada di medan, kau dapat menunggunya sampai selesai. Mudah-mudahan ia tidak mengalami sesuatu di tlatah Menoreh, dan bahkan mudah-mudahan ia dapat berhasil." Ki Gede berhenti sejenak, lalu, "Tetapi ingatlah, ia harus segera berada di Mataram, sebelum ada persoalan yang datang justru dari Pajang."
Penghubung itu mengerutkan keningnya. Tetapi Ki Gede berkata seterusnya, "Jangan kau pikirkan apa yang telah terjadi dengan Sutawijaya. Tugasmu adalah membawanya kembali. Biar aku sajalah yang menyampaikan persoalan itu kepadanya, agar tidak terjadi salah mengerti."
"Baiklah, Ki Gede."
"Nah, berangkatlah. Pergilah ke induk Tanah Perdikan Menoreh. Kebijaksanaan selanjutnya ada padamu."
Demikianlah maka penghubung itu pun segera berkemas. Dengan tiga orang kawannya maka ia pun segera berangkat menyeberangi Sungai Praga.
Ternyata di lereng perbukitan padas di perbatasan Menoreh, Raden Sutawijaya bersama anak-anak muda murid Kiai Gringsing, Pandan Wangi, dan Ki Sumangkar sedang dicengkam oleh kegelisahan.
Panembahan Agung itu pun perlahan-lahan mencoba sekali lagi mengangkat wajahnya. Namun sekail lagi wajah itu tertunduk. Agaknya masih belum cukup kekuatan padanya untuk memandang keadaan di sekelilingnya dengan tatapan matanya.
Sementara itu, Swandaru hampir tidak sabar lagi. Sekali lagi ia berdesis, "Apakah kita akan menunggu Panembahan Agung itu berhasil membangunkan kekuatannya dan membakar kita di sini menjadi debu?"
Sutawijaya memandang Ki Sumangkar sejenak, seakan-akan mencari jawab atas pertanyaan Swandaru itu yang memang dapat dimengertinya.
Sekilas Ki Sumangkar memandang Panembahan Agung yang lemah. Nampaknya betapa pun ia berusaha, tetapi ia masih tetap tidak bertenaga. Ia hanya berhasil bangkit dan duduk bertelekan kedua tangannya dengan kepala yang seakan-akan terkulai tunduk tidak bertulang lagi.
Namun tiba-tiba Sutawijaya berdesis, "Apakah ia memiliki ilmu kebal seperti Panembahan Alit. Jika tidak, maka ia tentu sudah menjadi debu oleh kekuatan ilmu Ki Waskita."
Anak-anak muda itu saling berpandangan. Hampir bersamaan mereka pun memandang kepada Ki Sumangkar. Swandaru-lah yang mula-mula bertanya kepadanya, "Apakah Panembahan Agung itu juga kebal seperti Panembahan Alit?"
Ki Sumangkar menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku tidak mengerti. Tetapi kemungkinan itu memang ada. Ternyata ia berhasil lolos dari maut oleh kekuatan ilmu Ki Waskita. Tubuhnya sama sekali tidak terluka meskipun menjadi kehitam-hitaman."
Anak-anak muda itu menjadi tegang. Jika benar Panembahan Agung juga memiliki ilmu kebal, maka sudah barang tentu mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Hanya Kiai Gringsing-lah yang akan berhasil meremukkan bagian dalam orang itu meskipun kulitnya masih tetap utuh. Tetapi Kiai Gringsing bangkit pun seakan-akan tidak mampu lagi karena luka-lukanya yang agak parah.
Dalam keragu-raguan itulah mereka melihat Panembahan Agung bergerak-gerak lagi. Dengan sepenuh sisa tenaga yang dapat dibangunkannya lagi, ia berusaha mengangkat wajahnya yang kehitam-hitaman.
Betapa pun beratnya, namun akhirnya Panembahan Agung itu berhasil. Ia berhasil mengangkat wajahnya dan memandang keadaan di sekelilingnya. Tatapan matanya itu pun kemumudian terhenti ketika terlihat olehnya Ki Sumangkar bersama anak-anak muda yang sedang termangu-mangu itu.
Debar di jantung Ki Sumangkar dan anak-anak muda itu pun rasa-rasanya menjadi semakin cepat. Mereka hanya dapat berdiri tegak memandang Panembahan Agung dari tempat mereka. Rasa-rasanya mereka bagaikan melekat di atas tanah tempat mereka berdiri.
Sejenak Panembahan Agung menggeram. Matanya masih memandang kepada Ki Sumangkar dan anak-anak muda yang ada di sekitarnya.
"Panembahan Agung sedang menyiapkan ilmunya," berkata anak-anak muda itu di dalam hatinya.
Namun tiba-tiba anak-anak muda itu mendengar Ki Sumangkar berkata, "Kita harus memencar. Jika tenaga itu tumbuh lagi di mata Panembahan Agung, kita tidak bersama-sama terbakar."
"Bagus," desis Sutawijaya, "kita bersembunyi di balik batu-batu padas."
Anak-anak muda itu pun telah siap untuk meloncat memencar agar mereka tidak hangus bersama-sama. Dari tempat mereka bersembunyi mereka akan dapat berusaha melawan Panembahan Agung sejauh dapat mereka lakukan.
Namun sebelum mereka melangkahkan kaki mereka, terdengar suara lemah di belakang mereka, "Kalian tidak usah menyingkir ke mana pun."
Serentak mereka berpaling. Dan mereka pun merasa seolah-olah telah terlepas dari mulut seekor harimau yang paling ganas. Mereka melihat Ki Waskita telah mengangkat wajahnya meskipun ia masih duduk bersila.
"Ki Sumangkar," berkata Ki Waskita, "kau tidak usah cemas lagi terhadap Panembahan Agung. Meskipun ia masih tetap hidup tetapi ia tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Ia telah kehilangan sebagian besar dari dirinya sendiri. Ia sudah tidak dapat memancarkan ilmunya yang dahsyat itu lagi. Di dalam keadaan yang terakhir, kita berjuang untuk saling menghancurkan sumber ilmu yang ada di dalam diri kita masing-masing, bukan bentuk jasmaniah ini meskipun siapa yang menang akan dengan mudah dapat menjadikan bentuk jasmaniah ini menjadi debu."
Sumangkar mengerutkan keningnya. Sejenak ia memandang Panembahan Agung yang masih juga memandang ke arahnya dan anak-anak muda yang berdiri di sekitarnya.
Namun tiba-tiba Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Baru kini ia sadar, bahwa tatapan mata Panembahan Agung itu bagaikan tatapan sebutir batu hitam. Tanpa sorot dan tanpa lukisan kehendak sama sekali.
Tiba-tiba saja Sumangkar menjadi ngeri. Seakan-akan ia melihat sebuah sumur yang sudah mati, namun dalamnya tidak dapat dijajagi. Dalam sekali tanpa dasar, namun kosong.
Agaknya anak-anak muda. yang ada di sekitarnya pun menangkap keadaan itu pula, sehingga Pandan Wangi yang meremang di seluruh tubuhnya bergeser mendekatinya sambil berdesis, "Kiai, apakah yang sebenarnya terjadi?"
Ki Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang Panembahan Agung ia berkata, "Ia telah kehilangan segala-galanya yang ingin ia miliki di dunia ini. Ilmunya, kedudukannya, dan kini dirinya sendiri."
Pandan Wangi bergeser semakin mendekati Sumangkar. Meskipun ia prajurit di medan perang, tetapi kesan yang ditangkapnya pada Panembahan Agung agak berbeda. Semula ia sudah siap untuk pergi memencar dan berjuang seorang demi seorang. Tetapi kini justru ia menjadi ngeri dan seakan-akan ia ingin berlindung di belakang Sumangkar yang telah mengalami luka-luka.
Dalam pada itu, perlahan-lahan Ki Waskita pun berdiri pula. Dengan kening yang berkerut ia melangkah mendekati Panembahan Agung yang masih duduk sambil memandang berkeliling. Seakan-akan ia menjadi heran melihat alam yang gumelar di sekitarnya.
Ketika Ki Sumangkar melangkah mengikutinya, Pandan Wangi pun ikut pula di belakangnya diiringi oleh anak-anak muda yang lain.
Beberapa langkah di hadapan Panembahan Agung, Ki Waskita pun berdiri tegak. Kemudian sambil membungkukkan kepalanya ia bertanya, "Apa kabar, Panembahan?"
Panembahan Agung memandanginya sejenak, lalu terdengar ia bertanya. Namun Ki Sumangkar dan anak-anak muda itu terkejut mendengar suaranya yang tidak ubahnya suara seorang tua yang sudah pikun, "Kau siapa, he?"
"Panembahan, apakah Panembahan tidak mengenali aku lagi" Aku Jaka Raras."
"Jaka Raras," Panembahan Agung mengingat-ingat. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya, "Siapakah Jaka Raras itu?"
"Aku Panembahan."
"Kenapa kau panggil aku Panembahan."
"Bukankah kau menyebut dirimu Panembahan Agung?"
Panembahan Agung itu mengangkat alisnya, lalu, "Aku tidak mengerti."
"Baiklah. Jika kau tidak mengenal lagi dirimu sebagai Panembahan Agung, biarlah aku memanggilmu Gantar, yang kemudian kau lengkapi namamu menjadi Gantar Angin. Kau ingat."
"Ya, ya. Aku adalah Gantar Angin."
"Dan aku adalah Jaka Raras."
"Jaka Raras," orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengingat-ingat. Lalu, "O, aku ingat sekarang. Kau Jaka Raras. Ya, Jaka Raras yang dungu itu." Terdengar suara orang itu tertawa terkekeh-kekeh. Suara tertawa seorang tua.
Namun tiba-tiba suara tertawanya terhenti. Sambil mengerutkan keningnya ia berdesis, "Jaka Raras. Ya, kita pernah berguru bersama."
"Benar. Kau sudah menemukan permulaan dari kesadaranmu. Cobalah, kau telusuri ingatan itu, sehingga kau tentu akan menemukan keadaanmu sekarang, sebagai seorang Panembahan yang menyebut dirinya Panembahan Agung."
Orang yang menyebut dirinya Panembahan Agung itu termenung sejenak. Ia masih tetap duduk bersila di atas sebuah amben kecil. Sekali-sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan tangannya yang lemah ia mencoba mengusap keningnya yang sudah menjadi kehitam-hitaman.
Tetapi, ketika kulitnya bersinggungan, Panembahan Agung itu menyeringai menahan sakit.
"O," Pandan Wangi semakin bergeser di belakang Sumangkar. Ia menjadi bertambah ngeri melihat keadaannya. Rasa-rasanya ia benar-benar menghadapi sesosok mayat yang hidup kembali.
"Jaka Raras," berkata Panembahan Agung, "di manakah aku sekarang ini berada?"
"Jangan kau cari di mana kau sekarang. Telusurilah kenanganmu sejak kita bersama-sama berguru."
Panembahan Agung tidak segera menjawab. Dengan ingatannya yang gelap ia mencoba mengenang semua yang telah terjadi atas dirinya.
"Gantar Angin," berkata Jaka Raras, "mulailah dari nama itu."
Panembahan Agung mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Aku sedang mencoba. Tetapi aku rasa, aku tidak akan berhasil."
"Kau akan berhasil," sahut Jaka Raras, "kau telah mendapatkan ilmu yang tidak ada taranya. Ilmu yang dapat menciptakan bentuk-bentuk semu, kemudian ilmu yang dapat kau pergunakan untuk membakar gunung dan memecahkan batu-batu hitam sebesar kerbau dengan tatapan matamu. Dan kau mempunyai sebuah busur yang besar sekali yang tidak setiap orang dapat mempergunakan."
"O," Gantar Angin yang kemudian menyebut dirinya Panembahan Agung itu mengangguk-angguk kecil.
"Nah, bukankah kau sudah menemukan."
"Kau benar," tiba-tiba Panembahan Agung itu mengangkat wajahnya. Sambil memandang Jaka Raras ia berkata, "Aku memiliki ilmu itu, ilmu yang dapat membakar gunung. He, apakah kau akan menghalang-halangi aku" Jaka Raras, aku ingat semuanya. Aku memiliki ilmu untuk menciptakan bentuk-bentuk semu. Nah, malanglah nasibmu. Aku akan membakarmu dengan ilmuku."
"Panembahan," berkata Jaka Raras, "kau belum selesai. Ingatanmu baru merambat sampai saat kau mendapatkan ilmu itu."
"Aku tidak peduli. Aku mempunyai firasat bahwa kau berniat buruk. Karena itu kau harus mati."
Panembahan Agung itu memandang Jaka Raras dengan tajamnya.
"Jangan kau siksa dirimu dengan kenangan itu. Jika kau menyadari kenyataanmu, dan jika kau berhasil menemukan dirimu saat ini, kau akan mengetahui, bahwa ilmumu sudah punah semuanya."
Mata Panembahan Agung terbelalak. Dan tiba-tiba saja ia memandang ke dirinya sendiri.
"Panembahan Agung. Kau adalah Panembahan Agung. Tetapi kau bukan lagi Panembahan Agung seperti pada saat kau menyebut dirimu demikian."
"He," mata Panembahan Agung itu terbelalak, "jadi ilmuku sudah punah" He, siapakah yang sudah memunahkan ilmuku. Tidak mungkin. Hanya gurukulah yang dapat melakukannya. Tidak orang lain. Tidak ada ilmu yang dapat menyingkirkan ilmuku dari diriku."
"Gantar Angin," berkata Jaka Raras, "kita bersama telah menerima bagian dari ilmu guru. Meskipun kau mendapat kesempatan lebih banyak, tetapi setelah guru tidak ada lagi, aku berhasil menyempurnakan ilmuku sehingga mendekati kemampuan guru. Dan aku, seperti juga kau, tentu akan dapat melakukannya. Memunahkan ilmu itu. Kita telah bertempur untuk berusaha saling membakar dan memunahkan ilmu kita masing-masing. Dan karena usahaku aku landasi dengan keyakinan bahwa aku benar, maka aku berani mohon kepada Tuhan agar menolongku di dalam puncak perjuanganku. Ternyata aku berhasil."
"O, gila kau Jaka Raras. Aku mempelajari ilmu itu bertahun-tahun. Kini kau khianati aku. Kau khianati aku," Panembahan Agung itu tiba-tiba berteriak keras sekali sehingga suaranya seakan bergema memenuhi lembah dan tebing-tebing pegunungan, meskipun ia tidak mampu lagi melontarkan suara di luar jangkauan getaran tenggorokannya seperti yang pernah dapat ia lakukan.
"Sudahlah, Panembahan. Sadarilah bahwa hukuman Tuhan telah datang."
"Persetan. Aku tidak mau. Kembalikan ilmuku itu, kembalikan," Panembahan itu berteriak-teriak.
"Sadarlah, kau bukan anak-anak lagi."
"Tidak, tidak. Kembalikan, kembalikan," Panembahan itu menjerit. Namun tiba-tiba suaranya terputus. Sejenak Panembahan Agung itu jatuh terkulai. Namun sejenak kemudian ia pun bangkit kembali perlahan-lahan.
Wajahnya masih tetap kehitam-hitaman. Tetapi justru menjadi semakin mengerikan ketika Panembahan Agung itu justru tertawa, "Ha, akulah manusia yang paling sempurna di muka bumi. Aku adalah satu-satunya orang yang memiliki ilmu yang dahsyat, yang mampu membakar gunung dan memecahkan batu hitam sebesar kerbau. Aku pulalah yang dapat menciptakan apa pun juga yang aku kehendaki."
"Panembahan," Jaka Raras mengerutkan keningnya.
Panembahan Agung tertawa semakin keras, semakin keras sehingga tubuhnya yang lemah itu menjadi terguncang-guncang.
"Panembahan, sadarilah keadaanmu."
Suara tertawanya justru semakin keras. Sambil berteriak ia menengadahkan tangannya, "Aku adalah manusia yang paling sempurna. Aku akan menghancurkan semua negeri yang ada di muka bumi. Akulah penguasa tunggal alam semesta. Aku adalah yang Maha Kuasa di atas bumi."
Ki Waskita yang juga disebut Jaka Raras itu mundur selangkah. Wajahnya menjadi tegang. Demikian pula agaknya Ki Sumangkar dan anak-anak muda yang ada di sebelahnya.
"Panembahan," desis Jaka Raras.
"Pergi, pergilah kalian. Jangan ganggu aku lagi. Atau aku harus membakar kalian menjadi abu?"
"Semuanya sudah lampau, Panembahan. Sebaiknya Panembahan melanjutkan selangkah lagi. Panembahan belum sampai pada ujung penjelajahan kenangan masa lampau itu."
Panembahan Agung mengerutkan keningnya. Namun ia kemudian tertawa lagi, "Persetan. Jangan mencoba menghasut. Jika kau ingin hidup, pergilah."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak dapat menolong lagi goncangan jiwa Panembahan Agung yang agaknya telah menghancurkan nalarnya, sehingga ia tidak lagi dapat mengendalikan gejolak perasaannya.
"Pergi, pergi. Aku akan menghancurkan Mataram. Aku akan menghancurkan Demak yang sudah bergeser ke Pajang itu. Aku akan menghancurkan kekuasaan para Adipati di pasisir dan Bang Wetan. Semuanya, semuanya. Dan aku adalah penguasa tunggal di atas bumi."
Jaka Raras hanya dapat memandanginya saja ketika Panembahan Agung berusaha untuk meloncat bangkit. Sambil berteriak mengerikan ia menolak kenyataan tentang dirinya yang sebenarnya lumpuh.
Tetapi Panembahan Agung sama sekali tidak mempunyai kekuatan lagi. Ilmunya sudah punah dan kekuatan jasmaniahnya pun telah hampir punah sama sekali.
Karena itulah, maka hentakan kekuatan yang dipaksakannya itu ternyata telah merampas semua yang tersisa padanya. Seperti sebatang pohon pisang, Panembahan Agung roboh di tanah. Nafasnya menjadi terengah-engah, dan wajahnya yang hitam menjadi semakin hitam.
Perlahan-lahan Ki Waskita mendekatinya. Sambil berjongkok di samping tubuh Panembahan Agung ia berkata, "Panembahan, sebaiknya kau menyadari dirimu. Marilah, ikutlah aku."
"Aku adalah orang yang paling berkuasa. Jangan memerintah aku."
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam.
"He kau dengar, bukankah aku orang yang paling berkuasa di muka bumi."
Hampar di luar sadarnya tiba-tiba saja Ki Waskita mengangguk, "Ya, Panembahan."
"Nah, bersujudlah."
"Ya, Panembahan."
"Akuilah bahwa aku mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas atas manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan di muka bumi."
"Ya, Panembahan."
Panembahan Agung memandang Ki Waskita sejenak. Perlahan-lahan ia menggeliat. Ketika terpandang olehnya wajah Ki Waskita yang sedang mengangguk-anggukkan kepalanya, maka tiba-tiba ia pun tersenyum sambil berdesis, "Bagus, akulah yang Maha Kuasa itu."
Ki Waskita tidak sempat menjawab. Tiba-tiba saja kepala Panembahan Agung itu terpejam untuk selama-lamanya.
Perlahan-lahan Ki Waskita bergeser surut. Diusapkan kening Panembahan Agung yang menjadi dingin.
"Ia sudah meninggal," desisnya.
Ki Sumangkar diikuti oleh Agung Sedayu, Swandaru, dan Sutawijaya mendekatinya. Tetapi Pandan Wangi masih tetap berdiri di kejauhan. Ia tidak berani memandang wajah dan tubuh Panembahan Agung, yang mengerikan baginya itu.
"Ia tetap pada pendiriannya sampai saat matinya," desis Ki Waskita. "Ia bertahan pada jalannya yang sesat tanpa setitik terang pun sampai ia harus kembali kepada Yang Maha Pencipta."
"Mengerikan sekali," tiba-tiba Agung Sedayu berdesis.
Sutawijaya menundukkan kepalanya. Panembahan Agung adalah gambaran orang yang tetap mengeraskan hatinya sampai saat pengadilan yang abadi itu tiba. Dan ia tidak akan sempat lagi untuk menyesali segenap kesalahan dan mohon ampun kepada Yang Maha Pengasih.
Rasa-rasanya semua pintu telah tertutup baginya, bagi orang yang tidak mengindahkan kasih dan pengampunan-Nya.
Ki Waskita pun kemudian berdiri. Dipandanginya orang-orang yang terikat pada batang-batang pohon sambil menahan segala macam pergolakan di dalam hati. Panembahan yang mereka sangka tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun juga itu, akhirnya terbunuh di peperangan
"Ki Sanak," berkata Ki Waskita, "Panembahan Agung telah mati. Ia adalah orang yang memiliki ilmu tanpa tanding. Tetapi ia memilih jalan sesat. Kalian yang selama ini mengaguminya dan percaya kepadanya, kini melihat kenyataan, bahwa tidak ada seorang pun yang sempurna di muka bumi." Ki Waskita berhenti sejenak. "Nah, yang dapat kalian lakukan kemudian adalah menguburnya dan mengubur kawan-kawanmu yang terbunuh. Berilah pertanda pada kuburannya, panembahan yang pernah menggoncangkan dunia."
Orang-orang itu tidak menyahut. Tetapi mereka dengan sepenuh hati menguburkan Panembahan Agung setelah ikatan mereka dilepaskan. Salah seorang dari mereka pun kemudian menemukan sebatang pohon nyamplung yang baru tumbuh dan memindahkannya di atas kuburan Panembahan Agung itu, sehingga apabila pohon nyamplung itu kelak dapat tumbuh dan menjadi sebesar gumuk kecil yang berada di lereng bukit, maka akan dapat dikenal, bahwa di tempat itulah Panembahan Agung dikuburkan, tanpa setetes pengampunan atas segala dosa-dosanya.
Demikianlah, setelah penguburan Panembahan Agung dan korban-korban yang lain telah selesai, maka mereka pun segera kembali kepada induk pasukan yang sedang menunggu. Swandaru berjalan di paling depan sambil menolong Ki Sumangkar yang terluka. Sedang dibelakangnya Pandan Wangi melangkah sambil menundukkan kepalanya. Beberapa orang tawanan mengikutnya dengan hati yang kosong. Mereka sama sekali tidak dapat membayangkan, apakah yang akan dapat terjadi atas diri mereka. Dan di belakang mereka berjalan Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Ki Waskita.
Sutawijaya sekali-sekali menarik nafas dalam-dalam. Yang terjadi adalah peristiwa yang sangat gawat bagi Mataram. Jika tidak secara kebetulan ia pergi bersama Ki Waskita dan pasukan pengawal terpilih dari Menoreh, maka ia tidak akan dapat menyelesaikan tugas itu. Bahkan mungkin hanya tinggal namanya sajalah yang akan diucapkan oleh orang-orang Mataram, sebagai seorang pahlawan yang mengorbankan diri sebagai bebanten berdirinya Tanah Mataram. Atau dengan demikian adbmcadangan.wordpress.com ayahnya akan menjadi sangat kecewa dan melepaskan niatnya untuk mendirikan sebuah negeri yang ramai. Mataram akan terbengkelai, dan akhirnya benar-benar jatuh ke tangan orang-orang yang gila itu.
Tetapi bagi Sutawijaya, peristiwa ini bukan akhir dari perjuangannya untuk menegakkan Mataram. Ia yakin bahwa di Pajang masih ada beberapa orang yang memiliki kelebihan di dalam berbagai bidang, yang tidak senang melihat Mataram tumbuh dan menjadi kuat. Mereka tentu akan melakukan apa saja yang dapat mereka usahakan untuk menghancurkan Ki Gede Pemanahan.
"Persetan dengan mereka," berkata Sutawijaya di dalam hatinya, "pada suatu saat aku akan menemukan mereka. Ayahanda Suitan Pajang akan mengetahui, siapakah sebenarnya yang telah menggali jarak antara Pajang dan Mataram."
Namun tiba-tiba dada Sutawijaya terguncang. Hampir di luar kemampuannya untuk menolak, telah hadir pula di dalam angan-angannya wajah seorang gadis cantik dari Kalinyamat itu.
"Persetan," sekali lagi ia berdesis.
Namun ia akhirnya gagal untuk mengusir kegelisahan di hatinya itu. Ia tidak akan dapat ingkar, jika seandainya ia dihadapkan pada gadis itu.
"Tetapi, apakah benar-benar ia mengandung?" pertanyaan itu telah mengguncangkan dadanya. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia berkata kepada diri sendiri, "Mudah-mudahan tidak. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu akibat dari kekhilafan itu."
Meskipun demikian Sutawijaya tidak dapat mengingkari, bahwa rahasia itu tentu sudah tersebar. Jika Daksina berhasil mengetahui rahasia itu, maka para pemimpinnya di Pajang pun pasti telah mengetahuinya pula. Bukannya aneh jika kekhilafan itu akhirnya akan didengar pula oleh ayahandanya
Baik ayahanda angkatnya, Sultan Pajang, mau pun ayahandanya sendiri, Ki Gede Pemanahan.
Raden Sutawijaya berusaha mengusir angan-angan itu dengan menggeretakkan giginya. Bahkan kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. Untunglah bahwa orang-orang yang berjalan di sekitarnya tidak memperhatikannya, karena mereka sedang sibuk dengan persoalan mereka masing-masing.
Kedatangan mereka di induk pasukannya disambut dengan perasaan lega, setelah beberapa lamanya pasukan itu dicengkam oleh kegelisahan. Rudita pun kemudian berlari-larian mendapatkan ayahnya dan seperti seorang kanak-kanak yang baru pandai berjalan, ia menangis terisak-isak.
"Rudita," berkata ayahnya, "lihatlah. Kawan-kawan sebayamu tidak menangis seperti kau meskipun mereka mengalami peristiwa yang barangkali lebih dahsyat dari yang kau alami.?"
Rudita menganggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak merengek seperti biasanya. Matanya yang redup memandang ke kejauhan, seakan-akan menggapai-gapai mencari persoalan di dalam dirinya sendiri yang tidak dapat diketemukannya selama ini di dalam dirinya itu.
"Memang ada kelainan pada diri ini dengan anak-anak muda sebayaku," tiba-tiba saja terbersit perasaan itu di dalam dadanya.
Tetapi Rudita hanya menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai menyadari bahwa dirinya berbeda dengan Agung Sedayu, dengan Swandaru, Prastawa, dan apalagi Sutawijaya.
Sementara itu, Pasukan dari Mataram dan Menoreh itu pun mempersiapkan diri dan berkemas. Setelah beristirahat secukupnya mereka harus segera kembali ke tempat masing-masing.


04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di malam hari, lembah itu bagaikan dunia yang senyap dan terpisah dari dunia yang lain. Gelap pekat dan sunyi. Suara malam bagaikan lagu yang sangat asing menyentuh relung-relung hati yang paling dalam.
Meskipun para pengawal menyadari bahwa peperangan yang aneh itu sudah selesai, namun hampir tidak seorang pun dari mereka yang sempat tidur dengan nyenyak. Berbagai bayangan mengganggu angan-angan mereka. Bahkan kadang-kadang mereka seakan-akan melihat bentuk-bentuk semu yang mengerikan di dalam gelapnya malam.
Ketika angin lembut mengusap tubuh mereka, terasa malam menjadi dingin. Dingin, sepi, tetapi mengerikan.
Di lewat tengah malam para pengawal itu terkejut mendengar suara anjing liar menyalak di kejauhan. Melolong-lolong, seperti hantu-hantu yang buas mencium bau mayat yang berserakan, yang terlampaui tidak diketemukan oleh kawan-kawannya dan karena itu tidak dikuburkan.
Lembah itu rasa-rasanya bagaikan neraka yang dingin beku, tetapi melampaui panasnya bara api kayu mlandingan.
Setiap orang mengharap agar mereka segera terlepas dari belenggu yang menegangkan itu. Setiap kali mereka selalu memandang batas langit di ujung sebelah Timur.
Geger Putri Istana 1 Monster Di Danau Strawberry Klub Ilmuwan Edan The Mad Scientists Club Karya Bertrand R. Brinley Kitab Tapak Geni 1

Cari Blog Ini