04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 27
Tetapi selagi Gandu Demung itu diganggu oleh berbagai macam gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan hubungan yang sedang dirintisnya, lawannya justru menyerang semakin sengit, sehingga tiba-tiba saja terasa pundaknya telah disengat oleh perasaan pedih.
Gandu Demung meloncat surut beberapa langkah. Tangan kirinya telah bergerak di luar sadarnya, meraba pundak kanannya. Terasa cairan yang basah telah mengalir dari sebuah luka yang meskipun hanya segores kecil, namun cukup membakar jantung.
"Gila," geram Gandu Demung, "kalian melukai aku. Melukai pundak kananku."
Tetapi yang didengar adalah suara tertawa nyaring. Orang yang bertubuh jangkung menyahut di sela-sela suara tertawanya, "Kesalahanmu, Ki Sanak, kau menganggap bahwa daerah ini adalah daerah mati. Setelah kau pergi, kau mengira bahwa daerah ini tidak tumbuh dengan suburnya. Dan kini kau harus melihat, kekuatan-kekuatan baru yang tumbuh di tempat asalmu yang telah melampaui perkembangan ilmumu meskipun kau berada di lingkungan yang lebih memungkinkan."
Kata-kata itu semakin membakar isi dadanya. Darahnya yang bagaikan mendidih telah bergolak sampai ke ujung ubun-ubun. Dengan suara yang datar Gandu Demung berkata, "Kalian memang orang-orang yang tidak dapat diajak berbicara. Kalian benar-benar tidak mempunyai otak, selain sedikit tenaga yang liar. Baiklah. Jika kalian benar-benar tidak mau mengerti dan melihat kenyataan yang kalian hadapi."
Gandu Demung tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Lawannya telah menyerangnya bagaikan badai yang menghantam berurutan dari segenap arah.
Sekali lagi Gandu Demung terpaksa meloncat mundur. Tetapi kali ini Gandu Demung benar-benar telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dengan gigi gemeretak ia kemudian berkata, "Aku akan membunuh salah seorang dari kalian, kemudian mencoba untuk berbicara lagi."
Namun Gandu Demung harus meloncat surut sekali lagi. Serangan lawannya menghantamnya sekali lagi dengan dahsyatnya.
"Memang tidak ada pilihan lain," katanya di dalam hati. "Ketiga orang ini terlalu sombong."
Kemarahan yang sudah tidak terkendalikan lagi, ternyata telah mencengkam jantung Gandu Demung. Itulah sebabnya maka kemudian ia telah mengerahkan kemampuannya untuk melawan ketiga orang yang sama sekali tidak menyadari apa yang sebenarnya sedang dihadapi. Apalagi luka di pundak Gandu Demung, sama sekali tidak menguntungkan mereka, meskipun mereka merasa, bahwa luka itu adalah pertanda bahwa mereka bertiga akan segera dapat menguasai keadaan.
Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Gandu Demung telah mengerahkan ilmunya. Meskipun ia harus melawan tiga orang sekaligus, ternyata bahwa ia mampu mendesaknya, bahkan kemudian seolah-olah ketiga lawannya tidak lagi mendapat kesempatan sama sekali untuk mempertahankan dirinya.
"Gila," teriak yang bertubuh jangkung yang mendapat tekanan terberat dari Gandu Demung, "panggillah kawan terdekat dengan isyarat. Orang ini agaknya telah menjadi gila."
Ternyata perintah itu telah mendebarkan jantung Gandu Demung. Jika demikian, tentu berarti ia akan mendapat lawan semakin banyak.
Gandu Demung masih sempat melihat salah seorang dari ketiga lawannya mengambil sesuatu dari kantongnya. Sepotong carang pering apus, yang kemudian dilekatkan di mulutnya.
Gandu Demung mengerti bahwa sepotong carang itu tentu sebuah sempritan yang mampu berteriak nyaring, apalagi di malam hari yang sepi. Dengan suara sempritan itu menurut dugaannya, akan berdatangan beberapa orang yang akan mengepungnya.
Gandu Demung tidak mau mengalami kesulitan yang lebih parah lagi. Apalagi sebelum ia bertemu dengan sanak saudaranya dan mengutarakan maksudnya.
Karena itu, maka ketika orang yang meletakkan sempritan itu dimulutnya siap untuk ditiup, maka Gandu Demung telah mengerahkan segenap kemampuannya dan menyerang seperti badai sehingga karena itu maka orang yang membawa sempritan itu untuk selamanya tidak pernah sempat membunyikannya.
Yang terdengar justru sebuah keluhan yang tertahan ketika ujung pedang Gandu Demung sempat merobek dada orang itu dan mendorongnya jatuh terlentang.
"Gila, anak setan," teriak orang bertubuh jangkung itu dengan kasarnya.
Tetapi Gandu Demung menjawab dengan suara yang geram, "Bukan salahku. Aku sudah berusaha mengajak kalian berbicara."
"Kau akan dicincang sampai lumat oleh Ki Bajang Garing."
"Jika ia ada, mungkin aku justru dapat berbicara dengan baik. Karena aku yakin, bahwa Ki Bajang Garing bukan orang sedungu kau."
Lawannya yang semakin terdesak tidak sempat menjawab karena serangan Gandu Demung yang semakin dahsyat.
Namun dalam pada itu, mereka yang sedang bertempur itu terkejut ketika mereka mendengar suara tertawa yang berat. Suara yang telah menghentikan perkelahian itu untuk beberapa saat. Namun sementara itu Gandu Demung meloncat surut ke belakang dan bersiap menghadapi kemungkinan yang barangkali menjadi lebih buruk lagi baginya.
Dari dalam kegelapan Gandu Demung melihat sesosok tubuh yang pendek, lebih pendek dari dirinya sendiri, muncul diiringi olek seorang yang bertubuh kekar dan kuat.
"Kau luar biasa, Ki Sanak," desis orang bertubuh pendek itu.
"Siapa kau?" bertanya Gandu Demung. Tetapi menilik ujudnya yang pernah dilihatnya sebelum ia meninggalkan tempat itu dan bergabung pada Empu Pinang Aring, maka ia yakin, bahwa orang bertubuh pendek itu adalah Ki Bajang Garing.
"Aku datang pada saat-saat terakhir dari perkelahian yang menarik ini. Namun aku masih mendengar kau berkata, bahwa jika kau bertemu dengan Ki Bajang Garing, maka kau akan mendapat kesempatan untuk berbicara."
"Ya," jawab Gandu Demung, "ketiga orang-orangmu yang dungu itu agaknya lebih senang mati daripada mendengarkan pendapatku."
Ki Bajang Garing tertawa. Kemudian ia pun memberikan isyarat kepada kawan-kawannya untuk mundur dan menghentikan perkelahian.
"Baiklah, Ki Sanak. Supaya aku tidak juga kau sebut dungu, maka aku akan mendengarkan bicaramu. Mungkin kau punya usul atau punya pendapat yang baik dan menguntungkan meskipun kau sudah membunuh seorang anak buahku."
Gandu Demung mengerutkan keningnya. Sikap Ki Bajang Garing ternyata membuatnya justru lebih berhati-hati, karena nampaknya Ki Bajang Garing memiliki kepercayaan kepada diri sendiri yang besar.
"Tetapi aku ingin tahu, siapakah kau, Ki Sanak?"
"Aku sudah memperkenalkan diriku kepada orang-orangmu."
"Sudah aku katakan, bahwa aku datang di saat-saat terakhir. Saat kau dengan kemampuan yang tinggi membunuh anak buahku."
Gandu Demung termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian berdesis, "Aku adalah Gandu Demung, anak Carangsoka."
"He," wajah Ki Bajang Garing menjadi tegang. Namun hanya sesaat karena kemudian ia pun tersenyum, "aku sudah mengenalmu. Anak muda yang pendek hampir seperti aku. Tetapi orang tua mudah lupa. Bukankah kau anak muda yang pernah menggemparkan daerah ini sebelum kau pergi untuk waktu yang lama?"
"Aku berada di lingkungan Empu Pinang Aring yang sekarang berada di kaki Gunung Tidar."
"O, bukan main. Kau memang pantas berada di lingkungan yang lebih besar daripada sekumpulan tikus-tikus kecil yang dipimpin oleh ayahmu itu."
"Ya. Aku menyadari. Karena itu aku pergi," ia berhenti sejenak, lalu, "tetapi pada saat yang penting ini aku telah bertemu bukan saja tikus-tikus kecil, tetapi cecurut yang dungu. Nah, apa katamu tentang orangmu yang mati?"
"Tidak apa-apa. Bahkan aku mengagumimu. Apalagi kau sekarang berada di bawah perlindungan Empu Pinang Aring yang tentu mempunyai pengaruh pula. Untunglah bahwa kau belum menjadi cidera. Karena dengan demikian Empu Pinang Aring akan dapat terseret dalam tindakan yang keras dan kasar di daerah ini."
"Bukan sekedar basa-basi. Hal itu memang dapat terjadi. Dan kau harus mengerti, bahwa bagi Empu Pinang Aring, maka hampir tidak pernah ada kesempatan hidup bagi lawan-lawanya meskipun ia menyerah."
"Aku sudah mendengar. Ia adalah di seorang pembunuh yang baik. Tetapi tentu saja hanya orang-orang yang dapat diketemukannyalah yang akan dapat dibunuhnya. Orang yang sempat mengelak Empu Pinang Aring tidak akan dapat membunuhnya."
"Aku tahu, bahwa itu adalah senjatamu satu-satunya, dan menjauhinya tanpa diketahui di mana ia bersembunyi," sahut Gandu Demung. "Karena bagimu dan kelompokmu, tidak ada kesempatan lain daripada berbuat demikian. Seperti yang dilalukan oleh ayahku sendiri."
Ki Bajang Garing mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa berkepanjangan.
Orang-orang yang mendengar suara tertawanya menjadi berdebar-debar. Agaknya ada sesuatu yang ditekan di dalam hati Ki Bajang Garing. Agaknya kenyataan hadirnya Empu Pinang Aring sangat menyakitkan hatinya. Tetapi ia ternyata tidak dapat berbuat apa-apa.
"Ki Bajang Garing," berkata Gandu Demung, "kau memang harus menyadari keadaan itu. Ayahku pun menyadari dan pemimpin-pemimpin kelompok jadi semakin terbatas."
"Baiklah, aku akan melihat kenyataan itu. Tetapi cepat katakan, apa yang penting aku ketahui sekarang?"
"Ki Bajang Garing," berkata Gandu Demung kemudian, "aku telah mendapat kepercayaan khusus dari Empu Pinang Aring kali ini. Empu Pinang Aring yang sedang sibuk itu, ternyata tidak mempunyai waktu lagi untuk melakukan sesuatu yang sebenamya sangat bermanfaat bagi lingkungannya. Itulah sebabnya Empu Pinang Aring memerintahkan aku untuk melakukan menurut kebijaksanaan yang mana pun yang akan aku tempuh. Tegasnya, aku mendapat kekuasaan sepenuhnya untuk melakukannya."
"Apakah yang akan kau lakukan?"
Gandu Demung pun kemudian menceriterakan tentang hari-hari perkawinan anak Demang dari Sangkal Putung dan anak Kepala Tanah Perdikan Menoreh, meskipun hanya pokok masalahnya. Ia tidak memberitahukan perkawinan itu secara terperinci.
Ki Bajang Garing tertawa kecil. Dengan nada suara yang datar ia bertanya, "Apakah kau mengetahui hal itu sebaik-baiknya?"
"Tentu, aku mempunyai bahan-bahannya."
Tetapi Ki Bajang Garing berdesis, "Aku yakin, bahwa yang kau ketahui tidak selengkap yang aku ketahui. Aku tahu pasti hari-hari perkawinan itu. Dan aku tahu pasti kapan mereka akan diunduh ke Sangkal Putung."
"Itu bukan hal yang mustahil. Aku tahu semuanya," jawab Gandu Demung yang sebenarnya agak kecewa bahwa Ki Bajang Garing justru sudah mengetahui dengan lengkap.
"Lalu apa yang akan kau lakukan," bertanya Ki Bajang Garing.
"Empu Pinang Aring tidak sempat menanganinya sendiri."
"Sudah kau katakan."
"Aku mendapat kekuasaan sepenuhnya. Dan aku mendapat hak untuk memilih, siapakah yang akan pergi bersamaku dari antara gerombolan-gerombolan yang ada di sekitar Gunung Tidar."
"Gila," geram Ki Bajang Garing, "hak apakah yang dapat diberikan oleh Empu Pinang Aring" Kami adalah orang-orang bebas yang tidak terikat perjanjian apa pun dengan Empu Pinang Aring. Hak semacam itu tidak dapat diberikan oleh siapa pun kepada siapa pun, seolah-olah kami berada di bawah pengaruhnya."
"Apakah kau sudah mempertimbangkan jawaban itu masak-masak?"
Tiba-tiba saja Ki Bajang Garing menjadi ragu-ragu. Ia sadar sepenuhnya siapakah yang sedang dihadapinya. Namun ia tidak segera menjawab pertanyaan Gandu Demung itu.
Gandu Demung melihat keragu-raguan itu. Meskipun hanya samar-samar di dalam gelapnya malam. Justru karena itu maka ia pun mempergunakan kesempatan itu. Katanya, "Ki Bajang Garing. Jika Ki Bajang Garing memang menyakini kata-kata itu, ucapkanlah sekali lagi."
"Kau jangan menantang, Gandu Demung. Ingat, kau seorang diri di sini. Sementara itu, dengan satu isyarat saja, maka beberapa orang anak buahku akan datang."
Gandu Demung yang mengerti bahwa Ki Bajang Garing sedang mencari tumpuan kekuatan justru mengatakan, "Aku sadar, Ki Bajang Garing. Tetapi aku juga sadar, bahwa aku akan dapat melepaskan diri dari tanganmu. Setidak-tidaknya aku akan dapat lari, dan selamat kembali ke dalam lingkungan Empu Pinang Aring dengan sebuah ceritera yang menarik tentang gerombolanmu."
Ki Bajang Garing menjadi tegang. Namun kemudian katanya, "Cepat katakan. Tawaran apakah yang sebenarnya kau bawa, apa pun istilah yang kau pergunakan tentang dirimu sendiri."
"Baiklah," berkata Gandu Demung, "gerombolanmu terpilih menjadi salah satu kelompok yang diperkenankan pergi bersamaku untuk mencegat iring-iringan itu."
"Persetan." "Kita akan bersama-sama dengan beberapa kelompok yang lain. Apa yang kita dapatkan akan menjadi milik kita bersama. Separo akan menjadi dana perjuangan yang sedang ditempuh sekarang oleh Empu Pinang Aring, sedang yang separo akan dibagikan kepada tiga kelompok yang akan pergi bersamaku."
Yang terdengar adalah geram Ki Bajang Garing yang marah. Tetapi ia harus menahan kemarahannya di dalam hati.
"Di antara yang akan pergi adalah kelompok Carangsoka."
Ki Bajang Garing menggigit bibirnya menahan gejolak di dadanya. Jika tidak ada Empu Pinang Aring maka kesempatan itu akan terbuka bagi kelompoknya tanpa diganggu oleh kelompok-kelompak lain. Atau bahkan ia harus menghancurkan dahulu Carangsoka dan kelompok-kelompok lain yang ingin melakukannya. Tetapi sekarang Gandu Demung itu akan membawa tiga kelompok bersama-sama, dan yang akan didapatkannya hanyalah separo. Dan yang separo itu masih harus dibagi tiga.
Tiba-tiba Ki Bajang Garing berdesah, "Itu tidak akan menghasilkan apa-apa. Kenapa harus tiga kelompok yang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh?"
"Kita akan menghadapi kekuatan yang besar. Sudah tentu sepasang pengantin itu akan membawa kekayaan yang tidak sedikit. Terlebih-lebih saat mereka dalam perjalanan ke Sangkal Putung sesudah sepasar. Karena itu, maka mereka akan membawa pengawal yang cukup kuat."
"Aku tidak tahu, bagaimana cara Empu Pinang Aring berpikir. Jika demikian, kenapa ia tidak mengerahkan saja pasukannya untuk melakukannya, sehingga dengan demikian ia akan mendapatkan seluruh kekayaan yang ada" Kekuatan Empu Pinang Aring aku kira lebih dari jumlah kekuatan tiga kelompok yang akan kau hubungi itu."
"Tentu. Tetapi tugas besar sedang dihadapinya, sehingga ia tidak sempat melakukannya. Bukankah aku sudah mengatakannya?"
Ki Bajang Garing menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian maka ia justru berdiri di tempat yang sulit, jika ia menolak maka kesulitannya akan bertambah-tambah. Tentu Empu Pinang Aring merasa sikapnya itu sebagai suatu tentangan, sehingga hubungan untuk selanjutnya akan bertambah buruk. Tetapi jika ia pergi juga memenuhinya, maka apakah yang didapatnya akan seimbang dengan tenaga yang akan diberikan untuk itu.
Sejenak Ki Bajang Garing merenungi tawaran itu. Ia pun mempertimbangkan, kenapa Empu Pinang Aring sendiri tidak mau melakukannya dengan kekuatan sendiri. Meskipun seandainya Empu Pinang Aring sendiri sedang sibuk, maka pimpinannya dapat saja diserahkannya kepada Gandu Demung atau orang lain yang dipercayanya.
Namun Ki Bajang Garing tidak sempat untuk berpikir terlalu lama. Gandu Demung segera mendesaknya, "Ki Bajang Garing, cobalah kau menjawab. Jika kau mempunyai pertimbangan-pertimbangan tertentu, katakanlah. Mungkin justru akan berguna bagi pekerjaan yang berbahaya yang akan aku lakukan itu."
"Gandu Demung," berkata Ki Bajang Garing, "yang aku ketahui dari Tanah Perdikan Menoreh adalah kekuatan pengawalnya yang mirip dengan susunan keprajuritan. Kemampuan mereka seorang demi seorang pun tidak terpaut banyak dari kemampuan prajurit-prajurit Pajang. Itulah sebabnya maka untuk melakukan sesuatu atas orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh memang memerlukan perhitungan yang masak. Aku kira ayahmu pun mengetahuinya."
Gandu Demung mengangguk-angguk. Katanya, "Baiklah. Aku akan menemui ayah dan bertanya tentang kemungkinan-kemungkinan selanjutnya. Hubungan kita masih akan berkelanjutan, Ki Bajang Garing. Maaf bahwa aku terpaksa membunuh salah seorang anak buahmu karena ia tidak mau mendengarkan kata-kataku. Ia lebih senang berbicara dengan pedang daripada berbicara dengan mulut."
Ki Bajang Garing menggeram. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Justru karena ia mengetahui kemampuan Gandu Demung dan mengetahui kekuatan yang ada di belakangnya, Empu Pinang Aring. Betapa hatinya menjadi sakit namun dibiarkannya saja adbmcadangan.wordpress.com Gandu Demung kemudian melangkah meninggalkannya sambil minta diri, "Aku akan meneruskan perjalananku. Kita akan segera bertemu kembali. Aku akan kembali ke daerah ini bersama ayahku dengan maksud baik. Tanpa permusuhan. Justru untuk mulai dengan kehidupan baru di daerah ini. Hubungan yang baik yang satu dengan yang lain."
Ki Bajang Garing tidak menjawab. Dibiarkannya Gandu Demung melangkah semakin lama semakin jauh.
Sementara itu, dua orang yang baru saja bertempur melawan Gandu Demung merenungi seorang kawannya yang terbunuh dengan tatapan mata yang tegang. Ketika Ki Bajang Garing berpaling kepadanya, salah seorang dari kedua orang itu berkata, "Kita tidak menuntut apa pun juga dari kematiannya?"
"Kenapa tidak kau lakukan sebelum aku mulai berbicara dengan Gandu Demung?"
Jawaban itu benar-benar sebagai suatu tamparan yang pedih. Dengan demikian Ki Bajang Garing seolah-olah telah menunjukkan ketidak-mampuannya berbuat apa-apa, setelah seorang kawannya terbunuh. Karena sebelumnya, selagi mereka masih bertiga, mereka tidak dapat mengalahkan Gandu Demung.
Namun kemudian Ki Bajang Garing berkata, "Jangan berkecil hati jika kau bertiga dapat dikalahkannya. Gandu Demung memang memiliki ilmu yang tiada taranya. Aku kira kebanyakan dari kalian tidak akan dapat mengalahkannya sampai batas lima orang."
Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian berarti bahwa Ki Bajang Garing telah memaafkan mereka dan menganggap bahwa yang sudah terjadi itu tidak dapat mereka hindari lagi.
Dengan demikian, maka yang dapat mereka lakukan kemudian adalah merawat mayat itu sebaik-baiknya dan membawanya kembali ke dalam sarang mereka untuk besok dikuburkan.
Namun tawaran Gandu Demung itu merupakan sesuatu yang sangat membingungkan Ki Bajang Garing. Tetapi menilik kesungguhan Gandu Demung maka Ki Bajang Garing pun memperhitungkan, bahwa jumlah yang dihadapi memang cukup besar.
Beberapa orang yang dianggapnya mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang baik segera dipanggilnya untuk membicarakan persoalan yang dihadapinya itu.
"Kita tidak tahu imbangan kekuatan dari kita, tiga kelompok itu dengan para pengawal yang akan mengawal pengantin itu dari Tanah Perdikan Menoreh ke Sangkal Putung."
"Ya. Dan kita pun masih belum tahu imbangan kekuatan dari setiap kelompok yang akan ikut serta," sahut Ki Bajang Garing.
"Itu pun penting untuk diketahui. Jika tidak, maka kita akan dapat ditelan oleh kelompok yang lebih besar jika barang-barang rampasan itu sudah berada di tangan kita. Maksudku, di tangan ketiga kelompok yang akan dibawa oleh Gandu Demung itu," desis yang lain.
"Kita akan membebankan tanggung jawab kepada Gandu Demung. Tetapi hal itu patut untuk diperhatikan pula. Kita memang hidup dalam dunia yang selalu diselimuti oleh kecurigaan dan kecemasan," desis Ki Bajang Garing. "Tetapi hal ini dapat kita bicarakan sebelumnya dengan Gandu Demung. Sekali-sekali kita harus berbuat jujur. Juga dalam imbangan kekuatan yang akan kita pergunakan untuk mencegat pengantin dari Tanah Perdikan Menoreh itu."
"Kita dapat bersikap jujur. Tetapi apakah orang lain juga bersikap demikian?"
"Terserah kepada pengamatan Gandu Demung. Tetapi tampaknya Gandu Demung sendiri dapat dipercaya. Jika kemudian ia sendiri berbuat curang dan mengerahkan kekuatan yang ada pada Empu Pinang Aring, maka itu adalah suatu kecelakaan yang tidak dapat kita hindari. Namun bahwa kita akan melawan sampai kesempatan terakhir tidak akan dapat diragukan lagi. Dan itu akan berarti jatuhnya korban pula di pihak mereka meskipun mereka berhasil menumpas kita."
Beberapa orang yang mendengar penjelasan Ki Bajang Garing itu mengangguk-angguk. Mereka dapat mengerti maksud Ki Bajang Garing, dan nampaknya jalan pikirannya itu cukup hati-hati dan masuk akal.
"Daripada melawan tiga kelompok dari Gunung Tidar, tentu Empu Pinang Aring lebih baik melakukan perampokan itu sendiri," berkata Ki Bajang Garing kemudian.
"Menurut perhitungan nalar agaknya memang demikian," sahut seorang yang bertubuh tinggi.
Demikianlah, nampaknya Ki Bajang Garing terpaksa dapat menerima ajakan itu meskipun agak segan juga, karena keragu-raguan, apakah hasil yang akan diperoleh imbang dengan korban yang bakal jatuh. Namun karena sudah cukup lama ia tidak mendapat kesempatan, dan barang-barang simpanannya sudah menjadi semakin tipis, dan bahkan hampir habis jika tidak segera mendapatkan tambahan, maka ia pun berkata, "Jika benar sepasang pengantin itu membawa perhiasan, maka aku kira meskipun sedikit akan dapat memperpanjang persediaan kita sebelum kita menemukan daerah perburuan yang mantap meskipun mungkin agak jauh dari tempat ini."
"Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri," berkata salah seorang anak buahnya.
"Tanah Perdikan Menoreh adalah daerah yang terlalu berat. Tetapi daerah pinggiran Tanah Perdikan itu dan kademangan di sekitarnya memang mungkin dapat dipertimbangkan," jawab Ki Bajang Garing.
Sementara itu, perjalanan Gandu Demung menjadi semakin jauh. Ia pun yakin bahwa Ki Bajang Garing akan menerima tawarannya, seperti juga ayahnya dan sebuah kelompok lagi yang akan dihubunginya setelah ia bertemu dengan ayahnya.
"Tiga kelompok yang terbesar di daerah ini tentu sudah cukup kuat. Apalagi jika orang-orang Menoreh merasa daerahnya lebih aman kembali, dan menganggap apa yang telah terjadi itu bukannya kejahatan biasa, tetapi ada sangkut pautnya dendam perseorangan," berkata Gandu Demung di dalam hatinya. Karena itulah maka ia pun akan berusaha mempertahankan keamanan Tanah Perdikan Menoreh sampai saatnya ia akan bertindak bersama ketiga kelompok itu.
"Jika barang-barang itu cukup banyak, maka aku tidak perlu mengkhianati ketiga kelompok itu. Tetapi jika yang kami peroleh terlalu sedikit, biarlah dengan terpaksa aku akan mengambil semuanya kecuali sekedarnya untuk ayah dan kelompoknya," berkata Gandu Demung di dalam hatinya.
Pertemuan antara Gandu Demung dan ayah serta saudara-saudaranya merupakan pertemuan yang menggembirakan. Setelah beberapa saat lamanya ayahnya mengalami masa yang suram karena kehadiran Empu Pinang Aring, maka kehadiran anaknya yang diketahuinya berada di antara kelompok besar Empu Pinang Aring itu merupakan suatu harapan baginya.
Keterangan yang kemudian diberikan oleh Gandu Demung di-tanggapinya dengan ragu-ragu. Demikian saudara-saudara Gandu Demung yang menjadi sangat berhati-hati menghadapi perkembangan keadaan.
"Jangan ragu-ragu," berkata Gandu Demung, "aku berada di dalam lingkungan Empu Pinang Aring. Dalam hal ini, akulah yang mendapat kekuasaan khusus untuk melakukannya. Tetapi karena semua kekuatan yang ada sedang dikerahkan bagi tujuan yang jauh lebih berharga dari pengambilan dana dari Tanah Perdikan Menoreh itu, maka ia telah menyerahkan kepadaku menurut cara dan pertimbanganku."
"Kau jangan salah menilai Tanah Perdikan Menoreh," desis saudaranya yang tertua.
"Aku mengerti. Dan aku pun telah menghubungi Ki Bajang Garing," berkata Gandu Demung.
"He," ayahnya terperanjat, "di mana kau dapat menemuinya, dan kenapa kau berhubungan dengan orang gila itu?"
"Dalam hal ini, kita harus mengkesampingkan kepentingan pribadi. Aku mengerti, Ayah tidak sejalan dengan Ki Bajang Garing, tetapi jika kita dapat bekerja bersama, setidak-tidaknya kali ini di bawah pengaruh kekuasaan Empu Pinang Aring, maka aku kira kita akan berhasil, karena kelompok kita dan kelompok Ki Bajang Garing termasuk kelompok yang terkuat yang ada di sekitar Guhung Tidar ini. Ditambah satu kelompok lagi yang akan kita tentukan kemudian, maka aku kira kita sudah cukup kuat untuk mencegat dan mengambil semua barang-barang sepasang pengantin itu."
Ayah dan saudara-saudara Gandu Demung mengangguk-angguk. Tetapi mereka masih saja ragu-ragu. Bahkan salah seorang saudaranya berkata, "Bajang Garing tidak akan dapat diajak bekerja bersama. Ia akan berkhianat dan bahkan akan menjerumuskan kita ke dalam kesulitan."
"Aku sudah mempergunakan pengaruh kekuasaan Empu Pinang Aring, karena sebenarnya aku memang mendapat kekuasaan khusus untuk melakukannya kali ini."
Saudara-saudaranya mengangguk-angguk, sementara Gandu Demung mulai menceriterakan rencananya yang akan dilakukan di Tanah Perdikan Menoreh, sejak ia akan memelihara keamanan daerah itu sampai saatnya hari perkawinan itu tiba. Kemudian memilih hari yang kelima saat pengantin itu meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.
"Kita akan membicarakan, di mana sebaik-baiknya kita melakukannya," berkata Gandu Demung kemudian, "di Tanah Perdikan Menoreh sendiri, di penyeberangan Kali Praga atau di tlatah Mataram yang masih jarang sekali dirambah oleh pengawal Tanah yang baru berkembang itu?" berkata Gandu Demung kemudian.
"Kita masih harus memikirkannya," berkata ayahnya.
"Waktunya tinggal sedikit, Ayah," jawab Gandu Demung, "namun demikian, aku tidak dapat memaksa Ayah mengambil kepastian sekarang. Sementara Ayah berpikir, aku akan beristirahat di sini. Mungkin kita akan menentukan suatu hari untuk melihat-lihat Tanah Perdikan Menoreh dan tempat yang paling baik untuk melakukannya. Mungkin pula kita harus mengetahui kira-kira berapa orang yang akan berada di dalam iring-iringan itu dengan melihat kedatangan pengantin laki-laki dari Sangkal Putung. Bahkan mungkin orang-orang tertentu dari kademangan yang pantas diperhitungkan itu."
Dengan sungguh-sungguh Gandu Demung berusaha untuk meyakinkan, bahwa kesempatan yang didapatnya kali ini akan sangat besar artinya. Ia yakin bahwa yang akan mereka dapatkan dari sepasang pengantin itu tentu memadai dengan kerja yang mereka lakukan.
"Anak perempuan satu-satunya dari seorang Kepala Tanah Perdikan yang kaya seperti Tanah Perdikan Menoreh itu tentu dibekali dengan perhiasan yang cukup. Sementara itu, perhiasan yang dibawa oleh pengantin laki-laki pun tentu banyak pula. Dalam perelatan perkawinan itu, pengantin laki-laki tentu mempergunakan perhiasan adbmcadangan.wordpress.com yang paling berharga, bukan saja yang dipunyainya, mungkin bahkan meminjam dari sanak kadangnya. Demang Sangkal Putung tidak akan membiarkan anaknya menjadi suram di dalam hari perkawinan itu. Anak Demang Sangkal Putung itu tentu memakai ikat pinggang dengan kamus berlimang emas dan bermata berlian. Pendok emas dan sudah tentu cincin perhiasan-perhiasan lain. Terlebih-lebih lagi pengantin perempuannya."
"Tetapi ingat. Tanah Perdikan Menoreh adalah Tanah Perdikan yang kuat," sahut ayahnya.
"Apakah Ayah kira seluruh pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh akan ikut mengawalnya sampai ke tlatah Mataram" Bahkan jika dipandang perlu, kita akan mencegat mereka di tempat yang sama sekali tidak mereka duga."
"Maksudmu?" "Justru di ujung Kademangan Sangkal Putung sendiri, setelah mereka menyeberang Hutan Tambak Baya. Mereka tentu tidak akan mengira bahwa mereka akan mengalami serangan dengan tiba-tiba. Sedangkan yang kita lakukan itu tentu tidak akan menyinggung Tanah Perdikan Menoreh dan Mataram."
"Betapa bodohnya kau," jawab ayahnya, "kenapa kau tidak juga menjadi bertambah pandai" Jika kita mencelakai anak perempuan Kepala Tanah Perdikan Menoreh, apakah kita dapat menyebut diri kita tidak menyinggung Tanah Perdikan Menoreh?"
"Maksudku, jika ada pengawal yang dikirim oleh Ki Gede Menoreh sampai keterbatasan, maka mereka tentu sudah kembali. Bahkan seandainya Mataram mencoba melindungi mereka, maka pasukan pengawal Mataram tidak akan sampai memasuki Kademangan Sangkal Putung. Karena mereka tentu menganggap bahwa keadaan sudah aman."
"Ah, itu adalah masalah pelaksanaan. Kita dapat membicarakan lebih mendalam. Tetapi yang penting bagi kita, apakah kita dapat mempercayai Empu Pinang Aring."
"Empu Pinang Aring mempunyai cita-cita yang besar bagi negeri ini. Karena itu, ia tentu tidak akan melukai hati orang-orang yang akan dapat menjadi penduduknya. Terlebih-lebih aku sendiri yang sudah ada di dalamnya. Karena itu, dalam hal ini Empu Pinang Aring tentu dapat dipercaya."
Ayah dan saudara-saudara Gandu Demung mengangguk-angguk. Untuk beberapa lama mereka masih memperbincangkan persoalan yang sedang mereka hadapi. Dengan sungguh-sungguh Gandu Demung berusaha untuk membersihkan gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Yang manis tetapi juga yang pahit.
"Sudahlah," berkata ayahnya, "jika kau mau beristirahat di sini barang satu dua hari beristirahatlah. Bukankah kau katakan, bahwa aku tidak perlu mengambil kepastian sekarang."
(***) BUKU 95 GANDU DEMUNG mengangguk-angguk sambil menjawab, "Ya. Ya. Maksudku memang demikian. Hubunganku dengan Ki Bajang Garing seperti yang sudah aku katakan, hendaknya menjadi pertimbangan. Selain itu, barangkali Ayah dapat menunjuk kelompok yang lain yang memadai, sebagai kelompok ke tiga."
"Kau belum melihat kekuatan yang sebenarnya dari kelompok kita, kelompok Ki Bajang Garing, dan kelompok-kelompok yang lain," berkata saudaranya yang paling tua, "sehingga dengan demikian sebenarnya kau belum dapat mengatakan, bahwa tiga, empat atau satu kelompok sudah cukup untuk melakukan tugas itu."
"Aku sudah mempunyai gambaran," jawab Gandu Demung, "bukankah sejak kecil aku berada dalam lingkungan ini?"
"Tetapi perubahan telah banyak terjadi di daerah ini. Yang kecil sudah menjadi besar, tetapi yang besar justru menjadi kecil."
"Baiklah. Baiklah besok aku akan melihat, sudah barang tentu yang pertama-tama adalah kelompok kita sendiri."
"Kau akan melihat yang tidak pernah kau bayangkan sebelumnya."
Gandu Demung mengerutkan keningnya. Namun ia menjawab, "Tetapi ingat, pengantin itu akan dipertemukan dalam waktu yang singkat. Tidak ada sebulan lagi. Bahkan tinggal setengah bulan lebih sedikit."
"Kau harus mendapatkan kepastian waktu."
"Tentu. Seperti yang aku katakan, kita perlu melihat dan mengamati langsung Tanah Perdikan Menoreh, menyusuri jalan menuju ke Sangkal Putung."
Demikianlah untuk sementara pembicaraan itu berakhir. Gandu Demung memang tidak memaksakan agar saudara-saudaranya segera mengambil keputusan. Tetapi tanggapan saudara-saudaranya agaknya dapat diharapkan, bahwa mereka tidak akan menolaknya.
Adalah sudah menjadi kebiasaan Gandu Demung, berada di segala tempat dan di segala cuaca. Itulah sebabnya, maka ia sama sekali tidak mengeluh, bahwa ia harus berada di tempat yang sempit dan pengap di sarang keluarganya. Meskipun letak rumahnya tidak berubah, tetapi ternyata di malam hari, mereka tidak berada di rumah itu. Untuk sementara mereka menyingkir di sebuah gubug kecil di pategalan. Hanya perempuan dan anak-anak sajalah yang berada di rumahnya.
"Sebenarnya malam ini tidak perlu," berkata Gandu Demung, "jika yang kalian cemaskan adalah tindakan dari Empu Pinang Aring, tentu tidak akan berbahaya justru aku berada di sini."
Kakaknya yang tertua menyahut, "Biarlah kita membiasakan diri berada di tempat yang terpisah dari padukuhan, agar semua persoalan tidak akan menyangkut keluarga kita. Bukan saja sentuhan dengan Empu Pinang Aring, tetapi juga dengan gerombolan-gerombolan lain yang menjadi hampir kelaparan sekarang ini."
Gandu Demung mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa kelompok-kelompok penjahat itu harus menjadi sangat berhati-hati dalam keadaan yang bagi mereka merupakan masa yang sulit. Karena dalam keadaan yang memaksa mereka tidak segan-segan untuk melakukan kekerasan atas kelompok-kelompok yang lain, yang menurut perhitungan mereka akan dapat dikalahkan.
Karena itulah, maka kelompok-kelompok yang merasa dirinya terlampau kecil, akan segera lenyap, meskipun mungkin hanya untuk beberapa saat dan yang kelak apabila keadaan telah memungkinkan akan segera muncul kembali. Atau bahkan telah meninggalkan daerah itu untuk bergabung dengan kelompok-kelompok serupa ditempat yang jauh.
Dalam pada itu, ternyata kehadiran Gandu Demung di tempatnya telah menimbulkan suatu gelombang yang menggerakkan kelompok-kelompok yang ada di sekitar Gunung Tidar. Di malam pertama, Gandu Demung tidak banyak berbicara lagi tentang rencananya. Ia merasa bahwa apa yang dikatakannya sudah cukup banyak.
Baru di keesokan harinya, Gandu Demung bersama saudara-saudaranya melihat-lihat apakah yang sebenarnya ada di dalam kelompok mereka.
"Mungkin kau belum mengenal beberapa orang yang kini justru menjadi kekuatan kelompok kita," berkata kakaknya yang tertua.
Gandu Demung mengangguk-angguk. Ia memang melihat beberapa orang baru di dalam lingkungannya.
"Mereka telah kami panggil untuk kami perkenalkan dengan kau," berkata kakaknya yang tertua.
Gandu Demung menarik nafas dalam-dalam. Ternyata kakaknya telah membawanya ke tempat yang jarang sekali disentuh kaki manusia. Di pinggir hutan, di tepian sungai berpasir.
"Di manakah mereka tinggal selama ini?" bertanya Gandu Demung.
"Mereka berada di dalam lingkungan keluarga masing-masing. Aku kira seperti juga orang-orang Ki Bajang Garing. Hanya dalam saat-saat tertentu kita berkumpul dan berbicara tentang keadaan kita dalam keseluruhan."
Gandu Demung mengangguk-angguk. Katanya, "Ternyata susunan kelompok ini justru menjadi semakin baik dan rapi. Tetapi sayang, bahwa aku sudah tidak dapat berada di antara kalian semuanya, karena aku merasa terpanggil ke dalam tugas yang lebih besar."
Beberapa orang yang ada di tempat itu untuk diperkenalkan dengan Gandu Demung mengangguk-angguk. Namun ternyata seorang yang bertubuh besar, tegap berkumis melintang tetapi berkepala botak tertawa pendek sambil berkata, "Mungkin suatu kesempatan yang baik sajalah yang telah memperkenalkan kau dengan Empu Pinang Aring, Anak Muda."
Gandu Demung mengerutkan keningnya. Sekilas dipandanginya wajah kakaknya yang menjadi tegang pula.
"Maaf Gandu Demung. Aku memang orang baru di sini. Tetapi jangan dikira bahwa aku adalah orang kelaparan yang minta perlindungan. Orang di dalam kelompok ini tentu sudah mengenal siapakah aku. Kakakmu itu pun mengenal aku pula. Bertanyalah kepadanya, siapakah sebenarnya orang terkuat di kelompok ini."
Gandu Demung termangu-mangu. Sekilas dipandanginya kakaknya berganti-ganti. Dari yang paling tua, sampai adiknya yang paling muda, yang berjumlah empat orang itu selain dua saudara perempuannya.
Kakaknya yang paling tua pun kemudian bertanya kepada orang yang berkepala botak itu, "Apa sebenarnya maksudmu?"
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa adikmu itu jangan menganggap kami, orang-orang yang belum dikenalnya, sebagai orang yang menumpang hidup di sini. Jika aku di sini, bukan menjadi pimpinan, karena sejak aku datang, sudah ada seorang yang disegani. Tetapi bahwa pimpinan tertinggi di kelompok ini bukanlah orang terkuat tentu sudah diketahui."
Tiba-tiba kakak tertua Gandu Demung itu meloncat berdiri sambil membelalakkan matanya. Katanya, "Aku tidak mengira bahwa kau bersikap seperti itu. Tetapi kau harus menyadari, tidak seorang pun yang mengetahui dengan pasti, bahwa kau adalah orang terkuat di sini, karena kita belum pernah menentukan ukuran yang dapat kita terima bersama-sama. Apalagi jika yang kau anggap pimpinan tertinggi adalah ayah."
Orang itu masih tertawa. Katanya, "Kadang-kadang kita memang perlu meyakinkan, siapakah yang memegang peran tertinggi di dalam suatu kelompok tertentu. Mungkin seseorang dianggap sebagai pemimpin tertinggi karena pengaruhnya, karena kecakapannya memimpin dan membuat rencana yang masak, tetapi mungkin juga karena memang tidak ada orang lain di dalam kelompok itu yang dapat mengalahkannya."
Kakak tertua Gandu Demung mengangguk-angguk. Katanya, "Baik. Baik. Justru saat adikku ada di sini kau ingin menunjukkan bahwa kau adalah orang yang tidak terkalahkan di sini. Marilah. Aku akan mewakili ayahku yang tidak akan mempedulikan kau dengan kesombonganmu, meskipun aku belum dapat menyamai kemampuan ayahku."
Orang berkepala botak itu masih tertawa. Katanya, "Jangan mencari kesulitan. Sebenarnya kata-kataku sama sekali tidak aku tujukan kepadamu, karena selama ini kau telah berhasil memimpin kelompok ini dengan baik. Aku hanya ingin menunjukkan kepada adikmu bahwa ia tidak boleh bersikap seperti sikapmu, karena ia sama sekali bukan pemimpin di sini. Lebih-lebih lagi, jika ia menganggap bahwa orang-orang yang ada di sini sekarang ini, adalah orang-orang yang menggantungkan hidupnya kepada mereka yang telah lama berada di dalam kelompok ini."
"Itu pikiran gila," bentak kakak tertua Gandu Demung.
Namun dalam pada itu, Gandu Demung pun tersenyum sambil berkata, "Baiklah. Aku mengerti. Tentu yang dimaksud adalah apakah aku pantas menyebut diriku adik dari pemimpin kelompok ini. Baiklah. Jika itu yang kau kehendaki, maka aku pun akan menerima dengan senang hati. Bukankah jelasnya kau menantang aku untuk berkelahi sehingga dengan demikian kau akan mendapat ukuran mengenai diriku di antara saudara-saudaraku dan orang-orangnya di sini."
Orang berkepala botak itu menjadi tegang, justru karena ia tidak menyangka bahwa Gandu Demung akan mempergunakan istilah yang terus-terang.
Namun kemudian ia berkata, "Ternyata kau cukup jantan, sehingga pantas kau berada di lingkungan kelompok Empu Pinang Aring."
Gandu Demung mengangguk-angguk. Sejenak dipandanginya orang berkepala botak itu. Ujudnya memang meyakinkan. Badannya yang tegap besar dan dadanya yang bidang ditumbuhi bulu-bulu yang lebat.
Dalam pada itu, Gandu Demung pun kemudian berkata kepada kakaknya, "Biarlah aku memenuhi keinginannya."
"Gandu Demung. Akulah yang mewakili ayah di sini. Karena itu biarlah aku menertibkan orang-orangku. Jika kau memang ingin mengukur kekuatannya, lakukanlah. Tetapi aku harus mendapat kepastian, bahwa aku akan dapat mengalahkannya. Jika tidak, maka kewibawaanku sebagai pemimpin di sini akan selalu direndahkannya. Karena itu biarlah ia yakin, bahwa aku adalah pemimpinnya di sini."
Tetapi adiknya menggelengkan kepalanya. Katanya, "Kakang, aku wajib menerima tantangannya agar aku dapat membuktikan bahwa orang itu bagiku tidak berarti apa-apa."
"Anak Setan," geram orang berkepala botak itu, "ayo, cepat. Lakukanlah. Tetapi jika kau hanya dapat bersembunyi di punggung kakakmu, apa boleh buat."
"Nah, kau dengar, Kakang" Akulah yang memang ditantangnya. Dan aku sama sekali tidak berkeberatan. Aku adalah salah seorang pemimpin yang dipercaya di dalam lingkungan kelompok besar yang dipimpin oleh Empu Pinang Aring. Jika orang berkepala botak itu dapat mengalahkan aku, maka ia adalah orang yang pantas duduk di sebelah Empu Pinang Aring seperti aku. Bahkan mungkin melampauinya."
Kakaknya yang paling tua menggeretakkan giginya. Lalu kata-nya, "Baiklah. Lakukanlah. Sebenarnya tidak perlu kau sendiri yang melawannya. Semua saudara-saudaramu akan mampu mengalahkannya. Bahkan kalau perlu mematahkan lehernya."
Orang berkepala botak itu tertawa. Katanya, "Memang sulit untuk mendapatkan gambaran kekuatan seseorang. Di dalam tugas kita masing-masing, kita tidak akan dapat langsung saling mengukur. Jumlah orang yang sudah dibunuh bukan ukuran kemampuan seseorang." Orang berkepala botak itu berhenti sejenak, lalu, "Jika kau dapat mengalahkan aku, Gandu Demung, maka baru kau pantas memimpin kami melakukan perampokan atas sepasang pengantin dari Tanah Perdikan Menoreh, karena menurut pendengaranku, Menoreh adalah lumbung orang yang berilmu tinggi."
Gandu Demung tidak berbicara lagi. Ia pun kemudian berdiri dan membenahi pakaiannya, menyingsingkan kain panjangnya, dan bahkan kemudian melepaskan senjatanya dan menyerahkannya kepada kakaknya.
?"Dalam permainan ini aku tidak memerlukannya."
Kakaknya menerima senjata itu sambil berkata, "Hati-hatilah."
Gandu Demung tersenyum. Lalu dipandanginya orang berkepala botak itu sambil berkata, "Tepian ini berpasir. Kita dapat bermain-main di sini dengan sejumlah saksi. Kita dapat bermain-main sampai tengah hari, sampai senja, atau tiga hari tiga malam. Aku akan melayanimu saja sesuai dengan seleramu."
Orang berkepala botak itu menggeram. Ternyata Gandu Demung sama sekali tidak mengacuhkan ujudnya yang di dalam banyak hal sangat berpengaruh. Ketika ia mula-mula datang ke tempat itu, maka semua orang dapat digertaknya dengan ujudnya yang meyakinkan dan sekali-sekali ia memang dengan sengaja menunjukkan kemampuan tangannya yang melampaui kekuatan seekor kerbau.
Namun menghadapi Gandu Demung yang menganggapnya tidak berarti itu, hatinya benar-benar tergetar.
Sementara itu Gandu Demung sudah berjalan menjauhi kerumunan anggauta kelompok yang diperkenalkan kepadanya. Bahkan di antara mereka pun terdapat orang-orang lama yang sudah mengenalnya dengan baik. Meskipun demikian, apalagi orang-orang baru menjadi sangat berdebar-debar. Karena sikap orang berkepala botak itu nampaknya begitu garang.
Orang berkepala botak itu pun kemudian mengikuti Gandu Demung. Sementara orang-orang yang lain pun kemudian berkerumun mengelilingi keduanya yang siap untuk bertempur.
"Tentukan peraturan permainannya," geram kakaknya.
Orang berkepala botak itu menyahut dengan serta-merta, "Serahkan kepada kami berdua."
"Maksudmu?" "Apa saja yang akan dilakukan oleh yang menang. Jika ia menaruh belas kasihan, biarlah ia mengasihani sejauh dikehendaki. Jika tidak maka kemungkinan terpahit akan kita alami."
"Itu tidak mungkin."
"Sikapnya sangat menghina aku," jawab orang berkepala botak, "sehingga tantanganku telah berubah bentuk. Bukan sekedar mengetahui siapakah yang terkuat, tetapi juga sebagai sikap ingin pertahankan harga diri. Dan harga diriku sama nilainya dengan nyawaku. Tetapi jangan takut bahwa aku akan membunuhnya. Aku masih mempunyai rasa perikemanusiaan. Sejauh yang dapat aku lakukan adalah membuatnya cacat sehingga ia akan kehilangan kesombongannya."
Gandu Demung mengerutkan keningnya. Ia tidak menyangka bahwa orang berkepala botak itu benar-benar telah terbakar hatinya. Namun demikian ia berkata, "Baiklah. Terserah kepadamu. Sudah aku katakan, aku hanya melayani menurut seleramu."
"Persetan," geramnya.
Gandu Demung pun kemudian mempersiapkan diri. Raksasa berkepala botak itu tentu memiliki kekuatan jasmaniah yang besar. Namun ia tidak yakin bahwa ia memiliki kecepatan bergerak yang sesuai dengan kekuatannya itu.
Sejenak kemudian raksasa itu telah melangkah mendekat. Nampaknya ia terlampau yakin akan dirinya. Akan kekuatannya dan ketahanan tubuhnya, seolah-olah ia membiarkan serangan lawannya mengenainya tanpa akan menghindar atau menangkisnya.
Gandu Demuing memang agak heran melihat kesombongan orang bertubuh raksasa itu. Namun dengan demikian ia menjadi semakin berhati-hati. Mungkin memang ada sesuatu yang pantas diandalkannya, sehingga ia berani berbuat demikian. Padahal orang itu tahu, bahwa Gandu Demung adalah orang yang mendapat kepercayaan dari Empu Pinang Aring.
Dalam pada itu, suasana menjadi semakin tegang. Setiap orang yang melihat kemarahan yang telah membakar jantung orang berkepala botak itu menjadi berdebar-debar. Mereka menyadari bahwa orang berkepala botak itu memang memiliki kemampuan yang tidak terlawan oleh mereka. Bahkan beberapa orang menjadi heran ketika mereka mengetahui, bahwa orang berkepala botak itu akan bergabung dengan kelompok mereka.
"Apakah ia tidak mendapat kesempatan yang lebih baik daripada berada di sini," pernah seseorang bertanya kepada kawan-kawannya.
Namun kemudian ternyata bahwa orang berkepala botak itu benar-benar telah menjemukan bagi kawan-kawannya. Ia selalu memaksakan kehendaknya. Bahkan kadang-kadang merampas milik kawan-kawanrya yang disukainya.
Meskipun demikian, ia masih tetap tunduk kepada pimpinan kelompok, meskipun setiap kali ia mengatakan, bahwa ia memiliki beberapa kelebihan dari saudara-saudara Gandu Demung.
Kedatangan Gandu Demung bagi orang berkepala botak itu adalah kesempatan untuk menunjukkan, bahwa ia memiliki sesuatu yang pantas dikagumi, dan bahkan ditakuti oleh setiap orang di dalam kelompok itu.
Sejenak kemudian Gandu Demung telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dengan hati-hati ia pun maju beberapa langkah. Ia tidak mau menganggap bahwa lawannya adalah seseorang yang hanya pantas berada di dalam lingkungan kecil dari sekelompok penjahat di sekitar Gunung Tidar.
"Hari ini adalah hari yang terakhir bagiku di sini. Sebagai seorang yang hanya menggantungkan diri kepada seseorang yang semula tidak aku ketahui tingkatan ilmunya," berkata orang berkepala botak itu tiba-tiba. "Karena hari ini aku akan membuktikan bahwa akulah orang terkuat di dalam kelompok ini, sehingga sepantasnya akulah yang harus menjadi pemimpin kalian. Mula-mula aku tidak berniat demikian. Tetapi penghinaan yang berlebih-lebihan, justru telah menumbuhkan dendam di dalam hatiku. Siapa yang tidak tunduk kepada keputusanku ini, akan aku bunuh di tepian ini juga."
"Gila," teriak kakak Gandu Demung.
Namun sebelum ia meneruskan, Gandu Demung telah mendahului, "Biarkan ia berkicau seperti seekor burung. Suaranya akan segera terhenti jika ia mengerti, berapa luasnya langit, dan betapa dalamnya lautan."
Kemarahan orang berkepala botak itu benar-benar tidak tertahankan lagi. Dengan serta-merta ia melangkah maju sambil mengayunkan tangannya mendatar, menghantam wajah Gandu Demung.
Gandu Demung mejadi heran melihat tata gerak itu. Sangat sederhana. Namun justru karena itu, maka ia pun menjadi sangat berhati-hati.
Demikianlah, ketika ayunan tangan itu hampir mengenai pelipisnya, maka ia pun menarik kepalanya sambil bergeser melangkah ke samping.
Tangan orang berkepala botak itu berdesing di sebelah telinga Gandu Demung. Dan dengan demikian Gandu Demung dapat meraba, betapa kuatnya tenaga yang terlontar pada ayunan tangan itu.
"Gerak yang sederhana itu sangat mencurigakan," berkata Gandu Demung di dalam hatinya.
Namun, dalam pada itu, Gandu Demung telah didorong oleh suatu keinginan untuk mengetahui kekuatan daya tahan lawannya. Karena itulah, maka sebelum orang berkepala botak itu menyadari kegagalannya. Gandu Demung telah menyerangnya. Kakinya terjulur mendatar mengarah ke lambung lawannya. Meskipun Gandu Demung tidak mempergunakan segenap kekuatannya, namun serangan kaki itu sangat berbahaya bagi lawannya.
Ternyata orang berkepala botak itu sama sekali tidak mengelak. Dibiarkannya saja kaki Gandu Demung menghantam lambungnya
Benturan itu telah mengejutkan kedua belah pihak. Gandu Demung terkejut bahwa lawannya benar-benar memiliki kekuatan raksasa sesuai dengan ujud badannya. Sedangkan orang berkepala botak itu tidak mengira bahwa Gandu Demung yang tidak sebesar dirinya itu telah berhasil menyakiti lambungnya.
Orang berkepala botak itu menggeram. Di antara mereka yang berada di dalam kelompoknya tidak seorang pun yang mampu menyakitinya dengan serangan yang betapa pun kuatnya.
Sejenak kemudian kembali keduanya menyiapkan diri untuk suatu perkelahian yang tentu akan menegangkan. Orang-orang yang mengelilingi keduanya seolah-olah telah menahan nafas mereka. Apalagi ketika mereka melihat orang bertubuh raksasa itu melangkah mendekati lawannya dengan kedua tangannya mengembang.
Gandu Demung termangu-mangu melihat sikap lawannya. Apakah ia dengan demikian telah menjebaknya, atau justru karena ia benar-benar meyakini ketahanan tubuhnya.
Dalam keragu-raguan itu justru Gandu Demung melangkah surut di luar sadarnya.
Tetapi langkah Gandu Demung itu agaknya telah mempengaruhi setiap orang yang menyaksikannya. Mereka menganggap bahwa agaknya Gandu Demung merasa segan menghadapi lawannya yang mempunyai ujud dan kekuatan raksasa itu.
Agaknya orang berkepala botak itu pun menganggapnya demikian. Karena itulah maka ia pun kemudian tertawa terbahak-bahak sambil berkata, "O, anak malang. Mimpi apakah gerangan yang telah membawamu kemari mengunjungi sanak dan saudara-saudaramu. Ternyata di sini kau hanya akan mengalami nasib yang menyedihkan. Kau harus menebus kesombonganmu dengan cacat seumur hidupmu."
Kakak Gandu Demung menjadi tegang. Ia pun menjadi cemas melihat sikap adiknya yang disangkanya memiliki kelebihan dari saudara-saudaranya yang ditinggalkan di daerah yang buram itu.
Namun tiba-tiba saja semua orang telah dikejutkan oleh sebuah tata gerak yang tidak terduga-duga. Belum lagi suara tertawa orang berkepala botak itu menurun di antara kata-katanya, tiba-tiba saja suara itu terputus. Ternyata Gandu Demung menjadi muak mendengar suara tertawa itu, dari segera meloncat menyerang langsung memukul mulut lawannya yang sedang tertawa itu.
Serangan Gandu Demung itu benar-benar telah mengejutkan orang berkepala botak itu. Tiba-tiba saja ia merasa mulutnya disengat oleh sentuhan tangan yang membuatnya menyeringai kesakitan meskipun tidak mematahkan giginya, tetapi serangan Gandu Demung yang tiba-tiba itu telah menyakitinya.
Selain perasaan sakit, orang berkepala botak dan mereka yang menyaksikannya pun menjadi heran. Betapa cepatnya Gandu Demung bergerak, sehingga tidak ada yang dapat mencegahnya, memukul mulut orang berkepala botak itu.
Sementara orang berkepala botak itu termangu-mangu kebingungan, Gandu Demung berkata dengan lantang, "Orang bertubuh raksasa. Aku ternyata tidak mengetahui, mimpi apakah gerangan aku semalam. Apalagi, makna dari mimpiku itu. Mungkin perlambang dari nasib yang malang, tetapi mungkin pula perlambang dari sebuah permainan yang mengasyikkan. Dan aku pun menjadi bingung melihat perlawananmu yang menggelikan itu."
Orang berkepala botak itu marah bukan buatan. Seperti yang dilakukan oleh Gandu Demung, maka orang itu ingin menyerang dengan tiba-tiba, tetapi ternyata bahwa tubuh raksasanya itu tidak mampu bergerak secepat Gandu Demung,
Namun ternyata bahwa tenaganya memang terlampau kuat. Tangannya terayun menyambar kepala Gandu Demung. Terlalu keras, sehingga jika tangan itu berhasil menyentuh wajah lawannya, maka rahang Gandu Demung tentu akan patah karenanya.
Tetapi gerak itu terlalu sederhana seperti tata gerak yang terdahulu. Betapa lambannya bagi Gandu Demung meskipun cukup keras.
Gandu Demung memang memiliki kemampuan bergerak secepat burung sikatan. Karena itulah, maka ia mampu mengimbangi kekuatan lawannya dengan kecepatan geraknya.
Sekali lagi tangan orang berkepala botak itu terayun beberapa jari dari rahangnya. Sekali lagi terasa desir angin yang menyambar oleh dorongan ayunan tangan itu. Dan sekali lagi Gandu Demung berdesah karena ia menyadari betapa kuatnya tenaga orang berkepala botak itu yang terlampau percaya kepada kekuatannya sehingga ia tidak begitu menghiraukan tata geraknya. Meskipun demikian, itu bukan berarti bahwa sebenarnya orang itu tidak mampu melakukan tata gerak berlandaskan ilmu kanuragan.
Namun Candu Demung masih saia melihat serangan lawannya yang lamban betapa pun kuatnya. Ketika ayunan tangan orang berkepala botak itu tidak mengenai sasarannya, maka ia pun melangkah maju dengan sebuah loncatan. Tangannya terjulur lurus meraih tubuh Gandu Demung.
Gandu Demung sadar, jika tubuhnya tersentuh tangan lawannya, apalagi tertangkap, ia harus dapat segera melepaskan diri sebelum tulangnya diremukkannnya.
Tetapi agaknya terlampau sulit bagi orang berkepala botak itu untuk menangkap anggauta badan Gandu Demung.
Namun dengan demikian, maka kemarahan semakin membakar hati orang berkepala botak itu. Kegagalan-kegagalannya telah membuatnya semakin garang. Bahkan orang berkepala botak itu pun kemudian menyerang dengan membabi buta tanpa memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan oleh lawannya.
Tetapi agaknya ia memang terlalu percaya kepada kekuatannya. Setiap kali ia melangkah maju menerkam lawannya, sebelum tangannya berhasil menyentuh tubuhnya, justru serangan Gandu Demung telah mengenainya. Meskipun demikian, seolah-olah ia tidak merasakan sesuatu meskipun sekilas nampak bibirnya menyeringai. Namun ia melangkah maju terus mengejar lawannya.
Gandu Demung menjadi berdebar-debar. Tetapi ia memiliki kecepatan bergerak yang jauh melampaui kemampuan lawannya. Karena itu, ketika sekali lagi orang berkepala botak itu melangkah maju, maka ia pun mendahuluinya menyerang dengan kakinya mendatar mengenai lambung.
Langkah orang berkepala botak itu terhenti. Sekali lagi ia menyeringai, namun kemudian ia melangkah maju lagi dengan tangan terjulur lurus ke depan.
"Gila," desis Gandu Demung, "apakah badannya terbuat dari besi baja?"
Tetapi ia tidak sempat berpikir terlalu lama. Kedua tangan lawannya hampir saja berhasil mencengkam bajunya. Tetapi Gandu Demung segera memiringkan tubuhnya. Ketika kedua tangan itu terjulur tepat di muka dadanya, maka ia pun segera melangkah justru mendekat. Dengan tangannya ia menghantam perut orang itu dengan kekuatan yang menghentak.
Sebuah keluhan tertahan di mulut orang berkepala botak itu. Sesaat kedua tangannya dengan gerak naluriah memegang perutnya yang terasa mual. Sedangkan Gandu Demung mempergunakan kesempatan itu untuk menghantam tengkuk orang itu dengan sisi telapak tangannya. Orang itu tertunduk sejenak. Terasa tengkuknya disengat oleh perasaan sakit yang amat sangat.
Gandu Demung ingin mempergunakan kesempatan selanjutnya. Namun ia tidak mengira, bahwa orang yang sedang terbungkuk karena serangan di tengkuknya itu tiba-tiba saja telah menangkap kaki Gandu Demung.
Gandu Demung terkejut ketika tiba-tiba saja tubuhnya seperti terseret oleh arus yang kuat. Tulang-tulangnya bagaikan patah karena genggaman tangan yang sangat kuat itu.
Tetapi Gandu Demung telah memiliki ilmu olah kanuragan. Itulah sebabnya, maka ia pun seolah-olah digerakkan oleh nalurinya, menjatuhkan dirinya di atas pasir tepian. Kaki yang ditangkap itu pun dihentakkannya, sedangkan kakinya yang lain telah menghantam dada orang itu.
Sekali lagi sebuah keluhan tertahan di kerongkongan orang berkepala botak itu. Namun tangannya ternyata tidak melepaskan kaki Gandu Demung. Bahkan dengan kekuatan yang luar biasa, orang itu mencoba memutar tubuh Gandu Demung.
Gandu Demung menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa ia berada dalam bahaya. Jika orang itu berhasil memutar tubuhnya dan menghantam batu sebesar kerbau di sungai itu, maka kepalanya tentu akan pecah karenanya.
Namun dalam pada itu, Gandu Demung telah merasakan tubuhnya terangkat dan berputar perlahan-lahan, semakin lama menjadi semakin cepat.
Orang-orang yang menyaksikan hal itu menjadi cemas. Mereka tidak menduga, bahwa pada suatu saat Gandu Demung akan lengah, dan kakinya berhasil ditangkap oleh lawannya yang mempunyai kekuatan raksasa itu.
Kakaknya yang paling tua adalah orang yang paling cemas melihat perkembangan perkelahian itu. Baginya, adiknya adalah kebanggaan keluarganya. Terutama di dalam olah kanuragan. Dan kini ia melihat kaki adiknya itu dapat ditangkap oleh lawannya dan mulai diputarnya. Jika orang berkepala botak itu berhasil membenturkan kepala adiknya itu dengan batu-batu padas di pereng, maka kepala itu tentu akan sumyur.
04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan demikian, maka orang berkepala botak itu tentu akan semakin sombong dan berbangga diri. Meskipun kemenangan itu tidak akan berarti mengecutkan hatinya, karena menurut perhitungannya adalah kebetulan saja Gandu Demung lengah sehingga kakinya dapat ditangkap lawannya, namun kebanggaannya terhadap adiknya selama ini di hadapan orang-orangnya akan merupakan suatu ceritera khayal yang barangkali akan ditertawakan kelak.
Demikian pula orang-orangnya yang lain. Kecemasan telah mencengkam setiap jantung, sehingga semua orang yang menyaksikannya telah menahan nafasnya.
Ketika putaran itu menjadi semakin cepat, dan Gandu Demung merasakan himpitan tangan lawannya menjadi semakin kuat, maka sadarlah Gandu Demung, bahwa lawannya benar-benar akan membunuhnya. Kesadaran itulah yang kemudian telah menggelapkan pertimbangannya.
Gandu Demung bukanlah orang yang murah hati, pemaaf, dan penuh dengan kerelaan berkorban untuk sesamanya. Ia adalah orang yang berada di dalam lingkungan Empu Pinang Aring yang mempunyai kebiasaan seperti kawan-kawannya yang lain.
Karena itulah, maka Gandu Demung tidak mempunyai pilihan laki kecuali bukan saja mempertahankan hidupnya, tetapi juga membunuh lawannya dengan caranya.
Ternyata seperti yang diduga, orang berkepala botak itu memutar lawannya sambil mendekati batu-batu padas di pereng. Ia sudah bertekad untuk membenturkan kepala Gandu Demung sehingga pecah.
Darah yang mengalir di tubuh saudara-saudara Gandu Demung rasa-rasanya sudah berhenti mengalir. Bahkan kakaknya yang paling muda sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Sambil menggeram ia melangkah maju, karena ia merasa bahwa ia tidak akan dapat melihat salah seorang saudaranya hancur berkeping tanpa berbuat apa pun juga.
Namun dalam pada itu, selagi semua orang sedang dicengkam oleh kecemasan dan kebingungan, Gandu Demang ternyata tidak tinggal diam dan menyerahkan kepalanya untuk diledakkan pada batu-batu padas yang bergerigi runcing.
Pada saat orang berkepala botak itu merasa, bahwa kemenangan sudah berada di telapak tangannya, dan tinggal beberapa langkah saja lagi, kepala Gandu Demung akan membentur batu padas yang terjal dan bergerigi tajam, Gandu Demung telah mengentakkan kekuatannya.
Bertumpu pada kekuatan tangan lawannya. Gandu Demung menghentakkan dirinya, membungkuk pada punggungnya. Suatu kekuatan yang luar biasa telah terhimpun pada kedua belah tangannya. Dengan tidak terduga-duga, maka badannya yang kemudian menjadi lengkung itu, telah mengayunkan kedua tangannya menggapai wajah orang berkepala botak itu.
Dengan serta-merta, kedua tangan Gandu Demung telah mencengkam kepala orang berkepala botak itu. Betapa kuatnya tangan Gandu Demung, sehingga dalam waktu yang hampir tidak dapat diketahui oleh lawannya, Gandu Demung telah dapat mengguncangnya sehingga kehilangan keseimbangan.
Dengan demikian, maka putaran itu pun bagaikan baling-baling yang terlepas dari porosnya. Untuk beberapa saat keduanya berputaran tidak menentu. Namun agaknya Gandu Demung masih tetap sadar agar kepalanya tidak membentur tebing batu padas yang keras itu.
Sejenak kemudian keduanya pun terlempar jatuh di atas pasir basah yang kehitam-hitaman.
Dengan susah payah keduanya berusaha untuk menguasai diri. Gandu Demung dengan sigapnya meloncat berdiri, sementara lawannya pun telah berusaha berdiri pula.
Tetapi sebenarnyalah, bahwa Gandu Demung yang merasa bahwa lawannya benar-benar akan membunuhnya itu telah kehilangan kesabaran. Sehingga dengan demikian, nampaklah warna hatinya yang sebenarnya. Seperti seekor harimau yang lapar, maka ia pun kemudian menjadi liar dan buas.
Demikian orang berkepala botak itu mencoba untuk tegak berdiri, maka tiba-tiba sebuah hantaman yang keras telah mengenai tengkuknya. Gandu Demung tidak saja memukul lawannya dengan tangannya, tetapi sebuah loncatan mendatar, dengan kaki terjulur lurus telah mengenai tengkuk lawannya itu, sehingga sekali lagi ia terhuyung-huyung dan kehilangan keseimbangan. Betapa pun kuatnya ketahanan tubuhnya, namun ia pun terjatuh pula menelungkup.
Tetapi orang berkepala botak itu segera berhasil menyadari keadaan dirinya. Karena itu, dengan serta-merta ia pun berusaha untuk tegak berdiri. Dengan didorong oleh kekuatan kedua tangannya, maka ia pun segera bangkit.
Namun ternyata bahwa Gandu Demung yang marah itu, bagaikan telah menjadi gila. Ia pun segera meloncat mendekat. Dengan kemarahan yang memuncak ia langsung menggenggam rambut yang tinggal beberapa helai di kepala orang bertubuh raksasa yang botak itu. Ketika kepalanya dihentakkan oleh tarikan pada rambut yang tersisa itu, sebuah pukulan yang keras menghantam bagian belakang kepalanya.
Yang terdengar adalah sebuah keluhan tertahan. Tetapi kemudian keluhan itu terputus karena lutut Gandu Demung menghantam wajahnya.
Beberapa orang yang menyaksikan perkelahian itu bagaikan menjadi beku. Mereka melihat bagaimana Gandu Demung membenturkan kepala lawannya pada lututnya yang diangkat ke depan. Beberapa kali, sehingga lututnya menjadi merah oleh darah yang mengalir dari mulut lawannya yang berkepala botak itu.
Namun agaknya Gandu Demung masih belum puas. Ia mulai nampak betapa ia dilahirkan dan dibesarkan di antara sekelompok penjahat yang buas. Karena itulah, maka ia pun dapat berbuat sebuas para penjahat itu pula.
Tetapi orang berkepala botak itu tidak menyerah. Ia memang mempunyai ketahanan tubuh yang tidak terduga-duga. Meskipun wajahnya telah merah oleh darah. Namun tiba-tiba ia masih mengerahkan sisa kekuatannya. Dengan serta-merta ia merenggut kepalanya meskipun lembaran-lembaran rambutnya seolah-olah telah tercabut dari kepalanya yang sedang berbenturan berkali-kali dengan lutut lawannya itu.
Dengan serta-merta ia pun kemudian, mendekap lambung Gandu Demung sedemikian kuatnya sehingga keduanya terdorong beberapa langkah dan jatuh di atas pasir.
Sejenak mereka berguling-guling sekali lagi. Kemarahan Gandu Demung benar-benar tidak terkekang. Dengan garangnya ia berusaha untuk memukuli lawannya yang mendekapnya erat-erat. Semakin lama semakin erat, sehingga seakan-akan Gandu Demung tidak dapat bernafas lagi.
Beberapa saat Gandu Demung tertegun, bagaimana mengatasi lawannya yang bagaikan melekat pada tubuhnya yang berguling-guling di pasir tepian itu, bahkan telah menyesakkan nafasnya.
Namun kemudian dengan kekuatan yang ada padanya, ia mendorong kepala botak yang melekat di tubuhnya itu. Sesaat kemudian, seperti anak-anak yang bermain-main di tepian, maka Gandu Demung pun mengangkat kakinya di sisi tubuh lawan dan menjepit lehernya. Demikian kuatnya sehingga orang yang berkepala botak itu merasa seakan-akan lehernya telah terjepit oleh sepasang besi yang berhimpitan.
Raksasa yang berkepala botak itu menggeliat. Kepalanya terangkat sejenak, namun kemudian sebuah putaran telah membenamkan kepalanya ke dalam pasir.
Gandu Demung menyadari, bahwa kekuatan lawannya tidak akan dapat diimbanginya dengan kekuatan. Karena itu, ia tidak ingin melanjutkan perkelahian ini pada jarak genggaman tangan. Karena itu, tiba-tiba saja Gandu Demung melepaskan lawannya dan melenting berdiri.
Raksasa botak itu merasa himpitan di lehernya terlepas. Dengan serta-merta pula ia berusaha untuk berdiri sambil mengusap wajahnya yang penuh dengan pasir.
Saat itulah yang ditunggu oleh Gandu Demung. Demikian lawannya tertatih-tatih berdiri, sebuah serangan dengan kekuatan kakinya telah menghantam kening lawannya itu. Tumit Gandu Demung yang bagaikan bola besi telah membuat orang berkepala botak itu menjadi pening dan terhuyung-huyung.
Betapa buasnya Gandu Demung dalam kemarahan. Tidak kurang dari kebengisan Panganti dengan senyumnya, dan tidak kalah dari kegarangan Rimbag Wara yang kejam. Dan Gandu Demung adalah seekor harimau hitam yang buas dan liar.
Tetapi kali ini Gandu Demung ingin memperlihatkan kemenangannya yang sempurna. Ia sama sekali tidak mempergunakan pedangnya. Namun ketika keempat jari-jarinya telah mengembang sambil menekuk ibu jarinya, maka kakaknya yang tertua, yang pernah melihat bagaimana adiknya membunuh dengan cara itu, menjadi berdebar-debar. Dengan serta-merta ia melangkah maju.
Dalam ketegangan itu, ia masih sempat memikirkan kemungkinan yang bakal datang. Orang berkepala botak itu, akan masih dapat dipergunakan. Kekalahannya akan meyakinkan, bahwa ia bukan orang terkuat di muka bumi ini.
Karena itu, sebelum jari-jari Gandu Demung itu mencengkam kepala lawannya dan membenam bagaikan ujung pedang, kakaknya sempat berteriak, "Gandu Demung, hentikan."
Gandu Demung mendengar suara kakaknya. Betapa pun kemarahan mencengkam jantung, namun ia masih tetap menyadari, bahwa kedatangannya adalah dalam rangka untuk mengumpulkan kekuatan. Teriakan kakaknya telah memperingatkan pula kepadanya, bahwa raksasa berkepala botak itu akan berguna dalam usahanya di Tanah Perdikan Menoreh, atau justru di hadapan Kademangan Sangkal Putung sendiri.
Karena itulah maka perlahan-lahan Gandu Demung mengendorkan ketegangan di jantungnya. Perlahan-lahan pula ia melangkah surut menjauhi lawannya.
Ternyata bahwa raksasa berkepala botak itu telah kehabisan tenaganya. Meskipun ia berusaha, namun ia tidak lagi mampu berdiri tegak. Sentuhan pada ujung rambutnya, telah dapat melemparkannya terjerembab di atas pasir basah.
Gandu Demung berdiri tegak seperti patung. Ia memandang kakaknya yang perlahan-lahan mendekatinya.
"Lihatlah orang dungu," berkata kakaknya kepada orahg berkepala botak itu, "apa yang sebenarnya telah terjadi. Jika aku tidak mencegahnya, maka jari-jari adikku telah menghunjam di kepalamu dan memecahkan botakmu itu."
Orang itu terengah-engah.
"Tetapi ternyata bahwa hatinya, betapa pun gelapnya karena ia memang dilahirkan di antara kami, namun ia masih bersedia memaafkanmu meskipun tentu saja dengan pamrih. Kau akan dapat menjadi salah seorang pembantu yang baik dalam tugas yang bakal datang."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sesaat ia memandang mata Gandu Demung yang bagaikan menyala. Bagaikan mata seekor harimau hitam yang bertengger di dahan-dahan pepohonan. Mengerikan sekali.
"Aku menyerah," suara raksasa itu dalam sekali, seolah-olah berputar di dalam perutnya.
Gandu Demung menggigit bibirnya. Ia bukannya seorang pemaaf. Jika sekiranya ia tidak memerlukan tenaganya, maka orang itu tentu sudah diremasnya, dan kepalanya sudah dilubanginya dengan kuku-kukunya yang setajam pedang.
Orang berkepala botak itu menundukkan kepalanya. Ternyata ia baru mengenal Gandu Demung yang sebenarnya. Ganas, liar, dan bahkan buas seperti binatang hutan.
Sejenak Gandu Demung masih termenung. Namun kemudian tiba-tiba saja kakinya terayun ke kepala orang berkepala botak itu sambil menggeram, "Kau aku hidupi kali ini. Tetapi jika sekali lagi kau menyakiti hatiku, aku akan mencincangmu dan melemparkan kepalamu yang botak itu kepada anjing kelaparan di sepanjang-jalan."
Betapa sakitnya hati orang berkepala botak itu seperti sakitnya sentuhan kaki Gandu Demung di wajahnya yang sudah bernoda darah. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa, karena ia yakin, bahwa Gandu Demung tidak sedang tergurau.
Gandu Demung kemudian melangkah meninggalkan orang berkepala tolak itu. Sejenak ia memandang ke sekelilingnya dan berkata dengan nada yang berat, "Ayo, siapa lagi orang-orang baru di sini yang merasa dirinya tidak terkalahkan. Siapa yang tidak percaya bahwa Gandu Demung adalah salah seorang dari kepercayaan Empu Pinang Aring."
Semua orang menundukkan kepalanya. Bahkan untuk bernafas pun rasanya mereka tidak sanggup lagi karena ketakutan yang mencengkam hati.
Sejenak suasana menjadi sepi tegang. Namum kemudian terdengar kakak Gandu Demung yang tertua berkata, "Pertemuan kita sudah cukup hari ini. Pergilah kalian. Bawalah raksasa botak ini."
Beberapa orang pun kemudian melangkah meninggalkan tempat itu. Dua orang di antara mereka memapah orang berkepala botak yang ternyata sudah kehilangan kekuatannya sama sekali sehingga tidak lagi mampu berdiri.
"Gila," desis orang berkepala botak itu ketika mereka sudah menjadi semakin jauh, "benar-benar tidak aku duga, bahwa ada orang yang memiliki kemampuan seperti anak gila itu. Aku adalah orang yang menganggap diriku kebal bukan karena ilmu, tetapi karena kekuatan alamiah yang aku miliki. Namun sentuhan tangannya bagaikan api bara besi baja. Aku tidak tahan menahan pukulannya."
"Bukan saja pukulannya. O, jika kau melihat bagaimana jari-jarinya mengembang. Hampir saja kepalamu diterkamnya."
"Ya. Aku sadar sekarang. Jari-jarinya memang seperti ujung pedang. Jika saudaranya yang paling tua tidak menahannya, kepalaku tentu sudah berlubang." Namun kemudian ia masih sempat berkata, "Tetapi ternyata bahwa aku adalah orang terpenting di sini. Jika tidak, saudara tertua Gandu Demung itu tidak akan menahannya. Bahkan mungkin ia membiarkan jari-jarinya itu mencengkam sampai ke otak."
"Mungkin kau orang terpenting. Tetapi kau tidak dapat lagi menyebut dirimu orang terkuat. Kau tentu dapat menduga, bahwa saudaranya itu pun memiliki ilmu serupa meskipun tidak sekuat Gandu Demung."
Orang berkepala botak itu mengangguk-angguk. Katanya, "Aku memang tidak menyangka, bahwa ada kekuatan yang tidak ada taranya. Tetapi dengan demikian kita menjadi mantap. Apa pun yang akan kita lakukan, kita tidak akan gentar karena pemimpin yang akan membawa kita ke medan tugas, bukannya hanya sekedar menggantungkan nasibnya kepada kita semuanya."
"Ya. Dan sudah barang tentu Gandu Demung tidak akan berbuat demikian pula."
Raksasa berkepala botak itu mengangguk-angguk. Ia mengucap terima kasih di dalam hatinya, bahwa ia masih sempat hidup dan melakukan pekerjaan yang memang disukainya itu.
Setiap kali, hatinya masih saja disentuh kengerian jika teringat olehnya kemungkinan bahwa kepalanya akan berlubang sejumlah jari tangan.
Dalam pada itu, Gandu Demung masih berada di tepian bersama saudara-saudaranya. Mereka masih berbicara tentang beberapa hal, juga tentang raksasa berkepala botak itu.
"Apakah ia tidak akan membuat kesulitan di kemudian hari?" bertanya salah seorang saudara Gandu Demung.
"Tidak. Ia telah benar-benar menjadi jera," desis saudaranya yang tertua. "Melihat sorot matanya dan wajahnya yang pucat, aku berpendapat, ia tidak akan berani menyombongkan dirinya lagi."
Saudara-saudaranya yang lain mengangguk-anggukan kepalanya.
"Marilah, kita akan kembali ke gubug kita. Kita dapat berbicara selanjutnya mengenai rencana kita," ajak saudaranya yang tertua.
Demikianlah maka mereka pun kemudian meninggalkan tempat itu, kembali ke sebuah gubug yang khusus dibuat di pategalan yang jauh dari padukuhan, bahkan sudah dekat di pinggir sebuah hutan kecil yang panjang.
Dengan sungguh-sungguh mereka mulai merencanakan apa yang sebaiknya mereka lakukan.
"Kita dapat menghubungi salah satu kelompok lain yang pantas," berkata Gandu Demung kemudian. "Aku masih ragu-ragu, apakah dua kekuatan saja dapat berhasil menguasai sepasang pengantin itu bersama para pengiringnya."
"Kekuatan Ki Bajang Garing tidak terpaut banyak dengan kekuatan kita di sini," berkata saudara Gandu Demung yang tertua. "Karena itu kau tentu sudah dapat mempertimbangkannya."
"Masih kurang. Agaknya kita masih perlu mencari kekuatan yang dapat membantu. Meskipun agaknya Ki Bajang Garing dan kelompok kita tidak sejalan sebelumnya, namun di dalam hal ini, kita akan dapat menemukan cara untuk bekerja bersama," sahut Gandu Demung. "Aku menemukan keyakinan, bahwa hal itu dapat dilakukan setelah aku bertemu sendiri dengan Ki Bajang Garing."
Saudara-saudara Gandu Demung mengangguk-angguk. Yang tertua kemudian berkata, "Aku akan menemui Kiai Wedung Kalang dari daerah Hutan Pengarang. Mudah-mudahan kita dapat menemukan sikap yang sama menghadapi persoalan ini."
"Tetapi jika harus didahului dengan kekerasan seperti yang terjadi pada kelompok Ki Bajang Garing, bahkan di kelompok kita sendiri, maka aku akan meyakinkan mereka," desis Gandu Demung.
Saudara-saudaranya mengangguk-angguk pula. Yang tertua bergumam, "Memang mungkin."
Gandu Demung mengangkat alisnya. Sekilas terbayang kelebatan hutan Pengarang. Dan ia yakin, bahwa penghuni Hutan Pengarang tentu bukannya kelinci-kelinci kecil, tetapi tentu sebangsa serigala atau bahkan harimau belang.
"**************************** Gandu Demung.
"Baiklah. Sebenarnya hubungan ayah dengan Kiai Wedung Kalang cukup baik. Jika terjadi sesuatu, agaknya persoalannya tentu mirip dengan keragu-raguan orang berkepala botak itu."
"Justru keragu-raguan yang demikian itulah yang perlu diyakinkan."
Saudara-saudara Gandu Demung mengangguk-angguk. Dan mereka pun kemudian sepakat untuk pergi ke Hutan Pengarang di keesokan harinya.
Ketika matahari terbit, maka tiga orang bersaudara telah pergi ke Hutan Pengarang. Gandu Demung hanya disertai dua orang saudaranya saja membawa pesan ayahnya untuk Kiai Wedung Kalang. Agaknya rencana yang disusun Gandu Demung itu tidak akan terlampau sulit untuk diterima oleh orang-orang dari Hutan Pengarang.
Meskipun demikian tidak mustahil bahwa orang-orang di Hutan Pengarang yang merasa mempunyai beberapa orang yang berilmu tinggi, tidak akan bersedia berada di bawah perintah orang-orang lain.
"Jangan kau sebutkan seluruh rencanamu," berkata saudara Gandu Demung yang tertua, "jika tidak ada kesepakatan itu antara kita, maka berarti dari Hutan Pengarang akan dapat mendahului rencana kita."
"Mereka tidak akan kuat untuk melakukannya sendiri," jawab Gandu Demung.
"Mungkin mereka akan mencari kawan-kawan lain."
"Itu berarti bahwa kita akan bertempur."
"Ya. Dan kemungkinan yang demikian itu memang ada."
Gandu Demung mengangguk-angguk. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan yang memang dapat terjadi, karena lingkungan mereka tidak ubahnya dengan lingkungan Hutan Pengarang itu sendiri. Lambang dari kekuasaan adalah kekuatan.
Dalam pada itu, selagi orang-orang di sekitar Gunung Tidar sibuk dengan rencananya, maka di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu pun telah mulai sibuk pula. Mereka yang berada di daerah itu, harus menyiapkan suatu pertemuan rahasia yang *********************** pasukan yang seolah-olah berimbang kekuatannya. Di dalam satu hal mereka dapat berjalan seiring. Namun di dalam persoalan yang lain, benturan mungkin sekali terjadi, juga di dalam persoalan mereka, berlaku pertimbangan, bahwa kekuatan akan menentukan kekuasaan.
Ternyata bahwa Kiai Kalasa Sawit telah datang lebih cepat dari rencana. Namun ia telah membawa berita yang mengejutkan. Kematian Kiai Jalawaja. Dan kematian Kiai Jalawaja itu ternyata telah mengharuskan para pemimpin itu mengadakan pembicaraan pendahuluan.
Namun mereka tidak menemukan sikap yang dapat memberikan arah yang jelas pada pertemusn yang lebih besar antara beberapa orang pemimpin, bukan saja kelompok-kelompok yang berada di tempat persembunyian yang tersebar, tetapi di antara mereka juga terdapat beberapa orang pemimpin prajurit di Pajang.
Akhirnya mereka sependapat bahwa persoalan yang akan mereka bicarakan akan ditentukan pada suatu saat. Di saat mereka akan berkumpul di lembah yang seolah-olah tertutup dari dunia di luar lingkungan mereka itu.
Namun bagaimana pun juga, pengaruh terbesar berada di tangan seorang Senopati Agung dari Pajang yang tidak banyak diketahui, siapakah sebenarnya orang itu. Jarang sekali yang pernah mengenal wajahnya dari dekat, dan apalagi mengetahui keadaannya yang sebenarnya. Hanya beberapa orang kepercayaannya sajalah yang dapat bertemu muka dan berbicara berterus-terang. Orang-orang itulah yang mewakilinya mengadakan hubungan dengan para pemimpin kelompok-kelompok yang menyatakan diri bergabung dengan perjuangan untuk menegakkan lagi kekuasaan Majapahit.
Tetapi pada pertemuan yang menentukan, maka telah ada kesanggupan dari orang yang tidak banyak dikenal itu untuk hadir langsung memimpinnya.
Namun dalam pada itu, suatu kegiatan yang terpisah telah pula terjadi di Sangkal Putung dan di Tanah Perdikan Menoreh. Hari-hari yang dilalui, bagaikan terbang dihembus oleh angin yang kencang bagi Ki Demang Sangkal Putung dan Ki Gede Menoreh. Rasa-rasanya mereka menjadi sangat tegesa-gesa. Persiapan yang telah mereka lakukan sejak selapan hari yang lalu, rasa-rasanya masih jauh dari mencukupi.
Tetapi bagi Swandaru dan Pandan Wangi, hari-hari rasa-rasanya berjalan terlalu lambat. Matahari berkisar dengan malasnya. Rasa-rasanya sejak terbit sampai saat terbenamnya, perjalanannya telah memerlukan waktu dua kali lebih lama dari hari-hari biasa. Apalagi jika malam tiba. Suara burung hantu yang ngelangut, seolah-olah telah menghentikan putaran waktu. Dan malam pun menjadi jauh lebih panjang.
Bahkan ternyata bukan keluarga terdekat dari Ki Demang Sangkal Putung dan Ki Gede Menoreh sajalah yang terpengaruh oleh persiapan itu. Bahkan anak-anak muda di kedua tempat itu pun menganggap bahwa waktu menjadi sangat lamban. Mereka pun ingin segera melihat Swandaru dan Pandan Wangi duduk bersanding dalam pakaian kebesaran sepasang mempelai. Baik di Tanah Perdikan Menoreh, maupun di Kademangan Sangkal Putung.
Untuk mengisi waktu, maka mereka yang telah ditunjuk oleh Ki Demang Sangkal Putung untuk pergi bersamanya mengawal Swandaru ke Tanah Perdikan Menoreh, mencoba menenggelamkan diri ke dalam latihan-latihan yang sungguh-sungguh. Mereka telah mendengar berita, bahwa ada sesuatu yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh, sehingga tidak mustahil bahwa di sepanjang jalan mereka harus mempergunakan senjata mereka.
Agar tidak membuat orang-orang lain cemas, maka mereka telah mengambil tempat yang terpencil untuk melakukan latihan-latihan yang sungguh-sungguh. Di tengah pategalan bersama Agung Sedayu.
Agung Sedayu yang juga menyadari bahwa kemungkinan yang sulit memang dapat terjadi, maka ia pun telah berusaha sejauh mungkin mempersiapkan anak-anak muda di Sangkal Putung yang akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Dengan sungguh-sungguh ia telah mencoba meningkatkan kemampuan anak-anak muda yang pada dasarnya memang pernah berlatih olah kanuragan. Pada saat Tohpati mengancam Sangkal Putung yang kaya dengan bahan makanan untuk merampasnya dan menguasainya sebagai lumbung yang tidak akan kering, anak-anak muda itu sudah ikut serta di dalam setiap pertempuran yang terjadi. Dari para prajurit Pajang yang berada di Sangkal Putung mereka mendapat dasar-dasar olah kanuragan. Namun kemudian mereka telah meningkatkan ilmu mereka sedikit demi sedikit. Sedangkan yang terakhir, Agung Sedayu telah membimbing mereka dengan sepenuh hati.
Anak-anak muda itu pun dengan sepenuh hati pula melatih diri. Tidak saja dalam kelompok yang terdiri dari beberapa orang, tetapi Agung Sedayu menilik mereka seorang demi seorang.
"Waktunya menjadi semakin pendek," berkata Agung Sedayu, "tidak ada sepuluh hari lagi."
"Tujuh hari," desis seorang yang bertubuh tinggi.
"Nah, tujuh hari lagi kita akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh sebagai pengiring Swandaru. Tentu akan merupakan sebuah iring-iringan yang cukup menarik perhatian. Tetapi tentu akan menarik perhatian pula bagi orang-orang yang berniat buruk. Sudah kalian dengar apa yang telah terjadi di tanah Perdikan Menoreh. Dan sudah kalian dengar pula apa yang telah terjadi di sebelah Barat Jati Anom, di lereng Merapi, pada sebuah padukuhan yang bernama Tambak Wedi. Mungkin kita akan menjumpai orang-orang Tambak Wedi yang berkeliaran sampai ke Tanah Perdikan Menoreh, tetapi mungkin pula kita akan bertemu dengan kelompok lain yang mempunyai tujuan dan cara yang sama dengan kelompok Kiai Kelasa Sawit."
Anak-anak muda Sangkal Putung itu mengangguk-angguk.
"Kita harus menyadari, bahwa setiap orang dalam gerombolan itu memiliki kecakapan bertempur seperti seorang prajurit, sehingga kalian pun harus membuat diri kalian mempunyai kecakapan bertempur seperti seorang prajurit."
Anak-anak muda Sangkal Putung itu mengangguk-angguk. Namun mereka pun sadar, bahwa kemampuan mereka sudah mulai meningkat pula. Dan bahkan mungkin sudah berhasil menyamai kemampuan sebagai seorang prajurit. Baik dalam perkelahian seorang lawan seorang, maupun dalam kelompok dan bahkan gelar.
Untuk meyakinkan diri sendiri, salah seorang dari anak-anak muda itu telah mencoba bertanya kepada Agung Sedayu, "Apakah kemampuan kami masih jauh berada di bawah kemampuan orang Tambak Wedi itu?"
"Tentu tidak," jawab Agung Sedayu, "bukan sekedar membuat kalian berbesar hati, tetapi menurut penilaianku, kalian sudah memiliki kemampuan seorang prajurit. Tetapi jika kebanggaan itu membuat kalian menjadi sombong, maka itu adalah permulaan dari kehancuran. Serupa dengan itu adalah kehilangan pengamatan diri. Memang tidak akan dapat menghindarkan diri dari kemarahan yang menyentuh perasaan. Tetapi kita jangan lupa diri dan kehilangan perhitungan," Agung Sedayu berhenti sejenak. "Tetapi yang lebih utama dari semuanya itu adalah, bahwa kita tidak perlu berkelahi dengan siapa pun juga dengan alasan apa pun juga."
Anak-anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun salah seorang dari mereka bertanya, "Aku tidak mengerti. Kenapa kita tidak perlu berkelahi. Untuk apa kita belajar mempertahankan diri dalam ujud olah kanuragan seperti ini?"
"Hanya dalam keadaan yang memaksa. Jika kita tidak dapat menemukan jalan lain, maka baru jalan yang paling buruk inilah yang kita tempuh untuk menyelamatkan diri atau menyelamatkan sikap yang kita yakini kebenarannya."
Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala, mereka memang sudah mengerti sifat dan watak Agung Sedayu. Namun sebagian besar dari mereka menganggap sikap itu sebagai sikap yang ragu-ragu. Bahkan beberapa orang dari mereka pernah berkata, "Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang pilih tanding. Sayang, ia adalah seorang yang lemah, sehingga nampaknya ia bukan sebagai seorang yang berhati jantan. Agak berbeda dengan Swandaru. Ia adalah seorang laki-laki jantan yang lengkap. Memiliki ilmu yang tinggi, keputusan yang tegas dan tidak ragu-ragu menentukan sikap menghadapi apa pun juga."
Agaknya Agung Sedayu pun menyadari akan sifat dan wataknya itu dibanding dengan saudara seperguruannya. Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak merubah sikapnya. Bahkan kehadiran Rudita di dalam sentuhan-sentuhan yang tajam di hatinya, membuatnya justru semakin ragu-ragu.
Dengan sadar ia pun memahami dirinya sendiri, seperti yang dikatakan oleh gurunya, bahwa ia masih berdiri di atas dua alas. Bahkan kadang-kadang ia kurang jujur terhadap dirinya sendiri.
"Tetapi itu adalah sifat kebanyakan orang, Agung Sedayu," berkata gurunya, "kau tidak usah berkecil hati. Cobalah mencari bentuk yang paling mantap bagimu sendiri. Jangankan kau. Sedangkan aku, dan bahkan Ki Waskita, ayah Rudita, belum menemukan kemantapan sikap seperti Rudita."
Setiap kali Agung Sedayu hanya dapat merenungi dirinya sendiri. Dan bahkan sekali gurunya pun berkata, "Rudita sendiri bukannya orang yang telah menemukan sikap murni. Kau tahu, bahwa ia masih melindungi dirinya dalam sifat pasrahnya dengan ilmu kebal yang justru lebih baik dari ayahnya sendiri. Bukankah itu juga suatu sifat yang sama seperti yang terdapat di dalam hatimu, namun dalam ujud yang lebih lemah. Jauh lebih lemah."
Dan sekarang, Agung Sedayu berhadapan dengan anak-anak muda Sangkal Putung. Bukan dengan Rudita. Karena itulah maka ia harus menyesuaikan dirinya dan sikapnya, agar mereka tidak kehilangan pegangan, justru karena dasar penilaian yang berbeda pada sikap dan pandangan hidupnya.
Anak-anak muda Sangkal Putung itu tentu tidak akan dapat diajak berbicara tentang sikap dan pandangan hidup Rudita. Sehingga jika dipaksakannya, maka akibatnya akan kurang baik bagi anak-anak muda itu dan hubungannya dengan Agung Sedayu sendiri. Untuk memperkenalkan sifat dan watak Rudita kepada anak muda itu, perlu keadaan dan waktu yang khusus.
Karena itulah maka di hadapan anak-anak muda itu, Agung Sedayu sama sekali tidak memperbincangkan tentang sikap dan watak. Dengan sungguh-sungguh ia membimbing mereka dalam olah kanuragan, sehingga kemampuan anak-anak muda itu memang meningkat di hari-hari terakhir. Semakin dekat mereka dengan hari-hari perkawinan Swandaru, maka mereka pun semakin bersungguh-sungguh melatih diri.
Sementara itu menjelang hari-hari keberangkatan Swandaru ke Tanah Perdikan Menoreh, Kademangan Sangkal Putung menjadi semakin sibuk. Tidak ada yang dapat dibawa dari Sangkal Putung, selain barang-barang bagi upacara pengantin. Kelengkapan lain yang berupa makanan dan buah-buahan akan dicari setelah mereka berada di Tanah Perdikan Menoreh, karena tidak mungkin membawanya langsung dari Kademangan Sangkal Putung.
"Pengawalan yang kuat telah disiapkan oleh Agung Sedayu," berkata Kiai Gringsing kepada Ki Demang Sangkal Putung.
"Terima kasih, Kiai," jawab Ki Demang, "kami percaya, bahwa Anakmas Agung Sedayu mempunyai gambaran yang cukup bagi perjalanan kita nanti."
"Aku sendiri juga sering melihat. bagaimana anak-anak muda itu berlatih. Mereka telah memiliki kemampuan seorang prajurit. Baik dalam perkelahian seorang lawan seorang, maupun di dalam kelompok yang barangkali harus menghadapi kelompok yang mapan seperti pasukan Kiai Kalasa Sawit di Padepokan Tambak Wedi."
"Tetapi apakah jumlahnya mencukupi, Kiai."
"Aku kira sudah cukup. Seandainya ada sekelompok orang yang mencegatnya, tentu tidak akan segelar sepapan seperti kekuatan yang ada di Tambak Wedi. Mungkin kekuatan yang cukup besar, namun masih dapat diperhitungkan, bahwa kekuatan para pengiring Swandaru pun cukup besar pula."
Namun bagaimana pun juga Ki Demang Sangkal Putung masih saja selalu dibayangi oleh kecemasan. Seolah-olah daerah Selatan, yang membujur panjang dari Sangkal Putung sampai ke Tanah Perdikan Menoreh itu merupakan daerah yang paling gawat dari seluruh wilayah Pajang.
"Justru pada saat Swandaru akan kawin, daerah ini telah menjadi panas kembali," gumamnya.
"Itu hanya suatu kebetulan Ki Demang," berkata Ki Sumangkar, "tetapi mudah-mudahan iring-iringan pengantin Swandaru tidak akan menemui kesulitan apa pun juga."
"Kita akan selalu berdoa," desis Kiai Gringsing kemudian.
Namun yang juga menjadi persoalan kemudian adalah Sekar Mirah. Dengan sangat ia minta untuk ikut serta bersama iring-iringan itu ke Tanah Perdikan Menoreh.
"Mirah," berkata ayahnya, "kau sudah mendengar, jalan yang akan kita lalui tidak selicin jalan untuk tamasya."
"Aku tahu, Ayah. Justru karena itu, aku ingin ikut serta bersama Kakang Swandaru dan Kakang Agung Sedayu."
"Kau adalah seorang gadis. Dalam keadaan yang gawat ini, sebaiknya kau tinggal di rumah saja."
"Ayah sangka bahwa aku tidak dapat menjaga diriku sendiri?"
"Aku tahu, Mirah. Tetapi kesulitan seorang gadis akan jauh lebih besar dari kesulitan seorang laki-laki."
Tetapi seperti biasanya, hati Sekar Mirah menjadi sekeras batu. Katanya, "Tidak ada bedanya, Ayah. Batas terakhir bagi seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah mati. Apakah ada yang lebih buruk dari itu?"
"Ada, Mirah," jawab ayahnya, "jika kau jatuh ke tangan penjahat-penjahat itu?"
"Mereka hanya dapat menangkap aku jika tubuhku telah terbaring tanpa bernafas lagi."
Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, dalam keadaan seperti itu Sekar Mirah sudah tidak dapat diajak berbicara lagi. Kemungkinan satu-satunya adalah mengijinkan ia ikut serta bersama iring-iringan pengantin yang akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh itu. Sebab jika tidak, maka justru ia akan dapat menyusul seorang diri.
Dengan demikian maka sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Demang berkata, "Baiklah aku berbicara dengan Ki Sumangkar."
Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah gurunya yang berkerut-merut, seolah-olah ia ingin minta kepadanya agar ia tidak berkeberatan.
Tetapi Ki Sumangkar sama sekali tidak memandang wajah Sekar Mirah. Bahkan ia memandang ke kejauhan, seolah-olah tidak mendengar pembicaraan itu.
Sekar Mirah menjadi ragu-ragu. Dan ayahnya pun kemudian berkata, "Sudahlah. Pergilah ke belakang, barangkali ibumu memerlukan bantuanmu. Aku akan berbicara dengan Ki Sumangkar."
Sekar Mirah masih saja ragu-ragu. Tetapi ia pun kemudian bergeser surut meninggalkan ayahnya yang masih saja duduk dipendapa bersama Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Sepeninggal Sekar Mirah, Ki Demang bertanya kepada Ki Sumangkar, "Bagaimana pendapat Kiai dengan perkembangan terakhir dari Tanah Perdikan Menoreh?"
Ki Sumangkar tersenyum. Katanya, "Sekar Mirah adalah seorang gadis yang cukup untuk melakukan perjalanan bersama dengan para pengawal. Selebihnya ia akan dapat menjadi kawan Pandan Wangi nanti dalam perjalanan kembali ke Kademangan Sangkal Putung. Karena satu-satunya perempuan yang pantas untuk ikut dalam iring-iringan ini hanyalah Sekar Mirah. Jika kita mengajak perempuan lain yang akan menjadi kawan Pandan Wangi, maka akibatnya akan dapat menyulitkan."
Ki Demang dapat mengerti pendapat Ki Sumangkar. Tetapi Sekar Mirah adalah anaknya. Sedangkan anaknya hanya dua. Swandaru dan Sekar Mirah. Jika terjadi sesuatu di perjalanan, maka kedua-duanya ada di dalam iring-iringan itu pula.
Tetapi Ki Demang memang tidak akan dapat memilih orang lain. Satu-satunya perempuan yang pantas untuk menjadi kawan Pandan Wangi dalam perjalanan yang gawat itu adalah Sekar Mirah.
Karena itulah maka Ki Demang Sangkal Putung pun kemudian mengangguk sambil berkata, "Memang tidak ada pilihan lain, Ki Sumangkar."
Ki Sumangkar pun dapat mengerti, kecemasan yang mencengkam hati Ki Demang Sangkal Putung. Karena itu, maka katanya kemudian, "Kami semuanya akan berusaha untuk membebaskan diri dari kesulitan. Dan kami akan selalu berdoa, mudah-mudahan kami dilindungi oleh Yang Maha Murah, sehingga perjalanan kami sama sekali tidak akan mendapat gangguan apa pun juga menyahut."
Karena itu, maka Ki Sumangkar dan Kiai Gringsing pun kemudian meninggalkan Ki Demang yang masih saja merenung. Dengan suara yang datar Ki Demang berkata, "Semuanya aku serahkan kepada Kiai berdua."
"Mudah-mudahan kami dapat melakukan tugas kami sebaik-baiknya," jawab Kiai Gringsing.
Sepeninggal Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang kemudian turun ke halaman. Ki Demang masih duduk untuk beberapa saat di pendapa. Kemudian ia pun menerima beberapa orang bebahu kademamgannya dan orang-orang tua di Sangkal Putung. Dengan hati-hati Ki Demang masih mencoba menyaring di antara mereka, siapakah yang akan turut ke Tanah Perdikan Menoreh bersama iring-iringan pengantin.
"Empat orang yang memiliki kemampuan dan ketahanan berkuda," berkata Ki Demang, "tetapi yang cukup pantas mewakili orang-orang tua di Sangkal Putung."
Ki Jagabaya yang hadir juga di pendapa itu mengerutkan keningnya. Dengan menyesal ia bergumam, "Kalau saja aku boleh ikut serta."
"Kau harus berada di kademangan ini Ki Jagabaya," sahut Ki Demang.
Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun memandang kepada seorang yang umurnya sudah setua Ki Demang Sangkal Putung, namun yang badannya masih nampak jauh lebih segar meskipun kumisnya sudah memutih.
"Ia adalah bekas seorang prajurit," berkata Ki Jagabaya.
Ki Demang pun memandang orang berkumis putih itu. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, "Ya. Ya. Aku lupa, bahwa ia adalah bekas seorang prajurit."
"Bukan hanya aku," jawab orang berkumis putih itu, "lihatlah orang yang duduk di sisi kanan Ki Demang itu."
Semua orang berpaling kepada orang yang duduk di sebelah kanan Ki Demang. Seorang yang nampaknya lebih tua dari orang berkumis putih serta Ki Demang sendiri. Orang itu meskipun masih kuat, tetapi giginya sama sekali sudah habis. Ketika ia kemudian tersenyum nampaklah bahwa ia memang sudah tidak bergigi lagi.
"O," Ki Demang mengangguk-angguk, "kau benar, ia juga bekas seorang prajurit. Tetapi apakah kau masih kuat naik kuda dalam perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh?"
"Jangankan naik kuda," jawab orang itu, "aku masih sanggup pergi ke Menoreh dengan naik kerbau tanpa pelana."
Orang-orang yang mendengarnya tertawa. Sedangkan Ki Demang pun mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Demikianlah akhirnya beberapa orang yang bersedia ikut serta ke Tanah Perdikan Menoreh di antara orang-orang tua di Sangkal Putung, Ki Demang telah memilih empat orang. Dua di antaranya adalah bekas prajurit Pajang yang sudah terlalu tua bagi jabatannya. Namun demikian mereka masih cukup kuat untuk berkuda mengiringkan pengantin dan Sangkal Putung ke Tanah Perdikan Menoreh. Sedangkan dua orang lagi adalah orang-orang tua yang pernah menjadi pengawal Kademangan Sangkal Putung dimasa mudanya. Namun pada saat Sangkal Putung menjadi sasaran pasukan yang dipimpin Tohpati mereka pun masih sanggup menggenggam pedang disamping anak-anak muda yang masih segar.
Dengan demikian, maka Kademangan Sangkal Putung telah mempunyai susunan yang lengkap dan pasti, siapakah yang akan berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh mengiringkan Swandaru. Karena seperti yang diperhitungkan, Swandaru dan para pengiringnya, memang akan membawa barang-barang dan perhiasan. Selain yang akan mereka serahkan kepada pihak pengantin perempuan, maka mereka pun telah membawa perhiasan bagi diri mereka masing-masing. Bagaimana pun juga ada suatu kebanggaan di dalam hati apabila di saat perelatan itu tiba, mereka dapat memakai perhiasan yang tidak kalah dengan orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh sendiri. Karena itu, maka mereka pun harus bertanggung jawab atas barang-barang dan perhiasan yang mereka bawa, selain perjalanan Swandaru itu sendiri.
"Lima belas orang anak-anak muda terlatih baik," berkata Ki Demang kemudian kepada para bebahu itu, "selebihnya empat orang tua-tua, aku sendiri, Kiai Gringsing dengan Agung Sedayu dan Ki Sumangkar, selain Swandaru sendiri. Selain semua itu, aku masih akan disertai seorang perempuan. Sekar Mirah."
"Ah," desis Ki Jagabaya, "Sekar Mirah memang mempunyai kelebihan dari seorang gadis biasa. Tetapi apakah perjalanan ini tidak terlampau berbahaya baginya?"
"Perjalanan kembali dari Tanah Perdikan Menoreh pengantin perempuan memerlukan sekurang-kurangnya seorang kawan. Tidak ada perempuan lain yang paling pantas untuk perjalanan ini kecuali Sekar Mirah. Jika aku membawa orang lain, maka dalam suatu keadaan yang gawat, ia akan menjadi pingsan karenanya."
Ki Jagabaya kemudian mengangguk-angguk. Memang tidak ada orang lain kecuali Sekar Mirah.
Dalam pada itu, hari-hari pun merambat semakin maju. Yang sebulan menjadi sepuluh hari. Kemudian tinggal sepekan dan akhirnya saat-saat yang dinantikan dengan tegang itu pun sampai pula di ujung hidung.
Dua hari lagi, Swandaru akan berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh bersama pengiringnya. Seperti yang sudah direncanakan, maka setiap orang dalam iring-iringan itu tidak dibenarkan mempergunakan perhiasan di perjalanan. Dan sesuai dengan pendapat Ki Demang sendiri, maka iring-iringan itu tidak akan berjalan bersama-sama. Tetapi mereka akan membagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang terpisah, meskipun jaraknya tidak akan terlalu jauh.
"Ada juga baiknya," berkata Ki Sumangkar, "jika kita terperosok pada sebuah perangkap, maka tidak seluruhnya berada di dalamnya."
"Ya. Itulah yang aku pikirkan," berkata Ki Demang, "aku harus memisahkan Swandaru dan Sekar Mirah."
Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia mengerti, kecemasan yang sangat selalu membayangi Ki Demang Sangkal Putung tentang kedua anak-anaknya yang akan ikut bersamanya ke Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, selagi Sangkal Putung mempersiapkan diri, maka di Tanah Perdikan Menoreh, nampak kegiatan yang meningkat pula dari para petani. Pagi-pagi benar, sudah ada beberapa orang yang berada di sawah, meskipun baru duduk-duduk di pematang. Ada di antara mereka yang duduk di gardu-gardu di ujung bulak.
Namun dalam pada itu, salah teorang dari dua orang yang berjalan melintasi sebuah bulak panjang tertawa sambil berkata, "Lihatlah, betapa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh telah bersiap menghadapi setiap kemungkinan."
Yang lain pun menyahut, "Mereka menganggap bahwa kita adalah anak-anak dungu yang tidak dapat melihat, bahwa meskipun yang nampak di pundak para petani itu adalah cangkul, tetapi pada mereka pasti terdapat senjata. Karena aku yakin, mereka bukannya petani-petani sewajarnya."
"Kita akan menyesuaikan pengamatan kita dengan Ki Bajang Garing," berkata yang seorang lagi.
Yang lain mengangguk-angguk. Katanya, "Tetapi pengamatanmu benar, Gandu Demung. Mereka tentu pengawal-pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang mengadakan baris pendem menyongsong kedatangan Swandaru besok lusa."
Keduanya pun kemudian tertawa tertahan. Sambil berjalan terus mereka sempat mengamati keadaan Tanah Perdikan Menoreh yang bersiaga sepenuhnya.
"Keamanan yang mantap di hari-hari terakhir tentu membuat mereka agak lengah," berkata Gandu Demung.
Yang lain tidak menjawab. Keduanya pun berjalan terus sebagai dua orang petani yang sekedar melintas di daerah Tanah Perdikan Menoreh.
Di tempat yang sudah ditentukan, di pinggir sebuah hutan perdu yang sepi, mereka ternyata telah ditunggu oleh tiga orang yang bersama-sama melihat-lihat daerah Tanah Perdikan Menoreh dari dekat. Seorang yang bertubuh pendek segera berkata, "Kita tidak melihat sesuatu yang pantas mendapat perhatian. Tetapi daerah ini merupakan daerah yang tidak dapat kita jadikan medan."
"Kenapa?" bertanya Gandu Demung.
"Kau juga melihat-lihat daerah ini?"
"Ya." "Tentu kita sama-sama melihat. Aku telah melihat-lihat di daerah penyeberangan. Aku melihat kesibukan yang berlebih- lebihan di sawah di sebelah penyeberangan itu."
Gandu Demung tertawa. Katanya, "Kita melihat hal yang sama. Itu adalah kecerobohan yang tidak boleh diulangi oleh Ki Gede Menoreh. Dengan demikian, maka kita dapat melihat, bahwa jika kita bertindak dengan tergesa-gesa, maka kita akan masuk ke dalam perangkap."
Dalam pada itu, seorang yang bertubuh tinggi kekar, berdada bidang dan berkumis melintang menyambung, "Sebenarnya kita tidak perlu berlaku seperti pengecut sekarang ini. Seolah-olah dengan ketakutan kita melihat-lihat, apakah ada lawan yang berbahaya bagi kita atau tidak. Jika kita memang berniat, kita dapat berbuat apa pun dan di mana pun."
"Kiai Kalang Wedung memang orang yang paling dungu yang aku kenal," sahut Ki Bajang Garing. "Aku sudah ragu-ragu, kenapa Carangsoka memilih Kalang Wedung untuk bersama-sama melakukan tugas yang rumit tetapi tidak banyak manfaatnya ini."
"Bajang yang malang. Kau jangan mengigau sekarang ini."
"Tidak ada kesempatan untuk saling membanggakan diri dengan sombong sekarang," potong Gandu Demung, "kita melihat tugas kita yang sulit. Kita tidak boleh menjadi pengecut. Tetapi kita bukan orang dungu yang tidak berperhitungan. Karena itu, maka kita akan mengambil sikap. Sikap sebagai seorang yang mempunyai nalar yang utuh, tetapi bukan sikap seorang pengecut."
Kiai Kalang Wedung mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa. Katanya, "Kau mempunyai sifat watak seperti ayahmu. Ternyata kau memiliki kelebihan dari saudaramu. Tetapi kau agaknya keras kepala dan kurang menghargai orang lain. Itulah yang lain dari ayahmu, karena ayahmu justru terlalu memperhatikan pendapat orang lain, sehingga dalam banyak hal tidak berani mengambil keputusan."
"Sekarang kita berbicara tentang tugas kita," potong Gandu Demung.
Kiai Kalang Wedung dari Hutan Pengarang masih saja tertawa.
Sejenak Gandu Demung termangu-mangu. Namun ia masih tetap pasti, bahwa Kiai Kalang Wedung akan tetap membantunya dengan baik. Ketika ia datang menemuinya di Hutan Pengarang, ternyata ia tidak mengalami kesulitan apa pun juga. Ia tidak perlu menunjukkan kemampuannya untuk mengatasi orang-orang yang merasa dirinya berilmu tinggi, karena demikian ia memperkenalkan diri, langsung Kiai Kalang Wedung berkata, "O, jadi kau anak yang luar biasa itu" Apalagi kau sekarang berada di dalam lingkungan Empu Pinang Aring."
Sehingga dengan demikian, maka semuanya berlangsung tanpa kesulitan. Kiai Kalang Wedung langsung menyatakan kesanggupannya bekerja tersama untuk tugas yang rumit itu bersama Ki Bajang Garing.
Seperti yang diduga oleh Gandu Demung, Kiai Kalang Wedung memang tidak merubah niatnya untuk membantunya menyelesaikan tugas itu. Meskipun kepada Gandu Demung ia berkata, "Mumpung aku mempunyai kawan yang berani mempertanggung-jawabkan tindakan yang berat dan agak kasar ini, karena dengan demikian kami berarti menantang Tanah Perdikan Menoreh dan sekaligus Kademangan Sangkal Putung. Dua daerah yang mempunyai pertimbangan nilai tersendiri di samping Pajang dan Mataram yang tumbuh menjadi semakin kuat."
Demikianlah maka beberapa orang yang datang mendahului ke Tanah Perdikan Menoreh untuk melihat keadaan dan justru turut mengawasi keamanannya, telah sependapat, bahwa Tanah Perdikan Menoreh benar-benar sudah diliputi oleh kesiagaan yang penuh, meskipun tidak jelas nampak pada pasukan pengawal yang berkeliaran. Namun menurut pertimbangan mereka, maka untuk melakukan sesuau di atas Tanah Perdikan Menoreh, akibatnya akan dapat menyulitkan.
"Kita tidak akan melakukan di sini," berkata Gandu Demung setelah mendengarkan beberapa pendapat, "kita akan menyusur ke Timur dan melihat keadaan di sepanjang jalan ke Sangkal Putung."
"Ya. Kita akan melihat-lihat, di mana kita dapat melakukan tugas ini sebaik-baiknya," jawab Ki Bajang Garing.
"Kita akan berangkat besok. Menurut pendengaran kami iring-iringan pengantin akan berangkat besok pula dari Sangkal Putlung," berkata Kiai Kalang Wedung.
"Kita akan kehilangan kesempatan untuk berpapasan dengan mereka. Mungkin di saat kita melintasi Mataram, mereka justru sedang beristirahat di Mataram apabila mereka akan singgah."
"Jadi?" "Kita akan berangkat sekarang. Kita akan bertemu dengan mereka di hutan Tambak Baya. Hanya ada satu jalur jalan. Dan kita tidak akan meleset lagi. Kita tentu akan berpapasan dengan mereka. Jika kita ternyata terlampau cepat, kita akan bermalam di Hutan Tambak Baya satu malam."
Iblis Gila Pembangkit Arwah 1 Trio Detektif 36 Misteri Hilangnya Putri Duyung Istana Yang Suram 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama