04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 21
Demikian, maka Kiai Raga Tunggal pun menyiapkan pasukannya. Ia akan menjadi umpan untuk memancing pasukan lawan memasuki daerah tebaran anak panah dari kelompok-kelompok yang sudah menyatukan diri itu.
Dalam pada itu maka Kiai Raga Tunggal pun sadar, bahwa ia akan dapat mengalami keadaan yang paling buruk apabila kawan-kawannya mengkhianatinya. Jika kawan-kawannya dengan sengaja memperlambat serangannya beberapa saat saja, maka pasukannya akan benar-benar menjadi musna sama sekali.
Tetapi itu adalah akibat yang harus ditanggungkannya. Tentu tidak ada orang lain yang bersedia menjadi umpan, karena gerombolannyalah yang pertama-tama telah berbenturan dengan gerombolan dari Tambak Wedi itu, sehingga dengan demikian maka seolah-olah gerombolannyalah yang mempunyai tanggung jawab terbesar di dalam benturan yang bakal datang.
Sejenak kemudian, maka pasukan dari Tambak Wedi pun telah menjadi semakin dekat. Beberapa pengawas telah melaporkan bahwa iring-iringan yang mengerikan itu tengah merayap turun dan mendekati kubu mereka.
"Baiklah," berkata Kiai Raga Tunggal, "benturan semacam ini sudah dapat kita duga sejak mereka berada di Tambak Wedi untuk pertama kali, bahwa pada suatu saat kita akan bersentuhan dan saling menyakiti hati. Bahkan kemudian saling berbunuhan. Kini semuanya itu akan segera menjadi kenyataan. Selama ini kita adalah perampok-perampok kecil yang masih mempertimbangkan untuk tidak membunuh korban-korban kami. Tetapi tentu tidak saat kita melawan gerombolan dari Tambak Wedi. Kita akan membunuh seperti mereka juga membunuh."
Anak buah Kiai Raga Tunggal pun menjadi berdebar-debar.
"Jika kalian mulai ngeri melihat tandang dan cara orang-orang Tambak Wedi bertempur, itu adalah pertanda bahwa kalian masih ragu-ragu. Bahwa kalian masih terlampau berbaik hati. Sejak saat kalian mulai menjadi ngeri itulah, maka kalian harus membunuh sebanyak-banyaknya agar kalian tidak justru ditelan oleh kengerian di hati kalian sendiri."
Anak buahnya pun kemudian mengangguk-angguk. Tetapi dada mereka belum pernah dihinggapi kecemasan seperti pada saat itu.
Tetapi tidak ada waktu lagi untuk membuat pertimbangan-pertimbangan lain. Laporan terakhir mengatakan, bahwa pasukan dari Tambak Wedi itu sudah semakin dekat, sehingga kelompok terdepan dari pertahanan Kiai Raga Tunggal telah hampir dilandanya.
"Sebentar lagi kita harus memilih. Membunuh atau dibunuh," berkata Kiai Raga Tunggal lantang. "Tetapi jika kalian bertanya kepadaku, maka jawabku, aku lebih baik membunuh di peperangan ini."
Kata-kata Kiai Raga Tunggal itu berhasil menyentuh jantung anak buahnya sehingga mereka pun tiba-tiba saja menggeram sambil menarik senjata masing-masing. Senjata yang memiliki jenis dan cirinya tersendiri. Seorang yang berkumis lebat menggenggam sebuah tombak pendek. Sedang seorang yang bertubuh gemuk membawa sebuah bindi yang seolah-olah berduri seperti sepotong batang enthong-enthongan. Sedang seorang yang bertubuh tinggi kurus, berwajah garang seperti harimau, membawa sebatang canggah bertangkai pendek. Yang lain lagi membawa parang, pedang, dan tongkat besi berujung runcing.
Tetapi mereka yang berada di bagian terdepan, selain senjata yang masih tetap di lambung, mereka telah menyiapkan busur dan memasang anak panah yang siap dilontarkan.
Sejenak kemudian, maka mereka yang bertugas di paling depan untuk menyeret pasukan dari Tambak Wedi itu ke bulak panjang dan pategalan telah mulai mempersiapkan diri dengan hati yang berdebar-debar. Sebab mereka akan dapat menjadi umpan pertama, dan mayatnya akan dicincang oleh orang-orang Tambak Wedi yang penuh dendam.
Ketika ujung pasukan Tambak Wedi itu sampai ke simpang tiga dan siap untuk langsung menuju ke sarang gerombolan Kiai Raga Tunggal di pategalan di luar sebuah padukuhan, maka kelompok yang telah disiapkan itu pun dengan serta-merta muncul dari balik pematang dan batang-batang jagung muda. Sebelum orang-orang dari Tambak Wedi itu menyadari, maka beberapa puluh anak panah pun telah meluncur menghujani mereka.
"Gila," Kiai Kalasa Sawit menggeram. Ia pun kemudian memutar tombak bermata kembarnya. Beberapa anak panah telah dipatahkannya. Namun anak panah masih saja meluncur seperti hujan.
Usaha orang-orang Kiai Raga Tunggal untuk mengurangi lawannya ternyata berhasil. Beberapa orang yang lengah telah terluka. Dan bahkan ada yang menjadi parah dan tidak akan mungkin mampu bertempur untuk seterusnya.
Tetapi jatuhnya korban itu membuat Kiai Kalasa Sawit semakin marah. Maka ia pun berteriak, "Setiap jiwa harus ditebus dengan sepuluh jiwa lawan."
Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu pun telah menebar. Dengan kemarahan yang membakar setiap dada, mereka pun segera menyerang dengan garangnya, seperti ombak di lautan yang sedang diputar oleh angin pusaran.
Melihat lawannya maju dalam gelar yang menebar, meskipun belum berbentuk, maka sekelompok yang dengan sengaja memancing lawan itu pun menarik diri, langsung masuk ke dalam daerah yang sudah dipersiapkan.
"Tetapi satu hal yang tidak kita bicarakan sebelumnya," berkata pemimpin kelompok kecil itu, "kita tidak menduga bahwa orang-orang Tambak Wedi itu maju dalam tebaran yang panjang."
"Tidak banyak bedanya," jawab seorang pembantunya. Lalu, "Mereka akan dihentikan oleh Kiai Raga Tunggal sebelum kelompok-kelompok yang lain menyerang mereka dari lambung."
Demikianlah, maka kelompok kecil itu mundur sesuai dengan rencana sambil menghujani lawannya dengan anak panah. Tetapi lawannya pun telah berhasil menyusun diri dengan menempatkan mereka yang berperisai di paling depan.
Demikianlah maka pasukan yang dipimpin oleh Kiai Kalasa Sawit itu mendesak terus. Mereka seolah-olah tidak menghiraukan anak panah yang menghujani pasukan mereka. Dengan perisai di tangan kiri, maka mereka yang berdiri di paling depan maju semakin lama makin cepat.
"Kita tidak menuju ke sarangnya lagi," desis Kiai Kalasa Sawit. "Kita tidak menuju ke padukuhan di sebelah itu. Agaknya mereka telah menunggu kita di bulak panjang."
"Dan kau dengan dungu mengikuti kelompok kecil yang menyerang dengan anak panah itu?" bertanya Kiai Jalawaja.
"Tentu tidak. Aku yakin bahwa kita telah dipancing masuk ke dalam sebuah perangkap. Kita akan membentur sekelompok pasukan lawan. Kemudian mereka akan menghimpit kita dari sisi. Cara-cara itulah yang biasa dipakai oleh penjahat-penjahat kerdil yang merasa dirinya pandai menyusun gelar."
"Jadi kau sadari bahwa lambung pasukanmu akan mendapat serangan?"
"Setiap pimpinan di dalam pasukan ini tentu sudah menyadarinya."
"Meskipun demikian, berikan perintah kepada pengapitmu. Yang di kiri dan yang di kanan."
Kiai Kalasa Sawit tidak membantah. Ia pun kemudian mengirimkan dua orang penghubung ke sayap pasukannya sebelah-menyebelah.
Seperti yang diduga oleh Kiai Kalasa Sawit, maka sayap pasukannya itu pun memang sudah siap. Mereka tidak mau melepaskan korban lagi dengan mengumpankan orang-orangnya dipatuk oleh anak panah lawan. Karena itu, pasukan yang berperisai telah lebih dahulu menempatkan diri di tepi barisan.
Dalam pada itu, pasukan yang telah bersiap menyerang dari lambung melihat kesiagaan lawannya. Sejenak mereka menjadi ragu-ragu.
Tetapi mereka sudah bertekad untuk melawan orang-orang dari Tambak Wedi itu bersama-sama. Kemungkinan satu-satunya itu adalah yang terbaik yang dapat mereka tempuh. Sehingga karena itu, maka beberapa orang di antara mereka telah mencari akal.
"Kita tidak menyerang dari lambung," berkata salah seorang dari mereka, lalu, "tidak akan banyak gunanya."
"Lalu?" "Kita menunggu pasukan itu berhenti membentur pasukan Kiai Raga Tunggal. Mungkin sayap yang lain, masih akan menyerang lambung kiri. Tetapi kita akan melingkari pasukan itu."
"Aku kurang mengerti."
"Sekelompok kecil akan tetap melontarkan anak panah dari lambung. Tetapi kita melingkar pasukan Tambak Wedi itu. Menilik gelarnya, maka mereka tidak berada dalam bentuk yang lengkap, sehingga kita akan dapat menyerang mereka dengan tiba-tiba dari arah ekor pasukan."
Kawannya merenung sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk sambil berkata, "Kau benar. Ekor pasukan Tambak Wedi agaknya bagian yang paling lemah dari seluruh pasukannya."
Yang lain pun mengangguk-angguk pula. Agaknya mereka sependapat dengan cara yang tiba-tiba saja telah mereka rencanakan.
Pasukan yang akan menyerang dari lambung kanan itu pun segera menyusun diri, disesuaikan dengan rencana mereka. Karena rencana itu tidak banyak berpengaruh pada induk pasukannya, maka mereka tidak merasa perlu untuk memperbincangkannya.
"Kita hanya akan memberitahukan saja kepada Kiai Raga Tunggal."
Dengan demikian, maka pasukan di lambung kiri itu justru memecah diri. Sebagian kecil masih tetap di tempatnya, menunggu saat yang sudah ditentukan, yang akan diisyaratkan oleh induk pasukannya dengan panah api. Sedangkan yang lain dengan diam-diam merayap melingkar dan justru siap menyerang ekor pasukan lawan.
Sejenak kemudian, maka pasukan yang mengejar sekelompok orang yang dengan sengaja memancing lawan itu menjadi semakin dekat dengan pasukan Kiai Raga Tunggal. Akhirnya mereka yang melemparkan anak panah itu pun segera luruh dengan induk pasukan. Mereka harus menghentikan gerak maju pasukan dari Tambak Wedi itu, sementara itu pasukan dari lambung akan menyerang mereka. Mula-mula dengan anak panah. Kemudian mereka akan bertempur dalam jarak pendek.
Tetapi naluri Kiai Kalasa Sawit dan Kiai Jalawaja agaknya cukup tajam menangkap rencana itu. Karena itu, maka sambil memandang jauh ke depan. Kiai Jalawaja bertanya, "Apakah kau dapat menduga, apakah yang tersembunyi di dalam kegelapan itu?"
Kiai Kalasa Sawit menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun menjawab, "Sepasukan yang akan menghentikan pasukan kita. Di sebelah-menyebelah pasukan lawan mulai merangkak maju."
Dan tiba-tiba saja, Kiat Kalasa Sawit meneriakkan sebuah aba yang seolah-olah telah mengguncang seluruh bulak yang panjang itu. Sejenak kemudian maka barisannya yang menebar itu pun bergeser dan menyusun kelompok-kelompok. Yang tengah menghadap ke depan, yang sebelah-menyebelah siap menghadapi serangan dari lambung seperti yang mereka perhitungkan.
Kiai Raga Tunggal terkejut mendengar teriakan yang nyaring itu. Seolah-olah teriakan itu melonjak di dalam dadanya sendiri.
Namun ia pun tidak menjadi bingung. Segera ia memerintahkan orang yang telah ditugaskannya untuk melontarkan anak panah api sebagai pertanda bahwa pertempuran yang sebenarnya akan segera dimulai. Pertempuran antara hidup dan mati di antara mereka yang selama itu bergerak di dalam bayangan yang hitam dan samar.
Sejenak kemudian, maka sebuah anak panah api pun telah meluncur. Sekilas cahaya yang kemerah-merahan melonjak ke udara, seperti sepercik bintang yang meloncat menggapai wajah langit, tetapi gagal dan jatuh kembali ke permukaan bumi.
Semua orang yang berada di sekitar bulak yang akan menjadi arena perang itu telah melihatnya. Orang-orang Tambak Wedi pun melihat pula. Terasa jantung mereka berdegup semakin keras. Pertanda itu seolah-olah merupakan jawaban atas aba-aba yang baru saja diteriakkan oleh Kiai Kalasa Sawit.
"Ternyata mereka telah menjadi gila," geram Kiai Kalasa Sawit. "Mereka merasa dirinya kuat untuk menjawab tantangan kami. Dengan sombong mereka berani melontarkan pertanda ke udara."
Kiai Jalawaja dengan tidak acuh menyahut, "Kau yang gila. Itu adalah jawaban yang wajar dari aba-aba yang kau teriakkan. Tidak seorang pun di antara mereka yang memiliki ilmu Tapak Angin seperti kau, yang dapat melontarkan bunyi sampai ke ujung cakrawala. Mereka memerlukan alat yang dapat dipergunakannya untuk memberikan isyarat seperti itu."
Kiai Kalasa Sawit tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia berteriak keras sekali, sehingga seolah-olah Gunung Merapi itu pun tergetar karenanya, "Bunuh setiap orang di dalam barisan lawan."
Kiai Raga Tunggal tergetar pula hatinya. Ia sadar bahwa lawannya mempunyai cara untuk melontarkan suara tidak dengan wajar.
Namun ia tidak ingin melihat anak buahnya menjadi berkecil hati. Karena itu ia pun berteriak pula meskipun hanya di dengar oleh anak buahnya yang ada di dalam kelompoknya, "Jangan takut. Orang-orang Tambak Wedi dapat juga mati. Kalian telah berhasil membunuh di antara mereka di bulak sebelah. Karena itu, maka yang berdatangan itu pun dapat pula dibunuh seperti yaug telah kalian lakukan."
Kata-kata itu ternyata mempunyai pengaruh pula. Mereka pun segera teringat, bahwa beberapa orang anak buah Kiai Kalasa Sawit telah terbunuh. Dengan demikian, maka mereka pun segera sadar, bahwa yang datang itu bukan pasukan jin atau hantu yang bebas dari kematian.
Sejenak kemudian, maka sekali lagi terdengar aba-aba yang terloncat dari mulut Kiai Kalasa Sawit tepat pada saat lawan mereka mulai bergerak.
Sejenak kemudian, ketika anak buah Kiai Kalasa Sawit mulai meloncat untuk menyerang, bertaburanlah anak panah yang dilontarkan oleh anak buah Kiai Raga Tunggal dan kawan-kawannya. Tidak saja dari depan, tetapi ternyata juga datang dari lambung sebelah-menyebelah.
Pada saat yang bersamaan Kiai Raga Tunggal mendapat pemberitahuan dari seorang penghubung, bahwa sayap kanan telah merubah rencananya. Meskipun masih ada sekelompok kecil yang menyerang dari lambung, tetapi pusat serangan mereka akan diarahkan pada ekor barisan lawan.
"Siapakah yang berada di sana?"
"Seperti yang direncanakan."
"Baiklah." Penghubung itu pun kemudian meninggalkan Kiai Raga Tunggal dan kembali ke tempatnya di sayap kanan.
Demikianlah sejenak kemudian, pertempuran tidak dapat dihindarkan lagi. Serangan anak panah dari pasukan Kiai Raga Tunggal dan sayap-sayapnya benar-benar telah menghambat kemajuan barisan Kiai Kalasa Sawit. Kiai Kalasa Sawit sendiri tidak banyak terpengaruh oleh serangan itu, karena senjatanya yang berputar seperti baling-baling merupakan perisai yang tidak tertembus. Tetapi anak buahnya kecuali yang membawa perisai, memang agak terganggu juga oleh serangan itu.
Tetapi ternyata bahwa anak panah itu tidak dapat menghentikan sama sekali serangan pasukan dari Tambak Wedi itu. Mereka maju terus betapa pun lambatnya. Pasukan yang ada di paling depan adalah mereka yang membawa perisai di tangan kirinya.
Demikian juga pasukan yang ada di lambung. Dari lambung kiri, serangan terasa semakin lama semakin berat. Mereka ternyata tidak menunggu lawan. Justru merekalah yang bergerak maju dengan cepat sambil melontarkan anak panah.
Tetapi serangan dari lambung kiri terasa sangat lemahnya. Hanya beberapa anak panah saja yang terbang menyambar pasukan lawan. Meskipun tidak henti-hentinya, tetapi jarang-jarang sekali dibandingkan dengan serangan dari induk pasukan dan lambung kiri.
Karena itu, pasukan lawan pun dengan cepat berhasil menebar dan mendekati lambung kanan. Kelompok yang telah mereka persiapkan untuk melawan serangan lambung pun segera bergerak menyerang ke arah anak-anak panah yang terlontar.
Namun dalam pada itu, pasukan yang sebenarnya dari sayap kanan itu telah siap menyergap dari belakang. Mereka sedang merayap ke samping. Kemudian melingkar dan mulai bergerak maju menyusul gerakan pasukan Kiai Kalasa Sawit.
Dengan berdebar-debar pasukan itu pun semakin lama menjadi semakin dekat. Dan dengan hati-hati pimpinan pasukan itu memberikan isyarat untuk bersiaga.
Demikianlah maka setiap orang pun telah menggenggam senjata di tangan masing-masing. Tidak ada lagi pertimbangan lain kecuali bertempur mati-matian, mempertaruhkan nyawa mereka untuk menentukan akhir dari peperangan yang tentu akan menjadi sangat seru dan mengerikan, karena masing-masing telah bertekad untuk membunuh lawan sebanyak-banyaknya.
Sejenak kemudian, maka anak panah dari anak buah Kiai Raga Tunggal tidak lagi dapat menahan jarak yang ada di antara kedua pasukan itu. Setelah menjadi semakin dekat, maka anak buah Kiai Kalasa Sawit, didahului oleh mereka yang mempergunakan perisai, berlari secepat-cepatnya untuk membenturkan diri pada pasukan lawan.
Sesaat kemudian, maka kedua pasukan itu pun telah berbenturan. Anak panah tidak lagi dapat dipergunakan. Karena itu pulalah maka mereka yang bersenjata busur dan anak panah, segera melemparkan busur mereka dan menarik pedang yang terselip di lambung.
Sementara itu, pasukan yang dipersiapkan untuk melawan serangan lambung pun telah bertempur pula dalam jarak yang pendek. Pada lambung kanan, terasa pasukan Kiai Kalasa Sawit segera menguasai keadaan. Mereka dengan pesatnya mendesak maju.
Tetapi tiba-tiba pasukan Kiai Kalasa Sawit itu dikejutkan oleh serangan yang tidak terduga-duga. Selagi mereka bertempur melawan pasukan Kiai Raga Tunggal, dan pasukan yang datang dari lambung, meluncurkan bagaikan hujan anak panah dari arah belakang, menghantam ekor pasukan.
Serangan yang tidak terduga-duga itu benar-benar mengejutkan. Beberapa orang tidak sempat berpaling ketika tiba-tiba saja sebuah anak panah menghunjam di punggung. Meskipun mereka tidak segara terbunuh, namun luka anak panah itu membuat mereka bagaikan lumpuh dan tidak berdaya untuk meneruskan peperangan.
Korban yang berjatuhan itu, membuat anak buah Kiai Kalasa Sawit menjadi semakin marah. Mereka segera memberikan laporan bahwa telah terjadi serangan yang sangat licik, sementara sekelompok dari pasukan itu harus memutar haluan, menghadap kepada serangan yang datang dari belakang itu.
Kesempatan untuk mengurangi jumlah lawan dari belakang itu ternyata lebih banyak dari serangan-serangan anak panah sebelumnya. Beberapa orang terluka karenanya, dan oleh kawan-kawannya telah dilindungi dan disisihkan dari medan. Namun dengan demikian rasa-rasanya pasukan Kiai Kalasa Sawit itu berada di dalam satu kepungan.
"Gila," teriak Kiai Kalasa Sawit setelah mendengar laporan itu.
Sementara Kiai Jalawaja segera berkata, "Itulah hasilnya. Kau memastikan, bahwa perhitunganmu tepat. Kau yakin bahwa lawan-lawanmu adalah orang-orang bodoh yang mempergunakan perangkap dengan cara yang itu-itu juga. Memancing pasukanmu masuk ke dalam lingkungan jarak lontar anak panah, menyerang dari lambung dan dari depan. Ternyata tiba-tiba kau mendapat serangan pada ekor pasukanmu."
"Kita tidak mempergunakan gelar yang sempurna," berkata Kiai Kalasa Sawit. "Itu adalah kelemahanku. Tetapi kau tidak pernah memberiku peringatan atau saran."
Kiai Jalawaja mengerutkan keningnya. Jawabnya, "Kau adalah pemimpin pasukan. Jika aku memberimu saran, tetapi ternyata salah, maka kau akan mengumpatiku sepanjang umurmu."
"Jika demikian, baiklah. Tetapi kelicikan itu harus mereka tebus dengan mahal sekali."
Kiai Kalasa Sawit pun kemudian berkata kepada penghubung itu, "Kembalilah ke kelompokmu. Perintahku kepada kalian, bunuh semua orang yang kalian jumpai."
Penghubung itu pun segera kembali ke kelompoknya dan menyampaikan perintah yang memang sudah diduga oleh setiap orang di dalam kelompok itu.
Demikianlah maka pertempuran pun berlangsung semakin sengit. Kedua belah pihak berusaha untuk membunuh sebelum mereka terbunuh.
Namun meskipun Kiai Raga Tunggal sudah menggabungkan kekuatannya dengan beberapa kelompok pasukan-pasukan kecil yang tersebar di lereng Gunung Merapi itu. tetapi ternyata bahwa segera dapat dilihat, pasukan dari Tambak Wedi itu mempunyai banyak sekali kelebihan.
Apalagi ketika kemudian Kiai Kalasa Sawit sendiri turun ke arena, maka senjatanya benar-benar bagaikan mulut ular yang berbisa tajam sekali. Setiap saat ujung senjatanya itu pun telah mematuk lawannya. Demikian senjata itu kemudian dihentakkannya, maka luka itu pun akan tersayat semakin lebar.
Kiai Raga Tunggal segera melihat kesulitan pada anak buahnya. Namun agaknya ia menjadi ragu-ragu untuk langsung melawan Kiai Kalasa Sawit, karena menurut pendengarannya Kiai Kalasa Sawit adalah orang yang tidak terkalahkan.
Tetapi yang ada di dalam pasukan lawan, bukan hanya Kiai Kalasa Sawit. Dengan acuh tidak acuh, Kiai Jalawaja dan ketiga pengawalnya pun ternyata telah melakukan pembunuhan yang tidak tanggung-tanggung.
"Aku jemu melibat peperangan yang gila ini," berkata Kiar Jalawaja, "aku ingin segera beristirahat di padepokan tua itu."
Namun dengan demikian, seperti yang dikatakannya. Jika ia mulai mengantuk, atau ingin beristirahat, maka ia akan mempercepat penyelesaian pertempuran itu.
Namun dalam pada itu, peperangan itu tidak terlepas dari pengawasan petugas-petugas sandi dari Pajang. Ketika kedua pasukan itu mulai berbenturan, laporan pun telah sampai kepada Untara. Disusul dengan laporan-laporan berikutnya, bahwa kematian telah menjadi semakin banyak.
"Memang di luar dugaan," desis Untara, "dengan demikian kita dapat membayangkan, bahwa pasukan Kiai Kalasa Sawit benar-benar pasukan yang kuat." Ia berhenti sejenak, lalu, "Nah, kita akan segera hadir ke dalam arena itu dalam gelar yang sempurna. Gelar Cakra Byuha."
Beberapa orang perwira dalam pasukan Untara mengangguk-angguk. Namun ada di antara mereka yang bertanya-tanya di dalam hati, kenapa Untara memilih gelar yang sempit. Bukan gelar yang menebar seperti Gelar Sapit Urang atau Garuda Nglayang.
Agaknya Untara melihat bahwa di antara beberapa orang perwiranya menjadi ragu-ragu. Karena itu maka ia pun menjelaskannya, "Bukankah kita harus menyusup ke tengah-tengah medan" Kita harus berada di garis pertempuran itu. Lingkaran gelar Cakra Byuha kita akan langsung masuk ke tengah-tengah peperangan, kemudian mengembang sebagai gelar lingkaran adbmcadangan.wordpress.com yang semakin besar. Kita akan mencakup pasukan Kiai Raga Tunggal masuk ke dalam lingkaran pasukan Pajang sebelum mereka ditumpas. Kita akan mencoba berbicara dengan Kiai Kalasa Sawit. Jika mereka menolak, maka kita akan menghancurkannya sama sekali."
Beberapa orang perwira pembantunya itu pun mengangguk-angguk. Mereka mempunyai gambaran yang jelas dari peperangan yang bakal mereka lakukan.
"Marilah kita lakukan tugas kita dengan penuh tanggung jawab," berkata Untara kemudian. "Kita tahu, bahwa yang berlangsung itu adalah sebuah pembantaian besar-besaran. Aku berharap bahwa kita semuanya tidak akan terseret dalam suasana itu. Kita adalah prajurit Pajang yang mempunyai unggah-ungguh keprajuritan. Kita bukan sekelompok pasukan liar yang mudah tenggelam akan menghancurkannya sama sekali."
Demikianlah, maka Untara pun segera memerintahkan pasukannya yang sudah tersusun dalam gelar Cakra Byuha itu untuk bergerak. Gelar yang berbentuk lingkaran bergerigi, yang menempatkan para senapatinya di sepanjang ujung geriginya. Gelar itu akan dapat menghadap ke segala arah sesuai dengan keadaan yang berkembang di medan yang sengit, yang mengarah kepada perang brubuh.
Namun berbeda dengan gelar Gedung Minep, yang juga merupakan lingkaran yang rapat, maka gelar Cakra Byuha menempatkan senapati utamanya di depan, di luar lingkaran. Senapati Utamanya dapat bergeser menurut keadaan. Tetapi tidak demikian dengan gelar Gedong Minep. Panglima dari gelar Gedong Minep berada di dalam lingkaran yang tertutup rapat.
Sejenak kemudian maka pasukan itu pun mulai bergerak mendekati arena. Semakin dekat, maka gelar itu pun menjadi semakin mapan. Mereka tidak lagi berusaha mencari celah-celah tanaman yang dilanda oleh gelarnya, disawah yang terbentang dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain.
Seperti sepasukan prajurit yang datang dalam kebesarannya, maka prajurit Pajang yang dipimpin Untara itu pun mendekati arena dengan isyarat keprajuritannya. Di dalam malam yang basah oleh darah, maka terdengarlah suara sasangkala yang meraung-raung.
Suara pertanda itu terdengar dari medan yang riuh. Sejenak, mereka yang sedang berkelahi mempertaruhkan nyawanya terpengaruh oleh suara itu. Namun kemudian terdengar suara Kiai Kalasa Sawit menggema di seluruh bulak, "Kita sambut kedatangan mereka. Mereka akan mengalami nasib serupa dengan kelinci-kelinci gila ini."
Dalam pada itu, Kiai Raga Tunggal yang cemas melihat keadaan medan yang benar-benar berat sebelah, tiba-tiba merasa jantungnya bergetar mendengar suara sasangkala itu. Ternyata Untara adalah seorang prajurit yang nampak pada setiap kata dan perbuatan. Ia benar-benar hadir dalam pertempuran itu seperti yang dikatakannya.
Ketika Untara mendekati arena, korban telah berserakan. Tetapi ia tidak terlambat. Arena itu masih sibuk dengan pembantaian yang mengerikan. Meskipun pasukan Kiai Kalasa Sawit jauh lebih kuat dari lawannya, namun perlawanan yang bagaikan gila dari orang-orang lereng Gunung Merapi, membuat korban yang semakin banyak.
Tetapi meningkatnya korban itulah yang membuat darah Kiai Kalasa Sawit menjadi bagaikan mendidih. Dendamnya sama sekali tidak dapat dikendalikannya lagi. Apalagi karena Kiai Jalawaja yang semakin lama tidak saja menjadi jemu, tetapi juga menjadi marah melihat orang-orangnya menjadi korban.
Demikian ketika pasukan Untara mendekati dalam gelar yang sempurna, maka Kiai Kalasa Sawit pun segera meneriakkan perintah, "Pecahkan gelar Cakra Byuha itu. Aku sendiri akan mencari Untara."
Kiai Jalawaja mengerutkan keningnya. Lalu, "Apa tugasku dalam pertempuran yang sungguh-sungguh ini?"
Kiai Kalasa Sawiti termangu-mangu sejenak, lalu, "Di dalam kelompok-kelompok kecil itu terdapat beberapa orang pemimpin. Raga Tunggal, Serat Wulung, dan beberapa nama lagi yang tidak aku ingat. Pengawal-pengawal Kakang akan dapat membunuh mereka dalam sekejap jika Kakang tidak ingin bersusah payah mencarinya. Selebihnya terserah kepada Kakang."
"Baiklah. Aku akan masuk ke dalam gelar orang-orang Pajang. Aku ingin melihat, betapa kuatnya dinding gelar yang mereka banggakan. Baru mereka tahu, bahwa Pajang bukan sebuah negara yang masih pantas tegak untuk seterusnya, karena senapati muda kebanggaannya di daerah Selatan akan mengalami kehancuran mutlak di sini."
Kiai Jalawaja pun kemudian berkata kepada pengawalnya, "Salah seorang dari kalian ikuti aku. Yang lain, carilah pimpinan kelompok tikus yang mencoba mengganggu kita."
Mereka yang mendapatkan perintah itu pun segera bergerak. Kiai Kalasa Sawit segera menyusup di antara orang-orangnya menyongsong gelar Cakra Byuha yang mendekat. Sedang Kiai Jalawaja mengambil arah yang lain. Ia ingin memecahkan dinding gelar itu, dan menghancurkannya dari dalam.
Bukan saja Kiai Jalawaja yang kemudian berusaha memecahkan dinding gelar itu, tetapi juga sekelompok orang Tambak Wedi yang kuat telah menyusun diri untuk mematahkan lingkaran bergerigi itu dan menghancurkannya dari dalam bersama Kiai Jalawaja.
Di dalam kelompok itu terdapat sebagian dari pasukan yang datang bersama Kiai Jalawaja. Bagian dari pasukan yang memang memiliki kekuatan yang dapat dibanggakan.
Untara yang berada di depan dari gelarnya itu pun membawa pasukannya langsung memasuki arena. Dari benturan yang terjadi, petugas yang mengamati pertempuran itu dapat memperhitungkan, di manakah pasukan Pajang itu harus menyusup.
Sejenak kemudian, maka benturan antara pasukan Pajang dalam gelar Cakra Byuha dengan pasukan Kiai Kalasa Sawit pun segera terjadi dalam batas pertempuran antara pasukan Kiai Kalasa Sawit dengan pasukan Kiai Raga Tunggal. Namun demikian lingkaran pasukan Pajang itu tidak berhasil memisahkan pertempuran antara kedua pasukan itu. Bahkan sepasukan yang sudah tersusun telah bersiap menyongsong gelar Cakra Byuha yang utuh itu.
Untara menggeram mengalami perlawanan itu. Ia sadar, bahwa dengan demikian Kiai Kalasa Sawit telah dengan sengaja menentangnya.
Namun dalam pada itu, ia pun menjadi berdebar-debar pula. Ternyata pasukan Kiai Kalasa Sawit adalah benar-benar sebuah pasukan yang kuat yang memiliki jumlah dan kemampuan yang benar-benar memadai untuk melawan pasukan Pajang di Jati Anom.
"Jika kami tidak memasuki arena, maka dalam waktu yang dekat, Kiai Raga Tunggal benar-benar akan ditumpas oleh orang-orang yang singgah di Tambak Wedi itu," berkata Untara di dalam hati.
Tetapi ia bukan saja mengagumi kekuatan pasukan lawan. Untara tidak mau mengalami akibat yang parah dari peperangan itu, sehingga karena itulah maka ia pun segera memerintahkan dua orang penghubungnya untuk kembali ke Jati Anom dan mengerahkan pasukan cadangannya. Khususnya pasukan berkuda.
"Ternyata lawan kami terlampau kuat. Melampaui perhitungan yang pernah kami buat. Karena itu, perintahkan pasukan cadangan dan pasukan berkuda untuk segera menyusul kami," perintahnya kepada penghubung itu.
Sejenak kemudian, dua orang penghubung berkuda itu pun segera meninggalkan arena dan dengan kecepatan yang tinggi meluncur turun lereng Merapi menuju ke Jati Anom.
Kedatangan kedua penghubung itu memang mengejutkan. Karena itulah maka seorang perwira yang memimpin pasukan cadangan dan perwira yang memimpin pasukan berkuda itu pun terkejut, "Bagaimana dengan pasukan berkuda yang ada di dalam gelar itu?"
"Tidak banyak yang dapat mereka lakukan, justru karena mereka telah berada di dalam arena yang padat," jawab penghubung itu.
"Baiklah. Kita akan berada di luar pergulatan pertempuran itu."
"Bawalah pasukanmu lebih dahulu," berkata perwira-perwira pasukan cadangan kepada perwira yang memimpin pasukan cadangan berkuda, "agaknya pasukan Pajang memerlukan bantuan secepatnya. Dalam waktu dekat, pasukan kami akan menyusul."
Demikianlah, dalam waktu yang pendek, pasukan cadangan dari pasukan berkuda pun sudah siap. Sejenak kemudian telah terdengar pasukan itu berderap di sepanjang jalan Jati Anom. Meskipun di malam hari, namun debu pun telah mengepul ketika pasukan meluncur dengan cepat menyusul pasukan Untara yang telah terlibat dalam pertempuran.
Pasukan yang lain pun segera menyusul pula. Sepasukan kecil prajurit cadangan berbaris dengan tergesa-gesa menuju ke arena.
"Agaknya telah terjadi peperangan yang seru," berkata seorang prajurit kepada kawannya yang dengan tegang berjalan di sisinya.
"Ya," jawab kawannya, "jika tidak, Ki Untara tidak akan mengerahkan pasukan cadangan ini."
"Lawan kita sekarang tentu bukan lawan yang baik dan ramah-tamah," desis orang di sebelah.
Prajurit yang berbicara mula-mula itu pun tersenyum. Katanya, "Ya. Tetapi aku yakin, mereka akan menyambut kedatangan kita dengan mesra pula."
Dalam pada itu di arena pertempuran, terasa sekelompok pasukan yang kuat berusaha memecahkan satu sisi dari gelar Cakra Byuha itu. Benturan-benturan yang keras telah terjadi. Kelompok itu bagaikan ombak yang dengan kerasnya bergulung-gulung menghantam tebing.
Tetapi dinding gelar pasukan Pajang itu pun cukup kuat, sehingga untuk beberapa saat lamanya usaha itu sia-sia. Senapati yang berada di ujung gerigi pada sisi yang mendapat serangan beruntun itu telah bertempur dengan gagah berani bersama seluruh kekuatan yang ada di bawah pimpinannya.
Sementara pada satu sisi terjadi pertempuran yang sengit maka di bagian depan pasukan Pajang itu pun mengalami perlawanan yang kuat pula. Untara tidak dapat membawa pasukannya maju terus. Untara tidak dapat memerintahkan gelarnya, seperti yang direncanakan untuk mengembang dan menguasai seluruh arena, mencakup pasukan kelompok-kelompok kecil dari lereng Merapi masuk ke dalam perlindungannya. Ternyata bahwa gelarnya itu justru mengalami tekanan yang kuat pada dinding-dindingnya, terutama pada sisi yang akan dipecahkan oleh pasukan lawan.
Namun dalam pada itu, seorang yang bermata setajam mata burung hantu, diiringi oleh seorang pengawal berjalan perlahan-lahan mendekati dinding gelar itu pula. Ia memperhatikan pertempuran yang terjadi. Ia memperhatikan pasukan Kiai Kalasa Sawit yang berusaha memecahkan dinding gelar Cakra Byuha yang kuat itu.
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, "Prajurit Pajang memang luar biasa."
"Tetapi mereka juga manusia biasa, Kiai," berkata pengawalnya. "Jika Kiai Jalawaja memerintahkan, aku akan membunuh senapati itu. Prajurit-prajuritnya tentu akan kehilangan pimpinan dan dinding itu pun akan segera pecah."
Kiai Jalawaja tersenyum. Katanya, "Kau akan salah hitung. Setiap orang di dalam pasukan Pajang memiliki kemampuan kepemimpinan. Jika senapati itu terbunuh, maka akan segera tampil orang kedua untuk memimpin pasukannya."
"Tetapi sementara itu pasukan kita pun telah mendesak."
"Dan kau harus membunuh pengganti senapati itu lagi."
"Ya." Kiai Jalawaja mengangguk-angguk. Lalu katanya, "Marilah, kita mencari tempat lain untuk memecahkan dinding gelar itu. Kita bergabung pada sepasukan yang sedang bertempur melawan dinding gelar, dan berlomba dengan kelompok lain yang sedang berusaha memecahkan dinding gelar itu pula. Siapakah yang terlebih dahulu ada di dalam."
Pengawal yang hanya seorang itu mengangguk-angguk. Katanya sambil tertawa, "Suatu permainan yang bagus sekali."
"Marilah. Sementara kedua kawanmu akan membunuh pemimpin-pemimpin gerombolan-gerombolan kecil di lereng Gunung Merapi."
Demikianlah Kiai Jalawaja meninggalkan tempat itu dan bergeser ke bagian yang lain. Sejenak ia tertegun melihat pertempuran di bagian belakang dari pasukan Pajang melawan pasukan Kiai Kalasa Sawit yang dibantu oleh sekelompok pasukan yang datang bersama Kiai Jalawaja.
"Itu anak-anak kita," desis Kiai Jalawaja.
"Ya." "Kita bertempur di sini."
"Aku senang sekali bertempur dengan mereka pada bagian yang sangat menarik."
Kiai Jalawaja pun kemudian mendesak maju, masuk ke dalam barisan yang sedang bertempur mati-matian itu.
Kehadiran Kiai Jalawaja tiba-tiba saja telah menggetarkan hati anak buahnya. Beberapa kali mereka membentur dinding gelar yang bagaikan gerigi baja yang tajam. Sentuhan ujung gerigi itu akan segera menyobek kulit daging dan mematahkan tulang, sehingga setiap usaha mereka pasti gagal. Pasukan dari Tambak Wedi itu sama sekali tidak mampu berbuat apa pun selain menahan setiap usaha gelar itu untuk mengembangkan lebih luas.
Ternyata usaha gelar itu pun tidak segera dapat berhasil. Pasukan dari Tambak Wedi itu benar-benar telah menghimpit mereka dari segala jurusan.
Kehadiran Kiai Jalawaja di antara anak buahnya telah membuat mereka berbesar hati. Apalagi bersamanya adalah salah seorang pengawalnya yang kuat. Karena itulah, maka mereka pun segera memastikan bahwa dinding itu akan segera dapat dipecahkannya.
"Kalian memang bodoh," berkata Kiai Jalawaja, "minggirlah! Aku akan memecahkan dinding itu. Ganggulah prajurit-prajurit Pajang dari sebelah-menyebelah. Biarlah aku bertempur dengan senapati yang gagah berani itu."
Demikianlah pasukan Tambak Wedi itu bagaikan menyibak. Mereka memberi jalan kepada Kiai Jalawaja untuk maju ke depan.
"Jangan nonton. Kalian mempunyai tugas."
Demikianlah pertempuran itu rasa-rasanya menjadi semakin sengit. Pengawal Kiai Jalawaja sudah mulai melakukan tugasnya. Ayunan senjatanya sudah mulai menghembuskan udara maut di medan itu.
Sementara itu Kiai Jalawaja maju terus. Ketika nampak olehnya Senapati Pajang yang bertempur bagaikan banteng yang terluka, maka ia pun tertawa sambil berkata, "Senapati yang gagah perkasa. Jangan berbuat berlebih-lebihan. Lawanmu adalah prajurit kecil yang tidak mempunyai kemampuan apa pun juga, sehingga tampaknya kau adalah raksasa di antara mereka."
Senapati itu terkejut. Rasa-rasanya suara orang itu sudah meruntuhkan isi dadanya. Dengan demikian ia dapat menebak, bahwa nampaknya lawannya itu adalah lawan yang luar biasa.
Tetapi bukan saja senapati itulah yang mengalami sentuhan getaran suara Kiai Jalawaja, tetapi juga prajurit-prajurinya dan orang-orang di sekitar arena itu.
Sementara itu, maka anak buah Kiai Jalawaja itu dengan penuh gairah telah mendesak lawannya. Mereka dengan tanpa menghiraukan pertimbangan apa pun, menyerang dengan garangnya. Yang ada di dalam hati mereka adalah nafsu membunuh semata-mata.
Karena itulah, terasa tekanan itu menjadi semakin berat. Pengawal Kiai Jalawaja bertempur seperti seekor harimau yang lapar. Apalagi ketika Kiai Jalawaja maju semakin dekat dengan garis pertempuran yang menjadi semakin basah oleh darah.
Senapati yang memimpin pertempuran di ujung gerigi itu pun menjadi termangu - mangu. Kehadiran dua orang baru di dalam pertempuran itu terasa mempunyai pengaruh yang luar biasa. Suaranya sudah mampu menggetarkan dada, apalagi senjatanya.
Sementara senapati itu termangu-mangu, maka tiba-tiba saja ia mendengar seseorang berbisik di telinganya, "Pasanglah bagian dari gelarmu itu gelar Padas Gempal. Biarlah orang yang aneh itu masuk ke dalam gelarmu bersama beberapa pengawalnya."
Senapati itu terkejut mendengar bisikan itu. Yang berhak memberikan perintah pada pertempuran itu adalah panglima yang memimpin pasukan Pajang segelar sepapan itu, Untara.
Tetapi Senapati itu berpaling juga. Dan dadanya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat seseorang yang sudah dikenalnya berdiri di belakangnya, Kiai Gringsing.
"Apakah aku dapat melaksanakannya, Kiai," desis Senapati itu.
"Orang itu sangat berbahaya."
Senapati itu mengangguk. Dan ia melihat bahwa korban telah jatuh lagi.
"Aku harus menghentikan kedua orang itu."
Kiai Gringsing menggeleng, "Kau tidak akan mampu. Bukan maksudku untuk mengurangi tanggung jawabmu."
"Aku mengerti, Kiai."
"Nah, lakukan nasehatku. Aku akan mempertanggungjawabkannya kepada Angger Untara jika cara ini dianggap salah. Kau tidak akan banyak mempengaruhi gerak dari gelar keseluruhan. Kau hanya membuka dinding gerigimu sedikit saja. Aku akan memancingnya masuk. Dengan demikian aku dapat mengetahui, kekuatan orang itu yang sebenarnya tanpa pertempuran yang ribut di sekitarku. Mudah-mudahan dengan demikian, korban akan berkurang jumlahnya. Dan aku pun berdoa agar aku juga tidak menjadi korban berikutnya pula."
Senapati itu masih termangu-mangu. Tetapi ternyata kedua orang itu menjadi semakin mendesak. Dalam keragu-raguan senapati itu berpaling sekali lagi. Dilihatnya Kiai Gringsing sudah siap, bahkan di belakangnya nampak dua orang tua yang lain. Ki Waskita dan Ki Sumangkar.
Keragu-raguan senapati itu berkurang. Ia mengerti, bahwa Sumangkar adalah seorang yang pilih tanding sejak kekuasaan Kadipaten Jipang masih berada di tangan Arya Penangsang. Ia adalah orang kedua di Kepatihan Jipang sesudah Patih Mentahun yang disebut bernyawa rangkap, seperti juga Sumangkar.
Meskipun senapati itu belum mengenal Waskita, tetapi nampaknya wajahnya juga memberikan keyakinan, bahwa ia pun akan dapat membantu mengatasi kesulitan jika timbul karena perubahan gelarnya meskipun hanya sementara.
Ketika senapati itu melihat darah yang memancar dari luka yang menjadi korban berikutnya, maka ia tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Ia pun kemudian maju ke ujung geriginya dan memberikan isyarat kepada prajurit-prajuritnya untuk membuka dinding gelarnya.
Beberapa orang prajurit menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika mereka melihat Kiai Gringsing berada di sisi senapati itu, maka mereka pun segera mematuhi perintah itu. Meskipun mereka tidak mengetahui maksudnya.
Sejenak kemudian, maka dinding gelar Cakra Byuha itu pun menyibak. Seorang tua yang berdiri di dekat senapati, dan mengenakan kain gringsing itu pun kemudian menyongsong orang yang memiliki kemampuan tidak terlawan oleh para prajurit Pajang itu.
Kiai Jalawaja melihat seseorang dengan sengaja menyongsongnya menjadi marah. Ia merasa dihina oleh keberanian orang itu. Apalagi seorang yang sudah tua.
Dengan serta-merta ia pun mendesak maju. Bersama beberapa orang ia masuk ke dalam gelar seperti yang mereka kehendaki. Meskipun demikian Kiai Jalawaja dan seorang pengawal kepercayaannya menjadi ragu-ragu. Agaknya dinding gelar Cakra Byuha itu tidak pecah karena desakan kekuatan pasukannya. Tetapi dengan sengaja telah dibuka untuk memberinya kesempatan masuk.
"Persetan," ia menggeram, "tidak ada orang yang dapat mengimbangi kekuatan dan kemampuan Kiai Jalawaja meskipun semua senapati terkuat di Pajang dikerahkan. Asal bukan Sultan Pajang sendiri yang datang, maka aku seorang diri akan dapat memusnakannya. Bahkan seandainya Sultan Pajang ada di dalam gelar ini pula, dalam ujudnya sebagai adbmcadangan.wordpress.com gelar Cakra Byuha, tetapi menyembunyikan seorang senapati agung di dalamnya seperti gelar Gedong Minep, maka aku bersama seorang pengawalku tentu akan dapat mengalahkannya, sementara pengawal Sultan yang lain akan dimusnakan oleh beberapa orang pengikutku."
Namun getar di dalam dada Kiai Jalawaja menjadi semakin cepat ketika ia melihat dinding gelar yang terbuka itu pun, segera menutup kembali menelan mereka yang sudah terlanjur masuk ke dalamnya. Beberapa orang prajurit Pajang pun ikut masuk pula ke dalam gelar untuk melawan pengikut-pengikut Kiai Jalawaja dan Kiai Kalasa Sawit yang sudah ada di dalam gelar itu. Sementara Kiai Jalawaja masih saja termangu-mangu untuk beberapa saat.
Dalam pada itu, agar hal itu tidak mengejutkan Untara jika ia mendengar laporan bahwa ada beberapa orang musuh berhasil menyusup masuk, maka Ki Sumangkar masih sempat berbisik kepada senapati di dinding gelar, "Berikan laporan kepada Angger Untara."
Dalam pada itu senapati itu pun menjadi termangu-mangu. Pertempuran menjadi semakin sengit. Pasukan lawan yang ingin ikut masuk ke dalam dinding gelar telah membentur pasukan Pajang yang merapat kembali. Dengan demikian maka untuk beberapa saat arena menjadi agak kacau.
"Biarlah aku yang memberikan laporan itu," berkata Ki Sumangkar, "semua tenaga diperlukan di sini."
"Terima kasih, Kiai," jawab senapati itu yang sejenak kemudian telah terjun langsung memimpin anak buahnya bertempur mati-matian.
Kiai Jalawaja yang ada di dalam gelar Cakra Byuha itu pun masih termangu-mangu. Seorang pengawalnya yang mengikutinya pun tidak segera dapat menyesuaikan tanggapannya.
Untuk beberapa saat mereka masih sempat menyaksikan anak buahnya yang ikut serta terdorong masuk ke dalam gelar itu, mulai bertempur melawan prajurit-prajurit Pajang, sementara ia melihat dua orang tua berdiri dengan tenang menghadapinya.
Belum lagi Kiai Jalawaja mengambil sikap, ia melihat seorang lagi mendekati salah seorang dari kedua orang tua itu sambil berkata tanpa ragu-ragu, "Kiai, aku akan pergi ke pusat gelar ini sejenak. Aku ingin memberikan laporan kepada Angger Untara bahwa ada beberapa orang yang berhasil menyusup masuk ke dalam gelar ini."
Orang tua itu, Kiai Gringsing, mengangguk-angguk sambil menjawab, "Silahkan, Adi. Tetapi jika keadaan tidak memaksa, segeralah kembali. Bukankah kami sedang menerima seorang tamu di dalam lingkaran ini."
Kiai Jalawaja sadar, bahwa ialah yang dimaksudkannya. Karena itu maka ia pun menggeram sambil berkata, "Persetan dengan orang-orang gila macam kalian. He, siapakah kalian?"
Sumangkar nampaknya acuh tidak acuh saja. Bahkan ia pun berkata, "Terserahlah kepada Kiai. Aku akan pergi sekarang sebelum Angger Untara mendapat laporan yang salah tentang tamu-tamu kita."
"Gila," teriak Kiai Jalawaja yang merasa dirinya mumpuni. Sikap Sumangkar benar-benar menyakitkan hatinya, "Sebentar lagi gelar yang kalian bangga-banggakan ini akan pecah. Aku akan menghancurkannya dari dalam. Kalian telah salah hitung. Seandainya kalian memang berniat menjebakku masuk, namun akibatnya kalian akan menyesal. Tidak ada seorang pun yang akan dapat menghentikan niatku."
Ki Sumangkar memandang Kiai Jalawaja sejenak. Namun ia pun tidak menghiraukannya lagi. Meskipun ia tahu bahwa orang itu tentu orang yang pilih tanding, namun sebagai seorang yang memiliki pengalaman dan pengamatan yang tajam, ia masih memperhitungkan seorang lagi. Seorang yang mempunyai ciri-ciri tertentu seperti yang pernah didengarnya. Memakai sehelai kulit harimau yang disangkutkan pada pundaknya.
"Orang itu pun harus mendapat perhatian," katanya di dalam hati, "mudah-mudahan Angger Untara dapat menahannya."
Namun yang dikatakannya adalah, "Selesaikan persoalanmu dengan kedua saudaraku itu, Ki Sanak. He, siapakah namamu agar aku dapat melengkapi laporanku?"
"Persetan. Aku ingin membunuh kau paling dahulu."
"Tunggulah. Aku akan menjumpai Angger Untara lebih dahulu."
Kiai Jalawaja hampir saja menerkamnya. Namun Sumangkar sudah melangkah menjauh sambil berkata, "Baiklah. Kau belum bersedia menyebut namamu. Tetapi tentu Angger Untara sedang melayani seseorang yang namanya sudah dikenalnya dengan baik. Kiai Kalasa Sawit."
"Bayi itu akan dibunuhnya. Kiai Kalasa Sawit akan menerkamnya seperti seekor harimau."
Sumangkar tertegun sejenak, lalu, "Aku akan melihatnya. Apakah benar Kiai Kalasa Sawit itu merupakan seekor harimau bagi bayi yang memimpin gelar ini."
Ki Sumangkar pun tidak berbicara lagi. Ia benar-benar menjadi berdebar-debar. Agaknya yang dikatakan oleh orang yang menyusup masuk ke dalam lingkungan gelar Cakra Byuha itu bukan sekedar untuk menakut-nakutinya.
"Angger Untara harus segera mendapat bantuan," katanya di dalam hati.
Ki Sumangkar pun kemudian melangkah dengan tergesa-gesa melintasi bagian dalam gelar Cakra Byuha yang kosong dan yang sekedar mendapat pengawasan khusus dari beberapa orang prajurit Pajang saja.
Ketika ia sampai ke pusat gelar, maka ia pun melihat pertempuran yang berlangsung dengan sengitnya. Rasa-rasanya pertempuran itu bagaikan gejolaknya wajah lautan yang diserang oleh badai.
Sejenak Sumangkar termangu-mangu. Namun kemudian terasa olehnya bahwa pasukan Pajang itu terdesak surut meskipun perlahan-lahan.
Di bawah nyala obor yang dinyalakan oleh kedua belah pihak, akhirnya Sumangkar melihat, tekanan di pusat gelar itu benar-benar membahayakan.
"Gila," desis Sumangkar, "ternyata kekuatan orang-orang yang berada di padepokan Tambak Wedi pada saat ini jauh melampaui perhitungan. Bahkan melampaui kekuatan Tambak Wedi pada saat padepokan ini masih hidup."
Ki Sumangkar menjadi semakin berdebar-debar ketika ia melihat di antara pasukannya, Untara bertempur bersama seorang senapati pengapit melawan seseorang yang agaknya benar-benar memiliki kemampuan yang mengagumkan. Seseorang yang mempergunakan ciri-ciri yang sudah dikenal dengan baik oleh Ki Sumangkar.
"Jadi Kiai Kalasa Sawit telah berada di sini," desis Sumangkar.
Sejenak ia berdiri tegak memperhatikan arena. Kemudian ia pun malah bergeser maju, justru pada saat prajurit Pajang terdesak oleh kekuatan pasukan Kiai Kalasa Sawit yang dipimpinnya langsung.
"Ada beberapa tekanan yang kuat pada dinding gelar ini," berkata Ki Sumangkar di dalam hatinya. "Ternyata Untara tidak segera berhasil melakukan rencananya, mengembangkan lingkaran gelarnya. Yang terjadi justru sebaliknya."
Sebenarnyalah yang terjadi adalah seperti yang dikatakan oleh Sumangkar. Beberapa orang yang memiliki kelebihan di dalam pasukan Kiai Kalasa Sawit membuat pasukan Pajang agak mengalami kesulitan.
Tetapi sementara kekuatan Kiai Kalasa Sawit dipusatkan pada dinding gelar, maka kelompok-kelompok kecil di lereng Gunung Merapi yang justru telah menyalakan api pertempuran itu, mendapat kesempatan untuk bernafas. Semula mereka menyangka, bahwa mereka akan dimusnakan pada malam itu juga oleh kekuatan yang ada di Tambak Wedi. Namun kehadiran pasukan Pajang yang dipimpin langsung oleh Untara itu berhasil memperpanjang umur mereka.
Kelompok kelompok kecil itu rasa-rasanya sempat mengatur perlawanan sebaik-baiknya. Bahkan mereka dapat memperbaiki kedudukan mereka yang hampir saja tercerai-berai.
Tetapi selagi mereka mulai mendesak maju ke dalam pasukan lawan, tiba-tiba telah muncul beberapa orang yang terpencar di beberapa titik pertempuran. Beberapa orang itu ternyata telah menggelisahkan kelompok-kelompok kecil itu. Mereka adalah para pengawal Ki Jalawaja dan pengiring-pengiringnya yang terpercaya.
Seperti orang yang wuru mereka mengamuk di antara pasukannya. Senjata mereka terayun-ayun mengerikan, sehingga beberapa orang lawan telah jatuh menjadi korban.
Beberapa orang pemimpin dari kelompok-kelompok kecil itu pun segera menyadari, bahwa orang-orang itu memerlukan lawan yang mampu mengimbangi mereka, sebelum mereka semakin merusakkan pasukannya. Karena itulah maka beberapa orang pemimpin segera menempatkan dirinya untuk menghentikan pembunuhan yang berlarut-larut. Mereka yang merasa dirinya kurang mampu melawan, segera menyusun kekuatan bersama dua atau tiga orang kawannya.
Dalam pada itu, tekanan pada gelar Cakra Byuha yang dipimpin oleh Untara pun terasa makin berat, terutama pada pusat gelar itu sendiri. Untara yang harus bertempur melawan Kiai Kalasa Sawit, meskipun ia dibantu oleh senapatinya, harus mengerahkan segenap kemampuannya. Namun demikian, ternyata Kiai Kalasa Sawit masih berhasil mendesaknya terus, sehingga karena itu, maka prajurit-prajurit Pajang yang bertempur di sekitar Untara pun rasa-rasanya terdesak pula mundur.
Ki Sumangkar yang menyaksikan pertempuran di pusat gelar itu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa kekuatan lawan benar-benar tidak dapat diabaikan. Di bagian belakang dari gelar yang melingkar itu, telah dijumpainya seseorang yang memiliki ilmu yang luar biasa, sehingga hampir saja ia berhasil memecahkan dinding gelar. Untunglah bahwa Kiai Gringsing dapat mengambil sikap yang cepat dan agaknya berhasil menyelamatkan gelar itu dengan membuka dindingnya beberapa saat yang justru memberi kesampatan kepada Kiai Jalawaja untuk menarobos masuk, namun yang kemudian segera tertutup kembali.
"Orang yang memiliki ilmu yang tinggi itu tentu sadar, bahwa ia terjebak. Namun agaknya ia sama sekali tidak gentar karenanya," berkata Sumangkar di dalam hatinya.
Dan kini ia melihat Untara telah bertempur dengan Kiai Kalasa Sawit, yang ternyata memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Untara, Senapati Pajang di daerah Selatan.
"Aku tidak dapat tinggal diam," berkata Ki Sumangkar di dalam hatinya. Apalagi karena Ki Sumangkar menyadari, bahwa ciri yang ada pada tubuh Kiai Kalasa Sawit itu sangat menarik perhatiannya. Lukisan kelelawar itu memberikan kesan tersendiri padanya, dan terutama tentu bagi Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram apabila ia mengetahuinya.
Demikianlah maka Sumangkar pun segera mendesak maju di antara para prajurit. Mereka yang melihat kehadiran Sumangkar pun segera menyibak. Beberapa di antara para prajurit telah mengenal orang tua itu. Bahkan di antara mereka tiba-tiba saja telah tumbuh semacam ketenangan karena kehadirannya. Mereka mengenal Ki Sumangkar sebagai seorang yang memiliki ilmu yang sejajar dengan Patih Mantahun dari Jipang yang seolah-olah dianggap mempunyai nyawa rangkap di dalam tubuhnya.
Dengan hati-hati Ki Sumangkar mendekati titik pertempuran antara Untara yang dibantu oleh senapati pengapitnya melawan Kiai Kalasa Sawit. Ketika seorang lawan menyerangnya, dengan tanpa berkisar dari tempatnya ia menggeliat. Ketika ujung tombak lawan itu meluncur di sisi lambungnya, maka ia pun segera menangkapnya dan menghentakkannya sehingga tombak itu terlepas dari tangan lawannya. Selagi orang itu termangu-mangu, maka Sumangkar pun telah mematahkan pangkal tombak itu pada lututnya, sehingga orang itu pun segera terjatuh dan kakinya serasa menjadi lumpuh.
Beberapa saat lamanya Ki Sumangkar termangu-mangu di dekat Untara. Ia harus menyampaikan laporan tentang sisipan gelar di bagin belakang dari lingkaran cakra itu.
Tetapi ia tidak segera mendapat kesempatan. Agaknya Untara benar-benar telah terikat dalam pertempuran yang sangat sengit, sehingga sekejap pun ia tidak dapat berpaling.
Ki Sumangkar-lah yang kemudian mendekatinya. Hampir tersentuh oleh langkah-langkah pertempuran yang seru itu. "Maaf, Anakmas," desis Ki Sumangkar, "aku mengganggu pertempuran ini."
Untara terkejut mendengar kata-kata itu. Selagi ia memusatkan perhatiannya, ia sama sekali tidak segera mengenal, suara siapakah yang didengarnya itu. Karena itu maka pemusatan perlawanannya agak terganggu karenanya.
Dan agaknya lawannya telah memanfaatkannya sebaik-baiknya.
Selagi Untara berpaling sejenak, melihat siapakah yang telah datang kepadanya itu, Kiai Kalasa Sawit dengan cepat menyiapkan segenap kemampuannya. Yang sekejap itu ternyata telah cukup baginya. Kali ini Kiai Kalasa Sawit tidak meloncat menghantam batu padas, tetapi serangannya telah dilontarkan ke dada Untara.
"Betapa keras tulang-tulangmu, maka dadamu akan remuk menjadi debu, dan isi tubuhmu akan rontok bersama lepasnya nyawamu."
Untara terkejut mendengar suara itu. Tetapi ternyata ia sudah terlambat. Ketika ia kembali memusatkan perhatiannya kepada lawannya, Kiai Kalasa Sawit telah meloncat untuk membenturkan segenap kekuatan yang ada padanya.
Untara tidak mendapat kesempatan untuk menghindar. Karena itu, maka ia pun segera merendahkan dirinya pada lututnya sambil menyilangkan senjatanya di muka dadanya, meskipun ia sendiri kurang yakin, apakah ia mampu bertahan pada benturan yang tentu akan segera terjadi.
"Jika aku gagal, masa sampai di sinilah aku melakukan tugasku sebagai Senapati Pajang," desisnya di dalam hati.
Sejenak kemudian ia melihat Kiai Kalasa Sawit telah melayang sambil mengayunkan senjatanya untuk membelah tubuh Untara dan mematahkan tulang-tulang iganya, tangannya dan senjatanya sekaligus.
Yang terjadi kemudian adalah suatu benturan yang ternyata dahsyat sekali. Setiap orang yang melihat serangan Kiai Kalasa Sawit telah tergetar hatinya dan di luar sadarnya telah menjadi cemas akan nasib Untara. Namun ketika benturan itu terjadi, ternyata Kiai Kalasa Sawit justru terdorong dua langkah surut.
Namun Untara sendiri terkejut melihat benturan yang sangat dahsyat itu. Sejenak ia menggerakkan tangannya yang bersilang di dadanya. Ternyata semuanya masih utuh. Ia tidak menjadi luluh dan sekedar berangan-angan bahwa ia masih hidup.
Barulah ia sadar. Dihadapannya berdiri seorang tua yang agaknya telah berkata kepadanya sehingga ia kehilangan pemusatan perlawanannya terhadap Kiai Kalasa Sawit. Tetapi ketika Kiai Kalasa Sawit meloncat menyerangnya dengan kekuatannya yang tiada taranya, maka orang tua itu telah meloncat pula membenturkan dirinya.
Orang itu adalah adik seperguruan Mantahun yang ditakuti bukan saja oleh seluruh Jipang, tetapi juga Pajang.
Kiai Kalasa Sawit yang serasa membentur dinding baja itu membelalakkan matanya. Di hadapannya, di dalam cahaya obor melihat seseorang yang berwajah merah membara karena pengerahan kekuatan dan kemarahan bercampur baur.
"Setan alas!" Kiai Kalasa Sawit menggeram. "Siapakah kau, Hantu Tua?"
Orang yang telah membenturkan kekuatannya pada kekuatan Kiai Kalasa Sawit lewat senjatanya tanpa bergeser dari tempatnya itu menjawab, "Aku Sumangkar, Kiai. Aku tidak dapat membiarkan kau berbuat licik. Selagi Angger Untara sekedar melepaskan perhatiannya atas pertempuran ini, kau mempergunakan kesempatan dan langsung akan menghancurkannya."
"Hem," Kiai Kalasa Sawit menggeram, "Sumangkar. Jadi namamu Sumangkar. Aku pernah mendengar nama itu. Nama yang pernah dikenal oleh setiap orang Jipang pada masa kejayaannya. Bukankah kau adik seperguruan Ki Patih Mantahun?"
"Kau pernah mendengar namaku?" bertanya Sumangkar.
"Semua orang Jipang dan Pajang," desis Kiai Kalasa Sawit. Lalu, "Pantas kau berhasil membentur kekuatan puncakku. Tanpa kau Untara tentu sudah menjadi reruntuhan tulang dan daging yang basah oleh darahnya sendiri."
04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin justru karena kelicikanmu. Tetapi beradu dada belum tentu kau berhasil."
"Gila. Coba minggirlah. Aku akan melihat kemampuan Untara mempertahankan dirinya atas kekuatan puncakku."
"Itu tidak perlu. Sekarang marilah kita berhadapan. Akulah yang mengambil alih arena itu."
Kiai Kalasa Sawit menggeram. Dipandanginya wajah Sumangkar di dalam cahaya obor yang kemerah-merahan.
"Anakmas Untara," berkata Sumangkar kemudian. Namun ia sama sekali tidak berpaling dari Kiai Kalasa Sawit, "sebenarnya aku datang kemari untuk menyampaikan laporan."
Untara bergeser selangkah maju. Sejenak ia memandang pertempuran yang masih berlangsung di sekitarnya. Prajurit-prajurit Pajang sedang sibuk mencoba bertahan atas tekanan yang diberikan oleh anak buah Kiai Kalasa Sawit dalam jumlah yang lebih besar.
Tetapi sebelum Ki Sumangkar menyampaikan laporannya, maka mereka telah dikejutkan oleh ledakan cambuk di tengah-tengah gelar Cakra Byuha itu.
"Apakah yang terjadi, Ki Sumangkar?" Untara menjadi cemas. "Agaknya telah terjadi pertempuran di dalam gelar ini."
Tiba-tiba saja Kiai Kalasa Sawit tertawa. Lalu, "Nah, akan terbukti bahwa pasukan Pajang yang teratur dan memiliki kemampuan berperang tiada taranya tidak mampu lagi melawan kekuatan Kiai Kalasa Sawit. Dengarlah Senapati Muda, di belakang gelarmu ini telah terjadi tekanan yang tidak kalah dahsyatnya dari tekanan yang telah aku berikan. Seorang adbmcadangan.wordpress.com yang memiliki kemampuan yang tidak ada bandingnya, bahkan dengan beberapa kelebihan daripadaku, telah berhasil memecahkan dinding gelarmu yang ditandai dengan panji-panji, umbul-umbul dan tunggul kebesaran sebagai pertanda keunggulan Pajang. Orang itu bernama Kiai Jalawaja. Ialah yang berada di dalam lingkaran gelarmu sekarang ini."
Untara mengerutkan keningnya. Namun untuk sesaat ia masih menunggu penjelasan Ki Sumangkar, yang sejenak kemudian berkata, "Benar, Angger Untara. Seseorang telah memasuki gelar Cakra Byuha ini. Tetapi bukan karena dinding gelar ini dipecahkan. Kiai Gringsing mendahului keputusan Angger untuk membuka dinding gelar itu sementara, dan memberi kesempatan seseorang yang barangkali yang bernama Jalawaja itu untuk masuk."
"Jadi?" desis Untara.
"Gelar itu telah menutup kembali."
"Itu tidak ada artinya," teriak Kiai Kalasa Sawit. "Kiai Jalawaja akan menghancurkan gelarmu dari dalam."
Ki Sumangkar masih akan menjawab. Tetapi sekali lagi terdengar suara cambuk bergeletar, sehingga Ki Untara berpaling sejenak memandang ke dalam gelarnya yang diterangi oleh cahaya obor. Tetapi ia tidak segera melihat sesuatu selain beberapa orang prajuritnya yang mengawasi bagian dalam gelar itu di antara tanaman-tanaman yang tumbuh di bulak, meskipun sebagian sudah berserakan.
Namun dalam pada itu, Ki Sumangkar-lah yang berkata, "Kiai Kalasa Sawit, apakah kau pernah mendengar ceritera tentang orang bercambuk" Bukankah kau sudah mendengar suara cambuknya?"
Kiai Kalasa Sawit mengerutkan keningnya.
"Barangkali kau tidak menghiraukannya. Tetapi orang bercambuk dan seorang kawannya yang ada di dalam gelar Cakra Byuha ini, dan yang kini bermain bersama orang yang kau sebut bernama Jalawaja itu adalah orang yang disebut orang bercambuk itu, yang bersama dengan seorang kawannya yang kini juga berada di dalam gelar ini, telah menghancurkan padepokan yang dipimpin oleh seorang yang bernama Panembahan Agung dan Panembahan Alit."
Wajah Kiai Kalasa Sawit menegang. Sesaat ia termangu-mangu, sehingga dengan demikian, maka Ki Sumangkar yang dengan sengaja menyebut nama Panembahan Agung telah menemukan jalur hubungan antara Kiai Jalawaja dengan Panembahan Agung yang sudah tidak ada lagi.
"Atau malahan orang-orang inilah yang telah melanjutkan perjuangan Panembahan Agung itu meskipun masing-masing mempunyai sikap dan pendirian yang berbeda?" Sumangkar masih bertanya kepada diri sendiri, karena ia pun mengetahui, bahwa di antara pimpinan-pimpinan gerakan yang melawan Pajang maupun Mataram itu yang nampaknya dapat bekerja bersama, namun yang sebenarnya terdapat banyak pertentangan pendapat dan sikap di antara mereka sendiri.
Dan yang lebih menarik perhatian Sumangkar pada orang itu adalah lukisan kelelawar yang ada di dadanya.
"Tetapi hampir tidak mungkin menangkapnya hidup-hidup," berkata Sumangkar di dalam hatinya, "meskipun aku bekerja bersama Kiai Gringsing dan Ki Waskita sekaligus. Karena orang ini tentu akan memilih mati. Bahkan jika ia tidak terbunuh, tentu ia akan membunuh dirinya sendiri."
Dalam pada itu, Kiai Kalasa Sawit yang termangu-mangu mendengar kata-kata Sumangkar itu pun kemudian menggeram, "Sumangkar, jangan kau sangka bahwa orang yang bersenjata cambuk itu dapat menggetarkan kulit Kiai Jalawaja, seperti kau tidak mampu menakut-nakuti aku dengan ilmu nyawa rangkapmu. Mantahun pun akhirnya mati. Juga kau akan mati."
Sumangkar mengangguk-angguk. Katanya kemudian justru kepada Untara, "Anakmas, aku mohon maaf, bahwa aku akan mengambil alih lawan Anakmas ini. Aku persilahkan Anakmas memimpin seluruh gelar ini tanpa terikat kepada siapa pun juga. Apalagi seseorang yang hanya sekedar berhasil berteriak-teriak menakut-nakuti burung di sawah ini tidak pantas menjadi lawan Anakmas. Biarlah ia melawan aku, yang barangkali sama-sama tidak mempunyai arti."
"Persetan," teriak Kiai Kalasa Sawit, "pergilah pengecut! Jika kau tidak berani melawan aku, he Untara, memang seyogyanya kau mencari bantuan tikus-tikus tua yang merasa dirinya bernyawa rangkap seperti ini."
Untara menjadi ragu-ragu. Tetapi Ki Sumangkar berkata, "Jangan dijebak oleh perasaan. Ingatlah bahwa Angger Untara sekarang berada di dalam pertempuran gelar. Bukan perang tanding yang mempunyai sifat yang berbeda."
Kiai Kalasa Sawit masih akan menyahut. Tetapi ia tidak sempat berteriak lagi, karena tiba-tiba saja Ki Sumangkar telah meloncat menyerangnya.
Kiai Kalasa Sawit terkejut. Tetapi ia masih sempat menghindar, bahkan kemudian mengayunkan senjatanya, sehingga Sumangkar-lah yang harus meloncat surut. Namun dengan demikian ia pun telah menggenggam pasangan senjatanya pula. Sepasang trisula kecil di kedua tangannya, dan bahkan yang di tangan kanannya berjuntai pada seujung rantai.
Kiai Kalasa Sawit berdebar-debar melihat senjata itu. Tetapi ia masih sempat berteriak, "He, di manakah tongkat bajamu yang berkepala tengkorak itu?"
Ki Sumangkar masih saja menjawab sambil memutar senjatanya, "Tengkorak yang kekuning-kuningan itu ternyata terbuat dari emas. Nah, kau tahu aku memerlukan uang untuk membeayai hidupku selama ini."
Tetapi jawaban itu membuat Kiai Kalasa Sawit semakin marah. Dengan sepenuh kekuatan ia menyerang lawannya bagaikan angin prahara. Namun Ki Sumangkar pun telah benar-benar bersiap menghadapi kemungkinan itu. Dan ia pun tidak berani lengah sekejap pun juga, karena ia sadar bahwa ia harus melawan kekuatan yang tiada taranya.
Demikianlah maka keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Masing-masing adalah seseorang yang memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan.
Dalam pada itu Untara termangu-mangu berdiri di tempatnya. Ia melihat Ki Sumangkar mengambil alih lawannya yang sangat berbahaya itu. Memang ada sedikit singgungan pada harga dirinya sebagai senapati. Tetapi ia pun tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa bagaimana pun juga, ia tidak akan dapat melawan orang yang bernama Kiai Kalasa Sawit. Jika ia berbicara tentang sifat kesatria, maka ia pun telah bertempur bersama senapati pengapitnya melawan yang seorang itu.
"Yang penting dari sifat kesatria adalah membinasakan kejahatan," berkata Untara di dalam hatinya. Dan seperti yang dikatakan oleh Ki Sumangkar, ia kini berada di dalam pertempuran. Bukan perang tanding.
Karena itulah maka ia pun melepaskan lawannya kepada Sumangkar, dan langsung memimpin seluruh pertempuran. Ia tidak lagi terikat dengan seorang lawan. Apalagi lawan setangguh Kiai Kalasa Sawit.
Karena itulah maka Untara pun berusaha untuk mendesak lawan-lawannya di pusat gelarnya. Setidak-tidaknya ia berusaha agar dinding gelarnya di pusat gelar itu tidak semakin terdesak surut.
Sementara Ki Sumangkar bertempur di pusat gelar, maka Kiai Gringsing pun ternyata telah bertempur melawan Kiai Jalawaja yang berada di tengah-tengah gelar Cakra Byuha.
Meskipun Kiai Jalawaja masih belum pernah secara pribadi bertemu dengan Kiai Gringsing, namun ternyata bahwa cambuk Kiai Gringsing telah membuatnya berdebar-debar.
"Jadi kaukah orang yang selama ini dibicarakan orang?" bertanya Kiai Jalawaja.
"Kenapa?" Kiai Gringsing ganti bertanya.
"Suara cambukmu bagaikan ledakan petir di langit. Seluruh Pajang telah mendengarnya. Dan aku pun telah mendengarnya pula. Kini agaknya aku mendapat kehormatan untuk berhadapan dengan orang yang namanya bagaikan nama terpenting dalam dongeng yang mengasyikkan itu."
"Aku memang senang mendengar dongeng-dongeng yang menarik."
"Dan tentang dirimu sendiri?"
"Ya." Kiai Jalawaja menggeram. Serangannya menjadi semakin dahsyat, sehingga setiap kali suara cambuk Kiai Gringsing pun harus meledak memekakkan telinga.
Sementara itu Ki Waskita masih sempat menyaksikan perkelahian yang semakin seru pula antara para pengawal dari Tambak Wedi melawan prajurit-prajurit Pajang di dalam lingkaran gelar itu pula. Mereka adalah orang-orang Tambak Wedi yang berhasil menyusup bersama Kiai Jalawaja, selagi dinding gelar itu dibuka, tetapi yang kemudian mengatup kembali.
Tetapi kekuatan dari Tambak Wedi yang berada di dalam gelar itu hanyalah terbatas sekali, sehingga dalam waktu yang singkat segera dapat dibatasi geraknya meskipun masih belum dapat dilumpuhkan, karena prajurit Pajang yang bertugas menguasai mereka pun terbatas pula.
Dengan demikian maka pusat perhatian setiap orang di dalam gelar itu tertuju kepada pertempuran antara Kiai Gringsing melawan Kiai Jalawaja yang tidak menyangka bahwa ia akan bertemu dengan lawan yang mendebarkan jantung.
Selagi Kiai Gringsing bertempur melawan Kiai Jalawaja, maka Ki Waskita pun masih saja berdiri termangu-mangu. Sekilas terbersit niatnya untuk membuat bayang-bayang di dalam pertempuran itu. Tetapi niatnya diurungkan, karena dengan demikian Prajurit Pajang sendiri akan dapat menjadi bingung.
Karena itulah maka ia masih saja berdiri termangu-mangu memandangi arena yang semakin mengerikan. Terutama di dinding gelar yang mendapat serangan bagaikan mengalirnya ombak dari tengah lautan. Beruntun.
Tetapi dinding gelar itu bagaikan batu-batu karang yang kokoh dan tidak tergoyahkan, sehingga benturan ombak itu sama sekali tidak berhasil memecahkannya. Bahkan terlempar kembali ke dalam arusnya sendiri.
Tetapi selagi berdiri termangu-mangu, Ki Waskita mengerutkan keningnya melihat seseorang yang dengan garangnya bertempur di antara orang-orang Tampak Wedi. Agaknya ia memiliki kelebihan dari prajurit-prajurit Pajang, sehingga beberapa orang harus menghadapinya bersama-sama.
"Tentu seorang pemimpin," desis Ki Waskita. Tetapi agaknya ia keliru. Orang itu adalah pengawal Ki Jalawaja yang memang memiliki banyak kelebihan dari pengawal-pengawal yang lain.
Perlahan-lahan Ki Waskita mendekatinya. Ternyata bahwa orang itu memang sudah berhasil menjatuhkan beberapa orang korban.
"Keganasan itu harus dihentikan," desis Ki Waskita. Karena itu maka ia pun kemudian mendekatinya sambil berkata, "Sudahlah, Ki Sanak. Jangan terlampau diburu nafsu."
Orang itu berpaling. Dilihatnya seorang yang sudah berumur di sekitar setengah abad berdiri termangu-mangu.
"Siapa kau, he?"
"Namaku tidak penting," jawab Ki Waskita. "Seandainya aku menyebutnya, kau tentu belum pernah mendengarnya juga."
"Ya, siapa kau."
"Namaku Waskita."
Orang itu mengerutkan keningnya, lalu, "Sombong. Kau kira kau mempunyai kebijaksanaan untuk melihat" Apalagi yang tidak kasat mata sehingga kau memakai nama Waskita?"
Ki Waskita masih sempat tersenyum. Dipandanginya orang itu sejenak, lalu, "Orang tuakulah yang memberikan nama itu kepadaku. Sudah tentu dengan harapan, bahwa aku akan menjadi bijaksana di hari-hari mendatang dari saat aku dilahirkan. Karena itu aku tidak mempergunakan nama lain selain nama yang diberikan orang tuaku kepadaku itu."
"Dan kau benar-benar menjadi waskita?"
"Tidak. Apalagi di peperangan seperti ini. Aku masih mudah terpancing oleh kebencian, dendam dan barangkali juga kesombongan, sehingga kadang-kadang aku menjadi kehilangan sifat-sifat waskita yang sebenarnya. Apalagi melihat sesuatu yang tidak kasat mata."
"Cukup," desis pengawal terpercaya Kiai Jalawaja itu, "kau terlalu banyak bicara. Aku segera ingin membunuhmu dengan semua sifat-sifatmu. Kau justru orang yang paling sombong yang pernah aku temui selama ini."
Ki Waskita pun segera mempersiapkan diri. Ia pernah bertempur melawan Panembahan Agung dan berhasil membunuhnya. Namun demikian ia sama sekali tidak menjadi lengah dan tidak menganggap lawannya terlampau mudah dikalahkannya. Ia sadar, bahwa jika demikian maka ialah yang sebenarnya berada di ambang pintu kekalahan.
Sekilas Ki Waskita masih melihat Kiai Gringsing yang bertempur dengan sengitnya melawan Kiai Jalawaja. Ternyata bahwa Kiai Jalawaja pun memiliki kemampuan yang luar biasa. Bahkan agak di luar dugaan Ki Waskita. Ia mengenal kemampuan dan ilmu cambuk yang luar biasa pada Kiai Gringsing. Namun menghadapi orang tidak dikenalnya itu, Kiai Gringsing harus mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya.
Sejenak kemudian Ki Waskita pun sudah harus bertempur melawan pengawal Kiai Jalawaja. Namun segera dalam benturan-benturan yang pertama, Ki Waskita dapat menjajagi kemampuan lawannya. Karena itulah maka ia ingin segera menyelesaikan perkelahian itu dan memparsiapkan dirinya jika ternyata bahwa orang yang bertempur melawan Kiai Gringsing itu tidak segera dapat dikalahkan.
"Apakah kami orang-orang tua harus berkelahi berpasangan seperti anak-anak muda yang hanya mampu menyombongkan dirinya?" pertanyaan itu tumbuh juga di hatinya. Tetapi seperti yang pernah diucapkan Ki Sumangkar kepada Untara. Ki Waskita menganggap bahwa di dalam peperangan gelar, maka setiap orang tidak terikat dalam perang tanding.
"Sudah tentu hanya kalau Kiai Gringsing menghadapi seseorang yang terlawan," desis Ki Waskita di dalam hatinya. "Tetapi barangkali bagi Kiai Gringsing tidak ada orang yang tidak terlawan itu."
Namun apa pun yang terjadi, Ki Waskita segera ingin menyelesaikan perkelahiannya. Mungkin di bagian lain dari gelar itu terdapat beberapa kelemahan yang dapat dibantunya, atau di suatu tempat dalam arena pertempuran itu terdapat orang-orang lain seperti lawan Kiai Gringsing itu.
Ternyata Ki Waskita tidak banyak mengalami kesulitan menghadapi pengawal Kiai Jalawaja. Bagi prajurit-prajurit tamtama Pajang, orang itu memang memiliki kelebihan. Namun bagi Ki Waskita, pengawal itu masih harus banyak menyadap ilmu untuk turun ke gelanggang pertempuran bersama orang-orang tua seperti dirinya, Kiai Gringsing, dan Ki Sumangkar.
Tetapi berbeda dengan pengawal itu, ternyata lawan Kiai Gringsing benar-benar seorang yang tangguh. Ia memiliki kemampuan bergerak yang mengagumkan. Dengan cepat ia dapat berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain hampir di luar tangkapan mata wadag.
Namun demikian, Kiai Gringsing mempunyai tangkapan pandangan melampaui kemampuan mata wadag. Di dalam pertempuran yang betapa pun rumitnya. Kiai Gringsing selalu berhasil menguasai keadaan yang dihadapinya.
Demikian pula berhadapan dengan Kiai Jalawaja yang memang memiliki ilmu yang dahsyat. Setiap kali serangannya bagaikan halilintar yang menyambar di langit. Ia menyerang dengan loncatan-loncatan panjang di sekitar lawannya. Bahkan kadang-kadang ia berlari berputar sebelum meloncat menyerang dengan dahsyatnya.
Kiai Gringsing mencoba untuk menyesuaikan dirinya. Tetapi ia tidak mempergunakan langkah-langkah panjang seperti lawannya. Ia sekedar bergeser di tempatnya untuk setiap kali memperbaiki arah. Namun demikian, Kiai Jalawaja sama sekali tidak mampu menyentuhnya, apalagi melukainya. Setiap kali justru ujung cambuk Kiai Gringsing-lah yang menyongsongnya dan meledak di sekitarnya. Bahkan dalam keadaan yang tidak di sangka-sangka, justru dalam kemarahan yang memuncak, terasa ujung cambuk Kiai Gringsing telah mulai menyentuh pakaiannya.
"Benar-benar gila," geram Kiai Jalawaja di dalam hatinya. "Orang bercambuk ini bagaikan siluman yang berada di segala tempat. Seolah-olah ia berada di semua sudut tanah ini di saat yang sama." Namun tiba-tiba ia berdesis, "Apakah ada lebih dari seorang yang bersenjata cambuk seperti ini?"
Tiba-tiba saja Kiai Jalawaja mengharap pengawalnya yang terpercaya itu pun datang kepadanya, dan bersama-sama melawan orang bercambuk itu.
"Aku tidak akan segera dapat menyelesaikannya," berkata Kiai Jalawaja di dalam hatinya, "ternyata di sini aku menghadapi lawan yang tidak aku perhitungkan sebelumnya."
Namun dalam cahaya obor ia melihat pengawalnya justru sedang mempertahankan dirinya melawan Ki Waskita. Setiap kali pengawal Kiai Jalawaja itu meloncat mundur. Serangan Ki Waskita terasa semakin lama menjadi semakin membingungkannya.
Dalam pada itu, pertempuran itu pun telah berkembang ke arah yang berbeda. Jika semula dinding-dinding gelar prajurit Pajang itu mengalami tekanan yang berat di beberapa tempat karena hadirnya pimpinan-pimpinan dari Tambak Wedi yang memiliki ilmu yang khusus, maka kemudian pemimpin-pemimpin itu telah terikat pada lawan-lawannya yang seimbang.
Apalagi dalam pada itu, orang-orang Tambak Wedi yang harus bertempur melawan kelompok-kelompok kecil di lereng Gunung Merapi itu pun merasakan, bahwa jumlah mereka yang telah jauh berkurang karena kehadiran prajurit Pajang, adbmcadangan.wordpress.com mendapatkan kesulitan pula. Kelompok-kelompok kecil di lereng Gunung Merapi yang telah bergabung, ditambah pula karena kehadiran prajurit Pajang, merasa menjadi lebih kuat dari lawan-lawan mereka, sehingga dengan demikian mereka menjadi semakin bergairah untuk segera memenangkan pertempuran itu, meskipun korban masih saja berjatuhan.
Beberapa orang di antara mereka pun telah menyusun kelompok-kelompok kecil yang khusus harus bertempur melawan para pengawal Kiai Jalawaja yang seolah-olah dihamburkan begitu saja di dalam pertempuran itu.
Namun dalam pada itu, Kiai Kalasa Sawit menjadi semakin marah bukan kepalang. Ia ingin menuntut setiap kematian dengan sepuluh nyawa. Tetapi ternyata bahwa korban pun semakin banyak berjatuhan. Apalagi sebelum ia puas melepaskan dendamnya dengan membunuh Untara, tiba-tiba saja telah hadir seseorang yang namanya pernah didengarnya sebagai adik seperguruan Patih Mantahun yang pernah dianggap mempunyai nyawa rangkap karena kelebihannya.
"Gila!" teriak Kiai Kalasa Sawit tiba-tiba karena desakan kemarahan yang tidak tertahankan.
Sumangkar mengerutkan keningnya. Tetapi ia bertempur terus. Dengan senjatanya ia mencoba untuk menghentikan desakan Kiai Kalasa Sawit, sehingga dengan demikian berpengaruh pula bagi seluruh pasukan Tambak Wedi yang ada di hadapan pusat gelar Cakra Byuha itu.
Sementara orang-orang Tambak Wedi yang harus bertempur melawan kelompok-kelompok kecil yang sudah bergabung itu mulai terdesak, maka ternyata Untara mulai berhasil menggerakkan gelarnya menurut rencananya. Agaknya karena Kiai Kalasa Sawit yang sudah diikat dalam perkelahian melawan Ki Sumangkar dan Kiai Jalawaja dan seorang pengawalnya disertai beberapa orang yang bersamanya, telah berada justru di dalam gelar, maka usaha Untara perlahan-lahan dapat dilakukannya.
Ketika saatnya dianggap tepat, nampaklah sebuah isyarat yang meloncat di udara. Sebuah panah sendaren yang mengaum di gelapnya malam, namun dalam hiruk-pikuknya pertempuran.
Setiap Senapati Pajang menyadari, bahwa mereka harus bekerja lebih keras untuk dapat bergerak memperluas lingkaran, gelarnya. Menurut rencana, semakin lama akan menjadi semakin luas dan mencakup seluruh arena pertempuran, termasuk arena pertempuran di luar gelar antara orang-orang Tambak. Wedi melawan kelompok-kelompok kecil yang sudah bergabung itu.
Tetapi meskipun gelar itu dapat bergerak dan berkembang, namun hanya perlahan-lahan sekali, karena tekanan yang masih saja terasa pada dinding gelar itu di setiap gerigi.
Untara yang telah bebas memimpin pasukannya itu pun telah mencoba melihat pada bagian-bagian lain dari prajurit-prajuritnya. Bahkan ia pun telah mendekati arena pertempuran di dalam lingkaran gelarnya antara Kiai Gringsing dan Kiai Jalawaja.
Sejenak Untara menjadi tegang. Ternyata bahwa di dalam pasukan lawan terdapat orang-orang seperti Kiai jalawaja dan Kiai Kalasa Sawit.
"Apakah jadinya, jika tidak secara kebetulan Kiai Gringsing Ki Sumangkar dan Ki Waskita tidak berada di Jati Anom pada saat ini?" terbersit pula pertanyaan di dalam hatinya. Namun di sudut lain ia menjawab sebagai seorang prajurit, "Aku akan membinasakannya. Meskipun barangkali dengan cara yang lain dan korban akan jatuh lebih banyak."
Meskipun demikian Untara masih juga merenungi pertempuran ini sesaat. Ia bahkan dicengkam oleh keheranan, bahwa di dalam lingkungan yang tidak banyak dikenal itu, terdapat orang yang pilih tanding seperti Kiai Kalasa Sawit dan Kiai Jalawaja.
"Tidak hanya mereka," desis Untara, "sejak persoalan Mataram berkembang, diikuti oleh hubungan yang kurang serasi antara Ki Gede Pemanahan dengan Sultan, maka timbullah golongan-golongan yang menghendaki perubahan dengan cara yang sangat tidak terpuji, dan mengarah kepada kekerasan."
Sekilas terkenang oleh Untara, usaha yang gagal pada saat ia melakukan upacara perkawinannya. Kemudian kelompok-kelompok yang berada di jalan-jalan raya yang sedang di bangun oleh Mataram. Bahkan kemudian seorang yang menyebut dirinya Panembahan Agung dan Panembahan Alit. Dan kini orang-orang yang singgah di padepokan tua, Tambak Wedi.
"Tentu masih banyak lagi," desis Untara.
Sebagai seorang prajurit, ia pun dapat menduga, bahwa sebenarnya ada kekuatan yang besar harus dihadapi, baik oleh Pajang maupun oleh Mataram.
Sejenak ia masih memperhatikan pertempuran di tengah-tengah gelar yang perlahan-lahan sudah mulai mekar. Dan sesaat kemudian ia meninggalkan arena itu, dan sekali lagi mengelilingi seluruh gelar yang semakin luas.
Sekali-sekali Untara masih harus juga turun membantu jika terasa seorang senapati yang memimpin sekelompok prajurit dalam gerigi gelarnya menemui kesulitan. Namun kemudian dilepaskannya kembali untuk melihat daerah pertempuran di sudut yang lain.
(***) (bersambung ke Buku 091"..)
Api Di Bukit Menoreh Karya : SH Mintarja (Buku 091 ~ 100) ________________________________________
Buku 91 KETIKA malam menjadi semakin dalam, maka nampaklah berapa tanda bahwa prajurit Pajang akan dapat menguasai keadaan. Kiai Kalasa Sawit yang bertempur melawan Ki Sumangkar, ternyata sama sekali tidak dapat berbuat lain, kecuali memusatkan perhatiannya kepada lawannya itu.
Sementara itu, Kiai Jalawaja dan seorang pengawalnya telah terkurung di dalam lingkaran gelar Cakra Byuha, dan harus menghadapi lawan orang bercambuk yang tidak diduganya sama sekali. Ketika ia memasuki lingkaran gelar itu bersama sekelompok anak buahnya, dan yang kemudian dinding gelar itu terkatup kembali, ia sudah menduga bahwa dengan sengaja prajurit Pajang telah menjebaknya. Tetapi, saat itu ia merasa bahwa ia tidak akan dapat dihalang-halangi oleh siapa pun. Bahkan ia menyangka, bahwa ia akan dapat memecahkan gelar itu dari dalam, sementara prajurit Pajang harus bertempur melawan serangan dari luar gelar.
Tetapi ternyata ia salah hitung. Di dalam gelar itu ia menemukan lawan yang tidak dapat dikalahkannya.
Dalam pada itu, pengawal-pengawal Kiai Jalawaja yang berpencaran pun telah mendapat perlawanan yang kuat dari pemimpin-pemimpin kelompok kecil di lereng Gunung Merapi yang sudah bergabung itu. Dengan sekuat tenaga, mereka berusaha untuk mempertahankan diri, selagi prajurit Pajang memberikan kelonggaran kepada mereka untuk bernafas.
Dalam kekisruhan yang terjadi di dalam peperangan, orang-orang lereng Gunung Merapi itu tidak dapat segera menilai pertempuran antara orang-orang Tambak Wedi dengan prajurit-prajurit Pajang yang bergerak dalam gelar. Bahkan kadang-kadang mereka menjadi cemas menyaksikan serangan yang datang dari segala penjuru, di segala bagian dari dinding gelar yang melingkar itu.
Kiai Kalasa Sawit, yang memimpin pasukannya menjadi marah bukan kepalang. Ternyata bahwa prajurit Pajang benar-benar kuat melawan pasukannya, yang sudah diperkuat oleh pasukan Kiai Jalawaja. Mereka menduga, bahwa prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom yang jumlahnya tidak begitu banyak, ditambah dengan kelompok-kelompok pencuri ayam di lereng Gunung Merapi itu, akan dengan mudah dapat dihancurkan. Apalagi dengan kehadiran Kiai Jalawaja.
Tetapi yang terjadi adalah berbeda dengan dugaannya itu.
"Jika aku tidak bertemu dengan iblis dari Jipang ini, aku tentu sudah berhasil membunuh Untara dan mencerai-beraikan pasukannya," berkata Kiai Kalasa Sawit kepada diri sendiri. "Tetapi agaknya iblis ini muncul dengan tiba-tiba."
Selain iblis yang harus dihadapinya, agaknya Kiai Kalasa Sawit pun pernah mendengar sesuatu tentang orang bercambuk yang pernah menjelajahi daerah Selatan. Dan tiba-tiba saja suara cambuk itu pun telah didengarnya di tengah-tengah gelar prajurit Pajang. Dengan demikian ia sadar, bahwa Kiai Jalawaja pun harus berhadapan dengan orang yang akan dapat menghambat gerakannya.
Beberapa bagian yang semula mendapat tekanan yang kuat dari pasukan Tambak Wedi perlahan-lahan dapat mengatasinya, sehingga kemudian gelar itu pun dapat mengembang merata. Pasukan Tambak Wedi yang semula diperkuat dibeberapa bagian, harus menebar mengisi beberapa kekosongan, karena jatuhnya korban di seluruh arena. Apalagi setelah Kiai Kalasa Sawit dan Kiai Jalawaja terlibat melawan orang-orang terkuat yang tidak dapat diatasinya.
Yang segera berhasil menguasai lawannya adalah Ki Waskita. Pengawal Kiai Jalawaja yang melawannya, tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk melawan Ki Waskita, sehingga karena itu maka ia pun segera terdesak surut. Semakin lama semakin terpisah dari Kiai Jalawaja yang harus bertempur melawan Kiai Gringsing. Apalagi setelah prajurit-prajurit Pajang yang ada di dalam gelar itu berhasil menguasai semua orang Tambak Wedi yang menyusup bersama Kiai Jalawaja. Beberapa prajurit yang memang menyusulnya di saat-saat mereka menerobos masuk, dibantu oleh beberapa orang prajurit yang bertugas mengawasi keadaan di dalam medan, akhirnya dapat memadamkan perlawanan orang-orang Tambak Wedi seluruhnya di dalam gelar itu.
Yang tinggal kemudian adalah Kiai Jalawaja dan seorang pengawalnya, yang harus bertempur melawan Ki Waskita. Dengan kemarahan yang melonjak-lonjak, mereka menyaksikan seorang demi seorang pasukannya dilumpuhkan. Beberapa orang terbunuh dan terluka, sedang yang lain menyerah kepada kenyataan yang dihadapinya.
Betapa kemarahan menghentak-hentak dada Kiai Jalawaja. Dengan lantang ia berteriak, "He orang-orang gila dan pengecut. Itukah yang dapat kalian lakukan" Aku menghormati mereka yang mati dan tidak mampu lagi mengangkat senjatanya. Tetapi adalah pengecut yang paling licik, jika ada di antara kalian yang meletakkan senjata sebelum kulitmu menitikkan darah."
Tetapi beberapa orang yang sudah duduk di tanah, ditunggui oleh ujung tombak di punggungnya, sama sekali tidak mampu berbuat apa pun juga. Mereka pun harus membiarkan tangan dan kaki mere"ka kemudian diikat dengan janget, karena para prajurit Pajang harus melanjutkan pertempuran.
Kemarahan yang memuncak, telah membuat Kiai Jalawaja mengamuk seperti harimau kelaparan. Namun tidak banyak yang dapat dilakukan, karena ia berhadapan dengan Kiai Gringsing, sedang pengawalnya pun benar-benar telah dikuasai oleh Ki Waskita.
"Menyerahlah," berkata Ki Waskita.
"Persetan!" geram pengawal itu, yang mencoba melawan sejauh dapat dilakukan. Tetapi kemampuan Ki Waskita benar-benar tidak dapat dilawannya.
Namun demikian, sama sekali tidak terbersit ingatan pada pengawal itu untuk menyerah. Apalagi menyerah dan menjadi seorang tawanan prajurit Pajang.
Karena itulah, maka ia pun masih saja melawan terus, betapapun ia terdesak.
Ki Waskita termangu-mangu menghadapi pengawal itu. Ia sebenarnya dapat dengan segera membinasakannya. Tetapi ada sesuatu yang menahannya. Sepercik keragu-raguan telah merayap di hatinya.
Sekali-sekali timbul niatnya untuk membuat lawannya menjadi bingung dan kehilangan akal dengan bentuk-bentuk semu. Bahkan ia mulai mempertimbangkan, apakah dengan demikian ia akan dapat mengurangi korban jiwa di kedua belah pihak.
Namun ia meragukan hasilnya, karena prajurit-prajurit Pajang sendiri tentu akan menjadi bingung dan bahkan mungkin mereka tidak dapat berbuat lebih banyak lagi daripada termangu-mangu dan keheranan.
Karena itulah, maka niatnya itu pun diurungkannya. Dibiarkannya pertempuran itu berlangsung dengan wajar. Apalagi ketika ia mulai dapat melihat kemajuan prajurit-prajurit Pajang.
Sementara itu. Pengawal Kiai Jalawaja masih saja melawan dengan segenap tenaganya, meskipun ia harus berloncatan surut. Bahkan kadang-kadang surut beberapa langkah dengan wajah tegang dan kebingungan.
Tetapi adalah di luar dugaan siapa pun juga, bahwa prajurit Pajang yang telah kehilangan lawan, dan yang masih berada di dalam lingkungan gelar itu, tidak membiarkan seorang pun lawan yang tetap memberikan perlawanan. Itulah sebabnya, maka karena pengawal itu ternyata tidak mau menyerah, prajurit-prajurit Pajang tidak sabar lagi membiarkannya berkeliaran di dalam gelar. Mereka tidak mempunyai pertimbangan yang pelik seperti Ki Waskita, sehingga karena itu, ketika pengawal itu sedang bersusah payah menghindari serangan Ki Waskita, tiba-tiba saja dua orang prajurit Pajang, yang sudah kehilangan kesabaran, menyerang bersama-sama. Dua buah tusukan pedang tidak dapat dielakkannya, sehingga sesaat terdengar keluhan yang tertahan. Namun ketika dua buah pedang itu ditarik hampir bersamaan, dari hunjaman yang dalam di tubuh pengawal Kiai Jalawaja itu, maka orang itu pun terhuyung-huyung sejenak, kemudian jatuh tertelungkup di tanah.
"Ki Sanak," Ki Waskita mencoba mencegah, ketika ia melihat dua serangan berbareng itu. Tetapi ia tidak berhasil menghentikan serangan itu, sehingga ia pun kemudian hanya dapat melihat mayat itu terbaring di tanah, di antara beberapa sosok mayat yang lain.
Kiai Jalawaja yang melihat pengawalnya itu terbunuh, berteriak nyaring. Kemarahannya benar-benar serasa meledakkan kepalanya, sehingga ia pun telah kehilangan segala pertimbangan.
Karena itu, maka tandangnya pun menjadi semakin kasar dan bahkan seperti seekor binatang buas yang sedang memburu mangsanya.
Kiai Gringsing menyadari, bahwa ia tidak akan dapat berbicara dengan orang yang sedang kehilangan akal itu. Dan ia pun menyadari, bahwa tidak mungkin untuk dapat menangkap Kiai Jalawaja dalam keadaan hidup. Namun seperti Ki Waskita, maka membunuh lawannya diperlukan pertimbangan yang semasak-masaknya.
Sementara itu, Kiai Jalawaja telah benar-benar mengamuk. Senjatanya terayun-ayun mengerikan sekali. Dengan sepenuh kemampuan yang ada, ia menyerang Kiai Gringsing seperti prahara.
Tetapi, setiap kali Kiai Gringsing masih mampu melindungi dirinya dengan putaran cambuknya. Bahkan sekali-sekali meledak menyerang lawannya.
Dalam keadaan yang paling gawat, ternyata Kiai Jalawaja tidak lagi menghiraukan patukan ujung cambuk lawannya. Kulitnya seolah-olah menjadi kebal dan tidak dapat disentuh oleh perasaan sakit. Betapa Kiai Gringsing menyengat tubuhnya dengan ujung cambuknya yang berkarah baja, namun Kiai Jalawaja menyerangnya bagaikan taufan.
Sekilas teringat oleh Kiai Gringsing, lawannya di ujung Tanah Perdikan Menoreh, di antara bukit-bukit kecil yang terpencil, seorang yang menyebut dirinya Panembahan Alit. Orang itu pun rasa-rasanya menjadi kebal dan tidak dapat dilukainya dengan senjatanya.
"Apakah Kiai Jalawaja juga seorang yang memiliki ilmu seperti Panembahan Alit, yang dapat membuat kulitnya menjadi kebal?" pertanyaan itu memang membersit di hati orang tua itu.
Sementara itu, Ki Waskita telah berdiri termangu-mangu memperhatikan pertempuran itu. Pertempuran yang semakin lama menjadi semakin sengit, sehingga akhirnya sampailah mereka pada puncak ilmu dan puncak kemungkinan.
Prajurit-prajurit Pajang yang kurang dapat menilai keadaan, dan menganggap Kiai Jalawaja adalah orang yang hanya sekedar keras kepala seperti pengawalnya, mencoba menyerangnya pada saat orang itu meloncat selangkah surut.
Tetapi malang bagi prajurit itu. Belum lagi senjatanya menyentuh orang yang bernama Jalawaja itu, mereka telah terlempar dari tempatnya dengan luka yang membelah lambung.
Kiai Gringsing menggeram melihat korban yang berjatuhan itu. Apakah ia masih akan tetap membiarkannya mengambil korban-korban yang lain"
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam melihat pertempuran yang menjadi semakin sengit. Ledakan cambuk Kiai Gringsing menjadi semakin sering terdengar, dan rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin keras.
Kiai Jalawaja yang agaknya sudah menyadari, bahwa ia tinggal seorang diri di dalam lingkungan dinding gelar, yang semakin lama menjadi semakin mengembang itu, justru membuatnya seperti gila. Serangannya menjadi semakin dahsyat dan tingkah lakunya seolah-olah sudah tidak lagi dikendalikan oleh kesadarannya, sebagai seorang yang memiliki ilmu yang pilih tanding.
Yang nampak kemudian adalah sifat-sifatnya yang sewajarnya. Kasar dan bahkan liar.
Kiai Gringsing memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus menghentikan perlawanan Kiai Jalawaja. Hidup atau mati. Dan Kiai Gringsing pun menyadari, bahwa orang itu tidak boleh lepas dari tangannya, karena dengan demikian, ia akan menelan korban yang tidak terhitung lagi jumlahnya. Mungkin di arena pertempuran ini, tetapi mungkin juga di saat-saat yang lain, jika ia mendapat kesempatan melakukannya.
Karena itulah, maka Kiai Gringsing pun telah melawannya dengan segenap kemampuannya pula. Seperti saat-saat ia bertempur melawan Panembahan Alit, maka ia telah mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan, sehingga ledakan cambuknya pun telah bernada lain. Kekuatan cadangan yang tersimpan di dalam dirinya, telah tersalur pula pada ujung cambuknya, sehingga karena itulah, maka ujung cambuk itu seolah-olah menjadi semakin dahsyat. Karah-karah baja yang terdapat pada juntai cambuknya, seolah-olah telah berubah menjadi ujung-ujung senjata yang paling tajam.
Dengan demikian, maka di dalam dinding gelar itu telah bertempur dua orang yang memiliki kemampuan raksasa. Masing-masing telah mengerahkan semua kekuatan yang ada pada mereka, sehingga prajurit-prajurit Pajang yang menyaksikan pertempuran itu pun telah bergeser menjauh. Mereka baru menyadari, bahwa arena yang khusus ini bukannya arena yang dapat dicampurinya. Bahkan sentuhan angin yang semiyut oleh gerakan kedua orang yang sedang bertempur itu, terasa betapa kerasnya menampar tubuh-tubuh prajurit Pajang, yang seolah-olah telah membeku oleh pesona yang mencengkamnya.
Ki Waskita menyaksikan pertempuran itu sambil termangu-mangu. Ia menjadi ragu-ragu, apakah ia akan membiarkan Kiai Gringsing bertempur seorang diri. Meskipun menilik keadaannya, maka nampaknya Kiai Gringsing akan dapat menguasai keadaan. Tetapi jika Kiai Gringsing membuat sedikit kesalahan, maka ia akan terjerumus ke dalam kesulitan. Padahal Kiai Gringsing adalah manusia biasa, yang lemah, lengah, dan kadang-kadang dipengaruhi oleh keadaan di seputarnya. Karena itulah, maka segala kemungkinan masih akan dapat terjadi pada kedua orang yang sedang bertempur mati-matian itu.
Di tempat yang lain, di pusat gelar prajurit Pajang, ternyata telah terjadi pertempuran yang sedahsyat itu pula. Ki Sumangkar harus bertempur dengan sekuat tenaganya. Dengan puncak ilmunya yang dikagumi oleh setiap orang Jipang dan Pajang, sehingga kakak seperguruannya, Patih Mantahun pernah dianggap mempunyai nyawa rangkap. Tetapi karena usianya, yang mempengaruhi kemampuan jasmaniahnya, maka akhirnya Ki Patih Mantahun pun harus mengorbankan jiwanya. Dan ternyata, bahwa ia tidak mempunyai rangkapan nyawa yang dapat menghidupkannya kembali.
Tetapi Ki Sumangkar cukup menyadarinya, bahwa nyawa rangkap pada perguruannya adalah sekedar dongeng yang tidak berlandaskan pada kenyataan. Karena itu, ia pun cukup berhati-hati, karena jika nyawanya yang satu itu meninggalkan tubuhnya, maka ia tidak lebih adalah sesosok mayat yang harus dikuburkan.
Sementara itu, Ki Sumangkar pun mendengar bahwa nada cambuk Kiai Gringsing rasa-rasanya memekik semakin tinggi. Dengan demikian ia pun mengerti, bahwa Kiai Gringsing harus mengerahkan segenap ilmunya pula untuk melawan orang yang telah memasuki lingkungan dinding gelar Cakra Byuha itu.
Sementara itu, Untara telah berhasil menggerakkan pasukannya dalam gelar yang semakin berkembang, meskipun perlahan-lahan. Tetapi ia menjadi semakin yakin, bahwa ia akan dapat menguasai keadaan dan sekaligus menguasai arena. Sekali-sekali ia masih sempat melihat gerigi-gerigi gelarnya, yang mulai menghunjam masuk, ke lingkungan ruang gerak lawan yang mulai kehilangan pegangan, karena pemimpin-pemimpinnya terikat pada pertempuran yang sengit.
Yang masih tetap berdiri temangu-mangu adalah Ki Waskita. Ia menjadi bimbang, apakah ia harus terjun ke dalam arena pertempuran. Meskipun Kiai Gringsing tidak sedang melakukan perang tanding, tetapi ia merasa segan pula untuk mengganggunya, jika ia tidak merasa yakin bahwa Kiai Gringsing menyetujuinya.
Dalam keragu-raguan itu Ki Waskita berdiri mematung di tempatnya. Tidak seperti prajurit-prajurit Pajang yang menghindar menjauhi arena, yang menjadi semakin mengerikan itu, Ki Waskita tetap mengikuti perkelahian itu pada jarak yang justru semakin dekat.
Meskipun demikian, Ki Waskita tidak menjadi lengah. Untuk menyatakan maksudnya, bahwa ia akan mempercepat penyelesaian pertempuran itu, sehingga perang keseluruhan pun akan semakin cepat berakhir, dan korban pun dapat dibatasi, maka Ki Waskita telah melepas ikat kepalanya dan membelitkannya di tangan kirinya.
Ternyata Kiai Gringsing pun sempat melihat dan mengerti maksudnya. Tetapi Kiai Gringsing tidak segera memberikan tanggapan apa pun juga.
Dalam pada itu, Kiai Jalawaja benar-benar telah mengamuk. Tidak ada orang lain yang berani berdiri dekat perkelahian itu selain Ki Waskita, yang ternyata telah menarik perhatiannya.
Menurut pertimbangan Kiai Jalawaja, ia tentu tidak akan segera dapat mengalahkan Kiai Gringsing, atau barangkali semalam penuh pertempuran itu tidak akan selesai. Karena itu, ia harus mendapatkan koban-korban baru yang lain sebanyak-banyaknya. Karena tidak ada prajurit Pajang yang mendekatinya, maka orang yang membelitkan ikat kepalanya di tangan kirinya itu adalah korban yang paling mungkin diambilnya.
Demikianlah, selagi perkelahian itu berlangsung dengan sengitnya. Kiai Jalawaja masih sempat bergeser sedikit demi sedikit mendekati Ki Waskita yang berdiri termangu-mangu.
Agaknya Ki Waskita dan bahkan Kiai Gringsing dapat menangkap maksud Kiai Jalawaja. Karena itulah, maka Ki Waskita pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Sedang Kiai Gringsing agaknya sengaja tidak menghalang-halanginya.
Dengan demikian Ki Waskita dapat menduga, bahwa Kiai Gringsing memang tidak berkeberatan jika ia membantu mempercepat penyelesaian.
Sejenak kemudian, yang ditunggu itu pun terjadilah. Namun ternyata bahwa setiap prajurit Pajang telah dicemaskan oleh sikap Ki Waskita yang seperti seseorang yang tidak mengetahui bahaya yang mengancamnya, berdiri termangu-mangu di pinggir arena yang mengerikan.
Bahkan seorang prajurit telah mencoba berteriak memanggilnya, "He, Kiai. Jangan berdiri saja di situ."
Tetapi kawannya berbisik, "Ia telah memenangkan perkelahian melawan salah seorang dari orang-orang Tambak Wedi."
"Tetapi bukan yang seorang ini. Agaknya ia adalah pemimpinnya. Sedangkan lawan yang mati itu pun bukan karena orang tua itu. Tetapi dua orang prajurit telah membantunya dan menusuk lawannya bersama-sama."
Kawannya terdiam. Namun mereka tidak sempat memberikan peringatan lagi kepada Ki Waskita. Ternyata Kiai Jalawaja benar-benar masih ingin membunuh lawan sebanyak-banyaknya sebelum pertempuran itu berakhir, karena akhir dari pertempuran itu sama sekali tidak dapat dibayangkannya.
Prajurit-prajurit Pajang yang berdiri termangu-mangu mengawasi arena di dalam gelar itu berdesir, melihat bayangan orang Tambak Wedi itu bagaikan angin meloncat menyerang Ki Waskita dengan dahsyatnya. Senjatanya terayun deras sekali, didorong oleh kekuatan yang dahsyat sekali.
Tetapi Ki Waskita sudah siap menghadapinya. Ia sama sekali tidak berusaha menghindar. Tetapi dengan sepenuh kekuatannya pula, ia mengangkat tangan kirinya, menangkis serangan itu.
Dua kekuatan telah berbenturan. Prajurit-prajurit Pajang mengira bahwa Ki Waskita tidak sempat menghindar, sehingga mereka menyangka bahwa Ki Waskita akan lumat menjadi debu.
Tetapi yang terjadi ternyata tidak seperti yang mereka bayangkan. Senjata orang Tambak Wedi yang memiliki kemampuan luar biasa itu telah membentur ikat kepala yang membelit di tangan kiri Ki Waskita.
Akibatnya benar-benar tidak terduga. Senjata Kiai Jalawaja justru terpental, sehingga Kiai Jalawaja sendiri telah terdorong selangkah surut sementara Ki Waskita berdiri tegak di tempatnya, seolah-olah sebuah patung baja yang tidak tergoyahkan.
Kiai Jalawaja yang tidak menduga, bahwa orang yang berdiri termangu-mangu di pinggir arena itu pun orang yang memiliki ilmu yang tinggi, benar-benar terkejut bukan buatan. Karena itulah, maka sejenak ia kehilangan keseimbangan. Hampir saja ia jatuh terlentang. Untunglah bahwa ia masih mampu bertahan.
Namun pada saat yang bersamaan Kiai Gringsing telah berdiri di belakangnya. Dengan ujung cambuknya, ia sengaja hanya menyentuh tubuh Kiai Jalawaja yang belum tegak benar, sekedar untuk memperingatkannya bahwa ujung cambuk itu mampu berbuat lebih jauh dalam keadaannya seperti itu.
"Kiai," berkata Kiai Gringsing, "aku tahu bahwa kau adalah seorang pemimpin. Karena itu, kau dapat berbuat banyak. Kau dapat menghentikan pertumpahan darah yang berlarut-larut ini, dan kemudian mempertimbangkan langkah-langkah selanjutnya."
Kata-kata Kiai Gringsing itu pun mengejutkan pula. Sentuhan yang justru perlahan-lahan mengenai tubuhnya, adalah suatu penghinaan bagi Kiai Jalawaja. Apalagi pernyataan Kiai Gringsing itu tidak ada arti lain daripada memerintahkan kepadanya untuk menyerah.
"Gila!" teriak Kiai Jalawaja. Suaranya menggelegar di seluruh medan. "Aku akan membunuh semua orang."
Kiai Gringsing berdiri tegak dengan kaki renggang. Cambuknya dipeganginya dengan tangan kanan, sedang ujung juntainya dipegangnya dengan tangan kiri. Katanya kemudian, "Jika kita yang tua-tua tidak berbuat sesuatu, maka korban akan semakin banyak. Dan apakah arti dari kematian-kematian itu, selain pemuasan nafsu saja" Akhir dari pertempuran ini sudah membayang adbmcadangan.wordpress.com. Kau sebagai seorang senopati perang, di mana pun kau berpihak, tentu sudah dapat memperhitungkan. Kau tidak dapat mencari kepuasanmu sendiri, berdiri di tengah-tengah gelar musuh dan berusaha membinasakan lawan sebanyak-banyaknya, sementara anak buahmu sendiri terbunuh seperti batang ilalang."
"Tutup mulutmu pengecut!" teriak Kiai Jalawaja.
"Kita sama-sama pengecut," sahut Ki Waskita, "mungkin kami tidak berani melihat kenyataan yang kau hadapi."
"Persetan! Aku akan bertempur. Di medan hanya ada dua pilihan bagiku. Membunuh atau dibunuh."
"Tak ada pilihan lain?" bertanya Kiai Gringsing. "Kita mempunyai bahasa yang dapat kita pergunakan untuk menyatakan perasaan kita masing-masing."
Kata-kata Kiai Gringsing itu telah menyentuh dasar hati Kiai Jalawaja yang paling dalam. Tetapi ia telah mengeraskan perasaannya, sehingga dengan nada kasar ia membentak, "Bahasa yang paling baik di peperangan, adalah ujung senjata. Dan arti yang paling sempurna dari setiap langkah seseorang yang bertempur di medan, adalah kematian."
Ki Waskita menarik nafas. Katanya, "Kiai. Kau adalah orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Tetapi ternyata hatimu keras, sekeras batu hitam. Kenapa kau tidak mau mempergunakan sedikit kebijaksanaan?"
"Cukup, orang-orang dungu! Kau tidak akan dapat mempengaruhi aku untuk menyerah dengan cara apa pun juga. Aku bukan anak-anak yang dapat kau bujuk seperti itu."
Kiai Gringsing masih sempat menghindar. Tetapi Kiai Jalawaja menyerangnya seperti prahara.
Kiai Gringsing masih sempat menghindar. Tetapi Kiai Jalawaja tidak mau memberinya kesempatan. Dengan kecepatan yang hampir tidak dapat diikuti dengan mata wadag, maka tubuhnya bagaikan terbang dengan senjata taracu menyerang Kiai Gringsing sekali lagi.
Kiai Gringsing tidak dapat sekedar menghindar. Ketika ia merasa dirinya justru terdesak, maka kembali cambuknya telah meledak dengan nada yang tinggi, pertanda bahwa ia telah melepaskan semua kemampuan ilmu yang ada padanya.
Dalam kegelapan hati, Kiai Jalawaja tidak menghiraukan lagi patukan senjata lawannya. Karena itu, segores jalur merah telah membekas di punggungnya yang terbuka, karena bajunya yang telah tersayat pula oleh ujung cambuk Kiai Gringsing. Bahkan nampak bekas-bekas yang kehitam-hitaman, seolah-olah baju Kiai Jalawaja telah disobek oleh nyala bara api.
Tetapi Kiai Jalawaja sama sekali tidak berniat untuk mengakhiri pertempuran dengan cara yang paling hina. Menyerah seperti beberapa orang yang tidak sempat berbuat apa pun juga lagi.
Dengan gigihnya Kiai Jalawaja bertempur terus. Sekali-kali ia terdesak surut, dan dalam keadaan yang tiba-tiba ia pun telah menyerang Ki Waskita pula.
Kisah Dua Kamar 3 Pedang Siluman Darah 21 Ratu Maksiat Telaga Warna Ilusi Illusion 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama