Ceritasilat Novel Online

Api Di Bukit Menoreh 6

04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja Bagian 6


Demikianlah ketika Dandun memberikan isyarat sekali lagi maka mulailah mereka bergeser mendekati semak-semak. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan orang-orangnya yang masih harus bertempur melawan para pengawal. Agaknya orang-orangnya masih belum mengalami banyak kesulitan karena mereka masih cukup. Tetapi satu dua orang pengawal Sutawijaya yang berdatangan akhirnya telah mendesak mereka semakin jauh.
Pada saat yang tepat, Dandun pun segera meloncat masuk ke dalam semak-semak bersama kedua adiknya. Yang seorang terpaksa harus dipapah oleh adiknya yang lain, sedang Dandun sendiri berusaha menahan Sutawijaya yang mendesaknya terus.
Ketika kemudian Dandun lenyap pula di dalam semak-semak, sedang Sutawijaya dengan beberapa pengiringnya akan mengejarnya terus, dan bahkan kemudian Untara pun telah meloncat mendekat pula, terdengar Ki Gede berteriak memanggil.
Sutawijaya tertegun sejenak. Demikian juga Untara dan pengawalnya yang mengiringinya.
"Jangan kau kejar mereka, Sutawijaya," berkata Ki Gede dengan nada yang dalam.
Sutawijaya memandang ayahnya sejenak. Namun kemudian ia berlari mendekatinya sambil bertanya, "Ayah, bagaimana dengan luka Ayah?"
Untara pun terkejut melihat keadaan Ki Gede Pemanahan. Agaknya darah telah terlampau banyak keluar dari luka itu. Dengan demikian betapa pun tinggi ilmunya, namun kekuatan jasmaniahnya memang terbatas. Dan itu adalah ciri kelemahan manusia. Betapa pun ia memiliki bekal dan kekuatan diarena kekerasan jasmaniah, namun pada batasnya, ia tidak akan mampu melampauinya. Dan ternyata bahwa ilmu yang betapa pun juga tingginya, tidak akan mampu mengatasi kesulitan yang timbul akibat terlampau banyaknya darah yang mengalir dari luka.
Dengan dada yang berdebar-debar, Untara pun kemudian mendekatinya, sementara Ki Lurah Branjangan yang telah hadir pula di tempat itu segera mengambil pimpinan melawan orang-orang dari Gunung Lawu yang masih memberikan perlawanan.
"Sutawijaya," berkata Ki Gede Pemanahan, "jangan kau kejar orang-orang itu," suaranya terengah-engah.
"Ayahanda," Sutawijaya menjadi cemas.
"Untara," berkata Ki Gede pula, "mereka ternyata memiliki kemampuan yang jauh berada di atas kalian. Kalian tidak dapat mengejar dan berusaha menangkap mereka. Yang akan terjadi tentu akan sebaliknya. Sedang aku sendiri, dalam keadaan seperti ini, tentu tidak akan mungkin pula mengejar mereka."
Untara dan Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Kemudian mereka membantu Ki Gede yang dengan kaki gemetar mencoba duduk di atas sebuah batu.
"Tubuhku menjadi lemah oleh darah yang keluar."
"Apakah Ayahanda tidak membawa obat untuk memampatkan darah itu?"
Ki Gede menggelengkan kepalanya.
"O, aku membawa Ki Gede," tiba-tiba Untara berdesis.
Dari kantong ikat pinggang kulitnya, Untara mengambil sekantung kecil serbuk yang berwarna kehitam-hitaman. Serbuk yang dibuat dari sarang laba-laba hijau yang dikeringkan setelah dibasahi dengan getah batang pisang kapok, dicampur dengan sarang tawon telutur bersabuk putih.
Dengan tidak menghiraukan hiruk-pikuk pertempuran, maka Untara pun mencoba membersihkan luka Ki Gede Pemanahan dan mencoba mengobatinya.
Sementara itu, ternyata bahwa kekuatan orang-orang yang berusaha menyingkirkan Ki Gede Pemanahan itu, telah hampir kehilangan kesempatan untuk mempertahankan diri. Apalagi ketika mereka melihat bahwa pemimpin-pemimpin mereka yang masih hidup telah melarikan diri.
Dengan demikian, maka mereka masing-masing tidak menganggap perlu lagi untuk mempertaruhkan nyawa. Jika pemimpin-pemimpin mereka meninggalkan arena, maka mereka tidak lagi mempunyai kuwajiban untuk bertahan sampai mati.
Karena itulah, maka meskipun tidak ada di antara mereka yang kemudian memegang pimpinan, namun perasaan yang tumbuh itu rasa-rasanya tidak berbeda yang satu dengan yang lain.
Demikianlah ketika salah seorang dari mereka tidak tahan lagi menghadapi tekanan para pengawal, baik mereka yang datang dari Jati Anom, maupun dari Tanah Mataram, sehingga tanpa menghiraukan apa pun lagi berusaha untuk melarikan diri, maka ternyata yang lain pun tanpa mendapat perintah dari siapa pun juga, segera meloncat berlari meninggalkan arena.
Beberapa orang di antara mereka tidak sempat meloncat lebih dari sepuluh langkah, karena lawan yang mengejarnya berhasil menghunjamkan senjatanya di punggung. Tetapi ada juga di antara mereka yang berhasil melintasi gerumbul-gerumbul perdu dan mencoba melepaskan diri dari kejaran lawannya.
Namun tiba-tiba saja mereka terkejut ketika mereka melihat beberapa ekor kuda yang menghambur datang ke arah mereka. Mereka yang berkuda itu adalah prajurit yang telah dihimpun dengan tergesa-gesa di Prambanan. Karena prajurit yang ditempatkan di Prambanan memang tidak begitu banyak, sehingga mereka memerlukan waktu untuk menghimpun diri.
Tujuh orang dari sepuluh prajurit yang ditempatkan di Prambanan berhasil dikumpulkan dan dengan tergesa-gesa menuju ke tepian Kali Opak. Tetapi agaknya mereka sedikit terlambat. Mereka hanya menemukan lawan yang sedang melarikan diri.
Namun ternyata nasib orang-orang yang melarikan diri itu memang terlampau jelek. Hampir tidak ada kesempatan sama sekali untuk tetap hidup, kecuali satu dua orang yang berhasil bersembunyi sebaik-baiknya di bawah semak-semak dan kemudian merayap semakin menjauhi tepian Kali Opak, yang ternyata telah menjadi neraka bagi mereka itu.
Sejenak kemudian para prajurit dan pengawal itu pun telah berkumpul mengerumuni Ki Gede Pemanahan yang terluka. Dalam kesempatan itu Untara masih sempat mengumpati prajurit-prajuritnya yang terlambat.
"Kalian tidak bersikap seperti prajurit. Kalian bukan perempuan yang akan mengunjungi perhelatan perkawinan, sehingga kalian harus berkemas dan menghias diri setengah hari penuh. Tetapi kalian adalah prajurit. Sekarang kalian melihat akibat kelambatan kalian."
Para prajurit itu menundukkan kepalanya. Namun pengawal Untara yang berangkat dari Jati Anom dengan tergesa-gesa untuk berusaha menghentikan perjalanan Ki Gede Pemanahan itu pun mencoba menjelaskan, "Mereka bertebaran di beberapa tempat. Kami harus memanggil mereka seorang demi seorang."
"Kenapa mereka bertebaran?"
"Mereka pada umumnya membantu para petani mengerjakan sawahnya, atau membantu kerja yang lain yang dapat mereka lakukan, karena di dalam keadaan yang rasa-rasanya sudah tenang, mereka tidak mempunyai tugas yang berat."
"Kalian memang bodoh. Kenapa kalian harus menunggu sampai kalian berkumpul sejumlah tujuh orang" Kenapa kalian tidak pergi lebih dahulu meskipun hanya seorang atau dua orang. Demikian berturut-turut sehingga dengan demikian keadaan akan menjadi semakin baik?"
Tidak seorang pun yang menjawab.
"Jika kalian menghadapi pasukan segelar sepapan dalam gelar perang yang mapan, memang kalian tidak akan mungkin berangkat satu atau dua orang saling mendahului. Tetapi berhadapan dengan perampok-perampok yang apalagi kalian tahu bahwa sudah ada prajurit sebelum kalian yang mendahului, kalian harus cepat berpikir."
Prajurit-prajurit itu hanya menundukkan kepalanya saja.
"Kedatanganmu sudah terlambat. Jauh terlambat," geram Untara.
Sutawijaya yang berada di sisi Untara hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia pun akan membentak-bentak demikian jika ia menyaksikan kelambatan pengawal-pengawalnya.
Untara kemudian tidak menghiraukan mereka lagi. Kini ia mendekati Ki Gede Pemanahan. Sambil berjongkok di sebelahnya ia berkata, "Bagaimana dengan Ki Gede kemudian" Apakah Ki Gede ingin beristirahat dahulu di Prambanan?"
Ki Gede yang masih duduk di atas sebuah batu merenung sejenak, lalu sambil menggeleng ia menjawab, "Terima kasih, Untara. Tetapi aku tidak akan berhenti di perjalanan. Aku akan meneruskan perjalananku sampai ke Mataram. Bukankah Mataram sudah tidak jauh lagi?"
"Jaraknya memang sudah tidak begitu jauh Ki Gede. Tetapi Ki Gede masih harus melintasi hutan dan menyeberangi sungai."
Tetapi Ki Gede tertawa. Katanya, "Aku tidak akan menyeberangi Kali Sore seperti Arya Penangsang."
Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa Ki Gede adalah prajurit yang keras hati. Karena itu, maka ia pun tidak dapat memaksa lagi. Apalagi ketika Sutawijaya berkata, "Jika sekiranya Ayahanda menghendaki, kami akan menjaga Ayahanda sebaik-baiknya di perjalanan. Tetapi seandainya Ayahanda ingin beristirahat barang sejenak di Prambanan, terserah kepada Ayahanda."
Ki Gede Pemanahan memandang Sutawijaya dan Untara berganti-ganti. Keduanya adalah anak muda. Keduanya adalah prajurit-prajurit pilihan yang mempunyai harapan untuk menggantikan para senapati yang telah menjadi semakin tua seperti Ki Gede Pemanahan sendiri.
Namun terasa hati Ki Gede Pemanahan justru menjadi pedih seperti luka-lukanya yang menjadi agak pampat.
Kedua anak-anak muda itu rasa-rasanya berdiri di atas ujung yang berseberangan.
"Akulah yang telah memisahkan Mataram dari Pajang," berkata Ki Gede Pemanahan di dalam hatinya.
Dan baru sejenak kemudian Ki Gede itu berkata, "Untara. Baiklah aku meneruskan perjalananku saja. Aku berterima kasih kepadamu, karena langsung atau tidak langsung kau telah menyelamatkan jiwaku. Alangkah sakitnya mati di antara para perampok yang ganas dan liar itu."
"Ki Gede," berkata Untara, "aku sekedar menjalankan tugasku. Tetapi Ki Gede Pemanahan pun telah menyelamatkan aku, dan bahkan karena itu Ki Gede telah terluka."
Ki Gede tersenyum. Katanya, "Kita telah melakukan tugas kita masing-masing. Kemudian sampaikan ucapan terima kasihku kepada Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang telah dengan susah payah mengirimkan utusan kepadamu dan memerintahkan kau dengan pengawal-pengawalmu melindungi perjalananku."
"Akan aku sampaikan, Ki Gede," jawab Untara.
"Nah, sekarang aku minta diri. Sutawijaya telah datang bersama beberapa orang pengawal sehingga aku tidak perlu cemas lagi di perjalanan seandainya orang-orang itu masih berusaha untuk melakukan tugas yang dibebankan kepadanya. Karena agaknya mereka akan mendapat upah yang cukup banyak dari orang-orang yang menugaskan itu."
"Ya, Ki Gede, dan sudah barang tentu aku tidak perlu mencemaskan perjalanan Ki Gede lagi. Namun apabila Ki Gede perlu beristirahat itulah yang harus mendapat perhatian Ki Gede di sepanjang perjalanan. Sebaiknya Ki Gede memperhatikan keadaan Ki Gede yang rasa-rasanya menjadi kekurangan darah."
"Ya, ya Untara. Aku akan memperhatikan tubuhku yang agaknya tidak mengalami banyak gangguan karena lukaku.
Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya kepada Sutawijaya, "Raden, perjalanan masih jauh. Tidak bagi para prajurit dan pengawal, tetapi bagi Ki Gede yang terluka, keadaannya tentu berbeda."
"Aku akan selalu mengingatnya, Kakang Untara," jawab Sutawijaya.
Demikianlah maka mereka pun segera berpisah. Ki Gede Pemanahan yang terluka bersama Sutawijaya dan para pengawalnya kembali ke Mataram. Sedang Untara masih harus mengurusi korban yang jatuh di dalam pertempuran itu dan membawa orang-orangnya yang terluka ke Prambanan.
Namun dalam pada itu Untara yang teringat lagi akan kelambatan prajurit-prajuritnya, kembali membentak-bentak dan mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Sedang para prajuritnya hanya dapat mendengarkannya dengan kepala tunduk.
Baru setelah mereka selesai dengan tugas mereka, para pengawal itu pun membawa kawan-kawannya yang menjadi korban dan yang terluka ke Prambanan.
Dalam pada itu perjalanan Ki Gede Pemanahan ke Mataram menjadi semakin lambat. Sutawijaya yang berangkat pagi-pagi benar dari Mataram tanpa membawa kuda-kuda mereka, karena mereka sudah memperhitungkan, bahwa apabila terjadi sesuatu atas Ki Gede, kemungkinan hal itu akan dilakukan oleh orang-orang yang berusaha menyingkirkan Ki Gede di sekitar Alas Tambak Baya atau bahkan di mulut Alas Mentaok. Tetapi mereka sudah berjalan agak lebih jauh, karena mereka telah sampai di daerah Prambanan.
Namun Sutawijaya bertekad, seandainya tidak dijumpainya Ki Gede di Prambanan, maka ia akan terus sampai ke gerbang kota Pajang dengan penyamarannya itu.
Tetapi ternyata Sutawijaya menjumpai ayahandanya di Tepi Kali Opak.
Di perjalanan kembali ke Mataram, Ki Gede yang naik di atas punggung kudanya yang berjalan perlahan-lahan, sempat menceriterakan bagaimana ia harus berhadapan dengan orang-orang yang agaknya telah menunggunya di pinggir Kali Opak.
"Siapakah sebenarnya mereka Ayahanda?" bertanya Sutawijaya.
"Mereka tidak penting bagi kita. Tetapi siapakah yang ada di belakang mereka itulah yang harus mendapat perhatian."
"Satu dua orang dari mereka yang tertangkap hidup itu akan dapat memberikan keterangan."
Ki Gede menggelengkan kepalanya. Katanya, "Pengalaman kita sudah cukup meyakinkan, bahwa orang-orang itu tidak tahu-menahu kecuali pemimpin-pemimpinnya."
"Ayahanda melarang aku mengejar orang yang aku anggap sebagai pemimpin mereka."
"Sudah aku katakan, mereka bukan lawanmu. Kaulah yang akan dijebaknya. Dan kau, meskipun bersama Untara sekali pun tidak akan dapat melawan mereka."
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Jika ayahnya telah berkata demikian, maka ia tidak dapat membuat penilaian lain karena ayahandanya adalah orang yang memiliki pengamatan yang telah masak.
Namun dalam pada itu, perasaan Sutawijaya mulai diganggu oleh angan-angannya tentang sikap Sultan Hadiwijaya. Tetapi ia tidak berani bertanya kepada ayahnya yang sedang terluka itu, bagaimanakah hasil pembicaraannya saat ia menghadap ayahanda angkatnya untuk membicarakan gadis Kalinyamat itu.
Demikianlah, meskipun lambat, namun iring-iringan itu pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan Tanah Mataram. Mereka menyeberangi Alas Tambak Baya dan kemudian Alas Mentaok yang masih belum dibuka.
Di sepanjang perjalanan, iring-iringan itu sama sekali tidak menjumpai gangguan apa pun lagi. Dandun dan anak buahnya sama sekali tidak bermaksud melanjutkan usaha mereka untuk membunuh Ki Gede Pemanahan. Keadaan mereka sudah terlampau parah. Seorang dari keempat saudara itu sudah terbunuh. Yang seorang terluka, sehingga hampir kehabisan darah. Sedang orang-orang yang dibawanya sudah hampir habis musna. Satu dua orang yang berhasil melepaskan diri, berlari tanpa arah.
Karena itulah maka gangguan satu-satunya di perjalanan adalah luka Ki Gede Pemanahan. Meskipun luka itu sudah pampat, tetapi rasa-rasanya tubuh Ki Gede Pemanahan menjadi semakin lemah.
Namun, akhirnya mereka pun sampai juga dengan selamat. Ketika iring-iringan itu memasuki gerbang, maka para pengawal tercenung sejenak, melihat bahwa Ki Gede Pemanahan terluka di pundaknya.
"Siapakah yang berhasil melukai Ki Gede Pemanahan?" bertanya salah seorang di antara para pengawal.
"Anak dungu," desis kawannya di sebelahnya.
"Siapa" Aku benar-benar tidak mengerti."
"Tidak seorang pun di antara kita yang mengerti," jawab kawannya itu.
Pengawal yang mula-mula bertanya itu mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah jawaban kawannya itu telah memberikan kepuasan padanya.
Namun dalam pada itu, di antara para pengawal yang tidak mengerti apakah yang sebenarnya sudah terjadi, ternyata telah tumbuh berbagai tafsiran. Bahkan ada di antara mereka yang saling berbisik, "Apakah kemurkaan Sultan di Pajang sampai pada puncaknya, sehingga langsung dengan tangannya sendiri melukai Ki Gede Pemanahan?"
Kawannya mengerutkan, keningnya. Namun ia pun menyahut, "Kemarahan yang tidak terkendali memang dapat menumbuhkan sikap yang tidak seimbang. Mungkin sekali Kanjeng Sultan di Pajang tidak dapat mengekang diri. Tetapi jika demikian Ki Gede Pemanahan tentu tidak akan dibiarkan kembali ke Mataram"
"Dengan sengaja Ki Gede dilemparkan kembali ke Mataram agar Raden Sutawijaya melihat kedaannya."
"Apakah ini berarti suatu permulaan dari pemisahan Mataram dari Pajang dan yang sudah barang tentu akan diikuti oleh tindakan-tindakan Pajang lebih lanjut atas Mataram?"
Kawannya menggelengkan kepalanya. Katanya, "Kita tidak mengetahuinya. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Tetapi agaknya kita memang harus mempersiapkan diri. Ki Gede Pemanahan telah menjadi kurban, karena Raden Sutawijaya tidak dapat mengendalikan dirinya."
Namun segala kesimpang-siuran itu pun segera berakhir. Para pengawal yang mengiringi Ki Gede, setelah Ki Gede Pemanahan memasuki halaman rumahnya, maka sebagian dari mereka pun tinggal di regol. Dari mulut merekalah kemudian tersebar ceritera tentang Ki Gede Pemanahan yang terluka itu.
"Jadi ada orang yang mampu melukai Ki Gede Pemanahan?" bertanya seorang prajurit hampir tidak percaya.
"Tidak hanya satu orang."
"Berapa orang?"
"Mula-mula empat orang yang tiada tandingnya. Tetapi seorang dari mereka harus melawan Untara yang datang membantu Ki Gede. Tiga orang itulah."
"Siapakah mereka bertiga" Tentu orang-orang sakti pula."
"Ya. Ternyata mereka berhasil melukai Ki Gede Pemanahan," dan pengawal itu pun menceriterakan apa yang dilihatnya dan apa yang didengarnya dari kedua pengawal Ki Gede yang mengikutinya sejak Ki Gede berangkat dari Mataram.
"Jadi luka itu bukan hukuman yang diberikan oleh Kanjeng Sultan."
"Sama sekali bukan."
Para pengawal Mataram yang mendengar ceritera itu pun menjadi heran. Menurut pengawal yang dua itu, Kanjeng Sultan Pajang tidak berbuat apa-apa, meskipun mereka tidak tahu pasti keseluruhan persoalan.
Namun mereka pun menjadi panas mendengar bahwa ada orang yang telah mencegat Ki Gede dan melukainya. Ki Gede bagi mereka adalah pemimpin, orang tua dan Panglima yang tiada bandingnya.
Tetapi mereka telah dihadapkan pada suatu kenyataan. Dan mereka pun membayangkan bahwa orang-orang yang telah melukai Ki Gede itu pun adalah orang-orang yang luar biasa pula.
"Raden Sutawijaya dan Untara sama sekali tidak boleh mengejar mereka ketika mereka melarikan diri," berkata pengawal yang telah ikut bertempur.
"Kenapa?" "Justru karena keduanya tidak akan dapat mengimbangi kemampuan orang-orang itu."
"Kenapa tidak seluruh pasukan?"
"Yang lain masih harus bertempur dengan pengawal-pengawal orang-orang yang telah melukai Ki Gede itu."
Orang-orang yang mendengar ceritera itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Ternyata bahwa di luar Mataram masih ada juga orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Namun hampir di luar sadar mereka, mereka pun menilai para senapati yang masih ada di Pajang. Di Pajang tentu tidak hanya satu dua orang saja yang memiliki kemampuan seperti Ki Gede Pemanahan. Apalagi para bupati dan adipati yang masih tetap setia kepada Pajang sampai saat itu.
Para pengawal Mataram itu telah didorong untuk menilai keadaan mereka. Menilai kekuatan Mataram dibandingkan dengan Pajang.
"Seperti sebuah mentimun dibandingkan dengan sebuah durian," berkata para pengawal itu di dalam hatinya
Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa Mataram memang sudah berdiri. Mataram semakin lama menjadi semakin ramai dan semakin besar.
"Mataram harus membina dirinya sendiri," tekad itu agaknya telah bergetar di jantung para pengawal.
Dalam pada itu, Ki Gede Pemanahan langsung memasuki bagian dalam rumahnya. Sutawijaya yang cemas memapahnya dan membawanya ke dalam biliknya. Perlahan-lahan dilayaninya Ki Gede duduk di pembaringannya.
Dengan nafas yang terengah-engah Ki Gede berkata, "Ternyata aku masih sempat sampai ke bilik ini lagi."
Sutawijaya yang kemudian duduk pula di sebuah dingklik kayu di sebelah Ki Lurah Branjangan pun bergeser mendekat. Katanya, "Sebaiknya Ayah beristirahat sepenuhnya. Ayahanda tidak usah memikirkan apa pun juga yang terjadi. Baik di Mataram maupun di Pajang."
Ki Gede menganggukkan kepalanya. Namun jawabnya, "Aku tidak apa-apa Sutawijaya. Lukaku tidak begitu parah."
"Tetapi Ayahanda kelihatan sangat letih."
"Ya. Aku memang letih sekali."
"Aku akan memanggil dukun yang paling baik yang ada di Mataram untuk mengobati luka Ayahanda."
Ki Gede merenung sejenak, lalu, "Lukaku tidak apa-apa, Sutawijaya."
"Meskipun demikian, tetapi luka itu harus diobati."
Ki Gede Pemanahan tidak menyahut. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia kemudian berdesis, "Aku akan berbaring."
Sutawijaya kemudian membantu Ki Gede yang berbaring sambil berdesis. Lukanya tidak begitu terasa sakit. Tetapi karena darahnya yang terlampau banyak mengalir dari luka itu sebelum dipampatkan, maka rasa-rasanya tubuh Ki Gede menjadi lemah sekali.
"Aku akan tidur," berkata Ki Gede.
"Para pelayan sedang menyiapkan minuman panas dan makan bagi Ki Gede," berkata Ki Lurah Branjangan.
"Terima kasih," Ki Gede berdesis, lalu, "aku memang haus sekali."
Ki Lurah Branjangan pun segera pergi ke luar untuk memanggil pelayan yang tengah menyiapkan makan dan minum Ki Gede Pemanahan.
Ki Lurah Branjangan pun kemudian membawa semangkuk minuman hangat ke dalam bilik dan dengan hati-hati membantu Ki Gede yang bangkit sejenak untuk menghirup minuman yang terasa menyegarkan tubuhnya.
"Apakah Ki Gede juga akan makan?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Suruhlah menyediakan, Ki Lurah," sahut Ki Gede.
Ki Lurah Branjangan pun kemudian pergi ke luar bilik itu untuk menyediakan makan bagi Ki Gede pemanahan.
Sementara itu, tinggal Sutawijaya-lah yang masih ada di dalam bilik ayahnya yang sedang berbaring diam itu.
"Sutawijaya," berkata Ki Gede Pemanahan itu perlahan-lahan, "apakah kau tidak ingin mendengar ceritera perjalananku pada saat aku menghadap Kanjeng Sultan Pajang?"
Sutawijaya menundukkan kepalanya. Ada keinginannya untuk mendengar sikap Sultan Pajang, tetapi ada juga keragu-raguan di dalam hatinya.
Namun demikian ia kemudian menjawab, "Tentu, Ayahanda."
"Baiklah, Sutawijaya. Yang penting, bahwa sikap dan keputusan yang diambil oleh Kanjeng Sultan di Pajang itu jauh berbeda dengan angan-anganku pada saat aku berangkat. Namun justru karena itu, aku telah mengalami kejutan yang tiada taranya."
Sutawijaya masih tetap menundukkan kepalanya. Ki Gede pun kemudian menceriterakan perjalanannya menghadap Sultan Pajang, dan sekaligus sikap dan keputusan yang diambil oleh Sultan Pajang itu.
"Jika aku dihukum, rasa-rasanya kesalahanku telah aku bayar lunas. Tetapi kini Sultan Pajang seolah-olah membiarkan aku selalu dikejar oleh perasaan bersalah dan berhutang budi," berkata Ki Gede kemudian.
Sutawijaya masih tetap duduk diam di tempatnya.
Ki Gede pun kemudian mengisahkan perjalanannya kembali, dan diceriterakannya pula pertempuran yang terjadi di tepi Kali Opak itu sejak permulaan sampai Sutawijaya datang.
Dengan saksama Sutawijaya mendengarkan ceritera ayahandanya. Dicobanya untuk mengurai persoalan yang telah terjadi itu.
"Itulah sebabnya aku merasa bahwa hutangku kepada Sultan Pajang rasa-rasanya menjadi semakin bertimbun," desis Ki Gede kemudian.
Tetapi ternyata Sutawijaya tidak menanggapinya. Bahkan keningnya nampak berkerut membayangkan ketegangan di dalam dadanya.
Ki Gede Pemanahan dapat menangkap sesuatu yang lain di dalam diri Sutawijaya sehingga ia pun kemudian bertanya, "Apakah kau mempunyai penilaian yang lain Sutawijaya?"
Sutawijaya menjadi ragu-ragu. Karena itu, ia tidak segera menyahut. Bahkan rasa-rasanya keringat dinginnya mulai mengalir di tubuhnya. Dengan susah payah ia berusaha untuk mengarahkan angan-angannya sendiri, sesuai dengan tanggapan Ki Gede Pemanahan. Namun setiap kali telah memercik tanggapan yang jauh berbeda.
Ki Gede Pemanahan menunggu sejenak. Namun terasa bahwa memang ada sesuatu yang lain pada anak laki-lakinya itu.
"Sutawijaya," berkata Ki Gede kemudian, "kenapa kau diam saja?"
"O," Sutawijaya tergagap. Dengan serta-merta ia ber-desis, "begitulah, Ayahanda."
"Kau tidak berkata sebenarnya," tiba-tiba saja Ki Gede bergumam seakan-akan kepada diri sendiri, "ada sesuatu yang berbeda dengan penilaianmu."
"Tidak. Tidak ada yang lain, Ayahanda."
"Sutawijaya," suara Ki Gede menjadi dalam, "aku orang tua, Sutawijaya. Aku dapat membedakan tanggapan seseorang. Jika yang aku katakan sesuai dengan perasaanmu, maka tanggapanmu tentu akan langsung terungkap di dalam kata-kata dan sikapmu. Tetapi agaknya bukan begitu. Sikapmu, kata-katamu dan bayangan wajahmu menunjukkan yang lain itu kepadaku."
Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk semakin dalam.
"Katakanlah sutawijaya. Aku tetap menganggapmu bahwa, kau sudah cukup dewasa untuk menentukan sikap. Mungkin sikap kita sekarang ada yang berbeda. Itu tentu wajar, karena aku dan kau adalah dua pribadi yang terpisah. Jika sampai saat ini di antara kau dan aku tidak ada perbedaan apa-apa, itu bukan karena setiap persoalan menimbulkan tanggapan yang sama di dalam hati kita, tetapi justru karena kau adalah anakku, yang di dalam beberapa hal tentu akan menurut saja pendapatku dan sikapku daripada bersikap atas pribadimu sendiri."
Sutawijaya tidak segera menjawab.
"Sutawijaya," Ki Gede melanjutkan, "daripada sampai masa yang panjang hal ini akan tetap merupakan teka-teki bagiku, maka sebaiknya, katakanlah. Bagaimanakah sikapmu atas persoalan ini."
Sutawijaya masih ragu-ragu.
"Sutawijaya," berkata Ki Gede pula, "bukankah kau sudah berani menyatakan perbedaan sikapmu pada saat aku pergi ke Pajang" Kau tetap pada pendirianmu, bahwa kau tidak akan bersedia pergi, dan kau tetap pada sikap itu ketika aku pergi seorang diri dengan dua orang pengawal. Meskipun ternyata kemudian firasatmu telah menuntun kau menyongsong aku pulang, dan menemukan aku dalam bahaya. Tetapi betapa pun juga kau tetap tidak mau menghadap ke Pajang."
Sutawjaya mengangguk kecil.
"Nah, sekarang kau dapat menyatakan pendapatmu pula?"
"Ayahanda," suara Sutawijaya dalam, "aku mohon maaf, Ayahanda, bahwa aku memang mempunyai tanggapan lain atas peristiwa yang baru saja terjadi."
Ki Gede Pemanahan menarik keningnya, lalu katanya, "Bukankah hal itu wajar" Nah, katakanlah."
"Ayahanda, apakah Ayahanda percaya bahwa Ayahanda Sultan di Pajang benar-benar tidak marah karena peristiwa itu?"
Ki Gede Pemanahan berpikir sejenak. Namun pengalamannya dan pengenalannya atas Sutawijaya segera membimbingnya pada suatu kesimpulan tentang sikap Sutawijaya. Karena itulah maka dadanya menjadi berdebar-debar.
"Apakah yang kau maksudkan sebenarnya, Sutawijaya" Apakah kau menganggap bahwa Sultan Hadiwijaya hanya sekedar berpura-pura saja?"
"Ayahanda. Jika Ayahanda Sultan Hadiwijaya benar-benar tidak marah dan tidak mengambil tindakan apa pun terhadap aku, itu pertanda bahwa Ayahanda Sultan Hadiwijaya tidak adil. Ia menandai pemerintahannya dengan kepentingan diri sendiri."
"Kenapa mementingkan diri sendiri" Bukankah dengan demikian justru menunjukkan bahwa ia seorang Raja yang berjiwa lapang?"
"Tidak, Ayah. Ia hanya mementingkan diri sendiri. Mementingkan keluarganya sendiri, karena aku adalah anaknya, meskipun sekedar anak pungut. Apakah Sultan Hadiwijaya akan berbuat sama jika yang melakukan itu orang lain" Bukan keluarganya, bukan anak angkatnya?"
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Lalu, "Kau tentu belum selesai, teruskan."
Sutawijaya justru termangu-mangu. Namun kemudian katanya, "Ya, Ayah. Aku memang belum selisai." Sutawijaya menelan ludahnya, lalu, "Seharusnya seorang raja yang adil menghukum siapa saja yang bersalah."
"Kau juga minta dihukum?"
"Setidak-tidaknya ada keputusan bahwa aku harus dihukum. Mungkin aku akan melarikan diri atau mengambil sikap yang lain."
"Sutawijaya," berkata Ki Gede, "tentu kau masih ingat, apa yang dilakukan olea Sultan Hadiwijaya semasa ia masih selalu dibayangi oleh perpecahan dan perang saudara. Arya Penangsang telah mengirimkan beberapa orang, bahkan dengan pertanda kebesaran Jipang, pusaka keris yang disebutnya Brongot Setan Kober. Orang-orang itu berhasil memasuki bilik tidur Sultan Hadiwijaya. Tetapi mereka gagal membunuh. Bahkan kemudian mereka dapat ditangkap. Kau ingat?"
"Ayahanda-lah yang menangkapnya."
"Aku beserta beberapa orang prajurit," sahut Ki Gede. "Namun ternyata orang-orang itu juga tidak dihukum. Orang-orang itu masing-masing menerima hadiah dari Kanjeng Sultan."
"Tetapi nilai hadiah itu sangat berbeda dari ujudnya. Hadiah itu justru suatu alat untuk merendahkan Pamanda Arya Penangsang. Justru hadiah itu suatu hukuman yang paling berat bagi Pamanda"
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Sutawijaya memang bukan anak-anak lagi. Ia memiliki pengamatan yang tajam. Hadiah bagi orang-orang yang akan membunuh Sultan Hadiwijaya itu memang salah satu cara yang dipergunakan oleh Sultan Hadiwijaya untuk membakar hati Arya Penangsang, yang memang seorang yang mudah sekali menjadi marah dan kehilangan pertimbangan yang bening.
"Karena itu, Ayahanda," berkata Sutawijaya, "apakah kita yang mengenal Ayahanda Sultan sejak lama dapat menganggap bahwa sikapnya itu sebagai suatu sikap yang jujur?"
Ki Gede termenung sejenak. Namun dengan hati yang suram ia berkata, "Kau benar, Sutawijaya. Memang saat itu Sultan Hadiwijaya sengaja melemparkan tantangan bagi Arya Penangsang karena kemarahannya, bahwa Arya Penangsang telah mencoba membunuhnya. Tetapi aku kira kali ini ia berbuat lain. Aku melihat pengampunan yang tulus memancar dari sorot matanya."
"Adalah sangat sulit membedakan, yang manakah yang dinyatakan dengan tulus dan jujur, dan yang manakah yang sekedar untuk memancing pertengkaran seperti yang dilakukan terhadap pesuruh Arya Penangsang. Sureng yang mendapat tugas untuk membunuhnya itu memang tidak berharga sama sekali bagi Ayahanda Sultan sehingga mereka tidak perlu dibunuhnya, dan justru dipergunakan sebagai alat untuk memancing kemarahan Pamanda Arya Penangsang."
"Sutawijaya," suara Ki Gede menurun, "kau terlampau berprasangka terhadap ayahandamu. Bagi kita Sutawijaya, apakah keuntungan Sultan untuk berbuat dengan pura-pura. Pada masa pertentangan antara Pajang dan Jipang, keadaan belum meyakinkan seperti sekarang ini. Pajang belum terlampau kuat, dan Jipang masih nampak besar. Sikap para Adipati masih belum pasti, sehingga Sultan Hadiwijaya harus sangat berhati-hati menghadapi Jipang. Tetapi tidak dengan Mataram. Mataram tidak lebih dari sebuah ranti masak yang berada di sisi sebuah durian. Jika durian itu berguling, maka akan lumatlah buah ranti itu."
"Tidak, Ayahanda. Di Mataram ada Ayahanda. Dan Ayahanda adalah orang yang sangat disegani di Pajang. Para Adipati mengakui kelebihan Ayahanda sebagai seorang panglima. Dan kini Ayahanda masih tetap merupakan hantu bagi mereka dan akhirnya juga bagi Pajang. Itulah sebabnya, maka Ayahanda-lah yang pertama-tama harus disingkirkan."
"Maksudmu?" "Ayahanda. Semua pihak berusaha untuk menarik Ayahanda. Orang-orang Panembahan Agung pun berusaha untuk memperalat Ayahanda. Mereka ingin menangkap aku hidup-hidup. Bukan karena aku mereka anggap orang penting, tetapi mereka ingin memeras Ayahanda dengan mempergunakan aku sebagai taruhan."
Ki Gede Pemanahan tidak segera menyahut. Karena itu Sutawijaya berkata selanjutnya, "Ayahanda, maafkan aku, Ayahanda, bahwa aku mempunyai prasangka buruk terhadap sikap Ayahanda Sultan Hadiwijaya terhadap Ayahanda Pemanahan."
Ki Gede masih merenung sejenak. Namun kemudian yang nampak pada sikap yang keras dari anak laki-lakinya itu adalah kesalahannya sendiri. Kesalahan Ki Gede Pemanahan sendiri. Pada saat perasaannya melonjak tidak terkendali, dan dengan diam-diam ia meninggalkan Pajang kembali ke Sela, maka pada saat itulah ia mulai meracuni hati Sutawijaya dengan ketidak-percayaan lagi kepada ayahanda angkatnya, Sultan Hadiwijaya.
Dengan demikian maka penyesalan itu terasa semakin pedih menusuk hatinya.
"Sutawijaya," berkata Ki Gede Pemanahan kemudian, "aku sudah dapat membaca sikap dan tanggapanmu. Seperti yang dilakukan terhadap beberapa orang petugas yang dikirim oleh Arya Penangsang untuk membunuh Sultan itulah maka ia bersikap sekarang. Namun seandainya ia berhasil memancing kemarahanmu, apakah yang dimaksudkannya" Apakah ia mengharap kau marah, lalu dengan serta-merta mengangkat senjata untuk melawan Pajang, sehingga dengan demikian Sultan mempunyai alasan untuk menggilas Mataram yang sedang tumbuh ini?"
Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Ada sesuatu yang masih tersangkut di dalam dadanya. Tetapi ia ragu-ragu untuk mengucapkannya.
Ki Gede Pemanahan menangkap keragu-raguan itu. Karena itu maka katanya, "Sutawijaya, jika masih ada persoalan yang belum kau katakan, katakanlah sampai tuntas. Aku akan mencoba mengerti."
Sutawijaya tidak segera menyahut. Namun nampak wajahnya menjadi tegang.
Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Sutawijaya menjadi sangat gelisah. Ia ragu-ragu untuk menentukan sikap. Apakah ia akan mengatakan tanggapannya atas semua peristwa yang telah terjadi atau tidak.
Dalam pada itu, sebelum Sutawijaya mengatakan sesuatu. Ki Lurah Branjangan pun kemudian masuk ke dalam bilik itu sambil berkata, "Ki Gede. Makan telah tersedia. Apakah para pelayan harus membawarya masuk ke dalam bilik" Aku kira itu akan lebih baik bagi Ki Gede. Ki Gede tidak usah pergi ke ruang dalam, karena agaknya Ki Gede masih nampak terlampau letih."
Ki Gede termenung sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah, Ki Lurah. Suruhlah para pelayan membawa makanan itu masuk. Aku akan makan di dalam bilik ini."
Ki Lurah Branjangan pun kemudian keluar untuk memanggil para pelayan. Sementara itu, Sutawijaya diam saja sambil menundukkan kepalanya. Ada sesuatu yang masih terasa menyangkut di dalam dadanya
Sejenak Ki Gede Pemanahan berdiam diri. Ia menunggu agar Sutawijaya mengatakan sesuatu yang masih tersisa dihatinya. Tetapi Sutawijaya tidak mengatakan sesuatu.
"Sutawijaya," berkata Ki Gede, "masih ada waktu sebelum aku makan."
Sutawijaya masih saja ragu-ragu sehingga nampaklah pada sikap dan wajahnya bahwa sesuatu memang masih tersangkut didadanya,
"Katakanlah, Sutawijaya," desak Ki Gede.
"Ayahanda," berkata Sutawijaya, "memang masih ada sesuatu di hatiku. Tetapi aku ragu-ragu mengatakannya. Mungkin aku salah. Tetapi aku seakan-akan melihat, bagaimana hal itu sudah terjadi."
Ki Gede Pemanahan memandang wajah anaknya sejenak, lalu, "Sebutlah."
Sutawijaya memandang pintu sejenak seakan-akan ia tidak ingin ada orang yang yang mendengarnya, meskipun ia Ki Lurah Branjangan sekalipun.
Baru setelah ia yakin tidak ada seorang pun diluar pintu, maka ia pun berkata, "Ayahanda, seakan-akan aku melihat, bahwa yang terjadi di Prambanan itu adalah akibat dari sikap Ayahanda Sultan Hadiwijaya."
"Sutawijaya," desis Ki Gede Pemanahan dengan wajah yang tegang. Bahkan di luar sadarnya ia berusaha bangkit. Namun kemudian ia terbaring lagi dengan lemahnya.
Sutawijaya bergeser maju. Sambil menahan lengan Ki Gede ia berkata, "Ayahanda. Sebaiknya Ayahanda tetap berbaring."
"O," Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian dengan nafas terengah-engah, seakan-akan ia baru saja selesai bertempur melawan orang-orang dari kaki Gunung Lawu, "katakan Sutawijaya."
Sutawijaya menjadi semakin ragu-ragu. Namun ayahandanya mendesak, "Katakanlah, supaya aku tidak keliru menafsirkan dugaanmu itu."
"Ayahanda," berkata Sutawijaya, "memang pada bentuk lahiriahnya Ayahanda Sultan Hadiwijaya memaafkan segala kesalahanku. Tetapi mustahil bahwa Ayahanda demikian saja melupakan gadis dari Kalinyamat itu."
"Jadi?" "Ayahanda sudah mengatur semuanya. Juga orang yang berada di Kali Opak itu."
Ki Gede Pemanahan diam bagaikan membeku. Hatinya serasa dibebani oleh berbagai macam persoalan yang hampir tidak dapat dipikulnya.
"Ayahanda, itulah sebabnya maka Untara hanya datang dengan pengawalnya yang sangat terbatas. Sedang pengawal-pengawalnya yang lain baru menyusul setelah terlambat."
"O," Ki Gede menekan dadanya.
"Maaf, Ayahanda. Aku tidak tahu, apakah aku benar. Tetapi seolah-olah aku yakin, bahwa sebenarnya Ayahanda Sultan sejak semula sudah tidak bersikap jujur terhadap kita."
"Kenapa kau berpendirian begitu?"
"Ayahanda. Kenapa Ayahanda tidak segera memenuhi janjinya kepada kita. Hanya kepada kita, sedangkan janjinya yang lain sudah dipenuhi" Kenapa kitalah yang harus menerima daerah yang masih berupa hutan belukar dan apalagi Alas Mentaok. Kenapa bukan daerah yang sudah terbuka seperti Pati. Dan kenapa justru Pamanda Penjawi-lah yang menerima daerah itu lebih dahulu dari kita, itu pun jika Ayahanda Pemanahan tidak memaksa, daerah ini tidak akan diserahkannya."
"Sutawijaya." "Dan kini, semuanya sudah sampai ke puncaknya. Memang aku merasa bersalah. Aku telah berhubungan dengan gadis yang sebenarnya telah disengker oleh Ayahanda Sultan. Tetapi, apakah seimbang, bahwa karena gadis itu Ayahanda Pemanahan harus dilenyapkan?"
"Kau salah Sutawijaya, kau salah," suara Ki Gede agak mengeras. Namun kemudian suara menurun lagi, "Kau mempunyai tangkapan terlampau jauh atas sikap ayahandamu Sultan Pajang. Barangkali sudah pernah aku katakan kepadamu, bahwa aku menyesali perbuatanku yang tergesa-gesa pada waktu itu."
"Maksud Ayahanda?"
"Sebenarnya buat apa Sultan mengingkari janjinya" Apalagi atas Alas Mentaok, sedangkan Pati yang ramai itu pun sudah diserahkannya kepada Adi Penjawi," berkata Ki Gede. "Sutawijaya, barangkali sudah pernah aku katakan pula, bahwa sikap Sultan itu justru karena ia menganggap kau benar-benar sebagai anaknya. Bahwa bukan saja Alas Mentaok, tetapi mungkin sudah ada tempat yang diperuntukkan bagimu, bagi puteranya."
"Tentu tidak, Ayahanda. Aku hanya sekedar anak angkatnya."
"Tetapi kenapa kau berprasangka sampai sedemikian jauh, Sutawijaya."
"Semuanya itu berdasarkan atas pengenalanku terhadap sifat dan sikap Ayahanda Sultan Hadiwijaya selama ini."
"Tetapi kau salah sama sekali. Kali ini pun kau salah menilai keadaan seperti kesalahan yang pernah aku lakukan, sehingga aku meninggalkan Pajang. Untara adalah seorang prajurit jantan. Seandainya semuanya itu hanyalah permainan saja. Untara tidak akan sampai pada ujung nyawanya karena hampir saja ia terbunuh. Sehingga karena itulah maka pusakaku aku lepaskan dan mematuk salah seorang dari lawan Untara yang garang itu."
Sutawijaya menundukkan kepalanya. Tetapi seakan-akan ia sama sekali tidak mempercayainya, ia tetap menganggap semuanya itu sebagai suatu permainan yang sempurna.
Itulah yang membuat Ki Gede Pemanahan sangat bersedih.
Ki Gede sudah dapat menangkap seluruh tanggapan Sutawijaya atas peristiwa yang terjadi itu. Sutawijaya menganggap bahwa sikap Sultan Hadiwijaya, yang seakan-akan memaafkan kesalahannya itu, sebagai sifat berpura-pura. Sementara itu, ia menyiapkan sekelompok orang yang harus membunuh Ki Gede Pemanahan. Untara harus berpura-pura menolongnya, tetapi prajuritnya mengalami kelambatan sehingga Ki Gede tidak dapat diselamatkan. Kemudian Sultan mengharap Sutawijaya menjadi marah dan dengan serta-merta mengangkat senjata melawan Pajang.
Dengan demikian, seandainya Sutawijaya dan Mataram yang baru berkembang itu hancur, maka persoalannya bukan semata-mata karena persoalan gadis yang seakan-akan telah dicuri oleh Sutawijaya itu.
Ki Gede Pemanahan berdesis tertahan. Bukan karena pedih lukanya, tetapi pedih di hatinya.
Sementara itu, maka Ki Lurah Branjangan pun memasuki ruangan itu bersama para pelayan yang telah menyediakan makan bagi Ki Gede Pemanahan.
Tetapi ternyata Ki Gede sama sekali tidak berminat untuk makan. Ketika dipaksanya dirinya bangkit perlahan-lahan dilayani oleh Ki Lurah Branjangan, dan menyuapi mulutnya dengan sesuap nasi, rasa-rasanya nasi itu tidak dapat lewat di kerongkongannya.
Sambil menggelengkan kepalanya Ki Gede berkata, "Aku belum ingin makan."
"Ki Gede," berkata Ki Lurak Branjangan, "sebaiknya Ki Gede makan meskipun hanya sedikit. Dengan demikian kekuatan tubuh Ki Gede akan menjadi bertambah baik."
"Aku sudah mengerti, Branjangan. Aku juga sering menasehati demikian itu kepada orang lain yang sedang sakit. Tetapi ternyata mereka pun tidak dapat memaksa diri menyuapi mulut mereka."
Ki Lurah Branjangan tidak dapat memaksa lagi. Karena itu ia pun kemudian duduk saja sambil merenungi Ki Gede yang sedang sakit.
Namun bagi Ki Lurah Branjangan, terasa bahwa sebenarnya Ki Gede tidak sedang menahan sakit di lukanya. Nampaknya Ki Gede justru tidak menghiraukan lukanya sama sekali.
"Tentu ada sesuatu yang mengganggu perasaannya," berkata Ki Lurah Branjangan di dalam hati. "Agaknya perasaannya terasa lebih sakit dari lukanya itu sendiri."
Tetapi Ki Lurah Branjangan tidak berani menanyakannya kepada Ki Gede Pemanahan maupun kepada Raden Sutawijaya, karena ia tahu, bahwa persoalannya tentu berkisar kepada gadis Kalinyamat itu.
Setelah sejenak mereka saling berdiam diri, maka Ki Gede Pemanahan pun kemudian berkata, "Ki Lurah, suruhlah para pelayan menyingkirkan makanan itu. Tetapi biarlah mangkuk minuman itu tetap di situ."
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain.
Setelah para pelayan menyingkirkan makanan yang seakan-akan tidak disentuh oleh Ki Gede, maka Ki Gede pun kemudian berkata, "Aku akan mencoba untuk beristirahat. Karena itu, tinggalkan aku sendiri."
Ki Lurah Branjangan dan Raden Sutawijaya pun kemudian meninggalkan bilik itu. Dengan hati yang bimbang Sutawijaya berdiri sejenak di muka pintu. Namun kemudian ia pun melangkah pergi.
Sejenak anak muda itu merenungi dirinya sendiri. Ia pun menjadi heran, kenapa kepercayaannya kepada Ayahanda Sultan Hadiwijaya itu seolah-olah telah lenyap sama sekali. Sejak ayahandanya, Ki Gede Pemanahan memutuskan untuk meninggalkan Pajang, rasa-rasanya setiap tindakan, setiap keputusan dan kata-kata dari Sultan Hadiwijaya tidak lagi dapat dipercayainya.
Raden Sutawijaya terkejut ketika Ki Lurah Branjangan menggamitnya. Kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, "Apakah yang telah membuat Ki Gede nampaknya menjadi semakin murung?"
Raden Sutawijaya tidak segera menjawab.
"Apakah aku tidak boleh mendengarnya?"
Sutawijaya masih ragu-ragu. Namun kemudian ia bertanya, "Ki Lurah. Apakah masih ada sisa kepercayaan kita kepada Ayahanda Sultan Hadiwijaya?"
Ki Lurah menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku tidak mengerti maksud Raden."
Raden Sutawijaya menarik nafas. Katanya, "Aku kira kau menggelengkan kepalamu karena kau sependapat dengan aku."
"Aku masih belum mengerti."
"Ki Lurah. Apakah kita masih dapat menganggap Sultan Hadiwijaya itu mengambil keputusan dengan jujur sejak kita meninggalkan Pajang dan membuka Alas Mentaok."
"Kenapa tidak, Raden."
"Jadi kenapa kau meninggalkan Pajang?"
"Raden," berkata Ki Lurah Branjangan, "Sultan Hadiwijaya bukannya tidak lagi dapat dipercaya. Tetapi menurut pendapatku. Sultan Hadiwijaya itu sudah berhenti. Batas kebesaran Pajang sudah tidak akan lagi berkembang. Maksudku, bukannya luas daerahnya, atau kekuasaannya atas rakyatnya. Tetapi Pajang tidak dapat membangun dirinya sendiri. Karena Sultan telah berhenti, maka gairah rakyatnya pun berhenti. Pajang tidak lagi berusaha membangun dirinya. Bendungan yang pecah tidak lagi mendapat perbaikan. Jalan yang terputus dibiarkannya. Penduduk yang berkembang tidak diimbangi dengan perkembangan tanah persawahan dan pategalan. Karena itulah, maka aku mencari tempat yang lebih hidup. Lebih banyak bergerak dan menggelegak. Dan aku menemukan tanah yang baru tumbuh ini. Tanah Mataram."
Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Ki Lurah Branjangan dengan wajah yang tegang. Namun kemudian Raden Sutawijaya itu melontarkan tatapan matanya ke kejauhan.


04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Paman," berkata Raden Sutawijaya dengan nada datar, "ternyata aku mempunyai pendapat yang lain dengan Paman dan ayahanda. Tetapi aku tidak akan berpendapat bahwa pendapatkulah yang benar. Untuk sementara biarlah kita ada di dalam perbedaan itu. Mungkin di saat lain pendapat kita akan bertemu."
"Maksud Raden?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
"Aku meragukan kejujuran Ayahanda Sultan Hadiwijaya."
"Itu wajar sekali, Raden," berkata Ki Lurah Branjangan, "tetapi sebaiknya Raden memperhatikan perkembangannya lebih lanjut." Ki Lurah Branjangan berhenti sejenak, lalu, "Maksud Raden tentang keputusan Ayahanda Sultan Hadiwijaya?"
Raden Sutawijaya tidak segera menjawab.
"Mungkin memang belum saatnya Raden mengatakannya kepadaku. Tetapi agaknya ada sesuatu yang kurang sesuai antara Raden dan Ayahanda Ki Gede Pemanahan."
Raden Sutawijaya masih tetap berdiam diri.
"Baiklah, Raden menenangkan hati. Aku juga akan menghadap ayahanda dan mohon agar Ki Gede mencoba mengendapkan perasaannya. Ki Gede adalah seorang tua yang memiliki pengalaman lahir dan batin yang cukup luas."
Raden Sutawijaya masih saja tidak menyahut.
"Sudahlah, Raden. Silahkan beristirahat. Raden pun tentu juga letih."
Sutawijaya kemudian ditinggalkan oleh Ki Lurah Branjangan seorang diri. Hatinya yang memang sedang risau itu rasa-rasanya menjadi semakin risau. Ia diombang-ambingkan oleh gejolak perasaannya yang kadang-kadang tidak sejalan dengan nalarnya.
Tiba-tiba saja Raden Sutawijaya teringat kata-kata Ki Lurah Branjangan. Betapa pun juga, kelemahan ayahanda Sultan memang pada kelemahannya kini. Ia seakan-akan memang telah berhenti. Ia telah dijerat oleh kamukten yang membuatnya kehilangan gelora di masa mudanya.
Selagi masih muda, Sultan Hadiwijaya yang juga disebut Mas Karebet, dan juga dinamai Jaka Tingkir itu memiliki gelora yang bagaikan menyala-nyala di dalam dadanya. Seorang anak muda yang meledak-ledak dalam pencaharian dan pencapaian. Dan itulah yang telah menarik perhatian Sultan Trenggana dan mengangkatnya menjadi hamba yang sangat dekat padanya.
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Seakan-akan ia telah mengulangi apa yang terjadi atas Sultan Hadiwijaya semasa mudanya. Dengan diam-diam Jaka Tingkir telah berhubungan dengan puteri Sultan Trenggana di Demak.
"Tetapi Sultan Trenggana mengusirnya dengan marah," geram Raden Sutawijaya di dalam hatinya, "kenapa Sultan Hadiwijaya tidak mengusirku" Apalagi gadis itu bukan sekedar anaknya, tetapi justru akan diperisterikannya."
Raden Sutawijaya menghentakkan tangannya. Dan ia pun berkata di dalam hatinya. "Jaka Tingkir yang juga disebut Mas Karebet itu dapat kembali ke istana karena ia berhasil menunjukkkan kemampuannya. Bukan sekedar karena belas kasihan. Apalagi belas kasihan yang tidak jujur dan sekedar merupakan perangkap."
Tetapi Sutawijaya menjadi berdebar-debar. Ia mulai ragu-ragu atas prasangkanya sendiri, bahwa yang terjadi adalah perangkap semata-mata.
"Persetan," Raden Sutawijaya menggeram, "apa pun yang terjadi, tetapi Mataram harus menjadi lanjutan dari gejolak dan gairah hidup yang pernah terpancar pada permulaan masa kekuasaan Sultan Hadiwijaya. Mataram tidak akan membiarkan Pajang berhenti. Seandainya Pajang akan berhenti, maka harus ada usaha agar perjuangannya dapat dilanjutkan, Mataram harus membangun dirinya menjadi negara besar. Lebih besar daripada Pajang tanpa menyerap kekuasaan yang ada di Pajang dengan paksa."
Terasa jantung Raden Sutawijaya bergetar. Ia tidak lagi ingin dikungkung oleh perasaan kecewa dan gusar karena belas kasihan atau karena perangkap yang telah dipasang oleh Sultan Pajang. Yang penting baginya, seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah Branjangan, adalah membangun Mataram di segala segi kehidupannya.
Tanpa sadar Raden Sutawijaya berdiri. Dipandanginya dedaunan hijau di halaman. Bayangan batang pepohonan yang bergerak-gerak disentuh angin.
"Di sinilah aku sudah mulai," berkata Sutawijaya di dalam hatinya, "dan kerena itu, aku tidak boleh berkisar. Apa pun yang akan terjadi."
Tekad itulah yang kemudian seakan-akan selalu memanasi darahnya. Darah mudanya yang menggelegak bagaikan mendidih.
"Darah ini tidak boleh membeku seperti darah Ayahanda Sultan Hadiwijaya betapa pun besar usahaku yang akan berhasil nanti. Mataram harus berkembang terus. Mataram harus membangun dirinya tanpa mengenal batas waktu."
Dalam pada itu, peristiwa yang terjadi di tepi Kali Opak itu pun menjadi bahan pembicaraan di Jati Anom. Setelah Untara kembali bersama prajurit-prajuritnya, dan bahkan dengan beberapa orang korban, maka timbullah berbagai tanggapan atas kejadian itu.
Namun ada di antara mereka yang memang sengaja ingin mengeruhkan keadaan. Orang-orang itulah yang menyebarkan ceritera ngayawara. Ceritera yang sengaja untuk membakar hati orang-orang Pajang dan terlebih-lebih mereka tidak senang melihat Mataram mulai berkembang. Ceritera yang dianyam dan diramu menjadi sebuah ceritera yang menarik dalam susunan yang sempurna.
Untara sendiri terkejut ketika pada suatu saat seorang perwira bawahannya datang kepadanya dan bertanya, "Bagaimanakah yang sebenarnya terjadi di Kali Opak itu?"
Untara tidak segera menjawab. Tetapi karena wajah perwira itu nampak bersungguh-sungguh, maka ia pun kemudian menjawab, "Seperti yang pernah aku ceriterakan. Bukankah aku pernah mengatakan kepadamu dan kepada kawan-kawan kita semua."
Perwira itu mengangguk-angguk. Namun ada sesuatu tersembunyi di balik tatapan matanya.
"Apakah ada sesuatu yang kurang mapan?" bertanya Untara.
"Kakang Untara," berkata perwira itu, "di antara kita telah jatuh korban. Untunglah beberapa korban itu bukan Kakang Untara sendiri, meskipun Kakang Untara hampir menjadi korban pula."
"Ya," sahut Untara dengan ragu-ragu.
"Kakang. Bukan maksudku untuk mengaburkan ceritera Kakang Untara. Tetapi sementara orang mempunyai ceritera lain. Apalagi di Pajang. Bukankah Kakang tahu, bahwa aku baru saja datang dari Pajang."
"Apa kata orang-orang yang ada di Pajang?"
"Seakan-akan mereka tidak percaya bahwa orang-orang yang berada di Kali Opak itu adalah penjahat yang berusaha membinasakan Ki Gede Pemanahan. Mereka berpendapat, bahwa orang-orang itu sebenarnyalah orang-orang Ki Gede Pemanahan sendiri."
"Ah," desis Untara, "tidak. Aku tahu pasti. Mereka adalah orang-orang yang menghendaki kematian Ki Gede Pemanahan."
"Darimana kau tahu?"
"Aku mendapat perintah langsung untuk menyelamatkan Ki Gede."
"Apakah itu bukan sekedar pancingan saja agar kau dengan tergesa-gesa datang ke Kali opak."
"Maksudnya?" "Kau adalah senapati yang disegani di daerah ini. Kau adalah seorang prajurit yang kini bertanggung jawab atas daerah Selatan. Dan daerah Selatan ini adalah jalur lurus antara Pajang dan Mataram."
Untara mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeram, "Setan. Aku tahu maksudnya. Ceritera itu tentu mengatakan bahwa Ki Gede Pemanahan telah menyuruh seseorang memberitahukan kepadaku, seolah-olah perintah langsung dari Kanjeng Sultan Hadiwijaya. Hal itu tidak sulit bagi Ki Gede, karena Ki Gede adalah bekas Panglima tertinggi di Pajang. Kemudian Ki Gede menyiapkan sekelompok orang-orang yang siap menunggu di pinggir Kali Opak. Dengan demikian, kematianku seakan-akan sama sekali tidak ada hubungannya dengan Ki Gede. Bahkan justru pada saat aku berusaha menyelamatkan Ki Gede."
"Ya, begitulah kira-kira."
BUKU 80 "NAH, JIKA KAU meragukan kebenarannya, kau dapat menemui utusan itu. Ia masih hidup sampai sekarang. Orang itu tentu akan dapat mengatakan bahwa ia ditugaskan langsung oleh Kanjeng Sultan atas dasar laporan petugas sandi. Jika kau masih belum yakin, ajaklah orang itu menghadap Kanjeng Sultan, agar kau tahu pasti bahwa perintah itu datang dari Kanjeng Sultan."
Perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Jadi apakah maksud ceritera yang menyimpang dari peristiwa yang sebenarnya itu, Kakang?"
"Kau tentu tahu, bahwa ada orang-orang yang dengan tajam menentang berdirinya Mataram. Aku tahu, bahwa mereka selalu berusaha untuk membakar permusuhan antara Pajang dan Mataram. Setiap persoalan yang dapat dipergunakan sebagai alasan, tentu akan dipergunakannya. Dan kini, aku pula yang disangkutkannya." Untara berhenti sejenak, lalu, "Tetapi bantulah aku. Ceriterakan yang sebenarnya terjadi. Jika ceritera yang tidak benar itu sudah terlampau jauh beredar, biarlah aku sendiri akan memberikan keterangan kepada para perwira dan prajurit, setidak-tidaknya yang ada di bawah kekuasaanku."
Perwira itu mengangguk. Namun masih juga nampak kebimbangan di sorot matanya. Tetapi agaknya ia dapat mengerti keterangan yang diberikan oleh Untara itu.
"Aku sendiri adalah seorang prajurit," berkata Untara, "secara pribadi aku tidak mempunyai persoalan dengan berdirinya Mataram. Tetapi jika aku mendapat perintah untuk berbuat sesuatu atas Mataram, maka sebagai prajurit aku akan melaksanakannya."
Perwira itu mengangguk sekali lagi.
"Nah, lupakan ceritera itu. Aku tahu pasti, bahwa hal itu tidak benar. Ki Gede Pemanahan sendiri justru terluka karenanya. Jika kedatangan Raden Sutawijaya dihubungkan dengan rencana itu, maka sudah barang tentu, rencana itu akan dapat dilaksanakan dengan sempurna, karena aku tidak akan dapat melawan mereka meskipun prajurit-prajurit dari Prambanan itu datang. Tetapi aku masih tetap hidup, dan, seperti yang aku ceriterakan, justru Ki Gede-lah yang menolong jiwaku di saat yang paling berbahaya."
"Baiklah, Kakang," berkata perwira itu, "aku akan berusaha untuk menceriterakan yang sebenarnya. Tetapi sikap dan tanggapan yang buruk atas Mataram rasa-rasanya semakin berkembang. Apalagi sejak gadis itu diketahui dengan pasti telah mengandung."
"Itu adalah persoalan Kanjeng Sultan. Agaknya kedatangan Ki Gede ke Pajang ada pula sangkut pautnya dengan gadis itu. Jika Kanjeng Sultan tidak mengambil tindakan apa pun, bagaimana mungkin justru kita yang akan menjatuhkan hukuman. Meskipun hanya sekedar kebencian?"
Perwira bawahan Untara itu mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti keterangan Untara. Dan sebenarnya ia memang lebih condong mempercayai Untara dari ceritera ngayawara tentang usaha Mataram untuk menjebak Untara, tetapi ternyata Untara masih tetap hidup.
Tetapi kebencian orang-orang Pajang terhadap Raden Sutawijaya memang semakin berkembang. Orang-orang mulai ragu-ragu dengan keperwiraan Ki Gede Pemanahan karena tingkah laku anaknya. Gadis yang mengandung itu adalah kemanakan Ratu Kalinyamat sendiri. Gadis itu adalah putera Sunan Prawata suami isteri yang telah mendahului Sunan Hadiri dan Kanjeng Ratu Kalinyamat karena dibunuh pula oleh utusan Arya Penangsang.
"Gadis itu adalah tetesan darah Sultan Demak, orang-orang yang dengan sengaja membakar kebencian terhadap Raden Sutawijaya menyebarkan setiap ceritera yang dapat menumbuhkan jarak antara Mataram dari Pajang. Tingkah laku Raden Sutawijaya itu telah mencemarkan nama baik keturunan Demak sendiri."
Ketika perwira bawahan Untara itu mengemukakannya kepada Untara, maka jawab Untara, "Coba pikirkan, manakah yang lebih baik bagimu. Apakah gadis itu menjadi isteri Raden Sutawijaya, atau menjadi isteri Kanjeng Sultan Hadiwijaya. Ingat, gadis itu adalah kemanakan langsung Permaisuri Pajang sekarang. Bukankah itu berarti bahwa gadis itu kemanakan Sultan pula."
Perwira itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun Untara pun berkata, "Sudahlah. Jangan persoalkan lagi. Kau harus dapat membantu menjernihkan keadaan. Aku berpendapat bahwa persoalan gadis itu harus ditutup sampai sekian." Tetapi suara Untara kemudian menurun, "Sekali lagi aku katakan, aku adalah seorang Senapati. Aku akan melakukan segala perintah Sultan Hadiwijaya. Apakah persoalannya menyangkut gadis itu atau tidak."
Perwira pembantunya tidak bertanya lagi. Ia menyadari bahwa Untara memang seorang prajurit. Tidak lebih dan tidak kurang. Karena itu ia pun harus bersikap serupa.
"Tetapi ada prajurit di Pajang yang tidak bersikap sebagai prajurit," berkata perwira itu di dalam hati. Dan ia melihat meskipun samar-samar bahwa prajurit-prajurit Pajang sudah mulai menempatkan dirinya dalam percaturan seluk-beluk pemerintahan yang semakin rumit dalam hubungan antara Mataram dan Pajang, justru mereka ingin mengail di air keruh.
Demikianlah ternyata di Pajang telah terjadi benturan-benturan sikap dari para pemimpinnya menghadapi Mataram. Ada di antara mereka yang acuh tidak acuh. Ada yang bersikap sebagai sikap seorang prajurit sejati, tetapi di antara mereka ada yang dengan sengaja mempertajam kebencian yang ada di antara dua daerah itu.
Sementara itu, Raden Sutawijaya mencoba melemparkan dirinya ke dalam kerja. Meskipun kadang-kadang terasa hatinya masih juga berdesir mengenang semua yang telah terjadi, namun ia berusaha melupakannya.
"Tetapi aku tidak boleh melupakan gadis dan anak di dalam kandungan itu," berkata Sutawijaya di dalam hatinya.
Dan seperti dikatakan oleh ayahandanya Ki Gede Pemanahan, maka Sultan Hadiwijaya mengharap agar ia bersikap baik dan bertanggung jawab atas gadis itu.
"Aku tidak akan ingkar," katanya di dalam hati. Namun dalam pada itu, Sutawijaya selalu tenggelam dalam usahanya untuk membuat Mataram menjadi sebuah negeri. Semua persoalan pribadinya dan masalah-masalah yang menyangkut keluarganya seakan-akan tidak pernah dihiraukannya lagi sebelum usahanya itu berhasil. Demikian pula dengan gadis yang sudah mengandung itu.
"Aku akan menjemputnya kelak, jika Mataram telah menjadi sebuah negeri. Aku akan menghadap Ayahanda Sultan Pajang dan akan menyembahnya di paseban sambil mempersembahkan usahaku. Mataram yang telah menjadi sebuah negeri. Selebihnya aku akan mengambil Semangkin dan anak di dalam kandungannya itu."
Karena itu, tidak ada persoalan apa pun yang dapat menahan Raden Sutawijaya. Ayahandanya pun jarang-jarang dapat menemuinya. Anaknya telah benar-benar tenggelam di dalam kerja.
Namun ternyata Sutawijaja tidak hanya melulu bekerja untuk membangun Mataram menjadi sebuah negeri. Kadang-kadang untuk beberapa hari ia tidak dapat dijumpai. Orang-orangnya di bagian Selatan menyangkanya ada di bagian Utara. Orang-orangnya di bagian Utara menyangkanya sedang memimpin pembukaan Hutan di bagian Barat. Sedang orang-orang yang ada di bagian Barat menduga bahwa Sutawijaya sedang ada di bagian Timur. Tetapi orang-orang di bagian Timur tidak melihat Sutawijaya untuk beberapa hari, dan menduga bahwa Sutawijaya sedang beristirahat.
Jika demikian maka Sutawijaya sedang berada di tengah-tengah hutan yang masih belum disentuh tangan. Mesu diri dalam olah kanuragan dan kajiwan. Sebagai seorang laki-laki yang memiliki kemampuan melampaui kebanyakan orang, maka Sutawijaya telah mengembangkan diri tanpa tuntunan seorang guru. Dengan dasar ilmu yang ada padanya, yang diwarisinya dari ayahandanya, ia telah menemukan pancadan untuk bertambah maju.
Namun kadang-kadang Sutawijaya tidak berbuat apa-apa sama sekali di dalam sepinya hutan yang lebat. Dengan duduk di atas cabang sebatang pohon, ia memperhatikan alam di sekelingnya. Alam yang nampaknya diam tetapi penuh dengan ketegangan perjuangan antara hidup dan mati dari penghuni-penghuninya.
Dan Sutawijaya mengambil sari dari kehidupan yang tersembunyi itu bagi bekal hidupnya sendiri. Kehidupan yang semata-mata alami dan dikendalikan oleh naluri itu, sebagai bekal dalam kehidupan akal yang ada di dalam dirinya.
Kadang-kadang Sutawijaya menemukan nilai-nilai yang pantas diserapnya di dalam hidupnya. Kadang-kadang Sutawijaya melihat betapa kejamnya kehidupan alami yang dikuasai oleh naluri semata-mata.
Raden Sutawijaya yang memiliki daya tangkap yang tajam itu berhasil menemukan bekal yang sangat berguna. Bukan saja di dalam kehidupannya, tetapi juga di dalam olah kanuragan. Derap kaki kijang, tangkapan tangan beberapa ekor kera yang berkejaran. Bahkan usaha seekor kancil melepaskan diri dari kuku harimau, sangat menarik perhatiannya dan memberikan kekayaan bagi unsur gerak di dalam olah kanuragan yang sedang disempurnakannya.
Meskipun demikian Raden Sutawijaya tidak melupakan tugasnya sebagai seorang pemimpin dari tanah yang sedang tumbuh dan berkembang. Setiap kali Sutawijaya sendiri memimpin penggalian susukan dan parit-parit yang membelah tanah yang akan dijadikan tanah persawahan. Sutawijaya sendiri memimpin pembuatan jalur-jalur jalan yang menghubungkan padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain.
Dengan demikian, maka beberapa kekecewaan atas kekerasan hati Raden Sutawijaya kadang-kadang dapat dihapus oleh kekerasan hatinya pula di dalam kerja.
Namun dalam pada itu, berbeda dengan Raden Sutawijaya yang menenggelamkan diri di dalam kerja, maka Ki Gede Pemanahan rasa-rasanya menjadi semakin lemah. Luka-lukanya memang menjadi berkurang. Tetapi rasa-rasanya perkembangan keadaannya itu sangat lambat. Bahkan kadang-kadang tanpa sebab apa pun juga, Ki Gede Pemanahan seakan-akan menjadi sangat sulit untuk bernafas. Dadanya menjadi sesak, dan kemudian terbatuk-batuk semalam suntuk.
Ki Gede Pemanahan adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Seorang Panglima yang disegani lawan di peperangan. Namun ia tidak dapat melawan dirinya sendiri yang dicengkam oleh kekecewaan, penyesalan, dan kecemasan.
Sekali-sekali terbayang juga di rongga matanya, wajah seorang gadis yang bersih dan bening. Dua orang gadis di kaki bukit Danaraja. Semangkin dan Prihatin. Keduanya adalah anak Sunan Prawata yang telah terbunuh, dan yang kemudian disusul oleh pamannya Sunan Hadiri.
Di kaki bukit Danaraja kedua gadis yang kemudian diberinya nama Pamikatsih dan Pamilutsih itu, dengan setia menunggui bibinya, Kanjeng Ratu Kalinyamat yang bertapa sebagai pernyataan tuntutan nuraninya atas kematian saudaranya suami isteri dan suaminya sendiri, tanpa mengenakan pakaian selembar pun, selain menutup tubuhnya dengan rambutnya yang terurai.
Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Masih pula terbayang, bagaimana Kanjeng Ratu Kalinyamat itu memanggilnya mendekat pada saat ia mengunjungi pertapaan itu.
"Maaf, Kanjeng Ratu. Hamba tidak dapat mendekat Kanjeng Ratu dalam keadaan seperti itu."
"Kemarilah, Kakang Pemanahan. Aku akan memberikan sesuatu kepadamu."
Ki Gede masih tetap ragu-ragu. Dan Kanjeng Ratu itu pun berkata pula, "Kakang, kau selama ini tidak pernah menolak permintaanku. Mendekatlah. Sekarang, kau pun tidak akan menolaknya."
Dengan ragu-ragu Ki Gede pun kemudian berjalan mundur mendekati Kanjeng Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa.
Ternyata dari Kanjeng Ratu Kalinyamat, Ki Gede Pemanahan mendapat sebentuk cincin. Cincin, yang memiliki perlambang bahwa siapa yang mengenakannya, akan menurunkan orang-orang besar di Pulau Jawa.
Ki Gede yang sedang berbaring di pembaringannya itu menarik nafas. Kenangan itu rasa-rasanya baru saja kemarin terjadi. Kini ia bersama anaknya sudah membuka daerah baru. Daerah yang diharapkannya akan tumbuh dan berkembang.
"Apakah Sutawijaya akan menjadi orang besar kelak?" Ki Gede bertanya kepada diri sendiri. Yang kemudian diteruskannya, "Mudah-mudahan. Mudah-mudahan Mataram dapat berdiri tegak dan anakku akan melanjutkan usahaku membuat Mataram besar. Dan agaknya ia sudah mulai sejak sekarang."
Ki Gede mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Terbayang pula Semangkin yang sudah mengandung. Perempuan itu akan melahirkan anak Raden Sutawijaya. Cucunya dan juga cucu Kanjeng Sunan Prawata.
Namun dalam pada itu, hampir setiap saat Ki Gede Pemanahan telah hanyut dalam dunia angan-angannya. Karena itulah maka keadaannya justru menjadi semakin buram.
Ki Lurah Branjangan yang setiap saat merawatnya menjadi gelisah. Sehingga pada suatu saat ia tidak dapat menahan kecemasannya dan memerintahkan seorang pengawal mencari Raden Sutawijaya.
"Carilah di seluruh sudut Tanah Mataram. Katakanlah bahwa aku memohon Raden Sutawijaya kembali barang sehari. Rasa-rasanya ayahandanya memerlukannya meskipun hanya sesaat."
Pengawal itu pun kemudian dengan tergesa-gesa meninggalkan pusat pemerintahan Tanah yang baru tumbuh itu mencari Raden Sutawijaya. Pengawal itu sadar, bahwa kadang-kadang Raden Sutawijaya mudah sekali dijumpai. Tetapi kadang-kadang harus dicarinya barang dua tiga hari.
Dari beberapa orang pengawal ia mendapat petunjuk bahwa Raden Sutawijaya berada di bagian Barat Alas Mentaok yang sedang dibuka itu. Namun ketika pengawal itu memacu kudanya menuju ke arah Barat, maka pengawal yang lain berkata, "Aku baru saja bertemu Raden Sutawijaya di bagian Selatan."
"Tentu tidak mungkin," sahut pengawal yang mencarinya, "orang yang memberi petunjuk kepadaku itu pun mengatakan bahwa Raden Sutawijaya berada di bagian Barat. Baru saja ia bertemu."
Pengawal yang merasa dirinya baru saja bertemu dengan Raden Sutawijaya itu merenung sejenak. Namun kemudian ia bergumam, "Mungkin. Memang mungkin Raden Sutawijaya yang baru aku lihat di bagian Selatan itu telah berpindah kebagian Barat."
"Ya. Menjelang tengah hari," sahut yang mencarinya.
"He," namun tiba-tiba pengawal yang menjumpai Raden Sutawijaya itu mengerutkan keningnya, "tentu tidak menjelang tengah hari. Tentu sesudah tengah hari."
"Kenapa" Yang menjumpai di sebelah Barat itu bukan kau. Tetapi pengawal itu. Dan ia tentu lebih tahu daripada kau."
"Nanti dulu," pengawal itu nampak berpikir dengan sungguh-sungguh. Kemudian katanya, "Aku menjumpai Raden Sutawijaya di bagian Selatan juga menjelang tengah hari."
"He" Kau tentu sedang bermimpi di tengah hari."
"Tidak. Aku tidak pernah bermimpi tanpa tidur. Aku yakin bahwa menjelang tengah hari aku bertemu dengan Raden Sutawijaya di atas seekor kuda berwarna hitam. Bahkan kemudian Raden Sutawijaya turun dari kudanya, berjalan menyusuri parit yang sedang digali. Dengan cemeti kecil ia menunjuk beberapa bagian yang harus disempurnakan. Dan dengan cemeti kecil itu pula Raden Sutawijaya menggores tanah membuat garis-garis batas dari parit itu di tikungan."
Pengawal yang sedang mencari itu menggeleng. Katanya, "Tidak. Pengawal yang baru saja datang dari bagian Barat itu melihat Raden Sutawijaya ikut membuat jalan yang membelah sebuah padukuhan kecil yang sedang berkembang karena beberapa orang penghuni baru telah berdatangan."
"Tidak," sahut lawannya berbicara.
Hampir saja keduanya bersitegang. Namun kemudian seorang pengawal yang lebih tua dari mereka datang menengahi sambil tersenyum, "Kalian memang bodoh."
"Kenapa?" bertanya kedua pengawal itu.
"Kenapa kalian bertengkar tentang Raden Sutawijaya?"
"Aku melihatnya. Dan aku membertahukan kepadanya. Tetapi ia tidak percaya."
"Tentu. Orang lain mengatakan bahwa ia bertemu dengan Raden Sutawijaya di bagian Barat."
"Keduanya benar," sahut pengawal yang lebih tua itu.
"He," kedua pengawal itu terkejut.
"Ya. Memang Raden Sutawijaya dapat saja berada di bagian Selatan dan di bagian Barat sekaligus."
"Aku tidak mengerti," desis pengawal itu.
"Raden Sutawijaya dapat berada di beberapa tempat dalam waktu yang sama."
"Ah." "Itu adalah pertanda bahwa anak muda itu memiliki ilmu yang tinggi. Kau tentu ingat, bahwa Ki Gede Pemanahan pun telah menggemparkan musuh-musuhnya ketika terjadi benturan bersenjata antara Pajang dan Jipang. Sebelum sampai pada saat terakhir sebagai puncak pertempuran di pinggir Bengawan Sore, maka pertentangan di beberapa tempat telah melibatkan adbmcadangan.wordpress.com Ki Gede Pemanahan dalam pertempuran-pertempuran itu. Ia ada di beberapa tempat dalam waktu yang sama, sehingga kadang-kadang prajurit Jipang saling berbantah sendiri, bahwa mereka telah bertempur melawan sekelompok prajurit di bawah pimpinan Ki Gede Pemanahan langsung."
Para pengawal yang mendengarkan pembicaraan itu berdiri dengan wajah yang tegang. Namun satu dua di antara mereka memang pernah mendengar ceritera semacam itu tentang Ki Gede Pemanahan. Dan kini mereka mendengar pula tentang Raden Sutawijaya.
Karena itu maka pengawal yang sedang mencari Raden Sutawijaya itu pun bertanya, "Jadi, jika demikian, kemana aku harus mencarinya. Apakah aku harus pergi ke Barat atau ke Selatan. Jika Raden Sutawijaya memang berada di kedua tempat itu, kepada Raden Sutawijaya yang manakah aku harus berhubungan. Karena tentu hanya ada satu saja di antara mereka yang tetap berpribadi."
"Ya. Satu di antara merekalah yang tetap berpribadi. Tetapi kepribadian itu pun memancar kepada yang lain."
"Sumbernya." "Itulah yang sulit. Tetapi rasa-rasanya bahwa mereka adalah satu. Kau dapat berhubungan dengan Raden Sutawijaya, yang mana pun juga."
Pengawal itu menjadi agak bingung. Namun, kemudian katanya, "Aku akan pergi ke Barat."
"Pergilah, Mudah-mudahan kau akan segera bertemu. Seperti kalian mengetahui, Raden Sutawijaya dapat berada di beberapa tempat pada suatu waktu, tetapi Raden Sjitawijaya pun dapat tidak berada di mana pun dalam suatu waktu."
Pengawal itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Desisnya, "Aku menjadi bingung. Tetapi biarlah aku mencarinya."
Sejenak kemudian maka pengawal itu pun telah berpacu pula. Tetapi karena jalan yang dilaluinya kemudian masih terlampau buruk, maka perjalanannya pun menjadi tidak begitu cepat lagi. Beberapa batang kayu masih melintang dijalan. Bahkan kadang-kadang kudanya harus berbelok lewat gerumbul-gerumbul liar disebelah jalan yang belum siap benar itu.
Di sepanjang perjalanannya, pengawal itu selalu dirisaukan oleh ceritera kawannya yang lebih tua. Ia tidak dapat mengerti bahwa Raden Sutawijaya dalam suatu waktu dapat berada di beberapa tempat. Tetapi dalam waktu yang lain sama sekali tidak ada di mana pun juga.
"Berbelit-belit," katanya di dalam hati, "pokoknya aku akan mencarinya. Menyampaikan pesan Ki Lurah Branjangan, mohon agar ia kembali barang sehari dua hari."
Pengawal itu melanjutkan perjalanan dengan hati yang berdebar-debar. Dipandanginya daerah yang masih sedang dikerjakan di bagian Barat dari Alas Mentaok yang sedang dibuka itu. Beberapa bagian telah menjadi padukuhan yang mulai berpenghuni.
"Tentu di sekitar padukuhan itu," berkata pengawal itu kepada diri sendiri.
Dalam setiap kesempatan pengawal itu mencoba untuk mempercepat perjalanannya. Kadang-kadang ia dapat berpacu agak cepat. Namun kemudian harus dengan sabar membiarkan kudanya berjalan perlahan-lahan.
"Di musim basah, daerah ini akan menjadi rawa-rawa," berkata pengawal itu di dalam hatinya. Namun ketika kemudian dilihatnya susunan parit yang mulai teratur, maka ia pun berkata pula kepada dirinya sendiri, "Tetapi agaknya daerah ini sudah dihubungkan dengan daerah-daerah yang lebih rendah dengan parit-parit, untuk membuang air yang tergenang di musim basah. Sedang dimusim kering, air dapat diangkat dari sungai-sungai kecil untuk mengaliri daerah yang sedang dibuka ini."
Pengawal itu pun langsung menuju ke tempat orang-orang yang sedang bekerja, membuat jalan yang menghubungkan padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain, membedah sebuah padukuhan kecil lainnya di antara kedua padukuhan itu.
Pengawal berkuda itu ternyata telah menarik perhatian para pekerja yang sedang giat membangun daerahnya itu. Salah seorang yang sudah setengah umur kemudian mendekatinya dan bertanya, "Ki Sanak, apakah ada sesuatu yang penting yang harus kau sampaikan kepada kami?"
"Aku mendapat perintah untuk menemui Raden Sutawijaya," jawab pengawal itu.
"O," orang setengah umur itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpaling. Katanya kepada seorang kawannya, "Pengawal ini ingin bertemu dengan Raden Sutawijaya."
"Bukankah Raden Sutawijaya baru saja pergi ke daerah Selatan?"
Orang setengah umur itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, "Oh, ya. Hampir aku lupa. Baru saja Raden Sutawijaya pergi ke daerah Selatan."
Pengawal itu menggigit bibirnya. Lalu katanya, "Orang-orang yang haru saja datang dari daerah Selatan memang mengatakan Raden Sutawijaya ada di sana. Tetapi bukan baru saja. Tetapi sudah sejak tadi."
"Ah," orang setengah umur itu berdesah, "mana mungkin. Baru saja Raden Sutawijaya ada di sini. Makan siang di sini, bersama dengan kami. Nasi jagung dengan jangan lembayung yang tadi pagi dipetik dari batang kacang panjang yang merambat di pagar sepanjang beberapa ratus patok mengelilingi daerah ini."
Pengawal itu mengerutkan keningnya.
Karena pengawal itu tidak segera menjawab, orang setengah umur itu melanjutkan, "Ketika perempuan-perempuan memetik lembayung itu, ternyata mereka mendapatkan tiga bakul penuh."
Pengawal itu pun kemudian memotong, "Ya. Ya. Tetapi aku harus bertemu dengan Raden Sutawijaya."
"Pergilah ke daerah Selatan. Mereka di sana sedang membuat sebuah parit induk. Tentu Raden Sutawijaya menunggui pembuatan parit induk itu."
"Apakah tidak mungkin pergi ke daerah Utara?"
"Raden Sutawijaya tidak mengatakan demikian. Dan barangkali pekerjaan di daerah Utara sudah lebih lancar. Jalan menuju ke padukuhan yang paling ujung sudah dapat dilalui. Dan parit-parit sudah mulai mengalir. Jika Raden Sutawijaya pergi ke Utara, hanyalah tinggal memberikan petunjuk untuk mengembangkan padukuhan-padukuhan itu. Memelihara yang sudah ada, dan hanya jika perlu saja melengkapinya dengan jalan-jalan dan parit yang baru. Tetapi pekerjaan di sana sudah tidak begitu banyak seperti di sini."
"Tetapi bagaimana dengan perluasan tanah persawahan" Apakah tidak ada pembukaan hutan baru di daerah Utara?"
"Untuk sementara sudah dihentikan. Daerah yang sudah terbuka ini masih harus digarap terus-menerus."
Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, "Baiklah, aku akan mencari Raden Sutawijaya ke Selatan."
Pengawal itu pun kemudian meloncat kepunggung kudanya dan memacunya meninggalkan daerah yang sedang dikerjakan itu. Tetapi setiap kali derap kaki kudanya terganggu, sehingga kadang-kadang kuda itu harus berjalan perlahan-lahan. Menyimpang dan meloncati batang-batang yang melintang.
"Bodoh sekali," geram pengawal itu, "seharusnya mereka membersihkan jalan-jalan ini lebih dahulu sebelum membuat perpanjangan dari jalur jalan ini."
Baru ketika pengawal itu sampai ke jalan yang sudah agak baik, maka kudanya pun berpacu lagi dengan kecepatan yang lebih tinggi.
Namun pengawal itu masih saja dipengaruhi oleh ceritera tentang Raden Sutawijaya yang dapat berada di beberapa tempat dalam waktu yang sama, tetapi juga dapat tidak ada di mana pun juga pada suatu waktu.
"Mudah-mudahan aku tidak mendapatkan Raden Sutawijaya sedang tidak ada di mana pun juga sekarang ini," katanya kepada diri sendiri.
Kudanya pun kemudian dipacu semakin cepat. Ia segera ingin mengetahui, apakah benar Raden Sutawijaya dapat lenyap untuk suatu saat.
Ketika di kejauhan dilihatnya sekelompok orang bekerja di tengah-tengah bulak, ia menjadi berdebar-debar. Orang-orang itu nampaknya masih terlampau kecil. Seperti lebah yang berkerumun di sarangnya.
Dengan demikian pengawal itu justru menjadi semakin bernafsu untuk mengetahui dengan segera, apakah Raden Sutawijaya ada di antara orang-orang itu atau tidak. Karena itulah maka kudanya pun dipacunya semakin cepat.
Beberapa langkah dari orang-orang yang sedang sibuk itu, kudanya dihentikannya. Dengan tergesa-gesa ia meloncat turun, sehingga hampir saja ia jatuh tertelungkup.
Orang-orang yang sedang bekerja itu pun terkejut melihat kehadirannya yang tergesa-gesa itu. Salah seorang dari mereka mendekatinya sambil bertanya, "Apakah ada sesuatu yang penting?"
Dengan berdebar-debar pengawal itu ganti bertanya, "Apakah Raden Sutawijaya ada di sini?"
Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, "Baru saja Raden Sutawijaya meninggalkan tempat ini."
"O," sepercik kekecewaan membayang di wajah pengawal itu. Namun kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya, "Tetapi, apakah Raden Sutawijaya sudah lama berada di tempat ini?"
Orang itu termangu-mangu. Jawabnya, "Sudah cukup lama Raden Sutawijaya telah cukup lama menunggui kerja kami menyelesaikan parit ini."
Pengawal itu menggigit bibirnya. Dipandanginya orang itu dengan wajah yang terheran-heran.
"Kenapa?" bertanya orang itu.
Pengawal itu masih bimbang. Lalu jawabnya kemudian, "Raden Sutawijaya baru saja meninggalkan lapangan kerja bagian Barat. Aku baru saja datang dari sana."
"Tentu bukan baru saja, Raden Sutawijaya sudah agak lama berada di sini."
Pengawal itu tidak ingin mempersoalkannya lagi. Lalu ia pun kemudian bertanya, "Apakah kau tahu, kemana perginya Raden Sutawijaya?"
Orang itu menggelengkan kepalanya. Katanya, "Aku tidak tahu. Raden Sutawijaya tidak mengatakan ke mana ia akan pergi."
"Di bagian Barat Raden Sutawijaya mengatakan, bahwa ia akan pergi ke Selatan."
"Kami tidak diberitahukannya. Yang kami dengar Raden Sutawijaya tidak akan bermalam di sini."
"Raden Sutawijaya ingin melihat purnama terbit malam nanti," tiba-tiba seseorang yang berambut putih memotong pembicaraan itu.
"O," sahut pengawal yang sedang mencarinya, "di mana?"
"Aku tidak tahu."
Pengawal itu menjadi bingung. Kemana ia harus mencari Raden Sutawijaya yang akan melihat bulan purnama yang terbit malam nanti.
Karena itu, maka pengawal itu pun kemudian minta diri. Ia harus menyampaikannya kepada Ki Lurah Branjangan, bahwa ia belum berhasil menemukan Raden Sutawijaya. Jika Ki Lurah Branjangan mengetahui kemanakah Raden Sutawijaya pergi untuk melihat purnama terbit, maka ia akan mencarinya menjelang malam.
Dengan demikian maka pengawal itu pun kemudian meninggalkan orang-orang yang sedang bekerja menyelesaikan saluran air itu, dan kembali ke pusat kota untuk menghadap Ki Lurah Branjangan.
"Aku tidak dapat menemukannya Ki Lurah," berkata pengawal itu.
"Kenapa?" "Aku sudah datang ke bagian Barat, karena menurut beberapa keterangan Raden Sutawijaya ada di bagian Barat. Ternyata Raden Sutawijaya sudah pergi ke Selatan. Ketika aku pergi ke Selatan, Raden Sutawijaya sudah tidak ada lagi. Menurut keterangan orang-orang di bagian Selatan itu, Raden Sutawijaya ingin melihat purnama terbit malam nanti."
"Purnama terbit?" Ki Lurah menjadi heran.
"Ya. Purnama terbit."
Ki Lurah Branjangan termangu-mangu. Ia menjadi heran, bahwa Raden Sutawijaya sempat memikirkan untuk melihat purnama terbit.
"Apakah ada sesuatu yang dirindukannya sehingga anak muda itu tiba-tiba menjadi seorang yang agak cengeng," desisnya.
"He," pengawal itu memotong, "kenapa cengeng" Purnama terbit memang memberikan kesan tersendiri. Coba Ki Lurah melihatnya sendiri. Ki Lurah akan menjadi muda kembali."
"Ah." "Di dalam terangnya purnama, gadis-gadis padukuhan memukul lesungnya dalam irama yang ngelangut. Seakan-akan mereka mendendangkan debar kerinduan hati mereka kepada kekasihnya."
"O," desah Ki Lurah Branjangan, "kau pun menjadi cengeng."
"Tidak, Ki Lurah. Memang kadang-kadang kita tergerak untuk melihat bulan terbit. Apalagi saat purnama. Tetapi agaknya Ki Lurah pun betul, Raden Sutawijaya sedang diganggu olen perasaan rindu. Karena itu, maka ia ingin melepaskan kerinduannya dengan melihat purnama terbit malam nanti."
"Tetapi malam nanti. Kenapa sekarang Raden Sutawijaya telah pergi?"
"Tentu aku tidak tahu."
"Baiklah. Aku akan mencarinya sendiri. Ia harus segera menengok ayahandanya. Ki Gede Pemanahan menjadi semakin pucat dan lemah. Barangkali Raden Sutawijaya dapat berbuat sesuatu. Raden Sutawijaya mempunyai sahabat seorang dukun yang baik. Yang sekarang berada di Menoreh. Meskipun dukun itu sendiri sedang menyembuhkan luka-lukanya, namun ia tentu tidak akan berkeberatan untuk menolong Ki Gede Pemanahan."
"Dukun?" bertanya pengawal itu.
"Ya. Dan sekarang, aku akan minta diri kepada Ki Gede untuk mencari puteranya."
Pengawal itu hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi malam masih cukup jauh. Jika Raden Sutawijaya ingin melihat purnama terbit, maka ia tentu akan menunggu lewat senja.
Sementara itu, Ki Lurah Branjangan pun pergi menghadap Ki Gede Pemanahan di pembaringan. Setelah menanyakan apakah yang diperlukan, maka Ki Lurah pun kemudian berkata, "Ki Gede. Aku ingin minta diri barang semalam untuk mencari Raden Sutawijaya."
"Kenapa kau harus mencarinya?"
"Ki Gede nampaknya menjadi semakin lemah. Aku menjadi teringat kepada dukun yang sekarang ada di Menoreh. Barangkali ia dapat menyembuhkan, atau setidak-tidaknya mengurangi sakit Ki Gede Pemanahan."
"Aku tidak sakit, Branjangan," jawab Ki Gede, "sebagaimana kau lihat, luka-lukaku sudah jauh berkurang. Bahkan sudah hampir sembuh sama sekali."
"Tetapi Ki Gede nampaknya semakin pucat."
"Apakah nampaknya demikian?"
"Ya, Ki Gede." Ki Gede Pemanahan tersenyum. Katanya kemudian, "Aku tidak merasa apa-apa. Badanku menjadi semakin sehat dan segar. Luka-lukaku pun akan segera sembuh."
"Tetapi jika dukun itu dapat mempercepat kesembuhan Ki Gede itu tentu akan lebih baik."
Ki Gede tidak segera menyahut. Tetapi tiba-tiba saja ia didorong oleh suatu keinginan untuk bertemu dengan orang yang menyebut dirinya bernada Kiai Gringsing, dan yang pernah juga disebut Ki Tanu Metir. Ada sesuatu yang menarik pada orang itu.
"Apakah Ki Gede Pemanahan belum mengenal dukun itu?" bertanya Ki Lurah Branjangan.
Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terkenang olehnya, betapa Kiai Gringsing itu selalu menghindari pertemuan dengannya. Sejak di Sangkal Putung, dan saat-saat kemudian Kiai Gringsing tidak pernah berhasil dijumpainya. Hanya anaknya sajalah yang selalu bertemu dan bahkan bekerja bersamanya.
"Ada sesuatu yang menarik pada dukun itu," berkata Ki Gede Pemanahan, "karena itu, jika aku mengundangnya, bukan semata-mata karena aku mencemaskan sakitku. Aku memang ingin bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing. Orang yang memiliki kemampuan menyembuhkan orang sakit dan sekaligus kemampuan bermain-main dengan cambuk."
Ki Lurah Branjangan merenung sejenak. Lalu katanya, "Jadi apakah Ki Gede sependapat, bahwa aku akan membicarakannya dengan Raden Sutawijaya?"
Ki Gede tidak segera menyahut. Bahkan ia pun kemudian bertanya, "Apakah kau tahu di mana Sutawijaya sekarang?"
Ki Lurah Branjangan termangu-mangu sejenak, namun kemudian katanya, "Seorang pengawal sudah berusaha menjumpainya. Tetapi Raden Sutawijaya tidak ada di beberapa tempat. Terakhir para pekerja yang sedang menyelesaikan sebuah parit di sebelah Selatan mengatakan, bahwa Raden Sutawijaya sedang pergi sebentar untuk melihat bulan purnama terbit."
"He," Ki Gede Pemanahan mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum. Katanya, "Apakah kau akan mencarinya ke tempat purnama itu terbit di cakrawala?"
Ki Lurah Branjangan pun tersenyum. Jawabnya, "Aku memang akan mencarinya, Ki Gede. Tetapi saat purnama terbit masih terlampau lama. Karena itu, biarlah aku mencarinya ke daerah sebelah Timur. Mungkin Raden Sutawijaya ada di ujung bagian Timur, di hadapan daerah terbuka yang menghadap Alas Tambak Baya. Dari sana bulan yang sedang terbit akan nampak bagaikan timbul dari balik cakrawala."
Ki Gede Pemanahan yang pucat itu tertawa. Katanya, "Pergilah. Aku tidak berkeberatan. Bahkan kau dapat mengatakan kepadanya bahwa aku memang ingin dapat bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing itu."
Ki Lurah Branjangan mengangguk kecil. Katanya, "Baiklah, Ki Gede. Aku minta diri di luar ada seorang pelayan yang dapat melayani Ki Gede jika Ki Gede perlukan."
"Aku dapat bangkit, berdiri dan berjalan ke mana-mana."
"Tetapi Ki Gede harus beristirahat cukup banyak, sehingga agaknya lebih baik jika Ki Gede tidak bangkit dan berjalan ke luar lebih dahulu."
Ki Gede Pemanahan menganggukkan kepalanya. Katanya, "Aku akan menjaga diriku sendiri."
Demikianlah maka Ki Lurah Branjangan pun meninggalkan Ki Gede Pemanahan, ia segera menyuruh seorang pengawal menyiapkan kudanya. Ia sendiri ingin mencari Raden Sutawijaya sampai ketemu, dan kemudian bersama-sama pergi ke Menoreh untuk minta Kiai Gringsing datang berkunjung ke Mataram.
"Mudah-mudahan orang itu belum meninggalkan Menoreh," katanya, "jika sudah, maka aku harus mencarinya ke Sangkal Putung."
Namun demikian terbersit suatu pertanyaan pula di dalam hatinya. Ki Gede Pemanahan menaruh minat atas kehadiran Kiai Gringsing bukan untuk mengobatinya. Namun agaknya ada sesuatu yang memang menarik perhatiannya pada Kiai Gringang itu sendiri.
"Apakah memang ada rahasia yang tersembunyi pada orang tua yang perkasa itu," bertanya Ki Lurah Branjangan kepada diri sendiri. "Hampir setiap saat Kiai Gringsing berbuat sesuatu untuk menolong Mataram. Sebelumnya Kiai Gringsing sudah banyak berbuat untuk Pajang. Pada saat pergolakan berkisar di Sangkal Putung, Kiai Gringsing sudah mulai ikut mengambil bagian. Dan Untara harus mengakui bahwa dukun tua itu sudah menyelamatkan jiwanya. Bahkan kemudian membentuk adiknya menjadi seorang anak muda yang perkasa."
Setelah siap, maka Ki Lurah Branjangan pun kemudian dengan dikawal oleh dua orang pengawal pergi mencari Raden Sutawijaya. Salah seorang dari kedua pengawal itu adalah pengawal yang sudah mencari Raden Sutawijaya sebelumnya.
"Kita akan pergi ke Timur," berkata Ki Lurah Branjangan.
"Ke ujung Alas Mentaok?" bertanya salah seorang pengawal.
"Ya. Mungkin Raden Sutawijaya ada di ujung Alas Mentaok dan menunggu purnama naik. Sebuah tempat terbuka yang memisahkan Alas Mentaok dan Tambak Baya merupakan tempat yang baik untuk menunggu purnama naik."
"Bagaimana jika Raden Sutawijaya berada di ujung Alas Tambak Baya?"
Ki Lurah Branjangan hanya menarik nafas. Namun sebenarnyalah bahwa Ki Lurah Branjangan sudah mempunyai perhitungan tersendiri dengan kepergian Raden Sutawijaya. Meskipun demikian ia masih belum mengatakan kepada siapa pun karena ia masih belum yakin bahwa perhitungannya itu benar. Namun demikian, ia pun pergi juga ke arah Timur Alas Mentaok.
Ki Lurah Branjangan sama sekali tidak tergesa-gesa. Hari masih terlampau siang untuk menunggu bulan purnama terbit. Meskipun demikian keduanya berjalan juga langsung menuju ke ujung Timur Alas Mentaok.
Ketiganya berkuda menyelusuri daerah yang sudah dibuka. Kadang-kadang mereka melewati padukuhan-padukuhan kecil yang sudah dihuni oleh beberapa orang. Bahkan ada pula sebuah padukuhan yang sudah nampak berkembang dan menjadi ramai.
Ketika Ki Lurah Branjangan sampai di depan sebuah gardu peronda yang kebetulan berisi tiga orang, maka ia pun segera berhenti dan bertanya, "Ki Sanak, apakah kalian melihat seseorang lewat?"
Ketiga orang itu pun kemudian keluar dari gardu dan merenung sejenak. Sementara itu Ki Lurah Branjangan mengulangi pertanyaannya, "Apakah ada seseorang yang lewat?"
Salah seorang dari mereka menjawab, "Ada beberapa orang yang lewat di jalan ini."
"Yang berkuda?"
Orang-orang itu mengerutkan beningnya. Salah seorang menjawab, "Selama kami ada di gardu ini, kami tidak melihatnya."
"Apakah kalian bertugas meronda di siang hari begini?"
"Tidak. Kami melepaskan lelah dan duduk-duduk saja di gardu."
"Sudah lama?" "Belum begitu lama."
"Apakah kalian sudah mengenal Raden Sutawijaya?"
"O, tentu." "Raden Sutawijaya yang aku maksud lewat melalui jalan ini. Apakah kalian melihatnya?"
Mereka saling berpandangan sejenak. Kemudian hampir bersamaan mereka menggeleng, "Tidak. Kami tidak melihat."
Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, "Terima kasih. Aku akan melanjutkan perjalananku."
"Ki Lurah akan kemana?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Mencari Raden Sutawijaya."
Demikianlah maka Ki Lurah Branjangan dan kedua pengawalnya pun segera meneruskan perjalanan. Mereka percaya kepada keterangan para penjaga gardu itu. Apalagi mereka memang tidak melihat jejak kaki kuda yang masih baru.
Ketika mereka sudah melampaui padukuhan itu, Ki Lurah Branjangan berkata, "Raden Sutawijaya tentu tidak melalui jalan yang sudah terbuka ini."
"Apakah ada jalan lain?" bertanya pengawal itu.
"Jalan yang sudah terbuka memang tidak ada. Tetapi sejak belum ada jalan sama sekali, Raden Sutawijaya memang sudah hilir-mudik ke Alas Mentaok."
"Maksud Ki Lurah, hilir-mudik antara Mentaok dan Pajang, begitu?"
Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia mengangguk sambil menjawab, "Ya. Maksudku memang demikian."
Ketiganya pun kemudian berdiam diri. Mereka memandang jalur jalan di hadapan mereka. Meskipun jalan itu masih belum baik namun jalan itu sudah cukup banyak memberikan manfaat kepada Mataram dan daerah di sekitarnya. Di beberapa bagian Ki Lurah justru melihat orang-orang yang sedang beramai-ramai bekerja menyempurnakan jalan itu. Sedang yang lain masih juga sibuk memperluas tanah garapan mereka dengan menebang hutan. Di beberapa gardu tampak orang-orang yang sedang beristirahat sambil mengunyah makanan, setelah mereka memeras keringat menyempurnakan padukuhan masing-masing.


04 Api Di Bukit Menoreh Karya Sh Mintardja di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi tidak seorang pun yang melihat Raden Sutawijaya lewat.
"Kita harus mempercepat jalan kuda-kuda kita," berkata Ki Lurah Branjangan.
"Masih terlampau siang," sahut salah seorang pengawalnya.
"Mungkin kita akan pergi ke Tambak Baya."
Tidak ada yang menjawab. "Tetapi Tambak Baya sekarang sudah aman. Jika ada perampok kecil karena orang-orang malas yang kelaparan, akan dapat kita selesaikan."
Kedua pengawalnya hanya mengangguk-angguk saja. Demikianlah kuda-kuda itu berlari semakin cepat. Mereka melintasi jalan yang sudah agak baik. Namun semakin lama jalan itu menjadi semakin buruk. Dan bahkan pada suatu saat seakan-akan ujung jalan itu menusuk masuk ke dalam hutan yang masih lebat. Ujung sebelah Timur dari Alas Mentaok yang memang belum digarap seluruhnya.
Dengan demikian maka perjalanan mereka pun mulai terganggu. Mereka hanya dapat maju dengan perlahan-lahan. Namun mereka sama sekali tidak tergesa-gesa, karena senja masih cukup jauh.
"Meskipun jalan ini seolah-olah terputus sampai di sini, tetapi jalur ini adalah jalur satu-satunya yang paling baik untuk menuju ke Timur," berkata Ki Lurah Branjangan.
"Jalan ini adalah jalan raya menuju ke Pajang," sahut seorang pengawalnya.
Ki Lurah Branjangan tidak menyahut. Jalan itu memang jalan satu-satunya. Di luar Alas Mentaok jalan itu menjadi agak rata. Apalagi setelah melampaui Alas Tambak Baya. Jalan itu benar-benar merupakan jalan raya.
Ketiganya pun kemudian maju sambil berdiam diri. Meskipun tidak begitu cepat, namun mereka pun kemudian sampai juga ke mulut lorong yang bagaikan pintu goa keluar dari Alas Mentaok.
"Raden Sutawijaya tidak ada di sini," berkata salah seorang pengawalnya.
"Ya. Kita tidak menemukannya. Menurut dugaanku, tidak ada tempat yang lebih baik dari tempat ini untuk menunggu bulan purnama naik. Purnama itu nampaknya tentu seperti lingkaran emas raksasa yang memanjat di atas hitamnya hutan Tambak Baya yang membujur, seperti garis tebal yang tergores di langit," sahut yang lain.
"Ah, kau sudah berangan-angan," potong Ki Lurah Branjangan.
Pengawal itu tertawa. Katanya, "Hampir sepanjang hidupku aku tidak pernah memikirkan purnama naik. Dimasa kanak-kanak kadang aku kegirangan jika bulan terang. Aku dapat bermain sampai jauh malam. Kadang-kadang malam menjadi terang seperti siang. Tetapi belum pernah terlintas dikepalaku untuk menunggu dan melihat saat purnama naik di atas cakrawala."
Kawannya pun tertawa. Ki Lurah Branjangan yang mula-mula mengerutkan keningnya pun tertawa pula.
"Kita akan berjalan terus," berkata Ki Lurah Branjangan kemudian.
"Kemana?" bertanya pengawal itu dengan herannya.
"Melintasi Alas Tambak Baya. Di ujung Alas Tambak Baya kita tentu akan dapat melihat bulan yang sedang terbit itu tanpa dihalangi oleh seleret garis hitam yang tebal. Kita akan langsung dapat melihat, begitu bulan mulai tersembul di cakrawala."
Kedua pengawal itu terdiam sejenak. Namun hampir berbareng keduanya tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, "Aneh. Tiba-tiba saja kita sudah terlibat dalam persoalan bulan yang akan terbit malam ini."
Kedua orang yang lain pun tertawa pula berkepanjangan.
Namun demikian Ki Lurah Branjangan berkata, "Marilah. Kita akan tetap berjalan terus."
Kedua pengawalnya tidak menyahut. Mereka mengikuti saja di belakang Ki Lurah Branjangan yang sudah, mendahului. Dan bahkan berkata, "Kita harus berjalan lebih cepat agar kita tidak kemalaman justru di dalam hutan Tambak Baya."
Sejenak kemudian kuda-kuda itu pun segera berlari. Jalan di luar Alas Mentaok nampaknya agak lebih baik sehingga kuda mereka dapat berlari agak kencang. Namun ketika mereka mulai memasuki Alas Tambak Baya, maka kuda-kuda itu pun berjalan agak lambat.
"Jalan ini sudah menjadi jauh lebih baik, sejak tidak banyak lagi gangguan," berkata Ki Lurah Branjangan. "Di waktu-waktu terakhir sudah banyak para pedagang yang hilir-mudik lewat jalan ini. Karena itu, perbaikan jalan di ujung Alas Mentaok itu harus dipercepat, agar arus perdagangan menjadi lebih lancar."
"Jalan itu sudah jauh lebih baik dari beberapa pekan yang lampau," berkata seorang pengawalnya.
"Tetapi masih dapat menjadi lebih baik lagi."
Ketiganya tidak berbicara terlampau banyak lagi. Jalan di hutan Tambak Baya itu pun masih perlu mendapat perhatian. Orang-orang Mataram-lah yang paling berkepentingan untuk membuat jalan itu benar-benar menjadi jalan yang dapat dilalui dengan baik.
"Kita akan terlambat sampai di ujung hutan ini," berkata salah seorang pengawal tiba-tiba.
"Ya. Kita akan keluar dari hutan ini setelah purnama terbit," sahut pengawal yang lain.
"Itu tidak penting. Raden Sutawijaya akan tetap berada di sana jika ia memang pergi ke sana."
"Jika ia sudah kembali?"
"Jalan ini adalah jalan yang akan dilaluinya."
"Jika Raden Sutawijaya memilih jalan lain" Melintas hutan yang pepat seperti yang sering dilakukan?"
"Kita tidak akan berjumpa di jalan ini."
Kedua pengawal Ki Lurah Branjangan tidak menjawab. Tetapi ada semacam keseganan di dalam hati mereka untuk manyelusuri jalan itu mencari Raden Sutawijaya. Apalagi dalam ketidak-pastian seperti itu. Seakan-akan mereka sedang melakukan pekerjaan yang tidak berguna sama sekali. Apalagi jalan yang mereka lalui meskipun sudah tenang, namun mereka masih harus berwaspada. Terlebih-lebih lagi, warna kelabu mulai membayang di langit yang kemerah-merahan.
Mereka bertiga menyadari, bahwa mereka akan terlambat keluar dari hutan itu. Namun demikian mereka masih saja berjalan terus menuju ke mulut lorong di hutan Tambat Baya itu.
Perlahan-lahan warna yang kelam mulai turun menyelubungi hutan Tambak Baya. Matahari yang telah merayap semakin dekat dengan cakrawala.
Ketiga orang Mataram itu berjalan terus sambil berdiam diri. Sekali-sekali mereka menengadahkan, wajah ke langit, dan di lihatnya senja menjadi semakin buram.
Ki Lurah Branjangan mencoba mempercepat lari kudanya. Ia berharap bahwa ia masih akan dapat mencapai mulut lorong sebelum gelap menjadi semakin pekat, menjelang purnama yang akan segera terbit. Tetapi cahaya bulan itu tidak akan terlampau banyak menyusup di sela-sela dedaunan hutan yaug lebat seperti Alas Tambak Baya.
Tetapi Ki Lurah Branjangan dengan kedua pengiringnya tidak dapat memaksa kudanya berlari lebih cepat lagi. Sebelum mereka sampai ke batas hutan, maka matahari pun segera tenggelam, dan hutan pun menjadi hitam.
"Jika kita berada di tengah sawah, maka agaknya masih akan nampak cahaya merah di langit dan rasa-rasanya kita masih akan dapat melihat jalan yaug menjelujur di hadapan kita," berkata salah seorang pengawal itu di dalam hatinya. Namun karena mereka berada di bawah rimbunnya dedaunan, maka senja itu benar-benar telah menjadi gelap.
Tetapi mereka menyadari, bahwa sesaat lagi udara akan segera menjadi cerah. Bulan purnama akan segera terbit dan menerangi langit.
"Namun hutan ini akan tetap gelap," gumam pengawal itu pula di dalam hati.
Meskipun demikian mereka berjalan terus.
Ternyata mereka tidak terlambat terlampau banyak. Meskipun mereka tidak dapat melihat saat purnama pecah di atas cakrawala, tetapi mereka pun segera keluar dari hutan itu sebelum, bulan memanjat terlampau tinggi.
Tetapi demikian mereka melihat cahaya bulan yang cerah, demikian mereka bertanya-tanya di dalam diri, "Di manakah Raden Sutawijaya."
Ki Lurah Branjangan yang berkuda di paling depan segera berhenti ketika mereka berada di tempat terbuka. Sejenak ia memandang berkeliling untuk mencari Raden Sutawijaya, jika ia memang berada di pinggir Hutan Tambak Baya itu.
Kedua pengawalnya pun termangu-mangu di belakangnya. Salah seorang yang tidak dapat menahan hati segera bergumam, "Kita tidak menemukannya juga di sini."
Ki Lurah Branjangan menarik nafas. Katanya, "Kita akan menunggu di sini."
"Menunggu siapa?" bertanya pengawalnya yang lain
"Raden Sutawijaya."
"Di sini" Kenapa di sini?"
Ki Lurah Branjangan termangu-mangu sejenak. Tetapi ia hanya menjawab, "Kita menunggu saja di sini."
Kedua pengawalnya menjadi heran. Apalagi ketika mereka melihat Ki Lurah Branjangan turun dari kudanya. Ditambatkannya kudanya pada sebatang pohon perdu di atas rerumputan yang hijau.
Kedua pengawalnya berpandangan sejenak. Namun keduanya pun berbuat serupa itu juga.
"Kita duduk di sini," berkata Ki Lurah.
Kedua pengawalnya bagaikan terpukau oleh perintah itu dan mereka pun duduk dengan tidak banyak pertanyaan.
"Kita menunggu Raden Sutawijaya."
"Aku tidak mengerti," seorang pengawalnya berdesis.
"Mudah-mudahan kali ini kita akan mendapatkannya."
Sambil menggelengkan kepalanya pengawal yang sudah mencari Raden Sutawijaya lebih dahulu itu bergumam, "Benar-benar membingungkan. Apakah sekarang ini Raden Sutawijaya sedang tidak berada di mana-mana seperti yang dikatakan orang?"
Ki Lurah Branjangan memandang pengawal itu sejenak, lalu, "Mudah-mudahan ia akan berada di tempat ini. Kita menunggu semalam ini."
"Semalam suntuk?" bertanya pengawal yang lain.
"Ya. Sampai Raden Sutawijaya datang."
Pengawal itu mengeluh. Katanya, "Dingin, dan sejak siang tadi aku belum makan."
Ki Lurah tersenyum. Jawabnya, "Kau adalah seorang pengawal. Dan kau mempunyai kedudukan seperti seorang prajurit. Jangankan sejak siang tadi, bahkan sejak kemarin pun kau tidak boleh mengeluh."
"Jika aku berada di peperangan, aku tidak akan mengeluh. Tetapi melihat bulan purnama dengan perut lapar, aku mempunyai pertimbangan tersendiri," jawab pengawal itu.
Ki Lurah tertawa. Katanya, "Sekali ini. Kita akan tetap menunggu."
Terdengar pengawal itu berdesah. Dan Ki Lurah berkata, "Kita akan berjaga-jaga bergantian. Kita bagi malam ini menjadi tiga bagian. Yang berjaga-jaga yang pertama kali mendapat giliran sampai bulan itu tepat di tengah. Kemudian yang kedua sampai menjelang dini hari. Dan yang ketiga, sampai matahari terbit besok pagi."
"Siapa yang pertama?" bertanya pengawal yang seorang.
"Terserah." "Aku yang pertama."
Demikianlah mereka telah membagi diri. Meskipun demikian kedua orang yang tidak sedang bertugas pun tidak segera dapat tidur karena malam masih terlampau dangkal. Mereka masih dengan ragu-ragu menunggu kedatangan Raden Sutawijaya dari tempat yang tidak diketahui oleh kedua pengawal itu.
Sekali-sekali ketiganya mengangkat kepalanya, jika mereka mendengar aum harimau di kejauhan.
Apalagi apabila kuda mereka menjadi gelisah dan meringkik.
Tetapi jika kuda-kuda itu menjadi tenang kembali, maka ketiga orang pengawal dari Mataram itu sempat melihat dedaunan yang kekuning-kuningan diwarnai oleh cahaya bulan yang terang mengapung di langit.
Namun demikian sebenarnyalah mereka tidak begitu tertarik kepada cahaya bulan di dedaunan dan kepada bulan itu sendiri. Mereka menjadi benar-benar merasa jemu. Meskipun demikian mereka telah memaksa diri untuk menunggu di tempat itu semalam suntuk seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah Branjangan.
Tetapi Ki Lurah Branjangan sendiri tidak yakin, bahwa yang ditunggunya akan datang. Bahkan kemudian ia pun telah dilanda pula oleh kejemuan. Namun Ki Lurah Branjangan tetap berniat untuk menunggu. Meskipun ragu-ragu namun ia masih mengharap bahwa perhitungannya benar.
Ketika bulan merayap semakin tinggi, maka mulailah para pengawal yang duduk di pinggir Alas Tambak Baya itu di ganggu oleh perasaan kantuk. Mereka menyelimuti diri mereka dengan kain panjang untuk melindungi gigitan nyamuk yang tiada henti-hentinya mengganggu mereka. Kemudian dua orang yang tidak sedang bertugas berjaga-jaga segera mencari sandaran. Dan adbmcadangan.wordpress.com sejenak kemudian meka mereka pun segera tertidur meskipun setiap kali mereka terbangun oleh kegelisahan dan gigitan nyamuk Alas Tambak Baya.
Di belahan malam pertama, mereka tidak menjumpai persoalan apa pun juga. Suara harimau terdengar jauh sekali meskipun cukup menggelisahkan kuda-kuda yang tertambat. Tetapi harimau sama sekali tidak mengecutkan hati para pengawal itu, karena mereka bertiga yakin akan dapat melawannya jika seekor harimau datang menyerang.
Ketika bulan sampai di puncak langit, maka para pengawal itu pun berganti tugas. Yang sudah lebih dahulu tidur, segera menggantikan kawannya yang sudah terlalu lelah menahan kantuk.
Tetapi sampat menjelang dini hari, orang itu pun hanya duduk terkantuk-kantuk, tanpa ada peristiwa apa pun juga.
Yang bertugas terakhir adalah justru Ki Lurah Branjangan sendiri, di saat-saat yang paling malas. Di dini hari rasa-rasanya nikmat sekali tidur bersandar sebatang pohon dan berselimut kain panjang sampai ke kepala. Namun pada saat yang demikian Ki Lurah Branjangan harus duduk berjaga-jaga.
Untuk menghilangkan kantuk dan kejemuan, Ki Lurah Branjangan mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangan. Dilemparkannya batu itu ke dalam rimbunnya batang alang-alang. Kemudian dicarinya batu itu sampai dapat diketemukan. Dengan demikian maka Ki Lurah Branjangan berhasil menahan kantuknya. Tetapi ia tidak mudah melawan kejemuannya untuk tetap menunggu.
Meskipun demikian, ia harus memaksa diri untuk tetap berada di tempat itu. Selain karena kedua pengawalnya sedang tidur lelap, ia memang masih saja mempunyai harapan betapa pun tipisnya.
Bulan di langit yang merayap semakin ke Barat, semakin lama menjadi semakin rendah. Bahkan kemudian hilang di balik dedaunan pepohonan liar di Alas Tambak Baya, sementara wajah langit di ujung Timur menjadi semburat merah.
You Got Me From Hello 1 Pendekar Naga Putih 72 Pertarungan Dua Naga Beraksi Kembali 1

Cari Blog Ini